MODEL SWASEMBADA GULA KRISTAL PUTIH (GKP) NASIONAL DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL SWASEMBADA GULA KRISTAL PUTIH (GKP) NASIONAL DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI"

Transkripsi

1 MODEL SWASEMBADA GULA KRISTAL PUTIH (GKP) NASIONAL DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional Dengan Pendekatan Sistem Dinamik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2013 Rizka Amalia Nugrahapsari NIM H

4

5 RINGKASAN RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI. Model Swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional dengan Pendekatan Sistem Dinamik. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan HENY KUSWANTI SUWARSINAH. Gula Kristal Putih (GKP) merupakan jenis gula dari tebu yang ditujukan untuk konsumsi langsung masyarakat. Perkebunan tebu di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat dengan produktivitas yang rendah. Hal ini menyebabkan produksi GKP Indonesia rendah dengan laju produksi yang lebih rendah dari laju konsumsi. Ketidakseimbangan antara sisi penyediaan dan kebutuhan gula telah menimbulkan ketergantungan terhadap gula impor. Upaya mengurangi ketergantungan terhadap GKP impor mendorong pemerintah untuk menerapkan program Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN) dengan target swasembada GKP tahun Tercapainya swasembada GKP di masa datang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan penyediaan bahan baku, pengolahan, perdagangan dan kebutuhan gula, baik secara sendiri-sendiri maupun sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu perlu dianalisis dinamika nya dengan membuat suatu model swasembada GKP yang mencakup keempat submodel tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji kemungkinan pencapaian swasembada GKP tanpa kebijakan RIGN, (2) mengkaji dampak kebijakan RIGN terhadap pencapaian swasembada GKP, dan (3) menyusun skenario dan kebijakan alternatif pencapaian swasembada GKP. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut digunakan pendekatan sistem dinamik dengan menggunakan software powersim studio. Model ini menggunakan tahun 2010 sebagai tahun dasar dengan periode simuasi hingga tahun Dampak kebijakan RIGN dianalisis dengan menggunakan tiga skenario, yaitu: (1) skenario 1 (peningkatan luas areal tebu sebesar 3.2 persen per tahun), (2) skenario 2 (peningkatan produktivitas tebu sebesar 1.6 persen per tahun), (3) skenario 3 (peningkatan rendemen sebesar 1.41 persen per tahun). Sementara untuk menyusun kebijakan alternatif digunakan empat skenario yaitu: (1) skenario 4 (penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.3 persen per tahun), (2) skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal 3.2 persen per tahun dan penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.3 persen per tahun), (3) skenario 6 (gabungan peningkatan produktivitas tebu 1.6 persen per tahun dan penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.3 persen per tahun, (4) skenario 7 (gabungan peningkatan rendemen 1.41 persen per tahun dan penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.3 persen per tahun. Ketujuh skenario tersebut disimulasikan dengan asumsi utama bahwa swasembada akan tercapai apabila secara netto jumlah produk dalam negeri minimal mencapai 90% dari jumlah konsumsi domestiknya. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi aktual, swasembada GKP tidak akan terwujud hingga akhir periode simulasi. Pada tahun 2010, ketersediaan GKP nasional defisit sebesar 0.12 juta ton. Apabila tidak dilakukan kebijakan, defisit ketersediaan GKP ini akan meningkat hingga akhir periode simulasi. Defisit ketersediaan GKP nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 1.23 juta ton. Sementara pada tahun 2014, defisit ketersediaan GKP nasional adalah sebesar

6 0.30 juta ton. Hal ini berarti swasembada GKP yang ditargetkan oleh pemerintah pada tahun 2014 tidak akan tercapai pada kondisi aktual. Analisis dampak kebijakan RIGN terhadap pencapaian swasembada GKP menunjukkan bahwa skenario peningkatan rendemen memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan skenario peningkatan luas areal dan skenario peningkatan produktivitas tebu. Skenario ini berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2014 hingga akhir periode simulasi. Ketersediaan GKP pada tahun 2014 mengalami defisit sebesar 0,2 juta ton dengan skenario 1 dan defisit sebesar 0.19 juta ton dengan skenario 2. Sementara ketersediaan GKP pada tahun 2014 mengalami surplus sebesar 0,06 juta ton dengan skenario 3. Skenario kebijakan alternatif dilakukan dengan menggabungkan antara kebijakan dari sisi penyediaan dan kebutuhan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa gabungan skenario peningkatan rendemen dan pengelolaan penduduk memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan skenario kebijakan alternatif lainnya. Skenario ini berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2013 hingga akhir periode simulasi. Hal ini dikarenakan peubah rendemen merupakan peubah yang very sensitive dan penduduk merupakan peubah yang highly sensitive berpengaruh terhadap kinerja model berdasarkan hasil analisis sensitivitas. Defisit ketersediaan GKP pada tahun 2014 berdasarkan skenario 4, 5 dan 6 berturut turut adalah sebesar 0.27 juta ton, 0.17 juta ton dan 0.16 juta ton. Sementara surplus ketersediaan GKP pada tahun 2014 berdasarkan skenario 7 adalah sebesar 0.05 juta ton. Hasil analisis switching value menunjukkan bahwa pencapaian swasembada GKP pada tahun 2014 melalui kebijakan alternatif peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk dapat dicapai apabila peningkatan rendemen tidak kurang dari 0.99 persen per tahun. Dengan kata lain, agar swasembada GKP dapat terwujud melalui skenario 7, maka tingkat keberhasilan skenario tersebut harus mencapai minimal persen dari target peningkatan rendemen yang ditetapkan. Kebijakan alternatif yang sebaiknya diterapkan oleh pemerintah dalam upaya pencapaian swasembada GKP adalah: (1) tetap melaksanakan program RIGN, (2) memfokuskan pelaksanaan RIGN pada upaya peningkatan rendemen dan (3) mengupayakan penurunan pertumbuhan penduduk. Langkah langkah operasional yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rendemen adalah penataan varietas dan pembibitan, penerapan baku teknis budidaya tebu, penentuan awal giling yang tepat, manajemen tebang muat dan angkut yang baik serta peningkatan efisiensi pabrik. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan pengembangan model industri gula dengan memasukkan industri gula rafinasi di dalam simulasinya. Kata kunci: swasembada, gula, sistem dinamik

7 SUMMARY RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI. National Self Sufficiency Model of White Crystal Sugar With System Dynamics Approach. Supervised by RITA NURMALINA and HENY KUSWANTI SUWARSINAH. White Crystal Sugar (GKP) is a type of direct consumption sugar from sugarcane. Sugarcane plantations in Indonesia is dominated by smallholder farmers with low productivity. This led to the low production rate of white crystal sugar, moreover this rate is actually lower than the consumption rate. As a result, sugar production cannot meet domestic consumption, thus importing sugar is the easy solution to fill the gap. Efforts to reduce dependency on imports of white crystal sugar prompted the government to implement the National Sugar Industry Revitalization program (RIGN) to achieve self-sufficiency of white crystal sugar on Achieving self-sufficiency of white crystal sugar in the future will be influenced by factors related to the supply of raw materials, processing, trading and sugar demand, either individually or as a result of the interaction between these factors. Therefore, it was important to analyze the dynamic of selfsufficiency thru a self sufficiency model of white crystal sugar which covers all the four sub-models. The purpose of this study were to (1) study the possibility of achieving selfsufficiency of white crystal sugar, (2) study the impact of RIGN policy on selfsufficiency of white crystal sugar achievement, and (3) formulate scenario and alternative policies to reach the national self sufficiency of white crystal sugar. Data were analyzed by building the system dynamic model using powersim studio tool. The simulation period was from 2010 to RIGN policy impacts were analyzed using three scenarios: (1) scenario 1 (increasing land area 3.2 percent per year), (2) scenario 2 (increasing productivity of sugarcane 1.6 percent per year, (3) scenario 3 (increasing yield 1.41 percent per year). While to formulate alternative policies used four scenarios, which were: (1) scenario 4 (decreasing population growth to 1.3 percent per year), (2) scenario 5 (a combination of increasing land area 3.2 percent per year and decreasing of population growth to 1.3 percent per year), (3) scenario 6 (a combination of increasing productivity 1.6 percent per year and decreasing population growth to 1.3 percent per year, (4) scenario 7 (a combination of increasing yield 1.41 percent per year and decreasing population growth to 1.3 percent per year. The results showed that, on actual conditions, national self sufficiency of white crystal sugar will not be realized during simulation period. In 2010, the deficit of white crystal availability is 0.12 million tonnes. If there is no policy, the deficit of white crystal sugar availability will increase to the end of the simulation. The deficit of white crystal sugar availability in 2025 is 1.23 million tons. While in 2014, the deficit of white crystal sugar availability is 0.30 million tons. This means self-sufficiency of white crystal sugar targeted by the government in 2014 will not be achieved in actual conditions. The results of RIGN policy impacts analysis showed that increasing sugarcane yield policy would have better performance compare to increasing productivity and increasing land area policies. Thru increasing sugarcane yield policy, Indonesia is predicted to reach self-sufficiency of white crystal sugar on

8 2014 to the end of analysis period. The deficit of white crystal sugar availability in 2014 is 0.2 million tons by scenario 1 and 0.19 million ton by scenario 2. While the surplus of white crystal sugar in 2014 by scenario 3 is 0.06 millions ton. The results suggested that policy scheme which combines provision and needs is necessary. A combination of increasing sugarcane yield and population management policy would give the best performance. By this combination policy, Indonesia is predicted to reach self-sufficiency of white crystal sugar in 2013 to the end of simulation period. This is because the results of sensitivity analysis showed that sugarcane yield is a very sensitive variable and population is a highly sensitive variable. The deficit of white crystal sugar availability in 2014 is 0.27 million tons by scenario 4, 0.17 million ton by scenario 5 and 0.16 millions ton by scenario 6. While surplus of white crystal sugar availability in 2014 by scenario 7 is 0.05 millions ton. The results of switching value analysis indicate that the attainment of selfsufficiency of white crystal sugar in 2014 through increasing sugarcane yield and decreasing population growth can be achieved when an increasing of sugarcane yield is not less than 0.99 percent per year. In other words, self-sufficiency of white crystal sugar can be realized when the achievement rate of scenario 7 at least percent from the target. Alternative policies that should be implemented by the government to achieve self-sufficiency of white crystal sugar are: (1) continue to implement the RIGN program, (2) implement RIGN by focusing on increasing sugarcane yield and (3) reduce population growth. Operational steps that can be taken to improve sugarcane yield are varieties and seeding arrangement, the application of technical raw cane cultivation, the proper determination of starting grinding, a good cutting, unloading and transporting management, and increasing overall recovery. For further research, it is suggested to develop the sugar industry model by including refined sugar industry in the simulation. Key words: self-sufficiency, sugarcane, system dynamics

9 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

10

11 MODEL SWASEMBADA GULA KRISTAL PUTIH (GKP) NASIONAL DENGAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

12 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Penguji Program Studi : Dr Ir Suharno, M.Adev

13 Judul Tesis : Model Swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional Dengan Pendekatan Sistem Dinamik Nama : Rizka Amalia Nugrahapsari NIM : H Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Ketua Dr Ir Heny Kuswanti Suwarsinah, MEc Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Agribisnis Dekan Sekolah Pascasarjana Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

14 PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-nya, tesis yang berjudul Model Swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional dengan Pendekatan Sistem Dinamik dapat diselesaikan. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada: 1. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr Ir Heny Kuswanti Suwarsinah, MEc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 2. Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik. 3. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku dosen penguji luar komisi dan Dr Ir Suharno, M.Adev selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis yang telah memberikan banyak kritikan membangun dalam penyempurnaan tesis ini. 4. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr Ir Suharno, M.ADev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan. 5. Dr Aris Toharisman selaku Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam penyusunan tesis. 6. Kepala sekretariat Dewan Gula Indonesia atas bantuan dan kerjasamanya dalam memberikan data dan informasi yang diperlukan. 7. Peneliti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia atas bantuan dan kerjasamanya dalam memberikan informasi yang diperlukan. 8. Teman-teman seperjuangan pada Program Studi Agribisnis atas diskusi, masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan. 9. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Untung Slamet Riyadi, S.Pd dan Sri Budi Utami M.Pd, Adik Khairul Adhi Kurniawan, keponakan Callysta Griselda Solekha Kurniawan serta keluarga besar Temu Sastro Soemardjo. 10. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suamiku tercinta Sigit Purnomo ST yang telah memberikan dukungan penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, April 2013 Rizka Amalia Nugrahapsari

15 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN xii xii xiii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 6 Kegunaan Penelitian 6 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 6 2 TINJAUAN PUSTAKA Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi Gula 7 Kebijakan Pengembangan Industri Gula di Indonesia 8 Analisis Swasembada Gula di Indonesia 8 Pendekatan Neraca Ketersediaan Untuk Menganalisis Dinamika Swasembada 10 Pendekatan Sistem Dinamik untuk Merumuskan Strategi dan Kebijakan Pengembangan Industri Gula 11 3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis 13 Konsep Swasembada dan Ketahanan Pangan 13 Konsep Revitalisasi 14 Teori Permintaan dan Penawaran 15 Pendekatan Sistem Dinamik 16 Pemodelan Sistem Dinamik 16 Kerangka Pemikiran Operasional 20 4 METODE PENELITIAN Cakupan Penelitian 22 Jenis dan Sumber Data 22 Metode Analisis Data 22 Analisis Kebutuhan 23 Formulasi Masalah dalam Sistem 23 Identifikasi Sistem Ketersediaan GKP Nasional 24 Formulasi Model 27 Validasi Model 37 Simulasi Kebijakan 39 5 KERAGAAN SISTEM INDUSTRI GKP Perkembangan Keragaan Penyediaan GKP di Indonesia 40 Perkembangan Luas Areal Tebu dan Produksi GKP di Indonesia 40 Perkembangan Industri GKP di Indonesia 45 Perkembangan Keragaan Kebutuhan GKP di Indonesia 47

16 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Model dan Dinamika Swasembada GKP 50 Validasi Model 50 Perilaku Submodel Penyediaan Bahan Baku 51 Perilaku Submodel Pengolahan 53 Perilaku Submodel Kebutuhan 54 Perilaku Submodel Perdagangan 56 Model Swasembada GKP Kondisi Aktual 57 Dampak Kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional Terhadap Pencapaian Swasembada GKP 58 Skenario 1: Peningkatan Luas Areal 58 Skenario 2: Peningkatan Produktivitas Tebu 59 Skenario 3: Peningkatan Rendemen 60 Perbandingan Antara Kondisi Aktual dengan Skenario Kebijakan 61 Skenario Kebijakan Alternatif Pencapaian Swasembada GKP 62 Skenario 4 (Penurunan Pertumbuhan Penduduk) 62 Gabungan Skenario Penyediaan dan Kebutuhan 63 Perbandingan Antara Kondisi Aktual dengan Skenario Kebijakan Alternatif 65 Analisis Switching Value Model 66 Analisis Sensitivitas Model 67 Strategi Pencapaian Swasembada GKP 68 Strategi Peningkatan Rendemen 68 Strategi Penurunan Pertumbuhan Penduduk 72 7 SIMPULAN 73 8 SARAN 73 DAFTAR PUSTAKA 74 LAMPIRAN 80 RIWAYAT HIDUP 87

17 DAFTAR TABEL 1 Analisis kebutuhan stakeholder dalam model swasembada GKP 23 2 Analisis formulasi permasalahan stakeholder dalam model swasembada GKP nasional 24 3 Asumsi yang digunakan pada submodel penyediaan bahan baku 28 4 Asumsi yang digunakan pada submodel pengolahan 32 5 Asumsi yang digunakan pada submodel perdagangan GKP 34 6 Asumsi yang digunakan pada submodel kebutuhan 36 7 Asumsi yang digunakan pada model sistem swasembada GKP 37 8 Hasil uji validitas kinerja model swasembada GKP nasional 51 9 Ketersediaan GKP nasional hasil analisis switching value model Sensitivitas perubahan peubah kunci ketersediaan GKP nasional 68 DAFTAR GAMBAR 1 Luas areal tebu dan produksi GKP Indonesia, tahun Proporsi luas areal tebu di Indonesia berdasarkan status pengusahaan Tahun Rata-rata konsumsi gula per kapita dunia pada tahun Perkembangan produksi, konsumsi dan defisit GKP Indonesia 5 5 Tahapan pendekatan sistem 18 6 Kerangka pemikiran operasional 21 7 Diagram input output model swasembada GKP nasional 25 8 Diagram alir sebab akibat model swasembada GKP nasional 26 9 Struktur sub model penyediaan bahan baku Struktur sub model pengolahan Struktur sub model perdagangan Struktur sub model kebutuhan Produksi GKP Indonesia menurut status pengusahaan tahun Luas areal tebu Indonesia menurut status pengusahaan tahun Produktivitas GKP Indonesia menurut status pengusahaan tahun Produksi GKP dan luas areal tebu di Indonesia berdasarkan wilayah tahun Perbandingan produksi tebu menurut provinsi dan status pengusahaan tahun Perbandingan luas areal tebu menurut provinsi dan status pengusahaan tahun Perkembangan rendemen gula di Indonesia tahun Perkembangan pol tebu dan efisiensi pabrik gula di Indonesia tahun Kapasitas terpasang dan terpakai industri gula Indonesia Persentase jam henti giling terhadap jam giling tahun

18 23 Perkembangan konsumsi GKP dan jumlah penduduk tahun Perkembangan konsumsi GKP per kapita rumah tangga tahun Proporsi konsumsi GKP tahun Luas areal perkebunan tebu kondisi aktual Produktivitas tebu kondisi aktual tahun Produksi tebu kondisi aktual aktual tahun Produksi GKP kondisi aktual tahun Kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai industri gula kondisi aktual, tahun Kebutuhan GKP kondisi aktual tahun Impor GKP kondisi aktual tahun Harga domestik dan harga impor GKP kondisi aktual Ketersediaan GKP nasional kondisi aktual tahun Ketersediaan GKP nasional skenario 1 tahun Ketersediaan GKP nasional skenario 2 tahun Ketersediaan GKP nasional skenario 3 tahun Perbandingan ketersediaan GKP pada skenario swasembada Ketersediaan GKP nasional skenario 4 tahun Ketersediaan GKP nasional skenario 5 tahun Ketersediaan GKP nasional skenario 6 tahun Ketersediaan GKP nasional skenario 7 tahun Perbandingan ketersediaan GKP pada alternatif skenario swasembada Strategi peningkatan rendemen 69 DAFTAR LAMPIRAN 1 Struktur model sistem industri GKP nasional 80 2 Formula matematis sistem industri GKP nasional kondisi aktual 81 3 Ketersediaan GKP nasional kondisi aktual 83 4 Ketersediaan GKP nasional skenario 1 (peningkatan luas areal) 83 5 Ketersediaan GKP nasional skenario 2 (peningkatan produktivitas) 84 6 Ketersediaan GKP nasional skenario 3 (peningkatan rendemen) 84 7 Ketersediaan GKP nasional skenario 4 (penurunan pertumbuhan penduduk) 85 8 Ketersediaan GKP nasional skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal dan penurunan pertumbuhan penduduk) 85 9 Ketersediaan GKP nasional skenario 6 (gabungan peningkatan produktivitas dan penurunan pertumbuhan penduduk) Ketersediaan GKP nasional skenario 7 (gabungan peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk) 86

19 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang memainkan peran penting dalam pembangunan nasional dari sisi ekonomis, ekologis dan sosial budaya (Ditjenbun 2010). Sejalan dengan pendapat tersebut, Susila dan Goenadi (2004) menyatakan bahwa dengan pertumbuhan yang cukup konsisten, subsektor perkebunan mempunyai peran strategis baik dalam pembangunan ekonomi secara nasional maupun dalam menjawab isu-isu global. Subsektor perkebunan berperan dalam penyediaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, sumber devisa, pengentasan kemiskinan, dan konservasi lingkungan. Salah satu komoditas unggulan perkebunan yang memberikan kontribusi pada pencapaian fungsi subsektor perkebunan adalah tebu. Tanaman tebu yang memiliki nama latin Saccharum officinarum L merupakan tanaman asli tropika basah yang memiliki sejarah cukup panjang di Indonesia. Tanaman ini menjadi komoditas unggulan karena peran nya sebagai bahan baku pembuatan gula. Berdasarkan perundingan perdagangan internasional (WTO), gula merupakan salah satu dari empat komoditas pertanian strategis (Pambudy 2003) karena memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) yang sangat tinggi (Hanani et al. 2012). Gula berperan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan kalori bagi masyarakat maupun industri di satu sisi, sementara di sisi lain merupakan sumber bagi pendapatan dan kehidupan sekitar satu juta petani dan hampir dua juta tenaga kerja yang terlibat langsung dalam sistem industri tersebut (Litbang Deptan 2007 dan Wibowo 2012). Gula juga ditetapkan sebagai Barang Dalam Pengawasan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun Hal ini menunjukkan bahwa gula memegang peranan penting dalam sistem ekonomi (pangan) dunia khususnya di Indonesia. Kedudukan industri gula dalam ekonomi Indonesia dapat dilihat dari sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja (Pambudy 2003). Dengan demikian dinamika produksi, konsumsi dan harga akan berpengaruh langsung maupun tidak langsung pada parameter parameter ekonomi, seperti inflasi, kesempatan kerja, pendapatan serta kesejahteraan petani dan masyarakat (Wibowo 2012). Dinamika produksi gula bisa dilihat dari perkembangan luas areal tebu dan produksi GKP beberapa tahun terakhir. Pada tahun 1990, luas areal tebu di Indonesia adalah sebesar hektar dengan produksi sebesar ton. Jumlah ini menurun pada 10 tahun kemudian dengan luas areal menjadi hektar dan produksi menjadi ton. Namun pada tahun 2010, kembali terjadi peningkatan luas areal menjadi hektar dan produksi menjadi ton. Peningkatan ini sejalan dengan diterapkannya program akselerasi peningkatan produksi gula nasional pada tahun 2003 hingga Perkembangan tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat ke delapan negara dengan luas areal tebu terbesar di dunia dan peringkat ke sebelas negara produsen tebu terbesar di dunia pada tahun 2008 yang memproduksi 1.5 persen tebu dunia (Gambar 1).

20 2 Produksi GKP (ton) Luas Areal Tebu (Hektar) Tahun Produksi Luas Areal Gambar 1 Luas areal tebu dan produksi GKP Indonesia, tahun Sumber: Ditjenbun (2011) Secara mum perkebunan tebu di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat dengan proporsi luas areal mencapai persen dari total luas areal tebu di Indonesia (Gambar 2). Pada tahun 2010, produktivitas GKP perkebunan rakyat adalah sebesar 4.95 ton/hektar. Nilai ini jauh di bawah tingkat produktivitas GKP perkebunan besar swasta yaitu sebesar 6.60 ton/hektar, namun masih di atas tingkat produktivitas GKP perkebunann besar negara yaitu sebesar 4.63 ton/hektar. Besarnya luas areal tebu yang dikuasai oleh petani dengann tingkat produktivitas yang jauh di bawah produktivitas perkebunan besar swasta berdampak pada rendahnya produktivitas GKP Indonesia. Perkebunan swasta 24.24% Perkebunan negara 15.01% Perkebunan rakyat 60.76% Gambar 2 Proporsi luas areal tebu di Indonesia berdasarkan status pengusahaan tahun 2010 Sumber: Ditjenbunn (2011) Faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas GKP di Indonesia terbagi ke dalam permasalahan dari sisi on farm dan off farm. Permasalahan on farm meliputi: (1) keterbatasan pengetahuan dan permodalan petani dalam melaksanakan bongkar ratoon dan rawat ratoon, (2) kurangnya penciptaan dan persediaan bibit unggul baru, (3) penyediaan agro input budidaya tebu sering

21 mengalami ketidaktepatan jumlah, waktu, harga dan kualitas, (4) kurangnya sarana irigasi terutama pada wilayah pengembangan/lahan kering, dan (5) kelangkaan tenaga kerja di sektor budidaya. Sementara permasalahan dari sisi off farm meliputi: (1) keterbatasan kapasitas giling PG sehingga kurang mampu bersaing, (2) tingkat efisiensi pabrik (overall recovery) di bawah standar dan (3) umumnya mesin produksi perusahaan gula putih sudah tua (Pambudy 2004; Ditjen Industri Agro dan Kimia 2009; Kementerian BUMN 2011). 3 Konsumsi Gula (Kg/Kap/Thn) Negara Gambar 3 Rata-rata konsumsi gula per kapita dunia pada tahun Sumber: USDA dalam Koo dan Taylor (2011) Apabila dilihat dari sisi kebutuhan, konsumsi gula dibedakan atas gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi langsung masyarakat dan gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri (Asmarantaka 2012; Ginandjar 2012; Zaini et al. 2012). Data Kementerian BUMN (2011) menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan 5.7 juta ton gula untuk memenuhi konsumsi langsung sebanyak 2.96 juta ton dan keperluan industri sebanyak 2.74 juta ton pada tahun Sementara produksi gula nasional baru memenuhi 53 persen dari kebutuhan total dan sisanya dipenuhi melalui impor. Di sisi lain meskipun Indonesia merupakan negara pengimpor gula terbesar kelima di dunia, namun tingkat konsumsi gula perkapita Indonesia masih rendah apabila dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data USDA dalam Koo dan Taylor (2011), konsumsi gula per kapita Indonesia diketahui sebesar 16 kilogram per kapita per tahun. Nilai ini masih di bawah konsumsi per kapita dunia yaitu sebesar 21 kilogram per kapita per tahun (Gambar 3). Namun akan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan perkembangan industri makanan dan minuman (Hartono 2012 dan Asmara et al. 2012). Selain sebagai strategic product, gula juga merupakan bahan makanan pokok berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 115/MPP/KEP/2/1998. Hal ini berarti gula merupakan bahan pangan yang esensial bagi masyarakat Indonesia dan pemerintah berkewajiban menyediakan gula secara cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan

22 4 sesuai dengan konsep ketahanan pangan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun Pentingnya komoditas gula dengan berbagai potensi pengembangan yang dimiliki serta berbagai masalah yang menghambat ketersediaannya mendorong pemerintah menerapkan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut adalah Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN). RIGN merupakan rencana jangka panjang industri gula selama lima tahun ( ) sebagai pedoman dalam rangka meningkatkan produksi gula untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. RIGN diharapkan dapat meningkatkan produksi gula untuk konsumsi langsung yaitu jenis Gula Kristal Putih (GKP) sebanyak 3.54 juta ton pada tahun 2014, terdiri dari produksi gula dari perkebunan besar negara (PBN) sebanyak 2.32 juta ton dan produksi gula dari perkebunan besar swasta (PBS) sebanyak 1.22 juta ton. Dengan demikian kebutuhan konsumsi gula langsung akan dapat dicukupi dari produksi gula nasional yang berbahan baku tebu lokal, bahkan diperkirakan akan mengalami surpus gula konsumsi sekitar 584 ribu ton (Kementerian BUMN, 2011). Namun target swasembada gula ini dihadapkan pada berbagai tantangan dari sisi on farm, off farm dan manajemen serta melibatkan kepentingan berbagai macam stakeholders mulai dari pemerintah, industri (PBN dan PBS), petani, pedagang besar, lembaga keuangan dan masyarakat. Untuk itu diperlukan sebuah pendekatan sistem dengan cara membangun model yang mampu merepresentasikan sistem industri GKP nasional, sehingga berbagai dinamika swasembada GKP dapat disimulasikan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang tepat. Model swasembada GKP nasional ini dibangun dengan pendekatan sistem dinamis. Pendekatan ini dipilih karena mampu menangkap sistem pergulaan nasional yang bersifat dinamis dimana setiap kebijakan pergulaan yang dibuat didasarkan pada kondisi politik, sosial, ataupun ekonomi yang dinamis dari waktu ke waktu. Pendekatan ini juga tepat karena mampu menangkap kompleksitas permasalahan yang terjadi pada sistem industri gula nasional dan menyederhanakannya dalam bentuk model. Dari pemodelan ini, akan dapat diketahui dinamika swasembada GKP, serta dapat dilakukan simulasi dampak kebijakan RIGN dan penyusunan skenario kebijakan alternatif untuk mendukung swasembada GKP. 1.2 Perumusan Masalah Industri gula Indonesia pernah mencapai kejayaan pada tahun 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar di dunia setelah Kuba. Namun pada perkembangan selanjutnya, industri gula Indonesia lambat laun mengalami penurunan kinerja sehingga menjadi salah satu importir gula utama (Susilohadi et al.2012). Secara umum permasalahan ini disebabkan adanya ketidakseimbangan antara sisi penyediaan dan kebutuhan gula. Ketidakseimbangan penyediaan dan kebutuhan gula akan menimbulkan ketergantungan terhadap gula impor. Hal ini mengingat permintaan gula diperkirakan terus bertambah seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan pertumbuhan industri makanan dan minuman. DGI (2002) dalam Susila dan Sinaga (2005) mengungkapkan bahwa salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor

23 yang meningkat selama periode dengan laju 16.6 persen per tahun. Peningkatan ini terjadi karena laju konsumsi meningkat sebesar 2.96 persen per tahun, sedangkan produksi menurun sebesar 3.03 persen per tahun. Laju impor ini terus meningkat pada periode selanjutnya. Data AGI (2011) menunjukkan adanya peningkatan laju impor GKP sebesar persen per tahun selama Peningkatan laju impor tersebut salah satunya disebabkan oleh adanya peningkatan defisit GKP sebesar persen per tahun, hingga pada tahun 2010 defisit GKP terhitung sebesar ton. Hal ini dikarenakan peningkatan laju konsumsi GKP yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan laju produksi GKP. Selama periode laju produksi meningkat sebesar 0.63 persen per tahun, sedangkan laju konsumsi meningkat sebesar 1.28 persen per tahun (BKP 2010). Gambar 4 menunjukkan perkembangan produksi, konsumsi dan defisit GKP Indonesia periode 2005 hingga Produksi Konsumsi Surplus/Defisit Gambar 4 Perkembangan produksi, konsumsi dan defisit GKP Indonesia Sumber: BKP (2010) Peningkatan permintaan yang tidak dibarengi peningkatan produksi pada masa yang akan datang akan mengancam industri gula nasional karena gula impor akan mengalahkan gula dalam negeri yang umumnya mempunyai kualitas lebih rendah (Asmarantaka et al. 2012). Disamping itu membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok yang harganya sangat fluktuatif dengan koefisien keragaman harga tahunan sekitar 48 persen akan berpengaruh negatif terhadap upaya mencapaian ketahanan pangan (Pakpahan 2000; Simatupang et al dalam Natawidjaja et al. 2012). Selanjutnya beban devisa untuk mengimpor juga akan terus meningkat. Upaya mengurangi ketergantungan terhadap GKP impor menuntut industri gula untuk merealisasikan swasembada GKP. Tercapainya swasembada GKP di masa datang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dalam penyediaan bahan baku, pengolahan gula, perdagangan dan kebutuhan gula, baik secara sendirisendiri maupun sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor tersebut. Faktor faktor ini akan membentuk perilaku sistem industri GKP nasional. Penelitian, kajian dan rekomendasi untuk meningkatkan kinerja industri dan swasembada gula nasional telah banyak dilakukan. Namun demikian sebagian besar penelitian tersebut lebih menekankan pada pentingnya perbaikan aspek

24 6 teknologi, kebijakan protektif dan kelembagaan ekonomi (Zaini et al. 2012), tetapi kurang memperhatikan dinamika pengadaan bahan baku, pengolahan gula, konsumsi dan perdagangan secara bersama sama dengan pendekatan sistem dinamis dalam menganalisis swasembada gula. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Mungkinkah swasembada Gula Kristal Putih akan terwujud tanpa kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional? 2. Bagaimana dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional terhadap pencapaian swasembada Gula Kristal Putih? 3. Bagaimana skenario dan kebijakan alternatif pencapaian swasembada Gula Kristal Putih? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dinamika swasembada Gula Kristal Putih nasional dengan membangun model sistem dinamik. Secara spesifik tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Mengkaji kemungkinan pencapaian swasembada Gula Kristal Putih tanpa Revitalisasi Industri Gula Nasional. 2. Mengkaji dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional terhadap pencapaian swasembada Gula Kristal Putih. 3. Menyusun skenario dan kebijakan alternatif pencapaian swasembada Gula Kristal Putih. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dinamika swasembada GKP nasional. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk mengevaluasi kebijakan RIGN yang telah diterapkan oleh pemerintah dalam upaya pencapaian swasembada GKP tahun Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khazanah penelitian yang terkait dengan komoditas gula dan penggunaan sistem dinamik dalam menganalisis kebijakan di bidang pertanian serta menjadi bahan rujukan bagi penelitian lanjutan. 1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Ruang lingkup dan batasan penelitian yang digunakan adalah penelitian hanya difokuskan untuk menganalisis dinamika swasembada GKP nasional dengan pendekatan sistem dinamik melalui penyusunan model swasembada GKP nasional. Penyusunan model dalam penelitian ini dibatasi pada submodel penyediaan bahan baku, pengolahan gula, perdagangan dan kebutuhan. Penelitian ini juga tidak menganalisis sistem industri GKR nasional dan tidak meninjau aspek keberlanjutan swasembada berdasarkan dimensi.

25 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi Gula Dinamika ketersediaan gula tidak dapat dilepaskan dari dinamika produksi dan konsumsi gula. Produksi gula nasional dipengaruhi secara signifikan oleh luas lahan tebu, produktivitas dan rendeman (Priyono 2008; P3GI 2008; Asmara et al. 2012), efisiensi pabrik (Asmarantaka 2012), jumlah tebu, rendemen, jam mesin, dan tenaga kerja (Widarwati 2008), bahan baku tebu, tenaga kerja dan mesin (Cahyono 2009), hari hujan, tenaga kerja dan rendemen efektif (Istianto 2008). Hasil penelitian Tchereni et al. (2012) juga menunjukkan bahwa ukuran lahan merupakan faktor penting dalam meningkatkan produksi. Faktor penentu efisiensi teknis lainnya antara lain pengalaman petani, pendidikan dan jenis kelamin. Sementara hasil penelitian Widhaningsih (2007) menunjukkan bahwa ketersediaan dan produksi gula domestik hanya dipengaruhi oleh luas area. Luas area dan manajemen stok memberikan kontribusi yang besar terhadap produksi dan ketersediaan gula. Senada dengan pendapat tersebut, hasil penelitian Zaini (2008) menyimpulkan bahwa peningkatan produksi gula dapat dilakukan dengan memperluas areal perkebunan tebu di luar pulau Jawa dan mengurangi konversi (alih guna) lahan perkebunan tebu di pulau Jawa. Dari berbagai faktor tersebut, faktor yang paling mendapat perhatian masyarakat industri gula adalah rendemen. Rendemen adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen (Trisnawati et al. 2012). Peningkatan rendemen merupakan upaya praktis yang berdampak positif dan signifikan terhadap produksi gula (Wibowo 2012). Oleh karena itu salah satu upaya menuju swasembada gula nasional 2014 adalah peningkatan rendemen. Tanaman tebu harus dapat diberdayakan sehingga kapasitasnya untuk menghasilkan dan menyimpan sukrose menjadi lebih baik (Soemarno 2010). Secara umum dapat disimpulkan bahwa produksi gula nasional dipengaruhi oleh luas areal, produktivitas tebu, rendemen, kapasitas giling dan efisiensi pabrik. Sementara apabila dilihat dari sisi permintaan, Ginandjar (2012) dan Hanani et al. (2012) berpendapat bahwa peningkatan konsumsi gula terutama berkaitan dengan dua faktor yaitu pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan atau pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Hartono (2012) dan Asmara et al. (2012) yang menyatakan bahwa konsumsi gula akan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan perkembangan industri makanan dan minuman. Hasil penelitian Fitriadi (2007) menunjukkan bahwa elastisitas pendapatan gula pasir bertanda positif artinya konsumsi langsung gula pasir per kapita akan meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Menguatkan pendapat tersebut, hasil penelitian Sugiyanto (2007) menunjukkan bahwa elastisitas permintaan gula terhadap pendapatan menurun, jangka pendek 0,4 dan jangka panjang 0,2. Selain dorongan kenaikan pendapatan, permintaan gula terus meningkat seiring laju pertumbuhan penduduk.

26 8 2.2 Kebijakan Pengembangan Industri Gula di Indonesia Pembangunan pertanian selama lima tahun ke depan ( ) difokuskan kepada pencapaian empat target utama pembangunan pertanian, yaitu: (1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) peningkatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani (Kementan 2011). Oleh karena itu, sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan pertanian, kebijakan umum pembangunan perkebunan diarahkan untuk mensinergikan seluruh sumberdaya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing, nilai tambah, produktivitas dan mutu produk perkebunan melalui partisipasi aktif masyarakat perkebunan dan penerapan organisasi modern yang berlandaskan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi serta didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik (Ditjenbun 2010). Hal ini tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian dan Rencana Strategis Pembangunan Perkebunan Salah satu komoditas yang menjadi sasaran swasembada dalam Renstra Kementerian Pertanian adalah gula. Swasembada yang dimaksud adalah swasembada gula konsumsi langsung rumah tangga, industri dan sekaligus menutup defisit neraca perdagangan gula nasional yang diupayakan akan dicapai pada tahun 2014 (Kementan 2011). Sasaran tersebut diimplementasikan dalam program Revitalisasi Industri Gula Nasional. Program RIGN merupakan salah satu program unggulan pemerintah dalam rangka swasembada gula nasional tahun 2014 (Kementrian BUMN 2011). Adapun langkah langkah operasional untuk mengimplementasikan strategi pencapaian swasembada gula tersebut difokuskan kepada: (1) peningkatan produktivitas melalui rasionalisasi atau penataan varietas, penerapan teknologi budidaya, percepatan bongkar/rawat ratoon, efisiensi hara dan penggunaan pupuk organik serta suplesi air (embung dan pompa), (2) perluasan areal melalui kebun bibit untuk pabrik gula baru, optimalisasi atau pemanfaatan lahan dan penyediaan lahan pertanaman tebu, (3) revitalisasi dan pembangunan industri gula berbasis tebu melalui rehabilitasi/peningkatan kapasitas giling PG dan mutu produk, optimalisasi atau efisiensi hari giling, pemanfaatan idle capacity PG dan pembangunan PG baru, (4) kelembagaan dan pembiayaan, melalui penguatan kelembagaan riset dan pengembangan, penguatan kelembagaan usaha petani, penyiapan pengembangan SDM, fasilitasi KKP-E/guliran PUMK, serta pembiayaan untuk revitalisasi dan pembiayaan PG baru, (5) kebijakan pemerintah melalui pengaturan tata niaga (penetapan BPP/HPP, stabilisasi harga), perpajakan dan infrastruktur (Kementan 2011). 2.3 Analisis Swasembada Gula di Indonesia Kebijakan pertanian memiliki tiga tujuan utama yaitu mendorong kemajuan dan meningkatkan diversifikasi produksi, meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam dan meningkatkan jaminan produksi pangan yang cukup (Stergides 1992). Tujuan kebijakan yang ketiga menunjukkan pentingnya swasembada pangan bagi suatu negara. Oleh karena itu diperlukan penelitian terhadap ukuran swasembada

27 yang tepat agar kebijakan dapat berjalan efektif Nielsen-Farrel (2006). Swasembada pangan telah menjadi isu dunia, hal ini terlihat dari banyaknya penelitian mengenai swasembada pangan, baik yang terkait dengan gula maupun komoditas lain. Amid (2007) melakukan penelitian mengenai swasembada gandum di Iran. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan harga roti yang murah menjadi penyebab ketidakseimbangan permintaan dan penawaran dalam negeri sehingga impor meningkat. Salah satu komoditas yang menjadi sasaran swasembada oleh pemerintah Indonesia adalah gula. Swasembada gula bisa terwujud bila ketergantungan pada impor sedikit demi sedikit dikurangi dan harus memiliki paradigma swasembada dengan menaikkan produksi dalam negeri melalui penambahan luas tanam (Ginandjar, 2012). Namun strategi pemenuhan kebutuhan gula belum terintegrasi dengan upaya pencapaian swasembada pangan secara keseluruhan, kebijakan pemenuhan kebutuhan gula berorientasi pada pemenuhan dalam arti swasembada fisik, tanpa memperhatikan pertimbangan ekonomis (Natawidjadja et al. 2012). Di sisi lain intervensi kebijakan atau pemihakan pada sistem produksi gula di Indonesia menjadi salah satu prasyarat pencapaian swasembada gula (Arifin 2012). Secara umum keamanan nasional juga menjadi faktor penting dalam mewujudkan swasembada (Hollander 2005). Hasil penelitian Widyastutik (2005), Cahyani (2008), Sawit (2010), Zaini (2011), Asmarantaka (2012) dan Trisnawati et al. (2012) menunjukkan bahwa swasembada gula yang berkelanjutan akan sulit dicapai artinya produksi gula dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Widyastutik (2005) menyatakan bahwa untuk mencapai DRC =1, analisis simulasi menunjukkan perlunya upaya peningkatan efisiensi pengusahaan gula (dari subsistem agribisnis hulu hingga ke subsistem agribisnis hilir) yang sangat tinggi dan dalam waktu yang sangat singkat, sehingga upaya mencapai swasembada gula secara berkelanjutan tidak mungkin terwujud. Hal ini terlihat dari nilai DRC > 1 yang mengindikasikan bahwa pengusahaan gula pada berbagai pola tidak memiliki keunggulan komparatif. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian Asmarantaka (2012) yang menyatakan bahwa agroindustri gula belum efisien atau belum memiliki keunggulan komparatif berdasarkan hasil analisis integrasi, RCA dan EPD, sehingga sukar untuk mencapai swasembada gula pada tahun Cahyani (2008) melakukan peramalan produksi dan konsumsi gula di Indonesia dan sampai pada kesimpulan bahwa konsumsi gula akan terus meningkat sampai tahun Sedangkan produksi gula cenderung konstan. Pesatnya perkembangan kebutuhan gula sementara peningkatan produksi relatif belum seimbang menjadikan Indonesia sebagai importir gula baik untuk gula kristal mentah maupun gula industri (Ditjen Industri dan Agro Kimia 2009). Ketidakmampuan produksi dalam negeri mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas hablur terkait persoalan teknis dan non teknis agronomis, antara lain kesalahan dalam rekomendasi pemupukan yang dibuat atas dasar hasil analisis tanah saja dan mengabaikan beragam varietas, iklim, kondisi tanaman, dan hama/penyakit tanaman (Hakim 2006). Selain permasalahan yang terkait dengan on farm, Widyastutik (2005) menjelaskan bahwa ketidakmampuan swasembada dikarenakan perusahaan gula belum memiliki keunggulan komparatif. Sementara Zaini (2011) berpendapat jika pencapaian swasembada hanya dilakukan dengan memperluas areal tanam tebu ke 9

28 10 luar Pulau Jawa dan membangun pabrik gula baru tanpa diikuti oleh peningkatan efisiensi produksi di Pulau Jawa, maka hanya mengalihkan rente ekonomi gula dari yang semula diterima importir ke produsen gula namun tetap membebani konsumen. Sawit (2010) juga menilai bahwa kebijakan gula yang dibuat oleh pemerintah belum terintegrasi dengan baik dan belum mengarah ke tujuan yang sama. Pada umumnya, masing masing kementerian atau lembaga lebih berorientasi pada kepentingan jangka pendek daripada jangka panjang, dan dirancang secara ad hoc dan parsial. Disamping itu, kebijakan distribusi/perdagangan yang dirancang pemerintah belum mampu mengoreksi konsentrasi perdagangan gula, akibatnya pasar gula semakin menjauhi struktur pasar yang adil dan yang muncul adalah pasar oligopoli/oligopsoni. Priyono (2008) menyebutkan bahwa untuk mencapai program swasembada diperlukan pembukaan lahan tebu dan pendirian pabrik gula baru di sejumlah wilayah oleh investor baik dari dalam dan luar negeri. Untuk mewujudkan swasembada gula 2014 pemerintah juga perlu menitikberatkan sektor off farm, diantaranya peremajaan mesin pabrik gula serta perbaikan kelembagaan pemasaran (Asmarantaka et al. 2012). Sementara menurut Ditjen Industri Agro dan Kimia (2009), diperlukan pengembangan industri gula (pengolahan tebu) yang terpadu mulai dari perkebunan, pengolahan, pemasaran dan distribusi yang didukung oleh pemangku kepentingan termasuk lembaga pendukung seperti litbang, SDM, keuangan/perbankan dan transportasi. Selain itu juga diperlukan upaya upaya merevitalisasi koperasi tebu rakyat (Hanani et al. 2012). Peningkatan produktivitas secara global juga dapat tercapai bila pemangku penentu kebijakan mengambil keputusan kebijakan Pengembangan Produk Alternatif, lalu diikuti keputusan Dukungan Kebijakan Moneter, dan terakhir kebijakan Penentuan Tarif Bea Masuk. Dengan mengikuti pola pemeringkatan kebijakan tersebut, maka diharapkan pada tahun 2014 dapat dicapai swasembada gula (Dibyoseputro 2012). Sejalan dengan pendapat tersebut, Susila (2005) menunjukkan bahwa berbagai kombinasi kebijakan harga provenue, tarif impor, Tariff Rate Quota (TRQ), dan subsidi input merupakan instrument kebijakan yang efektif untuk mengembangkan industri gula nasional dan mengurangi impor. Namun dalam mewujudkan swasembada gula, terdapat berbagai kondisi yang kontra produktif terhadap upaya pencapaian swasembada antara lain aktivitas lobi dan tekanan politik produsen. Zaini (2011) melalui analisis regresi menunjukkan adanya hubungan positif antara tingginya aktivitas lobi/tekanan politik produsen dengan besarnya biaya sosial perburuan rente dan berhubungan negatif dengan pencapaian swasembada. Aktivitas lobi dan tekanan politik ditujukan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sehingga produsen gula mendapatkan rente ekonomi melalui hambatan impor. 2.4 Pendekatan Neraca Ketersediaan Untuk Menganalisis Dinamika Swasembada Penelitian mengenai neraca ketersediaan telah banyak dilakukan baik itu terkait dengan komoditas gula maupun komoditas lain. Irawan (2005) melakukan penelitian ketersediaan beras nasional dengan menggunakan data sekunder. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan yaitu tidak mencakup sub sistem

29 distribusi dan tata niaga, mengabaikan pengaruh faktor lingkungan dan pengaruh faktor harga gabah beras terhadap tingkat penawaran. Sementara Nurmalina (2007) melakukan penelitian ketersediaan beras nasional secara komprehensif dengan memanfaatkan data primer dan data sekunder. Analisis dimulai dengan menilai indeks dan status keberlanjutan ketersediaan beras nasional dengan metode multi dimensional scalling (MDS), menganalisis peubah yang dominan mempengaruhi ketersediaan beras dengan analisis prospektif, kemudian membuat model neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan dengan pendekatan sistem dinamik. Pendekatan yang sama juga digunakan oleh Utami (2006) dan Soemantri dan Machfud (2008) untuk membangun model ketersediaan ubi kayu. Model ketersediaan ubi kayu terdiri dari tiga submodel yaitu sub model persediaan, sub model kebutuhan konsumsi dan submodel kebutuhan industri. Terdapat lima skenario menurut tujuan model yaitu skenario tanpa kebijakan (usaha pemeliharaan), skenario dengan pemberdayaan sumberdaya lahan, skenario dengan kebijakan peningkatan produktivitas, skenario kebijakan pemberdayaan lahan dan peningkatan produktivitas serta skenario dengan kebijakan peningkatan konsumsi dan peningkatan kebutuhan industri. Supriyati (2011) melakukan penelitian terkait dengan neraca gula. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konsep FAO yang diacu oleh BKP lebih tepat untuk dijadikan format neraca gula baik oleh DGI dan BKP. Sementara Widhaningsih (2007) melakukan penelitian mengenai pengaruh kebijakan tataniaga gula terhadap ketersediaan dan harga domestik gula pasir di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa indeks ketersediaan dapat diproyeksikan dengan trend polynomial (kuadratik). Berdasarkan trend ini maka ketersediaan akan meningkat tapi pada titik/periode terentu akan mencapai puncak dan kembali mengalami penurunan. Secara umum hasil hasil penelitian terdahulu tersebut menggambarkan bahwa pendekatan neraca ketersediaan merupakan pendekatan yang tepat untuk mengetahui ketersediaan suatu komoditas. Selanjutnya neraca ketersediaan tersebut dapat digunakan sebagai dasar simulasi kebijakan untuk menganalisis dinamika swasembada Pendekatan Sistem Dinamik untuk Merumuskan Strategi dan Kebijakan Pengembangan Industri Gula Beberapa penelitian dengan pendekatan sistem dinamik terkait dengan komoditas gula telah dilakukan. Rancang bangun modal yang telah dibuat memiliki tujuan yang bervariasi, mulai dari peningkatan produksi gula (Sriwana 2006), optimasi produksi gula (Prabawa 1998), produktivitas sistem kerja (Haskari 2008), peningkatan pendapatan petani tebu (Novitasari dan Wirjodirdjo 2010), efektifitas kelembagaan rantai pasok pergulaan nasional (Khumairoh 2010) serta sebagai alat pemeta dan simulasi (Dibyoseputro 2012). Dari aspek on farm, analisis pemodelan dan sistem dinamik dapat digunakan untuk mendapatkan model sistem pengadaan alat dan mesin budidaya tebu di lahan kering, sebagai bagian dari manajemen industri gula. Model pengadaan pada penelitian ini meliputi pemilihan jenis, penentuan jumlah dan analisis biaya

30 12 alat dan mesin budidaya tebu, serta penentuan tingkat keprasan yang optimum (Prabawa 1998). Dari aspek off farm, analisis pemodelan dan sistem dinamik dapat digunakan untuk merancangbangun model peningkatan produksi gula tebu melalui perbaikan aspek aspek jadwal pemeliharaan mesin produksi gula, penentuan kapasitas operasional pabrik, penentuan jadwal tebang tebu dan analisa sistem antrian transportasi tebu (Sriwana 2006). Sementara Haskari (2008) menggunakan analisis pemodelan dan sistem dinamik untuk mempelajari dan menentukan parameter ergonomi mikro dan makro pada sistem kerja pengolahan tebu di pabrik gula. Parameter tersebut diaplikasikan dalam perancangan model faktor ergonomi makro terhadap produktivitas sistem kerja pada pabrik gula. Pendekatan sistem dinamik yang komprehensif dilakukan oleh Novitasari dan Wirjodirdjo (2010) yang menggunakan pendekatan sistem dinamik untuk menggambarkan model secara keseluruhan dan melakukan simulasi skenario kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani tebu. Pendekatan sistem dinamik yang komprehensif juga dilakukan oleh Dibyoseputro (2012) untuk membangun model sebagai alat pemeta sekaligus alat simulasi dalam pengambilan keputusan kompleks pengembangan agroindustri gula tebu. Model yang dibangun dalam penelitian Novitasari dan Wirjodirdjo (2010) terbagi ke dalam lima submodel yaitu submodel persediaan tebu di Indonesia, submodel persediaan gula kristal, submodel persediaan gula rafinasi, submodel impor gula kristal dan submodel impor gula rafinasi. Hasilnya menunjukkan bahwa skenario yang memberikan dampak paling signifikan terhadap peningkatan profit petani tebu Indonesia adalah melakukan revitalisasi pabrik gula dan penetapan bea masuk gula impor sebesar 20 persen. Sementara model yang dibangun dalam penelitian Dibyoseputro (2012) terbagi ke dalam tiga submodel yaitu submodel perkebunan tebu, submodel PG dan submodel kebijakan. Hasil simulasi menunjukan bahwa peningkatan produktivitas secara global dapat tercapai bila pemangku penentu kebijakan mengambil keputusan kebijakan pengembangan produk alternatif, lalu diikuti keputusan dukungan kebijakan moneter, dan terakhir kebijakan penentuan tarif bea masuk. Dari sisi pemasaran, Khumairoh (2010) melakukan analisis keterkaitan pelaku pergulaan nasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan pemodelan sistem dinamis, karena obyek kajian bersifat makro dan strategis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterkaitan pada pelaku distribusi terlihat pada variabel harga jual dan jumlah persediaan gula. Selain itu, dinamika harga gula lebih sering terjadi di retailer serta sangat dipengaruhi oleh supplai gula dan persediaan gula. Berdasarkan skenario yang disusun, pengurangan jumlah impor dapat dilakukan dengan revitalisasi industri gula, penurunan bea impor, serta pembatasan konsumsi gula kristal oleh industri. Secara umum pemodelan yang dibuat pada penelitian gula yang telah ada difokuskan pada teknologi peningkatan produksi gula dari sisi penyediaan baik itu off farm saja, on farm saja atau gabungan dari keduanya. Namun belum ada yang membuat model ketersediaan gula secara terintegrasi dengan menggabungkan antara faktor penyediaan bahan baku, pengolahan, perdagangan dan kebutuhan.

31 13 3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Swasembada dan Ketahanan Pangan Pemilihan konsep swasembada pangan harus dikaitkan dengan pertimbangan hal hal berikut: (a) sejauh mana bahan pangan tersebut merupakan hajat hidup masyarakat banyak; (b) perkembangan teknis dan teknologi serta tipe dari bahan pangan tersebut dalam pola pangan pokok; (c) situasi dan kondisi lain dari daerah ditinjau dari local specific; dan (d) kedudukan bahan pangan tersebut dalam pasar global/internasional. Jadi dalam waktu yang sama untuk bahan pangan yang berbeda terdapat konsep swasembada pangan yang berbeda pula. Untuk perekonomian yang relatif maju, dimana sistem pasar telah berjalan, konsep swasembada yang paling tepat adalah dalam pengertian kemampuan ekonomi untuk ekspor dan impor dengan pertimbangan sejauh mana pengembangan bahan pangan tersebut mempunyai keterkaitan kuat dalam ekonomi (Bunasor 1993). Swasembada akan tercapai apabila secara netto jumlah produk dalam negeri minimal mencapai 90% dari jumlah konsumsi domestiknya, baik untuk memenuhi konsumsi rumah tangga, industri maupun neraca perdagangan gula nasional. Dengan pengertian tersebut yang dimaksud swasembada gula adalah produksi gula berbasis tebu dalam negeri telah mencapai 90% dari kebutuhan nasional (Kementan, 2010). Konsep swasembada memiliki keterkaitan yang erat dengan konsep ketahanan pangan dimana hasil rumusan International Congress of Nutrition (ICN) yang diselengarakan di Roma tahun 1992 mendefinisikan ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari hari (Arabi 2002). Senada dengan definisi tersebut, UU No 18 Tahun 2012 mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sementara menurut FAO (1996) ketahanan pangan adalah situasi dimana semua orang dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman (safe) dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif. Maleha dan Sutanto (2006) menambahkan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut. Dengan demikian kebijakan swasembada gula yang direalisasikan oleh pemerintah dalam program RIGN harus memperhatikan kedelapan syarat ketahanan pangan yang tercantum dalam UU No 18 tahun 2012 tersebut. Disamping itu, operasionalisasi RIGN juga harus mengacu kepada arahan

32 14 strategis dalam operasionalisasi ketahanan pangan menurut Deptan (2006) yaitu sebagai berikut: 1. Terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang diindikasikan oleh adanya jaminan ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang. 2. Terjaminnya ketersediaan dan akses terhadap pangan secara merata dalam rangka mewujudkan hak setiap warga negara atas kecukupan pangan secara layak, dan dapat mendukung stabilitas dan keberlanjutan pembangunan perekonomian nasional. 3. Pemerintah dan masyarakat luas diharapkan dapat meningkatkan komitmen dan kerjasamanya secara partisipatif dalam membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berbasis pedesaan. 4. Urgensi komitmen bersama dalam memandang pangan bukan saja sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga sebagai komoditas strategis (politis dan ekologis) untuk mencapai ketahanan pangan dan keamanan nasional serta kedaulatan bangsa Konsep Revitalisasi Krisnamurthi (2006) merumuskan 3 definisi penting revitalisasi pertanian, yaitu sebagai berikut: 1. Revitalisasi pertanian merupakan kesadaran untuk menempatkan (kembali) arti penting (re-vital-isasi) pertanian, perikanan dan kehutanan secara proporsional dan kontekstual. Secara proporsional pertanian memiliki arti penting dalam posisinya bersama dengan bidang dan sektor lain dilihat dari perannya bagi kesejahteraan dan berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Arti penting pertanian juga dilihat secara kontekstual sesuai perkembangan masyarakat. Pertanian tidak dipentingkan hanya karena pertimbangan masa lalu, tetapi karena pemahaman atas kondisi saat ini dan antisipasi masa depan dalam masyarakat yang mengglobal, semakin modern dan menghadapi persaingan yang semakin ketat. 2. Revitalisasi pertanian merupakan usaha, proses dan kebijakan untuk menyegarkan kembali daya hidup pertanian, memberdayakan kemampuannya, membangun daya saingnya, meningkatkan kinerjanya serta mensejahterakan pelakunya, terutama petani, nelayan dan petani hutan sebagai bagian dari usaha untuk mensejahterakan seluruh rakyat. 3. Revitalisasi pertanian adalah strategi dan alat untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama juga merupakan tujuan yang harus dicapai (a mean and an end of its own) setidaknya sebagai tujuan antara yang harus dapat diwujudkan. Ketiga definisi tersebut menegaskan arti strategis revitalisasi pertanian di satu sisi, sementara di sisi lain menegaskan besarnya lingkup revitalisasi pertanian itu sendiri. Sementara Saragih (2010) menyatakan bahwa revitalisasi berasal dari kata vital yang berarti sangat penting atau vitalitas yang bermakna daya hidup. Dengan demikian makna pertama revitalisasi perkebunan adalah menempatkan kembali perkebunan sebagai sektor pembangunan yang penting. Makna kedua adalah mengembalikan kinerja perkebunan yang saat ini mengalami penurunan atau keterpurukan ke tingkat semula atau lebih tinggi.

33 Sementara berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permentan/OT.140/7/2006 Program Revitalisasi Perkebunan adalah upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra dalam pengembangan perkebunan, pengolahan dan pemasaran hasil Teori Permintaan dan Penawaran Kurva permintaan merupakan kurva yang menggambarkan jumlah barang yang diminta oleh konsumen pada berbagai tingkat harga, sedangkan harga barang terkait, pendapatan, iklan dan variabel lain dianggap konstan (Baye 2006). Kurva permintaan juga merupakan titik titik yang masing masing menggambarkan tingkat maksimum pembelian pada harga tertentu dengan ceteris paribus (keadaan lain tetap sama). Senada dengan pendapat tersebut, Lipsey et al. (1995) mendefinisikan kurva permintaan sebagai hubugan antara jumlah yang diminta dengan harga, dengan faktor lain tetap sama. Faktor faktor yang menentukan jumlah kuantitas yang diminta antara lain harga komoditi itu sendiri, rata rata penghasilan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan, selera, distribusi pendapatan diantara rumah tangga dan populasi (Lipsey et al. 1995). Perubahan jumlah barang yang diminta akibat perubahan harga dengan asumsi variabel lain konstan akan mengakibatkan pergerakan di sepanjang kurva permintaan (Lipsey et al dan Baye 2006). Sementara pergeseran kurva permintaan akan terjadi akibat perubahan faktor lain pada harga yang sama, antara lain perubahan pendapatan konsumen, harga barang terkait, iklan, selera konsumen, populasi dan harapan konsumen (Baye 2006). Permintaan suatu komoditi berdasarkan penggunaannya dapat dibedakan menjadi permintaan untuk konsumsi langsung dan permintaan untuk penggunaan antara (derived demand) yaitu sebagai bahan baku industri pengolahan. Untuk permintaan langsung, total permintaan merupakan perkalian antara konsumsi per kapita dengan jumlah penduduk. Konsumsi per kapita akan ditentukan oleh tingkat pendapatan, tingkat harga dan karakteristik demografis. Bila dalam jangka pendek tingkat harga dan faktor faktor lainnya dianggap konstan, maka pendapatan adalah sebagai penentu utama. Kurva penawaran merupakan kurva yang menggambarkan jumlah barang yang diproduksi oleh produsen pada berbagai tingkat harga, sementara harga input, teknologi dan variabel lain dianggap konstan (Baye 2006). Kurva penawaran juga merupakan hubungan antara jumlah atau kuantitas yang ditawarkan dan harga jika faktor lainnya tetap sama (Lipsey et al. 1995). Faktor faktor yang menentukan jumlah yang ditawarkan antara lain harga komoditi itu sendiri, harga input, tujuan perusahaan dan perkembangan teknologi (Lipsey et al. 1995). Perubahan jumlah barang yang ditawarkan akibat perubahan harga dengan asumsi variabel lain konstan akan mengakibatkan pergerakan di sepanjang kurva penawaran. Sementara pergeseran kurva penawaran akan terjadi akibat perubahan faktor lain pada harga yang sama, antara lain perubahan harga input, teknologi atau kebijakan pemerintah, jumlah perusahaan, substitusi dalam produksi, pajak dan ekspektasi produsen (Baye 2006).

34 Pendekatan Sistem Dinamik America National Standards Institute dalam Squire (1992) mendefinisikan sistem sebagai serangkaian metode, prosedur atau teknik yang disatukan oleh interaksi yang teratur sehingga membentuk suatu kesatuan yang terpadu. Sistem juga merupakan gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu (Hartrisari 2007). Sementara menurut Muhammadi et al. (2001), sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Sistem dinamik adalah metode untuk meningkatkan pembelajaran dalam sistem yang kompleks (Sterman 2000). Sementara Hartrisari (2007) menjelaskan bahwa sistem dinamik merupakan metoda yang dapat menggambarkan proses, perilaku dan kompleksitas dalam sistem. Simulasi dengan menggunakan model dinamik dapat memberikan penjelasan tentang proses yang terjadi dalam sistem dan prediksi hasil dari berbagai skenario atau input model. Berdasarkan hasil simulasi model tersebut diperoleh alternatif alternatif untuk menunjang pengambilan keputusan. Secara substansial terdapat dua alasan yang mendasari pentingnya perspektif sistem dinamik. Pertama, pendekatan sistem dengan sistem dinamis adalah proses berpikir menyeluruh dan terpadu yang mampu menyederhanakan kerumitan tanpa kehilangan unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian. Kedua, metode sitem dinamis cocok untuk menganalisis mekanisme, pola dan kecenderungan sistem berdasarkan analisis terhadap struktur dan perilaku sistem yang rumit, berubah cepat dan mengandung ketidakpastian (Muhammadi et al. 2001) Pemodelan Sistem Dinamik Hartrisari (2007) menjelaskan bahwa pendekatan sistem merupakan cara pandang yang bersifat menyeluruh yang memfokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen, sedangkan model merupakan penyederhanaan dari sistem. Sedangkan Muhammadi et al. (2001) berpendapat bahwa model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model juga merupakan jembatan antara dunia nyata dengan dunia berpikir untuk memecahkan suatu masalah. Proses penjabaran atau merepresentasikan ini disebut sebagai pemodelan yang merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis (Fauzi dan Anna 2005). Sejalan dengan pendapat tersebut Forrester (1965) dalam Hartrisari (2007) menyatakan bahwa model adalah representasi sebuah sistem, namun tidak akan sama persis dengan sistem sebenarnya. Semakin banyak variabel yang dimasukkan dalam model, semakin sulit untuk menjelaskan proses yang terjadi. Muhammadi et al. (2001) membagi tahapan pendekatan sistem ke dalam lima tahap yaitu: identifikasi proses menghasilkan kejadian nyata; identifikasi kejadian diinginkan; identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan; identifikasi dinamika menutup kesenjangan; dan analisis kebijakan. Eriyatno (1999) membagi analisis metodologi sistem ke dalam enam tahap: analisa kebutuhan; identifikasi sistem; formulasi masalah; pembentukan alternatif; determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik; serta penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. Sementara Fauzi dan Anna (2005) merumuskan tahapan proses pemodelan ke dalam tujuh tahapan yaitu identifikasi; membangun asumsi; konstruksi model; analisis; interpretasi; validasi dan implementasi.

35 Tahapan pemodelan dalam penelitian ini merupakan kombinasi antara pendapat Sterman (2000) dengan pendapat Manetsch dan Park (1977) dalam Hartrisari (2007). Sterman (2000) merumuskan proses pemodelan menjadi lima tahapan yaitu: 1. Perumusan masalah Tahapan perumusan masalah mencakup pemilihan tema, variabel kunci, waktu dan pendefinisian permasalahan dinamis. Pemilihan tema harus memperhatikan permasalahan yang melatarbelakangi dan mengapa permasalahan tersebut terjadi. Variabel kunci yaitu mencakup konsep dan variabel kunci apa yang harus dipertimbangkan. Waktu yaitu seberapa jauh rentang waktu di masa depan dan masa lalu yang akan diperhatikan. Sementara pendefinisian permasalahan dinamis mencakup perilaku variabel kunci di masa lalu dan prediksi perilaku variabel tersebut di masa yang akan datang. 2. Formulasi hipotesis Tahapan formulasi hipotesis mencakup penurunan hipotesis awal, endogenous focus dan pemetaan. Penurunan hipotesis awal didasarkan kepada teori terbaru yang dilanjutkan dengan endogenous focus. Pada tahap endogenous focus dilakukan perumusan hipotesis dinamis yang menjelaskan dinamika sebagai konsekuensi endogen dari struktur umpan balik. Sementara pada tahap pemetaan akan dibuat causal structure yang didasarkan kepada hipotesis awal, variabel kunci, referensi dan data lainnya yang tersedia dengan menggunakan model boundary diagrams, subsystem diagrams, causal loop diagrams, stock and flow maps, policy structure diagrams dan alat lainnya. 3. Perumusan model simulasi Tahapan perumusan model simulasi meliputi spesifikasi, estimasi dan pengujian. Spesifikasi yang dimaksud meliputi spesifikasi struktur dan aturan. Estimasi yang dimaksud meliputi estimasi parameter, hubungan perilaku dan kondisi awal. Sementara pengujian dilakukan untuk menguji konsistensi terhadap tujuan dan batasan yang telah ditetapkan. 4. Pengujian Tahapan pengujian meliputi perbandingan dengan model referensi, ketahanan di bawah kondisi ekstrim dan sensitivitas. Perbandingan dengan model referensi ditujukan untuk mengetahui apakah model mereproduksi perilaku masalah dengan cukup baik sesuai dengan tujuan. Ketahanan di bawah kondisi ekstrim ditujukan untuk mengetahui apakah model berperilaku realistis ketika dihadapkan pada kondisi ekstrim. Sementara sensitivitas ditujukan untuk mengetahui bagaimana model berperilaku atas ketidakpastian parameter, kondisi awal dan agregrasi. 5. Desain kebijakan dan evaluasi Tahapan desain kebijakan dan evaluasi meliputi spesifikasi skenario, desain kebijakan, what if analysis, analisis sensitivitas dan interaksi kebijakan. Spesifikasi skenario yaitu pembahasan mengenai kondisi lingkungan yang mungkin terjadi. Desain kebijakan meliputi pembahasan mengenai struktur, aturan dan strategi baru yang mungkin terjadi di dunia nyata dan bagaimana hal hal tersebut bisa terwakili ke dalam model. What if analysis yaitu analisa untuk melihat bagaimana dampak dari suatu kebijakan. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat seberapa kuat rekomendasi kebijakan yang diberikan di bawah skenario yang berbeda dan ketidakpastian yang terjadi. Sementara interaksi 17

36 18 kebijakan digunakan untuk melihat apakah kebijakan saling berinteraksi dan apakah terdapat sinergi atau respon yang saling melengkapi. Mulai Analisis Formulasi Identifikasi Pemodelan Verifikasi dan Validasi Implementasi Selesai Gambar 5 Tahapan pendekatan sistem Sumber: Manetsch dan Park dalam Hartrisari (2007) Gambar 5 merupakan gambar tahapan pendekatan sistem. Manetsch dan Park (1977) dalam Hartrisari (2007) merumuskan tahapan pendekatan sistem ke dalam 6 tahapan yaitu: 1. Analisis kebutuhan Pengkajian suatu sistem diawali dengan analisis kebutuhan. Pada tahap ini diidentifikasi kebutuhan kebutuhan dari masing masing pelaku (stakeholders) sebagai dasar pertimbangan dalam memahami sistem yang dikaji. Setiap pelaku sistem memiliki kebutuhan yang berbeda beda yang dapat mempengaruhi kinerja sistem, dimana masing masing pelaku berharap agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi jika mekanisme sistem tersebut dijalankan. Tahapan analisis kebutuhan ini sangat penting untuk dilakukan karena apabila pelaku merasa bahwa mekanisme sistem tidak dapat mengakomodasi kebutuhannya, maka pelaku sebagai komponen sistem tidak mau atau tidak akan menjalankan fungsi secara optimal sehingga mengakibatkan kinerja sistem terganggu. 2. Formulasi masalah Kebutuhan yang sinergis antar semua pelaku sistem tidak akan menimbulkan permasalahan dalam pencapaian tujuan sistem karena semua pelaku menginginkan kebutuhan tersebut. Sebaliknya permasalahan akan muncul jika

37 terdapat kebutuhan yang saling kontradiktif antar pelaku. Kebutuhan yang saling kontradiktif dapat dikenali berdasarkan dua hal, yaitu: kelangkaan sumberdaya (lack of resources) dan perbedaan kepentingan (conflict of interest). Kebutuhan pelaku yang saling kontradiktif ini memerlukan solusi penyelesaian yang didapatkan dari pemahaman terhadap mekanisme yang terjadi dalam sistem. Berdasarkan mekanisme tersebut, hubungan antar faktor dapat diketahui sehingga solusi dapat ditentukan berdasarkan pengetahuan keterkaitan antar faktor. 3. Identifikasi sistem Identifikasi sistem dilakukan untuk memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah dengan menyusun diagram lingkar sebab-akibat (causal loop diagram) atau diagram input output (black box diagram). Hal ini bertujuan untuk mengenali hubungan antara pernyataan kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. 4. Pemodelan sistem Prosedur dalam pemodelan adalah menyatakan kembali permasalahan yang akan diselesaikan sesuai dengan tujuan kajian sistem, menyusun hipotesis, memformulasi model, menguji serta menganalisis model. Model disusun untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Suatu model dikatakan efektif apabila model tersebut mampu menyederhanakan sistem yang akan dicapai yaitu memiliki keterkaitan antara dunia maya yang dinyatakan dalam model dengan dunia nyata. 5. Verifikasi dan validasi Tujuan dari verifikasi dan validasi model adalah menguji kebenaran struktur model untuk menunjukkan kesalahan minimal dibandingkan dengan data aktual termasuk menggunakan berbagai teknik statistika. Sementara Muhammadi et al. (2001) berpendapat bahwa validasi diperlukan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan kecil. Secara umum, pengujian model meliputi tiga hal yaitu pengujian kesesuaian model, evaluasi model dan validasi model. Pengujian kesesuaian model bertujuan untuk melihat apakah persamaan persamaan yang digunakan sudah benar, melihat kesesuaian prosedur perhitungan dan meyakinkan bahwa model telah bebas dari kesalahan kesalahan teknis. Evaluasi model bertujuan untuk melihat kesesuaian antara hasil model dengan realitas dan hasil model dengan tujuan yang ditentukan pada awalnya. Sementara validasi model bertujuan untuk melihat kesesuaian hasil model dengan realitas bila model dijalankan dengan data yang lain. 6. Implementasi model Implementasi sistem merupakan tahapan uji coba sistem, operasi parallel dan pelatihan bagi pemakai. Suatu sistem yang bagus di atas kertas, belum tentu bagus pada saat implementasinya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian (Squire 1992). 19

38 Kerangka Pemikiran Operasional Program RIGN dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan antara produksi dan konsumsi GKP, dimana produksi tidak mampu memenuhi kebutuhan. Hal ini terlihat dari defisit GKP yang terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu penelitian model swasembada GKP nasional ini menjadi perlu dilakukan, terutama untuk mendukung strategi pencapaian swasembada GKP Penelitian ini diawali dengan menganalisis keragaan penyediaan dan kebutuhan GKP nasional sebagai dasar dalam membuat model swasembada GKP dengan pendekatan sistem dinamis. Pendekatan sistem dinamis ini diawali dengan menganalisis kebutuhan dan permasalahan stakeholder melalui analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan. Kedua analisis ini dilakukan dengan berbasiskan studi pustaka, penelitian terdahulu dan kebijakan pemerintah. Tahapan selanjutnya adalah memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem industri gula nasional melalui tahapan identifikasi sistem dengan membuat diagram input output dan diagram lingkar sebab-akibat. Prosedur selanjutnya adalah menyatakan kembali permasalahan yang akan diselesaikan sesuai dengan tujuan kajian sistem dalam sebuah model swasembada GKP yang mampu menyederhanakan dan merepresentasikan sistem industri GKP nasional melalui tahapan pemodelan sistem dengan membuat diagram stock and flow. Model yang telah dibuat kemudian diuji struktur dan kebenarannya melalui tahap validasi model dengan uji RSMPE, AME dan AVE. Apabila hasil uji validasi menunjukkan bahwa model yang dibuat mampu merepresentasikan sistem industri GKP, maka simulasi dapat dilakukan. Namun apabila hasil validasi menunjukkan bahwa model yang dibuat belum mampu merepresentasikan sistem industri GKP nasional, maka penelitian akan kembali ke tahap rancang bangun model. Hasil simulasi dari model yang telah valid tersebut akan menunjukkan dinamika swasembada GKP nasional pada kondisi aktual dan apabila terjadi perubahan perilaku pada beberapa variabel. Perubahan perilaku tersebut akan dianalisis untuk mengkaji dampak RIGN terhadap pencapaian swasembada GKP dan untuk menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan alternatif. Secara ringkas kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 6.

39 21 Defisit GKP meningkat Pro duksi GKP mening kat 27,65 % per tahun Konsumsi GKP meningkat 0,63 % per tahun 1,28 % per tahun RIGN dengan target swasembada GKP Perlunya penelitian Model Swasembada GKP Keragaan Penyediaan dan Kebutuhan GKP Model Swasembada GKP Nasional Pendekatan analisis sistem dinamis Analisis kebutuhan stakeholder Analisis formulasi permasalahan stakeholder Menganalisis kebutuhan dan permasalahan stakeholder Studi pustaka Studi penelitian terdahulu Studi kebijakan pemerintah Identifikasi sistem Memahami mekanisme sistem Diagram input output Diagram sebab akibat Pemodelan sistem Membuat Model Sistem Industri GKP Diagram stock and flow Validasi Model T Y Simulasi Model Menguji kebenaran struktur dan kinerja model Menganalisis dinamika swasembada GKP nasional Uji RMSPE, AME, AVE Skenario: Dampak kebijakan RIGN Kebijakan alternatif Rekomendasi Keterangan : alur berfikir : analisis sistem dinamis : tahapan pemodelan : operasionalisasi alur berfikir Gambar 6 Kerangka pemikiran operasional

40 22 4 METODE PENELITIAN 4.1 Cakupan Penelitian Penelitian ini dianalisis secara makro pada tingkat nasional. Perhitungan ketersediaan GKP nasional dilakukan dengan pendekatan sistem dinamis. Model ini menggunakan tahun 2010 sebagai tahun dasar dengan pertimbangan tahun tersebut merupakan tahun dimulainya program RIGN. Analisis perilaku model ini akan dilakukan hingga tahun 2025 dengan pertimbangan tahun tersebut merupakan tahun berakhirnya rencana aksi jangka panjang program pengembangan klaster industri gula yang diatur dalam peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 11/M-IND/PER/2010. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu dari bulan November hingga Desember Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu data luas areal tebu, produktivitas tebu, rendemen, kapasitas giling pabrik, harga GKP impor, harga GKP domsetik, penduduk dan konsumsi GKP. Data dikumpulkan dari berbagai sumber seperti laporan, dokumen dan hasil penelitian dari berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian antara lain Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Dewan Gula Indonesia (DGI), Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) dan perguruan tinggi (PT). 4.3 Metoda Analisis Data Data dan informasi yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis secara kualitatif (deskriptif) dan kuantitatif. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui keragaan penyediaan dan kebutuhan gula di Indonesia. Analisis kuantitatif dilakukan dengan pendekatan sistem dinamis. Analisis sistem dinamis digunakan untuk menyusun model dinamika swasembada GKP nasional dan simulasi terhadap model tersebut dengan menggunakan software Powersim studio. Model swasembada GKP tersebut dibangun dengan pendekatan sistem dinamis. Secara substansial terdapat dua alasan yang mendasari pentingnya perspektif sistem dinamik menurut Muhammadi et al. (2001), yaitu (1) pendekatan sistem dengan sistem dinamis adalah proses berpikir menyeluruh dan terpadu yang mampu menyederhanakan kerumitan tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian, (2) metode sitem dinamis cocok untuk menganalisis mekanisme, pola dan kecenderungan sistem berdasarkan analisis terhadap struktur dan perilaku sistem yang rumit, berubah cepat dan mengandung ketidakpastian.

41 4.2.1 Analisis Kebutuhan Tahapan pengkajian sistem diawali dengan analisis kebutuhan. Analisis kebutuhan dilakukan dengan mengidentifikasi para stakeholder yang terkait dengan industri gula. Selanjutnya akan dilakukan identifikasi kebutuhan dari para stakeholder tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam pemahaman sistem industri gula yang akan dikaji. Setelah kebutuhan tersebut dirumuskan, baru kemudian dilakukan tahap pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut. Bedasarkan pada studi pustaka dan hasil penelitian, stakeholder industri gula dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Pemerintah, (2) Swasta (PBS, pedagang besar, retailer), (3) BUMN (PBN), (4) Konsumen dan (5) Petani dan kelompok tani. Setiap pelaku sistem tersebut memiliki kebutuhan yang berbeda beda yang dapat mempengaruhi sistem ketersediaan GKP. 23 Tabel 1 Analisis kebutuhan stakeholder dalam model swasembada GKP nasional Stakeholder Kebutuhan stakeholder Pemerintah Peningkatan produksi tebu dan gula Peningkatan rendemen Neraca ketersediaan GKP positif Swasembada GKP tahun 2014 Swasta Produksi gula tinggi Harga gula tinggi Efisiensi pabrik tinggi Bahan baku memadai Revitalisasi industri gula swasta mencapai target BUMN Produksi gula tinggi Harga gula tinggi Efisiensi pabrik tinggi Bahan baku memadai Revitalisasi industri gula BUMN mencapai target Konsumen Harga gula murah Gula tersedia sepanjang waktu Petani Harga gula tinggi Rendemen tinggi Produktivitas tebu tinggi Sumber: Diadaptasi dari Pambudy (2004), Mardianto et al. (2005), Ditjen Industri Agro dan Kimia (2009), Kementrian BUMN (2011) Formulasi Masalah dalam Sistem Berdasarkan hasil analisis kebutuhan, terlihat adanya keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda di antara stakeholder. Perbedaan kebutuhan ini mengindikasikan adanya perbedaan kepentingan dan kelangkaan sumberdaya yang akan mengakibatkan tujuan sistem menjadi sulit untuk dicapai. Oleh karena itu diperlukan solusi penyelesaian dengan memetakan berbagai kepentingan stakeholder agar dapat memahami mekanisme yang terjadi di dalam sistem melalui analisis formulasi masalah seperti terlihat pada Tabel 2.

42 24 Tabel 2 Analisis formulasi permasalahan stakeholder dalam model dinamika sistem industri GKP Stakeholder Permasalahan stakeholder Pemerintah Perluasan lahan terkendala kesesuaian lahan untuk tebu dan persaingan dengan komoditas lain serta pemukiman penduduk Rendemen rendah Prioritas kebijakan belum jelas Swasta Produktivitas rendah Kontinuitas bahan baku kurang terjamin BUMN Mutu tebu tidak MBS (manis, bersih, segar) Kontinuitas bahan baku kurang terjamin Mesin tua Efisiensi pabrik rendah Produktivitas rendah Rendemen rendah Konsumen Harga gula tinggi di luar musim giling Mutu gula kurang terjamin Petani Rendemen rendah Produktivitas rendah Tingginya jumlah tanaman keprasan Sistem penentuan rendemen yang tidak adil Sumber: Diadaptasi dari Pambudy (2004), Mardianto et al. (2005), Ditjen Industri Agro dan Kimia (2009), Kementrian BUMN (2011) Indentifikasi Sistem Industri GKP Nasional Tahapan identifikasi ketersediaan GKP nasional ditujukan untuk memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem dengan cara menangkap hubugan antara analisis kebutuhan dengan formulasi masalah. Tujuan utama pemodelan swasembada GKP ini adalah untuk menangkap perilaku ketersediaan GKP di masa yang akan datang. Dalam penelitian ini model swasembada GKP dibagi ke dalam empat submodel yaitu submodel penyediaan bahan baku, submodel pengolahan, submodel kebutuhan dan submodel perdagangan. Pendekatan yang digunakan adalah dengan menyusun diagram sebab akibat (causal loop diagram) dan diagram input output (black box diagram). a. Diagram Input Output Diagram input output menggambarkan hubungan antara output yang dihasilkan dengan input berdasarkan tahapan analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan (Hartrisari 2007). Diagram input output untuk model swasembada GKP nasional disajikan pada Gambar 7.

43 25 Input Tak Terkendali Iklim dan cuaca Topografi lahan Input Lingkungan Kebijakan Pemerintah Output yang Diinginkan Neraca ketersediaan GKP positif Peningkatan produksi GKP Penurunan konsumsi GKP Sistem industri GKP Nasional Input Terkendali Lahan Produktivitas tebu Rendemen Jumlah penduduk Output Tidak Diinginkan Neraca ketersediaan GKP negatif Penurunan produksi GKP Peningkatan konsumsi GKP Revitalisasi Industri Gula Nasional (Umpan balik) Gambar 7 Diagram input output model sistem industri GKP nasional Pada diagram input output terdapat empat faktor penting yang merupakan input dan output dalam sistem yang dikaji yaitu input tak terkendali, input terkendali, output yang diinginkan dan output yang tak diinginkan. Selain empat faktor tersebut juga terdapat faktor lain yang berpengaruh pada sistem yaitu lingkungan dan umpan balik. Input yang terkendali adalah input yang secara langsung mempengaruhi kinerja sistem industri GKP dan bersifat dapat dikendalikan, yaitu lahan, produktivitas tebu, rendemen dan jumlah penduduk. Input tidak terkendali merupakan input yang diperlukan agar sistem ketersediaan GKP dapat berfungsi dengan baik namun tidak dapat dikendalikan, yaitu iklim dan cuaca serta topografi lahan. Input lingkungan merupakan elemen yang mempengaruhi ketersediaan GKP secara tidak langsung dalam mencapai tujuan, yaitu kebijakan pemerintah. Ketiga input tersebut akan menghasilkan output yang diinginkan dan output yang tidak diinginkan. Output yang diinginkan dalam model swasembada GKP adalah neraca ketersediaan GKP positif, peningkatan produksi GKP dan penurunan konsumsi GKP. Sementara output yang tidak diinginkan adalah neraca ketersediaan GKP negatif, penurunan produksi GKP dan peningkatan konsumsi

44 26 GKP. Output yang tidak diinginkan ini perlu dijadikan umpan balik melalui RIGN agar input dapat berubah menjadi output yang diinginkan. b. Diagram Sebab Akibat (Causal Loop) Diagram simpal kausal adalah pengungkapan tentang kejadian hubungan sebab akibat (causal relationship) ke dalam bahasa gambar tertentu. Bahasa gambar tersebut adalah panah yang saling mengait, sehingga membentuk sebuah diagram simpal (causal loop), dimana hulu panah mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat (Muhammadi et al. 2001). Diagram sebab akibat sistem industri GKP nasional ditunjukkan pada Gambar 8. Gambar 8 Diagram alir sebab akibat model swasembada GKP nasional

45 Diagram sebab akibat ini digunakan untuk menggambarkan keterkaitan hubungan antar elemen dalam sistem industri GKP. Apabila penambahan pada satu variabel menyebabkan penambahan pada variabel lain maka hubungan tersebut bersifat positif. Sementara apabila penambahan pada satu variabel menyebabkan pengurangan pada variabel lain maka hubungan tersebut bersifat negatif Formulasi Model Formulasi model dilakukan dengan menggambarkan stock and flow diagram. Selanjutnya permasalahan pergulaan akan dirumuskan ke dalam bentuk matematis yang dapat mewakili sistem nyata industri gula Indonesia. Fokus utama model dalam penelitian ini adalah ketersediaan GKP nasional, dimana model tersebut memiliki empat sub model yaitu sub model penyediaan bahan baku, sub model pengolahan, sub model kebutuhan dan sub model perdagangan. a. Sub Model Penyediaan Bahan Baku Submodel penyediaan bahan baku merupakan subsistem usahatani dalam industri gula yang melibatkan petani dan pabrik gula dalam bentuk kemitraan. Tujuan pengamatan terhadap submodel ini adalah untuk mengetahui perilaku penyediaan tebu sebagai bahan baku GKP. Submodel ini dipengaruhi oleh berbagai variabel antara lain produksi tebu, luas areal tebu, susut dan produktivitas tebu. Luas areal tebu adalah luas lahan yang ditanami tebu (Ha). Luas areal tebu memiliki hubungan yang positif dengan produksi tebu, dengan demikian memiliki hubungan yang positif pula dengan produksi GKP. Semakin tinggi luas areal tebu maka semakin tinggi produksi tebu yang dihasilkan, sehingga semakin banyak tebu yang tersedia sebagai bahan baku pembuatan gula. Luas areal tebu terbagi dua berdasarkan status pengusahaan yaitu luas lahan yang dimiliki oleh swasta atau perkebunan besar swasta (PBS) dan luas lahan yang dimiliki oleh BUMN atau perkebunan besar negara (PBN). Luas areal tersebut sudah termasuk luas lahan tebu perkebunan rakyat (PR) yang menggilingkan tebunya ke pabrik gula. Di sisi lain luas areal tebu dipengaruhi oleh pembukaan lahan. Semakin tinggi luas areal tebu maka semakin tinggi peluang adanya pembukaan lahan dan semakin tinggi pembukaan lahan maka semakin tinggi pula luas areal tebu. Keduanya memiliki hubungan feedback positif. Luas areal tebu juga dipengaruhi oleh konversi lahan. Semakin tinggi luas areal tebu maka semakin tinggi peluang terjadinya konversi lahan lahan dan semakin tinggi konversi lahan maka semakin rendah luas areal tebu. Keduanya memiliki hubungan feedback negatif. Gabungan antara laju pembukaan lahan dan laju konversi lahan akan menghasilkan laju pertumbuhan lahan. Laju pertumbuhan lahan yang positif mengindikasikan bahwa laju pembukaan lahan lebih tinggi dari laju konversi lahan, sebaliknya laju pertumbuhan lahan yang negatif mengindikasikan bahwa laju pembukaan lahan lebih rendah dari laju konversi lahan. Produktivitas tebu adalah banyaknya tebu yang dihasilkan per hektar (ton/ha). Produktivitas tebu memiliki hubungan yang positif dengan produksi tebu, dengan demikian memiliki hubungan yang positif pula dengan produksi GKP. Semakin tinggi produktivitas tebu maka semakin tinggi produksi tebu yang dihasilkan atau semakin banyak tebu yang tersedia sebagai bahan baku pembuatan

46 28 gula. Produktivitas tebu terbagi dua berdasarkan status pengusahaan yaitu produktivitas tebu PBN dan PBS. Susut memiliki hubungan yang negatif dengan produksi tebu, dengan demikian memiliki hubungan yang negatif pula dengan produksi GKP. Semakin tinggi susut maka semakin rendah produksi tebu yang siap untuk digiling atau semakin sedikit tebu yang tersedia sebagai bahan baku pembuatan gula. Data susut diperoleh dari hasil penelitian tahun 2003 yang besarnya 0,98 persen dari produksi (BKP, 2002 dalam Supriyati, 2011). Tabel 3 Asumsi yang digunakan pada submodel penyediaan bahan baku Sumber No Variabel Definisi operasional Unit Nilai data 1 Luas_lhn_ PBN 2 Fraksi_pertum buhan_lhn_ PBN 3 Goal_lhn_ PBN 4 Lj_pertumbu han_lhn_pbn 5 Produktivitas_ PBN 6 Fraksi_pertum buhan_ prdktvts_pbn 7 Lj_pngktn_ prdktvts_pbn 8 Produksi_tebu _PBN Jumlah luas areal tebu yang diusahakan oleh PBN pada tahun 2010 di Indonesia Tingkat laju pertumbuhan luas areal tebu per tahun yang diusahakan oleh PBN periode di Indonesia Target luas lahan PBN maksimum Jumlah penambahan luas areal tebu yang diusahakan oleh PBN per tahun di Indonesia Produktivitas tebu PBN merupakan rasio antara produksi dan luas areal pada tahun 2010 di Indonesia Tingkat laju pertumbuhan produktivitas tebu per tahun yang diusahakan oleh PBN periode di Indonesia Jumlah peningkatan produktivitas tebu PBN di Indonesia Jumlah produksi tebu yang dihasilkan PBN di Indonesia ha DGI (2012) %/thn 1.44 DGI (2012) ha Kementan (2010) ha/ thn IF(Luas_lhn_PB N<Goal_lhn_PB N,Fraksi_pertu mbuhan_lhn_pb N*Luas_lhn_PB N,((-(Luas_lhn_ PBN-Goal_lhn_ PBN))*Fraksi_ tahun),0<<ha/yr >>) Hasil perhitungan ton/ha DGI (2012) %/thn DGI (2012) ton/ha/ thn ton Produktivitas_ PBN * Fraksi_ pertumbuhan_ prdktvts_pbn Luas_lhn_PBN * Produktivitas _PBN Hasil perhitungan Hasil perhitungan

47 29 Tabel 3 (Lanjutan) No Variabel Definisi operasional Unit Nilai 9 Luas_lhn_ PBS 10 Fraksi_pert umbuhan_ lhn_ PBS 11 Goal_lhn_ PBS 12 Lj_pertum buhan_lhn _PBS 13 Produktivi tas_pbs 14 Fraksi_per tumbuhan_ prdktvts_ PBS 15 Lj_pngktn _prdktvts_ PBS 16 Produksi_ tebu_pbs 17 Fraksi_su sut Jumlah luas areal tebu yang diusahakan oleh PBS pada tahun 2010 di Indonesia Tingkat laju pertumbuhan luas areal tebu per tahun yang diusahakan oleh PBS periode di Indonesia Target luas lahan PBS maksimum Jumlah penambahan areal yang diusahakan PBS per tahun Produktivitas tebu PBS merupakan rasio antara produksi dan luas areal pada tahun 2010 Tingkat laju pertumbuhan produktivitas tebu per tahunyang diusahakan oleh PBS periode di Indonesia Jumlah peningkatan produktivitas tebu PBS Jumlah produksi tebu yang dihasilkan oleh PBS Persentase tebu yang hilang terhadap produksi tebu Sumber data ha DGI (2012) %/thn 5.16 DGI (2012) Ha Kementan (2010) ha/ IF(Luas_lhn_PBS Hasil thn <Goal_lhn_PBS, perhitungan Fraksi_pertumbu han_lhn_pbs*lu as_lhn_pbs,((- (Luas_lhn_ PBS-Goal_lhn_ PBS))*'Fraksi tahun'),0<<ha/yr> >) ton/ DGI (2012) ha %/thn 1.56 DGI (2012) ton/ ha/ thn ton 18 Susut Jumlah tebu yang hilang ton/ thn 19 Produksi_ tebu 20 Total_pro duksi_tebu 21 Luas_lhn_ total Jumlah produksi tebu yang dihasilkan oleh PBN dan PBS Jumlah produksi tebu yang dihasilkan oleh PBN dan PBS setelah memperhitungkan susut Jumlah luas areal tebu yang diusahakan oleh PBN dan PBS Produktivitas_ PBS * Fraksi_ pertumbuhan_ prdktvts_pbs Luas_lhn_PBS * Produktivitas_ PBS Hasil perhitungan Hasil perhitungan %/thn 0.98 BKP (2002) dalam Supriyati (2011) ton ton ha Fraksi_susut * Produksi_tebu Produksi_tebu_ PBN + Produksi_ tebu_pbs Produksi_tebu - Susut Luas_lhn_PBN + Luas_lhn_PBS Hasil perhitungan Hasil perhitungan Hasil perhitungan Hasil perhitungan

48 30 Gambar 9 menunjukkan struktur sub model penyediaan bahan baku. Sementara Tabel 3 menunjukkan asumsi yang digunakan pada submodel penyediaan bahan baku. Fraksi_pertumbuha n_prdktvts_pbs Lj_pngktn_prdktvts _PBS Prdktvts_PBS Produksi_tebu_PBS Init_prdktvts_PBS Fraksi_susut Susut Lj_pertumbuhan_lh n_pbs Fraksi tahun Luas_lhn_PBS Total_produksi_teb Produksi_tebu u Fraksi_pertumbuha n_lhn_pbs Init_luas_lhn_PBS Goal_lhn_PBS Luas_lhn_total Lj_pngktn_prdktvta s_pbn Fraksi_pertumbuha n_prdktvts_pbn Produktivitas_PBN Init_prdktvts_PBN Produksi_tebu_PBN Lj_pertumbuhan_lh n_pbn Luas_lhn_PBN Fraksi_tahun Fraksi_pertumbuha n_lhn_pbn Init_luas_lhn_PBN Goal_lhn_PBN Gambar 9 Struktur sub model penyediaan bahan baku

49 Berikut ini adalah persamaan matematis yang menggambarkan hubungan antar variabel yang terkait dengan submodel penyediaan bahan baku: - Luas_lhn_PBN (t)=init_luas_lhn_pbn (t-dt)+ (Lj_pertumbuhan_lhn_PBN)*dt...(1) - Produktivitas_PBN(t)=Init_prdktvts_PBN(t-dt)+ (Lj_pngktn_prdktvts_PBN)*dt...(2) - Produksi_tebu_PBN = Luas_lhn_PBN*Produktivitas_PBN...(3) - Luas_lhn_PBS (t)=init_luas_lhn_pbs (t-dt)+ (Lj_pertumbuhan_lhn_PBS)*dt...(4) - Produktivitas_PBS(t)=Init_prdktvts_PBS(t-dt)+ (Lj_pngktn_prdktvts_PBS)*dt...(5) - Produksi_tebu_PBS = Luas_lhn_PBS*Produktivitas_PBS...(6) - Produksi_tebu= Produksi_ tebu_pbn + Produksi_tebu_PBS...(7) - Susut = Fraksi_susut * Produksi_tebu...(8) - Produksi_tebu_nas = Produksi_tebu - Susut...(9) - Luas_lhn_total = Luas_lhn_PBN + Luas_lhn_PBS...(10) b. Submodel Pengolahan Gula Submodel pengolahan gula dipengaruhi oleh berbagai variabel antara lain rendemen, kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai. Gambar 10 menunjukkan struktur sub model pengolahan gula. Rendemen adalah gula yang terkandung di dalam tebu (%). Rendemen memiliki hubungan yang positif dengan produksi GKP. Semakin tinggi rendemen maka semakin tinggi kandungan gula di dalam tebu sehingga semakin tinggi pula gula yang dihasilkan. 31 Gambar 10 Struktur sub model pengolahan

50 32 Tabel 4 Asumsi yang digunakan pada submodel pengolahan No Variabel Definisi operasional Unit Nilai 1 Kap_terpasang _industri 2 Lj_pngktn_ kap_terpasang 3 Fraksi_lj_kap_ terpasang 4 Kap_terpakai_ industi 5 Init_utilisasi_ kap_terpakai 6 Lj_pngktn_ utilisasi_kap_ terpakai 7 Fraksi_lj_ pngktn_util_ kap_terpakai 8 Lj_penamba han_kap_terpa kai 9 Produksi_ GKP_nas Jumlah kapasitas terpasang industri pengolahan gula pada tahun 2010 di Indonesia Rata-rata peningkatan kap terpasang industri pengolahan gula Persentase peningkatan kapasitas terpasang per tahun industri pengolahan gula periode di Indonesia Jumlah kapasitas terpakai industri pengolahan gula Tingkat utilsasi kapasitas terpasang industri gula pada tahun 2010 di Indonesia Peningkatan kapasitas terpakai industri akibat peningkatan utilisasi kapasitas terpasang industri pengolahan Persentase peningkatan utilisasi kapasitas terpakai industri pengolahan gula per tahun selama periode di Indonesia Peningkatan kapasitas terpakai industri pengolahan gula akibat perubahan kapasitas terpasang Jumlah GKP yang diproduksi 10 Rendemen Kadar kandungan gula yang terkandung dalam tebu 11 Fraksi_pngktn Persentase peningkatan _rendemen rendemen per tahun selama periode di 12 Lj_pngktn_ren demen Indonesia Jumlah rendemen peningkatan 13 Lama_Giling Waktu yang diperlukan untuk menggiling tebu ton tebu/ hari ton tebu/ hari/thn Sumber data DGI (2012) kap_terpasang_in dustri * fraksi_lj_ kap_terpasang Hasil perhitu ngan %/thn 3.69 DGI (2012) ton tebu/ hari kap_terpasang_in dustri * init_ utilisasi_kap_ terpakai Hasil perhitu ngan % DGI (2012) ton tebu/ha ri/thn Fraksi_lj_pngktn _kap_terpakai * k ap_terpakai_indus tri Hasil perhitu ngan %/thn DGI (2012) ton tebu/ hari/ thn ton Init_utilisasi_kap _terpakai * Laju_ pngktn_kap_terpa sang Rendemen * Lama_giling * K ap_terpakai_indus tri Hasil perhitu ngan Hasil perhitu ngan % 6,46 DGI (2012) %/thn DGI (2012) %/thn Hari/ thn Rendemen * Fraksi_pnkrtn_ rendemen Total_produksi_ Tebu / Kap_inclu sive_industri Hasil perhitu ngan Hasil perhitu ngan

51 Kapasitas terpasang merupakan kemampuan PG untuk menggiling tebu per harinya tanpa memperhatikan jam berhenti giling. Sementara kapasitas terpakai merupakan kemampuan PG untuk menggiling tebu per harinya setelah memperhitungkan jam berhenti giling yang disebabkan oleh kerusakan mesin atau kekurangan pasokan tebu. Kapasitas terpasang dan terpakai memiliki hubugan yang positif dengan produksi GKP. Semakin besar kapasitas terpasang dan terpakai maka semakin besar pula jumlah tebu yang mampu digiling per harinya. Tabel 4 menunjukkan asumsi yang digunakan pada submodel pengolahan. Berikut ini adalah persamaan matematis yang menggambarkan hubungan antar variabel yang terkait dengan submodel pengolahan tebu menjadi gula. - Kap_terpasang_industri (t) = Init_kap_terpasang (t-dt)+ (Lj_pngktn_kap_terpasang)*dt...(11) - Kap_terpakai_industri (t) = Init_kap_terpakai (t-dt) + (Lj_pngktn_ utilisasi_kap_terpakai)*dt + (Lj_penambahan_kap_terpakai)*dt...(12) - Init_kap_terpakai = Init_utilisasi_kap_terpakai * Kap_terpakai_ Industri...(13) - Rendemen = Init_rendemen (t-dt)+(lj_pnktn_rendemen)*dt...(14) - Lama_giling = Total_produksi_tebu / Kap_terpakai_industri...(15) - Produksi_GKP = Lama_giling * Rendemen * Kap_terpakai_ industri...(16) c. Submodel Perdagangan Submodel perdagangan dibangun untuk melihat dinamika impor GKP yang akan mempengaruhi ketersediaan GKP nasional. Variabel-variabel yang mempengaruhi submodel ini antara lain harga domestik, harga paritas impor, kebutuhan GKP dan impor GKP. Impor ditetapkan maksimal sebesar 10 persen dari kebutuhan GKP. Hal ini sesuai dengan konsep swasembada yang dirumuskan oleh Kementan. Gambar 11 menunjukkan struktur sub model perdagangan gula, sedangkan Tabel 5 menunjukkan asumsi yang digunakan pada submodel perdagangan gula. 33 Lj_prtmbhn_harga_i mpor Harga_impor Impor Fraksi_prtmbhn_har ga_impor Init_harga_impor Kebutuhan GKP_Nas Lj_prtmbhn_harga_ domestik Fraksi_prtmbhn_har ga_domestik Harga_domestik Init_harga_domesti k Gambar 11 Struktur sub model perdagangan

52 34 Tabel 5 Asumsi yang digunakan pada submodel perdagangan GKP No Variabel Definisi operasional Unit Nilai Sumber data 1 Harga_domes tik 2 Lj_prtmbhn_ harga_domes tik 3 Fraksi_ prtmbhn_harga_ domestik Nilai harga eceran GKP rata rata pada tahun 2010 di Indonesia Rata-rata peningkatan harga domestik GKP Indonesia Persentase peningkatan harga domestik GKP per tahun periode di Indonesia 4 Harga_impor Nilai harga paritas impor gula rata rata pada tahun 2010 di Indonesia 5 Lj_prtmbhn_ harga_impor 6 Fraksi_ prtmbhn_harga_ impor Rata-rata peningkatan harga paritas impor GKP Indonesia Persentase peningkatan harga paritas impor GKP per tahun periode di Indonesia 7 Fraksi_impor Persentase impor terhadap kebutuhan GKP maksimum sesuai definisi swasembada dari Kementan 8 Impor Jumlah impor GKP Indonesia Rp/ kg Rp/ thn Nahdodin (2010) Harga_domestik * Fraksi_prtmbhn_ harga_domestik Hasil perhitu ngan %/thn Nahdodin (2010) Rp Nahdodin (2010) Rp/ thn Harga_lelang * Fraksi_prtmbhn_ harga_lelang Hasil perhitu ngan %/thn Nahdodin (2010) % 10 Kementan (2010) ton IF(Harga_domesti k>harga_impor, *Kebutuhan_ GKP_nas,Kebutu han_gkp_ns*0.1) Hasil perhitu ngan Berikut ini adalah persamaan matematis yang menggambarkan hubungan antar variabel yang terkait dengan submodel perdagangan gula: - Harga_domestik (t) = Init_harga_domestik (t-dt)+(lj_prtmbhn_harga_ domestik)*dt...(17) - Harga_impor (t) = Init_harga_impor (t-dt) + (Lj_prtmbhn_harga_ impor)*dt...(18) - Impor = IF(Harga_domestik<Harga_impor,0.0982*Kebutuhan_GKP_nas, Kebutuhan_GKP_nas*0,1)...(19)

53 d. Sub Model Kebutuhan Submodel kebutuhan GKP merupakan submodel yang menggambarkan dinamika permintaan GKP, baik yang berasal dari produksi dalam negri maupun impor. Submodel ini terdiri dari konsumsi GKP rumah tangga dan kebutuhan khusus. Konsumsi GKP dalam penelitian ini dipengaruhi oleh variabel konsumsi gula per kapita dan jumlah penduduk. Hal ini sejalan dengan pendapat Sudaryanto (1996), Purwoko et al. (1998) dan Susila dan Sinaga (2005) dalam Supriyati (2011) yang menyebutkan bahwa peningkatan permintaan langsung dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan per kapita. Konsumsi GKP per kapita memiliki hubungan yang positif dengan konsumsi GKP nasional. Semakin tinggi konsumsi GKP per kapita maka semakin tinggi konsumsi GKP nasional. Jumlah penduduk adalah jumlah penduduk Indonesia pada tahun tertentu (jiwa). Jumlah penduduk memiliki hubungan yang positif dengan konsumsi GKP nasional. Semakin tinggi jumlah penduduk maka semakin tinggi konsumsi GKP nasional. Tabel 6 menunjukkan asumsi yang digunakan pada sub model kebutuhan, sedangkan Gambar 12 menunjukkan struktur sub model kebutuhan. 35 Konsumsi_per_kapita Lj_pertumbuhan_ko nsumsi Init_konsumsi Fraksi_pertumbuha n_konsumsi Kebutuhan GKP_Nas Sugar_intake Konsumsi_GKP_RT Konsumsi_khusus_i nd Konsumsi_khusus Lj_prtmbhn_kon_kh usus Penduduk Lj_pertumbuhan_pd dk Fraksi_prtmbhn_kns msi_khusus Init_knsmsi_khusus Init_pddk Gambar 12 Struktur sub model kebutuhan Fraksi_pertumbuha n_pddk Berikut ini adalah persamaan matematis yang menggambarkan hubungan antar variabel yang terkait dengan submodel kebutuhan: - Penduduk (t) = Init_pddk (t-dt) + (Lj_pertumbuhan_pddk)*dt...(20) - Konsumsi_per_kapita (t) = Init_Konsumsi (t-dt) + (Lj_pertumbuhan_ konsumsi)*dt...(21) - Konsumsi_GKP_RT = Konsumsi_per_kapita*Penduduk...(22) - Konsumsi_khusus = Init_Knsmsi_khusus (t-dt) + (Lj_pertumbuhan_ Knsmsi_khusus)*dt...(23) - Konsumsi_GKP_Nas = Konsumsi_GKP_RT + Konsumsi_khusus_ind...(24)

54 36 Tabel 6 Asumsi yang digunakan pada submodel kebutuhan No Variabel Definisi operasional Unit Nilai 1 Penduduk Jumlah penduduk Indonesia tahun Fraksi_pertum Tingkat pertumbuhan buhan_pddk penduduk Indonesia per tahun periode Lj_pertumbu Jumlah pertumbuhan han_pddk penduduk Indonesia per tahun 4 Konsumsi_per Konsumsi langsung _Kapita GKP per kapita penduduk Indonesia tahun Fraksi_pertum Tingkat pertumbuhan buhan_konsu konsumsi GKP msi langsung penduduk Indonesia per tahun periode Sugar_intake Jumlah rata-rata konsumsi gula pria dan wanita dewasa yang direkomendasikan 7 Lj_pertumbu Jumlah peningkatan han_konsumsi konsumsi GKP langsung penduduk Indonesia 8 Konsumsi_ GKP_RT 9 Konsumsi_ khusus 10 Lj_prtmbhn_ knsmsi_khu sus 11 Fraksi_prtmbh n_knsmsi_khu sus 12 Konsumsi_kh usus_ind Jumlah konsumsi langsung GKP penduduk Indonesia Konsumsi GKP per kapita untuk kebutuhan khusus Jumlah peningkatan konsumsi GKP untuk kebutuhan khusus penduduk Indonesia Tingkat pertumbuhan konsumsi GKP untuk kebutuhan khusus penduduk Indonesia yang mengacu kepada tingkat pertumbuhan industri makanan dan minuman Jumlah konsumsi khusus GKP penduduk Indonesia Sumber data orang BPS (2012) %/thn 1.57 BPS (2012) orang/ thn ton/ orang Fraksi_pertumbuhan_ pddk * Penduduk Hasil perhitu ngan DGI (2012) %/thn DGI (2012) ton/ orang ton/ thn ton le.com IF(Konsumsi_per_kapi ta>sugar_intake,fraksi _pertumbuhan_konsum si*konsumsi_per_kapi ta,0<<(ton/jiwa)/yr>>) Penduduk * Konsum si_per_kapita Hasil perhitu ngan Hasil perhitu ngan ton 3.78 DGI (2012) dan BKP (2012) diolah ton/ thn Konsumsi_khusus * Fraksi_prtmbhn_knsm si_khusus Hasil perhitu ngan %/thn enpe rin.go.id ton Penduduk * Konsum si_khusus Hasil perhitu ngan

55 e. Model Swasembada GKP Nasional Model swasembada GKP nasional merupakan hasil interaksi antara submodel penyediaan bahan baku, submodel pengolahan gula, submodel perdagangan dan submodel kebutuhan. Keempat submodel tersebut dapat disederhanakan kembali menjadi submodel penyediaan dan kebutuhan. Hubungannya akan diterjemahkan ke dalam diagram alir (stok dan flow) yang formula matematisnya dapat dirumuskan sebagai berikut: Ketersediaan_GKP = Penyediaan_GKP_nas-Kebutuhan_GKP_nas...(25) Dimana: Penyediaan_GKP = (Produksi_GKP-Gula_hilang)+(tambahan_surplus_thn_lalu/ 'Fraksi tahun') Kebutuhan_GKP_nas = Konsumsi_GKP_RT+Konsumsi_khusus_ind Impor = IF(Harga_domestik<Harga_impor,0.0982*'Kebutuhan GKP_Nas', 0.1*'Kebutuhan GKP_Nas') Stok_tahunan (t) = Init_stok (t-dt) + (Gula_untuk_stok)*dt (tambahan_surplus _thn_lalu)*dt. Surplus = IF(KETERSEDIAAN_GKP>0,KETERSEDIAAN_GKP,0) Ketersediaan GKP dalam persamaan (25) merupakan indikator swasembada GKP. Tabel 7 menunjukkan asumsi yang digunakan pada model sistem industri GKP nasional. 37 Tabel 7 Asumsi yang digunakan pada model swasembada GKP nasional No Variabel Definisi operasional Unit Nilai Sumber data 1 Ketersediaan Jumlah ketersediaan ton Penyediaan_GKP_nas Hasil _GKP_nas GKP Indonesia Kebutuhan_ perhitungan 2 Penyediaan_ GKP Jumlah penyediaan GKP Indonesia 3 Surplus Jumlah kelebihan ketersediaan GKP 4 Gula_untuk_ stok 5 Tambahan_ surplus_thn_ lalu Gula yang tersedia untuk stok Jumlah stok akhir tahun 6 Init_Stok Jumlah stok yang tersedia tahun Gula_hilang Jumlah GKP yang hilang 8 Fraksi_gula_ hilang 9 Kebutuhan_ GKP_nas Persentase GKP yang hilang terhadap produksi GKP Jumlah kebutuhan GKP Indonesia ton ton ton/ thn ton/ thn GKP_nas (Produksi_GKP- Gula_hilang)+(tambah an_surplus_thn_lalu/ 'Fraksi tahun') IF(KETERSEDIAAN_ GKP>0<<ton>>,KETE RSEDIAAN_GKP,0<< ton>>) (Surplus+Impor)* 'Fraksi tahun' 'Fraksi tahun'*stok_tahunan Hasil perhitungan Hasil perhitungan Hasil perhitungan Hasil perhitungan ton DGI (2012) ton Produksi_GKP_ nas * Fraksi_gula_hi lang Hasil perhitungan % 1 Khumairoh (2010) ton Konsumsi_GKP_ RT + Konsumsi_ khusus_ind Hasil perhitungan

56 Validasi Model Validitas atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektivan dari suatu pekerjaan ilmiah (Muhammadi et al. 2001). Umumnya validasi dimulai dengan uji sederhana seperti pengamatan atas: (1) tanda aljabar/sign, (2) tingkat kepangkatan dari besaran/order of magnitude, (3) format respons, yaitu linier, eksponensial, logaritmik dan sebagainya, (4) arah perubahan peubah apabila input atau parameter diganti ganti, dan (5) nilai batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem (Eriyatno 1999). Teknik validasi terbagi menjadi dua jenis yaitu validasi struktur model dan validasi kinerja model. Teknik validasi yang utama dalam metode berpikir sistem adalah validasi struktur model, yaitu sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Keserupaan struktur model dengan struktur nyata ditunjukkan dengan sejauh mana interaksi variabel model dapat menirukan interaksi kejadian nyata. Sementara validasi kinerja adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem. Tujuannya untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata, sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta (Muhammadi et al. 2001). Variabel yang akan divalidasi pada model adalah variabel produksi GKP dan konsumsi GKP. Tahun untuk mengukur validasi kinerja model adalah tahun Sementara uji validasi untuk mengukur keakuratan output simulasi yang digunakan adalah berdasarkan Barlas (1996) dalam Muhammadi (2001) yaitu Root Mean Square Percentage Error (RMSPE), Absolute Mean Error (AME) dan Absolute Variance Error (AVE). Rumus matematikanya adalah sebagai berikut: RMSPE =...(26) AME =... (27) AVE =. (28) Dimana: Y 1i = nilai data aktual periode ke-i Y 2i = nilai simulasi model periode ke-i n = jumlah periode Y 1i = Y 1i /n Y 2i = Y 2i /n Sa = ((Y 1i Y 1i ) 2 /n) Ss = ((Y 2i Y 2i ) 2 /n) Batas penyimpangan dari kriteria kriteria di atas yang dapat diterima adalah 5 persen.

57 4.2.6 Simulasi Kebijakan Analisis kebijakan yaitu menyusun alternatif tindakan atau keputusan (policy) yang akan diambil untuk mempengaruhi proses nyata (actual transformation) sebuah sistem dalam menciptakan kejadian nyata (actual state). Keputusan tersebut dimaksudkan untuk mencapai kejadian yang diinginkan (desired state) (Muhammadi et al. 2001). Dalam penelitian ini dilakukan 2 jenis simulasi kebijakan terhadap model dinamika sistem industri GKP. Simulasi kebijakan yang pertama adalah simulasi untuk menganalisis dampak pelaksanaan kebijakan RIGN terhadap pencapaian swasembada GKP. Asumsi dampak kebijakan RIGN yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan RIGN diasumsikan mampu meningkatkan luas areal tebu perkebunan negara sebesar 3,2 persen per tahun (target RIGN). 2. Pelaksanaan RIGN diasumsikan mampu meningkatkan produktivitas tebu perkebunan negara sebesar 1,6 persen per tahun (target RIGN). 3. Revitalisasi pada tingkat on farm diharapkan mampu meningkatkan pol tebu, sedangkan revitalisasi pada tingkat off farm diharapkan mampu meningkatkan efisiensi pabrik. Peningkatan pol tebu dan efisiensi pabrik diasumsikan mampu meningkatkan rendemen sebesar 1,41 persen per tahun (target RIGN). Skenario yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan RIGN berdasarkan asumsi tersebut di atas dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Skenario 1 yaitu jika kebijakan RIGN hanya berhasil dari sisi peningkatan luas areal. 2. Skenario 2 yaitu jika kebijakan RIGN hanya berhasil dari sisi peningkatan produktivitas. 3. Skenario 3 yaitu jika kebijakan RIGN hanya berhasil dari sisi peningkatan rendemen. Simulasi kebijakan yang kedua merupakan upaya untuk memperoleh kebijakan alternatif. Langkah ini dilakukan untuk memperoleh kebijakan alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi aktual dan kebijakan yang ada saat ini. Skenario alternatif kebijakan yang digunakan adalah: 1. Skenario 4 (skenario penurunan pertumbuhan penduduk), jika kebijakan RIGN sama sekali tidak berhasil dan yang berhasil hanyalah kebijakan penurunan pertumbuhan penduduk. 2. Skenario 5 (gabungan skenario 1 dan 4), jika kebijakan yang berhasil adalah kebijakan peningkatan luas areal dan penurunan pertumbuhan penduduk. 3. Skenario 6 (gabungan skenario 2 dan 4), jika kebijakan yang berhasil adalah kebijakan peningkatan produktivitas tebu dan penurunan pertumbuhan penduduk. 4. Skenario 7 (gabungan skenario 3 dan 4), jika kebijakan yang berhasil adalah kebijakan peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk. 39

58 40 5 KERAGAAN SISTEM AGROINDUSTRI GKP 5.1 Perkembangan Keragaan Penyediaan GKP di Indonesia Keragaan penyediaan GKP dipengaruhi oleh keragaan usahatani tebu pada tingkat on farm dan proses pengolahan tebu menjadi gula pada tingkat off farm. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyediaan GKP pada tingkat on farm antara lain luas areal tebu, produktivitas tebu dan susut, sedangkan faktor faktor yang mempengaruhi penyediaan GKP pada tingkat off farm antara lain rendemen, kapasitas terpasang, kapasitas terpakai, gula hilang, impor dan stok. Keragaan penyediaan GKP pada tingkat on farm dapat dibedakan berdasarkan jenis ekosistem dan status pengusahaan. Apabila dibedakan berdasarkan jenis ekosistemnya maka terdapat luas tanam tebu pada lahan sawah dan lahan tegalan. Apabila dibedakan berdasarkan status pengusahaannya maka terdapat luas tanam tebu yang dikuasai oleh rakyat atau perkebunan rakyat (PR), swasta atau perkebunan besar swasta (PBS) dan BUMN atau perkebunan besar negara (PBN). Sementara pada tingkat off farm, petani belum mampu melakukan pengolahan tebu menjadi gula sehingga kegiatan tersebut dilakukan dengan bermitra baik dengan perkebunan besar negara maupun perkebunan besar swasta. Oleh karena itu keragaan subsistem penyediaan GKP pada penelitian ini dibedakan berdasarkan dua status pengusahaan yaitu perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara, dimana di dalamnya sudah termasuk luas areal tebu yang dikuasai oleh perkebunan rakyat Perkembangan Luas Areal Tebu dan Produksi GKP di Indonesia Produksi GKP Indonesia cenderung berfluktuasi namun memiliki tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 produksi GKP mencapai ton. Jumlah ini meningkat sebesar ton dibandingkan dengan produksi GKP pada tahun 1990 yaitu sebesar ton. Pada periode tersebut terjadi peningkatan produksi rata-rata sebesar 1.68 persen per tahun. Peningkatan produksi terbesar dihasilkan dari perkebunan besar swasta dimana terjadi peningkatan produksi rata-rata sebesar persen per tahun. Perkebunan rakyat juga mengalami peningkatan produksi dengan besaran yang lebih kecil yaitu sebesar 1.27 persen per tahun, sedangkan perkebunan besar negara justru mengalami penurunan produksi rata-rata sebesar 0.78 persen per tahun (Gambar 13). Sementara pada periode lima tahun ( ) terjadi peningkatan produksi rata-rata sebesar 1.13 persen per tahun. Peningkatan produksi terbesar dihasilkan dari perkebunan besar swasta dimana terjadi peningkatan produksi sebesar 3.16 persen per tahun. Perkebunan rakyat juga mengalami peningkatan produksi dengan besaran yang lebih kecil yaitu sebesar 2.59 persen per tahun, sedangkan perkebunan besar negara mengalami penurunan produksi sebesar 5.59 persen per tahun. Proporsi produksi GKP sebagian besar disumbang oleh perkebunan rakyat dengan pangsa sebesar persen dari total produksi GKP Indonesia. Sementara perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara berkontribusi sebesar persen dan persen (Gambar 13). Peningkatan

59 produksi tersebut merupakan dampak dari program akselerasi peningkatan produktivitas gula nasional pada tahun 2003 sampai Produksi GKP (ton) Tahun PR PBN PBS Indonesia Gambar 13 Produksi GKP Indonesia menurut status pengusahaan tahun Sumber: Ditjenbun (2011) Apabila dilihat dari aspek on farm, salah satu faktor yang menyebabkan pertumbuhan produksi GKP adalah pertumbuhan luas areal tebu di Indonesia. Pada Gambar 13 terlihat bahwa luas areal tebu di Indonesia mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 luas areal tebu di Indonesia adalah sebesar hektar atau meningkat sebesar hektar dari tahun 1995 yang hanya sebesar hektar. Pertumbuhan luas areal pada periode lebih rendah dibandingkan pertumbuhan produksi yaitu sebesar 0.47 persen per tahun. Perkebunan swasta mengalami pertumbuhan terbesar yaitu 6.12 persen per tahun, diikuti perkebunan rakyat 1.11 persen per tahun. Sementara perkebunan besar negara justru mengalami penurunan luas areal rata-rata sebesar 2.48 persen per tahun. Menurut Hartono (2012), peningkatan luas areal perkebunan swasta dan perkebunan rakyat tersebut disebabkan karena pendirian pabrik gula baru terutama di luar Jawa. Selama periode , jumlah pabrik gula (PG) mengalami kenaikan sebesar 0.25 persen per tahun. Sementara pada periode lima tahun ( ) peningkatan luas areal ratarata adalah sebesar 3.62 persen per tahun. Peningkatan luas areal terbesar dihasilkan dari perkebunan rakyat dimana terjadi peningkatan luas areal rata-rata sebesar 5.76 persen per tahun. Perkebunan besar swasta juga mengalami peningkatan luas areal dengan besaran yang lebih kecil yaitu sebesar 4,31 persen per tahun, sedangkan perkebunan besar negara mengalami penurunan luas areal rata-rata sebesar 2.90 persen per tahun. Proporsi luas areal tebu sebagian besar disumbang oleh perkebunan rakyat dengan pangsa sebesar persen dari total luas areal tebu di Indonesia. Sementara perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara berkontribusi sebesar persen dan persen (Gambar 14).

60 42 Luas Areal (Hektar) Tahun PR PBN PBS Indonesia Gambar 14 Luas areal tebu Indonesia menurut status pengusahaan tahun Sumber: Ditjenbun (2011) Secara umum terlihat bahwa pertumbuhan produksi GKP lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan luas areal tebu pada periode Hal ini menunjukkan bahwa pada periode tersebut terjadi peningkatan produktivitas GKP nasional yaitu sebesar 1.68 persen per tahun. Produktivitas GKP nasional pada tahun 1995 adalah sebesar 4.72 ton/ha, sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 5.29 ton/ha. Peningkatan produktivitas tertinggi terjadi pada perkebunan besar swasta yaitu sebesar 5.35 persen per tahun, diikuti oleh perkebunan besar negara sebesar 2.29 persen per tahun, sedangkan perkebunan rakyat mengalami pertumbuhan yang relatif kecil sebesar 0.43 persen per tahun (Gambar 15). Sementara pada periode lima tahun ( ) pertumbuhan produktivitas tebu justru mengalami penurunan sebesar 1.58 persen per tahun. Tren penurunan tersebut disumbang oleh penurunan produktivitas GKP perkebunan besar negara dan perkebunan rakyat yaitu sebesar 2.22 dan 2.18 persen per tahun. Dengan proporsi luas areal tebu yang cukup besar yaitu sebesar persen untuk perkebunan rakyat dan persen untuk perkebunan negara, penurunan produktivitas per tahun tersebut mampu membuat penurunan produktivitas GKP nasional. Di sisi lain produktivitas perkebunan besar swasta justru mengalami peningkatan yaitu sebesar 0.31 persen per tahun. Namun dengan proporsi luas areal yang hanya persen dari total luas areal tebu di Indonesia, peningkatan tersebut tidak mampu mengimbangi penurunan produktivitas GKP perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara (Gambar 15).

61 43 Produktivitas Gula (Ton/ha) Tahun PR PBN PBS Indonesia Gambar 15 Produktivitas GKP Indonesia menurut status pengusahaan tahun Sumber: Ditjenbun (2011) Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kenaikan produksi GKP selama lima tahun terakhir terutama karena kenaikan produksi tebu yang disebabkan karena peningkatan luas areal. Produktivitas tebu dan rendemen justru mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hartono (2012) yang menyatakan bahwa selama ini peningkatan produksi gula hanya bertumpu pada peningkatan luas lahan tebu. Upaya ini akan semakin sulit tercapai mengingat semakin terbatasnya lahan yang cocok untuk budidaya tebu. Perkebunan tebu di Indonesia terpusat di tiga wilayah yaitu Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Pada tahun 2010 dari total luas areal tebu di Indonesia sebesar persen berada di Jawa, persen berada di Sumatera dan 3.74 persen berada di Sulawesi. Pada tahun yang sama, dari total produksi GKP di Indonesia, sebesar persen dihasilan oleh Jawa, persen dihasilkan oleh Sumatera, dan 2.39 persen dihasilkan oleh Sulawesi (Gambar 16). Proporsi (persen) 100% 80% 60% 40% 20% 0% Produksi Luas Areal Sumatera Jawa Sulawesi Gambar 16 Produksi GKP dan luas areal tebu di Indonesia berdasarkan wilayah tahun 2010 Sumber: Ditjenbun (2011)

62 44 Produksi GKP (ton) Sumatera Jawa Sulawesi Indonesia Wilayah PR PBN PBS Gambar 17 Perbandingan produksi tebu menurut provinsi dan status pengusahaan tahun 2010 Sumber: Ditjenbunn (2011) Secara mum perkebunan tebu di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat. Apabila dilihat dari status pengusahaannya, sebesar ton atau persen produksi tebu di Indonesia dihasilkan oleh PR, disusul kemudian PBS sebesar ton atau persen dan PBN sebesar ton atau persen. Sedangkan apabila dilihat pada masing masing provinsi, sebesar atau persen produksi tebu di Sumatera dan sebesar ton atau persen produksi tebu di Sulawesi dihasilkan oleh PBS. Sementaraa sebesar ton atau persen produksi tebu di Jawa dihasilkan oleh PR (Gambar 17). Luas Areal Tebu (Ha) Sumatera Jawa Sulawesi Indonesia Wilayah PR PBN PBS Gambar 18 Perbandingan luas areal tebu menurut provinsi dan status pengusahaan tahun 2010 Sumber: Ditjenbun (2011)

63 Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya sumbangan perkebunan rakyat terhadap produksi GKP Indonesia adalah besarnya luas areal tebu yang dikuasai. Apabila dilihat dari status pengusahaannya, sebesar ha atau persen luas areal tebu di Indonesia dikuasai oleh PR, disusul kemudian PBS sebesar ha atau persen dan PBN sebesar atau persen. Sedangkan apabila dilihat pada masing masing provinsi, sebesar atau persen luas areal tebu di Jawa dikuasai oleh PR, sebesar ha atau persen luas areal tebu di Sumatera dikuasai oleh PBS dan sebesar atau persen luas areal tebu di Sulawesi dikuasai oleh PBN (Gambar 18) Perkembangan Industri GKP di Indonesia Apabila dilihat dari aspek off farm, salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan produksi GKP adalah pertumbuhan rendemen gula di Indonesia. Pada Gambar 19 terlihat bahwa rendemen gula di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 rendemen gula di Indonesia adalah sebesar 6.46 persen atau menurun sebesar 1.11 persen per tahun dari tahun Sementara pada periode lima tahun ( ) penurunan rendemen gula rata-rata adalah sebesar 1.67 persen per tahun. Rendemen (%) Tahun Gambar 19 Perkembangan rendemen gula di Indonesia tahun Sumber: DGI (2012) dan Ikagi dalam Arifin (2012) Nilai rendemen tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai pol tebu dan efisiensi pabrik. Sementara efisiensi pabrik merupakan gabungan antara efisiensi stasiun gilingan dengan efisiensi stasiun pengolahan. Gambar 20 menunjukkan bahwa pada periode tersebut nilai pol tebu mengalami penurunan sebesar 0.76 persen per tahun, sedangkan nilai efisiensi pabrik mengalami penurunan sebesar 0.26 persen per tahun. Penurunan nilai efisiensi pabrik disebabkan karena penurunan efisiensi stasiun gilingan sebesar 0.09 persen per tahun dan penurunan efisiensi stasiun pengolahan sebesar 0.18 persen per tahun.

64 46 Pol Tebu (%) Efisiensi Pabrik (%) Tahun Pol Tebu Efisiensi Pabrik Gambar 20 Perkembangan pol tebu dan efisiensi pabrik gula di Indonesia tahun Sumber: P3GI (2007) Perkembangan industri gula juga bisa dinilai dari perkembangan kapasitas terpasang (exclusive) dan kapasitas terpakai (inclusive) industri gula. Data DGI (2012) menunjukkan bahwa kapasitas terpakai industri gula Indonesia masih rendah jika dibandingkan kapasitas terpasangnya. Pada tahun 2010, kapasitas terpasang industri gula adalah ton tebu per hari atau meningkat sebesar 3.69 persen per tahun dari tahun Sementara kapasitas terpakai industri gula pada tahun 2010 adalah sebesar atau meningkat sebesar 2.28 persen per tahun. Sementara tingkat utilisasi kapasitas terpasang pada tahun 2010 adalah sebesar persen dengan laju pertumbuhan yang menurun sebesar 1.18 persen per tahun (Gambar 21). Kapasitas Giling (ton tebu per hari) Tahun Kapasitas Terpasang Kapasitas Terpakai Gambar 21 Kapasitas terpasang dan terpakai industri gula Indonesia tahun Sumber: DGI (2012)

65 47 Laju peningkatan kapasitas terpasang yang lebih tinggi dibandingkann laju peningkatan kapasitas terpakai menunjukkan adanya peningkatann persentasee jam berhenti giling terhadap jam giling. Jam berhenti giling pada tahun 2007 adalah sebesar persen dari jam giling atau mengalami peningkatan sebesar 8.16 persen per tahun dari tahun 2004 yang hanya sebesar 12.2 persen. Peningkatan jam berhenti giling tersebut lebih banyak disebabkan oleh sebab di luar pabrik yang mengalami peningkatan sebesar persen per tahun. Sebesar persen dari jam berhenti di luar pabrik tersebut disebabkan karena kurang tebu, persen disebabkan karena hari libur dan sisanya karenaa penyebab lain. Sementaraa jam berhenti giling yang disebabkan oleh sebab di dalam pabrik justru mengalami penurunann sebesar persen per tahun (Gambar 22). Jam Henti Giling Terhadap Jam Giling (%) Tahun Sebab Dalam Pabrik Sebab di Luar Pabrik Gambar 22 Persentase jam henti giling terhadap jam giling tahun Sumber: P3GI (2007) 5.2 Perkembangann Keragaan Kebutuhan GKP di Indonesia Keragaan kebutuhan GKP Indonesia tidak terlepas dari perkembangan konsumsi GKP per kapita dan jumlah penduduk. Konsumsi GKP pada tahun 2010 adalah sebesar ton. Jumlah ini meningkat sebesar ton dibandingkan dengann konsumsi GKP pada tahun 2005 yaitu sebesar ton. Pada periode tersebut terjadi peningkatan konsumsi GKP rata-rata sebesar 1.28 persen per tahun. Konsumsi tersebut meliputi konsumsi GKP secara langsung oleh rumah tangga maupun permintaan khusus yang mencakup penyediaann jasa boga, seperti rumah makan, hotel dan restoran (Gambar 23).

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA Fokus MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS Guru Besar Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis, Program Pascasarjana IPB Staf

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS. EVALUASI KEBIJAKAN BONGKAR RATOON DAN KERAGAAN PABRIK GULA DI JAWA TIMUR TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS Diajukan

Lebih terperinci

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL. ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL Peneliti: Fuat Albayumi, SIP., M.A NIDN 0024047405 UNIVERSITAS JEMBER DESEMBER 2015

Lebih terperinci

JIIA, VOLUME 2, No. 1, JANUARI 2014

JIIA, VOLUME 2, No. 1, JANUARI 2014 ANALISIS POSISI DAN TINGKAT KETERGANTUNGAN IMPOR GULA KRISTAL PUTIH DAN GULA KRISTAL RAFINASI INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL (Analysis of the Position and Level of Dependency on Imported White Sugar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan definisi yang sering digunakan yaitu hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan

Lebih terperinci

PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS GULA

PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS GULA PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS GULA Disampaikan oleh: Direktur Jenderal Perkebunan pada Acara Semiloka Gula Nasional 2013 Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Mewujudkan Ketahanan

Lebih terperinci

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Oleh : Adi Prasongko (Dir Utama) Disampaikan : Slamet Poerwadi (Dir Produksi) Bogor, 28 Oktober 2013 1 ROAD

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah beras. Gula menjadi begitu penting bagi masyarakat yakni sebagai sumber kalori. Pada umumnya gula digunakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special product) dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA Oleh: Supriyati Sri Hery Susilowati Ashari Mohamad Maulana Yonas Hangga Saputra Sri Hastuti

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pabrik gula merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia karena pabrik gula bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, kebutuhan industri lainnya, dan penyedia

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

S U T A R T O NIM : Program Studi Teknik dan Manajemen industri

S U T A R T O NIM : Program Studi Teknik dan Manajemen industri PENGEMBANGAN MODEL KEBIJAKAN SEKTOR INDUSTRI KOMPONEN ELEKTRONIKA (KBLI 321) DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM TESIS Karya Tulis sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Magister dari Institut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2000 sampai tahun 2005 industri gula berbasis tebu merupakan

Lebih terperinci

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD P3GI 2017 IMPLEMENTASI INSENTIF PERATURAN BAHAN BAKU MENTERI RAW PERINDUSTRIAN SUGAR IMPORNOMOR 10/M-IND/3/2017 UNTUK PABRIK DAN GULA KEBIJAKAN BARU DAN PEMBANGUNAN PABRIK PERLUASAN PG BARU DAN YANG PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati BAB V ANALISIS KEBIJAKAN SEKTOR PERTANIAN MENUJU SWASEMBADA GULA I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati ABSTRAK Swasembada Gula Nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi permintaan dan relasi penawaran gula menghasilkan parameter estimasi yang konsisten dengan teori

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

Permintaan Gula Kristal Mentah Indonesia. The Demand for Raw Sugar in Indonesia

Permintaan Gula Kristal Mentah Indonesia. The Demand for Raw Sugar in Indonesia Ilmu Pertanian Vol. 18 No.1, 2015 : 24-30 Permintaan Gula Kristal Mentah Indonesia The Demand for Raw Sugar in Indonesia Rutte Indah Kurniasari 1, Dwidjono Hadi Darwanto 2, dan Sri Widodo 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor Lilis Ernawati 5209100085 Dosen Pembimbing : Erma Suryani S.T., M.T., Ph.D. Latar Belakang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan bagi

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA Oleh: A. Husni Malian Erna Maria Lokollo Mewa Ariani Kurnia Suci Indraningsih Andi Askin Amar K. Zakaria Juni Hestina PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Produksi Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan yang memungkinkan dilakukannya proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special products) dalam forum perundingan Organisasi

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL ANALISIS KEBIJAKAN INDUSTRI PENGOLAHAN BUAH MENGGUNAKAN METODOLOGI DINAMIKA SISTEM

PENGEMBANGAN MODEL ANALISIS KEBIJAKAN INDUSTRI PENGOLAHAN BUAH MENGGUNAKAN METODOLOGI DINAMIKA SISTEM ABSTRAK PENGEMBANGAN MODEL ANALISIS KEBIJAKAN INDUSTRI PENGOLAHAN BUAH MENGGUNAKAN METODOLOGI DINAMIKA SISTEM Oleh Riris Marito NIM : 23406054 Pembangunan industri pengolahan buah terutama produk sari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan sektor utama perekonomian dari sebagian besar negara-negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki keunggulan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Salah satu keunggulan sebagai produsen

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 59 V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 5.1. Perkembangan Kondisi Pergulaan Nasional 5.1.1. Produksi Gula dan Tebu Produksi gula nasional pada tahun 2000 sebesar 1 690

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi menjadi produsen gula dunia karena dukungan agroekosistem, luas lahan, dan tenaga kerja. Disamping itu prospek pasar gula di Indonesia cukup

Lebih terperinci

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan bagi masyarakat dunia. Manfaat gula sebagai sumber kalori bagi masyarakat selain dari beras, jagung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Industri agro memiliki arti penting bagi perekonomian Indonesia yang ditunjukkan oleh beberapa fakta yang mendukung. Selama kurun waktu 1981 1995, industri agro telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN STRATEGIS

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN STRATEGIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN STRATEGIS Disampaikan pada Rapat Kerja Akselerasi Industrialisasi dalam Rangka Mendukung Percepatan dan Pembangunan Ekonomi, Hotel Grand Sahid, 1 Pebruari 2012

Lebih terperinci

Menuju Kembali Masa Kejayaan Industri Gula Indonesia Oleh : Azmil Chusnaini

Menuju Kembali Masa Kejayaan Industri Gula Indonesia Oleh : Azmil Chusnaini Tema: Menjamin Masa Depan Swasembada Pangan dan Energi Melalui Revitalisasi Industri Gula Menuju Kembali Masa Kejayaan Industri Gula Indonesia Oleh : Azmil Chusnaini Indonesia pernah mengalami era kejayaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA I. DINAMIKA HARGA 1.1. Harga Domestik 1. Jenis gula di Indonesia dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR). GKP adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula PENDAHULUAN Latar Belakang Gula pasir merupakan suatu komoditi strategis yang memiliki kedudukan unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula pasir merupakan salah

Lebih terperinci

ROADMAP INDUSTRI GULA

ROADMAP INDUSTRI GULA ROADMAP INDUSTRI GULA DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO DAN KIMIA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN JAKARTA, 2009 I. PENDAHULUAN 1.1. Ruang Lingkup Industri Gula Indonesia potensial menjadi produsen gula dunia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai

Lebih terperinci

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Direktur Jenderal Perkebunan disampaikan pada Rapat Kerja Revitalisasi Industri yang Didukung oleh Reformasi Birokrasi 18

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN ARIS ZAINAL MUTTAQIN

ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN ARIS ZAINAL MUTTAQIN ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN 2002 2007 ARIS ZAINAL MUTTAQIN PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

Gambar 15 Diagram model sistem dinamis pengambilan keputusan kompleks pengembangan agroindustri gula tebu.

Gambar 15 Diagram model sistem dinamis pengambilan keputusan kompleks pengembangan agroindustri gula tebu. 52 6 PENGEMBANGAN MODEL 6.1 Analisis model sistem dinamis agroindustri gula tebu Sesuai dengan metodologi, maka rancang bangun sistem dinamis bagi pengambilan keputusan kompleks pada upaya pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia dan salah satu sumber pendapatan bagi para petani. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula.

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan perekonomian Indonesia dibangun dari berbagai sektor, salah satu sektor tersebut adalah sektor perkebunan. Berbagai jenis perkebunan yang dapat

Lebih terperinci

DINAMIKA DAN RISIKO KINERJA TEBU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI GULA DI INDONESIA

DINAMIKA DAN RISIKO KINERJA TEBU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI GULA DI INDONESIA DINAMIKA DAN RISIKO KINERJA TEBU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI GULA DI INDONESIA Illia Seldon Magfiroh, Ahmad Zainuddin, Rudi Wibowo Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Jember Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dipenuhi dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan

Lebih terperinci

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula. V. EKONOMI GULA 5.1. Ekonomi Gula Dunia 5.1.1. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Peningkatan jumlah penduduk dunia berimplikasi pada peningkatan kebutuhan terhadap bahan pokok. Salah satunya kebutuhan pangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak dan aman

Lebih terperinci

ROADMAP INDUSTRI GULA

ROADMAP INDUSTRI GULA ROADMAP INDUSTRI GULA DIREKTORAT JENDERAL INDUSTRI AGRO DAN KIMIA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN JAKARTA, 2009 I. PENDAHULUAN 1.1. Ruang Lingkup Industri Gula Indonesia potensial menjadi produsen gula dunia

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Industri gula adalah salah satu industri bidang pertanian yang secara nyata memerlukan keterpaduan antara proses produksi tanaman di lapangan dengan industri pengolahan. Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy ABSTRACT SAFRIDA. The Impact of Migration Policy on Labor Market and Indonesian Economy (BONAR M. SINAGA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of the Advisory Committee) The problem of

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA Oleh : Reni Kustiari Pantjar Simatupang Dewa Ketut Sadra S. Wahida Adreng Purwoto Helena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara pertanian, dimana pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN SWASEMBADA GULA DI INDONESIA SKRIPSI

ANALISIS KEBIJAKAN SWASEMBADA GULA DI INDONESIA SKRIPSI 1 ANALISIS KEBIJAKAN SWASEMBADA GULA DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Program Agribisnis Oleh : MALIK KURDIANTO NPM : 1024010024

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Saat ini perekonomian domestik tidak bisa berdiri sendiri melainkan dipengaruhi juga oleh kondisi ekonomi global. Pengalaman telah menunjukkan bahwa pada triwulan III tahun

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A14302003 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

POSISI PERDAGANGAN DAN DAYA SAING GULA INDONESIA DI PASAR ASEAN. Trade Position and Competitiveness of Indonesia Sugar in ASEAN Market

POSISI PERDAGANGAN DAN DAYA SAING GULA INDONESIA DI PASAR ASEAN. Trade Position and Competitiveness of Indonesia Sugar in ASEAN Market POSISI PERDAGANGAN DAN DAYA SAING GULA INDONESIA DI PASAR ASEAN Trade Position and Competitiveness of Indonesia Sugar in ASEAN Market Sri Hery Susilowati 1 dan Rena Yunita Rachman 2 1 Pusat Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO Pada bab sebelumnya, telah dilakukan analisis dampak kebijakan Gernas dan penerapan bea ekspor kakao terhadap kinerja industri

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR GULA DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR GULA DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR GULA DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 1998-2012 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Program Studi : Agribisnis Oleh :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi menjadi produsen gula dunia karena didukung agrokosistem, luas lahan serta tenaga kerja yang memadai. Di samping itu juga prospek pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang sangat subur

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok dari 98 persen penduduk Indonesia (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H14101038 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

KAJIAN KETERKAITAN PELAKU PERGULAAN NASIONAL: SUATU PENGHAMPIRAN MODEL DINAMIKA SISTEM

KAJIAN KETERKAITAN PELAKU PERGULAAN NASIONAL: SUATU PENGHAMPIRAN MODEL DINAMIKA SISTEM KAJIAN KETERKAITAN PELAKU PERGULAAN NASIONAL: SUATU PENGHAMPIRAN MODEL DINAMIKA SISTEM Disusun oleh : Lilik Khumairoh 2506 100 096 Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Budisantoso Wirjodirdjo, M. Eng. Latar

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN PERTANIAN

PEMBANGUNAN PERTANIAN BAGIAN I PEMBANGUNAN PERTANIAN Luh Putu Suciati Jember, 24Februari 2017 Isu pembangunan pertanian: KEMISKINAN Isu pembangunan pertanian: Pertumbuhan populasi BONUS DEMOGRAFI Bonus demografi merupakan bukti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Berbagai studi menunjukkan bahwa sub-sektor perkebunan memang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI KAIN TENUN SUTERA PADA CV BATU GEDE DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR

OPTIMALISASI PRODUKSI KAIN TENUN SUTERA PADA CV BATU GEDE DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR OPTIMALISASI PRODUKSI KAIN TENUN SUTERA PADA CV BATU GEDE DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR SKRIPSI MAULANA YUSUP H34066080 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A14104024 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci