IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAAN"

Transkripsi

1 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAAN 4.1 Letak Geografis Wilayah Propinsi Lampung Propinsi Lampung dibentuk berdasarkan UU No 14 Tahun 1964 tanggal 8 Maret Secara geografis Propinsi Lampung terletak di bagian ujung tenggara Pulau Sumatera pada posisi Bujur Timur dan Lintang Selatan. Batas-batas wilayah administrasi Propinsi Lampung adalah: (1) sebelah utara berbatasan dengan Propinsi Bengkulu dan Propinsi Sumatera Selatan; (2) sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda; (3) sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia (Gambar 4.1). Prop. Sumatera Selatan PETA ADMINISTRASI PROPINSI LAMPUNG TAHUN 2001 N #Y Ibu Kota Kabupaten/Kota Jalan Arteri Jalan Kereta Api Jalan Kolektor Prop. Bengkulu #Y Liwa Blambangan Umpu Menggala #Y #Y Kota Bumi #Y Gunung Sugih #Y Sukadana #Y #Y Metro Bandar Lampung Kodya Metro Lamp. Selatan Lamp.Tengah Lamp. Timur Lamp. Utara Lamp. Barat Tanggamus Tl.Bawang Waykanan Samudera Hindia Kota Agung #Y B. Lampung #Y Kalianda #Y Selat Sunda Prop. Lampung Sumber : Bappeda Propinsi Lampung, Gambar 4.1 Peta Administrasi Propinsi Lampung

2 92 Luas daratan Propinsi Lampung ± km², dengan panjang garis pantai km (termasuk 69 pulau kecil - terbesar Pulau Tabuan), dan memiliki dua teluk besar, yaitu Teluk Lampung dan Teluk Semangka. Sedangkan luas perairan pesisir ± km² (berdasarkan UU 22/99), sehingga luas Propinsi Lampung secara keseluruhan (darat + pesisir) ± km² (CRMP, 1999). Propinsi Lampung berada pada posisi yang sangat strategis karena merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera ke Pulau Jawa dan sebaliknya, dengan dukungan sarana prasarana transportasi yang relatif lancar (angkutan darat dan ferry). Propinsi Lampung juga berada pada jalur alternatif pelayaran internasional, sehingga Pelabuhan Panjang dibangun dan difungsikan dalam sekala internasional. Secara administratif Propinsi Lampung terdiri dari 8 Kabupaten dan 2 Kota sebagaimana tertera di dalam Tabel 4.2 berikut. Tabel 4.2 Ibukota, Luas dan Jarak Ibu kota Kab. /Kota ke Ibukota Propinsi se- Propinsi Lampung No. Kab /Kota Ibu Kota Luas (Ha) Jarak Ibu Kota Kab/Kota ke Ibukota Prop. (Km) 1. Bandar Lampung Bandar Lampung ,00 2. Metro Metro ,25 3. Lampung Selatan Kalianda ,00 4. Lampung Barat Liwa ,1 5. Lampung Tengah Gunung Sugih ,00 6. Lampung Timur Sukadana ,00 7. Lampung Utara Kotabumi ,00 8. Tanggamus Kota Agung ,70 9. Way Kanan Blambangan Umpu , Tulang Bawang Menggala , Propinsi Bandar Lampung ,00 Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, Tata Guna Lahan dan Tata Guna Hutan Propinsi Lampung Tata Guna Lahan Penggunaan lahan di Propinsi Lampung pada saat ini adalah untuk pertanian seluas Ha (14,2%), perkebunan seluas Ha ( 23,7%), permukiman seluas Ha (4,8%) dan lain-lain termasuk kawasan rawa seluas Ha (28,8%). Secarai rincik terdapat pada Tabel 4.3.

3 93 Tabel 4.3 Tata Guna Tanah di Propinsi Lampung menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi Lampung, No Peruntukan Luas (Ha) Prosentase 1 Perkampungan ,03 2 Sawah ,07 3 Tegalan & Ladang ,15 4 Perkebunan ,95 5 Kebun Campuran ,29 6 Alang-alang ,56 7 Hutan ,47 8 Rawa & Danau ,44 9 Tambak ,96 10 Lain-lain ,08 T o t a l ,00 Sumber : Lampung Dalam Angka, Tata Guna Hutan Di dalam 10 tahun terakhir, luas kawasan hutan yang dinyatakan dalam dokumen Tata Guna Hutan Propinsi Lampung telah mengalami perubahan (Tabel 4.4). Perubahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mengacu kepada dokumen Tata Guna Hutan Kesepakatan Tahun 1991 (Sk Menhut No.67/Kpts-II/1991), hingga tahun 1997 luas kawasan hutan Propinsi Lampung adalah hektar. Penetapan luasan kawasan hutan merujuk kepada Undang-undang Kehutanan yang berlaku yaitu disyaratkan luas kawasan adalah 30 persen dari total luas wilayah propinsi. Luas tersebut tidak berubah hingga tahun Pada tahun 1999, setelah dilakukan pengukuran kembali, luas kawasan menurun menjadi hektar. Menurut hasil wawancara dengan Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, penurunan tersebut adalah implikasi dari pengukuran ulang melalui proyek-proyek tata batas kawasan hutan yang dilakukan. 3. Pada tahun 2000, luas kawasan hutan kembali menurun menjadi hektar. Penurunan tersebut disebabkan adanya kebijakan pemerintah mengalih fungsikan Kawasan Hutan Produksi Dapat dikonversi (HPK) menjadi bentuk penggunaan non-hutan. Pengalih-fungsian kawasan tersebut dilandaskan pada

4 94 kenyataan di lapang bahwa HPK pada umumnya sudah beralih fungsi karena adanya okupasi oleh masyarakat dan bahkan oleh pemerintah sendiri. Pelabuhan Udara Beranti misalnya, adalah infrastruktur transportasi udara yang berada di dalam kawasan HPK. Selain itu, yang paling utama sebagai dasar pengambilan keputusan adalah adanya kebijakan pertanahan Pemerintah Propinsi yaitu Tanah Untuk Rakyat. Kebijakan tersebut setidaknya tertuang didalam (1) Pidato politik Gubernur Propinsi Lampung pada acara pelantikan anggota DPRD periode Tahun , (2) Propeda Propinsi Lampung Tahun , dan (3) Rencana Strategis Pembangunan Propinsi Lampung Tahun Tabel 4.4 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsinya Tahun No Fungsi Hutan 1997 Luas ( Ha ) 1998 Luas ( Ha ) 1999 Luas ( Ha ) 2000 Luas ( Ha ) 2001 Luas ( Ha ) 1. Hutan Lindung Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata 3. Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi yang dapat di Konservasi Jumlah Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, 2002 Perubahan luasan kawasan hutan tersebut kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 256/Kpts-II/2000 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Lampung seluas ± hektar (Tabel 4.5); sehingga kawasan HPK di Propinsi Lampung yang semula seluas hektar, statusnya terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Dipertahankan seluas hektar (5%), yang terdiri dari wilayah sempadan pantai, rawa habitat satwa langka, muara sungai, kawasan lintasan gajah dan kawasan penyangga hutan lindung. 2. Dilepaskan seluas hektar (95%), yang secara defakto sudah diokupasi masyarakat menjadi kawasan permukiman dan lahan garapan. Redistribusi lahan kepada masyarakat ini dilakukan dengan pendekatan keadilan,

5 95 pemerataan, kewajaran, pelestarian lingkungan hidup dan sesuai dengan peraturan yang berlaku yang diatur melalui Peraturan Daerah Propinsi Lampung No.6 Tahun 2001 tentang Alih Fungsi Lahan Dari Eks Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) Seluas hektar Menjadi Kawasan Bukan HPK Dalam Rangka Pemberian Hak Atas Tanah. 3. Peruntukan penggunaan lahan di kawasan eks HPK kemudian digunakan untuk permukiman seluas hektar dan untuk tegalan seluas ,37 hektar dan terdistribusi kepada orang di 6 kabupaten, yaitu Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Tengah, Tanggamus, Way Kanan dan Lampung Barat. Dengan dikeluarkannya keputusan tersebut, maka luas wilayah hutan di Propinsi Lampung menjadi hektar yang terdiri dari Hutan Lindung hektar (32%), Hutan Suaka Alam & Hutan Wisata hektar (46%), Hutan Produksi Terbatas hektar (3%) dan Hutan Produksi Tetap hektar (19%). Tabel 4.5 Luas dan Fungsi Kawasan Hutan Per Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung Menurut SK.Menhutbun No.256/KPts-II/2000. No. Kabupaten/Kota Luas dan Fungsi Kawsan Hutan (Ha) Jumlah (ha) HSA/TN HL HP HPT 1 Bandar Lampung 300,00 100,00 0,00 0,00 400,00 2 Lampung Selatan , , ,05 0, ,21 3 Tanggamus , ,35 0,00 0, ,35 4 Lampung Tengah 0, , ,00 0, ,72 5 Lampung Timur , , ,00 0, ,30 6 Lampung Utara 0, , ,00 0, ,00 7 Lampung Barat , ,37 0, , ,37 8 Way Kanan 0, , ,03 0, ,13 9 Tulang Bawang 0,00 0, ,92 0, ,92 10 Metro 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Total PROPINSI , , , , ,00 Sumber: Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.256/KPts-II/ Tutupan Lahan Hutan (Forest Land Cover) Menurut Santoso (2002), guna mengetahui kondisi terakhir sebaran luas penutupan lahan hutan (forest land cover) pada kawasan hutan (negara) telah dilakukan analisis data untuk Propinsi Lampung oleh Badan Planologi Departemen

6 96 Kehutanan melalui suatu proses penampalan (overlaying) secara digital antara 2 (dua) jenis data yaitu: Hasil deliniasi kawasan hutan yang telah ditunjuk Menteri Kehutanan dari Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Kawasan Konservasi dan Perairan skala 1 : yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 256/Kpts-II/2000 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Lampung seluas ± hektar, dan Peta Penutupan Lahan hasil penafsiran citra satelit (Landsat 7 ETM+) liputan tahun 2000 yang diklasifikasikan ke dalam 21 kelas yang dibagi menjadi 3 (tiga) kategori berhutan, tidak berhutan dan tidak ada data (berawan) yaitu: Areal Berhutan - hutan lahan kering primer; - hutan lahan kering sekunder; - hutan mangrove primer; - hutan mangrove sekunder/tebangan; - hutan tanaman; - hutan rawa primer; - hutan rawa sekunder/tebangan; Areal Tidak Berhutan - semak belukar; - perkebunan; - permukiman; - tanah terbuka; - tubuh air; - belukar rawa; - pertanian lahan kering; - pertanian lahan kering campur semak; - sawah; - pertambangan; - tambak; - transmigrasi; - rawa; Areal Tidak Ada Data - tertutup awan. Hasil penampalan data penutupan lahan dengan data kawasan hutan secara digital tersebut apabila dijumlahkan luasnya berbeda dengan data resmi luas penunjukan kawasan hutan dan kawasan konservasi perairan (SK Menteri Kehutanan) propinsi yang menggunakan peta manual, terutama kawasan Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas. Data luas kawasan hutan pada peta manual tersebut adalah data hasil pemaduserasian TGHK dan RTRWP (sebagai komitmen antara Departemen Kehutanan dengan Pemerintah Daerah Tingkat I

7 97 propinsi) ditambah luas kawasan konservasi perairan dan luas pulau-pulau kecil yang belum dipetakan ketika dilakukan pemaduserasian. Hasil penampalan kedua data/peta Propinsi Lampung tersebut disajikan pada Tabel 4.6 yang memperlihatkan kondisi penutupan lahan di kawasan hutan (khususnya Hutan Lindung dan Hutan Produksi) tahun 2000, sedangkan data yang lengkap termasuk kawasan konservasi disajikan pada Lampiran 5. Tabel 4.6 Kondisi Penutupan Lahan pada Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Poduksi di Propinsi Lampung Tahun 2000 No Penutupan Lahan Hutan Lindung (Ha) Hutan Produksi Terbatas (Ha) Hutan Produksi Tetap (Ha) A. Areal Berhutan 1. Hutan Lahan Kering Primer 5.951,54 512, Hutan Lahan Kering Sekunder , ,44 13,11 3. Hutan Mangrove Primer Hutan Mangrove Sekunder 47, Hutan Tanaman ,08 6. Hutan Rawa Primer 2.411, Hutan Rawa Sekunder Jumlah-A , , ,19 B. Areal Tidak Berhutan 8. Semak / Belukar , , ,43 9. Perkebunan 1.135, , Permukiman 18, ,44 320, Tanah Terbuka Tubuh Air Belukar Rawa , Pertanian Lahan Kering 634, , , Pert. Lhn. Krg. Campur Semak , , , Sawah 347,29 628, , Pertambangan Tambak 1.367,25 13,59 509, Transmigrasi Rawa 2.707, ,10 Jumlah B , , ,81 C. Tidak Ada Data 21. Tertutup awan , ,73 Jumlah C , ,73 TOTAL A+B+C , , ,73 Sumber : Badan Planologi Kehutanan, 2002 Berdasarkan pada Tabel 4.6 tersebut, pada Tahun 2000 di Propinsi Lampung, Kawasan Hutan Lindung seluas ,6 hektar yang masih berhutan tinggal seluas ,97 hektar (17,15 %), sedangkan sebagian besar tidak berhutan

8 98 seluas ,54 hektar (74,82 %), sisanya tidak dapat diidentifikasi karena di areal tersebut citra satelitnya tertutup awan. Pada Hutan Produksi Terbatas seluas ,94 hektar (sebesar 86,08 %) tidak berhutan lagi, dan seluas ,94 hektar (13,92 %) berhutan. Untuk Hutan Produksi Tetap seluas ,81 hektar (56,31 %) tidak berhutan dan sisanya seluas ,19 hektar (41,66 %) masih berhutan. Gambar 4.2 Peta Penutupan Lahan Propinsi Lampung, 2000 (Sumber: Badan Planologi Kehutanan, 2002) Lahan Kritis Di dalam kebijakan kehutanan Propinsi Lampung, pengertian lahan kritis disini adalah lahan-lahan yang dianggap tidak mampu lagi menyangga fungsi sesuai peruntukannya secara minmal. Menurut Balai Pengelolaan Daerah aliran Sungai (BPDAS) Way Seputih Way Sekampung (2002), luas lahan kritis di Propinsi

9 99 Lampung meningkat sepanjang tahunnya. Hal tersebut disebabkan oleh konversi lahan yang eksploitatif, tidak jelasnya status lahan di berbagai bagian wilayah sehingga terjadinya okupasi lahan, dan lemahnya praktik-praktik manajemen konservasi lahan di wilayah tersebut. Selama tenggat waktu Tahun , tercatat peningkatan jumlah lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas hektar, sementara di luar kawasan hutan meningkat seluas hektar. Secara rincik terdapat di dalam Tabel 4.7. Tabel 4.7. Keadaan Lahan Kritis di Propinsi Lampung Tahun No KAB./KOTA Dalam Kawasan (Ha) Luar Kawasan (Ha) Dalam Kawasan (Ha) Luar Kawasan (Ha) Dalam Kawasan (Ha) Luar Kawasan (Ha) 1. Lampung Selatan Bandar Lampung Tanggamus Lampung Barat Lampung Utara Way Kanan Tulang Bawang Lampung Timur Lampung Tengah Metro JUMLAH Sumber : BPDAS Way Seputih - Way Sekampung, Permasalahan lahan kritis yang timbul akibat aktifitas manusia (antroposentris) baik di dalam dan di luar kawasan hutan selalu menjadi perhatian karena implikasi bencana alam yang dapat ditimbulkan. Demikian pula dengan kawasan Hutan Lindung di Propinsi Lampung yang sebesar 74,82 persen wilayahnya sudah tidak berhutan lagi ditengarai sebagai penyebab bencana alam tersebut terutama longsor dan banjir. Penengaraaan tanpa melihat kondisi di lapangan, misalnya sejarah pendudukan lahan oleh masyarakat, acapkali menimbulkan konflik vertikal antara pemerintah dengan rakyat. Hal ini amat sering terjadi di Propinsi Lampung. Menurut Kurworo (2000), dalam bidang kehutanan Lampung acapkali disebut sebagai salah satu contoh terbaik dari gagalnya kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia di samping daerah-daerah lainnya seperti Kalimantan; kerusakan hutan yang telah dan tengah berlangsung dan maraknya konflik kehutanan di Lampung menjadi indikasi pernyataan tersebut.

10 Konflik Pertanahan Dalam Kawasan Hutan Di Propinsi Lampung Beragamnya penduduk, baik antara penduduk asli dan pendatang, antar etnis/suku, maupun penguasaan lahan oleh perusahaan (perkebunan) dalam jumlah besar serta kurangnya perhatian pengusaha pada kehidupan perekonomian masyarakat sekitar, merupakan salah satu penyebab timbulnya konflik kepemilikan lahan. Konflik ini semakin sulit diatasi, karena masing-masing pihak yang bersengketa bertahan dengan argumentasi yang didasarkan pada bukti-bukti formal yang dimiliki. Di satu sisi pihak pengusaha mengacu pada hukum positif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bukti produk hukum sertifikat HGU, HPH, HGB, dll, yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yang berwenang, sementara disisi lain masyarakat berpegang pada paradigma hukum adat seperti hak ulayat, hak marga, dan hak kekerabatan. Sengketa pertanahan pada awal reformasi (awal tahun 1998) mengalami peningkatan dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kebijakan pertanahan pada masa berdasarkan pada Pokok-Pokok Reformasi Daerah Lampung mengamanatkan Penyelesaian secara bertahap kasus-kasus pertanahan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan mempersiapkan proses penyelesaian kasus pertanahan yang berpihak pada kebenaran hukum dan berpihak kepada rakyat yang benar secara hukum dan tidak mengabaikan azas kelestarian lingkungan Kinerja Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan kasus pertanahan dari tahun cenderung meningkat. Pada tahun 1998 hingga pertengahan tahun 1999 terjadi 220 kasus yang muncul dan terselesaikan sebanyak 44 kasus atau sebesar 20%. Pada akhir tahun 1999 dari 260 kasus yang terjadi, yang terselesaikan sebanyak 71 kasus (27%) dan sisanya 169 kasus menjadi kasus di tahun 2000 ditambah kasus baru yang sehingga total kasus di Tahun 2000 sebanyak 260 kasus, dan yang dapat diselesaikan sebanyak 101 kasus (39%). Pada tahun 2001 dari 327 kasus persengketaan tanah yang terselesaikan sebanyak 240 kasus (73%), selanjutnya pada tahun 2002 dari 327 kasus yang dapat diselesaikan s/d Juli 2002 sebanyak 249 kasus (76%), dan sisanya 78 kasus akan diselesaikan pada masa selanjutnya secara bertahap. Rincian penyelesaian sengketa tanah yang ada di Propinsi Lampung sampai dengan bulan Juli 2002 tercantum dalam Tabel 4.8.

11 101 Tabel 4.8. Penyelesaian Kasus Tanah di Propinsi Lampung Tahun TAHUN Kasus yang terjadi Jumlah Kasus Selesai Persentase Kasus Selesai % % % % % Sumber : Bappeda Lampung dan ICRAF, Gambar 4.3a, Tahun 2003 Gambar 4.3b, Tahun 2000 Gambar 4.3 Pendudukan lahan Taman Nasional Way Kambas oleh masyarakat adat Marga Subing (Sumber photo 4.3a: Peneliti); dan Demonstrasi rakyat yang menggugat status pertanahan di Kantor Gubernur Propinsi Lampung (Sumber photo 4.3b: Lampung Post) Untuk memberikan kepastian hukum atas hak tanah di luar kawasan hutan kepada masyarakat maka pemerintah memberikan pelayanan penerbitan sertipikat. Agar sertifikasi tanah dapat diterbitkan dalam jumlah yang banyak dan secara serempak ditempuh upaya pensertipikatan tanah secara massal. Kegiatan sertipikasi secara massal mempermudah masyarakat untuk memperoleh sertipikat karena segala layanan administrasi dilakukan di lokasi. Kegiatan pensertipikatan tanah secara massal pada awalnya didanai dari pemerintah. Mengingat kemampuan pemerintah mendanai kegiatan pensertipikatan tanah secara massal terbatas sedangkan sasaran kegiatan masih sangat besar maka diupayakan sumber dana melalui pola swadaya masyarakat. Kegiatan pensertipikatan tanah secara massal yang dilaksanakan dapat melalui proses (1) PRONA APBN, (2) Pensertipikatan tanah transmigrasi, (3) PRONA swadaya, (4) Ajudikasi swadaya, dan (5) Redistribusi tanah swadaya. Secara keseluruhan jumlah

12 102 sertipikat tanah yang diterbitkan dari tahun s/d 2002 sebanyak bidang, yang diterbitkan melalui sbb : (1) Prona APBN sebanyak bidang (14%), (2) Prona Swadaya sebanyak bidang (42%), (3) Ajudikasi swadaya sebanyak Bidang (13%), (4) Redistribusi tanah swadaya sebanyak bidang (7%), (5) Tanah transmigrasi sebanyak bidang (24%). Dari semua kasus tanah yang diselesaikan, kasus-kasus yang terjadi di dalam kawasan hutan hingga kini penyelesaiannya masih menghadapi kebuntuan. Seperti dinyatakan dalam Bab 1.2 penelitian ini, pada tahun 1999 sebanyak 45 kasus konflik pertanahan terjadi di dalam kawasan hutan yang diantaranya adalah di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Barat. 4.4 Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat Kondisi Umum Tata Guna Hutan Di Kabupaten Lampung Barat Kabupaten yang dibentuk berdasarkan UU No. 6 tahun 1991 dan diresmikan pada tanggal 24 September 1991 beribukota di LiwaTotal luas wilayah kabupaten adalah hektar. Berdasarkan Tabel 4.5, total luas kawasan hutan di Lampung Barat yaitu ,37 hektar atau sebesar 77,76% luas wilayah kabupaten adalah kawasan hutan yang terdiri dari: (1) Hutan Suaka Alam dan Taman Nasional seluas hektar, (2) Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas hektar, dan (3) Hutan Lindung (HL) seluas ,37 hektar. Dengan demikian berarti hanya sebesar 22,24% dari luas wilayah kabupaten yang dapat diusahakan menjadi kawasan budidaya pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman penduduk, sarana umum dan sebagainya. Seperti pada umumnya kondisi kerusakan hutan di Propinsi Lampung, potret kerusakan hutan di Kabupaten Lampung Barat secara kuantitatif menunjukkan gambaran yang mengkhawatiran. Menurut Warsito (2006), sebesar 70% dari total luas kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas kondisinya telah rusak.

13 103 Gambar 4.4a, Tahun 2000 Gambar 4.4b, Tahun Gambar 4.4 Kondisi HPT yang masih terjaga di Desa Pahmongan Kecamatan Pesisir Tengah (Gambar 4.4a) dan kondisi HPT yang sudah rusak di Hutan Titi Liut Desa Kota Jawa Kecamatan Bengkunat (Gambar 4.4b), Kabupaten Lampung Barat. (Sumber photo: Peneliti) Kondisi Umum Kependudukan Di Kabupaten Lampung Barat Pada tahun 2004 penduduk Kabupaten Lampung Barat berjumlah jiwa (Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2005). Penduduknya yang heterogen terdiri dari beberapa suku. Komunitas suku yang terbesar adalah Lampung Pesisir, Semendo, dan Sunda. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,26% per tahun. Angka tersebut merupakan indikasi tingginya pertumbuhan penduduk wilayah setempat yang dapat mengakibatkan terjadinya tekanan penduduk terhadap lahan untuk dibudidayakan. Permasalahan ini membawa implikasi terhadap semakin terbatasnya daya dukung wilayah terhadap pertambahan penduduk untuk memberikan peluang berusaha berbasis lahan, sehingga tekanan penduduk yang demikian tinggi meluap ke dalam wilayah kawasan hutan. Di kawasan Hutan Lindung 45B Bukit Rigis misalnya, menurut Dinas Kehutanan Lampung Barat pada tahun 2001 diperkirakan lebih dari 2000KK bermukim di dalam kawasan Kecamatan Sumberjaya dan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Migrasi Penduduk dan Terbentuknya Permukiman Di Sumberjaya Pada 100 tahun yang lalu, hampir seluruh wilayah Sumberjaya merupakan hutan belantara. Yang pertama kali menempati wilayah tersebut adalah Suku Semendo dari Utara. Menurut hukum tak tertulis (customary law/hukum adat), suku

14 104 pertama yang menempati wilayah tersebut ditetapkan sebagai pemilik tanah (Verbist dan Pasya, 2004). Sukaraja adalah desa pertama yang berdiri pada tahun 1891 tempat dimana ditemukannya komunitas marga Way Tenong. Sejak tahun 1951, Biro Rekonstruksi Nasional (BRN), suatu program transmigrasi dibawah koordinasi Angkatan Darat, menstimulasi perkampungan bekas tentara (terutama Sunda) dari perang kemerdekaan (Kusworo, 2000). Kemudian pada tahun 1952, mantan Presiden Indonesia, Soekarno, datang untuk meresmikan wilayah tersebut sebagai wilayah perkampungan baru yang hingga saat ini dikenal dengan nama Kecamatan Sumberjaya (Gambar 4.5). Mereka para transmigran pioner tersebut menetap di cekungan sungai Way Petay yang kemudian menjadi desa pioner di Sumberjaya. Gambar 4.5a Gambar 4.5b. Gambar 4.5a adalah bukti dokumen sejarah diresmikannya nama Sumberjaya oleh Presiden Sukarno. Gambar 4.5b adalah Presiden Sukarno pada saat peresmian Sumberjaya, 14 November 1952 (Sumber photo dan dokumen: Kepala Desa Sukapura, Kecamatan Sumberjaya). Sebagian besar penduduk, tinggal di bagian Timur Sumberjaya terutama di desa-desa Sukapura, Way Petay, Simpang Sari, Tribudi Syukur, Puradjaya, dan Pura Wiwitan. (Gambar 4.6). Pada tahun 1977 bahkan ditemukan kerangka manusia purba (megalithicum) dan keramik Cina di dekat Desa Purawiwitan, yang menunjukkan bahwa manusia pernah tinggal di wilayah tersebut pada masa purba (McKinnon, 1993). Perkembangan terakhir, program transmigrasi pemerintah tidak terlalu berorientasi pada wilayah Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat namun mulai ke

15 105 Kabupaten Lampung Utara. Akan tetapi tetap saja migrasi spontan berdatangan dari Pulau Jawa dan Bali dan merupakan transmigran generasi kedua dan ketiga ke Sumberjaya. Pendatang spontan yang umumnya bersifat kewirausahaan lebih baik daripada para transmigran tahun 1950-an, tertarik pada kesuburan tanahnya. Hingga saat itu, masih banyak dasar lembah yang cukup luas yang tertinggal. Pendatang-pendatang suku Jawa dan Sunda memanfaatkan kondisi lansekap pelembahan yang tidak diminati oleh Suku Semendo untuk budidaya kopi, dan mengubahnya menjadi pertanian sawah beririgasi. Legenda: Pedesaan Desa BRN Perkebunan rakyat Gambar 4.6. Peta Situasi Perkampungan Tua Suku Semendo pada tahun dan desa-desa gelombang kedua dari penduduk Sunda dan Jawa sejak tahun 1950 (Sumber: Benoit (1989) dalam Verbist dan Pasya (2004)) Kependudukan Di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kecamatan Sumberjaya dan Konflik Yang Terjadi. Jumlah penduduk Sumberjaya tumbuh dengan pesat mulai tahun 1976 yaitu sebanyak jiwa meningkat dua kali lipat hingga tahun 1986 sebanyak jiwa. Pada kurun waktu yang sama terjadi deforestasi secara masif dan memicu

16 106 kekhawatiran di Departemen Kehutanan. Mereka mentengarai pesatnya pertumbuhan penduduk sebagai penyebab deforestasi yang terjadi. Jika menggunakan data jumlah penduduk Tahun 2003 yaitu sebesar jiwa (Gambar 4.7), maka diperoleh laju pertumbuhan penduduk sejak tahun 1978 hingga tahun 2003 sebesar 3.34 persen per tahun. Di wilayah Kabupaten Lampung Barat, kecamatan tersebut merupakan salah satu kecamatan yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang tertinggi setelah Kecamatan Bengkunat Jumlah Penduduk Tahun Gambar 4.7. Pertumbuhan Penduduk di Sumberjaya (Sumber: Verbist (2001); Biro Pusat Statistik Lampung Barat (2003); Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung (2005). Pertumbuhan penduduk Sumberjaya kemudian relatif konstan terutama pada 1986 hingga tahun Yang menarik justru terjadi pada tahun 1990 hinggga tahun 1996, jumlah penduduk menurun dari jiwa menjadi jiwa dengan laju penurunan penduduk sebesar 0,85 persen. Tidak ada dokumen statistik dari BPS yang bisa menjelaskan apakah penurunan jumlah penduduk tersebut terjadi secara alami (yaitu angka kematian lebih besar dari angka kelahiran) atau secara tidak alami (migrasi keluar lebih besar dari migrasi masuk). Namun demikian,

17 107 tercatat beberapa peristiwa penting yang diduga sebagai penyebab turunnya jumlah penduduk tersebut yaitu: Pada bulan Juli 1994, Tim Koordinasi Pengamanan Hutan (TKPH) yang terdiri atas aparat kepolisian, kehutanan, dan pemerintah daerah melakukan operasi pengusiran penduduk di kawasan hutan di sekitar desa-desa Purajaya, Purawiwitan, dan Muarajaya Kecamatan Sumberjaya. Rumah-rumah di 86 lokasi pemukiman dirobohkan, lebih dari 700 hektar tanaman kopi dibabati dan penduduk diusir dari kawasan hutan. Sebagian dari KK ditranslokkan ke Mesuji Lampung Utara, sementara yang lain diusir begitu saja. Konflik meledak di lapang. Pada Pebruari 1995, terjadi pengusiran secara bersamaan di dua kecamatan berdampingan yaitu Kecamatan Bukit Kemuning (tepatnya Desa Dwi Kora) sebanyak 55KK dan Kecamatan Sumberjaya (tepatnya di Desa-desa Sukapura, Tribudisyukur) sebanyak 149 KK. Pengusiran juga disertai pembabatan tanaman kopi produktif lebih dari 1000 hektar di dalam kawasan hutan lindung Register 45 Bukit Rigis dan Register 34 Tangkit Tebak. Pengusiran yang dikenal dengan Operasi Jagawana I tersebut dilaksanakan atas SK Gubernur No.5225/0287/04/1995 tanggal 26 Januari 1995 berbiaya Rp.173 juta dan melibatkan 167 personil polsus kehutanan, 2 pleton Brimob, 6 ekor kuda, 20 gergaji mesin, 200 pekerja, dan 17 ekor gajah terlatih dati Taman Nasional Way Kambas. Konflik semakin meningkat. Sebanyak 3 ekor gajah mati (mungkin kelelahan?) dan ironisnya tidak ada sedikitpun suara yang menggugat tentang eksploitasi satwa lindung, apalagi terhadap pengusiran penduduk tersebut. Hingga kini, masyarakat setempat mengenang dan menyebut peristiwa kelabu tersebut dengan istilah Operasi Gajah. Jumlah penduduk yang dikeluarkan dari kawasan tersebut diduga lebih banyak karena belum termasuk masyarakat yang eksodus ketakutan mendengar adanya operasi tersebut.

18 108 Kini Kecamatan Sumberjaya terdiri atas 28 desa dengan luas wilayah hektar 1 atau 10,95% dari total luas Kabupaten Lampung Barat. Desa-desa tersebut tersebar mengelilingi kawasan Hutan Lindung Registaer 45B Bukit Rigis Perubahan Penggunaan Lahan Di Kecamatan Sumberjaya dan Deforestasi Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Di samping tanahnya yang subur bagi kegiatan pertanian, letak geografis wilayah yang amat strategis diduga menjadi faktor penarik pesatnya laju pertumbuhan di Kecamatan Sumberjaya yang memiliki wilayah seluas hektar (Tabel 4.9). Tabel 4.9 Penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya, Tahun 2000 Penggunaan lahan Luas (ha) Persen Sawah Sawah berpengairan 2060 Teknis 0 Setengah teknis 0 Sederhana 445 Non PU 1615 Tadah hujan 387 Pasang surut 0 Lebak, polder 0 Pekarangan Tegalan/kebun Ladang/huma Padang rumput Bera Hutan rakyat Hutan negara Perkebunan Rawa-rawa Tambak Kolam Lain-lain TOTAL Sumber: Monografi Kabupaten Lampung Barat, 2001 Dari total luas wilayah kecamatan tersebut, penggunaan lahan yang terbesar adalah kawasan hutan seluas hektar (atau sebesar 58,26%), perkebunan 1 Pada tahun 2000, Kecamatan Sumberjaya dimekarkan menjadi dua yaitu Kecamatan Sumberjaya di wilayah timur dan Kecamatan Way Tenong di wilayah barat. Masing-masing terdiri atas 14 desa. Hingga saat ini, data statistik yang tersedia masih belum dipisahkan sesuai dengan pemekaran tersebut.

19 109 seluas hektar (atau sebesar 22,97%), dan persawahan seluas hektar (atau sebesar 4,52%). Luas wilayah Kecamatan Sumberjaya identik dengan luas Sub-DAS Way Besay yang didalamnya terdapat beberapa kawasan Hutan Lindung yang fungsi ekosistemnya memiliki pengaruh peran terhadap fungsi perlindungan DAS (Gambar 4.8). Kawasan-kawasan hutan lindung tersebut yaitu: (1) Register 39 Kota Agung Utara (Total luas hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya hingga ke selatan ke Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus), (2) Register 44B Way Tenong Kenali (Total luas hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya dan Kenali Kabupaten Lampung Barat hingga ke utara ke Kabupaten Way Kanan), (3) Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis (Total hektar dan seluruhnya berada di dalam Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat), dan (4) Register 46B Palakiah (Total luas 1800 hektar membentang dari Kecamatan Sumberjaya hingga ke Barat ke Taman Nasional Bukist Barisan Selatan Kabupaten Lampung Barat). Dari keempat kawasan tersebut, Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis merupakan kawasan hutan yang ekosistemnya paling berpengaruh terhadap sub- DAS Way Besay karena letaknya berada di tengah-tengah tempat berasalnya anakanak sungai yang mengalir ke Way Besay. Register tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan pada masa kolonialisasi Belanda melalui Besluit Residen No.117 tanggal 19 Maret Sebelum tahun tersebut, status lahan kawasan adalah tanah marga. Pada akhir tahun 2000, deforestasi di kawasan tersebut sudah mencapai tingkat amat kritis, diperkirakan seluas hektar sudah tidak behutan lagi dan tercatat sebanyak 2000 KK petani yang bermukim di dalamnya (Dirpa, 2002). Sebagai ilustrasi visual, rona deforestasi kawasan tersebut seperti terlihat pada Gambar 4.9.

20 110 Gambar 4.8 Peta situasi beberapa kawasan hutan lindung di dalam Kecamatan Sumberjaya (Sumber: ICRAF). Sebenarnya deforestasi di Sumberjaya sudah mulai terjadi sebelum Besluit Residen dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda. Pada tahun 1933, pelayanan perluasan pertanian Kolonial menyatakan: Sebagaimana Lampung tidak ada lagi memiliki hutan yang berlimpah, sangatlah penting menciptakan manfaat ekonomi dari lahan yang tersedia tanpa menghambat pengembangan budidaya kopi lokal. Hal tersebut tidak hanya merekomedasikan upaya peremajaan kebun kopi yang sudah ada dengan coppicing, tetapi juga pembukaan lahan-lahan baru kawasan hutan yang sebelumnya adalah berupa tanah marga (Verbist dan Pasya, 2004).

21 111 Gambar 4.9 Kondisi deforestasi kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis awal Tahun 2000 (Sumber photo: ICRAF). Deforestasi menjadi kebun kopi terjadi secara masif pada tahun , satu masa dengan datangnya migrasi spontan ke wilayah Sumberjaya (Kusworo, 2000). Deforestasi tersebut memicu keributan di Departemen Kehutanan. Persepsi umum para aparat kehutanan adalah penduduk setempat tidak dapat mengelola hutan secara berkelanjutan, sehingga area menjadi lebih cepat terdegradasi dan akan berdampak negatif pada fungsi perlindungan DAS Way Besay. Pada tahun 1978 (Tabel 4.10), semula wilayah yang masih tertutup oleh hutan sebesar 67%, pada tahun 1984 menurun menjadi sebesar 49%, dan sebesar 32% di tahun 1990 (Syam et all, 1997; dalam Verbist, 2001). Dilengkapi dengan hasil klasifikasi citra satelit Landsat Enhanced Thematic Mapper (ETM) tahun 2000, Multi Spectral Scanner (MSS) 1986 dan MSS 1973, data Tabel 4.10 tersebut kemudian dikaji ulang dan diperoleh kenyataan bahwa tutupan hutan secara nyata menurun menjadi 12% di tahun 2000, sementara itu, kebun kopi (monokultur dan multistrata) menurun dari sebesar 40% pada tahun 1990 menjadi 52% (monokultur, multistrata, dan kopi tua bercampur semak-belukar) pada tahun 2000 (Verbist et al, 2004; Dinata, 2002).

22 112 Table Presentasi perubahan penggunaan lahan di Sumberjaya tahun Penggunaan lahan Perubahan (%) Pemukiman Sawah Pertanian (hortikultura) Perladangan berpindah Kebun campuran ( tanaman pangan, sayuran, dan buah-buahan) 6. Kebun kopi monokultur Kebun kopi multistrata Hutan primer Hutan sekunder Semak belukar Kolam Sumber: Syam et all (1997) dalam Verbist (2001). Pola serupa juga terjadi pada perubahan penggunaan lahan di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis yang direfleksikan oleh perubahan tutupan lahan antara tahun di dalam kawasan yang dieroleh dari analisis citra satelit Land Sat (Tabel 4.11). Pada tahun 2002, hutan primer yang tersisa tinggal hektar, kebun kopi (multistrata dan monokultur) meningkat menjadi 4276 hektar, sawah menurun menjadi 915 hektar, belukar menurun menjadi 374 hektar, dan tidak ada lagi tanah yang terbuka (bera). Hasil analisis poto satelit tersebut juga semakin mempertegas adanya areal permukiman seluas 187 hektar di dalam kawasan pada tahun Luas tersebut lebih kecil dibandingkan hasil pemetaan partisipatif yang pernah dilakukan oleh warga dan LSM Watala pada tahun 2003 yaitu seluas 302,5 hektar (Gambar 4.10), namun perbedaan tersebut diduga disebabkan adanya areal di dalam poto yang tertutup awan. Berdasarkan peta BPN (Badan Pertanahan Nasional), sistem ladang berpindah sudah tidak ada lagi sejak awal tahun delapan puluhan. Pada tahun 1990 tidak ditemukan lagi padang alang-alang di wilayah ini, akan tetapi pada tahun 2000 padang alang-alang muncul kembali di beberapa tempat. Evolusi deforestasi sejak tahun 1976 tersebut direspon oleh Pemerintah dengan suatu tindakan cepat untuk menghentikannya. Pemerintah kemudian membuat peta wilayah Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1990 diikuti oleh pelaksanaan tata-batasnya yang ternyata kemudian memicu banyak

23 113 konfrontasi antara penduduk lokal dengan aparat pemerintah seperti pengusiran penduduk, intimidasi, dan lain-lain. Tabel 4.11 Perubahan Sebaran Tutupan Lahan Hutan (forest land cover) di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis No Penggunaan lahan Tahun 1973 (Ha) 1986 (Ha) 2000 (Ha) 2002 (Ha) 1 Hutan Kebun Kopi Pemukiman Pertanian Sawah Belukar Rumput Tanah Terbuka Tidak terdeteksi (poto satelit tertutup awan) Total Sumber: (1) Peta TGHK Kabupaten Lampung Barat, 1994; (2) Peta Topografi Bakosurtanal, 1999; (3) Poto satelit Land Sat MSS-ETM Tahun 1973, 1986, 2000, dan 2002; Data dan dijitasi diolah di laboratium GIS ICRAF Bogor Konflik Tata Batas dan Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Di samping tekanan penduduk, masalah kehutanan di Kabupaten Lampung Barat pada umumnya dan di Kecamatan Sumberjaya pada khususnya juga disebabkan oleh tidak legitimate-nya Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) kabupaten yang merupakan bagian dari TGHK Propinsi oleh karena penetapannya dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat setempat secara utuh. Hampir bersamaan dengan pelaksanaan Operasi Jagawana I pada bulan Pebruari tahun 1995, pihak kehutanan juga melakukan tata batas kawasan hutan ditandai dengan pemasangan patok batas kawasan hutan. Berdasarkan tata batas tersebut, sebagian wilayah dari beberapa desa seperti Sukapura, Purajaya, purawiwitan, Muara Jaya, Simpang Sari, dan Tribudisyukur dinyatakan masuk di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Tentu saja hal tersebut menyulut konflik status lahan terutama penolakan keras datang dari warga Sumberjaya yang mengklaim tanah di dalam kawasan yang oleh pemerintahan Presiden Soekarno

24 114 telah diberikan kepada mereka sebagai peserta transmigrasi BRN. Klaim tersebut tercermin dari pristiwa-pristiwa sebagai berikut (Kusworo, 2000): Pada tanggal 7 April 1995, sebanyak 10 warga mewakili Desa Simpang sari mengirim surat keberatan kepada Bupati Lampung Barat dengan tembusan ke berbagai instansi terkait dan DPRD Lampung Barat. Sebagai bukti pendukung, mereka melampirkan sebanyak 11 bidang tanah bersertifikat yang ternyata letaknya berada di dalam kawasan. Pernyataan ganjil justru datang dari Komisi A DPRD Lampung Barat yang menyatakan bahwa sertifikat itu tidak sah padahal secara resmi sertifikat tersebut diterbitkan oleh Kantor BPN Lampung Utara. (Sebagai catatan peneilti dalam kasus ini, Kabupaten Lampung Barat yang resmi berdiri tahun 1991 semula wilayahnya adalah bagian dari Kabupaten Lampung Utara. Penerbitan sertifikat dilakukan sebelum Kabupaten Lampung Barat berdiri dan bahkan jauh sebelum TGHK Lampung Barat disyahkan pada tahun 1994). Pada tanggal 16 Oktober 1995, sebanyak 4 warga Sumberjaya yang mewakili 377KK yang memiliki lahan seluas 224 hektar di Desa Sukapura dan 127 hektar di Desa Tribudisyukur mendatangi DPRD Tingkat I Lampung. Mereka secara lisan dan tertulis mempertanyakan kejelasan staus lahan mereka yang secara serta-merta dikalim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Terhadap kedua kasus tersebut, secara terpisah Komisi A DPRD Kabupaten Lampung Barat dan Komisi A DPRD Tingkat I Propinsi Lampung membentuk Tim Khusus, namun sejak pembentukannya di Tahun 1995 hingga kini tidak ada penyelesaian yang dihasilkan dari kedua lembaga legislatif tersebut. Upaya klarifikasi fakta di lapang justru dilakukan oleh beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang memberi kepedulian mereka terhadap kasus tersebut. Pada tahun 2003 misalnya, LSM Watala bersama-sama dengan warga dan pamong Desa Sukapura melakukan pemetaan secara partisipatif terhadap wilayah dan permukiman desa yang lokasinya berada di dalam kawasan hutan lindung. Berdasarkan hasil pemutahiran data melalu pemetaan partisipatif tersebut (Gambar 4.10), didapat seluas 302,5 hektar wilayah desa berada di dalam kawasan yang oleh masyarakat diminta untuk dialih fungsikan dari kawasan hutan lindung menjadi areal penggunaan lainnya sesuai dengan penggunaan lahan yang ada (existing land

25 115 uses) yaitu pemukiman dan kebun campuran milik warga yang sudah dikelola hampir tiga generasi sejak tahun Gambar 4.10 Peta wilayah Desa Sukapura yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis; Poligon berwarna merah muda adalah areal seluas 302,5 hektar yang diklaim oleh warga untuk dialih-fungsikan (Sumber: Watala, 2003). Klarifikasi fakta di lapang juga dilakukan untuk memperoleh jawaban mengapa warga Sumberjaya mengajukan keberatan terhadap konstruksi tata batas yang dibangun oleh aparat Departemen Kehutanan pada Operasi Jagawana I tahun Hasil wawancara lapangan menunjukkan: Konstruksi tata batas dilaksanakan tanpa partisipasi warga dan dalam kondisi psikologis yang berada dibawah tekanan. Ada desakan pemerintah pusat pada waktu itu sehubungan dengan akan dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) DAS Way Besay sehingga warga harus diusir tanpa mempertimbangkan sejarah permukiman mereka. Analisis GIS yang dilakukan oleh Lembaga ICRAF di Sumberjaya memperoleh fakta bahwa dari hasil pembandingan batas kawasan hutan di atas peta TGHK Kabupaten Lampung Barat sekala 1: dan skala 1:

26 116 menunjukkan hasil berbeda (Gambar 4.11). Perbedaan tersebut berupa pergeseran batas di atas peta beragam antara 1 1,3 km. Kondisi tersebut diduga menjadi penyebab kesalahan ekstrapolasi oleh petugas di lapang sehingga konstruksi tatabatas menjadi tidak syahih dan menimbulkan klaim dari warga yang kemudian bermuara menjadi konflik vertikal antara warga dan pemerintah BT, 4 56 LS BT, 4 56 LS Reg 44B Bergeser 1 km Reg 45B Reg 46B Bergeser 1,3km Reg BT, 5 8 LS : Batas pada Peta TGHK 1: : Batas pada Peta TGHK 1: BT, 5 8 LS Sumber: Peta Topograpi 1999 Skala 1: Peta TGHK 1994 Skala 1: Peta TGHK 1994 Skala 1: Gambar 4.11 Perbedaan batas TGHK di Sumberjaya (Sumber: Verbist, 2001) Konflik Akses Pengelolaan Lahan Kawasan Akses adalah kemampuan (ability) untuk memperoleh manfaat dari sesuatu yang di dalamnya dapat berupa benda, manusia, lembaga, atau simbol-simbol sosial lainnya (Ribot dan Peluso, 2003). Akses berbeda dengan property yang didefinisikan sebagai hak (right) untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Melengkapi difinisi tersebut, akses mengandung seperangkat kekuasaan (a bundle of powers) atas sesuatu, sedangkan property mengandung seperangkat hak (a bundle of right). Secara empiris, fokus tentang akses mencakup hal-hal yang berkaitan dengan (1) siapa yang berkemampuan dan siapa yang tidak dalam

27 117 memperoleh sesuatu, (2) menggunakan apa, (3) dengan cara apa, dan (4) kapan terjadinya dan dalam kondisi bagaimana. Menggunakan dapat berarti menikmati manfaat utama atau manfaat ikutannya. Berdasarkan mekanismenya, akses terdiri atas tiga jenis (Ribot dan Peluso, 2003) yaitu: (1) Rights based access, yaitu akses yang diatur oleh hukum, hukum adat (costumary law), dan konsesi. Pengaturan tersebut disertai sanksinya juga. (2) Illegal acces, yaitu ketika akses dimiliki secara ilegal dan atau ekstra legal. (3) Structural and relational access, yaitu kemampuan untuk memanfaatkan sesuatu diperantarai oleh tingkat keterbatasan/keterlebihan kamampuan ekonomi, sosial, dan politik. Misalnya akses terhadap teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan kesempatan kerja, ilmu pengetahuan, kekuasaan, identitas, dan hubungan sosial. Perubahan tutupan lahan hutan di dalam kawasan Hutan Lindung Bukit rigis tidak terlepas dari akses oleh warga yang terjadi di kawasan tersebut. Tabel 4.11 pada halaman sebelumnya merupakan hasil penampalan antara Peta TGHK Kabupaten Lampung Barat tahun 1994, Peta Topografi Bakosurtanal tahun 1999, dan sebanyak 4 buah poto citra satelit Land Sat MSS-ETM Tahun 1973, 1986, 2000, dan Berdasarkan tabel 4.11 tersebut diperoleh data tutupan lahan hutan bahwa, dari total kawasan seluas hektar 2/, luas kawasan yang masih tertutup hutan pada tahun 2002 adalah 1782 hektar. Luas tersebut menurun dari kondisi tahun 1973 yaitu 2045 hektar. Sementara dalam tenggat waktu yang sama, luas kebun kopi meningkat dari 885 hektar menjadi 4276 hektar, luas pertanian menurun dari 657 hektar menjadi 187 hektar, luas persawahan menurut dari 1978 hektar menjadi 915 hektar. Perubahan komposisi tutupan lahan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis tersebut mencerminkan fluktuasi perubahan power dan right atas akses yang terjadi di dalam kawasan serta konflik-konflik yang menyertainya. Hingga tahun 2006, masyarakat yang memperoleh hak akses melalui kebijakan Hutan Kemasyarakatan baru sebanyak 5 kelompok yang beranggotakan 1082 KK dengan akses lahan seluas 1968,7 hektar (Tabel 4.12). Akses yang dimiliki oleh kelima 2 Data luas kawasan hutan lindung register 45B Bukit Rigis versi Dinas Kehutanan dan Sumberdaya Alam Kabupaten Lampung Barat adalah hektar.

28 118 kelompok tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam right base access mechanism karena hak dan sanksi bagi masyarakat diatur oleh pemerintah terutama oleh Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31/II-Kpts/2001 tentang Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan. Tabel Nama Kelompok yang telah mendapatkan hak akses melalui Ijin Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. No. Kelompok dan Desa Asal Jmlh anggota (KK) 1 Klp. Bina Wana, Desa Tribudi Sukur 2 Klp. MWLS, Desa Simpang Sari 3 Klp. Rigis Jaya, Desa Gunung Terang 4 Klp. Rimba Jaya, Luas lahan (Ha) Nomor Izin /Kwl-4/Kpts/2000; 23 Desember , HKm.Dishut-L B.2002; 15 April , HKm.Dishut- LB.2002; 15 April HKm.Dishut- LB.2002; 16 Mei HKm.Dishut- LB.2002; 14 Agustus 2002 Desa Tambak Jaya 5 KPPSDA Setia Wana Bhakti, Desa Simpang Sari Total ,7 Sumber: Kelompok HKM dan Dinas Kehutanan dan Sumberdaya Alam Kabupaten Lampung Barat, data diolah. Dengan menyandingkan data sebaran penutupan lahan (Tabel 4.11) dan data kelompok masyarakat yang telah memiliki hak akses (Tabel 4.12), maka secara yuridis formal, hanya seluas 1.968,7 hektar dari total Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis yang ijin akses-nya diakui oleh pemerintah. Hasil pengamatan lapang, hampir semua lahan yang telah berijin HKm tersebut berbentuk kebun kopi campuran dengan tanaman buah dan kayu, kecuali lahan milik kelompok Bina Wana Desa Tribudisyukur penggunaan lahannya ada yang berupa persawahan. Secara fisik persawahan tersebut berada di lembah areal kawasan, secara historis sudah dibuat sejak saat transmigrasi BRN tahun atau sebelum TGHK ditetapkan oleh pemerintah.

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. yang diambil dari buku dan literatur serta hasil-hasil penelitian terdahulu.

METODE PENELITIAN. yang diambil dari buku dan literatur serta hasil-hasil penelitian terdahulu. 30 III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian 1. Penelitian Kepustakaan Adalah penelitian dengan mengkupas data terbaik dalam penelitian ini yang diambil dari buku dan literatur serta hasil-hasil penelitian

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

Secara Geografis Propinsi Lampung terletak pada kedudukan Timur-Barat. Lereng-lereng yang curam atau terjal dengan kemiringan berkisar antara 25% dan

Secara Geografis Propinsi Lampung terletak pada kedudukan Timur-Barat. Lereng-lereng yang curam atau terjal dengan kemiringan berkisar antara 25% dan IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITMN 4.1 Geografi Propinsi Lampung meliputi areal seluas 35.288,35 krn2 termasuk pulau-pulau yang terletak pada bagian sebelah paling ujung tenggara pulau Sumatera. Propinsi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif 28 III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk memperlihatkan dan menguraikan keadaan dari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif yaitu penelitian dilakukan

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif yaitu penelitian dilakukan 45 III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif yaitu penelitian dilakukan untuk memperlihatkan dan menguraikan keadaan dari objek penelitian. Menurut

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang terdapat di Pulau

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang terdapat di Pulau IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Kondisi Wilayah Propinsi Lampung 1. Geografi Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang terdapat di Pulau Sumatera dengan luas wilayah 35.288,35 Km 2. Propinsi

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 41 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung 1. Keadaan Umum Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi di Republik Indonesia dengan areal daratan seluas 35.288 km2. Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang 43 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian 1. Keadaan Umum Kecamatan Sragi a. Letak Geografis Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang ada di

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Tengah BT dan LS, dan memiliki areal daratan seluas

IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Tengah BT dan LS, dan memiliki areal daratan seluas IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Tengah 1. Keadaan Geografis Kabupaten Lampung Tengah merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Propinsi Lampung. Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Pada awalnya Kabupaten Tulang Bawang mempunyai luas daratan kurang lebih mendekati 22% dari luas Propinsi Lampung, dengan pusat pemerintahannya di Kota Menggala yang telah

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Keadaan Wilayah Kecamatan Sumberjaya merupakan pintu gerbang Kabupaten Lampung Barat dari arah Timur dengan jarak 75 km dari kota Liwa yang merupakan ibukota Kabupaten

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. menggunakan data sekunder yang berasal dari instansi atau dinas terkait.

III. METODE PENELITIAN. menggunakan data sekunder yang berasal dari instansi atau dinas terkait. 41 III. METODE PENELITIAN. A. Jenis dan Sumber Data Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan metode deskriptif kuantitatif, dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari

Lebih terperinci

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG

DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG IV. DINAMIKA PEREKONOMIAN LAMPUNG 4.1. Provinsi Lampung 4.1.1. Gambaran Umum Provinsi Lampung meliputi wilayah seluas 35.288,35 kilometer persegi, membentang di ujung selatan pulau Sumatera, termasuk pulau-pulau

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Provinsi Lampung dengan menggunakan data

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Provinsi Lampung dengan menggunakan data 46 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini dilakukan pada Provinsi Lampung dengan menggunakan data sekunder yang ditunjang dengan studi kepustakaan. Data yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG ALIH FUNGSI LAHAN DARI EKS KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI (HPK) SELUAS + 145.125 HEKTAR MENJADI KAWASAN BUKAN HPK DALAM RANGKA

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Gedong Wani

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Gedong Wani IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Gedong Wani 4.1.1. Luas Letak Wilayah Lokasi dari areal kerja dari UPTD KPHP Gedong Wani terletak pada empat register Kawasan

Lebih terperinci

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 37 IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang merupakan kawasan hutan produksi yang telah ditetapkan sejak tahun

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik Provinsi Lampung ( time series ) pada jangka waktu 6 tahun. terakhir yakni pada tahun 2006 hingga tahun 2007.

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik Provinsi Lampung ( time series ) pada jangka waktu 6 tahun. terakhir yakni pada tahun 2006 hingga tahun 2007. 31 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini seluruhnya adalah data sekunder. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diterbitkan oleh

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. kepustakaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Anggaran

METODE PENELITIAN. kepustakaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Anggaran 46 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini dilakukan pada sepuluh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Lampung dengan menggunakan data sekunder yang ditunjang dengan studi kepustakaan.

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DAERAH TINGKAT II WAY KANAN, KABUPATEN DAERAH TINGKAT II LAMPUNG TIMUR, DAN KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II METRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Tata Guna Lahan Kabupaten Serang Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : a. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan pertanian lahan

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Sejarah Kabupaten Lampung Selatan Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar pokok Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian merupakan wilayah Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang No 12 Tahun 1999 sebagai hasil pemekaran Kabupaten

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Spasial

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Spasial HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Spasial Kabupaten Tulang Bawang merupakan wilayah yang dilalui oleh jalan lintas sumatera. Kecamatan Menggala merupakan pertemuan antara jalan lintas timur sumatera

Lebih terperinci

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003 BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai eknmi, eklgi dan ssial

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, menyebabkan permasalahan

I. PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, menyebabkan permasalahan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya tanah merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Sebagai salah satu modal dasar tanah mempunyai arti penting dalam kehidupan dan penghidupan manusia, karena

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung yang memiliki luas wilayah 3.921,63 km 2 atau sebesar 11,11% dari

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung yang memiliki luas wilayah 3.921,63 km 2 atau sebesar 11,11% dari IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Kabupaten Way Kanan 1. Geografi Kabupaten Way Kanan adalah salah satu dari 15 kabupaten/kota di Propinsi Lampung yang memiliki luas wilayah 3.921,63

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu dari delapan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116-117

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. demikian ini daerah Kabupaten Lampung Selatan seperti halnya daerah-daerah

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. demikian ini daerah Kabupaten Lampung Selatan seperti halnya daerah-daerah 46 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Kabupaten Lampung Selatan 1. Keadaan Geografis Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105 sampai dengan 105 45 Bujur Timur dan 5 15 sampai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi 69 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang letak daerahnya hampir dekat dengan daerah sumatra selatan.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan. No.377, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. menggunakan alat uji statistik berupa uji beda maka variabel yang digunakan

III. METODE PENELITIAN. menggunakan alat uji statistik berupa uji beda maka variabel yang digunakan III. METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian Untuk menganalisis perbandingan kinerja dua sample (sample tidak bebas) dengan menggunakan alat uji statistik berupa uji beda maka variabel yang digunakan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II LAMPUNG BARAT NOMOR 01 TAHUN 1994 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II LAMPUNG BARAT NOMOR 01 TAHUN 1994 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II LAMPUNG BARAT NOMOR 01 TAHUN 1994 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II LAMPUNG BARAT DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. dengan DKI Jakarta yang menjadi pusat perekonomian negara.

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. dengan DKI Jakarta yang menjadi pusat perekonomian negara. 45 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kota Bandar Lampung merupakan sebuah kota yang menjadi ibukota provinsi Lampung, Indonesia. Kota Bandar Lampung pintu gerbang Pulau Sumatera. Sebutan ini layak

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. wilayah Kabupaten Lampung Utara berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. wilayah Kabupaten Lampung Utara berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun 27 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kabupaten Lampung Barat Kabupaten Lampung Barat dengan ibukota Liwa merupakan hasil pemekaran wilayah Kabupaten Lampung Utara berdasarkan Undang-Undang No.6 Tahun

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI 4.1 Keadaan Umum Provinsi Jambi secara resmi dibentuk pada tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang No. 61 tahun 1958. Secara geografis Provinsi Jambi terletak antara 0º 45

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. Bujur Timur sampai 105º50 (BT) Bujur Timur dan 3º45 (LS) Lintang Selatan

BAB IV GAMBARAN UMUM. Bujur Timur sampai 105º50 (BT) Bujur Timur dan 3º45 (LS) Lintang Selatan 55 BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Lampung terletak pada kedudukan 103º40 (BT) Bujur Timur sampai 105º50 (BT) Bujur Timur dan 3º45 (LS) Lintang Selatan sampai 6º45 (LS)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN DAERAH TINGKAT II WAY KANAN, KABUPATEN DAERAH TINGKAT II LAMPUNG TIMUR, DAN KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II METRO DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tanggamus merupakan salah satu dari 11 (sebelas)

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tanggamus merupakan salah satu dari 11 (sebelas) 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Sejarah Singkat Daerah Penelitian Kabupaten Tanggamus merupakan salah satu dari 11 (sebelas) Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi Lampung. Kabupaten Tanggamus dibentuk

Lebih terperinci

Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Lampung Barat Panduan cara memproses perijinan dan kiat sukses menghadapi evaluasi

Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Lampung Barat Panduan cara memproses perijinan dan kiat sukses menghadapi evaluasi Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Lampung Barat Panduan cara memproses perijinan dan kiat sukses menghadapi evaluasi Nurka Cahyaningsih Gamal Pasya - Warsito Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Lampung Barat panduan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 1. Sejarah Terbentuknya Kabupaten Lampung Barat

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 1. Sejarah Terbentuknya Kabupaten Lampung Barat IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Barat 1. Sejarah Terbentuknya Kabupaten Lampung Barat Menurut Lampung Barat Dalam Angka (213), diketahui bahwa Kabupaten Lampung Barat

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang 70 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Tanggamus 1. Keadaan Geografis Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tanggamus terbentuk atas dasar Undang-undang Nomor 2 tertanggal 3

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tanggamus terbentuk atas dasar Undang-undang Nomor 2 tertanggal 3 39 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Kabupaten Tanggamus Kabupaten Tanggamus terbentuk atas dasar Undang-undang Nomor 2 tertanggal 3 Januari 1997 dan pada tanggal 21 Maret 1997 resmi menjadi salah

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung Selatan (2014), sejarah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung Selatan (2014), sejarah IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Sejarah Kabupaten Lampung Selatan Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung Selatan (2014), sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Dabong. Harahab (2010: )

BAB I. PENDAHULUAN. yang berada di wilayah pesisir seperti Desa Dabong. Harahab (2010: ) BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan lindung seperti ekosistem mangrove memiliki peran cukup penting bagi masyarakat yang tinggal berdampingan dengan ekosistem tersebut karena umumnya masyarakat

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi

Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi 54 IV. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN IV.1. Deskripsi Umum Wilayah yang dijadikan objek penelitian adalah kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat. Kecamatan Muara Gembong berjarak

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM KOTA BANDAR LAMPUNG. Kota Bandar Lampung pintu gerbang Pulau Sumatera. Sebutan ini layak untuk

IV. KEADAAN UMUM KOTA BANDAR LAMPUNG. Kota Bandar Lampung pintu gerbang Pulau Sumatera. Sebutan ini layak untuk 33 IV. KEADAAN UMUM KOTA BANDAR LAMPUNG A. Letak Geografis Dan Iklim Kota Bandar Lampung pintu gerbang Pulau Sumatera. Sebutan ini layak untuk ibu kota Propinsi Lampung. Kota yang terletak di sebelah barat

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan 5 5 -

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan 5 5 - IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak, Luas dan Batas Wilayah Letak geografis KPHL Batutegi terletak pada 104 27-104 54 BT dan 5 5-5 22 LS. Secara administrasi berada di 4 (empat) Kabupaten yaitu

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada BT dan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada BT dan 77 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak Geografis Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak pada 104 552-105 102 BT dan 4 102-4 422 LS. Batas-batas wilayah Kabupaten Tulang Bawang Barat secara geografis

Lebih terperinci

BAB IV. Gambaran Umum Daerah Penelitian. Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun

BAB IV. Gambaran Umum Daerah Penelitian. Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 29 BAB IV Gambaran Umum Daerah Penelitian 4.1 Gambaran Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Lampung tanggal

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Gambaran Umum Kabupaten Tulang Bawang Barat. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak di bagian utara Provinsi Lampung.

BAB IV GAMBARAN UMUM. A. Gambaran Umum Kabupaten Tulang Bawang Barat. Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak di bagian utara Provinsi Lampung. BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Kabupaten Tulang Bawang Barat Kabupaten Tulang Bawang Barat terletak di bagian utara Provinsi Lampung. Kabupaten Tulang Bawang Barat berbatasan langsung dengan Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Fisik Kabupaten Lampung Timur Kabupaten Lampung Timur dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1999, diresmikan pada tanggal 27 April 1999 dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; PERATURAN BERSAMA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI DAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : PER-23/MENIXI/2007 NOMOR : P.52 IVIENHUT-II/2007 TENTANG PELEPASAN KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN TRANSMIGRASI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI

III. KEADAAN UMUM LOKASI III. KEADAAN UMUM LOKASI Penelitian dilakukan di wilayah Jawa Timur dan berdasarkan jenis datanya terbagi menjadi 2 yaitu: data habitat dan morfometri. Data karakteristik habitat diambil di Kabupaten Nganjuk,

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kemakmuran masyarakat telah menempuh berbagai cara diantaranya dengan membangun perekonomian yang kuat, yang

Lebih terperinci

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang No. 5, Agustus 2002 Warta Kebijakan C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. 43 BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Sragi merupakan sebuah Kecamatan yang ada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota 66 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Kota Bandarlampung 1. Letak Geografis Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota Bandarlampung memiliki luas wilayah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal Indonesia di beberapa tempat telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena

Lebih terperinci

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 21/Kpts-II/2001 Tanggal : 31 Januari 2001 KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI No KRITERIA STANDAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Barat. mempunyai luas wilayah 4.951,28 km 2 atau 13,99 persen dari luas

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Barat. mempunyai luas wilayah 4.951,28 km 2 atau 13,99 persen dari luas 29 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Barat 1. Keadaan Geografis Kabupaten Lampung Barat dengan ibukota Liwa merupakan salah satu kabupaten/kota yang berada di wilayah

Lebih terperinci