LABORATORIUM GEOLOGI DINAMIKA JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA PANDUAN PRAKTIKUM GEOLOGI STRUKTUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LABORATORIUM GEOLOGI DINAMIKA JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA PANDUAN PRAKTIKUM GEOLOGI STRUKTUR"

Transkripsi

1 LABORATORIUM GEOLOGI DINAMIKA JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA PANDUAN PRAKTIKUM GEOLOGI STRUKTUR Edisi 2008

2 PANDUAN PRAKTIKUM GEOLOGI STRUKTUR Edisi 2008 Laboratorium Geologi Dinamika Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

3 KATA PENGANTAR Buku Panduan Praktikum Geologi Struktur ini disusun agar menjadi pedoman penyelesaian masalah-masalah praktis dalam analisis geologi struktur, terutama bagi mahasiswa peserta praktikum geologi struktur di Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Buku ini merupakan edisi revisi dari Panduan Praktikum Geologi Struktur Jurusan Teknik Geologi FT UGM yang dibuat pada tahun Semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca. Yogyakarta, Maret 2008 Ir. Ign. Sudarno, M.T. Dr. Ir. Subagyo Pramumijoyo, DEA. Salahuddin Husein, S.T., M.Sc. Gayatri Indah Marliyani, S.T. iii

4 DAFTAR ISI Halaman sampul.. Kata Pengantar Daftar Isi.. i iii v I. PENDAHULUAN Pengertian. 2. Tujuan dan Manfaat. 3. Materi dan Pembahasan II. MENENTUKAN JURUS DAN KEMIRINGAN STRUKTUR BIDANG DARI DUA BUAH KEMIRINGAN SEMU 1. Beberapa Pengertian 2. Menentukan Jurus dan Kemiringan Struktur Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada Ketinggian yang Sama.. 3. Menentukan Jurus dan Kemiringan Struktur Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada Ketinggian yang Berbeda III. POLA PENYEBARAN TIGA TITIK DAN POLA PENYEBARAN SINGKAPAN. 1. Pengantar.. 2. Maksud dan Tujuan.. 3. Problema Tiga Titik. 4. Pola Penyebaran Singkapan IV. GARIS DAN PERPOTONGAN BIDANG 1. Definisi. 2. Menentukan Plunge.. 3. Menentukan Pitch. 4. Apparent Plunge Perpotongan Dua Bidang v

5 V. KETEBALAN DAN KEDALAMAN 1. Batasan Pengertian Pengukuran Ketebalan.. 3. Pengukuran Kedalaman VI. ANALISA KEKAR 1. Pengertian. 2. Hubungan Gaya dan Pola Kekar.. 3. Analisa Kekar VII. ANALISA SESAR. 1. Pengertian. 2. Klasifikasi Sesar Analisis Sesar cara Grafis VIII. PROYEKSI STEREOGRAFIS.. 1. Penggambaran Unsur Struktur. 2. Analisis Kekar.. 3. Analisis Sesar Lipatan.. 5. Ketidakselarasan IX. LIPATAN Pendahuluan. 2. Bagian-bagian dari Lipatan.. 3. Klasifikasi Lipatan Mekanisme Perlipatan.. 5. Rekonstruksi Lipatan 6. Interpretasi Jenis Lipatan dari Diagram S-Pole Referensi Lampiran 1. Wulff Net Lampiran 2. Schmidt Net vi

6 Lampiran 3. Polar Net. Lampiran 4. Kalsbeek Net vii

7 ACARA I PENDAHULUAN I.1. Pengertian Geologi struktur adalah ilmu yang mempelajari bentuk arsitektorat kulit bumi serta gejala-gejala yang menyebabkan pembentuknya. Beberapa ahli memberi sinonim geologi struktur dengan geologi tektonik, atau geotektonik. Perbedaan antara sinonimsinonim tersebut terletak pada penekanan masalah yang dipelajari dan skalanya. Geologi struktur lebih cenderung pada geometri batuan dengan skala kecil (lokal atau regional), sementara yang lain lebih cenderung pada gaya-gaya dan pergerakan yang menghasilkan struktur geologi. Pengertian tersebut dapat diuraikan dari akar kata geotektonik yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata geo yang berarti earth (bumi) dan tekton yang berarti builder (pembangun/pembentuk). I.2. Tujuan dan Manfaat Tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dengan mempelajari geologi struktur adalah : 1. Dapat mendeterminasi bentuk dan ukuran tubuh batuan. 2. Dapat menghubungkan struktur geologi yang dijumpai dengan urut-urutan kejadian. 3. Dapat mendeterminasi proses-proses fisik yang menghasilkan struktur geologi tersebut. Sedangkan manfaat mempelajari geologi struktur adalah : 1. Dapat mengetahui posisi stratigrafi suatu batuan dengan batuan yang lain. 2. Dalam aplikasinya dapat untuk membantu dalam pencarian bahan mineral dan minyak bumi, geologi teknik, hidrogeologi dan geologi tata lingkungan. 1

8 I.3. Materi Pembahasan Berdasarkan pengertian geometri, struktur geologi membedakan struktur garis dan struktur bidang. Termasuk struktur bidang antara lain: perlapisan batuan, urat (vein), kekar, sesar, lipatan, ketidakselarasan, dll. Sedangkan yang termasuk struktur garis antara lain: lineasi, gores-garis, hinge line, dll. Geologi struktur berkaitan erat dengan ilmu geologi lain, seperti geomorfologi, sedimentologi, petrologi, geologi teknik, geohidrologi, geofisika, dll. Analisis data struktur geologi secara deskriptif geometri dilakukan dengan cara mengubah bentuk yang sesunggguhnya kedalam bentuk dua dimensi dengan proyeksi. Berdasarkan metodanya proyeksi dibedakan menjadi: 1. Proyeksi ortogonal: yaitu penggambaran obyek dengan garis proyeksi dibuat saling sejajar dan tegak lurus terhadap bidang proyeksi. 2. Proyeksi perspektif: proyeksi suatu obyek terhadap suatu titik, misalnya proyeksi kutub. 3. Proyeksi stereografis: penggambaran didasarkan kepada perpotongan garis atau bidang dengan permukaan bola. Proyeksi stereografis banyak dipakai dalam geologi struktur. Proyeksi ini dan penggunaannya akan dibahas dalam acara Proyeksi Stereografis. Dalam praktikum Geologi Struktur beberapa materi akan dibahas antara lain: 1. Menentukan jurus dan kemiringan struktur bidang dari data dua buah kemiringan semu. 2. Problem tiga titik dan pola penyebaran singkapan. Dengan tiga titik yang diketahui letak dan ketinggian suatu perlapisan dapat ditentukan kedudukannya. Antara kedudukan perlapisan dengan pola topografi yang tertentu akan menghasilkan pola penyebaran singkapan yang tertentu pula. 3. Kedalaman dan ketebalan. Pengukuran ketebalan dan kedalaman suatu lapisan batuan dapat dikerjakan secara grafis dan matematis. 4. Garis dan perpotongan bidang. Materi ini membahas proyeksi suatu bidang atau garis, untuk mempermudah pemahaman struktur garis dan bidang dalam bentuk yang lebih sederhana. 5. Analisis kekar. Dengan analisis dapat digunakan untuk merekonstruksi gaya-gaya tektonik yang membentuk kekar dan struktur lokal. 2

9 6. Analisis sesar. Dengan analisis sesar ini dapat menafsirkan jenis dan pergerakan relatif sesar berdasarkan data sesar yang ada. 7. Proyeksi stereografis. Proyeksi ini dapat digunakan untuk membantu banyak hal, antara lain: a. perpotongan garis dan bidang b. perpotongan bidang c. sudut antara dua garis, antara dua bidang dan antara garis dan bidang d. rotasi bidang e. analisis kekar f. rekonstruksi lipatan g. analisis kekar dan gaya pembentuk h. rekonstruksi ketidakselarasan i. analisis sesar, dll. 8. Rekonstruksi lipatan. Meliputi penggambaran dengan berbagai metoda. 9. Peta geologi. Mencoba melatih interpretasi geologi dengan data struktur geologi sebagai pembantu, sehingga dapat menafsirkan urutan stratigrafi dan sejarah geologi. Dalam mempelajari geologi struktur dapat dibuat skema sebagai berikut: 3

10 Gambar I.1. Foto singkapan struktur antiklin pada perlapisan batupasir dan sketsa lapangan yang dibuat untuk mempermudah identifikasi unsur-unsur struktur geologi (McClay, 1987). Keterampilan ini sangat penting dan bermanfaat di dalam pekerjaan lapangan geologi struktur. 4

11 ACARA II MENENTUKAN JURUS DAN KEMIRINGAN STRUKTUR BIDANG DARI DUA BUAH KEMIRINGAN SEMU II.1. Beberapa Pengertian Beberapa istilah yang sering digunakan (keterangan lihat gambar II.1) antara lain: Arah (bearing): sudut horisontal antara garis dengan arah koordinat tertentu, biasanya utara atau selatan. Azimuth: bearing yang diukur dari utara searah jarum jam. True dip (kemiringan sebenarnya): sudut kemiringan terbesar yang terbentuk oleh suatu bidang dengan bidang datar, diukur tegak lurus perpotongan bidang. Apperent dip (kemiringan semu): sudut yang terbentuk antara suatu bidang dengan bidang horisontal yang diukur tidak tegaklurus perpotongan bidang. Jurus (strike): arah garis horisontal yang terbentuk oleh bidang miring dengan bidang horisontal. β = true dip α = bearing/azimuth δ = apparent dip AB = jurus N α 0 E Kedudukan bidang: Nα 0 E/β 0 Gambar II.1. Beberapa istilah yang digunakan. Data-data yang harus ada dalam penentuan true dip ini adalah: 1. Letak dan ketinggian pengukuran, 2. Arah sayatan tegak dimana apparent dip diukur, 3. Besar kemiringan semu. 5

12 II.2. Menentukan Jurus dan Kemiringan Struktur Bidang dari Dua Buah Kemiringan Semu pada Ketinggian yang Sama Contoh I: Dari lokasi O diukur dua kemiringan semu. Masing-masing pada arah N X 0 E sebesar b 0 1 dan pada arah N Y 0 E sebesar b 0 2. Ditanyakan: Jurus dan kemiringan bidang yang sesungguhnya. Penyelesaian: Lihat diagram blok pada gambar II.2 dan hasil proyeksi gambar II.3. Urutan penyelesaian sebagai berikut: 1. Gambarkan rebahan masing-masing bidang yang memuat kemiringan semu sesuai dengan arahnya di titik O dengan kedalaman d sehingga menghasilkan bidang OCF dan ODE. 2. Hubungkan titik D dan C. Garis DC merupakan proyeksi horisontal jurus bidang ABFE: N Z 0 E. 3. Melalui O buatlah garis tegaklurus DC sehingga memotong di L. 4. Ukurkan LK sepanjang d pada garis DC. Sudut LOK merupakan kemiringan sebenarnya dari bidang ABFE. 5. Jadi kedudukan bidang tersebut adalah N Z 0 E/a 0. OC = N X E OD = N Y E OL = N Z E Ketinggian pengukuran = d Gambar II.2. Diagram blok contoh I. 6

13 a = true dip b1, b2 = apparent dip kedudukan = N Z E/a. Gambar II.3. Penyelesaian contoh I. II.3. Menentukan Jurus dan Kemiringan Struktur Bidang dari Dua Buah Kemiringan Semu pada Ketinggian yang Berbeda Contoh II: Pada lokasi O dengan ketinggian 400 meter diukur kemiringan semu β 0 1 pada arah N X 0 E dan pada lokasi P dengan ketinggian 300 meter diukur kemiringan semu β 0 2 pada arah N Y 0 E. Letak O dan P tertentu (diketahui). Ditanyakan: Jurus dan kemiringan bidang sesungguhnya. Penyelesaian: Cara I: Lihat gambar II.4(a) dan II.4(b). Urutan penyelesaian sebagai berikut: 1. Gambarkan rebahan masing-masing bidang yang memuat kemiringan semu di O dan P sesuai dengan besar dan arahnya sehingga menghasilkan bidang ODE dan PGF. 2. Gambarkan lokasi ketinggian 300 m pada garis OE dengan cara membuat garis tegak lurus OD berjarak 100 m (r) yang merupakan beda tinggi O dan P, yaitu di Q. Proyeksikan Q pada OD sehingga diperoleh Q'. Titik Q' merupakan proyeksi Q pada bidang horisontal. 7

14 3. Hubungkan titik P dan Q'. PQ' merupakan proyeksi horisontal jurus bidang ABFE pada ketinggian 300 m. 4. Melalui O buat garis tegak lurus PQ' sehingga memotong di V. 5. Ukur VW pada garis PQ' sepanjang d. Sudut VOW merupakan kemiringan sebenarnya dari bidang ABFE. 6. Jadi kedudukan bidang tersebut adalah N Z 0 E / α 0. OD = N X E PG = N Y E O dan P : titik pengukuran ABFE : struktur bidang (a) (b) Gambar II.4. Penyelesaian contoh II cara I. (a) diagram blok, (b) rekonstruksi. 8

15 Cara II: Prinsip yang dipakai adalah menggunakan bidang proyeksi sebagai referensi di atas titik yang paling tinggi. Penyelesaian lihat gambar II.5(a) dan II.5(b). Urutan pengerjaannya sebagai berikut: 1. Plotkan titik O dan P. Melalui titik O dan P ini buat kedudukan arah penampang pengukuran, yaitu N X 0 E pada O dan N Y 0 E pada P. Kedua garis perpanjangan bertemu di Z. 2. Dari O buat garis tegak lurus ZO, lalu buat garis sejajar ZO berjarak h (h adalah jarak titik O dengan bidang proyeksi di atas O). Perpotongannya O' (letak titik pengukuran O yang sebenarnya). Demikian juga untuk titik P, buat garis tegaklurus ZP, buat garis sejajar ZP sehingga berpotongan di P' berjarak r (r adalah jarak titik P dengan bidang proyeksi = h + (tinggi O - tinggi P)). 3. Melalui O' buat garis yang menyudut sebesar dip (β 2 ) terhadap garis sejajar OZ yang melalui O'. Hati-hati cara mengeplot. Garis tersebut memotong garis OZ di titik A. Kerjakan dengan cara yang sama untuk titik P, buat garis rnenyudut β 2 melalui P' hingga memotong ZP di titik B. 4. Hubungkan titik A dan B, yang merupakan jurus dari lapisan yang dicari. 5. Buat garis tegaklurus garis AB melalui Z, memotong di titik Q. Buat garis sejajar AB melalui O, Plot titik S pada garis tersebut yang berjarak h dari Q'. Hubungkan S dan Q. Maka sudut SQQ' adalah true dip yang dicari. Mencari true dip bisa juga dari P, dengan jarak titik dari P sebesar r. 9

16 (a) (b) Gambar II.5. Penyelesaian contoh II cara II. (a) diagram blok, (b) rekonstruksi. 10

17 ACARA III PROBLEMA TIGA TITIK DAN POLA PENYEBARAN SINGKAPAN III.1. Pengantar Seringkali singkapan yang ada di daerah tropis dengan curah hujan tinggi tertutupi oleh soil yang tebal dan vegetasi yang lebat sehingga sulit untuk mendapatkan singkapan yang segar. Namun dari minimal tiga singkapan yang terpisah-pisah dengan ketinggian yang berbeda dapat dicari kedudukan perlapisan batuan. Metoda untuk mencari kedudukan lapisan dari batuan tersebut dikenal dengan metoda problema tiga titik. Metoda ini dapat juga digunakan untuk mencari kedudukan lapisan bawah permukaan dari data lubang bor, dengan syarat lapisan tersebut belum terganggu struktur, lihat gambar III.1. Gambar III.1. Pengukuran tiga titik III.2. Maksud dan Tujuan Maksud : a. Menentukan kedudukan bidang dari tiga titik yang diketahui posisi dan ketinggiannya yang terletak pada bidang rata yang sama. b. Menentukan penyebaran dari singkapan yang telah diketahui kedudukannya dari satu titik. c. Menentukan besar jurus dan kemiringan dari pola penyebaran singkapan. 11

18 Tujuan : a. Menentukan batas satuan batuan. b. Menentukan ketebalan lapisan batuan yang dinilai ekonomis. c. Menentukan urutan lapisan batuan. III.3. Problema Tiga Titik Problema tiga titik dapat digunakan apabila data-data memenuhi syarat: a. ketiga titik singkapan yang telah diketahui lokasi dan ketinggiannya terletak pada satu bidang, b. bidang tersebut belum terpatahkan atau terlipat. Cara yang digunakan untuk menentukan kedudukan bidang dengan metoda problema tiga titik ada tiga, yaitu: 1. cara proyeksi, 2. cara grafis I, 3. cara grafis II. Contoh: Diketahui suatu lapisan batupasir yang kaya akan bijih tembaga tersingkap pada tiga titik pengamatan. Pada lokasi B yang berjarak 450 m dari titik A dengan arah N200 0 E, dan titik C berjarak 400 m dengan arah N150 0 E dari titik A. Tentukan arah jurus dan kemiringan lapisan batupasir tersebut. Ketinggian titik A = 175 meter, B = 50 meter, C = 100 meter. Skala 1: III.3.1. Cara Proyeksi Penyelesaian: Lihat gambar III.2. Urutan penyelesaian sebagai berikut: 1. Tentukan letak ketiga titik A, B dan C yang sudah diketahui. 2. Buat garis k yang berarah timur-barat (0 meter). Proyeksikan titik A, B, C pada k, diperoleh A, B dan C. 3. Dengan menggunakan garis k sebagai garis rebahan tentukan titik A, B dan C, jarak dan ketinggian sesuai sekala. 12

19 4. Buat garis l sejajar k melalui titik C (titik yang berada diantara dua ketinggian) hingga berpotongan A B di titik D, kemudian proyeksikan balik titik D ini ke garis AB sehingga didapat D. 5. Hubungkan titik D dan C sebagai garis DC, yang merupakan jurus perlapisan. Arah dari jurus ini belum diketahui. Untuk mengetahui dengan memperhatikan ketinggian relatifnya. 6. Buat garis tegak lurus DC sebagai garis m dengan ketinggian 175 meter (titik tertinggi). 7. Pada garis DC buat titik C dengan jarak sama dengan ketinggian A dikurangi ketinggian C. 8. Buat melalui B sejajar jurus (DC) dan buat titik B dengan jarak sama dengan ketinggian A dikurangi ketinggian B. 9. Hubungkan titik C dan B hingga berpotongan dengan garis m di A. 10. Sudut yang dibentuk antara garis tersebut dengan garis m, merupakan sudut kemiringan lapisan batuan (dip = α). 11. Maka kedudukan lapisan batuan Nβ 0 E/α 0. Gambar III.2. Penyelesaian metoda proyeksi. 13

20 III.3.2. Cara Grafis I Penyelesaian: Lihat gambar III.3. Urutan penyelesaian sebagai berikut: 1. Plot ketiga titik A, B dan C. 2. Tarik garis sembarang melalui A (tertinggi) sebagai garis t. Jarak ketinggian sesuai skala. 3. Tarik garis melalui D (ketinggian 50 m) dan B (garis DB). 4. Sejajar garis DB buat garis yang melalui ketinggian 100 m dan berpotongan dengan garis AB di titik F. Garis yang menghubungkan C dan F sebagai garis CF, yang merupakan jurus perlapisan. 5. Buat garis tegak lurus CF (jurus) sebagai garis m dengan ketinggian 175 m (tertinggi). 6. Pada garis CF buat titik C dengan jarak = ketinggian A dikurangi ketinggian C. 7. Buat garis sejajar CF melalui B dan buat titik B dengan jarak = ketinggian (A-B). 8. Hubungkan titik B dan C. Garis B C ini akan berpotongan dengan garis m di A. 9. Sudut yang dibentuk antara garis B C dengan garis m, merupakan kemiringan lapisan batuan (α). Gambar III.3. Penyelesaian cara grafis I. 14

21 III.3.3. Cara Grafis II Penyelesaian: Lihat gambar III.4. Urutan penyelesaian sebagai berikut: a. Plot lokasi ketiga titik. b. Tentukan D dengan menggunakan rumus perbandingan jarak: ketinggian A - ketinggian B _ jarak AB ketinggian C - ketinggian B jarak BD c. Titik D mempunyai ketinggian yang sama dengan C. Garis yang menghubungkan kedua titik tersebut adalah jurus perlapisan. d. Buat garis tegak lurus DC sebagai garis m dengan ketinggian 175 m (tertinggi). e. Pada garis DC buat titik C dengan jarak dari garis m sebesar selisih ketinggian A dan C. f. Buat garis sejajar DC (jurus) melalui A dan berpotongan dengan garis m di titik A. g. Hubungkan titik A dan C sebagai garis A C. Sudut yang dibentuk oleh garis A C dengan garis m merupakan kemiringan lapisan batuan. Gambar III.4. Penyelesaian cara grafis II. 15

22 III.4. Pola Penyebaran Singkapan Untuk membuat pola penyebaran singkapan, metoda yang digunakan kebalikan dari metode problema tiga titik, yaitu dari mengetahui kedudukan lapisan batuan yang digabungkan dengan topografi dapat dicari penyebaran singkapannya. Pola penyebaran singkapan tersebut tergantung kepada: 1. tebal lapisan 2. topografi 3. besar kemiringan lapisan batuan 4. bentuk struktur lipatan. Sedangkan topografi itu sendiri dikontrol oleh batuan penyusun, struktur geologi dan proses-proses geomorfik. Bila setiap singkapan batuan yang sama dihubungkan dengan yang lain, dan batas satuan digambarkan pada peta topografi maka akan terlihat suatu bentuk penyebaran batuan. Bentuk penyebaran tersebut dikenal dengan pola singkapan. Hubungan antara kedudukan lapisan batuan, penyebaran singkapan dan topografi dirumuskan dalam suatu aturan tertentu yang lebih dikenal dengan hukum V, lihat gambar III.5. Pola penyebaran singkapan dapat digambarkan dalam peta topografi apabila: 1. diketahui letak titik singkapan pada peta topografi 2. diketahui jurus dan kemiringan batuan 3. ada peta topografi (garis tinggi) 4. singkapan dengan jurus dan kemiringan yang tetap, atau dengan kata lain belum terganggu struktur patahan atau lipatan. III Metode Pembuatan Pola Penyebaran Singkapan Contoh: Di lokasi X tersingkap batas batulempung dengan batugamping dengan kedudukan N30 0 E/20 0. Batugamping di atas batulempung. Peta topografi dan posisi X diketahui. Penyelesaian: Lihat gambar III.6. Urutan penyelesaian sebagai berikut: a. Buat garis SS yang sejajar dengan jurus lapisan batuan yang melewati X. 16

23 Gambar III.5. Pola penyebaran singkapan batuan berdasarkan topografi dan kemiringan lapisan batuan (hukum V) (Ragan, 1973). (a) lapisan horisontal, (b) lapisan miring ke arah hulu lembah, (c) lapisan tegak, (d) lapisan miring ke arah hilir lembah, (e) lapisan dan lembah memiliki kemiringan yang sama, (f) lapisan miring ke arah hilir lembah dengan sudut yang lebih kecil daripada kemiringan lembah (kemiringan lapisan < kemiringan lembah). b. Buat garis tegak lurus SS sebagai garis AB dan berpotongan di C (ketinggian 800 meter). c. Buat garis melalui C dan menyudut terhadap garis AB dengan sudut sebesar kemiringannya (dip = 20 0 ), buat garis CE. d. Pada garis SS buat sekala sesuai dengan ketinggian mulai dari titik C, ke arah luar semakin kecil, sesuai dengan sekala peta. 17

24 e. Buat garis melalui titik-titik ketinggian tersebut sejajar dengan garis AB dan berpotongan dengan garis CE pada titik-titik tertentu. f. Dari titik tersebut buat garis sejajar jurus lapisan hingga berpotorigan dengan garis kontur. g. Buat titik perpotongan garis tersebut dengan kontur yang mempunyai ketinggian yang sama sebagai titik sama tinggi. h. Hubungkan titik-titik tersebut dari masing-masing ketinggian membentuk pola penyebaran singkapan. Gambar III.6. Mencari pola singkapan (Billings, 1977). Diketahui kedudukan lapisan batuan di X adalah N90 0 E/20 0. Pola sebaran singkapan yang diharapkan (tanpa adanya gangguan struktur) akan diperlihatkan oleh garis tebal yang melewati garis-garis kontur. 18

25 ACARA IV GARIS DAN PERPOTONGAN BIDANG IV.1. Definisi-definisi Garis: elemen geometri yang ditarik dari sebuah titik yang bergerak dan panjangnya hanya sepanjang jejak dan titik tersebut. Struktur garis tersebut bisa berupa garis lurus, garis lengkung maupun garis patah. Plunge: sudut vertikal antara sebuah garis dengan proyeksi garis tersebut pada bidang horisontal. Trend: jurus dari bidang vertikal yang melalui garis dan menunjukkan arah penunjaman garis tersebut. Pitch: sudut antara garis dengan jurus dari bidang yang memuat garis tersebut. Gambar IV.1. Beberapa istilah struktur garis. IV.2. Menentukan Plunge Trend dan plunge didefinisikan sebagai kedudukan suatu garis dalam dimensi ruang. Kedudukan ini dinyatakan dengan arah dan besaran sudut dari garis tersebut, sehingga simbol dari suatu garis mengandung tiga elemen, yaitu: a. garis trend b. arah mata panah yang menunjukkan arah penunjaman c. nilai penunjaman. 19

26 Contoh: Penggambaran struktur garis dengan kedudukan 30 0, N90 0 E (lihat gambar IV.2). Gambar IV.2. Penggambaran struktur garis 30 0, N90 0 E. Contoh Soal: Tentukan kedudukan suatu garis potong antara bidang N320 0 E/40 0 dan bidang N250 0 E/60 0. Penyelesaian: Lihat gambar IV.3. Urutan penyelesaian sebagai berikut: Gambar IV.3. Menentukan plunge (Ragan, 1973; dengan modifikasi). 1. Plot jurus dan kemiringan bidang. Perpotongan jurus di titik O. 2. Putar garis yang tegak lurus jurus bidang 1 (FL 1) dan gunakan sudut kemiringan bidang untuk menentukan titik A pada kedalaman tertentu, misal d. 20

27 3. Hal yang sama dilakukan untuk garis yang tegaklurus jurus bidang 2 (FL 2), didapatkan titik B. 4. Proyeksikan A sejajar jurus bidang 1 dan B sejajar jurus bidang 2, berpotongan di C. DC adalah gambaran garis perpotongan pada peta. DC sebagai garis putar, plot jarak yang sama yaitu d untuk mendapatkan titik D pada garis persekutuan. Sudut lancip COD adalah plunge. IV. 3. Menentukan pitch Besar dari pitch antara 0 0 hingga 90 0, dinyatakan pada bidang/arah perlapisan yang bersudut lancip. Sebenarnya pitch di lapangan dapat diukur langsung dengan menggunakan busur derajat, dengan catatan bidang tersebut tersingkap baik. Kenyataannya kadang-kadang sulit untuk mendapatkan bidang yang baik di lapangan, sehingga perlu dilakukan perhitungan. Contoh soal: Suatu garis menunjam 40 0, N315 0 E pada bidang N270 0 E/50 0. Hitung pitch garis tersebut. Penyelesaian: Lihat gambar IV.4. Cara mengerjakan sebagai berikut: 1. Plot jurus dan kemiringan bidang dan juga trend dari garis tersebut. Perpotongan di O. 2. Buat garis FL.1 tegak lurus jurus bidang. Pada sayatan vertikal melalui FL.1 plot besarnya kemiringan, dan plot titik A dengan kedalaman tertentu, misal d. 3. Proyeksikan titik A kembali pada peta yang menghasilkan titik B, kemudian tarik garis sejajar jurus melalui B sehingga berpotongan dengan trend di titik C. 4. Melalui titik C buat garis tegak lurus FL.2, kemudian putar bidang miring (DA) menjadi horisontal sepanjang garis FL.2, dengan pusat putaran titik D. Proyeksikan ke peta, sehingga didapatkan titik E. Sudut DOE adalah pitch. 21

28 Gambar IV.4. Menentukan pitch (Ragan, 1973; dengan modifikasi). (a) Diagram blok, (b) Penyelesaian. IV.4. Apperent plunge Apparent plunge atau kemiringan semu adalah besarnya sudut penunjaman struktur garis yang diukur tidak dengan garis proyeksinya pada bidanq horisontal. Apparent plunge selalu lebih besar dari true plunge tetapi kurang dari atau sama dengan Kasus ini banyak dipakai dalarn pemboran miring dimana sayatan batuan yang dipenetrasi harus diperlihatkan dalam sayatan vertikal. Contoh soal: Gambar kedudukan lubang bor miring 30 0, N53 0 E pada arah sayatan barat-timur. Penyelesaian: Lihat gambar IV.5. Kerjakan sebagai berikut: 22

29 1. Plot trend dan arah sayatan. Sayatan tersebut hendaknya memuat titik O yang merupakan titik permukaan dari garis yang menunjam. Jika tidak maka titik O harus diproyeksikan ke sayatan. 2. Gunakan garis trend sebagai FL.1, gambar sayatan vertikal dengan menunjukkan true plunge dan pada kedalaman tertentu, misal d, tentukan titik W. 3. Proyeksikan kembali titik W ke peta, menghasilkan titik X, dan proyeksikan kembali ke garis sayatan menghasilkan titik Y. 4. Tentukan kedalaman tertentu, misal d, dari FL.2 di bawah titik Y, didapatkan titik Z. Sudut lancip YOZ adalah apparent plunge. Gambar IV.5. Apparent plunge suatu garis (Ragan, 1973; dengan modifikasi). 23

30 IV.5. Perpotongan dua bidang Contoh soal: Zona shear diukur pada titik O elevasi 200 m dengan kedudukan N75 0 E/65 0 NW. Lapisan batugamping diukur pada titik P elevasi 100 m dengan kedudukan N150 0 E/45 0 SW. Tentukan kedudukan garis potongnya. Penyelesaian: Lihat gambar IV.6. Kerjakan dengan urutan sebagai berikut: Gambar IV.6. Proyeksi perpotongan bidang. 1. Plot titik O dan P. Buat kedudukan bidang pada masing-masing titik. 24

31 2. Buat FL.1 pada O tegak lurus bidang shear dan FL.2 melalui P tegak lurus jurus lapisan batugamping. 3. Buat garis melalui O sebesar 65 0 (dip shear) dari FL.1, juga buat garis melalui P sebesar 45 0 (dip batugamping) dari FL.2. Garis-garis tersebut searah dengan arah kemiringan bidang (jangan terbalik). 4. Dengan memperhatikan skala buat garis sejajar FL.1 berjarak 200 m (ketinggian O) sehingga memotong garis (hasil langkah 3) di O', buat garis sejajar jurus shear melalui O (disebut garis OO ). Demikian juga buat garis sejajar FL.2 berjarak 100 m dari P sehingga memotong garis hasil langkah 3 di P dan melalui titik ini buat garis sejajar jurus batugamping (garis P P ). 5. Buat garis sejajar FL.1 pada ketinggian 100 m hingga memotong garis OO di H, lalu tarik sejajar jurus shear melalui titik H (garis HH ). Garis OO dan P P berpotongan di T. Garis HH dan jurus batugamping berpotongan di A. 6. Hubungkan titik T dan A, perpanjangannya memotong garis jurus shear di I. Maka garis TAI tersebut adalah trend dari perpotongan kedua bidang. 7. Melalui T buat garis tegaklurus TAI sepanjang 200 m (beda tinggi T dan I) pada titik T, kemudian hubungkan dengan I dan dengan T, maka sudut TIT' adalah plunge. 25

32 (a) (b) (c) Gambar IV.7. Teknik mengukur trend dan plunge suatu struktur garis L 1 (McClay, 1987): (a) Tempatkan tepi clipboard di sepanjang struktur garis L 1 ; (b) Tempelkan kompas pada sisi clipboard dan tegakkan clipboard hingga posisi vertikal (dapat dicek dengan posisi kompas yang betul-betul horisontal), kemudian baca azimuth yang ditunjukkan oleh kompas, itulah trend dari struktur garis L 1 ; (c) Pergunakan klinometer pada kompas untuk mengukur sudut plunge struktur garis L 1. 26

33 ACARA V KETEBALAN DAN KEDALAMAN V.I. Batasan Pengertian Ketebalan adalah jarak terpendek yang diukur antara dua bidang sejajar yang merupakan batas antara dua lapisan. Kedalaman adalah jarak vertikal dari suatu ketinggian tertentu terhadap suatu titik (misalnya muka air laut) terhadap suatu titik, garis atau bidang. Lihat gambar V.I. Pengukuran ketebalan dan kedalaman dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu pengukuran secara langsung dan pengukuran secara tidak langsung. Pengukuran kedalaman dan ketebalan secara langsung dilakukan pada daerah yang relatif datar dengan kedudukan perlapisan hampir tegak, atau pada tebing terjal dengan lapisan relatif mendatar. Dengan kata lain pengukuran ketebalan secara langsung diterapkan bila topografi tegaklurus dengan kemiringan batuan. Pengukuran ketebalan dan kedalaman secara tidak langsung dilakukan pada kondisi medan tertentu, sehingga pengukuran secara langsung sulit dilaksanakan. Perhitungan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: 1. Cara matematis 2. Cara grafis. Ketebalan dapat juga dihitung dari peta geologi, yaitu dengan mengukur dua komponen jarak lereng yang diukur tegak lurus dengan jurus umum lapisan. Gambar V.1. Ketebalan lapisan batuan (Billings, 1977). Contoh diagram blok di atas menunjukkan perlapisan batupasir (diarsir) diantara batuserpih (tidak diarsir). t = ketebalan batupasir; d = kedalaman bagian atas batupasir pada titik a; d' = kedalaman bagian atas batupasir pada titik b; α = dip perlapisan. 27

34 V.2. Pengukuran Ketebalan A. Cara Matematis Perhitungan ketebalan cara matematis menggunakan ilmu ukur sudut. Perhitungan tergantung besar dan arah dari kemiringan lereng (slope) dan kemiringan lapisan (dip). 1. Medan datar, lapisan miring (gambar V. 2). a. Pengukuran tegak lurus terhadap jurus lapisan. Bila ketebalan dinotasikan t, sedangkan lebar singkapan yang tegak lurus jurus dinotasikan w, maka: t = w. sin δ δ = besar dip lapisan. b. Pengukuran menyudut terhadap jurus lapisan. w = l. sin γ γ = sudut antara lintasan dengan jurus lapisan. t = w. sin δ l = lebar singkapan terukur. Gambar V.2. Medan datar, lapisan miring. w lebar singkapan tegak lurus jurus; l lebar singkapan menyudut jurus. 2. Medan berlereng (sloping) (gambar V.3). a. Pengukuran tegak lurus jurus lapisan dan lapisan searah dengan lereng sebesar σ. 28

35 1. Dip (δ) lebih besar daripada slope (σ) (gambar V.3.a): t = w. sin (δ - σ) 2. Dip (δ) lebih kecil daripada slope (σ) (gambar V.3.b): t = w. sin (σ - δ) b. Pengukuran tegak lurus jurus lapisan dan kemiringan lapisan berlawanan dengan slope. 1. Dip (δ) lebih kecil daripada slope (σ) (gambar V.3.c): t = w. sin (δ + σ) 2. Dip (δ) lebih besar daripada slope (σ) (gambar V.3.d): t = w. sin (180 - δ - σ) atau t = w. cos (90 - δ - σ) 3. Lapisan horisontal (gambar V.3.e): t = w. sin σ 4. Lapisan vertikal (gambar V.3.f): t = w. cos σ atau t = w. sin (90 - σ) c. Pengukuran tidak tegak lurus jurus dan dip berlawanan dengan slope: t = s ((sin γ. cos σ. sin δ) + (sin σ. cos δ)) atau t = s ((cos γ. sin δ) + (sin σ. cos δ)) s = jarak singkapan yang tidak tegak lurus, diukur pada lereng (jarak sesungguhnya di lapangan, bukan jarak pada peta) d. Pengukuran tidak tegak lurus jurus dan dip searah dengan slope: t = s ((sin γ. cos σ. sin δ) - (sin σ. cos δ)) 29

36 Gambar V.3. Pengukuran medan miring, lapisan bervariasi (Ragan, 1973). B. Cara Grafis Perhitungan ketebalan secara grafis menggunakan alignment diagram, lihat gambar V.4 dan V.5. Diagram V.4 digunakan bila pengukuran lebar singkapan tegak lurus jurus lapisan dan pengukuran pada medan yang datar. Diagram ini dapat juga digunakan untuk mencari kemiringan lapisan, bila lebar singkapan dan ketebalan diketahui. Contoh penggunaan diagram V.4: Lebar suatu singkapan pada medan yang datar adalah 500 m. Kemiringan lapisan (dip) 70 0, diukur tegak lurus jurus perlapisan. Cari ketebalan lapisan tersebut. Penyelesaian: Plot 500 pada skala lebar singkapan (skala paling kiri). Plot 70 0 diplot pada skala dip (skala paling kanan). Hubungkan kedua angka tersebut dihubungkan dan akan memotong garis skala ketebalan yang terletak di tengah. Di situ terbaca angka 470, sehingga ketebalan lapisan adalah 470 m. 30

37 Gambar V.4. Palmer alignment diagram untuk menentukan ketebalan lapisan batuan (Palmer, 1918). Diagram ini hanya digunakan untuk ketebalan singkapan yang diukur tegak lurus jurus perlapisan. Jika permukaan tanah horisontal, lebar singkapan 500 m dan dip 70 0, maka ketebalan lapisannya adalah 470 m (ditunjukkan oleh garis merah). Jika permukaan tanah horisontal, lebar singkapan 600 m, dip 20 0, maka ketebalannya adalah 205 m (ditunjukkan oleh garis biru). Diagram V.4 tersebut juga dapat digunakan bila permukaan tanah memiliki kemiringan, dengan syarat lebar singkapan diukur tegak lurus terhadap jurus perlapisan. Tetapi lebar singkapan pada diagram adalah jarak lereng dan dip (kemiringan lapisan) ditambah (atau dikurang) sudut lereng. 31

38 Jika kemiringan lapisan memiliki arah yang berlawanan terhadap kemiringan lereng, kemiringan lereng ditambahkan terhadap kemiringan lapisan (dip + slope). Jika kemiringan lapisan memiliki arah yang sama dengan kemiringan lereng, maka kemiringan lereng dikurangkan dari kemiringan lapisan (dip slope). Diagram V.5 mempunyai fungsi yang sama dengan diagram V.4, hanya diagram ini bisa digunakan untuk pengukuran pada topografi yang mempunyai kemiringan (slope) dan pengukuran tidak tegak lurus jurus. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa kita harus membedakan apakah kemiringan lapisan searah dengan slope atau berlawanan. Bila searah maka besar sudut antara jalur pengukuran dan jurus diplot di bagian bawah pada skala azimuth lintasan dan sebaliknya. Contoh: Diketahui kemiringan lapisan (dip) yang searah kemiringan lereng (slope), sudut antara jurus dan arah pengukuran 60 0, dip 45 0, slope 25 0 dan lebar singkapan 1000 m. Cari ketebalan lapisan tersebut. Penyelesaian dengan diagram V.5: Plot 60 0 pada skala azimuth lintasan bagian bawah. Sudut 45 0 diplot pada skala sudut dip, kemudian cari sudut 25 0 diplot pada skala sudut lereng. Selanjutnya cari perpotongan kedua sudut tersebut pada jaring-jaring segitiga sesuai lingkaran derajat, misalkan titik x. Hubungkan x dengan angka 60 0 (dari skala azimuth of traverse), sehingga garis memotong garis t scale pada titik y. Titik y ini terletak di atas angka 0 pada skala t Plot nilai 1000 pada skala rentang lereng bagian atas. Hubungkan titik y dengan angka 1000 tersebut dan akan memotong skala ketebalan lapisan. Karena titik y dan 1000 terletak pada bagian atas maka pembacaan ketebalan mulai dari atas. Angka 0 bagian bawah dibaca Jadi ketebalan lapisan yang dicari adalah 256 m. 32

39 Gambar V.5. Mertie alignment diagram untuk menentukan ketebalan lapisan batuan terhadap suatu permukaan atau horison yang mempunyai kemiringan, diukur tidak tegak lurus jurus (Mertie, 1922). Dalam membaca skala paling kanan, yaitu ketebalan lapisan, harap diperhatikan urutan angkanya. Bila skala tersebut dibaca dari bawah, nilai-nilai ketebalan lapisan akan bertambah ke arah atas dari angka 1000; angka 900 di atas 1000 harus dibaca sebagai 1100, angka 800 di atas 1000 harus dibaca sebagai 1200, demikian seterusnya hingga angka 0 paling atas dibaca sebagai Sebaliknya bila skala tersebut dibaca dari atas, maka nilai-nilai ketebalan lapisan akan bertambah ke arah bawah dari angka 1000; angka 900 di bawah 1000 dibaca sebagai 1100, dan seterusnya hingga angka 0 paling bawah dibaca sebagai

40 V.3. Pengukuran Kedalaman A. Cara Matematis 1. Pengukuran tegak lurus jurus perlapisan, topografi datar. d = s. tg δ d = kedalaman s = jarak titik pengukuran terhadap singkapan perlapisan δ = kemiringan lapisan (dip) 2. Pengukuran tegak lurus jurus perlapisan, topografi miring: a. dip searah dengan slope: d = s. (cos σ. tg δ sin σ) σ = kemiringan lereng (slope) b. dip berlawanan dengan slope: ' d = s. (cos σ. tg δ + sin σ) 3. Pengukuran tidak tegak lurus jurus lapisan: a. dip searah dengan slope: d = s. (cos σ. tg δ. sin γ sin σ) γ = sudut antara lintasan pengukuran dengan jurus lapisan b. dip berlawanan dengan slope: d = s. (cos σ. tg δ. sin γ + sin σ) B. Cara Grafis Pengukuran kedalaman cara grafis menggunakan aligment diagram, seperti halnya pengukuran ketebalan cara grafis. Prosedur pencariannya juga sama. Perbedaannya hanya pada skala yang digunakan. Diagram V.6 digunakan bila pengukuran horisontal dan tegak lurus jurus. Apabila tidak tegak lurus jurus maka digunakan diagram V.7. 34

41 Gambar V.6. Palmer alignment diagram untuk menentukan kedalaman lapisan batuan (Palmer, 1918). Diagram ini hanya digunakan untuk jarak terhadap singkapan (diukur dari titik yang ingin diketahui kedalaman lapisan batuannya) pada bidang horisontal yang diukur tegak lurus jurus perlapisan. Jika permukaan tanah horisontal, jarak terhadap singkapan 600 m dan dip 20 0, maka kedalaman lapisan pada titik tersebut adalah 220 m. Diagram V.6 tersebut juga dapat digunakan bila permukaan tanah memiliki kemiringan, dengan syarat jarak lereng pengukuran diukur tegak lurus terhadap jurus perlapisan. Dip (kemiringan lapisan) ditambah (atau dikurang) slope angle (sudut lereng). Jika kemiringan lapisan memiliki arah yang berlawanan terhadap kemiringan lereng, kemiringan lereng 35

42 ditambahkan terhadap kemiringan lapisan (dip + slope). Jika kemiringan lapisan memiliki arah yang sama dengan kemiringan lereng, maka kemiringan lereng dikurangkan dari kemiringan lapisan (dip slope). Gambar V.7. Mertie alignment diagram untuk menentukan kedalaman lapisan batuan terhadap suatu permukaan atau horison yang mempunyai kemiringan, diukur tidak tegak lurus jurus (Mertie, 1922). Diketahui kemiringan lapisan (dip) yang berlawanan arah kemiringan lereng (slope), sudut antara jurus dan arah pengukuran 50 0, dip 40 0, sudut lereng (slope) 25 0 dan lebar singkapan 1100 m. Kedalaman lapisan batuan adalah 900 m. 36

43 ACARA VI ANALISIS KEKAR VI.1. Pengertian Kekar (joint) adalah rekahan pada batuan yang belum mengalami pergeseran. Dari hasil eksperimen dengan memberi gaya pada contoh batuan akan diperoleh retakan (fracture) yang menyudut lancip dengan arah gaya kompresi yang tidak pernah melebihi 45 0, umumnya sekitar 30 0, tergantung sudut geser dalam dari batuan. Terbentuk juga retakan lain yang searah dengan gaya kompresi, disebut extension fracture dan tegak lurus gaya kompresi disebut release fracture. VI.2. Hubungan Gaya dan Pola Kekar Gaya-gaya pembentuk kekar dapat diuraikan menjadi gaya-gaya yang saling tegak lurus satu sama lain (lihat gambar VI.1). Gaya utama yang terbesar (P) membentuk sudut lancip dengan kekar gerus yang saling berpasangan. Gaya menengah (Q) sejajar dengan perpotongan kedua kekar gerus yang berpasangan tersebut, dan gaya terkecil (R) membagi dua sudut tumpul. Gambar VI.1. Hubungan gaya dengan pola kekar. F gaya terbesar, Q gaya menengah, R gaya terkecil. 37

44 VI.3. Analisis Kekar Tujuan dari analisis kekar ini sebenarnya adalah untuk menafsirkan arah gaya tektonik yang bekerja, sehingga diharapkan dapat membantu interpretasi struktur sesar dan lipatan yang ada pada daerah penelitian. Hubungan antara kekar, sesar dan lipatan dikemukakan oleh Moody dan Hill (1956), lihat gambar VI.2. Gambar VI.2. Hubungan struktur sesar, lipatan dan kekar (Moody and Hill, 1956). Analisis kekar dapat dikerjakan dengan tiga metoda, yaitu: 1. Histogram 2. Diagram kipas 3. Stereografis (akan dibahas dalam acara Stereografis). Dalam analisis kekar dengan histogram dan diagram kipas yang dianalisis hanyalah jurus dari kekar dengan mengabaikan besar dan arah kemiringan, sehingga analisis ini akan mendekati kebenaran apabila kekar-kekar yang dianalisis mempunyai 38

45 dip cukup besar atau mendekati Gaya yang bekerja di anggap lateral. Karena arah kemiringan kekar diabaikan, maka dalam perhitungan kekar yang mempunyai arah N180 0 E dihitung sama dengan N0 0 E, N220 0 E dihitung sama dengan N40 0 E, N115 0 E sama dengan N65 0 W. Jadi semua pengukuran dihitung ke dalam interval N0 0 E - N90 0 E dan N0 0 W - N90 0 W. Prosedur Analisis: Untuk analisis statistik, data yang diperkenankan umumnya 50 data, tetapi 30 data masih di perkenankan. Dalam analisis ini kekar gerus dan kekar tarik dipisahkan, karena gaya yang bekerja untuk kedua jenis kekar tersebut berbeda. 1. Buat tabulasi dari data pengukuran kekar berdasarkan jurus kekar ke dalam tabel (gambar V.3). Buat interval 5 derajat. Hitung frekuensi dan prosentase masingmasing interval. Prosentase dihitung masing-masing interval terhadap seluruh pengukuran. 2. Membuat histogram (gambar VI.4). a. Buat sumbu datar untuk jurus kekar, dan sumbu tegak sebagai prosentase. b. Sumbu datar terdiri dari N 90 0 W - N 0 0 E - N 90 0 E. Buat skala sesuai interval (5 derajat). c. Buat balok masing-masing interval sesuai dengan besar prosentase masingmasing interval. 3. Membuat diagram kipas (gambar VI.5). a. Buat setengah lingkaran bagian atas dengan jari-jari menunjukkan besar prosentase terbesar dari interval yang ada (misal 24%). b. Pada sumbu datar plot prosentase. Dari pusat 0%, jari-jari terluar = prosentase terbesar (24%). c. Busur lingkaran dibagi menurut interval (jika interval 5 derajat maka dibagi menjadi 18 segmen). Plot jurus kekar sesuai interval (N 90 0 W, 85,, 5, 0, 5,, 85, N 90 0 E). d. Buat busur lingkaran dengan jari-jari = prosentase masing-masing interval mulai dari batas bawah interval hingga batas atas interval. Misal interval N 0 0 E - N 5 0 W prosentase = 20%, maka buat busur lingkaran dari sumbu tegak (N 0 0 E) hingga N 5 0 W dengan jari-jari skala 20%. 4. Interpretasi. 39

46 Arah gaya pembentuk kekar membagi dua sudut lancip yang dibentuk oleh kedua kekar. a. Pada diagram kipas arah gaya pembentuk kekar adalah besarnya sudut (jurus kekar) yang terbaca pada busur lingkaran, yang diperoleh dengan membagi dua dari dua maksima (interval dengan prosentase terbesar) yang berjarak kurang dari 90 derajat. b. Pada histogram, arah gaya = sudut yang terbaca pada sumbu datar yang merupakan titik tengah antara dua maksima yang berjarak kurang dari 90 derajat. c. Bila ingin mencari arah sumbu lipatan, tambahkan 90 derajat dari arah gaya, searah atau berlawanan jarum jam. Gambar VI.3. Bentuk tabel perhitungan kekar. Gambar VI.4. Histogram. Maksima N2,5 0 W dan N62,5 0 E. Gaya utama N30 0 E. 40

47 Gambar VI.5. Diagram kipas. Maksima N2,5 0 W dan N62,5 0 E. Arah gaya utama membagi dua sudut kecil, N30 0 E. Sumbu lipatan tegak lurus gaya, N60 0 W. 41

48 Gambar IV.6. Pola kekar yang berkembang pada suatu lipatan (McClay, 1987). Gambar IV.7. Pola kekar sistematik. 42

49 ACARA VII SESAR VII.1. Pengertian Dalam analisis sesar dapat dikerjakan dengan metode grafis maupun metode stereografis. Dengan metode grafis dapat dianalisis kedudukan suatu titik, garis dan bidang serta arah dan besar pergeserannya. Dengan stereografis jarak tidak bisa ditentukan. Beberapa istilah yang dipakai dalam analisis sesar cara grafis antara lain: Sesar (fault): adalah bidang rekahan atau zona rekahan pada batuan yang sudah mengalami pergeseran. Jurus sesar (strike of fault): arah garis perpotongan bidang sesar dengan bidang horisontal, biasanya diukur dari arah utara. Kemiringan sesar (dip of fault): adalah sudut yang dibentuk antara bidang sesar dengan bidang horisontal, diukur tegak lurus strike. Net slip : pergeseran relatif suatu titik yang semula berimpit pada bidang sesar akibat adanya sesar. Rake : sudut yang dibentuk oleh net slip dengan strike slip (pergeseran horisontal searah jurus) pada bidang sesar. Beberapa istilah lain silahkan baca textbook. Keterangan bagian-bagian sesar lihat gambar VII.1 dan VII.2. Gambar VII.1. Bagian-bagian sesar. Pengenalan sesar di lapangan biasanya cukup sulit. Beberapa kenampakan yang dapat digunakan sebagai penunjuk adanya sesar antara lain: a. Adanya struktur yang tidak menerus (lapisan yang terpotong dengan tiba-tiba). 43

50 b. Adanya perulangan lapisan atau hilangnya lapisan batuan. c. Kenampakan khas pada bidang sesar, seperti cermin sesar, gores-garis, dll. d. Kenampakan khas pada zona sesar, seperti seretan (drag), breksi sesar, horses atau slices, milonit, dll. e. Silisifikasi dan mineralisasi sepanjang zona sesar. f. Perbedaan fasies sedimen. g. Petunjuk fisiografi, seperti gawir (scarp), scarplets (piedmont scarp), triangular facet, terpotongnya bagian depan rangkaian pegunungan struktural. Gambar VII.2. Terminologi pada daerah sesar. VII.2. Klasifikasi Sesar Klasifikasi sesar dapat dibedakan berdasarkan geometri dan genesanya. 1. Klasifikasi geometris a. Berdasarkan rake dari net slip, dibedakan menjadi: strike slip fault (rake = 0 0 ) diagonal slip fault (0 0 < rake < 90 0 ) dip slip fault (rake = 90 0 ). b. Berdasarkan kedudukan relatif bidang sesar terhadap bidang perlapisan atau struktur regional: strike fault (jurus sesar sejajar jurus lapisan) bedding fault (sesar sejajar lapisan) dip fault (jurus sesar tegak lurus jurus lapisan) oblique/diagonal fault (menyudut terhadap jurus lapisan) longitudinal fault (sejajar struktur regional) 44

51 transversal fault (menyudut struktur regional). c. Berdasarkan besar sudut bidang sesar: high angle fault (lebih dari 45 derajat) low angle fault (kurang dari 45 derajat). d. Berdasarkan pergerakan semu: normal fault (sesar turun) reverse fault (sesar naik). e. Berdasarkan pola sesar: paralel fault (sesar saling sejajar) en echelon fault (aesar saling overlap, sejajar) peripheral fault (sesar melingkar, konsentris) radier fault (sesar menyebar dari satu pusat). Gambar VII.3. Klasifikasi sesar. 45

52 2. Klasifikasi genetis Berdasarkan orientasi pola tegasan yang utama (Anderson, 1951) sesar dapat dibedakan menjadi: a. sesar anjak (thrust fault) bila tegasan maksimum dan menengah mendatar, b. sesar normal bila tegasan utama vertikal, c. strike slip fault atau wrench fault (high dip, transverse to regional structure) bila tegasan utama maksimum dan minimum mendatar, terdiri atas: sinistral atau left-handed strike-slip fault dextral atau right-handed strike-slip fault. Istilah thrust fault menurut Billings (1977) digunakan untuk sesar naik dengan dip sesar kurang dari 45 0, bila lebih dari 45 0 disebut reverse fault. Istilah overthrust dipakai untuk sesar naik dengan dip landai atau hampir datar. VII.3. Analisis Sesar Cara Grafis Dalam analisis sesar cara grafis ini memakai proyeksi orthogonal dari perpotongan bidang, sehingga untuk mengerjakannya harus memahami proyeksi (baca acara garis dan perpotongan bidang). Bidang-bidang yang dimaksud dalam analisis ini antara lain bidang sesar, bidang lapisan batuan, urat, dike, sill, dll. Syarat agar dapat dianalisis ada tiga bidang berpotongan, satu diantaranya adalah bidang sesar. Sesar yang dianalisis ada tiga jenis, yaitu: a. sesar tegak (dip = 90 0 ) b. sesar miring (dip tidak sama dengan 0 0 atau 90 0 ) c. sesar rotasi (blok yang satu terputar terhadap blok yang lain). Prinsip penyelesaian problema sesar ini adalah dengan mengetahui pergeseran titik pada blok yang satu dengan yang lain. Titik tersebut diperoleh dari perpotongan bidang sesar dan kedua urat pada masing-masing blok. Dengan mengetahui pergeseran titik tersebut maka pergerakan sesar dapat diketahui. 46

53 1. Sesar Tegak Contoh soal: Sesar tegak pada daerah yang tidak berrelief (datar) dengan jurus N90 0 E. Dua urat kuarsa a dan b terpotong oleh sesar tersebut. Urat a kedudukan N45 0 W/30 0 NE, pada blok utara tersingkap di A, pada blok selatan tersingkap di A. Kedudukan urat b adalah N30 0 E/40 0 NW yang tersingkap pada blok utara dan blok selatan masing-masing di B dan B. Letak A, A, B, B lihat gambar. Tentukan: a. net slip b. besar sudut penunjaman (plunge) net slip c. proyeksi horisontal net slip (trend dari net slip) d. pergerakan relatif kedua blok. Penyelesaian: Untuk menyelesaiakan soal di atas, dibuat bidang referensi sejajar bidang proyeksi (datar) berjarak h (sembarang) di bawahnya. Bidang tersebut akan memotong bidang sesar dan kedua urat. Langkah-langkah penyelesaiannya sebagai berikut: 1. Plotkan garis sesar FF (N90 0 E) dan posisi A, A, B dan B. Plotkan pula kedua urat pada blok utara (AC dan BD) dan pada blok selatan (A C dan B D ). 2. Buat garis F F sejajar FF (rebahan perpotongan bidang referensi dengan bidang sesar) berjarak h. 3. Proyeksikan perpotongan urat dengan referensi. Caranya untuk urat a pada blok selatan, buat garis EE tegak lurus A C dan garis HH sejajar EE berjarak h. Buat garis EK sehingga sudut E EK = dip urat a = Jangan salah, sudut diukur dari EE bukan dari A C. Garis EK dan HH berpotongan. Melalui perpotongan ini tarik garis KL sejajar A C, sehingga diperoleh proyeksi perpotongan urat a dengan bidang referensi. Demikian juga urat b, dengan membuat garis GG tegak lurus B D ), II berjarak h dari GG, GJ menyudut 40 0 terhadap GG. Melalui J (perpotongan GJ dan II ). 47

54 4. Mencari perpotongan urat dengan bidang sesar. Garis KL memotong garis sesar FF di L. Buat garis tegak lurus FF dari L memotong F F di L'. Hubungkan A dan L, maka garis tersebut adalah perpotongan urat a dengan bidang sesar. Dengan cara yang sama untuk urat b diperoleh garis B N yang merupakan perpotongan vein b dengan bidang sesar. 5. Perpanjangan garis A L dan B M bertemu di titik N (titik perpotongan urat a, urat b dan bidang sesar di blok selatan). Perpotongan ketiga bidang pada blok utara karena kedua urat pada blok utara dan selatan sejajar, dapat dicari dengan membuat garis melalui A sejajar A L dan melalui B sejajar B M hingga berpotonqan di S. Hubungkan N dan S, maka NS adalah net slip. 6. Perpanjang garis NS akan memotong FF. Sudut lancip yang dibentuk FF dan NS = rake = plunge. 7. Perpotongan urat dari blok selatan berada relatif di atas perpotongan urat blok utara, sehingga dapat ditafsirkan bahwa blok selatan bergerak relatif naik terhadap blok utara. Lalu perpotongan urat dari blok selatan berada relatif di kiri perpotongan urat blok utara, sehingga dapat ditafsirkan bahwa blok selatan bergerak relatif ke kiri terhadap blok utara. Jadi blok selatan bergerak relatif naik ke kiri terhadap blok utara. 8. Proyeksi horisontal net slip (trend of net slip) berada pada garis sesar mempunyai arah N90 0 E. Keterangan: Trend of net slip = N90 0 E α : plunge = rake NS NS : Net slip AS dan BS perpotongan urat a dan b dengan bidang sesar pada blok utara. A'N dan B'N perpotongan urat a dan b dengan bidang pada blok selatan. 48

55 Gambar VII.4. Analisa sesar tegak 2. Sesar Miring Prinsip sama dengan sesar tegak, hanya pada sesar miring perpotongan bidang sesar dengan urat selain direbahkan juga diproyeksikan. 49

56 Contoh soal: Pada suatu daerah yang tidak berrelief di jumpai sesar N90 0 E miring 40 0 derajat ke selatan. Ada dua urat kwarsa yang terpotong sesar. Urat pertama tersingkap pada blok utara di A, pada blok selatan di A. Urat kedua tersingkap di blok utara di B dan di blok selatan di B. Kedudukan urat A adalah N30 0 E/35 0 NE, sedangkan urat B adalah N210 0 E/60 0 NW. Lapisan batupasir kedudukan N180 0 E/45 0 tersingkap di X pada blok selatan terpotong sesar. Tentukan: a. net slip b. plunge c. trend d. pergerakan relatif e. posisi lapisan batupasir di blok utara pada sesar. Penyelesaian: Langkah sama dengan sesar tegak, hanya bidang referensi yang berpotongan dengan bidang sesar tidak digambarkan secara langsung berjarak h. 1. Buat proyeksi perpotongan sesar dengan referensi. Caranya buat garis GG tegak lurus sesar dan JJ berjarak h dari GG. Buat garis GK sehingga GG K = dip sesar = G K memotong JJ di K. Tarik garis K O (proyeksi perpotongan sesar dan referensi). Buat busur lingkaran K R dengan pusat G. Tarik garis RR (rebahan garis potong sesar dan referensi). 2. Buat perpotongan urat dan sesar. Tarik garis FF tegak lurus AC, buat II berjarak h dari FF. Buat garis F M sehingga sudut F F M = dip urat pertama = 35 0, memotong di M. Tarik garis M Q (memotong OO ), buat QQ tegak lurus OO. Tarik garis AQ dan AQ maka AQ adalah proyeksi perpotongan sesar dan urat pertama, sedangkan AD adalah rebahannya. 3. Lakukan dengan cara yang sama untuk urat kedua, sehingga diperoleh perpotongan urat kedua dengan bidang sesar BP (proyeksinya) dan BP (rebahannya). 4. Buat garis sejajar perpotongan urat dan sesar dari blok selatan melalui A dan B untuk mencari perpotongan pada blok utara, yang masing-masing berpotongan di N dan N. Hubungkan N dengan S dan N dengan S. N S 50

57 adalah net slip, sedangkan NS adalah proyeksinya. Perpanjang N S hingga memotong FF, di V, maka F VS adalah rake. 5. Untuk mengetahui sudut penunjaman dibutuhkan panjang net slip (N S ), dan panjang proyeksinya (NS). Buat garis sejajar FF' melalui N dan S memotong G K di U dan T. Dari U dan T diproyeksikan ke FF di U dan T. Panjang U T adalah sparasi vertikal net slip (throw). Dengan demikian dapat dibuat segitiga siku-siku dengan sisi miring = N S, sisi datar NS dan sisi tegak U T. Sudut penunjaman (plunge) adalah sudut S NS (sudut antara net slip dengan proyeksinya). 6. Karena perpotongan urat dari blok selatan berada di bawah blok utara, maka pergerakan relatifnya adalah blok selatan relatif turun terhadap blok utara. 7. Untuk menentukan posisi lapisan batupasir X, caranya dibuat proyeksi perpotongan lapisan dengan sesar XX dan rebahannya XX. Melalui X buat garis sejajar N S yang sama panjangnya ke arah atas, kemudian tarik sejajar rebahan perpotongan lapisan dan sesar XX hingga memotong FF di Z (posisi lapisan batupasir pada blok utara). Melalui Z buat garis N180 0 E ke arah utara (karena pada blok utara). Keterangan: NS : proyeksi horizontal net slip N S : rebahan net slip pada bidang proyeksi (horizontal) β : rake (90 0 ) α : plunge of net slip Azimuth NS : azimuth trend of net slip (proyeksi horizontal net slip) 51

58 Gambar VII.5. Analisa sesar miring (Billings, 1977). 52

59 3. Sesar Rotasi Akibat sesar rotasi maka kedudukan lapisan pada kedua blok akan berubah, sehingga kedudukan lapisan batuan yang sama akan mempunyai kedudukan yang berbeda. Dengan demikian maka kedua lapisan yang terpotong sesar harus dicari proyeksinya pada kedua blok. Dalam hal ini hanya akan dibahas sesar rotasi dengan bidang sesar tegak. Contoh Soal: Diketahui dua buah urat a dan b terkena sesar sehingga kedudukan urat pada kedua blok berbeda. Data sbb.: 1. Kedudukan bidang sesar N110 0 E/ Urat a pada blok utara kedudukan N44 0 E/63 0 memotong bidang sesar di A, pada blok selatan kedudukan N235 0 E/30 0 memotong sesar di A. 3. Urat b pada blok utara kedudukan N345 0 E/25 0 memotong sesar di B, pada blok selatan memotong sesar di B kedudukan N0 0 E/ Dihitung dari B (paling barat) A B = 30 meter, BB = 80 m, AB = 120 m. Tugas: a. Buat rekonstruksi sesar rotasi tersebut dengan sekala 1:1000. b. Tentukan posisi pusat rotasi c. Tentukan besar sudut rotasi Penyelesaian: a. Plot kedudukan sesar dan lokasi tersingkapnya urat a dan urat b (titik A, A, B dan B ). b. Buat proyeksi perpotongan kedua urat dengan bidang referensi berjarak h pada kedua blok (empat kali melakukan proyeksi). Buat pula perpotongan urat dengan bidang sesar (yaitu BC, CA, C A dan C B ). c. Tentukan titik pusat rotasi dengan berprinsip bahwa sebelum ada rotasi perpotongan urat dengan sesar B C A berimpit dengan BCA. 1. Hubungkan C dengan C, cari titik tengah Q dan buat garis tegak lurus CC melalui Q. 2. Gambar titik B dan A, dimana B C sama dengan BC dan C A sama dengan CA. 53

60 3. Hubungkan B dengan B, cari titik tengah P, buat garis tegak lurus BB" melalui P. Hubungkan A dengan A, cari titik tengah R dan buat garis tegak lurus AA melalui R. 4. Ketiga garis tersebut (yang melalui P, Q dan R) akan (dan HARUS) bertemu pada satu titik O, yang merupakan pusat rotasi. Jawaban: a. Lihat gambar. b. Pusat O berada 62 m di sebelah barat B. c. Sudut rotasi COC atau BOB atau AOA. Gambar VII.6. Analisa sesar rotasi 54

61 ACARA VIII PROYEKSI STEREOGRAFIS Proyeksi stereografis merupakan salah satu metode proyeksi di mana bidang proyeksinya berupa permukaan setengah bola. Biasanya yang dipakai adalah permukaan setengah bola bagian bawah (lower hemisphere). Dalam acara proyeksi stereografis akan dibahas empat macam proyeksi, yaitu: a. Equal angle projection b. Equal area projection c. Orthogonal projection d. Polar projection. a. Equal Angle Projection Proyeksi equal angle lebih umum disebut dengan proyeksi stereografis. Bidang proyeksi adalah bidang horisontal setengah bola yang melalui pusat bola. Biasanya proyeksi memakai setengah bola bagian bawah (lower hemisphere). Proyeksi equal angle pada dasarnya memproyeksikan titik-titik pada permukaan bola ke bidang proyeksi pada satu titik yaitu pada zenith (P) yang terletak pada sumbu vertikal melalui pusat bola bagian puncak (gambar VIII.1). Gambar VIII.1. Equal angle projection, menghubungkan titik-titik permukaan bola ke zenith (P). 55

62 Pada proyeksi stereografis sebuah bidang dan garis akan memotong permukaan bola imajiner. Titik/garis potong tersebut dihubungkan dengan zenith (P) memotong bidang proyeksi (gambar VIII.2). Bidang-bidang yang berjarak sama (misal 10 ) akan digambarkan semakin rapat ke arah pusat. Hasil proyeksi equal angle adalah Wulff Net (gambar VIII.3). Hasil penggambaran pada bidang proyeksi disebut stereogram. Pada stereogram terdapat dua pola lingkaran, yaitu yang membujur N-S disebut lingkaran besar dan yang melintang E-W disebut lingkaran kecil (gambar VIII.4). Gambar VIII.2. Proyeksi stereografis sebuah bidang miring (Ragan, 1973). Gambar VIII.3. Wulff Net, merupakan proyeksi equal angle (Ragan, 1973). 56

63 Gambar VIII.4. Gambaran tiga dimensi hubungan proyeksi permukaan bola, pembuatan lingkaran besar dan lingkaran kecil (Badgley, 1957). b. Equal area projection Equal area projection adalah proyeksi titik-titik pada permukaan bola pada bidang proyeksi sedemikian hingga titik-titik pada permukaan bola yang berjarak sama akan digambarkan pada bidang proyeksi dengan jarak yang sebanding dan sama (gambar VIII.5). Jadi jarak lingkaran besar sepanjang lingkaran kecil akan konstan dari pusat ke tepi. Stereogram proyeksi equal area dikenal denqan Schmidt Net (gambar VIII.6). Proyeksi equal area ini lebih umum digunakan untuk analisis data statistik, karena kerapatan hasil ploting menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Gambar VIII.5. Prinsip Equal area projection. O adalah pusat proyeksi; R adalah jari-jari bola; OB adalah jejak bidang yang menyudut Φ; X adalah titik proyeksi equal area bidang tersebut. 57

64 Gambar VIII.6. Schmidt Net, proyeksi equal area (Ragan, 1973). c. Orthogonal projection Dengan proyeksi orthogonal titik-titik pada permukaan bola diproyeksikan tegak lurus pada bidang proyeksi (gambar VIII.7), sehingga hasilnya kebalikan dari equal angle projection, yaitu lingkaran besar akan semakin renggang ke arah pusat. Stereogram dari proyeksi ini dikenal dengan Orthographic Net (gambar VIII.8), yang digunakan untuk penggambaran blok diagram. Gambar VIII.7. Orthogonal projection. 58

65 Gambar VIII.8. Orthographic Net, merupakan orthogonal projection. d. Polar projection Dengan proyeksi kutub (polar), baik garis maupun bidang digambarkan sebagai titik. Bila garis maka proyeksinya adalah proyeksi titik tembus garis tersebut dengan permukaan bola. Bila yang diproyeksikan bidang, maka proyeksinya berupa proyeksi titik tembus garis melalui pusat yang tegak lurus bidang tersebut (gambar VIII.9). Jadi misal ada garis 20 0,N0 0 E dan bidang N90 0 E/70 0 maka proyeksi garis dan bidang tersebut berimpit. Gambar VIII.9. Proyeksi kutub. (a) proyeksi kutub sebuah garis; (b) proyeksi kutub sebuah bidang. 59

66 Stereogram proyeksi kutub dinamakan Polar Net atau Billings Net (gambar VIII.10). Polar net ini diperoleh dari equal area projection, sehingga apabila akan mengembalikan proyeksi kutub yang berupa titik ke dalam bidang (lingkaran besar) harus digunakan Schmidt Net. Gambar VIII.10. Polar Net atau Billings Net. VIII.1. PENGGAMBARAN UNSUR STRUKTUR A. Penggambaran Garis Contoh: Gambarkan garis 30 0, S Proyeksi stereografis (lihat gambar VIII.11) a. Letakkan kertas kalkir di atas stereonet. Buat lingkaran pinggir dan tandai titik utara, selatan, timur dan barat. b. Tentukan titik yang mewakili trend dengan menghitung 42 derajat dari S berlawanan arah jarum jam (ke arah E). c. Putar kalkir searah jarum jam hingga titik tersebut tepat berada di S. d. Hitung 30 derajat dari pinggir ke pusat sepanjang diameter N-S. Plot titik tersebut. e. Kembalikan kalkir ke posisi semula. 60

67 Gambar VIII.11. Menggambar garis 30 0, S42 0 E (Ragan, 1973). 2. Proyeksi kutub Proyeksi kutub sebuah garis adalah titik tembus garis tersebut dengan bidang permukaan bola imajiner. Dengan Schmidt net atau Wulff net maupun Polar net proyeksi garis berupa titik. Trend dihitung pada lingkaran luar, plunge dihitung dari luar ke pusat. B. Penggambaran bidang Contoh: Gambarkan bidang N30 0 E/40 0 E 1. Proyeksi stereografis (lihat gambar VIII.12) a. Letakkan kertas kalkir di atas stereonet. Buat lingkaran pinggir dan tandai titik utara, selatan, timur dan barat. b. Untuk menentukan jurus hitung 30 derajat searah jarum jam dari utara. Beri tanda. 61

68 c. Putar kertas kalkir berlawanan arah jarum jam sampai tanda yang dibuat tepat berada pada titik N dari net, yang berarti memutar sebesar 30 0 berlawanan arah jarum jam dari posisi semula. d. Untuk menentukan lingkaran besar yang mewakili bidang yang dimaksud hitung 40 derajat dari pinggir ke arah pusat net sepanjang diameter E-W. Telusuri dan buat garis. e. Kembalikan kertas kalkir ke posisi semula. Gambar VIII.12. Penggambaran bidang miring N30 0 E/40 0 E (Ragan, 1973). Titik P adalah proyeksi kutub. 2. Proyeksi kutub a. Dengan Wulff Net atau Schmidt Net: Bila lingkaran besar sudah dilukis, tambahkan 90 derajat sepanjang sumbu E-W. Kembalikan kalkir ke posisi semula. Titik tersebut adalah proyeksi kutub dari bidang N30 0 E/40 0 E. b. Dengan Polar Net (Billings Net): Dengan polar net, jurus N0 0 E diplot pada sisi W (bukan N). Dip dihitung dari pusat ke tepi. Sedangkan N90 0 E diplot pada N, dst. 62

69 C. Penggambaran garis dan bidang a. Penggambaran garis pada bidang Contoh: Gambarkan garis dengan trend N36 0 W pada bidang N0 0 /45 0 W. Tentukan rake dan plunge dari garis tersebut. Penyelesaian (lihat gambar VIII.13): 1. Penggambaran bidang. Tandai arah jurus pada pinggir net. Hitung 45 derajat dari pinggir ke pusat pada diameter E-W. Telusuri dan buat lingkaran besarnya. 2. Penggambaran garis. Letakkan kalkir pada posisi semula, putar kalkir 36 derajat searah jarum jam. Tandai perpotongan sumbu N-S dengan lingkaran besar bidang yang telah dibuat. 3. Plunge garis tersebut adalah derajat lingkaran kecil yang terbaca pada sumbu N-S dari tepi ke titik tersebut. 4. Putar kalkir sehingga lingkaran besar bidang berimpit lagi dengan lingkaran besar net. Rake adalah derajat yang terbaca sepanjang lingkaran besar dari N atau S (yang <90 0 ) hingga titik tersebut. Gambar VIII.13. Rake sebuah garis pada bidang (Ragan, 1973). 63

70 b. Sudut garis dan bidang (mencari apparent dip) Contoh: Tentukan kemiringan bidang (apparent dip) dari bidang N50 0 E/50 0 SE pada arah N80 0 E. Penyelesaian (lihat gambar VIII.14): 1. Penggambaran bidang. Putar titik N kertas kalkir 50 derajat berlawanan jarum jam. Dari titik E hitung 50 derajat sepanjang sumbu E-W ke pusat. Telusuri dan buat lingkaran besar. 2. Kembalikan ke posisi semula. Tandai N80 0 E pada lingkaran pinggir. 3. Letakkan titik tersebut pada titik E, perhatikan perpotongan diameter E-W dengan lingkaran besar bidang. Baca dan catat besar sudutnya. Gambar VIII.14. Sudut antara garis dan bidang (mencari apparent dip) (Ragan, 1973). c. Penggambaran bidang dari dua garis (true dip dari dua apparent dip) Contoh: Tentukan kedudukan bidang dan sudut antara dua garis 28, N56 0 W dan 22, N14 0 E. Penyelesaian (lihat gambar VIII.15): 64

71 1. Penggambaran garis. Garis 1: Putar titik N sebesar 56 derajat searah jarum jam dan hitung 28 derajat dari N ke pusat sepanjang sumbu N-S. Beri tanda dan kembalikan. Garis 2: Putar titik N sebesar 14 derajat berlawanan jarum jam, hitung 22 derajat dari N sepanjang sumbu N-S. Beri tanda dan kembalikan. 2. Putar kertas kalkir sedemikian rupa sehingga dua titik tersebut terletak pada satu lingkaran besar. Telusuri lingkaran besar tersebut. Lingkaran besar tersebut adalah bidang yang dicari. 3. Sudut antara dua garis tersebut adalah derajat lingkaran kecil yang terbaca sepanjang lingkaran besar antara dua titik. Baca dip bidang tersebut. 4. Kembalikan ke posisi semula hingga N kalkir dan N net berimpit. Baca strike bidang. Maka kedudukan bidang N56 0 E/30 0 N. Gambar VIII.15. Mencari bidang dari dua garis (true dip dari dua apparent dip) (Ragan, 1973). 65

72 d. Perpotongan bidang 1. Garis potong dua bidang Contoh: Dua bidang N50 0 E/60 0 SE dan N70 0 W/20 0 S. Tentukan kedudukan garis potong dua bidang dan rake terhadap kedua bidang. Penyelesaian (lihat gambar VIII.16.a): a. Penggambaran bidang. Bidang 1: Putar kalkir 50 derajat berlawanan arah jarum jam dari N. Hitung 60 derajat dari E sepanjang sumbu E-W. Lukis lingkaran besarnya. Bidang 2: Putar kalkir 70 derajat searah jarum jam dan hitung 20 derajat dari titik W sepanjang sumbu E-W. Lukis lingkaran besarnya. b. Perpotongan kedua lingkaran besar mewakili perpotongan kedua bidang. Untuk membaca trend hubungkan titik tersebut dengan pusat, baca sudut lingkaran besar dari N. Untuk membaca plunge, putar kalkir hingga titik potong berada pada sumbu N-S. Baca besar sudutnya dari tepi. c. Untuk membaca rake, putar kalkir sehingga bidang berimpit dengan N-S. Baca derajat lingkaran kecil dari tepi hingga titik potong (kurang dari 90 0 ). Untuk contoh di atas rake terhadap bidang pertama 73 0, terhadap bidang kedua Sudut antara dua bidang Contoh: Sama dengan di atas, cari sudut antara dua bidang tersebut. Penyelesaian (lihat gambar VIII.16.b): a. Buat kedua bidang. b. Sudut antara dua bidang diukur tegak lurus perpotongan bidang, maka letakkan titik perpotongan bidang pada sumbu E- W. Tambahkan 90 derajat. Lukis lingkaran besarnya melalui 66

73 titik tersebut. Tandai perpotongan lingkaran besar ini dengan kedua bidang. c. Sudut antara dua bidang adalah besar derajat pada lingkaran besar antara perpotongan bidang 1 dengan lingkaran besar tersebut dan perpotongan bidang 2 dengan lingkaran besar tersebut. Lingkaran besar tersebut dapat diperoleh dengan menghubungkan proyeksi kutub bidang 1 (P1) dan proyeksi kutub bidang 2 (P2) dalam satu lingkaran besar (lihat gambar). Gambar VIII.16. Perpotongan dua bidang (Ragan, 1973). (a) Garis potong dua bidang; (b) sudut antara dua bidang. 3. Bidang bagi dua bidang Contoh: Cari bidang bagi untuk soal di atas. Penyelesaian (lihat gambar VIII.17): a. Buat kedua bidang. b. Bagi dua kedua strike bidang (dalam contoh N10 0 W), lalu sejajarkan dengan sumbu N-S. c. Lukis lingkaran besar melalui perpotongan kedua bidang. Maka bidang yang dilukis ini adalah proyeksi bidang yang membagi dua kedua bidang. Baca dip-nya dari tepi pada sumbu E-W. 67

74 Gambar VIII.17. Bidang bagi. E. Rotasi Bidang Rotasi (perputaran) bidang dapat dilakukan dengan tiga cara: 1. Perputaran dengan sumbu putar horisontal 2. Perputaran dengan sumbu putar vertikal 3. Perputaran dengan sumbu putar miring. a. Perputaran dengan sumbu putar horisontal Perputaran dengan sumbu putar horisontal pada stereonet akan terlihat bahwa pergerakan bidang akan mengikuti lingkaran kecil (lihat gambar VIII.18). Perputaran horisontal tidak merubah jurus dari bidang. Bila jurus bidang yang diputar tidak sejajar sumbu putar, maka bidang hasil putarannya diperoleh dengan menelusuri lingkaran kecil sebesar sudut putar. Kemudian hubungkan titik-titik tersebut. Atau dengan cara yang lebih mudah, setelah bidang dibuat, pilih dua titik sembarang, telusuri sepanjang lingkaran kecil yang dilalui titik tersebut sebesar dan searah sudut putar. Melalui dua titik baru tersebut buat lingkaran besar. Maka bidang yang sudah diputar diperoleh. 68

75 Gambar VIII.18. Putaran bidang dengan sumbu putar horisontal (Ragan, 1973). b. Perputaran dengan sumbu putar vertikal Perputaran dengan sumbu vertikal paling mudah dilihat pada stereonet, karena sumbu putar berada pada pusat net. Perputaran ini tidak merubah besar kemiringan bidang, hanya merubah jurusnya (lihat gambar VIII.19). Gambar VIII.19. Putaran bidang sumbu vertikal (Ragan, 1973). c. Perputaran dengan sumbu putar miring Contoh: Putar bidang N83 0 E/22 0 S sebesar 80 derajat searah jarum jam dengan sumbu putar 30 0, N42 0 E. Penyelesaian (lihat gambar VIII.20): 69

76 1. Plot sumbu putar R, dan proyeksi kutub bidang (titik P). 2. Lukis proyeksi bidang tegak lurus R, dengan menambahkan 90 derajat dari titik R pada sumbu E-W, lalu buat lingkaran besar. 3. Lukis lingkaran besar yang melalui P dan R hingga memotong lingkaran besar bidang tegak lurus garis R di L. Baca besar sudut antara P dan R (terbaca 46 0 ). 4. Karena P diputar terhadap R, maka L akan terputar sepanjang lingkaran besar bidang tegak lurus R. Kedudukan akhir L (di L ) adalah memutar 80 derajat (25+55) dari L searah jarum jam, sedangkan P ke P. Jarak RP = 41 0 (35+6). 5. P adalah proyeksi kutub bidang yang sudah diputar. Untuk melukis bidangnya, letakkan titik P pada arah E-W, tambahkan 90 derajat, tandai titik tersebut. Buat lingkaran besar yang melalui titik tersebut. Baca kedudukannya. Gambar VIII.20. Putaran bidang dengan sumbu putar miring (Ragan, 1973). VIII.2. ANALISIS KEKAR Dengan proyeksi stereografis analisis kekar akan lebih teliti, karena kemiringan kekar ikut diperhitungkan, tidak seperti halnya pada analisis kekar dengan histogram maupun roset. Dengan analisis kontur ini dapat ditafsirkan gaya utama pembentuk kekar, gaya menengah dan gaya terkecil yang saling tegak lurus (baca kembali bab Acara VI. Analisis Kekar). Perlu diingat bahwa arah gaya utama membagi dua sudut 70

77 lancip yang dibentuk kekar gerus. Bila hanya diketahui satu arah kekar gerus maka kita harus tahu sudut gesek dalam batuan (a) yang biasanya kurang dari Bila tidak diketahui pakai teoritis a = Atau asumsi gaya utama tegak lurus sumbu lipatan atau jurus lapisan batuan (dari model Moody dan Hill, 1956). A. Diagram Kontur Misalkan terdapat data pengukuran kekar gerus sebanyak 50 pengukuran. Maka pembuatan diagram kontur sebagai berikut: a. Buat proyeksi kutub masing-masing data kekar (jadi ada 50 titik plotting) di atas kalkir menggunakan Polar Net. b. Pindahkan hasil plotting kekar tersebut di atas Kalsbeek Net (gambar VIII.21.a.). Hitung densitas tiap segi enam atau lingkaran (gambar VIII.21.b). Untuk lingkaran atau segi enam pada tepi harus dijumlahkan dengan yang berseberangan (gambar VIII.21b; yang B dan C). c. Hubungkan titik-titik dengan densitas yang sama. Beri keterangan prosentase masing-masing kontur (dengan pensil warna atau simbol), lihat gambar VIII.22.a dan b). d. Tentukan maksima (prosentase terbesar). Untuk membacanya kembalikan ke atas Polar Net. Baca kedudukannya. Hati-hati membaca Polar Net berbeda dengan Schmidt Net atau Wulff Net. Maka hasil pembacaan tersebut adalah arah umum pola kekar. Bila kekar gerus berpasangan biasanya ada dua maksima. B. Interpretasi Gaya Pembentuk Kekar Dalam interpretasi gaya ini akan dicari gaya maksimum (α 1 ), gaya menengah (α 2 ) dan gaya terkecil (α 3 ). α 1 membagi dua sudut lancip, α 2 merupakan perpotongan dua kekar yang berpasangan, sedangkan α 3 membagi dua sudut tumpul. α 1 dan α 3 terletak pada satu bidang yang tegak lurus perpotongan kekar (α 2 ). Contoh: Misalkan diketahui pengukuran kekar dengan maksima N30 0 E/75 0 N110 0 E/80 0. Tentukan α 1, α 2 dan α 3. dan 71

78 Gambar VIII.21. Plotting data kekar. (a) Kalsbeek Net; (b) Penghitungan densitas. Gambar VIII.22. Pengkonturan. (a) Penghitungan densitas dari 50 data pengukuran; (b) pembuatan kontur. Penyelesaian: 1. Buat proyeksi bidang dari kedua maksima. Caranya meletakkan titik maksima pada sumbu E-W. Tambahkan 90 0, lukis lingkaran besarnya. 2. Kedua lingkaran besar berpotongan di α 2. Baca kedudukannya (..., N...E). 3. Letakkan α 2 pada sumbu E-W, tambahkan 90 0, buat lingkaran besarnya. Ini adalah bidang α 1 α Bidang α 1 α 3 memotong kedua bidang kekar. Bagi dua lingkaran besar antara kedua perpotongan tersebut. Bila >90 0 maka titik tengah antara kedua perpotongan merupakan letak α 3, bila kurang dari 90 0 merupakan 72

79 α 1. Maka α 3 (bila sudut lancip), berada 90 derajat dihitung dari α 1 sepanjang lingkaran besar α 1 α 3. Baca kedudukan α 1 dan α 3. Gambar VIII.23. Penentuan arah-arah gaya berdasarkan kekar gerus. VIII.3. ANALISIS SESAR A. Pergerakan Sesar Dengan proyeksi stereografis dapat menafsirkan pergerakan sesar dan membantu penyelesaian analisis kekar cara proyeksi orthogonal. Dengan proyeksi stereografis dapat mencari secara cepat rake dari garis potong perlapisan atau urat pada bidang sesar. Contoh 1: Sesar N90 0 E/40 0 memotong dan menggeser lapisan batubara N30 0 W/35 0 NE dan urat N210 0 E/60 0. Posisi tersingkapnya lapisan batubara dan urat lihat gambar VIII.24. Pertanyaan: a. Buat rekonstruksi dengan cara gabungan stereografis dan orthogonal. b. Tentukan net slip dan rake. Penyelesaian: 1. Buat bidang sesar pada stereonet. 73

80 2. Buat pula bidang lapisan batubara dan urat. Tentukan perpotongan sesar dengan batubara (B) dan sesar dengan urat (U) (gambar VIII.25). 3. Sejajarkan kembali jurus sesar dengan sumbu N-S. Rake batubara adalah busur NB (α), rake urat adalah busur SU (β). 4. Gambarkan letak tersingkapnya urat dan batubara. 5. Plotkan rake pada kedua blok, cari perpotongannya. 6. Hubungkan titik perpotongan dari kedua blok, maka diperoleh net slip (gambar VIII.26). Gambar VIII.24. Kedudukan setelah tersesarkan. Gambar VIII.25. Plot bidang dalam stereogram. 74

81 Gambar VIII.26. Pencarian net slip dengan proyeksi ortogonal. Contoh 2: Sesar kedudukan N25 0 E/40 0 NW. Pada foot wall dijumpai microfold dengan kedudukan lihat diagram kontur (gambar VIII.27). Pertanyaan: Tentukan arah pergeseran sesar dan nama sesar. Penyelesaian: Microfolds merupakan struktur penyerta dari sesar. Beberapa struktur mikro lain antara lain gash fracture, shear fracture, step gash fracture, step shear fracture, lineasi, dll. Hubungan antara pergerakan sesar dengan struktur tersebut lihat gambar VIII.28. Adapun cara penyelesaian sebagai berikut (lihat gambar VIII.29). 1. Buat proyeksi bidang sesar dan sumbu lipatan. Cari perpotongannya. 2. Tambahkan 90 derajat sepanjang lingkaran besar sesar. Maka titik tersebut adalah net slip. 3. Arah pergerakan sesar menyudut tumpul dengan sumbu microfolds, sehingga blok hanging wall bergeser ke selatan. 4. Dip sesar <45 0, blok kiri mendekati pengamat, sehingga nama sesar thrust sinistral fault. 75

82 Gambar VIII.27. Diagram kontur pengukuran sumbu microfolds. Gambar VIII.28. Hubungan pergerakan sesar dengan struktur penyerta. Gambar VIII.29. Hasil analisis pergerakan sesar dari microfolds. 76

83 Contoh 3: Diketahui arah breksi sesar N45 0 E. Data pengukuran gash fracture dan shear fracture lihat gambar VIII.30a. Pertanyaan: Tentukan kedudukan bidang sesar dan pergerakan sesar, serta nama sesar. Penyelesaian (lihat gambar VIII.30b): 1. Buat bidang gash fracture dan shear fracture. Cari perpotongannya. 2. Bidang sesar mempunyai jurus searah dengan bearing breksiasi, maka putar kalkir 45 derajat berlawanan arah jarum jam. Buat lingkaran besar melalui titik potong lingkaran besar gash fracture dan shear fracture. Maka bidang tersebut adalah bidang sesar. 3. Karena dip sesar >45 0 maka disebut sesar normal. Blok kanan bergerak mendekati pengamat maka sesar dekstral, sehingga sesar dinamakan normal sinistral fault. Gambar VIII.30. (a) Diagram kontur pengukuran gash fracture (A) dan shear fracture (B); (b) Penyelesaian sesar diketahui breksi sesar, shear fracture dan gash fracture. B. Gaya Pembentuk Sesar Interpretasi gaya pembentuk sesar seperti halnya pada analisis kekar. Jadi yang dicari adalah α 1, α 2 dan α 3, di samping pergerakan sesar dan nama sesar. 77

84 Contoh 4: Diketahui dua sesar konjugate yang berpasangan masing-masing N30 0 E/70 0 NW dan N20 0 W/60 0 NE. Pertanyaan: Tentukan net slip, α 1, α 2 dan α 3, serta sudut gesekan dalam batuan (α). Penyelesaian (lihat gambar VIII.31): 1. Plot kedua bidang sesar pada kertas kalkir. Tentukan perpotongan kedua bidang (α 2 ). 2. Letakkan α 2 pada sumbu E-W tambahkan 90 derajat dari α 2, buat lingkaran besarnya (dinamakan bidang α 1 α 3 ). 3. Tentukan perpotongan kedua sesar dengan bidang α 1 α 3. Titik potong tersebut adalah net slip (ada dua net slip). 4. Bagi dua sudut antar net slip (diperoleh α 1 bila sudut lancip). Tambahkan 90 derajat sepanjang lingkaran besar dari α 1, diperoleh α Sudut gesekan dalam (α) adalah sudut antara α 1 dan net slip (kurang dari 45 0 ). Gambar VIII.31. Arah gaya pembentuk sesar, diketahui dua sesar konjugate. Contoh 5: Diketahui sesar sinistral kedudukan N30 0 E/45 0 NW. Pada bidang sesar terdapat striasi (gores-garis) dengan arah N15 0 E. Pertanyaan: Tentukan gaya-gaya yang bekerja. 78

85 Penyelesaian (lihat gambar VIII.32): 1. Plot bidang sesar dan garis (diperoleh titik). 2. Dari titik tersebut tambahkan 90 derajat sepanjang lingkaran besar sesar, diperoleh α Letakkan α 2 pada sumbu E-W, tambah 90 derajat, lukis lingkaran besar (bidang α 1 α 3 ). 4. Karena sesar sinistral, tambahkan 30 derajat (sudut gesek dalam teoritis) ke kiri dari perpotongan bidang sesar dan bidang α 1 α 3 sepanjang lingkaran besar α 1 α 3 diperoleh α 1. Letak α 3 berada 90 derajat dari α 1 sepanjang lingkaran besar α 1 α 3. Gambar VIII.32. Arah gaya pembentuk sesar, diketahui satu bidang sesar dan striasi. C. Sesar Rotasi Contoh 6: Sesar rotasi kedudukan N5 0 E/35 0 memutar lapisan batupasir yang dijumpai pada blok barat dengan kedudukan N300 0 E/45 0. Sudut rotasi 30 derajat berlawanan jarum jam. Pertanyaan: Tentukan kedudukan batupasir pada blok timur. Penyelesaian (lihat gambar VIII.33): 1. Plot bidang sesar dan poros sesar (tegak lurus bidang sesar) dengan menambah 90 derajat dari bidang sesar di S. 2. Plot proyeksi kutub lapisan batupasir di P. 79

86 3. Hubungkan S dan P dalam satu lingkaran besar. Hitung sudut SP. Busur SP memotong bidang sesar di Q. 4. Putar Q berlawanan jarum jam 30 derajat ke L. Buat lingkaran besar melalui L dan S. Hitung dari S ke arah L sebesar sudut SP. Beri tanda P. 5. P adalah proyeksi kutub bidang yang telah diputar. Letakkan P pada sumbu E-W. Tambahkan 90 derajat dan buat lingkaran besarnya. Baca kedudukan bidang tersebut. Maka bidang tersebut adalah kedudukan bidang pada blok timur. Gambar VIII.33. Sesar rotasi. Mencari kedudukan lapisan yang terputar sesar rotasi. VIII.4. LIPATAN Dengan menggunakan proyeksi stereografis dapat digunakan untuk merekonstruksi kedudukan sumbu lipatan maupun bidang sumbu (axial plane). A. Diagram β (beta) dan Diagram S-pole Baik diagram β maupun S-pole keduanya dapat digunakan untuk menentukan kedudukan sumbu lipatan silindris, yaitu setelah diketahui kedudukan lapisan dari kedua sayap lipatan tersebut. Contoh: Diketahui data pengukuran sayap lipatan sebagai berikut: 80

87 N264 0 E/15 0 N35 0 E/36 0 N244 0 E/46 0 N40 0 E/48 0 N246 0 E/31 0 N20 0 E/22 0 Pertanyaan: Tentukan kedudukan sumbu lipatannya dengan diagram β dan S-pole. Penyelesaian: a. Dengan diagram β (lihat gambar VIII.34a): Buat proyeksi masing-masing kedudukan sayap lipatan. Semua kedudukan akan berpotongan pada satu titik di β, yang disebut dengan β- axis. Maka titik tersebut merupakan proyeksi sumbu lipatan. b. Dengan diagram S-pole (disebut pula diagram pi) (lihat gambar VIII.34b): Gambar proyeksi kutub dari masing-masing bidang sayap lipatan sebagai titik. Melalui titik-titik tersebut buat lingkaran besar (disebut Picircle). Kutub dari Pi-circle merupakan β-axis, jadi sebagai sumbu lipatan. Gambar VIII.34. Plot stereografis dari kedudukan lipatan silinder. (a) Diagram β, (b) diagram S-pole. 81

88 B. Penentuan Sumbu dan Bidang Sumbu Lipatan Pengenalan lipatan dari peta pada gambar VIII.35a menunjukkan antiklin menunjam dengan beberapa data pengukuran sayapnya. Sumbu lipatan ditarik secara langsung dari pola singkapan bidang sumbu AA sebagai arah jurusnya. Hasil pengukuran kedudukan sayap diplot pada stereographic net sebagai proyeksi kutub (pole). Melalui titik-titik tersebut dibuat lingkaran besar (Pi-circle). Dengan demikian maka dapat ditentukan kedudukan sumbunya, yaitu proyeksi kutub dari Pi-circle, sehingga hinge line dapat dibaca (gambar VIII. 35b). Bidang sumbu lipatan dicari dengan mengeplot arah garis AA pada stereonet. Impitkan AA pada sumbu N-S, buat lingkaran besar melalui β, maka bidang sumbu lipatan dapat dibaca. Dengan mengetahui kedudukan hinge line dan hinge surface dapat diketahui jenis lipatannya. Hasil pengukuran sayap lipatan kadang-kadang sulit dibuat garis AA, karena banyaknya data pengukuran, luas daerah penelitian, plotting letak, dll. sehingga sering dilakukan contouring kedudukan sumbu lipatan. Bidang sumbu lipatan adalah bidang bagi dari kedua bidang sayap. Gambar VIII.35. Penentuan sumbu dan bidang sumbu lipatan. (a) Peta lipatan rebah, (b) plot stereografis penentuan sumbu dan bidang sumbu lipatan. 82

89 VIII.5. KETIDAKSELARASAN Dengan proyeksi stereografis dapat digunakan untuk membantu mengetahui kedudukan lapisan batuan yang dipisahkan oleh bidang ketidakselarasan, terutama ketidakselarasan menyudut. Prinsipnya adalah dengan membuat lapisan di atas bidang ketidakselarasan menjadi horisontal, sehingga lapisan di bawah ketidakselarasan terputar pula. Contoh: Suatu lapisan batulempung terletak di atas ketidakselarasan menyudut mempunyai kedudukan N20 0 E/20 0 W. Perlapisan batupasir yang terletak di bawah ketidakselarasan mempunyai kedudukan N72 0 W/21 0 S. Pertanyaan: Tentukan kedudukan lapisan batupasir ketika batulempung diendapkan. Penyelesaian (lihat gambar VIII.36): 1. Plot kutub bidang perlapisan batupasir P, kemudian bidang perlapisan batulempung sebagai lingkaran besar (plane-1). 2. Dengan plane-1 tetap pada posisi plotting, putarlah bidang, berarti jurus bidang pada sumbu N-S. Untuk menghorisontalkan plane-1, putarlah 20 derajat searah jarum jam, sehingga P ikut bergerak sepanjang lingkaran kecil pada arah dan jarak yang sama ke P. 3. Dari kedudukan kutub yang baru (P ) lingkaran besar yang mewakili perlapisan batupasir dapat digambarkan (plane-2). 4. Kedudukan batupasir pada saat batulempung diendapkan adalah N67 0 E/30 0 S. Gambar VIII.36. Mencari kedudukan awal lapisan batupasir (Ragan, 1973). 83

90 Gambar VIII.37. Perselingan batupasir dan batulanau yang terdeformasi pada zona Sesar Cacaban, Karangsambung, Jawa Tengah. Gambar VIII.38. Kontak struktural berupa sesar geser antara dua unit batuan berumur Pra-Tersier (kanan) dan Paleogen (kiri), Kotopanjang, Riau. 84

91 ACARA IX LIPATAN IX.1. Pendahuluan Lipatan adalah hasil perubahan bentuk atau volume dari suatu bahan yang ditunjukkan sebagai lengkungan atau kumpulan lengkungan pada unsur garis atau bidang dalam bahan tersebut. Unsur bidang yang disertakan umumnya bidang perlapisan (Hansen, 1971, dalam Ragan, 1973, hal.50). IX.2. Bagian-bagian Lipatan (lihat gambar IX.1 dan IX.2) Limb (sayap) : bagian lipatan yang terletak down-dip dimulai dari lengkung maksimum suatu antiklin atau up-dip dimulai dari lengkung suatu sinklin. Hinge : titik pelengkungan maksimum pada lapisan yang terlipat. Crest : titik puncak tertinggi dari lipatan. Trough : titik dasar terendah dari lipatan. Core : pusat lipatan. Inflection : pertengahan antara dua pelengkungan maksimum. Axial line : garis khayal yang menghubungkan titik-titik pelengkungan maksimum pada setiap permukaan lapisan. Disebut juga hinge line. Axial surface : disebut juga hinge surface; bidang khayal yang memuat semua axial line atau hinge line. Bidang ini pada beberapa lipatan dapat merupakan bidang planar sehingga dinamakan axial plane. Crestal line : suatu garis khayal yang menghubungkan titik-titik tertinggi pada setiap permukaan suatu antiklin. Crestal surface : bidang khayal yang memuat semua crestal line suatu antiklin. Trough line : adalah suatu garis khayal yang menghubungkan titik-titik terendah pada suatu sinklin. Trough surface : bidang khayal yang memuat seluruh trough line suatu sinklin. 85

92 Plunge : sudut penunjaman dari axial line yang diukur terhadap bidang horisontal. Sudut ini terletak pada bidang vertikal. Bearing : sudut horisontal yang dihitung terhadap arah tertentu dan menyatakan arah penunjaman axial line. Pitch : sudut antara axial line dengan bidang atau garis horisontal yang diukur pada axial plane/surface. Gambar IX.1. Bagian-bagian dari lipatan. 86

93 Gambar IX.2. Bagian-bagian dari lipatan. AP = axial plane; a b = sayap lipatan; c: puncak dari suatu lapisan; c = puncak dari lapisan lain; cc = crestal plane; t = trough dari suatu lapisan; t = trough dari lapisan lain; tt = trough plane (Billings, 1977). IX.3. Klasifikasi Lipatan Untuk menamakan suatu lipatan harus sesuai dengan klasifikasi yang ada, tergantung dari dasar yang digunakan. A. Klasifikasi Billings (1977): Disusun berdasarkan pada : 1. Bentuk penampang tegak, tegak lurus sumbu lipatan, dalam hal ini yang diperhatikan adalah kedudukan dari bidang sumbu dan kedudukan dari sayapsayapnya. 2. Intensitas perlipatan. 3. Pola dari pada sumbu lipatan yang terdapat pada suatu daerah. 4. Sifat sifat dari pada lipatan dengan kedalaman. Contoh-contoh lipatan: 1. Berdasarkan bentuk penampang tegak a. Lipatan sederhana dan komplek b. Lipatan simetris dan asimetris c. Lipatan rebah (overturned fold) d. Recumbent fold e. Isoclinal fold f. Chevron fold g. Fan fold h. Monoclinic 87

94 i. Structural terrace j. Homocline. 2. Berdasarkan atas struktur perlipatan a. Closed fold b. Open fold c. Drag fold 3. Berdasarkan atas pola dari sumbu sumbu lipatan di suatu daerah a. En echelon folds b. Culmination dan depression c. Anticlinorium d. Synclinorium 4. Berdasarkan atas sifat-sifat daripada lipatan dengan kedalaman a. Similar folds b. Parallel folds (concentric folds) c. Supratenuous fold d. Disharmonic fold e. Pierching (diapir fold) B. Klasifikasi menurut Fleuty (1964): 1. Berdasarkan kisaran besarnya sudut antarsayap (interlimb angle) (gambar IX.3): Gambar IX.3. Sudut antarsayap suatu lipatan (interlimb angle) interlimb angle Description of fold Gentle Open Close Tight 0 0 Isoclinal negative angle Mushroom 88

95 2. Berdasarkan besarnya sudut kemiringan hinge surface dan sudut penunjaman hinge line: Angle Terminology Dip of hinge surface Plunge of hinge-line 0 0 Horizontal Recumbent fold Horizontal fold Subhorizontal Recumbent fold Horizontal fold Gentle Gently inclined fold Gently plunging fold Moderat Moderately inclined fold Moderately plunging fold Steep Steeply inclined fold Steeply plunging fold Subvertical Upright fold Vertical fold Adapun cara penggunaan tabel tersebut sbb.: Misalkan, berdasarkan analisa statistik bidang perlapisan struktur lipatan dengan stereonet, didapat besar kemiringan hinge surface 65 0 dan plunge dari hinge line 15 0, maka untuk penamaan lipatannya dikombinasikan sehingga nenjadi: steeply inclined gently plunging fold. C. Klasifikasi menurut Rickard (1971): Klasifikasi ini berdasarkan dua hal, yaitu: (1) kemiringan hinge surface, (2) penunjaman hinge line dan pitch dari hinge line. Cara mendapatkan nama atau jenis lipatan dengan menggunakan diagram-diagram pada gambar IX.4 dan IX.5 berikut ini. Misalkan, dari analisa statistik bidang perlapisan suatu lipatan, didapat kemiringan hinge surface 70 0 dan penunjaman hinge line 45 0, maka jenis lipatan yang didapat dari klasifikasi ini ditentukan dengan memplot kedua nilai tersebut pada diagram pada gambar IX.4, sehingga didapat titik b. Kemudian hasil yang didapat dari diagram di atas diletakkan pada diagram gambar IX.5 berikut ini. Dari sini, dapat diketahui jenis lipatannya, yaitu inclined fold. Sedangkan bentuk lipatan dapat dilihat pada diagram gambar IX.6. 89

96 Gambar IX.4. Diagram untuk menentukan wilayah klasifikasi lipatan. Gambar IX.5. Diagram untuk menentukan jenis lipatan, digunakan setelah diagram IX.4. 90

97 Gambar IX.6. Bentuk lipatan yang dipergunakan dalam diagram IX.5. IX.4. Mekanisme Perlipatan Berdasarkan posisi gaya relatif terhadap perlapisan batuan dikenal ada 2 macam mekanisme gaya yang menyebabkan perlipatan, yaitu: 1. Buckling (melipat), disebabkan oleh gaya tekan yang arahnya sejajar dengan permukaan lempeng (gambar IX.7). 2. Bending (pelengkungan), disebabkan oleh gaya tekan yang arahnya tegak lurus permukaan lempeng (gambar IX.8). Gambar IX.7. Gaya tekan horizontal, (a) sebelum terkena gaya; (b) sesudah terkena gaya. Gambar IX.8. Gaya bending, (a) sebelum terkena gaya; (b) sesudah terkena gaya. 91

98 Berdasarkan respon gerak benda terhadap gaya yang mengenainya dikenal 4 jenis mekanisme perlipatan (Billings, 1977), yaitu: 1. Flexure folding (true folding), diakibatkan gaya tangensial atau gaya kopel. 2. Flow folding (incompetent folding) 3. Shear folding (slip folding) 4. Folding due to vertical movement. IX.5. Rekonstruksi Lipatan Rekonstruksi lipatan, umumnya dilakukan berdasarkan hasil pengukuran pada suatu lintasan penelitian di lapangan atau pembuatan penampang pada suatu peta geologi. Beberapa cara rekonstruksi berdasarkan bentuk dan sifat batuan adalah: 1. Metoda tangan bebas (free-hand method) Metoda ini dipakai untuk lipatan pada batuan incompetent di mana terjadi penipisan dan penebalan yang tidak teratur. Rekonstruksinya dengan jalan menghubungkan batas lapisan dengan mengikuti orientasi kemiringannya. 2. Metoda busur lingkaran (arc method) Metoda ini digunakan pada batuan yang competent, misalkan pada lipatan paralel. Dasar metoda ini adalah anggapan bahwa lipatan merupakan bentuk busur dari suatu lingkaran dengan pusatnya adalah perpotongan antara garis-garis normal sumbu kemiringan yang berdekatan. Dalam metoda ini, rekonstruksi dilakukan dengan menghubungkan busur lingkaran secara langsung bila data yang ada hanya kemiringan dan batas lapisan hanya setempat. Langkah rekonstruksi (lihat gambar IX.9): 1. Buat garis-garis yang tegak lurus terhadap kemiringan lapisan pada setiap lokasi pengukuran. 2. Garis-garis tersebut akan saling berpotongan di titik O. 3. Titik O tersebut merupakan pusat lingkaran untuk membuat busur sebagai rekonstruksi lipatan. Apabila batas-batas lapisannya dijumpai berulang pada lintasan yang akan direkonstruksi, maka pembuatan busur lingkaran dilakukan dengan interpolasi. Rekonstruksi cara interpolasi ini dapat dikerjakan menurut cara yang diberikan Higgins, 1962 atau Busk,

99 Gambar IX.9. Metoda busur lingkaran tanpa interpolasi. A. Interpolasi oleh Higgins (1962) (lihat gambar IX.10): 1. Gambar garis-garis normal kemiringan lapisan di A dan B sehingga berpotongan di C. 2. Buat bisektor AB sehingga memotong perpanjangan AC di Z (atau memotong perpanjangan garis normal sudut yang lebih kecil). 3. Ukurkan ZO a sembarang, tetapi lebih panjang dari CZ. 4. Ukurkan AO a pada perpanjangan BC sehingga mendapatkan titik D (BD = AO a ). 5. Hubungkan D dengan O a dan buat bisektor DO a sehingga memotong BD di O b. 6. Hubungkan O a dan O b (garis tersebut merupakan batas busur lingkaran). 7. Buat busur lingkaran dari A dengan pusat O a dan buat busur lingkaran dari B dengan pusat O b. Catatan: langkah tersebut digunakan bila kemiringan di A < kemiringan di B, untuk A > B notasi A B. B. Interpolasi oleh Busk, 1929 (lihat gambar IX.11): 1. Tarik garis-garis normal dan perpanjangan kemiringan A dan B sehingga memotong di D dan C. 2. Tarik garis tegak lurus AB dari C dan memotong di garis-garis normal pada O a dan O b. 3. Garis tegak lurus AB yang dibuat pada langkah 2 merupakan batas busur lingkaran. 93

100 4. Buat busur lingkaran dari A dengan pusat O a dan buat busur lingkaran dari B dengan pusat O b. Dalam rekonstruksi, seringkali metoda busur lingkaran digabung dengan metoda tangan bebas apabila diketahui adanya penipisan dan penebalan pada bagian-bagian lapisan tertentu. Gambar IX.10. Metoda busur lingkaran dengan interpolasi dari Higgins (1962). Gambar IX.11. Metoda busur lingkaran dengan interpolasi dari Busk (1929). 94

101 C. Metode Boundary Ray Metode ini dipakai untuk lipatan yang sifatnya competent dan incompetent. Dasarnya adalah bahwa penipisan dan penebalan adalah fungsi dari kemiringan (Coates, 1945; Gill, 1953). Dengan dasar ini, disusun suatu tabel untuk mendapatkan posisi boundary ray yang dipakai untuk batas rekonstruksi lipatan. Tabel ini ada bermacam-macam untuk tiap persentase penipisan. Cara mendapatkan boundary ray: Untuk mendapatkan posisi boundary ray dari banyak data pengukuran perlapisan lapisan, harus terlebih dahulu dilakukan pengelompokkan dip dalam kelipatan 5 0 (lihat gambar IX.12) menjadi dip zone. Apabila pembuatan penampang tidak tegak lurus jurus lapisan, maka data dip harus dikoreksi terlebih dulu dengan tabel IX.1. Misalkan, zona kemiringan lapisan (dip zone) adalah 40 0 dan Posisi boundary ray didapat dari perpotongan perpanjangan kemiringan. Arah dari boundary ray didapatkan dengan menggunakan tabel. Misal digunakan tabel dengan maksimum penipisan 50% (lihat tabel IX.2), kemiringan kecil (40 0 ) dipakai sebagai ordinat dan kemiringan besar (55 0 ) dipakai sebagai absis, didapatkan sudut 59 0 dan Untuk kemiringan yang berlawanan, dipakai bagian yang bawah yaitu 40 0 dan diukurkan pada kemiringan besar (55 0 ) (gambar IX.13.a dan c). Untuk kemiringan yang searah, dibuat lebih dulu garis bisector-nya kemudian diukurkan pada garis yang sejajar dengan kemiringan besar (gambar IX.13.b). Contoh 1 : Diketahui jurus perlapisan N10 0 E, dip 30 0 SE, jurus garis penampang N50 0 E. Tentukan kemiringan perlapisan semu (apparent dip) pada garis penampang. Sudut antara jurus perlapisan dan jurus garis penampang = Cari 40 0 pada kolom sebelah kiri, 30 0 pada baris paling bawah; komponen dip pada garis penampang (apparent dip yang dicari) adalah 20,5 0. Contoh 2 : Diketahui jurus perlapisan N15 0 E. Komponen dip pada garis penampang yang jurusnya N40 0 E adalah Tentukan dip sesungguhnya (true dip). Sudut antara jurus perlapisan dan jurus garis penampang adalah = Dari kolom paling kiri pada 25 0, 95

102 temukan 20 0 ke arah kanan (19,5 0 adalah nilai paling mendekati). Dari 19,5 0 baca true dip di baris paling bawah: Gambar IX.12. Konstruksi penampang geologi yang mengalami penipisan pada sayap lipatan dengan metode boundary ray (Gill, 1953). Tabel IX.1. Degrees Angle Between Line of Section and Strike of Strata ,5 1,0 1,5 1,5 2,0 2,5 3,0 3,0 3,5 3,5 4,0 4,5 4,5 4,5 5,0 5,0 5,0 Konversi kemiringan perlapisan sesungguhnya (true dip) ke dalam komponen garis penampang (Forrester, 1946). 1,0 2,0 30 3,5 4,5 5,0 6,0 6,5 7,0 7,5 8,0 9,0 9,0 9,0 9,5 10,0 10,0 1,5 3,0 4,0 5,5 6,5 8,0 9,0 10,0 11,0 11,5 12,0 13,0 13,5 14,0 14,5 15,0 15,0 2,0 4,0 5,5 7,0 9,0 10,5 12,0 13,5 14,5 16,0 17,0 18,0 18,5 19,0 19,5 20,0 20,0 2,5 5,0 7,0 9,0 11,0 13,0 15,0 16,5 18,0 19,5 21,0 22,0 23,0 23,5 24,0 24,5 25,0 3,0 6,0 8,5 11,0 13,5 16,0 18,0 20,5 22,0 24,0 25,0 27,0 28,0 28,5 29,0 29,5 30,0 Apparent Dips in The Line of Section 3,5 4,0 5,0 6,0 7,0 7,0 8,5 10,0 12,0 14,0 10,5 12,0 15,0 17,5 20,0 13,5 16,0 19,0 22,5 26,0 17,0 19,5 22,5 27,0 31,0 19,0 23,0 26,0 31,0 35,5 23,0 26,0 29,0 34,5 39,5 24,0 28,0 32,0 37,5 43,0 26,5 31,0 35,5 40,0 45,5 28,0 33,0 37,5 42,5 47,5 30,0 35,0 39,5 44,5 49,5 31,5 36,5 41,0 46,0 51,0 32,5 37,5 42,0 47,0 52,0 33,5 38,0 43,0 48,0 53,0 34,0 39,0 44,0 49,0 54,0 35,5 39,5 44,5 49,5 54,5 35,0 40,0 44,5 49,5 54,5 Degrees True Dips at 90 to The Strike 8,5 16,5 24,0 31,0 36,5 41,0 45,0 48,0 51,0 53,0 55,0 56,5 57,5 58,5 59,0 59,5 59,6 10,0 20,0 29,5 36,0 42,0 46,5 50,5 54,0 56,5 59,0 60,5 61,5 62,5 63,5 64,0 64,5 64,5 13,0 25,0 35,0 42,5 48,5 53,0 57,5 61,0 63,0 65,0 66,5 67,5 68,5 69,0 69,5 69,5 69,5 18,0 32,0 43,0 51,0 57,0 61,0 65,0 67,0 69,0 71,0 72,0 73,0 73,5 74,0 74,5 74,5 75,0 26,0 44,0 55,0 62,0 67,0 70,5 73,0 75,0 76,5 77,5 78,0 79,0 79,5 79,5 80,0 80,0 80,0 44,0 62,0 70,0 75,0 78,0 80,0 82,0 83,0 83,5 84,0 84,0 84,0 84,5 85,0 85,0 85,0 85,0 96

103 Gambar IX.13. Contoh menentukan sudut boundary ray dan bagaimana cara menggunakannya pada batas dip zone. Harap diingat bahwa metode bisector hanya digunakan ketika zona dip yang berdekatan berada dalam arah kemiringan yang sama (Gill, 1953). Tabel IX.2. Sudut boundary ray untuk penipisan kompaksi sebesar 50 % (Gill, 1953). Sudut-sudut tersebut adalah yang terletak antara kemiringan perlapisan yang terbesar (steeper dip) dengan boundary ray diantara zona dip yang berdekatan. Gentler Dip of Dip Intersection Point (Ordinate) Steeper Dip at Dip Intersection Point (Abscissa) o for dips in the same direction o for opposed dips

104 IX.6. Interpretasi Jenis Lipatan dari Diagram S-Pole Interpretasi dari diagram S-pole ini adalah cara statistik untuk mengetahui jenis suatu lipatan. Dilakukan dengan membuat diagram kontur dari bidang perlapisan dan dari lipatan, dengan menggunakan proyeksi vertikal maupun proyeksi horizontal (lihat gambar IX.14 dan IX.15). Gambar IX.14. Perkembangan diagram S-pole secara statistik selama proses perlipatan. Harap diingat bahwa diagram stereografis yang sama bisa dihasilkan baik oleh antiform ataupun synform. (a) perlapisan planar horisontal, (b) perlapisan melipat sebesar 45 0, (c) perlapisan melipat 90 0, (d) perlapisan melipat

105 Gambar IX.15. Pola-pola lipatan secara statistik dalam diagram S-pole. (a) symmetrical open fold, (b) symmetrical isoclinal fold, (c) asymmetrical fold with inclined axial plane. 99

106 Gambar IX.16. Lipatan rebah (recumbent fold) pada batuan metasedimen di Kotopanjang, Riau. Gambar IX.17. Lipatan jenis tight fold pada baturijang (chert) di Sadang, Karangsambung, Jawa Tengah. 100

107 REFERENSI Anderson, E.M. (1951) The Dynamics of Faulting. Oliver and Boyd, Edinburgh, 241 pp. Badgley, P.C. (1959) Structural Methods for the Exploration Geologist. Harper and Brothers, New York, 280 pp. Billings, M.P. (1977) Structural Geology, 3 rd ed. Prentice Hall, New Delhi, 606 pp. Busk, H.G. (1929) Earth Flexures. Cambridge University Press, London, 106 pp. Coates, J. (1945) The Construction of Geologic Sections. The Quarterly Journal of the Geological, Mining and Metallurgical Society of India, 17, pp Fleuty, M.J. (1964) The Description of Folds. Proceedings of the Geologists Association, 75, pp Forrester, J.D. (1946) Principle of Field and Mining Geology. John Wiley & Sons. Gill, W. D. (1953) Construction of Geological Sections of Folds with Steep Limb Attenuation. Bulletin of the American Association of Petroleum Geologists, 37, pp Higgins, C.G. (1962) Reconstruction of Flexure Fold by Concentric Arc Method. American Association of Petroleum Geologists Bulletin, 46, pp Kalsbeek, F. (1963) A Hexagonal Net for the Counting Out and Testing of Fabric Diagrams. Neues Jahrbuch für Mineralogie, Monatshefte, 7, pp McClay, K.R. (1987) The Mapping of Geological Structures. Geological Society of London Handbook. Open University Press, Keynes, 161 pp. Mertie, J.B., Jr. (1922) Graphic and Mechanical Computation of Thickness of Strata and Distance to a Stratum. United States Geological Survey Professional Paper, 129, pp Moody, J.D. and Hill, M.J. (1956) Wrench Fault Tectonics. Bulletin Geological Society of America, 67, pp Palmer, H.S. (1918) New Graphic Method for Determining the Depth and Thickness of Strata and the Projection of Dip. United States Geological Survey Professional Paper, 120, pp Ragan, D.M. (1973) Structural Geology: An Introduction to Geometrical Techniques, 2 nd ed. John Wiley & Sons, New York, 201 pp. Rickard, M. J. (1971) A Classification Diagram for Fold Orientations. Geological Magazine, 108(1), pp

108 LAMPIRAN I WULFF NET 103

109 LAMPIRAN II SCHMIDT NET 105

110 LAMPIRAN III POLAR NET 107

111 LAMPIRAN IV KALSBEEK NET 109

PENDALAMAN MATERI GEOLOGI STRUKTUR MODUL 4 PENGUKURAN GEOLOGI STRUKTUR. Drs. Budi Kudwadi, MT. Mardiani, S.Pd., M.Eng

PENDALAMAN MATERI GEOLOGI STRUKTUR MODUL 4 PENGUKURAN GEOLOGI STRUKTUR. Drs. Budi Kudwadi, MT. Mardiani, S.Pd., M.Eng PENDALAMAN MATERI GEOLOGI STRUKTUR MODUL 4 PENGUKURAN GEOLOGI STRUKTUR Drs. Budi Kudwadi, MT. Mardiani, S.Pd., M.Eng KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

Lebih terperinci

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut :

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut : Landasan Teori Geologi Struktur Geologi struktur adalah bagian dari ilmu geologi yang mempelajari tentang bentuk (arsitektur) batuan akibat proses deformasi serta menjelaskan proses pembentukannya. Proses

Lebih terperinci

GEOLOGI STRUKTUR. PENDAHULUAN Gaya/ tegasan Hasil tegasan Peta geologi. By : Asri Oktaviani

GEOLOGI STRUKTUR. PENDAHULUAN Gaya/ tegasan Hasil tegasan Peta geologi. By : Asri Oktaviani GEOLOGI STRUKTUR PENDAHULUAN Gaya/ tegasan Hasil tegasan Peta geologi By : Asri Oktaviani http://pelatihan-osn.com Lembaga Pelatihan OSN PEDAHULUAN Geologi : Ilmu yang mempelajari bumi yang berhubungan

Lebih terperinci

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN Mekanisme Sesar 1. Pengenalan a) Sesar merupakan retakan yang mempunyai pergerakan searah dengan arah retakan. Ukuran pergerakan ini adalah bersifat relatif

Lebih terperinci

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN

DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN DISKRIPSI GEOLOGI STRUKTUR SESAR DAN LIPATAN Mekanisme Sesar 1. Pengenalan a) Sesar merupakan retakan yang mempunyai pergerakan searah dengan arah retakan.

Lebih terperinci

SESAR MENDATAR (STRIKE SLIP) DAN SESAR MENURUN (NORMAL FAULT)

SESAR MENDATAR (STRIKE SLIP) DAN SESAR MENURUN (NORMAL FAULT) SESAR MENDATAR Pergerakan strike-slip/ pergeseran dapat terjadi berupa adanya pelepasan tegasan secara lateral pada arah sumbu tegasan normal terkecil dan terdapat pemendekan pada arah sumbu tegasan normal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

7. Peta Geologi Pengertian dan Kegunaan

7. Peta Geologi Pengertian dan Kegunaan 7 Peta Geologi 71 Pengertian dan Kegunaan Peta geologi adalah gambaran tentang keadaan geologi suatu wilayah, yang meliputi susunan batuan yang ada dan bentuk bentuk struktur dari masingmasing satuan batuan

Lebih terperinci

PRAKTIKUM GEOLOGI STRUKTUR ACARA 1 : MENETUKAN KEDUDUKAN PERLAPISAN BATUAN DARI 2 DIP SEMU

PRAKTIKUM GEOLOGI STRUKTUR ACARA 1 : MENETUKAN KEDUDUKAN PERLAPISAN BATUAN DARI 2 DIP SEMU 1 ACARA 1 : MENETUKAN KEDUDUKAN PERLAPISAN BATUAN DARI 2 DIP SEMU Data : Diketahui arah dip semu dari batuan yang sama pada dua singkapan batuan sedimen adalah 30, N 45 E dan 40, N 150 E dan tidak menunjukkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 METODA PENELITIAN Analisis struktur geologi terhadap daerah penelitian dilakukan melalui tiga tahap penelitian. Tahap pertama merupakan pendekatan tidak langsung, yaitu

Lebih terperinci

STRIKE-SLIP FAULTS. Pemodelan Moody dan Hill (1956)

STRIKE-SLIP FAULTS. Pemodelan Moody dan Hill (1956) Novia Dian Sundari STRIKE-SLIP FAULTS 12/39585 Sesar mendatar (Strike slip fault atau Transcurent fault atau Wrench fault) adalah sesar yang pembentukannya dipengaruhi oleh tegasan kompresi. Posisi tegasan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

Identifikasi Struktur. Arie Noor Rakhman, S.T., M.T.

Identifikasi Struktur. Arie Noor Rakhman, S.T., M.T. Identifikasi Struktur Arie Noor Rakhman, S.T., M.T. Dasar Analisis Macam keterakan berdasarkan gaya pembentuknya: Irrotational Strain (pure shear) disebabkan tegasan tekanan (model Moody & Hill, 1956)

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesar sesar anjak berarah WNW - ESE, sesar-sesar geser berarah NE - SW. Bukti-bukti

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

Struktur geologi terutama mempelajari struktur-struktur sekunder yang meliputi kekar (joint), sesar (fault) dan lipatan (fold).

Struktur geologi terutama mempelajari struktur-struktur sekunder yang meliputi kekar (joint), sesar (fault) dan lipatan (fold). 9. Struktur Geologi 9.1. Struktur geologi Struktur geologi adalah gambaran bentuk arsitektur batuan-batuan penyusunan kerak bumi. Akibat sedimentasi dan deformasi. berdasarkan kejadiannya, struktur geologi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Analisis struktur sesar di daerah penelitian dilakukan dengan melakukan pengolahan data berupa kekar gerus, breksiasi, posisi stratigrafi, dan kelurusan

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

Proyeksi Stereografi. Proyeksi Stereografi

Proyeksi Stereografi. Proyeksi Stereografi Proyeksi Stereografi Proyeksi Stereografi Proyeksi Stereografi merupakan salah satu aplikasi dalam geometri yang bisa diartikan sebagai sebuah pemetaan khusus (fungsi) yang memproyeksikan sebuah bola (sphere)

Lebih terperinci

KEKAR (JOINT) STRUKTUR REKAHAN PADA BATUAN PALING UMUM, PALING BANYAK DIPELAJARI TIDAK ATAU SEDIKIT MENGALAMI PERGESERAN PALING SULIT UNTUK DIANALISA

KEKAR (JOINT) STRUKTUR REKAHAN PADA BATUAN PALING UMUM, PALING BANYAK DIPELAJARI TIDAK ATAU SEDIKIT MENGALAMI PERGESERAN PALING SULIT UNTUK DIANALISA KEKAR (JOINT) STRUKTUR REKAHAN PADA BATUAN PALING UMUM, PALING BANYAK DIPELAJARI TIDAK ATAU SEDIKIT MENGALAMI PERGESERAN PALING SULIT UNTUK DIANALISA HUBUNGANNYA DENGAN MASALAH MASALAH 1. GEOLOGI TEKNIK

Lebih terperinci

RESUME KEKAR. A. Definisi Kekar

RESUME KEKAR. A. Definisi Kekar RESUME KEKAR A. Definisi Kekar Kekar merupakan pola sistematik yang ditandai dengan blok yang saling berpisan bidang rekahan akan tetapi tidak menunjukan pergeseran terlampau berarti pada titik bagiaan

Lebih terperinci

BENTANG ALAM STRUKTURAL

BENTANG ALAM STRUKTURAL BENTANG ALAM STRUKTURAL 1. PENGERTIAN BENTANG ALAM STRUKTURAL Bentang alam merupakan bentuk penampang (landform) suatu daerah di muka bumi yang mencakup ruang luas dan telah membentuk suatu sistem yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1. Struktur Sesar Analisis struktur sesar di daerah penelitian dilakukan dengan melakukan pengolahan data berupa kekar gerus, breksiasi, posisi stratigrafi, dan kelurusan

Lebih terperinci

BAB 4 PROYEKSI STEREOGRAFIS DAN PROYEKSI KUTUB

BAB 4 PROYEKSI STEREOGRAFIS DAN PROYEKSI KUTUB PROYKI TROGRAI DA PROYKI KUTUB BAB 4 PROYKI TROGRAI DA PROYKI KUTUB 4.1. TUJUA a. Mengetahui definisi proyeksi stereografis dan proyeksi kutub b. Memecahkan masalah geometri bidang dan geometri garis secara

Lebih terperinci

IV.2 Pola Kelurusan Daerah Penelitian

IV.2 Pola Kelurusan Daerah Penelitian Pola struktur yang berkembang pada daerah penelitian sebagian besar dipengaruhi oleh pola Jawa dengan kompresi berarah utara-selatan karena terbentuk pola struktur dan kelurusan yang berarah relatif barat-timur.

Lebih terperinci

BAB. I Kompas Geologi

BAB. I Kompas Geologi BAB. I Kompas Geologi 1.1Pengertian Kompas geologi Kompas geologi adalah alat navigasi untuk mencari arah berupa sebuah panah penunjuk magnetis yang bebas menyelaraskan dirinya dengan medan magnet bumi

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING 5.1 Definisi dan Terminologi Rekahan Rekahan merupakan bidang diskontinuitas yang terbentuk secara alamiah akibat deformasi atau diagenesa. Karena itu dalam

Lebih terperinci

STRUKTUR BIDANG DAN STRUKTUR GARIS

STRUKTUR BIDANG DAN STRUKTUR GARIS STRUKTUR BIDANG DAN STRUKTUR GARIS Geometri Unsur Struktur Unsur-unsur struktur secara geometris pada dasarnya hanya terdiri dari dua unsur geometris yaitu : 1) Geometris Bidang/ Struktur Bidang - Bidang

Lebih terperinci

KEKAR (JOINT) Sumber : Ansyari, Isya Foto 1 Struktur Kekar

KEKAR (JOINT) Sumber : Ansyari, Isya Foto 1 Struktur Kekar KEKAR (JOINT) A. Definisi Kekar Kekar adalah salah satu struktur geologi yang berupa rekahan pada batuan yang tidak terlalu mengalami pergeseran pada bidang rekahannya. Kekar merupakan gejala yang umum

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM GEOLOGI STRUKTUR

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM GEOLOGI STRUKTUR LAPORAN RESMI PRAKTIKUM GEOLOGI STRUKTUR Disusun oleh : Siti Defiyatun 133610241 JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ISLAM RIAU PEKANBARU 2015 HALAMAN PENGESAHAN Diajukan sebagai salah satu

Lebih terperinci

Foto IV-10 Gejala Sesar Anjak Cinambo 3 pada lokasi CS 40.

Foto IV-10 Gejala Sesar Anjak Cinambo 3 pada lokasi CS 40. Foto IV-10 Gejala Sesar Anjak Cinambo 3 pada lokasi CS 40. 4.1.4 Sesar Anjak Cisaar 1 Gejala sesar ini dijumpai pada Sungai Cisaar pada lokasi CS 40, CS 41, CS 4, CS 2, dan CS 10. Kehadiran sesar ini ditunjukkan

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Daerah penelitian hanya berada pada area penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sedikit di bagian peripheral area tersebut, seluas 14 km 2. Dengan

Lebih terperinci

Gambar 1.2 Anatomi lipatan (Mc Clay, 1987)

Gambar 1.2 Anatomi lipatan (Mc Clay, 1987) ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI METODE STEREOGRAFIS Disusun Oleh : Eko Suko Wiratmoko 1. LIPATAN 1.1 Definisi Lipatan Lipatan adalah hasil perubahan bentuk atau volume dari suatu bahan yang ditunjukkan sebagai

Lebih terperinci

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH P.A. Pameco *, D.H. Amijaya Jurusan Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

03. Bentangalam Struktural

03. Bentangalam Struktural TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi 03. Bentangalam Struktural Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada 2010 Pendahuluan Bentangalam struktural adalah bentang

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI BAB IV STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar (Gambar 4.1) yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesar naik berarah relatif WNW-ESE, sesar geser berarah relatif utara-selatan dan

Lebih terperinci

Tiori terbentuknya sesar

Tiori terbentuknya sesar FAULT Literatur: 1. Structural Geology, J.G. Dennis, 1972 2. Structural Geology of Rocks & Regions, G.H. Davis & S.J. Reynolds, 1996 3. Structural Geology, M.P. Billings, 1975 Tiori terbentuknya sesar

Lebih terperinci

ANALISIS KEKAR PADA BATUAN SEDIMEN KLASTIKA FORMASI CINAMBO DI SUNGAI CINAMBO SUMEDANG JAWA BARAT

ANALISIS KEKAR PADA BATUAN SEDIMEN KLASTIKA FORMASI CINAMBO DI SUNGAI CINAMBO SUMEDANG JAWA BARAT Analisis kekar pada batuan sedimen klastika Formasi Cinambo di Sungai Cinambo Sumedang, Jawa Barat (Faisal Helmi) ANALISIS KEKAR PADA BATUAN SEDIMEN KLASTIKA FORMASI CINAMBO DI SUNGAI CINAMBO SUMEDANG

Lebih terperinci

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV STRUKTUR GEOLOGI BAB IV STRUKTUR GEOLOGI 4.1 STRUKTUR SESAR Struktur sesar pada daerah penelitian terdiri dari sesar-sesar anjak yang berarah relatif Barat-Timur (NE-SW) dan sesar geser yang berarah relatif Barat Daya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. geologi, seperti data kekar dan cermin sesar, untuk melukiskan karakteristik

BAB III METODE PENELITIAN. geologi, seperti data kekar dan cermin sesar, untuk melukiskan karakteristik BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Obyek Penelitian Obyek penelitian difokuskan pada pengambilan data unsur struktur geologi, seperti data kekar dan cermin sesar, untuk melukiskan karakteristik hubungan antara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari sesarsesar mendatar yang umumnya berarah timurlaut baratdaya dan lipatan yang berarah

Lebih terperinci

Sesar (Pendahuluan, Unsur, Klasifikasi) Arie Noor Rakhman, S.T., M.T.

Sesar (Pendahuluan, Unsur, Klasifikasi) Arie Noor Rakhman, S.T., M.T. Sesar (Pendahuluan, Unsur, Klasifikasi) Arie Noor Rakhman, S.T., M.T. Pendahuluan Permasalahan teknik di tambang pada masa lampau bagaimana cara menemukan sambungan dari bahan cebakan atau lapisan batubara

Lebih terperinci

PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR

PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR Peta topografi adalah peta penyajian unsur-unsur alam asli dan unsur-unsur buatan manusia diatas permukaan bumi. Unsur-unsur alam tersebut diusahakan diperlihatkan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geologi struktur adalah studi mengenai distribusi tiga dimensi tubuh batuan dan permukaannya yang datar ataupun terlipat, beserta susunan internalnya. Geologi struktur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

Struktur Geologi Daerah Jonggol Dan Jatiluhur Jawa Barat

Struktur Geologi Daerah Jonggol Dan Jatiluhur Jawa Barat Struktur Geologi Daerah Jonggol Dan Jatiluhur Jawa Barat Iyan Haryanto, Faisal Helmi, Aldrin dan Adjat Sudradjat*) Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Abstrak Struktur geologi daerah Jonggol

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir adalah matakuliah wajib dalam kurikulum pendidikan sarjana strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

PETA TOPOGRAFI. Oleh Ign. Sudarno

PETA TOPOGRAFI. Oleh Ign. Sudarno PETA TOPOGRAFI Oleh Ign. Sudarno Ilmu Kebumian (IK): Terminologi yang sering digunakan sebagai sinonim geologi. Bumi menjadi pokok yang dipelajari dlm IK Bumi dipelajari alam disiplin ilmu seperti Geologi

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

ACARA IV POLA PENGALIRAN

ACARA IV POLA PENGALIRAN ACARA IV POLA PENGALIRAN 4.1 Maksud dan Tujuan Maksud acara pola pengaliran adalah: 1. Mengenalkan macam-macam jenis pola pengaliran dasar dan ubahannya. 2. Mengenalkan cara analisis pola pengaliran pada

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Melalui interpretasi peta topografi dan citra udara serta analisis pola kerapatan kontur yang didasarkan pada klasifikasi van Zuidam, 1985, tatanan umum

Lebih terperinci

HUBUNGAN PEMBENTUKAN STRUKTUR BATUAN TERHADAP KEKAR, SESAR, DAN LIPATAN

HUBUNGAN PEMBENTUKAN STRUKTUR BATUAN TERHADAP KEKAR, SESAR, DAN LIPATAN HUBUNGAN PEMBENTUKAN STRUKTUR BATUAN TERHADAP KEKAR, SESAR, DAN LIPATAN TUGAS GEOLOGI STRUKTUR Oleh: Ripal Ardiansyah (03111002004) Desma Windari (03111002006) Dimas Gustian A (03111002042) Exsa Apriansyah

Lebih terperinci

PETA (Dasar Teori dan Geologi Regional Kuliah Lapangan)

PETA (Dasar Teori dan Geologi Regional Kuliah Lapangan) PETA (Dasar Teori dan Geologi Regional Kuliah Lapangan) Geologi Regional Kuliah lapangan Geologi dilakukan pada hari Sabtu, 24 November 2012 di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, yang terletak ±20 km di

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

12.1. Pendahuluan Peta Geologi Definisi

12.1. Pendahuluan Peta Geologi Definisi 12 Peta Geologi 12.1. Pendahuluan Peta geologi pada dasarnya merupakan suatu sarana untuk menggambarkan tubuh batuan, penyebaran batuan, kedudukan unsur struktur geologi dan hubungan antar satuan batuan

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mencapai gelar kesarjanaan Strata Satu ( S-1) pada Program Studi Teknik Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, maka setiap mahasiswa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 SESAR Sesar yang terjadi pada daerah ini pada umumnya mempunyai dua arah. Arah ertama adalah sesar yang memiliki arah relatif barat timur. Sesar yang memiliki arah

Lebih terperinci

Strike dan Dip Lapisan Batuan

Strike dan Dip Lapisan Batuan 1 2.1 Pengertian Strike dan Dip Strike dan Dip Lapisan Batuan Strike dan Dip adalah metode yang menggambarkan orientasi pesawat dalam tiga dimensi. Biasanya diterapkan pada miring orientasi lapisan batu.

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

PANDUAN PRAKTIKUM NAVIGASI DARAT

PANDUAN PRAKTIKUM NAVIGASI DARAT PANDUAN PRAKTIKUM NAVIGASI DARAT Disampaikan Pada Acara Kunjungan Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) I Bandung Ke Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Pendidikan Indonesia Pada Hari Sabtu Tanggal 5 Juli

Lebih terperinci

Analisa Struktur Geologi

Analisa Struktur Geologi Analisa Struktur Geologi. Pendahuluan Analisa struktur geologi dapat dilakukan dengan beberapa tahapan dan cara, dimulai dengan deskripsi geometri, analisa kinematika, yaitu mempelajari sifat gerak dan

Lebih terperinci

RESUME PROYEKSI STEREOGRAFI

RESUME PROYEKSI STEREOGRAFI RESUME PROYEKSI STEREOGRAFI A. Geologi Struktur Geologi struktur adalah ilmu yang mempelajarai batuan yang mengalami deformasi dan merupakan lapisan bagian atas dari bumi. Kata struktur berasal dari bahasa

Lebih terperinci

ILMU UKUR TANAH. Oleh: IDI SUTARDI

ILMU UKUR TANAH. Oleh: IDI SUTARDI ILMU UKUR TANAH Oleh: IDI SUTARDI BANDUNG 2007 1 KATA PENGANTAR Ilmu Ukur Tanah ini disajikan untuk Para Mahasiswa Program Pendidikan Diploma DIII, Jurusan Geologi, Jurusan Tambang mengingat tugas-tugasnya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

mangkubumi, serta adanya perubahan kemiringangn lapisan satuan konglomerat batupasir dimana semakin melandai ke utara.

mangkubumi, serta adanya perubahan kemiringangn lapisan satuan konglomerat batupasir dimana semakin melandai ke utara. mangkubumi, serta adanya perubahan kemiringangn lapisan satuan konglomerat batupasir dimana semakin melandai ke utara. Foto 4.16 Indikasi Sesar Normal mangkubuni (CLT12) 4.3. Mekanisme Pembentukan Struktur

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI Analisis Struktur 4.1 Struktur Lipatan 4.1.1 Antiklin Buniasih Antiklin Buniasih terletak disebelah utara daerah penelitian dengan arah sumbu lipatan baratlaut tenggara

Lebih terperinci

Gambar 22.Diagram Blok yang menunjukkan Horst (atas) dan Graben (bawah)

Gambar 22.Diagram Blok yang menunjukkan Horst (atas) dan Graben (bawah) Pelipatan (Fold) Pelipatan merupakan penggelombangan pada kulit bumi yang ukuran dan tipenya bervariasi. Pelipatan mudah terjadi pada batuan yang berlapis. Ukuran pelipatan bervariasi, dari yang hanya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi Analisis Kondisi Geomorfologi yang dilakukan adalah berupa analisis pada peta topografi maupun pengamatan

Lebih terperinci

ANALISIS KINEMATIKA KESTABILAN LERENG BATUPASIR FORMASI BUTAK

ANALISIS KINEMATIKA KESTABILAN LERENG BATUPASIR FORMASI BUTAK M1P-04 ANALISIS KINEMATIKA KESTABILAN LERENG BATUPASIR FORMASI BUTAK P.P. Utama 1 *, Y.P. Nusantara 1, F. Aprilia 1, I.G.B. Indrawan 1 1 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto 24. A memperlihatkan bongkah exotic blocks di lereng gunung Sekerat. Berdasarkan pengamatan profil singkapan batugamping ini, (Gambar 12) didapatkan litologi wackestone-packestone yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

PEMETAAN GEOLOGI. A. Peta Geologi. B. Pemetaan Geologi

PEMETAAN GEOLOGI. A. Peta Geologi. B. Pemetaan Geologi PEMETAAN GEOLOGI A. Peta Geologi Peta geologi merupakan suatu sarana untuk menggambarkan tubuh batuan, penyebaran batuan, kedudukan unsur struktur geologi dan hubungan antar satuan batuan serta merangkum

Lebih terperinci

PERTEMUAN 4 : PROYEKSI STEREOGRAFIK GEOLOGI STRUKTUR. Firdaus

PERTEMUAN 4 : PROYEKSI STEREOGRAFIK GEOLOGI STRUKTUR. Firdaus PERTEMUAN 4 : PROYEKSI STEREOGRAFIK GEOLOGI STRUKTUR Firdaus (dauzy@ymail.com) Pendahuluan Dalam struktur geologi penuh unsur titik, garis, bidang, dan sudut bahkan perpotongan dan kombinasi antara keempatnya

Lebih terperinci

Foto 3.24 Sayatan tipis granodiorit (HP_03). Satuan ini mempunyai ciri-ciri umum holokristalin, subhedral-anhedral, tersusun atas mineral utama

Foto 3.24 Sayatan tipis granodiorit (HP_03). Satuan ini mempunyai ciri-ciri umum holokristalin, subhedral-anhedral, tersusun atas mineral utama Foto 3.24 Sayatan tipis granodiorit (HP_03). Satuan ini mempunyai ciri-ciri umum holokristalin, subhedral-anhedral, tersusun atas mineral utama berupa plagioklas, kuarsa (C6-C7) dan k-feldspar (D3-F3).

Lebih terperinci

SKRIPSI FRANS HIDAYAT

SKRIPSI FRANS HIDAYAT GEOLOGI DAN ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI DAERAH TOBO DAN SEKITARNYA, KECAMATAN JATI, KABUPATEN BLORA, PROVINSI JAWA TENGAH SKRIPSI Oleh : FRANS HIDAYAT 111.080.140 PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

GEOLOGI STRUKTUR ANALISIS KEKAR

GEOLOGI STRUKTUR ANALISIS KEKAR GEOLOGI STRUKTUR ANALISIS KEKAR Fracture & stress states Fracture orientations relative to the principal stress orientations Stress = Gaya per satuan area yang mengenai suatu bidang Kondisi stress yang

Lebih terperinci

Menentukan Jurus dan Kemiringan Batuan serta Struktur Patahan di Sepanjang Sungai Cinambo, Jawa Barat. Abstrak

Menentukan Jurus dan Kemiringan Batuan serta Struktur Patahan di Sepanjang Sungai Cinambo, Jawa Barat. Abstrak Menentukan Jurus dan Kemiringan Batuan serta Struktur Patahan di Sepanjang Sungai Cinambo, Jawa Barat Lia Maryani Geofisika, Universitas Padjadjaran Abstrak Telah dilakukan penelitian struktur patahan

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING 6. 1 Pendahuluan Menurut Nelson (1985), sistem rekahan khususnya spasi rekahan dipengaruhi oleh komposisi batuan, ukuran butir, porositas, ketebalan lapisan,

Lebih terperinci

B.1. Menjumlah Beberapa Gaya Sebidang Dengan Cara Grafis

B.1. Menjumlah Beberapa Gaya Sebidang Dengan Cara Grafis BAB II RESULTAN (JUMLAH) DAN URAIAN GAYA A. Pendahuluan Pada bab ini, anda akan mempelajari bagaimana kita bekerja dengan besaran vektor. Kita dapat menjumlah dua vektor atau lebih dengan beberapa cara,

Lebih terperinci

Pengertian Garis Kontur, Peraturan, & Cara PembuatanDEFINISI, GEOGRAFI, IPS ON FEBRUARY 23, 2016 NO COMMENTS

Pengertian Garis Kontur, Peraturan, & Cara PembuatanDEFINISI, GEOGRAFI, IPS ON FEBRUARY 23, 2016 NO COMMENTS Pengertian Garis Kontur, Peraturan, & Cara PembuatanDEFINISI, GEOGRAFI, IPS ON FEBRUARY 23, 2016 NO COMMENTS Pengertian Garis Kontur, Peraturan, & Cara Pembuatan Peta merupakan gambaran permukaan bumi

Lebih terperinci

MEKANIKA TANAH (CIV -205)

MEKANIKA TANAH (CIV -205) MEKANIKA TANAH (CIV -205) OUTLINE : Tipe lereng, yaitu alami, buatan Dasar teori stabilitas lereng Gaya yang bekerja pada bidang runtuh lereng Profil tanah bawah permukaan Gaya gaya yang menahan keruntuhan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 8 II.1. Fisiografi Regional... 8 II.2. Stratigrafi Regional II.3. Struktur Geologi Regional...

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 8 II.1. Fisiografi Regional... 8 II.2. Stratigrafi Regional II.3. Struktur Geologi Regional... DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... i PERNYATAAN... ii PRAKATA... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR LAMPIRAN... x SARI... xi ABSTRACT... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1. Latar

Lebih terperinci

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27 memiliki ciri-ciri berwarna abu-abu gelap, struktur vesikuler, tekstur afanitik porfiritik, holokristalin, dengan mineral terdiri dari plagioklas (25%) dan piroksen (5%) yang berbentuk subhedral hingga

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan bentang alam yang ada di permukaan bumi dipengaruhi oleh proses geomorfik. Proses geomorfik merupakan semua perubahan baik fisik maupun

Lebih terperinci

ILMU UKUR TANAH. Oleh: IDI SUTARDI

ILMU UKUR TANAH. Oleh: IDI SUTARDI ILMU UKUR TANAH Oleh: IDI SUTARDI BANDUNG 2007 1 KATA PENGANTAR Ilmu Ukur Tanah ini disajikan untuk Para Mahasiswa Program Pendidikan Diploma DIII, Jurusan Geologi, Jurusan Tambang mengingat tugas-tugasnya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci