BAB I PENDAHULUAN I.1.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1."

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan pantai dan pesisirnya terpanjang ke-4 di dunia yaitu sepanjang km menurut PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) tahun Wilayah pesisir Indonesia memiliki morfologi pantai yang beragam. Pemetaan karakteristik pantai di Sumatera Barat menunjukkan keadaan umum morfologi pantai landai lurus serta pantai berbentuk teluk yang curam (Yudhicara, 2008). Pantai selatan Jawa di daerah Yogyakarta memiliki morfologi pantai lurus dan curam (Sekarsih, 2008). Daerah Pacitan memiliki morfologi pantai yang dibagi menjadi tiga yaitu morfologi landai dengan relief rendah dengan garis pantainya berbentuk teluk terbuka. Kedua yaitu pantai landai hingga bergelombang dengan relief menengah dengan bentuk garis pantai umumnya membentuk kantong kantong pantai dan teluk terbuka. Ketiga yaitu morfologi pantai berbatu yang terjal dengan relief tinggi (Yudhicara, 2009). Data penelitan tersebut menunjukan variasi morfologi pantai di wilayah pesisir Indonesia yang umum dijumpai adalah morfologi pantai berbentuk teluk, tanjung, pantai lurus, pantai landai dan pantai curam. Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Wilayahnya terletak diantara tiga pertemuan lempeng tektonik bumi yang sangat besar dan aktif, sehingga menyebabkan wilayah Indonesia sering terjadinya gempa tektonik yang bersumber dari bawah laut dan berpotensi tsunami. Indonesia juga berada pada zona tektonik, wilayah ini banyak terdapat gunung berapi yang sangat aktif, sehingga Indonesia menjadi wilayah yang sangat rawan bencana gempa bumi, letusan gunung berapi, serta gerakan patahan aktif yang menyebabkan tsunami. Indonesia telah mengalami 148 kali tsunami selama tahun , dan 90% pemicunya adalah akibat gempa bumi bawah laut (Latief, 2005). Tsunami telah berulangkali melanda daerah di Indonesia. Daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang umumnya memiliki morfologi pantai lurus dan teluk dengan kemiringan pantai yang landai di landa tsunami pada tanggal 26 Desember 1

2 Pemicunya adalah gempa bumi dengan kekuatan 9,1 Mw. Tinggi gelombang tsunami di pantai tersebut mencapai 30 meter (Kompas, 2005) serta menelan lebih dari korban jiwa (Sugito, 2008). Wilayah pesisir selatan Pulau Jawa yang umumnya memiliki morfologi pantai teluk dan tanjung yang landai, pada tanggal 17 Juli 2006 juga di landa tsunami. Kepulauan Mentawai yang umumnya morfologi pantai berbentuk lurus dengan kemiringan landai, pada 25 Oktober 2010 diguncang gempa bumi dengan kekuatan 7,2 SR yang disertai tsunami. Ketinggian gelombang tsunami mencapai pantai bervariasi yaitu lima s/d enam meter mengarah ke utara dan bahkan mencapai 14 meter (LIPI, 2010), serta menelan korban jiwa (Kompas, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Yudhicara (2011), menyatakan bahwa simulasi tsunami yang dilakukan dalam penelitiannya menunjukkan bahwa tinggi maksimum gelombang terjadi di teluk Pacitan. Ketinggian gelombang mencapai 43,2 meter pada magnitud gempa sebesar 8,5 Mw. Mitigasi bencana tsunami harus terus dilakukan terutama penduduk di daerah pesisir. Upaya yang bersifat edukatif dan teknis sebaiknya perlu dilakukan. Penyediaan informasi daerah rawan dan aman dari tsunami merupakan salah satu upaya dari mitigasi bencana, sehingga penduduk dapat senantiasa waspada terhadap bencana tsunami. Penyediaan informasi daerah aman dan rawan tsunami tersebut dapat ditentukan salah satunya dengan melakukan simulasi tsunami dengan melibatkan parameter yang berpengaruh terhadap tsunami dan landaannya, salah satunya adalah keadaan morfologi pantai. Tsunami dapat disimulasikan dengan pemodelan secara numerik, salah satunya menggunakan model numerik TUNAMI (Tohoku University s Numerical Analysis Model for Investigation of Near-field tsunamis). Model numerik ini telah digunakan oleh Pertiwi (2005), Prasetyo (2006), Kongko (2011), dalam penelitian lain model numerik ini juga digunakan untuk penentuan daerah bahaya tsunami di kota padang, dengan melibatkan beberapa variasi sumber tsunami (Oktaviani, 2013). Penelitian lain yang juga menggunakan model numerik TUNAMI dilakukan oleh Ananda (2013), dimana model numerik ini digunakan untuk mengetahui pengaruh data spasial terhadap landaan tsunami. Penelitian tersebut juga untuk mengetahui hubungan antara gelombang awal tsunami, nilai kemiringan pantai, dan koefisien kekasaran dasar. Hasil dari informasi tersebut digunakan untuk penaksiran cepat

3 3 daerah rawan tsunami. Model numerik ini juga digunakan untuk mengetahui pengaruh penghalang alami (gosong dan terumbu karang) terhadap tinggi tsunami dan luas daerah genangan tsunami di kota Bengkulu (Athanasius, 2009). Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa tsunami telah terjadi di beberapa tempat dengan keadaan morfologi yang berbeda beda, dampak dari tsunami dan ketinggian gelombang di pantai setiap kejadian juga berbeda. Oleh sebab itu kajian mengenai pengaruh morfologi pantai terhadap karakteristik gelombang tsunami perlu dilakukan untuk mendukung mitigasi bencana tsunami. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mengkaji pengaruh morfologi pantai terhadap karakteristik gelombang tsunami dan distribusi tinggi gelombang di pantai pada morfologi pantai yang berbeda, yaitu pantai berbentuk lurus, tanjung, teluk serta pantai landai dan curam melalui studi parametrik yang disimulasikan dengan model numerik TUNAMI. I.2. Identifikasi Masalah Dari latar belakang diatas, diketahui bentuk morfologi di Indonesia bermacam-macam dan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pantai lurus, tanjung dan teluk. Tsunami dalam penjalarannya akan mengalami interferensi gelombang berbeda-beda pada morfologi yang berbeda-beda. Kajian mengenai pengaruh morfologi pantai terhadap karakteristik dan distribusi tinggi gelombang tsunami perlu dilakukan untuk mengetahui korelasinya. I.3. Pertanyaan Penelitian Mengacu pada uraian latar belakang diatas dan identifikasi permasalahan, dapat di susun pertanyaan penelitian yaitu bagaimanakah karakteristik gelombang tsunami pada morfologi pantai yang berbeda, mencakup kemiringan dan dimensi morfologi. I.4. Cakupan Penelitian Cakupan penelitian ini sebagai berikut: 1. Simulasi pemodelan Penggenangan tsunami ini menggunakan model numerik TUNAMI-N3 (Tohoku University s Numerical Analysis Model

4 4 for Investigation of Near-field tsunamis) yang dikembangkan oleh Goto (1995). 2. Data batimetri yang digunakan adalah data batimetri hasil penyederhanaan dari data batimetri riil perairan cilacap. 3. Variasi morfologi pantai secara horizontal berupa pantai lurus, tanjung, teluk dengan dimensi lebarnya adalah 3,75 km, 7,5 km, 15 km, dan 30 km, dan untuk morfologi pantai secara vertikal berupa pantai dengan kemiringan 3%, 13% dan 23%. 4. Morfologi pantai yang digunakan adalah hasil modifikasi. 5. Posisi epicenter sumber gempa segaris dengan bagian tengah morfologi pantai. 6. Pemodelan tsunami dilakukan dengan beberapa skenario Magnitud gempa yang bervariasi, nilai variasi yang digunakan adalah 7,5 Mw s/d 9,0 Mw dengan interval sebesar 0,3 Mw. I.5. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik ketinggian gelombang tsunami pada morfologi pantai lurus, tanjung dan teluk dengan dimensi perairan 3,75km, 7,5km, 15km, dan 30km serta pada morfologi pantai dengan kemiringan 3%, 13% dan 23%. I.6. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk: 1. Digunakan untuk memperkirakan ketinggian tsunami di daerah pantai dari gelombang tsunami di lepas pantai dengan melibatkan morfologi yang berbeda-beda. 2. Dapat digunakan untuk masukan dalam perhitungan penaksiran cepat landaan tsunami untuk mitigasi bencana tsunami.

5 5 I.7. Tinjauan Pustaka Pemodelan tsunami menggunakan model numerik telah digunakan oleh Pertiwi (2005). Pemodelan digunakan untuk memodelkan tsunami yang terjadi di daerah Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatra Utara pada tahun Pemodelan yang digunakan menunjukkan bahwa tinggi gelombang dan waktu tempuh penjalaran gelombang tsunami saat mencapai pantai mendekati nilai data sebenarnya dilapangan. Perbedaan antara nilai ketinggian gelombang hasil pemodelan dengan data lapangan yaitu sebesar 0,02% di Banda Aceh dan 12% di Sirombu. Waktu tempuh dari hasil keluaran model berbeda 27,96% dari waktu tempuh hasil pengamatan di lapangan. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu profil pantai, jarak kawasan dengan pusat gempa dan geometrinya. Penelitian tentang landaan tsunami juga telah dilakukan oleh Prasetyo (2006) dengan menggunakan metode numerik tsunami nonlinier. Penelitian dilakukan di daerah pesisir Lhok Nga dan Banda Aceh dengan memperhitungkan faktor nonlinier yaitu koefisien kekasaran permukaan dengan jenis batuan kecil/kerikil halus. Selisih hasil pemodelan run-up dengan pengamatan lapangan di titik verifikasi pada daerah Lhok Nga lebih besar dibandingkan daerah Banda Aceh. Perbedaan tingkat ketelitian dikarenakan faktor pengabaian koefisien dasar. Pada kenyataannya di daerah Lhok Nga terdapat hutan magrove dan vegetasi yang rapat sehingga pengabaian nilai gesekan dasar sangat berpengaruh terhadap akurasi model, sementara itu didaerah Banda Aceh dengan tingkat pemukiman dan vegetasi yang jarang, pengabaian jenis gesekan dasar tidak begitu mempengaruhi akurasi model. Pemodelan landaan tsunami menggunakan model data numerik pernah dilakukan oleh Athanasius (2009). Pemodelan menggunakan data topografi, SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) asli dan rekayasa terhadap keberadaan gosong dan terumbu karang pada setiap skenario penelitiannya. Skenario yang dipakai adalah dengan merubah sebagian morfologi pantai. Skenario yang berbeda menghasilkan tinggi gelombang yang berbeda beda. Hasil simulasi di pelabuhan pulau Bali menunjukkan bahwa terumbu karang dapat mengurangi ketinggian tsunami hingga 30%. Gosong pasir juga dapat menurunkan tinggi gelombang

6 6 tsunami sebesar 1 meter. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perubahan ketinggian tsunami dikarenakan adanya perubahan sebagian atau seluruhnya morfologi pantai. Yudhicara (2011) dalam penelitiannya yang dilakukan di wilayah kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Tujuan penelitian yang dilakukan untuk memprediksi landan tsunami di wilayah kabupaen Pacitan. Wilayah pantai daerah penelitian ini umumnya berbentuk teluk, dengan kemiringan datar. Morfologi tersebut memiliki risiko dampak tsunami yang lebih besar dibandingkan dengan morfologi pantai lurus maupun tanjung. Sumber gempa yang digunakan mengacu pada tiga sumber gempa bumi yang pernah terjadi di sekitar wilayah tersebut dengan variasi magnitud adalah Mw 7,8; Mw 8,0; Mw 8,5. Hasil penelitian menunjukkan ketinggian maksimum gelombang tsunami terjadi di teluk Pacitan bagian timur yaitu dengan magnitud 7,8 Mw, tinggi maksimum tsunami sebesar 4,16 meter dengan landaan tsunami mencapai 0,421 km. Skenario dengan 8,0 Mw, tinggi tsunami sebesar 22,30 meter dengan landaan tsunami mencapai 2,9 km. Skenario dengan 8,5 Mw, tinggi tsunami sebesar 43,2 meter dengan landaan tsunami mencapai 6,17 km. Kongko (2011) dalam disertasinya, menggunakan model numerik TUNAMI untuk pemodelan landaan tsunami di kawasan pesisir Selatan Jawa. Data yang digunakan berupa data batimetri dan data topografi yang detil. Validasi data dilakukan dengan menggunakan data lapangan pasca tsunami. Untuk pemodelan landaan tsunami digunakan model numerik TUNAMI yang menganggap gelombang tsunami sebagai gelombang perairan dangkal. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sumber tsunami dengan kekakuan (stiffness) rendah dan slip yang besar menghasilkan landaan yang mirip dengan data lapangan dibandingkan dengan sumber tsunami dengan kekakuan (stiffness) normal. Selain itu model yang menggunakan model slip terdistribusi dan multi-sesar menghasilkan prediksi lebih baik dibandingkan dengan model slip seragam dan sesar tunggal. Penelitian mengenai simulasi landaan tsunami dilakukan oleh Oktaviani (2013). Data topografi yang digunakan memiliki resolusi spasial tinggi, yaitu 5 meter. Pemodelan landaan tsunami menggunakan model numerik TUNAMI-N3 dengan ukuran grid yang berbeda dan menganggap gelombang tsunami adalah sebagai gelombang perairan dangkal. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedekatan lokasi sumber gempa, besar kecilnya magnitud gempa, dan seragam dan

7 7 tidak seragamnya kekasaran dasar daratan mempengaruhi tinggi gelombang tsunami, waktu tempuh penjalarannya, serta luas landaan tsunami di darat. Selain itu landaan tsunami pada badan sungai jangkauannya lebih jauh dibandingkan dengan landaan tsunami di daratan. Penelitian lain mengenai simulasi tsunami menggunakan model numerik juga dilakukan oleh Ananda (2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara nilai ketinggian gelombang awal tsunami, nilai kemiringan pantai dan koefisien kekasaran dasar terhadap luas landaan tsunami di daratan serta ketinggian maksimum gelombang saat mencapai garis pantai. Model numerik yang digunakan adalah TUNAMI-N3, sedangkan data yang digunakan adalah tiga jenis data topografi yang berbeda yaitu data DSM (Digital Surface Model) dan DTM (Digital Terrain Model) dengan resolusi tinggi dan data DSM resolusi rendah. Selain itu penelitian ini juga menggunakan model numerik TUNAMI-N2 untuk penaksiran cepat daerah rawan bencana. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan data DTM dengan resolusi tinggi menghasilkan luas area landaan yang paling besar yaitu Ha, daripada data topografi yang lain. Besar kecilnya nilai ketinggian awal gelombang tsunami, kemiringan pantai, dan koefisien kekasaran dasar sangat mempengaruhi luas landaan tsunami. Pemodelan tsunami menggunakan model numerik TUNAMI telah banyak dilakukan. Model numerik TUNAMI digunakan oleh Goto (1995), Imamura dkk (2006). Di Indonesia model numerik TUNAMI telah banyak digunakan, salah satu instansi yang menggunakan model numerik TUNAMI adalah Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT) Yogyakarta. Model numerik TUNAMI digunakan dan dikembangkan oleh Kongko (2011) staf ahli Tsunami di BPDP-BPPT dalam desertasinya untuk pemodelan landaan tsunami di kawasan pesisir Selatan Jawa. Model numerik TUNAMI yang digunakan dalam penelitian selalu dikalibari oleh instansi terkait yakni BPDP-BPPT yang disebut dengan kalibrasi model. Kalibrasi model ini mencakup verifikasi dan validasi model (BPDP-BPPT, 2013), sehingga hasil output dari pemodelan menggunakan TUNAMI ini langsung dapat digunakan untuk analisa hasil tanpa harus dilakukan pengujian hasil pemodelan.

8 8 Pemodelan tsunami untuk rapid asesment saat ini hanya sampai perairan dalam dan tidak sampai ke perairan dangkal serta melibatkan morfologi pantai. Selain itu juga belum ada penelitian hubungan tinggi tsunami di laut dalam dan laut dangkal untuk berbagai morfologi pantai. Berdasarkan literatur yang dipaparkan sebelumnya, pemodelan tsunami menggunakan model numerik TUNAMI untuk mengetahui karakteristik tinggi dan distribusi tinggi gelombang tsunami di pantai dengan parameter variasi morfologi pantai secara horizontal dan morfologi pantai secara vertikal belum dilakukan. Untuk kebutuhan mitigasi bencana lebih lanjut, maka perlu dilakukan penelitian dengan variasi parameter morfologi pantai. I.8. Dasar Teori I.8.1. Pengertian dan Karakteristik Gelombang Tsunami Tsunami berasal dari bahasa Jepang, Tsu berarti pelabuhan, dan nami berarti gelombang. Tsunami dapat diartikan gelombang di pelabuhan. Menurut ilmu kebumian, terminologi tsunami dapat didiskripsikan sebagai gelombang laut yang terjadi dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gerakan vertikal pada kerak bumi. Gerakan vertikal tersebut menyebabkan dasar laut naik atau turun secara tibatiba, sehingga menyebabkan gangguan kesetimbangan air yang berada diatasnya. Akibat gangguan tersebut, terjadinya aliran energi air laut yang ketika sampai di pantai menjadi gelombang besar yang dikenal sebagai tsunami. Gelombang tsunami memiliki periode berkisar antara 10 s/d 60 menit dan panjang gelombang yang besar (longwave) sampai mencapai 100 km, lintasan partikel berbentuk ellips dengan amplitudo lebih 5m (pada sumbernya) (International Tsunami Information Centre, 2004). Kecepatan rambat gelombang tsunami di laut dalam mencapai 500 s/d km/jam. Kecepatan rambat gelombang dilaut selaras dengan kecepatan penjalaran gelombang tsunami yang dapat mencapai ribuan kilometer. Hal ini tergantung dari kedalaman laut. Kecepatan rambat gelombang dapat dihitung dengan persamaan (I.1):... (I.1) Keterangan :

9 9 g h : Kecepatan gelombang : Percepatan gravitasi : Kedalaman laut Gelombang tsunami memiliki sifat non-dispersive, artinya kecepatan fase gelombang tidak bergantung pada panjang gelombang. Gelombang tsunami yang masih dekat daerah sumber mempunyai kecepatan fase lebih kecil dibandingkan dengan gelombang tsunami yang telah menjalar jauh dari sumber. Penjalaran gelombang tsunami memiliki karakteristik yang hampir sama dengan penjalaran gelombang pada perairan dangkal yaitu memiliki kedalaman yang relatif kecil apabila dibandingkan dengan panjang gelombang. Gelombang tsunami yang menjalar di laut dalam tidak memiliki ketinggian yang cukup besar. Hal ini berbeda dengan gelombang tsunami yang menjalar mendekati daerah pantai yang menyebabkan terjadinya peningkatan ketinggian gelombang tsunami. Secara umum tinggi gelombang tsunami di episentrum gempa atau dilautan lepas diperkirakan berkisar 1 s/d 2 meter, tetapi setelah mendekati pantai meningkat tajam tergantung dari kedalaman air dan bentuk pantai. Makin dangkal air laut dekat pantai makin tinggi gelombang tsunami yang terjadi (Widodo, 2002). Hal ini disebabkan gelombang tsunami mengalami penurunan kecepatan dan energi gelombang pun menjadi lebih terkonsentrasi (Sugito, 2008). Visualisasi dari karakteristik gelombang tsunami dapat dilihat pada Gambar I.1. Gambar I.1. Karakteristik gelombang tsunami Sumber : Intergovernmental Oceanographic Commission (2012)

10 10 I.8.2. Persamaan Gelombang Tsunami pada Model Numerik TUNAMI Teori teori tentang persamaan gelombang tsunami pada model numerik TUNAMI ini diuraikan pada beberapa sub-bab sebagai berikut. I Teori gelombang perairan dangkal Tsunami yang disebabkan oleh pergerakan vertikal dasar laut akibat gempa bumi didekati dengan teori gelombang perairan dangkal, yaitu bahwa kedalaman perairan relatif pendek dibandingkan dengan panjang gelombangnya. Teori ini mengabaikan percepatan partikel air arah vertikal karena nilainya lebih kecil dari percepatan gravitasi, akibatnya gerakan vertikal partikel air tidak berpengaruh pada distribusi tekanan (Imamura dkk, 2006). Berdasarkan pendekatan ini maka didapat persamaan konservasi massa dan momentum dalam tiga dimensi, seperti berikut: (I.2).. (I.3).... (I.4), maka dapat ditulis, dapat ditulis... (I.5) Keterangan : g t : percepatan gravitasi : waktu u, v, w : kecepatan patikel air arah sumbu x, y, z x dan y z η P : sumbu horizontal : sumbu vertikal : perubahan vertikal permukaan air : tekanan : massa jenis air

11 11 h : ketinggian gelombang diukur dari MSL (Mean Sea Level) Persamaan (I.2) diatas menunjukkan bahwa perubahan vertikal permukaan air ekuivalen terhadap perubahan kecepatan partikel air arah sumbu x y dan z. Perubahan kecepatan partikel air arah sumbu x terhadap waktu ekuivalen terhadap suku aliran/adveksi, suku gradien tekanan dan suku gesekan, yang dapat dilihat pada persamaan (I.3). Hal ini juga berlaku pada perubahan kecepatan partikel air arah sumbu y yang dapat dilihat pada persamaan (I.4). Model perambatan gelombang di perairan dangkal dinyatakan dengan persamaan konservasi/kekekalan massa dan persamaan momentum dalam kasus 3 dimensi seperti ditunjukkan pada persamaan (I.5) dengan dua kondisi batas, yaitu kondisi batas dinamis dan kinetik permukaan dan bawah. Hal tersebut dapat diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut (Imamura, 2006): di z = η... (I.6) di z = η... (I.7) di z = η... (I.8) Dengan kondisi dinamis dan kinetik persamaan (I.6) s/d (1.8), maka didapat persamaan dua dimensi yang disebut dengan persamaan gelombang perairan dangkal, yaitu:... (1.9)... (1.10)... (1.11) Keterangan: A D dan : koefisien turbulensi/koefisien Eddy : merupakan kedalaman total dari h + η : merupakan efek gesekan dasar arah sumbu x dan y

12 12 M : merupakan debit air (Discharge Fluxes) arah sumbu x N : merupakan debit air (Discharge Fluxes) arah sumbu y, dengan... (I.12) (I.13) Gaya pusaran air diasumsikan konstan dan tegangan permukaan diabaikan. I Skema model numerik tsunami TUNAMI Model numerik ini merupakan pengembangan dari model numerik non-linier Imamura (2006) untuk aplikasi gelombang perairan dangkal mencakup tsunami. Tsunami dikategorikan sebagai gelombang perairan dangkal disebabkan panjang gelombangnya yang jauh lebih besar dibandingkan kedalaman batimetri yang dilewati gelombang. Model numerik ini dikembangkan oleh Kongko (2011) dalam disertasinya untuk memodelkan tsunami di wilayah selatan Jawa. Penelitian ini menunjukan bahwa sumber tsunami dengan kekakuan (stiffness) rendah dan slip yang besar, menghasilkan landaan yang mirip dengan data lapangan dibandikngkan dengan sumber tsunami dengan kekakuan (stiffness) normal. Model numerik TUNAMI sendiri memiliki banyak variasi, sesuai dengan pengembangannya antara lain: a. TUNAMI-N1, model ini mengaplikasikan teori perambatan gelombang linier dengan ukuran grid konstan, b. TUNAMI-N2, model ini mengaplikasikan teori perambatan gelombang untuk perairan dalam, teori gelombang perairan dangkal dan landaan dengan grid konstan, c. TUNAMI-N3, model ini mengaplikasikan teori perambatan gelombang linier dengan variasi ukuran grid. Konsep matematisnya serupa dengan model numerik TUNAMI-N2, diantaranya menggunakan teori linier pada perairan dalam, dan teori perairan dangkal pada laut dangkal, dan melibatkan efek kekasaran dasar disepanjang pantai

13 13 F(x) F i+1 - F i-1 Δy F i-1 F i F i+1 i-1 i Δx i+1 x Gambar I.2. Fungsi pada deret taylor Model numerik tsunami non-linier didiskretisasi menggunakan prinsip fungsi deret Taylor (Gambar I.2.) dengan menggunakan skema leap-frog (Gambar I.3.) yakni menggunakan skema beda pusat dengan kesalahan pemotongan orde kedua (Imamura, 2006). Dengan : F {(i-1)δx} = F i-1, F (i Δx) = F i, F {(i+1) Δx} = F i+1 Nilai F i-1 dan F i+1 berdasarkan fungsi pada deret taylor dengan kesalahan pemotongan orde kedua diperoleh :... (I.14)... (I.15) Persamaan beda pusat dapat diperoleh dengan menyelisihkan persamaan (1.14) dan (1.15), maka didapat persamaan seperti berikut :... (I.16) Skema leap-frog dalam perhitungannya menggunakan sistem grid dengan ukuran tertentu. (Goto dkk, 1995)

14 14 (a) (b) Gambar 1.3. Perhitungan titik grid pada metode leap frog (a) Perhitungan pada arah x dan y, (b) Perhitungan pada arah x dan t Sumber : Imamura (2006) I Nested grid Metode yang digunakan pada pemodelan penjalaran gelombang tsunami dengan model numerik TUNAMI-N3 adalah metode nested grid (Gambar I.4). Nested Grid adalah metode perhitungan nilai-nilai tinggi gelombang di dalam grid pada skema leap-frog. Grid yang digunakan dalam pemodelan ini menggunakan dua atau lebih grid yang saling bertampalan dan dengan ukuran grid yang berbeda. Ukuran grid yang satu dengan grid yang lain menggunakan konsep perbandingan bilangan ganjil 1:3 (Imamura, 2006) Area L (Large) dengan warna garis merah memiliki ukuran grid lebih besar, sedangkan area S (Small) dengan warna garis hijau menunjukkan ukuran grid lebih kecil. Keadaan ini dikarenakan letak bidang sesar tidak tercakup dalam area S tetapi hanya pada area L, seperti pada Gambar I.4. Nilai nilai grid yang berada diperbatasan pada area pertampalan digunakan untuk menghitung nilai grid pada area lainnya. Model numerik tsunami nonlinier yang dikembangkan oleh Imamura (2006), menggunakan metode nested grid, yakni menggunakan lebih dari satu ukuran grid pada satiap area yang dilibatkan. Gambar I.4 menunjukkan bahwa satu buah grid pada area L akan memiliki 81 grid di area S.

15 15 AREA S BIDANG SESAR Gambar I.4. Visualisasi metode nested grid (Imamura dkk, 2006) I Simulasi penjalaran gelombang tsunami Penjalaran gelombang tsunami disimulasikan dengan masukan hasil estimasi tinggi gelombang tsunami awal (inisialisasi gelombang tsunami) yang terbangkitkan oleh deformasi dasar laut akibat gempa bumi. Data masukan yang digunakan adalah: a. data batimetri dalam bentuk kedalaman setiap grid b. data hasil pembentukan awal gelombang tunami (initial model) Syarat stabilitas dari CFL (Courant Freiderick Lewy) 1, harus dipenuhi oleh kedua data tersebut, yaitu:... (I.17) Dengan Keterangan: C max g h max dt : Kecepatan awal : Gaya gravitasi (10 m/s) : Kedalaman perairan maksimum : Langkah waktu perhitungan Dalam perhitungan gelombang tsunami menggunakan metode numerik nilai kedalaman (batimetri) dibuat bernilai positif sedangkan untuk topografi dibuat bernilai negatif (Imamura dkk, 2006)

16 16 I Model awal gelombang tsunami Dalam suatu simulasi tsunami menggunakan model numerik dibutuhkan model awal (initial model) yang digunakan untuk informasi gelombang awal tsunami. Model awal tersebut berisi informasi jarak vertikal dari permukaan air laut setimbang mean sea level (msl). Model awal gelombang tsunami ada empat jenis (Carier, 2003) yaitu: 1. Gaussian Shape Persamaan yang digunakan model Gaussian Shape untuk mendapatkan nilai adalah : dengan nilai = 0.017, = 1.69 dan = (I.18) 2. Negative Gaussian Shape Model ini merupakan inverse dari model Gaussian Shape. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan nilai adalah : dengan nilai = 0.017, = 1.69 dan = (I.19) 3. Leading Depression N-wave Shape I Model ini biasanya digunakan untuk tsunami yang disebabkan oleh kesalahan dislokasi seismik (fault dislocation) akibat gempa subduksi. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan nilai adalah :... (I.20) dengan nilai = 0.02, = 0.01, = 3.5, = , dan = Leading Depression N-wave Shape II Model ini biasanya digunakan untuk tsunami yang disebabkan oleh longsor bawah laut lepas pantai (submarine landslide). Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan nilai adalah :... (I.21) dengan nilai = 0.006, = 0.018, = , = 4.0, = , dan =

17 17 Keempat jenis model gelombang diatas dapat divisualisasikan seperti pada Gambar I.5. yang menunjukkan perbedaan dari masing masing model. Gambar I.5. Model awal gelombang tsunami (a) Gaussian shape, (b) Negative Gaussian shape, (c) Leading N-wave I, (d) Leading N wave II Sumber : Carier (2003) I.8.3. Bentuk dan Karakteristik Morfologi Pantai Pemodelan tsunami menggunakan model numerik membutuhkan data batimetri dan data topografi sebagai data masukan. Data masukan tersebut setidaknya dapat menggambarkan keadaan morfologi sebenarnya, terutama morfologi pantai karena bentuk morfologi pantai yang berbeda dapat mempengaruhi hasil pemodelan simulasi tsunami secara numerik (Athanasius, 2009). Morfologi pantai yang umum dijumpai di Indonesia adalah lurus, tanjung, teluk, pantai landai dan curam. Ilustrasi dari masing masing morfologi tersebut dapat dilihat pada Gambar I.6. Tanjung adalah daratan yang menjorok ke laut, atau daratan yang dikelilingi oleh laut ketiga sisinya (Gambar I.6. a).

18 18 Tanjung yang luas disebut semenanjung. Tanjung biasanya terletak bersebelahan dengan teluk. Morfologi pantai seperti ini dapat di jumpai di pantai selatan Jawa seperti Pacitan dan Cilacap. (a) (b) (c) Gambar I.6. Pemodelan morfologi pantai (a) Tanjung, (b) Teluk, (c) Lurus Sumber: General Bathymetric Chart of the Oceans (GEPCO) 08 (2013) Teluk adalah tubuh perairan yang menjorok ke daratan dan dibatasi oleh daratan pada ketiga sisinya (Gambar I.6. (b)). Teluk letaknya sangat strategis. Teluk banyak dimanfaatkan sebagai pelabuhan. Bentuk pantai yang demikian memiliki dampak risiko terkena dampak tsunami lebih tinggi dibanding pantai lainnya (Yudhicara, 2011). Pantai lurus adalah pantai dengan bentuk garis pantainya lurus atau tidak bergelombang seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.6. (c). Pantai ini yang paling umum di jumpai dengan penampakan yang khas dan tersusun dari material lepas seperti pasir, kerikil, batu gaplok dan sejenisnya (Marlin, 2011). Kenampakan pantai ini dapat di jumpai di pantai selatan Jawa seperti D. I. Yogyakarta. Kemiringan pantai adalah kemiringan pada daerah pantai yang dihitung berdasarkan jarak mendatar dan beda tinggi. Kemiringan pantai dapat diklasifikasikan menjadi tujuh macam. Klasifikasi lereng yang digunakan adalah

19 19 klasifikasi persentase kemiringan lereng dan beda tinggi oleh Van Zuildam (1983), dapat dilihat pada Tabel I.1 Tabel I.1. Klasifikasi kelerengan pantai Satuan Sudut (%) Beda Tinggi (m) Datar 0 2 <5 Miring Landai Miring Miring Sedang Miring Terjal Miring Sangat Terjal Pegunungan Miring Sangan Terjal >140 >1000 Pada penelitian ini, kemiringan di laut mengacu pada Tabel I.1. kemiringan yang sesuai dengan Tabel I.1 adalah dari +10 meter sampai dengan kedalam batimetri -80 meter. Alasannya adalah agar data batimetri hasil modifikasi ini dapat diintegrasikan dengan baik dan dengan mempertimbangkan kontur batimetri riil. dengan data batimetri keseluruhan yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk kemiringan topografi diatas kontur +10 meter disesuaikan dengan data keseluruhan topografi (hasil interpolasi) dikarenakan pada penelitian ini pengamatan gelombang tsunami tidak sampai ke daratan, atau dengan kata lain kemiringan darat dibaikan. I.9. Hipotesis Penjalaran gelombang tsunami dipengaruhi oleh morfologi pantai. Oleh karena itu penelitian ini mengemukakan hipotesis awal bahwa gelombang tsunami memiliki karakteristik yang berbeda pada morfologi pantai yang berbeda (lurus, tanjung dan teluk), dimensi perairan (lebar mulut) yang berbeda (3,75km, 7,5km, 15km, 30km) dan kemiringan pantai yang berbeda (3%, 13%, 23%).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng tektonik besar yaitu Lempeng Indo- Australian, Eurasia dan Lempeng Pasifik. Selain itu, Indonesia juga berada pada Pasific

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia terletak di Pacific ring of fire atau cincin api Pasifik yang wilayahnya terbentang di khatulistiwa dan secara geologis terletak pada pertemuan tiga lempeng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konsekuensi tumbukkan lempeng tersebut mengakibatkan negara

Lebih terperinci

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami

Gb 2.5. Mekanisme Tsunami TSUNAMI Karakteristik Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu dari kata tsu dan nami. Tsu berarti pelabuhan dan nami berarti gelombang. Istilah tersebut kemudian dipakai oleh masyarakat untuk menunjukkan

Lebih terperinci

Kondisi Kestabilan dan Konsistensi Rencana Evakuasi (Evacuation Plan) Pendekatan Geografi

Kondisi Kestabilan dan Konsistensi Rencana Evakuasi (Evacuation Plan) Pendekatan Geografi DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... i PERNYATAAN... ii PRAKATA... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix INTISARI... xii ABSTRACT... xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1. 1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

Pemodelan Spasial Landaan Tsunami Menggunakan Variasi Lokasi Sumber dan Magnitud Gempa Studi Kasus Kota Padang

Pemodelan Spasial Landaan Tsunami Menggunakan Variasi Lokasi Sumber dan Magnitud Gempa Studi Kasus Kota Padang Pemodelan Spasial Landaan Tsunami Menggunakan Variasi Lokasi Sumber dan Magnitud Gempa Studi Kasus Kota Padang Abdul Basith a,*, Widjo Kongko b, Nadya Oktaviani c a,* Laboratorium Hidrografi Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia merupakan salah satu negara dengan kondisi geologis yang secara tektonik sangat labil karena dikelilingi oleh Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia

Lebih terperinci

VISUALISASI PENJALARAN GELOMBANG TSUNAMI DI KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATERA BARAT

VISUALISASI PENJALARAN GELOMBANG TSUNAMI DI KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATERA BARAT VISUALISASI PENJALARAN GELOMBANG TSUNAMI DI KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATERA BARAT Dwi Pujiastuti Jurusan Fisika Universita Andalas Dwi_Pujiastuti@yahoo.com ABSTRAK Penelitian ini difokuskan untuk melihat

Lebih terperinci

Pemodelan Penjalaran Gelombang Tsunami Melalui Pendekatan Finite Difference Method

Pemodelan Penjalaran Gelombang Tsunami Melalui Pendekatan Finite Difference Method SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2016 T - 4 Pemodelan Penjalaran Gelombang Tsunami Melalui Pendekatan Finite Difference Method Yulian Fauzi 1, Jose Rizal 1, Fachri Faisal 1, Pepi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu 364 Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu Rahmad Aperus 1,*, Dwi Pujiastuti 1, Rachmad Billyanto 2 Jurusan

Lebih terperinci

Apa itu Tsunami? Tsu = pelabuhan Nami = gelombang (bahasa Jepang)

Apa itu Tsunami? Tsu = pelabuhan Nami = gelombang (bahasa Jepang) Bahaya Tsunami Apa itu Tsunami? Tsu = pelabuhan Nami = gelombang (bahasa Jepang) Tsunami adalah serangkaian gelombang yang umumnya diakibatkan oleh perubahan vertikal dasar laut karena gempa di bawah atau

Lebih terperinci

PETA DASAR ZONASI TINGKAT PERINGATAN TSUNAMI DAERAH BANYUWANGI

PETA DASAR ZONASI TINGKAT PERINGATAN TSUNAMI DAERAH BANYUWANGI PETA DASAR ZONASI TINGKAT PERINGATAN TSUNAMI DAERAH BANYUWANGI Dalam rangka upaya peringatan dini untuk bencana tsunami, beragam peta telah dibuat oleh beberapa instansi pemerintah, LSM maupun swasta.

Lebih terperinci

BAB IV PEMODELAN DAN ANALISIS

BAB IV PEMODELAN DAN ANALISIS BAB IV PEMODELAN DAN ANALISIS Pemodelan dilakukan dengan menggunakan kontur eksperimen yang sudah ada, artificial dan studi kasus Aceh. Skenario dan persamaan pengatur yang digunakan adalah: Eksperimental

Lebih terperinci

Kata kunci : Tsunami, Tsunami Travel Time (TTT), waktu tiba, Tide Gauge

Kata kunci : Tsunami, Tsunami Travel Time (TTT), waktu tiba, Tide Gauge Analisis Penjalaran dan Ketinggian Gelombang Tsunami Akibat Gempa Bumi di Perairan Barat Sumatera dengan Menggunakan Software Tsunami Travel Time (TTT) Retno Juanita M0208050 Jurusan Fisika FMIPA, Universitas

Lebih terperinci

Rancangan Peta Rute Evakuasi Bancana Tsunami Pantai Puger Jember

Rancangan Peta Rute Evakuasi Bancana Tsunami Pantai Puger Jember JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-5 1 Rancangan Peta Rute Evakuasi Bancana Tsunami Pantai Puger Jember Mughni Cokrobasworo, Kriyo Sambodho dan Haryo Dwito Armono Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di sepanjang pesisir barat pulau Sumatera bagian tengah. Provinsi ini memiliki dataran seluas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan antara lempeng Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Australia dan lempeng Pasifik merupakan jenis lempeng samudera dan bersifat

Lebih terperinci

Penyebab Tsunami BAB I PENDAHULUAN

Penyebab Tsunami BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana adalah peristiwa/rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP Lailla Uswatun Khasanah 1), Suwarsito 2), Esti Sarjanti 2) 1) Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan

Lebih terperinci

PETA MIKROZONASI PENGARUH TSUNAMI KOTA PADANG

PETA MIKROZONASI PENGARUH TSUNAMI KOTA PADANG PETA MIKROZONASI PENGARUH TSUNAMI KOTA PADANG Nama : I Made Mahajana D. NRP : 00 21 128 Pembimbing : Ir. Theodore F. Najoan, M. Eng. FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL BANDUNG ABSTRAK Pesisir pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Barat memiliki garis pantai sepanjang lebih kurang 375 km, berupa dataran rendah sebagai bagian dari gugus kepulauan busur muka. Perairan barat Sumatera memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersumber dari ledakan besar gunung berapi atau gempa vulkanik, tanah longsor, atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersumber dari ledakan besar gunung berapi atau gempa vulkanik, tanah longsor, atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tsunami Tsunami biasanya berhubungan dengan gempa bumi. Gempa bumi ini merupakan proses terjadinya getaran tanah yang merupakan akibat dari sebuah gelombang elastis yang menjalar

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang tergolong rawan terhadap kejadian bencana alam, hal tersebut berhubungan dengan letak geografis Indonesia yang terletak di antara

Lebih terperinci

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20 Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-2 IV.7 Gelombang Menabrak Suatu Struktur Vertikal Pemodelan dilakukan untuk melihat perilaku gelombang ketika menabrak suatu struktur vertikal. Suatu saluran

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang. Gambar 1.1 Tsunami di berbagai kedalaman. Sumber: Pengenalan Tsunami, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

1.1 Latar Belakang. Gambar 1.1 Tsunami di berbagai kedalaman. Sumber: Pengenalan Tsunami, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tsunami berasal dari bahasa Jepang, yaitu tsu yang artinya pelabuhan dan nami yang artinya gelombang. Jadi, secara harfiah berarti ombak besar di pelabuhan (Wikipedia,

Lebih terperinci

PENYEBAB TERJADINYA TSUNAMI

PENYEBAB TERJADINYA TSUNAMI Pengenalan Tsunami APAKAH TSUNAMI ITU? Tsunami adalah rangkaian gelombang laut yang mampu menjalar dengan kecepatan hingga lebih 900 km per jam, terutama diakibatkan oleh gempabumi yang terjadi di dasar

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Bone, Perairan Sulawesi dan sekitarnya, Indonesia (Gambar 6). Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian Teluk Bone,

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO. Oleh: Yusman Wiyatmo ABSTRAK

MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO. Oleh: Yusman Wiyatmo ABSTRAK MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO Oleh: Yusman Wiyatmo Jurdik Fisika FMIPA UNY, yusmanwiyatmo@yahoo.com, HP: 08122778263 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Pengertian Dan Proses Terjadi Tsunami

BAB I PENDAHULUAN Pengertian Dan Proses Terjadi Tsunami BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Pengertian Dan Proses Terjadi Tsunami Tsunami adalah sederetan gelombang laut yang menjalar dengan panjang gelombang sampai 100 km dengan ketinggian beberapa

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT BAHAYA TSUNAMI DI DESA ULEE LHEUE KECAMATAN MEURAXA KOTA BANDA ACEH

ANALISIS TINGKAT BAHAYA TSUNAMI DI DESA ULEE LHEUE KECAMATAN MEURAXA KOTA BANDA ACEH ANALISIS TINGKAT BAHAYA TSUNAMI DI DESA ULEE LHEUE KECAMATAN MEURAXA KOTA BANDA ACEH Siti Nidia Isnin Dosen Program Studi Geografi FKIP Universitas Almuslim ABSTRAK Tsunami yang terjadi di Aceh pada 26

Lebih terperinci

PENGARUH GEOMORFOLOGI PANTAI TERHADAP GELOMBANG TSUNAMI

PENGARUH GEOMORFOLOGI PANTAI TERHADAP GELOMBANG TSUNAMI PENGARUH GEOMORFOLOGI PANTAI TERHADAP GELOMBANG TSUNAMI Cipta ATHANASIUS Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Beberapa bentang geologi (geological feature) dapat mereduksi tinggi dan luas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu penjelasan dan analisis melalui simulasi pemodelan tsunami dengan memperhitungkan nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api merupakan refleksi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api merupakan refleksi fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api merupakan refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air Indonensia. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.1 Tabel 1.1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.1 Tabel 1.1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) merupakan bagian dari Provinsi Maluku yang sebagian besar terletak di Pulau Seram yang secara geografis terletak pada 1 19'-7 16'

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Denah lokasi jembatan yang berdampak tsunami di Aceh

Gambar 1.1 Denah lokasi jembatan yang berdampak tsunami di Aceh BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara yang terdiri dari banyak pulau yang dikenal dengan negara kepulauan. Letak negara yang diapit oleh 3 lempeng tektonik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan dengan tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah penduduk lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geologis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan berbagai lempeng tektonik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ilmu tentang bencana semakin berkembang dari tahun ke tahun seiring semakin banyaknya kejadian bencana. Berawal dengan kegiatan penanggulangan bencana mulai berkembang

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang wilayahnya membentang diantara benua Asia dan Australia serta diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Hasil Model dengan DISHIDROS Komponen gelombang pasang surut M2 dan K1 yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut, disebabkan kedua komponen ini yang paling dominan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sabuk Gempa Pasifik, atau dikenal juga dengan Cincin Api (Ring

BAB I PENDAHULUAN. Sabuk Gempa Pasifik, atau dikenal juga dengan Cincin Api (Ring BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sabuk Gempa Pasifik, atau dikenal juga dengan Cincin Api (Ring of Fire), merupakan daerah berbentuk seperti tapal kuda yang mengelilingi Samudera Pasifik sepanjang

Lebih terperinci

Simulasi Penjalaran dan Penentuan Run-Up Gelombang Tsunami di Teluk Pangandaran, Jawa Barat Sofia Alma Aeda *),Siddhi Saputro *), Petrus Subardjo *)

Simulasi Penjalaran dan Penentuan Run-Up Gelombang Tsunami di Teluk Pangandaran, Jawa Barat Sofia Alma Aeda *),Siddhi Saputro *), Petrus Subardjo *) JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, Halaman 254 262 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Simulasi Penjalaran dan Penentuan Run-Up Gelombang Tsunami di Teluk Pangandaran,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bencana 1. Pengertian Bencana Menurut UU No.24/2007 tentang penanggulangan bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. barat dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, sebelah timur. mencapai Ha (Bappeda Kabupaten Ciamis, 2009).

2. TINJAUAN PUSTAKA. barat dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, sebelah timur. mencapai Ha (Bappeda Kabupaten Ciamis, 2009). 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Geografis wilayah Kabupaten Ciamis berada pada 108 2 0 108 40 0 Bujur Timur dan 7 40 20 7 41 20 Lintang Selatan. Wilayah sebelah utara berbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana Gempa bumi merupakan sebuah ancaman besar bagi penduduk pantai di kawasan Pasifik dan lautan-lautan lainnya di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian berada di kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Lhoknga mempunyai 4 (empat)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan : (a) latar belakang, (b) perumusan masalah, (c) tujuan penelitian, (d) manfaat penelitian, (e) ruang lingkup penelitian dan (f) sistematika penulisan. 1.1. Latar

Lebih terperinci

PERKUAT MITIGASI, SADAR EVAKUASI MANDIRI DALAM MENGHADAPI BENCANA TSUNAMI

PERKUAT MITIGASI, SADAR EVAKUASI MANDIRI DALAM MENGHADAPI BENCANA TSUNAMI PERKUAT MITIGASI, SADAR EVAKUASI MANDIRI DALAM MENGHADAPI BENCANA TSUNAMI Oleh : Rahmat Triyono, ST, MSc Kepala Stasiun Geofisika Klas I Padang Panjang Email : rahmat.triyono@bmkg.go.id (Hasil Penelitian

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

TSUNAMI. 1. Beberapa penyebab lainnya ialah : 3. Tsunami Akibat Letusan Gunungapi

TSUNAMI. 1. Beberapa penyebab lainnya ialah : 3. Tsunami Akibat Letusan Gunungapi TSUNAMI Tsunami berasal dari bahasa Jepang, Tsu = pelabuhan nami = gelombang laut tsunami secara harfiah berarti gelombang laut (yang menghantam) pelabuhan. Tsunami, adalah rangkaian gelombang laut yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil simulasi model penjalaran gelombang ST-Wave berupa gradien stress radiasi yang timbul sebagai akibat dari adanya perubahan parameter gelombang yang menjalar memasuki perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan dijelaskan mengenai latar belakang yang mendasari penelitian ini yang kemudian dirumuskan dalam rumusan masalah. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang

Lebih terperinci

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakter Angin Angin merupakan salah satu faktor penting dalam membangkitkan gelombang di laut lepas. Mawar angin dari data angin bulanan rata-rata selama tahun 2000-2007 diperlihatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng/kulit bumi aktif yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian utara dan Lempeng Pasifik

Lebih terperinci

Bab V Analisa dan Diskusi

Bab V Analisa dan Diskusi Bab V Analisa dan Diskusi V.1 Pemilihan data Pemilihan lokasi studi di Sungai Citarum, Jawa Barat, didasarkan pada kelengkapan data debit pengkuran sungai dan data hujan harian. Kalibrasi pemodelan debit

Lebih terperinci

LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT

LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT Badrul Mustafa Jurusan Teknik Sipil, Universitas Andalas Email: rulmustafa@yahoo.com ABSTRAK Akibat tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia dimana

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai BATIMETRI Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 Modul 2. Batimetri TUJUAN PRAKTIKUM

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 : Definisi visual dari penampang pantai (Sumber : SPM volume 1, 1984) I-1 BAB I PENDAHULUAN Pantai merupakan suatu sistem yang sangat dinamis dimana morfologi pantai berubah-ubah dalam skala ruang dan waktu baik secara lateral maupun vertikal yang dapat dilihat dari proses akresi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau utama dan ribuan pulau kecil disekelilingnya. Dengan 17.508 pulau, Indonesia menjadi negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Grafik One Earthquake cycle fase interseismic postseismic[andreas, 2005]

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Grafik One Earthquake cycle fase interseismic postseismic[andreas, 2005] BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran sesaat, gempa sendiri terjadi akibat pergeseran secara tiba-tiba pada kerak bumi. Pergeseran ini terjadi karena adanya suatu

Lebih terperinci

BAB II TEORI TERKAIT

BAB II TEORI TERKAIT II. TEORI TERKAIT BAB II TEORI TERKAIT 2.1 Pemodelan Penjalaran dan Transformasi Gelombang 2.1.1 Persamaan Pengatur Berkenaan dengan persamaan dasar yang digunakan model MIKE, baik deskripsi dari suku-suku

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 232 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Setelah data dan hasil analisis penelitian diperoleh kemudian di dukung oleh litelature penelitian yang relevan, maka tiba saatnya menberikan penafsiran dan pemaknaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan Dari pemodelan yang telah dilakukan, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil. 1. Pemodelan rambatan gelombang dilakukan dengan menggunakan 2 persamaan pengatur

Lebih terperinci

MELIHAT POTENSI SUMBER GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH

MELIHAT POTENSI SUMBER GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH MELIHAT POTENSI SUMBER GEMPABUMI DAN TSUNAMI ACEH Oleh Abdi Jihad dan Vrieslend Haris Banyunegoro PMG Stasiun Geofisika Mata Ie Banda Aceh disampaikan dalam Workshop II Tsunami Drill Aceh 2017 Ditinjau

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gempa bumi sebagai suatu kekuatan alam terbukti telah menimbulkan bencana yang sangat besar dan merugikan. Gempa bumi pada skala kekuatan yang sangat kuat dapat menyebabkan

Lebih terperinci

MEWASPADAI MORFOLOGI TELUK SEBAGAI ZONA BAHAYA TSUNAMI

MEWASPADAI MORFOLOGI TELUK SEBAGAI ZONA BAHAYA TSUNAMI MEWASPADAI MORFOLOGI TELUK SEBAGAI ZONA BAHAYA TSUNAMI Heru Sigit Purwanto **), T. Listyani R.A. *), A. Isjudarto *), Sari B. Kusumayudha **) *) Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta **) Teknik Geologi, FTM,

Lebih terperinci

TUGAS BAHASA INDONESIA

TUGAS BAHASA INDONESIA TUGAS BAHASA INDONESIA Nama : Wahyu Abadi NIS : 7484 Kelas : XI TKJ 2 Sekolah : SMK Negeri 1 Sumenep TEKNIK KOMPUTER & JARINGAN SMK NEGERI 1 SUMENEP 2016/2017 1. Carilah teks eksplansi kompleks! Selanjutnya

Lebih terperinci

Uji Kerawanan Terhadap Tsunami Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Pesisir Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta

Uji Kerawanan Terhadap Tsunami Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Pesisir Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta ISSN 0853-7291 Uji Kerawanan Terhadap Tsunami Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Pesisir Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta Petrus Subardjo dan Raden Ario* Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

Berikut kerangka konsep kegiatan pembelajaran geografi kelas VI SD semester II pada KD mengenal cara cara menghadapi bencana alam.

Berikut kerangka konsep kegiatan pembelajaran geografi kelas VI SD semester II pada KD mengenal cara cara menghadapi bencana alam. Materi Ajar Mitigasi Bencana Tsunami Di Kawasan Pesisir Parangtritis ( K.D Mengenal Cara Cara Menghadapi Bencana Alam Kelas VI SD ) Oleh : Bhian Rangga J.R Prodi Geografi FKIP UNS Berikut kerangka konsep

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada

I. PENDAHULUAN. Geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada lempeng bumi yang labil. Lempeng bumi ini berpotensi besar terjadinya gempa bumi pada dasar laut dalam

Lebih terperinci

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa G174 Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa Muhammad Ghilman Minarrohman, dan Danar Guruh Pratomo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara, dan

Lebih terperinci

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS Bayu Baskara ABSTRAK Bali merupakan salah satu daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami karena berada di wilayah pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. topografi Indonesia yang kasar dan tidak rata dengan intensitas gempa bumi dan

BAB I PENDAHULUAN. topografi Indonesia yang kasar dan tidak rata dengan intensitas gempa bumi dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Posisi Indonesia, berdasarkan susunan lempeng tektonik dan pergerakannya, menyebabkan Indonesia berada pada zona dengan aktivitas seismik signifikan (Nakamura,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara dimana terdapat pertemuan 3 lempeng tektonik utama bumi. Lempeng tersebut meliputi lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan

Lebih terperinci

ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST

ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST Oleh : Rahmat Triyono,ST,MSc Kepala Stasiun Geofisika Klas I Padang Panjang Email : rahmat.triyono@bmkg.go.id Sejak Gempabumi

Lebih terperinci

di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin jelas dengan disahkannya peraturan pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 berupa PP No 64 Tahun 2010 tentan

di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin jelas dengan disahkannya peraturan pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 berupa PP No 64 Tahun 2010 tentan Gempa bumi, tsunami, erosi, banjir, gelombang ekstrem dan kenaikan paras muka air laut adalah ancaman wilayah pesisir. Tapi tidak berarti hidup di negara kepulauan pasti menjadi korban bencana.. Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Hubungan Persebaran Episenter Gempa Dangkal dan Kelurusan Berdasarkan Digital Elevation Model di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta I.2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Longsor atau landslide merupakan suatu proses pergerakan massa tanah, batuan, atau keduanya menuruni lereng di bawah pengaruh gaya gravitasi dan juga bentuklahan yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Jalur tektonik di Indonesia (Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2015)

Gambar 1.1 Jalur tektonik di Indonesia (Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2015) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di antara pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasific. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Myanmar, Bangladesh, Srilangka, India, Maladewa, Somalia dan Kenya.

BAB I PENDAHULUAN. Myanmar, Bangladesh, Srilangka, India, Maladewa, Somalia dan Kenya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada penghujung tahun 2004, pada hari minggu, 26 Desember 2004, Indonesia dan delapan negara lainnya di kawasan Samudera India mengalami bencana tsunami yang sangat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Pantai dan Pesisir Pangandaran 4.1.1 Elevasi daratan (Topografi) Hasil pemetaan topografi daratan menunjukan bawa kondisi topografi pesisir Pangandaran terdiri

Lebih terperinci

(a). Vektor kecepatan arus pada saat pasang, time-step 95.

(a). Vektor kecepatan arus pada saat pasang, time-step 95. Tabel 4.4 Debit Bulanan Sungai Jenggalu Year/Month Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec 1995 3.57 3.92 58.51 25.35 11.83 18.51 35.48 1.78 13.1 6.5 25.4 18.75 1996 19.19 25.16 13.42 13.21 7.13

Lebih terperinci

Peringatan Dini Tsunami Dengan Menggunakan Pendeteksian Gelombang Primer dan Pemanfaatan Layanan Pesan Singkat

Peringatan Dini Tsunami Dengan Menggunakan Pendeteksian Gelombang Primer dan Pemanfaatan Layanan Pesan Singkat Peringatan Dini Tsunami Dengan Menggunakan Pendeteksian Gelombang Primer dan Pemanfaatan Layanan Pesan Singkat Tsunami sebenarnya bukanlah fenomena asing di pantai selatan Jawa. Di tahun 1904 kawasan Pangandaran

Lebih terperinci

GEMPA DAN TSUNAMI GEMPA BUMI

GEMPA DAN TSUNAMI GEMPA BUMI GEMPA DAN TSUNAMI FIDEL BUSTAMI COREMAP DAN LAPIS BANDA ACEH Pengertian : GEMPA BUMI Pergerakan bumi secara tiba-tiba tiba,, yang terjadi karena adanya tumbukan lempeng bumi yang mengandung energi yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan Indonesia tersebar sepanjang nusantara mulai ujung barat Pulau

Lebih terperinci

SOBEK Hidrodinamik 1D2D (modul 2C)

SOBEK Hidrodinamik 1D2D (modul 2C) SOBEK Hidrodinamik 1D2D (modul 2C) 1 Konten Mengapa pemodelan? Gelombang Aspek aliran 1 dimensi di Sobek Aspek numerik Aspek aliran 2 dimensi di Sobek 2 (mengapa?) pemodelan 3 Mengapa pemodelan? - Tidak

Lebih terperinci

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*)

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*) POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA Oleh : Hendro Murtianto*) Abstrak Aktivitas zona patahan Sumatera bagian tengah patut mendapatkan perhatian,

Lebih terperinci