HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Sesuai dengan tujuan penelitian, pada bagian ini secara berturut-turut akan dikemukakan hasil penelitian dan pembahasan dengan (tiga) pokok bahasan utama. Pertama adalah kronologis pemerintahan nagari sebelum diberlakukannya Perda No.9 Tahun tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, kedua pemerintahan nagari di era otonomi daerah, dan ketiga model serta strategi peningkatan mutu layanan pemerintahan nagari. Pokok bahasan pertama dihimpun dari sumber-sumber tertulis dalam bentuk data skunder serta dilengkapi dengan hasil wawancara khusus dengan sejumlah mantan wali nagari/kepala desa serta mantan perangkat nagari/perangkat desa, tokoh adat, pemuka masyarakat, dan pejabat terkait ditingkat kecamatan maupun kabupaten, pokok bahasan kedua dihimpun dari hasil pengumpulan data melalui kuesioner dan dilengkapi dengan hasil wawancara serta pengamatan, dan untuk pokok bahasan ketiga dihimpun dan didasarkan pada hasil temuan pokok bahasan sebelumnya.. Kronologis Pemerintahan Nagari sebelum diberlakukannya Perda No.9 Tahun tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari Ada dua bentuk pemerintahan terendah di Sumatera Barat sebelum diberlakukannya Perda No.9 Tahun tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, yaitu; Pemerintahan Nagari dan Pemerintahan Desa. Deskripsi kedua bentuk pemerintahan ini adalah sebagai berikut:.. Pemerintahan Nagari Pemerintahan Nagari di Zaman Kolonial Terbentuknya sebuah nagari bermula dari taratak, yaitu semacam sebuah pemukiman baru yang relatif kecil jumlah penduduknya. Dengan pertambahan penduduk, baik karena kelahiran maupun pendatang, beberapa taratak kemudian berkembang menjadi dusun. Dusun kemudian menjadi koto, beberapa koto menjadi kampuang (kampung), dan gabungan dari beberapa kampung akhirnya menjadi atau

2 9 membentuk sebuah nagari (Anwar, 97; Yakub, 989; Sayuti, 99; Manan, 99). Dengan demikian, taratak, dusun, koto, dan kampung merupakan bagian dari teritorial sebuah nagari. Menurut Anwar (97), sebelum bentukan nagari dikenal, orang Minangkabau masih hidup dalam suasana suku. Setelah bentuk nagari dikenal, pengaruh suasana suku terus dilanjutkan, sehingga dikenal bahwa yang menjadi dasar dari nagari adalah faktor genealogi (suku) dan faktor daerah (teritorial). Tradisi ini hingga sekarang masih diteruskan. Di dalam penjelasan Perda No.9 Tahun misalnya, antara lain dirumuskan bahwa nagari adalah satu kesatuan genealogis dan teritorial yang menjadi dasar terbentuknya berbagai sistem dalam kehidupan bermasyarakat, yang meliputi; sistem pemerintahan, ekonomi, dan sosial budaya. Ini merupakan salah satu bukti bahwa pengaturan pemerintahan nagari di era otonomi daerah sekarang ini disesuaikan dan didasarkan pada budaya lokal atau indigenous knowledge. Pemerintahan nagari pada mulanya merupakan pemerintahan adat (adat bestuur). Pemerintahan ini sudah terdapat berabad-abad lamanya jauh sebelum bangsa Belanda atau bangsa Eropa lainnya datang ke Indonesia. Tiap-tiap nagari memiliki pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh penghulu-penghulu suku dan pemimpinpemimpin kelompok matrilineal lainnya yang diatur menurut adat. Jumlah dan komposisi pemerintahannya desesuaikan dengan tradisi adat masing-masing nagari, karena adat hanya berlaku untuk selingkar nagari (adat salingka nagari). Susunan pemerintahan menurut adat itu dibedakan atas dua bentuk, yaitu; susunan pemerintahan dalam lingkungan adat Bodi Caniago dan susunan pemerintahan dalam lingkungan adat Koto Piliang (Anwar, 97). Dalam lingkungan adat Bodi Caniago, pemerintahan diselenggarakan bersama-sama oleh penghulu-penghulu andiko atau kepala paruik (tuo kampung/ penghulu kampung) dalam suatu wadah yang dinamakan Kerapatan Nagari. Di dalam kerapatan ini, penghulu-penghulu andiko memiliki derajat yang sama dan bersama-sama pula mereka memegang tampuk kekuasaan di nagari. Sementara, di lingkungan adat Koto Piliang, nagari diperintah oleh

3 9 penghulu-penghulu suku yang dikenal dengan datuak nan kaampek suku (empat orang penghulu suku). Dari keempat penghulu ini dipilih seorang sebagai penghulu pucuk sebagai pimpinan. Di dalam memerintah suku, penghulu-penghulu suku ini dibantu oleh tiga orang pembantu, yang masing-masingnya adalah; seorang manti untuk administrasi pemerintahan, dubalang sebagai polisi, dan seorang malim untuk keperluan urusan agama Islam. Keempat orang ini (penghulu, manti, dubalang, dan malim) disebut juga dengan istilah urang ampek djiniah. Pada bagian lain, Anwar (97) mengemukakan bahwa meskipun terdapat perbedaan susunan pemerintahan tersebut di atas, namun kedua sistem mempunyai dasar yang sama, yaitu musyawarah suatu pemerintahan yang demokratis. Kemudian, kenyataannya sekarang menurut Anwar bahwa adat kelarasan Bodi Caniago dan kelarasan Koto Piliang itu sudah campur baur pemakaiannya dalam suatu nagari. Nagari tradisional di Minangkabau sering pula disebut sebagai "republik mini" yang berdiri sendiri (otonom). Nagari yang satu tidak ada hubungannya dengan nagari yang lainnya, kecuali untuk menjaga keamanan bersama, dua atau beberapa nagari bisa membentuk federasi. Demikian pula halnya bahwa nagari tidak ada hubungannya dengan kekuasaan supra-nagari. Sebagaimana misalnya dikutip oleh Manan (99), bahwa ketika kerajaan Minangkabau didirikan oleh Adityawarman pada pertengahan abad XIV, nagari-nagari di Minangkabau telah mengembangkan otonomi yang demikian tingginya dan pihak kerajaan tidak bisa lagi memaksakan bentuk sistem administrasi yang bisa mengurangi sifat otonomi yang telah dimiliki nagari-nagari tersebut. Kekuasaan raja ketika itu hanya dapat berfungsi sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik antar nagari dan sebagai penyatu simbolik dalam alam Minangkabau. Demikian pula Amran (98), dalam tulisannya disebutkan bahwa raja di Pagaruyung hanya simbolis belaka dan tidak mempunyai kekuasaan terhadap pemerintahan nagari. Sebagai sebuah republik mini, Manan (99) dalam tulisannya menggambarkan bahwa unit-unit sosial politik yang ada dalam masyarakat nagari seperti tungganai sebagai pemimpin rumah gadang, penghulu andiko, dan penghulu suku sebagai

4 9 pemimpin suku, kesemua ini dipilih oleh anggota unit sosial politiknya masing-masing dengan memperhatikan kebaikan dan kelemahan (dituahi dan dicilakoi) calon yang ada. Mereka yang terpilih merupakan wakil dalam sidang-sidang unit sosial, mulai dari sidang unit sosial terkecil hingga ke sidang dewan yang lebih besar atau sidang dewan nagari (Kerapatan Adat Nagari). Semua warga nagari yang termasuk dalam salah satu unit sosial politik (suku, kaum, maupun rumah gadang) mempunyai hak suara dalam memilih pemimpin-pemimpin dalam unit sosialnya masing-masing, sehingga kekuasaan tertinggi bersumber dari warga di unit sosial atau rakyat nagari. Seorang pemimpin yang telah terpilih oleh warga di unit sosial politiknya selalu harus berhati-hati, karena ia selalu berada dalam pengawasan konsituennya (kemenakan-kemenakannya). Dalam konsepsi orang Minangkabau, seorang pemimpin hanya seorang yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Ia, dalam bentuk yang paling ekstrim, sebagai seorang pemegang otoritas bisa saja dicabut kekuasaannya oleh kemenakan-kemenakannya bila dalam kepemimpinannya tidak memenuhi ketentuan adat. Seperti diungkapkan dalam katakata adat; raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan pergantian zaman, sistem pemerintahan nagari tradisional yang telah mapan berjalan berabad-abad lamanya itu akhirnya juga goyah, yang diawali dengan kedatangan bangsa Belanda serta intervensinya terhadap urusan dalam nagari. Lindayanti (988), dalam laporan penelitiannya mengenai Birokrasi Dalam Sistem Laras di Minangkabau pada Tahun 8-9 mengemukakan bahwa campur tangan Belanda pada urusan dalam nagari Minangkabau menyebabkan terganggunya kebebasan berpolitik secara tradisional, dan ini merupakan pemicu terjadinya serangan serentak pada tahun 8, yang kemudian diikuti dengan keluarnya perjanjian Plakat Panjang. Plakat Panjang yang dibuat tanggal Oktober 88 adalah suatu perjanjian Belanda dengan orang Pesisir Barat Pulau Pertja (pulau Andalas) yang mengharuskan orang Minangkabau menanam kopi dan lada dan hasilnya dijual kepada pemerintah Belanda dengan harga yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, hasil tanaman kopi dan

5 97 lada tersebut tidak boleh dijual kepada orang lain selain kepada pemerintah Belanda. Dalam perjanjian ini disertai dengan kalimat yang terdapat pada Pasal, yang berbunyi bahwa Belanda tidak akan ikut campur dalam urusan pemerintahan dalam nagari (Dt.Batuah dan Dt.Madjoindo, 9). Namun, dalam perkembangan selanjutnya Belanda kemudian menciptakan suatu pemerintahan paralel dengan membentuk sistim administrasi lokal yang disebut dengan sistim Laras, yang di dalamnya diciptakan beberapa jabatan untuk orang pribumi yang disertai dengan pemberian imbalan atau gaji (Dt.Batuah dan Dt.Madjoindo, 9; Amran, 98; Lindayanti, 988). Diciptakannya sistim Laras ini agar lebih memudahkan pemerintah Belanda berhubungan dengan nagari-nagari, karena dalam sistim pemerintahan di Minangkabau tidak terdapat bentuk sistim pemerintahan yang terpusat (sentralisasi)---tiap-tiap nagari berdiri sendiri yang dipimpin oleh penghulu-penghulu sukunya. Pembentukan sistim Laras ini menurut Manan (99) merupakan priode pertama terjadinya interaksi birokrasi modern dengan otoritas tradisional. Dalam sistim Laras tersebut, diciptakanlah beberapa jabatan baru untuk orang pribumi, seperti; Kepala Laras, Penghulu Kepala, Penghulu Suku, dan Penghulu Suku Rodi. Kepala Laras atau Tuanku Laras mengepalai daerah yang disebut Laras, yang merupakan federasi dari beberapa nagari. Penghulu Kepala mengepalai daerah yang disebut dengan nagari. Penghulu suku mengepalai dan mewakili suku-suku yang terdapat dalam nagari. Sedangkan Kepala Suku Rodi mengepalai atau mengawasi petani-petani kopi di sentra-sentra produksi kopi. Pemerintahan ciptaan Belanda tersebut di atas jelas sama sekali di luar ketentuan adat, baik struktur maupun pengangkatan pejabat-pejabatnya. Pengangkatan penghulu misalnya tanpa memperhatikan faktor keturunan sebagaimana yang sudah diatur menurut adat. Mereka yang diangkat didasarkan atas kedekatan hubungan dan mampu bekerjasama dengan Belanda. Seseorang yang sudah terpilih untuk menduduki jabatan tertentu bisa saja dibatalkan bila tidak sesuai dengan keinginan Belanda, karena sitim Laras merupakan bentukan pemerintah Belanda dan berada di luar sistim adat.

6 98 Meskipun sistim pemerintahan Laras tersebut pada awalnya mendapat banyak tantangan dari rakyat nagari karena tidak sesuai dengan ketentuan adat, namun sistim Laras yang sarat dengan aroma aristokrasi itu akhirnya juga berhasil dilaksanakan sejalan dengan bertambah kuatnya pemerintahan Belanda dan disertai dengan terjadinya perubahan sikap serta orientasi pada sejumlah orang pribumi yang hanya untuk mengejar keuntungan pribadi. Amran (98) misalnya, dalam tulisannya mengemukakan bahwa orang-orang yang pada awalnya menentang dan mengejek Belanda malah akhirnya berbalik dan berharap untuk bisa diangkat menduduki jabatan terhormat dengan mengharapkan gaji dan kekuasaan. Setelah Tanam Paksa Kopi berakhir (87-98), pada tahun 9 terjadi reorganisasi di Gubernemen Sumatera Barat dan Gubernemen kemudian kembali lagi menjadi Residensi. Sistim Laras kemudian dihapus dan territorial Laras diganti menjadi Distrik yang dikepalai atau dijabat oleh Demang. Kriteria pengangkatan Demang ini didasarkan kepada kualifikasi pendidikan, dan bukan berdasarkan pada asal usul keturunan seperti yang lazim terdapat dalam adat (Lindayanti, 988). Dengan demikian, Belanda kembali menunjukkan arogansinya tanpa mengindahkan budaya lokal masyarakat (indigenous knowledge). Setelah sistem laras dihapus dan digantikan dengan Distrik yang dikepalai oleh Demang, sistem pemerintahan nagari kemudian diatur dengan dikeluarkannya IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengeswesten) pada tanggal September Tahun 98. IGOB ini merupakan ketentuan-ketentuan umum tentang cara mengatur dan menyelenggarakan urusan rumah tangga negeri-negeri di tanah seberang (di luar Jawa dan Madura), yang isinya tidak jauh berbeda dengan sistim Laras yang pernah diberlakukan di Minangkabau ketika dijalankannya Tanam Paksa Kopi. Di dalam IGOB tersebut, antara lain dinyatakan bahwa Negeri adalah suatu Badan Hukum Bumi Putera (Rechtspersoon Bumi Putera) yang diwakili oleh Kepala Negerinya (pasal ayat ). Dengan berpedoman pada hukum adat, Residen dapat membuat peraturan-peraturan tentang pemilihan atau penunjukan dan pemberhentian

7 99 Kepala Negeri dan kepala-kepala rakyat bawahan lainnya. Pemilihan dan penunjukan Kepala Negeri harus diminta persetujuan Residen dan bila ada persetujuan kepada yang bersangkutan diberikan tanda pengakuan (pasal ayat dan ). Keputusan-keputusan negeri yang berlawanan dengan peraturan-peraturan pemerintah atasan, dengan hukum adat atau dengan kepentingan umum, dapat dibatalkan oleh Residen dengan suatu ketetapan yang memuat keterangan tentang sebab-sebab pembatalan itu (pasal ayat ). Pemerintahan di negeri-negeri yang telah ditunjuk dijalankan oleh Kepala Negeri dan Dewan Perwakilan Negeri (DPN). Kepala Negeri adalah ketua serta anggota dari DPN, yang memegang pimpinan sehari-hari dan pelaksanaan keputusan-keputusan dewan yang ditugaskan kepadanya (pasal 8 ayat dan ). Susunan selanjutnya dari DPN diatur berdasarkan peraturan yang akan ditetapkan oleh dewan itu, peraturan mana terlebih dahulu harus disyahkan oleh Residen (ayat ). Negeri berhak memungut pajak jika menurut pertimbangan Residen memang diperlukan untuk membiayai belanja pemerintahan negeri dan untuk sekolah-sekolah negeri (pasal ayat ). Segala uang milik negeri harus distor dalam suatu kas. Penyelenggaraan keuangan negeri ini dilakukan menurut petunjuk Residen (pasal ayat dan ). Di zaman pendudukan tentara Jepang (9-9), IGOB tidak diganggu gugat dan kedudukan nagari tetap diakui eksistensinya. Sebagaimana termuat dalam KANPO No. tahun 9 bahwa Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat tetap berjalan seperti biasa, asal saja tidak bertentangan dengan kepentingan Meliter Jepang (Bakar, ). Namun berbeda di zaman pendudukan Belanda, di zaman pendudukan Jepang lebih menonjolkan kedudukan dan peranan kaum ulama ketimbang penghulu, sehingga kaum ulama mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan meliter sebagai Gyu-gun (barisan sukarela) untuk memenangkan perang Asia Timur Raya (Mansoer dkk., 97). Kemudian, ketika Revolusi Fisik (9-9) yang segera meletus setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, dengan sendirinya kaum ulama di Minangkabau memainkan peranan penting sebagai pimpinan militer, pimpinan pemerintahan dan di partai-partai politik.

8 Pengaturan Pemerintahan Nagari setelah Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka, pemerintahan nagari sebagai unit pemerintahan terendah dan terdepan di Provinsi Sumatera Barat kembali mendapat perhatian oleh pemerintahan supra nagari, baik oleh pmerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pengaturan pemerintahan nagari ini diawali dengan dikeluarkannya Maklumat Residen Sumatera Barat No. Tahun 9 pada tanggal Mei 9. Dalam pasal ayat dan Maklumat Residen Sumatera Barat No. Tahun 9 itu, dirumuskan bahwa unsur pemerintahan nagari terdiri dari; Dewan Perwakilan Nagari (DPN), Dewan Harian Nagari (DHN), dan Wali Nagari. Wali Nagari dalam struktur pemerintahan ini langsung menjadi ketua DPN dan juga sekaligus menjadi ketua DHN. Dengan ketentuan ini, karena jabatannya sebagai ketua DPN dan DHN, Wali Nagari dengan sendirinya menjadi penguasa tunggal dalam nagari dan menjadi tokoh sentral dalam pemerintahan nagari. Syarat untuk menjadi anggota DPN dijelaskan pada pasal, yaitu; semua warga negara RI yang berdiam di nagari dan telah berumur tahun, tidak dipecat dari hak memilih dan hak menjadi anggota dewan perwakilan, pandai menulis dan membaca setidak-tidaknya dalam huruf Arab, dan mencukupi syarat-syarat kepatuhan umum untuk menjadi wakil rakyat. Dalam ketentuan ini tidak dicantumkan persyaratan pendidikan formal. Dalam pasal ayat dijelaskan bahwa DPN memilih seorang dari anggotanya untuk menjadi Wakil Ketua. Kemudian pada pasal 7 dirumuskan bahwa DPN memilih - orang di antara anggotanya untuk menjadi anggota DHN. Wakil ketua DPN langsung menjadi anggota dan wakil ketua DHN. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pemilihan Wali Nagari dirumuskan dalam bagian V pasal 8. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa Wali Negeri dipilih langsung oleh semua warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih anggota DPN. Yang boleh dipilih menjadi Wali Negeri ialah semua warga negara yang memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPN dengan ketentuan bahwa pandai membaca dan menulis dalam huruf latin. Pemilihan Wali Negeri wajib disyahkan oleh

9 Wali Daerah (Residen) dan dengan pengesahan itu, Wali Negeri diakui oleh Wali Daerah. Pada pasal 9 ayat dan dijelaskan bahwa DPN boleh mengusulkan kepada Wali Daerah (Residen) untuk memberhentikan Wali Nagari yang disertai dengan berbagai alasan. Rumah tangga Negeri diatur pada bagian VII pasal -. Dalam pasal ayat disebutkan bahwa DPN bersama-sama dan dengan dipimpin oleh Wali Nagari menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga nagarinya, asal tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam ayat dijelaskan bahwa DHN menjalankan putusan-putusan DPN dan menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari. Dalam persidangan DPN lengkap, DHN memberi laporan tentang yang telah diselenggarakannya dalam masa yang lalu. Sedangkan dalam pasal dirumuskan bahwa setiap tahun selambat-lambatnya dua bulan sebelum habis tahun, DPN menetapkan anggaran belanja dan penghasilan negeri untuk tahun dimukanya. Anggaran belanja dan penghasilan itu, demikian juga peraturan iyuran penduduk, baru boleh dijalankan sesudah mendapat persetujuan Wali Daerah (Residen). Perbedaan paham antara DPN dan Residen dalam soal-soal yang tersebut dalam pasal ini, diputuskan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang putusannya tidak boleh dibanding lagi. Kurang lebih empat tahun setelah diberlakukannya Maklumat No. Tahun 9 itu, kemudian digantikan dengan dikeluarkannya Perda Provinsi Sumatera Tengah No./GP/9 tentang Pembentukan Wilayah Otonomi. Peraturan ini dinamakan "Peraturan Sementara Tentang Pokok-Pokok Pembentukan Wilayah Berotonomi." Isi dari Perda ini adalah menghapus Pemerintahan Nagari dengan menggantikannya dengan Pemerintahan Wilayah. Wilayah menurut pasal butir a adalah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan pada butir b disebutkan bahwa Wali Wilayah adalah Kepala Daerah Wilayah. Pembentukan dan batas-batas wilayah dirumuskan dalam pasal ayat dan. Pada ayat disebutkan bahwa daerah yang meliputi gabungan nagari-nagari, marga, mendapo, menurut yang ditentukan oleh Panitia Desentralisasi Sumatera Tengah

10 sebelum tanggal 9 Desember 98 dijadikan wilayah-wilayah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan dalam ayat dirumuskan bahwa dalam hal batas-batas tersebut yang tidak bersesuaian lagi dengan keadaan, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kabupaten dengan pengesahan Dewan Propinsi Sumatera Tengah boleh mengubah batas-batas tersebut. Keluarnya Perda Provinsi Sumatera Tengah No./GP/9 itu diawali dengan diadakannya Konferensi Wali Nagari se Sumatera Barat pada tanggal 9- Maret 97 di Bukit Tinggi (Manan, 98; Pador dkk, ). Dalam konferensi ini, Residen Sumatera Barat menyampaikan gagasan untuk melakukan penggabungan beberapa nagari agar dapat dibentuk wilayah yang lebih besar sebagai sebuah wilayah otonom. Dari sebanyak buah nagari yang ada di Sumatera Barat ketika itu diharapkan dapat dibentuk sebanyak buah wilayah yang berotonomi. Pembentukan wilayah yang lebih bernuasa pertimbangan ekonomi (supaya keuangannya kuat) tersebut di atas ternyata kurang mendapat sambutan dari banyak masyarakat nagari, sehingga pada tanggal -9 Desember 9 diadakanlah Konferensi Ninik Mamak Pemangku Adat se Sumatera Tengah. Konferensi ini menuntut dibubarkannya sistem otonomi wilayah hasil bentukan Perda Provinsi Sumatera Tengah No./GP/9 dan kembali ke sistem otonomi nagari yang telah berjalan berabad-abat lamanya sebagai unit sosial politik tradisional (Manan, 98). Sebagai respon dari hasil Konferensi Ninik Mamak Pemangku Adat se Sumatera Tengah tersebut kemudian keluar Ketetapan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Tengah No./G-/9 yang memuat dihentikannya sistem pemerintahan wilayah dan kembali kepada bentuk semula berupa nagari berotonomi. Dalam ketetapan ini, pemerintahan nagari terdiri dari Wali Nagari dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN) sebagai pengganti Kerapatan Nagari di zaman penjajahan Belanda. Pembentukan dan pemilihan anggota DPRN dan Wali Nagari di tahun 9 itu bersamaan pula dengan masa persiapan pemilihan umum pertama di Republik

11 Indonesia. Situasi ini membuat banyak dari pemuka adat, alim ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya berafiliasi dengan partai-partai politik dengan harapan agar dapat menjembatani mereka untuk terpilih menjadi anggota DPRN dan Wali Nagari. Sementara itu, institusi pemerintahan nagari juga mejadi ajang perebutan dan alat politik bagi banyak partai politik ketika itu untuk dapat memenangkan partai politiknya. Setelah nagari kembali berotonomi dengan keluarnya Ketetapan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Tengah No./G-/9 itu, keadaan nagari tampaknya belum aman. Antara tahun 99-9 ketika terjadinya peristiwa PRRI, banyak nagari-nagari berada di bawah kekuasaan PRRI. Akibat dari ini, maka keluarlah SK Gubernur Kepala Daerah Sumatera Barat tanggal Agustus 98 No. GSB//KN/8 tentang pemilihan, penunjukan, pemberhentian dan perwakilan Kepala Nagari di daerah Sumatera Barat. SK ini dikeluarkan untuk mengatasi kekosongan pemerintahan nagari dikarenakan banyaknya wali nagari yang terlibat dengan peristiwa PRRI. Kemudian SK ini disusul dengan Peraturan No./Desa/GSB/99 tentang susunan Kerapatan Nagari dan cara pembentukannya. Pemerintahan nagari menurut SK ini terdiri dari Kepala Nagari dan Kerapatan Nagari. Kerapatan Nagari terdiri dari penghulu-penghulu, alim ulama, dan cerdik pandai, yang disebut juga dengan tungku tigo sajarangan. Setelah berakhirnya peristiwa PRRI, dikeluarkanlah Keputusan Peperda No.Prt-Peperda-/// pada tanggal 7 April 9 tentang Penertiban Pemerintahan Nagari. Kemudian keputusan ini disusul dengan keluarnya Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sumatera Barat No. /Desa/Gsb/Prt-9 tentang Peraturan Nagari-Nagari dalam Daerah Sumatera Barat, sambil menunggu Undang-Undang Nasional kedesaan yang akan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. SK Gubernur No./Desa/Gsb/Prt-9 ini mulai berlaku pada tanggal Mei 9. Dalam pasal pada SK Gubernur No./Desa/Gsb/Prt-9 tersebut dijelaskan bahwa pemerintahan nagari terdiri dari; Kepala Nagari (KN), Badan Musyawarah Nagari (BMN), dan Musyawarah Gabungan (MG). Selanjutnya dalam

12 pasal 9 dirumuskan bahwa alat-alat perlengkapan nagari terdiri dari; KN, BMN, MG, Pamong nagari (Kepala Kampung), Panitera nagari (Kepala Tata Usaha), dan Pegawai nagari (semua pegawai di bawah Panitera, termasuk pesuruh kantor, pembantupembantu Kepala Kampung, semua petugas dari pasar A atau pasar kepunyaan nagari). Hal-hal yang berhubungan dengan KN dijelaskan pada Bab II tentang KN. Dalam pasal disebutkan bahwa KN diangkat oleh Kepala Daerah Tingkat I di antara calon-calon yang diajukan BMN. Bila dari calon-calon tersebut tidak ada calon yang dipandang cakap, maka BMN mengajukan pencalonan kedua. Kemudian bila pada pencalonan kedua tidak ada juga calon yang dipandang cakap, maka Kepala Daerah Tingkat I mengangkat seseorang menjadi Kepala Nagari di luar pencalonan. Dalam pasal antara lain dijelaskan bahwa syarat untuk dapat diangkat menjadi KN adalah; Warga Negara Republik Indonesia yang menurut adat kebiasaan setempat telah menjadi warga nagari dan yang berpengaruh, disegani dan dihormati oleh masyarakat, sekurangkurangnya berumur tahun, dan berpendidikan sekurang-kurangnya tamatan Sekolah Rakyat (SR) atau berpengetahuan yang sederajat dengan itu serta mempunyai pengalaman dan kecakapan pekerjaan yang diperlukan. Selanjutnya dalam pasal 8 dinyatakan bahwa Kepala Nagari tidak dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan dari BMN dan atau MG. Dalam pasal dijelaskan bahwa BMN adalah perwakilan dari masyarakat nagari, yang berasal dari golongan adat, agama, Front Nasional, lembaga sosial desa (LSD), koperasi desa, wanita, tani atau nelayan, buruh, pemuda, dan golongan veteran. Jumlah anggota BMN ini pada pasal disebutkan sebanyak-banyaknya orang atau (satu) orang untuk setiap masing-masing golongan. Pada pasal dijelaskan bahwa syarat-syarat untuk menjadi anggota BMN sama dengan syarat yang berlaku kepada KN, dengan ketentuan bahwa mengenai umur sekurang-kurangnya tahun--lebih rendah tahun dari syarat umur Kepala Nagari. Pada pasal 8 dijelaskan bahwa BMN diangkat oleh Kepala Daerah Tingkat II di antara calon-calon yang jumlahnya tidak boleh lebih dari (tiga) orang untuk tidap golongan. Selanjutnya pada pasal

13 ayat dan dijelaskan bahwa pimpinan BMN terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua. Kepala Nagari karena jabatannya menjadi ketua BMN. Mengenai MG dijelaskan dalam pasal 7. Dalam pasal ini dirumuskan bahwa peserta MG terdiri dari; KN, semua anggota BMN, semua Pamong Nagari, dan seorang utusan dari tiap-tiap kampung. Dalam pasal 9 dijelaskan bahwa KN karena jabatannya menjadi ketua MG. Wakil Ketua MG dipilih oleh dan dari anggota MG dan disahkan oleh Kepala Daerah Tingkat II. Dengan demikian, SK No./Desa/Gsb/Prt- 9 menempatkan KN kebali sebagai penguasa tunggal dan memiliki otoritas yang lebih besar di nagari. Selain dari jabatan KN, BMN, dan MG, jabatan-jabatan penting lainnya di nagari sangat ditentukan oleh pemerintah supra nagari. Dalam pasal misalnya, dirumuskan bahwa Pamong Nagari diangkat oleh Kepala Daerah Tingkat II atas usul BMN. Demikian pula dalam pasal 7 ayat, dijelaskan bahwa Panitera Nagari diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Daerah Tingkat II atas usul dari KN. Dengan demikian, jabatan-jabatan penting di nagari tidak luput dari campur tangan pemerintah supra nagari, terutama Pemerintah Kabupaten. Sumber keuangan dan pertanggung jawaban keuangan nagari dalam SK Gubernur No./Desa/Gsb/Prt-9 itu dijelaskan dalam bab IV dan bab V. Dalam kedua bab ini, antara lain dirumuskan bahwa keuangan nagari diperdapat dari penghasilan nagari sendiri, bantuan pemerintah, dan bea-bea pasar. Dari penghasilan nagari sendiri adalah berupa; iyuran nagari, uang pas ternak, uang surat keterangan, uang bunga kayu, uang bunga pasir/batu/karang, uang tambahan (tuslah) penomoran rumah, uang biaya kartu penduduk, uang iyuran pengairan, keuntungan pasar, dan uang pembangunan. Uang ini digunakan antara lain untuk gaji atau tunjangan aparat pemerintahan atau alat-alat kelengkapan nagari, uang sidang, uang dinas, biaya kantor, pemeliharaan sarana dan prasarana umum, biaya pendidikan rakyat, biaya urusan agama, kesenian, dan dan kebudayaan. Setiap tahun dibuat pertanggung jawaban anggaran menurut petunjuk dari Kepala Daerah Tingkat II.

14 Selanjutnya dalam pasal 8 dijelaskan bahwa gaji untuk alat-alat kelengkapan nagari dan pasar disesuaikan dengan gaji pegawai negeri sipil menurut peraturan pemerintah (PP No./9). Misalnya, nagari yang berpenduduk jiwa, gaji Kepala Nagari-nya setara dengan gaji pegawai negeri golongan D/I, Pamong nagari/staf Kepala Nagari setara dengan golongan C/I, dan gaji Panitera Nagari setara dengan golongan C/I. Gaji petugas-petugas yang lain yang tidak disebutkan dalam peraturan pemerintah diatur oleh BMN atau Badan Komisi Pasar yang bersangkutan. Sedangkan uang sidang untuk BMN, MG dan Badan Komisi Pasar ditetapkan oleh masing-masing badan tersebut sesuai dengan kondisi keuangan nagari. Selain dari badan-badan yang telah disebutkan di atas, di tiap nagari terdapat pula Badan Pelaksana Pembangunan Masyarakat Desa (BPMD). Dalam pasal 78 disebutkan bahwa BPMD diketuai oleh Kepala Nagari, Wakil ketua Pamong Nagari/Kepala Bagian Perekonomian, Setia Usaha Panitera Nagari, dan Anggota BPMD adalah semua anggota BMN dan semua Pamong Nagari. Tiap-tiap kegiatan yang akan dilakukan oleh BPMD harus dengan persetujuan Pimpinan Badan Koordinasi Pembangunan Masyarakat Desa (BKPMD) Kecamatan dan Daerah Tingkat II. Setelah kurang lebih empat tahun diberlakukannya SK No./Desa/Gsb/Prt- 9 dan dengan memperhatikan perkembangan nagari serta UU No. 9 Tahun 9 (UU Desapraja) yang belum bisa dijalankan karena perlu ditinjau kembali, maka SK No./Desa/Gsb/Prt-9 tersebut kemudian diganti dengan keluarnya SK Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat No./GSB/98 tentang Peraturan Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, yang ditetapkan pada tanggal 8 Maret 98. Berbeda dengan SK sebelumnya, dalam pasal SK Gubernur No./GSB/98 disebutkan bahwa alat perlengkapan nagari (aparatur) adalah lembaga-lembaga nagari yang terdiri dari; Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN), dan Kerapatan Nagari (KN). Pemerintahan nagari adalah Wali Nagari dan DPRN, yang masing-masingnya sebagai lembaga eksekutif dan legislatif.

15 7 Sedangkan KN adalah badan peradilan agama dan adat serta penasehat pemerintah nagari. KN ini bukanlah termasuk unsur pemerintahan melainkan semacam badan permusyawaratan dari pemuka-pemuka masyarakat. Selain dari ketiga lembaga tersebut, diintrodusir pula sebuah lembaga baru yang dinamakan Rapat Nagari (RN). Dalam pasal disebutkan bahwa RN adalah pertemuan antara Pemerintah Nagari dengan penduduk nagari secara langsung. Dalam pertemuan ini, Pemerintah Nagari memberi laporan tentang pelaksanaan Pemerintahan Nagari pada tahun yang lalu dan memberikan penjelasan untuk rencana kerja tahun berikutnya yang disertai dengan menampung aspirasi masyarakat. Pertemuan ini diadakan sekali dalam setahun dalam rangka hari ulang tahun proklamasi Republik Indonesia. Dibentuknya lembaga Rapat Nagari ini sebagai upaya untuk menumbuhkan demokrasi dalam kehidupan masyarakat dan dengan kegiatan ini dimungkinkan pula terjadinya social control langsung dari masyarakat. Dalam pasal 7 disebutkan bahwa Wali Nagari ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat dari hasil pemilihan umum yang diadakan untuk itu. Wali Nagari dipilih sekurang-kurangnya (dua) orang dan sebanyak-banyaknya (tiga) orang calon yang diajukan oleh DPRN yang sudah mendapatkan penelitian dari Bupati Kepala Daerah Kabupaten. Persyaratan untuk dapat menjadi Wali Nagari seperti dijelaskan dalam pasal 8 antara lain adalah; mempunyai pengalaman dalam memimpin masyarakat, mempunyai program/rencana tentang pembangunan nagari, minimal berpendidikan Sekolah Dasar, dan telah berumur tahun. Wali Nagari memegang pimpinan Pemerintahan Nagari, baik urusan rumah tangga nagari maupun dalam bidang pembantuan urusan pemerintah yang lebih atas. Dalam penyelenggaraan administrasi nagari, seperti disebutkan pada pasal, dilakukan oleh sekretariat nagari yang dipimpin oleh Sekretaris Nagari. Sekretaris Nagari ini, yang karena jabatannya, ia menjadi Sekretaris Wali Nagari, Sekretaris DPRN, dan Sekretaris Kerapatan Nagari. Pada pasal disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas pemerintahan, Wali Nagari dibantu oleh Kepala-Kepala Jorong. Kepala Jorong

16 8 diangkat dan diberhentikan oleh Wali Nagari dengan mengindahkan adat kebiasaan setempat. Pelaksanaan pemerintahan oleh Kepala Jorong dilakukan dengan mengindahkan kedudukan Penghulu/Kepala Kaum menurut adat kebiasaan yang berlaku. DPRN sebagai alat perlengkapan nagari dijelaskan pada bagian II. Dalam pasal pada bagian II ini disebutkan bahwa DPRN menetapkan anggaran keuangan nagari dan peraturan-peraturan nagari untuk mengurus rumah tangga nagari atau untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan lebih atas yang pelaksanaannya diberikan kepada nagari. Pada pasal 8 dijelaskan bahwa anggota DPRN didasarkan kepada jumlah penduduk dengan pertimbangan setiap penduduk satu orang anggota DPRN. Ketua dan wakil ketua DPRN dipilih dari dan oleh anggota DPRN. Pada pasal 9 disebutkan bahwa anggota DPRN ditetapkan oleh Bupati Kepala Daerah Kabupaten berdasarkan hasil pemilihan umum. Tata cara dan hal-hal yang berhubungan dengan pemilihan anggota DPRN diatur oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan pasal disebutkan bahwa anggota DPRN tidak boleh merangkap menjadi Wali Nagari, Sekretaris Nagari, Pimpinan Harian Kerapatan Nagari, dan pejabat-pejabat lain yang bertanggung jawab mengenai keuangan nagari. Kerapatan Nagari (KN) merupakan badan permusyawaratan dari pemukapemuka masyarakat nagari yang meliputi seluruh Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai dalam nagari. Kerapatan Nagari ini tidak sama dengan Kerapatan Adat Nagari. Pembentukan Kerapatan Nagari ini dimaksudkan untuk menghimpun sebanyak mungkin potensi yang ada di masyarakat sehingga tercipta suatu pemerintahan yang berwibawa dan kuat. Wali Nagari karena jabatannya menjadi Ketua Kerapatan Nagari. Pimpinan hariannya adalah Wali Nagari dan ditambah dengan (tiga) orang wakil ketua, yang masing-masingnya seorang Ninik Mamak, Alim Ulama, dan seorang Cerdik Pandai dalam nagari. Tugas dan wewenang Kerapatan Nagari adalah memberi nasehat dan pertimbangan kepada Wali Nagari dan DPRN baik diminta maupun tidak dan

17 9 mengadili perkara di bidang perdata, adat, agama, dan umum terutama mencari perdamaian dalam nagari dengan semufakat pihak-pihak yang berkepentingan. Mengenai keuangan nagari yang terdapat pada SK Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat No./GSB/98 tidak jauh berbeda dengan yang terdapat pada SK sebelumnya. Sumber keuangan ini pada prinsipnya diperoleh dari sumber sendiri (yang sudah ada di nagari) dan bantuan dari pemerintah atasan yang berupa subsidi dan penerimaan nagari atas dasar prosentase dari pungutan yang dilakukan nagari. Hanya saja dalam SK No./GSB/98 ini perhatian lebih difokuskan pada pemeliharaan terhadap sumber-sumber keuangan yang sudah ada dan tertib administrasi serta penggunaannya. Di dalam SK No./GSB/98 itu juga dicantumkan bahwa beberapa nagari dapat bersama-sama mengatur dan mengurus kepentingan bersama setelah memperoleh persetujuan dari Bupati Kepala Daerah Kabupaten. Penggabungan nagari-nagari menjadi satu nagari yang lebih besar dianjurkan. Ini didasarkan atas pertimbangan bahwa terdapat sejumlah nagari yang penduduknya sangat kecil yang dengan sendirinya sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki juga "kecil." Setelah pemerintahan nagari berjalan kurang lebih (lima) tahun dan dengan mempertimbangkan berbagai hasil evaluasi dan penelitian, serta sambil menunggu ketentuan lebih lanjut dari pemerintah pusat, SK No./GSB/98 kemudian disempurnakan dengan keluarnya SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I No./GSB-97 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari di Wilayah Daerah Tingkat I Sumatera Barat. SK Gubernur No./GSB-97 ini ditetapkan pada tanggal Desember 97. Dibanding dengan SK sebelumnya (SK No./GSB/98), perubahan yang mendasar yang dibawa oleh SK Gubernur No./GSB-97 adalah mengenai alat perlengkapan nagari. Disebutkan dalam pasal bahwa alat perlengkapan nagari terdiri dari Wali Nagari dan Kerapatan Nagari. Kedua lembaga ini secara bersama-sama merupakan pemerintah nagari. Pemerintah nagari ini dibantu oleh Sekretariat Nagari,

18 Pembantu Wali Nagari, dan Kepala-Kepala Jorong. Sekretariat nagari dalam pasal disebutkan sebagai penyelenggara administrasi yang berhubungan dengan tugas kewajiban Pemerintah Nagari. Pembantu Wali Nagari dalam pasal dijelaskan sebagai pejabat yang diserahi oleh Wali Nagari memimpin pelaksanaan urusan-urusan tertentu dalam bidang Pemerintahan Nagari. Para pembantu ini diangkat dan diberhentikan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II atas usul Wali Nagari setelah mendengar Kerapatan Nagari. Dengan demikan, DPRN seperti yang diatur di dalam SK No./GSB/98 dengan sendirinya ditiadakan. Dalam pasal 8 disebutkan bahwa Wali Nagari diangkat oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dengan pemilihan yang diadakan untuk itu. Wali Nagari dipilih dari sekurang-kurangnya (dua) orang dan sebanyak-banyaknya (empat) orang calon yang diajukan oleh Kerapatan Nagari yang sudah mendapatkan penelitian dan penetapan dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II. Persyaratan untuk diangkat menjadi Wali Nagari seperti dijelaskan pada pasal 9 relatif sama dengan SK sebelumnya. Misalnya mempunyai pengalaman dalam memimpin masyarakat dan mempunyai rencana dan program tentang pembangunan nagari. Perbedaannya terdapat pada kualifikasi orang yang dapat diangkat menjadi wali nagari. Bila dalam SK No./GSB/98 misalnya berpendidikan SD dan telah berumur tahun, maka dalam SK Gubernur No./GSB-97 minimal berpendidikan SLP dan telah berumur tahun. Dengan demikian, kualifikasi pendidikan dan umur untuk orang yang dapat diangkat menjadi Wali Nagari makin meningkat. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya di bidang urusan rumah tangga dan urusan perbantuan dalam pemerintahan, Wali Nagari bertanggung jawab kepada Kerapatan Nagari, sedangkan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan atasan ia bertanggung jawab kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II. Dengan demikian, tugas dan fungsi DPRN pada SK No./GSB/98, yang dalam SK Gubernur No./GSB-97 menjadi tugas Kerapatan Nagari.

19 Dalam pasal SK Gubernur No./GSB-97 dijelaskan bahwa Kerapatan Nagari adalah lembaga musyawarah untuk mufakat dari pemuka-pemuka masyarakat, yang terdiri dari; Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai yang mewakili kepemimpinan Suku dan Kepala-Kepala Jorong, yang jumlahnya disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masing-masing nagari. Dalam pasal disebutkan bahwa Pimpinan Kerapatan Nagari terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua. Wali Nagari karena jabatannya menjadi Ketua Kerapatan Nagari dan bukan sebagai anggota. Dalam menjalankan tugas sehari-hari, Wali Nagari dibantu oleh Wakil-Wakil Ketua, yang terdiri dari; Wakil Ketua bidang Adat, bidang Agama, dan Wakil Ketua bidang Umum. Anggota dari Kerapatan Nagari tidak boleh merangkap menjadi Wali Nagari, Sekretaris Nagari, dan pejabat-pejabat lain yang bertanggung jawab mengenai pengurusan keuangan dan kekayaan nagari. Selain menerima pertanggung jawaban dari Wali Nagari dalam bidang urusan rumah tangga dan urusan perbantuan dalam pemerintahan, Kerapatan Nagari menetapkan pula anggaran pendapatan dan belanja nagari dan peraturan-peraturan nagari dalam pengurusan rumah tangga nagari. Selain itu, sebagai lembaga musyawarah, Kerapatan Nagari melaksanakan pula peradilan adat, agama, dan memberikan pertimbangan kepada Wali Nagari, baik diminta maupun tidak. Dalam menjalankan administrasi pemerintahan nagari, Wali Nagari dibantu oleh Sekretaris Nagari. Sekretaris ini adalah sekretaris dari Wali Nagari dan sekretaris dari Kerapatan Nagari. Ia diangkat oleh pemerintah nagari. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat pula mempekerjakan pegawai negeri/pegawai daerah untuk menjadi sekretaris bila diminta oleh nagari yang bersangkutan. Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, Wali Nagari dibantu pula oleh pembantu-pembantu Wali Nagari dan Kepala Jorong. Pembantu Wali Nagari adalah pejabat yang diserahi tugas untuk memimpin urusan-urusan tertentu dalam bidang pemerintahan nagari. Para pembantu itu diangkat dan diberhentikan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II atas usul Wali Nagari dengan pertimbangan Kerapatan Nagari.

20 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja Pemerintahan Nagari Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa pemerintahan nagari pada awalnya, ketika ia masih berstatus sebagai pemerintahan adat, dinilai sangat baik dan kegiatan pemerintahannya berjalan sangat demokratis. Para pemimpin yang duduk di pemerintahan ketika itu tidak dapat menyalahgunakan kekuasaannya atau yang dalam bahasa populernya disebut KKN. Sementara itu, Mansoer dkk. (97) dalam bukunya menyebutkan bahwa pemerintahan nagari sangat berwibawa dan ditaati oleh seluruh penduduk nagari. Gambaran tentang kinerja pemerintahan nagari yang demikian, secara langsung maupun tidak langsung diduga akibat dari sistem pemerintahan yang dianut. Dalam pemerintahan adat, sistem pemerintahan didasarkan dan berakar pada tradisi adat dan hukum adat. Pemerintahan dan masyarakat menyatu dalam satu kesatuan sistem sosial yang diatur berdasarkan kaidah-kaidah adat dan hukum adat. Para pemimpin yang duduk dalam pemerintahan merupakan wakil-wakil dari setiap kelompok atau unit-unit sosial menurut adat yang ada dalam nagari dan kepemimpinan pemerintahan dijalankan secara kolektif. Rekrutmen dari pemimpin dilakukan menurut tradisi adat melalui suatu seleksi oleh anggota atau warga unit sosial di masing-masing unit sosialnya secara demokratis melalui musyawarah dan mufakat, dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan masing-masing calon. Dengan demikian, di samping unsur keterwakilan kelompok (suku misalnya), indivdu-individu yang duduk di dalam pemerintahan tentunya mereka-mereka yang memiliki kelebihan di dalam unit sosialnya masing-masing, baik dari segi pengalaman, kemampuan, maupun pengetahuannya di bidang adat dan hukum adat yang memang diperlukan dalam menjalankan pemerintahan. Dengan alasan ini, adalah sangat masuk akal bila para pemimpin di nagari ketika itu terdiri dari orang-orang yang disegani, dihormati, disenangi dan menjadi panutan bagi masyarakatnya, karena mereka merupakan orang-orang pilihan dan telah teruji di unit sosialnya masing-masing. Struktur organisasi atau lembaga pemerintahan nagari, baik menurut adat Bodi Caniago maupun Koto Piliang tampak lebih sederhana, tanpa disertai misalnya dengan

21 susunan yang bersifat hirarkis dan komplek. Unsur-unsur atau jabatan-jabatan yang terdapat di pemerintahan disesuaikan dengan ketentuan adat di masing-masing nagari. Pimpinan di tingkat unit sosial maupun di tingkat nagari dipilih dan ditentukan oleh warga unit sosial masing-masing, sehingga otoritas tertinggi tetap bersumber dan berada di warga unit sosial. Oleh karena itu, hubungan antara pemimpin dengan warga atau anggota unit sosialnya (jarak psikologis) dengan sendirinya akan terjalin dengan baik dan seorang pemimpin senantiasa harus memperhatikan aspirasi warga yang berkembang di unit sosialnya. Selain dari faktor individu anggota dan struktur lembaga di atas, faktor lain yang berkaitan dengan kinerja organisasi dapat dilihat dari proses organisasi, yaitu prosesproses yang berfungsi dalam organisasi itu. Dalam hal hubungan antar peranan, tingkat pemahaman anggota terhadap peranannya sendiri maupun pemahaman terhadap peranan anggota lain dalam lembaga pemerintahan tentu akan lebih baik, karena rekrutmen mereka didasarkan pada kriteria tertentu sesuai dengan ketentuan adat. Seseorang yang menempati posisi sebagai penghulu misalnya, pengalaman dan pengetahuannya di bidang adat tentu lebih baik di antara warga unit sosialnya. Demikian pula halnya dengan komunikasi sesama anggota dalam lembaga pemerintahan, karena mereka tergabung dalam sebuah lembaga kerapatan nagari, maka komunikasi sesama anggota tidak akan menjadi penghambat dalam penyelenggaraan pemerintahan di saat itu. Bila dianalisis lebih jauh, fungsi pengawasan sebagai bagian dari proses organisasi dapat dikatakan tidak terdapat dalam lembaga pemerintahan adat, karena kelembagaannya tanpa disertai dengan struktur yang bersifat hirarkis dan individuindividu yang ada di dalamnya adalah setara (egaliter). Kalaupun ada pemimpin misalnya, mereka ini hanyalah orang yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting yang pemilihannya dilakukan melalui musyawarah dan mufakat di antara penghulu-penghulu. Pengawasan terhadap para pemimpin langsung dilakukan oleh warga di unit sosial masing-masing yang sudah diatur menurut tradisi adat. Sementara

22 itu, persoalan-persoalan yang muncul dalam sistem pemerintahan adat diselesaikan secara bertingkat, mulai dari unit sosial yang terkecil, yaitu; mulai dari paruik, suku hingga ketingkat nagari. Dalam petuah adat disebutkan: Kusuik bulu, paruah manyalasaikan; Kusuik paruah, bulu manyalasaikan, yang artinya bahwa masingmasing unit sosial bertanggung jawab terhadap unit sosialnya. Setelah sistem pemerintahan adat diganti dengan sistem pemerintahan nagari, dengan menggunakan format atau sistem pemerintahan yang lebih modern yang dipelopori awalnya oleh sistem Laras, kinerja atau jalannya pemerintahan nagari kemudian mengalami banyak perubahan. Bachtiar (9) misalnya, dalam field worknya di Negeri Taram pada tahun 9, mengungkapkan bahwa wali nagari tidak mempunyai kekuasaan nyata yang dapat memaksa keputusan-keputusannya kepada warga nagarinya bila ia bukan sebagai seorang pejabat nagari berdasarkan normanorma adat yang mempunyai beberapa alat pemaksa yang disediakan oleh adat dan diakui oleh masyarakat nagari. Demikian pula Thalib (97), dalam penelitiannya terhadap penerapan SK /GSB/98 tentang Peraturan Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari, menyebutkan bahwa jalannya pemerintahan nagari tidaklah begitu lancar. Kegiatan pemerintahan tidak lebih dari sekedar memenuhi tugas-tugas rutin yang diperintahkan dari atas (pemerintahan atasan), tetapi tidak mampu berinsiatif untuk memenuhi aspirasi rakyat nagari. Berbeda dengan itu, hasil wawancara dengan sejumlah tokoh masyarakat di lapangan, diperoleh kesan bahwa kinerja dan atau jalannya pemerintahan nagari tidaklah semuanya mengecewakan. Beberapa di antara tokoh masyarakat di lapangan menuturkan sebagai berikut: Ibu Lina (7 th), mantan kepala kampung dan juga mantan wali nagari (periode 98-98), menuturkan bahwa ketika ia mejabat sebagai wali nagari banyak kegiatan yang telah dilakukan atas inisiatif pemerintahan nagari sendiri, misalnya; gotong royong memperbaiki jalan dan irigasi, membuat bak sampah, pembuatan kebun rumah (berupa tanaman sayur-sayuran), rumah-rumah penduduk diusahakan dicat putih, membasmi tikus bersama-sama dengan masyarakat, dan gotong royong mengeluarkan batu kali untuk perbaikan sarana umum. Semua kegiatan ini disosialisasikan terlebih dahulu dengan memberitahukannya kepada

23 masyarakat sebelum dilaksanakan. Selama mejabat, tidak jarang pula Ibu Lina berurusan dengan bupati, camat, dansek, dan kodim untuk menyelesaikan kasus-kasus masyarakat nagari. Selain itu, pernah pula pemerintah nagari mengambil borongan proyek bangunan dan pekerjanya diambil dari warga masyarakat sekitar sehingga terbuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Sumber keuangan nagari ketika itu menurut Ibu Lina lebih banyak didapat dari komisi jual beli tanah dan ternak, bungo pasia (komisi penjualan pasir) dan bungo karang (komisi dari penjualan hasil laut) ketimbang minta iyuran dari masyarakat. Gambaran tentang kegiatan dan kepemimpinan Ibu Lina di atas memang dibenarkan dan diakui oleh banyak anggota masyarakat. Sejumlah responden dan tokoh masyarakat yang berhasil diwawancarai mengatakan bahwa jarang yang tidak kenal dengan Ibu Lina karena terkesan dengan ketegasan dan prestasi yang telah dicapainya ketika menahkodai Nagari Salido. Dengan keberhasilannya ini, sosok kepemimpinan Ibu Lina malah sering dijadikan sebagai referensi bagi sejumlah kepala kampung dan mantan kepala kampung hingga sekarang. Bila disebut kepada mereka tentang kepemimpinan Ibu Lina misalnya, mereka sering terkagum-kagum. Berbeda dengan sosok kepemimpinan Ibu Lina di atas, informan lain menilai kinerja pemerintahan nagari dengan membandingkannya dengan pemerintahan desa dan atau dengan kondisi sekarang. Beberapa di antaranya mengemukakan sebagai berikut: Alam ( th), seorang tokoh masyarakat di Nagari Lansek Kadok, mengemukakan bahwa ketika bernagari dulu sangatlah mudah mengajak masyarakat untuk bergotong royong dan menyumbang (iyuran) untuk keperluan nagari dibandingkan ketika berdesa. Sementara itu, Syamsu ( tahun), seorang mantan anggota Badan Musyawarah Nagari di tahun -an, mengemukakan bahwa ketika bernagari dulu, hubungan wali nagari dengan masyarakat sangat dekat. Soal keamanan ketika itu sangat baik dan tidak pernah misalnya ada judi seperti halnya sekarang ini. Para pemimpin yang ada di nagari ketika itu sangat berwibawa, disegani dan masyarakatpun patuh kepadanya. Dari kasus-kasus di atas, tampak bahwa kinerja atau jalannya pemerintahan nagari yang satu berbeda dengan nagari yang lainnya. Hal ini dapat merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari sejumlah faktor, baik faktor kebijakan pemerintahan supra nagari, adat, maupun faktor yang terdapat di lembaga pemerintahan

24 nagari yang bersangkutan. Bachtiar (9) misalnya, dengan menggangkat kasus Negeri Taram, mengatakan bahwa karena Wali Negeri Taram bukan berasal dari pejabat adat berdasarkan norma adat sehingga ia terpaksa mencari persetujuan terlebih dahulu dari pejabat-pejabat adat untuk melaksanakan perintah atau proyek dari pemerintah. Dalam kasus ini, kelihatan bahwa faktor adat berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan nagari. Seorang wali nagari yang bukan berasal dari pejabat adat wibawanya berkurang dimata masyarakatnya. Sementara faktor adat ini memang tidak dirumuskan di dalam sistem dan pengaturan pemerintahan nagari, baik di dalam IGOB maupun di dalam SK- SK Gubernur berikutnya, dalam arti bahwa tidak ada ketentuan bahwa seorang wali nagari harus berasal dari pejabat adat. Dengan demikian, faktor kebijakan pemerintahan supra nagari yang tidak sesuai dengan indigenous knowledge secara tidak langsung berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan nagari pada waktu itu. Thalib (97), dalam penelitiannya melihat pengaruh dari kebijakan pemerintahan supra nagari melalui SK Gubernur No./GSB/98 terhadap kinerja pemerintahan nagari. Dikatakan dalam penelitiannya bahwa kurang lancarnya jalan pemerintahan nagari ketika itu berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, umur, insentif (honorarium), dan motivasi aparat. Dari struktur, dikemukakan bahwa struktur organisasi pemerintahan nagari terlalu ideal---laju perubahan politik dan pemerintahan tidak sejalan dengan lajunya perubahan sosial, sehingga sering terjadi benturan-benturan antar alat perlengkapan pemerintahan nagari (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Sedangkan dalam proses, dikatakan bahwa kinerja pemerintahan nagari berkaitan dengan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintahan supra nagari. Dengan demikian, faktor kebijakan pemerintahan supra nagari, yang dalam hal ini adalah SK Gubernur No./GSB/98 secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kinerja dan atau jalannya pemerintahan nagari pada waktu itu. Selain itu, bila SK-SK yang mengatur pemerintahan nagari seperti yang telah diuraikan di atas dipahami satu-persatu, mulai dari IGOB hingga SK Gubernur No./GSB-97, isi yang terkandung dalam SK Gubernur No./GSB/98 pada

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Desa, sebagai wilayah pemukiman penduduk yang mempunyai pemerintahan sendiri pertama kali ditemukan di daerah-daerah pesisir Pulau Jawa oleh bangsa Belanda. Padanan untuk desa

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI CIAMIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI CIAMIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI CIAMIS Menimbang : a. bahwa untuk menunjang program demokratisasi di tingkat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GRESIK Menimbang : bahwa sebagai wujud pelaksanaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT

B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 9 TAHUN 2015 B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PERANGKAT DESA DAN BADAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO

PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO p PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI M0JOKERTO Menimbang : bahwa dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA TAHUN 2006 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR : 11 TAHUN 2006 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA TAHUN 2006 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR : 11 TAHUN 2006 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA TAHUN 2006 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR : 11 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 5 TAHUN 2006 SERI : D NOMOR : 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NATUNA, Menimbang : bahwa sebagai

Lebih terperinci

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : bahwa untuk memenuhi maksud pada Pasal 42 ayat

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 111 Undang-undang Nomor 22 Tahun

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BAGIAN HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN SETDA KABUPATEN WAKATOBI TAHUN 2008 DAFTAR

Lebih terperinci

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : bahwa untuk memenuhi maksud pada Pasal 42 ayat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN TAHUN 2007 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR : 6 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN TAHUN 2007 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR : 6 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN TAHUN 2007 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR : 6 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WAY KANAN,

Lebih terperinci

BUPATI ROKAN HILIR PROVINSI RIAU

BUPATI ROKAN HILIR PROVINSI RIAU BUPATI ROKAN HILIR PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN KEPENGHULUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ROKAN HILIR, Menimbang :

Lebih terperinci

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 03 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 03 TAHUN 2007 T E N T A N G BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DISUSUN OLEH BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN BONE

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pelaksanaan Pemerintahan Desa 1. Pengertian Pemerintahan Secara etimologis, pemerintahan berasal dari perkataan pemerintah, sedangkan pemerintah berasal dari perkataan perintah.

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang :a. bahwa sesuai dengan Pasal 65 ayat (2)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang: a. bahwa Badan Permusyaratan Desa merupakan perwujudan

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULANG BAWANG BARAT Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 6 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 6 TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 6 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH LAUT,

Lebih terperinci

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA ~ 1 ~ SALINAN BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAYONG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUANTAN SINGINGI, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa sebagai perwujudan

Lebih terperinci

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PELALAWAN, a. bahwa dengan telah berlakunya

Lebih terperinci

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG TUHA PEUET GAMPONG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG TUHA PEUET GAMPONG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG TUHA PEUET GAMPONG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHUWATA ALA WALIKOTA BANDA ACEH, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Pemerintahan

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah di Indonesia. Sumatera Barat dengan sistem pemerintahan nagari yang. tersendiri yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. daerah di Indonesia. Sumatera Barat dengan sistem pemerintahan nagari yang. tersendiri yang berbeda dengan masyarakat Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumatera Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang memakai sistem pemerintahan lokal selain pemerintahan desa yang banyak dipakai oleh berbagai daerah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG (BPK) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG (BPK) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG (BPK) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU, Menimbang : a. bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi

Lebih terperinci

DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG TENTANG PERMUSYAWARATAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BUPATI MUSI RAWAS

DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG TENTANG PERMUSYAWARATAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BUPATI MUSI RAWAS PEMERINTAH KABUPATEN MUSI RAWAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI MUSI RAWAS, : bahwa

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SABU RAIJUA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SABU RAIJUA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SABU RAIJUA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang

Lebih terperinci

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 03 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 03 TAHUN 2007 T E N T A N G BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DISUSUN OLEH BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN BONE

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKALIS,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKALIS, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKALIS, Menimbang : a. bahwa untuk terselenggaranya urusan pemerintahan,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONOROGO NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PONOROGO, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa Desa sebagai

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BUOL

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BUOL PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BUOL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUOL NOMOR 7 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BUOL, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 POKOK-POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 POKOK-POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT Menimbang: PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 POKOK-POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT a. bahwa berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG, Menimbang : Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN MERANTI

BUPATI KEPULAUAN MERANTI [[ BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 13 TAHUN 20112011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat : BUPATI KEPULAUAN

Lebih terperinci

1 of 5 02/09/09 11:52

1 of 5 02/09/09 11:52 Home Galeri Foto Galeri Video klip Peraturan Daerah Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LINGGA Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS HULU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Dengan persetujuan bersama. DEWAN PERMUSYAWARATAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN dan BUPATI MUSI BANYUASIN MEMUTUSKAN :

Dengan persetujuan bersama. DEWAN PERMUSYAWARATAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN dan BUPATI MUSI BANYUASIN MEMUTUSKAN : PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006 PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP Menimbang:

Lebih terperinci

P E R A T U R A N D A E R A H

P E R A T U R A N D A E R A H P E R A T U R A N D A E R A H KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 4 TAHUN 2007 SERI D.2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 4 TAHUN 2007 SERI D.2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 4 TAHUN 2007 SERI D.2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI SUKAMARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BUPATI SUKAMARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Desa sebagai

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 20 SERI D. 20 =================================================================

LEMBARAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 20 SERI D. 20 ================================================================= LEMBARAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 20 SERI D. 20 ================================================================= PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK (PERDA) NOMOR : 10 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG N0M0R 13 TAHUN 2005 SERI D ==================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 10 2006 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN MENGHARAP BERKAT DAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHU WATA ALA,

Lebih terperinci

11 LEMBARAN DAERAH Oktober KABUPATEN LAMONGAN 7/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG

11 LEMBARAN DAERAH Oktober KABUPATEN LAMONGAN 7/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG 11 LEMBARAN DAERAH Oktober KABUPATEN LAMONGAN 7/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa Desa sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2006 NOMOR 13 SERI E NOMOR SERI 9 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 10 TAHUN 2006

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2006 NOMOR 13 SERI E NOMOR SERI 9 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 10 TAHUN 2006 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2006 NOMOR 13 SERI E NOMOR SERI 9 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN ALOR TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

LEMBARAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN ALOR TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, LEMBARAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN ALOR No. : 7, 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DPR-GR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DPR-GR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DPR-GR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perlu ditetapkan Peraturan Tata-tertib Dewan Perwakilan Rakyat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU TIMUR Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan maka Undang-undang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARO JAMBI, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa Pemerintahan demokrasi memerlukan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN NAGARI SITUJUAH GADANG Nomor: 03/NSG/2002. Tentang BENTUK PARTISIPASI ANAK NAGARI DALAM PEMBANGUNAN NAGARI

RANCANGAN PERATURAN NAGARI SITUJUAH GADANG Nomor: 03/NSG/2002. Tentang BENTUK PARTISIPASI ANAK NAGARI DALAM PEMBANGUNAN NAGARI RANCANGAN PERATURAN NAGARI SITUJUAH GADANG Nomor: 03/NSG/2002 Tentang BENTUK PARTISIPASI ANAK NAGARI DALAM PEMBANGUNAN NAGARI Menimbang : a. bahwa modal dasar pembangunan Nagari yang tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 5 TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 5 TAHUN PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN BENER MERIAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAHAN KAMPUNG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

QANUN KABUPATEN BENER MERIAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAHAN KAMPUNG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM QANUN KABUPATEN BENER MERIAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAHAN KAMPUNG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BENER MERIAH Menimbang : a. bahwa Pemerintahan Kampung

Lebih terperinci

P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I

P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I S A L I N A N P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEDIRI NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEDIRI,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMILIHAN, PENGESAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42 ayat (1)

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SOLOK LEMBARAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR 20 SERI D. 20 ================================================================= PERATURAN DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 10 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 10 TAHUN 2001 PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 10 TAHUN 2001 PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 10 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERWAKILAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA B U P A T I S I A K Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang Mengingat PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42

Lebih terperinci

...BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR.. 2 TAHUN TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

...BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR.. 2 TAHUN TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SALINAN...BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR.. 2 TAHUN 2016... TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KATINGAN, Menimbang

Lebih terperinci

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI,

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN, Menimbang Mengingat : : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERTURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG REPUBLIK INDONESIA Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 1960 Tanggal 12 Juli 1960

PERTURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG REPUBLIK INDONESIA Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 1960 Tanggal 12 Juli 1960 PERTURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG REPUBLIK INDONESIA Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 1960 Tanggal 12 Juli 1960 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa perlu diadakan Peraturan

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang: a. bahwa nagari sebagai kesatuan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 111 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 07 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 07 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 07 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

S A L I N A N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

S A L I N A N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG S A L I N A N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN SUMEDANG 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU, Menimbang : a. bahwa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Kampung Perangkat

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG KEMUKIMEN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TENGAH,

QANUN KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG KEMUKIMEN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TENGAH, QANUN KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG KEMUKIMEN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA Menimbang : a. BUPATI ACEH TENGAH, bahwa dengan diakuinya keistimewaan Aceh

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN WAROPEN

PEMERINTAH KABUPATEN WAROPEN PEMERINTAH KABUPATEN WAROPEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAROPEN NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG BADAN MUSYAWARAH KAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KABUPATEN WAROPEN, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang Mengingat : a. bahwa Desa memiliki hak asal

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 729 TAHUN : 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR : 5 TAHUN : 2007

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR : 5 TAHUN : 2007 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR : 5 TAHUN : 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PEMILIHAN, PENGANGKATAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN KEPALA

Lebih terperinci