BAB I PENDAHULUAN I.1.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1."

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kabupaten Pati merupakan salah satu kabupaten yang setiap tahunnya hampir selalu dilanda bencana banjir. Data dari BPBD tahun 2014 menyatakan, banjir pada Januari hingga Februari 2014 terdapat 16 dari 21 kecamatan di Kabupaten Pati tergenang banjir yang artinya lebih dari setengah dari wilayah Kabupaten Pati tergenang banjir dengan luasan dan ketinggian air yang bervariasi. Kabupaten Pati yang daerahnya merupakan dataran rendah yang kebanyakan daerahnya memiliki topografi cekung hingga datar merupakan lokasi yang sangat rawan terkena bencana banjir (BPBD 2014). Ditambah lagi Kabupaten Pati bagian timur merupakan daerah hilir dari 21 DAS (Daerah Aliran Sungai) yang muaranya berada pada Laut Jawa. Hal ini menyebabkan sungai di Kabupaten Pati merupakan tempat pertemuan sungaisungai dari kabupaten tetangganya yang memiliki topografi lebih tinggi. Daerah sepanjang aliran sungai seringkali berpotensi menimbulkan genangan banjir ketika musim penghujan tiba. Hal ini dikarenakan kapasitas tampungan sungai yang tidak mampu menahan debit air yang begitu besar sehingga menyebabkan meluapnya air. Sebagian besar DAS di Kabupaten Pati memiliki morfologi berkelokkelok, ukuran yang bervariasi dan pendangkalan masih sering ditemui dengan pola aliran yang tidak teratur (BAPPEDA 2014). Genangan banjir diakibatkan oleh air sungai yang meluap karena curah hujan yang begitu tinggi sehingga mengisi ruang di sebelah kanan dan kiri sungai dikarenakan debit yang melebihi kapasitas tampungan, drainase daratan yang tidak bisa masuk karena keterbatasan kapasitas sungai dan mungkin juga karena pengaruh pendangkalan sungai. Bencana banjir selalu menimbulkan dampak buruk yang menyebabkan kerugian bagi manusia pada daerah yang dilanda. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir di antaranya kerusakan sarana prasarana fisik, kerugian material, kerusakan lingkungan, sampai terenggutnya jiwa. Selain hal itu, banjir juga menyebabkan timbulnya masalah baru seperti kemacetan, penyakit, dan sampah.

2 2 Mengingat begitu banyak permasalahan dan kerugian yang timbul akibat banjir, maka diperlukan suatu usaha mitigasi untuk meminimalisir dampak banjir itu sendiri. Menurut PP no. 64 tahun 2010, mitigasi bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Salah satu upaya mitigasi bencana banjir adalah dengan menyediakan informasi risiko bencana banjir agar masyarakat maupun pemerintah dapat lebih waspada sehingga dapat meminimalisir kerugian akibat banjir tersebut. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (BNPB 2012). Informasi risiko bencana banjir diwujudkan dalam sebuah peta tematik yang menyajikan informasi mengenai besarnya risiko secara kualitatif akibat bencana banjir. Dengan adanya peta ini diharapan dapat menjadi alternatif bahan pertimbangan dalam pengambilan langkah selanjutnya untuk perencanaan tata ruang dalam upaya menanggulangi banjir serta meminimalisir dampak kerugian akibat banjir secara efektif dan efisien. Data dan informasi yang diperlukan untuk pembuatan peta risiko bencana banjir, dapat diperoleh melalui survei terrestrial maupun dengan teknik penginderaan jauh. Tentu saja dalam kasus yang sama, pengambilan data menggunakan teknik survey terrestrial akan lebih banyak memakan waktu dibanding dengan menggunakan penginderaan jauh. Kabupaten Pati memiliki luas wilayah sebesar 150 ribu hektar, oleh sebab itu akan lebih menguntungkan apabila menggunakan penginderaan jauh (BAPPEDA 2014). penginderaan jauh untuk banjir telah banyak dilakukan, salah satunya adalah SIMBA (Sistem Informasi Mitigasi Bencana Alam) yang dikeluarkan oleh LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). Beberapa kegiatan mitigasi bencana banjir yang dilakukan oleh LAPAN memanfaatkan data DEM untuk analisa bahaya dan resiko banjir. Meskipun masih terdapat kesalahan (error) dan ketidakpastian (uncertainty) dari hasil yang diperoleh, akan tetapi masih dapat digunakan untuk analisa bahaya dan resiko banjir dalam

3 3 skala regional, provinsi, atau kabupaten dan memberikan gambaran yang cukup baik bagi perencanaan wilayah di kabupaten yang bersangkutan (Khomarudin dkk 2014). Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk upaya mitigasi bencana telah banyak dilakukan di tingkat pusat, akan tetapi masih dirasa kurang maksimal pada beberapa daerah seperti Kabupaten Pati. Data penginderaan jauh dapat diperoleh dengan mudah, bahkan sebagian data penginderaan jauh yang memiliki resolusi sedang, dapat diperoleh dengan gratis melalui internet, salah satunya adalah citra Landsat 8 dan citra SRTM. Oleh karena itu, data utama yang digunakan dalam proyek ini adalah citra Landsat 8 dan SRTM dengan diintegrasikan dengan data sekunder lain. I.2. Rumusan Masalah Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh resolusi sedang seperti citra Landsat 8 dan SRTM salah satunya adalah untuk pemetaan risiko bencana banjir dengan waktu yang cepat dan biaya yang murah, akan tetapi masih banyak daerah yang belum memanfaatkannya, salah satunya Kabupaten Pati. I.3. Tujuan Tujuan utama dilakukannya proyek ini adalah untuk pembuatan peta tematik risiko bencana banjir di Kabupaten Pati skala 1 : untuk mengetahui besarnya risiko banjir secara kualitatif. I.4. Manfaat Tersedianya peta yang menyediakan informasi risiko bencana banjir di Kabupaten Pati diharapkan dapat digunakan oleh masyarakat maupun pemerintah setempat untuk mengetahui besarnya risiko banjir di wilayahnya. Sehingga hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan untuk pengambilan langkah selanjutnya dalam upaya penanggulangan dan mitigasi banjir. I.5. Batasan Masalah Dalam proyek pemetaan risiko kerugian bencana banjir ini diberikan batasanbatasan sebagai berikut:

4 4 a. Banjir pada studi kasus ini diakibatkan oleh hujan lokal yang intensitasnya tinggi, banjir kiriman dari wilayah kabupaten tetangga yang topografinya lebih tinggi, dan banjir akibat jebolnya tanggul waduk yang tidak mampu menahan debit air hujan yang intensitasnya begitu tinggi. b. Kegiatan proyek pemetaan risiko bencana banjir ini dilaksanakan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kabupaten Pati terletak pada koordinat antara 6º 25-7º 00 LS dan antara 110º º 15 BT (BAPPEDA 2014). c. Peta risiko bencana banjir merupakan peta tematik yang berisikan informasi secara kualitatif besarnya risiko bencana banjir pada kawasan tertentu dan kurun waktu tertentu. Risiko dihitung berdasarkan faktor kerentanan, faktor ancaman bahaya, dan faktor kapasitas masyarakat. Dimana faktor kapasitas masyarakat diasumsikan rendah sehingga tidak diperhitungkan. d. Ancaman bahaya divisualisasikan menggunakan peta sebaran genangan banjir. Peta sebaran genangan banjir merupakan peta yang menggambarkan garis batas maksimum keterpaparan ancaman genangan banjir yang diperoleh dari pemodelan Tinggi Muka Air (TMA) saat banjir. Pemodelan dilakukan menggunakan intensitas ketinggian banjir tanpa melibatkan model hidrologi, seperti halnya SIMBA LAPAN. e. Pembentukan model sebaran genangan banjir dilakukan dengan mengabaikan beberapa faktor seperti infiltrasi tanah, landscape, struktur permukaan, serta drainase permukaan. f. Pembentukan model sebaran genangan banjir Kabupaten Pati terkendala akan ketersediaan dan tingkat akurasi data dari data sekunder yang dihimpun yaitu data Tinggi Muka Air (TMA) saat banjir dan data sejarah sebaran banjir, sehingga akan berakibat pada tingkat ketelitian peta sebaran genangan secara geometrik dengan kondisi sebenarnya dilapangan. g. Berbeda dengan Perka BNPB No.2 tahun 2012, tingkat klasifikasi peta ancaman bahaya banjir atau dalam hal ini adalah peta sebaran genangan banjir disederhanakan menjadi dua kelas yaitu kelas terancam bahaya dan tidak terancam bahaya. h. Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman

5 5 bencana. Kerentanan obyek yang terancam bencana dihitung berdasarkan kerentanan sosial, ekonomi, fisik, dan ekologi/lingkungan. Pada proyek ini dibatasi hanya menggunakan kerentanan ekonomi. i. Informasi risiko bencana banjir idealnya sampai tingkat desa/kelurahan. Pada kenyataannya tidak ada sumber yang baik tersedia untuk sampai tingkat desa, sehingga informasi desa dirangkum pada tingkat kecamatan sebelum disajikan dalam peta tematik. j. Pembuatan peta risiko bencana banjir idealnya menggunakan analisis pemetaan kombinasi lapisan GIS berbasis vektor dan raster, dimana data dasar disimpan dalam format vektor dan indeks masing-masing komponen dihasilkan dalam format raster grid. Pada proyek ini dilakukan sebaliknya, data dasar berupa raster dan indeks masing-masing komponen dihasilkan menggunakan analisis GIS berbasis vektor. I.6. Landasan Teori I.6.1. Bencana Banjir Berdasarkan PP No. 38 tahun 2011, banjir didefinisikan sebagai peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai. Bencana banjir besar kemungkinannya diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi. Menurut Yusuf (2005), banjir di daerah perkotaan dapat berasal dari air kiriman dari hulu yang meluap dari sungai induk dan dapat pula berasal dari hujan lokal, khususnya untuk daerah yang terletak di dataran rendah dekat pantai, selain itu dapat pula terjadi genangan banjir akibat pasang. Bencana banjir selalu menimbulkan dampak buruk yang menimbulkan kerugian bagi manusia pada daerah yang dilanda. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir antara lain seperti kerusakan sarana prasarana fisik, kerugian material, kerusakan lingkungan, sampai terenggutnya jiwa. I.6.2. Risiko Bencana Banjir Risiko bencana menurut UU RI No. 24 tahun 2007, didefinisikan sebagai potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta benda, dan gangguan

6 6 kegiatan masyarakat. Peta risiko bencana adalah gambaran tingkat risiko bencana suatu daerah secara spasial dan non spasial berdasarkan kajian risiko bencana suatu daerah (BNPB 2012). Berdasarkan metode penilaian perkiraan kerusakan dan kerugian akibat bencana yang dikeluarkan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), bencana hidrometereologi seperti banjir lebih banyak mengakibatkan kerugian daripada kerusakan (BPBD 2014). Kerusakan adalah dampak langsung yang dirasakan setelah terjadinya bencana yang mengakibatkan perlunya penggantian atau pembangunan untuk memulihkan kembali sesuatu fungsi. Sedangkan kerugian adalah suatu nilai baik materil maupun non-materil yang harus ditanggung akibat suatu kejadian bencana. Perhitungan risiko pada umumnya mempertimbangkan jenis dan besaran kerusakan ataupun kerugian. Parameter umum yang digunakan adalah biaya ekonomi, karena semua tipe kerugian dapat dikonversikan ke dalam biaya ekonomi (Purbawani 2010). Pengkajian risiko bencana merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang melanda. Potensi dampak negatif ini dilihat dari potensi jumlah jiwa yang terpapar, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan (BNPB 2012). Banyak ahli telah memformulasikan secara matematis rumus dari risiko total. Secara garis besar BNPB mengemukakan bahwa risiko dapat dihitung menggunakan pendekatan rumus sebagai berikut: R = H * V C...(I.1) dimana: R : Disaster Risk: Risiko Bencana H V : Hazard Threat: Frekuensi (kemungkinan) bencana tertentu cenderung terjadi dengan intensitas tertentu pada lokasi tertentu : Vulnerability: Kerentanan di daerah tertentu dalam sebuah kasus bencana tertentu terjadi dengan intensitas tertentu. Perhitungan variabel ini biasanya didefinisikan sebagai pajanan (penduduk, aset, dll) dikalikan sensitivitas untuk intensitas spesifik bencana.

7 7 C : Adaptive Capacity: Kapasitas yang tersedia di daerah itu untuk pulih dari bencana tertentu. Pendekatan rumus I.1 dipakai untuk memperlihatkan hubungan antara ancaman bahaya, kerentanan obyek yang terkena bencana, dan kapasitas masyarakat. Pada kasus banjir di Kabupaten Pati, faktor kapasitas diasumsikan memiliki nilai rendah sehingga tidak diperhitungkan. Pendekatan risiko bencana banjir selanjutnya dapat disederhanakan dan dinyatakan dengan fungsi berikut. Risiko Bencana Banjir = Ancaman Bahaya x Kerentanan...(I.2) Risiko sasuatu bencana pada suatu daerah dapat diperhitungkan berdasarkan sejarah bencana yang pernah terjadi di daerah tersebut. Indeks ancaman bahaya banjir dapat diperhitungkan dengan mengetahui sebaran daerah yang berpotensi tergenang banjir. Daerah potensi genangan banjir merupakan sebaran genangan banjir berdasarkan analisis data proses DEM (Digital Elevation Model) dan data lapangan. Sebaran daerah yang berpotensi tergenang diperoleh dengan memodelkan titik-titik ketinggian yang sama dengan tinggi muka air saat banjir di tempat tersebut. Tinggi muka air dapat disimulasikan berdasarkan sejarah kejadian banjir yang pernah terjadi. Faktor kerentanan pada dasarnya terbagi menjadi beberapa indeks yang meliputi indeks kerentanan sosial, kerentanan ekonomi, kerentanan fisik, dan kerentanan ekologi (lingkungan). Komposisi indikator kerentanan ditunjukkan pada Gambar I.1. Pada studi kasus ini, hanya dibatasi pada analisis risiko bencana banjir secara kualitatif berdasarkan pada kerentanan ekonomi akibat banjir.

8 8 Gambar I.1. Komposisi untuk analisis kerentanan bencana (BNPB 2012) Kerentanan ekonomi identik dengan besarnya kerugian secara ekonomi yang dialami oleh suatu daerah akibat suatu bencana. Komponen indeks kerugian dihitung berdasarkan nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) per sektor dan tutupan lahan. Secara garis besar, tutupan lahan sangat mempengaruhi besarnya kerentanan ekonomi bencana banjir (Yusuf 2005). Berdasarkan teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa besarnya risiko bencana banjir sangat bergantung pada ancaman genangan banjir dan tutupan lahan, yang diilustrasikan dengan pendekatan rumus I.3 berikut. Risiko Bencana Banjir = Luas Genangan Banjir x Tutupan Lahan...(I.3) Rumus I.3 tentunya hanya menggambarkan hubungan antara genangan banjir dan tutupan lahan terhadap risiko bencana banjir pada suatu daerah. Rumus ini tidak dapat disamakan dengan rumus matematika. Informasi hasil tumpang susun genangan banjir dan tutupan lahan digunakan untuk perhitungan indeks kerentanan ekonomi, dimana komponen dan indikator kerentanan ekonomi disajikan pada Tabel I.1. Luas lahan produktif dapat diperoleh dari peta tutupan lahan dan buku kabupaten atau kecamatan dalam angka dan dikonversi kedalam rupiah, sedangkan PDRB dapat diperoleh dari laporan sektor atau kabupaten dalam angka (BNPB 2012). Nilai rupiah hasil konversi luas lahan produktif dan PDRB digunakan untuk pemberian skor pada masing-masing komponen kerentanan ekonomi. Nilai rupiah tersebut tidak dapat disamakan dengan nilai estimasi kerugian ekonomi total akibat bencana banjir.

9 9 Tabel I.1. Komponen dan indikator indeks kerentanan ekonomi (BNPB 2012) No Komponen Kelas Rendah Sedang Tinggi Bobot Sumber 1. Lahan Produktif < Rp 50 juta Rp juta > Rp 200 juta 60 % Landuse, Kabupaten/ Kecamatan dalam Angka 2. Nilai PDRB/sektor < Rp 100 juta Rp juta > Rp 300 juta 40 % Laporan Sektor, Kabupaten dalam Angka Kerentanan Ekonomi = (0,6 * Skor Lahan Produktif) + (0,4 * Skor PDRB) I.6.3. Citra Satelit Landsat 8 Landsat Data Continuity Mission (LDCM) atau dikenal juga dengan nama Landsat 8 merupakan satelit generasi terbaru dari program Landsat. Satelit ini merupakan proyek gabungan antara USGS dan NASA beserta NASA Goddard Space Flight Center dan diluncurkan pada hari Senin, 11 Februari 2013 di Pangkalan Angkatan Udara Vandeberg, California, Amerika Serikat (USGS 2013). Karakteristik dari citra Landsat 8 untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel I.2. Tabel I.2. Karakteristik Landsat 8 Spesifikasi Landsat 8 (LDCM) Tinggi Orbit 705 km Jenis Orbit Inklinasi 98.2º (Sun-synchronous) OLI (Onboard Operational Land Sensor Imager) + TIRS (Thermal Infrared Sensor) Luas Liputan per scene 185 km x 185 km Resolusi Temporal 16 hari Periode Orbit 99 menit Kuantitas Data 16 bitt ( ) Sumber:

10 10 Satelit Landsat 8 dilengkapi dua sensor yang merupakan hasil pengembangan dari sensor yang terdapat pada satelit-satelit pada program Landsat sebelumnya. Kedua sensor tersebut yaitu Sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) yang terdiri dari 9 band serta Sensor Thermal InfraRed Sensors (TIRS) yang terdiri dari 2 band. Setiap band memiliki panjang gelombang dan kegunaan yang berbeda-beda, perbedaannya dapat dilihat pada Tabel I.3 berikut ini. Tabel I.3. Band Landsat 8 dan kegunaannya Band Panjang Gelombang Kegunaan Band 1 Coastal Aerosol Studi pesisir dan aerosol Band 2 Blue Pemetaan bathimetri, membedakan tanah dari vegetasi, dan daun gugur dari vegetasi yang berdaun duri. Band 3 Green Menekankan vegetasi puncak yang berguna untuk menilai kekuatan tanaman. Band 4 Red Membedakan kelerengan vegetasi. Band 5 Near Infrared Menekankan konten (NIR) biomassa dan garis pantai. Band 6 Short wave Membedakan kadar air Infrared (SWIR) 1 dari tanah dan vegetasi dan dapat menembus awan tipis. Band 7 Short wave Meningkatkan deteksi Infrared (SWIR) 2 kontaminasi awan cirrus. Band 8 Panchromatic Resolusi 15 meter, sharper image definition Band 9 Cirrus Meningkatkan deteksi

11 11 kontaminasi awan cirrus. Band 10 TIRS Resolusi 100 meter, thermal mapping dan mengestimasi kadar air pada tanah. Band 11 TIRS Resolusi 100 meter, thermal mapping dan mengestimasi kadar air di tanah. Sumber: I.6.4. SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) Shuttle Radar Topography Mission atau disingkat SRTM adalah suatu proyek gabungan antara National Imagery, Mapping Agency (NIMA) dan NASA yang bertujuan untuk pemetaan 3D seluruh dunia. Akuisisi data SRTM diambil pada pertengahan tahun 2000, dan sejak tahun 2002 data Digital Elevation Model (DEM) global SRTM telah beredar luas. Instrumen SRTM seperti ditunjukan pada gambar I.2 berisi modifikasi spaceborne Imaging radar-c (SIR-C) dan X-band Synthetic Aperture Radar (X-SAR) dengan perangkat keras sebuah tiang dari space station dan penambahan antenna untuk membentuk sebuah interferometer dengan panjang 60 meter (USGS 2003). Gambar I.2. Sistem instrumen SRTM (USGS 2003) Data SRTM diorganisasikan dalam sel yang dirasterisasi secara individual yang melingkupi tiap satu derajad demi satu derajad bujur dan lintang. Jenis data

12 12 SRTM berupa 1 arc second, 3 arc second, dan 30 arc second atau dapat juga disebut SRTM1, SRTM3 dan SRTM-GTOPO30. SRTM 1 arc second memiliki resolusi 30 meter sedangkan SRTM 3 arc second resolusinya 90 meter. Data SRTM 1 arc second Asia, Afrika, Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Australia mulai januari 2015 disediakan oleh USGS secara gratis di situs resmi USGS. SRTM 1 arc second tersebut merupakan versi 3 dari SRTM keluaran NASA yang telah dikoreksi voids-filled menggunakan data elevasi ASTER GDEM2, USGS Global Multiresolution Terrain Elevation Data (GDTED) 2010, dan USGS National Elevation Dataset (NED). Perbandingan resolusi data SRTM dapat dilihat pada Gambar I.3 berikut. SRTM1 SRTM3 SRTM-GTOPO30 Gambar I.3. Perbandingan resolusi SRTM Pengan data SRTM 1 arc second dalam pemetaan memang masih jarang. BAKOSURTANAL dalam Jurnal Ilmiah Geomatika tahun 2007, menyatakan bahwa untuk pembuatan peta skala 1 : data IFSAR ataupun SRTM 3 arc second tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan. Pada toleransi selisih ketinggian 35 meter ketelitian SRTM dan IFSAR sama. Pada proyek ini menggunakan data SRTM 1 arc second yang memiliki resolusi spasial 30 m, artinya dalam ukuran 30 m x 30 m (900 m 2 atau 0,09 Ha) dianggap sama ketinggiannya (Khomarudin dkk 2014). SRTM 1 arc second lebih teliti daripada SRTM 3 arc second sehingga dapat menghasilkan peta yang lebih detil. I.6.5. Model Elevasi Digital Digital Elevation Model (DEM) merupakan suatu model data raster yang terdiri dari himpunan piksel yang nilainya menunjukkan ketinggian atau elevasi dengan resolusi spasial tertentu (Munawar 2008). Setiap piksel selain menunjukkan nilai ketinggian, juga menunjukkan nilai koordinat X dan Y.

13 13 Digital Elevation Model (DEM) atau Model Elevasi Digital digunakan untuk menggambarkan bentuk relief permukaan bumi. Bentuk relief permukaan bumi divisualisasikan dalam bentuk tiga dimensi menyerupai keadaan yang sebenarnya. DEM sering digunakan unuk membantu dalam proses pemodelan dan analisis bentuk dan kejadian yang berada di permukaan bumi. Pada proyek ini, DEM diperoleh dari citra SRTM 1 arc second yang selanjutnya disebut DEM SRTM. Data DEM selanjutnya diproses dan dianalisis untuk mendapatkan simulasi area genangan banjir. I.6.6. Pengolahan Citra I Citra Komposit Warna. Citra komposit adalah penggabungan beberapa saluran data penginderaan jauh sehingga dihasilkan citra baru dengan kandungan informasi terintegrasi melalui proses penggabungan warna dari saluran-saluran data penginderaan jauh yang dikompositkan (Sari, Indriasari, & Pandansari 2012). Pembuatan citra komposit berguna untuk memperbaiki tampilan visual citra agar lebih mudah diinterpretasi kenampakan obyeknya. Citra komposit menghasilkan citra yang berwarna dengan cara mengkombinasikan beberapa band dalam data landsat 8. Komposit warna RGB adalah penggabungan tiga buah band yang berbeda dalam tiga warna primer yaitu merah (Red), Hijau (Green) dan Biru (Blue) (Sanjaya 2004). I Koreksi Radiometrik Koreksi radiometrik merupakan perbaikan kualitas citra karena adanya kesalahan pada sistem optik, kesalahan karena gangguan energi radiasi elektromagnetik pada atmosfer dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari (Purwadhi 2001). Kesalahan-kesalahan tersebut mengakibatkan nilai-nilai piksel tidak sesuai dengan nilai pantulan yang sebenarnya sehingga perlu diperbaiki atau dikoreksi. Koreksi radiometrik dimaksudkan untuk meningkatkan visibilitas citra sebelum citra diinterpretasi. I Koreksi Geometrik Koreksi geometrik adalah proses transformasi citra penginderaan jauh dari skala citra menjadi skala peta. Hasil dari proses transformasi adalah citra yang

14 14 memiliki skala dan sifat proyeksi yang sama dengan peta yang diacu (Djurdjani & Kartini 2004). Metode koreksi geometrik dikelompokkan menjadi dua yaitu metode parametrik dan non-parametrik. Koreksi geometrik dengan metode non-parametrik memerlukan titik kontrol tanah atau GCP (Ground Control Point). I Fusi Citra dan Sharpening Fusi citra atau disebut juga pansharpening citra digunakan secara otomatis untuk menggabungkan (fusi) citra warna atau multispektral dengan resolusi spasial yang rendah dengan citra pankromatik yang memiliki resolusi spasial yang tinggi. Fusi citra bertujuan untuk menghasilkan citra baru yang berwarna dan memiliki resolusi spasial yang tinggi. Metode ini dilakukan dengan cara melakukan resampling terhadap ukuran elemen citra (pixel) citra resolusi tinggi (Sitanggang 2008). Salah satu teknik dan metode fusi citra yang ada di software ENVI adalah metode HSV (Hue-Saturation-Value). Metode ini dilakukan dengan mentransformasikan citra dari ruang warna RGB (Red-Green-Blue) menjadi citra dengan ruang warna HSV, dengan cara menggantikan kanal nilai (Value-V) dengan citra resolusi spasial tinggi. Dengan melakukan hal tersebut, resampling secara otomatis mengubah kanal Hue (Hue-H) dan Saturasi (Saturation-S) menjadi ukuran elemen citra resolusi spasial tinggi dengan menggunakan teknik nearest neighbor, bilinear, atau cubic convolution (Sitanggang 2008). Selanjutnya citra yang dihasilkan ditransformasikan kembali ke ruang warna RGB untuk ditampilkan. I.6.7. Tutupan Lahan Penggunaan lahan adalah aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan untuk kepentingan hidupnya. Penggunaan lahan merupakan wujud nyata dari pengaruh aktivitas manusia terhadap sebagian fisik permukaan bumi. Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup lahan (land cover). Perbedaannya, istilah penggunaan lahan biasanya meliputi segala jenis kenampakan dan sudah dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, sedangkan penutup lahan mencakup segala jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi yang ada pada lahan tertentu. Akan tetapi untuk mendapatkan informasi penggunaan lahan di data penginderaan jauh harus didekati dengan

15 15 informasi penutup lahan. Arifin dan Hidayat (2014) menyatakan bahwa dimensi citra Landsat 8 dapat memberikan ketelitian untuk klasifikasi penutup lahan sampai skala 1: Dimana luas poligon hasil delineasi terkecil yang diperbolehkan dalam interpretasi visual adalah 2,5 Ha. I.6.8. Skema Klasifikasi Tutupan Lahan Skema adalah alur atau tahapan pelaksanaan suatu kegiatan sedangkan klasifikasi adalah penggolongan objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan kriteria tertentu (Kartini 1999). Pemilihan skema klasifikasi merupakan rencana untuk memilih kategori-kategori yang akan dipakai untuk mengelompokkan nilai piksel kedalam kelas-kelas tertentu. Ada berbagai macam skema klasifikasi penggunaan lahan yang bisa digunakan salah satunya adalah skema klasifikasi berdasarkan USGS (United States Geological Survey) yang ditunjukan pada Tabel 1.4 dibawah ini. Tabel I.4. Skema klasifikasi USGS (Kartini 1999) LEVEL I 1. Urban atau lahan terbangun 2. Lahan pertanian 3. Padang rumput 4. Lahan Hutan 5. Kawasan perairan 6. Daerah basah 7. Lahan terbuka LEVEL II 1.1 Permukiman 1.2 Kawasan komersial dan jasa. 1.3 Kawasan Industri. 1.4 Kawasan transportasi. 1.5 Komplek Industri dan komersial. 1.6 Urban campuran 1.7 Urban lainnya. 2.1 Tanaman Musiman 2.2 Perkebunan 2.3 Tanaman buah-buahan 2.4 Tanaman lainnya 3.1 Rumput-rumputan 3.2 Tanaman perdu 3.3 Lahan tanaman campuran 4.1 Hutan primer 4.2 Hutan sekunder 4.3 Hutan campuran 5.1 Aliran sungai dan kanal 5.2 Danau 5.3 DAS 6.1 Rawa berhutan 6.2 Rawa tak berhutan 7.1 Pantai 7.2 Kawasan pesisir 7.3 Batuan terbuka

16 16 8. Tundra 9. Kawasan salju dan es 7.4 Batuan terbuka sementara 7.5 Daerah tambang. 7.6 Kawasan transisi 7.7 Kawasan terbuka lainnya 8.1 Tundra dengan semak belukar 8.2 Tundra yang ditutup rerumputan 8.3 Tundra terbuka 8.4 Tundra campuran 9.1 Kawasan salju abadi 9.2 Glaciers Skema klasifikasi yang dikeluarkan USGS pada umumnya merupakan skema yang sangat detil. Oleh karena itu, untuk dapat memanfaatkannya sesuai dengan studi kasus yang dikaji, skema tersebut perlu modifikasi, dimana modifikasinya dijelaskan pada bab pelaksanaan. I.6.9. Klasifikasi Visual Klasifikasi data adalah suatu proses dimana semua pixel dari suatu citra yang mempunyai penampakan spektral yang sama akan diidentifikasikan. Klasifikasi citra visual dapat didefinisikan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya. Teknik penafsiran atau klasifikasi citra penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan komponen penafsiran yang meliputi: data acuan, kunci interpretasi citra, metode pengkajian dan penerapan konsep multi spektral (Sutanto 1994). Prinsip kunci interpretasi obyek pada citra adalah dengan menyelidiki karakteristik obyek yang terdapat pada obyek. Karakteristik obyek yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali obyek dapat disebut juga unsur-unsur interpretasi citra. Terdapat 8 unsur interpretasi citra, yaitu sebagai berikut. 1. Rona, merupakan tingkatan gelap terangnya citra berdasarkan proporsi spektrum elektromagnetik yang datang dari obyek dan ditangkap oleh sensor. 2. Ukuran, merupakan satuan dimensi berupa panjang, tinggi, luas, kemiringan, dan volume dari suatu obyek.

17 17 3. Bentuk, merupakan karakteristik yang dimiliki oleh suatu obyek yang mencirikan detil obyek tersebut. Sebagai contoh obyek yang berbentuk teratur pada umumnya merupakan buatan manusia. Sedangkan obyek yang bentuknya tidak teratur merupakan obyek alami. 4. Tekstur, merupakan frekuensi perubahan rona pada citra yang menimbulkan efek kasar atau halus pada suatu obyek. 5. Pola, merupakan susunan keruangan dari suatu obyek. 6. Lokasi, merupakan posisi suatu obyek yang berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. 7. Bayangan, merupakan daerah gelap yang terbentuk akibat tertutupi oleh obyek itu sendiri maupun obyek lain. Bayangan biasanya berkaitan dengan tinggi suatu obyek. 8. Asosiasi, merupakan hubungan keterkaitan antara obyek satu dengan obyek yang lainnya. Keterkaitan inilah yang mengakibatkan tidak jarang suatu obyek dijadikan dasar untuk menginterpretasi obyek yang lainnya. I Uji Ketelitian Klasifikasi Sangat penting mengetahui seberapa ketelitian hasil klasifikasi sebelum hasil klasifikasi tersebut dianalisis lebih lanjut (Sutanto 1994). Ketelitian hasil klasifikasi menentukan apakah hasil klasifikasi digital sesuai dengan kondisi daerah sebenarnya. Uji ketelitian membutuhkan data sumber untuk untuk membandingkan hasil klasifikasi. Data pembanding yang bisa digunakan antara lain adalah citra google earth pada daerah penelitian. Pengujian ketelitian hasil klasifikasi dilakukan menggunakan matrik konfusi. Dimana didalamnya merupakan derivasi dari penjumlahan omisi, komisi dan keseluruhan ketelitian klasifikasi. Omisi adalah jumlah kesalahan pendefinisian obyek X dibagi dengan jumlah seluruh obyek yang diinterpretasi. Komisi adalah jumlah obyek lain yang diinterpretasikan sebagai obyek X dibagi dengan seluruh obyek yang diinterpretasi. Contoh perhitungan uji ketelitian dengan matrik konfusi disajikan pada Tabel I.5 sebagai berikut.

18 18 Tabel I.5. Contoh perhitungan uji ketelitian (Widiastuti 2013) Photo or ground classes Landsat Classes Corn Soybean Forest Other Total Omission Commision Map Accuracy Corn Soybean Forest Other Total = 42% 7 32 = 22% = 50% = 21% = 18% = 17% = 23% = 6% = 11% = 68% = 67% = 84% Overall Landsat Accuracy = I Sistem Informasi Geografis 100% = 83% Sistem Informasi Geografis merupakan suatu sistem berbasis komputer yang memiliki kemampuan dalam menangani data bereferensi geografi yaitu masukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), memanipulasi dan analisis data, serta keluaran sebagai hasil akhir (Aronoff 1989). SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi. I Vektorisasi Transformasi format raster menjadi vektor digunakan untuk mengkonversi citra yang berbentuk raster ke format vektor. Metode ini juga biasanya digunakan untuk klasifikasi citra ke dalam poligon-poligon dalam vektor dengan metode digitasi atau delineasi. Proses digitasi yang dilakukan di layar komputer biasa disebut digitasi on screen. Transformasi raster ke vektor diilustrasikan pada Gambar I.4 berikut.

19 19 Sumber: Bolstad, P. GIS Fundamentals: A First Text on Geographic Information System, 2002 I Editing Gambar I.4. Transformasi raster ke vektor Editing adalah suatu proses perbaikan kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada saat digitasi (Bakosurtanal 1989). Proses editing biasanya memperhatikan kaidah-kaidah topologi yang diterapkan. Topologi adalah pendefinisian secara matematis yang menerangkan hubungan relatif antara objek yang satu dengan objek yang lain. Dalam SIG topologi didefinisikan oleh user sesuai dengan karakteristik data seperti garis, poligon maupun titik. Setiap karakteristik data tertentu mempunyai aturan topologi tertentu (Ostip 2014). I Labelling Labelling atau disebut juga attributing merupakan proses pemberian keterangan rinci dari suatu obyek yang telah kita buat. Misalnya saja kita telah membuat layer sungai, maka didalam atributnya dapat kita tambahkan item dalam databasenya yang bisa digunakan untuk menyimpan informasi tentang nama sungai, lokasi administrative sungai, dan lain sebagainya (Kuncoro 2007). I Sistem Proyeksi Pendefinisian sistem proyeksi adalah hal yang wajib dilakukan sebelum melakukan proses analisis SIG. Transformasi sistem proyeksi berfungsi untuk mengubah sistem proyeksi suatu peta ke dalam sistem proyeksi yang lainnya, misalnya dari TM3 ke UTM ataupun sebaliknya (Kuncoro 2007).

20 20 I Skoring Skoring adalah pemberian nilai pada masing-masing komponen yang akan dilakukan proses overlay atau tumpang susun peta. Komponen yang akan diberikan skor adalah komponen-komponen penentu risiko bencana banjir. Komponen tersebut adalah komponen kerentanan ekonomi obyek terdampak banjir yang diperoleh dari peta tutupan lahan dan komponen ancaman yaitu sebaran daerah genangan banjir seperti ditunjukkan pada rumus (I.3). Indikator yang digunakan untuk kerentanan ekonomi adalah luas lahan produktif dalam rupiah dan PDRB. Luas lahan produktif dapat diperoleh dari peta tutupan lahan dan buku kabupaten atau kecamatan dalam angka dan dikonversi kedalam rupiah, sedangkan PDRB dapat diperoleh dari laporan sektor atau kabupaten dalam angka (BNPB 2012). Pemberian skor/harkat dilakukan berdasarkan kelas dari masing-masing komponen. Besarnya intensitas kerentanan terhadap risiko kerugian ekonomi akibat banjir ditampilkan pada Tabel I.6, sedangkan besarnya intensitas ancaman bencana banjir ditampilkan pada Tabel I.7. Pengklasifikasian kerentanan kerugian ekonomi dan ancaman bencana banjir menggunakan standart dari Perka BNPB No 2 tahun 2012 dengan modifikasi disesuaikan dengan daerah proyek dan tujuan proyek. Tabel I.6. Klasifikasi kerentanan ekonomi Kelas No Komponen Bobot Skor Rendah Sedang Tinggi 1. Lahan < Rp 500 M Rp 500 M - > Rp 1 T 60 % Kelas/ Produktif 1 T Nilai 2. Nilai < Rp 100 juta Rp > Rp % Max PDRB/sektor juta juta Kelas penggunaan lahan Sumber : Perka BNPB dengan modifikasi. Klasifikasi kerentanan kerugian ekonomi akibat bencana banjir diklasifikasikan atas dasar luas lahan produktif dan nilai PDRB. Luas lahan produktif diperoleh dari

21 21 peta tutupan lahan, laporan sektor, ataupun kabupaten dalam angka yang selanjutnya dikonversi kedalam rupiah (BNPB 2012). Sedangkan komponen ancaman bencana diklasifikasikan kedalam dua kelas saja yaitu kelas tidak ada ancaman dan ada ancaman, dikarenakan tidak diketahuinya ketinggian secara detil dari banjir yang melanda di Kabupaten Pati. Tabel I.7. Klasifikasi ancaman bencana banjir No Ancaman Banjir Kelas Bobot Skor Sumber Tidak Ada Tidak Analisis 1. 0 Ancaman Tergenang 100 % DEM 3. Ada Ancaman Tergenang 1 SRTM Sumber : Perka BNPB dengan modifikasi I Overlay Peta Overlay merupakan metode yang digunakan untuk menumpang susunkan beberapa informasi atau peta sehingga dapat diperoleh peta atau informasi baru. Syarat overlay adalah daerah atau lokasi harus sama, diikat dengan suatu sistem koordinat yang sama, terdiri dari beberapa variabel, dan menggunakan kriteria khusus yang akan menghasilkan data turunan (Kuncoro 2007). Operasi overlay dapat berupa integrasi overlay berbasis vektor dan berbasis raster, seperti ditunjukkan pada Gambar I.5. Sumber: Gambar I.5. Overlay berbasis vektor dan raster Operasi overlay digunakan untuk analisis dan pemrosesan data spasial, penggunaan fungsi overlay disesuaikan terhadap kebutuhan dan tujuan analisisnya. Beberapa fungsi overlay berbasis vektor poligon ditunjukkan pada Gambar I.6.

22 22 Sumber : Gambar I.6. Jenis-jenis operasi overlay berbasis vektor poligon Pada proyek ini, pemrosesan dan analisis data spasial menggunakan operasi overlay berbasis vektor. Fungsi analisis yang digunakan adalah intersect. Penggunaan fungsi intersect dilakukan untuk mendapatkan atribut yang saling bertampalan dari kedua sumber peta yang ditampalkan. Hasil intersection merupakan perpotongan dari dua area peta yang memiliki kesamaan karakteristik dan kriteria.

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission A. Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa,

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan sebuah fenomena yang dapat dijelaskan sebagai volume air yang masuk ke sebuah kawasan tertentu yang sangat lebih tinggi dari pada biasa, termasuk genangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat Rully Sasmitha dan Nurlina Abstrak: Telah dilakukan penelitian untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep)

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep) Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten ) Arfina 1. Paharuddin 2. Sakka 3 Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Unhas Sari Pada penelitian ini telah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan pada suatu negara dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas dari pemerintahan suatu negara. Pembangunan wilayah pada suatu negara dapat

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Definisi banjir ialah aliran air sungai yang tingginya melebih muka air normal, sehinga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

Analisis Spasial untuk Menentukan Zona Risiko Banjir Bandang (Studi Kasus: Kabupaten Sinjai)

Analisis Spasial untuk Menentukan Zona Risiko Banjir Bandang (Studi Kasus: Kabupaten Sinjai) Analisis Spasial untuk Menentukan Zona Risiko Banjir Bandang (Studi Kasus: Kabupaten ) Risma, Paharuddin, Sakka Program Studi Geofisika Jurusan Fisika FMIPA Unhas risma.fahrizal@gmail.com Sari Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.1 Tabel 1.1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.1 Tabel 1.1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) merupakan bagian dari Provinsi Maluku yang sebagian besar terletak di Pulau Seram yang secara geografis terletak pada 1 19'-7 16'

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN DEM (Digital Elevation Model) Wilayah Penelitian Proses interpolasi beberapa data titik tinggi yang diekstraksi dari berbagai sumber dengan menggunakan metode semivariogram tipe ordinary

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penyusunan penelitian ini dilakukan dengan menentukan tingkat bahaya banjir yang kemudian dilanjutkan dengan menentukan tingkat kerentanan wilayah terhadap

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali  address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung ISSN 0216-8138 73 SIMULASI FUSI CITRA IKONOS-2 PANKROMATIK DENGAN LANDSAT-7 MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN METODE PAN-SHARPEN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS CITRA DALAM UPAYA PEMANTAUAN KAWASAN HIJAU (Studi Kasus

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008 PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri, S.Pd. M.Si ABSTRAK Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996).

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996). 5 TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Oleh : Linda Ardi Oktareni Pembimbing : Prof. DR. Ir Bangun M.S. DEA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto (1988), metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Data yang dikumpulkan bisa berupa

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*)

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*) PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri*) Abstrak Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana ini tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian berada di kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Lhoknga mempunyai 4 (empat)

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini dirumuskan dengan menentukan tingkat bahaya banjir kemudian menentukan kerentanan wilayah terhadap bencana banjir. Penentuan kelas kerentanan

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau)

Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) A758 Studi Akurasi Citra Landsat 8 dan Citra MODIS untuk Pemetaan Area Terbakar (Studi Kasus: Provinsi Riau) Agita Setya Herwanda, Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian dan Scene Data Satelit Lokasi penelitian ini difokuskan di pantai yang berada di pulau-pulau terluar NKRI yang berada di wilayah Provinsi Riau. Pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan pembangunan membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan lingkungan di sekitarnya. Kegiatan pembangunan meningkatkan kebutuhan manusia akan lahan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 JUDUL KEGIATAN: PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGITAS PEMANFAATAN DATA INDERAJA UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI KUALITAS DANAU BAGI KESESUAIAN BUDIDAYA PERIKANAN DARAT

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH YANG BEBAS DIUNDUH UNTUK MENDAPATKAN BEBERAPA PARAMETER LAHAN. T.M. Basuki & N. Wahyuningrum BPTKPDAS

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH YANG BEBAS DIUNDUH UNTUK MENDAPATKAN BEBERAPA PARAMETER LAHAN. T.M. Basuki & N. Wahyuningrum BPTKPDAS PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH YANG BEBAS DIUNDUH UNTUK MENDAPATKAN BEBERAPA PARAMETER LAHAN T.M. Basuki & N. Wahyuningrum BPTKPDAS 1. PENDAHULUAN Penutupan lahan dan lereng penting dalam monev kinerja

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi lanskap merupakan suatu bagian dari ilmu ekologi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi lanskap merupakan suatu bagian dari ilmu ekologi yang TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Lanskap Ekologi lanskap merupakan suatu bagian dari ilmu ekologi yang mempelajari bagaimana struktur lanskap mempengaruh kelimpahan dan distribusi organisme. Ekologi lanskap juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Gerakan konstan air dan perubahan dalam keadaan fisik di planet ini disebut siklus air, juga dikenal sebagai sifat kincir air, atau siklus hidrologi. Kata Siklus

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2009 sampai Januari 2010 yang berlokasi di wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Analisis data dilaksanakan

Lebih terperinci