ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DAN PENYESUAIAN STRUKTURAL INDUSTRI GULA DI JAWA TIMUR MUHAMAD YADJID

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DAN PENYESUAIAN STRUKTURAL INDUSTRI GULA DI JAWA TIMUR MUHAMAD YADJID"

Transkripsi

1 ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DAN PENYESUAIAN STRUKTURAL INDUSTRI GULA DI JAWA TIMUR MUHAMAD YADJID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: ANALISIS DAYA SAING USAHA TANI TEBU DAN PENYESUAIAN STRUKTURAL INDUSTRI GULA DI JAWA TIMUR Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, 29 Juli 2011 Muhamad Yadjid NRP A

3 3 ABSTRACT MUHAMAD YADJID. Competitiveness Analysis of Sugarcane Farming System and Structural Adjustment of Sugar Industry in East Java (RINA OKTAVIANI as Chairman and NUNUNG NURYARTONO as Member of the Advisory Committee). Sugarcane is considered to be a high-valued commodity since Colonial era. The Highest sugar cane production in Indonesia was in 1930 and Indonesia became the second highest exporting sugar country at that time. However, the performance of sugar industry has declined during the last decade. Now, Indonesia has become an importing sugar country. This situation is more likely because Indonesian population grows in the average of 1.2% every year, which influence the direct sugar consumption every year. Indonesia s sugar consumption is always exceeded its production. In order to fulfill the domestic consumption, Indonesia needs to import sugar. Based on the economic performance of sugar industry, the main issue of sugar industry in Indonesia is low increase of productivity and production in farm and sugar mills level, especially in East Java. Some factors are suspected to influence the productivity and production sugar performance. The objective of this research is to analyze competitiveness of sugar industry, especially in sugarcane farming system, impact of government policy and structural adjustment on sugar industry. This study is conducted by using Policy analysis Matrix (PAM), and sensitivity analysis. The method is very useful in dealing with efficiency, competitiveness, and impacts of divergences caused by market or policy distortion. Sensitivity analysis is done as one of justifications in structural adjustment concept for sugar industry in Indonesia. The result shows that sugarcane farming systems in wet and dry land are financially profitable, but economically it is a contradiction. The sugarcane farming systems are not having comparative advantage (DRC>1). The result also shows that the government is very protective to sugar industry in Indonesia. Impact of government policies are shown (at least) by NPCO and NPCI ratios. NPCO ratio range from 1.53 to 1.62, and NPCI ratio is around Therefore, structural adjustment is needed to cope these issues and gain its comparative advantage. Key words : Sugarcane, Competitiveness, PAM, Structural Adjustment.

4 4 RINGKASAN MUHAMAD YADJID. Analisis Daya Saing Usaha Tani Tebu dan Penyesuaian Struktural Industri Gula di Jawa Timur. (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua dan NUNUNG NURYARTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Sebagai salah satu industri manufaktur yang tertua, Indonesia pernah mencapai era keemasan industri gula pada tahun 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Saat itu pabrik gula yang beroperasi adalah sebanyak 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula pernah mencapai 2.4 juta ton (Sudana et al, 2000). Namun perkembangan selanjutnya industri gula Indonesia lambat laun mengalami degradasi struktural dan sulit untuk bangkit kembali, hingga pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu importir gula di dunia saat ini. Pada periode 1991 hingga 2001, industri gula Indonesia mulai mengalami berbagai masalah yang serius. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan laju persen per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3.03 persen per tahun. Tahun 1997 hingga 2002, produksi gula mengalami penurunan dengan laju 6.14 persen per tahun (Dewan Gula Indonesia, 2002). Pertumbuhan populasi yang sekitar 1.2 % per tahun turut mempengaruhi ketimpangan antara produksi dan konsumsi gula nasional. Pada akhirnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri maka Pemerintah perlu untuk melakukan impor gula. Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) usahatani tebu di Jawa Timur, (2) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu, dan (3) merekomendasikan penyesuaian struktural bagi industri gula di Jawa Timur. Penilitian ini menggunakan Policy Analysis Matrix sebagai metode untuk menganalisis daya saing usahatani tebu dan juga dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu di Jawa Timur. Analisis Sensitivitas juga dilakukan sebagai salah satu landasan untuk merumuskan penyesuaian industry gula di Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan data primer dan juga data sekunder. Data Primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para petani tebu yang kemudian diverifikasi oleh beberapa responden ahli. Data sekunder diperoleh data Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosisal Ekonomi Pertanian, Bulog, dan Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Pengolahan data dilakukan dengan program komputer Microsoft Office Excel Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rata-rata produktivitas usahatani tebu di sawah mencapai lebih dari 100 ton per hektar, sedangkan di lahan tegalan kurang dari 100 ton per hektar. Produktivitas tebu dari bibit (tanam awal) lebih tinggi dari ratoon 1 dan seterusnya. Biaya usahatani untuk tenaga kerja dan sewa lahan sangat besar, mencapai lebih dari 70 persen. Sementara itu, komponen terbesar biaya tenaga kerja usahatani tebu adalah biaya TMA. Biaya ini dipengaruhi oleh produksi tebu per satuan luas dan jauh dekat lokasi panen

5 5 dengan pabrik. Keuntungan privat usahatani tebu di lahan sawah lebih besar di banding lahan tegalan. Keuntungan usahatani tebu ratoon 1 lebih tinggi dari usahatani tebu tanam awal. Hal ini disebabkan karena usahatani tebu ratoon tidak mengeluarkan biaya untuk pembelian input bibit baru. Keuntungan finansial usahatani tebu berkisar antara Rp.5 juta Rp. 8 juta/ha). Meskipun secara finansial usahatani tebu menguntungkan, namun secara ekonomi menunjukkan kerugian berkisar antara Rp. 500 ribu Rp. 4 juta/ha) Berdasarkan hasil analisis PAM, Usahatani tebu di Jawa Timur tidak memiliki keunggulan komparatif tapi masih memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini di tunjukkan oleh rasio DRC >1 dan rasio PCR <1. Dampak Kebijakan input yang diterapkan oleh pemerintah memberikan insentif bagi petani tebu berupa harga input yang dibayar petani hanya setengah dari harga input seharusnya, yang tercermin dari koefisien NPCI sekitar Harga output yang dinikmati oleh petani lebih tinggi persen dari harga jual yang seharusnya (NCPO berkisar 1.53 sampai dengan 1.62). Dalam upaya peningkatan kemandirian pangan nasional, khususnya untuk komoditas gula, diperlukan penyesuaian struktural industri gula yang meliputi berbagai subsistem: on-farm maupun off-farm (hulu dan hilir), agar tercapai keseimbangan kesejahteraan antara petani produsen dan konsumen. Berdasarkan analisis PAM, analisis sensitivitas dan juga pengalaman dari beberapa Negara pengekspor gula, ada beberapa implikasi kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah guna mendorong terjadinya perubahan struktural. Implikasi kebijakan mencakup subsistem hulu dan subsistem hilir. Kebijakan subsistem hulu adalah: (1) peningkatkan areal pertanaman tebu di daerah potensial, (2) Peningkatan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bagi petani tebu, dan (3) peningkatan produktivitas tebu, melalui penggunaan bibit tebu unggul berkualitas, teknologi kultur jaringan, serta rehabilitasi/pembaharuan pertanaman tebu lama melalui bongkar ratoon. Kebijakan subsistem hilir yaitu: (1) merehabilitasi dan memodernisasi pabrik-pabrik gula yang telah tua atau dengan membangun pabrik baru di daerah potensial, (2) pengembangan industri produk turunan tebu, dan (3) penguatan kelembagaan melalui Asosiasi kelompok tani tebu. Kata Kunci: Daya Saing, Tebu, Industri Gula, Penyesuaian Struktural.

6 6 Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 7

8 8 ANALISIS DAYA SAING USAHA TANI TEBU DAN PENYESUAIAN INDUSTRI GULA DI JAWA TIMUR MUHAMAD YADJID Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

9 9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS. (Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor) Penguji Wakil Program Studi Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS. (Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

10 10 Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Analisis Daya Saing Usahatani Tebu dan Penyesuaian Struktural Industri Gula di Jawa Timur : Muhamad Yadjid : A : Ilmu Ekonomi Pertanian Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Ketua Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr. Tanggal Ujian Tesis : 29 Juli 2011 Tanggal Lulus:

11 11 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Analisis Daya Saing Usaha Tani Tebu dan Penyesuaian Industri Gula di Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan menganalisis daya saing usaha tani tebu di Jawa Timur, mengevaluasi dampak kebijakan pemerintah pada usaha tani tebu di Jawa Timur, dan merumuskan implikasi kebijakan penyesuaian struktural industri gula di Jawa Timur. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. dan Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah mengarahkan dan memberikan masukan dalam proses penelitian dan pelaksanaan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pertanian (EPN) dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Program Studi Ekonomi Pertanian. 2. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS. selaku Penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. W. H. Anna Fariyanti, MS. selaku Penguji yang Mewakili Program Studi Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah memberikan masukan bagi perbaikan tesis ini. 3. Prof. Stephen V. Marks yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi asisten lapang sekaligus membiayai penelitian ini.

12 12 4. Ir. Asep Syaiful Bahri, MSc yang telah banyak membantu mengajarkan Policy Analysis Matrix. 5. Teman-teman mahasiswa Pasca Sarjana program studi EPN 2005 (Pini, Novindra, Zednita, Wiji, Tono, Budi, dan Yusuf), terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah. 6. Seluruh staf di Program Studi EPN (Mba Rubi, Mba Yani, Ibu Kokom dan Pak Husein) yang senantiasa sabar dan membantu penulis selama perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi. 7. Pihak-pihak lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu namun telah banyak memberikan saran dan informasi selama penulisan tesis ini. Secara khusus dengan penuh rasa hormat dan cinta, penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungan dan doa dari orangtua, kakak dan adik untuk keberhasilan penulis. Penulis berharap penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan sektor pertanian khususnya industri gula di Indonesia. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal ibadah dan tanda syukur penulis. Bogor, 29 Juli 2011 Muhamad Yadjid

13 13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 29 Juli 1981 dari Ibu Hadijah Hanafi dan Bapak Umar Machmoudy. Penulis merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 50 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB melalui jalur USMI. Pendidikan Sarjana tersebut diselesaikan pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Program Studi Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xvii DAFTAR GAMBAR... xviii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA Usahatani Tebu Budidaya Tebu Pengolahan Kebijakan Ekonomi Gula Penelitian yang Terkait... 14

14 14 III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teoritis Konsep Daya Saing Kebijakan Pemerintah Structural Adjusment (Penyesuaian Struktural) Policy Analysis Matrix (PAM) Analisis Sensitivitas Kerangka Pemikiran Konseptual IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Contoh Metode Analisis Policy Analysis Matrix (PAM) Identifikasi Input dan Output Usahatani Tebu Penentuan Harga Bayangan Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Perhitungan dan Analisis PAM Analisis Sensitivitas V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Provinsi Jawa Timur Kabupaten Situbondo Kabupaten Lumajang Pabrik Gula Semboro Pabrik Gula Wringinanom VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Fisik Input-Output Usahatani Tebu Biaya Produksi Usahatani Tebu Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Tebu Daya Saing Usahatani Tebu... 66

15 Dampak Kebijakan Pemerintah Analisis Sensitivitas Perbandingan Industri Gula Asing dan Industri Gula Nasional Struktur Industri Gula Kristal Putih Industri Gula Brazil Industri Gula Thailand Penyesuaian Struktural Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Tebu Kondisi Pabrik Gula Nasional Kebijakan Penyesuaian Struktural VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Implikasi Kebijakan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara historis, komoditas tebu sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai komoditas komersial (high value commodity) sejak pemerintah Hindia Belanda. Pada abad ke-18 pemerintah kolonial Belanda mengembangkan industri gula di Pulau Jawa karena faktor-faktor yang mendukung seperti tanah yang subur, ketersediaan tenaga kerja yang melimpah. Kebijakan penanaman tebu tersebut kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia melalui perusahaan negara perkebunan dan perkebunan-perkebunan besar swasta di Luar Jawa. Dalam perkembangannya, tanaman tebu juga diusahakan oleh petani rakyat melalui kebijakan pemerintah tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dengan sistem pergiliran areal tanam. Namun saat ini pengusahaan tebu rakyat relatif hanya

16 16 berkembang di wilayah Jawa Timur dan sebagian kecil Jawa Tengah (Saptana, et al, 2004). Sebagai salah satu industri manufaktur yang tertua, Indonesia pernah mencapai era keemasan industri gula pada tahun 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Saat itu pabrik gula yang beroperasi adalah sebanyak 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula pernah mencapai 2.4 juta ton (Sudana et al, 2000). Namun perkembangan selanjutnya industri gula Indonesia lambat laun mengalami degradasi struktural dan sulit untuk bangkit kembali, hingga pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu importir gula di dunia saat ini. Pada periode 1991 hingga 2001, industri gula Indonesia mulai mengalami berbagai masalah yang serius. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan laju persen per tahun, produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3.03 persen per tahun. Tahun 1997 hingga 2002, produksi gula mengalami penurunan dengan laju 6.14 persen per tahun (Dewan Gula Indonesia, 2005). Pertumbuhan populasi yang sekitar 1.2 persen per tahun turut mempengaruhi ketimpangan antara produksi dan konsumsi gula nasional. Pada akhirnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri maka Pemerintah perlu untuk melakukan impor gula. Data dari Departemen Pertanian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi gula nasional lebih rendah dari tingkat konsumsi gula nasional. Tabel 1. Produksi, Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun (Ton)

17 17 Tahun Produksi Konsumsi Impor Sumber : Dewan Gula Indonesia 2005, Kementerian Pertanian 2010 Menurut Djojosubroto 1995, turunnya produksi gula nasional antara lain disebabkan oleh dua hal yaitu: 1. Penurunan produktivitas gula per hektar (terutama di Jawa), yang disebabkan ; terjadinya pergeseran areal tebu dari lahan sawah ke lahan kering, tidak ada inovasi dan adaptasi teknologi budidaya tebu lahan kering secara memadai, dan naiknya biaya produksi; 2. Menurunnya rendemen karena faktor budidaya maupun pabrik yang disebabkan; semakin panjangnya hari giling pabrik gula sehingga masa giling pabrik gula semakin jauh dari periode waktu kemasakan tebu yang optimal, kurangnya pasokan tebu, dan meningkatnya angka pol hilang pada pabrik gula atau meningkatnya jumlah gula yang hilang per ton tebu yang digiling. Penyebab menurunnya rendemen gula, selain dari faktor teknis, juga

18 18 disebabkan oleh faktor sosial yaitu belum selarasnya hubungan antara pabrik gula dengan petani tebu (Adisasmito, 1998). Dua negara yang berhasil melakukan structural adjusment dalam industri gula adalah Australia dan Vietnam. Australia merupakan salah satu negara pengekspor gula terbesar kedua setelah Brazil. Sebagian besar produksi gula Australia diekspor ke negara lain. Usahatani tebu di Australia melibatkan keluarga petani tebu dengan produksi tebu mencapai 39 juta ton. Jumlah pabrik gula di sana sebanyak 12 pabrik gula dan jumlah produksi gula mencapai 5.5 juta ton (Males, 2006). Biaya produksi gula Australia termasuk yang terendah di dunia. Vietnam dengan One Million Ton of Sugar Programme (OMTSP) di tahun 1995 dinilai berhasil dengan bertambahnya jumlah penggilingan gula menjadi 44 penggilingan gula tahun , yang memproduksi 1.06 juta ton gula dari 11.5 juta ton tebu. Luas lahan pada tahun 1999 untuk usahatani tebu mencapai 350 ribu Ha. Keberhasilan yang dicapai Vietnam adalah untuk pemenuhan kebutuhan domestik gula tercapai pada tahun 2000, menciptakan lapangan kerja untuk 35 ribu pekerja dalam industri gula, peningkatan efisiensi penggunaan lahan sekitar 350 ribu Ha lahan, menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 300 ribu petani dengan lebih dari 2 juta orang yang mengalami peningkatan standar hidup dan pengembangan perdesaan (Tuy, 2006). Gula merupakan komoditas yang paling terdistorsi oleh kebijakan, di antara komoditas yang lain sejak tahun 1800an. Bentuk distorsi tersebut adalah proteksi yang mendorong sejumlah permasalahan, akibatnya produsen dan konsumen bereaksi terhadap mahalnya harga dan perusahaan melakukan

19 19 penyesuaian operasi mereka untuk mengambil keuntungan dari mahalnya harga atau menghindarinya jika mereka membuat produk yang menggunakan gula. Salah satu konsekuensi yang tidak dikehendaki dari tingginya proteksi adalah surplus produksi gula yang kemudian dibuang di pasar dunia dan dijual pada harga yang diberi subsidi. Banyak negara telah terpaksa untuk melindungi produsen domestik dari barang ekspor yang diberi subsidi dan menekan harga pasar dunia. Siklus dari proteksi, subsidi, dan proteksi yang lainnya tengah terjadi pada dekade ini (Mithcell, 2004). Adanya kesepakatan World Trade Organization (WTO) mengharuskan setiap Negara termasuk Indonesia untuk mengurangi distorsi perdagangan berupa akses pasar, subsidi domestik serta subsidi ekspor secara bertahap. Perjanjian tersebut menyatakan kebijakan ekonomi yang terdistorsi seperti pengenaan pajak ekspor output, tarif impor input, subsidi input, pengaturan harga dan tataniaga, dan intervensi terhadap nilai tukar serta penetapan suku bunga bank baik dalam kegiatan produksi maupun perdagangan komoditas pertanian termasuk gula secara bertahap akan hilang (Hadi et al., 2001). Akibatnya, sebelum pelaksanaan liberalisasi perdagangan tahun 2020, pemerintah harus mengatasi permasalahan tersebut melalui berbagai kebijakan untuk meningkatkan produktivitas industri gula nasional. Penetapan berbagai kebijakan pemerintah telah menunjukkan peningkatan produktivitas tebu per hektar rata-rata 4.5 persen per tahun pada periode (Mardianto et al, 2004). Peningkatan produktivitas tersebut diharapkan akan meningkatkan daya saing sehingga pada saat pelaksanaan liberalisasi perdagangan, industri gula nasional telah mandiri dan siap menghadapi persaingan global.

20 Perumusan Masalah Kemunduran industri gula Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1940-an. Efisiensi industri gula yang tercermin pada produktivitas dan hablur tebu pada periode 1930-an telah mengalami penurunan dan belum ada perbaikan hingga saat ini. Pada periode 1930-an, produktivitas tebu hampir mencapai 140 ton per hektar dan hablurnya mendekati 18 ton per hektar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas dan hablur saat ini yang hanya sekitar 78 ton dan 6 ton per hektar (Mardianto et al, 2005). Hasil beberapa penelitian menyebutkan bahwa Indonesia tidak efisien secara ekonomi dan tidak mempunyai keunggulan komparatif. Amang (1992) dalam Hafsah (2002) meninjau efisiensi penggunaan sumber daya alam yang tersedia. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa opportunity cost dari usahatani tebu di beberapa daerah di Jawa cukup tinggi. Opportunity cost tersebut semakin tinggi dengan semakin terbatasnya lahan subur di pulau Jawa dan alternatif penggunaan lahan untuk komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan. Hal tersebut juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Salim et al. (2004) yang menyatakan bahwa usahatani tebu tidak mempunyai keunggulan komparatif dengan koefisien DRC > 1, hal ini menunjukkan bahwa usahatani tebu tidak efisien secara ekonomi. Inefisiensi juga terjadi pada tingkat pengolahan di pabrik gula. Pada tahun 2001, dengan nilai tukar sebesar Rp 9 000,- per Dollar AS, 18 pabrik gula yang berada di Jawa tidak efisien baik secara teknis maupun ekonomis dari 44 pabrik gula yang dianalisis oleh Khudori (2004). Tingkat rendemen juga masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Rata-rata rendemen pabrik gula di Jawa

21 21 adalah sebesar 6-7 persen jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat rendemen negara lain yang rata-rata di atas 10 persen (Pakpahan, 2004). Khudori (2004) menyatakan bahwa pada tahun 1999 rata-rata biaya produksi gula dunia sebesar 13 sen Dollar AS per Pound dan rata-rata biaya produksi gula Indonesia adalah sebesar 11 sen Dollar AS per Pound. Biaya produksi industri gula nasional dapat dikatakan masih kompetitif. Di samping itu, harga gula internasional tidak selalu mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya. Hal ini disebabkan dengan adanya berbagai kebijakan subsidi domestik, pembatasan akses pasar serta subsidi ekspor yang dilakukan oleh negara eksportir maupun importir gula. Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan tingkat produksi gula antar daerah. Selain itu Jawa Timur memiliki jumlah Pabrik Gula (PG) terbanyak, yaitu 33 PG dengan total kapasitas produksi sebesar 883 ribu ton per tahun, atau sebesar persen dari total kapasitas produksi nasional pada tahun 1999/2000. Jika dilihat dari kapasitas rata-rata setiap PG, Jawa Timur menempati urutan kedua setelah Lampung. Bila digabungkan kedua daerah tersebut menghasilkan kontribusi sebesar persen dari total produksi gula Nasional. Adanya kesepakatan GATT dan WTO mengenai liberalisasi perdagangan memberikan peluang dan juga tantangan terhadap industri gula nasional. Peluangnya adalah segala bentuk proteksi terhadap industri gula yang dilakukan oleh negara-negara maju selama ini akan hilang secara bertahap. Hal ini akan menyebabkan harga internasional akan mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya. Negara-negara yang mempunyai daya saing akan mempunyai

22 22 kemampuan lebih besar dalam persaingan di pasar internasional. Namun hal ini juga akan menjadi tantangan mengingat efisiensi industri gula Indonesia masih rendah dan pemerintah juga masih melakukan proteksi terhadap industri gula nasional. Penurunan produksi dan produktivitas gula, inefisiensi di pengolahan pabrik gula, dan liberalisasi perdagangan adalah bagian dari perubahan industri dan struktur gula nasional. Para petani di tingkat usahatani tebu, juga mempertimbangkan untuk usahatani alternatif yang menguntungkan baginya. Campur tangan pemerintah bertujuan untuk mengurangi tekanan perubahanperubahan yang bersifat negatif atau merugikan, tetapi adakalanya kebijakan pemerintah menimbulkan untintended consequences. Oleh Karena itu kebijakan pemerintah yang efektif dan efisien diperlukan untuk menstimulasi penyesuaian struktural untuk menciptakan pertumbuhan dan kesejahteraan bagi semua pihak. Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana daya saing usahatani tebu di Jawa Timur dilihat dari keunggulan komparatif dan kompetitifnya? 2. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu di Jawa Timur? 3. Penyesuaian struktural seperti apa yang dapat dilakukan untuk industri gula di Jawa Timur? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang penelitian ini adalah sebagai berikut:

23 23 1. Menganalisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) usahatani tebu di Jawa Timur 2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani tebu di Jawa Timur. 3. Merekomendasikan penyesuaian struktural bagi industri gula di Jawa Timur. 1.4 Ruang lingkup dan Batasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis Komparatif dan kompetitif usahatani tebu dengan menggunakan Policy Analysis matrix (PAM) yang meliputi perhitungan nilai rasio sumber daya domestik/ Domestic Resources Cost (DRC), Private Cost Rasio (PRC), dan dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing terhadap komoditas gula. Penelitian ini difokuskan dan mengukur tingkat daya saing usahatani tebu pada lahan sawah dan tegalan yang menanam tebu dari bibit Plantation Cane (PC) dan juga kepras (keprasan). Penelitian ini tidak membahas langsung daya saing pada tingkat pengolahan dipabrik gula. Batasan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini difokuskan pada tiga kabupaten di Jawa Timur dengan pertimbangan lokasi pabrik gula besar dan kecil yaitu Kabupaten situbondo, Lumajang dan Jember. 2. Gula yang menjadi bahasan penelitian adalah Gula Kristal Putih yang berasal dari PT. Perkebunan Nusantara.

24 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan. Variabel yang sangat penting dalam proses budi daya tanaman tebu adalah keadaan lahan, agroklimat, waktu tanam, teknik budi daya, proporsi tebu pertama dan tebu keras serta panen (tebang dan angkut). Tanaman tebu merupakan tanaman yang sangat peka terhadap perubahan unsur-unsur iklim. Oleh karena itu, waktu tanam dan panen harus diperhatikan agar tebu dapat membentuk gula secara optimal. Tanaman tebu banyak membutuhkan air selama masa pertumbuhan vegetatifnya dan membutuhkan sedikit air pada masa pertumbuhan generatifnya (Mubyarto dan Damayanti,

25 ). Terdapat dua cara penanaman tebu, yaitu di lahan sawah dengan sistem reynoso (cara pengolahan tanah sawah untuk tanaman tebu) dan di lahan tegalan dengan sistem tebu lahan kering. Tebu lahan sawah memiliki beberapa kategori, tergantung dari pola penanaman. Tebu tanam atau tebu Tebu Rakyat Sawah I (TRIS I) adalah pola penanaman tebu dengan menggunakan bibit. Sedangkan tebu keras atau TRIS II dan selanjutnya adalah penanaman tebu dari kepras atau tunas yang berasal dari sisa panen. Perbedaan kategori tersebut berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas tebu. Teknologi budi daya yang tepat serta penggunaan varietas unggul yang paling sesuai dengan kondisi lahannya dapat menghasilkan tebu dengan bobot dan rendemen yang tinggi. Selain itu perlu diperhatikan juga kegiatan pasca panen dengan cara menghindari kerusakan tebu pada saat penebangan maupun pengangkutan, serta menjaga kebersihan tebu saat akan dikirim ke pabrik gula sehingga tebu yang akan digiling di pabrik gula mempunyai kriteria bersih, segar dan manis. Sistem usahatani tebu dilaksanakan dengan sistem Hak Guna Usaha (HGU) dan Sistem Tebu Rakyat (TR). Dalam sistem HGU, pelaksanaan penanaman tebu, tebang angkut kemudian proses pengolahan menjadi gula merupakan tanggung jawab pabrik gula. Pada sistem TR yang dilaksanakan dengan pola kemitraan, petani bertanggung jawab terhadap kebun tebu sampai kegiatan tebang angkut dan proses pengolahannya diserahkan ke pabrik gula. Sistem tebu rakyat dengan pola kemitraan dilaksanakan berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Indonesia. Berdasarkan Inpres

26 26 tersebut, petani yang berada di wilayah-wilayah tertentu diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku gula. Namun pada tahun 1997 pola ini mengalami perubahan berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 1997 tentang Program Pengembangan Tebu Rakyat antara pabrik gula dan petani dengan fasilitas kredit. Perubahan yang mendasar dari Inpres tersebut adalah adanya kebebasan petani tebu untuk memilih komoditas tanaman yang dikehendakinya. Hal ini menyebabkan berkurangnya areal tebu sawah akibat adanya persaingan dengan tanaman alternatif yang dianggap lebih menguntungkan. Adanya persaingan dengan tanaman alternatif, terutama padi menyebabkan pergeseran lahan dari lahan sawah beririgasi menjadi lahan tegalan yang kurang ideal bagi tanaman tebu. Hal ini menyebabkan kurangnya pasokan bahan baku ke pabrik gula dan pabrik beroperasi di bawah kapasitas gilingnya sehingga mengurangi efisiensi dan mengganggu kinerja pabrik. Untuk mengatasi hal tersebut salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan produktivitas tebu. Agar tanaman tebu dapat bersaing dengan tanaman alternatif, maka produktivitas tanaman tebu harus mencapai 80 ton per hektar dengan tingkat rendemen 8 ton per hektar (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004) Pengolahan Proses pengolahan tebu adalah memeras nira dari batang tebu dan memprosesnya menjadi gula kristal dengan tingkat kehilangan gula (pol) sekecil mungkin. Tingkat kehilangan tersebut dapat terjadi pada ampas, blotong dan tetes. Rata-rata mutu tebu yang berada di pabrik gula di Jawa memiliki mutu yang rendah dengan nilai pol berkisar antara , nilai nira perasan pertama 9.9 -

27 dan kadar kotoran tebu antara 6-20 persen. Rendahnya mutu tebu diperparah dengan kondisi beberapa pabrik gula yang sudah tua. Sekitar 68 persen dari jumlah pabrik gula yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun dan kurang mendapat perawatan yang memadai. Hal ini menyebabkan efisiensi yang rendah dan meningkatkan biaya produksi per unit (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004). Meskipun demikian, pabrik gula di Jawa masih berpotensi untuk ditingkatkan produktivitasnya melalui optimalisasi kapasitas giling serta penggalangan dengan petani. Pada tahun 2002 hasil giling pabrik gula yang berada di Jawa mengalami kenaikan produksi sebesar 14 persen (Sawit et a.l, 2004). Adanya program akselerasi Industri Gula Nasional telah memberikan insentif bagi petani tebu untuk kembali menanam tebu sehingga terjadi perluasan areal tanaman tebu Kebijakan Ekonomi Gula Perubahan yang paling mendasar yang melandasi ekonomi gula adalah dibebaskannya tataniaga gula dari monopoli Bulog ke mekanisme pasar pada tahun Selain sistem tataniaga, sistem produksi juga mengalami perubahan dengan dicabutnya Inpres No 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi dan memberikan kebebasan kepada petani untuk memilih tanaman yang diusahakannya sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Papahan, 2004). Perubahan tersebut memberikan keuntungan bagi industri gula nasional, terutama petani tebu. Namun dengan adanya Letter of Intent yang menyatakan pembebasan bea masuk 0 persen bagi komoditi pertanian menyebabkan

28 28 membanjirnya impor gula. Keadaan tersebut diperparah dengan masuknya impor gula ilegal dan adanya impor gula yang langsung dijual kepada konsumen sehingga harga gula domestik mengalami penurunan yang drastis dari Rp per kg menjadi Rp per kg. Penurunan harga yang drastis ini telah menghilangkan insentif bagi petani tebu, sehingga petani tebu enggan untuk menanam tebu. Kemudian muncul SK Menperindag Nomor 230/MPP/Kep/1999, yang menetapkan tarif impor sebesar 20 persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar untuk mengefektifkan penerapan tarif, bea masuk impor gula diubah menjadi tarif spesifik sebesar Rp 550,- per kg untuk raw sugar dan Rp 700 untuk white sugar (Sawit, et al, 2004). Tahun 2002 kebijakan tersebut dikombinasikan dengan kuota impor berdasarkan SK Menperindag Nomor 643/MPP/Kep/2002 tentang tataniaga Impor Gula. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa impor gula putih hanya dapat dilakukan oleh Importir Terdaftar Gula (IT). IT ini merupakan perusahaan yang memperoleh bahan baku minimal 75 persen berasal dari petani tebu dan impor gula hanya dilakukan pada saat harga di tingkat petani mencapai Rp per kg. Kebijakan ini telah memberikan insentif bagi petani tebu untuk kembali menanam tebu. Seiring dengan perkembangan pergulaan nasional, tahun 2004 Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004 tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan dan Keputusan Republik Indonesia Nomor 58 tentang penanganan gula yang diimpor secara tidak sah. Kemudian muncul Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

29 29 527/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula. Keputusan ini bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula. 2.2 Penelitian yang Terkait Studi yang dilakukan oleh Nelson dan Panggabean (1991), menyatakan bahwa kebijakan industri gula di Indonesia merupakan suatu jaringan kebijakan yang saling bertentangan dan kompleks baik antara kegiatan di bidang produksi, price support, pupuk maupun subsidi kredit. Melalui pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) hasil analisisnya menunjukkan bahwa pada musim tanam 1986/1987, baik pada lahan kering maupun irigasi pengusahaan komoditas tebu tidak memberikan keuntungan sosial karena tingginya opportunity cost dari penggunaan lahan. Malah ditemukan bahwa keuntungan sosial ada lahan beririgasi negatif karena biaya opportunity cost dari tanah. Khusus untuk lahan kering keuntungan sosialnya negatif tapi keuntungan privatnya positif. Sedangkan di tingkat pengolahan total biaya privat menggiling tebu (termasuk biaya untuk tebu) adalah sebesar Rp 383 miliar, sedangkan total pendapatan hanya Rp 372 miliar, jadi ada privat loss sebesar Rp 11 miliar. Biaya sosial untuk mengolah gula lebih besar daripada biaya privat. Sumber perbedaannya adalah pada subsidi modal pada penggilingan sebesar Rp 69 miliar. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah terdapat biaya sosial yang hilang sebesar Rp 465 miliar. Petani, konsumen dan pemerintah menyubsidi produksi gula. Bagi petani, transfer yang diterima dari subsidi modal, input dan harga yang lebih tinggi dari harga

30 30 dunia akan digantikan dengan kerugian hilangnya kemungkinan mendapatkan hasil dengan alternatif yang menguntungkan. Konsumen membayar Rp 263 miliar lebih banyak jika harga gula domestik tidak sama dengan harga dunia. Pemerintah akan kehilangan sebesar Rp 88 miliar dalam bentuk subsidi modal ke penggilingan dan petani TRI serta Rp 34 miliar subsidi untuk input bahan kimia. Rawan dan Hutabarat (1991) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Efisiensi Penggunaan Masukan dan Ekonomi Skala Usaha pada Usahatani Tebu di Jawa Timur. Berdasarkan analisis fungsi keuntungan maka hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pada usahatani tebu, perubahan upah tenaga kerja memiliki pengaruh lebih besar terhadap keuntungan usahatani dibandingkan dengan perubahan harga bibit,pupuk dan obat. 2. Bila dibandingkan menurut kategori tanaman tebu, pengaruh upah tenaga kerja terhadap keuntungan usahatani lebih besar pada tanaman tebu baru lahan sawah daripada tanaman tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering. Pola yang sama terjadi untuk pengaruh harga pupuk dan obat. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan usahatani tebu tanaman baru pada lahan sawah lebih peka terhadap perubahan harga masukan usahatani dibanding tebu keprasan. Penggunaan masukan pada usahatani tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering sudah efisien. Namun pada tanaman tebu baru lahan sawah hanya penggunaan bibit yang telah efisien. Hal ini berimplikasi untuk memaksimumkan keuntungan usahatani tebu baru lahan sawah penggunaan tenaga kerja, pupuk, dan obat hendaknya ditingkatkan.

31 31 Kajian yang dilakukan Ernawati (1997) melalui model persamaan simultan menggunakan data seri tahun dengan metode penggunaan parameter menggunakan metode 2 SLS menunjukkan hasil bahwa dalam 30 tahun terakhir produksi gula meningkat dengan laju 5.18 persen per tahun, terutama disebabkan oleh peningkatan luas areal tanam bukan karena produktivitas tanaman tebu. Produksi tebu secara nyata dipengaruhi oleh luas areal tanam tebu tahun lalu dan rasio luas areal tanam di lahan kering/luas areal tanam total. Sementara itu dari tujuh variabel, peningkatan produktivitas tebu secara nyata hanya dipengaruhi oleh produktivitas tahun lalu dan musim. Stok gula nasional dipengaruhi oleh produksi gula, stok tahun sebelumnya dan kebijakan pemasaran. Sedangkan impor dipengaruhi oleh nilai tukar dan jumlah populasi. Sedangkan sisi permintaan terdiri dari dua persamaan struktural yaitu permintaan gula rumah tangga yang dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dengan nilai elastisitas sebesar 0.54 dan permintaan gula industri secara nyata dipengaruhi oleh tingkat pendapatan per kapita. Studi PAM tentang gula lainnya dilakukan oleh Malian (1998) berjudul Dampak Deregulasi Gula terhadap Penerimaan Petani Tebu bertujuan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan insentif yang diperoleh dari intervensi pemerintah, serta dampaknya terhadap aktivitas usahatani, pengolahan dan pemasaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komoditas gula memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional. Hal ini terlihat dari tingkat keuntungan pada harga sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dari harga pasar. Berdasarkan harga pasar, keuntungan yang diperoleh petani setelah deregulasi adalah sebesar Rp pada lahan

32 32 sawah, Rp pada lahan kering dengan pola kredit dan Rp untuk lahan kering pola swadana. Berdasarkan harga sosial keuntungan usahatani yang diterima meningkat menjadi Rp pada lahan sawah, Rp pada lahan kering pola kredit, dan Rp untuk lahan kering pola swadana. Kesimpulan dari penelitian ini adalah setelah adanya deregulasi, pengembangan usahatani tebu secara ekonomi dapat dikatakan efisien dalam penggunaan sumberdaya domestik. Hal ini tercermin dalam indeks DRCR untuk mengetahui efisiensi ekonomi relatif dari sistem komoditas gula yang berkisar antara sampai , dengan demikian pengembangan komoditas tebu untuk memasok kebutuhan bahan baku pabrik gula dapat terus dilanjutkan. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani tebu yang dilakukan oleh Salem et al. (2004). Hasil analisisnya menyimpulkan bahwa usahatani tebu di Kabupaten Kediri, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Klaten tidak mempunyai keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien DRC > 1. Namun, usahatani di Kabupaten tersebut masih memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien PCR < 1. Keunggulan kompetitif yang diperoleh lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang cenderung protektif. Hadi dan Nuryanti (2005) meneliti tentang dampak kebijakan proteksi terhadap ekonomi gula Indonesia. Dari penelitiannya disimpulkan bahwa kebijakan proteksi berupa tarif maupun non tarif menyebabkan kenaikan harga gula domestik. Kenaikan tersebut tercermin pada selisih antara harga paritas impor gula di tingkat grosir dengan harga aktual di tingkat grosir. Harga paritas impor gula di tingkat grosir pada tahun 2004 adalah Rp per kg dan harga

33 33 aktual di tingkat grosir adalah Rp per kg. Selisih antara tingkat harga tersebut adalah Rp per kg yang merupakan selisih harga akibat diterapkannya proteksi berupa tarif dan non tarif. Studi yang dilakukan oleh Susila dan Sinaga (2005) tentang analisis kebijakan industri gula Indonesia, didapati bahwa berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah seperti kebijakan harga provenue gula, tarif impor, tariff rate quota, dan subsidi input merupakan instrumen kebijakan yang efektif untuk mengembangkan industri gula nasional dan mengurangi impor. Namun tingkat efektivitas dari masing-masing kebijakan berbeda. Kebijakan harga provenue gula memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan tariff rate quota dan kebijakan tarif.

34 34

35 35 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis Konsep Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak, 1992). Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur daya saing komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dari pengusahaan komoditi tersebut. Tingkat keuntungan dapat dilihat dari keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sedangkan efisiensi pengusahaan komoditi dapat didapat dari tingkat keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. a. Teori Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif pertama kali dikemukakan oleh David Ricardo pada tahun 1817, yang selanjutnya dikenal dengan Model Ricardian/Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Hukum tersebut menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien (memiliki kerugian absolut) dibandingkan negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Suatu negara harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar (memiliki kerugian komperatif) (Salvatore, 1997). Tahun 1933 Eli Heckscher dan Bertil Ohlin melakukan perbaikan

36 36 terhadap hukum keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo. Dari perbaikan tersebut dihasilkan suatu teorema Heckscher-Ohlin (H-O) yang menyatakan bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif berlimpah dan murah di negara tersebut, dan pada saat yang sama mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan faktor produksi yang relatif langka dan mahal di negara tersebut. Teorema H-O menonjolkan perbedaan dalam kelimpahan faktor atau kepemilikan faktor-faktor produksi sebagai landasan keunggulan komparatif bagi masingmasing negara. Sehingga teorema H-O memberikan penjelasan mengenai proses terbentuknya keunggulan komparatif bagi suatu negara dalam memproduksi suatu komoditi (Salvatore, 1997). Keunggulan suatu komoditi diukur berdasarkan biaya oportunitas. Haberler, 1936 menyatakan bahwa biaya sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama (Salvatore, 1997). Biaya oportunitas ini kemudian dikenal sebagai shadow price atau social cost yang menggambarkan nilai barang atau jasa yang dikorbankan untuk altematif penggunaan terbaik bagi masyarakat secara keseluruhan (Gittinger, 1986). Menurut Sudaryanto dan Simatupang (1993) dalam Saptana et al, (2001). Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing potensial yang dapat dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif maka komoditi tersebut efisien secara ekonomi.

37 37 b. Teori Keunggulan Kompetitif Kondisi perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan pada kondisi perekonomian aktual. Oleh karena itu, untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan kondisi perekonomian aktual digunakan konsep keunggulan kompetitif. Konsep keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku (analisis finansial). Sudaryanto dan Simatupang (1993) dalam Saptana et al, (2001). menyatakan bahwa konsep yang lebih sesuai untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif. Kelayakan finansial menilai manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam proyek atau aktivitas ekonomi tersebut. Sedangkan kelayakan ekonomi menilai manfaat proyek atau aktivitas ekonomi tanpa melihat lembaga atau individu yang terlibat dalam proyek atau aktivitas tersebut (Gittinger, 1986). Komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif mencerminkan komoditi tersebut mempunyai manfaat bagi ekonomi suatu negara secara keseluruhan. Sedangkan komoditi yang mempunyai keunggulan kompetitif mencerminkan komoditi tersebut mempunyai manfaat hanya bagi pelaku yang terlibat dalam industri tersebut. Menurut Porter, dalam era persaingan global saat ini, suatu bangsa atau negara yang mempunyai keunggulan kompetitif dapat bersaing di pasar internasional apabila memiliki empat faktor. Keempat faktor produksi tersebut adalah sebagai berikut (Halwani, 2002):

38 38 1. Keadaan faktor produksi yang dimiliki oleh suatu negara yang terdiri dari sumberdaya alam, sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta infrastruktur 2. Keadaan permintaan dan tuntutan mutu di dalam negeri untuk hasil industri tertentu. Keadaan permintaan terdiri dari komposisi permintaan rumah tangga, ukuran dan pola pertumbuhan permintaan rumah tangga, pertumbuhan pasar domestik dan kecenderungan permintaan internasional 3. Eksistensi industri terkait dan pendukung yang kompetitif secara internasional 4. Strategi perusahaan itu sendiri, struktur serta sistem persaingan antar perusahaan Dalam perencanaan dan pengembangan produksi suatu komoditi tertentu oleh suatu negara atau perusahaan, sebaiknya digunakan kedua konsep, yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif Kebijakan Pemerintah Sebagian besar kebijakan pemerintah ditujukan untuk tiga tujuan dasar, yaitu efisiensi, pemerataan dan ketahanan. Efisiensi dapat diperoleh pada saat alokasi sumberdaya yang langka dalam ekonomi menghasilkan sejumlah keuntungan yang maksimum dan alokasi barang dan jasa memberikan kepuasan tertinggi bagi konsumen. Pemerataan mengacu pada distribusi pendapatan antara berbagai golongan atau wilayah, yang menjadi target pembuat kebijakan. Sedangkan ketahanan, misal ketahanan pangan mengacu pada ketersediaan suplai pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau (Pearson et al, 2004).

39 39 Terdapat dua bentuk kebijakan yang ditujukan untuk mencapai tiga tujuan tersebut, yaitu subsidi dan kebijakan perdagangan dalam negeri. Kebijakan subsidi dapat berupa subsidi positif yaitu subsidi yang diberikan oleh pemerintah dan subsidi negatif yang dibayarkan kepada pemerintah atau disebut pajak. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor terhadap suatu komoditi melalui pemberlakuan tarif atau kuota. Kebijakan perdagangan ekspor dilakukan untuk melindungi konsumen dalam negeri apabila harga domestik lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Sedangkan kebijakan perdagangan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri apabila harga domestik lebih tinggi dari harga di pasar dunia. Adanya kesepakatan World Trade Organization (WTO) mengenai Perjanjian Pertanian atau Agrement on Agricultural (AoA) maka setiap negara anggota harus mengurangi distorsi-distorsi perdagangan pertanian, seperti subsidi domestik, subsidi ekspor dan akses pasar. Untuk subsidi domestik, dalam pelaksanaannya diuraikan 'menjadi tiga kotak perlakuan yaitu kotak hijau (green box), kotak kuning (amber box) dan kotak biru (blue box). Perlakuan pada kotak hijau meliputi kebijakan bantuan pertanian secara umum, seperti penelitian dan pengembangan, pengendalian hama dan penyakit, keamanan pangan serta bantuan pangan domestik. Perlakukan pada kotak hijau menghasilkan dampak yang minimum terhadap perdagangan dan dikecualikan dari setiap komitmen pengurangan. Perlakuan pada kotak kuning meliputi kebijakan bantuan harga tertentu yang ditujukan kepada petani. Perlakukan ini dihitung pada produk dengan dasar

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA Oleh: A. Husni Malian Erna Maria Lokollo Mewa Ariani Kurnia Suci Indraningsih Andi Askin Amar K. Zakaria Juni Hestina PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Menurut penelitian Fery (2013) tentang analisis daya saing usahatani kopi Robusta di kabupaten Rejang Lebong dengan menggunakan metode Policy Analiysis

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 83 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A14302003 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Perdagangan Internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara yang

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2000 sampai tahun 2005 industri gula berbasis tebu merupakan

Lebih terperinci

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRAK... xiii ABSTRACT...

Lebih terperinci

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG VI. 6.1 Analisis Dayasaing Hasil empiris dari penelitian ini mengukur dayasaing apakah kedua sistem usahatani memiliki keunggulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 email: mardianto.anto69@gmail.com ABSTRAK 9 Penelitian tentang Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa

Lebih terperinci

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL. ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL Peneliti: Fuat Albayumi, SIP., M.A NIDN 0024047405 UNIVERSITAS JEMBER DESEMBER 2015

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif

Lebih terperinci

JIIA, VOLUME 2, No. 1, JANUARI 2014

JIIA, VOLUME 2, No. 1, JANUARI 2014 ANALISIS POSISI DAN TINGKAT KETERGANTUNGAN IMPOR GULA KRISTAL PUTIH DAN GULA KRISTAL RAFINASI INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL (Analysis of the Position and Level of Dependency on Imported White Sugar

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI Daya saing usahatani jambu biji diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 59 V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 5.1. Perkembangan Kondisi Pergulaan Nasional 5.1.1. Produksi Gula dan Tebu Produksi gula nasional pada tahun 2000 sebesar 1 690

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN. Oleh: AHMAD YOUSUF KURNIAWAN

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN. Oleh: AHMAD YOUSUF KURNIAWAN ANALISIS EFISIENSI EKONOMI DAN DAYA SAING USAHATANI JAGUNG PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN Oleh: AHMAD YOUSUF KURNIAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRACT

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Krisna Setiawan* Haryati M. Sengadji* Program Studi Manajemen Agribisnis, Politeknik Pertanian Negeri

Lebih terperinci

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS. EVALUASI KEBIJAKAN BONGKAR RATOON DAN KERAGAAN PABRIK GULA DI JAWA TIMUR TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS Diajukan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem dengan lokasi sampel penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu. Penentuan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DI PROPINSI JAWA TIMUR

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DI PROPINSI JAWA TIMUR ANALISIS DAYA SAING USAHATANI TEBU DI PROPINSI JAWA TIMUR MEWA ARIANI, ANDI ASKIN DAN JUNI HESTINA Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

-z; DAYA SAING USAHATANI TEBU DI JAWA TIMUR. FAE. Vol. 14 No.1, Juli 1996 PENDAHULUAN

-z; DAYA SAING USAHATANI TEBU DI JAWA TIMUR. FAE. Vol. 14 No.1, Juli 1996 PENDAHULUAN DAYA SAING USAHATANI TEBU DI JAWA TIMUR A. Husni Malian dan Amiruddin Syam 1) ABSTRAK Propinsi Jawa Timur merupakan daerah penghasil gula terbesar di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir produksi gula

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Daya Saing Dalam sistem perekonomian dunia yang semakin terbuka, faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan dunia (ekspor dan impor)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA Fokus MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS Guru Besar Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis, Program Pascasarjana IPB Staf

