VARIABILITAS KESUBURAN PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT LOMBOK STEFANUS HARI WIYADI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VARIABILITAS KESUBURAN PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT LOMBOK STEFANUS HARI WIYADI"

Transkripsi

1 VARIABILITAS KESUBURAN PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT LOMBOK STEFANUS HARI WIYADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Variabilitas Kesuburan Perairan dan Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi Di Selat Lombok adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2012 Stefanus Hari Wiyadi NRP C

3 ABSTRACT STEFANUS HARI WIYADI. Fertility Variability and Water Conditions With Regard Oceanography at The Lombok Strait. Under direction of I WAYAN NURJAYA and FADLI SYAMSUDIN. This study tried to understand the relationship between the variability of marine productivity and oceanographic condition in the Lombok Strait. We utilized Sea Surface Temperature (SST) and Chlorophyll-a data during July 2002 December 2009 taken from remote sensing satellite of Aqua MODIS NASA, wind data during January 2002 December 2009 from IFREMER Cersat, and Nutrient data during January 2002 December 2005 from NOAA and WOD-NODC. The study areas divided by 4 (four) locations representing Flores sea (station 1), Northern part of Lombok strait (Station 2), Southern part of Lombok Strait (Station 3), and Indian Ocean side (Station 4). The result study showed spatial distribution of SST are about o C and Chlorophyll-a are about mg/m³. The temporal distribution of SST showed that during west monsoon have a warm temperature then during east monsoon the water have a cold temperature and also the temporal distribution of Chlorophyll-a have a high concentration during east monsoon and low concentration during west monsoon.we carried out the Empirical Orthogonal Function (EOF) and wavelet spectrum analysis to account for the main modes of the variability. The total variance of EOF mode 1 and 2 of SST explains 78 % for mode 1 and 8,4 % for mode 2 while Chlorophyll-a explains 32,4 % for mode 1 and 20,4 % for mode 2 of total variance. Spatial distribution at station 1 show sea surface temperature and chlorophyll is strongly influenced phenomenon semiannual influences, station 4 is influenced by the dominant influence of the phenomenon annual, while station 2 and 3 tend to be influenced phenomenon mixture of annual and semiannual. While the temporal distribution of show on the East season chlorophyll concentration tend to be hingh in the waters south of the Lombok Straits and West season chlorophyll relatively small concentrations, but relatively high chlorophyll concentrations appear only near the southeast coast island of Bali and western Lombok island. The index of marine productivity in this study has been established and found that at station 4 have high productivity rather then the others station occurred during months of June September (dry season). Keywords : Variability of marine productivity, Lombok Strait, EOF, Wavelet

4 RINGKASAN STEFANUS HARI WIYADI. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi di Selat Lombok. Dibimbing oleh I WAYAN NURJAYA dan FADLI SYAMSUDIN. Selat Lombok memiliki produktivitas perairan yang tinggi akibat adanya fenomena upwelling yang terjadi secara musiman di perairan selatan Jawa yang berhubungan dengan Samudera Hindia. Selain variasi musim, di perairan selatan Jawa yang berhubungan dengan Samudera Hindia juga ditemukan adanya variasi interanual seperti El Nino Southtern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole Mode (IODM), yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi perairan Selat Lombok. Pengaruh musim serta fenomena ENSO dan IODM mempengaruhi parameter oseanografi seperti kelimpahan fitoplankton dan suhu permukaan di perairan Selat Lombok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabilitas kesuburan perairan di Selat Lombok, mengkaji pola sebaran klorofil-a, SPL dan Nutrien (nitrat,fosfat dan silikat) secara spasial dan temporal di perairan Selat Lombok, mengetahui korelasi variabilitas kesuburan dan kondisi oseanografi perairan Selat Lombok. Lokasi penelitian ini dilakukan di perairan Selat Lombok perairan yang menghubungkan antara P. Bali dan P. Lombok. Batas perairan yang diamati adalah 7.5 LS 9.5 LS dan BT BT. Dengan 4 stasiun pengamatan masing-masing stasiun 1 (7.75 LS, BT) mewakili perairan Laut Flores, stasiun 2 (8.25 LS, BT) mewakili Selat Lombok bagian utara, stasiun 3 (8.75 LS, BT) mewakili Selat Lombok bagian selatan, stasiun 4 (9.25 LS, BT) mewakili perairan Samudera Hindia. Secara normal kisaran konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Lombok bervariasi mengikuti musim. Sebaran konsentrasi klorofil-a pada musim timur akan meningkat dan pada musim barat akan menurun. Peningkatan klorofil-a pada musim timur berkaitan dengan fenomena upwelling di perairan Samudera Hindia. Adanya korelasi antara angin permukaan, suhu permukaan laut (SPL), konsentrasi klorofil-a dan nutrien (Nitrat, Fosfat dan Silikat), yang terlihat dari pengaruh pola musiman yaitu angin muson. Pada saat muson timur, SPL di perairan Selat Lombok mendingin terutama di bagian selatan perairan, hal ini diikuti dengan meningkatnya konsentrasi nutrien sehingga konsentrasi klorofil-a ikut meningkat, demikian pula sebaliknya pada saat musim barat suhu di permukaan perairan Selat Lombok cenderung lebih hangat dan konsentrasi klorofil yang relatif kecil. Analisis Emphirical Orthogonal Function (EOF) dan spektrum Wavelet menunjukkan mode utama variabilitas, total varian untuk suhu permukaan laut mode 1dan mode 2, sebesar 78% dan 8,4 %, sementara total varian untuk Klorofil pada mode 1 dan mode 2, sebesar 32,4% dan 20,4%. Sebaran spasial menunjukkan pada stasiun 1 suhu permukaan laut dan klorofil sangat dipengaruhi oleh pengaruh musiman (semiannual), stasiun 4 dominan dipengaruhi oleh pengaruh fenomena tahunan (annual), sedangkan stasiun 2 dan 3 cenderung dipengaruhi fenomena campuran antara musiman dan tahunan, sedangkan sebaran temporal menunjukkan pada musim Timur konsentrasi khlorofil cenderung tinggi

5 di perairan selatan Selat Lombok dan pada musim Barat konsentrasi khlorofil relative kecil tetapi konsentrasi klorofil relatif tinggi muncul hanya di dekat pesisir pantai Tenggara Pulau Bali dan barat Pulau Lombok. Indeks kesuburan perairan yang didapatkan menunjukkan bahwa pada stasiun 4 memiliki kesuburan perairan yang tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lain dan umumnya terjadi selama bulan Juni September. Kata kunci: Variabilitas kesuburan perairan, Selat Lombok, EOF, Wavelet.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 VARIABILITAS KESUBURAN PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT LOMBOK STEFANUS HARI WIYADI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS

9 HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis Nama NRP : Variabilitas Kesuburan Perairan dan Hubungannya Dengan Kondisi Oseanografi di Selat Lombok. : Stefanus Hari Wiyadi : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Ketua Dr. Ir. Fadli Syamsudin, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Kelautan Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 13 Januari 2012 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Variabilitas Kesuburan Perairan dan Hubungannya Dengan Kondisi Oseanografi di Selat Lombok. Penelitian ini disususun dalam rangka penyelesaian tugas akhir sebagai salah satu syarat kelulusan program pasca sarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini, terutama kepada Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Fadli Syamsudin, M.Sc selaku pembimbing anggota yang telah penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan hingga selesainya penyusunan tesis ini. Selanjutnya, ungkapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan yang juga telah memberikan masukan untuk menyempurnakan tesis ini. Di samping itu, penghargaan yang terhormat penulis sampaikan kepada pimpinan dan jajaran staf Mabes TNI AL serta pimpinan dan jajaran staf Korps Marinir yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan serta bantuan beasiswa kepada penulis dalam melaksanakan masa studi. Terimakasih pula untuk istriku Aeutophia Dolfie Gratia, serta kakak-kakak khususnya Dra. Elizabeth Sherly Widyana atas dukungan moril dan materiil. Serta sahabat dan rekan-rekan kerja Syamsul Hidayat, Agung Nugraha dan Pramudyo Dipo atas bantuannya selama penyusunan tesis. Ungkapan terima kasih disampaikan pula untuk seluruh staf administrasi Ilmu Kelautan IPB yang banyak membantu kelancaran studi dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat dan motivasi sehinga terselesaikannya tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki keterbatasan dan belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan untuk penyempurnaan tesis ini. Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan kemajuan ilmu pengetahuan dibidang ilmu kelautan. Bogor, Januari 2012 Stefanus Hari Wiyadi

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Balikpapan pada tanggal 27 Mei 1973 dari ayah Petrus Hadi Suprajitno (Alm) dan ibu Emma Suzanna (Alm). Penulis merupakan putra ke-8 dari delapan bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di Sekolah Dasar Bernardus 01 Semarang dan lulus pada tahun 1986, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama PL Domenico Savio Semarang dan lulus pada tahun Selanjutnya penulis meneruskan ke Sekolah Menengah Atas Kolese Loyola Semarang dan lulus pada tahun Pada tahun 1994 penulis diterima pada program studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Universitas Diponegoro (Undip) Semarang melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan lulus pada tahun Pada Tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa (S2) Mayor Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Dinas Pendidikan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Disdikal Mabes TNI AL). Penulis berdinas sebagai Perwira Marinir TNI AL sejak tahun 2000, alumni Sekolah Perwira Prajurit Karier angkatan ke-7 (SEPA PK-7) tahun 1999/2000, hingga sekarang masih berdinas aktif sebagai Pama Pasmar-2 Korps Marinir yang bermarkas di Jakarta. Judul Penelitian Tesis penulis adalah Variabilitas Kesuburan Perairan dan Hubungannya Dengan Kondisi Oseanografi di Selat Lombok

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN..xviii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Kerangka Pendekatan Masalah 3 2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Selat Lombok Sirkulasi Permukaan Perairan di Selat Lombok Produktivitas Primer dan Faktor yang Mempengaruhi Percampuran Vertikal Penetrasi Sinar Matahari Kadar Nutrien Suhu Laju Tenggelam Fitoplankton Faktor yang Mempengaruhi Sebaran Suhu Permukaan Laut Angin dan Perubahan Musim Upwelling Pola Arus Deteksi Klorofil dan Suhu Permukaan Laut El Nino Southern Oscillation (ENSO) Indian Ocean Dipole Mode (IODM) xii

13 xiii 3. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Alat dan Data Penelitian Metode Pengumpulan Data Data Klorofil dan Suhu Permukaan Laut Data Angin Data Nutrien Analisis Data Metode Pengolahan Citra Sebaran Temporal dan Spasial Analisis Emperical Orthogonal Function (EOF) Analisis Wavelet Cross Wavelet Transform (XWT) Wavelet Transform Coherence (WTC) HASIL DAN PEMBAHASAN Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan laut (SPL) Sebaran Ruang (Spasial) Klorofil Sebaran Waktu (Temporal) Angin, SST, Klorofil dan Nutrien Analisis Wavelet dan EOF (Emphirical Orthogonal Function) Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika Analisis Wavelet Analisis EOF Korelasi Kesuburan Perairan dan Kondisi Oseanografi... 66

14 xiv 5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 76

15 DAFTAR TABEL Halaman 1. Koefisien kanal 31 dan 32 untuk AquaMODIS SPL rata-rata bulanan pada bulan Januari Juni di stasiun pengamatan SPL rata-rata bulanan pada bulan Juli - Desember di stasiun pengamatan Klorofil rerata bulanan pada bulan Januari Juni di stasiun pengamatan Periode dari fluktuasi spektrum densitas energi SPL yang dominan Periode dari fluktuasi spektrum densitas energi klorofil yang dominan Periode dari fluktuasi spektrum densitas energi silang antara SPL dengan klorofil yang dominan Periode dari fluktuasi koherensi SPL dengan klorofil Indeks kesuburan perairan Selat Lombok xv

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan kerangka pendekatan masalah Batimetri dasar perairan Selat Lombok Sistem Arus Lintas Indonesia (Arlindo) di perairan Indonesia Model sirkulasi Walker di S. Pasifik pada kondisi normal dan pada saat kondisi El Nino Pola perkembangan IODM Perbandingan kondisi IODM dan El Nino Peta lokasi penelitian Sebaran SPL bulanan rata-rata dari tahun Kontur standar deviasi (SD) suhu permukaan laut bulanan rata-rata Sebaran klorofil bulanan rata-rata dari tahun Kontur standar deviasi (SD) klorofil bulanan rata-rata Kontur suhu vertikal bulan Januari - Desember Kontur standar deviasi suhu vetikal bulan Januari - Desember Diagram stick plot Spektrum densitas energi suhu permukaan laut (SPL) di stasiun 1 4 dan stasiun rata rata dengan menggunakan analisis wavelet Spektrum densitas energi Klorofil antara stasiun 1 4 dan stasiun rata-rata dengan menggunakan analisis wavelet Spektrum densitas energi silang hubungan SPL dan klorofil dengan analisis wavelet Koherensi dari densitas energi silang antara SPL dan klorofil Sebaran spasial suhu permukaan laut Mode 1 dan Mode 2 hasil analisis EOF xvi

17 xvii 20. Grafik temporal SPL dari 4 mode EOF Sebaran spasial klorofil Mode 1 dan Mode 2 hasil analisis EOF Grafik temporal EOF Klorofil dari 4 mode EOF... 66

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Syntax program Matlab untuk pengolahan wavelet Syntax program Matlab untuk pengolahan EOF Data perbulan Angin, SST, Klorofil, Nutrien stasiun Data perbulan Angin, SST, Klorofil, Nutrien stasiun Data perbulan Angin, SST, Klorofil, Nutrien stasiun Data perbulan Angin, SST, Klorofil, Nutrien stasiun Data suhu perkedalaman bulan Januari- Desember tahun Perhitungan Indeks Kesuburan Perairan 90 xviii

19 1. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Selat Lombok merupakan perairan dalam dan dikenal sebagai daerah yang mempunyai sistem arus yang kuat serta dipengaruhi oleh siklus musim. Selat ini mempunyai peranan penting dalam Arus Lintas Indonesia (Arlindo) dan memberikan sumbangan yang nyata bagi transpor massa air melalui selat. Arlindo adalah arus yang mengalir dan menghubungkan Lautan Pasifik dan Lautan Hindia melalui kepulauan Indonesia (Murray dan Arief,1988; Inoue dan Welsh,1993). Arlindo mengalir di tengah-tengah kepulauan Indonesia dan berperan sebagai satu-satunya penghubung dua lautan di daerah tropis (lintang rendah). Variabilitas kesuburan perairan di Selat Lombok sangat dipengaruhi oleh perairan di sekitarnya terutama perairan selatan Jawa Sumbawa. Sebaran spasial maupun temporal sangat dipengaruhi oleh karakteristik massa air perairan terutama suhu dan kandungan nutrien di permukaan perairan. Karakteristik massa air sangat tergantung pada proses dinamika massa air seperti upwelling,downwelling, transpor Ekman dan pola sirkulasi massa air permukaan. Proses dinamika massa air dipengaruhi oleh pola dan kekuatan angin yang bertiup di atas perairan tersebut. Dari semua proses dinamika massa air, upwelling merupakan faktor utama yang berperan terhadap tingginya konsentrasi klorofil-a, di lapisan permukaan perairan. Selat Lombok memiliki produktivitas perairan yang tinggi akibat adanya fenomena Upwelling yang terjadi secara musiman di perairan selatan Jawa yang berhubungan dengan Samudera Hindia. Upwelling merupakan proses terangkatnya massa air dalam yang kaya nutrien ke lapisan permukaan tercampur. Pada Umumnya, sebaran nutrien di dalam perairan memperlihatkan tingginya konsentrasi nutrien pada lapisan termoklin. Bila proses upwelling dapat terjadi optimal dan didukung oleh dangkalnya lapisan termoklin, maka fenomena upwelling sangat membantu dalam menyediakan nutrien dengan konsentrasi tinggi pada lapisan permukaan tercampur. Pengaruh upwelling terhadap peningkatan kesuburan perairan khususnya di selatan Jawa Sumbawa sangat dominan, menurut Hendiardi dkk, (1995) berdasarkan pengamatan di lokasi upwelling selatan Jawa Timur Bali, menyatakan bahwa upwelling terjadi pada 1

20 2 musim timur selama periode Juli September yang ditunjukkan pada konsentrasi klorofil yang tinggi pada musim ini dibandingkan pada musim barat. Menurut Hendiardi et al. (2004) menyatakan bahwa selama muson tenggara, transpor Ekman di perairan sepanjang selatan Jawa menyebabkan upwelling. Pada bulan September konsentrasi klorofil di daerah upwelling selatan Jawa Timur berkisar antara 0,6 1 mg/m³, sedangkan pada bulan Maret, saat tidak terjadi upwelling konsentrasi klorofil di perairan selatan Jawa Timur umumnya rendah dengan konsentrasi di bawah 0,1 mg/m³. Selain variasi musim, di perairan selatan Jawa yang berhubungan dengan Samudera Hindia juga ditemukan adanya variasi oleh pengaruh gaya penggerak (remote forcing) seperti El Nino Equatorial Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole Mode (IODM), yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi perairan Selat Lombok. Pengaruh musim dan fenomena kekuatan remote forcing mempengaruhi parameter oseanografi seperti kelimpahan fitoplankton dan suhu permukaan di perairan Selat Lombok. Dengan adanya informasi tentang variabilitas kesuburan di perairan ini maka diharapkan dapat diketahui pola sebaran secara temporal dan spasial antara khlorofil, SPL dan nutrien, serta korelasinya dengan kondisi oseanografi di perairan tersebut. 1.2.Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui variabilitas kesuburan perairan Selat Lombok 2. Mengkaji pola sebaran klorofil-a, SPL dan Nutrien (nitrat,fosfat dan silikat) secara spasial dan temporal di perairan Selat Lombok. 3. Mengetahui korelasi variabilitas kesuburan dan kondisi oseanografi perairan Selat Lombok.

21 3 1.3.Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Dinamika perairan Selat Lombok mempengaruhi variabilitas kesuburan. 2. Variabilitas Perairan Selat Lombok dipengaruhi faktor Remote Forcing (perubahan iklim regional: ENSO dan IODM, ARLINDO). 1.4.Kerangka Pendekatan Masalah Data Suhu Data Klorofil Data Nutrien Data Angin sumber: sumber: sumber: sumber: AquaMODIS- NASA dan NOAA AquaMODIS- NASA NOAA dan WOD-NODC ifremer-cersat Sebaran Temporal dan Spasial Analisis EOF (Spasial dan temporal) Analisis Wavelet (Spektrum densitas energi, korelasi dan koherensi) Data Batimetri: Sumber: SRTM30+ Variabilitas Kesuburan Perairan Indeks Kesuburan Perairan Gambar 1. Bagan Kerangka Pendekatan Masalah

22 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Lombok Selat Lombok merupakan perairan yang menghubungkan antara Pulau Bali dan Pulau Lombok juga merupakan perairan yang berkarakter unik dan dinamis. Panjang selat dari utara ke selatan sekitar 60 km dengan lebar 40 km di bagian utara dan menyempit menjadi sekitar 18 km di bagian selatan. Posisi geografis selat Lombok di bagian utara berhubungan dengan Laut Jawa dan di bagian selatan berhubungan dengan Samudera Hindia, dan merupakan selat yang paling dalam dibandingkan dengan selat-selat di sekitarnya. Di bagian ujung bagian selatan terdapat pulau Nusa Penida yang membagi selat lombok menjadi dua yaitu Selat Badung di bagian Barat dan Selat Lombok di bagian Timur. Selat Lombok dihubungkan dengan Selat Makasar oleh alur berkedalaman m sepanjang sisi timur Paparan Sunda, selat ini terletak di wilayah transisi antara perairan Indonesia bagian barat dan bagian timur. Perairan Indonesia bagian barat merupakan bagian dari Paparan Sunda yang berkedalaman kurang dari 75 m dan dipengaruhi curah hujan yang tinggi sebesar 2-4 m/tahun (ASEAN Sub-Commitee on Climatology,1982). Perairan Indonesia bagian timur adalah perairan dalam dengan kedalaman air lebih dari 1000 m dan curah hujan yang relatif rendah kurang dari 1,5 m/tahun. Adapun karakteristik dasar perairan di Selat Lombok dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok 4

23 Sirkulasi Permukaan Perairan di Selat Lombok Selat-selat laut umumnya merupakan perairan semi tertutup yang berhubungan dengan laut terbuka menyebabkan sistem dinamika perairan menjadi kompleks. Demikian pula di Selat Lombok diketahui mempunyai sistem dinamika kompleks yang dipengaruhi oleh pengaruh lokal maupun pengaruh skala besar yang berasal dari Lautan Hindia dan Lautan Pasifik. Kondisi perairan Selat Lombok dan karakteristik arus selatan Jawa dipengaruhi oleh siklus tahunan Angin Muson. Perairan Selat Lombok dipengaruhi oleh angin Musim Timur (east monsoon), dimana pada bulan Juni, Juli dan Agustus terjadi tekanan udara tinggi diatas daratan Australia dan pusat tekanan udara rendah diatas daratan Asia, sehingga menyebabkan angin bergerak dari arah Timur ke Barat. Angin musim berpengaruh terhadap sirkulasi air laut dan klimatologi seperti angin, curah hujan dan lain sebagainya. Pada daerah khatulistiwa, saat musim timur maka curah hujan sangat rendah sehingga mempengaruhi kadar salinitas dan kelimpahan Fitoplankton (Arinardi et al., 1994). Arief (1992) menyatakan bahwa arus di selat lombok merupakan sistem arus kuat dengan arah cenderung ke arah selatan menuju Lautan Hindia. Pada lapisan permukaan antara m dipengaruhi kuat oleh angin musim dan secara vertikal arus paling kuat dijumpai pada lapisan dengan salinitas rendah. Di daerah ini salinitas minimum terjadi pada kedalaman diatas 300 m. Sirkulasi air laut di sekitar Selat Lombok seperti di Flores pada lapisan kedalaman 100 m dipengaruhi oleh sistem sirkulasi skala besar dari lautan Pasifik dan Lautan Hindia. Pada lautan Hindia di daerah 50 km dari pantai selatan Kepulauan Indonesia, sirkulasi arus didominasi oleh berkembangnya arus pantai selatan Jawa yang menyebabkan upwelling/downwelling. Antara bulan Juli dan Oktober, sirkulasi didominasi oleh aliran ke arah barat yang merupakan bagian dari sistem arus katulistiwa Selatan di lautan Hindia (Wyrtki, 1961) Produktivitas Primer dan Faktor yang Mempengaruhi Fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang menentukan produktivitas primer perairan, khususnya di laut terbuka. Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik

24 6 dengan bantuan energi matahari. Produktivitas primer sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam material hidup dan secara umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari (gr C/cm²/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (gr C/m³/hari) (Levinton, 1982). Selain jumlah karbon yang dihasilkan, tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat diketahui dengan melakukan pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a, dimana kedua metode ini dapat diukur secara langsung di lapangan (Valiela, 1984). Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutrofik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air, nutrien, suhu permukaan laut dan laju tenggelam fitoplankton Percampuran Vertikal Distribusi vertikal klorofil-a di laut pada umumnya berbeda menurut waktu, dimana suatu saat ditemukan maksimum di dekat permukaan, namun di lain waktu mungkin lebih terkonsentrasi di bagian bawah kedalaman eufotik (Steel dan Yentch, 1960 dalam Parsons et al., 1984). Khlorofil-a memiliki hubungan yang sangat erat dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton. Fitoplankton merupakan tumbuhan mikroskopis yang pergerakannya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya, dimana dalam tropik level disebut sebagai produsen utama perairan. Menurut Barnes dan Hughes (1988), pada fitoplankton terdapat pigmen klorofil-a yang merupakan zat hijau daun yang terdapat dalam tumbuhan yang mampu melakukan fotosintesis. Klorofil-a sangat mempengaruhi jumlah dan laju fotosintesis karena pigmen ini mendominasi konversi radiasi menjadi energi kimia. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa kedalaman dimana konsentrasi maksimum klorofil-a adalah pada bagian di atas lapisan termoklin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh angin muson.

25 7 Menurut Amri (2002), dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada muson Tenggara (musim Timur), dimana pada saat itu terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan konsentrasi klorofil-a terendah dijumpai pada saat muson barat laut, dimana pada saat itu di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling, sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Perairan Selat Lombok dapat dikatakan subur saat terjadi upwelling pada musim timur. Tingginya konsentrasi nutrien di perairan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah fitoplankton. Hal ini disebabkan karena nutrien yang mengandung nitrat dan fosfat sangat dibutuhkan bagi perkembangan fitoplankton. Daerah dimana terjadi upwelling umumnya memiliki zat hara yang lebih tinggi dibanding dengan daerah sekitarnya. Tingginya kandungan zat hara akan merangsang pertumbuhan fitoplankton di lapisan permukaan. Perkembangan Fitoplankton sangat erat hubungannya dengan tingkat kesuburan perairan, sehingga proses naiknya air (upwelling) selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer suatu perairan Penetrasi Sinar Matahari Cahaya matahari sangat penting dalam kelangsungan proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Laju fotosintesis akan meningkat bila tingkat intensitas cahaya tinggi dan akan menurun jika intensitas cahaya menurun. Pada tingkat intensitas cahaya sedang, laju fotosintesis merupakan fungsi linier dari intensitas cahaya. Namun di dalam kolom air di dekat permukaan air dimana intensitas cahaya tertinggi, umumnya spesies fitoplankton menunjukkan fotosintesis berlangsung pada suatu tingkat tertentu bahkan menurun. Laju fotosintesis di permukaan adalah relatif kecil karena pengaruh cahaya matahari yang terlalu kuat. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi mengakibatkan jenuhnya proses fotosintesis sehingga lajunya tidak dapat ditingkatkan lagi. Menurut Tomascik et al. (1997), menyatakan bahwa pada perairan tropis, fotosintesis maksimum umumnya tidak di permukaan, tetapi ada di kedalaman yang berkisar antara 5-30 m. Semakin dalam maka laju fotosintesis semakin meningkat hingga mencapai maksimum (Pmax) pada kedalaman beberapa meter

26 8 di bawah permukaan. Selanjutnya, di bawah Pmax laju fotosintesis akan menurun secara proposal terhadap intensitas cahaya (Nontji, 2002) Kadar Nutrien Masuknya unsur dan senyawa esensial ke dalam suatu sistem perairan, khususnya N (nitrogen), P (fosfat), dan Si (silikat) umum dilihat sebagai faktor pembatas yang mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan populasi dan komunitas fitoplankton. Howarth (1988) dalam Pomeroy (1991) mengatakan bahwa dinamika populasi fitoplankton sangat ditentukan oleh nutrien yang berperan sebagai faktor pembatas. Unsur-unsur utama yang dibutuhkan oleh fitoplankton merupakan faktor pembatas pada perairan yang berbeda. Menurut Hecky dan Kilham (1988) dari ketiga unsur utama yaitu N, P, Si, pada perairan air tawar, fosfat lebih menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan alga bila dibandingkan dengan unsur yang lain, sedangkan di perairan laut, ketiga unsur tersebut bersama-sama bersifat sebagai faktor pembatas pertumbuhan, terutama nitrogen. Pertumbuhan dan reproduksi fitoplankton dipengaruhi oleh kandungan nutrien di dalam kolom perairan. Kebutuhan akan besarnya kandungan dan jenis nutrien oleh fitoplankton sangat tergantung dari klas atau jenis fitoplankton itu sendiri disamping jenis perairan dimana fitoplankton tersebut hidup. Laju pertumbuhan fitoplankton akan tergantung pada ketersediaan nutrien yang ada. Menurut Pomeroy (1991), laju pertumbuhan fitoplankton akan sebanding dengan meningkatnya konsentrasi nutrien hingga mencapai suatu konsentrasi yang saturasi. Setelah keadaan ini, pertumbuhan fitoplankton tidak tergantung lagi pada konsentrasi nutrien. Nitrogen sangat dibutuhkan fitoplankton untuk mensintesa protein. Menurut Parsons et al. (1984), nitrogen di laut terutama berada dalam bentuk molekul-molekul nitrogen dan garam-garam anorganik seperti nitrat, nitrit dan ammonia, dan beberapa senyawa nitrogen organik (asam amino dan urea). Fosfat di laut berada dalam bentuk fosfat anorganik terlarut, fosfat organik terlarut dan partikulat fosfat (Levinton, 1982; Parsons et al., 1984). Fitoplankton secara normal dapat mengasimilasi secara langsung fosfat anorganik terlarut (ion orthophosphate) dan kadang-kadang menggunakan fofat organik terlarut. Fosfat

27 9 berperan didalam mentransfer energi dalam sel fitoplankton (misalnya dalam phosphorylation) dan energi ADP (Adenosin Diphosphate) rendah menjadi ATP (Adenosin Triphosphate) tinggi (Tomascik et al., 1997). Dari berbagai jenis nutrien, silikat meskipun dibutuhkan dalam jumlah yang cukup besar namun bukan merupakan senyawa atau unsur utama yang essensial bagi fitoplankton seperti fosfat dan nitrat. Karena silikat tidak terlalu penting dalam komposisi protoplasma tumbuhan tetapi hanya berfungsi untuk menyusun kerangka (shell) diatom dan cyst dari yellow-brown algae serta berperan dalam sentesa DNA pada Cylindrotheca fusiform (Reid and Wood, 1976; Kennish, 1990 dalam Tubalawony, 2007). Meskipun demikian, jika kandungan silikat terlarut dalam suatu perairan berkurang dapat menghambat laju pembelahan sel dan menekan aktivitas metabolisme sel fitoplankton. Ketersediaan silikat seringkali berdampak terhadap kelimpahan dan produktivitas fitoplankton dan menjadi faktor pembatas bagi populasi fitoplankton lainnya. Artinya bila ketersediaan silikat dalam perairan berada dalam konsentrasi yang cukup, maka pertumbuhan fitoplankton, khususnya diatom akan meningkat dan mendominasi perairan, dan sebaliknya jika konsentrasinya rendah maka kepadatan populasi diatom akan rendah bila dibandingkan dengan kelompok fitoplankton lainnya seperti dinoflagelata. Hal ini dinyatakan pula oleh Levinton (1982), bahwa berkurangnya konsentrasi silikat di dalam perairan dapat membatasi pertumbuhan populasi fitoplankton dan secara langsung akan terjadi suksesi spesies fitoplankton ke arah spesies yang kekurangan silikat. Dengan demikian silikat merupakan fakor pembatas bagi pertumbuhan fitoplankton diatom di dalam suatu perairan Suhu Suhu merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa suhu secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap produktivitas primer di laut. Secara langsung, suhu berperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis. Tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis (Pmax) dan secara tidak langsung, suhu berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal

28 10 fitoplankton. Suhu air laut di permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Selain dipengaruhi oleh sinar matahari perubahan suhu permukaan laut juga dipengaruhi antara lain oleh arus, keadaan awan, penaikan massa air dan pencairan es di kutub (Laevastu dan Hela, 1970). Menurut Bearman (2004), sebaran menegak suhu dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu: (1) lapisan permukaan tercampur (mixed surface layer) atau disebut juga lapisan tercampur. Mekanisme utama pencampuran adalah olakan (turbulen) oleh angin dan gelombang dengan ketebalan m. Selain itu, di perairan Indonesia proses percampuran juga ditentukan oleh aliran kuat pada perairan dangkal atau dari selat-selat yang sempit dan percampuran oleh energi pasut (Ffield and Gordon, 1996). (2) lapisan termoklin permanen pada kedalaman m dimana pada kedalaman ini terjadi penurunan suhu yang tajam. (3) lapisan di bawah 1000 m sampai dasar laut dimana suhunya dingin dan relatif konstan. Lapisan Termoklin merupakan lapisan antara massa air permukaan yang lebih hangat dengan massa air yang lebih dingin di bawahnya. Menurut Harvey (1982) Mendefinisikan bahwa lapisan Termoklin sebagai lapisan massa air yang dilihat dari keadaan suhunya, dimana gradien suhu yang dibentuk lebih dari 5 C per 100m. Adapun menurut Wyrtki (1964) dalam Lukas dan Lindstrom (1991) kedalaman termoklin didefinisikan sebagai suatu kedalaman atau posisi dimana gradien suhu yang terbentuk sebesar 0,02 C/meter. Suhu permukaan laut di daerah tropik umumnya mengikuti pola musiman karena banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor curah hujan, penguapan, kelembaban dan suhu udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari (King, 1963; Nontji, 2002). Suhu permukaan laut berkisar antara 27 C -29 C, dan menurun secara teratur sesuai dengan meningkatnya kedalaman. Pada kedalaman lebih dari 1000 meter, suhu air laut relatif konstan dan umumnya berkisar antara 2 C - 4 C. Oleh adanya angin, pada lapisan permukaan sampai dengan kedalaman meter terjadi proses pengadukan, pada lapisan ini terdapat suhu hangat sekitar 28 C dan homogen. Percampuran vertikal karena pengaruh angin pada lapisan permukaan hanya terjadi pada lapisan tipis yang homogen dan pada lapisan dibawahnya tidak terjadi lagi percampuran vertikal dan suhu air mengalami

29 11 penurunan. Lapisan dimana terjadi penurunan suhu yang tajam dengan bertambahnya kedalaman disebut lapisan termoklin. Penurunan suhu menyebabkan densitas air meningkat, dan karena pada lapisan termoklin ini biasanya diikuti dengan peningkatan salinitas tinggi menyebabkan densitas air juga meningkat tajam. Oleh karena itu air di sebelah atasnya sulit atau tidak bisa bercampur dengan lapisan di bawahnya, sehingga lapisan ini biasa disebut lapisan pegat (discontuinity layer), karena mencegah atau memegat percampuran air antara lapisan diatas dengan lapisan dibawahnya (Nontji, 2002). Suhu permukaan di perairan Indonesia berkisar antara 26 C - 30 C, Suhu pada lapisan termoklin berkisar antara 9 C - 26 C dan pada lapisan dalam antara 8 C - 9 C (Soegiarto dan Birowo, 1975; Nontji, 2002). Untuk tempat yang biasa terjadi Upwelling, suhunya dapat turun sampai 25 C (Nontji, 2002). Menurut Arief (1997), secara keseluruhan suhu di Selat Lombok berkisar antara 6,9 C pada kedalaman 1000 m sampai 29,2 C di permukaan. Di perairan Indonesia, suhu maksimum terjadi pada masa pancaroba I (April Mei) dan musim Pancaroba II (November). Tingginya intensitas penyinaran dan dengan kondisi permukaan laut yang lebih tenang menyebabkan penyerapan ke dalam kolom air lebih tinggi sehingga suhu air menjadi maksimun. Sebaliknya pada musim barat (Desember-Februari) suhu mencapai minimum. Hal ini disebabkan pada musim tersebut kecepatan angin sangat kuat dan curah hujan yang tinggi. Tingginya curah hujan berarti intensitas penyinaran relatif rendah dan permukaan laut yang lebih bergelombang, mengurangi penetrasi panas masuk ke dalam air laut. Akibatnya suhu permukaan mencapai minimum. Dalam berperan sebagai faktor pendukung produktivitas primer di laut, suhu perairan berinteraksi dengan faktor lain seperti cahaya dan nutrien. Dalam kaitannya dengan produktivitas primer di laut, suhu lebih berperan kovarian dengan faktor lain daripada sebagai faktor bebas, sebagai contoh: plankton pada suhu rendah dapat mempertahankan konsentrasi pigmen-pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar, karena fitoplankton lebih efisien menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi jika sel-sel fitoplankton dapat menyesuaian dengan kondisi yang ada. Perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu yang tinggi. Tingginya suhu memudahkan

30 12 terjadinya penyerapan nutrien oleh fitoplankton. Dalam kondisi konsentrasi fosfat sedang di dalam kolom perairan, laju fotosintesis maksimum akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi Laju Tenggelam Fitoplankton Grazing dan daya tenggelam fitoplankton dalam perairan juga mempunyai peranan dalam menentukan tinggi rendahnya produktivitas primer perairan. Proses pemangsaan fitoplankton oleh zooplankton atau nekton akan menurunkan kelimpahan fitoplankton dalam perairan. Tenggelamnya fitoplankton akan menyebabkan terjadinya perubahan dalam distribusi fitoplankton secara vertikal, laju tenggelamnya fitoplankton akan berkurang dengan meningkatnya densitas perairan. Kuatnya stratifikasi perairan terutama pada lapisan termoklin, berakibat pada fitoplankton yang tenggelam tidak dapat melewati lapisan termoklin (Tomascik et al., 1997), hal inilah yang menyebabkan tingginya produktivitas primer pada lapisan atas termoklin. Begitu pula sebaliknya, fitoplankton yang sudah tenggelam hingga di bagian bawah lapisan eufotik akan sulit terangkat ke lapisan permukaan kecuali bila terjadi pergerakan vertikal massa air Faktor yang Mempengaruhi Sebaran Suhu Permukaan Laut Faktor yang mempegaruhi perubahan SPL diantaranya adalah Angin, Arus permukaaan laut, upwelling, pembekuan dan pencairan es di daerah kutub (Laevastu dan Hela,1970 dalam Paulus 2006). Menurut Sverdrup (1942) menyatakan bahwa kondisi SPL dipengaruhi oleh dinamika massa air laut yaitu pola arus permukaan, upwelling, divergensi dan konvergensi, turbulensi dan sirkulasi global lautan dari lintang tinggi ke lintang rendah dan sebaliknya. Distribusi SPL di perairan Indonesia sangat dipengaruhi keadaan lingkungan seperti arah dan kecepatan angin dan pola arus Angin dan Perubahan Musim Sistem angin di daerah tropis sangat kompleks dengan adanya pola angin musim yang disebut sistem muson (monsoon) yang dominan di Samudera Hindia. Sistem muson terjadi karena pusat tekanan udara bergeser sesuai dengan perubahan posisi matahari yang bergerak melintasi khatulistiwa dua kali dalam

31 13 setahun. Menurut Wyrtki (1961), pada kondisi normal wilayah Asia Tenggara dipengaruhi oleh empat angin muson utama, yaitu: 1. Angin muson barat laut, yang terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari. 2. Transisi dari angin muson barat laut ke angin muson tenggara yang terjadi pada bulan Maret, April dan Mei. 3. Angin muson tenggara, yang terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus. 4. Transisi dari angin muson tenggara ke angin muson barat laut, yang terjadi pada bulan September, Oktober dan November. Pada musim barat, di belahan bumi utara (daratan Asia) terjadi musim dingin dan di belahan bumi selatan (daratan Australia) terjadi musim panas. Pada saat ini, pusat tekanan tinggi berada di daratan Asia dan pusat tekanan rendah di daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin bertiup dari daratan Asia menuju daratan Australia, dan sebaliknya terjadi pada musim timur. Pada bulan Maret-Mei dan September-November, arah angin tidak menentu. Menurut Wyrtki (1961), secara umum pola angin muson di perairan Asia Tenggara setiap bulannya adalah sebagai berikut: Bulan Januari: muson timur laut (utara) terbentuk. Matahari di selatan (Australia) dan pusat tekanan tinggi di Asia sehingga angin bertiup dari utara terutama di atas Laut China dan Laut Andaman. Di Samudera Pasifik angin muson timur laut ini bergabung dengan angin pasat timur laut. Di ekuator, angin menjadi angin utara dan ketika sampai di belahan bumi selatan berbelok ke timur menjadi angin muson barat laut. Tekanan udara Khatulistiwa di Samudera Hindia pada posisi 100 LS, di sini ada angin pasat tenggara. Di pantai barat laut Australia, angin pasat tenggara berbelok dan bertiup hampir sejajar garis pantai ke arah timur laut. Bulan Februari: Tekanan udara Khatulistiwa bergeser ke utara dan berada di atas Jawa dan Nusa Tenggara. Antara Jawa dan Australia angin barat daya berkembang sebagai cabang dari angin pasat tenggara. Di utara ekuator kondisi tidak berubah namun kekuatan angin muson timur laut berkurang. Bulan Maret: Pasat tenggara dari Samudera Hindia meluas ke utara dan timur. Sementara di atas

32 14 Laut Timor dan Laut Arafura angin barat laut tetap ada. Di atas Laut China angin muson timur laut melemah. Bulan April: Tekanan udara Khatulistiwa bergerak cepat ke utara dan berada di atas ekuator. Angin pasat tenggara tetap mencapai 50 LS dan bergerak ke utara di Nusa Tenggara dan biasanya disebut angin muson tenggara. Di utara ekuator di atas Laut China dan Laut Filipina, angin muson timur laut yang lemah masih ada, sementara di atas Teluk Bengal angin muson barat daya bertiup dan memulai/mengawali muson barat daya di Myanmar dan Thailand. Bulan Mei: kondisi berubah total, angin muson timur laut di Laut China dan Laut Filipina hilang dan digantikan oleh muson selatan di seluruh Asia Tenggara. Di selatan ekuator, angin muson tenggara bertiup dan bergabung dengan angin pasat tenggara Samudera Hindia, di ekuator, angin selatan tetap ada dan di utaranya angin muson barat daya tetap bertiup. Di wilayah Filipina dan Laut Sulawesi angin tetap lemah dan tidak beraturan. Bulan Juni: sebaran berubah sedikit: angin menjadi lebih kuat bahkan lebih kuat di atas Laut Arafura, Samudera Hindia, khususnya di Teluk Bengal. Bulan Juli dan Agustus: angin muson selatan mencapai puncaknya. Pada bulanbulan ini pusat tekanan rendah di Asia dan tekanan tinggi di Australia dan perbedaan tekanan antara keduanya mencapai titik tertinggi dan sirkulasi mencapai kekuatan terbesarnya. Bulan September: di atas Formosa dan Hongkong, angin muson timur laut yang pertama terbentuk, menandakan pelemahan Asia bawah dan di wilayah muson selatan hanya mengalami pengurangan kekuatan. Bulan Oktober: Tekanan udara Khatulisiwa kemudian kembali bergeser ke selatan. Pada pertengahan bulan, Tekanan udara Khatulistiwa terletak pada garis lurus antara Teluk Bengal dengan New Guinea. Di sebelah utara garis ini, muson timur laut masih ada, sebelah selatannya juga tetap terjadi angin muson tenggara. Di antara ekuator dan 100 LS muson barat daya telah berbelok jauh sehingga hampir menjadi angin barat. Bulan November: Tekanan udara Khatulistiwa telah berada di selatan ekuator. Muson timur laut mengalami intensifikasi terutama di atas Laut China. Di atas Samudera Hindia sistem muson tenggara telah hilang dan angin pasat tenggara membatasi hingga 50 LS.

33 15 Bulan Desember: Tekanan udara Khatulistiwa bergerak terus ke selatan dan berada pada 50 LS. Angin muson timur laut mencapai puncak kekuatan di atas Laut China, melewati ekuator sebagai angin utara dan secara temporer mencapai Laut Jawa dan Nusa Tenggara. Di atas Laut Jawa angin barat masih ada. Angin pasat tenggara Samudera Hindia mundur jauh ke selatan dan mencapai lebih dari 100 LS. Di dekat barat laut pantai Australia angin selatan masih ada. Meskipun secara umum pembagian waktu angin muson masih mengikuti pola Wyrtki (1961), namun observasi yang dilakukan Susanto et al. (2007) mengindikasikan bahwa waktu transisi atau musim peralihan lebih pendek. Angin muson barat laut bertiup dari November-Maret, sementara angin muson tenggara bertiup dari Mei-September. Musim transisi hanya pada April dan Oktober. Perubahan arah dan kecepatan angin yang bertiup di atas perairan mengakibatkan terjadinya perubahan dinamika di dalam perairan tersebut. Menurut Clark et al. (1999) in Tubalawony (2007), kuatnya angin muson mengakibatkan meningkatnya transpor Ekman, percampuran vertikal dan tingginya bahang yang hilang akibat evaporasi sepanjang musim panas, sehingga mengakibatkan terjadinya pendinginan suhu permukaan perairan, dan sebaliknya bila angin menjadi lemah dimana percampuran massa air akan lemah dan bahang yang hilang melalui evaporasi menjadi berkurang. Selain itu, kuatnya pengaruh angin muson mengakibatkan perbedaan dinamika massa air yang bertanggung jawab terhadap sirkulasi massa air permukaan, percampuran massa air dan upwelling. Kuatnya pengaruh angin muson dapat dilihat dalam bentuk aliran massa air pada lapisan permukaan ke arah tenggara di sepanjang pantai barat daya Sumatera dan ke arah timur di selatan Jawa hingga Sumbawa selama bertiup angin muson barat laut, dimana arus ini merupakan percabangan Arus Sakal Katulistiwa Samudera Hindia dan cabang arus ini dikenal sebagai Arus Pantai Jawa (APJ) (Soeriaatmadja, 1957 in Wyrtki, 1961). Menurut Susanto et al. (2001), terjadinya upwelling di sepanjang pantai Jawa-Sumatera merupakan respons terhadap bertiupnya angin muson tenggara. Upwelling di daerah ini berlangsung dari bulan Juni hingga pertengahan Oktober dan pusat upwelling dengan suhu permukaan laut yang rendah dimulai dari

34 16 perairan selatan Jawa Timur dan kemudian bermigrasi ke arah barat. Migrasi upwelling tergantung pada perubahan musiman angin yang bertiup sepanjang pantai dan perubahan lintang yang mempengaruhi parameter coriolis. Di perairan Jawa-Sumbawa, tiupan angin muson tenggara menyeret massa air permukaan ke arah barat dan oleh efek Coriolis massa air terbentuk akan dibelokkan ke selatan meninggalkan pantai sehingga menyebabkan penurunan muka laut dan kekosongan massa air permukaan di daerah pantai. Kekosongan massa air tersebut akan diisi/digantikan oleh massa air di bawahnya. Proses pengangkatan massa air dari lapisan bawah disebut upwelling. Upwelling di perairan pantai berperan penting dalam proses biologis karena massa air lapisan bawah kaya nutrien. Setelah selang beberapa waktu (time lag), tingginya konsentrasi nutrien akan memicu pertumbuhan fitoplankton yang bertanggung jawab dalam produktivitas primer di laut. Sebaran temporal gesekan angin di daerah pantai mempengaruhi volume transpor Ekman di lapisan permukaan. Menurut Purba (2009), kekuatan gesekan angin di selatan Jawa-Sumbawa pada mencapai puncak kekuatannya ketika bertiup angin muson tenggara yaitu Juni-Agustus dimana gesekan angin di bagian barat lebih kuat dibanding sisi timur. Di perairan Jawa Timur-Sumbawa, gesekan angin bervariasi dalam arah zonal pada Juni dan Juli, sementara pada Agustus-September bervariasi secara meridional Upwelling Upwelling didefinisikan sebagai gerakan naiknya massa air dari lapisan yang lebih dalam, dimana massa air tersebut mempunyai suhu yang rendah dan salinitas yang tinggi serta membawa unsur-unsur hara yang kaya akan Fosfat dan Nitrat ke permukaan. Massa air yang naik ke permukaan ini berasal dari lapisan kedalaman antara m, oleh karena itu daerah-daerah upwelling selalu memberikan indikasi produktivitas plankton yang tinggi pada perairan tersebut (Nontji, 2002). Dari nilai suhu dan salinitas yang diukur pada tempat yang sama (posisi dan kedalaman yang sama) pada saat terjadi upwelling, diketahui bahwa suhu akan lebih rendah dan salinitas akan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Pada lokasi dimana terjadi upwelling, suhu air permukaan

35 17 dapat turun sampai sekitar 25 C, hal ini disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke permukaan (Nontji, 1993). Proses upwelling menyebabkan terjadinya penurunan suhu permukaan laut dan tingginya kandungan unsur hara dibandingkan daerah sekitarnya. Dengan melimpahnya unsur hara di perairan saat terjadinya upwelling akan merangsang perkembangan fitoplankton di lapisan permukaan yang erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan. Oleh karena itu proses terjadinya upwelling selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan (Birowo dan Arief, 1983) Pola Arus Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut, maupun oleh adanya gerakan gelombang panjang. Menurut Ilahude dan Nontji (1990), di wilayah perairan Indonesia mengalir sistem arus utama yang disebut Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Perairan Indonesia merupakan satu lintasan yang mentransfer massa air yang hangat dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia (Gambar 3). Hal ini menjadikan perairan Indonesia memegang peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim. Gambar 3. Sistem Arus Lintas Indonesia (Arlindo) di perairan Indonesia (Gordon et al.,1994).

36 Deteksi Klorofil dan Suhu Permukaan Laut Pendeteksian konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dilakukan dengan menggunakan kisaran cahaya tampak (visble) dan inframerah (infrared). Warna air laut (ocean colour) menunjukkan spektrum radiasi cahaya dibawah permukaan laut, sehingga penginderaan warna air laut digunakan untuk menduga konsentrasi klorofil-a. Robinson (1985) membagi perairan menjadi dua kelompok berdasarkan sifat optisnya, yaitu perairan tipe 1 dan perairan tipe 2. Perairan tipe 1 adalah perairan yang sifat optisnya didominasi oleh fitoplankton. Perairan ini biasanya ditemukan di perairan lepas pantai yang tidak dipengaruhi zona perairan dangkal dan sungai. Untuk perairan tipe 2 lebih banyak didominasi oleh sedimen tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow substances). Pendugaan konsentrasi klorofil termasuk dalam tipe perairan 1, dimana pantulan minimum terjadi pada panjang gelombang 0,44µm (biru) dan 0,66µm (merah). Warna perairan yang terlihat melalui teknologi penginderaan jauh merupakan hasil pembauran cahaya oleh permukaan perairan. Perairan yang produktif berwarna hijau-biru atau merah, sedangkan perairan yang berwarna biru gelap merupakan perairan dengan kesuburan rendah. (Stewart, 1985 dalam Fitriah, 2008). Pengukuran suhu permukaan laut dari satelit dilakukan dengan radiasi inframerah pada panjang gelombang 3-14µm. Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada lapisan permukaan (Robinson,1985). Salah satu cara untuk mendeteksi konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut di suatu perairan adalah dengan menggunakan citra MODIS. Satelit Aqua yang membawa instrument MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) diluncurkan pertama kali tanggal 4 Mei 2002 dengan spesifikasi daerah laut. Satelit Aqua MODIS adalah satelit ilmu pengetahuan tentang bumi yang dimiliki oleh NASA, dengan misi mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah, es yang ada di laut dan di daratan dan salju yang menutupi darata. Variabel yang juga diukur oleh satelit Aqua MODIS adalah aerosol, tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton dan bahan organik terlarut

37 19 di lautan, serta suhu di udara, laut dan daratan. Data citra yang merupakan produk MODIS khusus untuk perairan mencakup tiga hal penting yaitu warna perairan, suhu permukaan laut dan produksi primer perairan melalui deteksi kandungan klorofil. Untuk menduga suhu permukaan laut (SPL) digunakan algoritma MODIS yang menggunakan kanal 31 dan 32. Algoritma SPL adalah sebagai berikut: Modis_SST = C1 + C2 * T 31 + C3 * T C4 * (sec (θ)-1) * T Dimana: T 31, T 32 = Brightness temperature dari kanal 31 dan kanal 32 θ = Sudut Zenith satelit Konstanta C1, C2, C3 dan C4 dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 1. Koefisien Kanal 31 dan 32 untuk AquaMODIS Koefisien T 30 T 31 0,7 T 30 T 31 > 0,7 C1 1, , C2 0, , C3 0, , C4 1, , Menurut McClain dan Feldman (2004) dalam Meliani (2006) algoritma yang digunakan sebagai standar dalam pengolahan citra satelit Aqua MODIS untuk mendapatkan data klorofil-a di perairan secara global yaitu algoritma OC3M (Ocean Cholorophyll 3-band algorithm MODIS). Persamaan algoritma tersebut adalah sebagai berikut (O Reilly et al., 2000): 0,283-2,753R + 1,475R² + 0,657R³ - 1,403R³ OC3M: Ca = 10 R = log 10 Rrs 443 Rrs Dimana: Ca : Konsentrasi Khlorofil-a (mg/m³) R : Rasio reflektansi Rrs: Remote sensing reflectance

38 20 Algoritma OC3M menggunakan rasio maksimum dari reflektansi kanal 443 nm dengan 550 nm dan kanal 490 nm dengan 550 nm untuk menentukan nilai konsentrasi khlorofil-a di perairan. Data Modis level 3 untuk produk warna perairan (ocean color) dan suhu permukaan laut dapat diperoleh pada situs Data MODIS level 3 merupakan produk data yang sudah diproses. Data tersebut sudah dilakukan koreksi atmosferik, yang dilakukan untuk menghilangkan hamburan cahaya yang sangat tinggi yang disebabkan oleh komponen atmosfer, komponen yang dikoreksi yaitu hamburan rayleigh dan hamburan aerosol. Selanjutnya pengolahan data yang dilakukan dari data citra level 3 dapat diolah dengan program SeaDAS untuk dilakukan cropping daerah penelitian dan mendapatkan data dalam ekstensi ASCII. Program SeaDAS (SeaWIFS Data Analysis System), adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration), Amerika tahun Merupakan paket analis citra satelit secara komprehensif untuk memproses, menampilkan dan menganalisa semua produk dari data satelit ocean color SeaWIFS (Sea Viewing Wide Field of- view Sensor). Dalam perkembangannya, software seadas mempunyai kemampuan untuk memproses data satelit ocean color lainnya termasuk diantaranya dari MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) versi terakhir Sea DAS yang sudah di release adalah SeaDAS versi El Nino Southern Oscillation (ENSO) ENSO merupakan contoh variabilitas antar tahunan yang disebabkan interaksi atmosfer-lautan di Samudera Pasifik (Dijkstra, 2008). Menurut Potemra et al. (2003), ENSO merupakan fenomena anomali angin antara timur dan barat Samudera Pasifik yang menyebabkan perbedaan tinggi muka laut diantara kedua sisi samudera. Philander (1990) menyatakan bahwa El Nino merupakan suatu fase dari ENSO dimana angin pasat Tenggara dan angin pasat Timur Laut melemah dan seringkali berbalik arah. Peristiwa El Nino diawali dengan turunnya tekanan udara di Pasifik Selatan bagian Timur dan bergesernya sirkulasi Walker ke arah timur (Gambar 4). Tekanan udara di atas Indonesia dan Samudera Hindia bagian

39 21 timur menguat. Massa air permukaan yang hangat, yang biasanya terdapat di Samudera Pasifik bagian Barat menyebar ke arah Timur, terkadang sampai 140 BT. Dengan bergeraknya massa air permukaan yang hangat ke Timur akan mengurangi gradien suhu permukaan laut zonal di sepanjang equator Pasifik, yang akibatnya Angin Pasat juga semakin lemah dan El Nino semakin berkembang. Menurut Quinn et al. (1978), fenomena El Nino memiliki siklus yang tidak teratur dengan periode antara 2 sampai 7 tahun. Dalam perkembangan selanjutnya terdapat pula fase sebaliknya dari El Nino yang dinamakan La Nina, dimana Angin Pasat di Samudera Pasifik bertiup dengan kuat. Kondisi Normal Kondisi El Nino Gambar 4. Model Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik pada Kondisi Normal dan pada Kondisi El Nino (Shinoda et al., 2003).

40 22 Salah satu parameter untuk menunjukkan fase El Nino atau La Nina adalah Southern Oscillation Index (SOI). SOI adalah suatu indeks perbedaan tekanan udara permukaan laut antara Darwin dan Tahiti yang kemudian dinormalkan dengan standar deviasi (Trenberth, 1997). Beberapa penelitian penting tentang feomena ENSO dan dampaknya terhadap karakteristik dan dinamika perairan di barat Sumatera dan selatan Jawa telah dilakukan (Sprintall et al., 1999; Susanto et al., 2001; Gordon et al., 2003; Susanto et al., 2007). Philander (1990) menambahkan pula bahwa indeks SOI berkaitan dengan kekuatan Angin Pasat Tenggara. Angin pasat merupakan angin yang paling stabil, tetapi bervariasi dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun, terutama di bagian barat Pasifik. Diduga salah satu sumber utama penyebab variabilitas itu adalah gelombang Madden-Julian di atmosfer. Ketika tekanan paras laut di Darwin lebih besar daripada tekanan paras laut di Tahiti, SOI bernilai negatif dan Angin Pasat Tenggara di Pasifik Selatan melemah. Bila selisihnya lebih kecil daripada negatif 1,5 maka periode ini disebut El Nino. Begitu pula dengan sebaliknya, bila tekanan paras laut di Darwin lebih kecil daripada tekanan paras laut di Tahiti, SOI benilai positif dan Angin Pasat Tenggara di Pasifik Selatan menguat dan periode ini disebut La Nina Indian Ocean Dipole Mode (IODM) IODM merupakan suatu pola variabilitas internal Samudera Hindia dimana SPL di bagian timur Samudera Hindia (pantai barat Sumatera) lebih rendah daripada biasanya dan sebaliknya di bagian barat samudera terjadi anomali SPL yang lebih tinggi dan diikuti dengan anomali angin dan presipitasi (Saji et al., 1999). Hubungan spasial-temporal antara SPL dan angin mempengaruhi presipitasi dan dinamika perairan. IODM bersifat khas dan inheren di Samudera Hindia dan independen terhadap El Nino Southern Oscillation (ENSO). Fenomena IODM dapat menjelaskan kenapa saat Indonesia mengalami kekeringan tapi bagian timur Afrika justru presipitasi berlebih. Proses perkembangan IODM ditunjukkan pada Gambar 5.

41 23 Gambar 5. Pola perkembangan IODM (Saji et al., 1999) Karakter IODM adalah adanya kondisi SPL yang berlawanan pada kedua sisi Samudera Hindia. Karena perbedaan SPL pada kedua sisi sangat jelas, maka IODM dapat diidentifikasi dengan menggunakan Dipole Mode Index (DMI) yang menggambarkan perbedaan anomali SPL antara Samudera Hindia tropis bagian barat (500 BT 700 BT, 100 LS 100 LU) dan Samudera Hindia tropis bagian tenggara (900 BT 1100 BT, 100 LS katulistiwa). Korelasi antara dua nilai SPL yang berbeda cukup besar (>70%). Hal ini mengindikasikan tingginya akurasi DMI dalam menggambarkan IODM berdasarkan SPL. IODM bersifat independen terhadap ENSO di Samudera Pasifik seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Pada gambar tersebut ditampilkan kondisi anomali SPL Pasifik bagian tengah dan timur (daerah Nino3) dan dibandingkan dengan data DMI. Tahun-tahun kejadian IODM adalah 1961, 1967, 1972, 1994 dan Pada tahun 1961 tidak ada El Nino; 1967 IODM terjadi bersamaan dengan La Nina; 1972 dan 1997 IODM muncul bersamaan dengan El Nino. Korelasi antara DMI dan Nino3 kecil (0.35) sehingga disimpulkan bahwa IODM bersifat independen terhadap ENSO (Saji et al., 1999).

42 24 Gambar 6. Perbandingan kondisi IODM dan El Nino (Saji et al.,1999) Meskipun IODM sangat dipengaruhi oleh sistem sirkulasi muson, namun ternyata korelasi antara IODM dan tingkat presipitasi di wilayah Asia yang dipengaruhi muson kecil. Hal ini disebabkan ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi IODM, seperti kecenderungan biennial yang bervariasi menurut periode muson dan reduksi konveksi di zona konvergensi tropis (OTCZ). Pada akhirnya disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang jelas antara IODM dan sistem muson (Saji et al., 1999). Bagi negara-negara di sekitar Samudera Hindia, terdapat dua anomali pola cuaca selama IODM berlangsung. Pertama, anomali meningkatnya suhu daratan dan tingginya curah hujan di laut di bagian barat Samudera Hindia dan sebaliknya di sisi timur samudera. Kedua, meningkatnya curah hujan di atas daratan Asia yang masih dipengaruhi angin muson yang meluas dari Pakistan hingga bagian selatan China. Bahkan fenomena IODM terasa hingga Eropa, timur laut Asia, utara dan selatan Amerika utara dan selatan Afrika. Bagi wilayahwilayah jauh ini, IODM berhubungan dengan anomali meningkatnya suhu daratan dan berkurangnya curah hujan (Saji and Yamagata, 2003). Pada saat terjadi IODM, angin pasat di ekuator Samudera Hindia bagian timur yang bertiup ke arah timur menjadi lebih kuat dan lama dan menekan intrusi arus khatulistiwa sehingga proses pendinginan lautan Indonesia berlangsung lebih lama. Hal ini menyebabkan upwelling lebih kuat dan lapisan termoklin menjadi lebih dangkal di barat Sumatera dan selatan Jawa (Saji et al., 1999). Hubungan antara SPL dan anomali kedalaman termoklin dapat dijelaskan dengan IODM (Qu et al., 2005).

43 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Selat Lombok perairan yang menghubungkan antara P. Bali dan P. Lombok.Batas perairan yang diamati adalah 7.5 LS 9.5 LS dan BT BT. Dengan 4 stasiun pengamatan masing-masing: stasiun 1 : 7.75 LS, BT ( mewakili perairan Laut Flores ) stasiun 2 : 8.25 LS, BT ( mewakili Selat Lombok bagian Utara ) stasiun 3 : 8.75 LS, BT ( mewakili Selat Lombok bagian Selatan) stasiun 4 : 9.25 LS BT (mewakili perairan Samudera Hindia ) Gambar 7.Peta Lokasi Penelitian 25

44 Alat dan Data Penelitian Alat yang digunakan untuk penelitian ini berupa seperangkat komputer yang dilengkapi dengan beberapa program berikut: 1. Microsoft Word 2007 dan Microsoft Excel WinRAR 4.00 untuk mengekstrak citra level 3 konsentrasi khlorofil-a bulanan. 3. SeaDAS 5.2 (dengan sistem operasi Linux Ubuntu 9.10) untuk mendapatkan nilai konsentrasi klorofil-a dalam bentuk ASCII dari citra level 3 konsentrasi klorofil-a bulanan. 4. Surfer versi 9.0 untuk mendapatkan nilai interpolasi data klorofil, suhu permukaan laut dan nutrien terhadap data angin serta menampilkan sebaran konsentrasi klorofil-a secara temporal dan spasial terhadap lintang dan bujur selama periode penelitian dan standard deviasinya (8 tahun). 5. Ocean Data View (ODV) versi 4 untuk mengekstrak data angin dan nutrien (Phospat, Nitrat, Silikat) yang berformat NetCDF (.NC) menjadi format dokumen (.txt) serta untuk menampilkan kontur suhu vertikal perkedalaman dan standar deviasinya secara spasial dan temporal. 6. Grapher versi 7.1 untuk menampilkan stikplot tren hubungan antara faktor angin, suhu permukaan laut, klorofil, dan nutrient (nitrat, fosfat, silikat) 7. Matlab versi untuk mengolah sebaran parameter SST, Khlorofil dan nutrien secara spasial dan temporal dengan software EOF, untuk melihat spektrum densitas energi, korelasi dan koherensi antara parameter yang diukur menggunakan software wavelet. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data-data Khlorofil, Suhu permukaan laut (SST), Nutrien (Phosphat, Nitrat, Silikat), dan angin yang diambil dari data penginderaan jauh citra satelit Metode Pengumpulan Data Data Khlorofil dan Suhu Permukaan Laut Data khlorofil dan suhu permukaan laut didapatkan melalui penginderaan jauh yang digunakan berupa citra level 3 konsentrasi klorofil-a dari satelit Aqua MODIS dengan periode waktu dari Juli 2002 sampai Desember 2009 yang diperoleh dengan cara men-download dari situs NASA

45 27 ( dan hasilnya berupa data digital compressed dengan format Hierarchical Data Format (HDF). Citra konsentrasi klorofil-a level 3 ini merupakan data rerata bulanan dengan resolusi spasial 4 km. Data suhu perkedalaman laut diperoleh dari situs Geopysical Fluid Dynamic Laboratory (GFDL) NOAA ( data ini merupakan arsip data dari tahun (XBT, ARGO, CTD,MRB,OSD, dan MBT) dan dan data atmosferik reanalisis (NCEP/NCAR) yang diasimilasikan ke dalam sisitem coupled ensemble. Data suhu ini merupakan hasil mooring dari Buoy pada program Global Tropical Moored Buoy Array yang dilakukan NOAA, bekerja sama dengan berbagai negara menyediakan data secara terus menerus untuk menentukan iklim dan pendugaannya. Data suhu yang tersedia dalam rata-rata bulanan, dengan memiliki 50 tingkat kedalaman dimana pada 22 tingkat kedalaman paling atas memiliki perbedaan kedalaman sebesar 10 meter, dengan resolusi spasial 1 x Data Angin Data angin yang digunakan merupakan hasil reanalisis dari situs Data yang digunakan adalah data kecepatan angin yang terdiri atas komponen timur-barat (zonal) dan komponen utara-selatan (meridional). Data angin yang digunakan adalah data bulanan rata-rata dari Januari Desember 2009 dengan resolusi spasial 0.5 x 0.5 dalam format NetCDF Data Nutrien Data nutrien yang diamati adalah konsentrasi Phosphat, Nitrat, dan Silikat permukaan. Data nutrien pada permukaan laut ini merupakan data bulanan ratarata dari Januari 2002-Desember 2005 diperoleh dari arsip data World Ocean Data situs NOAA di nodc.noaa.gov/ yang disajikan dalam format ASCII. Serta dari arsip data World Ocean Data-National Ocean Data Center (WOD-NODC) pada tahun 2009, dalam berbagai kedalaman standard dalam format Ms.Excel, dan kedua sumber data dengan resolusi spasial (bujur x lintang) 1 x 1.

46 Analisis Data Metode Pengolahan Citra Tahapan yang dilakukan dalam pengolahan data citra MODIS untuk mendapatkan data suhu permukaan laut dan Klorofil dijelaskan dalam pola pengolahan data sebagai berikut: 1. Data Citra MODIS level 3 (diperoleh dari mengunduh pada situs dan masih dalam format.hdf) 2. Proses ekstraksi dengan menggunakan perangkat lunak SeaDAS 5.2 (pemotongan/cropping citra untuk menentukan wilayah yang akan diamati selanjutnya dipilih parameter yang akan dilihat (SPL dan Klorofil)) 3. Mendapatkan data nilai ASCII file dari suhu permukaan laut dan klorofil. Citra satelit yang digunakan pada penelitian menggunakan satelit Aqua MODIS dengan data pada level 3, dimana pada level ini sudah terkoreksi radiometrik maupun geometrik dengan resolusi 4 km dan waktu penginderaannya selama 8 tahun dari bulan Juli 2002 Desember Data dari citra MODIS ini masih menggunakan format Hierarchical Data Format (HDF) dimana data tersebut masih merupakan data digital compressed, data bentuk digital ini sebelum diolah harus diekstrak terlebih dahulu dengan menggunakan perangkat lunak WinRAR 4.0. Data angin dan Nutrien (Phospat, Nitrat, Silikat) yang berformat NetCDF diekstraksi dengan bantuan perangkat lunak Ocean Data View (ODV) sehingga dihasilkan data dalam format dokumen (.txt) yang bisa diolah di perangkat lunak Microsoft Excel Sebaran Temporal dan Spasial Untuk mengetahui fluktuasi SPL, konsentrasi klorofil, nutrien dan angin secara temporal, dapat ditampilkan dengan grafik time series bulanan dengan metode stikplot menggunakan perangkat lunak Grapher versi 7.1. Nilai konsentrasi klorofil, SPL, nutrien dan angin tersebut dirata-ratakan kemudian dibuat grafik stikplot berdasarkan waktu dan dianalisis untuk melihat adanya variasi tren setiap musim dan setiap tahunnya pada masing-masing lokasi penelitian. Interpretasi periode fluktuasi untuk semua parameter secara temporal didasarkan pada nilai tertinggi dan terendah, serta peningkatan dan penurunannya.

47 29 Analisis sebaran spasial konsentrasi klorofil dan suhu permukaan laut (SPL) dilakukan dengan perangkat lunak surfer versi 9.0 untuk membandingkan pola sebaran tiap-tiap parameter tersebut pada masing-masing lokasi penelitian. Pemilihan data yang ditampilkan berdasarkan penggabungan tiap-tiap bulan yang sama sehingga diketahui pola sebaran spasial tiap-tiap parameter di wilayah penelitian dengan melihat degradasi warna dan bentuk kontour pada citra dengan analisis EOF Analisis Emperical Orthogonal Function (EOF) Secara umum analisis Emperical Orthogonal Function (EOF) adalah teknik yang mencoba untuk menggabungkan kedua korelasi spasial dan temporal (Weave dan Nosstrom, 1982 dalam Hannachi, 2004). Metode ini telah menjadi alat yang berguna untuk mengekstrak struktur dinamik, tren dan osilasi, dan untuk menyaring data. Teknik EOF telah lama terdapat dalam statistik, tujuan utama dari analisis EOF adalah untuk mengurangi sejumlah besar variabel data menjadi hanya beberapa variabel, tapi tanpa merubah sebagian besar varian yang akan dijelaskan (Hannachi, 2004). Analisis EOF menentukan sebuah set dari fungsi orthogonal yang mempunyai karakteristik kovarian dari time series untuk sebuah set dari grid points. Jadi setiap X grid points dengan nilai N dalam waktu, kita punya setiap X pola EOF dengan nilai N dalam waktu. Variabilitas sekala besar akan berada pada order rendah EOF dan order tinggi EOF akan mempunyai amplitudo rendah dengan sangat berkurangnya gangguan. EOF1 merupakan indeks time series yang menghasilkan peta regresi atau korelasi dengan amplitudo yang semuanya kuat. Sedangkan EOF2 merupakan indeks time series yang menghasilkan peta regresi atau korelasi dengan amplitudo yang kuat setelah mengurangi variabel yang berhubungan dengan EOF1. Dan begitu pula untuk EOF selanjutnya. Kelebihan dari analisis EOF adalah dapat menghasilkan indeks time series dengan menjelaskan variabilitas dalam jumlah banyak, metode yang tepat untuk mengkarakteristik secara spasial pola dominan dari variabel, data yang direpresentasikan tersusun rapat, pola EOF dan time series merupakan garis lurus

48 30 yang bebas. Sedangkan untuk kekurangan dari analisis EOF yaitu, dapat menjadi sensitif untuk memilih wilayah spasial dan periode waktunya, hasilnya dapat menjadi tercampur antara EOF jika nilai eigenvalues serupa dan derajat kebebasan dalam time series terlalu kecil. Analisis EOF dapat didefinisikan sebagai berikut, setelah anomali data matriks telah ditentukan, kovarians dari matriks kemudian ditentukan dengan:...(1) dimana memuat kovarian antara berbagai pasangan grid point. Tujuan dari EOF adalah untuk mencari kombinasi linier dari semua variabel, dengan kata lain grid points yang menjelaskan varian maksimum. Hal itu untuk menentukan arah a = (a 1,...,a p ) T sehingga X a memiliki variabilitas maksimum. Sekarang varian time series terpusat X a adalah: Var (X a) = =...(2) Untuk mengatasi masalah biasanya kita membutuhkan vektor a untuk menjadi sebuah kesatuan. Oleh karena itu hasilnya berupa:...(3) Solusinya mudahnya adalah eigenvalue problem (EVP):...(4) Dari definisi matriks kovarian merupakan simetrikal dan juga dapat berupa diagonal.matriks kovarian juga semidefinite, maka semua eigenvalue bernilai positif.eigenvalue umumnya digunakan untuk menulis perbedaan yang dijelaskan dalam persentasi sebagai berikut:...(5) Proyeksi pada bidang anomali X ke-k pada EOF a k yaitu c k = X a k merupakan EOF ke-k:...(6)

49 Analisis Wavelet Dari sebaran spasial dan temporal selanjutnya dianalisis korelasi dan koherensi antar parameter data yang didapat dengan analisis wavelet. Transformasi wavelet merupakan pengembangan dari transformasi fourier. Menurut Torence dan Compo (1998), analisis wavelet merupakan upaya mendekomposisi deret waktu ke dalam ruang waktu-frekuensi secara simultan. Metode ini mengkalkulasikan energi spektrum dari deret waktu. Kelebihan dari analisis wavelet yaitu dapat mendeteksi fluktuasi-fluktuasi periodik yang bersifat transien dan dapat mengambarkan proses dinamik nonlinier komplek yang diperlihatkan oleh interaksi gangguan dalam skala ruang dan waktu. Perangkat lunak yang digunakan dalam analisis wavelet adalah MATLAB Cross Wavelet Transform (XWT) Cross Wavelet Transform (XWT) digunakan untuk menganalisis kovarian dari dua data deret waktu X n dan Y n, yang didefinisikan sebagai berikut: W XY (s,t) = W X (s,t)w Y* (s,t) Dimana * menandakan complex conjugation.spektrum daya wavelet silang lebih lanjut didefinisikan sebagai W XY. Argumen kompleks arg(w XY ) dapat dinterpretasikan sebagai fase relatif lokal antara X n dan Y n dalam ruang frekuensi waktu (Grinsted et al, 2004). Hubungan fase relatif ditunjukkan dengan arah panah dimana panah ke arah kanan berarti sefase (inphase), panah ke arah kiri berarti anti fase (anti-phase), panah 90 ke arah bawah berarti X mendahului Y dan panah 90 ke arah atas berarti Y mendahului X Wavelet Transform Coherence (WTC) Spektrum energi wavelet silang menunjukkan area dengan kekuatan tinggi yang sama. Salah satu fungsi pengukuran yang lain adalah bagaimana mengukur koherensi WTC dalam domain frekuensi waktu (Grinsted et al, 2004). Menurut Torence dan Webster (1999) koherensi wavelet dari dua deret waktu dirumuskan sebagai berikut:

50 32 Dimana: (s) : Koherensi wavelet : Spektrum energi silang wavelet : Spektrum energi wavelet dari x n s : Spektrum energi wavelet dari y n : Operator filter data Definisi koherensi wavelet ini mempunyai kesamaan dengan nilai koefisien korelasi pada umumnya. Sehingga koherensi wavelet dapat dianggap sebagai lokalisasi koefisien korelasi dalam domain frekuensi waktu.

51 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi oleh pola musiman yang diakibatkan pergerakan angin muson. Pada musim Barat (Desember Februari), massa air permukaan perairan di selat Lombok sudah menghangat (Gambar 8), dimana SPL mengalami peningkatan dan berada pada kisaran antara 26,20-30,41 C dengan suhu tertinggi di Stasiun 1 pada bulan Desember dengan rerata suhu 29,12 C (Tabel 3), pada Stasiun ratarata antara bulan Desember - Februari, suhu maksimum pada kisaran 28,94 29,53 C dan kisaran suhu minimum antara 26,78 27,34 C dengan rerata suhu pada kisaran 27,85 28,57 C. Standar deviasi (SD) dari sebaran suhu permukaan laut di Selat Lombok digambarkan dengan kontur nilai SD (Gambar 9). Pada musim barat nilai SD tertinggi setiap stasiun 1-4 ada di bulan Februari (Tabel 2). Pada musim peralihan I (Maret Mei), sebaran suhu permukaan laut bulanan rata-rata di perairan Selat Lombok masih cukup panas tetapi cenderung sudah mulai mendingin (Gambar 8), SPL berada pada kisaran 26,85 30,06 C, dengan rerata suhu di stasiun 1 4 berturut-turut antara 28,41 29,28 C; 28,52 29,22 C; ,38 C dan 28,11 28,5 C, adapun rerata suhu tertinggi di Stasiun 1, bulan April sebesar 29,28 C dan suhu rerata terendah di Stasiun 3 pada bulan Maret sebesar 27,88 C (Tabel 2). Pada stasiun rata rata memiliki kisaran suhu maksimum antara 28,72 29,56 C dan suhu minimum antara 27,30 28,13 C. Pada musim peralihan I ini jelas terlihat suhu permukaan laut masih tampak hangat di utara sampai dengan selatan, namun di bulan Mei suhu permukaan laut mulai berangsur mendingin dan pendinginan suhu permukaan laut ini diawali dari bagian selatan perairan Selat Lombok yang lebih dekat dengan Samudera Hindia yang merupakan perairan terbuka sehingga cenderung lebih cepat mengalami penurunan suhu permukaan laut dibandingkan dengan bagian utara perairan Selat Lombok. 33

52 34 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Gambar 8. Sebaran suhu pernukaan laut (SPL) bulanan rata-rata dari Tahun

53 35 Pola sebaran suhu permukaan laut (SPL) bulanan rata-rata pada bulan April memperlihatkan bahwa massa air permukaan perairan Selat Lombok lebih hangat dibanding bulan Maret, karena proses pemanasan di laut mencapai puncaknya di bulan April dan bahang yang terkandung didalamnya masih lambat dilepaskan ke udara. Sebaran SPL bulanan rata-rata pada musim peralihan I (Maret Mei) di perairan Selat Lombok cenderung lebih hangat dibanding dengan musim lainnya. Hangatnya massa air permukaan laut disebabkan karena angin yang bertiup pada musim ini cenderung lemah sehingga bahang yang dilepaskan dari permukaan laut menjadi lebih kecil. Lemahnya angin mengakibatkan percampuran massa air kolom perairan tidak terjadi secara baik sehingga stratifikasi suhu perairan semakin kuat, dampaknya suhu permukaan laut menjadi hangat. Selain itu perairan di bagian utara Selat Lombok berdekatan dengan Laut Flores yang merupakan perairan laut tertutup yang lebih dangkal dibandingkan di bagian selatan dimana bahang yang diserap akan lama dilepaskan ke udara sehingga perairan tersebut cenderung lebih hangat dibanding dengan perairan selatan Selat Lombok. Tabel 2. Suhu permukaan laut (SPL) rata-rata bulanan pada bulan Januari - Juni di setiap stasiun pengamatan Stasiun Nilai Jan Feb Mar Apr Mei Jun Maks Min Rerata S.deviasi Maks Min Rerata S.deviasi Maks Min Rerata S.deviasi Maks Min Rerata S.deviasi Maks Rat-rata Min Rerata S.deviasi

54 36 Tabel 3. Suhu permukaan laut (SPL) rata-rata bulanan pada bulan Juli - Desember di setiap stasiun pengamatan Stasiun Nilai Jul Agu Sep Okt Nov Des Maks Min Rerata S.deviasi Maks Min Rerata S.deviasi Maks Min Rerata S.deviasi Maks Min Rerata S.deviasi Maks Rat-rata Min Rerata S.deviasi Pada musim Timur (Juni Agustus), sebaran SPL sudah menunjukkan terjadinya penurunan suhu perairan bila dibandingkan dengan musim peralihan I (Gambar 8). Pada bulan Juni massa air permukaan laut terlihat masih relatif hangat di bagian utara dan lebih dingin di bagian selatan dengan suhu berkisar antara 26,85 28,94 C dengan rerata suhu antara 27,27 28,43 C. Sedangkan pada bulan Juli Agustus, SPL terlihat semakin menurun, dimana pada bulan Juli berkisar 25,44 28,17 C (rerata suhu 26,24 27,63 C) dan bulan Agustus berkisar antara 25,13 27,89 C (rerata suhu 25,69-27 C). Sebaran SPL di stasiun rata-rata, juga menunjukkan bahwa pada bulan lebih tinggi berkisar antara ,58 C (rerata suhu 28,01 C) daripada bulan Juli yang berkisar antara 26,75 27,87 C (rerata suhu 27,18 C) dan bulan Agustus 26,24 27,29 C (rerata suhu 26,71 C). Pada musim ini, nilai standar deviasi (SD) signifikan tinggi terjadi di bagian selatan Selat Lombok (Gambar 9), dengan nilai SD tertinggi di Stasiun 4 berkisar antara 0,36 0,59, dan dari stasiun rata- rata nilai SD tertinggi terjadi pada bulan Juli hal ini menunjukkan di lokasi area tersebut terjadi fluktuasi yang signifikan tinggi.

55 37 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Gambar 9. Kontur standar deviasi (SD) suhu permukaan laut bulanan rata-rata dari tahun

56 38 Secara spasial, bagian selatan dari perairan Selat Lombok memiliki massa air yang lebih dingin daripada massa air bagian utara Selat Lombok (Gambar 8), Angin muson tenggara membawa udara dingin dari daratan Australia sehingga mengakibatkan suhu udara lebih dingin daripada suhu perairan sehingga memungkinkan terjadinya pelepasan bahang ke udara. Selain itu, angin yang kuat juga berperan terhadap massa air kolom perairan yang berdampak terhadap dinginnya massa air permukaan. Dinginnya massa air perairan di selatan Bali- Lombok semakin meluas pada bulan Agustus dengan suhu permukaan laut berkisar antara 25,13 26,36 C, di perairan pada stasiun 4 posisi 9.25 LS, BT dan sekitarnya, menunjukkan indikasi terjadinya upwelling yang mengangkat massa air dalam yang dingin ke atas permukaan laut di perairan selatan Selat Lombok. Pada masa Peralihan II (September- November) di perairan Selat Lombok menunjukkan perbedaan antara bulan September dengan bulan Oktober November (Gambar 8), pada bulan September, suhu permukaan laut (SPL) masih sangat rendah selanjutnya mengalami peningkatan pada bulan Oktober November. Perairan Selat Lombok, bila dibandingkan dengan bulan-bulan yang lainnya, sebaran SPL pada bulan September memiliki nilai yang paling rendah. SPL terendah berada di stasiun 4 dengan suhu kisaran antara 25,27 26,58 C (Tabel 3). Rendahnya SPL di perairan Selat Lombok sampai dengan awal periode musim peralihan II, kemungkinan oleh masih kuatnya tiupan angin muson tenggara yang mengakibatkan bahang dari kolom perairan lebih banyak dilepaskan ke udara serta oleh adanya upwelling di bagian selatan perairan selat Lombok. Selanjutnya berangsur- angsur suhu permukaan laut mulai menghangat di bulan Oktober- November. Pada stasiun rata-rata, dari nilai rerata suhu permukaan laut menujukkan kenaikan suhu yang signifikan dari bulan September November yaitu berturut-turut sebesar 26,95 C di bulan September, 27,63 C dan mencapai nilai rerata tertinggi di periode peralihan II, sebesar 28,28 C. Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa sebaran SPL bulanan rata-rata di perairan Selat Lombok baik di bagian utara dan selatan memperlihatkan variasi yang cukup tinggi baik secara spasial dan temporal (Gambar 8). Secara temporal, SPL memperlihatkan perubahan pola sebaran

57 39 secara musiman sedangkan secara spasial terlihat adanya perbedaan sebaran SPL antar lokasi stasiun pengamatan pada waktu bersamaan atau pada waktu yang berbeda. Secara spasial perbedaan ini disebabkan oleh proses dinamika massa air yang terjadi di dalam perairan Selat Lombok sebagai akibat dari pengaruh musim. Secara temporal (musiman), variasi suhu permukaan laut terlihat cukup tinggi pada musim Timur (Juli - September), sedangkan pada musim Barat (Januari - April) massa air cenderung lebih hangat dan homogen Sebaran Ruang ( Spasial ) Klorofil Sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Lombok secara umum adalah meningkat di bagian selatan antara Bali-Lombok pada saat musim Timur dan menurun pada musim Barat (Gambar 10). Peningkatan konsentrasi klorofil pada musim Timur berkaitan dengan fenomena upwelling di perairan Samudera Hindia yaitu sekitar perairan selatan Jawa - Sumbawa (Wyrtki, 1962). Fenomena upwelling yang terjadi di Samudera Hindia bagian Timur juga memberi pengaruh pada perairan Selat Lombok, karena sebagian massa air perairan Selat Lombok merupakan masukan dari massa air Samudera Hindia. Pada musim Barat (Desember Februari), di bulan Desember upwelling yang terjadi di selatan perairan Selat Lombok sudah berangsur menghilang namun cenderung adanya kenaikan konsentrasi di bagian utara meskipun nilainya rendah, dan utamanya terkonsentrasi di dekat pesisir pantai tenggara Bali dan pesisir pantai barat Lombok. Pada bulan Desember Januari, nilai konsentrasi klorofil-a bulanan rata-rata tertinggi ada di stasiun 2 dan 3 yaitu berkisar antara 0,10 0,53 mg/m³ (Tabel 4). Tingginya konsentrasi klorofil-a di stasiun ini kemungkinan koordinat lokasinya relatif lebih dekat dengan pesisir pantai tenggara Bali dan pesisir pantai barat Lombok oleh adanya sungai-sungai besar yang membawa partikel- partikel organik dengan intensitas tinggi ke muara dekat dengan pesisir pantai di lokasi tersebut sehingga terjadi pengkayaan nutrien yang berakibat konsentrasi klorofilnya cenderung tinggi. Hal ini semakin jelas tampak dari nilai standar deviasi (SD) yang tinggi yang berarti terjadi fluktuasi yang tinggi di stasiun 2 di bulan Desember dan stasiun 3 di bulan Januari dengan nilai 0,15 (Tabel 4).

58 40 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Gambar 10. Sebaran klorofil bulanan rata-rata dari tahun

59 41 Pada musim Peralihan I (Maret Mei), konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Lombok masih relatif rendah di bulan Maret namun masih tampak tinggi di bagian utara Selat Lombok yaitu pada stasiun 1 dan stasiun 2 yaitu berkisar antara 0,15-0,31 mg/m³ (Tabel 4), namun konsentrasi klorofil-a cenderung mulai meningkat di bulan April Mei di perairan bagian selatan Selat Lombok (Gambar 10). Konsentrasi klorofil-a bulanan di semua stasiun pada musim Peralihan I berkisar antara 0,13 0,62 mg/m³, adapun konsentrasi pada stasiun rata-rata (Maret Mei) umumnya berkisar antara 0,16 0,43 mg/m³. Selama musim Timur (Juni Agustus), sebaran klorofil-a pada bulan Juli- Agustus di setiap stasiun pengamatan menunjukkan bahwa pusat konsentrasi klorofil-a tinggi dan mengalami penyebaran di perairan Selat Lombok bagian selatan (Gambar 10). Berdasarkan sebaran klorofil-a setiap stasiun pengamatan yang berada di Selat Lombok sepanjang periode Juni - Agustus diperoleh konsentrasi klorofil-a rata-rata di stasiun 1 sebesar 0,19 0,27 mg/m³ (rerata 0,22 0,23 mg/³m) dan berturut-turut di stasiun 2-4 yaitu antara 0,17 0,28 mg/m³ (rerata 0,2 mg/m³); 0,23 0,47 mg/m³ (rerata 0,30 0,36 mg/m³); 0,32 0,71mg/m³ (rerata 0,44 0,54 mg/m³). Pada stasiun rata-rata konsentrasi klorofil-a mempunyai kisaran di musim timur antara 0,23 0,42 mg/m³. Sepanjang bulan Juli, sebaran klorofil-a berkisaran antara 0,19 0,61 mg/m³ dengan konsentrasi tertinggi berada pada stasiun 3 dan 4. Pada stasiun 3 klorofil-a berkisar antara 0,27 0,36 mg/m³ dengan nilai rerata 0,30 mg/m³ sedangkan di stasiun 4 klorofil-a berkisar antara 0,34 0,61 mg/m³ dengan nilai rerata 0,45 mg/m³. Pada bulan Agustus di perairan selatan Selat Lombok, klorofil-a terlihat terus mengalami peningkatan konsentrasi (Gambar 10). Sebaran klorofil-a pada bulan Agustus berada pada kisaran 0,20 0,71 mg/m³ dengan konsentrasi ratarata tertinggi berada pada stasiun 3 dan 4. Pada stasiun 3, klorofil-a berkisar antara 0,27 0,47 mg/m³ dengan nilai rerata 0,36 mg/m³ dan di stasiun 4 berkisar antara 0,38 0,71 mg/m³ dengan nilai rerata 0,54 mg/m³ (Tabel 4). Dalam gambar 10, tampak jelas terjadinya peningkatan konsentrasi klorofil-a di bagian selatan Selat Lombok ke arah timur, dan puncak konsentrasi klorofil-a tertinggi pada musim Timur terjadi di bulan Agustus.

60 42 Tabel 4. Klorofil rata-rata bulanan pada bulan Januari Desember di setiap stasiun pengamatan Stasiun Nilai Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Ratarata Maks Min Rerata S.deviasi Maks Min Rerata S.deviasi Maks Min Rerata S.deviasi Maks Min Rerata S.deviasi Maks Min Rerata S.deviasi Pada Musim Peralihan II (September November) di perairan selatan Selat Lombok, peningkatan konsentrasi klorofil-a mengalami puncaknya pada sampai bulan November (Gambar 10). Pada bulan September, sebaran klorofil-a bulanan rata-rata di stasiun 1 berkisar antara 0,18 0,22 mg/m³, stasiun 2 berkisar antara 0,18 0,22, stasiun 3 berada pada kisaran 0,27 0,39 mg/m³, stasiun 4 berada pada kisaran 0,34 0,72 mg/m³ (Tabel 4). Pada bulan November, klorofil bulanan rata-rata di perairan selatan Selat Lombok berada pada kisaran 0,14 0,95 mg/m³, untuk stasiun 1 pada kisaran 0, mg/m³, stasiun 2 pada kisaran 0,14 0,28, pada stasiun 3 pada kisaran 0,18 0,95 mg/m³ dan pada stasiun 4 berada pada kisaran 0,09 0,86. Berdasarkan analisa sebaran klorofil pada stasiun pengamatan 1-4, secara umum di perairan utara Selat Lombok memiliki konsentrasi yang lebih rendah dari perairan selatan Selat Lombok (Gambar 10).

61 43 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Gambar 11. Kontur standar deviasi (SD) klorofil bulanan rata-rata dari Tahun

62 44 Secara umum dapat dijelaskan bahwa selama musim Barat (Desember Maret), sebaran klorofil-a di perairan sekitar selat Lombok cenderung homogen dan rendah berkisar antara 0,10 0,53 mg/m³. Pada bulan Juni November, sebaran horisontal klorofil-a pada permukaan laut memperlihatkan perubahan pola sebaran bila dibandingkan dengan musim barat dan awal peralihan I, khususnya di selatan perairan Selat Lombok. Pada daerah selatan perairan Selat Lombok terjadi peningkatan konsentrasi klorofil-a baik di perairan sekitar pantai maupun di perairan lepas pantai selama musim timur dan peralihan II. Meningkatnya konsentrasi klorofil-a dan meluasnya daerah sebaran klorofil-a dengan konsentrasi tinggi mempunyai hubungan yang erat dengan peningkatan konsentrasi nutrien terutama konsentrasi nitrat dan menurunnya suhu permukaan laut di perairan Selat Lombok ini selama musim Timur. Karakteristik perairan ini menunjukkan bahwa perairan di selatan Selat Lombok terajadi fenomena fisik massa air yang memicu terjadinya peningkatan konsentrasi klorofil-a pada permukaan perairan. Pada bulan Desember terjadi penurunan konsentrasi dan luasan daerah sebaran konsentrasi klorofil-a, penurunan konsentrasi dan luasan daerah sebaran dari klorofil-a ini berlanjut sampai dengan bulan Maret (awal peralihan I). Namun di beberapa tempat khususnya di perairan dekat pantai barat Lombok dan sebagian tenggara Bali tampak adanya peningkatan konsentrasi klorofil-a namun sifatnya hanya lokal, hal ini disebabkan oleh adanya sungai-sungai besar yang membawa air bermuara disitu membawa partikel organik yang banyak sehingga terjadi peningkatan konsentrasi nutrien di wilyah tersebut, peningkatan konsentrasi nutrien ini mempunyai hubungan yang erat dengan tingginya konsentrasi klorofil-a di daerah itu. Selanjutnya untuk dapat melihat gambaran tentang fenomena dan membuktikan adanya upwelling pada suatu daerah, dapat dilihat dari sebaran vertikal suhunya, dengan lapisan termoklin sebagai acuan. Sebaran vertikal suhu berupa penggambaran kontur suhu permukaan bulanan rata-rata dan standar deviasinya pada tiap-tiap stasiun dan kedalaman masing-masing, dengan menggunakan titik contoh tiap kedalaman 5 m, 55 m, 115 m 155 m, 195m dan 250 m yang diasumsikan mewakili area lapisan tercampur (mix layer), lapisan termoklin dan lapisan perairan dalam (deep sea). Secara umum lapisan termoklin

63 45 di perairan Indonesia berada pada kedalaman m dengan kisaran suhu antara 9 26 C (Soegiarto dan Birowo, 1975), dan menurut Hani (2006), menyebutkan bahwa lapisan termoklin di Selat Lombok berada pada kisaran kedalaman m. Perairan selat lombok adalah perairan yang menjadi lintasan Arlindo, lintasan ini merupakan bagian dari lintasan massa air termoklin antar samudera pada lintang rendah dan memainkan peranan penting dalam sirkulasi termohalin global. Ilahude dan Gordon (1996), menyatakan bahwa sumber utama massa air Arlindo adalah massa air termoklin yang berasal dari Samudera Pasifik bagian utara. Pada musim Barat (Desember Februari), kondisi suhu perairan memperlihatkan massa air yang cenderung lebih hangat dengan kisaran antara 28,92-30,47 C di permukaan laut dan pada kedalaman 250 m berkisar antara 9,10 13,44 C (Gambar 12), suhu perairan yang hangat ini masih terus berlanjut sampai masa peralihan I di bulan April yang berkisar antara 29,37 30,26 C di permukaan dan kisaran 9,39 13,55 C di kedalaman 250 m. Pada akhir periode peralihan I, di bulan Mei suhu permukaan cenderung sudah mulai menurun yaitu pada kisaran 29,14 29,79 C. Rata-rata kedalaman dari lapisan termoklin yaitu berada pada 70 m hingga 200 dengan ketebalan rata-rata sekitar130 m. Pada periode ini terjadi fluktuasi suhu yang tinggi yang terjadi di lapisan termoklin yang dimulai pada bulan November Januari (Gambar 12), fluktuasi yang paling tinggi di berada di bulan Desember dengan lokasi di selatan Selat Lombok tepatnya pada stasiun 3 dan 4 sekitar bujur BT dan lintang 8.5 LS LS di lapisan termoklin. Fluktuasi yang tinggi diakibatkan oleh adanya dinamika yang terjadi di daerah itu. Pada musim barat, angin muson Barat Laut yang mengarah ke Tenggara sangat kuat bergerak dan membawa sejumlah massa air laut permukaan yang hangat bertemu dengan arus Arlindo masuk ke perairan Selat Lombok dari utara ke selatan mengarah ke Samudera Hindia. Terjadi proses percampuran massa air di lapisan termoklin, kondisi batimetri dibagian selatan Selat Lombok di sekitar stasiun 3 dan 4 koordinat 8-9 LS yang terdapat punggung laut (sill) menyebabkan terjadinya fluktuasi yang sangat tinggi pada daerah itu, oleh karena

64 46 arus dalam yang bergerak terhalang oleh siil yang meyerupai dinding (Gambar 13), sehingga terjadi proses percampuran massa air. Pada musim peralihan I (Maret Mei), memasuki masa transisi angin Barat Laut cenderung lemah di permukaan namun Arlindo masih kuat bergerak di kolom perairan ke arah selatan menuju Samudera Hindia, sehingga fluktuasi suhu di lapisan termoklin perairan selatan Selat Lombok terlihat relatif masih kuat namun cenderung mulai melemah, tetapi pada bulan Mei angin muson Tenggara sudah mulai menguat membawa arus dingin di selatan perairan lombok dan sebagian masuk melewati Selat Lombok dengan intensitas yang tinggi. Pada musim Timur (Juni Agustus) angin Muson Tenggara semakin meningkat, suhu perairan Selat Lombok mulai mendingin dengan kisaran suhu di permukaan antara 26,77 C 29,16 dan kisaran suhu di kedalaman 250 m berkisar antara 9,63 13,71 C, sampai bulan Agustus suhu perairan semakin dominan menjadi lebih dingin berkisar antara 26,77 27,68 C di permukaan dan berkisar antara 9,74 13,42 C di kedalaman 250m. Respon terhadap bertiupnya angin muson tenggara yang mengakibatkan suhu permukaan rendah dan ketebalan lapisan permukaan perairan di perairan dekat pantai menjadi berkurang, akibatnya lapisan termoklin menjadi lebih dangkal sehinggga terjadi penipisan lapisan tercampur. Isoterm 10,5 12 C yang bergeser ke arah permukaan pada musim Timur mengindikasikan bahwa massa air dari lapisan dalam juga ikut terangkat ke atas permukaan laut selama terjadinya penaikan massa air khususnya terjadi di bagian selatan perairan Selat Lombok di koordinat namun tidak terjadi di bagian utara Selat Lombok (Gambar 12). Hal ini merupakan indikasi terjadinya upwelling di selatan perairan Selat Lombok, yang selanjutnya diikuti oleh meningkatnya konsentrasi klorofil permukaan laut dan nutrien. Adapun data-data suhu perkedalaman untuk setiap stasiun dari bulan Januari Desember dapat dilihat dalam lampiran 7.

65 47 Januari Juli Februari Agustus Maret September April Oktober Mei November Juni Desember Gambar 12. Kontur suhu vertikal bulan Januari Desember

66 48 Januari Juli Februari Agustus Maret September April Oktober Mei November Juni Desember Gambar 13. Kontur standar deviasi suhu vetikal bulan Januari Desember

67 49 Pada musim peralihan II (September November), masih kuatnya angin Muson Tenggara menyebabkan suhu perairan Selat Lombok masih tampak dingin sampai dengan bulan Oktober dengan kisaran suhu permukaan antara 27,91 28,84 C dan di kedalaman 250m berkisar 9,82 12,11 C. Pada bulan November angin Muson Tenggara mulai melemah dan sebaliknya angin Muson Barat kekuatannya mulai meningkat, terjadi perubahan suhu perairan di Selat Lombok yang juga menampakkan tanda-tanda semakin menghangat pada semua stasiun pengamatan 1 4 kisaran suhu permukaan permukaan berturut turut antara 29, C; ,62 C; 29,10 29,62 C; dan 29,12 29,75 C dan di kedalaman 250m suhu juga menunjukkan sedikit menghangat di setiap stasiun pengamatan, pada stasiun 1 berkisar antara 12,63 13,21 C, dan di stasiun 2-4 masing-masing berkisar antara 11,73 12,57 C; 10,75 11,89 C dan 10,24 11,40 C. Nilai SD juga cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,20 1,90 hal ini menunjukkan fluktuasi yang cukup tinggi dengan fluktuasi tertinggi di stasiun 3 dan 4 di kedalamaman m dengan nilai SD di stasiun 3 berkisar antara 1,31 1,85 dan di stasiun 4 antara 1, Lapisan termoklin tampak menebal dan arus muson Barat mulai tampak meningkat dari utara ke selatan perairan Selat Lombok yang menimbulkan fluktuasi yang relatif tinggi (Gambar 13) Sebaran Waktu (Temporal) Angin, SPL, Klorofil-a dan Nutrien Data angin, SPL, klorofil dan nutrien yang diperoleh digunakan untuk membandingkan distribusi sebaran menurut waktu, distribusi angin berupa vektor kecepatan angin bulanan rata-rata dengan konsentrasi klorofil-a dan nutrien di permukaan perairan dalam diagram stick plot dan disajikan pada Gambar 14, distribusi horizontal diplot untuk melihat sebaran temporal di empat lokasi penelitian dan satu lokasi rata-rata (data sebaran ada pada lampiran 3-6) Kecepatan minimum dan maksimum angin sepanjang tahun pengamatan berkisar 0,28 10,01 m/s. Berdasarkan Gambar 14, pola pergerakan angin memperlihatkan bahwa selama periode musim Barat, angin bertiup dari Barat Laut menuju Tenggara (Desember Februari). Memasuki Musim peralihan I angin mulai berubah arah, dimana angin mulai bertiup dari Tenggara menuju Barat Laut. Keadaan ini terus berlangsung hingga memasuki periode musim Timur dan musim peralihan II, dapat dilihat pada stick plot angin.

68 50 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun Rata rata Gambar 14. Stick Plot temporal angin, SST, Klorofil, Nitrat, Fosfat dan Silikat pada stasiun 1, 2, 3, 4 dan stasiun rata - rata

69 51 Dari Diagram stick plot angin terlihat bahwa Angin Muson Tenggara bertiup dengan periode yang lebih panjang jika dibandingkan dengan angin Muson Barat Laut yaitu dari bulan Maret sampai November. Pada musim Barat (Desember Februari) angin bertiup dengan kecepatan kisaran antara 0,58 7,14 m/s di stasiun 1, pada stasiun 2 berkisar antara 0,75 7,10 m/s, stasiun 3 berkisar antara 1,33 8,21 m/s sedangkan pada lokasi 4 kecepatan angin berkisar antara 1,34 8,28 m/s. Pola angin pada periode musim Barat di perairan Selat Lombok menunjukkan arah angin yang bertiup dari Barat Laut ke Tenggara. Suhu permukaan laut setiap tahun umumnya menunjukkan pola fluktuasi setengah tahunan (semiannual), tahunan (annual) dan antar tahunan (interannual). Fluktuasi tahunan dan setengah tahunan diduga merupakan respon terhadap sistem angin muson sedangkan fluktuasi antar tahunan diduga dipengaruhi oleh IODM dan ENSO. Secara umum pada semua Stasiun 1 4, sebaran konsentrasi klorofil-a cenderung rendah. Peningkatan suhu permukaan laut di perairan Selat Lombok pada musim Barat tidak berdampak terhadap perubahan konsentrasi klorofil-a. Pada musim barat, massa air terlihat cukup hangat (29 30 C) dan konsentrasi klorofil-a rendah ( 0,3 mg/m³). Pada musim peralihan I (Maret Mei), mulai dinginnya massa air di perairan selatan Selat Lombok memberikan pengaruh terhadap kecenderungan peningkatan konsentrasi klorofil-a bersama dengan menurunnya suhu permukaan laut. Pada musim Timur (Juni Agustus), angin bergerak dari Tenggara menuju Barat Laut. Angin di belahan bumi selatan mengakibatkan transpor ekman menjauhi garis pantai, sehinggga terjadi kekosongan di daerah pantai yang kemudian diisi oleh massa air dari lapisan dalam yang kaya nutrien dan bersuhu lebih dingin. Pada perairan selatan Selat Lombok khususnya di stasiun 3 dan 4 di semua tahun pengamatan, sebaran konsentrasi klorofil-a terlihat lebih tinggi daripada lokasi lainnya, dengan suhu permukaan laut yang rendah berkisar antara 25,27 28,25 C, suhu permukaan laut yang sangat rendah merupakan indikasi kuatnya upwelling yang terjadi. Dalam Gambar 14 dapat dilihat bahwa selama waktu pengamatan terbentuk siklus tahunan untuk klorofil, yang menandakan telah terjadinya upwelling tiap tahunan oleh adanya penurunan suhu permukaan laut terlihat beda fase antara suhu permukaan laut dengan munculnya upwelling

70 52 dengan peningkatan klorofil-a, maksudnya bahwa diawali oleh suhu permukaan laut mendingin terjadilah upwelling sehingga nutrien meningkat lalu diikuti peningkatan produktivitas primer yang dicirikan dengan peningkatan konsentrasi klorofil-a. Pada musim peralihan II, konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Lombok terlihat masih cukup tinggi namun mulai mengalami penurunan konsentrasi dari bulan September hingga November. Penurunan konsentrasi klorofil-a dari bulan September hingga November terlihat mengikuti peningkatan suhu permukaan laut. Sebaran Nutrien untuk nitrat bulanan rata-rata di bulan Agustus memperlihatkan konsentrasi dengan kisaran 0,01 8,97 ppm dengan pusat konsentrasi ada di wilayah selatan Selat Lombok. Pada bulan September, nitrat di perairan Selat Lombok terus mengalami peningkatan konsentrasi dengan kisaran antara 0,02 10,32 ppm pusat konsentrasi tertinggi wilayah selatan ini diduga merupakan pusat terjadinya upwelling yang terjadi di perairan Selat Lombok pada bulan September. Peningkatan konsentrasi nitrat yang signifikan ini dapat memberikan gambaran bahwa pada musim timur pada perairan dekat pantai di wilayah selatan Selat Lombok terjadi upwelling. Pada bulan Oktober, sebaran konsentrasi nitrat masih tinggi. Tingginya konsentrasi diduga karena terjadinya akumulasi penambahan nitrat dari upwelling yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya, sebaran nitrat di bulan oktober berkisar antara 0,03 11,17 ppm. Selain karena kemungkinan adanya akumulasi nitrat dari bulan-bulan sebelumnya, masih tingginya konsentrasi di selatan perairan Selat Lombok, karena kemungkinan masih terjadinya upwelling meskipun dengan kekuatan yang semakin berkurang. Pada bulan November Desember sebaran nitrat menunjukkan penurunan konsentrasi, berkurangnya konsentrasi nitrat signifikan di wilayah selatan perairan Selat Lombok dan sekitarnya pada bulan November Desember karena upwelling yang mengangkat massa air yang kaya nutrien sudah mulai berangsur melemah. Pada bulan Januari Maret sebaran nitrat bulanan ratarata menunjukkan penurunan konsentrasi dan mencapai nilai minimum pada bulan Maret. Rendahnya konsentrasi nitrat permukaan di perairan Selat Lombok pada bulan Maret April disebabkan karena tidak terjadi fenomena upwelling.

71 53 Sebaran fosfat dan silikat data yang didapatkan hanya terbatas pada tahun 2005 dan tahun 2009 saja, namun dari pola yang didapatkan masing-masing mempunyai pola yang hampir sama pada kedua tahun tersebut. Sebaran konsentrasi fosfat permukaan di perairan Selat Lombok menunjukkan konsentrasi yang tinggi di musim timur hal ini mengindikasikan bahwa terjadinya pengkayaan fosfat dari lapisan dalam yang terangkat sebagai dampak dari terjadinya upwelling. Pola yang terlihat bahwa konsentrasi fosfat akan cenderung meningkat dari bulan Desember sampai bulan April, pada bulan Mei konsentrasi fosfat cenderung menurun namun selanjutnya pada bulan Juni meningkat kembali dan mencapai puncaknya sampai bulan Agustus, selanjutnya memasuki musim peralihan II di bulan September konsentrasinya terus menurun sampai dengan bulan November. Sebaran konsentrasi silikat di perairan Selat Lombok memperlihatkan pola yang hampir sama. Pada musim Timur terjadi peningkatan konsentrasi silikat permukaan perairan selatan Selat Lombok disebabkan karena terjadi pengangkatan massa air lapisan dalam ke atas permukaan sehingga selama musim timur di dekat perairan pantai selatan Selat Lombok diindikasikan terjadi pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan perairan. Pada musim peralihan I, konsentrasi silikat menujukkan pola cenderung berbeda dengan musim Timur. Pada lapisan permukaan cenderung homogen dengan konsentrasi yang rendah Analisis Wavelet dan EOF Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika Analisis Wavelet Analisis spektrum energi suhu permukaan laut dengan analisis Wavelet disajikan berturut-turut pada Gambar 15 (syntax program pada lampiran 1). Periode dari fluktuasi dengan spektrum densitas energi suhu permukaan laut (SPL) yang dominan dapat dilihat pada Tabel 5. Suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil di perairan Selat Lombok menunjukkan beberapa sinyal dengan spektrum energi tinggi. Pada analisa Wavelet terlihat sinyal-sinyal yang signifikan, untuk SPL di stasiun 1 pada periode antara band 5-7 bulan dan band 4-7 di stasiun 2 periode band 5-7 bulan, 1-7 bulan dan bulan, stasiun 3 band 9-14 bulan, dan pada stasiun 4 periode band 10-14, untuk stasiun rata-rata periode antara band 4-7 bulan dan bulan.

72 54. Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Ket: Garis lengkung merupakan selang kepercayaan 95% Stasiun Rata -rata Gambar 15. Spektrum densitas energi SPL di Stasiun 1, Stasiun 2, Stasiun 3, Stasiun 4 dan Stasiun rata rata dengan menggunakan analisis wavelet

73 55 Tabel 5. Periode dari fluktuasi spektrum densitas energi suhu permukaan laut (SPL) yang dominan Lokasi Band Periode Waktu Terjadi (bulan) Mei 2003 Desember Mei 2006 Mei ,5 7 November 2003 Juni ,5 Maret 2006 Mei November 2003 September Oktober 2003 Februari Oktober 2003 Oktober 2008 Rata-rata 4 7 Maret 2003 Oktober 2004; Mei 2006 Oktober Oktober 2003 Desember 2007 Periodisitas sinyal suhu permukaan laut menunjukkan fluktuasi yang mengikuti periodisitas 4 7 bulanan menunjukkan bahwa fluktuasi SPL mengikuti periode setengah tahunan semiannual dan periodisitas 9 14 bulanan menunjukkan periode tahunan annual. Spektrum densitas energi menunjukkan pada stasiun 3 dan 4 spektrum densitas energi pada periodisitas 9 14 bulanan yang berarti di lokasi tersebut banyak dipengaruhi oleh pengaruh fenomena 1 tahunan sedangkan pada stasiun 1 dan 2 spektrum densitas energi pada periodisitas 4 7 bulanan yang berarti di lokasi ini dipengaruhi oleh fenomena setengah tahunan. Untuk konsentrasi klorofil sinyal signifikan di stasiun 1 pada periode antara band 0-3 bulan dan 7-11 bulan, di stasiun 2 periode band 1-4 bulan dan 1-6 bulan, stasiun 3 band 1-7, band 1-3 dan band dan stasiun 4 periode band 0-2, band 0-3, band Untuk stasiun rata-rata periode antara band 0-1, band 1-2, band 2-3, band 0-6 dan band Analisis spektrum energi klorofil disajikan berturut-turut pada Gambar 16. Periode dari fluktuasi dengan spektrum densitas energi klorofil yang dominan dapat dilihat pada Tabel 6.

74 56 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Ket: Garis lengkung merupakan selang kepercayaan 95% Stasiun Rata - rata Gambar 16. Spektrum densitas energi Klorofil di Stasiun 1, Stasiun 2, Stasiun 3, Stasiun 4 dan Stasiun Rata rata dengan menggunakan analisis wavelet.

75 57 Tabel 6. Periode dari fluktuasi spektrum densitas energi klorofil yang dominan Lokasi Band Periode Waktu Terjadi (bulan) Oktober 2008 Mei Agustus 2003 Maret Oktober 2005 Maret Oktober 2008 Mei Maret 2003 Juli Semtember 2006 April Mei 2003 Oktober Oktober 2003 Mei September 2006 Mei Oktober 2003 Oktober September 2003 April Oktober 2006 Februari 2007 Rata-rata 2-3 November 2007 Februari Februari 2009 Mei November 2003 Maret 2006 Periodisitas sinyal klorofil menunjukkan fluktuasi yang mengikuti periodisitas 0 3 bulanan menunjukkan bahwa fluktuasi klorofil mengikuti periode 3 bulanan (intraannual), periodisitas 4 7 bulanan menunjukkan bahwa fluktuasi SPL mengikuti periode setengah tahunan (semiannual) dan periodisitas 9 15 bulanan menunjukkan periode tahunan (annual). Spektrum densitas energi menunjukkan pada stasiun 3 dan 4 spektrum densitas energi pada periodisitas 9 15 bulanan yang berarti di lokasi tersebut banyak dipengaruhi oleh pengaruh fenomena tahunan sedangkan pada stasiun 1 dan 2 spektrum densitas energi pada periodisitas 0 3 bulanan dan 4 7 bulanan yang berarti di lokasi ini dipengaruhi oleh fenomena intraannual dan semiannual. Hasil analisis spektrum silang antara SPL dan klorofil (stasiun 1 4) disajikan pada Gambar 17. Periode dari fluktuasi dengan spektrum densitas energi silang SPL dengan klorofil yang dominan dapat dilihat pada Tabel 7.

76 58 Tabel 7. Periode dari fluktuasi spektrum densitas energi silang antara suhu permukaan laut (SPL) dengan klorofil yang dominan Lokasi Band Periode Waktu Terjadi (bulan) Agustus 2003 Februari Januari 2006 Oktober Oktober 2003 Januari Februari 2004 September Agustus 2005 Oktober September 2007 Mei Maret 2003 Agustus September 2003 Oktober September 2003 Oktober 2008 Rata-rata 5-7 April 2003 September Desember 2003 Oktober 2007 Hasil spektrum densitas energi silang antara komponen SPL dengan klorofil di stasiun 1 menunjukkan bahwa kedua fluktuasi berkorelasi pada periode 5 7 bulan dan 4 7 bulan yang mempunyai karakter setengah tahunan. Pada stasiun 2, fluktuasi berkorelasi pada periode bulan; 6-7 bulan; 5 8 bulan dan 1 7 bulan, menunjukkan karakter setengah tahunan yang lebih dominan. Sedangkan di stasiun 3 fluktuasi berkorelasi pada periode 5-7 bulan dan bulan dan mempunyai ciri setengah tahunan juga satu tahunan. Untuk stasiun 4 dominan fluktuasi korelasi pada bulan, dengan karakter satu tahunan. Adapun pada stasiun rata-rata yang mewakili keseluruhan wilayah perairan di Selat Lombok didapatkan fluktuasi berkorelasi pada periode 5 7 bulan dan bulan yang mempunyai karakter setengah tahunan dan satu tahunan.

77 59 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Ket: Garis lengkung merupakan selang kepercayaan 95% Stasiun Rata - rata Gambar 17. Spektrum densitas energi silang hubungan SPL dan klorofil setiap Stasiun dan Stasiun Rata rata menggunakan analisis wavelet

78 60 Vektor arah panah yang terdapat pada Gambar 17, menunjukkan fase dari kedua parameter, dimana jika panah mengarah ke kanan (sudut 90 ) berarti kedua parameter memiliki beda fase 1 minggu, jika panah ke bawah (sudut 180 ) berarti kedua parameter memiliki beda fase 2 minggu selanjutnya jika panah mengarah ke kiri (sudut 270 ) maka beda fasenya 3 minggu dan jika arah panah mengarah ke atas (sudut 360 ) berarti menunjukkan beda fase 4 minggu. Pada Gambar 17 dapat dijelaskan bahwa pada periode waktu tertentu suhu permukaan laut akan mendahului terjadi selanjutnya disusul dengan terjadinya perubahan terhadap konsentrasi klorofil. Pada stasiun 1 antara Agustus 2003 Februari 2005, terjadi beda fase dimana pada periode agustus 2003 Juli 2004 anak panah mengarah ke sudut 225, hal terjadi beda fase sekitar antara 2-3 minggu (17 hari), dan pada Januari 2004 Februari 2005, anak panah mengarah ke bawah (sudut 180 ), terjadi beda fase 2 minggu (14 hari) yang berarti suhu permukaan laut mendahului mendingin selanjutnya konsentrasi klorofil kemudian meningkat. Demikian pula pada stasiun 2 4 dan juga pada stasiun rata-rata. Untuk mengetahui keeratan hubungan dari SPL dengam klorofil dapat dilihat dari nilai koherensinya. Koherensi dari densitas energi silang antara suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil disajikan dalam Gambar 18 dan periodisitasnya dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 8. Periode dari fluktuasi koherensi suhu permukaan laut (SPL) dengan klorofil Lokasi Band Periode (bulan) Waktu Terjadi April 2006 April Oktober 2005 Mei Oktober 2008 Mei Agustus 2003 Oktober Agustus 2003 Oktober 2007 Rata-rata 5-7 Maret 2006 Oktober Agustus 2003 Mei 2007

79 61 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Ket: Garis lengkung merupakan selang kepercayaan 95% Stasiun Rata - rata Gambar 18. Koherensi dari densitas energi silang antara SPL dan klorofil

80 62 Dari Gambar 18 dapat dilihat bahwa baik di stasiun 3 dan stasiun 4 sinyal koherensi yang sangat dominan terjadi pada periode band 9 16 bulan dan terjadi sepanjang tahun dari tahun 2003 sampai tahun Hal ini berarti bahwa pada stasiun 3 dan 4 suhu permukaan laut dan klorofil berkorelasi erat pada periode satu tahunan (annual). Pada stasiun 1 dan 2 sinyal koherensi yang sangat dominan terjadi di 0 7 bulan, 3 6 bulan dan 2-4 bulan, hal ini berarti bahwa pada stasiun 1 dan 2, suhu permukaan laut dan klorofil berkorelasi erat pada periode 3 bulanan (intraannual) dan periode 6 bulanan (semiannual) Analisis EOF Hasil analisis dengan menggunakan metode Emphirical Orthogonal Function (EOF) dengan input suhu permukaan laut (SPL) yang menggambarkan distribusi variabilitas SPL pada periode tahun melalui proses pembagian kelas (syntax program pada lampiran 2). Hasil analisa EOF menghasilkan variabilitas SPL dengan nilai skala ditunjukkan pada Gambar 19 dengan menampilkan 2 mode EOF (EOF1 dan EOF2). Mode 1 Mode 2 Gambar 19. Sebaran Spasial SPL Mode 1 dan Mode 2 hasil analisis EOF

81 63 Nilai skala yang bernilai negatif menunjukkan bahwa pada perairan tersebut mempunyai variabilitas SPL yang berbanding terbalik atau kebalikan dengan SPL lainnya yang bernilai positif dilokasi tempat penelitian dalam hal ini lokasi yang dianalisis meliputi area koordinat 7.5 LS 9.5 LS dan BT BT. Pada EOF 1 hasil analisis menunjukkan bahwa perairan selatan Selat Lombok dominan memiliki variabilitas bernilai sampai dengan -0,025, namun terlihat pada perairan utara Selat Lombok, rata-rata memiliki nilai skala negatif yang lebih besar berkisar antar -0,035 sampai dengan -0,06, hal ini kemungkinan di bagian utara perairan Selat Lombok memiliki dasar perairan yang relatif dangkal sehingga terjadi fluktuasi relatif tinggi. Pada EOF 2 hasil analisis menunjukkan nilai skala tinggi di utara Selat Lombok bernilai positif dengan nilai skala 0,02 sampai dengan 0,05 dan di selatan Selat Lombok dengan nilai skala negatif berkisar antara -0,02 sampai dengan -0,05. Dari hasil yang ditampilkan pada EOF 2 di sebagian kecil wilayah selatan perairan Selat Lombok khususnya di sekitar koordinat 9 LS tampak terjadi fluktuasi nilai skala yang tinggi berkisar antara -0,03 sampai dengan -0,04, kemungkinan terjadi akibat di sekitar lokasi tersebut terdapat punggung laut (sill) sehingga menyebabkan terjadi fluktuasi yang cukup tinggi di daerah ini. Nilai eigen pada EOF 1 memiliki nilai 78,0%, EOF 2 bernilai 8,4%, EOF 3 bernilai 1,6% dan EOF 4 bernilai 0,9%. Nilai eigen ini menunjukkan berapa besar bagian varian yang digunakan untuk menggambarkan fenomena yang dijelaskan pada setiap modenya dan dalam hal ini berarti menunjukkan seberapa besar parameter yang dianalisa (SPL) mempengaruhi terhadap lokasi yang akan diuji (perairan Selat Lombok). Nilai eigen pada EOF 1 memiliki nilai yang paling besar, yang diikuti oleh EOF 2 dan seterusnya. Amplitude dari setiap mode EOF dapat dilihat pada grafik temporal pada setiap modenya, dimana grafik temporal ini dapat menjelaskan siklus dari fenomena yang dijelaskan pada setiap EOF dan kuat lemahnya fenomena tersebut. Grafik temporal untuk setiap modenya dapat dilihat pada Gambar 20. Grafik temporal yang dihasilkan pada mode 1 memperlihatkan siklus dengan periode setengah tahunan (semiannual) dan tahunan (annual) yang dominan, hal ini diduga pengaruh fenomena musiman yang diakibatkan oleh adanya pergantian

82 64 angin Muson Barat dan dan Muson Timur. Temporal mode 2, mode 3 dan mode 4 menggambarkan adanya siklus dengan periode tahunan (annual) dan antar tahunan (interannual) yang diduga merupakan siklus yang diakibatkan oleh adannya fenomena ENSO. Gambar 20. Grafik Temporal SPL dari 4 mode EOF Hasil analisis EOF dengan input konsentrasi klorofil, menghasilkan variabilitas Klorofil dengan nilai skala dan ditunjukkan pada Gambar 21 dan dengan menampilkan 4 mode EOF (EOF1, EOF2, EOF3 dan EOF4). Pada EOF 1 hasil analisis menunjukkkan bahwa di perairan Selat Lombok fluktuasi yang tinggi terkonsentrasi beberapa bagian di pesisir pantai dengan variabilitas tertinggi bernilai dengan kisaran -0,1 sampai dengan -0,15. Sedangkan pada EOF 2 hasil analisis menunjukkan nilai skala tertingi mirip dengan EOF 1 dimana klorofi berfluktuasi tinggi berada hanya di sekitar pesisir pantai.

83 65 Mode 1 Mode 2 Gambar 21. Sebaran spasial klorofil Mode 1 dan Mode 2 hasil analisis EOF Untuk nilai-nilai eigen dari hasil analisis EOF, didapatkan nilai eigen untuk EOF 1 sebesar 32,4%, EOF 2 bernilai hingga 20,4 %, EOF 3 bernilai 8,6% dan EOF 4 bernilai sebesar 6,0%. Amplitude dari setiap mode EOF terhadap waktu dapat dilihat dalam grafik temporal pada Gambar 22. Dari grafik temporal yang dihasilkan pada mode 1 sampai dengan mode 4, secara umum grafik yang terlihat menunjukkan nilai berkisar 1. Hal ini berarti bahwa konsentrasi klorofil-a tidak banyak bervariasi ataupun perubahan konsentrasi dari tahun ke tahun adalah kecil, kecuali pada daerah-daerah dekat muara di pesisir pantai. Sebaran klorofil-a di perairan Selat Lombok diduga dipengaruhi oleh adanya run off yang berasal dari daratan melalui sungai-sungai di Pulau Lombok dan juga sebagian berasal massa air dari Laut Jawa dan Laut Flores yang masuk ke perairan Selat Lombok dan keluar menuju Samudera Hindia.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok

Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Lombok Selat Lombok merupakan perairan yang menghubungkan antara Pulau Bali dan Pulau Lombok juga merupakan perairan yang berkarakter unik dan dinamis.

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer Cahaya

TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer Cahaya TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer Di laut, khususnya laut terbuka, fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang menentukan produktivitas primer perairan. Produktivitas primer adalah jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan sistem angin pasat yang

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 661-669 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A KAITANNYA DENGAN EL NINO SOUTHERN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 2, NOVEMBER 2009: 157-162 KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA Martono Bidang Pemodelan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR Analysis of Upwelling Distribution and Area Enlargement in the Southern of Makassar Strait Dwi Fajriyati Inaku Diterima:

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET RIESNI FITRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal , Desember 2011

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal , Desember 2011 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal. 71-84, Desember 2011 KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) FASE POSITIF

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina ENSO (EL-NINO SOUTERN OSCILLATION) ENSO (El Nino Southern Oscillation) ENSO adalah peristiwa naiknya suhu di Samudra Pasifik yang menyebabkan perubahan pola angin dan curah hujan serta mempengaruhi perubahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, 6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI VARIABILTAS UPWELLING BERDASARKAN INDIKATOR SUHU dan KLOROFIL-A DI SELAT LOMBOK Randy Yuhendrasmiko, Kunarso, Anindya Wirasatriya

IDENTIFIKASI VARIABILTAS UPWELLING BERDASARKAN INDIKATOR SUHU dan KLOROFIL-A DI SELAT LOMBOK Randy Yuhendrasmiko, Kunarso, Anindya Wirasatriya JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, Halaman 530 537 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose IDENTIFIKASI VARIABILTAS UPWELLING BERDASARKAN INDIKATOR SUHU dan KLOROFIL-A

Lebih terperinci

VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA

VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA 1 VARIABILITY NET PRIMERY PRODUCTIVITY IN INDIAN OCEAN THE WESTERN PART OF SUMATRA Nina Miranda Amelia 1), T.Ersti Yulika Sari 2) and Usman 2) Email: nmirandaamelia@gmail.com ABSTRACT Remote sensing method

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arlindo (Arus Lintas Indonesia) Arlindo adalah suatu sistem di perairan Indonesia di mana terjadi lintasan arus yang membawa membawa massa air hangat dari Samudra Pasifik menuju

Lebih terperinci

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK Indri Ika Widyastuti 1, Supriyatno Widagdo 2, Viv Djanat Prasita 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT Muslim 1), Usman 2), Alit Hindri Yani 2) E-mail: muslimfcb@gmail.com

Lebih terperinci

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali Journal of Marine and Aquatic Sciences 3(1), 30-46 (2017) Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali I

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016, Halaman 452 461 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose STUDI PENGARUH EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD)

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 99 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Data Asimilasi GFDL 4.1.1 TRITON Stasiun pengamatan data TRITON yang digunakan untuk melakukan validasi data asimilasi GFDL sebanyak 13 stasiun dengan 12 TRITON berada

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

DI PERAIRAN SELAT BALI

DI PERAIRAN SELAT BALI PEMANFAATAN DATA SUHU PERMUKAAN LAUT DARI SATELIT NOAA-9 SEBAGAI SALAH SATU PARAMETER INDIKATOR UPWELLING DI PERAIRAN SELAT BALI SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sajana Dalam Bidang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik Perairan Selatan Jawa

Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik Perairan Selatan Jawa Dinamika Maritim Coastal and Marine Resources Research Center, Raja Ali Haji Maritime University Tanjungpinang-Indonesia Volume 6 Number 2, February 2018 Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

DI PERAIRAN SELAT BALI

DI PERAIRAN SELAT BALI PEMANFAATAN DATA SUHU PERMUKAAN LAUT DARI SATELIT NOAA-9 SEBAGAI SALAH SATU PARAMETER INDIKATOR UPWELLING DI PERAIRAN SELAT BALI SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sajana Dalam Bidang

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia merupakan area yang mendapatkan pengaruh Angin Muson dari tenggara pada saat musim dingin di wilayah Australia, dan dari barat laut pada saat musim

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

Physics Communication

Physics Communication Phys. Comm. 1 (1) (2017) Physics Communication http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pc Analisis kondisi suhu dan salinitas perairan barat Sumatera menggunakan data Argo Float Lita Juniarti 1, Muh.

Lebih terperinci

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR Oleh : MUKTI DONO WILOPO C06400080 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

KAJIAN KLOROFIL-A DAN NUTRIEN SERTA INTERELASINYA DENGAN DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA SUMBAWA SIMON TUBALAWONY

KAJIAN KLOROFIL-A DAN NUTRIEN SERTA INTERELASINYA DENGAN DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA SUMBAWA SIMON TUBALAWONY KAJIAN KLOROFIL-A DAN NUTRIEN SERTA INTERELASINYA DENGAN DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA SUMBAWA SIMON TUBALAWONY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Lebih terperinci

DAMPAK KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP INTENSITAS UPWELLING DI PERAIRAN SELATAN JAWA

DAMPAK KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP INTENSITAS UPWELLING DI PERAIRAN SELATAN JAWA Dampak Kejadian Indian Ocean Dipole Terhadap Intensitas Upwelling di Perairan Selatan Jawa... (Martono) DAMPAK KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP INTENSITAS UPWELLING DI PERAIRAN SELATAN JAWA (Impacts

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012 KATA PENGANTAR i Analisis Hujan Bulan Agustus 2012, Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2012, dan Januari 2013 Kalimantan Timur disusun berdasarkan hasil pantauan kondisi fisis atmosfer dan data yang

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman 416-421 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Studi Variabilitas Suhu Permukaan Laut Berdasarkan Citra Satelit Aqua MODIS

Lebih terperinci

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR

ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR ANALISIS SINYAL EL NIÑO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) DAN HUBUNGANNYA DENGAN VARIABILITAS ARUS LINTAS INDONESIA DI SELAT LIFAMATOLA TUGAS AKHIR Disusun untuk memenuhi salah satu syarat kurikuler Program

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisik Kimiawi dan Biologi Perairan Dari hasil penelitian didapatkan data parameter fisik (suhu) kimiawi (salinitas, amonia, nitrat, orthofosfat, dan silikat) dan

Lebih terperinci

KETERKAITAN KONDISI PARAMETER FISIKA DAN KIMIA PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI KLOROFIL-A DI PERAIRAN BARAT SUMATERA

KETERKAITAN KONDISI PARAMETER FISIKA DAN KIMIA PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI KLOROFIL-A DI PERAIRAN BARAT SUMATERA KETERKAITAN KONDISI PARAMETER FISIKA DAN KIMIA PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI KLOROFIL-A DI PERAIRAN BARAT SUMATERA Gilang Ardi Pratama 1, Widodo S. Pranowo 2, Sunarto 1, dan Noir P. Purba 1 1. Program Studi

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH What is a thermocline? A thermocline is the transition layer between warmer mixed water at the ocean's surface and

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu Permukaan Laut Di Pantai Utara Semarang Menggunakan Citra Satelit Aqua Modis

Variabilitas Suhu Permukaan Laut Di Pantai Utara Semarang Menggunakan Citra Satelit Aqua Modis JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2015, Halaman 166-170 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Variabilitas Suhu Permukaan Laut Di Pantai Utara Semarang Menggunakan Citra

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

Musim Hujan. Musim Kemarau

Musim Hujan. Musim Kemarau mm IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Data Curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu. Selanjutnya pada masing-masing wilayah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Sebaran Suhu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan menjelaskan sebaran suhu menjadi dua bagian penting yakni sebaran secara horisontal dan vertikal. Sebaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan merupakan salah satu sumber ketersedian air untuk kehidupan di permukaan Bumi (Shoji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penilaian, perencanaan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Morotai yang terletak di ujung utara Provinsi Maluku Utara secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci