BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Afrika 11,9%, terendah di Eropa 6,2% dan Asia Tenggara 11,1% (Beck, 2010).

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bayi kurang bulan (BKB) adalah bayi lahir dengan umur kehamilan (UK) kurang dari 37 minggu. Angka kelahiran BKB di dunia sebesar 9,6%, tertinggi di Afrika 11,9%, terendah di Eropa 6,2% dan Asia Tenggara 11,1% (Beck, 2010). Data sub bagian neonatologi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Bali menunjukan angka kelahiran BKB sebesar 11,3% selama tahun Masalah utama pada BKB adalah kejadian henti napas. Menurut survei yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, (2007), penyebab kematian perinatal terbanyak di Indonesia adalah masalah pernapasan (35,9%) dan BKB (32,3%). Henti napas pada BKB dapat disebabkan oleh pusat napas yang belum berkembang sempurna yang dikenal sebagai apnea BKB (AB). Beberapa hal di bawah ini mendasari perlunya usaha pencegahan AB, agar tidak terjadi keterlambatan dalam terapi atau diterapi sebagai gejala apnea akibat penyebab lain. Angka kejadian AB yang tinggi mencapai 85% pada bayi dengan UK kurang dari 34 minggu (Barrington dan Finer, 1991). Diagnosis AB sulit ditegakan karena gejala apnea bukan hanya disebabkan oleh perkembangan pusat napas yang belum sempurna, akan tetapi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, sehingga diagnosis AB baru bisa ditegakan setelah penyebab lain disingkirkan. Waktu timbulnya AB ternyata sulit diprediksi, menurut Carlo (1982), AB dapat terjadi pada 24 jam pertama kehidupan BKB, sedangkan Krauss (1986)

2 2 mendapatkan AB sering terjadi pada hari kelima dan kesepuluh. Apnea BKB juga dapat berdampak jangka pendek seperti perdarahan intraventrikel (Baird, 2002) dan jangka panjang seperti gangguan kognitif maupun perilaku pada anak (Taylor, 1998). Selain itu perawatan AB yang lama dan membutuhkan perawatan intensif mengakibatkan biaya perawatan menjadi tinggi. Pencegahan AB telah direkomendasikan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) dengan pemberian obat golongan methylxanthine yaitu kafein sitrat atau aminofilin (Ashworth, 2005). Mekanisme kerja obat tersebut dalam mencegah AB adalah berkompetisi dengan adenosin. Adenosin merupakan neurotransmiter yang berfungsi terutama di sinaps untuk menginhibisi kerja neuron, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya depresi napas sampai kejadian apnea pada BKB (Martin, 2002). Kafein sitrat merupakan obat standar untuk mencegah AB, namun sampai saat ini belum tersedia di Indonesia, sedangkan aminofilin obat yang segolongan dengan kafein banyak tersedia. Pada rekomendasi WHO, aminofilin dapat digunakan sebagai alternatif bila kafein sitrat tidak ada, akan tetapi penelitian Skouroliakou (2009) menyatakan bahwa aminofilin tidak dapat digunakan untuk pencegahan AB. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui daya guna aminofilin dalam mencegah AB, sehingga dapat dipakai sebagai pengganti kafein. Daya guna aminofilin untuk mencegah AB dari beberapa penelitian terlihat masih kontroversi. Menurut Merchant (1993), aminofilin infus berhasil mencegah kejadian AB, hanya satu dari 48 subyek yang diberikan aminofilin mengalami apnea dibanding empat dari 21 subyek pada kelompok plasebo yang

3 3 apnea, dengan nilai P < 0,05. Larsen (1995) memperlihatkan aminofilin intravena (IV) maupun oral memiliki kemampuan yang sama dengan kafein untuk mencegah AB, dengan median frekuensi apnea pada kelompok aminofilin sebanyak dua kali dalam 10 hari (0-67), sedangkan median frekuensi apnea pada kelompok kafein sebanyak 2,5 kali dalam 10 hari (0-70), dengan P = 0,28, akan tetapi penelitian ini lebih merekomendasikan kafein untuk mencegah AB. Skouroliakou (2009) memperlihatkan bahwa aminofilin IV maupun oral tidak dapat digunakan untuk mencegah AB karena kejadian apnea 3 kali per hari pada kelompok aminofilin, meningkat pada hari pertama sampai ketiga (P = 0,001) dan meningkat pada hari keempat sampai ketujuh (P = 0,001), sedangkan pada kelompok kafein tidak. Pada penelitian ini, kami memberikan aminofilin dan kafein dengan dosis sesuai rekomendasi WHO yang dikonversi dalam sediaan oral, dosis awal aminofilin 10 mg/kg berat badan (BB) dan rumatan 2,5 mg/kg BB setiap 12 jam, sedangkan dosis awal kafein 10 mg/kg BB dan rumatan 1,25 mg/kg BB setiap 12 jam. Dosis kafein tersebut ternyata sama dengan penelitian sebelumnya, sedangkan aminofilin berbeda. Menurut Lagercrantz (1980) pemberian aminofilin dengan dosis rekomendasi WHO akan didapatkan kadar teofilin plasma sebesar 11,6 mg/l. Larsen (1995) dan Skouroliakou (2009) ternyata menggunakan dosis yang lebih rendah, sehingga kadar teofilin dalam plasmanya dibawah dosis rekomendasi WHO (Ashworth, 2005). Penggunaan aminofilin di RSUP Sanglah saat ini terbatas sebagai terapi apnea saja, bukan untuk tujuan pencegahan AB, dengan dosis awal 6 mg/kg BB

4 4 dan rumatan 2 mg/kg BB setiap 12 jam. Oleh karena itu, penggunaan aminofilin dengan dosis rekomendasi WHO pada penelitian ini diharapkan dapat mencegah kejadian AB. B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang ada, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Institusi kami belum memiliki standar prosedur operasional untuk pemberian obat golongan methylxanthine dengan tujuan pencegahan AB. 2. Kafein sitrat sebagai obat golongan methylxanthine telah direkomendasikan oleh WHO untuk mencegah AB, tetapi obat tersebut sampai saat ini belum tersedia di Indonesia. 3. Aminofilin direkomendasi oleh WHO sebagai obat alternatif pengganti kafein sitrat dan banyak tersedia di Indonesia, tetapi kemampuannya untuk mencegah AB masih kontroversi antar klinisi. C. Pertanyaan penelitian Apakah daya guna aminofilin lebih baik dibanding kafein untuk mencegah kejadian apnea bayi kurang bulan? D. Keaslian Penelitian Perbedaan penelitian yang dilakukan saat ini dengan penelitian sebelumnya adalah (1) penelitian ini baru pertama kali dilakukan di Indonesia, (2) pada penelitian ini kami memakai dosis aminofilin sesuai rekomendasi WHO yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, (3) sampai saat ini kami belum mendapatkan penelitian yang menggunakan aminofilin dengan dosis rekomendasi

5 5 WHO dibanding dengan kafein, (4) lama pemberian aminofilin dan kafein selama tujuh hari dan diobservasi sampai bayi berumur 10 hari, karena kejadian AB paling banyak terjadi pada umur lima dan sepuluh hari, (5) umur kehamilan BKB dalam penelitian ini antara minggu dianggap sebagai umur yang optimal dan memiliki risiko tinggi mengalami AB, serta kemungkinan kejadian apnea sedikit dipengaruhi oleh faktor lain. Alasan perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah dosis aminofilin yang digunakan dalam penelitian sebelumnya ternyata lebih rendah dari dosis rekomendasi WHO, sehingga kami anggap dosis tersebut belum maksimal untuk mencegah AB. Hal tersebut dapat dilihat dari kadar teofilin dalam plasma. Penelitian Skouroliakou (2009) dan Larsen (1995) mendapatkan rerata dan median kadar teofilin dalam plasma sebesar 7,1 mg/l dan 10,3 mg/l. Kadar tersebut 38,9% dan 11,2% lebih rendah dibanding dengan rerata kadar teofilin dalam plasma sebesar 11,6 mg/l (Lagercrantz 1980) yang dihasilkan dari pemberian aminofilin dengan dosis rekomendasi WHO (Ashworth, 2005). Penelitian Merchant (1993) dengan rerata kadar teofilin dalam plasma 12,7 mg/l ternyata dapat mencegah AB dibanding plasebo, tapi terdapat subyek yang kadarnya mencapai 30,1 mg/l sehingga mengalami gejala toksik. Pada rekomendasi WHO (Ashworth, 2005), dosis yang dipakai tersebut ternyata menurut Lagercrantz (1980) tidak mengakibatkan gejala toksik serta berguna untuk terapi kejadian apnea. Oleh karena itu, kami menganggap dosis ini adalah dosis optimum aminofilin dalam mencegah AB dan belum pernah dibandingkan kemampuannya dengan kafein.