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula. V. EKONOMI GULA 5.1. Ekonomi Gula Dunia 5.1.1. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Peningkatan jumlah penduduk dunia berimplikasi pada peningkatan kebutuhan terhadap bahan pokok. Salah satunya kebutuhan pangan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special product) dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 45 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan daerah tersebut dilakukan secara purposive

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan definisi yang sering digunakan yaitu hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan bagi

Lebih terperinci

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian PENDAHULUAN POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN Dr. Adang Agustian 1) Salah satu peran strategis sektor pertanian dalam perekonomian nasional

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Industri gula adalah salah satu industri bidang pertanian yang secara nyata memerlukan keterpaduan antara proses produksi tanaman di lapangan dengan industri pengolahan. Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM VI ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan kemampuan jeruk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Produksi Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan yang memungkinkan dilakukannya proses

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cilembu (Kecamatan Tanjungsari) dan Desa Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) Novi Itsna Hidayati 1), Teguh Sarwo Aji 2) Dosen Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan ABSTRAK Apel yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman perkebunan merupakan salah satu tanaman yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia. Letak geografis dengan iklim tropis dan memiliki luas wilayah yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan Pustaka Bahan baku proses pabrik gula adalah tanaman yang banyak mengandung gula. Kandungan gula dalam tanaman ini berasal dari hasil proses asimilasi yang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Sapi Potong di Kabupaten Indrgiri Hulu 5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Sapi Potong Usaha peternakan sapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special products) dalam forum perundingan Organisasi

Lebih terperinci

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010 Volume 12, Nomor 1, Hal. 55-62 ISSN 0852-8349 Januari - Juni 2010 DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING DAN EFISIENSI SERTA KEUNGGULAN KOMPETITIF DAN KOMPARATIF USAHA TERNAK SAPI RAKYAT DI KAWASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia dan salah satu sumber pendapatan bagi para petani. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan 33 III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy ABSTRACT SAFRIDA. The Impact of Migration Policy on Labor Market and Indonesian Economy (BONAR M. SINAGA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of the Advisory Committee) The problem of

Lebih terperinci

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO RINGKASAN ISVENTINA. H14102124. Analisis Dampak Peningkatan Ekspor Karet Alam Terhadap Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Analisis Input-Output. Di bawah bimbingan DJONI HARTONO. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

EFISIENSI DAN DAYASAING USAHATANI TEBU DAN TEMBAKAU DI JAWA TIMUR DAN JAWA TENGAH

EFISIENSI DAN DAYASAING USAHATANI TEBU DAN TEMBAKAU DI JAWA TIMUR DAN JAWA TENGAH EFISIENSI DAN DAYASAING USAHATANI TEBU DAN TEMBAKAU DI JAWA TIMUR DAN JAWA TENGAH Saptana, Supena, dan Tri Bastuti Purwantini Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No.

Lebih terperinci

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP PURWATI RATNA W, RIBUT SANTOSA, DIDIK WAHYUDI Fakultas Pertanian, Universitas Wiraraja Sumenep ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya sebagian besar adalah petani. Sektor pertanian adalah salah satu pilar dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan

Lebih terperinci

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini, RINGKASAN Kendati Jambu Mete tergolong dalam komoditas unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari dan kerapkali mengalami guncangan pasar, yang akhirnya pelaku (masyarakat) yang terlibat dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. zaman penjajahan) yang sebenarnya merupakan sistem perkebunan Eropa.

I. PENDAHULUAN. zaman penjajahan) yang sebenarnya merupakan sistem perkebunan Eropa. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan sistem perekonomian pertanian komersil yang bercorak kolonial. Sistem Perkebunan ini dibawa oleh perusahaan kapitalis asing (pada zaman penjajahan)

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR 350 PARTNER, TAHUN 21 NOMOR 2, HALAMAN 350-358 ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR Krisna Setiawan Program Studi Manajemen Agribisnis Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jalan

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN 8.1. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Harga Input terhadap Penawaran Output dan Permintaan

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT Yusuf 1 dan Rachmat Hendayana 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan bagi masyarakat dunia. Manfaat gula sebagai sumber kalori bagi masyarakat selain dari beras, jagung

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis terhadap tujuan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING BUAH STROBERI DI KABUPATEN PURBALINGGA JAWA TENGAH (Studi Kasus di Desa Serang Kecamatan Karangreja Kabupaten Purbalingga)

ANALISIS DAYA SAING BUAH STROBERI DI KABUPATEN PURBALINGGA JAWA TENGAH (Studi Kasus di Desa Serang Kecamatan Karangreja Kabupaten Purbalingga) ANALISIS DAYA SAING BUAH STROBERI DI KABUPATEN PURBALINGGA JAWA TENGAH (Studi Kasus di Desa Serang Kecamatan Karangreja Kabupaten Purbalingga) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna memperoleh

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian. 29 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang dipergunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sampai kurun waktu 1976 Indonesia masih termasuk salah satu negara pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah kurun waktu tersebut,

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun 2012... 5 2. Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun 2010-2012... 6 3. Luas panen, produktivitas, dan produksi manggis

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pabrik gula merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia karena pabrik gula bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, kebutuhan industri lainnya, dan penyedia

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO Policy Impact of Import Restriction of Shallot on Farm in Probolinggo District Mohammad Wahyudin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki keunggulan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Salah satu keunggulan sebagai produsen

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR

ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup) Oleh: MERIKA SONDANG SINAGA A14304029 PROGRAM

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang baik dan biaya produksi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan yang memegang peranan penting dalam perdagangan dan perekonomian negara. Kopi berkontribusi cukup

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut. 7.1 Simpulan 1. Dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Tarif Bawang Merah Sejak diberlakukannya perjanjian pertanian WTO, setiap negara yang tergabung sebagai anggota WTO harus semakin membuka pasarnya. Hambatan perdagangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi menjadi produsen gula dunia karena didukung agrokosistem, luas lahan serta tenaga kerja yang memadai. Di samping itu juga prospek pasar

Lebih terperinci

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor Lilis Ernawati 5209100085 Dosen Pembimbing : Erma Suryani S.T., M.T., Ph.D. Latar Belakang

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

STUDI KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI TEBU ABSTRACT ABSTRAK

STUDI KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI TEBU ABSTRACT ABSTRAK AGRISE Volume X No. 2 Bulan Mei 2010 ISSN: 1412-1425 STUDI KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI TEBU (COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY OF SUGAR CANE FARMING) Riyanti Isaskar 1, Salyo Sutrisno 1, Dinik Putri D. 1

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI TEBU DI LAHAN TEGALAN KASUS DI KABUPATEN BONDOWOSO

ANALISIS USAHATANI TEBU DI LAHAN TEGALAN KASUS DI KABUPATEN BONDOWOSO ANALISIS USAHATANI TEBU DI LAHAN TEGALAN KASUS DI KABUPATEN BONDOWOSO Daru Mulyono Pusat Teknologi Produksi Pertanian - BPPT Gedung BPPT 2, Lantai 17 Abstract The objectives of the research are to know

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci