EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN POTENSI DAN KEBIJAKAN BUDIDAYA TEMBAKAU TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN POTENSI DAN KEBIJAKAN BUDIDAYA TEMBAKAU TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT"

Transkripsi

1 EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN POTENSI DAN KEBIJAKAN BUDIDAYA TEMBAKAU TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KERJASAMA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN P3M POLITEKNIK NEGERI JEMBER TAHUN,

2 PENDAHULUAN Tantangan dan peluang dalam pengembangan komoditas tembakau, harus disikapi secara benar, misalnya (a) Rendahnya produktivitas hasil usahatani tembakau rakyat, yaitu sekitar 6-7 kw/hektar, merupakan masalah yang harus diatasi. Sakala usahatani pada umumnya relatif sempit merupakan kendala untuk meningkatkan produktivitas dan mutu, selain sulit memberikan keuntungan optimal padsa petani pekebun mengingat sulitnya penerapan teknologi usahatani; (b) kurang terinformasikan hasil-hasil penelitian kepada petani-pekebun tembakau karena sangat terbatasnya petugas lapangan (penyuluh) dalam upaya mentransfer teknologi hasil-hasil penelitian yang diperoleh. Seringkali data kebutuhan tembakau dari industri rokok tidak tepat waktu, sehingga berpengaruh terhadap kebijakan pemerintyah daerah dalam pembinaan dan perencanaan ke depan; (c) kebutuhan tembakau untuk industri rokok secara umum menurun karena terjadi penurunan daya serap tembakau petani. Di lain pihak, minat petani-pekebun tembakau tetap tinggi (penanaman di luar daerah tradisional dan perluasan di daerah yang tidak diminati industri rokok) sehingga terjadi ekses penawaran dan seringkali pula hasil-hasil produksi uasahatani tembakau yang dilakukan petani-pekebun dalamkualitas tidak sebagaimana diharapkan oleh permintaan industri rokok, khususnya yang tidak ikut serta dalam program kemitraan. Selain itu, seringkali informasi pasar tidak dapat diakomodasikan oleh petani-pekebun penghasil tembakau, sehingga sangat mempengaruhi harga transaksi; dan (d) dilema antara konsumsi rokok dengan kesehatan, regulasi pemerintah dalam pengamanan rokok bagi kesehatan dan berbagai kampanye anti rokok berperan besar terhadap pertembakauan, baik di sektor hulu (petani-pekebun) maupun sektor hilir (industri rokok). Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian Potensi dan Kebijakan Budidaya Tembakau terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Tujuan utama dari kajian adalah untuk mengetahui kontribusi pengusahaan tembakau terhadap kesejahteraan masyarakat petani, sedangkan tujuan khusus adalah: (1) untuk mengetahui potensi biofisik pertembakauan; (2) untuk mengetahui potensi dan proyeksi sebaran luas areal panen dan produksi tembakau di Propinsi Jawa Timur; (3) untuk mengetahui pendapatan dan efisiensi usahatani tembakau menurut jenisnya secara prioritas di Propinsi Jawa Timur; (4) untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kelembagaan dalam aktivitas usahatani tembakau; (5) untuk mengiventarisasi kebijakan dan aturan-aturan pertembakauan; dan (6) untuk menyusun strategi pengembangan usahatani tembakau guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Metodologi Lokasi penelitian adalah Kabupaten Jember, Lumajang, Malang dan Bojonegoro. Metode penelitian lebih mengarah pada metode diskriptif. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Alat analisis yang digunakan adalah (1) Diskriptif; (2) Uji Garis Trend dengan Metode Jumlah 1

3 Kuadrat Terkecil; (3) Analisis Efisiensi Biaya dan Pendapatan; dan (4) FFA (Force Field Analysis). HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Biofisik dan Pengusahaan Tembakau Varietas tembakau yang diusahakan petani, BUMN maupun swasta di wilayah kajian terbagi menjadi 4 (empat), yaitu: (1) tembakau lokal (kasturi, Lumajang VO dan Jawa); (2) Tembakau Cerutu Besuki; (3) Tembakau Virginia; dan (4) Tembakau White Burley. Tanaman tembakau cerutu Besuki di Kabupaten Jember terdiri atas beberapa jenis yaitu tembakau Besuki Na-Oogst tradisional (BesNOTRA), tembakau Besuki Na-Oogst Tanam Awal (BesNOTA) yang pada dasarnya dikeringkan secara alami dan Tembakau Bawah Naungan (TBN) yang merupakan hasil terobosan teknologi tahun 1984 dengan cara menggunakan naungan (waring). Tembakau BesNOTRA ditanam pada pertengahan musim kemarau dan dipanen pada musim penghujan. Sebagai hasil interaksi varietas dengan faktor lingkungan yang kompleks, maka pemilihan lokasi untuk produksi tembakau Virginia fc (flue-cured) di Jawa Timur telah dipusatkan pada zona pengembangan tertentu, yaitu di Bojonegoro, Lamongan, Jember dan daerah lain seperti Blitar. Tembakau Virginia fc tumbuh pada berbagai tipe tanah mulai dari tanah pasiran sampai tanah liat hitam (heavy black clay) di kabupaten Bojonegoro. Budidaya tembakau Kasturi dilakukan di lahan tegal dan sawah dengan lokasi penanaman di dataran rendah (90 mdpl) sampai perbukitan (500 mdpl) dengan kemiringan lahan 15o-40o. Varietas Mawar merupakan varietas yang sudah banyak dikenal sehingga banyak diminati petani, dan diduga varietas asli Jember, berkembang juga di wilayah Kabupaten Malang dan Lumajang. Pertumbuhan impor tembakau white burley tiap tahunnya mempunyai dampak langsung pada devisa negara. Selama 12 tahun terakhir tembakau white burley telah diuji cobakan di beberapa daerah antara lain di Jawa Timur. Uji coba pengebunan di Jawa Timur antara lain di Lumajang, Jember, Malang dan Nganjuk. Di Kabupaten Lumajang Tembakau white burley dikembangkan di lahan sawah terutama pada lahan berpengairan teknis. Potensi dan Proyeksi Sebaran Luas Areal Panen dan Produksi Tembakau Perkembangan produksi tembakau di Jawa Timur dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi, karena faktor iklim sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas daun tembakau. Produksi tembakau Na-Oogst memiliki nilai yang fluktuatif, dari tahun 2005 ke tahun 2007 mengalami penurunan, namun pada tahun mengalami peningkatan dan pada tahun mengalami penurunan. Produksi tembakau Kasturi memiliki nilai yang fluktuatif, dari tahun 2005 ke tahun 2008 mengalami penurunan, namun pada tahun mengalami peningkatan. Produksi tembakau lokal memiliki nilai yang menurun dari tahun 2005 ke tahun Produksi tembakau Virginia memiliki nilai yang menurun dari tahun 2005 ke tahun Kemudian pada tahun produksi tembakau mengalami peningkatan. 2

4 Analisis Pendapatan Tembakau Budidaya tanaman tembakau Na-Oogst tersebut menguntungkan karena penerimaan lebih besar dari biaya. Penerimaan budidaya tanaman tembakau Na-Oogst adalah sebesar Rp per 1,2 Ha yang berasal dari penerimaan penjualan tembakau sedangkan biaya yang dikeluarkan dalam budidaya tanaman tembakau Na-Oogst adalah sebesar Rp Nilai R/C ratio pada budidaya tanaman tembakau Na-Oogst lebih besar dari 1 yaitu sebesar 3,5 yang berarti penggunaan biaya produksi sudah efisien. Budidaya tanaman tembakau kasturi tersebut menguntungkan karena penerimaan lebih besar dari biaya. Penerimaan budidaya tanaman tembakau kasturi adalah sebesar Rp per 0,25 Ha yang berasal dari penerimaan penjualan tembakau sedangkan biaya yang dikeluarkan dalam budidaya tanaman tembakau kasturi adalah sebesar Rp Nilai R/C ratio pada budidaya tanaman tembakau kasturi lebih besar dari 1 yaitu sebesar 3,39 yang berarti penggunaan biaya produksi sudah efisien. Budidaya tanaman tembakau virginia tersebut menguntungkan karena penerimaan lebih besar dari biaya. Penerimaan budidaya tanaman tembakau virginia adalah sebesar Rp per 0,25 M 2 yang berasal dari penerimaan penjualan tembakau sedangkan biaya yang dikeluarkan dalam budidaya tanaman tembakau virginia adalah sebesar Rp Nilai R/C ratio pada budidaya tanaman tembakau virginia lebih besar dari 1 yaitu sebesar 1,46 yang berarti penggunaan biaya produksi sudah efisien. Budidaya tanaman tembakau lokal tersebut menguntungkan karena penerimaan lebih besar dari biaya. Penerimaan budidaya tanaman tembakau lokal adalah sebesar Rp per 0,5 Ha yang berasal dari penerimaan penjualan tembakau sedangkan biaya yang dikeluarkan dalam budidaya tanaman tembakau lokal adalah sebesar Rp Nilai R/C ratio pada budidaya tanaman tembakau lokal lebih besar dari 1 yaitu sebesar 8,38 yang berarti penggunaan biaya produksi sudah efisien. Bentuk-bentuk Kelembagaan dalam Aktivitas Usahatani Tembakau Kelembagaan berperan penting dalam mengatur penggunaan/ alokasi sumberdaya secara efisien, merata, dan berkelanjutan (sustainable). Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi sumberdaya yang optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan (division of labour), sehingga setiap pekerja dapat bekerja secara profesional dengan produktivitas yang tinggi. Peningkatan pembagian pekerjaan selanjutnya akan mengarah kepada spesialisasi ekonomi, sedangkan spesialisasi yang berlanjut akan mengarah kepada peningkatan efisiensi dengan produktivitas yang semakin tinggi. Hasil pembagian pekerjaan dan spesialisasi pada sistem ekonomi maju sering mengarah pada keadaan dimana orang-orang menjadi hampir tidak mampu lagi berdiri sendiri atau tidak dapat menghasilkan barang dan jasa sehingga pemenuhan kebutuhannya diperoleh dari orang/pihak lainnya yang berspesialisasi melalui suatu pertukaran (exchange atau trade) yang disebut transaksi ekonomi. Terkait dengan sistem 3

5 kelembagaan pertembakauan di wilayah sentra di Jawa Timur, maka terdapat 5 (lima) kelompok kelembagaan yang perlu dikaji, yaitu: (1) kelembagaan sarana produksi, (2) kelembagaan usahatani/ proses produksi; (3) kelembagaan pasca panen dan pengolahan hasil; (4) kelembagaan pemasaran produk; dan (5) kelembagaan jasa layanan pendukung. P e m a s a r a n (Marketing Sub System) Pengadaan dan Penyaluran Saprodi (Input factor Sub System) Usahatani (Prodct Sub System) Pengolahan Hasil (Processing Sub System) Kelembagaan Penunjang/Layanan Pendukung (Supporting institution Sub System) Kebijakan dan Aturan-aturan Pertembakauan Tantangan bagi pemerintah dan pelaku pertembakauan dalam mempertahankan masa depan bisnis daun tembakau, antara lain: (1) Riset tentang dampak rokok terhadap kesehatan belum tuntas; (2) Larangan merokok di tempat umum melanggar hak asasi seorang; (3) Mayoritas penduduk dewasa di Indonesia merokok; (4) Orang memutuskan membeli produk tembakau berdasarkan pengetahuan yang memadai; (5) Kebijakan pengendalian tembakau secara komprehensif akan melemahkan ekonomi Indonesia; (6) Pengendalian tembakau akan menyebabkan pengangguran massal; dan (7) Pajak tembakau yang lebih tinggi akan mengurangi pendapatan pemerintah (8) Pajak tembakau yang tinggi akan meningkatkan penyelundupan (dan mengurangi pendapatan dari pajak). Regulasi pemerintah yang terkait dengan segala aspek pegusahaan tembakau dan hasil industry tembakau, antara lain: UU No 13 Tahun 2003, UU HKI PP 19 Tahun 2003, PP 102 Tahun 2000 tentang standarisasi nasional, PERMEN KEUANGAN No 60/PMK.07/2006, SK Gubernur 188/219/ KPT / 013 / 4

6 2006, SK Gubernur 188/219/ KPT / 013 /2008, SK Gubernur tentang UMK yang setiap tahun di revisi. Strategi Pengembangan Usahatani Tembakau Pengembangan komoditas tembakau di Kabupaten Jember, Lumajang, Malang dan Bojonegoro, dititikberatkan pada faktor-faktor pendorong dan penghambat. Berdasarkan analisis situasi, maka diperoleh beberapa faktor pendorong dan faktor penghambat dalam pengembangan komoditas tembakau di Kabupaten Jember, Lumajang, Malang dan Bojonegoro. Tabel 1.Faktor Pendorong dan Faktor Penghambat Pengembangan komoditas tembakau di Kabupaten Jember, Lumajang, Malang dan Bojonegoro NO FAKTOR PENDORONG NO FAKTOR PENGHAMBAT D1 Dukungan aspek biofisik H1 Terbatasnya penguasaan dan kepemilikan lahan D2 Pekebun berpengalaman dalam teknik budidaya H2 Terbatasnya modal di tingkat petani D3 Adanya program perkreditan H3 Belum optimalnya kemitraan D4 Adanya media komunikasi dan transportasi H4 lemahnya kinerja lembaga petani D5 Tersedianya saprotan H5 Belum berkembangnya industri rokok lokal D6 D7 Berkembangnya budaya Gotongroyong Terbentuknya lembaga petani H6 H7 Tenaga penyuluh terbatas Belum optimalnya sinergi antar stakeholder Arah yang diinginkan Faktor Pendorong D3 D1 D2 D4 D5 D6 H1 H2 H3 H4 H5 H6 Faktor Penghambat Gambar 1 Medan Kekuatan pengembangan komoditas tembakau di Kabupaten Jember, Lumajang, Malang dan Bojonegoro 5

7 Berdasarkan Gambar 1 maka dapat diketahui arah dan nilai masingmasing faktor pendorong maupun faktor penghambat kegiatan pengembangan komoditas tembakau di Kabupaten Jember, Lumajang, Malang dan Bojonegoro. Panjang anak panah menyatakan besarnya TNB dari masing-masing faktor sedangkan arah anak panah merupakan tarik menarik antara faktor penghambat dan faktor pendorong. Jumlah seluruh nilai TNB pendorong sebesar 5,92 sedangkan jumlah seluruh nilai TNB penghambat sebesar 6,46. TNB pendorong lebih kecil daripada TNB penghambat. Penyusunan strategi ini harus memperhatikan kesesuaian arah optimalisasi pendorong kunci ke arah perbaikan penghambat kunci. Artinya jika pendorong kunci dan penghambat kunci yang dipilih lebih dari satu, maka penyusunan strategi harus memperhatikan kesesuaian perpaduan masingmasing faktor untuk menuju tujuan yang akan dicapai. Berdasarkan FKK pendorong dan FKK penghambat yang telah dipilih, maka dapat disusun strategi untuk pengembangan pengembangan komoditas tembakau di Kabupaten Jember, Lumajang, Malang dan Bojonegoro, yaitu (1) peningkatkan produktivitas, kualitas dan efisiensi usahatani tembakau berbasis rakyat; (2) menyeimbangkan produksi dan penawaran tembakau dengan permintaan industri; dan (3) dukungan kebijakan. Strategi tersebut diharakan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani tembakau. Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian adalah: Manajemen Perencanaan Wilayah dan Areal Tanam Optimalisasi skala usaha budidaya tembakau Mengembangkan Budidaya Tembakau Lebih Produktif Optimalisasi teknologi bubidaya Peningkatan sarana dan prasarana pendukung budidaya Pengembangan kemitraan usaha budidaya Gambar 2. Langkah-langkah Pengembangan Budidaya Tembakau Manajemen Perencanaan Wilayah dan Areal Tanam Penyuluhan dan sosialisasi sistem mutu hasil 6

8 Membangun suatu sistem inventarisasi dan informasi data yang lebih baik dalam rangka menghimpun kebutuhan bahan baku tembakau oleh pabrik-pabrik rokok yang ada di Jawa Timur. Optimalisasi skala usaha budidaya tembakau Pengembangan kelembagaan berupa kelompok usaha bersama para petani tembakau yang skala usahanya sangat terbatas akan melonggarkan keterbatasanketerbatasan petani dalam mengaplikasikan teknologi budidaya, mengurangi kemungkinan resiko usaha yang merugikan petani, meningkatkan kebersamaan dalam memperoleh akses pada permodalan, informasi, pengolahan dan kegiatankegiatan pasca panen, dan bahkan posisi tawar dalam memasarkan hasil produksi mereka. Optimalisasi teknologi bubidaya Pola pembinan manajemen dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan sesuai dengan aspek lokalita dan cukup prospek untuk ditumbuhkembangkan adalah kerjasama dalam suatu kelembagaan yang disebut dengan inkubator. Pola inkubator pada hakekatnya adalah suatu cara pembelajaran bersama-sama para pelaku usaha pada aspek-aspek usaha seperti teknologi, permodalan, pasar dan sebagainya. 7

9 Sarana Produksi Pengangguran Kesempatan Kerja Skala usaha tani tembakau Pendapatan Daerah Manajemen usaha Inkubator Agribisnis Peningkatan Produksi Kualitas daun Pasar (Perusahaan Rokok) Sistem Informasi Perluasan Kredit Prasarana Keuntungan Pendapatan Pengusaha Pengembalian kredit Gambar 3. Diagram Sebab-akibat Sistem Inkubator dalam Upaya Pengusahaan Tembakau. Program inkubator untuk pengusaha tembakau yang disponsori oleh pemerintah daerah dengan melibatkan perguruan tinggi, lembaga keuangan, pelaku bisnis dan pihak swasta difokuskan pada kegiatan pembinaan, penataran dan pendampingan (konsultasi) yang terkait dengan (1) pengembangan komoditas tembakau yang terfokus pada pengelolaan lahan yang tetap 8

10 mempertimbangkan potensi lokal; (2) peningkatan kualitas sumberdaya manusia, baik petani, pedagang/tengkulak, pabrikan maupun petugas teknis (pemerintah); (3) penguatan kelembagaan di tingkat petani; (4) ; pengelolaan modal usaha, melalui (a) memperoleh kemudahan untuk mengakses modal dari lembaga keuangan; (b) penerapan manajemen keuangan; dan (c) mengurangi ketergantungan terhadap lembaga keuangan yang menekan pengusaha; dan (5) pengembangan network yang diimplementasikan dalam bentuk kemitraan pemasaran produk tembakau. Kegiatan inkubator diharapkan mampu meningkatkan jaminan pasokan produk dan jaminan mutu bagi perusahaan rokok, sehingga akses pasar produk akan semakin luas. Terjaminnya pasar tembakau dan tersedianya prasarana penunjang, menyebabkan adanya nilai tambah, keuntungan dan peningkatan pendapatan petani sekaligus sebagai salah satu sumber peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Peningkatan pendapatan petani tembakau akan memperlancar arus pengembalian kredit usaha dan mengakibatkan adanya perluasan kredit dari lembaga perbankan. Pola-pola perluasan kredit diharapkan mampu meningkatkan skala usaha tani tembakau, sehingga membuka peluang dan kesempatan kerja bagi kelompok calon tenaga kerja (pengangguran). Pengembangan skala usaha tani tembakau tetap membutuhkan dukungan kuat dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan (policy maker) terutama yang menyangkut adopsi inovasi, sehingga kontinyuitas bahan baku untuk perusahaan rokok terjamin. Peningkatan sarana dan prasarana pendukung budidaya Dibutuhkan (1) pelayanan penyediaan sarana produksi seperti bahan tanam unggul, pupuk dan obat-obatan serta peralatan mesin; (2) tersedianya dukungan infrastruktur yang memadai, baik jalan, jembatan, tempat pengumpulan dan pengolahan hasil serta berbagai jaringan informasi di tingkat lokasi, yang dilakukan secara terpadu; dan (3) pengembangan infrastruktur informasi dan sosialisasi yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan mutu produk tembakau, agar menjadi pemahaman yang baik pada petani-petani tembakau dalam memproduksikan tanaman tembakaunya. Pengembangan kemitraan usaha Kelembagaan di bidang on-farm seperti kelompok usaha bersama, asosiasi (APTI misalnya), koperasi dan sebagainya akan sangat membantu petani, apabila dilaksanakan dengan landasan kebersamaan, saling percaya, saling membutuhkan dan dilakukan dengan manajemen yang transparan dan demokratis. Penyuluhan dan sosialisasi sistem mutu hasil. Pemberdayaan kelembagaan delivery system berupa lembaga penyuluhan juga sangat penting sebagai agent of development. Oleh karena itu, sangat 9

11 dibutuhkan penyuluhan yang berkenaan dengan penerapan teknologi budidaya dan mutu hasil tembakau serta sosialisasi sistem manajemen mutu (SNI, ISO, HACCP) bagi petani Perbaikan Mutu Tembakau Mengembangkan Pengolahan Tembakau Meningkatkan pasar ekspor dan mengurangi impor Tataniaga Pengembangan produk baru Gambar 4. Langkah-langkah Pengembangan Pengolahan Tembakau Perbaikan Mutu Tembakau Bagi tembakau yang merupakan bahan baku rokok sigaret dan cerutu, cara utama untuk meningkatkan kualitas hasil adalah dengan melakukan kegiatan-kegiatan pra-panen maupun pasca panen sesuai dengan standar teknik yang baik, sehingga mutu produk dapat memenuhi permintaan pabrik rokok. Meningkatkan pasar ekspor dan mengurangi impor Bagi tembakau-tembakau yang berorientasi ekspor seperti tembakau Na- Oogst dan Virginia, diperlukan upaya-upaya diversifikasi pemasaran, untuk menghindari ketergantungan hanya pada pasar-pasar tertentu saja. Perubahan selera konsumen dan upaya-upaya terobosan promosi merupakan beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan peningkatan pasar ekspor tersebut. Pemasaran Pada dasarnya pemasaran komoditas tembakau di Kabupaten Jember, Lumajang, Malang dan Bojonegoro dilakukan melalui beberapa cara, yaitu (a) kontrak antara petani dan perusahaan, sebagai implementasi dari pola kemitraan yang dilakukan keduanya, (b) pemasaran atau perdagangan bebas, dan (c) lelang. Pengembangan produk baru Perubahan-perubahan tersebut menuntut perubahan tembakau dengan rasa netral, ringan serta berkualitas baik. Pengembangan produk tersebut tentu akan membuka pasar baru, baik di luar negeri maupun dalam negeri. 10

12 Mengem bangkan Budidaya Tembakau Lebih Dukungan Kebijakan Mengembang kan Pengolahan Tembakau Kebijakan penanganan keseimbangan areal budidaya Kebijakan insentif dan disinsentif dalam budidaya Kebijakan mendorong budidaya pada lahan tradisional dan potensial Kebijakan mendorong koperasi dan asosiasi petani tembakau Kebijakan pendorong iklim kondusif pemasaran dan ekspor Kebijakan pengembangan mutu tembakau Kebijakan merevitalisasi pusat riset tembakau di Jawa Timur Gambar 4. Dukungan Kebijakan Pengembangan Tembakau Kebijakan penanganan keseimbangan areal budidaya Kebijakan tersebut telah dilakukan selama ini melalui koordinasi dari SE Gubernur dapat dipertajam melalui upaya-upaya inventarisasi data melalui sistem informasi yang lebih cepat, akurat dan berdaya guna. Untuk ini, diperlukan perangkat-perangkat kontrol berupa pemantauan dan evaluasi serta sistem insentif maupun disinsentif bagi petani serta sistem reward and penalty bagi pabrik rokok dalam melaksanakan secara konsisten ketetapan perencanaan areal yang telah disepakati bersama, agar tidak menimbulkan ekses negatif terhadap mutu dan harga jual tembakau petani. Kebijakan insentif dan disinsentif dalam budidaya, Untuk mendorong agar budidaya tembakau yang dilakukan para petani menjadi lebih produktif. Beberapa hal dapat dilakukan yaitu dengan mempertautkan penggunaan teknologi unggul dengan kredit program bunga ringan bagi petani yang melakukan budidaya dengan baik, misalnya dalam hal pembibitan, pemberantasan OPT dan pemetikan/panen hasil serta pengolahanpengolahan lanjut pasca budidaya. Kebijakan mendorong budidaya pada lahan tradisional dan potensial Kebijakan tersebut harus diikuti dengan kebijakan pengembangan diversifikasi atau substitusi usahatani tembakau di wilayah-wilayah yang kurang potensial tersebut dengan pertanaman yang non-tembakau yang berprospek baik bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Untuk ini, pemberian insentif bagi petani yang melaksanakan kebijakan ini perlu 11

13 dipertimbangkan, misalnya dengan pelayanan dalam pengadaan sarana produksi yang dibutuhkan dan bimbingan teknis dari lembaga terkait. Kebijakan mendorong koperasi dan asosiasi petani tembakau, Untuk menjadi suatu modal sosial yang sangat penting bagi upaya pengembangan kebersamaan para petani, terutama dalam pelaksanaan budidaya umumnya, pemasaran, permodalan dan peningkatan posisi tawar petani lainnya. Kebijakan pendorong iklim kondusif pemasaran dan ekspor, Kebijakan mengarah kepada suatu transaksi dalam pola kemitraan dengan pabrik rokok atau dengan pola lelang. Selama ini, sebagian besar pemasaran tembakau dilakukan petani dengan pola perdagangan bebas, sehingga seringkali petani tidak memperoleh harga yang layak, karena sebabsebab keterbatasan dalam pola transaksi tersebut. Kebijakan pengembangan mutu tembakau Pembinaan dan pengawasan mutu akan sangat penting bagi masa depan pertembakauan Jawa Timur. Perlu sosialisasi dan pemahaman kepada setiap pelaku pertembakauan di Jawa Timur (petani, pedagang, pabrikan, eksportir, masyarakat luas) secara terus-menerus sehingga menjadi budaya yang konstruktif bagi pengembangan komoditas tembakau masa mendatang. Kebijakan merevitalisasi pusat riset tembakau di Jawa Timur `Dibutuhkan kebijakan pemerintah (pusat/daerah) dalam kaitannya merevitalisasi lembaga-lembaga riset tersebut agar lebih berdayaguna dalam mendukung program yang dilakukan. Simpulan dan Rekomendasi 1. Varietas tembakau yang diusahakan petani, BUMN maupun swasta di wilayah kajian terbagi menjadi 4 (empat), yaitu: (1) tembakau lokal: jenis kasturi yang sebagian besar diusahakan di Kabupaten Jember dan Lumajang, jenis lokal bojonegoro yang diusahakan petani di Kabupaten Malang; (2) Tembakau Cerutu Besuki yang spesifik diusahakan petani di Kabupaten Jember; (3) Tembakau Virginia diusahakan petani di Kabupaten Bojonegoro; dan (4) Tembakau White Burley diusahakan petani di Kabupaten Lumajang. Perkembangan jenis tembakau tersebut sesuai dengan potensi biofisik, baik kesesuaian lahan maupun lingkungan tanaman; 2. Perkembangan produksi tembakau di Jawa Timur dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi, bahkan dari tahun cenderung menurun sebagai akibat (a) faktor iklim sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas daun tembakau; (b) alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian; dan (c) mulai berkurangnya minat petani menanam tembakau karena tingginya resiko yang harus dihadapi; 12

14 3. Untuk jenis tembakau Naa-oogst dengan luas areal sekitar 1,2 Ha, pengusahaan efisien dengan nilai 3,5 dan pendapatan sekitar Rp ,-. Tembakau Kasturi dengan luas areal sekitar 0,25 Ha, pengusahaan efisien dengan nilai 3,39 dan pendapatan sekitar Rp ,-. Tembakau Virginia dengan luas areal sekitar 0,25 Ha, pengusahaan efisien dengan nilai 1,46 dan pendapatan sekitar Rp ,- Tembakau lokal Malang dengan luas areal sekitar 0,5 Ha, pengusahaan efisien dengan nilai 8,38 dan pendapatan sekitar Rp ,-; 4. Terkait dengan sistem kelembagaan pertembakauan di wilayah sentra di Jawa Timur, maka terdapat 5 (lima) kelompok kelembagaan yang perlu dikaji, yaitu: (1) kelembagaan sarana produksi (pengusaha dan pedagang saprotan, toko/kios, gapoktan dan koperasi pertanian), (2) kelembagaan usahatani/proses produksi (tembakau ekspor, tembakau rakyat); (3) kelembagaan pasca panen dan pengolahan hasil (pasca panen, agroindustri; gudang-gudang penyimpanan); (4) kelembagaan pemasaran produk (pedagang kecil dan besar, perwakilan gudang, pabrikan dan perusahaan BUMN/BUMS); dan (5) kelembagaan jasa layanan pendukung (permodalan, alsintan dan pemangku jabatan); 5. Regulasi pemerintah yang terkait dengan segala aspek pegusahaan tembakau dan hasil industri tembakau, antara lain: UU No 13 Tahun 2003, UU HKI PP 19 Tahun 2003, PP 102 Tahun 2000 tentang standarisasi nasional, PERMEN KEUANGAN No 60/PMK.07/2006, SK Gubernur 188/219/ KPT / 013 / 2006, SK Gubernur 188/219/ KPT / 013 /2008, SK Gubernur tentang UMK yang setiap tahun di revisi; 6. Strategi yang tepat untuk pengembangan usahatani tembakau dalam rangka mensejahterakan petani adalah (a) peningkatkan produktivitas, kualitas dan efisiensi usahatani tembakau berbasis rakyat melalui Inkubator Agribisnis; (2) menyeimbangkan produksi dan penawaran tembakau dengan permintaan industri melalui peningkatan pasar ekspor dan mengurangi impor serta menghasilkan produk baru; dan (3) dukungan kebijakan, baik menyangkut keseimbangan areal budidaya, insentif dan disinsentif, budidaya lahan tradisional, mendorong lembaga koperasi dan asosiasi, manajemen pasar ekspor, mutu/kualitas tembakau dan revitalisasi riset tembakau. Rekomendasi 1. Setiap wilayah penghasil tembakau seyogyanya memiliki peta potensi dan kesesuaian lahan untuk pertanaman tembakau, termasuk kondisi fisik dan kimia tanah; 2. Petani diharapkan mampu mengembangkan kekuatan dan potensi yang ada melalui pembentukan wadah kelembagaan petani yang mandiri, mengakar kuat dan profesional. Adanya lembaga petani yang kuat tersebut diharapkan mampu melakukan secara bersama-sama pada aspek product development, promotion, pricing, planning and distribution; 13

15 3. Para pelaku pertembakauan tidak hanya memiliki kekuatan di pasar produk dan input yang berkaitan dengan usahataninya, tetapi juga perlu kuat dalam lobi politik untuk mendapatkan kebijakan publik yang menguntungkan. 4. Pemerintah hendaknya mampu mewujudkan keberpihakannya dalam melindungi dan memberdayakan petani tembakau. Oleh karena itu, segala bentuk upaya manajemen untuk membangun kehidupan petani dan sektor perkebunan yang dilaksanakan seyogyanya tanpa menyentuh atau mengkonstruksi ulang kelembagaan yang berkaitan dengan pembudidayaan tembakau yang ada; 5. Lembaga Tembakau yang dibentuk pemerintah dan anggota-anggotanya terdiri atas wakil-wakil pemerintah, asosiasi pabrik rokok dan eksportir tembakau, bertugas melakukan pembinaan mutu tembakau yang dihasilkan petani dan perdagangannya di dalam negeri maupun ekspor, serta melakukan pemeriksaan terhadap tembakau yang akan diekspor; 6. Petani, pengusaha dan seluruh pelaku pertembakauan seyogyanya mampu membangun sinergi dan jejaring yang kuat guna menghadapi isue-isue global, terutama yang terkait larangan merokok. Sinergi tersebut difasilitasi pemerintah, diarahkan pada pengembangan teknologi dan produk baru yang tidak melanggar HAM dan menggangu/merusak lingkungan 14

PERMASALAHAN PENGEMBANGAN TEMBAKAU DI JAWA TIMUR. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur

PERMASALAHAN PENGEMBANGAN TEMBAKAU DI JAWA TIMUR. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur PROSIDING LOKAKARYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEMBAKAU MALANG, 6 NOVEMBER 2001 PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN ISBN : 979-954857-3-X PERMASALAHAN PENGEMBANGAN TEMBAKAU DI JAWA TIMUR Dinas Perkebunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya sebagian besar adalah petani. Sektor pertanian adalah salah satu pilar dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa: 1. Penawaran output jagung baik di Jawa Timur maupun di Jawa Barat bersifat elastis

Lebih terperinci

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI PENGERTIAN AGRIBISNIS Arti Sempit Suatu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian sebagai upaya memaksimalkan keuntungan. Arti Luas suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM Hingga tahun 2010, berdasarkan ketersediaan teknologi produksi yang telah ada (varietas unggul dan budidaya), upaya mempertahankan laju peningkatan produksi sebesar

Lebih terperinci

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah

AGRIBISNIS. Sessi 3 MK PIP. Prof. Rudi Febriamansyah AGRIBISNIS Sessi 3 MK PIP Prof. Rudi Febriamansyah AGRIBISNIS Agribisnis dalam arti sempit (tradisional) hanya merujuk pada produsen dan pembuat bahan masukan untuk produksi pertanian Agribisnis dalam

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Nganjuk Visi merupakan pandangan jauh ke depan, ke mana dan bagaimana Pembangunan Pertanian

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013 DIREKTORAT TANAMAN SEMUSIM DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 0 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sistem akuntabilitas kinerja instansi

Lebih terperinci

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga C. Program PERKREDITAN PERMODALAN FISKAL DAN PERDAGANGAN KEBIJAKAN KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PERBAIKAN JALAN DESA KEGIATAN PENDUKUNG PERBAIKAN TATA AIR INFRA STRUKTUR (13.917 ha) Intensifikasi (9900 ha) Non

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN PROGRAM INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN (INBUDKAN) DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : bahwa

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Penetapan visi sebagai bagian dari perencanaan strategi, merupakan satu langkah penting dalam perjalanan suatu organisasi karena

Lebih terperinci

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI PENGERTIAN AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI Agribisnis adalah segala bentuk kegiatan bisnis yang berkaitan dengan usaha tani (kegiatan pertanian) sampai dengan pemasaran komoditi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi BAB III ANALISIS ISU ISU STRATEGIS 3.1 Permasalahan Pembangunan 3.1.1 Permasalahan Kebutuhan Dasar Pemenuhan kebutuhan dasar khususnya pendidikan dan kesehatan masih diharapkan pada permasalahan. Adapun

Lebih terperinci

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis 5Kebijakan Terpadu Pengembangan Agribisnis Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan kondisi yang makin seimbang. Persentase sumbangan sektor pertanian yang pada awal Pelita I sangat

Lebih terperinci

PENGANTAR AGRIBISNIS

PENGANTAR AGRIBISNIS PENGANTAR AGRIBISNIS PENGANTAR AGRIBISNIS I. PEMAHAMAN TENTANG AGRIBISNIS 1. EVOLUSI PERTANIAN MENUJU AGRIBISNIS Berburu dan Meramu budidaya pertanian (farming) ekstensif untuk memenuhi kebutuhan rumah

Lebih terperinci

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT 7.1. Kinerja Lembaga Penunjang Pengembangkan budidaya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang membutuhkan suatu wadah sebagai

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN ii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI iii I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 2 II. TUGAS POKOK DAN FUNGSI... 2

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkebunan sebagai bagian dari sektor pertanian memiliki peranan yang cukup besar pada perekonomian negara Indonesia. Salah satu andalan perkebunan Indonesia

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

KONSEP, SISTEM DAN MATA RANTAI AGRIBISNIS ILLIA SELDON MAGFIROH KULIAH III WAWASAN AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI, UNIVERSITAS JEMBER 2017

KONSEP, SISTEM DAN MATA RANTAI AGRIBISNIS ILLIA SELDON MAGFIROH KULIAH III WAWASAN AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI, UNIVERSITAS JEMBER 2017 KONSEP, SISTEM DAN MATA RANTAI AGRIBISNIS ILLIA SELDON MAGFIROH KULIAH III WAWASAN AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI, UNIVERSITAS JEMBER 2017 PERTANIAN MODEREN berwawasan Agribisnis CARA PANDANG KEGIATAN

Lebih terperinci

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Anton J. Supit Dewan Jagung Nasional Pendahuluan Kemajuan teknologi dalam budidaya jagung semakin

Lebih terperinci

Konsep, Sistem, dan Mata Rantai Agribisnis

Konsep, Sistem, dan Mata Rantai Agribisnis Konsep, Sistem, dan Mata Rantai Agribisnis Contents 1. Pertanian berwawasan agribisnis 2. Konsep Agribisnis 3. Unsur Sistem 4. Mata Rantai Agribisnis 5. Contoh Agribisnis Pertanian Moderen berwawasan Agribisnis

Lebih terperinci

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN 2001-2004: VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN Visi Pembangunan Pertanian Visi pembangunan pertanian dirumuskan sebagai : Terwujudnya masyarakat yang sejahtera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk kegiatan pertanian. Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor

BAB I PENDAHULUAN. untuk kegiatan pertanian. Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki iklim tropis serta lahan yang luas dan subur, serta keanekaragaman hayati yang sangat beragam sehingga cocok untuk kegiatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN H. ISKANDAR ANDI NUHUNG Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

PENGANTAR. Ir. Suprapti

PENGANTAR. Ir. Suprapti PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan tersusunnya Rencana Strategis Direktorat Alat dan Mesin Pertanian Periode 2015 2019 sebagai penjabaran lebih lanjut Rencana Strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program pengembangan agribisnis. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 14 TAHUN 2012 TENTANG AGRIBISNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 14 TAHUN 2012 TENTANG AGRIBISNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR : 14 TAHUN 2012 TENTANG AGRIBISNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa agribisnis memberikan kontribusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering ditemukan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering ditemukan bahwa 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Agribisnis Semakin bergemanya kata agribisnis ternyata belum diikuti dengan pemahaman yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR SUBSISTEM DI DALAM SISTEM AGRIBISNIS KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR SUBSISTEM DI DALAM SISTEM AGRIBISNIS KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN ANALISIS KETERKAITAN ANTAR SUBSISTEM DI DALAM SISTEM AGRIBISNIS KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN OLEH AMELIA 07 114 027 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2011 i ANALISIS

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN

3 KERANGKA PEMIKIRAN 12 ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk komoditas basis tanaman pangan. Tahap ketiga adalah penentuan prioritas komoditas unggulan tanaman pangan oleh para stakeholder dengan metode Analytical Hierarchy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional. Hal ini terlihat dari peranan sektor perkebunan kopi terhadap penyediaan lapangan

Lebih terperinci

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 BOKS REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 I. PENDAHULUAN Dinamika daerah yang semakin kompleks tercermin dari adanya perubahan

Lebih terperinci

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO 10.1. Kebijakan Umum Penduduk Kabupaten Situbondo pada umumnya banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih jauh dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih jauh dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Agribisnis Sering ditemukan bahwa agribisnis diartikan secara sempit, yaitu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya industri pengolahan nonmigas (manufaktur) menempati

Lebih terperinci

Kementerian Pertanian

Kementerian Pertanian KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TEMBAKAU NASIONAL 1 I. PENDAHULUAN 1. Tembakau merupakan salah satu tanaman yang dibudidayakan di Indonesia yang berkembang sudah sejak ratusan tahun yang silam. Kegiatan yang dilakukan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan Juli 1997 mempunyai dampak yang besar terhadap perekonomian negara. Sektor pertanian di lndonesia dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan bagian dari pembangunan nasional. Secara umum posisi sektor perkebunan dalam perekonomian nasional

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KAKAO Penyebaran Kakao Nasional Jawa, 104.241 ha Maluku, Papua, 118.449 ha Luas Areal (HA) NTT,NTB,Bali, 79.302 ha Kalimantan, 44.951 ha Maluku,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah pengembangan hortikultura untuk meningkatkan pendapatan petani kecil. Petani kecil yang dimaksud dalam pengembangan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis mengenai Potensi Pengembangan Produksi Ubi Jalar (Ipomea batatas L.)di Kecamatan Cilimus Kabupaten. Maka sebagai bab akhir pada tulisan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tembakau sebagai bahan baku rokok kretek merupakan komoditas perkebunan yang mempunyai peranan strategis dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai sumber pendapatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan atau kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan ekonomi suatu negara terutama negara yang bercorak agraris seperti Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR A. KONDISI UMUM Sebagai motor penggerak (prime mover) pertumbuhan ekonomi, sektor industri khususnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peran penting dalam pembangunan nasional, karena sektor ini menyerap sumber daya manusia yang paling besar dan merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kemitraan merupakan kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan usaha dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,

Lebih terperinci

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN 8.1. Rekomendasi Kebijakan Umum Rekomendasi kebijakan dalam rangka memperkuat pembangunan perdesaan di Kabupaten Bogor adalah: 1. Pengembangan Usaha Ekonomi Masyarakat, adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI, 2005. Strategi Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Daerah Kota Bogor. Di bawah bimbingan SETIADI DJOHAR dan IDQAN FAHMI. Sektor pertanian bukan merupakan sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

REVITALISASI PERTANIAN

REVITALISASI PERTANIAN REVITALISASI PERTANIAN Pendahuluan 1. Revitalisasi pertanian dan pedesaan, merupakan salah satu strategi yang dipilih oleh Kabinet Indonesia Bersatu dalam upayanya mewujudkan pembangunan masyarakat Indonesia,

Lebih terperinci

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI 8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI Pengembangan agroindustri terintegrasi, seperti dikemukakan oleh Djamhari (2004) yakni ada keterkaitan usaha antara sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN Agar pangsa pasar susu yang dihasilkan peternak domestik dapat ditingkatkan maka masalah-masalah di atas perlu ditanggulangi dengan baik. Revolusi putih harus dilaksanakan sejak

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 99/M-IND/PER/8/2010 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 2001 berdasarkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pendamping dan pembimbing pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluh

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pendamping dan pembimbing pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Percepatan pembangunan pertanian memerlukan peran penyuluh pertanian sebagai pendamping dan pembimbing pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluh mempunyai peran penting

Lebih terperinci

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel 54 ANALISIS SISTEM Sistem pengembangan agroindustri biodiesel berbasis kelapa seperti halnya agroindustri lainnya memiliki hubungan antar elemen yang relatif kompleks dan saling ketergantungan dalam pengelolaannya.

Lebih terperinci

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura. 2. Penerapan budidaya pertanian yang baik / Good Agriculture Practices

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. keriting di lokasi peneltian sudah cukup tinggi, yaitu di atas rata-rata

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. keriting di lokasi peneltian sudah cukup tinggi, yaitu di atas rata-rata VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 1. Tingkat produktivitas yang dicapai petani cabai merah besar dan cabai merah keriting di lokasi peneltian sudah cukup tinggi, yaitu di atas rata-rata produktivitas

Lebih terperinci

Matrik Keterkaitan Dukungan Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian

Matrik Keterkaitan Dukungan Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian Matrik Keterkaitan Dukungan Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian Menko Kesra BI Deptan, Dephut, Kelautan /Kan KLH/ BPN No Kebijakan Menko Perekonomian Depkes, BSN Karantina Kem- Ristek/ BPPT /LIPI 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Studi tentang petani dan usahatani, terutama dari aspek budidaya sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Namun, kajian dan penelitian dalam hal pemilihan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak memberi

BAB I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak memberi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak memberi manfaat tidak saja digunakan sebagai bahan pangan tetapi juga sebagai bahan baku industri

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Pembiayaan dalam dunia usaha sangat dibutuhkan dalam mendukung keberlangsungan suatu usaha yang dijalankan. Dari suatu usaha yang memerlukan pembiayaan

Lebih terperinci

ISU STRATEGIS DAN ARAH KEBIJAKAN

ISU STRATEGIS DAN ARAH KEBIJAKAN ISU STRATEGIS DAN ARAH KEBIJAKAN Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 13 ISU STRATEGIS DAN ARAH KEBIJAKAN 2.1. Permasalahan dan Tantangan Pembangunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Gambar 2.1. Bawang Merah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran,

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan sub-sektor pertanian tanaman pangan, merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan telah terbukti memberikan peranan penting bagi pembangunan nasional,

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING

PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING PEMBERDAYAAN PETANI DENGAN MODEL COOPERATIVE FARMING Sri Nuryanti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A Yani 70, Bogor 16161 PENDAHULUAN Jalur distribusi produk dari produsen

Lebih terperinci

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGUSAHAAN TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER, Menimbang Mengingat : a. bahwa tembakau sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN. NOMOR : 49/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN. NOMOR : 49/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 49/Permentan/OT.140/10/2009 TENTANG KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYULUHAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa untuk mengoptimalkan

Lebih terperinci

STRATEGI DAN KEBIJAKAN INOVASI PENGEMBANAGAN AGROINDUSTRI ROTAN DI KALIMANTAN TENGAH

STRATEGI DAN KEBIJAKAN INOVASI PENGEMBANAGAN AGROINDUSTRI ROTAN DI KALIMANTAN TENGAH STRATEGI DAN KEBIJAKAN INOVASI PENGEMBANAGAN AGROINDUSTRI ROTAN DI KALIMANTAN TENGAH Oleh Dr.Ir.H.Saputera,Msi (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Makanan Tradisional dan Tanaman Obatobatan Lemlit

Lebih terperinci

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015 Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Perindustrian 2015 I. LATAR BELAKANG 2 INDUSTRI AGRO Industri Agro dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN Kementerian Pertanian Seminar Nasional Agribisnis, Universitas Galuh Ciamis, 1 April 2017 Pendahuluan Isi Paparan Kinerja dan permasalahan Posisi

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.1, Hal , Januari-April 2014 ISSN

Jurnal Ilmiah INOVASI, Vol.14 No.1, Hal , Januari-April 2014 ISSN PEMETAAN DAN RENCANA AKSI PENGEMBANGAN INDUSTRI KARET DI PROPINSI JAWA TIMUR Oleh : NANANG DWI WAHYONO *) ABSTRAK Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting. Selain sebagai sumber lapangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 15 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber lapangan kerja, komoditas ini juga memberikan kontribusi yang

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: ANTISIPATIF DAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL. Oleh :

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: ANTISIPATIF DAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL. Oleh : LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: ANTISIPATIF DAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL Oleh : Pantjar Simatupang Agus Pakpahan Erwidodo Ketut Kariyasa M. Maulana Sudi Mardianto PUSAT PENELITIAN

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 03//Permentan/OT.140/1/2011 TANGGAL : 31 Januari 2011 PEDOMAN PEMBINAAN TENAGA HARIAN LEPAS TENAGA BANTU PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia 58 V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH 5.1. Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia Bawang merah sebagai sayuran dataran rendah telah banyak diusahakan hampir di sebagian besar wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa negara Indonesia adalah negara agraris yang harus melibatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Pengembangan Kelembagaan Ekonomi dan Iklim Usaha Kondusif 1. Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi Mendukung terciptanya kesempatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peran pertanian antara lain adalah (1) sektor pertanian menyumbang sekitar 22,3 % dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian masih merupakan prioritas pembangunan secara nasional maupun regional. Sektor pertanian memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk

Lebih terperinci