BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis ini dibagi menjadi 7 bagian, yaitu: (1) struktur perekonomian, (2) identifikasi sektor unggulan dalam perspektif internal Kabupaten Bandung Barat (sector-based inward looking), (3) identifikasi sektor unggulan dalam perspektif wilayah yang lebih luas (sector-based outward looking), (4) identifikasi lokasi sektor unggulan (spatial-based), (5) identifikasi ketimpangan wilayah, kebocoran wilayah, dan pembangunan berkelanjutan, (6) identifikasi kelembagaan, dan (7) strategi pengembangan wilayah Kabupaten Bandung Barat. 5.1 Struktur Perekonomian Pembahasan struktur perekonomian dilakukan untuk mengetahui analisis dasar perekonomian makro Kabupaten Bandung Barat. Struktur perekonomian ini utamanya dicerminkan dari struktur produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Bandung Barat. Analisis ini membahas (1) kontribusi sektor, (2) laju pertumbuhan sektor, dan (3) PDRB per kapita Kontribusi Sektor PDRB Kontribusi masing-masing sektor dalam PDRB dianalisis untuk melihat secara umum struktur perekonomian Kabupaten Bandung Barat. Rentang waktu 4 tahun digunakan sebagai cara untuk mengetahui tren kontribusi sektor yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat sehingga dapat menangkap adanya pola perubahan struktur perekonomian wilayah tersebut. Ekonomi Kabupaten Barat terbentuk oleh sektor industri yang dominan, diikuti oleh perdagangan, hotel, restoran, serta pertanian. Namun dilihat dari struktur tenaga kerja, Kabupaten Bandung Barat didominasi oleh tenaga kerja pertanian. Secara detail, kontribusi sektor perekonomiannya dapat dilihat pada Tabel 43 berikut ini.

2 101

3 102

4 103 Secara umum, dari tahun 2000 sampai 2006, industri pengolahan (industri tanpa migas) merupakan sektor yang menyumbangkan kontribusi PDRB terbesar bagi Kabupaten Bandung Barat. Kontribusi per tahun sektor ini cukup konsisten di persentase 46 % sehingga diprediksi akan terus menjadi kontributor utama PDRB Kabupaten Bandung Barat meskipun ada kecenderungan untuk menurun. Sektor kedua yang berkontribusi terbesar adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan persentase yang konsisten antara tahun sebesar 18 %. Adapun sektor terkecil yang berkontribusi terhadap PDRB Kabupaten Bandung Barat adalah pertambangan dan penggalian, yaitu secara konsisten berkisar 0,5 %. Meskipun hamparan lahan pertanian di Kabupaten Bandung Barat masih sangat luas, namun secara ekonomi makro, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Bandung Barat ada di peringkat ketiga. Secara umum, ada kecenderungan kontribusi ini menurun. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya konversi guna lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Kecuali sub-sektor kehutanan, semua sub-sektor pertanian ada kecenderungan menurun selama kurun waktu Beberapa sub-sektor dan atau sektor ekonomi yang mengalami kecenderungan kenaikan adalah: 1. Penggalian 2. Listrik, gas, air bersih 3. Bangunan 4. Perdagangan, hotel, restoran 5. Bank Naiknya, sektor penggalian menandakan kegiatan penggalian di Kabupaten Bandung Barat dalam rentang tahun memberikan kontribusi yang luar biasa. Namun tentunya, penggalian adalah kegiatan yang tidak berkelanjutan karena pada sewaktu-waktu di masa depan akan habis karena merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan Kecenderungan naiknya kontribusi (1) listrik, gas, air bersih, (2) bangunan, (3) perdagangan, hotel, restoran, (4) bank merupakan indikasi terjadi

5 104 urbanisasi wilayah Kabupaten Bandung Barat yang bisa merupakan akibat dari adanya urban sprawl dari Metropolitan Bandung dan juga pengaruh interaksi Jakarta-Bandung. Semakin gencarnya arus urbanisasi tentunya menimbulkan konsekuensi semakin besarnya kegiatan pembangunan/konstruksi. Semakin banyaknya bangunan tentunya akan berpengaruh terhadap semakin meningkatnya kebutuhan akan listrik, air bersih, dan gas. Kecenderungan berkembangnya urbanisasi di Indonesia, semakin membuat sektor tersier seperti perdagangan, hotel, restoran, serta bank semakin berkembang. Di sisi lain, ada kecenderungan beberapa sektor primer seperti pertanian dan industri pengolahan menjadi semakin berkurang kontribusinya. Hal ini merupakan salah satu indikasi adanya diversifikasi struktur perekonomian Kabupaten Bandung Barat yang cenderung bergerak untuk berdiversifikasi ke sektor tersier. Semakin berkembangnya sektor tersier merupakan salah satu indikasi semakin meningkatknya ciri perkotaan. Kontribusi (%) Tahun Industri Pengolahan Perdagangan, Hotel, Restoran Pertanian Gambar 5 Kontribusi 3 Sektor Terbesar terhadap PDRB Laju Petumbuhan Ekonomi Nilai laju pertumbuhan ekonomi digunakan untuk melihat sejauh mana potensi sektor atau sub-sektor tertentu untuk terus berkembang di masa mendatang. Meskipun secara kontribusi ada kecenderungan untuk bertambah atau menurun, namun dengan mempertimbangkan nilai laju pertumbuhan ekonomi bisa membuat analisis struktur ekonomi menjadi lebih baik.

6 105

7 106

8 107 Pada umumnya semua sektor mengalami pertumbuhan ekonomi meskipun dengan laju yang tidak sama. Secara umum, laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bandung Barat selama berkisar pada angka 5. Hanya ada satu sektor yang mempunyai laju pertumbuhan ekonomi yang secara konsisten terus naik, yaitu industri pengolahan. Hal ini menandakan bahwa sektor ini merupakan sektor yang mempunyai pertumbuhan konsisten menanjak di Kabupaten Bandung Barat. Kontribusinya terhadap PDRB yang cenderung untuk menurun bisa disebabkan oleh adanya laju pertumbuhan sektor atau sub-sektor lainnya yang tidak konsisten namun mempengaruhi nilai total PDRB antara tahun Kecenderungan naiknya kontribusi (1) listrik, gas, air bersih, (2) bangunan, (3) perdagangan, hotel, restoran, (4) bank terhadap PDRB juga diikuti oleh laju pertumbuhan ekonominya yang selalu positif meskipun kadang naik/turun. Ada hal yang menarik terjadi pada laju pertumbuhan ekonomi sektor bangunan serta listrik, gas, air bersih pada tahun dimana nilainya relatif sangat besar. Hal ini menandakan adanya pembangunan yang relatif sangat besar sehingga menyebabkan peningkatan konstruksi dan kebutuhan listrik, gas, air bersih. Hanya ada satu sub-sektor yang mengalami laju pertumbuhan ekonomi negatif, yaitu angkutan sungai dan penyeberangan. Hal ini wajar mengingat pengembangan di sektor ini nampaknya sudah mengalami stagnasi mengingat lebih prioritasnya pengembangan angkutan darat non penyeberangan. Jika dibandingkan dengan 3 sektor yang mempunyai kotribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Bandung Barat (industri pengolahan; perdagangan, hotel, restoran; pertanian) maka sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai laju pertumbuhan ekonomi (LPE) yang paling fluktuatif. Hal ini bisa disebabkan oleh ketidakpastian iklim pertanian baik dari sisi persediaan maupun permintaan.

9 108 LPE (%) Tahun Industri Pengolahan Perdagangan, Hotel, Restoran Pertanian Gambar 6 Laju Pertumbuhan Ekonomi 3 Sektor Pembentuk PDRB Terbesar Meskipun secara ekonomi makro kontribusi sektor pertanian berada di peringkat ketiga dan laju pertumbuhannya cendrung fluktuatif, ditinjau dari aspek lainnya (penyerapan tenaga kerja dan luas lahan) sektor ini sangat signifikan. Proporsi tenaga kerja pertanian di Kabupaten Bandung Barat sebesar 35 % atau paling besar diantara yang lainnya (Suseda Kabupaten Bandung, 2007). Distribusi Tenaga Kerja 15% 35% 19% 16% 15% Pertanian Industri Perdagangan Jasa Lainnya Gambar 7 Distribusi Tenaga Kerja Dari sisi penggunaan lahan dapat dilihat bahwa penggunaan lahan kawasan budidaya perdesaan (kebun campur, perkebunan, sawah, sawah tadah hujan, tegal/ladang) mempunyai proporsi yang paling besar, yaitu 52 %.

10 109 Distribusi Penggunaan Lahan 10% 1% 37% 52% Kawasan Lindung Kawasan Budidaya Perkotaan Kawasan Budidaya Perdesaan Lainnya Gambar 8 Distribusi Penggunaan Lahan Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Bandung Barat mempunyai 2 karakteristik yang berjalan beriringan, yaitu industri tanpa migas sebagai penggerak ekonomi dan pertanian sebagai lanskap fisik dominan dan penggerak tenaga kerja Produk Domestik Regional Bruto per Kapita (Produk Domestik Regional Bruto) PDRB per kapita seringkali dipakai untuk menjelaskan tingkat kemakmuran penduduk di suatu wilayah, meskipun ada beberapa kelemahan dasar seperti (1) tidak menjelaskan pemerataan, (2) tidak menunjukkan nilai riil pendapatan penduduk. Gambar 9 berikut ini menjelaskan bagaimana PDRB (adh konstan 2000) per kapita di Kabupaten Bandung Barat selalu meningkat secara konstan dari Rp ,- pada tahun 2000 menjadi Rp ,- pada tahun Tentunya hal ini merupakan indikasi positif semakin meningkatnya kesejahteraan penduduk meskipun dari analisis ini tidak dapat disimpulkan apa kesejahteraan yang terus meningkat tersebar merata atau hanya dinikmati oleh segolongan masyarakat.

11 110 4,400,000 4,300,000 4,200,000 4,100,000 4,000,000 3,940,292 3,995,869 4,075,998 4,182,650 4,270,747 4,379,797 3,900,000 3,800,000 3,700, Tahun Gambar 9 PDRB per Kapita Untuk melihat lebih jelas mengenai produktivitas tenaga kerja atau rente per tenaga kerja yang diterima 3 sektor terbesar dapat dijelaskan melalui perbandingan nilai PDRB per sektor dengan tenaga kerja sektor terkait. Pada tahun 2006, dapat dilihat bahwa tenaga kerja industri lebih banyak menikmati kesejahteraan dibandingkan dengan sektor lainnya dengan nilai Rp 31,82 juta per tenaga kerja per tahun PDRB/Kapita (Rp juta) Pertanian Industri Pengolahan Perdagangan Sektor Ekonomi Gambar 10 PDRB per Tenaga Kerja Sektor 5.2 Sektor Unggulan dalam Perspektif Kabupaten Bandung Barat Struktur Input-Output Permintaan dan Penawaran Tabel Input-Output menggambarkan transaksi barang dan jasa dari berbagai sektor ekonomi yang saling berkaitan dan mempunyai hubungan saling

12 Tabel 44 Kontribusi Sektor PDRB atas dasar Harga Konstan 2000 LAPANGAN USAHA PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan Tanpa Migas c. Penggalian INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas a. Industri Tanpa Migas LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih BANGUNAN/KONTRUKSI PERDAGANGAN,HOTEL DAN RESTORAN a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel c. Restoran PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI a. Pengangkutan Angkutan Rel Angkutan Jalan Raya

13 Lanjutan Tabel 44 LAPANGAN USAHA Angkutan Laut Angkutan Sungai & Penyebrangan Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi KEUANGAN,PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN a. Bank b. Lembaga Keuangan lainnya c. Sewa Bangunan d. Jasa perusahaan JASA JASA a. Pemerintahan Umum b. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumahtangga PDRB DENGAN MIGAS Sumber: BPS, diolah 2009

14 Tabel 45 Laju Pertumbuhan Sektor PDRB atas dasar Harga Konstan 2000 LAPANGAN USAHA PERTANIAN a. Tanaman Bahan makanan (2.15) b. Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN a. Minyak dan Gas Bumi b. Pertambangan Tanpa Migas c. Penggalian INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas a. Industri Tanpa Migas LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih BANGUNAN/KONTRUKSI PERDAGANGAN,HOTEL DAN RESTORAN a. Perdagangan Besar & Eceran b. Hotel c. Restoran PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI a. Pengangkutan Angkutan Rel Angkutan Jalan Raya

15 Lanjutan Tabel 45 LAPANGAN USAHA Angkutan Laut Angkutan Sungai & Penyebrangan Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi KEUANGAN,PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN a. Bank b. Lembaga Keuangan lainnya c. Sewa Bangunan d. Jasa perusahaan JASA JASA a. Pemerintahan Umum b. Swasta Sosial Kemasyarakatan Hiburan dan Rekreasi Perorangan dan Rumahtangga LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI (LPE) Sumber: BPS, diolah 2009

16 111 ketergantungan. Penyusunan Tabel Input-Output Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 31 sektor yang diturunkan dari Tabel Input-Output Provinsi Jawa Barat 86 sektor tahun Interaksi antara input antara dan permintaan antara menggambarkan keterkaitan sektoral, input antara dengan permintaan akhir menggambarkan permintaan akhir terhadap input sektoral, input akhir dengan permintaan antara menggambarkan nilai tambah masing-masing sektor faktor produksi, input akhir dengan permintaan akhir menggambarkan transfer nilai tambah. Gambaran umum hasil analisis Input-Output ditampilkan dalam Tabel 46 dan Tabel 47 berikut. Tabel 46 Komponen Penyusunan Tabel Input-Output (Rp juta) Permintaan Antara Permintaan Akhir Jumlah Input Antara 5,345, ,413, ,758, Input Akhir 6,413, , ,164, Jumlah 11,758, ,164, ,923, Sumber: Hasil Analisis, 2009 Tabel 47 Komponen Penyusunan Tabel Input-Output (%) Permintaan Antara Permintaan Akhir Jumlah Input Antara Input Akhir Jumlah Sumber: Hasil Analisis, 2009 Dari Tabel 46 dan Tabel 47 di atas dijelaskan bahwa nilai total permintaan (output) dan input di Kabupaten Bandung Barat adalah sebesar Rp 18,923 trilyun yang terdiri dari: (1) interaksi antara input antara dengan permintaan antara sebesar Rp 5,345 trilyun (28,25 %), (2) interaksi antara input antara dengan permintaan akhir sebesar Rp 6,413 trilyun (33,89 %), (3) nteraksi antara input akhir dengan permintaan antara sebesar Rp 5,345 trilyun (28,25 %). Interaksi antara input akhir dengan permintaan akhir sebesar Rp 0,75 trilyun (3,97 %). Besarnya permintaan antara dari input antara menggambarkan permintaan yang terjadi antarsektor ekonomi. Secara umum komponen permintaan akhir seperti konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap,

17 112 perubahan stok menggambarkan transaksi domestik; sedangkan ekspor menggambarkan kegiatan transasksi antarwilayah. Permintaan akhir sebesar 33,89 % relatif lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan antaranya (28,25 %). Artinya adalah bahwa dari total output wilayah yang dihasilkan, sebesar 28,25 % yang dikembalikan dalam kegiatan produksi domestik. Semakin besar nilai (persentase) permintaan antara suatu wilayah maka semakin besar keterkaitan ekonomi domestik; dengan demikian semakin kecil kemungkinan kebocoran wilayah yang terjadi. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa beberapa sub-wilayah di Kabupaten Bandung Barat cukup kompetitif Output Tiap Sektor Tabel 48 di bawah menggambarkan nilai total output masing-masing sektor ekonomi. Dari 31 sektor ekonomi, terdapat 7 sektor yang mempunyai nilai output di atas rata-rata, yaitu jika nilai indeks output sektor (IOS) lebih dari atau sama dengan ( ) 1. Ketujuh sektor tersebut secara berurutan adalah: (1) industri tanpa migas, (2) perdagangan besar dan eceran, (3) listrik, (4) jasa angkutan jalan, (5) tanaman pangan, (6) restoran, (7) bangunan. Sektor industri tanpa migas mempunyai nilai output jauh di atas rata-rata yang lain, yaitu sebesar 18,24. Tabel 48 Nilai Output Total Tiap Sektor Kode Sektor Total Output Distribusi (Rp juta) (%) IOS 1 Tanaman Pangan 452, Perkebunan 141, Peternakan 204, Kehutanan 8, Perikanan 33, Pertambangan Migas Pertambangan tanpa Migas Penggalian 41, Industri Migas Industri tanpa Migas 6,918, Listrik 680, Gas Kota Air Bersih 4, Bangunan 404,

18 113 Lanjutan Tabel 48 Kode Sektor Total Output Distribusi (Rp juta) (%) IOS 15 Perdagangan Besar & Eceran 1,132, Hotel 24, Restoran 405, Jasa Angkutan Rel 5, Jasa Angkutan Jalan 457, Jasa Angkutan Laut Jasa Angkutan Sungai&Danau Jasa Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan 48, Komunikasi 55, Bank & Lembaga Keuangan Lain 47, Usaha Sewa Bangunan 135, Jasa Perusahaan 49, Pemerintahan Umum 115, Sosial Kemasyarakatan 71, Jasa Hiburan&Rekreasi 7, Jasa Perseorangan&RT 310, Jumlah 11,758, Sumber: Hasil Analisis, 2009 Keterangan: IOS = indeks output sektor Komponen Input Komponen input terdiri dari dari input antara sebesar Rp 11,758 trilyun, input primer (nilai tambah) Rp 7,164 trilyun, impor Rp 751 milyar. Distribusi input antara mempunyai nilai terbesar (62,14 %) dibandingkan dengan komponen lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 49 di bawah ini Tabel 49 Komponen Input No. Komponen Jumlah (Rp juta) Distribusi (%) 1 Input Antara 11,758, Input Primer (Nilai Tambah) 7,164, Impor 751, Total Input 18,923, Sumber: Hasil Analisis, 2009

19 Komponen Nilai Tambah Komponen nilai tambah terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tak langsung. Besarnya masing-masing komponen nilai tambah dapat dilihat pada Tabel 50 berikut ini Tabel 50 Komponen Nilai Tambah No. Komponen Jumlah (Rp juta) Distribusi (%) 1 Upah & Gaji 1,928, Surplus Usaha 3,548, Penyusutan 645, Pajak Tak Langsung 291, Jumlah 6,413, Sumber: Hasil Analisis, 2009 Besar nilai komponen nilai tambah bervariasi. Komponen nilai tambah terbesar adalah surplus usaha yang diterima oleh pengusaha sebesar Rp 3,548 trilyun (55,32 %). Selanjutnya adalah upah dan gaji yang diterima oleh pegawai/pekerja sebesar Rp 1,928 trilyun (30,07 %). Adapun komponen pajak tak langsung yang diterima oleh pemerintah mempunyai besaran yang terkecil. Hal ini menjelaskan bahwa kemampuan pemerintah untuk meningkatkan penerimaannya masih sangat kecil Keterkaitan Ke Belakang dan Ke Depan Keterkaitan ke belakang (backward linkages) dan ke depan (forward linkages) merupakan salah satu keunggulan hasil analisis dari analisis Input- Output. Dari analisis ini dapat diketahui sejauh mana tingkat hubungan atau keterkaiatan teknis antarsektor. Keunggulan suatu sektor juga dapat dilihat dari tingkat kekuatan antara sektor tersebut dengan sektor lainnya dalam aktivitas perekonomian. Sektor yang mempunyai keterkaitan ke belakang yang kuat, berarti peningkatan output sektor tersebut dapat menarik aktivitas sektor-sektor di belakangnya (hulu). Demikian juga, sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan yang kuat, berarti mampu mendorong aktivitas sektor-sektor di depannya (hilir). Dengan adanya keterkaitan, roda perekonomian dapat bersinergi dengan baik. Artinya adalah bahwa antara sektor perekonomian bisa saling melengkapi seoptimal mungkin sumberdaya domestik. Makin kuat keterkaitan antarsektor,

20 115 makin kuat kecil ketergantungan sektor tersebut pada impor, sekaligus memperkecil kebocoran wilayah yang mengalir ke wilayah lainnya sehingga nilai tambah yang dihasilkan bisa dinikmati oleh masyarakat di wilayahnya sendiri. Keterkaitan ke belakang bisa berupa keterkaitan ke belakang langsung (direct backward linkages-dbl) serta keterkaitan ke belakang total (direct indirect backward linkages-dibl). Begitupun dengan keterkaiatan ke depan yang terdiri dari keterkaitan ke depan langsung (direct forward linkages-dfl) serta keterkaitan ke depan total (direct indirect forward linkages-difl) Keterkaitan Langsung Untuk melihat sektor mana saja yang mempunyai keterkaitan langsung ke belakang dan ke depan digunakanlah indeks keterkaitan langsung ke belakang (DBL) dan indeks keterkaitan langsung ke depan (DFL). Analisis ini menjelaskan indeks DBL dan DFL mana yang mempunyai nilai di atas rata-rata ( 1). A. Keterkaitan Langsung ke Belakang Tabel 51 di bawah menunjukkan sektor bangunan, industri tanpa migas, sosial kemasyarakatan, jasa hiburan dan rekreasi, jasa angkutan rel, dan jasa perusahaan adalah sektor yang mempunyai indeks tertinggi. Namun dari beberapa sektor dengan keterkaitan langsung ke belakang terkuat ini ada indikasi negatifnya, yaitu hanya terkait dengan sektor hulu tertentu saja. Sektor bangunan 80 % terkait dengan industri tanpa migas, industri tanpa migas 63,92 % dipasok dari sektor industri tanpa migas sendiri. Tabel 51 Indeks Keterkaitan Langsung Ke Belakang No Sektor Indeks DBL 1 Bangunan Industri tanpa Migas Sosial Kemasyarakatan Jasa Hiburan & Rekreasi Jasa Angkutan Rel Jasa Perusahaan Jasa Angkutan Jalan Hotel Jasa Perseorangan & RT Listrik 1.322

21 116 Lanjutan Tabel 51 No Sektor Indeks DBL 11 Jasa Penunjang Angkutan Peternakan Pemerintahan Umum Bank & Lembaga Keuangan Lain Sumber: Hasil Analisis, 2009 Tabel 52 Persentase Nilai Input Sektor Pengguna Tebesar (Keterkaitan Langsung Ke Belakang) No Sektor Keterkaitan ke Sektor Hulu (%) Terbesar 1 Terbesar 2 1 Bangunan 80.0 Industri tanpa Migas 13.0 Perdagangan Besar & Eceran 2 Industri tanpa Migas 69.3 Industri tanpa Migas 10.7 Perdagangan Besar & Eceran 3 Sosial Kemasyarakatan 48.3 Industri tanpa Migas 24.5 Tanaman Pangan 4 Jasa Hiburan&Rekreasi 42.1 Industri tanpa Migas 19.1 Sosial Kemasyarakatan 5 Jasa Angkutan Rel 32.8 Industri tanpa Migas 28.4 Bangunan 6 Jasa Perusahaan 23.8 Industri tanpa Migas 20.6 Jasa Hiburan & Rekreasi 7 Jasa Angkutan Jalan 44.3 Industri tanpa Migas 13.3 Perdagangan Besar & Eceran 8 Hotel 56.7 Industri tanpa Migas 9 Jasa Perseorangan & RT 72.6 Industri tanpa Migas 10 Listrik 60.2 Listrik 11 Jasa Penunjang 32.5 Jasa Perusahaan 19.2 Industri tanpa Migas Angkutan 12 Peternakan 81.9 Industri tanpa Migas 13 Pemerintahan Umum 34.9 Industri tanpa Migas 15.6 Jasa Perseorangan & RT 14 Bank & Lembaga Keuangan Lain 31.7 Bank & Lembaga Keuangan Lain 25.8 Jasa Perusahaan Sumber: Hasil Analisis, 2009 Tabel 52 di atas menunjukkan bagaimana 14 sektor dengan keterkaitan langsung ke belakang terbesar mayoritas memerlukan input dari sektor industri tanpa migas. Banyak dari sektor tersebut seperti bangunan, industri tanpa migas, sosial kemasyarakatan, jasa hiburan dan rekreasi justru terkait kuat hanya dengan satu sektor saja. B. Keterkaitan Langsung ke Depan Tabel 53 di bawah menunjukkan bahwa sektor industri tanpa migas mempunyai keterkaitan langsung ke depan yang paling kuat. Secara umum terdapat 8 sektor yang mempunyai indeks keterkaitan langsung ke depan di atas rata-rata ( 1). Namun dari beberapa sektor dengan keterkaitan langsung ke depan

22 117 terkuat ini ada indikasi negatifnya, yaitu hanya terkait dengan sektor hilir tertentu saja. Tabel 53 Indeks Keterkaitan Langsung Ke Depan No Sektor Indeks DFL 1 Industri tanpa Migas Perdagangan Besar & Eceran Jasa Perusahaan Jasa Perseorangan & RT Listrik Bangunan Tanaman Pangan Bank & Lembaga Keuangan Lain Sumber: Hasil Analisis, 2009 Keterangan: DFL = direct forward linkage Tabel 54 di bawah menunjukkan bahwa sektor industri tanpa migas memasok 81,2 % outputnya untuk sektornya sendiri (industri tanpa migas). Sektor perdagangan besar dan eceran juga memasok sebagian besar outputnya (75,5 %) untuk sektor industri tanpa migas. Banyak output dari sektor-sektor dengan keterkaitan langsung ke depan yang kuat memasok sebagian besarnya untuk sektor industri tanpa migas. Hal ini berarti sektor industri dan migas mempunyai peran yang sangat signifikan terhadap pasokan dari sektor-sektor hulu. Tabel 54 Persentase Nilai Output Sektor Pemasok Tebesar (Keterkaitan Langsung Ke Depan) No Sektor Keterkaitan ke Sektor Hulu (%) Terkuat 1 Terkuat 2 1 Industri tanpa Migas 81.2 Industri tanpa Migas 2 Perdagangan Besar & Eceran 75.5 Industri tanpa Migas 3 Jasa Perusahaan 26.6 Industri tanpa Migas 10.6 Perdagangan Besar & Eceran 4 Jasa Perseorangan & RT 33.4 Industri tanpa Migas 10.4 Jasa Angkutan Jalan 5 Listrik 49.9 Listrik 34.9 Industri tanpa Migas 6 Bangunan 32.8 Industri tanpa Migas 12.1 Jasa Angkutan Jalan 7 Tanaman Pangan 89.8 Industri tanpa Migas 8 Bank & Lembaga Keuangan Lain 32.8 Industri tanpa Migas 17.2 Perdagangan Besar & Eceran Sumber: Hasil Analisis, 2009 Untuk melihat kombinasi antara keterkaitan langsung ke belakang dan ke depan digunakan diagram kartesius. Untuk itu, sumbu x merupakan indeks DBL,

23 118 adapun indeks DFL berada di sumbu y. Perpotongan antara sumbu x dan y berada di nilai 1. Dengan demikian akan ada 4 kuadran dalam diagram ini yang menunjukkan 4 kelompok keterkaitan indeks DBL dengan DFL. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 11 berikut ini. II Keterkaitan Langsung Ke Depan DF L - Tanaman Pangan - Perdagangan Besar & Eceran - Industri tanpa Migas - Listrik - Bangunan - Bank & Lembaga Keuangan Lain - Jasa Perusahaan - Jasa Perseorangan & RT I DB IV - Perkebunan - Kehutanan - Perikanan - Pertambangan Migas - Pertambangan tanpa Migas - Penggalian - Industri Migas - Gas Kota - Air Bersih - Restoran - Jasa Angkutan Laut - Jasa Angkutan Sungai & Danau - Jasa Angkutan Udara - Komunikasi - Usaha Sewa Bangunan 1 Keterkaitan Langsung - Peternakan Ke Belakang - Hotel - Jasa Angkutan Rel - Jasa Angkutan Jalan - Jasa Penunjang Angkutan - Pemerintahan Umum - Sosial Kemasyarakatan - Jasa Hiburan & Rekreasi III Gambar 11 Diagram Kartesius Indeks Keterkaitan Langsung Ke Belakang dan Depan Dari Gambar 11 di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat 6 sektor yang mempunyai indeks DBL dan DFL sama-sama di atas rata-rata ( 1) yang ditempatkan pada kuadran I, yaitu: (1) industri tanpa migas, (2) listrik, (3) bangunan, (4) bank dan lembaga keuangan lainnya, (5) jasa perusahaan, (6) jasa perseorangan dan rumah tangga. Sektor-sektor yang berada pada kuadran I tentunya berperan penting dalam ekonomi wilayah karena mempunyai keterkaitan langsung hulu dan hilir yang kuat. Kuadran II adalah sektor-sektor yang mempunyai keterkaitan langsung ke belakang yang rendah namun mempunyai keterkaitan langsung ke depan yang tinggi. Artinya, sektor di kuadran II banyak berfungsi sebagai input atau faktor

24 119 produksi sektor lainnya secara langsung. Terdapat 8 sektor yang mempunyai indeks DFL di atas rata-rata ( 1), yaitu: (1) tanaman pangan, (2) industri tanpa migas, (3) listrik, (4) bangunan, (5) perdagangan besar dan eceran, (6) bank dan lembaga keuangan lainnya, (7) jasa perusahaan, (8) jasa perseorangan dan rumah tangga. Kuadran III adalah sektor-sektor yang mempunyai keterkaitan langsung ke depan yang rendah namun mempunyai keterkaitan langsung ke belakang yang tinggi. Artinya, sektor di kuadran III banyak berfungsi sebagai pihak peminta (demander) secara langsung. Terdapat 14 sektor yang mempunyai indeks DBL di atas rata-rata ( 1), yaitu: (1) peternakan, (2) industri tanpa migas, (3) listrik, (4) bangunan, (5) hotel, (6) jasa angkutan rel, (7) jasa angkutan jalan, (8) jasa penunjang angkutan, (9) bank dan lembaga keuangan lainnya, (10) jasa perusahaan, (11) pemerintahan umum, (12) sosial kemasyarakatan, (13) jasa hiburan dan rekreasi, (14) jasa perseorangan dan rumah tangga. Adapun kuadran IV adalah sektor-sektor yang tidak mempunyai keterkaitan langsung di bawah rata-rata atau sektor sektor yang tidak ada sama sekali di Kabupaten Bandung Barat. Terdapat 14 sektor yang masuk dalam kuadran IV, yaitu: (1) perkebunan, (2) kehutanan, (3) perikanan, (4) pertambangan migas, (5) pertambangan tanpa migas, (6) penggalian, (7) industri migas, (8) gas kota, (9) air bersih, (10) restoran, (11) jasa angkutan laut, (12) jasa angkutan sungai dan danau, (13) jasa angkutan udara, (14) usaha sewa bangunan. Sektor-sektor yang mempunyai indeks DBL dan DFL sekaligus (kuadran I) belum berarti tidak menyebabkan kebocoran wilayah. Hal ini disebabkan karena keterkaitan yang terjadi hanya pada sektor tertentu saja, tidak multisektor. Artinya ada penumpukan ekonomi pada sektor tertentu saja (industri tanpa migas) dan sektor yang terkait hanya pada sektornya sendiri Keterkaitan Total Indeks keterkaitan bisa juga berupa keterkaitan total ke belakang (directindirect backward linkage-dibl) dan keterkaitan total ke depan (direct-indirect forward linkage-difl). Keterkaitan total tentunya lebih kompleks daripada katerkaitan langsung baik ke depan maupun ke belakang. Untuk mengukur nilai

25 120 keterkaitan langsung ke depan digunakan indeks daya dorong (IDD) dan keterkaitan langsung ke belakang digunakan indeks daya tarik (IDT). Tabel 55 Indeks Keterkaitan Total Ke Belakang dan Ke Depan Kode Sektor IDT IDD 1 Tanaman Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan Migas Pertambangan tanpa Migas Penggalian Industri Migas Industri tanpa Migas Listrik Gas Kota Air Bersih Bangunan Perdagangan Besar & Eceran Hotel Restoran Jasa Angkutan Rel Jasa Angkutan Jalan Jasa Angkutan Laut Jasa Angkutan Sungai & Danau Jasa Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi Bank & Lembaga Keuangan Lain Usaha Sewa Bangunan Jasa Perusahaan Pemerintahan Umum Sosial Kemasyarakatan Jasa Hiburan & Rekreasi Jasa Perseorangan & RT Sumber: Hasil Analisis, 2009 Keterangan: IDT = indeks daya tarik (indeks keterkaitan total kebelakang) IDD = indeks daya dorong (indeks keterkaitan total kedepan) Suatu sektor yang mempunyai nilai indeks daya tarik (IDT) 1 berarti mempunyai daya tarik di atas rata-rata sektor lainnya. Begitu juga dengan nilai indeks daya dorongnya (IDD). Dari Tabel 55 di atas diketahui bahwa sektor yang

26 121 mempunyai nilai IDT di atas rata-rata ada 14, yaitu: (1) peternakan, (2) industri tanpa migas, (3) listrik, (4) bangunan, (5) hotel, (6) jasa angkutan rel, (7) jasa angkutan jalan, (8) jasa penunjang angkutan, (9) bank dan lembaga keuangan lain, (10) jasa perusahaan, (11) pemerintahan umum, (12) sosial kemasyarakatan, (13) jasa hiburan dan rekreasi, (14) jasa perseorangan dan rumah tangga. Adapun sektor yang mempunyai IDD di atas rata ada 6, yaitu: (1) tanaman pangan, (2) industri tanpa migas, (3) listrik, (4) perdagangan besar dan eceran, (5) jasa perusahaan, (6) jasa perseorangan dan rumah tangga Pengganda Sektor unggulan yang diidentifikasi merupakan hasil dari analisis I-O Kabupaten Bandung Barat 2006 yang merupakan hasil RAS I-O Jawa Barat Pengganda (multiplier) yang dapat diidentifikasi adalah: (1) pengganda output, (2) pengganda pendapatan masyarakat (upah dan gaji), (3) pengganda surplus usaha, (4) pengganda pendapatan pajak, (5) pengganda nilai tambah (PDRB). Arti dari pengganda output adalah peningkatan permintaan output sektor tertentu akan menyebabkan kenaikan total output seluruh sektor di Kabupaten Bandung Barat. Pengganda pendapatan adalah peningkatan permintaan output sektor tertentu akan menyebabkan kenaikan keseluruhan pendapatan masyarakat (upah dan gaji). Pengganda surplus usaha adalah peningkatan permintaan output sektor tertentu akan menyebabkan kenaikan surplus usaha yang diterima perusahaan. Pengganda pendapatan pajak adalah peningkatan permintaan output sektor tertentu akan menyebabkan kenaikan pendapatan pajak yang diterima pemerintah. Pengganda nilai tambah adalah peningkatan permintaan output sektor tertentu akan menyebabkan kenaikan PDRB wilayah. Oleh karena itu, setiap pengganda mempunyai keunikannya masing-masing. Mengingat dari analisis struktur ekonomi sebelumnya sektor pertanian merupakan sektor yang strategis meskipun secara ekonomi relatif kurang signifikan dibandingkan dengan sektor industri pengolahan serta perdagangan, hotel, dan restoran maka hasil pengganda sektor pertanian ditampilkan.

27 Pengganda Output Sektor ekonomi dengan pengganda output paling kuat adalah: (1) bangunan, (2) industri tanpa migas, (3) jasa hiburan dan rekreasi, (4) jasa angkutan rel, (5) sosial kemasyarakatan, (6) jasa perusahaan. Sedangkan aktivitas sektor pertanian dengan pengganda output paling kuat sektor: (1) peternakan, (2) perkebunan, (3) perikanan, (4) kehutanan, (5) tanaman pangan. Pengganda output sektor peternakan hanya berada di peringkat 10 dari 31 sektor. Tabel 56 Pengganda Output Sektor Ekonomi No Sektor Elastisitas 6 terbesar 1 Bangunan Industri tanpa Migas Jasa Hiburan & Rekreasi Jasa Angkutan Rel Sosial Kemasyarakatan Jasa Perusahaan terbesar pertanian 10 Peternakan Perkebunan Perikanan Kehutanan Tanaman Pangan Sumber: Hasil Analisis, Pengganda Pendapatan Masyarakat (Upah dan Gaji) Pengganda pendapatan masyarakat bukan berarti pengganda kesempatan kerja; namun lebih kepada besarnya pendapatan itu sendiri. Sektor ekonomi dengan pengganda pendapatan (upah dan gaji) paling kuat adalah: (1) industri tanpa migas, (2) bangunan (3) usaha sewa bangunan, (4) jasa hiburan dan rekreasi, (5) jasa, (6) perusahaan jasa angkutan rel. Sedangkan aktivitas sektor pertanian dengan pengganda pendapatan (upah dan gaji) paling kuat adalah sektor: (1) peternakan, (2) kehutanan, (3) perikanan (4) perkebunan, (5) tanaman pangan. Peternakan sebagai sektor pertanian dengan pengganda pendapatan terkuat hanya berada di peringkat 15

28 123 Tabel 57 Pengganda Pendapatan Sektor Ekonomi No Sektor Elastisitas 6 terbesar 1 Industri tanpa Migas Bangunan Usaha Sewa Bangunan Jasa Hiburan & Rekreasi Jasa Perusahaan Jasa Angkutan Rel terbesar pertanian 15 Peternakan Kehutanan Perikanan Perkebunan Tanaman Pangan Sumber: Hasil Analisis, Pengganda Surplus Usaha Sektor ekonomi dengan pengganda surplus usaha paling kuat adalah: (1) sosial kemasyarakatan, (2) bangunan. (3) jasa angkutan rel, (4) jasa hiburan dan rekreasi, (5) industri tanpa migas, (6) jasa perusahaan. Sedangkan aktivitas sektor pertanian dengan pengganda surplus usaha paling kuat adalah sektor: (1) peternakan, (2) perkebunan, (3) perikanan, (4) kehutanan, (5) tanaman pangan. Peternakan sebagai sektor pertanian terkuat hanya berada di peringkat ke-12. Tabel 58 Pengganda Surplus Usaha Sektor Ekonomi No Sektor Elastisitas 6 terbesar 1 Sosial Kemasyarakatan Bangunan Jasa Angkutan Rel Jasa Hiburan & Rekreasi Industri tanpa Migas Jasa Perusahaan terbesar pertanian 12 Peternakan Perkebunan Perikanan Kehutanan Tanaman Pangan Sumber: Hasil Analisis, 2009

29 Pengganda Pajak Sektor ekonomi dengan pengganda pajak paling kuat adalah: (1) listrik, (2) sosial kemasyarakatan, (3) peternakan, (4) bangunan, (5) jasa angkutan sungai dan danau, (6) jasa hiburan dan rekreasi. Dalam kategori pengganda pajak, sektor peternakan masuk dalam 5 besar pengganda terkuat. Sedangkan aktivitas sektor pertanian lainnya dengan pengganda pajak paling kuat secara berurutan adalah sektor: (1) perkebunan, (2) perikanan, (3) kehutanan, (4) tanaman pangan. Industri tanpa migas yang dominan di beberapa pengganda sebelumnya tampak tidak unggul pada pengganda pajak. Artinya adalah bahwa meskipun kontribusi ekonominya tinggi tetapi tidak bisa menjadi pengganda yang baik dalam peningkatan pajak. Tabel 59 Pengganda Pajak Sektor Ekonomi No Sektor Elastisitas 6 terbesar 1 Listrik Sosial Kemasyarakatan Peternakan Bangunan Jasa Angkutan Sungai & Danau Jasa Hiburan & Rekreasi terbesar pertanian 10 Perkebunan Perikanan Kehutanan Tanaman Pangan Sumber: Hasil Analisis, Pengganda Nilai Tambah Nilai tambah dalam penegrtian ini adalah PDRB. Sektor ekonomi dengan pengganda PDRB paling kuat adalah: (1) bangunan, (2) industri tanpa migas, (3) sosial kemasyarakatan, (4) jasa hiburan dan rekreasi, (5) jasa angkutan rel, (6) jasa perusahaan. Sedangkan aktivitas sektor pertanian dengan pengganda PDRB paling kuat secara berurutan adalah sektor: (1) tanaman pangan, (ii) pertambangan tanpa migas, (iii) industri migas, (iv) gas kota, (v) jasa angkutan laut, (vi) jasa angkutan udara.

30 125 Tabel 60 Pengganda Nilai Tambah Sektor Ekonomi No Sektor Elastisitas 6 terbesar 1 Bangunan Industri tanpa Migas Sosial Kemasyarakatan Jasa Hiburan & Rekreasi Jasa Angkutan Rel Jasa Perusahaan terbesar pertanian 12 Peternakan Perkebunan Perikanan Kehutanan Tanaman Pangan Peternakan Sumber: Hasil Analisis, Kesimpulan Umum Analisis Input-Output Kesimpulan umum ini terdiri dari kesimpulan sektor unggulan berdasarkan pengganda, keterkaitan ke belakang dan ke depan, dan persentase pendapatan masyarakat. A. Sektor Unggulan Kabupaten Bandung Barat Dari analisis pengganda di atas didapatkan sektor dengan elastisitas penggandanya masing-masing. Ada sektor sengan elastisitas tinggi, ada juga yang tanpa elastisitas karena ketidakberadaan sektor tersebut. Ada 6 sektor yang tidak mempunyai elastisitas karena tidak terdapatnya sektor tersebut di Kabupaten Bandung Barat, yaitu: (1) pertambangan migas, (2) pertambangan tanpa migas, (3) industri migas, (4) gas kota, (5) jasa angkutan laut, (6) jasa angkutan udara. Pada intinya, setiap sektor mempunyai keunggulan penggandanya masingmasing yang merupakan pilihan prioritas perencanaan pengembangan wilayah. Namun, beberapa sektor juga dapat mempunyai beberapa pengganda dengan nilai elastisitas tinggi. Hal ini bisa menjelaskan bahwa sektor tersebut merupakan sektor unggulan dalam pengembangan wilayah Kabupaten Bandung Barat. Untuk mempermudah kombinasi sektor mana saja yang mempunyai pengganda tinggi digunakan matriks yang dapat dilihat pada Tabel 61 di berikut ini.

31 126 Tabel 61 Sektor dengan Nilai Pengganda Tertinggi Sektor Output Upah Surplus Pajak Tak Nilai & Gaji Usaha Langsung Tambah TOTAL Bangunan Jasa Hiburan & Rekreasi Industri tanpa Migas Jasa Angkutan Rel Sosial Kemasyarakatan Jasa Perusahaan Jasa Angkutan Sungai & Danau Usaha Sewa Bangunan Listrik Peternakan Sumber: Hasil Analisis, 2009 Ketarangan : 1 = terkait, 0 = tidak terkait Pada analisis sebelumnya juga ditampilkan nilai elastisitas setiap pengganda sektor pertanian yang pada kenyataannya mempunyai nilai kurang signifikan kecuali sektor peternakan pada pengganda pajak tak langsung. Ada 2 sektor ekonomi yang mempunyai nilai tinggi pada 5 pengganda yang ada (output, pendapatan masyarakat, surplus usaha, pajak tak langsung, nilai tambah). Intepretasi yang bisa diambil adalah apakah sektor ini memang sangat strategis atau hanya sebuah fenomena yang sedang berlangsung di Kabupaten Bandung Barat. Kedua sektor ekonomi dengan nilai elastisitas tinggi yang terdapat pada 5 pengganda yang ada adalah sektor: (1) bangunan dan (2) jasa hiburan dan rekreasi. Sektor bangunan pada dasarnya merupakan sebuah fenomena terjadinya pembangunan di Kabupaten Bandung Barat. Proses pembangunan ini berjalan relatif cepat dibandingkan dengan sektor lainnya sehingga menimbulkan dampak ekonomi yang cukup signifikan terhadap kelima pengganda yang ada. Kabupaten Bandung Barat merupakan wilayah yang masih didominasi oleh lanskap alam. Beberapa lanskap alam maupun daya tarik alam seperti Gunung Tangkuban Perahu, Maribaya, dan sebagainya mempunyai daya tarik sendiri yang dapat membentuk akumulasi ekonomi Kabupaten Bandung Barat. Selain itu, akibat dari akumulasi menyebarnya perkembangan Kota Bandung ke arah utara yang menghadirkan berbagai jasa hiburan membuat sektor jasa hiburan dan rekreasi menjadi sektor unggulan di Kabupaten Bandung Barat.

32 127 Selain kedua sektor di atas, ada 4 sektor yang mempunyai nilai elastisitas tinggi pada 4 pengganda, yaitu (1) industri tanpa migas, (2) jasa angkutan rel, (3) sosial kemasyarakatan, (4) jasa perusahaan. Industri non migas, seperti telah dibahas sebelumnya, mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan yang kuat baik langsung maupun total. Namun industri ini lebih banyak terkait dengan satu sektor saja, yaitu industri tanpa migas. Mengingat karakteristik Kabupaten Bandung Barat yang mempunyai kemiripan dengan Provinsi Jawa Barat yang menempatkan sektor industri sebagai sektor unggulan (mempunyai nilai tinggi, maka secara umum karakteristik industri di Kabupaten Bandung Barat mirip dengan Provinsi Jawa Barat. Pembahasan tentang ini akan diperjelas pada sub-bab berikutnya. Jasa angkutan rel ternyata juga mempunyai nilai elastisitas tinggi pada 4 pengganda. Hal ini menandakan bahwa peran kereta api sangat signifikan dalam memacu perekonomian di Kabupaten Bandung Barat khususnya menyangkut distribusi barang dan jasa. Adapun sektor sosial kemasyarakatan dan jasa perusahaan merupakan sektor lainnya yang mempunyai nilai elastisitas yang tinggi pada 4 pengganda. Khusus pada sektor sosial kemasyarakatan, sektor ini bukanlah sektor orientasi ekonomi. Namun sektor ini mampu menggerakkan perekonomian wilayah Kabupaten Bandung Barat. Meskipun Kabupaten Bandung Barat didominasi tenaga kerja pertanian dan lahan pertanian yang luas, namun sektor pertanian tidak menjadi sektor dengan nilai elastisitas tinggi kecuali sub-sektor peternakan yang mempunyai nilai elastisitas relatif tinggi pada pengganda pajak tak langsung. Dengan demikian, pada dasarnya potensi pertanian di Kabupaten Bandung Barat masih sangat besar namun secara ekonomi tampaknya belum berjalan secara signifikan. Selain itu, nilai tambah yang dihasilkan sektor ini belum optimal mengingat belum terbangunnya keterkaitan dengan sektor industri tanpa migas yang signifikan. B. Keterkaitan Ke Belakang dan Ke Depan Setiap sektor mempunyai keterkaitan dengan sektor lainnya, baik ke belakang (hulu) maupun ke depan (hilir). Keterkaitan ini ada yang bersifat langsung dan tidak langsung seperti dalam Tabel 62 berikut ini.

33 128 Tabel 62 Keterkaitan Ke Belakang dan Ke Depan No DBL DFL DIBL DIFL 1 Bangunan Industri tanpa Migas Bangunan Industri tanpa Migas 2 Industri tanpa Migas Perdagangan Besar & Eceran Industri tanpa Migas Perdagangan Besar & Eceran 3 Sosial Jasa Perusahaan Jasa Hiburan & Listrik Kemasyarakatan Rekreasi 4 Jasa Hiburan & Jasa Perseorangan & Jasa Angkutan Rel Tanaman Pangan Rekreasi RT 5 Jasa Angkutan Rel Listrik Sosial Kemasyarakatan Sumber: Hasil Analisis, 2009 Ketarangan: DBL = direct backward linkage DFL = direct foreward linkage DIBL = direct indirect backward linkage DIFL = direct indirect foreward linkage Jasa Perorangan dan RT Industri tanpa migas mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan (langsung maupun total) yang kuat. Semua sektor yang mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan langsung kuat ternyata sangat terkait dengan sektor industri tanpa migas saja. Sektor hiburan dan rekreasi yang merupakan sektor unggulan lebih berfungsi sebagai sektor yang mampu memicu kegiatan di sektor hulu. C. Persentase Peredaran Upah dan Gaji Dari analisis I-O juga bisa didapatkan persentase persebaran upah/gaji di Kabupaten Bandung Barat. Sektor industri tanma migas serta perdagangan besar dan eceran merupakan dua sektor yang menyerap upah/gaji terbesar dengan perincian 49,81 % upah/gaji terserap oleh industri tanpa migas; 10,3 % terserap oleh perdagangan besar dan eceran. Tabel 63 Persentase Peredaran Upah dan Gaji No Sektor Upah/Gaji (%) 1 Industri tanpa migas 49,81 2 Perdagangan besar dan eceran 10,30 3 Listrik 5,60 4 Jasa angkutan jalan 4,56 5 Restoran 4,34 6 Tanaman pangan 4,12 Sumber: Hasil Analisis, 2009

34 Sektor Unggulan dalam Perspektif Wilayah yang Lebih Luas Memandang pengembangan wilayah Kabupaten Bandung Barat yang memperhatikan perspektif yang lebih luas ataupun perspektif keluar (outward looking) tentunya tidak terlepas dari bagaimana wilayah Kabupaten Bandung Barat merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas, seperti Metropolitan Bandung, Jawa Barat, Jawa hingga Indonesia. Menurut Erb et al. (2005), era otonomi daerah tidak hanya menggeser dinamika hubungan Jakarta-daerah tetapi juga dinamika hubungan antardaerah Dengan demikian ada 2 (dua) perspektif yang dipakai, yaitu (1) bagaimana faktor/wilayah eksternal mempengaruhi Kabupaten Bandung Barat dan (2) bagaimana Kabupaten Bandung Barat melihat dirinya pada wilayah yang lebih luas. Kedua perspektif ini merupakan bagian inti dari analisis pengembangan wilayah dengan perspektif yang lebih luas Pengaruh Eksternal terhadap Kabupaten Bandung Barat Dalam perspektif pengaruh eksternal pada Kabupaten Bandung Barat, globalisasi ekonomi tentunya memerankan peran yang cukup signifikan dalam mempengaruhi perkembangan yang ada. Menurut Riyadi (2002), globalisasi ekonomi telah memaksa kota-kota besar di dunia bersaing keras untuk dipilih menjadi lokasi pelebaran usaha multi national cooperation (MNC). Menurut McGee (1990), dampak globalisasi ekonomi terhadap pembangunan daerah dapat dilihat dari perkembangan wilayah di sekitar kota metropolitan, atau antara dua kota metropolitan, atau juga pada kota-kota kedua, terutama di daerah yang sedang mengalami percepatan proses industrialisasi. Di Indonesia, dampak tersebut dialami oleh Jabodetabek dan Metropolitan Bandung. Menurut Riyadi (1992), dalam dua dekade terakhir, dua wilayah tersebut mengalami perkembangan yang sangat pesat mulai dari perubahan pola urbanisasi, perubahan struktur sosial ekonomi, mobilitas para pelaku pembangunan, hingga meningkatnya tekanan terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut Dharmapatni dan Firman (1992) dalam Riyadi (2002), Jabodetabek dan Metropolitan Bandung cenderung membentuk megaurban region yang nyaris bersatu.

35 130 Kecenderungan aglomerasi ini secara dasar dapat juga dilihat dengan aglomerasi penduduk yang terjadi. Aglomerasi penduduk terjadi karena terjadinya aglomerasi daya tarik ekonomi. Dalam Laporan Data Utilasi Pulau Jawa, Madura, dan Bali (2008), merujuk pada data BPS jumlah penduduk tahun 2000, 2005, 2006 dan data estimasi jumlah penduduk untuk tahun 2007, 2008 dan 2009 proporsi penduduk di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur secara konsisten mengalami penurunan. Sedanglan, di Provinsi Jawa Barat dan Banten secara konsisten mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkkan bahwa di Jawa dari tahun ke tahun terjadi pemusatan sebaran penduduk ke wilayah Bodetabek sebagai wilayah penyangga Jakarta dan Metropolitan Bandung. Selanjutnya diantara ketujuh provinsi di Jawa dan Bali, nilai laju pertumbuhan penduduk tertinggi tetap dimiliki oleh Provinsi Jawa Barat dan Banten. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 64 di bawah ini Tabel 64 Laju Pertumbuhan Penduduk di Jawa dan Bali Provinsi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Sumber: Laporan Data Utilasi Pulau Jawa, Madura, Bali; 2008 Kabupaten Bandung Barat tentunya tidak lepas dari fenomena di atas mengenai aglomerasi yang terus terjadi. Posisi Metropolitan Bandung yang semakin meng kota dan bergerak menyebar keluar (urban sprawl) membuat wilayah di sekitarnya potensial untuk menjadi lahan terbangun. Tentunya, fenomena ini akan berdampak terhadap pengembangan sektor-sektor ekonomi wilayah sekitarnya. Seperti telah diuraikan pada analisis sebelumnya bahwa ciri urbanisasi dapat dilihat dengan masuknya sektor bangunan sebagai sektor dengan pengganda tinggi serta struktur ekonomi Kabupaten Bandung Barat yang mulai bergeser ke arah pengembangan sektor tersier.

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten Subang

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah 48 V. DUKUNGAN ANGGARAN DALAM OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN BERBASIS SEKTOR UNGGULAN 5.1. Unggulan Kota Tarakan 5.1.1. Struktur Total Output Output merupakan nilai produksi barang maupun jasa yang dihasilkan

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA 6.1. Perkembangan Peranan dan Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Maluku Utara Kemajuan perekonomian daerah antara lain diukur dengan: pertumbuhan

Lebih terperinci

Tabel-Tabel Pokok TABEL-TABEL POKOK. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / 2014 81

Tabel-Tabel Pokok TABEL-TABEL POKOK. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / 2014 81 TABEL-TABEL POKOK Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / 2014 81 Tabel 1. Tabel-Tabel Pokok Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Lamandau Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 4.1. Gambaran Umum inerja perekonomian Jawa Barat pada tahun ini nampaknya relatif semakin membaik, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hal-hal yang akan diuraikan dalam pembahasan dibagi dalam tiga bagian yakni bagian (1) penelaahan terhadap perekonomian Kabupaten Karo secara makro, yang dibahas adalah mengenai

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG 2008 2011 NOMOR KATALOG : 9302008.1114 UKURAN BUKU JUMLAH HALAMAN : 21,00 X 28,50 CM : 78 HALAMAN + XIII NASKAH : - SUB BAGIAN TATA USAHA - SEKSI STATISTIK SOSIAL

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SUB SEKTOR POTENSIAL DALAM MENDUKUNG FUNGSI KOTA CILEGON

BAB IV ANALISIS SUB SEKTOR POTENSIAL DALAM MENDUKUNG FUNGSI KOTA CILEGON BAB IV ANALISIS SUB SEKTOR POTENSIAL DALAM MENDUKUNG FUNGSI KOTA CILEGON 4.1 Analisis Struktur Ekonomi Dengan struktur ekonomi kita dapat mengatakan suatu daerah telah mengalami perubahan dari perekonomian

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

10. PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ( PDRB )

10. PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ( PDRB ) 10. PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ( PDRB ) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha memberikan gambaran tentang nilai tambah yang dibentuk dalam suatu daerah sebagai akibat dari adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan adalah suatu proses perubahan yang direncanakan dan merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan, berkelanjutan dan bertahap menuju tingkat

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

Produk Domestik Bruto (PDB)

Produk Domestik Bruto (PDB) Produk Domestik Bruto (PDB) Gross Domestic Product (GDP) Jumlah nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unitunit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun.

Lebih terperinci

M E T A D A T A. INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 Penyelenggara Statistik

M E T A D A T A. INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 Penyelenggara Statistik M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 Penyelenggara Statistik : Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 9902008.3373 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA SALATIGA TAHUN 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas terbitnya publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten Banjarnegara Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peranan ekonomi sektoral ditinjau dari struktur permintaan, penerimaan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Input-Output Integrasi ekonomi yang menyeluruh dan berkesinambungan di antar semua sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Selain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur menempati posisi tertinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama. Industrialisisasi dimasa sekarang tidak dapat terlepas dari usaha dalam

I. PENDAHULUAN. utama. Industrialisisasi dimasa sekarang tidak dapat terlepas dari usaha dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian dewasa ini masih sering dianggap sebagai penunjang sektor industri semata. Meskipun sesungguhnya sektoral pertanian bisa berkembang lebih dari hanya

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN EKONOMI KABUPATEN SIAK

ANALISIS PENGEMBANGAN EKONOMI KABUPATEN SIAK ANALISIS PENGEMBANGAN EKONOMI KABUPATEN SIAK Chanlis Nopriyandri, Syaiful Hadi, Novia dewi Fakultas Pertanian Universitas Riau Hp: 082390386798; Email: chanlisnopriyandri@gmail.com ABSTRACT This research

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013 i ANALISIS PENDAPATAN REGIONAL KABUPATEN PULAU MOROTAI 2013 ii KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas terbitnya publikasi Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha) 2006 2009 Nomor Katalog BPS : 9302008.1118 Ukuran Buku Jumlah Halaman : 20 cm x 27 cm : vi + 60 Lembar Naskah : Seksi Neraca

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2007 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 40/11/31/Th. IX, 15 November 2007 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2007 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan III tahun 2007 yang diukur berdasarkan PDRB

Lebih terperinci

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL III. EKONOMI MAKRO KABUPATEN TEGAL TAHUN 2013 Pembangunan ekonomi merupakan suatu hal mendasar suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi itu sendiri pada dasarnya

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 38/08/14/Th.XIV, 2 Agustus 2013 PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau Tanpa Migas Triwulan II Tahun 2013 mencapai 2,68 persen Ekonomi Riau termasuk migas pada triwulan II tahun 2013, yang diukur dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Kewenangan Pemerintah Daerah menjadi sangat luas dan strategis setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki kontribusi terhadap pembangunan terutama di daerah, salah satunya di Provinsi Jawa Barat. Pembangunan ekonomi daerah erat kaitannya dengan industrialisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 19/05/14/Th.XI, 10 Mei PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau Tanpa Migas y-on-y Triwulan I Tahun sebesar 5,93 persen Ekonomi Riau dengan migas pada triwulan I tahun mengalami kontraksi sebesar 1,19

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang terpadu merupakan segala bentuk upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi yang ditunjang oleh kegiatan non ekonomi.

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha)

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha) PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN PIDIE JAYA (Menurut Lapangan Usaha) 2005-2008 Nomor Katalog BPS : 9205.11.18 Ukuran Buku Jumlah Halaman : 20 cm x 27 cm : vii + 64 Lembar Naskah : Seksi Neraca

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan III. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan hipotesis, melainkan hanya mendeskripsikan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN 164 BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN Adanya keterbatasan dalam pembangunan baik keterbatasan sumber daya maupun dana merupakan alasan pentingnya dalam penentuan sektor

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA Andi Tabrani Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta Abstract Identification process for

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013 BPS PROVINSI LAMPUNG No.06/02/18/Th.XIV, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013 EKONOMI LAMPUNG TUMBUH 5,97 PERSEN SELAMA TAHUN 2013 Sebagai dasar perencanaan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN 63 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keterkaitan Sektor Pariwisata dengan Sektor Lainnya Keterkaitan masing-masing sektor dalam perekonomian Kabupaten Gianyar bisa diketahui dari analisis Input-Output (I-O),

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa macam analisis, yaitu analisis angka pengganda, analisis keterkaitan antar sektor, dan analisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurangi kemiskinan (Madris, 2010). Indikator ekonomi makro (PDRB)

BAB I PENDAHULUAN. mengurangi kemiskinan (Madris, 2010). Indikator ekonomi makro (PDRB) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi perekonomian menjadi salah satu indikator kemajuan suatu daerah. Pembangunan ekonomi daerah tidak hanya bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melainkan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No.24/05/33/Th.IV, 10 Mei 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2010 PDRB Jawa Tengah pada triwulan I tahun 2010 meningkat sebesar 6,5 persen dibandingkan triwulan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 No. 19/05/31/Th. X, 15 Mei 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I tahun 2008 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 24/05/14/Th.XV, 5 Mei 2014 PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau termasuk migas pada triwulan I tahun 2014, yang diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, mengalami

Lebih terperinci

VI SEKTOR UNGGULAN DAN LEADING SECTOR DI KABUPATEN TTU

VI SEKTOR UNGGULAN DAN LEADING SECTOR DI KABUPATEN TTU 110 VI SEKTOR UNGGULAN DAN LEADING SECTOR DI KABUPATEN TTU 6.1. Sektor Unggulan Hasil analisis terhadap persepsi stakeholder menyatakan bahwa sektor pertanian menjadi prioritas pengembangan dalam peningkatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih lokasi Kota Cirebon. Hal tersebut karena Kota Cirebon merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan Ekonomi Regional Pertumbuhan ekonomi merupakan unsur penting dalam proses pembangunan wilayah yang masih merupakan target utama dalam rencana pembangunan di samping

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia Perekonomian Indonesia tahun 2004 yang diciptakan UKM berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013 No. 09/02/31/Th. XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013 Secara total, perekonomian DKI Jakarta pada triwulan IV/2013 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TAHUN

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TAHUN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TAHUN 2002-2010 Katalog BPS : 9302008.7101 ISSN 0215 6432 Ukuran Buku : 16,5 Cm X 21,5 Cm Jumlah Halaman : ix + 115 Halaman Naskah : Badan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 BPS KABUPATEN TAPANULI UTARA No. 08/07/1205/Th. VI, 06 Oktober 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara yang diukur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT PERTUMBUHAN PDRB TAHUN 2013 MENCAPAI 6,08 PERSEN No. 11/02/61/Th. XVII, 5 Februari 2014 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. tujuan penelitian. Wilayah yang akan dibandingkan dalam penelitian ini

III. METODOLOGI PENELITIAN. tujuan penelitian. Wilayah yang akan dibandingkan dalam penelitian ini III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional dalam penelitian ini mencakup semua pengertian yang digunakan dalam memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di 120 No. 1 2 3 4 Tabel 3.5 Kegiatan Pembangunan Infrastruktur dalam MP3EI di Kota Balikpapan Proyek MP3EI Pembangunan jembatan Pulau Balang bentang panjang 1.314 meter. Pengembangan pelabuhan Internasional

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 30/08/31/Th.IX, 15 AGUSTUS 2007 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan II tahun 2007 yang diukur berdasarkan PDRB atas

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2014 No. 32/05/35/Th. XIV, 5 Mei 2014 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2014 (y-on-y) mencapai 6,40

Lebih terperinci

Produk Domestik Regional Bruto

Produk Domestik Regional Bruto Tabel 9.1 : PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA ATAS DASAR HARGA BERLAKU TAHUN 2007 2010 (Rp. 000) 1. PERTANIAN 193.934.273 226.878.977 250.222.051 272176842 a. Tanaman bahan makanan 104.047.799 121.733.346 134.387.261

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 21/05/14/Th.XII, 5 Mei PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau Tanpa Migas Triwulan I Tahun mencapai 7,51 persen Ekonomi Riau termasuk migas pada triwulan I tahun, yang diukur dari kenaikan Produk Domestik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Suryana (2000 : 3), mengungkapkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. sebuah penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Struktur

III. METODOLOGI PENELITIAN. sebuah penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Struktur III. METODOLOGI PENELITIAN A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel merupakan suatu objek yang diteliti atau menjadi fokus perhatian dalam sebuah penelitian. Variabel yang digunakan dalam

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan atas sumber daya air, sumber daya lahan, sumber daya hutan, sumber

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku tahun 2013 ruang lingkup penghitungan meliputi 9 sektor ekonomi, meliputi: 1. Sektor Pertanian

Lebih terperinci