KAJIAN HUKUM DALAM MEMERANGI KEGIATAN IUU FISHING DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN HUKUM DALAM MEMERANGI KEGIATAN IUU FISHING DI INDONESIA"

Transkripsi

1 KAJIAN HUKUM DALAM MEMERANGI KEGIATAN IUU FISHING DI INDONESIA Laporan Akhir Tahun Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan 2012

2 Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia TIM PENYUSUN Tim Peneliti Dr. Sonny Koeshendrajana (Penanggung Jawab) Yesi Dewita Sari, M.Si (Wakil Penanggung Jawab) Tajerin, M.Ec (Anggota) Bayu Vita Indah Yanti, SH (Anggota) Akhmad Nurul Hadi (Anggota) Freshty Yulia Arthatiani, S.Pi (PUMK/Anggota) Akhmad Solihin, S.Pi., MH (Anggota) Fuad Himawan, SH., MM (Anggota) Bono Budi Priambodo, SH., M.Sc (Anggota) Abdul Salam, SH., MH (Anggota) Putri Kusuma Amanda, SH (Anggota) Narasumber Dr. Melda Kamil Ariadno (Pakar Hukum Laut Universitas Indonesia) Laporan Akhir Tahun 2012 ii

3 Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia LEMBAR PENGESAHAN 1. Satuan Kerja (Satker) : Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan 2. Judul RPTP : Kajian Hukum Dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing Di Indonesia 3. Sumber Tahun Anggaran : APBN Status Penelitian : Baru 5. Jumlah Anggaran : Rp (Empat ratus sembilan juta tujuh ratus dua puluh dua ribu rupiah) 6. Penanggung jawab kegiatan : Dr. Sonny Koeshendrajana NIP Mengetahui, Ka. BBPSEKP Jakarta, Desember 2012 Penanggung Jawab Kegiatan, Dr. Agus Heri Purnomo NIP Dr. Sonny Koeshendrajana NIP Laporan Akhir Tahun 2012 iii

4 Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia RINGKASAN Permasalahan perikanan, baik internasional maupun nasional terus berkembang pesat seiring dengan meningkatkan kebutuhan dunia terhadap pangan. Akibatnya adalah, dunia dihadapkan pada ancaman gejala tangkap lebih (over-fishing). Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar dihadapkan pada praktik-praktik IUU Fishing yang menimbulkan gejala overfishing. Penurunan sumber daya ikan terjadi di beberapa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Negara-negara yang menjadi pelaku utama IUU Fishing di perairan Indonesia dan Zona Economic Exclusive Indonesia (ZEEI) diantaranya adalah Malaysia, Vietnam, Myanmar, Thailand, Filipina dan China. Sementara kerugian ekonomi yang diderita Indonesia akibat praktik perikanan ilegal oleh kapal ikan asing diperkirakan sebesar Rp.30 triliun per tahun, merupakan angka estimasi yang sampai saat ini dianggap valid karena diperoleh dari hasil analisa Organisasi Pangan Dunia (FAO) (P2SDKP, 2008). Pelaksanaan pemberantasan IUU Fishing di Indonesia dilakukan untuk mewujudkan misi pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun , mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional, menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. Pemberantasan IUU Fishing di Indonesia dihadapkan pada beberapa permasalahan yang mengakibatkan pemberantasan IUU Fishing tersebut tidak efektif, diantaranya dikarenakan ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang ada dan kondisi sarana dan prasarana dalam melakukan aktivitas pengawasan dan penegakan hukum di laut masih sangat lemah baik dari sisi teknologi maupun sumber daya manusia. Terkait dengan hal tersebut, permasalahan yang akan dibahas yaitu bagaimana bentuk harmonisasi antarperaturan terkait dengan penanganan IUU Fishing di Indonesia dengan hukum internasional, bagaimana bentuk sinkronisasi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum untuk tindak pidana IUU Fishing, dan bagaimana efektifitas kelembagaan dalam rangka implementasi peraturan teknis terkait usaha perikanan. Hasil penelitian ini juga harus dikaitkan dengan isu-isu strategis pembangunan kelautan dan perikanan mencakup isu gender; isu pembangunan di daerah tertinggal; isu pembangunan di daerah perbatasan dan pulau terluar; isu pelaksanaan MP3EI (Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) khususnya pada koridor IV, dan isu program peningkatan kesejahteraan nelayan klaster IV. Hal ini merupakan bentuk dukungan terhadap analisis lebih lanjut terkait isu strategis melalui peningkatan efektifitas penanganan dan penegakan hukum terhadap IUU Fishing di Indonesia. Penanganan IUU Fishing di Indonesia yang baik diharapkan menjadi sebuah upaya untuk meningkatkan produksi ikan hasil tangkapan yang dapat mendukung industrialisasi perikanan dan berdampak terhadap pengembangan ekonomi masyarakat dan juga termasuk menjadi bagian dari pelaksanaan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia khususnya pada koridor IV, serta pelaksanaan program peningkatan kesejahteraan nelayan klaster IV. Kegiatan aktivitas IUU Fishing yang sebagian besar terjadi di daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar dan pada umumnya merupakan daerah tertinggal, menuntut penanganan yang tegas terhadap aktivitas IUU Fishing agar dapat mendorong program pembangunan di daerah tersebut. Permasalahan gender akan melihat pada dampak yang ditimbulkan pada program pemerintah terkait pada pemberdayaan perempuan. Laporan Akhir Tahun 2012 iv

5 Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia Bentuk harmonisasi dan sinkronisasi peraturan nasional dengan peraturan internasional dapat terlihat pada materi peraturan undang-undang perikanan di Indonesia dimana pada bagian tertentu menyesuaikan untuk tidak bertentangan dengan ketentuan hukum internasional, dalam hal ini terkait dengan penanganan pelanggaran yang terjadi di wilayah ZEEI. Terkait dengan bentuk harmonisasi dan sinkronisasi dalam peraturan nasional, terlihat dalam implementasi pelaksanaan aturan main tersebut. Hukum perikanan dalam penerapannya terkait dengan penerapan hukum pelayaran, perairan, alur laut kepulauan Indonesia, ZEEI, landas kontinen Indonesia dan peraturan lainnya, dalam pelaksanaannya masih terdapat tumpang tindih kewenangan dalam penegakannya. Seperti kewenangan penyidikan di wilayah ZEEI, dalam UU tentang ZEEI, kewenangan penyidikan atas setiap pelanggaran di wilayah ZEEI merupakan kewenangan TNI AL, dan hal ini berbeda dengan ketentuan UU tentang perikanan, dimana untuk tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI, kewenangan diberikan selain pada TNI AL juga pada PPNS Perikanan. Potret praktek kegiatan memerangi IUU fishing ditemukan pada saat melakukan observasi ke lokasi-lokasi penelitian yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu Batam (Kepulauan Riau), Pontianak (Kalimantan Barat), Bitung (Sulawesi Utara), Ambon (Maluku), dan Sorong (Papua Barat). Dilihat dari lima lokasi penelitian tersebut, hanya ada 2 (dua) pengadilan perikanan di Pontianak dan di Bitung, yang menangani kasus IUU fishing dalam peradilan khusus sedangkan di 3 (tiga) lokasi lainnya, kasus-kasus IUU fishing ditangani oleh pengadilan negeri, meskipun dalam penanganannya tetap dengan memakai aturan hukum perikanan. Jenis atau tipe IUU fishing yang ada di lokasi penelitian berdasarkan pada data informasi yang diperoleh dari key informan dari 15 (lima belas) jenis atau tipe IUU fishing dimana yang paling sering terjadi adalah adalah pelanggaran terkait ijin kapal asing, tidak adanya SIPI dan SIKPI, tidak adanya tanda pendaftaran kapal perikanan untuk kapal dengan ukuran dibawah 5 GT, melakukan penangkapan diluar wilayah SIPI (pelanggaran fishing ground), adanya pemalsuan dokumen perijinan, adanya pelanggaran tonase kapal, tidak melaporkan hasil tangkapan dengan benar, banyaknya hasil sampingan yang melanggar prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan, pelanggaran alat tangkap, dan adanya ABK asing yang bekerja tidak sesuai SIPI. Penegakan hukum bagi para pelaku IUU Fishing di Indonesia termasuk dalam bagian sistem peradilan pidana dan melibatkan beberapa lembaga penegak hukum yang berkaitan satu sama lain. Dimulai dari proses perijinan dokumen, karena jika perijinan tidak lengkap, berdasarkan peraturan perundang-undangan sudah termasuk dalam kategori melakukan usaha perikanan ilegal. Proses penegakan hukum yang dilakukan harus berdasarkan peraturan, berfungsi dengan baik jika dapat meminimalkan tindakan pelanggaran hukum berikutnya, meminimalkan kerugian negara, dan menimbulkan efek jera bagi para pelaku sehingga tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut.. Efektifitas kelembagaan penegak hukum perikanan Indonesia masih dapat dioptimalisasikan tugas dan kewenangannya, jika terdapat komunikasi antarlembaga, mengingat keterbatasan sumber daya dan fasilitas pendukung yang ada, sehingga sebaiknya semua penegak hukum bekerjasama dalam menangani permasalahan ini. Fungsi koordinasi kelembagaan keamanan laut yang dilakukan Bakorkamla harus diefektifkan dalam melakukan koordinasi dan komunikasi antarstakeholders yang berperan dalam bidang pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. Keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum perikanan dalam menangani kasus-kasus perikanan memiliki tugas dan kewenangan tertentu berdasarkan dasar hukum yang menjadi dasarnya.. Pada saat pelaksanaan tugas dan kewenangan dari instansi-instansi penegak hukum perikanan masih timbul permasalahan, antara lain terkait dengan kewenangan penangkapan, kewenangan penyidikan, penanganan para pelaku IUU fishing (mulai dari penangkapan hingga putusan), hingga penanganan barang bukti kasus perikanan. Tahapan penyidikan ditemukan kesulitan dalam proses penyidikan kasus perikanan karena minimnya jumlah PPNS perikanan yang mengerti mengenai tindak pidana perikanan dan jumlah PPNS Perikanan terbatas, sedangkan kebutuhan akan PPNS Laporan Akhir Tahun 2012 v

6 Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia perikanan untuk menangani kasus perikanan tinggi, sedangkan pada tahapan penuntutan timbul permasalahan bahwa penuntut umum untuk kasus perikanan adalah jaksa penuntut umum (JPU) harus mendapatkan sertifikasi pelatihan perikanan, dan merupakan JPU di kejaksaan negeri (kejari) hal ini menyebabkan pelaksanaan penuntutan menghadapi keterbatasan jumlah JPU yang telah disertifikasi, Permasalahan yang ditemui pada tahapan peradilan pada saat pemeriksaan di pengadilan, selain keterbatasan penterjemah bahasa asing, untuk mengerti terkait perikanan hanya meminta bantuan staff dari dinas kelautan dan perikanan setempat sebagai keterangan ahli, mengingat jika meminta PPNS perikanan tidak selalu tersedia. Untuk tahapan pelaksanaan putusan pengadilan juga menghadapi permasalahan yaitu untuk putusan denda, terpidana tidak sanggup membayar, namun untuk melaksanakan hukuman subsidair kurungan, kadangkala tidak dijalankan, karena jika dijalankan dianggap melanggar ketentuan pasal 73 ayat (3) UNCLOS, untuk kasus perikanan yang ada di ZEEI, selain itu untuk penanganan barang bukti kasus perikanan memerlukan tempat khusus dan penanganan khusus. Peran dan fungsi pengamanan dan penegakan hukum di laut yang ada selama ini masih belum berjalan secara efektif, karena terkesan masih terjadi tumpang tindih kewenangan. Unity of effort secara entitas nasional belum dapat terwujud, sehingga direkomendasikan dua jenis kebijakan penguatan peran KKP terkait dengan upaya memerangi IUU Fishing di Indonesia. Kebijakan penguatan peran KKP dalam mendorong sistem kolaboratif dan sinergisitas antar institusi yang terkait dengan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, dan kebijakan penguatan peran KKP dalam mendorong efektivtas kelembagaan hukum terkait dengan upaya memerangi maraknya IUU Fishing di Indonesi untuk menjamin pengelolaan perikanan berkelanjutan. Rekomendasi kebijakan berdasarkan hasil kajian yang dilakukan saat ini perlu peningkatan kemampuan pengawas perikanan menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, perlu pemerataan penempatan jumlah penyidik perikanan di seluruh wilayah Indonesia, dan perlu dilakukan pemberdayaan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) untuk membantu tugas pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. Dampak yang terjadi jika penanganan penegakan hukum IUU fishing di Indonesia dilakukan sesuai dengan tugas pokok dan kewenangan masing-masing lembaga dengan berdasarkan pada aturan hukum formal yang mengatur, dengan berkoordinasi antarinstansi di Indonesia, maka Indonesia akan dapat menekan terjadinya kasus IUU fishing, dan memberikan efek jera bagi para pelaku perikanan ilegal sehingga tidak melakukan hal tersebut kembali di masa mendatang. Penegakan hukum perikanan dapat menjadikan sumber daya terjaga, kedaulatan wilayah nasional juga terjaga dari ancaman asing (karena pelaku IUU fishing umumnya asing), dan nelayan dapat melakukan usaha penangkapan ikan dengan lebih baik. Meskipun dalam penelitian ini ditemukan permasalahan terkait adanya perdagangan bahan bakar minyak (BBM) ilegal yang membuat masih banyak kapal yang melakukan perikanan ilegal di Indonesia. Laporan Akhir Tahun 2012 vi

7 Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, atas petunjuk dan ridho- Nya sehingga pembuatan laporan akhir tahun Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia dapat diselesaikan. Kegiatan penelitian ini memungkinkan dilaksanakan sebagai salah satu upaya memetakan bentuk harmonisasi dan sinkronisasi peraturan nasional dan peraturan internasional terkait dengan penanganan IUU Fishing di Indonesia, mengetahui efektifitas kelembagaan para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum tindak pidana IUU Fishing di Indonesia, dan memberikan rekomendasi opsi kebijakan untuk diterapkan dalam rangka implementasi peraturan teknis untuk penanggulangan IUU Fishing yang dibiayai oleh DIPA-2012 pada Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBPSE-KP). Penulis menyadari bahwa laporan ini tidak sempurna dalam penyajiannya, untuk itu saran dan masukan bersifat konstruktif demi penyempurnaan laporan lengkap mendatang sangat kami harapkan, terutama dari evaluator, narasumber maupun pihak-pihak yang memanfaatkan hasil kajian ini. Untuk itu, ucapan terima kasih kami sampaikan untuk hal tersebut di atas. Jakarta, Desember 2012 Tim Peneliti Laporan Akhir Tahun 2012 vii

8 Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... TIM PENYUSUN... LEMBAR PENGESAHAN... RINGKASAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i ii iii iv vii viii xi xii xiii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dan Keluaran 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah, Pengertian, dan Dampak IUU Fishing Sistem Hukum dan Peraturan Perundang-undangan Perspektif Hukum IUU Fishing Perspektif Hukum Internasional Perspektif Hukum Nasional Harmonisasi (Konsistensi) dan Sinkronisasi Hukum dan Peraturan 28 Perundang-undangan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Pendekatan Penelitian Waktu dan Lokasi Penelitian Data dan Sumber Data Teknik Pengumpulan Data Metode Analisis Data 40 IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum IUU Fishing Illegal Fishing Unreported Fishing Unregulated Fishing Sinkronisasi Hukum Internasional dan Nasional terkait IUU Fishing Potret Praktek IUU Fishing di Indonesia Batam, Kepulauan Riau Kondisi Umum Lokasi Penelitian sehingga berpotensi 82 terjadinya IUU Fishing Jenis atau tipe IUU fishing yang ada di lokasi penelitian Pelaku IUU fishing Upaya memerangi praktek IUU fishing yang telah dilakukan di 87 Batam Laporan Akhir Tahun 2012 viii

9 Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia Pontianak, Kalimantan Barat Kondisi umum lokasi penelitian sehingga terjadinya IUU 90 fishing Jenis atau tipe IUU fishing yang ada di lokasi penelitian Pelaku IUU fishing Upaya memerangi praktek IUU fishing yang telah dilakukan di 96 Kota Pontianak Bitung, Sulawesi Utara Kondisi umum lokasi penelitian sehingga berpotensi 99 terjadinya IUU fishing Jenis atau tipe IUU fishing yang ada di lokasi penelitian Pelaku IUU fishing Upaya memerangi praktek IUU fishing yang telah dilakukan di 106 kota Bitung Ambon, Maluku Kondisi umum lokasi Jenis atau tipe IUU fishing Pelaku IUU fishing Upaya memerangi praktek IUU fishing Sorong, Papua Barat Kondisi umum lokasi penelitian sehingga berpotensi 119 terjadinya IUU fishing Jenis atau tipe IUU fishing Pelaku IUU fishing Upaya memerangi praktek IUU fishing Efektifitas kelembagaan Penegakan hukum IUU Fishing di Indonesia Analisis kelembagaan Analisis kewenangan dan kewilayahan Perizinan Penangkapan Penyidikan Penuntutan Pemeriksaan pengadilan Pelaksanaan putusan pengadilan Analisis efektifitas kelembagaan (permasalahan dalam kewenangan Opsi-opsi kebijakan dan strategi memerangi IUU fishing Dukungan terhadap isu strategis Gender Pembangunan daerah tertinggal Wilayah perbatasan dan terluar Peningkatan kesejahteraan nelayan cluster Masterplan Percepatan Pembangunan Perluasan Ekonomi Indonesia 150 (MP3EI) Laporan Akhir Tahun 2012 ix

10 Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia V. KESIMPULAN DAN LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS DALAM MENDUKUNG 154 PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 5.1. Kesimpulan Implikasi Kebijakan Perkiraan Dampak 156 DAFTAR PUSTAKA 157 Laporan Akhir Tahun 2012 x

11 Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia DAFTAR TABEL Tabel Hal 2.1 Perbedaan pandangan criminal justice dan restorative justice Perkembangan Peraturan Perundang-undangan terkait Perikanan Asas-asas hukum yang perlu diperhatikan dalam kegiatan harmonisasi 41 (penyelarasan) dan sinkronisasi 4.2 Metode-metode interpretasi dalam penemuan hukum Metode-metode konstruksi dalam penemuan hukum Harmonisasi Hukum Internasional Terkait Illegal Fishing Harmonisasi Hukum Internasional Terkait Unreported Fishing Harmonisasi Hukum Internasional Terkait Unregulated Fishing Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara 68 Republik Indonesia 4.8 Pelabuhan Pangkalan yang ditetapkan Keputusan Menteri Kelautan dan 77 Perikanan Nomor Kep. 11/Men/ Peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan MCS Data Produksi Perikanan Kota Batam Tahun Jenis atau Tipe IUU Fishing di Kota Batam Tindak Pidana Perikanan yang Ditangani Satker PSDKP Kota Batam Estimasi Potensi Perikanan Sumber Daya Ikan WPP Jenis atau Tipe IUU Fishing di Pontianak Jenis atau Tipe IUU Fishing di Kota Bitung Jumlah ABK Non Justisia yang ditangani PPNS Jenis atau Tipe IUU Fishing di Ambon Estimasi Potensi Perikanan Sumber Daya Ikan WPP 715, WPP 717, dan WPP Jenis atau Tipe IUU Fishing di Sorong Tanggung Jawab Penanganan Barang Bukti Kasus Perikanan Pembagian Peran Pada Penanganan Kasus Pidana Perikanan Permasalahan Pada Saat Penanganan Kasus Perikanan Tiap Tahapan 143 Laporan Akhir Tahun 2012 xi

12 Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia DAFTAR GAMBAR Gambar hal Gambaran Pengaturan Laut Indonesia Produksi Perikanan Dunia Peta Zona Kerawanan Pelanggaran Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Praktek IUU Fishing di Kawasan Perairan Uni Eropa Kerangka Pemikiran Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU 38 Fishing di Indonesia 4.1 Proses harmonisasi dan sinkronisasi Peta WPP Indonesia Lokasi WPP Kota Batam termasuk di WPP Perairan Selat Karimata, Laut 82 Natuna, dan Laut Cina Selatan 4.4 Potensi Perikanan Tangkap di Kalimantan Barat Propinsi Kalimantan Barat termasuk dalam WPP Rekapitulasi Penerbitan SIB di PPN Pemangkat Th Data Kasus Perikanan di Pontianak WPP Kota Bitung termasuk dalam WPP 715 dan WPP Data Produksi Perikanan Kota Bitung Daftar Penanganan Perkara Ditpolair Polda Sulut Tahun Statistik tindak perkara perikanan pada Pengadilan Perikanan Kota Bitung 109 Tahun WPP Kota Ambon termasuk dalam WPP 714 dan WPP Propinsi Papua Barat termasuk dalam WPP 715, WPP 717, dan WPP Kunjungan Kapal di Pelabuhan Sorong Kapal Filipina yang disita di pelabuhan perikanan Sorong Tahapan Penanganan Kasus Perikanan Koridor Ekonomi Indonesia Koridor Ekonomi Pulau Sumatera Koridor Ekonomi Pulau Kalimantan Koridor Ekonomi Pulau Sulawesi Koridor Ekonomi Kepulauan Maluku dan Papua 153 Laporan Akhir Tahun 2012 xii

13 Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia DAFTAR LAMPIRAN Lampiran hal 1 Identifikasi Kelembagaan Berdasarkan Kewenangan Rekapitulasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan Berdasarkan Jenis 161 Pelanggaran Tahun Rekapitulasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan Berdasarkan 162 Kebangsaan Kapal Tahun Rekapitulasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan Berdasarkan Proses 163 HukumTahun Pelabuhan Pangkalan yang ditetapkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep. 11/Men/ Laporan Akhir Tahun 2012 xiii

14 BAB PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang George Bernard Shaw pernah mengemukakan dalam melihat berbagai macam permasalahan, pada umumnya akan memunculkan pertanyaan mengapa ; sedangkan saya memimpikan hal yang tidak ada dan bertanya mengapa tidak (Shaw dalam Ali, 2010). Penyataan tersebut menarik untuk memulai pembahasan mengenai peliknya pengawasan sumber daya alam laut Indonesia. Pembahasan pengawasan sumber daya alam laut Indonesia jika diuraikan lebih rinci, memiliki banyak keterkaitan antar bidang, karena laut berbeda dengan darat. Pengawasan sumber daya alam laut Indonesia antara lain memiliki keterkaitan antara perikanan dengan pelayaran, dengan pertahanan, dan dengan lingkungan (Gambar 1.1). Instansi yang diberikan amanat untuk menangani permasalahan pengawasan sumber daya alam laut Indonesia tidak hanya terdiri dari satu instansi saja, namun terdiri dari beberapa instansi yang khusus menangani permasalahan tertentu. Salah satu sebab dari kebijakan tersebut, dikarenakan saat ini Indonesia dihadapkan pada kondisi banyaknya produk legislasi yang mengatur untuk permasalahan yang sama dan menyebabkan hilangnya orientasi dan hilangnya suasana keutuhan untuk kembali kepada totalitas dan keutuhan menangani masalah (Rahardjo dalam Ali, 2010). Laut Indonesia Hukum laut Internasional Hukum Nasional Perairan (ALKI) Perikanan Pelayaran/ Perhubungan Lingkungan Pertahanan Keamanan Gambar 1.1. Gambaran Pengaturan Laut Indonesia (Rangkuman Berbagai Sumber) 1

15 Permasalahan pemanfaatan, pengelolaan, dan pengawasan sumber daya perikanan terus berkembang pesat seiring dengan meningkatkan kebutuhan dunia terhadap pangan. Dunia dihadapkan pada ancaman gejala tangkap lebih (over-fishing). Data Food and Agriculture Organization (FAO) mengindikasikan telah terjadi gejala tangkap lebih pada skala internasional yang semakin meluas, yaitu 16% over exploited dan 44% fully exploited (Fontaubert and Lutchman, 2003). FAO pada tahun 2010 melaporkan bahwa produksi perikanan laut dunia berfluktuasi antara juta ton dengan catatan tertinggi 86,8 juta ton pada tahun 2000 dan menurun menjadi 79,9 juta ton pada tahun 2009 (FAO, 2010). Data tersebut menunjukkan bahwa potensi perikanan tangkap dunia semakin menunjukan angka penurunan (Gambar 1.2.). Gambar 1.2. Produksi Perikanan Dunia (Sumber: FAO, 2010) Kecenderungan stagnasi ataupun penurunan produksi perikanan memberikan gambaran mulai berlangsungnya krisis perikanan dunia yang selanjutnya akan berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan sektor perikanan; hal ini, ternyata diperparah oleh permasalahan IUU Fishing, yang meliputi kegiatan perikanan yang dilarang (illegal); kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan (unreported); dan kegiatan perikanan yang tidak atau belum diatur dalam peraturan perundang-undangan (unregulated). Di Indonesia, pengertian IUU Fishing merujuk pada kriteria yang tertuang dalam International Plan Of Action (IPOA) tahun 2001 sebagai berikut. (1) Illegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera Indonesia maupun asing yang tidak memiliki izin di Wilayah Pengelolaan 2

16 Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia (NRI), kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera Indonesia maupun asing yang bertentangan dengan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab, dan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera Indonesia maupun asing yang melakukan pelanggaran peraturan dan ketentuan nasional. (2) Unreported fishing adalah kegiatan usaha perikanan yang mencakup usaha penangkapan ikan yang tidak dilaporkan baik sengaja ataupun tidak kepada lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan dan ketentuan nasional dan regional. (3) Unregulated fishing adalah kegiatan yang mencakup usaha penangkapan ikan pada area Regional Fisheries Management Organization (RFMO) yang dilakukan oleh kapal yang tidak berbendera atau kapal bukan anggota RFMO, dan kegiatan penangkapan ikan pada suatu kawasan atau stok sumber daya ikan (SDI) dimana pengelolaan dan konservasi tidak diterapkan dan kegiatan penangkapan dilakukan secara tidak bertanggung jawab. Kegiatan IUU fishing berdasarkan penelitian Gallic (2004) menimbulkan dampak terjadinya penurunan stok ikan di dunia, karena kontribusi kegiatan IUU Fishing mencapai 30% dari total tangkapan internasional (Gallic, 2004). Selain terjadi penurunan jumlah tangkapan ikan dunia, juga dapat menimbulkan kelangkaan ikan, dan mempunyai dampak negatif lainnya, seperti: (1) kegiatan IUU Fishing yang sudah mencakup wilayah yang luas, baik dalam konteks nasional maupun internasional menimbulkan ancaman bagi pengelolaan perikanan berkelanjutan; (2) kegiatan IUU Fishing menyebabkan penurunan stok sumber daya ikan serta hilangnya kesempatan sosial dan ekonomi nelayan yang beroperasi secara legal; dan (3) kegiatan IUU Fishing dapat menjadi ancaman perusak hubungan antarnegara bertetangga, karena pelaku melakukan pelanggaran batas wilayah negara. Dengan demikian, kegiatan IUU Fishing merupakan ancaman besar terhadap keberlanjutan pengelolaan perikanan dan keanekaragaman hayati laut, baik di laut yang berada di bawah bawah yurisdiksi nasional maupun di laut lepas (Sumalia, 2004). Selain dampak ekologi, kegiatan IUU Fishing juga menimbulkan permasalahan dampak ekonomi berupa kerugian suatu negara pantai atas komoditas ikan yang dicuri, dan permasalahan sosial berupa ancaman virus HIV yang umumnya dibawa oleh para pelaku perikanan ilegal. Wilayah perairan Indonesia yang luas membuat Indonesia dihadapkan pada kegiatan IUU Fishing yang menimbulkan gejala overfishing. Hal ini dicerminkan dengan menurunnya sumber daya ikan di beberapa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, seperti Laut China Selatan dan Laut Arafura. Beberapa negara yang bertetangga dengan Indonesia menjadi 3

17 pelaku utama kegiatan IUU Fishing di perairan Indonesia dan Zona Economic Exclusive Indonesia (ZEEI), diantaranya Malaysia, Vietnam, Myanmar, Thailand, Filipina dan China (Nikijuluw, 2008). Pelaku utama kegiatan IUU fishing di WPP 571 dan 711 dilakukan oleh Thailand, sementara di WPP 717 dan 718 dilakukan oleh Filipina, dan di WPP 715 dilakukan oleh Thailand dan China (Gambar 1.3.). Kerugian ekonomi yang diderita Indonesia akibat kegiatan IUU fishing yang dilakukan oleh kapal ikan asing diperkirakan sebesar Rp.30 triliun per tahun, dengan perhitungan yang didasarkan pada adanya 25% potensi perikanan yang dicuri atau sekitar 1,6 juta ton, dengan harga jual ikan US$ 2 per kilogram. Angka kerugian sebesar Rp.30 triliun tersebut merupakan angka estimasi yang sampai saat ini dianggap valid karena diperoleh dari hasil analisa Organisasi Pangan Dunia (FAO) (P2SDKP, 2008). Gambar Peta Zona Kerawanan Pelanggaran Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Sumber: P2SDKP, 2008) Dalam rangka mengatasi ancaman permasalahan penurunan sumber daya ikan dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan aturan internasional dalam rangka mewujudkan perikanan berkelanjutan global. Penetapan Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982 (UNCLOS 1982), pada Pasal 61 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch) di ZEE. Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut dilakukan oleh setiap negara pantai 4

18 harus berdasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia (the best scientific evidence available) untuk menjamin tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga dapat menghindarkan terjadinya overfishing (Pasal 61 ayat 2). Selain UNCLOS 1982, dalam pengelolaan perikanan, juga terdapat dua instrument internasional lain yang mengatur pelaksanaan pengelolaan perikanan, yaitu Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Sea (FAO Compliance Agreement 1993) dan the United Nations Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (UNIA 1995). Selain menerapkan dua instrumen internasional di bidang perikanan tersebut, juga terdapat pedoman yang harus diperhatikan dalam pemberantasan IUU Fishing, yaitu Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995 sebagai upaya terobosan terhadap sulitnya mengajak negara-negara pantai dan negara-negara yang memiliki armada perikanan jarak jauh untuk mengikatkan diri pada FAO Compliance Agreement 1993 dan UN Fish Stock Agreement FAO menerbitkan panduan pengelolaan beberapa aspek perikanan tertentu untuk membantu negara-negara pantai untuk menyusun rencana pengelolaan perikanan masingmasing, diantaranya, International Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing sebagai panduan dalam menghadapi permasalahan IUU Fishing. Karena itu, negara-negara anggota FAO dihimbau untuk menuangkan IPOA on IUU Fishing ini ke dalam suatu Rencana Aksi Nasional atau National Plan of Action (NPOA). Pada perkembangan terakhir, FAO mengeluarkan Port State Measures (PSM) Agreement 1 yang hingga saat ini belum berlaku efektif, karena baru dilakukan penandatanganan. FAO pada tahun 2012 juga telah mencanangkan bahwa IUU Fishing merupakan Transnational Organized Crime dan fakta dilapangan IUU Fishing sudah merupakan An Extraordinary atau kejahatan lintas negara yang teroganisir, dan merupakan kejahatan luar biasa. Pemerintah Indonesia hingga saat ini, sudah melakukan ratifikasi terhadap UNCLOS 1982 dan UNIA Konsekuensi hukum dari ratifikasi yang telah dilakukan tersebut menyebabkan pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk menuangkan ketentuan yang tertuang dalam kedua instrument tersebut dalam peraturan hukum nasional. Implementasi ketentuan internasional yang telah diratifikasi Indonesia dapat terlihat dalam peraturan hukum nasional yang dibuat dalam rangka mengatasi permasalahan IUU Fishing di Indonesia. Pemerintah telah 1 Indonesia adalah salah satu penggagas PSM Agreement. 5

19 mengeluarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009, dan kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah hingga peraturan menteri kelautan dan perikanan untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan pada umumnya dan pemberantasan IUU Fishing khususnya. Pelaksanaan pemberantasan kegiatan IUU Fishing di Indonesia dilakukan untuk mewujudkan salah satu misi pembangunan nasional yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun , yaitu mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dengan berbasiskan kepentingan nasional melalui usaha untuk menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. Amanat UU No. 17 Tahun 2007 menjadi landasan visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kementerian yang diamanatkan khusus untuk menangani permasalahan kelautan dan perikanan. Pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh KKP. Salah satu pilar pengelolaan adalah terkait dengan pengawasan dan pengendalian sumberdaya yang ada; dalam konteks ini IUU Fishing masih menjadi isu krusial dan permasalahan yang dihadapi sehari-hari. Beberapa penyebab masih berlangsungnya IUU Fishing, antara lain adalah: (1) ketidakjelasan peraturan perundangundangan yang ada, dikarenakan banyaknya kebijakan saling silang, pada akhirnya berujung pada ambiguitas institusi mana yang berwenang dalam mengurus permasalahan illegal fishing. Kondisi ini rawan akan konflik kepentingan antar institusi dalam ranahnya masing-masing dan juga ketidakjelasan tersebut dapat menciptakan celah bagi para oknum mempermainkan kebijakan yang telah ada; dan (2) kondisi sarana dan prasarana dalam melakukan aktivitas pengawasan dan penegakan hukum di laut masih sangat lemah baik dari sisi teknologi maupun sumber daya manusia. Praktek IUU fishing sangat merugikan bangsa Indonesia, dan kondisi banyaknya peraturan terkait penanganan peraturan di laut Indonesia menimbulkan permasalahan bagaimana bentuk harmonisasi antarperaturan terkait dengan penanganan IUU Fishing di Indonesia dengan hukum internasional, bagaimana bentuk sinkronisasi pelaksanaan 6

20 tugas pokok dan fungsi para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum untuk tindak pidana IUU Fishing, dan bagaimana efektifitas kelembagaan dalam rangka implementasi peraturan teknis terkait usaha perikanan Tujuan dan Keluaran Tujuan kegiatan kajian hukum dalam rangka memerangi kegiatan IUU Fishing di Indonesia sebagai berikut. (1) Memetakan bentuk harmonisasi dan sinkronisasi peraturan nasional dan internasional terkait dengan penanganan IUU Fishing di Indonesia. (2) Mengkaji efektifitas kelembagaan para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum tindak pidana IUU Fishing di Indonesia. (3) Memberikan rekomendasi opsi kebijakan untuk diterapkan dalam rangka implementasi peraturan teknis untuk penanggulangan IUU Fishing. Keluaran (output) yang dapat dihasilkan dalam kajian aspek hukum dalam rangka memerangi kegiatan IUU Fishing di Indonesia berupa: (1) Keluaran kegiatan penelitian 1. Gambaran bentuk harmonisasi dan sinkronisasi peraturan nasional dan peraturan internasional terkait dengan penanganan IUU Fishing di Indonesia. 2. Data dan informasi terkait efektifitas kelembagaan para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum tindak pidana IUU Fishing di Indonesia. 3. Bahan masukan (rekomendasi) kebijakan untuk diterapkan dalam rangka implementasi peraturan teknis untuk penanggulangan IUU Fishing. (2) Keluaran kinerja penelitian 1. Rekomendasi kebijakan : 1 (satu) paket 2. Policy brief : 6 (enam) buah / bi-monthly 3. Karya tulis ilmiah : 5 (lima) judul 4. Data dan informasi : 1 (satu) paket 5. Laporan akhir : 1 (satu) buah 7

21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah, Pengertian, dan Dampak IUU Fishing Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh, selaku Ketua Badan Pembina Institute for Maritime Studies, dalam tulisan Sejarah Maritim Indonesia: Meretas Sejarah, Menegakkan Martabat Bangsa, (Sondakh, 2010) menyatakan bahwa bangsa Indonesia seharusnya dapat menghargai dan mensyukuri suatu anugerah yang sangat besar, karena hidup dalam suatu Negara Kepulauan yang memiliki wilayah sepanjang mil laut berupa hamparan laut luas dari Sabang sampai Merauke, dengan jumlah pulau lebih dari , dengan wilayah yurisdiksi nasional laut lebih kurang 5,8 juta km2. Posisi Indonesia yang sangat strategis, terletak pada persilangan dua benua dan dua samudera, serta memiliki wilayah laut yang besar dan berarti juga memiliki kekayaan laut yang besar, sekaligus sebagai urat nadi perdagangan dunia. Selanjutnya, Sondakh (2010) menyatakan bahwa ada konsekuensi hukum setelah Indonesia meratifikasi konvensi hukum laut internasional yang dikenal sebagai United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), dengan Undang-Undang RI No 17 tahun Ratifikasi tersebut membuat Indonesia telah resmi mempunyai hak dan kewajiban mengatur, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan laut nasional untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Letak geografi Indonesia yang sangat bersifat kelautan, membuat bangsa Indonesia sebaiknya terus mengembangkan tradisi, budaya dan kesadaran bahari serta menjadikan laut sebagai tali kehidupannya dengan tetap wajib memperhatikan kepentingan dunia internasional terutama dalam menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional dalam wilayah kedaulatan dan wilayah berdaulatnya. Aspek alamiah geografi Indonesia (bentuk dan posisinya), kekayaan alamnya dan demografinya sangat menentukan kebijakan pembangunan nasional Indonesia. Sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mencintai laut sejak dahulu dan merupakan masyarakat bahari, namun, karena penjajah kolonial, bangsa Indonesia didesak ke darat, yang mengakibatkan menurunnya jiwa bahari. Setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan. Pada tahun 1957, deklarasi Wawasan Nusantara, menyatakan pandangan bahwa wilayah laut di antara pulau-pulau 8

22 Indonesia sebagai satu-kesatuan wilayah nusantara, merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada dibawahnya serta seluruh kekayaan yang terkandung didalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Kemudian pernyataan Bung Karno saat pembukaan Lemhanas tahun 1965, bahwa "Geopolitical Destiny" dari Indonesia adalah maritim. Kemudian pada 18 Desember 1996 di Makassar, Sulawesi Selatan, BJ Habibie sebagai Menristek membacakan pidato Presiden RI yang dikenal dengan pembangunan Benua Maritim Indonesia. Lebih lanjut, pada tahun 1998 Presiden BJ Habibie mendeklarasikan visi pembangunan kelautan Indonesia dalam Deklarasi Bunaken, deklarasi tersebut menjadikan laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia. Pada tahun 1999 Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan komitmennya terhadap pembangunan kelautan yang diwujudkan dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut pada tanggal 26 Oktober 1999, dan kemudian pada bulan Desember nama departemen ini berubah menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan, pada awal tahun 2001 berubah lagi menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), dan terakhir berubah pada tahun 2010 menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga sekarang. Kebijakan yang sangat penting di bidang maritim yang dibuat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001 dalam Seruan Sunda Kelapa menyatakan penerapan asas cabotage sebagai suatu keharusan. Penerapan asas cabotage adalah kebijakan fundamental bagi pembangunan industri maritim nasional. Pencetusan kebijakan penerapan asas cabotage dengan Seruan Sunda Kelapa membuat Pemerintah memulai penyusunan aturan pelaksanaannya. Aturan pelaksanaan berupa Instruksi Presiden (Inpres) tentang Pengembangan Industri Pelayaran Nasional yang akhirnya ditandatangani oleh Presiden berikutnya yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa Inpres No. 5 tahun Penerapan Inpres ini berjalan sangat lamban, terutama karena dukungan Kementerian Keuangan dalam hal kebijakan keuangan dan perpajakan untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal. Pada tataran strategik operasional, budaya bahari bangsa Indonesia masih memprihatinkan, karena budaya adalah semua hasil olah pikir, sikap dan perilaku masyarakat yang diyakini dan dikembangkan bersama untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi, mengembangkan kehidupan yang lebih layak, dan beradaptasi terhadap situasi lingkungan hidup. Budaya bahari bangsa Indonesia belum tumbuh kembali, bukan saja di tengah masyarakat, tetapi juga pada tataran pembuat kebijaksanaan sehingga Indonesia belum mampu memanfaatkan kelautan sebagai sumber kesejahteraannnya. Indonesia saat ini masih membutuhkan segera adanya kebijakan pembangunan maritim nasional yang dimulai dengan perumusan persepsi bangsa Indonesia 9

23 dalam melihat pengaruh laut terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan sistem pertahanan dan keamanan nasional. Lebih lanjut, kedudukan Indonesia pada posisi silang perdagangan dan memiliki 4 (empat) dari 9 (sembilan) Sea Lines of Communication dunia mengakibatkan Indonesia mempunyai kewajiban yang sangat besar untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional di Selat Malaka/Singapura dan 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Indonesia belum mempunyai kemampuan pertahanan dan keamanan laut yang memadai untuk hal tersebut, apalagi untuk menjaga kedaulatan di seluruh wilayah laut yurisdiksinya. Indonesia adalah negara yang cinta damai dan tidak memiliki ambisi untuk menguasai negara atau wilayah bangsa lain. Akan tetapi, Indonesia memiliki pulau-pulau yang jauh terutama di Laut Natuna dan Sulawesi, dan masih ada wilayah perbatasan yang belum ditetapkan serta wilayah dengan potensi sengketa. Indonesia harus tetap mewaspadai adanya kemungkinan kontingensi. Indonesia harus memiliki kesiagaan dan kemampuan untuk dapat mengendalikan lautnya dan memproyeksikan kekuatannya melalui laut dalam rangka memelihara stabilitas dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia memiliki kepentingan nasional yang sangat besar di laut. Karena itu, Indonesia harus memiliki kemerdekaan atau kebebasan menggunakan laut wilayahnya untuk memperjuangkan tujuan nasionalnya, serta mempunyai strategi untuk menjaga kepentingan maritimnya dalam segala situasi. Meskipun Indonesia belum memiliki kemampuan untuk memanfaatkan lautnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kepentingan masyarakat internasional, dan Indonesia belum secara tegas menyatakan kepentingan nasionalnya di laut dan belum menetapkan National Ocean Policy. Pada dasarnya ada tiga kepentingan nasional Indonesia di laut yaitu: 1. Memelihara keselamatan dan keamanan serta mempertahankan kepentingan Indonesia di dan lewat laut; 2. Membangun dan mengembangkan Ekonomi Maritim untuk memperkuat pembangunan ekonomi nasional; 3. Menjamin kelestarian marine mega biodiversity dan lingkungan laut. Sesuai dengan UNCLOS 1982, kewenangan penegakan hukum di laut oleh kapal pemerintah atau government ship masih lemah karena tersebar pada beberapa instansi. Maritime security arrangement Indonesia perlu ditata kembali agar lebih efisien dengan membentuk Indonesian Sea and Coast Guard, sebagai single agency dengan multitask yang memiliki kemampuan penegakan hukum di laut yang mumpuni. Kepentingan pengamanan kegiatan ekonomi dan kedaulatan di laut yurisdiksi Indonesia yang sangat luas membutuhkan 10

24 sistem yang profesional, efektif dan efisien. Kondisi saat ini, kewenangan menegakkan hukum di laut Indonesia tersebar di 13 (tiga belas) instansi. Dari sisi pembangunan ekonomi maritim, Indonesia masih menghadapi banyak kendala. Sektor perhubungan laut yang dapat menjadi multiplier effect karena perkembangannya akan diikuti oleh pembangunan dan pengembangan industri dan jasa maritim lainnya masih dikuasai oleh kapal niaga asing. Azas cabotage seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang RI No.17 Th.2008 tentang Pelayaran masih perlu diperjuangkan agar dapat diterapkan dengan baik. Kendala yang dihadapi adalah masih kurangnya kapasitas kapal nasional, sedangkan pembangunan kapal baru dihadang oleh tidak adanya keringanan pajak dan sulitnya kredit serta tingginya bunga kredit untuk usaha di bidang maritim mengingat usaha jenis ini memiliki tingkat resiko tinggi dan slow yielding. Untuk angkutan domestik, armada nasional baru mampu mengangkut sekitar 60%. Peranan armada nasional dalam angkutan laut internasional baik ekspor maupun impor menunjukkan kenyataan yang lebih memprihatinkan, karena pemberlakuan prinsip Freight on Board (FoB), bukan Cost and Freight (CnF). Dari ekspor dan impor nasional, armada Indonesia hanya kebagian jatah sekitar 10%, sehingga mengakibatkan kerugian devisa sebesar 40 miliar USD. Kondisi pelabuhan nasional juga belum tertata secara konseptual tentang pelabuhan utama eksporimpor dan pengumpan. Kondisi keamanan dan efisiensi pelabuhan Indonesia masih diragukan, terutama bila dihadapkan pada pemenuhan persyaratan International Ship and Port Safety (ISPS) Code. Kecelakaan laut yang menimpa angkutan antarpulau yang memakan korban jiwa yang besar masih terus terjadi, mengingat kapal yang digunakan adalah kapal tua, tidak dilengkapi peralatan keselamatan, bahkan tidak layak laut. Laut juga memberikan peluang kesejahteraan dan kemakmuran, sekaligus buah pertikaian pada masa depan adalah sumber daya laut dan bawah laut. Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang terbentang seluas 2,7 juta km 2 dan jika Indonesia berhasil untuk mengekploitasi wilayah ini dapat membantu mengangkat Indonesia keluar dari keterbelakangan ekonomi. Meski disadari bahwa Indonesia kekurangan kemampuan teknologi untuk memanfaatkan kekayaan bawah lautnya dikarenakan kurangnya survey, research dan sumber daya manusia di bidang maritim. Indonesia bahkan masih mengalami kesulitan untuk memanfaatkan wilayah lautnya yang kaya dengan sumber daya perikanan. Kegiatan Illegal, Unregulated dan Unreported fishing (IUU fishing) masih terjadi secara luas, karena Indonesia belum mampu memperkuat armada perikanan nasional dan belum mampu mengawasi dan mengendalikan lautnya secara optimal. Diperkirakan Indonesia masih membutuhkan sekitar kapal ikan dengan kapasitas masing-masing di atas 100 ton. Jumlah ini merupakan estimasi minimal, jika melihat perbandingan dengan negara Thailand yang memiliki sekitar kapal ikan yang resmi dan 11

25 konon sekitar yang tidak terdaftar; dengan Taiwan, dimana usaha perikanan dapat memberikan penghidupan yang layak bagi tidak kurang dari keluarga. Sedangkan di Indonesia, terdapat sekitar desa pesisir di 300 kabupaten dan kota di mana bermukim sekitar 16,42 juta warga yang bermata pencarian sebagai nelayan, pembudidaya ikan, pengolah, pemasar dan pedagang hasil perikanan. Dari jumlah tersebut 32 % masuk kategori miskin. Kekuatan armada pelayaran niaga dan perikanan adalah ujung tombak dan tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi atau industri maritim nasional. Asas cabotage yang telah secara tegas diatur untuk diterapkan adalah kebijakan fundamental untuk pembangunan industri maritim karena multipliereffectnya yang sangat luas. Untuk membangun ekonomi atau industri maritim, pemerintah perlu segera menerapkan kebijakan insentif kredit dan pajak untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal sebagaimana diterapkan oleh pemerintah dari negara-negara lain yang menjadi saingan armada pelayaran niaga Indonesia. Inpres No.5 Th dan UU RI No.17 Th.2008 tentang Pelayaran telah mengatur masalah ini. Apabila hal ini diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh oleh pemerintah, pembangunan industri maritim akan segera menggeliat secara nyata. Seluruh komponen bangsa harus segera membangkitkan maritime domain awareness, atau kesadaran lingkungan maritim, untuk menyadarkan masyarakat terhadap arti penting lingkungan maritim haruslah sampai kepada penyadaran yang efektif terhadap segala sesuatu yang menyangkut lingkungan maritim merupakan hal yang vital bagi keamanan, keselamatan, ekonomi dan lingkungan hidup bangsa Indonesia, serta menunjang upaya menegakkan harga diri bangsa. Pemerintah harus menjadi ujung tombak membangkitkan maritime domain awareness dan pemerintah Indonesia perlu segera menetapkan National Ocean Policy dalam rangka pemanfaatan laut bagi sebesarbesarnya kemakmuran bangsa, sekaligus untuk mengembangkan kembali budaya bahari bangsa, dengan tujuan akhir penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan harga diri bangsa. Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan merumuskan dan memasyarakatkan persepsi kelautan yang tepat bagi bangsa Indonesia, yakni laut sebagai tali kehidupan dan masa depan bangsa. Persepsi tersebut dapat memacu kesadaran akan arti penting dan strategis masalah maritim dalam pembangunan nasional. Kebijakan nasional yang tertuang dalam konsideran Peraturan Presiden (Perpres) No.19 Tahun 1960 Tentang Pembentukan Dewan Maritim yang berbunyi: Indonesia sebagai negara maritim memiliki nilai yang unik dan sangat penting sehingga segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan masalah maritim harus diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh, merupakan keputusan yang tepat dan sangat relevan, karena penguatan wawasan nusantara perlu dilakukan untuk 12

26 mempercepat terbentuknya keunggulan kompetitif Indonesia dalam persaingan internasional, dan mempertahankan martabat bangsa. Berdasarkan pada sejarah peraturan wilayah laut Indonesia secara formal, dimulai pada saat penjajahan Belanda, yaitu dengan diberlakukannya Ordonansi laut teritorial dan lingkungan maritim tahun 1939, dan setelah Indonesia merdeka, pendeklarasian mengenai wilayah perairan Indonesia yang dikenal sebagai Deklarasi Djuanda tahun 1957 dinyatakan pada tanggal 13 Desember 1957 yang kemudian dikukuhkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU) No.4 Th.1960 tentang perairan. Setelah itu, melalui UU No.1 Th.1973 Indonesia mengatur secara formal terkait Landas Kontinen Indonesia, dan melalui UU No.5 Th.1983 Indonesia mengatur secara formal terkait Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Perjuangan untuk mendapatkan dukungan internasional terkait wilayah perairan Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, akhirnya mendapatkan pengakuan dengan disahkannya Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982, meskipun baru diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1985 melalui UU No.17 Th.1985, kemudian juga terdapat pembaharuan pengaturan wilayah perairan melalui pemberlakuan UU No.6 Th.1996 tentang Perairan Indonesia. Salah satu agenda untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai adalah dengan mengatasi isu pencurian ikan. Isu ini dipaparkan dalam laporan kinerja dua tahun masa pemerintahan pertama presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan bahwa isu pencurian ikan (illegal fishing) berkaitan dengan luasnya perairan Indonesia, termasuk luasnya wilayah ZEEI. Juga adanya alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai alur masuk kapal asing tujuan transportasi laut dan berbatasan dengan negara tetangga yang memiliki nelayan cukup banyak. Permasalahan yang dihadapi dalam penanganan illegal fishing adalah kurang memadainya sarana dan prasarana pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan seperti kapal inspeksi, radar, sistem kontrol; lemahnya penegakan hukum di laut; dan belum terkoordinasinya instansi yang berwenang dalam pelaksanaan pengawasan. Praktek illegal fishing merupakan salah satu penyebab kerugian negara dan penurunan pendapatan nelayan. Perkiraan kerugian akibat illegal fishing sekitar US$ 1,9 miliar bahkan menurut FAO pada tahun 2001 total kerugian sebesar US$ 4 miliar per tahun. Pada kawasan perbatasan, permasalahan menjadi semakin serius terkait dengan demarkasi dan deliniasi garis batas, serta tingginya potensi kerawanan di perbatasan yang menyebabkan perlunya perhatian khusus peningkatan keamanan di wilayah ini. Berkenaan dengan kondisi tersebut, maka tantangan yang dihadapi dalam rangka meningkatkan keamanan, ketertiban dan penanggulangan kriminalitas adalah menurunkan tingkat kriminalitas agar aktivitas masyarakat 13

27 dan perekonomian dapat berjalan secara wajar. Keberhasilan menciptakan suasana keamanan dan ketertiban yang kondusif, akan menjadi landasan bagi keberlangsungan pembangunan bidang-bidang lainnya, termasuk upaya menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Profesionalitas aparat keamanan dalam menyelesaikan kasus-kasus kriminal konvensional, mengungkap jaringan kejahatan transnasional, mencegah terjadinya konflik komunal, mengamankan laut dari gangguan keamanan dan pencurian kekayaan negara, merupakan salah satu tolok ukur penting bagi pemulihan citra aparat keamanan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Berdasarkan hasil penelitian Sularso (2009) dalam buku Overfishing, Overcapacity, dan Illegal Fishing, ditemukan bahwa kondisi perikanan laut di Indonesia pada saat ini sudah memprihatinkan terutama jika dilihat dari terancamnya kelestarian sumber daya ikan (SDI) di beberapa wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dan jenis alat tangkap. Masih tingginya IUU Fishing serta manfaat ekonomi yang kurang optimal, sehingga perlu kewaspadaan dan kehatihatian dalam pengelolaan perikanan di masa mendatang. Saat ini kondisi stok sumber daya ikan dunia mengalami trend menurun, hal ini dicerminkan dengan penurunan tingkat produksi ikan dunia dan regional. Salah satu penyebab penurunan produksi tangkapan tersebut disebabkan maraknya kegiatan IUU Fishing di berbagai belahan dunia. Kegiatan IUU Fishing terdiri dari 3 (tiga) kegiatan, yaitu: illegal (kegiatan yang tidak sah); unreported (kegiatan yang tidak dilaporkan); dan unregulated (kegiatan yang tidak atau belum diatur). FAO memperkirakan illegal fishing mencapai 30% dari total tangkapan dunia, sedangkan Komisi Uni Eropa memperkirakan 15-20% (EFTEC, 2008). Data dari MRAG pada tahun 2008 memperkirakan nilai global IUU Fishing mencapai US$ 11 milyar (MRAG, 2008) dan Komisi Uni Eropa juga memperkirakan setiap tahun nilai global IUU Fishing sebesar US$ 30 juta. Permasalahan IUU Fishing tersebut bukan hanya terjadi di negara-negara berkembang seperti di wilayah benua Asia dan Afrika. Jika melihat pada Gambar 2.1. terlihat bahwa beberapa spesies ikan di Larga Marine Ecoregion (LME) di Uni Eropa dihadapkan pada praktek-praktek IUU Fishing. 14

28 Gambar 2.1. Praktek IUU Fishing di Kawasan Perairan Uni Eropa (Sumber: EFTEC, 2008) Maraknya kegiatan IUU Fishing menuntut masyarakat dunia bertindak serius dalam mengatur penanganan permasalahan IUU Fishing, penanganan di FAO terlihat meningkat pada sidang ke-23 Komisi FAO tentang Perikanan FAO (COFI) bulan Februari 1999, dimana FAO bekerjasama dengan negara-negara anggotanya menyusun langkah-langkah pemberantasan IUU Fishing, yang dituangkan ke dalam dokumen IPOA on IUU Fishing (Swan, 2004). Pada bagian Pendahuluan IPOA on IUU Fishing, membahas mengenai keinginan untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing dimulai sejak Pertemuan ke-23 dari COFI pada Februari Komite tersebut merasa prihatin dengan adanya informasi yang menunjukkan peningkatan kegiatan IUU Fishing termasuk yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera flags of convenience 2. Setelah itu, pertemuan FAO tingkat menteri bidang perikanan pada bulan Maret 1999 mengeluarkan suatu deklarasi bahwa tanpa mengabaikan hak dan kewajiban dari negara-negara berdasarkan hukum internasional. FAO akan mengembangkan rencana aksi global untuk menangani segala bentuk IUU Fishing secara efektif termasuk kapal-kapal flags of convenience melalui upaya koordinasi antar negara, FAO, Regional Fisheries Management Organization (RFMO) terkait dan badan-badan 2 Flag of Convenience adalah praktek pendaftaran kapal dengan memilih negara yang tidak terlalu berat persyaratannya baik dalam hal keamanan kapal, maupun pembayaran biayanya. 15

29 internasional terkait lainnya seperti International Maritime Organization (IMO), sebagaimana diatur dalam Pasal IV CCRF (Solihin, 2009). Rancangan Rencana Aksi Internasional untuk mencegah, mengurangi dan menghapuskan IUU Fishing (IPOA on IUU Fishing) disepakati pada konsultasi teknis tanggal 23 Februari 2001 dengan permintaan agar rancangan tersebut diajukan ke sidang COFI ke-24 untuk dipertimbangkan dan akhirnya diterima. COFI menyetujui Rencana Aksi Internasional, secara konsensus, pada tanggal 2 Maret COFI meminta agar negara-negara anggota mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengimplementasikan Rencana Aksi Internasional tersebut secara efektif 3. Jika melihat pada naskah IPOA on IUU Fishing, maka pengertian Illegal, Unreported dan Unregulated Fishing adalah sebagai berikut 4 : (1) Illegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan secara tidak sah yang: 1. Dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau kapal-kapal asing di perairan yang berada dibawah yurisdiksi 1 (satu) negara, tanpa ijin dari negara tersebut, atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangannya; 2. Dilakukan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara anggota suatu organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi regional tersebut dan mengikat negara tersebut, ataupun ketentuan hukum internasional yang terkait lainnya, atau; 3. Melanggar ketentuan hukum nasional atau kewajiban internasional lainnya, termasuk yang dilakukan oleh negara-negara yang bekerjasama dengan suatu organisasi pengelolaan perikanan regional terkait. (2) Unreported fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang: 1. Tidak dilaporkan, atau sengaja dilaporkan dengan memberi data yang tidak benar, kepada penguasa otorita nasional terkait, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut, atau; 2. Dilakukan di dalam wilayah yang menjadi kompetensi suatu organisasi pengelolaan perikanan regional, dimana kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah dilaporkan, sehingga bertentangan dengan prosedur pelaporan dari organisasi tersebut. 3 Paragraf 2 IPOA on IUU Fishing. 4 Paragraf 3.1 sampai Paragraf 3.3 IPOA on IUU Fishing. 16

30 (3) Unregulated fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan: 1. Di wilayah yang berada di bawah pengaturan organisasi pengelolaan perikanan regional, oleh kapal-kapal tanpa kebangsaan, atau oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara bukan anggota organisasi tersebut, atau oleh suatu entitas perikanan, dengan cara yang tidak sesuai ataupun bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan langkah-langkah pengelolaan dari organisasi tersebut, atau; 2. Di wilayah atau terhadap stok ikan yang belum memiliki pengaturan tentang pengelolaan dan konservasinya, dimana kegiatan tersebut dilaksanakan dengan cara bertentangan dengan tanggung jawab negara berdasarkan ketentuan hukum internasional mengenai konservasi sumber daya hayati laut. IPOA on IUU Fishing belum memiliki kekuatan hukum yang kuat untuk mengatur negaranegara yang melakukan kesepakatan didalamnya, pengaturan internasional ini bersifat sukarela dan merupakan pelaksanaan dari CCRF seperti tampak pada ketentuan pada Pasal 2 (d) 5. Tujuan IPOA on IUU Fishing untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing dengan memberikan kepada semua negara langkah-langkah yang komprehensif, efektif dan transparan untuk bertindak, termasuk melalui organisasi pengelolaan perikanan regional yang tepat yang didirikan berdasarkan hukum internasional. Dengan demikian, IPOA on IUU Fishing merupakan pedoman yang berisikan program-program yang dapat digunakan oleh negara untuk memerangi kegiatan IUU Fishing, baik sendiri maupun bekerjasama dengan negara tetangga ataupun dalam lingkup regional. Prinsip-prinsip IPOA on IUU Fishing beserta strateginya untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing, meliputi 6 : (1) Partisipasi dan Koordinasi. Agar pelaksanaan efektif, IPOA on IUU Fishing harus diterapkan oleh semua negara baik secara langsung, dengan bekerjasama dengan negara lain, atau secara tidak langsung melalui RFMO terkait atau melalui FAO dan organisasi internasional sejenisnya. Elemen penting untuk pelaksanaan yang sukses adalah koordinasi dan konsultasi yang erat dan efektif, dan saling berbagi informasi untuk mengurangi kegiatan IUU Fishing, 5 Paragraf 4 IPOA on IUU Fishing. Isi Pasal 2 (d) CCRF, merupakan tujuan CCRF yaitu menyediakan pedoman yang bisa digunakan, bila diperlukan dalam perumusan dan pelaksanaan perjanjian internasional dan perangkat hukum lainnya, baik yang bersifat mengikat maupun sukarela. 6 Paragraf 9 IPOA on IUU Fishing mengamanatkan bahwa, prinsip-prinsip dan strategi harusnya mempertimbangkan pemenuhan persyaratan tertentu dari negara-negara berkembang dalam hubungannya dengan Pasal 5 CCRF. 17

31 diantara negara-negara dan organisasi regional dan global yang terkait. Partisipasi penuh dari para pemangku kepentingan (stakeholders) terus didorong untuk memerangi IUU Fishing, termasuk industri, komunitas nelayan, dan badan-badan non-pemerintahan. (2) Implementasi Bertahap Langkah-langkah untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing harus didasarkan pada implementasi bertahap secara dini yang memungkinkan, dari rencana aksi nasional (NPOA), dan rencana aksi regional dan global sesuai dengan IPOA. (3) Pendekatan Komprehensif dan Integratif Langkah-langkah untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing harus memperhatikan semua faktor yang mempengaruhi perikanan tangkap. Dalam melaksanakan pendekatan tersebut, negara-negara harus mengambil langkah-langkah yang dibangun berdasarkan tanggung jawab utama dari negara bendera dengan menggunakan semua yurisdiksi yang tersedia menurut hukum internasional, termasuk langkah-langkah negara pelabuhan, langkah-langkah negara pantai, langkah-langkah yang berkaitan dengan pasar, termasuk langkah-langkah untuk memastikan bahwa warganegaranya tidak membantu atau terlibat dalam kegiatan IUU Fishing. Negaranegara didorong untuk menggunakan langkah-langkah tersebut, dimana pantas, dan bekerjasama untuk memastikan langkah-langkah tersebut diterapkan secara terintegrasi. Rencana aksi ini harus memperhatikan semua dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari IUU Fishing. (4) Konservasi Langkah-langkah untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing harus konsisten dan sejalan dengan kebijakan konservasi dan keberlanjutan jangka panjang dari pemanfaatan stok ikan dan perlindungan lingkungan. (5) Transparansi IPOA harus diimplementasikan secara transparan sesuai dengan ketentuan Pasal 6.13 dari CCRF dimana negara-negara, sejauh diperkenankan peraturan perundangundangan nasional, harus menjamin bahwa proses pengambilan keputusan berlangsung secara transparan dan mencapai penyelesaian tepat waktu untuk persoalan yang mendesak. Negara-negara sesuai dengan prosedur yang tepat, harus memfasilitasi konsultasi dan keikutsertaan yang efektif dari industri, para pekerja perikanan, organisasi lingkungan dan organisasi lain yang berkepentingan, dalam pengambilan keputusan tentang pengembangan pengaturan dan kebijakan yang berhubungan dengan 18

32 pengelolaan, pengembangan, pinjaman dan bantuan internasional dalam bidang perikanan. (6) Non-diskriminasi IPOA harus dikembangkan dan diterapkan tanpa diskriminasi dalam bentuk atau dalam fakta terhadap negara atau kapal. Program-program pemberantasan IUU Fishing dirancang untuk secara umum diikuti oleh negara-negara di dunia yang melakukan kegiatan perikanan tangkap. Sebagai perangkat tentang IUU Fishing, IPOA on IUU Fishing juga menyediakan langkah-langkah atau program yang dapat dipilih oleh negaranegara disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara. Beberapa program tersebut yaitu pengembangan pengendalian negara pelabuhan, program yang berhubungan dengan ekspansi WTO, pendekatan capacity-building RFMO, dan menambah dukungan kepada negara berkembang (Gui Fang Xue, 2003). Pertemuan pakar FAO pada tanggal Desember 2009 mengungkapkan bahwa IUU Fishing disebabkan oleh 3 (tiga) hal utama, yaitu (FAO, 2009): (1) Faktor pertama adalah sosial-ekonomi dan politik, meliputi antara lain: 1. Tingginya permintaan terhadap produk perikanan; 2. Lemahnya pengelolaan dan administrasi perikanan baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional; 3. Monitoring, control and surveillance (MCS) yang tidak efektif, dan; 4. Kemiskinan, ketiadaan/kesenjangan mata pencaharian alternatif, dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan. (2) Faktor kedua, meliputi antara lain: 1. Kapasitas pengelolaan tidak efektif; 2. Lemahnya status sumber daya ikan, dan; 3. Lemahnya pengumpulan dan pertukaran data informasi yang mengakibatkan kesenjangan informasi. (3) Faktor ketiga adalah hambatan dan tantangan untuk perbaikan sistem tata kelola, meliputi antara lain: 1. Kesulitan mendeteksi karena banyaknya kegiatan IUU Fishing; 2. Lemahnya/kesenjangan kerjasama penanganan di semua tingkatan; 3. Biaya dan ketidakmampuan MCS; 4. Kesulitan dalam melaksanakan hukuman, dan; 19

33 5. Ketidakmampuan dan ketidakmauan beberapa negara untuk melakukan pertemuan regional dan internasional. Sementara itu, Sodik (2007) menambahkan, bahwa terjadinya IUU Fishing disebabkan, oleh 4 (empat) hal, yaitu: (1) Peningkatan permintaan produk perikanan Peningkatan permintaan produk perikanan terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia. Akibat dari peningkatan permintaan tersebut terjadi penurunan stok sumber daya ikan karena adanya peningkatan kegiatan IUU Fishing. (2) Subsidi Sektor Perikanan dan Kelebihan Tangkapan Subsidi sektor perikanan berdampak terhadap kegiatan IUU Fishing, kelebihan tangkapan dan perdagangan perikanan. Oleh karena itu masyarakat internasional merancang perlindungan ekonomi pada industri-industri perikanan. (3) Lemahnya pengawasan negara bendera kapal terhadap kapal-kapal perikanan Negara bendera kapal seharusnya melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi, dengan cara menetapkan aturan mengenai jumlah tangkapan (catch quotas), penutupan musim dan wilayah (seasonaland area closures), dan ukuran alat tangkap (minimum messizes). (4) Ketidak-efektifan MCS Perikanan Tujuan MCS adalah sistem pengumpulan data, dukungan instrumen peraturan perundang-undangan, dan pelaksanaan rencana pengelolaan melalui partisipasi strategi dan teknik. Xue (2003) mengungkap terdapat 3 (tiga) dampak negatif yang diakibatkan oleh praktekpraktek IUU Fishing, yaitu: (1) Praktek IUU Fishing mencakup wilayah yang luas, baik dalam konteks nasional maupun internasional. Artinya, Praktek IUU Fishing tidak hanya terjadi di wilayah kedaulatan suatu Negara, akan tetapi juga di wilayah laut lepas yang dikelola oleh organisasi pengelola perikanan regional (RFMO). (2) IUU Fishing seringkali menyebabkan menurunnya stok sumber daya ikan serta hilangnya kesempatan sosial dan ekonomi nelayan yang beroperasi secara legal. (3) IUU Fishing dapat merusak hubungan antara negara-negara yang bertetangga. Hal ini disebabkan pelakunya cenderung melintasi batas-batas negara untuk menghindari pelacakan atau penahanan dan untuk menghindari konsekuensi hukum. 20

34 Sementara itu, dalam konteks ekonomi, IUU Fishing telah mengakibatkan kerugian negara. Indonesia misalnya, diperkirakan telah mengalami kerugian ekonomi akibat tindak pelanggaran IUU Fishing sebagaimana laporan FAO mencapai Rp.30 triliun per tahun. Kerugian tersebut mencapai 25% dari total potensi perikanan Indonesia. Artinya, jika dihitung, angka 25 dikalikan 6,4 juta ton maka dihasilkan angka 1,6 juta ton. Angka inilah yang diasumsikan FAO, sehingga mendapatkan angka Rp.30 triliun dalam setiap tahunnya (PSDKP, 2008). Lebih lanjut P2SDKP mengungkapkan, sebagian kerugian ekonomi karena IUU Fishing, meliputi: (1) pungutan perikanan yang dibayarkan dengan tarif kapal Indonesia; (2) subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dinikmati oleh kapal asing yang tidak berhak, dan; (3) produksi ikan yang dicuri (volume dan nilai). Kerugian lain yang disebabkan oleh kegiatan IUU Fishing adalah kerusakan sumber daya ikan. Selain kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan, kerugian lain yang lebih membahayakan disebabkan kegiatan IUU Fishing adalah ancaman menularnya penyakit AIDS/HIV. Menurut penelitian Paul terhadap nelayan Thailand mengungkapkan bahwa nelayannelayan Thailand yang dites HIV secara terbatas, 18,52% nelayan di Samut Sakon positif tertular (Nikijuluw, 2008). Hasil penelitian lain di Thailand yang dilakukan oleh Entz et al. (2000) mengungkapkan bahwa dari 818 nelayan responden yang terdiri dari 582 nelayan asal Thailand, 137 Myanmar, dan 99 Khmer dihasilkan informasi bahwa 15,5% positif HIV. Lebih lanjut diungkapkan, nelayan-nelayan responden tersebut menangkap ikan di perairan Thailand (43%), di perairan Myanmar (19%), di perairan Indonesia (16%), di perairan kamboja (10%), dan sekitar 7% nelayan tersebut menangkap ikan di perairan Bangladesh, India, Malaysia, dan Vietnam (Nikijuluw, 2008). Fenomena ancaman HIV/AIDS juga terjadi di kalangan nelayan Filipina, sekitar nelayan di selatan Filipina kemungkinan terinfeksi HIV/AIDS. Sebagaimana kita ketahui, Negara Filipina berdekatan dengan Propinsi Sulawesi Utara, sehingga Bitung dianggap sebagai rumah keduanya. Dengan demikian, Bitung dan beberapa wilayah pelabuhan perikanan di Indonesia senantiasa dihadapkan pada ancaman HIV/AIDS karena nelayan-nelayan asing tidak sedikit yang mengidap penyakit tersebut. Beberapa media massa nasional memberitakan juga akan adanya ancaman HIV/AIDS di kalangan nelayan asing, seperti kehadiran nelayan asal Thailand di Tual, Maluku, menghidupkan tempat-tempat hiburan malam, sehingga penyebaran HIV/AIDS pun semakin meluas. Bahkan pada beberapa kasus, nelayan-nelayan asing yang tertangkap di pangkalan 21

35 Angkatan Laut (Lanal) Pontianak meninggal akibat terkena virus HIV/AIDS 7. Selain itu, dari total jumlah nelayan Thailand di Merauke, Papua, 10% berpenyakit AIDS pada tahun 1993, dan 5,4% pada tahun 1994 (Nikijuluw, 2008). Dengan demikian, kegiatan IUU Fishing harus menjadi perhatian bersama seluruh komponen bangsa, karena kegiatan IUU fishing banyak menimbulkan kerugian, baik secara ekonomi, ekologi maupun sosial. Pada kegiatan kajian aspek hukum dalam memerangi kegiatan IUU fishing ini sebagaimana telah diuraikan diatas, perlu memperhatikan keterkaitan hukum perikanan dengan aturan hukum lain yang berlaku dalam pengaturan sumber daya alam laut, seperti hukum terkait kapal dan perkapalan, pelaut, pelayaran, Imigrasi, Bea Cukai, Pertahanan dan Keamanan. 2.2 Sistem Hukum dan Peraturan Perundang-undangan Hukum pada dasarnya adalah sistem atau kumpulan aturan yang ditetapkan atau diputuskan untuk mengatur hal-hal tertentu. Indonesia berdasarkan pada penjelasan Undang- Undang Dasar 1945 beserta amandemennya menegaskan sebagai negara hukum (rechstate) dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machstate). Hukum ditetapkan atau diputuskan mengatur hal tertentu dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum (rechtssicherkeit, security, rechtszekerheid), merupakan hal yang baru ada pada saat hukum itu dituliskan, dipositifkan, dan menjadi publik; jadi kepastian hukum merupakan scherkeit des rechts selbst (kepastian tentang hukum sendiri). Makna dari kepastian hukum dihubungkan dengan empat hal, yaitu hukum itu positif (merupakan perundang-undangan / gesetzliches recht), hukum didasarkan pada fakta (tatsachen), fakta tersebut dirumuskan dengan cara yang jelas (untuk menghindari kekeliruan dalam pemaknaan), dan hukum positif tidak boleh sering diubah-ubah (Ali, 2010). Untuk menilai gagal atau tidaknya hukum, berdasarkan pendapat Fuller (dalam Ali, 2010), harus memenuhi 8 (delapan) asas berikut ini. 1) sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan pada putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu (ad hoc); 2) peraturan tersebut diumumkan kepada publik; 3) tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; 7 Lihat 22

36 4) dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum; 5) tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan; 6) tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan; 7) tidak boleh sering diubah-ubah; dan 8) harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari. Penilaian gagal atau tidaknya hukum menurut Fuller ini, dapat dijadikan nilai-nilai pedoman dalam pelaksanaan aturan-aturan hukum positif di Indonesia untuk mencapai kepastian hukum sesuai dengan tujuan diberlakukannya ketentuan-ketentuan hukum positif ini. Sistem hukum merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang tediri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain yaitu kaidah atau pernyataan tentang apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif (Mertokusumo, 2010). Di Indonesia, berdasarkan pelaksanaannya, berlaku sistem hukum perundang-undangan (tertulis), hukum adat (tidak tertulis, namun dapat juga tercatat), dan hukum Islam. Jika membahas mengenai hukum dan sistem hukum, maka didalamnya senantiasa terdapat 3 (tiga) komponen (Friedman, 1976 dalam Ali, 2010), yaitu: (1) Struktur, yaitu keseluruhan institusi hukum yang ada beserta aparatnya, seperti kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya. (2) Substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. (3) Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan (keyakinan), kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari penegak hukum maupun dari masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum. Hampir setiap orang mengakui bahwa hukum hingga derajat tertentu merupakan suatu produk sosial, dan bahwa hukum dalam undang-undang (law in the books) dan hukum dalam tindakan (law in action) tidak selalu sama (Ali, 2010). Lebih lanjut Achmad Ali (2010) menyatakan bahwa hukum dalam melaksanakan fungsinya menghadapi penyakit hukum terkait dengan hakikat hukum dan tujuan hukum. Kedua hal tersebut sekaligus menjadi indikator keberhasilan atau kegagalan hukum. Penyakit hukum tersebut dibedakan dalam 3 (tiga) jenis hukum, yaitu: (1) Hukum yang hidup (Living Law), dimana aturan hukum diimplementasikan secara optimal. Jenis hukum ini merupakan hukum yang sehat walafiat. 23

37 (2) Hukum yang tidur (Sleeping Law), dimana aturan hukum digunakan tidak secara optimal, seperti orang yang terkantuk-kantuk. (3) Hukum yang telah mati (Dead Law), dimana aturan hukum tersebut belum pernah dicabut, tetapi dalam realitasnya sudah tidak digunakan lagi. Indonesia dikenal sebagai negara berdasarkan hukum (the rule of law), dan melarang hukum berdasarkan kekuatan dan kekuasaan orang (the rule of men), namun jika direnungkan bersama; masih diperlukan the rule of commitment untuk penegakan hukum (Ali, 2010). Pilihan penyelesaian jika terjadi sengketa hukum selalu menjadi wacana yang menarik untuk dibicarakan, karena pilihan penyelesaian dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) dengan menggunakan restitutive justice (criminal justice) atau penyelesaian tidak melalui pengadilan, yaitu melalui cara rekonsiliasi dengan menggunakan restorative justice sebagai implementasi transnational justice (keadilan transisional). Perbedaan pandangan criminal justice dan restorative justice terlihat dalam Tabel 2.1 (Ali, 2010). Jika membahas mengenai peraturan perundang-undangan, tidak lepas dari sistematika peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara. Di Indonesia pada saat ini, sistematika peraturan perundang-undangan tersebut mengacu pada UU No.12 Th.2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011, maka jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan terdiri atas: a) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945; b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Propinsi; dan g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Untuk keberlakuan mengikat dari peraturan perundang-undangan tersebut, mengacu pada ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011, bahwa Peraturan Perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 24

38 Tabel 2.1. Perbedaan pandangan criminal justice dan restorative justice Criminal Justice Kejahatan adalah pelanggaran terhadap hukum dan negara Pelanggaran menciptakan kesalahan Keadilan membutuhkan pernyataan yang menentukan kesalahan pelaku dan menjatuhkan pidana terhadap pelakunya Fokus sentral: pelanggar mendapatkan ganjaran setimpal dengan pelanggarannya Sumber: Zehr dalam Ali (2010). Restorative Justice Kejahatan adalah pelanggaran terhadap rakyat dan hubungan antar warga masyarakat Pelanggaran menciptakan kewajiban Keadilan mencakup para korban, para pelanggar, dan warga masyarakat dalam upaya untuk meletakkan sesuatunya secara benar Fokus sentralnya: para korban membutuhkan pemulihan kerugian yang dideritanya (baik fisik, psikologis, dan materi) dan pelaku bertanggungjawab untuk memulihkannya (biasanya dengan cara pengakuan bersalah dari pelaku, permohonan maaf dan rasa penyesalan dari pelaku dan pemberian kompensasi ataupun restitusi) 2.3. Perspektif Hukum IUU Fishing Di tingkat global, regional dan nasional, permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing) sudah merupakan ancaman dunia terhadap kelestarian sediaan ikan yang ada saat ini (Nurhakim, 2009), sehingga upaya memerangi tindak IUU Fishing perlu dilihat dari perspektif hukum internasional maupun nasional Perspektif Hukum Internasional IUU Fishing merupakan musuh bersama komunitas internasional. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporannya kepada General Assembly pada tahun 1999 mengidentifikasi bahwa IUU Fishing merupakan salah satu masalah besar saat ini yang mempengaruhi perikanan dunia. IUU Fishing secara perlahan akan merusak implementasi konservasi dan pengelolaan yang diatur oleh negara dan organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO) serta akan memberikan dampak jangka panjang pada pengelolaan berkelanjutan dari sediaan ikan (UNGA A/54/429, paragraph 249 dalam Nurhakim, 2009). Banyak inisiatif internasional yang didukung oleh organisasi internasional seperti FAO telah menyiapkan International Plan Action dari IUU Fishing. Demikian pula RMFOs, Uni Eropa dan LSM internasional memberikan perhatian yang sangat serius terhadap hal ini. Berdasarkan FAO-International Plan of Action on Combating IUU Fishing, setiap negara bendera mempunyai 25

39 kewajiban untuk mencegah kapal yang memakai benderanya melakukan IUU Fishing. Disamping itu, beberapa hal lain menjadi perhatian dunia internasional terkait dengan IUU Fishing adalah praktek penangkapan yang tidak berkelanjutan, kegiatan penangkapan illegal oleh kapal asing pada perairan di bawah yurisdiksi suatu negara, kapasitas armada yang berlebihan, hasil tangkapan yang tidak dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, kurang efektifnya pengendalian bendera dan pelabuhan negara (flag and port state control), dan open access regime pada perikanan laut lepas (Nurhakim, 2009). Peraturan perundang-undangan internasional yang berhubungan dengan penegakan hukum di laut khususnya tentang perikanan dan IUU Fishing, diantaranya adalah IPOA IUU Fishing, UNCLOS, FAO, UNIA, dan PSM Agreement, dan CCRF. Rencana Aksi Internasional IUU Fishing (IPOA-IUU Fishing) telah menetapkan batasan-batasan tentang penangkapan ikan ilegal (illegal fishing), penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan penangkapan ikan yang tidak diatur (unregulated fishing). UNCLOS memberikan penetapan tentang jumlah tangkapan yang diperbolehkan dalam ZEE, penetepan kebijakan konservasi dan pengelolaan yang tepat untuk keberlanjutan sumber daya ikan di ZEE, dan aturan penegakan atas pelanggaran permanfaatan sumber kekayaan hayati dikenakan jika tidak menurunkan seluruh atau sebagian hasil tangkapan di pelabuhan Negara pantai. FAO mewajibkan memiliki log book perikanan oleh setiap kapal penangkap ikan untuk diinformasikan ke FAO. UNIA menetapkan prinsip-prinsip umum konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh, dan kewajiban-kewajiban Negara bendera dengan persyaratan kapal tertentu. PSM Agreement yang mendorong pentingnya informasi permintaan bantuan di Negara pelabuhan terutama informasi yang berkenaan dengan pelayanan umum atau lembaga hukum yang ada, dan informasi mengenai ada tidaknya hak untuk mendapatkan kompensasi ketika terjadi kehilangan atau kerusakan sumber daya yang timbul. CCRF menetapkan pentingnya prinsip kehati-hatian (precautionary approach) dalam pengelolaan perikanan termasuk dalam merencanakan pemanfaatan sumber daya, menetapkan kerangka hukum dan kebijakan Perspektif Hukum Nasional Penegakan hukum terkait dengan IUU Fishing merupakan kewajiban seluruh masyarakat. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri penegakan hukum merupakan kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat ikut 26

40 berperan dalam penegakan hukum (Syahrin, 2009). Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa masalah penegakan hukum dalam dimensi sosial, tidak dapat dipisahkan oleh: (1) Peranan faktor manusia yang menjalankan penegakan hukum itu; (2) Soal lingkungan proses penegakan hukum yang dikaitkan dengan manusianya secara pribadi; dan (3) Penegak hukum sebagai suatu lembaga (Sunarso, 2005). Penegakan hukum juga dipengaruhi kesadaran hukum dari seluruh stakeholder secara keseluruhan, termasuk dari kalangan penegak hukum. Kesadaran hukum yang dimaksud disini adalah kesadaran hukum positif yang identik dengan ketaatan hukum, dan bukan kesadaran hukum negatif yang identik dengan ketidaktaatan hukum (Ali, 2010). Ketentuan yang termuat dalam UU No.8 Th.1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diterapkan dalam aturan teknisnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, Pasal 17 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa bagi penyidik dalam perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif Indonesia, penyidikan dilakukan oleh Perwira TNI AL dan penyidik lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang yang mengaturnya. Ketentuan dalam UU No.5 Th.1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), Pasal 14 ayat (1) juga memberikan kewenangan penyidikan kepada Perwira TNI AL sedang hukum acaranya mengatur beberapa tindakan penyidikan yang menyimpangi ketentuan yang diatur dalam KUHAP, misalnya pada pasal 13 ayat (1) bahwa batas waktu penangkapan di laut adalah 7 x 24 jam, selanjutnya pasal 14 ayat (3) mengenai kewenangan mengadili tindak pidana di ZEEI tidak mengenal adanya asas locus delicti, tetapi berdasarkan daerah pelabuhan kapal disandarkan. Undang-undang No.5 Tahun 1983 ini merupakan pengkhususan dari KUHAP sehingga merupakan salah satu bentuk asas hukum Lex Specialis derogat lex Generalis. Penegakan hukum terkait penanganan tindak pidana IUU Fishing merupakan usaha atau kegiatan negara berdasarkan kedaulatan negara atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, baik aturan hukum nasional itu sendiri maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan oleh setiap orang dan atau badan-badan hukum, bahkan negara-negara lain untuk memenuhi kepentingannya namun tidak sampai mengganggu kepentingan pihak lain. Penegakan hukum dalam pengertian yustisial diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri dari kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim. Hal ini bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan pengertian yustisial maka yang dimaksud dengan penegakan 27

41 hukum di laut ialah suatu proses kegiatan dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran dilaut atas ketentuan hukum yang berlaku baik ketentuan hukum internasional maupun nasional (Susanto, 2007). Dalam upaya memerangi IUU Fishing, ditingkat nasional telah didukung oleh sistem pengendalian (control) yang pelaksanaannya tidak hanya bertumpu pada penetapan dan pengendalian jumlah kapal (input control), akan tetapi pengendalian lain melalui aturan-aturan yang bernafaskan ekologi (ecological control) berdasarkan pada pemantauan indicator sumber daya, lingkungan, dan sosial ekonomi. Namun hingga saat ini kebijakan pengendalian perikanan tangkap melalui pengendalian keluaran (output control) nampaknya belum dapat dilaksanakan, keadaan perikanan tropis yang terdiri atas berbagai macam jenis ikan serta alat tangkap yang sulit dipantau. Di sisi lain dalam kenyataannya hasil tangkapan yang tidak dilaporkan masih tinggi merupakan kendalam utama dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan melalui pengendalian keluaran (Nurhakim, 2009) Harmonisasi (Konsistensi) dan Sinkronisasi Hukum dan Peraturan Perundangundangan Penanganan sektor perikanan di Indonesia diatur secara formal dalam peraturan perundang-undangan, tidak hanya dilakukan pada saat adanya UU No.31 Th.2004 tentang perikanan. Peraturan awal dibidang perikanan di Indonesia, tidak secara khusus mengatur tentang perikanan, melainkan terkait dengan wilayah laut territorial. Hal ini dapat dilihat pada masa Ordonansi Belanda yang menyatakan luas laut territorial 3 mil, untuk kemudian ada Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dengan mendeklarasikan penambahan luas laut territorial menjadi 12 mil. Kemudian pada tahun 1982, disepakati oleh negara-negara pantai konvensi hukum laut PBB yang lebih dikenal sebagai UNCLOS 1982 mengukuhkan Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki hak dan kewajiban khusus terkait dengan hal tersebut. UNCLOS 1982 kemudian diratifikasi Indonesia secara keseluruhan pada tahun 1985 melalui UU No.17 Th Sebelum diratifikasinya UNCLOS 1982, diberlakukan UU No.9 Th.1985 khusus mengatur mengenai perikanan. Pada UU No.9 Th.1985 sudah mulai diatur mengenai ketentuan pidana bagi pelanggar ketentuan tentang perikanan di Indonesia. Meskipun telah terdapat aturan khusus, namun tidak diamanatkan untuk menangani dalam sebuah kelembagaan pengadilan khusus perikanan. Tata cara penanganan masih berdasarkan pada ketentuan pidana 28

42 berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada UU No.9 Th.1985, untuk pidana perikanan yang dilakukan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) mengacu pada aturan UU No.5 Th.1983 yang memang mengatur tentang ZEEI. Pada tahun 2004, ditetapkan undang-undang perikanan yang baru, yaitu dalam UU No.31 Tahun Perubahan besar terjadi setelah adanya undang-undang ini, karena penanganan tindak pidana perikanan dilakukan oleh sebuah kelembagaan pengadilan khusus dengan tata cara yang di atur secara khusus pula dalam unit kerja tersebut. Meskipun dalam undangundang ini masih terdapat kekurangan, seperti masalah penanganan barang bukti perkara yang belum diatur didalamnya. Dinamika tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2. Setelah diberlakukannya UU No.31 Th.2004, untuk melengkapi pengaturan didalamnya, UU No.17 Tahun 2008 tentang pelayaran ditetapkan untuk menertibkan bidang pelayaran, yang baik secara langsung maupun tidak langsung juga terkait dengan sektor perikanan. Pelanggaran sektor perikanan, tidak hanya dengan melakukan usaha perikanan dengan menggunakan alat tangkap atau alat bantu perikanan yang tidak ramah lingkungan, namun juga terkait dengan kelengkapan dokumen, dan salah satunya adalah kelengkapan dokumen pelayaran yang diatur dalam UU No.17 Th Tidak hanya masalah pelayaran, pengaturan tentang pengelolaan lingkungan hidup juga menjadi hal terkait dalam penanganan pidana perikanan. Keterkaitan jika pidana perikanan tersebut merupakan pelanggaran pidana yang di atur dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Demikian juga dengan adanya perubahan UU No.31 Th.2004, yang diubah dengan UU No.45 Tahun Pada UU No.45 Th.2009 ini terdapat pengaturan tentang barang bukti, hal yang sebelumnya belum di atur dalam UU No.31 Th Untuk dasar hukum bagi para pelaku yang merupakan warga negara asing (WNA), selain mengacu pada peraturan perundang-undangan yang telah diuraikan sebelumnya, juga harus mengacu pada ketentuan keimigrasian, yang di atur dalam UU No.6 Th.2011 (Tabel 2.2.). Tabel 2.2. Perkembangan Peraturan Perundang-undangan terkait Perikanan. Peraturan Perundangundangan sebelum UU No.31 Th.2004 Masa Penjajahan Belanda Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 UNCLOS 1982 Hal-hal khusus yang diatur terkait Penanganan Tindak Pidana Perikanan - Berlaku ketentuan-ketentuan Belanda, salah satunya yang menetapkan wilayah laut territorial Indonesia adalah 3 mil. - Deklarasi Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas laut territorial 12 mil. - Pengakuan PBB terhadap hak dan kewajiban negara pantai. 29

43 UU No.5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif UU No.9 Tahun 1985 tentang Perikanan UU No.17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982 UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan - Mengatur mengenai ZEEI, termasuk didalamnya jika terjadi tindak pidana di wilayah ZEEI. - Mengatur hal-hal terkait dengan masalah perikanan, namun dengan materi hukum acara dan hukum pidana pokok mengacu pada ketentuan KUHP dan KUHAP. - Pengesahan (ratifikasi) UNCLOS 1982 memberikan arti bahwa Indonesia setuju untuk menaati isi dari konvensi tersebut. - Peraturan ini mengatur khusus mengenai perairan Indonesia. - Peraturan ini menggantikan UU No.9 Tahun 1985, terdapat banyak hal baru yang di atur terkait masalah perikanan di Indonesia. - Pada aturan pelayaran, kapal-kapal wajib melengkapi dokumen pelayaran, UU No.17 Th.2008 termasuk didalamnya kapal-kapal perikanan. Pelanggaran terhadap tentang Pelayaran ketentuan ini dalam usaha perikanan dapat dikategorikan sebagai pidana perikanan. UU No.32 Th Pidana perikanan, jika dilihat juga terkait dengan pengelolaan lingkungan tentang Pengelolaan hidup. Karena tujuan dari diadakannya peraturan terkait sumber daya alam Lingkungan Hidup adalah untuk pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. UU No.45 Th Undang-undang ini adalah penyempurnaan dari UU No.31 Tahun tentang Perubahan Pengaturan tentang barang bukti untuk pidana perikanan yang Atas UU No.31 Th.2004 sebelumnya belum diatur dalam UU No.31 Tahun 2004, diatur dalam tentang Perikanan undang-undang ini. - Keterkaitan dengan pidana perikanan adalah pada saat pelaku pidana UU No.6 Th.2011 adalah warga negara asing. Imigrasi hanya dapat menangani pada saat tentang Keimigrasian proses penanganan pidana perikanan telah memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht). Sumber: Data diolah, Uraian singkat pada Tabel 2.1. dan Tabel 2.2., pada beberapa pasal khusus terkait materi hukum pidana dan hukum acara perikanan yang terdapat pada UU No.31 Th.2004 dan UU No.45 Th.2009, dan ada beberapa hal khusus yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Pasal 74 sampai Pasal 76 menjelaskan tentang penuntutan. Berdasarkan ketentuan pasal 74, hukum acara yang berlaku adalah KUHAP, kecuali ditentukan lain dari undang-undang ini. Batas berlakunya aturan pidana sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengharuskan pidana harus dilakukan berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada, dan jika terdapat perubahan terhadap undang-undang, maka diterapkan peraturan yang paling menguntungkan bagi terdakwa. (2) Pasal 77 hingga Pasal 83 A menjelaskan tentang pemeriksaan di sidang pengadilan untuk kasus perikanan. Jika melihat Pasal 79, pemeriksaan sidang di pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia). Berdasarkan Pasal 83 A, pemulangan WNA yang terkait kasus perikanan ditangani oleh instasi keimigrasian. 30

44 (3) Pasal 100 D, dijelaskan bahwa jika pidana denda, maka denda disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kementerian kelautan dan perikanan (KKP). (4) Pasal 102, bahwa ketentuan dalam undang-undang perikanan tidak berlaku untuk tindak pidana perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI, kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan. (5) Pasal 104, untuk pembebasan kapal dan/atau orang yang ditangkap karena melakukan pidana perikanan di ZEEI dapat dilakukan sebelum adanya putusan pengadilan dengan adanya uang jaminan yang layak yang ditetapkan oleh pengadilan perikanan. Peraturan perundang-undangan terkait penanganan perikanan baik secara langsung maupun tidak langsung yang belum dibahas dalam tabel tersebut diatas antara lain: (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNIA (2) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia; (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati; (4) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; (5) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil; (6) Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2002 tentang perkapalan; (7) Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2009 tentang kepelabuhan; (8) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; (9) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; (10) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan di Kapal dan Alat Tangkap; (11) Perpres Nomor 109 tahun 2007 tentang Pengesahan CCSBT; (12) Perpres Nomor 09 tahun 2007 tentang Pengesahan IOTC; (13) Permen KP Nomor Per.11/Men/ 2006 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di bidang Perikanan; (14) Permen KP Nomor Per. 05/Men/2007 tentang penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan; 31

45 (15) Permen KP Nomor PER.01/Men/2009 tentang WPP RI; (16) Permen KP Nomor Per. 18/Men/2010 tentang Log Book Penangkapan Ikan; (17) Permen KP No. Per.02/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penenmpatan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang diubah oleh Permen KP No. 08/Men/2011; (18) Permen KP Nomor PER.14/Men/2011 tentang usaha perikanan tangkap yang diubah dengan Permen KP Nomor 49/Men/2011; (19) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2007 tentang Keadaan Kritis Yang Membahayakan atau Dapat Membahayakan Sediaan Ikan, Spesies Ikan, atau Lahan Pembudidayaan Ikan; (20) Kepmen KP No. 13 tahun 2004 tentang Pedoman Pengendalian Nelayan tentang Pedoman Pengendalian Nelayan Andon dalam rangka pengelolaan SDI; (21) Kepmen KP No. B.352/Men.KP/VII/2006 tentang Pembentukan Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di bidang Perikanan di Tingkat Propinsi, Kabupaten dan Kota; (22) Kepmen KP Nomor Kep.04/ Men/2007 tentang Pembentukan Tim Teknis Penanganan Tindak Pidana di bidang Perikanan; (23) Kepmen KP Nomor 45 tahun 2011 tentang estimasi potensi SDI di WPP NRI; (24) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pengadilan Perikanan; (25) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 1983 tanggal 17 Nopember 1983 tentang Penyelesaian kasus-kasus atau pelanggaran tindak pidana di laut tanpa mengkhawatirkan locus delicti. Penerapan berbagai macam hukum dan peraturan perundang-undangan secara bersamasama tanpa upaya harmonisasi (penyelarasan) dan sinkronisasi (penyerasian) sudah barang tentu akan menimbulkan masalah seperti benturan kepentingan antar lembaga stakeholders terkait dengan upaya memerangi tindak pidana IUU Fishing (Shidarta, 2005). Lebih lanjut, Shidarta (2005) menyatakan bahwa masing-masing hukum dan peraturan perundang-undangan memiliki tujuan, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman-pedoman untuk memperoleh tujuan dan melaksanakan strategi, dimana ketiganya sering dirumuskan dalam bentuk kebijakan-kebijakan. Kebijakan tersebut terdiri atas 2 (dua) macam, yaitu: (1) Kebijakan yang bersifat tetap (regulatory policies) yang diterapkan dalam berbagai bentuk peraturan pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya; dan (2) Kebijakan yang tidak tetap, yaitu yang mudah diubah dalam rangka mengikuti perkembangan. Dalam konteks ini, harmonisasi dan sinkronisasi dapat diawali dengan melakukan penyelarasan dan 32

46 penyerasian tujuan, strategi dan pedoman dari masing-masing produk hukum dan peraturan perundang-undangan melalui upaya penafsiran hukum, konstruksi hukum, penalaran hukum, dan pemberian argumentasi yang rasional dengan tetap memperhatikan sistem hukum dan asas-asas hukum yang berlaku. Harmonisasi (penyelarasan) dan sinkronisasi (penyerasian) tersebut dapat dimaknai sebagai bagian dari sisi pencegahan dan penanggulangan. Sisi pencegahan, harmonisasi dan sinkronisasi tersebut merupakan upaya harmonisasi dan sikronisasi yang dilakukan dalam rangka menghindari terjadinya disharmoni dan disinkronisasi hukum dan peraturan perundangundangan terkait dengan IUU Fishing. Sementara dari sisi penanggulangan dimaksudkan sebagai upaya untuk menanggulangi keadaan disharmoni dan disinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan yang telah terjadi. Disharmonisasi dan sinkronisasi tersebut dapat dicerminkan oleh: tumpang-tindih kewenangan, benturan kepentingan, persaingan tidak sehat, sengketa, pelanggaran, dan tindak pidana. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disharmonisasi dan disinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan menurut Simarmata (2005): (1) Jumlah produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang begitu banyak; (2) Pluralisme dalam penerapan dan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan; (3) Perbedaan kepentingan dan perbedaan penafsiran dari para stakeholders; (4) Kesenjangan antara pemahaman teknis dan pemahaman hukum dan peraturan perundangundangan; (5) Kendala hukum dan peraturan perundang-undangan yang terdiri atas mekanisme pengaturan, administrasi pengaturan, antisipasi terhadap perubahan dan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan; (6) Penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan empat kemungkinan dampak terhadap stakeholders, yaitu: diffused cost diffused benefit, diffused cost concentrated benefit, concentrated cost diffused cost, dan concentrated cost concentrated benefit. Harmonisasi dan sikronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan memerlukan teknik-teknik penemuan hukum dan peraturan perundang-undangan dalam rangka mempertegas kehendak hukum dan perturan perundang-undangan, kehendak masyarakat, dan kehendak moral melalui kegiatan penafisran dan penalaran hukum dan peraturan perundangundangan, serta pemberian argumentasi yang rasional kepada hasil penafsiran dan penalaran 33

47 hukum dan peraturan perundang-undangan (Purwaka, 2005a). Teknik-teknik penemuan hukum dan peraturan perundang-undangan ini harus memenuhi asas-asas penemuan hukum dan peraturan perundang-undangan, yaitu: (1) asas-asas yang berkaitan dengan prosedur harmonisasi dan sinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan; dan (2) asas-asas yang berkaitan dengan materi hukum dan peraturan perundang-undangan (Sidharta, 2005). Asas-asas yang terkait dengan materi harmonisasi dan sinkronisasi antara lain asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Sementara, asas yang berkaitan dengan materi antara lain asas-asas pemerintahan yang baik (good governance). Hasil kajian Sidharta (2005) menemukan beberapa kemungkinan disharmonisasi (ketidakselarasan) dan dissinkronisasi (ketidak-serasian) dalam penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu: (1) Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi format peraturan, yakni hukum dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya antara peraturan pemerintah dan Undang- Undang. (2) Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu, yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar (misalnya sesama Undang-Undang) tetapi yang satu lebih dulu berlaku daripada yang lain. (3) Terjadi inkonsistensi secara horisontal dari segi substansi hukum dan peraturan perundangundangan, yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar (misalnya sesama Undang-Undang) tetapi substansi peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi hukum dan peraturan perundang-undangan lainnya. (4) Terjadi inkonsistensi secara horisontal dari segi substansi dalam satu produk hukum atau peraturan yang sama, dalam arti hanya berbeda Nomor ketentuan (misalnya Pasal 1 bertentangan dengan Pasal 5 dari satu Undang-Undang yang sama). (5) Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda (misalnya antara Undang- Undang dan putusan hakim, atau antara Undang-Undang dan kebiasaan). Senada dengan temuan kajian Sidharta di atas, Purwaka (2005) menyatakan bahwa kegiatan harmonisasi (penyelarasan) dan sinkorinisasi (penyerasian) perlu memperhatikan asas-asas hukum yang berlaku, seperti: (1) Lex superior de rogat legi inferiori, dimana hukum yang lebih tinggi dapat mengesampingkan hukum yang lebih rendah tingkatannya. Dengan kata lain, hukum yang 34

48 lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Bila hal tersebut terjadi, maka hukum yang lebih rendah tingkatannya tersebut batal demi hukum; (2) Lex posterior de rogat legi priori, dimana hukum yang baru dapat mengesampingkan hukum yang lama sepanjang mengatur hal yang sama; (3) Lex specialis de rogat legi generali, dimana hukum yang bersifat khusus dapat mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Di dalam praktek, de rogat ternyata tidak diartikan sebagai saling melengkapi dimana hukum yang bersifat khusus diperiritaskan pelaksanaannya atau penerapannya; (4) Pacta sunt servanda, dimana perjanjian perdagangan, ekspor-impor atau jual beli berlaku sebagai Undang-Undang bagi pembuatnya. Secara umum terdapat dua jenis metode penemuan hukum dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan, yaitu metode interpretasi dan metode konstruksi (Sidharta, 2005). Secara teoritis dikenal bermacam-macam metode interpretasi dalam penemuan hukum, yaitu: (1) interpretasi gramatikal (obyektif) yakni penafsiran menurut bahasa, antara lain dengan melihat definisi leksikalnya; (2) interpretasi otentik yakni penafsiran menurut batasan yang dicantumkan dalam peraturan itu sendiri, yang biasanya diletakkan dalam bagian penjelasan (memorie van toelichting), rumusan ketentuan umumnya, maupun dalam salah satu rumusan pasal lainnya; (3) interpretasi teleologis (sosiologis) yakni penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan; (4) inpretasi sistematis (logis) yakni penafsiran yang mengaitkan suatu peraturan dengan peraturan lainnya; (5) interpretasi historis (subyektif) yakni penafsiran dengan menyimak latar belakang sejarah hukum atau sejarah perumusan suatu ketentuan tertentu (sejarah Undang-Undang); (6) interprestasi komparatif yakni penafsiran dengan cara memperbandingkan peraturan pada suatu sistem hukum dengan peraturan yang ada pada sistem hukum lain; (7) interpretasi futuris yakni penafsiran dengan mengacu kepada rumusan dalam rancangan Undang-Undang atau rumusan yang dicita-citakan (ius constituendum); (8) interpretasi restriktif yakni penafsiran dengan membatasi cakupan suatu ketentuan; dan (9) interpretasi ekstensif yakni penafsiran dengan memperluas cakupan suatu ketentuan. Sementara metode konstruktif, dikenal ada 3 (tiga) macam, yaitu: (1) konstruksi analogi yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan seolah-olah memperluas keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya; (2) konstruksi penghalusan hukum (penyempitan 35

49 hukum) yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan seolah-olah mempersempit keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya; dan (3) konstruksi a contrario yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan secara berlawanan arti atau tujuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya. 36

50 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Kerangka Pemikiran Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar dan memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang besar. Jika dimanfaatkan dengan baik, potensi tersebut dapat membangun perekonomian bangsa. Meski faktanya pemanfaatan potensi kelautan dan perikanan Indonesia dihadapkan pada permasalahan IUU Fishing. Keseriusan masyarakat dunia menangani permasalahan IUU Fishing dicerminkan dengan dikeluarkannya berbagai instrument internasional, baik yang mengikat maupun tidak. Indonesia merupakan negara yang senantiasa menjadi korban kerugian akibat IUU Fishing, dan salah satu usaha untuk mengatasinya dengan menyusun kebijakan pemberantasan IUU Fishing. Secara teoritis maupun empiris, keberhasilan penanggulangan IUU Fishing diantaranya ditentukan oleh tiga faktor penting, yaitu: (1) memetakan bentuk harmonisasi dan sinkronisasi peraturan nasional dan peraturan internasional terkait dengan penanganan IUU Fishing di Indonesia, (2) mengkaji efektifitas kelembagaan para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum tindak pidana IUU Fishing di Indonesia, dan (3) adalah memberikan rekomendasi opsi kebijakan untuk diterapkan dalam rangka implementasi peraturan teknis untuk penanggulangan IUU Fishing. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan kajian hukum dalam rangka memerangi kegiatan IUU Fishing di Indonesia dengan difokuskan pada tujuan: (1) memetakan bentuk harmonisasi dan sinkronisasi peraturan nasional dan peraturan internasional terkait dengan penanganan IUU Fishing di Indonesia, (2) mengkaji efektifitas kelembagaan para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum tindak pidana IUU Fishing di Indonesia, dan selanjutnya, (3) berdasarkan temuan/hasil yang diperoleh dari kedua tujuan sebelumnya, akan dapat dirumuskan opsi kebijakan penanggulangan IUU Fishing di Indonesia untuk diterapkan dalam rangka implementasi peraturan teknis untuk penanggulangan IUU Fishing (Gambar 3.1.). Hukum dalam hal ini tidak lagi dikonsepsikan secara filosofi-moral sebagai ius constituendum atau law as what ought to be, dan tidak pula secara positivis sebagai norma ius constitutum atau law as what it is the books, melainkan secara empiris yang teramati di alam pengalaman. Realita hukum dalam hal ini dipahami sebagai proses-proses dalam konteks law 37

51 as it is society dan dalam konteks law as it is in human actions and interactions (Syamsudin, 2007). Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia 3.2 Pendekatan Penelitian Pada penelitian hukum, pendekatan penelitian merupakan anak tangga untuk menentukan teori penelitian yang akan dipakai. Pendekatan penelitian dipakai untuk menentukan dari sisi mana sebuah objek penelitian akan dikaji (Syamsudin, 2007). Pendekatan penelitian yang dilakukan pada penelitian ini sebagai berikut: (1) Pendekatan Perundang-undangan (statute approach); pendekatan ini dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan hukum yang sedang dikaji. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan nasional dan ketentuan hukum internasional yang terkait dengan penanganan kegiatan IUU Fishing. (2) Pendekatan Kasus (case approach); pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah yang sedang dikaji dan telah menjadi putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal yang 38

52 menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. 3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan selama tahun Dalam rangka pemetaan harmonisasi peraturan perundangan nasional dengan peraturan internasional terkait IUU Fishing, dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap perangkat peraturan tersebut dan juga mencari data dan informasi terkait pada para pemangku kepentingan terkait dengan penanganan IUU Fishing. Kegiatan Kajian Hukum dalam Rangka Memerangi Kegiatan IUU Fishing di Indonesia pada semester I telah melakukan kajian terhadap perangkat peraturan nasional dan internasional terkait penanganan IUU Fishing dan juga mencari data dan informasi terkait pada pemangku kepentingan terkait penanganan IUU Fishing seperti unit-unit kerja pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), lembaga peradilan d alam hal ini hakim karier dan hakim ad hoc pengadilan perikanan, jaksa penuntut umum tindak pidana perikanan, aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri), serta dinas kelautan dan perikanan di daerah. 3.4 Data dan Sumber Data Data yang dibutuhkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data meliputi peraturan perundangan-undangan yang ada, sarana dan prasarana penegak hukum di laut, jenis IUU fishing yang dilakukan dan perubahan praktek IUU fishing sesuai dengan perkembangan peraturan yang dibuat dan diterapkan. 3.5 Teknik Pengumpulan data Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan (observasi) dan wawancara, dengan melakukan wawancara yang difokuskan (focused interview) dan wawancara mendalam (depth interview) terhadap informan kunci yang banyak mengetahui tentang seluk beluk praktek IUU fishing, responden yang menangani kasus-kasus IUU fishing dan penegak hukum. Data sekunder dikumpulkan dengan cara studi pustaka dan juga melalui pembuat atau pengesah produk hukum. 39

53 3.6 Metoda Analisis Data Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga dapat disusun gambaran mengenai pelanggaran hukum praktek IUU fishing, bagaimana peraturan dapat diterapkan secara efektif. Menurut Hasan (2002), metode deskriptif bertujuan untuk: - Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada - Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku - Membuat perbandingan atau evaluasi - Menentukan yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang datang. Lebih lanjut Hasan (2002) menyatakan bahwa untuk dapat menggunakan metode deskriptif, maka seorang peneliti harus memiliki sifat represif, harus selalu mencari bukan menguji, memiliki kekuatan integratif, dan kekuatan untuk memadukan berbagai macam informasi yang diterimanya menjadi satu kesatuan penafsiran. Studi deskriptif dilakukan untuk menggambarkan karakteristik dari variabel-variable penting suatu situasi. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan aspek-aspek yang relevan terhadap fenomena yang menarik dari suatu individu maupun organisasi (Sekaran, 2000). 40

54 BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemetaan Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum IUU Fishing Penerapan berbagai macam aturan hukum dan peraturan perundang-undangan secara bersama-sama tanpa upaya harmonisasi (penyelarasan) dan sikronisasi (penyerasian) akan menimbulkan masalah seperti benturan kepentingan antarlembaga stakeholders terkait dengan upaya memerangi tindak pidana IUU Fishing (Shidarta, 2005). Lebih lanjut, Shidarta (2005) menyatakan bahwa masing-masing aturan hukum dan peraturan perundang-undangan memiliki tujuan, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedomanpedoman untuk memperoleh tujuan dan melaksanakan strategi, dimana ketiganya sering dirumuskan dalam bentuk kebijakan-kebijakan. Kebijakan tersebut terdiri atas 2 (dua) macam, yaitu: (1) Kebijakan yang bersifat tetap (regulatory policies) diterapkan dalam berbagai bentuk peraturan pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya; dan (2) Kebijakan yang tidak tetap, yaitu peraturan yang mudah diubah dalam rangka mengikuti perkembangan. Dalam konteks ini, harmonisasi dan sinkronisasi dapat diawali dengan melakukan penyelarasan dan penyerasian tujuan, strategi dan pedoman dari masing-masing produk hukum dan peraturan perundang-undangan melalui upaya penafsiran hukum, konstruksi hukum, penalaran hukum, dan pemberian argumentasi yang rasional dengan tetap memperhatikan sistem hukum dan asas-asas hukum yang berlaku (Gambar 4.1.). Harmonisasi dan Sinronisasi Penyelarasan dan Penyerasian Tujuan, Strategi, dan Pedoman Produk Hukum dan Pera. PerUUan Penafsiran hukum, konstruksi hukum, penalaran hukum, dan pemberian argumentasi yang rasional Tetap memperhatikan Sistem Hukum dan Asas-asas hukum yang berlaku Gambar 4.1. Proses harmonisasi dan sinkronisasi (Sumber: Data diolah, 2012). 41

55 Harmonisasi (penyelarasan) dan sinkronisasi (penyerasian) tersebut dimaknai sebagai bagian dari sisi pencegahan dan penanggulangan. Sisi pencegahan, dikarenakan harmonisasi dan sinkronisasi merupakan upaya yang dilakukan dalam rangka menghindari terjadinya disharmoni dan disinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan terkait dengan penanganan IUU Fishing. Sementara dari sisi penanggulangan dimaksudkan sebagai upaya untuk menanggulangi keadaan disharmoni dan disinkronisasi hukum dan peraturan perundangundangan yang telah terjadi. Disharmonisasi dan sinkronisasi tersebut dapat dicerminkan dengan adanya tumpang-tindih kewenangan, benturan kepentingan, persaingan tidak sehat, sengketa, pelanggaran, dan tindak pidana. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disharmonisasi dan disinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan menurut Simarmata (2005) sebagai berikut. (1) Banyaknya jumlah produk hukum dan peraturan perundang-undangan; (2) Pluralisme penerapan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan; (3) Perbedaan kepentingan dan perbedaan penafsiran dari para stakeholders; (4) Kesenjangan antara pemahaman teknis dan pemahaman hukum dan peraturan perundangundangan; (5) Kendala hukum dan peraturan perundang-undangan yang terdiri atas mekanisme pengaturan, administrasi pengaturan, antisipasi terhadap perubahan dan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan; (6) Penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan empat kemungkinan dampak terhadap stakeholders, yaitu: diffused cost diffused benefit, diffused cost concentrated benefit, concentrated cost diffused cost, dan concentrated cost concentrated benefit. Harmonisasi dan sikronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan memerlukan teknik-teknik penemuan hukum dan peraturan perundang-undangan untuk mempertegas kehendak hukum dan peraturan perundang-undangan; kehendak masyarakat; dan kehendak moral melalui kegiatan penafsiran, penalaran hukum dan peraturan perundang-undangan, serta pemberian argumentasi rasional pada hasil penafsiran dan penalaran hukum dan peraturan perundang-undangan (Purwaka, 2005a). Teknik-teknik penemuan hukum dan peraturan perundang-undangan ini harus memenuhi asas-asas penemuan hukum dan peraturan perundang-undangan, yaitu: (1) asas-asas yang berkaitan dengan prosedur harmonisasi dan sinkronisasi hukum dan peraturan perundang- 42

56 undangan; dan (2) asas-asas yang berkaitan dengan materi hukum dan peraturan perundangundangan (Sidharta, 2005). Asas-asas yang terkait dengan materi harmonisasi dan sinkronisasi antara lain asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Sementara, asas yang berkaitan dengan materi antara lain asas-asas pemerintahan yang baik (good governance). Hasil kajian Sidharta (2005) menemukan beberapa kemungkinan disharmonisasi (ketidakselarasan) dan dissinkronisasi (ketidak-serasian) dalam penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu: (1) Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi format peraturan, yakni hukum dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya antara peraturan pemerintah dan Undang- Undang. (2) Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu, yakni beberapa peraturan yang secara hierarkhi sejajar (misalnya sesama Undang-Undang) tetapi yang satu lebih dulu berlaku daripada yang lain. (3) Terjadi inkonsistensi secara horisontal dari segi substansi hukum dan peraturan perundangundangan, yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar (misalnya sesama Undang-Undang) tetapi substansi peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi hukum dan peraturan perundang-undangan lainnya. (4) Terjadi inkonsistensi secara horisontal dari segi substansi dalam satu produk hukum atau peraturan yang sama, dalam arti hanya berbeda Nomor ketentuan (misalnya Pasal 1 bertentangan dengan Pasal 5 dari satu Undang-Undang yang sama). (5) Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda (misalnya antara Undang- Undang dan putusan hakim, atau antara Undang-Undang dan kebiasaan). Senada dengan temuan kajian Sidharta diatas, Purwaka (2005b) menyatakan bahwa kegiatan harmonisasi (penyelarasan) dan sinkronisasi (penyerasian) perlu memperhatikan asasasas hukum yang berlaku sebagai berikut. (1) Lex superior de rogat legi inferiori, dimana hukum yang lebih tinggi dapat mengesampingkan hukum yang lebih rendah tingkatannya. Dengan kata lain, hukum yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Bila hal tersebut terjadi, maka hukum yang lebih rendah tingkatannya tersebut batal demi hukum; 43

57 (2) Lex posterior de rogat legi priori, dimana hukum yang baru dapat mengesampingkan hukum yang lama sepanjang mengatur hal yang sama; (3) Lex specialis de rogat legi generali, dimana hukum yang bersifat khusus dapat mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Di dalam praktek, de rogat ternyata tidak diartikan sebagai saling melengkapi dimana hukum yang bersifat khusus diprioritaskan pelaksanaannya atau penerapannya; (4) Pacta sunt servanda, bahwa perjanjian yang dibuat atas kesepakatan para pihak dianggap berlaku mengikat sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Dimana perjanjian perdagangan, ekspor-impor atau jual beli berlaku sebagai Undang-Undang bagi pembuatnya. Tabel 4.1. Asas-asas hukum yang perlu diperhatikan dalam kegiatan harmonisasi (penyelarasan) dan sinkronisasi (penyerasian). Asas Hukum Lex superior de rogat legi inferiori Lex posterior de rogat legi priori Lex specialis de rogat legi generali Pacta sunt servanda Sumber: Purwaka (2005b) Makna Asas Hukum Hukum yang lebih tinggi dapat mengesampingkan hukum yang lebih rendah tingkatannya. Hukum yang baru dapat mengesampingkan hukum yang lama sepanjang mengatur hal yang sama. Hukum yang bersifat khusus dapat mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Perjanjian yang dibuat atas kesepakatan para pihak dianggap berlaku mengikat sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Keterangan Hukum yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Bila hal tersebut terjadi, maka hukum yang lebih rendah tingkatannya tersebut batal demi hukum Jika ada peraturan hukum baru tentang hal tertentu yang sama, maka peraturan yang lama tidak berlaku. Dalam praktek, de rogat ternyata tidak diartikan sebagai saling melengkapi dimana hukum yang bersifat khusus diprioritaskan pelaksanaan atau penerapannya. Untuk perjanjian perdagangan, ekspor-impor atau jual beli berlaku sebagai Undang- Undang bagi pembuatnya. Secara umum terdapat dua jenis metode penemuan hukum dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan, yaitu metode interpretasi dan metode konstruksi (Sidharta, 2005). Secara teoritis dikenal bermacam-macam metode interpretasi dalam penemuan hukum tersebut, yaitu: (1) interpretasi gramatikal (obyektif) yakni penafsiran menurut bahasa, antara lain dengan melihat definisi leksikalnya; (2) interpretasi otentik yakni penafsiran menurut batasan yang dicantumkan dalam peraturan itu sendiri, yang biasanya diletakkan dalam bagian penjelasan (memorie van toelichting), rumusan ketentuan umumnya, maupun dalam salah satu 44

58 rumusan pasal lainnya; (3) interpretasi teleologis (sosiologis) yakni penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan; (4) interpretasi sistematis (logis) yakni penafsiran yang mengaitkan suatu peraturan dengan peraturan lainnya; (5) interpretasi historis (subyektif) yakni penafsiran dengan menyimak latar belakang sejarah hukum atau sejarah perumusan suatu ketentuan tertentu (sejarah Undang-Undang); (6) interpretasi komparatif yakni penafsiran dengan cara memperbandingkan peraturan pada suatu sistem hukum dengan peraturan yang ada pada sistem hukum lain; (7) interpretasi futuris yakni penafsiran dengan mengacu kepada rumusan dalam rancangan Undang-Undang atau rumusan yang dicita-citakan (ius constituendum); (8) interpretasi restriktif yakni penafsiran dengan membatasi cakupan suatu ketentuan; dan (9) interpretasi ekstensif yakni penafsiran dengan memperluas cakupan suatu ketentuan. Tabel 4.2. Metode-metode interpretasi dalam penemuan hukum. Metode Interpretasi Interpretasi gramatikal (obyektif) interpretasi otentik Interpretasi teleologis (sosiologis) Interpretasi sistematis (logis) Interpretasi historis (subyektif) Interpretasi komparatif Keterangan yakni penafsiran menurut bahasa, antara lain dengan melihat definisi leksikalnya yakni penafsiran menurut batasan yang dicantumkan dalam peraturan itu sendiri, biasanya diletakkan dalam bagian penjelasan (memorie van toelichting), rumusan ketentuan umumnya, maupun dalam salah satu rumusan pasal lainnya yakni penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan yakni penafsiran yang mengaitkan suatu peraturan dengan peraturan lainnya yakni penafsiran dengan menyimak latar belakang sejarah hukum atau sejarah perumusan suatu ketentuan tertentu (sejarah Undang-Undang) yakni penafsiran dengan cara memperbandingkan peraturan pada suatu sistem hukum dengan peraturan yang ada pada sistem hukum lain yakni penafsiran dengan mengacu kepada rumusan dalam rancangan Undang- Interpretasi futuris Undang atau rumusan yang dicita-citakan (ius constituendum) Interpretasi yakni penafsiran dengan membatasi cakupan suatu ketentuan restriktif Interpretasi yakni penafsiran dengan memperluas cakupan suatu ketentuan ekstensif Sumber: Sidharta (2005). Sementara metode konstruksi, dikenal sebanyak tiga macam, yaitu: (1) konstruksi analogi yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan seolah-olah memperluas keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya; (2) konstruksi penghalusan hukum (penyempitan hukum) yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan seolah-olah mempersempit keberlakuannya pada 45

59 suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya; dan (3) konstruksi a contrario yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan secara berlawanan arti atau tujuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya (Tabel 4.3.). Tabel 4.3. Metode-metode konstruksi dalam penemuan hukum. Metode Konstruksi Keterangan yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan Konstruksi analogi untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan seolah-olah memperluas keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya Konstruksi yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan penghalusan hukum untuk kemudian prinsip itu diterapkan dengan seolah-olah mempersempit (penyempitan hukum) keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya yakni pengkonstruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu ketentuan Konstruksi a contrario untuk kemudian prinsip itu diterapkan secara berlawanan arti atau tujuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya Sumber: Sidharta (2005). Hasil pemetaan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait dengan IUU Fishing diuraikan sebagai berikut Illegal Fishing Pengertian illegal fishing sebagaimana telah diuraikan sebelumnya dan analisis horizontal harmonisasi hukum difokuskan pada 2 (dua) hal, yaitu: (1) Kegiatan tanpa ijin atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional Ketentuan-ketentuan internasional yang mengatur tentang illegal fishing dapat diuraikan sebagai berikut: (1.1) UNCLOS 1982 Pasal 62 ayat (2) mengatur tentang penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB), termasuk pemberian kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan JTB yang masih tersisa dengan memperhatikan hak negara tak berpantai dan hak negara yang secara geografis kurang beruntung, khususnya yang termasuk pada negara berkembang. Sementara Pasal 62 ayat (4) mengamanatkan bahwa warga negara lain yang menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) harus mematuhi tindakan konservasi, ketentuan dan persyaratan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan negara pantai, yaitu meliputi: (a) pemberian ijin kepada nelayan, kapal penangkap ikan dan peralatannya; (b) 46

60 penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, dan menentukan kuota penangkapan; (c) pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alat penangkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang boleh digunakan; (d) penentuan umum dan ukuran ikan serta jenis lain yang boleh ditangkap; (e) perincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap ikan, termasuk statistik penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal; (f) persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan negara pantai, dilakukannya program riset perikanan yang tertentu dan pengaturan pelaksanaan riset demikian, termasuk pengambilan contoh tangkapan, disposisi contoh tersebut dan pelaporan data ilmiah yang berhubungan; (g) penempatan peninjau atau trainee diatas kapal tersebut oleh negara pantai; (h) penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan negara pantai; (i) ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau pengaturan kerjasama lainnya; (j) persyaratan untuk latihan pesonil dan pengalihan teknologi perikanan, termasuk peningkatan kemampuan Negara pantai untuk melakukan riset perikanan; dan (k) prosedur penegakan. (1.2) FAO Compliance Agreement 1993 Tidak ada aturan khusus yang mengatur kegiatan perikanan di wilayah yurisdiksi nasional. (1.3) UN Fish Stocks Agreement 1995 Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa konvensi ini mengatur pengelolaan dan perlindungan sediaan ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks/sfs) dan sediaan ikan yang beruaya jauh (highly migratory species/hms) baik di luar wilayah yurisdiksi maupun di bawah yurisdiksi nasional. (1.4) PSM Agreement 2009 Pasal 3 ayat (1) mengamanatkan kepada negara pelabuhan untuk melaksanakan Persetujuan ini bila ada kapal-kapal yang tidak berhak mengibarkan benderanya yang akan masuk ke pelabuhannya atau berada dalam salah satu pelabuhannya. Namun demikian, aturan tersebut dikecualikan bagi kapal dari negara sekitar yang melakukan penangkapan ikan untuk mencari nafkah yang sudah bekerjasama. Selain itu, pengecualian juga kapal-kapal kontainer yang tidak 47

61 sedang mengangkut ikan. Sementara itu, negara pelabuhan tidak menerapkan Persetujuan ini kepada kapal-kapal yang disewa oleh warga negaranya secara khusus untuk menangkap ikan di wilayah kedaulatan negaranya dan beroperasi di bawah kekuasaan wilayah tersebut. (1.5) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Tahun1995 Pasal mengamanatkan bahwa untuk mencapai tujuan dari pemanfaatan sumber daya ikan yang berkelanjutan dalam jangka panjang, negara-negara dan organisasi pengelolaan perikanan regional maupun sub-regional perlu menetapkan langkah-langkah, antara lain, agar: (a) penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dihindari dan pengeksploitasian stok tetap layak secara ekonomi; (b) kondisi ekonomi yang mendasari beroperasinya industri penangkapan mendorong perikanan yang bertanggungjawab; (c) kepentingan para nelayan, termasuk mereka yang terlibat dalam perikanan susbsisten, perikanan skala kecil dan perikanan artisanal, diperhatikan; (d) keanekaragaman hayati dari habitat akuatik dan ekosistem dikonservasi dan spesies terancam punah dilindungi; (e) stok ikan yang menipis dibiarkan pulih atau jika perlu dipulihkan secara aktif; (f) dampak lingkungan yang merugikan terhadap sumberdaya akibat kegiatan manusia, dikaji dan jika perlu diperbaiki; dan (g) pencemaran, limbah, ikan buangan, hasil tangkapan oleh alat tangkap yang hilang atau ditelantarkan, hasil tangkapan spesies bukan target, baik spesies ikan maupun bukan-ikan, dan dampak terhadap spesies berasosiasi atau dependent species, diminimukan, melalui langkah termasuk, pengembangan dan penggunaan alat dan teknik penangkapan yang selektif, aman lingkungan dan hemat biaya yang dapat dipraktekkan. (1.6) IPOA on IUU Fishing 2001 Setiap negara peserta FAO Compliance Agreement 1993 harus memiliki daftar kapal-kapal penangkap ikan yang didaftarkan di negaranya dan dengan demikian dapat mengibarkan benderanya, dan yang memiliki izin untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas. Setiap negara harus memastikan bahwa armada kapal ikanya tidak terlibat atau mendukung usaha IUU Fishing. Sedangkan informasi persyaratan kapal yang tertuang pada IPOA on IUU Fishing, mencakup: 8 (a) Namanama kapal sebelumnya, jika ada dan jika diketahui; (b) Nama, alamat dan 8 Paragraf 42 IPOA on IUU Fishing. 48

62 kebangsaan dari orang atau entitas hukum atas nama siapa kapal didaftarkan; (c) Nama, nama jalan, alamat surat dan kebangsaan dari orang atau entitas hukum yang bertanggungjawab mengelola operasional kapal; (d) Nama, nama jalan, alamat surat dan kebangsaan dari orang atau entitas hukum yang merupakan pemilik kapal; (e) Nama dan sejarah kepemilikan kapal, dan, apabila diketahui, sejarah ketidakpatuhan,pelanggaran oleh kapal tersebut, sesuai dengan dengan hukum nasional, dengan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi atau ketentuanketentuan hukum yang dibuat di tingkat nasional, regional, atau global; dan (f) Dimensi kapal, dan jika dimungkinkan, potret kapal, yang diambil pada waktu pendaftaran kapal, atau pada waktu penyelesaian perubahan struktural paling akhir, menunjukkan sisi profil kapal. Selain itu, izin dari setiap negara harus termasuk, tapi tidak terbatas pada 9 : (a) Nama kapal, dan, jika diperlukan, orang atau entitas hukum yang memiliki izin untuk menangkap ikan; (b) daerah, lingkup dan durasi izin untuk menangkap ikan; dan (c) spesies, alat tangkap yang diizinkan, dan jika diperlukan, langkah-langkah pengelolaan lainnya yang berlaku. (2) Kegiatan yang bertentangan dengan aturan RFMO Terkait dengan hal tersebut, ketentuan-ketentuan internasional yang mengatur adalah sebagai berikut: (2.1) UNCLOS 1982 UNCLOS mengatur mengenai pengelolaan terhadap sumberdaya ikan, yaitu: jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species), mamalia laut (marine mammals), persediaan jenis ikan anadrom (anadromous stocks), jenis ikan katadrom (catadromous species), dan jenis sedenter (sedentary species). (2.2) FAO Compliance Agreement 1993 Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa secara khusus, tidak ada satu negara pihak pun yang memperbolehkan kapal ikannya untuk menangkap ikan di laut lepas kecuali telah diberi izin untuk itu oleh otoritas yang tepat dari negara tersebut. Selain itu, setiap negara pihak tidak boleh memberi izin kepada kapal ikan manapun untuk mengibarkan benderanya dalam rangka penangkapan ikan di laut lepas kecuali jika negara tersebut mampu melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan FAO Compliance Agreement 1993 (Pasal 3 ayat 3). 9 Paragraf 46 IPOA on IUU Fishing 49

63 (2.3) UN Fish Stocks Agreement 1995 Pasal 8 ayat (3) mengamanatkan bahwa negara-negara yang melakukan penangkapan stok ikan di Laut Lepas dan negara-negara pantai terkait harus melaksanakan kewajiban mereka untuk bekerjasama dengan menjadi anggota pada organisasi tersebut atau menjadi peserta pada pengaturan tersebut, atau dengan menyetujui untuk melaksanakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang dirumuskan oleh organisasi atau pengaturan tersebut. Pasal 8 ayat (4) menambahkan bahwa, negara-negara yang menjadi anggota dari suatu organisasi tersebut atau peserta pada pengaturan tersebut, atau yang menyetujui untuk menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan tersebut, mempunyai akses kepada sumber daya ikan terhadap mana tindakan-tindakan tersebut diterapkan. Sementara bagi suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta pada suatu RFMO, dan yang tidak menyetujui untuk menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh RFMO tersebut, tidak dibebaskan dari kewajiban untuk bekerjasama sesuai dengan Konvensi ini (Pasal 17 ayat 1). (2.4) PSM Agreement 2009 Pasal 6 ayat (2), mengamanatkan bahwa setiap pihak wajib, sebisa mungkin, mengambil langkah-langkah dalam mendukung tindakan pengelolaan dan konservasi yang digunakan oleh negara lain dan organisasi internasional yang terkait. Lebih lanjut, Pasal 6 ayat (3) menambahkan bahwa pihak-pihak wajib bekerja sama, pada tingkat subregional, regional, dan global, dalam penerapan Persetujuan ini secara efektif termasuk, bila perlu, melalui FAO atau organisasi dan lembaga pengelolaan perikanan regional. (2.5) CCRF1995 Pasal menyebutkan bahwa bagi stok ikan pelintas batas, stok ikan straddling, stok ikan peruaya jauh dan stok ikan laut lepas, yang diusahakan oleh dua Negara atau lebih, maka Negara yang bersaungkutan termasuk Negara pantai yang relevan dalam hal stok yang straddling dan ikan peruaya jauh tersebut harus bekerjasama untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sumberdaya yang efektif. Upaya ini harus dicapai, jika perlu, melalui pembentukan sebuah organisasi atau tatanan perikanan bilateral, subregional atau regional. Organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO) tersebut tersebut harus mengikutkan perwakilan dari negara yang sumberdaya perikanannya berada di dalam yurisdiksi mereka dan 50

64 perwakilan dari negara yang mempunyai kepentingan riil dalam perikanan yang berada di luar yurisdiksi nasional (Pasal 7.1.4). Sementara bagi Negara yang tidak menjadi anggota RFMO harus bekerjasama sesuai perjanjian internasional dan hukum internasional dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan dengan cara memberlakukan setiap tindakan yang diadopsi oleh RFMO (Pasal 7.1.5) (2.6) IPOA on IUU Fishing 2001 Sesuai dengan ketentuan-ketentuan terkait dari UNCLOS 1982 dan tanpa mengenyampingkan bahwa negara bendera memiliki tanggung jawab utama di laut lepas, setiap negara sedapat mungkin harus mengambil langkah-langkah atau melakukan kerjasama dalam melakukan pengawasan terhadap mereka yang tunduk kepada yurisdiksinya agar tidak mendukung atau melakukan IUU Fishing (Paragraf 19). Sementara itu, semua langkah-langkah yang mungkin harus diambil, konsisten terhadap hukum internasional, untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan aktivitas-aktivas negara-negara yang tidak bekerjasama dengan badan pengelola perikanan regional terkait yang berhubungan dengan IUU Fishing. (Tabel 4.4.) 51

65 Tabel 4.4. Harmonisasi Hukum Internasional Terkait Illegal Fishing. 1. Kegiatan tanpa ijin atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan (nasional) UNCLOS Pasal 62 Penetapan JTB Pemberian surplus ikan Pengaturan penangkapan: ijin nelayan, ijin kapal penangkap ikan dan peralatannya, jenis ikan yang boleh ditangkap, kuota penangkapan, musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alat penangkapan ikan, macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang boleh digunakan, ukuran ikan serta jenis lain yang boleh ditangkap, statistik penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal FAO Compliance UNIA PSM Agreement CCRF IPOA on IUU Fishing - Pasal 3 Pasal 3 Pasal Angka Pengelolaan Penerapan terhadap Langkah pengelolaan: (pendaftaran dan kapal yang tidak overcapacity, perikanan kapal) perlindungan berhak mengibarkan bertanggung jawab, Angka42-43 jenis ikan SFS benderanya yang akan perhatian terhadap (catatan kapal) dan HMS masuk ke nelayan, pelabuhannya atau keanekaragaman hayati, berada dalam salah pemulihan stok ikan, satu pelabuhannya dampak lingkungan yang Pengecualian bagi merugikan, dan kapal dari negara pencemaran, limbah, sekitar yang ikan buangan, hasil melakukan tangkapan. penangkapan ikan untuk mencari nafkah yang sudah bekerjasama. Pengecualian bagi kapal kontainer yang tidak sedang mengangkut ikan. Penerapan Persetujuan ini kepada kapal-kapal yang disewa oleh warga negaranya secara khusus untuk menangkap ikan di wilayah kedaulatan negaranya dan beroperasi di bawah kekuasaan wilayah tersebut. 52

66 2. Bertentangan dengan aturan RFMO Pasal 64 (HMS) Pasal 65 (Mamalia laut) Pasal 66 (anadrom) Pasal 67 (katadrom) Pasal 120 (mamalia laut) Pasal 3 Otoritas pemberian ijin kepada kapal ikan nasional Otoritas pemberian ijin kepada kapal ikan nasional Pasal 8 Kewajiban tindakan konservasi dan pengelolaan yang dirumuskan oleh RFMO Akses kepada sumber daya ikan Pasal 6 Dukungan tindakan pengelolaan dan konservasi yang digunakan oleh negara lain dan organisasi internasional Pasal Pembentukan RFMO Pasal Perwakilan Negara yang perikanannya berada dalam dan di luar yurisdiksinya Pasal Kerjasama dari Negara yang tidak menjadi Negara anggota RFMO Kerjasama dengan RFMO dalam pemberantasa n IUU Fishing Sumber: Data 2012 di olah. Pasal 17 Kewajiban bekerjasama bagi negara bukan anggota 53

67 4.1.2 Unreported Fishing Berdasarkan pengertian unreported fishing sebagaimana diuraikan sebelumnya, analisis horizontal harmonisasi hukum difokuskan pada 2 (dua) hal, yaitu: (1) Kegiatan yang tidak dilaporkan atau sengaja dilaporkan dengan memberi data yang tidak benar kepada penguasa otorita nasional. Ketentuan-ketentuan internasional yang mengatur tentang unreported fishing adalah sebagai berikut: (1.1) UNCLOS 1982 Pasal 61 ayat (1) menyebutkan bahwa negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan (JTB) dalam zona ekonomi eksklusifnya. Penentuan JTB tersebut harus memperhatikan bukti ilmiah terbaik yang tersedia dalam rangka menjamin tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga pemeliharaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tidak dibahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan (Pasal 61 ayat 2). Lebih lanjut disebutkan bahwa keterangan ilmiah yang tersedia, statistik penangkapan dan usaha perikanan, serta data lainnya yang relevan dengan konservasi persediaan jenis ikan harus disumbangkan dan dipertukarkan secara teratur melalui organisasi internasional yang berwenang baik sub-regional, regional maupun global di mana perlu dan dengan peran serta semua Negara yang berkepentingan, termasuk Negara yang warganegaranya diperbolehkan menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif (Pasal 61 ayat 5). (1.2) FAO Compliance Agreement 1993 Perjanjian ini tidak mengatur secara khusus mengenai tindakan di wilayah perairan suatu Negara pantai. (1.3) UN Fish Stocks Agreement 1995 Perjanjian ini tidak mengatur secara khusus mengenai tindakan di wilayah perairan suatu Negara pantai. (1.4) PSM Agreement 2009 Menurut Pasal 13 ayat (1), bahwa setiap pihak wajib memastikan bahwa pemeriksa melaksanakan fungsi yang tertera dalam Annex B sebagai standar minimum. Adapun kewajiban pemeriksa sesuai yang dituangkan dalam Pasal 13 ayat (2), yaitu: 54

68 a) memastikan pemeriksaan dilaksanakan oleh pemeriksa yang berkualitas yang diberi wewenang untuk tugas tersebut, dengan memperhatikan secara khusus Pasal 17; b) memastikan bahwa, sebelum memeriksa, pemeriksa menyerahkan dokumen yang menerangkan identitas pemeriksa kepada nakhoda kapal; c) memastikan bahwa Pemeriksa memeriksa seluruh bagian kapal, ikan yang diangkut, jaring dan alat tangkap lain, perlengkapan, dan dokumen atau catatan lain di kapal yang relevan untuk menguji kepatuhan terhadap ketentuan pengelolaan dan konservasi yang terkait; d) mewajibkan nakhoda kapal memberikan semua bantuan dan informasi yang diperlukan kepada Pemeriksa, dan apabila diperlukan menyerahkan bahan dan dokumen yang terkait atau semua salinan dokumen yang sah dimaksud; e) dalam hal pengaturan tertentu dengan Negara Bendera kapal tersebut, mengundang Negara itu untuk ikut serta dalam pemeriksaan; f) mengusahakan semua kemungkinan untuk menghindari penundaan yang berlebihan kapal tersebut untuk meminimalkan campur tangan dan ketidaknyamanan, termasuk kehadiran pemeriksa di atas kapal yang tidak perlu, dan untuk menghindari tindakan yang secara kontradiktif akan mempengaruhi kualitas ikan di kapal; g) mengusahakan segala kemungkinan untuk memfasilitasi komunikasi dengan nakhoda atau ABK senior kapal tersebut, termasuk bila pemeriksa dikawal seorang penterjemah jika mungkin dan jika diperlukan; h) memastikan bahwa pemeriksaan dilaksanakan dengan cara yang adil, transparan, dan nondiskriminatif dan tidak akan menimbulkan gangguan terhadap kapal mana pun; dan tidak mencampuri kemampuan nakhoda kapal, sesuai dengan hukum internasional, untuk berkomunikasi dengan pihak berwenang Negara Bendera. (1.5) CCRF 1995 Menurut Pasal disebutkan bahwa, Negara-negara sesuai hukum nasional mereka, harus melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan perikanan yang efektif serta langkah penegakan hukum, jika perlu, termasuk program pengamat, pola inspeksi dan system pemantauan kapal. Langkah-langkah tersebut harus digiatkan dan jika perlu dilaksanakan oleh organisasi dan tatanan 55

69 pengelolaan perikanan subregional, regional sesuai dengan prosedur yang disepakati oleh organisasi dan tatanan itu. (1.6) IPOA on IUU Fishing 2001 Menurut Angka 24, negara-negara harus melaksanakan MCS secara komprehensif dan efektif terhadap kegiatan penangkapan dari awal pelaksanaan, melalui tempat pendaratan, sampai ke tempat tujuan akhir, termasuk dengan: a) Mengembangkan dan mengimplementasikan skema pemberian akses ke perairan dan sumberdayanya, termasuk skema perizinan untuk kapal-kapal; b) Memiliki daftar kapal dan pemilik serta operator terkini/mutakhir, yang memiliki izin untuk melakukan penangkapan ikan sesuai dengan yurisdiksinya; c) Melaksanakan, jika sesuai, sistem pemantauan kapal (vessel monitring system/vms), berdasarkan standar nasional, regional atau internasional, termasuk kewajiban bagi kapal-kapal di bawah yurisdiksinya untuk memasang VMS di atas kapal; d) Mengimplemetasikan, jika sesuai, program peninjau (observer programmes), sesuai dengan standar nasional, regional atau internasional terkait, termasuk kewajiban bagi kapal-kapal di bawah yurisdiksinya untuk membawa peninjau di atas kapal; e) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kepada semua orang yang terlibat dalam pelaksanaan MCS; f) Merencanakan, pendanaan dan pelaksanaan MCS dengan cara-cara yang dapat meningkatkan kemampuan mereka secara maksimal untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing; g) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kalangan industri tentang perlunya dan partisipasi kerjasama mereka dalam, kegiatan-kegiatan untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUU Fishing; h) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan masalah-maslah MCS dalam sistem peradilan nasional; i) Menyediakan dan membina sistem perolehan, penyimpanan dan penyebaran data MCS, dengan memperhatikan kewajiban untuk menjaga kerahasiaan;. j) Menjamin implementasi yang efektif dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan nasional, dan dimana sesuai, dari kesepakatan internasional tentang prosedur untuk menaiki dan memeriksa kapal sesuai dengan ketentuan hukum internasional, mengakui hak-hak dan kewajiban- 56

70 kewajiban nakhoda dan petugas pemeriksa, dengan memperhatikan bahwa pengaturan demikian telah diatur dalam beberapa perjanjian internasional tertentu, seperti misalnya UN Fish Stocks Agreement 1995 yang hanya mengikat negara-negara yang telah menjadi pihak pada persetujuan internasional tersebut. Sementara itu, Angka 49 menyebutkan bahwa negara bendera kapal harus memastikan sedapat mungkin, semua kapal-kapal penangkapan ikan, kapal-kapal pengangkut dan kapalkapal perbekalan mereka yang terlibat dalam transhipment di laut telah memiliki izin sebelumnya dari negara bendera kapal untuk melakukan transhipment, dan melaporkannya kepada administrasi perikanan nasional atau institusi lain yang telah ditunjuk untuk itu, hal-hal sebagai berikut: a) Tanggal dan lokasi transhipment ikan di laut; b) Berat per spesies dan wilayah tangkapan dari tangkapan yang di tranship; c) Nama, nomor pendaftaran, bendera dan informasi lain yang terkait dengan identifikasi kapalkapal yang terlibat dalam kegiatan bongkar muat transhipment; d) Pelabuhan tempat pendaratan tangkapan hasil transhipment. (2) Kegiatan tidak dilaporkan atau salah dilaporkan di dalam wilayah yang menjadi kompetensi suatu organisasi pengelolaan perikanan regional. Ketentuan-ketentuan internasional yang mengatur tersebut di atas adalah sebagai berikut: (2.1) UNCLOS 1982 Menurut Pasal 117, semua Negara mempunya kewajiban untuk mengambil tindakan atau kerjasama dengan negara lain dalam mengambil tindakan yang bertalian dengan warga Negara masing-masing yang dianggap perlu untuk konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas. Sementara itu Pasal 119 ayat (1) menyebutkan bahwa penetapan JTB dan penetapan tindakan lain untuk konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas, harus mengambil tindakan yang direncanakan berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang tersedia pada Negara yang bersangkutan, memelihara atau memulihkan populasi jenis-jenis yang ditangkap pada taraf yang dapat memberikan hasil tangkap lestari maksimum, sebagaimana ditentukan oleh faktor lingkungan dan ekonomi yang relevan, termasuk kebutuhan khusus dari Negara berkembang, dan dengan memperhatikan pola-pola penangkapan ikan, saling ketergantungan antara persediaan jenis ikan dan setiap 57

71 standar minimum internasional yang secara umum direkomendasikan pada taraf sub-regional, regional maupun global. (2.2) FAO Compliance Agreement 1993 Menurut Pasal 4, setiap Negara diwajibkan membuat daftar kapal-kapal ikan yang telah diberi ijin untuk menangkap ikan di laut lepas. Hal ini bertujuan untuk memudahkan identifikasi kapal-kapal ikan dalam rangka mencegah kegiatan yang tidak mengindahkan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi internasional (Pasal 5 ayat 1). Sementara itu, Pasal 5 ayat (2) mensyaratkan negara pelabuhan untuk mencatat kapal-kapal ikan dari suatu negara bendera yang diyakini melakukan pelanggaran pengelolaan dan konservasi internasional. Dalam hal ini, negara pelabuhan dimungkinkan untuk melakukan investigasi terhadap kegiatan yang dianggap bertentangan dengan FAO Compliance Agreement Mengenai informasi kapal ikan diatur pada Pasal 6. Adapun informasi tersebut meliputi: a) Nama kapal ikan, nomor registrasi, nama-nama terdahulu (apabila diketahui), dan pelabuhan tempat pendaftaran sebelumnya b) Bendera kapal sebelumnya (apabila ada) c) Kode Radio Panggil Internasional (apabila ada) d) Nama dan alamat pemilik kapal e) Kapan dan dimana kapal dibuat f) Jenis kapal g) Ukuran panjang kapal. Selain data di atas, masing-masing pihak juga harus menyediakan informasi tambahan untuk FAO mengenai kapal-kapal ikan yang tercatat dalam daftar, yaitu: a) Nama dan alamat dari operator (manajer) atau operator-operator (manajermanajer), apabila ada; b) Jenis metode atau metode penangkapan ikan; c) Kedalaman Mold/Cetakan (Moulded depth); d) Kayu (beam); e) Berat kotor tonase, dan: f) Sumber tenaga listrik dari mesin utama atau mesin-mesin. 58

72 (2.2) UN Fish Stocks Agreement 1995 Pasal 5 huruf j menyebutkan bahwa dalam rangka konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, negara pantai dan negara yang melakukan penangkapan ikan di Laut Lepas harus, dalam melaksanakan kewajiban mereka untuk bekerjasama sesuai dengan Konvensi, yaitu mengumpulkan dan memberikan, pada saat yang tepat, data yang lengkap dan akurat mengenai kegiatan-kegiatan perikanan, antara lain, posisi kapal, tangkapan spesies target dan non target dan usaha penangkapan ikan. Pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa negara-negara harus lebih berhati-hati pada saat informasi tidak menentu, tidak dapat dipercaya atau tidak mencukupi. Tidak tersedianya informasi ilmiah yang memadai tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk menunda atau menggagalkan tindakan konservasi dan pengelolaan. Sementara Pasal 6 ayat (3) menambahkan bahwa dalam melaksanakan pendekatan kehati-hatian, negara-negara harus: a) Meningkatkan pengambilan keputusan untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan dengan mendapatkan dan membagikan informasi ilmiah terbaik yang tersedia dan menerapkan teknik lanjutan untuk menangani risiko dan ketidakpastian; b) Menerapkan petunjuk pelaksanaan sebagaimana ditentukan di dalam Lampiran II dan menetapkan, atas dasar informasi ilmiah terbaik yang tersedia, titik-titik referensi khusus sediaan dan tindakan yang dilakukan apabila mereka terlampaui; c) Mempertimbangkan, antara lain, ketidakpastian yang berkaitan dengan ukuran dan produktivitas dari sediaan, titik referensi, kondisi sediaan dalam kaitan dengan titik referensi tersebut, tingkat-tingkat dan distribusi pertumbuhan perikanan dan dampak dari kegiatan perikanan pada spesies non target dan berhubungan atau tergantung, serta kondisi saat ini dan prakiraan lautan, lingkungan, dan sosial ekonomi; dan d) Mengembangkan pengumpulan data dan program riset untuk menilai dampak atas penangkapan pada spesies non target, berhubungan atau tergantung, dan lingkungan mereka, dan menyetujui perencanaan yang diperlukan untuk menjamin konservasi spesies tersebut dan untuk melindungi habitat yang mendapatkan perhatian khusus. 59

73 Pasal 16 ayat (1) menyebutkan bahwa Negara-negara harus menjamin bahwa kapal-kapal penangkap ikan yang mengibarkan bendera mereka menyediakan informasi yang mungkin diperlukan dalam rangka memenuhi kewajiban mereka di bawah Persetujuan ini. Untuk tujuan tersebut, Negara-negara harus sesuai dengan Lampiran I: a) Mengumpulkan dan tukar menukar data ilmiah, teknis dan statistik berkaitan dengan perikanan untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh; b) Menjamin bahwa data dikumpulkan secara rinci cukup untuk penilaian sediaan yang efektif dan disediakan dengan cara yang tepat untuk memenuhi persyaratan organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional; dan c) Mengambil tindakan-tindakan yang memadai untuk menguji keakuratan data tersebut. Pasal 16 ayat (2) Negara-negara harus bekerjasama, baik secara langsung atau melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional dan regional: a) menyetujui spesifikasi data dan format yang disediakan untuk organisasi atau pengaturan tersebut, dengan memperhatikan sifat sediaan dan perikanan untuk sediaan tersebut. b) mengembangkan dan mempertukarkan teknik analisis dan metodologi penilaian sediaan untuk meningkatkan tindakan bagi konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. (2.4) PSM Agreement 2009 Perjanjian ini tidak mengatur secara khusus mengenai tindakan di laut lepas. (2.5) CCRF 1995 Sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal program pemantauan, pengendalian dan pengawasan (monitoring, controlling surveilence/mcs), program pengamat (observer), pola inspeksi dan system pemantauan kapal (VMS) juga perlu dilaksanakan oleh organisasi dan tatanan pengelolaan perikanan subregional, regional sesuai dengan prosedur yang disepakati oleh organisasi dan tatanan itu. 60

74 (2.6) IPOA on IUU Fishing 2001 Menurut Angka 42, disebutkan bahwa setiap negara bendera harus mengelola catatan kapal-kapal penangkap ikan yang diperbolehkan untuk mengibarkan benderanya. Setiap catatan kapal-kapal penangkap ikan harus mencakup, kewenangan menangkap ikan dari kapal-kapal di laut lepas, semua informasi telah tercatat dalam paragraf 1 dan 2 Pasal VI Perjanjian Kesepakatan FAO Adapun persyaratan tentang kapal ikan mencakup: a) Nama-nama kapal sebelumnya, jika ada dan jika diketahui; b) Nama, alamat dan kebangsaan dari orang atau entitas hukum atas nama siapa kapal didaftarkan; c) Nama, nama jalan, alamat surat dan kebangsaan dari orang atau entitas hukum yang bertanggungjawab mengelola operasional kapal; d) Nama, nama jalan, alamat surat dan kebangsaan dari orang atau entitas hukum yang merupakan pemilik kapal; e) Nama dan sejarah kepemilikan kapal, dan, apabila diketahui, sejarah ketidakpatuhan, pelanggaran oleh kapal tersebut, sesuai dengan dengan hukum nasional, dengan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi atau ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat di tingkat nasional, regional, atau global, dan; f) Dimensi kapal, dan jika dimungkinkan, potret kapal, yang diambil pada waktu pendaftaran kapal, atau pada waktu penyelesaian perubahan struktural paling akhir, menunjukkan sisi profil kapal (Tabel 4.5.). 61

75 Tabel 4.5. Harmonisasi Hukum Internasional Terkait Unreported Fishing. Kategori UNCLOS FAO Compliance 1. Unreported, Pasal 61 underreported, Penetapan misreported JTB (nasional) bukti ilmiah terbaik yang tersedia Pertukaran data informasi 2. Unreported, underreported, misreported (RFMO) Pasal 118 Kewajiban konservasi di laut lepas Pasal 119 bukti ilmiah terbaik yang tersedia Sumber: Data diolah, Pasal 4 Daftar kapal ikan di laut lepas Pasal 5 Identifikasi kapal ikan di laut lepas Kewajiban Negara pelabuhan mencatat kegiatan kapal ikan yang melanggar Pasal 6 Informasi kapal ikan UNIA Pasal 14 informasi Pasal 18(3c-3g) mm Pasal 5j (informasi ) Pasal 6(2), 6(3) informasi) Pasal 14 (informasi ) PSM Agreement Pasal 13 pemeriksaan kapal, ikan, alat tangkap, CCRF Pasal Program MCS Negara pantai Program observer Inspeksi kapal VMS Pasal Program MCS Negara pantai Program observer Inspeksi kapal VMS IPOA on IUU Fishing Angka 24 Program MCS Perizinan kapal ikan VMS Program observer Angka 49 Transhipmen Angka 42 Persyaratan pendaftaran kapal ikan di laut lepas Unregulated Fishing Berdasarkan pengertian unregulated fishing sebagaimana diuraikan sebelumnya, analisis horizontal harmonisasi hukum internasionalnya, yaitu: (1) UNCLOS 1982 Pasal 117 mengamanat kepada semua Negara berkewajiban untuk mengambil tindakan atau kerjasama dengan Negara lain untuk konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas. Selanjutnya ditambahkan pada Pasal 118, bahwa Negara-negara yang warga negaranya melakukan eksploitasi sumber kekayaan hayati yang sama atau sumber kekayaan hayati yang berlainan di daerah yang sama, harus mengadakan perundingan dengan tujuan mengambil tindakan yang diperlukan untuk konservasi hayati. 62

76 (2) FAO Compliance Agreement 1993 Pasal 8 menyebutkan bagi negara yang tidak meratifikasi perjanjian ini harus tetap mengadopsi peraturan yang terdapat dapat perjanjian ini, khususnya yang terkait dengan tindakan dan pengelolaan perikanan sesuai hukum internasional yang berlaku. (3) UN Fish Stocks Agreement 1995 Pasal 17 mengatur secara rinci mengenai Negara yang bukan anggota pada suatu RFMO dan bukan Negara peratifikasi. Menurut Perjanjian ini, suatu negara yang bukan merupakan anggota pada suatu organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan regional atau tidak menjadi peserta pada suatu pengaturan pengelolaan perikanan sub regional dan regional, dan yang tidak menyetujui untuk menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan tersebut, tidak dibebaskan dari kewajiban untuk bekerjasama, sesuai dengan Konvensi dan Persetujuan ini, dalam konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh yang terkait (Pasal 17 ayat 1). Selanjutnya, Pasal 17 ayat (2) menambahkan bahwa negara tersebut tidak harus memberikan izin kepada kapal-kapal yang mengibarkan benderanya untuk melakukan operasi penangkapan ikan untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas atau sediaan ikan yang beruaya jauh yang tunduk pada tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan tersebut. (4) PSM Agreement 2009 Tidak mengatur secara jelas tentang kegiatan kapal ikan yang tidak memiliki bender kebangsaan. (5) CCRF 1995 Pasal menyebutkan bahwa suatu Negara yang tidak merupakan anggota suatu oragnisasi pengelolaan perikanan subregional atau regional atau bukan peserta dalam suatu tatanan pengelolaan perikanan, sub regional atau regional bagaimanapun harus bekerjasama, sesuai perjanjian internasional dan hukum internasional, dalam konservasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang relevan dengan mulai memberlakukan setiap langkah konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi atau tatanan semacam itu. 63

77 (6) IPOA on IUU Fishing 2001 Menurut Paragraf 20, negara-negara harus mengambil langkah-langkah sesuai dengan hukum internasional, berkaitan dengan kapal-kapal tanpa kebangsaan yang terlibat IUU Fishing di laut lepas. Negara-negara harus konsisten mengikuti langkahlangkah hukum internasional yang berhubungan dengan kapal-kapal tanpa kebangsaan di laut lepas yang terlibat IUU Fishing. Berdasarkan uraian IUU Fishing diatas, ada beberapa hal yang diatur oleh hukum internasional, yaitu: wilayah tangkapan, sumberdaya ikan, kapal perikanan, alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan, perizinan perikanan, pelabuhan perikanan, dan kegiatan MCS yang meliputi MCS itu sendiri, program observer, inspeksi kapal, dan pemasangan VMS. (Tabel 4.6.) Tabel 4.6. Harmonisasi Hukum Internasional Terkait Unregulated Fishing. 1. Kegiatan kapal yang bukan Negara anggota dan tanpa kebangsa an (RFMO) UNCLOS Pasal 118 Kewajiban konservasi di laut lepas FAO Compliance Pasal 8 Adopsi bagi negara yang tidak meratifikasi 2. Kegiatan Pasal 119 disuatu eksploitasi wilayah sumber atau stok kekayaan yang hayati yang belum sama atau diatur sumber kekayaan hayati yang berlainan di daerah yang sama Sumber: Data diolah, UNIA Pasal 17 Kewajiban kerjasama bagi negara bukan anggota RFMO dan Negara bukan peratifikasi PSM Agreement CCRF Pasal Keharusan bekerjasama bagi Negara bukan anggota RFMO IPOA on IUU Fishing Angka 20 Tindakan terhadap negara tanpa kebangsa an 64

78 4.1.4 Sinkronisasi Hukum Internasional dan Nasional terkait IUU Fishing Berdasarkan hasil analisis horizontal hukum internasional diatas, maka sinkronisasi hukum internasional dengan hukum nasional secara vertical dilakukan guna melihat kepatuhan Indonesia dalam melakukan pemberantasan IUU Fishing. Adapun hal-hal yang akan dianalisis yaitu: (1) Wilayah Tangkapan Menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi: (a) perairan Indonesia; (b) ZEEI; dan (c) sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia (Pasal 5 ayat 1). Selain mengatur di wilayah yurisdiksi Indonesia, UU No. 31 Tahun 2004 juga mengatur kegiatan perikanan di laut lepas. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2), yaitu pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan perundangundangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Pada bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia adalah pengelolaan perikanan di laut lepas. Secara lebih rinci, pengaturan wilayah tangkapan ditetapkan secara rinci melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Menurut Permen KP ini, Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut WPP-RI, merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Dalam Peraturan Menteri ini, WPP RI dibagi menjadi 11 (sebelas) yaitu: (a) WPP-RI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman, meliputi : Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Propinsi Riau, Propinsi Sumatera Utara. (b) WPP-RI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda, meliputi Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Propinsi Sumatera Utara, Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Bengkulu, Propinsi Lampung, dan Provnsi Banten. 65

79 (c) WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat, meliputi Propinsi Banten, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi D.I Yogyakarta, Propinsi Jawa Timur, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Bali, Propinsi Nusa Tenggara Timur, dan Propinsi Nusa Tenggara Barat. (d) WPP-RI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan, meliputi Propinsi Kepulauan Riau, Propinsi Riau, Propinsi Jambi, Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Bangka Belitung, Propinsi Kalimantan Barat. (e) WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa, Propinsi DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Propinsi Banten, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur, Propinsi Kalimantan Selatan, Propinsi Kalimantan Tengah, dan Propinsi Lampung. (f) WPP-RI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali, meliputi : Propinsi Bali, Propinsi Nusa Tenggara Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Propinsi Sulawesi Selatan, Propinsi Sulawesi Tengah, Propinsi Sulawesi Tenggara, `Propinsi Sulawesi Barat, Propinsi Kalimantan Selatan, dan Propinsi Kalimantan Timur. (g) WPP-RI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda, meliputi : Propinsi Sulawesi Tenggara, Propinsi Sulawesi Tengah, Propinsi Maluku, dan Propinsi Nusa Tenggara Timur. (h) WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau, meliputi : Propinsi Maluku, Propinsi Selawesi Utara, Propinsi Selawesi Tengah, Propinsi Gorontalo, dan Propinsi Papua Barat. (i) WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera, meliputi : Propinsi Sulawesi Utara, Propinsi Sulawesi Tengah, Propinsi Maluku Utara, dan Propinsi Gorontalo. (j) WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik, meliputi : Propinsi Papua, Propinsi Papua Barat, dan Propinsi Maluku Utar. (k) WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur, Propinsi Papua dan Propinsi Maluku. 66

80 Gambar 4.2. Peta WPP Indonesia (Sumber: DJPT, 2011). (2) Sumber daya Ikan Menurut Pasal 6 ayat (1), pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan. Dalam rangka mewujudkan perikanan berkelanjutan, maka perlu menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana yang diamanatkan UNCLOS Penetapan jumlah tangkapan diperbolehkan diatur oleh Kepmen KP No.Kep.45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Estimasi yang dikeluarkan berdasarkan Kepmen KP tersebut, sebesar ton/tahun, dimana ikan pelagis kecil menempati urutan pertama, yaitu ton/tahun, kemudian ikan demersal ( ton/tahun), ikan pelagis besar ( ton/tahun), ikan karang konsumsi ( ton/tahun), udang penaeid ( ton/tahun), cumi-cumi ( ton/tahun), dan lobster (4.800 ton/tahun). Sementara berdasarkan WPP, WPP 711 menempati urutan pertama, yaitu ton/tahun, kemudian WPP 713 ( ton/tahun), WPP 718 ( ton/tahun), WPP 712 ( ton/tahun), WPP 715 ( ton/tahun), WPP 572 ( ton/tahun), WPP 573 ( ton/tahun), WPP 716 ( ton/tahun), WPP 717 ( ton/tahun), WPP 714 ( ton/tahun), dan WPP 571 ( ton/tahun). Secara lebih jelas, estimasi potensi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia disajikan pada Tabel

81 Tabel 4.7. Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (dalam ton per tahun). WPP Ikan Pelagis Besar Ikan Pelagis Kecil Ikan Demersal Kelompok Sumberdaya Ikan Udang Penaeid Ikan Karang Konsumsi Lobster Cumicumi Total Potensi (1.000 ton/tahun) ,7 147,3 82,4 11,4 5,0 0,4 1,9 276, ,8 315,9 68,9 4,8 8,4 0,6 1,7 565, ,4 210,6 66,2 5,9 4,5 1,0 2,1 491, ,1 621,5 334,8 11,9 21,6 0,4 2, , ,0 380,0 375,2 11,4 9,5 0,5 5,0 836, ,6 605,4 87,2 4,8 34,1 0,7 3,9 929, ,1 132,0 9,3-32,1 0,4 0,1 278, ,5 379,4 88,8 0,9 12,5 0,3 7,1 595, ,1 230,9 24,7 1,1 6,5 0,2 0,2 333, ,2 153,9 30,2 1,4 8,0 0,2 0,3 299, ,9 468,7 284,7 44,7 3,1 0,1 3,4 855,5 Total 1.145, , ,5 98,3 145,3 4,8 28, ,1 Sumber: Kepmen KP No. Kep.45/Men/2011 (3) Kapal Perikanan Menurut UU No. 31 Tahun 2004, kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan. Adapun fungsi kapal perikanan sebagaimana tertuang dalam Pasal 34 ayat (1), yaitu: kapal penangkap ikan, kapal pengangkut ikan, kapal pengolah ikan, kapal latih perikanan, kapal penelitian/eksplorasi perikanan, dan kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan. Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri (Pasal 35 ayat 1). Pembangunan atau modifikasi kapal perikanan tersebut dapat dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, setelah mendapat pertimbangan teknis laik berlayar dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayaran (Pasal 35 ayat 2). Menurut Pasal 36 ayat (1), bahwa kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia. Pendaftaran kapal perikanan dilengkapi dengan 68

82 dokumen yang berupa: bukti kepemilikan, identitas pemilik, dan surat ukur (Pasal 36 ayat 2). Pendaftaran kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh dari luar negeri dan sudah terdaftar di negara asal untuk didaftar sebagai kapal perikanan Indonesia, selain dilengkapi dengan dokumen bukti kepemilikan, identitas pemilik, dan surat ukur harus dilengkapi pula dengan surat keterangan penghapusan dari daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal (Pasal 36 ayat 3). Informasi mengenai kapal perikanan dicantumkan pada PP Nomor 15 Tahun 1984, dimana kapal perikanan asing yang akan mendapatkan izin penangkapan di perairan ZEEI harus mencantumkan informasi, diantaranya yaitu: nama dan kebangsaan pemilik kapal; nama kapal; nama panggilan kapal; negara registrasi, nomor registrasi dan bendera kapal; panjang kapal; berat kotor kapal; kekuatan mesin kapal; daya muat palkah kapal; nama, alamat; kebangsaan nakoda kapal; jumlah awak kapal; jenis dan jumlah alat penangkap ikan yang akan dibawa/digunakan masing-masing kapal; daerah penangkapan ikan yang ditetapkan; tanda pengenal yang wajib dipasang di kapal; tempat melapor (Pasal 11 ayat 2). Menurut Pasal 40 Permen KP Nomor PER.14/Men/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap, pengadaan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan hanya dapat dilakukan dengan cara: (1) membangun atau membeli kapal baru di dalam negeri, (2) membangun atau membeli kapal baru dari luar negeri, (3) membeli kapal bukan baru di dalam negeri atau dari luar negeri. Untuk memperoleh persetujuan tertulis pembangunan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan di dalam negeri, orang atau badan hukum Indonesia wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan: (1) fotokopi SIUP, (2) spesifikasi teknis kapal (ship s particular), (3) rencana jenis alat penangkapan ikan yang akan dipergunakan, dan (4) surat keterangan galangan kapal. Sementara untuk memperoleh persetujuan tertulis pembangunan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan di luar negeri, orang atau badan hukum Indonesia wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dengan melampirkan: (1) fotokopi SIUP, (2) fotokopi cetak biru gambar rencana umum (general arrangement) kapal, (3) spesifikasi teknis kapal (ship s particular), (4) rencana jenis alat penangkapan ikan yang akan dipergunakan, dan (5) surat keterangan galangan kapal (Permen KP Nomor PER.14/Men/2011). Selanjutnya disebutkna bahwa stiap orang atau badan hukum Indonesia yang membeli kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dari luar negeri wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, dengan melampirkan: fotokopi SIUP; fotokopi cetak biru gambar rencana umum (general arrangement) kapal; fotokopi surat tanda kebangsaan kapal; fotokopi surat ukur 69

83 internasional; spesifikasi teknis kapal (ship s particular); fotokopi Alat Penangkapan Ikan (API); spesifikasi teknis jenis alat penangkapan ikan yang akan dipergunakan. Sistem pendaftaran kapal diatur lebih rinci pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan. Menurut Pasal 2 ayat (1), kapal perikanan milik orang atau badan hukum Indonesia yang dioperasikan untuk kegiatan usaha perikanan tangkap di WPP Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib didaftarkan sebagai kapal perikanan Indonesia. Khusus kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh dari luar negeri dan sudah terdaftar di negara asal, harus dilengkapi dengan surat keterangan penghapusan dari daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal. Selain itu, buku kapal perikanan memuat informasi: nama kapal; nomor register; tempat pembangunan kapal; tipe kapal; jenis alat tangkap; tonnage; panjang kapal; lebar kapal; kekuatan mesin; foto kapal; nama dan alamat pemilik; nama pemilik sebelumnya; perubahan-perubahan yang terjadi dalam buku kapal perikanan. Kapal perikanan yang telah dilengkapi dengan buku kapal perikanan dan SIPI/SIKPI diberi tanda pengenal kapal perikanan. Tanda pengenal kapal perikanan, meliputi: tanda selar, tanda daerah penangkapan ikan, tanda jalur penangkapan ikan, dan tanda alat penangkapan ikan. Sementara kapal perikanan Indonesia yang beroperasi di wilayah Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional selain diberi tanda pengenal kapal perikanan dapat diberikan tanda khusus sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional. (4) Alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan Dalam rangka pengelolaan perikana berkelanjutan, maka perlu diatur mengenai alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 UU No. 31 Th Secara lebih rinci, alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan diatur melalui Permen KP No. Per.2/Men/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Jalur Penangkapan ikan di bagi menjadi 3 (tiga), yaitu: (a) (b) Jalur penangkapan ikan I Jalur penangkapan ikan I dibagi menjadi dua, yaitu: jalur penangkapan ikan IA, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 (dua) mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah; dan jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 (dua) mil laut sampai dengan 4 (empat) mil laut. Jalur penangkapan ikan II. 70

84 Jalur Penangkapan Ikan II meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. (c) Jalur penangkapan ikan III Jalur Penangkapan Ikan III meliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II. Menurut Pasal 5, jalur penangkapan ikan di WPP-NRI ditetapkan berdasarkan karakteristik kedalaman perairan, yang dibagi menjadi dua, yaitu: (a) Perairan dangkal ( 200 meter) yang terdiri dari: 1. WPP-NRI 571, yang meliputi Perairan Selat Malaka dan Laut Andaman; 2. WPP-NRI 711, yang meliputi Perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan; 3. WPP-NRI 712, yang meliputi Perairan Laut Jawa; 4. WPP-NRI 713, yang meliputi Perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; dan 5. WPP-NRI 718, yang meliputi Perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor Bagian Timur (b) Perairan dalam (> 200 meter) yang terdiri dari: 1. WPP-NRI 572, yang meliputi Perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda; 2. WPP-NRI 573, yang meliputi Perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa sampai dengan sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor Bagian Barat; 3. WPP-NRI 714, yang meliputi Perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; 4. WPP-NRI 715, yang meliputi Perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau; 5. WPP-NRI 716, yang meliputi Perairan Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera; dan 6. WPP-NRI 717, yang meliputi Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik. Sementara itu, alat penangkapan ikan di WPP-NRI menurut jenisnya terdiri dari 10 (sepuluh) kelompok, yaitu: (a) jaring lingkar (surrounding nets); (b) pukat tarik (seine nets); (c) pukat hela (trawls); (d) penggaruk (dredges); 71

85 (e) jaring angkat (lift nets); (f) alat yang dijatuhkan (falling gears); (g) jaring insang (gillnets and entangling nets); (h) perangkap (traps); (i) pancing (hooks and lines); dan (j) alat penjepit dan melukai (grappling and wounding). Sedangkan alat bantu penangkapan ikan, yaitu rumpon dan lampu. Rumpon merupakan alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Lampu merupakan alat bantu untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan pemikat/atraktor berupa lampu atau cahaya yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. (5) Perizinan Perikanan Menurut UU No.31 Th.2004 sebagaimana diubah UU No.45 Th.2009, ada tiga surat ijin yang harus dimiliki dalam usaha perikanan tangkap, yaitu: Pertama, Surat Ijin Usaha Perikanan 10. Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP. Kewajiban memiliki SIUP tidak berlaku bagi nelayan kecil. Kedua, Surat Ijin Penangkapan Ikan 11. SIPI harus dimiliki oleh setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di WPP Republik Indonesia dan/atau laut lepas. Kewajiban memiliki SIPI juga dikenakan terhadap setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI. Kapal ikan berbendera Indonesia yang beroperasi di WPP Republik Indonesia maupun kapal ikan berbendera asing yang beroperasi di ZEEI harus membawa SIPI asli. Sementara kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah. Namun demikian, kewajiban memiliki SIPI tidak bagi nelayan kecil. 10 Surat izin usaha perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut. 11 Surat izin penangkapan ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP. 72

86 Ketiga, Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan 12. SIKPI wajib dimiliki oleh setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia di WPP Republik Indonesia. Kewajiban memiliki SIKPI juga dikenakan pada setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di WPP Republik Indonesia. SIKPI asli wajib dibawa oleh setiap orang yang mengoperasikan kapal pengangkut ikan di WPP Republik Indonesia. Namun demikian, kewajiban memiliki SIKPI dan/atau membawa SIKPI asli tidak berlaku bagi nelayan kecil. Ketentuan perizinan penangkapan ikan diatur lebih rinci pada Permen KP Nomor PER.14/Men/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap sebagaimana diubah Peraturan Menteri kelautan dan Perikanan Nomor Per.49/MEN/2011. Pengaturan perizinan penangkapan ikan diatur lebih rinci pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.07/MEN/2010 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan. Menurut Pasal 3 ayat (1), setiap kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki SLO. Kegiatan perikanan tersebut meliputi (1) penangkapan ikan, (2) pengangkutan ikan, (3) pelatihan perikanan, (4) penelitian/eksplorasi perikanan, dan (5) pendukung operasi penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan. SLO diterbitkan setelah memenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis kapal perikanan, baik untuk kapal perikanan yang akan melakukan penangkapan ikan, pengangkutan ikan maupun pendukung operasi penangkapan ikan. Persyaratan administrasi dibagi tiga, yaitu: (1) Administrasi untuk kapal perikanan yang akan melakukan penangkapan ikan meliputi: (a) SIPI asli; (b) tanda pelunasan pungutan hasil perikanan asli; (c) stiker barcode untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 30 GT; (d) Surat Keterangan Aktivasi Transmitter untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 60 GT; dan (e) SLO asal untuk kapal perikanan yang telah melakukan kegiatan perikanan. (2) Persyaratan administrasi untuk kapal perikanan yang akan melakukan pengangkutan ikan meliputi: (a) SIKPI asli; (b) tanda pelunasan pungutan hasil perikanan asli; 12 Surat izin kapal pengangkut ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan. 73

87 (c) stiker barcode untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 30 GT; (d) surat keterangan asal ikan; (e) sertifikat kesehatan ikan untuk konsumsi manusia; (f) surat Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), untuk kapal pengangkut ikan dengan tujuan ekspor; dan (g) sertifikat kesehatan ikan, untuk media pembawa yang dibawa/dikirim dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia dan/atau yang akan dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia apabila disyaratkan oleh negara tujuan. (3) Persyaratan administrasi untuk kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan pendukung operasi penangkapan ikan sebagai kelengkapan dokumen, meliputi: (a) SIPI asli; (b) tanda pelunasan pungutan hasil perikanan asli; (c) stiker barcode untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 30 GT; dan (d) Surat Keterangan Aktivasi Transmitter untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 60 GT. Persyaratan teknis dibagi tiga, yaitu: (1) Persyaratan kelayakan teknis untuk kapal perikanan yang akan melakukan penangkapan ikan, meliputi: (a) kesesuaian fisik kapal perikanan dengan yang tertera dalam SIPI, terdiri dari bahan kapal, merek dan nomor mesin utama, tanda selar, dan nama panggilan/call sign; (b) kesesuaian jenis dan ukuran alat penangkapan ikan dengan yang tertera pada SIPI; (c) keberadaan dan keaktifan alat pemantauan kapal perikanan yang dipersyaratkan (2) Persyaratan kelayakan teknis untuk kapal perikanan yang akan melakukan pengangkutan ikan, meliputi: (a) kesesuaian fisik kapal perikanan dengan yang tertera dalam SIKPI, terdiri dari bahan kapal, merek dan nomor mesin utama, tanda selar, dan nama panggilan/call sign; (b) kesesuaian jumlah dan jenis ikan yang diangkut dengan surat keterangan asal ikan, dan surat PEB untuk kapal pengangkut ikan untuk tujuan ekspor; (c) kesesuaian jumlah ikan yang diangkut dengan kapasitas ruang penyimpanan ikan; (d) keberadaan dan keaktifan alat pemantauan kapal perikanan yang dipersyaratkan. (3) Persyaratan kelayakan teknis untuk kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan pendukung operasi penangkapan ikan, meliputi: 74

88 (a) kesesuaian fisik kapal perikanan dengan yang tertera dalam SIPI, terdiri dari bahan kapal, merek dan nomor mesin utama, tanda selar, dan nama panggilan/call sign; (b) kesesuaian jenis dan ukuran alat penangkapan ikan dengan yang tertera pada SIPI; (c) keberadaan dan keaktifan alat pemantauan kapal perikanan yang dipersyaratkan. (6) Pelabuhan Perikanan Menurut ketentuan internasional, terkait dengan pemeriksaan kapal penangkap ikan, negara pelabuhan harus mengumpulkan informasi dan melaporkan ulang ke negara bersangkutan dan jika perlu kepada RFMO terkait. Adapun informasi-informasi tersebut diantaranya yaitu: (1) bendera negara dari kapal dan rincian identifikasi; (2) nama, kebangsaan, dan kualifikasi surat-surat penangkapan ikan; (3) alat penangkapan ikan; (4) tangkapan dalam kapal, termasuk asal, spesies, bentuk, dan jumlah; (5) jumlah tangkapan yang didaratkan dan bongkar muat. Aturan Pemerintah Indonesia mengenai kewajiban pendaratan ikan di pelabuhanpelabuhan perikanan yang ditunjuk atau ditetapkan, dicantumkan pada UU Nomor 31 Tahun Menurut Pasal 41 ayat (3) UU No.31 Th.2004, setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan. Lebih lanjut, setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin. Kewajiban pendaratan ikan diatur secara lebih rinci pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep. 11/Men/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan bagi Kapal Perikanan. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep. 11/Men/2004 ini dikeluarkan dalam rangka pengawasan terhadap pelaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan sekaligus untuk menunjang kelancaran operasional kapal perikanan berbendera asing dan kapal perikanan berbendera Indonesia. 75

89 Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI 13 dan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di WPP Republik Indonesia 14 wajib berpangkalan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan sebagai pelabuhan perikanan. Apabila tidak terdapat pangkalan pelabuhan, maka kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera asing 15 dan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia 16 dapat mempergunakan pelabuhan umum atau pelabuhan perikanan yang dibangun oleh swasta yang telah ditunjuk Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Adapun lokasi pelabuhan pangkalan dibagi menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu: bagi daerah penangkapannnya di ZEEI Laut Cina Selatan, di ZEEI Samudera Hindia, di ZEEI Laut Arafura, dan ZEEI Samudera Pasifik. Lokasi pelabuhan pangkalan ikan dapat dilihat pada Tabel 4.8. Kewajiban pendaratan ikan di pelabuhan pangkalan diatur juga dalam Permen KP Nomor PER.14/Men/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Bahwa setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam SIPI dan/atau SIKPI. Namun demikian, kewajiban tersebut dikecualikan bagi kapal penangkap ikan berbendera Indonesia, karena ikan hasil tangkapan dapat dititipkan ke kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia dalam satu kesatuan manajemen usaha termasuk yang dilakukan melalui kerja sama usaha, dan didaratkan di pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam SIPI dan/atau SIKPI kapal yang melakukan penangkapan dan kapal yang menerima penitipan ikan wajib dilaporkan kepada pengawas perikanan. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam kegiatan penitipan ikan tersebut yaitu: (1) telah ada perjanjian kerja sama usaha yang diketahui atau disahkan oleh kepala pelabuhan perikanan atau pejabat yang diberi kewenangan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap; (2) nakhoda kapal pengangkut ikan yang menerima penitipan ikan wajib melaporkan nama kapal, jumlah, jenis, dan asal ikan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut kepada kepala pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam SIPI dan/atau SIKPI; (3) daftar nama kapal yang dapat melakukan penitipan dan menerima penitipan ikan hasil tangkapan dicantumkan dalam masing-masing SIPI dan/atau SIKPI. Kegiatan penitipan ikan dapat juga dilakukan oleh kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia yang beroperasi di laut lepas, sepanjang memenuhi syarat serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan nasional dan internasional. Sementara bagi nakhoda kapal pengangkut ikan wajib 13 Pasal 2 ayat (1) Kepmen KP Nomor Kep. 11/Men/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan bagi Kapal Perikanan. 14 Pasal 3 ayat (1) Kepmen KP Nomor Kep. 11/Men/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan bagi Kapal Perikanan. 15 Pasal 2 ayat (2) Kepmen KP Nomor Kep. 11/Men/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan bagi Kapal Perikanan. 16 Pasal 3 ayat (2) Kepmen KP Nomor Kep. 11/Men/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan bagi Kapal Perikanan. 76

90 melaporkan nama kapal, jumlah, jenis, dan asal ikan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut kepada petugas yang ditunjuk di pelabuhan pangkalan tempat ikan didaratkan. Pengecualian terhadap pendaratan ikan juga berlaku bagi ikan hidup, tuna untuk sashimi, dan/atau ikan lainnya yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan. Namun demikian, tetap dikenakan kewajiban untuk melapor kepada pengawas perikanan yang ditunjuk di pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) dan/atau Surat Ijin Kapal Penangkapan Ikan (SIKPI) 17. Tabel 4.8. Pelabuhan Pangkalan yang ditetapkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep. 11/Men/2004. No. Daerah Penangkapan Pelabuhan Pangkalan 1. ZEEI Laut China Selatan a. Pelabuhan Umum di Tanjung Pinang b. PPP Tarempa c. Pelabuhan Umum di Batam d. PPN Pemangkat e. Pelabuhan Umum di Pontianak 2. ZEEI Samudera Hindia a. Pelabuhan Perikanan Sabang b. PPN Sibolga c. PPP Pulau Telo d. PPS Bungus e. Pelabuhan Perikanan Pulau Baai f. PPS Jakarta Nizam Zachman g. PPN Pelabuhanratu h. PPS Cilacap i. PPP Sadeng j. PPP Muncar k. PPN Prigi l. Pelabuhan Perikanan Pengambengan m. Pelabuhan Umum di Benoa 3. ZEEI Laut Arafura a. PPS Kendari b. PPP Kupang c. PPN Tual d. PPN Ambon e. PPP Sorong f. Pelabuhan Umum di Merauke 4. ZEEI Samudera Pasifik a. Pelabuhan Perikanan Bitung b. PPP Dagho c. PPN Ternate d. Pelabuhan Umum di Manokwari e. PPP Sorong f. Pelabuhan Umum di Biak g. Pelabuhan Umum di Jayapura Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep. 11/Men/ Pasal 17 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 77

91 (7) Kegiatan Monitoring Controling and Surveilance (MCS) Pelaksanaan kegiatan MCS dilakukan melalui titik berlabuh hingga sampai ke tempat tujuan akhir pendaratan. Dengan demikian, kegiatan MCS dilakukan sejak kapal ikan akan berangkat melaut hingga pendaratan hasil tangkapan di pelabuhan. Terkait dengan kegiatan MCS, terdapat 4 hal yang harus diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional, diantaranya yaitu: (1) pengisian Log Book Perikanan, (2) pemasangan Sistem Monitoring Kapal atau Vessel Monitoring System (VMS), (3) penggunaan Program Pengawasan (observer) di atas kapal, dan (4) inspeksi terhadap kapal perikanan di pelabuhan dan di laut (Tabel 4.9). Tabel 4.9. Peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan MCS. No Unsur Pengaturan Peraturan Perundangundangan 1. Log Book Kepmen KP Nomor Kep. 11/Men/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan bagi Kapal Perikanan Permen KP Nomor Per. 14/Men/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap Permen KP Nomor Per.03/MEN/2009 Substansi Pasal 5 Pada saat akan dimulai maupun setelah selesai melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, nakhoda/pengurus kapakl perikanan waji melaporkan kedatangan dan/atau keberangkatannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk di Pelabuhan Pangkalan atau di pelabuhan muat/singgah sebagaimana tercantum dalam SPI atau SIKPI. dengan ketentuan sebagai berikut: a. Dalam waktu sekurang-kurangnya 3 jam sebelum meninggalkan pelabuhan pangkalan untuk melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan wajib memberitahukan keberangkatannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau Petugas yang ditunjuk, untuk: 1. Pemeriksaan dokumen perizinan kapal perikanan 2. Pemeriksaan sarana penangkapan dan/atau pengkutan ikan 3. Menerima formulir Log Book Perikanan 4. Pemeriksaan lainnya yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan di bidang perikanan b. Setelah selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, kapal perikanan wajib masuk ke pelabuhan pangkalan atau pelabuhan muat/singgah dan segera melaporkan kedatangannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau Petugas yang ditunjuk untuk: 1. Pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut 2. Menyerahkan formulir Log Book Perikanan yang telah diisi Pasal 89 ayat (2) Setiap nakhoda atau fishing master wajib mengisi log book penangkapan ikan dan pengangkutan ikan serta menyerahkan kepada Direktur Jenderal melalui kepala pelabuhan perikanan setempat atau pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI. Pasal 14 Setiap nakhoda kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia yang 78

92 2. Vessel Monitoring System tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas Permen KP Nomor Per. 18/Men/2010 tentang Log book Penangkapan Ikan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Permen KP Nomor Per. 05/Men/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan Indonesia wajib mengisi dan menyerahkan Log book penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan kepada kepala pelabuhan perikanan atau petugas perikanan yang ditunjuk di pelabuhan umum Pasal 15 ayat (2) Setiap nakhoda kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia yang mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan di luar wilayah Republik Indonesia wajib mengisi dan menyerahkan Log book penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan kepada petugas di pelabuhan setempat Pasal 2 ayat (1) Setiap kapal perikanan yang memiliki SIPI wajib mengisi Log book penangkapan ikan Pasal 7 ayat (2e) Sistem pemantauan kapal perikanan. Pasal 11 ayat (1) Kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT ke atas dan seluruh kapal perikanan asing wajib dilengkapi transmitter yang diadakan sendiri oleh pengguna transmitter. Pasal 11 ayat (2) Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT sampai dengan kurang dari 100 GT dapat menggunakan transmitter milik negara, sepanjang masih tersedia. Pasal 11 ayat (3) Pengadaan transmitter oleh pengguna transmitter, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan dan spesifikasi teknis yeng telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Pasal 11 ayat (4) Transmitter yang dipasang pada kapal perikanan wajib didaftarkan pada Direktorat Jenderal, dengan menyebutkan dan/atau mencantumkan nomor ID, nomor seri, jenis, tipe, merek, spesifikasi, dan provider yang dilengkapi dengan dokumen pembelian transmitter, dan pembayaran air time dan bukti aktivasi dari provider. Pasal 11 ayat (5) Transmitter harus dapat mengirim data posisi kapal sekurangkurangnya setiap jam sekali, kecuali dalam keadaan docking dan/atau kapal perikanan sedang tidak beroperasi. Pasal 11 ayat (6) Perubahan kepemilikan, keagenan, nama, spesifikasi, dan perizinan kapal perikanan, serta perubahan nomor ID transmitter wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal. Pasal 12 ayat (1) Kapal perikanan Indonesia berukuran di atas 30 GT sampai dengan 60 GT wajib dilengkapi Transmitter off line yang disediakan oleh negara. 79

93 Pasal 12 ayat (2) Transmitter off line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur tersendiri dengan Peraturan Menteri Permen KP Nomor Per.03/MEN/2009 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas Permen KP Nomor Permen KP Nomor Per. 14/Men/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap Pasal 14 Pengguna transmitter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib mengaktifkan transmitter secara terus menerus dan membayar air time. Pasal 19 ayat (1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang diberikan izin menangkap ikan di Laut Lepas wajib dilengkapi dengan alat system pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/vms). Pasal 26 ayat (2b) Direktur Jenderal menerbitkan SIPI apabila telah dipenuhi ketentuan pemasangan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/vms), untuk kapal penangkap ikan berbendera Indonesia berukuran 100 (seratus) GT ke atas. Pasal 26 ayat (3) Direktur Jenderal menerbitkan SIKPI apabila telah dipenuhi ketentuan pemasangan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system/vms), untuk semua kapal pengangkut ikan berbendera asing dan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia berukuran 100 (seratus) GT ke atas. 3. Program observer PP Nomor 15 Tahun 1984 Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Permen KP Nomor Per. 14/Men/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap Pasal 88 ayat (1) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera asing wajib memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (VMS). Pasal 88 ayat (2) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) GT wajib memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (VMS). Pasal 14 ayat (2) Selama melakukan penangkapan ikan di ZEEI, setiap kapal perikanan yang digunakan oleh orang atau badan hukum asing wajib menerima pengawas yang ditugaskan oleh Menteri Pertanian atau pejabat yang ditunjuk olehnya dan memberikan kesempatan kepada petugas lainnya untuk melakukan pemeriksaan di kapal. Pasal 84 ayat (1) Untuk kepentingan pengelolaan sumber daya ikan, setiap kapal penangkap ikan Atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia atau berbendera asing wajib menerima dan membantu kelancaran tugas serta menjamin keselamatan petugas 80

94 4. Inspeksi Kapal Perikanan Permen KP Nomor Per.03/Men/2009 tentang Penangkapan Ikan dan Pengangkutan Ikan di Laut Lepas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor Per. 05/Men/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan Permen KP Nomor Per.03/Men/2009 tentang Penangkapan Ikan dan Pengangkutan Ikan di Laut Lepas Sumber: Data diolah, Pemantau perikanan di atas kapal perikanan (observer on board) yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 18 ayat (1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia yang beroperasi di laut lepas wajib menerima, membantu kelancaran tugas serta menjaga keselamatan petugas pemantau di atas kapal perikanan (observer on board). Pasal 69 ayat (3) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut. Pasal 22 ayat (1) Dalam penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan, kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan penegakan hukum di bidang sistem pemantauan kapal perikanan. Pasal 22 ayat (2) Dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kapal Pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal perikanan yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sistem pemantauan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia yang beroperasi di laut lepas wajib menerima dan membantu kelancaran tugas petugas inspeksi di atas kapal perikanan (inspector on board). 4.2 Potret Praktek IUU Fishing di Indonesia Potret praktek kegiatan memerangi IUU fishing ditemukan pada saat melakukan observasi ke lokasi-lokasi penelitian yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu Batam (Kepulauan Riau), Pontianak (Kalimantan Barat), Bitung (Sulawesi Utara), Ambon (Maluku), dan Sorong (Papua Barat). Dilihat dari lima lokasi penelitian tersebut, hanya ada 2 (dua) pengadilan perikanan di Pontianak dan di Bitung, yang menangani kasus IUU fishing dalam peradilan khusus, sedangkan di 3 (tiga) lokasi lainnya, kasus-kasus IUU fishing ditangani oleh pengadilan negeri, 81

95 meskipun dalam penanganannya tetap dengan memakai aturan hukum perikanan. Berikut adalah uraian temuan hasil dari lokasi-lokasi tersebut Batam, Kepulauan Riau Kondisi umum lokasi penelitian sehingga berpotensi terjadinya IUU fishing Secara geografis Kota Batam mempunyai letak yang sangat strategis di jalur pelayaran dunia internasional. Luas wilayah Kota Batam berdasarkan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam tahun adalah km 2, dengan batas wilayah meliputi: - Sebelah Utara : Singapura dan Malaysia - Sebelah Timur : Kab. Lingga. - Sebelah Selatan : Kab. Karimun dan Laut internasional. - Sebelah Barat : Kab. Bintan dan Kota Tanjung Pinang Gambar 4.3. Lokasi WPP Kota Batam termasuk di WPP Perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan (Sumber: DJPT, 2011). Jika melihat peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), wilayah perairan di kota Batam termasuk dalam WPP 711 (Gambar 5). Kota Batam merupakan daerah yang memiliki wilayah daratan dan lautan cukup kaya dengan potensi sumber daya alam, memiliki beberapa keunggulan yaitu: (1) Terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang memiliki potensi sumber daya pesisir dan laut yang sangat potensial untuk dikembangkan. 82

96 (2) Terletak pada jalur pelayaran Internasional dan dekat dengan Singapura sehingga memudahkan akses dalam kegiatan pemasaran produk-produk yang dihasilkan daerah ini. (3) Memiliki prasarana dan sarana pendukung yang telah lengkap seperti sarana perhubungan, komunikasi, keuangan dan infrastruktur lainnya yang bertujuan untuk mendukung Batam menjadikan daerah tersebut sebagai daerah industri. Aktifitas perikanan di Kota Batam selama ini masih didominasi oleh perikanan tangkap. Hal ini terlihat dari jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) perikanan tangkap jauh lebih besar jika dibandingkan dengan RTP budidaya. Pada tahun 2010 RTP berjumlah RTP,dan pada tahun 2011 meningkat menjadi RTP, yang terdiri dari usaha penangkapan sebanyak RTP, usaha budidaya laut sebanyak RTP. Produksi perikanan Kota Batam didominasi oleh hasil penangkapan ikan laut. Pada tahun 2011 produksi ikan hasil tangkapan sebesar ton dan produksi ikan hasil budidaya laut sebesar ton sedangkan produksi budidaya air tawar ton. Data produksi perikanan Kota Batam dijelaskan dalam Tabel Data Produksi Perikanan Kota Batam Tahun Tabel Data Produksi Perikanan Kota Batam Tahun No Indikator Satuan Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Penangkapan ikan laut Ton , , ,00 2 Budidaya ikan laut Ton 451,24 543, ,00 3 Budidaya tawar Ton 1.453, , ,00 Sumber: Dinas Kelautan Perikanan Pertanian dan Kehutanan Kota Batam (2011) Pada tabel terlihat bahwa produksi perikanan terbesar masih diperoleh dari kegiatan perikanan tangkap sebesar ton, sedangkan produksi perikanan budidaya meningkat dari 543,20 ton pada tahun 2010 menjadi ton pada tahun Terjadinya peningkatan yang pesat untuk perikanan tangkap tersebut dikarenakan tercatatnya hasil tangkapan dari dua pelabuhan perikanan swasta di Telaga Punggur dan Barelang II dimana sarana yang digunakan adalah rata-rata diatas 100 GT dengan daerah tangkapan di Laut Cina Selatan. Nilai produksi perikanan tangkap pada tahun 2011 senilai Rp ,- sedangkan untuk perikanan budidaya senilai Rp ,-. Tingginya nilai produksi tersebut sebagian besar dari hasil tangkapan yang dibongkar pada pelabuhan perikanan swasta Telaga Punggur dan Jembatan Barelang II. Potensi sumber daya kelautan dan 83

97 perikanan yang telah disebutkan diatas ditambah dengan lokasi kota batam yang terletak pada jalur pelayaran internasional dan berbatasan relatif dekat dengan negara tetangga dan juga kondisi geografis Kota Batam yang terdiri dari banyak kepulauan menyebabkan Kota Batam menjadi rawan kegiatan IUU Fishing Jenis atau tipe IUU Fishing yang ada di lokasi penelitian Jenis atau tipe IUU Fishing di Kota Batam terkait dengan Kapal ikan asing tidak memiliki izin SIPI/SIKPI, tidak memiliki tanda pendaftaran kapal perikanan (TPKP) untuk kapal dengan ukuran dibawah 5 GT, tidak mendaftar bagi kapal dengan ukuran diatas 5 GT, kapal tidak mendaftar ke RFMO bagi kapal yang melakukan penangkapan di laut lepas, melakukan penangkapan diluar wilayah SIPI atau melakukan pengangkutan di luar SIKPI (pelanggaran fishing ground), indikasi pelanggaran tonase kapal yang dilaporkan tidak sesuai dengan kondisi fisik kapal, transhipment, penjualan ikan secara langsung ke negara lain, anak buah kapal (ABK) nelayan Asing, tidak melaporkan dengan benar (underreported, unreported,atau missreported), banyaknya hasil sampingan tangkapan berupa baby tuna yang pada hukum internasional melanggar prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan, VMS tidak diaktifkan, pelanggaran alat tangkap, dan ABK asing tidak sesuai dengan SIPI (Tabel 4.11.). Tabel Jenis atau Tipe IUU Fishing di Kota Batam. No Jenis atau Tipe IUU fishing 1 Kapal ikan asing tidak memiliki izin SIPI/SIKPI Ada 2 Tidak memiliki Tanda Pendaftaran Kapal Perikanan untuk kapal dengan ukuran dibawah 5 GT 3 Tidak mendaftar bagi kapal dengan ukuran diatas 5 GT Ada 4 Kapal tidak mendaftar ke RFMO bagi kapal yang melakukan penangkapan di laut lepas Ada 5 Melakukan penangkapan diluar wilayah SIPI atau melakukan pengangkutan di luar SIKPI (pelanggaran fishing ground) 6 Adanya surat ijin yang sama namun diduplikasi untuk dapat digunakan pada beberapa kapal yang sulit untuk dideteksi karena biasanya spesifikasi kapalnya sama persis 7 Indikasi pelanggaran tonase kapal yang dilaporkan tidak sesuai dengan kondisi fisik kapal Ada 8 Transhipment, penjualan ikan secara langsung ke negara lain, ABK nelayan Asing Ada 9 Tidak melaporkan dengan benar (underreported, unreported,atau missreported) Ada 10 Banyaknya hasil sampingan tangkapan berupa baby tuna yang pada hukum internasional melanggar prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan 12 VMS tidak diaktifkan Ada 14 Pelanggaran Alat Tangkap Ada 15 ABK asing tidak sesuai dengan SIPI Ada Sumber: Data primer 2012, diolah. Ada Ada Tidak Ada Ada 84

98 Pelaku IUU fishing Berdasarkan data dari kepala satuan kerja (satker) PSDKP Kota Batam diketahui bahwa pada tahun 2010 dan 2012 terdapat 6 (enam) kasus tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh kapal dan Warga Negara Asing (WNA) Vietnam dimana pelanggaran yang dilakukan adalah kapal menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa adanya dokumen perijinan. Tahun 2012 terdapat satu kapal Malaysia yang tertangkap namun memiliki ABK warga negara Indonesia (WNI) dengan jenis pelanggaran menangkap di wilayah perairan Indonesia tanpa dokumen lengkap. Namun dikarenakan adanya Memorandum of Understanding (MOU) antara negara Indonesia dengan Malaysia maka kapal tersebut hanya diusir dari perairan Indonesia dan tidak dilakukan penangkapan. Data tindak pidana perikanan yang telah dilakukan penyidikan di Kota Batam dijelaskan dalam Tabel

99 Tabel Tindak Pidana Perikanan yang Ditangani Satker PSDKP Kota Batam. NO Pelaku IUU Fishing PERKARA /PSL Mr. PHAM VAN HUONG / 1(satu) KM. KG TS, 1 (satu) unit Alat tangkap, dan kg ikan campur busuk Mr. PHAM VAN CAN / 1(satu) KM. KG 9403 TS, 1 (satu) unit Alat tangkap Mr. VO VAN HUNG / 1(satu) KM. KG TS, 1 (satu) unit Alat tangkap Mr. NGUYEN VAN NHANH / 1(satu) KM. KG TS, 1 (satu) unit Alat tangkap, dan kg ikan campur busuk Mr. TRUONG THANH TRUONG/ 1(satu) KM. KG TS, 1 (satu) unit Alat tangkap, dan kg ikan campur busuk 6 Mr. NGUYEN VAN DUC/ 1(satu) KM. KG TS Mr. VO QUOC SU / 1(satu) KM. SEJAHTERA ALAM 95/KG TS, 1 (satu) unit Alat tangkap, dan kg ikan campur busuk dan 1 (satu) set Dokumen Mr. NGUYEN TRONG DUC/ 1(satu) KM. SEJAHTERA ALAM 96/KG TS, 1 (satu) unit Alat tangkap, dan kg ikan campur busuk dan 1 (satu) set Dokumen Mr. NGUYEN VAN THUONG / 1(satu) KM. MARGA JAYA 062 BV 7452 TS, 1 (satu) unit Alat tangkap Mr. TRAN VAN TAN / 1(satu) KM. MARGA JAYA 070 BV TS, 1 (satu) unit Alat tangkap Tindak Pidana Perikanan 8(2) yo 84(2), 26(1) yo 92 UU RI 31 Thn 2004, 9(1) yo 85, 27(2) yo 93(2) UU RI 45 thn 2009 Per UU 31 Thn 2004, dan 55 KUHP Tindak Pidana Perikanan 8(2) yo 84(2), 26(1) yo 92 UU RI 31 Thn 2004, 9(1) yo 85, 27(2) yo 93(2) UU RI 45 thn 2009 Per UU 31 Thn 2004, dan 55 KUHP Tindak Pidana Perikanan 8(2) yo 84(2), 26(1) yo 92 UU RI 31 Thn 2004, 9(1) yo 85, 27(2) yo 93(2) UU RI 45 thn 2009 Per UU 31 Thn 2004, dan 55 KUHP Tindak Pidana Perikanan 8(2) yo 84(2), 26(1) yo 92 UU RI 31 Thn 2004, 9(1) yo 85, 27(2) yo 93(2) UU RI 45 thn 2009 Per UU 31 Thn 2004, dan 55 KUHP Tindak Pidana Perikanan 8(2) yo 84(2), 26(1) yo 92 UU RI 31 Thn 2004, 9(1) yo 85, 27(2) yo 93(2) UU RI 45 thn 2009 Per UU 31 Thn 2004, dan 55 KUHP Tindak Pidana Perikanan 8(2) yo 84(2), 26(1) yo 92 UU RI 31 Thn 2004, 9(1) yo 85, 27(2) yo 93(2) UU RI 45 thn 2009 Per UU 31 Thn 2004, dan 55 KUHP Tindak Pidana Perikanan 8(2) yo 84(2), UU RI 31 Thn 2004, 9(1) yo 85, 28 A(b) yo 94(A), 102 UU RI 45 thn 2009 Per UU 31 Thn 2004 Tindak Pidana Perikanan 8(2) yo 84(2), UU RI 31 Thn 2004, 9(1) yo 85, 28 A(b) yo 94(A), 102 UU RI 45 thn 2009 Per UU 31 Thn 2004 Tindak Pidana Perikanan 8(2) yo 84(2), 26(1) yo 92 UU RI 31 Thn 2004, 9(1) yo 85, 27(2) yo 93(2) UU RI 45 thn 2009 Per UU 31 Thn 2004 Tindak Pidana Perikanan 8(2) yo 84(2), 26(1) yo 92 UU RI 31 Thn 2004, 9(1) yo 85, 27(2) yo 93(2) UU RI 45 thn 2009 Per UU 31 Thn 2004 Mr. TRAN HONG THAI / 1(satu) KM. BV 0206 TS, 1 (satu) unit Tindak Pidana Perikanan 102 UU RI 31 Thn 2004, 9(1) yo 85, 27(2) yo 93 (2) 9(1) yo 11 Alat tangkap, dan 500 kg ikan campur busuk 85, 27(2) yo 93(2) UU RI 45 thn 2009 Per UU 31 Thn 2004, dan 55 KUHP Tindak Pidana Perikanan 102 UU RI 31 Thn 2004, 9(1) yo 85, 27(2) yo 93 (2) 9(1) yo 12 Mr. NGUYEN VAN RIEU / 1(satu) KM. BV 0123 TS 85, 27(2) yo 93(2) UU RI 45 thn 2009 Per UU 31 Thn 2004, dan 55 KUHP Sumber: Satker PSDKP Kota Batam (2012). Asal Kapal Alat Tangkap Tanggal Penyidikan Ket Vietnam Trawl 06 Mei 2010 Sudah Dilelang Vietnam Trawl 06 Mei 2010 Sudah Dilelang Vietnam Trawl 06 Mei 2010 Sudah Dilelang Vietnam Trawl 06 Mei 2010 Sudah Dilelang Vietnam Trawl 06 Mei 2010 Sudah Dilelang Vietnam Trawl 06 Mei 2010 Sudah Dilelang Vietnam Trawl 22 Des 2010 Titipan Kejaksaan Vietnam Trawl 22 Des 2010 Sudah lelang Vietnam Trawl 22 Des 2010 Sudah lelang Vietnam Trawl 22 Des 2010 Titipan Kejaksaan Vietnam Trawl 12-Apr-11 Sudah lelang Vietnam Trawl 12-Apr-11 Sudah lelang 86

100 Kondisi topografis kota batam yang terdiri dari banyak pulau mengakibatkan banyaknya nelayan kecil yang belum memiliki TPKP, dikarenakan sumber daya manusia (SDM) pengawas perikanan juga terbatas sehingga upaya sosialisasi pendaftaran nelayan dengan ukuran dibawah 5 GT menjadi belum optimal. Data dari Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (DP2K) Kota Batam menyebutkan bahwa pada tahun 2011, untuk sarana perikanan tangkap dengan skala 0-5 GT yang telah terdaftar baru berjumlah unit dan hal ini diperkirakan hanya sebesar 50% dari jumlah riil yang melakukan penangkapan. Hasil wawancara dengan salah seorang penyidik dari kepolisian perairan (polair) Kota Batam menyebutkan bahwa nelayan pelaku tindak pidana perikanan yang pernah ditindak berasal dari negara Thailand, Vietnam dan Malaysia. Setelah adanya MOU antara Indonesia dan Malaysia yang baru ditandatangani tahun 2012 menyebabkan apabila ada nelayan Malaysia yang melakukan aktivitas penangkapan di gray area, maka aparat pengawas perikanan hanya diperbolehkan untuk mengusir nelayan tersebut dan tidak berhak melakukan penangkapan maupun pengejaran terhadap nelayan Malaysia tersebut Upaya memerangi praktek IUU fishing yang telah dilakukan di Batam Pengembangan usaha sektor perikanan khususnya harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan sehingga ekosistem lingkungan perairan dapat tetap terjaga kelestariannya dan berkelanjutan. Pemanfaatan potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang tersedia secara optimal dan berkelanjutan dilaksanakan dengan konsep pemanfaatan yang ramah lingkungan seperti pelarangan penangkapan dengan memakai bom atau racun dan pelarangan pemakaian alat tangkap yang bersifat destruktif sehingga potensi yang ada dapat terjaga dan lestari serta terhindar dari kerusakan dan kehancuran. Salah satu upaya dinas dalam hal ini adalah dengan meningkatkan pengawasan terhadap pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan. Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Kehutanan (DP2K) Kota Batam merupakan perpanjangan tangan Pemerintah Daerah Kota Batam sebagai 87

101 pengendali dan pengelola sektor kelautan dan perikanan. Keberhasilan dalam mengemban dan melaksanakan tugas tersebut juga didukung oleh Pemerintah Pusat seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP) serta berkoordinasi dengan pihak-pihak lain seperti Dinas Perhubungan, Angkatan Laut, dan Polairud. Kapal pengawas yang dimiliki yaitu Dolphin 18 untuk mengawasi penebangan bakau liar, pengecekan program bantuan, dan terumbu karang. Pelabuhan yang ada di Kota Batam dikelola murni oleh swasta, sedangkan pemerintah kota hanya melakukan pengawasan. DP2K Kota Batam menempatkan 2 (dua) PPNS Perikanan pada Pelabuhan Telaga Punggur dan Pelabuhan Perikanan Jembatan II Barelang dan didukung oleh beberapa Pegawai KKP Pusat yang diperbantukan, selain itu juga Dinas telah menerapkan SLO (Surat Laik Operasional) bagi kapal-kapal perikanan, dengan demikian pengawasan akan kapal perikanan tangkap dan hasil tangkap akan lebih optimal. Langkah strategis bidang sumber daya kelautan dan perikanan sebagai berikut. (1) Pengawasan dan penegakan hukum. Kegiatan pengawasan dan penegakan hukum dalam kegiatan perikanan sangat mutlak dilakukan untuk menjamin keamanan usaha. Kegiatan seperti ini diharapkan akan mampu mencegah kerusakan lingkungan perairan dan daya dukung alam karena aktifitas yang tidak terkendali, penangkapan yang berlebihan (over fishing) dengan alat tangkap yang dilarang penggunaannya di wilayah perairan Indonesia. (2) Merumuskan peraturan daerah tentang terumbu karang sehingga kawasankawasan suaka terumbu karang secara hukum dapat terjamin kelestariannya. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan suatu produk hukum yang sangat diimpi-impikan oleh daerah dalam upaya mengelola daerahnya sendiri. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 18 : (1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut; dan (2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut 88

102 sesuai dengan perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan kekayaan laut, pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum, pemeliharaan keamanan dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi tersebut khususnya jajaran perikanan siap membantu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan sekaligus meningkatkan pendapatan asli daerah. Selanjutnya pada Pasal 18 ayat (5) juga dijelaskan bahwa kewenangan daerah Kabupaten/Kota untuk mengelola sumber daya di wilayah laut adalah sejauh 4 mil. Hal ini cukup menjanjikan bagi daerah dalam mengelola, mengeksploitasi, eksplorasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut serta pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang dan penegakkan hukum dan lain-lain. Dalam Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 14 ayat (5) menyatakan bahwa penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Pemerintah Kabupaten/Kota. Penerimaan perikanan yang dimaksud disini berasal dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan. Ditambah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 141 Tahun 2000, pada Pasal 10 ayat (2) bahwa Daerah Kabupaten/Kota mempunyai wewenang dalam memberi perizinan di bidang perikanan untuk kapal perikanan bermotor dalam/luar yang tidak melebihi 10 GT atau berkekuatan mesin tidak melebihi 30 HP. Data dari dinas KP2K Kota Batam menyebutkan bahwa sebelum tahun 2003 (sebelum program COREMAP di Batam), marak terjadi kegiatan illegal fishing jenis pengeboman ikan dan penangkapan ikan dengan menggunakan trawl mini di perairan sekitar Batam yang dilakukan oleh nelayan setempat. Namun karena adanya program tersebut kegiatan-kegiatan illegal fishing tersebut sudah mulai berkurang. Hal ini juga dipengaruhi terbentuknya kelompok masyarakat pengawas 89

103 (pokmaswas) di berbagai kepulauan di Kota Batam yang ikut mengawasi jika terdapat penangkapan ikan yang illegal, unreported dan unregulated fishing, akan melaporkan kegiatan tersebut pada aparat yang berwenang sehingga hal ini juga membantu dalam kegiatan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di Kota Batam Pontianak, Kalimantan Barat Kondisi umum lokasi penelitian sehingga berpotensi terjadinya IUU Fishing setelah Provinsi Kalimantan Barat merupakan propinsi terluas keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, provinsi ini dikenal sebagai propinsi "Seribu Sungai". Wilayah pengelolaan perikanan propinsi Kalimantan Barat ini termasuk kedalam WPP 711 (DJPT, 2011). Propinsi Kalimantan Barat hingga saat ini masih memberikan kontribusi terbesar bagi pembangunan sektor perikanan secara keseluruhan. Hal ini selaras dengan kondisi geografis propinsi tersebut yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Besarnya kontribusi sektor perikanan di Kalimantan Barat disebabkan oleh Pertama, Potensi sumber daya perikanan laut maupun perairan umum cukup besar. Kedua, Penduduk Kalimantan Barat sebagian besar tinggal di daerah pesisir sehingga pada umumnya mereka memilih profesi sebagai nelayan. Ketiga, pengetahuan tentang pembudidayaan ikan yang dimiliki masyarakat pesisir pada umumnya masih sangat terbatas. 90

104 Kondisi umum lokasi penelitian sehingga berpotensi terjadinya IUU fishing Gambar 4.4. Potensi Perikanan Tangkap di Kalimantan Barat (Sumber: yarea.php?ia=61&ic=1, 2012) Gambar 4.5. Propinsi Kalimantan Barat termasuk dalam WPP 711 (Sumber: DJPT, 2011) Melimpahnya sumber daya ikan laut dan semakin terbukanya akses pasar bagi komoditas hasil perikanan di Propinsi Kalimantan Barat selain merupakan potensi untuk memberikan peningkatan kesejahteraan bagi para nelayan terutama pemilik kapal, juga memberikan gambaran potensi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak asing dengan melakukan kegiatan IUU Fishing. Perlu upaya yang strategis agar sektor perikanan tetap menjadi primadona bagi masyarakat Kalimantan Barat, terutama untuk peningkatan kesejahteraan bagi para nelayan. Salah satu upaya tersebut dengan melakukan pengawasan dan penindakan terhadap berbagai praktek IUU fishing yang dilakukan di laut, terutama oleh nelayan-nelayan kapal asing yang masih menangkap ikan di perairan Kalimantan Barat. Lokasi penelitian di propinsi Kalimantan Barat ini di wilayah kabupaten Sambas (PPN Pemangkat), dan kota Pontianak (sebagai pusat lokasi instansi yang menangani IUU fishing). Berdasarkan data statistik perikanan tangkap laut kabupaten Sambas, jumlah produksi ,9 ton, dengan jumlah kapal penangkap ikan unit, dengan jenis alat tangkap dominan adalah jaring insang hanyut sebanyak 557 unit (DJPT, 2011). 91

105 Estimasi potensi perikanan untuk WPP 711 dimana wilayah pengelolaan perikanan di propinsi Kalimantan Barat termasuk didalamnya berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia memiliki total potensi produksi ton per tahun (Tabel 4.13.). Tabel Estimasi Potensi Perikanan Sumber Daya Ikan WPP 711. Kelompok Sumber Daya Ikan Jumlah Estimasi Potensi Perikanan (1.000 ton/tahun) Ikan Pelagis Besar 66,1 Ikan Pelagis Kecil 621,5 Ikan Demersal 334,8 Udang Penaeid 11,9 Ikan Karang Konsumsi 21,6 Lobster 0,4 Cumi-cumi 2,7 Total Potensi (1.000 ton/tahun) 1.059,0 Sumber: Kep. Men KP No.KEP.45/MEN/2011 dalam Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011 Berdasarkan data dari PPN Pemangkat, Sambas, ada 236 unit kapal perikanan di PPN Pemangkat hingga tahun Jika melihat pada rekapitulasi jumlah SIB yang dikeluarkan oleh PPN Pemangkat selama tahun 2011, terlihat mayoritas kapal yang berlabuh ataupun berangkat dari PPN Pemangkat berukuran GT, sedangkan untuk kapal ukuran >100 GT tidak terlalu banyak. Aktifitas pelayaran dengan frekuensi tertinggi terjadi di bulan 11 (November) dan terendah dibulan 8 (Agustus) untuk kapal-kapal perikanan ukuran GT, sedangkan untuk ukuran >100 GT surat ijin berlayar (SIB) terbanyak dikeluarkan pada bulan Juni (Gambar 4.6.). 92

106 REKAPITULASI PENERBITAN SIB DI PPN PEMANGKAT TH < > 100 Gambar 4.6. Rekapitulasi Penerbitan SIB di PPN Pemangkat Th.2011 (Sumber: Data PPN Pemangkat 2011 diolah, 2012). Kepala dinas kelautan dan perikanan kabupaten Sambas, Bapak Dailami, menerangkan mengenai kebijakan pemerintah daerah kabupaten Sambas untuk tidak menerima nelayan andon untuk melindungi nelayan lokal di kabupaten Sambas dan juga untuk mencegah terjadinya konflik kembali seperti yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu. Bapak Dailami juga menerangkan, jika melihat pada perkembangan struktur perekonomian di kabupaten Sambas, sektor perikanan tetap menjadi salah satu penyumbang bagi PDRB kabupaten Sambas, karena jika dilihat pada data struktur perekonomian Kabupaten Sambas pada tahun 2008, sektor perikanan telah memberikan kontribusi sebesar 3,74% pada PDRB Kabupaten Sambas atas dasar harga berlaku, dan meningkat menjadi 3,79% pada tahun Sementara atas dasar harga konstan tahun 2000, lapangan usaha perikanan pada tahun 2008 telah memberikan kontribusi sebesar 3,74% dan meningkat menjadi 3,91% pada tahun 2009, dan ini terus meningkat hingga saat ini, hanya saja dengan catatan bahwa pemerintah daerah selaku regulator harus dapat juga meminimalisasi potensi konflik yang mungkin terjadi karena banyaknya nelayan yang datang dari luar Sambas. 93

107 Jenis atau tipe IUU fishing yang ada di lokasi penelitian Jenis atau tipe IUU fishing yang ada di lokasi penelitian berdasarkan pada data informasi yang diperoleh dari key informan dari 15 (lima belas) jenis/tipe IUU fishing, 3 (tiga) jenis/tipe yang tidak dapat diketahui keberadaan ada atau tidaknya kegiatan tersebut yaitu transhipment, tidak diaktifkannya VMS, dan ada atau tidaknya kapal tidak mendaftar ke RFMO bagi kapal yang melakukan penangkapan di laut lepas. Untuk kapal yang tidak mendaftar dengan ukuran diatas 5 GT hal tersebut dikarenakan kapal tersebut sudah dengan ijin pusat dan terdaftar di pusat. Jenis atau tipe IUU fishing yang biasanya terjadi di Pontianak adalah pelanggaran terkait ijin kapal asing, tidak adanya SIPI dan SIKPI, tidak adanya tanda pendaftaran kapal perikanan untuk kapal dengan ukuran dibawah 5 GT, melakukan penangkapan diluar wilayah SIPI (pelanggaran fishing ground), adanya pemalsuan dokumen perijinan, adanya pelanggaran tonase kapal, tidak melaporkan hasil tangkapan dengan benar, banyaknya hasil sampingan yang melanggar prinsipprinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan, pelanggaran alat tangkap, dan adanya ABK asing yang bekerja tidak sesuai SIPI. (Tabel 4.14). Tabel Jenis atau Tipe IUU Fishing di Pontianak. No Jenis atau Tipe IUU fishing 1 Kapal ikan asing tidak memiliki izin SIPI/SIKPI Ada 2 Tidak memiliki Tanda Pendaftaran Kapal Perikanan untuk kapal dengan ukuran dibawah 5 GT 3 Tidak mendaftar bagi kapal dengan ukuran diatas 5 GT Ijin Pusat 4 Kapal tidak mendaftar ke RFMO bagi kapal yang melakukan penangkapan di laut lepas Tidak tahu 5 Melakukan penangkapan diluar wilayah SIPI atau melakukan pengangkutan di luar SIKPI (pelanggaran fishing ground) Ada 6 Adanya surat ijin yang sama namun diduplikasi untuk dapat digunakan pada beberapa kapal yang sulit untuk dideteksi karena biasanya spesifikasi kapalnya sama persis 7 Indikasi pelanggaran tonase kapal yang dilaporkan tidak sesuai dengan kondisi fisik kapal 8 Transhipment, penjualan ikan secara langsung ke negara lain, ABK nelayan Asing 9 Tidak melaporkan dengan benar (underreported, unreported,atau missreported) Ada Ada Ada Tidak tahu Ada 94

108 10 Banyaknya hasil sampingan tangkapan berupa baby tuna yang pada hukum internasional melanggar prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan Ada 12 VMS tidak diaktifkan Tidak tahu 14 Pelanggaran Alat Tangkap Ada 15 ABK asing tidak sesuai dengan SIPI Ada Sumber: Data diolah, Pelaku IUU Fishing Salah satu negara asal pelaku IUU fishing di Kalimantan Barat adalah Vietnam, dan jika kita melihat pada UU No.18 Th.2007 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam tentang Penetapan Landas Kontinen 2003 (LN Th.2007 No.43 TLN No.4708) dinyatakan bahwa dalam persetujuan tersebut belum ditetapkan batas Zona Ekonomi Eksklusif kedua negara, sehingga memungkinkan menjadi potensi pelanggaran batas wilayah pengelolaan perikanan Indonesia-Vietnam. Jumlah kapal pelaku IUU fishing hingga Mei 2012 yang ditangani oleh Stasiun Pengawasan SDKP Pontianak yang berasal dari Vietnam 54 unit (83%) dari 65 kapal sitaan yang ada, sedangkan kapal-kapal sitaan lainnya berasal dari RRC 7 unit (10,7%), Malaysia 1 unit (1,5%), dan dari Indonesia 3 unit (4,8%). Ukuran kapalkapal yang disita ini merupakan kapal-kapal berukuran besar (> 30 GT) dengan alat tangkap yang dipergunakan pada umumnya adalah jenis trawl. Berdasarkan pada hasil wawancara dengan salah satu PPNS perikanan di SPSDKP Pontianak, sebagian besar para pelaku IUU fishing ini hanya dapat berkomunikasi dengan bahasa ibu mereka, sehingga cukup menyulitkan petugas untuk berkomunikasi dengan mereka jika tidak dibantu oleh penterjemah. Motif utama para pelaku IUU fishing yang ditangani di Pontianak ini adalah motif ekonomi, karena mereka menganggap lebih mudah mendapatkan hasil tangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia, dan mereka pada umumnya bukanlah pemilik kapal, sehingga memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi, sehingga jika dibebankan kewajiban harus membayar denda, mereka menyatakan tidak mampu membayar. 95

109 Upaya Memerangi Praktek IUU fishing yang telah dilakukan di Kota Pontianak Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Unit kerja bidang pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan pusat yang berada di wilayah Pontianak berpusat di Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pontianak, yang membawahi 5 (lima) propinsi (Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat), dengan 10 (sepuluh) satuan kerja, dan satu diantaranya ada di wilayah kabupaten Pemangkat (PPN Pemangkat). Tugas pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan yang berlangsung selama 24 jam dan 7 hari dalam seminggu, membuat jadwal kerja pengawasan para pengawas dan juga penyidik PNS perikanan bertugas selama waktu tersebut dengan pembagian jam tugas dan kelompok tugas. Barang bukti berupa kapal sitaan yang ditangani oleh stasiun pengawasan SDKP Pontianak 54 unit berasal dari Vietnam, 7 unit dari RRC, 1 unit dari Malaysia, dan 3 unit dari Indonesia. Sedangkan untuk status hukum dari kapal-kapal sitaan tersebut, berdasarkan data dari stasiun pengawasan, 32 unit merupakan titipan kejaksaan, 1 unit kapal telah dilelang tetapi belum diambil, 5 unit kapal dari Ranai, 5 unit kapal telah dihibahkan tetapi belum diambil oleh penerima hibah (Univ.Diponegoro, IPB, Prov.Gorontalo, Prov.Kalimantan Barat, dan Kementerian Hukum dan HAM), 6 unit kapal telah dilelang oleh Kejaksaan Negeri (KEJARI) Pontianak, 3 unit kapal dirumponkan karena telah rusak parah dan tidak memiliki nilai ekonomi lagi, dan 14 unit kapal tanpa keterangan. Keberadaan kapal-kapal sitaan di stasiun pengawasan SDKP Pontianak dengan status tidak langsung ditangani oleh instansi lain yang seharusnya mengurus (kejaksaan, pihak pemenang lelang, maupun pihak penerima hibah) menimbulkan masalah tersendiri pada saat tempat labuh sandar kapal sitaan penuh dan ada kapal sitaan yang baru. Penanganan kapal sitaan berbeda dengan 96

110 barang/benda sitaan lainnya, karena sifat dan kondisi kapal dan letak kapal yang beresiko tinggi untuk rusak, dan karena itu perlu diperhatikan lebih lanjut. Peran pengawas perikanan, selain sebagai pengawas sumber daya kelautan dan perikanan, juga sebagai penyidik kasus perikanan (bagi yang telah berstatus penyidik PNS perikanan). Jadi setelah penangkapan, proses pemberkasan pada tahapan penyidikan juga dilakukan oleh penyidik PNS perikanan, meskipun ada juga yang ditangani oleh kepolisian dan TNI AL. Jika telah usai proses penyidikan tersebut, maka berkas perkara dilimpahkan untuk proses selanjutnya yaitu penuntutan. Penanganan kepada tersangka/terdakwa kasus perikanan warga negara asing yang ditangkap di wilayah perairan ZEE Indonesia membawa permasalahan tersendiri bagi para pengawas dan penyidik PPNS perikanan di Pontianak, karena berdasarkan ketentuan hukum internasional, para pelaku IUU fishing ini tidak dapat ditahan ataupun dipenjara, dan akhirnya diambil kebijakan untuk melokalisir mereka dalam lokasi khusus di dekat stasiun pengawasan SDKP Pontianak. Meskipun kebijakan ini agak mengganggu disisi anggaran operasional karena tidak dianggarkan dalam anggaran stasiun pengawasan SDKP Pontianak. Penuntut Umum Pada proses penuntutan, berdasarkan pada penjelasan kepala sie penuntutan pidana khusus pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Pontianak, untuk kasus tindak pidana perikanan (baca: kasus IUU fishing), ditangani sebagai tindak pidana khusus, karena tindak pidana perikanan telah diatur secara khusus dalam UU No.45 Th.2009 jo. UU No.31 Th.2004 tentang Perikanan dengan penanganan yang berbeda dengan tindak pidana biasa. Perbedaan penanganan di Kejari Pontianak ini terletak pada jaksa penuntut tindak pidana perikanan, karena hanya ada 2 jaksa yang berkompeten di Kejari Pontianak padahal kasus yang ditangani cukup banyak, maka untuk penuntutan diserahkan pada jaksa penuntut umum di kejaksaan tinggi (kejati) Kalimantan Barat, karena sebagian besar jaksa penuntut umum di Kejati Kalimantan Barat memiliki kompetensi menangani pidana perikanan. Untuk jaksa penuntut umum di Kejari Pontianak hanya menangani pada tahapan administrasi saja. 97

111 Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri (PN) Pontianak Penanganan tindak pidana perikanan dilakukan oleh hakim karier (hakim peradilan umum) PN Pontianak dan hakim adhoc perikanan dalam sebuah majelis dengan komposisi 1 hakim karier sebagai ketua majelis dan 2 hakim adhoc sebagai anggota majelis. Pada saat observasi di PN Pontianak, jumlah hakim adhoc 6 personil yang berasal dari berbagai macam latar belakang pekerjaan namun memiliki bidang keahlian dibidang perikanan. Jika melihat pada statistik jumlah kasus perikanan yang ditangani oleh PN Perikanan semenjak tahun 2008 hingga April 2012, jumlah kasus terbanyak pada tahun 2010 sebanyak 32 kasus (Gambar 4.7). Data Kasus Perikanan di Pontianak Jumlah (kasus) April 2012 Gambar 4.7. Data Kasus Perikanan di Pontianak. (Sumber: Pengadilan Perikanan Pontianak, 2012) Para hakim yang menangani kasus perikanan memiliki beragam pendapat berdasarkan pada pengalaman mereka menangani kasus perikanan. Jika terkait dengan peran pengadilan perikanan, mereka menyatakan bahwa pengadilan memang memiliki peranan pasif, menanti kasus perikanan masuk ke pengadilan, karena memang undang-undang menetapkan demikian. Terkait dengan proses pemeriksaan di pengadilan, kesulitan terbesar adalah masalah bahasa yang dikuasai para terdakwa, padahal penterjemah yang mengerti bahasa mereka (vietnam, filipina) hanya 1 orang saja, jika yang berasal dari RRC agak lebih baik karena masih ada masyarakat yang mengerti bahasa Cina (lebih dari 1). Putusan pengadilan perikanan selalu dilakukan berdasarkan hasil musyawarah majelis hakim setelah memeriksa berkas perkara dan memeriksa saksi di sidang pengadilan. 98

112 Penentuan besarnya pidana penjara, kurungan, maupun denda dilakukan setelah memperhitungkan tingkat kerugian yang diderita akibat perilaku para pelaku IUU fishing ini bagi Indonesia. Peran Masyarakat Untuk wilayah Kalimantan Barat juga telah melibatkan peran masyarakat untuk aktif melakukan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dengan jumlah kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) 28 unit (Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011) Bitung, Sulawesi Utara Kondisi umum lokasi penelitian sehingga berpotensi terjadinya IUU Fishing Secara geografis Kota Bitung terletak di antara LU dan antara BT, dengan luas wilayah 304,00 Km² atau 1,99% dari luas Propinsi Sulawesi Utara. Perbatasan wilayah kota Bitung, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Maluku dan Samudera Pasifik, di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kauditan (Kabupaten Minahasa Utara), di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Likupang dan Kecamatan Dimembe (Kabupaten Minahasa Utara), dan di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Maluku, wilayah ini terbagi atas 8 (delapan) Kecamatan dan 69 Desa. Untuk memfasilitasi kegiatan penunjang perekonomian di Kabupaten ini tersedia 2 (dua) pelabuhan, antara lain Pelabuhan Bitung dan Pelabuhan Belang. Kota Bitung berdasarkan peta keragaan wilayah pengelolaan perikanan termasuk dalam WPP

113 Gambar 4.8. WPP Kota Bitung termasuk dalam WPP 715 dan WPP 716. (Sumber: DJPT, 2011) Pendaratan ikan di PPS Bitung berasal dari tangkapan kapal-kapal nelayan lokal dan nelayan kapal purse seine, hand line, long line, serta kapal penggumpul dan pengangkut. Untuk hasil ikan yang didaratkan di PPS Bitung dipasarkan ke wilayah Bitung dan sekitarnya, Surabaya, Jakarta (pasar domestik); dan untuk ikan yang di Ekspor ke luar negeri harus memiliki sertifikat mutu yang didapat melalui Balai Pengujian dan Sertifikasi Hasil Perikanan (BPSHP) Propinsi Sulawesi Utara, ikan tersebut di Ekspor ke Negara-negara seperti: Jepang, Taiwan, Amerika, China, Philipina, Vietnam, Austria, Inggris, Italia, Kairo, Jerman, Belanda, Denmark, Irlandia, Korea, Yaman, Afrika Selatan. Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung tentang produksi perikanan tangkap di Kota Bitung dijelaskan dalam gambar Data Produksi Perikanan Kota Bitung (Ton/Tahun) , , , Gambar 4.9. Data Produksi Perikanan Kota Bitung (DKP Bitung, 2010). 100

114 Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung menunjukkan bahwa volume produksi perikanan di Kota Bitung pada tahun 2010 sebesar ton yang didominasi oleh ikan bernilai ekonomis tinggi. Sedangkan data dari PPS Bitung menyebutkan bahwa volume ikan yang didaratkan di dermaga PPS Bitung periode Januari s/d Desember 2011 sebanyak ,95 ton dengan nilai sebesar Rp ,-. Produksi tersebut didominasi oleh ikan cakalang, layang biru, tuna, tongkol dan ikan selar. Ikan-ikan tersebut merupakan ikan bernilai ekonomis cukup tinggi yang menjadi indikator bahwa wilayah perairan Bitung memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang secara ekonomi yang menjadi daya tarik utama bagi aktivitas IUU Fishing, dimana selain faktor perairan Bitung yang terbuka dan menjadi perbatasan dengan Negara lain yang menjadi faktor penyebab utama terjadinya IUU Fishing terutama oleh kapal-kapal asing. Kondisi geografis Kota Bitung yang strategis untuk berlangsungnya aktifitas industri perikanan maupun industri lain dengan kondisi laut yang sangat produktif sekaligus termasuk wilayah perbatasan dengan Negara Filipina, maka hal ini menjadikan wilayah perairan Bitung rawan tindak pelanggaran di laut Jenis atau tipe IUU fishing yang ada di lokasi penelitian Jenis pelanggaran yang sering terjadi di Kota Bitung adalah penangkapan atau pengangkutan ikan tanpa dokumen yang lengkap dan transhipment (penjualan ikan secara langsung ke negara lain). Hal ini sesuai dengan hasil pengambilan data primer dan wawancara dengan key informan di Kota Bitung yang menunjukkan beberapa gambaran adanya praktek IUU fishing yang dijelaskan dalam Tabel

115 Tabel 15. Jenis atau Tipe IUU Fishing di Kota Bitung. No Jenis atau Tipe IUU fishing 1 Kapal ikan asing tidak memiliki izin SIPI/SIKPI Ada 2 Tidak memiliki Tanda Pendaftaran Kapal Perikanan untuk kapal dengan ukuran dibawah 5 GT 3 Tidak mendaftar bagi kapal dengan ukuran diatas 5 GT Ada 4 Kapal tidak mendaftar ke RFMO bagi kapal yang melakukan penangkapan di laut Ada lepas 5 Melakukan penangkapan diluar wilayah SIPI atau melakukan pengangkutan di luar SIKPI (pelanggaran fishing ground) Ada 6 Adanya surat ijin yang sama namun diduplikasi untuk dapat digunakan pada Ada beberapa kapal yang sulit untuk dideteksi karena biasanya spesifikasi kapalnya sama persis 7 Indikasi pelanggaran tonase kapal yang dilaporkan tidak sesuai dengan kondisi Ada fisik kapal 8 Transhipment, penjualan ikan secara langsung ke negara lain, ABK nelayan Ada Asing 9 Tidak melaporkan dengan benar (underreported, unreported,atau missreported) Ada 10 Banyaknya hasil sampingan tangkapan berupa baby tuna yang pada hukum Ada internasional melanggar prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan 12 VMS tidak diaktifkan Ada 14 Pelanggaran Alat Tangkap Ada 15 ABK asing tidak sesuai dengan SIPI Ada Sumber: Data diolah, 2012 Ada Tabel diatas menjelaskan bahwa untuk permasalahan Illegal Fishing maka pelanggaran yang terjadi adalah masalah perizinan. Sesuai dengan Permen Kelautan dan Perikanan nomor Per.05/Men/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap pada pasal 21 ayat (3) menyebutkan bahwa Bupati atau Walikota wajib melakukan pendaftaran terhadap kapal perikanan berukuran di bawah 5 (lima) GT yang berdomisili di wilayah administrasinya. Di kota Bitung banyak terdapat perahu dengan ukuran dibawah 5 (lima) GT namun belum semuanya mendaftarkan diri kepada pemerintah daerah, perahu ini kebanyakan melakukan aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan pancing longline karena sesuai dengan potensi sumberdaya ikan yang terdapat di Kota Bitung dimana komoditas andalannya adalah Tuna dan Cakalang. Kebijakan pemerintah daerah Kota Bitung sesuai Perda Kota Bitung No.7 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pengurusan 102

116 perizinan nelayan dibawah 10 GT dilakukan oleh Badan Perizinan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal Daerah. Kasus lain terkait illegal fishing yang terjadi di Kota Bitung adalah adanya surat ijin yang sama namun diduplikasi untuk dapat digunakan pada beberapa kapal yang sulit untuk dideteksi karena biasanya spesifikasi kapalnya sama persis, hal ini juga menyebabkan missreported atau underreported fishing karena sudah pasti hasil kapal ikan yang didapatkan hanya tercatat pada satu kepemilikan kapal. Namun dari sisi aparat penegak hukum hal ini sulit untuk diidentifikasi karena memang spesifikasi kapalnya sama persis, sehingga jika tidak benar-benar ditemukan kapalkapal yang duplikasi izin secara bersamaan akan sulit untuk dibuktikan dan ditindak secara hukum. Tonase kapal adalah volume kapal yang dinyatakan dalam tonase kotor (gross tonnage/gt) dan tonase bersih (net tonnage/nt). Indikasi pelanggaran tonase kapal yang dilaporkan tidak sesuai dengan kondisi fisik kapal juga terjadi di perairan Bitung, hal ini terjadi biasanya ada penurunan tonase kapal yang tercatat pada dokumen kapal dibandingkan dengan kondisi fisiknya. Biasanya hal ini dilakukan oleh pelaku usaha perikanan untuk menghemat biaya pengurusan izin kapal karena sesuai dengan Permen KP Per.05/Men/2008 pasal 19 ayat 1 menyebutkan bahwa Menteri memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal untuk menerbitkan dan/atau memperpanjang SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI kepada orang atau badan hukum Indonesia yang menggunakan kapal dengan ukuran di atas 30 (tiga puluh) GT oleh karena itu seharusnya kapal dengan ukuran diatas 30 GT diharuskan mengurus dokumen kapal ke Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementrian Kelautan dan Perikanan. Kasus Unreported Fishing yang sering terjadi adalah transhipment, penjualan ikan secara langsung ke negara lain dan atau ke ABK nelayan Asing merupakan salah satu kasus yang sering terjadi di Bitung.Kewajiban memberikan data hasil tangkapan kepada Pemerintah telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Permen No. 5 tahun 2008 sebagaimana diubah dalam Permen 12 tahun 2009 yang menyebutkan adanya pelarangan membawa ikan dari daerah 103

117 penangkapan langsung ke luar negeri tanpa melalui pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI. Dalam rangka mendukung kebijakan di atas para pelaku penangkapan diwajibkan mengisi log book penangkapan secara rutin pada setiap operasi penangkapan dan menyampaikan isian log book penangkapan di Pelabuhan Perikanan tempat Pelaku penangkapan membongkar hasil tangkapan kepada petugas di Pelabuhan Perikanan. Oleh karena itu jika kapal melakukan transhipment maka hasil tangkapan tidak tercatat, bila data hasil tangkapan yang diberikan oleh pelaku penangkapan tidak sesuai maka hal ini dapat berimbas kepada kebijakan pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah menjadi kurang tepat salah satunya berkaitan dengan alokasi jumlah kapal yang diijinkan. Kasus unreported lainnya adalah tidak melaporkan dengan benar (underreported, unreported, atau missreported). Underreported adalah melaporkan hasil tangkapan dibawah jumlah hasil tangkapan sesungguhnya, hal ini biasanya dilakukan terkait juga dengan proses transhipment sehingga hasil tangkapan ikan banyak yang tidak tercatat. Banyaknya kapal-kapal ikan dibawah 5GT yang tidak terdaftar juga menyebabkan kasus unreported fishing karena hasil tangkapan mereka tidak tercatat dan dilaporkan ke Pemerintah. Kasus missreported biasanya terjadi pada saat pembongkaran hasil tangkapan oleh pelaku usaha kepada petugas di Pelabuhan Perikanan dimana pencatatannya kurang teliti sehingga menyebabkan data yang masuk menjadi tidak sesuai. Unregulated Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang belum atau tidak diatur, dalam hal ini yang terjadi di perairan Bitung, Sulawesi Utara salah satunya adalah banyaknya hasil sampingan tangkapan berupa baby tuna yang pada hukum internasional melanggar prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan. Namun secara nasional hal ini belum diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga tergolong unregulated fishing. Kemudian kasus yang lain yang terjadi di Kota Bitung adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di perairan Indonesia dan atau laut lepas oleh kapal tanpa memiliki tanda kebangsaan atau kapal yang mengibarkan bendera negara yang bukan anggota organisasi pengelolaan perikanan. 104

118 Pelaku IUU Fishing Data dari kegiatan penanganan pelanggaran tindak pidana dibidang perikanan selama tahun 2011 yang penyidikannnya didukung oleh Pangkalan PSDKP Bitung menunjukkan bahwa pelanggaran penangkapan ikan masih didominasi oleh kapal ikan asing (Philipina) jenis Pump Boat yang melakukan kegiatan perikanan tanpa ijin maupun menggunakan ijin palsu. Hal ini juga dapat terlihat dari banyaknya ABK Non Justisia yang berasal dari kapal asing yang ditangani oleh Satker PSDKP pada tahun Penanganan ABK non Justisia selama tahun 2011 dilakukan dengan tujuan agar ABK tidak melarikan diri dan melakukan tindakan yang dapat mengganggu keamanan. Tindakan penanganan dilakukan dengan cara memberi makan kepada ABK selama proses penyidikan berlangsung. Pada tahun 2011, ABK non Justisia yang ditangani oleh PPNS sebanyak 118 orang yang berasal dari kapal ikan asing, seperti terlihat pada tabel Tabel 16. Jumlah ABK Non Justisia yang ditangani PPNS. No. Nama Kapal Jumlah ABK Kebangsaan Keterangan 1 Kharisma Talaut 11 Orang Philipina Dari satker PSDKP Ternate 2 KM. Patani Orang Philipina Dari satker PSDKP Ternate 3 KM. Citra Orang Philipina Dari satker PSDKP Ternate 4 KM. Steward- A.01.B 33 Orang Philipina Dari satker PSDKP Ternate 5 KM. Alfit-01 5 Orang Philipina Dari satker PSDKP Dagho 6 KM. Lili Orang Philipina Dari satker PSDKP Dagho 7 F/B. Arudji 5 Orang Philipina Dari satker PSDKP Dagho 8 F/B. Tanpa nama I 7 Orang Philipina Dari satker PSDKP Dagho 9 KM. Tanpa Nama II 4 Orang Philipina Dari satker PSDKP Dagho 10 KM. Tanpa Nama III 5 Orang Philipina Dari satker PSDKP Dagho 11 KM. Tanpa Nama IV 3 Orang Philipina Dari satker PSDKP Dagho 12 KM. Tanpa Nama V 5 Orang Philipina Dari satker PSDKP Dagho Jumlah 118 Orang Sumber: Pangkalan PSDKP Bitung, Untuk jenis pelanggaran TPKP untuk kapal dengan ukuran dibawah 5 GT banyak dilakukan oleh nelayan-nelayan lokal skala kecil. Data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung menunjukkan bahwa hanya 50% dari seluruh kapal 105

119 dibawah 5 GT yang sudah terdaftar dalam TPKP. Kapal perikanan yang belum terdaftar ini bisa dikategorikan sebagai illegal fishing, kapal yang tidak terdaftar menyulitkan pemerintah untuk dapat melakukan pendataan dan juga hasil penangkapan ikan yang dilakukan. Selain itu kapal-kapal diatas 5 GT juga belum semuanya memiliki izin, sehingga aparat pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan baik itu PPNS dari KKP, Polair maupun TNI AL sering menemui kasus tidak lengkapnya dokumen perizinan yang dimiliki oleh Kapal. Kasus unregulated fishing banyaknya hasil sampingan tangkapan berupa baby tuna yang pada hukum internasional melanggar prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan banyak dilakukan oleh nelayan-nelayan lokal yang tidak mengetahui bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan pada hukum internasional. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di perairan Indonesia dan atau laut lepas oleh kapal tanpa memiliki tanda kebangsaan atau kapal yang mengibarkan bendera negara yang bukan anggota organisasi pengelolaan perikanan dilakukan oleh kapal asing dengan ukuran kapal lebih dari 30 GT. Hal ini juga berkaitan dengan kondisi geografis perairan Bitung yang kaya akan sumberdaya ikan dan berbatasan dengan berbagai Negara lain, namun disisi lain kapal ikan tanpa kebangsaan yang tertangkap melalukan illegal fishing juga sulit untuk dikenakan sangsi karena biasanya kapal-kapal tersebut sama sekali tidak memiliki dokumen dan kebangsaan Upaya Memerangi Praktek IUU Fishing yang telah dilakukan di Kota Bitung Praktek IUU Fishing yang terjadi di Kota Bitung sebenarnya telah dilakukan berbagai upaya dalam memerangi kegiatan ini, terutama secara intensif dilakukan oleh satuan Pengawas Perikanan. Setiap kapal yang akan keluar melakukan kegiatan penangkapan diwajibkan melapor di Pos Satuan Pengawas untuk dilakukan pemeriksaan baik fisik kapal, alat tangkap serta keabsahan surat-surat perizinannya. Apabila kapal tersebut telah memenuhi persyaratan maka akan diberikan Surat Laik Operasi (SLO). Demikian juga terhadap kapal-kapal yang masuk akan dilakukan pemeriksaan serta akan dicatat data hasil kegiatan 106

120 penangkapan di laut. Selama tahun 2011 Pangkalan PSDKP Bitung telah melakukan dukungan penanganan pelanggaran terhadap tindak pidana perikanan sebanyak 4 (empat) kasus yang terjadi di Satker PSDKP Ternate (KM. Kharisma Talaut 16, KM. Patani-016, KM. Steward-A.01.B, KM. Citra-50) sudah masuk tahap P.21 dan 8 (delapan) kasus di Satker Dagho yang masih dalam tahap P.19. Kegiatan penanganan pelanggaran tindak pidana dibidang perikanan selama tahun 2011 yang penyidikannya didukung oleh Pangkalan PSDKP Bitung didominasi oleh kapal ikan asing (Philipina) jenis Pump Boat yang melakukan kegiatan perikanan tanpa ijin maupun menggunakan ijin palsu. Nilai persentase penanganan tindak pidana selama tahun 2011 yang disidik secara akuntabel dan tepat waktu oleh PPNS pada Pangkalan PSDKP Bitung adalah sebesar 38,57% hal ini berarti bahwa pencapaian untuk tahun 2011 belum baik, karena belum 100%, hal ini disebabkan oleh karena 8 kasus di satker Dagho diserahkan pada akhir tahun, sehingga 8 kasus ini tidak mencapai tahap P.21 pada tahun Selain kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Pengawas Perikanan dalam hal ini Pangkalan Bitung dari Ditjen PSDKP-KKP, upaya memerangi illegal Fishing juga dilakukan oleh Polisi Perairan melalui Direktorat Polisi Perairan Polda Sulut di Kota Bitung yang juga memiliki kewenangan untuk menindak dan menyidik pelaku IUU Fishing di perairan teritorial. Hasil wawancara dengan Direktur Ditpolair Kota Bitung menyebutkan bahwa upaya memerangi IUU Fishing yang dilakukan oleh Ditpolair antara lain dengan melakukan patroli rutin pada perairan territorial 12 mil, melakukan koordinasi dengan PPNS KKP dan Dinas Kelautan dan Perikanan serta telah adanya MOU dengan Pemerintah Propinsi untuk melakukan Patroli Bersama meskipun dari sisi koordinasi disebutkan bahwa kurangnya peranan Bakorkamla dalam melakukan fungsi koordinasi antar stakeholders yang berwenang dalam melakukan fungsi pengawasan. Data dari Direktorat Kepolisian Perairan pada tahun 2011 telah terjadi 18 perkara pidana yang ditangani serta 13 perkara pidana limpahan dari Kapal BKO. Total 31 perkara yang ditangani oleh Direktorat Kepolisian Perairan yang terdiri dari 107

121 berbagai kasus tindak pidana mulai dari kasus pelayaran, imigrasi, pencurian dan penggelapan, penghinaan dan pengancaman, miras, orang hilang, migas, pengrusakan dan KSDA. Dimana detail jenis perkara yang ditangani dijelaskan dalam Gambar Gambar Daftar Penanganan Perkara Ditpolair Polda Sulut Tahun 2011 (Jumlah= 31 kasus) Sumber: Data primer 2012, diolah. Gambar menjelaskan bahwa tindak pelanggaran yang paling sering terjadi adalah tindak pidana pelayaran dimana sering terjadi ketidaklengkapan dokumen kapal maupun dokumen identitas dari awak kapal, kasus tindak pidana perikanan hanya terjadi satu kasus dengan status kurang bukti sehingga tidak dapat ditindaklanjut. Data yang diperoleh juga menyebutkan bahwa dari 31 perkara tersebut hanya 3 (tiga) kasus yang mencapai tahap P-21, 9 (sembilan) kasus masih tergolong tipiring (tindak pidana ringan), 10 kasus belum cukup bukti, 5 (lima) kasus dilimpahkan dan 2 (dua) kasus masih dalam proses pemeriksaan dan penyelidikan (sidik dan lidik). Hal ini menunjukkan bahwa secara performa hanya 10% dari jumlah perkara yang ditangani Ditpolair yang sampai ketahap P-21. Kemudian sebagai data pembanding terdapat data dari Pengadilan Perikanan di Kota Bitung. Pengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili, dan 108

122 memutuskan perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Data dari pengadilan perikanan menyebutkan bahwa secara statistik terdapat 16 kasus tindak pidana perikanan pada tahun 2011, dimana 11 diantaranya merupakan lanjutan dari kasus pada tahun 2010 (Gambar 4.11.). Gambar Statistik tindak perkara perikanan pada Pengadilan Perikanan Kota Bitung Tahun Pengadilan perikanan bersifat pasif, hanya menunggu adanya kasus yang dilimpahkan dari penyidikan, sehingga memang meskipun sering terdapat berita mengenai kapal-kapal yang ditangkap melakukan IUU fishing namun hanya sedikit kasusnya yang sampai hingga ketingkat pengadilan, hal ini perlu dicermati apakah 109

123 memang sedikit terjadi pelanggaran dan kejahatan dibidang perikanan atau terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi hal tersebut. Fungsi pengawasan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di perairan laut di Kota Bitung tidak hanya dilakukan oleh Lembaga Formal yang diamanatkan dalam UU seperti PPNS, TNI AL dan Polair namun juga dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan yang disebut POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas) yang didirikan atas kerjasama dan dibawah binaan langsung Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung dengan masyarakat calon anggota POKMASWAS. Sejalan dengan Keputusan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung nomor 523/DIPK/SK/12/2007 maka tugas dan fungsi POKMASWAS di Kota Bitung adalah menjalankan peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara bertanggungjawab. Mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh POKMASWAS dilakukan dengan cara kerja sebagai berikut. 1. Ketika dalam patroli pengawasan malam hari mendapati ada nelayan atau orangorang yang tidak bertanggungjawab melakukan pelanggaran maka armada pengawasan tersebut langsung mendata pelanggaran, kemudian melaporkan hasil pendataan pelanggaran tersebut kepada ketua POKMASWAS untuk selanjutnya dibuat laporan untuk diteruskan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung. 2. Bila dalam patroli pengawasan di malam hari didapati ada pelanggaran yang penanganannya bersifat segera, maka armada pajeko (istilah kapal pengawas milik masyarakat) yang melakukan patroli pengawasan ini langsung memberikan informasi atau laporan melaui radio kepada ketua POKMASWAS untuk kemudian dilanjutkan laporannya ke armada TNI AL atau Polair yang ada di Kota Bitung. 110

124 4.2.4 Ambon, Maluku Kondisi Umum Lokasi Ambon merupakan salah satu wilayah di Provinsi Maluku yang secara geografis berada di bagian Timur Indonesia. Provinsi Maluku memiliki luas wilayah km yang terdiri dari 10% daratan dan sisanya wilayah perairan dengan 32 pulau baik besar dan kecil. Pulau Ambon dikelilingi oleh laut dan merupakan ibukota dari Provinsi Maluku. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1979, luas wilayah Kota Ambon seluruhnya 377 Km. Letak Kota Ambon berada sebagian besar dalam wilayah pulau Ambon, dan secara geografis terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur Timur. Secara keseluruhan Kota Ambon berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah dan memiliki 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Nusaniwe, Sirimau, Teluk Ambon Baguala, Teluk Ambon dan Leitimur Selatan. Wilayah Kota Ambon sebagian besar terdiri dari daerah berbukit yang berlereng terjal seluas ±186,90 km 2 dan daerah daratan dengan kemiringan sekitar 10% seluas ±55 km 2 atau 17% dari luas seluruh wilayah daratan dengan batas-batas wilayah Kota Ambon sebagai berikut. - Sebelah Utara dengan Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah - Sebelah Selatan dengan Laut Banda - Sebelah Timur dengan Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah - Sebelah Barat dengan Petuanan Desa Hatu, Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Wilayah perairan kota Ambon memiliki sumber daya perikanan yang sangat potensial ditinjau dari besaran stok maupun peluang pemanfaatan dan pengembangannya. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian dan analisis terhadap kelimpahan stok potensi lestari. Wilayah perairan laut Kota Ambon memiliki salah satu komoditi perikanan tergolong potensial untuk dikembangkan yaitu sumberdaya ikan demersal, komoditi perikanan penting ini tersebar diseluruh wilayah ekologis perairan pesisir dan laut Kota Ambon. (Gambar 4.12.) 111

125 Gambar WPP Kota Ambon termasuk dalam WPP 714 dan WPP 715. (Sumber: DJPT, 2011) Jenis dan Tipe IUUF Jenis dan tipe IUUF yang ditemukan terbatas pada kasus Illegal Fishing dan Unreported Fishing. Untuk kasus Illegal Fishing, diketahui berkaitan dengan tiga bentuk/tipe kasus IUUF yaitu: (1) Kapal < 5 GT tidak punya Tanda Pendaftaran Kapal Perikanan (TPKP); (2) Kapal asing tidak berdokumen; dan (3) Fishing ground tidak sesuai ijin. Sedangkan untuk kasus unreported fishing hanya berkaitan dengan masalah transhipment (Tabel 4.17). Tabel Jenis atau Tipe IUU Fishing di Ambon. No Jenis atau Tipe IUU fishing 1 Kapal ikan asing tidak memiliki izin SIPI/SIKPI Ada 2 Tidak memiliki Tanda Pendaftaran Kapal Perikanan untuk kapal dengan ukuran Ada dibawah 5 GT 3 Tidak mendaftar bagi kapal dengan ukuran diatas 5 GT Ada 4 Kapal tidak mendaftar ke RFMO bagi kapal yang melakukan penangkapan di laut Ada lepas 5 Melakukan penangkapan diluar wilayah SIPI atau melakukan pengangkutan di Ada luar SIKPI (pelanggaran fishing ground) 6 Adanya surat ijin yang sama namun diduplikasi untuk dapat digunakan pada Ada beberapa kapal yang sulit untuk dideteksi karena biasanya spesifikasi kapalnya sama persis 7 Indikasi pelanggaran tonase kapal yang dilaporkan tidak sesuai dengan kondisi Ada fisik kapal 8 Transhipment, penjualan ikan secara langsung ke negara lain, ABK nelayan Ada Asing 9 Tidak melaporkan dengan benar (underreported, unreported,atau missreported) Ada 112

126 10 Banyaknya hasil sampingan tangkapan berupa baby tuna yang pada hukum Ada internasional melanggar prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan 12 VMS tidak diaktifkan Ada 14 Pelanggaran Alat Tangkap Ada 15 ABK asing tidak sesuai dengan SIPI Ada Sumber: Data diolah, 2012 Tindakan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang berkaitan dengan permasalahan menyangkut IUU Fishing di Ambon beragam menurut kasusnya. Untuk kasus Illegal Fishing berupa kapal yang tidak punya TPKP adalah dengan melakukan sosialisasi tentang TPKP, dan yang berupa kapal asing tidak berdokumen adalah dengan meningkatkan operasi penangkapan, kemudian yang berupa fishing ground tidak sesuai ijin adalah dengan meningkatkan operasi-operasi rutin. Sementara untuk kasus unreported fishing yang dalam hal ini berupa transhipfment adalah dengan meningkatkan pengawasan pendaratan ikan di kapal. Secara umum, upaya pencegahan dan penindakan yang dilakukan berkaitan berbagai kasus IUUF tersebut dinilai masih kurang efektif karena berbagai kendala dan hambatan yang ada, baik yang bersifat teknis maupun non teknis Pelaku IUU Fishing Para pelaku yang teridentifikasi dari hasil survey di lapang terdiri dari nelayan Indonesia dan nelayan asing. Untuk nelayan Indonesia sebagian besar merupakan nelayan kecil dan nelayan Indonesia yang berijin. Sementara untuk nelayan asing di antaranya berasal dari negara Filiphina dan Thailand. Untuk pelanggaran tidak memiliki Tanda Pendaftaran Kapal Perikanan untuk kapal dengan ukuran dibawah 5 GT dilakukan oleh nelayan kecil, pelanggaran ini biasanya disebabkan kurang efektifnya sosialisasi pendaftaran TPKP yang dilakukan terhadap keseluruhan sasaran yang semestinya, dan intensitas atau frekuensi yang tepat untuk dilakukan. Untuk pelanggaran tidak memiliki izin banyak dilakukan baik oleh nelayan asing maupun nelayan lokal. Sedangkan pelanggaran transhipment, penjualan ikan secara langsung ke negara lain, ABK nelayan Asing dilakukan oleh nelayan Indonesia dan penampung kapal Filipina hal ini diketahui oleh aparat namun karena 113

127 telah berlangsung sejak lama maka masih sulit untuk diatasi karena belum semuanya mengerti bahwa kegiatan tersebut merupakan bentuk unreported fishing Upaya Memerangi IUU Fishing Salah satu upaya dalam memerangi IUU Fishing di Ambon adalah dengan meningkatkan kegiatan pengawasan. Pasal 66 ayat (3) UU No. 45 Tahun 2009, mengamanatkan pengawasan tertib pelaksanaan perundang-undangan di bidang perikanan meliputi: (1) Kegiatan penangkapan ikan; (2) Pembudidayaan ikan, pembenihan; (3) Pengolahan, distribusi keluar masuk ikan; (4) Mutu hasil perikanan; (5) Distribusi keluar masuk obat ikan; (6) Konservasi; (7) Pencemaran akibat perbuatan manusia; (8) Plasma nutfah; (9) Penelitian dan pengembangan perikanan; dan (10) Ikan hasil rekayasa genetik. Dalam rangka upaya memerangi IUUF, kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Satker PSDKP Ambon selama Tahun 2011 baru dapat melaksanakan kegiatan pengawasan dibidang penangkapan ikan, dan pengolahan dan distribusi ikan, serta pengawasan kelautan. Meskipun terdapat keterbatasan SDM, dimana jumlah PNS di satuan kerja (satker) PSDKP Ambon hanya 5 personil dan hanya 1 personil berstatus PPNS (Bpk. Usu Wandi). Keterbatasan lainnya adalah dengan tidak adanya armada kapal yang dapat mendukung operasi pengawasan di wilayah pengawasan satker PSDKP Ambon, karena dengan kondisi wilayah pengelolaan perikanan di wilayah Ambon, diperlukan kapal pengawas seperti kapal Hiu dan juga kapal patroli. Pengawasan Bidang Penangkapan Ikan Pelaksanaan pengawasan bidang Penangkapan Ikan mengacu pada SK Dirjen P2SDKP No.19/DJ-P2SDKP/2008 tentang Petunjuk Teknis Operasional Pengawasan Kapal Perikanan. Pengawasan pada saat kedatangan kapal dilakukan dengan memeriksa dokumen perijinan dan kesesuaian antara hasil tangkapan dengan alat tangkap. Apabila terdapat kesesuaian antara hasil tangkapan dengan alat tangkapnya, maka diterbitkan surat persetujuan didaratkan dan atau surat perintah mendaratkan terhadap ikan hasil tangkapan. Sedangkan untuk pengawasan keberangkatan kapal dilakukan dengan memeriksa kesesuaian antara 114

128 dokumen perijinan dengan fisik alat tangkap dan kapalnya. Apabila terdapat kesesuaian, maka diterbitkan Surat Laik Operasi (SLO). Pengawasan Pengolahan, Pengangkutan dan Pemasaran Hasil Perikanan Pelaksanaan Pengawasan pengolahan, pengangkutan dan pemasaran hasil perikanan mengacu pada SK. Dirjen P2SDKP No. 042/DJ-P2SDKP/2008 Tentang Petunjuk Teknis Operasional Pengawasan Pengolahan, Pengangkutan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Pengawasan pengolahan dilakukan dengan memeriksa kelengkapan dan kesesuian dokumen usaha pengolahan dengan kenyataan dilapangan. Sedangkan pengawasan pemasaran atau distribusi ikan dilakukan dengan memeriksa kelengkapan dan kesesuaian dokumen pengiriman ikan dengan kenyataan dilapangan. Pengawasan Rumpon Rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut. Menurut jenisnya, rumpon dibagi menjadi 3 jenis, yaitu rumpon perairan dasar, rumpon perairan dangkal dan rumpon perairan dalam. Perijinan untuk rumpon perairan dasar dan perairan dangkal dikeluarkan oleh pemerintah daerah, sedangkan rumpon perairan dalam oleh pemerintah pusat. Rumpon perairan dasar dan perairan dangkal banyak terdapat di perairan Pulau Ambon, terutama di Teluk Ambon dan perairan sepanjang Ureng sampai Tulehu. Pengawasan perijinan rumpon ini belum dilakukan oleh Satker PSDKP Ambon. Pengaturan pemasangan rumpon perairan dasar dan perairan dalam sesuai Kepmentan No. 51 Tahun 1997 adalah : a. Sampai dengan jarak 3 mil laut diukur dari garis pasang surut terendah pada waktu air surut dari setiap pulau, oleh Pemerintah Daerah Tingkat II; b. Di atas 3 sampai dengan 12 mil laut diukur dari garis pasang surut terendah pada waktu air surut dari setiap pulau, oleh Pemerintah Daerah Tingkat I. Dari syarat pemasangan rumpon tersebut diatas jelas bahwa pemasangan rumpon terutama diperairan Teluk Ambon menyalahi aturan, karena jarak pemasangan dengan garis pasang surut terendah kurang dari 3 mil. Penertiban 115

129 pemasangan rumpon ini belum dilaksanakan oleh Satker PSDKP Ambon karena rawan konflik dengan nelayan kecil. Kedepan diperlukan sosialisasi kepada nelayan dengan melibatkan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon agar tercipta kesadaran masyarakat untuk memasang rumpon sesuai aturan. Di Ambon terdapat 2 perusahaan yang mengoperasikan armada purse seine, yaitu PT. Samudera Sakti Sepakat dan PT. Arabikatama Khatulistiwa F.I. Ijin pemasangan rumpon oleh PT. Samudera Sakti Sepakat sudah habis tanggal 30 Mei 2008 yang lalu. Oleh karena itu sesuai pasal 8 ayat (2) Kementan No. 51 tahun 1997, perusahaan tersebut wajib membongkar rumpon yang telah dipasang. Penertiban rumpon terutama rumpon perairan dalam belum dapat dilaksanakan oleh Satker PSDKP Ambon karena keterbatasan sarana yang dimiliki. Penegakan Hukum Tahun 2011 ini tidak ada kapal hasil tangkapan Kapal Patroli Pengawas Perikanan yang di ad hock ke Satker PSDKP Ambon. Penyidik Satker PSDKP Ambon hanya menuntaskan proses penyidikan tindak pidana perikanan tahun 2010 dengan tersangka Hendry Penados dan Roberto SY, jabatan Nahkoda dan Kepala Kamar Mesin KM. Bahari kasih 01, yang belum selesai di tahun Proses penyidikan tersangka Hendry Penados dinyatakan lengkap atau P-21 oleh Kejaksaan Negeri Ambon melalui surat No. B-1497/S.1.10/Fd.1/07/2011 tanggal 26 Juli Sedangkan proses penyidikan untuk tersangka Roberto SY dinyatakan P- 21 oleh Kejaksaan Negeri Ambon melalui surat No. B-1916/S.1.10/Fd.2/10/2011 tanggal 7 Oktober Adapun perkara kedua tersangka tindak pidana perikanan tersebut sudah diputus oleh Pengadilan Negeri Ambon dengan putusan sebagai berikut: (1) Hendry Penados, dengan putusan Pidana penjara 7 bulan dan denda Rp ,- dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar dapat diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Semua barang bukti dirampas untuk negara; dan (2) Roberto, SY, dengan putusan Pidana penjara 7 bulan dan denda Rp ,- dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar dapat 116

130 diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan dan semua barang bukti dirampas untuk negara. Identifikasi dan Verifikasi Usaha Perikanan Identifikasi dan verifikasi usaha perikanan yang terdapat di Ambon dilakukan dengan mendata jenis usaha perikanan dan mengkroscek kebenaran laporan dari kapal penangkap ikan yang mendaratkan ikannya pada unit pengolahan ikan sesuai HPK kedatangan kapal perikanan. Verifikasi dilakukan pada bulan Agustus 2011, adapun hasilnya sebagai berikut. 1. Dokumen perijinan yang harus dimiliki oleh unit pengolahan ikan dan perusahaan penangkap ikan yang menjadi mitra usahanya di Ambon sudah terpenuhi, meskipun ada beberapa yang sudah expired. 2. Kapasitas cold storage yang digunakan oleh unit pengolahan ikan yang mempunyai kemitraan dengan perusahaan penangkap jauh lebih kecil dari pada jumlah tonase kapal-kapal penangkap dari perusahaan penangkap yang menjadi mitranya. 3. Tidak ditemukan unit pengolahan ikan di Ambon yang bermitra dengan perusahaan penangkap ikan atas nama PT. Bersama Mitra Sejahtera, PT. Maju Bersama Jaya, PT. Era Sistem Informasindo dan PT. Makmur Rizky Bersama. Temu Pelaku Usaha dengan Pengawas Perikanan Kegiatan temu pelaku usaha dengan pengawas perikanan ini dilaksanakan untuk mengetahui arah kebijakan perijinan pusat dan daerah dalam bidang penangkapan ikan, pengolahan ikan dan pemasaran ikan serta pembudidayaan ikan; untuk mengetahui kebijakan dan implementasi pengawasan perikanan di lapangan; untuk mengetahui keluhan dan masukan dari pelaku usaha perikanan terhadap pelayanan dan penerapan aturan bidang penangkapan ikan, pengolahan dan pemasaran ikan serta pembudidayaan ikan. Kegiatan ini mengambil tema Melalui Temu Pengawas Perikanan dengan Pelaku Usaha dan Instansi terkait, Kita Wujudkan Ketaatan Perijinan Bidang Perikanan untuk Mendukung Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional. 117

131 Dalam kegiatan temu pelaku usaha dengan pengawas perikanan ini mengundang narasumber Direktur Pengawasan Sumberdaya Perikanan, Direktur Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan yang diwakili oleh Kasubdit Verifikasi, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku yang diwakili oleh Kabid Perikanan Tangkap. Adapun peserta yang diundang dari pelaku usaha perikanan yang terdapat di Ambon. Dari kegiatan temu pelaku usaha dengan pengawas perikanan ini dapat diambil kesimpulan bahwa keharmonisan hubungan antara pelaku usaha, aparat penegak hukum dilaut dan KKP sangat diperlukan untuk menciptakan iklim berinvestasi yang baik dan kepastian hukum dibidang perikanan; pengawasan tentang penggunaan tenaga kerja asing diatas kapal berdasarkan komposisi ABK yang tertera dalam SIPI; pengawasan tentang ikan hasil tangkapan yang didaratkan dipelabuhan pangkalan perlu ditingkatkan sehingga ikan yang menurut sifatnya memerlukan pengolahan benar-benar diolah di UPI sebelum di eksport. Berikut adalah rangkuman kegiatan pengawasan perikanan di Kota Ambon, Maluku pada tahun 2011: 1. Pelayanan Surat Laik Operasi (SLO) kapal perikanan ditahun 2011 ini meningkat dibanding tahun 2010 yaitu dari 896 menjadi Unit Pengolahan Ikan yang sudah dilakukan pengawasan ditahun 2011 ini berjumlah 6, atau baru sekitar 50 persen dari UPI yang ada. 3. Usaha budidaya yang dilakukan pengawasan masih sebatas usaha budidaya yang berada di Kota Ambon, belum menyentuh sampai ke Kab. Lain yang menjadi wilayah kerja Satker PSDKP Ambon. 4. Pengawasan Kelautan ditahun 2011 ini masih sebatas inventarisasi obyek pengawasan dan pemanfaatannya oleh masyarakat sekitar. Hasil temuan lain terkait dengan permasalahan penanganan kasus IUU Fishing di wilayah Ambon dan sekitarnya selain kondisi sarana dan prasarana satker PSDKP yang kurang, berdasarkan keterangan dari perwakilan dari pangkalan utama TNI AL (Lantamal) IX pada saat acara diskusi kelompok terfokus, telah dibangun pangkalan TNI AL (Lanal) di pulau Morotai yang ditujukan salah satunya untuk 118

132 membantu fungsi pengawasan SDKP dari terjadinya pelanggaran terkait IUU fishing karena terkait dengan fungsi penegakan hukum di laut dan keamanan wilayah perairan Indonesia, meskipun hingga saat ini belum dilengkapi sarana dan prasarana pendukung (baru 1 bulan berdiri) Sorong, Papua Barat Kondisi umum lokasi penelitian sehingga berpotensi terjadinya IUU Fishing Kota Sorong merupakan salah satu bagian dari propinsi Papua Barat, terletak di wilayah yang sangat strategis karena terletak di pintu keluar masuk provinsi Papua Barat dan Kota Persinggahan. Kota Sorong juga rnerupakan Kota industri, perdagangan dan jasa, karena Kota Sorong dikelilingi oleh kabupaten-kabupaten lainnya yang mempunyai Sumber Daya Alam yang sangat potensial sehingga membuka peluang bagi investor dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya. Kota Sorong juga sebagai Kota Industri, Perdagangan dan Jasa. Secara geografis, Kota Sorong berada pada koordinat ' BT dan 0 54'LS dengan luas wilayah km 2. Wilayah kota ini berada pada ketinggian 3 meter dari permukaan laut dan suhu udara minimum di Kota Sorong sekitar 23,1 C dan suhu udara maximum sekitar 33,7 C. Letak kota Sorong sangat strategis, karena berada diposisi paling barat pulau Papua dan merupakan pintu masuk di wilayah perairan pulau Papua, dan karena hal tersebut juga menjadi perhatian para pemanfaat hasil laut untuk melalukan IUU Fishing. 119

133 Gambar Propinsi Papua Barat termasuk dalam WPP 715, WPP 717, dan WPP 718. (Sumber: DJPT, 2011) Batas-batas geografis Kota Sorong Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Dampir, Sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Makbon dan Selat Dampir, Sebelah Timur berbatasan dengan Distrik Makbon, dan Sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Aimas dan Distrik Salawati Kabupaten Sorong. Luas Kota Sorong adalah Km2 terdiri dari 4 Distrik dan 20 Kelurahan. Kota Sorong memiliki prospek dan peluang amat besar dalam memacu pertumbuhan ekonomi (Sumber: Profil Kota Sorong diunduh pada tanggal 21 Oktober 2012 di link Keunikan dari Kota Sorong, berdasarkan keterangan dari kepala dinas kelautan dan perikanan kota Sorong, bahwa kota Sorong adalah kota jasa, pusat industri untuk pengolahan. Jadi meskipun untuk potensi perikanan dianggap tidak 120

134 ada karena wilayah pengelolaan perikanannya menjadi jalur transportasi laut, namun fasilitas tempat pendaratan ikan (TPI) yang dibangun pemerintah daerah kota Sorong dan juga pos pengawasan yang berada didekat TPI cukup ramai aktivitas. Fakta yang ada di kota Sorong ini, para nelayan yang menjual ikan hasil tangkapannya malah berasal dari luar kota Sorong, ada yang berasal dari raja ampat, supiori, dll. Pada umumnya nelayan yang menjual ikan hasil tangkapan ikan di Sorong tinggal di Sorong, namun ijin penangkapan ikannya berada diluar wilayah Sorong. Wilayah Sorong termasuk dalam 3 (tiga) WPP RI, yaitu WPP 715, WPP 717, dan WPP 718. (Gambar 4.13.) Masyarakat pesisir di wilayah Sorong pada umumnya terbiasa dengan penangkapan ikan daripada menjadi pembudidaya. Melimpahnya sumber daya ikan laut dan semakin terbukanya akses pasar bagi komoditas hasil perikanan di Sorong merupakan potensi untuk memberikan peningkatan kesejahteraan bagi para nelayan terutama pemilik kapal, juga memberikan gambaran potensi pelanggaran yang dilakukan oleh pihak asing dengan melakukan kegiatan IUU Fishing. Perlu upaya yang strategis agar sektor perikanan tetap menjadi primadona bagi masyarakat Sorong, terutama untuk peningkatan kesejahteraan bagi para nelayan. Salah satu upaya tersebut dengan melakukan pengawasan dan penindakan terhadap berbagai praktek IUU fishing yang dilakukan di laut, terutama oleh nelayan-nelayan kapal asing yang masih menangkap ikan di perairan Sorong. Lokasi penelitian di propinsi Papua Barat ini di wilayah kota Sorong. Estimasi potensi perikanan untuk WPP 715, WPP 717, dan WPP 718 dimana wilayah pengelolaan perikanan di propinsi Papua Barat termasuk didalamnya berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia memiliki total potensi produksi ton per tahun (WPP 715), ton per tahun (WPP 717), dan ton per tahun (WPP 718) (dengan perincian dalam tabel 4.17). 121

135 Tabel Estimasi Potensi Perikanan Sumber Daya Ikan WPP 715, WPP 717, dan WPP 718. Jumlah Estimasi Potensi Perikanan Kelompok Sumber Daya Ikan (1.000 ton/tahun) WPP 715 WPP 717 WPP 718 Ikan Pelagis Besar 106,5 105,2 50,9 Ikan Pelagis Kecil 379,4 153,9 468,7 Ikan Demersal 88,8 30,2 284,7 Udang Penaeid 0,9 1,4 44,7 Ikan Karang Konsumsi 12,5 8,0 3,1 Lobster 0,3 0,2 0,1 Cumi-cumi 7,1 0,3 3,4 Total Potensi (1.000 ton/tahun) 595,5 299,1 855,5 Sumber: Kep. Men KP No.KEP.45/MEN/2011 dalam Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011 Pelabuhan Sorong Berdasarkan data di administrator pelabuhan Sorong, lalu lintas kedatangan atau keberangkatan kapal di pelabuhan ini tidak terlalu ramai, hanya terdapat pemberitahuan kedatangan/keberangkatan kapal, kunjungan kapal yang berasal dari dalam negeri 4.174, dan 141 kapal dari luar negeri per tahunnya (laporan tahunan Adpel Sorong 2011). (Gambar 4.14.) Kunjungan kapal di pelabuhan sorong 3% 97% kunjungan dalam negeri kunjungan luar negeri Gambar Kunjungan Kapal di Pelabuhan Sorong (Sumber: Laporan Tahunan Adpel Sorong 2011). 122

136 Jenis atau tipe IUU fishing yang ada di lokasi penelitian Jenis atau tipe IUU fishing yang ada di lokasi penelitian berdasarkan pada data informasi yang diperoleh dari key informan dari 15 jenis/tipe IUU fishing, 1 jenis/tipe yang tidak dapat diketahui keberadaan ada atau tidaknya kegiatan tersebut yaitu ada atau tidaknya kapal tidak mendaftar ke RFMO bagi kapal yang melakukan penangkapan di laut lepas. Untuk kapal yang tidak mendaftar dengan ukuran diatas 5 GT hal tersebut dikarenakan kapal tersebut sudah dengan ijin pusat dan terdaftar di pusat. Jenis atau tipe IUU fishing yang biasanya terjadi di Sorong adalah pelanggaran terkait ijin kapal asing, tidak adanya SIPI dan SIKPI, tidak adanya tanda pendaftaran kapal perikanan untuk kapal dengan ukuran dibawah 5 GT, melakukan penangkapan diluar wilayah SIPI (pelanggaran fishing ground), adanya pemalsuan dokumen perijinan, adanya pelanggaran tonase kapal, adanya transhipment, tidak melaporkan hasil tangkapan dengan benar, banyaknya hasil sampingan yang melanggar prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan, pelanggaran alat tangkap, dan adanya ABK asing yang bekerja tidak sesuai SIPI. (Tabel 4.18.) Tabel Jenis atau Tipe IUU Fishing di Sorong No Jenis atau Tipe IUU fishing 1 Kapal ikan asing tidak memiliki izin SIPI/SIKPI Ada 2 Tidak memiliki Tanda Pendaftaran Kapal Perikanan untuk kapal dengan ukuran dibawah 5 GT 3 Tidak mendaftar bagi kapal dengan ukuran diatas 5 GT Ijin Pusat 4 Kapal tidak mendaftar ke RFMO bagi kapal yang melakukan penangkapan di laut lepas Tidak tahu 5 Melakukan penangkapan diluar wilayah SIPI atau melakukan pengangkutan di luar SIKPI (pelanggaran fishing ground) Ada 6 Adanya surat ijin yang sama namun diduplikasi untuk dapat digunakan pada beberapa kapal yang sulit untuk dideteksi karena biasanya spesifikasi kapalnya sama persis 7 Indikasi pelanggaran tonase kapal yang dilaporkan tidak sesuai dengan kondisi fisik kapal 8 Transhipment, penjualan ikan secara langsung ke negara lain, ABK nelayan Asing 9 Tidak melaporkan dengan benar (underreported, unreported,atau missreported) 10 Banyaknya hasil sampingan tangkapan berupa baby tuna yang pada hukum internasional melanggar prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan Ada Ada Ada Ada Ada Ada 123

137 12 VMS tidak diaktifkan Tidak ada 14 Pelanggaran Alat Tangkap Ada 15 ABK asing tidak sesuai dengan SIPI Ada Sumber: Data diolah, Pelaku IUU Fishing Negara asal pelaku IUU fishing di Sorong adalah Filipina, dan mengutip pernyataan Direktur Wilayah Pertahanan di Direktorat Jenderal (Starhan) Kementerian Pertahanan dan Keamanan, Kol Laut Drs Haris Nugrioho Msi pada kegiatan fasilitas penegasan status hukum batas Negara RI-Filipina, yang difasilitasi Badan Pengelola Perbatasan Provinsi Sulut, 3 Mei 2012, belum ada penegasan kesepakatan terkait batas wilayah antara Indonesia dengan Filipina, sehingga memungkinkan menjadi potensi pelanggaran batas wilayah pengelolaan perikanan Indonesia-Filipina. Semua kapal pelaku IUU fishing hingga Agustus 2012 yang ditangani oleh Pos Pengawasan SDKP Sorong berasal dari Filipina. Ukuran kapal-kapal yang disita ini merupakan kapal-kapal berukuran kecil (< 10 GT) dan berukuran besar (> 60 GT) dengan alat tangkap yang dipergunakan pada umumnya adalah jenis alat pancing hanyut dan trawl. Berdasarkan pada hasil wawancara dengan salah satu PPNS perikanan di Pos Pengawasan SDKP Sorong, semua pelaku IUU fishing ini hanya dapat berkomunikasi dengan bahasa ibu mereka (bahasa Tagalog), sehingga cukup menyulitkan petugas untuk berkomunikasi dengan mereka jika tidak dibantu oleh penterjemah. Motif utama para pelaku IUU fishing yang ditangani di Sorong ini adalah motif ekonomi, karena mereka menganggap lebih mudah mendapatkan hasil tangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia, dan mereka pada umumnya bukanlah merupakan nelayan kecil dan merupakan nelayan tradisional, sehingga memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi, sehingga jika dibebankan kewajiban harus membayar denda, mereka menyatakan tidak mampu membayar dan lebih memilih untuk ditahan atau dipenjara. (Gambar 4.15). 124

138 Gambar Kapal Filipina yang disita di pelabuhan perikanan Sorong (Sumber: Kegiatan IUU Fishing 2012) Upaya memerangi praktek IUU fishing yang telah dilakukan oleh penegak hukum di lokasi penelitian Pos Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Unit kerja bidang pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan pusat yang berada di wilayah Sorong merupakan bagian dari Stasiun Pengawasan SDKP Tual. Tugas pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan yang berlangsung selama 24 jam dan 7 hari dalam seminggu, membuat jadwal kerja pengawasan para pengawas dan juga penyidik PNS perikanan bertugas selama waktu tersebut dengan pembagian jam tugas dan kelompok tugas. Apalagi dengan jumlah personil pengawas 5 petugas, dimana 3 merangkap sebagai penyidik pembantu PPNS perikanan, dan 2 PPNS perikanan yang diperbantukan dari dinas kelautan dan perikanan pemerintah daerah setempat, meskipun mungkin saat ini 1 PPNS perikanan dari Kota Sorong telah pindah ke Kabupaten Raja Ampat. Barang bukti berupa kapal sitaan yang ditangani oleh pos pengawasan SDKP Sorong berasal dari Filipina. Status hukum dari kapal-kapal sitaan tersebut, berdasarkan data dari pos pengawasan, ada yang merupakan titipan kejaksaan karena kasus masih pada tahapan pemeriksaan di pengadilan, dan 2 unit kapal telah memiliki kekuatan hukum tetap (incracht) tetapi belum ada tindakan lebih lanjut dari 125

139 jaksa penuntut umum pelaksana dari putusan pengadilan, padahal dikhawatirkan jika semakin lama dibiarkan akan semakin hilang nilai ekonomis dari kapal tersebut. Keberadaan kapal-kapal sitaan yang dititipkan penuntut umum ke PPNS Perikanan Sorong untuk kemudian dititipkan di Pelabuhan Pendaratan Ikan Sorong menimbulkan masalah tersendiri pada saat tempat labuh sandar kapal penuh dan ada kapal-kapal perikanan yang akan melabuh di pelabuhan perikanan tersebut. Penanganan kapal sitaan berbeda dengan barang/benda sitaan lainnya, karena sifat dan kondisi kapal dan letak kapal yang beresiko tinggi untuk rusak, dan karena itu perlu diperhatikan lebih lanjut. Peran pengawas perikanan, selain sebagai pengawas sumber daya kelautan dan perikanan, juga sebagai penyidik kasus perikanan (bagi yang telah berstatus penyidik PNS perikanan). Jadi setelah penangkapan, proses pemberkasan pada tahapan penyidikan juga dilakukan oleh penyidik PNS perikanan, meskipun ada juga yang ditangani oleh kepolisian dan TNI AL. Jika telah usai proses penyidikan tersebut, maka berkas perkara dilimpahkan untuk proses selanjutnya yaitu penuntutan. Penanganan kepada tersangka/terdakwa kasus perikanan warga negara asing yang ditangkap di wilayah perairan ZEE Indonesia membawa permasalahan tersendiri bagi para pengawas dan penyidik PPNS perikanan di Sorong, karena berdasarkan ketentuan hukum internasional, para pelaku IUU fishing ini tidak dapat ditahan ataupun dipenjara, dan akhirnya diambil kebijakan untuk melokalisir mereka dalam lokasi khusus di dekat pos pengawasan SDKP Sorong. Meskipun kebijakan ini agak mengganggu disisi anggaran operasional karena tidak dianggarkan dalam anggaran stasiun pengawasan SDKP Sorong. Pelabuhan Pendaratan Ikan Sorong Berdasarkan pada hasil wawancara dengan perwakilan dari petugas pelabuhan perikanan, diterangkan bahwa peran pelabuhan berdasarkan landasan hukumnya hanya menjalankan fungsi pelayanan, kalaupun terkait dengan kegiatan penanganan IUU fishing hanya bersifat pencegahan, yaitu pada saat pengurusan dokumen perijinan kapal perikanan, dimana jika persyaratan belum dilengkapi, maka 126

140 surat persetujuan berlayar tidak dapat dikeluarkan, dan hal itu cukup ampuh membuat para pelaksana dari kapal-kapal perikanan memenuhi kewajiban administrasi. Selain terkait perijinan, juga terkait dengan pemanfaatan fasilitas pelabuhan, seperti tambat labuh kapal perikanan. Terkait dengan penanganan barang bukti kasus perikanan yang dititipkan kepada penyidik perikanan kemudian dititipkan ke pelabuhan perikanan, seperti kapal perikanan dan ikan hasil tangkapan, sebaiknya di masa yang akan datang dapat lebih memperhatikan penanganan barang bukti tersebut agar tidak mengalami penurunan nilai jual yang terlalu jauh karena akan merugikan negara secara tidak langsung. Pernah terjadi ikan hasil tangkapan yang menjadi barang bukti sitaan sampai menjadi busuk di tempat penyimpanan hanya karena menunggu selesainya penanganan kasus perikanan tersebut. Hal ini menjadikan negara rugi, karena barang bukti tidak dapat dijual karena kehilangan nilai ekonomisnya. Administrator Pelabuhan Sorong Kewenangan kementerian perhubungan dalam hal ini perhubungan laut berdasarkan pada ketentuan undang-undang pelayaran dan yang terkait dengan masalah perhubungan menjadikan semua kapal harus berhubungan dengan kementerian perhubungan, karena terkait dengan dokumen kapal dan laik lautnya kapal. Berdasarkan keterangan dari salah satu petugas adpel Sorong, diterangkan bahwa kondisi pada saat ini, laik operasi kapal perikanan belum tentu dianggap laik laut oleh administrator pelabuhan (adpel). TNI AL Unsur TNI AL yang membantu dalam kegiatan pemberantasan IUU fishing adalah pangkalan TNI AL (Lanal) Sorong. Operasi pengawasan SDKP bagi pihak TNI AL adalah merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi keamanan laut Indonesia. Operasi pengawasan ini merupakan bagian dari kegiatan operasi pada masa damai (diluar operasi perang). Berdasarkan keterangan dari perwira hukum TNI AL di Sorong, penanganan kasus pidana yang terjadi di laut berbeda dengan penanganan kasus pidana di darat, karena hukum yang berlaku di laut tidak hanya hukum nasional, tetapi juga ketentuan hukum internasional. Pada saat ini, TNI AL masih 127

141 menangani 5 kasus perikanan, dan terdapat 8 kapal sitaan yang berada di Lanal Sorong, dengan 1 unit kapal sebaiknya dirumponkan saja. Selain itu, terdapat lebih dari 10 orang warga negara filipina yang dilokalisir di Lanal Sorong, karena kasus mereka belum selesai. Penuntut Umum Pada proses penuntutan, berdasarkan pada penjelasan kepala sie penuntutan pidana khusus pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Sorong, untuk kasus tindak pidana perikanan (baca: kasus IUU fishing), ditangani sebagai tindak pidana khusus, karena tindak pidana perikanan telah diatur secara khusus dalam UU No.45 Th.2009 jo. UU No.31 Th.2004 tentang Perikanan dengan penanganan yang berbeda dengan tindak pidana biasa. Berdasarkan penjelasan dari salah satu penuntut umum yang pernah dan sedang menangani kasus perikanan, menangani kasus perikanan cukup sulit pada saat penanganan barang bukti yang berbeda dengan barang bukti tindak pidana lainnya, dan pada saat menangani para pelakunya, karena penerapan hukum dilaut tidak hanya terikat dengan hukum nasional, tetapi juga terkait dengan ketentuan hukum internasional. Berdasarkan pada hasil kunjungan tim dari Bakorkamla (termasuk didalamnya unsur dari Kejaksaan Agung RI) direncanakan akan dibangun tempat khusus untuk penitipan dan penyimpanan barang bukti dan sitaan untuk kasus perikanan, sehingga tidak akan mengganggu kinerja dari instansi penyidik yang selama ini dititipkan barang bukti dan sitaan untuk kasus perikanan. Pengadilan Negeri (PN) Sorong Penanganan tindak pidana perikanan dilakukan oleh hakim karier yang pernah mengikuti pelatihan untuk penanganan kasus perikanan. Meski ditangani oleh PN Sorong, kasus perikanan tetap diperlakukan sebagai tindak pidana khusus, karena ketentuan yang mengaturnya juga khusus. Meskipun jika tidak ada hakim yang memiliki kemampuan bidang perikanan, berdasarkan peraturan perundangundangan, pengadilan tidak boleh menolak jika ada pelimpahan semua kasus (termasuk didalamnya kasus perikanan) yang dilimpahkan oleh penuntut dengan alasan belum ada hukumnya atau tidak ada hakim adhoc perikanannya. 128

142 Berdasarkan keterangan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), Penyidik PPNS Perikanan, dan Perwira Hukum TNI AL, jumlah kasus perikanan yang ditangani oleh PN Sorong berkisar antara 7-8 kasus tiap tahunnya, jika pada tahun 2012 hingga bulan Agustus baru 6 kasus. Para hakim yang menangani kasus perikanan memiliki beragam pendapat berdasarkan pada pengalaman mereka menangani kasus perikanan. Jika terkait dengan peran pengadilan perikanan, mereka menyatakan bahwa pengadilan memang memiliki peranan pasif, menanti kasus perikanan masuk ke pengadilan, karena memang undang-undang menetapkan demikian. Terkait dengan proses pemeriksaan di pengadilan, kesulitan terbesar adalah masalah bahasa yang dikuasai para terdakwa, padahal penterjemah yang mengerti bahasa mereka (filipina) hanya 1 orang saja dan penterjemah tersebut membantu semua penegak hukum yang membutuhkan jasanya jika terkait dengan tersangka/terdakwa berasal dari Filipina. Putusan pengadilan perikanan selalu dilakukan berdasarkan hasil musyawarah majelis hakim setelah memeriksa berkas perkara dan memeriksa saksi di sidang pengadilan. Penentuan besarnya pidana penjara, kurungan, maupun denda dilakukan setelah memperhitungkan tingkat kerugian yang diderita akibat perilaku para pelaku IUU fishing ini bagi Indonesia. Peran Masyarakat Untuk wilayah Papua Barat juga telah melibatkan peran masyarakat untuk aktif melakukan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dengan jumlah kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) 5 unit (Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011); dan berdasarkan keterangan dari kepala dinas kelautan dan perikanan Kota Sorong 1 pokmaswas tersebut berada di Kota Sorong. 4.3 Efektifitas Kelembagaan Penegakan Hukum IUU Fishing di Indonesia Penegakan hukum bagi para pelaku IUU Fishing di Indonesia termasuk dalam bagian sistem peradilan pidana dan melibatkan beberapa lembaga penegak hukum yang berkaitan satu sama lain. Dimulai dari proses perijinan dokumen, karena jika perijinan tidak lengkap, berdasarkan peraturan perundang-undangan sudah termasuk dalam kategori melakukan usaha perikanan ilegal. Proses penegakan 129

143 hukum yang dilakukan harus berdasarkan peraturan, berfungsi dengan baik jika dapat meminimalkan tindakan pelanggaran hukum berikutnya, meminimalkan kerugian negara, dan menimbulkan efek jera bagi para pelaku sehingga tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut Analisis Kelembagaan (Wadah dan Dasar Hukum) Kelembagaan penanganan IUU Fishing di Indonesia dilakukan oleh berbagai instansi terkait, seperti unit kerja dari kementerian perhubungan terkait dengan dokumen perizinan kapal; unit kerja dari kementerian kelautan dan perikanan terkait dengan dokumen usaha perikanan, pengawasan, dan penyidikan kasus perikanan; kepolisian RI selaku penyidik utama dalam KUHAP; TNI AL sebagai penyidik untuk kasus perikanan di wilayah ZEEI; kejaksaan selaku penuntut umum dan pelaksana putusan untuk kasus-kasus perikanan; pengadilan, dalam hal ini para hakim karier yang telah dilatih khusus untuk menangani kasus-kasus perikanan dan hakim ad hoc perikanan yang merupakan tenaga ahli dibidang perikanan yang dijadikan sebagai anggota majelis hakim untuk membantu menangani kasus perikanan, dan juga instansi lainnya seperti pemerintah daerah kabupaten/kota dalam hal kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan secara berkelanjutan. Tahapan penanganan kasus perikanan dimulai dengan penangkapan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, dan diakhiri dengan pelaksanaan dari putusan (Gambar 4.16). Penangkapan Penyidikan Penuntutan Pengadilan Pelaksanaan Putusan Gambar Tahapan Penanganan Kasus Perikanan (Sumber: Data diolah, 2012). 130

144 Jika melihat pada tugas pokok dan fungsi dari penanganan kasus perikanan, maka kelembagaan dapat dilakukan pembahasan sebagai berikut. (1) Kelembagaan penyidik kasus perikanan Penanganan kasus perikanan setelah adanya penangkapan terhadap tersangka pelaku IUU Fishing, dilakukan proses penyidikan. Berdasarkan pada Pasal 1 angka 2 KUHAP, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang, untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 72 UU No.31 Tahun 2004, Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Penyidik pada kasus perikanan berdasarkan pada ketentuan Pasal 73 UU No.45 Tahun 2009 dilakukan tidak hanya oleh 1 (satu) instansi saja. Berdasarkan ketentuan pasal 73, kewenangan penyidikan dibagi berdasarkan wilayah kewenangan sebagai berikut. (a) Untuk wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (b) Untuk wilayah ZEEI dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan dan Penyidik Perwira TNI AL. (c) Untuk wilayah pelabuhan perikanan, diutamakan penyidikan dilakukan oleh PPNS Perikanan. Pada saat pelaksanaan penyidikan, para Penyidik dapat melakukan koordinasi dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan, dan untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan melalui pembentukan forum koordinasi oleh Menteri terkait (dalam hal ini menteri KKP). Kewenangan yang dimiliki oleh para penyidik kasus perikanan, berdasarkan ketentuan Pasal 73 A UU No.45 Tahun 2009 sebagai berikut. 131

145 (a) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan; (b) memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; (c) membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; (d) menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan; (e) menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan; (f) memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan; (g) memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan; (h) mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan; (i) membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan; (j) melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana; (k) melakukan penghentian penyidikan; dan (l) mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan. Jangka waktu proses penyidikan kasus perikanan lebih sedikit jika dibandingkan penanganan kasus biasa. Jika melihat pada ketentuan Pasal 73 B UU No.45 Tahun 2009, Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditemukan adanya tindak pidana di bidang perikanan. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 (dua puluh) hari. Jika dalam jangka waktu tersebut pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10 (sepuluh) hari. Jika pemeriksaan selesai lebih cepat, tersangka dapat dikeluarkan sebelum berakhir waktu penahanan teersebut. Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, maka penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. 132

146 Hambatan yang dialami oleh para penyidik kasus perikanan adalah pada saat penangkapan tersangka warga negara asing (WNA) di wilayah ZEEI, karena pada saat penyidikan dilakukan, tersangka tidak boleh ditahan, sehingga pada saat ini biasanya terjadi kebingungan dalam penanganan, di Pontianak dibangun rumah detensi untuk para tersangka ini, jika proses penanganan terlampau lama jangka waktunya, kesulitan pembiayaan hidup bagi para tersangka ini juga memjadi masalah berikutnya, karena jika terjadi kondisi yang tidak diinginkan seperti kematian, akan mendatangkan masalah baru. Pembiayaan bagi para tersangka di rumah detensi ini tidak ada dalam penganggaran, sehingga akan menyulitkan para penyidik kasus perikanan dalam menjalankan tugasnya. (2) Kelembagaan penuntut umum kasus perikanan Proses selanjutnya ditangani oleh kelembagaan penuntut umum atau lebih dikenal dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Berdasarkan Pasal 73A UU No.45 Tahun 2009, penyidik menyampaikan hasil penyidikan ke penuntut umum paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan. Ketersediaan JPU untuk kasus perikanan di setiap daerah berbeda, pada umumnya, JPU kasus perikanan terdapat pada kejaksaan negeri setempat. Namun berbeda untuk wilayah Pontianak, hanya ada 1 (satu) JPU kasus perikanan, dan karena itu proses penuntutan dilakukan oleh JPU kasus perikanan yang ada pada Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat. (3) Kelembagaan pengadilan dalam penanganan kasus perikanan Tahapan berikutnya setelah penuntutan adalah masuk ke pengadilan. Kelembagaan pengadilan lebih bersifat passive, hanya menunggu ada atau tidaknya kasus perikanan yang diajukan ke pengadilan untuk diselesaikan. Banyak atau tidaknya kasus-kasus perikanan yang ditangani tergantung pada proses sebelumnya, jika pada tahapan penuntutan dinyatakan selesai (P 21) dan siap untuk diajukan penanganannya di pengadilan, maka pengadilan baru akan memeriksa kasus tersebut. 133

147 Ketersediaan hakim karier perikanan dan hakim ad hoc perikanan pada suatu pengadilan perikanan tergantung pada kebijakan penempatan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Karena pada kenyataannya, terkadang dianggap tidak sempurna menugaskan sejumlah hakim dengan jumlah perkara yang ditangani. Kasus di Jakarta Utara, pada tahun 2009-April 2012 tidak ada kasus perikanan yang masuk ke kepaniteraan pengadilan negeri Jakarta Utara. Jumlah hakim karier perikanan pada pengadilan ini sekitar 4 (empat) orang, sedangkan jumlah hakim ad hoc terdapat 7 (tujuh) orang (data per April 2012). Jika melihat hal tersebut, dapat timbul pertanyaan mengenai keberadaan hakim ad hoc perikanan, karena jika hakim karier perikanan masih bisa menangani kasus-kasus lainnya, sedangkan hakim ad hoc perikanan, hanya berkompeten untuk menangani kasus perikanan. Untuk di wilayah Pontianak, dengan jumlah 5 (lima) orang hakim ad hoc perikanan, dianggap sudah memenuhi kebutuhan ideal untuk penanganan kasus perikanan. Pada saat mengumpulkan data dan informasi terkait hakim-hakim yang menangani kasus-kasus perikanan, terdapat wacana hakim ad hoc perikanan agar dapat diperbantukan untuk menangani kasus perikanan di wilayah pengadilan negeri lain dimana tidak terdapat hakim ad hoc pada pengadilan tersebut, namun pengadilan menangani kasus perikanan. Karena jika melihat ketentuan Pasal 106 UU No. 31 Tahun 2004, selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan, perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar daerah hukum pengadilan perikanan, tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang dengan menggunakan ketentuan Pasal 107 UU No.31 Tahun 2004 bahwa terkait Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan bagi perkara tindak pidana di bidang perikanan yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri dilakukan sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-undang perikanan. Terkait dengan materi putusan majelis hakim untuk kasus perikanan, jika melihat pada ketentuan undang-undang terkait perikanan, terdapat hambatan jika terdakwa dalam kasus perikanan tersebut adalah warga negara asing (WNA) yang ditangkap (locus delicti) di wilayah ZEEI, karena jika mengacu pada ketentuan pasal 134

148 102 UU No. 31 Tahun 2004, Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undangundang ini tidak berlaku, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 102 ini dikarenakan Indonesia telah meratifikasi seluruh ketentuan UNCLOS 1982 melalui UU No.17 Tahun Pada salah satu ketentuan UNCLOS tersebut, dalam hal ini ketentuan Pasal 73 ayat (3):...Coastal state penalties for violations of fisheries laws and regulations in the exclusive economic zone may not include imprisonment, in the absence of agreements to the contrary by the state concerned, or any other form of corporal punishment.... Jika melihat pada materi dari pasal ini, karena terdakwa adalah merupakan warga negara asing, dan melanggar ketentuan di wilayah ZEEI, maka hukum negara yang dijatuhkan tidak boleh mencakup pengurungan (perampasan kemerdekaan), jika tidak ada perjanjian sebelumnya antara negaranegara yang bersangkutan. Hal ini menjadi hambatan bagi majelis hakim yang menangani kasus perikanan untuk menjatuhkan sanksi. Jika melihat pada pasal 73 ayat (3) UNCLOS tersebut dan ketentuan Pasal 102 UU No.31 Tahun 2004, sanksi yang dijatuhkan dalam putusan tidak akan memberikan efek jera kepada para pelaku IUU Fishing. (4) Kelembagaan pelaksana putusan kasus perikanan Pelaksana dari putusan pengadilan melekat pada lembaga JPU. Jika melihat kondisi di lokasi penelitian, terlihat terdapat hambatan yang dialami oleh para pelaksana putusan. Hambatan-hambatan tersebut sebagai berikut: (a) Terkait barang bukti, penanganan barang bukti untuk kasus perikanan baru ada pada saat UU No.45 Tahun Pengaturan terkait barang bukti sebagai berikut: - Ketentuan Pasal 76 A Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri. - Untuk Ketentuan Pasal 76 B, barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak atau memerlukan biaya perawatan yang tinggi dapat 135

149 dilelang dengan persetujuan ketua pengadilan negeri, dan barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa jenis ikan terlebih dahulu disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Hanya saja pada pelaksanaan lelang barang bukti yang mudah rusak atau memerlukan perawatan tinggi susah untuk dilelang, dikarenakan bentuk dan fungsi barang bukti tersebut berbeda dengan yang biasanya ada di Indonesia. - Ketentuan Pasal 76 C mengatur bahwa benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 A dapat dilelang untuk negara; pelaksanaan lelang dilakukan oleh badan lelang negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; uang hasil pelelangan dari hasil penyitaan tindak pidana perikanan disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak; aparat penegak hukum di bidang perikanan yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dan pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara diberi penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan yang berupa kapal perikanan dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan; ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jika melihat ketentuan ini, pelaksanaan lelang barang bukti dianggap lebih rumit dan memakan biaya dan waktu bagi JPU pelaksana putusan, dan terkadang hasil lelang lebih rendah dari biaya yang telah dikeluarkan, oleh karena itu pada saat ini jarang sekali dilakukan lelang barang bukti kasus perikanan kecuali untuk bagian-bagian tertentu seperti alat tangkap yang memiliki nilai ekonomi tinggi. (b) Terkait pidana denda yang dikenakan hukuman pengganti berupa kurungan untuk terdakwa terkait Pasal 102 UU No.31 Tahun 2004, tidak dapat dilaksanakan, karena terdakwa biasanya akan membuat pernyataan tidak mampu membayar denda yang tinggi dan bersedia melaksanakan hukuman 136

150 kurungan. Namun jika hukuman kurungan dilakukan akan dianggap melanggar ketentuan hukum internasional, sehingga akhirnya terdakwa dibebaskan dikembalikan ke negara asalnya. (5) Kelembagaan pembuat kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya ikan secara berkelanjutan Kelembagaan pembuat kebijakan ini terdapat di pusat dan di daerah. Kebijakan yang dibuat pada umumnya mengatur mengenai pemanfaatan sumber daya ikan secara berkelanjutan. Meskipun pada saat pelaksanaan pembuatan kebijakan disesuaikan dengan kondisi daerah tersebut. Seperti di wilayah Sambas, kebijakan pemerintah setempat melalui dinas teknis terkait untuk tidak membuat peraturan daerah, karena menganggap ketentuan perundang-undangan nasional sudah cukup dan hanya tinggal dilaksanakan secara optimal. (6) Kelembagaan terkait lainnya Kelembagaan terkait lainnya dalam hal penanganan kasus IUU Fishing seperti kelembagaan imigrasi, yang bertugas menangani permasalahan terkait WNA. Terkait dengan kasus-kasus perikanan yang terjadi di wilayah ZEEI, pihak imigrasi untuk wilayah Pontianak, berkoordinasi dengan pengawas SDKP Pontianak, meminta agar kasus-kasus perikanan tersebut selesai hingga putusan memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht) sehingga pada tahapan berikutnya pihak imigrasi dapat membantu penyelesaian terhadap WNA tersebut. Penanganan kasus IUU Fishing juga terkait dengan tugas kesyahbandaran. Di Indonesia selain terdapat syahbandar perikanan yang terdapat di pelabuhan perikanan, juga terdapat syahbandar di pelabuhan umum. Dasar keberadaan kedua syahbandar ini berbeda, untuk syahbandar umum mengacu pada UU No.17 Th.2008 tentang Pelayaran, sedangkan syahbandar perikanan mengacu pada ketentuan undang-undang perikanan. Hanya saja jika dipelajari lebih lanjut, syahbandar perikanan ada akibat adanya pelabuhan khusus, dan hal ini sebenarnya diatur juga dalam undang-undang pelayaran. Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya tidak akan terjadi konflik dalam pelaksanaan tugas masing-masing. 137

151 Berikut adalah tabel tanggungjawab penanganan barang bukti kasus perikanan dimulai dari penangkapan hingga usulan solusi yang diangkat berdasarkan permasalahan yang ditemukan. (Tabel 4.19) Tabel Tanggung Jawab Penanganan Barang Bukti Kasus Perikanan. Penangkapan dan Penuntutan dan Penyidikan Pengadilan Pelaksanaan Putusan UU Pelaksanaan UU Pelaksanaan UU Pelaksanaan Penyidik Penyidik JPU JPU Rumah JPU tetap (Polair, menitipkan Penyimpanan menitipkan TNI AL, ke penyidik Benda Sitaan ke penyidik, PPNS) Negara jadi BB (RUPBASAN) didiamkan Sumber: Data diolah, Permasalahan yang muncul Keterbatasan tempat penyimpanan BB Mahalnya biaya perawatan BB Penentuan Nilai BB lebih rendah dari nilai lelang Usulan solusi pembuatan RUPBASAN khusus BB perikanan Analisis Kewenangan dan Kewilayahan Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Wewenang memiliki pengaruh dimana penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum; dasar hukum, dimana kewenangan dilakukan berdasarkan pada dasar hukum yang melekat pada kewenangan tersebut; dan konformitas hukum, dimana kewenangan tersebut dilakukan dengan memperhatikan standar kewenangan yang diamanatkan oleh dasar hukum pemberian kewenangan. Keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum perikanan dalam menangani kasus-kasus perikanan memiliki tugas dan kewenangan tertentu berdasarkan dasar hukum yang menjadi dasarnya. Kewenangan dalam hal ini dikelompokkan berdasarkan proses penanganan, mulai dari perizinan, penangkapan, penyidikan, penuntutan, proses pengadilan, hingga pelaksanaan putusan pengadilan. 138

152 Perizinan Kewenangan perizinan terkait dengan kapal perikanan hingga perijinan terkait dengan usaha penangkapan ikan. Kewenangan dimiliki oleh: (1) kementerian perhubungan dalam hal ini perhubungan laut (terkait kapalnya saja); (2) kementerian kelautan perikanan dalam hal ini : a. perikanan tangkap (terkait dengan ijin kapal perikanan, ijin penangkapan ikan, ijin penggunaan alat tangkap ikan), b. pengawasan sumber sumber daya kelautan perikanan c. pelabuhan perikanan Penangkapan Kewenangan penangkapan jika diketemukan adanya kegiatan pelanggaran ketentuan dalam pelaksanaan usaha penangkapan ikan. Kewenangan ini dimiliki oleh instansi-instansi penegak hukum yaitu: (1) kepolisian (dalam hal ini kepolisian perairan), kewenangan ini dibatasi jika terjadi di wilayah perairan dalam wilayah Indonesia hingga wilayah laut teritori. (2) kementerian kelautan dan perikanan (dalam hal ini pengawas perikanan dan PPNS perikanan), berdasarkan dasar hukum undang-undang perikanan meliputi seluruh wilayah perairan Indonesia hingga ke wilayah ZEEI. (3) TNI AL, jika melihat pada dasar pemberian tugas penegakan keamanan laut, kewenangan penangkapan TNI AL hanya terkait jika dianggap terjadi ancaman terhadap keamanan laut hingga di wilayah ZEEI Penyidikan Kewenangan penyidikan kasus perikanan dimiliki oleh instansi-instansi penegak hukum yaitu: (1) kepolisian (dalam hal ini kepolisian perairan), kewenangan ini dibatasi hanya untuk kasus-kasus perikanan yang terjadi di wilayah perairan dalam wilayah Indonesia hingga wilayah laut teritori. 139

153 (2) kementerian kelautan dan perikanan (dalam hal ini PPNS perikanan), berdasarkan dasar hukum undang-undang perikanan meliputi kasus-kasus perikanan yang terjadi seluruh wilayah perairan Indonesia hingga ke wilayah ZEEI. (3) TNI AL, untuk kasus-kasus perikanan yang mereka tangkap. Kewenangan penyidikan ini pada pelaksanaannya dapat dilaksanakan tergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi dilapangan, karena bisa saja terjadi pelimpahan kewenangan pemeriksaan penyidikan dari penyidik kepolisian kepada penyidik perikanan ataupun sebaliknya, dari penyidik perikanan kepada TNI AL ataupun sebaliknya, dari TNI AL kepada kepolisian ataupun sebaliknya. Pelimpahan kewenangan tersebut terjadi apabila terdapat kondisi keterbatasan waktu, jumlah penyidik, dan prioritas pelaksanaan tugas yang sedang dijalankan instansi tersebut Penuntutan Kewenangan penuntutan dimiliki oleh kejaksaan hukum dalam hal ini para jaksa penuntut umum yang telah diberikan pelatihan untuk menangani penuntutan kasus perikanan, pada umumnya jaksa penuntut umum kasus perikanan terdapat di kejaksaan negeri, namun di wilayah tertentu, mungkin saja jaksa penuntut umum kasus perikanan berada di kejaksaan tinggi, hal ini dapat saja terjadi karena jaksa penuntut umum yang berada di kejaksaan negeri belum memenuhi persyaratan untuk menangani masalah penuntutan kasus perikanan Pemeriksaan pengadilan Kewenangan pemeriksaan pengadilan dilakukan oleh majelis hakim yang telah ditentukan oleh ketua pengadilan. Pada saat proses pemeriksaan pengadilan, majelis hakim selain memeriksa para terdakwa kasus perikanan, juga memeriksa para saksi kasus perikanan yang dianggap diperlukan untuk membuktikan kesalahan para terdakwa kasus perikanan tersebut, antara lain pihak yang melakukan penangkapan, pihak penyidik, dan dapat juga dibantu dengan menghadirkan saksi ahli terkait kasus tersebut. Kewenangan pemeriksaan kasus perikanan tidak hanya melekat pada pengadilan perikanan, namun juga melekat 140

154 pada pengadilan negeri. Hal ini terjadi apabila di wilayah penanganan kasus perikanan tersebut tidak terdapat pengadilan khusus perikanan Pelaksanaan putusan pengadilan Kewenangan pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh lembaga kejaksaan. Kejaksaan, selain memiliki tugas dan kewenangan sebagai penuntut umum juga memiliki tugas dan kewenangan dalam pelaksanaan putusan pengadilan. Pada saat pelaksanaan putusan pengadilan kasus perikanan ini, kejaksaan dapat melakukan koordinasi dengan instansi lain untuk membantu pelaksanaan putusan disesuaikan dengan tugas dan kewenangan dari instansi tersebut. Seperti terkait dengan pemulangan para terdakwa kasus perikanan, pihak kejaksaan berkoordinasi dengan pihak imigrasi; terkait dengan pelaksanaan hukuman badan (penjara ataupun kurungan) dilakukan dengan berkoordinasi dengan pihak lembaga pemasyarakatan (LP); dan terkait dengan penanganan barang bukti yang disita oleh negara dilakukan dengan berkoordinasi dengan instansi tempat barang bukti dititipkan (seperti kepolisian perairan, PPNS perikanan, TNI AL) Analisis Efektifitas Kelembagaan (Permasalahan dalam pelaksanaan kewenangan) Pada saat pelaksanaan tugas dan kewenangan dari instansi-instansi penegak hukum perikanan masih timbul permasalahan, antara lain terkait dengan kewenangan penangkapan, kewenangan penyidikan, penanganan para pelaku IUU fishing (mulai dari penangkapan hingga putusan), hingga penanganan barang bukti kasus perikanan. Dengan banyaknya instansi penegak hukum perikanan yang terkait satu sama lain, pada saat pelaksanaannya perlu dilihat pelaksanaan tugas dan kewenangan masing-masing,sejauhmana aturan hukum itu diterapkan dan faktor kendala yang ada. Pada saat ini, berdasarkan pada aturan hukum positif, yang berlaku khusus bagi perikanan adalah UU No.45 Th.2009 jo. UU No.31 Th.2004 tentang Perikanan, sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat lex generalis. Terkait dengan permasalahan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan untuk 141

155 kasus perikanan, hingga penanganan barang bukti kasus perikanan, berlaku ketentuan Bab XIV tentang Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan perikanan undang-undang perikanan. Hasil temuan dalam penelitian terlihat dalam proses perizinan perkapalan, dimana terdapat dua instansi utama terkait perizinan perkapalan, yaitu kementerian perhubungan dan KKP. Temuan dari lokasi penelitian menyatakan jika dari pihak perwakilan kementerian perhubungan (administrator pelabuhan Sorong) menyatakan dasar hukum pelaksanaan tugas fungsi dan kewenangan mereka adalah UU No.17 Th.2008 tentang pelayaran, KKP hanya melaksanakan sebagian kecil dari bagian peraturan tersebut dan dasar pelaksanaan utama kegiatan KKP adalah undang-undang perikanan. Disarankan sebaiknya ada komunikasi antar pembuat kebijakan di tingkat pusat antarkementerian (kemenhub dan KKP) untuk mempermudah pelaksanaan di lapangan, karena bisa ada kerjasama dalam pengurusan perizinan sehingga mempermudah pelayanan kepada pengguna jasa. Kerjasama tersebut tetap dalam koridor tidak menyalahi tugas fungsi dan kewenangan masing-masing institusi. Seperti pengurusan dokumen perkapalan (umum) tetap di kemenhub, namun untuk kapal perikanan bisa saja terkait pengurusan dokumennya menempatkan staff di lokasi pembuatan dokumen perkapalan, begitupun sebaliknya. Karena kemenhub juga memiliki keterbatasan jumlah pelabuhan untuk melayani sedangkan perikanan saat ini juga sudah memiliki banyak pelabuhan khusus perikanan. (Tabel 4.20.). Pada proses penanganan kegiatan illegal, unreported, dan unregulated di mata hukum, terdapat peran sebagai penyidik, penuntut umum, peradilan, dan pada saat pelaksanaan putusan. Untuk penanganan kasus pidana perikanan pembagian perannya sebagai berikut. (Tabel 4.20.) 142

156 Tabel Pembagian Peran Pada Penanganan Kasus Pidana Perikanan Penyidik Penuntut Umum Peradilan Pelaksana Putusan Kepolisian (Polair) PPNS Perikanan Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Tinggi TNI AL Sumber: Data diolah Pengadilan Perikanan - Hakim Karier - Hakim Ad hoc Pengadilan Negeri - Hakim Karier - Dibantu saksi ahli yang biasanya dibantu oleh PPNS Perikanan Kejaksaan Negeri - Jaksa Permasalahan yang ditemukan pada saat penanganan kasus perikanan pada tiap tahapan sebagai berikut. (Tabel 4.21.) Tabel Permasalahan Pada Saat Penanganan Kasus Perikanan Tiap Tahapan. Tahapan Temuan Permasalahan Penanganan Penyidikan - Ditemukan kesulitan dalam proses penyidikan kasus perikanan karena minimnya jumlah PPNS perikanan yang mengerti mengenai tindak pidana perikanan. - Jumlah PPNS Perikanan terbatas, sedangkan kebutuhan akan PPNS perikanan untuk menangani kasus perikanan tinggi. - Di Pontianak, Stasiun PSDKP Pontianak memiliki tugas dan fungsi pengawasan di 5 Provinsi, meski dibantu dengan pembangunan pospos pengawasan, namun penempatan PPNS perikanan di pos-pos tersebut terbatas. - Di Sorong, PPNS perikanan yang memenuhi kualifikasi PPNS hanya ada 1 personil (Ka. Satker Pos Pengawasan), 3 penyidik pembantu belum memenuhi syarat kualifikasi S1. Penuntutan - Ditemukan bahwa penuntut umum untuk kasus perikanan adalah jaksa penuntut umum (JPU) harus mendapatkan sertifikasi pelatihan perikanan, dan merupakan JPU di kejaksaan negeri (kejari). - Di Pontianak, JPU untuk kasus perikanan hanya ada 1 di kejari dan lebih banyak di kejaksaan tinggi (kejati), sehingga penanganan kasus dilakukan oleh JPU di kejati. Peradilan - Ditemukan kasus perikanan tidak hanya ditangani di pengadilan perikanan melainkan juga ditangani oleh pengadilan negeri. Karena pengadilan tidak boleh menolak kasus. Permasalahannya adalah pada saat pemeriksaan di pengadilan, selain keterbatasan penterjemah bahasa asing, untuk mengerti terkait perikanan hanya meminta bantuan staff dari dinas kelautan dan perikanan setempat sebagai keterangan ahli, mengingat jika meminta PPNS perikanan tidak selalu tersedia

157 Pelaksanaan - Ditemukan bahwa pada saat pelaksanaan putusan, untuk putusan Putusan denda, terpidana tidak sanggup membayar, namun untuk melaksanakan hukuman subsidair kurungan, kadangkala tidak dijalankan, karena jika dijalankan dianggap melanggar ketentuan pasal 73 ayat (3) UNCLOS, untuk kasus perikanan yang ada di ZEEI. - Penanganan Barang Bukti kasus perikanan memerlukan tempat khusus dan penanganan khusus. Untuk di wilayah Sorong, pada saat ada kunjungan tim Bakorkamla timbul wacana untuk membangun rumah penyimpanan benda sitaan (rupbasan) khusus untuk kasus perikanan. - Kondisi pada saat ini kapal-kapal perikanan sitaan biasanya dititipkan oleh pihak kejaksaan setelah serahterima dari penyidik di tempat penyidik. Sumber: Data diolah Peran dan fungsi pengamanan dan penegakan hukum di laut yang ada selama ini masih belum berjalan secara efektif, karena terkesan masih terjadi tumpang tindih kewenangan. Jumlah insitusi/instansi maritim operasional (maritim agency) di Indonesia sebagai penyelenggara penegakan hukum di laut tergolong tinggi jika dibandingkan dengan banyak negara di dunia. Logikanya dengan jumlah instansi yang banyak menangani maka perairan Indonesia akan semakin aman, namun yang terjadi justru sebaliknya. Institusi/instansi maritim nasional saat ini sama-sama bekerja, namun tidak bekerja sama-sama. Unity of effort secara entitas nasional belum dapat terwujud, sehingga setidaknya perlu direkomendasikan dua jenis kebijakan penguatan peran KKP terkait dengan upaya memerangi IUU Fishing di Indonesia. Kebijakan penguatan peran KKP dalam mendorong sistem kolaboratif dan sinergisitas antar institusi yang terkait dengan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, dan kebijakan penguatan peran KKP dalam mendorong efektivtas kelembagaan hukum terkait dengan upaya memerangi maraknya IUU Fishing di Indonesi untuk menjamin pengelolaan perikanan berkelanjutan. 4.4 Opsi-Opsi Kebijakan dan Strategi Memerangi IUU Fishing Sebagai negara kepulauan yang besar, Indonesia dihadapkan pada banyaknya praktek IUU Fishing yang menimbulkan dampak sosial, ekonomi, politik dan ekologi. Besarnya dampak IUU Fishing, menuntut masyarakat global untuk mengatasi masalah ini. Untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan secara global, 144

158 maka ditetapkan berbagai instrument internasional, baik yang mengikat (hardlaw) maupun tidak mengikat (softlaw). Sementara dalam konteks Indonesia, kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan IUU Fishing di Indonesia dilakukan antara lain dengan mengeluarkan beberapa peraturan perundangundangan, seperti UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 45 Tahun Selain itu, pemerintah Indonesia (dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan) telah mengeluarkan beberapa peraturan menteri dalam mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutan umumnya dan memerangi IUU Fishing khususnya. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, kegiatan memerangi IUU Fishing dihadapkan pada beberapa permasalahan yang mengakibatkan upaya memerangi IUU Fishing tersebut tidak efektif. Kementerian Kelautan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, mempunyai tugas pokok melaksanakan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah kerjanya dan memulai kiprahnya sejak pertengahan tahun Secara bertahap, dilakukan peningkatan kemampuan PSDKP untuk menjaga sumber daya kelautan dan perikanan dari kegiatan perikanan yang tidak bertanggung jawab. Kenyataan yang terjadi dilapangan menunjukkan bahwa upaya pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh Ditjen PSDKP mengalami berbagai kendala. Hal ini disebabkan oleh masalah tumpang tindih kewenangan antara lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan dan penyidikan seperti Direktorat Polisi Perairan dan TNI AL yang juga secara undang-undang memiliki kewenangan melakukan pengawasan dan penyidikan. Selain itu, fungsi koordinasi yang dilakukan Bakorkamla belum efektif dalam melakukan koordinasi dan komunikasi antarstakeholders yang berperan dalam bidang pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. Dalam melakukan fungsi pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, PSDKP dihadapkan pada keterbatasan SDM, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Sebagai contoh, pada Pangkalan Pengawasan SDKP Bitung membawahi 145

159 10 Satuan Kerja (Satker), 42 Pos Pengawasan dan dengan area kerja meliputi 7 Provinsi dan mempunyai cakupan 4 dari 11 WPP-RI yang menjadi kewenangan pengawasannya, yaitu: WPP-RI 713 meliputi Selat Makasar, Teluk Bone, Perairan Laut Tarakan; WPP-RI 714 meliputi Perairan Laut Sulawesi Tenggara; WPP-RI 715 meliputi Laut Maluku, Teluk Tomini, Laut Halmahera; WPP-RI 716 meliputi Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera. Keluasan kewenangan dan daerah pengawasan ini tidak seimbang dengan sumberdaya yang dimiliki jumlah pengawas perikanan pada pangkalan, satker dan pos lingkup Pangkalan Pengawasan SDKP Bitung. Berdasarkan SK Dirjen PSDKP Nomor: KEP. 307/DJ- PSDKP/2011, pengawas perikanan berjumlah 181 orang, namun dari 181 orang tersebut hanya 10 orang yang telah resmi memiliki SK Jabatan Fungsional Pengawas Perikanan. Hal ini menjadi kendala tersendiri dalam melakukan fungsi pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. Berdasarkan UU No.45 Th.2009 disebutkan bahwa penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan (PPNS), Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan, diutamakan dilakukan oleh PPNS Perikanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa PPNS memiliki kewenangan khusus dalam menangani penyidikan kasus tindak pidana perikanan. Namun pada kenyataannya, keberadaan instansi Ditjen PSDKP yang relatif masih baru dengan keterbatasan jumlah PPNS menyebabkan fungsi ini belum dapat dilaksanakan dengan baik. Proses pemberkasan perkara yang harus dilakukan selama 30 hari dari masa penangkapan juga menjadi kendala tersendiri bagi aparat PPNS KKP dalam menindak kasus pidana perikanan, karena diperlukan pengalaman dan juga keahlian khusus dalam pemberkasan perkara agar dapat dinyatakan P-21 (pemeriksaan dinyatakan lengkap dan siap dilimpahkan untuk proses selanjutnya) dan dapat diteruskan proses penuntutan oleh kejaksaan. 146

160 Keterbatasan sarana dan prasarana juga menjadi kendala utama bagi Ditjen PSDKP dalam melakukan fungsi pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan. Data dari Ditjen PSDKP menyebutkan bahwa kepemilikan kapal pengawas hanya sebatas 24 unit, yang sebagian diantaranya yaitu sekitar 12 kapal sudah berusia 8-10 tahun sehingga memerlukan peremajaan dan masih jauh dari kondisi ideal dibutuhkan sebanyak 70 unit kapal pengawas dan 400 unit speed boat pengawasan. Ditjen PSDKP hanya mampu melaksanakan operasional kapal-kapal pengawas selama 180 hari pada tahun Hal tersebut diatas menunjukkan terbatasnya ruang gerak pengawasan baik dari sisi jumlah kapal pengawas yang jauh dibawah kondisi ideal maupun jumlah hari operasional pengawasan yang mampu dilakukan oleh Ditjen PSDKP. Peran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam memerangi IUU Fishing di bawah Ditjen PSDKP yang memiliki legitimasi kuat didalam hukum memegang kewenangan dalam mewujudkan pengelolaan perikanan berkelanjutkan yang menghadapi berbagai kendala sebagaimana disebutkan diatas. Oleh karena itu perlu diusulkan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan upaya penguatan peran PSDKP-KKP terutama dalam penanggulangan IUU Fishing di Indonesia. (1) Optimalisasi operasi patroli laut PSDKP a. Diperlukan system informasi musim tangkapan ikan dalam rangka mengoptimalkan waktu operasi efektif untuk menangkap pelaku IUU Fishing. Pembangunan sistem informasi perlu melibatkan beberapa lembaga yang memiliki informasi iklim, seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan dan Bakorkamla. b. Perlu membangun koordinasi yang baik dengan Direktorat Polair, TNI AL, dan Bakorkamla terkait dengan hari operasi. c. Optimalisasi operasi di daerah yang sering dimasuki kapal asing. d. Pengembangan sistem pelaporan IUU fishing yang melibatkan masyarakat, khususnya nelayan dan pelaut. (2) Peningkatan sarana dan prasarana penunjang dalam pelaksanaan kewenangan PPNS KKP. 147

161 a. Diperlukan pembangunan secara berkala baik jumlah maupun ukuran kapal patroli yang disesuaikan dengan kondisi geografis wilayah operasi. b. Perlu pembangunan dermaga tambat labuh untuk kapal pelaku IUU fishing sehingga memudahkan pengawasan dan menekan biaya sewa yang selama ini diberikan kepada TNI AL atau POLAIR. c. Penyediaan dan peningkatan anggaran untuk seluruh proses penyidikan (mekanisme pencairan anggaran tidak dibatasi hanya untuk kasus yang telah P 21). (3) Peningkatan kapasitas penyidik PPNS KKP, baik secara kuantitas maupun kualitas: a. Peningkatan jumlah PPNS baik secara nasional maupun untuk wilayahwilayah khusus yang sering terjadi IUU fishing b. Perlu adanya forum PPNS sehingga meningkatkan pengetahuan PPNS terhadap penanganan kasus-kasus IUU fishing di lokasi lain c. Perlunya pembekalan bahasa asing yang sering digunakan oleh pelaku IUU fishing 4.5 Dukungan Terhadap Isu Strategis Penanganan perikanan ilegal di Indonesia juga memberikan dampak dukungan terhadap isu strategis yang menjadi program dari beberapa kementerian, antara lain: Gender (Kementerian Negara Perempuan) Berdasarkan pada temuan hasil penelitian, keterkaitan hasil penelitian dengan isu peningkatan penguatan program dan advokasi pengarusutamaan gender serta perlindungan anak di sektor kelautan dan perikanan, jika dilihat dari para pelaku IUU Fishing (khusus WNI yang bekerja di kapal pelaku IUU Fishing di Indonesia), tidak ditemukan, karena pelaku pria/laki-laki, sudah berkeluarga, pelaku asing, dan keluarga mereka hidup di negara asal mereka. Pada umumnya kehidupan keluarga mereka ditanggung oleh para sponsor pelaku IUU Fishing. 148

162 4.5.2 Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Isu pembangunan daerah tertinggal menjadi salah satu prioritas program nasional, karena dengan adanya pembangunan nasional di wilayah tertinggal berarti akan membuat pemerataan pelaksanaan program pembangunan nasional di Indonesia. Wilayah Indonesia yang pada umumnya disinyalir menjadi tempat para pelaku IUU Fishing di Indonesia dan juga wilayah Indonesia yang sering menjadi lokasi IUU Fishing, merupakan wilayah tertinggal dan sulit untuk mendapatkan akses untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena terbatasnya kondisi sarana dan prasarana yang ada. Keberhasilan penanggulanagan IUU Fishing mampu memberikan sumbangan nyata bagi pembangunan daerah tertinggal, terutama pada upaya penyediaan kesempatan kerja produkstif, peningkatan perekonomian daerah serta peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Berdasarkan temuan hasil penelitian, perlu dilakukan sosialisasi peraturan terkait pengelolaan sumber daya di wilayah tersebut agar masyarakat dapat melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan, dan perlu adanya program pembangunan sarana dan prasarana pendukung kegiatan perekonomian masyarakat agar dapat menumbuhkan rasa memiliki dan berkepentingan untuk menjaga keberlanjutan sumber daya nasional dari prilaku usaha perikanan yang merusak sumber daya Wilayah Perbatasan dan Terluar (Kemendagri, BNPP) Isu pembangunan dan permasalahan di daerah perbatasan (terdepan) sebagai prioritas pembangunan nasional penting dilakukan, karena wilayah terluar merupakan serambi dari Indonesia, dan kedaulatan wilayah negara menjadi hal penting di sini. Keterkaitan dengan hasil penelitian, bahwa adanya temuan bahwa wilayah yang paling sering menjadi lokasi pelanggaran IUU Fishing adalah di wilayah perbatasan dan terluar Indonesia. Hal ini dikarenakan jumlah personil pengawasan dari instansi pemerintah amat terbatas, sedangkan wilayah pengawasan amat luas, dan adanya keterbatasan pendanaan operasional. Jika dalam melakukan tugas pengawasan tidak dilakukan dengan bekerjasama antarinstansi yang memiliki kewenangan pengawasan dan juga dibantu oleh masyarakat, kegiatan IUU fishing di Indonesia akan semakin meningkat. Karena itu, 149

163 penting dikomunikasikan dan adanya sinkronisasi program antara KKP dengan kementerian negara pembangunan daerah tertinggal sehingga program dari masingmasing kementerian pada saat pelaksanaannya akan saling mendukung demi tercapainya peningkatan kesejahteraan perekonomian rakyat Indonesia Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Cluster 4 Program Peningkatan Kehidupan Nelayan Cluster 4 memiliki program (1) pembuatan rumah sangat murah, (2) pekerjaan alternatif & tambahan bagi keluarga nelayan, (3) skema umk & kur, (4) pembangunan spbu solar, (5) pembangunan cold storage, (6) angkutan umum murah, (7) fasilitas sekolah & puskesmas, dan (8) fasilitas bank rakyat. Keterkaitan dengan hasil temuan penelitian, bahwa para pelaku IUU Fishing, jika dilihat secara umum, tidak hanya berasal dari asing, tetapi juga dari Indonesia. Ketergantungan pada pekerjaan nelayan penangkap ikan dan tidak memiliki pekerjaan alternatif lainnya, serta sulitnya kondisi perekonomian nelayan menjadi salah satu penyebab dilakukannya IUU fishing. Meskipun sudah banyak program pemberdayaan nelayan yang dilakukan, namun seringkali tidak tepat sasaran, dan dianggap tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Berdasarkan temuan tersebut, perlu dilakukan komunikasi perwakilan instansi pemerintah dengan masyarakat, program pemberdayaan apa yang sebaiknya dilaksanakan disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat, sehingga pemerintah di mata masyarakat dapat dianggap berhasil karena memancing masyarakat untuk berusaha dan tidak memanjakan masyarakat dengan fasilitas yang belum tentu tepat dan dapat digunakan langsung oleh masyarakat, dan untuk itulah peran penyuluh perikanan amat diperlukan sebagai jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat Masterplan Percepatan Pembangunan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) (Bappenas) Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. MP3EI 150

164 menjadi pedoman nasional bagi semua instansi pemerintah terkait dengan tujuan pembangunan nasional jangka panjang. Masterplan pembangunan ekonomi Indonesia dilakukan dalam koridor-koridor pembangunan ekonomi Indonesia yang telah ditentukan. Keterkaitan penanganan IUU Fishing dengan pelaksanaan MP3EI ini bahwa jika penanganan kasus-kasus IUU fishing di Indonesia dilakukan dengan baik dan komprehensif, pelaksanaan program tersebut akan berjalan efektif dan efisien. Seluruh wilayah perairan Indonesia merupakan pemersatu dan potensi untuk pengembangan sumber daya untuk meningkatkan perekonomian Indonesia (Gambar 4.17). Gambar Koridor Ekonomi Indonesia (sumber: Mengacu pada hasil observasi di wilayah Kota Batam, dengan letak geografis yang strategis, pelaksanaan dari program yang dicanangkan di MP3EI akan semakin berjalan dengan baik jika ancaman kegiatan IUU fishing dapat tertangani dengan baik. (Gambar 4.18.) Gambar Koridor Ekonomi Pulau Sumatera (Sumber: 151

165 Demikian pula jika penanganan kegiatan IUU fishing di wilayah perairan sekitar Kalimantan (Gambar 4.20.) dan Sulawesi (Gambar 4.21.) pelaksanaan MP3EI dapat lebih berjalan efektif dan efisien. Gambar Koridor Ekonomi Pulau Kalimantan (sumber: Gambar Koridor Ekonomi Pulau Sulawesi (sumber: Demikian pula di wilayah Papua dan sekitarnya (Gambar 4.22.), mengingat IUU fishing sudah merupakan bentuk ancaman nirmiliter yang harus diatasi, karena dapat mengancam sumber daya alam nasional dan juga mata pencaharian rakyat Indonesia itu sendiri, selain juga mengancam kedaulatan wilayah perairan Indonesia, padahal Indonesia sudah berjuang lama untuk mendapatkan pengakuan dunia atas kedaulatan wilayah perairannya. 152

166 Gambar Koridor Ekonomi Kepulauan Maluku dan Papua (sumber: 153

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini mengenai implementasi kebijakan publik. Penelitian implementasi kebijakan dilakukan atas kegiatan pemerintah dalam mengatasi fenomena penangkapan ikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang merupakan satu kesatuan dan harus dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara Indonesia yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status produksi perikanan tangkap dunia mengalami gejala tangkap lebih (overfishing). Laporan FAO (2012) mengungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan penangkapan ikan

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA Oleh : Dr. Dina Sunyowati,SH.,MHum Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum-Universitas Airlangga Email : dinasunyowati@gmail.com ; dina@fh.unair.ac.id Disampaikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN O L E H Puteri Hikmawati, SH., MH. Novianti, SH., MH. Dian Cahyaningrum, SH., MH. Prianter Jaya Hairi, S.H., L.LM.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING

Lebih terperinci

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan Wilayah perbatasan: a. Internal waters/perairan pedalaman.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN Pandapotan Sianipar, S.Pi Kasi Pengawasan Usaha Pengolahan, Pengangkutan, dan Pemasaran Wilayah Timur, Direktorat

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee

Lebih terperinci

PENANGANAN PERKARA PERIKANAN

PENANGANAN PERKARA PERIKANAN 7/11/2017 MENINGKATKAN KEMAMPUAN DAN KOORDINASI ANTAR KEMEBTERIAN/LEMBAGA DALAM PENANGANAN ABK ASING PELAKU ILLEGAL FISHING DISAMPAIKAN OLEH DR.YUSTINUS SUSILO SH., MH PADA ACARA RAPAT KORDINASI NASIONAL

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.49/MEN/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP Menimbang

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA A. Kasus Pencurian Ikan Di Perairan Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara. 243 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara. Untuk itu setiap negara mempunyai kewenangan menentukan batas wilayah

Lebih terperinci

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17 Daftar lsi leata PENGANTAR DAFTAR lsi v vii BAB I SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1 BAB II PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17 A. Pendahuluan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMEN-KP/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.20/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERTIMBANGAN TEKNIS PENYELENGGARAAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN BAGI PENYELENGGARA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.307, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kapal Penangkap. Pengangkut. Ikan. Pemantau. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2013

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1072, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN PERIKANAN. Kapal Perikanan. Pendaftaran. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia yang diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia

Lebih terperinci

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb No.1618, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KKP. Penangkapan. Ikan. Log Book. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/PERMEN-KP/2014 TENTANG LOG BOOK PENANGKAPAN

Lebih terperinci

PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING

PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 22 Januari 2015; disetujui: 23 Januari 2015 Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.81, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Usaha Perikanan Tangkap. Wilayah Pengelolaan Perikanan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

LAPORAN AKHIR ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) LAPORAN AKHIR ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) PUSAT ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM NASIONAL BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING) A. Pendahuluan Wilayah perairan Indonesia yang mencapai 72,5% menjadi tantangan besar bagi TNI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan arah kebijakan pembangunan dari yang berbasis pada sumber daya terestrial ke arah sumber daya berbasis kelautan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dipicu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2010 TENTANG PEMBERIAN KEWENANGAN PENERBITAN SURAT IZIN PENANGKAPAN IKAN (SIPI) DAN SURAT IZIN KAPAL PENGANGKUT IKAN (SIKPI)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

RETREAT ISU STRATEGIS DAN KEGIATAN PRIORITAS PENGAWASAN. Kepala Subbagian Perencanaan dan Penganggaran Ditjen PSDKP

RETREAT ISU STRATEGIS DAN KEGIATAN PRIORITAS PENGAWASAN. Kepala Subbagian Perencanaan dan Penganggaran Ditjen PSDKP RETREAT ISU STRATEGIS DAN KEGIATAN PRIORITAS PENGAWASAN PENGELOLAAN DITJEN PSDKP SDKP TAHUN TA. 2018 2017 Kepala Subbagian Perencanaan dan Penganggaran Ditjen PSDKP OUTLINE 1. 2. 3. 4. ISU STRATEGIS IUU

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.668,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) memiliki lebih kurang 17.500 pulau, dengan total panjang garis pantai mencapai 95.181 km

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim terbesar ketiga di dunia yang memiliki luas laut mencapai 7.827.087 km 2 dengan jumlah pulau sekitar 17.504 pulau. Garis pantainya

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 217 NOMOR SP DIPA-32.5-/217 DS6-9464-235-812 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat internasional, pasti tidak lepas dari masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum internasional yang sering muncul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Illegal fishing merupakan masalah klasik yang sering dihadapi oleh negara yang memiliki banyak pantai karena masalah tersebut sudah ada sejak dulu. Namun hingga

Lebih terperinci

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT Ditjen Pengolahan & Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Seminar Hari Pangan Sedunia 2007 Bogor,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki arti strategis bagi industri perikanan, karena wilayah

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1 ABSTRAK KAJIAN KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH INDONESIA, MALAYSIA DAN SINGAPURA DALAM MENANGANI MASALAH KEAMANAN DI SELAT MALAKA Selat Malaka merupakan jalur pelayaran yang masuk dalam wilayah teritorial

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI KEMENTERIAN PERTAHANAN, KEMENTERIAN LUAR NEGERI, KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, TENTARA NASIONAL INDONESIA, BADAN INTELIJEN NEGARA, DEWAN KETAHANAN NASIONAL, LEMBAGA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 44, 1983 (KEHAKIMAN. WILAYAH. Ekonomi. Laut. Perikanan. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS YURISDIKSI INDONESIA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN PENENGGELAMAN KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA Oleh : Kadek Rina Purnamasari I Gusti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang mengakibatkan kerugian lingkungan, sosial dan ekonomi yang signifikan (APFIC,2007).

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Gambar Batas-batas ALKI Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS),

Lebih terperinci

Oleh. Capt. Purnama S. Meliala, MM

Oleh. Capt. Purnama S. Meliala, MM Oleh. Capt. Purnama S. Meliala, MM Data & Fakta Jumlah kapal niaga internasional maupun domestik mencapai 11.300 unit, atau naik sekitar 80 persen dibandingkan dengan posisi Maret 2005 Data Indonesia National

Lebih terperinci

BAGANISASI DI PERAIRAN PULAU SEBATIK DALAM MENGATASI ILLEGAL FISHING ( Baganisasi in the Sebatik Island Waters on Combating Illegal Fishing)

BAGANISASI DI PERAIRAN PULAU SEBATIK DALAM MENGATASI ILLEGAL FISHING ( Baganisasi in the Sebatik Island Waters on Combating Illegal Fishing) BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 20 No. 2 Edisi April 2012 Hal 205-211 BAGANISASI DI PERAIRAN PULAU SEBATIK DALAM MENGATASI ILLEGAL FISHING ( Baganisasi in the Sebatik Island Waters on Combating Illegal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona

BAB III PENUTUP. bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona 54 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari apa yang telah tertulis dalam bab pembahasan, dapat disimpulkan bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona ekonomi eksklusif Indonesia yaitu

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh BAB V KESIMPULAN Laut memiliki peranan penting baik itu dari sudut pandang politik, keamanan maupun ekonomi bagi setiap negara. Segala ketentuan mengenai batas wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban

Lebih terperinci

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN PROGRESS IMPLEMENTASI 4 FOKUS AREA RENCANA AKSI Disampaikan oleh: Ir. H. M. NATSIR THAIB WAKIL GUBERNUR PROVINSI MALUKU UTARA PEMERINTAH

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendayagunaan sumber daya kelautan menjanjikan potensi pembangunan ekonomi yang luar biasa. Hal ini dapat dilihat dari potensi yang terkandung dalam eksistensi Indonesia

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan

Lebih terperinci

Konsep Manajemen Pengelolaan Pesisir & Pulau- Pulau Kecil. Perencanaan Kawasan Pesisir

Konsep Manajemen Pengelolaan Pesisir & Pulau- Pulau Kecil. Perencanaan Kawasan Pesisir Konsep Manajemen Pengelolaan Pesisir & Pulau- Pulau Kecil Perencanaan Kawasan Pesisir Pendahuluan Indonesia merupakan negara kepulauan tropis terbesar di dunia 17.508 pulau, dan luas laut yang mencapai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia Sejarah Peraturan Perikanan Indonesia Peranan Hukum Laut dalam Kedaulatan RI Laut Indonesia pada awalnya diatur berdasarkan Ordonansi 1939 tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim yg menetapkan laut

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Disampaikan pada Diskusi Publik Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara Medan, 12 Mei 2016 PASAL 1 BUTIR 2 UU NO 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED FISHING TAHUN 2012-2016

Lebih terperinci

PROVINSI SUMATERA UTARA

PROVINSI SUMATERA UTARA 2 PROVINSI SUMATERA UTARA VISI Menjadi Provinsi yang Berdaya Saing Menuju Sumatera Utara Sejahtera MISI 1. Membangun sumberdaya manusia yang memiliki integritas dalam berbangsa dan bernegara, religius

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING)

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING) t \.. REPUBU K INDONESIA KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING) DAN UNTUK MEMAJUKAN TATA KELOLA PERIKANAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Australia begitu gencar dalam merespon Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing), salah satu aktivitas ilegal yang mengancam ketersediaan ikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keindahan panorama yang membuat seluruh dunia kagum akan negeri ini. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. keindahan panorama yang membuat seluruh dunia kagum akan negeri ini. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan suatu negara yang dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai kekayaan alam dan keindahan panorama

Lebih terperinci

BAB II. Aspek-Aspek Hukum Tentang VMS (Vessel Monitoring System) dan Illegal Fishing

BAB II. Aspek-Aspek Hukum Tentang VMS (Vessel Monitoring System) dan Illegal Fishing BAB II Aspek-Aspek Hukum Tentang VMS (Vessel Monitoring System) dan Illegal Fishing A. Dasar Hukum VMS (Vessel Monitoring System) VMS (Vessel Monitoring System)/ Sistem Pemantauan Kapal Perikanan merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Secara fisik potensi tersebut berupa perairan nasional seluas 3,1 juta km 2, ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif

Lebih terperinci