Arahan Pengendalian Konversi Hutan menjadi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Arahan Pengendalian Konversi Hutan menjadi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur"

Transkripsi

1 1 Arahan Pengendalian Konversi Hutan menjadi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur Tantie Yulandhika dan Ardy Maulidy Navastara Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya Abstrak Kabupaten Paser merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur yang memiliki kawasan hutan dengan potensi alih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Meningkatnya kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit mempercepat alih fungsi hutan yang terdapat di Kabupaten Paser. Hutan memiliki fungsi yang salah satunya sebagai penyimpan cadangan karbon, sehingga alih fungsi atau konversi hutan berakibat pada perubahan cadangan karbon. Oleh sebab itu, penelitian ini ditujukan untuk merumuskan arahan pengendalian konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Paser. Adapun sasaran untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui identifikasi karakteristik konversi hutan beserta hubungannya dengan cadangan karbon melalui analisa deskriptif kuantitatif, identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi hutan melalui analisa Delphi serta merumuskan arahan pengendalian konversi hutan menjadi perkebunan menggunakan analisa triangulasi. Berdasarkan hasil penelitian, kawasan yang mengalami defisit cadangan karbon serta konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tertinggi di Kabupaten Paser adalah Kecamatan Batu Engau dan Kecamatan Long Ikis. Arahan pengendalian yang dihasilkan secara umum adalah membentuk kepolisian khusus dan tim teknis pengawasan dan pertimbangan konversi hutan, membangun peran serta masyarakat dalam pengawasan, merumuskan peraturan daerah terkait pembatasan perizinan konversi hutan dan RDTRK tiap kecamatan, kompensasi untuk reforestasi/regenerasi hutan melalui strategi REDD, inventarisasi dan pengukuhan kawasan hutan oleh pemerintah kabupaten, pengaturan harga dan permintaan produk perkebunan kelapa sawit dan membangun kembali kearifan tradisional masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan sedangkan arahan secara khusus adalah menghapus subsidi yang mendorong ekspansi perkebunan dan penerapan peraturan zonasi menjadi kawasan yang tidak boleh dikonversi. Kata Kunci: hutan,konversi,pengendalian,perkebunan I I. PENDAHULUAN KLIM merupakan proses interaktif alamiah (kimia, biologis dan fisis). Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahun. Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer [1]. Berdasarkan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change [2] menunjukkan bahwa dalam waktu kurun 12 tahun terakhir terjadi kenaikan temperatur total pada tahun sampai dengan 0,76 Celcius dan kenaikan total muka air laut rata-rata 1,8 mm per-tahun. Perubahan iklim tersebut, menurut IPCC disebabkan karena ulah manusia, di mana dalam aktivitasnya manusia melakukan pembakaran yang menghasilkan Gas Rumah Kaca (GRK) dan pembukaan lahan yang meningkat karena pertumbuhan penduduk yang diperlukan untuk pemukiman, perkebunan, perambahan hutan, ilegal logging, dan lain-lain. Dalam keadaan iklim normal, perubahan iklim mungkin tidak menimbulkan akibat nyata, tetapi pada skala ekstrim dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar. Indonesia merupakan salah satu negara yang berkomitmen berpartisipasi aktif dalam upaya global untuk mitigasi dan adaptasi fenomena perubahan iklim ini dengan mencantumkan komitmen untuk meningkatkan kapasitas nasional dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim yang terjadi di semua aspek pembangunan [3]. Berkaitan dengan perubahan-perubahan iklim maka upaya pembangunan yang dilakukan Indonesia dari bidang penataan ruang, yaitu upaya mitigasi dan upaya adaptasi. Diantara negara-negara yang mempunyai hutan tropis, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki posisi paling penting dalam upaya menurunkan emisi GRK yang disebabkan deforestasi dan degradasi hutan. Hutan menjadi sistem yang memberikan keberlangsungan kehidupan dalam fungsinya sebagai media pencegah pemanasan global[4]. Hal ini dikarenakan hutan memiliki daya serap terhadap karbon sebesar 569,07 ton/ha/tahun[5]. Di Indonesia, luas hutan sebesar 120,35 juta ha dengan komposisi; hutan produksi 48%, hutan konservasi 17%, hutan lindung 28%, dan hutan produksi konservasi 7%. Dari luasan tersebut 53,9 juta ha diantaranya terdegradasi dengan berbagai tingkatannya yang terjadi di hutan konservasi seluas 11,4 juta ha, hutan lindung seluas 17,9 juta ha, dan hutan produksi seluas 24,6 juta ha[6]. Salah satu penyebab degragasi lahan hutan tersebut adalah diakibatkan adanya penebangan

2 2 komersil, kebakaran hutan dan pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit. Menurut data FAO Laju kerusakan hutan, 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Luas areal kebun sawit yang ada seluas 7,3 juta hektar, masih akan terus diperluas hingga mencapai 20 juta hektar. Ekspansi perkebunan kelapa sawit dan karet serta kegiatan pertambangan adalah pendorong deforestasi di Kalimantan Timur, tidak terkecuali Kabupaten Paser. Berdasarkan data dari Kabupaten Paser dalam Angka pada Tahun 2009, diketahui bahwa terjadi penurunan luas hutan mencapai 22% dan meningkatnya luas perkebunan mencapai 2x lipat apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya[7]. Hal ini berakibat pada hilangnya kemampuan daya serap hutan terhadap karbon mencapai 10 juta ton per tahunnya. Adanya konversi lahan ini sangat bertentangan dengan prinsip penyelamatan lingkungan hidup dan hutan di tengah meningkatnya bencana ekologis seperti banjir besar tiga kali setahun, tanah longsor dan meningkatnya rawan bencana di kabupaten/kota di Kalimantan Timur. Bahkan menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada Tahun 2002 hingga 2010 frekuensi bencana paling banyak terjadi salah satunya di Kabupaten Paser. Oleh sebab itu penelitian ini perlu memberikan arahanarahan pengendalian bagi konversi kawasan agar tetap terjaga kelestariannya meskipun harus mengalami alih fungsi bagi kepentingan perkebunan sawit di Kabupaten Paser dan dapat menjadi usaha bersama antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam keberlanjutan lingkungan wilayah di masa yang akan datang. A. Pengumpulan Data II. METODOLOGI Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik survei data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan survei yang meliputi teknik observasi lapangan secara langsung dan wawancara. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan opini/pendapat dari para stakeholder terkait faktor-faktor yang menyebabkan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Paser. Survei lapangan terhadap kondisi eksisting digunakan untuk mengetahui gambaran secara umum dari penggunaan lahan di Kabupaten Paser. Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui literatur yang berkaitan dengan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, serta survei instansional pada beberapa instansi pemerintahan, di antaranya Badan Pusat Statistik Kabupaten Paser, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Paser, Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi Kabupaten Paser, Dinas Perkebunan Kabupaten Paser dan Kantor Pertanahan Kabupaten Paser. B. Analisa Data Identifikasi karakteristik konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit Karakteristik konversi hutan dapat diidentifikasi secara spasial berdasarkan perubahan penggunaan lahan pada waktu tertentu, tingkat konversi dan distribusi wilayah[8]. Analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik konversi hutan ialah analisis overlay. Peta tematik yang akan digunakan/di overlay dalam penelitian ini ialah peta penggunaan lahan atau spesifik pada peta penggunaan lahan hutan dan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2001, 2006 dan 2011 yang diolah dari citra landsat Kabupaten Paser pada tahun tersebut. Hasil dari analisis ini adalah theme baru yang berbentuk poligon, di mana luas poligon tersebut menunjukkan luas hutan dan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2001, 2006 dan 2011 sehingga dapat ditemukan jumlah perubahan luas hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Identifikasi perkiraan perubahan cadangan karbon di Kabupaten Paser Identifikasi ini dilakukan dengan membandingkan luas hutan yang diasumsikan berdasarkan tinjauan pustaka memiliki cadangan karbon berkisar antara 103,16-264,70 Ton C/ha[9] dengan luas perkebunan kelapa sawit yang memiliki cadangan karbon berkisar antara 5,00 84,6 Ton C/ha[10]. Identifikasi tipologi kawasan Berdasarkan hasil identifikasi perkiraan perubahan cadangan karbon dan karakteristik perubahan luas hutan pada tahun 2011 dapat diketahui tipologi kawasan-kawasan di wilayah penelitian. Analisa tipologi kawasan menggunakan analisa kuartil dengan Software Minitab sehingga akan didapatkan output sebagi berikut. Tabel 1 Indikator Penentu Wilayah Perubahan Luas Hutan No Input Data Tinggi Sedang Rendah 1 Rata-Rata Perubahan 2 Defisit Karbon I 3 Defisit Karbon II Kawasan-kawasan tersebut selanjutnya dikelompokkan sebagai berikut. Tabel 2 Pembagian Kecamatan Berdasarkan Indikator Penentu Perubahan Cadangan Karbon Rata-rata laju perubahan Rendah Sedang Tinggi Rendah Defisit karbon Sedang Tinggi Setelah dilakukan pengelompokan kawasan berdasarkan tingkat perubahan cadangan karbon, selanjutnya dilakukan analisis deskriptif terhadap kawasan-kawasan tersebut. Identifikasi faktor penyebab konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Paser Tahapan untuk melakukan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi hutan di Kabupaten Paser dilakukan dengan menggunakan teknik Delphi. Tujuan dari teknik ini

3 3 untuk mengombinasikan pendapat para pakar terhadap suatu masalah atau kejadian. Arahan pengendalian konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Paser Analisis untuk menentukan arahan pengendalian konversi hutan ini menggunakan teknik analisis triangulasi. Analisis Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan untuk mensintesakan pengamatan empiris peneliti, literatur empirik arahan pengendalian konversi hutan serta kebijakan yang terkait dengan kehutanan yang berlaku di Kabupaten Paser. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Karakteristik Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Berdasarkan hasil identifikasi, dapat diketahui bahwa dalam rentang waktu , di Kabupaten Paser telah terjadi penurunan luas hutan yang semula ,63 Ha menjadi ,88, atau mengalami penurunan luas sebesar ,75 Ha dan penurunan luas hutan ini terjadi di seluruh wilayah kecamatan. Kecamatan dengan laju penurunan luas hutan tertinggi adalah Kecamatan Batu Engau, yaitu seluas Ha/thn disusul oleh Kecamatan Long Ikis, yaitu seluas 3.211,30 Ha/thn. Diagram 1 Laju Rata-rata Penurunan Luas Hutan Dari jumlah luas lahan perkebunan kelapa sawit pada tahun dapat diketahui laju rata-rata penambahan luas lahan di tiap kecamatan, bahwa Kecamatan Batu Engau merupakan kecamatan dengan laju rata-rata pertambahan luas perkebunan kelapa sawit tertinggi, yaitu seluas 6.776,96 Ha/thn dan Kecamatan Batu Sopang merupakan kecamatan dengan rata-rata laju pertambahan luas perkebunan kelapa sawit terendah, dengan luas hanya 845,9 Ha/thn. Sehingga dapat diketahui bahwa di Kabupaten Paser pada rentang tahun telah terjadi penambahan luas perkebunan kelapa sawit dari yang semula seluas ,74 Ha menjadi ,00 atau terjadi penambahan seluas ,26 Ha. Hal ini berbanding terbalik dengan luas hutan yang mengalami penurunan. Grafik 1 Perbandingan Perkembangan Luas Hutan dan Perkebunan Kelapa Sawit B. Identifikasi Perkiraan Perubahan Cadangan Karbon Di Kabupaten Paser Berdasarkan hasil identifikasi, dapat diketahui bahwa cadangan karbon yang terkandung pada hutan mengalami penurunan selama rentang tahun sebagaimana luas hutan yang berkurang, sebaliknya cadangan karbon perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan sebagaimana luas perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah. Peningkatan cadangan karbon pada perkebunan sawit tidak banyak mempengaruhi jumlah cadangan karbon di Kabupaten Paser yang terus berkurang akibat menurunnya luas tutupan hutan. Diagram 3 Perkiraan Jumlah Defisit Cadangan Karbon akibat Konversi Hutan menjadi Perkebunan kelapa Sawit (Ton C/Ha) Diagram 2 Laju Rata-rata Pertambahan Luas Perkebunan Kelapa Sawit C. Identifikasi Kawasan Berdasarkan identifikasi, didapatkan 3 tipologi kawasan. kawasan ini sesuai dengan hasil analisa karakteristik

4 4 dan perkiraan perubahan cadangan karbon yang menunjukkan korelasi antara perubahan luas hutan terhadap cadangan karbon, di mana bahwa ketika terjadi perubahan luas hutan yang tinggi maka berakibat pada defisit cadangan karbon yang tinggi dan demikian pula sebaliknya. Tabel 3 Perubahan Cadangan Karbon pada Kawasan-kawasan Tertentu No Konversi Anggota Kecamatan 1 I Kecamatan Long Ikis dan Batu Engau 2 II Kecamatan Long Kali, Kuaro, Muara Komam, Pasir Belengkong. Muara Samu dan Tanjung Harapan 3 III Kecamatan Batu Sopang Berdasarkan tebal tipologi di atas, penjelasannya adalah sebagai berikut. I (Kecenderungan defisit cadangan karbon dan laju rata-rata perubahan luas hutan tinggi) terdiri dari Kecamatan Long Ikis dan Batu Engau. Pada kelompok kecamatan ini terjadi laju rata-rata perubahan luas yang lebih tinggi dibanding wilayah lain dan berhubungan dengan defisit cadangan karbon yang juga lebih tinggi. II (Kecenderungan defisit cadangan karbon dan laju rata-rata perubahan luas hutan sedang) terdiri dari Kecamatan Long Kali, Kuaro, Muara Komam dan Pasir Belengkong. Ke empat kecamatan di atas termasuk dalam kelompok tipologi yang memiliki kecenderungan defisit cadangan karbon sedang dengan laju rata-rata perubahan luas hutan yang juga tergolong sedang. Kecamatan Muara Samu dimasukkan ke dalam kelompok tipologi II dikarenakan nilai defisit cadangan karbon yang masuk dalam kelompok rendah mendekati nilai sedang, yaitu Ton C/Ha dengan rentang nilai sedang Ton C/Ha, selain itu Kecamatan Tanjung Harapan juga dimasukkan ke dalam tipologi ini dikarenakan rata-rata perubahan luas hutan yang masuk ke dalam kelompok rendah mendekati nilai sedang, yaitu dengan nilai Ha/thn dengan rentang nilai sedang Ha/thn. III (Kecenderungan defisit cadangan karbon dan laju rata-rata perubahan luas hutan rendah) hanya terdiri dari Kecamatan Batu Sopang. Pada tipologi kecamatan ini terjadi laju rata-rata perubahan luas yang lebih tinggi dibanding wilayah lain dan berhubungan dengan defisit cadangan karbon yang juga lebih tinggi. D. Identifikasi Faktor Penyebab Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Paser Berdasarkan analisis delphi untuk mendapatkan kesepakatan mengenai faktor yang mempengaruhi konversi hutan ke perkebunan kelapa sawit, maka didapatlah faktor tersebut sebagai berikut: Tabel 4 Faktor yang mempengaruhi konversi hutan ke perkebunan kelapa sawit di Kabupten Paser No. Faktor Variabel Anggota 1. Faktor pengawasan 1. Kontrol kelembagaan pengendalian konversi 2. Efektivitas kelembagaan hutan 2. Faktor implementasi Arahan RTRW hukum/peraturan pengendalian konversi hutan 3. Faktor daya tarik investasi 1. Kemudahan berinvestasi 2. Izin perkebunan 4. Faktor peningkatan 1. Tingkat perekonomian pertumbuhan ekonomi masyarakat 2. Nilai PDRB 3. Pajak 4. Meningkatnya kebutuhan lahan perkebunan sawit 5. Nilai lahan 6. Harga hasil produksi perkebunan 5. Faktor pertumbuhan Pertumbuhan penduduk jumlah penduduk 6. Faktor kepemilikan lahan Status kepemilikan lahan 7. Faktor daya dukung lahan 1. Potensi lahan 2. Produktivitas lahan 3. Aksesibilitas ke pasar 8. Faktor perkembangan 1. Pemenuhan permintaan wilayah 9. Faktor sosial - budaya masyarakat lahan infrastruktur 1. Tradisi/budaya 2. Struktur sosial E. Arahan Pengendalian Konversi Hutan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kabupaten Paser Berdasarkan analisa triangulasi dari arahan pengendalian konversi hutan yang dikaitkan antara kriteria pengendalian, kebijakan yang berlaku, tinjauan literatur dengan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Paser, maka diperoleh arahan pengendalian pada tiap tipologi kawasan maupun secara umum sebagai berikut. I. Arahan Umum - Membentuk kepolisian khusus untuk mengadakan patroli/perondaan secara berkala dalam kawasan hutan yang dibekali dengan teknologi dan persenjataan yang lengkap - Membentuk tim teknis pengawasan dan pertimbangan konversi hutan. - Membangun peran serta masyarakat dalam pengawasan keberadaan hutan - Merumuskan peraturan daerah terkait pembatasan perizinan konversi hutan dan RDTRK tiap kecamatan yang dapat mengatur secara detail dan konsisten arahan pengendalian konversi hutan, yang penyusunannya melalui partisipasi kelompok pemangku kebijakan, masyarakat/komunitas lokal, dan swasta. - Skema transfer pembayaran dengan penerapan insentif yang diberikan kepada Pemerintah Daerah sebagai pengawas konversi dan Masyarakat sebagai pemilik lahan. Penerapan insentif pengendalian konversi hutan yang diberikan : a. Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah : - Penghargaan kepada pemerintah yang serius dalam mengendalikan konversi hutan - Penambahan dana alokasi khusus b. Pemerintah Daerah ke Masyarakat : - Kompensasi untuk reforestasi/regenerasi hutan dan kompensasi dari tindakan tidak melakukan pembukaan hutan atau pembalakan

5 5 - Meningkatkan pengelolaan hutan lestari melalui strategi REDD, yaitu pemberian insentif bagi masyarakat yang melestarikan hutan - Melakukan inventarisasi dan pengukuhan kawasan hutan oleh pemerintah kabupaten - Melakukan monitoring kesehatan hutan untuk pengelolaan hutan yang sehat dan berkelanjutan - Melakukan pengaturan harga dan permintaan untuk produkproduk hasil perkebunan kelapa sawit. - Mengidentifikasi dan membangun kembali kearifan tradisional masyarakat asli dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan II. Arahan Khusus - 1 a. Menghapus subsidi yang mendorong ekspansi perkebunan b. Penerapan peraturan zonasi dengan menetapkan I menjadi Kawasan yang tidak boleh dikonversi c. Melalui identifikasi dan pengembangan sektor selain sektor perkebunan kelapa sawit dan adanya tumpang sari tanaman pertanian pada lahan sawit yang telah ada. - 2 a. Memperbesar pajak/retribusi berupa terhadap penerbitan izin usaha yang berakibat pada terjadinya konversi hutan b. Penerapan peraturan zonasi dengan menetapkan I menjadi Kawasan konversi berbatas c. Izin usaha diterbitkan apabila ada penyediaan lahan pengganti konversi dan penanggungan biaya reboisasi terhadap lahan pengganti d. Adanya pemilihan tanaman kelapa sawit yang unggul sehingga hasil yang didapat dari kegiatan perkebunan dapat maksimal di lahan yang terbatas. - 3 a. Penerapan peraturan zonasi dengan menetapkan I menjadi Kawasan boleh dikonversi b. Izin usaha diterbitkan apabila ada penyediaan lahan pengganti konversi dan penanggungan biaya reboisasi terhadap lahan pengganti c. Adanya pemilihan tanaman kelapa sawit yang unggul sehingga hasil yang didapat dari kegiatan perkebunan dapat maksimal di lahan yang terbatas. IV. KESIMPULAN Berdasarkan sasaran yang terdapat dalam penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: a. Terjadi konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Paser dengan kecamatan yang mengalami konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit tertinggi adalah Kecamatan Batu Engau dan Kecamatan Long Ikis. b. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Paser adalah pengawasan pengendalian konversi hutan, implementasi hukum/peraturan pengendalian konversi hutan, daya tarik investasi, peningkatan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan jumlah penduduk, kepemilikan lahan, daya dukung lahan, perkembangan wilayah dan sosial - budaya masyarakat. c. Secara umum, arahan pengendalian konversi hutan menjadi perkebunan sawit ialah membentuk kepolisian khusus dan tim teknis pengawasan dan pertimbangan konversi hutan, membangun peran serta masyarakat dalam pengawasan keberadaan hutan, merumuskan peraturan daerah terkait pembatasan perizinan konversi hutan dan RDTRK tiap kecamatan, penghargaan kepada pemerintah yang serius dalam mengendalikan konversi hutan, kompensasi untuk reforestasi/regenerasi hutan melalui strategi REDD, inventarisasi dan pengukuhan kawasan hutan oleh pemerintah kabupaten, pengaturan harga dan permintaan untuk produk-produk hasil perkebunan kelapa sawit dan yang terakhir mengidentifikasi dan membangun kembali kearifan tradisional masyarakat asli dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan.. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ardy Maulidy Navastara selaku dosen pembimbing dalam penyusunan penelitian, serta kepada seluruh civitas akademika Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, instansi pemerintahan terkait penelitian di Kabupaten Paser dan berbagai pihak yang telah memberikan dukungan demi kelancaran penelitian. DAFTAR PUSTAKA [1] Trenberth, K. E., J. T. Houghton, and L. G. Meira Filho. 1996: The climate system: An overview. Chapter 1 of Climate Change The science of Climate Change. Contribution of WG 1 to the Second Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. J.T. Houghton, L.G. Meira Filho, B. Callander, N. Harris, A. Kattenberg, and K. Maskell (eds). Cambridge University Press [2] Solomon, S., dkk. 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (eds.) Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. [3] Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Pasal 32. [4] FAO. 1996a. FRA 1990: survey of tropical forest cover and study of change processes. FAO Forestry Paper No Rome. [5] Prasetyo, L. B., dkk Analysis of land-use changes and greenhouse gas emission (GHG) using geographical information system (GIS) technologies, Bogor, Indonesia: Workshop on Improving Landuse/cover change and greenhouse gas emission biophysical data, Institut Pertanian Bogor.

6 6 [6] Laporan Departeman Kehutanan Republik Indonesia Tahun 2007 [7] Badan Pusat Statistik Kabupaten Paser Kabupaten Paser Dalam Angka Tahun [8] Briassoulis, Helen (2000), Analysis of Land Use Change: Theoritical and Modelling Approaches, Regional Research Institute of West Virginia University, Virginia [9] Harris et al Identifying Optimal Areas for REDD Intervention: East Kalimantan, Indonesia as a Case Study. Environmental Research Letters. Environ.Res.Lett.3 (2008) (11pp). USA: IOP Publishing [10] Lasco et al Carbon Budgets of Tropical Forest Ecosystems in Southeast Asia: Implication of Climate Change.Institute of Renewable Natural Resources (IRNR) and Enviromental Forestry Program (ENFOR) College of Forestry and Natural Resources, University of the Philippines, College, 4031 Laguna, Philippines

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian sebagai Upaya Sinergis Program Lumbung Pangan Nasional di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan

Pengendalian Konversi Lahan Pertanian sebagai Upaya Sinergis Program Lumbung Pangan Nasional di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian sebagai Upaya Sinergis Program Lumbung Pangan Nasional di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan Rizky Rangga Wijaksono 1 Ardy Maulidy Navastara 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1, (Sept. 2012) ISSN: C-52

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1, (Sept. 2012) ISSN: C-52 JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1, (Sept. 2012) ISSN: 2301-9271 C-52 Pengendalian Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian Tanaman Pangan di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan (Untuk Mendukung Program

Lebih terperinci

PENTINGNYA MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI ALAM DI SEKITAR KITA

PENTINGNYA MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI ALAM DI SEKITAR KITA Peringatan Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia 5 Juni 2010 PENTINGNYA MENJAGA KEANEKARAGAMAN HAYATI ALAM DI SEKITAR KITA Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati, baik tumbuhan maupun hewan. Sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Papua dengan luas kawasan hutan 31.687.680 ha (RTRW Provinsi Papua, 2012), memiliki tingkat keragaman genetik, jenis maupun ekosistem hutan yang sangat tinggi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK (FES) UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DAN PEMETAANNYA DARI SEKTOR INDUSTRI DAN TRANSPORTASI DI WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO

PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK (FES) UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DAN PEMETAANNYA DARI SEKTOR INDUSTRI DAN TRANSPORTASI DI WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK (FES) UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DAN PEMETAANNYA DARI SEKTOR INDUSTRI DAN TRANSPORTASI DI WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO Yonnet Hellian Kresna 1, *), Rachmat Boedisantoso 2)

Lebih terperinci

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN

POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN POTENSI STOK KARBON DAN TINGKAT EMISI PADA KAWASAN DEMONSTRATION ACTIVITIES (DA) DI KALIMANTAN Asef K. Hardjana dan Suryanto Balai Besar Penelitian Dipterokarpa RINGKASAN Dalam rangka persiapan pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang dijalankan beriringan dengan proses perubahan menuju taraf hidup yang lebih baik. Dimana pembangunan itu sendiri dilakukan

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis Indonesia 2050 Pathway Calculator Daftar Isi 1. Ikhtisar Lahan Kritis Indonesia... 3 2. Asumsi... 6 3. Metodologi... 7 4. Hasil Pemodelan... 8 5. Referensi...

Lebih terperinci

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001 Untuk segera dipublikasikan Ilmuwan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis Indonesia 2050 Pathway Calculator Daftar Isi 1. Ikhtisar Lahan Kritis Indonesia... 3 2. Asumsi... 6 3. Metodologi... 7 4. Hasil Pemodelan... 8 5. Referensi...

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

Persebaran Spasial Produksi Emisi Karbon Dioksida (CO 2 ) dari Penggunaan Lahan Permukiman di Kawasan Perkotaan Gresik Bagian Timur

Persebaran Spasial Produksi Emisi Karbon Dioksida (CO 2 ) dari Penggunaan Lahan Permukiman di Kawasan Perkotaan Gresik Bagian Timur JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) C-11 Persebaran Spasial Produksi Emisi Karbon Dioksida (CO 2 ) dari Penggunaan Lahan Permukiman di Kawasan Perkotaan Gresik Bagian

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan ISSN : 085-787X Policy Daftar Isi Volume 4 No. Tahun 010 Profil Emisi Sektor Kehutanan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

Perubahan Iklim? Aktivitas terkait pemanfaatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil. Pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara

Perubahan Iklim? Aktivitas terkait pemanfaatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil. Pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara Amalia, S.T., M.T. Perubahan Iklim? Aktivitas terkait pemanfaatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil Pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara Perubahan komposisi atmosfer secara global Kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasca runtuhnya Uni Soviet sebagai salah satu negara adi kuasa, telah membawa agenda baru dalam tatanan studi hubungan internasional (Multazam, 2010). Agenda yang awalnya

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

Perubahan penggunaan dan tutupan lahan di Indonesia tahun

Perubahan penggunaan dan tutupan lahan di Indonesia tahun BRIEF NO. 29 Perubahan penggunaan dan tutupan lahan di Indonesia tahun 1990-2000-2005 foto: M. Thoha Zulkarnain Pemetaan penggunaan dan tutupan lahan sebagai data aktivitas Untuk mengumpulkan data aktivitas

Lebih terperinci

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF Peran Penting Masyarakat dalam Tata Kelola Hutan dan REDD+ 3 Contoh lain di Bantaeng, dimana untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, pemerintah kabupaten memberikan modal dan aset kepada desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak positif seperti mudahnya berkomunikasi maupun berpindah

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak positif seperti mudahnya berkomunikasi maupun berpindah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi sudah dimulai sejak Revolusi Industri yang terjadi pada abad ke 18 di Inggris yang pada akhirnya menyebar keseluruh dunia hingga saat sekarang ini.

Lebih terperinci

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal JURNAL TEKNIK POMITS Vol.,, () ISSN: 7-59 (-97 Print) Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal Yennita Hana Ridwan dan Rulli Pratiwi Setiawan Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat (TGHK) 1 seluas 140,4 juta hektar terdiri atas kawasan hutan tetap seluas 113,8 juta hektar

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN POLICY BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim sekarang ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih sebagai isu lingkungan global. Salah satu dampak perubahan iklim adalah meningkatnya suhu di bumi

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

I. PENDAHULUAN. degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu global yang paling banyak dibicarakan saat ini adalah penurunan kualitas lingkungan dan perubahan iklim yang salah satu penyebabnya oleh deforestasi dan degradasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hampir seluruh kegiatan ekonomi berpusat di Pulau Jawa. Sebagai pusat pertumbuhan

Lebih terperinci

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) D216 Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Untuk Menyerap Emisi CO 2 Kendaraan Bermotor Di Surabaya (Studi Kasus: Koridor Jalan Tandes Hingga Benowo) Afrizal Ma arif dan Rulli Pratiwi Setiawan Perencanaan

Lebih terperinci

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Ruhyat Hardansyah, Maria C.L. Hutapea Subbidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Inventarisasi Daya Dukung dan daya Tampung

Lebih terperinci

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat. Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau Daddy Ruhiyat news Dokumen terkait persoalan Emisi Gas Rumah Kaca di Kalimantan Timur

Lebih terperinci

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan. BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

2018, No Produk, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya, dan Limbah; d. bahwa Pedoman Umum Inventarisasi GRK sebagaimana dimaksud dalam huruf c

2018, No Produk, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya, dan Limbah; d. bahwa Pedoman Umum Inventarisasi GRK sebagaimana dimaksud dalam huruf c No.163, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Inventarisasi GRKN. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.73/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta meningkatkan suhu global. Kegiatan yang menyumbang emisi gas rumah kaca dapat berasal dari pembakaran

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. 6.1 Kesimpulan. sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 6.1 Kesimpulan Perubahan iklim diperkirakan memberikan dampak pada perekonomian dan sektor kehutanan yang relatif besar. Simulasi model menunjukkan bahwa perubahan iklim

Lebih terperinci

INTEGRASI RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GRK KE DALAM PEMBANGUNAN

INTEGRASI RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GRK KE DALAM PEMBANGUNAN INTEGRASI RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GRK KE DALAM PEMBANGUNAN Endah Murniningtyas Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Disampaikan dalam Workshop: Peran Informasi Geospatial dalam

Lebih terperinci

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Ari Wibowo ariwibowo61@yahoo.com PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN SEMINAR NASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

Panduan Pengguna Untuk Sektor Kelapa Sawit. Indonesia 2050 Pathway Calculator

Panduan Pengguna Untuk Sektor Kelapa Sawit. Indonesia 2050 Pathway Calculator Panduan Pengguna Untuk Sektor Kelapa Sawit Indonesia 2050 Pathway Calculator Daftar Isi 1. Ikhtisar Sektor Kelapa Sawit Indonesia... 3 2. Asumsi... 7 3. Metodologi... 9 4. Hasil Pemodelan... 11 5. Referensi...

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 TENTANG PROGRAM KAMPUNG IKLIM

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 TENTANG PROGRAM KAMPUNG IKLIM PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.84/MENLHK-SETJEN/KUM.1/11/2016 TENTANG PROGRAM KAMPUNG IKLIM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAN-GRK)

RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAN-GRK) RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAN-GRK) Shinta Damerys Sirait Kepala Bidang Pengkajian Energi Pusat Pengkajian Industri Hijau dan Lingkungan Hidup Kementerian Perindustrian Disampaikan

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL Dampak terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha Penanggulangannya

PEMANASAN GLOBAL Dampak terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha Penanggulangannya PEMANASAN GLOBAL Dampak terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha Penanggulangannya Oleh : Prof. Dr., Ir. Moch. Sodiq Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Lebih terperinci

PIPIB untuk Mendukung Upaya Penurunan Emisi Karbon

PIPIB untuk Mendukung Upaya Penurunan Emisi Karbon PIPIB untuk Mendukung Upaya Penurunan Emisi Karbon Peraturan Presiden RI Nomor 61 tahun 2001 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca terbit sebagai salah satu bentuk kebijakan dalam

Lebih terperinci

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP)

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP) INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP) I. PENDAHULUAN - IAFCP didasarkan pada Kesepakatan Kerjasama ditandatangani oleh Presiden RI dan Perdana Menteri Australia 13 Juni 2008, jangka waktu

Lebih terperinci

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Keenam sektor; Kehutanan, pertanian, pembangkit listrik, transportasi, bangunan dan semen bersama-sama dengan emisi yang berhubungan

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA 30 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA Ada dua kecenderungan umum yang diprediksikan akibat dari Perubahan Iklim, yakni (1) meningkatnya suhu yang menyebabkan tekanan panas lebih banyak dan naiknya permukaan

Lebih terperinci

PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DAN PEMETAANNYA DARI SEKTOR TRANSPORTASI DI KOTA MALANG

PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DAN PEMETAANNYA DARI SEKTOR TRANSPORTASI DI KOTA MALANG PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DAN PEMETAANNYA DARI SEKTOR TRANSPORTASI DI KOTA MALANG Gianina Qurrata Dinora 1), Joni Hermana 1 dan Rahmat Boedisantoso 1 1) Teknik Lingkungan,

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam skenario BAU (Business As Usual) perdagangan karbon di indonesia, Kalimantan Tengah akan menjadi kontributor signifikan emisi gas rumah kaca di Indonesia

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 33 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 TAHAPAN PENELITIAN Tahapan penelitian disajikan dalam diagram langkah-langkah metodologi penelitian yang merupakan skema sistematis mengenai keseluruhan proses studi yang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI KONTRIBUSI NON-PARTY STAKEHOLDERS (NPS) DI KALIMANTAN TIMUR DALAM PEMENUHAN NDC FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI Niken Sakuntaladewi (niken_sakuntaladewi@yahoo.co.uk) Pusat Litbang Sosial,

Lebih terperinci

Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost

Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost Andree Ekadinata dan Sonya Dewi PENGENALAN METODE OPPORTUNITY COST DALAM MEKANISME PENGURANGAN EMISI DARI

Lebih terperinci

Kepala Bidang Perkebunan Berkelanjutan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur

Kepala Bidang Perkebunan Berkelanjutan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur Oleh : Kepala Bidang Perkebunan Berkelanjutan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur Disampaikan dalam Festival Iklim KemenLHK Jakarta, 17 Januari 2018 Periode Peletakan Dasar Transformasi Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

ABSTRAK DUKUNGAN AUSTRALIA DALAM PENANGGULANGAN DEFORESTASI HUTAN DI INDONESIA TAHUN

ABSTRAK DUKUNGAN AUSTRALIA DALAM PENANGGULANGAN DEFORESTASI HUTAN DI INDONESIA TAHUN ABSTRAK DUKUNGAN AUSTRALIA DALAM PENANGGULANGAN DEFORESTASI HUTAN DI INDONESIA TAHUN 2004-2009 AKRIS SERAFITA UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL 2012 Hubungan Indonesia dan Australia memiliki peranan penting

Lebih terperinci

DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS

DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS IPK 14600003 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan (serasah) (Arief, 2005).

Lebih terperinci

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011 Strategi Nasional, Pengembangan Kelembagaan, dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011 Perhatian khusus terhadap hutan bukan hal baru 2007 2008 2009 Jan 2010 Mei 2010

Lebih terperinci

Provinsi Kalimantan Timur. Muhammad Fadli,S.Hut,M.Si Kepala Seksi Pemeliharaan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Prov. Kaltim

Provinsi Kalimantan Timur. Muhammad Fadli,S.Hut,M.Si Kepala Seksi Pemeliharaan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Prov. Kaltim Provinsi Kalimantan Timur Muhammad Fadli,S.Hut,M.Si Kepala Seksi Pemeliharaan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Prov. Kaltim Profil Provinsi Kalimantan Timur HARI JADI: 9 Januari IBUKOTA: Samarinda DASAR

Lebih terperinci

Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global : Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil

Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global : Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global : Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil Climate Summit 2014 merupakan event penting dimana negara-negara PBB akan berkumpul untuk membahas

Lebih terperinci

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Papua Barat West Papua Province Indonesia

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Papua Barat West Papua Province Indonesia Governors limate & Forests Task Force Provinsi Papua Barat West Papua Province Indonesia Kata pengantar Gubernur Papua Barat - Abraham Octavianus Atururi West Papua Governor Preface - Abraham Octavianus

Lebih terperinci

Workshop Ahli Perubahan Iklim Regional Maluku dan Maluku Utara. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Maluku

Workshop Ahli Perubahan Iklim Regional Maluku dan Maluku Utara. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Maluku Workshop Ahli Perubahan Iklim Regional Maluku dan Maluku Utara Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Maluku Ambon, 3 Juni 2016 I. KARAKTERISTIK WILAYAH PROVINSI MALUKU PROVINSI MALUKU 92,4 % LUAS

Lebih terperinci

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2015 DEFORESTASI INDONESIA TAHUN 2013-2014

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal Indonesia di beberapa tempat telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

KERJA SAMA PEMERINTAH INDONESIA DAN JERMAN

KERJA SAMA PEMERINTAH INDONESIA DAN JERMAN KERJA SAMA PEMERINTAH INDONESIA DAN JERMAN BIRO PERENCANAAN SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN KEHUTANAN JAKARTA, JANUARI 2007 Latar belakang Negosiasi Bilateral G-G, Oktober 2007 telah menyetujui program

Lebih terperinci

M.Ikhlas Khasana ( ) Mengetahui berbagai dampak kebijakan persawitan nasional saat ini. Pendahuluan. ekspor. produksi.

M.Ikhlas Khasana ( ) Mengetahui berbagai dampak kebijakan persawitan nasional saat ini. Pendahuluan. ekspor. produksi. Tugas Akhir ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PERKEBUNAN SAWIT DI KABUPATEN SIAK PROVINSI RIAU: SEBUAH PENDEKATAN SISTEM DINAMIK Membuat model persawitan nasional dalam usaha memahami permasalahan

Lebih terperinci

Tugas Akhir PW Dosen Pembimbing : Ir. Heru Purwadio, MSP

Tugas Akhir PW Dosen Pembimbing : Ir. Heru Purwadio, MSP Tugas Akhir PW 09-1333 Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Sawah Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit dikabupaten Siak-Riau Ikhlas Saily NRP 3607 100 027 Dosen Pembimbing : Ir. Heru Purwadio, MSP PROGRAM

Lebih terperinci