6 6 Kami mendapatkan beberapa penelitian uji klinis setelah melakukan penelusuran jurnal tentang pemberian aminofilin dan kafein untuk mencegah AB. Hasil penelitian tersebut kami sajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Penelitian aminofilin dan kafein untuk mencegah apnea BKB Penelitian Judul Intervensi Merchant dkk., 1993, uji klinis pada bayi UK < 34 mgg Prophylactic theophylline infusion for prevention of apneaa of prematurity Teofilin 25 mg/ml VS plasebo Pemberian: infus selama 5 hari Kadar serum aminofilin Rerata teofilin 12,7 mg/l (2,3-39,5 mg/l), gejala toksisitas 30,1 mg/l Hasil dan kesimpulan Hasil: Kejadian apnea pada teofilin: 1/48, sedangkan kajadian apnea pada plasebo 4/21, P<0,05. Kesimpulan: AB dapat dicegah dengan pemberian teofilin. Larsen dkk., 1995, uji klinis pada bayi UK 33 mgg Aminophylline versus caffeine citrate for apneaa and bradycardia prophylaxis in premature neonates Aminofilin 6,2 mg/kg BB lalu 3,1 mg/kg 12 jam VS kafein 20,2 mg/kg BB lalu 2,5 mg/kg 12 jam Pemberian: oral/ IV selama 10 hari Median teofilin 10,3 mg/l (4,8-16,8 mg/l) Hasil: Median frekuensi apnea pada aminofilin sebanyak 2 (0-67), sedangkan kafein 2,5 (0-70), P=0,28. Median frekuensi bradikardi aminofilin sebanyak 4,5 (0-78), kafein 5,0 (0-72), P=0,15. Pasien yang diintubasi pada aminofilin 21,4%, kafein 23,2%, P = 0,09 Frekuensi denyut jantung lebih rendah dan aspirat lambung lebih sedikit pada kafein. Kesimpulan: kemampuan kafein = aminofilin untuk mencegah AB, tapi kafein sitrat merupakan obat pilihan. Skouroliakou dkk., 2009, uji klinis pada bayi UK < 33 mgg Caffeine versus theophylline for apnea of prematurity: a randomised controlled trial Teofilin 4,8 mg/kg BB lalu 2 mg/kg 12 jam VS kafein 20 mg/kg BB lalu 5 mg/kg 24 jam Pemberian: oral/ IV sampai umur konsepsi 34 mgg Rerata teofilin 7,1 mg/l (2,2-13,9 mg/l) IV: intravena, BB: berat badan, mgg: minggu, AB: apnea BKB, UK: umur kehamilan. Hasil: Peningkatan bermakna kejadian apnea hari 1-3 (p=0,008) dan hari 4-7 (p=0,001) setelah inisiasi pada kelompok teofilin dengan kejadian apnea 3x per hari terjadi pada 6 bayi, sedangkan pada kelompok kafein tidak terjadi. Kesimpulan: Kafein dapat digunakan untuk mencegah AB, aminofilin tidak.

7 7 E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui daya guna aminofilin dibanding kafein disamping terapi untuk mencegah apnea bayi kurang bulan. F. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini bermanfaat bagi pasien dan keluarga untuk mencegah AB, mengurangi biaya dan kemungkinan kecacatan serta mortalitas. 2. Bagi klinisi dan ilmu pengetahuan bermanfaat untuk mengetahui kemampuan aminofilin untuk mencegah AB sebagai alternatif pengganti kafein, mengurangi kecacatan yang dapat terjadi dikemudian hari akibat AB dan menambah khasanah ilmu pengetahuan kedokteran anak dalam bidang neonatologi. 3. Penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah untuk mengurangi morbiditas dan kecacatan serta risiko mortalitas akibat AB, sehingga diharapkan dapat membantu menurunkan angka kematian BKB.