BAB I PENGANTAR. Pertunjukan wayang atau biasa disebut pakêliran sudah. populer di kalangan masyarakat Jawa. Menurut data historis,
|
|
- Erlin Johan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pertunjukan wayang atau biasa disebut pakêliran sudah populer di kalangan masyarakat Jawa. Menurut data historis, pertunjukan wayang sudah ada pada abad IX dalam Prasasti Kuti 840 M yang didalamnya terdapat istilah haringgit yang berarti wayang. 1 Istilah ringgit juga terdapat Kakawin Arjuna Wiwaha, bait 59 sebagai berikut. Hanânonton ringgit manangis asêkêl mudha hidêpan huwus wruh towin yan walulang inukir molah angucap hatur ning wang trêsnèng wisaya malah tan wihikana tatwan jan maya sahan-haning bawa siluman. (Ada orang melihat wayang menangis, kagum serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit dipahat dibentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang itu umpamanya orang yang bernafsu dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa semua ini hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya hanya semu saja.) 2 Wayang mempunyai berbagai jenis diantaranya wayang gêdhog, wayang golèk, wayang bèbèr, wayang kulit purwa, wayang 1Timbul Haryono, Seni Pertunjukan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni (Surakarta: ISI Press, 2008), 334 2Hazeu, Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami Ing Jaman Kina (Jakarta:Depdikbud, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1979), 41.
2 2 wahyu, dan lain sebagainya. Pertunjukan wayang kulit purwa lah yang masih mendapat tempat di hati masyarakat pendukungnya. Ada beberapa alasan di antaranya, cerita yang diambil lebih populer di kalangan masyarakat Indonesia, jumlah tokohnya lebih banyak dibanding jenis wayang lain, alur dan garapan isi cerita dapat mengakomodasi dengan keadaan yang berkembang di masyarakat, dan cerita wayang kulit purwa menjadi cermin acuan dalam kehidupan sehari-hari. 3 Berbagai acara yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, swasta, maupun perorangan menghadirkan pertunjukan wayang sebagai puncak acara. Ada pula pertunjukan wayang kulit purwa yang diselenggarakan dalam sebuah acara festival. Selain peningkatan pementasan wayang kulit purwa dalam berbagai acara, banyak bermunculan dalang-dalang muda. Pertumbuhan dalang mengalami perkembangan yang signifikan. Dalang-dalang muda dari berbagai kota di Indonesia mulai menunjukkan kemampuan dalam memainkan wayang, bahkan pertumbuhan dalang tidak hanya pada orang dewasa tetapi juga anak-anak mulai tampil menyajikan pertunjukan wayang. Berdasarkan pengalaman empiris, akhir-akhir ini banyak generasi muda yang mulai belajar dan mementaskan wayang. 3Bambang Murtiyoso, Waridi, Suyanto, Kuwato, dan Harijadi Tri Putranto, Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang (Surakarta: Citra Etnika, 2004), 2-11.
3 3 Muncul fenomena dalang anak atau dalang cilik yang mementaskan wayang kulit sehingga mengobati kegelisahan akan hilangnya generasi penerus yang mencintai budaya tradisional. Istilah dalang cilik dikarenakan isih cilik atau masih anak-anak. Aristoteles menggambarkan anak-anak ialah mereka yang berusia dari 7 sampai 14 tahun. 4 Selain dalang cilik, ada pula sebutan dalang bocah. Pertumbuhan dalang tampak pada data yang diperoleh yakni pada saat Festival Temu Dalang Cilik Nusantara selanjutnya disingkat TDCN yang diprakarsai oleh Sanggar Sarotama di Surakarta. Sanggar Sarotama menyelenggarakan Festival Temu Dalang Cilik Nusantara sejak tahun Festival dalang anak sudah diadakan mulai dari tingkat daerah maupun nasional. Adapun dalam festival TDCN ini merupakan tingkat nasional. Penelitian ini didasari pengamatan festival sejak tahun 2005 sampai tahun Selama kurun waktu itu terdapat empat peristiwa festival TDCN yang menyajikan pertunjukan wayang kulit dengan dalang anak. Pertama, TDCN I pada tanggal 1-6 Juli 2005 bertempat di Taman Budaya Jawa Tengah, diikuti 29 dalang anak. Kedua, TDCN II pada tanggal Juli 2007 diikuti 34 dalang anak. Ketiga, TDCN III tanggal Juli 2009 diikuti 41 4Syamsu Yusuf LN., Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cetakan kedua, Mei 2001), 20.
4 4 dalang anak. Keempat, TDCN IV pada tanggal 4-9 Juli 2011 diikuti 77 dalang anak. Satu dari empat peristiwa tersebut yang menarik, yaitu peristiwa yang digelar pada tahun 2011 : Temu Dalang Cilik Nusantara IV. Festival tersebut mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia atas penyelenggaraan festival dengan peserta dalang anak terbanyak yaitu 77 peserta. Data ini menunjukkan jika wayang masih dicintai oleh masyarakat pendukungnya terutama anak-anak. Jika dilihat lebih lanjut, perkembangan anak-anak yang mulai berani mementaskan wayang merupakan sebuah prestasi pada generasi muda. Ada fenomena yang menarik berkenaan dengan pertumbuhan dalang anak yang semakin kian marak. Pertunjukan wayang kulit purwa yang digelar semalam suntuk biasanya menampilkan dalang dewasa kini bermunculan dalang anak tampil dalam sebuah festival. Seiring dengan perkembangan jaman, wayang ditantang untuk tetap menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sudah barang tentu, dalang sebagai tokoh sentral memegang fungsi yang sangat penting. Dalang anak sebagai peserta festival mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh panitia. Peraturan festival diterapkan untuk mengekfektifkan pertunjukan selama kegiatan berlangsung. Peraturan atau tata tertib meliputi sajian pertunjukan maupun
5 5 teknis dalam kegiatan. Dalam festival, seluruh peserta juga mendapat penghargaan berdasarkan pengamatan dan penilaian dari pengamat yang mengacu pada kaidah estetika pedalangan. Penghargaan ini diberikan sesuai dengan kemampuan dan sajian pertunjukan yang ditampilkan. Sebagai bentuk pertunjukan festival, tidak diberikan penjuaraan dengan urutan nomor dikarenakan ajang festival merupakan sebuah bentuk atau wadah menyalurkan kesenangan yang dalam hal ini adalah festival dalang anak dengan menyajikan pertunjukan wayang kulit purwa. Mengingat keterbatasan usia anak yang rentangannya dimulai dari usia 7 sampai 14 tahun, maka kajian ini dibatasi untuk dalang cilik yang masih berusia anak. Sebagai bahan kajian difokuskan pertunjukan dalang anak Bima Anggoro usia 11 tahun dari Nganjuk Jawa Timur pada Temu Dalang Cilik IV tahun Pemilihan dalang anak Bima Anggoro didasari atas pertimbangan lakon yang disajikan, prestasi pada saat festival, dan latar belakang anak. Adapun lakon yang ditampilkan adalah lakon Wahyu Cakraningrat yang bersumber dari epos Mahabarata yang merupakan lakon baku dengan bentuk pakêliran ringkas. Pada festival tersebut, dalang anak Bima Anggoro mendapat predikat tiga Dalang Dadi yang dalam penyajiannya ada beberapa hal yang menonjol yaitu unsur penyuaraan tokoh wayang yang mampu dibedakan, ada nilai keselarasan nada atau tidak bléro dalam
6 6 sulukan, karawitan pakêliran dilaksanakan oleh anak-anak yang masih menggunakan gêndhing-gêndhing dalam pakêliran. Latar belakang Bima Anggoro adalah anak dalang. Proses mendalang ia diperoleh dari lingkungannya sejak dini. 1.2 Rumusan Masalah Adapun penelitian ini menitikberatkan permasalahan yang menarik diungkapkan berkenaan dengan topik yang diambil sebagai berikut: 1. Apa yang melatarbelakangi Bima Anggoro mendapat predikat Dalang Dadi dalam festival? 2. Bagaimana sajian pertunjukan wayang kulit purwa yang ditampilkan oleh dalang anak Bima Anggoro? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian yang berjudul Pertunjukan Wayang Kulit Purwa oleh Dalang Anak Bima Anggoro pada Festival Temu Dalang Cilik Nusantara IV di Surakarta bertujuan untuk mencari jawaban dari permasalahan yang disebutkan pada rumusan masalah. Sebuah fenomena pakêliran wayang kulit purwa yang lazimnya dimainkan oleh dalang dewasa kini bermunculan anak-anak yang mementaskan wayang kulit. Kajian ini untuk memberikan
7 7 gambaran sajian pertunjukan wayang kulit purwa yang disajikan oleh dalang anak dalam bentuk pakêliran ringkas pada sebuah festival serta kaidah estetika pedalangan yang diterapkan selama pertunjukan. Adapun fokus kajian pada sajian pertunjukan wayang kulit purwa yang disajikan oleh dalang anak Bima Anggoro dalam festival Temu Dalang Cilik Nusantara IV. Kedua, mengenai proses belajar mendalang Bima Anggoro hingga motivasi untuk tampil sebagai dalang anak dalam sebuah festival. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan khasanah pengetahuan dalam bidang kajian seni pedalangan khususnya dan seni pertunjukan pada umumnya. Ditemukannya sajian pertunjukan wayang kulit purwa oleh dalang anak pada saat festival sebagai upaya meningkatkan profesionalisme dalang anak di kemudian hari. Proses mendalang melalui pewarisan dapat dipakai sebagai acuan belajar anak-anak ketika berlatih untuk menjadi dalang. 1.4 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka memberi gambaran berbagai tulisan yang bersinggungan dengan topik penelitian. Hal tersebut dimaksudkan untuk membuktikan keaslian sebuah penelitian, apakah topik terkait pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya atau tidak. Kajian mengenai pertunjukan wayang telah banyak dilakukan peneliti
8 8 sebelumnya. Beberapa tulisan yang menyangkut pertunjukan wayang yang pernah dijumpai. Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko, dalam bukunya Sejarah Pedalangan (2007), memuat asal usul pertunjukan wayang dan berbagai jenis wayang yang muncul mulai zaman prakemerdekaan sampai dewasa ini. Di samping itu, menguraikan mengenai aspek-aspek di dalam pertunjukan wayang kulit, misalnya repertoar wayang, peralatan, dan boneka wayang. Pemahaman mengenai sebuah pertunjukan wayang telah dikupas dalam buku ini. Soetarno dalam Wayang Kulit : Perubahan Makna Ritual dan Hiburan (2004) membahas asal mula dan perkembangan wayang sampai pada nilai-nilai tradisional versus nilai baru dalam pertunjukan wayang kulit pada masa kini. Perubahan nilai pertunjukan wayang yang mulanya sebagai sarana ritual, pada masa kini pertunjukan wayang kulit sebagai hiburan sosial pula. James R. Brandon, James R. Yang berjudul On Thrones of Gold: Three Javanese Shadow Plays (1970), membicarakan tiga lakon pewayangan Jawa. Brandon memberikan pengantar yang berisi sejarah wayang kulit purwa, jenis-jenis wayang, lakon, teknik pementasan, dan peralatan pendukung pertunjukan wayang. Pembicaraan mengenai lakon yaitu Wahyu Purbasejati, Irawan Rabi, Karna Tanding. Pembahasan yang telah
9 9 dipaparkan merupakan unsur pokok untuk diketahui dan dikuasai oleh seorang dalang. Victoria M. Clara van Groenendael dalam bukunya Dalang di Balik Wayang (1987), berisi pemaparan peranan dalang dan sekaligus pertunjukan wayang kulit di dalam masyarakat Jawa pada tahun Dari penelitian lapangan pada waktu itu ia menemukan bahwa terjadi perubahan peranan dalang dan pola pertunjukan wayang sebagai respon atas keterlibatan dalang dan wayang dalam konteks masyarakat yang lebih luas. Perubahan itu tidak berlangsung secara penuh dan bahkan masih dibingkai oleh peranan tradisional mereka. Secara tradisional dalang mempunyai peranan sosio-religius, yaitu sebagai penghubung antara manusia dengan kekuatan-kekuatan adikodrati dalam rangka memelihara harmoni antara kedua unsur tersebut sebagai aktualisasi dari tertib semseta. Dalang yang dipandang sabagai penghubung manusia dengan jagad besar atau antara komunitas dan dunia spiritual. Pembicaraan dalang dan pertunjukan wayang meliputi pendidikan dalang, arti penting silsilah dalang, gaya tradisi dalang, transaksi dalang dan penanggap, kesempatan dalang pentas, dan pergelaran. Berbagai pembahasan dalam tulisan ini, objek pertunjukannya adalah dalang dewasa sebagai contoh Ki Anom Suroto dan belum menyinggung mengenai dalang anak.
10 10 Disertasi Junaidi yang berjudul Pakeliran Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta oleh Dalang Anak. Disertasi untuk meraih derajat Sarjana S-3, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2010, membahas pakeliran wayang kulit purwa oleh dalang anak yang ditampilkan oleh dalang anak Anggit Laras Prabowo dengan lakon Anuman Dhuta dan Doni Siswanto dengan lakon Aji Narantaka dengan mengamati struktur lakon, format wayang, panggungan, dan motivasi tampilnya seorang anak menjadi dalang. Disertasi Junaidi dapat membantu untuk memberi gambaran pakêliran wayang kulit purwa yang disajikan oleh dalang anak. Nuksma dan Mungguh: Estetika Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta disertasi yang ditulis oleh Sunardi. Disertasi untuk meraih derajat Sarjana S-3, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2012, membahas unsur estetika pedalangan, proses pembentukan konsep nuksma dan mungguh, perwujudannya dalam pertunjukan, serta sebagai orientasi estetik pertunjukan wayang kulit purwa gaya Surakarta. Nuksma dan mungguh diartikan sebagai ketepatan dan kesesuaian dalam menjiwakan pertunjukan wayang. perwujudannya dapat dijelaskan melalui ketepatan dan kesesuaian ekspresi garap catur, sabêt, dan karawitan pakêliran yang menghasilkan kesan rasa
11 11 rêgu, grêgêt, prênes, dan sedih. Nuksma dan mungguh menjadi dasar penjiwaan pertunjukan wayang dan petunjuk kualitas dalang dan menjadi acuan penilaian pertunjukan wayang. Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan di atas, tidak ditemukan hasil penelitian atau buku yang secara khusus membahas tentang sajian pertunjukan wayang kulit purwa yang ditampilkan dalam bentuk festival yang terikat dengan peraturanperaturan selama festival. Pemilihan fokus kajian dalang anak Bima Anggoro belum disentuh oleh peneliti sebelumnya. Oleh karena itu penelitian ini dipandang orisinil. 1.5 Landasan Teori Dalam penelitian seni dapat dimungkinkan tidak hanya diperlukan satu disiplin ilmu saja untuk memecahkan beberapa permasalahan yang dikemukakan. Untuk menyikapi kajian tersebut maka pendekatan multidisiplin digunakan dalam penelitian ini. Pendekatan multidisiplin bukan terbatas pada analisisnya, akan tetapi juga pada pencarian dan pengumpulan datanya. 5 Estetika dalam struktur pergelaran wayang digunakan oleh para dalang dalam pakêliran mempertunjukkan pertunjukan yang artistik estetik. Pertunjukan artistik estetik merupakan 5 R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 16.
12 12 pertunjukan yang digarap dengan apik sehingga dapat menyajikan pertunjukan yang memiliki nilai-nilai dan keindahan. Estetika pedalangan merupakan kegiatan dari filsafat yang mempersoalkan mengenai keindahan suatu karya seni yang dalam hal ini adalah pedalangan. 6 Estetika pedalangan digunakan untuk menganalisa pertunjukan wayang kulit purwa lakon Wahyu Cakraningrat. Lakon yang disajikan dalam pertunjukan wayang kulit purwa gaya Surakarta disusun tiga babak atau pathêt yaitu pathêt nem, pathêt sanga, pathêt manyura. Masing-masing pathêt terdiri dari adegan yang di dalamnya terdapat struktur deskripsi, dialog, dan tindakan yang tercermin pada unsur garap catur, sabêt, dan karawitan pakêliran. 7 Rincian konsep estetika pedalangan dalam serat Sastramiruda sebagai berikut: 1) Amardawagung, artinya: dalang harus memahami dan atau menguasai gending maupun tembang kawi yang dipergunakan untuk suluk pakeliran. 2) Amardibasa, artinya: dalang harus menguasai bahasa dalam pewayangan serta mampu membedakan warna suara masing-masing tokoh wayang yang disebut antawacana. 6Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, Estetika Pedalangan (Surakarta: ISI Surakarta bekerjasama dengan CV. Adji Surakarta 2007), Soetarno, 2004,
13 13 3) Awicarita, artinya: dalang harus menguasai banyak cerita atau lakon wayang. 4) Paramakawi, artinya: dalang harus menguasai kosakata Jawa Kuna dan sinonimnya. 5) Paramasastra, artinya: dalang harus memahami pengetahuan tentang buku-buku pedalangan atau tidak buta huruf. 6) Sabêt, artinya: dalang harus terampil dalam menggerakkan boneka wayang sesuai dengan karakter tokoh wayang. 8 Buku Gêgêbêngan Panjangmas menyatakan bahwa penyajian wayang kulit yang dianggap berbobot jika sesuai dengan konsep estetik seperti di bawah ini. 1) Grêgêt, artinya bahwa dalang dalam menyajikan pertunjukan wayang harus memiliki semangat hidup, yaitu semangat berkesenian. 2) Sêngguh, artinya bahwa dalang harus sadar diri dan lepas dari kesombongan dan selalu mengaktualisasikan diri (belajar secara terus menerus). 3) Nyawiji, diartikan bahwa dalang harus manunggal sebagai bibit gerak seninya (menyatu dan total), terus mendalami 8 Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007, 74.
14 14 sampai tuntas sehingga penyajian wayangnya merupakan satu kesatuan. 4) Nora mingkuh, artinya dalang harus konsisten dan setia kepada nilai-nilai anutan gêndhing. 5) Mungguh, artinya bahwa apa yang disajikan oleh dalang pada pertunjukan wayang harus mantap. 9 Penyajian sabêt sebagai syarat keindahan perlu diperhatikan oleh para dalang. Adapun syarat-syarat keindahan dalam sabêt yang disajikan dalang yaitu: 1. Grêgêt, artinya gerak-gerak wayang yang ditampilkan harus terkesan hidup. 2. Sabêt, artinya setiap gerak wayang yang ditampilkan dapat dikemas secara rapi. 3. Cancut, artinya bahwa gerak-gerak wayang harus tampil secara resik dan trampil. 4. Runtut, artinya bahwa gerak-gerak wayang yang disajikan harus menurut kaidah yang berlaku dalam dunia pedalangan. 5. Pangguh, artinya bahwa setiap gerak wayang harus serba pantas. 6. Nalar, artinya bahwa dalang harus dapat menguasai kesulitan dalam menggerakkan wayang Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007, 77.
15 15 Selain persyaratan estetik pada unsur sabet, persyaratan estetik dalam unsur catur, yaitu: 1. Tutug, artinya cerita yang disajikan dari awal, tengah, sampai akhir dapat menyatu dan konsisten. 2. Tanduk, artinya bahwa dalang harus pandai dan terampil dalam mengucapkan janturan, pocapan, dan ginem, sehingga terasa enak didengarkan dan mudah dipahami oleh penonton. 3. Sabda, yakni bahasa maupun ucapan tokoh yang digunakan dalam suatu adegan ataupun keseluruhan lakon tidak diulang-ulang. 4. Lêbda, artinya dalang harus cakap dalam menggunakan bahasa pedalangan. 5. Wêwèka, artinya dalang dituntut mengetahui seluk beluk pengetahuan wayang maupun lakon. 6. Mungguh, memiliki arti patut, sesuai, tepat azas, relevan. 7. Lungguh, dalam ginem wayang harus sesuai dengan status dan kedudukan sosial tokoh dalam dunia wayang. 8. Cucut, diartikan bahwa dalam dialog dapat memunculkan humor yang segar. 9. Nuksma atau langgut, berarti dalam mengekspresikan emosi harus pas dan mantap, baik narasi, maupun 10 Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007,
16 16 percakapan wayang terkesan mantap dan seolah-olah hidup. 10. Tatas, artinya bahwa narasi (janturan dan pocapan) ditampilkan dengan jelas, urut, dan tidak tumpangtindih. 11. Micara, artinya bahwa dalang harus pandai menyusun kata-kata serta terampil dalam dialog wayang. 11 Dalang anak adalah mereka yang berusia 7-14 tahun yang masih dalam tahap tumbuh kembang. Perkembangan anak tentu akan sangat berbeda dari perkembangan orang dewasa. Perkembangan suatu proses yang kekal dan tetap yang menuju ke arah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan proses pertumbuhan, kemasakan dan belajar. 12 Setiap tingkah laku tentu mempunyai motif yang mendasari perbuatan. Setiap perbuatan dan tindakan mempunyai dasar atau mempunyai motif. Untuk menganalisis proses belajar mendalang anak perlu diketahui motivasi yang mendorong anak melakukan tindakan mementaskan wayang. Motivasi dapat dibedakan antara lain motivasi yang internal dan motivasi yang eksternal. Motivasi yang internal berarti bahwa sesuatu perbuatan memang diinginkan karena seseorang senang melakukannya, di sini datang dari dalam diri orang itu sendiri. Orang tersebut senang 11 Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007, Syamsu Yusuf LN., 2001,
17 17 melakukan perbuatan itu demi perbuatan itu sendiri. Sebaliknya motivasi eksternal berarti bahwa sesuatu perbuatan dilakukan atas dasar dorongan atau paksaan dari luar. Orang melakukan perbuatan itu karena ia didorong atau dipaksa dari luar. Suatu motif mempunyai 3 macam unsur : 1. Motif mendorong terus, memberikan energi pada satu tingkah laku (merupakan dasar energetic). 2. Motif menseleksi tingkah laku, menentukan arah apa yang akan dan tidak akan dilakukan. 3. Motif mengatur tingkah laku artinya bila sudah memilih salah satu arah perbuatan maka arah itu akan tetap dipertahankan Metode Penelitian Studi penelitian ini bersifat kualitatif dengan pengamatan secara menyeluruh dan mendalam terhadap suatu objek kajian yang dalam hal ini adalah penelitian dalang anak yang difokuskan pada dalang anak Bima Anggoro. 13F.J. Monks, A.M.P. Knoers, dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan, Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cetakan keenam belas, 2006),
18 18 1. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan baik dari sumber pustaka maupun video rekaman pada saat pementasan. Sumber pustaka baik dari buku-buku, laporan penelitian, dokumen, arsip dan naskah lakon pertunjukan wayang kulit purwa terutama pertunjukan wayang kulit purwa yang disajikan oleh dalang anak. Sumber-sumber pustaka tersebut dijadikan sebagai data tertulis, sedangkan data video rekaman pada saat pementasan ditranskripsikan untuk mendapatkan teks tulis sehingga memudahkan pada saat analisis data pertunjukan. Pengumpulan data tidak cukup hanya dengan studi pustaka saja, untuk memperoleh data yang berupa sumber lisan perlu dilengkapi wawancara. Wawancara dilakukan untuk melengkapi bahan tertulis guna menjaring informasi. Sebelum dilakukan wawancara penentuan informan kunci penting dalam sebuah penelitian. Wawancara dilakukan dengan dalang anak, orang tuanya, dan pelatih. Adapun narasumber dalam penelitian ini sebagai berikut: Bima Anggoro (Dalang Anak), Ranulin Dartutik (Orang tua), Bambang Her Budiman (Pelatih), Ki Cahyo Kuntadi (Dalang,penyusun naskah), Sukesi Rahayu (Seniwati), Mudjiono (Penyelenggara Festival).
19 19 Pada saat melakukan kegiatan wawancara dibantu dengan catatan dan tape recorder agar informasi yang disampaikan dapat tersimpan dengan baik. Informasi yang diperoleh baik dari rekaman maupun tulisan ditranskripsikan dalam tulisan latin sebagai bahan analisis. Adapun wawancara yang berbahasa Jawa dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia untuk memudahkan analisis. Namun, untuk istilah-istilah yang khas atau sulit diterjemahkan, tidak diterjemahkan melainkan hanya diberikan padanan katanya saja. Selanjutnya dilakukan pengamatan tak langsung terhadap video pementasan dalang anak Bima Anggoro dengan lakon Wahyu Cakraningrat pada video rekaman Temu Dalang Cilik IV 4-9 Juli 2011 di Taman Budaya Jawa Tengah. Pengamatan tidak langsung ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran nyata bentuk pertunjukan. Data-data yang sudah terkumpul tersebut dikelompokkan ke dalam file-file khusus dan disimpan pada komputer. Untuk menghindari terjadinya kerusakan pada saat analisis, maka semua data dibuat dua copy. Pembagian file-file berdasarkan jenis data yang ditemukan, diantaranya bentuk pertunjukan serta informasi dari informan. Dengan demikian diharapkan lebih memudahkan saat melaksanakan analisis data hingga merumuskan kesimpulan.
20 20 2. Analisis Data Setelah data terkumpul secara lengkap, langkah selanjutnya adalah mengalisis seluruh data. Data yang dikumpulkan dipilahpilah kemudian dianalisis dengan pendekatan multidisiplin. Transkripsi video rekaman pertunjukan wayang kulit purwa lakon Wahyu Cakraningrat dianalisis menggunakan kaidah estetika pedalangan sedangkan untuk proses belajar mendalang digunakan teori psikologi perkembangan anak yang memuat mengenai motivasi. Hasil penelitian berupa temuan satu model struktur pertunjukan wayang kulit purwa dalam bentuk ringkas yang disajikan dalang anak Bima Anggoro pada festival Temu Dalang Cilik Nusantara IV dan temuan proses belajar mendalang seorang dalang anak. 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini akan dibagi ke dalam lima bab, yaitu: Bab I Pengantar. Berupa latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
21 21 Bab II Festival Temu Dalang Cilik Nusantara. Pada bab ini dijelaskan mengenai penyelenggaraan festival, peserta, dan penilaian dalam festival. Bab III Proses Belajar Mendalang Dalang Anak Bima Anggoro. Bab ini memaparkan mengenai latar belakang dan proses belajar mendalang Bima Anggoro. Bab IV Praktek Mendalang di Festival dan Kaidah Estetika Pedalangan. Bab ini berisi mengenai praktek mendalang Bima Anggoro pada saat festival dan meninjau pakeliran yang disajikan dengan menggunakan kaidah estika pedalangan. Bab V Kesimpulan. Berisikan ringkasan yang diperoleh dari penelitian sekaligus sebagai jawaban atas rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini. Dilampirkan pula sejumlah data pendukung yang berkaitan dengan kajian ini pada akhir tulisan laporan penelitian.
BAB VI KESIMPULAN. Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan. salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu
BAB VI KESIMPULAN Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu tokoh pokok Antasena kemudian ditambah tokoh-tokoh baru seperti Manuwati,
Lebih terperinciPagelaran Wayang Ringkas
LOMBA KOMPETENSI SISWA SMK TINGKAT NASIONAL XIV Jakarta, 12 16 Juni 2006 KODE : 33 NAS Bidang Lomba Keahlian Seni Pedalangan Pagelaran Wayang Ringkas Test Project DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya.
104 BAB IV PENUTUP Lakon Anoman Mukswa merupakan lakon transisi dari wayang purwa menuju wayang madya sehingga dalam pementasannya terdapat dua jenis wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wayang Golek adalah suatu seni pertunjukan boneka tiruan rupa manusia yang dimainkan oleh seorang dalang dengan menggabungkan beberapa unsur seni. Wayang Golek
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana. Pertunjukan berlangsung selama dua jam sepuluh menit dan
253 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana intertekstualitas struktur lakon dan mengapa dramatisasi diperlukan dalam sanggit lakon Hana Caraka Nabi Elia. Pertunjukan
Lebih terperinciMATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK
MATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK Pedagogi Inti 1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. 2. Menguasai
Lebih terperinciTONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG
TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG Oleh: Kasidi Hp. Disampaikan dalam Sarasehan Senawangi Dalam Rangka Kongres IX Senawangi 25-26 April 2017 Jakarta PENGERTIAN AKSIOLOGI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wayang merupakan representasi kehidupan manusia yang memuat nilai, norma, etika, estetika, serta aturan-aturan dalam berbuat dan bertingkah laku yang baik. Wayang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Seni Wayang Jawa sudah ada jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu ke indonesia. Wayang merupakan kreasi budaya masyarakat /kesenian Jawa yang memuat berbagai aspek
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan aneka ragam kebudayaan dan tradisi. Potensi merupakan model sebagai sebuah bangsa yang besar. Kesenian wayang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata seni adalah sebuah kata yang semua orang dipastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara Etimologi istilah seni berasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penciptaan Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema cerita wayang Ramayana yang diperuntukkan bagi remaja usia 15-18 tahun. Hal ini dilatar
Lebih terperinciHasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde
Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde Laras - Bagaimana perkembangan kesenian wayang kulit saat ini ditengahtengah perkembangan teknologi yang sangat maju, sebenarnya semakin
Lebih terperincimenganggap bahwa bahasa tutur dalang masih diperlukan untuk membantu mendapatkan cerita gerak yang lebih jelas.
Bab. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Teori bahasa rupa dapat menjelaskan gerak/sebetan wayang kulit purwa dengan cara menggunakan rangkaian gambar gerak dari satu gambar gerak ke gambar gerak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Bali secara umum memiliki peran di dalam keberlangsungan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Bali secara umum memiliki peran di dalam keberlangsungan serta pengembangan suatu kesenian apapun jenis dan bentuk kesenian tersebut. Hal itu disebabkan karena
Lebih terperinciMITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan)
MITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan) Oleh : Kasidi Jurusan Seni Pedalangan Fakultas Seni Petunjukan INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA 2014 i Judul MITOS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang kulit purwa. Kesenian wayang kulit purwa hampir terdapat di seluruh Pulau Jawa.
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
digilib.uns.ac.id BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN Hasil dari penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka ini, menghasilkan kesimpulan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Manusia adalah makhluk budaya, dan penuh simbol-simbol. Dapat dikatakan bahwa budaya manusia diwarnai simbolisme, yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia eksotisme penuh dengan berbagai macam seni budaya, dari pulau Sabang sampai Merauke berbeda budaya yang dimiliki oleh setiap daerahnya. Berbagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari wayang adalah salah satu genre atau rumpun tari yang terdapat di Jawa Barat. Tari wayang sendiri merupakan tari yang menceritakan tokoh atau peristiwa yang terdapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu tonggak utama pembangun bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mengedepankan pendidikan bagi warga negaranya, karena dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal
BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan a. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya di dunia manusia mengalami banyak peristiwa baik itu yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Terkadang beberapa
Lebih terperincipergelaran wayang golek. Dalam setiap pergelaran wayang golek, Gending Karatagan berfungsi sebagai tanda dimulainya pergelaran.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gending Karatagan wayang adalah gending pembuka pada pergelaran wayang golek. Dalam setiap pergelaran wayang golek, Gending Karatagan berfungsi sebagai tanda dimulainya
Lebih terperinciMenguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global
Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Oleh: Dyah Kustiyanti Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran, pandangan hidup, kebiasaan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan wayang sebagai salah satu aset berharga budaya Indonesia yang perlu dijaga kelestariannya. Wayang sudah diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa, tidak hanya suku yang berasal dari nusantara saja, tetapi juga suku yang berasal dari luar nusantara.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama merupakan salah satu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra pada dasarnya adalah seni bahasa. Perbedaan seni sastra dengan cabang seni-seni yang lain terletak pada mediumnya yaitu bahasa. Seni lukis menggunakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara yang kaya dalam berbagai hal, termasuk dalam segi kebudayaan.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang besar dan luas. Dengan kondisi geografis yang demikian, membuat Indonesia menjadi negara yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan istilah seniman. Pada umumnya, seorang seniman dalam menuangkan idenya menjadi sebuah karya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di antaranya adalah Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, dan Seni Teater. Beberapa jenis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan dewasa, di dalam lingkungan sekolah, rumah dan di masyarakat,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Proses pendidikan dapat terjadi dimana saja, tidak terbatas di lingkungan sekolah dan kampus. Perkembangan manusia dari mulai kecil, remaja, sampai dengan
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan
BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan bangsa dengan warisan kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan aset tidak ternilai
Lebih terperinciMATERI STUDI RELIGI JAWA
MATERI STUDI RELIGI JAWA Bahasa dan sastra; karya sastra Jawa Kuna yang tergolong tua; karya sastra Jawa Kuna yang bertembang; karya sastra Jawa Kuna yang tegolong muda; karya sastra yang berbahasa Jawa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah pembelajaran sangat ditentukan keberhasilannya oleh masingmasing guru di kelas. Guru yang profesional dapat ditandai dari sejauh mana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan memiliki berbagai macam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan memiliki berbagai macam kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil cipta, karya, rasa manusia untuk memenuhi
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat
143 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat Sunda yang sangat digemari bukan saja di daerah Jawa Barat, melainkan juga di daerah lain
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum merupakan implementasi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mencerdaskan bangsa. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. semua peristiwa itu aktivitas menyimak terjadi. Dalam mengikuti pendidikan. peristiwa ini keterampilan menyimak mutlak diperlukan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan dengan berbagai kesibukan menyimak. Dialog di keluarga, baik antara anak dan orang tua, antara orang tua, antar
Lebih terperinci\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT
\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT \PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT (Studi Kasus Pada Lakon Wahyu Makutharama dengan Dalang Ki Djoko Bawono di Desa Harjo Winangun, Kecamatan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Kesimpulan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Musik dangdut merupakan sebuah genre musik yang mengalami dinamika di setiap jamannya. Genre musik ini digemari oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Berkembangnya dangdut
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian 1. Metode Penelitian Ketepatan dalam menggunakan metode penelitian merupakan cara atau alat untuk mencapai keberhasilan sebuah penelitian. Metode
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. Banyumas. Jemblung berawal dari dua kesenian rakyat yaitu Muyèn dan Menthièt.
BAB IV PENUTUP Jemblung Banyumas merupakan salah satu bentuk kesenian tradisi rakyat Banyumas. Jemblung berawal dari dua kesenian rakyat yaitu Muyèn dan Menthièt. Muyèn merupakan kesenian macapatan yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia kesusasteraan memiliki ruang lingkup yang begitu luas dalam rangka penciptaannya atas representasi kebudayaan nusantara. Salah satu hasil ekspresi yang muncul
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dalam berbagai
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dalam berbagai hal, seperti keanekaragaman budaya, lingkungan, alam, dan wilayah geografis. Keanekaragaman
Lebih terperinciCover Page. The handle holds various files of this Leiden University dissertation
Cover Page The handle http://hdl.handle.net/1887/41304 holds various files of this Leiden University dissertation Author: Emerson, Kathryn Title: Transforming wayang for contemporary audiences : dramatic
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lilis Melani, 2014 Kajian etnokoreologi Tari arjuna sasrabahu vs somantri di stsi bandung
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seni terlahir dari ekspresi dan kreativitas masyarakat yang dilatarbelakangi oleh keadaan sosialbudaya, ekonomi, letak geografis, pola kegiatan keseharian,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan yang terjadi pada zaman kerajaan masa lampau, yang merupakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketoprak adalah sebuah kesenian rakyat yang menceritakan tentang kisahkisah kehidupan yang terjadi pada zaman kerajaan masa lampau, yang merupakan kisah legenda yang
Lebih terperinciPADEPOKAN DAN GEDUNG PERTUNJUKAN WAYANG ORANG DI SURAKARTA PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR NEO VERNAKULER
LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PADEPOKAN DAN GEDUNG PERTUNJUKAN WAYANG ORANG DI SURAKARTA PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR NEO VERNAKULER Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. Pertunjukan wayang merupakan sebuah media untuk. menuturkan cerita yang hebat. Hal ini dikarenakan cerita
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertunjukan wayang merupakan sebuah media untuk menuturkan cerita yang hebat. Hal ini dikarenakan cerita pertunjukan wayang kulit menceritakan peristiwa kepahlawanan yang
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembelajaran sastra di sekolah kini tampak semakin melesu dan kurang diminati oleh siswa. Hal ini terlihat dari respon siswa yang cenderung tidak antusias saat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra diciptakan pengarang berdasarkan realita (kenyataan) yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menanamkan nilai-nilai karakter dalam kehidupan. Dasar dari pengembangan pendidikan karakter
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Peranan Panakawan dan Denawa (Buta) pada pertunjukan seni tradisi Wayang
BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Peranan Panakawan dan Denawa (Buta) pada pertunjukan seni tradisi Wayang Golek sebagai salah satu Kebudayaan dan Kesenian daerah Indonesia sangat penting bagi kelangsungan Pendidikan
Lebih terperinciDALANG ANAK DALAM PERTUNJUKAN WAYANG
Junaidi, Dalang Anak dalam Pertunjukan Wayang VOLUME 01, No. 01, November 2014: 89-102 DALANG ANAK DALAM PERTUNJUKAN WAYANG Junaidi Jurusan Pedalangan Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Peneliti mengenal penari-penari wayang topeng di Malang, Jawa Timur sejak
A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Peneliti mengenal penari-penari wayang topeng di Malang, Jawa Timur sejak tahun 1980. Perkenalan itu terjadi ketika peneliti belajar menari di Sanggar Tari Laras Budi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan lagi, dimana arus modernisasi tidak mengenal batasan antar kebudayaan baik regional, nasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesenian pada dasarnya adalah salah satu cara seseorang memasyarakat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian pada dasarnya adalah salah satu cara seseorang memasyarakat. Kesenian adalah ekspresi seseorang untuk berhubungan dengan orang lain (Sumardjo, 1992:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, yakni dengan penggunaan handphone
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan zaman yang ditandai dengan munculnya kemajuan teknologi dan informasi yang semakin pesat membuat kehidupan manusia menjadi serba mudah. Salah satunya
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. Pertunjukan wayang kulit hingga sekarang tetap populer serta sering
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertunjukan wayang kulit hingga sekarang tetap populer serta sering dipergelarkan. Wayang kulit merupakan seni pertunjukan tertua di Jawa, yang sudah digelarkan selama
Lebih terperinci1.1 BAB I 1.2 PENDAHULUAN
1.1 BAB I 1.2 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cirebon adalah sebuah kota yang berada di pesisir utara pulau Jawa, berbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Karena letak geografisnya yang strategis membuat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kental kehidupannya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kental kehidupannya dengan seni. Salah satu seni yang cukup berkembang saat ini adalah seni teater. Perkembangan ini terlihat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia mempunyai berbagai suku bangsa dan warisan budaya yang sungguh kaya, hingga tahun 2014 terdapat 4.156 warisan budaya tak benda yang
Lebih terperinciMUSEUM WAYANG NUSANTARA DI SURAKARTA
LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR MUSEUM WAYANG NUSANTARA DI SURAKARTA Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik diajukan oleh : JOKO ISWANTO
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lain termasuk teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepanjang sejarahnya, Jepang telah menyerap banyak gagasan dari negaranegara lain termasuk teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan kebudayaan. Jepang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilakukan secara lisan maupun tertulis. Melalui bahasa, manusia berinteraksi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi utama bagi manusia. Manusia menggunakan bahasa sebagai media untuk mengungkapkan pikirannya, baik yang dilakukan secara lisan
Lebih terperinciPEMBINAAN PEMBELAJARAN CATUR PAKELIRAN
Abdi Seni Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat PEMBINAAN PEMBELAJARAN CATUR PAKELIRAN BAGI SISWA LEMBAGA PENDIDIKAN KETRAMPILAN KURSUS PEDALANGAN SEKAR RINONCE DI WONOGIRI Kuwato Jurusan Seni Pedalangan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah penggunaan bahasa yang khas, yang hanya dapat dipahami dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa yang digunakan cenderung
Lebih terperinci2014 TARI WAYANG HIHID DI SANGGAR ETNIKA DAYA SORA KOTA BOGOR
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Penelitian Bentuk kesenian yang lahir dan aktivitas masyarakat suatu daerah tidak akan lepas dari kebiasaan hidup masyarakat daerah tersebut, sehingga seni yang dilahirkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang terus berkembang dari zaman ke zaman,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa karya sastra lama. Nilai-nilai budaya suatu bangsa yang dalam kurun waktu tertentu sangat dapat
Lebih terperinciBAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts.
3 BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Data Dan Literatur Metode penelitian yang digunakan: Literatur : - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts. - Buku
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Budaya tersebut terbagi dalam beberapa daerah di Indonesia dan salah satunya adalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki budaya yang sangat banyak. Budaya tersebut terbagi dalam beberapa daerah di Indonesia dan salah satunya adalah Bandung.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fotografi merupakan teknik yang digunakan untuk mengabadikan momen penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena melalui sebuah foto kenangan demi kenangan dalam
Lebih terperinci2015 TARI MAKALANGAN DI SANGGAR SAKATA ANTAPANI BANDUNG
A. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN Seni merupakan hal yang tidak lepas dari kehidupan manusia dan bagian dari kebudayaan yang diciptakan dari hubungan manusia dalam lingkungan sosialnya, seni
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang merupakan bentuk ungkapan atau ekspresi keindahan. Setiap karya seni biasanya berawal dari ide atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. cipta yang menggambarkan kejadian-kejadian yang berkembang di masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan karya sastra tidak dapat dilepaskan dari gejolak dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena itu, sastra merupakan gambaran kehidupan yang terjadi
Lebih terperinciMODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA
MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA DISUSUN OLEH Komang Kembar Dana Disusun oleh : Komang Kembar Dana 1 MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA STANDAR KOMPETENSI Mengapresiasi karya seni teater KOMPETENSI DASAR Menunjukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 2008:73). Pada jaman dahulu dongeng disampaikan secara lisan sebelum
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dongeng adalah cerita bersifat khayal yang dianggap tidak benarbenar terjadi, baik oleh penuturnya maupun oleh pendengarnya (Itadz, 2008:73). Pada jaman dahulu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perwujudan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu dalam rangka membentuk generasi bangsa yang memiliki karakter dengan kualitas akhlak mulia, kreatif,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diandalkan adalah produk budaya terutama kesenian. Bangsa Indonesia banyak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia di mata dunia dipandang sebagai negara yang kaya akan seni dan budaya. Di dalam era persaingan global ini salah satu kekayaan yang dapat diandalkan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. tradisi slametan, yang merupakan sebuah upacara adat syukuran terhadap rahmat. dan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.
6 BAB II LANDASAN TEORI A. Seni Pertunjukan dalam Tradisi Masyarakat Seni pertunjukan yang terdapat dalam tradisi masyarakat, umumnya masih banyak ditemui ritual-ritual yang berkenaan dengan sebuah prosesi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dengan banyak suku dan budaya yang berbeda menjadikan Indonesia sebagai bangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang berdasarkan aspek kebahasaan
Lebih terperinciPEMBELAJARAN SASTRA YANG KONTEKSTUAL DENGAN MENGADOPSI CERITA RAKYAT AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK
PEMBELAJARAN SASTRA YANG KONTEKSTUAL DENGAN MENGADOPSI CERITA RAKYAT AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK Ermi Adriani Meikayanti 1) 1) Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Madiun Email: 1)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia dikenal dengan keberagaman tradisinya, dari
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia dikenal dengan keberagaman tradisinya, dari Sabang sampai Merauke terdapat suku dan ragam tradisi, seperti tradisi yang ada pada suku
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilukiskan dalam bentuk tulisan. Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah ungkapan pribadi manusia. Ungkapan tersebut berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, semangat, dan keyakinan dalam suatu kehidupan, sehingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejadian atau peristiwa di masa lalu yang sungguh-sungguh terjadi. Dalam sejarah, terkandung nilai-nilai yang dijadikan
Lebih terperinci2015 PERKEMBANGAN KESENIAN BRAI DI KOTA CIREBON TAHUN
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat memiliki jenis yang beragam. Keanekaragaman jenis kesenian tradisional itu dalam perkembangannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai keanekaragaman seperti yang terdapat di daerah lain di Indonesia. Kesenian tersebut di antaranya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan pesatnya perkembangan informasi di era globalisasi ini, komunikasi menjadi sebuah kegiatan penting. Informasi sangat dibutuhkan dalam mendukung
Lebih terperinci\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT
\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT (Studi Kasus Pada Lakon Wahyu Makutharama dengan Dalang Ki Djoko Bawono di Desa Harjo Winangun, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan dalam Acara Bersih
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Drama merupakan karya yang memiliki dua dimensi karakter (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran atau seni pertunjukan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. Kebudayaan lokal sering disebut kebudayaan etnis atau folklor (budaya tradisi). Kebudayaan lokal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas dan bermanfaat untuk kemajuan bangsa. Di Indonesia,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk karakter suatu bangsa. Salah satu faktor yang mempengaruhi kemajuan suatu negara adalah pendidikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi tulis yang berkembang di masyarakat Jawa dapat diketahui melalui naskah kuna. Jenis isi dari naskah kuna sangat beragam. Jenis teks tersebut antara lain berisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ujungberung yang terletak di Kota Bandung ini memiliki beragam kesenian, salah satunya adalah kesenian yang berkembang saat perjuangan kemerdekaan Indonesia. menurut
Lebih terperinciANALISIS GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DAN HIPERBOLA LAGU-LAGU JIKUSTIK DALAM ALBUM KUMPULAN TERBAIK
ANALISIS GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DAN HIPERBOLA LAGU-LAGU JIKUSTIK DALAM ALBUM KUMPULAN TERBAIK SKRIPSI Usulan Penelitian untuk Skripsi S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Diajukan Oleh
Lebih terperinciARTIKEL TENTANG SENI TARI
NAMA : MAHDALENA KELAS : VII - 4 MAPEL : SBK ARTIKEL TENTANG SENI TARI A. PENGERTIAN SENI TARI Secara harfiah, istilah seni tari diartikan sebagai proses penciptaan gerak tubuh yang berirama dan diiringi
Lebih terperinci