PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM MENAGIH KREDIT BERMASALAH. (Jurnal) Oleh. JanuaryPrakoso

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM MENAGIH KREDIT BERMASALAH. (Jurnal) Oleh. JanuaryPrakoso"

Transkripsi

1 PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM MENAGIH KREDIT BERMASALAH (Jurnal) Oleh JanuaryPrakoso FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG 2017

2 ABSTRAK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM MENAGIH KREDIT BERMASALAH Oleh January Prakoso, Firganefi, S.H., M.H., Diah Gustiniati M, S.H., M.H. januaryprakoso119@gmail.com No. HP : PT Mandiri Tunas Finance bergerak dibidang usaha pembiayaan konsumen, membutuhkan jasa penagih utang dalam hal penagihan konsumen yang melakukan wanprestasi (gagal bayar). Jasa penagih utang lahir karena perjanjian kerjasama, untuk itu dapat mewakili PT Mandiri Tunas Finance menarik barang milik konsumen. Apabila konsumen merasa tidak puas atas tindakan jasa penagih utang, maka dapat melakukan upaya hukum. Tujuan penelitian ini adalah agar dapat mengetahui pertanggungjawaban pidana oleh jasa penagih utang dan mengetahui tindakan tindakan pidana apasajakah yamg biasanya dilakukan oleh debt collector serta upaya hukum yang dapat dilakukan apabila debt collector tersebut melakukan tindak pidana terhadap konsumen. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan tipe penelitian analisis deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer data sekunder serta pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan, studi dokumen dan wawancara. Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan cara analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana oleh debt collector baik sebelum atau sesudah melakukan tindak pidana berupa pengancaman, dan atau kekerasan tersebut di atas terhadap debitur adalah tanggung jawab secara individu. Tanpa ada kaitannya terhadap perusahaan yang menggunakan jasanya dalam melakukan penagihan. Tindak Pidana yang sering dilakukan oleh Preman Debt Collector adalah tindak pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu seperti : memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, pemerasan dengan kekerasan (afpersing), dan penganiayaan. Upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen yang menjadi korban tindak pidana yang dilakukan oleh debtcollector dapat langsung melakukan gugatan ke pengadilan negeri. Kata Kunci: Pertanggungjawaban pidana, Debt Collector, Tindak Pidana.

3 I. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara hukum dimana hukum di tegakan demi keadilan setiap warga negara indonesia, peraturanperaturan dan sanksi yang berlaku sesuai dengan undang-undang dan pasal dalam kitab undang-undang, dan setiap warga negara wajib mematuhinya dan tidak boleh melanggarnya, namun sebagaimana mestinya jika dilanggar maka sanksi, denda, dan ancaman hukuman dijatuhkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Setiap manusia tidak pernah luput dari kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja namun apa yang telah dilakukannya adalah suatu kesalahan yang harus diberikan sanksi, hukuman yang telah diberikan bertujuan agar tiap warga negara terancam untuk tidak melakukan kejahatan atau perlakuan yang melawan hukum, setiap hukuman yang diberikan sesuai dengan kesalahan yang dilanggar oleh warga negara Indonesia. Tujuan utama hukum adalah guna menciptakan keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat, pada pergaulan seharihari banyak kepentingan yang beraneka ragam sehingga kita menyadari bahwa kadang kala timbul benturan-benturan antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain seperti halnya dalam upaya manusia memenuhi kebutuhan hidup, salah satunya adalah dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Sejak zaman dahulu manusia menggunakan barang sebagai media pembayaran yang kita kenal sebagai sistem barter dimana untuk mendapatkan suatu barang harus ditukarkan dengan barang lain, seiring dengan perkembangan zaman cara ini mulai ditinggalkan setelah ditemukannya suatu alat pembayaran yang lebih praktis yang kita kenal saat ini dengan nama uang. Uang kita bisa membeli semua kebutuhan yang kita inginkan, sehingga tak heran jika setiap orang berusaha untuk mendapatkan uang. Masalah yang timbul saat ini adalah bagaimana jika kita tidak memiliki uang sedangkan harus memenuhi kebutuhan kita yang terdesak. Hal ini dapat diatasi dengan kehadiran suatu sistem pembayaran yang mana kita dapat membeli barang tanpa harus membayar pada saat itu juga yang dalam kehidupan sehari-hari biasa kita sebut kredit. Dengan kredit, kita dapat membayar barang sesuai dengan waktu dan kemampuan yang dapat kita sesuaikan, sehingga memudahkan kita untuk dapat memiliki sesuatu yang diinginkan tanpa harus mempersiapkan uang tunai dalam jumlah besar. Hadirnya sistem kredit sangat membantu kehidupan masyarakat bahkan pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara, namun keterbatasan saat ini adalah tidak semua barang yang dijual di pasar atau toko menawarkan system kredit terhadap barang yang mereka jual. Kerena disamping faktor kepercayaan, faktorfaktor lain dijadikan pedagang sebagai petimbangan untuk lebih nyaman jika menjual dengan cara tunai daripada kredit. Namun dibalik kemudahan tersebut, jika kita tidak bertanggung jawab untuk melunasi kredit tersebut tentu akan membawa masalah bagi kita, karena akhirnya kita akan dihadapkan kepada debt collector untuk menagih sejumlah hutang. Belakangan ini perekonomian internasional memburuk. Untuk mengatasi hal ini pemerintah menjalankan kebijakan uang ketat yang mengakibatkan bank-bank menaiki suku bunga yang lebih tinggi dan mengakibatkan debitur dalam hal ini penerima kredit kesulitan untuk membayar tagihan kredit yang sudah diterimanya yang kemudian dikenal dengan istilah kredit bermasalah. Berbagai upaya ditempuh oleh kreditur dalam hal ini bank untuk mengatasi

4 tagihan bermasalah mulai dengan menggunakan cara yang resmi dan formal yaitu dengan melalui lembaga peradilan. Namun dirasakan cara tersebut kurang efektif dan sangat lambat bahkan tidak memberikan jaminan terlaksananya kewajiban pembayaran hutang sampai akhirnya menggunakan biro jasa swasta yang sekarang ini dikenal dengan istilah debt collector atau penagih hutang, 1 yang diharapkan untuk menagih hutang secara berdaya guna dan berhasil guna dalam waktu relative singkat dan melalui prosedur yang tidak birokratif. Pertimbangan untuk menggunakan jasa organisasi tersebut lebih diorientasikan pada perhitungan yang bersifat ekonomis praktis sehingga keuntungan yang diharapkan dapat diselesaikan atau setidaktidaknya kerugian dapat ditekan seminimal mungkin. Keberadaan debt collector berkembang tidak hanya dalam lingkungan perbankan saja, tetapi badan usaha lain yang mempunyai tagihan-tagihan seperti halnya adalah lissing yang memberikan kredit kepada konsumen yang ingin memiliki kendaraan atau benda bergerak lain namun pembayaran dilakukan secara kredit. Namun kecenderungan yang terjadi didalam praktek nya jarang sekali para debt collector bertindak sesuai dengan norma yang berlaku tetapi justru melanggar ketentuan hukum seperti melakukan intimidasi, ancaman, dan kekerasan nyata baik fisik maupun psikis. 2 Tindakan debt collector yang menyita paksa barang, misalnya menyita sepeda motor yang menunggak kredit atau menyita barang-barang di dalam rumah karena belum dapat melunasi hutang pada bank, merupakan perbuatan melanggar hukum. Tindakan menyita secara paksa itu ibaratnya menutup lubang masalah dengan 1 Polri Dukung Pemberantasan Biro Jasa Penagih Hutang, Suara Pembaruan, 6 Agustus 2010, hlm 4. 2 M. Khoidin, Debt collector dan Kekerasan, Republik, 17 September 2010, hlm 6 masalah menyelesaikan pelanggaran hukum dengan melanggar hukum yang lebih berat. Seorang debitur yang belum mampu membayar lunas hutangnya (misalnya cicilan kredit sepeda motor yang sudah jatuh tempo) adalah suatu pelanggaran hukum, yaitu melanggar perjanjian. Dalam hal demikian kreditur (dealer sepeda motor) mempunyai hak untuk menyita barang yang telah diserahkan kepada debitur (pembeli sepeda motor) dengan alasan wanprestasi. Atas alasan tersebut biasanya kreditur mengutus debt collectornya untuk menyita barang jika tidak berhasil menagih hutang. Karena tindakan menyita paksa barang oleh kreditur dan debt collector-nya adalah pelanggaran hukum maka tindakan itu dapat berindikasi tindak pidana pencurian mengambil barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain secara melawan hukum. 3 Atas pelanggaran hukum tersebut, pembeli sepeda motor berhak melaporkannya kepada polisi. Selain pencurian kreditur dan debt collector-nya juga dapat diancam tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan kalau sudah emosional dan menggebrakgebrak meja dan tentunya kita sudah dapat membayangkan tindak pidana yang yang lebih kejam lagi jika sang debt collector telah berlagak menjadi jagoan yang gampang main pukul. Tidak ada satupun di dalam perundangundangan yang melarang seseorang menjadi penagih hutang. Bahkan di dalam ketentuan perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, dinyatakan bahwa dengan suatu surat kuasa, jasa penagih hutang (debt collector) dapat mewakili kreditur untuk menagih hutang kepada debitur. Namun kecenderungan yang terjadi sekarang adalah bahwa dalam 3 Pasal 362 KUHP

5 prakteknya sering terjadi pelanggaranpelanggaran hukum yang memaksa penyelesaiannya di meja persidangan. Seperti melakukan ancaman, tekanan, dan kekerasan baik fisik maupun psikis yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Saat ini dalam masyarakat sering terdengar adanya kasus penagihan hutang terhadap debitur oleh kreditur dengan memakai penagih hutang (debt collector) dalam menagih hutang dengan cara dan memakai kekerasan. Penunggak yang tidak mampu melunasi tagihannya, penagih hutang (debt collector) yang diperintah oleh bank terhadap kredit yang bermasalah akan mengambil sejumlah barang baik bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan. Apabila penunggak telah melunasinya, maka jaminan itu akan dikembalikan, Namun bila tidak dilunasi tentu saja barang itu akan lenyap. Selain itu juga tidak jarang penagih hutang (debt collector) melakukannya dengan menggunakan ancaman dan kekerasan. Perbuatan debt collector yang dapat dikategorikan tindak pidana (jika telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ada dalam KUHP), seperti diantaranya : 1) Jika penagih hutang (debt collector) tersebut melakukan pengrusakan terhadap barang-barang milik nasabah; 4 2) Jika penagih hutang (debt collector) tersebut menggunakan kata-kata kasar dan dilakukan di depan umum, maka ia bisa dipidana dengan pasal penghinaan; 5 3) Selain itu, bisa juga digunakan pasal 335 ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) pada dasarnya merupakan pihak yang berpotensi untuk menimbulkan kerugian pada konsumen. Adakalanya pula 4 Pasal 406 KUHP 5 Pasal 310 KUHP debt collector tidak bekerja dengan profesional seperti yang diharapkan oleh bank. Terkadang untuk mendapatkan hutang yang ditagihnya mereka melakukan tindakan melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi nasabah yang ditagih hutangnya tersebut. Masyarakat sebagai nasabah tidak pernah tahu hubungan kerja antara bank dan perusahaan debt collector yang mereka pekerjakan apakah itu hubungan pengalihan hutang atau hubungan pemberian kuasa. Salah satu alasan mengapa pihak bank meminta jasa debt collector adalah tingginya biaya berperkara. Biaya berperkara ini meliputi biaya pengacara, biaya transportasi dan biaya calo perkara. Gejala kredit bermasalah adalah : 1. Adanya penyimpangan dari ketentuan dan syarat-syarat perjanjian kredit/ perjanjian pinjaman biasa dilakukan oleh kreditur atau debitur; 2. Adanya penurunan kondisi keuangan debitur yang kelihatan dari keterlambatan pembayarannya; 3. Adanya perbuatan dari debitur yang mulai kurang kooperatif dengan mulai menunggak dan membayar tidak tepat waktu Kasus-kasus yang ada menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan untuk memperkuat landasan hukum yang terkait dengan perlindungan nasabah di bidang keuangan atau perbankan. Sudah saatnya Indonesia memiliki Undang-undang yang mengatur mengenai penagihan hutang termasuk hutang kartu kredit. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi nasabah pemegang kartu kredit dari perbuatan sewenang-wenang. Ini diperlukan mengingat UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang ada saat ini tidak mengatur sama sekali mengenai kegiatan penagihan hutang tersebut.

6 Saat ini sudah ada peraturan perundangundangan yang memungkinkan pihak bank untuk menggunakan jasa pihak ketiga untuk menagih hutang. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu PBI (Peraturan Bank Indonesia) SE BI (Surat Edaran Bank Indonesia) No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu tanggal 13 April Dalam PBI dan SE BI ini dalam Bab VII huruf D angka 4, diatur bahwa: a) Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kolektibilitas; b) Penerbit harus menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut, selain harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pada huruf a, juga harus dilakukan dengan caracara yang tidak melanggar hukum. 6 c) Dalam perjanjian kerjasama antara Penerbit dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuat klausula tentang tanggungjawab Penerbit terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut. Pada praktiknya aturan tersebut belum ada batasan dan aturan pelaksana yang jelas tentang tata cara penagihan oleh seorang debt collector. Saat ini yang ada hanya sebatas pada aturan bank masing-masing. Tetapi yang terjadi di lapangan, mereka itu 6 Surat Edaran Bank Indonesia. SEBI NO. 14/17DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, Ketentuan Butir VII.D Angka 4 (debt collector) melakukan hal-hal di luar kesepakatan antara bank dan agen. Beberapa tindakan debt collector bahkan sudah mengarah pada tindakan pidana. Misalnya, seperti yang terjadi pada Selasa 8 January 2016 : Saidan (37), warga Korpri Jaya, Sukarame, Bandarlampung, babak belur dikeroyok 18 penagih hutang atau debt collector di depan kantor perusahaan pembiayaan Mandiri Tunas Finance di Jalan Pangeran Antasari, Bandarlampung. Sekujur badan saya memar dan tulang hidung patah. Rencananya akan dioperasi besok, kata Saidan saat di temui di ruang Paviliun Cendana No. 112, Rumah Sakit Umum Rumah Sakit Urip Sumoharjo, Bandarlampung. 7 Berdasarkan latar belakang tersebut di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian judul : Pertanggungjawaban Pidana oleh Debt collector yang Melakukan Tindak Pidana dalam Menagih Kredit Bermasalah Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pada debt collector yang melakukan tindak pidana dalam menagih kredit bermasalah? 2. Bagaimanakah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh debt collector yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana? Pendekatan masalah dalam penelitian yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah yang didasarkan pada peraturan perundangundangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan langsung dengan penelitian ini. Pendekatan yuridis empiris adalah dengan mengadakan penelitian langsung ke lapangan, yaitu dengan 7

7 melihat fakta-fakta yang ada dalam praktek mengenai pelaksanaannya. Sumber dan Jenis Data dalam Penelitian ini menggunkan dua jenis data yaitu, data primer dan skunder. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian. 8 II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pertanggungjawaban Pidana pada debt collector yang melakukan tindak pidana dalam menagih kredit bermasalah Korporasi paling dominan yang menggunakan jasa debt collector adalah perusahaan leasing. Saat ini sangat mudah untuk membeli motor, misalnya, baik dengan cara kredit maupun secara cash. Tetapi pada saat ini semua leasing pasti akan menggiring konsumennya untuk membeli kendaraan secara kredit. Disamping keuntungan akan bertambah, tentu dengan strategi ini leasing tidak akan menemui banyak masalah. Hukum fidusia cukup asing didengar oleh orang umum padahal hukum ini harus diketahui oleh setiap orang yang akan membeli motor ke sebuah dealer lewat leasing. Hukum fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda yang dapat difidusiakan tersebut berdasarkan kepercayaan yang penguasaannya tetap dilakukan oleh si pemilik benda tersebut. 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1983, Hlm 112. Biasanya hal ituterjadi karena pemilik benda tersebut (debitur) membutuhkan sejumlah uang dan sebagai jaminan atas pelunasan utangnya tersebut si debitor menyerahkan secara kepercayaan hak kepemilikannya atas suatu benda bergerak atau benda yang tidak termasuk dalam lingkup Undang-undang No 4 tahun 1996 kepada krediturnya dan hak tersebut juga dapat dialihkan kepada pihak lain. Pemberian jaminan fidusia ini merupakan perjanjian yang bersifat accesoir dari suatu peminjaman pokok dan harus dibuat dengan suatu akta notaris yang disebut sebagai akta Jaminan Fidusia. 9 Untuk melalui proses ini pihak leasing dikenakan biaya antara Rp hingga kisaran Rp tiap unit motor. Karena untuk menuruti hukum fidusia ini memerlukan biaya yang tidak sedikit maka biasanya pihak leasing hanya mencantumkan saja dalam perjanjian sewa beli secara fidusia. Jadi leasing tidak menjalankan proses ini secara resmi tetapi hanya embel-embel di surat perjanjian bahwa seakan-akan leasing sudah melakukan hukum fidusia. Berdasarkan analisis bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Hal ini juga berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana apabila ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Secara Teoritik berdasarkan teori pertanggungjawaban pidana, maka pertanggungjawaban pidana bagi jasa penagih hutang (debt collector) berupa perorangan (natuurlijke person), di dalamnya harus terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaaheid) si pembuat atas perbuatannya. Prinsip ini di dalam hukum pidana dikenal dengan prinsip liability based on fault, atau dikenal juga dengan 9 Pasal 6 huruf B UU No 42 tahun 1999

8 tiada pidana tanpa kesalahan (azasculpabilitas). Khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan. 10 Berdasarkan Analisis bahwa subjek hukum tindak pidana adalah orang dalam konotasi biologis yang dialami (natuurlijke person). Disamping itu, KUHP juga masih menganut asas sociatas delinguere non potest yang artinya badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana, maka pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum tidak berlaku dalam bidang hukum pidana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa formulasi pertanggungjawaban pelaku dalam KUHP hanya berorientasi terhadap pelaku tindak pidana perseorangan atau orang dalam konteks konotasi biologis yang dialami (natuurlijke person). Menurut Try Wahyu apabila kemudian terjadi hal demikian (tindak pidana), maka tanggung jawab pidana ada pada debt collector itu sendiri, bukan tanggung jawab perusahaan. 11 Tindakan yang dialami oleh Saidan (37) seorang nasabah Mandiri Tunas Finance, merupakan salah satu daftar hitam para Debt collector dalam melakukan penagihan. Kekerasan memberikan tekanan langsung kepada debitur baik fisik maupun mental akibat tidak diindahkannya keinginan mereka (debt collector). Menurut Nirmala Dewita, ketika tindakan yang memiliki ancaman pidana tersebut dilakukan oleh debt collector, maka tidak ada kata penghapusan pidana bagi mereka,kecuali dengan alasan-alasan tertentu. 12 Seharusnya pihak pertama menggunakan jalur hukum yaitu melalui pengadilan dalam menyelesaikan masalah wanprestasi oleh pihak kedua, sehingga 10 Masrudi Muchtar, 2013, Debt Collector dalam optik kebijakan hukum pidana,aswaja Pressindo, yogyakarta, h Hasil Wawancara dengan Kejaksaan Negeri Bandar Lampung pada tanggal 30 Oktober Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada tanggal 3 November 2016 ada kekuatan tetap dalam melakukan penyitaan barang terhadap debitur apabila terjadi kredit macet. Hal tersebut juga telah diatur dalam hukum perdata bahwasanya, setiap perjanjian akan menimbulkan suatu perikatan. Suatu perikatan pada hakikatnya mempunyai hubungan hukum antara dua (2) orang atau lebih. Perikatan adalah sebuah hubungan hukum antara dua orang/dua pihak berdasarkan sebagaimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, pihak lainnya juga berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Berdasarkan analisis untuk dapat dicelanya perbuatan, seorang pelaku tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur kesalahan sebagai berikut : 1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat. Artinya keadaan jiwa si pembuat tindak pidana harus normal. 2) Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini di sebut bentukbentuk kesalahan. Berdasarkan analisis teori pertanggungjawaban pidana tersebut dan beberapa masukan pendapat berdasakan hasil wawancara yang dilakukan, maka penulis berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana oleh debt collector baik sebelum atau sesudah melakukan tindak pidana berupa pengancaman, dan atau kekerasan tersebut di atas terhadap debitur adalah tanggung jawab secara individu. Tanpa ada kaitannya terhadap perusahaan yang menggunakan jasanya dalam melakukan penagihan. Untuk itu perlunya peraturan yang jelas mengenai keberadaan debt collector akan memberikan batasanbatasan yang jelas pula bagi mereka para penagih hutang, tetapi apabila pihak perusahaan yang memberikan kuasa kepada debtcollector tersebut untuk memakai cara kekerasan dalam menagih kredit tersebut maka pihak perusahaan pun

9 dapat di pertanggungjawabkan sesuai dengan Pasal 55 dan 56 KUHP yang berbunyi : Pasal 55 KUHP berbunyi : (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Pasal 56 KUHP berbunyi: Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: (1) Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu; (2) Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu. B. Tindakan-Tindakan Yang Dilakukan Oleh Debt collector Yang Dapat Dikualifikasikan Sebagai Tindak Pidana Berdasarkan Analisis bahwa debt collector yang akan penulis bahas disini ada dua, yang pertama yaitu debt collector yang bekerja atau dipekerjakan oleh instansi perbankan seperti bank, perusahaan pembiayaan, dan koperasi, yang kedua adalah debt collector yang dipekerjakan oleh perseorangan, seperti hutang piutang pribadi dan lintah darat. Maraknya penggunaan jasa debt collector oleh bank, mengindikasikan bahwa jasa ini cukup efektif dan efisien dalam menjalankan tugas penagihan piutang bank. Sebab jika tidak, mustahil bank akan menggunakannya. Dengan menyewa jasa penagih hutang, Bank tak perlu repot-repot untuk membentuk unit sendiri yang khusus untuk mengamat-ngamati dan membujuk para debitur bermasalah membayar tunggakannya, selain karena tak cukup tenaga, juga karena keterbatasan dana mengingat bahwa bank harus secara hatihati dalam menggunakan dana para nasabahnya sesuai dengan prinsip fiduciari. Menurut Bayu Kurniawan penggunaan debt collector oleh perseorangan biasanya digunakan setelah kreditur telah mencoba untuk menagih dengan cara baik-baik kepada debitur secara langsung tapi tidak mendapatkan itikad baik dari debitur atau belum mampu melunasi hutangnya. 13 Tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai penagih utang atau debt collector di Indonesia. Debt collector pada prinsipnya bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur untuk menagih utang kepada debiturnya. 14 Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya,untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dengan adanya pengerian pemberian kuasa tersebut, hal ini telah menggariskan dasar hukum sahnya pemberian kuasa penagihan hutang baik perseorangan maupun perusahaan. Berdasarkan analisis bahwa Bank Indonesia pada dasarnya memperbolehkan adanya penggunaan jasa debt collector oleh bank dalam menagih hutang. 15 Hal ini 13 Hasil Wawancara dengan debtcollector Bayu Kurniawan di salah satu perusahaan finance Bandar Lampung pada tanggal 10 November Hasil Wawancara dengan debtcollector Bayu Kurniawan di salah satu perusahaan finance Bandar Lampung pada tanggal 10 November Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009

10 dapat dilihat dari tidak adanya larangan secara tegas mengenai penggunaan pihak ketiga dalam penagihan hutang dalam peraturan-peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia. Dalam peraturanperaturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, tidak pernah terdapat peraturan yang melarang penggunaan pihak ketiga (debt collector), oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penggunaan jasa pihak ketiga dalam penagihan hutang diperbolehkan oleh Bank Indonesia. Meskipun diperbolehkan, Bank Indonesia tetap memberikan pengaturan mengenai penggunaan jasa pihak ketiga ini dalam penagihan tunggakan hutang kartu kredit. Walaupun hal ini telah diatur sedemikian rupa di dalam PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan SEBI No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu akan tetapi saat ini masih banyak pula pihak bank yang masih kurang memperhatikan atau tidak menerapkan hal itu sehingga secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada debt collector untuk melakukan segala macam upaya, baik itu melawan hukum untuk memastikan kreditur membayar hutangnya. Secara teoritis dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. 16 Tindak Pidana yang sering dilakukan oleh Debt Colektor adalah tindak pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu: 16 Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm Pasal 368 KUHP (1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (2) Ketentuan Pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini. Penjelasan Pasal 368 adalah sebagai berikut : a. Kejadian ini dinamakan pemerasan dengan kekerasan (afpersing). Pemeras itu pekerjaannya: 1) memaksa orang lain; 2) untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang 3) dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak. b. Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan; 1) Memaksa adalah melakukan tekanan kepada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sendiri. Memaksa orang lain untuk menyerahkan barangnya sendiri itu masuk pula pemerasan; 2) Melawan hak adalah sama dengan melawan hukum, tidak berhak atau bertentangan dengan hukum; 3) Kekerasan berdasarkan catatan pada Pasal 89, yaitu jika memaksanya itu dengan akan menista, membuka rahasia maka hal ini dikenakan Pasal 369.

11 c. Pemerasan dalam kalangan keluarga adalah delik aduan (Pasal 370), tetapi apabila kekerasan itu demikian rupa sehingga menimbulkan penganiayaan, maka tentang penganiayaannya ini senantiasa dapat dituntut (tidak perlu ada pangaduan); d. Tindak pidana pemerasan sangat mirip dengan pencurian dengan kekerasan pada Pasal 365 KUHP. Bedanya adalah bahwa dalam hal pencurian si pelaku sendiri yang mengambil barang yang dicuri, sedangkan dalam hal pemerasan si korban setelah dipaksa dengan kekerasan menyerahkan barangnya kepada si pemeras. 2. Pasal 369 KUHP (I) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain. atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (II) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena kejahatan. 3. Pasal 378 KUHP Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. 4. Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan atau memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. Bahwa bila kita melihat rumusan bagian inti delik tersebut maka kita dapat melihat bahwa tindak pidana tersebut berupa : a. Pelaku adalah barang siapa, artinya setiap orang (person) yang melakukan perbuatan tersebut yang mampu bertanggung jawab menurut hukum. b. Bentuk perbuatan adalah memaksa, dimana yang dimaksud dengan memaksa adalah menyuruh orang untuk melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) sehingga orang itu melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) berlawanan dengan kehendak sendiri. c. Objeknya adalah : orang, bahwa perbuatan memaksa tersebut ditujukan kepada orang. d. Dilakukan dengan Secara melawan hukum, singkatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum baik dalm arti obyektif maupun hukum dalam arti subyektif dan baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis (lihat Arrest HR 6 Januari 1905 dan Arrest HR 31 Januari 1919). e. Cara melakukan perbuatan (bersifat alternatif), yaitu dilakukan baik : a) dengan kekerasan; untuk unsur kekerasan, lihat Pasal 89 KUHP, dimana disamakan dengan melakukan kekerasan adalah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi.. dimana menurut R. Soesilo, tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak dapat mengadakan

12 perlawanan sedikitpun. atau dengan perbuatan lain; maupun dengan perbuatan yang tidak menyenangkan. b) dengan ancaman kekerasan; atau dengan ancaman perbuatan lain; maupun dengan ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan. f. Tujuan pembuat melakukan perbuatan (bersifat alternatif) : a) orang itu atau orang lain supaya melakukan sesuatu. b) orang itu atau orang lain supaya tidak melakukan sesuatu. c) orang itu atau orang lain membiarkan sesuatu. III. PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Pertanggungjawaban pidana oleh debt collector baik sebelum atau sesudah melakukan tindak pidana berupa pengancaman, dan atau kekerasan tersebut di atas terhadap debitur adalah tanggung jawab secara individu. Tanpa ada kaitannya terhadap perusahaan yang menggunakan jasanya dalam melakukan penagihan. Untuk itu perlunya peraturan yang jelas mengenai keberadaan debt collector yang akan memberikan batasanbatasan yang jelas pula bagi mereka para penagih hutang. 2. Tindak Pidana yang sering dilakukan oleh Preman Debt collector adalah tindak pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu: a. Memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu. b. Pemerasan dengan kekerasan (afpersing). c. Penganiayaan Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh debt collector ada empat, antara lain kurangnya kesadaran debitur, kurangnya tanggung jawab dan pengawasan, tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai tata cara penagihan hutang oleh pihak ketiga, dan kurangnya pengetahuan hukum debt collector dan debitur itu sendiri. B. Saran Adapun saran yang diberikan penulis berkaitan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan polisi sebagai berikut : 1. Untuk menjamin agar tidak ada lagi tindak pidana yang di lakukan oleh debt collector maka pelaku harus diproses sampai ke tingkat pengadilan dan memaksimalkan vonis pidana penjara dan pidana denda agar mempunyai efek jera terhadap pelaku. Pihak Bank/Finance yang menggunakan jasa debt collector juga harus mempunyai sanksi yang tegas apabila debt collector tersebut tertangkap basah telah melakukan kekerasan terhadap para nasabahnya.dan juga pihak Bank/Finance tersebut harus lebih teliti lagi dalam memilih debt collector yang tentunya patuh terhadap semua peraturan yang telah dibuat oleh pihak Bank/Finance agar tidak melakukan perbuatan tindak pidana. Penggunaan debt collector sudah seharusnya ditinjau kembali dengan peraturan yang lebih jelas sehingga kasus seperti kekerasan yang dialami Saidan nasabah Mandiri Tunas Finance tidak terulang kembali, sejumlah pendapat menyatakan jika debt collector dibubarkan saja, namun menurut saya hal itu sangat sulit untuk dilakukan saat ini, cara yang lebih baik yaitu melakukan pembenahan dibidang hukum terkait profesi ini, karena saat ini sejumlah Negara lain telah memiliki

13 peraturan khusus profesi ini, selama belum ada ketentuan yang jelas sejumlah masalah-maslah masih mungkin bisa terjadi. dan tak kalah penting dari itu adalah ditingkatkannya fungsi pengawasan Bank terhadap pihak ketiga yang diberikan kuasa, dengan adanya control yang baik kasus-kasus serupa dapat dihindari. 2. Perlu adanya kerja sama antara aparat penegak hukum dengan masyarakat dalam memberantas tindak pidana yang dilakukan debt collector, masyarakat harus berperan aktif dalam hal ini. Masyarakat harus segera melaporkan jika melihat ada tindak pidana yang dilakukan debt collector. Langkah yang selanjutnya adalah Bank Indonesia harus melarang pemakaian jasa debt collector agar tidak terjadi lagi kasus tindak pidana nya. Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 Polri Dukung Pemberantasan Biro Jasa Penagih Hutang, Suara Pembaruan, 6 Agustus 2010, hlm 4. Pasal 6 huruf B UU No 42 tahun 1999 Hasil Wawancara dengan debtcollector Bayu Kurniawan di salah satu perusahaan finance Bandar Lampung pada tanggal 10 November 2016 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada tanggal 3 November 2016 Hasil Wawancara dengan Kejaksaan Negeri Bandar Lampung pada tanggal 30 Oktober DAFTAR PUSTAKA Ali, Mahrus Dasar Dasar Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika M. Khoidin, Debt collector dan Kekerasan, Republik, 17 September 2010 Muchtar, Masrudi Debt Collector dalam optik kebijakan hukum pidana. Yogyakarta. Aswaja Pressindo. Soekanto, Soerjono Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Surat Edaran Bank Indonesia. SEBI NO. 14/17DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, Ketentuan Butir VII.D Angka 4

TINDAKAN PENGANCAMAN DAN PERAMPASAN YANG DILAKUKAN OLEH DEBT COLLECTOR KEPADA DEBITUR

TINDAKAN PENGANCAMAN DAN PERAMPASAN YANG DILAKUKAN OLEH DEBT COLLECTOR KEPADA DEBITUR TINDAKAN PENGANCAMAN DAN PERAMPASAN YANG DILAKUKAN OLEH DEBT COLLECTOR KEPADA DEBITUR Oleh: I Gusti Ngurah Arya Wedanta Pembimbing: I Gusti Ketut Ariawan Sagung Putri M.E Purwani Program Kekhususan: Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu persetujuan yang menimbulkan perikatan di antara pihak-pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. suatu persetujuan yang menimbulkan perikatan di antara pihak-pihak yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semua subjek hukum baik manusia atau badan hukum dapat membuat suatu persetujuan yang menimbulkan perikatan di antara pihak-pihak yang mengikat bagi para pihak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia perbankan begitu cepat, dengan berbagai macam jenis

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia perbankan begitu cepat, dengan berbagai macam jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia perbankan begitu cepat, dengan berbagai macam jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan yang kompetitif. Banyak bank yang didirikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEBT COLLECTOR DIKAITKAN DENGAN SEBI NO.7/60/DASP TAHUN 2005

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEBT COLLECTOR DIKAITKAN DENGAN SEBI NO.7/60/DASP TAHUN 2005 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEBT COLLECTOR DIKAITKAN DENGAN SEBI NO.7/60/DASP TAHUN 2005 A. Pengertian Debt Collector Kualitas penjualan dapat dikatakan baik apabila penjualan tersebut dapat menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI Disampaikan dalam kegiatan Peningkatan Wawasan Sistem Manajemen Mutu Konsruksi (Angkatan 2) Hotel Yasmin - Karawaci Tangerang 25 27 April 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita Negara Indonesia yang telah dirumuskan para pendiri negara yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita Negara Indonesia yang telah dirumuskan para pendiri negara yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cita-cita Negara Indonesia yang telah dirumuskan para pendiri negara yaitu Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C.

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C. PROSES PELAKSANAAN SITA PENYESUAIAN TERHADAP BARANG TIDAK BERGERAK YANG DIAGUNKAN ATAU DIJAMINKAN DI BANK SWASTA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi

Lebih terperinci

MAKALAH HUKUM PERIKATAN MENGENAI ANALISIS SENGKETA JAMINAN FIDUSIA BAB I PENDAHULUAN

MAKALAH HUKUM PERIKATAN MENGENAI ANALISIS SENGKETA JAMINAN FIDUSIA BAB I PENDAHULUAN MAKALAH HUKUM PERIKATAN MENGENAI ANALISIS SENGKETA JAMINAN FIDUSIA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mencapai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan kartu yang wajib dimiliki oleh seluruh warga negara di Indonesia. Terutama bagi warga negara yang telah berusia 17 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan sehari-hari, di mana pemenuhan kebutuhan tersebut sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan sehari-hari, di mana pemenuhan kebutuhan tersebut sangatlah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam mempertahankan hidupnya haruslah dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, di mana pemenuhan kebutuhan tersebut sangatlah bergantung pada kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, artinya segala tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia harus berdasarkan hukum yang berlaku di negara Indonesia. Penerapan hukum

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering kita mendapati perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau

Lebih terperinci

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan Selain masalah HAM, hal janggal yang saya amati adalah ancaman hukumannya. Anggara sudah menulis mengenai kekhawatiran dia yang lain di dalam UU ini. Di bawah adalah perbandingan ancaman hukuman pada pasal

Lebih terperinci

PENGANCAMAN/AFDREIGINGAFDREIGING. Fachrizal Afandi

PENGANCAMAN/AFDREIGINGAFDREIGING. Fachrizal Afandi PEMERASAN/AFPERSING AFPERSING DAN PENGANCAMAN/AFDREIGINGAFDREIGING FACHRIZAL AFANDI, S.Psi., SH., MH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya PEMERASAN DAN PENGANCAMAN (BAB XXIII) PEMERASAN DALAM BENTUK POKOK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Banyak orang, terutama orang awam tidak paham apa arti Penipuan yang sesungguhnya, yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, khususnya Pasal 378, orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan nasional suatu bangsa mencakup di dalamnya pembangunan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi diperlukan peran serta lembaga keuangan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu pergaulan hidup di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan akan kepastian hukum serta penegakan hukum yang baik demi terwujudnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat dilakukan secara sendiri tanpa orang lain. Setiap orang mempunyai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI [LN 1997/93, TLN 3720]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI [LN 1997/93, TLN 3720] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI [LN 1997/93, TLN 3720] Bagian Kedua Ketentuan Pidana Pasal 71 (1) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan Perdagangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Guna mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Guna mewujudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat, bangsa Indonesia telah melakukan pembangunan untuk mewujudkan tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing lagi di masyarakat dan lembaga jaminan memiliki peran penting dalam rangka pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan hubungan atau pergaulan antar masyarakat memiliki batasan yang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan hubungan atau pergaulan antar masyarakat memiliki batasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum pada prinsipnya mengakui bahwa kehidupan hubungan atau pergaulan antar masyarakat memiliki batasan yang menjamin hak-hak pribadi dan komunal.

Lebih terperinci

Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H. KUPAS TUNTAS TENTANG PEMALSUAN DAN MEMASUKKAN DOKUMEN PALSU DALAM AKTA OTENTIK DAN PEMAHAMAN PASAL 263, 264, 266 DAN PASAL 55 KUHP OLEH : PROF. DR. H. DIDIK ENDRO PURWOLEKSONO, S.H., M.H. PENDAHULUAN Dari

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman negara Indonesia telah banyak perkembangan yang begitu pesat, salah satunya adalah dalam bidang pembangunan ekonomi yang dimana sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri, ia memerlukan tangan ataupun

BAB I PENDAHULUAN. mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri, ia memerlukan tangan ataupun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan masyarakat tidak terlepas dari berbagai kebutuhan, seiring dengan meningkatnya kehidupan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 44 BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 4.1 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian yang akan dianalisis di dalam penulisan skripsi

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman sekarang semua kegiatan manusia tidak lepas dari yang namanya uang. Mulai dari hal yang sederhana, sampai yang kompleks sekalipun kita tidak dapat lepas dari

Lebih terperinci

A. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia

A. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia 106 A. KESIMPULAN 1. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM MENAGIH KREDIT BERMASALAH. (Skripsi) Oleh.

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM MENAGIH KREDIT BERMASALAH. (Skripsi) Oleh. PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM MENAGIH KREDIT BERMASALAH (Skripsi) Oleh January Prakoso FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG 2017 ABSTRAK

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA PENIPUAN MENGGUNAKAN BILYET GIRO (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Gresik Putusan No: 246/Pid.B/2014/PN.Gsk)

TINDAK PIDANA PENIPUAN MENGGUNAKAN BILYET GIRO (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Gresik Putusan No: 246/Pid.B/2014/PN.Gsk) TINDAK PIDANA PENIPUAN MENGGUNAKAN BILYET GIRO (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Gresik Putusan No: 246/Pid.B/2014/PN.Gsk) Oleh Prihatin Effendi ABSTRAK Tindak pidana penipuan (oplichthing) merupakan tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Belakangan marak diberitakan tentang tuduhan pencemaran nama baik oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list (milis), meneruskan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 376/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 376/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 376/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI MEDAN di Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan Nasional, peran

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan Nasional, peran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan masyarakat dapat dilihat pada perkembangan lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sejalan

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA) PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA) NASKAH HASIL PENELITIAN Disusun Untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perubahan dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikenal sebagai krisis

PENDAHULUAN. perubahan dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikenal sebagai krisis A. Latar Belakang PENDAHULUAN Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang. Namun belakangan

Lebih terperinci

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR ATAS PAILITNYA PERUSAHAAN PIALANG BERJANGKA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA INVESTASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PEDAGANGAN BERJANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang perekonomian nasional

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang perekonomian nasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial tidak terlepas dari adanya pembangunan ekonomi bangsa indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan perilaku manusia dan kondisi lingkungan pada masa kini semakin tidak menentu. Perubahan tersebut bisa menuju ke arah yang baik atau lebih baik, juga kearah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR PADA PT. ADIRA FINANCE. perusahaan pembiayaan non-bank (multi finance).

BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR PADA PT. ADIRA FINANCE. perusahaan pembiayaan non-bank (multi finance). BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR PADA PT. ADIRA FINANCE A. Gambaran Umum PT Adira Finance PT Adira Dinamika Multi Finance, Tbk (Adira Finance) adalah sebuah perusahaan pembiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Ojek Online (GO-JEK)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Ojek Online (GO-JEK) 55 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Ojek Online (GO-JEK) Pada perkembangannya GOJEK telah resmi beroperasi di 10 kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta,

Lebih terperinci

POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1

POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1 POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1 Abstrak: Klausula perjanjian dalam pembiayaan yang sudah ditentukan terlebih dahulu

Lebih terperinci

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan A. Latar Belakang Korupsi merupakan permasalahan yang dapat dikatakan sebagai sumber utama dari permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai

Lebih terperinci

Syarat dan Ketentuan Umum Fasilitas Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth

Syarat dan Ketentuan Umum Fasilitas Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth Syarat dan Ketentuan Umum Fasilitas Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth Syarat dan Ketentuan Umum untuk Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth 1. Definisi Syarat dan Ketentuan Umum ANGSURAN adalah suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN

PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN PENJUALAN DIBAWAH TANGAN TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT.BANK PERKREDITAN RAKYAT NARATAMA BERSADA CABANG CIKUPA, KABUPATEN TANGERANG Disusun Oleh : Nama NIM : Bambang

Lebih terperinci

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta 1 UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. LATAR BELAKANG Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain sebagai makhluk sosial dimana manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, sebuah dimensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan

Lebih terperinci

Bab XXV : Perbuatan Curang

Bab XXV : Perbuatan Curang Bab XXV : Perbuatan Curang Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sehingga banyak teori-teori tentang kejahatan massa yang mengkaitkan dengan

I. PENDAHULUAN. sehingga banyak teori-teori tentang kejahatan massa yang mengkaitkan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya kekerasan yang dilakukan oleh massa sebagai kejahatan kekerasan, sewaktu-waktu berubah sejalan dengan keadaan yang terdapat dalam masyarakat, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang keseluruhan bagiannya meliputi aspek kehidupan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap dapat. Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap dapat. Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu Negara tentu memerlukan suatu pembangunan untuk menjadi suatu Negara yang maju. Pembangunan yang dilaksanakan Bangsa Indonesia mengacu pada salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan strategis yang mempunyai ciri dan sifat khusus yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sipil. Ada juga beberapa orang yang bekerja di perusahaan-perusahaan sebagai

I. PENDAHULUAN. Sipil. Ada juga beberapa orang yang bekerja di perusahaan-perusahaan sebagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia memiliki hasrat untuk memperoleh kehidupan yang layak dan berkecukupan. Dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan perekonomian, setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial, budaya, teknologi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial, budaya, teknologi 1 BAB I PENDAHULUAN Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada masyarakat, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial, budaya, teknologi maupun hukum. Untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN WANPRESTASI ATAS DI PD BPR BANK BOYOLALI

TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN WANPRESTASI ATAS DI PD BPR BANK BOYOLALI TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN WANPRESTASI ATAS PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA DI PD BPR BANK BOYOLALI A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

Bambang Nurdiansyah, Tindak Pidana Perampasan Oleh Debt Collector, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hlm. 23.

Bambang Nurdiansyah, Tindak Pidana Perampasan Oleh Debt Collector, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hlm. 23. A. Pendahuluan. Maraknya keluhan masyarakat tentang kinerja penagih hutang atau Debt Collector yang merampas atau dalam bahasa Debt Collecor Menarik barang yang menunggak angsuran secara terang- terangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

Sistem Pembukuan Dan, Erida Ayu Asmarani, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMP, 2017

Sistem Pembukuan Dan, Erida Ayu Asmarani, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMP, 2017 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Ketentuan mengenai gadai ini diatur dalam KUHP Buku II Bab XX, Pasal 1150 sampai dengan pasal 1160. Sedangkan pengertian gadai itu sendiri dimuat dalam Pasal

Lebih terperinci

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016 PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016 Syapri Chan, S.H., M.Hum. Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Medan E-mail : syapri.lawyer@gmail.com Abstrak Korporasi

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017. TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017. TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2 TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM PERJANJIAN SEWA-BELI KENDARAAN BERMOTOR 1 Oleh : Febrian Valentino Musak 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, oleh karenanya manusia itu cenderung untuk hidup bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini karena masyarakat sekarang sering membuat perikatan yang berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian berkembang, salah satu yang mulai tampak menonjol ialah banyaknya kejahatankejahatan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap konsumen atau pembeli. menggunakan berbagai cara dan salah satu caranya adalah berbuat curang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap konsumen atau pembeli. menggunakan berbagai cara dan salah satu caranya adalah berbuat curang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan diarahkan untuk mendukung tumbuhnya dunia usaha diharapkan mampu menghasilkan beraneka barang dan jasa yang pada akhirnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci