BAB I PENDAHULUAN. baik hayati maupun Nomorn hayati. Sumber daya hayati Indonesia dikenal tidak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. baik hayati maupun Nomorn hayati. Sumber daya hayati Indonesia dikenal tidak"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, baik hayati maupun Nomorn hayati. Sumber daya hayati Indonesia dikenal tidak saja kaya tetapi juga mempunyai keunikan tertentu. Sumber daya alam tersebut mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan dan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan. 1 Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan sebuah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diperuntukkan bagi bangsa Indonesia yang tidak dapat terhitung jumlahnya. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia adalah berbagai macam satwa, yang tersebar di seluruh pulau-pulau yang ada di Indonesia. Tidak kurang 10 persen makhluk hidup di dunia jenisnya ditemukan di Indonesia, Centre on Biological Biodiversity (CBD) mencatat bahwa 12% mamalia, dan 16% reptil di dunia berada di indonesia. Kemudian terdapat spesies burung dan setidaknya 270 spesies ampibhi hidup di Indonesia. 2 Satwa yang ada di habitat wilayah Indonesia adalah cirisuatu 1 Bagian Menimbang Huruf a Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya 2 diakses pada tanggal 4 februari 2015 jam 10:08

2 pulau yang didiami satwa tersebut, karena ekosistem di dalamnya mendukung akan perkembangbiakan satwa tersebut di Indonesia sendiri. 3 Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya disebutkan : Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomormena alam, baik secara masing-masing maupun bersamasama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Pentingnya peranan setiap unsur dalam pembentukan lingkungan bersifat mutlak serta tak tergantikan. Jadi dapat dipahami jika satwa juga merupakan unsur yang bersifat mutlak serta tidak dapat digantikan dalam pembentukan lingkungan hidup. Adanya gangguan yang dialami salah satu unsur berarti terganggu seluruh ekosistem sehingga kelestarian pemanfaatan dikhawatirkan terganggu pula. Sehingga pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab bersama masyarakat serta pemerintah. Tetapi pada kenyataannya satwa-satwa tersebut sudah sangat sulit dijumpai di habitat aslinya. Satwa-satwa yang dilindungi tersebut diantaranya yang sudah jarang ditemui di tempat aslinya, seperti harimau Sumatera, badak bercula satu, anomora, burung cendrawasih, gajah Sumatera, harimau Jawa, dan masih banyak lagi satwa-satwa yang hidup di daratan, perairan, dan di udara yang terancam punah. Habitat dan kepunahan beberapa jenis satwa tersebut selama 3 Muhammad Iqbal, Tinjauan Yuridis Terhadap Kepemilikan Dan Penjualan Satwa Langka Tanpa Izin Di indonesia, Jurnal Beraja NITI Volume 3 Nomor 3, Samarinda, 2014,hlm.2.

3 inibanyak yang telah rusak ataupun sengaja dirusak oleh berbagi ulah sekelompok manusia yang tidak bertanggung jawab. 4 Ancaman terbesar terhadap kelestarian satwa-satwa tersebut adalah aktivitas manusia, terutama konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan seperti perkebunan, pertambangan, perluasan pemukiman, transmigrasi dan pembangunan infrastruktur lainnya. Selain mengakibatkan fragmentasi habitat, berbagai aktivitas tersebut juga sering memicu konflik antara manusia dan satwa, sehingga menyebabkan korban di kedua belah pihak, bahkan sering berakhir dengan tersingkirnya satwa tersebut dari habitatnya. Bentuk lain aktivitas manusia yang secara langsung mengakibatkan tersingkirnya satwa tersebut dari habitat alaminya adalah perburuan serta perdagangan ilegal satwa dan produk turunannya. Tingginya permintaan komersial dari produk-produk ilegal satwa mulai dari kulit, tulang, taring, serta daging mendorong meningkatnya perburuan satwa tersebut. 5 Perdagangan satwa liar beserta bagian-bagian tubuh dan produk olahannya tampaknya telah menjadi bisnis yang menguntungkan sekaligus penting di dunia internasional. Sejumlah besar spesies satwa liar secara rutin telah ditangkap dari alam dan dikirim ke seluruh penjuru dunia. Pemanen besarbesaran, terutama untuk tujuan komersial, merupakan penyebab utama langkanya berbagai spesies. Pada awalnya pemanen satwa liar hanya ditujukan untuk kebutuhan sehari-hari. Selanjutnya kegiatan pemanen ini kemudian berubah menjadi aktivitas jual beli untuk mendapatkan uang tunai dengan pihak 4 Departemen Kehutanan, Strategi dan Rancana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Kalimantan Jakarta, 2007, hlm.3. 5 Departemen Kehutanan, Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera , Jakarta, 2007, hlm.1.

4 lain. 6 Perilaku masyarakat yang dapat mengancam kepunahan dari satwa langka yang mana ambisi manusia ingin memiliki tetapi tidak memperdulikan populasinya di habitat asalnya. 7 Kasus demi kasus pun mencuat terkait dengan kegiatan penangkapan, perdagangan sampai pembunuhan terhadap satwa yang dilindungi. Pada Tahun 2009 Bali memunculkan isu yang kontroversial yaitu tentang pengajuan Gubernur Bali mengenai kuota 1000 ekor penyu untuk keperluan adat dan upacara agama. Pengajuan kuota pemanfaatan penyu tersebut sangat ironis sekali di tengah pencitraan Bali sebagai daerah wisata yang ramah lingkungan. Antara bulan September 2010 dan April 2011 dua peneliti bernama Daniel Natusch dan Jessica Lyons dari Universitas New South Wales Australia telah melakukan survey terhadap para pedagang reptil dan amfibi di propinsi Maluku, Papua Barat dan Papua. Para penulis menemukan beberapa jenis spesies yang banyak diperdagangkan, diantaranya: ular piton hijau (Morelia viridis), ular piton boelen (Morelia boeleni), kadal leher berumbai (Clamydosaurus kingii), Kura-kura Papua/snapping turtle (Elseya brndenhorsti), kadal lidah biru (Tiliqua Scincoides), katak pohon hijau (Litoria caerulea), dan beberapa spesies dari biawak (Varanus sp.) Menurut hasil kajian ini, sekitar individu dari 52 spesies berhasil ditemukan untuk diperdagangkan. Setidaknya sekitar 44% adalah dilindungi atau tidak untuk ditangkarkan, hal ini menjadikan perdagangan jenis-jenis spesies ini ilegal. Sekitar setengah dari jumlah spesies yang ditemukan ini tercatat dalam 6 Tonny Soehartono dan Mardiastuti Ani, Pelaksanaan Konvensi CITES Di Indonesia, [Jakarta : Japan International Cooperation Agency (JICA), 2003], hlm.9. 7 Departemen Kehutanan, Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau...,Op.Cit., hlm.2.

5 CITES atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna. 8 Tidak cukup hanya itu saja, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perdagangan satwa pun dilakukan melalui internet atau via online. Para pihak yang tidak bertanggung jawab yang mencari keuntungan diri sendiri pun memperdagangkan satwa-satwa tersebut melalui iklan di media sosial. Sepanjang Tahun 2014 lalu tercatat ada sedikitnya iklan di media sosial yang menawaarkan satwa liar berbagai jenis. Sejak Tahun 2011 hingga Maret 2013, sebanyak 18 kasus perdagangan online terungkap, 10 di antaranya adalah perdagangan harimau sumatera. Jual beli satwa langka itu bukan hanya untuk konsumsi domestik, namun juga diselundupkan ke luar negeri. Tercatat ada beberapa Negara yang jadi sasaran penyelundupan satwa asal Indonesia itu, antara lain Hongkong, Kuwait, Cina, Taiwan dan Perancis. Maraknya perdagangan satwa liar ini menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar di alam, karena sebagian besar yang diperdagangkan adalah hasil tangkapan dari alam. 9 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam Pasal 33 ayat (3) meyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Satwa merupakan kekayaan alam Indonesia sehingga sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) tersebut maka seharusnya satwa yang dilindungi adalah milik negara secara mutlak. Sehingga kegiatan yang berkaitan dengan berusaha 8 diakses pada tanggal 4 februari 2015 pukul 21: diakses pada tanggal 4 februari 2015 pukul 21:22

6 untuk memiliki, memperdagangkan, ataupun menyeludukan segala jenis satwa yang dilindungi harus diberantas. Sebagai upaya pemberantasan tersebut pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional terkait dengan perlindungan satwa dan telah membuat berbagai peraturan yang mengatur mengenai kegiatan perlindungan satwa tersebut. Mengenai kegiatan pelarangan tersebut, Daniel J. D. Natusch dan Jessica A. Lyons dari hasil penelitian yang telah mereka lakukan tentang kegiatan perdagangan dan eksploitasi satwa jenis amphibi dan reptil di Papua Nugini, menyatakan bahwa : Indonesia became a party to CITES in 1979, meaning that the trade in Indonesian CITES listed wildlife is internationally monitored and regulated. Harvests of CITES-listed species are regulated by quotas set by the Nomorminated CITES Scientific Authority, the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), and implemented by the Nomorminated CITES Management Authority, the Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation (PHKA). A small number (31) of Indonesian amphibian and reptile species are fully protected under national legislation and cannomort be harvested from the wild (Dilindungi PP Nomor 7/1999). For traded species that are Nomorn-protected, quotas are set on an annual basis via a meeting of various stakeholders including PHKA, LIPI, relevant Nomorn-government organizations and licensed wildlife traders (PP Nomor 8/1999). Hunters and traders require permits for capturing, transporting and selling wildlife within Indonesia (Decree of the Ministry of Forestry Nomor 447/Kpts-11/2003) and must be registered with regional offices of the Natural Resources Conservation Agency (BKSDA), responsible for the regulation of wildlife trade at the provincial level. Only those species that have an allotted harvest quota can be harvested from the wild for local sale or export, and these quotas only allow harvest from each designated province. 10 Terjemahan bebas : 10 Daniel J. D. Natusch dan Jessica A. Lyons, Exploited for Pets: The Harvest and Trade Of Amphibians and Reptiles From Indonesian New Guinea, Sydney, 2012, hlm

7 Pada Tahun 1979 Indonesia telah menandatangani Perjanjian CITES (Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora) dan meratifikasinya dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 yang berarti bahwa segala kegiatan perdagangan satwa liar yang terdaftar di Indonesia secara internasional telah dimonitor dan diatur. Indonesia juga telah membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan satwa yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Haayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. Sejumlah kecil yaitu 31 jenis amphibi dan reptil di Indonesia sepenuhnya dilindungi oleh undang-undang nasional dan tidak dapat di tangkap dari alam. Meskipun telah adaperaturan dan pedomandiindonesia yang mengatur tentangperdagangansatwa liar, ada beberapa pihak yang tidakmematuhi peraturantersebut. Hal itu disebabkan karena masih banyakspesiesyangkurang dikenalolehpihak yang berwenang di Indonesia,mereka dapatdengan mudahsalah memberikan nama terhadap satwa tersebut yang seharusnya satwa tersebut dilindungi dapat diperdagangkan dengan mudah dansecara terbuka. Bagaimanapun kegiatan perdagangan satwa yang dilindungi tersebut apabila tidak segera ditangani tetunya akan mengakibatkaan permasalahan yang cukup serius di kemudian hari, antara lain kepunahan populasi yang ada di alam, bahkan mengganggu ekosistem dan siklus rantai makanan yang ada di alam,

8 bahkan mengganggu keseimbangan ekosistem dan siklus rantai makanan yang ada dan pada akhirnya membawa dampak buruk yang sangat vital bagi keberlansungan hidup seluruh makhluk yang ada di bumi. Hukum merupakan salah satu sarana untuk memberikan perlindungan kepada semua pihak, tidak terkecuali satwa dan lingkungan hidup karena fungsi hukum itu sendiri sejatinya untuk melindungi masyarakat dan mensejahterakan masyarakat. Perlindungan hukum yang nyata terhadap kelestarian lingkungan khususnya lingkungan hidup termasuk satwa-satwa liar di dalamnya diharapkan dapat berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan dan satwa agar tidak punah dan tetap dapat bermanfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang. 11 Pedagangan dan perniagaan satwa liar atau satwa yang dilindungi telah terjadi di seluruh daaerah di Indonesia, untuk itu pelakunya haruslah di kenakan pertanggung jawaban pidana untuk memberikan efek jera kepada pelakunya sekaligus untuk mencegah terjadinya praktek perniagaan satwa yaung dilindungi. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini. Skripsi ini akan menganalisis mengenai penjatuhan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi yang dikaji secara teoritis berdasarkan perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya serta Peraaturan Perundang-Undaangan Lainnya yang berkaitan dengan perlindungan satwa, termasuk juga penerapannya melalui putusan Pengadilan Negeri Medan, dengan kasus pelaku yang mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi 11 Tonny Soehartono dan Mardiastuti Ani, Pelaksanaan Konvensi CITES...,Op.Cit.,hlm.6.

9 dalam keadaan hidup. Kasus tersebut dianalisis dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan dengan register Nomor 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana regulasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi? 2. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaturan yang terkait dengan Tindak Pidana Perniagaan satwa yang dilindungi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya 2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang memperniagakan satwa yang dilindungi. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1) Manfaat Teoritis Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan pengetahuan, khasanah, dan wawasan tentang kasus tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi. 2) Manfaat Praktis

10 a. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan tindak pidana perniagaan satwa yang dilindungi. b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya melindungi satwa yang dilindungi serta dampaknya terhadap pelestarian lingkungan. D. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pertanggung Jawaban Pidana Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Dalam hal dipidananya seseorang tidaklah bergantung pada ada atau tidaknya perbuatan pidana yang dibuatnya. Persoalan seseorang dapat dipidana tergantung pada apakah orang tersebut dalam melakukan perbuatan tersebut mempunyai kesalahan atau tidak.sistempertanggungjawabanpidanadalamhukumpidanapositifsaatini menganut asaskesalahan sebagai salah satu asas disampingasaslegalitas. Pertanggung jawaban pidana erat kaitannya dengan unsur kesalahan yang dilakukan oleh seseorang. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentunya dia akan dipidana. Tetapi, jika ia tidak mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan

11 perbuatan yaang terlarang dan tercela maka ia tidak akan dipidana. 12 Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah : Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; Actus Nomorn facit reum nisi mens sist rea). Asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga di Indonesia berlaku. 13 Unsur kesalahan sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht yang artinya bahwa penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku. Mengenai hubungan pertanggungjawaban pidana dan kesalahan tersebut telah dipertegas oleh Roeslan Saleh dalam bukunya yang berjudul Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana meyatakan bahwa: Nyatalah, bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah si terdakwa tercela atau tidak karena melakukan perbuatan pidana itu. Karena itulah maka juga dikatakan : dasar daripada adanya perbuatan pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat 14 adalah asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Seseorang tidak mungkin dapat dipidana apabila ia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak selalu orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut dapat dipidana tergantung kepada ada atau tidaknya unsur 12 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hlm Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2008) hlm Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana..., Op.Cit., hlm.76.

12 kesalahan dari orang tersebut. Dikatakan kesalahan berarti perbuatan yang dilakukan orang tersebut adalah perbuatan yang dicela atau oleh masyarakat perbuatan tersebut tidak disukai. Ia masih memiliki pilihan untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Perbedaan mendasar dari delik pidana dan pertanggungjawaban pidana terletak pada unsurnya. Walaupun unsur-unsur daari tiap delik berbeda, namun pada umumnya mempunyai unsur-unsur yang sama, yaitu : a. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif b. Akibat yang ditimbulkan c. Melawan hukum formil dan melawan hukum materil d. Tidak adanya alasan pembenar Dapat disimpulkan bahwa batasan delik pada umumnya adalah Suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik materil diisyaratkan terjadinya akibat yang mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan, yang melawan hukum formil dan materil, dan tidak adanya dasar yang membenarkan perbuatan itu. Sedangkan adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah sebagai berikut: a. Kemampuan bertanggungjawab b. Kesalahan pembuat c. Tak adanya dasar pemaaf H.A Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm.221.

13 2. Pengertian Pelaku Pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang telah memenuhi unsur suatu perbuatan pidana, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang-Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena gerakkan oleh pihak ketiga dan kepadanya dapat dijatuhkan sanksi atau hukuman. 16 Istilah pelaku merupakan terjemahan dari istilah Dader yaitu penanggung jawab peristiwa pidana atau dengan perkataan lain orang yang sikap tindaknya memenuhi semua unsur yang disebut dalam perumusan peristiwa tindak pidana. 17 Dalam delik formil terlihat apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dalam delik material terlihat apabila seorang menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dalam KUHP yang dapat dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana, sebagaimana diatur dalam ayat 1 Pasal 55 KUHP, bahwa pelaku tindak pidana dapat dibagi dalam 4 (empat) golongan : 16 Barda Nawawi Arif, Sari Kuliah Hukum Pidana II. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hlm Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalmia Indonesia, 1983), hlm.31.

14 1) Orang yang Melakukan Sendiri Tindak Pidana (pleger) Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat diketahui bahwa untuk menentukan seseorang sebagai yang melakukan (pleger) atau pembuat pelaksana tindak pidana secara penyertaan adalah 2 kriteria : 1. Perbuatannya adalah perbuatan yang menentukan terwujudnya tindak pidana, 2. Perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana 2) Orang Yang Menyuruh Orang Lain untuk Menentukan Tindak Pidana (doen pleger) Doenpleger ialah seseorang yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu peristiwa pidana. Dalam bentuk yuridis, ini merupakan suatu syarat bahwa orang yang disuruh tersebut tidak mampu bertanggung jawab, jadi tidak dapat dipidana. Orang yang disuruh seolah-olah hanya menjadi alat ilmu hukum pidana disebut manus domina dan orang yang disuruh disebut manus ministra. Tanggung jawab orang yang menyuruh itu sama dengan tanggung jawab dari pembujuk (uitlokker) yaitu : Pertama, tanggung jawab itu tidak melebihi dari apa yang dilakukan oleh orang yang disuruh, meskipun maksud orang yang

15 menyuruh itu lebih jauh dari itu. Kedua, tanggung jawab tidak melebihi dari apa yang dikehendakinya. 3) Orang Yang Turut Melakukan Tindak Pidana (mendepleger) KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak pidana harus memenuhi dua syarat : a. Harus adanya kerjasama fisik b. Harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama laain bekerjasama untuk melakukan tindak pidana Yang dimaksud dengan turut serta melakukan oleh Memorie van Toelichting (MvT) dijelaskan bahwa yang turut serta malakukan ialah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana. 4) Orang Yang Membujuk (uitlokker) Seperti halnya doenpleger maka uitlokker juga memakai seorang perantara. Orang yang membujuk orang lain supaya melakukan peristiwa pidana dinamakan perencanaan atau sering disebut intellectueel dader atau uitlokker sedang orang yang dibujuk disebut uitgelokte. Selain itu untuk dapat dikatakan uitlokker, si pembujuk harus menggunakan daya upaya sebagaimana yang tercantum secara limitative dalam pasal 55 ayat

16 1 sub 2 KUHP. Tanggungjawab uitlokker diatur dalam Pasal 55 ayat 2 KUHP. Pasal inni mengatur bahwa uitlokker hanya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan daripada uitgelokte yang memang dengan sengaja digerakkan oleh uitlokker. Pada pihak lain, tanggung jawab dari uitlokker dapat diperluas, artinya ia juga bertanggungjawab terhadap akibat yang timbul dari perbuatan uitgelokte Pengertian Satwa Yang Dilindungi Pengertian satwa menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah semua jenis sumber daya alam hewani, baik yang hidup di darat maupun air. Pasal 1 butir 7 menyebutkan bahwa pengertian satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, daan/atau di air dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yag hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Dalam Penjelasan Pasal 1 butir 7 memuat pembatasan mengenai defenisi satwa liar tersebut, sebagai berikut ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian satwa liar, tetapi termasuk dalam pengertian satwa. Hal yang sangat erat hubungannya dengan satwa adalah habitat. Pengertian habitat menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 butir 8 adalah Lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami diakses pada tanggal 10 Februari 2015 pukul 22:44 19 Leiden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa, (Jakarta : Erlangga, 1995), hlm.47.

17 Dahulu perlindungan terhadap jenis-jenis binatang tertentu diatur pada Dierenbeschermings Ordonantie 1931 dan Dierenbescharmings Verordening 1931 berdasarkan peraturan tersebut, Menteri Pertanian telah menentukan jenis-jenis satwa yang dilindungi berdasarkan keputusankeputusan berikut : a. Nomor : 421/Ktps/Um/8/1970 b. Nomor : 327/Ktps/Um/7/1972 c. Nomor : 66/Ktps/Um/2/1972 Ketiga keputusan tersebut telah menentukan perlindungan satwa yang terdiri dari : a. Mamalia : 95 jenis b. Aves : 372 jenis c. Reptilia : 28 jenis d. Pisces : 20 jenis 20 Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa membedakan jenis tumbuhan dan satwa atas dasar golongan, sebagai berikut : a. Tumbuhan dan satwa yang dilindungi b. Tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi Kriteria tumbuhan dan satwa yang tergolong dilindungi haruslah memenuhi kriteria : a. Mempunyai populasi kecil; 20 Ibid., hlm.50

18 b. Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam; c. Daerah penyebarannya terbatas (endemik). 21 Dapat disimpulkan bahwa satwa yang dilindungi adalah jenis satwa yang hanya mempunyai populasi yang sedikit atau hampir punah dan habitatnya hanya terdapat di daerah-daerah tertentu saja. Satwa liar memiliki peran yang sangat penting terhadap tanah dan vegetasi dan memegang peran kunci dalam penyebaran, pertumbuhan tanaman, penyerbukan dan pematangan biji, penyuburan tanah, penguraian organisme mati menjadi zat organik yang lebih berguna bagi kehidupan tumbuhan, penyerbukan dan pengubah tumbuh-tumbuhan dan tanah. Satwa liar juga berperan dalam perekonomormian lokal dan nasional, nilai ekonomormi satwa sebagai sumber daya alam sangat terkenal di wilayah tropik, terutama di Benua Afrika, dan hingga saat ini merupakan aset yang layak dipertimbangkan. Pemanfaatan satwa liar secara langsung ada beberapa macam, antara lain : a. Perburuan tradisional untuk makanan yang biasa dilakukan oleh suku -suku pedalaman b. Perburuan tradisional seperti kulit yang biasanya digunakan sebagai bahan pembuat tas, baju/hiasan lain oleh penduduk asli c. Mengumpulkan dan menjual beberapa jenis satwa liar 21 Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

19 d. Menjual produk-produk dari satwa liar, seperti daging, kulit, ranggah, cula dan gading e. Berburu untuk tujuan memperoleh penghargaan (trophy) atau untuk olahraga wisatawan f. Melindungi satwa liar di taman nasional sebagai atraksi untuk wisatawan yang harus membayar bila akan melihat, meneliti, memotret atau mendekatinya. 22 Mengenai jenis satwa yang dilindungi diatur secara langsung dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa. E. Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah : (1) Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum yang Yuridis Nomorrmatif dinamakan juga dengan penelitian hukum Nomorrmatif atau penelitian hukum doktrinal, yang mengacu pada Nomorrma-Nomorrma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan serta Nomorrma hukum yang ada dalam masyarakat. (2) Sifat Penelitian Sifat penelitian yang dilakukan adalah deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan mengenai pendapat 22 Wiratno,dkk, Berkaca dicermin Retak : Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi pengelolaan taman Nasional, (Jakarta :The Gibon Foundation, 2001), hlm

20 yang berkembang serta proses yang sedang berlangsung mengenai hal yang sedang diteliti yang dalam skripsi ini yang diteliti adalah pertanggung jawaban pidana erhadap pelaku yang memperniagakan satwa liar. (3) Jenis Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang diperoleh dari : a. Bahan hukum primer, yaitu berupa dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar, Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Convention On International Traade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora. b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa dokumen yang merupakan hasil kajian tentang pertanggung jawaban hukum terhadap pelaku tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi meliputi Putusan Pengadilan Negeri Medan dengan Nomor Register 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn, buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta

21 sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya. (4) Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui penelitian literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di Pengadilan Negeri Medan. Tujuan penelitian kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. (5) Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara analisis kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data yang diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan datadata sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis

22 sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini. F. Keaslian Penulisan Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian penulis mengenai Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Pelaku Yang Memperniagakan Satwa Yang Dilindungi Berdasarkan Perspektif Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1513/Pid.B/2014/PN.Mdn) belum pernah dilakukan pada topik dan permasalahan yang sama. Obyek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komperhensif dalam suatu penelitian sehingga penelitian ini merupakan suatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan maupun kritikan yang bersifat membangun sesuai dengan topik dan permasalahan. G. Sistematika Penulisan Skripsi ini nantinya disusun dalam empat bab. Tiap-tiap bab di bagi menjadi beberapa sub-bab yang saling mendukung. Bab-bab yang tersusun tersebut nantinya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

23 Bab I merupakan bab Pendahuluan, yang mengemukakan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penelitian Bab II akan dibahas mengenai berbagai pengaturan yang berkaitan dengan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana memperniagakan satwa yang dilindungi. Bab III terdiri dari dua sub-bab yang mana sub-bab pertama akan dibahas mengenai pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana beserta unsur-unsur dari pertanggung jawaban pidana tersebut secara umum. Serta pada sub-bab kedua akan dibahas mengenai aplikasi dari pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana peniagaan satwa secara khusus. Bab IV yaitu bab Penutup yang membaahas mengenai Kesimpulan dan Saran. Berdasarkan uraian-uraian dalam Bab II dan Bab III di atas tentang jawaban dari rumusan masalah yang dijadikan obyek penulisan, selanjutnya ditarik Kesimpulan dan Saran dalam Bab IV sebagai Penutup.

I. TINJAUAN PUSTAKA. pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan

I. TINJAUAN PUSTAKA. pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakaukan perbuatan pidana atau tindak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB I. Pendahuluan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman 1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, termasuk tingkat endemisme yang tinggi. Tingkat endemisme

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN FLORA DAN FAUNA YANG TIDAK DILINDUNGI LINTAS KABUPATEN / KOTA DI PROPINSI JAWA TIMUR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai keragaman jenis satwa seperti jenis

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai keragaman jenis satwa seperti jenis 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mempunyai keragaman jenis satwa seperti jenis burung, mamalia dan lainnya, Namun di balik keragaman satwa yang dimiliki Indonesia banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. buaya, Caiman, buaya, kura-kura, penyu dan tuatara. Ada sekitar 7900 spesies

I. PENDAHULUAN. buaya, Caiman, buaya, kura-kura, penyu dan tuatara. Ada sekitar 7900 spesies I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reptil adalah hewan vertebrata yang terdiri dari ular, kadal cacing, kadal, buaya, Caiman, buaya, kura-kura, penyu dan tuatara. Ada sekitar 7900 spesies reptil hidup sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati yang sangat indah dan beragam, yang terlihat pada setiap penjuru pulau di Indonesia banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini, jumlah populasi manusia semakin meningkat. Di Indonesia kepadatan penduduknya mencapai 200 juta jiwa lebih. Kebutuhan akan tempat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal 44.

BAB I PENDAHULUAN. Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal 44. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Wacana lingkungan hidup dan pelestarian alam dewasa ini merupakan salah satu isu penting di dunia Internasional, tapi pembahasan mengenai lingkungan cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam hayati merupakan unsur unsur alam yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam hayati merupakan unsur unsur alam yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam hayati merupakan unsur unsur alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan hewani (satwa) yang bersama - sama dengan unsur

Lebih terperinci

Transnational Organized Crime (TOC)

Transnational Organized Crime (TOC) Hukum di Indonesia untuk Melindungi Satwa Liar Ani Mardiastuti aniipb@indo.net.id Fakultas Kehutanan IPB Transnational Organized Crime (TOC) Terorisme Penyelundupan senjata Narkoba Kejahatan dunia maya

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN No. 1185, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun 2016-2026. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom BERITA NEGARA No.289 2016 KEMEN-LHK. Konsevasi. Amorphophallus. Rencana Aksi. Tahun 2015-2025. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.72/MENLHK-SETJEN/2015 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Fauna merupakan bagian dari keanekaragaman hayati di Indonesia,

Lebih terperinci

kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, untuk itu perlu diadakan suatu usaha untuk melindungi satwa-satwa liar tersebut, salah satu

kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, untuk itu perlu diadakan suatu usaha untuk melindungi satwa-satwa liar tersebut, salah satu BAB II REGULASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU YANG MEMPERNIAGAKAN SATWA YANG DILINDUNGI Dari uraian-uraian yang telah dijelaskan sebelumnya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA JUNCTO

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN FLORA DAN FAUNA YANG TIDAK DILINDUNGI LINTAS KABUPATEN/KOTA Dl PROPINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya alam non hayati/abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati

BAB I PENDAHULUAN. daya alam non hayati/abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan karunia dari Allah SWT yang harus dikelola dengan bijaksana, sebab sumber daya alam memiliki keterbatasan penggunaannya. Sumberdaya alam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN FLORA DAN FAUNA YANG TIDAK DILINDUNGI LINTAS KABUPATEN / KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.56/Menlhk/Kum.1/2016 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI MACAN TUTUL JAWA (PANTHERA PARDUS MELAS) TAHUN 2016 2026 DENGAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN2004 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENGENDALIAN PEMANFAATAN FLORA DAN FAUNA

Lebih terperinci

MARGARETHA SIAHAAN DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

MARGARETHA SIAHAAN DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU YANG MEMPERNIAGAKAN SATWA YANG DILINDUNGI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA ( Studi Putusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA

UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA Oleh A.A. Istri Agung Kemala Dewi Made Gde Subha Karma Resen Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan menjadi habitat lebih dari 1539 jenis burung. Sebanyak 45% ikan di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. dan menjadi habitat lebih dari 1539 jenis burung. Sebanyak 45% ikan di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERTUKARAN JENIS TUMBUHAN ATAU SATWA LIAR DILINDUNGI DENGAN LEMBAGA KONSERVASI DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

Lebih terperinci

Raden Fini Rachmarafini Rachmat ( ) ABSTRAK

Raden Fini Rachmarafini Rachmat ( ) ABSTRAK PERBANDINGAN HUKUM ANTARA PENGATURAN PERLINDUNGAN SATWA LIAR YANG DILINDUNGI DI INDONESIA DAN DI AUSTRALIA DIKAITKAN DENGAN CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila; Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan cenderung berpusat pada masalah pencemaran dan bencana-bencana

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan cenderung berpusat pada masalah pencemaran dan bencana-bencana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wacana Lingkungan Hidup dan pelestarian alam dewasa ini merupakan salah satu isu penting di dunia Internasional. Namun pembahasan mengenai lingkungan cenderung berpusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan satwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut rilis terakhir dari

BAB I PENDAHULUAN. dan satwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut rilis terakhir dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alamnya baik hayati maupun non hayati salah satu kekayaan alam Indonesia dapat dilihat dari banyaknya jenis

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR U M U M Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/ MEN/2010 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PELESTARIAN BAB. Tujuan Pembelajaran:

PELESTARIAN BAB. Tujuan Pembelajaran: BAB 4 PELESTARIAN MAKHLUK HIDUP Tujuan Pembelajaran: Setelah mempelajari bab ini, kalian diharapkan dapat: 1. Mengetahui berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang mendekati kepunahan. 2. Menjelaskan pentingnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA Minggu, 5 Juni 2016 Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Pertama-tama marilah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.844, 2012 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Ekspor. Barang Dilarang. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44/M-DAG/PER/7/2012 TENTANG BARANG DILARANG EKSPOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin tidak ada habisnya, mengenai masalah ini dapat dilihat dari pemberitaan media masa seperti

Lebih terperinci

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang

Lebih terperinci

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR)

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR) CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR) PENGANTAR Saat ini terdapat 2 (dua) versi RUU Perubahan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU

Lebih terperinci

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION

Lebih terperinci

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA Minggu, 5 Juni 2016 Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu Saudara-saudara

Lebih terperinci

Oleh A.A. Alit Mas Putri Dewanti Edward Thomas Lamury Hadjon Program Kekhususan Hukum Internasional ABSTRACT

Oleh A.A. Alit Mas Putri Dewanti Edward Thomas Lamury Hadjon Program Kekhususan Hukum Internasional ABSTRACT PENGATURAN HUKUM TERHADAP PERDAGANGAN SPESIES LANGKA BERDASARKAN CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA (CITES) ABSTRACT Oleh A.A. Alit Mas Putri Dewanti Edward

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tahun 2010 telah dicanangkan oleh PBB sebagai Tahun Internasional Biodiversity (keanekaragaman hayati) dengan tema Biodirvesity is life, Biodirvesity is Our

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN PENGATURAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BAWAH LAUT BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN Made Nanika Mawapusti Yadnya I Ketut Sudiarta Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG Menimbang : MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI TUMBUHAN DAN SATWA LIAR MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan baik itu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan baik itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan baik itu kekayaan yang berupa kekayaan alam maupun kekayaan yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35/PERMEN-KP/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN JENIS IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN, PENGENDALIAN SERTA PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Keanekaragaman hayati terbesar yang dimiliki Indonesia di antaranya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (www.okezone.com 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah)

BAB I PENDAHULUAN. (www.okezone.com 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah) BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Keberadaan primata di seluruh dunia akhir-akhir ini sangat memprihatinkan akibat berkurangnya habitat mereka dan penangkapan liar untuk diperdagangkan. Degradasi dan

Lebih terperinci

ABSTRACT ABSTRAK. Kata kunci : CITES, Perdagangan Hewan Langka, perdagangan ilegal

ABSTRACT ABSTRAK. Kata kunci : CITES, Perdagangan Hewan Langka, perdagangan ilegal KEDUDUKAN CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) SEBAGAI SALAH SATU KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG LINGKUNGAN HIDUP YANG MENGATUR PERDAGANGAN SPESIES LANGKA Oleh Deby Dwika Andriana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Page 1 of 9 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 7 TAHUN 1999 (7/1999) Tanggal : 27 Januari 1999 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Istimewa Yogyakarta terkenal dengan kota pelajar dan kota budaya, selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta juga dikenal sebagai daerah pariwisata ini dibuktikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1347, 2014 KEMENHUT. Satwa Buru. Musim Berburu. Penetapan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/Menhut-II/2014 TENTANG PENETAPAN MUSIM

Lebih terperinci

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1349, 2014 KEMENHUT. Hasil Berburu. Memiliki. Izin. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.71/Menhut-II/2014 TENTANG IZIN MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1444, 2014 KEMENHUT. Satwa Liar. Luar Negeri. Pengembangbiakan. Peminjaman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayai dan Ekosistemnya;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayai dan Ekosistemnya; KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung Walet (Collocalia spp) merupakan salah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PEMINJAMAN JENIS SATWA LIAR DILINDUNGI KE LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANGBIAKAN (BREEDING LOAN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP adalah suatu pembunuhan biasa seperti Pasal

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam artikel Konflik Manusia Satwa Liar, Mengapa Terjadi? yang ditulis

BAB I PENDAHULUAN. Dalam artikel Konflik Manusia Satwa Liar, Mengapa Terjadi? yang ditulis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam artikel Konflik Manusia Satwa Liar, Mengapa Terjadi? yang ditulis Siti Chadidjah Kaniawati pada situs Balai Taman Nasional Kayan Mentarang menjelaskan dalam beberapa

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keseluruhan isi alam ini, baik manusia, tumbuhan, maupun satwa memiliki hubungan yang saling terkait, dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya di dalam suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan, Indonesia menyimpan kekayaan alam tropis yang tak ternilai harganya dan dipandang di dunia internasional. Tidak sedikit dari wilayahnya ditetapkan

Lebih terperinci

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN 1 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA PERESMIAN PROGRAM MECU (MOBILE EDUCATION CONSERVATION UNIT) DAN PENYERAHAN SATWA DI DEALER FORD ROXY MAS HARI JUMAT TANGGAL 11 MARET

Lebih terperinci

2016, No Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Invasif; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konse

2016, No Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Invasif; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konse No.1959, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Jenis Invasif. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.94/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 TENTANG JENIS INVASIF

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET DI WILAYAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang -Undang Dasar 1945 yang

I. PENDAHULUAN. terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang -Undang Dasar 1945 yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Karena dalam mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daratan Asia, tepatnya di sepanjang pegunungan Himalaya. Sudah hidup

BAB I PENDAHULUAN. daratan Asia, tepatnya di sepanjang pegunungan Himalaya. Sudah hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beberapa juta tahun yang lalu, jauh sebelum keberadaan manusia di daratan Asia, tepatnya di sepanjang pegunungan Himalaya. Sudah hidup nenek moyang kera besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB II BAGAIMANA KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT (KGLTL)

BAB II BAGAIMANA KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT (KGLTL) BAB II BAGAIMANA KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP SUAKA MARGASATWA KARANG GADING DAN LANGKAT TIMUR LAUT (KGLTL) A. Definisi Suaka Marga Satwa dan Kawasan Konservasi. Alam menyediakan segala macam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.40/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.40/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.40/Menhut-II/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.52/MENHUT-II/2006 TENTANG PERAGAAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR DILINDUNGI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hukum adalah qonditio sine quanon, syarat mutlak bagi masyarakat. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. hukum adalah qonditio sine quanon, syarat mutlak bagi masyarakat. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan antara hukum dan masyarakat sangatlah erat, karena hukum senantiasa dipengaruhi oleh proses interaksi sosial, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat berlimpah. Banyak diantara keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci