PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT"

Transkripsi

1 PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2009 DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR C

3 RINGKASAN DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR. Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat. Dibimbing oleh VINCENTIUS PAULUS SIREGAR dan SAM WOUTHUYZEN. Secara umum, terdapat dua parameter yang sering digunakan sebagai indikator penentu kualitas perairan yang diturunkan dari satelit, yakni muatan padatan terlarut dan konsentrasi klorofil-a (Chl-a). Dua parameter ini merupakan parameter yang aktif secara optis sehingga dapat mewakili kondisi kualitas suatu perairan. Akan tetapi batasan dalam penelitian ini hanya pada konsentrasi klorofila yang dihubungkan dengan nilai transparansi perairannya saja. Hubungan antara transparansi perairan dengan konsentrasi klorofil-a ini dapat dinyatakan dalam suatu model hubungan yang diperoleh dengan membandingkan reflektansi citra satelit Landsat dengan data in situ. Adapun penelitian ini bertujuan untuk membuat model penduga nilai transparansi dan konsentrasi klorofil-a perairan secara in situ dengan reflektansi citra satelit Landsat, lalu menerapkan model tersebut untuk memetakan distribusi transparansi serta kandungan klorofil-a pada Teluk Jakarta. Data in situ yang digunakan dalam pengembangan model adalah data sekunder dari P 2 O - LIPI. Data citra yang digunakan merupakan citra Satelit Landsat pada path 122 dan row 64 dan tipe sensor ETM+, dan sebagian berasal dari P 2 O - LIPI dan sebagian lagi merupakan hasil download pada situs Landsat USGS. Citra ini diolah dengan program IDRISI ANDES di mana koreksi citra dilakukan dengan modul ATMOSC pada IDRISI ANDES. Kanal yang digunakan dalam pengembangan model adalah kanal biru (kanal-1), hijau (kanal -2), dan merah (kanal -3) saja. Hasil koreksi yang dilakukan menghasilkan nilai reflektansi citra (kombinasi kanal terpilih) yang kemudian dikorelasikan dengan data in situ pada tanggal dan koordinat yang sama dengan akuisisi data citra. Hasil korelasi ini menghasilkan beberapa model klorofil-a dan transparansi perairan yang akan dipilih satu yang terbaik berdasarkan nilai R 2 dan RMS error-nya. Model transparansi perairan adalah menggunakan pilihan kanal kromatisiti biru dengan formula y = 415.8x x x pada musim kemarau, dan y = x x x pada musim hujan. Model klorofil-a menggunakan kombinasi kanal kromatisiti merah dengan formula yang didapat untuk musim kemarau adalah y = 415.8x x x Hasil pengujian model klorofil-a musim hujan menunjukkan bahwa model tidak dapat diandalkan. Transparansi perairan secara umum berkurang dari tahun , dengan pola distribusi mengikuti pola umum yakni rendah pada daerah pesisir terutama muara sungai, dan semakin bertambah ke arah lepas pantai. Konsentrasi klorofil-a rata-rata relatif seragam dan rendah dari tahun ke tahun. Adapun pola distribusi klorofil-a ini secara umum adalah relatif lebih tinggi di pesisir dan muara sungai serta semakin berkurang ke arah lepas pantai.

4 Hak cipta milik Dessy Novitasari Romauli Sidabutar, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya

5 PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

6 SKRIPSI Judul : PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT Nama : DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR NRP : C Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP Tanggal Lulus : 27 Agustus 2009

7 KATA PENGANTAR Syukur bagi TUHAN YESUS KRISTUS, karena anugerah dan hikmat-nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi berjudul "Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat" dengan sebaik-baiknya. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan dan pengetahuan kepada penulis selama penelitian dan penulisan skripsi. 2. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si. sebagai Dosen Penguji Tamu. 3. Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T. sebagai Koordinator Program Pendidikan S1 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 4. Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. sebagai Pembimbing Akademik. 5. P 2 O LIPI atas perijinan penggunaan data lapangan klorofil-a dan transparansi perarian. 6. UPT Loka Pengembangan Sumberdaya Manusia Oseanografi Pulau Pari, atas kerjasamanya selama kegiatan pembimbingan berlangsung. 7. Kedua orang tua dan adik-adik dan seluruh keluarga besar yang turut memotivasi penulis selama penelitian. 8. Indah Budi Lestari selaku teman satu bimbingan dalam penelitian dan pembuatan skripsi, seluruh teman-teman ITK 42 pada khususnya dan ITK secara keseluruhan atas segala dukungan dan bantuan nyata bagi penulis, serta semua teman-teman seperjuangan 42 atas motivasi yang diberikan.

8 9. Semua pihak yang turut membantu dalam terselesaikannya penelitian dan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, 1 September 2009 DESSY NOVITASARI. R. SIDABUTAR

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xi xii xiv 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Kondisi umum perairan Teluk Jakarta Warna air laut, fitoplankton, dan klorofil-a Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan klorofil-a Intensitas cahaya matahari Nutrien dan curah hujan Transparansi perairan Penginderaan jauh untuk pendeteksian klorofil-a dan transparansi perairan Satelit Landsat METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan lokasi penelitian Alat dan bahan Metode pengolahan citra Koreksi citra Pemodelan (1) Pengembangan model (2) Pengujian model Uji-t Uji-F Pemetaan klorofil-a dan transparansi perairan Teluk Jakarta HASIL DAN PEMBAHASAN Pemodelan Pengembangan model penduga klorofil-a perairan Pengembangan model penduga transparansi perairan Pengujian model Uji-t Uji-F Pemetaan klorofil-a dan transparansi perairan dari model Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta musim kemarau Transparansi perairan Teluk Jakarta... 48

10 (1) Transparansi perairan Teluk Jakarta musim kemarau (2) Transparansi perairan Teluk Jakarta musim hujan Rata-rata konsentrasi klorofil-a dan transparansi perairan tahun dari model Klorofil-a perairan Teluk Jakarta musim kemarau Transparansi perairan Teluk Jakarta musim kemarau Transparansi perairan Teluk Jakarta musim hujan Konsentrasi klorofil-a perairan Teluk Jakarta tahun Transparansi perairan Teluk Jakarta tahun Hubungan klorofil-a dengan transparansi perairan Teluk Jakarta KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP... 98

11 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kondisi perairan berdasarkan konsentrasi klorofil-a Beberapa algoritma klorofil-a yang telah dikembangkan Panjang gelombang kanal spektral Satelit Landsat 7 ETM dan resolusi spasialnya Fungsi kanal-kanal pada Satelit Landsat Spesifikasi perolehan citra Satelit Landsat dan data in situ Akuisisi citra satelit untuk musim kemarau dan musim hujan Transformasi kromatisiti dan transformasi rasio kanal Bentuk model hubungan yang akan dibuat Beberapa model konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau (Mei-Oktober) dan nilai R 2 serta RMS error-nya Beberapa model konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Jakarta pada musim hujan (November-April) dan nilai R 2 serta RMS error-nya Beberapa model transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau (Mei-Oktober) dan nilai R 2 serta RMS error-nya Beberapa model transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan (November-April) dan nilai R 2 serta RMS error-nya Hasil uji-t pengembangan model penduga Hasil uji-f dari nilai transparansi perairan dengan klorofil-a... 38

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Peta lokasi stasiun di Teluk Jakarta Diagram alir pengolahan data Hubungan kromatisiti merah dengan nilai in situ klorofil-a pada musim kemarau dan musim hujan Hubungan kromatisiti biru dengan nilai in situ transparansi perairan musim kemarau dan musim hujan Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2004 dari model y = 415.8x x x Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2005 dari model y = 415.8x x x Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2006 dari model y = 415.8x x x Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2007 dari model y = 415.8x x x Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2008 dari model y = 415.8x x x Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2009 dari model y = 415.8x x x Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2004 dari model y = x x x Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2005 dari model y = x x x Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2006 dari model y = x x x Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2007 dari model y = x x x Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2008 dari model y = x x x

13 16. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2009 dari model y = x x x Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2004 dari model y = x x x Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2005 dari model y = x x x Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2006 dari model y = x x x Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2007 dari model y = x x x Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2008 dari model y = x x x Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2009 dari model y = x x x Distribusi klorofil-a rata-rata musim kemarau tahun Transparansi perairan rata-rata musim kemarau tahun Transparansi perairan rata-rata musim hujan tahun Perubahan konsentrasi klorofil-a rata-rata tahun Plot nilai klorofil-a in situ dan nilai duga dari model y = 415.8x x x untuk musim kemarau Plot nilai klorofil-a in situ dan nilai duga dari model y = x x x untuk musim hujan Perubahan transparansi perairan rata-rata tahun Plot nilai transparansi in situ dan nilai duga dari model y = x x x untuk musim kemarau Plot nilai transparansi in situ dan nilai duga dari model y = x x x untuk musim hujan Hubungan klorofil-a dan transparansi perairan musim kemarau... 80

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Metode pengukuran transparansi perairan Metode perolehan data klorofil-a Data transparansi perairan pada musim kemarau Data transparansi perairan pada musim hujan Data klorofil-a pada musim kemarau Data klorofil-a pada musim hujan Uji-t transparansi perairan Teluk Jakarta Uji-t konsentrasi klorofil-a Teluk Jakarta Uji-F antara klorofil-a dan transparansi perairan musim kemarau Uji-F antara klorofil-a dan transparansi perairan musim hujan

15 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Teluk Jakarta terletak di sebelah utara Jakarta yakni antara LS LS dan BT BT. Di Teluk Jakarta ini bermuara 13 sungai, di mana Sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum merupakan tiga sungai besar yang sangat mempengaruhi kualitas perairan Teluk Jakarta. Dari sungai-sungai inilah masuk bahan pencemar secara terus-menerus ke Teluk Jakarta yang dapat mengakibatkan kualitas perairan Teluk Jakarta semakin menurun. Adapun musim merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kondisi perairan Teluk Jakarta. Musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai Oktober sedangkan musim hujan terjadi pada bulan November sampai April (Dinas Hidro-oseanografi, 1975). Pada musim hujan, run-off dari sungai akan lebih besar dari pada musim kemarau sehingga kandungan bahan pencemar serta nutrien di Teluk Jakarta akan lebih tinggi. Secara umum, terdapat dua parameter yang sering digunakan sebagai indikator penentu kualitas perairan yang diturunkan dari satelit, yakni muatan padatan terlarut dan konsentrasi klorofil-a (Chl-a). Dua parameter ini merupakan parameter yang aktif secara optis sehingga dapat mewakili kondisi kualitas suatu perairan. Akan tetapi batasan dalam penelitian ini hanya pada konsentrasi klorofila yang dihubungkan dengan nilai transparansi perairannya saja. Sebaran klorofil-a di perairan bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari dan konsentrasi nutrien yang terdapat dalam suatu perairan. Bila nutrien dan intensitas matahari cukup tersedia, maka konsentrasi klorofil-a akan tinggi.

16 Demikian pula sebaliknya. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang dinyatakan dalam satuan meter dan ditentukan secara visual. Selain dengan pengamatan visual, transparansi perairan juga dapat diperoleh dari citra satelit. Spektrum cahaya matahari yang sampai ke permukaan laut mencakup semua warna yang dapat dilihat oleh manusia dengan panjang gelombang antara nm. Panjang gelombang cahaya yang bisa diabsorbsi klorofil dalam air menurut Yentsch (1980, in Grahame, 1987) berada pada puncak gelombang nm dan nm. Adanya sifat absorbsi cahaya oleh klorofil ini berarti sensor remote sensing dapat dipakai untuk penentuan konsentrasi klorofil-a perairan secara kualitatif. Pendugaan konsentrasi klorofil-a ini tidak dapat diukur secara langsung oleh sensor tapi nilai konsentrasinya dapat diekstrak dari algoritma tertentu, baik yang sudah dikembangkan sebelumnya maupun yang akan dikembangkan dalam penelitian ini. Demikian pula halnya dengan transparansi perairan. Penelitian serupa tentang kandungan klorofil-a di perairan Indonesia telah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Gaol (1997) berupa penelitian kualitas perairan Pantai Utara Jawa dalam hubungannya dengan konsentrasi klorofil-a dan muatan padatan tersuspensi dengan Landsat-TM. Penelitian serupa tentang pendeteksian dini kejadian marak algae (Harmful Algal Blooms) di Teluk Jakarta juga telah dilakukan oleh Wouthuyzen (2008). Tarigan (2008) juga telah meneliti sebaran klorofil-a dan transparansi di estuari Sungai Cisadane di mana diketahui bahwa Sungai Cisadane cukup mempengaruhi kualitas perairan Teluk Jakarta.

17 Walaupun sudah banyak riset yang dilakukan tetapi pengamatan kualitas perairan menggunakan data multi-temporal masih jarang dilakukan. Karena Teluk Jakarta sangat penting bagi berbagai stake holder, pengelolaan teluk ini penting untuk dilakukan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengembangkan algoritma yang dipakai untuk memetakan, memantau, dan mengevaluasi kualitas perairan Teluk Jakarta ini. 1.2 Tujuan Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan model penduga nilai konsentrasi klorofil-a dan transparansi perairan dari reflektansi citra satelit Landsat. 2. Menerapkan model penduga yang dibuat untuk mengetahui dan memetakan distribusi klorofil-a serta transparansi perairan Teluk Jakarta. 3. Mengetahui kecenderungan perubahan kualitas perairan Teluk Jakarta.

18 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi umum perairan Teluk Jakarta Secara geografis Teluk Jakarta terletak pada LS LS dan BT BT. Sebanyak 13 sungai bermuara ke Teluk Jakarta ini. Tiga di antara 13 sungai ini yakni Sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum merupakan sungai besar, sedangkan 10 sungai lainnya yakni Sungai Kamal, Cengkareng, Drain, Angke, Karang, Ancol, Sunter, Cakung, Blencong, Grogol dan Pasanggrahan merupakan sungai kecil (Wouthuyzen et. al., 2008). Di Teluk Jakarta, musim merupakan faktor utama dari macam dan besarnya pengaruh terhadap perairan Teluk Jakarta yang menentukan arah dan kecepatan angin laut serta arus. Teluk Jakarta merupakan perairan dangkal dengan kedalaman antara 3-29 m dengan rata-rata kedalaman 15 m. Dasar Teluk Jakarta melandai ke arah Laut Jawa dengan kedalaman di perbatasan Laut Jawa antara m (Arifin, et. al., 2003). Kecerahan rata-rata perairan Teluk Jakarta adalah m di sebelah timur, dan di bagian barat Teluk Jakarta. Menurut Praseno (1979), selang nilai kecerahan Teluk Jakarta adalah m. Perairan Teluk Jakarta ini dipengaruhi oleh massa air Laut Jawa. Pada musim barat (Desember-Februari) massa air dari Laut Natuna mempengaruhi massa air Teluk Jakarta, sedangkan pada musim timur (Juni-Agustus) arus akan mengalir dari Laut Jawa ke bagian timur. Pada musim barat umumnya curah hujan sangat tinggi, sehingga run off dan cemaran dari darat meningkat. Hal ini disebabkan jumlah air sungai yang lebih besar sehingga terjadi pencucian cemaran-cemaran di darat oleh air hujan. Pencemaran terutama terjadi di sekitar muara-muara sungai

19 pada musim hujan yakni antara bulan Januari sampai Februari (Praseno dan Kastoro, 1980). Menurut Praseno dan Kastoro (1980), suhu perairan Teluk Jakarta berkisar antara 28 C - 32 C dan termasuk normal untuk perairan tropis. Kisaran suhu ini merupakan kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton. Perubahan suhu terjadi apabila ada angin kuat yang menyebabkan turunnya suhu permukaan. Distribusi suhu di Teluk Jakarta berubah terhadap musim. Untuk musim barat (Desember-Februari) suhu air laut di Teluk Jakarta paling rendah, yaitu rata-rata sebesar C. Selama musim peralihan I (Maret-Mei) suhu rata-ratanya naik menjadi C, kemudian suhu rata-rata turun kembali menjadi selama musim timur (Juni-Agustus). Untuk musim peralihan II (September-November), suhu rata-ratanya naik menjadi C (Arief, 1980). Pada musim pancaroba, umumnya suhu menjadi lebih tinggi. 2.2 Warna air laut, fitoplankton, dan klorofil-a Penginderaan jauh warna air laut (ocean color remote sensing) merupakan penginderaan jauh yang memanfaatkan radiasi GEM yang dipantulkan dari bawah permukaan laut (Hovis et. al., 1980). Warna air laut ini dipengaruhi kandungan fitoplankton dan yellow substances berupa muatan padatan terlarut (MPT). Dari kondisi ini, air laut dapat dikelompokkan dalam dua kondisi (Sathyendranath dan Morrel, 1983) yakni tipe I (case-i water) dan air kasus II (case-ii water). Pada perairan tipe I, komponen utama yang mempengaruhi sifat optik atau biooptik air laut adalah fitoplankton, khususnya klorofil-a. Perairan tipe II merupakan tipe perairan yang sifat optik air lautnya didominasi oleh sedimen suspensi, bahan organik terlarut (yellow substances), dan partikel yang berasal dari tanah, sungai,

20 dan gletser. Dari sifat optik tersebut, maka pada umumnya perairan tipe I diklasifikasikan sebagai perairan lepas pantai (oseanik), sedangkan tipe II adalah perairan pantai/dangkal (wilayah pesisir) seperti Teluk Jakarta (Wouthuyzen et. al., 2008). Fitoplankton (disebut juga plankton nabati) merupakan penggolongan kelompok plankton secara fungsional. Adapun definisi plankton sendiri adalah makhluk (tumbuhan atau hewan) yang hidupnya mengapung, mengambang, atau melayang di dalam air yang kemampuan renangnya (kalaupun ada) sangat terbatas hingga selalu terbawa hanyut oleh arus. Jadi yang dimaksud fitoplankton di sini adalah tumbuhan yang hidupnya mengapung atau melayang dalam laut (Nontji, 2008). Menurut Odum (1996), fitoplankton adalah tumbuhan berukuran sangat kecil dan hidupnya terapung atau melayang-layang dalam kolom perairan, sehingga pergerakannya dipengaruhi gerakan air. Adapun kelompok fitoplankton yang sangat umum dijumpai di perairan tropis adalah diatom (Bacillariophyceae) dan dinoflagelata (Dynophyceae) (Nontji, 2008). Fitoplankton mengandung klorofil-a, pigmen fotosintesis dominan yang mengabsorpsi kuat energi pada kanal biru dan merah spektrum cahaya tampak. Karena klorofil-a meningkat konsentrasinya di dalam air laut, maka warna air berubah dari biru tua pada kondisi kaya klorofil-a sampai hijau. Terdapat pula pigmen pecahan klorofil-a yaitu phaeopigmen a yang memiliki spektrum absorpsi hampir sama dengan klorofil-a (Lo, 1996). Klorofil berperan dalam reaksi fotosintesis yang menentukan produktivitas suatu perairan. Sifat klorofil yang dapat menyerap dan memantulkan spektrum cahaya tertentu dimanfaatkan untuk mendeteksi sebaran klorofil fitoplankton di

21 permukaan laut dari satelit. Individu fitoplankton memang berukuran sangat kecil, akan tetapi bila berada dalam satu komunitas maka warna hijau yang menjadi ciri khas klorofil fitoplankton dapat diindera dari satelit. Menurut Nontji (2008), penginderaan terhadap fitoplankton didasarkan pada kenyataan bahwa semua fitoplankton mengandung klorofil, pigmen berwarna hijau yang ada pada setiap tumbuhan, di mana klorofil ini cenderung menyerap warna biru dan merah serta memantulkan warna hijau. Klorofil-a merupakan indikator kelimpahan dan biomassa fitoplankton yang dapat digunakan sebagai ukuran kualitas perairan yaitu sebagai petunjuk ketersediaan nutrien dalam perairan (Ward et. al., 1998; NLWRA, 2002; in Afdal dan Riyono, 2008). Pengukuran kandungan klorofil-a fitoplankton merupakan salah satu alat pengukuran kesuburan suatu perairan yang dinyatakan dalam bentuk produktivitas primer. Selain itu, klorofil-a juga bisa dijadikan sebagai indikator terjadinya eutrofikasi di suatu perairan (Bricker et. al., 1999, in Afdal dan Riyono, 2008) di mana eutrofikasi diindikasikan dengan tingginya konsentrasi klorofil-a di perairan (> 30 mg/m 3 ). Bohlen dan Boynton (1966, in Afdal dan Riyono, 2008) memberikan kriteria perairan teluk dan muara berdasarkan konsentrasi klorofil-a sebagai berikut. Tabel 1. Kondisi perairan berdasarkan konsentrasi klorofil-a Kategori Perairan Konsentrasi Klorofil-a Normal < 15 mg/m 3 Sedang mg/m 3 Buruk > 30 mg/m 3

22 2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan klorofil-a Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan klorofil di perairan di antaranya cahaya matahari dan nutrien, di mana pemasukan nutrien diasumsikan dipengaruhi oleh curah hujan yang terjadi Intensitas cahaya matahari Cahaya merupakan sumber energi utama di perairan. Intensitas cahaya secara kualitatif digambarkan melalui distribusi spektral yang bergantung pada perbedaan panjang gelombang, dalam hal ini panjang gelombang yang penting untuk terjadinya fotosintesis adalah pada kisaran cahaya tampak (visibe light) yakni antara panjang gelombang ultraviolet (UV) dan infrared (IR). Untuk fotosintesis, fitoplankton membutuhkan cahaya dengan panjang gelombang antara nm (Parsons et. al., 1984). Menurut Wetzel (1983), radiasi dengan panjang gelombang antara nm atau spektrum cahaya tampak dapat menembus kedalaman perairan dan diserap oleh klorofil untuk proses fotosintesis. Total radiasi pada panjang gelombang ini disebut Photosyntetically Available Radiation (PAR) Nutrien dan curah hujan Pertumbuhan fitoplankton membutuhkan beberapa unsur hara yang dikelompokkan menjadi unsur hara makro (makro nutrien) dan unsur hara mikro (mikro nutrien). Odum (1996) menyebutkan bahwa yang termasuk makro nutrien adalah C, H, O, N, P, Si, S, Mg, K, dan Ca sedangkan yang termasuk mikro nutrien adalah Fe, Mn, Cu, Zn, B, Mo, Cl, Co, dan Na. Menurut Dugan, 1972;

23 Moss, 1993 (in Effendi, 2003), nutrien utama yang dibutuhkan oleh hampir semua sel makhluk hidup adalah C, H, N, O, P, K, Mg, S, Ca, dan Fe. Ketersediaan unsur-unsur nutrien dalam suatu perairan sangat tergantung pada masukan dari luar perairan seperti sungai, resapan tanah, pencucian ataupun erosi serta dari sistem pembentukan langsung di badan air itu sendiri (Parsons et. al., 1984). Wouthuyzen (1991) menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara curah hujan dan konsentrasi klorofil di Teluk Omura, Jepang. Hal ini dikarenakan curah hujan akan membawa zat-zat hara dari daratan melalui sungai menuju Teluk Omura yang akhirnya zat-zat hara tersebut akan dimanfaatkan fitoplankton untuk berfotosintesis. Salah satu akibat dari peningkatan unsur nutrien di suatu perairan pesisir adalah terjadinya fitoplankton bloom, yaitu fenomena ledakan populasi fitoplankton di perairan secara cepat dan dalam jumlah yang sangat besar yang disebabkan oleh berlimpahnya nutrien. Keadaan ini akan berdampak negatif bagi ekosistem perairan, antara lain berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai makhluk air lainnya. 2.4 Transparansi perairan Menurut Effendi (2003), kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang dinyatakan dalam satuan meter dan ditentukan secara visual, umumnya dengan menggunakan secchi disk. Secchi disk ini berupa cakram putih hitam berdiameter 30 cm yang diturunkan ke dalam laut hingga tepat hilang dari pandangan. Nilai transparansi perairan ini tergantung warna dan kekeruhan perairan.

24 Warna perairan biasanya dikelompokkan menjadi dua yakni warna sesungguhnya (true color) dan warna tampak (apparent color). Warna sesungguhnya ini adalah warna hanya disebabkan oleh bahan-bahan kimia terlarut sedangkan warna tampak tidak hanya disebabkan oleh bahan terlarut tetapi juga bahan tersuspensi (Effendi, 2003). Warna perairan ditimbulkan oleh keberadaan bahan anorganik dan bahan organik seperti plankton, humus, dan ion-ion logam. Warna perairan juga disebabkan oleh blooming fitoplankton (untuk perairan laut biasanya dari filum Dinoflagelata), dan kondisi ini dikenal dengan istilah red tide. Warna ini dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air sehingga dapat mengganggu proses fotosintesis. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan ini disebabkan adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Davis dan Cornwell, 1991). 2.5 Penginderaan jauh untuk pendeteksian klorofil-a dan transparansi perairan Spektrum cahaya matahari yang sampai ke permukaan laut mencakup semua warna yang dapat dilihat oleh manusia dengan panjang gelombang antara nm (Nybakken, 1988). Panjang gelombang cahaya yang bisa diabsorbsi klorofil dalam air menurut Yentsch (1980, in Grahame, 1987) berada pada puncak gelombang nm dan nm. Dengan demikian, berarti konsentrasi klorofil-a dapat diduga dari citra satelit. Demikian pula dengan transparansi perairan.

25 Pengkajian konsentrasi klorofil-a dari citra satelit dilakukan dengan rasio kanal yang mempunyai daya absorpsi maksimum dengan kanal yang mempunyai daya absorpsi minimum terhadap klorofil-a. Citra dari satelit Landsat 7 ETM dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi klorofil karena memiliki kanal cahaya tampak. Gaol (1997) menyebutkan bahwa prinsip dasar pengembangan algoritma adalah rasio antara kanal biru dan kanal hijau. Menurut Gordon dan Morel (1983, in Yacobi, et. al., 1995), area spektral remote sensing pada case I water terbatas pada selang kanal biru dan hijau. Akan tetapi untuk case II water, pendekatan case I water ini mengalami hambatan karena keterbatasan pengukuran konsentrasi klorofil pada perairan dengan dissolved organic matter (DOM) yang tinggi. Aplikasi remote sensing untuk pendeteksian klorofil dan transparansi perairan ini sudah banyak dilakukan sebelumnya. Menurut Dekker et. al., 1991; Han, 1997 in El-Magd dan Ali (2008), interaksi dari klorofil-a dan radiasi elektromagnetik berupa scattering dan absorption, dan absorpsi yang kuat terdapat pada kisaran panjang gelombang nm (kanal-1) yang merupakan kanal biru Landsat ETM dan 680 nm (kanal-3) yang merupakan kanal merah Landsat ETM. Menurut hasil penelitian El-Magd dan Ali (2008), rasio kanal-1 / kanal-3 ETM+ dan rasio logaritmik kanal-1 / kanal-3 ETM+ menunjukkan korelasi dengan konsentrasi klorofil-a, yakni absorpsi signifikan dengan peningkatan konsentrasi klorofil-a. Rasio kedua kanal ini akan bekerja lebih efektif jika konsentrasi klorofil-a di atas 35 mg/m 3 dan kondisi transparansi perairan tinggi. Selain itu, ada pula hasil penelitian Tassan (1987) menghasilkan algoritma pendugaan konsentrasi klorofil-a dari satelit Landsat-TM sebagai berikut:

26 log C = log [R(485) / R(560)]... (1) di mana C adalah konsentrasi klorofil dalam mg/m 3, R(485) adalah radiansi pada kanal-1 dan R(560) adalah radiansi pada kanal-2. Dwivedi dan Narrain (1987, in Gaol, 1997) melakukan penelitian yang serupa di Arabia dengan menggunakan rasio kanal-1 dan kanal-2 Landsat-TM. Algoritma yang diperoleh sebagai berikut, di mana C merupakan konsentrasi klorofil. C = 1.62 [R(485) / R(560)] (2) Wouthuyzen (1991) mengembangkan algoritma dengan memanfaatkan citra Landsat-TM di perairan Teluk Omura Jepang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rasio antara kanal-1 dengan kanal-2 atau kanal-2 dengan kanal-1 mempunyai hubungan yang sangat kuat terhadap konsentrasi klorofil-a untuk semua musim. Rasio kanal-2 dengan kanal-1 ini yang paling konsisten untuk semua musim. Hasil penelitian Torbick et. al. (2008) dengan satelit Landsat 7 ETM+ di danau di Cina menunjukkan adanya model hubungan regresi linear dari rasio kanal-3/ kanal-1 (variabel independent) dan pengukuran langsung (variabel dependent). Hasilnya ditunjukkan dalam model berikut, di mana koefisien korelasi kuat (R 2 = 0.815) yang menunjukkan baiknya akurasi dari peta distribusi klorofila yang dibuat. Ln Chl = (kanal-3/ kanal-1) (3) Tabel berikut merupakan beberapa algoritma klorofil-a yang telah dikembangkan sebelumnya.

27 Tabel 2. Beberapa algoritma klorofil-a yang telah dikembangkan No. Algoritma Referensi Keterangan 1. Chl = 1.62 (kanal-1/kanal-2) Dwivedi dan Narrain (1987) 2. Chl = (TM2/TM1) Wouthuyzen (1991) 3. Chl = (TM2/TM1) Wouthuyzen (1991) 4. Chl = (TM2/TM1) Wouthuyzen (1991) 5. Chl = (TM2/TM1) Wouthuyzen (1991) 6. Chl = (TM1- TM5) (TM3/TM4) Adkha (1994) 7. Log Chl = (TM3/TM2) Wibowo et. al. (1994) 8. Chl = (kanal-3/ kanal-4) Hasyim (1997) 9. Chl = (TM2/TM1) Pentury (1997) 10. Ln Chl = (kanal-3/ kanal-1) Torbick et. al. (2008) Lokasi penelitian di Perairan Arabia Musim panas di Teluk Omura, Jepang Musim gugur di Teluk Omura, Jepang Musim dingin di Teluk Omura, Jepang Musim semi di Teluk Omura, Jepang Lokasi penelitian di perairan pantai utara kabupaten Subang Jawab Barat Lokasi penelitian di perairan pesisir Cirebon, Lampung, Jambi, dan Jepara Lokasi penelitian di Situbondo Lokasi penelitian di perairan Teluk Ambon Lokasi penelitian di West Lake, Cina Untuk perhitungan tingkat transparansi perairan, Chipman et. al. (2004) menggunakan perbandingan spektral radiansi kanal-1 dan kanal-3 data satelit Landsat multi-temporal untuk sebagian besar danau wilayah Amerika Serikat, di danau Wisconsin (USA). Model yang dibuat adalah sebagai berikut. Ln (SDT) = L (4) L 3 di mana SDT merupakan secchi disc transparency atau kedalaman kecerahan perairan dalam satuan meter yang diukur dengan cakram secchi dan L 1 dan L 3 merupakan radiansi spektral kanal-1 dan kanal-3. Penelitian yang dilakukan LAPAN (2004) di daerah Situbondo untuk kekeruhan dan kecerahan diperoleh dengan menggunakan formula hasil penelitian Mujito et. al. (1997) sebagai berikut.

28 Kecerahan (m) = b 1... (5) di mana b 1 merupakan reflektansi pada kanal-1 yang digunakan untuk pengukuran transparansi perairan. 2.6 Satelit Landsat Land Satellite (satelit Landsat) merupakan salah satu satelit sumber daya bumi yang dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat. Landsat awalnya bernama Earth Resources Technology Satellite (ERTS). Satelit ini terbagi dalam tiga generasi. Sensor utama yang dibawa Landsat generasi pertama adalah Returned Beam Vidicon (RBV) dan Multi-Spectral Scanner (MSS). Landsat generasi kedua membawa sensor Multi-Spectral Scanner (MSS) dan Thematic Mapper (TM). Landsat generasi ke tiga (Landsat 7) membawa sensor Enhanced Thematic Mapper (ETM) dan Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+). Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 dengan ketinggian orbit 705 km dan sudut inklinasi 98,2. Adapun lebar sapuan satelit ini adalah 185 km, dengan periode orbit 99 menit dan resolusi temporal 16 hari (LAPAN, 2000). Landsat 7 tidak memiliki kenampakan off-nadir sehingga tidak bisa menghasilkan cakupan yang meliputi seluruh dunia secara harian. Citra Landsat TM dan Landsat ETM memiliki persamaan yakni keduanya memiliki ukuran piksel sebesar 30 meter. Citra Landsat 7 juga memiliki kanal termal yang dipertajam. Sensor ETM menggunakan panjang gelombang dari spektrum cahaya tampak sampai spektrum infra merah. Secara radiometrik, sensor ETM memiliki 256 angka digital (8 bit) yang memungkinkan pengamatan terhadap perubahan kecil pada besaran radiometrik dan peka terhadap perubahan

29 hubungan antar kanal. Adapun kanal-kanal spektral pada sensor ETM Landsat 7 terdapat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Panjang gelombang kanal spektral satelit Landsat 7 ETM dan resolusi spasialnya Kanal Kanal Spektral Panjang gelombang Resolusi (μm) Spasial 1 Cahaya Tampak Biru m x 30 m 2 Cahaya Tampak Merah m x 30 m 3 Cahaya Tampak Hijau m x 30 m 4 Near Infra Red (NIR) m x 30 m 5 Middle Infra Red (MIR) m x 30 m 6 Thermal Infra Red m x 30 m 7 Middle Infra Red (MIR) m x 60 m Pankromatik Pankromatik m x 15 m Sumber : LAPAN (2000) Masing-masing kanal memiliki fungsi yang berbeda-beda sebagai berikut (Maeden dan Kapetsky, 1991). Tabel 4. Fungsi kanal-kanal pada Satelit Landsat Kanal Kanal-1 Kanal-2 Kanal-3 Kanal-4 Kanal-5 Kanal-6 Kanal-7 Fungsi Penetrasi ke badan air, pemetaan perairan pesisir, serapan klorofil, pembeda tanah dan vegetasi. Kesuburan vegetasi, pendugaan konsentrasi sedimen, dan bathimetri. Daerah penyerapan klorofil dan membedakan jenis tanaman. Membedakan badan air dan daratan, daerah pantulan vegetasi yang kuat. Pengukuran kelembaban tanah dan vegetasi, daerah pantulan batuan. Pemetaan termal dan informasi geologi termal. Pemetaan hidrotermal dan membedakan tipe batuan (geologi/minyak).

30 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Juli Adapun lokasi penelitian bertempat di Teluk Jakarta pada koordinat 5 43'3.6012" LS ' " LS dan ' BT '49.32" BT (Gambar 1). Pengolahan data dan pembahasan dalam penelitian ini akan didasarkan pada pembagian musim di Teluk Jakarta yaitu musim kemarau (Mei-Oktober) dan musim hujan (November-April) (Dinas Hidro-oseanografi, 1975). Gambar 1. Peta lokasi stasiun di Teluk Jakarta Untuk penelitian ini digunakan citra satelit Landsat yang diperoleh dari P 2 O LIPI serta hasil download pada situs Landsat USGS pada alamat (Tabel 2).

31 Tabel 5. Spesifikasi perolehan citra satelit Landsat dan data in situ No. Tanggal Akuisisi Perolehan Citra Citra LIPI Hasil Download (*) Data In Situ 1 21 Juni Juli Agustus September September Oktober November Januari Februari Agustus Agustus September Mei Oktober Oktober November Agustus Desember Januari Juli Maret Mei (*) di-download dari Alat dan bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa 22 citra satelit Landsat 7 pada path 122 dan row 64 dan tipe sensor ETM+, masing-masing sebanyak 13 citra dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan 9 citra hasil download pada situs Landsat USGS pada alamat (Tabel 5). Data primer yang diturunkan dari citra satelit Landsat ini adalah data transparansi perairan dan konsentrasi klorofil-a di Teluk Jakarta.

32 Data sekunder yang digunakan berupa data pengukuran transparansi perairan dan klorofil-a secara in situ dalam proyek LIPI di Teluk Jakarta pada tanggal yang sama dengan tanggal akuisisi citra satelit. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat komputer dan perangkat lunak IDRISI ANDES (Clark Labs, Clark University 950 Main Street, Worcester MA USA), perangkat lunak untuk layout citra, dan Ms. Office Metode pengolahan citra Proses pengolahan citra secara umum digambarkan pada Gambar 2 berikut. Citra Landsat Koreksi citra Ekstrak nilai reflektansi citra Pengembangan model Pengujian model Pemetaan klorofil-a dan transparansi perairan Teluk Jakarta Gambar 2. Diagram alir pengolahan data Koreksi citra Sebelum citra diolah, pertama-tama dilakukan cropping citra yakni pemotongan citra satelit pada koordinat wilayah penelitian, dalam hal ini pada Teluk Jakarta. Adapun koordinat citra setelah dipotong adalah 5 43'3.6012" LS -

33 6 13' " LS dan ' BT '49.32" BT. Pemotongan citra (cropping) ini dilakukan untuk membatasi dan memperkecil daerah pada citra yang akan diolah sehingga proses pengolahan citra dapat lebih cepat dan efisien. Setelah itu, pada citra harus dilakukan koreksi citra yaitu koreksi geometrik, dan koreksi radiometrik. Koreksi geometrik yang dilakukan untuk menyamakan posisi koordinat di permukaan bumi dengan koordinat pada citra tidak dilakukan karena citra telah terkoreksi secara geometrik. Koreksi radiometrik adalah koreksi atas pengaruh elevasi sinar matahari, kondisi atmosfer, dan respon dari sensir seperti kegagalan fungsi detektor, stripping, dan drop out baris. Pada software IDRISI ANDES yang digunakan sudah tersedia suatu modul koreksi atmosferik yaitu modul ATMOSC (Atmosferic Correction). Modul ATMOSC ini dapat melakukan penghitungan yang diperlukan untuk mengoreksi citra satelit dari efek-efek atmosferik. Pada modul ini tersedia empat model yakni Dark Object Substraction (DOS) Model, Chavez's Cos(t) Model, Full Radiative Transfer Equation Model (FULL), dan Apparent Reflectance Model (ARM). Model koreksi atmosferik (ATMOSC) yang digunakan dalam penelitian ini adalah Chavez's Cos(t) Model karena output yang ingin diperoleh berupa nilai reflektansi citra. Input modul ini adalah kanal-1 (biru), kanal-2 (hijau), dan kanal- 3 (merah) hasil cropping citra serta kondisi atmosferik dan kondisi pencitraan yang terdapat pada header citra Landsat. Metode kalibrasi nilai radiansi dalam Chavez's Cos(t) model ada dua yakni metode L min /L maks dan Offset/Gain. Bentuk kalibrasi yang digunakan adalah L min /L maks, di mana L min merupakan nilai radians terendah yang mungkin pada citra (dalam mwcm -2 sr -1 um -2 ) dan L maks merupakan nilai radians tertinggi yang mungkin pada citra (dalam mwcm -2 sr -1 um -2 ).

34 Nilai koreksi atmosferik untuk faktor-faktor yang mempengaruhi nilai irradians dan radians pada waktu-waktu tertentu dapat dibuat terhadap waktu dengan perbedaan solar azimuth dan haze. Proses ini mengubah nilai radians absolut menjadi reflektansi tak ber-unit yang merupakan rasio permukaan upwelling radiance dengan downwelling irradiance sebagai berikut. Reflektansi =... (6) di mana R I merupakan fluks yang mengenai objek dan R S merupakan fluks yang dipantulkan objek. Hal ini dilakukan dengan asumsi kondisi udara bersifat pemencar Lambertian seragam dan permukaan bumi datar, pemantul Lambertian seragam (Moran et al., 1992). Dengan asumsi ini dan menolak faktor-faktor kompleks seperti refraksi atmosferik, turbulensi, dan polarisasi, dapat dibuat suatu persamaan yang menjelaskan interaksi solar irradiance dengan atmosfer dan memperoleh nilai reflektansi permukaan sebagai berikut (Moran et al., 1992). ρg λ = -... (7) di mana: ρg λ = reflektansi spektral pada permukaan Ls λ ¹) Lp λ = path radians (scatter), iradiansi spektral (upwelled) ¹) d o T v = jarak bumi - matahari (SI) = transmitansi atmosferik spektral sepanjang path dari permukaan bumi yang diindera sensor

35 Eo λ = iradiansi spektral matahari pada permukaan tegak lurus terhadap sinar matahari di luar atmosfer ¹) cosθs = cosinus sudut solar zenith T z Ed λ = transmisi atmosferik sepanjang path matahari - permukaan bumi = downwelling iradians spektral pada permukaan pada saat sampainya fluks matahari yang dipencarkan (scattered) ¹ ¹) Dalam menggunakan modul ini, perlu diperhatikan beberapa hal berikut. 1. Nilai tengah panjang gelombang kanal input; di mana nilai tengah kanal-1 adalah m, nilai tengah kanal-2 adalah 0.56 m, dan nilai tengah kanal-3 adalah 0.66 m. 2. DN haze; merupakan nilai digital terendah yang bukan bernilai nol pada histogram nilai digital citra. 3. Radiansi pada DN 0 (L min ) dan DN maksimum (L maks ) yang diperoleh dari header citra. 4. Sun elevation; diperoleh dari header citra. 5. Satellite Viewing Angle; merupakan sudut satelit mencitra (0 ) Pemodelan Setelah diperoleh nilai reflektansi citra, dibuatlah suatu kombinasi kanal terbaik untuk dikorelasikan dengan data in situ dan dimodelkan. Adapun yang digunakan dalam pemodelan adalah citra yang ada data penelitian in situ-nya. Secara umum, metode yang digunakan adalah secara kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan membuat korelasi nilai kombinasi kanal dengan nilai transparansi perairan dan klorofil-a dari pengukuran in situ yang menghasilkan nilai hubungan terbaik, seperti akan dijelaskan dalam sub-bab

36 selanjutnya. Secara kualitatif, dilakukan pengekstrakan nilai transparansi perairan dan klorofil-a dari citra dan disajikan dalam suatu pemetaan kualitas perairan Teluk Jakarta sehingga citra dapat dianalisis secara visual. Metode pemetaan ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub-bab berikutnya. (1) Pengembangan model Pengembangan model untuk kedua parameter (klorofil-a dan transparansi perairan) dibagi dalam dua musim yakni musim kemarau (Mei-Oktober) dan musim hujan (November-April). Keterangan akuisisi citra satelit yang digunakan untuk masing-masing musim ditampilkan dalam Tabel 6. Tabel 6. Akuisisi citra satelit untuk musim kemarau dan musim hujan Musim Kemarau 21 Juni Juli Agustus September September Oktober Agustus Agustus September Oktober Oktober Agusttus Juli Mei 2009 Musim Hujan 12 November Januari Februari November Desember Januari Maret 2009 Citra Landsat yang digunakan dalam pengembangan model adalah tiga kanal, yakni kanal biru (kanal-1), hijau (kanal-2), dan merah (kanal-3) saja. Untuk pengembangan model penduga, pertama-tama dilakukan korelasi antara data in situ klorofil-a dan transparansi perairan dari proyek P 2 O - LIPI dengan nilai reflektansi dari kanal-kanal tunggal Satelit Landsat yang digunakan. Selain

37 korelasi dengan kanal-kanal tunggal, korelasi juga dilakukan antara data in situ klorofil-a dengan transformasi kromatisiti dan transformasi rasio seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 7. Jadi, akan terdapat 9 korelasi kanal-kanal dengan data in situ yang kemudian akan dipilih satu kombinasi kanal terbaik yang menunjukkan pola paling teratur untuk diterapkan dalam pemodelan. Tabel 7. Transformasi kromatisiti dan transformasi rasio kanal Transformasi Kromatisiti Transformasi Rasio Kromatisiti biru = Kromatisiti hijau = Kromatisiti merah = Rasio kanal biru/hijau = Rasio kanal biru/merah = Rasio kanal hijau/merah = Bentuk model yang dibuat akan mengikuti bentuk model seperti tertera pada Tabel 8. Dari model-model yang terbentuk ini kemudian akan dipilih model yang memiliki nilai R 2 paling baik serta memiliki RMS error paling rendah seperti dijelaskan dalam sub-bab berikutnya. Menurut Gaol (1997), model matematis untuk pendugaan konsentrasi klorofil-a yang sudah dibuat dan yang menunjukkan hubungan yang paling erat adalah hubungan linear. Tabel 8. Bentuk model hubungan yang akan dibuat No. Model Hubungan Bentuk Model 1 Regresi linear y = a + b.x 2 Eksponensial y = a. exp (bx) 3 Polynomial orde 2 y = a + b.x 2 + b 1.x 4 Polynomial orde 3 y = a + b.x 3 + b 1.x 2 + b 2.x 5 Logaritmik y = a. ln(x) + b 6 Power y = a. x b

38 (2) Pengujian model Sebelum memilih model hubungan yang akan diuji dan digunakan, pada model-model yang dihasilkan terlebih dahulu harus dilihat nilai R 2 dan RMS error-nya. Nilai R 2 merupakan koefisien determinasi garis regresi sebagai pengukur keeratan hubungan antara peubah y dan peubah x sebagai peubah respons (variabel tak bebas) dan peubah penjelas (variabel bebas). Semakin dekat nilai R 2 ini dengan 1, makin dekat pula titik pengamatan ke garis regresinya dan model semakin baik (Aunuddin, 1989). Seperti halnya nilai R 2, nilai RMS error menyatakan seberapa jauh suatu titik di atas atau di bawah garis regresi. RMS error dari suatu model hubungan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut dengan N merupakan jumlah data. Semakin kecil nilai RMS error, maka semakin bagus model hubungan tersebut. Berikut merupakan rumus perhitungan RMS error. RMS error = (8) di mana N merupakan jumlah data Uji-t Untuk mengetahui perbedaan pendugaan nilai klorofil-a dan transparansi perairan dari model hubungan yang dibuat dengan nilai in situ-nya, maka dilakukan uji beda nilai tengah (uji-t). Dalam uji-t, jika nilai t-statistik (t-hitung) berada dalam selang t-kritis, maka kedua nilai tengah yang diujikan tidak berbeda nyata.

39 Hipotesis yang digunakan dalam uji-t ini dirumuskan sebagai berikut. H 0 : 1 = 2 H 1 : 1 2 di mana 1 adalah nilai in situ klorofil-a atau transparansi perairan sedangkan 2 adalah nilai duga dari model. Kemudian akan dibuktikan bahwa nilai tengah klorofil-a dan transparansi perairan pada pengukuran in situ tidak beda nyata dengan nilai duga dari model ( 1 = 2) sehingga model hubungan transparansi dan klorofil-a yang dibuat dapat diterima Uji-F Selain menggunakan uji-t, penelitian ini juga menggunakan uji-f namun parameter yang diujikan dan hipotesisnya berbeda. Parameter yang diujikan adalah nilai konsentrasi klorofil-a dan transparansi perairan dari model sebelumnya. Uji-F ini dilakukan untuk membuktikan bahwa memang ada hubungan antara konsentrasi klorofil-a dengan tranparansi perairan. Adapun hipotesis yang digunakan dalam uji-f ini dirumuskan sebagai berikut. H 0 : = 0 H 1 : 0 merupakan nilai parameter regresi dari model yang didapat. H 0 berarti tidak terdapat hubungan saling mempengaruhi antara variabel bebas (x, klorofil-a) dan variabel tak bebas (y, transparansi). H 1 berarti terdapat hubungan saling mempengaruhi antara variabel bebas (x, klorofil-a) dan variabel tak bebas (y, transparansi). Tujuan uji-f ini adalah membuktikan bahwa nilai parameter regresi dari model yang didapat tidak sama dengan nol ( 0) yang berarti terdapat

40 hubungan antara variabel bebas dan variabel tak bebas dari model sehingga model hubungan yang dibuat dapat diterima. Apabila H 0 diterima dan H 1 ditolak berarti ß 1 dianggap sama dengan nol. Bila H 0 ditolak dan H 1 diterima maka ß 1 dianggap tidak sama dengan nol dan terdapat hubungan saling mempengaruhi antara klorofil-a dengan transparansi perairan. Suatu model dikatakan berkorelasi tinggi jika F hitung -nya empat sampai lima kali lebih besar dari F tabel pada selang kepercayaan 95% (Drapper dan Smith, 1981) Pemetaan klorodil-a dan transparansi perairan Teluk Jakarta Selanjutnya setelah pengolahan citra dan pengujian algoritma yang diperoleh selesai, dilakukan pemetaan kondisi perairan Teluk Jakarta hingga tahun 2009 khususnya yang berkaitan dengan konsentrasi klorofil-a dan transparansi perairan. Dari pemetaan ini kemudian diketahui degradasi kondisi lingkungan Teluk Jakarta serta akan dikaji penyebabnya dihubungkan dengan data-data pendukung. Pemetaan dilakukan hanya untuk wilayah Teluk Jakarta pada koordinat 5 53'23.28" LS - 6 7'46.92" LS dan '10.92" BT '40.8" BT.

41 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemodelan Pengembangan model penduga klorofil-a perairan Berdasarkan grafik hubungan antara data klorofil-a in situ dengan reflektansi kombinasi kanal yang dikorelasikan, terlihat bahwa korelasi yang menunjukkan pola paling teratur adalah korelasi dengan menggunakan kromatisiti merah. Persamaan kromatisiti adalah sebagai berikut. Kromatisiti merah = (9) Penggunaan kromatisiti merah baik untuk menduga konsentrasi klorofil-a di perairan, walaupun berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang lebih banyak menggunakan transformasi rasio. Wouthuyzen (1991) menggunakan rasio kanal-2/kanal-1 untuk mengekstrak konsentrasi klorofil di Teluk Omura, Jepang. Wibowo et. al. (1994) juga menggunakan rasio kanal (kanal-3/kanal-2) dalam mengekstrak konsentrasi klorofil di Cirebon, Lampung, Jambi, dan Jepara. Dwivedi dan Narrain (1987) dan Pentury (1997) menggunakan rasio kanal- 2/kanal-1 dalam mengekstrak klorofil di daerah penelitiannya. Maeden dan Kapetsky (1991) menyebutkan bahwa kanal-3 berperan dalam penentuan daerah penyerapan klorofil dan membedakan jenis tanaman. Kanal-1 juga berperan dalam penentuan klorofil yakni mendeteksi serapan klorofil serta membedakan antara tanah dan vegetasi (untuk kasus di darat), sedangkan peran kanal-2 adalah untuk mendeteksi kesuburan vegetasi. Berikut merupakan grafik hubungan nilai in situ klorofil-a dengan nilai kromatisiti merah, di mana N merupakan jumlah data yang digunakan.

42 Gambar 3. Hubungan kromatisiti merah dengan nilai in situ klorofil-a pada musim kemarau dan musim hujan

43 Pada musim kemarau, semakin besar nilai kromatisiti merah, semakin besar konsentrasi klorofil-a di stasiun pengamatan (Gambar 3). Sebaliknya, pada musim hujan, semakin besar nilai kromatisiti merah, nilai klorofil-a justru semakin rendah. Hal ini akan diuji dan divalidasi lebih lanjut dengan uji beda nilai tengah (uji-t), apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara konsentrasi klorofil-a dari model dengan konsentrasi klorofil-a in situ. Secara keseluruhan, kombinasi kanal yang paling mewakili adalah kromatisiti merah karena hubungan antara keduanya terlihat dalam pola yang jelas. Setelah ditetapkan penggunaan kromatisiti merah dalam pengembangan model untuk klorofil-a, selanjutnya untuk mengetahui model yang paling tepat maka dicobakan enam model yakni model linear, logaritmik, eksponensial, polynomial orde 2, polynomial orde 3, dan power yang memiliki nilai R 2 tinggi dan RMS error paling kecil. Tabel berikut menunjukkan model-model yang diperoleh untuk konsentrasi klorofil-a perairan. Tabel 9. Beberapa model konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau (Mei-Oktober) dan nilai R 2 serta RMS error-nya No. Model Hubungan Pengujian R 2 RMS error 1 Linear : y = 6.295x Logaritmik : y = 1.733ln(x) Eksponensial : y = 0.012e 12.22x Polynomial orde 2 : y = 55.76x x Polynomial orde 3 : y = 415.8x x x Power : y = 30.54x

44 Model polynomial orde 3 memiliki nilai R 2 paling tinggi yakni dan sekaligus memiliki nilai RMS error paling rendah yakni (Tabel 11). Hal ini berarti sebanyak 87.46% nilai klorofil-a yang diperoleh dapat dijelaskan oleh model, dan hanya sebanyak 12.54% yang tidak dapat dijelaskan oleh pemodelan. Demikian pula nilai penyimpangan RMS-nya terendah sehingga membuktikan bahwa model paling baik karena hampir semua data mendekati garis regresi. Dari sini dapat disimpulkan model polynomial orde 3 dapat digunakan sebagai model penduga konsentrasi klorofil-a pada musim kemarau sebagai berikut. y = 415.8x x x (10) di mana: y = konsentrasi klorofil-a (mg/m 3 ) x = nilai kromatisiti merah Tabel 10. Beberapa model konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Jakarta pada musim hujan (November-April) dan nilai R 2 serta RMS error-nya No. Model Hubungan R 2 Pengujian RMS error 1 Linear : y = x Logaritmik : y = -2.41ln(x) Eksponensial : y = 1715e -26.1x Polynomial orde 2 : y = 56.62x x Polynomial orde 3 : y = x x x Power : y = x Untuk musim hujan, nilai R 2 paling tinggi terdapat pada model polynomial orde 3, yakni (Tabel 12). Dari nilai R 2 diketahui nilai koefisien korelasinya

45 (r) sebesar 0.9. Hal ini berarti sebanyak 90% nilai klorofil-a yang diekstrak dari citra dapat dijelaskan oleh model polynomial orde 3 ini. Nilai klorofil-a yang tidak dapat dijelaskan oleh model polynomial orde 3 ini hanya 10% saja. Model yang memiliki nilai RMS error paling rendah adalah model polynomial orde 2 dengan nilai Namun, karena nilai R 2 jauh lebih tinggi pada model polynomial orde 3 maka pada musim hujan model yang dianggap paling baik untuk menduga konsentrasi klorofil-a adalah model polynomial orde 3. Jadi, model penduga konsentrasi klorofil musim hujan adalah sebagai berikut. y = x x x (11) di mana: y = konsentrasi klorofil-a (mg/m 3 ) x = nilai kromatisiti merah Pengembangan model penduga transparansi perairan Untuk model penduga transparansi perairan, kombinasi kanal terbaik yang ditetapkan dalam pemodelan trasnparansi perairan ini adalah menggunakan kromatisiti biru. Pemilihan kromatisiti biru ini karena grafik hubungan antara kromatisiti biru dengan nilai in situ transparansi perairan menunjukkan pola yang paling teratur, yaitu semakin tinggi kombinasi kanal terpilih (kromatisiti biru) semakin tinggi pula transparansinya. Adapun kombinasi kanal kromatisiti biru sebagai berikut. Kromatisiti biru = (12) Berikut merupakan grafik hubungan kromatisiti biru dengan nilai transparansi in situ pada musim kemarau dan musim hujan.

46 Gambar 4. Hubungan kromatisiti biru dengan nilai in situ transparansi perairan (m) pada musim kemarau dan musim hujan

47 Maeden dan Kapetsky (1991) menyatakan bahwa penerapan aplikasi kanal-1 Landsat TM adalah untuk penetrasi ke badan air, pemetaan perairan pesisir, serapan klorofil, dan pembeda tanah dan vegetasi. Karena kanal-1 terspesifikasi untuk pemetaan perairan pesisir serta mengetahui penetrasi cahaya matahari ke perairan maka kanal-1 baik untuk digunakan sebagai kombinasi kanal terpilih dalam pemodelan transparansi perairan. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah kromatisiti kanal-1. Penggunaan kanal tunggal (kanal-1) seperti penelitian Mujito et. al. (1997) di Situbondo maupun rasio kanal (kanal-1/kanal-3) seperti penelitian Chipman et. al. (2004) di Danau Wisconsin, USA tidak digunakan dalam pengembangan model karena grafik hubungannya dengan nilai in situ perairan tidak menunjukkan adanya hubungan yang teratur. Hasil pemodelan dengan kromatisiti biru ini disajikan dalam Tabel 11 untuk model pada musim kemarau dan Tabel 12 untuk model pada musim hujan. Tabel 11. Beberapa model transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau (Mei-Oktober) dan nilai R 2 serta RMS error-nya No. Model Hubungan R 2 Pengujian RMS error 1 Linear : y = 35.21x Logaritmik : y = 12.22ln(x) Eksponensial : y = 0.218e 8.266x Polynomial orde 2 : y = 59.41x x Polynomial orde 3 : y = x x x Power : y = 85.63x

48 Koefisien determinasi tertinggi pada model-model transparansi perairan musim kemarau (Tabel 11) adalah pada model power. Nilai R 2 yang tinggi setelah power adalah eksponensial sebesar 0.876, setelah itu beturut-turut polynomial orde 3, polynomial orde 2, logaritmik, dan yang terkecil adalah pada model linear dengan nilai R Nilai R 2 merupakan krikteria kecocokan model dan berkisar antara 0-1 di mana semakin besar nilai R 2 (mendekati satu) maka nilai model dugaan semakin baik pula. Nilai koefisien determinasi berarti memiliki koefisien korelasi (r) , yang menunjukkan bahwa 93.81% keragaman transparansi dapat dijelaskan dengan model tersebut dan sebanyak 6.19% perubahan transparansi perairan tidak dapat dijelaskan oleh model. Untuk nilai RMS error, semakin kecil nilai kesalahan ini, maka akan semakin baik model hubungan yang dibuat. Tabel 11 menunjukkan bahwa model yang memiliki nilai RMS error terkecil adalah model polynomial orde 3 sebesar dan model yang memiliki nilai RMS error terbesar adalah model eksponensial dengan nilai error sebesar Hal ini berarti model power memiliki nilai R 2 paling tinggi dan model polynomial orde 3 memiliki nilai RMS error paling kecil. Dari hasil ketiga pengujian tersebut maka diambil kesimpulan untuk menggunakan model polynomial orde 3 sebagai model transparansi perairan untuk musim kemarau sebagai berikut. y = x x x (13) di mana: y = nilai transparansi perairan (m) x = nilai kromatisiti biru

49 Tabel 12. Beberapa model transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan (November-April) dan nilai R 2 serta RMS error-nya No. Model Hubungan R 2 Pengujian RMS error 1 Linear : y = 103.2x Logaritmik : y = 33.27ln(x) Eksponensial : y = 0.002e 23.07x Polynomial orde 2 : y = 486.4x x Polynomial orde 3 : y = x x x Power : y = 20521x Nilai R 2 tertinggi dengan nilai terdapat pada model polynomial orde 3 dan 3. Nilai R berarti memiliki nilai r (koefisien korelasi) Jadi, sebanyak 87.92% data transparansi perairan dapat dijelaskan oleh model polynomial tersebut, dan hanya 12.08% yang tidak dapat dijelaskan dengan model tersebut. Nilai R 2 yang juga tinggi setelah polynomial 3 adalah polynomial 2 dengan nilai Nilai R 2 yang terkecil adalah pada model eksponensial dengan nilai R Nilai RMS error terkecil terdapat pada model polynomial orde 3 yakni sebesar Pada model polynomial orde 3, nilai RMS error-nya tidak jauh berbeda dengan pada polynomial orde 2 yaitu Nilai RMS error terbesar adalah pada model eksponensial dengan nilai error sebesar Dari hasil pengujian model tersebut maka dapat disimpulkan bahwa model transparansi perairan yang paling tepat untuk musim hujan adalah model polynomial orde 2 karena memiliki nilai R 2 paling tinggi dan penyimpangan RMS

50 paling kecil. Jadi dalam penelitian ini, untuk memetakan nilai transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan digunakan model berikut. y = x x x (14) di mana: y = nilai transparansi perairan (m) x = nilai kromatisiti biru 4.2 Pengujian model Uji-t Uji beda nilai tengah (uji-t) dilakukan untuk mengetahui beda nilai tengah antara nilai duga dari model hubungan yang dibuat dengan nilai in situ klorofil-a dan transparansi perairan (Tabel 13). Tabel 13. Hasil uji-t pengembangan model penduga Keterangan Uji-t antara nilai in situ konsentrasi klorofil-a dengan nilai duga Uji-t antara nilai in situ transparansi perairan dengan nilai duga Musim Kemarau t-hitung = t-tabel = Musim Hujan t-hitung = t-tabel = Musim Kemarau t-hitung = t-tabel = Musim Hujan t-hitung = t-tabel = Hasil t-hitung berada dalam kisaran t-tabel t-hitung di luar kisaran t-tabel t-hitung berada dalam kisaran t-tabel t-hitung berada dalam kisaran t-tabel Hasil uji-t antara nilai in situ konsentrasi klorofil-a dengan nilai duga pada musim kemarau memiliki nilai t-hitung masuk dalam selang kritis ( < (t-hitung = ) < ) sehingga model pendugaan konsentrasi klorofil-a untuk musim kemarau yang dibuat dapat diandalkan. Selang kritis ini merupakan

51 wilayah terima. Jika t-hitung masuk dalam wilayah terima, maka model dapat diandalkan karena nilai tengah pengukuran in situ tidak beda nyata dengan nilai duga ( 1 = 2). Jika t-hitung di luar selang kritis ini, maka t-hitung berada dalam wilayah penolakan sehingga model tidak dapat diandalkan karena in situ berbeda nyata dengan duga ( 1 2). Namun, nilai t-hitung untuk musim hujan berada di luar selang kritis ((t-hitung = ) > ). Hal ini berarti nilai tengah antara klorofil-a in situ dengan model dugaan berbeda nyata ( 1 2) sehingga model pendugaan konsentrasi klorofil-a pada musim hujan yang dikembangkan tidak terlalu baik dalam menduga konsentrasi klorofil-a. Hal ini bisa saja terjadi karena pengaruh cuaca pada musim hujan yang menghambat pengambilan sampel air laut. Selain itu, Teluk Jakarta merupakan perairan tipe II yang sifat optik air lautnya didominasi oleh sedimen suspensi, bahan organik terlarut (yellow substances), dan partikel yang berasal dari tanah, sungai, dan gletser (Lo, 1996). Pada musim hujan, terjadi pencampuran antara material-material yang terkandung dalam air laut sehingga menghambat proses pencitraan yang dilakukan satelit, dalam hal ini menyebabkan sensor satelit kurang mampu membedakan pantulan yang berasal dari fitoplankton atau dari material terlarut lainnya. Untuk uji-t model penduga transparansi perairan musim kemarau, nilai t- hitung masuk dalam selang kritis ( < (t-hitung = ) < ). Sama halnya dengan musim kemarau, nilai t-hitung untuk transparansi pada musim hujan adalah dan masuk dalam selang kritis ( < (t-hitung = ) < 1.989). Jika t-hitung masuk dalam selang t-tabel maka model dapat diandalkan. Hal ini berarti kedua model transparansi perairan dapat diterima dan

52 nilai tengah nilai in situ transparansi perairan tidak berbeda nyata dengan nilai duganya ( 1 = 2) Uji-F Hasil uji-f disajikan dalam Tabel 14. Pada uji-f, jika F-hitung > F-tabel maka hasil pengujian adalah tolak H 0. Tabel 14. Hasil uji-f dari nilai transparansi perairan dengan klorofil-a Keterangan Uji-F antara nilai duga transparansi perairan dengan nilai duga klorofil-a dari model Uji-F antara nilai in situ transparansi perairan dengan nilai in situ klorofil-a Musim Kemarau F-hitung = F-tabel = Musim Hujan F-hitung = F-tabel = Musim Kemarau F-hitung = F-tabel = Musim Hujan F-hitung = F-tabel = Hasil F-hitung > F-tabel F-hitung > F-tabel F-hitung > F-tabel F-hitung > F-tabel Semua hasil uji-f menghasilkan nilai F-hitung > F-tabel. Uji-F antara nilai transparansi perairan dari model dugaan dan konsentrasi klorofil-a dari model dugaan diperoleh hasil F-hitung = dan F-tabel = untuk musim kemarau dan F-hitung = dan F-tabel = untuk musim hujan. Hal ini berarti hasil pengujian baik untuk musim kemarau dan musim hujan adalah tolak H 0 dan terima H 1 sehingga terdapat hubungan antara transparansi perairan dan konsentrasi klorofil-a dari model dugaan yang dibuat. Jika mengacu pada pustaka Drapper dan Smith (1981), korelasi antara klorofil-a dan transparansi perairan yang diekstrak dari model termasuk tinggi, karena nilai F-hitung-nya

53 empat sampai lima kali lebih besar dari F-tabel pada selang kepercayaan 95% pada kedua musim. Sebagai pembanding, dilakukan pula uji-f antara nilai in situ transparansi perairan dan konsentrasi klorofil-a dan diperoleh hasil F-hitung = dan F-tabel = untuk musim kemarau dan F-hitung = dan F-tabel = untuk musim hujan. Hal ini mempunyai arti yang sama dengan uji-f antara nilai-nilai duga yang diekstrak dari model, sehingga memperkuat bukti bahwa terdapat hubungan antara nilai klorofil-a dengan transparansi perairan. Berdasarkan Drapper dan Smith (1981), korelasi antara transparansi perairan dan klorofil-a yang diekstrak dari model pada musim kemarau berbeda dengan musim hujan. Pada musim kemarau, nilai F-hitung empat sampai lima kali lebih besar dari pada F-tabel sehingga korelasi antara nilai in situ klorofil-a dan transparansi sangat baik. Akan tetapi, pada musim hujan, nilai F-hitung tidak lebih besar dari pada empat sampai lima kali F-tabel sehingga korelasi antara nilai-nilai in situ pada musim hujan ini tidak seerat pada musim kemarau. Hal ini disebabkan kondisi cuaca pada musim hujan yang tidak efektif untuk pengambilan data sehingga bias yang terjadi cukup besar. Hubungan antara klorofil dan transparansi adalah hubungan saling mempengaruhi. Meningkatnya konsentrasi klorofil suatu perairan akan menyebabkan berkurangnya kemampuan penetrasi cahaya matahari ke perairan dan transparansi perairan pun berkurang. Hal ini sangat cocok diterapkan dalam perairan tipe I (case I water) di mana menurut Susilo dan Gaol (2008), komponen utama yang mempengaruhi sifat optik atau biooptik air laut tipe ini adalah fitoplankton, khususnya klorofil-a. Perairan Teluk Jakarta tidak termasuk dalam

54 tipe perairan ini karena sifat optik air lautnya lebih didominasi oleh sedimen suspensi, bahan organik terlarut (yellow substances), dan partikel yang berasal dari tanah, aktivitas-aktivitas manusia di daratan, dan run off sungai merupakan perairan tipe II (case II water). Jadi, hubungan antara transparansi dengan klorofil-a tidak boleh dinyatakan hanya dengan grafik regresi linear sederhana tanpa memperdulikan keberadaan yellow substances di perairan Teluk Jakarta. 4.3 Pemetaan klorofil-a dan transparansi perairan dari model Setelah pengembangan dan pengujian model selesai, model diterapkan dalam pemetaan klorofil-a dan transparansi perairan Teluk Jakarta baik untuk musim kemarau maupun untuk musim hujan. Pemetaan ini termasuk dalam metode pengkajian Teluk Jakarta secara kualitatif dengan melihat sebaran yang terbentuk secara visual Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta musim kemarau Pemetaan konsentrasi klorofil-a di Teluk Jakarta ini dibagi menjadi 11 kelas yakni antara mg/m 3, mg/m 3, mg/m 3, mg/m 3, mg/m 3, mg/m 3, mg/m 3, mg/m 3, mg/m 3, mg/m 3, dan lebih dari 5 mg/m 3. Penggunaan 11 kelas ini bertujuan untuk mempermudah visualisasi konsentrasi klorofil-a secara lebih spesifik karena kedinamisan kondisi perairan Teluk Jakarta. Dalam hal ini yang akan dibahas hanyalah distribusi klorofil-a musim kemarau karena hasil pengujian (uji-t) antara nilai klorofil-a in situ pada musim hujan dengan nilai duga dari model menunjukkan bahwa nilai tengah antara klorofil-a in situ dengan model dugaan berbeda nyata ( 1 2) sehingga

55 model pendugaan konsentrasi klorofil-a pada musim hujan yang dikembangkan tidak terlalu baik untuk menduga konsentrasi klorofil-a. Untuk tahun , citra yang digunakan untuk pemetaan digunakan pula dalam pembuatan model. Berikut merupakan distribusi klorofil-a di Teluk Jakarta pada tahun 2004 (Gambar 5). Gambar 5. Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2004 dari model y = 415.8x x x

56 Pada 21 Juni 2004, di daerah pesisir Teluk Jakarta bagian barat dan timur, konsentrasi klorofil-a menempati kelas antara mg/m 3 dan mg/m 3 yang diwakili oleh warna biru dan hijau sedangkan di bagian tengah, sebagian besar perairan memiliki konsentrasi klorofil-a antaa mg/m 3 yang diwakili oleh warna biru. Dari gambar terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a yang lebih tinggi terdapat di pesisir pantai dan muara sungai, yakni di muara Sungai Cikarang dan Citarum di Teluk Jakarta bagian timur, dan semakin menurun konsentrasinya di laut lepas. Secara umum, konsentrasi klorofil-a paling tinggi di Teluk Jakarta ini terdapat di bagian barat Teluk Jakarta. Pada tanggal 23 Juli 2004, Teluk Jakarta didominasi konsentrasi klorofil-a pada kisaran mg/m 3 yang diwakili warna biru. Konsentrasi klorofil-a cenderung lebih tinggi pada Teluk Jakarta bagian timur. Pada Teluk Jakarta bagian tengah, konsentrasi cenderung seragam antara mg/m 3. Konsentrasi klorofil-a semakin rendah di lepas pantai. Pada tanggal 24 Agustus 2004, konsentrasi klorofil-a relatif bertambah ditandai dengan semakin luasnya wilayah berwarna biru muda dan hijau yang mewakili kisaran klorofil-a pada mg/m 3 dan mg/m 3 terutama pada Teluk Jakarta bagian barat dan timur. Pada muara Sungai Cikarang dan Sungai Citarum di bagian timur Teluk Jakarta terdapat konsentrasi klorofil-a pada kisaran mg/m 3 yang menandakan cukup tingginya kandungan nutrien dari sungaisungai tersebut. Secara umum, konsentrasi klorofil-a yang tinggi berada di bagian barat Teluk Jakarta. Pada 9 September 2004, konsentrasi klorofil-a Teluk Jakarta menurun cukup signifikan di mana perairan didominasi oleh kisaran klorofil-a mg/m 3 yang

57 diwakili warna biru tua. Di muara-muara sungai, nilai klorofil-a cenderung lebih tinggi yakni antara mg/m 3. Konsentrasi klorofil-a meningkat lagi pada 25 September 2004 di mana Teluk Jakarta didominasi konsentrasi klorofil-a pada kisaran mg/m 3. Namun pada pesisir barat dan timur terdapat konsentrasi klorofil-a dengan kisaran mg/m 3 (warna biru muda) dan mg/m 3 (warna hijau) dengan pola teratur, semakin rendah ke arah laut lepas. Pada 11 Oktober 2004, secara umum distribusi klorofil-a semakin meningkat dari tanggal 25 September 2004 yang divisualisasikan dengan bertambahnya luasan yang berwarna biru (kisaran klorofil-a mg/m 3 ) yang mendominasi perairan Teluk Jakarta. Untuk pemetaan distribusi klorofil-a pada tahun 2005 (Gambar 6) dan tahun 2006 (Gambar 7) ini digunakan sebanyak tiga data citra yang semuanya digunakan dalam pengembangan model penduga konsentrasi klorofil-a.

58 Gambar 6. Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2005 dari model y = 415.8x x x Pada distribusi klorofil-a tahun 2005 di atas, terlihat bahwa terjadi peningkatan konsentrasi klorofil-a dari tanggal 11 Agustus 2005 ke tanggal 27 Agustus 2005 dan 28 September Pada tanggal 11 Agustus 2005, konsentrasi klorofil-a cenderung rendah dan perairan Teluk Jakarta didominasi klorofil-a pada kisaran mg/m 3 (warna biru) dan kisaran mg/m 3 (warna biru muda) pada pesisir dan muara sungai. Pada tanggal 27 Agustus 2005, terlihat bahwa luasan wilayah yang diwakili warna biru muda meningkat terutama di bagian tengah Teluk Jakarta. Pada perairan sekitar muara Sungai Cikarang di bagian timur Teluk Jakarta lebih diwakili kisaran klorofil-a mg/m 3 sedangkan pada muara Sungai Cisadane, konsentrasi klorofil-a lebih tinggi sampai kisaran 2.5-3

59 mg/m 3 yang diwakili warna kuning. Pada tanggal 28 September 2005, konsentrasi klorofil-a meningkat lagi, ditandai dengan semakin luasnya wilayah yang diwakili warna biru muda (kisaran mg/m 3 ) terutama pada Teluk Jakarta bagian timur. Pada muara Sungai Cisadane, konsentrasi klorofil-a sampai pada kisaran mg/m 3 yang diwakili warna oranye. Gambar 7. Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2006 dari model y = 415.8x x x Konsentrasi klorofil-a pada 26 Mei 2006 cenderung seragam dan rendah yakni pada kisaran mg/m 3 pada wilayah pesisir dan mg/m 3 secara keseluruhan. Pada 1 Oktober 2006, klorofil-a ini mengalami peningkatan dan

60 yang paling tinggi terdapat pada muara Sungai Cisadane di bagian barat Teluk Jakarta. Konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Jakarta tanggal 17 Oktober 2006 lebih tinggi dari tanggal 26 Mei 2006 dan 1 Oktober Adapun yang paling tinggi terdapat di sebelah timur Teluk Jakarta yang sebagian besar perairan diwakili oleh warna biru muda pada kisaran mg/m 3 terutama di bagian muara. Untuk distribusi klorofil-a tahun 2007 (Gambar 8), tahun 2008 (Gambar 9), dan tahun 2009 (Gambar 10), digunakan perwakilan satu citra untuk masingmasing tahun, di mana citra-citra tersebut tidak digunakan dalam pengembangan model karena tidak tersedianya data in situ. Gambar 8. Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2007 dari model y = 415.8x x x Konsentrasi klorofil-a pada tahun 2007 ini terlihat cukup tinggi terutama di bagian timur Teluk Jakarta antara muara Sungai Cikarang dan muara Sungai Ciliwung yang diwakili oleh warna oranye yang menandakan kisaran klorofil-a

61 3.5-4 mg/m 3. Pada muara Sungai Cisadane di bagian barat Teluk Jakarta juga terdapat kisaran klorofil-a ini. Namun secara keseluruhan Teluk Jakarta didominasi konsentrasi klorofil-a mg/m 3 yang diwakili warna hijau. Gambar 9. Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2008 dari model y = 415.8x x x Pada 18 Juli 2008 (Gambar 9), kisaran klorofil-a mencapai kisaran mg/m 3 (warna oranye) dan mg/m 3 (warna magenta) yakni pada muara Sungai Cikarang dan Citarum di bagian timur Teluk Jakarta maupun di muara Sungai Cisadane di bagian barat Teluk Jakarta. Pola distribusi konsentrasi klorofil-a di sini adalah tinggi di bagian pesisir dan semakin rendah di lepas pantai dan secara keseluruhan Teluk Jakarta didominasi konsentrasi klorofil-a mg/m 3.

62 Gambar 10. Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2009 dari model y = 415.8x x x Perairan Teluk Jakarta tanggal 2 Mei 2009 (Gambar 10) didominasi oleh warna biru muda dan relatif seragam di mana konsentrasi klorofil-a berada dalam kisaran mg/m 3. Namun tampak jelas pada muara sungai-sungai besar seperti Sungai CIsadane, Citarum, dan Cikarang, konsentrasi klorofil-a jauh lebih tinggi yakni pada kisaran mg/m 3 (warna hijau muda) dan mg/m 3 (warna kuning) Transparansi perairan Teluk Jakarta Pemetaan transparansi perairan di Teluk Jakarta pada musim kemarau dan musim hujan ini dibagi menjadi 9 kelas yakni antara 0-1 m, 1-2 m, 2-3 m, 3-4 m, 4-5 m, 5-6 m, 6-7 m, 7-8 m, dan lebih dari 8 m. Penggunaan 9 kelas ini bertujuan untuk mempermudah dalam melihat sebaran transparansi perairan secara lebih spesifik karena kedinamisan kondisi perairan Teluk Jakarta.

63 (1) Transparansi perairan Teluk Jakarta musim kemarau Pemetaan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2004 dilakukan untuk tiap data citra yang digunakan untuk pengembangan model. Adapun sebaran transparansinya disajikan dalam Gambar 11 sebagai berikut. Gambar 11. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2004 dari model y = x x x

64 Pada tanggal 21 Juni 2004, seluruh pesisir barat dan timur Teluk Jakarta diwakili oleh transparansi perairan pada kisaran 2-3 m. Pola transparansi pada tanggal ini adalah rendah pada pesisir dan semakin tinggi pada lepas pantai, di mana pada lepas pantai, transparansi perairannya mencapai kisaran lebih dari 8 m (warna ungu). Pada tanggal 23 Juli 2004, transparansi di Teluk Jakarta relatif menurun dari tanggal 21 Juni 2004 di mana perairan Teluk Jakarta didominasi warna kuning dengan kisaran transparansi 2-3 m. Pada 24 Agustus 2004, kisaran transparansi perairan masih serupa dengan tanggal 23 Juli 2004, di mana pada muara Sungai Citarum dan Cikarang transparansinya cenderung lebih tinggi dari pada transparansi Teluk Jakarta secara keseluruhan. Pada 9 September 2004, transparansi Teluk Jakarta meningkat cukup signifikan, di mana hampir seluruh pesisir Teluk Jakarta divisualisasi dengan warna hijau muda dan biru muda pada kisaran transparansi 4-5 m dan 5-6 m. pada muara sungai, kisaran transparansi perairan antara 2-3 m yang diwakili oleh warna kuning. Semakin ke arah lepas pantai transparansi semakin meningkat. Namun transparansi perairan pada mulut teluk hanya berkisar 6-7 m (warna biru). Cukup berbeda jauh dengan tanggal 9 September 2004, transparansi perairan rata-rata di Teluk Jakarta dan sekitarnya pada 25 September 2004 cukup tinggi. Terlihat bahwa sebagian besar transparansi Teluk Jakarta didominasi oleh warna ungu yang mewakili transparansi perairan lebih besar dari 8 m. Hal ini membuktikan bahwa kondisi perairan Teluk Jakarta sangat dinamis. Di daerah pesisir terutama di bagian timur Teluk Jakarta, transparansi relatif rendah, pada kisaran 2-3 m (warna kunging). Pada 11 Oktober 2004, transparansi masih cukup

65 tinggi di mana secara keseluruhan perairan Teluk Jakarta didominasi oleh warna hijau (kisaran transparansi 3-4 m) dan hijau muda (kisaran transparansi 4-5 m). Secara umum pola distribusi transparansi pada musim kemarau tahun 2004 di Teluk Jakarta ini adalah rendah di bagian muara sungai dan pesisir dengan nilai yang bervariasi dari waktu ke waktu, dan transparansi yang semakin tinggi pada lepas pantai. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya menyebutkan bahwa kisaran transparansi perairan Teluk Jakarta antara m (Praseno, 1979) di mana nilai transparansi perairan terendah terdapat di daerah pantai dan tertinggi di lepas pantai. Pada musim kemarau, arus dan gelombang penyebab pengadukan di perairan Teluk Jakarta tidak terlalu kuat sehingga daerah yang paling keruh hanya terbatas pada muara sungai saja. Adapun pada musim kemarau, arus dominan bergerak ke arah barat. Seluruh citra tahun 2004 musim kemarau yang digunakan menunjukkan bahwa transparansi terendah di teluk Jakarta terdapat di bagian timur Teluk Jakarta. Hal ini sesuai dengan pustaka yang menyebutkan bahwa terdapat sedimentasi yang tinggi pada pantai timur Teluk Jakarta akibat bermuaranya Sungai Citarum di Tanjung Karawang (Arifin et. al., 2003). Untuk pemetaan transparansi perairan tahun 2005, digunakan sebanyak tiga data citra yang semuanya juga digunakan dalam pengembangan model penduga transparansi perairan musim kemarau. Adapun distribusi transparansinya disajikan dalam Gambar 12 berikut.

66 Gambar 12. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2005 dari model y = x x x Pada 11 Agustus 2005, secara keseluruhan terlihat bahwa transparansi perairan Teluk Jakarta cukup tinggi dan didominasi warna hijau muda (kisaran transparansi 4-5 m) di dekat pesisir dan warna biru muda (kisaran transparansi 5-6 m) di mulut teluk. Transparansi terendah terdapat di bagian timur Teluk Jakarta di muara Sungai Cikarang (Tanjung Gembong) dan muara Sungai Citarum (Tanjung Krawang) yang diwakili oleh warna kuning dengan kisaran transparansi 2-3 m. Transparansi perairan relatif menurun pada tanggal 27 Agustus 2005, di mana perairan secara keseluruhan didominasi oleh warna hijau muda (kisaran transparansi 4-5 m). Pada muara-muara sungai, transparansi perairan cenderung lebih rendah yakni diwakili oleh warna kuning (kisaran 1-2 m). Pada tanggal 28

67 September 2005 transparansi cenderung menurun lagi. Transparansi secara keseluruhan didominasi oleh warna kuning (kisaran transparansi 2-3 m). Namun pada muara Sungai Cisadane terdapat kisaran transparansi yang lebih tinggi yakni antara 6-7 m. Secara keseluruhan berdasarkan citra hasil olahan tahun 2005 musim kemarau ini transparansi perairan Teluk Jakarta cenderung menurun. Pola distribusi transparansi di Teluk Jakarta ini mengikuti pola umum yang rendah di bagian muara sungai dan pesisir dan semakin tinggi pada lepas pantai. Gambar 12 di atas juga menunjukkan bahwa transparansi terendah terdapat di bagian timur Teluk Jakarta di muara Sungai Citarum dan Sungai Cikarang karena adanya sedimentasi yang tinggi pada pantai timur Teluk Jakarta akibat bermuaranya Sungai Citarum di Tanjung Krawang (Arifin et. al., 2003). Untuk pemetaan transparansi perairan tahun 2006, digunakan sebanyak tiga data citra yang semuanya juga digunakan dalam pengembangan model penduga transparansi perairan musim kemarau. Adapun distribusi transparansinya disajikan dalam Gambar 13 berikut.

68 Gambar 13. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2006 dari model y = x x x Dari Gambar 13 di atas terlihat bahwa transparansi perairan relatif sangat bervariasi namun memiliki kecenderungan untuk menurun. Pada 26 Mei 2006, wilayah pesisir barat dan timur Teluk Jakarta didominasi warna kuning (kisaran transparansi 2-3 m) sedangkan bagian tengah Teluk Jakarta cenderung lebih cerah dan didominasi hijau muda (kisaran transparansi 4-5 m). Wilayah Teluk Jakarta secara secara umum didominasi warna biru yang merupakan kisaran transparansi tinggi antara 6-8 m. Transparansi perairan terendah terdapat pada muara Sungai Cisadane, Citarum, dan Cikarang di mana secara umum transparansi terendah terdapat di bagian timur Teluk Jakarta. Terdapat wilayah dengan nilai transparansi perairan lebih dari 8 m di mulut teluk.

69 Berdasarkan.citra tanggal 1 Oktober 2006, terjadi peningkatan nilai transparansi perairan di mana transparansi perairan yakni sebagian besar lebih dari 8 m. Pesisir bagian tengah Teluk Jakarta memiliki kisaran transparansi perairan antara 4-5 m (warna hijau muda). Nilai transparansi terendah terdapat di bagian timur Teluk Jakarta terutama di muara Sungai Cikarang dan Citarum. Pada tanggal 17 Oktober 2006, transparansi perairan berkurang secara signifikan di mana sebagian besar Teluk Jakarta diwakili oleh warna kuning dengan nilai transparansi pada kisaran 2-3 m. Transparansi perairan tahun 2007 (Gambar 14), tahun 2008 (Gambar 15), dan tahun 2009 (Gambar 16) dikembangkan dari model penduga y = 85.63x Citra-citra tersebut tidak digunakan dalam pengembangan model tersebut namun digunakan dalam penerapan untuk mengekstrak informasi transparansi perairan. Gambar 14. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2007 dari model y = x x x

70 Pada tahun 2007 (Gambar 14), sebagian besar perairan Teluk Jakarta memiliki nilai transparansi perairan rendah antara 2-3 m yang diwakili warna kuning. Transparansi perairan semakin meningkat ke arah mulut teluk dan terdapat pula kisaran transparansi tinggi lebih dari 8 m yang diwakili warna ungu. Gambar 15. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2008 dari model y = x x x Viualisasi transparansi perairan tahun 2008 (Gambar 15) tidak jauh berbeda dengan tahun 2007 sebelumnya, di mana kisaran transparansi perairan cukup rendah antara 2-3 m dan pada mulut teluk memiliki kisaran lebih dari 6 m. Akan tetapi terlihat dari gambar bahwa pada muara Sungai Cikarang terdapat kisaran transparansi yang lebih tinggi antara 3-4 m.

71 Gambar 16. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2009 dari model y = x x x Pada tahun 2009 (Gambar 16), terlihat bahwa transparansi perairan Teluk Jakarta tanggal 2 Mei 2009 relatif seragam, yakni pada kisaran 2-3 m. Sana halnya dengan tahun 2008, pada muara Sungai Cikarang tahun 2009 ini juga terdapat kisaran transparansi antara 3-4 m yang diwakili warna hijau. (2) Transparansi perairan Teluk Jakarta musim hujan Pemetaan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2004 disajikan dalam Gambar 17 sebagai berikut.

72 Gambar 17. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2004 dari model y = x x x Distribusi transparansi paling rendah (kisaran 1-2 m) yang diwakili warna oranye terdapat pada pesisir Teluk Jakarta dan di muara-muara sungai. Secara visual terlihat bahwa bagian timur Teluk Jakarta memilki nilai transparansi perairan yang lebih rendah dari pada bagian baratnya. Hal ini terlihat dari dominannya warna hijau dan hijau muda (nilai transparansi 3-5 m) di bagian timur Teluk Jakarta dari pada bagian barat yang lebih didominasi warna biru dan biru muda (nilai transparansi 5-8 m). Untuk tahun 2005, digunakan 2 citra pada tanggal 15 Januari dan 16 Februari Pemetaan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2005 ini disajikan dalam Gambar 18 sebagai berikut.

73 Gambar 18. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2005 dari model y = x x x Gambar 18 di atas menunjukkan kondisi transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan yang sangat keruh (kisaran transparansi 1-2 m) terutama pada bagian timur Teluk Jakarta. Pada tanggal 15 Januari 2005, hampir seluruh Teluk Jakarta mempunyai nilai transparansi perairan yang sangat rendah. Nilai transparansi yang rendah ini merupakan akibat dari run-off sungai Cikarang dan Citarum di bagian timur, dan Sungai Cisadane di bagian barat. Distribusi transparansi pada 16 Februari 2005 juga sangat rendah yakni sebagian besar pada kisaran 1-2 m yang diwakili warna merah dan terdapat hampir di seluruh bagian Teluk Jakarta. Untuk pemetaan transparansi perairan musim hujan tahun 2006 (Gambar 19), tahun 2007 (Gambar 20), tahun 2008 (Gambar 21), dan tahun 2009 (Gambar 22), citra yang ditampilkan tidak digunakan dalam pengembangan model namun digunakan dalam penerapan model untuk mengekstrak informasi transparansi perairan musim hujan.

74 Gambar 19. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2006 dari model y = x x x Pada musim hujan tanggal 2 November 2006 dari Gambar 19 di atas, terlihat bahwa nilai transparansi perairan Teluk Jakarta cukup tinggi, di mana sebagian besar didominasi oleh warna biru (kisaran transparansi 6-8 m). Bagian timur Teluk Jakarta terutama di muara Sungai Cikarang dan Sungai Citarum memiliki transparansi perairan yang relatif rendah. Hal ini disebabkan pada tahun 2006 terjadi Indian Ocean Dipole Mode (IOCM) sampai bulan Oktober yang masih berengaruh juga pada tanggal 2 Novermber pada saat citra diakuisisi. Indian Ocean Dipole Mode (IOCM) mnyebabkan kondisi laut tenang dan curah hujan rendah sehingga transparansi perairan tinggi.

75 Gambar 20. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2007 dari model y = x x x Pada tanggal 7 Desember 2007 di atas, awan menutupi sebagian Teluk Jakarta sehingga transparansi tidak dapat diekstrak dengan sempurna. Namun secara umum kisaran transparansi pada tanggal ini relatif tinggi seperti halnya kisaran transparansi pada tahun 2006 sebelumnya.

76 Gambar 21. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2008 dari model y = x x x Pada Gambar 21 di atas, jelas terlihat kisaran transparansi perairan terendah terdapat pada bagian timur dan tengah Teluk Jakarta yang diwakili oleh warna oranye (kisaran transparansi 1-2 m). Rendahnya nilai transparansi di bagian timur ini merupakan akibat dari buangan Sungai Citarum, Sungai Cikarang dan sungaisungai kecil lainnya di Tanjung Gembong. Di bagian tengah, rendahnya nilai transparansi perairan ini akibat buangan dari Sungai Ciliwung dan Kali Sunter serta sungai-sungai lainnya.

77 Gambar 22. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2009 dari model y = x x x Pada Gambar 22 di atas terlihat bahwa transparansi perairan relatif cukup tinggi dan didominasi oleh warna ungu sehingga kisaran transparansi sebagian besar Teluk Jakarta lebih dari 8 m. Hal ini bertentangan dengan teori yang menyebutkan bahwa transparansi menjadi rendah pada musim hujan karena adanya pengadukan oleh arus dan gelombang yang cukup kuat. Selain itu, musim hujan menyebabkan run-off dari sungai bertambah. Meningkatnya debit air sungai yang masuk ke perairan menyebabkan bertambah keruhnya perairan tersebut. Wilayah perairan dengan kisaran transparansi 1-2 m yang diwakili warna oranye terdapat di sekitar muara Sungai Cikarang dan Sungai Citarum di bagian timur Teluk Jakarta dan di sekitar muara Sungai Cisadane di bagian barat Teluk Jakarta.

78 4.4 Rata-rata konsentrasi klorofil-a dan transparansi perairan tahun dari model Kelas konsentrasi klorofil-a yang digunakan dalam pembahasan ini ada enam kelas yakni mg/m 3, mg/m 3, mg/m 3, mg/m 3, mg/m 3, dan lebih dari 10 mg/m 3. Hal ini mengacu pada pustaka Wouthuyzen (2007) yang memberikan kriteria kondisi Harmful Algal Blooms (HAB) sebagai berikut. - Kondisi aman jika nilai konsentrasi klorofil-a < 1.5 mg/m 3 - Kondisi siaga jika nilai konsentrasi klorofil-a mg/m 3, tetapi menjadi bahaya jika menutupi seluruh Teluk Jakarta - Kondisi bahaya jika nilai konsentrasi klorofil-a > 10 mg/m 3 Adapun definisi marak alge adalah jika konsentrasi klorofil-a mencapai lebih dari 10 mg/m 3 dan meliputi lebih dai seperempat luasan Teluk Jakarta, atau jika konsentrasi klorofil-a lebih dari 2.5 mg/m 3 namun meliputi seluruh perairan Teluk Jakarta (Wouthuyzen, 2007). Hal ini juga disesuaikan dengan kriteria perairan teluk dan muara berdasarkan konsentrasi klorofil-a menurut Bohlen dan Boynton (1966, in Afdal dan Riyono, 2008). Demikian pula dengan kelas transparansi yang digunakan dalam pembahasan ini ada lima kelas yaitu antara 0-3 m, 3-5 m, 5-10 m, m, dan lebih dari 30 m. Kriteria ini mengacu pada nilai ambang batas yang ditetapkan oleh Kantor MNKLH (1988) yakni sesuai untuk kepentingan perikanan jika transparansi perairan > 3 m, sesuai untuk kehidupan koral (terumbu karang) jika transparansi perairan > 5 m, sesuai untuk pariwisata (mandi selam dan renang) jika transparansi perairan > 10 m, dan sesuai untuk taman laut konservasi jika transparansi perairan < 30 m.

79 4.4.1 Klorofil-a perairan Teluk Jakarta musim kemarau Gambar di bawah merupakan gambar distribusi klorofil-a perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau mulai tahun Gambar 23. Distribusi klorofil-a rata-rata musim kemarau tahun Dari gambar di atas, terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a rata-rata relatif seragam dan rendah dari tahun ke tahun. Adapun pola distribusi klorofil-a ini secara umum adalah relatif lebih tinggi di pesisir dan muara sungai serta semakin

80 berkurang ke arah lepas pantai. Hal ini paling terlihat misalnya pada tahun 2007 di mana konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi antara mg/m 3 yang diwakili warna hijau terdapat di bagian timur Teluk Jakarta di sekitar muara Sungai Cikarang dan Sungai Ciliwung. Menurut Wouthuyzen (2007), kisaran mg/m 3 ini termasuk kondisi siaga terjadinya HAB, dan belum dalam kondisi bahaya HAB karena tidak menutupi seluruh Teluk Jakarta. Demikian pula pada tahun 2009 terlihat yang memliki nilai konsentrasi paling tinggi adalah pada muara Sungai Cikarang. Rata-rata klorofil-a tahun 2008 memiliki konsentrasi klorofil-a yang tinggi terdapat pada wilayah pesisir dan muara sungai, terutama untuk Teluk Jakarta bagian barat dan timur. Berdasarkan kriteria kondisi Harmful Algal Blooms (Wouthuyzen, 2007), perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun ini termasuk dalam kategori aman karena memiliki nilai konsentrasi lebih rendah dari pada 1.5 mg/m 3. Jika mengacu pada kriteria perairan menurut Bohlen dan Boynton (1966, in Afdal dan Riyono, 2008), maka Teluk Jakarta termasuk dalam kategori perairan normal karena memiliki sebaran konsentrasi klorofil-a yang kurang dari 15 mg/m 3. Hasil ini sedikit berbeda dengan referensi pada pustaka Wouthuyzen (2007) yang menyebutkan bahwa Teluk Jakarta rawan terjadi HAB karena tingginya masukan nutrien dari daratan yang memicu pertumbuhan fitoplankton yang semakin tinggi. Hal ini terjadi karena penelitian untuk melihat distribusi klorofil-a hanya pada musim kemarau karena model penduga konsentrasi klorofila pada musim hujan di perairan kurang baik dalam menduga konsentrasi klorofila. Wouthuyzen (2007) menyebutkan bahwa kejadian marak alge ini umumnya terjadi pada musim peralihan I dari musim hujan ke musim kemarau dengan

81 frekuensi tertinggi pada bulan April-Mei, dan pada musim peralihan II dari musim kemarau dan musim hujan dengan frekuensi tertinggi pada bulan September- Oktober. Pada musim peralihan I, masukan hara dan nutrien yang tinggi ke dalam Teluk Jakarta yang berasal dari daratan ini dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi pada musim hujan sebelumnya. Pada musim peralihan II, pasokan nutrien dari daratan sangat rendah karena curah hujan yang relatif rendah namun pada musim ini terjadi angin timur yang kuat yang menyebabkan terjadinya up welling dan turbulensi yang menaikkan nutrien tinggi di dasar perairan sehingga perairan menjadi subur dan memacu pertumbuhan fitoplankton Transparansi perairan Teluk Jakarta musim kemarau Gambar 24 di bawah merupakan gambar distribusi transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau mulai tahun 2004 sampai tahun Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dari tahun 2004 sampai 2009 semakin berkurang secara signifikan. Pada tahun 2004, perairan yang paling keruh hanya terdapat pada pesisir timur Teluk Jakarta dan Tanjung Krawang. Perairan yang masih layak untuk kegiatan perikanan (> 3 m) masih sangat luas, meliputi wilayah perairan yang diwakili oleh warna kuning, hijau, dan biru. Pada tahun 2005, nilai transparansi perairan Teluk Jakarta menurun drastis di mana transparansi bagian tengah Teluk Jakarta sudah sangat rendah dan tak layak untuk kegiatan perikanan. Transparansi rata-rata musim kemarau tahun 2006 mulai meningkat lagi dan tidak jauh berbeda dengan transparansi rata-rata musim kemarau tahun 2004, di mana nilai transparansi paling rendah terdapat pada pesisir timur Teluk Jakarta. Untuk tahun 2007 dan 2008, terlihat bahwa pesisir Teluk Jakarta tidak baik untuk kegiatan perikanan karena rendahnya transparansi

82 perairan.transparansi perairan rata-rata tahun 2009 pada musim kemarau ini sangat rendah. Gambar 24. Transparansi perairan rata-rata musim kemarau tahun Berdasarkan nilai ambang batas yang diberikan Kantor MNKLH (1988), seluruh wilayah Teluk Jakarta tidak terlalu baik sebagai wilayah perikanan karena nilai transparansi perairannya sangat rendah (Gambar 24). Hal ini terjadi karena meningkatnya jumlah penduduk sebanyak dua kali lipat sejak tahun 1980 sampai tahun 2000 (sebanyak 11.9 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 20.3 juta jiwa pada

83 tahun 2000) (BPS, 2003, in Arifin, 2004) di sekitar Teluk Jakarta serta tingginya aktivitas pembangunan masyarakat di Jabodetabek yang menyebabkan buangan limbah dan material terlarut semakin tinggi, sehingga transparansi perairan menurun. Nilai transparansi perairan yang layak untuk pertumbuhan koral menurut Kantor MNKLH (1988) adalah lebih dari 5 m. Pada gambar di atas, wilayah yang masih layak untuk pertumbuhan koral diwakili oleh warna hijau dan biru. Dari Gambar 24 di atas terlihat bahwa wilayah perairan yang masih baik untuk pertumbuhan koral semakin berkurang dari tahun Namun untuk kegiatan pariwisata dan penyelaman, secara umum seluruh Teluk Jakarta tidak baik untuk kegiatan tersebut karena rendahnya transparansi. Nilai transparansi perairan yang baik untuk kegiatan pariwisata ini sebaiknya lebih dari 10 m untuk untuk memudahkan dalam melihat di bawah air Transparansi perairan Teluk Jakarta musim hujan Pada musim hujan, penutupan awan pada umumnya lebih tinggi dari pada musim kemarau. Gambar 25 menunjukkan distribusi perairan pada musim hujan mulai tahun Pada seluruh citra terdapat tutupan awan namun tidak terlalu mengganggu visualisasi transparansi di Teluk Jakarta. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan dari tahun 2004 sampai 2009 sangat bervariasi. Namun tutupan awan terutama pada tahun 2009 menyebabkan kurang baiknya distribusi transparansi yang dibuat. Pada tahun 2004, perairan yang paling keruh dengan nilai transparansi kurang dari 3 m terdapat pesisir pada bagian barat, tengah dan timur Teluk Jakarta. Perairan yang masih layak untuk kegiatan

84 perikanan (> 3 m) masih sangat luas, meliputi wilayah perairan yang diwakili oleh warna kuning, hijau, dan biru. Gambar 25. Transparansi perairan rata-rata musim hujan tahun Pada tahun 2005, nilai transparansi perairan Teluk Jakarta menurun drastis yang diwakili dengan warna merah, di mana transparansi seluruh perairan Teluk Jakarta sangat rendah dan tak baik untuk kegiatan perikanan. Jika dibandingkan dengan rata-rata musim kemarau tahun 2005 yang juga memiliki rata-rata transparansi Teluk Jakarta rendah, maka pada musim hujan rata-rata nilai

85 transparansi jauh lebih rendah, ditandai dengan semakin luasnya perairan yang diwakili oleh warna merah (kisaran transparansi 0-3 m). Pada tahun 2006, terlihat bahwa transparansi perairan relatif bertambah dan wilayah yang masih baik untuk kegiatan perikanan masih luas. Perairan dengan transparansi sangat rendah berada pada pesisir dekat muara sungai-sungai besar seperti Sungai Cisadane, Sungai Citarum, dan Sungai Cikarang. Transparansi perairan rata-rata tahun 2007 tidak jauh berbeda dengan tahun Untuk tahun 2006 dan 2007 ini, transparansi perairan rata-rata terendah terdapat di bagian timur Teluk Jakarta. Untuk tahun 2008, transparansi perairan yang paling rendah juga terdapat pada bagian timur Teluk Jakarta. Transparansi perairan cenderung turun dari tahun-tahun sebelumnya namun luasan wilayah yang sesuai untuk kegiatan perikanan berdasarkan Kantor MNKLH (1988) masih luas. Pada citra tahun 2009 terdapat tutupan awan tipis di Teluk Jakarta sehingga visualisasi transparansi perairan tidak terlihat secara jelas. Dari Gambar 25 terlihat bahwa transparansi perairan rata-rata Teluk Jakarta musim hujan cukup tinggi. Hal ini bertentangan dengan hasil yang diperoleh pada musim kemarau di mana seluruh wilayah Teluk Jakarta memiliki transparansi yang sangat rendah antara 0-3 m saja. Wilayah perairan yang baik untuk pertumbuhan koral menurut Kantor MNKLH (1988) adalah lebih dari 5 m. Pada Gambar 25 di atas, wilayah yang masih layak untuk pertumbuhan koral diwakili oleh warna hijau dan biru. Tahun 2004, wilayah yang baik untuk pertumbuhan koral ini masih sangat luas meliputi sebagian Teluk Jakarta sampai ke perairan dekat Kepulauan Seribu. Pada tahun 2005, seluruh wilayah perairan Teluk Jakarta sudah tidak layak untuk

86 pertumbuhan koral karena kisaran transparansi perairan yang sangat rendah antara 0-3 m. Pada tahun 2006, luas wilayah yang masih layak untuk pertumbuhan koral meningkat bahkan lebih luas dari tahun 2004, namun luasan ini semakin berkurang di tahun 2007 dan Luasan wilayah untuk kegiatan pariwisata berdasarkan Gambar 25 di atas mengalami peningkatan. Pada perairan Teluk Jakarta Hal ini juga bertolak belakang dengan hasil pada Gambar 24 yakni rata-rata transparansi pada musim kemarau di mana setiap tahun luasan yang sesuai nilai ambang batas yang diberikan oleh Kantor MNKLH (1988) memiliki kecenderungan untuk menurun. 4.5 Konsentrasi klorofil-a perairan Teluk Jakarta tahun Secara umum, penyebaran klorofil-a pada pemetaan distribusi klorofil-a musim ini cukup baik, yakni konsentrasi klorofil-a yang tinggi di daerah pesisir dan semakin berkurang di laut lepas. Pada musim kemarau, arah arus dominan ke arah barat. Namun peta sebaran klorofil-a di bagian dalam Teluk Jakarta tidak terlalu mengikuti pola arus ini karena nilai klorofil-a yang relatif rendah. Secara keseluruhan hasil penelitian sebaran klorofil-a ini mengikuti pola seperti yang diteliti Arinardi (1995) bahwa pola sebaran fitoplankton sesuai dengan arah dan kekuatan arus setiap musimnya, di mana konsentrasi fitoplankton keseluruhan tertinggi terlihat di bagian barat pada musim timur/kemarau. Angin berhembus dari arah timur menuju barat sehingga arus membawa fitoplankton bergerak dari arah timur Teluk Jakarta ke bagian barat Teluk Jakarta. Penelitian yang dilakukan Meliani (2006) memperkuat bukti bahwa kandungan klorofil-a yang tinggi berada di bagian pesisir dan semakin rendah ke arah mulut teluk. Demikian pula dengan hasil penelitian Nontji (1984) bahwa di

87 Teluk Jakarta, daerah yang dekat dengan pantai, variasi klorodil-a yang terjadi dari waktu ke waktu cukup besar, sedangkan di daerah yang terluar, kandungan klorofil-a hampir selalu rendah sepanjang tahun. Secara keseluruhan, dari citra satelit tahun terlihat bahwa nilai klorofil-a di perairan Teluk Jakarta sangat rendah. Rendahnya nilai klorofil-a di perairan menandakan rendahnya produktivitas primer di perairan tersebut. Produktivitas primer berkaitan erat dengan perikanan di mana daerah dengan produktivitas primer yang tinggi biasanya merupakan daerah perikanan potensial. Dari sini terlihat bahwa Teluk Jakarta bukan merupakan wilayah potensial untuk kegiatan perikanan. Jika dihubungkan dengan transparansi perairan yang juga sangat rendah namun konsentrasi klorofil-a juga rendah, terlihat bahwa Teluk Jakarta memang merupakan perairan tipe II, di mana sifat optik air laut bukan didominasi konsentrasi klorofil saja melainkan oleh sedimen suspensi, bahan organik terlarut (yellow substances), dan partikel yang berasal dari tanah, sungai, dan gletser. Untuk perairan tipe I, konsentrasi klorofil yang rendah menyebabkan tingginya transparansi perairan. Dari penelitian LIPI pada bulan Juni dan September 2003 (LIPI, 2003), kelimpahan fitoplankton rata-rata di Teluk Jakarta bagian barat (pengaruh Sungai Cisadane) dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tengah (pengaruh Sungai Ciliwung) dan timur (pengaruh Sungai Citarum). Pada bulan Juni (musim timur), konsentrasi fitoplankton di Teluk Jakarta bagian barat dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan konsentrasi fitoplankton di Teluk Jakarta bagian tengah dan timur. Di perairan pantai tropis terutama di sekitar mulut sungai, melimpahnya

88 fitoplankton sebagian besar karena pengaruh dari daratan sebagai akibat terbawanya nutrisi dari persawahan, ladang, limbah industri dan rumah tangga melalui air sungai ke laut dan juga karena adanya pengadukan oleh gelombang pasang dan arus laut yang bergerak ke perairan yang lebih dangkal (Doty dan Oguri, 1956, in LIPI, 2003). Hasil uji nilai tengah model pada musim hujan menghasilkan bahwa keduanya berbeda nyata sehingga hasil uji adalah tolak H 0 atau tolak model, maka hasil ini tidak dapat diandalkan. Pemetaan untuk melihat konsentrasi klorofil-a Teluk Jakarta secara kualititif hanya bisa dilakukan untuk musim kemarau saja model penduga konsentrasi klorofil-a untuk musim hujan kurang baik. Secara kuantitatif, berikut disajikan grafik perubahan rata-rata klorofil-a pada musim kemarau dari tahun 2004 sampai tahun Gambar 26. Perubahan konsentrasi klorofil-a rata-rata tahun Untuk melihat konsentrasi klorofil-a secara kuantitatif, dibuat plot antara nilai in situ konsentrasi klorofil-a dengan nilai duga (Gambar 26 dan Gambar 27). Plot

89 segi empat dan garis putus-putus mewakili nilai transparansi perairan dari pengukuran in situ, sedangkan plot segi empat dengan garis mewakili nilai transparansi duga. Gambar 27. Plot nilai klorofil-a in situ dan nilai duga dari model y = 415.8x x x untuk musim kemarau Gambar 28. Plot nilai klorofil-a in situ dan nilai duga dari model y = x x x untuk musim hujan Dari kedua gambar di atas terlihat bahwa nilai konsentrasi klorofil-a duga dari pemodelan baik untuk musim kemarau maupun musim hujan ini memiliki pola

90 yang sama dengan nilai pengukuran in situ. Pola yang terbentuk pun relatif sama dan selisih nilai in situ di mana nilai duga pun tidak terlalu jauh. Kecenderungan untuk meningkat dan menurun juga masih dalam pola yang sama. 4.6 Transparansi perairan Teluk Jakarta tahun Pemetaan transparansi perairan dan konsentrasi klorofil-a pada musim kemarau dan hujan dari tahun dimaksudkan untuk melihat kondisi kualitas perairan Teluk Jakarta secara kualitatif. Secara kuantitatif, berikut disajikan grafik perubahan rata-rata transparansi perairan pada musim kemarau dan musim hujan dari tahun 2004 sampai tahun Gambar 29. Perubahan transparansi perairan rata-rata tahun Berdasarkan hasil penelitian tentang transparansi perairan Teluk Jakarta, terlihat bahwa pola transparansi yang paling umum adalah rendah pada pesisir pantai dan semakin tinggi di perairan lepas pantai. Rendahnya nilai transparansi perairan di sekitar muara sungai adalah karena masukan/run-off dari daratan yang cukup tinggi sehingga kandungan material terlarut yang dibawa lebih tinggi.

91 Secara visual terlihat bahwa bagian timur Teluk Jakarta memiliki nilai transparansi perairan yang lebih rendah dari pada bagian baratnya. Hal ini sesuai dengan penelitian awal Arifin et. al. (2003) di mana sedimentasi tertinggi terjadi pada pantai timur Teluk Jakarta sehingga menyebabkan rendahnya transparansi perairan, terutama jika terjadi pengadukan perairan oleh arus dan gelombang yang kuat. Pada musim kemarau, rendahnya transparansi perairan berkaitan dengan masukan dari daratan dan sesuai dengan pustaka yang menyebutkan bahwa sedimentasi pada pantai timur Teluk Jakarta adalah akibat bermuaranya Sungai Citarum di Tanjung Karawang (Arifin et. al., 2003). Pada musim hujan, selain karena masukan dari daratan lebih tinggi karena tingginya curah hujan, terdapat juga arus yang kuat yang menyebabkan turbulensi dan up welling pada Teluk Jakarta (Wouthuyzen, 2007). Transparansi pada umumnya lebih tinggi pada musim kemarau dari pada musim hujan karena pada musim hujan, faktor pengadukan oleh arus serta debit air sungai yang masuk ke Teluk Jakarta lebih banyak sehingga menyebabkan perairan bertambah keruh. Pada musim hujan, transparansi di wilayah pesisir, terutama di daerah muara tiga sungai besar di Teluk Jakarta (Sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum) pada musim hujan sangat rendah. Namun, pada Gambar 29 terlihat adanya kecenderungan peningkatan transparansi perairan musim hujan di tahun Hal ini dikarenakan tutupan awan yang tinggi pada musim hujan. Pada musim hujan, transparansi pada Teluk Jakarta bagian tengah juga relatif rendah. Hal ini terjadi karena bermuaranya beberapa sungai-sungai yang sangat mempengaruhi kondisi kualitas perairan Teluk Jakarta di antaranya Sungai Ciliwung, Kali Sunter, dan Sungai Karang. Menurut Praseno dan Kastoro (1980),

92 pencemaran terutama terjadi di sekitar muara-muara sungai pada musim hujan yakni antara bulan Januari sampai Februari. Citra tahun 2005 yang digunakan adalah yang diakuisisi pada bulan Januari dan Februari. Hal inilah yang menyebabkan transparansi perairan pada musim hujan tahun 2005 jauh lebih rendah dari pada tahun-tahun lainnya. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, debit air sungai pada musim kemarau secara keseluruhan lebih rendah dari pada musim hujan. Adapun nilai kisaran debit air sungai untuk musim kemarau adalah m 3 /detik dan pada musim hujan antara m 3 /detik (Pariwono et.al., 1990). Debit air sungai ini mempengaruhi transparansi perairan pada Teluk Jakarta karena semakin banyak masukan dari daratan maka semakin banyak bahan terlarut yang masuk ke Teluk Jakarta. Berdasarkan penelitian Pariwono et.al. (1990), debit Sungai Ciliwung yang bermuara di Teluk Jakarta pada musim kemarau adalah m 3 /detik sedangkan pada musim hujan adalah m 3 /detik. Debit sungai Ciliwung ini merupakan yang terbesar di antara sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta lainnya. Debit sungai Kali Sunter adalah 4.94 m 3 /detik pada musim kemarau dan m 3 /detik pada musim hujan. Dengan bermuaranya kedua sungai yang memiliki debit air tinggi pada musim hujan ini maka wajar jika transparansi perairan yang terdapat di bagian tengah Teluk Jakarta sangat rendah. Secara kuantitatif, berdasarkan data in situ yang digunakan, dibuat suatu plot antara nilai in situ transparansi perairan dengan nilai duga pada musim kemarau hujan. Plot segi empat dan garis putus-putus mewakili nilai transparansi perairan dari pengukuran in situ, sedangkan plot segi empat dengan garis mewakili plot nilai transparansi duga.

93 Gambar 30. Plot nilai transparansi in situ dan nilai duga dari model y = x x x untuk musim kemarau Gambar 31. Plot nilai transparansi in situ dan nilai duga dari model y = x x x untuk musim hujan Dari kedua gambar di atas terlihat bahwa nilai transparansi duga dari pemodelan baik untuk musim kemarau maupun musim hujan ini memiliki pola yang sama dengan nilai pengukuran in situ. Pola yang terbentuk pun relatif sama dan selisih nilai in situ dengan nilai duga pun tidak terlalu jauh.

94 4.7 Hubungan klorofil-a dengan transparansi perairan Teluk Jakarta Berikut merupakan hubungan antara klorofil-a dengan transparansi perairan hasil pendugaan dari model yang dibuat, di mana koefisien determinasi yang diperoleh adalah yang berarti sebanyak 74.43% data klorofil-a berpengaruh terhadap transparansi perairan dan sebanyak 25.57% data tidak berkorelasi dengan transparansi perairan. Gambar 32. Hubungan klorofil-a dan transparansi perairan musim kemarau Hubungan antara klorofil-a dan transparansi perairan bersifat terbalik, yakni semakin tinggi konsentrasi klorofil-a, maka semakin rendah transparansinya. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi pada perairan menandakan tingginya densitas fitoplankton. Dalam jumlah yang banyak, fitoplankton dapat menghalangi penetrasi sinar matahari ke badan air sehingga mengakibatkan turunnya transparansi perairan.

95 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Untuk pengembangan model transparansi perairan, diperoleh hasil dengan menggunakan kromatisiti biru dan model polynomial orde 3. Untuk pengembangan model klorofil-a di Teluk Jakarta, kombinasi kanal yang paling tepat adalah kromatisiti merah dengan model polynomial orde 3 juga. Adapun hubungan antara klorofil-a dan transparansi perairan berkorelasi terbalik. Dari sebaran transparansi pada musim kemarau dan musim hujan, dapat disimpulkan bahwa transparansi perairan Teluk Jakarta relatif lebih tinggi pada musim kemarau dan lebih rendah pada musim hujan. Adapun pola distribusi transparansi ini mengikuti pola yang umum yakni nilai transparansi perairan yang rendah pada daerah pesisir terutama muara sungai, dan semakin jauh dari daratan transparansi semakin bertambah. Transparansi perairan secara umum berkurang dari tahun Sebaran klorofil-a hanya bisa diketahui dengan jelas pada musim kemarau karena model klorofil-a musim hujan tidak berkorelasi kuat. Sebaran klorofil-a ini tinggi di daerah pesisir dan muara sungai, namun rendah di laut lepas. 5.2 Saran Saran dari penelitian ini adalah dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui tingkat produktivitas primer di Teluk Jakarta. Dengan diketahuinya produktivitas primer, maka dapat dilakukan pendugaan stok ikan di Teluk Jakarta dengan data tambahan berupa data plankton dan data ikan tangkap. Dengan demikian, hubungan antara adalah transparansi dan klorofil-a dapat lebih terlihat.

96 DAFTAR PUSTAKA Adkha, I Penggunaan data citra satelit-tm hasil olahan digital untuk pendugaan sebaran horizontal produktivitas primer di perairan Kabupaten Subang, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arief, A. G Keadaan suhu permukaan air laut dan udara di perairan Teluk Jakarta. In A. Nontji dan A. Djamali (Editor). Teluk Jakarta; Pengkajian Fisika, Kimia, Biologi dan Ekologi Tahun LON-LIPI. Jakarta. Halaman: Afdal dan S. H. Riyono Konsentasi dan sebaran klorofil-a di Estuari Cisadane. h In Ekosistem estuari Cisadane. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. LIPI Press. Jakarta. Arifin. Z., T. Susana, P. Purwati, R. Muchsin, D. Hindarti, S. H. Riyono, A. Razak, E. Matondang, Salim, dan N. Farida Ekosistem dan produktivitas perairan Teluk Jakarta dan sekitarnya. Pusat Penelitian Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Arifin, Z Local millenium ecosystem assesment: Conditions and trends of the greater Jakarta Bay ecosystem. Research Center of Oceanography-LIPI. The Ministry of Environment, Republic of Indonesia. 30 pp. Arinardi, O. H Sebaran seston, klorofil-a, plankton, dan akteri di Teluk Jakarta. Hal in Suyarso (Ed.). Atlas Oseanologi Teluk Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Aunuddin Analisis data. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Chipman, J.W., J. E. Leale, T.M. Lillesand, M.J. Nordheim, J.E. Schmaltz Mapping lake water clarity with Landsat image in Wisconsin, USA. Davis, M. L. dan D. A. Cornwell Introduction to environmental engineering. Second Ed. Mc-Graw-Hill, Inc., New York. 822 h. Dinas Hidro-oseanografi Teluk Jakarta. Laporan Hidro-oseanografi. Survey dan Penelitian. Dishidros. Jakarta. Drapper, N. R., dan H. Smith Applied Regression Analysis. Second Ed John Willey and Sons. 709 h.

97 Dwivedi dan A. Narain Remote sensing of phytoplankton: An attempt from the Landsat TM. International Journal of Remote Sensing. 10: Effendi, H Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 258 h. El-Magd, I. A. dan E. M. Ali Estimating and mapping chlorophyll a concentration as a function of environmental changes of Manzala Lagoon, Egypt using Landsat 7 ETM+ images. Australian Journal of Basic and Applied Sciences. 2(4): Gaol, J. L Pengkajian kualitas perairan Pantai Utara Jawa dengan menggunakan citra satelit Landsat-TM (Hubungan radiansi spektral dengan konsentrasi klorofil-a dan muatan padatan terlarut). Thesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Grahame, J Plankton and fisheries. Great Britain, London. 140 h. Hasyim, B Optimasi penggunaan data inderaja dan sistem informasi geografi untuk pengawasan kualitas lingkungan pantai akibat limbah industri. Dewan riset Nasional. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Jakarta. Hovis, W. A., D. K. Clark., F. Anderson, R. W. Austin, W. H. Wilson, E. T. Baker, D. Ball, H. R. Gordon, J. L. Mueller, S. Z. El-Sayed, B. Strm, R. C. Wringley, dan C. S. Yentsch Nimbus-7 coastal color scanner : System description and initial imagery. Science, 210 : Kantor MNKLH Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep-02 MNKLH I tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. LAPAN Landsat 7 a mission overview. Proceedings in LAPAN-DLR Workshop on Remote Sensing for Coastal and Marine Application. Jakarta 1 Maret LAPAN. Jakarta. LAPAN Implementasi dan pembinaan pemanfaatan penginderaan jauh untuk budidaya laut. Studi kasus: Kesesuaian perairan budidaya ikan kerapu dengan menggunakan karamba jaring apung di Kabupaten Situbondo. LAPAN. Jakarta. LIPI Laporan akhir : Penelitian kondisi lingkungan perairan Teluk Jakarta dan sekitarnya. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Lo, C. P Penginderaan jauh terapan. Diterjemahkan oleh Bambang Purbowaseno. UI-Press. Jakarta. 475 h + xi.

98 Meaden, G. J. dan J. M. Kapetsky Geographical information system and remote sensing in inland fisheries and aquaculture. FAO. Fisheries Technical Mapper Papper. No Roma. 262 h. Meliani, F Kajian konsentrasi dan sebaran spasial klorofil-a di perairan Teluk Jakarta menggunakan citra satelit Aqua Modis. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Moran, M.S., R.D. Jackson, P.N. Slater, and P.M. Teillet Evaluation of simplified procedures for retrieval of land surface reflectance factors from satellite sensor output. Remote Sensing of Environment 41: Mujito, M., Husen, H. Riyanto, A. G. Tjiptono, Suliantara, R. K. Risdianto, dan Sudiarto Evaluasi penginderaan jauh untuk studi dasar lingkungan wilayah kerja unocal Indonesia company kalimantan timur. bidang litbangtek eksplorasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi. LEMIGAS. Jakarta. Nontji, A Biomassa dan produktivitas fitoplankton di perairan Teluk Jakarta serta kaitannya dengan faktor-faktor lingkungan. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nontji, A Plankton laut. LIPI Press. Jakarta. 331 h + xiv. Nybakken, J. W Biologi Laut: Suatu pendekatan ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman, Koesoebiono, Dietrich G. Bengen, Malikusworo Hutomo, dan Sukristijono Sukardjo. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 459 h + xv. Odum, E. P Dasar-dasar ekologi. Diterjemahkan oleh Samingan, T. dan B. Sri Gandono. Cetakan ke-3. Gajah Mada Press. IKAPI. Yogyakarta. 571 h. Pariwono, J., S. Rahardjo, H. S. Sanusi, A. Chaerudin, R. Affandi, dan I. M. Nurjaya Limpasan limbah sungai dan pengaruhnya terhadap perairan pantai Teluk Jakarta. Pusat Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. Parsons, T. R., M. Takahashi, dan B. Hargrave Biological oceanographic processes. Third Ed. Pergamon Press. Oxford. Pentury, R Algoritma pendugaan konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Ambon menggunakan citra Landsat TM. Thesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Praseno, D. P Ledakan populasi Dynophysis caudata Kent di perairan Teluk Jakarta. In A. Nontji dan A. Djamali (Editor). Teluk Jakarta Pengkajian Fisika, Kimia, Biologi dan Ekologi Tahun LON-LIPI. Jakarta.

99 Praseno, D. dan W. Kastoro Evaluasi hasil pemonitoran kondisi perairan Teluk Jakarta tahun Lembaga Oseanologi Nasional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sathyendranath, S. dan A. Morrel Light emerging from the seainterpretation and uses in remote sensing: In A. P. Cracknell (ed.). Remote Sensing Application in Marine Science and Technology. D Reidel: Dordrecht; Boston; Lancaster. Tarigan, M. S Ujicoba digitalisasi pemetaan sebaran konsntrasi klorofil-a, transparansi, dan seston di estuari Cisadane. h In Ekosistem estuari Cisadane. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. LIPI Press. Jakarta. Tassan, S Evaluation of the potential of the Thematic Mapper for marine application. International Journal of Remote Sensing. 8: Torbick, N., F. Hu, J. Zhang, J. Qi, H. Zhang, dan B. Becker Mapping chlorophyll-a concentrations in West Lake, China using Landsat 7 ETM+. Journal of Great Lakes Research. 34(3): Wetzel, R. G Limnology. W. B. Sounder Company. Philidelphia. Wouthuyzen, S Analysis of the potential utility of remote sensing data aquired from earth observation satellites for monitoring the coastal zone management. Graduate School of Marine Science and Engineering. Nagasaki University. Japan. 185 h. Wouthuyzen, S Laporan akhir 2007; Penditeksian dini kejadian marak alge (Harmful Algal Blooms/HAB) perairan Teluk Jakarta dan sekitarnya. Program Kompetitif LIPI : Sub Program Pengelolaan DAS Terpadu. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 85 h + x. Wouthuyzen, S., S. Tarigan, H. I. Supriyadi, A. Sediadi, Sugarin, V. P. Siregar, dan J. Ishizaka Pengukuran salinitas permukaan Teluk Jakarta melalui penginderaan warna laut menggunakan data multi-temporal citra satelit Landsat-7 ETM+. h PIT MAPIN XVII, Bandung Wibowo, A., B. Sumartono, dan W. H. Setyantini The application of satellite data improvement site selection and monitoring shrimp pond culture case study on Cirebon, Lampung, Jambi, and Jepara Coasts. In Remote Sensing and Geographic Information System. BPPT. Jakarta. h Yacobi, Y. Z., A. Gitelson, and M. Mayo Remote sensing of chlorophyll in Lake Kineret using high-spectral-resolution radiometer and Landsat-TM: spectral features of reflectance and algorithm development. Journal of Plankton Research. XVII(11):

100 LAMPIRAN

101 Lampiran 1. Metode pengukuran transparansi perairan Berikut merupakan metode yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk pengukuran transparansi perairan di Teluk Jakarta. 1. Siapkan alat pengukur transparansi (papan secchi, secchi disk) yang terbuat dari papan kayu dicat putih berukuran diameter 30 cm. 2. Turunkan secchi disk menggunakan seutas tambang secara tegak lurus sampai papan tersebut tidak terlihat lagi. 3. Panjang tali antara secchi disk dan permukaan air laut adalah merupakan data kecerahan perairan (m).

102 Lampiran 2. Metode perolehan data klorofil-a Analisis kualitas perairan Teluk Jakarta yang tidak bisa diukur langsung di lapangan dilakukan di Laboratrium P2O-LIPI. Berikut merupakan metode yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk analisis klorofil-a di perairan di Teluk Jakarta. Prosedur pengukuran klorofil-a mengikuti metoda baku seperti yang dilakukan oleh Strickland dan Parson (1972) sebagai berikut. 1. Sampel air laut dari lapisan permukaan sebanyak 1000 ml di setiap stasiun diambil dan ditempatkan pada botol sampel plastik yang kemudian disimpan pada sebuah kotak tertutup dan diberi es batu. 2. Untuk pengukuran konsentrasi klorofil-a dan faeofitin-a (dalam µg/l), air laut sampel sebanyak 500 ml disaring melalui sebuah filter fiber-glass GF/C. 3. Klorofil-a yang tersaring pada filter diekstrak dengan menggunakan 8-10 ml aseton 90 % selama jam. 4. Sentrifuge sampel dengan kecepatan RPM, dan konsentrasi klorofil-a dibaca dengan menggunakan Turner Fluorometer Model 450.

103 Lampiran 3. Data transparansi perairan pada musim kemarau Data Tanggal Transparansi Perairan (m) Transparansi Perairan (m) Data Tanggal In Situ Duga In Situ Duga 1 21-Jun Sep Jun Sep Jun Sep Jun Sep Jun Sep Jun Sep Jun Sep Jun Sep Jun Sep Jun Sep Jun Sep Jun Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Aug Sep Aug Sep Aug Oct Aug Oct Aug Oct Aug Oct Aug Oct Aug Oct Aug Oct Aug Oct Aug Oct Aug Oct Aug Oct Aug Oct Aug Oct

104 Lanjutan data Data Tanggal Transparansi Perairan (m) In Situ Duga Oct Oct Oct Oct Oct Aug Aug Aug Aug Aug Sep Sep Sep Sep Sep Sep Oct Oct Oct Oct Oct Oct Rata-rata

105 Lampiran 4. Data transparansi perairan pada musim hujan Data Tanggal Transparansi Perairan (m) Transparansi Perairan (m) Data Tanggal In situ Duga In situ Duga 1 12-Nov Feb Nov Feb Nov Feb Nov Feb Nov Feb Nov Feb Nov Feb Nov Rata-rata Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb

106 Lampiran 5. Data klorofil-a pada musim kemarau Data Tanggal Klorofil (mg/m 3 ) Klorofil (mg/m 3 ) Data Tanggal In Situ Duga In Situ Duga 1 21-Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Aug Jun Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep Jul Sep

107 Lanjutan data Data Tanggal Klorofil (mg/m 3 ) Klorofil (mg/m 3 ) Data Tanggal In Situ Duga In Situ Duga 75 9-Sep Oct Sep Oct Sep Oct Sep Oct Sep Oct Sep Oct Sep Oct Sep Oct Sep Oct Sep Oct Sep Oct Sep Oct Sep Aug Sep Aug Sep Aug Sep Aug Sep Aug Sep Aug Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep Sep May Sep May Oct May Oct May Oct Oct Oct Oct Oct Oct Oct Oct Oct Oct Oct Oct Oct Rata-rata

108 Lampiran 6. Data klorofil-a pada musim hujan Data Tanggal Klorofil (mg/m 3 ) In Situ Duga 1 12-Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Nov Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Jan Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Rata-rata

109 Lampiran 7. Uji-t transparansi perairan Teluk Jakarta Musim kemarau 1 = nilai transparansi in situ 2 = nilai transparansi dari model y = 415.8x x x t-test: Two-Sample Assuming Equal Variances Variable 1 Variable 2 Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference 0 df 190 t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail Musim hujan 1 = nilai transparansi in situ 2 = nilai transparansi dari model y = x x x t-test: Two-Sample Assuming Equal Variances Variable 1 Variable 2 Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference 0 df 82 t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail

110 Lampiran 8. Uji-t konsentrasi klorofil-a Teluk Jakarta Musim kemarau 1 = nilai klorofil-a in situ 2 = nilai klorofil-a dari model y = 415.8x x x t-test: Two-Sample Assuming Equal Variances Variable 1 Variable 2 Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference 0 df 296 t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail Musim hujan 1 = nilai klorofil-a in situ, 2 = nilai klorofil-a dari model y = x x x t-test: Two-Sample Assuming Equal Variances Variable 1 Variable 2 Mean Variance Observations Pooled Variance Hypothesized Mean Difference 0 df 58 t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail

111 Lampiran 9. Uji-F antara klorofil-a dan transparansi perairan musim kemarau Variabel bebas : klorofil-a duga model y = 415.8x x x Variable tak bebas : transparansi duga model y = 415.8x x x Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 315 ANOVA df SS MS F Significance F F Tabel Regression E Residual Total Variabel bebas : klorofil-a in situ Variable tak bebas : transparansi in situ Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 316 ANOVA df SS MS F Significance F F Tabel Regression E Residual Total

112 Lampiran 10. Uji-F antara klorofil-a dan transparansi perairan musim hujan Variabel bebas : klorofil-a duga model y = x x x Variable tak bebas : transparansi duga model y = x x x Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 60 ANOVA df SS MS F Significance F F Tabel Regression Residual Variabel bebas : klorofil-a in situ Variable tak bebas : transparansi in situ Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 61 ANOVA df SS MS F Significance F f tabel Regression Residual

113 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 19 November 1987 dan merupakan putri pertama pasangan Tumpak Sidabutar dan Endang Sunarwati Srimariana. Penulis memiliki tiga orang adik yang bernama Andre Hendy Timothy Sidabutar, Joshua Anugerah Sidabutar, dan Joy Elijah Graciando Sidabutar. Lulus dari SMA Negeri 1 Bogor pada tahun 2005 dan mendapat kesempatan masuk perguruan tinggi tanpa tes melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun 2006, penulis masuk pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama berkuliah di IPB, penulis pernah aktif menjadi asisten beberapa praktikum antara lain Biologi Laut pada periode dan Oseanografi Umum pada periode Penulis juga mengikuti organisasi mahasiswa Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) IPB sebagai pengurus Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM). Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, penulis melaksanakan penelitian dengan judul "Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat" di bawah bimbingan Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc.

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT INDAH BUDI LESTARI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut,

2. TINJAUAN PUSTAKA. cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut, 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat Optik Perairan Penetrasi cahaya yang sampai ke dalam air dipengaruhi oleh intensitas cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut, dan tersuspensi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

Pemetaan Distribusi Spasial Konsentrasi Klorofil-a dengan Landsat 8 di Danau Towuti dan Danau Matano, Sulawesi Selatan

Pemetaan Distribusi Spasial Konsentrasi Klorofil-a dengan Landsat 8 di Danau Towuti dan Danau Matano, Sulawesi Selatan Pemetaan Distribusi Spasial Konsentrasi Klorofil-a dengan Landsat 8 di Danau Towuti dan Danau Matano, Sulawesi Selatan Lalu Muhamad Jaelani, Fajar Setiawan, Hendro Wibowo, Apip Lalu Muhamad Jaelani, Ph.D

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober Survei

3. METODOLOGI. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober Survei 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Oktober 2010. Survei lapang dilaksanakan pada tanggal 20-27 Maret 2010 dengan mengikuti kegiatan yang dilakukan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur

2. TINJAUAN PUSTAKA. Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur 106 20 00 BT hingga 107 03 00 BT dan garis lintang 5 10 00 LS hingga 6 10

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jawa dengan panjang pantai sejauh 72

2. TINJAUAN PUSTAKA. Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jawa dengan panjang pantai sejauh 72 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jawa dengan panjang pantai sejauh 72 km yang diapit oleh Tanjung Pasir di Barat dan Tanjung Karawang di timur.

Lebih terperinci

ESTIMASI KONSENTRASI PADATAN TERSUSPENSI (TSS) DAN KLOROFIL-A DARI CITRA MODIS HUBUNGANNYA DENGAN MARAK ALGA DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

ESTIMASI KONSENTRASI PADATAN TERSUSPENSI (TSS) DAN KLOROFIL-A DARI CITRA MODIS HUBUNGANNYA DENGAN MARAK ALGA DI PERAIRAN TELUK JAKARTA ESTIMASI KONSENTRASI PADATAN TERSUSPENSI (TSS) DAN KLOROFIL-A DARI CITRA MODIS HUBUNGANNYA DENGAN MARAK ALGA DI PERAIRAN TELUK JAKARTA ANISSA KUSUARDINI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun

Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun 1994-2012 Miftah Farid 1 1 Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Ocean Color Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di bagian timur laut Teluk Meksiko mulai dari delta Sungai Mississippi sampai Teluk Tampa di sebelah barat Florida (Gambar

Lebih terperinci

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ M. IRSYAD DIRAQ P. 3509100033 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS 1 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan paling mendasar untuk menunjang suatu kehidupan. Sifat-sifat air menjadikannya sebagai suatu unsur yang paling penting bagi makhluk hidup. Manusia

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

Endang Prinina 1, Lalu Muhamad Jaelani 1, Salam Tarigan 2 1

Endang Prinina 1, Lalu Muhamad Jaelani 1, Salam Tarigan 2 1 G206 Validasi Algoritma Estimasi konsentrasi Klorofil-a dan Padatan Tersuspensi Menggunakan Citra Terra dan Aqua Modis dengan Data In situ (Studi Kasus: Perairan Selat Makassar) Endang Prinina 1, Lalu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

Validasi Algoritma Estimasi Konsentrasi Chl-A pada Citra Satelit Landsat 8 dengan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Selatan Pulau Lombok, NTB)

Validasi Algoritma Estimasi Konsentrasi Chl-A pada Citra Satelit Landsat 8 dengan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Selatan Pulau Lombok, NTB) G159 Validasi Algoritma Estimasi Konsentrasi Chl-A pada Citra Satelit Landsat 8 dengan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Selatan Pulau Lombok, NTB) Umroh Dian Sulistyah 1, Lalu Muhamad Jaelani 1, Gathot

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: ( Print) 1

JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: ( Print) 1 JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Validasi Algoritma Estimasi konsentrasi Klorofil-a dan Padatan Tersuspensi Menggunakan Citra Terra dan Aqua Modis dengan Data

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juni 2015, ISSN

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juni 2015, ISSN ANALISIS PARAMETER KUALITAS AIR LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN SUMENEP UNTUK PEMBUATAN PETA SEBARAN POTENSI IKAN PELAGIS (Studi Kasus : Total Suspended Solid (TSS)) Feny Arafah, Muhammad Taufik, Lalu Muhamad

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan pesisir merupakan wilayah perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik maupun anorganik (Jassby and Cloern 2000; Andersen et al. 2006). Bahan ini berasal

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Musim Panas Tahun 1999 Pola grafik R rs dari masing-masing lokasi pengambilan data radiansi dan irradiansi pada musim panas 1999 selengkapnya disajikan pada Gambar 7.Grafik

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan bervariasi dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Nilai rata-rata

Lebih terperinci

Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Reklamasi

Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Reklamasi Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Ahmad Arif Zulfikar 1, Eko Kusratmoko 2 1 Jurusan Geografi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat E-mail : Ahmad.arif31@ui.ac.id

Lebih terperinci

STUDI KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH

STUDI KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH Studi Konsentrasi Klorofil - a Alifah raini/feny Arafah/Fourry Handoko STUDI KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH Alifah raini 1) ; Feny Arafah 1) ; Fourry Handoko 2) 1) Program

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

MASPARI JOURNAL Juli 2015, 7(2):25-32

MASPARI JOURNAL Juli 2015, 7(2):25-32 MASPARI JOURNAL Juli 2015, 7(2):25-32 AKURASI NILAI KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN PULAU ALANGGANTANG TAMAN NASIONAL SEMBILANG VALUE ACCURACY

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

Aplikasi-aplikasi ICV untuk sumber daya air: - Pengukuran luas perairan, - Identifikasi konsentrasi sedimen/tingkat kekeruhan, - Pemetaan daerah

Aplikasi-aplikasi ICV untuk sumber daya air: - Pengukuran luas perairan, - Identifikasi konsentrasi sedimen/tingkat kekeruhan, - Pemetaan daerah ICV APLIKASI UNTUK SUMBER DAYA AIR Aplikasi-aplikasi ICV untuk sumber daya air: - Pengukuran luas perairan, - Identifikasi konsentrasi sedimen/tingkat kekeruhan, - Pemetaan daerah banjir, - Kesuburan perairan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dimanfaatkan secara tepat tergantung peruntukkannya. perkembangan yang sangat pesat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh

BAB I PENDAHULUAN. dapat dimanfaatkan secara tepat tergantung peruntukkannya. perkembangan yang sangat pesat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan penggunaan air tidak serta-merta dapat sepenuhnya terpenuhi oleh sumberdaya air yang ada. Kebutuhan air dapat terpenuhi secara berkala dan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

VALIDASI ALGORITMA ESTIMASI KONSENTRASI CHL-A PADA CITRA SATELIT LANDSAT 8 DENGAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Selatan Pulau Lombok, NTB)

VALIDASI ALGORITMA ESTIMASI KONSENTRASI CHL-A PADA CITRA SATELIT LANDSAT 8 DENGAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Selatan Pulau Lombok, NTB) JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 VALIDASI ALGORITMA ESTIMASI KONSENTRASI CHL-A PADA CITRA SATELIT LANDSAT 8 DENGAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Selatan

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Hasil 4.1.1. Digitasi dan Klasifikasi Kerapatan Vegetasi Mangrove Digitasi terhadap citra yang sudah terkoreksi dilakukan untuk mendapatkan tutupan vegetasi mangrove di

Lebih terperinci

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LAPORAN PRAKTIKUM II GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA Tanggal Penyerahan : 2 November 2016 Disusun Oleh : Kelompok : 7 (Tujuh) Achmad Faisal Marasabessy / 23-2013-052 Kelas : B

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

Jurnal KELAUTAN, Volume 4, No.1 April 2011 ISSN :

Jurnal KELAUTAN, Volume 4, No.1 April 2011 ISSN : PENYUSUNAN ALGORITMA PENDUGA KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN DATA SPEKTRORADIOMETER DI PERAIRAN TELUK JAKARTA DAN KEPULAUAN SERIBU Achmad Fachruddin Syah Dosen Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo

Lebih terperinci

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fitoplankton adalah tumbuhan laut terluas yang tersebar dan ditemui di hampir seluruh permukaan laut pada kedalaman lapisan eufotik. Organisme ini berperan penting

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

PENGARUH SEDIMEN BERMINYAK TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA Isochrysis sp.

PENGARUH SEDIMEN BERMINYAK TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA Isochrysis sp. PENGARUH SEDIMEN BERMINYAK TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA Isochrysis sp. GESHA YULIANI NATTASYA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INSTRUMENTASI PENGUKUR KELIMPAHAN CHLORELLA SP. BERDASARKAN ANALISIS RGB DENGAN MENGGUNAKAN EFEK FLUORESCENCE

PENGEMBANGAN INSTRUMENTASI PENGUKUR KELIMPAHAN CHLORELLA SP. BERDASARKAN ANALISIS RGB DENGAN MENGGUNAKAN EFEK FLUORESCENCE PENGEMBANGAN INSTRUMENTASI PENGUKUR KELIMPAHAN CHLORELLA SP. BERDASARKAN ANALISIS RGB DENGAN MENGGUNAKAN EFEK FLUORESCENCE Oleh: Dini Janiariska C64104059 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan 22 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan menggunakan citra MODIS. Lokasi untuk objek penelitian adalah perairan Barat-

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian 18 3 METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011 dengan lokasi penelitian yaitu Perairan Selat Makassar pada posisi 01 o 00'00" 07 o 50'07"

Lebih terperinci

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA Astrolabe Sian Prasetya 1, Bangun Muljo Sukojo 2, dan Hepi Hapsari

Lebih terperinci

MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):33-42

MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):33-42 MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):33-42 ANALISIS POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT PADA MUSIM TIMUR DI PERAIRAN SEKITAR MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OKI PROVINSI SUMATERA

Lebih terperinci

EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL

EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL Grace Idolayanti Moko 1, Teguh Hariyanto 1, Wiweka 2, Sigit Julimantoro

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi PERBANDINGAN EKSTRAKSI BRIGHTNESS TEMPERATUR LANDSAT 8 TIRS TANPA ATMOSPHERE CORRECTION DAN DENGAN MELIBATKAN ATMOSPHERIC CORRECTION UNTUK PENDUGAAN SUHU PERMUKAAN Farid Ibrahim 1, Fiqih Atriani 2, Th.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan

Lebih terperinci

STUDI PERSEBARAN KONSENTRASI MUATAN PADATAN TERSUSPENSI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA MODIS DI SELAT MADURA

STUDI PERSEBARAN KONSENTRASI MUATAN PADATAN TERSUSPENSI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA MODIS DI SELAT MADURA STUDI PERSEBARAN KONSENTRASI MUATAN PADATAN TERSUSPENSI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA MODIS DI SELAT MADURA Oleh: HIAS CHASANAH PUTRI NRP 3508 100 071 Dosen Pembimbing Hepi Hapsari Handayani, ST, MSc

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci