HUBUNGAN ANTARA SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK TERHADAP KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN ANTARA SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK TERHADAP KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan"

Transkripsi

1 HUBUNGAN ANTARA SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK TERHADAP KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ALI HUSEIN G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta

2 2011

3

4 PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul : Hubungan Sinusitis Maksilaris Kronik terhadap Kualitas Hidup di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Ali Husein, NIM: G , Tahun: 2012 Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Senin, Tanggal 2 Januari 2012 Pembimbing Utama Nama : S. Hendradewi, dr., Sp.THT-KL, MSi.Med NIP : (...) Pembimbing Pendamping Nama : Andy Yok, drg., M. Kes. NIP : (...) Penguji Utama Nama : Imam Prabowo, dr., Sp.THT-KL NIP : (...) Anggota Penguji Nama : Endang Sutisna S., dr., M. Kes. NIP : (...) Surakarta, Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM NIP NIP ii

5 PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka. Surakarta, 02 Januari 2012 Ali Husein G iii

6 ABSTRAK Ali Husein, G , Hubungan Sinusitis Maksilaris Kronik terhadap Kualitas Hidup di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup. Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode observational analytic dengan pendekatan cross sectional. Subyek adalah pasien sinusitis maksilaris kronik dan kelompok kontrol. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Sampel yang diambil sebanyak 30 orang yang terdiri dari 15 pasien sinusitis maksiaris kronik dan 15 orang dari kelompok kontrol. Kualitas hidup terkait kesehatan diukur menggunakan kuesioner Medical Outcome Study SF-36 (SF-36). Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis menggunakan t test dengan taraf kepercayaan kurang dari Hasil Penelitian: Skor kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien sinusitis maksilaris kronik lebih rendah daripada kelompok kontrol (rata-rata ± standar deviasi, 2406 ± dengan 3148 ± 118.9, P = 0.000). Terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata skor kualitas hidup terkait kesehatan pada dimensi fungsi fisik (69.6 ± 11.8 dengan 87.6 ± 4.5, P = 0.000), peranan fisik (31.3 ± 6.3 dengan 37.3 ± 4.5, P = 0.009), peranan emosi (236.6 ± 66.7 dengan ± 35.1, P = 0.024), energi (272.0 ± 44.5 dengan ± 31.0, P = 0.000), kesehatan jiwa (365.3 ± 48.6 dengan ± 50.4, P = 0.004), fungsi sosial (103.3 ± 4.9 dengan ± 11.4, P = 0.000), rasa nyeri (77.3 ± 3.7 dengan ± 16.5, P = 0.000), dan kesehatan umum (326.6 ± 60.8 dengan ± 22.8, P = 0.000). Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Kata kunci: Kualitas Hidup Terkait Kesehatan, Sinusitis Maksilaris Kronik. iv

7 ABSTRACT Ali Husein, G , The Relation between Chronic Maxillary Sinusitis and Health-Related Quality of Life (HRQoL) in Moewardi Local General Hospital Surakarta. Script, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta. Objective: This research was conducted to study the relation between chronic maxillary sinusitis and quality of life. Method: This research used observational analytic with cross sectional approach. The subject were the chronic maxillary sinusitis patients and the control group. The sample taken with sampling random purposive technique with the sums of the sample is 30 persons which consist of 15 chronic maxillary sinusitis patients and 15 persons from control group. HR-QOL was assessed using Medical Outcome Study SF-36. Data which is gained, is presented in the form of table and analyzed using t test on significance level lower than 0,05. Results: Health-related quality of life scores were significantly lower in the chronic maxillary sinusitis patients than in the control group (mean ± standard deviation, 2406 ± vs 3148 ± 118.9, P = 0.000). Also, the chronic maxillary sinusitis patients scored significantly lower than the control group in HR-QOL domains physical function (69.6 ± 11.8 vs 87.6 ± 4.5, P = 0.000), physical role (31.3 ± 6.3 vs 37.3 ± 4.5, P = 0.009), emotional role (236.6 ± 66.7 vs ± 35.1, P = 0.024), energy (272.0 ± 44.5 vs ± 31.0, P = 0.000), mental health (365.3 ± 48.6 vs ± 50.4, P = 0.004), social function (103.3 ± 4.9 vs ± 11.4, P = 0.000), pain (77.3 ± 3.7 vs ± 16.5, P = 0.000), and general health (326.6 ± 60.8 vs ± 22.8, P = 0.000). Conclusions: There was relation between chronic maxillary sinusitis and quality of life. Key Words: HR-QoL (Health-Related Quality of Life), chronic maxillary sinusitis. v

8 PRAKATA Segala puji bagi Allah, yang tidak ada sesembahan yang berhak disembahh selain Allah, dengan rahmat dan pertolongannya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Hubungan antara Sinusitis Maksilaris Kronik terhadap Kualitas Hidup di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam dan orang-orang yang senantiasa mengikuti sunnahnya. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menemui kendala dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan dan bantuan berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikannya. Untuk itu perkenankanlah dengan setulus hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Muthmainah, dr., M. Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Sarwastuti Hendradewi, dr., Sp.THT-KL, M.Si Med., selaku Pembimbing Utama yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, saran dan arahan dalam penelitian ini. 4. Andy Yok, drg., M. Kes., selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, saran dan arahan dalam penelitian ini. 5. Imam Prabowo, dr., Sp.THT-KL, selaku Penguji Utama yang telah berkenan menguji serta memberikan saran dan masukan dalam penelitian ini. 6. Endang Sutisna S., dr., M. Kes., selaku Anggota Penguji yang telah berkenan menguji serta memberikan saran dan masukan dalam penelitian ini. 7. Seluruh staf bagian skripsi dan staf bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. 8. Ibu Fatmah Saleh, Bapak Husein Anis yang sangat kusayangi. 9. Teman-teman semua yang selalu mendukung dan menyemangati. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang berkepentingan khususnya dan bagi pembaca umumnya. Surakarta, 02 Januari 2012 Ali Husein vi

9 DAFTAR ISI PRAKATA... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Perumusan Masalah... 4 C. Tujuan Penelitian... 4 D. Manfaat Penelitian... 4 BAB II LANDASAN TEORI... 5 A. Tinjauan Pustaka Sinus Maksilaris Sinusitis Paranasal Sinusitis Maksilaris Kronik Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Hubungan Sinusitis Maksilaris Kronik dengan Skor Kualitas Hidup Kuesioner SF B. Kerangka Pemikiran C. Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian B. Lokasi Penelitian C. Subjek Penelitian D. Teknik Sampling E. Desain Penelitian F. Identifikasi Variabel commit Penelitian... to user 33 vii

10 G. Definisi Operasional Variabel Penelitian H. Instrumentasi Penelitian I. Cara Kerja Penelitian J. Teknik Analisis Data BAB IV HASIL PENELITIAN BAB V PEMBAHASAN BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA...48 DAFTAR PUSTAKA viii

11 DAFTAR TABEL Tabel 1. Pertanyaan yang Mewakili 8 Dimensi Kuesioner SF Tabel 2. Skor Kuesioner SF Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian.. 37 Tabel 4. Rata-Rata Total Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Berdasarkan Umur Subjek.. 38 Tabel 5. Rata-Rata Total Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Berdasarkan Jenis Kelamin Subjek Penelitian Tabel 6. Nilai p pada Skor 8 Domain dan Total Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Subjek Penelitian.. 41 ix

12 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Rata-Rata Skor 8 Domain Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Subjek Penelitian (Skor Maksimal 100 pada Tiap Domain) Gambar 2. Rata-Rata Total Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Subjek Penelitian x

13 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Data Hasil Penelitian Subjek Sinusitis Maksilaris Kronik Lampiran 2. Data Hasil Penelitian Subjek Kelompok Kontrol Lampiran 3. Surat Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 4. Formulir Short Form 36 (SF-36) Lampiran 5. Uji Homogenitas Sampel Lampiran 6. Analisis Statistik Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Subjek Penelitian xi

14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinusitis merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering dilaporkan dalam praktik kedokteran. Oleh karena dibutuhkan biaya yang besar untuk pengobatannya maka sinusitis termasuk penyakit yang membebani ekonomi masyarakat. Prevalensi sinusitis meningkat setiap tahunnya, di Amerika mencapai 14 %, sedangkan di Eropa sekitar 10 % sampai 30 %. Tahun 1996 diperkirakan sekitar 16 % dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat menderita sinusitis. Dari jumlah tersebut, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan uang untuk perawatan kesehatan sebesar 5,8 juta dollar Amerika (Wald, 1990; Marret, 1998; Cauwenberge, 2000). Tahun 1995 dilaporkan oleh bagian rhinologi THT RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, bahwa dari penelitian yang dilakukan selama tiga bulan didapatkan pasien baru sinusitis kronik sebanyak 54 pasien (2,8 % dari seluruh kunjungan di poliklinik THT) (Damayanti, 1995). Pada tahun 1994 sampai 1995 dari catatan medik poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi Semarang diperoleh data 469 kunjungan kasus baru sinusitis maksilaris kronik (2,6 % dari seluruh kunjungan di Poliklinik THT), di RSUD Dr. Moewardi Surakarta sendiri, kunjungan penderita sinusitis kronik pada bulan februari 1998 mencapai 38 orang (Suyitno, 1996; Alders 1998; Soetjipto, 2000). 1

15 2 Sinus paranasal adalah rongga di dalam tulang tengkorak, yang merupakan hasil pneumatisasi dari tulang-tulang tengkorak. Terdapat empat sinus pada manusia yang semuanya bermuara ke rongga hidung dan merupakan bagian dari sistem pernafasan. Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa pada sinus paranasal. Sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Etiologi sinusitis adalah infeksi yang berasal dari hidung (sinusitis kausa rhinogen) atau infeksi yang berasal dari gigi (sinusitis kausa odontogen). Kuman penyebabnya meliputi bakteri, virus, dan jamur. Sinusitis kausa odontogen tidak bisa dianggap remeh karena berdasarkan hasil penelitian Andrey pada tahun 2002 didapatkan jumlah penderita sinusitis maksilaris kronik kausa odontogen sebesar 14 % sampai 24 % dari total semua kasus sinusitis yang ada. Sinusitis dapat dikatakan kronik jika selama 12 minggu atau lebih terdapat gejala sinusitis terus-menerus atau didapatkan 4 episode sinusitis akut yang berlangsung selama satu tahun (Lopatin, 2002). Sinus maksilaris dan ethmoidalis merupakan sinus yang paling sering mengalami sinusitis, sedangkan untuk sinus frontalis dan sinus sphenoidalis jarang ditemukan. Beberapa alasan yang menyebabkan sinus maksilaris sering mengalami sinusitis di antaranya karena sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar, letak ostium sinus maksilaris lebih tinggi dari dasarnya, dan dasarnya adalah akar gigi sehingga infeksinya dapat berasal dari infeksi gigi terutama gigi molar satu, molar dua dan premolar satu (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

16 3 Sinusitis maksilaris kronik menyebabkan gangguan fisik yang cukup serius sehingga memberikan dampak buruk terhadap kualitas hidup terkait kesehatan. Hal ini dapat mengganggu fungsi normal sehari-hari dan menyebabkan penurunan produktivitas. Sinusitis yang tidak diobati dapat menjadi ancaman hidup (Vaid, 2007). Kualitas hidup adalah konsep yang mencakup karakter fisik maupun psikologis dalam konteks sosial. Dalam dunia kedokteran digunakan istilah kualitas hidup terkait kesehatan. Seiring dengan kemajuan ilmu di bidang kedokteran, penatalaksanaan penyakit dewasa ini mulai mempertimbangkan aspek kualitas hidup pasien. Dengan demikian adanya penilaian kualitas hidup terkait kesehatan disamping berguna untuk mengetahui dampak suatu penyakit terhadap kehidupan pasien juga berguna untuk mengevaluasi efek terapi pada pasien (Loonen, 2001; Richardson, 2001). Dari uraian di atas terdapat kemungkinan sinusitis maksilaris kronik dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan. Berdasarkan penelusuran sumber pustaka yang dilakukan peneliti, belum ada yang meneliti hubungan antara keduanya di RSUD Dr. Moewardi Surakarta sehingga peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pasien di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

17 4 B. Perumusan Masalah Apakah terdapat hubungan antara sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup di RSUD Dr. Moewardi Surakarta? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan antara sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis : Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan untuk mengetahui apakah sinusitis maksilaris kronik dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan. 2. Aplikatif : Sebagai bahan pertimbangan dalam penanganan kasus sinusitis maksilaris kronik dengan memperhatikan aspek kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien.

18 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan pustaka 1. Sinus Maksilaris a. Perkembangan sinus maksilaris Sinus maksilaris adalah sinus yang pertama berkembang. Pada waktu lahir sinus maksilaris hanya berupa celah kecil dengan ukuran 7x4x4 mm yang berisi cairan dan terletak di sebelah medial orbita. Pertumbuhan sinus maksilaris berlangsung dalam dua fase sela pertumbuhan, fase awal terjadi pada usia 0 sampai 3 tahun kemudian dilanjutkan pertumbuhan lambat seiring dengan melambatnya pertumbuhan otak. Fase akhir berlangsung pada usia 7 sampai 12 tahun. Selama fase akhir tersebut pneumatisasi menyebar lebih ke arah inferior. Bentuk sempurna terjadi setelah gigi permanen erupsi. Pneumatisasi ini dapat sangat meluas hingga akar gigi terlihat dengan hanya dilapisi selapis tipis jaringan lunak di antara keduanya (Anggraini, 2005). b. Struktur anatomi sinus maksilaris Sinus maksilaris merupakan lubang udara besar yang terletak diantara cavum orbita dan cavum oris. Sinus maksilaris orang dewasa berbentuk piramida dengan volume sekitar 15 ml (34x33x23 mm). Dinding medial sinus maksilaris merupakan dinding lateral dari fossa 5

19 6 nasalis. Dinding anterior sinus maksilaris merupakan dinding bagian depan dari tulang maksila. Dinding posterior sinus maksilaris tidak terlalu jelas, di sebelah posteriornya terdapat fossa pterygomaksilaris. Atap sinus maksilaris dibentuk oleh dasar cavum orbita. Dasar sinus maksilaris adalah prosesus alveolaris dan palatum yang keduanya juga merupakan atap dari cavum oris. Dasar sinus maksilaris biasanya terus berkembang ke inferior seiring dengan pneumatisasi sinus maksilaris. Karena letaknya yang berdekatan dengan gigi maka infeksi yang terdapat pada gigi dapat menyebabkan infeksi sinus maksilaris (Marret, 1998). Darah teroksigenasi ke sinus maksilaris disuplai oleh cabangcabang arteri maksilaris yang merupakan cabang terminal dari arteri karotis eksterna (Marret, 1998). Sinus maksilaris diinervasi oleh cabang-cabang dari nervus makslilaris, yang merupakan salah satu cabang nervus trigeminus (Marret, 1998). c. Gambaran histologi sinus maksilaris Mukosa sinus maksilaris dilapisi epitel pseudostratified ciliated columnar yang berkesinambungan dengan mukosa di rongga hidung, bedanya epitel pada sinus ini lebih tipis dibandingkan epitel yang terdapat pada hidung. Ada 4 tipe sel dasar yang terdapat pada sinus maksilaris, yaitu epitel ciliated columnar, epitel non ciliated columnar, sel basal dan sel goblet (Junquiera, 1997; Anggraini, 2005).

20 7 d. Fungsi sinus maksilaris Fungsi sinus telah menjadi topik beberapa penelitian. Sayangnya, sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fungsi rongga udara ini. Untuk itu masih diperlukan penelitian berkelanjutan agar dapat mengungkapkan bahwa fungsi yang sebenarnya merupakan bagian yang lebih besar dari yang tampak sekarang. Beberapa teori yang dikembangkan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain: 1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) 2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators) 3) Membantu keseimbangan kepala 4) Membantu resonansi suara 5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara 6) Membantu produksi mukus 7) Produksi NO (Nitrous Oxide) (Muller dan Amedee, 1998; Anngraini, 2005). e. Sistem mukosiliar Sel-sel bersilia pada setiap sinus bergerak ke arah spesifik. Karena banyak sinus yang berkembang dengan cara ke arah luar dan inferior, mukosa bersilia kadang menggerakkan material melawan gravitasi menuju muara sinus. Hal ini berarti mukus diproduksi berdekatan dengan muara sinus. Ini adalah salah satu alasan bahwa adanya ostia asesoris pada tempat selain ostium fisiologis tidak

21 8 berpengaruh signifikan terhadap drainase sinus. Faktanya, mukus mengalir dari ostia memasuki sinus kembali, melalui ostia baru dan berputar melalui sinus lagi. Hilding adalah yang pertama mendeskripsikan bahwa setiap aliran mukus sinus mengikuti pola tertentu, dan hasil observasinya masih valid hingga sekarang. Peneliti selanjutnya mendeskripsikan fenomena stagnasi yang terjadi ketika dua permukaan bersilia berkontak (terutama pada kompleks osteomeatal), maka hal ini dapat mengganggu klirens mukus dan dapat mengakibatkan sinusitis (Hilger, 1997). 2. Sinusitis Paranasal a. Definisi sinusitis paranasal Sinusitis paranasal didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Penyebab utamanya adalah salesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis yang terjadi pada beberapa sinus paranasal disebut multisinusitis, sedangkan bila terjadi pada semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Sinus maksilaris dan sinus ethmoidalis merupakan sinus yang paling sering mengalami sinusitis, sedangkan untuk sinus frontalis dan sinus sphenoidalis jarang ditemukan. Beberapa alasan yang menyebabkan sinus maksilaris sering mengalami sinusitis akan dijelaskan pada bagian selanjutnya (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

22 9 b. Klasifikasi sinusitis paranasal Konsensus 2004 mengklasifikasikan sinusitis berdasarkan lama perjalanan penyakitnya menjadi tiga, yaitu: 1) Sinusitis akut (dengan batas sampai empat minggu) Keluhan utama sinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri atau tertekan pada muka. Selain itu dapat dijumpai ingus purulen yang seringkali turun ke tenggorokan (post nasal drip). Gejala sistemik seperti demam dan lesu dapat juga menyertai perjalanan penyakitnya (Brook, 2000). 2) Sinusitis sub akut (antara empat minggu sampai tiga bulan) Sinusitis dengan penyebab rhinogenik yang umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis tipe ini adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas. Manifestasi klinis yang timbul serupa dengan sinusitis akut tetapi tanda-tanda akutnya sudah reda (Brook, 2000). 3) Sinusitis Kronik (lebih dari tiga bulan) Sinusitis kronik dapat terjadi karena adanya polusi bahan kimia, alergi maupun defisiensi imunologi sehingga menyebabkan silia rusak dan akhirnya terjadi perubahan mukosa hidung. Hal tersebut akan mempermudah terjadinya infeksi. Selain itu pengobatan yang tidak adekuat juga dapat menyebabkan terjadinya

23 10 infeksi kronik. Manifestasi klinis yang timbul berupa gejala subjektif (Brook, 2000). 3. Sinusitis Maksilaris Kronik a. Epidemiologi sinusitis maksilaris kronik Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Sinusitis menyerang satu dari tujuh orang dewasa di Amerika Serikat, dengan lebih dari 30 juta individu yang didiagnosis setiap tahunnya. Tahun 1996 diperkirakan sekitar 16 % dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat menderita sinusitis. Dari jumlah tersebut, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan uang untuk perawatan kesehatan sebesar 5,8 juta dollar Amerika. Angka kejadiannya di Eropa sekitar 10 % sampai 30 % (Wald, 1990; Marret, 1998; Cauwenberge, 2000). Tahun 1995 dilaporkan oleh bagian rhinologi THT RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, bahwa dari penelitian yang dilakukan selama tiga bulan didapatkan pasien baru sinusitis kronik sebanyak 54 pasien (2,8 % dari seluruh kunjungan di poliklinik THT) (Damayanti, 1995). Pada tahun 1994 sampai 1995 dari catatan medik poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi Semarang diperoleh data 469 kunjungan kasus baru sinusitis maksilaris kronik (2,6 % dari seluruh kunjungan di Poliklinik THT), di RSUD Dr. Moewardi Surakarta sendiri, kunjungan penderita sinusitis kronik pada bulan februari 1998 mencapai 38 orang (Suyitno, 1996; Alders 1998). Individu dengan riwayat alergi atau asma berisiko tinggi terjadinya

24 11 rhinosinusitis. Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa 18 sampai 75 tahun dan kemudian anak-anak berusia 15 tahun. Sinusitis jarang pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun karena sinus belum berkembang dengan baik pada usia tersebut (Soetjipto, 2000). Sinusitis maksilaris paling sering terjadi daripada sinusitis paranasal lainnya karena: 1) Sinus maksilaris memiliki ukuran paling besar di antara sinus paranasal lainnya. 2) Posisi ostium sinus maksilaris lebih tinggi daripada dasarnya sehingga aliran sekretnya hanya tergantung dari gerakan silia. 3) Letak ostium sinus maksilaris berada pada meatus nasi media di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat. 4) Letak dasar sinus maksilaris berbatasan langsung dengan dasar akar gigi sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan infeksi sinus maksilaris (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). b. Etiologi sinusitis maksilaris kronik Sinusitis dapat disebabkan oleh : 1) Infeksi yang berasal dari hidung (Sinusitis kausa rhinogen). 2) Infeksi yang berasal dari gigi (Sinusitis kausa odontogen). Kuman penyebab dari keduanya meliputi: 1) Bakteri : Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza, Streptococcus group A, Staphylococcus aureus, Neisseria, Klebsiella, Basil gram (-), dan Pseudomonas.

25 12 2) Virus : Rhinovirus, influenza virus, dan parainfluenza virus. 3) Bakteri anaerob: fusobakteria. 4) Jamur (Hilger, 1997; Brown dan Sobol, 2008). c. Patofisiologi sinusitis maksilaris kronik Sinusitis maksilaris kronik berbeda dengan sinusitis maksilaris akut dalam berbagai aspek. Pada sinusitis maksilaris akut perubahan patologik membran mukosa berupa infiltrat polimorfonuklear, kongesti vaskular dan deskuamasi epitel permukaan, bersifat reversibel. Sedangkan gambaran patologik sinusitis maksilaris kronik adalah kompleks dan ireversibel. Sinusitis maksilaris kronik umumnya sukar disembuhkan dengan medika mentosa saja. Untuk itu harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya (Hilger, 1997; Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis maksilaris kronik cukup beragam. Pada era pra-antibiotik, sinusitis maksilaris kronik timbul akibat sinusitis maksilaris akut berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Kegagalan mengobati sinusitis maksilaris akut atau sinusitis maksilaris akut yang berulang akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus, dan oleh karena itu terciptalah predisposisi infeksi kronik. Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka sehingga drainase sekret akan terganggu dan menyebabkan silia rusak. Sumbatan drainase dapat pula

26 13 disebabkan oleh beberapa hal diantaranya perubahan struktur ostium sinus karena lesi pada bagian dalam rongga hidung, hipertrofi adenoid, tumor hidung dan nasofaring, dan septum deviasi. Akan tetapi faktor predisposisi yang paling lazim adalah polip nasal yang timbul pada rhinitis alergi. Polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat total ostium sinus. Selain itu polusi bahan kimia dapat menyebabkan silia rusak sehingga terjadi perubahan pada mukosa hidung. Gambaran patologis yang terjadi adalah mukosa menebal membentuk lipatanlipatan atau pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi, metaplasia, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologis yang sama. Pembentukan mikroabses, dan jaringan granulasi bersama-sama dengan pembentukan jaringan parut. Secara menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar dan polimorfonuklear dalam lapisan submukosa. Perubahan pada mukosa hidung dapat juga disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik. Alergi dapat menyebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut yang selanjutnya merusak epitel permukaan. Kejadian diatas berperan dalam siklus dari peristiwa yang berulang (Hilger, 1997; Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

27 14 d. Gejala sinusitis maksilaris kronik 1) Gejala subjektif Gejala subyektif sangat bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari : a) Gejala hidung dan nasofaring berupa sekret dihidung dan sekret pasca nasal (post nasal drip). b) Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal ditenggorokan. c) Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba eustachius. d) Adanya nyeri atau sakit kepala. e) Gejala mata oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis. f) Gejala saluran napas berupa batuk dan kadang-kadang terdapat komplikasi di paru, berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial, sehingga terjadi penyakit sinobronkitis. g) Gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis, ini sering terjadi pada anak. Kadang gejala dapat sangat ringan dengan hanya terdapat sekret di nasofaring yang mengganggu pasien. Sekret pasca nasal yang terus menerus ini akan mengakibatkan batuk kronik. Nyeri kepala pada sinusitis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam

28 15 hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus, serta adanya stasis vena (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). 2) Gejala objektif Pada sinusitis kronis temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Selain kedua golongan gejala di atas, menurut Saphiro dan Rachelefsky, diagnosis sinusitis dapat ditegakkan dengan melihat gejala klinis yang dikelompokkan menjadi kriteria mayor dan kriteria minor. a) Kriteria Mayor (1) Discharge purulen, berwarna kuning keruh atau hijau. (2) Discharge turun dari nasofaring ke dinding faring. (3) Batuk kering atau basah sepanjang hari. b) Kriteria Minor (1) Sakit pada pipi, lokasi di bawah mata. (2) Sakit kepala. (3) Nafas bau. (4) Sakit gigi. (5) Badan panas. (6) Sakit pada tenggorokan (Shapiro dan Rachelefsky, 1992).

29 16 e. Diagnosis sinusitis maksilaris kronik Diagnosis ditegakkan berdarsarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Evans, 1994; Hilger, 1997; Lanza et al., 1997). Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid (Busquet dan Hwang, 2006; Hariyati, 2006). Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT Scan. Foto polos posisi waters, PA, dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelaianan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan. CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. CT scan diindikasikan untuk evaluasi sinusitis kronik yang tidak membaik dengan terapi, evaluasi preoperative, dan jika ada dugaan keganasan. Namum karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan

30 17 operasi sinus (Busquet dan Hwang, 2006; Rosenfeld, dkk., 2007; Kentjono WA, 2007). Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Supomo dan Erick, 2005). Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bias dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). f. Penatalaksanaan sinusitis maksilaris kronik Tujuan terapi sinusitis adalah: 1) Mempercepat penyembuhan. 2) Mencegah komplikasi. 3) Mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan di kompleks osteo meatal sehingga drenase dan ventilasi sinus pulih secara alami (Evans, 1994; Busquet dan Hwang, 2006; Kentjono WA, 2007). Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin.

31 18 Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi betalaktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sepalosporin generasi kedua. Sedangkan untuk sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negatif dan anaerob. Lama pemberian antibiotik pada sinusitis sekitar hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan karena sifat kolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi kedua. Irigasi sinus maksila atau Proetzdis placement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat. Diatermi merupakan penggunaan arus listrik untuk pemanasan jaringan dengan mengubah arus listrik menjadi arus elektromagnetik gelombang pendek (Short Wave Diathermy) atau elektromagnetik gelombang mikro (Micro Wave Diathermy). Secara teoritis, diatermi pada sinusitis maksilaris akan membantu mempercepat proses penyembuhan karena mempunyai efek memperbaiki sirkulasi darah, menghilangkan nyeri, menghilangkan edema dan mempercepat

32 19 penyerapan eksudat, sehingga terapi antibiotik akan menjadi lebih efektif. Diatermi umumnya dilakukan selama 10 hari (Fathma, 1994). Tindakan operasi pada sinusitis adalah dengan bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). BSEF merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi yang adekuat, sinusitis kronik yang disertai polip ekstensif, adanya komplikasi serta sinusitis yang diakibatkan oleh jamur (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). g. Komplikasi sinusitis maksilaris kronik Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah radang amandel, kelainan pada orbita, penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum, edema palpebra, preseptal selulitis, selulitis orbita tanpa abses, selulitis orbita dengan sub atau extraperiostel abses, selulitis orbita dengan intraperiosteal abses, trombosis sinus cavernosus, kelainan intrakranial, abses extradural, abses subdural, abses intracerebral, meningitis, encephalitis, trombosis sinus cavernosus atau sagital, kelainan pada tulang berupa osteitis, osteomyelitis, kelainan pada paru berupa bronkitis kronik, bronkhiektasis, otitis media, toxic shock syndrome, mucocele, dan pyococele (Hilger, 1997).

33 20 4. Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Kualitas hidup seringkali diartikan sebagai komponen kebahagiaan dan kepuasan terhadap kehidupan. Akan tetapi pengertian kualitas hidup tersebut seringkali bermakna berbeda pada setiap orang karena terdapat banyak sekali faktor yang mempengaruhinya seperti keuangan, keamanan, atau kesehatan. Untuk itulah dalam bidang kesehatan digunakan sebuah istilah kualitas hidup terkait kesehatan (Fayers dan Machin, 2007). Dalam kesehatan masyarakat dan kedokteran, konsep yang berhubungan dengan kualitas hidup terkait kesehatan mengacu pada orang atau kelompok dengan kesehatan fisik dan mental yang dinamis dari waktu ke waktu. Dokter sering melakukan penilaian kualitas hidup terkait kesehatan untuk mengukur dampak penyakit kronis serta pengobatannya pada kondisi psikologis serta integritas biologis pasien mereka untuk lebih memahami bagaimana dampak suatu penyakit terhadap kualitas hidup seseorang. Demikian pula, lembaga kesehatan masyarakat profesional, menggunakan kualitas hidup terkait kesehatan untuk mengukur efek dari berbagai gangguan, cacat jangka pendek dan jangka panjang serta penyakit pada populasi yang berbeda. Pelacakan kualitas hidup terkait kesehatan di populasi yang berbeda dapat mengidentifikasi kelompok dengan kesehatan fisik atau mental untuk kemudian dapat membantu kebijakan panduan atau intervensi untuk meningkatkan kesehatan (CDC, 2010; Fallowfield, 2009). Kualitas hidup merupakan suatu pengertian multidimensional yang sampai saat ini belum ada definisi yang secara universal diterima. Definisi

34 21 kualitas hidup diambil dari definisi sehat menurut WHO. Sehat adalah keadaan baik atau sejahtera secara fisik, mental, sosial dan bukan sematamata terbebas dari penyakit atau kecacatan. Kesehatan menurut Undangundang Kesehatan no. 36 tahun 2009 adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Depkes RI, 2009). Kualitas hidup terkait kesehatan berbeda dengan status fungsional. Kualitas hidup terkait kesehatan mencakup evaluasi subyektif tentang dampak dari penyakit beserta pengobatannya dalam hubungannya dengan tujuan, nilai dan pengharapan yang hendak dicapai seseorang. Sedangkan status fungsional memberikan suatu penilaian obyektif dari kemampuan fisik dan emosional seseorang (De Haan, 1993). Secara umum terdapat 5 bidang (domains) yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup terkait kesehatan berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO). Bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologis, keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara rinci bidang-bidang yang termasuk kualitas hidup adalah sebagai berikut: a. Kesehatan fisik (physical health): kesehatan umum, nyeri, energi dan vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat. b. Kesehatan psikologis (psychological health): cara berpikir, belajar, memori dan konsentrasi.

35 22 c. Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas seharihari, komunikasi, kemampuan kerja. d. Hubungan sosial (sosial relationship): hubungan sosial, dukungan sosial. e. Lingkungan (environment): keamanan, lingkungan rumah, kepuasan kerja. Kualitas hidup pada dasarnya bersifat subyektif, multidimensional dan dinamis. Subyektif karena pengukuranya yang terbaik adalah dilakukan oleh penderita, berarti berasal dari sudut pandang penderita. Bersifat multidimensional karena kualitas mencakupi berbagai aspek kehidupan penderita seccara fisik, kemampuan fungsional, keadaan emosi dan sosial. Bersifat dinamis, hal ini disebabkan sering terjadinya perubahan dalam perjalanan waktu dan situasi (Eiser, 1997; Kaplan, 2002). Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan dapat menggunakan kuesioner yang berisikan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Menurut Harmaini (2006), terdapat tiga macam alat pengukur, yaitu: a. Alat ukur generik Merupakan alat ukur yang dapat digunakan untuk berbagai macam penyakit maupun usia. Keuntungan alat ukur ini lebih luas penggunaannya, tetapi kelemahannya tidak mencakup hal-hal khusus pada penyakit tertentu. Contoh alat ukur ini adalah SF-36.

36 23 b. Alat ukur spesifik Merupakan alat ukur yang spesifik untuk penyakit-penyakit tertentu, biasanya berisikan pertanyaan-pertanyaan khusus yang sering terjadi pada penyakit yang dimaksud. Keuntungan alat ukur ini dapat mendeteksi lebih tepat keluhan atau hal khusus yang berperan dalam suatu penyakit tertentu. Kelemahan alat ukur ini tidak dapat digunakan pada penyakit lain dan biasanya pertanyaannya lebih sulit dimengerti. Contoh alat ukur ini adalah Kidney Disease Quality of Life Short Form (KDQOL-SF). c. Alat ukur utility Merupakan pengembangan suatu alat ukur, biasanya generik. Pengembangannya dari penilaian kualitas hidup menjadi parameter lainnya sehingga mempunyai manfaat yang berbeda. Contoh alat ukur ini adalah EQ-5D (European Quality of Life 5 Dimensions) yang dikonversi menjadi Time Trade-Off (TTO) yang berguna dalam bidang ekonomi, yaitu dapat digunakan menganalisa biaya kesehatan dan perencanaan keuangan kesehatan negara. 5. Hubungan Sinusitis Maksilaris Kronik dengan Skor Kualitas Hidup Sinusitis maksilaris kronik masih merupakan tantangan dan masalah dalam praktik kedokteran, baik dikalangan dokter umum maupun spesialis. Hal ini mengingat anatomi, etiologi serta penanganannya yang bersifat kompleks. Sinusitis maksilaris kronik mempunyai pengaruh penting pada kualitas hidup terkait kesehatan penderitanya. Sinusitis

37 24 maksilaris kronik secara nyata menyebabkan gangguan fisik yang cukup serius sehingga dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan. Hal tersebut terjadi dikarenakan beberapa gejala lokal yang ditimbulkan oleh penyakit ini seperti sakit kepala, sumbatan pada hidung yang mengakibatkan gangguan peciuman, kesulitan tidur serta kelemahan badan secara umum. Sinusitis maksilaris kronik akan mengakibatkan penurunan produktifitas dan kehilangan hari kerja yang cukup signifikan yaitu sekitar 3% hari kerja penduduk produktif atau 73 juta hari kerja. Jika terjadi pada anak yang sedang dalam masa sekolah maka selain menyebabkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan juga akan menurunkan kemampuan belajar anak tersebut. Bahkan disebutkan bahwa sinusitis yang tidak diobati dapat menjadi ancaman yang cukup serius bagi penderitanya (Harowi dan Vaid, 2007). Seiring dengan kemajuan ilmu di dunia kedokteran, dewasa ini penilaian penatalaksanaan sinusitis maksilaris kronik menyangkut kualitas hidup terkait kesehatan menjadi sangat penting. Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan terhadap sinusitis maksilaris kronik terus dikembangkan, ditandai banyak alat ukur yang telah divalidasi, antara lain kuisioner kualitas hidup rinokonjungtivitis, rinosinusitis outcome measure, sinonasal outcome test 20 (SNOT-20), chronic rinosinusitis survey (CRS) dan rinosinusitis disability index (RSDI) (Harowi, 2007).

38 25 6. Kuesioner SF-36 Kuesioner SF-36 ini terdiri atas 36 pertanyaan yang mewakili 8 dimensi yaitu fungsi fisik (10 pertanyaan), peranan fisik (4 pertanyaan), rasa nyeri (2 pertanyaan), kesehatan umum (5 pertanyaan), fungsi sosial (2 pertanyaan), energi (4 pertanyaan), peranan emosi (3 pertanyaan), dan kesehatan jiwa (5 pertanyaan) (Ware et al., 1993). Delapan dimensi tersebut dapat dikumpulkan menjadi dua komponen besar yaitu komponen fisik dan komponen mental (Ware et al., 1994). Skor SF-36 berkisar antara 0-100, dimana semakin tinggi skor menunjukkan semakin baiknya kualitas hidup terkait kesehatan pasien (Krančiukaitė dan Rastenytė, 2006). Penghitungan hasil skor kualitas hidup terkait kesehatan dengan kuesioner SF-36 menggunakan daftar nilai seperti yang tersebut dalam tabel di bawah ini. Untuk skor akhir, dilakukan perhitungan rata-rata pada masing-masing pertanyaan yang menunjukkan dimensi yang diwakilinya seperti pada tabel di bawah sehingga hasil akhirnya akan menunjukkan skor masing-masing dimensi yaitu skor dimensi fungsi fisik, peranan fisik, rasa nyeri, kesehatan umum, fungsi sosial, energi, peranan emosi, dan kesehatan jiwa (RAND, 2009).

39 26 Rincian pertanyaan yang mewakili 8 dimensi kuesioner SF-36 beserta rincian nilainya dijelaskan pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Pertanyaan yang Mewakili 8 Dimensi Kuesioner SF-36 (RAND, 2009) Skala Jumlah item No pertanyaan Fungsi fisik 10 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 Peranan fisik 4 13, 14, 15, 16 Peranan emosi 3 17, 18, 19 Energi 4 23, 27, 29, 31 Kesehatan jiwa 5 24, 25, 26, 28, 30 Fungsi sosial 2 20, 32 Rasa nyeri 2 21, 22 Kesehatan umum 5 1, 33, 34, 35, 36

40 27 Tabel 2. Skor Kuesioner SF-36 (RAND, 2009) No pertanyaan No respon Skor 1, 2, 20, 22, 34, , 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, , 14, 15, 16, 17, 18, , 23, 26, 27, , 25, 28, 29, , 33,

41 28 Dalam penelitian ini digunakan alat ukur generik yaitu SF-36 (Harmaini, 2006) karena kuesioner ini merupakan instrumen generik (dapat dipergunakan untuk bermacam penyakit maupun usia) yang telah dipergunakan secara luas untuk mengukur kualitas hidup terkait kesehatan. Validitasnya telah dibuktikan pada populasi umum dan beberapa grup pasien yang bervariasi (de Haan, 2002). Kuesioner SF-36 ini juga telah digunakan secara luas di Indonesia untuk mengukur kualitas hidup terkait kesehatan (Harmaini, 2006). Kuesioner SF-36 ini dapat digunakan oleh subjek wanita maupun pria. Subjek yang dapat menggunakan kuesioner ini harus berusia di atas 14 tahun (AHOC, 2005).

42 29 B. Kerangka Pemikiran Faktor etiologi: 1. Status infeksi (hidung atau gigi) 2. Status alergi 3. Usia 4. Riwayat operasi hidung/sinus dan lama pemakaian steroid 5. Status penyakit sistemik 1. Patensi ostium 2. Jumlah silia yang berfungsi 3. Kualitas sekret Obstruksi osteomeatal kompleks Infeksi kronik Faktor Predisposisi: 1. Obstruksi mekanik 2. Faktor lingkungan (iritan, polutan) 3. Status gizi 4. Status imun Sinusitis maksilari kronik Faktor Pemberat: a. Usia b. Penyakit sistemik c. Penyakit degeneratif d. Tingkat sosial ekonomi e. Lamanya menderita sinusitis f. Terapi yang telah didapat Persepsi terhadap kualitas hidup berubah

43 30 C. Hipotesis Terdapat hubungan antara sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup terkait kesehatan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

44 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Rancangan ini dipilih karena variabel bebas (sinusitis maksilaris kronik) dan variabel terikat (skor kualitas hidup terkait kesehatan) pada penelitian ini diobservasi sekali dan pada waktu yang sama. B. Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta. C. Subyek Penelitian Subjek penelitian adalah pasien sinusitis maksilaris kronik yang berobat di Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta. D. Teknik Sampling Sampel diambil dengan teknik purposive sampling berdasarkan ciriciri atau sifat tertentu yang berkaitan dengan karakteristik populasi (Taufiqurrahman, 2004). 1. Kriteria inklusi pengambilan sampel untuk penelitian ini adalah: a. Pasien sinusitis maksilaris kronik dengan usia 40 sampai 60 tahun, laki-laki maupun perempuan. 31

45 32 b. Memenuhi kriteria diagnosis sinusitis maksilaris kronik berdasarkan kriteria mayor dan minor dari Saphiro dan Rachelefsky. c. Bersedia menjadi sampel dan diikutkan dalam penelitian ini. 2. Kriteria eksklusi pengambilan sampel pada penelitian ini adalah: a. Penderita mempunyai penyakit kronik selain sinusitis maksilaris, seperti tonsilitis kronik. b. Penderita dengan penyakit sistemik yang berat, antara lain diabetes mellitus dan hipertensi yang tidak terkontrol. Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini menggunakan patokan umum Rule of Thumb, yaitu digunakan ukuran sampel sebanyak 30 pasien setelah dilakukan restriksi dengan kriteria yang telah ditentukan. Selanjutnya 30 sampel tersebut akan dibagi menurut jumlah kelompok perlakuan. Sehingga masing-masing kelompok terdiri atas 15 sampel (Murti, 2006).

46 33 E. Desain Penelitian Populasi Kriteria eksklusi Kriteria inklusi Sampel sinusitis maksilaris kronik + sinusitis maksilaris kronik - Kualitas Hidup - Kualitas Hidup + Kualitas Hidup - Kualitas Hidup + Analisis data F. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Sinusitis maksilaris kronik 2. Variabel terikat : Skor kualitas hidup terkait kesehatan 3. Variabel luar : a. Variabel terkendali : Usia pasien. Penyakit sistemik berat yang diderita pasien. b. Variabel tak terkendali : Tingkat sosial ekonomi. Lamanya menderita sinusitis. Jenis kelamin pasien.

47 34 G. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Variabel bebas Sinusitis maksilaris kronik adalah radang mukosa sinus maksilaris yang terjadi selama 12 minggu atau lebih atau didapatkan empat episode sinusitis akut dalam kurun waktu satu tahun dengan dua gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor atau lebih yang beracuan pada kriteria diagnosis sinusitis maksilaris kronik menurut Saphiro dan Rachelefsky. Skala pengukurannya nominal. 2. Variabel terikat (Skor kualitas hidup terkait kesehatan) Skor kualitas hidup terkait kesehatan diartikan sebagai komponen kebahagiaan dan kepuasan terhadap kehidupan yang mencakup dimensi fisik, fungsional, psikologis, dan sosial (Fayers and Machin, 2007; de Haan et al., 1993). Variabel ini diukur menggunakan kuesioner Medical Outcome Study SF-36 yang telah divalidasi (Harmaini, 2006). Skala pegukurannya interval. H. Instrumentasi Penelitian Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Surat pernyataan persetujuan untuk mengikuti penelitian. 2. Kuesioner Medical Outcome Study SF-36 (Harmaini, 2006). 3. Status pasien.

48 35 I. Cara Kerja Penelitian Setelah data terkumpul baik dari hasil pengisian kuesioner maupun dari status pasien, data dipisahkan menjadi dua kelompok yaitu pasien dengan serangan sinusitis maksilaris kronik dan kelompok kontrol. Data yang terkumpul kemudian diolah untuk mendapatkan informasi sebagai berikut: 1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin. 2. Distribusi sampel berdasarkan umur. 3. Perbandingan skor kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien sinusitis maksilaris kronik dengan kelompok kontrol. J. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis data uji t tidak berpasangan. Menurut Dahlan (2008) uji ini digunakan karena: 1. Hipotesisnya merupakan hipotesis komparatif. 2. Skala variabelnya numerik. 3. Terdiri dari dua kelompok sampel yang tidak berpasangan. Menurut Dahlan (2008) uji ini dapat digunakan jika syarat-syaratnya terpenuhi yaitu: 1. Sebaran datanya harus normal. 2. Varian datanya bisa sama atau tidak. Jika syarat-syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka akan digunakan uji alternatifnya (non parametrik) yaitu uji Mann Whitney (Dahlan, 2008).

49 36 Teknik analisis uji t akan dihitung dengan menggunakan SPSS 14.0 for Windows dengan batas kemaknaan 5 % (p < 0,05).

50 BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian telah dilakukan di Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 15 Juli sampai dengan 5 Agustus Subjek penelitian sebanyak 30 orang dengan perincian 15 orang subjek merupakan pasien sinusitis maksilaris kronik dan 15 orang dari kelompok kontrol. Penentuan subjek menggunakan cara purposive sampling dengan karakteristik disajikan sebagai berikut: Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik Subyek Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Pendidikan 1. SMP/SMA sederajat 2. S I sederajat 3. S II sederajat Pasien Sinusitis Maksilaris Kronik Kelompok Kontrol Rata-rata usia (min, maks) dalam tahun 50 (40 60) 50 (41 60) Seperti tercantum dalam tabel 3, karakteristik subjek penelitian dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan serta usia. Untuk mengetahui homogenitas subjek penelitian, dilakukan analisis statistik dengan 37

51 38 mencari perbedaan rata-rata dalam tiap karakteristik. Pada kelompok karakteristik usia, distribusi datanya normal sehingga digunakan uji t. Sedangkan pada kelompok karakteristik jenis kelamin dan tingkat pendidikan, distribusi datanya tidak normal sehingga diuji dengan Mann-Whitney test. Hasil analisa statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna pada tiap karakteristik subjek penelitian, sehingga subjek penelitian ini homogen. Tabel 4. Rata-Rata Total Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Berdasarkan Umur Subjek Rata-Rata Total Skor Umur Subyek Pasien Sinusitis Maksilaris Kronik Kelompok Kontrol Tabel 4 menunjukkan rata-rata total skor kualitas hidup terkait kesehatan berdasarkan usia subjek. Pada tabel di atas didapatkan bahwa usia yang semakin meningkat menunjukkan rata-rata total skor kualitas hidup terkait kesehatan yang semakin menurun pada kelompok subjek pasien sinusitis maksilaris kronik. Akan tetapi pada kelompok kontrol didapati rata-rata total skor kualitas hidup terkait kesehatan paling tinggi justru pada kelompok usia tahun.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara Fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru, pengatur

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Sinus paranasalis dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

Jangan Sembarangan Minum Antibiotik

Jangan Sembarangan Minum Antibiotik Jangan Sembarangan Minum Antibiotik Beragamnya penyakit infeksi membuat kebanyakan orang segera berobat ke dokter meski hanya penyakit ringan. Rasanya tidak puas jika dokter tidak memberi obat apapun dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi pada tonsil atau yang biasanya dikenal masyarakat amandel merupakan masalah yang sering dijumpai pada anak- anak usia 5 sampai 11 tahun. Data rekam medis RSUD

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

RINOSINUSITIS KRONIS

RINOSINUSITIS KRONIS RINOSINUSITIS KRONIS Muhammad Amir Zakwan (07/25648/KU/12239) Dokter Muda Periode 2-25 Januari 2013 Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP

Lebih terperinci

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang 77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik

Lebih terperinci

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas Rhinosinusitis Bey Putra Binekas Anatomi Fisiologi Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Lubang hidung merupakan ostium

Lebih terperinci

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan masalah yang sering terjadi pada anak anak, misal otitis media akut (OMA) merupakan penyakit kedua tersering pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus 2.1.1. Sinus Frontalis Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CAKRADENTA YUDHA POETERA G

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CAKRADENTA YUDHA POETERA G PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN NEKROSIS PULPA DENGAN ABSES APIKALIS KRONIS ANTARA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DAN NON DIABETES MELLITUS DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus PENDAHULUAN Survei Kesehatan Rumah Tangga Dep.Kes RI (SKRT 1986,1992 dan 1995) secara konsisten memperlihatkan kelompok penyakit pernapasan yaitu pneumonia, tuberkulosis dan bronkitis, asma dan emfisema

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma dan rinosinusitis adalah penyakit yang amat lazim kita jumpai di masyarakat dengan angka prevalensi yang cenderung terus meningkat selama 20-30 tahun terakhir.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT 32 BAB 5 HASIL DAN BAHASAN 5.1 Gambaran Umum Sejak Agustus 2009 sampai Desember 2009 terdapat 32 anak adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT RSUP Dr. Kariadi Semarang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban ekonomi yang tinggi

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 21 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi atau uji klinis dengan randomized controlled trial pre- & posttest design. Studi ini mempelajari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001)

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001) BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan asma. Penyakit Paru Obstruksi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA SISWA KELAS XI SMA 3 SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA SISWA KELAS XI SMA 3 SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA SISWA KELAS XI SMA 3 SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran OGI KURNIAWAN G 0009164 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 1 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

PERBEDAAN DEPRESI PADA PASIEN ASMA PERSISTEN SEDANG DAN BERAT DENGAN PASIEN PPOK DERAJAT SEDANG DAN BERAT DI RSUD DR.

PERBEDAAN DEPRESI PADA PASIEN ASMA PERSISTEN SEDANG DAN BERAT DENGAN PASIEN PPOK DERAJAT SEDANG DAN BERAT DI RSUD DR. PERBEDAAN DEPRESI PADA PASIEN ASMA PERSISTEN SEDANG DAN BERAT DENGAN PASIEN PPOK DERAJAT SEDANG DAN BERAT DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ARUM

Lebih terperinci

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen RSU. HAJI MAKASSAR RINITIS ALERGI PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen TUJUAN Menembalikan fungsi hidung dengan cara menghindari allergen penyebab,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis 2.1.1. Defenisi Menurut Kamus Kedokteran Dorland (2002), sinusitis adalah peradangan sinus, biasanya sinus paranasales; mungkin purulen atau nonpurulen, akut atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat infeksi saluran nafas

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE 2008-2012 Oleh : ARCHANAA SAMANTHAN NIM: 100100201 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada tahap ini ditandai dengan menurunnya kemampuan kerja tubuh (Nugroho, 2007). Semakin bertambahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering dari semua

BAB I PENDAHULUAN. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering dari semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering dari semua penyakit tenggorokan berulang. Kegagalan atau ketidaksesuaian terapi antibiotik pada penderita tonsilitis

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS KELAMIN DENGAN AKTIVITAS FISIK PADA MAHASISWA PENDIDIKAN DOKTER ANGKATAN 2012 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

HUBUNGAN JENIS KELAMIN DENGAN AKTIVITAS FISIK PADA MAHASISWA PENDIDIKAN DOKTER ANGKATAN 2012 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA HUBUNGAN JENIS KELAMIN DENGAN AKTIVITAS FISIK PADA MAHASISWA PENDIDIKAN DOKTER ANGKATAN 2012 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

4.3.1 Identifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Instrumen Penelitian

4.3.1 Identifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Instrumen Penelitian DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii KATA PENGANTAR... iv PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma adalah penyakit paru kronik yang sering terjadi di dunia. Data mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir (Mchpee

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang melibatkan kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga menyebabkan nyeri dan kekakuan pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 37 BAB III METODE PENELITIAN 38 A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan secara cross sectional, variabel bebas dan variabel terikat diobservasi

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. termasuk dalam segi fungsi fisik, interaksi sosial, dan keadaan mental (Jonsen, 2006). Penilaian

BAB V PEMBAHASAN. termasuk dalam segi fungsi fisik, interaksi sosial, dan keadaan mental (Jonsen, 2006). Penilaian BAB V PEMBAHASAN Kualitas hidup merupakan persepsi subjektif, yang berasal dari pasien dalam menilai pengalaman/kenyataan hidupnya secara keseluruhan atau sebagian sebagai baik atau buruk; termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap tahunnya ± 40 juta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan 1 BAB I KONSEP DASAR A. Pengertian Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan jaringan subkutan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri melalui suatu area yang robek pada kulit,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit jantung dan pembuluh darah. Berdasarkan laporan WHO tahun 2005, dari 58 juta kematian di dunia,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Karla Kalua G0011124 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TENTANG PEMBERIAN IMUNISASI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TENTANG PEMBERIAN IMUNISASI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TENTANG PEMBERIAN IMUNISASI BCG PADA BAYI USIA 0-2 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEBAKKRAMAT I KARANGANYAR SKRIPSI Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan salah satu jenis dari penyakit tidak menular yang paling banyak ditemukan di masyarakat dan

Lebih terperinci

PERBEDAAN STATUS INSOMNIA ANTARA ORANG DEWASA YANG MELAKUKAN YOGA DENGAN YANG TIDAK MELAKUKAN YOGA

PERBEDAAN STATUS INSOMNIA ANTARA ORANG DEWASA YANG MELAKUKAN YOGA DENGAN YANG TIDAK MELAKUKAN YOGA PERBEDAAN STATUS INSOMNIA ANTARA ORANG DEWASA YANG MELAKUKAN YOGA DENGAN YANG TIDAK MELAKUKAN YOGA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Muhammad Syukri Kurnia Rahman G0011129

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi alergen yang sama

Lebih terperinci

PERBEDAAN FASE PENDIDIKAN KEDOKTERAN TERHADAP PERSEPSI TENTANG INFORMED CONSENT SKRIPSI

PERBEDAAN FASE PENDIDIKAN KEDOKTERAN TERHADAP PERSEPSI TENTANG INFORMED CONSENT SKRIPSI PERBEDAAN FASE PENDIDIKAN KEDOKTERAN TERHADAP PERSEPSI TENTANG INFORMED CONSENT SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran DIENA HANIEFA G0010059 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN ABORTUS SPONTAN DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN ABORTUS SPONTAN DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN ABORTUS SPONTAN DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ANDREAS PETER PATAR B. S. G0010018 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuan adalah THT-KL khususnya bidang alergi imunologi. 2. Ruang lingkup tempat adalah instalasi rawat jalan THT-KL sub bagian alergi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PROLANIS 1. Pengertian Prolanis PROLANIS merupakan suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintegratif yang melibatkan peserta, Fasilitas

Lebih terperinci

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

PROFIL RADIOLOGIS TORAKS PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI POLIKLINIK PARU RSUD DR HARDJONO-PONOROGO SKRIPSI

PROFIL RADIOLOGIS TORAKS PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI POLIKLINIK PARU RSUD DR HARDJONO-PONOROGO SKRIPSI PROFIL RADIOLOGIS TORAKS PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI POLIKLINIK PARU RSUD DR HARDJONO-PONOROGO SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran OLEH : EKA DEWI PRATITISSARI

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu Penyakit Dalam, sub ilmu Pulmonologi dan Geriatri. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat peneltian ini adalah

Lebih terperinci

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

LAPORAN KASUS (CASE REPORT) LAPORAN KASUS (CASE REPORT) I. Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Alamat : Amelia : 15 Tahun : Perempuan : Siswa : Bumi Jawa Baru II. Anamnesa (alloanamnesa) Keluhan Utama : - Nyeri ketika Menelan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan menurut (Long, 1996). Sinusitis adalah peradangan pada membrane mukosa sinus. Sinusitis juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan penyakit umum pada masyarakat yang di tandai dengan adanya peradangan pada saluran bronchial.

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

SKRIPSI. Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran PERBEDAAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA PRODI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET YANG BERPACARAN DENGAN YANG TIDAK BERPACARAN SKRIPSI Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang. adalah terapi hemodialisis (Arliza, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang. adalah terapi hemodialisis (Arliza, 2006). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gagal Ginjal Kronik merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting mengingat selain insidens dan pravelensinya yang semakin meningkat, pengobatan pengganti

Lebih terperinci

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN FREKUENSI SERANGAN ASMA PADA PASIEN ASMA WANITA YANG MENGGUNAKAN KONTRASEPSI HORMONAL DAN TIDAK SKRIPSI

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN FREKUENSI SERANGAN ASMA PADA PASIEN ASMA WANITA YANG MENGGUNAKAN KONTRASEPSI HORMONAL DAN TIDAK SKRIPSI HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN FREKUENSI SERANGAN ASMA PADA PASIEN ASMA WANITA YANG MENGGUNAKAN KONTRASEPSI HORMONAL DAN TIDAK SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

HUBUNGAN PAPARAN ASAP ROKOK DENGAN KEJADIAN OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN PAPARAN ASAP ROKOK DENGAN KEJADIAN OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran HUBUNGAN PAPARAN ASAP ROKOK DENGAN KEJADIAN OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran FHANY G.L G0013095 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal 4.1 Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal 30 Mei-29 Juni tahun 2013. Dengan menggunakan tehnik accidental sampling,

Lebih terperinci

INTERVENSI ULTRA SOUND THERAPY LEBIH BAIK DARIPADA MICRO WAVE DIATHERMY TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA KASUS SINUSITIS FRONTALIS BAGI AWAK KABIN

INTERVENSI ULTRA SOUND THERAPY LEBIH BAIK DARIPADA MICRO WAVE DIATHERMY TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA KASUS SINUSITIS FRONTALIS BAGI AWAK KABIN INTERVENSI ULTRA SOUND THERAPY LEBIH BAIK DARIPADA MICRO WAVE DIATHERMY TERHADAP PENGURANGAN NYERI PADA KASUS SINUSITIS FRONTALIS BAGI AWAK KABIN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita

Lebih terperinci

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID 2.1. Pengertian Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di Copenhagen sebagai suatu kelainan dentofasial yang disebabkan oleh obstruksi

Lebih terperinci