Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok"

Transkripsi

1 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Lombok Selat Lombok merupakan perairan yang menghubungkan antara Pulau Bali dan Pulau Lombok juga merupakan perairan yang berkarakter unik dan dinamis. Panjang selat dari utara ke selatan sekitar 60 km dengan lebar 40 km di bagian utara dan menyempit menjadi sekitar 18 km di bagian selatan. Posisi geografis selat Lombok di bagian utara berhubungan dengan Laut Jawa dan di bagian selatan berhubungan dengan Samudera Hindia, dan merupakan selat yang paling dalam dibandingkan dengan selat-selat di sekitarnya. Di bagian ujung bagian selatan terdapat pulau Nusa Penida yang membagi selat lombok menjadi dua yaitu Selat Badung di bagian Barat dan Selat Lombok di bagian Timur. Selat Lombok dihubungkan dengan Selat Makasar oleh alur berkedalaman m sepanjang sisi timur Paparan Sunda, selat ini terletak di wilayah transisi antara perairan Indonesia bagian barat dan bagian timur. Perairan Indonesia bagian barat merupakan bagian dari Paparan Sunda yang berkedalaman kurang dari 75 m dan dipengaruhi curah hujan yang tinggi sebesar 2-4 m/tahun (ASEAN Sub-Commitee on Climatology,1982). Perairan Indonesia bagian timur adalah perairan dalam dengan kedalaman air lebih dari 1000 m dan curah hujan yang relatif rendah kurang dari 1,5 m/tahun. Adapun karakteristik dasar perairan di Selat Lombok dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok 4

2 Sirkulasi Permukaan Perairan di Selat Lombok Selat-selat laut umumnya merupakan perairan semi tertutup yang berhubungan dengan laut terbuka menyebabkan sistem dinamika perairan menjadi kompleks. Demikian pula di Selat Lombok diketahui mempunyai sistem dinamika kompleks yang dipengaruhi oleh pengaruh lokal maupun pengaruh skala besar yang berasal dari Lautan Hindia dan Lautan Pasifik. Kondisi perairan Selat Lombok dan karakteristik arus selatan Jawa dipengaruhi oleh siklus tahunan Angin Muson. Perairan Selat Lombok dipengaruhi oleh angin Musim Timur (east monsoon), dimana pada bulan Juni, Juli dan Agustus terjadi tekanan udara tinggi diatas daratan Australia dan pusat tekanan udara rendah diatas daratan Asia, sehingga menyebabkan angin bergerak dari arah Timur ke Barat. Angin musim berpengaruh terhadap sirkulasi air laut dan klimatologi seperti angin, curah hujan dan lain sebagainya. Pada daerah khatulistiwa, saat musim timur maka curah hujan sangat rendah sehingga mempengaruhi kadar salinitas dan kelimpahan Fitoplankton (Arinardi et al., 1994). Arief (1992) menyatakan bahwa arus di selat lombok merupakan sistem arus kuat dengan arah cenderung ke arah selatan menuju Lautan Hindia. Pada lapisan permukaan antara m dipengaruhi kuat oleh angin musim dan secara vertikal arus paling kuat dijumpai pada lapisan dengan salinitas rendah. Di daerah ini salinitas minimum terjadi pada kedalaman diatas 300 m. Sirkulasi air laut di sekitar Selat Lombok seperti di Flores pada lapisan kedalaman 100 m dipengaruhi oleh sistem sirkulasi skala besar dari lautan Pasifik dan Lautan Hindia. Pada lautan Hindia di daerah 50 km dari pantai selatan Kepulauan Indonesia, sirkulasi arus didominasi oleh berkembangnya arus pantai selatan Jawa yang menyebabkan upwelling/downwelling. Antara bulan Juli dan Oktober, sirkulasi didominasi oleh aliran ke arah barat yang merupakan bagian dari sistem arus katulistiwa Selatan di lautan Hindia (Wyrtki, 1961) Produktivitas Primer dan Faktor yang Mempengaruhi Fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang menentukan produktivitas primer perairan, khususnya di laut terbuka. Produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik

3 6 dengan bantuan energi matahari. Produktivitas primer sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam material hidup dan secara umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari (gr C/cm²/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (gr C/m³/hari) (Levinton, 1982). Selain jumlah karbon yang dihasilkan, tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat diketahui dengan melakukan pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a, dimana kedua metode ini dapat diukur secara langsung di lapangan (Valiela, 1984). Laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutrofik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air, nutrien, suhu permukaan laut dan laju tenggelam fitoplankton Percampuran Vertikal Distribusi vertikal klorofil-a di laut pada umumnya berbeda menurut waktu, dimana suatu saat ditemukan maksimum di dekat permukaan, namun di lain waktu mungkin lebih terkonsentrasi di bagian bawah kedalaman eufotik (Steel dan Yentch, 1960 dalam Parsons et al., 1984). Khlorofil-a memiliki hubungan yang sangat erat dengan tingkat produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton. Fitoplankton merupakan tumbuhan mikroskopis yang pergerakannya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya, dimana dalam tropik level disebut sebagai produsen utama perairan. Menurut Barnes dan Hughes (1988), pada fitoplankton terdapat pigmen klorofil-a yang merupakan zat hijau daun yang terdapat dalam tumbuhan yang mampu melakukan fotosintesis. Klorofil-a sangat mempengaruhi jumlah dan laju fotosintesis karena pigmen ini mendominasi konversi radiasi menjadi energi kimia. Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa kedalaman dimana konsentrasi maksimum klorofil-a adalah pada bagian di atas lapisan termoklin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh angin muson.

4 7 Menurut Amri (2002), dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada muson Tenggara (musim Timur), dimana pada saat itu terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan konsentrasi klorofil-a terendah dijumpai pada saat muson barat laut, dimana pada saat itu di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling, sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Perairan Selat Lombok dapat dikatakan subur saat terjadi upwelling pada musim timur. Tingginya konsentrasi nutrien di perairan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah fitoplankton. Hal ini disebabkan karena nutrien yang mengandung nitrat dan fosfat sangat dibutuhkan bagi perkembangan fitoplankton. Daerah dimana terjadi upwelling umumnya memiliki zat hara yang lebih tinggi dibanding dengan daerah sekitarnya. Tingginya kandungan zat hara akan merangsang pertumbuhan fitoplankton di lapisan permukaan. Perkembangan Fitoplankton sangat erat hubungannya dengan tingkat kesuburan perairan, sehingga proses naiknya air (upwelling) selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer suatu perairan Penetrasi Sinar Matahari Cahaya matahari sangat penting dalam kelangsungan proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Laju fotosintesis akan meningkat bila tingkat intensitas cahaya tinggi dan akan menurun jika intensitas cahaya menurun. Pada tingkat intensitas cahaya sedang, laju fotosintesis merupakan fungsi linier dari intensitas cahaya. Namun di dalam kolom air di dekat permukaan air dimana intensitas cahaya tertinggi, umumnya spesies fitoplankton menunjukkan fotosintesis berlangsung pada suatu tingkat tertentu bahkan menurun. Laju fotosintesis di permukaan adalah relatif kecil karena pengaruh cahaya matahari yang terlalu kuat. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi mengakibatkan jenuhnya proses fotosintesis sehingga lajunya tidak dapat ditingkatkan lagi. Menurut Tomascik et al. (1997), menyatakan bahwa pada perairan tropis, fotosintesis maksimum umumnya tidak di permukaan, tetapi ada di kedalaman yang berkisar antara 5-30 m. Semakin dalam maka laju fotosintesis semakin meningkat hingga mencapai maksimum (Pmax) pada kedalaman beberapa meter

5 8 di bawah permukaan. Selanjutnya, di bawah Pmax laju fotosintesis akan menurun secara proposal terhadap intensitas cahaya (Nontji, 2002) Kadar Nutrien Masuknya unsur dan senyawa esensial ke dalam suatu sistem perairan, khususnya N (nitrogen), P (fosfat), dan Si (silikat) umum dilihat sebagai faktor pembatas yang mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan populasi dan komunitas fitoplankton. Howarth (1988) dalam Pomeroy (1991) mengatakan bahwa dinamika populasi fitoplankton sangat ditentukan oleh nutrien yang berperan sebagai faktor pembatas. Unsur-unsur utama yang dibutuhkan oleh fitoplankton merupakan faktor pembatas pada perairan yang berbeda. Menurut Hecky dan Kilham (1988) dari ketiga unsur utama yaitu N, P, Si, pada perairan air tawar, fosfat lebih menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan alga bila dibandingkan dengan unsur yang lain, sedangkan di perairan laut, ketiga unsur tersebut bersama-sama bersifat sebagai faktor pembatas pertumbuhan, terutama nitrogen. Pertumbuhan dan reproduksi fitoplankton dipengaruhi oleh kandungan nutrien di dalam kolom perairan. Kebutuhan akan besarnya kandungan dan jenis nutrien oleh fitoplankton sangat tergantung dari klas atau jenis fitoplankton itu sendiri disamping jenis perairan dimana fitoplankton tersebut hidup. Laju pertumbuhan fitoplankton akan tergantung pada ketersediaan nutrien yang ada. Menurut Pomeroy (1991), laju pertumbuhan fitoplankton akan sebanding dengan meningkatnya konsentrasi nutrien hingga mencapai suatu konsentrasi yang saturasi. Setelah keadaan ini, pertumbuhan fitoplankton tidak tergantung lagi pada konsentrasi nutrien. Nitrogen sangat dibutuhkan fitoplankton untuk mensintesa protein. Menurut Parsons et al. (1984), nitrogen di laut terutama berada dalam bentuk molekul-molekul nitrogen dan garam-garam anorganik seperti nitrat, nitrit dan ammonia, dan beberapa senyawa nitrogen organik (asam amino dan urea). Fosfat di laut berada dalam bentuk fosfat anorganik terlarut, fosfat organik terlarut dan partikulat fosfat (Levinton, 1982; Parsons et al., 1984). Fitoplankton secara normal dapat mengasimilasi secara langsung fosfat anorganik terlarut (ion orthophosphate) dan kadang-kadang menggunakan fofat organik terlarut. Fosfat

6 9 berperan didalam mentransfer energi dalam sel fitoplankton (misalnya dalam phosphorylation) dan energi ADP (Adenosin Diphosphate) rendah menjadi ATP (Adenosin Triphosphate) tinggi (Tomascik et al., 1997). Dari berbagai jenis nutrien, silikat meskipun dibutuhkan dalam jumlah yang cukup besar namun bukan merupakan senyawa atau unsur utama yang essensial bagi fitoplankton seperti fosfat dan nitrat. Karena silikat tidak terlalu penting dalam komposisi protoplasma tumbuhan tetapi hanya berfungsi untuk menyusun kerangka (shell) diatom dan cyst dari yellow-brown algae serta berperan dalam sentesa DNA pada Cylindrotheca fusiform (Reid and Wood, 1976; Kennish, 1990 dalam Tubalawony, 2007). Meskipun demikian, jika kandungan silikat terlarut dalam suatu perairan berkurang dapat menghambat laju pembelahan sel dan menekan aktivitas metabolisme sel fitoplankton. Ketersediaan silikat seringkali berdampak terhadap kelimpahan dan produktivitas fitoplankton dan menjadi faktor pembatas bagi populasi fitoplankton lainnya. Artinya bila ketersediaan silikat dalam perairan berada dalam konsentrasi yang cukup, maka pertumbuhan fitoplankton, khususnya diatom akan meningkat dan mendominasi perairan, dan sebaliknya jika konsentrasinya rendah maka kepadatan populasi diatom akan rendah bila dibandingkan dengan kelompok fitoplankton lainnya seperti dinoflagelata. Hal ini dinyatakan pula oleh Levinton (1982), bahwa berkurangnya konsentrasi silikat di dalam perairan dapat membatasi pertumbuhan populasi fitoplankton dan secara langsung akan terjadi suksesi spesies fitoplankton ke arah spesies yang kekurangan silikat. Dengan demikian silikat merupakan fakor pembatas bagi pertumbuhan fitoplankton diatom di dalam suatu perairan Suhu Suhu merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa suhu secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap produktivitas primer di laut. Secara langsung, suhu berperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis. Tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis (Pmax) dan secara tidak langsung, suhu berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal

7 10 fitoplankton. Suhu air laut di permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Selain dipengaruhi oleh sinar matahari perubahan suhu permukaan laut juga dipengaruhi antara lain oleh arus, keadaan awan, penaikan massa air dan pencairan es di kutub (Laevastu dan Hela, 1970). Menurut Bearman (2004), sebaran menegak suhu dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu: (1) lapisan permukaan tercampur (mixed surface layer) atau disebut juga lapisan tercampur. Mekanisme utama pencampuran adalah olakan (turbulen) oleh angin dan gelombang dengan ketebalan m. Selain itu, di perairan Indonesia proses percampuran juga ditentukan oleh aliran kuat pada perairan dangkal atau dari selat-selat yang sempit dan percampuran oleh energi pasut (Ffield and Gordon, 1996). (2) lapisan termoklin permanen pada kedalaman m dimana pada kedalaman ini terjadi penurunan suhu yang tajam. (3) lapisan di bawah 1000 m sampai dasar laut dimana suhunya dingin dan relatif konstan. Lapisan Termoklin merupakan lapisan antara massa air permukaan yang lebih hangat dengan massa air yang lebih dingin di bawahnya. Menurut Harvey (1982) Mendefinisikan bahwa lapisan Termoklin sebagai lapisan massa air yang dilihat dari keadaan suhunya, dimana gradien suhu yang dibentuk lebih dari 5 C per 100m. Adapun menurut Wyrtki (1964) dalam Lukas dan Lindstrom (1991) kedalaman termoklin didefinisikan sebagai suatu kedalaman atau posisi dimana gradien suhu yang terbentuk sebesar 0,02 C/meter. Suhu permukaan laut di daerah tropik umumnya mengikuti pola musiman karena banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor curah hujan, penguapan, kelembaban dan suhu udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari (King, 1963; Nontji, 2002). Suhu permukaan laut berkisar antara 27 C -29 C, dan menurun secara teratur sesuai dengan meningkatnya kedalaman. Pada kedalaman lebih dari 1000 meter, suhu air laut relatif konstan dan umumnya berkisar antara 2 C - 4 C. Oleh adanya angin, pada lapisan permukaan sampai dengan kedalaman meter terjadi proses pengadukan, pada lapisan ini terdapat suhu hangat sekitar 28 C dan homogen. Percampuran vertikal karena pengaruh angin pada lapisan permukaan hanya terjadi pada lapisan tipis yang homogen dan pada lapisan dibawahnya tidak terjadi lagi percampuran vertikal dan suhu air mengalami

8 11 penurunan. Lapisan dimana terjadi penurunan suhu yang tajam dengan bertambahnya kedalaman disebut lapisan termoklin. Penurunan suhu menyebabkan densitas air meningkat, dan karena pada lapisan termoklin ini biasanya diikuti dengan peningkatan salinitas tinggi menyebabkan densitas air juga meningkat tajam. Oleh karena itu air di sebelah atasnya sulit atau tidak bisa bercampur dengan lapisan di bawahnya, sehingga lapisan ini biasa disebut lapisan pegat (discontuinity layer), karena mencegah atau memegat percampuran air antara lapisan diatas dengan lapisan dibawahnya (Nontji, 2002). Suhu permukaan di perairan Indonesia berkisar antara 26 C - 30 C, Suhu pada lapisan termoklin berkisar antara 9 C - 26 C dan pada lapisan dalam antara 8 C - 9 C (Soegiarto dan Birowo, 1975; Nontji, 2002). Untuk tempat yang biasa terjadi Upwelling, suhunya dapat turun sampai 25 C (Nontji, 2002). Menurut Arief (1997), secara keseluruhan suhu di Selat Lombok berkisar antara 6,9 C pada kedalaman 1000 m sampai 29,2 C di permukaan. Di perairan Indonesia, suhu maksimum terjadi pada masa pancaroba I (April Mei) dan musim Pancaroba II (November). Tingginya intensitas penyinaran dan dengan kondisi permukaan laut yang lebih tenang menyebabkan penyerapan ke dalam kolom air lebih tinggi sehingga suhu air menjadi maksimun. Sebaliknya pada musim barat (Desember-Februari) suhu mencapai minimum. Hal ini disebabkan pada musim tersebut kecepatan angin sangat kuat dan curah hujan yang tinggi. Tingginya curah hujan berarti intensitas penyinaran relatif rendah dan permukaan laut yang lebih bergelombang, mengurangi penetrasi panas masuk ke dalam air laut. Akibatnya suhu permukaan mencapai minimum. Dalam berperan sebagai faktor pendukung produktivitas primer di laut, suhu perairan berinteraksi dengan faktor lain seperti cahaya dan nutrien. Dalam kaitannya dengan produktivitas primer di laut, suhu lebih berperan kovarian dengan faktor lain daripada sebagai faktor bebas, sebagai contoh: plankton pada suhu rendah dapat mempertahankan konsentrasi pigmen-pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar, karena fitoplankton lebih efisien menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi jika sel-sel fitoplankton dapat menyesuaian dengan kondisi yang ada. Perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu yang tinggi. Tingginya suhu memudahkan

9 12 terjadinya penyerapan nutrien oleh fitoplankton. Dalam kondisi konsentrasi fosfat sedang di dalam kolom perairan, laju fotosintesis maksimum akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi Laju Tenggelam Fitoplankton Grazing dan daya tenggelam fitoplankton dalam perairan juga mempunyai peranan dalam menentukan tinggi rendahnya produktivitas primer perairan. Proses pemangsaan fitoplankton oleh zooplankton atau nekton akan menurunkan kelimpahan fitoplankton dalam perairan. Tenggelamnya fitoplankton akan menyebabkan terjadinya perubahan dalam distribusi fitoplankton secara vertikal, laju tenggelamnya fitoplankton akan berkurang dengan meningkatnya densitas perairan. Kuatnya stratifikasi perairan terutama pada lapisan termoklin, berakibat pada fitoplankton yang tenggelam tidak dapat melewati lapisan termoklin (Tomascik et al., 1997), hal inilah yang menyebabkan tingginya produktivitas primer pada lapisan atas termoklin. Begitu pula sebaliknya, fitoplankton yang sudah tenggelam hingga di bagian bawah lapisan eufotik akan sulit terangkat ke lapisan permukaan kecuali bila terjadi pergerakan vertikal massa air Faktor yang Mempengaruhi Sebaran Suhu Permukaan Laut Faktor yang mempegaruhi perubahan SPL diantaranya adalah Angin, Arus permukaaan laut, upwelling, pembekuan dan pencairan es di daerah kutub (Laevastu dan Hela,1970 dalam Paulus 2006). Menurut Sverdrup (1942) menyatakan bahwa kondisi SPL dipengaruhi oleh dinamika massa air laut yaitu pola arus permukaan, upwelling, divergensi dan konvergensi, turbulensi dan sirkulasi global lautan dari lintang tinggi ke lintang rendah dan sebaliknya. Distribusi SPL di perairan Indonesia sangat dipengaruhi keadaan lingkungan seperti arah dan kecepatan angin dan pola arus Angin dan Perubahan Musim Sistem angin di daerah tropis sangat kompleks dengan adanya pola angin musim yang disebut sistem muson (monsoon) yang dominan di Samudera Hindia. Sistem muson terjadi karena pusat tekanan udara bergeser sesuai dengan perubahan posisi matahari yang bergerak melintasi khatulistiwa dua kali dalam

10 13 setahun. Menurut Wyrtki (1961), pada kondisi normal wilayah Asia Tenggara dipengaruhi oleh empat angin muson utama, yaitu: 1. Angin muson barat laut, yang terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari. 2. Transisi dari angin muson barat laut ke angin muson tenggara yang terjadi pada bulan Maret, April dan Mei. 3. Angin muson tenggara, yang terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus. 4. Transisi dari angin muson tenggara ke angin muson barat laut, yang terjadi pada bulan September, Oktober dan November. Pada musim barat, di belahan bumi utara (daratan Asia) terjadi musim dingin dan di belahan bumi selatan (daratan Australia) terjadi musim panas. Pada saat ini, pusat tekanan tinggi berada di daratan Asia dan pusat tekanan rendah di daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin bertiup dari daratan Asia menuju daratan Australia, dan sebaliknya terjadi pada musim timur. Pada bulan Maret-Mei dan September-November, arah angin tidak menentu. Menurut Wyrtki (1961), secara umum pola angin muson di perairan Asia Tenggara setiap bulannya adalah sebagai berikut: Bulan Januari: muson timur laut (utara) terbentuk. Matahari di selatan (Australia) dan pusat tekanan tinggi di Asia sehingga angin bertiup dari utara terutama di atas Laut China dan Laut Andaman. Di Samudera Pasifik angin muson timur laut ini bergabung dengan angin pasat timur laut. Di ekuator, angin menjadi angin utara dan ketika sampai di belahan bumi selatan berbelok ke timur menjadi angin muson barat laut. Tekanan udara Khatulistiwa di Samudera Hindia pada posisi 100 LS, di sini ada angin pasat tenggara. Di pantai barat laut Australia, angin pasat tenggara berbelok dan bertiup hampir sejajar garis pantai ke arah timur laut. Bulan Februari: Tekanan udara Khatulistiwa bergeser ke utara dan berada di atas Jawa dan Nusa Tenggara. Antara Jawa dan Australia angin barat daya berkembang sebagai cabang dari angin pasat tenggara. Di utara ekuator kondisi tidak berubah namun kekuatan angin muson timur laut berkurang. Bulan Maret: Pasat tenggara dari Samudera Hindia meluas ke utara dan timur. Sementara di atas

11 14 Laut Timor dan Laut Arafura angin barat laut tetap ada. Di atas Laut China angin muson timur laut melemah. Bulan April: Tekanan udara Khatulistiwa bergerak cepat ke utara dan berada di atas ekuator. Angin pasat tenggara tetap mencapai 50 LS dan bergerak ke utara di Nusa Tenggara dan biasanya disebut angin muson tenggara. Di utara ekuator di atas Laut China dan Laut Filipina, angin muson timur laut yang lemah masih ada, sementara di atas Teluk Bengal angin muson barat daya bertiup dan memulai/mengawali muson barat daya di Myanmar dan Thailand. Bulan Mei: kondisi berubah total, angin muson timur laut di Laut China dan Laut Filipina hilang dan digantikan oleh muson selatan di seluruh Asia Tenggara. Di selatan ekuator, angin muson tenggara bertiup dan bergabung dengan angin pasat tenggara Samudera Hindia, di ekuator, angin selatan tetap ada dan di utaranya angin muson barat daya tetap bertiup. Di wilayah Filipina dan Laut Sulawesi angin tetap lemah dan tidak beraturan. Bulan Juni: sebaran berubah sedikit: angin menjadi lebih kuat bahkan lebih kuat di atas Laut Arafura, Samudera Hindia, khususnya di Teluk Bengal. Bulan Juli dan Agustus: angin muson selatan mencapai puncaknya. Pada bulanbulan ini pusat tekanan rendah di Asia dan tekanan tinggi di Australia dan perbedaan tekanan antara keduanya mencapai titik tertinggi dan sirkulasi mencapai kekuatan terbesarnya. Bulan September: di atas Formosa dan Hongkong, angin muson timur laut yang pertama terbentuk, menandakan pelemahan Asia bawah dan di wilayah muson selatan hanya mengalami pengurangan kekuatan. Bulan Oktober: Tekanan udara Khatulisiwa kemudian kembali bergeser ke selatan. Pada pertengahan bulan, Tekanan udara Khatulistiwa terletak pada garis lurus antara Teluk Bengal dengan New Guinea. Di sebelah utara garis ini, muson timur laut masih ada, sebelah selatannya juga tetap terjadi angin muson tenggara. Di antara ekuator dan 100 LS muson barat daya telah berbelok jauh sehingga hampir menjadi angin barat. Bulan November: Tekanan udara Khatulistiwa telah berada di selatan ekuator. Muson timur laut mengalami intensifikasi terutama di atas Laut China. Di atas Samudera Hindia sistem muson tenggara telah hilang dan angin pasat tenggara membatasi hingga 50 LS.

12 15 Bulan Desember: Tekanan udara Khatulistiwa bergerak terus ke selatan dan berada pada 50 LS. Angin muson timur laut mencapai puncak kekuatan di atas Laut China, melewati ekuator sebagai angin utara dan secara temporer mencapai Laut Jawa dan Nusa Tenggara. Di atas Laut Jawa angin barat masih ada. Angin pasat tenggara Samudera Hindia mundur jauh ke selatan dan mencapai lebih dari 100 LS. Di dekat barat laut pantai Australia angin selatan masih ada. Meskipun secara umum pembagian waktu angin muson masih mengikuti pola Wyrtki (1961), namun observasi yang dilakukan Susanto et al. (2007) mengindikasikan bahwa waktu transisi atau musim peralihan lebih pendek. Angin muson barat laut bertiup dari November-Maret, sementara angin muson tenggara bertiup dari Mei-September. Musim transisi hanya pada April dan Oktober. Perubahan arah dan kecepatan angin yang bertiup di atas perairan mengakibatkan terjadinya perubahan dinamika di dalam perairan tersebut. Menurut Clark et al. (1999) in Tubalawony (2007), kuatnya angin muson mengakibatkan meningkatnya transpor Ekman, percampuran vertikal dan tingginya bahang yang hilang akibat evaporasi sepanjang musim panas, sehingga mengakibatkan terjadinya pendinginan suhu permukaan perairan, dan sebaliknya bila angin menjadi lemah dimana percampuran massa air akan lemah dan bahang yang hilang melalui evaporasi menjadi berkurang. Selain itu, kuatnya pengaruh angin muson mengakibatkan perbedaan dinamika massa air yang bertanggung jawab terhadap sirkulasi massa air permukaan, percampuran massa air dan upwelling. Kuatnya pengaruh angin muson dapat dilihat dalam bentuk aliran massa air pada lapisan permukaan ke arah tenggara di sepanjang pantai barat daya Sumatera dan ke arah timur di selatan Jawa hingga Sumbawa selama bertiup angin muson barat laut, dimana arus ini merupakan percabangan Arus Sakal Katulistiwa Samudera Hindia dan cabang arus ini dikenal sebagai Arus Pantai Jawa (APJ) (Soeriaatmadja, 1957 in Wyrtki, 1961). Menurut Susanto et al. (2001), terjadinya upwelling di sepanjang pantai Jawa-Sumatera merupakan respons terhadap bertiupnya angin muson tenggara. Upwelling di daerah ini berlangsung dari bulan Juni hingga pertengahan Oktober dan pusat upwelling dengan suhu permukaan laut yang rendah dimulai dari

13 16 perairan selatan Jawa Timur dan kemudian bermigrasi ke arah barat. Migrasi upwelling tergantung pada perubahan musiman angin yang bertiup sepanjang pantai dan perubahan lintang yang mempengaruhi parameter coriolis. Di perairan Jawa-Sumbawa, tiupan angin muson tenggara menyeret massa air permukaan ke arah barat dan oleh efek Coriolis massa air terbentuk akan dibelokkan ke selatan meninggalkan pantai sehingga menyebabkan penurunan muka laut dan kekosongan massa air permukaan di daerah pantai. Kekosongan massa air tersebut akan diisi/digantikan oleh massa air di bawahnya. Proses pengangkatan massa air dari lapisan bawah disebut upwelling. Upwelling di perairan pantai berperan penting dalam proses biologis karena massa air lapisan bawah kaya nutrien. Setelah selang beberapa waktu (time lag), tingginya konsentrasi nutrien akan memicu pertumbuhan fitoplankton yang bertanggung jawab dalam produktivitas primer di laut. Sebaran temporal gesekan angin di daerah pantai mempengaruhi volume transpor Ekman di lapisan permukaan. Menurut Purba (2009), kekuatan gesekan angin di selatan Jawa-Sumbawa pada mencapai puncak kekuatannya ketika bertiup angin muson tenggara yaitu Juni-Agustus dimana gesekan angin di bagian barat lebih kuat dibanding sisi timur. Di perairan Jawa Timur-Sumbawa, gesekan angin bervariasi dalam arah zonal pada Juni dan Juli, sementara pada Agustus-September bervariasi secara meridional Upwelling Upwelling didefinisikan sebagai gerakan naiknya massa air dari lapisan yang lebih dalam, dimana massa air tersebut mempunyai suhu yang rendah dan salinitas yang tinggi serta membawa unsur-unsur hara yang kaya akan Fosfat dan Nitrat ke permukaan. Massa air yang naik ke permukaan ini berasal dari lapisan kedalaman antara m, oleh karena itu daerah-daerah upwelling selalu memberikan indikasi produktivitas plankton yang tinggi pada perairan tersebut (Nontji, 2002). Dari nilai suhu dan salinitas yang diukur pada tempat yang sama (posisi dan kedalaman yang sama) pada saat terjadi upwelling, diketahui bahwa suhu akan lebih rendah dan salinitas akan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Pada lokasi dimana terjadi upwelling, suhu air permukaan

14 17 dapat turun sampai sekitar 25 C, hal ini disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke permukaan (Nontji, 1993). Proses upwelling menyebabkan terjadinya penurunan suhu permukaan laut dan tingginya kandungan unsur hara dibandingkan daerah sekitarnya. Dengan melimpahnya unsur hara di perairan saat terjadinya upwelling akan merangsang perkembangan fitoplankton di lapisan permukaan yang erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan. Oleh karena itu proses terjadinya upwelling selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan (Birowo dan Arief, 1983) Pola Arus Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut, maupun oleh adanya gerakan gelombang panjang. Menurut Ilahude dan Nontji (1990), di wilayah perairan Indonesia mengalir sistem arus utama yang disebut Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Perairan Indonesia merupakan satu lintasan yang mentransfer massa air yang hangat dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia (Gambar 3). Hal ini menjadikan perairan Indonesia memegang peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim. Gambar 3. Sistem Arus Lintas Indonesia (Arlindo) di perairan Indonesia (Gordon et al.,1994).

15 Deteksi Klorofil dan Suhu Permukaan Laut Pendeteksian konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dilakukan dengan menggunakan kisaran cahaya tampak (visble) dan inframerah (infrared). Warna air laut (ocean colour) menunjukkan spektrum radiasi cahaya dibawah permukaan laut, sehingga penginderaan warna air laut digunakan untuk menduga konsentrasi klorofil-a. Robinson (1985) membagi perairan menjadi dua kelompok berdasarkan sifat optisnya, yaitu perairan tipe 1 dan perairan tipe 2. Perairan tipe 1 adalah perairan yang sifat optisnya didominasi oleh fitoplankton. Perairan ini biasanya ditemukan di perairan lepas pantai yang tidak dipengaruhi zona perairan dangkal dan sungai. Untuk perairan tipe 2 lebih banyak didominasi oleh sedimen tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow substances). Pendugaan konsentrasi klorofil termasuk dalam tipe perairan 1, dimana pantulan minimum terjadi pada panjang gelombang 0,44µm (biru) dan 0,66µm (merah). Warna perairan yang terlihat melalui teknologi penginderaan jauh merupakan hasil pembauran cahaya oleh permukaan perairan. Perairan yang produktif berwarna hijau-biru atau merah, sedangkan perairan yang berwarna biru gelap merupakan perairan dengan kesuburan rendah. (Stewart, 1985 dalam Fitriah, 2008). Pengukuran suhu permukaan laut dari satelit dilakukan dengan radiasi inframerah pada panjang gelombang 3-14µm. Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada lapisan permukaan (Robinson,1985). Salah satu cara untuk mendeteksi konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut di suatu perairan adalah dengan menggunakan citra MODIS. Satelit Aqua yang membawa instrument MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) diluncurkan pertama kali tanggal 4 Mei 2002 dengan spesifikasi daerah laut. Satelit Aqua MODIS adalah satelit ilmu pengetahuan tentang bumi yang dimiliki oleh NASA, dengan misi mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah, es yang ada di laut dan di daratan dan salju yang menutupi darata. Variabel yang juga diukur oleh satelit Aqua MODIS adalah aerosol, tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton dan bahan organik terlarut

16 19 di lautan, serta suhu di udara, laut dan daratan. Data citra yang merupakan produk MODIS khusus untuk perairan mencakup tiga hal penting yaitu warna perairan, suhu permukaan laut dan produksi primer perairan melalui deteksi kandungan klorofil. Untuk menduga suhu permukaan laut (SPL) digunakan algoritma MODIS yang menggunakan kanal 31 dan 32. Algoritma SPL adalah sebagai berikut: Modis_SST = C1 + C2 * T 31 + C3 * T C4 * (sec (θ)-1) * T Dimana: T 31, T 32 = Brightness temperature dari kanal 31 dan kanal 32 θ = Sudut Zenith satelit Konstanta C1, C2, C3 dan C4 dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 1. Koefisien Kanal 31 dan 32 untuk AquaMODIS Koefisien T 30 T 31 0,7 T 30 T 31 > 0,7 C1 1, , C2 0, , C3 0, , C4 1, , Menurut McClain dan Feldman (2004) dalam Meliani (2006) algoritma yang digunakan sebagai standar dalam pengolahan citra satelit Aqua MODIS untuk mendapatkan data klorofil-a di perairan secara global yaitu algoritma OC3M (Ocean Cholorophyll 3-band algorithm MODIS). Persamaan algoritma tersebut adalah sebagai berikut (O Reilly et al., 2000): 0,283-2,753R + 1,475R² + 0,657R³ - 1,403R³ OC3M: Ca = 10 R = log 10 Rrs 443 Rrs Dimana: Ca : Konsentrasi Khlorofil-a (mg/m³) R : Rasio reflektansi Rrs: Remote sensing reflectance

17 20 Algoritma OC3M menggunakan rasio maksimum dari reflektansi kanal 443 nm dengan 550 nm dan kanal 490 nm dengan 550 nm untuk menentukan nilai konsentrasi khlorofil-a di perairan. Data Modis level 3 untuk produk warna perairan (ocean color) dan suhu permukaan laut dapat diperoleh pada situs Data MODIS level 3 merupakan produk data yang sudah diproses. Data tersebut sudah dilakukan koreksi atmosferik, yang dilakukan untuk menghilangkan hamburan cahaya yang sangat tinggi yang disebabkan oleh komponen atmosfer, komponen yang dikoreksi yaitu hamburan rayleigh dan hamburan aerosol. Selanjutnya pengolahan data yang dilakukan dari data citra level 3 dapat diolah dengan program SeaDAS untuk dilakukan cropping daerah penelitian dan mendapatkan data dalam ekstensi ASCII. Program SeaDAS (SeaWIFS Data Analysis System), adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration), Amerika tahun Merupakan paket analis citra satelit secara komprehensif untuk memproses, menampilkan dan menganalisa semua produk dari data satelit ocean color SeaWIFS (Sea Viewing Wide Field of- view Sensor). Dalam perkembangannya, software seadas mempunyai kemampuan untuk memproses data satelit ocean color lainnya termasuk diantaranya dari MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) versi terakhir Sea DAS yang sudah di release adalah SeaDAS versi El Nino Southern Oscillation (ENSO) ENSO merupakan contoh variabilitas antar tahunan yang disebabkan interaksi atmosfer-lautan di Samudera Pasifik (Dijkstra, 2008). Menurut Potemra et al. (2003), ENSO merupakan fenomena anomali angin antara timur dan barat Samudera Pasifik yang menyebabkan perbedaan tinggi muka laut diantara kedua sisi samudera. Philander (1990) menyatakan bahwa El Nino merupakan suatu fase dari ENSO dimana angin pasat Tenggara dan angin pasat Timur Laut melemah dan seringkali berbalik arah. Peristiwa El Nino diawali dengan turunnya tekanan udara di Pasifik Selatan bagian Timur dan bergesernya sirkulasi Walker ke arah timur (Gambar 4). Tekanan udara di atas Indonesia dan Samudera Hindia bagian

18 21 timur menguat. Massa air permukaan yang hangat, yang biasanya terdapat di Samudera Pasifik bagian Barat menyebar ke arah Timur, terkadang sampai 140 BT. Dengan bergeraknya massa air permukaan yang hangat ke Timur akan mengurangi gradien suhu permukaan laut zonal di sepanjang equator Pasifik, yang akibatnya Angin Pasat juga semakin lemah dan El Nino semakin berkembang. Menurut Quinn et al. (1978), fenomena El Nino memiliki siklus yang tidak teratur dengan periode antara 2 sampai 7 tahun. Dalam perkembangan selanjutnya terdapat pula fase sebaliknya dari El Nino yang dinamakan La Nina, dimana Angin Pasat di Samudera Pasifik bertiup dengan kuat. Kondisi Normal Kondisi El Nino Gambar 4. Model Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik pada Kondisi Normal dan pada Kondisi El Nino (Shinoda et al., 2003).

19 22 Salah satu parameter untuk menunjukkan fase El Nino atau La Nina adalah Southern Oscillation Index (SOI). SOI adalah suatu indeks perbedaan tekanan udara permukaan laut antara Darwin dan Tahiti yang kemudian dinormalkan dengan standar deviasi (Trenberth, 1997). Beberapa penelitian penting tentang feomena ENSO dan dampaknya terhadap karakteristik dan dinamika perairan di barat Sumatera dan selatan Jawa telah dilakukan (Sprintall et al., 1999; Susanto et al., 2001; Gordon et al., 2003; Susanto et al., 2007). Philander (1990) menambahkan pula bahwa indeks SOI berkaitan dengan kekuatan Angin Pasat Tenggara. Angin pasat merupakan angin yang paling stabil, tetapi bervariasi dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun, terutama di bagian barat Pasifik. Diduga salah satu sumber utama penyebab variabilitas itu adalah gelombang Madden-Julian di atmosfer. Ketika tekanan paras laut di Darwin lebih besar daripada tekanan paras laut di Tahiti, SOI bernilai negatif dan Angin Pasat Tenggara di Pasifik Selatan melemah. Bila selisihnya lebih kecil daripada negatif 1,5 maka periode ini disebut El Nino. Begitu pula dengan sebaliknya, bila tekanan paras laut di Darwin lebih kecil daripada tekanan paras laut di Tahiti, SOI benilai positif dan Angin Pasat Tenggara di Pasifik Selatan menguat dan periode ini disebut La Nina Indian Ocean Dipole Mode (IODM) IODM merupakan suatu pola variabilitas internal Samudera Hindia dimana SPL di bagian timur Samudera Hindia (pantai barat Sumatera) lebih rendah daripada biasanya dan sebaliknya di bagian barat samudera terjadi anomali SPL yang lebih tinggi dan diikuti dengan anomali angin dan presipitasi (Saji et al., 1999). Hubungan spasial-temporal antara SPL dan angin mempengaruhi presipitasi dan dinamika perairan. IODM bersifat khas dan inheren di Samudera Hindia dan independen terhadap El Nino Southern Oscillation (ENSO). Fenomena IODM dapat menjelaskan kenapa saat Indonesia mengalami kekeringan tapi bagian timur Afrika justru presipitasi berlebih. Proses perkembangan IODM ditunjukkan pada Gambar 5.

20 23 Gambar 5. Pola perkembangan IODM (Saji et al., 1999) Karakter IODM adalah adanya kondisi SPL yang berlawanan pada kedua sisi Samudera Hindia. Karena perbedaan SPL pada kedua sisi sangat jelas, maka IODM dapat diidentifikasi dengan menggunakan Dipole Mode Index (DMI) yang menggambarkan perbedaan anomali SPL antara Samudera Hindia tropis bagian barat (500 BT 700 BT, 100 LS 100 LU) dan Samudera Hindia tropis bagian tenggara (900 BT 1100 BT, 100 LS katulistiwa). Korelasi antara dua nilai SPL yang berbeda cukup besar (>70%). Hal ini mengindikasikan tingginya akurasi DMI dalam menggambarkan IODM berdasarkan SPL. IODM bersifat independen terhadap ENSO di Samudera Pasifik seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Pada gambar tersebut ditampilkan kondisi anomali SPL Pasifik bagian tengah dan timur (daerah Nino3) dan dibandingkan dengan data DMI. Tahun-tahun kejadian IODM adalah 1961, 1967, 1972, 1994 dan Pada tahun 1961 tidak ada El Nino; 1967 IODM terjadi bersamaan dengan La Nina; 1972 dan 1997 IODM muncul bersamaan dengan El Nino. Korelasi antara DMI dan Nino3 kecil (0.35) sehingga disimpulkan bahwa IODM bersifat independen terhadap ENSO (Saji et al., 1999).

21 24 Gambar 6. Perbandingan kondisi IODM dan El Nino (Saji et al.,1999) Meskipun IODM sangat dipengaruhi oleh sistem sirkulasi muson, namun ternyata korelasi antara IODM dan tingkat presipitasi di wilayah Asia yang dipengaruhi muson kecil. Hal ini disebabkan ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi IODM, seperti kecenderungan biennial yang bervariasi menurut periode muson dan reduksi konveksi di zona konvergensi tropis (OTCZ). Pada akhirnya disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang jelas antara IODM dan sistem muson (Saji et al., 1999). Bagi negara-negara di sekitar Samudera Hindia, terdapat dua anomali pola cuaca selama IODM berlangsung. Pertama, anomali meningkatnya suhu daratan dan tingginya curah hujan di laut di bagian barat Samudera Hindia dan sebaliknya di sisi timur samudera. Kedua, meningkatnya curah hujan di atas daratan Asia yang masih dipengaruhi angin muson yang meluas dari Pakistan hingga bagian selatan China. Bahkan fenomena IODM terasa hingga Eropa, timur laut Asia, utara dan selatan Amerika utara dan selatan Afrika. Bagi wilayahwilayah jauh ini, IODM berhubungan dengan anomali meningkatnya suhu daratan dan berkurangnya curah hujan (Saji and Yamagata, 2003). Pada saat terjadi IODM, angin pasat di ekuator Samudera Hindia bagian timur yang bertiup ke arah timur menjadi lebih kuat dan lama dan menekan intrusi arus khatulistiwa sehingga proses pendinginan lautan Indonesia berlangsung lebih lama. Hal ini menyebabkan upwelling lebih kuat dan lapisan termoklin menjadi lebih dangkal di barat Sumatera dan selatan Jawa (Saji et al., 1999). Hubungan antara SPL dan anomali kedalaman termoklin dapat dijelaskan dengan IODM (Qu et al., 2005).

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer Cahaya

TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer Cahaya TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer Di laut, khususnya laut terbuka, fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang menentukan produktivitas primer perairan. Produktivitas primer adalah jumlah

Lebih terperinci

VARIABILITAS KESUBURAN PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT LOMBOK STEFANUS HARI WIYADI

VARIABILITAS KESUBURAN PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT LOMBOK STEFANUS HARI WIYADI VARIABILITAS KESUBURAN PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT LOMBOK STEFANUS HARI WIYADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan sistem angin pasat yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, 6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arlindo (Arus Lintas Indonesia) Arlindo adalah suatu sistem di perairan Indonesia di mana terjadi lintasan arus yang membawa membawa massa air hangat dari Samudra Pasifik menuju

Lebih terperinci

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina ENSO (EL-NINO SOUTERN OSCILLATION) ENSO (El Nino Southern Oscillation) ENSO adalah peristiwa naiknya suhu di Samudra Pasifik yang menyebabkan perubahan pola angin dan curah hujan serta mempengaruhi perubahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. seperti konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut.

2. TINJAUAN PUSTAKA. seperti konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Bali Perairan Selat Bali di sebelah barat dibatasi oleh daratan pulau Jawa, sedangkan di sebelah timur dibatasi oleh daratan Pulau Bali. Selat Bali

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan merupakan salah satu sumber ketersedian air untuk kehidupan di permukaan Bumi (Shoji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penilaian, perencanaan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN : PRISMA FISIKA, Vol. II, No. (24), Hal. - 5 ISSN : 2337-824 Kajian Elevasi Muka Air Laut Di Selat Karimata Pada Tahun Kejadian El Nino Dan Dipole Mode Positif Pracellya Antomy ), Muh. Ishak Jumarang ),

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang

3. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang terdiri dari proses pembuatan proposal penelitian, pengambilan data citra satelit, pengambilan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012 KATA PENGANTAR i Analisis Hujan Bulan Agustus 2012, Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2012, dan Januari 2013 Kalimantan Timur disusun berdasarkan hasil pantauan kondisi fisis atmosfer dan data yang

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Salah satu parameter yang mencirikan massa air di lautan ialah suhu. Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 99 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Data Asimilasi GFDL 4.1.1 TRITON Stasiun pengamatan data TRITON yang digunakan untuk melakukan validasi data asimilasi GFDL sebanyak 13 stasiun dengan 12 TRITON berada

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 661-669 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A KAITANNYA DENGAN EL NINO SOUTHERN

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Kondisi Indian Oscillation Dipole (IOD), El Nino Southern Oscillation (ENSO), Curah Hujan di Indonesia, dan Pendugaan Kondisi Iklim 2016 (Update Desember 2015) Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Disarikan dari

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK Indri Ika Widyastuti 1, Supriyatno Widagdo 2, Viv Djanat Prasita 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum El Nino El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Niken Ayu Oktaviani 1), Muh. Ishak Jumarang 1), dan Andi Ihwan 1) 1)Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Ocean Color Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak pada tahun 2016 menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau dan Prakiraan Musim Hujan. Pada buku Prakiraan Musim Kemarau 2016

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Selat Makassar. Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan

2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Selat Makassar. Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Makassar Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan perairan Samudera Pasifik di bagian utara melalui Laut Sulawesi dan di bagian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Air merupakan salah satu sumber daya alam dan kebutuhan hidup yang penting dan merupakan sadar bagi kehidupan di bumi. Tanpa air, berbagai proses kehidupan

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang terletak diantara Samudra Pasifik-Hindia dan Benua Asia-Australia, serta termasuk wilayah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sirkulasi Monsun di Indonesia Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki karakteristik yang unik, yaitu terletak di antara benua Australia dan Asia dan dua samudera, yaitu

Lebih terperinci

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali Journal of Marine and Aquatic Sciences 3(1), 30-46 (2017) Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali I

Lebih terperinci

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan 20 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan laut yang diteliti adalah wilayah yang ditunjukkan pada Gambar 2 yang merupakan wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Studi tentang iklim mencakup kajian tentang fenomena fisik atmosfer sebagai hasil interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN : Analisis Tingkat Kekeringan Menggunakan Parameter Cuaca di Kota Pontianak dan Sekitarnya Susi Susanti 1), Andi Ihwan 1), M. Ishak Jumarangi 1) 1Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Tanjungpura, Pontianak

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. i REDAKSI KATA PENGANTAR Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si Penanggung Jawab : Subandriyo, SP Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. Kom Editor : Idrus, SE Staf Redaksi : 1. Fanni Aditya, S. Si 2. M.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar STRUKTUR BUMI 1. Skalu 1978 Jika bumi tidak mempunyai atmosfir, maka warna langit adalah A. hitam C. kuning E. putih B. biru D. merah Jawab : A Warna biru langit terjadi karena sinar matahari yang menuju

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

DEPRESI DAN SIKLON PENGARUHI CUACA INDONESIA

DEPRESI DAN SIKLON PENGARUHI CUACA INDONESIA AKTUALITA DEPRESI DAN SIKLON INDERAJA TROPIS PENGARUHI CUACA INDONESIA DEPRESI DAN SIKLON TROPIS PENGARUHI CUACA INDONESIA Davit Putra, M.Rokhis Khomarudin (Pusbangja ) Cuaca di Indonesia dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

Physics Communication

Physics Communication Phys. Comm. 1 (1) (2017) Physics Communication http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pc Analisis kondisi suhu dan salinitas perairan barat Sumatera menggunakan data Argo Float Lita Juniarti 1, Muh.

Lebih terperinci