BAB I PENGANTAR. Masyarakat pemerhati karawitan, baik yang mengenal atau. mengetahui alat musiknya (gamelan) secara langsung, melalui

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENGANTAR. Masyarakat pemerhati karawitan, baik yang mengenal atau. mengetahui alat musiknya (gamelan) secara langsung, melalui"

Transkripsi

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masyarakat pemerhati karawitan, baik yang mengenal atau mengetahui alat musiknya (gamelan) secara langsung, melalui sumber tertulis, produk rekaman audio/audio-visual atau produk kemajuan teknologi lainnya mengungkapkan perasaan kagum terhadap gamelan. Tidak hanya pada penampilan visualnya saja, tetapi juga terhadap kualitas bunyinya. Sethares mengungkapkan, bahwa salah satu keunikan dari gamelan terdapat pada keindahan bunyinya yang diproduksi dari bermacam-macam ricikan (alat musik). Masing-masing jenis yang terdapat di dalamnya memiliki beberapa keistimewaan menurut bentuk, ukuran, nada, dan yang tidak kalah menariknya adalah kualitas bunyinya. 1 Vetter menjelaskan, bahwa keistimewaan pada beberapa karakteristik visual dan keunikan bunyi masing-masing perangkat gamelan Keraton Yogyakarta menjadi sebuah inspirasi untuk memberikan sebutan yang khusus. 2 Berupa gelar sebagai penghormatan, yaitu: Kangjeng Kyahi atau Kanjeng Kyahi dari kata Ingkang 1 William A. Sethares, Tuning, Timbre, Spectrum, Scale (Verlag, London, Berlin, Heidelberg: Springer, 2005), Kata perangkat atau seperangkat dalam karawitan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan satu unit gamelan dengan komposisi ricikannya (alat musik) secara lengkap sesuai dengan jenis atau fungsinya. Salah satu sebagai contoh, misalnya perangkat gamelan Kanjeng Kyahi Surak.

2 2 Panjenengan Kyahi yang biasanya disingkat menjadi K. K.. 3 Gamelan koleksi beberapa keraton dan kadipaten yang berada di Yogyakarta atau Surakarta merupakan artefak kuno yang memiliki kualitas bunyi istimewa. 4 Kualitas bunyi gamelan yang menjadi koleksi keempat lembaga tersebut, sering dijadikan sebagai materi pembicaraan karawitan. Permasalahan yang dibahas, misalnya: warna bunyi (timbre), kualitas kenyaringan, resonansi yang terkait dengan panjang-pendeknya gema, kuantitas kerapatan gelombang, keraslembut (sound level), tinggi-rendah wilayah gembyang (register), efek pelayangan atau ombaknya (sound wave). Selain mengenai kualitas bunyinya, masih ada aspek keunikan lain yang tidak kalah menarik untuk dibicarakan, yaitu tentang larasan dan embat. Hastanto memberikan pendapat mengenai istilah yang telah disebutkan di atas. Salah satu keunikan bunyi yang terdapat pada setiap perangkat gamelan Jawa, yaitu adanya perbedaan larasannya. 5 Adapun tujuan yang diharapkan dari pembuatan larasan adalah untuk mendapatkan karakteristik tertentu pada masing- 3 Roger R. Vetter, Music For The Lap of The Worlds: Gamelan Performance, Performers, and Repertoire in The Kraton Yogyakarta, sebuah disertasi yang diajukan sebagai syarat kelengkapan untuk mendapatkan gelar Doktor Filsafat pada University of Wisconsin-Madison, 1986, Wasisto Surjodiningrat, P. J. Sudarjana, Adhi Susanto, Tone Measurement of Outstanding Gamelans in Yogyakarta and Surakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1969), 6. 5 Kata larasan pada konteks kalimat tersebut mempunyai pengertian nada yang dihasikan dari proses penyetèman atau penalaan pada gamelan.

3 3 masing perangkatnya. 6 Terkait dengan istilah embat, Soeroso juga memberi penjelasan yang mirip dengan tujuan pembuatan larasan menurut Hastanto. Lebih lanjut dikatakan, bahwa embat dapat membentuk rasa nada tertentu dan melalui keindahannya dapat memberi pengaruh pada suasana gendhing yang disajikan. Apa yang dimaksud dengan kedua istilah karawitan tersebut? Berikut ini adalah penjelasan secara singkat mengenai keduanya. Larasan adalah sebuah istilah dalam karawitan Jawa yang berasal dari kata dasar laras. Menurut hasil penelusuran yang telah dilakukan pada beberapa literatur timbul adanya suatu dugaan, bahwa larasan termasuk kosa kata yang baru. Baoesastra Djawa yang dibuat Poerwadarminta pada tahun 1937 pun belum memberikan keterangan yang menyebutkan adanya kata larasan. Buku tersebut hanya memberikan keterangan mengenai kata dasar dan maknanya secara leksikal. Ada beberapa di antaranya yang terkait dengan bunyi gamelan. Secara singkat diberikan penjelasan, bahwa laras mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut. Pertama, yaitu swara thinthingan gamelan, artinya adalah bunyi atau nada yang dihasilkan dari suatu ricikan (instrumen) gamelan. Kedua, yaitu wis runtut (cocog) karo swara sing bener tumrap gamelan, artinya sudah runtut (cocok/sesuai) 6 Sri Hastanto, The Concept of Pathet In Central Javanese Gamelan Music, sebuah disertasi yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada University of Durham, Inggris, 1985, 17.

4 4 dengan bunyi yang tepat/benar menurut aturan yang berlaku pada gamelan. Contoh kata lain yang dapat dibentuk dari kata dasar laras, misalnya dilaras (disetèm/ditala). Pengertian dalam bahasa Jawa adalah dicocogaké karo swaraning gamelan sing bener (ora bléro) atau dicocokkan/disesuaikan secara tepat dengan nada gamelan. Dapat juga dikatakan dipepatut, ditata murih runtut yang artinya adalah disesuaikan, ditata agar menjadi runtut. 7 Pengertian laras pada konteks kalimat pertama diartikan sebagai sebuah nada yang dihasilkan dari proses produksi bunyi pada gamelan. Adapun mengenai caranya, yaitu dilakukan dengan dithinthing (ditabuh/dipukul agar berbunyi). Lebih lanjut, kalimat tersebut mengarahkan pengertian pada salah satu nada saja. Arti dari kata thinthing, ninthing atau thinthingan adalah membunyikan nada pada satu sumber bunyi saja. Apabila dilakukan lebih dari satu nada disebut dengan istilah lainnya, yaitu nggrambyang atau grambyangan. Pengertian pada konteks kalimat yang kedua dipergunakan untuk menentukan ketepatan suatu nada. Contohnya adalah antara nada yang dihasilkan oleh vokalis karawitan dan perbandingannya dengan bunyi suatu ricikan (instrumen) gamelan. Dapat terjadi pula antara sebuah ricikan dengan ricikan gamelan lain yang dijadikan sebagai babon atau 7 W. J. S. Poerwadarminta, Baoesastra Djawa (Batavia: J. B. Wolters- Groningen, 1937), 262.

5 5 referensi. Perlu dicatat, bila vokal dilantunkan tanpa iringan gamelan, yaitu pada penyajian macapat, maka ketepatan atau keruntutan nadanya berpijak pada ketentuan laras yang berlaku pada karawitan Jawa. Pengertian laras dalam hal ini dapat diartikan keselarasan atau keharmonisan nada. Berpijak pada kedua pengertian di atas, yaitu laras sebagai nada atau keselarasan (keharmonisan) nada, maka kata laras dapat berkembang menjadi kata bentukan lainnya dan dapat digunakan untuk menunjukkan maksud yang berbeda. Upaya penyesuaian yang dilakukan untuk mendapatkan keselarasan pada masing-masing nada gamelan (misalnya) dilakukan dengan suatu proses yang disebut melaras, menala atau menyetèm. 8 Hasil yang diperoleh dari prosesnya disebut dengan istilah larasan. Menurut penjelasan Supanggah, istilah tersebut dapat diartikan juga sebagai suatu ketentuan yang berkaitan dengan tinggirendahnya frekuensi nada, baik pada yang diterapkan pada proses penyetèman atau praktik karawitan. 9 Pengertian lainnya adalah ambitus atau tinggi rendahnya nada yang ditentukan pada 8 Penulis memilih untuk menggunakan istilah setèm, menyetèm, disetèm setèman atau penyetèman untuk menyebutkan proses yang berkaitan dengan penentuan frekuensi nada. Tujuannya untuk menghindari timbulnya kerancuan dengan topik bahasan pada penelitian ini, yaitu laras yang dapat berkembang menjadi beberapa kata bentukan dan memiliki banyak pengertian. 9 Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan II: Garap (Surakarta: Program Pasca-sarjana bekerjasama dengan ISI Press Surakarta, 2009), 270.

6 6 keseluruhan ricikan dalam seperangkat gamelan. 10 Selain itu, masih ada beberapa pengertian lain yang penggunaannya terkait dengan konteks pembicaraan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Berpijak pada beberapa penjelasan yang telah diuraikan, ada beberapa pengertian yang terkait dengan istilah larasan. Sutton memberikan pendapat atas banyaknya larasan gamelan Jawa sebagai berikut. Sudah banyak sarjana atau mahasiswa, baik yang berasal dari dalam atau luar Indonesia melakukan upaya untuk mendapatkan kejelasan mengenai larasan gamelan Jawa. Kenyataan yang ditemui, hingga pada saat ini masih banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab dengan baik. Permasalahan yang paling umum, karena adanya alasan, bahwa larasan pada gamelan cenderung merupakan preferensi yang bersifat individual. Artinya, alasan pembuatannya lebih banyak berpijak pada keinginan atau kesukaan pribadi para juru laras (orang yang mempunyai keahlian sebagai penyetèm gamelan), pesanan dari masing-masing pemilik atau calon pemiliknya. Alasan tersebut yang menjadi latar belakang timbulnya berbagai macam larasan gamelan. Suatu perangkat gamelan dipastikan memiliki perbedaan pada larasannya, apabila dibandingkan dengan lainnya. Menurut ukurannya bisa jadi 10 Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan I (Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2003), 91.

7 7 hanya terpaut sedikit sekali, biasanya disebut dengan istilah sangat tipis atau halus sekali. Demikian pula dengan penentuan nada pada masing-masing alat musik atau ricikan yang terdapat dalam suatu seperangkat gamelan. Salah satu contohnya telah diterapkan pada gamelan Keraton Yogyakarta yang diberi nama dan gelar Kanjeng Kyahi Guntursari. Masing-masing sumber bunyinya, baik yang terdapat dalam kelompok ricikan yang sama atau berbeda, secara sengaja disetèm (ditala) dengan perbedaan pada frekuensi nadanya. Menurut pendapat dari sebagian masyarakat (termasuk anggota masyarakat karawitan sendiri) hasil setèman pada gamelan tersebut apabila dimainkan satu per satu kadang-kadang dirasakan tidak harmonis (out of tune). Hasil yang didapatkan dari cara pengolahan nada tersebut, apabila dimainkan secara bersamaan akan menimbulkan efek bunyi yang unik. Tradisi dalam karawitan gaya Yogyakarta menyebutnya dengan istilah larasan umyung. 11 Pembahasan mengenai larasan gamelan tidak hanya berkisar pada permasalahan yang berhubungan dengan ketepatan atau keharmonisan nada. Bukan pula mengenai efek bunyi yang dihasilkan melalui cara pengolahan nada seperti yang telah diuraikan di atas. Topik pembicaraan tersebut, apabila 11 Richard A. Sutton, Traditions of Gamelan Music in Java: Musical Pluralism and Regional Identity (Cambridge, New York, Port Chester, Melbourne, Sydney: Cambridge University Press, 1991), 27.

8 8 dikembangkan, maka dapat berlanjut pada elemen estetik musikal lainnya, yaitu embat. Penjelasan mengenai makna atau pengertian embat yang berkaitan langsung dengan gamelan tidak ditemukan dalam Kamus Bahasa Kawi atau Jawa yang terbaru sekalipun. Kemungkinan istilah tersebut merupakan kosa kata baru yang secara spesifik dipergunakan untuk menjelaskan sesuatu dalam lingkup pembicaraan karawitan. Penjelasan mengenai embat yang diberikan Poerwadarminta sebagai contohnya hanya memberikan penjelasan yang sangat minim sekali. Adapun pengertiannya adalah kayu dawa glogoring wot, artinya kayu panjang yang dijadikan penopang sebuah titian atau jembatan. Kata lain yang dapat dibentuk dari kata embat, misalnya adalah diembat, artinya adalah direntang atau dipersiapkan untuk dikenakan pada suatu target. Contoh kata tersebut dapat dikaitkan dengan cara menggunakan senjata tradisional, yaitu panah. Selain itu, juga dapat diartikan dientulentul, yaitu dilentur-lenturkan atau ditimbang-timbang beratringannya. Contoh penggunaannya terdapat pada kalimat yang berhubungan dengan suatu upaya percobaan, yaitu mengangkat barang dengan cara dipikul atau menggunakan alat bantu yang disebut pikulan. 12 Berpijak pada beberapa contoh dan keterangan 12 W. J. S. Poerwadarminta, 1937, 119.

9 9 yang telah diuraikan, belum ditemukan adanya kejelasan mengenai pengertian embat dalam karawitan. Larasan dan embat digagas dengan pemikiran yang sangat rumit dengan pijakan keindahan bunyi dan maknanya menurut masyarakat karawitan Jawa. Embat menjadi bagian penting dalam pembicaraan larasan, sebab ketepatan dan pengaturan nadanya dapat menentukan karakter suatu gamelan. Perlu diketahui, bahwa di dalam karawitan terdapat beberapa jenis larasan dan embat. Elemen estetik musikal tersebut dibuat dan ditentukan secara pribadi oleh juru laras. Dapat juga dipesan secara khusus oleh pemilik atau calon pemilik gamelan sesuai dengan keinginan, kesukaan atau menggunakan gamelan tertentu yang ditunjuk sebagai referensinya. Larasan dan embat merupakan suatu gagasan estetik yang dapat memberi kontribusi pada tujuan utama sebuah aktivitas berkarawitan, yaitu untuk mendukung proses penghayatan atau penyajian karawitan. Menurut cara atau aturan yang berkaitan dengan penentuan nadanya dilandaskan pada konvensi yang berlaku dalam karawitan. Banyak sekali aspek musikal atau pun non-musikal pada karawitan yang dibuat dengan pijakan berupa aturan yang tidak tertulis. Salah satunya telah menjadi tradisi dan dijalankan oleh masyarakat pendukungnya sejak lama. Contohnya adalah permasalahan mengenai ketentuan nadanya. Setidaknya sampai

10 10 saat ini, tidak ada keinginan untuk menentukan nada gamelan berdasarkan standar atau patokan tertentu. Pemikiran tersebut pernah menjadi bahan pembicaraan dalam Sarasehan Pedhalangan Ringgit Purwa yang dilangsungkan di Jakarta dari tanggal Januari Masyarakat karawitan hingga saat ini masih tetap pada pendiriannya untuk tidak menggunakan patokan. Ragam setèman yang diterapkan melalui kedua elemen musikal tersebut menjadi sebuah keunikan dan kekayaan rasa dan karakter bunyi masing-masing perangkat gamelannya. Adanya berbagai larasan dan embat dapat memberikan kepuasan batin, setidaknya bagi para pendengar atau penikmatnya (pandhemen), dan menjadi tantangan yang sangat menarik bagi para pelaku seninya. Peneliti dan pemerhati karawitan dari mancanegara yang belum mengenal secara mendalam mengenai karawitan kadangkadang merasa bingung dengan konsep nada yang diterapkan pada musik gamelan. Nadanya tidak ditetapkan berdasarkan standar frekuensi yang berlaku secara luas, misalnya seperti nada pada musik Barat. Rossing menjelaskan, bahwa tuning standard ditetapkan melalui konverensi internasional yang berlangsung di London pada tahun Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah keputusan untuk mengatasi kendala perbedaan frekuensi 13 Wasisto Surjodiningrat, P. J. Sudarjana, Adhi Susanto, 1969, vii.

11 11 yang dianut oleh beberapa negara, maka nada A4 ditentukan dengan frekuensi 440 Hz. 14 Perbedaan konsep pemikiran dan tujuan estetik pada penentuan nada inilah yang menjadi faktor keunikan pada gamelan Jawa bila dibandingkan dengan musik Barat atau lainnya. Melalui ragam larasan dan embat yang telah diterapkan pada gamelan, timbul adanya berbagai karakter dan rasa musikal gamelan. Masyarakat karawitan pada masa lampau telah menggagas konsep musik yang dimiliki dengan cara mengolah nada gamelan menjadi sesuatu yang bermakna dan dapat dirasakan secara batin. Terkait dengan konsep pemikiran pemain musik (pangrawit) dalam bermain gamelan, Kunst telah mengawali penelitian tentang sejarah, teori, dan teknik permainannya. Kunst juga melakukan pendataan mengenai gamelan yang tersebar di Pulau Jawa. Selain memuat keterangan tersebut, Kunst juga melakukan pengukuran frekuensi nada pada beberapa gamelan yang dianggap istimewa. Hasil yang didapatkan dari proses pengukuran tersebut ditujukan untuk mengetahui lebih jauh mengenai keluasan gagasan masyarakat Jawa dalam berolah karawitan. Melalui data yang terkumpul dapat diketahui adanya perbedaan antara gamelan 14 Thomas D. Rossing, The Science of Sound, 2 nd Edition (Addison-Wessley Publishing Company, Inc., 1990), 125.

12 12 yang satu dengan lainnya. 15 Secara sepintas dengan mengamati datanya dapat diketahui, bahwa gamelan Jawa tidak dibuat dengan pijakan nada yang sama. Tim peneliti dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang terdiri dari Wasisto Surjodiningrat, Sudarjana, dan Adhi Susanto berhasil melakukan penelitian yang serupa dengan Kunst. Pengukuran nada juga dilakukan pada beberapa gamelan yang berkualitas tinggi, yaitu milik keraton dan kadipaten yang berada di Yogyakarta dan Surakarta. 16 Hasil penelitian Kunst dan tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada tidak menunjukkan adanya kesamaan, baik yang berkenaan dengan larasan atau embatnya. Bukan hanya disebabkan adanya perbedaan alat dan cara pengambilan datanya saja, tetapi mungkin telah terjadi penyetèman dalam jangka waktu tersebut. Berdasarkan data tersebut, maka timbul pertanyaan yang terkait dengan pembuatan larasan dan embat. Kedua elemen musikal tersebut, tentu digagas dengan pijakan pemikiran estetik yang unik dan rumit, sesuai dengan pengertian yang ditunjukkan melalui nama musiknya, yaitu karawitan. Istilah tersebut berasal dari kata dasar rawit, artinya rumit dan halus. 17 Kedua sifat seni 15 Periksa Kunst, Music In Java, Its History, Its Theory, and Its Technique (The Hague: Martinus Nijhoff), Periksa Surjodiningrat, Sudarjana, Susanto, Bram Palgunadi, Serat Kandha Karawitan Jawi (Bandung: Penerbit ITB, 2002), 6.

13 13 karawitan menjadi pijakan pengembangan gagasan musikal untuk keindahan pada elemen musikalnya. Kedua sifat tersebut menjadi karakteristik merupakan produk seni istana. 18 Palgunadi memberi keterangan, bahwa karawitan Jawa banyak yang dikembangkan dari dalam lingkungan keraton. 19 Artinya, perkembangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari kemampuan berpikir dan daya kreativitas raja yang berkuasa. Warsodiningrat memberikan keterangan mengenai sejarah dan beberapa pengaruh yang diberikan raja pada masa perkembangan karawitan dalam buku Wédapradangga. 20 Empu Triwiguna. seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta yang mendapat kepercayaan sebagai pangreksa gangsa (perawat gamelan) memberi penjelasan sebagai berikut. Nuwun sèwu, amit sèwu, ingkang kasebat ratu menika kejawi mangertosi bab-bab ingkang sesambetan kaliyan negari utawi pamaréntahan ugi mangertosi babagan ingkang magepokan kaliyan kabudayan, kalebet larasan lan embat gangsa. Awit menapa, cethanipun ratu menika ugi kalebet ahli raos. 21 (Permisi, beribu maaf sebelumnya, yang disebut raja itu kecuali mengerti permasalahan yang berkaitan dengan negara atau pemerintahan juga mengerti permasalahan yang berkenaan dengan kebudayaan, termasuk larasan dan embat gamelan. Sebab mengapa, jelasnya raja itu juga termasuk ahli rasa.) 18 Waridi, Karawitan Jawa Masa Pemerintahan PB X: Perspektif Historis dan Teoretis (Surakarta: ISI Press Solo, 2006), Periksa Palgunadi, Periksa Warsodiningrat, Wédapradangga (Surakarta: Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, 1979). 21 Wawancara dengan Empu Triwiguna di kediamannya tanggal 9 Juni 2009.

14 14 Selanjutnya, peneliti mengaitkan kedua keterangan di atas, yaitu mengenai peran raja pada perkembangan karawitan dan rasa yang melandasi timbulnya gagasan mengenai larasan dan embat. Menurut pendapat masyarakat, larasan dan embat gamelan Keraton Yogyakarta mempunyai karakter yang gagah atau maskulin. Karakter tersebut tidak timbul begitu saja atau terbentuk tanpa adanya pemikiran mengenai sifat yang ingin ditunjukkan melalui nadanya. Salah satunya, karena pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kepribadian yang maskulin, heroik, dan patriotik dijadikan sebagai landasan pemikiran untuk membentuk karakter pada alat musiknya, yaitu gamelan dan sekaligus pada hasil kreativitas berkeseniannya yang disebut karawitan. Gagasan tersebut juga diterapkan pada beberapa jenis seni istana lainnya. Wasesawinata dalam sebuah wawancara mengungkapkan, bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah sosok yang sangat pintar. Situasi dan kondisi Keraton Yogyakarta pada masa awal perkembangannya masih dalam keadaan yang belum kondusif. Kehidupan keraton baru tersebut masih diliputi suasana perang, sehingga raja memandang perlu untuk mengolah kondisi rasa batin masyarakat di lingkungannya. Pertama, Sultan mempunyai gagasan untuk menggunakan gamelan sebagai salah satu sarana

15 15 hiburan. Tujuannya, yaitu untuk mengendorkan ketegangan yang selama itu dirasakan semua anggota kerajaan dan masyarakat di lingkungannya. Cara tersebut dipergunakan sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian, meskipun kadang-kadang hanya untuk sementara waktu. Artinya, Sultan berupaya membangun rasa batin manusia dengan menggunakan gamelan sebagai sarananya. Kedua, meskipun fungsinya adalah sebagai sarana hiburan, tetapi yang lebih penting lagi, bahwa Sultan juga menggagas sebagai sarana untuk mengekspresikan karakter dan identitas keraton yang berpijak pada kepribadiannya. 22 Karakter Keraton Yogyakarta telah dibentuk, dikembangkan, dan dipertahankan oleh Sri Sultan HB I dengan reputasi militansi sebagai dasar utamanya. Keraton Surakarta yang pada saat itu dianggap bersifat pemboros, menggairahkan (suasananya), dan feminin. Kondisi tersebut bertolak belakang dengan Keraton Yogyakarta yang bersifat pemberani, heroik, dan lebih terikat dengan tradisi kuna. Karakter militansi tersebut masih dapat disaksikan dan dibanggakan masyarakat Yogyakarta hingga saat. Peristiwa budaya atau tradisi tertentu di keraton kadang-kadang menampilkan bregada atau pasukan prajurit yang dilengkapi dengan berbagai senjata dan atributnya. Melalui karakter militansinya, Keraton Yogyakarta pada masa lampau dikenal 22 Wawancara dengan K. R. T. Wasesawinata di Keraton Yogyakarta, tanggal 25 Agustus 2014.

16 16 sebagai keraton yang mempunyai sifat pemberani, kuat, setia, dan lebih terbuka dalam bersikap (berterus terang). Beberapa sifat tersebut memberi pengaruh pada sifat seninya. 23 Termasuk seni karawitan yang pembuatan larasan dan embatnya digagas dengan menggunakan pijakan beberapa karakter tersebut. Gamelan milik Keraton Yogyakarta memiliki rasa musikal yang sangat khas, sehingga menjadi salah satu identitas yang bunyi atau nadanya dikenal dengan baik oleh masyarakat karawitan Yogyakarta khususnya atau wilayah lain pada umumnya. Hanya dengan cara mendengarkan dan tanpa harus datang untuk menyaksikannya, 24 masyarakat dapat mengetahui, bahwa sajian karawitan yang sedang dinikmati adalah suatu gendhing yang dimainkan dengan menggunakan gamelan Keraton Yogyakarta. Bagamana caranya dan kompetensi musikal seperti apa yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi bunyi gamelan melalui larasan atau embat? Pertanyaan tersebut menjadi salah satu materi yang akan dibahas lebih lanjut pada penelitian ini. Atas dasar ketertarikannya pada beberapa keistimewaan gamelan Keraton Yogyakarta, sudah ada tiga penelitian yang dilakukan dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu menurut 23 Richard A. Sutton, 1991, Contoh lainnya adalah acara uyon-uyon manasuka yang disiarkan oleh Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI Yogyakarta.

17 17 Kunst (1937), Wasisto (1969), dan Vetter (1986). Dua peneliti yang disebutkan di awal menitikberatkan penelitian mengenai ukuran frekuensi nada pada masing-masing ricikan, pangkon atau perangkat gamelan lengkap. Peneliti yang ketiga memberi sejumlah keterangan tentang koleksi gamelan dan tradisi karawitan yang berlaku di Keraton Yogyakarta, yaitu mengenai pertunjukan, seniman, dan repertoar gendhingnya. Ketiga peneliti yang dimaksud belum ada satu pun yang membahas secara mendalam mengenai larasan dan embatnya. Selain itu, masih banyak ilmuwan dari mancanegara yang mengadakan penelitian tentang karawitan, misalnya: Mantle Hood, Judith Becker, Richard Anderson Sutton, Ernst L. Heins, Margaret Kartomi, Bernard Arps, Wim Van Zanten, Max Harrel, Martin Hatch, Rene Lysloff, Jennifer Lindsay, dan masih banyak lagi, baik yang sudah atau sedang melakukan penelitian. Sarjana Indonesia pada bidang karawitan atau dari disiplin ilmu terkait lainnya juga sudah banyak melakukan penelitian. Pengkajian tentang larasan dan embat gamelan, hingga saat ini belum pernah dilakukan oleh beberapa ilmuwan yang telah disebutkan, terutama yang erat hubungannya dengan pengertian, gagasan, tujuan, kreator, cara pembuatan, dan latar belakang pembentukannya. Berpijak pada beberapa uraian yang telah disampaikan di atas, maka larasan dan embat gamelan sebagai elemen estetik

18 18 dalam karawitan Jawa perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut. Sepengetahuan peneliti, hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai kedua elemen estetik karawitan yang telah disebutkan. B. Rumusan Masalah Larasan dan embat pada gamelan Keraton Yogyakarta telah menjadi bagian penting dalam lingkup pembicaraan mengenai karawitan Jawa, namun hingga saat ini belum didapatkan penjelasan yang mendalam mengenai pengertian sebenarnya, karena kedua istilah tersebut mempunyai makna yang sangat banyak. Penerapannya telah dilakukan pada beberapa gamelan Keraton Yogyakarta, sehingga dengan adanya larasan dan embat dapat dipergunakan untuk membedakan jenis gamelannya. Contohnya, gamelan yang dipergunakan untuk memberikan penghormatan pada pelaksanaan upacara tradisi, kenegaraan atau ritual tertentu (sekaten, munggang/monggang, dan kodhok ngorèk) dan gamelan yang secara khusus dipergunakan untuk mendukung penyajian tarian tertentu mempunyai perbedaan yang jelas, bila dibandingkan gamelan lainnya. 25 Maksudnya adalah gamelan gedhé/ageng (lengkap) yang biasa dipergunakan untuk keperluan yang lebih umum. Gagasan mengenai kedua elemen 25 Kanjeng Kyahi Guntursari adalah gamelan yang sangat spesifik dipergunakan untuk mengiringi Beksan Lawung di Keraton Yogyakarta.

19 19 estetik tersebut, dapat terwujud karena adanya dukungan budaya lingkungan (keraton) dan masyarakatnya. Keduanya memberi dukungan pada aspek musikal, sehingga dapat dimengerti rasanya dan diberi makna tertentu. Larasan dan embat gamelan Keraton Yogyakarta dibuat dengan konsep seninya yang halus dan ngrawit ditujukan untuk memenuhi keragaman rasa musikal gamelan. Latar belakang pembuatannya dipengaruhi oleh kreativitas dan interpretasi musikal yang dimiliki penggagasnya. Larasan dan embat berkaitan dengan aspek fungsi, teknis, dan permasalahan rasa. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut. 1. Apakah jenis larasan dan embat gamelan yang terdapat pada tradisi karawitan gaya Yogyakarta? 2. Apa metode dan persyaratan yang diperlukan untuk mengetahui suatu jenis rasa larasan dan embat? 3. Bagaimana rasa larasan dan embat gamelan Keraton Yogyakarta menurut analisis frekuensi nadanya? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kontribusi pada pengembangan wilayah pemikiran

20 20 ilmiah karawitan berdasarkan pada perspektif estetis dan disiplin karawitan. Berikut ini adalah penjelasan mengenai tujuan umum tersebut. 1) Perspektif Estetis Salah satu tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memecahkan permasalahan dalam wilayah pembicaraan estetika karawitan, yaitu mengenai keragaman larasan dan embat pada gamelan Keraton Yogyakarta. Lebih lanjut ditujukan untuk mengungkap konsep pemikiran estetik tentang larasan dan embat yang sangat rumit berdasarkan aspek kreativitas, interpretasi, dan imajinasi penggagasnya. Kedalaman pemikiran pada konsepnya mampu memposisikan larasan dan embat sebagai salah satu elemen estetik yang fundamental. Ini menjadi faktor keunikan karawitan yang membedakan dengan estetika musik Barat atau lainnya. Contohnya, tradisi pada musik Barat menggagas nadanya dengan mengedepankan pemikiran moderen dan menggunakan standar frekuensi yang telah ditentukan secara internasional. Ini bertolak belakang dengan konsep pemikiran larasan gamelan yang lebih terbuka dan memberi keleluasaan penafsiran sebagai pijakan pengembangan kreativitas pada elemen estetik musikalnya. Musik Barat lebih banyak menuntut keseragaman dalam beberapa hal, sehingga segala sesuatunya harus dideskripsikan dengan jelas.

21 21 Contohnya, yaitu notasi yang ditulis secara lengkap beserta dengan tanda-tandanya, sehingga sebuah komposisi musik sepenuhnya merupakan milik komposernya. Berbeda dengan tradisi yang berlaku dalam karawitan yang menerima pluralitas sebagai bagian dari kekayaan estetik, sehingga konsep pemikiran mengenai larasannya saja dapat mendukung adanya gagasan pada pembuatan embat, keterbukaan atau keleluasaan dalam menentukan nada berdasarkan rasa musikal, dan fungsinya. Begitu dalamnya konsep pemikiran estetik pada larasan, sehingga menjadi salah satu tujuan umum pada penelitian ini. Apabila menemukan kendala karena tidak adanya peristilahan atau pengertian dalam pengetahuan karawitan, maka peneliti akan berusaha menjelaskan dengan menggunakan perspektif estetis musik Barat atau estetika umum, dan sekaligus menggunakan sebagai bahan pembanding. 2) Disiplin Karawitan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengetahuan karawitan melalui pengembangan pemikiran lebih lanjut pada estetika, akustik, dan perkembangan gamelan. Menurut pendapat peneliti, hingga saat ini wacana pembicaraan yang mengetengahkan topik permasalahan mengenai larasan dan embat gamelan Keraton Yogyakarta belum pernah

22 22 dilakukan, apalagi pemikiran ilmiah yang berujung pada sebuah penelitian. Sepengetahuan peneliti pula, bahwa mayoritas data terkait, termasuk perkembangan yang berhasil ditemukan hanya mampu menyediakan keterangan yang terbatas pada wilayah pembicaraan karawitan secara umum dan hanya menyentuh permasalahan pada lapisan dasar. Oleh sebab itu, tujuan umum yang kedua dari penelitian ini adalah sebuah upaya untuk mengungkap larasan dan embat gamelan berdasarkan displin karawitan. b. Tujuan Khusus Selain tujuan umum seperti yang telah diuraikan di atas, penelitian ini juga mempunyai beberapa tujuan khusus, yaitu untuk mengungkap permasalahan yang ditemukan pada proses penelitian. 1) mengetahui pengertian larasan dan embat dalam karawitan. 2) mengetahui gagasan dan tujuan musikal kedua elemen estetik yang telah dibuat secara kreatif dengan pijakan interpretasi musikal karawitan. 3) mengerti peran atau pengaruh budaya dalam proses pembuatan larasan dan embat gamelan Keraton Yogyakarta.

23 23 4) mengetahui hasil pengukuran larasan dan embat terbaru untuk memeriksa konsistensi atau ada tidaknya perubahan akibat proses penyetèman atau sebab lainnya. Berpijak pada tujuan umum dan khusus tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya. Selain itu, diharapkan dapat dijadikan sebagai bagian dari upaya untuk membuka pemikiran masyarakat mengenai estetika karawitan. 2. Manfaat Penelitian Berpijak pada tujuan umum dan khusus yang dikemukakan di atas, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk beberapa hal. Pertama, dapat menemukan kejelasan mengenai konsep larasan dan embat, terutama pada pemikiran untuk mendapatkan kesan estetik yang diolah melalui penataan frekuensi nadanya, sehingga memiliki karakter yang dapat menimbulkan interpretasi dan imajinasi bagi pendengarnya. Kedua, data yang ditemukan pada proses penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai keterangan terbaru mengenai gamelan Keraton Yogyakarta, misalnya: nama gamelan, jenis, jumlah ricikan (instrumen), fungsi, dan yang paling penting adalah hasil pengukuran frekuensi nadanya.

24 24 Data tersebut dapat digunakan pada proses perbandingan dengan data pada masa lampau, saat ini atau yang akan datang, terutama pada kemungkinan adanya perubahan larasan atau embat gamelannya. Hal ini dapat terjadi, bila terdapat kesalahan pada proses penyetèman atau kemungkinan adanya kebiasaan dan pilihan seorang juru laras pada suatu jenis larasan dan embat yang baru atau lebih umum. Ketiga, konsep yang diterapkan dalam penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai acuan untuk penelitian sejenis atau pengembangannya. Hingga saat ini belum ada penjelasan mengenai larasan, embat, dan karakter yang dibentuk dari keduanya. Perbincangan dalam karawitan selalu mengedepankan rasa dan belum pernah diadakan penelitian secara kuantitatif melalui proses pengukuran nada dan intervalnya yang mengaitkan keduanya. D. Tinjauan Pustaka Warsadiningrat dalam buku Wèdapradangga (1979) banyak memberikan keterangan yang berkaitan dengan sejarah karawitan. Buku yang terdiri dari beberapa jilid tersebut, pada permulaan bagiannya mengungkapkan tentang adanya gagasan beberapa raja yang berkuasa pada masa lampau untuk mengembangkan seni karawitan. Pertama, gagasannya diwujudkan dengan melakukan pembuatan perangkat gamelan. Tujuannya untuk menambah

25 25 beberapa ricikan yang baru. Kedua, pada proses tersebut juga dilakukan suatu upaya untuk mengeksplorasi lebih jauh mengenai keindahan musikal karawitan. Cara yang ditempuh, yaitu dengan mengolah bunyi pada alat musiknya. Pengertian dari kata mengolah pada kalimat tersebut tidak berarti mengubah timbre atau warna nada pada masing-masing ricikannya, tapi berkenaan dengan nada yang terdapat di dalam larasnya. Gagasan tersebut mengawali adanya pemikiran baru mengenai nada atau laras gamelan dan menjadi pijakan pada proses pembuatan gamelan. Kata yang dipilih para pemikir karawitan untuk menyebutkan istilahnya adalah larasan dan embat. Peran raja dan keraton pada perkembangan karawitan juga diungkapkan oleh Bram Palgunadi dalam Serat Kandha Karawitan Jawi (2002). Judul buku tersebut oleh pengarangnya diartikan sebagai buku yang menceritakan atau memaparkan tentang karawitan Jawa. Palgunadi mengungkapkan, tentang karawitan dari aspek sejarah, ricikan gamelan, dan beberapa permasalahan dalam kesenian tersebut. Seni karawitan yang berbasis budaya Jawa banyak dikembangkan dari dalam lingkungan keraton atau istana. Sifat seninya yang ngrawit atau rumit diwujudkan dari gagasan musikalnya yang halus pula. Salah satu contoh bentuk penerapannya telah dilakukan masyarakat karawitan dengan cara mengolah rasa musikal laras, larasan, dan embat gamelan.

26 26 R. M. Soedarsono dalam Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta (1997), di antaranya memberi keterangan yang sangat penting tentang latar belakang sejarah terbentuknya Keraton Yogyakarta. Keterangan penting lainnya mengenai pengaruh konsepsi kedudukan dan karakter raja pada proses pembentukan karakter seni istana Keraton Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono I telah mengarahkan pembentukan karakter budaya keraton sebagai sebuah identitas. Selain itu, juga menanamkan sikap dengan mencontohkan kepribadiannya yang maskulin, heroik, dan patriotik. Karakter tersebut juga tercermin dalam seni Keraton Yogyakarta. Beberapa cirinya telah diwujudkan melalui karawitan, yaitu pada bentuk penyajian, garap penyajian, ciri khas pada fisik (gandar) gamelan, dan gayanya. Waridi dalam Karawitan Jawa Masa Pemerintahan PB X: Perspektif Historis dan Teoretis (2006) mengungkapkan, bahwa karawitan adalah produk seni yang ngrawit/ngremit (kecil) atau halus. Kedua sifat tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki seni istana. Konsep kedudukan raja mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kehidupan kebudayaan Jawa, termasuk di dalamnya adalah seni karawitan. Salah satu bagian dari buku tersebut membahas latar belakang historis kebudayaan Jawa, terutama yang berhubungan dengan kebudayaan keraton dan konsepsi

27 27 kedududukan raja-raja Mataram Islam. Mengamati perkembangan kehidupan karawitan pada saat ini terbukti, bahwa keraton adalah sebuah lembaga yang sangat berpengaruh dalam perkembangan karawitan Jawa. Koentjaraningrat dalam Sejarah Teori Antropologi II (1995) mengungkapkan, bahwa kesesuaian perilaku atau kepribadian manusia terhadap nilai-nilai luhur dapat dibentuk melalui pengolahan batin atau keindahan. Caranya dapat dilakukan dengan menggagas, menuangkan atau menikmati seni. Oleh sebab itu, masyarakat Jawa selalu dikenal dengan karya seninya dan budayanya yang bernilai tinggi. William A. Sethares dalam bukunya Tuning, Timbre, Spectrum, Scale (2005) menyatakan, bahwa larasan pada gamelan Jawa (dalam pengertian yang umum), seperti juga alat musik tradisional Indonesia lainnya, tidak mempunyai referensi yang dipergunakan sebagai sebuah standar. Pernyataan tersebut tidak berarti, bahwa larasan gamelan Jawa ditentukan oleh juru laras atau dipesan oleh pemilik/calon pemilik gamelan secara bebas tanpa mempedulikan estetika larasan sama sekali. Penentuan suatu larasan pada gamelan (demikian pula dengan embatnya) dilakukan dengan pijakan berupa konvensi yang berlaku pada tradisi musik tersebut.

28 28 Rahayu Supanggah dalam bukunya yang berjudul Bothèkan Karawitan I (2002) menguraikan pentingnya ketepatan larasan pada gamelan Jawa. Suatu ricikan (instrumen) gamelan, baik yang berbentuk bilah atau pencon, secara sengaja disetèm sedikit berbeda dari ricikan gamelan pada kelompok yang sama atau lainnya. Metode tersebut diterapkan sebagai sebuah upaya untuk mendapatkan efek dan kualitas resonansi (ngombang atau ngombak) yang tepat. Perbedaan tersebut diperhitungkan secara cermat pada selisih jumlah frekuensi nadanya dan sangat memperhatikan estetika larasan pada karawitan Jawa. Dalam istilah yang umum biasa disebut pelayangan (sound wave). Bila frekuensi dua nada yang sama adalah setingkat, maka tidak akan menimbulkan efek resonansi dan apabila perbedaan frekuensinya terlalu jauh akan menimbulkan resonansi yang berlebihan seperti teknik penyetèman gamelan Bali yang berkonsep pangumbang pangisep. Hal tersebut sangat tidak dikehendaki pada larasan gamelan Jawa karena menghasilkan efek bléro (out of tune). Selain itu, gamelan Jawa sangat memperhatikan embat, yaitu penataan interval dalam satu gembyang. Penataan tersebut akan menentukan karakteristik rasa pada seperangkat gamelan. Kesalahan pada penentuan larasan akan menghasilkan bunyi yang ndlujur (polos) dan dapat menghilangkan karakter pada embatnya. Perspektif estetis pada karawitan Jawa memberi

29 29 konotasi sebagai rasa yang kurang baik. Berdasarkan uraian ini dapat diungkapkan, bahwa pembicaraan mengenai larasan juga menyentuh permasalahan yang berkaitan dengan embat, karakter larasan, dan rasa musikal yang ditimbulkan. Djohan dalam Respons Emosi Musikal (2010) menyatakan, bahwa pengalaman batin yang didapatkan dari sebuah sajian karawitan merupakan respons emosi musikal yang dialami subjek secara psikologis. Elemen estetik musikal karawitan yang menjadi materi penelitian adalah tempo dan timbre. Hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan, bahwa kedua elemen musikal tersebut dapat mempengaruhi rasa batin para pendengar atau penikmatnya. Dapat dikatakan, bahwa respons musikal yang dirasakan oleh seseorang tidak hanya didapatkan dari sebuah sajian musik yang buruk, tetapi dapat dipengaruhi oleh elemen musikal tempo dan timbre. Terkait dengan pernyataan di atas, John D. White menjelaskan dalam Understanding and Enjoying Music (1968), bahwa kenikmatan dan pemahaman mengenai sebuah sajian musik sangat tergantung pada respons pendengarnya. Syaratnya adalah memiliki bekal yang cukup dalam hal pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan untuk menggunakan imajinasinya. Artinya, bahwa proses tersebut akan berjalan dengan baik apabila didukung dengan kemampuan untuk memahami rasa atau makna

30 30 musikal, kepekaan untuk mengamati dengan menggunakan pendengaran, dan kedalaman rasa seseorang pada saat menikmati atau menghayatinya. Terkait dengan uraian di atas, kiranya perlu untuk mengetahui pengertian rasa dalam estetika karawitan. Marc Benamou dalam Rasa in Javanese Musical Aesthetic (1998) tidak menguraikan secara eksplisit mengenai rasa yang diakibatkan oleh gamelan yang silir (out of tune), tetapi memberikan gambaran mengenai pentingnya pengolahan rasa pada praktik karawitan. Khususnya dalam upaya untuk mewujudkan rasa gendhing yang menjadi tujuan utama dari proses pencapaian estetik sebuah penyajian karawitan. Kedalaman rasa mutlak diperlukan setiap pengrawit, sebab unsur keindahan karawitan dapat terwujud apabila pelaku seninya mempunyai kapabilitas pada olah rasa karawitan, termasuk kepekaan rasanya pada kualitas larasan gamelan. Analisis Benamou menunjukkan adanya hubungan antara rasa dengan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan aspek teknis, ruang, dan waktu secara komprehensif. Jaap Kunst dalam Music in Java, Its History, Its Music, and Its Technique, Volume II (1973) banyak memberikan keterangan yang berkaitan dengan perkembangan karawitan di Jawa. Selain mengungkapkan tentang perkembangan ricikan pada gamelan Jawa, juga menerangkan secara sekilas tentang teori dan praktik

31 31 karawitan. Bagian akhir dari buku tersebut menjelaskan tentang hasil pengukuran frekuensi nada pada beberapa gamelan yang terdapat di Jawa. Terutama gamelan terkemuka yang dimiliki oleh beberapa keraton dan kadipaten di wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Upaya yang telah dilakukan Kunst telah menjadi gagasan kemajuan, terutama pada perkembangan pengetahuan karawitan Jawa. Wasisto Surjoningrat, Sudarjana, dan Adhi Susanto dalam Penyelidikan Dalam Pengukuran Gamelan-Gamelan Terkemuka di Yogyakarta dan Surakarta atau yang sudah dialihbahasakan dalam bahasa Inggris, yaitu Tone Measurement of Outstanding Javanese Gamelan in Yogyakarta and Surakarta (1969) memberikan hasil pengukuran frekuensi nada yang diambil dari 76 nama gamelan di wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Proses pengukurannya dilakukan dengan menggunakan alat bantu produk teknologi yang moderen saat itu. Cara pengukurannya, jauh lebih rumit bila dibandingkan dengan penelitian Kunst yang hanya menggunakan monochord. Dukungan beberapa peralatan moderen mampu menghasilkan data yang lebih akurat. Proses pengukuran frekuensi nada tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki cara pengambilan data dan memperbarui hasil pengukuran yang pernah dilakukan sebelumnya (Kunst).

32 32 Aaron Copland dalam What to Listen For in Music (1957) mengungkapkan tentang permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan untuk mendengarkan dan merasakan suatu sajian musik. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa para pendengar atau penikmat sangat perlu untuk mengasah sensivitasnya terhadap nada atau rasa musikalnya. Pendengar atau penikmat musik dapat mengetahui lebih banyak tentang permasalahan yang terdapat di dalamnya dengan cara tersebut. Copland menjelaskan pentingnya kemampuan musikal tersebut bagi para pemusik (terutama pada pemula) agar dapat mengerti, bahwa semua elemen yang terdapat dalam seni musik harus dipandang sebagai sebuah kesatuan. Berdasarkan topik bahasan yang terdapat pada beberapa pustaka di atas, tidak ada satu pun buku atau hasil penelitian yang secara khusus membahas tentang pengertian, gagasan, tujuan, dan klasifikasi rasa musikal dari larasan dan embat gamelan. Pencarian pada sejumlah jurnal musik tidak berhasil menemukan keterangan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dipandang orisinil, baik dilihat dari topik yang dikaji maupun pendekatan teori yang dipergunakan untuk memecahkan masalah.

33 33 E. Landasan Teori Bagian latar belakang telah menjelaskan adanya beberapa permasalahan yang terkait dengan fenomena musikal dan budaya. De Marinis mengungkapkan, bahwa sesuatu ciri yang dapat diamati dari seni pertunjukan adalah adanya berbagai elemen yang dipergunakan untuk menyatakan perasaan. Elemen tersebut kemudian diatur atau diorganisasi sebagai sebuah kesatuan. 26 Berpijak pada keterangan di atas, maka untuk menganalisis permasalahan di dalamnya harus menggunakan pendekatan multi-disiplin. 27 Gagasan dan tujuan pembuatannya akan dibahas dengan menggunakan pendekatan ekologi budaya, sedangkan jenis larasan dan embatnya akan dibahas dengan menggunakan pendekatan etnomusikologis. Permasalahan yang berkaitan dengan gagasan dan tujuan pembentukan kedua elemen musikal tersebut akan dibahas dengan menggunakan pendekatan ekologi budaya. Purwanto dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif Antropologi (2008) mengungkapkan, bahwa pemikiran tersebut disampaikan pertama kali oleh Steward pada tahun Ekologi budaya adalah ilmu yang membahas tentang 26 Marco de Marinis, The Semiotics of Performance. Terj. Aine O Heally (Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 1993), Marco de Marinis, dikutip R. M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Cetakan Kedua (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia bekerjasama dan dipasarkan oleh kubuku, 2001), 69.

34 34 manusia dan lingkungannya. Materi yang dibicarakan di dalamnya termasuk bentuk hubungan dari pola tata kelakuan manusia dengan berbagai unsur dalam sistem budayanya. 28 Kaplan dan Manners (1972) menjelaskan, bahwa ekologi budaya adalah suatu cara untuk memahami persoalan lingkungan hidup dalam perspektif budaya atau sebaliknya adalah upaya untuk memahami kebudayaan dalam perspektif lingkungan hidup. Menurut prosesnya terdapat suatu mekanisme yang dilakukan manusia untuk mengenal, mempelajari, dan beradaptasi dengan lingkungannya. Adapun tujuannya adalah untuk menguasai dalam pengertian untuk mengolah atau mengelola. 29 Purwanto memberi contoh timbulnya pelapisan masyarakat atas adanya suatu sistem irigasi dan organisasi yang melibatkan petani dan pengelola sistem tersebut. Kedudukan sebagai seorang pengelola air memberi perbedaan dengan masyarakat petani. Pola pelapisan tersebut, kemudian berkembang menjadi adat yang mengatur hubungan antara warga masyarakat biasa dengan penguasa. 30 Ekologi sudah berkembang luas dan salah satunya berkaitan dengan budaya, sehingga disebut ekologi budaya. Berdasarkan materi bahasannya mempunyai perbedaan dengan 28 Hari Purwanto, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi, Cetakan IV (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2008), David Kaplan dan Robert A. Manners, The Theory of Culture, 1972, Terj. Landung Simatupang, Teori Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Hari Purwanto, 2008, 71.

35 35 ekologi umum. Ruang lingkup yang dijadikan materi pembicaraan tidak hanya berkutat pada permasalahan interaksi suatu bentuk kehidupan dalam lingkungan tertentu, tetapi juga membahas berbagai cara yang dilakukan manusia dalam upaya untuk membentuk lingkungannya, yaitu dengan menggunakan budaya sebagai sarananya. Saat ini telah banyak penelitian yang menekankan pembicaraannya mengenai upaya manusia melalui berbagai pola tindakan (action) dan kelakuannya (behavior). 31 Pernyataan tersebut sesuai dengan salah satu bagian yang dibicarakan dalam penelitian ini, yaitu mengenai gagasan dan tujuan dibuatnya larasan atau embat. Kedua pemikiran etetik musikal tersebut tidak dapat dilepaskan dari unsur manusia (yang berperan sebagai penggagasnya), lingkungan, dan sarana yang dipergunakan (budaya). Seorang raja atau pemimpin pada suatu kelompok masyarakat harus melakukan proses adaptasi untuk memahami lingkungan sekitarnya. Upaya tersebut bertujuan agar dapat mengelola atau mengontrol lingkungan yang dikuasainya. Penerapan cara tersebut, salah satunya dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada upaya untuk mempertahankan legitimasi kekuasaannya, yaitu dengan menerapkan konsepsi 31 Hari Purwanto, 2008, 51.

36 36 kedudukan raja. 32 Sultan sebagai raja pertama di Keraton Yogyakarta juga menggunakan kekuasaannya untuk menentukan ciri khas atau karakter kerajaan yang dipimpinnya. Sarana yang dipergunakan sebagai pendukungnya adalah produk kesenian Jawa yang disebut karawitan. Salah satu ciri yang sangat khas dan dikenal oleh masyarakat karawitan (khususnya) ditunjukkan melalui karakter gamelan yang digarap melalui larasan dan embatnya. Kedua elemen estetik musikal karawitan tersebut akan dibahas dengan menggunakan pendekatan etnomusikologi. Peneliti akan mengerucutkan permasalahan pada larasan dan embat gamelan Jawa, bahkan lebih mengkhususkan lagi pada gamelan Keraton Yogyakarta dari disiplin karawitan Jawa. Pendekatan etnomusikologis secara spesifik dipergunakan untuk mengungkap permasalahan yang berkaitan dengan estetika karawitan. Materi yang akan dibahas adalah konsep pemikiran estetik dan peranan rasa (dalam pengertian karawitan) yang melatarbelakangi proses pembuatan kedua elemen estetik musikal tersebut. Melalui kepekaan rasa yang dimiliki, maka masyarakat Jawa menginterpretasikan larasan dan embat gamelan secara metaforik. Masing-masing hasil penyetèman yang dilakukan oleh 32 Soedarsono, Wayang Wong: Dramatari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997) ; Periksa juga Waridi, 2006,

37 37 para juru larasnya dapat menghasilkan karakter musikal yang khas, bahkan dapat dipergunakan sebagai sebuah identitas. Pangrawit dan pandhemen yang mempunyai kepekaan pada larasan dan embat dapat merasakan perbedaan antara gamelan yang satu dengan lainnya, bahkan bila sudah mengenal dengan baik dapat memberikan keterangan secara lengkap, misalnya: nama gamelan, jenis gamelan, pemilik, lokasi, karakter larasan, dan embatnya. Pendekatan ini juga dapat dipergunakan untuk mengungkap dan membuktikan pendapat masyarakat. Berpijak pada larasan dan embatnya, suatu perangkat gamelan dapat dikatakan memiliki rasa musikal yang, gagah, luruh atau lainnya. Berdasarkan proses perkembangannya, larasan dan embat gamelan Keraton Yogyakarta tentunya tidak hanya dibuat dengan alasan atau pertimbangan yang telah diungkapkan di atas. Bermula dari munculnya suatu gagasan musikal sebagai tahap paling awalnya dan dilanjutkan dengan proses pembuatan, pengenalan hingga diterima oleh masyarakat juga memerlukan dukungan dari aspek budayanya. Kreativitas dan kemampuan untuk menginterpretasi atau berimajinasi tersebut, tentu dilandasi dengan sifat seninya yang sangat halus dan ngrawit (rumit). Waridi mengungkapkan, bahwa karawitan Jawa sebagai salah satu budaya Jawa mempunyai ciri khas yang ditunjukkan melalui proses penggarapannya yang halus dan rumit. Budaya yang halus

38 38 selalu dikaitkan dengan masyarakat priyayi, yaitu bangsawan atau abdi dalem di keraton Jawa. 33 Selanjutnya, kesenian yang menjadi hasil budaya keraton disebut seni istana. Masyarakat memahaminya sebagai seni yang bernilai estetik baik dan tinggi. 34 Sutton berpendapat, bahwa salah satu keistimewaan dari mayoritas gamelan Jawa adalah penggunaan jenis materialnya yang sangat mahal. 35 Oleh sebab itu, pembuatan gamelan pada masa lampau hanya dapat dilakukan atas perintah raja atau bangsawan lainnya. Raja sebagai pusat keseluruhan kosmos dan yang telah menciptakan seni atau budaya halus tersebut memberi pengaruh secara luas, sehingga masyarakat pun menggunakannya sebagai sebuah model, 36 bahkan hingga pada ajaran mengenai sikap batin atau perilaku raja yang dituliskan dalam beberapa karya kesusasteraan keraton juga dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan seharihari, misalnya: nrima, iklas, prasaja, andhap asor, tepa selira, sepi ing pamrih-ramé ing gawé, rukun, dan gotong royong. Ini menjadi bagian penting pada proses perkembangan larasan dan embat, yaitu dapat menutup perbedaan pandangan yang muncul, 33 Waridi, 2006, Waridi, 2006, Richard A. Sutton, The Javanese Gambang and Its Music, sebuah tesis yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master dalam Etnomusikologi pada University of Hawaii, Hawaii, 1975, Umar Kayam, Seni Tradisi Masyarakat (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), 83.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian, gagasan, tujuan, proses pembentukan, dan analisis frekuensi nadanya,

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian, gagasan, tujuan, proses pembentukan, dan analisis frekuensi nadanya, BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian, gagasan, tujuan, proses pembentukan, dan analisis frekuensi nadanya, maka dapat disimpulkan bahwa larasan dan embat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gamelan merupakan produk budaya tradisional telah berusia ratusan tahun. Gamelan sebagai alat musik memiliki keunikan terutama dalam laras (sistem nada) dan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Musik adalah sebuah bentuk karya seni yang terdiri dari bunyi-bunyian instrumental atau vokal ataupun keduanya, yang menghasilkan sebuah karya yang indah dan harmonis.

Lebih terperinci

KEPUSTAKAAN. Bahari, Nooryan Kritik Seni: Wacana Apresiasi dan Kreasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

KEPUSTAKAAN. Bahari, Nooryan Kritik Seni: Wacana Apresiasi dan Kreasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 493 KEPUSTAKAAN A. Sumber Tertulis. Bahari, Nooryan. 2008. Kritik Seni: Wacana Apresiasi dan Kreasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Benamou, Marc. 1998. Rasa in Javanese Musical Aestetic. Disertasi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang merupakan bentuk ungkapan atau ekspresi keindahan. Setiap karya seni biasanya berawal dari ide atau

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N BAB I PENDAHULUAN 1.1. Batasan Pengertian 1.1.1. Pengertian Museum Gamelan Jawa a. Museum Ada beberapa pengertian museum, namun menurut esensinya secara umum museum adalah gedung

Lebih terperinci

KAJIAN SPEKTRUM WARNA BUNYI SARON RICIK GAMELAN KANJENG KYAHI NAGAWILAGA DARI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

KAJIAN SPEKTRUM WARNA BUNYI SARON RICIK GAMELAN KANJENG KYAHI NAGAWILAGA DARI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei 2011 KAJIAN SPEKTRUM WARNA BUNYI SARON RICIK GAMELAN KANJENG KYAHI NAGAWILAGA

Lebih terperinci

pergelaran wayang golek. Dalam setiap pergelaran wayang golek, Gending Karatagan berfungsi sebagai tanda dimulainya pergelaran.

pergelaran wayang golek. Dalam setiap pergelaran wayang golek, Gending Karatagan berfungsi sebagai tanda dimulainya pergelaran. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gending Karatagan wayang adalah gending pembuka pada pergelaran wayang golek. Dalam setiap pergelaran wayang golek, Gending Karatagan berfungsi sebagai tanda dimulainya

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Dari hasil penelitian di atas disimpulkan bahwa Srimpi Pandhelori

BAB IV PENUTUP. Dari hasil penelitian di atas disimpulkan bahwa Srimpi Pandhelori BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian di atas disimpulkan bahwa Srimpi Pandhelori merupakan salah satu kesenian yang ada di Keraton Yogyakarta yang diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwono VII.

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Komposisi karawitan yang berjudul lakuku merupakan sebuah karya yang. dalam mewujudkan karya komposisi karawitan dengan judul Lakuku.

BAB IV PENUTUP. Komposisi karawitan yang berjudul lakuku merupakan sebuah karya yang. dalam mewujudkan karya komposisi karawitan dengan judul Lakuku. BAB IV PENUTUP Komposisi karawitan yang berjudul lakuku merupakan sebuah karya yang mengangkat tema tentang perjalanan hidup dan pengalaman spiritual penulis. Dimulai dari dilahirkan di dunia hingga menemukan,

Lebih terperinci

BAHAN USBN AKORD. = 2 1 ½ m = 1 ½ 2 dim = 1 ½ - 1 ½ M 7 = 2 1 ½ - 2 m 7 = 1 ½ 2-1 ½ 7 = 2 1 ½ - 1 ½ Sus 4 = = 2 ½ - 1 Sus 2 = = 1 2 ½

BAHAN USBN AKORD. = 2 1 ½ m = 1 ½ 2 dim = 1 ½ - 1 ½ M 7 = 2 1 ½ - 2 m 7 = 1 ½ 2-1 ½ 7 = 2 1 ½ - 1 ½ Sus 4 = = 2 ½ - 1 Sus 2 = = 1 2 ½ AKORD BAHAN USBN M = 2 1 ½ m = 1 ½ 2 dim = 1 ½ - 1 ½ M 7 = 2 1 ½ - 2 m 7 = 1 ½ 2-1 ½ 7 = 2 1 ½ - 1 ½ Sus 4 = 1 4 5 = 2 ½ - 1 Sus 2 = 1 2 5 = 1 2 ½ MUSIK KONTEMPORER Ciri-Ciri Seni Kontemporer secara umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah bangsa yang besar. Terdiri dari 33 Provinsi, 17.508 Pulau dan 238 juta penduduk, Indonesia dikenal di mata dunia memiliki kekayaan serta keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Begitu pesatnya perkembangan Gong Kebyar di Bali, hampir-hampir di setiap Desa atau

BAB I PENDAHULUAN. Begitu pesatnya perkembangan Gong Kebyar di Bali, hampir-hampir di setiap Desa atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Begitu pesatnya perkembangan Gong Kebyar di Bali, hampir-hampir di setiap Desa atau Banjar memiliki barungan Gong Kebyar. Berdasarkan daftar imformasi seni dan organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Sunda memiliki identitas khas yang ditunjukkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Sunda memiliki identitas khas yang ditunjukkan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Sunda memiliki identitas khas yang ditunjukkan dengan kesenian. Kesenian merupakan pencitraan salah satu sisi realitas dalam lingkungan rohani jasmani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia dapat dilakukan

Lebih terperinci

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Oleh: Dyah Kustiyanti Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran, pandangan hidup, kebiasaan,

Lebih terperinci

UPT Perpustakaan ISI Yogykarta BAB V PENUTUP

UPT Perpustakaan ISI Yogykarta BAB V PENUTUP BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pada perancangan dan penciptaan buku Fotografi Esai pembuatan Gamelan Jawa berjudul Sang Penjaga Tradisi mengangkat tentang bagaimana proses pembuatan alat music tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seni budaya merupakan penjelmaan rasa seni yang sudah membudaya, yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh orang banyak dalam rentang perjalanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras

I. PENDAHULUAN. Tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta mempunyai maksud tertentu. Tari juga merupakan ekspresi jiwa

Lebih terperinci

77. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunanetra (SMALB A)

77. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunanetra (SMALB A) 611 77. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunanetra (SMALB A) A. Latar belakang Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. didapat beberapa kesimpulan mengenai pancer. Tabuhan pancer yang selama ini

BAB IV KESIMPULAN. didapat beberapa kesimpulan mengenai pancer. Tabuhan pancer yang selama ini BAB IV KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraiakan pada bab sebelumnya, didapat beberapa kesimpulan mengenai pancer. Tabuhan pancer yang selama ini menjadi sesuatu yang sepele dan kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesenian merupakan salah satu bentuk kebudayaan manusia. Setiap daerah mempunyai kesenian yang disesuaikan dengan adat istiadat dan budaya setempat. Jawa Barat terdiri

Lebih terperinci

2015 KESENIAN MACAPAT GRUP BUD I UTOMO PAD A ACARA SYUKURAN KELAHIRAN BAYI D I KUJANGSARI KOTA BANJAR

2015 KESENIAN MACAPAT GRUP BUD I UTOMO PAD A ACARA SYUKURAN KELAHIRAN BAYI D I KUJANGSARI KOTA BANJAR BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia kaya akan ragam suku sehingga dari keberagaman tersebut lahirlah banyak kesenian tradisi yang bersifat unik dan khas. Poerwadarminta (2001,

Lebih terperinci

BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL

BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL 2.1. Seni dan Tari 2.1.1. Pengertian Seni Seni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 915) didefinisikan sebagai keahlian membuat karya yang bermutu dilihat dari segi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan ungkapan kehidupan manusia yang memiliki nilai dan disajikan melalui bahasa yang menarik. Karya sastra bersifat imajinatif dan kreatif

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian Lagu gedé dalam Karawitan. Sunda Sebuah Tinjauan Karawitanologi, diketahui keunggulan

BAB VI KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian Lagu gedé dalam Karawitan. Sunda Sebuah Tinjauan Karawitanologi, diketahui keunggulan BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian Lagu gedé dalam Karawitan Sunda Sebuah Tinjauan Karawitanologi, diketahui keunggulan musikal lagu gedé tidak dapat diragukan. Kompleksitas musik

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Karya ini memiliki rangsangan dari konsep tiga yang berada di sekitar

BAB III PENUTUP. Karya ini memiliki rangsangan dari konsep tiga yang berada di sekitar BAB III PENUTUP Kesimpulan Karya ini memiliki rangsangan dari konsep tiga yang berada di sekitar lingkungan penulis. Daerah Sunda menjadi lingkungan yang mendominasi dalam karya ini yang diwujudkan berupa

Lebih terperinci

KOMPETENSI DASAR SENI BUDAYA DAN PRAKARYA SEKOLAH DASAR KELAS I - VI

KOMPETENSI DASAR SENI BUDAYA DAN PRAKARYA SEKOLAH DASAR KELAS I - VI SENI BUDAYA DAN PRAKARYA SEKOLAH DASAR KELAS I - VI KELAS I KOMPETENSI INTI 1. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya. 2. Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang lagu sehingga lirik-lirik lagunya menarik untuk

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang lagu sehingga lirik-lirik lagunya menarik untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Gaya bahasa menimbulkan efek keindahan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Efek keindahan gaya bahasa berkaitan dengan selera pribadi pengarang dan kepekaannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media atau sarana yang digunakan untuk mengekspresikan diri. Musik adalah

BAB I PENDAHULUAN. media atau sarana yang digunakan untuk mengekspresikan diri. Musik adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Musik merupakan cabang dari seni. Seni musik juga termasuk salah satu media atau sarana yang digunakan untuk mengekspresikan diri. Musik adalah salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tari adalah ekspresi jiwa manusia, dalam mengekspresikan diri

BAB I PENDAHULUAN. Tari adalah ekspresi jiwa manusia, dalam mengekspresikan diri 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari adalah ekspresi jiwa manusia, dalam mengekspresikan diri dibutuhkan tempat atau wadah untuk seseorang yang ingin belajar menari, mengeksplorasi (menjelajahi)

Lebih terperinci

2015 TARI MAKALANGAN DI SANGGAR SAKATA ANTAPANI BANDUNG

2015 TARI MAKALANGAN DI SANGGAR SAKATA ANTAPANI BANDUNG A. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN Seni merupakan hal yang tidak lepas dari kehidupan manusia dan bagian dari kebudayaan yang diciptakan dari hubungan manusia dalam lingkungan sosialnya, seni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penciptaan. yang dihasilkan merupakan hasil dari nada-nada yang berasal dari tubuh manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penciptaan. yang dihasilkan merupakan hasil dari nada-nada yang berasal dari tubuh manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penciptaan Musik sudah ada dari sejak dahulu kala, pada awal kemunculannya, nada yang dihasilkan merupakan hasil dari nada-nada yang berasal dari tubuh manusia itu sendiri,

Lebih terperinci

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta MRAYUNG. Skripsi

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta MRAYUNG. Skripsi MRAYUNG Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 pada program Studi Seni Karawitan Kompetensi Penciptaan Karawitan Oleh: Wahyu Widodo 1210476012 JURUSAN KARAWITAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. Kebudayaan lokal sering disebut kebudayaan etnis atau folklor (budaya tradisi). Kebudayaan lokal

Lebih terperinci

Analisis Frekuensi Dan Pola Dasar Frekuensi Gender Laras Slendro

Analisis Frekuensi Dan Pola Dasar Frekuensi Gender Laras Slendro Analisis Frekuensi Dan Pola Dasar Frekuensi Gender Laras Slendro Ary Nugraha, Sumarna, dan Agus Purwanto Pusat Studi Getaran dan Bunyi, Jurdik Fisika, FMIPA, UNY ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghawatirkan, baik dari segi penyajian, maupun kesempatan waktu dalam

BAB I PENDAHULUAN. menghawatirkan, baik dari segi penyajian, maupun kesempatan waktu dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena saat ini, keberadaan seni tradisi yang terdapat di daerah mulai menghawatirkan, baik dari segi penyajian, maupun kesempatan waktu dalam penyajian.

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian BAB I A. Latar Belakang Penelitian Tingkat apresiasi masyarakat tumbuh dan berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti rutinitas dari kegiatan Seni Rupa ditengah masyarakat dan pendidikan Seni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan, dan mengembangkan peradabannya. Pendidikan mencakup

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan, dan mengembangkan peradabannya. Pendidikan mencakup 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mewariskan, mempertahankan, dan mengembangkan peradabannya. Pendidikan mencakup kegiatan-kegiatan terarah dalam rangka mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suku, ras, agama dan kebudayaan. Kemajemukan yang lahir ini justru. para generasi penerus sebagai asset bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. suku, ras, agama dan kebudayaan. Kemajemukan yang lahir ini justru. para generasi penerus sebagai asset bangsa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan atau moto yang berarti meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Bentuk fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prima Suci Lestari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prima Suci Lestari, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian adalah suatu peristiwa sosial yang mempunyai tenaga kuat sebagai sarana kontribusi antara seniman dan penghayatnya, ia dapat mengingatnya, menyarankan,

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN EKSTRAKURIKULER KARAWITAN DI SMPN 1 SRENGAT BLITAR

PEMBELAJARAN EKSTRAKURIKULER KARAWITAN DI SMPN 1 SRENGAT BLITAR PEMBELAJARAN EKSTRAKURIKULER KARAWITAN DI SMPN 1 SRENGAT BLITAR Andra Lestari NIM : 10020134022 Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sendratasik FBS Unesa Dr. Warih Handayaningrum, M.Pd Dosen Jurusan pendidikan

Lebih terperinci

14. Baum Garten mengungkapkan estetika sebagai suatu ilmu, bahwa estetika adalah ilmu tentang pengetahuan indriawi yang tujuannya adalah keindahan.

14. Baum Garten mengungkapkan estetika sebagai suatu ilmu, bahwa estetika adalah ilmu tentang pengetahuan indriawi yang tujuannya adalah keindahan. Teori Seni 3 Part 5 1. Bagian utama dari ilmu-ilmu seni adalah filsafat seni. Pada mulanya, ilmu ini memang merupakan bagian dari kajian filsafat yang spekulatif. Tetapi dalam perkembangannya, kedudukannya

Lebih terperinci

79. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunadaksa (SMALB D)

79. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunadaksa (SMALB D) 627 79. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunadaksa (SMALB D) A. Latar belakang Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar

Lebih terperinci

58. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunanetra (SMPLB-A)

58. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunanetra (SMPLB-A) 479 58. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunanetra (SMPLB-A) A. Latar Belakang Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

Electronic Tone Development of Gamelan Guntur Madu. Universitas Negeri Yogyakarta, Kampus Karangmalang, Yogyakarta, Telepon 0274.

Electronic Tone Development of Gamelan Guntur Madu. Universitas Negeri Yogyakarta, Kampus Karangmalang, Yogyakarta, Telepon 0274. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 15 Mei 2010 PENGEMBANGAN ELECTRONIC TONE GAMELAN GUNTUR MADU Electronic Tone Development

Lebih terperinci

GARAP REBAB GENDING PLARA-LARA KALAJENGAKEN LADRANG LANGEN SUKA LARAS SLENDRO PATET SANGA

GARAP REBAB GENDING PLARA-LARA KALAJENGAKEN LADRANG LANGEN SUKA LARAS SLENDRO PATET SANGA GARAP REBAB GENDING PLARA-LARA KALAJENGAKEN LADRANG LANGEN SUKA LARAS SLENDRO PATET SANGA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 dalam bidang karawitan Kompetensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan di dalam

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. Pendidikan seni berperan penting dalam pengembangan kecerdasan

BAB I P E N D A H U L U A N. Pendidikan seni berperan penting dalam pengembangan kecerdasan BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Masalah Pendidikan seni berperan penting dalam pengembangan kecerdasan bangsa. Istilah pendidikan seni berarti pemanfaatan seni sebagai alat pendidikan untuk

Lebih terperinci

BAB I DEFINISI OPERASIONAL. Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan

BAB I DEFINISI OPERASIONAL. Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan 1 BAB I DEFINISI OPERASIONAL A. LATAR BELAKANG MASALAH Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan karya yang dapat menyentuh jiwa spiritual manusia, karya seni merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. diciptakannya. Pencapaian sebuah kesuksesan dalam proses berkarya

BAB III PENUTUP. diciptakannya. Pencapaian sebuah kesuksesan dalam proses berkarya 52 BAB III PENUTUP Semua manusia (begitu juga penulis) mempunyai keinginan yang mendalam untuk menemukan titik kesuksesan atas sebuah karya yang diciptakannya. Pencapaian sebuah kesuksesan dalam proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra diciptakan pengarang berdasarkan realita (kenyataan) yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan,

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN Musik merupakan bagian dari kebutuhan manusia. Musik disusun oleh nada, kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi suara yang memiliki kesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Musik gamelan telah menjadi identitas budaya masyarakat Indonesia, karena telah hidup membudaya dan menjadi tradisi pada kehidupan masyarakat dalam kurun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dalam berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dalam berbagai hal, seperti keanekaragaman budaya, lingkungan, alam, dan wilayah geografis. Keanekaragaman

Lebih terperinci

ETNOMUSIKOLOGI SEBUAH SENI DAN ILMU ANTARA ANTROPOLOGI DAN MUSIKOLOGI. (F. Xaveria Diah K., S.Pd., M.A.)

ETNOMUSIKOLOGI SEBUAH SENI DAN ILMU ANTARA ANTROPOLOGI DAN MUSIKOLOGI. (F. Xaveria Diah K., S.Pd., M.A.) ETNOMUSIKOLOGI SEBUAH SENI DAN ILMU ANTARA ANTROPOLOGI DAN MUSIKOLOGI (F. Xaveria Diah K., S.Pd., M.A.) Pendahuluan Berbagai persoalan tentang seni dan ilmu muncul ke permukaan karena setiap orang ingin

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari. Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton

BAB V KESIMPULAN. Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari. Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton 387 BAB V KESIMPULAN 1. Kesimpulan Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, lembaga formal, dan lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tari wayang adalah salah satu genre atau rumpun tari yang terdapat di Jawa Barat. Tari wayang sendiri merupakan tari yang menceritakan tokoh atau peristiwa yang terdapat

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN MUSIK YANG MENYENANGKAN. Drs. Heri Yonathan Susanto, M.Sn. Pembelajaran musik di sekolah di sekolah dapat dijadikan media untuk

PEMBELAJARAN MUSIK YANG MENYENANGKAN. Drs. Heri Yonathan Susanto, M.Sn. Pembelajaran musik di sekolah di sekolah dapat dijadikan media untuk PEMBELAJARAN MUSIK YANG MENYENANGKAN Drs. Heri Yonathan Susanto, M.Sn Abstrak Pembelajaran musik di sekolah di sekolah dapat dijadikan media untuk pembentukan sikap dan watak yang baik. Pembelajaran musik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran menjadi salah satu kegiatan yang bernilai edukatif, hal ini terjadi karena adanya interaksi antara guru dan siswa. Interaksi yang dilakukan mengharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses pembaharuan atau inovasi yang ditandai dengan masuknya gagasan-gagasan baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. proses pembaharuan atau inovasi yang ditandai dengan masuknya gagasan-gagasan baru dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seni karawitan sebagai salah satu warisan seni budaya masa silam senantiasa mengalami proses pembaharuan atau inovasi yang ditandai dengan masuknya gagasan-gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Musik genteng adalah sebutan musik yang lahir dari kawasan pembuat genting atau akrab disebut genteng dalam bahasa sunda yang berada di Desa Jatisura Kecamatan

Lebih terperinci

BENTUK DAN FUNGSI VOKAL DALAM PERTUNJUKAN JEMBLUNG

BENTUK DAN FUNGSI VOKAL DALAM PERTUNJUKAN JEMBLUNG BENTUK DAN FUNGSI VOKAL DALAM PERTUNJUKAN JEMBLUNG BANYUMAS PETHILAN BABAD PURBALINGGA SOKARAJA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana pada Program Studi Seni Karawitan

Lebih terperinci

80. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB E)

80. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB E) 80. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB E) A. Latar belakang Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. depan yang lebih baik untuk memperbaiki budaya saat ini. Seperti yang dikatakan

BAB I PENDAHULUAN. depan yang lebih baik untuk memperbaiki budaya saat ini. Seperti yang dikatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pengertian transformasi budaya adalah perubahan konsep, bentuk, fungsi, dan sifat budaya untuk menyesuaikan konstelasi dunia (Mardimin, 1994: 14). Transformasi

Lebih terperinci

2015 ANALISIS DESAIN ALAT MUSIK KERAMIK DI DESA JATISURA KECAMATAN JATIWANGI KABUPATEN MAJALENGKA

2015 ANALISIS DESAIN ALAT MUSIK KERAMIK DI DESA JATISURA KECAMATAN JATIWANGI KABUPATEN MAJALENGKA 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara kaya akan sumber daya alam mineral. Berbagai macam bahan mineral yang banyak ditemukan diantaranya berupa batuan sedimen,

Lebih terperinci

PADA KARAWITAN GAYA YOGYAKARTA: SUATU KAJIAN MUSIKAL

PADA KARAWITAN GAYA YOGYAKARTA: SUATU KAJIAN MUSIKAL TABUHAN PANCER PADA KARAWITAN GAYA YOGYAKARTA: SUATU KAJIAN MUSIKAL Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 pada Program Studi Seni Karawitan Kompetensi Pengkajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendukung berupa gagasan, sifat dan warna bunyi. Kendati demikian, dalam

BAB I PENDAHULUAN. pendukung berupa gagasan, sifat dan warna bunyi. Kendati demikian, dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penciptaan Musik adalah pengungkapan gagasan melalui bunyi, yang unsur dasarnya berupa melodi, irama (ritmik), dan harmoni dengan unsur pendukung berupa gagasan, sifat

Lebih terperinci

56. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

56. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) 56. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) A. Latar Belakang Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Yogyakarta khususnya gending-gending soran, agar terus dikaji dan digali, baik oleh

BAB IV PENUTUP. Yogyakarta khususnya gending-gending soran, agar terus dikaji dan digali, baik oleh BAB IV PENUTUP Tugas Akhir ini merupakan usaha untuk penggalian gending-gending tradisi Yogyakarta. Upaya untuk pelestarian dan usaha pengembangan karawitan gaya Yogyakarta khususnya gending-gending soran,

Lebih terperinci

60. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunadaksa (SMPLB D)

60. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunadaksa (SMPLB D) 495 60. Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunadaksa (SMPLB D) A. Latar Belakang Muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan bangsa dengan warisan kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan aset tidak ternilai

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. penyebaran kuesioner, maka dapat disimpulkan bahwa penyiaran karawitan pada

BAB IV PENUTUP. penyebaran kuesioner, maka dapat disimpulkan bahwa penyiaran karawitan pada BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data yang telah terkupul melalui pengamatan, observasi, dan penyebaran kuesioner, maka dapat disimpulkan bahwa penyiaran karawitan pada Radio Swara Konco Tani mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, batasan masalah yang disusun sebagai kerangka garis besar laporan Tugas Akhir Rancang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Sejak diciptakan pada tahun 2008, keberadaan. Saraswati dalam Sidang Senat Terbuka ISI Yogyakarta. Hal ini memberikan

BAB IV PENUTUP. Sejak diciptakan pada tahun 2008, keberadaan. Saraswati dalam Sidang Senat Terbuka ISI Yogyakarta. Hal ini memberikan BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Sejak diciptakan pada tahun 2008, keberadaan Mars ISI Yogyakarta menjadi penting dan disejajarkan dengan Himne ISI Yogyakarta serta Tari Saraswati dalam Sidang Senat Terbuka

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Kesimpulan yang dapat disampaikan dalam penulisan ini adalah menjawab

BAB IV PENUTUP. Kesimpulan yang dapat disampaikan dalam penulisan ini adalah menjawab BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat disampaikan dalam penulisan ini adalah menjawab buah pertanyaan pada rumusan masalah dalam Bab I, bahwa gaya rebab Jawa dapat dimainkan oleh biola pada

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Adaptasi dalam Jêmblungan berdampak pada perubahan. garap pertunjukannya sebagai media hiburan. Adalah ngringkês

BAB V KESIMPULAN. Adaptasi dalam Jêmblungan berdampak pada perubahan. garap pertunjukannya sebagai media hiburan. Adalah ngringkês BAB V KESIMPULAN Adaptasi dalam Jêmblungan berdampak pada perubahan garap pertunjukannya sebagai media hiburan. Adalah ngringkês yang diimplementasikan untuk mengubah bentuk pertunjukan Jêmblungan di atas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tradisi slametan, yang merupakan sebuah upacara adat syukuran terhadap rahmat. dan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.

BAB II LANDASAN TEORI. tradisi slametan, yang merupakan sebuah upacara adat syukuran terhadap rahmat. dan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT. 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Seni Pertunjukan dalam Tradisi Masyarakat Seni pertunjukan yang terdapat dalam tradisi masyarakat, umumnya masih banyak ditemui ritual-ritual yang berkenaan dengan sebuah prosesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di. Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di. Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul 1.1.1 Judul Ruang Komunal Kelurahan Kemlayan sebagai Kampung Wisata di Surakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual 1.1.2 Pemahaman Esensi Judul Ruang komunal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tari merupakan ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh imajinasi dan diberi media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolisasinya sebagai ungkapan dari si pencipta.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dina Febriyanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dina Febriyanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek kepribadian anak yang perlu dikembangkan adalah kreativitas. Maslow & Roger (dalam Sujiono & Sujiono, 2010, hlm. 40) memandang bahwa kreativitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Bali secara umum memiliki peran di dalam keberlangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Bali secara umum memiliki peran di dalam keberlangsungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Bali secara umum memiliki peran di dalam keberlangsungan serta pengembangan suatu kesenian apapun jenis dan bentuk kesenian tersebut. Hal itu disebabkan karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Musik merupakan salah satu cabang seni yang mempunyai fungsi melatih

BAB I PENDAHULUAN. Musik merupakan salah satu cabang seni yang mempunyai fungsi melatih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Musik merupakan salah satu cabang seni yang mempunyai fungsi melatih kepekaan dan keterampilan melalui media suara. Unsur-unsur musik menurut Jamalus (1998 :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru, maka keberadaan seni dan budaya dari masa ke masa juga mengalami

BAB I PENDAHULUAN. baru, maka keberadaan seni dan budaya dari masa ke masa juga mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proyek Di Indonesia seni dan budaya merupakan salah satu media bagi masyarakat maupun perseorangan untuk saling berinteraksi satu sama lain. Dengan adanya arus globalisasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah BAB V KESIMPULAN 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual Kuningan Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah merupakan seni pertunjukan yang biasa tetapi merupakan pertunjukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesenian merupakan hasil dari kebudayaan manusia yang dapat didokumentasikan atau dilestarikan, dipublikasikan dan dikembangkan sebagai salah salah satu upaya

Lebih terperinci

SILABUS MATA PELAJARAN: SENI BUDAYA (SENI MUSIK) (WAJIB PILIHAN)

SILABUS MATA PELAJARAN: SENI BUDAYA (SENI MUSIK) (WAJIB PILIHAN) SILABUS MATA PELAJARAN: SENI BUDAYA (SENI MUSIK) (WAJIB PILIHAN) SATUAN PELAJARAN: SMP KELAS : KOMPETENSI INTI : KI 1 : Menanggapi, dan menghargai ajaran agama yang dianutnya. KI 2 : Menghargai perilaku

Lebih terperinci

V. PENUTUP. A. Kesimpulan. Unang Uning sebagai suatu karya musik merupakan ekspresi perasaan

V. PENUTUP. A. Kesimpulan. Unang Uning sebagai suatu karya musik merupakan ekspresi perasaan V. PENUTUP A. Kesimpulan Unang Uning sebagai suatu karya musik merupakan ekspresi perasaan dalam diri penulis yang digubah oleh imajinasi dan diolah melalui bentuk rangkaian bunyi. Inspirasi yang menstimulasi

Lebih terperinci

GURU BAHASA INDONESIA, GURU SASTRA ATAU SASTRAWAN

GURU BAHASA INDONESIA, GURU SASTRA ATAU SASTRAWAN GURU BAHASA INDONESIA, GURU SASTRA ATAU SASTRAWAN MENGAJARKAN SASTRA Tiurnalis Siregar Universitas Sumatera Utara ABSTRAK Karya Sastra merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan guru untuk meningkatkan

Lebih terperinci

ANALISIS GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DAN HIPERBOLA LAGU-LAGU JIKUSTIK DALAM ALBUM KUMPULAN TERBAIK

ANALISIS GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DAN HIPERBOLA LAGU-LAGU JIKUSTIK DALAM ALBUM KUMPULAN TERBAIK ANALISIS GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DAN HIPERBOLA LAGU-LAGU JIKUSTIK DALAM ALBUM KUMPULAN TERBAIK SKRIPSI Usulan Penelitian untuk Skripsi S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Diajukan Oleh

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING

LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING 682/Etnomusikologi LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING Metode Pembelajaran Sampek Bagi Mahasiswa Jurusan Etnomusikologi Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta Tahun ke 1 dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

2015 TARI KREASI DOGDOG LOJOR DI SANGGAR MUTIARA PAWESTRI PELABUHAN RATU KABUPATEN SUKABUMI

2015 TARI KREASI DOGDOG LOJOR DI SANGGAR MUTIARA PAWESTRI PELABUHAN RATU KABUPATEN SUKABUMI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seni pertunjukan merupakan ekspresi dan kreasi seniman serta masyarakat pemiliknya yang senantiasa hidup dan berkembang seiring dinamika atau perubahan zaman. Mengingat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam budaya. Setiap daerah di Kepulauan Indonesia memiliki budayanya sendiri. Bahkan di setiap kota/kabupaten

Lebih terperinci

banyaknya peninggalan sejarah dan kehidupan masyarakatnya yang memiliki akar budaya yang masih kuat, dalam kehidupan sehari-hari seni dan budaya

banyaknya peninggalan sejarah dan kehidupan masyarakatnya yang memiliki akar budaya yang masih kuat, dalam kehidupan sehari-hari seni dan budaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap bangsa memiliki ciri dan kebiasaan yang disebut kebudayaan, menurut Koentjaraningrat (1974), Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN A. Landasan Teori 1. Kebudayaan Banyak orang mengartikan kebudayaan dalam arti yang terbatas yaitu pikiran, karya, dan semua hasil karya manusia yang memenuhi

Lebih terperinci

TARI KREASI NANGGOK DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN

TARI KREASI NANGGOK DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang terletak di bagian selatan pulau Sumatera, dengan ibukotanya adalah Palembang. Provinsi Sumatera Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Musik Minimalis merupakan salah satu seni kontemporer yang ada pada

BAB I PENDAHULUAN. Musik Minimalis merupakan salah satu seni kontemporer yang ada pada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Musik Minimalis merupakan salah satu seni kontemporer yang ada pada saat ini yang berangkat dari sebuah gaya eksperimental dengan konsep minimal namun hasil

Lebih terperinci