JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 2 Nomor 11 (2013) Copyright 2013

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 2 Nomor 11 (2013) Copyright 2013"

Transkripsi

1 JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 2 Nomor 11 (2013) Copyright 2013 SENGKETA TANAH PERKEBUNAN PT. MUNTE WANIQ JAYA PERKASA DENGAN MASYARAKAT KAMPUNG MUARA TAE KECAMATAN JEMPANG KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Abstrak Masrani 1 (petinggimuaratae@gmail.com) Haris Retno Susmiyati 2 Masrani, , Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Agraria, Sengketa Tanah Perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa Dengan Masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. Di bawah bimbingan Ibu Haris Retno Susmiyati, SH., selaku Dosen Pembimbing I dan Wiwik Harjanti, S.H.,LL.M selaku Dosen Pembimbing II. Permasalahan yang akan penulis kemukakan dalam penlitian dan penulisan skripsi adalah Bagaimana terjadinya sengketa tanah, Faktor-faktor apa aja yang mempengaruhi terjadinya tanah, dan bagaimana upaya penyelesaian tanah perkebunan tersebut. Penelitian dan penulisan dalam pembahasan ini mempunyai tujuan untuk mengetahui Bagaimana sengketa, Faktor-Faktor Mempengaruhi Terjadinya Sengketa dan juga Upaya Penyelesaian Sengketa tanah tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, jenis penelitian yang digunakan dalan penelitian hukum emperis (Emeperical Law Research). Sehingga penelitian dilakukan dengan metode penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Dari penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa sengketa tanah tersebut jerjadi antara warga masyarakat Kampung Muara Tae dengan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa kerena adanya pembebasan tanah milik masyarakat muara tae seluas 638 Ha. oleh warga Kampung Muara Ponak kepada PT. Munte Waniq Jaya Perkasa. Masyarakat Muara Tae keberatan dan menolak kehadiran PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan menuntut pengembalian tanah yang sudah dibebaskan oleh warga Muara Ponak tersebut. Faktor yang mempengaruhi terjadinya sengketa tersebut adalah karena tidak adanya koordinasi dan konsolidasi dalam penerbitan ijin lokasi PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan karena adanya tumpang tindih pengklaiman hak milik atas tanah antara warga muara tae dengan warga muara ponak setelah terbit ijin lokasi PT. Munte Waniq Jaya Perkasa tahun Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 2 Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

2 Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11 Upaya yang bisa dilakukan untuk menyelsaikan sengketa tersebut menurut penulis adalah melalui cara non litigasi berupa mediasi oleh pihak yang independen. Salah satu adalah melalui BPN untuk mengadakan gelar kasus sesuai dengan peraturan kepala Badan pertanahan nasional nomor 3 tahun 2011 tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Upaya litigasi adalah upaya terakhir apabila uapay melalui cara non litigasi tidak bisa menyelsaian sengketa. Kata Kunci : Sengketa, Tanah, Faktor, Penyelesaian, Perkebunan, Hak Milik, Masyarakat. 2

3 Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) Pendahuluan Didalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan ayat (1) menyebutkan bahwa Dalam rangka penyelenggaraan usaha perkebunan, kepada pelaku usaha sesuai dengan kepentingannya dapat diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dan didalam ayat (2) menyebutkan bahwa Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi, menerangkan Hak dan Kewajiban Pemegang Izin Lokasi diatur dalam Pasal 8 sebagai berikut : ayat (1) Pemegang Izin Lokasi diizinkan untuk membebaskan tanah dalam areal Izin Lokasi dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atau pihak yang mempunyai kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara lain sesuai ketentuan yang berlaku. Ayat (2) Sebelum tanah yang bersangkutan dibebaskan oleh pemegang Izin Lokasi sesuai ketentuan pada ayat (1), maka semua hak atau kepentingan pihak lain yang sudah ada atas tanah yang bersangkutan tidak 3

4 Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11 berkurang dan tetap diakui, termasuk kewenangan yang menurut hukum dipunyai oleh pemegang hak atas tanah untuk memperoleh tanda bukti hak (sertifikat), dan kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkantanahnya bagi keperluan pribadi atau usahanya sesuai rencana tata ruang yang berlaku,serta kewenangan untuk mengalihkannya kepada pihak lain. Pada kenyataannya penggunaan tanah perkebunan ini tidak jarang menimbulkan beberapa permasatanah. Penggunaan tanah sebagai tanah perkebunan seringkali dianggap kurang bijaksana dan kurang mempertimbangakan hak masyarakat. Berbagai permasatanah yang sering muncul dalam pengusahaan perkebunan adalah wilayah perkebunan yang berada di dalam kawasan hutan, perkebunan, Taman Nasional, kawasan transmigrasi, pertanian, dan di atas hak atas tanah masyarakat. Salah satu perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia adalah PT. Munte Waniq Jaya Perkasa yang bekerja di bidang perkebunan kelapa sawit. Luas Ijin yang dimiliki mencapai Ha. Dalam ijin lokasi PT. Munte Waniq Jaya Perkasa wilayah perkebunan meliputi Kampung Kenyanyan, Muara Ponaq, Rikokng, dan Kampung Kiyak Kecamatan Siluq Ngurai. Namun kenyataannya dilapangan sebagian luas wilayah perkebunan yang dimiliki oleh PT. Munte Waniq Jaya Perkasa masuk dalam wilayah Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. PT. Munte Waniq Jaya Perkasa mulai melakukan penggusuran tanah (land clearing) di Kampung Muara Tae pada tanggal 23 Oktober Penggusuran tanah tersebut tidak berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat 4

5 Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) Kampung Muara Tae selaku pemilik tanah. Bahkan masuknya PT. Munte Waniq Jaya Perkasa di Wilayah Kampung Muara Tae baru diketahui ketika adanya penggusuran pada tanggal 23 Oktober Sehingga dari uraian diatas, penulis akan membahas dalam sebuah skripsi dengan mengangkat judul : Sengketa Tanah Perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa Dengan Masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. Berkaitan dengan latar belakang masalah yang penulis kemukakan di atas, maka permasatanah-permasatanah yang hendak dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana terjadinya sengketa tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dengan masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur? 2. Faktor-faktor apa aaja yang mempengaruhi terjadinya tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dengan masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur? 3. Bagaimana upaya penyelesaian tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dengan masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur? Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah teruraikan sebelumnya, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui Bagaimana sengketa terjadinya tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dengan masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. 2. Untuk mengetahui Faktor- 5

6 Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11 Faktor Apa Saja Yang Mempengaruhi Terjadinya Sengketa tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dengan masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. 3. Untuk mengetahui Upaya Penyelesaian Sengketa tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dengan masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur. Pembahasan Berdasarkan penelitian diketahui bahwa sejarah warga masyarakat Kampung Muara Tae Sebelum berdiri Dusun Muara Tae menjadi Kampung, masyarakat Kampung Muara Tae merupakan komunitas lokal yang bertempat tinggal di Lamin Mancong, dengan sebutan Dayak Benuaq dan sebutan sub suku yaitu Dayak Benuaq Ohokng Sanggokng karena berasal dari Lamin Sanggokng yang hidup secara turun menurun.sesuai dengan adat istiadat dan sejarah, batas alam atau air menitis berupa hulu sungai dan pematang gunung untuk batas dengan kampung yang berlainan sungai. Dan apabila masih satu sungai batasnya berupa batang sungai dan pematang gunung. Sejarah Penguasaan Tanah oleh Masyarakat Kampung Muara Tae sudah dilakukan sejak jaman lamin Sanggokng dalam bentuk hak ulayat. Tata susunan dan hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum adat adalah sebagai berikut : 3 1. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, sebagai hak penguasaan yang tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan hukum publik. 2. Hak Kepada Adat dan Tetua Adat, yang bersumber pada hak ulayat, dan beraspek hukum publik 3 Boedi harsono, Op. Cit., hal

7 Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) semata. 3. Hak-Hak atas Tanah, sebagai hak individual, yang secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum keperdataan. Antara hak ulayat dan hak perorangan selalu ada hubungan timbal balik. Makin banyak usaha yang dilakukan seseorang di atas suatu bidang tanah, makin eratlah hubungannya dengan tanah yang bersangkutan dan makin kuat pula haknya atas tanah tersebut. 4 Penguasaan tanah pada masa Lamin Sanggokng bersifat komunal atau milik bersama, atau bisa disebut sebagai hak ulayat lamin Sanggokng. Dimana tanah-tanah dalam wilayah Lamin Sanggongk di sepanjang sungai Nayan adalah milik bersama semua warga Lamin Sanggokng. Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat Kampung Muara Tae, tanah-tanah bersama atau hak ulayat tersebut sedikit-demisedikit dikelola dan dikuasai oleh warga secara individual untuk memenuhi berbagai kebutuhan pribadi dan keluarga. Masyarakat Kampung Muara Tae menguasai tanah ulayat dengan berladang secara gilir balik dan di atas bekas ladang dibuat kebun buah-buahan, rotan, karet dan tanaman keras lainnya. Salah satu daerah perladangan masyarakat Kampung Muara Tae adalah daerah sungai Nayan Bekok anak Sungai Nayan yang mengalir ke Kampung Muara Tae. Yang menurut batas alam sejak jaman Lamin Sanggokng daerah tersebut masuk dalam wilayah Kampung Muara Tae. Selama masyarakat Kampung Muara Tae berladang dan berkebun di daerah tersebut secara individual, tidak pernah ada sengketa atau klaim dari kampung tetangga yang menyatakan bahwa daerah tersebut bukan wilayah Kampung 4 Soebekti-Tamara, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung, Gunung Agung, Jakarta, 1961, Hal

8 Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11 Muara Tae atau masuk kampung lain. Dan tidak pernah ada yang mengakui bahwa daerah tersebut adalah hak warisan pihak tertentu. Bagi masyarakat Kampung Muara Tae, kebun-kebun yang telah mereka buat atau disebut Simpukng adalah bukti fisik/bukti lapangan bahwa tanah tersebut adalah milik mereka secara pribadi atau individual. Dengan demikian saat ini hak-hak atas tanah yang masih ada di wilayah Kampung Muara Tae adalah Hak-Hak atas Tanah, sebagai hak individual, yang secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum keperdataan. Terjadinya sengketa tanah perkebunan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dengan masyarakat Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur karena PT. Munte Waniq Jaya Perkasa menggusur tanah warga masyarakat Muara Tae tanpa sepakat. Bagi masyarakat Kampung Muara Tae tindakan penggusuran tersebut adalah tindakan penyerobotan karena sudah jelas tanah tersebut dikelola oleh masyarakat Kampung Muara Tae sejak turun temurun. Masyarakat Kampung Muara Tae sampai sekarang tetap menolak PT. Waniq Jaya Perkasa. Dan menuntut PT. Munte Waniq Jaya Perkasa agar mengembalikan semua tanah masyarakat Kampung Muara Tae baik yang sudah ditanam maupun yang belum ditanam serta yang belum digusur oleh PT. Munte Waniq Jaya Perkasa. Dan Membayar denda atas kerusakan tanam tumbuh akibat penggusuran. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Sengketa tanah tersebut menurut hasil penelitian ada dua faktor. Pertama karena tidak adanya konsultasi dan Koordinasi Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Barat dengan 8

9 Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) Masyarakat Kampung Muara Tae dalam penerbitan ijin lokasi PT. Munte Waniq Jaya Perkasa. Salah satu asas penyelenggaraan perkebunan diterangan dalam Undangundang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan pasal 2 adalah asas keterbukaan, yaitu bahwa penyelenggaraan perkebunan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan pelayanan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi telah menjelaskan Dalam Pasal 6 bahwa Ayat 2 bahwa Surat keputusan pemberian Izin Lokasi ditandatangani oleh Bupati/Walikotamadya atau, untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta setelah diadakan rapat koordinasi antarinstansi terkait, yang dipimpin oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta,atau oleh pejabat yang ditunjuk secara tetap olehnya. Dan dalam ayat (4) menegaskan bahwa Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai konsultasi dengan masyarakat pemegang hak atas tanah dalam lokasi yang dimohon. Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi empat aspek sebagai berikut a. Penyebarluasan informasi mengenai rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan, ruang lingkup dampaknya dan rencana perolehan tanah serta penyelesaian masalah yang berkenaan dengan perolehan tanah tersebut. B. Pemberian kesempatan kepada pemegang hak atas tanah untuk memperoleh penjelasan tentang rencana penanaman modal dan mencari alternatif pemecahan masalah yang ditemui; c. Pengumpulan informasi langsung dari masyarakat untuk memperoleh data social dan lingkungan yang diperlukan. d. Peran serta 9

10 Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11 masyarakat berupa usulan tentang alternatif bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam perolehan tanah dalam pelaksanaan Izin Lokasi. Faktor kedua adalah Terjadi tumpang tindis klaim Hak Atas Tanah antara warga Masyarakat Kampung Muara Tae dan warga Masyarakat Kampung Muara Ponak. Dari hasil penelitian, warga masyarakat Kampung Muara Ponak baru mengklaim hak atas tanah diatas tanah yang dikuasai oleh warga masyarakat Kampung Muara Tae setelah adanya Ijin Lokasi PT. Munte Waniq Jaya Perkasa. PT. Munte Waniq Jaya Perkasa masuk di Wilayah Kutai Barat berdasarkan Keputusan Bupati Kutai Barat Nomor /K.1073/2007 Tertanggal 19 Desember Luas ijin yang diberikan ± Ha. Di dalam Peta Ijin Lokasi tersebut PT. Munte Waniq Jaya Perkasa masuk dalam wilayah Kecamatan Siluq Ngurai tepatnya yaitu di dalam wilayah Kampung Muara Ponaq, Kampung Rikong, Kampung Kiyak dan Kampung Kenyanyan. Pada kenyataannya di lapangan, beberapa bagian wilayah Ijin Lokasi perusahaan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa masuk dalam wilayah Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang. Berdasarkan sejarah batas yang disepakati sejak turun-temurun sebagaimana yang dipetakan dalam Peta Partisipatif yang dibuat oleh Pemerintah Kampung Muara Tae tahun 2011, ternyata garis batas wilayah Kampung Muara Tae dan Kampung Muara Ponak di dalam Peta Lokasi tersebut telah bergeser ke dalam wilayah Kampung Muara Tae. Luas pergeseran tersebut seluas 638 Hektar. Setelah adanya pergeseran batas wilayah Kampung tersebut, maka tanah-tanah yang selama ini telah dikuasai oleh warga masyarakat Kampung Muara Tae diklaim oleh warga Kampung Muara Ponak sebagai hak waris mereka. 10

11 Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) Didalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan ayat (2) menyebutkan bahwa Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Berdasarkan pengklaiman tersebut maka dilakukan pembebasan tanah kepada PT. Munte Waniq Jaya Perkasa untuk mendapatkan imbalan sebagaimana diterangkan dalam pasal 9 ayat 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Penyelesaian sengketa tanah dapat ditempuh melalui secara litigasi atau melalui lembaga peradilan dan non litigasi atau melalui cara di luar lembaga peradilan. Penyelesaian sengketa tanah secara litigasi telah ditempuh dengan membuat Laporan ke Polda Kalimatan Timur Berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP/K/06/I/2012/POLDA KALTIM/SPKT, tertanggal 9 Januari 2012, Petinggi Kampung Muara Tae melaporkan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan warga Kampung Muara Ponak atas nama sdr. Giarto, Jerki, Mangging, dan Namur dengan dugaan penyerobotan tanah milik warga masyarakat Kampung Muara Tae. Kemudian laporan tersebut dilimpahkan ke Polres Kutai Barat untuk dilakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan surat Nomor : RES.1.2./295/I/2012/Direskrimum, tanggal 13 Januari

12 Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11 Proses penyelidikan di Polres Kutai Barat berhenti sampai pada proses pemanggilan saksi pelapor dari Muara Tae yaitu para pemilik tanah yang digusur oleh PT. Munte Waniq Jaya Perkasa. Menurut pihak Polres Kutai Barat bahwa mereka kesulitan untuk melanjutkan proses karena masing-masing pihak baik warga Muara Tae maupun warga Muara Ponak sama-sama tidak mempunyai bukti kepemilikan tanah yang sah menurut hukum yang berlaku berupa surat bukti kepemilikan tanah. Maka oleh sebab itu mereka sarankan agar ditempuh melalui jalur hukum perdata. Penyelesaian sengketa melalui Badan Pertanahan Nasional diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Penyelesaian sengketa melalui BPN dilakukan melalui proses gelar kasus. Dalam pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan mengenai penyelenggaraan gelar kasus berbunyi : Gelar kasus pertanahan yang selanjutnya disingkat gelar kasus adalah mekanisme kelembagaan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam rangka penanganan dan/atau penyelesaian sengketa pertanahan. Gelar penanganan dan/atau penyelesaian kasus pertanahan meliputi : Gelar kasus internal, Gelar kasus eksternal,gelar mediasi, dan Gelar istimewa. Langkah-langkah penanganan sengketa dijelaskan dalam Pasal 27 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan Peraturan Kepala 12

13 Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dilakukan : 1) Penelitian/pengolahan data pengaduan. 2) Penelitian lapangan. 3) Penyelenggaraan gelar kasus. 4) Penyusunan risalah pengolahan data 5) Penyiapan berita acara/surat/keputusan, dan/atau 6) Monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan sengketa. Penutup Sengketa tanah perkebunan antara warga masyarakat Kampung Muara Tae dengan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa terjadi setelah PT. Munte Waniq Jaya Perkasa melakukan Pembebasan lahan seluas 638 Hektar dengan warga Kampung Muara Ponak. Tanah tersebut telah dikuasai masyarakat Kampung Muara Tae. Tetapi setelah adanya PT. Munte Waniq Jaya Perkasa masyarakat Kampung Muara Ponak membebaskan tanah tersebut secara sepihak tanpa sepengatahuan Masyarakat Kampung Muara Tae. Masyarakat Kampung Muara Tae menolak PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan menuntut pengembalian tanah yang sudah dikuasai oleh PT. Munte Waniq Jaya Perkasa dan menuntut denda ganti rugi atas kerusakan tanah dan tanam tumbuh yang telah digusur oleh pihak perusahaan. Ada dua faktor yang mempengaruhi terjadinya sengketa. Pertama Tidak adanya konsultasi dan Koordinasi Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Barat dengan Masyarakat Kampung Muara Tae dalam penerbitan ijin lokasi PT. Munte Waniq Jaya Perkasa. 13

14 Jurnal Beraja Niti, Volume 2 Nomor 11 Kedua Terjadi tumpang tindis klaim Hak Atas Tanah antara warga Masyarakat Kampung Muara Tae dan warga Masyarakat Kampung Muara Ponak. Maka oleh sebab itu penulis simpulkan upaya penyelesaian sengketa yang sebaiknya ditempuh adalah melalui cara non litigasi dengan melakukan gelar kasus oleh Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Kepastian hukum pemilikan dan penguasaan hak atas tanah harus terlebih dahulu ditemukan antara warga masyarakat Muara Tae dan warga Masyarakat Muara Ponak. Dalam proses penyelesaian tersebut kegiatan PT. Munte Waniq Jaya Perkasa harus dihentikan di wilayah sengketa sampai sengketa selesai. Warga masyarakat Kampung Muara Tae bisa menyampaikan surat pengaduan kepada BPN agar dilakukan gelar kasus untuk menyelesaikan sengketa tersebut. 14

15 Sengketa Tanah Perkebunan (Masrani ) DAFTAR PUSTAKA A. Buku Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta Muhammad, Abdul kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Sumardjono, dkk, 2008, Mediasi Sengketa Tanah, Kompas, Jakarta, Usman, Rachmadi, 2003, Pilihan Penyelesaian Diluar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung Murad, Rusmadi, 2007, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Mandar Maju, Bandung Yuwono, Trisno, 1994, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Arkola, Surabaya Hatta,Mohammad, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Media Abdi, Yogyakarta B. Perundang-undangan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengolahan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi D. Dokumen Monografi Kampung Muara Tae Tahun

: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;

: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONALN NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG IZIN LOKASI MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL Menimbang : a. Bahwa dalam rangka pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup umat manusia. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup umat manusia. Hubungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang agraris sehingga tanah mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan rakyat. Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan

Lebih terperinci

BUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI

BUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI BUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KONAWE UTARA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTAHANAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG IZIN LOKASI

PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTAHANAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG IZIN LOKASI PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTAHANAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG IZIN LOKASI MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL, Menimbang : Mengingat : a. Bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERIAN IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan dinamika pembangunan,

Lebih terperinci

Di- Lamp :- I{al : Tanggapan Aparat dan Masyarakat Kampung Muara ponak Terkait Klaim Lahan Dalarn Lokasi Usaha pt. BSMJ

Di- Lamp :- I{al : Tanggapan Aparat dan Masyarakat Kampung Muara ponak Terkait Klaim Lahan Dalarn Lokasi Usaha pt. BSMJ PEMBRINTAH KAMPTING MUARA PONAK KECAMATAN SILUQ NGT]RAI KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINST KALIMANTAN TIMUR Nomor: Lamp :- I{al : Tanggapan Aparat dan Masyarakat Kampung Muara ponak Terkait Klaim Lahan Dalarn

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai

Lebih terperinci

BAB IV UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH PT. KUTAI BALIAN NAULI DALAM MELAKUKAN PERLUASAN LAHAN

BAB IV UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH PT. KUTAI BALIAN NAULI DALAM MELAKUKAN PERLUASAN LAHAN BAB IV UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH PT. KUTAI BALIAN NAULI DALAM MELAKUKAN PERLUASAN LAHAN Baik dalam lembaga pembebasan tanah maupun pengadaan tanah, tanah yang dibutuhkan pihak pemerintah untuk kepentingan

Lebih terperinci

George Leonard Lalamentik Hukum Agraria ABSTRAK

George Leonard Lalamentik Hukum Agraria ABSTRAK SENGKETA PENGGUNAAN LAHAN TRANSMIGRASI SWAKARSA MANDIRI UNTUK KEGIATAN PERTABANGAN BATUBARA PT. JEMBAYAN MUARA BARA (Studi di Desa Bhuana Jaya Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara)

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air, ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikaruniakan

Lebih terperinci

SILANG SENGKARUT PENGELOLAAN HUTAN DAN LAHAN

SILANG SENGKARUT PENGELOLAAN HUTAN DAN LAHAN SILANG SENGKARUT PENGELOLAAN HUTAN DAN LAHAN Studi Kasus Tumpang Tindih di Muara Tae dan Muara Lambakan Kalimantan Timur Indonesia yang seharusnya Raya, sekarang diambang kehancuran alam akibat sifat rakusnya

Lebih terperinci

2015, No Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran

2015, No Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran No.647, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR. Izin Lokasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 5TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTAHANAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG IZIN LOKASI

PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTAHANAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG IZIN LOKASI MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTAHANAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTAHANAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 1999 TENTANG IZIN LOKASI MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batasan usia dewasa. Berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

BAB I PENDAHULUAN. batasan usia dewasa. Berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk mewujudkan kepastian hukum mengenai kedewasaan dan kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan, perlu adanya kejelasan

Lebih terperinci

BUPATI BERAU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BERAU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN BUPATI BERAU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM SKALA KECIL BAGI PEMERINTAH KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah Indonesia terkenal dengan sebutan Archipelago yang hilang dengan gugusan ribuan pulau dan jutaan manusia yang ada di dalamnya. Secara wilayah daratan,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

Yang Mulia Ketua dan Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi ; Para Pemohon dan Termohon serta hadirin persidangan yang saya hormati.

Yang Mulia Ketua dan Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi ; Para Pemohon dan Termohon serta hadirin persidangan yang saya hormati. Para Pemohon dan Termohon serta hadirin persidangan yang saya hormati. Pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih karena diberikan ruang dan waktu untuk menyampaikan faktafakta yang saya

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KAMPUNG KUTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkann

Lebih terperinci

Pembuatan Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak Adat di Atas Tanah

Pembuatan Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak Adat di Atas Tanah Panduan Pembuatan Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak Adat di Atas Tanah Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah 2 Daftar Isi Pengantar Sekretaris Daerah Provinsi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2010 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan modal dasar pembangunan, serta faktor penting. dalam kehidupan masyarakat yang umumnya menggantungkan

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan modal dasar pembangunan, serta faktor penting. dalam kehidupan masyarakat yang umumnya menggantungkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah merupakan modal dasar pembangunan, serta faktor penting dalam kehidupan masyarakat yang umumnya menggantungkan kehidupannya pada manfaat tanah dan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PEMBERIAN IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengaturan penanaman modal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, menyebabkan permasalahan

I. PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, menyebabkan permasalahan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya tanah merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Sebagai salah satu modal dasar tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia, karena

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan I. PEMOHON 1. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS); 2. Perkumpulan Sawit Watch; 3. Aliansi Petani Indonesia

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan dapat ditarik. Hukum Adat Kecamatan Jerebu u Kabupaten Ngada.

BAB V PENUTUP. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan dapat ditarik. Hukum Adat Kecamatan Jerebu u Kabupaten Ngada. 107 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Peran Mosa Sebagai Lembaga Pemangku Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah

Lebih terperinci

FORMAT PERMOHONAN HAK GUNA USAHA

FORMAT PERMOHONAN HAK GUNA USAHA LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA FORMAT PERMOHONAN HAK GUNA USAHA Nomor

Lebih terperinci

ARTICLE PELEPASAN HAK ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN JALAN MALALAK KABUPATEN AGAM. (Studi Kasus Pada Proyek Pembangunan Jalan Malalak

ARTICLE PELEPASAN HAK ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN JALAN MALALAK KABUPATEN AGAM. (Studi Kasus Pada Proyek Pembangunan Jalan Malalak ARTICLE PELEPASAN HAK ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN JALAN MALALAK KABUPATEN AGAM (Studi Kasus Pada Proyek Pembangunan Jalan Malalak Di Kabupaten Agam) Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG

TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG TATA CARA PENETAPAN HAK GUNA USAHA KEMENTERIAN AGARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL DIT. PENGATURAN DAN PENETAPAN HAK TANAH DAN RUANG 1 RUANG LINGKUP HGU SUBYEK HGU JANGKA WAKTU HGU PENGGUNAAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2010 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dengan adanya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR: 5 TAHUN 2013

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR: 5 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR: 5 TAHUN 2013 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang : a. bahwa sebagai upaya pengendalian agar penggunaan tanah dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 3/Ags-Okt/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 3/Ags-Okt/2014 PERSOALAN GANTI RUGI DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN 1 Oleh : Angelia Inggrid Lumenta 2 ABSRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana prosedur pelaksanaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G

KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMUNGUTAN DAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PADA HUTAN RAKYAT/HUTAN MILIK/TANAH MILIK, AREAL TAMBANG, HTI, PERKEBUNAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanent dan dapat. dicadangkan untuk kehidupan pada masa datang.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanent dan dapat. dicadangkan untuk kehidupan pada masa datang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persoalan tentang tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting sekali oleh karena sebagian besar daripada kehidupannya adalah bergantung pada tanah.

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Pelaksanaan tugas dan fungsi Kanwil-BPN Provinsi Kalimantan

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Pelaksanaan tugas dan fungsi Kanwil-BPN Provinsi Kalimantan BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Pelaksanaan tugas dan fungsi Kanwil-BPN Provinsi Kalimantan Selatan dalam penertiban dan pendayagunaan tanah Hak Guna Usaha yang telantar sudah dilaksanakan sesuai dengan

Lebih terperinci

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG IZIN LOKASI

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG IZIN LOKASI BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN, UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

- 308 - I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1.

- 308 - I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. - 308 - I. PEMBAGIAN URUSAN AN PERTANAHAN SUB 1. Izin Lokasi 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria izin lokasi. 2.a. Pemberian izin lokasi lintas provinsi. b.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG IZIN LOKASI DI KABUPATEN KOTABARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 05 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IJIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI BARAT, Menimbang : a.

Lebih terperinci

I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1.

I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI 1. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. - 235 - I. PEMBAGIAN URUSAN AN PERTANAHAN SUB 1. Izin Lokasi 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria izin lokasi. 2.a. Pemberian izin lokasi lintas provinsi. b.

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 084 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 084 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 084 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERSIAPAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah. yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah. yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali.

Lebih terperinci

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi IUPHHK restorasi ekosistem Kajian Sistem Pengelolaan dan Rehabilitasi IUPHHK Restorasi Ekosistem Strategi Rehabilitasi

Lebih terperinci

KEPASTIAN HUKUM BAGI TANAH ULAYAT MASYARAKAT MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT Oleh: Ridho Afrianedy,SHI, Lc (Hakim PA Sungai Penuh)

KEPASTIAN HUKUM BAGI TANAH ULAYAT MASYARAKAT MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT Oleh: Ridho Afrianedy,SHI, Lc (Hakim PA Sungai Penuh) KEPASTIAN HUKUM BAGI TANAH ULAYAT MASYARAKAT MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT Oleh: Ridho Afrianedy,SHI, Lc (Hakim PA Sungai Penuh) Latar Belakang Tak sekali terjadi konflik horizontal di tengah masyarakat

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 31 TAHUN 2000

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 31 TAHUN 2000 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 31 TAHUN 2000 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 22 TAHUN 2000 T E N T A N G KERJASAMA ANTAR DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dengan masyarakat Desa Waepana melalui mediasi adalah sebagai berikut,

BAB V PENUTUP. dengan masyarakat Desa Waepana melalui mediasi adalah sebagai berikut, 107 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Proses penyelesaian dalam sengketa antara masyarakat adat Desa Seso dengan masyarakat Desa Waepana melalui mediasi adalah sebagai berikut, a) Pengaduan dari masyarakat

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH NEGARA. Istilah hak pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkan

BAB II PENGATURAN HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH NEGARA. Istilah hak pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkan BAB II PENGATURAN HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH NEGARA D. Dasar Hukum Hak Pengelolaan Istilah hak pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965. Dalam

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG PENERBITAN IZIN LOKASI DAN PERSETUJUAN PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN SIDOARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013 LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA Nomor 21 Tahun 2013 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SAMARINDA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005

Lebih terperinci

BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN KAWASAN, HEMAQ BENIUNG, HUTAN ADAT KEKAU DAN HEMAQ PASOQ SEBAGAI HUTAN ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Republik Indonesia. 1985, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, Jakarta Republik Indonesia. 1965, Peraturan Menteri Agraria No.

Republik Indonesia. 1985, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, Jakarta Republik Indonesia. 1965, Peraturan Menteri Agraria No. DAFTAR PUSTAKA Bhumibhakti, 2006, Edisi X No. 10, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta Dale, PF. and Mc.Laughlin, JD, 1999, Land Administration, Oxford University, New York, 1988, Land Information Management,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kota Surabaya dengan luas wilayah sebesar 326,36 km² merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kota Surabaya dengan luas wilayah sebesar 326,36 km² merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Surabaya dengan luas wilayah sebesar 326,36 km² merupakan salah satu kota yang memiliki keistimewaan dalam hal pengelolaan tanah. Diantara wilayah tersebut

Lebih terperinci

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.742, 2015 KEMEN. ATR. Tata Cara Hak Komunal Tanah. Hukum Adat. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 27 TAHUN 2011

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 27 TAHUN 2011 WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 27 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 2

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS BERALIHNYA LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS BERALIHNYA LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN. Al Ulum Vol.53 No.3 Juli 2012 halaman 30-34 30 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS BERALIHNYA LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN Noor Azizah* PENDAHULUAN

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PARTICIPATORY MAPPING (PM) ATAU PEMETAAN PARTISIPATIF

PELAKSANAAN PARTICIPATORY MAPPING (PM) ATAU PEMETAAN PARTISIPATIF Halaman: 1 dari 7 MAPPING (PM) ATAU Dibuat Oleh Direview Oleh Disahkan Oleh 1 Halaman: 2 dari 7 Riwayat Perubahan Dokumen Revisi Tanggal Revisi Uraian Oleh 2 Halaman: 3 dari 7 Daftar Isi 1. Tujuan... 4

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat Penyebutan masyarakat dapat ditemukan dalam berbagai peraturan. Masyarakat yang dimaksud tersebut bukan berarti menunjuk pada kerumunan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 5/Mei/2016. Kata kunci: Pengadaan tanah, pembangunan, kepentingan umum

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 5/Mei/2016. Kata kunci: Pengadaan tanah, pembangunan, kepentingan umum PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 1 Oleh : Angraini Christy Lumantouw 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT KABUPATEN NUNUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN Disampaikan pada Seminar dengan Tema HGU & HGB : Problem, Solusi dan Perlindungannya bedasarkan UU No. 25 Tahun

Lebih terperinci

TERHAMBATNYA PROSES JUAL BELI KARENA TIDAK JELASNYA TANDA BATAS HAK MILIK ATAS TANAH DI KABUPATEN GROBOGAN

TERHAMBATNYA PROSES JUAL BELI KARENA TIDAK JELASNYA TANDA BATAS HAK MILIK ATAS TANAH DI KABUPATEN GROBOGAN TERHAMBATNYA PROSES JUAL BELI KARENA TIDAK JELASNYA TANDA BATAS HAK MILIK ATAS TANAH DI KABUPATEN GROBOGAN Yoga Dwi Santosa Sarjana Hukum Program Sarjana Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABTRAKSI Tujuan

Lebih terperinci

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PERKARA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LAMANDAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 120 TAHUN 2010 T E N T A N G

GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 120 TAHUN 2010 T E N T A N G GUBERNUR PAPUA KEPUTUSAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 120 TAHUN 2010 T E N T A N G PEMBERIAN IJIN LOKASI UNTUK KEPERLUAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA AIR (PLTA) URUMUKA KEPADA PT. PAPUA POWER INDONESIA GUBERNUR PAPUA,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, (Jakarta : Djambatan, 2005), hal

BAB 1 PENDAHULUAN. Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, (Jakarta : Djambatan, 2005), hal 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan salah satu sumber daya alam utama, yang selain mempunyai nilai batiniah yang mendalam bagi rakyat Indonesia,

Lebih terperinci

Disampaikan Kepada Complaint Panel RSPO dan Para Pihak Terkait Di RILO - Jakarta, tgl 25 Juni 2013

Disampaikan Kepada Complaint Panel RSPO dan Para Pihak Terkait Di RILO - Jakarta, tgl 25 Juni 2013 LAPORAN PEMETAAN DAN PENYUSUNAN ROADMAP PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL ANTARA MASYARAKAT MUARA TAE DENGAN PT. BORNEO SURYA MINING JAYA DI KABUPATEN KUTAI BARAT PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Disampaikan Kepada

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa sebagai upaya pengendalian agar penggunaan

Lebih terperinci

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK

PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN. - Supardy Marbun - ABSTRAK PERSOALAN AREAL PERKEBUNAN PADA KAWASAN KEHUTANAN - Supardy Marbun - ABSTRAK Persoalan areal perkebunan pada kawasan kehutanan dihadapkan pada masalah status tanah yang menjadi basis usaha perkebunan,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH DAERAH TINGKAT I KALIMANTAN BARAT NOMOR: 18 TAHUN 2002 T E N T A N G PENYELENGGARAAN PERUSAHAAN INTI RAKYAT PERKEBUNAN

PERATURAN DAERAH DAERAH TINGKAT I KALIMANTAN BARAT NOMOR: 18 TAHUN 2002 T E N T A N G PENYELENGGARAAN PERUSAHAAN INTI RAKYAT PERKEBUNAN PERATURAN DAERAH DAERAH TINGKAT I KALIMANTAN BARAT NOMOR: 18 TAHUN 2002 T E N T A N G PENYELENGGARAAN PERUSAHAAN INTI RAKYAT PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN PETANI PLASMA KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH BUMBU,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG IZIN LOKASI DI KABUPATEN KOTABARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Bahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2016 2 BUPATI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 80 SERI C NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 49 TAHUN 2001

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 80 SERI C NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 49 TAHUN 2001 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 80 SERI C NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 49 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU PADA HUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN IZIN LOKASI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN IZIN LOKASI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN IZIN LOKASI Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA, : a. bahwa dalam rangka pengaturan

Lebih terperinci

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 7 (2014) Copyright 2014

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 7 (2014)  Copyright 2014 JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 7 (2014) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja Copyright 2014 KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERTAMBANGAN PASIR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENYERAHAN ASET BANGUNAN DAN LINGKUNGAN DARI PENGEMBANG KEPADA PEMERINTAH DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENYERAHAN ASET BANGUNAN DAN LINGKUNGAN DARI PENGEMBANG KEPADA PEMERINTAH DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENYERAHAN ASET BANGUNAN DAN LINGKUNGAN DARI PENGEMBANG KEPADA PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN FAKFAK

PEMERINTAH KABUPATEN FAKFAK PEMERINTAH KABUPATEN FAKFAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN FAKFAK NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI FAKFAK, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENGUASAAN HAK ATAS TANAH OLEH PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG

PENGUASAAN HAK ATAS TANAH OLEH PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG 1 PENGUASAAN HAK ATAS TANAH OLEH PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG MULIAWAN ADI PUTRA Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Jl. Prof. Soemantri Brodjonegoro No, 1 Bandar Lampung 35145 ABSTRAK Tanah sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan angin segar bagi masyarakat publik. Dalam peraturan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. memberikan angin segar bagi masyarakat publik. Dalam peraturan tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak diterbitkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mulai berlaku efektif sejak 1 Mei 2010, memberikan angin segar bagi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017 TATA CARA PERPANJANGAN DAN PEMBAHARUAN HAK GUNA BANGUNAN BERDASARKAN PP. NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH 1 Oleh: Sitti Rachmi Nadya Mo o 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci