BENTUK DAN TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDERS DALAM PENGELOLAAN CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL-BUKIT BATU (CB-GSK-BB), PROVINSI RIAU YASSER PRAMANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BENTUK DAN TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDERS DALAM PENGELOLAAN CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL-BUKIT BATU (CB-GSK-BB), PROVINSI RIAU YASSER PRAMANA"

Transkripsi

1 i BENTUK DAN TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDERS DALAM PENGELOLAAN CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL-BUKIT BATU (CB-GSK-BB), PROVINSI RIAU YASSER PRAMANA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 BENTUK DAN TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDERS DALAM PENGELOLAAN CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL-BUKIT BATU (CB-GSK-BB), PROVINSI RIAU YASSER PRAMANA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

3 RINGKASAN YASSER PRAMANA. Bentuk dan Tingkat Partisipasi Stakeholders dalam Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK-BB), Provinsi Riau. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI dan Y. PURWANTO. Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu Riau (CB-GSK-BB) merupakan ekosistem hutan rawa gambut (peat-swamp forest) wilayah Sumatera yang terletak di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak di Propinsi Riau. CB-GSK- BB ini diprakarsai oleh pihak swasta, yaitu Sinarmas Forestry dan didukung banyak pihak seperti Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Riau, Pemerintah Provinsi Riau dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Adanya Usulan Rencana Pengelolaan CB-GSK-BB tahun dimaksudkan untuk memberikan panduan, kerangka dan acuan pengelolaan didasarkan pada prinsip multistakeholders management (pengelolaan kolaboratif), mengingat bervariasinya lansekap dan pemangkunya. Partisipasi stakeholders menjadi komponen penentu keberhasilan pengelolaan kolaboratif. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta menganalisis kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB, mengklasifikasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB serta mengidentifikasi bentuk dan menentukan tingkat partisipasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Penelitian dilakukan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu pada bulan Juli-September Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap informan kunci yang dipilih secara purposive sampling, dengan mempertimbangkan keterlibatannya dalam pengelolaan dan dianggap banyak mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan penelitian. Secara umum kepentingan (interest) stakeholders sinergi dengan fungsi ekosistem dan tujuan pengelolaan CB-GSK-BB. Pada penelitian ini terdapat 31 stakeholders CB-GSK-BB. Sebagian besar stakeholders berpartisipasi sampai pada tingkat kemitraan kecuali masyarakat, masih pada tingkat informasi. Kata Kunci: CB-GSK-BB Riau, Stakeholders, Pengelolaan Kolaboratif, Partisipasi

4 SUMMARY YASSER PRAMANA. Model and Level Stakeholders Participation in Management of Giam Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve (GSK-BB- BR), Riau Province. Under supervision of SAMBAS BASUNI and Y. PURWANTO. Giam Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve (GSK-BB-BR) represents the tropical peat swamp forest Sumatera region that located in Bengkalis and Siak Regencies, Province of Riau. Giam Siak Kecil Bukit Batu Biosphere Reserve (GSK-BB-BR) was initiated by private sector, Sinarmas Forestry and supported by The Hall of Natural Resources Conservation (BBKSDA) Riau, Government of Riau Province and Indonesian Institute of Sciences (LIPI). Proposed Management Plan GSK-BB-BR intended to give information based on the principle of multistakeholders management or collaborative management. Stakeholders participation is determiner components in collaborative management. The aims of this research were identification and analysis of the stakeholders interest and power in the management of GSK-BB-BR, classification of the stakeholders in the management of GSK-BB BR and identification of the stakeholders model and participation level in the management of GSK-BB-BR. The research was conducted in GSK-BB-BR, Province of Riau on July until September Materials were collected by indepth interview to key informan from stakeholders, selected by purposive sampling that considered their role in the management GSK-BB-BR and their knowledge about the research topic. Generally the interest of stakeholders are synergy with the function of ecosystems and the aim of the management in GSK-BB-BR. The results of identification are 31 stakeholders of GSK-BB-BR. Most of stakeholders are participate at level of partnership except the local community, still at level of information. Keywords: GSK-BB-BR Riau, Stakeholders, Collaborative Management, Participation

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Bentuk dan Tingkat Partisipasi Stakeholders dalam Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK-BB), Provinsi Riau adalah benarbenar hasil kerja saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2012 Yasser Pramana NIM E

6 Judul Skripsi Nama NIM : Bentuk dan Tingkat Partisipasi Stakeholders dalam Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK-BB), Provinsi Riau. : Yasser Pramana : E Menyetujui : Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS Prof. Dr. Ir. Y. Purwanto, DEA NIP NIP Mengetahui : Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP Tanggal Lulus :

7 i KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT dan Nabi Muhammad SAW atas limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi berjudul Bentuk dan Tingkat Partisipasi Stakeholders dalam Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK- BB), Provinsi Riau sebagai hasil penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai September Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk menyempurnakannya. Akhirnya, semoga Alloh SWT memberkahi dan membalas kebaikan semua pihak yang telah mendukung dan memberikan bantuan kepada penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, terkhusus bagi stakeholders yang membutuhkan. Bogor, Maret 2012 Penulis

8 ii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cilegon (Banten) pada tanggal 21 November Penulis adalah putra ketiga dari empat bersaudara, pasangan Bapak Ariffin dan Ibu Iyah Dihiyati. Riwayat pendidikan penulis adalah TK Tunas Baja IV, SD YPWKS V, SMP Negeri 2 Cilegon, SMA Negeri 1 Serang. Penulis melanjutkan pendidikan Sarjana dengan memilih mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Insititut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun Penulis aktif pada berbagai organisasi kemahasiswaan, diantaranya adalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) periode dan Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor, Komisariat Fakultas Kehutanan IPB, periode Penulis pernah mengikuti kegiatan Studi Konservasi Lingkungan (Surili) di Taman Nasional Sebangau (Kalimatan Tengah) pada tahun 2010 dan Taman Nasional Manupeu Tanadaru (Nusa Tenggara Timur) pada tahun Selain itu, penulis juga pernah mengikuti kegiatan Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (Rafflesia) di Cagar Alam Burangrang (Jawa Barat) pada tahun 2010 dan Cagar Alam Rawa Danau (Banten) pada tahun Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) pada tahun 2011 di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (Sulawesi Selatan). Dalam memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Bentuk dan Tingkat Partisipasi Stakeholders dalam Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK-BB) Provinsi Riau yang dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS dan Prof. Dr. Ir. Y. Purwanto.

9 iii UCAPAN TERIMAKASIH Hamdan wa syukurillah. Segala puji bagi Alloh SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Penghargaan dan ucapan rasa terimakasih penulis sampaikan dengan tulus kepada : 1. Keluarga penulis : Kedua orangtua tercinta (Ariffin dan Iyah Dihiyati), Nde Alwiyah (nenek), kakak tersayang (Layya Afrini dan Adie Fauzan) serta keluarga besar yang senantiasa mendo akan dan mencurahkan kasih sayang serta dukungan sepenuhnya dalam penyusunan skripsi. 2. Dosen pembimbing : Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. dan Prof. Dr. Ir. Y. Purwanto atas segala masukan, arahan, bimbingan dan nasihat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 3. Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MSi. (dosen penguji), Dr. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F (ketua sidang) dan Dr. Ir. Harnios Arief, MSc. (moderator seminar) atas perkenannya meluangkan waktu dan memberikan arahan bagi penyempurnaan skripsi. 4. Komite Nasional MAB Indonesia, Sinar Mas Forestry dan BBKSDA Riau yang telah memberikan bantuan dan arahan selama penelitian berlangsung. 5. Resi Nurlinda sebagai inpirasi, yang selalu memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi. 6. Rekan-rekan seperjuangan di IPB : Fahutan 44 Bersahabat, KSHE 44 KOAK, Pimpinan Himakova 2010 dan Pejuang RimbaCadas Fahutan atas dukungannya yang ASIK. 7. Segenap pihak yang turut membantu hingga dapat terselesaikannya skripsi ini. Semoga amal kebaikan yang diberikan mendapat keridhoan dan diberkahi oleh Alloh SWT. Aamiin.

10 iv DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i RIWAYAT HIDUP... ii UCAPAN TERIMA KASIH... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Analisis Stakeholders Partisipasi Pengelolaan Kolaboratif... 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Jenis Data Metode Pengumpulan Data Analisis Data Analisis stakeholders Analisis tingkat partisipasi stakeholders BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Letak geografi... 20

11 v Luas kawasan Aksesibilitas Topografi Iklim Hidrologi Biologi dan Ekologi Ekosistem Flora Fauna Sosial Ekonomi dan Budaya Kondisi masyarakat Sosial ekonomi Kearifan masyarakat lokal BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (CB-GSK-BB) Stakeholders CB-GSK-BB Identifikasi stakeholders Kepentingan (interest) stakeholders Nilai Penting (Importance) dan Pengaruh Stakeholders Nilai penting (importance) stakeholders Pengaruh stakeholders Klasifikasi stakeholders Bentuk dan Tingkat Partisipasi Stakeholders Bentuk partisipasi stakeholders Tingkat partisipasi stakeholders CB-GSK-BB BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 66

12 vi DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Jenis, metode dan analisis data berdasarkan tujuan penelitian Ukuran kuantitatif terhadap nilai penting dan pengaruh stakeholders Matriks partisipasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB Rincian luas CB-GSK-BB Lokasi dan struktur masyarakat desa Mata pencaharian utama penduduk di sekitar CB-GSK-BB Stakeholders pengelolaan CB-GSK-BB Kepentingan (interest) stakeholders terkait dengan fungsi ekositem dan tujuan pengelolaan Rekapitulasi hasil analisis kepentingan (interest) stakeholder Nilai penting (importance) stakeholders pengelolaan CB-GSK-BB Pengaruh stakeholders pengelolaan CB-GSK-BB Bentuk partisipasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB Rekapitulasi bentuk partisipasi stakeholders CB-GSK-BB Tingkat partisipasi stakeholders CB-GSK-BB... 56

13 vii DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian Tahapan penelitian Matriks nilai penting (importance) dan pengaruh Peta wilayah CB-GSK-BB Tasik dalam area inti CB-GSK-BB Keanekaragaman ekosistem area inti CB-GSK-BB Peta lokasi desa-desa penelitian Matriks kategori stakeholders CB-GSK-BB Arah kerja co-management... 59

14 viii DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Panduan wawancara analisis nilai penting (importance) stakeholders Panduan wawancara analisis pengaruh stakeholders Panduan wawancara analisis tingkat partisipasi stakeholders Panduan penilaian nilai penting Panduan penilaian tingkat pengaruh... 71

15 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cagar biosfer adalah ekosistem daratan dan pesisir/laut atau kombinasi lebih dari satu tipe ekosistem, yang secara internasional diakui keberadaannya sebagai bagian dari Man and the Biosphere (MAB) Programme dari UNESCO (Statutory Framework of the World Network, of Biosphere Reserves-Kerangka Hukum Jaringan Cagar Biosfer Dunia). Cagar biosfer merupakan situs yang ditetapkan oleh MAB-UNESCO atas usulan suatu negara bertujuan untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan yang didukung oleh hasil kajian ilmu pengetahuan dan teknologi yang handal. Pengelolaan cagar biosfer dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses perencanaan hingga pengambilan keputusan dan penyelesaian permasalahan dalam rangka pengembangan yang berkelanjutan. Konsep cagar biosfer telah mengalami perkembangan pesat, yaitu dari kawasan yang semula fokus utamanya konservasi berubah menjadi perpaduan antara konservasi dan pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui peningkatan kerjasama antar pemangku kepentingan (collaborative management). Cagar biosfer memiliki tiga fungsi yang saling menunjang, yaitu: a) fungsi konservasi, untuk melestarikan sumber daya genetik, jenis, ekosistem dan lansekap; b) fungsi pembangunan, untuk memacu pembangunan ekonomi dan kesejahteraan manusia; dan c) fungsi pendukung logistik, untuk mendukung kegiatan penelitian dan pendidikan serta pelatihan lingkungan yang berhubungan dengan permasalahan konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, nasional dan dunia. Pengaturan pengelolaan cagar biosfer menggunakan pendekatan sistem pembagian wilayah (zonasi), yaitu area inti, zona penyangga dan area transisi. Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK-BB) merupakan satu dari tujuh cagar biosfer di Indonesia yang terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak di Propinsi Riau. CB-GSK-BB ditetapkan masuk jaringan cagar biosfer dunia pada tanggal 26 Mei 2009 dalam

16 2 sidang 21st Session of the International Coordinating Council of the Man and the Biosphere Proggramme (MABICC)-UNESCO di Jeju, Korea Selatan. CB-GSK- BB ini diprakarsai oleh pihak swasta yaitu Sinar Mas Forestry (SMF) dan didukung oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Pemerintah Provinsi Riau dan Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI). Cagar Biosfer GSK-BB tersebut mempunyai areal seluas ha, terdiri atas areal inti ha, zona penyangga ha dan area transisi ha. Area inti CB-GSK-BB terdiri atas dua Suaka Margasatwa (SM), yaitu SM Giam Siak Kecil seluas ha dan SM Bukit Batu seluas ha dan hutan produksi seluas ha yang diperuntukkan sebagai kawasan yang dikonversi secara tetap oleh pihak swasta (Sinar Mas Forestry). Pengelolaan CB-GSK-BB memerlukan persiapan, perencanaan dan upaya berkesinambungan yang membutuhkan waktu jangka panjang. Adanya Usulan Rencana Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu tahun dimaksudkan untuk memberikan panduan, kerangka dan acuan pengelolaan didasarkan pada prinsip multistakeholders management mengingat bervariasinya lansekap dan pemangkunya. Pengelolaan kolaboratif sangat diperlukan untuk mengakomodasikan kepentingan para pihak tanpa melupakan tujuan utama pengelolaan, yaitu keberlanjutan keberadaaan, fungsi dan manfaat sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya bagi kesejahteraan rakyat. Menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005), kolaborasi adalah suatu proses dimana dua stakeholder atau lebih yang berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajagi dan bekerja melalui perbedaan perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama. Perkembangan pendekatan kolaborasi muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumberdaya yang baru, demokratis, lebih mengakui perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian dan membangun kesepahaman, dukungan dan kepemilikan atas pilihan-pilihan bersama (Suporahardjo 2005).

17 3 1.2 Kerangka Pemikiran Pengelolaan cagar biosfer mengalami perkembangan sejak dibentuk tahun 1970an dimana pada awalnya hanya memiliki fungsi konservasi dan fungsi penelitian. Pada tahun 1995 dalam Seville Strategy, pengelolaan kawasan cagar biosfer dibagi ke dalam tiga zonasi dan memiliki tiga fungsi cagar biosfer (konservasi, pembangunan ekonomi berkelanjutan dan logistic support). Pengelolaan yang semula fokus utamanya konservasi berubah menjadi perpaduan antara konservasi dan pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui peningkatan kerjasama antar pemangku kepentingan (collaborative management). Usulan rencana pengelolaan CB-GSK-BB tahun yang disusun melalui pendekatan multistakeholders management untuk mengakomodasikan kepentingan para pihak tanpa melupakan tujuan utama pengelolaan. Partisipasi stakeholders menjadi komponen penentu keberhasilan pengelolaan kolaboratif. Partisipasi dari tiap pihak pada tingkatan-tingkatan yang berbeda di dalam pengelolaan mencakup keterlibatan mental dan emosional, keterlibatan aktif dalam proses pengambilan keputusan pengalokasian sumberdaya untuk mencapai suatu tujuan, penggeraknya adalah kesediaan memberikan kontribusi dalam pengelolaan dan kesediaan turut bertanggung jawab (Slamet 2003). Partisipasi stakeholders tersebut diwujudkan untuk menjaga penerapan konsep cagar biosfer agar tetap pada jalurnya demi tercapai tujuan pengelolaan CB-GSK-BB. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1. Pengelolaan Cagar Biosfer (co-management) Usulan Rencana Pengelolaan CB-GSK-BB tahun multistakeholders management Kepentingan dan pengaruh stakeholders Bentuk dan tingkat partisipasi stakeholders Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

18 4 1.3 Perumusan Masalah Pengelolaan CB-GSK-BB dengan prinsip "multistakeholders management" di dalam pelaksanaannya terdapat perbedaaan kepentingan, pengaruh dan upaya partisipasi stakeholders. Oleh karena hal tersebut, maka rumusan penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Siapa saja stakeholders yang terlibat dan apa saja kepentingannya dalam pengelolaan CB-GSK-BB? 2. Seberapa besar pengaruh stakeholders terhadap pengelolaan CB-GSK-BB? 3. Upaya-upaya partisipasi apa saja yang telah dilakukan stakeholders? 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk : 1. Mengidentifikasi serta menganalisis kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB. 2. Mengklasifikasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB. 3. Mengidentifikasi bentuk dan menentukan tingkat partisipasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian tentang bentuk dan tingkat partisipasi stakeholders diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk meningkatkan pengelolaan CB-GSK-BB.

19 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan yang didukung oleh kajian ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 Ayat (12) disebutkan bahwa cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan. Cagar biosfer mempunyai tujuan untuk mewujudkan pengelolaan lahan, perairan tawar, laut dan sumber daya hayati secara terpadu, melalui program perencanaan bioregional yang mengintegrasikan konservasi keanekaragaman hayati ke dalam pembangunan berkelanjutan dan dapat dicapai melalui pengembangan sistem zonasi tepat. Sistem zonasi ini mencakup area inti (kawasan yang dilindungi secara ketat) yang dikelilingi oleh zona penyangga yang menekankan aspek konservasi (masyarakat tetap diperbolehkan tinggal dan bekerja) dan secara keseluruhan kawasan tersebut dikelilingi oleh area transisi, disebut juga wilayah kerjasama untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan. Setiap cagar biosfer diharuskan memenuhi tiga fungsi yang saling menunjang, yaitu : fungsi konservasi, untuk melestarikan sumber daya genetik, jenis, ekosistem dan lansekap; fungsi pembangunan, untuk memacu pembangunan ekonomi dan kesejahteraan manusia; dan fungsi pendukung logistik, untuk mendukung kegiatan penelitian dan pendidikan serta pelatihan lingkungan yang berhubungan dengan permasalahan konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, nasional dan dunia.

20 6 2.2 Analisis Stakeholders Stakeholders merupakan pihak-pihak mempengaruhi dan atau dipengaruhi kebijakan dan tindakan dengan kepentingan yang berbeda, baik individu, kelompok ataupun organisasi. Eden and Ackermann dalam Bryson (2004) menyebutkan bahwa stakeholders merupakan orang atau kelompok yang mempunyai power (kekuatan) untuk mempengaruhi secara langsung masa depan suatu organisasi. Analisis stakeholders menurut Mayers (2005), yaitu mempelajari bagaimana manusia berhubungan satu sama lain dalam pemanfaatan sumberdaya alam dengan cara memisahkan peran stakeholders ke dalam rights (hak), responsibilities (tanggungjawab), revenues (pendapatan) serta relationship (menilai hubungan antar peran tersebut). Analisis stakeholders perlu dilakukan dengan : 1) mendefinisikan aspek-aspek fenomena alam dan sosial yang dipengaruhi oleh suatu keputusan atau tindakan; 2) mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang dipengaruhi atau mempengaruhi fenomena tersebut; dan 3) memprioritaskan individu dan kelompok untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan (Reed et al. 2009). Analisis stakeholders mengklasifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan. Menurut Colfer et al. (1999), untuk menentukan siapa yang perlu dipertimbangkan dalam analisis stakeholders, dilakukan dengan mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat terhadap hutan, dimana stakeholders dapat ditempatkan berdasarkan beberapa faktor, yaitu: 1. Kedekatan dengan hutan, merupakan jarak tinggal masyarakat yang berhubungan dengan kemudahan akses terhadap hutan. 2. Hak masyarakat, hak-hak yang sudah ada pada kawasan hendaknya diakui dan dihormati. 3. Ketergantungan, merupakan kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak mempunyai pilihan yang realistis untuk kelangsungan hidupnya sehingga mereka sangat bergantung dengan keberadaan hutan. 4. Kemiskinan, mengandung implikasi serius terhadap kesejahteraan manusia sehingga masyarakat yang miskin menjadi prioritas tujuan pengelolaan. 5. Pengetahuan lokal, kearifan lokal dan pengetahuan tradisional masyarakat

21 7 dalam menjaga kelestarian hutan. 6. Integrasi hutan/budaya, berkaitan dengan tempat-tempat keramat dalam hutan, sistem-sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan sangat erat dengan perasaan masyarakat tentang dirinya. Selama cara hidup masyarakat terintegrasi dengan hutan, kelangsungan budaya mereka terancam oleh kehilangan hutan, sehingga mempunyai dampak kemerosotan moral yang berakibat pada kerusakan hutan itu sendiri. 7. Defisit kekuasaan, berhubungan dengan hilangnya kemampuan masyarakat lokal dalam melindungi sumberdaya atau sumber penghidupan mereka dari tekanan luar sehingga mereka terpaksa melakukan praktik-praktik yang merusak. 2.3 Partisipasi Partisipasi merupakan keikutsertaan individu atau kelompok yang terlibat dalam upaya mencapai tujuan bersama dan turut bertanggung jawab terhadap upaya tersebut. Menurut Dephut (2006) mendefinisikan partisipatif sebagai keterlibatan dalam keseluruhan tahapan proses pembangunan kehutanan (pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dan pemanfaatan hasil pembangunan) dengan memberikan kesempatan dan kedudukan yang setara dan dilaksanakan bersama masyarakat setempat. Upaya-upaya partisipatif para stakeholders mempunyai kepentingankepentingan yang saling berbeda terhadap pengelolaan. Kendati demikian, banyak pemrakarsa upaya partisipatif tidak peka terhadap perbedaan-perbedaan antar kelompok. Menurut Kusumanto et al (2006), tantangan terbesar dalam upayaupaya partisipatif adalah ketidakmampuan pelaksana upaya-upaya tersebut dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang beragam atas hutan melalui kolaborasi. Oleh karenanya, dibutuhkan cara untuk mendorong kerjasama. Sementara itu, Asngari (2001) menyatakan bahwa penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena diantara orangorang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran serta semua pihak itu diperlukan : (1) terciptanya suasana yang bebas atau demokratis, (2) terbinanya kebersamaan dan (3) mempunyai tujuan yang sama.

22 8 Terkait dengan partisipasi, Nanang dan Devung (2004) dalam Kassa (2009) lebih rinci mengembangkan konsep Wilcox menjadi beberapa tingkat, yaitu : Tingkat 6. Mobilisasi dengan kemauan sendiri (self-mobilization), yaitu masyarakat mengambil inisiatif sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan pemanfaatan sumberdaya, pihak luar memfasilitasi mereka. Tingkat 5. Kemitraan (partnership), yaitu masyarakat mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi kelayakan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan lain-lain. Partisipasi merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai sesuatu, ini disebut partisipasi interaktif. Tingkat 4. Plakasi/berkonsiliasi (placation/consilliation), yaitu masyarakat ikut dalam proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting. Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang dan lainlain. Tingkat 3. Perundingan (consultation), yaitu pihak luar berkonsultasi dan berunding dengan masyarakat melalui pertemuan atau public hearing dan sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan. Tingkat 2. Memberi informasi (information gathering), yaitu masyarakat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi searah dari masyarakat ke luar. Tingkat 1. Mendapat informasi (informing), yaitu hasil yang diputuskan oleh orang luar (pakar, pejabat dan lain-lain) diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat. Tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat untuk menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6.

23 9 2.4 Pengelolaan Kolaboratif Upaya konservasi dengan pendekatan co-management telah banyak diterapkan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Pengelolaan kolaboratif atau co-management (collaborative management) disebut juga sebagai pengelolaan kooperatif (cooperative management), round-table management, share management, pengelolaan bersama (joint management) atau pengelolaan multipihak (multistakeholder management). Menurut Borrini-Feyerabend et al. (2000), collaborative management adalah suatu kondisi dimana dua atau lebih stakeholder bernegosiasi, menetapkan dan memberikan garansi diantara mereka serta membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggungjawab dari suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu. Stakeholder adalah mereka yang terlibat dan terpengaruh oleh kebijakan. Pengelolaan secara kolaboratif atau co-management merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan. Co-management menjadi penting ketika tidak adanya kesepakatan yang dapat dibangun secara sederhana dan universal untuk mendapatkan solusi terbaik dari konflik yang terjadi. Menurut Marshall (1995) dalam Tadjudin (2000), manajemen kolaborasi mampu mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholder secara adil dan memandang harkat setiap stakeholder itu sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan bersama. Co-management diperlukan karena menyangkut kompleksnya sub-sistem ekologi, budaya, ekonomi dan politik dengan keterkaitan berbagai isu dan keterlibatan banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing subsistemnya. Penerapan co-management dibangun atas dasar kejelasan peran dan tanggungjawab. Menurut Kassa (2009) dalam Nistyantara (2011), prinsip comanagement yang dijadikan parameter adalah : 1) partisipasi stakeholders, 2) pengakuan terhadap hak masyarakat adat, 3) ada proses negosiasi, 4) ada kejalasan hak dan tanggung jawab dari stakeholders, serta 5) ada konsensus yang disepakati oleh stakeholders inti.

24 10 Komitmen suatu kelompok untuk berkolaborasi tergantung pada kesepakatan diantara stakeholders. Komitmen merupakan pintu pada proses panjang kolaborasi. Menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005), lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi meliputi : 1. Membutuhkan keterbukaan, karena dalam kolaborasi antara stakeholder harus saling memberi dan menerima untuk menghasilkan solusi bersama. 2. Menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk membangun kesepakatan. 3. Peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk pencapaian kesepakatan tentang jalan keluar. 4. Membutuhkan satu jalan keluar yang disepakati untuk arahan interaksi diantara stakeholder dimasa depan. 5. Membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses daripada sebagai resep. Kerjasama dari stakeholders dalam pengelolaan kawasan konservasi akan meringankan beban karena para pihak yang terkait akan saling bahu membahu menyumbangkan sumberdaya yang dimilikinya berupa pengetahuan, tenaga, informasi maupun finansial. Mattessich et al. (2004) dalam Suharjito (2006) menyebutkan bahwa beberapa faktor penting yang menentukan keberhasilan kolaborasi antar pihak adalah : 1. Konteks sejarah hubungan antar pihak yang pernah ada. 2. Adanya saling menghormati, kesepahaman (mutual understanding) dan kesepakatan tujuan yang hendak dicapai bersama, saling percaya (trust) antar pihak dan pembagian peran dan tanggung jawab setiap pihak. 3. Keterwakilan keanggotaan dari setiap kelompok masyarakat. 4. Pemenuhan kepentingan setiap pihak. 5. Frekuensi komunikasi. 6. Ketersediaan sumberdaya. 7. Kesetaraan.

25 11 Walaupun pendekatan kolaborasi telah memberikan kesuksesan dan manfaat dalam menyelesaikan masalah, tetapi dalam perjalanannya terdapat kendala sebagai keterbatasan dari pendekatan kolaborasi. Menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005) beberapa kendala dalam kolaborasi, yaitu : 1. Komitmen kelembagaan tertentu menimbulkan disinsentif untuk berkolaborasi. 2. Sejarah hubungan yang dicirikan oleh interaksi permusuhan yang telah berlangsung lama diantara dua pihak. 3. Dinamika perkembangan tingkat kemasyarakatan (pendekatan kolaborasi lebih sulit dipraktekkan ketika kebijakan rendah sekali perhatiannya dalam mempertimbangakan alokasi sumberdaya langka). 4. Perbedaan persepsi atas resiko. 5. Kerumitan yang bersifat teknis 6. Budaya kelembagaan dan politik. 7. Proses partisipasi masyarakat memberi partisipasi informasi yang mereka butuhkan dengan cara yang bermakna.

26 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK-BB), Provinsi Riau. Penelitian dilakukan pada bulan Juli-September Objek dan Alat Penelitian Objek penelitian ini adalah para pihak yang terkait (stakeholders) dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, panduan wawancara, perekam suara dan kamera. 3.3 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan di lapangan (observasi) dan hasil wawancara mendalam (indepth interview) dengan stakeholders. Data sekunder diperoleh dari penelusuran dokumen berupa buku, laporan hasil kegiatan dan laporan lainnya, untuk mengetahui keadaan umum lokasi (letak, luas, kondisi fisik, dan sosial ekonomi) dan data kependudukan (jumlah, tingkat pendidikan, mata pencaharian, potensi lahan dan sejarah kawasan) yang dilengkapi dengan data kehidupan sosial-budaya. Secara ringkas jenis, metode pengumpulan dan analisis data berdasarkan tujuan penelitian disajikan dalam Tabel 1.

27 13 Tabel 1. Jenis, metode dan analisis data berdasarkan tujuan penelitian Tujuan Penelitian Jenis Data Metode Pengumpulan Data Mengidentifikasi Kepentingan Observasi dan serta menganalisis (interest) dan wawancara kepentingan dan pengaruh mendalam (indepth pengaruh stakeholders interview) stakeholders dalam pengelolaan CB- GSK-BB Mengklasifikasi Nilai penting Observasi dan stakeholders dalam (importance) wawancara pengelolaan CB- dan pengaruh mendalam (indepth GSK-BB stakeholders interview) Mengidentifikasi Bentuk dan Observasi dan bentuk dan tingkat wawancara menentukan tingkat partisipasi mendalam (indepth partisipasi stakeholders interview) stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB Analisis Data Output yang diharapkan Analisis Stakeholders, stakeholders kepentingan (interest) dan pengaruhnya dalam pengelolaan CB-GSK-BB Analisis Matriks nilai stakeholders penting (importance) dan pengaruh Analisis Deskripsi deskripsi bentuk dan tingkat tingkat partisipasi partisipasi Wilcox stakeholders CB-GSK-BB 3.4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut : 1) Observasi langsung. Dilakukan untuk mengecek atau mendapatkan gambaran langsung atas isu-isu yang muncul dari sumber sekunder ataupun wawancara (Mitchell et al. 2000). Observasi langsung untuk melihat secara langsung dan mengamati keadaan lingkungan daerah penelitian. 2) Wawancara mendalam. Metode wawancara dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview), yaitu proses memperoleh keterangan atau informasi secara detail untuk tujuan penelitian melalui tanya jawab secara langsung dengan sumber (Sugiyono 2009) dengan daftar pertanyaan sebagai panduan (Colfer et al. 1999). Wawancara dilakukan terhadap informan kunci (key informan) yang dipilih secara purposive sampling dengan mempertimbangkan keterlibatannya dalam pengelolaan dan dianggap banyak mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan penelitian.

28 14 3) Penelusuran pustaka. Studi pustaka sebagai pelengkap dari penggunaan metode wawancara, yaitu mengumpulkan hasil laporan kegiatan atau dokumen sejenisnya berupa data umum lokasi dan data pendukung lainnya. 3.5 Analisis Data Data primer dan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber (informan, hasil observasi lapangan dan dokumen) dengan berbagai jenisnya, kemudian dianalisis sesuai dengan karakteristik dan tujuan analisis data (Gambar 2), yaitu : 1. Analisis stakeholders untuk mengidentifikasi stakeholders, kepentingan dan pengaruh serta mengklasifikasi stakeholders. 2. Analisis tingkat partisipasi untuk mengidentifikasi bentuk dan mendeskripsikan tingkat partisipasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Pengelolaan Cagar Biosfer Co-management Usulan Rencana Pengelolaan CB-GSK-BB tahun multistakeholders management Analisis Stakeholders: 1. identifikasi stakeholders 2. nilai penting & pengaruh 3. klasifikasi stakeholders Kepentingan dan pengaruh stakeholders Bentuk dan tingkat partisipasi stakeholders Analisis Deskripsi Tingkat Partisipasi: - Informasi - Konsultasi/Perundingan - Kemitraan - Kontrol Gambar 2 Tahapan penelitian.

29 Analisis stakeholders Analisis stakeholders digunakan untuk mengidentifikasi stakeholders, mengetahui kepentingan dan pengaruh serta mengklasifikasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Identifikasi stakeholders merupakan proses yang dilakukan secara berulang hingga ditetapkan stakeholders yang benar-benar mengetahui pengelolaan CB-GSK-BB. Penentuan stakeholders, yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi suatu kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB, ditetapkan melalui kombinasi hasil observasi lapang dan wawancara. Setelah para stakeholders teridentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah mengkaji kepentingan dan pengaruhnya. Pada analisis ini dilakukan pencermatan terhadap faktor-faktor yang menjadi kebutuhan (Hartrisari 2007) dan pengaruh stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB, yaitu kesesuaian terhadap kelestarian fungsi ekosistem CB-GSK-BB dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Kategori fungsi ekosistem yang dikaji dalam penelitian ini (de Groot et al. 2002) adalah: fungsi regulasi, fungsi habitat, fungsi produksi, fungsi informasi, serta carrier functions. Langkah berikutnya yaitu mengelompokan dan membedakan antar stakeholders berdasarkan posisinya terkait nilai penting dan pengaruhnya dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Metode analisis yang digunakan yaitu menggunakan matriks pengaruh dan nilai penting. Menurut Groenendijk (2003), pengaruh (influence) merupakan kekuatan yang dimiliki stakeholders untuk mengontrol pengambilan keputusan, memfasilitasi pelaksanaanya atau bahkan memaksa untuk melaksanakan keputusan yang diambil tersebut. Sementara itu, nilai penting (importance) menunjukkan prioritas stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK- BB yang memberikan kepuasan pada kebutuhan dan kepentingannya. Penyusunan matriks pengaruh dan nilai penting dilakukan atas dasar pada deskripsi pernyataan informan yang dinyatakan dalam ukuran kuantitatif (skor), dan selanjutnya dikelompokkan menurut kategorinya. Penetapan skoring mengacu pada model yang dikembangkan oleh Abbas (2005), yaitu pengukuran data berjenjang lima (Tabel 2).

30 16 Tabel 2. Ukuran kuantitatif nilai penting (importance) dan pengaruh stakeholders Skor Kriteria Keterangan Nilai Penting (Importance) Stakeholders 5 Sangat tinggi Sangat relevan terhadap pengelolaan CB-GSK-BB 4 Tinggi Relevan terhadap pengelolaan CB-GSK-BB 3 Cukup tinggi Cukup relevan terhadap pengelolaan CB-GSK-BB 2 Kurang tinggi Kurang relevan terhadap pengelolaan CB-GSK-BB 1 Rendah Tidak relevan terhadap pengelolaan CB-GSK-BB Pengaruh Stakeholders 5 Sangat tinggi Sangat mampu mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB 4 Tinggi Mampu mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB 3 Cukup tinggi Cukup mampu mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB 2 Kurang tinggi Kurang mampu mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB 1 Rendah Tidak mampu mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB Kriteria yang digunakan untuk mengukur nilai penting (importance) stakeholders dilakukan berdasarkan relevansi kepentingannya dengan fungsi ekosistem CB-GSK-BB. Skor tinggi diberikan kepada stakeholders yang menjadi sasaran pengelolaan, stakeholders yang kebutuhan dan harapan-harapannya relevan dengan fungsi ekosistem, serta stakeholders yang menentukan keberhasilan pengelolaan fungsi ekosistem CB-GSK-BB. Fungsi ekosistem yang dikaji dalam penelitian ini adalah: fungsi regulasi, fungsi habitat, fungsi produksi, fungsi informasi, serta carrier functions (de Groot et al. 2002), dijelaskan sebagai berikut: 1) Fungsi regulasi; yaitu nilai penting stakeholders terhadap kelestarian fungsi ekosistem CB-GSK-BB dalam mengatur proses-proses ekologis serta sistem pendukung kehidupan yang bermanfaat, seperti pemeliharaan penyediaan air bersih, perlindungan tanah dari erosi, kualitas udara serta jasa ekologi lainnya. 2) Fungsi habitat; yaitu nilai penting stakeholders terhadap kelestarian fungsi ekosistem CB-GSK-BB sebagai tempat berlindung dan berkembangbiaknya berbagai flora dan fauna. Fungsi habitat ini ditekankan pada kebutuhan ruang yang dapat memelihara keanekaragaman biotik dan genetik. 3) Fungsi produksi; yaitu nilai penting stakeholders terhadap kelestarian berbagai sumberdaya, untuk memenuhi kebutuhan sumber pangan, bahan baku

31 17 (contohnya kayu untuk bangunan rumah), sumber genetik (contohnya obatobatan) dan sumberdaya energi (kayu bakar). 4) Fungsi informasi; yaitu nilai penting stakeholders terhadap kelestarian ekosistem alam CB-GSK-BB yang memberikan kontribusi bagi pemeliharaan kesehatan manusia, menyediakan tempat untuk berefleksi menikmati pemandangan alam, ekowisata serta pendidikan. 5) Carrier function; yaitu nilai penting stakeholders terhadap kelestarian ekosistem CB-GSK-BB dalam menyediakan ruang untuk beraktivitas seperti lahan/tanah dalam kawasan CB-GSK-BB, sarana jalan dan areal wisata. Sementara itu, pengaruh stakeholders terhadap pengelolaan CB-GSK-BB diukur berdasarkan instrumen dan sumber kekuatan, sebagaimana yang disebutkan oleh Galbraith (1983) dalam Reed et al. (2009) sebagai berikut : a. Instrumen kekuatan : 1) Condign power, yaitu pengaruh stakeholders tertentu karena memiliki kemampuan memberikan hukuman/sanksi yang sepadan/selayaknya terhadap stakeholders lain. Pengaruh ini diperoleh melalui emosi, keuangan, ancaman fisik, sanksi adat, sanksi hukum atau sanksi lainnya. 2) Compensatory power, yaitu pengaruh stakeholders yang diperoleh melalui kemampuan dalam mengkompensasi stakeholders lainnya melalui simbolisasi, keuangan, serta penghargaan berupa materi, seperti pemberian gaji/upah, bribes/sogokan, pemberian bantuan dana penyangga atau pemberian sebidang lahan. 3) Conditioning power, yaitu pengaruh yang diperoleh melalui manipulasi kepercayaan atau pembentukan opini dan informasi, misalnya melalui kelompok yang sepadan, norma budaya, pendidikan atau propaganda. b. Sumber kekuatan : 1) Personality power and property power, yaitu pengaruh yang diperoleh berdasarkan kepribadian, kepemimpinan seseorang (kharisma, kekuatan fisik, kecerdasan mental atau pesona seseorang) atau kepemilikan/kekayaan. 2) Organisation power, yaitu pengaruh dari suatu organisasi karena memiliki massa, jejaring kerja, kesesuaian bidang tugas atau kontribusi fasilitas.

32 18 Setelah data jawaban stakeholders teridentifikasi terhadap tingkat nilai penting dan pengaruhnya, selanjutnya disusun ke dalam matriks pengaruh dan nilai penting. Menurut Eden and Ackermann (1998) dalam Bryson (2004), matriks pengaruh dan kepentingan disusun untuk mengklasifikasi stakeholders ke dalam key players, context setters, subjects dan crowd (Gambar 3). NILAI PENTING tinggi rendah Subjects Crowd Key players Context setters rendah tinggi PENGARUH Sumber : dengan modifikasi dari Eden & Ackermann (1998) dalam Bryson (2004) Gambar 3 Matriks nilai penting (importance) dan pengaruh. Posisi pada kuadran menggambarkan ilustrasi kategori masing-masing stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB, yaitu subjects (nilai penting tinggi tetapi pengaruh rendah), key players (nilai penting dan pengaruh tinggi), context setters (nilai penting rendah tetapi pengaruh tinggi) dan crowd (nilai penting dan pengaruh rendah). Stakeholders kunci adalah subjects, key players dan context setters, karena mereka cukup signifikan mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB (Groenendjik 2003). Sementara stakeholders yang berada pada crowd, mendapatkan perhatian dan prioritas yang rendah atau bisa diabaikan dari aktifitas pengelolaan CB-GSK-BB Analisis tingkat partisipasi stakeholders Untuk mengetahui tingkat partisipasi stakeholders yang dilaksanakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB, maka dilakukan analisis menggunakan matriks partisipasi terhadap siklus pengelolaan (Tabel 3). Partisipasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB dianalisis dari tingkat yang terendah, yaitu stakeholders hanya sekedar mendapatkan dan/atau memberikan informasi, kemudian konsultasi/perundingan dimana stakeholders berkonsultasi dan berunding melalui pertemuan dan terjadi komunikasi dua arah, tetapi ada stakeholders

33 19 yang tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan. Tingkat partisipasi stakeholders yang lebih tinggi yaitu kemitraan, dimana setiap stakeholders mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama sampai dengan stakeholders memegang kontrol secara penuh atas keputusan dan tindakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Tabel 3. Matriks partisipasi stakeholders CB-GSK-BB Siklus Pengelolaan Informasi Tingkat Partisipasi Konsultasi/ Perundingan Kemitraan Kontrol Identifikasi / inventarisasi Perencanaan Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi

34 20 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Letak geografis Wilayah Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK-BB) secara astronomis berada diantara Bujur Timur dan Lintang Utara. Batas sebelah selatan dan timur adalah batas alam jembatan Sungai Mandau di Balai Pungut ke hilir sampai Teluk Lancang di Sungai Siak sampai muaranya di Selat Panjang. Batas sebelah utara adalah batas alam pantai Selat Bengkalis, serta batas sebelah barat adalah jalan antara Guntung sampai Duri hingga jembatan Balai Pungut di Sungai Mandau (Gambar 4). Secara administratif CB-GSK-BB terletak di wilayah Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak (merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Bengkalis). Sebelum terjadi pemekaran, Kabupaten Bengkalis terdiri atas 9 (sembilan) kecamatan tetapi setelah adanya pemekaran, kabupaten ini hanya terdiri dari 5 (lima) kecamatan, yaitu: (1) Pinggir, (2) Bukit Batu, (3) Siak Kecil, (4) Mandau dan (5) Bengkalis. Sedangkan nama kecamatan yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Siak adalah: (1) Siak, (2) Sungai Apit, (3) Minas dan (4) Sungai Mandau. Sumber : Sinar Mas Forestry (2008) Gambar 4 Peta wilayah CB-GSK-BB.

35 Luas kawasan Berdasarkan Proposal Management Plan CB-GSK-BB (MAB Indonesia 2008), luas areal CB-GSK-BB sekitar ha yang terbagi dalam wilayah Kabupaten Bengkalis sekitar 70% dan Kabupaten Siak sekitar 30% (Tabel 4). Khusus untuk area inti seluas ± ha, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkalis ha (68%) dan Kabupaten Siak ha (32%). Luas kawasan berdasarkan zonasinya terbagi dalam area inti, penyangga dan transisi. Berikut penjelasan luasan zonasi dengan status lahannya. a. Area Inti (Core Area) Area inti memiliki luas sekitar ha (25%), merupakan perpaduan antara hutan konservasi dan hutan produksi alam yang tidak dikonversi. Perpaduan ini merupakan sesuatu yang baru di Indonesia, mengingat enam cagar biosfer yang telah ada seluruhnya dengan area inti yang berstatus sebagai Taman Nasional. Kawasan hutan penyusun area inti CB-GSK-BB terdiri dari Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil seluas sekitar ha, Suaka Margasatwa Bukit Batu seluas sekitar ha, dan areal hutan produksi kelompok usaha Sinar Mas Forestry dengan luas sekitar ha (PT. Dexter Timber Perkasa Indonesia ha, PT. Satria Perkasa Agung ha, PT Sekato Pratama Makmur ha, dan PT. Bukit Batu Hutani Alam ha). b. Zona Penyangga (Buffer Zone) Zona penyangga memiliki luas sekitar ha (32%), sebagian besar terdiri atas hutan tanaman industri dan sebagian kecil lahan lainnya. Zona penyangga dengan luas sekitar ha ini mencakup areal hutan tanaman industri (HTI) kelompok usaha Sinar Mas Forestry, yaitu : PT. Arara Abadi, PT. Balai Kayang Mandiri, PT. Bukit Batu Hutani Alam, PT. Riau Abadi Lestari, PT. Sakato Pratama Makmur, PT. Satria Perkasa Agung dan sebagian kecil areal non Sinar Mas Forestry. c. Area Transisi (Transition Area) Wilayah area transisi memiliki luas sekitar ha (43%). Sebagian besar adalah lahan non konsesi hutan dan sebagian kecil areal hutan tanaman Sinar Mas Forestry seluas sekitar ha. Area transisi di sebelah selatan dan timur dibatasi oleh batas alam Sungai Mandau-Sungai Siak sampai muaranya di

36 22 Selat Panjang, sebelah utara adalah batas alam pantai Selat Bengkalis serta sebelah barat dibatasi oleh jalan antara Guntung sampai Duri hingga jembatan Sungai Mandau di Balai Pungut. Tabel 4. Rincian luas CB-GSK-BB No. USULAN 1 Area Inti a. Sinar Mas Forestry dan Mitra Usahanya b.sm Bukit Batu c. SM Giam Siak Kecil Jumlah : 2 Zona Penyangga a. Sinar Mas Forestry b.non Sinar Mas Forestry Jumlah : 3 Area Transisi a. Non Sinar Mas Forestry b.sinar Mas Forestry Jumlah : KABUPATEN/KOTA Bengkalis Dumai Siak (hektar) (68 %) (78 %) (57 %) TOTAL (66 %) ( 2 %) (7 %) (4 %) (32 %) (20 %) (36 %) (30 %) TOTAL (25%) (100 %) (32%) (100 %) ( 43%) (100 %) (100%) (100 %) Aksesibilitas Kota terdekat dengan CB-GSK-BB adalah Siak Sri Indrapura dan Bengkalis. Batas luar CB-GSK-BB terdiri atas jalan raya, sungai dan pantai sehingga relatif mudah dijangkau. Pekanbaru menuju Ibukota Provinsi Riau dapat dijangkau melalui jalan darat dan air. Transportasi udara dengan penerbangan reguler hanya sampai di Pekanbaru. Sementara itu, Pekanbaru ke Siak Sri Indrapura dapat ditempuh melalui darat dan sungai, dengan kendaraan darat perlu waktu sekitar 2 jam sedangkan dengan menyusuri Sungai Siak menggunakan speedboat dapat ditempuh selama sekitar 2 jam. Pekanbaru ke Bengkalis dicapai dengan speedboat melalui Sungai Siak selama sekitar 3 jam. Aksesibilitas ke area inti relatif lebih sulit karena harus melalui sungai kecil, tidak selebar dan sedalam Sungai Siak, atau melalui jalan darat dengan kondisi jalan yang kurang baik. Akses melalui darat dapat melalui jalan raya Pekanbaru- Duri dan masuk ke jalan yang dibangun Sinar Mas Forestry, menuju area inti melalui Desa Tasik Serai dan Tasik Betung dengan lama perjalanan sekitar 6 jam.

37 Topografi Keadaan topografi lansekap CB-GSK-BB sebagian besar merupakan dataran dengan ketinggian dari 0-50 mdpl. Daerah yang agak tinggi berada di sekitar Melibur dan Bagan Mence. Sebagian besar merupakan tanah organosol, yaitu jenis tanah yang banyak mengandung bahan organik Iklim Secara garis besar iklim di lansekap CB-GSK-BB adalah iklim tropis pantai Sumatera yang sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi laut dengan temperatur berkisar C. Musim hujan biasa terjadi diantara bulan September hingga Januari dengan curah hujan rata-rata berkisar antara mm/tahun. Periode kering (musim kemarau) biasanya terjadi diantara bulan Februari hingga Agustus Hidrologi Sistem perairan dan sungai di provinsi Riau masih mempunyai peran vital baik dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Ketinggian muka air di Sungai Mandau, Sungai Siak bagian hilir dan Sungai Siak Kecil sangat penting untuk dijaga agar transportasi dan kegiatan ekonomi tidak terganggu. Pemahaman sistem hidrologi di hutan rawa gambut sangat penting karena peranan vitalnya dalam menjaga dan mengatur siklus hidrologi. Secara hidrologis lansekap rawa gambut CB-GSK-BB berperan sebagai busa untuk sirkulasi air tanah dan memasok air serta mencegah banjir dan mencegah intrusi air asin. Gambut CB- GSK-BB terutama di bagian timur SM Bukit Batu mempunyai bentuk klasik, yaitu kubah (dome) yang lebih dalam pada bagian tengah dan lebih dangkal pada bagian pinggirnya. Bentuk kubah ini sangat berarti untuk tandon air (aquifer) terutama di musim kemarau karena kemampuan gambut menyerap air tergantung pada ketebalan, kualitas dan densitasnya. Sebelah utara dan timur laut terdapat tumpukan gambut yang besar, dilaporkan sebagai gambut terdalam di Sumatera. Selain itu, keberadaan tasik (danau kecil-sumber air alami, Gambar 5) di sepanjang sungai, sangat unik untuk lansekap GSK yang merupakan contoh evolusi dari danau/genangan dystrophic yang merupakan area amblesan. Tasik mempunyai fungsi ekonomi bagi masyarakat sekitar karena merupakan sumber ikan untuk dikonsumsi.

38 24 Sumber : Sinar Mas Forestry (2008) Gambar 5 Tasik dalam area inti CB-GSK-BB. Oleh karena itu, pengelolaan sistem hidrologi di lansekap ini harus memperhitungkan kegiatan manusia yang dapat berdampak negatif terhadap ekosistem hutannya. Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman dan lahan budidaya non-kehutanan lainnya yang umumnya menggunakan teknik pembuatan kanal-kanal untuk menghilangkan genangan air dan mempercepat mineralisasi lapisan gambut, dapat berdampak mengeringnya gambut lapisan atas. Gambut permukaan yang kering rentan terhadap kebakaran dan sulit untuk dipadamkan. 4.2 Biologi dan Ekologi Ekosistem Area inti CB-GSK-BB terdiri ekosistem hutan rawa, hutan rawa gambut serta ekosistem perairan dan tasik (Gambar 6). Area zona penyangga, sebagian besar merupakan hutan tanaman industri Sinar Mas Forestry. Sumber : Sinar Mas Forestry (2008) Gambar 6 Keanekaragaman ekosistem area inti CB-GSK-BB.

39 25 Ekosistem hutan rawa gambut di kawasan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil dan Suaka Margasatwa Bukit Batu telah mengalami gangguan, baik penebangan liar maupun perambahan lahan untuk pembukaan ladang dan pemukiman. Laporan LIPI (2008a) menyebutkan bahwa hutan yang relatif masih utuh berada diantara Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil dan Suaka Margasatwa Bukit Batu, indikatornya adalah masih dijumpainya beberapa jenis pohon utama yang berukuran cukup besar Flora Studi struktur dan komposisi flora di area inti CB-GSK-BB dilakukan oleh LIPI pada tahun LIPI (2008a) melaporkan sedikitnya terdapat 189 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 113 marga dan 59 suku. Jumlah tersebut termasuk 3 jenis dari kelompok tumbuhan paku (Pteridophyta) yaitu paku sarang burung (Asplenium nidus), paku pedang (Nephrolepis radicans) dan paku udang (Stenochlaena palustris). Sisanya sebanyak 186 jenis termasuk dalam tumbuhan berbunga (Spermatophyta) yang tergolong dalam 110 marga dan 56 suku. Berdasarkan kondisi fisik dan sifat hidupnya, sebagian besar jenis tumbuhan tergolong dalam kelompok pepohonan sebanyak 166 jenis, semak dan belukar 20 jenis serta liana hanya 3 jenis. Kelompok epifit hanya 5 jenis yang umumnya adalah jenis anggrek. Anggrek biasa tumbuh di media gambut pada lokasi terbuka pinggir kanal Fauna Ekosistem hutan rawa gambut mempunyai variasi kekayaan jenis fauna tersendiri. Banyak jenis kelompok mamalia yang kurang menyenangi tingginya permukaan air yang selalu menggenang selama musim hujan dan pasang naik, kecuali berang-berang (Lutra sumatrana) yang memang lebih banyak hidup di perairan. LIPI (2008a) melaporkan kelompok mamalia besar yang pernah ditemui diantaranya adalah beruang madu (Helarctos malayanu), rusa sambar (Cervus unicolor), monyet ekor panjang (Macaca fasciculari), beruk (Macaca nemestrina), lutung kelabu (Trachypithecus cristatus) dan ungko (Hylobates agilis). Menurut masyarakat setempat, masih dijumpai harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan gajah (Elephas maximus) yang termasuk jenis dilindungi dan terdaftar dalam CITES Appendix 1 dan 2.

40 26 Kawasan lansekap Siak Kecil mempunyai kekayan jenis burung yang tinggi. Wetlands International melaporkan tidak kurang dari 156 jenis burung memanfaatkan daerah ini. Dua diantaranya merupakan jenis yang tergolong langka, yaitu bangau storm (Ciconia stormi) dan enggang (Rhyticeros corrugatus). Terdapat 17 jenis yang terdaftar dalam Appendix II CITES diantaranya adalah elang-alap cina (Accipiter soloensis), elang-alap jambul (Accipiter trivirgatus), elang-alap jepang (Accipiter gularis), kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris) dan elang brontok (Spizaetus cirrhatus). Keanekaragaman jenis amfibia dan reptilia tergolong tidak tinggi. Studi awal amfibia oleh LIPI (2008a) menunjukan bahwa jumlah jenisnya hanya 11 jenis, kodok buduk (Pseudobufo subasper) adalah yang paling dominan di area inti CB-GSK-BB. Jumlah reptilia terdapat 9 jenis ular dari 133 jenis dan 3 jenis kadal dari 73 jenis yang terdapat di Sumatera. Beberapa jenis reptilia yang ditemukan diantaranya adalah ular cabe (Maticora intestinalis), ular viper wagleri (Tropidolaemus wagleri), labi-labi (Amyda cartilaginea) dan buaya senyulong (Tomistoma schlegelii). Untuk kelompok ikan, paling tidak ditemukan 30 jenis yang sebagian besar tergolong ikan rawa gambut dan hanya beberapa jenis yang juga mampu hidup di perairan umum non-gambut. Hampir semua jenis ikan yang terdapat di daerah ini adalah jenis ikan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Beberapa diantaranya adalah ikan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, yaitu tapah (Wallago attu), toman (Channa sp.), kepar (Ballontia hasseltii), slays (Kryptopterus macrocephalus) dan sejenis mujair (Helostoma temminckii). Selain jenis ikan konsumsi, ada beberapa jenis yang merupakan ikan hias diantaranya dari genus Rasbora. Kelompok fauna yang belum banyak diinventarisasi adalah kelompok crustacea dan mollusca serta insecta. Sebagai langkah awal LIPI (2008a) melakukan penelian khusus tentang ngengat (kupu-kupu malam). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis ngengat khususnya di daerah SM Giam Siak Kecil, Blok Tasik Betung dan Hutan Produksi Alam Sinar Mas Forestry adalah relatif rendah, hanya mencapai 162 spesies dari 18 Famili.

41 Sosial Ekonomi dan Budaya Kondisi masyarakat Informasi kondisi masyarakat sekitar didapat dari laporan LIPI (2008b) yang melakukan penelitian di lima desa pada empat lokasi kecamatan yang berada di dua kabupaten, sudah dapat mencerminkan keterwakilan dan variasi kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakat yang ada di CB-GSK-BB. Adapun rincian desa penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 dan posisi di peta dapat dilihat pada Gambar 7. Tabel 5. Lokasi dan struktur masyarakat desa Desa Kecamatan Kabupaten Posisi Tasik Betung Sungai Siak Sebagian berada di area inti Tasik Serai Sungai Kecil Bengkalis Mendekati ke area inti Tasik Serai Timur Pinggir Bengkalis Sebagian berada di area inti Sumber Jaya Mandau Bengkalis Mendekati ke area inti Tanjung Leban Bukit Batu Bengkalis Mendekati ke area inti Sumber: LIPI (2008) Sumber: LIPI (2008) Gambar 7 Peta lokasi desa-desa penelitian LIPI Sosial ekonomi Mata pencaharian penduduk masih terkait dengan subsisten pertanian, terutama perkebunan sawit, karet dan perikanan (Tabel 6). Masyarakat lokal telah lama berkebun karet (Hevea brasiliensis) yang diintroduksi di masa penjajahan

42 28 Belanda. Perkebunan kelapa sawit baru diintroduksi beberapa puluh tahun terakhir. Etnis Melayu cenderung menanam karet, sedang pendatang etnis Batak dan Jawa lebih memilih menanam sawit dengan luas berkisar antara 2-3 ha. Tabel 6. Mata pencaharian utama penduduk di sekitar CB-GSK-BB Komoditas Tasik Betung Tasik Serai Tasik Serai Timur Sumber Jaya Tanjung Leban Kelapa Sawit Karet - Ikan - - Sumber: LIPI (2008) Infrastruktur yang tersedia di lima desa penelitian masih sangat terbatas. Ketersediaan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, pasar ataupun perbankan masih kurang untuk mendukung aktivitas kehidupan mereka. Di beberapa desa, kurangnya infrastruktur yang tersedia telah mendorong inisiatif penduduk untuk membangun infrastruktur dengan kondisi dan kualitas seadanya. Misalnya saja di Desa Tasik Serai dan Tasik Serai Timur, dengan difasilitasi oleh pedagang dari luar daerah, penduduk di kedua desa itu telah berhasil membangun pasar yang beroperasi seminggu sekali. Demikian halnya yang terjadi pada Dusun Air Raja (Desa Tanjung Leban), secara swadaya warga di dusun itu berhasil membangun jembatan yang dapat dilalui sepeda motor Kearifan masyarakat lokal Informasi yang diperoleh penelitian LIPI (2008b) di desa penelitian, menunjukkan bahwa pada dasarnya budaya suku Melayu asli yang tinggal di sekitar hutan cukup adaptif dengan lingkungan. Hubungan antara masyarakat dengan hutan dan ladang tidaklah bercorak eksploitatif. Artinya, meskipun masyarakat tersebut aktivitas pekerjaannya memang membuka ladang berpindah karena didorong oleh faktor lingkungan alam yang kurang subur, namun dalam membuka ladang itu areal yang dimanfaatkan hanya sebatas kemampuan mereka, yaitu antara satu sampai dua hektar untuk memenuhi kebutuhan subsistensi ekonomi mereka. Meskipun demikian, rotasi perpindahan ladang masyarakat asli lebih menunjukkan pola keteraturan antara satu ladang dengan ladang lainnya. Misalnya masyarakat asli desa Tasik Serai Timur dalam membuat ladang,

43 29 senantiasa melibatkan anggota keluarga secara luas, ayah, anak dan saudarasaudara yang lain. Ladang yang dibuka oleh orang yang paling tua senantiasa diletakkan pada posisi paling kanan, demikian seterusnya sampai pada anggota keluarga yang paling muda. Pada saat membuka ladang, mereka senantiasa mengukur kemampuan dan kebutuhan mereka. Sewaktu hutan alam masih luas, mereka selalu berpindah-pindah selama tujuh putaran. Dengan demikian, paling tidak selama tujuh tahun mereka senantiasa berpindah-pindah tempat perladangan untuk kemudian kembali ke tempat awal. Semakin sempitnya hutan di sekitar tempat mereka tinggal, menyebabkan putaran perladangan berpindah hanya dilakukan selama tiga kali, bahkan saat ini semakin sulit masyarakat melakukan perladangan berpindah. Pemahaman tentang kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di dalam lansekap CB-GSK-BB sangat penting, terutama Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak. Keterlibatan masyarakat dan dukungannya dalam pengelolaan cagar biosfer menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

44 30 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1 Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (CB-GSK-BB) Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (CB-GSK-BB) merupakan ekoregion hutan rawa gambut (peat-swamp forest) Sumatera dengan keistimewaan banyaknya tasik (danau kecil) di dalamnya. Keunikan dan kekhasan CB-GSK-BB dijadikan sebagai suatu model lansekap pembangunan berkelanjutan di Provinsi Riau, yang mempunyai fungsi utama sebagai penyangga kehidupan melalui perannya dalam menjaga keseimbangan ekohidrologi dan pelestarian sumber plasma nutfah, menjadi stasiun penelitian lapangan unggulan untuk mengembangkan potensi keanekaragaman hayati hutan rawa gambut, dan sebagai upaya pemanfaatan lestari yaitu wahana peningkatan ekowisata yang berlandaskan keindahan, keunikan dan kemurnian alam dan budayanya, serta upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. CB-GSK-BB diharapkan dapat melestarikan dan menghasilkan nilai-nilai alami dan budaya melalui pengelolaan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sesuai dengan kreatifitas budaya dan diterapkan secara berkelanjutan. CB-GSK-BB perlu mempunyai rencana pengelolaan yang tepat karena lansekapnya sangat layak dikembangkan untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan. Adanya Usulan Rencana Pengelolaan CB-GSK-BB Tahun dimaksudkan untuk memberikan arah, kerangka, panduan, dan acuan kegiatan kepada pengelola Cagar Biosfer yang bersifat multistakeholders management mengingat bervariasinya lansekap dan pemangkunya. Pengaturan pengelolaannya menggunakan pendekatan atau sistem pembagian wilayah (zonasi), yaitu area inti, zona penyangga dan area transisi. Berikut kegiatan pengelolaan berdasarkan dari setiap zonasi. a. Area Inti (Core Area) Area inti cagar biosfer harus mempunyai esensi perlindungan hukum berjangka panjang agar kelestarian keanekaragaman hayatinya dapat terjamin. Perlindungan hukum bukan hanya yang berstatus hukum formal seperti suaka margasatwa yang ditetapkan oleh pemerintah, namun dapat pula perlindungan

45 31 adat dan kesepakatan masyarakat dengan berskala waktu yang panjang. Kawasan hutan alam berstatus sebagai hutan produksi yang tidak dikonversi menjadi non hutan alam, dapat dijadikan area inti Cagar Biosfer. Penunjukkan kawasan sebagai area inti Cagar Biosfer tidak akan mengubah status hukum yang telah ada. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di area inti adalah penelitian, pendidikan, pemantauan ekosistem, dan kegiatan lain yang tidak mengubah dan merusak ekosistem alami, seperti: usaha pemanfaatan jasa lingkungan penyerapan karbon dan wisata alam. b. Zona Penyangga (Buffer Zone) Zona penyangga Cagar Biosfer umumnya mengelilingi atau bersebelahan dengan area inti untuk melindungi area inti ini dari dampak negatif kegiatan manusia. Berbagai kegiatan yang secara ekologi dapat dipertanggungjawabkan dapat dilaksanakan di zona ini, seperti penelitian, pelatihan dan pendidikan serta rekreasi sejenis ekowisata (ecotourism). Kegiatan pemanfaatan yang berkelanjutan dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui seperti pengelolaan hutan lestari, agroforestry, usaha budidaya dan penanaman lain yang berkelanjutan pun masih dapat dilakukan. c. Area Transisi (Transition Area) Wilayah terluar dan terluas dari cagar biosfer adalah area transisi, umumnya terdapat berbagai kegiatan budidaya dari pemangku kepentingan dan masyarakat. Area transisi adalah lokasi untuk menerapkan berbagai model pembangunan berkelanjutan, dimana masyarakat setempat, lembaga-lembaga konservasi, organisasi masyarakat, kelompok budaya, pengusaha-pengusaha swasta dan pemangku kepentingan lain bekerja sama untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya daerah yang bersangkutan. Area transisi merupakan lokasi di mana pengembangan cagar biosfer diperkenalkan melalui kerjasama antara pengelola cagar biosfer, pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, pemilik lahan, peneliti, penyuluh, tokoh-tokoh masyarakat, serta pemangku kepentingan lain. Kejelasan batas luar area transisi ini menjadi sangat penting dalam kaitannya mengidentifikasi para pemangku kepentingan yang berada di wilayah CB-GSK-BB.

46 Stakeholders CB-GSK-BB Stakeholders Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (CB-GSK-BB) yaitu individu, kelompok atau organisasi yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Menurut Race dan Miller (2006) pemangku kepentingan (stakeholders) didefinisikan sebagai individu, masyarakat, atau organisasi yang secara potensial mempengaruhi atau dipengaruhi oleh suatu kegiatan atau kebijakan. Pihak-pihak tersebut (stakeholders) memiliki pengaruh dan kepentingan yang berbeda-beda, untuk itu terlebih dahulu perlu diketahui siapa saja stakeholders yang berpengaruh terhadap pengelolaan serta bagaimana kepentingannya dalam pengelolaan CB-GSK-BB Identifikasi stakeholders Tahap pertama dari analisis stakeholders adalah identifikasi stakeholders. Colfer et al. (1999a, 1999b) menyebutkan bahwa untuk menentukan siapa yang perlu dipertimbangkan dalam analisis stakeholders dilakukan dengan mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat dengan hutan. Hasil identifikasi stakeholders berdasarkan hasil telaah dari Keputusan Gubernur Riau (SKpts. Nomor 920/V/2010) tentang Pembentukan Badan Koordinasi Pengelolaan CB-GSK-BB dan ditambah dengan hasil pengamatan di lapangan menggunakan teknik purposive sampling dilihat dari keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan CB-GKS-BB menghasilkan 31 stakeholders. Keterlibatan tersebut dikarenakan dapat mempengaruhi/dipengaruhi oleh suatu kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB (Tabel 7). Stakeholders diklasifikasikan ke dalam 7 kelompok yakni unsur masyarakat (kepala desa), pemerintah pusat, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten), LSM, Perguruan Tinggi, perusahaan dan Majelis Ilmiah. Stakeholders unsur masyarakat yakni kepala desa terdiri dari Kepala Desa Tasik Betung, Kepala Desa Tasik Serai Timur, Kepala Desa Tasik Serai, Kepala Desa Temiang dan Kepala Desa Tanjung Leban. Sebagai stakeholders, masyarakat akan dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan yang dilakukan dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Tempat tinggal yang berdekatan dengan kawasan hutan (zona inti CB-GSK-BB) dan secara emosional, baik dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari dan nilai-nilai budaya yang dimiliki, sangat bergantung dan

47 33 dipengaruhi oleh keberadaan hutan. Berdasarkan data LIPI (2008), mata pencaharian penduduk pada kelima desa tersebut sebagian besar masih terkait dengan subsisten pertanian, terutama perkebunan sawit, karet dan perikanan. Ketergantungan masyarakat kepada lahan hutan sudah terjadi sejak orangtua mereka dahulu membuka lahan sesuai dengan kebutuhan mereka dengan melakukan peladangan berpindah. Masyarakat lokal (etnis Melayu) telah lama berkebun karet (Hevea brasiliensis) yang diintroduksi di masa penjajahan Belanda. Perkebunan kelapa sawit baru dimulai beberapa tahun terakhir sejak banyak pendatang (etnis Batak dan Jawa). Oleh karenanya, masyarakat berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya dengan bergantung pada kawasan hutan. Tabel 7. Stakeholders pengelolaan CB-GSK-BB No Stakeholders Keterangan 1 Kepala Desa Tasik Betung (KTB) Dipengaruhi 2 Kepala Desa Tasik Serai Timur (KTST) Dipengaruhi 3 Kepala Desa Tasik Serai (KTS) Dipengaruhi 4 Kepala Desa Temiang (KTG) Dipengaruhi 5 Kepala Desa Tanjung Leban (KTL) Dipengaruhi 6 Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Bengkalis(BPKPB) Dipengaruhi 7 Badan Lingkungan Hidup Bengkalis (BLHB) Mempengaruhi 8 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bengkalis (DHKB) Mempengaruhi 9 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bengkalis ((DBWB) Mempengaruhi 10 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Siak (DHKS) Mempengaruhi 11 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Siak (DBWS) Mempengaruhi 12 Badan Lingkungan Hidup Siak (BLHS) Mempengaruhi 13 Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Siak (BPKPS) Mempengaruhi 14 Yayasan Penyelamatan Harimau Sumatera (YPHS) Mempengaruhi/dipengaruhi 15 Siak Cerdas (SC) Mempengaruhi/dipengaruhi 16 Dinas Kehutanan Provinsi Riau (DHR) Mempengaruhi 17 Dinas Perkebunan Provinsi Riau (DKR) Mempengaruhi 18 Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau (DILR) Mempengaruhi 19 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau (DBWR) Mempengaruhi 20 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Riau (BPDR) Mempengaruhi 21 Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau (BLHR) Mempengaruhi 22 Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau (BPPR) Mempengaruhi 23 Universitas Lancang Kuning (UNILAK) Mempengaruhi/dipengaruhi 24 Universitas Islam Riau (UIR) Mempengaruhi/dipengaruhi 25 Universitas Riau (UNRI) Mempengaruhi/dipengaruhi 26 Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA) Mempengaruhi 27 Majelis Ilmiah (MI) Mempengaruhi/dipengaruhi 28 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mempengaruhi/dipengaruhi 29 Sinar Mas Forestry (SMF) Mempengaruhi 30 Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan (PHKA) Mempengaruhi 31 Komite Nasional MAB-Indonesia (MAB) Mempengaruhi

48 34 Direktorat Jenderal Perlidungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Kementerian Kehutanan dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau sangat memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kelestarian fungsi ekosistem CB-GSK-BB. Sesuai dengan tupoksi yang diembannya, stakeholders tersebut bertangungjawab dalam pengelolaan Suaka Margasatwa (SM) Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu yang merupakan zona inti CB-GSK- BB. Sehingga pengelolaan CB-GSK-BB secara umum tidak bisa terlepaskan dari stakeholders ini. Pengelolaan setiap kegiatan yang berhubungan dengan program pemerintah daerah berada pada instansi terkait, baik Dinas di Provinsi Riau maupun di kabupaten (Siak dan Bengkalis). Instansi pemerintah daerah, seperti Dinas Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta beberapa dinas lainnya memiliki kesamaan misi yang berkaitan dengan pengelolaan CB-GSK-BB antara lain pemberdayaan masyarakat dalam suatu kegiatan pengelolaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini menyebabkan stakeholders pemerintah mempengaruhi kebijakan yang diputuskan serta tindakan yang akan dilakukan dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Perguruan Tinggi yang terlibat adalah Universitas Lancang Kuning, Universitas Islam Riau dan Universitas Riau. Ketiga perguruan tinggi ini merupakan stakeholders yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Universitas tersebut memiliki kepentingan yang sama dalam melaksanakan pendidikan lingkungan serta meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap pelestarian fungsi ekosistem hutan. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang turut berperan dalam pengelolaan CB-GSK-BB adalah Yayasan Penyelamatan Harimau Sumatera (YPHS) dan Siak Cerdas (SC). Kedua LSM tersebut melaksanakan kegiatannya dibidang pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan, pendidikan, pelatihan dan advokasi kebijakan dalam pengelolaan hutan. YPHS dan SC dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan CB-GSK-BB. Sinar Mas Forestry (SMF) sebagai pihak swasta yang menginisiasi terbentuknya CB-GSK-BB memiliki kepentingan yang sangat tinggi terhadap

49 35 keseimbangan fungsi ekosistem yakni upaya pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati. SMF memiliki peranan yang dominan dikarenakan faktor pengaruh yang dimiliki perusahaan, seperti kemampuan dalam memberikan kompensasi, jumlah anggaran yang dimiliki dan kapasitas organisasi perusahaan. Hal tersebut menyebabkan stakeholder ini mempengaruhi kebijakan yang diputuskan serta tindakan yang akan dilakukan dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Majelis Ilmiah, LIPI dan Komite Nasional Man and Biosphere (MAB) UNESCO-Indonesia memiliki kepentingan yang sama dalam pengembangan keilmuan melalui kegiatan-kegiatan penelitian sumberdaya alam hayati, kehidupan sosial, ekonomi dan nilai-nilai budaya masyarakat yang berada pada CB-GSK-BB. Majelis Ilmiah dan LIPI merupakan stakeholders yang dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi kebijakan pengelolaan CB-GSK-BB. Sedangkan Komite Nasional MAB sesuai dengan tupoksi yang diemban, stakeholder ini mempengaruhi kebijakan yang diputuskan serta tindakan yang akan dilakukan dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Ketiga puluh satu stakeholders di atas merupakan pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan dengan pengelolaan CB-GSK-BB. Stakeholders inilah yang memegang peranan penting dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Peranan masing-masing stakeholders dijabarkan lebih lanjut dalam konteks kepentingan (interest), nilai penting (importance) dan pengaruh (influence) Kepentingan (interest) stakeholders Pelaksanaan pengelolaan CB-GSK-BB melibatkan stakeholders atau pihak yang berkepentingan dan terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholders tersebut merupakan bagian dari sistem pengelolaan yang masingmasing memiliki kepentingan (interest) tersendiri terhadap mekanisme pengelolaan CB-GSK-BB. Tabel 8 menunjukkan bahwa dari 31 stakeholders terdapat beberapa kepentingan yang sinergi ataupun tidak sinergi dengan fungsifungsi ekosistem (regulasi, habitat, produksi, informasi dan carrier) dan tujuan pengelolaan CB-GSK-BB, yaitu : (1) Kontribusi konservasi lansekap, ekosistem, jenis dan plasma nutfah serta pelestarian keragaman nilai budaya; (2) Menyuburkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan baik secara ekologi maupun budaya; dan (3) Mendukung logistik untuk penelitian, pemantauan,

50 36 pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, regional, nasional maupun global. Tabel 8. Kepentingan (interest) stakeholders terkait dengan fungsi ekosistem dan tujuan pengelolaan CB-GSK-BB No Stakeholders Kepentingan (interest) 1 KTB - Menginginkan lahan berkebun untuk warga - Perlindungan hutan larangan masyarakat (SM GSK) - Pengembangan potensi desa - Peningkatan kesejahteraan warga - Kejelasan tata batas kawasan hutan (SM) dengan lahan warga 2 KTST - Kejelasan hak-hak lahan warga (klaim kepemilikan lahan) - Pelibatan aparatur desa dan warga dalam pengambilan keputusan pengelolaan - Aturan, papan larangan dan tata batas kawasan - Pelestarian fungsi hutan (habitat satwa) - Meningkatkan pendapatan masyarakat 3 KTS - Informasi berkenaan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau - Kejelasan antara lahan warga, areal perusahaan dan batas kawasan - Menjaga homerange harimau di sekitar dusun Bagan Benio - Meningkatkan kesejahteraan masyarakt 4 KTG - Penjagaan dan perlindungan hutan - Pengembangan potensi kawasan (wisata alam) - Meningkatkan keterampilan warga (alternatif pendapatan) 5 KTL - Pengembangan potensi wisata di Bukit Sembilan - Perbaikan jalan untuk mobilisasi hasil kebun - Pelibatan dalam pengelolaan Fungsi Ekosistem Tujuan Pengelolaan R H P I C T1 T2 T

51 37 No Stakeholders Kepentingan (interest) 6 BPKPB - Koordinasi pihak pemerintah dan perusahaan - Peningkatan kuantitas dan kualitas SDM penyuluh kehutanan 7 BLHB - Melaksanakan programprogram upaya penyelamatan lingkungan - Pelatihan masyarakat dalam pencegahan dan menanggulangi kebakaran hutan - Intensitas pertemuan dan koordinasi antarpihak 8 DHKB - Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi kawasan hutan - Pencegahan illegal logging dan perambahan lahan - Peraturan daerah (Perda) di bidang perkebunan dan kehutanan - Koordinasi stakeholders di provinsi dan kabupaten 9 DBWB - Pengembangan ecotourism di CB-GSK-BB - Pendidikan pengenalan sumber kekayaan hayati kepada masyarakat luas - Koordinasi pengelolaan 10 DHKS - Adanya sinkronisasi dan keselarasan dari pemangku kebijakan (antara Dirjen PHKA dengan BUK) dalam pengelolaan kawasan dan pemberian izin penggunaan kawasan - Peningkatan pengamanan kawasan - Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan 11 DBWS - Mengembangkan program kepariwisataan berkenaan dengan pengelolaan CB- GSK-BB - Koordinasi pihak-pihak terkait Fungsi Ekosistem Tujuan Pengelolaan R H P I C T1 T2 T3

52 38 No Stakeholders Kepentingan (interest) 12 BLHS - Melaksanakan kegiatan upaya penyelamatan lingkungan dan kebakaran hutan dan lahan - Adanya partisipasi dari segenap pihak (Pemda, perusahaan, LSM dan masyarakat) 13 BPKPS - Meningkatkan produktivitas pangan masyarakat sekitar - Koordinasi pengelolaan 14 YPHS - Melakukan upaya-upaya perlindungan dan penyelamatan Harimau Sumatera - Menjaga kelestarian habitat Harimau Sumatera - Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak membunuh Harimau Sumatera 15 SC - Pelibatan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan kawasan - Penguatan hak-hak masyarakat terhadap SDA dan advokasi kebijakan dalam pengambilan keputusan oleh stakeholders - Peningkatan kualitas pengetahuan masyarakat 16 DHR - Koordinasi rencana pengelolaan CB-GSK-BB - Pengendalian kawasan hutan - Pengawasan terhadap pemanfaatan Hutan Produksi di zona inti (restorasi ekosistem) 17 DKR - Optimalisasi lahan perkebunan - Menjaga keseimbangan lingkungan 18 DILR - Peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan sekitar kawasan 19 DBWR - Penyebaran informasi program kepariwisataan - Pengembangan desa-desa wisata - Pelatihan kreatifitas lokal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat - Koordinasi rencana pengelolaan CB-GSK-BB Fungsi Ekosistem Tujuan Pengelolaan R H P I C T1 T2 T3

53 39 No Stakeholders Kepentingan (interest) 20 BPDR - Keseimbangan fungsi ekosistem CB-GSK-BB - Kontribusi ekonomi kawasan bagi pembangunan daerah - Meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat - Adanya mekanisme komunikasi antar stakeholders yang dilaksanakan rutin dan intensif 21 BLHR - Pencegahan kebakaran hutan dan lahan - Model keterpaduan pengelolaan ekosistem - Pendidikan lingkungan bagi masyarakat - Koordinasi pengelolaan 22 BPPR - Peningkatan kualitas pengetahuan masyarakat - Pengkajian dan pelestarian plasma nutfah dan sdah 23 ULK - Meningkatan mutu pendidikan - Menjalin kerjasama dengan institusi akademis lainnya 24 UIR - Melakukan kegiatan-kegiatan penelitian di CB-GSK-BB - Menjalin kerjasama dengan institusi akademis lainnya di bidang penelitian - Meningkatan pemberdayaan Fungsi Ekosistem Tujuan Pengelolaan R H P I C T1 T2 T3 masyarakat 25 UNRI - Pelibatan peran akademis dalam pengelolaan - Meningkatkan kualitas pengetahuan masyarakat 26 BBKSDA - Melaksanakan pengelolaan kawasan konservasi, yaitu SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu - Melaksanakan upaya konservasi tumbuhan dan satwa liar, baik di dalam habitatnya (konservasi insitu) maupun di luar habitatnya (konservasi exsitu) - Optimalisasi fungsi CB-GSK- BB (pelestarian dan pemanfaatan) - Keberlanjutan dan sinergitas pengelolaan - Penguatan Badan Koordinasi pengelolaan kolaborasi

54 40 No Stakeholders Kepentingan (interest) 27 MI - Pengembangan keilmuan terkait pengelolaan CB- GSK-BB - Mendukung kegiatankegiatan penelitian pada CB- GSK-BB 28 LIPI - Pengumpulan data keanekaragaman hayati - Penelitian/kajian potensi dan masalah sosial ekonomi serta budaya masyarakat - Meningkatkan pemberdayaan masyarakat 29 SMF - Penguatan komitmen perusahaan - Tercapainya keseimbangan fungsi kawasan (pelestarian dan pemanfaatan) - Koordinasi rencana pengelolaan - Kontribusi stakeholders Fungsi Ekosistem Tujuan Pengelolaan R H P I C T1 T2 T3 30 PHKA - Perumusan kebijakan/peraturan pemerintah tentang pengelolaan Cagar Biosfer - Penguatan kelembagaan pengelolaan - Keberlanjutan pembiayaan pengelolaan - Adanya mekanisme komunikasi intensif antar stakeholders 31 MAB - Melaksanakan Seville Strategy dan pedoman MAB- UNESCO - Mengarahkan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan - Tercapainya tujuan pengelolaan CB-GSK-BB (sustainable development) Keterangan : R: fungsi regulasi; H: fungsi habitat; P: fungsi produksi; I: fungsi informasi; C: fungsi carrier; T1: Konservasi; T2: Pembangunan ekonomi berkelanjutan; T3: Logistic support (pendidikan dan penelitian); (): sinergi; (-): tidak sinergi; ( ): tidak terkait. Terkait dengan hasil dari analisis kepentingan stakeholders tersebut, pada prinsipnya masing-masing stakeholders memiliki kepentingan yang bersifat spesifik. Hal ini berhubungan dengan kewenangan, otoritas, peran, manfaat yang diinginkan dan tanggung jawab yang terdapat pada masing-masing stakeholders terkait pengelolaan CB-GSK-BB. Dari analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa

55 41 sebagian besar stakeholders sangat berkepentingan pada koordinasi antarpihak (stakeholders) dalam pengelolaan CB-GSK-BB, pelestarian kawasan hutan, penyelamatan lingkungan dan keseimbangan fungsi ekosistem, peran serta masyarakat dalam menjaga keutuhan fungsi ekosistem dan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan (Tabel 9). Stakeholders dari unsur masyarakat (kepala desa) memiliki kebutuhan untuk melakukan kegiatan langsung pada kawasan hutan (area inti dan sekitar zona penyangga CB-GSK-BB). Dengan demikian, dampak pengelolaan secara langsung dirasakan oleh stakeholders ini. Apabila kepentingan dan aspirasi masyarakat dapat diakomodasi, maka mereka akan mendukung perlindungan terhadap ekosistem hutan. Oleh karenanya, pengelolaan CB-GSK-BB harus seminimal mungkin menghasilkan dampak negatif dan seoptimal mungkin memberikan manfaat bagi masyarakat. Keterlibatan stakeholders masyarakat dalam pengelolaan yaitu dapat berperan sebagai komunitas sosial yang turut menjaga kelestarian kawasan hutan jika manfaat pengelolaan CB-GSK-BB dirasakan oleh mereka. Tabel 9. Rekapitulasi hasil analisis kepentingan (interest) stakeholders No Kepentingan (interest) Stakeholders 1 Koordinasi antarpihak (stakeholders) dalam pengelolaan CB-GSK-BB 2 Pelestarian kawasan hutan, penyelamatan lingkungan dan keseimbangan fungsi ekosistem CB-GSK-BB BPKPB, BLHB, DHKB, DBWB, BPKPS, BLHS, DHKS, DBWS, DHR, DBWR, BPDR, BLHR, BBKSDA, SMF, PHKA, MAB KTB, KTST, KTS, KTG, BLHB, DHKB, BLHS, DHKS, YPHS, DHR, BPDR, BLHR, BBKSDA, SMF KTST, KTL, DHKB, DHKS, SC, UIR, BBKSDA, LIPI, SMF KTB, KTST, KTS, KTG, DHKB, DHKS, DHR, BPDR BPPR, ULK, UIR, UNRI, MI, MI, LIPI BLHB, DHKB, BLHS, DHKS, YPHS, SC 3 Peran serta masyarakat dalam menjaga keutuhan fungsi ekosistem CB-GSK-BB 4 Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan 5 Pengembangan keilmuan, pendidikan dan penelitian terhadap sumberdaya 6 Pengembangan wawasan terhadap hutan dan lingkungan 7 Pengembangan ekowisata KTG, KTL, DBWB, DBWS, DBWR 8 Kejelasan hak-hak lahan warga, areal KTB, KTST, KTS perusahaan dan batas CB-GSK-BB 9 Perumusan kebijakan/peraturan pemerintah BBKSDA, PHKA tentang pengelolaan Cagar Biosfer

56 42 Stakeholders pemerintah (pusat, provinsi dan kabupaten) memiliki kewenangan regulasi dan menentukan kebijakan kegiatan konservasi dan pembangunan wilayah. Kewenangan ini tidak dimiliki stakeholders dari LSM, Perguruan Tinggi maupun unsur masyarakat (kepala desa). Hal ini menyebabkan posisi stakeholders kalangan pemerintah sangat kuat dalam konteks regulasi dan kebijakan wilayah dibandingkan dengan stakeholders lain. Secara spesifik, BBKSDA Riau sebagai unit pengelola SM Giam Siak Kecil dan Bukit Batu yang merupakan zona inti CB-GSK-BB, memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan yang memadukan pengelolaan kawasan konservasi dengan pengembangan wilayah di sekitar CB-GSK-BB. BBKSDA Riau melakukan upaya-upaya perlindungan dan pemanfaatan secara lestari demi mewujudkan optimalisasi fungsi kawasan. Sementara itu, stakeholders dinas merupakan pihak yang berkepentingan dan memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah sekitar CB-GSK- BB. Berdasarkan hasil dari penelitian ini diketahui bahwa pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) sangat mendukung pengelolaan CB-GSK-BB walaupun keterlibatan beberapa instansi masih minim, sehingga koordinasi perlu terus dilakukan guna meningkatkan hubungan kerja yang baik. Apabila kebijakan pembangunan daerah tidak diintegrasikan dengan tujuan konservasi dan pembangunan ekonomi berkelanjutan akan menjadi sumber tekanan bagi pengelolaan CB-GSK-BB. Secara keseluruhan, kepentingan (interest) stakeholders pemerintah (pusat dan daerah), LSM, Perguruan Tinggi, Swasta dan Majelis Ilmiah sinergi dengan fungsi ekosistem dan tujuan pengelolaan CB-GSK-BB. Namun, ada beberapa kepentingan (interest) dari unsur masyarakat, khususnya di Desa Tasik Betung, Desa Tasik Serai Timur dan Desa Tasik Serai yang tidak sinergi, yakni dari ketiga kepala desa tersebut memberikan informasi bahwa sebagian warganya melakukan pembukaan lahan dan menginginkan agar mereka diijinkan untuk berkebun sawit serta mengklaim kepemilikan lahan. Kegiatan perambahan dimungkinkan akan menggangu keutuhan dan kelestarian fungsi ekosistem serta dapat menimbulkan konflik. Hal ini menyebabkan perlunya pelibatan dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan CB-GSK-BB.

57 Nilai Penting (Importance) dan Pengaruh Stakeholders Nilai penting (importance) stakeholders Pengukuran nilai penting (importance) masing-masing stakeholders terhadap pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (CB-GSK-BB) dilakukan dengan cara interpretasi pada masing-masing kategori nilai penting (importance) stakeholders. Beberapa aspek nilai penting (importance) stakeholders dikategorikan terhadap fungsi-fungsi ekosistem, yaitu regulasi, habitat, produksi, informasi dan carrier. Berdasarkan data dalam Tabel 10 menunjukan bahwa nilai penting (importance) yang tinggi berada pada stakeholders unsur masyarakat (kelima kepala desa, yaitu Kepala Desa Tasik Betung, Kepala Desa Tasik Serai Timur, Kepala Desa Tasik Serai, Kepala Desa Temiang dan Kepala Desa Tanjung Leban), Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau, BAPPEDA Provinsi Riau, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Komite Nasional MAB-Indonesia, BBKSDA Riau dan Sinar Mas Forestry. Hal ini menunjukkan stakeholders tersebut memiliki relevansi yang tinggi terhadap pelestarian fungsi-fungsi ekosistem CB-GSK-BB. Tabel 10. Nilai penting (importance) stakeholders pengelolaan CB-GSK-BB No Stakeholders Fungsi Ekosistem Regulasi Habitat Produksi Informasi Carrier Jumlah 1 KTB KTST KTS KTG KTL BPKPB BLHB DHKB DBWB DHKS DBWS BLHS BPKPS YPHS SC

58 44 No Stakeholders Fungsi Ekosistem Regulasi Habitat Produksi Informasi Carrier Jumlah 16 DHR DKR DILR DBWR BPDR BLHR BPPR ULK UIR UNRI BBKSDA MI LIPI SMF PHKA MAB BBKSDA Riau dan Sinar Mas Forestry memiliki kepentingan yang sangat dominan terhadap pengelolaan khususnya pada areal inti dan zona penyangga dari CB-GSK-BB. Kedua stakeholders ini menyepakati Perjanjian Kerjasama antara BBKSDA Riau dengan PT. Arara Abadi dalam Pengelolaan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil (SM GSK) dan Suaka Margasatwa Bukit Batu (SM BB) dan Hutan Produksi Mitra Usaha PT. Arara Abadi seluas ± Hektar di Provinsi Riau. Tujuan perjanjian kerjasama tersebut adalah teroptimalisasinya fungsi SM GSK, SM BB dan sebagian Hutan Produksi seluas ± Hektar di areal kerja mitra usaha PT. Arara Abadi. Sinar Mas Forestry akan berperan dalam mencegah dan melindungi area inti, karena diharapkan pengelolaan hutan tanamannya dapat meredam gangguan dan ancaman dari luar terhadap keutuhan dan kelestarian area inti. Sebaliknya, kebutuhan pasokan air untuk tanaman Acacia dan Eucalyptus beserta industri pulpnya didapat dari area inti yang ekosistemnya terjaga. Praktek pembuatan kanal dalam pengelolaan hutan tanaman akan memperhatikan dan menjaga ketinggian permukaan air yang optimal, agar tidak menyebabkan mengeringnya lapisan gambut yang rentan terhadap bahaya kebakaran.

59 45 Adapun stakeholders dengan tingkat relevansi yang rendah terhadap pelestarian fungsi ekosistem CB-GSK-BB yaitu beberapa dinas pemerintah kabupaten dan provinsi (Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Bengkalis, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bengkalis, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Siak, Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Siak, Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau), Yayasan Penyelamatan Harimau Sumatera, Siak Cerdas, Universitas Lancang Kuning, Universitas Islam Riau, Universitas Riau dan Majelis Ilmiah. Beberapa dinas pemerintah daerah memiliki nilai penting (importance) yang rendah terhadap pelestarian fungsi ekosistem dikarenakan tupoksi masing-masing instansi tersebut belum diarahkan secara khusus dalam pengelolaan CB-GSK-BB Pengaruh stakeholders Pengaruh stakeholders merupakan kekuatan stakeholders tertentu untuk mempengaruhi stakeholders lainnya karena beberapa hal, yaitu kepemimpinan, massa, uang/kekayaan, peraturan/sanksi, opini atau informasi. Tingkat pengaruh stakeholders terhadap pengelolaan CB-GSK-BB dapat diketahui melalui kekuatan stakeholders dalam mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB. Dengan demikian, dilakukanlah interpretasi terhadap pengaruh stakeholders menurut instrumen kekuatan, meliputi condign power, compensatory power, conditioning power serta sumber kekuatannya, yaitu personality power and property power dan organisation power. Berdasarkan Tabel 11 menunjukkan BBKSDA Riau sangat mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB. Hal ini dapat terjadi karena kewenangan dan tanggung jawab BBKSDA Riau selaku Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan cq. Ditjen PHKA untuk melakukan pengelolaan kawasan SM GSK- BB (areal inti CB-GSK-BB). Pengaruh BBKSDA Riau nampak pada kemampuannya mempengaruhi stakeholders lainnya dengan peraturan perundangan yang dilaksanakan, kemampuan memberikan bantuan, upah dan penghargaan lainnya dengan kekuatan anggaran yang dimiliki.

60 46 Tabel 11. Pengaruh stakeholders pengelolaan CB-GSK-BB No Stakeholders Condign Instrumen kekuatan Sumber Kekuatan Compensatory Conditioning Personality Organisation Jumlah 1 KTB KTST KTS KTG KTL BPKPB BLHB DHKB DBWB DHKS DBWS BLHS BPKPS YPHS SC DHR DKR DILR DBWR BPDR BLHR BPPR ULK UIR UNRI BBKSDA MI LIPI SMF PHKA MAB Stakeholders pemerintah daerah sebagian besar memiliki pengaruh tinggi karena faktor organisasi yaitu sebagai penentu kebijakan di level pemerintah provinsi dan kabupaten. Namun ada beberapa instansi pemerintah memiliki pengaruh yang rendah yaitu Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Bengkalis,

61 47 Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Siak, Dinas Perkebunan Provinsi Riau serta Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau. Hal ini dikarenakan sangat minimnya keterlibatan stakeholders tersebut dalam pengelolaan CB-GSK-BB Klasifikasi stakeholders Klasifikasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB dilakukan dengan penafsiran matriks nilai penting (importance) dan tingkat pengaruh stakeholders. Hasil dari perhitungan nilai penting dan tingkat pengaruh selanjutnya dipetakan ke dalam empat kategori stakeholders yang disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Matriks kategori stakeholders CB-GSK-BB. Keterangan : 1: Kepala Desa Tasik Betung; 2: Kepala Desa Tasik Serai Timur; 3: Kepala Desa Tasik Serai; 4: Kepala Desa Temiang; 5: Kepala Desa Tanjung Leban; 6: Badan Penyuluhan & Ketahanan Pangan Bengkalis, 7: Badan Lingkungan Hidup Bengkalis; 8: Dinas Kehutanan & Perkebunan Bengkalis; 9: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Bengkalis; 10: Dinas Kehutanan & Perkebunan Siak; 11: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Siak; 12: Badan Lingkungan Hidup Siak; 13: Badan Penyuluhan & Ketahanan Pangan Siak; 14: Yayasan Penyelamatan Harimau Sumatera; 15: Siak Cerdas; 16: Dinas Kehutanan Provinsi Riau; 17: Dinas Perkebunan Provinsi Riau; 18: Dinas Perikanan & Kelautan Provinsi Riau; 19: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Provinsi Riau; 20: BAPPEDA Provinsi Riau; 21: Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau; 22: Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau; 23: Universitas Lancang Kuning; 24: Universitas Islam Riau; 25: Universitas Riau; 26: Balai Besar KSDA Riau; 27: Majelis Ilmiah; 28: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; 29: Sinar Mas Forestry; 30: Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan; 31: Komite Nasional MAB-Indonesia. Kategori pada matriks di atas dapat menggambarkan posisi dan peranan yang dimainkan masing-masing stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB: (I) Subjects yaitu memiliki tingkat kepentingan tinggi tetapi pengaruh rendah; (II) Key players yaitu memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh tinggi; (III) Context setters yaitu memiliki kepentingan rendah tetapi pengaruhnya tinggi dan (IV) Crowd yaitu memiliki kepentingan dan pengaruh rendah.

62 48 a. Subjects Kategori I (subjects) ditempati oleh Kepala Desa Tasik Betung, Kepala Desa Tasik Serai Timur, Kepala Desa Tasik Serai, Kepala Desa Temiang dan Kepala Desa Tanjung Leban. Menurut Groenendijk (2003), pihak yang masuk dalam kategori I (subjects) merupakan pihak dengan kepentingan yang tinggi tetapi memiliki pengaruh yang rendah. Kategori ini menunjukkan bahwa kelima stakeholders tersebut memiliki nilai penting (importance) yang tinggi terhadap keberhasilan pelestarian fungsi ekositem CB-GSK-BB, namun memiliki pengaruh yang rendah terhadap pengelolaan CB-GSK-BB. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelimanya merupakan stakeholders yang penting dan memerlukan pelibatan agar dapat berpartisipasi dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Pelibatan stakeholders tersebut dapat dilakukan dengan pemberdayaan dan mengikutsertakannya di setiap tahapan pengelolaan. Pemberdayaan stakeholders ini dilakukan karena mereka memiliki kapasitas yang kurang memadai dalam pengelolaan. Kelima Kepala Desa tersebut memiliki pengaruh yang rendah terhadap kebijakan pengelolaan karena tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, sehingga stakeholders ini perlu melakukan kerjasama dengan stakeholders pada kategori key players atau context setters agar dapat meningkatkan kapasitas sumberdaya yang dimiliki. b. Key players Hasil pemetaan stakeholders menunjukkan bahwa pada posisi kategori II (key players) ditempati oleh 7 stakeholders, yaitu BBKSDA Riau, Komite Nasional MAB-Indonesia, Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau, Sinar Mas Forestry, BAPPEDA Provinsi Riau dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Stakeholders yang berada pada posisi kategori II (key players) ini merupakan kelompok yang paling kritis karena memiliki nilai penting (importance) dan pengaruh yang tinggi. Menurut Groenendijk (2003), pihak yang masuk ke dalam kategori II (key players) merupakan pihak dengan tingkat pengaruh yang tinggi dan juga kepentingan yang tinggi terhadap keberhasilan suatu pengelolaan. Stakeholders di atas telah menjalin kerjasama sejak tahapan pembentukan CB-GSK-BB hingga aktivitas kegiatan pengelolaan. Ketujuh stakeholders ini

63 49 memiliki kepentingan yang sama dalam pengelolaan, yaitu keseimbangan fungsifungsi ekosistem CB-GSK-BB. Keefektifan dan dukungan koalisi pihak-pihak terhadap pengelolaan dapat diketahui dengan membangun hubungan kerja yang baik atau bermitra satu sama lain, karena stakeholders pada kuadran ini memiliki kapasitas sumberdaya yang besar dalam hal partisipasi dan kontribusi, sumberdaya manusia dan sumberdaya yang disediakan (fasilitas, dana dan informasi) dalam melaksanakan pengelolaan, sehingga stakeholders harus berperan aktif dan saling mendukung (support) demi keberhasilan pengelolaan CB-GSK-BB. c. Context setters Hasil pemetaan stakeholders menunjukkan bahwa pada posisi kategori III (context setters) ditempati oleh 15 stakeholders, yaitu Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bengkalis, Badan Lingkungan Hidup Bengkalis, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bengkalis, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Siak, Badan Lingkungan Hidup Siak, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Siak, Majelis Ilmiah, Universitas Lancang Kuning, Universitas Islam Riau, Universitas Riau, Yayasan Penyelamatan Harimau Sumatera dan Siak Cerdas. Menurut Groenendijk (2003), pihak pada kategori III (context setters) merupakan pihak dengan pengaruh yang tinggi, dapat mempengaruhi pengelolaan tetapi tidak memiliki kepentingan terhadap pengelolaan. Stakeholders ini perlu diperhatikan dan dibutuhkan monitoring dan manajemen yang hati-hati dalam pengelolaan. Stakeholders pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten) memiliki otoritas yang tinggi sehubungan dengan perumusan kebijakan pengelolaan. LSM dan Perguruan Tinggi berperan sehubungan dengan kemampuannya dalam memainkan peran intermediasi, penyebaran informasi dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini menjadi perhatian karena stakeholders yang berada dalam kategori III (context setters) tersebut berperan dalam merumuskan kebijakan dan menjembatani perumusan keputusan dan opini yang berkembang di sekitar CB-GSK-BB. Stakeholders ini juga perlu dikelola untuk dimintai saran pendapat (konsultasi) ataupun hanya sekedar pemberitahuan akan dilaksanakannya suatu kegiatan

64 50 pengelolaan. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak menjadi sumber kendala yang dapat menghambat pelaksanaan kegiatan pengelolaan CB-GSK-BB. d. Crowd Posisi kategori IV (crowd) ditempati oleh 4 stakeholders, yaitu Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Bengkalis, Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Siak, Dinas Perkebunan Provinsi Riau dan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau. Menurut Groenendijk (2003), pihak pada kategori IV (crowd) merupakan pihak dengan pengaruh yang rendah dan kepentingan yang rendah pula terhadap pengelolaan, mungkin membutuhkan monitoring atau evaluasi namun dengan prioritas rendah. Keberadaan stakeholders ini sebenarnya bisa diabaikan karena bukan merupakan subjects dalam pengelolaan. Namun, mengingat bahwa kegiatan pengelolaan CB-GSK-BB ini melibatkan banyak pihak (multistakeholder management), maka stakeholders ini bisa dilibatkan untuk mendukung setiap pelaksanaan kegiatan pengelolaan CB-GSK-BB. Matriks nilai penting (importance) dan pengaruh stakeholders dapat berubah tipenya sepanjang waktu dan dampak perubahan tersebut perlu dipertimbangkan (Reed et al. 2009). Disamping itu, dimungkinkan juga munculnya stakeholders baru yang belum teridentifikasi pada penelitian ini, terkait dengan dinamika sosial yang terus berkembang di lokasi penelitian. Berdasarkan analisis nilai penting (importance) dan pengaruh tersebut ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan dalam pengelolaan CB-GSK-BB yaitu diperlukan koordinasi dan kerjasama yang solid antar stakeholders sesuai dengan peran dan fungsinya serta pendekatan yang dapat mengakomodasi kepentingan stakeholders lainnya tanpa mengurangi tingkat pengaruhnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Asikin (2001) dalam pembangungan perlu diberdayakannya bentuk-bentuk partisipasi stakeholders. 5.4 Bentuk dan Tingkat Partisipasi Stakeholders Bentuk partisipasi stakeholders Bentuk partisipasi stakeholders merupakan wujud keterlibatan dan keikutsertaan serta kontribusi stakeholders dalam pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu (CB-GSK-BB) sesuai dengan peran dan

65 51 fungsinya. Partisipasi dilakukan oleh para pihak tersebut atas dasar peran serta, keterlibatan dan saling bekerjasama dalam pengelolaan. Asngari (2001) menyatakan bahwa penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya pengertian bersama yang dikarenakan adanya komunikasi dan interaksi diantara pihak-pihak. Upaya partisipatif stakeholders sangat berpengaruh dan menentukan jalannya pengelolaan. Berikut upaya-upaya partisipasi stakeholders dalam pengelolaan CB- GSK-BB (Tabel 12). Tabel 12. Bentuk partisipasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB No Stakeholders Bentuk Partisipasi 1 KTB - Menjaga hutan larangan warga Tasik Betung (SM GSK) - Mengikuti pertemuan dengan pihak BBKSDA dalam sosialisasi CB-GSK-BB - Menginformasikan hasil pertemuan dengan BBKSDA terkait CB-GSK-BB kepada warga 2 KTST - Melindungi, tidak memburu dan membunuh satwa - Mengikuti pertemuan dengan Pemkab Bengkalis dan BBKSDA mengenai tata ruang dan sosialisasi CB-GSK-BB - Membentuk Tim Desa (RT, RW, Kepala Dusun dan Tokoh Masyarakat) bersama Tim BBKSDA mengecek lahan masyarakat yang masuk kawasan 3 KTS - Menjaga homerange harimau di sekitar dusun Bagan Benio - Mengikuti pertemuan dengan pihak BBKSDA dalam sosialisasi CB-GSK-BB - Menyebarkan informasi CB-GSK-BB melalui beberapa Ketua RT setempat - Melakukan perundingan dengan Camat membahas batas lahan warga dengan CB-GSK-BB - Penanaman jelutung bersama dengan pihak SMF di Dusun Sigerenggong, Semanda (perbatasan areal konsesi perusahaan) 4 KTG - Menjaga kelestarian hutan sebagai habitat satwa - Mengikuti pertemuan dengan Pemda dan BBKSDA mengenai keberadaan dan fungsi CB-GSK-BB - Menginformasikan CB-GSK-BB kepada masyarakat - Membentuk Kelompok Masyarakat Peduli Hutan (KMPH) hasil inisiasi dari BBKSDA - Mengarahkan KMPH untuk merumuskan program wisata alam pada CB-GSK-BB 5 KTL - Mengikuti pertemuan sosialisasi CB-GSK-BB - Menginformasikan CB-GSK-BB kepada masyarakat - Memberikan pelarangan perambahan dan pembakaran hutan lindung Bukit Sembilan kepada masyarakat - Kerjasama dengan SMF dalam penanaman bibit akasia di areal perbatasan hutan lindung Bukit Sembilan

66 52 No Stakeholders Bentuk Partisipasi 6 BPKPB - Melakukan penyuluhan kehutanan kepada masyarakat 7 BLHB - Pencegahan kebakaran hutan dan lahan - Rapat Koordinasi BLH Kabupaten mengenai proses pengusulan SM Bukit Batu dan Giam Siak Kecil - Sosialisasi terbatas kepada masyarakat sekitar SM Bukit Batu - Perundingan dengan BBKSDA terkait batas-batas fisik hutan lindung (SM Bukit Batu dan Giam Siak Kecil)\ - Menghadiri sosialisasi CB-GSK-BB oleh BBKSDA 8 DHKB - Menindak perambahan dan illegal logging yang dilakukan oleh warga di SM Bukit Batu - Melakukan penjagaan dan patroli rutin tiap bulan per kecamatan oleh Tim Polhut (tetapi jumlah SDM minim) - Mengikuti pertemuan dengan BBKSDA, Pemprov dan SMF dalam sosialisasi CB-GSK-BB 9 DBWB (belum ada tindakan partisipasi, masih dalam tahapan perencanaan: pemanfaatan CB-GSK-BB sebagai salahsatu destinasi ecotourism di Bengkalis) 10 DHKS - Pengamanan SM Giam Siak Kecil - Sosialisasi keberadaan CB-GSK-BB pada masyarakat - Mengikuti pertemuan dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan PemKab Siak 11 DBWS (belum ada tindakan partisipasi, masih dalam tahapan perencanaan: program wisata alam di CB-GSK-BB) 12 BLHS - Mencegah kebakaran hutan dan lahan termasuk pada kawasan SM GiamSiak Kecil - Rapat Koordinasi dengan BLH provinsi, BBKSDA dan Pemprov dalam perumusan CB-GSK-BB 13 BPKPS - Penerapan teknologi budidaya pertanian kepada Masyarakat sekitar kawasan - Mengikuti pertemuan dengan PemKab dan BBKSDA dalam sosialisasi CB-GSK-BB 14 YPHS - Upaya-upaya perlindungan dan penyelamatan Harimau Sumatera bekerja sama dengan SMF - Meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan perburuan liar dan membunuh harimau 15 SC - Pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian alam - Inisiasi program perencanaan (RPJM) desa-desa sekitar CB-GSK-BB - Bekerja sama dengan SMF dan BBKSDA untuk mensosialisasikan CB-GSK-BB di Desa Tanjung Leban dan Tasik Betung 16 DHR - Pengendalian kawasan hutan dan upaya penyelamatan lingkungan - Pengawasan terhadap pemanfaatan Hutan Produksi di zona inti (restorasi ekosistem) - Berperan aktif sejak proses pengusulan hingga penetapan CB-GSK-BB oleh UNESCO - Terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan tindakan pengelolaan CB-GSK-BB - Bekerjasama dengan BLHR dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan 17 DKR - Mengikuti Rapat Koordinasi dengan BBKSDA, dinas-dinas provinsi dan SMF terkait pengelolaan CB-GSK-BB 18 DILR (belum ada tindakan partisipasi, masih dalam tahapan perencanaan: restocking ikan induk dari CB-GSK-BB)

67 53 No Stakeholders Bentuk Partisipasi 19 DBWR - Mempromosikan potensi objek wisata di CB-GSK-BB - Pemberdayaan masyarakat dalam program Desa Wisata - Mengikuti Rapat Koordinasi dengan BBKSDA, dinas-dinas provinsi dan SMF terkait pengelolaan CB-GSK-BB 20 BPDR - Melaksanakan program-program pembangunan daerah melalui pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan - Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat - Berperan aktif sejak proses pengusulan hingga penetapan CB-GSK-BB oleh UNESCO - Terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan tindakan pengelolaan CB-GSK-BB - Mengadakan kerjasama dengan institusi/lembaga penelitian di bidang pengembangan SDM 21 BLHR - Menanggulangi kebakaran hutan dan lahan serta upaya-upaya penyelamatan lingkungan - Berperan aktif sejak proses pengusulan hingga penetapan CB-GSK-BB oleh UNESCO - Terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan tindakan pengelolaan CB-GSK-BB - Mengkoordinasikan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan CB-GSK-BB 22 BPPR - Survey dan pemetaan CB-GSK-BB (APBD 2011) - Mengikuti Rapat Koordinasi dengan BBKSDA, dinas-dinas provinsi dan SMF terkait pengelolaan CB-GSK-BB - Bekerjasama dengan LIPI dalam mereklamasi tumbuhan varietas asing, seperti kayu waru; kempas 23 ULK - Mengikuti pertemuan di BAPPEDA Riau dalam sosialisasi CB-GSK-BB - Kegiatan penelitian bersama LIPI dan Tokyo University of Agriculture (The Study on Meranti bakau) tahun UIR - Mengikuti Rapat Koordinasi dengan BBKSDA, dinas-dinas provinsi dan SMF terkait pengelolaan CB-GSK-BB - Bekerjasama dengan Kyoto University dan LIPI dalam kegiatan-kegiatan penelitian di CB-GSK-BB 25 UNRI - Mengikuti pertemuan sosialisasi CB-GSK-BB oleh BBKSDA - Study penelitian bersama LIPI di CB-GSK-BB 26 BBKSDA - Perlindungan Core Area CB-GSK-BB (SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu) - Penanggulangan penebangan liar dan perambahan kawasan SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu - Pengembangan kerjasama pengamanan kawasan - Penegakan hukum secara konsisten - Penyuluhan dan pendidikan konservasi kepada instansi terkait dan masyarakat - Terlibat dan bekerjasama dengan tim perumusan CB-GSK-BB - Perjanjian Kerjasama dengan PT.Arara Abadi tentang Pengelolaan SM Giam Siak Kecil, SM Bukit Batu dan Hutan Produksi Mitra Usaha PT.Arara Abadi seluas ± Hektar di Provinsi Riau - Penguatan Badan Koordinasi pengelolaan CB-GSK-BB

68 54 No Stakeholders Bentuk Partisipasi 27 MI - Pengembangan keilmuan (khasanah) mengenai ekologi hutan dan rawa gambut - Berperan aktif sejak proses pengusulan hingga penetapan CB-GSK-BB oleh UNESCO - Terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan CB-GSK-BB 28 LIPI - Inventarisasi jenis-jenis flora, satwa dan tipe ekosistem - Survey habitat dan populasi flora dan satwa langka - Monitoring plot permanen study pada zona inti di areal hutan produksi (Blok Makmur dan Blok Humus) - Berperan aktif sejak proses pengusulan hingga penetapan CB-GSK-BB oleh UNESCO - Terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan tindakan pengelolaan CB-GSK-BB - Bekerjasama dengan Kyoto University, Pemda Riau, dan SMF dalam kontrak penelitian (pengumpulan data keanekaragaman hayati dan sosial) 29 SMF - Inisiasi rancangan penetapan CB-GSK-BB - Memfasilitasi berbagai kegiatan, penelitian, workshop terkait dengan tindakan pengelolaan CB-GSK-BB - Pengembangan dan pelayanan informasi CB-GSK-BB - Pengembangan kerjasama dan kemitraan dengan unsurunsur: pemerintahan, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lembaga swadaya masyarakat - Upaya-upaya pelestarian alam dan konservasi tumbuhan dan satwa beserta habitatnya - Komitmen perusahaan dalam pengelolaan CB-GSK-BB 30 PHKA - Memberikan arahan dalam perumusan CB-GSK-BB - Penyiapan perumusan kebijakan/peraturan pemerintah tentang Cagar Biosfer 31 MAB - Komite perumusan rancangan penetapan CB-GSK-BB - Penyusunan rencana pengelolaan CB GSK-BB - Mengkoordinasikan pihak-pihak yang terkait - Pembentukan Tim Pengkajian Ilmiah tentang Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Cagar Biosfer - Temu karya peneliti dan dunia usaha sebagai mitra kerja dan fasilitator dalam program pemberdayaan masyarakat Bentuk-bentuk partisipasi stakeholders di atas kemudian diklasifikasikan terhadap tahapan pengelolaan mulai dari tahap identifikasi, perencanaan, pelaksanaan hingga pemantauan dan evaluasi. Dephut (2006) mendefinisikan partisipatif sebagai keterlibatan dalam keseluruhan tahapan proses pembangunan kehutanan (pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dan pemanfaatan hasil pembangunan) dengan memberikan kesempatan dan kedudukan yang setara dan dilaksanakan bersama masyarakat setempat. Secara ringkas, klasifikasi bentuk partisipasi stakeholders CB-GSK-BB terhadap tahapan pengelolaan disajikan dalam Tabel 13.

69 55 Tabel 13. Rekapitulasi bentuk partisipasi stakeholders CB-GSK-BB No Bentuk Partisipasi Tahapan Pengelolaan I P A C 1 Menjaga kelestarian hutan dan upaya penyelamatan lingkungan 2 Mengikuti pertemuan dalam sosialisai CB-GSK-BB 3 Menginformasikan hasil sosialisasi CB-GSK-BB kepada masyarakat 4 Berperan aktif sejak perumusan hingga penetapan CB-GSK-BB dan terlibat dalam pengambilan keputusan 5 Rapat koordinasi terkait kegiatan pengelolaan CB-GSK-BB 6 Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan desa 7 Inventarisasi jenis keanekaragaman satwa dan flora beserta tipe ekosistem dan kajian sosial masyarakat 8 Mengadakan kegiatan study penelitian bersama 9 Bekerjasama dalam pengamanan kawasan hutan dan penanggulangan kerusakan lingkungan 10 Pengembangan kerjasama dan kemitraan dengan berbagai pihak terkait dalam pengelolaan CB-GSK-BB Keterangan: I: Identification (identifikasi); P: Planing (perencanaan); A: Action (pelaksanaan); C: Controling (pemantauan dan evaluasi). Berdasarkan data dalam Tabel 13 menunjukan bahwa belum adanya partisipasi stakeholders dalam tahap pemantauan dan evaluasi. Hal ini dikarenakan CB-GSK-BB relatif baru sejak ditetapkan pada tahun 2009 dan hingga kini pengelolaan masih berjalan secara bertahap. Upaya-upaya partisipasi terus dilakukan oleh stakeholders sebagai bentuk keikutsertaan dan kontribusi dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Selanjutnya klasifikasi bentuk partisipasi stakeholders terhadap tahapan pengelolaan tersebut digunakan untuk menganalisis tingkat partisipasi stakeholders Tingkat partisipasi stakeholders CB-GSK-BB Tingkat partisipasi stakeholders merupakan posisi sejauh mana keterlibatan keikutsertaaan stakeholders pada setiap tahapan pengelolaan. Tingkat partisipasi dalam pengelolaan CB-GSK-BB digolongkan mulai dari tingkat informasi yaitu stakeholders hanya sekedar mendapatkan dan/atau memberikan informasi, kemudian tingkat konsultasi/perundingan dimana stakeholders berkonsultasi dan berunding melalui pertemuan dan terjadi komunikasi dua arah, tetapi ada yang tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan. Tingkat partisipasi stakeholders yang lebih tinggi yaitu kemitraan, dimana setiap

70 56 stakeholders mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama sampai dengan stakeholders memegang kontrol secara penuh atas keputusan dan tindakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Tingkat partisipasi tersebut digunakan sebagai alat untuk menilai partisipasi nyata dilapangan. Untuk mengetahui tingkat partisipasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB, maka dilakukan analisis menggunakan matriks partisipasi berdasarkan hasil klasifikasi bentuk-bentuk partisipasi stakeholders terhadap tahapan pengelolaan (Tabel 14). Tabel 14. Tingkat partisipasi stakeholders CB-GSK-BB Tahapan Pengelolaan Informasi Tingkat Partisipasi Konsultasi/ Perundingan Kemitraan Kontrol Identifikasi / inventarisasi SMF, LIPI, MI, BPPR Perencanaan BLHB, BLHS, PHKA SMF, LIPI, MI, MAB, BBKSDA, DHR, BLHR, BPDR Pelaksanaan KTB, KTST, KTS, KTG, KTL, BPKPB, DBWB, DBWS, DILR BLHB, DHKB, BLHS, DHKS, BPKPS, DKR, DBWR SMF, LIPI, MAB, BBKSDA, DHR, BLHR, BPDR, BPPR, ULK, UIR, UNRI, YPHS, SC Pemantauan dan Evaluasi Pada Tabel 13 terlihat bahwa terdapat 9 stakeholders yang berada pada Tingkat Informasi yaitu Kepala Desa Tasik Betung, Kepala Desa Tasik Serai Timur, Kepala Desa Tasik Serai, Kepala Desa Temiang, Kepala Desa Tanjung Leban, Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Bengkalis (BPKPB), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bengkalis (DBWB), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Siak (DBWS), dan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau (DILR). Seluruh stakeholders yang berada di tingkat ini, partisipasi dalam pengelolaan CB-GSK-BB dilakukan pada tahap pelaksanaan dalam tahapan pengelolaan. Stakeholders unsur masyarakat (kelima kepala desa) berpartisipasi dalam memberikan informasi (informasi gathering) kepada warganya terkait

71 57 sosialisasi CB-GSK-BB yang diperoleh dari hasil pertemuan dengan pihak BBKSDA, pemerintah daerah dan SMF. Stakeholders pemerintah daerah (BPKPB, DBWB, DBWS dan DILR) hanya mendapat informasi (informing) dan sementara ini belum ada tindakan partisipasi yang dilakukan karena upaya tersebut masih dalam proses perencanaan sesuai bidang tupoksinya, seperti DBWB yang sedang merencanakan pemanfaatan CB-GSK-BB sebagai salahsatu destinasi ecotourism di Bengkalis. Tingkat Konsultasi/Perundingan ditempati oleh 8 stakeholders, yaitu Badan Lingkungan Hidup Bengkalis (BLHB), Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bengkalis (DHKB), Badan Lingkungan Hidup Siak (BLHS), Dinas Kehutanan dan Perkebunan Siak (DHKB), Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Siak (BPKPS), Dinas Perkebunan Provinsi Riau (DKR), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau (DBWR) dan Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan (PHKA). Badan Lingkungan Hidup Bengkalis, Badan Lingkungan Hidup Siak dan PHKA berpartisipasi mulai dari tahap perencanaan, yakni mengikuti perundingan dan terlibat dalam proses pengusulan serta memberikan arahan pada perumusan CB-GSK-BB, khususnya oleh Kementerian Kehutanan (PHKA). Stakeholders pemerintah daerah (BLHB, DHKB, BLHS, DHKS, BPKPS, DKR dan DBWR) terlibat pada tahap pelaksanaan. Partisipasi stakeholders ini dalam rapat koordinasi bersama BBKSDA, SMF, Pemprov, Pemkab dan beberapa lembaga lainnya terkait pengelolaan CB-GSK-BB. Keterlibatan tersebut dikarenakan adanya kesesuaian tupoksi dengan kegiatan pengelolaan dan instansi pemerintah daerah dapat berpengaruh pada kebijakan dalam pengelolaan. Menurut Nistyantara (2011), menyebutkan bahwa instansi pemerintah daerah memiliki pengaruh dari faktor organisasi yaitu sebagai penentu kebijakan dalam pembangunan daerah. Selanjutnya, terdapat 14 stakeholders yang berada pada Tingkat Kemitraan yaitu SMF, LIPI, MAB, BBKSDA Riau, Dinas Kehutanan Provinsi Riau (DHR), BAPPEDA Provinsi Riau (BPDR), Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau (BLHR), Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau (BPPR), Majelis Ilmiah (MI), Universitas Lancang Kuning (ULK), Universitas Islam Riau (UIR), Universitas Riau (UNRI), Yayasan Penyelamatan Harimau Sumatera (YPHS) dan

72 58 Siak Cerdas (SC). Pada tahap identifikasi, kemitraan yang dilakukan stakeholders diantaranya adalah pihak SMF dengan LIPI melakukan kontrak kerjasama dalam kajian keanekaragaman hayati di kawasan GSK-BB, kajian sosial, ekonomi dan budaya, serta monitoring plot permanen study pada areal hutan produksi (Blok Makmur dan Blok Humus) yang termasuk dalam areal inti CB-GSK-BB. Kemitraan tersebut dimulai pada tahun 2007 yang merupakan bagian dari langkah awal dalam proses pembentukan CB-GSK-BB. Pada tahap perencanaan, kemitraan yang dilakukan stakeholders diantaranya adalah disepakatinya Memorandum of Understanding (MoU) antara BBKSDA Riau dengan PT. Arara Abadi tentang Program Pengembangan SM GSK, SM BB serta areal sekitarnya di Kabupaten Siak dan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau dengan pola Manajemen Kolaboratif. Nota Kesepakatan tersebut ditandatangani pada bulan Januari tahun 2008 (satu tahun menjelang ditetapkannya CB-GSK-BB). Hal ini yang mendasari SM GSK-BB dan areal sekitarnya milik perusahaan diusulkan sebagai zona inti CB-GSK-BB dan dikelola secara kolaborasi. Pada tahap pelaksanaan, kemitraan yang dilakukan stakeholders diantaranya adalah disepakatinya Letters of Agreement (LOA) antara LIPI, Universitas Lancang Kuning dan Tokyo University of Agriculture, Japan mengenai Study Meranti bakau. Perjanjian ini disepakati pada bulan Desember tahun 2010 (satu tahun setelah ditetapkannya CB-GSK-BB oleh UNESCO pada bulan Mei tahun 2009 di Jeju, Korea Selatan). Kerjasama tersebut berupa kegiatan penelitian bersama yang dilakukan dalam rangka upaya pelestarian dan budidaya Meranti bakau dan jenis pohon potensial lainnya sebagai tumbuhan khas hutan rawagambut (peat-swamp forest) di provinsi Riau yang dapat digunakan untuk memproduksi bioethanol. Berdasarkan analisis tingkat partisipasi menunjukkan bahwa tidak ada stakeholders pada Tingkat Kontrol di setiap tahapan pengelolaan. Hal ini dikarenakan pengelolaan CB-GSK-BB bersifat kolaboratif (co-management) sehingga tidak ada kontrol dari satu atau beberapa stakeholders melainkan semua pihak yang terlibat bekerja dan bertanggung jawab bersama-sama. Dalam comanagement terdapat mekanisme pelembagaan yang menuntut kesadaran dan

73 59 distribusi tanggung-jawab pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya secara formal. Menurut Borrini-Feyerabend 1996 dalam Purwanti 2008, wilayah pengelolaan kolaboratif yang berada di antara manejemen di bawah kontrol penuh pemerintah dan di bawah kendali penuh stakeholders. Arah kerja co-management tersebut mencakup berbagai cara menerapkan manajemen kerjasama yang adaptif, mulai dari konsultasi aktif, mencari konsensus, negoisasi, sharing otoritas dan transfer otoritas (Gambar 9). Ditambahkan pula oleh Borrini-Feyerabend et al. (2004) yang menyebutkan bahwa modal co-management adalah keberagaman pelaku sosial dengan berbagai ragam tingkatan, bagian dan disiplin. Comanagement didasarkan pada negoisasi dengan pengambilan keputusan dilakukan secara bersama, serta terjadi power sharing dan pembagian pendapatan diantara semua pelaku yang terlibat. Sumber: Borrini Feyerabend 1996 dalam Purwanti 2008 Gambar 9 Arah kerja co-management. Hasil analisis tingkat partisipasi menunjukkan bahwa belum adanya pelibatan dari unsur masyarakat (kelima kepala desa) pada tahap perundingan atau konsultasi dalam proses pembuatan kebijakan pengelolaan CB-GSK-BB, padahal masyarakat merupakan kelompok yang berpotensi menanggung konsekuensi dari suatu kebijakan pengelolaan dan memiliki hak untuk diajak konsultasi. Menurut Hardjasoemantri (1993) dalam Purwanti 2008, peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan bersifat konsultatif, dimana masyarakat memiliki hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberitahu. Kemudian untuk menuju

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TNKL (Gambar 3) dengan pertimbangan bahwa (1) TNKL memiliki flora dan fauna endemik Flores yang perlu dipertahankan

Lebih terperinci

memuat hal yang mendasari kegiatan penelitian. Rumusan masalah permasalahan yang diteliti dan pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian berisikan

memuat hal yang mendasari kegiatan penelitian. Rumusan masalah permasalahan yang diteliti dan pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian berisikan BAB I. PENDAHU LUAN BAB I. PENDAHULUAN Hal pokok yang disajikan dalam bagian ini yaitu : (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan peneltian, dan (4) manfaat penelitian. Latar belakang memuat

Lebih terperinci

PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI

PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Strategi Konsep mengenai strategi memiliki perbedaan pandangan atau konsep selama tiga dekade terakhir. Menurut Chandler (1962) dalam Rangkuti (2006) strategi adalah

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Taman Wisata Alam Rimbo Panti Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

CAGAR BIOSFER Uji lapangan untuk Pembangunan Berkelanjutan

CAGAR BIOSFER Uji lapangan untuk Pembangunan Berkelanjutan CAGAR BIOSFER Uji lapangan untuk Pembangunan Berkelanjutan Cagar Biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui kerjasama dengan program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keaneragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Manokwari (BBTNTC, DKP Provinsi Papua Barat, Dinas Pariwisata Provinsi Papua Barat) dan Kabupaten Teluk Wondama (Wasior,

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Frida Purwanti Universitas Diponegoro Permasalahan TNKJ Tekanan terhadap kawasan makin meningkat karena pola pemanfaatan

Lebih terperinci

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber :

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber : BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penulis mengambil lokasi penelitian di Desa Sakti Pulau Nusa Penida Provinsi Bali. Untuk lebih jelas peneliti mencantumkan denah yang bisa peneliti dapatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata, wisata dan wisata alam Pariwisata merupakan perjalanan yang dilakukan dari satu tempat ke tempat lain yang bukan tempat tinggalnya dan menetap sementara waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN (Kasus Kampung Cimenteng, Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten)

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 20 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Letak geografis Wilayah Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK-BB) secara astronomis berada diantara 101 11-102 10 Bujur Timur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

PENGANTAR. Pekanbaru, Desember2009. Tim Peneliti

PENGANTAR. Pekanbaru, Desember2009. Tim Peneliti PENGANTAR Rasa syukur kami persembahkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat yang telah dikaruniakan-nya, berupa kesempatan untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan laporan penelitian unggulan lokal

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI ANALISIS INSTITUSI KONSERVASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON, DESA TAMANJAYA, KAMPUNG CIBANUA, KECAMATAN SUMUR, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN MONIKA BR PINEM PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan yang berkelanjutan dimasa kini telah menjadi keharusan, dimana keberadaan serta keberlangsungan fungsi sumber daya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar http://blog.unila.ac.id/janter PENGERTIAN Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar perlindungan populasi satwa untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KEBUN RAYA BOGOR SEBAGAI OBJEK WISATA

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KEBUN RAYA BOGOR SEBAGAI OBJEK WISATA ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KEBUN RAYA BOGOR SEBAGAI OBJEK WISATA SKRIPSI MUHAMMAD SALIM R H34076107 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 RINGKASAN

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU DAN TINGKAT KEPUASAN PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM (TWA) TALAGA WARNA CISARUA - BOGOR

ANALISIS PERILAKU DAN TINGKAT KEPUASAN PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM (TWA) TALAGA WARNA CISARUA - BOGOR ANALISIS PERILAKU DAN TINGKAT KEPUASAN PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM (TWA) TALAGA WARNA CISARUA - BOGOR SKRIPSI SRI MULYANI H 34066118 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM STRATEGI PEMULIHAN KERUSAKAN VEGETASI MANGROVE DI KAWASAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM STRATEGI PEMULIHAN KERUSAKAN VEGETASI MANGROVE DI KAWASAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM STRATEGI PEMULIHAN KERUSAKAN VEGETASI MANGROVE DI KAWASAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT BIDANG KEGIATAN PKM-GT Diusulkan oleh: DAHLAN E34070096 2007 TUTIA RAHMI

Lebih terperinci

STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN. Oleh : RINI NOVI MARLIANI E

STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN. Oleh : RINI NOVI MARLIANI E STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN Oleh : RINI NOVI MARLIANI E34101037 DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA,

KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA, SALINAN KEPUTUSAN KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA NOMOR 34/A/2016 TENTANG KOMISI NASIONAL UNTUK PROGRAM MAN AND BIOSPHERE (MAB) UNITED NATIONS EDUCATIONAL SCIENTIFIC AND CULTURAL ORGANIZATION

Lebih terperinci

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DALAM PENATAAN RUANG

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DALAM PENATAAN RUANG Karya Tulis KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DALAM PENATAAN RUANG Oleh : ANITA ZAITUNAH NIP 132 259 574 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009 KATA PENGANTAR Puji dan syukur

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

LANSEKAP POTENSI ALAM HUTAN LINDUNG SIBAYAK II TAHURA BUKIT BARISAN

LANSEKAP POTENSI ALAM HUTAN LINDUNG SIBAYAK II TAHURA BUKIT BARISAN LANSEKAP POTENSI ALAM HUTAN LINDUNG SIBAYAK II TAHURA BUKIT BARISAN SKRIPSI Oleh : GEBY RHEVIA 091201081/MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013 LANSEKAP

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia Tuhan memang diperuntukkan bagi manusia sehingga harus dimanfaatkan atau diambil manfaatnya. Di sisi lain dalam mengambil manfaat hutan harus

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA 7.1 Kerangka Umum Analytical Network Process (ANP) Prioritas strategi pengembangan TN Karimunjawa ditetapkan berdasarkan pilihan atas variabel-variabel

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK Oleh : Dina Dwi Wahyuni A 34201030 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah dan air dalam wilayah

Lebih terperinci

PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH

PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. bahwa Taman

Lebih terperinci

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan

Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul: Jenis Kegiatan: Mitigasi Berbasis Lahan A. Informasi Kegiatan A.1.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa ekowisata merupakan potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHA DAN KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT KOPERASI HUTAN JAYA LESTARI KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROPINSI SULAWESI TENGGARA

ANALISIS KELAYAKAN USAHA DAN KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT KOPERASI HUTAN JAYA LESTARI KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROPINSI SULAWESI TENGGARA ANALISIS KELAYAKAN USAHA DAN KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT KOPERASI HUTAN JAYA LESTARI KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROPINSI SULAWESI TENGGARA L. BINTANG SETYADI B. DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Conventional vs Sustainable Tourisms WISATA KONVENSIONAL 1. Satu tujuan: Keuntungan 2. Tak terencana 3. Berorientasi pada wisatawan 4. Kontrol oleh pi

Conventional vs Sustainable Tourisms WISATA KONVENSIONAL 1. Satu tujuan: Keuntungan 2. Tak terencana 3. Berorientasi pada wisatawan 4. Kontrol oleh pi STRATEGI DAN PERENCANAAN PENGEMBANGAN WISATA PANTAI DAN LAUT (Ekowisata Berbasis Masyarakat) Ani Rahmawati, S.Pi, M.Si Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA Conventional vs Sustainable Tourisms

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci