ISBN : MANUAL PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI IN-SITU SHOREA PENGHASIL TENGKAWANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ISBN : MANUAL PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI IN-SITU SHOREA PENGHASIL TENGKAWANG"

Transkripsi

1 ISBN : MANUAL PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI IN-SITU SHOREA PENGHASIL TENGKAWANG Penulis : Sapto Indrioko Editor : Rizki Maharani Dipterocarps Research Center, Forestry Research and Development Agency, Ministry of Forestry In Cooperation With ITTO PROJECT PD 586/10 Rev.1 (F) Operation Strategies for the Conservation of Tengkawang Genetic Diversity for Sustainable Livelihood on Indigenous People in Kalimantan Samarinda - Indonesia 2014

2 MANUAL PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI IN-SITU SHOREA PENGHASIL TENGKAWANG EDITOR Rizki Maharani PENYUSUN Sapto Indrioko BALAI BESAR PENELITIAN DIPTEROKARPA, BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN, KEMENTERIAN KEHUTANAN BEKERJASAMA DENGAN ITTO PROJECT PD 586/10 Rev.1 (F) SAMARINDA INDONESIA 2014

3 MANUAL PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI IN-SITU SHOREA PENGHASIL TENGKAWANG Editor Rizki Maharani Desain Cover Dian Foto Rizki Maharani Andrian Fernandes Layout Puruwito Handayani Buku ini diterbitkan oleh Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan sebagai bagian dari program kerjasama dengan ITTO Project PD 586/10 Rev.1 (F) Operational Strategies for the Conservation of Tengkawang Genetic Diversity and for Sustainable Livelihood of Indigenous People In Kalimantan ISBN : Dipublikasikan oleh Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Indonesia. Jl. A. Wahab Syahranie, No.68 Sempaja Samarinda, Indonesia Telp.: Fax.: admin@diptero.or.id

4 KATA PENGANTAR Buku panduan ini memuat tahapan kegiatan dalam rangka Pembangunan Plot Konservasi In-Situ Shorea Penghasil Tengkawang dan beberapa kegiatan lapangan terkait, yang merupakan bagian dari program kegiatan dalam proyek International Tropical Timber Organization (ITTO) PD 586/10 Rev.1 (F), bekerja sama dengan Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Buku panduan ini diharapkan dapat mempermudah dan memperlancar pelaksanaan konservasi sumber daya genetik tengkawang secara in-situ. Di samping itu, diharapkan pula agar para pemangku kepentingan dapat memaklumi dan saling berkoordinasi sesuai dengan kompetensi masing-masing sehingga tujuan untuk melestarikan sumberdaya genetik tengkawang dapat tercapai. Ucapan terima kasih kami tujukan kepada semua pihak yang telah membantu baik dalam pelaksanaan kegiatan maupun penyusunan buku panduan ini. Besar harapan kami agar buku ini dapat digunakan sebagai bentuk dukungan pada program konservasi keragaman genetik tengkawang, sekaligus memenuhi kebutuhan para tenaga teknis di lapangan. Samarinda, Maret 2014 PENYUSUN iii

5 KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR I. Pendahuluan DAFTAR ISI A. Kepentingan konservasi sumber daya genetik tengkawang secara in-situ B. Tujuan pembuatan manual II. Prinsip Dasar Konservasi Sumber Daya Genetik In-Situ III. Metode Konservasi Tengkawang Secara In-Situ A. Perencanaan Pemilihan spesies Pemilihan lokasi Pengambilan data ekologis untuk analisis vegetasi sebelum pelaksanaan konservasi Pengambilan sampel untuk analisis keragaman genetik sebelum pelaksanaan konservasi B. Pelaksanaan Pengajuan kepada pemerintah sebagai areal konservasi sumber daya genetik Penetapan areal sumber daya genetik dan penetapan batas kawasan Pemeliharaan Monitoring dan evaluasi DAFTAR PUSTAKA iv

6 DAFTAR GAMBAR Contoh deskripsi edafis calon plot in-situ tengkawang Pembuatan petak ukur secara bersarang (nested) Pengembalian tanah untuk menutupi lubang penanaman 9. Kedudukan leher akar semai saat penanaman Perbedaan dalam pendekatan ekosistem dan konservasi in-situ 2. Beberapa spesies tengkawang dalam kegiatan survei kawasan calon in-situ Contoh lokasi survei jenis tengkawang dengan akses dekat dengan jalan dan perkampungan penduduk Penempatan petak ukur dalam jalur pengamatan untuk analisa vegetasi Pengambilan sampel untuk analisa genetik jenis Shorea penghasil tengkawang Seluruh allele dalam populasi dapat diwariskan kepada generasi berikutnya Aliran gen yang baik antar kelompok dalam populasi dapat meningkatkan rekombinasi genetik v

7

8 I. PENDAHULUAN A. Kepentingan konservasi sumber daya genetik tengkawang secara in-situ Tengkawang merupakan beberapa jenis meranti (Shorea) yang dapat menghasilkan lemak tengkawang. Tidak kurang dari 17 jenis meranti penghasil tengkawang yang diketahui dan penyebarannya berada di Thailand, Malaysia (Sarawak dan Sabah), Filipina dan Indonesia (Kalimantan dan Sumatra). Di Indonesia ditemukan sebanyak 15 jenis tengkawang, yakni 12 jenis terdapat di Kalimantan dan 4 jenis lainnya terdapat di Sumatera. Sedikitnya terdapat 13 spesies tengkawang yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Beberapa spesies di antaranya sudah dikategorikan sebagai terancam punah (endangered) maupun kritis (critically endangered) keberadaannya menurut IUCN (2013). Keragaman genetik perlu dilestarikan dalam jangka pendek untuk menjaga kemampuan reproduksi agar kelangsungan regenerasi tetap dapat dipertahankan, sedangkan dalam jangka panjang bertujuan untuk menjaga potensi evolusi adaptif agar mampu mempertahankan diri dari ancaman kepunahan. Pada populasi dan spesies yang sudah terancam punah selalu ditandai dengan tingkat keragaman genetik yang rendah. Sedangkan pada populasi yang besar dan spesies yang tidak terancam punah dan saling berhubungan (tidak terisolasi,) seringkali ditandai dengan nilai keragaman genetik yang lebih besar. 1

9 Pelestarian keragaman genetik sangat penting dalam kegiatan konservasi biodiversitas tengkawang. Variasi genetik sangat diperlukan oleh spesies ini dalam menghadapi perubahan lingkungan yang dinamis. Perubahan lingkungan merupakan proses yang berlangsung secara kontinyu. Oleh karena itu tengkawang harus mampu berkembang atau menjadi punah. Akibat tekanan lingkungan maka populasi menjadi berkurang, terfragmentasi, bahkan terisolasi. Secara genetik hal ini dapat berakibat hilangnya keragaman genetik dan meningkatnya frekuensi inbreeding. Konsekuensi dari hilangnya keragaman genetik ialah berkurangnya kemampuan beradaptasi, kemampuan mempertahankan hidup, serta kemampuan reproduksinya. Proses ini dapat terus berlanjut sehingga menyebabkan tengkawang makin berkurang ukuran populasi serta keragaman genetiknya dan akhirnya terancam punah. Pelestarian keragaman genetik sangat penting dalam kegiatan konservasi keragaman hayati. Salah satu bentuk upaya pelestarian sumber daya genetik adalah dilakukan secara in-situ. Tujuannya adalah untuk melestarikan populasi terpilih dengan susunan genetik yang representatif dan dapat berkembang pada habitat alaminya. Beberapa sinonim untuk konservasi genetik in-situ adalah gene conservation forests, gene conservation reserves, gene management zones, gene resource management units, evolutionary conservation stands, serta gene conservation areas. 2

10 B. Tujuan pembuatan manual Peraturan yang mendasari pelaksanaan pembangunan areal konservasi sumber daya genetik ialah Peraturan Menteri Kehutanan No. P.72/Menhut-II/2009. Namun untuk pelaksanaan teknis masih diperlukan pedoman yang lebih rinci. Oleh karena itu, manual ini disusun dengan tujuan untuk mempermudah dan memperlancar pelaksanaan konservasi sumber daya genetik tengkawang secara insitu. Diharapkan para pemangku kepentingan dapat memaklumi dan saling berkoordinasi sesuai dengan kompetensi masing-masing sehingga tujuan untuk melestarikan sumber daya genetik tengkawang dapat tercapai. 3

11 II. PRINSIP DASAR KONSERVASI SUMBER DAYA GENETIK IN-SITU Konservasi sumber daya genetik in-situ secara ideal memerlukan areal dengan ukuran luas, kontinyu, dan dikelola agar selalu terlindung agar spesies yang dikonservasi dapat tumbuh dan berkembang sebagai populasi yang dapat mempertahankan keragaman genetiknya secara alami sesuai dengan Keseimbangan Hardy-Weinberg (Frankham et al., 2002). Tantangan yang harus dihadapi untuk melindungi spesies tengkawang terutama adalah sulitnya mencari areal yang kompak/utuh dan kontinyu, dengan jumlah individu yang mencukupi dan terlindung dalam ukuran yang luas. Hal ini disebabkan tengkawang memiliki distribusi alami yang seringkali bertampalan dengan berbagai spesies Dipterocarpaceae lain yang komersial dan dikelola untuk dipanen dalam areal hutan produksi dengan IUPHHK-HA (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam). Oleh karena itu, faktor kepastian dan keamanan areal merupakan hal yang sangat penting. Tantangan yang lain adalah keinginan masyarakat sekitar untuk memanen buah tengkawang yang memiliki nilai komersial, sehingga apabila tetap dipanen akan mempengaruhi proses regenerasi individu penyusun areal konservasi in-situ yang seharusnya dilestarikan. Jumlah genotip (yang ada di dalam individu-individu pohon) dalam populasi tengkawang harus cukup untuk memastikan bahwa mayoritas allele dapat terselamatkan. Oleh karena itu diperlukan survei pendahuluan untuk mengetahui kondisi ekologis dan genetis sebelum menetapkan suatu lokasi sebagai areal konservasi sumber daya genetik in-situ. Secara ekologis, potensi vegetasi yang ada di tempat tersebut 4

12 diharapkan dapat membawa keragaman genetik populasi dan mewariskannya kepada generasi berikutnya. Gambar 1. Survei pendahuluan untuk mengetahui kondisi ekologis dan genetis Pengelolaan areal konservasi sumber daya genetik diperlukan untuk memastikan kelestarian keragaman genetik tengkawang. Secara prinsip cara pengelolaannya berbeda dengan pengelolaan kawasan konservasi seperti dapat dilihat dalam tabel berikut. 5

13 Perbedaan dalam pendekatan ekosistem dan konservasi in-situ. Pendekatan ekosistem Intervensi manusia lebih sedikit Lebih berorientasi pada proses dan fungsi ekosistem Lebih fokus pada pelestarian habitat, seringkali tanpa/sedikit pengetahuan mengenai keberadaan sumber daya tersebut. Konservasi Intervensi manusia lebih banyak Lebih berorientasi pada secara spesifik Lebih fokus pada pelestarian sumber daya 6

14 III. METODE KONSERVASI TENGKAWANG SECARA IN-SITU A. Perencanaan Agar konservasi dapat dilaksanakan secara optimal, sebelumnya diperlukan perencanaan yang baik. Beberapa aspek perencanaan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: 1. Pemilihan spesies Di Indonesia terdapat sekitar 15 spesies tengkawang yaitu Shorea stenoptera, S. macrophylla, S. pinanga, S. beccariana, S. seminis, S. pilosa, S. splendida, S. hemsleyana, S. scaberrima, S. mecistopteryx, S. macrantha, S. amplexicaulis, S. sumatrana, S. palembanica, dan S. singkawang, dengan sebaran alami yang bervariasi. Secara ideal tentunya diinginkan untuk dapat melestarikan secara in-situ semua spesies yang ada. Namun jika terdapat keterbatasan dalam sumber daya manusia ataupun dana, maka spesies tengkawang perlu dipilih berdasarkan prioritas. Hal ini dapat ditinjau dari berbagai pertimbangan seperti: a. Status kelangkaan Semakin langka keberadaan suatu spesies, maka semakin menjadi prioritas utama untuk dilestarikan. Kriteria kelangkaan dapat mengacu misalnya pada IUCN (2001) yang mengelompokkannya menjadi rentan (vulnerable) jika peluang untuk punah sebesar 10% dalam jangka waktu 100 tahun, terancam punah (endangered) jika peluang untuk punah sebesar 20% dalam 7

15 jangka waktu 20 tahun atau 5 generasi, dan kritis (critically endangered) jika peluang untuk punah sebesar 50% dalam jangka waktu 10 tahun atau 3 generasi. Selanjutnya kriteria tersebut dijabarkan lebih detil yaitu mengenai sebaran dan pengurangan ukuran populasi beserta dugaan penyebabnya. Berdasarkan kriteria di atas maka spesies dengan kategori paling kritis perlu diutamakan untuk dilestarikan. Status kelangkaan beberapa jenis tengkawang dapat dilihat dalam red list IUCN ( Namun, data yang terdapat dalam terbitan IUCN mungkin masih perlu dicek kembali aktualitasnya, sehingga status kelangkaan suatu spesies akan lebih baik lagi jika didukung data aktual yang diperoleh dari lapangan melalui survei potensi di awal kegiatan. Prioritas utama juga diberikan bila di suatu kawasan terdapat lebih dari satu spesies tengkawang, sehingga langkah konservasi yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan dapat menyelamatkan beberapa spesies sekaligus. 8

16 Gambar 2. Beberapa spesies tengkawang dalam kegiatan survei kawasan calon in-situ b. Kepentingan ekonomi Masyarakat cenderung lebih mendukung pelestarian jenis tengkawang yang selama ini selalu diambil manfaat ekonominya, yaitu buah yang dapat dipanen dan laku dipasarkan, misalnya jenis Shorea stenoptera, S. macrophyla, dan S. pinanga. Keberadaan spesies-spesies tersebut cenderung lebih aman dibandingkan dengan tengkawang yang kurang dikenal (lesser known spesies). Di lain pihak, apabila pemanfaatan dilakukan dengan tidak bijaksana, spesies yang paling diminati masyarakat untuk diambil buahnya tersebut cenderung lebih terancam pula kelestariannya karena proses regenerasinya di alam menjadi terganggu. Oleh 9

17 karena itu spesies tengkawang yang bersifat komersial perlu mendapatkan prioritas untuk dilestarikan. c. Aksesibilitas lokasi Merupakan hal yang ideal jika spesies yang akan dikonservasi terletak di lokasi yang aksesibilitasnya baik atau relatif mudah dijangkau, serta aman dari berbagai potensi gangguan keamanan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kadang bertolak belakang, mengingat hutan dengan potensi kayu yang bagus dan aksesibilitas tinggi memiliki resiko kerawanan yang lebih tinggi terhadap gangguan keamanan. Meskipun demikian, lokasi yang dipilih hendaknya tetap dapat dipantau, dikelola dan dievaluasi dengan baik untuk menjamin kelestariannya. d. Ketersediaan sarana dan prasarana Spesies akan lebih mudah dikonservasi sumber daya genetiknya jika berada di areal hutan yang dikelola dengan baik oleh suatu institusi, misalnya taman nasional atau pemegang IUPHHK-HA. Lazimnya di areal tersebut terdapat sarana dan prasarana penunjang operasional yang cukup baik. Institusi resmi yang ada di lokasi tersebut diharapkan juga memiliki komitmen untuk turut mendukung upaya pelestarian sumber daya genetik tengkawang, sehingga dapat dilibatkan untuk berperan secara aktif. 10

18 Gambar 3. Contoh lokasi survei jenis tengkawang dengan akses dekat dengan jalan dan perkampungan penduduk 2. Pemilihan lokasi Lokasi yang dipilih untuk konservasi sumber daya genetik in-situ tengkawang pada dasarnya dilakukan berdasarkan pertimbangan: a. Kelimpahan spesies prioritas Apabila di suatu lokasi terdapat spesies prioritas tengkawang dengan jumlah yang melimpah, maka hal ini menunjukkan adaptasi yang baik dari spesies tersebut terhadap tempat 11

19 tumbuhnya. Dengan kesesuaian tapak yang baik diharapkan dapat lebih mempermudah pengelolaan areal konservasi. Kelimpahan spesies dapat diketahui melalui survei potensi di awal kegiatan. b. Resiko dan tingkat ancaman rendah Sedapat mungkin memilih lokasi dengan resiko kerusakan yang paling rendah. Diperlukan analisa untuk memastikan kemungkinan ancaman misalnya kemungkinan kebakaran, pemanenan ilegal, serta isu kepemilikan lahan. c. Manajemen organisasi yang efisien Kandidat areal yang berada di bawah manajemen suatu institusi (misalnya pemegang IUPHHK-HA) yang memiliki komitmen serta sumber daya yang baik memberikan nilai positif dalam upaya konservasi sumber daya genetik tengkawang. d. Dukungan dari masyarakat lokal Masyarakat di sekitar hutan yang ikut serta menjaga dan tidak mengganggu keberadaan sumber daya hutan sangat diperlukan untuk mendukung keamanan dan kelestarian areal hutan beserta individu tanaman di dalamnya. e. Bentuk kompak dan terdapat zona penyangga hutan. Pada tengkawang yang memiliki sebaran di areal yang cukup luas dan kompak (tidak terfragmentasi), aliran gen di antara pohonpohon dewasa perlu dipastikan agar dapat menghasilkan keturunan yang dapat mempertahankan keragaman genetiknya. Zona penyangga hutan diperlukan sebagai batas areal yang dapat 12

20 mendukung keberadaan areal konservasi sumber daya genetik. f. Kesempatan untuk melestarikan spesies prioritas lain Areal dengan variasi jumlah spesies tengkawang yang lebih banyak dapat lebih diprioritaskan, karena dalam satu kawasan tersebut akan ada lebih banyak sumber daya genetik yang dapat dilestarikan. 3. Pengambilan data ekologis untuk analisa vegetasi sebelum pelaksanaan konservasi Perlu analisa vegetasi untuk mengetahui potensi ekologis tengkawang dalam suatu areal yang menjadi kandidat konservasi sumber daya genetik. Data ekologis dapat lebih menggambarkan daya dukung tapak, kondisi tegakan, maupun kemampuan regenerasi. Data yang diperlukan antara lain: a. Edafis Deskripsi mengenai kondisi tanah berdasarkan pengamatan langsung (misalnya: ketinggian tempat, topografi, arah dan sudut kelerengan, jenis tanah, tekstur tanah, struktur tanah, ketebalan seresah dan ketebalan setiap horizon tanah) maupun pengambilan sampel untuk diamati di laboratorium (misalnya: kadar lengas, kandungan unsur hara makro dan mikro, serta kandungan bahan organik). 13

21 Gambar 4. Contoh deskripsi edafis calon plot in-situ tengkawang b. Klimatis Deskripsi faktor-faktor iklim seperti suhu udara, tekanan udara, curah hujan dan penyinaran matahari. Data ini diperlukan untuk mengetahui kondisi optimal yang diperlukan tengkawang untuk tumbuh dan berkembang, serta untuk mengetahui evaluasi misalnya jika suatu saat terdapat kemungkinan penyimpangan faktor iklim di luar dari kondisi rata-rata. 14

22 c. Potensi tegakan Deskripsi struktur dan komposisi tegakan yang diperlukan meliputi jumlah dan sebaran spesies tengkawang maupun spesies-spesies lain baik pada tingkat hidup pohon, tiang, sapihan serta semai. Tumbuhan bawah juga dicatat. Data diambil melalui sampling dengan membuat petak ukur bersarang (nested), ukuran petak untuk pohon 20m x 20m, tiang 10m x 10m, sapihan 5m x 5m, dan semai serta tumbuhan bawah 1m x 1m. Agar mewakili kondisi yang sebenarnya, petak ukur dibuat dalam jalur-jalur (Gambar 5) dengan intensitas sampling minimum 2,5%. Gambar 5. Penempatan petak ukur dalam jalur pengamatan untuk analisa vegetasi 15

23 Petak ukur secara bersarang (Gambar 6) dibuat dalam jalur pengamatan secara berselang-seling di sebelah kiri dan kanan jalur, dengan jarak antar petak ukur maupun jarak antar jalur disesuaikan dengan intensitas sampling yang ditetapkan. Gambar 6. Pembuatan petak ukur secara bersarang (nested) Beberapa parameter yang dapat dihitung berdasarkan cara pengumpulan data ini adalah (Ludwig & Reynolds, 1988): Kerapatan (K) = Kerapatan Relatif (KR) = Frekuensi (F) = Frekuensi Relatif (FR) = Dominansi (D) = Jumlah individu Luas petak ukur K suatu spesies jenis K total seluruh spesies x 100% Jumlah petak ukur ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh petak ukur F suatu jenis F total seluruh jenis Luas bidang dasar suatu jenis Luas petak ukur 16

24 Dominansi Relatif (DR) = D suatu jenis D total seluruh jenis Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR Kondisi yang ideal adalah jika terdapat jumlah tengkawang yang banyak dan tersebar merata di seluruh areal untuk setiap tingkatan hidupnya. Terdapat beberapa pendapat mengenai jumlah individu yang dianggap memadai untuk melakukan konservasi sumber daya genetik in-situ, misalnya individu (Frankel dan Soulé, 1981), individu (Hawkes, 1991), individu (Lawrence dan Marshall, 1997). Yang penting dalam hal ini adalah seluruh individu yang tercatat dapat melakukan proses regenerasi. 4. Pengambilan sampel untuk analisa keragaman genetik sebelum pelaksanaan konservasi Keragaman genetik tengkawang yang menjadi spesies target perlu dianalisa untuk mengetahui seberapa besar keragaman genetik yang akan dilestarikan. Pengamatan dilakukan terhadap semua tingkatan hidup (pohon, tiang, sapihan dan semai). Jumlah sampel yang diambil minimum 25 individu untuk setiap tingkatan hidup, yang tersebar merata di areal tersebut. Sampel dapat diambil berdasarkan data sebaran spesies dari analisa vegetasi tengkawang yang juga dilaksanakan. 17

25 Gambar 7. Pengambilan sampel untuk analisa genetik jenis Shorea penghasil tengkawang Sampel jaringan tanaman yang diambil tergantung penanda genetik dan kondisi tanaman. Penanda isozim memerlukan jaringan yang selalu segar agar enzim yang akan diekstrak di laboratorium tetap aktif dan dapat dianalisa, sedangkan penanda DNA (misalnya SSR, AFLP, RAPD, dan sebagainya) tidak harus menggunakan jaringan yang segar, sekalipun pada umumnya jaringan yang segar lebih mudah untuk diisolasi DNA-nya. Analisa keragaman dilakukan berdasarkan data pola pita (banding pattern) hasil elektroforesis atau fragmen DNA hasil PCR. Data yang diperoleh selanjutnya dipergunakan untuk menghitung parameter keragaman genetik seperti (Finkeldey & Hattemer, 2007): Proporsi lokus polimorfik 100 x N (P) PLP = N (P) + N (M) Keterangan: PLP = Proporsi lokus polimorfik N(P) = Jumlah lokus polimorfik N(M) = Jumlah lokus monomorfik 18

26 Rerata jumlah alel per lokus Keterangan: A = Rerata jumlah alel per lokus n i = Jumlah alel pada suatu lokus L = Jumlah lokus Jumlah alel efektif Keterangan: v = Jumlah alel efektif p = Frekuensi alel i Heterozigositas observasi Keterangan: H O = Heterozigositas observasi P ii = Frekuensi genotip yang homozigot Heterozigositas harapan Keterangan: H E = Heterozigositas harapan p i = Frekuensi alel 19

27 Indeks fiksasi F = 1 - IS Ho H E Keterangan: F IS = Indeks fiksasi H O = Heterozigositas observasi H E = Heterozigositas harapan Keragaman genetik dibandingkan untuk setiap tingkatan hidup (pohon, tiang, sapihan, dan semai). Kondisi yang ideal adalah jika populasi yang diamati tersebut dapat mempertahankan keragaman genetiknya pada setiap generasi sehingga berada dalam kondisi Keseimbangan Hardy-Weinberg. B. Pelaksanaan 1. Pengajuan kepada pemerintah sebagai areal konservasi sumber daya genetik S e s u a i d e n gan a m a n a t Pe ra t u ra n M e n teri N o. P.72/Menhut/2009, areal yang dipandang memenuhi syarat untuk dikelola sebagai areal konservasi sumber daya genetik perlu diajukan kepada pemerintah agar dapat segera ditetapkan. Dalam hal ini teknis pengajuan dan penetapan oleh pemerintah memang belum diatur lebih detail. 2. Penetapan areal sumber daya genetik dan penetapan batas kawasan Sekalipun teknis penetapan areal konservasi sumber daya genetik oleh pemerintah belum diatur secara lengkap, namun areal yang memenuhi syarat sebagai areal konservasi sumber daya 20

28 genetik tengkawang tetap perlu dicatat dan diperlakukan secara konsisten sebagai areal konservasi in-situ, agar plasma nutfah tengkawang yang ada dalam areal tersebut dapat dilindungi secara optimal. Luas dan batas areal harus ditetapkan secara tegas untuk menghindari konflik kepentingan di kemudian hari. 3. Pemeliharaan Mengingat spesies tengkawang berada pada sebaran alaminya, maka konservasi sumber daya genetik in-situ tengkawang pada prinsipnya dilaksanakan dengan tetap memperhatikan komponen-komponen ekosistem yang ada di areal yang telah ditetapkan tersebut. Berbagai spesies lain yang ada di lokasi tersebut tetap dipertahankan sepanjang tidak mengganggu kelestarian tengkawang sebagai spesies target. a. Perlindungan dan pengamanan areal konservasi. Perlindungan perlu dilakukan jika terdapat spesies yang bersifat invasif maupun secara dominan berpotensi sebagai kompetitor atau mengganggu tengkawang, misalnya jenis-jenis pioner dan cepat tumbuh seperti Trema spp. dan Macaranga spp. Demikian pula spesies ekso tidak boleh dimasukkan secara sengaja ke dalam areal konservasi in-situ. Spesies yang berpotensi sebagai gulma harus dikendalikan agar tidak mengganggu, sehingga perlu dilakukan pemberantasan gulma secara manual dan dikontrol secara periodik. Pengamatan seksama juga perlu dilakukan untuk menekan potensi serangan hama baik berupa satwa liar maupun serangga dan patogen penyebab penyakit. Aktivitas penduduk di sekitar areal 21

29 dipantau agar tidak mengganggu tanaman maupun merusak komponen ekosistem. Penyuluhan perlu dilakukan untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat agar ikut berpartisipasi dalam melindungi tengkawang dalam areal konservasi dan tidak diperkenankan sama sekali untuk memanen buah tengkawang. Pada musim kemarau atau bulan kering kewaspadaan perlu ditingkatkan terhadap kemungkinan terjadinya kebakaran yang dapat mengganggu areal konservasi. b. Pemeliharaan dan peningkatan kemampuan regenerasi. Mengingat areal konservasi ini ditujukan pula sebagai sumber plasma nutfah, maka kemampuan regenerasi tanaman tengkawang sebagai penyusun tegakan perlu dipantau dan dievaluasi. Oleh karena itu, pada saat musim pembungaan perlu diamati secara seksama berapa ukuran populasi efektifnya (n = e effective population size), yaitu jumlah individu yang melakukan proses regenerasi dengan baik. Individu tanaman dewasa yang produksi bunganya kurang atau bahkan tidak berbunga sama sekali harus dicatat dan diamati apakah tetap memiliki perilaku yang sama pada masa pembungaan berikutnya. Apabila memungkinkan, perlu dipertimbangkan untuk melakukan upaya stimulasi pembungaan agar semua individu dewasa melakukan proses regenerasi, misalnya dengan aplikasi stimulan/hormon. c. Penataan permudaan alam. Permudaan alam yang ada, baik pada tingkatan hidup semai, sapihan, maupun tiang perlu dipelihara dengan sebaikbaiknya. Apabila terganggu oleh tanaman lain perlu diatasi, 22

30 misalnya liana yang membelit harus dipotong, atau jika permudaan tengkawang ternaungi sama sekali oleh tanaman lain maka perlu diatasi dengan memangkas tanaman yang menaungi agar cahaya matahari yang diperlukan untuk proses fotosintesis dapat menembus masuk. Apabila hasil inventarisasi menunjukkan kepadatan permudaan alam yang tinggi pada tempat-tempat tertentu, terutama pada tingkatan hidup semai, maka jika memungkinkan harus segera dipindahkan (transplanting) ke tempat yang permudaan tengkawangnya jarang atau kosong. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi tingkat kompetisi sesama permudaan alam tengkawang serta agar sebarannya menjadi lebih merata. Lokasi penanaman yang dipilih hendaknya bukan merupakan tempat yang tertutup naungan pohon-pohon besar ataupun sebaliknya terbuka sama sekali, melainkan harus terdapat ruang secara vertikal yang cukup untuk mendapatkan sinar matahari. Selanjutnya disiapkan lubang tanam dengan ukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm. Pada saat pembuatan lubang, tanah bagian atas (top soil) dicangkul dan ditempatkan pada sisi yang berbeda dengan tanah bagian bawah (sub soil). Untuk memperbaiki aerasi tanah, sebaiknya lubang dibiarkan terbuka sekitar 2-3 minggu sebelum ditanami. Sebaliknya pada saat penanaman, penutupan lubang dengan tanah diatur sehingga tanah bagian atas dimasukkan lebih dahulu, diikuti penutupan dengan tanah bagian bawah yang telah dicampur dengan pupuk seperti pada Gambar 8. Jenis pupuk disesuaikan dengan yang 23

31 tersedia dan dalam dosis yang mencukupi untuk setiap batang semai. Gambar 8. Pengembalian tanah untuk menutupi lubang penanaman Untuk mengurangi resiko kematian, saat pemindahan semai harus dilakukan bersama dengan tanah tempat tumbuhnya (semai dipindah dengan cara putaran, bukan cabutan) dan diusahakan secara hati-hati agar perakarannya tidak terpotong atau rusak. Pada saat penanaman, semai diletakkan dalam lubang dengan kedalaman sedemikian rupa sehingga leher akar terletak tepat pada permukaan tanah (Gambar 9). Pemindahan ini sebaiknya dilakukan saat musim hujan untuk meningkatkan keberhasilan. 24

32 Gambar 9. Kedudukan leher akar semai saat penanaman d. Pelestarian dan peningkatan keragaman genetik populasi. Hasil pengamatan keragaman genetik harus digunakan sebagai salah satu dasar dalam kegiatan pemeliharaan agar tujuan pelestarian keragaman genetik dapat tercapai. Oleh karena itu, keragaman genetik di antara tingkatan hidup pohon, tiang, sapihan dan semai harus dibandingkan. Apabila keragamannya tidak sama, terutama jika keragaman genetiknya makin berkurang pada tingkatan hidup tanaman yang lebih muda, maka diperlukan tindakan untuk meningkatkan keragaman genetik yang menurun tersebut. Dalam hal ini regenerasi dari hasil propagasi yang disiapkan harus berasal dari perkawinan indukinduk di dalam populasi yang relevan dan dengan tingkat keragaman yang cukup untuk melestarikan populasi tersebut. 25

33 Sebagai contoh, apabila diketahui dalam populasi tersebut terdapat 5 allele (A, B, C, D, E) sebagai penyusun keragaman genetiknya, maka diupayakan semua allele ini dapat diperoleh kembali pada generasi berikutnya (Gambar 10). Gambar 10. Seluruh allele dalam populasi dapat diwariskan kepada generasi berikutnya Jika populasi tersusun atas individu-individu yang membentuk kelompok-kelompok, diupayakan agar aliran gen dapat terjadi di antara kelompok-kelompok tersebut untuk mengoptimalkan perkawinan acak dan rekombinasi genetik dari pohon induk (Gambar 11). Gambar 11. Aliran gen yang baik antar kelompok dalam populasi dapat meningkatkan rekombinasi genetik 26

34 Berbagai teknik untuk mempertahankan dan meningkatkan keragaman genetik dapat dilakukan melalui: Optimalisasi penyelamatan semai hasil permudaan alam (wildling). Permudaan alam dipelihara agar sehat dan tumbuh dengan baik. Induk tanaman yang memiliki allele yang langka (frekuensinya rendah dalam populasi tersebut, yaitu kurang dari 10%) perlu dipantau pada saat mulai musim pembungaan, agar proses reproduksi tanaman dapat berjalan dengan baik. Induk tanaman yang memiliki allele yang langka dan mampu berbunga namun hanya menghasilkan benih yang terbatas perlu dibantu penyerbukannya secara terkendali (controlled pollination). Induk tanaman yang memiliki allele yang langka dan sama sekali tidak mampu berbunga perlu diupayakan untuk diperbanyak secara vegetatif. 4. Monitoring dan evaluasi Monitoring dilakukan sebagai penilaian secara kuantitatif terhadap status populasi dan komponennya dari waktu ke waktu. Sebelum spesies dilindungi secara hukum, monitoring memberi gambaran prediksi dan situasi kritis yang perlu diidentifikasi, sehingga dapat digunakan untuk mengambil tindakan yang perlu dilakukan dalam penanganan areal konservasi. Setelah perlindungan secara hukum, monitoring memberi prediksi efektivitas areal konservasi dalam melindungi dan mengembangkan ekosistem dan spesies di dalamnya. Oleh karena itu pengamatan 27

35 perlu dilakukan secara periodik. Mengingat tengkawang berbuah raya rata-rata 5 tahun sekali, maka pengambilan data ekologis untuk analisa vegetasi dan sampel analisa keragaman genetik dapat dilakukan minimum setiap 10 tahun sekali. a. Dokumentasi. Mengingat konservasi sumber daya genetik merupakan upaya jangka panjang, maka hendaknya seluruh data direkam dengan baik agar dapat dimanfaatkan untuk keperluan analisa dan pengambilan kebijakan yang diperlukan. Data yang diperoleh dari lapangan maupun laboratorium hendaknya disimpan dalam bentuk digital agar dapat digandakan dengan lebih mudah. b. Pengambilan data ekologis untuk analisa vegetasi secara periodik. Analisa vegetasi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui potensi ekologis tengkawang dalam tegakan yang sudah ditetapkan menjadi areal konservasi sumber daya genetik, sehingga dapat diperoleh gambaran lengkap mengenai daya dukung tapak, kondisi tegakan, maupun kemampuan regenerasinya. c. Pengambilan sampel untuk analisa keragaman genetik secara periodik. Analisa keragaman genetik tengkawang yang menjadi spesies target secara periodik memberikan gambaran potensi keragaman genetik pada semua tingkatan hidup (pohon, tiang, sapihan dan semai) yang harus dilestarikan pada areal sumber daya genetik in-situ yang sudah ditetapkan. 28

36 d. Evaluasi terhadap teknik pelaksanaan. Analisa data dilakukan dengan cara membandingkan data awal dan data pada periode berikutnya. Selanjutnya disimpulkan apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal keberadaan dan distribusi populasi, ukuran dan kondisi populasi, struktur genetik populasi serta kondisi demografinya. Apabila terjadi penurunan, perlu dicermati apakah merupakan hal yang normal, atau merupakan siklus yang alami, atau akibat manajemen yang tidak tepat. Jika menunjukkan tren kemerosotan status konservasi, maka diperlukan tindakan perbaikan manajemen konservasi selanjutnya. 29

37 DAFTAR PUSTAKA Ådjers, G., Hadengganan, S., Kuusipalo, J., Nuryanto, K., & Vesa, L Enrichment planting of dipterocarps in logged over secondary forest: effect of width, direction and maintenance method of planting line on selected Shorea spesies. Forest Ecology and Management 73 : Finkeldey, R. & Hattemer, H.H Tropical Forest Genetics. Springer Verlag. Berlin. Frankel, O. & Soulé, M. Conservation and evolution. Cambridge University Press, Cambridge Frankham, R., Ballou, J.D., & Briscoe, D.A Introduction conservation genetics. Cambridge University Press. Cambridge. Hawkes, J.G., International workshop in dynamic in-situ conservation of wild relatives of major cultivated plants: Summary of final discussion and recommendations. Israel Journal of Botany 40: IUCN, IUCN Red List Categories and Criteria version Diakses tanggal 11 Desember IUCN, IUCN Red list of threatened spesies. Version Diakses tanggal 11 Desember Lawrence, M.J. & Marshall, D.F Plant population genetics. In: Maxted, N., B.V. Ford Lloyd & J.G. Hawkes (Eds), Plant Genetic Conservation. The in-situ Approach. Chapman and Hall. pp Ludwig, J.A. & Reynolds, J.F Statistical Ecology: A Primer in method and computing. John Wiley and Sons. New York. 30

I. PENDAHULUAN. (MacKinnon, 1997). Hakim (2010) menyebutkan, hutan tropis Pulau Kalimantan

I. PENDAHULUAN. (MacKinnon, 1997). Hakim (2010) menyebutkan, hutan tropis Pulau Kalimantan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar ketiga di dunia dan menjadi salah satu pulau yang memiliki keragaman biologi dan ekosistem yang tinggi (MacKinnon, 1997). Hakim

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Halaman Pengesahan... iii Halaman Pernyataan... iv Halaman Persembahan... v Kata Pengantar... vi Daftar Isi... viii Daftar Tabel... x Daftar Gambar... xi Daftar Lampiran...

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

ISBN : MANUAL PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI EKS-SITU SHOREA PENGHASIL TENGKAWANG

ISBN : MANUAL PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI EKS-SITU SHOREA PENGHASIL TENGKAWANG ISBN : 978-602-9096-09-5 MANUAL PEMBANGUNAN PLOT KONSERVASI EKS-SITU SHOREA PENGHASIL TENGKAWANG Penulis : Antonius YPBC Widyatmoko Editor : Rizki Maharani Dipterocarps Research Center, Forestry Research

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

Baharinawati W.Hastanti 2

Baharinawati W.Hastanti 2 Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan eberadaan Pohon Inti dan ondisi Permudaannya (Studi asus di Areal IUPHH PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua) 1 Baharinawati W.Hastanti 2 BP Manokwari

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit Penelitian ini menggunakan primer dari Operon Technology, dimana dari 10 primer acak yang diseleksi, primer yang menghasilkan pita amplifikasi yang

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN Laboratorium Silvikultur &Agroforestry Jurusan Budidaya Hutan FakultasKehutanan, UGM PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN SILVIKULTUR Metode Permudaan Metode permudaan merupakan suatu prosedur dimana suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH. 15/04/2013

PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH. 15/04/2013 PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH 1 BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH Budidaya untuk produksi benih sedikit berbeda dengan budidaya untuk produksi non benih, yakni pada prinsip genetisnya, dimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, merupakan negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan lainnya dipisahkan

Lebih terperinci

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI priyambodo@fmipa.unila..ac.id #RIPYongki Spesies dan Populasi Species : Individu yang mempunyai persamaan secara morfologis, anatomis, fisiologis dan mampu saling

Lebih terperinci

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA Hadirin sekalian, penulis berpendapat, beberapa permasalahan besar di muka sangatlah penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan hutan, akan tetapi pembahasan terhadap konsep-konsep dasar ilmu kehutanan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah kawasan suaka alam yang mempunyai

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

adalah praktek budidaya tanaman untuk benih

adalah praktek budidaya tanaman untuk benih Produksi benih non hibrida meliputi : inbrida untuk tanaman menyerbuk sendiri bersari bebas/open bebas/open pollinated (OP) untuk tanaman menyerbuk silang Proses produksi lebih sederhana, karena hampir

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan Strategi Penyelamatan Eboni (Diospyros celebica Bakh.) dari... STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Fauna merupakan bagian dari keanekaragaman hayati di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa dan terletak sekitar 30 kilometer di Utara wilayah Provinsi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa dan terletak sekitar 30 kilometer di Utara wilayah Provinsi Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi aktif yang terdapat di Pulau Jawa dan terletak sekitar 30 kilometer di Utara wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu tuntutan yang harus dipenuhi. Produktivitas ditentukan oleh kualitas tempat tumbuh dan teknik

Lebih terperinci

TEKNOLOGI TEPAT GUNA TENGKAWANG DALAM RANGKA DIVERSIFIKASI PRODUK TENGKAWANG UNTUK MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT LOKAL LATAR BELAKANG

TEKNOLOGI TEPAT GUNA TENGKAWANG DALAM RANGKA DIVERSIFIKASI PRODUK TENGKAWANG UNTUK MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT LOKAL LATAR BELAKANG TEKNOLOGI TEPAT GUNA TENGKAWANG DALAM RANGKA DIVERSIFIKASI PRODUK TENGKAWANG UNTUK MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT LOKAL TIM TENGKAWANG B2PD Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama pengelolaan taman nasional adalah sebagai kekuatan pendorong untuk menjamin kelestarian fungsi ekologi kawasan dan sekitarnya serta kemanfaatannya bagi manusia

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN ANAKAN ALAM EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI TIGA POPULASI DI PERSEMAIAN. C. Andriyani Prasetyawati *

PERTUMBUHAN ANAKAN ALAM EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI TIGA POPULASI DI PERSEMAIAN. C. Andriyani Prasetyawati * Pertumbuhan Anakan Alam Eboni (Diospyros celebica Bakh) C. Andriyani Prasetyawati PERTUMBUHAN ANAKAN ALAM EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI TIGA POPULASI DI PERSEMAIAN C. Andriyani Prasetyawati * Balai

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2011, bertempat di Seksi Wilayah Konservasi II Ambulu, Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Kecamatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Amplifikasi silang jenis Mindi Amplifikasi DNA merupakan proses penggandaan DNA dimana basa penyusun DNA direplikasi dengan bantuan primer. Primer merupakan potongan rantai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

INVENTARISASI TANAMAN JELUTUNG (DYERA COSTULATA HOOK) SEBAGAI TUMBUHAN LANGKA YANG TERDAPAT DI ARBORETUM UNIVERSITAS RIAU

INVENTARISASI TANAMAN JELUTUNG (DYERA COSTULATA HOOK) SEBAGAI TUMBUHAN LANGKA YANG TERDAPAT DI ARBORETUM UNIVERSITAS RIAU INVENTARISASI TANAMAN JELUTUNG (DYERA COSTULATA HOOK) SEBAGAI TUMBUHAN LANGKA YANG TERDAPAT DI ARBORETUM UNIVERSITAS RIAU INVENTORY PLANTS OF JELUTUNG (DYERA COSTULATA HOOK) AS RARE PLANTS FOUND IN ARBORETUM

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. I. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2010 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu bulan di blok Krecek, Resort Bandialit, SPTN wilayah II, Balai Besar Taman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

MONITORING LINGKUNGAN

MONITORING LINGKUNGAN MONITORING LINGKUNGAN Monitoring dalam kegiatan pengelolaan hutan sangat diperlukan guna mengetahui trend/kecenderungan perkembangan vegetasi (flora), fauna maupun kondisi alam dengan adanya kegiatan pengelolaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi :

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengambilan Data Metode Pengumpulan Data Vegetasi : METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutaan Institut

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 Lima prinsip dasar Pengelolaan Konservasi 1. Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol 2. Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman

Lebih terperinci

Oleh : Iskandar Z. Siregar

Oleh : Iskandar Z. Siregar 3 MODULE PELATIHAN PERSEMAIAN Oleh : Iskandar Z. Siregar ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT IN DUSUN ARO, JAMBI Serial Number : PD 210/03 Rev. 3 (F) FACULTY

Lebih terperinci

Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN

Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN Jenis Bambang Lanang Kajian Dampak Hutan Tanaman Jenis Penghasil Kayu Terhadap Biodiversitas Flora, Fauna, dan Potensi Invasif Paket Informasi Dampak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dibidang kehutanan saat ini terus ditingkatkan dan diarahkan untuk menjamin kelangsungan tersedianya hasil hutan, demi kepentingan pembangunan industri, perluasan

Lebih terperinci

UJI PENANAMAN DIPTEROKARPA DI JAWA BARAT DAN BANTEN

UJI PENANAMAN DIPTEROKARPA DI JAWA BARAT DAN BANTEN UJI PENANAMAN DIPTEROKARPA DI JAWA BARAT DAN BANTEN Oleh: Atok Subiakto dan Putera Parthama RINGKASAN Sebagai jenis asli Indonesia yang kualitas dan nilainya sudah terbukti, semestinya jenis-jenis dipterokarpa

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia besar yang hidup di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1823), satwa berkuku genap ini mempunyai peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan 14 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan kiri Jalan Sanggi-Bengkunat km 30 - km 32, Pesisir Barat, Taman Nasional

Lebih terperinci