BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Riskan Qadar, 2015

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Riskan Qadar, 2015"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan metode agar tujuan pembelajaran tercapai dan saat ini berbagai metode pembelajaran telah digunakan. Metode pembelajaran ada yang berpusat pada guru dan ada yang berpusat pada siswa. Landasan teori yang mendukung metode pembelajaran yang berpusat pada guru adalah teori belajar sosial, behavioral, dan pemrosesan informasi. Adapun landasan teori yang mendukung pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah teori kognitif dan konstruktif. Dari kedua metode pembelajaran ini peran guru dan siswa berbeda untuk menentukan tercapainya tujuan pembelajaran. Di antara metode yang telah digunakan yakni ekspositori dan inkuiri. Pembelajaran matakuliah fisika selama ini pada Program Studi Pendidikan di salah satu LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) di Kalimantan Timur masih didominasi metode ekspositori (hasil studi pendahuluan). Seringnya digunakan metode ini dalam pembelajaran karena memiliki kemudahan dalam tataran operasional. Adapun pendekatan pembelajaran inkuiri memiliki karakteristik tersenidiri dalam langkah-langkah pembelajaran. Pendekatan ini salah satunya telah dikembangkan oleh Wenning (2005) yang memperkenalkan tingkat-tingkat pembelajaran inkuiri dalam sains dengan urutan terstruktur. Tingkatan pembelajaran inkuiri tersebut adalah: (a) pembelajaran discovery, (b) demonstrasi interaktif, (c) pembelajaran inkuiri, (d) laboratorium inkuiri, dan (e) inkuiri hipotetis. Masing-masing tingkatan inkuiri ini memiliki tingkat keterlibatan intelektual siswa yang bervariasi. Tingkat keterlibatan intelektual siswa yang paling rendah ada pada tingkat pembelajaran discovery dan selanjutnya mengalami peningkatan keterlibatan intelektual paling tinggi ada pada tingkat inkuiri hipotetis. Setiap tingkatan inkuiri pendekatan pembelajaran sains ini juga memiliki jenis-jenis keterampilan proses sains tersendiri. Adapun peran guru paling tinggi ada pada tingkatan pembelajaran discovery dan paling rendah ada pada tingkatan inkuiri hipotetis. 1

2 2 Peningkatan kompetensi kognitif, psikomotorik, dan afektif pada materi fisika bagi calon guru diperlukan untuk mengatasi masalah pembelajaran. Peningkatan ini dapat diketahui menggunakan asesmen. Agar asesmen yang digunakan bersifat komprehensif dalam pembelajaran untuk tiga kompetensi, maka digunakan asesmen yang terintegrasi pada pembelajaran. Selama ini, asesmen yang digunakan untuk memantau kemajuan hasil belajar lebih terfokus pada pengukuran kemajuan aspek kognitif mahasiswa dan cenderung mengabaikan kemajuan aspek afektif dan aspek psikomotorik. Pelaksanaan asesmen dan evaluasi hanya dilakukan pada ujian tengah semester (UTS), ujian akhir semester (UAS), dan tugas-tugas yang diberikan secara dadakan dalam bentuk pekerjaan rumah (homework) untuk pemahaman aspek kognitif. Salah satu kelemahan asesmen yang hanya dilakukan pada UTS dan UAS tidak dapat digunakan secara akurat untuk tujuan perbaikan pembelajaran yang sedang berlangsung karena hanya bertujuan sebagai evaluasi hasil belajar mahasiswa dalam perkuliahan. Keberadaan evaluasi hanya UTS dan UAS mengharuskan calon guru hadir dalam ujian. Catatan kehadiran dan peningkatan kemajuan selama perkuliahan berlangsung tidak menjadi bahan pertimbangan bagi penilai. Pendekatan pembelajaran dan teknik asesmen di atas menyebabkan pembelajaran tidak mampu melihat kemajuan pemahaman mahasiswa tentang materi optika yang dipelajari. Untuk mengetahui kemajuan belajar calon guru fisika sangat diperlukan asesmen yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga ranah asesmen tersebut dapat saling berhubungan atau terintegrasi satu satu sama lain seperti yang diungkapkan oleh Shaw & Nagashima (2009), bahwa peningkatan aspek afektif dan aspek psikomotor akan berkorelasi pada peningkatan aspek kognitif. Hasil penelitian Shaw dan Nagashima tersebut menemukan bahwa prestasi siswa dapat meningkat melalui asesmen kinerja sains dalam kelas berbasis inkuiri. Sejalan dengan penggunaan pendekatan inkuiri pada pembelajaran sains dapat meningkatkan perkembangan intelektual mahasiswa, Tabin dan Capie (Valanides, 1996) mengemukakan bahwa ada lima penalaran formal intelektual

3 3 siswa dalam berpikir, yakni kemampuan berpikir proporsional, pengontrolan variabel, probabilitas, korelasional, dan kombinatorial. Lima penalaran formal ini dibagi dalam bentuk tiga kategori berupa kemampuan berpikir konkret, transisional, dan penalaran formal. Hal ini diperkuat dengan studi awal yang dilakukan pada mahasiswa pendidikan fisika angkatan 2010 dengan menggunakan tes kemampuan berpikir logis (the test of logical thinking) yang dapat digunakan untuk tujuan studi. Data yang diperoleh dari calon guru sebanyak 51 orang mahasiswa dari dua kelas yang akan memprogramkan perkuliahan optika secara garis besar terdiri 39% mahasiswa memiliki kemampuan berpikir konkret, 45% mahasiswa memiliki kemampuan berpikir transisional, dan 16% mahasiswa memiliki kemampuan berpikir formal. Selain itu dilakukan pula studi lapangan berupa wawancara langsung pada dosen pengajar dan mahasiswa angkatan 2009 yang pernah mengikuti perkuliahan optika dan pelaksanaan praktikum optika di laboratorium. Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa pembelajaran yang dilakukan menggunakan metode ekspositori dan konten materi optika tidak seluruhnya tercakup pada perkuliahan yang disebabkan karena terbatasnya waktu. Begitu pula dengan kegiatan praktikum optika tidak sempat terlaksana karena keterbatasan ruangan dan waktu di laboratorium. Keterbatan ini disebabkan hanya satu ruang laboratorium dan digunakan untuk melakukan praktek fisika dasar oleh empat program studi, yakni: Prodi, Prodi Biologi, Prodi Kimia, dan Prodi Matematika. Akibatnya praktek untuk matakuliah fisika lanjut dinyatakan tidak dapat dilakukan. Seorang pengajar yang menggunakan asesmen dalam pembelajaran yang dilakukan di kelas ataupun di laboratorium cenderung akan semakin meningkatkan hasil belajar itu sendiri. Hal ini, dikarenakan asesmen itu sendiri bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pembelajaran yang sedang berlangsung. Setelah informasi diperoleh pengajar dapat memperbaiki kekurangan yang dialami siswa dalam kelas ataupun dalam laboratorium, baik saat pembelajaran berlangsung maupun pada pembelajaran berikutnya. Istilah asesmen merujuk pada portofolio yang dikumpulkan dan disintesiskan oleh guru tentang siswa dan kelasnya pada satu topik. Informasi dapat diperoleh secara informal

4 4 seperti melalui observasi dan dapat pula diperoleh secara formal seperti tugas rumah, tes, dan laporan tertulis. Informasi yang diperoleh ini dapat bervariasi seperti umpan balik informal dari pendidik (dosen) sampai laporan yang ditugaskan oleh pendidik yang berasal dari serangkaian tes-tes terstandar. Cara seperti ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Primo dan Furtak (2007) bahwa penggunaan asesmen formatif informal dapat berhubungan dengan kemampuan siswa dalam pembelajaran sains menggunakan pendekatan inkuiri. Dari uraian ini asesmen diartikan sebagai proses pengumpulan informasi tentang siswa dan kelas untuk maksud-maksud pengambilan keputusan instruksional (Arends, 2012). Jadi asesmen merupakan komponen yang terintegrasi dengan pengalaman belajar siswa. Asesmen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pembelajaran. Pelaksanaannya bergantung pada tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, asesmen tidak dapat disiapkan dalam waktu singkat. Oleh sebab itu, seorang pengajar hendaknya merancang asesmen secara sistematis dan terprogram. Beberapa hal yang dipertimbangkan diantaranya: Bagaimana cara menilainya? Kapan pelaksanaannya? Prosedur apa yang diperlukan? Apa yang perlu dipersiapkan untuk mengases peserta didik? Semua kegiatan ini tentu memerlukan waktu yang perlu direncanakan dengan cermat. Asesmen yang dilakukan oleh seorang pengajar umumnya adalah asesmen formatif dan asesmen sumatif baik dilaksanakan di kelas sebagai hasil belajar maupun di laboratorium sebagai hasil kerja praktikum. Selain itu, masih banyak aktivitas pembelajaran yang perlu diases untuk kemajuan peserta didik. Beberapa jenis asesmen yang perlu dilakukan oleh seorang pengajar adalah asesmen: a) diagnostik, b) informal, c) formatif, d) sumatif, dan e) screening ( online). Apa yang hendak diukur dapat dipilih berdasarkan jenis asesmen di atas. Prosedur yang diperlukan dapat berupa: a) asesmen respon terbatas, b) asesmen kinerja, c) asesmen esai, dan d) asesmen informal. Asesmen yang selama ini banyak digunakan untuk mengases adalah fokus pada: a) hasil belajar, b) apa yang mudah diukur, c) pengetahuan deklaratif dan

5 5 diskrit, d) pengetahuan konten, e) apa yang pelajar tidak ketahui, dan f) oleh guru sendiri (NRC,1996). Memasuki abad 21 ini, fokus asesmen mengalami perubahan dengan mengases pada a) proses belajar, b) apa yang paling esensial, c) pengetahuan, dan keterampilan, d) pemahaman dan penalaran, dalam area konten dan lintas konten, e) apa yang dapat dipahami dan dilakukan, dan f) terlibat dengan asesmen kerja mereka dan yang lain (Shute & Becker, 2010). Sejalan dengan uraian ini, Rustaman (1995) dalam mengemukakan bahwa asesmen pendidikan sedang diprioritaskan untuk membantu sistem evaluasi dan mencoba mengungkap potensi siswa bukan hanya melalui belajar, melainkan juga melalui proses pembelajaran. Rustaman (2004) juga menyatakan bahwa berdasarkan filosofisnya asesmen lebih menekankan pada hasil dan proses belajar, berpihak pada yang diases serta ditujukan untuk mengembangkan potensi individu yang diases dan biasanya terkait pada pencapaian target kurikulum. Saat ini asesmen yang dilakukan pada beberapa perkuliahan disesuaikan dengan kebutuhan seperti asesmen formatif, asesmen sumatif, dan asesmen kinerja. Asesmen ini dilakukan secara terpisah dari perkuliahan dan lebih menekankan pada aspek kognitifnya. Namun, belum pernah dilakukan asesmen yang terpadu dengan pembelajaran yang dikenal dengan embedded assessment. Sehubungan dengan pelaksanaan asesmen saat pembelajaran yang diintegrasikan dengan pembelajaran inkuiri, maka embedded assessment padanan dalam bahasa Indonesia adalah asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. Digunakannya pembelajaran dengan pendekatan inkuiri karena inkuiri mengacu pada cara-cara yang beragam pada ilmuwan mempelajari alam dan mengusulkan penjelasan berdasarkan bukti dari pekerjaan mereka. Inkuiri mengedepankan keterlibatan aktif dalam pemikiran ilmiah dan investigasi dalam membangun pengetahun. Selain itu inkuiri memiliki dua aspek penting berupa proses mencari tahu dan produk dari pencarian (NRC, 1996). Jadi tujuan penggunaan pendekatan inkuri dalam pembelajaran adalah untuk mengedepankan keterlibatan siswa secara aktif dan untuk mengajar siswa bagaimana mereka bertanya. Dalam buku classroom Assessment and the National Science Education Standards (NRC, 2001) dijelaskan bahwa embedded assesment merupakan asesmen yang dilakukan

6 6 bersamaan dan bagian dari pembelajaran. Karena tidak ada asesmen tunggal yang dapat mempertemukan semua tujuan asesmen atau informasi yang dibutuhkan guru kelas, maka pelaksanaan asesmen terintegrasi yang menghendaki guru mengases lebih dari satu tujuan dapat menggunakan sejumlah asesmen sesuai kebutuhan itu sendiri. Keunggulan penilaian dengan menggunakan asesmen terintegrasi adalah kemajuan kompetensi yang dapat diukur pada calon guru melalui pemantauan. Dengan kata lain asesmen yang dilakukan melalui pengukuran segera menganalisis nilai mereka dan kemudian kembali fokus pada pembelajaran untuk meluruskan kesalahpahaman bersama oleh sejumlah besar siswa di kelas (Shute & Becker, 200). Melalui beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan sistem embedded assessment, kinerja dipengaruhi oleh disiplin ilmu (Shaw & Nagashima, 2009). Selain itu, penelitian yang bersifat embedded assessment yang dilakukan oleh Miedijensky (2009) menyatakan bahwa penilaian yang dirancang secara eksplisit dapat meningkatkan pembelajaran dalam matakuliah sains dan merupakan alat yang ampuh bagi guru dan siswa dan memberikan kontribusi untuk pembelajaran bermakna bagi kedua belah pihak. Selain kebutuhan optika pada berbagai bidang, perilaku dari optika dalam kehidupan sehari-hari juga nampak banyak. Beberapa fenomena diantaranya dalam kehidupan seperti terjadinya fatamorgana, pelangi, penggunaan kacamata bagi orang yang memiliki cacat mata seperti miopia, hiperopia, dan astigmatisme. Dalam mempelajari optika diperlukan kompetensi kognitif untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip umum optika, melaksanakan praktikum untuk memprediksi perilaku sifat sinar-sinar pembentuk bayangan, dan memiliki keterampilan menyusun dan menggunakan alat praktikum saat praktikum pada perkuliahan optika. Mengingat pentingnya proses pembelajaran, pengetahuan otentik dan keterampilan yang harus dikuasai oleh calon guru fisika, maka diperlukan perkuliahan optika dengan asesmen terintegrasi dalam pembelajaran untuk memantau kemajuan kompetensi yang diperlukan. Pengembangan asesmen terintegrasi pada perkuliahan optika bertujuan untuk memantau kemajuan meliputi aspek kognitif, afektif, dan kemampuan

7 7 berinkuiri bagi calon guru fisika selama mengikuti perkuliahan optika. Aspek kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir yang didasarkan pada taksonomi Bloom hasil revisi yang meliputi dimensi pengetahuan kognitif berupa pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Taksonomi Bloom hasil revisi pada dimensi proses kognitif meliputi mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan kreatif (Anderson & Krathwohl, 2001). Aspek afektif meliputi menerima, menanggapi, menghargai, konseptualisasi nilai (organisasi nilai), dan internalisasi nilai yang berhubungan dengan karakteristik sikap yang tercermin pembelajaran atau pelaksanaan praktikum (Tomei, 2005). Aspek kemampuan berinkuiri berhubungan aktivitas mengamati, memanipulasi, menggeneralisasi, memverifikasi, mengaplikasi (Wenning, 2011). Pelaksanaan asesmen terintegrasi dalam penelitian ini digunakan beberapa tingkatan pembelajaran berbasis inkuiri pada perkuliahan optika. Pendekatan inkuiri yang dipilih adalah pada tingkatan demonstrasi interaktif (DemInter), pembelajaran inkuiri (PemIkir), dan laboratorium inkuiri (LabIkir) (Wenning, 2011). Penggunaan pendekatan inkuiri ini lebih menanamkan pada aspek pedagoginya yang dipantau melalui rubrik kemampuan berinkuiri. B. Identifikasi Masalah Studi lapangan yang telah dilakukan bagi calon guru angkatan 2009 dan 2010 Program Studi Pendidikan di salah satu LPTK di Kalimantan Timur mengindikasikan bahwa pelaksanaan asesmen belum digunakan sebagaimana mestinya, yaitu membantu calon guru untuk mencapai tujuan belajarnya sesuai kompetensi perkuliahan. Asesmen yang dilakukan selama ini cenderung diorientasikan sebagai evaluasi untuk membuktikan kemampuan kognitif. Dalam fisika tiga kompetensi sangat baik ditingkatkan yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Target kompetensi kognitif meliputi kemajuan intelektual dengan klasifikasi pengetahuan dan proses kognitif. Target kompetensi afektif meliputi ketekunan, ketelitian, dan kemampuan memecahkan masalah logis dan sistematis.

8 8 Adapun target kompetensi psikomotorik meliputi kemampuan gerakan fisik, koordinasi, dan penggunaan keterampilan motorik. Desain asesmen dan evaluasi yang digunakan selama ini diperoleh informasi awal bahwa: 1) kompetensi psikomotorik calon guru masih kurang, seperti tidak terlaksananya praktikum optika atau pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan metode ekspositori, 2) kemampuan individu pada aspek afektif masih kurang disebabkan pembelajaran yang dilakukan menggunakan metode ekspositori, 3) kemampuan individu pada aspek kognitif masih rendah. Hal ini terlihat pada sistem asesmen yang dilakukan masih terbatas pada UTS, UAS, dan tugas-tugas pekerjaan rumah yang diberikan secara dadakan yang tidak terencana dengan baik sesuai tujuan pembelajaran. Penggunaan UTS, UAS, dan tugas-tugas bentuk pekerjaan rumah (homework) pada ranah kognitif terkadang masih memperlihatkan kecurangan beberapa calon guru. Sebagai contoh, pada pelaksanaan UAS di kelas, dosen matakuliah yang tidak sempat melakukan pengawasan langsung, dilakukan oleh panitia ujian yang ketegasannya masih perlu ditingkatkan. Hal ini terkadang membiarkan beberapa calon guru bekerja sama dalam ujian. Begitu pula pada tugas-tugas kognitif lebih cenderug dikerjakan oleh beberapa calon guru dan difotocopy oleh teman-temannya. Pelaksanaan asesmen yang cukup bagus hanya ada pada UTS karena diamati langsung oleh dosen sesuai jadwal perkuliahan. Asesmen dan evaluasi melalui UTS, UAS, dan tugas-tugas kognitif bentuk homework ini memperlihatkan bahwa aspek afektif dan aspek psikomotorik tidak terlaksana secara maksimal sebagai salah satu kompetensi matakuliah. Berdasarkan latar belakang dan dasar pemikiran tersebut, maka penulis mencoba mengembangkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri dalam perkuliahan optika. Pelaksanaan asesmen terintegrasi dimaksudkan agar dapat memperbaiki pembelajaran melalui aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek kemampuan berinkuiri calon guru fisika, khususnya pada topik yang terkait optika. Untuk mengetahui adanya peningkatan kemampuan kognitif calon guru setelah perkuliahan dilakukan tes kemampuan kognitif sebelum dan sesudah

9 9 perkuliahan menggunakan pembelajaran inkuiri dengan pendekatan DemInter, PemIkir, dan LabIkir. Tes ini dilakukan sebagai tes awal sebelum perkuliahan dilakukan dan tes akhir setelah perkuliahan dilakukan secara keseluruhan. Selain itu, calon guru ingin pula diketahui kemampuan berpikir logis yang dimiliki. Oleh sebab itu, dilakukan pula tes awal dan tes akhir berpikir logis calon guru untuk mengetahui adanya hubungan antara kemampuan kognitif dan berpikir logis yang dimiliki setelah perkuliahan dengan pembelajaran inkuiri. C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut. Apakah asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dikembangkan dapat memperbaiki kualitas pembelajaran berdasarkan aspek kognitif, afektif, dan kemampuan berinkuiri pada perkuliahan optika calon guru fisika? Rumusan masalah dioperasionalkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana karakteristik asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dikembangkan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran dan meningkatkan penguasaan konsep optika calon guru fisika? 2. Bagaimana kualitas instrumen asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dikembangkan? 3. Apakah asesmen aspek kognitif yang terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dikembangkan memiliki peran memperbaiki proses perkuliahan optika? 4. Apakah asesmen aspek afektif yang terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dikembangkan memiliki peran memperbaiki proses perkuliahan optika? 5. Apakah asesmen aspek kemampuan berinkuiri yang terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dikembangkan memiliki peran memperbaiki proses perkuliahan optika? 6. Bagaimana peningkatan penguasaan konsep optika calon guru fisika sebagai efek pelaksanaan perkuliahan yang menggunakan model pembelajaran inkuiri?

10 10 7. Bagaimana perubahan penalaran logis calon guru fisika sebagai efek pelaksanaan perkuliahan yang menggunakan pendekatan DemInter, PemIkir, dan LabIkir? D. Definisi Operasional 1. Asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri adalah asesmen yang dilakukan saat pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri. Adapun tingkatan inkuiri yang digunakan saat pembelajaran adalah pendekatan DemInter (demonstrasi interaktif), PemIkir (pembelajaran inkuiri), dan LabIkir (laboratorium inkuiri) yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan tujuan pedagoginya. 2. Aspek kognitif terdiri dari dimensi pengetahuan (faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif) dan dimensi proses kognitif meliputi (mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan kreatif) pada topik optika. Aspek kognitif ini berupa asesmen formatif dengan alat ukur berupa instrumen soal bentuk esai. 3. Aspek afektif berhubungan dengan karakteristik sikap ilmiah yang tercermin pembelajaran yang meliputi menerima, menanggapi, menghargai, konseptualisasi nilai, dan internalisasi nilai. Aspek afektif menggunakan instrumen dalam bentuk lembar observasi. 4. Aspek kemampuan berinkuiri berhubungan aktivitas fisik untuk mengembangkan gerakan terampil berinkuiri berupa kemampuan mengobservasi, memanipulasi, menggeneralisasi, memverifikasi, dan mengaplikasi. Aspek kemampuan berinkuiri menggunakan instrumen dalam bentuk rubrik yang disesuaikan dengan materi optika dan pendekatan pembelajaran yang digunakan. 5. Penguasaan konsep berhubungan dengan kemampuan calon guru fisika memahami konsep optika setelah perkuliahan yang terintegrasi pembelajaran inkuiri. Penguasaan konsep berupa aspek kognitif sebagai

11 11 asesmen sumatif dengan alat ukur berupa instrumen soal bentuk pilihan ganda. 6. Kemampuan penalaran logis berhubungan dengan kemampuan berpikir logis yang dimiliki calon guru fisika berupa kemampuan berpikir; konkret, transisional, dan formal. Untuk mengetahui kemampuan berpikir logis calon guru menggunakan instrumen yang disusun oleh Tobin dan Capie (1981). 7. Perkuliahan optika terkait dengan topik bahasan penerapan konsep-konsep optika. Adapun konten materi penelitian disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar materi optika pada pendidikan menengah pertama dan pendidikan menengah atas serta konten materi perkuliahan optika yang meliputi: lensa tipis, kamera, mata manusia, lup, mikroskop, teleskop, interferensi cahaya dua celah, difraksi celah tunggal, dan kisi difraksi. E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengembangkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri yang dapat memberi peran untuk memperbaiki pembelajaran berdasarkan aspek kognitif, afektif, dan kemampuan berinkuiri pada perkuliahan optika calon guru fisika. Secara khusus penelitian ini juga ditunjukan untuk mengetahui: a. Penggunaan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri pada perkuliahan optika yang dapat memperbaiki pembelajaran bagi calon calon guru fisika. b. Perbaikan pembelajaran melalui penguasaan aspek kognitif optika saat mengikuti perkuliahan berdasarkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. c. Kemampuan aspek afektif saat mengikuti perkuliahan berdasarkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. d. Kemampuan aspek kemampuan berinkuiri calon guru fisika saat mengikuti perkuliahan berdasarkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri.

12 12 e. Penguasaan konsep calon guru fisika setelah perkuliahan berdasarkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. f. Adanya perubahan penalaran logis yang dimiliki calon guru setelah perkuliahan berdasarkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. F. Manfaat Penelitian Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah: a. Memberikan salah satu alternatif pelaksanaan asesmen pada pembelajaran fisika dalam perkuliahan optika sebagai upaya meningkatkan kompetensi calon guru fisika berdasarkan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. b. Memperoleh informasi dampak pengembangan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri pada mata kuliah optika yang meliputi dampak instruksional serta reaksi para pemangku kepentingan dibidang pendidikan. c. Mengetahui keunggulan dan keterbatasan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri pada mata kuliah optika bagi calon guru fisika. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah: a. Bagi mahasiswa calon guru penelitian ini diharapkan dapat membantu mengembangkan penilaian dan mampu membuat rencana pembelajaran asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri. b. Bagi LPTK penelitian ini diharapkan memberikan suatu kerangka pemikiran dalam rangka perbaikan pendidikan dan meningkatkan mutu guru fisika dalam menggunakan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), khususnya dalam penguasaan materi optika serta cara merancang pembelajaran optika bagi calon guru fisika.

13 13 c. Bagi peneliti lain penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam mengembangkan asesmen terintegrasi terutama dalam pembelajaran fisika.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 174 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil Penelitian Penelitian ini mengungkap pengembangan asesmen terintegrasi pembelajaran inkuiri pada perkuliahan optika calon guru fisika. Penggunaan metode

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Riskan Qadar, 2015

DAFTAR ISI Riskan Qadar, 2015 i DAFTAR ISI Judul... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvii BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk menguasai kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seolah tidak kunjung selesai bahkan muncul permasalahan lain. Hasil belajar

BAB 1 PENDAHULUAN. seolah tidak kunjung selesai bahkan muncul permasalahan lain. Hasil belajar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini ada begitu banyak ahli dan praktisi pendidikan bersumbangsih pemikiran serta analisisnya terhadap mutu pendidikan. Meskipun begitu masalah seolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Miskwoski, 2005). (Marbach- Ad & Sokolove, 2000). interaksi dengan dunia sosial dan alam. Berdasarkan hasil observasi selama

BAB I PENDAHULUAN. Miskwoski, 2005). (Marbach- Ad & Sokolove, 2000). interaksi dengan dunia sosial dan alam. Berdasarkan hasil observasi selama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada beberapa dekade sekarang ini, kegiatan pembelajaran tradisional yang didominasi pada guru (pembelajaran yang berpusat pada guru) cenderung menjadi kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum dapat dipahami bahwa rendahnya mutu Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia saat ini adalah akibat rendahnya mutu pendidikan (Tjalla, 2007).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harapan sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ditempuh. imbas teknologi berbasis sains (Abdullah, 2012 : 3).

BAB I PENDAHULUAN. harapan sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ditempuh. imbas teknologi berbasis sains (Abdullah, 2012 : 3). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian

Lebih terperinci

1. PERSOALAN PENILAIAN BELAJAR

1. PERSOALAN PENILAIAN BELAJAR Substansi 1. Identifikasi persoalan penilaian pembelajaran 2. Tujuan penilaian pembelajaran 3. Ranah tujuan penilaian pembelajaran 4. Strategi penilaian pembelajaran 5. Beberapa contoh aplikasi pd aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Salah satu tujuan dari proses belajar mengajar adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking) siswa. Untuk mencapai tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewi Elyani Nurjannah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewi Elyani Nurjannah, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang dekat sekali dengan kehidupan manusia. Saat kita mempelajari IPA, berarti mempelajari bagaimana alam semesta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yaitu: sikap, proses, produk, dan aplikasi. Keempat unsur utama tersebut

I. PENDAHULUAN. yaitu: sikap, proses, produk, dan aplikasi. Keempat unsur utama tersebut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (Sains) pada hakikatnya meliputi empat unsur utama yaitu: sikap, proses, produk, dan aplikasi. Keempat unsur utama tersebut saling berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ayu Eka Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ayu Eka Putri, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan harus dapat mengarahkan peserta didik menjadi manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; dan manusia terdidik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aa Juhanda, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aa Juhanda, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah serius yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ismi Rakhmawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ismi Rakhmawati, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 mengemukakan bahwa standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pembebasan peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pembebasan peserta didik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pembebasan peserta didik dari ketidaktahuan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap,

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap, proses, dan produk. Sains (fisika) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Literasi sains merupakan salah satu ranah studi Programme for Internasional Student Assessment (PISA). Pada periode-periode awal penyelenggaraan, literasi sains belum

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Project based learning (PjBL) dalam penelitian ini menggunakan. dipresentasikan kepada orang lain.

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Project based learning (PjBL) dalam penelitian ini menggunakan. dipresentasikan kepada orang lain. 21 BAB III METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional Agar penelitian ini sesuai dengan tujuan yang diharapkan dan untuk menghindari kesalah pahaman, maka perlu diberikan definisi operasional yaitu: 1.

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA PRAKTIKUM INKUIRI TERBIMBING PAD A TOPIK SEL ELEKTROLISIS

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA PRAKTIKUM INKUIRI TERBIMBING PAD A TOPIK SEL ELEKTROLISIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ilmu kimia merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga ilmu kimia bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Trends In International Mathematics and Sciencel Study (TIMSS) adalah studi internasional tentang prestasi sains dan matematika siswa. Studi ini dikoordinasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Belajar IPA Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tiara Nurhada,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tiara Nurhada,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan yang paling penting dan meresap di sekolah adalah mengajarkan siswa untuk berpikir. Semua pelajaran sekolah harus terbagi dalam mencapai tujuan ini

Lebih terperinci

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI PADA MATERI FOTOSINTESIS TERHADAP PENGUASAAN KONSEP DAN SIKAP SISWA SMP

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI PADA MATERI FOTOSINTESIS TERHADAP PENGUASAAN KONSEP DAN SIKAP SISWA SMP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi antara pendidik dan peserta didik, pada suatu lingkungan yang bertujuan membantu peserta didik untuk memperoleh ilmu dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat telah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat telah membawa perubahan pada berbagai aspek kehidupan manusia. Berbagai permasalahan yang bersumber

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Sampel Penelitian Sekolah yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Kota Bandung. Pemilihan sekolah tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran IPA harus menekankan pada penguasaan kompetensi melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak hanya penguasaan kumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Fisika merupakan salah satu pelajaran IPA yang menarik untuk dipelajari karena

I. PENDAHULUAN. Fisika merupakan salah satu pelajaran IPA yang menarik untuk dipelajari karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisika merupakan salah satu pelajaran IPA yang menarik untuk dipelajari karena fenomena-fenomena fisika terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa contoh fenomena tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pelajaran yang sulit dan tidak disukai, diketahui dari rata-rata nilai

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pelajaran yang sulit dan tidak disukai, diketahui dari rata-rata nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah menjadi fenomena umum bahwa sains, terutama fisika, dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan tidak disukai, diketahui dari rata-rata nilai mata pelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Pendidikan nasional, sebagai salah satu sektor pembangunan nasional dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era pengetahuan, modal intelektual, khususnya kecakapan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) merupakan kebutuhan sebagai tenaga kerja yang handal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi dan era globalisasi yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di dunia yang terbuka,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai standar yang telah disesuaikan UU No 20 tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai standar yang telah disesuaikan UU No 20 tahun 2003 tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan penyelenggaraan pendidikan perlu adanya sebuah pertanggungjawaban dalam bentuk evaluasi untuk menentukan taraf kemajuan aktivitas di dalam pendidikan. Evaluasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi dan teknologi informasi. Pendidikan merupakan sarana penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi dan teknologi informasi. Pendidikan merupakan sarana penting untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sains memiliki potensi besar dan peranan strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi era globalisasi dan teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Visi pendidikan sains di Indonesia mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pemahaman tentang sains dan teknologi melalui pengembangan keterampilan berpikir, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eka Kartikawati,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eka Kartikawati,2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di Indonesia antara lain diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembelajaran fisika merupakan aktivitas untuk mencapai tujuan-tujuan pengajaran mata pelajaran fisika yang tidak hanya menekankan pada ranah kognitif tetapi juga ranah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam, mempelajari gejala dan

BAB I PENDAHULUAN. Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam, mempelajari gejala dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam, mempelajari gejala dan peristiwa atau fenomena alam serta berusaha untuk mengungkap segala rahasia dan hukum semesta,

Lebih terperinci

MENGAKSES ASPEK AFEKTIF DAN KOGNITIF PADA PEMBELAJARAN OPTIKA DENGAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF

MENGAKSES ASPEK AFEKTIF DAN KOGNITIF PADA PEMBELAJARAN OPTIKA DENGAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF MENGAKSES ASPEK AFEKTIF DAN KOGNITIF PADA PEMBELAJARAN OPTIKA DENGAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF Riskan Qadar Prodi Pendidikan Fisika, FKIP Universitas Mulawarman risk.qadar@gmail.com Nuryani Y.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengajar. Namun biasanya penilaian ini lebih ditujukan hanya untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. mengajar. Namun biasanya penilaian ini lebih ditujukan hanya untuk mengetahui BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam proses belajar mengajar tentu diperlukan evaluasi atau penilaian dengan tujuan untuk mengetahui keberhasilan siswa pada saat proses belajar mengajar. Namun biasanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki milenium ketiga, lembaga pendidikan dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki milenium ketiga, lembaga pendidikan dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memasuki milenium ketiga, lembaga pendidikan dihadapkan pada berbagai tantangan yang berkaitan dengan peningkatan mutu dan produk yang dihasilkannya. Di bidang sains,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Suatu bangsa dikatakan cerdas apabila penduduk dalam suatu bangsa tersebut mampu memajukan negaranya dan ikut berpartisipasi aktif dalam dunia pendidikan. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisika merupakan salah satu bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang mempelajari gejala-gejala alam secara sistematis untuk menguasai pengetahuan berupa fakta, konsep,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Indonesia dalam pasal 19, satu diantaranya mengatakan bahwa standar proses adalah adanya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan dalam meneliti status suatu objek, kondisi, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap orang membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Undang- Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 37 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi mengenai status gejala, penelitian secara langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Global Monitoring report, (2012) yang dikeluarkan UNESCO menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Global Monitoring report, (2012) yang dikeluarkan UNESCO menyatakan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu permasalahan pendidikan yang menjadi prioritas untuk segera dicari pemecahannya adalah masalah kualitas pendidikan, khususnya kualitas pembelajaran.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kritis sangat penting dimiliki oleh mahasiswa untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kritis sangat penting dimiliki oleh mahasiswa untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan berpikir kritis sangat penting dimiliki oleh mahasiswa untuk menghadapi berbagai tantangan, mampu memecahkan masalah yang dihadapi, mengambil keputusan

Lebih terperinci

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menunjang kemajuan dari suatu bangsa karena bangsa yang maju dapat dilihat dari pendidikannya yang maju pula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemampuan masyarakat saat ini semakin berkembang, perkembangan tersebut ditandai dengan adanya kemajuan pada bidang teknologi, pengetahuan, dan seni, sehingga menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Matematika merupakan ratunya ilmu. Matematika merupakan mata pelajaran yang menuntut siswanya untuk berfikir secara logis, kritis, tekun, kreatif, inisiatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PMIPA FKIP UR pada semester satu. Mata kuliah ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. PMIPA FKIP UR pada semester satu. Mata kuliah ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mata kuliah Praktikum Fisika Dasar I dilaksanakan di seluruh Program Studi PMIPA FKIP UR pada semester satu. Mata kuliah ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan penilaian hasil pembelajaran siswa sejalan dengan perkembangan kurikulum yang dipergunakan. Hal itu disebabkan penilaian merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laku (kemampuan) pada diri siswa, seperti yang sebelumnya tidak tahu. menjadi tahu, yang sebelumnya tidak paham menjadi paham, yang

BAB I PENDAHULUAN. laku (kemampuan) pada diri siswa, seperti yang sebelumnya tidak tahu. menjadi tahu, yang sebelumnya tidak paham menjadi paham, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kegiatan pembelajaran dilaksanakan supaya terjadi perubahan tingkah laku (kemampuan) pada diri siswa, seperti yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. IPA itu suatu cara atau metode mengamati Alam (Nash, 1963) maksudnya, membentuk suatu perspektif baru tentang objek yang diamati.

BAB I PENDAHULUAN. IPA itu suatu cara atau metode mengamati Alam (Nash, 1963) maksudnya, membentuk suatu perspektif baru tentang objek yang diamati. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam berhubungan dengan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan dan konsep yang terorganisasi tentang alam sekitarnya yang diperoleh

Lebih terperinci

2014 PEMBELAJARAN FISIOLOGI TUMBUHAN TERINTEGRASI STRUKTUR TUMBUHAN BERBASIS KERANGKA INSTRUKSIONAL MARZANO UNTUK MENURUNKAN BEBAN KOGNITIF MAHASISWA

2014 PEMBELAJARAN FISIOLOGI TUMBUHAN TERINTEGRASI STRUKTUR TUMBUHAN BERBASIS KERANGKA INSTRUKSIONAL MARZANO UNTUK MENURUNKAN BEBAN KOGNITIF MAHASISWA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan bertujuan untuk mendapatkan mutu sumber daya manusia sesuai dengan tuntutan kebutuhan pembangunan. Pendukung utama terlaksananya sasaran pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran. Dalam menilai ataupun mengevaluasi, menganalisis soal

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran. Dalam menilai ataupun mengevaluasi, menganalisis soal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Evaluasi atau penilaian merupakan salah satu faktor penting dalam pembelajaran, karena posisinya dapat disetarakan dengan penetapan tujuan dalam proses pembelajaran.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam rangka menghadapi era kompetisi yang mengacu pada penguasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran yang dapat menyiapkan peserta didik untuk melek IPA dan

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran yang dapat menyiapkan peserta didik untuk melek IPA dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan IPA dan teknologi yang sangat pesat memerlukan cara pembelajaran yang dapat menyiapkan peserta didik untuk melek IPA dan teknologi, mampu berpikir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kondusif bagi lahirnya pribadi yang kompetitif. (Tilaar, 2004)

BAB I PENDAHULUAN. yang kondusif bagi lahirnya pribadi yang kompetitif. (Tilaar, 2004) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pendidikan manusia yang berkualitas adalah manusia yang bisa bersaing di dalam arti yang baik. Di dalam persaingan diperlukan kualitas individu sehingga hasil karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang paling penting

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang paling penting 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang paling penting dalam kehidupan manusia karena ilmu pengetahuan ini telah memberikan kontribusi

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Pembelajaran Fisika seyogyanya dapat menumbuhkan rasa ingin tahu yang lebih besar untuk memahami suatu fenomena dan mengkaji fenomena tersebut dengan kajian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Metakognisi merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh beberapa ahli

TINJAUAN PUSTAKA. Metakognisi merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh beberapa ahli 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Keterampilan Metakognisi Metakognisi merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh beberapa ahli psikologi sebagai hasil dari perenungan mereka terhadap kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bagaimana mata dapat melihat? bagaimanakah dengan terjadinya siang

BAB I PENDAHULUAN. Bagaimana mata dapat melihat? bagaimanakah dengan terjadinya siang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagaimana mata dapat melihat? bagaimanakah dengan terjadinya siang dan malam? bagaimana matahari terbit dan tenggelam? bagaimana proses terbentuknya pelangi? Pertanyaan-pertanyaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizma Yuansih, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia Repository.upi.edu Perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizma Yuansih, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia Repository.upi.edu Perpustakaan.upi.edu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penilaian atau asesmen memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pembelajaran karena asesmen memiliki fungsi yang strategis dalam pembelajaran. Fungsi asesmen sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sains menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa dapat menjelajahi dan memahami alam sekitar secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Eksperimen mengandung makna belajar untuk berbuat, karena itu dapat dimasukkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Eksperimen mengandung makna belajar untuk berbuat, karena itu dapat dimasukkan II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Metode Eksperimen Eksperimen mengandung makna belajar untuk berbuat, karena itu dapat dimasukkan ke dalam metode pembelajaran. Menurut Djamarah dan Zain (2006: 136) metode eksperimen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk pemikir yang jauh lebih baik dari makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk pemikir yang jauh lebih baik dari makhluk hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk pemikir yang jauh lebih baik dari makhluk hidup lainnya dituntut untuk dapat mengoptimalkan kemampuan bernalarnya agar dapat lulus hidup

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya kecenderungan pengambilan keputusan berdasarkan tingkat keyakinan, posisi materi soal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan proses pembelajaran yang diarahkan pada perkembangan peserta didik. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga menyebutkan

Lebih terperinci

depan yang akan dijalani yang diwarnai tantangan dan perubahan. Kurikulum 2013 merupakan pengembangan dari Kurikulum Tingkat Satuan

depan yang akan dijalani yang diwarnai tantangan dan perubahan. Kurikulum 2013 merupakan pengembangan dari Kurikulum Tingkat Satuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu kegiatan sadar dan bertujuan, maka pelaksanaannya berada dalam suatu

Lebih terperinci

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN IPA TERPAD U TIPE INTEGRATED TERHAD AP PENGUASAAN KONSEP D AN BERPIKIR KRITIS SISWA SMP PAD A TOPIK TEKANAN

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN IPA TERPAD U TIPE INTEGRATED TERHAD AP PENGUASAAN KONSEP D AN BERPIKIR KRITIS SISWA SMP PAD A TOPIK TEKANAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang sekarang mulai diterapkan di Indonesia. Penerapan kurikulum didasarkan pada amanat UU Nomor 20 Tahun 2003, bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai karakteristik yang berbeda dari sekolah umum yaitu terdapat mata pelajaran produktif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya pembelajaran kimia yang kreatif dan inovatif, Hidayati (2012: 4).

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya pembelajaran kimia yang kreatif dan inovatif, Hidayati (2012: 4). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk menciptakan pembelajaran kimia yang diharapkan dapat memenuhi standar pendidikan Nasional maka diperlukan laboratorium yang mendukung terciptanya pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Herman S. Wattimena,2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Herman S. Wattimena,2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembelajaran dalam pendidikan sains seperti yang diungkapkan Millar (2004b) yaitu untuk membantu peserta didik mengembangkan pemahamannya tentang pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa. Pemerintah terus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seberapa jauh seorang siswa atau sekelompok siswa mencapai tujuan. (Kusaeri dan Suprananto, 2012). Dalam Permendiknas Nomor 20 tahun

I. PENDAHULUAN. seberapa jauh seorang siswa atau sekelompok siswa mencapai tujuan. (Kusaeri dan Suprananto, 2012). Dalam Permendiknas Nomor 20 tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penilaian atau asesmen adalah suatu proses yang sistematis dan mencakup kegiatan mengumpulkan, menganalisis, serta menginterpretasikan informasi untuk menentukan seberapa

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN ALAT PENILAIAN BERBASIS KETERAMPILAN GENERIK SAINS PADA PRAKTIKUM STRUKTUR HEWAN

PENGEMBANGAN ALAT PENILAIAN BERBASIS KETERAMPILAN GENERIK SAINS PADA PRAKTIKUM STRUKTUR HEWAN PENGEMBANGAN ALAT PENILAIAN BERBASIS KETERAMPILAN GENERIK SAINS PADA PRAKTIKUM STRUKTUR HEWAN Rahma Widiantie 1, Lilis Lismaya 2 1,2 Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Kuningan Email: rahmawidiantie@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hermansyah, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hermansyah, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata pelajaran fisika merupakan salah satu cabang mata pelajaran IPAyang diselenggarakan sebagai sarana atau wahana untuk melatih siswa agar dapat menguasai konsep dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan Queen and Servant of Science, maksudnya

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan Queen and Servant of Science, maksudnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan Queen and Servant of Science, maksudnya adalah matematika selain sebagai fondasi bagi ilmu pengetahuan lain juga sebagai pembantu bagi ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran biologi sebagai salah satu bagian dari pendidikan IPA memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran biologi sebagai salah satu bagian dari pendidikan IPA memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembelajaran biologi sebagai salah satu bagian dari pendidikan IPA memiliki salah satu tujuan yaitu mengembangkan kemampuan dan keterampilan siswa dalam memecahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana tercantum di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana tercantum di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang mendukung kemajuan bangsa dan Negara sebagaimana tercantum di

Lebih terperinci

ANALISIS KETERAMPILAN PROSES SAINS BAGI MAHASISWA SETELAH MENGIKUTI PRAKTIKUM FISIKA DASAR I PADA TOPIK PRINSIP ARCHIMEDES

ANALISIS KETERAMPILAN PROSES SAINS BAGI MAHASISWA SETELAH MENGIKUTI PRAKTIKUM FISIKA DASAR I PADA TOPIK PRINSIP ARCHIMEDES 1 ANALISIS KETERAMPILAN PROSES SAINS BAGI MAHASISWA SETELAH MENGIKUTI PRAKTIKUM FISIKA DASAR I PADA TOPIK PRINSIP ARCHIMEDES Ratmiliya S. Hali 1, Mursalin 2, Nova E. Ntobuo 3 Program Studi S1. Pend. Fisika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu bidang yang memiliki peran penting dalam peningkatan daya saing suatu negara adalah pendidikan. Pendidikan saat ini menunjukkan kemajuan yang sangat pesat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. Menurut Trowbridge et.al (1973) : Sains adalah batang tubuh dari pengetahuan dan suatu proses. Batang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan adalah konstruktivisme. Menurut paham konstruktivisme,

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan adalah konstruktivisme. Menurut paham konstruktivisme, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakikat pembelajaran yang sekarang ini diharapkan banyak diterapkan adalah konstruktivisme. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan dibangun oleh peserta didik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan kurikulum pendidikan yang digunakan mengacu pada sistem pendidikan nasional. Pada saat penelitian ini dilakukan, kurikulum yang digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajar siswa dengan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajar siswa dengan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Guru sebagai agen pembelajaran merasa terpanggil untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dengan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut adalah mengoptimalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Permendikbud No. 103 Tahun 2014, pembelajaran adalah proses interaksi antarpeserta didik dan antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Laboratorium memiliki arti penting dalam perkembangan pengajaran dan perkembangan kurikulum yang semakin kompleks terutama dalam pengajaran biologi. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

BAB I PENDAHULUAN. fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kemampuan belajar yang dimiliki manusia membuat manusia dapat selalu berkembang dalam hidupnya untuk mencapai kedewasaan. Belajar merupakan serangkaian kegiatan

Lebih terperinci

2014 ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS DAN MISKONSEPSI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA PADA MATERI GERAK BERDASARKAN HASIL THREE-TIER TEST

2014 ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS DAN MISKONSEPSI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA PADA MATERI GERAK BERDASARKAN HASIL THREE-TIER TEST BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Fisika merupakan disiplin ilmu yang menjelaskan gejala-gejala alam yang dapat dipahami oleh pikiran manusia melalui konsep, teori, dan kejadian yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengajar merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengajar merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar mengajar merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam keberhasilan belajar siswa. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu SMP negeri di kabupaten garut tahun pelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan IPA (Sains) merupakan salah satu konsep yang ditawarkan di

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan IPA (Sains) merupakan salah satu konsep yang ditawarkan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan IPA (Sains) merupakan salah satu konsep yang ditawarkan di Sekolah Dasar yang memiliki peran penting dalam pembentukan kepribadian intelektual anak. Umumnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini pembelajaran fisika masih didominasi dengan penggunaan

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini pembelajaran fisika masih didominasi dengan penggunaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini pembelajaran fisika masih didominasi dengan penggunaan metode ceramah dan kegiatan lebih berpusat pada guru. Efektifitas siswa hanya mendengarkan penjelasan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN INQUIRY

PENGARUH PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN INQUIRY PENGARUH PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN INQUIRY TERHADAP HASIL BELAJAR IPS PADA SISWA KELAS 4 SD N MUDAL KECAMATAN BOYOLALI KABUPATEN BOYOLALI SEMESTER II TAHUN PELAJARAN 2013/2014 SKRIPSI di susun untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Metode Demonstrasi 2.1.1.1 Hakekat Metode Demonstrasi Metode demonstrasi merupakan metode yang sangat efektif, sebab membantu siswa untuk mencari jawaban

Lebih terperinci