MODEL KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN PERIKANAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI H I M E L D A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN PERIKANAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI H I M E L D A"

Transkripsi

1 MODEL KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN PERIKANAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI H I M E L D A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Model Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali adalah karya saya, yang diarahkan oleh Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun, untuk memperoleh gelar akademik dari perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2013 H i m e l d a NIM C

3 ABSTRACT HIMELDA. Model of Sustainable Sardine Fisheries Management in the Bali Strait. Supervised by EKO SRI WIYONO, ARI PURBAYANTO and MUSTARUDDIN Fisheries management, particularly capture fisheries, is very complex and requiring the integration of biological, ecological, economical and social aspects. Adjusting a sustainable management of fisheries resources, it is needed attention to the aquatic ecosystem as the habitat for fish. Sardine (Sardinella lemuru Bleeker 1853) is the main source of livelihood for the fishermen on the coast of Bali Strait. Sardine is a small pelagic fish which caught for the public consumption and for canned fish industry. The main fishing gears used by the fishermen of the Bali Strait for catching sardine are purse seine (a major fishing gear). The other fishing gears which used are payang (boat seine net), gillnet, bagan (lift net), and beach seine. The exploitation of fishery resources in Bali strait waters were influence both in fish catch and revenue of the local government. Based on these facts, management of sardine fish resources in order to anticipate over fishing as well as to keep the fishers income sustainability is needed. Monitoring and control of sardine resource exploitation are needed to reach a sustainable and well-maintained management. To solves these problems the study has been conducted in Banyuwangi, East Jawa and Jembrana, Bali. The main purpose of this study is formulating a model of sustainable sardine fisheries management in the Bali Strait. Using sustainable approach, the detail aims of this study are to identify: (1) main factor effect of oceanography and climatology on the catch of sardine; (2) productivity and fishing effort of sardine (3) social and economic conditions of fishermen and the fishermen institutional role, (4) appropriate fishing gear of sardine fishes, and (5) developed model of dynamics system of sustainable sardine fisheries management. The results of this study showed that the chlorophyll-a and wind were influence the catch of sardine significantly. Sardines that identified as a plankton feeder have already utilized intensively at optimum level. Based on economic and technical aspects, purse seine has high opportunity to be developed in Bali Strait. Furthermore, using dynamics model this study suggested to operate 165 fishing effort (purse seine). This scenario was the better choices compared with existing condition and other scenario which operate 184 units fishing efforts. Key word: Bali Strait, model, sustainable management, fisheries, sardine (Sardinella lemuru)

4 RINGKASAN HIMELDA. Model Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali (EKO SRI WIYONO, selaku Ketua, ARI PURBAYANTO dan MUSTARUDDIN, selaku Anggota Komisi Pembimbing). Pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang dilakukan selama ini masih bersifat konvensional, yaitu memanfaatkan semaksimal mungkin sumberdaya yang ada dengan menggunakan teknologi penangkapan ikan yang banyak menangkap ikan non target. Pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries management) khususnya perikanan tangkap, prosesnya sangat kompleks, sehingga membutuhkan integrasi antara aspek biologi dan ekologi. Upaya menyelaraskan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, agar dapat dilakukan secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan ekosistem perairan sebagai habitat ikan target, seharusnya mendapat perhatian, sehingga keberlanjutan sumberdaya dapat dipertahankan. Ikan tidak hidup sendiri (terisolasi), tetapi berinteraksi dengan berbagai jenis ikan lain serta komponen biotik lainnya yang hidup dalam ekosistem perairan, seperti fitoplankton, zooplankton, benthos, mollusca, crustacean dan echinodermata. Ikan juga berinteraksi atau dipengaruhi oleh komponen abiotik yang menyusun ekosistem perairan. Kondisi lingkungan perairan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup biota air, jika lingkungan perairan tidak sehat, maka biota air yang hidup didalamnya ikut terganggu. Faktor oseanografi yang terjadi di perairan laut sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota laut. Faktor oseanografi tersebut adalah arus, suhu permukaan laut, salinitas (kadar garam), zat hara (nutrien) dan kandungan kimiawi air lainnya, yang dapat mempengaruhi kualitas perairan laut. Arus yang terjadi di laut, merupakan salah satu faktor oseanografi yang berpengaruh terhadap lingkungan perairan, dan selalu mendapat perhatian karena berkaitan erat dengan cuaca dan iklim. Sumberdaya ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) yang ada di Selat Bali, merupakan sumber mata pencaharian utama bagi nelayan setempat, yaitu nelayan Kabupaten Banyuwangi dan nelayan Kabupaten Jembrana. Lemuru merupakan ikan pelagis kecil dan banyak ditangkap untuk konsumsi masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Alat tangkap yang digunakan nelayan di Selat Bali dalam rangka upaya memanfaatkan sumberdaya ikan lemuru antara lain purse seine (merupakan alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan di perairan Selat Bali), payang, gillnet, bagan, dan pukat pantai. Pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali mempunyai pengaruh terhadap hasil tangkapan di daerah tersebut dan memberikan kontribusi PAD bagi pemerintah daerah setempat. Pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru perlu dilakukan sesegera mungkin, karena berkaitan dengan peningkatan pendapatan nelayan yang ada di pesisir perairan Selat Bali, baik yang berada di Kabupaten Banyuwangi maupun di Kabupaten Jembrana. Gangguan terhadap keberlanjutan bisnis perikanan dan pengurasan sumberdaya karena eksploitasi yang berlebihan akan berakibat kepada terjadinya tangkap lebih (over fishing).

5 Tujuan penelitian ini adalah menyusun model keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam perencanaan pengelolaan perikanan lemuru, baik oleh pemerintah maupun masyarakat pengguna dan pemanfaat sumberdaya ikan lemuru. Untuk mencapai tujuan tersebut, harus didukung oleh beberapa kajian yang mendukung tujuan yang ingin dicapai. Kajian tersebut antara lain: (1) Mengkaji faktor-faktor oseanografi dan klimatologi yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853), (2) Menganalisis sumberdaya lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali berkaitan dengan produktivitas dan upaya penangkapan, (3) Menentukan jenis alat tangkap yang tepat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali yang mendukung keberlanjutan sumberdaya, (4) Mengkaji kondisi sosial dan ekonomi nelayan di Selat Bali dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853), serta mengkaji peran kelembagaan yang ada, dan (5) Melakukan analisis dinamik untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Penelitian ini dilakukan selama 12 (dua belas) bulan, dari bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Februari 2012 di pesisir perairan Selat Bali, yaitu di UPPPP Muncar, Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dan di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Alasan pemilihan lokasi, karena pusat pendaratan ikan terbesar berada pada kedua tempat tersebut. Pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru sangat intensif dilakukan oleh nelayan setempat baik tradisional maupun moderen. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung terhadap nelayan sebagai data primer. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Kompleks dan dinamisnya sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali sangat berkaitan erat dengan hubungan antara biotik dan abiotik dalam wilayah perairan itu sendiri, sehingga dalam keberlanjutan pengelolaan sumberdaya tersebut diperlukan pengkajian lebih mendalam, karena semakin meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya ikan lemuru. Walaupun perairan Indonesia memiliki banyak jenis ikan pelagis kecil (multispecies), namun keberadaan sumberdaya lemuru di Selat Bali memiliki keistimewaan tersendiri. Faktor oseanografi dan klimatologi yang diteliti dalam kaitannya terhadap hasil tangkapan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) adalah sebaran klorofila, suhu permukaan laut, angin, hujan dan arus. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa faktor oseanografi dan klimatologi secara signifikan berpengaruh terdahap hasil tangkapan adalah sebaran klorofil-a (17.338,792) dan angin ( ,697). Analisis dilakukan dengan regresi linier pada taraf uji 5%. Hasil analisis sumberdaya lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali berkaitan dengan produktivitas dan upaya penangkapan menunjukkan bahwa pemanfaatan dan pengusahaan sumberdaya lemuru sudah mengalami lebih tangkap (over fishing). Hal ini dapat dilihat dari perhitungan fungsi produksi, dimana nilai C msy sebesar ,63 ton pertahun, sedangkan nilai E msy adalah 252,47 unit. Hasil pengukuran panjang, lebar dan berat lemuru yang dilakukan selama periode bulan Mei-Oktober 2011, menunjukkan bahwa ukuran lemuru yang tertangkap tidak mengalami penurunan. Uji bedah lambung terhadap sampel ikan lemuru, terbukti bahwa lemuru merupakan plankton feeder. Hasil analisis seleksi jenis alat tangkap yang tepat dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru

6 (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali menuju keberlanjutan sumberdaya, yaitu dengan memakai metode skoring. Jenis alat tangkap purse seine memiliki dan memenuhi kriteria skoring yang dilakukan. Secara ekonomi nelayan di perairan Selat Bali dimana mereka menggunakan beberapa jenis alat tangkap untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru, menunjukkan hasil yang positif, artinya usaha penangkapan yang dilakukan bisa memenuhi kebutuhan hidup dan memberikan keuntungan. Secara sosial selama kurun waktu tidak pernah atau belum pernah terjadi konflik yang besar. Hal ini menandakan bahwa kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat Bali cukup kondusif. Hasil analisis secara dinamik dalam rangka mewujudkan keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali, dilakukan simulasi dengan 3 skenario. Skenario yang dibuat adalah pengendalian terhadap effort (jumlah unit alat tangkap). Berdasarkan 3 skenario tersebut maka diputuskan untuk memakai dan mengusulkan pengurangan effort menjadi 165 unit. Dengan jumlah effort demikian bisa menyisakan biomass pada akhir tahun simulasi (tahun ke 100), dan masih terjadi pertumbuhan biomass yang cukup tinggi secara alami, serta memberikan rente yang positif secara ekonomi. Dengan demikian keberlanjutan dengan memperhatikan interaksi secara dinamik antara sumberdaya dan ekosistem perairan dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru sudah seharusnya menjadi dasar dalam menentukan kebijakan agar pemanfaatan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan lestari. Langkah perbaikan yang perlu diambil adalah melakukan peninjauan ulang terhadap jumlah armada purse seine yang beroperasi di perairan Selat Bali dan melakukan peninjauan ulang terhadap SKB dua Gubernur nomor 238/674 tahun 1992 tentang pengaturan jumlah kapal purse seine yang diijinkan beroperasi di perairan Selat Bali. Pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru dengan konsep keberlanjutan di Selat Bali bisa terwujud jika instansi terkait melakukan koordinasi secara terpadu, meningkatkan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya lemuru, sehingga keberlanjutan pengelolaan sumberdaya lemuru secara lestari dapat tercapai.

7 MODEL KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN PERIKANAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI H I M E L D A Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

8 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

9 Judul Disertasi : Model Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali Nama Mahasiswa : H i m e l d a NIM : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi, M.Si Ketua Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Anggota Dr. Mustaruddin, S.TP Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 4 Januari 2013 Tanggal Lulus :

10 Penguji luar komisi pada ujian tertutup : Dr. Ir. M.Fedi A. Sondita, M.Sc Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si Penguji luar komisi pada ujian terbuka : Prof. Dr. John Haluan, M.Sc Dr. Ir. Syafril Fauzi, M.Sc

11 PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata ala atas segala karunia yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penyelesaian penelitian ini dapat berjalan dengan baik. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Doktor pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap, Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Judul penelitian ini yaitu Model Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc dan Dr. Mustaruddin, S.TP sebagai anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan arahannya dalam penyusunan disertasi ini. 2. Kedua orang tua saya Bpk Ibrahiluddin (alm) dan Ibu Halimah (almh), yang semasa hidupnya, beliau selalu memberikan semangat untuk terus belajar dan belajar. Alhamdulillah apa yang mereka impikan semasa hidup sudah tercapai. 3. Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Bapak Ir. Saut P Hutagalung, M.Sc yang telah memberikan rekomendasi dan dorongan untuk mengikuti pendidikan 4. Sekretaris Direktorat Jenderal P2HP, Bapak Dr. Ir. Syafril Fauzi, M.Sc beserta staf (Mas Marno dan Mba Yani) yang telah memberikan dorongan, semangat dan penyelesaian administrasi tugas belajar 5. Direktur Pemasaran Luar Negeri Ditjen P2HP, Ibu Ir. Rahmah Hayati Sami Ibrahim, MM yang telah memberikan semangat kepada penulis 6. Kepala Badan Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan RI yang telah memberikan biaya pendidikan kepada penulis 7. Pimpinan Coremap, yang telah memberikan bantuan biaya penulisan disertasi 8. Kepala Bidang Perikanan Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana beserta staf (Bapak Komang dan teman-teman) yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

12 9. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali beserta staf (mba Weri dan teman-teman) yang sudah membantu dalam penelitian ini. 10. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur beserta staf yang telah membantu dalam penelitian ini 11. Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan Kabupaten Jembrana Bali beserta staf (Bapak Asmuni dan kawan-kawan) dan Kepala UPPP Muncar Banyuwangi dan staf (Bapak Windra Neka dan kawan-kawan) atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian disertasi ini. 12. Kepala BROK Perancak Bali beserta staf (Mas Eko Susilo, Mba Yuli) yang telah membantu penulis selama melakukan uji laboratorium 13. Ketua program studi TPL, yang telah banyak mambantu dalam penyelesaian studi 14. Teman seperjuangan angkatan 2009 mayor SPT dan TPT Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) atas dorongan semangat kepada penulis, serta sahabat dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 15. Sekretariat SPT (Mbak Ima, Mbak Dini, Mbak Mega,) yang telah banyak membantu dalam penyelesaian administrasi perkuliahan kepada penulis hingga selesai. 16. Saudara-saudaraku (Hardi, Hegel, Hilda, Hadeli, Honggo Sukata, dan Hafsah Novimbil) atas dukungannya. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Januari 2013 Himelda

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bukittinggi tanggal 2 Februari 1964, merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara, pasangan Bapak H. Ibrahiluddin (alm) dan Ibu Hj. Halimah (almh). Menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri Tanjung Medan tahun 1976, tahun 1980 menamatkan pendidikan di SMP Negeri 3 Bukittinggi. Tahun 1983 menamatkan pendidikan di SMA PSM Bersubsidi Bukittinggi. Pada tahun 1984 penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta Padang dan lulus tahun Tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Teknologi Kelautan dan dinyatakan lulus bulan September tahun Tahun 2009, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke Program Doktoral pada program studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap, dengan bantuan biaya pendidikan dari Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan. Disamping itu penulis mendapat bantuan biaya penulisan disertasi dari proyek Coremap Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Pemasaran Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sejak tahun Sebelumnya, dari tahun penulis bekerja di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus sebagai teknisi kepelabuhanan. Karya ilmiah dengan judul Analisis Sumberdaya Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali, telah terbit pada Jurnal Marine Fisheries Volume 2 Nomor 2 bulan November tahun 2011, dan Seleksi Jenis Alat Tangkap dan Teknologi yang Tepat dalam Pengelolaan Sumberdaya Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali, telah terbit pada Buletin PSP Volume 20 Nomor 1 bulan Maret 2012.

14 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL. iv DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN viii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Batasan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Kebaruan Penelitian (Novelty) Kerangka Pikir Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Pembangunan Perikanan Tangkap Secara Berkelanjutan Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Sebagai Kesatuan Ekosistem Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) Klasifikasi dan morfologi lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) Habitat, daerah penyebaran dan makanan utama Sistem Dinamik METODOLOGI UMUM Waktu dan Tempat Waktu penelitian Tempat Penelitian Metode Penelitian Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data Analisis faktor oseanografi dan klimatologi Analisis sumberdaya lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) Analisis seleksi jenis alat tangkap dan teknologi yang tepat Analisis kondisi sosial ekonomi nelayan dan peran kelembagaan Analisis dinamik keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali 41 4 KERAGAAN DAERAH PENELITIAN Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur Letak geografis Luar wilayah Topografi dan jenis tanah Iklim Penduduk Potensi kelautan dan perikanan Jumlah nelayan dan perkembangan produksi perikanan.. 46

15 4.1.8 Jumlah armada dan alat tangkap Kabupaten Jembrana Provinsi Bali Letak geografis Luas wilayah Potensi kelautan dan perikanan Jumlah nelayan dan perkembangan produksi perikanan Jumlah armada dan alat tangkap ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI DAN KLIMATOLOGI TERHADAP HASIL TANGKAPAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853 DI SELAT BALI Pendahuluan Tujuan Penelitian Kebutuhan dan Metode Analisis Data Kebutuhan data Metode analisis data Hasil Penelitian Trend sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut Trend curah hujan, kecepatan angin dan kekuatan arus Kualitas perairan dilokasi fishing ground Pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan Pembahasan Kesimpulan ANALISIS SUMBERDAYA PERIKANAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI Pendahuluan Tujuan Penelitian Kebutuhan dan Metode Analisis Data Kebutuhan data Metode analisis data Hasil Penelitian Keragaan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya lemuru Analisis fungsi produksi perikanan lemuru Standarisasi alat tangkap Ukuran panjang, lebar dan berat ikan lemuru hasil tangkapan nelayan Kebiasaan makan (feeding habits) ikan lemuru Daerah penangkapan Pembahasan Kesimpulan ANALISIS KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DAN PERAN... KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN LEMURU DI SELAT BALI Pendahuluan Tujuan Penelitian Kebutuhan dan Metode Analisis Data ii

16 7.3.1 Kebutuhan data Metode analisis data Hasil Penelitian Kelayakan hidup nelayan perikanan lemuru di Selat Bali ditinjau secara ekonomi Kondisi sosial nelayan perikanan lemuru di Selat Bali Peran kelembagaan Pembahasan Kesimpulan SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM.. PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI Pendahuluan Tujuan Kebutuhan dan Metode Analisis Data Kebutuhan data Metode analisis data Hasil Penelitian Penilaian aspek biologi Penilaian aspek teknis Penilaian aspek sosial Penilaian aspek ekonomi Penilaian aspek ekosistem perairan Penilaian aspek gabungan (biologi, teknis, sosial, ekonomi dan. ekosistem perairan) Pembahasan Kesimpulan MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN LEMURU.. (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI Pendahuluan Tujuan Penelitian Kebutuhan dan Metode Analisis Data Kebutuhan data Metode analisis data Hasil Penelitian Model pengelolaan perikanan Uji validasi Simulasi model Pembahasan Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN UMUM DAN SARAN Kesimpulan Saran 191 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iii

17 DAFTAR TABEL Halaman 1 Simbul-simbul dalam diagram alir Daftar peneliti terdahulu yang metode yang sama dengan penelitian ini 34 3 Klasifikasi mutu air sesuai peruntukannya perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Banyuwangi Perkembangan produksi perikanan di Kabupaten Banyuwangi tahun Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Banyuwangi tahun Perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap di Kabupaten Banyuwangi.. tahun Perkembangan jumlah nelayan di kabupaten Jembrana tahun Perkembangan jumlah hasil perikanan di Kabupaten Jembrana tahun Keragaan jumlah armada perikanan di Kabupaten Jembrana Perkembangan jumlah alat tangkap dominan di Kabupaten Jembrana Koefisien kanal 31dan 32 untuk satelit Aqua Modis Korelasi klorofil-a dan suhu permukaan laut periode Korelasi faktor angin, hujan, dan arus periode Uji regresi pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil. tangkapan lemuru di Selat Bali tahun Perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap yang digunakan untuk. penangkapan lemuru di Selat Bali tahun Produksi lemuru Selat Bali tahun Total tangkapan (catch), CPUEstandar dan effortstandar ikan lemuru.. di Selat Bali Fishing power index (FPI) alat tangkap yang digunakan untuk menangkap.. ikan lemuru Nilai upaya penangkapan standar alat tangkap penghasil lemuru Jenis makanan hasil analisis dalam lambung ikan lemuru sampel Indeks komposisi nilai makanan dalam lambung ikan sampel Analisis secara ekonomi kegiatan perikanan lemuru di Kabupaten Banyuwangi Analisis secara ekonomi kegiatan perikanan lemuru di Kabupaten Jembrana iv

18 25 Perkembangan jumlah alat tangkap dominan di Selat Bali Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dar aspek biologi di Kabupaten Banyuwangi Skoring dan fungsi dari aspek biologi nilai ditinjau di Kabupaten Jembrana Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek teknis. di Kabupaten Banyuwangi Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek teknis.. Di Kabupaten Jembrana Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek social.. di kabupaten Banyuwangi Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek social.. di kabupaten Jembrana Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek ekonomi. di kabupaten Banyuwangi Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek ekonomi. di Kabupaten Jembrana Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek ekosistem perairan di Kabupaten Banyuwangi Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek ekosistem perairan di Kabupaten Jembrana Standarisasi penilaian gabungan (biologi, teknis, social, ekonomi dan.. ekosistem perairan) di Kabupaten Banyuwangi Standarisasi penilaian gabungan (biologi, teknis, sosial, ekonomi dan.. ekosistem perairan) di Kabupaten Jembrana Parameter model dinamis pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru Hasil validasi dengan Theil Statistik Kategori ukuran lemuru di Selat Bali v

19 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pikir penelitian 10 2 Segitiga keberlanjutan perikanan Interaksi dan proses antar komponen dalam pengelolaan perikanan Piramida rantai makanan pada ekosistem Laut 24 5 Jejaring makanan di Laut tropis Cara kerja sistem penginderaan jauh 26 7 Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) Sistem dinamis dengan open loop Sistem dinamis dengan close Loop Peta lokasi penelitian Peta Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur Peta wilayah Kabupaten Jembrana Provinsi Bali Koordinat nelayan menurunkan jaring dan pengambilan sampel untuk uji. kualitas perairan Trend konsentrasi sebaran klorofil-a di perairan Selat Bali periode Konsentarsi klorofil-a di Selat Bali periode Mei-Oktober Trend rata-rata triwulanan suhu permukaan laut Selat Bali tahun Trend curah hujan tahun di Selat Bali Kecepatan angin yang terjadi di Selat Bali periode tahun Kekuatan arus air di Selat Bali periode Kualitas perairan di lokasi fishing ground periode Mei Oktober Fluktuasi hasil tangkapan lemuru berdasarkan triwulan selama.. periode Cara pengukuran panjang dan lebar ikan sampel Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap purse seine... di Selat Bali Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap payang.. di Selat Bali Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap gillnet. di Selat Bali Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap pukat pantai di Selat Bali. 95 vi

20 27 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap bagan.. di Selat Bali Kurva hasil tangkapan lemuru di selat Bali tahun Rata-rata ukuran panjang, lebar dan berat lemuru hasil tangkapan nelayan bulan Mei-Oktober Causal loop model dinamik pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru.. Di Selat Bali Sub model bio-ekonomi dan sub model effort pengelolaan sumberdaya Perikanan lemuru di Selat Bali Simulasi biomass, pertumbuhan biomass, effort, hasil tangkapan, dan rente Simulasi hasil tangkapan dan rente dengan pengurangan effort sebesar 30% atau 184 unit Simulasi hasil tangkapan dan dengan pengurangan effort sebesar 40% atau unit 169 vii

21 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang dilakukan selama ini masih bersifat konvensional, yaitu memanfaatkan sumberdaya yang ada semaksimal mungkin untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak dan sesuai dengan permintaan pasar. Pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries management) khususnya perikanan tangkap prosesnya sangat kompleks, sehingga membutuhkan integrasi antara aspek biologi, ekologi, ekonomi dan unsur manusia sebagai pemanfaat hasil tangkapan. Pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap seharusnya dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan sebagai habitat ikan tujuan penangkapan. Idealnya, harus memperhatikan daya dukung atau kemampuan setiap komponen yang terdapat dan terkandung dalam satu wilayah yang menjadi lokasi kegiatan penangkapan ikan, dalam rangka memenuhi kebutuhan optimal masing-masing wilayah. Upaya menyelaraskan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, agar dapat dilakukan secara berkelanjutan mensinergikan antara pemanfaatan dan keberlanjutan sumberdaya sehingga pada masa yang akan datang sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan oleh generasi berikutnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap dengan memperhatikan keberlanjutan terhadap sumberdaya yang menjadi target penangkapan sejatinya memperhatikan keseimbangan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan tetap memperhatikan biologi serta ekologi ikan target penangkapan. Keseimbangan sosial ekonomi dimaksud mencakup kesejahteraan nelayan, keadilan dalam pemanfaatan sumberdaya, tetap mempertimbangkan kemajuan pengetahuan dan informasi, ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik, serta keterlibatan manusia didalamnya. Kesimbangan tersebut dapat diwujudkan melalui sebuah pengelolaan sumberdaya perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan. Mengacu kepada code of conduct for responsible fisheries, bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan harus memperhatikan

22 2 seluruh aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial, lingkungan dan komersial yang relevan terhadap pengelolaan sumberdaya. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dibuat suatu model yang terpola dengan baik dan tepat serta komprehensif, sehingga pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan dapat dilakukan secara utuh oleh nelayan dan pelaku usaha perikanan. Prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan antara lain: (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh lingkungan perairan; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan lingkungannya harus dijaga; (3 memiliki perangkat pengelolaan yang compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4) melakukan prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia itu sendiri (FAO, 2003). Berdasarkan prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap tersebut di atas, maka implementasinya memerlukan adaptasi struktural maupun fungsional di seluruh tingkat pengelolaan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini menjadi penting, kenapa demikian? Karena menyangkut kerangka berpikir (mindset) dalam melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan. Sebagai contoh, otoritas perikanan tidak hanya menjalankan fungsi administratif (fisheries administrative functions), akan tetapi sudah dan harus menjalankan fungsi pengelolaan terhadap sumberdaya perikanan (fisheries management functions) (Adrianto et al, 2010). Keberlanjutan sumberdaya (sustainable development), merupakan pembangunan perikanan tangkap dengan memperhatikan faktor ekologi agar ketersediaan sumberdaya dapat dipertahankan untuk generasi mendatang. Hal lain yang menjadi faktor penting dalam keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah keberlanjutan secara sosial ekonomi dan keberlanjutan dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, harus ada keberlanjutan institusi sebagai pembuat kebijakan dalam merumuskan pengelolaan sumberdaya yang menjadi tujuan penangkapan.

23 3 Selat Bali, merupakan selat yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Bali dengan bentuk seperti corong. Bagian selatan melebar sebesar 35 km dan bagian utara menyempit dengan lebar 2,5 km. Secara geografis, Selat Bali terletak antara ' ' BT dan 8 10' 8 50' LS dengan luas sekitar 2500 km 2. Kegiatan penangkapan ikan di Selat Bali umumnya menggunakan alat tangkap purse seine. Namun demikian masih ada alat tangkap lain yang digunakan oleh nelayan setempat seperti payang, gillnet, bagan, dan pukat pantai. Pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) sangat intensif dilakukan oleh nelayan yang berada di kawasan pesisir Selat Bali. Dimana pemanfaatan tersebut dilakukan untuk memenuhi permintaan konsumen, terutama sebagai bahan baku ikan kaleng dan dikonsumsi segar. Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali tahun 2009, pemanfaatan sumberdaya lemuru adalah sebesar ,0 ton dengan nilai Rp ,- dan ,4 ton, dengan nilai sebesar Rp ,-. Ikan lemuru dikenal sebagai ikan musiman (Nontji, 2007). Dikatakan sebagai ikan musiman karena, musim ikan lemuru adalah bulan September Oktober dan musim puncak pada bulan Desember Januari. Selanjutnya dikatakan bahwa, akhir-akhir ini pemanfaatan lemuru sudah menunjukkan over fishing. Ikan lemuru, lebih banyak terkonsentrasi di Selat Bali dan pemanfaatannya sangat intensif, serta merupakan komoditi unggulan masyarakat dan nelayan di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali. Melalui penelitian ini, penulis berkeinginan menyusun atau memperbaiki pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) yang sudah ada sebelumnya dengan model keberlanjutan sumberdaya yang terpola dengan baik, dengan memperhatikan kedinamisan antara biotik dan abiotik yang terdapat di lingkungan perairan Selat Bali dan mengedepankan unsur manusia sebagai pelaku usaha dan pemanfaat, sehingga keberlanjutan sumberdaya lemuru dapat dilakukan secara berkelanjutan dan lestari.

24 4 1.2 Perumusan Masalah Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853), pada musimnya tersedia secara melimpah sehingga penangkapan dapat dilakukan secara efektif. Dalam kondisi seperti ini, waktu untuk mencari gerombolan ikan menjadi lebih pendek/singkat. Penangkapan secara besar-besaran akan terjadi, dan nelayan akan berlomba-lomba untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya. Jika keadaan ini terus berlangsung dan cenderung tidak terkendali, maka akan menyebabkan terjadi penangkapan yang berlebihan (overfishing). Pada awalnya terjadi lebih tangkap pertumbuhan (growth overfishing), dan kalau keadaan ini terus berlangsung akan disusul oleh lebih tangkap rekruitmen (recruitment overfishing). Sejak tahun 1975, pengaturan penangkapan ikan lemuru di Selat Bali sudah dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan dengan SK No.123/Kpts/Um/1975, tentang pengaturan besaran mata jaring pada bagian kantong. Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan tersebut, ditindak lanjuti oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Bali dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB), tentang jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi. SKB tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan, dan perubahan terbaru dilakukan pada tahun 1992 yaitu penetapan jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi di Selat Bali sebanyak 273 unit, dengan pembagian untuk Provinsi Jawa Timur sebanyak 190 unit dan untuk Provinsi Bali sebanyak 83 unit. Berdasarkan data statistik perikanan Provinsi Jawa Timur tahun 2009, sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya, bahwa hasil tangkapan ikan lemuru untuk Provinsi Jawa Timur di Selat Bali mencapai ,0 ton dengan nilai Rp ,-. Apabila dibandingkan dengan data tahun 2008 yaitu sebesar ,300 ton dengan nilai Rp ,- jelas terlihat bahwa terjadi peningkatan hasil tangkapan lemuru untuk wilayah Provinsi Jawa Timur. Hal ini dapat dipahami, karena industri pengolahan ikan lemuru lebih banyak terdapat di Jawa Timur tepatnya di Muncar. Namun untuk tahun 2010 terjadi penurunan hasil tangkapan yaitu sebesar ,00 ton dengan nilai Rp ,-. Hasil tangkapan ikan lemuru untuk Provinsi Bali tahun 2009 adalah ,9 ton,

25 5 dengan nilai sebesar Rp ,- dan untuk tahun 2010 juga terjadi penurunan yaitu ,9 ton dengan nilai Rp ,-. Melihat hasil tangkapan yang berfluktuasi, dan seperti yang telah disampaikan pada uraian sebelumnya, kemungkinan pemanfaatan sumberdaya lemuru terindikasi mendekati lebih tangkap (over fishing). Pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali, dalam pelaksanaannya sering menghadapi kendala ataupun permasalahan yang perlu dianalisis dan perlu mendapatkan jawaban serta solusi agar sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan lestari. Untuk itu, secara spesifik permasalahan pokok dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali dapat dirumuskan melalui beberapa pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut: 1) Bagaimana pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan? Apakah berpengaruh langsung atau tidak langsung. 2) Bagaimana tingkat pemanfaatan ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali? Apakah sudah mengarah kepada over fishing, mengingat kegiatan penangkapan dilakukan secara intensif. 3) Bagaimana upaya penangkapan, jenis alat tangkap dan teknologi yang digunakan untuk pemanfaatan perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali? 4) Secara ekonomi, apakah pengusahaan sumberdaya perikanan lemuru menguntungkan, secara sosial apakah sering terjadi konflik, dan bagaimana peran kelembagaan yang ada dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali? 5) Secara dinamik, apakah pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru jika ditinjau secara biologi, ekologi, sosial dan ekonomi serta dengan pertimbangan effort sudah mengarah kepada pengelolaan secara berkelanjutan dan lestari?. Secara prinsip, pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali, perlu disusun suatu model yang dapat

26 6 dijadikan sebagai acuan dalam pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan pada masa yang akan datang, dengan mempertimbangkan interaksi antara biotik dan abiotik yang terjadi di lingkungan perairan Selat Bali. 1.3 Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan pada uraian terdahulu, maka permasalahan yang diangkat dan dibatasi yaitu: a. Faktor oseanografi (klorofil-a dan suhu permukaan laut) dan fenomena musiman (angin, hujan, dan arus) yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan lemuru di Selat Bali, b. Jenis alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan Selat Bali untuk menangkap ikan lemuru (purse seine, gillnet, payang, bagan, dan pukat pantai). 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menyusun model keberlanjutan perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan kajian secara terperinci terhadap faktor-faktor pendukung dan penting diketahui serat perlu dilakukan analisis yaitu: (1) Mengkaji faktor-faktor oseanografi dan klimatologi yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853), (2) Menganalisis sumberdaya lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali berkaitan dengan produktifitas dan upaya penangkapan, (3) Menentukan jenis alat tangkap dan teknologi yang tepat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali yang mendukung keberlanjutan sumberdaya, (4) Mengkaji kondisi sosial dan ekonomi nelayan di Selat Bali dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) serta mengkaji peran kelembagaan yang ada,

27 7 (5) Melakukan analisis secara dinamik untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan bermanfaat bagi: 1. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), 2. Pemerintah, baik pusat maupun daerah yaitu sebagai acuan dalam perencanaan dan kebijakan, sehingga pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru dapat dilakukan secara berkelanjutan dan lestari, 3. Masyarakat dan nelayan yang berada di pesisir Selat Bali, agar pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan mengarah kepada pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan dan lestari, 4. Bagi peneliti sendiri. 1.6 Hipotesis Model keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali, belum dapat terwujud, apabila: 1. Faktor oseanografi dan klimatologi tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan yang diperoleh nelayan, 2. Sumberdaya perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali dindikasikan sudah mendekati over fishing, sehingga produktivitasnya menurun, 3. Jenis alat tangkap dan teknologi yang digunakan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali tidak sesuai, 4. Kondisi sosial dan ekonomi nelayan di Selat Bali dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) mengalami penurunan, dan peran kelembagaan yang ada serta koordinasi yang dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya lemuru belum berjalan dengan baik,

28 8 5. Pengelolaan sumberdaya yang dilakukan selama ini berorientasi kepada surplus production. 1.7 Kebaruan Penelitian (Novelty) Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali masih bersifat parsial atau lebih tepatnya untuk memperoleh hasil produksi semaksimal mungkin. Beberapa kajian tersebut antara lain dilakukan oleh: Soewito (1982) melakukan penelitian tentang aspek-aspek yang berpengaruh terhadap sumberdaya ikan lemuru, mengingat pesatnya perkembangan alat tangkap purse seine sebagai alat tangkap utama di Selat Bali. Dalam penelitiannya, Soewito membahas tentang peraturan yang ada guna mengatasi kesulitan yang timbul dalam pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali. Merta (1992) melakukan penelitian tentang dinamika populasi (Sardinella lemuru Bleeker 1853) berkenaan dengan pola penyebaran sumberdaya ikan lemuru dan pengaturan besaran mata jaring alat tangkap purse seine yang digunakan. Wudianto (2001), melakukan penelitian tentang sebaran dan kelimpahan ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853). Penelitian ini mengaitkan kelimpahan ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) dengan optimasi penangkapan. Djamali (2007), melakukan penelitian tentang evaluasi keberlanjutan dan optimalisasi pemanfatan sumberdaya ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) yang menjabarkan tentang tingkat pemanfaatan sumberdaya. Buchary (2010) melakukan penelitian tentang kebijakan pemanfaatan lemuru di Selat Bali ditinjau dari segi biologi, ekologi, sosial dan manusia, dengan menggunakan metode Ecopath dan software ecosim EwE. Ginting et al (2010), melakukan penelitian tentang pengembangan model sistem dinamik untuk mengkaji pengaruh perubahan jumlah tangkap ikan lemuru terhadap industri cold storage di Pelabuhan Muncar. Penelitian tersebut membahas tentang kedinamisan industri cold storage dengan fluktuasi hasil tangkapan lemuru yang terjadi, dengan menggunakan metode analisis dinamik. Selanjutnya, Zulbarnaini (2011) melakukan penelitian tentang model bioekonomi eksploitasi multispecies sumberdaya perikanan pelagis di perairan Selat Bali. Dalam penelitian tersebut dibahas tentang identifikasi tingkat eksploitasi aktual multispesies sumberdaya perikanan pelagis di Perairan Selat Bali dan

29 9 membandingkan dengan pengelolaan dari berbagai kondisi, karena perikanan yang bersifat open access, mengestimasi tingkat eksploitasi optimal dan tingkat kelestarian multispesies sumberdaya perikanan pelagis dengan menggunakan model bioekonomi multispesies. de Kok dan Wind (1996) melakukan penelitian dengan pendekatan sistem dinamik untuk perikanan pantai yaitu di selatan Sulawesi Barat. Penelitian ini merupakan pengembangan dan modifikasi terhadap penelitian yang dilakukan oleh de Kok dan Wind, dan mencoba menerapkannya di perairan Selat Bali dalam rangka pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru. Penelitian ini lebih mengarah kepada interaksi secara biologi, ekologi, teknologi, sosial dan ekonomi dalam sebuah hubungan dinamik. Interaksi secara biologi yaitu antar sesama ikan pelagis yang ada di perairan Selat Bali, secara ekologi yaitu faktor oseanografi dan klimatologi, dan secara ekonomi memberikan keuntungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan lemuru di pesisir Selat Bali (sosial). Secara teknologi melakukan standarisasi terhadap alat tangkap yang beragam dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru. Kabaruan utama dalam penelitian ini adalah menyusun model keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali dengan pendekatan system dynamic. 1.8 Kerangka Pikir Penelitian Selat Bali, merupakan salah satu kawasan perairan Indonesia yang memiliki sumberdaya ikan yang potensial, khususnya lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853). Selat Bali merupakan daerah perairan yang relatif sempit (sekitar 960 mil 2 ), dan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) merupakan ikan hasil tangkapan utama. Total pemanfaatan lemuru di Selat Bali pada tahun 2010, berdasarkan data statistik perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, Bali dan statistik perikanan tangkap Indonesia adalah sebesar ,90 ton. Alat tangkap yang digunakan untuk penangkapan ikan lemuru lebih dominan menggunakan pukat cincin (purse seine), dan alat tangkap lainnya seperti payang, gill net, bagan dan pukat pantai. Kegiatan penangkapan ikan lemuru sangat intensif dilakukan oleh nelayan, untuk memenuhi permintaan pasar.

30 10 Pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali sangat tinggi, hal ini terlihat dari jumlah produksi yang terus meningkat. Jika pemanfaatan sumberdaya lemuru terus dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya, maka dapat dipastikan terjadi over fishing yang ditandai dengan terjadinya penurunan produksi dan ukuran ikan yang tertangkap. Berkenaan dengan permasalahan tersebut di atas, agar pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru dapat dilakukan secara berkelanjutan, perlu dilakukan kajian secara komprehensif yang meliputi aspek sumberdaya ikan (SDI), jenis alat tangkap dan teknologi penangkapan, faktor oseanografi dan klimatologi yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan, sosial dan ekonomi nelayan serta peran kelembagaan yang ada. Dengan demikian keberlanjutan pengelolaan sumberdaya secara lestari dapat terwujud. Pengelolaan secara komprehensif yang akan dikaji disini berkaitan dengan interaksi secara dinamik antara ikan target penangkapan dan lingkungan perairan sebagai habitatnya. Skema kerangka pikir penelitian ini secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 1. Mulai 1. Permasalahan perikanan lemuru sangat komplek (biologi, teknologi, Ekonomi dan sosial) dan selalu mengalami perubahan secara dinamis 2. Pendekatan secara statis belum mampu menyelesaikan permasalahan tersebut Solusi Perlu terobosan baru dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan dengan pola kedinamisan Penyusunan model keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru secara komprehensif di Selat Bali dengan mempertimbangkan aspek biologi, teknologi, ekonomi, dan sosial dengan pendekatan sistem dinamik Rekomendasi Selesai Gambar 1 Kerangka pikir penelitian model keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker) di Selat Bali

31 11 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbarui (renewable). Walaupun dikatakan sumberdaya ikan dapat pulih, namun apabila tidak dikelola secara baik dan benar, serta dilakukan eksploitasi secara terus menerus, maka sumberdaya ikan akan mengalami kepunahan (Suseno, 2007). Secara umum sumberdaya yang dapat pulih atau terbarukan termasuk sumberdaya ikan, memiliki keterbatasan dalam siklus pemulihannya (Tietenberg, 2000) vide (Prihatini, 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa laju pemulihan sumberdaya sangat lambat, sehingga membutuhkan waktu dan tidak dapat memulihkan stok atau sediaannya dalam waktu yang singkat secara ekonomis (Conrad, 1999 dan Tietenberg, 2000) vide (Prihatini, 2003). Pengelolaan sumberdaya perikanan, merupakan kemampuan untuk mengatur produk ikan yang dihasilkan berlangsung secara terus menerus dan dalam keadaan lestari (Nuitja, 2010). Menurut Giles (1978) vide Nuitja (2010), pengelolaan sumberdaya adalah ilmu pengetahuan dan seni dalam membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk memanipulasi struktur, dinamika, hubungan antar populasi, habitat, dan manusia untuk keperluan manusia itu sendiri. Selanjutnya, dikatakan bahwa yang terlibat dalam proses manajemen/pengelolaan ini adalah pengguna sumberdaya, yaitu nelayan dan pelaku usaha perikanan untuk melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya ikan, lingkungan perairan sebagai habitat sumberdaya ikan. Disamping itu, hal yang sangat penting diketahui dari segi kekhususan sumberdaya perikanan di laut adalah tidak ada komoditas yang homogen dan tidak ada lingkungan yang homogen (Nuitja, 2010). Menurut Nuitja (2010), pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilakukan melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu: (1) pendekatan species, (2) pendekatan habitat, dan (3) pendekatan teknologi. Tujuan utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah: 1) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari,

32 12 2) Menjaga sumberdaya perikanan tetap hidup dan berkembang serta dapat dimanfaatkan secara lestari, 3) Memelihara dan memperbaiki ekosistem sumberdaya yang sesuai dengan kondisi habitatnya. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, kita tidak bisa lepas dari proses penangkapan ikan yang tercakup dalam kegiatan perikanan tangkap. Menurut Purbayanto (2003) vide Wandri (2005), pengelolaan sumberdaya perikanan, merupakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati laut maupun perairan umum melalui proses penangkapan atau pengumpulan hewan dan tumbuhan air lainnya. Lebih lanjut dijelaskan oleh Purbayanto (2003) bahwa, hasil tangkapan yang diperoleh digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup nelayan sebagai bahan konsumsi keluarga, atau dipasarkan langsung dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan. Berdasarkan jenis dan skala usahanya, perikanan tangkap dapat dibedakan yaitu perikanan subsisten, perikanan artisanal dan perikanan industri (Kesteven, 1973), dimana perikanan subsisten merupakan kegiatan penangkapan didasarkan atas hobi atau kegiatan olah raga. Perikanan Artisanal diartikan sebagai kegiatan perikanan secara tradisional. Sedangkan perikanan industri adalah kegiatan perikanan yang dilakukan sudah skala besar dan berorientasi ekspor. Monintja (2010), menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan dibidang perikanan. Implementasinya dapat dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati (Monintja, 2010). Data tentang jumlah hasil tangkapan, trip penangkapan, jenis ikan, waktu penangkapan dalam rangka mewujudkan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan sangat diperlukan. Data tersebut berguna untuk menganalisis potensi sumberdaya yang tersedia, penentuan musim penangkapan, dan penentuan daerah penangkapan (Imron, 2000). Berdasarkan data tersebut,

33 13 dapat ditentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB), sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal dan berkelanjutan dapat terwujud. Jumlah tangkap yang diperbolehkan adalah penetapan jumlah sumberdaya ikan yang boleh dimanfaatkan, dengan memperhatikan pengamanan konservasi diwilayah perairan Indonesia. Jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB) adalah sebesar 80% dari potensi lestari (MSY). Jika potensi lestari 6,4 juta ton/tahun, maka JTB adalah 5,2 juta ton/tahun (Dahuri, 2007). Hal ini ditujukan untuk kehati-hatian, kelangsungan dan kelestarian sumberdaya perikanan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45 tahun 2011, tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, dinyatakan bahwa estimasi potensi lestari sumberdaya ikan secara keseluruhan adalah 6,5 juta ton/tahun. Dalam keputusan tersebut estimasi potensi lestari sudah ditetapkan berdasarkan wilayah pengelolaan perikanan (WPP), dimana Selat Bali termasuk kedalam WPP 573, dan pemanfaatan sumberdaya lemuru dinyatakan over fishing. Menurut Undang-undang Perikanan nomor 31 tahun 2004 sebagaimana telah diperbarui menjadi Undang-Undang nomor 45 tahun 2009, definisi pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap adalah; semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang dilakukan pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang dilakukan secara benar, dibutuhkan informasi ilmiah menyangkut biologi ikan, dinamika sumberdaya ikan, dan lingkungan sebagai habitat hidupnya (Manggabarani, 2002). Disamping itu pengetahuan terhadap ukuran ikan yang layak tangkap, musim pemijahan dan karakteristik lainnya perlu dipahami. Dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853), haruslah berdasarkan kepada prinsip-prinsip pengelolaan yang rasional, bertanggungjawab dan berwawasan lingkungan.

34 14 Simbolon et al (2009), menyatakan peningkatan hasil tangkapan dapat terjadi apabila pengelolaan sumberdaya ikan yang ada dan cara pemanfaatan yang dilakukan berjalan dengan baik. Pemanfaatan sumberdaya perikanan harus memperhatikan aspek sustainability agar dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan dan tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi, akan tetapi juga terfokus pada masalah lain seperti teknis, sosial dan budaya (Dahuri, 2002 vide Simbolon et al, 2009). Pendekatan kehati-hatian perlu dilakukan, dan berfokus untuk mengurangi kemungkinan dampak yang terjadi dari kegiatan perikanan yang merugikan sumberdaya itu sendiri dan ekosistem laut lainnya (FAO, 1995). Soewito (1982), menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap mencakup: (1) aspek teknis, yaitu kegiatan penangkapan yang dilakukan tetap menjaga agar intensitas penangkapan disesuaikan dengan potensi sumberdaya sehingga kelestariannya tetap terjaga; (2) aspek sosial, yaitu pemanfaatan sumberdaya dapat memberikan manfaat khususnya kepada nelayan serta golongan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan penangkapan ikan; (3) aspek ekonomi, yaitu upaya untuk menjaga kestabilan harga apabila jumlah tangkap atau produksi hasil tangkapan nelayan melimpah. Pengaturan tentang pengelolaan perikanan tangkap sudah dilakukan sejak lama. Salah satunya melalui keputusan Menteri Pertanian No.607/Kpts/Um/9/1976, tentang jalur-jalur penangkapan ikan dan sudah mengalami beberapa kali pembaruan. Tujuan pengaturan tersebut untuk menjaga kelestarian sumberdaya, dan melindungi nelayan kecil. Koswara (2009), menyatakan bahwa secara analisis ekonomi, kegiatan penangkapan ikan sangat penting untuk diperhatikan. Selanjutnya dikatakan, ketiadaan kepemilikan terhadap sumberdaya perikanan (open access) secara de facto, mendorong terjadinya eksploitasi secara berlebihan, bahkan bisa mencapai titik deplesi (depletion). Hal ini menyebabkan sumberdaya mengalami kecenderungan yang lebih lambat untuk pulih atau bahkan tidak dapat pulih kembali.

35 Pembangunan Perikanan Tangkap Secara Berkelanjutan Pembangunan perikanan tangkap secara berkelanjutan, bertujuan untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya ikan yang menjamin ketersediaan protein hewani. Matsuoka (1998) menyatakan bahwa pembangunan perikanan tangkap hendaknya dilakukan dengan memperhatikan ekosistem perairan menuju konservasi dalam rangka mempertahankan sumberdaya untuk generasi mendatang. Untuk itu perlu dilakukan proteksi terhadap keberlanjutan sumberdaya, dengan ditunjang oleh peraturan tentang pengelolaan sumberdaya. Konsep keberlanjutan dalam perikanan tangkap, berangsur mulai dapat dipahami dengan baik, namun masih terdapat kendala/kesulitan dalam menganalisis dan mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri (Fauzy dan Anna, 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa, permasalahan yang selalu dihadapi khususnya dalam mengintegrasikan informasi dan data dari keseluruhan komponen yang ada, yaitu mencakup aspek biologi, ekologi, sosial, ekonomi, dan teknologi serta aspek etika dalam pemanfaatan sumberdaya. Menurut Charles (2001), keberlanjutan pembangunan perikanan ditunjukkan dalam bentuk segitiga, yang didalamnya terdapat unsur Ecological sustainability, Socioeconomic sustainability, Community sustainability. Selanjutnya oleh Monintja, (2010) keberadaan dan dukungan Institutional sustainability harus ada sebagai stabilisator terhadap segitiga tersebut. Unsur-unsur yang terdapat dalam segitiga keberlanjutan tersebut adalah mutlak untuk pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang ramah lingkungan dan tetap mempertahankan kondisi ekosistem perairan sebagai habitat hidup ikan target penangkapan (Gambar 2).

36 16 Ecological sustainability << Institutional sustainability Socioeconomic sustainability Community sustainability Gambar 2 Segitiga keberlanjutan perikanan (Charles, 2001) Sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan dan mengembangkan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perlu diwujudkan (Dahuri, 2007), dengan penjabaran sebagai berikut: 1. Keberlanjutan ekologis (ecological sustainability), yaitu suatu kondisi dimana kualitas dan kesehatan ekosistem perairan terpelihara dengan baik, agar sumber daya ikan yang hidup di dalamnya dapat tumbuh dan berkembang biak secara optimal, dan tingkat penangkapan sumber daya ikan tidak melampaui kemampuan pulihnya (renewable capacity) sehingga hasil tangkapan secara keseluruhan baik pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun nasional dapat berlangsung secara berkelanjutan. 2. Keberlanjutan sosial-ekonomi (socioeconomic sustainability), yaitu suatu kondisi dimana sistem usaha perikanan tangkap mampu memelihara atau meningkatkan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi secara nasional, dan dapat meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha (nelayan dan mereka yang terlibat dalam kegiatan industri hulu dan hilir.) secara adil dan berkelanjutan.

37 17 3. Keberlanjutan masyarakat (community sustainability), yakni semakin terpelihara atau semakin membaik kualitas kehidupan nelayan sebagai pelaku usaha perikanan tangkap beserta segenap sistem nilai keutamaan individu (seperti budaya kerja keras, kreatif, budaya menabung, jujur, dan disiplin) serta sistem nilai keutamaan kelompok seperti semangat toleransi, saling menghormati, kerja sama, dan pengorbanan untuk kepentingan bersama. 4. Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability), yaitu suatu kondisi dimana semua pranata kelembagaan (institutional arrangements) yang terkait dengan sistem perikanan tangkap (seperti pelabuhan perikanan, pemasok sarana produksi, pengolah dan pemasar hasil tangkapan, dan lembaga keuangan) dapat berfungsi secara baik dan benar serta berkelanjutan. Pembangunan perikanan tangkap secara berkelanjutan (sustainable development), harus dilihat dengan pendekatan secara menyeluruh yang menyangkut berbagai dimensi dan harus terpadu. Dalam code of conduct for responsible of fisheries, sudah dijabarkan secara menyeluruh bagaimana upaya pembangunan dan pengembangan perikanan dilakukan. Pada tahun 2002, World Summit on Sustainable Development telah merekomendasikan pelaksanaan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya dengan memperhatikan interaksi antara biotik dan abiotik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di tahun 2010 (UN, 2002). Dahuri (2007) menyatakan bahwa, jika ingin berhasil membangun perikanan tangkap nasional yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkualitas dan peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan secara berkelanjutan, maka pembangunan perikanan tangkap harus dikelola dengan menerapkan konsep keberlanjutan dengan sistem dinamik (system dynamic). Konsep sistem dinamik ini terdiri dari 3 (tiga) subsistem, yaitu :(1) Alam (ekosistem) berkaitan dengan interaksi antara biotik dan a-biotik yang terjadi di lingkungan perairan, (2) Manusia, berkaitan dengan orang yang memanfaatkan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan konsumen, (3) Manajemen, berkaitan dengan aturan dan peraturan dalam rangka pengelolaan sumberdaya yang dilakukan.

38 Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Sebagai Kesatuan Ekosistem Ikan tidak hidup sendiri (terisolasi), akan tetapi berintegrasi dengan berbagai jenis ikan lain dan komponen biotik lainnya yang hidup dalam ekosistem perairan. Ekosistem perairan tersebut mencakup fitoplankton, zooplankton, benthos, mollusca, crustacea, echinodermata, dan jenis lainnya (Dahuri, 2007). Lebih lanjut dijelaskan, bahwa ikan berintegrasi dengan komponen abiotik yang menyusun ekosistem perairan seperti arus, gelombang, pasang surut, suhu permukaan laut, salinitas, dan iklim (Dahuri, 2007). Ekosistem, secara fungsional merupakan komunitas bersama dalam lingkungan sekitar yang terdapat pada suatu kawasan perairan (Nuitja, 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa yang terdapat dalam lingkungan perairan, terdiri dari kelompok individual dari species yang sama (populasi) dan kelompok dari populasi yang berbeda species dalam suatu kawasan perairan (komunitas). Ilmu yang mempelajari tentang ekosistem adalah ilmu ekologi, yang dapat didefinisikan sebagai hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungan abiotiknya (Nuitja, 2010). Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai kesatuan ekosistem telah didefinisikan sebagai suatu manajemen yang terpadu dan komprehensif terhadap kegiatan manusia, dan didasarkan pada pengetahuan ilmiah terbaik yang tersedia tentang ekosistem dan dinamikanya. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi dalam mengambil tindakan agar kelestarian ekosistem perairan laut terjaga dengan baik, sehingga mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu pemeliharaan dan penjagaan yang terintegrasi antara pemanfaatan dan pemeliharaan ekosistem (Frid, 2004). Zhang dan Marasco (2003) menyatakan bahwa informasi tentang pengaturan keberlanjutan pengelolaan perikanan sangat minim, seperti informasi dinamika populasi ikan, interaksi antar spesies, dampak dari faktor lingkungan, dan efek dari aktivitas manusia pada ikan, ekosistem dan habitatnya. Habitat merupakan lingkungan/tempat tumbuhan satwa termasuk ikan yang dapat hidup dan berkembang secara alami. Kegiatan penangkapan, telah berpengaruh terhadap

39 19 ekosistem perairan laut. Untuk itu, perlu dilakukan pemahaman secara komprehensif tentang ekosistem dan perlu dilakukan pendekatan secara holistik untuk menilai dan mengelola sumber daya perikanan dan habitatnya. Pendekatan tersebut terkait dengan interaksi spesies ikan target penangkapan dengan faktorfaktor lingkungan perairan dan daya dukungnya. Interaksi yang terjadi antara ikan dan habitatnya serta dampak penangkapan ikan terhadap ekosistem perlu dilakukan penelitian (Zhang et al., 2009). Keberlanjutan pengelolaan dengan menggunakan ekosistem sebagai pendekatan dikembangkan secara pragmatis untuk melakukan penilaian terhadap sumber daya perikanan. Korea, dalam menerapkan pengelolaan dengan pendekatan ekosistem dilakukan berdasarkan 3 (tiga) unsur yaitu keanekaragaman hayati, keberlanjutan sumberdaya, dan kualitas lingkungan perairan sebagai habitat ikan target penangkapan. Zhang et al (2009), menyatakan bahwa tiga masalah dasar dan saling terkait sebagai ciri kegiatan perikanan modern adalah; (1) ancaman kelebihan pemanfaatan stok ikan, (2) kelebihan kapitalisasi atau kelebihan kapasitas armada penangkapan ikan, dan (3) konsekuensi negatif kegiatan perikanan terhadap ekosistem yang berkaitan dengan habitat. Berdasarkan 3 (tiga) hal tersebut, kegiatan penangkapan ikan secara modern, sudah mengarah kepada overfishing. Fauzi (2005) mengkategorikan overfishing dalam beberapa tipe, yaitu: 1) Recruitment overfishing, merupakan situasi populasi ikan dewasa ditangkap sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi untuk melakukan reproduksi untuk memperbaharui speciesnya. 2) Grouth overfishing, terjadi ketika stok yang ditangkap rata-rata ukurannya lebih kecil dari ukuran yang seharusnya untuk berproduksi pada tingkat yield per rekruit yang maksimum. 3) Economic overfishing, terjadi jika rasio biaya/harga terlalu besar atau jumlah input yang dibutuhkan lebih besar dari jumlah input yang dibutuhkan untuk berproduksi dari pada tingkat rente ekonomi yang maksimum (maximized economic rent)

40 20 4) Malthusian overfishing, terjadi manakala nelayan skala kecil yang biasanya miskin dan tidak memiliki alternatif pekerjaan memasuki industri perikanan namun menghadapi hasil tangkap yang menurun. Kondisi tersebut memicu destruksi ekosistem secara keseluruhan sebagai akibat kegiatan penangkapan yang dilakukan secara modern (ADB, 2004 vide Fauzi, 2005). Kelompok kerja ilmu manajemen di Negara Pasifik Utara telah menerapkan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan memasukkan unsur ekosistem yang dimulai pada tahun 2005 (Zhang et al, 2009). Selanjutnya dikatakan bahwa, negara-negara seperti Australia, Kanada, Korea dan Amerika Serikat, sudah memikirkan bagaimana menerapkan konsep pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap dengan tetap mempertimbangkan faktor-faktor ekosistem. Aktifitas nelayan sangat berpengaruh terhadap kondisi ekosistem perairan. Untuk itu secara komprehensif, pendekatan secara holistik perlu dilakukan untuk mengelola sumberdaya perikanan dan habitat yang terkait dengan ekosistem (Frid et al, 2004). Pertimbangan adanya interaksi ekologis spesies target dengan predator, pesaing, dan spesies mangsa, serta interaksi antara ikan dan habitat mereka, serta dampak pada proses penangkapan ikan itu sendiri perlu mendapat perhatian. Gasalla dan Wongtschowski (2004) menyatakan bahwa, analisis ekosistem telah terbukti sebagai alat untuk menyelidiki efek langsung dan tidak langsung dari kegiatan penangkapan ikan. Perlu diketahui bersama bahwa, secara sosial biaya sebagai akibat dari kerusakan lingkungan di wilayah pesisir sering harus ditanggung oleh masyarakat (Fauzi, 2005). Industri sering tidak peduli dengan biaya sosial yang ditimbulkan akibat kerusakan lingkungan. Hal lain yang berpengaruh adalah tingginya pertumbuhan penduduk, sehingga permintaan produk perikanan ikut meningkat. Menurut Fauzi (2005), kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan eksploitasi sumberdaya perikanan secara tidak bertanggungjawab dan tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, dan ini banyak terjadi di negara-negara berkembang.

41 21 Kondisi lingkungan perairan sangat berpengaruh terhadap pola kehidupan ikan secara umum. Keadaan lingkungan perairan yang berfluktuasi sangat berpengaruh terhadap periode migrasi ikan. Disamping itu, suhu juga berpengaruh terhadap aktifitas metabolisme dan penyebaran ikan (Gunarso, 1985 vide Nababan, 2008). Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya dalam suatu ekosistem, menjadi penting diketahui, karena Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikaruniai dengan ekosistem perairan tropis memiliki karakteristik dan dinamika sumberdaya perairan dan perikanan yang tinggi. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis (Adrianto et al, 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa interaksi antar komponen abiotik dan biotik dalam sebuah kesatuan fungsi dan proses ekosistem perairan menjadi salah satu komponen utama, karena interaksi dinamika antara komponen abiotik dan biotik dapat berpengaruh terhadap sumberdaya ikan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka dalam mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan, memasukkan unsur ekosistem perairan laut menjadi sangat penting sehingga pengelolaan sumberdaya dapat dilakukan secara berkelanjutan dan lestari. Apabila interaksi antar komponen ini diabaikan, maka keberlanjutan perikanan menjadi terancam. Gambar 3 menunjukan keterkaitan antar komponen dalam ekosistem perairan yang dapat mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan (Gambar 3), merupakan pendekatan keberlanjutan yang ditawarkan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan yang sudah ada (conventional management). Seperti diketahui bersama bahwa, proses yang terjadi pada conventional management digambarkan melalui garis tebal, sedangkan pengembangan dari pengelolaan konvensional menuju pengelolaan dengan menyertakan unsur ekosistem lingkungan perairan beserta dengan interaksinya, digambarkan melalui garis putus-putus. Pengelolaan perikanan secara konvensional hanya dipandang pemanfaatan sumberdaya ikan yang ada dan lebih didorong dan disesuaikan dengan permintaan pasar untuk tujuan ekonomi.

42 MARKETS Gear Impact Clues Risks CLIMATE OTHER ECOSYSTEM Protection Rehabilitation POLICY 22 Global change Impacts OTHER ACTIVITIES Impacts Fluctuations ABIOTIC Bottom Water Weather Topography Habitat Survival BIOTIC Target species Other species Living habitat Predator Preys Interactions Working conditions Demand Supply Pollution FISHING Capture Processing Restoration Removals Protection Depletion Management Development Information Lobbying Attraction INSTITUTIONS Conventions Regulations Financing Organization Process Competitions Bahaviour Votes VALUES Gambar 3 Interaksi dan proses antar komponen dalam keberlanjutan pengelolaan perikanan (Garcia, et al 2003) Dalam konteks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan, harus dipertimbangkan faktor dinamika dan pengaruh tingkat survival terhadap habitat yang menunjang kehidupan sumberdaya ikan itu sendiri (Adrianto et al, 2010). Nuitja (2010) menyatakan bahwa, setiap species ikan memiliki kondisi hidup yang ideal, bisa bekembang dengan subur dan dapat bertoleransi bila terjadi perubahan dari kondisi sebelumnya. Toleransi tersebut mencakup kondisi fisik dan kimia tertentu (Darmono 2010), dan kondisi tersebut diperlihatkan dengan tanda awal dari tingkat toleransi yang dimiliki yaitu tingkat toleransi tinggi/eury dan tingkat toleransi rendah/steno (Nuitja, 2010). Pada kondisi suhu optimum dari faktor abiotik terdapat sejumlah organisme yang dapat hidup secara normal (Darmono, 2010). Disamping itu, meski dua species yang sama hidup bersama pada kawasan yang sama, namun keinginan mereka akan berbeda terhadap makanan, hal ini menunjukkan toleransi masing-masing species terhadap beberapa faktor lingkungan berbeda. Daya toleransi tersebut juga bergantung terhadap kebutuhan untuk berkembang biak (breeding).

43 23 Darmono (2010) menyatakan bahwa dalam komponen ekosistem biotik terdapat bermacam-macam jenis dan species makhluk hidup. Dalam suatu sistem ekologi komponen biotik terdiri dari produsen dan konsumen, yang didasarkan atas bagaimana cara mereka memperoleh makanan atau unsur nutrisi organik yang diperlukan untuk mempertahankan siklus hidup. Sebagai konsumen, ekosistem biotik lebih bersifat heterotrof, dan nutrisi organik diperoleh dengan cara memakan produsen atau konsumen lain. Lebih lanjut Darmono (2010), menjabarkan beberapa jenis konsumen yang bergantung pada jenis pakannya adalah sebagai berikut: 1) Konsumen primer (herbivora); yaitu memakan langsung jenis tanaman atau jenis produsen lainnya. 2) Konsumen sekunder (karnivora); adalah pemakan komsumen tingkat pertama. 3) Konsumen tersier (konsumen tingkat tinggi); adalah pemakan konsumen sekunder (karnivora). 4) Omnivora (pemakan segala); adalah pemakan tanaman dan binatang 5) Detrivora (pemakan sisa-sisa); adalah pemakan bagian organisme yang mati dan mengubahnya menjadi partikel organik. Tipe jejaring makanan yang terjadi pada ekosistem laut, secara umum membentuk limas pakan atau lebih dikenal dengan food piramide (Nontji, 2005). Keadaan ini sebagai akibat dari perpindahan senyawa organik berlangsung dari bawah ke atas tidak efisien. Selanjutnya dikatakan bahwa, tingkat efisiensi perpindahan senyawa organik satu tingkat diatasnya diperkirakan hanya mencapai 10%, sementara 90% lainnya hilang sebagai panas. Nontji (2005) menyatakan bahwa dari 100% unit senyawa organik yang dihasilkan oleh fitoplankton, hanya 10% unit senyawa yang diserap oleh konsumen tingkat pertama, hal ini berlanjut seperti itu sampai dengan tingkat paling tinggi yaitu karnivor puncak (Gambar 4). Plankton, dalam siklus rantai makanan mempunyai peranan sangat penting dalam ekosistem laut dan sangat berpengaruh terhadap tingkat survival habitat yang menunjang kehidupan sumberdaya ikan (Nybakken 1992 dan Nontji 2007).

44 24 K3 K2 K1 H PP PP=Produsen primer (fitoplankton), H=Herbivora (zooplankton), K1=Karnivora pertama (ikanikan kecil), K2=Karnivora kedua (ikan-ikan yang lebih besar), K3=Karnivora ketiga (ikan besar) Gambar 4 Piramida makanan pada ekosistem laut (Nontji, 2005) Lebih lanjut, Nontji (2007) menyatakan bahwa, rantai makanan di laut berawal dari fitoplankton sebagai produsen pembentuk makanan malalui proses fotosintesis (klorofil-a) dan memiliki peranan penting terhadap ekosistem laut, yaitu sebagai makanan bagi hewan-hewan yang hidup di laut (Nybakken, 1988). Fitoplankton merupakan makanan bagi zooplankton yang bersifat herbivora. Zooplankton merupakan sumber makanan bagi ikan kecil, termasuk lemuru karena lemuru adalah plankton feeder dan seterusnya sampai pada tingkat predator paling puncak (Gambar 4). Produktivitas fitoplankton sangat bervariasi antara satu perairan dengan perairan lainnya, dan dari satu lokasi dengan lokasi lainnya pada satu luasan perairan yang sama. Produktifitas primer dari fitoplankton adalah melakukan fotosintesis. Proses fotosintesis ini sangat dipengaruhi oleh adanya cahaya, kondisi suhu perairan, salinitas, dan kandungan nutrient yang terdapat dalam lingkungan perairan. Berdasarkan hasil penelitian Jitts et al (1964), Kain and Fogg (1958), menunjukkan bahwa fitoplankton yang berada di laut mampu melakukan pembelahan diri sebanyak dua sampai lima kali dalam satu hari. Hal ini dapat terjadi dalam kondisi cahaya, suhu dan salinitas serta kandungan nutrient berada pada kondisi yang optimum. Berdasarkan hasil penelitian Pranowo (2004) dan Realino (2004), Selat Bali merupakan salah satu daerah upwelling. Upwelling yang terjadi di Selat Bali lebih mengarah ke selatan berdekatan dengan Samudera Hindia.

45 25 Predator tertinggi Predator Penyaring Herbivora Algae Gambar 5 Jejaring makanan di laut tropis (Nybakken, 1988) Proses upwelling ini terjadi secara kontinyu terutama pada periode musim timur, dimana pada saat itu kondisi suhu permukaan meningkat (Nuitja 2010). Sebagai daerah upwelling, Selat Bali merupakan perairan yang subur dan banyak terdapat plankton yang merupakan sumber makanan ikan lemuru. Suhu, terutama suhu permukaan laut, merupakan parameter oseanografi yang berpengaruh terhadap kehidupan ikan dan sumberdaya hayati laut lainnya (Simbolon et al 2009) dan pengaruh tersebut sangat dominan. Nybakken (1988) menyatakan, organisme laut sebagian besar bersifat poikilotermik, yaitu suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa suhu, merupakan faktor penting dalam pengaturan proses kehidupan dan penyebaran organisme laut (Nybakken 1988). Melalui penginderaan jauh dengan citra satelit, dapat diketahui bahwa hasil penginderaan terhadap suhu berasal dari radiasi balik pada permukaan laut (skin sea surface temperature), yaitu pada beberapa sentimeter di bawah permukaan laut merupakan suhu aktual dari kolom air (bulk sea surface temperature) (Simbolon et al 2009). Selanjutnya dijelaskan bahwa, dari pola penyebaran citra, dapat diketahui dan dilihat fenomena oseanografi (upwelling, front, dan pola

46 26 arus permukaan). Daerah ini merupakan perairan yang potensial sebagai daerah penangkapan (Gambar 6). Gambar 6 Cara kerja sistem penginderaan jauh (Simbolon et al, 2009) Salinitas, adalah jumlah berat garam yang terdapat dalam 1 (satu) liter air, yang dinyatakan dalam satuan (per mill) (Simbolon et al 2009). Di perairan samudera salinitas berkisar antara 34-35%o, sedangkan di daerah pantai lebih rendah, karena pengaruh aliran sungai (Nontji 2007). Selanjutnya dijelaskan bahwa sebaran salinitas di laut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai (Nontji 2007). Untuk menentukan kadar salinitas, secara kimia maupun fisika dapat dilakukan pengukuran dengan alat salinometer. Alat ini bekerja didasarkan pada daya hantar listrik. Semakin tinggi salinitas, maka daya hantar listriknya juga semakin besar (Nontji 2007). Kualitas perairan, terutama di daerah penangkapan perlu mendapat perhatian dan harus ditangani secara serius dan bersungguh-sungguh (Hutabarat dan Evans, 2008), karena berkaitan dengan bahan pencemar yang datang dari kegiatan di daratan. Pencemaran yang terjadi dikawasan pantai, dapat ditanggulangi dengan cepat, namun tidak demikian halnya apabila pencemaran terjadi di perairan laut. Secara ekstrim bahan pencemar dapat menjadi racun bagi tumbuhan renik, seperti

47 27 fitoplankton yang merupakan produsen utama dalam sistem rantai makanan hewan dan organisme yang hidup di perairan laut (Hutabarat dan Evans, 2008). Darmono (2010) menyatakan bahwa lautan merupakan sabuk pengaman kehidupan manusia. Namun dilain sisi lautan juga merupakan tempat pembuangan benda-benda asing, menerima bahan-bahan yang terbawa oleh aliran sungai dari daerah pertanian, pembuangan limbah rumah tangga dan masih banyak bahan limbah lainnya yang masuk ke laut. Gerlach (1981) dalam The International Oceanographic Commision (IOC), menyatakan bahwa pencemaran laut merupakan akibat dari perlakuan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut dikatakan, pencemaran adalah masuknya zat atau energi kedalam lingkungan laut (pesisir) yang menyebabkan efek merusak. Kerusakan tersebut berakibat pada kehidupan biota laut, mengganggu aktifitas laut termasuk penangkapan ikan. 2.4 Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) Sumberdaya ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) memegang peranan penting dan strategis di Selat Bali, antara lain: (1) merupakan mata pencaharian dan sumber pendapatan utama bagi masyarakat di kawasan pesisir Selat Bali, (2) Dapat menyerap tenaga kerja dalam rangka usaha industri, baik itu industri penangkapan maupun pengolahan, (3) menghidupkan jasa transportasi, untuk memperlancar proses pemasaran hasil tangkapan, (4) sebagai bahan baku industri pengolahan dan pengalengan ikan, (5) merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (Djamali 2007) Klasifikasi dan morfologi lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) Menurut Saanin (1984), lemuru merupakan kelompok ikan pelagis kecil. Klasifikasi ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) secara sistematika, adalah: kingdom: Animalia philum: Chordata ordo: Malacoterygii family: Clupeidae subphylum: Vertebrata genus: Sardinella

48 28 subkelas: Osteichtyes kelas: Pisces subgenus: Harengula species: Sardinella longiceps subkelas: Teleostei species: Sardinella lemuru Bleeker 1853 Gambar 7 Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) Sardinella longiceps dan Sardinella lemuru menurut Merta (1992) hanya memiliki perbedaan terutama pada panjang kepala. Dimana panjang kepala Sardinella longiceps berkisar antara 29-35% panjang baku sedangkan Sardinella lemuru memiliki panjang kepala 26-29% panjang baku. Penamaan Sardinella lemuru dilakukan oleh Wongratama (1980) yaitu dengan merevisi Famili Clupeidae menjadi tujuh Subfamili, salah satunya adalah Sardinella lemuru. Selanjutnya, oleh Gloerfelt-Tarp dan Kailola (1984) ikan lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali dan sekitarnya diberi nama Sardinella lemuru. Pemberian nama ini berdasarkan hasil revisi klasifikasi ikan-ikan lemuru yang dilakukan oleh Wongratama (1980). Berdasarkan revisi tersebut, maka ikan-ikan lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali dan sekitarnya diberi nama Sardinella lemuru Bleeker 1853 dan dicantumkan dalam FAO species catalogue (Whitehed, 1985 vide Merta, 1992) dan selanjutnya dalam tulisan ini yang dimaksud dengan ikan lemuru adalah Sardinella lemuru Bleeker Menurut Dwiponggo (1982) dan Nontji (2007) nama yang lazim digunakan oleh nelayan untuk lemuru di Selat Bali, didasarkan atas ukuran panjang ikan itu sendiri. Penamaan tersebut yaitu sempenit untuk ikan lemuru dengan ukuran

49 29 panjang 10 12,5 cm; protolan untuk panjang 13 14,5 cm; lemuru untuk ukuran panjang 15 17,5 cm dan lemuru kucing untuk ukuran panjang 17,9 19 cm. Dalam literatur Inggris, ikan lemuru biasa disebut dengan sardine oil karena ikan ini banyak mengandung lemak (Nontji, 2007), terutama pada saat menjelang memijah (Gambar 7) Habitat, daerah penyebaran dan makanan utama Ikan lemuru, tersebar di Lautan Hindia bagian timur, seperti Phuket, di pantai sebelah selatan Provinsi Jawa Timur dan Selat Bali, Australia sebelah barat, laut Jawa, Filipina, Hongkong serta bagian selatan Laut Jepang (Whitehead 1995) bahkan sampai ke India hingga pantai timur Afrika (Chan 1965) vide Burhanudin dan Praseno (1982). Lemuru (Bali Sardinella), yang hidup di Selat Bali adalah jenis Sardinella lemuru Bleeker 1853 sebagaimana sudah dijelaskan pada uraian terdahulu dan jenis ini lebih banyak terdapat dan terkonsentrasi di Selat Bali. Lemuru biasanya hidup secara bergerombol, badannya langsing dengan warna biru kehijau-hijauan pada bagian punggung dan keperak-perakan pada bagian bawah, dan sisik ikan ini mudah terlepas (Nontji, 2007). Di Selat Bali kehadiran lemuru secara umum dapat dijumpai dan tertangkap oleh nelayan pada bulan September Oktober lebih banyak tertangkap lemuru muda (sempenit), dan mencapai puncaknya pada bulan Desember Januari dengan ukuran yang lebih besar. Lemuru dengan ukuran panjang 17,9 19 cm (lemuru kucing) banyak ditemukan pada bulan Februari Maret. Setelah itu, lemuru seakan hilang dari habitatnya (Nontji, 2007). Sampai sekarang belum diketahui atau belum terungkap hilangnya lemuru secara berkala di Selat Bali. Menurut Nontji (2007), keberadaan ikan lemuru di Selat Bali, dan pada waktu-waktu tertentu menghilang secara berkala, belum diketahui secara ilmiah. Kemungkinan yang ada dan makin mendapat dukungan, bahwa diluar musimnya, ikan lemuru beruaya ke lapisan perairan yang lebih dalam, namun tidak dapat terdeteksi dengan baik dan luput dari penangkapan. Namun, saat ini kegiatan penangkapan ikan lemuru di Selat Bali menunjukan gejala tangkap lebih (Nontji, 2007; Zulbarnaini, 2002).

50 30 Menurut kajian dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Burhanudin dan Praseno (1982), bahwa dari hasil pemeriksaan isi perut, ikan lemuru termasuk pemakan plankton (zooplankton dan fitoplankton). Perbandingannya yaitu: zooplankton berkisar antara 90,52 95,54%, sedangkan fitoplankton berkisar antara 4,46 9,48% (Burhanudin dan Praseno, 1982). Dhulked (1962) menyatakan bahwa Sardinella longiceps dewasa adalah pemakan fitoplankton dan diduga bahwa ada perubahan pola dan kebiasaan makan setelah ikan menjadi besar. 2.5 Sistem Dinamik Sistem, merupakan keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek, dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai tujuan (Muhammadi et al, 2001). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, secara keseluruhan dapat diartikan sebagai penjumlahan (aggregate), dimana penjumlahan tersebut terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan. Di dalam sistem dinamik terjadi interaksi, yang dimaksud dengan interaksi disini adalah pengikat atau penghubung antar unsur yang memberi bentuk/struktur kepada obyek (Muhammadi et al, 2001). Selanjutnya, bentuk/struktur tersebut dapat membedakan dengan obyek lain dan dapat mempengaruhi perilaku obyek. Sebagai contoh, struktur organisasi merupakan pengikat dari bagian produksi, pemasaran, keuangan dan personalia pada sebuah perusahaan. Struktur organisasi memberi bentuk dan membedakan antara satu organisasi dan organisasi lainnya (Muhammadi et al, 2001). Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian terdahulu, dalam sistem dinamis terjadi interaksi, disamping itu juga terdapat unsur. Pengertian unsur disini adalah benda, baik konkrit atau abstrak yang menyusun obyek sistem. Fungsi unsur ditentukan oleh unjuk kerja dari sistem. Apabila salah satu dari fungsi unsur terganggu, maka akan mempengaruhi unsur lain atau unsur lain akan terganggu. Unsur yang menyusun sistem ini disebut dengan bagian sistem atau sub-sistem (Muhammadi et al, 2001). Sistem dinamik, merupakan sebuah metode dalam me-model-kan dan menstimulasikan dinamika sistem untuk menggambarkan isu-isu pada dunia

51 31 nyata. Sistem dinamik dikembangkan di Massachusetts Institute of Technology (MIT) oleh Forrester. Sistem dinamik pada awalnya berkembang dalam disiplin ilmu management untuk mempelajari bagaimana kebijakan-kebijakan dalam perusahaan dapat menciptakan sukses atau gagal. Forrester menyadari bahwa Sistem dinamik tidak hanya dapat digunakan dalam ilmu management, melainkan dapat diterapkan dalam sistem sosial yang lebih besar. Hubungan timbal balik dalam sistem dinamik, dikenal non-linearity dan feedback loops, serta interaksi yang terjadi satu sama lainnya. Non-linearity, merupakan sebuah penyanggahan terhadap pemikiran kebanyakan orang tentang sesuatu yang menyebabkan sesuatu yang lain. Kebanyakan orang berpikir linear, dan jarang menyadari adanya hubungan timbal balik yang menunjukkan perubahan diberbagai hal seiring dengan perubahan waktu. Berpikir linear, adalah akan ada akhir dari sebuah isu. Alur pemikiran yang demikian disebut Open-Loop Impression dengan ilustrasi sebagai berikut: Informasi tentang suatu masalah Tindakan Hasil Gambar 8 Sistem dinamis dengan open loop Sementara itu, dalam sistem dinamik hasil yang ditimbulkan oleh sebuah tindakan akan selalu berpeluang menjadi penyebab bagi masalah lain yang akan timbul. Hal tersebut ditunjukkan dengan Closed-Loop berikut: Gambar 9 Sistem dinamis dengan closed loop Beberapa alasan yang mendorong para peneliti untuk menggunakan sistem dinamik dalam meneliti berbagai masalah adalah:

52 32 1. Sistem dinamik dapat digunakan untuk menyederhanakan model dari sistem yang kompleks sehingga dapat membantu untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam terhadap sistem yang sebenarnya, 2. Sistem dinamik dapat mendorong manusia dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi kurangnya model yang berhubungan dengan kejiwaan, 3. Sistem dinamik sangat relevan dengan masalah-masalah dinamik, berhubungan dengan perilaku sistem yang luas, dan bagaimana pengaruhnya terhadap perubahan dimasa yang akan datang. Sistem dinamik juga memiliki prosedur yang sistematik, yaitu adanya diagram pengaruh yang dapat mempermudah komunikasi, dan dapat diaplikasikan dalam lingkup masalah yang lebih besar. Simulasi sistem dinamik menurut Muhammadi (2001), adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Tujuan dalam melakukan simulasi untuk memahami gejala atau proses tersebut, mencoba membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Model simulasi adalah suatu teknik hubungan sebab akibat dari suatu sistem yang ditangkap dalam sebuah model komputer untuk menghasilkan beberapa perilaku yang sesuai dengan sistem nyata (Muhammadi, 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa, simulasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1 Penyusunan konsep, yaitu gejala atau proses yang akan ditirukan perlu dipahami terlebih dahulu, dengan menentukan unsur-unsur yang berperan dalam gejala atau proses tersebut. 2 Pembuatan dan perumusan model: adalah konsep yang sudah dibuat pada tahap awal, dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian gambar atau rumus. 3 Melakukan simulasi dengan menggunakan model yang sudah dibuat: maksudnya adalah, untuk model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, selanjutnya dilakukan perhitungan dengan mengetahui perilaku gejala atau proses. Sedangkan dalam model kualitatif,

53 33 simulasi dilakukan dengan memasukkan data atau informasi dikumpulkan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses. yang 4 Melakukan evaluasi: bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Lebih lanjut Muhammadi (2001) mengatakan bahwa, model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau penyimpangan yang terjadi kecil. Selanjutnya hasil simulasi digunakan untuk mengetahui kecenderungan gejala atau proses di masa datang. Program dinamik dengan bantuan program computer digunakan untuk mengetahui perilaku model yang dibuat. Dalam program dinamik terdapat simbol-simbol untuk mengetahui secara jelas diagram alir yang dibuat yaitu: 1. Stocks: mewakili pokok persoalan yang menjadi perhatian untuk menggambarkan peubah keadaan pada suatu waktu tertentu. 2. Konstanta: suatu besaran/nilai ketetapan tertentu dari masing-masing komponen. 3. Converter: fungsinya mengubah input menjadi output, 4. Aliran (Flow): simbol yang selalu dihubungkan dengan stocks, sebagai proses aliran suatu benda yang dapat diamati dan diukur penambahan dan pengurangannya dalam stocks. 5. Conector: adalah menghubungkan elemen-elemen dari suatu model. Secara detail, simbol-simbol tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Tabel 1 Simbol-simbol dalam diagram alir program dinamik No. Simbol Keterangan 1 Stocks 2 Convertor 3 Aliran (Flow) 4 Sumber dan Lubuk (sink) 5 Conector

54 34 Review terhadap metode yang digunakan dalam penelitian ini, sebelumnya pernah digunakan oleh beberapa peneliti terdahulu sebagai berikut: Tabel 2 Daftar peneliti terdahulu yang menggunakan metode yang sama dengan penelitian ini Metodologi Tahun Nama peneliti Judul penelitian Lokasi Analisis faktor oseanografi dan klimatologi serta pengaruhnya terhadap hasil tangkapan ikan, menggunakan analisis regresi Khairul Amri Kajian kesuburan perairan pada tiga kondisi moda dwikutub Samudera Hindia dengan hasil tangkapan ikan pelagis di perairan Aceh, Sobolga, Air Bangis, Bungus, Painan, dan Bengkulu Barat Sumatera Sartimbul et al. Variation in chrolophil-a concentration and the impact on sardinella lemuru cathes in Bali strait Indonesia Selat Bali Muhamad Ali Yahya Studi tentang perikanan ikan terbang di Selat Makassar melalui pendekatan dinamika biofisik, musim dan daerah penangkapan Makassar- Sulawesi Selatan Khairul Amri Analisis hubungan kondisi oseanografi dengan fluktuasi hasil tangkapan ikan pelagis di Selat Sunda Selat Sunda 5. Setyohadi Pola distribusi suhu permukaan laut dihubungkan dengan kepadatan dan sebaran ikan lemuru (Sardinella lemuru) hasil tangkapan purse seine di Selat Bali Selat Bali

55 35 Metodologi Tahun Nama peneliti Judul penelitian Lokasi Penentuan MSY Alfi Syahri RM Pengembangan Gorontalo Utara perikanan tangkap di Kabupaten Gorontalo Utara 2012 Metode skoring Khairul Amri 1. Siti Aminah Kajian kesuburan perairan pada tiga kondisi moda dwikutub Samudera Hindia dengan hasil tangkapan ikan pelagis di perairan Barat Sumatera Analisis pemanfaatan sumberdaya ikan kembung (Rastrelliger spp) di perairan Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan Aceh, Sobolga, Air Bangis, Bungus, Painan, dan Bengkulu Tanah Laut Kalimantan Selatan Muslim Tadjuddah Model prediksi pemanfaatan sumberdaya ikan kerapu berkelanjutan di taman nasional wakatobi Sulawesi Tenggara Wakatobi- Sulawesi Tenggara Aplikasi sistem dinamik Sutomo 1. Marganov Model management perikanan tangkap di Palabuhanratu Model pengendalian pencemaran perairan di danau maninjau Sumatera Barat Palabuhanratu Jawa Barat Sumatera Barat Bambang Heru Purnomo Rancang bangun model prediksi keberlanjutan agroindustri perikanan tangkap Pantura Jawa Timur

56 36 Metodologi Tahun Nama peneliti Judul penelitian Lokasi Aplikasi sistem dinamik (lanjutan...) Muslim Tadjuddah Model prediksi pemanfaatan sumberdaya ikan kerapu berkelanjutan di taman nasional wakatobi Sulawesi Tenggara Wakatobi- Sulawesi Tenggara

57 37 3 METODOLOGI UMUM Penjelasan dalam metodologi umum, menggambarkan secara umum tentang waktu, tempat penelitian, metode yang digunakan. Secara spesifik sesuai dengan masing-masing kriteria yang akan diteliti dan diuji diuraikan secara mendalam pada masing-masing bab terkait. 3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian Penelitian ini dilakukan selama 12 (dua belas) bulan, dari bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Februari 2012 yang meliputi; penyusunan rencana penelitian, survei lapangan, pengambilan dan pengumpulan data lapangan, pengolahan data, analisis data, dan penulisan disertasi Tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Selat Bali, yaitu di Unit Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar, Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dan di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Alasan pemilihan lokasi, karena pusat pendaratan ikan terbesar berada pada dua tempat tersebut. Pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru sangat intensif dilakukan oleh nelayan setempat baik tradisional maupun moderen (Gambar 10). Muncar Lokasi Penelitian PPN Pangambengan Lokasi Penelitian Gambar 10 Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

58 Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah metode survei melalui pengamatan dan pengukuran langsung di lokasi penelitian, sesuai dengan keperluan data yang dibutuhkan. 3.3 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data, dilakukan dengan teknik wawancara secara langsung dan mendalam (deep interview) terhadap responden terpilih dengan alat bantu kuisioner yang bersifat semi terbuka. Pemilihan responden dilakukan berdasarkan pertimbangan ilmiah dan atas dasar kemampuan responden dalam memhami tentang permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru dengan pendekatan ekosistem. Responden yang diwawancarai adalah dari kalangan birokrat, ilmuan, pelaku usaha, nelayan dan stakeholders lainnya. Jenis data yang dibutuhkan adalah: 1. Data primer, diperoleh dari wawancara langsung secara terarah dengan responden, pengamatan dan pengukuran langsung terhadap kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru dan parameter lingkungan perairan Selat Bali selama penelitian dilakukan, 2. Data sekunder, yaitu mencakup; (1) Data hasil tangkapan ikan lemuru di lokasi penelitian selama kurun waktu 6 (enam) tahun, mulai tahun Data hasil tangkapan ini diperlukan untuk mengetahui tingkat pengusahaan penangkapan ikan lemuru di Selat Bali, (2) Data jenis alat tangkap yang digunakan, untuk mengetahui jumlah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan target, (3) Teknologi penangkapan, (4) Jumlah nelayan dan tenaga kerja (ABK) selama kurun waktu 6 (enam) tahun, (5) Data oseanografi (sebaran klorophil-a, suhu permukaan laut) dan klimatologi (hujan, angin dan arus) untuk mengetahui rentang waktu keberadaan ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di kawasan Selat Bali, dan pengaruhnya terhadap hasil tangkapan (6) Kondisi sosial ekonomi. Masing-masing data sekunder diperoleh dari instansi terkait yang berkompeten baik ditingkat pusat yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, daerah dan di lokasi penelitian. Disamping itu juga perlu diketahui peran serta

59 39 lembaga yang ada, dalam menunjang pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru, dan data tentang peraturan perundang-undangan yang ada dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. 3.4 Metode Analisis Data Analisis faktor oseanografi dan klimatologi Faktor oseanografi dan klimatologi yang terjadi di lingkungan perairan, sangat berperan dalam menunjang keberlangsungan hidup sumberdaya ikan target penangkapan dan biota lainnya. 1) Analisis faktor oseanografi dan klimatologi Faktor-faktor oseanografi yang akan dianalisis, adalah yang berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya lemuru. Faktor oseanografi tersebut mencakup analisis sebaran klorofil-a, analisis sebaran suhu permukaan laut, dan arus. Data klimatologi yaitu berkaitan dengan hujan dan angin. Analisis faktor klimatologi dilakukan secara deskriptif kuantitatif, yaitu data yang diperoleh selama kurun waktu lima (5) tahun yaitu dari Data tersebut adalah data angin, curah hujan, dan arus. Data time series curah hujan, diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kabupaten Banyuwangi, karena cakupannya lebih luas bila dibandingkan dengan Jembrana. Sedangkan untuk data kondisi angin dan arus di wilayah Selat Bali diperoleh dari Badan Meteorologi dan Klimatologi (BMK) Maritim Surabaya. Secara spasial, kondisi faktor oseanografi dan klimatologi ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. 2) Analisis kualitas perairan Pengambilan sampel air laut untuk mengetahui unsur-unsur kimia air yang dapat mempengaruhi kualitas perairan Selat Bali. Unsur-unsur kimia air tersebut adalah kandungan nitrit, posfat. Unsur-unsur tersebut sangat berpengaruh terhadap kelimpahan dan sebaran klorofil-a. Pengambilan sampel air laut dilakukan pada titik lokasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan, selanjutnya dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) ditentukan pada koordinat berapa jaring diturunkan.

60 40 Tabel 3 Klasifikasi baku mutu air sesuai peruntukannya sesuai SK Menteri Lingkungan Hidup no. 115 tahun 2003 Kelas Mutu Skor Penjelasan A Baik sekali 0 Memenuhi baku mutu B Baik 1 s/d -10 Cemar ringan C Sedang -11 s/d -30 Cemar sedang D Buruk -30 Cemar berat Sumber: Kementerian lingkungan hidup (2003) Analisis sumberdaya lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) Analisis dilakukan untuk mengetahui seberapa tinggi tekanan terhadap penangkapan ikan lemuru. Untuk mengetahui produktifitas penangkapan ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali, dilakukan analisis Catch Per Unit Effort (CPUE). Analisis ini dilakukan untuk melihat trend terhadap effort yang dilakukan oleh nelayan selama kurun waktu 6 (enam) tahun. Data yang digunakan adalah data time series dari statistik perikanan Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Berdasarkan trend tersebut akan terlihat apakah pemanfaaan sumberdaya ikan lemuru mendekati atau sudah over fishing atau masih berada pada pemanfaatan optimum. Trend CPUE ini adalah sebagai indikator untuk melakukan pengendalian upaya tangkap yang dilakukan oleh nelayan dan pelaku usaha, agar pengaturan jumlah alat tangkap dapat dilakukan Analisis seleksi jenis alat tangkap dan teknologi yang tepat Menentukan teknologi penangkapan ikan yang tepat guna, perlu dilakukan seleksi yang didasarkan kepada aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi, serta ekosistem sehingga penggunaan alat tangkap tersebut sesuai dengan kondisi perairan dan ikan target penangkapan yaitu lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853). Berdasarkan data yang tercantum dalam buku laporan tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi bahwa, alat tangkap yang dominan dipakai oleh nelayan adalah purse seine. Disamping itu masih ada alat tangkap lainnya seperti gillnet, payang, pukat pantai, dan bagan. Untuk mencapai tujuan ini, dilakukan analisis terhadap teknologi yang mereka gunakan, dan

61 41 ukuran mata jaring. Apakah teknologi dan ukuran mata jaring yang digunakan selama ini memberikan dampak negatif terhadap kondisi perairan sebagai habitat ikan target penangkapan. Analisis dilakukan dengan metode skoring Analisis kondisi sosial ekonomi nelayan dan peran kelembagaan Analisis kondisi sosial nelayan perikanan lemuru yang ada di Provinsi Jawa Timur dan di Provinsi Bali, dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan melihat apakah ada perbedaan tingkat sosial. Disamping itu juga dilihat bagaimana sistem bagi hasil antara ABK dan pemilik kapal, tingkat kekerabatan, penanganan konflik serta melihat kelembagaan atau organisasi nelayan yang ada di dua Provinsi. Secara ekonomi, dilihat kebutuhan biaya untuk melaut, harga ikan hasil tangkapan serta keuntungan yang diperoleh. Hasil analisis, ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik Analisis dinamik keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali Metode yang digunakan adalah analisis faktor dinamik, yaitu melihat interaksi secara biologi, ekologi, dan ekonomi, dimana effort sebagai faktor input. Keterkaitan faktor-faktor tersebut merupakan sebuah causal loop yang menggambarkan hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha perikanan lemuru di Selat Bali. Rancangan causal loop dibuat untuk melihat sejauh mana faktor-faktor tersebut saling berpengaruh. Parameter yang dimasukkan ke dalam analisis dinamik merupakan bagian dari keempat analisis sebelumnya. Parameter yang dimasukkan adalah parameter yang dapat dikendalikan oleh manusia, sementara parameter yang tidak dapat dikendalikan dan sifatnya merupakan proses alam tidak dimasukkan ke dalam sistem analisis, karena bersifat black box (kotak gelap). Hasil analisis secara dinamik digunakan untuk menyusun model keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru yang mengarah kepada kelestarian sumberdaya yang terdapat dalam ekosistem perairan Selat Bali. Model ini dapat dijadikan sebagai usulan kebijakan yang akan dibuat oleh pihak yang berkompeten, dalam hal ini adalah Kementerian Kalautan dan Perikanan dan

62 42 instansi terkait lainnya, serta pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali.

63 43 4 KERAGAAN DAERAH PENELITIAN 4.1 Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur Kabupaten Banyuwangi, merupakan wilayah yang terletak di bagian timur Provinsi Jawa Timur. Keragaan wilayah Kabupaten Banyuwangi dapat dijabarkan sebagai berikut: Letak geografis Kabupaten Banyuwangi secara geografis terletak pada koordinat 7 43' LS dan ' ' BT. Batas-batas wilayah Kabupaten Banyuwangi adalah, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah utara dengan Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Bondowoso, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso. Kecamatan Muncar, terletak di sebelah timur dan berdekatan dengan Selat Bali, yaitu berada pada koordinat 08 10'-08 50'LS dan ' ' BT. Terdapat sebuah teluk yaitu Teluk Pang-Pang. Lokasi penelitian Gambar 11 Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi, 2011) Luas wilayah Luas wilayah Kabupaten Banyuwangi adalah 5.782,50 km 2, dengan pembagian wilayah administrasi yaitu 24 kecamatan dan 190 desa serta 27

64 44 kelurahan (Dinas Perikanan Kabupaten Banyuwangi, 2009). Sebagian wilayah masih berupa hutan, dengan luas mencapai hektar (38,59%), areal persawahan hektar (11,58%), perkebunan seluas hektar (7,84%). Lahan pemukiman seluas hektar (21,66%), dan selebihnya digunakan untuk fasilitas umum (BPS Kabupaten Banyuwangi, 2010). Secara geografis Kabupaten Banyuwangi terletak di ujung timur Pulau Jawa, yaitu pada ketinggian meter di atas permukaan laut. Daerah ini terbagi atas dataran tinggi berupa pegunungan, merupakan daerah penghasil berbagai produk perkebunan. Dataran medium dan rendah dengan berbagai potensi antara lain produksi tanaman pertanian, serta daerah sekitar garis pantai yang membujur dari arah Utara ke Selatan yang merupakan daerah penghasil berbagai produk perikanan dan hasil laut Topografi dan jenis tanah Umumnya daerah bagian Selatan, Barat dan Utara merupakan daerah pegunungan, sehingga daerah ini mempunyai tingkat kemiringan tanah rata rata mencapai 40 dan curah hujan rata rata lebih tinggi. Daerah dataran, terbentang dari bagian selatan hingga utara. Daerah ini banyak dialiri sungai yang bermanfaat mengairi hamparan sawah milik masyarakat. Selain ketersediaan hamparan sawah yang cukup luas dan potensial, kontribusi Daerah Aliran Sungai (DAS) juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkat kesuburan tanah. Kabupaten Banyuwangi memiliki 35 DAS, dan sepanjang tahun cukup untuk mengairi hamparan sawah yang ada Iklim Sepanjang tahun 2009 rata-rata kelembaban udara di Kabupaten Banyuwangi diperkirakan mendekati 79%. Kelembaban terendah terjadi pada bulan November dengan rata rata kelembaban udara sebesar 75%. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan besaran 85 persen. Rata rata curah hujan selama tahun 2009 mencapai 28,6 mm 299,3 mm terjadi pada bulan Januari sampai dengan bulan Juni. Sedang bulan Juli sampai dengan bulan Desember hanya mencapai 25,1 mm 163,7 mm.

65 45 Semester pertama pada tahun 2009, jumlah hari hujan relatif lebih banyak dan diikuti dengan curah hujan yang lebih besar. Pada semester kedua pada tahun 2009, jumlah hari hujan lebih sedikit dan diikuti dengan curah hujan yang lebih rendah. Jumlah hari hujan dan intensitas curah hujan biasanya digunakan untuk mengidentifikasi keadaan iklim. Suhu, digunakan sebagai ukuran atau tingkat kedinginan suatu daerah. Apabila interpretasinya mendekati angka nol, maka daerah tersebut akan semakin dingin, demikian pula sebaliknya. Rata rata suhu udara terendah selama tahun 2009 terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 25,7 C, sedangkan suhu udara tertinggi terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar 28,6 C. Sedangkan pada bulan lainnya rata rata suhu udara berkisar 26 C Penduduk Jumlah penduduk di Kabupaten Banyuwangi untuk tahun 2010 adalah jiwa. Sebesar orang atau 1,89% mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan (BPS 2010) Potensi kelautan dan perikanan Pada tahun 2010 hasil tangkapan ikan laut dan nilai yang diperoleh mengalami penurunan. Hasil tangkapan menurun sebesar 43,03 % (Dinas Perikanan Kabupaten Banyuwangi 2010). Hasil tangkapan tersebut masih relatif cukup kecil bila dihitung terhadap ketersediaan ikan dan biota laut yang ada. Nelayan di Kabupaten ini umumnya masih menggunakan cara-cara tradisional. Meski demikian, produksi yang diperoleh para nelayan Kabupaten Banyuwangi sudah bisa dikatagorikan sebagai jumlah produksi yang besar. Bahkan bila dihitung nilainya dalam setahun bisa mencapai nominal miliaran rupiah. Selain hasil tangkapan ikan dan biota laut yang begitu melimpah ruah, jenis ikan air tawar juga mempunyai produksi yang cukup tinggi. Produksi ikan air tawar ini umumnya menyebar disetiap kecamatan. Upaya positif untuk meningkatkan pemanfaatan potensi kelautan di Kabupaten Banyuwangi sudah dilakukan, mengingat hampir sepanjang garis pantai yang ada, merupakan daerah potensi perikanan laut dan biota lain. Namun hal yang perlu diingat adalah bagaimana pengelolaan yang baik sehingga memberikan kontribusi optimal bagi kesejahteraan masyarakat setempat.

66 Jumlah nelayan dan perkembangan produksi perikanan a. Jumlah nelayan Sebagian besar penduduk wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi bermata pencaharian sebagai nelayan. Jumlah dan penyebaran nelayan di Kabupaten Banyuwangi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Banyuwangi tahun No Kecamatan Muncar Pesanggaran Purwoharjo Wongsorejo Kalipuro Banyuwangi Kabat Rogojampi Tegaldlimo Jumlah Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi (2011) Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa jumlah nelayan pada tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 22,923 orang atau 54.67%. Penurunan jumlah nelayan diduga karena pengaruh cuaca yang terjadi sepanjang tahun 2010, sehingga sebagaian besar nelayan memilih untuk pindah profesi menjadi petani dan pembuat batu bata. b. Perkembangan produksi hasil perikanan laut Perkembangan produksi perikanan laut di Kabupaten Banyuwangi, berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Banyuwangi selama kurun waktu tahun 2009 dan 2010 terjadi penurunan yang sangat signifikan yaitu ,702 ton atau 43,03%. Perkembangan produksi hasil perikanan laut dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa produksi perikanan laut lebih banyak dihasilkan oleh Kecamatan Muncar sebesar 94,81% dari jumlah produksi perikanan Kabupaten banyuwangi. Seperti kita ketahui bersama bahwa

67 47 Kecamatan Muncar merupakan sentra produksi perikanan laut terbesar di Kabupaten Banyuwangi dan Provinsi Jawa Timur. perkembangan hasil perikanan selama tahun Tabel 5 memperlihatkan Tabel 5 Perkembangan jumlah hasil perikanan di Kabupaten banyuwangi tahun No Kecamatan 2009 Rp 2010 Rp 1 Muncar Pesanggaran Purwoharjo Wongsorejo Kalipuro Banyuwangi Kabat Rogojampi Tegaldlimo Siliragung Bangorejo , Jumlah Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi (2011) Jumlah armada dan alat tangkap Jumlah armada perikanan laut di Kabupaten banyuwangi terdiri dari perahu motor tempel (PMT), perahu tanpa motor (PTM), dan tanpa perahu (TP). Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan dilaut dapat dilihat pada Tabel 6. Hampir setiap kecamatan di Kabupaten Banyuwangi mempunyai armada penangkapan yang digunakan untuk mencari atau melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 6, terlihat bahwa jumlah armada penangkapan dengan perahu motor tempel di Kecamatan Muncar lebih tinggi dari jumlah armada lainnya. Tahun 2009, jumlah perahu motor tempel di Kecamatan Muncar tercatat sebanyak 4,454 buah, namun pada tahun 2010 terjadi penurunan sebesar 850 buah (19,08%), hal ini terjadi karena perubahan cuaca dan penurunan hasil tangkapan, sehingga nelayan memilih tidak melaut.

68 48 Tabel 6 Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kabupatena banyuwangi tahun No Kecamatan PTM PMT TP PTM PMT TP 1 Muncar Pesanggaran Purwoharjo Wongsorejo Kalipuro Banyuwangi Kabat Rogojampi Tegaldlimo Siliragung Bangorejo Jumlah 183, , ,00 298, , ,00 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi (2011) Perkembangan jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Banyuwangi, terutama alat tangkap purse seine cenderung stabil, hal ini dikarenakan pada kurun waktu dua tahun tersebut produksi ikan lemuru menurun, bahkan tidak ada. Jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di kabupaten Banyuwangi dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2010, dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap di Kabupaten Banyuwangi tahun No Jenis alat tangkap Purse seine Payang Gillnet Rawai Pancing lainnya Bagan Lain-lain Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi (2011) 4.2 Kabupaten Jembrana Provinsi Bali Kabupaten Jembrana merupakan wilayah yang terdapat di sebelah barat Provinsi Bali. Kondisi topografi wilayah Kabupaten Jembrana dapat dijabarkan sebagai berikut :

69 Letak geografis Letak Kabupaten Jembrana adalah pada belahan Barat Pulau Bali pada 8 09'30" 8 28'02"LS dan '53" '38" BT. mempunyai luas wilayah 84,180 hektar serta garis pantai sebagai wilayah pesisir sepanjang 83 kilometer terbentang dari Desa Pengeragoan sampai di Kelurahan Gilimanuk. Sedangkan luas wilayah laut yang menjadi tanggung jawab pengelolaan diperkirakan luasnya mencapai 604,24 kilometer persegi (Gambar 12). Lokasi penelitian Gambar 12 Peta wilayah Kabupaten Jembrana (Dinas PKK, 2011) Luas wilayah Wilayah Kabupaten Jembrana terdiri dari 5 kecamatan, 42 desa dan 9 kelurahan, dimana 24 desa diantaranya merupakan desa pesisir menjadi binaan Bidang Perikanan dan Kelautan karena sebagian penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan, petani ikan, pedagang dan pengolah ikan. Desadesa pesisir di Kabupaten Jembrana adalah Kelurahan Gilimanuk; Desa Melaya, Candikusuma dan Tuwed yang berada di Kecamatan Melaya; Desa Baluk, Cupel, Pengambengan, Tegal Badeng Barat, Tegal Badeng Timur, Banyubiru yang berada di wilayah Kecamatan Negara; Desa Perancak, Air Kuning dan Yeh

70 50 Kuning. Wilayah Kecamatan Jembrana; Desa Delodberawah, Penyaringan, Yehembang, Yeh Sumbul dan Yehembang Kangin yang berada di Wilayah Kecamatan Mendoyo. Desa Medewi, Pekutatan, Gumbrih, Pangyangan, Pengeragoan dan Pulukan di wilayah Kecamatan Pekutatan Potensi kelautan dan perikanan Pembangunan Perikanan budidaya di Kabupaten Jembrana meliputi budidaya ikan air tawar, budidaya laut, budidaya air payau (tambak) termasuk pembenihan ikan dan udang. Pemilihan jenis usaha budidaya yang diterapkan dimasing-masing wilayah disesuaikan dengan potensi yang ada. Budidaya air tawar terdapat di kecamatan Mendoyo, Pekutatan dan Melaya. Budidaya laut terdapat di kecamatan Melaya dan Negara dengan usaha budidaya kerang mutiara dan budidaya rumput laut. Untuk budidaya air payau (tambak) terdapat di kecamatan Pekutatan, Mendoyo, Jembrana, Negara dan Melaya dengan komoditi udang dan bandeng. Selanjutnya kegiatan perikanan tangkap meliputi 3 bagian, yaitu tradisional, menengah dan moderen. Potensi utama kegiatan penangkapan adalah penangkapan dengan alat tangkap purse seine dengan hasil tangkapan utama berupa ikan lemuru yang terkonsentrasi di Selat Bali. Secara umum potensi perikanan Kabupaten Jembrana dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Perikanan Laut : Penangkapan : ton/thn. Budidaya : Ha. 2. Perikanan Darat : Tambak : 1.129,22 Ha. Kolam : 100,00 Ha. Minapadi : 652,00 Ha Jumlah nelayan dan perkembangan hasil tangkapan ikan laut Jumlah nelayan secara keseluruhan di Kabupaten Jembrana untuk tahun 2009 dan 2010 terjadi penurunan. Jumlah nelayan paling banyak berada di

71 51 Kecamatan Negara yaitu orang. Secara rinci perkembangan jumlah nelayan untuk tahun dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Perkembangan jumlah nelayan di kabupaten Jembrana tahun No Tahun Kategori Nelayan Utama Sambilan Jumlah Sumber: Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan (2011) Perkembangan hasil perikanan di Kabupaten Jembrana dalam 5 (lima) tahun terakhir seperti disajikan dalam Tabel 9. Perkembangan hasil perikanan mencakup seluruh kegiatan perikanan yang ada, mulai dari penangkapan di laut sampai dengan hasil perikanan budidaya. Tabel 9 Perkembangan jumlah hasil perikanan di Kabupaten Jembrana tahun Sumber: Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan kabupaten Jembrana (2011) Jumlah armada dan alat tangkap Armada penangkapan ikan di Kabupaten Jembrana, didominasi oleh perahu motor tempel dan perahu tanpa motor (jukung). Seperti perahu yang mengoperasikan alat tangkap purse seine (sleret) masih menggunakan mesin tempel, namun satu perahu menggunakan mesin tempel sebanyak 4 5 buah berukuran 30 PK. Keragaan armada penangkapan dapat dilihat pada Tabel 10.

72 52 Tabel 10 Keragaan jumlah armada perikanan di Kabupaten Jembrana tahun No Tahun Perahu Motor Kapal Jukung/Perahu Jumlah Tempel Motor Tanpa Motor Sumber: Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana (2011) Secara umum, jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten jembrana beragam, namun yang dominan digunakan adalah alat tangkap purse seine, gillnet, pukat pantai. Perkembangan jumlah alat tangkap yang ada di Kabupaten Jembrana dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Perkembangan jumlah alat tangkap dominan di Kabupaten Jembrana No Tahun Jumlah Alat Tangkap menurut jenis yang dominan Pukat Pantai Pukat Cincin Gillnet Sumber: Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana (2011) Perkembangan jumlah alat tangkap seperti yang tertera pada Tabel 11, merupakan perkembangan jenis alat tangkap yang terdata di Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana tahun 2011.

73 53 5 ANALISIS PENGARUH FAKTOR OSEANOGRAFI DAN KLIMATOLOGI TERHADAP HASIL TANGKAPAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 5.1 Pendahuluan Ikan hidup dalam ekosistem laut, yang mana di dalamnya terjadi interaksi secara dinamis antara ikan dan komponen biotik lainnya. Selain itu juga terjadi interaksi antara ikan dan komponen abiotik yang menyusun ekosistem laut itu sendiri. Kondisi lingkungan perairan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup biota laut, jika lingkungan perairan tidak sehat, maka biota air yang hidup didalamnya ikut terganggu. Ikan tidak hidup sendiri (terisolasi), tetapi berinteraksi dengan berbagai jenis ikan lain serta komponen biotik lainnya yang hidup dalam ekosistem perairan, seperti fitoplankton, zooplankton, benthos, mollusca, crustacea, echinodermata, dan lain sebagainya (Dahuri, 2007). Ikan juga berinteraksi atau dipengaruhi oleh komponen abiotik yang menyusun ekosistem perairan. Salah satu organisme hidup yang paling penting dalam ekosistem perairan adalah fitoplankton (Ariyadej et al., 2008). Sebagai produsen primer, fitoplankton memainkan peran penting untuk sirkulasi dan aliran energi dalam ekosistem perairan. Keberadaannya sering digunakan sebagai kontrol terhadap pertumbuhan, kapasitas reproduksi dan populasi serta karakteristik organisme air lainnya. Disamping itu keberadaan fitoplankton sangat penting diketahui untuk melakukan evaluasi terhadap kondisi lingkungan perairan. Selain itu, fitoplankton membantu untuk meningkatkan kualitas perairan dengan mengubah zat anorganik menjadi zat organik (Graham dan Wilcox, 2000). Fenomena oseanografi yang terjadi di perairan laut sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota laut. Faktor oseanografi tersebut adalah arus, suhu terutama suhu permukaan laut, salinitas (kadar garam), zat hara (nutrient) dan kandungan kimiawi air lainnya yang mempengaruhi kualitas perairan laut. Arus yang terjadi di laut, merupakan salah satu faktor oseanografi yang berpengaruh terhadap lingkungan perairan, dan selalu mendapat perhatian karena berkaitan erat dengan cuaca dan iklim. Martono (2008) berpendapat bahwa arus mempunyai

74 54 peranan penting dalam ekologi laut, karena mempengaruhi pola pemanfaatan sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Suhu permukaan laut, sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman yang terjadi antara Asia dan Australia. Perubahan ini menyebabkan perubahan arah angin terjadi dua kali dalam satu tahun. Suhu permukaan laut sangat berkaitan dengan sebaran klorofil-a. Sebaran klorofil-a, berhubungan dengan kesuburan suatu wilayah perairan. Di Selat Bali, perubahan suhu musiman yang terjadi antara Asia dan Australia, dimana bulan Desember Maret, angin bertiup dari daratan Asia menuju utara yaitu Australia, yang disebut dengan musim barat. Pada bulan Juni September, angin bertiup dari daratan Australia menuju daratan Asia yang disebut dengan musim Timur. Perubahan suhu musiman ini menyebabkan arah angin berubah dua kali dalam satu tahun. Iklim dalam dinamika biofisika dan kimia perairan juga berpengaruh terhadap karakteristik lingkungan perairan, serta interaksi dinamis antara laut dan atmosfir. Terkait dengan ini, maka faktor iklim perlu mendapat perhatian tersendiri dalam melakukan pengelolaan sumberdaya yang terkandung dalam suatu lingkungan perairan. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (2011), bahwa perubahan iklim merupakan perubahan pola dan intensitas unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan, dan biasa terjadi rata-rata 30 tahunan. Perubahan iklim dapat berupa perubahan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi cuaca terhadap kondisi rata-rata. Angin merupakan faktor iklim yang cukup berpengaruh dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Angin, sangat dipengaruhi oleh pola angin itu sendiri. Angin terjadi karena ada gaya yang bekerja pada atmosfir bumi, dan menyebabkan terjadinya keadaan tidak seimbang. (Handoko, 1999). Berkaitan dengan adanya proses pemanasan global yang terjadi pada kurun waktu terakhir ini, berdampak pada perubahan iklim. Hal ini juga akan berdampak pada kehidupan biota laut. Dampak dari kondisi ini sangat dirasakan oleh nelayan di Selat Bali, karena pada periode tahun ikan lemuru seolah-olah menghilang dari perairan Selat Bali.

75 55 Faktor oseanografi yang diteliti adalah sebaran kloropil-a, suhu permukaan laut dan arus selama kurun waktu Uji kualitas perairan berkaitan dengan unsur-unsur kimia air (Nitrat dan Fosfat) dilokasi fishing ground. Menurut SK Menteri Lingkungan hidup nomor 115 tahun 2003 tentang mutu kualitas air sesuai peruntukannya. Faktor klimatologi yang akan diteliti adalah seberapa besar pengaruh angin dan hujan terhadap hasil tangkapan nelayan di Selat Bali. Selat Bali merupakan kawasan perairan laut yang memiliki sumberdaya lemuru. Sumberdaya ini merupakan sumber mata pencaharian bagi nelayan yang ada di kawasan tersebut yaitu Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Berdasarkan data statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi tahun 2010 terjadi penurunan hasil tangkapan lemuru sebesar 43,03 %. Apakah penurunan hasil tangkapan tersebut dipengaruhi oleh faktor oseanografi dan klimatologi? Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin meneliti seberapa besar pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Bali. Apakah faktor oseanografi dan klimatologi tersebut berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap hasil tangkapan lemuru. Batasan faktor oseanografi dan klimatologi yang diteliti yaitu berkaitan dengan sebaran klorofil-a, suhu permukaan laut, arus angin, dan hujan. 5.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menganalisis faktor oseanografi dan klimatologi (suhu permukaan laut, sebaran klorofil-a, arus, angin, dan hujan) di Selat Bali. (2) Menganalisis pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan lemuru. 5.3 Kebutuhan dan Metode Analisis Data Kebutuhan data Data yang dibutuhkan untuk analisis pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan lemuru di perairan laut Selat bali, adalah:

76 56 1) Hasil tangkapan ikan Data hasil tangkapan lemuru yang didaratkan di Kabupaten Banyuwangi (UPPPP Muncar) dan Kabupaten Jembrana. Data dikumpulkan secara time series dari tahun Kegunaan data ini untuk melihat hubungan hasil faktorfaktor oseanografi dan klimatologi dan pengaruhnya terhadap tangkapan. Apakah faktor-faktor oseanografi dan klimatologi mempengaruhi hasil tangkapan nelayan lemuru di Selat Bali. 2) Faktor-faktor oseanografi Data dan informasi yang dikumpulkan adalah kondisi eseanografi perairan Selat Bali, yaitu data yang berkaitan atau berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya lemuru. Data tersebut adalah: a. Sebaran klorofil-a Data sebaran klorofil-a di Selat Bali diperoleh dengan cara mendownload citra hasil pemotretan satelit Aqua MODIS dari internet yaitu melalui Data citra satelit Aqua MODIS terhadap kondisi perairan Selat Bali diambil periode Citra yang diolah adalah citra yang bebas awan, mencakup lintang dan bujur sesuai dengan areal yang diteliti. Data time series tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, secara deskriptif dilihat trend perubahan sebaran klorofil-a yang terjadi di Selat Bali. Untuk melihat sebaran klorofil-a di lokasi fishing ground, dilakukan pengambilan sampel air selama periode bulan Mei Oktober 2011, hal ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan kenapa nelayan memilih lokasi tersebut untuk menurunkan jaring. Setelah data yang diperlukan diperoleh, dilakukan penghitungan sebaran klorofil-a berdasarkan koordinat yang sudah ditetapkan yaitu berdasarkan garis lintang dan bujur. b. Suhu permukaan laut (SPL) Data untuk mengetahui suhu permukaan laut di Selat Bali, juga dilakukan dengan cara mendownload citra hasil pemotretan satelit Aqua Modis. Data yang diperlukan disini adalah data time series suhu permukaan laut periode tahun Suhu permukaan laut sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan

77 57 perairan dan juga mempengaruhi kandungan nutrien, yang akan berpengaruh terhadap keberadaan sumber makanan ikan lemuru. Melalui analisis ini diharapkan dapat diketahui apakah suhu permukaan laut berpengaruh secara langsung terhadap hasil tangkapan lemuru di Selat Bali. c. Kualitas perairan Pengujian terhadap kualitas perairan dilakukan untuk mengetahui unsurunsur kimia yang dapat mempengaruhi kualitas perairan Selat Bali. Unsur-unsur kimia tersebut adalah kandungan nitrat, fosfat. Disamping itu juga dilakukan pengukuran terhadap kadar salinitas dan ph air laut. Unsur-unsur tersebut sangat berpengaruh terhadap kelimpahan dan sebaran klorophil-a, terutama unsur nitrat dan fosfat. Unsur hara nitrogen (N) tidak mempunyai hubungan yang tetap dengan unsur hara posfor (P), tetapi bersama-sama dengan karbon ( C ), N dan P, dapat memproduksi zat organik. Walaupun hara C terdapat dalam jumlah yang banyak, tetapi kedua unsur hara N dan P menjadi faktor pembatas dalam proses daur bahan organik di laut. Pengambilan sampel air laut dilakukan pada titik lokasi penangkapan ikan oleh nelayan, selanjutnya untuk mengetahui pada koordinat berapa jaring diturunkan, digunakan GPS (Global Positioning System). Pengujian sampel air dilakukan di Laboratorium Analisa Kualitas Perairan Balai Riset dan Observasi Kelautan- Perancak Bali. 3) Faktor klimatologi Data faktor klimatologi yang berpengaruh terhadap lingkungan perairan Selat Bali, diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kabupaten Banyuwangi yaitu data angin dan hujan. Data arus diperoleh dari Badan Meteorologi dan Klimatologi Maritim (BMK Maritim) Surabaya. Data dikumpulkan selama periode Data ditampilkan secara deskriptif dan spasial, berupa data triwulanan untuk melihat fluktuasi faktor klimatologi selama periode tersebut, dan ditampilkan dalam bentuk tabel, gambar, dan grafik.

78 Metode analisis data Analisis data disesuaikan dengan masing-masing parameter yang diuji. Parameter tersebut adalah. 1. Analisis faktor oseanografi (sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut) a. Analisis sebaran klorofil-a Sebaran klorofil-a yang dilakukan pada saat penelitian dan membandingkan dengan data hasil penelitian sebelumnya. Data sebaran klorofil-a di Selat Bali diperoleh dengan cara mendownload citra hasil pemotretan satelit Aqua MODIS dari internet yaitu melalui Data citra satelit Aqua MODIS terhadap kondisi perairan Selat Bali diambil periode Citra yang diolah adalah citra yang bebas awan, mencakup lintang dan bujur sesuai dengan areal yang diteliti. Setelah data yang diperlukan diperoleh, dilakukan penghitungan sebaran klorofil-a pada koordinat yang sudah ditetapkan yaitu berdasarkan garis lintang dan bujur. Proses penentuan konsentrasi klorofil-a, dilakukan dengan menggunakan sensor karakteristk ocean color, yang ditunjukkan dengan sinar biru dan hijau dari permukaan laut. Pantulan sinar hijau dari permukaan laut merupakan informasi konsentrasi klorofil-a yang dideteksi oleh sensor. Apabila sinar hijau yang diterima oleh sensor semakin banyak, menunjukkan konsentrasi klorofil-a semakin banyak. Perhitungan konsentrasi klorofil-a dilakukan menggunakan parameter band 9, 10 dan 12. Algoritma OC4v4 digunakan nilai tertinggi (R max ) dari rasio R RS (443/R RS (555). Penentuan nilai sebaran/konsentrasi klorophil-a, digunakan persamaan algoritma OC4v4 sebagai berikut: ( ) ( ) ( ) ( ), dimana R 4s = log 10 (R max ),

79 59 dimana: Clo : Konsentrasi klorofil-a (mg/m 3 ) R 4s : Rasio refleksi R RS : Remote sensing reflectance. Langkah berikutnya adalah memetakan sebaran klorofil-a di Selat Bali. Pemetaan sebaran klorofil-a sangat dibutuhkan untuk menentukan daerah penangkapan ikan. Harapannya adalah agar nelayan bisa mencapai fishing ground untuk melakukan penangkapan dengan waktu yang lebih singkat. b Analisis suhu permukaan laut (SPL) Prosedur perhitungan suhu permukaan laut, diawali dengan melakukan pengecekan pada citra piksel yang berawan. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mendeteksi awan adalah sebagai berikut: 1. Apabila kecerahan kanal 31 (T 31 ) lebih kecil dari K, maka piksel tersebut berawan 2. Apabila selisih antara kecerahan kanal 31 (T 31 ) dan kanal 32 (T 32 ) > K, maka piksel tersebut berawan Untuk mengetahui piksel-piksel yang bebas awan, dilakukan penghitungan SST dengan menggunakan persamaan dari Minnet et al (2001) vide Hariadi (2009) sebagai berikut: SST = c 1 +(c 2 xt 31 ) + [c 3 x(t 32 -T 31 )] + [c 4 x( )-1) x (T 32 -T 31 )], dimana : SST = Sea Surface Temperature ( 0 K) T 31 dan T 32 = Kecerahan air pada kanal 31 dan 32 = Sudut zenith satelit ( = 0.001) c 1, c 2, c 3, c 4 = Nilai koefisien. Nilai koefisien (c 1, c 2, c 3, c 4 ) dapat dijabarkan pada Tabel 12.

80 60 Tabel 12 Koefisien Kanal 31 dan 32 untuk Satelit Aqua Modis Koefisien (T 32 -T 31 ) > 0.7 (T 32 -T 31 ) < 0.7 c c c c Untuk mengeliminir sebaran/hamburan cahaya dari atmosfir, dilakukan koreksi atmosferik. Komponen atmosfir yang dikoreksi adalah hamburan Rayleigh dan aerosol, dengan proses multiple scattering aerosol model with 7/8 algorithm and NIR iteration, dengan perangkat lunak SeaDAS. Agar data yang dihasilkan dari proses koreksi atmosferik dapat memberikan informasi dari citra berkaitan dengan fenomena dilaut, maka dilakukan koreksi geometrik melalui pengolahan citra yaitu proyeksi citra, landmask, dan proyeksi skala warna garis dengan menggunakan menu Seadisp pada program SeaDas. Proses berikutnya adalah melakukan pemotongan (cropping) citra untuk membatasi ruang lingkup spasial pada citra, sesuai dengan area penelitian. Untuk proses pemotongan citra, diperlukan data pixel/line awal dan nilai pixel/line akhir, dan nilai lintang/bujur awal serta nilai lintang/bujur akhir. Hasil proses tersebut, dijabarkan dalam bentuk peta kontur yang berfungsi untuk penentuan pola distribusi penyebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut. Keseluruhan pengamatan dan pengolahan citra dilakukan di BROK Perancak Bali. 2. Analisis faktor klimatologi (angin, hujan, dan arus) Analisis faktor klimatologi dilakukan secara deskriptif kuantitatif, yaitu data yang diperoleh selama kurun waktu lima (5) tahun yaitu dari Data tersebut adalah data angin, curah hujan, dan arus. Data time series curah hujan, diperoleh dari BMKG Kabupaten Banyuwangi. Sedangkan untuk data arus dan angin, yang terjadi di wilayah perairan Selat Bali diperoleh dari BMK Maritim Surabaya. Data time series dikumpulkan dari tahun , yang secara deskriptif menggambarkan kondisi faktor klimatologi selama periode 2005

81 Faktor klimatologi yang terjadi di perairan Selat Bali ditampilkan dalam bentuk tabel, gambar dan grafik. Analisis dilakukan dengan menggunakan program Windwave. 3. Analisis kualitas perairan Untuk mengetahui kualitas perairan dan unsur kimia yang dapat mempengaruhi kualitas perairan Selat Bali adalah dengan pengambilan sampel air laut pada saat nelayan melakukan penangkapan ikan. Unsur-unsur kimia tersebut adalah kandungan nitrat dan posfat. Unsur-unsur tersebut sangat menentukan kesuburan suatu perairan, terutama nitrat. Selain itu juga dilakukan analisis terhadap salinitas dan kadar ph air. Peralatan yang digunakan sebagai berikut: 1. GPS (Global Positioning System) untuk menentukan koordinat lokasi nelayan menurunkan jaring 2. Jirigen ukuran 2 (dua) liter sebanyak dua buah sebagai wadah sampel 3. Plastik hitam untuk menutup jirigen dari pengaruh cahaya 4. Box sterofoam yang sudah diisi es sebagai tempat penyimpanan jirigen sampel. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei Oktober 2011, sebanyak 24 (dua puluh empat) kali atau 24 titik (Gambar 13). Sampel diambil menggunakan kapal nelayan, dan tanggal pengambilan disesuaikan dengan kebiasaan nelayan setempat dalam melakukan penangkapan, yaitu mengikuti penanggalan jawa. Pengujian sampel air untuk mengetahui unsur kimia air seperti yang telah duraikan di atas, dilakukan di laboratorium kualitas perairan Balai Riset dan Observasi Kelautan Perancak Bali. Selanjutnya, nilai yang diperoleh dilakukan analisis dengan metode STORET yang tercantum dalam kepmen lingkungan hidup nomor 115 tahun 2003.

82 62 Gambar 13 Posisi kapal ikan ketika penurunan jaring dan pengambilan sampel untuk uji kualitas perairan Metode STORET merupakan salah satu metoda untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan. Dengan metoda STORET ini dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Baku Mutu air mengacu pada Kepmen LH nomor 115 tahun Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air. Status mutu air, ditentukan dengan menggunakan sistem nilai dari US-EPA (Environmental Protection Agency) dengan mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas (Tabel 3). 4. Analisis pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan lemuru Pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi dengan hasil tangkapan ikan lemuru, dilakukan analisis secara regresi linier biasa. Berdasarkan hasil regresi linier tersebut dapat diketahui seberapa besar pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan lemuru selama periode tahun Untuk melihat bagaimana pengaruh faktor klimatologi dan oseanografi terhadap hasil tangkapan ikan lemuru, dilakukan analisis regresi dengan menggunakan formula:

83 63 Y = a+b 1 X 1 +b 2 X b n X n,...(1) dimana: Y = Total hasil tangkapan lemuru a = Konstanta b 1,b 2...b n = Koefisien regresi x 1, x 2,...x n = parameter oseanografi dan klimatologi Software yang digunakan untuk melakukan analisis ini adalah program pengolah data yang biasa digunakan untuk analisis regresi secara umum. Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan formula tersebut di atas, maka dapat diketahui seberapa tinggi pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan lemuru. Hasil perhitungan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. 5.4 Hasil Penelitian Trend sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut Faktor-faktor oseanografi yang berpengaruh terhadap kondisi perairan Selat Bali dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan adalah: a. Sebaran klorofil-a Hasil analisis data klorofil-a yang diambil dari citra satelit menunjukkan bahwa secara periodik yaitu dari tahun yang dihitung per triwulan, dimana konsentrasi kloropil-a cenderung meningkat seiring dengan terjadinya penurunan suhu permukaan laut (Gambar 14). Pada triwulan III tahun 2007 terjadi peningkatan klorofil-a. Sebaran klorofil-a untuk tahun 2009 dan 2010 pada triwulan I, cenderung stabil. Hasil pengujian sampel yang dilakukan selama periode bulan Mei Oktober 2011 menunjukkan bahwa kandungan klorofil-a tertinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu 4,2964 mg/m 3, apabila dilihat produksi lemuru pada bulan Agustus juga mengalami peningkatan. Hal ini mempertegas bahwa faktor sebaran konsentrasi klorofil-a sangat berpengaruh terhadap tinggi-rendahnya hasil tangkapan lemuru di Selat Bali, baik yang dilakukan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi maupun nelayan Kabupaten Jembrana. Hasil pemotretan citra satelit

84 Klorofil-a (mg/m 3 ) Klorofil-a (mg/m3) 64 aqua modis, secara visual sebaran konsentrasi klorofil-a di Selat Bali untuk tahun 2010 dapat dilihat pada Lampiran Tahun Triwulan I Triwulan II Teriwulan III Triwulan IV Gambar 14 Trend tahunan konsentrasi klorofil-a triwulanan di perairan Selat Bali periode Sebaran klorofil-a tertinggi periode Mei Oktober 2011 yang diperoleh saat nelayan menurunkan jaring pada koordinat Lintang dan Bujur , yaitu sebesar 4,2964 mg/m 3. Sebaran klorofil-a terendah pada koordinat Lintang dan Bujur yaitu 0,0090 mg/m 3 (Gambar 15) Bulan Muncar Bali Gambar 15 Konsentrasi klorofil-a di Selat Bali periode Mei Oktober 2011 (Data primer 2011)

85 Rata-rata suhu permukaan laut (oc) 65 Berdasarkan hasil uji yang dilakukan di Laboratorium Kualitas Perairan Laut BROK Perancak Bali, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan konsentrasi sebaran klorofil-a pada paparan Bali dan paparan Jawa (Lampiran 4). Sebaran klorofil-a pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh suhu permukaan laut yang terjadi pada saat itu. Jika suhu permukaan laut tinggi, maka kandungan dan sebaran klorofil-a menurun atau sedikit, namun pada saat pengambilan sampel tidak dilakukan pengukuran suhu permukaan laut karena kekurangan alat pada saat turun ke lapangan. b. Suhu permukaan laut (SPL) Analisis data suhu permukaan laut triwulanan selama periode 6 tahun ( ) menunjukkan pola variasi suhu permukaan laut mengikuti pola musim (monsoon) yaitu musim timur (Juni Agustus), musim barat (Desember Februari), musim peralihan I (Maret Mei), dan musim peralihan II (September November). Peningkatan suhu permukaan laut mulai terlihat pada bulan Nopember April. Memasuki musim timur, suhu permukaan laut mulai menunjukan penurunan yang cukup tinggi Tahun Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Gambar 16 Trend rata-rata triwulanan suhu permukaan laut di Selat Bali tahun Penurunan suhu permukaan laut ini sebagai indikasi terjadinya proses inderek upwelling yang ditandai dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a.

86 66 Pada tahun 2010, suhu permukaan laut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tahun tahun sebelumnya, bahkan hampir di setiap periode triwulan (Gambar 16). Jika dilihat lebih rinci, dapat dijabarkan disini bahwa, peningkatan suhu permukaan laut dari tahun seiring dengan terjadinya penurunan sebaran klorofil-a. Untuk membuktikan hal tersebut, dilakukan uji statistik dengan uji korelasi pearson. Hasil uji menunjukkan ada kecenderungan sebaran klorofil-a berkorelasi sangat kuat dengan suhu permukaan laut (Tabel 13). Tabel 13 Korelasi klorofil-a dan suhu permukaan laut triwulanan dalam Klorofil-a SPL Klorofil-a Pearson correlation (**) Sig. (2-tailed)..000 N SPL Pearson correlation -.876(**) 1 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Sig. (2-tailed).000. N Secara visual, suhu permukaan laut di Selat Bali tahun 2010 berdasarkan hasil pemotretan dengan satelit citra aqua modis, dapat dilihat pada Lampiran Trend curah hujan, kecepatan angin dan kekuatan arus Rata-rata curah hujan triwulanan selama periode di Selat Bali berfluktuasi. Curah hujan tertinggi terjadi pada triwulan I tahun 2007 dengan rata-rata 254,33 mm, dan paling rendah terjadi pada triwulan III tahun 2008 dengan rata-rata 17,67 mm. Tinggi rendahnya curah hujan yang terjadi di perairan Selat berpengaruh kepada kondisi cuaca yang tidak memungkinkan nelayan untuk turun ke laut. Hal ini berkaitan dengan kesulitan dalam melakukan penurunan jaring, karena biasanya jika hujan turun cukup deras diikuti oleh angin yang cukup kencang, sehingga arus permukaan juga meningkat. Kondisi demikian membuat nelayan enggan untuk turun kelaut. Trend curah hujan yang terjadi di Selat Bali selama kurun waktu dapat dilihat pada Gambar 17.

87 Kecepatan angin (knot) Curah hujan (mm) Tahun Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Gambar 17 Trend curah hujan tahun di Selat Bali Sumber: BMKG Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011 Angin, merupakan kecepatan angin yang terjadi di Selat Bali periode Trend kecepatan angin yang terjadi selama periode tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 18. Rata-rata tahunan kecepatan angin tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, atau bisa dikatakan kecepatan angin cenderung stabil. Arah angin yang terjadi sepanjang tahun , terutama berpengaruh terhadap alur pelayaran kapal di Selat Bali. Secara visual kecepatan dan arah angin dapat dilihat pada lampiran Tahun Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Gambar 18 Kecepatan angin yang terjadi di Selat Bali periode tahun Sumber: BMK Maritim Surabaya (2011)

88 68 Kekuatan arus maksimum di Selat Bali periode tahun , terjadi pada triwulan III tahun 2010 yaitu 14,71 cm/s, sedangkan kekuatan arus minimum/terendah terjadi pada triwulan I tahun 2010 yaitu 5,01 cm/s. Apabila kita lihat secara keseluruhan, rata-rata kekuatan arus dari tahun cenderung meningkat. Kekuatan arus yang terjadi di Selat Bali, selama periode dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19 Kekuatan arus air di Selat Bali periode Sumber: BMK Maritim Surabaya (2011) Korelasi faktor klimatologi (angin, hujan, dan arus) setelah dilakukan uji secara statistik (Tabel 14) menunjukkan bahwa, angin ada kecenderungan berkorelasi kuat dengan hujan (-0,533) dan memiliki kecenderungan berkorelasi positif dengan arus (0,472). Tabel 14 Korelasi faktor angin, hujan, dan arus periode Angin Hujan Arus Angin Pearson Correlation (**).472(*) Sig. (2-tailed) N ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

89 Kualitas perairan di lokasi fishing ground Uji kualitas perairan dilokasi fishing ground yang dilakukan pada periode Mei Oktober 2011 (Gambar 20). Setelah disesuaikan dengan standar baku mutu kualitas perairan sesuai peruntukannya menurut SK Menteri Lingkungan Hidup nomor 115 tahun 2003 (Tabel 2), maka kadar ph masih berada pada nilai baku mutu, sedangkan untuk salinitas untuk kedua sisi yaitu Kabupaten Banyuwangi dan Jembrana mengalami peningkatan di atas baku mutu. Gambar 20 Kualitas perairan di lokasi fishing ground periode Mei-Oktober 2011 Kandungan Nitrat, di wilayah perairan dekat paparan Jawa yaitu Kabupaten Banyuwangi berada di atas baku mutu yaitu sebesar 0,0938 mg/l, sedangkan menurut baku mutu adalah 0,008 mg/l, hal yang sama juga terjadi untuk Kabupaten Jembrana yaitu sebesar 0,079 mg/l. Kandungan Fosfat rata-rata adalah mg/l dan masih dibawah baku mutu yaitu mg/l. Parameter ph yang diuji menunjukan bahwa di lokasi fishing ground kadar ph masih normal (7,95-8,41). Nilai ph sangat mempengaruhi proses bio-kimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika ph rendah. Hasil uji kualitas perairan dapat dilihat pada Lampiran 4.

90 Pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan lemuru Uji secara regresi dengan menggunakan program pengolah data, membuktikan bahwa hasil tangkapan lemuru periode tahun dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi yaitu sebaran klorofil-a (Tabel 15). Faktor klimatologi yang berpengaruh adalah angin. Hasil yang tertera pada Tabel 15 menunjukkan bahwa, setiap kenaikan satu satuan klorofil-a dapat meningkatkan hasil tangkapan sebanyak ,792 ton ikan lemuru. Selanjutnya setiap peningkatan satu satuan kecepatan angin dapat menurunkan hasil tangkapan sebesar ,697 ton ikan. Tabel 15 Uji regresi pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan lemuru di Selat Bali tahun Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. Collinearity Statistics B Std. Error Beta Tolerance VIF (Constant) Angin , Klorofil-a Berdasarkan uji secara regresi, pengaruh faktor lingkungan perairan terhadap hasil tangkapan lemuru, maka dapat dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut: Y = 67579, ,697 angin ,792 klorofil-a Fluktuasi hasil tangkapan lemuru di Selat Bali dipengaruhi oleh sebaran klorofil-a yang terdapat di lokasi fishing ground. Gambar 21 menunjukkan bahwa pada triwulan IV untuk tahun 2006 dan triwulan I tahun 2007 merupakan hasil tangkapan lemuru tertinggi yang diperoleh yaitu ,349 ton dan ,079 ton. Jika dilihat untuk triwulan IV tahun 2006 konsentrasi sebaran klorofil-a (Gambar 14) juga mengalami peningkatan yaitu 1,19 mg/m3. Artinya, dengan meningkatnya sebaran klorofil-a di wilayah perairan Selat Bali memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan lemuru.

91 Hasil tangkapan (ton) 71 70, , , , , , , Tahun Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Gambar 21 Fluktuasi hasil tangkapan lemuru berdasarkan triwulan selama periode Hal yang berbeda terjadi pada triwulan I tahun 2007, bahwa konsentrasi klorofil-a kecil ( 0,35 mg/m3) akan tetapi hasil tangkapan tinggi, inilah fenomena alam yang tidak dapat diprediksi oleh manusia. Jika dilihat pengaruh angin terhadap hasil tangkapan (Gambar 18), kecepatan angin pada triwulan IV tahun 2006 adalah 4,00 knot, dan untuk triwulan I tahun 2007 kecepatan angin adalah 5,33 knot. Artinya, dengan kecepatan angin yang rendah memungkinkan nelayan untuk melaut. Hasil perhitungan analisis ini merupakan parameter untuk analisis model keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali (bab 9). 5.5 Pembahasan Sesuai dengan tujuan penelitian, dalam bab ini hal-hal yang ingin dibahas berkaitan dengan faktor oseanografi dan klimatologi yang terjadi di perairan Selat Bali selama kurun waktu , kualitas perairan di lokasi fishing ground periode Mei-Oktober 2011, dan pembahasan tentang pengaruh faktor oseanografi dan klimatologi terhadap hasil tangkapan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, bahwa faktor oseangorafi dan klimatologi mempunyai hubungan yang erat dengan hasil tangkapan lemuru oleh nelayan di Selat Bali, baik yang ditangkap oleh nelayan dari Kabupaten

92 72 Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana periode tahun Faktor oseanografi yang berpengaruh adalah klorofil-a, dimana klorofil-a merupakan sumber makanan bagi plankton. Rata-rata tahunan konsentrasi klorofil-a paling tinggi terjadi pada triwulan III tahun 2007 yaitu 1,33 mg/m 3. Hal ini erat kaitannya dengan fenomena regional berupa El Nino dan menguatnya Indian Ocean Dipole (IOD). Hal yang sama pernah terjadi pada tahun 1987 dan 1998 pada saat terjadi El Nino yang kuat karena peningkatan suhu permukaan laut yang cukup signifikan. Begitu juga yang terjadi pada tahun 2010 (Gambar 16), dimana suhu permukaan laut secara keseluruhan lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu rata-rata sebesar 29,63 o C. Peningkatan suhu permukaan laut ini kemungkinan akibat dari fenomena La Nina yang berkepanjangan yang terjadi di Samudera Pasifik, yang mengalirkan air hangat ke Samudara Hindia. Kondisi ini dibarengi dengan rendahnya rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,4425 mg/m 3, dan merupakan konsentrasi terendah selama 5 tahun terakhir. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sebaran klorofil-a sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suhu permukaan laut. Hasil analisis kandungan klorofil-a yang dilakukan dari bulan Mei - Oktober 2011 di Laboratorium Kualitas Perairan BROK Perancak Bali (Gambar 15), dapat dilihat bahwa sebaran klorofil-a tertinggi tercatat pada bulan Agustus baik itu disisi paparan Bali (1,1210 mg/m 3 ), maupun disisi paparan Jawa (4,2964 mg/m 3 ). Apabila kita sejajarkan dengan data time series dari citra satelit selama kurun waktu , terlihat bahwa pada bulan Agustus memang terjadi peningkatan sebaran klorofil-a di Selat Bali. Klorofil-a terdapat pada fitoplankton. Klorofil-a, adalah suatu pigmen aktif sel tumbuhan yang memiliki peran penting dalam berlangsungnya proses fotosintesis didalam perairan (Prezelein, 1981). Konsentrasi sebaran klorofil-a, sangat mempengaruhi keberadaan planton di suatu wilayah perairan. Kesuburan plankton dalam satu ekosistem perairan ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara plankton tersebut dengan faktor fisika, kimia dan biologi air (Basmi 1988). Keberadaan plankton yang merupakan sumber makanan lemuru dan sangat

93 73 berpotensi dalam meningkatkan jumlah atau kepadatan sumberdaya lemuru di Selat Bali. Menurut Sartimbul et al. (2010) Selat Bali merupakan wilayah upwelling dan memiliki kandungan nutrient yang sangat baik. Upwelling, merupakan pergerakan massa air secara vertikal, sebagai akibat dari stratifikasi densitas air laut (Surinati 2009). Perairan laut Selat Bali merupakan daerah upwelling yang lebih baik bila dibandingkan dengan perairan laut lainnya, sehingga jumlah ikan tidak pernah habis. Hendiarti et al. (2004) menyatakan konsentrasi klorofil-a meningkat sebagai akibat upwelling. Upwelling disebabkan oleh angin musim tenggara, yang terjadi sekitar bulan April hingga awal bulan Oktober (Pranowo dan Realino 2004). Proses upwelling yang terjadi menyebabkan Selat Bali mempunyai nilai lebih secara ekonomi, karena Selat Bali merupakan habitat yang baik bagi ikan lemuru. Upwelling yang terjadi disuatu kawasan perairan dapat dilihat dari penurunan atau kenaikan suhu permukaan laut di wilayah perairan tersebut. Di Selat Bali sendiri titik upwelling terjadi di bagian selatan yang mengarah ke Samudera Hindia. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang nelayan di Pengambengan, mengatakan bahwa ikan di Selat Bali tidak akan pernah habis, ibaratnya dapat diambil dengan centong saking banyaknya. Suhu permukaan laut sangat berpengaruh terhadap kesuburan perairan laut. Secara keseluruhan selama kurun waktu enam tahun terakhir terjadi peningkatan suhu permukaan laut. Berdasarkan hasil analisis citra (Gambar 16) dapat dilihat, untuk tahun 2010 suhu permukaan laut bulanan jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu rata-rata sebesar 29,63 0 C. Peningkatan suhu permukaan laut ini kemungkinan disebabkan oleh fenomena La Nina yang terjadi di Samudera Pasifik, yang mengalirkan air dengan suhu panas ke Samudera Hindia. Berdasarkan hasil foto citra satelit selama periode bulan Mei Oktober 2011, suhu permukaan laut tidak dapat dilihat, karena permukaan laut lebih sering tertutup awan, terutama untuk suhu permukaan laut pada Bulan Agustus. Apabila dilihat lebih rinci, dapat dijabarkan disini bahwa, terjadi hubungan yang sangat erat antara sebaran klorofil-a dengan suhu permukaan laut. Dari tampilan trend rata-rata triwulanan sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut dapat dilihat bahwa, apabila suhu permukaan laut meningkat, maka sebaran

94 74 klorofil-a menurun. Haluan et al. (1991) menyatakan bahwa sebaran suhu horizontal lebih banyak dipengaruhi oleh arus permukaan. Seperti kita ketahui bersama, akhir tahun 2009 sampai dengan akhir tahun 2010, terjadi fenomena hilangnya ikan lemuru dari perairan Selat Bali. Berdasarkan hasil analisis ini, maka terjawab penyebab hilangnya ikan lemuru dari Selat Bali terjadi sebagai akibat meningkatnya suhu permukaan laut. Peningkatan suhu permukaan laut yang sangat signifikan terjadi tahun yaitu mencapai 29,50 C. Peningkatan yang terjadi menyebabkan klorofil-a tidak mampu mentolerir keadaan tersebut. Jika konsentarasi sebaran klorofil-a yang merupakan pigmen dari fitoplankton menipis, maka sumber makanan berupa zat renik menjadi berkurang. Disamping itu lemuru tidak dapat hidup pada suhu perairan laut yang tinggi (29,50 C). Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala BROK Perancak Bali ada kemungkinan ikan lemuru turun ke lapisan perairan yang lebih dalam, dan tidak terjangkau oleh alat tangkap purse seine yang dimiliki oleh nelayan, karena tinggi maksimal rata-rata yang digunakan adalah meter. Penyebab turunnya lemuru ke lapisan perairan lebih dalam diperkirakan sebagai akibat proses la-nina yang berkepanjangan di Samudera Pasifik yang mengalirkan suhu air yang hangat ke Samudera Hindia termasuk Selat Bali. Suhu di lautan kemungkinan berkisar antara -1,87 C (titik beku air laut) di daerah kutub sampai maksimum sekitar 42 C di daerah perairan dangkal (Hutabarat, 2001). Namun untuk tingkat kesuburan perairan, suhu maksimal adalah 28 C, kenapa demikian, hal ini dapat dilihat bahwa pada periode tahun 2006, dengan suhu perairan seperti tersebut diatas maka sebaran klorofil-a lebih tinggi. Menurut Desser et al (1992), bahwa struktur kinematik dan termodinamika lapisan batas atmosfer planet menunjukkan respon yang baik untuk distribusi suhu permukaan laut terjadi di Pasifik bagian timur. Rendahnya tingkat geser angin, kecepatan angin permukaan laut, kelembaban relatif permukaan laut, dan tekanan udara di atas permukaan laut menyebabkan perbedaan suhu pada setiap transisi di khatulistiwa. Selanjutnya dikatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang

95 75 dilakukan dilautan Pasifik, menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara awan, gelombang dan suhu permukaan laut. Effendi (2003) menyebutkan bahwa suhu suatu badan air dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti musim, koordinat pada bumi, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air itu sendiri. Disini jelas terlihat bahwa faktor oseanografi sangat berperan dalam penentuan kesuburan suatu perairan, sehingga dengan demikian hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pihak-pihak yang berkompeten. Kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya, adalah sangat berpengaruh kepada ketersediaan sumberdaya perikanan target penangkapan. Baik tidaknya suatu kawasan perairan sangat tergantung kepada faktor manusia yang memanfaatkan apa-apa yang terkandung dalam lingkungan perairan tersebut. Namun demikian, hal yang perlu disikapi dengan baik dan bijak, bagaimana mempertahankan lingkungan perairan agar biota yang hidup didalamnya dapat dikelola dengan baik. Berbicara tentang kualitas perairan di lokasi penangkapan ikan (fishing ground), terutama di Selat Bali sesuai dengan pokok bahasan sangat perlu mendapat perhatian, karena di Selat Bali terdapat pelabuhan penyeberangan antara Ketapang Kabupaten Banyuwangi dan Gili Manuk Kabupaten Jembrana. Disamping itu, Muncar sebagai pusat pendaratan ikan terbesar di wilayah Jawa Timur terdapat industri pengolahan ikan demikian juga halnya di Pengambengan. Penelitian kualitas perairan air laut pernah dilakukan pada tahun 2008 yaitu di sepanjang pantai Cupel sampai dengan Pengambengan, hal ini berkaitan dengan keberadaan industri perikanan yang ada di Pengambengan (Poppo et al, 2008). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perairan dilokasi penelitian mengalami cemar ringan sampai cemar berat (mengacu pada permen LH no. 115 tahun 2003). Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali secara periodik mulai tahun 2009 sudah melakukan uji terhadap kualitas perairan Selat Bali. Namun kualitas perairan yang diuji, mengarah kepada fungsi laut sebagai kawasan pariwisata (Lampiran 8).

96 76 Uji kualitas perairan dilokasi fishing ground yang dilakukan pada periode Mei Oktober 2011, secara keseluruhan dari parameter yang diuji yaitu ph, Salinitas, Nitrat (NO 3 ) dan Posfat (PO 4 ) dapat dilihat Gambar 20. Tingkat keasaman (ph) perairan di lokasi fishing ground terdeteksi normal. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph pada kisaran 7 8,5. Nilai ph sangat mempengaruhi proses bio-kimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika ph rendah. Selain itu toksisitas logam-logam memperlihatkan peningkatan pada ph rendah (Effendi, 2003). Derajat keasaman (ph) dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida serta ion ion yang bersifat asam atau basa. Fitoplankton yang memilik pigmen hijau dan lebih sering disebut klorofil-a dan tanaman air akan mengambil karbondioksida selama proses fotosintesis berlangsung, sehingga mengakibatkan ph perairan menjadi meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari (Apridayanti, 2008). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa ph di perairan Selat Bali berkisar antara 7,92 8,47. Sementara kadar posfat sudah melebihi baku mutu yang diperuntukan bagi biota laut, demikian juga untuk kadar nitrat. Rata-rata salinitas juga terdeteksi lebih tinggi (Gambar 20), sehingga sesuai dengan keterangan dan uraian terdahulu, maka ph perairan Selat Bali masih dapat mendukung kehidupan organisme akuatik yang ada di dalamnya. Zat hara, terutama posfat dan nitrat merupakan unsur yang sangat diperlukan dalam jejaring rantai makanan dan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme di laut. Salah satu organisme yang membutuhkan zat hara adalah plankton. Keberadaan plankton merupakan salah satu parameter biologi yang erat hubungannya dengan kandungan zat hara. Tinggi rendahnya kelimpahan plankton tergantung kepada kandungan zat hara di suatu perairan (Nybakken, 1982). Namun, Nitrogen sebagai unsur pembentuk nitrat merupakan degradasi kontaminan utama penyebab penurunan kualitas air di perairan pantai. Sedangkan diperairan laut lepas, kadar nitrat sangat cepat mengalami perubahan dan sangat mempengaruhi kesuburan perairan. Menurunnya tingkat kesuburan perairan bisa disebabkan oleh pengaruh global warming yang terjadi dimuka bumi. Kemungkinan lain bisa saja terjadi akibat pengaruh La Nina yang berkepanjangan di Samudera Pasifik yang

97 77 mengalirkan arus panas ke Samudera Hindia, sehingga berpengaruh terhadap tingkat kesuburan perairan, dan salah satunya terjadi di Selat Bali. Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global dan memberikan dampak kepada kehidupan laut sangat perlu diperhatikan khususnya dalam hal penanggulangan dampak yang diberikan oleh keadaan tersebut. Hal ini dikarenakan dampak yang ditimbulkan sangat merugikan bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan, karena pada umumnya daerah penangkapan ikan selalu berubah dan tidak pasti. Nelayan, pada saat turun melaut sangat memperhatikan iklim yang lebih mereka kenal dengan faktor cuaca. Perubahan iklim sangat sulit untuk dihindari, dan memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrim dari perubahan iklim adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim. Angin yang bertiup dilautan memberikan pengaruh terhadap arus permukaan sekitar 2% dari kecepatan angin itu sendiri. Kekuatan arus ini akan berkurang dengan makin bertambahnya kedalaman perairan sampai pada akhirnya angin tidak berpengaruh, yaitu pada kedalaman 200 meter (Suardi, 2006). Menurut Hutabarat (2001), angin merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi iklim. Pada kehidupan sehari-hari nelayan, terutama nelayan tradisional masih tergantung kepada angin dalam membantu menggerakkan perahu mereka (perahu tanpa motor). Namun kadang kala angin dapat menimbulkan bencana berupa badai yang dapat menghancurkan peralatan atau bahkan menenggelamkan perahu mereka. Tiga faktor utama yang mempengaruhi iklim yaitu suhu, curah hujan, dan angin. Suhu sangat berpengaruh terhadap sebaran klorofil-a pada suatu perairan, hujan berfungsi sebagai penetralisir kadar garam perairan laut dan menetralkan suhu, Sedangkan angin berpengaruh terhadap arus yang terjadi di permukaan laut (Hutabarat, 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa, diperkirakan jumlah total air dipemukaan laut yang hilang setiap tahunnya kira-kira setebal 97,3 cm, dari jumlah tersebut 89,7 cm tergantikan oleh curah hujan yang langsung jatuh ke permukaan laut.

98 78 Arus di perairan Asia Tenggara, baik yang terjadi pada musim Barat (bulan Desember - Pebruari) ataupun pada musim Timur (bulan Juni -Agustus), dimana pada saat musim Barat ditandai dengan adanya aliran air dari arah utara melalui Laut Cina Selatan bagian atas. Laut Jawa dan Laut Flores, sedangkan pada waktu musim Timur terjadi kebalikannya yaitu arus mengalir dari arah Selatan (Hutabarat, 2001). Tinggi rendahnya produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan daerah dimana massa air berasal (Afdal dan Riyono, 2004). Romimohtarto dan Thayib (1982) mengatakan bahwa perairan laut Indonesia (nusantara) dipengaruhi oleh angin monsoon. Selanjutnya dikatakan bahwa angin monsoon yang terjadi berkaitan erat dengan sistem tekanan tinggi dan tekanan rendah di atas benua Asia dan Australia. Angin monsoon yang terjadi pada bulan Desember Februari dikenal sebagai angin barat, yaitu angin yang bertiup dari Asia ke Australia. Bulan Juni Agustus, terjadi kebalikannya yang dikenal sebagai monsoon timur. Pergantian sistem angin ini memberi pengaruh yang nyata pada perairan khususnya dilapisan permukaan. Menurut Nontji (2007) pada bulan Desember Februari, arus musim barat mengalir menuju timur. Pada musim panca roba yang terjadi bulan April, arus ke timur mulai melemah bahkan mulai berbalik arah, hingga dibeberapa tempat terjadi pusaran (eddies). Pada bulan Juni-Agustus arus musim timur mulai datang, dan arah arus telah berbalik arah sepenuhnya menuju ke barat yang akhirnya menuju ke Laut Cina Selatan. Pada musim panca roba kedua, sekitar Oktober, pola arus berubah lagi. Kadangkala arah arus sering tak menentu, apabila arus ke barat melemah, maka arus ke timur mulai menguat. Berdasarkan hasil yang diperoleh, bahwa faktor oseanografi dan klimatologi mempunyai pengaruh terhadap hasil tangkapan lemuru di Selat Bali, baik yang ditangkap oleh nelayan dari Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana periode tahun Berdasarkan persamaan regresi tersebut dapat dilihat bahwa secara bersama-sama faktor oseanografi dan klimatologi yang berpengaruh signifikan pada taraf uji 5% adalah klorofil-a dan angin. Sebaran klorofil-a yang tinggi dilokasi fishing ground akan meningkatkan keberadaan ikan, sehingga hasil tangkapan yang diperoleh lebih banyak. Hal ini terjadi karena ikan berada pada suatu wilayah perairan berkaitan dengan adanya ketersediaan

99 79 makanan pada wilayah tersebut (Himelda et al., 2012). Setelah dilakukan uji secara statistik, maka dapat diketahui bahwa faktor osenografi dan klimatologi yang berpengaruh secara langsung terhadap hasil tangkapan lemuru adalah sebesar 43,5% (R square). Sedangkan sebesar 56,5% berpengaruh secara tidak langsung, dan diduga berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya lemuru di Selat Bali, yang mana sumberdaya lemuru tersebut tidak berhasil ditangkap oleh nelayan. Untuk membuktikannya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hasil analisis ini merupakan salah satu parameter model dinamik keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) yang akan dibahas pada bab Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor oseanografi dan klimatologi di wilayah perairan Selat Bali selama periode , yang mempunyai pengaruh terhadap hasil tangkapan lemuru adalah klorofil-a (17.338,792), dan angin ( ,697) dengan analisis regresi linier biasa pada taraf uji (5%), dengan R square 43,5%. 2. Berdasarkan hasil analisis terhadap kualitas perairan Selat Bali yang dilakukan periode Mei Oktober 2011, menunjukan indikasi adanya penurunan kesuburan perairan di lokasi fishing ground.

100 80

101 81 6 ANALISIS SUMBERDAYA PERIKANAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 6.1 Pendahuluan Secara umum, sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih atau terbarukan, namun pemulihan tersebut memiliki keterbatasan dalam siklus pemulihannya (Tietenberg, 2000) vide (Prihatini, 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa laju pemulihan sumberdaya sangat lambat, sehingga membutuhkan waktu dan tidak dapat memulihkan stok atau sediaannya dalam waktu yang singkat secara ekonomis (Conrad, 1999 dan Tietenberg, 2000) vide (Prihatini, 2003). Selat Bali, merupakan selat yang memisahkan Pulau Jawa dan Bali dengan bentuk seperti corong. Pada bagian selatan melebar sebesar 35 km dan bagian utara menyempit dengan lebar 2,5 km. Secara geografis, Selat Bali terletak antara ' ' BT dan 8 10' 8 50' LS dengan luas sekitar 2500 km 2. Kegiatan penangkapan ikan di Selat Bali umumnya menggunakan alat tangkap purse seine untuk melakukan penangkapan ikan lemuru, namun masih ada alat tangkap lain yang dapat digunakan, seperti payang, jaring insang, pukat pantai, bagan, dan lain-lain. Beberapa tahun terakhir ini, produksi lemuru di Selat Bali cenderung menurun. Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur dan Bali, serta statistik perikanan tangkap Indonesia tahun 2010 dijelaskan bahwa hasil tangkapan lemuru di Selat Bali menurun sebesar 27,09%, dimana hasil tangkapan tahun 2010 (65.720,90 ton) menurun sebesar (24.428,5 ton), bila dibandingkan dengan tahun 2009 (90.149,40 ton). Menurut beberapa ahli, keadaan ini dipicu oleh intensifnya pemanfaatan sumberdaya lemuru yang dilakukan oleh nelayan setempat. Namun para ahli dan peneliti yang lain mengatakan bahwa ini merupakan efek dari global warming atau global changes yang berkepanjangan. Efek ini ditimbulkan oleh pergerakan arus panas dari Samudera Pasifik yang berpengaruh terhadap suhu perairan di Indonesia termasuk perairan Selat Bali. Sebagai sumberdaya yang sangat dominan dan memiliki nilai ekonomis tinggi, ikan lemuru yang ada di Selat Bali banyak dieksploitasi dan dimanfaatkan

102 82 oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk memanfaatkan sumberdaya ini adalah purse seine, atau dengan nama daerah lebih dikenal dengan sleret. Namun tidak tertutup kemungkinan alat tangkap selain purse seine juga dapat menangkap ikan lemuru antara lain payang, gillnet, bagan dan pukat pantai. Perikanan lemuru berperan sangat penting bagi masyarakat sekitar pesisir Selat Bali. Jika pengelolaannya tidak dibenahi dari sekarang, maka tidak tertutup kemungkinan ketersediaan sumberdaya tersebut akan terus menurun. Penurunan hasil tangkapan sangat berpengaruh kepada kegiatan perekonomian masyarakat pengguna. Mengingat intensifnya pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali, perlu dilakukan pengelolaan secara menyeluruh sehingga antara pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya dapat dipertahankan. Pengelolaan sumberdaya lemuru di Selat Bali, sudah waktunya untuk dilakukan dan sangat mendesak. Merta (1992) melakukan pengkajian untuk mengetahui keadaan stok sumberdaya lemuru yang ada di Selat Bali. Hasil penelitian tersebut menunjukkan sumberdaya lemuru sudah berada pada keadaan lebih tangkap. Untuk mengetahui tingkat pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali, perlu dilakukan analisis terhadap sumberdaya itu sendiri. Analisis ini menyangkut seberapa tinggi tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan oleh pelaku usaha penangkapan. King (1995) diacu dalam Nurhakim (2004) mengatakan bahwa tujuan utama dari pengelolaan adalah melakukan konservasi terhadap stok yang ada disuatu perairan. Namun demikian, dalam pembangunan perikanan akhir-akhir ini, hal yang perlu dipertimbangkan adalah tujuan ekonomi yaitu berkaitan dengan kondisi ekonomi, tujuan sosial berkaitan dengan kesejahteraan nelayan itu sendiri dan tujuan pemeliharaan lingkungan yaitu berkaitan dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya yang diikuti dengan pemeliharaan lingkungan perairan sebagai habitat ikan target penangkapan. Wiyono (2001) menyatakan bahwa sampai saat ini kajian tentang pengelolaan sumberdaya ikan yang mengaitkan faktor biologi, ekologi dan sosialekonomi dalam satu kesatuan kajian masih jarang dilakukan. Selanjutnya

103 83 dikatakan bahwa faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap armada penangkapan baik langsung maupun tidak langsung, dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya yang merupakan target utama penangkapan. 6.2 Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menghitung: (1) catch per unit effort (CPUE), melakukan standarisasi terhadap alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Selat Bali yaitu nelayan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. (2) Menghitung kembali pendugaan terhadap potensi lestari lemuru dan yang lebih penting lagi adalah berapa sebenarnya jumlah effort standar sehingga pemanfaatan sumberdaya lemuru dapat dilakukan secara berkelanjutan dan lestari. (3) Analisis kebiasaan makan ikan lemuru, sehingga dapat diketahui perubahan yang terjadi saat ini. (4) Mengukur panjang, berat dan lebar ikan yang tertangkap dengan menggunakan kapal purse seine. 6.3 Kebutuhan dan Metode Analisis Data Kebutuhan data Data yang dibutuhkan adalah data produksi ikan lemuru. Data produksi lemuru diambil dari Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dan Kebupaten Jembrana Provinsi bali. Data dikumpulkan secara time series dari tahun Parameter yang diukur adalah jumlah penangkapan (catch) dan jumlah unit alat tangkap (effort), untuk melihat keragaan dan pemanfaatan ikan lemuru saat ini serta untuk keperluan menghitung CPUE dan melakukan standarisasi terhadap alat tangkap yang ada. Pengukuran panjang, lebar dan berat ikan lemuru dilakukan untuk melihat dan mengetahui kecenderungan ukuran ikan lemuru yang tertangkap oleh nelayan. Pengukuran ini dilakukan secara langsung pada saat ikan lemuru didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan dan Unit Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai (UPPPP) Muncar. Jumlah sampel disesuaikan dengan hasil tangkapan yang diperoleh pada saat itu.

104 84 Analisis isi lambung dilakukan untuk mengetahui kecendrungan pola makan (feeding habits) ikan lemuru, apakah kebiasaan makan ikan lemuru pada saat berukuran sempenit, protolan, lemuru dan lemuru kucing berbeda satu sama lain. Pengujian dilakukan di Laboratorium Zoologi, program studi biologi Fakultas FMIPA pada Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya. Pengujian isi lambung ikan lemuru dilakukan berdasarkan ukuran ikan yang tertangkap selama periode Mei Oktober Keperluan data tentang sebaran daerah penangkapan ikan lemuru berpedoman kepada hasil-hasil penelitian terdahulu, disamping itu juga dilakukan survey lapangan yaitu mengikuti secara langsung dengan kapal nelayan pada titiktitik dimana mereka melakukan penangkapan ikan. Pengumpulan data untuk mengetahui sebaran daerah penangkapan ikan, dilakukan selama 6 (enam) bulan dari bulan Mei Oktober 2011, dengan mengikuti kebiasaan nelayan setempat Metode analisis data Metode yang digunakan untuk analisis data dilakukan sesuai peruntukkannya sebagai berikut: 1) Keragaan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya lemuru Keragaan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya lemuru perlu diketahui untuk melihat perkembangan hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Bali dan mengetahui perkembangan jumlah alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan setempat untuk memanfaatkan sumberdaya lemuru periode Keragaan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya lemuru dilakukan secara deskriptif kuantitatif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Dari gambaran keragaan tersebut dapat diketahui alat tangkap mana yang menghasilkan lemuru paling tinggi. 2) Analisis produktivitas alat tangkap Perhitungan nilai Catch per unit effort (CPUE), dilakukan untuk mengetahui laju upaya penangkapan, dengan melakukan pembagian total hasil tangkapan (catch) terhadap upaya penangkapan (effort). Formula yang digunakan untuk menghitung nilai CPUE (Gulland 1983) adalah:

105 85...(6.1) dimana, Ci = hasil tangkapan ke-i (ton) = upaya penangkapan ke-i CPUEi = hasil tangkapan per unit upaya penangkapan ke-i (ton/unit). Dalam perhitungan ini, jumlah armada penangkapan sebagai upaya penangkapan, dengan asumsi jumlah trip masing-masing armada dalam satu tahun adalah sama. Untuk mengelola sumberdaya perikanan lemuru ataupun perikanan secara keseluruhan, jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB) berlandaskan kepada nilai optimum hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang digunakan (Wiyono 2001), dimana nilai tersebut merupakan maximum sustainable yield (MSY). Pemanfaatan dan penangkapan sumberdaya akan lestari dan hasil tangkapan akan maksimum pada saat mencapai nilai MSY, sehingga dalam melakukan pengkajian terhadap nilai upaya penangkapan (E msy ) dan nilai hasil tangkapan (C msy ) saat berada pada keadaan MSY merupakan faktor pembatas dalam pemanfaatan sumberdaya yang tidak boleh terlampaui. Hal ini disebut dengan fungsi pembatas. Untuk mengetahui C msy dan E msy, ikan lemuru di Selat Bali digunakan formula sebagai berikut: =, =...(6.2) dimana, : nilai hasil tangkapan optimum : nilai upaya penangkapan optimum : konstanta : koefisien 3) Analisis standarisasi alat tangkap Standarisasi alat tangkap dilakukan untuk menyeragamkan satuan-satuan upaya yang berbeda, sehingga upaya penangkapan dan alat tangkap standar dapat

106 86 dianggap sama. Gulland (1991) menyatakan, jika pada satu perairan terdapat lebih dari satu jenis alat tangkap yang dioperasikan untuk memanfaatkan sumberdaya yang sama, maka salah satu dari alat tangkap tersebut dapat digunakan sebagai alat tangkap standar, dan jenis alat tangkap lainnya dapat distandarisasikan terhadap jenis alat tangkap tersebut. Jenis alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar haruslah alat tangkap yang mempunyai nilai produktifitas tertinggi. Dalam hal ini, dapat diasumsikan bahwa masingmasing alat tangkap yang distandarisasikan tidak mengalami perubahan yang berarti, yang mana alat tangkap standar tersebut mempunyai nilai fishing power index (FPI) sama dengan satu. Spare and Venema (1999) menetapkan formula untuk perhitungan fishing power index (FPI) sebagai berikut: :, dimana,...(6.3)...(6.4) = x...(6.5) = x...(6.6) dimana, = hasil tangkapan pertahun alat tangkap standart (ton) = upaya penangkapan per tahun alat tangkap standar (unit) = hasil tangkapan per tahun alat tangkap lainnya (ton) = upaya penangkapan per tahun alat tangkap lainnya (unit) = hasil tangkapan per upaya penangkapan tahunan alat tangkap standart (ton/unit)

107 87 = hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap lainnya (ton/unit) = Faktor daya tangkap alat tangkap lain = Faktor daya tangkap alat tangkap standart 4) Analisis fungsi produksi ikan lemuru Fungsi produksi dan pengkajian stok dapat dilakukan dengan menggunakan surplus production methods (SPM), yaitu dengan mengestimasi hasil tangkapan lestari (C msy ) dan upaya penangkapan lestari (E msy ). Terdapat 5 model Surplus Production Methods yang digunakan dalam menghitung C msy dan E msy, yaitu model Schnute, Walter-Hilborn, DisEquilibrium Schaefer, Equilibrium Schaefer, dan model Clark Yoshimoto dan Pooley (CYP). Kelima model ini harus diujikan terlebih dahulu untuk menentukan model yang cocok dan terbaik. Kriteria model terbaik adalah yang memiliki kesesuaian tanda, dan penyimpangan (validasi) terkecil. a. Metode Schnute (1977), dengan formula: Ut 1 r Ut 1 Ut ( Et Et 1) ln r ( ) q U qk 2 2 t...(6.7) b. Metode Walter Hilbron (1976) dengan formula: U U t 1 t 1 r r qk U t qe t...(6.8) c. Metode Disequilibrium Schaefer dengan formula: U t 1 t 1 2 U U t r r qk U t qe t...(6.9) d. Metode equilibrium Schaefer (1954) dengan formula: = q K E = (6.10) e. Metode Clark, Yoshimoto, dan Pooley (1992) dengan formula: 2r (2 r) q ln( Ut 1) ln( qk) ln( Ut ) ( Et Et 1) 2 r 2 r) (2 r)...(6.11)

108 88 dimana : U t : catch per unit effort (CPUE) pada periode t U t+1 : catch per unit effort (CPUE) pada periode t+1 E t : effort pada periode t E t+1 : effort pada periode t+1 H t : Hasil tangkapan periode t K : Konstanta daya dukung r : Konstanta pertumbuhan alami q : Koefisien daya tangkap. Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan masing-masing formula di atas, maka dilihat model mana yang memiliki kesesuaian tanda terhadap konstanta yang dibutuhkan. Jika perhitungan menghasilkan dua metode pengujian yang memiliki kesesuaian tanda, maka dilakukan uji lanjut dengan membandingkan antara dua persamaan tersebut untuk memperoleh fungsi produksi yang paling best-fit yaitu dengan yang memiliki standar deviasi paling kecil, dengan menggunakan formula: ( ).(6.12) Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model penduga seperti tersebut di atas, maka dilihat model penduga mana yang memiliki standar deviasi terendah. Model penduga parameter yang baik adalah mempunyai nilai deviasi (antara nilai duga dan nilai aktual) terendah, dan nilai konstanta yang bersesuaian. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, dapat diduga berapa sebenarnya potensi lestari sumberdaya lemuru di Selat Bali. Untuk memudahkan analisis data, digunakan program pengolah data Microsoft Office Excell. 5) Pengukuran panjang, lebar dan berat ikan lemuru hasil tangkapan nelayan Dilakukan untuk mengetahui kecenderungan ukuran ikan lemuru yang berhasil ditangkap oleh nelayan di Selat Bali. Pengukuran dilakukan secara

109 89 langsung, dengan mengambil sampel ikan hasil tangkapan dari beberapa kapal yang mendarat. Pengukuran dilakukan selama 6 (enam) bulan, mulai bulan Mei Oktober Lokasi pengukuran dilakukan pada 2 (dua) tempat yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan Bali dan Unit Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar. Selanjutnya hasil pengukuran dikompilasi dan dihitung rata-rata ukuran panjang, lebar dan berat ikan, kemudian hasil tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik sehingga jelas terlihat pola ukuran ikan lemuru yang tertangkap selama observasi. Panjang ikan, merupakan panjang ikan total yang diukur dari ujung kepala yang terdepan/termuka dan ujung sirip ekor paling belakang. Tinggi badan atau lebar, diukur dari tempat yang tertinggi yaitu dari dasar sirip yang melewati garis punggung, seperti terlihat pada Gambar 22 (Sa anin, 1984). Penyelesaian perhitungan untuk mengetahui rata-rata ukuran ikan hasil tangkapan selama periode pengukuran, dilakukan dengan program Microsoft Office Excell 2007, Gambar 22 Cara pengukuran panjang dan lebar ikan sampel dengan menggunakan kertas grafik 6) Analisis kebiasaan makan (feeding habits) ikan lemuru Analisis ini dilakukan untuk melihat kecenderungan pola makan ikan lemuru berdasarkan ukurannya. Analisis dilakukan di laboratorium Zoologi, program studi Biologi Fakultas FMIPA pada Institut Teknologi Sepuluh

110 90 November Surabaya. Pelaksanaan analisis dilakukan pada bulan Juli - September Analisis dilakukan terhadap komposisi dan frekuensi (Fp). Kemunculan dan komposisi ini dibedakan menjadi; (1) kemunculan makanan dominan atau makanan utama (D), (2) kemunculan makanan sekunder (S), dan (3) kemunculan jarang (J). Untuk mengetahui nilai frekuensi kemunculan makanan/mangsa digunakan formula sebagai berikut (Yamashita, 1991). ( ) x (6.13) dimana, = persentase frekuensi kemunculan tiap jenis mangsa (j) = jumlah lambung yang berisi makanan (j) = jumlah lambung yang berisi total makanan. Selanjutnya, untuk mengetahui indeks komposisi nilai makanan yang ada dalam lambung sampel uji, digunakan formula sebagai berikut (Yamashita, 1991). ( ) x 100,...(6.14) dimana, = indeks komposisi nilai makanan = jumlah tiap jenis makanan j pada lambung ikan sampel (nj) = jumlah total makanan dalam lambung ikan sampel. 6.4 Hasil Penelitian Keragaan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya lemuru Kegiatan penangkapan ikan lemuru di Selat bali, sangat intensif dilakukan. Jenis alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan di Selat Bali dalam rangka pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru adalah purse seine (pukat cincin) atau lebih dikenal dengan nama slerek/sleret. Alat tangkap lain yang digunakan adalah payang, bagan, pukat pantai, dan gillnet. Namun alat tangkap yang dominan digunakan untuk menangkap lemuru adalah purse seine, karena hasil tangkapan yang diperoleh lebih banyak jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya.

111 91 Perkembangan jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan dalam pemanfaatan ikan lemuru dapat dilihat pada Tabel 16. Pada Tabel 16, dapat dilihat bahwa secara global alat tangkap yang banyak beroperasi di Selat Bali adalah alat tangkap gillnet sebanyak 75,85%, pukat cincin sebanyak 11,82%, bagan sebanyak 6,50%, payang sebanyak 2,98% dan pukat pantai sebanyak 2,85%. Pukat cincin (purse seine), atau masyarakat setempat mengenal dengan nama sleret lebih banyak dan paling dominan digunakan untuk pemanfaatan ikan lemuru, mengingat alat tangkap ini memiliki kemampuan lebih untuk menghasilkan lemuru dalam satu kali hauling. Tabel 16 Perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap yang digunakan untuk penangkapan lemuru di Selat Bali tahun Perkembangan jumlah alat tangkap No Tahun Banyuwangi Jembrana P. Cincin Payang Gillnet Bagan P. Pantai P Cincin Gillnet Jumlah Rata-rata Sumber: DKP Kabupaten Banyuwangi (2011) dan DPKK Kabupaten Jembrana (2011) Menurut data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi (2011) terlihat bahwa hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar ,01 ton, sementara hasil tangkapan terendah terjadi tahun 2005 yaitu sebesar 7.200,33 ton untuk alat tangkap purse seine. Hasil tangkapan lemuru dengan menggunakan alat tangkap payang, tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 3.080,19 ton, sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar ton. Untuk alat tangkap gillnet hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 5.689,92 ton, sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 355,53 ton. Hasil tangkapan ikan lemuru dengan menggunakan alat tangkap bagan terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 1.540,09 ton, sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 179,03 ton. hasil tangkapan lemuru tertinggi

112 92 untuk kabupaten Jembrana dengan menggunakan alat tangkap purse seine terjadi tahun 2009 yaitu sebesar ,80 ton, dan hasil tangkapan terendah terjadi tahun 2005 yaitu sebesar 4.052,60 ton. hasil tangkapan lemuru tertinggi dengan menggunakan alat tangkap pukat pantai terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 196,70 ton dan hasil tangkapan terendah terjadi tahun 2005 yaitu sebesar 26,30 ton. Untuk alat tangkap gillnet terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 388,00 ton, sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi tahun 2005 yaitu sebesar 1,40 ton (Tabel 17). Tabel 17 Produksi lemuru Selat Bali tahun Sumber: DKP Kabupaten Banyuwangi (2011) dan DPKK Kabupaten Jembrana (2011) 1) Purse seine Purse seine atau pukat cincin, diperkenalkan kepada masyarakat dan nelayan Muncar pada tahun Perkembangan alat tangkap ini sangat pesat, bila dibandingkan dengan alat tangkap lain yang digunakan oleh nelayan sebelumnya. hasil tangkapan lemuru yang dihasilkan dari Selat Bali, yaitu oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana dengan menggunakan alat tangkap purse seine dapat dilihat pada Tabel 17. Hasil tangkapan tertinggi di Kabupaten Banyuwangi adalah pada tahun 2007 sebesar ,01 ton, sedangkan hasil tangkapan terendah terjadi pada tahun 2005 sebesar 7.200,33 Ton. Hasil tangkapan lemuru tertinggi di Kabupaten Jembrana terjadi pada tahun 2009 sebesar ,80 ton, dan hasil tangkapan terendah terjadi pada tahun 2005 sebesar 5.887,20 ton (Gambar 23).

113 Hasil tangkapan (ton/thn) 93 Perbedaan jumlah tangkapan yang didaratkan di Kebupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana jelas terlihat. Hal ini dapat dipahami, karena rata-rata jumlah alat tangkap purse seine yang ada di Kabupaten banyuwangi lebih banyak bila dibandingkan dengan Kabupaten Jembrana (Tabel 17). 60, , , , , , Tahun Banyuwangi Jembrana Gambar 23 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap purse seine di Selat Bali tahun Berdasarkan data yang diperoleh dari UPPPP Muncar, jumlah purse seine yang beroperasi tahun 2010 adalah sebanyak 203 unit, sementara itu di Kabupaten Jembrana jumlah purse seine yang beroperasi untuk tahun 2010 sebanyak 107 unit. 2) Payang Payang, adalah jenis alat tangkap yang hampir menyerupai purse seine, dimana alat tangkap ini juga memilik kantong dibagian tengahnya. Secara umum, alat tangkap ini digunakan oleh masyarakat Banyuwangi atau terutama nelayan Muncar untuk menangkap ikan tongkol. Namun pada saat sumberdaya lemuru meningkat jumlahnya, maka alat tangkap ini juga menghasilkan lemuru sebagai hasil tangkapan mereka. Produksi lemuru hasil tangkapan payang tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 3.080,19 ton dan terendah terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar ton. Alat tangkap payang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Banyuwangi untuk menangkap ikan lemuru, sementara nelayan Kabupaten Jembrana tidak menggunakannya (Gambar 24). Alat tangkap payang ini oleh nelayan di

114 Hasil tangkapan (ton/thn) Hasil tangkapan (ton/thn) 94 Kabupaten Banyuwangi juga digunakan untuk menangkap ikan selain ikan lemuru, atau lebih tepatnya alat tangkap ini digunakan sesuai dengan musim ikan. 3, , , , , , Banyuwangi Tahun Gambar 24 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap Payang di Selat Bali tahun ) Gillnet Hasil tangkapan ikan lemuru dengan menggunakan alat tangkap gillnet di Selat Bali, selama kurun waktu 6 tahun yaitu dari tahun sangat berfluktuasi. Pada tahun 2009 hasil tangkapan lemuru tertinggi dengan menggunakan alat tangkap gillnet yaitu 573,58 ton, dan terendah terjadi tahun 2007 yaitu sebesar 201,10 ton (Gambar 25) Tahun Banyuwangi Jembrana Gambar 25 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap Gillnet di Selat Bali tahun

115 Hasil tangkapan (ton/thn) 95 Sementara produksi gillnet yang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Jembrana, tertinggi terjadi tahun 2008 sebesar 388,00 ton. Hasil tangkapan terendah terjadi tahun 1,40 ton. 4) Pukat Pantai Alat tangkap pukat pantai, merupakan alat tangkap tradisional dan masih banyak digunakan oleh nelayan di Kabupaten Jembrana, terutama untuk penangkapan ikan lemuru. Sementara itu nelayan Kabupaten Banyuwangi tidak menggunakannya. Hasil tangkapan lemuru yang tercatat tidak begitu tinggi bila dibandingkan dengan alat tangkap lain. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 196,70 ton dan terendah terjadi tahun 2005 yaitu 26,30 ton. Grafik pada Gambar 26 memperlihatkan fluktuasi jumlah hasil tangkapan lemuru dengan menggunakan alat tangkap pukat pantai Tahun Jembrana Gambar 26 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap pukat pantai di Selat Bali tahun ) Bagan Hasil tangkapan lemuru dengan alat tangkap bagan tidak memperlihat hasil tinggi sebagaimana menggunakan alat tangkap purse seine. Hasil tangkapan paling tinggi terjadi tahun 2006, yaitu sebesar 1.540,09 ton. Untuk tahun-tahun berikutnya terjadi penurunan, dan yang paling rendah terjadi tahun 2010 sebesar 178,99 ton (Gambar 27). Secara garis besar dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan lemuru selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2010 berfluktuasi. Hasil tangkapan yang lebih

116 Hasil tangkapan (ton/thn) 96 besar adalah menggunakan alat tangkap purse seine. Seperti kita ketahui bersama dan sudah diuraikan pada penjelasan terdahulu, bahwa alat tangkap purse seine merupakan alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali Tahun Banyuwangi Gambar 27 Perkembangan produksi lemuru dengan alat tangkap Bagan di Selat Bali tahun Analisis fungsi produksi perikanan lemuru Setelah dilakukan penghitungan catch per unit effort (CPUE) ikan lemuru dengan jenis alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan di Selat Bali, maka dapat dilihat bahwa CPUE rata-rata tertinggi adalah dengan menggunakan alat tangkap purse seine, baik yang mendaratkan hasil tangkapan di UPPPP Muncar (164,5942 ton/unit) maupun di PPN Pangambengan Bali (311,1950 ton/unit). Tabel 18 Total tangkapan (catch) CPUE standar dan Effort standar ikan lemuru di Selat Bali tahun Tahun C total CPUE std E std ,22 79,56 181, ,19 221,47 305, ,72 368,75 221, ,10 319,48 180, ,79 517,24 138, ,72 360,67 156,322 TOTAL , , ,248 Rata ,46 311,19 197,208 Sumber: UPPPP Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Dinas PKK Kabupaten Jembrana (2011), data diolah

117 Pemanfaatan (ton/thn 97 Pemanfaatan ikan lemuru di Selat Bali dilakukan oleh nelayan yang berasal dari Kabupaten Jembrana dengan tempat pendaratan utama di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan (PPN Pengambengan) dan nelayan dari Kabupaten Banyuwangi dengan tempat pendaratan utama di UPPPP Muncar (Tabel 18). Berdasarkan uji kelima metode untuk mendapatkan hasil yang lebih best fit untuk menentukan C msy dan E msy terhadap 5 (lima) metode yaitu Schnute, Walter Hilbron, Disequilibrium Schaefer, Equilibrium Schaefer dan Clark, Yoshimoto dan Pooley (CYP) terhadap data, maka metode Clark Yoshimoto dan Pooley (CYP) memenuhi syarat (Lampiran 9), dengan persamaan: Berdasarkan persamaan yang diperoleh dengan menggunakan metode Clark, Yoshimoto dan Pooley (CYP), maka dapat dihitung nilai potensi maksimum lestari (C msy ) dan diperoleh hasil sebesar ,61 ton per tahun dan nilai upaya maksimum lestari (E msy ) diperoleh sebesar 252,47 unit per tahun. Jika dilihat total pemanfaatan sumberdaya lemuru tertinggi selama periode tahun di Selat Bali terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar ,72 ton dan terendah terjadi tahun 2005 sebesar ,22 ton (Gambar 28). Berpedoman kepada nilai C msy dan E msy hasil perhitungan, maka pemanfaatan dan pengusahaan sumberdaya lemuru sudah mengalami lebih tangkap (over fishing). 90, , , , , , , , , (10, ) Upaya (Effort) Gambar 28 Kurva hasil tangkapan lemuru di Selat Bali tahun

118 Standarisasi alat tangkap Standarisasi terhadap alat tangkap perlu dilakukan, karena berdasarkan data yang ada ikan lemuru dapat ditangkap dengan menggunakan beberapa alat tangkap yaitu purse seine (paling dominan), payang, pukat pantai, gillnet dan bagan. Seperti kita ketahui bersama bahwa kemampuan menangkap dari masingmasing alat tangkap tersebut berbeda-beda. Tujuan dilakukan standarisasi alat tangkap ini sebagai alat ukur terhadap tingkat kemampuan pemanfaatan satu jenis alat tangkap sekaligus sebagai indikator pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru secara optimal, dengan harapan pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan secara terus menerus dan lestari. Berdasarkan kemampuan menangkap yang berbeda tersebut, maka jumlah upaya penangkapan oleh masing-masing alat tangkap dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru, merupakan penjumlahan dari upaya masing-masing alat tangkap yang sudah distandarisasi dengan memasukkan nilai FPI. Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa CPUE rata-rata tertinggi dari tahun adalah alat tangkap purse seine yang mendaratkan hasil tangkapannya di Kabupaten Jembrana. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka alat tangkap ini terpilih sebagai alat tangkap standar dengan FPI sama dengan satu (Tabel 19). Tabel 19 Fishing power index (FPI) alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan lemuru FPI Tahun P bwi PR bwi B bwi GN bwi PP Jemb PR Jemb GN Jemb Rata Sumber: Diolah dari data statistik DPK Kabupaten Banyuwangi dan DPKK Kabupaten Jembrana (2011) Keterangan: P bwi : Payang Banyuwangi PR bwi : Purse seine Banyuwangi B bwi : Bagan Banyuwangi

119 99 GN bwi : PP Jemb : PR Jemb : GN Jemb : Gillnet Banyuwangi Pukat pantai Jembrana Purse seine Jembrana Gillnet Jembrana Upaya penangkapan standar merupakan upaya yang dilakukan oleh masing-masing jenis alat tangkap dan merupakan hasil perkalian effort standar dengan nilai FPI (Tabel 20). Upaya penangkapan (Tabel 20) dengan alat tangkap purse seine tertinggi adalah yang mendaratkan hasil tangkapan lemuru di Kabupaten Jembrana, yaitu tahun 2010 sebanyak 107 unit alat tangkap standar, sedangkan terendah terjadi tahun 2005 dan 2006 yaitu sebanyak 74 unit alat tangkap standar. Untuk purse seine yang mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Muncar, upaya penangkapan tertinggi terjadi tahun 2006 sebanyak 142 unit alat tangkap standar, dan terendah tahun 2010 yaitu sebanyak 9 unit alat tangkap standar. Tabel 20 Nilai upaya penangkapan standar alat tangkap penghasil ikan lemuru Tahun Upaya penangkapan standar (Estd) P bwi PR bwi B bwi GN bwi PP Jemb PR Jemb GN Jemb Rata Sumber: Diolah dari data statistik DPK Kabupaten Banyuwangi dan DPKK Kabupaten Jembrana (2011) Keterangan: P bwi : Payang Banyuwangi PR bwi : Purse seine Banyuwangi B bwi : Bagan Banyuwangi GN bwi : PP Jemb : PR Jemb : GN Jemb : Gillnet Banyuwangi Pukat pantai Jembrana Purse seine Jembrana Gillnet Jembrana

120 100 Upaya penangkapan alat tangkap payang di Kabupaten Banyuwangi tertinggi terjadi tahun 2006 sebanyak 14 unit alat tangkap standar, dan terendah adalah tahun 2005, 2007, dan tahun 2010 masing-masing sebanyak 2 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan alat tangkap gillnet yang dioperasikan di Kabupaten Banyuwangi tertinggi terjadi tahun 2008 yaitu sebanyak 2 unit alat tangkap standar, sedangkan pada tahun alat tangkap standar tidak dioperasikan dikabupaten ini. Upaya penangkapan alat tangkap bagan yang dioperasikan di Kabupaten Banyuwangi tertinggi secara berturut-turut terjadi tahun 2006 sebanyak 7 unit alat tangkap standar. Upaya penangkapan alat tangkap pukat pantai yang dioperasikan di Kabupaten Jembrana tertinggi terjadi tahun 2008 sebanyak 1 unit alat tangkap standar, berikutnya secara berturut-turut tahun dan tahun tidak ada alat tangkap standar yang dioperasikan di kabupaten ini. Hasil analisis ini digunakan sebagai parameter untuk analisis model pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali dengan pendekatan ekosistem (bab 9) Ukuran panjang, lebar dan berat ikan lemuru hasil tangkapan nelayan Pengukuran ikan lemuru dilakukan selama 6 bulan, yaitu dari bulan Mei Oktober Pengukuran dilakukan di dua tempat yaitu di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan dan UPPPP Muncar. Kecenderungan ukuran ikan lemuru yang ditangkap oleh nelayan berdasarkan pengamatan dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober tertera pada Gambar Muncar Pengambengan panjang lebar berat panjang Lebar berat Gambar 29 Rata-rata ukuran panjang, lebar dan berat lemuru hasil tangkapan nelayan bulan Mei Oktober 2011

121 101 Perbedaan ukuran panjang dan berat, hasil tangkapan lemuru yang didaratkan di UPPPP Muncar dan PPN Pangambengan bisa saja terjadi. Perbedaan hasil tangkapan dapat terjadi disebabkan oleh perbedaan daerah penangkapan yang dilakukan oleh nelayan masing-masing wilayah. Pada Gambar 29, terlihat bahwa ukuran panjang, lebar dan berat lemuru hasil tangkapan nelayan di Muncar dan di Jembrana berbeda. Hasil pengukuran yang dilakukan pada bulan Juli 2011 di PPN Pengambengan menunjukan ikan lemuru yang tertangkap rata-rata berukuran panjang 12,48 cm, sementara di UPPPP Muncar adalah 13,29 cm. Jika dilihat dari kisaran ukuran panjang ikan lemuru, pada bulan Juli 2011 ukuran lemuru yang didaratkan di PPN Pengambengan dan UPPPP Muncar juga berbeda. Ukuran sempenit yang terdata berada pada kisaran 9,90 12,50 cm, sedangkan di UPPPP Muncar ukuran sempenit berada pada kisaran 10,00 12,50 cm. Grafik pada Gambar 29, memperlihatkan dengan jelas perbedaan ukuran ikan lemuru yang tertangkap di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Kebiasaan makan (feeding habits) ikan lemuru Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap isi lambung ikan lemuru, maka diperoleh hasil bahwa makanan utama lemuru adalah plankton, namun dari hasil analisa terdapat perbedaan komposisi makanan berdasarkan ukuran ikan lemuru. Saat lemuru berukuran sempenit kecendrungan makanannya adalah phytoplankton. Pada saat berukuran protolan, kecenderungan komposisi makanannya adalah zooplankton dan ketika berukuran lemuru, dan lemuru kucing, kecenderungan komposisi makanannya adalah phytoplankton (Tabel 21). Kebiasaan makan ikan lemuru sangat tergantung dengan ketersediaan nutrien di perairan laut Selat Bali. Hasil uji laboratorium yang dilakukan untuk mengetahui kecenderungan pola makan ikan lemuru menunjukkan bahwa secara umum ikan lemuru merupakan hewan pemakan plankton (plankton feeder).

122 102 Tabel 21 Jenis makanan yang ada dalam lambung ikan lemuru sampel Jenis Makanan dalam Tanggal Lambung Ikan NS Nsj kode sampel Fp frekuensi kumunculan tiap jenis mangsa D (%) S (%) J 26 Juli 11 Sempenit phytoplankton zooplankton sisik ikan cacing potongan udang Agust 11 Protolan phytoplankton zooplankton Potongan Udang Kulit Ikan Cacing sisik ikan Agust 11 Lemuru phytoplankton zooplankton Cacing Sisik Ikan Kulit Ikan potongan udang Sept 11 L. kucing Phytoplankton Zooplankton Sisik Ikan Cacing Potongan Udang Potongan Copepode Sumber: Data primer berdasarkan uji laboratorium (2011) Komposisi plankton yang ditemukan dari hasil bedah lambung (Tabel 22), diketahui bahwa pada saat lemuru berukuran sempenit, kecenderungan pola makan dan jenis makanannya adalah phytoplankton, dengan indeks komposisi nilai makanan sebesar 48,78%. Pada saat berukuran protolan berubah menjadi pemakan zooplankton (43,75%), namun pada saat berukuran lemuru dan lemuru kucing indeks komposisi nilai makanan yang ditemukan pada sampel uji adalah phytoplankton, yaitu 42,86% untuk lemuru dan 45,46% untuk lemuru kucing. Jenis zooplankton dominan yang terdapat dalam lambung ikan sampel uji adalah Trichodesmium sp (79), Leptrotintinnus sp (77), dan Triceratium sp (16). Jenis phytoplankton dominan yang terdapat dalam lambung ikan sampel uji adalah Cascimodiscus sp (45), Spyrogira sp (28), Volvox sp (20), dan Flagilaria sp (6). Hasil uji Laboratotium terhadap jenis plankton yang terdapat di lambung ikan lemuru sampel dapat dilihat pada Lampiran 11.

123 103 Tabel 22 Indeks komposisi nilai makanan dalam lambung ikan sampel uji Sumber: Data primer berdasarkan uji laboratorium (2011) Daerah penangkapan Daerah penangkapan ikan lemuru (fishing ground), terdapat di sepanjang paparan Jawa dan Bali. Nelayan Banyuwangi dan Jembrana sudah mempunyai daerah penangkapan mereka masing-masing. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu, dan hasil wawancara dengan nelayan Banyuwangi dan Jembrana, bahwa daerah penangkapan lemuru adalah; (1) untuk paparan Jawa: Klosot, Sembulungan, Wringinan, Tanjung Angguk, dan Karang Ente, serta Grajagan (selatan Jawa); (2) untuk paparan Bali: Pulukan, Seseh, dan Jimbaran. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Mei Oktober 2011, bahwa daerah penangkapan lemuru berbeda menurut ukuran ikan. Pada wilayah paparan Bali, sempenit yaitu lemuru dengan ukuran panjang 10 12,5 cm dan protolan yaitu lemuru dengan ukuran panjang 13 14,5 cm lebih banyak tertangkap di wilayah Pulukan. Lemuru dengan ukuran panjang 15 17,5 cm di

124 104 wilayah perairan Seseh, dan lemuru kucing dengan ukuran panjang 17,9 19 cm lebih banyak tertangkap di Jimbaran. Pada wilayah paparan Jawa, sempenit dan protolan banyak tertangkap di Karang Ente, Wringinan. Namun lemuru dan lemuru kucing, sebagian besar sering tertangkap di Karang Ente dan sebagian besar di wilayah Jimbaran. 6.5 Pembahasan Sesuai dengan tujuan penelitian, dalam bab ini hal-hal yang ingin dibahas berkaitan dengan (1) keragaan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap lemuru, (2) berkaitan dengan fungsi produksi, (3) berkaitan dengan kebiasaan makan lemuru, dan (4) berkaitan dengan sebaran daerah penangkapan di perairan Selat Bali. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui tingkat pemanfaatan sumberdaya lemuru yang dilakukan oleh nelayan Selat Bali sangat intensif. Produksi lemuru terus meningkat dan pada tahun 2007 adalah produksi tertinggi untuk Kabupaten Banyuwangi, sedangkan untuk Kabupaten Jembrana produksi tertinggi terjadi pada tahun Purse seine atau masyarakat Selat Bali lebih mengenal dengan nama sleret, yang berarti ditarik, merupakan alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan. Alat tangkap ini merupakan alat tangkap aktif, dengan cara pengoperasiannya adalah memburu gerombolan ikan. Kegiatan penangkapan lemuru di Selat Bali merupakan kegiatan ekonomi yang penting, baik itu untuk Kabupaten banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Kontribusi yang dihasilkan cukup besar, terutama untuk memenuhi bahan baku pengalengan. Kegiatan ini memberikan pendapatan daerah yang cukup besar. Hariyanto et al. (2008) menyatakan bahwa, kegiatan perikanan tangkap sangat menunjang kegiatan perekonomian daerah dan merupakan penyumbang pendapatan daerah tertinggi. Alat tangkap lain yang digunakan oleh nelayan Selat Bali adalah gillnet, payang, pukat pantai dan bagan. Walaupun alat tangkap ini tidak memberikan kontribusi terhadap hasil tangkapan yang diperoleh, namun sangat berkaitan dengan usaha nelayan skala kecil. Berkaitan dengan hal tersebut, prinsip pengelolaan terhadap sumberdaya lemuru di Selat Bali perlu dilakukan pengaturan

125 105 yang sangat selektif, terutama berkaitan dengan kelangsungan hidup nelayan yang menggantungkan hidup mereka terhadap jenis alat tangkap yang mereka miliki. Hal yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan adalah memperhatikan pola penangkapan yang dilakukan sehingga pengelolaan sumberdaya dapat dilakukan secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan, sangat berkaitan dengan selektifitas alat tangkap yang digunakan dan faktor-faktor lingkungan perairan itu sendiri sebagai habitat ikan target penangkapan. Selektifitas alat tangkap berkaitan dengan ukuran mata jaring yang digunakan. Menurut DeAlteris and Riedel (1996), bahwa studi tentang karakteristik dan pemilihan ukuran alat tangkap dan mata jaring untuk penangkapan ikan, sudah mulai dilakukan sejak awal tahun 1900-an, hal ini dilakukan dalam rangka upaya aplikasi ke arah pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Melakukan standarisasi terhadap alat tangkap yang digunakan oleh nelayan bertujuan untuk mewujudkan kemampuan suatu jenis alat tangkap dapat berfungsi secara optimal (dalam segala aspek). Standarisasi alat tangkap perlu dilakukan, agar tidak terjadi peningkatan kapasitas dalam pemanfaatan sumberdaya yang berakibat pada lebih tangkap (over fishing). Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan untuk standarisasi terhadap alat tangkap (Tabel 20), dan nilai E msy sebesar 252,47 unit per tahun, sementara jumlah alat tangkap purse seine sebagai alat tangkap standar yang beroperasi di Selat Bali tahun 2010 sebanyak 310 unit dan sudah melebih E msy. Mengacu kepada SKB Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali tahun 1992 tentang pengaturan jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi yaitu sebanyak 273 unit dengan pembagian 190 unit untuk Provinsi Jawa Timur dan 83 unit untuk Provinsi Bali, maka pengendalian atau pengaturan ulang jumlah alat tangkap yang digunakan harus dilakukan. Upaya pengendalian tersebut perlu dilakukan secara menyeluruh, baik itu berupa perbaikan peraturan yang ada, juga perlu dilakukan peningkatan pemahaman kepada pelaku usaha, sehingga tujuan pengelolaan berkelanjutan dapat terwujud.

126 106 Berdasarkan SKB Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali tahun 1992 tentang pengaturan jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi yaitu sebanyak 273 unit dengan pembagian 190 unit untuk Provinsi Jawa Timur dan 83 unit untuk Provinsi Bali, sebagaimana sudah dijelaskan pada uraian terdahulu, maka perlu dilakukan evaluasi ulang atau penyesuaian dengan kondisi yang ada saat ini. Menurut Kepala Bidang Perikanan-Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan, perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap SKB tersebut, karena sudah terlalu lama dan tidak sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan saat ini. Pengaturan ini berlaku untuk alat tangkap purse seine, sementara pengaturan untuk jenis alat tangkap lainnya belum dilakukan. Hasil wawancara dengan nelayan gillnet yang ada Kabupaten Jembrana, sebagian besar dari mereka belum pernah mengetahui adanya pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat untuk alat tangkap selain purse seine. Menurut pengamatan kami selama pengumpulan data di lapangan, memang sangat perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap SKB dua Gubernur seperti yang sudah diuraikan pada penjelasan terdahulu. Upaya pengendalian jumlah alat tangkap yang digunakan, perlu dilakukan secara menyeluruh, baik itu berupa perbaikan peraturan yang ada, juga perlu peningkatan pemahaman kepada pelaku usaha, sehingga tujuan pengelolaan berkelanjutan dapat terwujud. Perwujudan pengelolaan berkelanjutan berkaitan dengan selektivitas alat tangkap yang digunakan. Menurut Sudirman et al (2011), suatu alat tangkap dikatakan mempunyai selektivitas tinggi jika dalam pengoperasiannya hanya menangkap target spesies dengan ukuran tertentu. Secara ekonomi, alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Selat Bali untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru adalah menguntungkan. Namun demikian hal yang perlu diperhatikan adalah efisiensi alat yang digunakan terhadap hasil yang didapatkan setiap hari. Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) merupakan ikan peruaya. Sifat peruaya ini berkaitan erat dengan upaya mencari makan yang dilakukan oleh ikan tersebut. Ikan akan mencari dan memilih suatu kombinasi optimum tertentu terhadap kondisi-kondisi fisik dan biologi lingkungan perairan sebagai habitatnya

127 107 (Merta dan Nurhakim, 2004). Menurut Indrawati (2000), ikan lemuru cenderung berada pada kondisi perairan dengan suhu antara 26,01-27,00 C. Kajian dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Burhanudin dan Praseno (1982), bahwa dari hasil pemeriksaan isi perut, ikan lemuru termasuk pemakan plankton (zooplankton dan phyitoplankton). Perbandingannya yaitu: zooplankton berkisar antara 90,52 95,54%, sedangkan fitoplankton berkisar antara 4,46 9,48% (Burhanudin dan Praseno, 1982). Dalam penelitian tersebut tidak dirinci secara jelas pada kondisi lemuru berukuran berapa yang merupakan pemakan fitoplankton dan zooplankton. Keutamaan dalam penelitian ini terutama untuk pengujian isi lambung sudah dibedakan berdasarkan ukuran ikan lemuru sesuai dengan penamaan oleh masyarakat pesisir Selat Bali. Berdasarkan hasil yang diperoleh ternyata lemuru pada saat berukuran sempenit adalah pemakan fitoplankton. Pada saat lemuru berukuran protolan, pola makannya berubah menjadi pemakan zooplankton, dan ketika berukuran lemuru dan lemuru kucing kembali terjadi perubahan pola makan yaitu sebagai pemakan fitoplankton. Dhulked (1962) menyatakan bahwa Sardinella longiceps dewasa adalah pemakan phyitoplankton dan diduga bahwa ada perubahan pola dan kebiasaan makan setelah ikan menjadi besar. Teori yang disampaikan oleh Dhulked (1962) terbukti dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh terhadap sampel uji, bahwa pada saat lemuru berukuran sempenit, kecenderungan pola makan dan jenis makanannya adalah phytoplankton sebesar 48.78% (Tabel 22). Pada saat berukuran protolan berubah menjadi pemakan zooplankton (43.75%), namun pada saat berukuran lemuru dan lemuru kucing komposisi makanan yang ditemukan pada sampel uji lebih banyak phytoplankton yaitu 42.86% untuk lemuru dan 45.46% untuk lemuru kucing (Tabel 22). Perubahan pola makan bisa disebabkan oleh ketersediaan zat hara yang terdapat pada suatu wilayah perairan. Berkurangnya sumber makanan bagi ikan pelagis terutama ikan lemuru sangat mempengaruhi ketersediaan biomass sumberdaya dan selanjutnya dapat mengurangi hasil tangkapan (Campo et al, 2006). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya hasil tangkapan, salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan jumlah zat hara atau sumber makanan yang tersedia di suatu

128 108 perairan, karena daerah tersebut menjadi feeding ground ikan. Daerah feeding ground merupakan daerah penangkapan yang baik bagi nelayan. Sebagaimana sudah diuraikan di atas bahwa ikan lemuru merupakan ikan pelagis kecil dan bersifat peruaya. Selama siang hari gerombolan ikan berada dekat dengan dasar perairan, sedang pada malam mereka bergerak ke lapisan permukaan membentuk gerombolan yang menyebar. Terkadang gerombolan lemuru ditemukan di atas permukaan selama siang hari ketika cuaca berawan dan gerimis. Walaupun sering ditemukan pada siang hari, namun ikan lemuru lebih gampang ditangkap pada malam hari. Habitat juvenil lemuru sering ditemukan diperairan dangkal dan menjadi target dari alat tangkap tradisional, seperti liftnet, gillnet, dan lain lain. Lemuru ukuran juvenile ini sering tertangkap di teluk Pang-Pang, dekat ujung Sembulungan dan semenanjung Senggrong di sisi pulau Jawa. Sedangkan sisi pulau Bali sering tertangkap di Teluk Jimbaran. Ukuran terkecil ikan lemuru kurang dari 11cm (nama lokal disebut sempenit) secara umum dapat ditemukan mulai bulan Mei-September dan kadang-kadang meluas sampai bulan Desember. ikan yang lebih besar menghuni perairan lebih dalam dan secara umum semakin ke arah selatan ukuran ikan bertambah panjang dan besar. Daerah penangkapan bisa berubah. Faktor utama yang mempengaruhi perubahan tersebut karena ikan lemuru sifatnya beruaya. Ruaya terjadi karena adanya kepentingan untuk mencari makan, pembesaran, proses reproduksi, dan bisa juga terjadi karena perubahan lingkungan perairan. Perubahan lingkungan perairan menyebabkan perubahan sebaran suhu, salinitas dan kandungan zat hara sebagai sumber makanan. Menurut Whitehead (1985), habitat ikan lemuru menghuni suatu daerah dengan area yang luas, yaitu di sebelah timur Samudera Hindia, yaitu. Pukhet, Thailand, pantai selatan Jawa Timur dan Bali, Australia Barat, dan Samudera Pasifik (dari Pulau Jawa sebelah utara sampai Pilipina, Hong Kong, Taiwan bagian selatan dan Jepang). Nelayan memberikan nama kepada daerah penangkapan yang ada di perairan Selat Bali secara turun-temurun. Nama tersebut diberikan berdasarkan nama daratan yang terdekat pada saat operasi penangkapan berlangsung baik

129 109 berupa tanjung, teluk atau tanda-tanda lainnya. Nama daerah penangkapan yang ada di Selat Bali berdasarkan hasil pencatatan selama penelitian terdapat 8 nama daerah penangkapan yaitu : Klosot (Wringinan); Senggrong; Tanjung. Angguk; Karang. Ente; Grajagan, ke lima daerah ini terletak di paparan Jawa, sedangkan daerah penangkapan Pulukan; Seseh; Ulu watu terletak di paparan Bali. Selain itu daerah penangkapan lainnya adalah Teluk Pang-pang, Teluk Banyubiru, dan Teluk Senggrong yang merupakan daerah penangkapan alat bagan tancap dan bagan apung. Lemuru (Sardinella Lemuru Bleeker 1853) menghuni perairan tropis yang ada di daerah Indo-Pacific. Menurut Whitehead (1985), sebagaimana sudah diuraikan pada penjelasan terdahulu bahwa, habitat ikan lemuru menghuni suatu daerah dengan area yang luas, yaitu di sebelah timur Samudera Hindia, yaitu. Pukhet, Thailand, pantai selatan Jawa Timur dan Bali, Australia Barat, dan Samudera Pasifik (dari Pulau Jawa sebelah utara sampai Pilipina, Hong Kong, Taiwan bagian selatan dan Jepang). Di sebelah tenggara pulau Jawa dan Bali, konsentrasi ikan Lemuru sebagian besar berada di Selat Bali. 6.6 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan terhadap analisis sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali ini sebagai berikut: 1. Berdasarkan perhitungan CPUE, maka diperoleh CPUE rata-rata tertinggi dengan menggunakan alat tangkap purse seine (311,1950 ton per unit) 2. Berdasarkan hasil perhitungan fungsi produksi, maka diperoleh nilai C msy sebesar ,63 ton pertahun, sedangkan nilai E msy adalah 252,47 unit dan diindikasikan sudah over fishing atau dalam kondisi kehati-hatian. 3. Hasil pengukuran panjang, lebar dan berat lemuru yang dilakukan selama periode bulan Mei-Oktober 2011, menunjukkan bahwa ukuran lemuru yang tertangkap tidak mengalami penurunan. 4. Berdasarkan hasil uji bedah lambung terhadap sampel ikan lemuru, terbukti bahwa lemuru merupakan plankton feeder.

130 110

131 111 7 ANALISIS KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN DAN PERAN KELEMBAGAAN 7.1 Pendahuluan Secara umum masyarakat dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari bersosialisasi antar sesama penghuni suatu wilayah atau tempat tinggal terkecil yaitu desa. konflik. Dalam kehidupan bersosial, tidak tertutup kemungkinan terjadi Sebuah konflik atau pertentangan yang terjadi dalam masyarakat dianggap sebuah atau sebagai suatu yang tidak fungsional. Sejak manusia mengenal adanya suatu bentuk kehidupan bersama dalam bentuk organisasi sosial, lapisan-lapisan masyarakat mulai timbul. Pada masyarakat dengan kehidupan yang masih sederhana, pelapisan itu dimulai atas dasar perbedaan gender dan usia, perbedaan antara pemimpin atau yang dianggap sebagai pemimpin dengan yang dipimpin, dan perbedaan berdasarkan kekayaan (Moeis, 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa, stratifikasi sosial berasal dari istilah Social Stratification yang berarti sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Stratification berasal dari stratum (strata) yang berarti lapisan. Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarki). Selama ada sesuatu yang dihargai dalam masyarakat, maka barang sesuatu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem yang berlapis-lapis dalam masyarakat. Penghargaan terhadap suatu bentuk barang, dapat berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, bisa berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan atau berupa keturunan dari orang terhormat. Nelayan, yang hidup di pesisir pantai, mempunyai ciri khas atau pola kehidupan tersendiri. Ini terjadi dikarenakan kondisi alam pesisir dan kehidupan laut yang keras, juga disebabkan oleh ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumberdaya yang terdapat di perairan laut. Berkaitan dengan hal tersebut, nelayan harus bisa dan mampu dalam menyesuaikan diri dan beradaptasi sebagaimana halnya sifat ikan yang beruaya, laut yang tidak ada batas-batas kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Persoalan yang membelit nelayan adalah terkait dengan aspek ekologi, yaitu minim teknologi dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan,

132 112 aspek sosial yaitu masih tergolong miskin, dan aspek ekonomi yaitu pendapatan yang masih minim/rendah. Menurut Hanson (1984) vide Amanah (2006), pendapatan nelayan bervariasi sesuai dengan daerah dimana nelayan itu berada. Pendapatan nelayan yang hidup di Jawa Timur tidak sama dengan nelayan yang hidup di Bali, walaupun mereka sama-sama memanfaatkan Selat Bali sebagai sumber mata pencaharian. Pengembangan dan peningkatan sebuah kelembagaan tidak terlepas dari kebijakan yang dibuat untuk melaksanakan dan menjalankan kelembagaan. Dunn (1998) menyatakan bahwa kebijakan dan analisis yang dilakukan, merupakan satu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan. Argumen dan informasi tersebut bermanfaat ditingkat politik untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan. Bunch (1991) vide Anantanyu (2009) mengemukakan pembangunan kelembagaan tidak sekedar memindahkan kerangka organisasi, akan tetapi harus bisa memberikan perasaan tertentu. Dalam rangka upaya pemberdayaan nelayan, seharusnya ada instrumen kebijakan yang efektif dan mampu mengurangi sistem sosial yang tidak memungkinkan nelayan kecil keluar dari lingkaran kemiskinan (Kusumastanto, 2012). Lebih lanjut disampaikan perlu diciptakan skenario baru berupa modelmodel pembiayaan untuk pemberdayaan nelayan melalui penguatan kelembagaan dan kemampuan berbisnis bagi masyarakat pesisir beserta dengan implikasinya di lapangan, hendaknya hal inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian pemerintah. Modal utama untuk membentuk sebuah organisasi atau kelompok nelayan adalah modal sosial. Secara sederhana modal sosial dapat diartikan sebagai suatu rangkaian nilai-nilai atau norma informal yang dimiliki secara bersama diantara para kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama diantara mereka (Fukuyama, 2000) vide (Anantanyu, 2009). Inti dari modal sosial adalah adanya kepercayaan dan kerjasama. Kelembagaan atau sering juga disebut dengan institusi, sangat berkaitan dengan perilaku atau tingkah laku seseorang atau organisasi dalam mengambil

133 113 suatu keputusan dalam menetapkan sebuah kebijakan. Menurut North (1990) vide Hero (2012), bahwa dalam sebuah institusi terdapat aturan main, norma-norma, larangan, kontrak yang sifatnya mengatur dan mengendalikan perilaku individu yang terdapat dalam sebuah organisasi atau masyarakat. Sebuah kelembagaan terbentuk atau dibentuk bertujuan untuk mengurangi adanya semacam ketidakpastian pemanfaatan sumberdaya tertentu. Kelembagaan berkembang dari pemikiran secara ekonomi dan merupakan sandaran dalam pengambilan atau pembuatan suatu kebijakan dalam merancang mekanisme peraturan yang akan diterapkan dan sangat erat kaitannya dengan kebijakan secara ekonomi (Yustika, 2006) vide (Hero, 2012). Secara ekonomi, kelembagaan nelayan yang terdapat di Selat Bali belum meenunjukkan peran yang berarti. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, kelembagaan yang ada berjalan secara sendiri-sendiri dan belum terkoordinasi dengan baik, terutama dalam penglolaan sumberdaya perikanan lemuru. Masyarakat yang berada disekitar Selat Bali, yaitu Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Jembrana Provinsi Bali, memanfaatkan Selat Bali sebagai sumber kehidupan mereka. Kabupaten Banyuwangi, dengan jumlah penduduk sebesar jiwa (BPS, 2011), sebanyak orang dari masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan (DKP Kabupaten Banyuwangi, 2011). Kecamatan Muncar, merupakan sentra produksi perikanan terbesar di Provinsi Jawa Timur. Jumlah penduduknya adalah sebesar jiwa dan merupakan jumlah terbesar dari jumlah penduduk yang ada di kecamatan seluruh Kabupaten banyuwangi (BPS Kabupaten Banyuwangi, 2011). Namun yang menjadi nelayan adalah sebanyak orang. Kabupaten Jembrana, dengan jumlah penduduk hasil registrasi yang dilakukan tahun 2010 berjumlah jiwa jiwa adalah laki-laki, jiwa adalah perempuan. Penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Negara sebesar jiwa atau sebesar 29.74% (BPS Kabupaten Jembrana, 2010). Menurut data dari Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Kabupaten Jembrana (2010), jumlah nelayan yang terdata untuk tahun 2010 di Kabupaten

134 114 Jembrana sebanyak orang. Jika dibandingkan dengan Kabupaten Banyuwangi, maka jumlah nelayan yang ada di Kabupaten Jembrana lebih sedikit. 7.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran kehidupan sehari-hari nelayan perikanan lemuru di Kabupaten Jembana dan Kabupaten Banyuwangi, menyangkut stratifikasi sosial ditinjau dari aspek tingkat kesejahteraan. Secara ekonomi melihat kemampuan masyarakat nelayan dalam meningkatkan kesejahteraannya dari hasil usaha penangkapan yang dilakukan. Peran kelembagaan yang ada, dan secara organisasi mempunyai kapasitas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. 7.3 Kebutuhan dan Metode Analisis Data Kebutuhan data Kebutuhan data untuk mengetahui kondisi sosial masyarakat nelayan setempat dilakukan wawancara langsung dengan responden yaitu berupa pertanyaan dalam bentuk kuisioner kepada nelayan. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari nelayan dan hubungan sosial dalam masyarakat, pendapatan yang diperoleh. Data kelembagaan, berkaitan dengan kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya baik kelembagaan pemerintah yang berkompeten dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali dan organisasi kenelayanan yang ada di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Peraturan tentang pemanfaatan sumberdaya lemuru yang ada, untuk mewujudkan strategi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali Metode analisis data Analisis kondisi sosial nelayan lemuru yang ada di Provinsi Jawa Timur dan di Povinsi Bali, dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan melihat apakah ada perbedaan tingkat sosial pada masing-masing provinsi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Disamping itu juga dilihat bagaimana sistem bagi hasil antara ABK dan pemilik kapal, tingkat kekerabatan, penanganan konflik serta melihat peran kelembagaan atau organisasi nelayan yang ada di dua

135 115 Provinsi. Secara ekonomi, dilihat perbandingan kebutuhan biaya untuk melaut, harga ikan hasil tangkapan serta keuntungan yang diperoleh, serta tingkat pendapatan nelayan. Model yang digunakan untuk analisis secara ekonomi dilakukan dengan pendugaan berdasarkan model biologi Schaefer (1957) dan model ekonomi Gordon (1954), yang lebih dikenal dengan model Gordon-Schaefer (Wiyono, 2001). Jika total penerimaan dari usaha penangkapan yang dilakukan (TR), dan jika harga rata-rata ikan berdasarkan hasil survei adalah (p), fungsi produksi ikan hasil tangkapan yang diperoleh berdasarkan perhitungan adalah Y(t), maka: ( )...(7) Untuk mengetahui total biaya penangkapan (TC) digunakan model pendugaan dengan persamaan:...(8) dimana: c : total pengeluaran (cost) rata-rata unit penangkapan ikan f : jumlah upaya penangkapan standar sehingga dengan demikian dapat diketahui penerimaan bersih (keuntungan) dari usaha penangkapan yang dilakukan (π), dengan formula sebagai berikut: ( )...(9) Berdasarkan analisis dan perhitungan yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Peran kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali, ditinjau dari segi peran dari masing-masing kelembagaan yang ada di Kabupaten Banyuwangi dan Kebupaten Jembrana. Peran masing-masing kelembagaan tersebut baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan dijabarkan secara deskriptif kualitatif.

136 Hasil Penelitian Kelayakan hidup nelayan perikanan lemuru di Selat Bali ditinjau secara ekonomi Alat tangkap yang digunakan nelayan di Selat Bali, yaitu oleh nelayan di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana terdiri dari purse seine, payang, gillnet, pukat pantai dan bagan. Secara ekonomi, masing-masing alat tangkap dapat memberikan keuntungan bagi pemiliknya. Berdasarkan keuntungan yang diperoleh, maka akan meningkatkan strata mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Perhitungan secara ekonomi terhadap masing-masing alat tangkap dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Purse seine Kapal purse seine yang dioperasikan oleh nelayan baik di Kabupaten Banyuwangi dan Jembrana lebih banyak menggunakan kapal motor tempel. Bahan dasar kapal/perahu adalah kayu dengan panjang rata-rata meter, tenaga penggerak yang digunakan adalah motor tempel sebanyak 9 buah untuk sistem 2 perahu dan 5 buah untuk sistem 1 perahu. Umumnya nelayan menggunakan tenaga penggerak dengan merek yanmar berkekuatan PK. Jumlah nelayan yang terlibat dalam operasi penangkapan sebanyak orang. Lama operasi untuk satu trip adalah 12 jam sampai dengan 1 hari, namun dalam satu bulan purse seine beroperasi sebanyak kali (trip). Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh dari wawancara dengan nelayan yang ada di Kabupaten Banyuwangi, pendapatan kotor yang mereka terima dalam satu tahun adalah Rp ,-. Setelah dikurangi biayabiaya sebesar Rp ,- dan juga setelah dikurangi biaya penyusutan sebesar Rp ,-, maka keuntungan bersih yang diperoleh dalam waktu satu tahun adalah sebesar Rp ,-. Pendapatan nelayan purse seine Kabupaten Jembrana rata-rata dalam satu tahun adalah Rp ,-, setelah dikurangi biaya biaya sebesar Rp ,- dan setelah dikurangi biaya penyusutan per tahun sebesar Rp ,-, maka keuntungan bersih yang diperoleh adalah sebesar Rp ,- (Tabel 23 dan 24).

137 117 2) Payang Alat tangkap payang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi untuk menangkap ikan lemuru. Perahu yang digunakan adalah perahu kayu, berukuran panjang 6 8 meter. Motor penggerak menggunakan mesin tempel (dom feng) berkekuatan PK. Jumlah ABK yang mengoperasikan alat tangkap payang ini sebanyak 4 6 orang. Lama waktu operasi dalam satu hari atau satu trip adalah 12 jam. Jumlah operasi penangkapan yang dilakukan selama satu bulan adalah hari. Pendapatan payang, sebelum pengurangan biaya-biaya selama satu tahun adalah sebesar Rp ,-. Biaya-biaya yang digunakan untuk operasi selama satu tahun adalah sebesar Rp ,-, setelah dikurangi biaya penyusutan sebesar Rp ,- maka pendapatan bersih untuk satu tahun adalah Rp ,- (Tabel 23). Tabel 23 Analisis secara ekonomi kegiatan perikanan lemuru di Kabupaten Banyuwangi tahun 2011 No Jenis Alat Tangkap Pendapatan (Rp/tahun) Pengeluaran (Rp/tahun) Penyusutan (Rp/tahun) Keuntungan bersih (Rp/tahun) 1 Purse seine Gillnet Payang Bagan ) Gillnet Alat tangkap gillnet yang digunakan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi berbeda dengan yang digunakan oleh nelayan Kabupaten Jembrana. Namun alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan lemuru. Perahu gillnet yang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi, terbuat dari kayu dengan panjang 6-7 meter. Tenaga penggerak menggunakan mesin tempel merek dom feng dengan kekuatan PK. Jumlah tenaga kerja adalah sebanyak 4-6 orang, dengan lama operasi penangkapan untuk satu trip adalah 12 jam atau sering mereka menyebutnya selama satu hari (one day fishing), sehingga dalam satu bulan jumlah hari operasi biasanya dilakukan selama hari.

138 118 Gillnet yang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi, menggunakan perahu jukung dengan panjang 6,5-7 meter. Tenaga penggerak menggunakan mesin tempel dengan kekuatan 10 PK. Jumlah anak buah kapal atau perahu sebanyak 2 orang. Lama operasi penangkapan untuk satu trip adalah 3-5 jam, dan dalam satu hari bisa melakukan operasi penangkapan 2 kali. Jumlah hari operasi dalam satu bulan dilakukan selama hari. Pendapatan kotor yang diperoleh dalam satu tahun operasi adalah sebesar Rp ,-. Setelah dikeluarkan biaya-biaya sebesar Rp ,- dan dikurangi biaya penyusutan sebesar Rp ,-, maka diperoleh keuntungan bersih selama satu tahun operasi adalah sebesar Rp ,- (Tabel 23). Sedangkan pendapatan kotor yang diperoleh nelayan gillnet di Kabupaten Jembrana dalam satu tahun adalah Rp ,-, setelah dikeluarkan biayabiaya sebesar Rp ,- dan biaya penyusutan dalam satu tahun sebesar Rp ,-, maka keuntungan bersih yang diterima dalam satu tahun adalah sebesar Rp ,- (Tabel 24). 4) Pukat pantai Pukat pantai digunakan oleh nelayan Kabupaten Jembrana untuk penangkapan ikan lemuru di Selat Bali. Perahu yang digunakan adalah jenis jukung dengan ukuran panjang 7-9 meter. Tenaga penggerak yang digunakan adalah mesin tempel berkekuatan 10 PK. Fungsi perahu adalah untuk melingkar jaring dari pinggir sampai kepinggir kembali sebelum ditarik menggunakan tenaga manusia. Jumlah nelayan yang menarik jaring ini adalah sebanyak orang. Lama operasi penangkapan untuk satu trip adalah 3-5 jam. Jumlah trip dalam satu hari dapat dilakukan sebanyak 2 kali. Jumlah hari operasi selama satu bulan adalah hari. Pendapatan kotor alat tangkap pukat pantai selama satu tahun adalah sebesar Rp ,-. Setelah dikurangi biaya-biaya sebesar Rp ,- dan dikurangi biaya penyusutan dalam satu tahun sebesar Rp ,-, maka diperoleh keuntungan bersih sebesar Rp ,-.

139 119 5) Bagan Bagan digunakan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi dalam penangkapan ikan lemuru di Selat Bali. Ikan lemuru yang tertangkap umumnya berukuran panjang cm. Nelayan bagan yang berhasil kami wawancara adalah nelayan yang menggoperasikan bagan tancap di Teluk Pang-Pang dan nelayan bagan apung yang dioperasikan di Senggrong. Ukuran rangka bagan adalah 21 m 2. Ukuran alat tangkap yang digunakan (waring) dengan ukuran panjang kali lebar 21 meter dan kedalaman 11 meter. Mesin genset digunakan untuk menghidupkan lampu agar ikan berkumpul disekitar waring. Lama operasi untuk sekali hauling adalah 3 jam. Jumlah tenaga kerja dalam peoperasian bagan ini sebanyak 2 orang. Biasanya bagan dioperasikan pada malam hari, sehingga dalam satu hari hanya beroperasi satu kali. Jumlah hari operasi selama satu bulan adalah 27 hari. Pendapatan kotor alat tangkap bagan adalah Rp ,-. Setelah dikurangi biaya-biaya sebesar Rp ,- dan dikeluarkan biaya penyusutan sebesar Rp ,-, maka pendapatan bersih yang diperoleh selama satu tahun adalah sebesar Rp ,- (Tabel 23). Tabel 24 Analisis secara ekonomi kegiatan perikanan lemuru di Kabupaten Jembrana tahun 2011 No Jenis Alat Tangkap Pendapatan (Rp/tahun) Pengeluaran (Rp/tahun) Penyusutan (Rp/tahun) Keuntungan bersih (Rp/tahun) 1 Purse seine Gillnet P. Pantai Berdasarkan perhitungan keuntungan yang diperoleh (Tabel 23 dan 24), dapat diketahui tingkat kesejahteraan anggota keluarga nelayan melalui pembagian hasil yang diperoleh. Sistem bagi hasil yang berlaku di Kabupaten Banyuwangi dan kabupaten Jembrana bisa dikatakan sama. Pemilik kapal mendapat 50% dan ABK juga mendapat 50%, setelah dikurangi biaya-biaya. Berdasarkan hasil bersih yang diperoleh per trip oleh ABK, dapat diketahui bagaimana tingkat kesejahteraannya dan kehidupan sosial dalam masyarakat.

140 120 Hasil analisis secara ekonomi merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk analisis model pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali (bab 9). Nilai yang dimasukkan sebagai parameter adalah harga ikan dan biaya melaut Kondisi sosial nelayan perikanan lemuru di Selat Bali Kondisi sosial masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat kesejahteraan dari masyarakat itu sendiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan yang menjadi responden, secara umum mereka melakukan penangkapan ikan rata-rata berkisar antara umur tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa nelayan tersebut sudah memiliki pengalaman yang sangat banyak. Pada umumnya nelayan yang ada di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana rata-rata menamatkan pendidikan hanya sampai sekolah dasar, selanjutnya mereka ikut membantu orang tua mereka untuk ikut melaut, jadi boleh dikatakan bahwa nelayan yang ada di Kabupaten Banyuwangi dan kabupaten Jembrana diwariskan secara turun temurun. Kecamatan Muncar, merupakan sentra produksi perikanan terbesar di Provinsi Jawa Timur. Jumlah penduduknya adalah sebesar jiwa dan merupakan jumlah terbesar dari jumlah penduduk yang ada di kecamatan seluruh Kabupaten Banyuwangi. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, lebih banyak dihabiskan untuk menangkap ikan di laut. Kaum perempuan juga mengambil peran penting dalam menjalankan usaha penangkapan yang dilakukan oleh kaum Bapak terutama yang melakukan penangkapan dengan alat tangkap payang, dan gillnet. Mereka membantu pekerjaan setelah perahu mendarat, bahkan yang menentukan harga ikan hasil tangkapan adalah kaum wanitanya (istri pemilik perahu). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap nelayan purse seine, gillnet, payang, bagan dan pukat pantai di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Banyuwangi sebanyak 120 orang, tingkat pendapatan yang diperoleh setiap kali melaut sangat tergantung dari hasil tangkapan yang diperoleh. Faktor cuaca sangat mempengaruhi keberhasilan nelayan dalam meperoleh hasil tangkapan. Namun demikian, mereka mengatakan penghasilan yang mereka peroleh mencukupi kehidupan sehari-hari keluarga. Jika musim paceklik datang,

141 121 nelayan di Kabupaten Jembrana melakukan kegiatan sampingan menjadi tukang cetak batu bata, sedangkan nelayan di Kabupaten Banyuwangi memilih jadi buruh bangunan. Peluang untuk mendapatkan kesempatan kerja (terutama sebagai buruh nelayan) menurut mereka tidak sulit, karena perahu terutama purse seine membutuhkan tenaga kerja yang tinggi (45-55 orang) dalam satu kapal. Begitu juga dengan kesempatan mendapatkan pelayanan kesehatan, ada puskesmas dan rumah sakit daerah yang dapat melayani mereka dalam mendapatkan pengobatan. Keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari secara umum tidak mendapatkan kendala, semua berjalan sesuai dengan aturan yang sudah disepakati bersama. Kegiatan keagamaan dan kegiatan upacara adat seperti upacara petik laut di Banyuwangi yang dilakukan rutin setiap bulan suro (penanggalan jawa) berlangsung dengan aman dan tertib. Konflik, yang berujung pada kerusuhan selama kurun waktu enam tahun terakhir tidak pernah terjadi. Perselisihan yang terjadi dikalangan nelayan adalah perebutan daerah penangkapan, perampasan jaring yang sedang terpasang di laut, dan konflik dengan nelayan andon dari daerah lain, namun perselisihan tersebut dapat diselesaikan secara damai dan kekeluargaan. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat nelayan yang ada di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Banyuwangi tidak mengalami masalah yang berarti, semua berjalan sesuai aturan dan tata krama kehidupan bermasyarakat umumnya Peran kelembagaan Kelembagaan merupakan merupakan faktor penting yang dapat menggerakkan kinerja dalam melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan. Amanat yang termaktub dalam code of conduct for responsible fisheries (CCRF) bahwa pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan, harus dilakukan secara bertanggungjawab. Dalam sebuah kelembagaan, keselarasan peraturan yang dibuat harus mengayomi aspirasi masyarakat yang akan melaksanakan peraturan, agar tidak terjadinya tumpang tindih, atau benturan masing-masing peraturan yang dibuat.

142 122 Kelembagaan yang ada di Kabupaten Jembrana di luar instansi pemerintah adalah lembaga HNSI yang mewadahi aspirasi nelayan. TPI, sebagai organisasi pelaksana pelelangan ikan di Kabupaten Banyuwangi saat ini tidak berfungsi, karena kegiatan pelelangan ikan tidak ada dan ikan yang mendarat di dermaga Muncar langsung dijual kepada perusahaan atau bakul yang langsung datang ke agen/pengelola kapal. Unit Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai (UPPPP) Muncar merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, UPT ini secara teknis dan administrasi bertanggungjawab kepada Dinas kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur. Selanjutnya, Pelelangan ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan-Jembrana, dikelola langsung oleh Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang bertanggungjawab kepada Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana. Institusi kelembagaan yang diharapkan dapat berjalan selaras untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru adalah Dinas Lingkungan hidup di Kabupaten Jembrana dan Kantor Lingkungan Hidup di Kabupaten Banyuwangi. Institusi ini bertanggungjawab atas pengendalian bahan pencemar yang terjadi diwilayah kerjanya yaitu berkaitan dengan kegiatan industri, baik industri perikanan maupun industri lainnya yang berpotensi dan membuang limbah ke sungai dan pada akhirnya menuju perairan laut. Pengujian yang dilakukan masih sebatas pada outlet dan inlet di pabrik pengolahan ikan, namun belum semua pabrik pengolahan melakukan pengujian limbah yang dihasilkan, hal ini berkaitan dengan sikap pemilik perusahaan yang tidak kooperatif terhadap petugas yang datang. Untuk pengujian kualitas perairan laut dilakukan dengan jarak dari pantai meter. Pengujian yang dilakukan berorientasi untuk memenuhi keperluan pariwasata. Lembaga yang berkompeten dan berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan pemeliharaan lingkungan perairan laut Selat Bali di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana seperti tertera pada Lampiran 12. Kelembagaan tersebut (Lampiran 12), sangat dibutuhkan dukungannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Dinas Kelautan dan Perikanan masing-masing provinsi sangat berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Masing-

143 123 masing provinsi, di bawah koordinasi Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) melakukan penyusunan perencanaan terhadap pembangunan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. 7.5 Pembahasan Pembahasan dalam bab ini berkaitan dengan kemampuan nelayan secara ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Secara sosial membahas tentang gambaran kehidupan sehari-hari nelayan di pesisir Selat Bali, dan konflik yang pernah terjadi serta penyebab terjadi sebuah konflik. Selanjutnya adalah pembahasan tentang peran serta kelembagaan yang ada di Kabupaten Banyuwangi dan kabupaten Jembrana dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Secara ekonomi, alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Selat Bali untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru adalah menguntungkan. Namun demikian hal yang perlu diperhatikan adalah efisiensi alat yang digunakan terhadap hasil yang didapatkan setiap hari. Jika kegiatan usaha yang dilakukan menguntungkan, akan berimbas pada kondisi kehidupan sosial nelayan itu sendiri. Meningkatnya penangkapan lemuru yang dilakukan oleh nelayan, tidak terlepas dari tingginya permintaan pasar yang merupakan prime mover bagi perkembangan perikanan lemuru itu sendiri (Nurhakim & Merta 2004). Hal ini dapat dilihat semakin berkembangnya pabrik pengalengan ikan, juga secara tradisional semakin bertambahnya usaha penggaplekan (penepungan). Bertambahnya jumlah industri pengalengan dan penepungan, sudah barang tentu memerlukan bahan baku yang cukup, sehingga memacu usaha penangkapan ikan lemuru. Dengan semakin berkembangnya purse seine yang beroperasi, maka akan semakin banyak jumlah ikan lemuru yang tertangkap sebelum mencapai ukuran dewasa, sehingga berpengaruh terhadap harga. Tingkat kesejahteraan sosial dapat dikatakan baik, jika antara pemasukan dan pengeluaran berjalan seimbang. Disamping itu, jika sebagian penghasilan yang diterima dapat disisihkan sebagai tabungan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Abidin yaitu pengurus tempat pelelangan ikan (TPI) Muncar, saat ini nelayan terutama ABK sudah mulai dapat menyisihkan sebagian dari

144 124 penghasilan mereka untuk disimpan dan ditabung sebagai cadangan pengeluaran untuk masa paceklik. Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi diketahui bahwa kehidupan sosial yang berlangsung selama ini berjalan sangat baik, dan tidak pernah terjadi perselisihan antar nelayan. Namun demikian, hal ini belum bisa dikategorikan bahwa nelayan berada dalam keadaan yang sejahtera. Pendapatan dan pola hubungan kerja mempunyai peran dan dianggap penting. Berdasarkan penjelasan dan pemaparan di atas, bahwa jumlah pendapatan juga mempengaruhi tingkat status atau kedudukan seseorang di dalam masyarakat sehingga berpengaruh terhadap hubungan sosial yang terjadi pada nelayan di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Semakin kecil pendapatan yang mereka terima maka semakin rendah pula kedudukan atau strata mereka dalam masyarakat, seperti buruh nelayan (pandiga) mereka tidak mempunyai kekuasaan dalam menentukan pendapatan termasuk ketika mereka menerima bayaran yang lebih kecil. Hal ini disebabkan karena mereka hanya menguasai keterampilan dan bermodal tenaga. Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima, menyebabkan terjadinya perbedaan hubungan kerja dan hubungan sosial. Penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan menurut Kusnadi (2002), pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan lain yang dimiliki), struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak- hak yang sangat terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan, disebut sebagai nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relative tinggi, dan sebaliknya terjadi pada nelayan kecil. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi perlengkapan dan alat tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan moderen dan

145 125 nelayan tradisional. Nelayan moderen sudah menggunakan teknologi penangkapan yang lebih baik dibandingkan dengan nelayan tradisional. Susunan masyarakat nelayan menurut Masyhuri (1996), baik secara horizontal maupun vertikal sangat dipengaruhi oleh organisasi penangkapan ikan dan tingkat pendapatan yang dicapai. Semakin strategis posisi dalam organisasi, dan semakin besar pendapatan, maka semakin besar pula kemungkinan menempati posisi yang tinggi dalam stratifikasi sosial. Apabila pendapatan semakin kecil, maka semakin tidak strategis peranannya dalam organisasi penangkapan ikan, dengan demikian semakin rendah posisinya dalam masyarakat. Wahyuningsih et al. (1997), menyatakan bahwa masyarakat nelayan jika dilihat dari sudut kepemilikan modal dapat dibagi tiga: (1) Nelayan juragan, nelayan ini merupakan nelayan pemilik perahu dan alat penangkap ikan yang mampu mengubah para nelayan pekerja sabagai pembantu dalam usahanya menangkap ikan di laut. Nelayan ini mempunyai mata pencaharian lain pada saat musim paceklik. Nelayan juragan ada tiga macam yaitu nelayan juragan laut, nelayan juragan darat yang mengendalikan usahanya dari daratan, dan orang yang memiliki perahu, alat penangkap ikan dan uang tetapi bukan nelayan asli, yang disebut tauke (toke) atau cukong. (2). Nelayan pekerja, yaitu nelayan yang tidak memiliki alat produksi dan modal, tetapi memiliki tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu menjalankan usaha penangkapan ikan di laut. Nelayan ini disebut juga nelayan penggarap. Hubungan kerja antara nelayan ini berlaku perjanjian tidak tertulis yang sudah dilakukan sejak lama dan turun temurun. Juragan dalam hal ini berkewajiban menyediakan bahan makanan dan bahan bakar untuk keperluan operasi penangkapan ikan, dan bahan makanan untuk dapur keluarga yang ditinggalkan selama berlayar. Hasil tangkapan di laut dibagi menurut peraturan tertentu yang berbeda-beda antara juragan yang satu dengan juragan lainnya, setelah dikurangi semua biaya operasi. (3). Nelayan perorangan, merupakan nelayan yang kurang mampu. Nelayan ini hanya mempunyai perahu kecil untuk keperluan dirinya sendiri dan alat penangkap ikan sederhana. Nelayan perorangan tidak memiliki tanah untuk digarap pada waktu musim paceklik (angin barat), karena sebagian besar dari mereka tidak mempunyai modal kerja sendiri, akan tetapi meminjam dari pelepas uang

146 126 (tengkulak) dengan perjanjian tertentu. Sebagian dari Nelayan umumnya memulai usaha dari bawah, semakin lama meningkat menjadi nelayan juragan. Kesempatan kerja, dan mendapatkan pekerjaan sebagai nelayan oleh masyarakat di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana tidak sulit. Sebagian besar nelayan sudah ikut menjadi nelayan sejak usia 10 tahun, artinya begitu tamat Sekolah dasar mereka langsung menjadi nelayan. Hasil wawancara dengan beberapa orang nelayan, mereka mengatakan bahwa menjadi nelayan merupakan turunan dari orang tua, mereka tidak mendapatkan pendidikan secara khusus dalam pengoperasian alat tangkap. Haji Nuryatim, adalah salah satu pemilik kapal purse seine di Pengambengan yang berhasil kami wawancara, menurut penuturannya bahwa kegiatan ikut dengan kapal perikanan sudah dilakoni sejak duduk di bangku sekolah dasar. Saat ini beliau sudah memiliki 8 kapal purse seine (sistem dua perahu). Menurut penuturan beliau pada umumnya nelayan, memulai usahanya sebagai anak buah kapal dan berkat usaha yang dilakukan tidak tertutup kemungkinan dapat menjadi juragan atau pemilik kapal. Salah satu juragan dan pemilik kapal purse seine di Kabupaten Banyuwangi (Bapak Mursyid) memulai usahanya sebagai pengelola kapal milik orang lain, dan saat ini sudah memiliki kapal sebanyak 2 buah kapal sleret dengan omzet yang cukup tinggi (tidak mau memberi tahukan berapa penghasilannya dalam satu trip). Fauzi (2011), melakukan penelitian tentang tingkat kesejahteraan nelayan di Kabupaten Jembrana dan Buleleng. Hasil menunjukan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di dua Kabupaten tersebut tergolong baik. Terbukti nelayan berpenghasilan rata-rata Rp Rp ,- per bulan, dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Berdasarkan wawancara personal dengan Penyuluh Perikanan Kabupaten Jembrana (Nurhalim, 2011), pendapatan bersih yang diperoleh ABK/nelayan purse seine di Kabupaten Jembrana, adalah pendapatan yang diperoleh setelah dilakukan pemotongan untuk kebutuhan melaut. Penghitungan ini dilakukan pada saat terang bulan, jadi nelayan (ABK) tidak menerima bagi hasil pada saat pulang melaut dalam satu kali trip.

147 127 Peran kelembagaan dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru secara berkelanjutan, perlu koordinasi dan peran aktif masing-masing kelembagaan, baik pemerintah maupun swasta, sesuai dengan tupoksinya masing, sehingga dalam pelaksanaan dan implementasi dilapangan sesuai sasaran dan tepat guna. Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan masing-masing kabupaten yaitu Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana, bersama-sama dan dibawah koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, secara berkala harus melakukan evaluasi terhadap peraturan dan aturan yang sudah dibuat apakah masih bias dipakai sesuai perkembangan keadaan di lapangan, atau perlu diperbarui. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Fauzi (2011), bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan pengusahaannya, haruslah mengakomodir dan meningkatkan kesejahteraan nelayan, dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan perikanan menjadi baik. Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) cabang Kabupaten Jembrana, merupakan wadah dalam menampung aspirasi dan suara anggota nelayan yang tergabung di dalamnya. Namun tidak semua nelayan ikut berpartisipasi aktif di dalamnya. Menurut Bapak Haji Jailani (ketua HNSI Kabupaten Jembrana, 2011), saat ini nelayan, terutama pemilik sudah memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan ABK. Sama halnya dengan nelayan di Kabupaten Banyuwangi, mereka belum optimal memanfaatkan wadah organisasi kenelayanan dalam menyerap ilmu pengetahuan atau informasi tentang peraturan yang ada. Menurut informasi yang kami peroleh dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan, sangat sulit mengumpulkan pemilik kapal purse seine atau pengelola dalam rangka sosialisasi peraturan yang akan diterapkan di lapangan. Hal ini merupakan salah satu hambatan dalam pelaksanaan peraturan yang sudah disiapkan, sehingga penerapan peraturan menjadi terhambat. Kualitas kelembagaan masyarakat terutama yang mewadahi nelayan, seperti Koperasi Unit Desa di Kabupaten Banyuwangi, saat ini tidak berjalan sesuai fungsinya, penyebab pasti tidak diketahui dengan jelas. Namun demikian retribusi serta kewajiban nelayan lainnya tetap dipenuhi sebagaimana yang sudah diatur bersama.

148 128 Dukungan institusi masing-masing kelembagaan yang terdapat di daerah, sangat menentukan kualitas dan strategi peningkatan kapasitas kelembagaan dalam menghasilkan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru, mengingat sumberdaya ini merupakan sumber penghasilan nelayan setempat yang sangat potensial. Disamping itu, industri pengalengan ikan yang terdapat di Kabupaten Banyuwangi (Muncar) dan Kabupaten Jembrana (Pengambengan) sangat bergantung terhadap ketersediaan sumberdaya lemuru sebagai bahan baku. Sejak dikeluarkannya Surat Keputusan No. 123/Kpts/Um/3/1975, tanggal 31 Maret 1975 oleh Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian, yaitu pelarangan menggunakan alat tangkap pukat cincin dengan besar mata jaring pada bagian kantong kurang dari 1 inchi (2,54 cm). Berdasarkan SK tersebut, merupakan langkah awal dalam rangka melakukan pengelolaan terhadap perikanan pelagis kecil secara umum termasuk di dalamnya perikanan lemuru (Nurhakim & Merta 2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, tujuan pembatasan besaran mata jaring untuk mengendalikan ukuran ikan yang tertangkap, karena di Selat Bali khususnya alat tangkap pukat cincin (purse seine) ukuran mata jaring yang digunakan adalah ¾ inchi dibagian kantong. Surat Keputusan Bersama (SKB) Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali yang dikeluarkan pada tahun 1992, adalah mengatur tentang jumlah kapal purse seine yang beroperasi di Selat Bali. Pengaturan tersebut berkaitan dengan jumlah kapal yang dioperasikan oleh nelayan Provinsi Jawa Timur sebanyak 190 unit dan yang dioperasikan oleh nelayan Provinsi Bali sebanyak 83 unit. Sampai saat ini belum ada perubahan ataupun rencana perubahan terhadap SKB tersebut. Menurut Kepala Bidang Perikanan Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan Kabupaten jembrana, bahwa SKB tersebut perlu dievaluasi ulang, karena sudah tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi dilapangan saat ini. Namun keadaan yang terjadi dilapangan tidak lagi mengacu kepada SKB di atas. Data kapal purse seine yang tercatat di UPPPP Muncar untuk tahun 2010 adalah 203 unit, sedangkan yang tertera di SKB adalah 190 unit, jadi terdapat kelebihan sebanyak 13 unit. Untuk Kabupaten Jembrana juga demikian. Berdasarkan SKB, kuota jumlah kapal purse seine adalah 83 unit, namun berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana untuk tahun 2010

149 129 jumlah kapal purse seine yang ada saat ini adalah sebanyak 107 unit, jadi terdapat kelebihan sebanyak 30 unit. Menyikapi hal ini, peran kelembagaan yang berkompeten sangat menentukan. Menyikapi apa yang disampaikan oleh Kepala Bidang Perikanan Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana, sebagaimana yang sudah diuraikan di atas, adalah benar perlu dilakukan evaluasi ulang terhadap aturan dan peraturan tentang SKB dua Gubernur tersebut. Peran Dinas Lingkungan Hidup, dalam rangka pengelolaan sumberdaya lemuru di Selat Bali, sangat berkaitan dengan aturan tentang pengelolaan lingkungan perairan dari bahan pencemar yang berasal dari kegiatan manusia di darat atau pesisir pantai di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Peran Dinas Lingkungan Hidup adalah memantau kegiatan industri, berkaitan dengan penanganan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan industri tersebut. 7.6 Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dan penjabaran terhadap analisis kondisi ekonomi dan sosial serta peran kelembagaan, dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara ekonomi kegiatan penangkapan ikan lemuru yang dilakukan dengan menggunakan alat tangkap purse seine, payang, gillnet, bagan, dan pukat pantai adalah menguntungkan bagi nelayan di Selat Bali. 2. Kehidupan sosial masyarakat perikanan di Selat Bali, dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru sebagai sumber penghidupan mereka sehari-hari, selama kurun waktu tidak pernah atau belum pernah terjadi konflik besar. 3. Peran kelembagaan yang ada dan berkompeten di masing-masing wilayah dalam pengelolaan sumberdaya lemuru di Selat Bali belum optimal.

150 130

151 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan dan mengembangkan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya, harus menerapkan unsur-unsur Ecological sustainability, Socioeconomic sustainability, Community sustainability (Dahuri, 2007). Hal yang perlu disikapi dari ketiga unsur tersebut adalah keberlanjutan ekologi terhadap sumberdaya yang ada. Keberlanjutan, dalam pembangunan perikanan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada adalah keberlanjutan yang sekaligus dapat memperbaiki ketersediaan sumberdaya dan kondisi lingkungan. Konsep keberlanjutan sejatinya dapat diterapkan, sehingga kesejahteraan masyarakat perikanan sebagai pengguna sumberdaya dapat diperbaiki (Fauzi dan Anna, 2005). Pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, sampai saat ini masih didominasi oleh nelayan skala kecil. Hal ini berkaitan dengan armada penangkapan yang digunakan sebagian besar masih bersifat tradisional. Dalam melakukan penangkapan mereka masih mempertahankan cara-cara tradisional, sehingga waktu yang digunakan lebih panjang karena mereka sifatnya mencari gerombolan ikan. Pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan komersial adalah untuk memenuhi kebutuhan pabrik pengalengan ikan yang tersebar di Kabupaten Jembrana dan Muncar Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan data statistik Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi, saat ini sumberdaya lemuru sudah mengalami over fishing. Tanda-tanda sumberdaya mengalami over fishing, dapat dilihat dari jumlah hasil tangkapan yang semakin menurun, lokasi penangkapan semakin jauh, dan ukuran ikan yang tertangkap berukuran lebih kecil (Merta, 1992). Masyarakat yang tinggal disekitar Selat Bali, baik di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Banyuwangi sangat merasakan manfaat terhadap ketersediaan

152 132 sumberdaya lemuru. Kenapa dikatakan demikian?, karena sumberdaya lemuru merupakan sumber mata pencaharian sehari-hari mereka. Pemanfaatan sumberdaya lemuru yang dilakukan oleh nelayan Kabupaten Jembrana dan Banyuwangi adalah menggunakan beberapa jenis alat tangkap yaitu purse seine, gillnet, pukat pantai, payang, dan bagan. Namun, dari semua alat tangkap tersebut, yang lebih dominan adalah penggunaan alat tangkap purse seine karena daya tangkapnya yang lebih besar. Alat tangkap, sebagai sarana untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang digunakan oleh nelayan, terutama nelayan tradisional yang ada di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana secara umum belum menggunakan teknologi yang moderen untuk menentukan lokasi penangkapan. Teknologi yang digunakan tidak berkembang pesat, karena para nelayan skala kecil cenderung memanfaatkan tanda-tanda alam yang ada di sekitar lokasi penangkapan. Hal ini menyebabkan waktu yang digunakan untuk mencari gerombolan ikan lebih lama. Purse seine atau masyarakat di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana lebih mengenal dengan nama sleret adalah alat tangkap dengan menggunakan dua buah kapal. Kapal pertama berfungsi untuk menempatkan jaring, sedangkan kapal kedua adalah kapal pemburu atau kapal yang berfungsi menarik tali pemberat (tali kolor) pada saat kapal pertama (kapal jaring) sudah selesai melingkar gerombolan ikan. Purse seine, merupakan jaring yang berbentuk empat persegi panjang, yang digunakan untuk menangkap ikan permukaan dengan gerombolan besar, dan alat tangkap ini digolongkan kedalam kelompok jaring lingkar (surrounding nets). Brant (1984) menyatakan bahwa purse seine merupakan alat tangkap yang efektif untuk menangkap ikan pelagis. Alat tangkap gillnet atau lebih dikenal dengan jaring insang, digunakan oleh nelayan di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana, untuk menangkap ikan pelagis kecil di Selat Bali. Gillnet, atau lebih dikenal dengan nama jaring insang terdiri dari tiga kelompok yaitu (1) jaring insang hanyut, (2) jaring insang tetap, dan (3) jaring insang dasar. Jaring insang yang digunakan untuk menangkap lemuru adalah jaring insang hanyut. Namun demikian, jaring

153 133 insang ini tidak semata-mata digunakan untuk menangkap lemuru, akan tetapi disesuaikan dengan musim ikan yang terjadi saat itu. Ketika musim kembung, nelayan menangkap ikan kembung, dan pada saat musim lemuru mereka menangkap ikan lemuru. Ukuran mata jaring disesuaikan dengan ikan tujuan penangkapan. Gillnet yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Banyuwangi menggunakan bahan multifilamen atau masyarakat setempat lebih mengenal dengan nama benang nilon, sedangkan gillnet yang digunakan oleh nelayan Kabupaten Jembrana menggunakan bahan monofilamen atau lebih dikenal dengan nama benang senar. Alat tangkap payang, digunakan oleh nelayan di Kabupaten Banyuwangi untuk pemanfaatan ikan pelagis kecil. Sama halnya dengan gillnet, nelayan payang melakukan penangkapan ikan berdasarkan musim ikan yang berlaku, jika sedang musim tongkol mereka menangkap tongkol, jika sedang musim layang mereka menangkap ikan layang, dan jika sedang musim lemuru mereka menangkap ikan lemuru. Alat tangkap pukat pantai, masih digunakan oleh nelayan di Kabupaten jembrana. Alat tangkap ini merupakan alat tangkap paling tradisional yang mereka gunakan. Apabila dilihat data statistik Dinas Perikanan Kabupaten Jembrana (Tabel 25), jumlah alat tangkap pukat pantai jumlahnya stabil atau tidak terjadi peningkatan ataupun penurunan. Rata-rata jumlah alat tangkap pukat pantai yang terdata adalah sebanyak unit per tahun (Statistik Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Kabupaten Jembrana 2011). Bagan adalah alat tangkap untuk menangkap ikan pelagis kecil, pertama kali diperkenalkan oleh nelayan Bugis-Makassar sekitar tahun 1950-an (Lee 2010). Alat tangkap bagan sangat cepat menyebar ke seluruh penjuru perairan Indonesia, karena alat tangkap ini mudah dimodifikasi sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah (Sudirman 2003). Menurut Ayodyoa (1984) bagan merupakan alat tangkap yang menggunakan cahaya dalam pengoperasiannya (light fishing). Lampu digunakan sebagai alat bantu untuk menarik perhatian ikan untuk berkumpul disekitar dan

154 134 dibawah cahaya lampu. Beberapa jenis ikan yang tertarik dengan cahaya lampu adalah ikan-ikan berfototaksis positif, seperti ikan teri, cumi-cumi, layang, kembung, dan termasuk lemuru. Alat tangkap bagan masih digunakan oleh masyarakat nelayan, terutama di Kabupaten Banyuwangi. Bagan yang dioperasikan adalah jenis bagan tancap, banyak ditemukan di Teluk Pang-Pang, dan bagan apung yang banyak ditemukan di Senggrong. Bagan apung yang digunakan adalah bagan apung dengan menggunakan rakit. Bagan apung dioperasikan dengan kedalaman 5 15 meter. Menurut Hanim (1995) vide Elvizar (2010), bagan apung dengan menggunakan rakit merupakan bagan yang pengoperasiannya tidak menggunakan kapal atau mesin penggerak. Rakit yang digunakan sebagai penahan atau pengapung adalah drum. Sebagai manusia yang ingin berkembang dan maju sesuai dengan kemajuan global dunia, sudah barang tentu membutuhkan teknologi dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Agar dapat memenuhi kebutuhan teknologi, diperlukan suatu konsep atau tatanan sebagai pegangan, sehingga teknologi yang digagas dapat dijalankan sesuai fungsinya dan tepat guna. Tabel 25 Perkembangan jumlah alat tangkap dominan di Selat Bali Perkembangan jumlah alat tangkap No Tahun Banyuwangi Jembrana Purse Payang Gillnet Bagan P. Pantai Purse Gillnet seine seine ,00 112,00 276,00 174,00 63,00 74,00 612, ,00 112,00 276,00 174,00 64,00 74, , ,00 44,00 256,00 129,00 67,00 72, , ,00 44,00 256,00 129,00 59,00 77, , ,00 42,00 303,00 129,00 63,00 83, , ,00 42,00 303,00 129,00 63,00 107, ,00 Jumlah 1.084,00 396, ,00 864,00 379,00 487, ,00 Rata-rata 180,67 66,00 278,33 144,00 63,17 81, ,00 Sumber: Dinas PK Kabupaten Banyuwangi dan Dinas PKK Kabupaten Jembrana (2011) Perkembangan jumlah alat tangkap dominan menurut data statistik Perikanan Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Banyuwangi tahun 2011 (Tabel 25), alat tangkap purse seine paling banyak digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru. Namun demikian alat tangkap lainnya seperti gillnet, payang, pukat pantai, dan bagan (terutama bagan tancap di Kabupaten

155 135 Banyuwangi) berpotensi baik untuk menangkap lemuru (Sardinelle lemuru Bleeker 1853), walaupun hasil yang diperoleh tidak sebanyak alat tangkap purse seine. Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 25, dapat dilihat bahwa jumlah unit penangkapan gillnet di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana jauh lebih besar dibandingkan dengan dengan jumlah alat tangkap dominan lainnya yang digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali. Namun demikian, sebagaimana termaktub dalam code of conduct for responsible fisheries (CCRF) perkembangan armada perikanan, harus mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya sesuai dengan kemampuan reproduksi untuk keberlanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya itu sendiri (FAO 1995). Hal tersebut sejatinya harus segera dilaksanakan di lapangan, implementasi terhadap code of conduct for responsible fisheries (CCRF) harus dilakukan secara bersama-sama antara pemanfaat sumberdaya dalam sektor perikanan itu sendiri dan sektor lain yang berkaitan erat dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, sehingga sumberdaya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan lestari. Melalui penelitian ini penulis ingin mengetahui dan melakukan analisis terhadap alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Dari jumlah alat tangkap yang digunakan, alat tangkap mana yang membuktikan secara statistik lebih baik dan dapat dikembangkan untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru. 8.2 Tujuan Tujuan dilakukan penelitian terhadap penentuan dan seleksi jenis alat tangkap serta teknologi yang tepat, agar diketahui jenis alat tangkap yang dapat memberikan hasil optimal, menggunakan teknologi yang tepat, ramah lingkungan, sehingga keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru dapat berjalan secara lestari dan ramah lingkungan.

156 Kebutuhan dan Metode Analisis Data Kebutuhan data Data yang dikumpulkan adalah berupa data primer dan sekunder. Data primer diambil secara langsung melalui wawancara dengan responden. Responden yang diambil sebanyak 15 orang dari masing-masing jumlah alat tangkap yang digunakan, sedangkan data sekunder sebagai data dukung diambil dari instansi terkait di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Pengambilan data dilakukan selama 6 bulan yaitu bulan Mei-Oktober Aspek yang dilihat mencakup: a. Aspek biologi Parameter yang diukur adalah berkaitan dengan beberapa hal yang berpengaruh secara biologi terhadap ketersediaan sumberdaya lemuru, yaitu (1) Produksi, berkaitan dengan jumlah hasil tangkapan dari setiap unit/alat tangkap yang digunakan oleh nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru. Data jumlah hasil tangkapan diperoleh dari hasil wawancara dengan pemilik/juragan masing-masing alat tangkap, dengan menggunakan kuisioner dan pengukuran langsung di lapangan (Muncar dan Pengambengan) untuk hasil tangkapan dari purse seine. (2) hasil tangkapan utama yaitu lemuru, (3) Ukuran ikan yang tertangkap yaitu rata-rata ukuran panjang ikan lemuru hasil tangkapan. Sampel untuk pengukuran panjang ikan diambil dari kapal purse seine dan wawancara, sedangkan untuk unit alat tangkap lainnya dilakukan dengan wawancara. b. Aspek teknis Data yang dibutuhkan untuk melihat secara teknis, hal apa saja yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Aspek teknis tersebut mencakup (1) jumlah alat tangkap yaitu rata-rata jumlah alat tangkap yang digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru setiap tahun, (2) jumlah trip per bulan yaitu jumlah hari atau frekuensi nelayan pergi melaut dalam satu bulan, (3) Musim, (4) penguasaan teknologi oleh nelayan, yaitu cara yang dilakukan oleh nelayan dalam mendeteksi keberadaan sumberdaya ikan secara umum di periaran Selat Bali.

157 137 c. Aspek sosial Parameter yang dikaji adalah seberapa besar dampak penggunaan alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan di Selat Bali terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat disekitar wilayah tersebut, dalam hal ini Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Aspek sosial tersebut adalah (1) penyerapan tenaga kerja, (2) keuntungan usaha per trip, (3) pendapatan ABK per trip. d. Aspek ekonomi Data yang dibutuhkan untuk analisa aspek ekonomi ini adalah (1) harga ikan, (2) penerimaan kotor per trip, (3) biaya melaut, dan (4) pendapatan kotor per tenaga kerja per trip. Data tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan sebagai responden terpilih untuk masing-masing alat tangkap di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. e. Aspek ekosistem perairan Data yang dibutuhkan adalah berkaitan dengan dampak yang terjadi terhadap lingkungan perairan dengan menggunakan alat tangkap untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru. Aspek ekosistem perairan tersebut adalah hal yang berkaitan dengan pengaruh pengoperasian alat tangkap terhadap lingkungan perairan dilokasi penangkapan ikan, ukuran mata jaring, hasil tangkapan sampingan (bycatch), ikutan selain ikan (non ikan) seperti terumbu karang, sejenis tanaman laut yang ada di dasar perairan Selat Bali. Data diperoleh dengan cara diskusi dan wawancara dengan responden terpilih yang dianggap mengerti dan mampu menjawab pertanyaan yang tertera dalam kuisioner. Kuisioner dibuat sedemikian rupa, mudah dimengerti dan dipahami oleh responden, sehingga dalam melakukan diskusi dan wawancara tepat sasaran dan tidak memakan waktu yang lama Metode analisis data Metode yang digunakan untuk analisis seleksi jenis alat tangkap dan teknologi yang tepat, dalam rangka upaya pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali adalah metode skoring. Metode ini, merupakan metode yang didasarkan

158 138 pada analisis kelayakan terhadap aspek biologi, aspek teknis, aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek ekosistem (Mangkusubroto dan Trisnadi 1985 vide Aminah 2009). Metode ini dapat digunakan dalam penilaian kriteria yang mempunyai satuan berbeda. Kriteria penilaian dilakukan dengan memberikan nilai terendah satu (1) dan nilai tertinggi lima (5). Semua penilaian yang dilakukan terhadap kriteria atau aspek, menggunakan nilai tukar, sehingga nilai yang muncul mempunyai standar yang sama. Selain itu, penilaian juga dapat dilakukan dengan memasukkan nilai nyata/nilai sebenarnya dari aspek yang diteliti. Haluan dan Nurani (1988), menyatakan bahwa nilai tiap kriteria dapat diperoleh dengan melakukan survei lapangan. Survei lapangan ini dilakukan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara dengan responden, maupun data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan dan instansi terkait. Selanjutnya dikatakan bahwa, nilai yang dimasukkan pada tiap kriteria dapat berupa nilai secara kuantitatif dari hasil wawancara dan perhitungan, dapat juga dilakukan secara kualitatif sesuai dengan nilai standar skala subjektif. Penilaian yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan hasil wawancara, perhitungan secara kuantitatif dan kualitatif sesuai dengan objek yang diinginkan. Penilaian alat tangkap dan teknologi akan dilihat dari aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan aspek ekosistem perairan laut. Analisis aspek biologi mencakup produksi ditetapkan sebagai (X 1 ), panjang ikan (X 2 ), dan berat ikan sebagai (X 3 ), Aspek teknis berkaitan dengan penilaian kriteria teknis terhadap unit penangkapan yang digunakan oleh nelayan di Selat Bali yaitu nelayan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana untuk melakukan penangkapan ikan lemuru, yaitu jumlah alat tangkap (X 1 ), trip per bulan (X 2 ) musim (X 3 ), penguasaan teknologi oleh ABK (X 4 ). Analisis aspek sosial mencakup; penyerapan tenaga kerja (X 1 ), pendapatan usaha penangkapan per trip (X 2 ), pendapatan ABK per trip (X 3 ). Aspek ekonomi, dalam hal ini berkaitan dengan efisiensi usaha, meliputi; harga ikan (X 1 ), penerimaan kotor per trip (X 2 ), biaya melaut per trip (X 3 ), pendapatan kotor per tenaga kerja per trip (X 4 ). Aspek ekosistem perairan mencakup; ukuran mata jaring (X 1 ) ikutan selain ikan (non ikan) sebagai (X 2 ), dan hasil tangkapan sampingan (X 3 ). Ukuran mata jaring sebagai aspek ekosistem perairan, diasumsikan mempunyai pengaruh atau efek

159 139 terhadap lingkungan perairan Selat Bali, karena berkaitan dengan lokasi dan posisi penurunan jaring pada saat nelayan melakukan penangkapan ikan. Aminah (2009) menggunakan metode ini untuk analisis pemanfaatan sumberdaya ikan kembung (Rastrelliger spp) di perairan Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan. Untuk mengetahui jenis alat tangkap yang tepat guna, digunakan formula sebagai berikut: ( )...(7.1) dimana, V(X) = Fungsi nilai dari variabel X X = Nilai variabel X X 1 = Nilai tertinggi pada kriteria X X 0 = Nilai terendah pada kriteria X ( ) ( )...(7.2) dimana, ( ) = Fungsi nilai dari alternatif A = Fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i 8.4 Hasil Penelitian Berdasarkan paramater yang telah ditentukan dengan menggunakan metode skoring untuk mencapai tujuan dalam rangka mendapatkan jenis alat tangkap yang tepat guna, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Penilaian aspek biologi Berdasarkan hasil penelitian dengan metode skoring untuk Kabupaten Banyuwangi, yang ditinjau dari aspek biologi menunjukkan bahwa alat tangkap purse seine berada pada urutan prioritas pertama. Tabel 26 menunjukkan hasil yang diperoleh setelah dilakukan standarisasi berdasarkan parameter yang diuji.

160 140 Alat tangkap gillnet berada pada urutan kedua, payang urutan ketiga, sedangkan alat tangkap bagan berada pada urutan keempat. Tabel 26 Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek biologi di Kabupaten Banyuwangi No Alternatif teknologi Kriteria penilaian X 1 V 1 X 2 V 2 X 3 V 3 VA 1 1 Pukat Cincin 4, Gillnet Payang Bagan Keterangan: X 1 X 2 X 3 : Hasil tangkapan per trip (kg) : Panjang ikan (cm) : Berat ikan (gram) VA 1 : Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V 1 (X 1 ) UP UP : Urutan prioritas Hasil analisa yang dilakukan untuk Kabupaten Jembrana juga menunjukan bahwa alat tangkap purse seine lebih baik bila dibandingkan dengan alat tangkap gillnet, payang dan bagan yang digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru (Tabel 27). Pada Tabel 27 dapat dilihat bahwa alat tangkap yang digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru oleh nelayan di Kabupaten Jembrana adalah purse seine, gillnet, dan pukat pantai. Dari ketiga alat tangkap tersebut, setelah dilakukan analisa dan standarisasi, maka alat tangkap purse seine berada pada prioritas pertama, gillnet prioritas kedua, sedangkan pukat pantai berada pada prioritas ketiga. Dapat dilihat disini bahwa secara biologi alat tangkap purse seine memiliki penilaian lebih baik bila dibandingnkan dengan alat tangkap dominan lainnya. Tabel 27 Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek biologi di Kabupaten Jembrana No Alternatif teknologi Kriteria Penilaian X 1 V 1 X 2 V 2 X 3 V 3 VA 1 1 Purse seine 20, Gillnet Pukat Pantai UP

161 141 Keterangan: X 1 : Hasil tangkapan per trip (kg) X 2 : Panjang ikan (cm) X 3 : Berat ikan (gram) VA 1 : Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V 1 (X 1 ) UP : Urutan prioritas Penilaian aspek teknis Ditinjau dari aspek teknis, yaitu aspek yang berkaitan dengan pengoperasian alat tangkap yang digunakan oleh nelayan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya lemuru. Hal spesifik yang ingin dilihat adalah efektifitas dari alat tersebut. Penentuan jenis alat tangkap berdasarkan metode skoring dan setelah dilakukan standarisasi terhadap alat tangkap yang dominan digunakan, maka diperoleh hasil bahwa alat tangkap payang merupakan prioritas utama, sementara itu prioritas kedua adalah alat tangkap bagan, prioritas ketiga adalah gillnet, sedangkan purse seine berada pada prioritas keempat (Tabel 28). Tabel 28 No Alternatif teknologi Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek teknis di Kabupaten Banyuwangi Kriteria Penilaian X 1 V 1 X 2 V 2 X 3 V 3 X 4 V 4 VA 2 1 Purse seine Gillnet Payang Bagan Keterangan: X 1 : Jumlah alat tangkap (unit/tahun) X 2 X 3 X 4 : Jumlah trip per bulan (hari) : Musim (bulan) : Penguasaan teknologi oleh ABK VA 2 : Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V 1 (X 1 ) UP : Urutan prioritas Aspek teknis untuk Kabupaten Jembrana, penentuan jenis alat tangkap berdasarkan metode skoring dan setelah dilakukan standarisasi terhadap alat tangkap yang dominan digunakan, maka diperoleh hasil bahwa alat tangkap UP

162 142 payang merupakan prioritas utama, sementara itu prioritas kedua adalah alat tangkap bagan, prioritas ketiga adalah gillnet, sedangkan purse seine berada pada prioritas keempat (Tabel 29). Tabel 29 Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek teknis di Kabupaten Jembrana No Alternatif teknologi Kriteria penilaian X1 V1 X2 V2 X3 V3 X4 V4 VA2 1 Purse seine Gillnet P. Pantai Keterangan: X 1 X 2 X 3 X 4 : Jumlah alat tangkap (unit/tahun) : Jumlah trip per bulan (hari) : Musim (bulan) : Penguasaan teknologi oleh ABK VA 2 : Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V 1 (X 1 ) UP : Urutan prioritas Penilaian aspek sosial Berdasarkan perhitungan hasil skoring dan standarisasi terhadap aspek sosial, maka untuk Kabupaten Banyuwangi alat tangkap purse seine berada pada prioritas pertama, dalam hal penyerapan tenaga kerja. Payang menempati urutan kedua, gillnet pada urutan ketiga sedangkan bagan berada urutan keempat (Tabel 30). Tabel 30 No Alternatif teknologi Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek sosial di Kabupaten Banyuwangi Kriteria Penilaian X 1 V 1 X 2 V 2 X 3 V 3 VA 3 1 Purse seine ,753, ,876, Gillnet , , Payang , , Bagan , , Keterangan: X 1 X 2 : Penyerapan tenaga kerja per kapal (orang) : Keuntungan usaha per trip (Rp) UP UP

163 143 X 3 : Pendapatan ABK per trip (Rp) VA 3 : Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V 1 (X 1 ) UP : Urutan prioritas Hasil analisis skoring untuk Kabupaten Jembrana yang dilihat dari aspek sosial, dapat dilihat bahwa dalam penyerapan tenaga kerja alat tangkap purse seine menempati urutan pertama, pukat pantai pada urutan kedua, sedangkan gillnet berada urutan ketiga (Tabel 31). Tabel 31 Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek sosial di Kabupaten Jembrana No Alternatif teknologi Kriteria penilaian X 1 V 1 X 2 V 2 X 3 V 3 VA 3 1 Purse seine ,455, ,511, Gillnet , , Pukat Pantai ,083, , Keterangan: X 1 X 2 X 3 : Penyerapan tenaga kerja (orang) : Rata-rata keuntungan usaha per trip (Rp) : Rata-rata pendapatan ABK per trip (Rp) VA 3 : Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V 1 (X 1 ) UP : Urutan prioritas Penilaian aspek ekonomi Setelah dilakukan analisa dengan metode skoring terhadap aspek ekonomi untuk Kabupaten Banyuwangi, maka diperoleh hasil bahwa, alat tangkap purse seine menempati urutan pertama. Hal ini terjadi karena alat tangkap purse seine memperoleh penerimaan kotor per trip dan pendapatan kotor per tenaga kerja per trip lebih tinggi bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Tabel 32 Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek ekonomi di Kabupaten Banyuwangi UP No Alternatif teknologi Kriteria Penilaian X 1 V 1 X 2 V 2 X 3 V 3 X 4 V 4 VA 4 1 Purse seine 5, ,546, ,793, , Gillnet 2, , , , Payang 3, , , , Bagan 2, , , , UP

164 144 Keterangan: X 1 X 2 X 3 X 4 : Harga ikan (Rp) : Penerimaan kotor per trip (Rp) : Biaya melaut (Rp) : Pendapatan kotor per tenaga kerja per trip (Rp) VA 4 : Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V 1 (X 1 ) UP : Urutan prioritas Hasil analisis skoring untuk aspek ekonomi di Kabupaten Jembrana, maka alat tangkap purse seine juga menempati urutan pertama terhadap alat tangkap lainnya yang dioperasikan untuk menangkap ikan lemuru. Alat tangkap purse seine memperoleh penerimaan kotor dan pendapatan per tenaga kerja per trip lebih tinggi dari alat tangkap lainnya (Tabel 33). Tabel 33 Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek ekonomi di Kabupaten Jembrana No Alternatif teknologi Kriteria penilaian X1 V1 X2 V2 X3 V3 X4 V4 VA4 UP 1 Purse seine ,870, ,414, , Gillnet ,126, , , Pukat Pantai ,133, , , Keterangan: X 1 X 2 X 3 X 4 : Harga ikan (Rp) : Penerimaan kotor per trip (Rp) : Biaya melaut (Rp) : Pendapatan kotor per tenaga kerja per trip (Rp) VA 4 : Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V 1 (X 1 ) UP : Urutan prioritas Penilaian aspek ekosistem perairan Analisis skoring terhadap aspek ekosistem perairan, untuk Kabupaten Banyuwangi diperoleh hasil bahwa alat tangkap bagan berada pada prioritas pertama, gillnet prioritas kedua, dan payang prioritas ketiga, sedangkan purse seine berada pada prioritas keempat (Tabel 34).

165 145 Tabel 34 Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek ekosistem perairan di Kabupaten Banyuwangi No Alternatif teknologi Kriteria penilaian X 1 V 1 X 2 V 2 X 3 V 3 VA 5 1 Purse seine 1,92 0,556 1,86 0,000 1,86 0,300 0, Gillnet 2,79 0,931 1,93 0,500 1,87 0,350 1, Payang 2,95 1,000 1,87 0,071 1,80 0,000 1, Bagan 0,63 0,000 2,00 1,000 2,00 1,000 2,000 1 Keterangan: X 1 X 2 X 3 : Ukuran mata jaring (cm) : Ikutan selain ikan (non ikan) : Hasil tangkapan sampingan VA 5 : Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V 1 (X 1 ) UP : Urutan prioritas UP Hasil analisis aspek ekosistem perairan untuk Kabupaten Jembrana, diperoleh hasil bahwa alat tangkap gillnet merupakan prioritas pertama, sedangkan alat tangkap purse seine dan pukat pentai berada pada prioritas kedua (Tabel 35). Tabel 35 Skoring dan standarisasi fungsi nilai ditinjau dari aspek ekosistem perairan di Kabupaten Jembrana Alternatif Kriteria penilaian No UP teknologi X 1 V 1 X 2 V 2 X 3 V 3 VA 5 1 Purse seine Gillnet Pukat Pantai Keterangan: X 1 X 2 X 3 : Ukuran mata jaring (cm) : Ikutan selain ikan (non ikan) : Hasil tangkapan sampingan VA 5 : Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V 1 (X 1 ) UP : Urutan prioritas

166 Penilaian aspek gabungan (aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan ekosistem perairan) Pemilihan alat tangkap yang tepat dalam rangka pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali, perlu dilakukan analisis gabungan yaitu gabungan dari analisis biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan perairan sehingga dapat ditentukan alat tangkap layak digunakan. Setelah dilakukan analisa, hasil yang diperoleh untuk Kabupaten Banyuwangi adalah alat tangkap purse seine, sehingga alat tangkap ini mendapat prioritas utama dalam pengembangan alat tangkap untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru (Tabel 36). Tabel 36 Standarisasi penilaian aspek gabungan (aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan ekosistem perairan) di Kabupaten Banyuwangi No Alternatif teknologi Kriteria penilaian VA 1 V 1 VA 2 V 2 VA 3 V 3 VA 4 V 4 VA 5 V 5 VA gab 1 Purse seine Gillnet Payang Bagan Keterangan: VA 1 : Penilaian aspek biologi VA 2 : Penilaian aspek teknis VA 3 : Penilaian aspek sosial VA 4 : Penilaian aspek ekonomi VA 5 : Penilaian aspek ekosistem perairan VA gab : Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari VA 1 (V 1 ) UP : Urutan prioritas UP Berdasarkan hasil analisis gabungan, untuk Kabupaten Jembrana pemilihan alat tangkap yang tepat adalah purse seine (Tabel 37). Pemilihan alat tangkap ini berdasarkan kepada penilaian dari aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi, dengan demikian di Kabupaten Jembrana alat tangkap ini memiliki peluang untuk dikembangkan dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali.

167 147 Tabel 37 Standarisasi penilaian aspek gabungan (aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan ekosistem peraira) di Kabupaten Jembrana No Alternatif teknologi Kriteria penilaian VA 1 V 1 VA 2 V 2 VA 3 V 3 VA 4 V 4 VA 5 V 5 1 Purse seine Gillnet Pukat Pantai Keterangan: VA 1 : Penilaian aspek biologi VA 2 : Penilaian aspek teknis VA 3 : Penilaian aspek sosial VA 4 : Penilaian aspek ekonomi VA 5 : Penilaian aspek ekosistem perairan VA gab : Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari VA 1 (V 1 ) UP : Urutan prioritas Berdasarkan hasil penilaian gabungan, maka alat tangkap unggulan adalah purse seine. Alat tangkap unggulan ini menjadi basis data pada analisis model keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali (bab 9). 8.5 Pembahasan Pembahasan dalam bab ini berkaitan dengan penentuan dan seleksi jenis alat tangkap serta teknologi yang tepat, agar diketahui dengan pasti jenis alat tangkap yang dapat memberikan hasil optimal, menggunakan teknologi yang tepat, ramah lingkungan, sehingga pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan metode skoring terhadap aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan ekosistem perairan, maka alat tangkap purse seine merupakan alat tangkap terbaik yang dapat digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali. Dari 120 orang responden yang berhasil diwawancara, terlihat produksi dengan menggunakan purse seine di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana cukup tinggi, hal ini membuktikan bahwa alat tangkap purse seine memberikan kontribusi yang sangat baik. VA gab UP ditinjau dari aspek biologi

168 148 Seperti kita ketahui bersama bahwa, ukuran ikan lemuru yang tertangkap dengan menggunakan alat tangkap purse seine ada empat ukuran panjang ( Merta 1992 dan Nontji 2007) yaitu sempenit (10 12,5 cm), protolan (13 14,5 cm), lemuru (15 17,5 cm), dan lemuru kucing (17,9 19 cm). Panjang dan lebar alat tangkap serta ukuran mata jaring juga dapat mempengaruhi hasil tangkapan. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden (nelayan purse seine), ukuran sempenit yang tertangkap dengan ukuran panjang 10,00 12,00 cm, protolan dengan ukuran panjang 12,00 15,00 cm, lemuru dengan panjang 15,00 17,00 cm, dan lemuru kucing dengan ukuran panjang 17,50 20,00 cm. Namun hal yang sangat disayangkan adalah sampai saat penelitian dan pengumpulan data dilakukan, belum ada pencatatan produksi berdasarkan ukuran tersebut di atas. Secara teknis, berdasarkan hasil skoring untuk Kabupaten Banyuwangi alat tangkap yang lebih baik adalah payang, hal ini karena faktor jumlah alat tangkap lebih banyak dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Berdasarkan data statistik UPPPP Muncar tahun 2011, rata-rata jumlah alat tangkap payang yang ada adalah 278 unit (Tabel 25). Begitu juga dengan jumlah trip per bulan, alat tangkap payang rata-rata beroperasi lebih intensif bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya (Tabel 25). Penilaian aspek teknis terhadap penentuan jenis alat tangkap dan teknologi yang tepat untuk Kabupaten Jembrana, berdasarkan hasil yang diperoleh terlihat bahwa secara teknis alat tangkap gillnet lebih baik bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya yaitu pukat pantai dan purse seine. Hal ini bisa terjadi karena jumlah unit penangkapan gillnet lebih banyak bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya yaitu unit (Tabel 25). Secara sosial, berdasarkan analisis yang sudah dilakukan, untuk Kabupaten banyuwangi maupun Kabupaten Jembrana alat tangkap purse seine memberikan kontribusi yang baik dari alat tangkap lainnya. Berdasarkan hasil skoring, alat tangkap purse seine membuka lapangan kerja karena membutuhkan jumlah anak buah kapal yang lebih banyak bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Disamping itu purse seine bisa memberikan keuntungan yang lebih tinggi, sehingga pendapatan ABK juga tinggi. Seperti kita ketahui bersama bahwa, dalam rangka upaya mengembangkan suatu jenis alat tangkap pada satu wilayah,

169 149 hal yang harus diperhatikan adalah dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak (Monintja, 1987). Disamping itu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana tenaga kerja yang ada dapat dengan mudah menyerap teknologi dan pembaharuan teknologi dalam rangka upaya meningkatkan hasil tangkapan. Hasil wawancara dengan salah satu nelayan di Kabupaten Jembrana (Bapak Nuryatim) mengatakan bahwa, melakukan penangkapan dengan alat tangkap purse seine di Selat Bali sebenarnya tidak memerlukan teknologi yang macam-macam, karena Selat Bali merupakan rumah ikan dan sangat gampang menemukan lokasi penangkapan. Berdasarkan hasil analisis yang ditinjau dari aspek ekonomi, maka alat tangkap yang terbaik untuk Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana adalah purse seine (Tabel 32 dan Tabel 33). Berdasarkan parameter yang dianalisis yaitu harga ikan, penerimaan kotor per trip, dan pendapatan kotor per tenaga kerja per trip lebih baik bila dibandingkan dengan jenis alat tangkap lainnya. Keunggulan ini diperoleh karena secara biologi alat tangkap purse seine bisa memperoleh hasil tangkapan yang lebih tinggi dalam satu kali hauling bila dibandingkan dengan jenis alat tangkap lainnya. Hasil analisis aspek ekosistem perairan, dapat dilihat bahwa alat tangkap bagan memberikan hasil terbaik untuk Kabupaten Banyuwangi (Tabel 34). Hal ini bisa dipahami karena responden yang berhasil diwawancara adalah nelayan bagan tancap yang beroperasi di Teluk Pang-Pang. secara teknis alat tangkap bagan tancap maupun bagan apung lebih bersifat pasif dalam melakukan penangkapan ikan, walaupun mereka menggunakan waring untuk menangkap ikan target, sehingga kecil kemungkinan dapat terjaring hewan diluar ikan target. Hasil analisis aspek lingkungan perairan untuk Kabupaten Jembrana, alat tangkap yang lebih baik adalah gillnet (Tabel 35). Hal ini bisa saja terjadi karena ukuran mata jaring yang digunakan oleh nelayan gillnet di Kabupaten Jembrana berukuran lebih besar, rata-rata mereka menggunakan ukuran mata jaring yaitu 2,5 (5 cm). Ukuran mata jaring yang demikian sangat membantu dalam mewujudkan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ramah lingkungan, kenapa dikatakan demikian, karena dengan ukuran mata jaring yang relatif besar, maka ikan-ikan yang berukuran kecil dapat lolos.

170 150 Menurut Nurhakim dan Merta (2004), bahwa pengelolaan perikanan harus memperhatikan faktor-faktor lingkungan perairan (ekosistem). Selanjutnya dikatakan bahwa pengelolaan dapat dicapai dengan pola konservasi antara pemanfaatan sumberdaya yang tetap dapat melestarikan lingkungan perairan sebagai habitat ikan target penangkapan. Berdasarkan hasil standarisasi penilaian aspek gabungan, yaitu aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan aspek lingkungan perairan maka yang menjadi prioritas untuk dikembangkan, baik di Kabupaten banyuwangi maupun di Kabupaten Jembrana adalah alat tangkap purse seine (Tabel 36 dan Tabel 37). Analisis gabungan ini bertujuan untuk melihat dan menilai penampilan terhadap alat tangkap yang digunakan oleh nelayan secara menyeluruh, dan dijadikan sebagai indikator dalam melakukan pengembangan dan keberlanjutan usaha penangkapan ikan lemuru di Selat Bali. Dari hasil penilaian gabungan tersebut diatas, jelas terlihat bahwa alat tangkap purse seine dapat dikembangkan untuk pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Mengingat puse seine merupakan alat tangkap yang dapat dikembangkan di Selat Bali, baik oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi maupun nelayan Kabupaten Jembrana, maka pengaturan jumlah dan kapasitas yang harus dipenuhi sangat tergantung kepada pengaturan kebijakan oleh pemerintah daerah masingmasing. Menurut Wiyono (2011), Penggunaan alat tangkap, harus mengacu pada potensi sumberdaya yang tersedia disatu wilayah. Berdasarkan analisis sumberdaya perikanan lemuru seperti sudah diuraikan pada bab terdahulu, bahwa perhitungan C msy ,61 ton per tahun, sedangkan produksi tertinggi selama kurun waktu terjadi pada tahun 2007 sebesar ,919 ton. Jika ditinjau dari ketersediaan sumberdaya, maka pemanfaatan dan pengusahaan penangkapan sumberdaya perikanan lemuru sudah mendekati kehati-hatian dan menuju arah over fishing, baik ditinjau secara keseluruhan maupun ditinjau dari jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB). Namun demikian, Mengingat potensi dan ketersediaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan, yaitu berkaitan dengan ketersediaan plankton sebagai sumber makanan, dan sangat rentan terhadap perubahan faktor

171 151 oseanografi secara global, maka perlu antisipasi terhadap penggunaan dan penyesuaian jumlah alat tangkap yang dioperasikan, sehingga ketersediaan sumberdaya pada habitatnya dapat dipertahankan. 8.6 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap seleksi jenis alat tangkap dan teknologi yang tepat, dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Alat tangkap unggulan adalah purse seine. Alat tangkap ini dapat dikembangkan oleh nelayan yang berada di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana, 2. Dalam melakukan operasi penangkapan, nelayan Selat Bali belum menggunakan peralatan atau teknologi moderen dan masih mempertahankan cara-cara tradisional.

172 152

173 153 9 MODEL KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN PERIKANAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 9.1 Pendahuluan Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, harus memperhatikan kesimbangan antara pemanfaatan secara ekonomi dan pemeliharaan lingkungan perairan sebagai habitat ikan target penangkapan. Jika tujuan utama melindungi lingkungan perairan dengan harapan melindungi dapat mnelindungi sumberdaya, maka kegiatan ekonomi akan terhenti. Sektor perikanan merupakan salah satu dari elemen kunci sistem perikanan tangkap, dimana perilaku manusia memiliki peran yang penting. Perilaku manusia yang diwujudkan dalam bentuk tindakan didorong oleh suatu motivasi atau intervensi dari suatu aturan/kebijakan, akan memicu suatu keadaan atau perilaku terhadap lingkungan perairan. Banyak penelitian sudah dilakukan untuk menerapkan teori keberlanjutan sumberdaya. Namun, pada kenyataannya dalam ukuran secara ekonomi, keberlanjutan suatu pembangunan mempunyai arti sebagai suatu totalitas terhadap sediaan dari sumberdaya yang digunakan dalam sistem ekonomi sangat menentukan kesempatan ekonomi secara luas. Ketersediaan dan karakteristik sumberdaya alam adalah dinamis, dan tidak dapat dipungkiri bahwa secara inherent sumberdaya alam adalah dinamis. Teori dinamis, seperti yang dikemukakan oleh Mustaruddin (2010) merupakan cara untuk mengimplementasikan atau menyelaraskan antara pemanfaatan sumberdaya alam secara ekonomi dan peneliharaan lingkungan perairan sebagai habitat ikan target penangkapan. Kerusakan lingkungan bisa terjadi apabila pertumbuhan ekonomi berjalan sangat cepat tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya. Agar hal tersebut tidak terjadi, perlu keseimbangan antara pemanfaatan dan pemeliharaan lingkungan sumberdaya untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya secara lestari dan ramah lingkungan. Perikanan tangkap merupakan sistem yang terdiri dari 3 (tiga) komponen (Charles 2001). Sebagaimana sudah diuraikan pada bab terdahulu bahwa keberlanjutan pembangunan perikanan ditunjukkan dalam bentuk segitiga, yang

174 154 didalamnya terdapat unsur Ecological sustainability, Socioeconomic sustainability, Community sustainability. Karakteristik yang harus mendapat perhatian dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah fakta bahwa ekosistem yang ada dalam sistem wilayah saling terkait satu sama lain. Artinya, perubahan (kerusakan) yang menimpa suatu ekosistem perairan laut, maka pada gilirannya akan berdampak negatif terhadap ekosistem lainnya. Permasalahannya adalah bahwa dampak tersebut pada umumnya tidak terjadi seketika, tetapi memerlukan waktu (time lag). Kenyataan ekologis inilah yang seringkali terabaikan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan yang terlalu berorientasi pada keuntungan jangka pendek. Perilaku yang diperlihatkan oleh tindakan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah melakukan upaya penangkapan yang didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan. Menurut Ostrom (1994), upaya penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dapat dinyatakan sebagai pertimbangan hasil biaya dan manfaat sosial ekonomi yang diperoleh. Untuk menggambarkan perilaku tersebut serta dampak terhadap keberlanjutan, suatu model bio-ekonomi sederhana yang menggambarkan pemanfaatan stok ikan akan digunakan untuk menunjukkan bagaimana perilaku manusia dapat dimasukkan dalam suatu model sistem kualitatif yang juga berkaitan dalam menganalisis kebijakan pembatasan upaya penangkapan. Selat Bali merupakan wilayah perairan laut yang patut mendapat perhatian, karena perairan Selat Bali merupakan sumber kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat yang berada di Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Jembaran Provinsi Bali. Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853), merupakan ikan pelagis kecil yang banyak dijumpai di Selat Bali dan merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat. Pada periode produksi lemuru menurun, bahkan menurut penuturan nelayan setempat, mereka tidak memperoleh hasil tangkapan sama sekali. Namun bertolak belakang dengan data yang tertera dalam buku laporan statistik perikanan terutama untuk Kabupaten Jembrana dimana hasil tangkapan untuk tahun 2010 tetap tinggi. Berbeda dengan Kabupaten Banyuwangi, pada akhir tahun 2010

175 155 hasil tangkapan nol (0). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil tangkapan, antara lain; faktor alat tangkap yang digunakan oleh nelayan, faktor oseanografi lingkungan perairan, dan daya dukungnya, serta faktor alam lainnya yang tidak dapat dikontrol. faktor-faktor tersebut akan berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya lemuru di Selat Bali yang pada akhirnya berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Model dinamis merupakan model yang diterapkan pertama kali oleh Forester pada tahun 1954 di Amerika. Model ini mencoba untuk memahami dunia nyata dan menuangkannya menjadi sebuah model dan dapat diselesaikan dengan beragam metode yang ada. Langkah pertama dan paling utama yang harus dilakukan adalah menentukan tujuan dari pemodelan yang akan dibuat, sehingga model yang dibuat dapat digunakan sebagai wahana dalam memahami struktur dan perilaku sumberdaya yang menjadi fokus sasaran pengelolaan. Sistem diartikan sebagai gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan (Manetsch dan Park 1977). Menurut (Hannon dan Ruth 1994; Grant et al 1997; Banks et al 1999) vide (Marwa 2009), Model merupakan abstraksi dari kenyataan sebenarnya, yang merupakan penggambaran formal elemen-elemen esensial dari suatu masalah (Grant at el. 1997). 9.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan analisis secara dinamik keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali berkaitan dengan upaya penangkapan yang dilakukan oleh nelayan, (2) Melakukan simulasi model untuk menentukan skenario terbaik yang akan dilakukan dalam keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru secara berkelanjutan dan ramah lingkungan serta lestari. 9.3 Kebutuhan Data dan Metode Analisis Pengembangan Model Kebutuhan data Data yang dibutuhkan untuk analisis sistem dinamik pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali ini adalah data berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya lemuru (produksi, jumlah unit alat tangkap), data berkaitan dengan sosial ekonomi (pendapatan, biaya

176 156 operasional dan keuntungan usaha). Parameter tersebut merupakan hasil analisis yang sudah dilakukan pada masing-masing bab terdahulu Metode analisis pengembangan model Prinsip simulasi sistem dinamik merupakan iterasi dengan menggunakan umpan balik dari data sebelumnya. Data awal (t-1) merupakan data yang sebenarnya dan digunakan sebagai masukan (input) data saat ini (t). Data saat ini (t) merupakan keluaran (output) yang digunakan sebagai masukan data masa depan/peramalan (t+1). Looping pada sistem bekerja secara dinamis. Secara garis besar, variabel yang mempengaruhi kinerja sistem dinamik terdiri dari 6 (enam) variabel (Manetsch dan Park, 1977) vide Marganof (2007), sebagai berikut: (1) Variabel output yang dikehendaki, ini ditentukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan, (2) Variabel input terkontrol, yang dapat dikelola untuk menghasilkan perilaku sistem sesuai dengan yang diharapkan, (3) Variabel output yang tidak dikehendaki, ini merupakan hasil sampingan atau dampak yang timbul bersama-sama dengan output yang diharapkan, (4) Variabel input tak terkontrol, (5) Variabel input lingkungan, yaitu variabel yang berasal dari luar sistem yang mempengaruhi sistem tetapi tidak dipengaruhi oleh sistem, dan (6) Variabel kontrol sistem, yaitu pengendali terhadap pengoperasian sistem dalam menghasilkan output yang dikehendaki. Analisis data, dilakukan dengan menggunakan program dinamis ditunjang oleh peralatan komputer untuk penyelesaian perhitungan. Program dinamis dan peralatan computer digunakan untuk melihat bagaimana hubungan dinamis antara pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru secara bio-ekonomi dan faktor ekologi ikan target penangkapan, tingkat pendapatan dan sosial ekonomi. Keterkaitan faktor-faktor tersebut merupakan sebuah causal loop yang menggambarkan kedinamisan sebuah pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Model dinamis yang akan dibangun terdiri dari 2 (dua) sub-model yaitu: (1) sub-model bioekonomi dan (2) sub-model upaya penangkapan/effort. Selanjutnya, dalam pembangunan model yang dirumuskan harus menggunakan beberapa batasan. Batasan ini berguna untuk menyederhanakan dan memahami

177 157 pengertian hubungan antar peubah dalam model yang akan membatasi keberhasilan model. Langkah-langkah yang dilakukan dalam rancang bangun model pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru dengan pendekatan sistem terdiri dari analisa kebutuhan, formulasi masalah dan identifikasi sistem. Analisis kebutuhan, merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui kebutuhan pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Pihak nelayan menginginkan hasil tangkapannya selalu tinggi, dan memperoleh pendapatan yang tinggi pula, pihak pemerintah daerah berharap memperoleh PAD tinggi. Berdasarkan analisis kebutuhan, terlihat bahwa pihak-pihak yang terlibat memiliki keinginan dan kebutuhan yang berbeda. Perbedaan ini akan menimbulkan masalah dalam melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru. Problem formulasi masalah dalam analisis ini adalah: 1. Populasi ikan lemuru bertambah akibat adanya laju pertumbuhan, 2. Populasi ikan berkurang akibat adanya penangkapan dan kematian, 3. Kematian ikan dapat disebabkan oleh; mati secara alami, karena tangkap berlebih dan adanya fenomena kematian ikan secara massal yang disebabkan oleh faktor alam dan lingkungan perairan. Agar pemecahan problem formulasi masalah dapat diselesaikan dengan baik, maka digunakan beberapa asumsi yaitu: 1. Fokus permasalahan adalah pada pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru, 2. Penangkapan hanya dilakukan oleh kapal atau perahu sesuai dengan izin yang dikeluarkan berdasarkan SKB dua Gubernur yaitu Provinsi Jawa Timur dan Gubernur Bali, 3. Ikan lemuru yang ada di Selat Bali hanya bermigrasi diseputar Selat Bali, 4. Perahu/kapal purse seine yang dioperasikan oleh nelayan adalah one day fishing. Identifikasi sistem dilakukan untuk memberikan gambaran terhadap sistem dalam bentuk diagram input output dan diagram lingkar sebab akibat (causal

178 158 loop), terhadap parameter yang membatasi susunan sistem yang akan dibuat (Gambar 30). + + Pertumbuhan alami + - Stok ikan + + Hasil tangkapan Manejemen daya dukung lingkungan perairan + Efisiensi usaha Upaya tangkap Pengembangan usaha + Penerimaan + Harga ikan Biaya melaut Keuntungan - + Gambar 30 Causal loop model dinamik pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali Penentuan batasan model dilakukan berdasarkan tinjauan model dasar dan isu-isu yang diangkat yaitu berkaitan dengan daya dukung ekosistem perairan terhadap pertumbuhan populasi ikan lemuru, sumberdaya lemuru, upaya penangkapan, harga ikan, biaya-biaya yang dikeluarkan, serta perolehan keuntungan terhadap usaha. Konsep model keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali ini, merupakan pengembangan dari model bio-ekonomi yang disusun oleh Schaefer (1954) dan de Kok (1996). Pengembangan model dilakukan dengan penambahan variabel yang dsesuaikan dengan karakteristik daerah Selat Bali dan tujuan model yang akan dibangun. Konsep pemikiran sebuah model, di dalamnya mencakup penggabungan sub-sub model ke dalam bentuk model yang utuh. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pemahaman tentang penentuan batasan model. Parameter yang digunakan dalam model pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali ini adalah:

179 159 Tabel 38 Parameter model dinamik pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru No Parameter Nilai Satuan 1 Kerapatan (K) ,46 ton 2 Pertumbuhan alami (r) 1,997 Per tahun 3 Kapasitas tangkap (q) Unit penangkapan 4 Harga ikan Rp/ton 5 Biaya melaut Rp/ trip 6 Konstanta keuntungan 1,5e-10-7 Faktor oseanografi dan klimatologi 0,435 - Model bio-ekonomi (Schaefer), menggambarkan dinamika dari upaya tangkap yang dilakukan oleh nelayan sehingga menghasilkan jumlah tangkap yang diinginkan. Dinamika tersebut ditandai dengan peubah yang menentukan dan ditentukannya. Peubah yang terlibat dalam model ini adalah jumlah hasil tangkapan, jenis alat tangkap yang digunakan, dan pertumbuhan/perkembangan jumlah alat tangkap. Unsur peubah tersebut secara keseluruhan berhubungan satu sama lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tahap akhir dari analisis sistem dinamik keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali adalah melakukan penyusunan skenario untuk menetapkan atau membuat usulan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil simulasi yang diperoleh. Berdasarkan skenario yang dibuat dapat diketahui model keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru sesungguhnya dan menjadi bahan usulan kepada pihak-pihak yang berkompeten. yang Setiap upaya tangkap akan memperoleh hasil tangkapan. Hasil tangkapan ini biasanya dikenal dengan hasil tangkapan per upaya tangkap atau biasa juga disebut dengan catch per unit effort (CPUE). Berdasarkan perhitungan yang diperoleh dan sudah dibahas pada uraian terdahulu (bab 6), gambaran kondisi biomass dan upaya tangkap maka model bio-ekonomi yang digunakan adalah model Schaefer. Model ini terdiri dari persamaan pertumbuhan logistik untuk biomass ikan serta model profit-driven untuk upaya penangkapan (fishing effort) yang ditunjukkan dengan rumus : ( )..(9.1) dimana: K = Carrying Capacity r = Konstanta pertumbuhan logistik

180 160 q = Kemampuan tangkap (catchability) per upaya tangkap. Bt = Biomass awal Pertumbuhan effort ( ) dipengaruhi oleh effort itu sendiri (E), dan perolehan keuntungan yang diterima (rent) serta fraksi dari rent (df), sehingga persamaannya dapat dibuat; ( )...(9.2) Rente ekonomi sumberdaya perikanan lemuru (π) merupakan hasil perkalian harga ikan (p) dengan hasil tangkapan (y) dikurang biaya-biaya yang digunakan untuk melakukan penangkapan (c), sehingga persamaannya dapat dibuat sebagai berikut: (( ) ( )).(9.3) Perhitungan terhadap data hasil penelitian untuk mengetahui dan mengestimasi biomass awal ikan lemuru digunakan rumus dari pengembangan model Schaefer dan turunannya, sehingga diperoleh biomass awal sebesar ,06 ton per tahun. Dalam proses ekologi dan kehidupan biota dalam satu ekosistem pasti mengalami kematian secara alami, yang disebabkan oleh faktor lingkungan dimana biota tersebut berada. Luckof et al (2005) menyatakan bahwa secara umum laju kematian ikan secara alami adalah 30%. Menurut Merta (1992) laju kematian lemuru secara alami bisa mencapai 1,0%, dan menurut Budiharjo et al. (1990) vide Merta dan Nurhakim (2004) kematian lemuru bisa mencapai 2,17% pertahun. Uji evaluasi/validasi atau keabsahan dari model yang dibuat, merupakan kriteria penilaian terhadap obyektifitas dari suatu pekerjaan ilmiah. Uji evaluasi/validasi dilakukan dengan cara membandingkan persamaan-persamaan model dengan kondisi nyata, dan membandingkan dengan teori yang ada. Jika model tidak valid, harus dilakukan perbaikan, jika sudah valid dan sesuai dengan kriteria yang diinginkan dapat dilanjutkan dengan melakukan simulasi terhadap model yang dibuat. Simulasi model dilakukan untuk melihat gejala-gejala permasalahan dalam kegiatan perikanan lemuru secara nyata.

181 161 Muhammadi (2001), menyatakan bahwa uji validasi dilakukan terhadap validitas struktur melalui generalisasi struktur nyata, yang ditunjukkan oleh struktur model yang diciptakan sesuai dengan aturan berfikir logis teori keilmuan dari obyek yang diteliti. Setiap hubungan sebab akibat, baik secara umum atau sudah terperinci harus didukung dengan argumen teori ilmiah. Dalam melakukan validasi kinerja/output model, harus dilihat sejauh mana kesesuaian perilaku output model dengan pola perilaku data empirik, uji evaluasi/validasi yang dilakukan mencakup: 1. Validasi struktur: Hubungan pola yang ada dalam diagram alir apakah sudah benar. Kebenaran hubungan tersebut berdasarkan kepada rumus pendukung terhadap pernyataan. Uji struktur ini bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata (Muhammadi, 2001). 2. Validasi besaran/satuan: Yaitu membuktikan persamaan yang ada dalam diagram alir, apakah aspek yang diuji satuannya sudah sama. 3. Validasi statistik: Jika secara visual pola output simulasi sudah mengikuti pola aktual, maka dilakukan uji statistik untuk melihat apakah ada penyimpangan antara output simulasi dengan data aktual. Untuk mengukur tingkat kesalahan, dilakukan pengukuran akar rataan kuadrat persentase perbedaan antara nilai simulasi dengan nilai aktual (Root Mean Percent Error/RMSPE). Rumus yang digunakan mengacu kepada Sterman (2003) sebagai berikut: ( ( ) )...(9.4) dimana, RMSPE : Akar rataan kuadrat persentase kesalahan St At n : Nilai simulasi pada waktu t : Nilai aktual pada waktu t : Jumlah pengamatan

182 162 Untuk melihat ketidaksamaan Theil, dilakukan uji Theil statistic (statistik ketidaksamaan Theil) yaitu untuk menentukan komposisi sifat kesalahan. Komposisi sifat kesalahan tersebut dapat diukur dengan menghitung bagian kesalahan yang terjadi karena ketidaksamaan bias (inequality bias proportion), karena ketidaksamaan varian (Inequality variance proportion), selanjutnya adalah menghitung ketidak samaan kovarian (inequality covariance proportion) (Sterman, 2003). Formula yang digunakan sebagai berikut: a. Ketidaksamaan bias (inequality bias proportion) Um = ( ) ( )...(9.5) dimana, Um : Bagian MSE karena Bias : Rata-rata nilai simulasi : Rata-rata nilai aktual : Nilai simulasi pada waktu t : Nilai aktual pada waktu t n : jumlah pengamatan b. Ketidaksamaan varian (Inequality variance proportion) ( ) ( )...(9.6) dimana, Us : Bagian MSE dikarenakan varian Ss : Standar deviasi nilai simulasi Sa : Standar deviasi nilai aktual St : Nilai simulasi pada waktu t At : Nilai aktual pada waktu t n : Jumlah pengamatan

183 163 c. ketidak samaan kovarian (inequality covariance proportion) ( ) ( ),...(9.7) dimana, Uc : Bagian MSE dikarenakan oleh kovarian Ss : Standar deviasi nilai simulasi Sa : Standar deviasi nilai aktual St : Nilai simulasi pada waktu t At : Nilai aktual pada waktu t n : Jumlah pengamatan Hasil simulasi dari variabel utama dibandingkan dengan pola perilaku empirik secara visual untuk melihat apakah ada penyimpangan yang menonjol, jika terdapat penyimpangan akan dilakukan perbaikan variabel dan parameter model berdasarkan hasil penelurusan penyebab penyimpangan. 9.4 Hasil Penelitian Model pengelolaan perikanan Konsep dan deskripsi model dibuat untuk memahami dunia nyata dan menuangkannya menjadi sebuah model. Model pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru terdiri dari sub model bio-ekonomi dan sub model effort, yang mana keduanya saling berinteraksi dan merupakan sebuah model dinamik. Secara diagramatik keterkaitan masing-masing sub model dapat dilihat pada Gambar 31. Skenario yang digunakan dalam simulasi adalah dengan menguji perubahan effort terhadap hasil tangkapan dalam setiap upaya tangkap. Selanjutnya, dibangun struktur model keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru dalam sebuah diagram Causal-loop (Gambar 30). Selanjutnya dibuat diagram alir (flow diagram) dari struktur model yang sudah disusun pada causal loop. Flow diagram menghubungkan semua variabel dalam bentuk persamaan matematis dengan bantuan komputer. Formulasi matematis ini menunjukkan keterkaitan antara setiap variabel yang saling berinteraksi.

184 164 Carry ing Capasity K Fraksi f ak oseanograf i dan klimatologi Laju kematian alami Ratio K Biomass Pert Biomass Kematian alami ratio kerapatan rb Hsl Tangkapan Fraksi pengurangan rent Kemampuan tangkap q Batasan ef f ort CPUE Pert alami r Fraksi rent Ef f ort Harga ikan Rent Pert ef f ort Biay a melaut ratio q thd f ef ek ratio pert ratio pert Gambar 31 Flow diagram model keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali Struktur yang terdapat dalam diagram alir tersebut menampilkan variabel indikator penerapan kebijakan atau tindakan yang akan diambil dalam melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru. Selanjutnya dalam struktur tersebut dengan perubahan effort, memperlihatkan kecenderungan perolehan pendapatan (rente) yang secara sosial didorong oleh faktor pemicu untuk melakukan suatu tindakan namun dibatasi oleh faktor ekosistem perairan laut Uji validasi Validasi yang dilakukan terhadap model adalah validasi struktur, besaran/satuan, dan validasi statistik. 1. Pertumbuhan biomass (populasi) menurut teori Malthus merupakan pertumbuhan tidak terpaut kerapatan. Namun ruang dan makanan yang tersedia secara alami terbatas sehingga ekosistem memiliki daya dukung maksimum terhadap sumberdaya yang ada di dalamnya (Schaefer, 1954 dan Wiyono, 2010), apabila daya dukung sudah tidak memadai dan tidak terjadi proses penangkapan, maka terjadi kematian secara alami (Luckof et al, 2005; Budiharjo, 1990 vide Merta dan Nurhakim, 2004). Dengan

185 165 menggunakan metode surplus production (CYP, 1992) dan model pertumbuhan (Schaefer), grafik yang dihasilkan dengan metode ini adalah hiperbola. Hasil simulasi dalam penelitian ini menghasilkan grafik yang mirip yaitu hiperbola. Berdasarkan hal tersebut maka secara struktur sudah sama dengan landasan teori. 2. Validasi besaran/satuan terhadap unit utama yaitu hasil tangkapan lemuru adalah cocok. Hasil tangkapan lemuru merupakan unit utama dalam diagram alir yang menggambarkan secara keseluruhan perkembangan hasil tangkapan yang diperoleh. Validasi besaran/satuan yang dilakukan adalah: - Hsl_tangkapan = Biomass*effort_awal*Kemampuan_tangkap_q Hsl tangkapan (ton/tahun) = Biomass (ton) * effort_awal (unit/tahun) * Kemampuan_tangkap_q (1/unit) Ton/tahun = ton/tahun*unit*1/unit Ton/tahun = ton/tahun - Rent = (Hsl_tangkapan*Harga_ikan)-(effort_awal*Biaya_melaut) Rent (Rp/tahun) = (ton/tahun * Rp/ton)-(unit/tahun*Rp/unit) Rp/tahun =Rp/tahun Rp/tahun Rp/tahun = Rp/tahun 3. Validasi statistik, dilakukan untuk memvalidasi kinerja model terhadap data empiris. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana output model bersesuaian dengan perilaku empiris. Hasil yang diperoleh dengan uji Theil Statistic adalah memenuhi kriteria yang berlaku, yaitu penjumlahan (U M,U S, U C ) sama dengan satu (Tabel 39). Artinya secara statistik simulasi model yang dilakukan dapat diterima. Tabel 39 Hasil validasi dengan uji Theil statistik (Sterman, 2003) Variabel RSMPE U M U S U C Effort Berdasarkan uji yang dilakukan, diperoleh nilai U M sama dengan nol, U S besar dan U C kecil. Hal ini bisa dikategorikan sebagai unsystematic error, namun

186 166 untuk jangka panjang dengan mengabaikan cyclic mode (Steman, 2003). Nilai U S besar dan nilai U C kecil, bisa disebabkan oleh gangguan acak (random noise) karena nilai aktual yang sangat acak (random) Simulasi model Kajian dalam struktur yang telah dibuat, yang dapat dijadikan sebagai variabel keputusan dan akan mempengaruhi kondisi variabel indikator yaitu perubahan yang dilakukan terhadap jumlah effort yang ada. Selanjutnya model ini disimulasikan melalui beberapa skenario kebijakan dalam rentang waktu 100 tahun. Skenario awal (existing) tanpa dilakukan perubahan effort sehingga didapat kondisi yang paling ekstrim (unsustainable). Kemudian dari kondisi ini diterapkan perubahan effort untuk melihat pengaruhnya terhadap kondisi yang unsustainable tersebut. Skenario yang disimulasikan adalah sebagai berikut: 1) Skenario 1 (Existing) Skenario 1 (existing), jika dilihat dari effort yang berkembang menunjukan bahwa pada saat hasil tangkapan meningkat, nelayan akan terus meningkatkan jumlah effort yang dimiliki agar hasil tangkapan yang diperoleh lebih banyak (Gambar 32). 1: 2: 3: 4: 5: 1: 2: 3: 4: 5: 1: Biomass 2: Pert Biomass 3: Ef f ort 4: Hsl Tangkapan 5: Rent e e : 2: 3: 4: 5: Page e Years 3:01 AM Thu, Dec 27, 2012 Untitled Gambar 32 Simulasi biomass, pertumbuhan biomass, effort, hasil tangkapan, dan rente Jika diperhatikan kurva hasil tangkapan dan effort (Gambar 32), dapat dilihat bahwa sampai dengan tahun ke 30 jumlah effort terus meningkat seiring

187 167 dengan meningkatnya jumlah hasil tangkapan, dan puncak hasil tangkapan optimum terjadi pada tahun ke 50, namun setelah itu terjadi penurunan hasil tangkapan, akan tetapi jumlah effort terus meningkat. Hal ini terjadi karena nelayan terus berupaya melakukan penangkapan dengan harapan hasil tangkapan yang diperoleh tetap tinggi. Walaupun terjadi pertumbuhan secara alami, namun diimbangi terjadinya kematian yang juga berlangsung secara alami sebagai akibat dari pengaruh lingkungan perairan. Sementara itu, untuk perolehan rente dari usaha penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dapat dilihat, rente yang diperoleh meningkat seiring dengan peningkatan hasil tangkapan dan menurun karena hasil tangkapan yang diperoleh juga menurun. Hal ini terjadi karena harga yang ditawarkan oleh pembeli cukup bagus, sehingga nelayan tidak mengalami kerugian, disamping itu, juga sebagai imbas dari hukum persediaan dan permintaan secara ekonomi. Jika kondisi existing ini dibiarkan, sedangkan nelayan terus berusaha melakukan penangkapan dengan segala upaya yang dimiliki tanpa memperhitungkan efek yang ditimbulkan terhadap sumberdaya, maka dapat dipastikan terjadi opportunity cost yaitu nilai ekonomi yang diperoleh menjadi lebih rendah bahkan bisa negatif karena jumlah biaya yang dikeluarkan lebih besar jika dibandingkan dengan penerimaan yang diperoleh. Hal ini terjadi sebagai akibat tidak terkontrolnya jumlah effort atau upaya penangkapan yang dilakukan oleh nelayan (open access equilibrium). 2) Skenario 2 Berdasarkan SKB dua Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali, alat tangkap yang diatur penggunaannya untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali adalah alat tangkap purse seine. Jumlah yang diijinkan adalah sebanyak 273 unit. Namun berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap E msy (bab 6) hasil yang diperoleh adalah sebanyak 252,47 unit, dengan demikian penyusunan skenario berpedoman kepada hasil perhitungan Emsy. Pada Gambar 32 dapat dilihat bahwa pola yang diperlihatkan hiperbola. Selanjutnya dilakukan pengendalian terhadap effort yaitu dengan melakukan iterasi secara bertahap sebesar 10% dari 252,47 unit. Proses iterasi dilakukan karena tidak ada teori pendukung yang memadai dalam rangka upaya penurunan

188 168 jumlah alat tangkap pada satu wilayah. Iterasi yang dilakukan dalam penelitian ini didasarkan kepada pola yang diperlihatkan oleh kecenderungan grafik simulasi yang dihasilkan. Iterasi dilakukan secara bertahap dimulai pada tingkat 10%, 20%, namun belum memperlihatkan hasil yang diinginkan. Saat dilakukan iterasi pada tingkat 30%, terjadi perubahan pola pada grafik yang dihasilkan (Gambar 33). Iterasi ini dilakukan agar hasil tangkapan yang diperoleh tetap stabil dan ketersediaan sumberdaya dapat dipertahankan. Jika pemberlakuan ini berhasil maka pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali dapat dilakukan secara berkelanjutan dan kebijakan pengaturan jumlah alat tangkap terutama purse seine harus diperbarui. Setelah dilakukan iterasi tiga kali terhadap pengurangan effort sebanyak 30% atau 184 unit (Gambar 33), dapat dilihat bahwa trend antara kurva hasil tangkapan dan kurva rente berjalan seiring. Perolehan rente mengikuti jumlah hasil tangkapan yang diperoleh nelayan, karena harga ikan berfluktuasi sesuai hasil tangkapan yang diperoleh, jika hasil tangkapan besar maka terjadi penurunan harga, demikian sebaliknya. Namun bila dilihat kurva pertumbuhan biomass berada di atas kurva biomass, artinya masih terjadi penambahan biomass dengan adanya pertumbuhan biomass (Lampiran 16). 1: 2: 3: 4: 5: 1: Biomass 2: Pert Biomass 3: Ef f ort 4: Hsl Tangkapan 5: Rent e : 2: 3: 4: 5: 1: 2: 3: 4: 5: Page e Years 2:58 PM Wed, Dec 26, 2012 Untitled Gambar 33 Simulasi hasil tangkapan dan rente dengan pengurangan effort sebesar 30% atau 184 unit

189 169 Pengurangan effort dari 252,47 unit menjadi 184 unit cukup memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan dan perolehan rente setiap tahunnya. Hasil iterasi ini tidak memperlihat perubahan seketika terhadap kondisi ketersediaan sumberdaya di alam, karena sumberdaya membutuhkan waktu untuk berkembang dan tumbuh menjadi besar. 3) Skenario 3 Skenario 3, dilakukan pembatasan atau pengurangan effort dari 252,47 unit menjadi 165 unit dengan melakukan iterasi sebanyak 4 kali 10% (40%). Perubahan ini merupakan perubahan yang ekstrim, dan dapat dilihat bahwa pada awal tahun hasil tangkapan terus meningkat dan mencapai optimum pada tahun ke 50, hal ini seiring dengan laju pertumbuhan effort. Laju pertumbuhan effort terus meningkat sampai dengan tahun ke 56, dan mulai tahun ke 57 pertumbuhan effort menjadi stabil sampai dengan tahun ke 100. Walaupun hasil tangkapan lebih rendah dari effort, namun masih ada pertumbuhan biomass yang dapat berkembang dan pada akhirnya dapat dimanfaatkan oleh nelayan (Lampiran 17), sehingga pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan secara berkelanjutan dan lestari (Gambar 34). 1: 2: 3: 4: 5: 1: Biomass 2: Pert Biomass 3: Ef f ort 4: Hsl Tangkapan 5: Rent e : 2: 3: 4: 5: 1: 2: 3: 4: 5: Page e Years 3:01 PM Wed, Dec 26, 2012 Untitled Gambar 34 Simulasi hasil tangkapan dan rente dengan pengurangan effort sebesar 40% atau 165 unit

190 Pembahasan Pembahasan dalam bab ini berkaitan dengan penyusunan skenario model keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali. Skenario tersebut merupakan langkah dasar penentuan kebijakan keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru secara lestari dan ramah lingkungan. Sumberdaya alam secara keseluruhan bersifat dinamis, termasuk sumberdaya perikanan lemuru yang ada di perairan Selat Bali. Pencapaian hasil yang optimum dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, tidak terlepas dari sistem dinamik. Namun, secara keseluruhan dinamika ekosistem sumberdaya perikanan dan intervensi yang dilakukan oleh manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dapat mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan baik langsung maupun tidak langsung. Pengelolaan, haruslah berorientasi kepada pemecahan masalah secara ilmiah berdasarkan sifat-sifat biologi, ekologi, dan ekonomi serta sosial budaya masyarakat dan nelayan perikanan lemuru yang berada di sekitar perairan Selat Bali. Pengelolaan harus dilakukan dengan merumuskan suatu rencana pengelolaan berbasis masyarakat dan pendekatan secara ekosistem, dan berwawasan lingkungan (Zhang at al, 2009). Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan ini mengarah kepada pengelolaan sumberdaya yang berwawasan lingkungan perairan beserta dengan daya dukungnya, sehingga pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan secara berkelanjutan dan terjaga secara lestari. Disamping itu kesejahteraan nelayan melalui pengembangan usaha perikanan yang mereka lakukan dapat ditingkatkan namun tetap memperhatikan daya dukung lingkungan (Degnbol 2002). Berdasarkan hasil simulasi yang sudah dilakukan, dapat dilihat bahwa pengaturan jumlah effort, dalam hal ini berkaitan dengan jumlah unit alat tangkap purse seine sebagai alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan Selat Bali harus segera diatur ulang atau diturunkan menjadi 165 unit (skenario 3). Jika dilihat secara eksplisit, hal ini terkesan ekstrim, namun jika dilihat secara implisit, pangaturan seperti ini sangat wajar, karena ketersediaan sumberdaya lemuru berfluktuasi sesuai dengan kondisi lingkungan perairan Selat Bali itu sendiri.

191 171 Secara sosial, pengurangan unit alat tangkap yang mencapai 40% dari hasil perhitungan (E msy ), bisa dipastikan akan berdampak buruk, karena menyebabkan terjadinya pengurangan tenaga kerja yang demikian banyak. Seperti kita ketahui bersama bahwa, satu kapal purse seine bisa menyerap tenaga kerja sebanyak orang. Untuk mengantisipasi hal ini perlu dilakukan sosialisasi dari pihak pemerintah baik pusat maupun daerah tentang pengaturan yang dilakukan dalam rangka mewujudkan keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru secara lestari dan ramah lingkungan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengevaluasi SKB tahun 1992, merumuskan dengan pasti dalam bentuk Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP), serta mencari solusi yang tepat untuk mengantisipasi meledaknya tenaga pengangguran sebagai akibat pengurangan unit panangkapan lemuru. Antisipasi lain yang dapat dilakukan adalah mengalihkan unit alat tangkap pure seine untuk menangkap jenis ikan pelagis lainnya yang terdapat di perairan Selat Bali atau melakukan relokasi nelayan. Zulbarnaini (2002), menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian dan kajian yang sudah dilakukan dalam rangka pengelolaan sumberdaya lemuru di Selat Bali, jumlah alat tangkap (purse seine) yang layak dioperasikan adalah sebesar 130 unit. Mengingat ketersediaan sumberdaya tidak bisa diprediksi dengan tepat, dan jika pengurangan jumlah effort menjadi 165 unit yang boleh beroperasi, artinya tidak tertutup kemungkinan dilakukan revisi terhadap Surat Keputusan dua Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali nomor 238 dan 674 tahun 1992, yang mana di dalam SKB tersebut ditetapkan jumlah kapal purse seine yang diijin melakukan penangkapan di perairan Selat Bali sebanyak 273 unit, dengan rincian 190 unit untuk Provinsi Jawa Timur dan 83 unit untuk Provinsi Bali. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Merta (1992) memberikan beberapa alternative untuk keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali. Salah satu alteranatif tersebut adalah jumlah kapal purse seine yang beroperasi berdasarkan SKB dua gubernur Provinsi Jawa Timur dan Bali sebanyak 273 unit (sesuai SIUP) dikurangi menjadi 252 unit. Dalam penelitian ini, sesuai dengan pembahasan pada bab 6 bahwa hasil perhitungan E msy adalah 252,47 unit. Jadi hasil ini sesuai atau mempunyai kemiripan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

192 172 Berdasarkan hasil perhitungan analisis sumberdaya perikanan lemuru sebagaimana sudah diuraikan pada bab 6, bahwa E msy perikanan lemuru adalah sebesar 252,47 unit. Namun demikian, berdasarkan hasil analisis dinamik, jumlah tersebut tidak bisa diterapkan, karena dengan jumlah tersebut pola grafik yang muncul menunjukkan ketersediaan sumberdaya yang menurun. Kondisi sumberdaya yang menurun tidak dapat memaksimalkan pertumbuhan biomass. Jika hal ini dibiarkan terus meneruskan bisa dipastikan pada satu titik tertentu sumberdaya yang ada akan habis. Upaya penangkapan yang terus meningkat mengakibatkan rente ekonomi yang diperoleh semakin kecil, karena biaya yang dikeluarkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan penerimaan yang diperoleh, atau lebih tepatnya nelayan hanya menerima opportunity cost dari usaha penangkapan yang dilakukan. Waktu, dalam analisis model dinamik dijadikan sebagai patokan dalam melakukan keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru. Maksudnya disini adalah, unsur waktu yang digunakan dalam pengelolaan perikanan lemuru terkait dengan pilihan, apakah akan dimanfaatkan sekarang atau nanti. Rente yang dihasilkan dari analisis dinamik pada masa yang akan datang sangat berpatokan kepada hasil pemanfaatan sumberdaya lemuru yang dilakukan pada masa kini. Pertumbuhan secara alami tetap berlangsung dan akan berjalan dengan baik sepanjang kondisi lingkungan perairan juga dalam kondisi baik. Pertumbuhan secara alami akan mempengaruhi produktifitas biomass sumberdaya lemuru. Produktifitas biomass dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan yaitu faktor oseanografi dan klimatologi. Parameter oseanografi yang berpengaruh adalah sebaran klorofil-a. Sebaran klorofil-a, sangat mempengaruhi keberadaan sumber makanan bagi lemuru karena lemuru merupakan planton feeder, banyak atau sedikit sebaran klorofil-a yang ada di satu kawasan perairan dipengaruhi oleh zat hara yang terkandung dalam perairan, ditunjang oleh proses upwelling yang terjadi, sehingga ketersediaan makanan menjamin keberlangsungan hidup lemuru. Faktor klimatologi yang berpengaruh adalah angin. Angin yang terjadi di Selat Bali berpengaruh terhadap perubahan arus permukaan. Arus permukaan yang terjadi berakibat pada pengadukan massa air sehingga unsur-unsur hara yang terdapat di bawah permukaan air naik

193 173 kepermukaan sehingga proses jejaring makanan berlangsung dengan baik. Secara dinamik, faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan biomass. Meskipun secara umum faktor-faktor tersebut tidak dapat dikendalikan oleh manusia, namun berdasarkan hasil analisis secara regresi linier ternyata memberikan pengaruh sebesar 43,5%. Sedangkan 56,5% dipengaruhi oleh faktor manusia yang memanfaatkan sumberdaya itu sendiri. Kematian, sebagai pengaruh ekologi, terjadi karena adanya mangsa dan pemangsa, mati akibat umur, dan bisa disebabkan oleh kondisi ekstrim yang terjadi di lingkungan perairan. Faktor ekosistem perairan lainnya, seperti sebaran terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove yang ada di sekitar perairan Selat Bali, tidak dapat dimasukkan dalam analisis dinamik, karena ikan lemuru merupakan ikan pelagis dan daerah penyebarannya lebih ke tengah laut. Namun demikian, jika kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha di wilayah darat, tanpa ada pengawasan yang intensif dari pihak-pihak berkompeten, maka tidak tertutup kemungkinan akan berpengaruh terhadap kondisi perairan di lokasi daerah penangkapan lemuru. Berdasarkan hasil simulasi secara dinamik, dan untuk mencegah terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya perikanan lemuru dapat dilakukan beberapa usulan perbaikan agar pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru dapat dilakukan secara berkelanjutan dan lestari sebagai berikut: 1. Pembatasan jumlah alat tangkap; Sebagaimana skenario 3 dari hasil simulasi dinamik, pengendalian ketersediaan sumberdaya perikanan lemuru harus dilakukan pembatasan jumlah alat tangkap (purse seine). Hal ini dilakukan untuk mempertahan kondisi sumberdaya lemuru dan sumberdaya tersebut dapat tumbuh secara alami untuk berkembang sampai dengan ukuran tertentu yang layak untuk ditangkap dan mempunyai nilai ekonomis tinggi. 2. Pengaturan waktu tangkap; Pengaturan waktu tangkap perlu dilakukan, karena lemuru lebih bersifat musiman, dimana pada musim-musim tertentu lemuru yang tersedia sesuai dengan ukurannya masing-masing, maka pengaturan waktu tangkap dianggap salah satu alternatif yang sangat baik dalam rangka upaya pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru secara

194 174 berkelanjutan. Hal yang belum bisa diketahui sampai sekarang adalah berapa jumlah ikan lemuru tertangkap oleh nelayan berdasarkan ukuran ikan sesuai penamaan di Selat Bali dan pada bulan apa masing-masing ukuran ikan tersebut ditangkap. Jika data masing-masing ukuran ikan hasil tangkapan tersebut tercatat dan terdata dengan baik, maka sangat mudah untuk melakukan pengaturan waktu tangkap, jika waktu tangkap dapat diterapkan maka pengelolaan sumberdaya lemuru secara berkelanjutan dan lestari dapat terwujud. 3. Pengaturan ukuran mata jaring;. Dengan pengaturan ukuran mata jaring, maka lemuru berukuran kecil yaitu 5 10 cm yang biasa disebut oleh masyarakat pesisir Selat Bali dengan sempenit dapat lolos atau tidak tertangkap. Usulan yang pernah dibuat berdasarkan hasil penelitian Merta (1992), bahwa ukuran mata jaring purse seine pada bagian kantong adalah 1 inchi dan pada bagian badan/penghadang adalah 2,5 inchi, namun pada kenyataannya di lapangan sampai saat penelitian ini dilakukan, nelayan setempat masih menggunakan ukuran mata jaring ¾ inchi pada bagian kantong. Tiga hal tersebut di atas, merupakan hal pokok yang perlu mendapat perhatian dalam melakukan pengelolaan sumberdaya. Secara dinamik, sudah dibuktikan bahwa jumlah alat tangkap yang ideal dioperasikan di Selat Bali untuk penangkapan lemuru adalah 165 unit (skenario 3), karena dapat memberikan kontribusi secara berkelanjutan terhadap ketersediaan sumberdaya. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 34, dimana biomass yang ada masih memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang, sehingga nelayan dapat memanfaatkan sumberdaya dalam jangka waktu yang lebih lama. Purse seine, sebagai alat tangkap unggulan dan dapat dikembangkan sebagai alat tangkap untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Namun pengembangan alat ini perlu kontrol dari pihak yang berkompeten dalam rangka pengendalian pemanfaatan sumberdaya. Purse seine, sebagai alat tangkap aktif sangat memungkinkan untuk menghasilkan ikan dalam jumlah yang banyak untuk sekali hauling. Untuk itu pengaturan ukuran mata jaring purse

195 175 seine yang digunakan oleh nelayan perlu mendapat perhatian serius bagi pemerintah baik pusat maupun daerah. Dalam SKB dua Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Bali tahun 1992, sebenarnya sudah dituangkan ketentuan dan pengaturan berkaitan dengan ijin kapal dan ukuran mata jaring yang digunakan. Namun pelaksanaan di lapangan belum optimal. Jadi hal yang perlu ditingkatkan adalah sosialisasi terhadap peraturan yang ada kepada masyarakat dan nelayan sebagai pelaku usaha penangkapan lemuru. 9.6 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung dan setelah dilakukan analisis data serta simulasi dinamik, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perbandingan dalam pemodelan dari 3 skenario yang sudah dibuat, disini terlihat skenario 3 dengan jumlah effort 165 unit lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi existing dan skenario 2 dengan jumlah effort 184 unit.

196 176

197 PEMBAHASAN UMUM Pembahasan umum ini secara keseluruhan membahas rangkuman pembahasan tentang keberlanjutan pembangunan perikanan (sustainable development). Keberlanjutan merupakan pembangunan yang mengupayakan segenap kemampuan dan memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus menelantarkan generasi yang akan datang. Seperti yang sudah diuraikan pada bab terdahulu bahwa pembangunan berkelanjutan (Charles 2001) mencakup tiga (aspek) yaitu aspek ekologi, ekonomi dan aspek sosial. Konsep pengelolaan sumberdaya perikanan secara umum adalah upaya yang dilakukan dalam pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan dan lestari, sehingga ketersediaan sumberdaya dapat dipertahankan dalam jangka waktu panjang. Dalam code of conduct for responsible fisheries, sebagaimana sudah dijabarkan pada bab terdahulu, sudah mengatur bahwa pengelolaan sumber sumberdaya perikanan secara berkelanjutan harus memperhatikan seluruh aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial, lingkungan dan komersial yang relevan terhadap pengelolaan sumberdaya. Dalam Undang Undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan juga sudah dijabarkan bahwa pengelolaan sumberdaya harus dilakukan secara terintegrasi dan menyeluruh. Berangkat dari aturan yang sudah ditetapkan dalam code of conduct for responsible fisheries dan UU perikanan tersebut, maka hal yang harus mendapat perhatian dalam rangka pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan adalah dari sisi aspek biologi, yaitu hubungan interaksi antara biotik dan abiotik sebagai habitat ikan target penangkapan dalam suatu ekosistem perairan. Lingkungan perairan merupakan bagian dari sebuah ekosistem. Faktor oseanografi dan klimatologi merupakan aspek lingkungan perairan yang memberikan pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan, namun tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Faktor oseanografi yang berpengaruh terutama terhadap hasil tangkapan adalah kandungan klorofil-a yang terdapat dalam perairan laut Selat Bali. Suhu permukaan laut memberikan pengaruh terhadap sebaran klorofil-a, dan berpengaruh terhadap kehidupan ikan dan sumberdaya

198 178 hayati laut pada umumnya (Simbolon et al., 2009), penyebaran organisme di laut serta pengaturannya (Nybakken 1988). Klorofil-a, mempengaruhi keberadaan plankton di suatu perairan laut dimana kegiatan penangkapan ikan dilakukan oleh nelayan. Plankton sangat berkaitan dengan ketersediaan makanan lemuru yang ada di Selat Bali, karena makanan utamanya adalah plankton (Burhanudin dan praseno 1982). Sebagai wilayah upwelling Selat Bali memiliki kandungan nutrient yang diperlukan oleh sumber hayati yang berada di dalamnya (Sartimbul et al., 2006). Wudianto (1999b) vide Wudianto (2001), menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsentrasi plankton di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh penaikan massa air (upwelling). Selanjutnya dikatakan, pola spasial penyebaran plankton mempunyai kemiripan dengan sebaran ikan pelagis yang diamati dengan akustik yang dilakukan di perairan selatan Jawa Barat, dimana semakin tinggi sebaran plankton maka semakin tinggi juga densitas atau kepadatan ikan pelagis di suatu perairan. Jika diperhatikan hasil tangkapan yang diperoleh nelayan, ada kemiripan seperti yang dinyatakan oleh peneliti terdahulu, dimana fluktuasi hasil tangkapan (Gambar 21) dengan sebaran klorofil-a (Gambar 14) mempunyai kemiripan. Suhu permukaan laut sangat berpengaruh terhadap kesuburan suatu wilayah perairan laut. Kesuburan wilayah perairan berkaitan dengan ketersediaan sumber makanan berupa zat renik (plankton). Sebaran suhu permukaan laut lebih sering dipengaruhi oleh arus permukaan (Haluan et al., 1991) dan arus permukaan lebih dipengaruhi oleh angin yang bertiup di atas wilayah perairan. Suhu permukaan laut maksimal menurut Hutabarat (2001) adalah 28 C. Jika suhu permukaan laut melebihi standar maksimal tersebut bisa dipastikan kesuburan perairan berkurang dan sumber makanan bagi sumber hayati yang berada di dalamnya menjadi berkurang. Bila hal ini terjadi bisa dipastikan ikan akan beruaya ketempat lain yang memiliki suhu lebih rendah dan ketersediaan makanan lebih banyak. Sebagaimana sudah diuraikan dan dibahas pada bab terdahulu bahwa, baik tidaknya suatu kawasan perairan sangat tergantung kepada faktor manusia yang

199 179 memanfaatkan apa yang terkandung dalam lingkungan perairan tersebut. Namun demikian, hal yang perlu disikapi dengan baik dan bijak, bagaimana mempertahankan lingkungan perairan agar biota yang hidup didalamnya dapat berkembang dengan baik dan memperoleh bahan makanan dengan cukup. Faktor manusia akan berpengaruh terhadap lingkungan/biota lemuru, manakala manusia memanfaatkan sumberdaya tersebut secara besar-besaran dan terus menerus, sehingga sumberdaya tidak dapat lagi berkembangan biak untuk meneruskan kehidupan berikutnya. Kualitas perairan di lokasi penangkapan ikan (fishing ground), sangat berperan dalam membantu nelayan memperoleh hasil tangkapan yang tinggi. Jika kualitas perairan baik, maka sumber makanan bagi biota laut tersedia dengan cukup dan ikan-ikan pasti berkumpul di daerah tersebut. Faktor klimatologi yang berpengaruh adalah curah hujan, kecepatan angin dan arus. Ketiga faktor tersebut sangat penting diketahui karena berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan nelayan. Arus yang terjadi lebih mengarah kepada arus permukaan yang dipengaruhi oleh angin. Curah hujan yang terjadi untuk menstabilkan suhu permukaan laut. Perairan Indonesia lebih dipengaruhi oleh angin moonson. Angin moonson yang terjadi berakibat pada perubahan musim yang terjadi di Indonesia yaitu musim barat dan musim timur (Romimohtarto dan Thayib (1982). Faktor oseanografi dan klimatologi berpengaruh terhadap hasil tangkapan lemuru berdasarkan uji secara statistik. Sebaran dan konsentrasi klorofil-a dan kecepatan angin berpengaruh signifikan pada taraf uji 5% secara regresi linier. Sebaran konsentrasi klorofil-a berkaitan dengan ketersediaan sumber makanan lemuru, sehingga nelayan dapat dengan mudah menemukan daerah penangkapan, sehingga hasil tangkapan yang diperoleh tinggi (Himelda et al 2012). Angin, memberikan pengaruh negatif terhadap hasil tangkapan, dimana setiap kenaikan 1 satuan angin akan menurunkan hasil tangkapan lemuru. Artinya, ketika angin berhembus tidak kencang nelayan bisa melaut, jika angin bertiup dengan kencang, nelayan tidak melaut. Laivastu (1993) vide Gaol (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor oseanografi ada yang berdiri sendiri atau secara bersama-sama mempengaruhi

200 180 distribusi dan kelimpahan ikan di suatu kawasan perairan. Berdasarkan hasil penelitian Gaol (2003), dapat diketahui bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a mempunyai korelasi silang dengan hasil tangkapan lemuru. Kelimpahan konsentrasi klorofil-a ini disebabkan oleh pengaruh upwelling yang terjadi di perairan Selat Bali atau bagian selatan Selat Bali. Gaol (2003) lebih lanjut menjelaskan bahwa terjadi lag waktu antara kelimpahan plankton dengan peningkatan hasil tangkapan lemuru. Lag waktu ini merupakan rentang waktu yang terjadi pada saat ketersediaan sumber makanan di suatu perairan dengan kedatangan ikan yng mencari makanan. Jadi keberadaan sumberdaya lemuru tidak serta merta ada begitu kelimpahan plankton terjadi di satu perairan. Sebagai ikan ekonomis penting, pemanfaatan sumberdaya lemuru di Selat Bali sangat intensif dilakukan oleh nelayan setempat. Berdasarkan buku laporan statistik di UPPPP Muncar dan Provinsi Bali, bahwa rata-rata hasil tangkapan lemuru untuk tahun 2010 adalah ,720 ton. Jika dilihat secara langsung kondisi hasil tangkapan di lapangan, banyak kapal nelayan yang tidak melaut, akan tetapi hasil tangkapan nelayan menurun mulai triwulan II, III dan IV, bahkan data yang tercatat di UPPPP Muncar adalah 0 pada triwulan IV, sementara di Kabupaten Jembrana tercatat sebesar ton, dimana jumlah tersebut merupakan hasil tangkapan dengan menggunakan alat tangkap purse seine. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan setempat bervariasi yaitu purse seine, gillnet, payang, bagan, dan pukat pantai. Berdasarkan analisis pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan dengan menggunakan metode surplus production, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya lemuru sudah melebihi dari Cmsy. Hal ini terjadi karena pemanfaatan sumberdaya masih berorientasi kepada hasil tangkapan yang diperoleh untuk mendapatkan nilai ekonomi yang tinggi. Jika hal ini terus dilakukan, tidak tertutup kemungkinan sumberdaya lemuru akan habis, karena tidak mampu tumbuh secara alami. Sebagai akibat sumberdaya tidak mampu tumbuh, maka ketersediaan sumberdaya menjadi sedikit. Dengan demikian pengelolaan secara berkelanjutan tidak dapat diwujudkan. Menyikapi hal itu, tindakan yang harus diambil adalah melakukan pengelolaan sumberdaya yang mengarah kepada konservasi stok (King 1995

201 181 vide Nurhakim 2004), namun tetap mempertimbangkan tujuan ekonomi, sosial dan ekologi. Kajian keberlanjutan pengelolaan perikanan yang mengaitkan faktor biologi, ekologi dan sosial ekonomi dalam satu kesatuan perlu dilakukan dan seharusnya secara terus menerus dikembangkan, karena keterkaitan faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh kepada kegiatan penangkapan yang dilakukan. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan sebaiknya secara berkala harus dilakukan standarisasi untuk menghindari pemanfaatan sumberdaya menuju kearah over fishing. SKB dua Gubernur Provinsi Bali dan Provinsi Jawa Timur tahun 1992, bahwa pengaturan alat tangkap purse seine yang diijinkan beroperasi di perairan Selat Bali sebanyak 273 unit, dengan rincian 190 unit untuk nelayan di Jawa Timur dan 83 unit untuk nelayan di Bali. Berdasarkan hasil perhitungan surplus produksi, jumlah unit penangkapan lestari (E msy ) adalah 252, 47 unit, sementara berdasarkan data dilapangan jumlah purse seine yang beroperasi untuk tahun 2010 adalah 310 unit. Ini merupakan dilema bagi kita semua, dalam rangka upaya mewujudkan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan dan lestari. Ternyata pada kenyataan dilapangan banyak hal yang harus dipertimbangkan secara sosial yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Agar tidak terjadi konflik, perlu dilakukan upaya pengendalian jumlah alat tangkap dengan memperbaiki ulang terhadap peraturan yang ada dan melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha perikanan lemuru, serta memberikan alternatif peluang kerja yang lain jika memang harus dilakukan pengurangan jumlah alat tangkap. Akan tetapi hal yang menarik dari ketersediaan sumberdaya lemuru yang ada di perairan Selat Bali adalah pada musim tertentu ikan-ikan ini seolah-olah menghilang dan keadaan ini menurut nelayan setempat terjadi dalam jangka waktu sepuluhtahunan. Berbicara tentang pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan dan lestari, banyak hal yang harus dibenahi. Keberlanjutan dalam pembangunan perikanan, sebagaimana yang diungkap oleh Fauzi dan Anna (2005) adalah dapat memanfaatkan secara optimal sumberdaya yang ada, dan sekaligus dapat memperbaiki ketersediaan sumberdaya dan kondisi lingkungan perairan tempat

202 182 hidup ikan target penangkapan. Untuk itu perlu dilakukan seleksi terhadap alat tangkap yang digunakan oleh nelayan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya lemuru. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru di perairan Selat Bali, tidak semuanya memenuhi kriteria pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan dan lestari. Sebagaimana sudah diuraikan pada bab 7, bahwa berdasarkan seleksi yang dilakukan maka alat tangkap yang memenuhi kriteria dalam pemanfaatan sumberdaya lemuru secara berkelanjutan dan lestari adalah purse seine. Secara biologi alat tangkap ini cukup memberikan sumbangsih hasil tangkapan yang lebih baik bila dibandingkan dengan alat tangkap dominan lainnya, secara ekonomi alat tangkap ini menguntungkan bagi nelayan, secara sosial alat tangkap ini cukup menampung banyak tenaga kerja dan ditinjau secara aspek lingkungan juga memenuhi kriteria, karena perairan Selat Bali secara umum tidak banyak memiliki dasar perairan berterumbu karang dan ikan lemuru merupakan ikan permukaan. Nelayan yang hidup dipesisir pantai mempunyai ciri khas atau pola kehidupan sendiri. Nelayan harus bisa dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan laut yang keras, karena mereka bergantung secara utuh terhadap sumberdaya laut yang ada. Kondisi sosial nelayan dalam masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat kesejahteraan nelayan itu sendiri. Sebagai sentra perikanan terbesar di Selat Bali, masyarakat setempat lebih banyak menekuni pekerjaan sebagai nelayan. Kegiatan penangkapan lemuru yang dilakukan dengan alat tangkap dominan yaitu purse seine, payang, gillnet, bagan dan pukat pantai bila ditinjau secara ekonomi adalah menguntungkan (Tabel 23 dan 24). Permintaan pasar merupakan prime mover, dan sangat mempengaruhi peningkatan penangkapan lemuru yang dilakukan oleh nelayan. Bertambahnya kegiatan usaha pengalengan ikan di Muncar dan Pengambengan sangat memerlukan bahan baku yang cukup, sehingga memacu nelayan untuk melakukan penangkapan secara maksimal. Kondisi sosial nelayan di pesisir Selat Bali, secara umum dapat dikategorikan dalam kondisi baik, hal ini bisa terlihat dari kemudahan mereka

203 183 mendapatkan lapangan kerja, mempunyai penghasilan, tidak terjadi konflik dan mudah dalam mendapat pelayanan kesehatan. Keseharian keluarga nelayan, baik di Muncar maupun di Pengambengan berjalan sebagaimana kehidupan sosial lainnya, bahkan di Muncar para istri nelayan, terutama perahu gillnet dan payang membantu dalam pengumpulan hasil tangkapan yang diperoleh setelah perahu sampai di dermaga. Peran kelembagaan dalam rangka upaya membantu mendorong pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di perairan Selat Bali, belum sesuai dengan apa yang diinginkan. Hal ini terlihat dari tidak berfungsinya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) secara utuh. TPI, merupakan wadah untuk melakukan transaksi dan pencatatan data hasil tangkapan sehingga data yang diperoleh akurat. Data yang akurat sangat dibutuhkan untuk mengetahui seberapa tinggi pemanfaatan yang sudah dilakukan sehingga program pemerintah untuk menerapkan pengelolaan secara berkelanjutan dapat terwujud. Ketersediaan data yang akurat berfungsi sebagai acuan untuk menghitung berapa pemanfaatan yang sudah dilakukan oleh kegiatan penangkapan selama ini, sehingga dapat ditentukan tinggi rendahnya tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya. Dukungan institusi dan lembaga terkait baik pusat maupun daerah sangat menentukan kualitas dan penentuan strategi dalam mewujudkan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan dan lestari. Institusi yang terdapat di daerah, baik di Kabupaten Banyuwangi maupun di Kabupaten Jembrana sudah memiliki program masing-masing secara terpadu, namun koordinasi dari masing-masing lembaga belum terpola dengan baik. Hal ini dapat dimengerti karena sering terjadi pergantian personil sementara pemantapan program belum matang, sehingga kadang kala program yang sudah dibuat terhenti ditengah jalan. Penggabungan beberapa bidang dalam satu kantor dinas juga merupakan kendala dalam memantapkan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali, seperti di Kabupaten Jembrana antara bidang kehutanan, pertanian, dan kelautan bergabung dalam satu wadah yaitu Dinas Pertanian Kehutanan, dan Kelautan. Peran lembaga dan instansi terkait yang berada di daerah sangat menentukan keberhasilan program pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru

204 184 baik pemanfaatan, pengendalian maupun penyusunan regulasi dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Fauzi (2011) menyatakan bahwa untuk mencapai perwujudan pengelolaan sumberdaya perikanan di Selat Bali perlu dibentuk suatu badan atau lembaga (co-management) untuk mempermudah penerapan program keberlanjutan pengelolaan perikanan di wilayah tersebut. Prinsip keberlanjutan dalam melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan haruslah dilakukan secara menyeluruh, karena ketersediaan sumberdaya dan karakteristik interaksi antara biotik dan abiotik yang diperlihatkan adalah dinamis. Kerusakan lingkungan secara umum dan perairan secara khusus dapat terjadi jika pertumbuhan ekonomi berjalan sangat cepat sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya yang intensif untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Perilaku yang diperlihatkan oleh manusia dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan. Sejatinya, pengelolaan yang dilakukan harus berorientasi kepada pemecahan masalah, yang secara ilmiah didasarkan atas sifat biologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Dengan kata lain pengelolaan sumberdaya yang dilakukan adalah berbasis masyarakat dengan penerapan prinsip keberlanjutan, sehingga pengelolaan secara berkelanjutan dan lestari dapat terwujud. Secara dinamik, untuk memodelkan keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali, hal yang perlu mendapat perhatian adalah parameter apa saja yang dapat dikendalikan oleh manusia, dimana faktor manusia itu sendiri merupakan faktor paling utama dalam keberlanjutan pengelolaan secara utuh. Parameter tersebut sangat menentukan hasil yang diperoleh. Dalam kajian dan hasil penelitian ini parameter yang dapat dikendalikan adalah unit alat tangkap (effort). Berdasarkan hasil simulasi dan skenario yang disusun sebanyak 3 (tiga) skenario, maka dapat disimpulkan bahwa skenario 3 (tiga) yang dapat diusulkan sebagai model pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Skenario 3 (tiga) dilakukan dengan pengendalian jumlah alat tangkap menjadi 165 unit, karena jumlah tersebut saat ini dan setelah simulasi yang dilakukan untuk jangka waktu 100 (seratus) tahun masih memberikan kontribusi secara biologi dengan harapan masih ada pertumbuhan biomass, dan secara ekonomi masih menguntungkan.

205 185 Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan sangat penting dilakukan, karena dalam sebuah ekosistem perairan terjadi interaksi antar komponen abiotik dan biotik yang merupakan satu kesatuan fungsi dan proses dalam ekosistem perairan itu sendiri. Iklim dalam dinamika komponen abiotik, dapat mempengaruhi komponen biotik (sumberdaya ikan). Interaksi antar komponen ini harus mendapat perhatian, karena satu sama lainnya saling berpengaruh sehingga keberlanjutan pengelolaan perikanan sangat bergantung terhadap komponen biotik dan abiotik tersebut. Jika komponen biotik dan abiotik seimbang maka, pemanfaatan sumberdaya dapat dilakukan secara berkelanjutan dan lestari. Hal lain yang harus diketahui bahwa pada habitat alam terjadi kompetisi antara jenis ikan yang satu dengan lainnya. Di Selat Bali hal demikian juga terjadi, dimana sumberdaya perikanan yang ada bukan hanya ikan lemuru, namun masih ada jenis ikan pelagis kecil lainnya yang berkompetisi dalam memperoleh makanan. Prinsip yang harus diperhatikan dalam konteks keberlanjutan pengelolaan perikanan yaitu: (1) Perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem perairan; (2) Interaksi ekologis antar sumberdaya perikanan dan ekosistem perairan tempat hidupnya harus tetap dijaga; (3) Perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4) Prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) Tata kelola perikanan yang dilakukan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003). Secara sederhana prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan perikanan merupakan sebuah konsep untuk menjaga keseimbangan antara tujuan biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial. Tujuan ekonomi dan sosial berkaitan dengan kesejahteraan nelayan, keadilan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, sedangkan secara biologi dan ekologi berkaitan dengan komponen biotik dan a- biotik beserta dengan interaksinya. Kerterlibatan unsur manusia dalam ekosistem merupakan faktor utama, karena manusia merupakan pemanfaat terhadap sumberdaya yang tersedia. Jadi manusia sebagai bagian dari ekosistem, sangat berperan dalam pengelolaan perikanan secara terpadu, komprehensif, berkelanjutan dan lestari.

206 186 Keberlanjutan pengelolaan perikanan ini tidak terlepas dari kelimpahan sumberdaya perikanan yang menjadi target penangkapan yaitu lemuru. Keberadaan dan kelimpahan sumberdaya lemuru pada satu luasan perairan sangat ditentukan oleh ketersediaan sumber makanan (planton). Ketersediaan plankton sebagai sumber makanan bagi lemuru sudah pasti mengalami masa kritis (critical). Masa kritis ini dapat disebabkan oleh peningkatan suhu permukaan laut yang terjadi di perairan Selat Bali, sehingga fitoplankton sebagai pengahsil klorofil-a tidak dapat melakukan aktifitas untuk berfotosintesis dengan baik. Jika ketersediaan plankton sedikit, hal ini sangat berpengaruh terhadap kelimpahan sumberdaya, dan selanjutnya berpengaruh kepada fluktuasi hasil tangkapan nelayan. Fenomena ini dapat dilihat pada periode tahun , dimana ikan lemuru seolah menghilang dari perairan Selat Bali. Karena suhu permukaan laut cukup tinggi (Tabel 16) yaitu berada pada kisaran C, maka ketersediaan klorofil-a menurun (Tabel 14). Disini jelas terlihat bahwa suhu permukaan laut sangat mempengaruhi sebaran klorofil-a di perairan Selat Bali. Meningkatnya suhu permukaan laut juga berakibat pada proses upwelling, dimana proses upwelling merupakan penaikan massa air ke permukaan laut disertai dengan naiknya zat hara dari lapisan bawah perairan. Suhu permukaan laut yang tinggi menyebabkan terjadi delay upwelling. Delay upwelling menyebabkan penaikan massa air yang membawa nutrient ke permukaan menjadi terhambat sehingga ketersediaan sumber makanan bagi lemuru menjadi sedikit atau bahkan tidak ada. Untuk membuktikan fenomena ini, diperlukan penelitian lebih lanjut. Sumberdaya perikanan yang terdapat diperairan Selat Bali, bukan hanya lemuru saja, akan tetapi terdiri dari beberapa species lain yang hidup di kawasan perairan tersebut, seperti tongkol, kembung, layang, ikan layur dan jenis ikan lainnya yang merupakan mangsa dan predator dalam lingkungannya. Dengan demikian, interaksi antar species di perairan Selat Bali pasti terjadi. Interaksi tersebut terlihat dalam hal memperoleh sumber makanan bagi ikan-ikan tersebut. Dalam jejaring makanan (Gambar 5) memperlihatkan susunan dan tingkatan cara memperoleh makanan bagi ikan-ikan di lautan tropis. Secara piramida rantai makanan maka lemuru bersama-sama dengan jenis ikan pelagis kecil lainnya berada pada level 3 (tiga) dan termasuk sebagai penyaring. Sebagai predator

207 187 terhadap lemuru ini adalah ikan-ikan yang bersifat mesopelagik seperti ikan bara kuda dan sejenisnya. Seperti sudah diketahui bersama bahwa kategori ukuran lemuru berdasarkan penamaan yang diberikan oleh nelayan setempat terdiri dari empat kategori yaitu sempenit, protolan, lemuru dan lemuru kucing. Berdasarkan hal tersebut, konsep pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru dapat digambarkan sebagaimana tertera pada tabel 40. Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 40, jelas terlihat bahwa sebaran ukuran lemuru hasil tangkapan nelayan tidak merata. Hasil penelitian wudianto (2001) ukuran sempenit dan protolan tertangkap pada semua musim angin. Protolan tertangkap pada musim timur, sedangkan lemuru kucing tertangkap pada musim peralihan I. Tabel 40 Kategori ukuran lemuru di Selat Bali Kategori ukuran lemuru (cm) Periode Musim angin Sempenit Protolan Lemuru Lemuru Kucing Triwulan I - Januari 11,00-13,00 ** Barat - Februari 11,00-13,00 ** Barat - Maret 12,00-16,00** 19,00-20,00** peralihan I Triwulan II - April 12,00-16,00** 19,00-20,00** peralihan I - Mei 12,00-16,00** peralihan I - Juni 8,00-12,00** 13,00-16,00** timur Triwulan III - Juli 8,00-12,00** 12,48-13,29* 13,00-16,00** Timur - Agustus 8,00-12,00** 15,62-16,65* Timur 13,00-16,00** - September 9,00-12,00** 12,00-13,00** 14,90-20,11* peralihan II Triwulan IV - Oktber 9,00-12,00** 12,00-13,00** 18,41-20,11* peralihan II - November 9,00-12,00** 12,00-13,00** peralihan II - Desember 11,00-13,00 ** Barat Keterangan: * : Penelitian ini (2011) ** : Penelitian Wudianto (2001) Sementara itu, dalam penelitian ini berdasarkan pengukuran yang dilakukan terhadap ikan sampel dari kapal purse seine baik yang mendaratkan ikan di UPPPP Muncar maupun PPN Pengambengan, terjadi pergeseran ukuran ikan yang tertangkap. Sempenit dan protolan tertangkap pada musim timur

208 188 (triwulan III), lemuru tertangkap pada musim timur dan musim peralihan II, sedangkan lemuru kucing tertangkap pada musim peralihan II (bulan Oktober). Pemetaan komposisi ukuran ikan lemuru yang tertangkap (Tabel 40) dapat dijadikan sebagai konsep awal untuk sebuah keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali. Dengan diketahui kelimpahan (carrying capacity) sumberdaya lemuru, maka dapat ditetapkan upaya penangkapan lemuru. Manfaat diketahui kelimpahan sumberdaya berkaitan erat dengan ketersediaan sumber makanan pada satu wilayah perairan. Jika jumlah kepadatan ikan pada masingmasing ukuran diketahui dan sebaran plankton sebagai sumber makanan lemuru diketahui, maka pemanfaatan sumberdaya lemuru dapat dilakukan secara optimal. Upaya tangkap untuk pemanfaatan sumberdaya seharusnya juga didasarkan kepada kelimpahan ikan sesuai musim angin atau pembagian dalam bentuk triwulanan. Sadhotomo (1995) menyatakan, penangkapan sempenit dapat dilakukan sebesar 8% yang dihitung dari total hasil tangkapan. Pertimbangan ini dilakukan karena tingkat mortalitas lemuru yang tinggi yaitu mencapai 1,0% pertahun (Merta, 1992). Sedangkan menurut Budihardjo et al. (1990) vide Merta dan Nurhakim (2004) tingkat mortalitas lemuru bisa mencapai 2,17% per tahun. Pertimbangan tersebut bisa digunakan untuk memberikan ruang bagi ikan lemuru berukuran sempenit untuk menjadi ukuran protolan dan lemuru dewasa. Dinamika secara alami dalam pertumbuhan sumberdaya, ukuran sempenit dan protolan labih banyak jika dibanding dengan ukuran lemuru dan lemuru kucing, sehingga kebutuhan dalam memperoleh sumber makanan juga akn tinggi. Merta dan Nurhakim (2004) menyatakan bahwa closed area harus dilakukan pada saat ikan berukuran sempenit, yang bertujuan agar ikan-ikan lemuru berukuran sempenit dapat berkembangan menjadi ukuran yang lebih besar. Namun demikian, closed area tersebut dapat dilakukan jika daerah pemijahan lemuru diketahui dengan pasti, dan diduga kelimpahan lemuru muda terjadi pada bulan Juni-Juli. Dugaan yang disampaikan oleh Merta dan Nurhakim (2004) menuju kearah kebenaran, karena berdasarkan hasil penelitian Wudianto (2001) dan penelitian ini (Tabel 40) terlihat hasil tangkapan nelayan pada bulan Juni-Juli adalah berukuran sempenit dan protolan. Pernyataan tersebut

209 189 disampaikan agar ikan dapat bertumbuh menjadi besar dan layak tangkap/konsumsi. Namun, hal yang perlu diingat adalah kelimpahan ikan yang besar memerlukan ketersediaan sumber makanan yang besar. Disamping itu sumberdaya ikan (biotik) saling berintegrasi untuk memperoleh makanan sehingga terjadi kompetisi (Zulbarnaini, 2011). Agar kompetisi tidak berlangsung sengit, maka penangkapan pada saat ikan masih berukuran sempenit dan protolan dapat/mungkin memberi manfaat, yaitu untuk memberi ruang bagi kelimpahan yang tersisa agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Melihat dan menelaah peta sebaran ukuran lemuru yang tertangkap, sebenarnya yang perlu mendapat perhatian adalah pada saat lemuru matang gonad. Saat lemuru matang gonad sebaiknya upaya tangkap diturunkan atau dilakukan closed area, sehingga lemuru induk dapat memijah dan meneruskan pertumbuhan untuk dapat dimanfaatkan oleh nelayan. Closed area (penutupan area penangkapan) atau lebih dikenal season dapat dilakukan jika daerah penangkapan diketahui berdasarkan ukuran lemuru yang tertangkap. Wudianto (2001) sudah berhasil memetakan daerah penangkapan berdasarkan kategori ukuran lemuru yang tertangkap. Berdasarkan hasil kajian pada bab 9, berdasarkan skenario 3 yaitu pengurangan alat tangkap menjadi 165 unit, maka sisanya yaitu sebanyak 87 unit dapat dialihkan untuk melakukan penangkapan ikan jenis lainnya. Dengan demikian konsep keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru dengan mempertimbangkan factor biotik dan a-biotik dapat diterapkan di Selat Bali. Pengaturan ukuran mata jaring, sebagaimana sudah diuraikan pada bab terdahulu, sesuai dengan usulan konsep keberlanjutan yang ditawarkan, maka perlu ketegasan dari pihak-pihak yang berkompeten untuk melakukan sosialisasi secara terus menerus dalam rangka upaya memberikan pengertian dan pemahaman kepada masyarakat dan nelayan yang memanfaatkan sumberdaya lemuru di pesisir perairan Selat Bali. Usulan yang pernah dibuat berdasarkan hasil penelitian Merta (1992), bahwa ukuran mata jaring purse seine pada bagian kantong adalah 1 inchi dan pada bagian badan/penghadang adalah 2,5 inchi, namun pada kenyataannya di lapangan sampai saat penelitian ini dilakukan,

210 190 nelayan setempat masih menggunakan ukuran mata jaring ¾ inchi pada bagian kantong. Jika sosialisasi penggunaan ukuran mata jarring dibagian kantong sudah dilakukan secara terus menerus dan nelayan memahaminya dengan baik, maka konsep keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru dapat terwujud. Pengaturan ukuran mata jaring adalah menjadi penting, manakala kita ingin menerapkan konsep keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pada satu kawasan perairan, karena sangat berkaitan dengan selektivitas alat tangkap terhadap ikan target penangkapan. Purbayanto (2006) menjelaskan bahwa, selektivitas merupakan kemampuan suatu alat tangkap untuk menangkap species ikan ukuran tertentu dari suatu populasi campuran. Jadi, selektivitas menurut Purbayanto (2006) merupakan alat penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karena mudah dalam penanganannya. Namun, hal yang unik pada sumberdaya perikanan yang terdapat di Selat Bali adalah, manakala sumberdaya lemuru sedang melimpah hampir semua alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan setempat mengahasilkan ikan lemuru. Pada saat lemuru menurun atau lebih tepat menghilang maka digantikan oleh munculnya ikan layang atau tongkol, demikian seterusnya secara berurutan. Berdasarkan uraian dan penjelasan ini, maka keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali dapat terwujud jika pemanfaatan sumberdaya pada saat lemuru berukuran sempenit dilakukan penangkapan sebanyak 8% dari total hasil tangkapan secara keseluruhan (Sadhotomo, 1995). Sedangkan pemanfaatan secara komersial dengan tujuan ekonomi adalah pada saat lemuru berukuran berukuran panjang 15-17,5 cm. Pada saat lemuru berukuran panjang 17,9-20 cm, perlu kehati-hatian dalam pemanfaatannya, karena umumnya pada saat ini lemuru dalam keadaan matang gonad.

211 KESIMPULAN UMUM DAN SARAN 11.1 Kesimpulan Umum Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, uraian serta pembahasan secara spesifik dan umum terhadap model keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru di Selat Bali, maka secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan: 1. Faktor oseanografi dan klimatologi di wilayah perairan Selat Bali yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan lemuru adalah klorofil-a dan angin pada taraf uji (5%) 2. Potensi lestari lemuru diperoleh sebesar ,63 ton per tahun. Dan pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru dalam kondisi kehati-hatian. 3. Meskipun terjadi penurunan hasil tangkapan, kondisi sosial ekonomi nelayan masih stabil, dan tidak pernah atau belum pernah terjadi konflik besar yang berujung kerusuhan. 4. Diantara 5 jenis alat penangkapan ikan yang digunakan, ternyata purse seine adalah alat penangkapan ikan yang paling unggul 5. Model keberlanjutan telah mampu menerangkan secara utuh keterkaitan antar faktor biotik dan abiotik. Jumlah effort 165 unit memberikan hasil yang baik dibandingkan dengan skenario lainnya Saran 1. Mengingat kondisi perikanan lemuru sangat komplek, maka manajemen perlu mempertimbangkan seluruh aspek keberlanjutan 2. Perlu dilakukan pengurangan jumlah armada penangkapan ikan untuk menjamin keberlanjutan perikanan lemuru

212 192

213 193 DAFTAR PUSTAKA Adrianto, L Laporan Lokakarya Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan. Direktorat Sumberdaya Ikan, Ditjen Perikanan Tangkap, KKP, WWF dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Amanah, S Pengembangan Masyarakat Pesisir Berdasarkan Kearifan Lokal di Pesisir Kabupaten Buleleng di Provinsi Bali. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut, Pertanian Bogor. Aminah, S Analisis Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Kembung (Rastrelliger spp) di Perairan Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan. [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Aminullah, E., Muhammadi Struktur dan Perilaku Sistem. Analisis Sistem Dinamis. Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Penerbit UMJ Press. Jakarta. Hal Anantanyu, S Partisipasi Petani dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani (Kasus di Provinsi Jawa Tengah) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 211 hal. Ariyadej, C., P. Tansakul., R. Tansakul Variation of phytoplankton biomass as Chlorophyll a in Banglang Reservoir, Yala Province. Songklanakarin J Sci Technol 30: Augustin, B Stakeholder participation in ecosystem-based approaches to fisheries management: A synthesis from European research projects. Division of Social Sciences, Helmholtz Centre for Environmental Research UFZ, PermoserstraX e 15, Leipzig, Germany. Ayodyoa Metode Penangkapan Ikan, Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Yayasan Dewi Sri. Basmi, J Plankton sebagai Makanan Ikan Kultur. Makalah Pelengkapan Mata Ajaran Budidaya Perairan (Air.541). Progran Studi Ilmu Perairan (S2). FPS-IPB. 41 hal. Buchary, E. A In Search of Viable Policy Options for Responsible Use of Sardine Resources in the Bali Starit. [phd thesis]. The University of British Columbia (Vancouver) p 401. Budihardjo,S., E. M. Amin., Rusmadji Estimasi Pertumbuhan dan Tingkat Kematian Ikan Lemuru di Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 55:79-90 Burhanudin., Praseno, P Lingkungan Perairan Selat Bali. LON-LIPI Jakarta. Prosiding Seminar Perikanan Lemuru. Banyuwangi, Januari Hal Bunch, R Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal Pada Rakyat. Terjemahan oleh Ilya Moeliono. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Brant, A.V Fish Catching Methods of the world. England: Fishing News Books. 418 p

214 194 [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Jembrana Jembrana dalam Angka Hal 1 7. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten banyuwangi Banyuwangi dalam Angka. Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi. 375 hal. [BMKG] Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika Perubahan Iklim dan Dampaknya di Indonesia. Deputi Bidang Klimatologi, update tanggal 27 Agustus Campo, D., Mostarda.E., Castriota.L., Scarabello.M.P., Andaloro.F Feeding Habits of the Atlantic Bonito, Sarda sarda (Bloch, 1793) in the Southern Tyrrhenian Sea. Fisheries Research. 81: Chan, W.L A Systematic revision of the Indo-Pacifik clupeid fishes of the genus Sardinella (Family Clupeidae) Jappaness Jour. Ichthyo. 12: p. Chang, I. Z., S. Kim., D. Gunderson., R. Marasco., J.B. Lee., H. W. Park., J. H. Lee An ecosystem-based fisheries assessment approach for Korean fisheries. Fisheries Research 100: Charles, A.T Sustainable Fishery System. Canada: Blackwell Science Ltd. Conrad., Jon, M Resource Economics, Cambridge University Press, Cambrige. 213 pp. Dahuri, R Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta Dahuri, R Membenahi Sistem Perikanan Tangkap. Darmono Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. 179 hal. DeAlteris. J., Riedel, R Effect of Size Selection Within and Between Fishing Gear Types on the Yield and Spawning Stock Biomass Per Recruit and Yield Per Unit Effort for a Cohort of an Idealized Groundfish. J. Northw. Atl. Fish. Sci., 19: Degnbol, P The Ecosystem Approach and Fisheries Management Institutions: The Noble Art of Addressing Complexity and Uncertainty With all Onboard and on a Budget. Desser,C., Bates, J.J.,Wahl,S The Influence of Sea Surface Teperature Gradients on Stratiform Cloudiness along the Equatorial Front in the Pacific Ocean. Journal of Climate. 6: Didier, G. 2005, The trophic-level based model: A theoretical approach of fishing effects on marine ecosystems. Fisheries Science Department UPR Mesh, Dhulked, M.H Observation on the Food and Feeding Habits of the Indian Oil Sardine, Sardinella longiceps (Valenciennes). Indian J. Fish. 9:37 47.

215 195 Dunn, W. N Analisis Kebijakan Publik. Edisis Kedua. Universitas Gadjah Mada Press. Djamali, R.A Evaluasi Keberlanjutan dan Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinella Lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Intitut Pertanian Bogor. 154 hal. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi Laporan Tahunan Kegiatan [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi, Laporan Tahunan tahun [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, Laporan Statistik Perikanan tangkap tahun [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur. Laporan Statistik Perikanan tangkap tahun 2011 [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, Laporan Statistik Perikanan tangkap tahun Dwiponggo, A Beberapa Aspek Biologi Ikan Lemuru, Sardinella spp. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Prosiding Seminar Perikanan Lemuru. Banyuwangi Januari Hal Edward, A.J., P.J. Mumby., E.P. Gren,. C.D, Clark Aplication of Satelite and Airborne Image Data to Coastal Management. Seventh Computer- Based Learning Module (Bilko for Windows). UNESCO. Effendi, H Telaah Kualitas Air bagi Pengelola Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Elvizar Optimalisasi Penggunaan Alat Tangkap Bagan Tancap di Perairan Kabupaten Lampung Timur [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 156 Hal. [FAO] Food and Agreculture Organization of The United Nations Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome. 45 hal. Fauzi, A., Anna, S Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan, Untuk analisis Kebijakan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 399 hal. Fauzi, A., Anna, S Pembangunan Daerah Berbasis Sumberdaya Alam. Perspektif Sektor Kelautan dan Perikanan. Fauzi, A Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis, dan gagasan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 185 hal. Fauzi, S Model Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kawasan Selat Bali. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. 263 hal.

216 196 Frid, C., O.Paramor., C.Scott Ecosystem-based fisheries management: progress in the NE Atlantic, Dove Marine Laboratory, School of Marine Acience and Technology. Fitriani, Variabilitas Spasial dan Temporal Kecepatan Arus dan Angin serta kaitannya dengan Hasil Tangkapan di Perairan Selat Makassar Menggunakan Data Tahun hal Fukuyama, F The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social Order. Touchstone. New York. Gaol, J.L Kajian Karakter Oseanografi Samudera Hindia Bagian Timur dengan Menggunakan Multisensor Citra Satelit dan Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus). [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Pertanian Bogor. 264 hal. Gasalla, M.A., C.L.D.B. Rossi-Wongtschowski Contribution of ecosystem analysis to investigating the effects of changes in fishing strategies in the South Brazil Bight coastal ecosystem, Ecological Modellings 172 (2004) p Garcia, S.M., Zerbi, A., Aliaume, C., Do Chi, T., Lasserre, G The ecosystem approach to fisheries. Issues, terminology, principles, institutional foundations, implementation and outlook. FAO Fisheries Technical Paper. No Rome, FAO. 71 p. Gerlach, S. A Marine Pollution, Springer-verlag, Berlin Heiderberg, New York. Ginting, E.K., Ahmad. R., Niniet. I. A Pengembangan Model Sistem Dinamik untuk Mengkaji Pengaruh Perubahan Jumlah Tangkap Ikan Lemuru Terhadap Industri Cold Storage di Pelabuhan muncar. Paper. (ITS) Surabaya. 13 hal. Grant, E.K., Pedersen E.K., Marin S.L Ecology And Natural Resources Management: System Analisis and Simulation. John Wiley & Sons. Inc. New York/Chichester/Weinheim/Brisbane/Singapore/Toronto. Graham, L.E. and Wilcox,L.W Algae. Prentice Hall, New Jersey, U.S.A. 11: Gunarso, W., Tingkah laku ikan dalam hubungannya dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Bogor; Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 149 Hal. Gulland, J.A Fish Stock Assessment (a Manual of Basic Methods) Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapore:John Wiley and Sons. 223 p Handoko Klimatologi Dasar FMIPA IPB Bogor. Haluan, J., Nurani, T Penerapan Metode Skoring dalam Penelitian Teknologi Penangkapan Ikan yang Sesuai untuk Dikembangkan di Suatu Wilayah Perairan. Fakultas Perikanan IPB Bogor. Buletin PSP II:3 16.

217 197 Hanim Analisa Bagan Kapal Motor dan Bagan Perahu. Study Kasus di Kelurahan Pasir Sebelah Kotamadya Padang Provinsi Sumatera barat. Hanson, A.J Coastal Community: International Perspectives. Makalah pada The 26 th Annual Meeting of the Canadian Commission for UNESCO, St John s Newfoundland, 6 th June Hariyanto, T. Baskoro, M. S, Haluan, J. Iskandar,B.H Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan Berbasis Komoditas Potensial di Teluk Lampung. Jurnal Saintek Perikanan 4: Hariyadi Kajian Citra Satelit Modis dalam Penentuan Daerah Penangkapan Ikan di Perairan Selat Bali. Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor. Tidak dipublikasikan. 105 Hal. Hero,Y Peran Kelembagaan dalam Proses Pembuatan Kebijakan Pengelolaan Hutan Pendidikan Gunung Walat Berdasarkan Pendekatan Diskursus dan Sejarah. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 209 hal. Himelda., E.S.Wiyono., A.Purbayanto., Mustaruddin Analisis Sumberdaya Perikanan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali. Jurnal Marine Fisheries. 2: Hutabarat, S., Evans, S.M, Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). 159 hal. Hutabarat, J. (2001). Pengaruh Kondisi Oseanografi Terhadap Perubahan Iklim, Produktifitas dan Distribusi Biota Laut. Pidato Pengukuhan di Universitas Diponegoro. 50 hal. Imron, M., Stok Bersama dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Wilayah Perairan Indonesia, Buletin PSP. 9: Jitts, HR, Mc. Allister DC, Steven K, Strickland JDH The cell division rates of some marine phytoplankters as a function of lihgt and temperature. J. Fish. Res. Bd, Canada 21: Kain, J.M., Fogg, G.E Studies on the growth of marine phytoplankton. J. Mar. Biol. Ass, U.K 37: Kesteven, G.L Manual of Fisheries Science. Part 1. An Introduction to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper.43p. King, M Fisheries Biology, Assesment and Management. Fishing Books, London. 341p Koswara, B Bioeconomic Analisys of Fisheries. Edisi Terjemahan. Published by arrangement with the Food and Agriculture Organization of the United Nations by the University of Padjadjaran, Indonesia, 202p. Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Kepala Daerah Tingkat I Bali. 1992, SKB. Nomor. 238/674/1992. Tentang Pengaturan/Pengendalian Penggunaan Purse Seine di Selat Bali. 8 hal.

218 198 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003, Tanggal 10 Juli Tentang Penentuan Satus Baku Mutu Air dengan Metode STORET. 15 Hal. [KKP]. Kementerian Kelautan dan Perikanan RI,. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor,. WWF Indonesia Penilaian Indikator Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to Fisheries Management). Modul Training. Hal Kusumastanto,T. Pengembangan Sumberdaya Kelautan Dalam Memperkokoh Perekonomian Nasional Abad 21. Tanggal 12 Maret Jam WIB. Kusnadi Konflik Sosial Nelayan (Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan). LKiS. Yogyakarta Laivastu. T Marine Climate, weather and Fisheries. Fishing News Book. Oxford. Lee, J. W Pengaruh Periode Hari Bulan terhadap Hasil Tangkapan dan Tingkat Pendapatan Nelayan Bagan Tancap di Kabupaten Serang. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 99 Hal. Luckof, PD., Wet, LFd., Brink, D.D Aplication of the Condition Factor in the Production of African Sharptooth Catch Fish Clarias gariepinus. Aquaculture. Unversity of Stellenbosch. Manoppo, A.K.S., Sulma, S., Indarto, D Aplikasi Alos untuk Pemetaan Terumbu Karang di Perairan Utara Bali. Buletin Potensi dan Pemanfaatan Data Satelit Inderaja ALOS, SPOT, dan LANDSAT. Penerbit Massma. Hal Manggabarani, H Peranan Penting Ilmu Iktiologi dalam Kegiatan Usaha Penangkapan Ikan. Jurnal Iktiologi Indonesia 2: Marwa, J Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dan Kontribusinya Terhadap Ekonomi Daerah (Studi Kasus : IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua) [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 136 hal. Manetsch, T.J., Park, G.L System analisis and Simulation with Application to Economic and Social System. 3th Ed. Departement of Electrical Engineering and Ecosystem Science. Michigan State University. East Lansing. Michigan. Marganof Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 147 hal. Martono, Simulasi Pengaruh Angin terhadap Sirkulasi Permukaan Laut Bebasis Model. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Yogyakarta. Masyhuri Menyisir pantai Utara. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta

219 199 Matsuoka, T Selectivity of Fishing Gear: Fish Behaviour for Improving Fish Capture Technology and Selectivity Fishing Gear. Kanagawa International Fisheries Training Center. Japan International Cooperation Agency. Minnet., Evan, R., Brown, O, Terra Sea Surface Temperature Thermal (SST) and Mid-Infrared (SST-4). Merta, I G S Dinamika Populasi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) (pisces: Clupeidae) di Perairan Selat Bali dan Alternatif Pengelolaannya [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarja Institut Pertanian Bogor. 228 hal. Merta, I G S,. Nurhakim, S Musim Penangkapan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru, Bleeker 1853) di Selat Bali. JPPI Edisi Sumber Daya dan Penangkapan 10: 13 hal. Muhammadi., Erman, A., Budhi, S Analisis Sistem Dinamis Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen, UMJ Press, Jakarta. 415 hal. Mustaruddin Analisis Dinamik dalam Perencanaan Kawasan perikanan Tangkap. Bagian Sistem dan Kebijakan Perikanan Tangkap, PSP-FPIK IPB. 27 hal Moeis, S Startifikasi Sosial. Bahan Ajaran Mata kuliah Struktur dan Proses Sosial. Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS. Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. 20 hal. Monintja, D.R Beberapa Teknologi Pilihan untuk Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut di Indonesia. Fakultas Perikanan. IPB Bogor. Buletin PSP. 1: Nababan, B Analisis Sebaran Konsentrasi Klorophil-a dalam Kaitannya dengan Jumlah Hasil Tangkapan Ikan Cakalang di Perairan Binuangeun, Banten. Institut Pertanian Bogor. Nurhakim, S., Merta, IGS Perkembangan dan pengelolaan perikanan lemuru, Sardinella lemuru Bleeker 1853 di Selat bali. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. 10: Nybaken, J. W Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Alih bahasa oleh M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukarjo. Gramedia Jakarta : 459 hal. Nuitja, I N S Manajemen Sumberdaya Perikanan. Penerbit PT. Penerbit IPB Pres. Kampus IPB Taman Kencana Bogor. 168 hal. Nontji. A Laut Nusantara. Edisi revisi.penerbit Djambatan. 367 hal North, D.C Institutions, Institutional change, and economic performance. Political Economy of Institutions and Decisions. Cambridge University Press. Cambrige. Odum, E.P Dasar-dasar ekologi (terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

220 200 Ostrom, E. (1994). Governing the Commons, The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge University Press, Cambridge. Prayitno, D , SPSS untuk Analisis Korelasi, Regresi, dan Multivariate. Penerbit Gava Media Yogyakarta, 161 hal. Pranowo, W. S., B. Realino S Sirkulasi Arus Vertikal di Selat Bali pada Monsun Tenggara Pusat Riset Wilayah dan Sumberdaya Non- Hayati. Balai Riset Observasi Kelautan Badan Riset Kalautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Paper disampaikan pada forum Perairan Umum Indonesia III Palembang Novemver Prezelein, B. B Light reactions in photosynthesis Dalam: Physiological Bases of Phytoplankton Ecology (T. Platt. Ed.). Canadian Bulletin of Fish, and Aquatic Science 210 : Prihatini, R. T Pemodelan Dinamika Spasial Bagi Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir yang berkelanjutan. Studi Kasus: Konservasi Lahan Mangrove Menjadi Pertambakan Udang di Delta Mahakam, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 215 hal. Purbayanto, A Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Berwawasan Lingkungan. Makalah Pelatihan ICZPM. Kerjasama PKSPL-IPB dengan Departemen Kelautan dan Perikanan. 15 hal. Purbayanto, A Perikanan Tramel net: Analisis Selektivitas dan Fisiologi Tingkah Laku Ikan untuk Kepentingan Pengelolaannya. (Trammel net Fishery: Selectivity and Fish Physiological Behaviour Analysis for Its management Purpose). Pujiharti,Y Model Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan pada Sistem Agribisnis Tanaman Pangan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 208 hal Poppo, A,. Mahendra, M S,. Sundra, I. K Studi Kualitas Perairan Pantai di Kawasan Industri Perikanan, Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Ecotropihic. 3 : Riduwan., Akdon Rumus dan Data dalam Aplikasi Statistik. Untuk penelitian (Administrasi Pendidikan-Bisnis-Pemerintahan-Sosial- Kebijakan-Ekonomi-Hukum-Manajemen-Kesehatan). Penerbit Alfabeta Bandung. 304 hal. Rahayuningsih, I., Hidayati, N., Wahyudi, I Analisis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Dampaknya Terhadap Peningkatan Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi di Kabupaten Gresik. Jurnal Logos. 6: Romimohtarto., Thayib Kondisi Lingkungan Pesisir dan Lautan di Indonesia. Lembaga Oseanologi Nasional, Lembaga Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Saanin, H Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid 1. Cetakan kedua. Penerbit Binacipta. 245 hal.

221 201 Sadhotomo, B Dampak Penangkapan Ikan Muda Terhadap Produktivitas Perikanan (Simulasi Dasar Perikanan Lemuru, Sardinella longiceps) di Selat Bali. Jurnal Perikanan laut 60: Sarwono, J Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Penerbit Andi Offset Yogyakarta, 250 hal. Santosa, P.B., Ashari Analisis Statistik dengan Microsoft Excel & SPSS. Penerbit ANDI, Yogyakarta. 281 hal. Santosa, P.B Relevansi dan Aplikasi Aliran Ekonomi Kelembagaan. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang. 9: Salmin Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Majalah Oseania, 30: Sartimbul, A, Nakata. H., Rohadi.E., Yusuf. B., Kadarisman. H.P Variations in chlorophyll-a concentration and the impact on Sardinella lemuru catches in Bali Strait, Indonesia. Journal Elsevier. Progress in Oceanography 87: Simbolon, D., et al Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 168 hal. Schaefer, G.H The Economic Theory of a Common Property Resource: The Fishery. Journal of Political Economy 62: Sudirman., Hade, A. R., Sapruddin Perbaikan Tingkat Keramahan Lingkungan Alat Tangkap Bagan Tancap Melalui Perbaikan Selektivitas Mata Jaring. Bulletin Penelitian LP2M Universitas Hasanuddin, II : Sudirman Analisis Tingkah Laku Ikan untuk Mewujudkan Teknologi Ramah Lingkungan dalam Proses Penangkapan pada Bagan Rambo. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 231 Hal. Suseno Menuju Perikanan Berkelanjutan. Penerbit Pustaka Cidesindo. Cetakan Pertama. Jakarta, Januari hal. Soewito Pengelolaan Sumberdaya Ikan Lemuru. Prosiding Seminar Perikanan Lemuru.Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen. Jakarta Hal Tietenberg, T Environment and Natural Resources Economics, Addison- Wesley, Reading, Massachusetts. 630 p. [UN] United Nations Report of the world summit on sustainable development. United Nations Publication, 173 p. Undang Undang No. 45 tahun Pengganti Undang Undang No. 31 Tahun Tentang Perikanan

222 202 Wahyuningsih., Elizabeth T. G., Wuryanto, E Budaya Kerja nelayan Indonesia di Jawa Tengah (Kasus Masyarakat Nelayan Desa Wonokerto Kulon Kecamatan Wiradesa. Kabupaten Pekalongan). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Wandri, Y Analisa Pembangunan Perikanan Tangkap di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institu Pertanian Bogor. Hal Wirosarjono, S Masalah-Masalah yang dihadapi dalam Penyusunan Kriteria Kualitas Air guna Berbagai Peruntukan. PPMKL-DKI Jaya, Seminar Pengelolaan Sumber Daya Air., eds. Lembaga Ekologi UNPAD. Bandung, Maret 1974, hal 9-15 Wiyono, E.S Optimisasi Manajemen Perikanan Skala Kecil di Teluk Pelabuhanratu, Jawa Barat. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 98 Hal. Wiyono, E.S Alat Tangkap Unggulan di Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung. Buletin PSP IP B. 19: Whitehead, P.J.P FAO Species Catalogue. Vol 7. Clupeid Fishes of the World. An Annotated and Iluustrated Catalogue of the Herrings, Sardines, Pilchards, Sprats, Anchovies, and Wolf Herrings. Part 1. Chirocentridae, Clupeidae, and Pristigasteridae. Fish. Synop. 7 (25): Wudianto Analisis Sebaran dan Kelimpahan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali: Kaitannya dengan Optimasi Penangkapan. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Intitut Pertanian Bogor. 217 hal Yustika, A.E Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori dan Strategi. Bayumedia Publishing. Malang. Zhang, C.I., Marasco,R.J New approaches in fisheries assessment and management under the exclusive economic zone regime in Korea. Am. Fish. Soc. Symp.38: Zhang, C.I, Suam, K., Donald, G., Richard, M, Jae Bong Lee, Hee Won P, Jong Hee Lee, An ecosystem-based fisheries assessment approach for Korean fisheries. Fisheries Research 100 (2009) p Zulbarnaini, N Analisa Ekonomi Pengelolaan Optimal Perikanan Lemuru di Perairan Selat Bali, Indonesia. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 123 hal. Zulbarnaini, N Model Bioekonomi Eksploitasi Multispecies Sumberdaya Perikanan Pelagis di Perairan Selat Bali. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 301 hal.

223 203 Lampiran 1 Parameter hasil tangkapan, faktor oseanografi dan klimatologi periode Tahun Triwulan Total hsl tangkapan Klorofil-a (mg/m 3 ) SPL ( o C) Angin (knot) Hujan (mm/dtk) Arus (cm/s) I 2.968,983 0,202 30,688 5, ,667 5,367 II 4.453,046 0,887 28,898 6,333 61,000 8,290 III 4.402,556 1,229 26,988 7,333 48,333 8,543 IV 2,160,485 0,494 28,349 5, ,667 6,077 I 1.579,357 0,204 30,096 5, ,300 8,830 II 2.769,406 0,881 28,504 6,667 99,167 8,593 III 4.559,428 1,207 25,394 7,333 22,833 7,820 IV ,349 1,194 27,644 4,000 69,900 7,027 I ,079 0,351 30,414 5, ,333 8,623 II 8.481,650 0,951 28,424 5, ,267 9,623 III 3.806,535 1,331 25,808 7,333 25,367 9,513 IV ,655 0,544 28,646 4,667 59,433 5,617 I 6.497,695 0,220 29,765 5, ,167 11,863 II 9.659,099 0,945 28,072 6,333 26,500 8,173 III 8.642,138 1,298 26,085 7,667 17,667 11,147 IV ,305 0,579 28,902 5, ,200 6,207 I ,736 0,247 30,002 5, ,700 7,423 II ,598 0,997 28,950 5, ,600 11,080 III ,688 1,092 26,562 6,333 47,200 9,330 IV ,770 0,710 29,142 4,333 97,767 6,077 I ,627 0,290 31,085 3, ,867 5,010 II 8.414,487 0,627 29,801 5, ,000 12,387 III 2.408,968 0,623 27,675 7, ,333 14,713 IV ,638 0,230 29,961 4, ,000 8,823

224 204 Lampiran 2 Sebaran klorofil-a di Selat Bali tahun 2010

225 Lampiran 3 Sebaran suhu permukaan laut di Selat Bali tahun

226 206 Lampiran 4 Kualitas perairan di lokasi fishing ground periode Mei-Oktober 2011 No Tanggal ph Salinitas Klorofil-a Nitrat Fosfat Paparan Jawa 1 09,05 8, ,0000 0,0090 0,1845 0, ,05 8, ,0000 0,4282 0,0114 0, ,06 8, ,0000 1,2996 0,0009 0, ,07 8, ,0000 0,0512 0,0009 0, ,07 8, ,0000 0,3699 0,0139 0, ,07 8, ,0000 0,2907 0,1176 0, ,08 8, ,0000 0,6001 0,6619 0, ,08 7, ,0000 4,2964 0,0212 0, ,08 8, ,0000 1,2233 0,0178 0, ,09 8, ,0000 0,4498 0,0009 0, ,10 8, ,0000 0,1364 0,0303 0, ,10 8, ,0000 0,2046 0,0641 0,0364 Rata-rata 8, ,9167 0,7799 0,0938 0,0116 Maksimum 8, ,0000 4,2964 0,6619 0,0535 Minimum 7, ,0000 0,0090 0,0009 0,0009 Standar Deviasi 0,1519 0,7930 1,1823 0,1875 0,0178 Paparan Bali , ,0000 0,2554 0,0009 0, , ,0000 0,3052 0,0114 0, , ,0000 0,0338 0,2291 0, , ,0000 0,2506 0,0009 0, , ,0000 0,2750 0,0189 0, , ,0000 0,5606 0,6420 0, , ,0000 0,1131 0,0137 0, , ,0000 1,1210 0,0173 0, , ,0000 0,5893 0,0009 0, , ,0000 0,6575 0,0009 0, , ,0000 0,2890 0,0078 0, , ,0000 0,2890 0,0041 0,0182 Rata-rata 8, ,6667 0,3950 0,0790 0,0062 Maksimum 8, ,0000 1,1210 0,6420 0,0296 Minimum 7, ,0000 0,0338 0,0009 0,0009 Standar Deviasi 0,1466 0,8876 0,2949 0,1885 0,0094

227 207 Lampiran 5 Arah dan kecepatan angin di Selat Bali tahun 2010 Januari Februari Maret April Mei Juni

228 208

229 209 Lampiran 6 Arah dan kekuatan arus di Selat Bali periode Mei Oktober 2011 Mei Juni

230 210 Juli Agustus

231 211 September Oktober

232 Kadar Timbal (mg/l) Kadar Kadmium (mg/l) Kadar PO4 (mg/l) Kadar Minyak (mg/l) Kadar NH3 (mg/l) Kadar NO3 (mg/l) Nilai ph Kadar BOD (mg/l) 212 Lampiran 7 Kualitas air laut di beberapa lokasi tahun 2004 dan 2009 di Provinsi Bali ,00 10,0 8,00 6,00 4,00 2,00 8,0 6,0 4,0 2,0 0,00 A B C D B E F G H I 0,0 A B C D B E F G H I Lokasi Lokasi ,025 10,00 0,020 8,00 0,015 6,00 0,010 4,00 0,005 2,00 0,000 A B C D B E F G H I 0,00 A B C BD E F G H I Lokasi Lokasi ,200 0,600 0,150 0,500 0,400 0,100 0,300 0,050 0,200 0,100 0,000 A B C D B E F G H I 0,000 A B C D B E F G H I Lokasi Lokasi ,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000 A B C D E F G H I 0,100 0,080 0,060 0,040 0,020 0,000 A B C D B E F G H I Lokasi Lokasi Keterangan: A : Sanur, B : Samuh (Nusa Dua), C : Lebih, D : Candidasa, E : Soka, F : Perancak, G : Candikusuma, H : Kalibukbuk, I : Padangbai. Sumber: BLH Provinsi Bali (2009), Bapedalda Provinsi Bali (2004)

233 213 Lampiran 8 Hasil uji kualitas air laut di Provinsi Bali tahun 2009 FISIKA PARAMETER SATUAN BM *) KADAR MAKSI Pantai Sanur Pantai Semawang Pantai Pemelisan Pantai Kuta Pantai Samuh Pantai Lebih Hasil Pemeriksaan menurut Lokasi Kekeruhan TBU 10 ttd ttd 0,48148 ttd ttd Ttd ttd ttd ttd ttd ttd 0,03703 ttd ttd Padatan tersuspensi Mg/L 20 ttd ttd 4,819 ttd ttd Ttd ttd ttd ttd ttd ttd 0,372 ttd ttd Temperatur C ,3 33,6 32,4 31,1 32,0 31,5 30,5 31,7 29,3 29,3 29,0 33,2 31,3 30,3 KIMIA - - ph 6,5-8,5 8,3 7,7 7,9 8,0 8,2 7,5 8,1 7,9 7,6 7,2 6,6 7,5 8,1 8,1 Salinitas 0 /00 alami Oksigen terlarut (DO) Mg/L ³ 5 11,1 9,5 11,0 11,3 8,1 8,1 12,0 8,1 8,8 10,5 11,2 11,4 10,3 13,0 BOD 5 Mg/L 10 1,7 0,7 4,3 5,0 2,1 1,5 5,0 1,5 5,5 7,9 8,0 8,0 3,3 7,4 COD Mg/L 20 28,62 38,73 39,37 52,35 35,41 Ttd 25,73 ttd ttd ttd ttd ttd ttd 28,57 Amonia ( NH3-N) Mg/L Nihil ttd ttd ttd 0,005 0,018 Ttd ttd 0,009 ttd ttd ttd ttd ttd ttd Nitrat (NO3-N) Mg/L 10 1,757 6,64 2,419 5,45 8,55 5,818 0,541 9,36 9,18 6,9 0,946 1,108 4,243 1,392 Sulfat (SO4) Mg/L ,903 56,212 71,148 61,48 50,474 58, ,132 61,575 39,089 53,89 4,787 74, ,623 30,11 Fosfat (PO4) Mg/L - 0,025 0,104 0,037 0,05 0,05 0,075 0,075 0,063 0,013 ttd 0,075 0,05 0,038 0,044 Sulfida (H2S) Mg/L Nihil ttd ttd ttd ttd 0,0002 Ttd 0,0002 0,0001 ttd ttd ttd ttd ttd ttd Minyak Bumi Mg/L Nihil 0,134 0,006 ttd 0,006 0,012 Ttd 0,124 ttd ttd ttd 0,114 0,534 0,51 0,488 Surfaktan (detergen) Mg/L MBAS Pantai Candidasa Nihil 5,449 4,318 ttd 2,45 ttd 45,71 ttd 50,09 30,43 40,76 35,92 25,15 20,85 0,555 Logam semi logam Mg/L Cadmium (Cd) Mg/L 0,00002 ttd 0,011 0,002 0,016 0,018 0,045 0,046 0,01 0,069 0,082 0,069 ttd 0,03 ttd - Timbal (Pb) Mg/L 0, ,031 0,048 0,033 0,049 0,045 0,048 0,031 0,044 0,047 0,032 0,046 0,039 0,037 0,033 - Besi (Fe) Mg/L 5,0 0,028 0,024 0,033 0,024 0,028 0,024 0,044 0,028 0,024 0,033 0,073 0,034 0,048 0,028 BIOLOGI Pantai Saba Pantai Soka Pantai Perancak Pantai Candikusuma Pantai Kalibukbuk Pantai Lepang Koli tinja Sel/100 ml Nihil Total koliform Sel/100 ml Pantai Padangbai *) Baku Mutu Air Laut Untuk Pariwisata dan Rekreasi (Peraturan Gubernur Provinsi Bali No. 8 Tahun 2007) Sumber: Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali (2009)

234 214 Lampiran 9 Perhitungan surplus production method 1. Model Schnute dengan formula: Ut 1 r Ut 1 Ut ( Et Et 1) ln r ( ) q Ut qk 2 2 Tahun C total E std CPUE std (Ut+1)/Ut Y=(lnUt+1/Ut) X1(Ut+1+Ut)/2 X2(Et+Et+1)/ , , , , , , Analisis regresi SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 5 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Intercept X Variable X Variable Persamaan Y = f f 2 Tahun C Aktual E Aktual C duga Validasi Kuadrat Validasi Rata-rata Kuadrat validasi sangat tinggi 2. Model Walter Hilbron dengan formula: Ut 1 1 r Ut r qk Ut qet

235 215 Data Tahun C total E std CPUE std Ut+1-1 Ut Et Ut , , , , , , Regresi linier SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 5 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Intercept X Variable X Variable Persamaan Y = f f 2 Uji validasi Tahun C Aktual E Aktual C duga Validasi Kuadrat Validasi Rata-rata Model Disequilibrium Schaefer Dengan formula Ut 1 Ut 1 2 Ut r r qk Ut qet SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 4

236 216 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual Total Coefficients Standard t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Error Intercept X Variable X Variable Persamaan Y = f f 2 Uji Validasi Tahun C Aktual E Aktual C duga Validasi Kuadrat Validasi Rata-rata Model Equilibrium Schaefer Formula h t = q K E t q 2 K / r E t 2 SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 6 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual Total Coefficients Std Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Intercept X Variable Persamaan Y = f f 2

237 217 Uji Validasi Tahun C Aktual E std C Duga Deviasi Kuadrat Deviasi , , , , (0.1066) , , (0.2245) , , , , (0.2803) , , (0.0184) Rata2 58, , Model Clark Yoshimoto dan Pooley (CYP) Formula : 2r (2 r) q ln( Ut 1 ) ln( qk) ln( Ut ) ( Et Et 1) 2 r 2 r) (2 r) SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square R Square Standard Error Observations 5 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Intercept X Variable X Variable Persamaan Y = f f 2 Uji Validasi Tahun C Aktual E std C Duga Validasi Kuadrat Validasi , , , , (0.1650) , , (0.2873) , , (0.0584) , , (0.3444) , , (0.1044) Rata2 58, , (0.0820) C msy = a2/4b = 59, E msy = a/2b =

238 218 Lampiran 10 Pengukuran panjang berat ikan lemuru sampel Team lapangan Penimbangan Sempenit Protolan Lemuru Lemuru kucing

239 219 Lampiran 11 Pengamatan isi lambung ikan lemuru sampel Acartia sp. Ceratium sp. Coscinodiscus sp. Kulit Ikan Cacing Peridium sp

240 220 Rhizosolenia sp. Creseis sp. Potongan Udang Rhabdonema sp. Oikopleura sp. Potongan Copepoda

241 221 Trichodesmium sp. Guinardia sp. Volvox sp. Fragilaria sp. Glenodinium sp. Brachyscelus sp.

242 222 Microsetella sp. Leprotintinnus sp. Pyropharus sp. Streptotheca sp. Tintinnopsis sp. Pterosagitta sp.

243 223 Tigriopus sp. Planktoniella sp. Undinula sp. Sisik Ikan

244 224 Lampiran 12 Lembaga yang berkompeten dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali No. Lembaga Pemerintah Swasta Tupoksi Keterangan Kabupaten Banyuwangi 1 Dinas Kelautan dan Perikanan v Tugas pokok dan fungsinya sebagai penanggungjawab kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada di wilayah Kabupaten Banyuwangi 2 Unit Pengelola Pelabuhan Perikanan v Unit Pelaksana Teknis Daerah, yang bertanggunjawab Pantai Muncar kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur Tugas pokok dan fungsi UPT ini, melakukan pengelolaan terhadap fasilitas pelabuhan perikanan dan berkolaborasi dengan instansi terkait lainnya yang berada di lingkungan pelabuhan untuk melakukegiatan bongkar hasil perikanan 3 TPI v Melaksanakan pelelangan ikan dan bertanggunjawab langsung kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi 4 Kantor Lingkungan Hidup v Melakukan pengujian secara periodik terhadap limbah industri pengolahan ikan yang ada di Kabupaten Banyuwangi, melakukan pengarahan dan sosialisasi kepada pelaku usaha pengolahan tentang penanganan limbah industri sebelum dibuang ke laut 5 KUD v 6 HNSI v Kelembagaan nelayan, sebagai wadah aspirasi nelayan yang ada di Kabupaten Banyuwangi 7 Taman Nasional Alas Purwo v Melakukan pengawasan dan pemeliharaan hutan mangrove yang terdapat di kawasan Alas Purwo. TNAP ini berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Banyuwangi 8 Dinas Kehutanan v Berkaitan dengan pengawasan hutan mangrove dan padang lamun yang ada perairan laut 9 Badan Perencana Pembangunan Daerah v Melaksanakan penyusunan rencana pembanguan daerah secara umum dan melakukan koordinasi dan pembinaan kepada instansi terkait sesuai dengan bidangnya masing-masing.

245 225 Lampiran 12 Lembaga yang berkompeten dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali (lanjutan..) No. Lembaga Pemerintah Swasta Tupoksi Keterangan Kabupaten Jembrana 1 Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan v Kegiatan perikanan berada dibawah tanggungjawab Kepala Bidang Kelautan dan Perikanan, karena masih bergabung dengan Pertanian dan Kehutanan Bidang perikanan bertanggungjawab terhadap perencanaan dan pembinaan 2 Pelabuhan Perikanan Nusantara v Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Tugas Pengambengan pokok dan fungsinya adalah melaksanakan pengelolaan kepelabuhan secara menyeluruh dan bertanggungjawab terhadap faslitas yang ada, serta berkoordinasi dengan instansi terkait yang ada di Kabupaten Jembrana untuk pelaksanaan tugas sehari-hari. 3 TPI v Melaksanakan pelelangan ikan dan bertanggunjawab langsung Dinas Kelautan Perikanan Dan Kehutanan 4 Dinas Lingkungan Hidup v Melakukan pengujian secara periodik terhadap limbah industri pengolahan ikan yang ada di Kabupaten Jembrana, melakukan pengarahan dan sosialisasi kepada pelaku usaha pengolahan tentang penanganan limbah industri sebelum dibuang ke laut 5 KUD v 6 HNSI v Kelembagaan nelayan, sebagai wadah aspirasi nelayan yang ada di Kabupaten Jembrana 7 Taman Nasional Bali Barat v Saat ini TNBB masih berfokus pada penangkaran burung jalak Bali, dan belum banyak menangani lingkungan perairan Selat Bali 8 Badan Perencana Pembangunan Daerah v Lembaga daerah dengan tugas pokok melakukan penyusunan dan melaksanakan kebijakan daerah, dan menjalankan fungsi merumuskan, koordinasi dan melakukan pembinaan dalam implementasi kebijakan. Sumber : Instansi dan Lembaga terkait di Kabupaten Banyuwangi dan Jembrana (2011)

246 226 Lampiran 13 Alat tangkap dominan di Selat Bali Purse seine Perahu sleret Gillnet (Muncar) Perahu payang (Muncar) Bagan tancap (Muncar)

247 227 Perahu gillnet (Jembrana) Alat tangkap gillnet (Jembrana) Perahu pukat pantai (Jembrana)

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010) 37 3 METODOLOGI UMUM Penjelasan dalam metodologi umum, menggambarkan secara umum tentang waktu, tempat penelitian, metode yang digunakan. Secara spesifik sesuai dengan masing-masing kriteria yang akan

Lebih terperinci

hayati laut pada umumnya (Simbolon et al., 2009), penyebaran organisme di laut serta pengaturannya (Nybakken 1988).

hayati laut pada umumnya (Simbolon et al., 2009), penyebaran organisme di laut serta pengaturannya (Nybakken 1988). 177 10 PEMBAHASAN UMUM Pembahasan umum ini secara keseluruhan membahas rangkuman pembahasan tentang keberlanjutan pembangunan perikanan (sustainable development). Keberlanjutan merupakan pembangunan yang

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI

SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 20. 1 Edisi Maret 2012 Hal. 89-102 SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI Oleh: Himelda 1*, Eko Sri Wiyono

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee ABSTRACT ANDAN HAMDANI. Analysis of Management and Assessment User Fee on Utilization of Lemuru Resources In Bali Strait. Under direction of MOCH PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Lemuru resources in

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

ALOKASI UNIT PENANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANDEGLANG, BANTEN : MENUJU PERIKANAN TANGKAP YANG TERKENDALI YUDI HERIAWAN

ALOKASI UNIT PENANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANDEGLANG, BANTEN : MENUJU PERIKANAN TANGKAP YANG TERKENDALI YUDI HERIAWAN ALOKASI UNIT PENANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANDEGLANG, BANTEN : MENUJU PERIKANAN TANGKAP YANG TERKENDALI YUDI HERIAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

TINGKAT PEMANFAATAN DAN POLA MUSIM PENANGKAPAN IKAN LEMURU DI PERAIRAN SELAT BALI ABSTRAK

TINGKAT PEMANFAATAN DAN POLA MUSIM PENANGKAPAN IKAN LEMURU DI PERAIRAN SELAT BALI ABSTRAK BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume XIX No. 3 Edisi Desember 2011 Hal 293-307 TINGKAT PEMANFAATAN DAN POLA MUSIM PENANGKAPAN IKAN LEMURU DI PERAIRAN SELAT BALI Oleh: Domu Simbolon 1 *, Budy Wiryawan 1,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN 2007 2008 Adrian A. Boleu & Darius Arkwright Abstract Small pelagic fishing effort made bythe fishermen in North Halmahera

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

RIKA PUJIYANI SKRIPSI

RIKA PUJIYANI SKRIPSI KONDISI PERIKANANN TANGKAP DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI LEMPASING, BANDAR LAMPUNG RIKA PUJIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Fluktuasi Hasil Tangkapan ( Catch ) Ikan Lemuru

5 PEMBAHASAN 5.1 Fluktuasi Hasil Tangkapan ( Catch ) Ikan Lemuru 58 5 PEMBAHASAN 5.1 Fluktuasi Hasil Tangkapan (Catch) Ikan Lemuru Berdasarkan Gambar 4, hasil tangkapan ikan lemuru pada tahun 2004-2008 mengalami peningkatan sejak tahun 2006 hingga mencapai puncak tertinggi

Lebih terperinci

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH

DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA

POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH RINA SARI LUBIS 090302054 PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA PENENTUAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN LAYANG (Decapterus Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA DETERMINATION OF FISHING CATCHING SEASON (Decapterus Sp.) IN EAST WATERS OF SOUTHEAST SULAWESI Eddy Hamka 1),

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN (PHP) : STUDI KASUS PERIKANAN PURSE SEINE PELAGIS KECIL DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) PEKALONGAN

KEBIJAKAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN (PHP) : STUDI KASUS PERIKANAN PURSE SEINE PELAGIS KECIL DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) PEKALONGAN KEBIJAKAN PUNGUTAN HASIL PERIKANAN (PHP) : STUDI KASUS PERIKANAN PURSE SEINE PELAGIS KECIL DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) PEKALONGAN EDDY SOESANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN ANDI HERYANTI RUKKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 6 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

SIMULASI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG MADURA ARIYANTO

SIMULASI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG MADURA ARIYANTO SIMULASI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG MADURA ARIYANTO DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SIMULASI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

Ervina Wahyu Setyaningrum. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi

Ervina Wahyu Setyaningrum. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi Penentuan Jenis Alat Tangkap Ikan Pelagis yang Tepat dan Berkelanjutan dalam Mendukung Peningkatan Perikanan Tangkap di Muncar Kabupaten Banyuwangi Indonesia Ervina Wahyu Setyaningrum Program Studi Pemanfaatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun Cacth (ton) 46 4 HASIL 4.1 Hasil Tangkapan (Catch) Ikan Lemuru Jumlah dan nilai produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru yang didaratkan di PPP Muncar dari tahun 24 28 dapat dilihat pada Gambar 4 dan

Lebih terperinci

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru. 3 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli 009 di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar - Perairan Selat Bali, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Perairan Selat Bali terletak

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN NONO SAMPONO SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung

Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(1): 1-8, Juni 2015 ISSN 2337-4306 Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung Catch per unit effort

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi** RINGKASAN Penelitian ini mengkaji

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA UTARA

ANALISIS PENGEMBANGAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA UTARA ANALISIS PENGEMBANGAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA UTARA (Analysis of Small Pelagic Fish Development in North Halmahera Waters) Fredo Uktolseja 1, Ari Purbayanto 2, Sugeng Hari

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Oleh: Yudi Wahyudin 2 Abstrak Wilayah Pengelolaan Perikanan Repubik Indonesia (WPP RI)

Lebih terperinci

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia.

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia. Latar Belakanq Indonesia adalah negara maritim, lebih dari 70% dari luas wilayahnya, seluas 3,l juta km2, terdiri dari laut. Setelah deklarasi Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) pada tanggal 21 Maret

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

ABSTRACT. KAHARUDDIN SHOLEH. The Analysis of Ship Visits, Production and Fish Prices Relationship at Brondong Fishing Port. Under Supervision of EKO

ABSTRACT. KAHARUDDIN SHOLEH. The Analysis of Ship Visits, Production and Fish Prices Relationship at Brondong Fishing Port. Under Supervision of EKO ABSTRACT KAHARUDDIN SHOLEH. The Analysis of Ship Visits, Production and Fish Prices Relationship at Brondong Fishing Port. Under Supervision of EKO SRIWIYONO and SUGENG HARI WISUDO. As one of the factors

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KAKAP DI KABUPATEN KUTAI TIMUR (Bio-economic Analysis of Blood Snaper Resources Utilization in Kutai Timur Regency) ERWAN SULISTIANTO Jurusan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS CPUE (CATCH PER UNIT EFFORT) DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT BALI

ANALISIS CPUE (CATCH PER UNIT EFFORT) DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT BALI ANALISIS CPUE (CATCH PER UNIT EFFORT) DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT BALI Analysis of CPUE (Catch Per Unit Effort) and Utilization Rates of Fishery

Lebih terperinci

SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes

SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes Oleh: Muh. Ali Arsyad * dan Tasir Diterima: 0 Desember 008; Disetujui:

Lebih terperinci

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga 29 5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga Kandungan klorofil-a setiap bulannya pada tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Lampiran 3, konsentrasi klorofil-a di perairan berkisar 0,26 sampai

Lebih terperinci

PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE

PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE PENGARUH PERIODE HARI BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN DAN TINGKAT PENDAPATAN NELAYAN BAGAN TANCAP DI KABUPATEN SERANG TESIS JAE WON LEE SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sangat penting di Kabupaten Nias dan kontribusinya cukup besar bagi produksi perikanan dan kelautan secara

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA

OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA OPTIMASI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR SOLAR UNTUK UNIT PENANGKAPAN IKAN DI PPP SUNGAILIAT, BANGKA DODY SIHONO SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI

PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI RURI PERWITA SARI 090302004 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Jurnal Galung Tropika, 5 (3) Desember 2016, hlmn. 203-209 ISSN Online 2407-6279 ISSN Cetak 2302-4178 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Crab

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Laut di Laut Banda Berdasarkan Data Citra Satelit. Forecasting Fishing Areas in Banda Sea Based on Satellite Data

Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Laut di Laut Banda Berdasarkan Data Citra Satelit. Forecasting Fishing Areas in Banda Sea Based on Satellite Data Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017 Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Laut di Laut Banda Berdasarkan Data Citra Satelit Forecasting Fishing Areas in Banda Sea Based on Satellite Data Muhammad

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Kajian Excess Capacity Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali 1

Kajian Excess Capacity Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali 1 Kajian Excess Capacity Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali 1 Abstrak Rizki Aprilian Wijaya dan Sonny Koeshendrajana Peneliti Pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Email: rizkiaprilian@yahoo.co.id

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci