BAB I PENDAHULUAN. Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, LN Tahun 1994 Nomor 57, TNL Nomor 3564

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, LN Tahun 1994 Nomor 57, TNL Nomor 3564"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah indikasi geografis diatur dalam Perjanjian Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs), yang mewajibkan negaranegara anggota untuk menyusun peraturan tentang indikasi geografis dengan tujuan memberikan perlindungan hukum terhadap praktek atau tindakan persaingan curang. Dengan diratifikasinya Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) oleh Indonesia pada tanggal 2 November maka Indonesia wajib menerima persetujuan-persetujuan WTO dan yang menjadi lampirannya, termasuk TRIPs. Indonesia wajib menyesuaikan kerangka hukum nasionalnya sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tingkat perlindungan atas enam jenis hak kekayaan intelektual sebagaimana terdapat dalam persetujuan TRIPs, termasuk perlindungan indikasi geografis. Salah satu langkah dalam pelaksanaan komitmen tersebut adalah Indonesia mengintegrasikan perlindungan indikasi geografis ke dalam Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan adanya perlindungan dalam kerangka TRIPs melalui ratifikasi negara terhadap pembentukan WTO, maka diharapkan dapat memberikan skema perlindungan secara internasional yang sistematis dan berkelanjutan bagi negara yang berpeluang dalam produk-produk indikasi geografis. Ironisnya bagi Indonesia, sampai saat ini perlindungan indikasi geografis tidak cukup mampu memberikan perlindungan terhadap produk-produk berpotensi indikasi geografis. Dalam lingkup internal, hingga saat ini jumlah sertifikat indikasi geografis masih tergolong sedikit dibandingkan dengan potensi indikasi geografis yang ada. Pada saat yang bersamaan, secara eksternal telah terdapat sejumlah pelanggaran terhadap indikasi geografis Indonesia. 1 Undang-Undang RI No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, LN Tahun 1994 Nomor 57, TNL Nomor

2 Salah satu kasus pelanggaran yang terjadi adalah pendaftaran kopi toraja sebagai merek TOARCO TORAJA oleh perusahaan Key Coffee Inc Corporation Japan dengan nomor pendaftaran lengkap dengan gambar rumah Toraja. Selain itu, kopi toraja juga pernah didaftarkan sebagai merek SULATCO KALOSI TORAJA COFFEE dengan nomor pendaftaran , milik IFES Inc. Corporation California dan juga merek SULATCO KALOSI TORAJA COFFEE dengan gambar rumah Toraja, dengan nomor pendaftaran , milik IFES Inc. Corporation California (Sommeng dan Damarsasongko, 2008: 91-92). Hal ini memberikan akibat hukum dan kerugian bagi Indonesia karena menghalangi eksportir kopi dari Indonesia untuk memasukkan produk kopi yang menggunakan tanda nama Toraja. Pihak Jepang melarang pihak Indonesia melakukan kerjasama dengan pihak manapun selain dengan pihaknya, serta pihak Jepang bebas menjual kopi toraja ke pihak manapun tanpa izin sedangkan Indonesia tidak bebas mengekspor kopi toraja ke luar negeri. Di daerah asalnya sendiri, kopi toraja dipalsukan oleh pihak-pihak tertentu yaitu dengan memasukkan kopi (biji kering) dari luar Toraja dan kemudian dilabeli dengan nama kopi toraja dan dibawa kembali untuk dijual ke pasaran. Pencaplokan dengan menggunakan label Toraja ini, tentunya sangat merugikan pihak produsen, khususnya para petani di Toraja. Bukan hanya karena masalah financial semata, namun citra kopi toraja sebagai salah satu kopi specialty yang terkenal di dunia dapat dirusak oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Mengatasi masalah tersebut, maka perlindungan hukum berupa sertifikat indikasi geografis bagi kopi arabika toraja merupakan sebuah keharusan. Apalagi berdasarkan peraturan internasional dalam WTO menyatakan bahwa setiap negara anggota tidak diwajibkan untuk melindungi produk indikasi geografis yang tidak dilindungi di negara asalnya. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan alas hukum perlindungan domestik dan internasional, maka perlindungan di dalam negeri berupa sertifikat indikasi geografis merupakan langka yang paling utama. Hal ini penting mengingat 2

3 gaung kopi arabika toraja di dunia internasional dan dalam negeri sebagai kopi yang berkualitas dengan cita rasa yang khas dan hanya berasal dari Toraja sudah sangat diketahui, dengan kata lain, kopi arabika toraja adalah produk berpotensi indikasi geografis yang bernilai ekonomis tinggi. Akhirnya, pada tanggal 25 januari 2014, sertifikat indikasi geografis kopi arabika toraja diserahkan oleh Kementrian Hukum dan HAM kepada Pemerintah Toraja. Hal ini tentunya tidak terlepas dari berbagai upaya para aktor domestik dalam berbagai aspek yang terkait dan berbagai kendala yang dihadapi. Maka dari itu, berdasarkan pada kondisi yang dijelaskan sebelumnya, tesis ini bertujuan untuk menjelaskan upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dalam berbagai aspek yang terkait. Selain itu, tesis ini berusaha menjelaskan kendala yang dihadapi dalam proses memperjuangkan perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja. B. Rumusan Masalah Adapun pertanyaan penelitian yang hendak dijawab oleh tesis ini adalah: Apa upaya Indonesia dalam memperjuangkan perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja? C. Tinjauan Literatur Penelitian mengenai masalah indikasi geografis di Indonesia telah cukup banyak dilakukan dalam konteks yang beranekaragam. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya perhatian terhadap masalah indikasi geografis, terutama dalam pembahasan perlindungan potensi indikasi geografis setelah diintegrasikannya peraturan perlindungan indikasi geografis ke dalam Undang-Undang Merek pada tahun Tinjauan literatur dalam penelitian ini meliputi empat kelompok pembahasan, yaitu perlindungan indikasi geografis di Indonesia, pentingnya indikasi geografis, permasalahan dan sengketa di bidang indikasi geografis, serta perlindungan dan penyelesaian sengketa indikasi geografis. 3

4 Masalah perlindungan indikasi geografis di Indonesia seperti dijelaskan Sommeng dan Damarsasongko (2008) meliputi ketentuan indikasi geografis di Indonesia, termasuk di dalamnya pihak-pihak yang berhak untuk mendaftarkan indikasi geografis; tata cara permohonan indikasi geografis; pemeriksaan permohonan indikasi geografis; tim ahli indikasi geografis; tata cara pemeriksaan substantive permohonan indikasi geografis; pengumuman dan pengawasan terhadap pemakaian indikasi geografis; serta pelanggaran indikasi geografis. Lebih lanjut, Sommeng dan Damarsasongko (2008) menjelaskan kebutuhan akan perlindungan indikasi geografis di tanah air merupakan hal yang sangat penting mengingat Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam hal produk-produk yang dapat dilindungi sebagai indikasi geografis. Adanya sistem perlindungan indikasi geografis akan memberikan banyak manfaat, antara lain adanya perlindungan hukum pada produk-produk indikasi geografis di Indonesia. Selanjutnya, indikasi geografis dapat digunakan sebagai marketing tool dalam dunia perdagangan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di samping itu, dengan indikasi geografis produk-produk daerah lokal akan memiliki nilai tambah. Hal tersebut diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Senada dengan hal tersebut, Ayu (2005) menggambarkan bahwa indikasi geografis selain sebagai rezim Hak Kekayaan Intelektual yang perlindungannya masih paling terbuka bagi pengaruh keragaman budaya bangsa-bangsa di dunia, indikasi geografis juga amat menghargai keterkaitan historis antara suatu produk dengan tempat asalnya. Karakter kepemilikannnya pun bersifat komunal dan kolektif. Selain itu, indikasi geografis juga amat potensial untuk menjamin agar keuntungan ekonomi tertinggi dari suatu produk dapat tetap paling dinikmati oleh produsen dari daerah asal produk itu sendiri. Bahkan, di beberapa negara maju indikasi geografis secara nyata mengangkat kesejahteraan produsen-produsen di dalam suatu lokalitas tertentu yang letaknya terpencil dan hanya memiliki alternative mata pencaharian yang amat sedikit. Aspek-aspek perlindungan 4

5 hak kekayaan intelektual yang paling dibutuhkan oleh mayoritas negaranegara Asia, yang terkenal dengan keragaman budaya, akar historis produk yang kuat, budaya kepemilikan kolektif, kepentingan untuk tetap menguasai produk-produk bangsanya sendiri, serta persoalan kemiskinan. Indonesia memiliki banyak sekali potensi produk indikasi geografis yang harus dilindungi. Salah satunya adalah kopi. Di Indonesia pertumbuhan kopi dapat dikatakan sebagai produk indikasi geografis karena setiap daerah perkebunan kopi akan menghasilkan cita rasa yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh faktor alam berbeda yang dapat dijadikan sebagai dasar perbedaan cita rasa kopi tersebut. Salah satu contohnya adalah kopi toraja. Kopi toraja dikenal dan diakui sebagai salah satu kopi terbaik di dunia. Kopi ini merupakan salah satu dari kopi yang tumbuh di daratan Sulawesi. Sebagai bagian dari fenomena bisnis dan perdagangan, suatu produk yang mempunyai reputasi internasional akan diikuti oleh praktek peniruan, termasuk dalam bentuk dan cara penggunaan nama-nama produk yang sudah terkenal tersebut. Begitu pula dengan kopi toraja yang sudah terkenal mempunyai reputasi di luar negeri. Nama kopi toraja telah digunakan di luar negeri dan didaftarkan sebagai merek TOARCO TORAJA 2. Kasus pendaftaran merek kopi toraja oleh pihak Key Coffee Jepang menjadi fokus bahasan Nielson. Nielson (2005) berusaha menjelaskan bagaimana rantai supplai kopi toraja sampai ke Tokyo Jepang dan mampu menguasai konsumen di Jepang. Jaminan kualitas, rasa dan karakteristik kopi toraja yang identik dengan daerah asal atau identitas geografisnya menjadikan kopi toraja sebagai kopi yang diakui bukan hanya di Jepang namun juga dunia internasional. Kimura Coffee (beralih menjadi Key Coffee), sebagai perusahaan yang awalnya memproduksi dan mengelolah perkebunan kopi di Toraja kemudian mendaftarkan merek kopi toraja dengan nama Toarco Toraja, sehingga hak eksklusif terhadap kopi toraja tidak dimiliki oleh 2 Merek TOARCO TORAJA dengan nomor pendaftaran milik Key Coffe Inc. Corporation Japan menggunakan gambar Rumah Toraja 5

6 Indonesia dan memberikan kerugian bagi para pengusaha dan petani kopi Toraja. Kasus sengketa indikasi geografis produk kopi juga pernah diteliti oleh Yusnita (2010), dimana kopi kintamani bali juga didaftarkan sebagai merek Kintamani pada Direktorat Jenderal HKI oleh sebuah perusahaan nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Merek pemegang hak indikasi geografis kopi kintamani dapat mengajukan gugatan pembatalan terhadap merek terdaftar Kintamani untuk melindungi reputasinya itu, karena kopi kintamani bali telah mendapatkan sertifikasi indikasi geografis pertama dari Direktorat Jenderal HKI pada tahun Pada tataran internasional, kasus sengketa indikasi geografis juga pernah terjadi di India, yaitu kasus darjeling tea. darjeling tea merupakan salah satu produk indikasi geografis di India yang cukup terkenal karena kekhasannya. Teh ini hanya tumbuh di daerah pegunungan Sadar, Kalimpong dan Kurseong dari distrik Darjeeling, West Begal, India. Pemerintah India berupaya keras untuk melindungi komoditas ini dari kemungkinan penyalahgunaan yang dapat menurunkan reputasi atau penggunaan secara tanpa hak yaitu dengan membentuk Tea Board of India. Lembaga ini merupakan pemegang hak atas darjeling tea. Dengan adanya lembaga tersebut maka perlindungan atas produk indikasi geografis Darjeeling Tea dapat terjamin keberadaannya. Kisah sukses perlindungan indikasi geografis darjeling tea serta berhasilnya kopi kintamani bali mendapatkan sertifikasi indikasi geografis ini menjadi acuan dan titik terang bagi bangsa Indonesia dalam upaya perlindungan indikasi geografis kopi toraja. Nielson (2005) menyatakan bahwa potensi besar kopi toraja yang telah mendunia akan mampu memberikan keuntungan maksimal bagi para produsen di wilayah Toraja jika telah mendapatkan perlindungan indikasi geografis. Berbeda dengan berbagai karya di atas, tesis ini hendak menyajikan sebuah ulasan tentang upaya Indonesia dalam mengatasi masalah perlindungan potensi indikasi geografis kopi toraja. Karya ini hendak melihat 6

7 upaya dan peran dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, MPIG serta produsen dalam upaya perlindungan potensi indikasi geografis kopi toraja dan berbagai kendala yang dihadapi. D. Kerangka Konseptual 1. Indikasi Geografis Indikasi geografis dikaitkan, dipakai atau dilekatkan merupakan sebuah nama dagang yang pada kemasan suatu produk dan berfungsi menunjukkan asal tempat produk tersebut. Asal tempat itu mengisyaratkan bahwa kualitas produk tersebut amat dipengaruhi oleh tempat asalnya, sehingga produk itu bernilai unik bagi masyarakat, khususnya konsumen, yang tahu bahwa tempat asal itu memang punya kelebihan khusus dalam menghasilkan suatu produk (Ayu, 2006:1). Indikasi Geografis secara internasional disepakati dalam Perjanjian Trade Related Aspects of Intelectual Property Right (TRIPs) yang merumuskan defenisi indikasi geografis dalam Pasal 22 (1) yaitu (Sommeng dan Damarsasongko, 2008: 9-11) : Yang dimaksud dengan indikasi geografis berdasarkan perjanjian ini adalah tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, dimana reputasi, kualitas dan karakteristik barang yang bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis tersebut. Sebagai penandatangan perjanjian TRIPs, Indonesia merunutkan lagi aturan internasional ini ke dalam Undang-Undang Nasional Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam pasal 56 dijelaskan tentang indikasi geografis, bahwa indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua 7

8 faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. 3 Dari segi rumusan, defenisi indikasi geografis sebagaimana diatur dalam pasal 79 A Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek tersebut mempunyai pengertian yang sama dengan ketentuan indikasi geografis dalam perjanjian TRIPs, yaitu terdiri dari dua hal pokok : 1. Tanda yang menunjukkan suatu daerah asal atau barang yang dipengaruhi oleh faktor alam dan manusia 2. Produk dari barang yang dihasilkan tersebut mempunyai ciri dan kualitas. Tanda yang dilindungi sebagai indikasi geografis adalah suatu identitas yang menunjukkan suatu barang berasal dari tempat atau daerah tertentu. Dan tempat atau daerah itu menunjukkan kualitas dan karakteristik suatu produk. Tanda dapat berupa bentuk atau etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Selain itu dapat pula berupa nama tempat, daerah atau wilayah, atau kata, gambar, huruf atau kombinasi unsur-unsur tersebut. Seperti halnya pemegang hak atas merek, pemegang hak atas indikasi geografis dapat melarang pihak lain untuk menggunakan indikasi geografis yang sama. Pelanggaran terhadap aturan ini menyebabkan pemegang hak indikasi geografis dapat menuntut ganti rugi kepada pihak lain. Namun, UU Merek menentukan bahwa indikasi geografis mendapat perlindungan setelah terdaftar 4. Hal ini juga berlaku bagi Negara lain, hal ini didasarkan pada peraturan WTO, Negara anggota berkewajiban memberikan perlindungan produk yang sudah dilindung di negara asalnya (terdaftar), maka dari itu pendaftaran indikasi geografis menjadi aspek penting dan bahkan syarat utama dalam mengupayakan perlindungan terhadap produk-produk yang berpotensi indikasi geografis. 3 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang merek (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4131) 4 Pasal 56 ayat (2), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, LN tahun 2011 Nomor 110, TLN Nomor

9 Indonesia menganut sistem pendaftaran yang bersifat konstitusi, yaitu menerapkan asas first to file (pihak yang mendaftarkan terlebih dahulu yang memperoleh hak). Hal tersebut mengimplikasikan bahwa hanya indikasi geografis yang pertama terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang memperoleh hak ekslusif, yaitu hak untuk menkomersialisasikan indikasi geografis sehingga pemegang hak dapat menikmati keuntungan ekonomi. Pada saat yang bersamaan, hal tersebut mempunyai implikasi lebih luas dalam konteks perlindungan indikasi geografis secara internasional, mengingat bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (9) TRIPs, tidak terdapat kewajiban untuk memberikan perlindungan indikasi geografis terhadap indikasi geografis yang tidak dilindungi di negara asalnya Konflik antara indikasi geografis dan merek Pengaturan mengenai indikasi geografis dirasakan semakin diperlukan bagi setiap negara mengingat perkembangan akhir-akhir ini yang menunjukkan banyaknya merek-merek dagang atau jasa yang mendopleng reputasi indikasi geografis. Banyak pula kasus penggunaan secara tanpa hak nama indikasi geografis. Dalam praktek perdagangan di beberapa negara, antara indikasi geografis dan merek sering terjadi konflik dalam memahami kedua objek tersebut. Sebagian masyarakat menganggap bahwa indikasi geografis adalah bagian dari merek karena indikasi geografis selalu berkaitan dengan tanda dari suatu produk geografis. Di beberapa negara, misalnya Perancis, Australia dan India, untuk menghindari pemahaman yang keliru antara objek merek dan indikasi geografis, dibuat aturan tersendiri. Menurut sistem dan pemahaman yang dikembangkan di negara-negara tersebut, ruang lingkup perlindungan indikasi geografis berbeda dengan merek. Demikian pula sistem pendaftarannya. 5 Pasal 24 ayat (9), Agreement on Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights, Part II, Section 3. World Trade Organization. 9

10 Di Perancis, untuk pendaftaran indikasi geografis harus melalui prosedur yang cukup panjang, termasuk melalui pengujian secara teliti tentang struktur tanah, alam dan lingkungan serta intervensi faktor manusia. Meskipun demikian masih sering terjadi konflik antara indikasi geografis dan merek, terutama dalam bentuk penggunaan nama indikasi geografis dipergunakan sebagai merek dagang atau jasa. Misalnya, champagne dipergunakan untuk jenis barang parfum. Dalam hal demikian orang akan mengira bahwa pendaftaran indikasi geografis berarti pendaftaran merek atau terdapat dua perlindungan yang berlaku secara otomatis yaitu merek dan indikasi geografis. Dari segi lingkup pengaturan, terdapat perbedaan prinsip antara indikasi geografis dan merek. Pokok-pokok perbedaan tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 1 : Perbedaan merek dan indikasi geografis No. MEREK INDIKASI GEOGRAFIS 1 Defenisi/pengertian Adalah sebuah tanda atau nama yang merupakan hasil kreasi intelektual dan dipergunakan pada barang atau jasa 2 Sifat Merek tidak menunjukkan kualitas produk 3 Pemilik Merek dimiliki oleh perorangan atau perusahaan 4 Jangka waktu Merek mempunyai Perlindungan jangka waktu perlindungan 5 Exploitasi Merek dapat diperjualbelikan atau dilisensikan Adalah nama daerah yang digunakan sebagai indikasi yang menunjukkan wilayah/daerah asal produk tersebut. Indikasi geografis menunjukkan kualitas, reputasi dan karakteristik suatu produk Indikasi geografis dimiliki secara komunal Indikasi Geografis tidak mempunyai batas waktu perlindungan. Atau perlindungan Indikasi geografis berakhir apabila wilayah tersebut tidak dapat menghasilkan lagi produk indikasi geografis. Indikasi geografis tidak dapat diperjualbelikan/dilisensikan. Sumber : Institut national de l origene et de la qualite 2001 (INAO) (Sommeng dan Damarsasongko, 2008:95) 10

11 Dalam praktek memang dimungkinkan adanya pemakaian merek dan indikasi geografis secara berdampingan untuk produk yang sama. Hukum tidak melarang produsen menggunakan merek yang memiliki kaitan dengan indikasi geografis sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku dalam merek dan indikasi geografis. Meskipun demikian, hal itu tidak mengurangi makin adanya perbedaan indikasi geografis dengan merek. Karena adanya perbedaan tersebut seringkali terjadi praktek pemboncengan nama indikasi geografis untuk produk lainnya. 3. Politik domestik dalam kebijakan perdagangan Tidak dapat dipungkiri bahwasanya pembuatan politik luar negeri selalu terkait dengan konsekuensi-konsekuensi yang ada dalam negeri. Henry Kissinger (dalam Hanrieder, 1971:22), akademi sekaligus praktisi politik luar negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa foreign policy begins when domestic policy ends. Dengan kata lain, studi politik luar negeri berada pada intersection antara aspek dalam negeri suatu negara (domestic) dan aspek internasional (eksternal) dari kehidupan suatu negara. Karena itu studi politik luar negeri tidak dapat menisbikan struktur dan proses baik dari sistem internasional (lingkungan eksternal) maupun dari sistem politik domestik. Politik domestik berhubungan langsung dengan semua isu dan aktivitas di dalam sebuah batas negara. Politik domestik mencakup area yang luas, termasuk bisnis, pendidikan, energi, kesehatan, penegakan hukum, uang dan pajak sumber daya alam, kesejahteraan sosial, hak asasi dan kebebasan dan juga masalah kebijakan perdagangan (Bardes, Shelley, Schmidt, 2013). Politik domestik dalam kebijakan perdagangan menghadirkan dua pendekatan. Pendekatan society centered (pendekatan berpusat pada masyarakat), yaitu menyatakan bahwa segala kebijakan perdagangan dalam suatu negara merupakan kebijakan yang hadir sebagai respon dari tuntutan kelompok kepentingan domestik (domestic interest groups). Sedangkan pendekatan state centered (pendekatan berpusat pada negara) 11

12 menyatakan bahwa segala kebijakan perdagangan yang diambil dalam suatu negara merupakan upaya negara otonom untuk meningkatkan posisinya dalam sistem internasional (Oatley, 2004:76). Dalam tulisan ini digunakan pendekatan society centered, yaitu untuk menganalisis bagaimana upaya dari kelompok kepentingan domestik dalam mempengaruhi kebijakan perdagangan yang diputuskan oleh pemerintah dalam sebuah negara. Kepentingan sosial tidak bertranformasi langsung dalam kebijakan perdagangan, namun kepentingan sosial dibawa ke dalam arena politik dan bertranformasi dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang dihasilkan yang diproses melalui institusi politik (Oatley, 2004:96). Institusi politik dapat dianggap sebagai wadah bagi masyarakat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Krasner (dalam Busch 1978:10) menyatakan bahwa kebijakan perdagangan sangat dipengaruhi oleh kebijakan negara dalam hal bagaimana pemerintah mampu mewadahi kelompok kepentingan, merubah tindakan aktor private dan mentranformasikan ke dalam struktur ekonomi domestik. Sedangkan Goldstein dan Martin (2000) menekankan bahwa perdagangan internasional berinteraksi dengan kepentingan aktor domestik. Politik domestik tidak bisa diabaikan atau dianggap sebagai sesuatu yang irrasional dalam membentuk kebijakan perdagangan, sebaliknya politik domestik bekerja secara sistematik dalam mempengaruhi kebijakan perdagangan. Dibutuhkan aksi kolektif antara negara dalam hal ini pemerintah dengan kelompok kepentingan domestik dalam hal ini masyarakat/kelompok kepentingan terhadap pembentukan sebuah kebijakan perdagangan. Aktor dalam aksi kolektif harus mengetahui atau menyadari bahwa mereka memiliki kepentingan yang sama atas suatu kebijakan perdagangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Aksi kolektif yang dibentuk atas dasar kepentingan inilah yang disebut dengan kelompok kepentingan (interest group) yang bertujuan untuk memperjuangkan suatu kepentingan dan dapat memberikan pengaruh terhadap lembaga-lembaga 12

13 politik yang ada sehingga menghasilkan keputusan yang menguntungkan dan menghindarkan dari kerugian (Budiarjo, 1982). Goldstein dan Martin (2000) menyebutkan ada tiga hal yang mempengaruhi aksi kolektif, yaitu: besar kecilnya kepentingan oleh aktor-aktor tersebut, kadar informasi mengenai kepentingan aktor-aktor tersebut serta kalkulasi keuntungan yang bisa diambil dari kebijakan pemerintah tersebut. Almond dalam Interest Group and Interest Articulation-nya (1974) menyebutkan setidaknya ada empat jenis kelompok kepentingan yaitu : 1. Kelompok anomik yaitu kelompok yang terbentuk diantara unsurunsur dalam masyarakat secara spontan dan hanya seketika, dan karena tidak memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur, maka kelompok ini sering tumpang tindih (overlap) dengan bentuk-bentuk partisipasi politik non konvensional, seperti, demontrasi, kerusuhan, tindak kekerasan politik dll. 2. Kelompok Non Assosiasional, yaitu kelompok yang termasuk kategori kelompok masyarakat awam (belum maju) dan tidak terorganisir rapi dan kegiatannya bersifat temporer (kadangkala). Wujud kelompok ini antara lain adalah kelompok keluarga, keturunan, etnik, regional yang menyatakan kepentingan melalui individu-individu, klik-klik, kepala keluarga dan atau pemimpin agama. 3. Kelompok Institusional, yaitu adalah kelompok formal yang memiliki struktur, visi, misi, tugas, fungsi serta sebagai artikulasi kepentingan. Contohnya, partai politik, korporasi bisnis, badan legislatif, militer, birokrasi, dan lain-lain. 4. Kelompok Assosiasional, yaitu kelompok yang terbentuk dari masyarakat dengan fungsi untuk mengartikulasi kepentingan anggotanya kepada pemerintah. Kelompok ini memakai tenaga profesional dan memiliki prosedur baku untuk merumuskan kepentingan dan tuntutannya. Contoh lembaga ini adalah Serikat Buruh, KADIN, Paguyuban, MUI, NU, Muhammadiyah, KWI dan lain-lain. Lebih lanjut, kelompok asosiasional ini dibagi lagi menjadi 13

14 (1) Sectional/funcional groups, kelompok ini dibentuk berdasarkan fungsi sektoral misalnya : Asosiasi Petani, Asosiasi Buruh, Korpri, PGRI, IDI. (2) Promotional Groups, kelompok ini dibentuk didasarkan pada isu yang terjadi, misalnya : Green Peace, Kontras, LBH dan (3) Sosial Movement Group, kelompok ini lebih merupakan spirit yang menggerakkan dua asosiasi diatas. Konsep politik domestik dalam kebijakan perdagangan ini dianggap relevan dalam menjelaskan kasus ini yaitu dengan menggunakan pendekatan society centered. Pendekatan society centered digunakan untuk menjelaskan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah yaitu sertifikat indikasi geografis bagi kopi arabika toraja merupakan hasil dari tuntutan para aktor domestik yang tergabung dalam kelompok kepentingan domestik. Melalui pendekatan ini akan dikaji bagaimana para aktor domestik yaitu kelompok kepentingan mengupayakan perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja dalam berbagai aspek sesuai dengan ranah tanggungjawabnya masing-masing. Kelompok kepentingan yang dimaksud adalah Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Toraja. MPIG Kopi Arabika Toraja dibentuk dengan memiliki prosedur baku dalam merumuskan kepentingan dan tuntutannya, serta didukung oleh tenagatenaga professional sehingga termasuk dalam kategori jenis kelompok kepentingan assosiasional. Dan secara spesifik masuk dalam kategori sectional/functional groups karena adanya fungsi sektoral dan tujuan yang jelas. MPIG Kopi Arabika Toraja merupakan gabungan dari para produsen kopi, pengolah kopi, dan dewan penasehat yang bertujuan untuk memohonkan perlindungan indikasi geografis bagi kopi arabika toraja yang diharapkan mampu memberikan manfaat dan keuntungan maksimal bagi mereka. Selain MPIG Kopi Arabika Toraja, keberadaan aktor-aktor domestik seperti keterlibatan DJHKI, Pemerintah daerah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, LSM dan 14

15 produsen kopi dalam upaya mewujudkan tuntutan atau permohonan yang diajukan oleh MPIG Kopi Arabika Toraja turut menjadi bagian yang diperhatikan. E. Argumen Utama Upaya Indonesia dalam memperjuangkan pengakuan indikasi geografis kopi arabika toraja dapat dijelaskan dengan melihat adanya tuntutan kelompok kepentingan domestik yaitu MPIG Kopi Arabika Toraja yang mendaftarkan permohonan perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja pada 12 September MPIG Kopi Arabika Toraja dalam istilah Almond (1974) merupakan salah satu jenis kelompok kepentingan assosiasional yang merupakan gabungan dari para produsen kopi (petani), pengolah kopi (koperasi, pengolah dan penyangrai) dan dewan penasehat (Pemda, LSM dan para pembeli kopi arabika toraja). Oathley (2004) menyatakan bahwa meskipun para kelompok kepentingan tidak bertransformasi langsung dalam menentukan kebijakan tersebut, namun transformasi ini secara jelas tampak pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui institusi-institusi politiknya, yaitu dengan dikeluarkannya sertifikat indikasi geografis kopi arabika toraja oleh Kementrian Hukum dan HAM (Kemenhumham). F. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif adalah metode penelitian ilmu sosial yang bersifat deskriptif dan berusaha untuk menginterpretasikan gejala yang terjadi pada sebuah konteks sosial. Penelitian ini menekankan penggalian data secara mendalam melalui sumber-sumber yang tertulis dan wawancara yang mendalam dengan narasumber. Harapan dari setiap penelitian kualitatif adalah berusaha untuk mendapatkan data-data menyeluruh tentang situasi yang sedang dipelajari oleh peneliti (Bogdan and Steven, 1975). Pengumpulan data untuk penulisan tesis ini dilakukan melalui dua cara, yaitu : 15

16 1. Data primer, data dikumpulkan melalui wawancara dengan orang yang memiliki authority di bidang ini, seperti : Pemerintah dalam hal ini Dirjen HKI, Pemerintah Daerah Tana Toraja & Toraja Utara atau Pejabat/pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja dan Toraja Utara, Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Toraja, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta Produsen dalam hal ini petani kopi setempat. 2. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil tulisan orang lain yang telah dipublikasikan, seperti buku, jurnal, dokumen, artikel, media cetak dan juga laporan dari berbagai sumber yang relevan dengan hasil penelitian yang akan disusun. Data yang diperoleh kemudian diakumulasikan dan dikomparasikan sehingga dapat diperoleh generalisasi terhadap data tersebut. Penulis menggunakan teknik analisis kualitatif dalam menganalisis data yang ada dengan maksud untuk memberikan gambaran secara jelas tentang perkembangan kasus perlindungan terhadap potensi indikasi geografis kopi toraja ini serta upaya-upaya apa yang telah dan dapat diterapkan dalam proses penyelesaian dan pencegahan terhadap kasus yang sama. E. Sistematika Penulisan Tesis Sistematika penulisan ini akan dijelaskan dalam lima bab. Bab I Pendahuluan, menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tinjauan literatur, kerangka konseptual, argumen utama, metode penelitian dan sistematika penulisan tesis. Bab II Memahami perlindungan indikasi geografis yang akan membahas tentang perlindungan indikasi geografis dalam kerangka perjanjian internasional, dimana bagian ini akan membahas konvensi internasional terkait indikasi geografis yang juga memberikan pengaruh terhadap TRIPs. Lebih lanjut, bab ini akan membahas secara spesifik tentang perlindungan indikasi geografis di Indonesia yang membahas tentang ketentuan indikasi geografis di Indonesia serta tata cara pengajuan 16

17 permohonan indikasi geografis di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Dan terakhir akan menguraikan tentang kopi arabika toraja sebagai produk indikasi geografis, yaitu menjelaskan karakteristik dan kualitas kopi arabika toraja dan pendaftaran indikasi geografis kopi arabika toraja. Bab III Perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja : upaya dan kendala. Bab ini secara garis besar akan membahas upaya yang telah dilakukan dalam memperjuangkan perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja. Bagian pertama akan membahas upaya yang dilakukan oleh para pihak dalam aspek hukum, upaya dalam peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang indikasi geografis; upaya pemberdayaan petani kopi toraja; bantuan dana, pemeriksaan dan kontrol keterunutan terhadap kopi arabika toraja. Bagian kedua akan membahas tentang kendala yang dihadapi dalam memperjuangkan perlindungan indikasi geografis kopi arabika toraja. Kendala ini akan dilihat dari aspek hukum; pendidikan dan kesadaran para aktor; aspek prosedur pendaftaran: biaya dan administrasi; aspek ekonomi; serta kendala dalam aspek sosial budaya. Bab IV Penutup, dimana bagian ini yang akan memberikan jawaban pertanyaan yang telah diajukan dalam bagian awal penelitian. Kesimpulan akan diambil berdasarkan temuan dan ringkasan yang diperoleh dari bagian pembahasan. Kesimpulan sementara menunjukkan bahwa pemerintah dan pihak-pihak terkait telah mengusahakan upaya perlindungan indikasi geografis kopi toraja. Kerjasama dan koordinasi dari semua elemen dalam berbagai aspek merupakan bagian penting demi tercapainya maksud dari perlindungan produk-produk berpotensi indikasi geografis pada umumnya, dan kasus kopi toraja pada khususnya. 17

KELOMPOK KEPENTINGAN (INTEREST GROUP)

KELOMPOK KEPENTINGAN (INTEREST GROUP) KELOMPOK KEPENTINGAN (INTEREST GROUP) ndonesia merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari jumlah masyarakat terbanyak ke-4 di dunia dan merupakan daerah kepulauan yang terbentang di khatulistiwa. Faktor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya terdapat tiga fungsi aparatur pemerintah seiring dengan bergulirnya reformasi birokrasi, yaitu fungsi penyelenggaraan pemerintah, fungsi penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tempat merupakan salah satu konsep geografi yang terbentuk dari kondisi fisik dan sosial tertentu, seperti dikemukakan Maryani (2011: 22) bahwa tempat dibentuk oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsisten akan banyak dicari dan mendapatkan tempat khusus di perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. konsisten akan banyak dicari dan mendapatkan tempat khusus di perdagangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan nasional maupun internasional selain mengutamakan harga, juga sebagian besar persaingan terletak pada ciri khas, keunggulan dan konsistensi mutu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak Kekayaan Intelektual (yang selanjutnya disingkat HKI) merupakan

I. PENDAHULUAN. Hak Kekayaan Intelektual (yang selanjutnya disingkat HKI) merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak Kekayaan Intelektual (yang selanjutnya disingkat HKI) merupakan terjemahan dari Intellectual Property Rights (IPR), yaitu hak atas kepemilikan terhadap karya-karya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak kekayaan intelektual merupakan suatu hak milik hasil pemikiran yang bersifat

I. PENDAHULUAN. Hak kekayaan intelektual merupakan suatu hak milik hasil pemikiran yang bersifat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak kekayaan intelektual merupakan suatu hak milik hasil pemikiran yang bersifat tetap dan eksklusif serta melekat pada pemiliknya. Hak kekayaan intelektual timbul

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Tidak dapat kita pungkiri bahwa merek merupakan suatu aset yang sangat berharga dalam dunia perdagangan sehingga memegang peranan yang sangat penting. Oleh

Lebih terperinci

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 32/2000, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU *12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA PERLINDUNGAN MEREK BAGI PEMEGANG HAK MEREK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK YAYUK SUGIARTI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wiraraja Sumenep Yayuksugiarti66@yahoo.co.id ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang

BAB I PENDAHULUAN. di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan dunia perdagangan tidak dapat dilepaskan dari pembangunan di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang pelaksanaannya dititikberatkan

Lebih terperinci

Perkembangan ekonomi global sekarang ini menuntut tiap-tiap negara untuk

Perkembangan ekonomi global sekarang ini menuntut tiap-tiap negara untuk 1 A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi global sekarang ini menuntut tiap-tiap negara untuk dapat bersaing satu sama lain agar eksitensi perekonomiannya tidak tersingkir dari komunitas masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO) melalui

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO) melalui BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi pembentukan World Trade Organization (selanjutnya disebut WTO) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk baru atau pengembangan dari produk-produk. penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk baru atau pengembangan dari produk-produk. penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perdagangan global seiring berjalannya waktu selalu menghasilkan produk-produk baru atau pengembangan dari produk-produk sebelumnya yang memiliki kualitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manajemen. Waralaba juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif

I. PENDAHULUAN. manajemen. Waralaba juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Waralaba pada hakekatnya adalah sebuah konsep pemasaran dalam rangka memperluas jaringan usaha secara cepat, sistem ini dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n 2 000 Tentang Desain Industri DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 244, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejumlah uang setiap waktu yang ditentukan. Maka dari itu, HKI akan mendorong

BAB I PENDAHULUAN. sejumlah uang setiap waktu yang ditentukan. Maka dari itu, HKI akan mendorong ! 1 BAB I PENDAHULUAN A.! Latar Belakang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memiliki peranan yang sangat penting bagi perkembangan kegiatan perdagangan di dunia, termasuk Indonesia. Dengan adanya HKI, diharapkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2007 TENTANG INDIKASI-GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2007 TENTANG INDIKASI-GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2007 TENTANG INDIKASI-GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 56 ayat (9) Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2007 TENTANG INDIKASI-GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2007 TENTANG INDIKASI-GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2007 TENTANG INDIKASI-GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 115, 2007 HKI. Merek. Geografis. Indikasi. Pemohon. Pemakai. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Apakah Indikasi Geografis itu?

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Apakah Indikasi Geografis itu? INDIKASI GEOGRAFIS Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Apakah Indikasi Geografis itu? Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan tempat,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESAIN INDUSTRI DAN MEREK. Desain Industri merupakan salah satu bidang HKI yang dikelompokan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESAIN INDUSTRI DAN MEREK. Desain Industri merupakan salah satu bidang HKI yang dikelompokan 1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESAIN INDUSTRI DAN MEREK 2.1 Desain Industri 2.1.1 Pengertian Dan Dasar Hukum Desain Industri Desain Industri merupakan salah satu bidang HKI yang dikelompokan kedalam Industrial

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN IMPOR ATAU EKSPOR BARANG YANG DIDUGA MERUPAKAN ATAU BERASAL DARI HASIL PELANGGARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

PERMOHONAN PENDAFTARAN MEREK TIDAK BERITIKAD BAIK DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN

PERMOHONAN PENDAFTARAN MEREK TIDAK BERITIKAD BAIK DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN PERMOHONAN PENDAFTARAN MEREK TIDAK BERITIKAD BAIK DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia meratifikasi Perjanjian Wold Trade Organization (WTO)

Lebih terperinci

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI (HAKI)

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI (HAKI) HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN HAK KEKAYAAN INDUSTRI (HAKI) 1. Pembahasan HAKI Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian World Trade Organization (WTO), membuat Indonesia harus. yang ada dalam kerangka General Agreement on Tariffs and Trade

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian World Trade Organization (WTO), membuat Indonesia harus. yang ada dalam kerangka General Agreement on Tariffs and Trade BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Merek sebagai salah satu bentuk dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) mempunyai peranan yang penting dalam hal perdagangan terutama dalam menghadapi era globalisasi

Lebih terperinci

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI I. UMUM Indonesia sebagai negara berkembang perlu memajukan sektor industri dengan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para pemilik bisnis baik kecil, menengah, maupun besar, benar-benar harus

BAB I PENDAHULUAN. para pemilik bisnis baik kecil, menengah, maupun besar, benar-benar harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi saat ini, di mana persaingan bisnis berlangsung sengit, para pemilik bisnis baik kecil, menengah, maupun besar, benar-benar harus berupaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENGALIHAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PENGGUNAAN VARIETAS YANG DILINDUNGI OLEH PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK I. UMUM Salah satu perkembangan yang aktual dan memperoleh perhatian saksama dalam masa sepuluh tahun terakhir ini dan kecenderungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENGALIHAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PENGGUNAAN VARIETAS YANG DILINDUNGI OLEH PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. geografis apabila mempunyai potensi yang menimbulkan hasil budi daya

BAB V PENUTUP. geografis apabila mempunyai potensi yang menimbulkan hasil budi daya 1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Objek dari indikasi geografis adalah produk yang dihasilkan oleh suatu wilayah tertentu yang memiliki ciri khas berbeda daripada wilayah lainnya. Suatu objek/produk mendapatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENGALIHAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PENGGUNAAN VARIETAS YANG DILINDUNGI OLEH PEMERINTAH PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Di negara negara maju bidang hak kekayaan intelektual ini sudah mencapai suatu titik dimana masyarakat sangat menghargai dan menyadari pentingnya peranan hak kekayaan

Lebih terperinci

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Hak Kekayaan Intelektual didefinisikan sebagai hak yang diberikan atas hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia Hak Kekayaan Intelektual

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang;

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu dibentuk Undangundang tentang

Lebih terperinci

No dan Cukai. Penting untuk digarisbawahi bahwa mekanisme perekaman ini sama sekali tidak menggantikan mekanisme pendaftaran HKI kepada Direkt

No dan Cukai. Penting untuk digarisbawahi bahwa mekanisme perekaman ini sama sekali tidak menggantikan mekanisme pendaftaran HKI kepada Direkt TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6059 EKONOMI. Pelanggaran HKI. Impor. Ekspor. Pengendalian. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 108) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Keanekaragaman budaya yang dipadukan

BAB I PENDAHULUAN. dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Keanekaragaman budaya yang dipadukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang perlu memajukan sektor industri dengan meningkatkan kemampuan daya saing. Salah satu daya saing tersebut adalah dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

RGS Mitra 1 of 10 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU

RGS Mitra 1 of 10 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU RGS Mitra 1 of 10 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU I. UMUM Indonesia sebagai negara berkembang perlu memajukan sektor industri

Lebih terperinci

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL Sebagai negara berkembang, Indonesia perlu mengupayakan adanya persaingan

Lebih terperinci

MAKALAH ETIKA PROFESI RAHASIA DAGANG

MAKALAH ETIKA PROFESI RAHASIA DAGANG MAKALAH ETIKA PROFESI RAHASIA DAGANG Nama Kelompok: 1. Pemi wahyu ningseh 2. Resgianto 3. Siti Soffa Putri Setiowati TEKNIK INFORMATIKA PROGRAM STUDI DI LUAR DOMISILI KABUPATEN LAMONGAN POLITEKNIK ELEKTRONIKA

Lebih terperinci

1 BAB V: PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

1 BAB V: PENUTUP. 5.1 Kesimpulan 100 1 BAB V: PENUTUP 5.1 Kesimpulan Penelitian ini menekankan pada proses penandatangan MoU Microsoft - RI. Proses tersebut tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses politisasi hak kekayaan intelektual

Lebih terperinci

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas.

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PENGALIHAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PENGGUNAAN VARIETAS YANG DILINDUNGI OLEH PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang industri, ilmu pengetahuan, kesusasteraan atau seni. 1 Hak atas kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. bidang industri, ilmu pengetahuan, kesusasteraan atau seni. 1 Hak atas kekayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Intellectual Property Rights (IPR) dalam bahasa Indonesia memiliki 2 (dua) istilah yang pada awalnya adalah Hak Milik Intelektual dan kemudian berkembang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai isu internasional, HKI (Hak Kekayaan Intelektual) berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai isu internasional, HKI (Hak Kekayaan Intelektual) berkembang BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sebagai isu internasional, HKI (Hak Kekayaan Intelektual) berkembang dengan pesat. HKI dari masyarakat tradisional, termasuk ekspresinya, cenderung dijadikan pembicaraan

Lebih terperinci

Oleh : Andris Komisi Pembimbing: Miranda Risang Ayu, S.H., LL.M., Ph.D. Dr. Hj. Rika Ratna Permata, S.H., M.

Oleh : Andris Komisi Pembimbing: Miranda Risang Ayu, S.H., LL.M., Ph.D. Dr. Hj. Rika Ratna Permata, S.H., M. PENEPAPAN PRINSIP ITIKAD BAIK TERHADAP INDIKASI GEOGRAFIS KOPI ARABIKA TORAJA INDONESIA YANG DIDAFTARKAN SEBAGAI MEREK DAGANG TOARCO TORAJA OLEH KEY COFFEE (PERUSAHAAN JEPANG) BERDASARKAN UNDANG- UNDANG

Lebih terperinci

(a) pembajakan merajalela akibatnya kreativitas menurun;

(a) pembajakan merajalela akibatnya kreativitas menurun; DESAIN INDUSTRI SEBAGAI BAGIAN PERLINDUNGAN HUKUM DI BIDANG HAKI Oleh: Widowati ABSTRAKSI Tujuan perusahaan didirikan adalah untuk memperoleh profit. Agar profit dapat diraih biasanya perusahaan melakukan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 memasuki era pasar bebas. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 memasuki era pasar bebas. Salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan bagi kekayaan intelektual merupakan langkah maju bagi Bangsa Indonesia yang pada tahun 2020 memasuki era pasar bebas. Salah satu implementasi era pasar

Lebih terperinci

PENDAFTARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PENDAFTARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari PENDAFTARAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Oleh: Chandra Dewi Puspitasari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) muncul karena adanya kemampuan berpikir. Hasil dari daya cipta tersebut dimiliki secara khusus (eksklusif)

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS DI INDONESIA

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS DI INDONESIA ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS DI INDONESIA Milsida Fandy, Henry Soelistyo Budi Hardijan Rusli ABSTRACT In the free trade era, there is an urgent need of a "rule of the game" that can create

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5953 HUKUM. Merek. Indikasi Geografis. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252). PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang: a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing dalam lingkup perdagangan nasional dan internasional

Lebih terperinci

LEGAL ASPEK PRODUK TIK IMAM AHMAD TRINUGROHO

LEGAL ASPEK PRODUK TIK IMAM AHMAD TRINUGROHO LEGAL ASPEK PRODUK TIK IMAM AHMAD TRINUGROHO Subjek dan Objek Hukum Arti & Peranan Hak Kekayaan Intelektual Klasifikasi Hak Kekayaan Intelektual Subjek Hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI. paparkan sebelumnya, dengan uraian sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI. paparkan sebelumnya, dengan uraian sebagai berikut: BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan Penulis di atas, Penulis menarik kesimpulan guna menjawab perumusan masalah yang telah Penulis

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I LATAR BELAKANG 1 BAB I LATAR BELAKANG A. Latar Belakang Masalah Kondisi masyarakat yang mengalami perkembangan dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, mengakibatkan masyarakat semakin sadar akan apa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat berbagai macam keanekaragaman suku dan sangat kaya akan keragaman

BAB I PENDAHULUAN. terdapat berbagai macam keanekaragaman suku dan sangat kaya akan keragaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara wilayah yang sangat luas dan terdapat berbagai macam keanekaragaman suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan warisan budaya.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.252, 2016 HUKUM. Merek. Indikasi Geografis. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas, kemajuan sektor perdagangan sangat erat kaitannya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas, kemajuan sektor perdagangan sangat erat kaitannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas, kemajuan sektor perdagangan sangat erat kaitannya dengan bidang ekonomi. Terlebih lagi dengan adanya perkembangan dan kemajuan teknologi

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DESAIN DAN HAK CIPTA PADA KAIN PRODUKSI PT ISKANDARTEX SURAKARTA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DESAIN DAN HAK CIPTA PADA KAIN PRODUKSI PT ISKANDARTEX SURAKARTA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DESAIN DAN HAK CIPTA PADA KAIN PRODUKSI PT ISKANDARTEX SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Penyusunan Melengkapi pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Oleh: WAA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di dalam era perdagangan global,

Lebih terperinci

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia,

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia, LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 31, 1997 HAKI. MEREK. Perdagangan. Ekonomi. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3681). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN

Lebih terperinci

Pengenalan Kekayaan Intelektual Oleh : dr. Gita Sekar Prihanti, M Pd Ked SENTRA KI - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Pengenalan Kekayaan Intelektual Oleh : dr. Gita Sekar Prihanti, M Pd Ked SENTRA KI - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG Pengenalan Kekayaan Intelektual Oleh : dr. Gita Sekar Prihanti, M Pd Ked MUHAMMADIYAH MALANG Apa Kekayaan Intelektual (KI)? ADALAH: kreasi dari pikiran yang muncul dari kemampuan intelektual manusia, berupa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak Kekayaan Intelektual, selanjutnya disingkat sebagai HKI timbul

BAB I PENDAHULUAN. Hak Kekayaan Intelektual, selanjutnya disingkat sebagai HKI timbul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak Kekayaan Intelektual, selanjutnya disingkat sebagai HKI timbul dari kemampuan intlektual manusia. Permasalahan HKI adalah permasalahan yang terus berkembang. Pada

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5541) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pem

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5541) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pem No.2134, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Pendaftaran Merek. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG PENDAFTARAN MEREK DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi kreatif di Indonesia. Konsep Ekonomi Kreatif merupakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi kreatif di Indonesia. Konsep Ekonomi Kreatif merupakan sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman dan kekayaan seni, budaya, suku, bangsa, dan agama. Keanekaragaman akan memberikan suatu identitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dalam melaksanakan pembangunan Nasional, perlu melakukan perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang ekonomi yang mengarah

Lebih terperinci

BAB IV IMPLEMENTASI DAN EFEKTIFITAS PERJANJIAN TRIPS DI INDONESIA

BAB IV IMPLEMENTASI DAN EFEKTIFITAS PERJANJIAN TRIPS DI INDONESIA BAB IV IMPLEMENTASI DAN EFEKTIFITAS PERJANJIAN TRIPS DI INDONESIA Dalam bagian bab VI ini pada awalnya akan menjelaskan peran dari WTO dalam menyediakan wadah dalam menangani permasalahan yang berkaitan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Desain Industri;

Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Desain Industri; Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 sehingga perlu diatur ketentuan mengenai Desain Industri; UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di

II. TINJAUAN PUSTAKA. hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Paten 1. Pengertian Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU Paten, yang dimaksud dengan Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 PENJELASAN ATAS TENTANG DESAIN INDUSTRI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 PENJELASAN ATAS TENTANG DESAIN INDUSTRI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa untuk memajukan industri yang mampu bersaing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang berarti bahwa semua manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang berarti bahwa semua manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan mahluk sosial yang berarti bahwa semua manusia membutuhkan komunikasi dalam menjalani kehidupannya. Seiring perkembangan jaman maka berdampak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem yang ada di dalam hukum merupakan upaya untuk menjaga

BAB I PENDAHULUAN. Sistem yang ada di dalam hukum merupakan upaya untuk menjaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem yang ada di dalam hukum merupakan upaya untuk menjaga hak setiap orang seiring dengan perkembangan zaman. Salah satu dari upaya tersebut adalah melalui pembentukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TENTANG KERAJINAN TANGAN SARUNG DONGGALA SEBAGAI PRODUK INDIKASI ASAL SARIANTI / D

TINJAUAN HUKUM TENTANG KERAJINAN TANGAN SARUNG DONGGALA SEBAGAI PRODUK INDIKASI ASAL SARIANTI / D TINJAUAN HUKUM TENTANG KERAJINAN TANGAN SARUNG DONGGALA SEBAGAI PRODUK INDIKASI ASAL SARIANTI / D 101 07 464 ABSTRAK Judul dari skripsi ini adalah Tinjauan Hukum Tentang Kerajinan Tangan Sarung Donggala

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1992 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat ditarik. kesimpulan:

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat ditarik. kesimpulan: BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Perlindungan terhadap merek terkenal ini diatur di dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Merek

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT PANITIA KHUSUS (PANSUS) RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MEREK

LAPORAN SINGKAT PANITIA KHUSUS (PANSUS) RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MEREK LAPORAN SINGKAT PANITIA KHUSUS (PANSUS) RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MEREK Tahun Sidang : 2015-2016 Masa Persidangan : I Rapat ke : 8 Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat (RDP) ke-2 Sifat Rapat : Terbuka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 PENJELASAN ATAS TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 MEREK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 PENJELASAN ATAS TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 MEREK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL TERHADAP PENGETAHUAN TRADISIONAL DI INDONESIA

PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL TERHADAP PENGETAHUAN TRADISIONAL DI INDONESIA PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL TERHADAP PENGETAHUAN TRADISIONAL DI INDONESIA oleh: Ngurah Bagus Indra Putra I Wayan Suarbha Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meneliti dan menciptakan karya-karya intelektual selama jerih payahnya

BAB I PENDAHULUAN. meneliti dan menciptakan karya-karya intelektual selama jerih payahnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia memiliki kemampuan mencipta dan melahirkan karyakarya intelektual dengan spektrum yang sangat luas, dan manusia bersedia meneliti dan menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia. Dari total produksi, sekitar 67 persen kopinya diekspor sedangkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cina mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO sejak Juli 1986

BAB I PENDAHULUAN. Cina mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO sejak Juli 1986 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cina mulai mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO sejak Juli 1986 dimana saat itu WTO masih berbentuk GATT ( General Agreement On Tariffs and Trade ). Dengan tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci