BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Konjungtivitis alergi a. Definisi Menurut Japanese Ocular Allergology Society, konjungtivitis alergi adalah peradangan pada konjungtiva yang diperantarai reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang disertai dengan gejala subyektif dan objektif (Takamura et al., 2011). Konjungtivitis alergi tidak hanya menyerang bagian konjungtiva saja, tetapi juga memengaruhi struktur mata lain seperti kelopak mata, kornea dan tear film. Gejala dan tanda konjungtivitis yang muncul dipengaruhi beberapa hal yaitu genetik, lingkungan, mikrobiota pada mata dan mekanisme pengaturan imun (Robles-Contreras et al., 2011). b. Anatomi, Histologi dan Sitologi Konjungtiva Konjungtiva meluas dan melapisi orbita bagian luar yang terdiri dari tiga bagian, yaitu konjungtiva palpebra yang paling dalam di kelopak mata atas dan terdiri dari epitel kolumner pendek berlapis dengan sedikit sel Goblet dan lamina proprianya berupa jaringan elastis dan kolagen, konjungtiva bulbi yang melapisi orbita luar dan forniks konjungtiva yang merupakan lipatan peralihan konjungtiva palpebra ke konjungtiva bulbar. Tarsus 6

2 7 berfungsi sebagai kerangka kelopak mata yang merupakan jaringan ikat kolagen padat berbentuk keping tipis dan padat serta biasanya tarsus kelopak mata atas lebih besar daripada tarsus kelopak mata bawah. Kelenjar Meibom terletak di tarsus dan sekresinya mengandung lemak, kemudian bermuara pada margo palpebra. Limbus adalah batas antara kornea dan sklera (Ilyas et al., 2002; Eroschenko, 2011). Epitel limbus lebih kecil, tersusun lebih padat, rasio nukleus dan sitoplasmanya lebih besar daripada sel epitel kornea dan konjungtiva di dekatnya. Sel Goblet tersusun lebih padat dan banyak di daerah konjungtiva palpebra sebelah nasal, sedangkan daerah konjungtiva palpebra sebelah temporal, konjungtiva bulbar dekat forniks dan dekat limbus lebih sedikit jumlahnya (Singh et al., 2005). Dalam sistem lakrimal ada dua bagian, yaitu bagian sekresi berupa glandula lakrimalis yang memproduksi air mata dan bagian ekskresi yang memberi jalan air mata ke dalam cavum nasi. Glandula lakrimalis terletak di daerah superolateral cavum orbita. Glandula lakrimalis bersifat serosa seperti glandula salivaris dan berkarakteristik tubuloalveolar asiner yang setiap acinernya dikelilingi oleh sel mioepitel. Duktus ekskretoris intralobular dilapisi epitel kolumner atau kuboid selapis dan terletak di antara tubuloalveolar aciner, sedangkan duktus ekskretorius interlobular

3 8 dilapisi dua lapis epitel berupa epitel pseudo berlapis atau kolumner pendek. Selain itu, terdapat pula glandula Krause yang sangat kecil di sepanjang forniks. Punctum lakrimalis, canaliculi lakrimalis, saccus lakrimalis dan ductus lakrimalis termasuk dalam bagian ekskresi (Ilyas et al., 2002; Eroschenko, 2011). Arteri oftalmika adalah salah satu cabang dari arteri karotis interna, yang mana arteri tersebut berjalan melewati otot-otot penggerak bola mata dan saraf, kemudian pada medial end di kelopak mata atas arteri tersebut akan bercabang menjadi arteri supratroklear dan arteri nasalis dorsalis. Salah satu cabang besar dari arteri oftalmika adalah arteri lakrimalis, yang mana akan berjalan bersama nervus lakrimalis di batas atas muskulus rektus lateralis, kemudian akan melewati glandula lakrimalis dan cabang terminalnya menuju kelopak mata dan konjungtiva. Arteri lakrimalis ini akan bercabang lagi, yang salah satunya adalah arteri palpebralis lateralis yang akan berjalan secara medial menuju kelopak mata atas dan bawah, lalu beranastomosis dengan arteri palpebralis medialis. Arteri palpebralis medialis ini sendiri berjalan di belakang saccus lakrimalis dan menembus septum orbita di atas dan bawah dari ligamentum palpebralis medialis. Arteri palpebralis medialis ada 2 jalur, yang satu akan menuju kelopak mata atas dan satunya menuju kelopak mata bawah, kemudian masing-masing bercabang lagi membentuk arkus arterialis marginal dan perifer.

4 9 Arkus ini berjalan di antara muskulus orbikularis kuli dan lempeng tarsal. Cabang-cabang dari arkus ini akan memperdarahi kelopak mata dan konjungtiva. Arteri lain yang berperan di glandula lakrimalis adalah arteri infraorbitalis yang memiliki orbital branches, yang mana cabang tersebut akan mensuplai darah menuju muskulus rektus inferior, muskulus oblik inferior dan saccus lakrimalis. Pada konjungtiva, arteri lain yang berperan adalah arteri siliaris anterior yang berasal dari muscular branches milik arteri oftalmika (Snell dan Lemp, 1998). Pada lamina propria konjungtiva normal, tepat di bawah epithelial junction, ditemukan sel mast sebanyak 6000/mm 3 dan sel-sel inflamatori lain. Di lapisan epitel konjungtiva terdapat sel mononuklear, termasuk sel Langerhans yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen atau Antigen-Presenting Cell (APC) sebanyak 85 ± 16 sel/mm 2 yang dikenali oleh CD1+, bukan oleh CD6+ seperti sel Langerhans di kulit serta terdapat limfosit CD3+ sebanyak 189 ± 27 sel/mm 2 dengan rasio CD4+ dan CD8+ sebesar 0,75. Di lapisan epitel ini normalnya tidak ditemukan sel mast, eosinofil, atau basofil, kecuali apabila orang tersebut mengalami konjungtivitis alergi terutama subtipe vernal. Sel epitel konjungtiva, walaupun normalnya tidak ada sel inflamasi, mengekspresikan Regulated-upon-Activation Normal T-cell Expressed and Secreted atau yang disingkat RANTES yang

5 10 berfungsi sebagai molekul adhesi untuk mengikat eosinosil dari sirkulasi darah tepi ke daerah konjungtiva (Bielory dan Friedlaender, 2008). c. Fisiologi Konjungtiva dan Sistem Lakrimal Secara umum, fungsi konjungtiva ada empat, yaitu melindungi jaringan lunak pada organ mata dan kelopak mata, melapisi cairan pada tear film dan mukosa, menjadi salah satu jaringan yang berperan dalam sistem imun dan membantu pergerakan bebas memutar bola mata (Harvey et al., 2013). Konjungtiva juga berperan dalam sekresi air dan elektrolit, yang mana epitel konjungtiva akan mensekresikan Cl - dan mengabsorpsi Na + dengan rasio 1,5 dan 1. Akibat Na + mengikat air, maka air akan masuk ke dalam tear film. Sekresi dan absorpsi ini terjadi di dalam setiap sel epitel konjungtiva, yang mana setiap sel epitel konjungtiva tersebut memiliki protein transpor sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh permukaan konjungtiva berperan dalam sekresi cairan. Akibat lain dari laju sekresi Cl - yang lebih tinggi daripada absorpsi Na + tadi adalah air bergerak menuju air mata yang ada di basolateral, dengan arah apikal dengan bantuan protein aquaporin, sedangkan Na + bergerak secara paraselular untuk memproduksi NaCl isotonik yang nanti akan menjadi air mata (Dartt, 2011). Sekresi air mata oleh adneksa mata dan epitel permukaan mata harus diatur sedemikian rupa. Pada lapisan mukosa dan cairan,

6 11 sekresi diatur oleh refleks neural. Apabila ada rangsang termal, mekanik, maupun kimia, maka ujung saraf yang berada di kornea dan konjungtiva akan mengaktifkan saraf eferen parasimpatik dan simpatik, yang mana akan merangsang sistem lakrimal dan sel Goblet untuk memproduksi mukosa dan cairan. Pada lapisan lipid, lipid yang tersimpan di glandula Meibom akan dilepas ketika mengedipkan mata. Ketika kelopak mata tertarik, maka lapisan lipid akan menyebar di bawah lapisan mukosa dan cairan (Dartt, 2011). Sekresi air mata dipengaruhi oleh drainase dan penguapan. Drainase air mata diatur oleh refleks neural dari permukaan mata sehingga sinus kavernosus akan berdilatasi atau berkonstriksi sesuai dengan rangsang yang datang. Penguapan dipengaruhi oleh kedipan mata, suhu, kelembaban dan kecepatan angin (Dartt, 2011). d. Patofisiologi Tahap yang terjadi pada konjungtivitis alergi ada 2, yaitu tahap pertama berupa reaksi fase sensitisasi dan tahap kedua berupa reaksi fase efektor. Fase sensitisasi dimulai dari aktivasi dan polarisasi respon imun terhadap antigen yang ada di lingkungan, kemudian puncaknya membentuk respon imun yang dominan Th2 dan produksi IgE. Fase efektor dimulai ketika paparan kedua oleh antigen sehingga memicu mekanisme efektor seperti degranulasi

7 12 granulosit dan pelepasan histamin (Abelson et al., 2003 dalam Robles-Contreras et al., 2011). Pada fase sensitisasi, sel Langerhans yang ada di mukosa sekitar mata menangkap antigen dan memprosesnya melalui MHC- II dan merangsang sel T CD4+ untuk menginduksi sekresi IL-4, IL-13 dan ekspresi CD154. Setelah itu, sel B mengalami rekombinasi genetik dan menghasilkan IgE. Akibatnya, pada air mata manusia bisa ditemukan IgE (Allansmith et al., 1976 dalam Robles-Contreras et al., 2011) dan pada folikel limfoid konjungtiva bisa ditemukan sel B CD23+ CD21+ CD40+ (Asrar et al., 2001 dalam Robles-Contreras et al., 2011). Pada fase efektor, terbagi lagi menjadi 2 fase, yaitu fase awal (early phase) berupa degranulasi sel yang terinduksi alergen dan fase akhir (late phase) berupa infiltrasi sel yang berperan dalam inflamasi (Robles-Contreras et al., 2011). Fase awal dimulai saat paparan kedua oleh antigen, yang mana antigen tersebut dikenali oleh IgE dan sebelumnya IgE telah menempel pada reseptor IgE seperti FᴄɛRI, FᴄɛRII, atau CD23. Penempelan ini menimbulkan pelepasan mediator histamin, protease dan faktor kemotaktik; aktivasi faktor transkripsi dan ekspresi gen pengkode sitokin; dan produksi prostaglandin dan leukotrien melalui jalur fosfolipase A2. Hal ini terjadi di konjungtiva dan dibuktikan dengan ditemukannya sel mast sampai

8 sel/mm 3 di konjungtiva (Bielory, 2000 dalam Robles- Contreras et al., 2011) dan densitas sel mast meningkat pada pasien konjungtivitis (Anderson et al., 1997; Morgan et al., 1991 dalam Robles-Contreras et al., 2011). Sel mast mensekresi IL-4, IL-6, IL- 13 dan TNF-α sehingga meningkatkan respon inflamasi lokal yang dominan Th2 dan densitas FᴄɛRI pada keratokonjungtivitis kronik (Cook et al., 1998; Anderson et al., 2001; Matsuda et al., 2009 dalam Robles-Contreras et al., 2011). Fase akhir dimulai sekitar 4-24 jam setelah fase awal dan melibatkan basofil, neutrofil, limfosit T dan yang paling utama adalah eosinofil (Choi dan Bielory, 2008 dalam Robles-Contreras et al., 2011). Sel-sel tersebut bermigrasi ke fokus inflamasi dengan bantuan sel T. Fase akhir inilah yang dapat menyebabkan komplikasi sekunder di kornea karena infiltrasi eosinofil yang sangat banyak. Eosinofil bermigrasi ke permukaan mata karena berikatan dengan eotaxin-cc-chemokine Receptor (CCR) 3 atau RANTES-CCR1 (Heath et al., 1997 dalam Robles-Contreras et al., 2011). Ekspresi CCR3 dan degranulasi FᴄɛRI yang merusak jaringan dilakukan oleh basofil yang terinduksi oleh IL-33 dan kemudian mengekspresikan IL-4 dan IL-13 serta degranulasi yang termediasi oleh IgE mengalami kenaikan drastis (Matsuba- Kitamura et al., 2010 dalam Robles-Contreras et al, 2011).

9 14 e. Klasifikasi Konjungtivitis Alergi 1) Allergic Conjunctivitis (AC) Kelompok ini mencakup Seasonal Allergic Conjunctivitis (SAC) dan Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC). AC sendiri proporsinya sebesar 95% dari total kasus alergi mata (Bonini, 2009). Sifat dari AC biasanya akut dan jarang terdiagnosis (Robles-Contreras et al, 2011). Gejala dan tanda pada SAC dan PAC pun sama, yakni gatal, mata merah yang disebabkan oleh injeksi konjungtiva ringan sampai sedang, pembengkakan konjungtiva (kemosis), namun jarang terjadi komplikasi ke kornea (La Rosa et al., 2013). Selain itu, konjungtiva palpebra tampak merah muda pucat dengan aspek keputihan, terkadang papila agak hipertrofi di konjungtiva tarsal (Sanchez et al., 2011). 2) Seasonal Allergic Conjunctivitis (SAC) SAC terjadi pada musim tertentu, misalnya pada musim semi atau gugur bila di negara 4 musim atau musim ketika suatu tumbuhan sedang mekar. SAC lebih sering ditemukan pada usia tahun dengan alergen utama berupa polen atau serbuk sari (Sanchez et al., 2011). Pada SAC, dapat ditemui gejala rhinitis berupa kongesti nasal pada 65-70% kasus (Wormald et al., 2004 dalam Sanchez et al., 2011; Takamura et al., 2011)

10 15 3) Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC) PAC terjadi tidak mengenal musim dan dapat terjadi kapanpun dalam tahun tersebut (year round). Semua umur dapat mengalami PAC dengan alergen utama berupa dust mite, jamur, jaringan epitel hewan yang lepas ke udara dan/atau alergen yang didapat dari tempat bekerja (Sanchez et al., 2011). 4) Vernal Keratoconjunctivitis (VKC) VKC umumnya terjadi di daerah yang beriklim hangat atau tropis pada bulan hangat, namun bisa juga dijumpai di daerah utara seperti Amerika Serikat dan Kanada (Jun et al., 2008 dalam La Rosa et al., 2013). VKC lebih sering menyerang laki-laki dengan kelompok usia terbanyak pada usia tahun dan jarang terjadi pada usia dewasa. Sifat dari VKC adalah kronik dengan karakteristik self-limiting dan tidak ada penurunan visus (Sanchez et al., 2011). Gejala dan tanda VKC antara lain gatal hebat, mata berair, discharge mukus, fotofobia yang parah sehingga menyebabkan anak lebih suka dalam keadaan gelap dan sensasi benda asing di kelopak karena permukaan konjungtiva yang tidak rata. Bila terasa nyeri berarti keluhan sudah mencapai kornea dan kemungkinan terjadi erosi epitel, ulkus,

11 16 maupun plak. Dapat pula ditemukan Horner-Trantas dots yang berwarna putih (Robles-Contreras et al., 2011). VKC memiliki varian bentuk tarsal, limbal (Ono dan Abelson, 2005) dan ada juga yang memasukkan bentuk campuran tarsal dan limbal (Robles-Contreras et al., 2011). Ciri khas yang membedakan varian tarsal dan limbal adalah adanya papila raksasa (giant papillae) di konjungtiva tarsal pada varian tarsal, sedangkan infiltrat gelatinosa kuning keabuan di limbus terdapat pada varian limbal (Bonini, 2009). 5) Atopic Keratoconjunctivitis (AKC) AKC biasanya bersifat kronik dan lebih sering menyerang anak-anak, namun apabila AKC terjadi pada laki-laki di usia tahun, AKC menjadi masalah serius yang akan sering terjadi (Bonini, 2004 dalam Sanchez et al., 2011). Pada tahun 1953, hubungan AKC dengan dermatitis atopi ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Hogan (Ventocilla, 2014). Semakin ke zaman modern, makin sering ditemukan keterkaitan antara riwayat alergi, asma, urtikaria dan/atau hay fever, dengan onset riwayat tersebut pada masa kanak-kanak (Ono dan Abelson, 2005). Seperempat dari total pasien dengan riwayat dermatitis atopi diperkirakan mengalami AKC (Ventocilla, 2014).

12 17 AKC terjadi secara bilateral, dengan kulit kelopak mata bertekstur seperti amplas (fine sandpaper-like texture), injeksi konjungtiva, kemosis dan adanya conjunctiva scarring. Tanda khas dari AKC adalah edema kulit palpebra pada daerah infraorbital yang disebut Dennie-Morgan fold, hilangnya bulu mata sisi lateral yang disebut Hertoghe sign karena menggosok-gosok mata (Rich dan Hanifin, 1985 dalam Robles-Contreras et al., 2011; Sanchez et al., 2011) Exacerbation Grading Scale for Allergic Conjunctivitis a. Definisi Pada jurnal Allergology International telah dipublikasikan suatu sistem penilaian baru terhadap derajat konjungtivitis alergi yang bernama Exacerbation Grading Scale for Allergic Conjunctivitis. Sistem derajat ini telah dievaluasi oleh Shoji et al. (2009) dengan subyek 103 pasien dengan rincian berupa 40 pasien dengan VKC, 20 pasien AKC dan 43 pasien dengan AC sejak Januari 2004 sampai Desember 2007, dengan hasil setiap derajatnya ada perbedaan yang bermakna signifikan secara statistik (P < 0,001, dengan uji Kruskal-Wallis). b. Kriteria Penilaian Derajat Kriteria penilaian derajat sistem ini didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien konjungtivitis alergi. Sistem ini memberi skor dengan 3 kategori gejala, yakni

13 18 gejala dengan poin 1, gejala dengan poin 10 dan gejala dengan poin 100, yang mana setiap kategori poin tersebut masing-masing ada 5 tanda klinis, kemudian setiap ada tanda yang ditemukan diberi nilai sesuai kategori 1, 10, atau 100 dan untuk yang tidak ditemukan diberi nilai 0. Tanda klinis beserta penggolongan kategorinya disebutkan di tabel 2.1 berikut ini. Tabel 2.1. Penilaian Skala pada Exacerbation Grading Scale Derajat tanda klinis 100 poin 10 poin 1 poin Papila raksasa Blefaritis Adanya papila aktif pada konjungtiva palpebra superior Infiltrat gelatinosa Proliferasi papiler Lesi folikuler pada limbus dengan tampilan pada konjungtiva seperti beludru palpebra inferior Tanda klinis Keratopati epitel eksfoliatif Horner-Trantas spots Hiperemia konjungtiva pada palpebra Hiperemia pada Skor Plak kornea (shield ulcer) Proliferasi papiler pada konjungtiva palpebra inferior 100 poin x jumlah tanda yang Edema konjungtiva bulbar Keratopati pungtat superfisial 10 poin x jumlah tanda yang ditemukan konjungtiva bulbar Efusi lakrimal atau epifora 1 poin x jumlah tanda yang ditemukan ditemukan Rentang nilai poin 0 50 poin 0 5 poin (Shoji et al.,2009) Derajat ringan, sedang dan berat pada AC, AKC dan VKC ditentukan dengan penilaian yang berbeda-beda sesuai dengan tabel 2.2 di bawah ini.

14 19 Berat Sedang Ringan Tabel 2.2. Kriteria Klasifikasi Keparahan Konjungtivitis Alergi AC AKC VKC 3 tanda pada Minimal 1 tanda 2 tanda pada kategori 10 poin, pada kategori 100 kategori 100 poin tetapi tidak ada poin tanda kategori 100 poin 2 tanda pada 3 tanda pada Hanya ada 1 tanda kategori 10 poin, kategori 10 poin, kategori 100 poin tetapi tidak ada tetapi tidak ada tanda kategori 100 tanda kategori 100 poin poin Tidak ada tanda 2 tanda kategori Tidak ada tanda kategori poin, tetapi kategori 100 poin maupun 100 tidak ada tanda kategori 100 poin (Shoji et al., 2009) 3. Eosinofil a. Definisi dan Karakteristik Biologis Eosinofil adalah leukosit multifungsional pleiotropik yang berperan dalam berbagai reaksi inflamasi, yang mana akan berpindah dari sirkulasi darah menuju fokus reaksi inflamasi. Eosinofil memiliki nukleus bilobus dengan kromatin yang sangat padat dengan 2 tipe granula utama, yaitu granula spesifik dan granula primer dan 2 tipe granula lain, yaitu granula kristaloid dan vesikel sekretori. Mayoritas protein granula eosinofil disimpan di granula kristaloid karena ukurannya yang besar (diameter 0,5-0,8 µm). Granula ini tersusun dari 4 protein utama antara lain Major Basic Protein (MBP), Eosinophil Peroxidase (EPO), Eosinophil Cationic Protein (ECP) dan Eosinophil-Derived Neurotoxin (EDN) (Hogan et al., 2008; Stone et al., 2010).

15 20 Eosinofil mengekspresikan sitokin proinflamasi (IL-2, IL-4, IL-5, IL-10, IL-12, IL13, IL-15, IL-18, Transforming Growth Factor (TGF)-α/β, interferon (INF)-α, Tumor Necrosis Factor (TNF)-α), kemokin (CCL5/RANTES dan CCL11/eotaxin), mediator lipid (Platelet-Activating Factor (PAF) dan leukotrien (LT) C4), reseptor IgG (FᴄγRII/CD32), reseptor IgA (FᴄαRI/CD89), reseptor komplemen (CR1/CD35, CR3 dan CD88) dan reseptor prostaglandin (reseptor PGD2 tipe 2). Sekresi protein granula, kemokin, sitokin dan substansi lainnya oleh eosinofil tersebut merangsang lebih banyak eosinofil datang dan mengaktifkannya di fokus inflamasi. Selain itu, diketahui pula eosinofil mengekspresikan beberapa inhibitor reseptor, namun tidak disebutkan secara rinci (Hogan et al., 2008; Stone et al., 2010). b. Eosinofil di Tubuh dalam Mengatasi Penyakit Secara Umum Jumlah eosinofil di dalam tubuh dipengaruhi variasi diurnal, yang mana level terendah saat pagi hari dan level tertinggi saat malam hari. Kadar eosinofil normal dalam darah tepi adalah di bawah < 500/mm 3 dengan waktu paruh di dalam sirkulasi darah 8-18 jam. Bila tidak ada stimulasi, eosinofil dapat berada dalam jaringan selama beberapa hari (Young et al., 2007). Eosinofil sendiri memiliki fungsi dalam proses peningkatan sistem adhesi, pengaturan migrasi seluler, aktivasi dan pengaturan permeabilitas

16 21 vaskuler, sekresi mukus dan konstriksi otot polos karena efek proinflamasi yang dimilikinya. Migrasi eosinofil ke darah tepi dan jaringan yang terinfeksi ini disebabkan oleh interaksi spesifik protein integrin permukaan dengan reseptor adhesi (VCAM-1, MAdCAM-1, ICAM-1, ICAM-2, ICAM-3 dan fibrinogen), aktivitas IL-4, IL-13 dan eotaxin (CCL11 dan CCL26) (Hogan et al., 2008; Stone et al., 2010). Peningkatan eosinofil di darah tepi dan jaringan mungkin menandakan adanya alergi, reaksi obat, infeksi cacing, sindrom hipereosinofilik, Omenn s syndrome, sindrom hiper-ige, infeksi akut bakteri atau virus, bahkan insufisiensi adrenal apabila peningkatan eosinofil ini ditemukan pada pasien demam. Penurunan eosinofil terjadi pada kondisi stres karena pelepasan glukokortikoid meningkat seperti keadaan luka bakar dan pasca operasi. Konsumsi obat golongan steroid juga menurunkan jumlah eosinofil. (Umar et al., 2011; Stone et al,. 2010) Pada pasien atopi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis atopi kadar eosinofilnya lebih tinggi di sekresi nasal dan sputum daripada di darah tepi. Pada penelitian dengan model murine oleh Blanchard dan Rothenberg (2009), eosinofil berperan dalam airway remodelling, hiperreaktivitas jalan nafas dan produksi mukus (Stone et al., 2010).

17 22 Pada infeksi cacing, eosinofil akan cenderung mensekresikan sitokin-sitokin yang berkaitan dengan Th2, terutama IL-5, untuk merangsang eosinofil yang berada di sumsum tulang bermigrasi ke darah tepi dan jaringan yang terinfeksi. Pada studi in vitro, eosinofil ini dapat menghancurkan parasit cacing dengan protein sitotoksik dan Reactive Oxygen Species (ROS) yang dihasilkannya (Hogan et al., 2008). c. Eosinofil dalam Konjungtivitis Alergi Eosinofil berperan di respon fase akhir pada suatu reaksi alergi, termasuk konjungtivitis alergi (Ono dan Abelson, 2005) sehingga infiltrasi selektif oleh eosinofil merupakan salah satu ciri dari semua subtipe konjungtivitis alergi (Bonini et al, 2011). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa eosinofil tidak akan ditemukan pada lapisan epitel konjungtiva, tetapi akan muncul di lamina propria konjungtiva. Ketika eosinofil teraktivasi, MBP, ECP, EPO dan EDN akan tersekresi sehingga keempat protein ini akan meningkat kadarnya di air mata (Montan dan Van Hage-Hamsten, 1996; Bonini et al., 2009). Protein eosinofil yang pernah diteliti keberadaannya dalam air mata adalah ECP, dilakukan oleh Montan dan Van Hage-Hamsten (1996) dan didapatkan hasil bahwa ECP pada pasien AKC dan VKC lebih tinggi daripada pasien SAC sehingga disimpulkan bahwa eosinofil berperan dalam kejadian AKC, VKC dan SAC. Pada sampel air

18 23 mata juga ditemukan eotaxin, molekul adhesi dan IL-5 (Sanchez et al., 2011). Selain air mata, parameter yang pernah dipakai untuk memeriksa keberadaan aktivitas eosinofil dalam kejadian konjungtivitis alergi antara lain biopsi konjungtiva dengan pewarnaan Hematoxylin-eosin, darah perifer dan conjunctival scraping dengan pewarnaan Hansel dan Wright-Giemsa, yang mana semua parameter tersebut didapatkan eosinofil maupun protein eosinofil dengan jumlah yang signifikan (Bonini et al., 1997; Bielory dan Friedlaender, 2008; Kari et al., 2010). Pada SAC, infiltrasi eosinofil ditemukan pada 25% dari total pasien dan keberadaan IgE di air mata ditemukan pada 96% dari total pasien. Pada PAC, kadar MBP di air mata ditemukan meningkat. Dengan metode conjunctival scraping, eosinofil ditemukan pada 25-84% dari total pasien PAC dan 43% dari total pasien SAC (Bielory dan Friedlaender, 2008). Pada limbus yang merupakan batas antara kornea dan sklera, apabila terjadi infiltrasi dan degranulasi eosinofil di situ, maka akan mengganggu kestabilan struktur epitel kornea sehingga membentuk plak kornea atau shield ulcer yang isinya adalah debris sel epitel dan eosinofil, terutama pada pasien VKC. Selain itu, fungsi barrier kornea tidak akan semaksimal sebelumnya sehingga konjungtivitis alergi dapat terjadi eksaserbasi dengan lebih mudah.

19 24 Kerusakan ini terutama disebabkan oleh protein eosinofil yang sifatnya sitotoksik seperti MBP, EPO dan EDN (Bonini et al., 2009). Papilla raksasa pada VKC sendiri terbentuk karena adanya infiltrasi eosinofil di bawah epitel konjungtiva yang sudah terkikis, kemudian membentuk jaringan proliferatif fibrosa. Kumpulan eosinofil akan menyebabkan degenerasi epitel konjungtiva sehingga akan memicu pembentukan Horner-Trantas dots pada daerah limbus (Bonini et al., 2009; Takamura et al., 2011)

20 25 B. Kerangka Pemikiran Alergen Riwayat atopi Sensitisasi berulang Reaksi alergi Prostaglandin, Leukotrien Kemokin (RANTES, eotaxin) Sitokin (IL-1, IL-3, IL-4. IL-6) Vasoamin, protease Molekul adhesi (ICAM, VCAM) Eosinofil dari darah tepi Eosinofil dari lamina propria konjungtiva (##) Infeksi cacing, sindrom hiper-ige, sindrom hipereosinofilik, asma Eosinofil di epitel konjungtiva Prostaglandin, leukotrien (#) Stres (luka bakar, pasca operasi), kualitas preparat jelek Kemokin (CCL5/RANTES, CCL11/eotaxin) Protein granula (MBP, EPO, ECP, EDN) Sitokin proinflamasi (IL-2, IL-4, IL- 5, IL-10, IL-12, IL13, IL-15, IL- 18, TGF-α/β, INF-α, TNF-α) * Inflamasi dan kerusakan jaringan Keterangan: = diteliti = tidak diteliti Derajat konjungtivitis alergi (#) = faktor perancu (penurunan) (##) = faktor perancu (peningkatan) * = eksaserbasi

21 26 C. Hipotesis Ada pola keteraturan jumlah eosinofil mukosa konjungtiva dan derajat konjungtivitis alergi berdasarkan Exacerbation Grading Scale.

BAB V PEMBAHASAN. (66,6%), limfosit terdapat di 4 subyek (44,4%) dan monosit terdapat di 3 subyek

BAB V PEMBAHASAN. (66,6%), limfosit terdapat di 4 subyek (44,4%) dan monosit terdapat di 3 subyek BAB V PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan 9 pasien dengan derajat ringan dengan eosinofil terdapat di 3 subyek (33,3%), neutrofil terdapat di 6 subyek (66,6%), limfosit terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konjungtivitis adalah peradangan yang terjadi pada konjungtiva secara umum dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab endogen maupun eksogen seperti bakteri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis merupakan negara tropis yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Seiring perkembangan dunia kesehatan, tumbuhan merupakan alternatif

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE, 1,2,3 yang

Lebih terperinci

GAMBARAN JUMLAH EOSINOFIL MUKOSA KONJUNGTIVA MATA DAN DERAJAT KEPARAHAN KLINIS PENYAKIT KONJUNGTIVITIS ALERGI SKRIPSI

GAMBARAN JUMLAH EOSINOFIL MUKOSA KONJUNGTIVA MATA DAN DERAJAT KEPARAHAN KLINIS PENYAKIT KONJUNGTIVITIS ALERGI SKRIPSI GAMBARAN JUMLAH EOSINOFIL MUKOSA KONJUNGTIVA MATA DAN DERAJAT KEPARAHAN KLINIS PENYAKIT KONJUNGTIVITIS ALERGI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran SAMUEL FIERGEON PICARDI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Allergy Organization (WAO) tahun 2011 mengemukakan bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi dunia. 1 World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis adalah suatu penyakit kulit (ekzema) yang menimbulkan peradangan. Dermatitis alergika yang sering dijumpai dalam kehidupan seharihari adalah dermatitis atopik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada individu dengan kecenderungan alergi setelah adanya paparan ulang antigen atau alergen

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika adalah suatu peradangan pada kulit yang didasari oleh reaksi alergi/reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Merupakan salah satu reaksi hipersentivitas saluran napas, baik saluran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras. 7 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaringan lunak rongga mulut dilindungi oleh mukosa yang merupakan lapisan terluar rongga mulut. Mukosa melindungi jaringan dibawahnya dari kerusakan dan masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi adalah reaksi imunologis (reaksi peradangan) yang diakibatkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan

Lebih terperinci

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

Migrasi Lekosit dan Inflamasi Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK ABSTRACT i ii iii iv vii ix xi xii xiv xv xvi BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pasien datang berobat ke dokter mata. Penyebab mata berair adalah gangguan

BAB I PENDAHULUAN. pasien datang berobat ke dokter mata. Penyebab mata berair adalah gangguan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata berair merupakan salah satu gejala yang banyak dikeluhkan dan membuat pasien datang berobat ke dokter mata. Penyebab mata berair adalah gangguan stabilitas lapisan

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed 1 PENDAHULUAN Sistem imun melindungi tubuh dari sel asing & abnormal dan membersihkan debris sel. Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Imunopatogenesis Rinitis Alergi Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE. 1 Imunopatogenesis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,

Lebih terperinci

ANALISIS DESKRIPTIF JUMLAH EOSINOFIL MUKOSA KONJUNGTIVA DAN DERAJAT KONJUNGTIVITIS ALERGI BERDASARKAN EXACERBATION GRADING SCALE SKRIPSI

ANALISIS DESKRIPTIF JUMLAH EOSINOFIL MUKOSA KONJUNGTIVA DAN DERAJAT KONJUNGTIVITIS ALERGI BERDASARKAN EXACERBATION GRADING SCALE SKRIPSI ANALISIS DESKRIPTIF JUMLAH EOSINOFIL MUKOSA KONJUNGTIVA DAN DERAJAT KONJUNGTIVITIS ALERGI BERDASARKAN 5-5-5 EXACERBATION GRADING SCALE SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa dekade terakhir. Penyakit alergi adalah reaksi hipersensitivitas sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa dekade terakhir. Penyakit alergi adalah reaksi hipersensitivitas sistem BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alergi Istilah allergie didefinisikan oleh Clemens von Pirquet tahun 1906 sebagai suatu keadaan respon imun yang menyimpang dari respon imun yang biasanya protektif. 1,18 Angka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hipersensitivitas cepat (immediate hypersensitivity) karena reaksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hipersensitivitas cepat (immediate hypersensitivity) karena reaksi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alergi 2.1.1 Definisi Alergi Alergi merupakan bagian dari reaksi hipersensivitas, yaitu respon imun yang berlebihan terhadap suatu antigen atau alergen, dikenal dengan istilah

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika disebut juga dermatitis atopik yang terjadi pada orang dengan riwayat atopik. Atopik ditandai oleh adanya reaksi yang berlebih terhadap rangsangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konjungtiva a. Anatomi Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Alergi adalah suatu perubahan reaksi atau respon pertahanan tubuh yang menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya (Candra et al., 2011).

Lebih terperinci

5. Dengan tetes adrenalin 1:1000 injeksi akan lenyap sementara. 6. Gatal 7. Fotofobia tidak ada 8. Pupil ukuran normal dengan reaksi normal Injeksi Si

5. Dengan tetes adrenalin 1:1000 injeksi akan lenyap sementara. 6. Gatal 7. Fotofobia tidak ada 8. Pupil ukuran normal dengan reaksi normal Injeksi Si Penyebab mata merah Pada konjungtiva terdapat pembuluh darah : a. Arteri konjungtiva posterior yang memperdarahi konjungtiva bulbi b. Arteri siliar anterior atau episklera yang memberikan cabang : - Arteri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai imunoglobulin

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Imunitas merupakan suatu mekanisme untuk mengenal suatu zat atau bahan yang dianggap sebagai benda asing terhadap dirinya, selanjutnya tubuh akan mengadakan tanggapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun berkembang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu reaksi hipersensitivitas, yang disebut juga sebagai dermatitis atopik. Penderita dermatitis atopik dan atau keluarganya biasanya

Lebih terperinci

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal Kuntarti, SKp Sistem Imun Fungsi: 1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor)

Lebih terperinci

BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian mengenai hubungan antara jumlah trombosit dengan kejadian pada pasien DBD (DSS) anak ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Bantul pada tanggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO

Lebih terperinci

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) RESPON INFLAMASI (RADANG) Radang pada umumnya dibagi menjadi 3 bagian Peradangan akut, merupakan respon awal suatu proses kerusakan jaringan. Respon imun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang

BAB I PENDAHULUAN. sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alergi makanan merupakan gejala yang mengenai banyak organ atau sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang sebagian besar diperantarai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

7.2 CIRI UMUM SITOKIN BAB 7 SITOKIN 7.1 PENDAHULUAN Defnisi: Sitokin adalah senyawa protein, dengan berat molekul kira-kira 8-80 kda, yang merupakan mediator larut fase efektor imun natural dan adaptif. Nama dari sitokin bermacam-macam

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Total Leukosit Pada Tikus Putih Leukosit atau disebut dengan sel darah putih merupakan sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh dan merespon kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminth Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa nematoda yang menginfeksi usus manusia ditularkan melalui tanah dan disebut dengan

Lebih terperinci

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU

11/29/2013 PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PENGINDERAAN PENGINDERAAN ADALAH ORGAN- ORGAN AKHIR YANG DIKHUSUSKAN UNTUK MENERIMA JENIS RANGSANGAN TERTENTU BEBERAPA KESAN TIMBUL DARI LUAR YANG MENCAKUP PENGLIHATAN, PENDENGARAN,

Lebih terperinci

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut

Lebih terperinci

06/10/2011 PERADANGAN MATA (KONJUNGTIVITIS)

06/10/2011 PERADANGAN MATA (KONJUNGTIVITIS) PERADANGAN MATA (KONJUNGTIVITIS) 1 Site with normal flora KONJUKTIVITIS Peradangan konjungtiva oleh virus, bakteri, klamidia, alergi atau trauma Etiologi Konjuktivitis dapat disebabkan oleh berbagai hal,

Lebih terperinci

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung 16 HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung memiliki kelainan hematologi pada tingkat ringan berupa anemia, neutrofilia, eosinofilia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%

Lebih terperinci

Respon imun adaptif : Respon humoral

Respon imun adaptif : Respon humoral Respon imun adaptif : Respon humoral Respon humoral dimediasi oleh antibodi yang disekresikan oleh sel plasma 3 cara antibodi untuk memproteksi tubuh : Netralisasi Opsonisasi Aktivasi komplemen 1 Dua cara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipotesis Higiene Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi yang terjadi pada tiga puluh sampai empat puluh tahun terakhir, terutama di negara-negara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total Data hasil penghitungan jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada empat ekor kerbau lumpur betina yang dihitung

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ

Lebih terperinci

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI 1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ENTROPION PADA KUCING

ENTROPION PADA KUCING ENTROPION PADA KUCING (16 Nov 2017) ENTROPION PADA KUCING Apa yang Dimaksud Dengan Entropion Entropion adalah kondisi dimana kelopak mata (palpebra) bagian bawah berbalik ke dalam. Entropion juga dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. multifaktorial yang diinduksi interaksi gen lingkungan. Untuk menimbulkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. multifaktorial yang diinduksi interaksi gen lingkungan. Untuk menimbulkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Rinitis alergi (RA) adalah reaksi inflamasi pada mukosa hidung yang diperantarai oleh IgE 2. Gejala khas rinitis alergi ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Istilah asma berasal dari bahasa Yunani yang artinya terengahengah dan berarti serangan napas pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK SEL SISTEM IMUN SPESIFIK Diana Holidah Bagian Farmasi Klinik dan Komunitas Fakultas Farmasi Universitas Jember Components of the Immune System Nonspecific Specific Humoral Cellular Humoral Cellular complement,

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Asma a. Definisi Asma Definisi asma mengalami perubahan beberapa kali dari waktu ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya

BAB 1 PENDAHULUAN. Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya adalah untuk melokalisir dan merusak agen perusak serta memulihkan jaringan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ limfatik sekunder Limpa Nodus limfa Tonsil SISTEM PERTAHANAN TUBUH MANUSIA Fungsi Sistem Imun penangkal benda asing yang masuk

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci