BAB II REGULASI MENGENAI PENYADAPAN BADAN INTELIJEN NEGARA. Seperti diketahui, saat ini di Indonesia, sedikitnya terdapat sembilan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II REGULASI MENGENAI PENYADAPAN BADAN INTELIJEN NEGARA. Seperti diketahui, saat ini di Indonesia, sedikitnya terdapat sembilan"

Transkripsi

1 BAB II REGULASI MENGENAI PENYADAPAN BADAN INTELIJEN NEGARA Seperti diketahui, saat ini di Indonesia, sedikitnya terdapat sembilan undang-undang yang memberikan kewenangan penyadapan kepada instansi penegak hukum, dengan mekanisme dan cara yang berbeda-beda. Kesembilan peraturan perundang-undangan tersebut adalah: (1) Bab XXVII KUHP tentang Kejahatan Jabatan, (2) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (4) UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, (5) Perpu Nomor 1 Tahun tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disahkan menjadi Undang-undang nomor 15 tahun 2003, (6) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, (7) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (8) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan (9) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pengaturan penyadapan ini penting diatur diatur, karena penyadapan merupakan salah satu cara untuk memperoleh alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Apabila terjadi penyadapan, maka sangat jelas adanya pembatasan atau pengurangan hak dari seseorang yaitu, hak untuk memberikan informasi kepada orang lain atau salaing bertukar informasi dengan orang lain. Badan Intelijen Negara adalah salah satu lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan berdasarkan pasal 31 Undang-undang nomor 17 tahun Secara prinsipil, dilihat dari fungsi dan kewenangannya,

2 lembaga Intelijen Negara sudah sepatutnya diberikan wewenang untuk melakukan intersepsi komunikasi yaitu penyadapan. Penyadapan ini berfungsi untuk memudahkan Negara dalam menyelidiki suatu tidak kejahatan terhadap keamanan Negara. Akan tetapi, penyadapan rentan dengan pelanggaran privasi seseorang. Maka itu, sebenarnya dalam praktik internasional, undang-undang nasional yang mengatur mengenai kewenangan penyadapan bagi lembaga intelijen, harus secara tegas mengatur mengenai hal-hal berikut ini: (1) tindakan intersepsi yang dapat dilakukan, (2) tujuan dalam melakukan intersepsi, (3) kelompok objek dan individu yang dapat dilakukan intersepsi, (4) batas kecurigaan atau bukti permulaan, yang diperlukan untuk membenarkan penggunaan tindakan intersepsi, (5) pengaturan mengenai pembatasan durasi dalam melakukan tindakan intersepsi, (6) prosedur otorisasi perijinan, dan (7) pengawasan serta peninjauan atas tindakan intersepsi yang dilakukan. Pada bab ini akan dibahas mengenai bagaimana wewenang penyadapan oleh Badan Intelijen Negara itu dan apa saja kejahatan yang dapat dilakukan tindakan penyadapan. A. Wewenang Mengenai Penyadapan oleh Badan Intelijen Negara. Penyadapan diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. antara lain adalah Undang-undang Kamnas (Keamanan Nasional), UU Narkotika, UU KPK, UU Kejaksaan, UU Terorisme, UU Kepolisian dan Undang-undang Intelijen Negara. Peraturan terkait dengan kewenangan penyadapan : 1. Undang-undang no 5 tahun 1997 tentang Psikotropika

3 2. Undang- undang nomor 22 tahun 1997 (diubah dengan undang-undang nomor 35 tahun 2009) tentang Narkotika 3. Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4. Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi 5. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana korupsi 6. Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 7. Undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat 8. Peraturan Pemerintah nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi 9. Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 10. Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 11. KUHP pasal 430 ayat Permenkominfo nomor 11 tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Di Indonesia, ada terdapat beberapa lembaga negara yang memiliki kewenangan penyadapan. Contohnya adalah KPK. Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Namun berbeda

4 penyadapan KPK dengan Badan Intelijen Negara. Penyadapan di KPK digunakan sebagai fungsi penegakan hukum, sedangkan Badan Intelijen Negara bukanlah menjalankan fungsi penegakan hukum. Badan Intelijen Negara Wewenang mengenai penyadapan, baik itu di dalam UU ITE, UU narkotika, dan Undang-undang lainnya, terdapat pengaturan regulasi mengenai penyadapan. Regulasi ini dimaksudkan untuk memberikan adanya kepastian hukum kepada masyarakat sipil. Berbicara mengenai wewenang mengenai Penyadapan oleh BIN, hal ini dimaksudkan agar Intelijen bisa melakukan deteksi sejak awal dari sebuah ancaman. Penyadapan hanya boleh dilakukan ketika ada indikasi yaitu berupa sebuah ancaman kepada negara. Biasanya, lembaga-lembaga negara seperti kepolisian, kejaksaan, ataupun yang lainnya diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Tak berbeda dengan Intelijen negara yang juga diberikan kewenangan tersebut. Kewenangan penyadapan oleh BIN dapat dilihat yaitu menyadap, memeriksa aliran dana, dan penggalian informasi dengan meminta keterangan kepada kementerian lembaga pemerintah non kementerian dan atau lembaga lain. 15 Badan Intelijen negara adalah merupakan lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk melakukan kegiatan intelijen. Kegiatan Intelijen yang dilakukan Badan Intelijen Negara ini, sebagaimana tercantum dalam pasal 10 ayat 15 n-berwenang-lakukan-penyadapan&catid=59:kriminal-a-hukum&itemid=91

5 (1) Undang-undang Intelijen negara nomor 17 tahun 2011, yaitu menyelenggarakan fungsi intelijen dalam negeri dan luar negeri. Tugas Badan Intelijen negara adalah untuk melaksanakan fungsi intelijen dalam dan luar negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Undangundang nomor 17 tahun Tugas dari Badan Intelijen Negara yang dimuat dalam Pasal 29 antara lain adalah melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen, menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah, melakukan perencanaan dan dan pelaksanaan aktivitas intelijen, membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan/atau lembaga asing dan memberikan pertimbangan saran, rekomendasi tentang pengamanan penyeleggaraan pemerintahan. Intelijen dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 29 Undang-undang nomor 17 tahun 2011, maka Badan Intelijen Negara diberikan wewenang. Wewenang Badan Intelijen Negara tercantum dalam pasal 30 dan 31 undang-undang nomor 17 tahun Kewenangan itu dalam Pasal 30 yaitu menyusun rencana dan kebijakan nasional di bidang intelijen secara menyeluruh, meminta bahan keterangan kepada kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, dan atau lembaga lain sesuai dengan kepentingan dan prioritasnya, melakukan kerjasama intelijen dengan negara lain, membentuk satuan tugas. Selain daripada kewenangan yang tercantum dalam pasl 30 tersebut, BIN juga diberikan kewenangan oleh negara seperti yang tercantum dalam Pasal 31 undang-undang Intelijen Negara nomor 17 tahun Kewenangan tersebut

6 adalah melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan : a. Kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional, meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup dan atau : b. Kegiatan terorisme, separatisme, spionase dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum. Undang-undang nomor 7 tahun 2011 yang dimaksud dengan ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegatan dan tindakan baik dari dalam ataupun luar negeri yang dinilai dan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional, baik ideologi politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Ancaman ini, termasuk juga sebagai kejahatan terhadap kepentingan hukum negara. 16 Tindak pidana yang termasuk dalam kategori mengancam kepentingan negara adalah tindak pidana yang diatur dalam Bab I, II, III, IV, VIII, IX, dan XXVIII Buku II KUHP. Dalam buku II KUHP dapat dilihat bahwa kejahatan yang diatur yaitu kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap negara (atau menyangkut ketatanegaraan). Menurut Simons, kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam buku II KUHP bukanlah merupakan satu-satunya jenis kejahatan yang 16 P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Kepentingan Negara, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 3

7 dapat dipandang sebagai kejahatan yang ditujukan terhadap kepentingankepentingan hukum dari negara, karena disamping kejahatan-kejahatan tersebut masih terdapat kejahatan lain yang dapat dimasukkan kedalam pengertiannya. Kejahatan tersebut antara lain : a. kejahatan yang ditujukan terhadap pegawai negeri dalam melaksanakan tugas jabatan mereka yang sah ; b. kejahatan yang ditujukan terhadap lembaga-lembaga yang secara langsung ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan ; c. kejahatan yang ditujukan pada pelaksanaan tugas peradilan ; d. kejahatan yang dilakukan oleh pegawai negeri dalam jabatan. 17 Dapat dilihat bahwa penyadapan merupakan kewenangan yang diberikan kepada negara kepada intelijen apabila sudah mempunyai bukti permulaan yang cukup. Pengaturan tentang penyadapan tak hanya diatur dalam Undang-undang Intelijen Negara dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Dalam pasal 32 ayat 2 bahwa penyadapan terhadap sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 undang-undang nomor 17 tahun 2011 dilaksanakan dangan ketentuan : Untuk penyelenggaraan fungsi intelijen a. Atas perintah kepala badan intelijen b. Jangka waktu penyadapan paling lama 6(enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan. Undang-undang Intelijen Negara dalam Pasal 32 ayat 3 disebutkan bahwa penyadapan baru hanya dapat dilakukan terhadap sasaran yang telah mempunyai 17 P.A.F Lamintang & Theo lamintang, Ibid hal. 3

8 bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan ketua Pengadilan Negeri. Meskipun demikian, penyadapan yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara adalah bukan merupakan fungsi penegakan hukum. Hal itu diperjelas dalam pasal 34 Undang-undang Nomor 17 tahun 2011 yang mengatakan bahwa penyadapan itu hanya dapat dilakukan untuk penyelenggaraan fungsi intelijen, perintah kepala Badan Intelijen Negara, tanpa melakukan penahanan/penangkapan, dan bekerja sama dengan penegak hukum yang terkait. B. Bentuk Kejahatan Yang Dapat Dilakukan Penyadapan oleh Badan Intelijen Negara Pasal 31 Undang-undang nomor 17 tahun 2011, Badan Intelijen Negara diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan oleh negara. Dalam pasal ini disebutkan bahwa Badan Intelijen Negara memiliki wewenang untuk melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan : a. Kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional, meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup dan atau : b. Kegiatan terorisme, separatisme, spionase dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.

9 Pasal 31 huruf b undang-undang Intelijen Negara dapat kita lihat uraiannya sebagai berikut : 1. Terorisme Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta sering kali merupakan warga sipil. Sedangkan perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan), dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Kegiatan terorisme mempuyai tujuan untuk membuat orang lain takut sehingga demikian dapat menarik perhatian orang kelompok atau suatu bangsa. Dalam Undang-undang terorisme nomor 15 tahun 2003, tidak disebutkan secara eksplisit pengertian terorisme. Namun, dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2002 yang selanjutnya diubah menjadi undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan rumusan : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas keerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitias internasional. Dari pengertian pasal 6 tersebut, dapat dilihat bahwa dalam hubungannya dengan tindak pidana lain adalah sebagai delik genus dari tindak pidana terorisme.

10 Sebagai delik genus, maka semua tindak pidana yang termasuk kategori terorisme harus mengandung/memuat sifat utama dari genus tindak pidana terorisme. 18 Pengertian terorisme secara ekplisit memang belum ada. Dan hingga saat ini, pengertian terorisme menurut hukum Internasional juga belum ada. Pengertian Terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppresion of Teorism (ECST) di Eropa tahun Terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes Againts State menjadi Crimes againts Humanity. Crimes againts Humanity tersebut meliputi tindak pidana untuk menciptakan sesuatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam suasana teror. Dalam kaitan Hak Azasi Manusia, crimes agints humanity termasuk dalam kategori gross violation of human rights yang dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa tak bersalah (public by Innocent). 19 Namun, ada beberapa pengertian Terorisme dari beberapa lembaga ataupun pakar yaitu : 1. Central Inteligence Agency (CIA) Terorisme Internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing 18 Badan Pembinaan Hukum Nasinal Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia RI, Pengkajian Hukum Tentang Perlindungan Hukum Bagi Korban Terorisme, Jakarta, 2008, hal Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004

11 2. The Arab Convention on the Suppressioon of Terorism (1998) Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjualankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka, mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun harta pribadi atau menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional. 3. Konvensi PBB tahun 1973 Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud mencipatakan bentuk teror terhadap orangorang tertentu atau kelompok masyarakat luas. 20 Sedangkan menurut beberapa ahli yaitu 1. Evans dan Murphy Terorisme adalah pengunaan kekerasan yang disengaja, atau ancaman penggunaan kekerasan oleh sekelompok pelaku yang diarahkan pada sasaransasaran yang dimiliki atau dibawah tanggungjawab pihak yang diserang. 2. Syed Hussein Alatas Terorisme adalah mereka yang merancang ketakutan sebagai senjata persengketaan terhadap lawan dengan serangan pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar dari segi agama 20 Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Siddik, Ibid hal 24-29

12 atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh dilakukan bagi mencapai tujuan matlamat persengketaan. National Advisory Committee dalam The Report of the Task Force on Disorders and Terorism sebagaimana dikutip Muladi, terorisme dibagi dalam 5 tipologi yaitu : a. Terorisme Politik ; mencakup perilaku kriminal yang dilakukan dengan kekerasan yang didesain terutama untuk menimbulkan ketakutan di lingkungan masyarakat dengan tujuan politis; b. Terorisme Nonpolitik ; dilakukan untuk tujuan-tujuan keuntungan pribadi, termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi; c. Quasi Terorisme; menggambarkan aktivitas yang bersifat insidental untuk melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan caranya menyerupai terorisme, tetapi tidak mempunyai unsur esensialnya ; d. Terorisme Politik Terbatas; menunjuk kepada pembuatan terorisme yang dilakukan untuk tujuan atau motif politik, tetapi tidak merupakan bagian dari suatu kampanye bersama untuk menguasai pengendalian negara ; e. Terorisme Pejabat atau Negara (official or state terorism), terjadi di suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan. 21 Karakteristik daripada organisasi terorisme adalah : 1. Nonstate-supported Group. Organisasi teroris ini semacam organisasi terorisme yang paling sederhana. Organisasi ini tidak didukung oleh salah satu negara. Organisasi 21 Ali Masyhar, Op. Cit, hal. 48

13 terorisme non state-supported ini adalah kelompok kecil yang memiliki kepentingan khusus, seperti kelompok anti korupsi, kelompok anti globalisasi dan lainnya. hanya saja dalam menjalankan aksi anti nya, kelompok ini menggunakan cara teror seperti pembakaran, penjarahan dan penyanderaan. Terlihat dari isu terornya, organisasi ini merupakan organisasi teror yang menekankan pada aspek perjuangan ideologi, dengan menciptakan kekacauan ideologi (disorder ideology) dalam tatanan masyarakat. Kelompok organisasi teroris dalam kategori ini, memiliki kemampuan terbatas, dan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang diperlukan untuk memberikan dukungan atau kontribusi lain demi kelangsungan kelompoknya dalam periode waktu tertentu 2. State-sponsored Groups. Organisasi terorisme jenis ini memperoleh dukungan baik berupa logistik, pelatihan militer, maupun dukungan administratif dari negara lain. Berbeda dengan Nonstate sponsored Group, kelompok ini bersifat profesional, artinya memiliki struktur organisasi yang jelas meskipun bersifat rahasia atau tertutup (clandestine). Selain itu cara yang dipergunakan dalam melakukan teror lebih terorganisir dan terencana. Contoh kelompok teroris yang termasuk dalam golongan ini adalah Provisonal Irish Republican Army (PIRA) yang dibentuk pada tahun 1970 dengan jumlah anggota dua ratus sampai dengan empat ratus yang memiliki daerah operasi di Irlandia utara. PIRA merupakan kelompok teroris yang bertanggungjawab atas pembunuhan Rev. Robert Bradfort, anggota parlemen Inggris di Belfast dan juga pada peristiwa peledakan bom di pintu belakang Royal Courts. Kelompok ini mendapatkan sponsor dari Libya berupa pasokan senjata,

14 tempat pelatihan, dan logistik dalam menjalankan aksinya. Contoh teraktual dari kelompok dalam kategori ini adalah kelompok teroris yang diberi nama Jamaah Islamiah yang diduga memiliki hubungan yang erat dengan kelompok al-qaeda dan bertanggungjawab atas peledakan bom di Bali tanggal 12 oktober 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang. 3. State-directed Groups. Organisasi kelompok teroris ini berupa organisasi yang didukung langsung oleh suatu negara. Berbeda dengan State-sponsored Groups negara memberikan dukungannya secara terang-terangan, bahkan negara tersebut yang membentuk organisasi teroris tersebut, meskipun negara tersebut tidak pernah mengklaim organisasi bentukannya merupakan organisasi teror. Contoh dari organisasi ini adalah organisasi Special Force yang dibentuk Iran pada 1984, untuk tujuan penyebaran paham Islam Fundamentalis di wilayah teluk Persiadan Afrika Utara. Sifat, tindakan pelaku dan tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, serta target-target metode terorisme kini semakin luas dana bervariasi. sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia ( crime aginst peace and security of mankind). Muladi berpendapat bahwa tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagai mala par se atau mala in se yaitu tergolong kejahatan terhadap hati nurani menjadi suatu yang jahat bukan karena diatur atau dialrang undang-undang melainkan pada dasarnya tergolng sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves, bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh undang-undang.

15 2. Separatisme Separatisme dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai paham atau gerakan untuk memisahkan diri (mendirikan negara sendiri). Separatisme sendiri biasanya dilakukan atas dasar nasionalisme atau kegiatan religius. selain itu juga separatisme bisa terjadi karena kurangnya kekuatan politis dan ekonomi suatu kelompok. 22 Separatisme politis adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya manusia dengan kesadaran kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (atau suatu negara lain). Gerakan separatisme bukanlah hal yang asing bagi dunia internasional. Separatisme merupakan ancaman bagi setiap negara khususnya bagi negara yang bentuknya negara kesatuan. Negara superpower seperti USSR (Union of soviet socialist Republic) telah mengalami kerugian daripada ancaman gerakan seperatisme ini yang menyebabkan negaranya pecah. Tak hanya itu, negaranegara seperti Yugoslavia, Cina, India, dan banyak negara lainnya juga pernah mengalaminya. Bahkan jika dilihat dari persamaanya dengan Indonesia, maka dapat dilihat bahwa negara Indonesia juga pernah mengalami hal yang sama. Contohnya adalah lepasnya provinsi Timor-timor dari Indonesia yang kini mendirikan suatu negara yang berdauat sendiri dengan nama Republik Demokratik Timor Leste pada tahun Separatisme adalah salah satu bentuk kejahatan terhadap negara (makar). Digolongkannya separatisme sebagai kejahatan terhadap keamanan negara adalah

16 karena separatisme memenuhi unsur kejahatan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 106 KUHP. Pasal 106 KUHP mengatakan bahwa : Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun. Dapat dilihat dari pasal 106 bahwa yang menjadi objek penyerangan adalah kedaulatan negara. Dan dari cara yang disebutkan dalam pasal 106 KUHP tersebut kedaulatan negara dapat dirusak atau terganggu keamanannya melalui 2 cara yaitu : Pertama adalah menaklukkan, kemudian menyerahkan seluruh daerah negara atau bagiannya kepada negara asing dan yang kedua adalah memisahkan sebahagian daerah dari negara itu kemudian membuat bagian daerah itu menjadi suatu negara yang berdaulat sendiri. 24 Separatisme juga sama dengan kejahatan yang lain. Namun, tindakan separatisme tidak ditentukan berdasarkan berhasil atau tidaknya kejahatan tersebut untuk dikategorikan sebagai kejahatan. Berbeda dengan kejahatan misalnya pembunuhan, walapun sudah ada pelaksanaan, dan apabila tindakannya gagal dan tidak menyebabkan kematian orang, maka hal itu bukanlah kejahatan pembunuhan. Kejahatan separatisme ini, berhasil atau tidaknya ditentukan oleh faktor yang ada. Tindakan separatisme yang berhasil itu biasanya dipermudah dengan faktor seperti sejarah pembentukan negara yang diapksakan seperti Uni Soviet, 24

17 atau karena terdiri dari satu kesatuan politik tradisional. Faktor yang paling besar menentukan besarnya keberhasilan separatisme adalah faktor kekuasaan baik di dalam ataupun luar negeri. Selain itu, separatisme juga dipengaruhi oleh dukungan Internasional. Iwan Gardono Sudjatmiko membuat tipologi daripada tindakan separatisme ini. 1. Yang pertama adalah pusat dan Internasional tidak mendukung separatisme dalam hal ini gerakasn separatisme akan sulit dalam melakukan kejahatannya. 2. Yang kedua adalah kombinasi antara pemerintah yang memberikan izin bagi daerah untuk melakukan separatisme dan lingkungan internasional menolaknya 3. Yang Ketiga adalah pusat yang menolak separatisme dan daerah mendapatkan dukungan internasional. Dalam hal ini, separatisme bisa berhasil atau gagal. 4.Yang keempat adalah kombinasi antara pusat yang memberikan izin separatisme ataupun tidak mampu mencegahnya dan lingkungan internasional yang netral dan mendukung. 25 Keempat tipologi separatisme ini menunjukkan bahwa kegiatan separatis itu bergantung pada faktor dari laur negeri dan dalam negeri terutama faktor politik. 3. Spionase Spionase (pengintaian) adalah suatu praktik untuk mengumpulkan informasi mengenai sebuah organisasi atau lembaga yang dianggap rahasia tanpa izin dari pemilik yang sah dari informasi tersebut. 26 Istilah spionase biasanya dianggap sebagai suatu keadaan memata-matai musuh potensial atau aktual, terutama untuk tujuan militer, dan kini telah berkembang sebagai suatu keadaan 25 Identitas?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem 26

18 memata-matai perusahaan, yang dikenal sebagai Spionase Industrial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia spionase diartikan sebagai penyelidikan secara rahasia terhadap data kemiliteran dan data ekonomi negara lain. 4. Sabotase Sabotase adalah tindakan pengerusakan yang dilakukan secara terencana, disengaja dan tersembunyi dari peralatan, personel dan aktivitas dari bidang sasaran yang ingin dihancurkan yang berada di tengah-tengah masyarakat dan kehancuran itu menimbulkan efek psikologis yang besar. 27 Sabotase sering digunakan untuk melumpuhkan lawan-lawan politik yang sedang menguasai wilayah tertentu. Jika dibagi, maka ada dua bentuk sabotase, yaitu sabotase dalam level besar dan sabotase dalam level kecil. Sabotase dalam level besar mempunyai efek yang luas baik di tingkat nasional maupun internasional. Contoh dari sabotase level besar ini adalah sabotase di level hukum, sabotase di level Ekonomi dan sabotase di level Informasi. 28 Kalau sabotase di level hukum dan Ekonomi, biasanya adalah sabotase yang dilakukan melalui proses-proses politik. Efek yang ditimbulkannya tidak secara langsung merusak tatanan keamanan dan kedaulatan negara. Namun untuk sabotase Informasi, biasanya dilakukan untuk merusak tatanan negara. Sabotase Informasi ini digunakan sebagai alat untuk menutup atau membocorkan rahasia negara yang mengakibatkan bocornya rahasia negara dan mengakibatkan terancamnya kedaulatan negara

19 Sabotase Informasi adalah salah satu jenis sabotase yang paling sering digunakan untuk mengancam keutuhan negara. Sabotase Informasi biasanya memakai kerjasama dengan pihak-pihak lain yang kontra terhadap suatu negara. Maka tak jarang sabotase juga melibatkan pihak luar. Tak hanya itu, dilakukannya sabotase ini adalah karena faktor sulitnya untuk membuktikan telah terjadinya kejahatan. Sedangkan Sabotase di Level yang kecil memepunyai sasaran yang kecil juga. Sabotase ini pernah dilakukan semasa Zaman Orde baru dengan istilah subversif yang melibatkan anggota Intelijen.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME I. UMUM Sejalan dengan tujuan nasional Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat dari aksi-aksi teror yang terjadi dewasa ini seolah-olah memberi gambaran bahwa kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok kelas menengah ke bawah, lebih banyak didorong oleh

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok kelas menengah ke bawah, lebih banyak didorong oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seluruh masyarakat yang ada di dunia ini sebenarnya mendambakan dan membutuhkan kedamaian, kecukupan dan kemakmuran. Namun, seringkali yang diperoleh adalah sebaliknya,

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB III INTERSEPSI DALAM KONSTRUKSI HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. INTERSEPSI DALAM RUMUSAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III INTERSEPSI DALAM KONSTRUKSI HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. INTERSEPSI DALAM RUMUSAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA BAB III INTERSEPSI DALAM KONSTRUKSI HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. INTERSEPSI DALAM RUMUSAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak banyak dari regulasi tersebut

Lebih terperinci

BAB IV KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM MENGENAI HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME

BAB IV KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM MENGENAI HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME BAB IV KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM MENGENAI HUKUMAN PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME A. Persamaan Hukuman Pelaku Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif dan Pidana Islam Mengenai

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme I. PARA PEMOHON 1. Umar Abduh; 2. Haris Rusly; 3. John Helmi Mempi; 4. Hartsa Mashirul

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Romania, selanjutmya disebut Para Pihak :

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Romania, selanjutmya disebut Para Pihak : PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH ROMANIA TENTANG KERJASAMA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORGANISIR TRANSNASIONAL, TERORISME DAN JENIS KEJAHATAN LAINNYA Pemerintah

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB III. (mengamat-ngamati) seseorang; dinas rahasia. 1 Menurut International

BAB III. (mengamat-ngamati) seseorang; dinas rahasia. 1 Menurut International BAB III KEWENANGAN BADAN INTELIJEN NEGARA DALAM MELAKUKAN PENYADAPAN DAN PENGGALIAN INFORMASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA A. Gambaran Umum Intelijen Negara Secara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA I. UMUM Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Oleh : Erasmus A. T. Napitupulu Institute for Criminal Justice Reform Pengantar Penyadapan merupakan alat yang sangat efektif dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2003 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2003 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2003 PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002 PEMBERLAKUAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002

Lebih terperinci

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Polandia, selanjutnya disebut Para Pihak :

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Polandia, selanjutnya disebut Para Pihak : PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK POLANDIA TENTANG KERJASAMA PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORGANISIR TRANSNASIONAL DAN KEJAHATAN LAINNYA Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1 Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1.1 Pemeriksaan oleh PPATK Pemeriksaan adalah proses identifikasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak. hubungan Indonesia dengan dunia Internasional.

I. PENDAHULUAN. serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak. hubungan Indonesia dengan dunia Internasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peristiwa pengeboman yang terjadi di Wilayah Negara Republik Indonesia telah menimbulkan rasa takut masyarakat secara luas. Mengakibatkan hilangnya nyawa serta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut penjelasan Pasal 31 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut penjelasan Pasal 31 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut penjelasan Pasal 31 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 19 Nov 2010 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pemerintahan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG RAHASIA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG RAHASIA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG RAHASIA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME, MENJADI UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang termasuk dalam HAM adalah hak untuk tidak diperlakukan semena-mena

BAB I PENDAHULUAN. yang termasuk dalam HAM adalah hak untuk tidak diperlakukan semena-mena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang UUD 1945, jelas mengatur bahwa Negara harus menjunjung tinggi dan mengakui HAM sebagai hak yang tertinggi yang dimiliki oleh manusia. Salah satu yang termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme

BAB I PENDAHULUAN. diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terorisme adalah kata dengan beragam interpretasi yang paling banyak diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme sampai saat

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5406 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang menjadi perhatian dunia dewasa ini. Bukan sekedar aksi teror semata, namun pada kenyataannya tindak

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5952 KOMUNIKASI. INFORMASI. Transaksi. Elektronik. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada bukan hanya kepentingan domestic tetapi juga kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. kepada bukan hanya kepentingan domestic tetapi juga kepentingan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rangkaian tindak pidana terorisme di Indonesia telah memakan korban jiwa dan ratusan orang luka-luka, termasuk kasus bom Bali tahun 2002 yang lalu. Wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG 2.1 Bentuk Kejahatan Narkotika Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG INTELIJEN NEGARA 22 MARET 2011

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG INTELIJEN NEGARA 22 MARET 2011 DAFTAR INVENTARISASI MASALAH () RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG INTELIJEN NEGARA 22 MARET 2011 1. RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG INTELIJEN NEGARA 2. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. 1. Akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana terorisme antara lain:

BAB III PENUTUP. 1. Akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana terorisme antara lain: BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana terorisme antara lain:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berawal dari aksi teror dalam bentuk bom yang meledak di Bali pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berawal dari aksi teror dalam bentuk bom yang meledak di Bali pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berawal dari aksi teror dalam bentuk bom yang meledak di Bali pada tanggal 12 oktober 2002 hingga bom yang meledak di JW Marriott dan Ritz- Carlton Jumat pagi

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : NOMOR 2 TAHUN 2002 PEMBERLAKUAN NOMOR 1 TAHUN 2002 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME, PADA PERISTIWA PELEDAKAN BOM DI BALI TANGGAL 12 OKTOBER 2002 Menimbang : Mengingat : Menetapkan : PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

http://www.warungbaca.com/2016/12/download-undang-undang-nomor-19-tahun.html UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.251, 2016 KOMUNIKASI. INFORMASI. Transaksi. Elektronik. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG TERORISME

BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG TERORISME BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG TERORISME A. Pengertian Terorisme Pengertian dan definisi mengenai terorisme sampai sekarang masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan juga dirumuskan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 PENETAPAN PENGADILAN TENTANG BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP UNTUK DIMULAINYA PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT PASAL 26 UNDANG- UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 JUNCTO PERPU NOMOR 1 TAHUN 2002 1 Oleh :

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * Naskah diterima: 12 Desember 2014; disetujui: 19 Desember 2014 Trend perkembangan kejahatan atau penyalahgunaan narkotika

Lebih terperinci

TINDAKAN PENYADAPAN BADAN INTELIJEN NEGARA TERHADAP ORANG YANG SEBAGAI PERMULAAN DIDUGA MELAKUKAN KEGIATAN TERORISME JURNAL OLEH:

TINDAKAN PENYADAPAN BADAN INTELIJEN NEGARA TERHADAP ORANG YANG SEBAGAI PERMULAAN DIDUGA MELAKUKAN KEGIATAN TERORISME JURNAL OLEH: TINDAKAN PENYADAPAN BADAN INTELIJEN NEGARA TERHADAP ORANG YANG SEBAGAI PERMULAAN DIDUGA MELAKUKAN KEGIATAN TERORISME JURNAL Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

RGS Mitra 1 of 22 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

RGS Mitra 1 of 22 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME RGS Mitra 1 of 22 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1198, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Pengaduan Masyarakayt. Penanganan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da No.24, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLHUKAM. Saksi. Korban. Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6184) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk terwujudnya tujuan

Lebih terperinci