BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi bencana, baik gempa bumi, longsor, tsunami, puting beliung dll. Bencana yang terjadi di Indonesia banyak disebabkan oleh beberapa faktor dan faktor yang paling mempengaruhi ialah keadaan topografi di Indonesia, termasuk pola pergerakan angin puting beliung. Angin puting beliung merupakan bencana yang dapat diprediksi, walaupun demikian lokasi kejadiannya masih menjadi teka-teki yang harus dipecahkan. Menurut Nugroho Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana( BNPB ) (2012) angin puting beliung sangatlah susah terdeteksi oleh satelit, cakupan terjangan hanya mencapai 2 km dan durasi waktunya kurang dari 10 menit, sehingga petugas tidak dapat mengetahuinya. BNPB (2012) menyebutkan pada tahun 2002, bencana angin puting beliung hanya terjadi 14 kali. Kemudian pada tahun 2006, naik menjadi 84 kejadian. Tahun 2010 ada 402 kali kejadian.tahun 2011, turun hingga hanya ada 285 kejadian. Pada tahun 2012 kembali meningkat menjadi 295 kejadian. Sedangkan dalam kurun waktu februari-maret 2013, paling sedikit ada 77 kejadian yang ditimbulkan oleh angin puting beliung.kejadian-kejadian ini memberikan gambaran bahwa sebagian besar wilayah di Indonesia terancam bencana angin puting beliung, baik skala lokal, regional maupun global. Kerusakan yang diakibatkan oleh angin puting beliung sangat besar, terutama pada bangunan, pohon-pohon besar menjadi tumbang, jatuhnya papan reklame, rusaknya jembatan, hingga kehilangan harta dan jiwa. Per tahun 2012, BNPB menginformasikan bahwa tercatat 36 orang meninggal, orang mengungsi, rumah rusak berat, rumah rusak sedang, dan

2 rumah rusak ringan. Sejalan dengan informasi ini dapat diketahui bahwa skala kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana angin puting beliung sangat besar. Berdasarkan data tersebut dampak yang paling besar ditimbulkan ialah dampak terhadap rumah warga, yang tercatat hingga rumah warga yang mengalami kerusakan ringan hingga berat. Perkembangan permukiman yang dibangun tanpa memperlihatkan standar serta kualitas dapat mengakibatkan bangunan tersebut tidak mampu menahan terjangan angin kencang dan kuat seperti puting beliung. Kabupaten Sragen merupakan kabupaten yang tercatat paling sering mengalami bencana puting beliung dibandingkan dengan kabupaten yang termasuk dalam SuBoSuKoWonoSraTen. Jumlah kejadian bencana angin puting beliung dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Kejadian Puting Beliung Di SuBoSuKoWonoSraTen Tahun No. Kabupaten Boyolali Karanganyar Klaten Sragen Sukoharjo Wonogiri Surakarta tidak tercatat tidak tercatat tidak tercatat tidak tercatat Sumber : BPBD SuBoSuKoWonoSraTen Tahun Berdasarkan Tabel 1, menunjukan bahwa kejadian bencana angin puting beliung yang terjadi di daerah SuBoSuKoWonoSraTen tercatat paling banyak diterjang oleh angin puting beliung adalah Kabupaten Sragen dari tahun 2010 hingga Hampir semua kecamatan yang terdapat di Kabupaten Sragen dari tahun pernah diterjang angin puting beliung. Kecamatan Tanon merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Sragen, dan kecamtan ini 2

3 merupakan kecamatan yang tercatat paling banyak mengalami bencana angin puting beliung dapat dilihat pada Tebel 2 di bawah ini. Tabel 2. Jumlah Kejadian Bencana Angin Puting Beliung Di Kabupaten Sragen Tahun No Kecamatan Jumlah Kejadian 1 Sumbirejo 2 2 Gondang 2 3 Sambung Macan 1 4 Jenar 2 5 Tangen 3 6 Ngrampal 5 7 Karangmalang 4 8 Kedawung 3 9 Sragen 3 10 Gesi 2 11 Sidoharjo 1 12 Masaran 0 13 Plupuh 4 14 Tanon Sukadane 0 16 Mondokan 5 17 Sumberlawang 2 18 Gemolong 2 19 Kalijambe 3 20 Miri 3 Sumber: BPBD Kabupaten Sragen Berdasarkan kejadian tersebut, bencana angin puting beliung juga menimbulkan kerugian di Kabupaten Sragen.Lihat Tabel 3 di bawah ini. 3

4 Tabel 3. Kerugian yang Ditimbulkan Akibat Terjangan Angin Puting Beliung Di SuBoWonoSraTen Tahun NO. Kabupaten Kerugian Rumah Pohon Korban Jiwa 1 Boyolali Karanganyar Klaten Sragen Sukoharjo Wonogiri Surakarta Tidak Tercatat Tidak Tercatat Tidak Tercatat Sumber : BPBD SuBoSuKoWonoSraTen Tahun 2013 Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa kerugian yang tercatat paling besar merupakan kerusakan rumah warga atas kejadian bencana puting beliung, meskipun demikian bencana ini bukan termasuk bencana yang mematikan di Indonesia, karena tercatat pada Tabel 3 tidak terdapat jumlah korban jiwa, meskipun demikian bencana puting beliung harus diantisipasi oleh masyarakat. Berdasarkan latar belakang di daerah penelitian, maka penulis mengambil judul Analisis Kerentanan Bangunan Terhadap Bencana Angin Puting Beliung Di Kecamatan Tanon Kabupaten Sragen 2. Perumusan Masalah Kabupaten Sragen merupakan salah satu kabupaten yang tercatat banyak mengalami bencana putting beliung bila dibandingkan dengan kabupaten yang terdapat di kelompok SuBoSuKoWonoSraTen dari tahun 2010 hingga Berdasarkan latar belakang di atas maka merumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana zona kecepatan angin berdasarkan skala Fujita di Kecamatan Tanon? 4

5 2. Bagaimana agihan kerentanan bangunan terhadap bencana angin puting beliung di Kecamatan Tanon? 3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas maka, tujuan penelitian ini yaitu : 1. Mengetahui zona kecepatan angin berdasarkan skala Fujita dengan menggunakan prediksi tingkat kerusakan bangunan akibat terjangan angin puting beliung ( angin kencang ) di Kecamatan Tanon 2. Mengetahui agihan kerentanan bangunan terhadap bencana angin puting beliung di Kecamatan Tanon 3. Menganalisis kerentanan bangunan terhadap zona kecepatan angin di Kecamatan Tanon 4. Menganalisis kerentanan bangunan terhadap kerusakan bangunan yang pernah terjadi akibat terjangan angin puting beliung di Kecamatan Tanon 4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk : 1. Memenuhi tugas akhir skripsi sebagai mahasiswa Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta 2. Menambah refrensi tentang bencana angin puting beliung bagi orang lain dan instansi yang terkait 5. Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya 5.1. Telaah Pustaka Nurlambang, dkk., ( 2013 ) mengatakan bahwa proses terjadinya angin puting beliung terjadi secara singkat dan cepat, sehingga sulit untuk diprediksi kapan dan di mananya. 5

6 BMKG ( 2013 ) menyatakan bahwa terdapat beberapa karakteristik yang ditimbulkan oleh angin puting beliung, dan karakteristik tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Karakteristik Angin Puting Beliung Kriteria Tanda Kejadian Daerah Di darat Tumbuhnya Durasi Waktu 3 hingga 5 menit Dapat menghancurkan rumah, Sifat Destruktif pohon tumbang dan menelan korban jiwa Sumber: BMKG Eddy Hermanto ( 2007 ) menyatakan bahwa akibat yang dihasilkan oleh kehadiran puting beliung dapat berupa akibat langsung, yaitu melayangnya benda padat, robohnya bangunan (rumah, ibadah, menara, dan antena), pagar tembok, bangunan terkena petir, tanaman dengan tajuk yang lebar karena tanpa perawatan, korban manusia akibat terkena benda terbang atau bahkan terbang-jatuhnya manusia yang tidak sempat berlindung. Tutik Winarsih (2010) menyebutkan bahwa kerusakan bangunan dapat dipengaruhi oleh angin, Faktor anginangin kencang sering mengakibatkan kerusakan pada bangunan. Angin akan dapat mengakibatkan daya hisap ataupun daya tekan pada bangunan. Angin kencang telah mengakibatkan kerusakan pada ribuan rumah atau bangunan, yang pada umumnya diakibatkan oleh usia bangunan yang sudah tua atau kurang sempurnanya sistem konstruksi yang digunakan. Begitu halnya dengan Eddy Hermanto ( 2007 ) menyampaikan bahwa bangunan/gedung yang rusak, secara empirik kebanyakan berupa bangunan tua atau bangunan baru tapi terdapat kesalahan struktur-konstruksinya, atau komponen bangunan diterapkan secara salah. 6

7 Menurut INSIST, Yogyakarta ( 2011 ) mengukur kekuatan dan dampak puting beliung dapat menggunakan skala Fujita, skala tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Skala Fujita Kategori Kecepatan Angin Tingkat Kerusakan F0 ( Lemah ) Km/Jam ( mph ) Kerusakan pada atap rumah F1 ( Sedang ) Km/Jam ( mph ) Atap rumah terangkat F2 ( Kuat ) Km/Jam ( mph ) Atap rumah terangkat dengan semua kuda-kudanya F3 ( Sangat Kuat ) Km/Jam ( mph ) Atap dan dinding rumah hancur, pecah dan lepas dari rangka dasarnya F4 ( Dahsyat ) Km/Jam ( mph ) Rumah beton rata tanah, bangunan berpondasi kurang kuat terlempar jauh F5 ( Luar Biasa ) Km/Jam ( mph ) Pondasi paling kuat sekalipun terangkat dan bergeser Sumber : INSIST Yogyakarta ( 2011 ) 5.2. Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang kerentanan bangunan terhadap angin puting beliung memang sangat sedikit diteliti di Indonesia, akan tetapi terdapat beberapa penelitian yang dapat menjadi landasan penelitian kedepannya. 1. Sarif Hidayat ( 2013 ) Penelitian Srafif Hidayat berjudul Kajian Bencana Putting Beliung Dengan Digital Geomorphology Model Di SuBoWonoSraTen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey dan analisis data. Bertujuan untuk mengetahui pola gerakan angin dan zona kerawanan di daerah penelitian. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini berupa arah gerakan angin yang dipengaruhi keadaan geomorfologi serta zona kerawanan bencana angin puting beliung menggunakan Buffer. 7

8 2. Eni Murlina ( 2012 ) Penelitian Eni Murlina berjudul Prediksi Puting Beliung Di Kabupaten Maros. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis data sekunder. Tujuan penelitian untuk memodelkan kondisi-kondisi meteorologist. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah model karakteristik angin puting beliung. Untuk melihat perbedaan penelitian sebelumnya maka dapat dilihat pada Tabel 7. Di bawah ini : Tabel 6. Perbandingan Penelitian Sebelumnya Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil Kajian Bencana Putting Beliung mengetahui pola survey Dengan Digital gerakan angin dan zona dan Geomorphology kerawanan di daerah analisis Model Di penelitian data SuBoWonoSraTen Sarif Hidayat ( 2013 ) Eni Murlina ( 2012 ) Kusuma Prayoga Basuki Putra ( 2014 ) Prediksi Puting Beliung Di Kabupaten Maros Analisis Kerentanan Jenis Bangunan Terhadap Bencana Angin Puting Beliung Di Kecamatan Tanon Kabupaten Sragen memodelkan kondisikondisi meteorologist Mengetahui agihan kerentanan bangunan, mengetahui zona kecepatan angin berdasarkan skala Fujita di Kecamatan Tanon, analisis kerentanan bangunan berdasarkan zona kecepatan angin dan analisis kerentanan bangunan terhadap kerusakan bangunan yang pernah terjadi analisis data sekunder survey dan analisis data Arah gerakan angin yang dipengaruhi keadaan geomorfologi serta zona kerawanan bencana angin puting beliung menggunakan Buffer model karakteristik angin puting beliung 8

9 6. Kerangka Penelitian Angin puting beliung merupaka bencana yang dapat diprediksi, akan tetapi lokasi kejadiannya masih menjadi teka teki untuk dipecahkan. Bencana ini juga merupakan bencana yang dapat merusak dan merugikan baik kerugian materi maupun non materi. Kerugian materi meliputi kerusakan rumah, pohon tumbang dll yang ada kaitannya tentang materi, serta kerusakan non materi berupa korban jiwa hingga korban luka. Akibat bencana ini kerusakan yang paling besar ialah kerusakan pada bangunan atau rumah warga dari kerusakan ringan hingga berat. Kabupaten Sragen merupakan kabupaten yang tercatat sering mengalami bencana angin puting beliung diantara kabupaten yang termasuk di dalam kelompok SuBoSuKoWonoSraTen, hal ini dapat menimbulkan kerusakan rumah. Berdasarkan data yang tercatat oleh BPBD SuBoSuKoWonoSraTen kerusakan rumah dapat dilihat pada tabel 3. Kecamatan Tanon merupakan kecamtan yang paling banyak mengalami terjangan angin puting beliung dari kecamtan yang berada di Kabupaten Sragen, hal ini dapat dilihat pada tabel 2. Struktur bangunan dapat mempengaruhi kerentanan bangunan, struktur tersebut antara lain : 1. Bagian atap, terdiri seng, asbes, genteng dan cor 2. Bagian badan/tengah, terdiri kayu, tembok tanpa tulang dan tembok bertulang 3. Bagian pondasi, terdiri tanpa pondasi dan berpondasi Untuk mengetahui seberapa besar kecepatan terjangan angin puting beliung di Kecamatan Tanon, dapat diprediksi berdasarkan informasi kerusakan bangunan yang diterjang angin puting beliung berdasarkan skala Fujita. Setelah itu, dapat dilakukan analisis kerentanan bangunan terhadap zona kecepatan angin putting beliung dan analisis kerentanan bangunan terhadap kerusakan bangunan yang pernah terjadi di Kecamatan Tanon. 9

10 7. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian berupa survei yang menggunakan data primer meliputi kegiatan pengamatan, pencatatan dan pengambilan titik sampel, serta menggunakan data sekunder sebagai informasi lokasi kejadian bencana puting beliung. Pengambilan sampel dengan metode sistematis sampling berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah diberi nomer urut dan juga menggunakan metode purposive sampling berdasarkan informasi penduduk. Metode sistematis sampling digunakan untuk pengambilan data jenis bangunan dan kerentanan bangunan terhadap terjangan angin puting beliung, sedangkan penentuan tingkat kerentanan diperoleh dari variabel yang terdapat pada masing-masing indikator bangunan. metode purposive sampling digunakan untuk pengambilan data kerusakan bangunan pada desa yang tercatat terkena bencana angin puting beliung. Analisis yang digunakan berupa analisis data dari hasil skoring, Overlay peta dan interpolasi menggunakan Natural naighbor Alat dan Bahan Penelitian ini memerlukan alatberupa : 1. GPS ( Global Position System ) Garmin sebagai alat untuk pengambilan titik sampel 2. Komputer/laptop RAM 500 GB, Memory Internal 2 GB, CPU intel Core 3 3. Software Pemetaan ( ArcMap10.2, Map Source, Agisoft Photoscan Profesional ) 4. Kamera 5. Alat tulis 6. Dan alat pendukung lainnya Penelitian ini memerlukan bahan berupa: Data Primer 1. Survey Struktur bangunan di Kecamatan Tanon, Sragen 10

11 2. Tingkat kerusakan bangunan di Kecamatan Tanon, Sragen Data Sekunder 1. Peta kejadian bencana puting beliung di Kabupaten Sragen sebagai penentuan lokasi pengambilan sampel 2. Peta RBI ( Batas administrasi, jaringan jalan, jaringan sungai, data blok permukiman ) 3. Citra quickbird waktu perekaman 2010 daerah Kabupaten Sragen sumber: Google Earth 7.2. Penentuan Lokasi Sampel dan Menentukan Pemilihan Sampel Dalam penelitian ini menggunakan dua metode pengambilan sampel yaitu sistematis sampling untuk pengambilan data jenis bangunan serta kerentanan bangunan, dan purposive sampling untuk melakukan pengambilan data tingkat kerusakan bangunan berdasarkan skala Fujita. Dalam penelitian ini menggunakan unit analisis berupa kelurahan, sehingga sebelum melakukan pengambilan sampel langkah pertama ialah memunculkan data RBI permukiman pada daerah penelitian, setelah itu menampilkan citra daerah pemukiman yang kemudian melakukan digitasi bangunan yang pada peta RBI belum terdapat bangunan. Setelah itu hasil digitasi dan RBI permukiman diberi nomer sampel untuk nantinya menentukan sampel yang akan dipilih. Pada pengambilan sampel kerentanan bangunan maka langkah setelah membatasi menampilkan RBI permukiman dan digitasi bangunan, maka langkah berikutnya memberikan nomer populasi bangunan yang terdapat pada tiap blok permukiman hasil digitasi, setelah itu memilih nomer populasi bangunan yang memiliki kelipatan bilangan dua untuk dijadikan sampel, sedangkan untuk menemukan data berupa tingkat kerusakan bangunan dapat bertanya kepada warga sekitar tentang bangunan mana saja yang pernah rusak akibat terjangan angin puting beliung karena untuk mencari data kerusakan bangunan menggunakan metode purposive sampling. 11

12 7.3. Data Penelitian Pada penelitian ini diperlukan data primer dan data sekunder untuk berlangsungnya penelitian.data primer dalam penelitian ini meliputi data lokasi sampel bangunan, kerusakan bangunan dan kerentanan bangunan, sedangkan data sekunder berupa lokasi kejadian bencana puting beliung. Tabel 7. Macam data dan sumber data No. Data Sumber Data Fungsi 1 Lokasi kejadian puting beliung BPBD Kabupaten Sragen Penentuan lokasi pengambilan sampel 2 Tingkat kerentanan bangunan Pengamatan dan informasi pemilik bangunan Mengetahui tingkat kerentanan bangunan 3 Tingkat kerusakan bangunan Informasi pemilik bangunan Mengetahui kecepatan angin berdasarkan skala fujita 7.4.Teknik Pengolahan dan Analisis Data Analisis yang digunakan pada penelitian ini berupa analisis data primer dengan menggunakan klasifikasi, untuk menentukan tingkat kerentanan bangunan terhadap terjangan angin puting beliung dengan tahapan sebagai berikut : a. Pemilihan struktur bangunan Pemilihan ini berdasarkan atas struktur yang terdapat pada bangunan, seperti atap rumah, struktur ( bagian tengah ) dan pondasi b. Skoring Memberikan skor terhadap bagian-bagian yang berada dalam bangunan dari skor terendah hingga tertinggi. Adapun skor tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. 12

13 Tabel 8. Skor Kerentanan Variabel Terhadap Bangunan No. Indikator Variabel Skor Seng 1 1 Atap Rumah Asbes 2 Genteng 3 Cor 4 Kayu 1 2 Bagian Tengah Tembok Tanpa Tulang 2 Tembok Bertulang 3 3 Pondasi Tanpa Pondasi 1 Berpondasi 2 Sumber: Agung Sedayu ( 2010 ) ( Modifikasi ) Sedangkan untuk menentukan tingkat kerusakan bangunan menggunakan skala Fujita, kemudian dari skala F0 - F5 diberikan skor 1 6. Skor tersebut dapat dilihat pada tabel 10. Tabel 9. Skor Skala Fujita Kategori Tingkat Kerusakan Skor F0 ( Lemah ) Kerusakan pada atap rumah 1 F1 ( Sedang ) Atap rumah terangkat 2 F2 ( Kuat ) Atap rumah terangkat dengan semua kudakudanya 3 F3 ( Sangat Kuat ) Atap dan dinding rumah hancur, pecah dan lepas dari rangka dasarnya 4 F4 ( Dahsyat ) Rumah beton rata tanah, bangunan berpondasi kurang kuat terlempar jauh 5 F5 ( Luar Biasa ) Pondasi paling kuat sekalipun terangkat dan bergeser 6 Sumber: INSIST Yogyakarta ( 2011 ) c. Klasifikasi kerentanan bangunan Hasil dari skor kemudian dibuat klasifikasi menjadi 3 klas yaitu tinggi, sedang dan rendah sehingga dapat mengetahui bangunan seperti apa yang 13

14 mempunyai kerentanan rendah hingga tinggi terhadap terjangan angin puting beliung. Dalam penentuan klas maka harus menentukan interval, rumus interval dapat dilihat di bawah ini : x = t r n Keterangan : x = Interval t = Nilai Tertinggi r = Nilai Terendah n = Jumlah Klas Dengan menggunakan rumus interval di atas maka nilai skor yang terdapat pada Tabel 8 dapat ditentukan klasnya dari kerentanan tinggi hingga kerentanan yang rendah, sedangkan untuk jenis bangunan dan juga tingkat kerusakan tidak perlu diklasifikasikan hanya nanti pada saat pengolahan data pada GIS menggunakan gradasi warna agar dapat terlihat perbedaanya Tahap Penelitian Terdapat tiga tahap yang dilaksanakan pada penelitian ini, pertama tahap pra kerja, tahap kerja dan tahap pasca Tahap Pra Kerja Pada tahap ini dilakukan persiapan yang terkait dengan tahap kerja untuk mencari data di lapangan, dengan rincian kegiatan sebagai berikut : i. Studi pustaka terkait tujuan penelitian, pengumpulan data sekunder berupa lokasi kejadian bencana puting beliung di Kabupaten Sragen, pengumpulan peta/citra quickbird Kabupaten Sragen. ii. Penentuan lokasi pengambilan sampel berdasarkan blok-blok permukiman yang terdapat pada citra. iii. Persiapan alat-alat untuk keperluan survei lapangan serta pengurusan surat ijin penelitian 14

15 Tahap Kerja Lapangan Pada tahap kerja lapangan ini dilakukan kegiatan pengambilan data sampel bangunan menggunakan GPS. Pengambilan sampel bangunan ini menggunakan metode sistematis sampling untuk mencarai kerentanan bangunan dan purposive sampling untuk mencari kerusakan bangunan yang pernah terjadi. Selain pengambilan koordinat sampel bangunan, juga dilakukan pengamatan struktur bangunan dari atap bangunan, bagian tengah bangunan dan pondasi serta memberikan pertanyaan tentang seberapa parahnya bangunan yang pernah diterjang angin puting beliung yang bertujuan untuk mengetahui kecepatan angin puting beliung Tahap Pasca Kerja Setelah melakukan tahap kerja di lapangan maka langkah berikutnya ialah tahap pasca kerja. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan ialah mengolah data mentah yang diperoleh dari kegiatan lapangan berupa struktur bangunan kemudian diolah bedasarkan skor yang terdapat pada Tabel 8 hingga Tabel 10, membuat agihan atau persebaran kerentanan bangunan berdasarkan hasil sampel kerentanan bangunan, membuat persebaran kekuatan angin puting belung berdasarkan tingkat kerusakan bangunan dengan menggunakan teknik interpolasi dengan berdasarkan metode natural neighbor, setelah itu langkah terakhir melakukan analisa hasil kerentanan bangunan dan analisis kekuatan angin berdasarkan data yang diperoleh di lapangan Tahap Analisis Setelah tahap pasca kerja dilakukan, maka tahap berikutnya yang perlu dilakukan adalah tahap analisis. Pada tahap analisis, menganalisis kerentanan bangunan dengan zona kecepatan angin dan juga menganalisis kerentanan bangunan dengan kerusakan bangunan yang pernah dialami di Kecamatan Tanon. 15

16 Citra QuickBird 2010 Digitasi Bangunan Peta Lokasi Kejadian Puting Beliung Pemberian Nomer Bangunan Menentukan Sampel Berdasarkan Nomer Populasi Menggunakan Metode Sistematis Sampling Survei Skoring Struktur Bangunan Atap, Tengah dan Pondasi Kerusakan Bangunan Menggunakan Metode Purposive Samplin Klasifikasi Kerentanan Bangunan Agihan Kerentanan Bangunan Prediksi Kecepata Angin Berdasarka Skala Fujita Menggunakan Interpolasi Peta Agihan Kerentanan Bangunan Overlay Peta Kerentanan Bangunan Terhadap Terjangan Angin Puting Beliung Di Kecamatan Tanon Analisis Gambar 1. Diagram Alir Penelitian 16

17 8. Batasan Operasional Kerentanan merupakan suatu kondisi dari suatu yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.( BAPPENAS ) Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. ( UU NO. 24 Tahun 2007 ) Bangunan adalah struktur buatan manusia yang terdiri atas dinding dan atap yang didirikan secara permanen di suatu tempat.( Wikipedia ) Angin puting beliung termasuk kategori angin kencang, datang secara tiba-tiba mempunyai pusat, bergerak melingkar seperti spiral hingga menyentuh permukaan bumi dan punah dalam waktu singkat (3 5 menit). Angin putting beliung mempunyai kecepatan rata-rata knots berasal dari awan Cumulonimbus (Cb) yaitu awan yang bergumpal, berwarna abu-abu gelap dan menjulang tinggi (Nurlambang, dkk., 2013) Kerusakan bangunan yang diakibatkan bencana khususnya bencana angin puting beliung, disebabkan oleh bangunan-bangunan tersebut masih banyak yang belum memenuhi syarat dan menerapkan standar pendirian bangunan secara baik dan benar ( Sestama BSN, 2008 ) 17

ANALISIS KERENTANAN BANGUNAN TERHADAP BENCANA ANGIN PUTING BELIUNG DI KECAMATAN TANON KABUPATEN SRAGEN PUBLIKASI ILMIAH

ANALISIS KERENTANAN BANGUNAN TERHADAP BENCANA ANGIN PUTING BELIUNG DI KECAMATAN TANON KABUPATEN SRAGEN PUBLIKASI ILMIAH ANALISIS KERENTANAN BANGUNAN TERHADAP BENCANA ANGIN PUTING BELIUNG DI KECAMATAN TANON KABUPATEN SRAGEN PUBLIKASI ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Skripsi S-1 Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengertian banjir dalam Buku Pegangan Guru Pendidikan Siaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengertian banjir dalam Buku Pegangan Guru Pendidikan Siaga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengertian banjir dalam Buku Pegangan Guru Pendidikan Siaga Bencana (2008) adalah suatu kejadian saat air menggenani daerah yang biasanya tidak digenani air dalam

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Alat dan Bahan 4.1.1. Alat a. Notebook Asus X201EP, Intel Celeron 1.1 GHz, Harddisk 320 GB, RAM 4 GB b. Software ArcGIS 10.1 untuk pengolahan data dan layout peta c. Microsoft

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Lempeng Euro-Asia dibagian Utara, Lempeng Indo-Australia. dibagian Selatan dan Lempeng Samudera Pasifik dibagian Timur.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Lempeng Euro-Asia dibagian Utara, Lempeng Indo-Australia. dibagian Selatan dan Lempeng Samudera Pasifik dibagian Timur. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepulauan Indonesia secara astronomis terletak pada titik koordinat 6 LU - 11 LS 95 BT - 141 BT dan merupakan Negara kepulauan yang terletak pada

Lebih terperinci

LEMBAR EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA AKSI KELURAHAN SADAR BENCANA (KELURAHAN BANJAR-SERASAN KEC.PONTIANAK TIMUR)

LEMBAR EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA AKSI KELURAHAN SADAR BENCANA (KELURAHAN BANJAR-SERASAN KEC.PONTIANAK TIMUR) LEMBAR EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA AKSI KELURAHAN SADAR BENCANA (KELURAHAN BANJAR-SERASAN KEC.PONTIANAK TIMUR) 1 Lab.Inovasi : KOTA PONTIANAK 2 Nama Instansi/SKPD : Kelurahan Banjar-Serasan Kec.Pontianak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan (Hamdani, 2011 : 21). Adapun kegiatan belajar seperti menghitung, membaca, menulis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan daerah yang memiliki sumber daya alam yang terbatas. Kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. dan daerah yang memiliki sumber daya alam yang terbatas. Kemiskinan digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu masalah yang dihadapi oleh sebagian besar penduduk di Indonesia. Hampir semua daerah mempunyai permasalahan tentang

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 72 Tahun : 2015

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 72 Tahun : 2015 BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 72 Tahun : 2015 PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 71 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENENTUAN STATUS KEADAAN DARURAT

Lebih terperinci

Cuaca Ekstrim ( Extreme Weather ) Badai Tornado di Amerika Serikat Oleh : Bhian Rangga JR NIM K P. Geografi FKIP UNS

Cuaca Ekstrim ( Extreme Weather ) Badai Tornado di Amerika Serikat Oleh : Bhian Rangga JR NIM K P. Geografi FKIP UNS Cuaca Ekstrim ( Extreme Weather ) Badai Tornado di Amerika Serikat Oleh : Bhian Rangga JR NIM K 5410012 P. Geografi FKIP UNS A. PENDAHULUAN Pada tahun 2000 sampai saat ini, sejumlah bencana di suatu daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2000 sampai saat ini, sejumlah bencana di suatu daerah terjadi disebabkan oleh cuaca ekstrim. Cuaca ekstrim di sejumlah daerah terjadi karena suhu permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik oleh faktor alam, atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga

BAB I PENDAHULUAN. baik oleh faktor alam, atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam,

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT RAWAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2014

ANALISIS TINGKAT RAWAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2014 ANALISIS TINGKAT RAWAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH DENGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2014 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gempa bumi sebagai suatu kekuatan alam terbukti telah menimbulkan bencana yang sangat besar dan merugikan. Gempa bumi pada skala kekuatan yang sangat kuat dapat menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Surakarta merupakan kota dengan wilayah yang berbatasan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Kota Surakarta merupakan kota dengan wilayah yang berbatasan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Surakarta merupakan kota dengan wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Daerah Surakarta yang berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo menyebabkan daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT Lili Somantri Jurusan Pendidikan Geografi, FPIPS, UPI, L_somantri@ymail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puting beliung adalah angin yang berputar dengan kecepatan lebih dari 63 km/jam yang bergerak secara garis lurus dengan lama kejadian maksimum 5 menit. Orang awam menyebut

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Bencana (disaster) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh

Lebih terperinci

Penyebab Tsunami BAB I PENDAHULUAN

Penyebab Tsunami BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana adalah peristiwa/rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap berbagai jenis bencana, termasuk bencana alam. Bencana alam merupakan fenomena alam yang dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari sistem yang ada di muka bumi, baik secara alamiah ataupun akibat ulah manusia.undangundang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang

Lebih terperinci

ANALISIS KERENTANAN BANGUNAN TERHADAP BENCANA GEMPA BUMI DI KECAMATAN GANTIWARNO KABUPATEN KLATEN

ANALISIS KERENTANAN BANGUNAN TERHADAP BENCANA GEMPA BUMI DI KECAMATAN GANTIWARNO KABUPATEN KLATEN ANALISIS KERENTANAN BANGUNAN TERHADAP BENCANA GEMPA BUMI DI KECAMATAN GANTIWARNO KABUPATEN KLATEN Imam Hardjono, Nivo Prayogo Fakultas Geografi UMS E-mail: Voo nivo78@yahoo.com ABSTRAK Gempa Bumi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBERIAN BANTUAN KEPADA MASYARAKAT KORBAN BENCANA ALAM DAN MUSIBAH KEBAKARAN DI KABUPATEN BANDUNG BARAT.

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP Lailla Uswatun Khasanah 1), Suwarsito 2), Esti Sarjanti 2) 1) Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian 43 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Sragen, SMP Negeri 2 Sragen, SMP Negeri 1 Masaran, SMP Negeri 2 Karangmalang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepulauan Indonesia secara geografis terletak di 6 LU - 11 LS dan

BAB I PENDAHULUAN. Kepulauan Indonesia secara geografis terletak di 6 LU - 11 LS dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepulauan Indonesia secara geografis terletak di 6 LU - 11 LS dan 95 BT - 141 BT merupakan zona pertemuan empat lempeng tektonik aktif dunia, yaitu:

Lebih terperinci

KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DI KECAMATAN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2016

KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DI KECAMATAN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2016 KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DI KECAMATAN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2016 NASKAH PUBLIKASI ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia yang berada di salah satu belahan Asia ini ternyata merupakan negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana,

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dan dilihat secara geografis, geologis, hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana, bahkan termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu bukti kerawanan gempa tersebut adalah gempa tektonik yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. satu bukti kerawanan gempa tersebut adalah gempa tektonik yang terjadi pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Yogyakarta dan sekitarnya berada di dua lempeng aktif, Indo- Australia dan Eurasia yang membentang dari belahan barat Sumatera hingga belahan selatan Nusa

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS I JUANDA SURABAYA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS I JUANDA SURABAYA BMKG BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS I JUANDA SURABAYA Alamat : Bandar Udara Juanda Surabaya, Telp. 031 8667540 Pes. 104, Fax. 031-8673119 E-mail : meteojuanda@gmail.com,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 03 B TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN SANTUNAN KEPADA KORBAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANTUL PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 03 B TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN SANTUNAN KEPADA KORBAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 03 B TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN SANTUNAN KEPADA KORBAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa untuk meringankan beban

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya memlalui proses pembelajaran atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada episentrum LU BT (http://wordpress.com/2010/10/25

BAB I PENDAHULUAN. pada episentrum LU BT (http://wordpress.com/2010/10/25 BAB I PENAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan mengalami bencana alam yang disebabkan oleh banjir, tsunami, gempabumi, tanah longsor, letusan gunung berapi. Frekuensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENILITIAN. Lokasi penelitian mengambil daerah studi di Kota Gorontalo. Secara

BAB III METODE PENILITIAN. Lokasi penelitian mengambil daerah studi di Kota Gorontalo. Secara 20 BAB III METODE PENILITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian mengambil daerah studi di Kota Gorontalo. Secara astronomi daerah studi terletak pada 00 28' 17'' - 00 35' 56'' LU dan 122

Lebih terperinci

RINGKASAN RANCANGAN APBD MENURUT ORGANISASI DAN URUSAN PEMERINTAHAN

RINGKASAN RANCANGAN APBD MENURUT ORGANISASI DAN URUSAN PEMERINTAHAN Lampiran IIa Raperda APBD TA. 2012 Nomor : - Tanggal : 11 Januari 2012 PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN RINGKASAN RANCANGAN APBD MENURUT ORGANISASI DAN URUSAN PEMERINTAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 KODE 1.01.01 Dinas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletakm pada 3 pertemuan lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Euro-Asia

BAB I PENDAHULUAN. terletakm pada 3 pertemuan lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Euro-Asia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletakm pada 3 pertemuan lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Euro-Asia dibagian utara, lempeng Indo-Australia

Lebih terperinci

MEMAHAMI PERINGATAN DINI TSUNAMI

MEMAHAMI PERINGATAN DINI TSUNAMI MEMAHAMI PERINGATAN DINI TSUNAMI TSUNAMI ADALAH... Ÿ Serangkaian gelombang laut yang sangat besar, akibat dari gempa bumi yang sangat kuat bersumber di laut. Ÿ Gempa bumi membuat perubahan mendadak pada

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI 1) Ika Meviana; 2) Ulfi Andrian Sari 1)2) Universitas Kanjuruhan Malang Email: 1) imeviana@gmail.com;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam, dari daratan sampai pegunungan serta lautan. Keragaman ini dipengaruhi

Lebih terperinci

- 1 PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 20 TAHUN 2017 TENTANG

- 1 PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 20 TAHUN 2017 TENTANG - 1 PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 20 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN PENANGGULANGAN BENCANA ALAM KABUPATEN KUANTAN SINGINGI TA. 2017 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUANTAN

Lebih terperinci

Definisi dan Jenis Bencana

Definisi dan Jenis Bencana Definisi dan Jenis Bencana Definisi Bencana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai berikut: Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang besar. Bencana yang datang dapat disebabkan oleh faktor alam

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang besar. Bencana yang datang dapat disebabkan oleh faktor alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia termasuk daerah yang rawan bencana dan memiliki jumlah penduduk yang besar. Bencana yang datang dapat disebabkan oleh faktor alam maupun akibat dari ulah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keunikan geologi kepulauan Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Ketiga lempeng

Lebih terperinci

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN PUBLIKASI KARYA ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Derajat

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.2

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.2 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.2 1. Serangkaian peristiwa yang menyebabkan gangguan yang mendatangkan kerugian harta benda sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara astronomi berada pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis Indonesia terletak di antara

Lebih terperinci

BAB II JENIS-JENIS BENCANA

BAB II JENIS-JENIS BENCANA Kuliah ke 2 PERENCANAAN KOTA BERBASIS MITIGASI BENCANA TPL 410-2 SKS DR. Ir. Ken Martina K, MT. BAB II JENIS-JENIS BENCANA Dalam disaster management disebutkan bahwa pada dasarnya bencana terdiri atas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KUPANG

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KUPANG PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. b. c.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menempati wilayah zona tektonik tempat pertemuan tiga

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menempati wilayah zona tektonik tempat pertemuan tiga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia menempati wilayah zona tektonik tempat pertemuan tiga lempeng besar yaitu, lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Pergerakan

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT BANJIR LAHAR PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 DI SUB DAS KALI PUTIH JURNAL PUBLIKASI ILMIAH

ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT BANJIR LAHAR PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 DI SUB DAS KALI PUTIH JURNAL PUBLIKASI ILMIAH ANALISIS TINGKAT KERUSAKAN PENGGUNAAN LAHAN AKIBAT BANJIR LAHAR PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI TAHUN 2010 DI SUB DAS KALI PUTIH JURNAL PUBLIKASI ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dibawah koordinasi Satkorlak Bencana Gempa dan Tsunami di Banda

BAB I PENDAHULUAN. Negara dibawah koordinasi Satkorlak Bencana Gempa dan Tsunami di Banda 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada Tahun 2004, Indonesia dicengangkan dengan bencana dahsyat yaitu gempabumi yang kemudian yang disusul dengan gelombang tsunami yang terjadi di Aceh dan sekitarnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat diprediksi kapan terjadinya dan dapat menimbulkan korban luka maupun jiwa, serta mengakibatkan kerusakan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun demi tahun negeri ini tidak lepas dari bencana. Indonesia sangat

BAB I PENDAHULUAN. Tahun demi tahun negeri ini tidak lepas dari bencana. Indonesia sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tahun demi tahun negeri ini tidak lepas dari bencana. Indonesia sangat rentan terhadap ancaman berbagai jenis bencana, misalnya bencana yang terjadi di Sulawesi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Undang- bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.

BAB 1 PENDAHULUAN. bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Undang- bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menggaunggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor non-alam maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor non-alam maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. empat lempeng raksasa, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Hindia-Australia,

BAB I PENDAHULUAN. empat lempeng raksasa, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Hindia-Australia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng raksasa, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Hindia-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng

Lebih terperinci

Pemetaan Daerah Risiko Banjir Lahar Berbasis SIG Untuk Menunjang Kegiatan Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Gunung Semeru, Kab.

Pemetaan Daerah Risiko Banjir Lahar Berbasis SIG Untuk Menunjang Kegiatan Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Gunung Semeru, Kab. C6 Pemetaan Daerah Risiko Banjir Lahar Berbasis SIG Untuk Menunjang Kegiatan Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Gunung Semeru, Kab. Lumajang) Zahra Rahma Larasati, Teguh Hariyanto, Akbar Kurniawan Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk

Lebih terperinci

SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG API GAMALAMA DI PERMUKIMAN KAMPUNG TUBO KOTA TERNATE

SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG API GAMALAMA DI PERMUKIMAN KAMPUNG TUBO KOTA TERNATE SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA GUNUNG API GAMALAMA DI PERMUKIMAN KAMPUNG TUBO KOTA TERNATE Annastasia Gadis Pradiptasari 1, Dr. Judy O. Waani, ST. MT 2, Windy Mononimbar, ST. MT 3 1 Mahasiswa S1 Program

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bencana banjir termasuk bencana terbesar di dunia. Data Guidelines for Reducing Flood

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bencana banjir termasuk bencana terbesar di dunia. Data Guidelines for Reducing Flood 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana banjir termasuk bencana terbesar di dunia. Data Guidelines for Reducing Flood Losses, United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR)

Lebih terperinci

KAJIAN INDEKS POTENSI LAHAN TERHADAP PEMANFAATAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN

KAJIAN INDEKS POTENSI LAHAN TERHADAP PEMANFAATAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN KAJIAN INDEKS POTENSI LAHAN TERHADAP PEMANFAATAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN (GIS for Assessment of Land Potential Index on Utilization of Regional

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penyusunan penelitian ini dilakukan dengan menentukan tingkat bahaya banjir yang kemudian dilanjutkan dengan menentukan tingkat kerentanan wilayah terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam yang kompleks sehingga menjadikan Provinsi Lampung sebagai salah satu daerah berpotensi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan memiliki kurang lebih 17.504 buah pulau, 9.634 pulau belum diberi nama dan 6.000 pulau tidak berpenghuni

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Bencana menurut Undang-Undang No.24 tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan aspek fisik maupun aspek sosial dan budaya. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan aspek fisik maupun aspek sosial dan budaya. Pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permukiman sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia memerlukan perhatian khusus dalam pembangunannya, karena masalah permukiman berkaitan dengan aspek fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian kejadian yang mengakibatkan korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, sarana dan prasarana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN (Kasus di Kota Bandung Bagian Barat)

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN (Kasus di Kota Bandung Bagian Barat) PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN (Kasus di Kota Bandung Bagian Barat) Oleh: Lili Somantri 24060/1-6/259/06 LATAR BELAKANG Terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Secara geologi, wilayah Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rendah (Dibyosaputro Dalam Bayu Septianto S U. 2008). Longsorlahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rendah (Dibyosaputro Dalam Bayu Septianto S U. 2008). Longsorlahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Longsorlahan Gerakan tanah atau yang lebih umum dikenal dengan istilah Longsorlahan (landslide) adalah proses perpindahan matrial pembentuk lereng berupa suatu massa tanah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geologis Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan berbagai lempeng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana yang sangat tinggi dan sangat bervariasi dari jenis bencana. Kondisi alam serta keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bencana alam adalah salah satu fenomena yang dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun sehingga menimbulkan risiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah khatulistiwa, di antara Benua Asia dan Australia, serta diantara Samudera Pasifik dan Hindia.

Lebih terperinci

Analisis Spasial untuk Menentukan Zona Risiko Banjir Bandang (Studi Kasus: Kabupaten Sinjai)

Analisis Spasial untuk Menentukan Zona Risiko Banjir Bandang (Studi Kasus: Kabupaten Sinjai) Analisis Spasial untuk Menentukan Zona Risiko Banjir Bandang (Studi Kasus: Kabupaten ) Risma, Paharuddin, Sakka Program Studi Geofisika Jurusan Fisika FMIPA Unhas risma.fahrizal@gmail.com Sari Penelitian

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian mitigasi. 2. Memahami adaptasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara ini baik bencana geologi (gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api)

BAB I PENDAHULUAN. negara ini baik bencana geologi (gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia banyak dilanda bencana mulai dari bencana alam sampai bencana sosial. Terutama bencana alam, hampir semua bencana alam melanda negara ini baik bencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Bencana merupakan sebuah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN pulau besar dan kecil dan diantaranya tidak berpenghuni.

BAB I PENDAHULUAN pulau besar dan kecil dan diantaranya tidak berpenghuni. BAB PENDAHULUAN A. Latar Belakang ndonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau besar dan kecil dan 6.000 diantaranya tidak berpenghuni. Wilayah ndonesia terbentang antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Klaten merupakan bagian dariprovinsi Jawa Tengah, yang

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Klaten merupakan bagian dariprovinsi Jawa Tengah, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Klaten merupakan bagian dariprovinsi Jawa Tengah, yang letaknya berada pada paling selatan Provinsi Jawa Tengah. Terdiri dari 26 kecamatan, terbagi atas 391

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang

Lebih terperinci

TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TERHADAP BENCANA BANJIR, GEMPA BUMI, DAN TANAH LONGSOR DI KECAMATAN WONOGIRI

TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TERHADAP BENCANA BANJIR, GEMPA BUMI, DAN TANAH LONGSOR DI KECAMATAN WONOGIRI TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TERHADAP BENCANA BANJIR, GEMPA BUMI, DAN TANAH LONGSOR DI KECAMATAN WONOGIRI Yunita Larasati, Mayantika Humairoh Utami, Rosa Dwi Pramita, Roisyah, dan Dicky Surya Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kegiatan penanggulangan bencana. Penetapan Undang-Undang tersebut

BAB I PENDAHULUAN. dalam kegiatan penanggulangan bencana. Penetapan Undang-Undang tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 oleh Pemerintah Pusat merupakan suatu upaya untuk memperkuat keterlibatan Pemerintah Daerah dalam kegiatan penanggulangan

Lebih terperinci

BENTUK KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA GEMPA BUMI TEKTONIK DI DESA DENGKENG KECAMATAN WEDI KABUPATEN KLATEN

BENTUK KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA GEMPA BUMI TEKTONIK DI DESA DENGKENG KECAMATAN WEDI KABUPATEN KLATEN BENTUK KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA GEMPA BUMI TEKTONIK DI DESA DENGKENG KECAMATAN WEDI KABUPATEN KLATEN NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat

Lebih terperinci