HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Keju Lunak Rendah Lemak Karakterisasi keju lunak rendah lemak dilakukan sesuai dengan parameter atribut mutu yang diamati selama masa penyimpanan. Untuk satu produk, yang diuji bukan semua parameternya, melainkan hanya salah satu atau beberapa saja, yaitu parameter yang paling cepat mempengaruhi mutu dan umur simpan produk selama penyimpanan (Syarief et al. 1989). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan mutu produk pangan. Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan terdapat enam faktor utama yang mengakibatkan terjadinya penurunan mutu atau kerusakan pada produk pangan, yaitu massa oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi atau bantingan, dan bahan kimia toksik atau off flavor. Untuk produk keju lunak rendah lemak, parameter yang dipilih meliputi kadar air, bilangan TBA (kadar MDA), tekstur (kekerasan), dan ph. Keju merupakan bahan makanan yang mengandung lemak dan mudah teroksidasi, sehingga parameter TBA dipilih sebagai salah satu parameter umur simpannya. Parameter tekstur dan kadar air dipilih berdasarkan kriteria kadaluarsa produk keju yang ditetapkan Floros dan Gnanasekharan (1993) yaitu penurunan kadar air sehingga mengakibatkan perubahan pada kekerasan keju tersebut. Untuk parameter ph dipilih berdasarkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan mikroba dalam keju. Hasil karakterisasi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai awal produk keju lunak rendah lemak Karakteristik Nilai Awal Kadar lemak (%) 19,9 Kadar air (%) 46,24 Tekstur Kekerasan (gf) 36,1 Bilangan TBA (mg MDA/kg sampel) 0,01 ph 5,1 Mikrobiologi BAL (log CFU/gr) 7,28 Coliform (CFU/gr) 0 S. aureus (log CFU/gr) 0,7 Nilai mutu awal menunjukan bahwa kadar lemak keju lunak rendah lemak yang dihasilkan sebesar 19,9% telah sesuai dengan klaim keju lemak rendah yang ditetapkan oleh FDA (2009) yaitu kurang dari 25% dari total lemak pada keju whole milk (lemak penuh). Kadar air keju sebesar 46,24% sudah sesuai dengan standar kadar air keju lunak yaitu >40% (Davis 1965 dalam Gunasekaran

2 32 dan Mehmet 2003). Nilai awal Bilangan TBA keju lunak rendah lemak sebesar 0,01 mg MDA/kg berada dibawah bilangan TBA keju graviera yaitu 0,05 mg MDA/kg (Mexis et al. 2011). Nilai awal ph keju lunak rendah lemak sebesar 5,1, berada pada kisaran ph keju cottage yaitu 5,0-5,3 (Elmer dan James 1990). Analisis mikrobiologi dilakukan untuk melihat bakteri yang terdapat pada awal pembuatan keju. Streptococcus lactis merupakan bakteri yang berfungsi sebagai starter dalam pembuatan keju. Bakteri ini memiliki nilai awal sebesar 7,28 log CFU/gr. Hasil ini tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan bakteri asam laktat pada keju graviera yang memiliki nilai awal sebesar 7,39 log CFU/gr (Mexis et al. 2011). Bakteri yang biasa mengontaminasi keju adalah Coliform dan Staphylococcus aureus yang pada awal pengujian memiliki nilai awal masingmasing sebesar 0 CFU/gr dan 0,7 log CFU/gr. Karakteristik Kemasan Kemasan yang digunakan untuk penyimpanan keju lunak rendah lemak adalah kemasan plastik polipropilen, plastik polietilen, aluminium foil dan edible coating berbahan dasar karagenen. Karakterisasi kemasan bertujuan untuk mendapatkan nilai densitas, dan permeabilitas terhadap uap air dan gas oksigen yang akan berpengaruh terhadap mutu keju selama penyimpanan. Hasil karakterisasi kemasan dapat dilihat pada Tabel 3. Jenis Kemasan Tabel 3 Karakterisasi jenis kemasan Ketebalan Densitas PH 2 O (g/m 2 /24jam) Permeabilitas PO 2 (cc/m 2 /24jam) PP a 0,03 0,9 6,8 2,3 PE a 0,03 0,95 1,3 1,06 AL b 0,05 1,058 0,1773 0,3 EC c 0,10 19,628 9,4 Sumber : a Robertson (1993) b Arundon et al. (2009) c Rusdi (2008) Tabel 3 menunjukan bahwa kemasan yang memiliki ketebalan paling besar adalah kemasan edible coating, diikuti oleh kemasan aluminium, polipropilen dan polietilen. Densitas paling besar dimiliki oleh aluminium foil, diikuti oleh PE dan PP. Informasi tentang densitas pada edible coating terbatas. Namun, dilihat dari nilai permeabilitasnya yang besar, edible coating memiliki densitas yang lebih rendah dari kemasan lainnya. Pengukuran densitas penting dilakukan untuk mengetahui kemampuan suatu kemasan dalam melindungi produk dari air, oksigen, karbondioksida, dan gas-gas lainnya. Densitas yang

3 33 rendah menunjukan bahwa kemasan tersebut memiliki struktur yang terbuka dan permeabilitas yang tinggi sehingga mudah ditembus gas dan fluida (Bierley 1988). Perubahan Parameter Mutu Simpan Selama Penyimpanan Bilangan TBA Angka TBA menjadi faktor penting untuk suatu produk makanan yang mengandung lemak bila dihubungkan dengan kualitas produk. Secara umum, keju rendah lemak memiliki komponen lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan varietas keju lemak penuh (Mistry dan Anderson 1993). Walaupun lebih rendah, kadar lemak yang terkandung pada keju tetap memungkinkan terjadinya reaksi oksidasi antara lemak dengan oksigen. Malonaldehid sebagai hasil oksidasi lemak mengindikasikan adanya ketengikan pada suatu produk. Perubahan angka TBA yang signifikan dapat merubah rasa, tekstur dan aroma dari suatu produk makanan. Hasil analisis bilangan TBA dari tiap perlakuan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2. Gambar 5 menunjukan bahwa kadar malonaldehid pada masing-masing perlakuan semakin meningkat seiring dengan lama waktu penyimpanan. Dari grafik dapat dilihat, semua perlakuan kecuali EC2, memiliki peningkatan tren yang tidak begitu besar. Perlakuan PE1 memiliki peningkatan tren yang paling kecil dengan nilai slope yaitu 0,007. Sedangkan peningkatan tren paling besar dimiliki oleh EC2 dengan nilai slope yaitu 0,045. mg MDA / kg sampel 1,600 1,400 1,200 1,000 0,800 0,600 0,400 0,200 0,000-0, Hari Ke- PP1 PP2 PE1 PE2 y = 0,009x - 0,005 R² = 0,796 y = 0,013x - 0,005 R² = 0,921 y = 0,007x - 0,008 R² = 0,925 y = 0,010x - 0,003 R² = 0,896 y = 0,007x + 0,041 R² = 0,850 y = 0,015x + 0,016 R² = 0,993 y = 0,011x + 0,035 R² = 0,774 y = 0,045x + 0,089 R² = 0,983 Gambar 5 Perubahan angka TBA pada masing-masing perlakuan selama penyimpanan AL1 AL2 EC1 EC2

4 34 Keju yang disimpan pada suhu ruang (PP2, PE2, AL2, EC2) memiliki slope yang lebih besar dari pada produk yang disimpan pada suhu refrigerator (PP1, PE1, AL1, EC1). Semakin tinggi nilai slope menunjukan semakin cepat terjadinya reaksi deteriorasi (penurunan mutu) pada produk. Hal ini menunjukan bahwa keju yang disimpan pada suhu ruang memiliki laju oksidasi lemak yang lebih cepat dibandingkan dengan keju yang disimpan pada suhu refrigerator. Hal ini disebabkan karena penggunaan suhu rendah (pendinginan) dapat memperlambat reaksi metabolisme, reaksi enzimatis, reaksi kimia, termasuk reaksi oksidasi lemak (Fardiaz 1982). Hasil uji t menunjukan bahwa peningkatan bilangan TBA berbeda nyata (p<0,05) antara produk yang disimpan pada suhu refrigerator dengan produk yang disimpan pada suhu ruang (Lampiran 3). Kenaikan bilangan TBA menunjukkan kenaikan kadar malonaldehid selama penyimpanan yang disebabkan adanya proses oksidasi. Proses oksidasi terjadi karena kontak antara oksigen dengan lemak yang menghasilkan asam lemak, kemudian peroksida dioksidasi lebih lanjut membentuk aldehid dalam bentuk malonaldehid sehingga angka TBA meningkat (Fennema 1976). Penggunaan berbagai macam bahan pengemas juga berpengaruh terhadap angka TBA. Lampiran 2 menunjukan bahwa bilangan TBA paling rendah pada akhir pengamatan dimiliki oleh perlakuan PE1 yaitu sebesar 0,23 mg MDA/kg, sedangkan yang tertinggi dimiliki oleh perlakuan EC2 yaitu sebesar 1,325 mg MDA/kg. Berdasarkan bilangan TBA yang didapat, plastik PE memiliki daya tahan terhadap oksigen yang lebih baik dibandingkan produk yang dikemas dengan plastik PP, aluminium foil dan edible coating. Hal ini dipengaruhi oleh densitas dan permeabilitas dari masing-masing kemasan. Kemasan yang memiliki densitas yang tinggi menandakan bahwa kemasan tersebut memiliki struktur yang tertutup, artinya tidak mudah ditembusi fluida dan gas (Bierley et al. 1988). Menurut nilai densitas, kemasan AL yang memiliki densitas paling tinggi seharusnya lebih memiliki daya tahan terhadap oksigen yang lebih baik. Penyimpangan ini terjadi karena pada kemasan AL tidak dilakukan proses vacum packaging (pengemasan vakum) sehingga udara maupun uap air masih bisa menembus kemasan melalui celah-celah yang terbuka. Nilai densitas PP, PE dan AL tidak berbeda jauh, masing-masing sebesar 0,9 g/cm3, 0,95 g/cm3, dan 1,058 g/cm3 (Tabel 3), sehingga angka TBA yang terbentuk tidak jauh berbeda. Sedangkan untuk kemasan EC memiliki densitas

5 35 rendah, yang terlihat dari permeabilitas terhadap O2 dan H 2 O yang tinggi, sehingga laju oksidasinya menjadi lebih besar. Hasil uji sidik ragam menunjukan penggunaan berbagai bahan pengemasan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap peningkatan bilangan TBA (Lampiran 4). Hasil Uji lanjut Duncan menunjukan bahwa peningkatan bilangan TBA pada kemasan PE, AL, dan PP tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata terhadap kemasan EC (Lampiran 5). Sejalan dengan hasil yang di dapat, Mexis et al. (2011) menemukan adanya peningkatan TBA yang signifikan pada keju graviera selama penyimpanan, yang berhubungan langsung terhadap jenis kemasan, waktu dan suhu penyimpanan. Kadar Air Kadar air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan. Kandungan air dalam bahan pangan, selain mempengaruhi terjadinya perubahan fisik, menentukan perubahan mikrobiologi (kandungan mikroba) dalam pangan. Hasil analisis kadar air dari tiap perlakuan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2. % 50,00 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0, Hari Ke- PP1 PP2 PE1 PE2 AL1 AL2 EC1 EC2 y = -0,183x + 45,42 R² = 0,889 y = -0,467x + 43,21 R² = 0,802 y = -0,134x + 46,03 R² = 0,983 y = -0,209x + 44,46 R² = 0,732 y = -0,179x + 45,31 R² = 0,874 y = -0,362x + 43,07 R² = 0,72 y = -0,504x + 40,41 R² = 0,594 y = -1,279x + 42,13 R² = 0,915 Gambar 6 Perubahan kadar air pada masing-masing perlakuan selama penyimpanan Gambar 6 memperlihatkan perubahan kadar air pada masing-masing perlakuan selama penyimpanan. Selama penyimpanan, semua perlakuan mengalami penurunan tren yang ditandai dengan slope negatif. Hal tersebut menunjukan bahwa kadar air pada masing-masing perlakuan semakin menurun seiring dengan lamanya penyimpanan. Semua perlakuan kecuali EC2, memiliki

6 36 penurunan tren yang tidak begitu besar. Perlakuan PE1 memiliki penurunan tren yang paling kecil dengan nilai slope yaitu 0,134 ; diikuti oleh AL1 sebesar 0,179 ; PP1 sebesar 0,183 ; PE2 sebesar 0,209 ; AL2 sebesar 0,362 ; PP1 sebesar 0,467 ; EC1 sebesar 0,504, serta penurunan tren yang paling besar dimiliki oleh EC2 dengan nilai slope sebesar 1,279. Penurunan kadar air pada keju yang disimpan pada refrigerator maupun suhu ruang disebabkan oleh adanya perbedaan kelembaban pada keju dan lingkungannya. Keju lunak rendah lemak memiliki kelembaban sebesar 68%. Sedangkan kelembaban pada suhu refrigerator dan suhu ruang masing-masing ±62% dan ±45%. Menurut Syarief dan Halid (1992), jika kelembaban ruangan lebih kecil dari pada bahan, makanan akan menguapkan sebagian airnya. Kelembaban keju lebih besar dibandingkan dengan kondisi lingkungan penyimpanannya, baik pada refrigerator maupun pada ruangan. Hal ini mengakibatkan terjadinya dehidrasi (berkurangnya air) karena terjadi perpindahan uap air dari keju ke lingkungan sekitar sehingga kadar air dalam keju berkurang. Keju yang disimpan pada suhu ruang (PP2, PE2, AL2, EC2) memiliki penurunan slope yang lebih besar dari pada produk yang disimpan pada suhu refrigerator (PP1, PE1, AL1, EC1). Hal tersebut menunjukan bahwa keju yang disimpan pada suhu ruang memiliki laju dehidrasi yang lebih cepat dibandingkan dengan keju yang disimpan pada suhu refrigerator. Hasil uji t menunjukan bahwa penurunan kadar air tidak berbeda nyata (p>0,05) antara produk yang disimpan pada suhu refrigerator dengan produk yang disimpan pada suhu ruang (Lampiran 3). Penggunaan berbagai macam bahan pengemas juga berpengaruh terhadap penurunan kadar air. Lampiran 2 menunjukan bahwa kadar air paling tinggi pada akhir pengamatan dimiliki oleh perlakuan PE1 yaitu sebesar 42,47%, sedangkan yang terendah dimiliki oleh perlakuan EC2 yaitu sebesar 11,16%. Keju yang dikemas dengan kemasan polietilen menunjukan penurunan kadar air yang lebih kecil dibandingkan dengan kemasan lainnya. Hal ini disebabkan permeabilitas terhadap gas dan uap air pada plastik polietilen lebih rendah dibanding dengan polipropilen, aluminium foil, dan edible coating sehingga pertukaran gas dan uap air tidak mudah terjadi. Diantara seluruh perlakuan, kemasan aluminium foil memiliki densitas yang paling tinggi, serta permeabilitas gas dan uap air yang rendah, sehingga

7 37 pertukaran gas dan uap air relatif kecil. Namun, penurunan kadar air pada kemasan aluminium foil lebih besar dibandingkan dengan kemasan polietilen yang memiliki densitas yang lebih kecil. Hal ini disebabkan pada kemasan aluminium foil tidak dilakukan proses vacum packaging (pengemasan vakum) sehingga gas dan uap air masing bisa masuk ke dalam. Hasil uji sidik ragam menunjukan penggunaan berbagai bahan pengemasan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap penurunan kadar air (Lampiran 4). Hasil uji lanjut Duncan menunjukan bahwa penurunan kadar air pada kemasan PE, AL, dan PP tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata terhadap kemasan EC (Lampiran 5). Tekstur Menurut Floros dan Gnanasekharan (1993), keju memiliki kriteria kadaluwarsa dengan mekanisme penurunan kadar air yang berpengaruh terhadap tekstur. Semakin tinggi kadar air dalam bahan pangan, maka tekstur yang dihasilkan akan semakin lembut, begitu pula sebaliknya. Parameter yang dilihat pada pengukuran tekstur adalah kekerasan. Hasil analisis kekerasan dari tiap perlakuan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2. gf 700,00 600,00 500,00 400,00 300,00 200,00 PP1 PP2 PE1 PE2 AL1 y = 1,262x + 38,78 R² = 0,877 y = 7,049x + 35,82 R² = 0,981 y = 1,016x + 35,71 R² = 0,824 y = 5,172x + 37,55 R² = 0,970 y = 1,203x + 36,81 R² = 0, ,00 AL2 y = 3,497x + 33,39 R² = 0,990 0,00-100, Hari ke- EC1 EC2 y = 17,65x - 25,26 R² = 0,937 y = 21,87x - 32,71 R² = 0,943 Gambar 7 Perubahan tingkat kekerasan pada masing-masing perlakuan selama penyimpanan Gambar 7 memperlihatkan tingkat kekerasan pada semua perlakuan mengalami peningkatan tren yang ditandai dengan slope positif. Hal tersebut menunjukan bahwa tingkat kekerasan pada masing-masing perlakuan semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Dari gambar dapat dilihat,

8 38 masing-masing perlakuan memiliki peningkatan tren yang beragam. Perlakuan PE1 memiliki peningkatan tren yang paling kecil dengan nilai slope yaitu 1,016 ; diikuti oleh AL1 sebesar 1,203 ; PP1 sebesar 1,262 ; AL2 sebesar 3,497 ; PE2 sebesar 5,127 ; PP2 sebesar 7,049 ; EC1 sebesar 17,65, serta peningkatan tren yang paling besar dimiliki oleh EC2 dengan nilai slope sebesar 21,87. Keju yang disimpan pada suhu ruang (PP2, PE2, AL2, EC2) memiliki slope yang lebih besar dari pada produk yang disimpan pada suhu refrigerator (PP1, PE1, AL1, EC1). Semakin tinggi nilai slope menunjukan semakin cepat terjadinya reaksi deteriorasi (penurunan mutu) pada produk. Hal ini menunjukan bahwa keju yang disimpan pada suhu ruang memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keju yang disimpan pada suhu refrigerator. Hal tersebut berkaitan dengan penurunan kadar air pada suhu ruang yang lebih tinggi dari pada yang terjadi pada suhu refrigerator, sehingga berpengaruh terhadap kekerasannya. Hasil uji t menunjukan bahwa peningkatan kekerasan tidak berbeda nyata (p>0,05) antara produk yang disimpan pada suhu refrigerator dengan produk yang disimpan pada suhu ruang (Lampiran 3). Penggunaan berbagai macam bahan pengemas juga berpengaruh terhadap tekstur keju. Lampiran 2 menunjukan bahwa tingkat kekerasan paling rendah pada akhir pengamatan dimiliki oleh perlakuan PE1 yaitu sebesar 60,5 gf. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan tingkat kekerasan AL1 dan PP1 yaitu sebesar 66,75 gf dan 69,92 gf. Sedangkan tingkat kekerasan yang paling tinggi dimiliki oleh perlakuan EC2 sebesar 616,15 gf. Pada kemasan polietilen, polipropilen dan aluminium peningkatan nilai kekerasan memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan nilai densitas dan permeabilitas dari tiap-tiap kemasan tidak jauh berbeda. Diantara seluruh kemasan yang digunakan, kemasan edible coating memiliki nilai kekerasan yang paling tinggi. Hal ini disebabkan lapisan edible coating yang digunakan berbahan dasar polisakarida yang secara umum memiliki perlindungan yang buruk terhadap kadar air. Hal ini mengacu pada sifat alami polisakarida yaitu hidrofilik, dimana pada kelembaban yang tinggi merupakan perlindung oksigen yang kurang baik (Krochta et al. 1994). Selain itu, edible coating yang digunakan memiliki permeabilitas terhadap uap air dan gas yang tinggi dibandingkan dengan kemasan lainnya. Hasil uji sidik ragam menunjukan penggunaan berbagai bahan pengemasan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap peningkatan kekerasan (Lampiran 4). Hasil uji lanjut Duncan

9 39 menunjukan bahwa peningkatan kekerasan pada kemasan PE, AL, dan PP tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata terhadap kemasan EC (Lampiran 5). Nilai ph Nilai ph menunjukkan konsentrasi ion hidrogen yang menggambarkan tingkat keasaman. Semakin tinggi nilai ph berarti tingkat keasaman produk semakin rendah dan sebaliknya, semakin rendah nilai ph berarti tingkat keasaman produk semakin tinggi. Hasil analisis ph dari tiap perlakuan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada awal pengamatan, didapat nilai awal ph keju lunak rendah lemak sebesar 5,1. Nilai ini termasuk dalam katagori ph rendah (ph<7). ph rendah ini disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat Streptococcus lactis pada awal proses pembuatan keju. Bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri yang mempunyai kemampuan untuk membentuk asam laktat sebagai hasil utama dari metabolisme karbohidrat. Asam laktat yang dihasilkan akan menurunkan nilai ph dari lingkungan pertumbuhannya, menimbulkan rasa asam serta menghambat pertumbuhan dari beberapa jenis mikroorganisme lainnya (Fardiaz 1998). 5,80 5,70 5,60 PP1 PP2 y = 0,012x + 5,054 R² = 0,911 y = 0,016x + 5,068 R² = 0,953 ph 5,50 5,40 5,30 5,20 PE1 PE2 AL1 y = 0,011x + 5,03 R² = 0,825 y = 0,014x + 5,038 R² = 0,895 y = 0,016x + 5,072 R² = 0,969 5,10 5,00 4, Hari ke- AL2 EC1 EC2 y = 0,021x + 5,07 R² = 0,981 y = 0,017x + 5,066 R² = 0,964 y = 0,022x + 5,07 R² = 0,984 Gambar 8 Perubahan nilai ph pada masing-masing perlakuan selama penyimpanan Gambar 8 memperlihatkan nilai ph pada semua perlakuan mengalami peningkatan tren yang ditandai dengan slope positif. Hal tersebut menunjukan bahwa nilai ph pada masing-masing perlakuan semakin meningkat seiring

10 40 dengan lamanya penyimpanan. Gambar tersebut menunjukan masing-masing perlakuan memiliki peningkatan tren yang tidak jauh berbeda. Perlakuan PE1 memiliki peningkatan tren yang paling kecil dengan nilai slope yaitu 0,011 ; diikuti oleh PP1 sebesar 0,012 ; PE2 sebesar 0,014 ; AL1 dan PP2 sebesar 0,016 ; EC1 sebesar 0,017 ; AL2 sebesar 0,021, serta peningkatan tren yang paling besar dimiliki oleh EC2 dengan nilai slope sebesar 0,022. Keju yang disimpan pada suhu ruang (PP2, PE2, AL2, EC2) memiliki slope yang lebih besar dari pada produk yang disimpan pada suhu refrigerator (PP1, PE1, AL1, EC1). Hal ini menunjukan bahwa keju yang disimpan pada suhu ruang memiliki nilai ph yang lebih tinggi dibandingkan dengan keju yang disimpan pada suhu refrigerator. Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau mencegah reaksi-reaksi kimia, reaksi enzimatis atau pertumbuhan mikroba. Semakin rendah suhu semakin lambat proses tersebut. Hasil uji t menunjukan bahwa peningkatan nilai ph berbeda nyata (p<0,05) antara produk yang disimpan pada suhu refrigerator dengan produk yang disimpan pada suhu ruang (Lampiran 3). Nilai ph juga mempengaruhi jenis mikroba yang dapat tumbuh. Mikroba pada umumnya dapat tumbuh pada kisaran ph 3 6. Kebanyakan bakteri mempunyai ph optimum, yaitu ph dimana pertumbuhannya maksimum, berkisar antaran 5 7,5. Pada ph dibawah 5,0 dan diatas 8,5 bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik kecuali bakteri asam laktat. Aktivitas bakteri asam laktat berlawanan dengan aktivitas bakteri pathogen. Bakteri asam laktat menghasilkan asam laktat yang dapat menurunkan nilai ph untuk menghambat bakteri pathogen seperti Salmonella dan Staphylococcus aureus (Fardiaz 1998). Tiap-tiap mikroorganisme memiliki suhu pertumbuhan maksimal, minimal dan optimal, yaitu suhu yang memberikan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan diri tercepat. Kebanyakan bakteri asam laktat mempunyai suhu optimum 30 C, tetapi beberapa bakteri dapat membentuk asam dengan kecepatan yang sama pada suhu 37 C maupun 30 C. Suhu ruang merupakan suhu optimal bagi pertumbuhan bakteri asam laktat, dimana bakteri tersebut akan terus tumbuh, mengubah karbohidrat yang ada menjadi asam laktat sampai pada batas tertentu. Pertumbuhan selanjutnya dari bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri (Winarno dan Fardiaz 1980). Selama penyimpanan terjadi peningkatan nilai ph yang disebabkan oleh terhambatnya pertumbuhan bakteri asam laktat serta tumbuhnya organisme proteolitik dan lipolitik lain yang

11 41 memiliki kemampuan melakukan metabolisme asam laktat dan memproduksi komponen alkaline yang bersifat basa (Gerasi 2003). Lampiran 2 menunjukan bahwa nilai ph paling rendah pada akhir pengamatan dimiliki oleh perlakuan PE1 yaitu sebesar 5,38. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan nilai ph pada perlakuan yang lain. Nilai ph paling tinggi dimiliki oleh perlakuan EC2 sebesar 5,71. Hasil uji sidik ragam menunjukan penggunaan berbagai bahan pengemasan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap peningkatan nilai ph (Lampiran 4). Hasil Uji lanjut Duncan menunjukan bahwa kemasan PE dan PP tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata terhadap kemasan AL dan EC (Lampiran 5). Mikrobiologi Produk Keju lunak rendah lemak yang telah dibuat harus memenuhi syarat mutu mikrobiologis yang ditetapkan oleh SNI. Pada penelitian ini mutu mikrobiologis yang diuji meliputi uji pendugaan Coliform, Streptococcus lactis (BAL), dan Staphylococcus aureus. Hasil uji pendugaan mikrobiologi dapat dilihat pada Tabel 4. Kode Tabel 4 Hasil Uji Coliform, BAL dan S. aureus S. aureus Coliform (CFU/g) BAL (log CFU/g) (log CFU/g) PP ,28 7,14 0,70 0,96 PP ,28 7,07 0,70 1,14 PE ,28 7,23 0,70 0,88 PE ,28 7,13 0,70 1,03 AL ,28 7,10 0,70 0,92 AL ,28 7,19 0,70 1,16 EC ,28 7,15 0,70 1,11 EC ,28 7,03 0,70 1,32 Uji pendugaan Coliform dilakukan untuk memastikan bahwa Coliform yang biasanya mengkontaminasi produk melalui air yang digunakan dalam proses pembuatan produk tidak tumbuh pada produk keju. Hasil uji pendugaan Coliform pada penyimpanan hari ke-0 dan ke-28 menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi karena susu yang digunakan dalam proses pembuatan keju merupakan susu yang telah dipasteurisasi. Selain itu, perlatan yang digunakan pada pembuatan keju seperti kain saring, round mould, sendok, dan peralatan lainnya, telah mengalami proses perebusan terlebih dahulu untuk membunuh mikroba yang tidak diinginkan. Hasil uji bakteri ini telah memenuhi

12 42 syarat yang ditetapkan SNI 7388:2009 dimana batas maksimum Coliform pada keju sebesar 10 koloni/g (10 CFU/g). Mikroba yang berperan dalam proses pembuatan keju adalah bakteri asam laktat, yang berfungsi untuk menurunkan ph keju dan membentuk curd. Keju lunak rendah lemak memiliki ph yang rendah pada awal pengamatan (ph 5,1) sehingga termasuk kelompok makanan asam. Nilai ph medium sangat mempengaruhi jenis jasad renik yang dapat tumbuh. Fardiaz (1998) menyatakan bahwa mikroorganisme umumnya dapat tumbuh pada kisaran ph 3-6. Bakteri mempunyai ph optimum sekitar Pada ph di bawah 5.5 dan diatas 8.5 bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik kecuali bakteri asam laktat. Lampiran 2 menunjukan bahwa ph awal dari keju adalah 5,1. Keju berada dalam ph rendah atau kondisi asam yang disebabkan aktivitas bakteri asam laktat (S. lactis) yang berperan sebagai starter pada awal proses pembuatan keju. Tetapi pertumbuhan selanjutnya dari bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri. (Winarno dan Fardiaz 1980). Tabel 4 menunjukan bahwa jumlah BAL pada hari ke-0 sebesar 7,28 log CFU/g, menurun menjadi 7,08 log CFU/g pada hari ke-28. Penurunan BAL mengakibatkan tumbuhnya mikroba lainnya seperti Staphylococcus aureus. Bakteri ini tumbuh dengan baik dalam pangan yang mengandung protein tinggi, gula tinggi dan garam. Jenis bakteri ini dapat memproduksi enteretoksin yang menyebabkan pangan tercemar serta mengakibatkan keracunan pada manusia. Tabel 4 menunjukan bahwa jumlah S. aureus pada hari ke-0 sebesar 0,7 log CFU/g, meningkat menjadi 1,32 log CFU/g pada hari ke-28. Peningkatan ini terjadi akibat dari menurunnya aktivitas BAL sehingga mengakibatkan peningkatan ph yang memicu tumbuhnya bakteri pencemar seperti S.aureus. Hasil uji bakteri S.aureus telah memenuhi syarat yang ditetapkan SNI 7388: 2009 dimana batas maksimum bakteri ini sebesar 10 2 koloni/g (BSN 2009). Penentuan nilai kritis Nilai kritis adalah nilai batas dimana produk makanan sudah tidak dapat diterima lagi atau telah dinyatakan kadaluarsa. Nilai kritis parameter bilangan TBA ditentukan berdasarkan pendekatan dengan menggunakan keju graviera, yaitu 0,79 mg MDA/kg (Mexis et al. 2011). Nilai kritis parameter kadar air ditetapkan berdasarkan batas kritis klaim keju rendah lemak, yaitu 40% (Gunasekaran dan Mehmet 2003). Untuk nilai kritis parameter tekstur, ditetapkan berdasarkan pendekatan dengan keju lunak sejenis, yaitu keju feta. Analisis nilai

13 43 kritis tekstur keju feta yang didapat untuk kekerasan adalah 287 gf. Sedangkan nilai kritis ph mengacu pada ph dimana bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik yaitu ph 5,5 (Fardiaz 1998). Nilai Kritis produk keju lunak rendah lemak dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai kritis produk keju lunak rendah lemak Parameter Nilai Kritis Kadar air a (%) 40 Tekstur b 287 Kekerasan (gf) Bilangan TBA c 0,79 (mg malonaldehid/kg sampel) ph d 5,5 Mikrobiologi e Coliform (CFU/g) 10 Staphylococcus aureus (log CFU/g) 2 Sumber : a Gunasekaran dan Mehmet (2003) b Hasil analisis kekerasan keju Feta c Mexis et al. (2011) d Fardiaz (1998) e BSN (2009) Pendugaan Umur Simpan Berdasarkan Parameter Mutu Hasil analisis parameter mutu dari tiap perlakuan selama masa penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2. Data tersebut kemudian diolah lebih lanjut lagi untuk melihat nilai koefisien determinasi (R 2 ) ordo nol maupun ordo 1. Pemilihan ordo reaksi yang sesuai dapat dilakukan dengan memplotkan nilai mutu masing-masing parameter setiap minggunya mengikuti ordo reaksi 0 ataupun ordo reaksi 1. Pada ordo 0, data nilai mutu (sumbu-y) diplotkan terhadap waktu penyimpanan (sumbu-x), sedangkan pada ordo 1 yang diplotkan ke dalam sumbu-y adalah dalam bentuk ln nilai mutu. Adapun grafik ordo nol dan satu dari keempat parameter mutu tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6, Lampiran 7, Lampiran 8, dan Lampiran 9. Ordo yang dipilih adalah ordo yang memiliki koefisien determinasi (R 2 ) paling besar. Nilai k yang diperoleh dari persamaan tersebut kemudian diplotkan ke dalam grafik dengan 1/T sebagai sumbu-x dan ln k sebagai sumbu-y. Dari persamaan tersebut diperoleh nilai energi aktivasi dan nilai k per minggu dari keempat parameter yang dapat dilihat pada Lampiran 10, Lampiran 11, Lampiran 12 dan Lampiran 13. Selanjutnya nilai k tersebut diplotkan ke dalam persamaan perhitungan umur simpan mengikuti ordonya masing-masing, sehingga dapat diperoleh umur simpan dan energi aktivasi keempat parameter mutu dari masingmasing perlakuan yang dapat dilihat pada Tabel 6.

14 44 Tabel 6 Umur simpan dan energi aktivasi dari beberapa paremeter perlakuan Umur Simpan (hari) Ea Parameter Rata-rata PP1 PP2 PE1 PE2 AL1 AL2 EC1 EC2 (kal/mol) TBA Kadar air kekerasan ph Tabel 6 menunjukan bahwa pada parameter bilangan TBA, perlakuan yang memiliki umur simpan paling panjang yaitu PE1 dan AL1 yaitu sebesar 111 hari, sedangkan perlakuan yang memiliki umur simpan paling pendek yaitu EC2 sebesar 17 hari. Umur simpan parameter kadar air menunjukan bahwa perlakuan yang memiliki umur simpan paling panjang adalah PE1 sebesar 48 hari, sedangkan perlakuan yang memiliki umur simpan paling pendek yaitu EC2 sebesar 3 hari. Umur simpan parameter kekerasan menunjukan bahwa perlakuan yang memiliki umur simpan paling panjang yaitu PE1 sebesar 247 hari, sedangkan perlakuan yang memiliki umur simpan paling pendek yaitu EC2 sebesar 19 hari. Sedangkan untuk umur simpan parameter ph, perlakuan yang memiliki umur simpan paling panjang yaitu PE1 sebesar 36 hari, sedangkan perlakuan yang memiliki umur simpan paling pendek yaitu EC2 sebesar 19 hari. Energi aktivasi rata-rata dari tiap parameter berkisar antara 2,2 Kal/mol hingga 9,14 Kal/mol. Energi aktivasi tertinggi dimiliki oleh parameter kekerasan sebesar kal/mol. Sedangkan energi aktivasi terendah dimiliki oleh parameter ph sebesar kal/mol. Nilai energi aktivasi dari keempat parameter mutu tersebut termasuk pada golongan energi aktivasi rendah (2-15 Kal/mol), yang artinya reaksi kimia pada keempat parameter mutu tersebut mudah dicapai, termasuk reaksi metabolisme, enzimatis, maupun reaksi penurunan mutu pada produk keju lunak rendah lemak. Contoh perhitungan umur simpan dengan metode Arrhenius dapat dilihat pada Lampiran 14. Penentuan Parameter Pembatas Penolakan Produk Menurut Kusnandar (2006), ada beberapa kriteria dalam pemilihan parameter mutu untuk menentukan umur simpan suatu produk, yaitu: 1) parameter mutu yang paling cepat mengalami penurunan selama penyimpanan yang ditunjukkan dengan nilai koefisien k mutlak atau nilai koefisien korelasi (R 2 ) paling besar, 2) parameter mutu yang paling sensitive terhadap perubahan suhu yang dilihat dari nilai kemiringan (slope) persamaan Arrhenius atau dapat dilihat dari energi aktivasi (Ea) yang paling rendah, 3) bila terdapat lebih dari satu

15 45 parameter mutu yang memenuhi kriteria, maka dipilih parameter mutu yang memiliki umur simpan lebih pendek. Berdasarkan kriteria pemilihan parameter pambatas penolakan produk oleh Kusnandar (2006), penentuan parameter pembatas penolakan produk keju lunak rendah lemak dipilih berdasarkan parameter yang memiliki energi aktivasi paling rendah dan umur simpan paling pendek. Dari parameter pembatas tersebut, kemudian ditentukan perlakuan mana yang memiliki umur simpan paling panjang diantara perlakuan lainnya. Tabel 6 menunjukan bahwa parameter ph memiliki nilai energi aktivasi paling kecil yaitu kal/mol dan umur simpan terpendek diantara keempat parameter lainnya, yaitu berkisar antara hari. Parameter tersebut dipilih sebagai parameter pembatas penolakan produk. Untuk menentukan perlakuan terbaik, ditentukan perlakuan yang memiliki umur simpan paling panjang. Perlakuan yang memiliki umur simpan paling panjang pada parameter ph adalah PE2 yaitu keju yang dikemas menggunakan plastik polietilen dan disimpan dalam suhu 5 o C, dengan umur simpan sebesar 36 hari. Menurut Walstra et al. (2006), fresh cheese memiliki umur simpan yang terbatas, yaitu 2 minggu dibawah kondisi penyimpanan dingin. Hasil pendugaan umur simpan keju lunak rendah lemak tidak jauh berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Ray (2003), dimana keju yang dikemas dengan kemasan vakum dan disimpan pada suhu refrigerator memiliki umur simpan hingga 30 hari atau lebih. Uji Organoleptik Perlakuan yang memiliki umur simpan yang paling panjang selanjutnya dilakukan uji organoleptik. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik dan uji mutu hedonik. Menurut Setyaningsih et al. (2010), uji hedonik digunakan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap suatu produk. Panelis diminta tanggapannya tentang kesukaan atau ketidaksukaannya terhadap suatu produk. Sedangkan uji mutu hedonik digunakan untuk mengetahui kesan panelis terhadap sifat produk secara lebih spesifik. Kesan mutu hedonik lebih spesifik dari pada sekedar kesan suka atau tidak suka, seperti empuk-keras pada daging, pulen-keras untuk nasi, renyah untuk mentimun. Panelis yang digunakan dalam uji organoleptik adalah panelis tidak terlatih yang berjumlah 30 orang. Panelis berprofesi sebagai mahasiswa (D3 dan S1) dan analis laboratorium Balai Besar Pascapanen Pertanian, Bogor. Panelis

16 46 tergolong panelis tidak terlatih didasarkan pada tidak adanya pelatihan khusus yang diberikan kepada mereka mengenai uji organoleptik produk keju. Uji organoleptik dilakukan dengan memberikan skor 1 sampai 5 terhadap parameter yang diuji. Tampilan lembar uji organoleptik disajikan pada Lampiran 15. Panelis melakukan uji hedonik dan uji mutu hedonik dari 2 produk keju. Produk yang pertama yaitu keju lunak rendah lemak yang baru diproduksi (M0), sedangkan produk yang kedua adalah keju lunak rendah lemak yang dikemas dalam plastik polietilen, dan disimpan pada suhu 5 o C selama 2 minggu (PEM2). Gambar 9 Penampakan keju M0 (kiri) dan PEM2 (kanan) Parameter dari uji hedonik keju lunak rendah lemak meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan keju, dengan penilaian skala 1 (sangat tidak suka) hingga skala 5 (sangat suka). Tabel hasil rata-rata nilai uji hedonik keju lunak rendah lemak dapat dilihat pada Lampiran 16. Grafik hasil uji hedonik terhadap parameter warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan keju dapat dilihat pada Gambar 10. Uji Hedonik 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 3,37 3,33 3,07 3,13 3,10 2,93 2,90 2,87 2,63 2,43 Warna Tekstur Aroma Rasa Keseluruhan PE M0 PE M2 Gambar 10 Grafik hasil uji hedonik keju lunak rendah lemak

17 47 Parameter dari uji mutu hedonik keju meliputi warna, aroma, rasa dan tekstur keju. Nilai yang digunakan untuk parameter warna adalah skala 1 (sangat putih) hingga 5 (kuning), parameter aroma skala 1 (sangat harum) hingga 5 (sangat langu), parameter rasa skala 1 (sangat asin) hingga 5 (sangat asam), parameter tekstur skala 1 (sangat halus) hingga 5 (sangat kasar). Tabel hasil rata-rata nilai uji mutu hedonik keju lunak rendah lemak dapat dilihat pada Lampiran 18. Grafik hasil uji mutu hedonik terhadap parameter warna, aroma, rasa, dan tekstur keju dapat dilihat pada Gambar 11. Uji Mutu Hedonik 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 3,7 3,53 3,63 3,6 3,06 2,73 2,2 2,23 Warna Tekstur Aroma Rasa PE M0 PE M2 Gambar 11 Grafik hasil uji mutu hedonik keju lunak rendah lemak Warna Warna merupakan atribut sensori pertama yang dapat dilihat langsung oleh panelis. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberikan kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya (Setyaningsih et al. 2010). Hasil penilaian uji hedonik (Gambar 10) menunjukkan bahwa nilai ratarata tingkat kesukaan panelis terhadap parameter warna keju segar dengan keju yang telah mengalami penyimpanan dan pengemasan tidak jauh berbeda, yaitu 3,37 dan 3,33. Nilai tersebut menunjukan tingkat kesukaan kedua perlakuan yaitu biasa. Hasil uji t menunjukan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap parameter warna dari kedua perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 17). Hasil uji mutu hedonik terhadap parameter warna (Gambar 11) menunjukkan bahwa keju segar memiliki nilai 2,2 yaitu putih, sedangkan keju yang telah mengalami penyimpanan memiliki nilai 3,7 yaitu putih kekuningan. Hasil uji t

18 48 menunjukan bahwa warna keju dari kedua perlakuan berbeda nyata (p<0,05). (Lampiran 19). Dari hasil uji hedonik dan mutu hedonik parameter warna, dapat disimpulkan walaupun kedua perlakuan memiliki perbedaan penilaian warna, namun tingkat kesukaan panelis terhadap kedua perlakuan tetap sama, yaitu biasa. Aroma. Aroma adalah bau yang ditimbulkan oleh rangsangan kimia yang tercium oleh syaraf-syaraf olfaktori yang berada dalam rongga hidung (Soekarto 1990). Hasil uji hedonik (Gambar 10) menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap parameter aroma keju segar dengan keju yang telah mengalami penyimpanan tidak jauh berbeda, yaitu 2,93 dan 2,63. Nilai tersebut menunjukan tingkat kesukaan kedua perlakuan yaitu biasa. Hasil uji t menunjukan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap parameter aroma dari kedua perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 17). Hasil uji mutu hedonik (Gambar 12) terhadap parameter aroma menunjukkan bahwa keju segar memiliki nilai 3,06 yaitu tidak berbau, sedangkan keju yang telah mengalami penyimpanan memiliki nilai 3,6 yaitu agak langu. Hasil uji t menunjukan bahwa aroma keju dari kedua perlakuan berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 19). Dari hasil uji hedonik dan mutu hedonik parameter aroma, dapat disimpulkan walaupun kedua perlakuan memiliki perbedaan penilaian aroma, namun tingkat kesukaan panelis terhadap kedua perlakuan tetap sama, yaitu biasa. Tekstur Tingkat tekstur suatu produk dihasilkan dengan cara merasakannya kekasaran dan kehalusan produk tersebut di dalam mulut. Hasil uji hedonik (Gambar 10) menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap parameter tekstur keju segar dengan keju yang telah mengalami penyimpanan tidak jauh berbeda, yaitu 3,07 dan 3,13. Nilai tersebut menunjukan tingkat kesukaan kedua perlakuan yaitu biasa. Hasil uji t menunjukan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap parameter tekstur dari kedua perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 17). Hasil uji mutu hedonik (Gambar 11) terhadap parameter tekstur menunjukkan bahwa nilai dari kedua perlakuan tidak jauh berbeda. Tekstur keju segar dan yang telah mengalami penyimpanan berturut-turut memiliki nilai 3,53 dan 3,63 yaitu berkisar antara biasa dan kasar. Hasil uji t menunjukan bahwa

19 49 tekstur keju dari kedua perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 19). Dari hasil uji hedonik dan mutu hedonik parameter aroma, dapat disimpulkan bahwa kedua perlakuan tidak memiliki perbedaan penilaian tekstur, dan tingkat kesukaan panelis terhadap kedua perlakuan sama, yaitu biasa. Rasa Rasa adalah sugesti kejiwaan terhadap makanan yang menentukan nilai pemuasan orang yang memakannya (Soekarto 1990). Mutu rasa merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keputusan akhir konsumen untuk dapat menerima atau menolak suatu produk walaupun atribut penilaian yang lain baik, tetapi jika rasa tidak enak maka produk akan segera ditolak oleh konsumen. Hasil uji hedonik (Gambar 10) menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap parameter rasa keju yang baru diproduksi sebesar 2,9 yaitu biasa. Sedangkan untuk keju yang telah mengalami penyimpanan memiliki nilai sebesar 2,43 yaitu tidak suka. Hasil uji t menunjukan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap parameter rasa dari kedua perlakuan berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 17). Hasil uji mutu hedonik (Gambar 11) terhadap parameter rasa menunjukkan bahwa keju yang baru diproduksi memiliki nilai 2,23 yaitu asin, sedangkan keju yang telah mengalami penyimpanan memiliki nilai 2,73 yaitu tidak berasa. Hasil uji t menunjukan bahwa rasa keju dari kedua perlakuan berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 19). Dari hasil uji hedonik dan mutu hedonik parameter rasa, maka dapat disimpulkan bahwa kedua perlakuan memiliki perbedaan penilaian rasa, dan tingkat kesukaan. Rasa asin pada keju segar lebih disukai panelis dibandingkan rasa pada keju yang telah mengalami penyimpanan dan pengemasan. Keseluruhan Hasil uji hedonik (Gambar 11) menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan keju yang baru diproduksi sebesar 3,1 yaitu biasa. Sedangkan untuk keju yang telah mengalami penyimpanan memiliki nilai sebesar 2,87 yaitu antara biasa dan tidak suka. Hasil uji t menunjukan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap keselurhan dari kedua perlakuan tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 17). Maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan antara keju segar dengan keju yang telah mengalami penyimpanan dan pengemasan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Permen Jelly Pepaya Karakteristik permen jelly pepaya diketahui dengan melakukan analisis proksimat dan uji mikrobiologis terhadap produk permen jelly pepaya.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI PRODUK Karakteristik produk diketahui dengan melakukan analisis proksimat terhadap produk teh hijau. Analisis proksimat yang dilakukan adalah kadar air, kadar

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING (Laporan Penelitian) Oleh PUTRI CYNTIA DEWI JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PETANIAN

Lebih terperinci

ABSTRAK. Keripik pisang merupakan makanan ringan yang mudah mengalami ketengikan. Salah

ABSTRAK. Keripik pisang merupakan makanan ringan yang mudah mengalami ketengikan. Salah 1 KAJIAN LAMA SIMPAN KERIPIK PISANG KEPOK PUTIH (Musa acuminate sp.) BERDASARKAN TINGKAT AROMA, RASA DAN KERENYAHAN ORGANOLEPTIK DALAM BERBAGAI JENIS KEMASAN DENGAN MODEL PENDEKATAN ARRHENIUS Citra Ratri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bawang putih, dan asam jawa. Masing-masing produsen bumbu rujak ada yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. bawang putih, dan asam jawa. Masing-masing produsen bumbu rujak ada yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bumbu rujak Rujak manis adalah semacam salad. Rujak manis terdiri dari campuran beberapa potongan buah segar dengan dibumbui saus manis pedas. Pada umumnya bumbu rujak manis terbuat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGERINGAN BEKATUL Proses pengeringan bekatul dilakukan dengan pengering rak karena cocok untuk bahan padat, suhu udara dapat dikontrol, dan terdapat sirkulator udara. Kipas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Produk baru yang dihasilkan harus memiliki penanganan yang tepat agar

Lebih terperinci

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN Paper Pendugaan Umur Simpan Produk Kopi Instan Formula Merk-Z Dengan Metode Arrhenius, kami ambil dari hasil karya tulis Christamam Herry Wijaya yang merupakan tugas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I. PENDAHULUAN. mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Konsentrasi O dan CO dalam Kemasan mempunyai densitas antara.915 hingga.939 g/cm 3 dan sebesar,9 g/cm 3, dimana densitas berpengaruh terhadap laju pertukaran udara

Lebih terperinci

PENDUGAAN MASA KADALUWARSA DENDENG LUMAT IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) PADA KEMASAN ALUMINIUM FOIL. Oleh

PENDUGAAN MASA KADALUWARSA DENDENG LUMAT IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) PADA KEMASAN ALUMINIUM FOIL. Oleh PENDUGAAN MASA KADALUWARSA DENDENG LUMAT IKAN PATIN (Pangasius hypophthalmus) PADA KEMASAN ALUMINIUM FOIL Oleh Elita Suryani Gultom 1), Dahlia 2), Suparmi 2) Abstract The research was to estimate the shelf

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah, Maksud dan tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Kerangka Berpikir, Hipotesa penelitian dan Waktu dan tempat penelitian.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pengolahan Bumbu Pasta Ayam Goreng Proses pengolahan bumbu pasta ayam goreng meliputi tahapan sortasi, penggilingan, penumisan, dan pengentalan serta pengemasan. Sortasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PRODUK Karakteristik produk diketahui dengan melakukan analisis proksimat dan uji mikrobial terhadap produk kopi instan formula. Analisis proksimat yang dilakukan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Teknologi

III. METODE PENELITIAN. Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Teknologi III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Biomassa, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian di Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering Uji pembedaan segitiga dilakukan untuk melihat perbedaan ikan teri hasil perlakuan dengan ikan teri komersial.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Sosis Sapi Nilai ph Sosis Sapi Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. 4.1 Angka Lempeng Total (ALT) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Angka lempeng total mikroba yang diperoleh dari hasil pengujian terhadap permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. Tabel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%)

Lebih terperinci

PENENTUAN KADALUWARSA PRODUK PANGAN

PENENTUAN KADALUWARSA PRODUK PANGAN PENENTUAN KADALUWARSA PRODUK PANGAN HANDOUT MATA KULIAH : REGULASI PANGAN (KI 531) OLEH : SUSIWI S JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA F P M I P A UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009 Handout PENENTUAN KADALUWARSA

Lebih terperinci

pangan fungsional yang beredar di pasaran. Salah satu pangan fungsional yang

pangan fungsional yang beredar di pasaran. Salah satu pangan fungsional yang III. KERANGKA PIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pikiran Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan memicu banyaknya produk pangan fungsional yang beredar di pasaran. Salah satu pangan fungsional

Lebih terperinci

SHELF LIFE OF Spirulina BISCUIT WITH DIFFERENT PACKAGING By: ABSTRACT

SHELF LIFE OF Spirulina BISCUIT WITH DIFFERENT PACKAGING By:   ABSTRACT PENDUGAAN UMUR SIMPAN BISKUIT Spirulina DENGAN MENGGUNAKAN JENIS KEMASAN YANG BERBEDA Oleh: Moulitya Dila Astari (1), Dewita (2), Suparmi (2) Email: moulitya@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan November 2011 sampai Januari 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Cisolok, Palabuhanratu, Jawa Barat. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kendal terkenal dengan sentra pertanian, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kendal terkenal dengan sentra pertanian, salah satunya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Kendal terkenal dengan sentra pertanian, salah satunya adalah budidaya jambu biji. Jambu biji jenis getas merah (Psidium guajava Linn) merupakan jenis jambu

Lebih terperinci

JURNAL ISSN TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 4 No. 1; Juni 2017

JURNAL ISSN TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 4 No. 1; Juni 2017 JURNAL ISSN 2407-4624 TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 4 No. 1; Juni 2017 PENENTUAN UMUR SIMPAN GETUK PISANG RAINBOW YANG DIKEMAS MENGGUNAKAN KEMASAN PLASTIK POLIETILEN FATIMAH 1*, DWI SANDRI 1, NANA YULIANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kriteria yaitu warna, kenampakan, tekstur, rasa, dan aroma. Adapun hasil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kriteria yaitu warna, kenampakan, tekstur, rasa, dan aroma. Adapun hasil Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Organoleptik Ikan Tongkol Asap Uji organoleptik/mutu hedonik ikan tongkol asap dinilai berdasarkan pada kriteria yaitu warna, kenampakan, tekstur,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Pengamatan suhu alat pengering dilakukan empat kali dalam satu hari selama tiga hari dan pada pengamatan ini alat pengering belum berisi ikan (Gambar

Lebih terperinci

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus Populasi Kultur Starter HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Perhitungan populasi dilakukan untuk mendapatkan kultur starter yang terbaik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pada tahap pendahulan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN EDIBLE COATING TERHADAP SUSUT BOBOT, ph, DAN KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BUAH POTONG PADA PENYAJIAN HIDANGAN DESSERT ABSTRAK

PENGARUH PENGGUNAAN EDIBLE COATING TERHADAP SUSUT BOBOT, ph, DAN KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BUAH POTONG PADA PENYAJIAN HIDANGAN DESSERT ABSTRAK PENGARUH PENGGUNAAN EDIBLE COATING TERHADAP SUSUT BOBOT, ph, DAN KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BUAH POTONG PADA PENYAJIAN HIDANGAN DESSERT Alsuhendra 1, Ridawati 1, dan Agus Iman Santoso 2 1 Staf Pengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat mempengaruhi seseorang di saat mereka dewasa.

Lebih terperinci

Sifat Kritis dan Umur Simpan Ukel Manis

Sifat Kritis dan Umur Simpan Ukel Manis Ika Murti Dewi,Sifat Kritis dan Umur Simpan Ukel Manis 47 Sifat Kritis dan Umur Simpan Ukel Manis Ika Murti Dewi 1), Agung Wazyka 2), Astuti Setyowati 2) Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN

PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN Pertemuan Minggu ke 6 Kelas B Juni Sumarmono & Kusuma Widayaka ILMU PASCAPANEN PETERNAKAN 2017 Kualitas Baik Edible (dapat dimakan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengawetan dengan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat atau menghentikan metabolisme. Hal ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa respirasi pada buah dan sayuran tetap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah melon yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011) 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selais (Ompok hypophthalmus) Ikan Ompok hypophthalmus dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais, sedangkan di Kalimantan disebut lais

Lebih terperinci

Gambar 1. Wortel segar

Gambar 1. Wortel segar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Wortel Wortel (Daucus carota) adalah tumbuhan sayur yang ditanam sepanjang tahun, terutama di daerah pegunungan yang memiliki suhu udara dingin dan lembab, kurang lebih

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengolahan Kerupuk Jagung 4.1.1 Pencampuran Adonan Proses pencampuran adonan ada dua kali yaitu dengan cara manual (tangan) dan kedua dengan menggunakan mixer. Langkah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf. Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf. Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf 4.1.1 Daya Ikat Air Meatloaf Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang rawan ayam terhadap daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan dari kerusakan. Kemasan makanan di masa modern sudah

BAB I PENDAHULUAN. makanan dari kerusakan. Kemasan makanan di masa modern sudah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengemasan makanan merupakan hal penting untuk melindungi bahan makanan dari kerusakan. Kemasan makanan di masa modern sudah berkembang dengan pesat menuju kemasan praktis

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN MBAHASAN A. SUSUT BOBOT Perubahan susut bobot seledri diukur dengan menimbang bobot seledri setiap hari. Berdasarkan hasil pengukuran selama penyimpanan, ternyata susut bobot seledri mengalami

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Pengujian Aktivitas Rennet dalam Mengkoagulasikan Susu

PEMBAHASAN Pengujian Aktivitas Rennet dalam Mengkoagulasikan Susu PEMBAHASAN Pengujian Aktivitas Rennet dalam Mengkoagulasikan Susu Uji aktivitas rennet menggunakan susu yang telah dipasteurisasi. Pasteurisasi susu digunakan untuk menstandardisasikan kualitas biologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengasapan Ikan Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan untuk mempertahankan daya awet ikan dengan mempergunakan bahan bakar kayu sebagai penghasil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN SERI I 4.1.1. Perubahan Kapasitas Antioksidan Bir Pletok Selama Penyimpanan Penentuan kapasitas antioksidan diawali dengan menentukan persamaan kurva standar asam

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIS MEKANIS BAHAN PENGEMAS B. KARAKTERISASI AWAL YOGURT KACANG HIJAU

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIS MEKANIS BAHAN PENGEMAS B. KARAKTERISASI AWAL YOGURT KACANG HIJAU IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIS MEKANIS BAHAN PENGEMAS Sifat-sifat fisis-mekanis kemasan yang digunakan untuk mengemas yogurt kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, dapat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah jenis tanaman sayur umbi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah jenis tanaman sayur umbi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mengunakan ikan nike sebanyak 3 kg, fluktuasi suhu yang diperoleh pada ruang pengering antara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mengunakan ikan nike sebanyak 3 kg, fluktuasi suhu yang diperoleh pada ruang pengering antara BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Berdasarkanpenelitian pendahuluan, suhu yang diperoleh dalam alat pengeringan tanpa ikan berfluktuasi antara 35 º C - 41 º C selama 1 jam. Selanjutnya

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi. Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

1 I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi. Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Waktu

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat Keripik wortel sebagai bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil produksi sendiri yang dilakukan di laboratorium proses Balai Besar Industri

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab I akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Pada penelitian pendahuluan dilakukan kajian pembuatan manisan pala untuk kemudian dikalengkan. Manisan pala dibuat dengan bahan baku yang diperoleh dari

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I. PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGUKURAN LAJU RESPIRASI Setelah dipanen ternyata sayuran, buah-buahan, dan umbi-umbian masih mengalami proses respirasi oleh karena itu sayuran, buah-buahan dan umbiumbian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditi hasil perikanan yang banyak digemari oleh masyarakat karena selain rasanya enak juga merupakan sumber protein hewani. Kandungan protein

Lebih terperinci

PENENTUAN UMUR SIMPAN BUMBU RUJAK DALAM KEMASAN BOTOL PLASTIK MENGGUNAKAN METODE ARRHENIUS

PENENTUAN UMUR SIMPAN BUMBU RUJAK DALAM KEMASAN BOTOL PLASTIK MENGGUNAKAN METODE ARRHENIUS PENENTUAN UMUR SIMPAN BUMBU RUJAK DALAM KEMASAN BOTOL PLASTIK MENGGUNAKAN METODE ARRHENIUS (Determination Of Shelf-Life Rujak Seasoning Packed In Plastic Bottle Using Arrhenius Method) Ida Ayu Agung Putri

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. menghasilkan bau, sebagai zat harus bersifat menguap. Dua zat atau. atau saling menutupi (Setyaningsih, dkk., 2010).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. menghasilkan bau, sebagai zat harus bersifat menguap. Dua zat atau. atau saling menutupi (Setyaningsih, dkk., 2010). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Organoleptik 1. Aroma Bau atau aroma merupakan sifat sensori yang paling sulit untuk diklasifikasikan dan dijelaskan karena ragamnya yang begitu besar, agar menghasilkan

Lebih terperinci

Ulangan 1 Ulangan 2 (%)

Ulangan 1 Ulangan 2 (%) BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA Deskripsi dan analisis data memuat penjelasan tentang hasil penelitian. Hasil yang diperoleh selama proses penelitian meliputi data sifat kimia, sifat fisik dan organoleptik

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Konsentrasi KMnO 4 Terhadap Susut Berat Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap susut berat cabai merah berbeda nyata

Lebih terperinci

TEKNIK PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN Interaksi Bahan dan Teknologi Pengemasan

TEKNIK PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN Interaksi Bahan dan Teknologi Pengemasan TEKNIK PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN Interaksi Bahan dan Teknologi Pengemasan Interaksi Bahan dan Kemasan Pertukaran Udara dan Panas Kelembaban Udara Pengaruh Cahaya Aspek Biologi Penyimpanan Migrasi Zat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. sehat juga semakin meningkat. Produk-produk fermentasi bisa berasal dari berbagai

I PENDAHULUAN. sehat juga semakin meningkat. Produk-produk fermentasi bisa berasal dari berbagai I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, dan (6) Hipotesis Penelitian.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pembuatan yang dibuat pada riset ini dibuat dari kitosan dengan penambahan ekstrak bawang putih sebagai bahan aktif. Kitosan dilarutkan dengan menggunakan asam asetat 1% sedangkan

Lebih terperinci

Analisis Kandungan Mikroba Pada Permen Soba Alga Laut Kappaphycus Alvarezii Selama Penyimpanan

Analisis Kandungan Mikroba Pada Permen Soba Alga Laut Kappaphycus Alvarezii Selama Penyimpanan Analisis Kandungan Mikroba Pada Permen Soba Alga Laut Kappaphycus Alvarezii Selama Penyimpanan 1,2 Srinildawaty Badu, 2 Yuniarti Koniyo, 3 Rully Tuiyo 1 badu_srinilda@yahoo.com 2 Jurusan Teknologi Perikanan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Ion Leakage Ion merupakan muatan larutan baik berupa atom maupun molekul dan dengan reaksi transfer elektron sesuai dengan bilangan oksidasinya menghasilkan ion.

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KOMPOSISI SAMPEL PENGUJIAN Pada penelitian ini, komposisi sampel pengujian dibagi dalam 5 grup. Pada Tabel 4.1 di bawah ini tertera kode sampel pengujian untuk tiap grup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ketersediaan air, oksigen, dan suhu. Keadaan aerobik pada buah dengan kadar

I. PENDAHULUAN. ketersediaan air, oksigen, dan suhu. Keadaan aerobik pada buah dengan kadar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Buah merupakan salah satu produk pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan. Buah mengandung banyak nutrisi, air, dan serat, serta kaya akan karbohidrat sehingga

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra 240210080133 BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra 240210080133 BAB VI PEMBAHASAN BAB VI PEMBAHASAN Pada praktikum ini membahas mengenai Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme Selama Proses Aging Keju. Keju terbuat dari bahan baku susu, baik susu sapi, kambing, atau kerbau. Proses pembuatannya

Lebih terperinci

V. SIMPULAN DAN SARAN. 1. Variasi konsentrasi ekstrak buah naga merah (Hylocereus polyrhizus)

V. SIMPULAN DAN SARAN. 1. Variasi konsentrasi ekstrak buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Variasi konsentrasi ekstrak buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) memberikan perbedaan pengaruh terhadap kualitas minuman probiotik, meliputi ph, kadar protein, total

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Laju Respirasi dengan Perlakuan Persentase Glukomanan Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah sawo yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu merupakan produk hewani yang umum dikonsumsi oleh manusia mulai dari anak-anak hingga dewasa karena kandungan nutrisinya yang lengkap. Menurut Codex (1999), susu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

I. PENDAHULUAN. (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat I. PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan sebanyak dua kali. Penelitian pendahuluan yang pertama dimaksudkan untuk menentukan jenis bahan tambahan pengental yang

Lebih terperinci

UMUR SIMPAN. 31 October

UMUR SIMPAN. 31 October UMUR SIMPAN 31 October 2014 1 Outline 1. Pendahuluan 2. Umur Simpan 3. Penentuan Umur Simpan 4. Penutup 31 October 2014 2 Pendahuluan Makanan dan minuman disimpan, holding time mutu menurun. Produk minuman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan

HASIL DAN PEMBAHASAN. yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Enkapsulasi Minyak Cengkeh Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan perbandingan konsentrasi yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Yoghurt merupakan salah satu bentuk produk minuman hasil pengolahan susu yang memanfaatkan mikroba dalam proses fermentasi susu segar menjadi bentuk produk emulsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keju merupakan salah satu hasil olahan susu yang dikenal oleh masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Keju merupakan salah satu hasil olahan susu yang dikenal oleh masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keju merupakan salah satu hasil olahan susu yang dikenal oleh masyarakat Indonesia, yang bermanfaat karena tahan lama serta memiliki kandungan lemak, protein,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Susu merupakan bahan pangan yang baik bagi manusia karena mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Susu adalah suatu

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Balai Besar Industri Agro (BBIA) Cikaret, Bogor dan Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie basah merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU Proses penggorengan keripik durian dengan mesin penggorengan vakum dilakukan di UKM Mekar Sari di Dusun Boleleu No. 18 Desa Sido Makmur Kecamatan Sipora Utara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Hasil 4... Penelitian Pendahuluan Sebelum dilakukan penelitian utama, terlebih dahulu dilakukan penelitian pendahuluan pembuatan permen cokelat dengan penambahan daging ikan

Lebih terperinci