RANCANG BANGUN MODEL PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN YULI WIBOWO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANG BANGUN MODEL PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN YULI WIBOWO"

Transkripsi

1 RANCANG BANGUN MODEL PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN YULI WIBOWO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi tentang Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Oktober 2011 Yuli Wibowo NRP i

3 ABSTRACT YULI WIBOWO. The Design of Sustainable Seaweed Industry Cluster Development Model. Supervised by M. SYAMSUL MA'ARIF, ANAS M. FAUZI, and LUKY ADRIANTO The application of cluster approach is performed to further utilize and develop seaweed industry to become an integrated, powerful industry from upstream to downstream and highly competitive one. The purpose of this research was to design a model of seaweed industry cluster development by using economic, social and environmental aspects of sustainable development approach. This model was composed of three key sub-models, i.e.: diagnosis of feasibility of development, operations development, and prediction of performance development. The model formulation used both of soft and hard system methodology. This research produced a decision support system named Model KlasteRula, which used a programming language called Visual Basic Version 6. This model can be used to assist in the decision making process of sustainable seaweed industry cluster development. The model design was implemented in Sumenep district, East Java province. From the result of model implementation, it showed that the model has been able to perform simulations and produced behaviors that match the expected system. Sustainable seaweed industry cluster development was predicted to be able to enhance profits of business actors in the cluster, increase labor absorption, and suppress potential environmental pollution caused by agro-industry liquid waste through the recycling process, so as to increase water-use efficiency. Keywords: seaweed industry cluster, sustainable development, decision support system, model implementation ii

4 RINGKASAN YULI WIBOWO. Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan. Dibimbing oleh M. SYAMSUL MA ARIF, ANAS M. FAUZI, dan LUKY ADRIANTO Indonesia merupakan negara penghasil rumput laut terbesar di dunia, khususnya untuk rumput laut penghasil karaginan, yaitu jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Dalam rangka meningkatkan daya saing industri rumput laut di Indonesia, penguatan struktur industri rumput laut nasional perlu segera dilakukan. Strategi pengembangan industri rumput laut di Indonesia masih kurang terencana dengan baik, karena belum dirancang menjadi suatu struktur usaha yang dikelola dan berorientasi pada pengembangan industri dari hulu sampai hilir dan turunannya. Pada sisi yang lain, secara internal industri rumput laut didalam negeri masih menghadapi berbagai kendala pada hampir semua segmen, baik pada tingkat pembudidaya, pengepul atau kolektor, maupun di tingkat industri pengolahan. Permasalahan industri rumput laut di Indonesia pada umumnya terkait dengan permasalahan budidaya, pascapanen, pengolahan dan pemasaran. Berdasarkan pada kondisi-kondisi tersebut, maka langkah yang perlu segera dilakukan adalah memprogramkan penguatan struktur industri rumput laut nasional dari hulu ke hilir, diantaranya melalui pendekatan klaster industri. Penerapan pendekatan klaster industri rumput laut dilakukan untuk lebih mendayagunakan dan mengembangkan industri rumput laut Indonesia sehingga menjadi industri yang terintegrasi dan handal mulai dari hulu hingga hilir serta berdaya saing tinggi. Penelitian ini bermaksud untuk merancang model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Rancangan model tersusun atas tiga submodel utama, yaitu submodel diagnosis kelayakan pengembangan, operasi pengembangan, dan kinerja pengembangan. Formulasi model menggunakan soft system metodhology dan hard system metodhology, yang meliputi teknik heuristic, independent preference evaluation (IPE), ordered weighted averaging (OWA), sistem pakar, interpretive structural modeling (ISM), analytical hierarchy process (AHP), serta analisis kelayakan usaha. Proses verifikasi model dilakukan melalui pengujian logika, kesesuaian konseptual dan kerja komputasi, sementara validasi model menggunakan teknik face validity, event validity, sensitivity analysis, animation dan predictive validation. Rancangan model diimplementasikan di Kabupaten Sumenep Provinsi Jawa Timur. Hasil implementasi model memperlihatkan bahwa model telah mampu melakukan simulasi dan menghasilkan perilaku yang sesuai dengan sistem yang diharapkan. Kabupaten Sumenep merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan klaster industri rumput laut. Hal ini dapat dilihat dari penilaian prasyarat ekologi yang memperlihatkan bahwa wilayah perairan di Kabupaten Sumenep sesuai untuk budidaya rumput laut. Selain itu, penilaian prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan juga menunjukkan bahwa wilayah ini memang cukup layak untuk dikembangkan klaster industri rumput laut. iii

5 Skenario pengembangan klaster difokuskan pada upaya peningkatan kualitas produk dari hulu hingga hilir melalui kerjasama yang baik dan intensif antar pelaku usaha yang terlibat didalam klaster, meliputi pembudidaya, kelompok pembudidaya, koperasi, dan agroindustri. Kualitas rumput laut yang baik menjadi faktor pendorong dalam penciptaan produk alkali treated cottonii (ATC) yang berkualitas dengan harga yang kompetitif. Pengembangan klaster industri rumput laut mampu mendorong peningkatan harga pada setiap simpul rantai usaha didalam klaster ratarata sebesar 19,06% dengan asumsi kualitas produk (gel strength/gs) meningkat dari 775 gr/cm 2 menjadi 900 gr/cm 2. Pengembangan klaster industri rumput laut dirancang untuk menghasilkan produk karaginan semi murni dalam bentuk alkali treated cottonii (ATC) dengan kapasitas sebesar kg/hari, atau 472,5 ton/tahun. Berdasarkan target kapasitas tersebut, maka jumlah kebutuhan rumput laut kering (Eucheuma cottonii) sebagai bahan baku ATC adalah ton/tahun. Untuk mendapatkan jumlah bahan baku yang sesuai dengan kapasitas tersebut, maka kebutuhan lahan untuk budidaya yang perlu disediakan adalah 210 ha dengan luasan kebun bibit mencapai 60 ha. Kebutuhan lahan ini dapat terpenuhi mengingat potensi luas lahan budidaya di Kabupaten Sumenep cukup besar, yaitu ha. Terkait dengan permasalahan limbah yang dihasilkan agroindustri ATC, penanganannya diprioritaskan pada upaya pemanfaatan kembali air limbah yang digunakan untuk proses pencucian (bobot=0,462), yang diikuti oleh upaya peningkatan nilai tambah limbah menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomis (bobot=0,430). Sementara, peningkatan kinerja IPAL belum menjadi prioritas utama dalam penanganan permasalahan limbah industri (bobot=0,108). Penanganan limbah melalui proses daur ulang selain bermanfaat untuk mengurangi permasalahan pencemaran lingkungan, maka hal ini juga dapat menjadi solusi bagi agroindustri ATC yang mempunyai keterbatasan dalam penyediaan air bersih. Strukturisasi elemen-elemen sistem pengembangan klaster industri rumput laut menghasilkan: (a) elemen kendala dalam pengembangan, dengan elemen kunci yaitu keterbatasan SDM yang berkualitas serta keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran produk; (b) elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan, dengan elemen kunci yaitu penurunan potensi pencemaran lingkungan dan proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster; (c) elemen aktivitas pengembangan, dengan elemen kunci yaitu memberikan bimbingan dan pendampingan serta memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran dan elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan; (d) elemen pelaku pengembangan, dengan elemen kunci meliputi industri inti, pembeli, kelompok usaha pembudidaya, dan masyarakat lokal. Elemen-elemen ini digunakan untuk merumuskan model konseptual dalam pengembangan klaster industri rumput laut. Prediksi kinerja pengembangan klaster bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis sampai sejauh mana tingkat pencapaian kinerja klaster sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hasil prediksi kinerja klaster menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri rumput laut mampu mendorong tercapainya keberlanjutan klaster, baik keberlanjutan pada aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan. iv

6 Dengan adanya peningkatan harga yang terjadi didalam klaster karena kualitas produk dapat ditingkatkan, maka nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan klaster industri rumput laut mencapai Rp per tahun dimana nilai tambah tersebut sebagian besar dinikmati oleh pembudidaya secara agregat dengan proporsi 66,14% kemudian disusul agroindustri sebesar 20,67%, dan selebihnya dinikmati oleh koperasi dan kelompok pembudidaya masing-masing sebesar 4,55% dan 8,64%. Hasil ini menunjukkan bahwa pengembangan klaster sangat bermanfaat bagi pelaku usaha yang terlibat dalam rantai usaha rumput laut karena dapat meningkatkan pendapatannya. Pengembangan klaster juga bermanfaat bagi daerah karena dapat menciptakan sumber pendapatan bagi daerah. Kontribusi klaster industri terhadap PAD mencapai 1,14%. Pengembangan klaster industri rumput laut mampu mendorong penyerapan jumlah tenaga kerja, khususnya tenaga kerja pada usaha budidaya rumput laut. Jumlah tenaga kerja yang terserap didalam klaster berbanding lurus dengan jumlah kapasitas produksi yang ditetapkan didalam klaster. Jumlah tenaga kerja yang terserap akan semakin bertambah dengan meningkatnya kapasitas produksi klaster. Jumlah tenaga kerja yang terserap didalam klaster industri rumput laut mencapai 14,56% dari total angkatan kerja yang ada. Penanganan limbah industri didalam klaster mampu mengurangi potensi pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah cair yang dihasilkan oleh agroindustri rumput laut (ATC) melalui proses daur ulang. Proses daur ulang limbah cair juga mampu meningkatkan efisiensi penggunaan air dalam proses pengolahan rumput laut dengan pemakaian kembali air yang telah didaur ulang untuk proses produksi. Efisiensi penggunaan air melalui proses daur ulang limbah mencapai 60,71%. Jika kebutuhan air untuk proses pengolahan ATC dalam setahun sebesar m 3, maka dalam setahun air yang dapat dihemat mencapai m 3. Penanganan limbah melalui proses daur ulang dapat menjadi solusi bagi agroindustri ATC yang umumnya berada di daerah pesisir dimana ketersediaan air bersih terbatas. Penghematan air ini sangat bermanfaat utamanya dengan semakin meningkatnya harga air yang relatif tinggi. v

7 Hak Cipta Milik IPB Tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB. vi

8 RANCANG BANGUN MODEL PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN Yuli Wibowo Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

9 Ujian Tertutup Penguji Luar Komisi Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS. Dr. Ir. Sukardi, MM. Ujian Terbuka Penguji Luar Komisi Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, MS. Dr. Ir. Eddy Supriyono, MSc.

10 Judul Disertasi : Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan Nama Mahasiswa : Yuli Wibowo NIM : F Disetujui Komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma arif, MEng. Ketua Prof. Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, MEng. Anggota Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Machfud, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr. Tanggal Ujian: 12 Agustus 2011 Tanggal Lulus:

11 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi yang berjudul Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan. Penelitian ini menghasilkan sistem penunjang keputusan yang dapat bermanfaat bagi para pengambil keputusan dan pihak-pihak terkait dalam rangka mengembangkan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Disertasi ini dapat terselesaikan berkat peran yang besar dari komisi pembimbing. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sangat tulus dan mendalam kepada Prof.Dr.Ir. M. Syamsul Ma arif, MEng. selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Prof.Dr.Ir. Anas Miftah Fauzi, M.Eng. dan Dr.Ir. Luky Adrianto, MSc. masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, bimbingan, arahan, nasihat dan dorongan moral dengan penuh dedikasi kepada penulis dari awal hingga selesainya disertasi ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor, dan Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas segala bantuan dan pelayanan yang diberikan selama ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya selama penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS. dan Dr. Ir. Sukardi, MM. atas segala masukan dan saran yang berharga untuk kesempurnaan disertasi pada saat pelaksanaan Ujian Tertutup. Penulis juga tidak lupa menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, MS. dan Dr. Ir. Eddy Supriyono, MSc. yang telah banyak memberikan masukan berupa kritik dan saran yang berharga untuk kesempurnaan disertasi pada saat pelaksanaan Ujian Terbuka. Terimakasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Jember, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, dan Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih yang sama juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan staf pengajar dan pegawai pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember atas segala bantuan dan dorongan moralnya. Penghargaan dan terimakasih penulis sampaikan kepada pengelola BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional atas dukungan dana beasiswa yang telah diberikan. Terimakasih yang sama penulis xi

12 sampaikan kepada Rektor Universitas Jember yang telah memberikan bantuan dana penelitian. Penghargaan dan terimakasih penulis sampaikan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep, Ketua Koperasi Aneka Usaha Kabupaten Sumenep, Ketua KUB Rumput Laut Mitra Bahari Kabupaten Pamekasan, Pimpinan PT. Indonusa Algaemas Prima, pengusaha rumput laut di Kabupaten Sumenep, dan semua nara sumber yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala waktu, pengalaman, ilmu dan pengetahuan yang diberikan kepada penulis selama penulis melakukan pengumpulan data di lapangan. Kepada rekan-rekan seperjuangan TIP Angkatan 2005, Dr.Ir. Luluk Sulistiyo Budi, MP., Dr.Ir. I Gusti Bagus Udayana, MS., Dr.Ir. Novizar Nazir, MS., Dr.Ir. Cut Meurah Rosnelly, MT., Ir. Fahmi Riadi, MSi., Henny Purwaningsih, SSi, MSi., dan Herfiani Rizkia, STp, MSi., penulis menyampaikan terimakasih atas kerjasama dan kebersamaannya selama mengikuti pendidikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bambang Herry Purnomo, STp, MSi., atas segala kebersamaan dan persaudaraan yang terjalin selama ini khususnya selama mengkuti pendidikan. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan sampai selesainya disertasi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, disampaikan terimakasih. Rasa hormat dan terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan kepada Ayahanda Soedarminto (almarhum) dan Ibunda Sunarti yang tidak kenal lelah untuk memberikan doa, motivasi, semangat, dan pengorbanan yang tulus kepada penulis selama mengikuti pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pada pendidikan tinggi. Kepada Bapak Mertua Muhammad Santoso (almarhum) dan Ibu Mertua Nastuti Heruwati yang juga telah memberikan doa dan semangat kepada penulis dalam mengikuti pendidikan. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada kakak dan adik semuanya yang telah memberikan dorongan dan motivasi. Penghargaan dan kebanggaan yang tak terhingga dengan segala ketulusan penulis sampaikan kepada istri tercinta Rr. Rizkika Hidayasanti dan ananda tersayang Arya Mahdi Panji Wibowo atas segala pengorbanan, pengertian, ketulusan, ketabahan, dan dorongan semangat yang telah diberikan selama penulis mengikuti pendidikan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik dan saran akan selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Disertasi ini. Semoga disertasi dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Terimakasih. Bogor, September 2011 Yuli Wibowo NRP. F xii

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 30 Juli Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Soedarminto (almarhum) dan Sunarti. Penulis memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Jember pada tahun Penulis menyelesaikan Pendidikan Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun Kemudian pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa pendidikan BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. Selama mengikuti program S3, penulis berkesempatan menulis artikel dan terpublikasi secara ilmiah pada beberapa jurnal, antara lain: (i) Strategi Pengembangan Agroindustri Karaginan Menggunakan Perspektif Keunggulan Bersaing yang Berkelanjutan, Jurnal Agrointek Volume 4 Nomor 1 Tahun 2009, Jurusan Teknologi Industri Pertanian Universitas Trunojoyo; (ii) Diagnosis Kelayakan Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan, Jurnal Agrointek Volume 4 Nomor 3 Tahun 2011, Jurusan Teknologi Industri Pertanian Universitas Trunojoyo; dan (iii) Strategi Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan, Jurnal Agritek: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Eksakta Volume 12 Nomor 1 Tahun 2011, Universitas Merdeka Madiun. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember mulai tahun 1999 hingga sekarang. Penulis menikah dengan Rr. Rizkika Hidayasanti, STp. dan dikaruniai satu orang putra yang bernama Arya Mahdi Panji Wibowo. xiii

14 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xi xv xvii xix xxi PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 5 Ruang Lingkup... 5 Manfaat... 6 TINJAUAN PUSTAKA... 7 Rumput Laut... 7 Klaster Industri Pembangunan Berkelanjutan Pendekatan Sistem Penelitian Terdahulu METODOLOGI Kerangka Pemikiran Tahapan Penelitian Tempat Penelitian Metode Pengumpulan Data ANALISIS SISTEM Deskripsi Sistem Klaster Industri Rumput Laut Analisis Kebutuhan Formulasi Permasalahan Identifikasi Sistem PEMODELAN SISTEM Model Diagnosis Kelayakan Pengembangan Klaster Model Operasi Pengembangan Klaster Model Prediksi Kinerja Pengembangan Perancangan Sistem Penunjang Keputusan xv

15 Halaman HASIL DAN PEMBAHASAN Verifikasi dan Validasi Model Implementasi Model Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut Keterbatasan Model SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xvi

16 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1 Nilai nutrisi rumput laut jenis Eucheuma sp Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri Struktur model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan Formulasi model pengembangan klaster industri Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia Permintaan rumput laut dunia Permintaan rumput laut Indonesia Analisis kebutuhan komponen sistem Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut Kelas kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut Indikator prasyarat ekonomi Indikator prasyarat sosial Indikator prasyarat kelembagaan Nilai label output dan input sistem pakar Skala dasar perbandingan pada proses hirarki analitik Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut Penilaian prasyarat ekonomi Potensi sumberdaya manusia di Kabupaten Sumenep Penilaian prasyarat sosial Penilaian prasyarat kelembagaan Hasil agregasi diagnosis kelayakan pengembangan klaster Skenario harga rumput laut di tingkat agroindustri Skenario harga maksimum rumput laut di tingkat agroindustri Skenario harga rumput laut di tingkat koperasi Skenario harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya Skenario harga rumput laut di tingkat pembudidaya Hasil simulasi keseimbangan bahan baku xvii

17 Tabel Halaman 29 Prioritas penanganan limbah cair ATC Skenario keuntungan pembudidaya Tingkat keuntungan pembudidaya Analisis kelayakan finansial usaha budidaya rumput laut Perubahan teknik budidaya rumput laut Skenario peningkatan keuntungan pembudidaya Skenario pendapatan agroindustri Skenario peningkatan keuntungan agroindustri Ikhtisar hasil analisis kelayakan finansial agroindustri ATC Skenario keuntungan koperasi Skenario keuntungan kelompok pembudidaya Proporsi keuntungan klaster Kontribusi agroindustri terhadap pendapatan daerah Penyerapan tenaga kerja klaster Penggunaan air dalam proses produksi ATC xviii

18 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1 Rumput laut (Eucheuma cottonii) Proses pembuatan ATC Skema pengembangan agroindustri rumput laut Tata niaga rumput laut Model Berlian Metodologi pendekatan sistem Struktur dasar sistem penunjang keputusan Kerangka pemikiran penelitian Tahapan penelitian Model berlian klaster industri rumput laut Jumlah tenaga kerja sektor kelautan dan perikanan Permintaan karaginan Indonesia Produksi rumput laut Indonesia Proyeksi Produksi rumput laut Indonesia Estimasi kebutuhan pasar karaginan Produksi rumput laut Indonesia dan Filipina Diagram lingkar sebab akibat pengembangan klaster industri rumput laut Diagram input output sistem pengembangan klaster rumput laut Rancangan model pengembangan klaster industri rumput laut Diagram alir model prasyarat ekologi Diagram alir model prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan Diagram alir model agregasi prasyarat kelayakan pengembangan Diagram alir model penentuan harga di tingkat agroindustri Diagram alir model penentuan harga di tingkat koperasi Diagram alir model penentuan harga di tingkat kelompok pembudidaya Diagram alir model penentuan harga minimal di tingkat pembudidaya xix

19 Gambar Halaman 27 Diagram alir model keseimbangan bahan baku Diagram alir model strukturisasi sistem pengembangan kelembagaan Diagram alir model penanganan limbah industri ATC Diagram alir model penentuan tingkat pendapatan pembudidaya Diagram alir model peningkatan pendapatan pembudidaya Diagram alir model pendapatan agroindustri Diagram alir model peningkatan pendapatan agroindustri Diagram alir model kontribusi agroindustri terhadap pembangunan daerah Diagram alir model perhitungan jumlah rakit budidaya Diagram alir model tingkat penyerapan tenaga kerja Model prediksi kinerja lingkungan Konfigurasi SPK pengembangan klaster industri rumput laut Struktur Model KlasteRula Tampilan awal Model KlasteRula Potensi pengembangan rumput laut di Kabupaten Sumenep Rantai usaha klaster industri rumput laut Hubungan antara produksi ATC dengan kebutuhan bahan baku Klasifikasi elemen kendala pengembangan klaster Struktur hirarki elemen kendala pengembangan klaster Klasifikasi elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster Struktur hirarki elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan Klasifikasi elemen aktivitas pengembangan klaster Struktur hirarki elemen aktivitas pengembangan klaster Klasifikasi elemen pelaku pengembangan klaster Struktur hirarki elemen pelaku pengembangan klaster Struktur hirarki penanganan limbah Pengolahan ATC dan daur ulang limbah Rantai usaha rumput laut saat ini Rantai usaha rumput laut didalam klaster Model pengembangan kelembagaan klaster rumput laut xx

20 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1 Kondisi ekologi perairan untuk budidaya rumput laut (Eucheuma 189 cottonii) di Kabupaten Sumenep... 2 Penilaian indikator prasyarat ekonomi, sosial dan kelembagaan kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut Aturan-aturan yang digunakan dalam pengembangan sistem pakar diagnosis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut Penentuan harga rumput laut Harga pokok produksi usaha budidaya Keseimbangan bahan baku Strukturisasi elemen sistem pengembangan klaster Prioritas penanganan limbah agroindustri Analisis usaha budidaya rumput laut Eucheuma cottonii menggunakan metode rakit di Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep Analisis kelayakan finansial usaha agroindustri pengolahan rumput laut (alkali treated cottonii/atc) Proporsi keuntungan pelaku usaha di dalam klaster Efisiensi penggunaan air melalui proses daur ulang Industri rumput laut Petunjuk penggunaan aplikasi Model KlasteRula xxi

21 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas laut mencapai 5,8 juta km 2 dan panjang garis pantai mencapai km, serta jumlah pulau sebanyak pulau (KKP 2009). Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar, terutama sumberdaya perikanan laut baik dari segi kuantitas maupun diversitas dengan sejumlah keunggulan komparatif sekaligus kompetitif yang sangat tinggi (Dahuri 2003). Sebagai negara kepulauan, Indonesia diharapkan mampu memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya hayati laut sebaik-baiknya, termasuk diantaranya adalah pengembangan komoditas rumput laut (seaweed). Rumput laut merupakan salah satu komoditas strategis dalam bidang kelautan disamping udang dan tuna. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut mencapai ha, tetapi pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan seluas ha atau 20% dari luas areal potensial. Hal ini menunjukkan bahwa masih terbuka peluang untuk mengembangkan usaha budidaya rumput laut di Indonesia. Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut tersebar di seluruh wilayah Indonesia dimana sebagian besar potensi berada di daerah Papua, Maluku, Sulawesi Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Bali (DKP 2005). Jenis rumput laut yang dikembangkan di Indonesia antara lain adalah Kappaphycus alvarezii (cottonii), Eucheuma denticulatum (spinosum) dan Gracilaria sp. Volume produksi rumput laut Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang berarti, khususnya pada volume produksi budidaya. Menurut data KKP (2009), volume produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2005 mencapai ton (basah). Pada tahun 2009, jumlah tersebut meningkat menjadi sebesar ton (basah). Rata-rata peningkatan produksi rumput laut per tahun mencapai 30,2%. Produksi rumput laut Indonesia sebagian besar diekspor ke beberapa negara, seperti China, Hongkong, Filipina, Spanyol, Denmark, USA, Korea, dan Prancis. 1

22 2 Indonesia diyakini merupakan negara penghasil rumput laut terbesar di dunia, khususnya untuk rumput laut penghasil karaginan, yaitu jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Saat ini diperkirakan produksi rumput laut Indonesia untuk jenis tersebut sudah melampaui produksi rumput laut Filipina yang merupakan negara produsen rumput laut terbesar di dunia. Menurut Dakay (2008), rata-rata produksi rumput laut Filipina pada tahun cenderung menurun dengan rata-rata penurunan hingga mencapai 0,61%. Sementara, produksi rumput laut Indonesia pada periode yang sama mengalami peningkatan sebesar 257,98% dengan rata-rata kenaikan per tahun mencapai 29,72%. Tahun 2007 jumlah produksi rumput laut penghasil karaginan di Indonesia mencapai ton (kering). Meskipun saat ini Indonesia merupakan negara produsen rumput laut penghasil karaginan terbesar di dunia, namun peran dan kontribusi Indonesia dalam industri pengolahan rumput laut masih perlu ditingkatkan mengingat peluangnya masih cukup besar. Dengan dicanangkannya revitalisasi pembangunan kelautan Indonesia dimana rumput laut menjadi salah satu komoditas utama yang direvitalisasi, industri pengolahan rumput laut berkembang cukup pesat. Orientasi pemanfaatan rumput laut sebagai komoditas ekspor dalam bentuk raw material saat ini sudah mulai bergeser menjadi produk yang memiliki nilai tambah tinggi, khususnya dalam bentuk ATC (alkali treated cottonii). ATC merupakan suatu produk karaginan semi jadi yang berasal dari proses pengolahan rumput laut Eucheuma cottonii yang pada umumnya digunakan sebagai pengatur keseimbangan, pengental, pembentuk gel, dan pengemulsi dalam industri pangan dan non pangan. Potensi pasar produk ATC cukup besar. McHugh (2003) menyebutkan bahwa produk ATC sangat diminati oleh industri-industri pengolah di Eropa dan Amerika. DKP (2007) merinci potensi pasar dunia untuk karaginan, dimana untuk pangsa pasar Eropa sebesar 35%, Amerika Utara sebesar 25%, sementara untuk Amerika Selatan mencapai 15%. Dengan berkembangnya industri ATC ini tentunya diharapkan dapat meningkatkan nilai ekspor produk kelautan Indonesia ke luar negeri. Hal ini akan membawa dampak positif bagi seluruh pihak yang terlibat dalam mata rantai penciptaan nilai tambah rumput laut (value adding chain).

23 3 Dalam rangka meningkatkan daya saing industri rumput laut di Indonesia, maka penguatan struktur industri rumput laut nasional perlu segera dilakukan. Hal ini disebabkan meskipun Indonesia menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia, namun harga bahan baku masih dikendalikan oleh pembeli dari luar negeri (buyer market). Strategi pengembangan industri rumput laut masih kurang terencana dengan baik. Strategi belum dirancang menjadi suatu struktur usaha yang dikelola dan berorientasi pada pengembangan industri dari hulu sampai hilir dan turunannya, sehingga sangat rentan terhadap perubahan (BPPT 2010). Pada sisi yang lain, secara internal industri rumput laut didalam negeri masih menghadapi berbagai kendala pada hampir semua segmen, khususnya di tingkat pembudidaya dan industri pengolahan. Beberapa permasalahan yang menonjol diantaranya terkait dengan: (i) kualitas rumput laut yang dihasilkan pembudidaya umumnya masih rendah karena teknik budidaya dan penanganan pascapanen belum dilakukan secara benar, yang mengakibatkan industri pengolahan kesulitan dalam memproduksi produk akhir yang sesuai dengan standar mutu internasional; (ii) industri pengolahan tidak mendapatkan jaminan pasokan bahan baku yang tepat jumlah, mutu, waktu dan harga, karena rumput laut menjadi komoditas dagang dan lebih banyak dijual dalam bentuk rumput laut kering; (iii) harga rumput laut sering tidak rasional sebagai bahan baku industri karena tidak ada tata niaga yang terkoordinir dengan mengacu kepada norma industri dengan banyaknya spekulan bahan baku (DKP 2005; Ma ruf 2007; Sulaeman 2006; BI 2008); serta (iv) industri pengolahan menghasilkan limbah yang sangat besar yang berpotensi mencemari lingkungan sekitar (Sedayu et al. 2007). Berdasarkan pada kondisi-kondisi tersebut, maka langkah yang perlu segera dilakukan adalah memprogramkan penguatan struktur industri rumput laut nasional dari hulu ke hilir. Terkait dengan hal tersebut, salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah melalui pendekatan klaster industri. Pendekatan ini akan mendorong penguatan hubungan antar industri rumput laut yang saling terkait dalam rantai proses peningkatan nilai tambah. Merujuk pada pendapat Taufik (2005a), dalam klaster industri rumput laut, industri terdiri dari himpunan para pelaku dalam konteks tertentu baik yang berperan sebagai industri inti, pemasok kepada pelaku

24 4 industri inti, industri pendukung bagi industri inti, serta pihak atau lembaga yang memberikan jasa layanan kepada pelaku industri inti. Pengembangan klaster telah dilakukan di berbagai negara industri, seperti Amerika, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Portugal, Selandia Baru, dan Jepang, serta telah diaplikasikan pula pada beberapa negara berkembang (Doeringer dan Terkla 1996; Schmitz dan Nadvi 1999). Menurut Bulu et al. (2004), pendekatan klaster saat ini telah menjadi prioritas kebijakan pemerintah di berbagai negara untuk meningkatkan daya saing daerahnya. Di Indonesia, pendekatan klaster industri mulai diperkenalkan sebagai salah satu agenda prioritas kebijakan pembangunan nasional melalui UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun Dipilihnya pendekatan klaster industri didorong oleh pemikiran bahwa berbagai kebijakan yang lalu bersifat parsial dan memberi preferensi lebih pada kegiatan industri tertentu yang cenderung kurang memperhatikan keterkaitan horisontal maupun vertikal, sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan pada gilirannya justru melemahkan daya saing industri nasional. Penerapan pendekatan klaster industri dilakukan untuk lebih mendayagunakan dan mengembangkan industri rumput laut Indonesia sehingga menjadi usaha yang terintegrasi dan handal mulai dari hulu hingga hilir serta berdaya saing tinggi. Program penguatan struktur industri rumput laut berbasis klaster dilakukan melalui sinergi dan koordinasi dari berbagai pihak, baik antar kementerian terkait dari pihak pemerintah, maupun para pelaku usaha di pihak lain seperti pembudidaya, pedagang, eksportir, dan industri pengolah, termasuk di dalamnya lembaga keuangan bank dan non bank. Keterlibatan para pemangku kepentingan ini akan menjadi kunci keberhasilan pencapaian dalam pengembangan industri rumput laut nasional secara berkelanjutan. Pengembangan klaster industri rumput laut diharapkan mampu menciptakan manfaat ekonomi dan daya saing. Namun demikian, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan klaster industri rumput laut saat ini sangat kompleks untuk mewujudkan klaster industri rumput laut secara berkelanjutan. Argumentasi yang melandasinya adalah bahwa praktek-praktek pembangunan ekonomi berbasis klaster

25 5 yang selama ini dilakukan telah mengabaikan faktor-faktor keberlanjutan yang cenderung hanya bertujuan untuk merealisasikan potensi pengembangan ekonomi semata. Tantangan yang dihadapi bagi pengembang klaster saat ini tidak hanya terfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga terkait dengan aspek lingkungan dan sosial (Martin dan Mayer 2008; Allen dan Potiowski 2008). Penelitian ini bermaksud merancang suatu model pengembangan klaster industri rumput laut menggunakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan merupakan salah satu upaya dalam rangka meningkatkan daya saing industri rumput laut secara berkelanjutan sekaligus sebagai upaya dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi industri rumput laut di Indonesia selama ini. Dalam konteks ini, tidak hanya manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dalam pengembangan klaster industri rumput laut, melainkan juga manfaat lingkungan dan sosial yang perlu diperhatikan secara seimbang. Tujuan Tujuan penelitian adalah untuk menghasilkan model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan yang dirancang dalam bentuk sistem penunjang keputusan (SPK). Ruang Lingkup 1 Model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan dirancang berdasarkan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan yang difokuskan pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. 2 Model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan mencakup beberapa aspek kajian, meliputi: (i) diagnosis kelayakan pengembangan klaster; (ii) operasi pengembangan klaster; dan (iii) prediksi kinerja pengembangan klaster. 3 Model pengembangan klaster industri rumput laut secara spesifik difokuskan pada klaster yang menghasilkan produk akhir berupa karaginan semi murni (ATC) yang diproduksi dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii.

26 6 Manfaat 1 Bagi masyarakat ilmiah, penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran dan bahan rujukan dalam bidang manajemen industri pertanian, khususnya untuk mengkaji pengembangan klaster industri rumput laut. 2 Bagi pemerintah pusat, dapat membantu dalam pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut yang akan dikembangkan di daerah-daerah. 3 Bagi pemerintah daerah, merupakan bahan dalam pengambilan keputusan untuk penyusunan program dan pembinaan pengembangan klaster industri rumput laut dalam rangka mengarahkan sumberdaya secara efektif dan efisien dalam upaya pembangunan ekonomi wilayahnya yang berkelanjutan. 4 Bagi pelaku klaster, dapat membantu pengambilan keputusan dalam pengembangan usahanya sehingga keputusan yang diambil mempunyai landasan yang jelas.

27 TINJAUAN PUSTAKA Rumput Laut Profil Komoditas Rumput laut adalah bentuk poliseluler dari ganggang (macro-algae) yang hidup di laut. Rumput laut atau alga laut adalah tanaman tingkat rendah dari Divisio Thallophyta (Deptan 1990). Berdasarkan pigmentasinya, rumput laut diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu alga merah (Rhodophyceae), alga hijau (Chlorophyceae), dan alga coklat (Phaeophyceae). Dari ketiga kelas tersebut, hanya Rhodophyceae dan Paeophyceae yang dikenal dalam dunia perdagangan. Jenis Eucheuma sp, Hypnea sp, Chondrus sp, dan Gigartina sp dari kelas Rhodophyceae merupakan rumput laut penghasil karaginan (karaginofit), sementara jenis lainnya yaitu Gracilaria sp dan Gelidium sp sebagai penghasil agar (agarofit). Dari kelas Phaeophyceae dikenal. jenis Ascophyllum, Laminaria sp, Macnocystis sp, dan Sargassum sebagai penghasil algin (alginofit) (McHugh 2003). Makroalga merupakan sumberdaya hayati laut Indonesia yang sangat potensial dan bernilai ekonomis tinggi, terutama dari golongan alga merah dan alga coklat. Masyarakat pada umumnya dan dunia perdagangan lebih mengenal makroalga sebagai rumput laut karena beberapa diantaranya menyerupai rumput. Di perairan laut Indonesia telah ditemukan paling tidak sebanyak 555 jenis rumput laut (DKP 2006a). Rumput laut dapat tumbuh secara alamiah di laut (wild seaweed), namun saat ini rumput laut sudah banyak yang dibudidayakan (McHugh 2003). Teknologi budidaya rumput laut pada umumnya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat (Anggadiredja et al. 2006). Rumput laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jenis rumput laut penghasil karaginan (karaginofit). Karaginofit yang telah dikenal dan banyak dibudidayakan di Indonesia berasal dari genus Eucheuma. Menurut Huda (2002), paling tidak terdapat 5 jenis Eucheuma yang ditemukan di Indonesia, meliputi E. cottonii, E. spinosum, E. edule, E. striatum, E. muricartum, dan E. gelatinae. 7

28 8 Eucheuma merupakan rumput laut yang paling banyak dibudidayakan di perairan laut Indonesia karena tingkat permintaan pasar yang tinggi, serta didukung oleh kondisi perairan dan iklim tropik yang sangat cocok untuk pertumbuhannya (Anggadiredja et al. 2006; DKP 2006a). Kelebihan rumput laut jenis Eucheuma antara lain bentuk dan ukuran thallus lebih besar yang memungkinkan jenis ini mengandung karaginan yang tinggi, pertumbuhannya cepat (quick yield), serta mudah dibudidayakan dengan teknologi sederhana (BI 2008). Eucheuma memiliki thallus dan cabang-cabang yang berbentuk silinder atau pipih dengan bentuk yang tidak teratur dengan permukaan licin. Ketika masih hidup Eucheuma memiliki warna hijau hingga kemerahan, namun bila kering warnanya menjadi kuning kecoklatan (Doty 1973). Gambar 1 Rumput laut (Eucheuma cottonii). Karaginan Beberapa jenis Eucheuma mempunyai peran penting dalam dunia perdagangan internasional, yaitu sebagai penghasil ekstrak karaginan. Eucheuma mempunyai komposisi yang sebagian besar terdiri dari komponen karaginan. Kadar karaginan dalam setiap spesies Eucheuma bervariasi tergantung pada jenis spesies dan tempat tumbuhnya (Anggadiredja et al. 2006). Komponen lainnya seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral didalam rumput laut, mempunyai kandungan yang relatif sedikit. Nilai nutrisi rumput laut kering jenis Eucheuma sp. dapat dilihat pada Tabel 1.

29 9 Komponen Tabel 1 Nilai nutrisi rumput laut (Eucheuma sp.) E. spinosum Bali E. spinosum Sulawesi Selatan E. cottonii Bali Kadar air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Serat kasar (%) Abu (%) Mineral : Ca (ppm) Fe (ppm) Cu (ppm) Pb (ppm) Thiamin (mg/100g) Riboflavin (mg/100g) Vitamin C (mg/100g) Karaginan (%) Sumber: BBPPHP (2009); Istini et al. (1986) Karaginan adalah senyawa kompleks polisakarida yang dibangun oleh sejumlah unit galaktosa dan 3,6-anhydro-galaktosa baik mengandung sulfat maupun tidak dengan ikatan α-1,3-d-galaktosa dan β-1,4-3,6-anhydro-galaktosa secara bergantian (Soegiarto 1978). Pada dasarnya ada tiga tipe karaginan komersial, yaitu tipe kappa, lambda, dan iota. Karaginan tipe lambda banyak dijumpai pada Chondrus crispus. Jenis Eucheuma cottonii merupakan sumber karaginan tipe kappa, sementara Eucheuma spinosum sumber karaginan iota (Salasa 2002). Ketiga jenis karaginan ini dibedakan atas sifat jelly yang terbentuk. Iota karaginan berupa jelly lembut dan fleksibel atau lunak. Kappa karaginan jelly bersifat kaku dan getas serta keras. Sementara, lambda karaginan tidak dapat membentuk jelly, tetapi berbentuk cair yang viscous. Karaginan sangat penting peranannya sebagai pengatur keseimbangan (stabilisator), pengental (thickener), pembentukan gel (gelating), dan pengemulsi (emulsifier). Sifat-sifat ini dapat dimanfaatkan secara luas dalam industri makanan, farmasi, kosmetika, pasta gigi, dan industri penting lainnya (Basmal 2000). Pada industri pangan, karaginan telah dimanfaatkan untuk perbaikan produk kopi, beer, sosis, salad, ice cream, susu kental manis, coklat, jelly, dll. Pada industri farmasi karaginan digunakan dalam pembuatan obat berupa sirup, tablet, dsb. Pada

30 10 industri kosmetika digunakan sebagai gelling agent atau binding agent dengan tujuan untuk mempertahankan suspensi padatan yang stabil seperti pada pembuatan shampo, pelembab, dsb. Karaginan digunakan pula pada industri non pangan seperti pada industri tekstil, kertas, cat air, transportasi minyak mentah, penyegar udara dan telah ditambahkan pula pada makanan hewan peliharaan (pet food) (Basmal 2000). Dalam dunia perdagangan, karaginan bisa diperoleh dalam bentuk karaginan murni maupun semi murni. Produk karaginan semi murni merupakan bahan baku bagi karaginan murni yang berkualitas tinggi yang memiliki kekuatan gel serta rendeman yang tinggi. Karaginan semi murni memiliki beberapa istilah, antara lain semi refined carrageenan, alkali modified flour, alkali treated carrageenophyte, seaweed flour, alternatively refined carrageenan, dan processed seaweed flour. Ada pula istilah alkali treated cottonii (ATC) atau alkali treated cottonii chips (ATCC) yang merupakan produk karaginan semi murni yang masih dalam bentuk chips yang dihasilkan dari rumput laut Eucheuma cottonii (McHugh 2003). Produk karaginan semi murni biasanya diproduksi oleh negara-negara penghasil rumput laut, seperti Filipina dan Indonesia. Produk ini lebih diminati oleh industri-industri pengolah seperti di Eropa dan USA, karena negara-negara tersebut dapat menekan biaya transportasi sehingga akan lebih efisien dibandingkan mengimpor produk dalam bentuk rumput laut kering (raw dried seaweed). Selain itu, industri pengolah juga tidak tertarik untuk mengolah rumput laut menjadi ATC dengan alasan untuk menghindari adanya limbah dalam proses pengolahannya, sehingga hal ini akan mengurangi biaya dalam penanganan limbah (McHugh 2003). Agroindustri Rumput Laut Austin (1992) dan Brown (1994) mendefinisikan agroindustri sebagai industri yang mengolah bahan baku menjadi produk-produk olahannya dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah. Proses pengolahannya mencakup transformasi kimia dan fisika, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi. Merujuk pada definisi tersebut, agroindustri rumput laut adalah industri yang mengolah rumput laut menjadi produk olahannya, misalnya ATC.

31 11 Menurut Kustantiny et al. (2009), saat ini agroindustri ATC semakin berkembang seiring dengan keberhasilan budidaya rumput laut di beberapa daerah di Indonesia, terutama sejak dicanangkannya revitalisasi pembangunan kelautan di Indonesia. Proses pengolahan ATC tidak membutuhkan penerapan teknologi tinggi. Proses pengolahan rumput laut menjadi ATC pada prinsipnya sangat sederhana yaitu dengan merebusnya dalam larutan KOH pada suhu 85 C selama 2-3 jam. Rumput laut kemudian dicuci berulang-ulang, dipotong-potong, dan dikeringkan sehingga diperoleh ATC yang berbentuk chips (Salasa 2002). Diagram alir proses pembuatan ATC dapat dilihat Gambar 2. Gambar 2 Proses pembuatan ATC (Salasa 2002). Dengan mempertimbangkan teknologi pengolahan ATC yang relatif mudah dikuasai, bahan baku yang cukup tersedia, serta peluang pasar yang sangat potensial baik di dalam negeri maupun untuk pasar ekspor, maka pengembangan agroindustri ATC di Indonesia mempunyai prospek yang sangat cerah (DKP 2006a). Pengembangan agroindustri berbasis rumput laut dapat mengurangi ketergantungan impor dan sekaligus menjaga kestabilan harga rumput laut (Rahman 1999).

32 12 Sejauh ini sebagian besar rumput laut, baik hasil pembudidayaan maupun pengambilan di alam, masih diolah sebatas rumput laut kering (raw seaweed). Indonesia masih dikenal sebagai negara produsen raw seaweed dikarenakan sebagian besar rumput laut Indonesia masih diekspor dalam bentuk rumput laut kering (Kustantiny et al. 2009). Hal ini menyebabkan nilai tambah yang diperoleh menjadi relatif rendah (DKP 2006a). Pengembangan budidaya rumput laut perlu diikuti dengan pengembangan industri pengolahannya karena nilai tambah rumput laut sebagian besar terletak pada industri pengolahannya. Sebagian besar produksi rumput laut diekspor dalam bentuk bahan mentah yang nilai tambahnya belum dinikmati oleh pembudidaya, produsen, pemerintah daerah dan stakeholders lainnya. Pengembangan agroindustri rumput laut mempunyai nilai strategis dari hulu sampai hilir. Dalam pengembangan agroindustri rumput laut, Ma ruf (2002) menyarankan perlunya dibentuk suatu sistem penyerasian antara penyediaan bahan baku, sumberdaya manusia, permodalan, hukum, kelembagaan dan sistem pemasaran dan perlunya sosialisasi hasil riset yang melibatkan pemerintah daerah, institusi riset dan swasta. Gambar 3 Skema pengembangan agroindustri rumput laut (Ma ruf 2002). Tata Niaga Rumput Laut Rantai pemasaran rumput laut umumnya terdiri dari simpul-simpul pedagang lokal, pedagang antar pulau, dan eksportir yang hampir merupakan model yang sama di seluruh Indonesia. Pembudidaya rumput laut pada umumnya menjual hasil

33 13 produksinya kepada pedagang pengumpul lokal atau ke koperasi. Pengumpul lokal kemudian memproses ulang dengan melakukan pembersihan, sortasi, dan mengeringkan rumput laut sebelum dikemas dan dijual kepada pembeli baik eksportir maupun pabrikan pengolahan rumput laut (Anggadiredja et al. 2006). Saat ini pembudidaya sudah mulai membentuk organisasi di tingkat pembudidaya, yaitu kelompok-kelompok pembudidaya, dimana ketua kelompoknya umumnya bertindak sebagai pengepul yang mengumpulkan rumput laut yang dihasilkan oleh pembudidaya (BI 2008). Simpul-simpul perdagangan ini sulit bisa diputus mengingat jarak yang jauh antara produsen rumput laut (pembudidaya) dengan pasar di hilirnya, yaitu pabrikan atau processor dan eksportir. Setiap simpul akan memproses lebih lanjut hasil panen pembudidaya dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas rumput laut agar bisa diterima oleh pabrikan pengolah rumput laut, baik didalam maupun di luar negeri (Anggadiredja et al. 2006). Model keterkaitan antar berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha dan tata niaga rumput laut dapat dilihat pada Gambar 4. Pembudidaya / petani rumput laut Pedagang pengumpul di pulau atau lokal Koperasi Unit Desa (KUD) Pedagang antar pulau Pedagang pengumpul di kota Pedagang besar di kota Eksportir Pabrikan Gambar 4 Tata niaga rumput laut (Anggadiredja et al. 2006).

34 14 Klaster Industri Model Klaster Industri Ada dua pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan konsep klaster industri. Pertama, konsep klaster yang lebih menyoroti aspek aglomerasi, yaitu pendekatan yang menekankan pada aspek keserupaan (similarity) sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam hal ini sentra industri/bisnis, industrial district, dan sejenisnya yang mempunyai keserupaan aktivitas bisnis dianggap sebagai suatu klaster industri. Konsep ini dikembangkan berdasarkan pemikiran Marshal (1920). Kedua, konsep yang lebih menyoroti aspek keterkaitan (interdependency) atau rantai nilai sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam pandangan ini, sentra industri/bisnis dan/atau industrial district pada dasarnya merupakan bagian integral dari jalinan rantai nilai sebagai suatu klaster industri. Konsep ini dikembangkan oleh Porter (1990), serta para peneliti lain seperti Bergman dan Feser (1999), Roelandt dan den Hertog (1998), dll. Konsep klaster industri yang dikembangkan dalam penelitian ini lebih menekankan pada pendekatan yang kedua. Pada pendekatan ini, Porter (1990) mendefinisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan dan lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis dan saling terkait karena kebersamaan (commonalities) dan melengkapi (complementarities). Senada dengan pemikiran Porter, Roelandt dan den Hertog (1998) berpendapat bahwa klaster adalah jaringan produksi dari perusahaan-perusahaan yang saling bergantungan secara erat (termasuk pemasok yang terspesialisasi) yang terkait satu dengan lainnya dalam suatu rantai produksi peningkatan nilai tambah. Dalam kasus tertentu, klaster juga mencakup aliansi strategis antara agen penghasil pengetahuan (perguruan tinggi, lembaga riset, perusahaan rekayasa), lembaga perantara, dan pelanggan. Dalam klaster industri, pengelompokan industri membentuk kerjasama antar industri, yaitu antara industri inti yang menjadi basis dalam pengembangan klaster dengan industri pendukung serta industri terkait yang berhubungan secara intensif membentuk kemitraan (Bergman dan Feser 1999). Pengelompokan klaster industri

35 15 biasanya didasarkan pada sistematika produk, karakteristik produk atau pohon industrinya. Pemikiran-pemikiran tentang klaster industri yang berkembang dewasa ini pada umumnya merujuk kepada model berlian (diamond model) yang dikembangkan Porter (1990). Porter mengembangkan model berlian yang memberikan kerangka determinan keunggulan daya saing suatu bangsa yang sering dirujuk dan dianggap sebagai pemicu atau menjadi kerangka dasar dalam model atau pendekatan klaster industri. Dalam perspektif Porter, faktor penentu dari daya saing adalah interaksi dari empat faktor spesifik dan dua faktor eksternal yang disebut sebagai faktor berlian (diamond). Empat faktor tersebut mencakup: (i) kondisi faktor; (ii) kondisi permintaan; (iii) industri terkait dan pendukung; serta (iv) strategi perusahaan, struktur, dan persaingan usaha. Porter selanjutnya menyempurnakan dua faktor tambahan pada modelnya, yaitu kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan (chance events) dan peran pemerintah. Gambar 5 Model Berlian (Porter 1990). Sejauh ini, dalam beberapa literatur untuk kasus di Indonesia, penggunaan istilah antara klaster industri dengan sentra industri sering digunakan secara dapat dipertukarkan. Menurut Taufik (2005b), hal ini perlu diklarifikasi. Jika rantai nilai dianggap hal yang penting, maka keduanya sebenarnya bukan hal yang identik,

36 16 walaupun bisa saling terkait. Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri Kriteria Klaster Industri Sentra Industri Batasan Industri Faktor penting yang menjadi pertimbangan Keterkaitan antara keduanya Batasan lokasi/ wilayah Sumber: Taufik (2005b) Himpunan para pelaku dalam konteks tertentu baik pelaku industri tertentu yang berperan sebagai industri inti, pemasok kepada pelaku industri inti, industri pendukung bagi industri inti, pihak/lembaga yang memberikan jasa layanan kepada pelaku industri inti Nilai tambah dan daya saing serta hal positif lain yang terbentuk atas rangkaian rantai nilai keseluruhan industri Dalam suatu klaster industri, suatu sentra bisa ditempatkan sebagai salah satu subsistem dalam rangkaian rantai nilai sistem industri tertentu Dimungkinkan terbentuknya klaster industri yang bersifat lintas batas dalam konteks batasan kewilayahan tertentu Manfaat Pengembangan Klaster Industri Himpunan para pelaku (produsen) di bidang usaha industri tertentu yang serupa Hal positif yang diperoleh karena aglomerasi fisik para pelaku usaha Sentra industri bisa menjadi salah satu himpunan simpul (subgroup) dari suatu klaster industri, baik sebagai industri inti, pemasok, atau pendukung. Suatu sentra mungkin saja tidak/belum menjadi bagian dari klaster industri tertentu Sentra industri tertentu hanya ada di suatu lokasi (desa/kelurahan) tertentu Pengembangan klaster industri diyakini merupakan alternatif pendekatan yang efektif untuk membangun keunggulan daya saing industri pada khususnya dan pembangunan daerah pada umumnya. Pengembangan ekonomi berbasis klaster merupakan kunci bagi pengembangan daya saing daerah. Menurut EDA (1997), kerangka klaster dapat menjadi sebuah alat yang sangat berguna bagi perubahan ekonomi secara efektif karena: Market-driven, berfokus pada upaya mempertemukan sisi permintaan dan penawaran ekonomi secara bersama untuk bekerja secara lebih efektif. Inclusive, mencakup perusahaan baik yang berskala besar, menengah, maupun kecil, serta para pemasok dan lembaga-lembaga ekonomi pendukung.

37 17 Collaborative, sangat menekankan solusi kolaboratif pada isu-isu daerah oleh para partisipan yang termotivasi oleh keinginannya masing-masing. Strategic, membantu para stakeholder untuk menciptakan visi strategis daerahnya menyangkut ekonomi generasi berikutnya atas dasar kesepakatan bersama dari beragam pihak yang berbeda, dan mendorong motivasi serta komitmen untuk melakukan tindakan. Value-creating, memperbaiki kedalaman (dengan pemasok yang lebih banyak) dan cakupan (dengan menarik lebih banyak industri) untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pengembangan klaster industri diyakini mampu menciptakan manfaat ekonomi dan daya saing industri yang berkelanjutan. Bappenas (2004) menjelaskan bahwa peningkatan daya saing dapat terjadi karena strategi klaster dapat mempengaruhi kompetisi dalam tiga cara, yaitu: (i) meningkatkan produktivitas perusahaan; (ii) mengendalikan arah dan langkah inovasi yang berfungsi sebagai pondasi pertumbuhan produktivitas di masa depan; dan (iii) menstimulasi tumbuhnya usaha-usaha baru yang dapat memperkuat dan memperluas klaster. Beberapa manfaat pengembangan klaster industri disampaikan oleh Porter (1998a), Desrochers dan Sautet (2004), Waits (2000), Martin dan Sunley (2003), yaitu: 1 Memungkinkan suatu kerangka bagi kolaborasi dan membantu pengembangan agenda bersama; 2 Meningkatkan kerjasama antar perusahaan untuk memperkuat industrinya. Kerjasama antar-perusahaan juga memberi kesempatan tumbuhnya ruang belajar secara kolektif dimana terjadi pengembangan saling-tukar pendapat, pengetahuan dan informasi dalam suatu usaha kolektif untuk meningkatkan kualitas produk dan pindah ke segmen pasar yang lebih menguntungkan; 3 Meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta mengurangi biaya transportasi dan transaksi bagi perusahaan-perusahaan didalam klaster;

38 18 4 Menciptakan aset secara kolektif dan memungkinkan terciptanya inovasi yang mendorong peningkatan produktifitas dan diversifikasi produk; 5 Meningkatkan keahlian pelaku melalui proses pembelajaran bersama antar perusahaan potensial yang ada dalam klaster yang mendorong terjadinya spesialisasi produksi sesuai dengan kompetensi inti dan mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif; 6 Setiap perusahaan yang ada dalam klaster memperoleh potensi economic of scale dengan adanya spesialisasi produksi serta dengan adanya pasar bersama atau melalui pembelian bahan mentah bersama; 7 Perusahaan dapat meningkatkan hubungan bisnis dengan pelanggan dan pemasok secara lebih baik. Keberadaan klaster tidak hanya menguntungkan perusahaan dan institusi yang terlibat dalam suatu klaster, namun juga menguntungkan pengambil kebijakan untuk lebih memahami ekonomi daerahnya dengan baik. Manfaat utama yang diperoleh pemerintah adalah: (i) lebih mengerti kebutuhan dari industri dan secara langsung mendialogkan dengan perusahaan dan institusi yang terlibat dalam suatu klaster; (ii) dapat menyusun program dan pembinaan pengembangan klaster industri dalam rangka mengarahkan sumberdaya secara efektif dan efisien dalam upaya pembangunan ekonomi wilayahnya secara berkelanjutan; (iii) penciptaan lapangan kerja dari wilayah geografis di mana klaster berada; dan (iv) peningkatan perekonomian daerah/nasional secara lebih luas (Martin dan Sunley 2003). Tahapan Pengembangan Klaster industri mempunyai sifat dinamis dan perkembangannya mempunyai siklus yang dapat dikenali. Rosenfeld (2002) mengklasifikasikan siklus perkembangan klaster menjadi empat tahapan, yaitu: (i) klaster embrio, yaitu klaster pada tahapan awal perkembangan; (ii) klaster tumbuh, yaitu klaster yang mempunyai ruang untuk perkembangan lebih lanjut; (iii) klaster dewasa, yaitu klaster yang stabil atau akan sulit untuk lebih berkembang, serta (iv) klaster menurun, yaitu klaster yang sudah mencapai puncak dan sedang mengalami penurunan.

39 19 Dalam klaster embrio, pemerintah dan perantara mempunyai peran penting dalam peningkatan kerjasama dan berfungsi sebagai broker informasi. Sedangkan pada klaster dewasa dan klaster menurun, peningkatan keterbukaan dan inovasi juga diperlukan untuk mencegah bahaya lock-in wilayah. Selain membantu menjaga daya saing klaster tradisional, peningkatan keterbukaan dan inovasi dapat menjadi titik awal kemajuan pengembangan industri baru. Beberapa bentuk intervensi diperlukan di setiap tahapan siklus, namun intensitas dan cara penyampaiannya yang perlu penyesuaian (Bappenas 2006). Dalam konteks pengembangan ekonomi daerah, EDA (1997) menetapkan empat tahapan umum dalam pengembangan klaster industri, meliputi: 1 Mobilisasi, yaitu membangun minat dan partisipasi di antara konstituen, yang diperlukan untuk melaksanakan prakarsa; 2 Diagnosis, yaitu mengkaji klaster industri yang mencakup ekonomi (daerah) dan infrastruktur ekonomi yang mendukung kinerja klaster; 3 Strategi kolaboratif, yaitu menghimpun stakeholder dari sisi permintaan (seperti perusahaan dalam setiap klaster) dan stakeholder dari sisi sisi penawaran (termasuk lembaga pendukung ekonomi baik publik maupun swasta) dalam kelompok kerja untuk mengidentifikasi tantangan utama dan prakarsa aksi dalam mengatasi persoalan bersama; dan 4 Implementasi, yaitu membangun komitmen peserta kelompok kerja klaster dan stakeholder daerah atas tindakan dan mengembangkan lembaga/ organisasi untuk memelihara terlaksananya implementasi. Faktor Kunci Keberhasilan dan Kegagalan Klaster Industri Setiap klaster mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan klaster lainnya. Namun pada umumnya ada beberapa faktor yang mendukung perkembangan klaster yang telah berhasil di dunia. Bappenas (2006) menyebutkan faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan suatu klaster, meliputi: (i) elemen yang lunak seperti jaringan dan pengembangan institusi; (ii) elemen keras seperti infrastruktur fisik; serta (iii) elemen yang tidak terlihat seperti kepemimpinan dan

40 20 budaya kewirausahaan. Faktor lainnya yang juga berkontribusi pada keberhasilan perkembangan klaster adalah akses pada pasar, finansial, dan jasa-jasa khusus. Selain faktor-faktor diatas, Tambunan (2008) mengamati beberapa faktor penentu keberhasilan klaster lainnya, meliputi: (i) ketersediaan bahan baku terjamin dengan jangkauan harga yang telah diperhitungkan masih menguntungkan; (ii) ada tradisi budaya dan skill tenaga kerja dalam hand craft yang turun temurun dipelajari oleh masyarakat setempat, tenaga kerja terampil tersedia di sekitar lokasi dimana klaster industri tertentu tumbuh; dan (iii) didalam masyarakat ada sikap kewirausahaan (entepreneur) yang cukup berpengetahuan pasar sehingga mampu menyusun jaringan pasar (market network) didalam dan luar agen daerah. Berdasarkan pengalaman BPPT dalam pengembangan klaster, Taufik (2007) melaporkan faktor-faktor keberhasilan klaster yang dianggap penting, yaitu: (i) potensi lokal yang khas; (ii) kehendak/motivasi kuat pelaku bisnis dan mitra kerja (terutama untuk berubah ke arah perbaikan); (iii) individu setempat dengan kepeloporan yang tinggi (local champions); dan (iv) faktor kolaborasi dalam pengembangan UKM semakin menentukan keberhasilan di arena persaingan global. Dalam banyak hal, pengembangan klaster industri terkadang tidak berhasil dengan baik. Pada umumnya, kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan oleh tidak adanya faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan klaster industri atau tidak ditangani sebagaimana mestinya. Meskipun klaster industri diyakini dapat memberikan peluang dan manfaat bagi pelaku industri, termasuk bagi daerah dimana klaster tersebut berada, namun proses mengembangkan klaster bukanlah merupakan persoalan yang mudah. Rosenfeld (2002) menyampaian beberapa hambatan pengembangan klaster, diantaranya adalah lemahnya akses terhadap sumber permodalan, penguasaan dan adopsi teknologi, akses terhadap informasi, sumberdaya manusia yang terampil, lemahnya penguasaan manajemen dan organisasi bisnis, serta keterbatasan infrastruktur. Disamping itu, Matopoulos et al. (2005) juga mencatat ada satu faktor penting yang menjadi penghambat dalam pengembangan klaster, yaitu lemahnya kerjasama usaha diantara pelaku-pelaku klaster.

41 21 Berdasarkan beberapa pengalaman BPPT, Taufik (2007) melaporkan tantangan terbesar dalam pengembangan klaster, meliputi: (i) perubahan paradigma (personil internal dan mitra kerja dan pola sektoral yang masih sangat terkotakkotak). Perlu perbaikan paradigma (pola pikir, sikap dan tindakan) segenap aktor/pelaku (pelaku bisnis, pihak non-pemerintah, pemerintah) dalam menjalankan peran masing-masing; (ii) komitmen; (iii) konsistensi; serta (v) semakin siap dengan beragam paradoks dari perubahan. ADB (2001) juga telah melaporkan hasil-hasil kajian yang menghambat keberhasilan perkembangan klaster di Indonesia, yang pada umumnya disebabkan oleh: (i) mengabaikan hubungan klaster industri ke pasar; (ii) mengabaikan atau bahkan memperlemah potensi UKM untuk berorganisasi; (iii) ketidakmandirian organisasi klaster yang terbentuk; dan (iv) keterbatasan kemungkinan pemerintah deerah untuk mendorong perkembangan klaster industri. Dalam pendekatan klaster industri, pergeseran paradigma peran pemerintah dianggap menjadi salah satu kunci keberhasilan. Peran pemerintah yang ideal menurut Roelandt dan den Hertog (1998) adalah: (i) sebagai fasilitator dalam pengembangan jaringan dalam klaster; (ii) katalis dalam mengembangkan keunggulan daya saing yang dinamis; (iii) pengembang/penguat kelembagaan; dan (iv) menciptakan struktur insentif untuk menghilangkan/mengurangi ketidakefisienan pasar dan sistemik yang terjadi dalam sistem inovasi. Dalam pengembangan klaster industri, Roelandt dan den Hertog (1998) menyarankan beberapa hal berikut untuk dihindari: 1 Pengembangan klaster sebaiknya bukan semata karena keinginan pemerintah melainkan karena kebutuhan pasar dan dilakukan oleh pelaku bisnis yang bersangkutan. 2 Kebijakan pemerintah tidak berorientasi kuat pada pensubsidian langsung terhadap industri dan perusahaan atau pembatasan persaingan dalam pasar. 3 Kebijakan pemerintah sebaiknya berubah dari intervensi langsung ke bentuk tak langsung.

42 22 4 Pemerintah sebaiknya tidak mengendalikan atau memiliki prakarsa klaster, melainkan berperan sebagai katalis dan broker yang membawa bersama seluruh para pelaku dalam klaster serta insentif untuk memfasilitasi proses inovasi dan klasterisasi. 5 Kebijakan klaster sebaiknya tidak mengabaikan klaster kecil dan yang sedang muncul ataupun memfokuskan hanya pada klaster yang sudah ada dan klasik. 6 Kebijakan klaster tidak hanya cukup dengan analisis/studi, tetapi juga tindakan nyata. Kebijakan klaster yang efektif memiliki arti interaksi antara peneliti, para pimpinan dunia usaha, pembuat kebijakan dan pakar, serta menciptakan suatu forum untuk dialog yang konstruktif. 7 Klaster sebaiknya tidak dimulai dari nol ataupun pasar dan industri yang menurun. Beberapa contoh klaster industri yang dianggap berhasil, baik di luar negeri maupun didalam negeri, adalah sebagai berikut: 1 Klaster industri alas kaki di Sinos Valley Brazil. Klaster ini beranggotakan 480 perusahaan produsen alas kaki yang didukung berbagai pemasok bahan baku utama dan penunjang, mesin, dan pemasok komponen manufaktur, lembaga pelatihan khusus bidang manajemen dan finansial, serta lembaga informasi. Faktor kunci sukses klaster ini meliputi adanya latar belakang dan tujuan ke depan yang kuat, adanya kemampuan untuk meningkatkan produk dengan kualitas tinggi secara konsisten, dan kepedulian dari lembaga, institusi, dan asosiasi pendukung alas kaki untuk membagi ide dan beradaptasi terhadap perubahan permintaan dari pasar dunia. 2 Klaster industri teknologi informasi dan komunikasi di Finlandia. Klaster ini pada tahun 1997 naik dari peringkat terendah menjadi nomor 2 tertinggi di dunia. Anggota klasternya terdiri dari industri kunci (media, hiburan, iklan, pemesanan, perbankan, kesehatan, layanan publik, pendidikan, dan elektronika konsumsi), industri pendukung (manufaktur komponen dan suku cadang, manufaktur kontrak, dan penelitian dan pengembangan), serta jaringan jasa terkait (konsultansi, modal ventura, dan jalur distribusi).

43 23 3 Klaster industri anggur di Victorian Australia. Salah satu kunci sukses klaster ini adalah peningkatan nilai tambah yang ditunjukkan oleh peningkatan harga buah anggur sebesar lima kali lipat dengan mutu ekspor. Klaster juga memiliki visi dan misi yang kuat yang menjadi bagian dari rencana nasional. Selain itu, klaster juga mendapat dukungan pemerintah dalam bentuk perumusan strategi dan peraturan pemerintah yang sangat mendukung pertumbuhan industrinya. Ditambah lagi dengan transfer teknologi antar industri dan promosi internasional secara bersama-sama. 4 Klaster industri optik di Arizona Amerika Serikat. Klaster ini beranggotakan 150 perusahaan industri kunci dengan kegiatan yang sangat inovatif yang telah mematenkan 3400 produk. Selain industri kunci, stakeholders utamanya juga terdiri dari institusi dan lembaga pemberdayaan industri lokal, organisasi perdagangan, dan universitas. Faktor keberhasilannya meliputi pengembangan teknologi dan proses transformasi yang didukung oleh institusi penelitian dan pendidikan, inisiasi dan pengembangan hubungan timbal balik antar industri terkait, pengembangan keahlian pekerja, dan kolaborasi antar perusahaan dalam berbagai segi. 5 Klaster Mebel Ukir Kayu di Jepara Indonesia. Klaster ini merupakan klaster industri terbesar di Indonesia dengan ribuan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja. Stakeholder utamanya adalah industri kunci berupa sentra pengrajin mebel yang didukung pemasok bahan baku kayu Sukoharjo dan pemasok cor logam. Kemajuan klaster juga didukung oleh unit pelaksana teknis pengolahan kayu, lembaga pelatihan, bank, industri terkait (permesinan, finishing, melamine, dll), dan industri perkakas. Produk klaster ini sudah merambah pasar luar negeri. Faktor lain yang mendukung keberhasilan klaster ini adalah: (i) asosiasi lokal yang kuat; (ii) pengalaman yang luas dengan perubahan selera konsumen asing; (iii) investasi penting untuk skala menengah yang antara lain berasal dari pernikahan lintas bangsa antara orang asing dengan penduduk setempat; serta (iv) peranan penting trading house sebagai perantara dan organizer ekspor.

44 24 Pembangunan Berkelanjutan Konsep dan Definisi Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dapat dianggap sebagai suatu proses atau evolusi dalam pembangunan (Glavic dan Lukman 2007). Pemikiran pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan respon atas kecenderungan sistem pembangunan ekonomi yang masih berorientasi pada ekspansi atau perluasan pasar, pengabaian biaya eksternalitas, dan berorientasi untuk sekedar mendapatkan keuntungan (economic growth) dengan kelemahan mendasar yang terletak pada tidak atau kurang dipertimbangkannya aspek daya dukung dan kelestarian alam (Dahuri 2003). Gowdy dan Howarth (2007) menegaskan bahwa suatu proses pembangunan tidak hanya terkonsentrasi pada pertumbuhan ekonomi semata, melainkan juga harus memperhatikan kualitas lingkungan hidup dan modal sosial. Konsepsi pembangunan berkelanjutan sebagai suatu terminologi secara luas diperkenalkan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 melalui publikasinya yang berjudul Our Common Future pada saat Konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan (UNCED). WCED (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (Howarth 2007; Glavic dan Lukman 2007). Definisi tersebut mempunyai makna bahwa dalam pemanfaatan semua bentuk sumberdaya atau kapital sebagai upaya pembangunan untuk dapat menciptakan perbaikan kualitas hidup (quality of life) seluruh umat manusia, maka harus disertai dengan kesadaran baru bahwa tindakan pada saat ini membawa konsekuensi dan resiko yang harus dipertimbangkan bagi semua bentuk kehidupan dan generasi pada saat ini dan yang akan datang. Terminologi pembangunan berkelanjutan telah diterapkan secara luas pada berbagai sektor maupun bidang seiring dengan peningkatan kesadaran terhadap arti penting keberlanjutan. Variasi definisi pembangunan berkelanjutan digunakan oleh

45 25 para peneliti dan organisasi sesuai dengan kebutuhan dan penggunaannya seperti yang dilakukan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), the U.S. Environmental Protection Agency (EPA), the European Environmental Agency (EEA), the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), the Journal of Cleaner Production, dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa definisi pembangunan berkelanjutan secara operasional mempunyai berbagai dimensi yang luas khususnya terkait dengan dimensi-dimensi keberlanjutan yang digunakan (Glavic dan Lukman 2007). Pilar Pokok Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan mengandung tiga pilar utama, yang meliputi pilar ekonomi, lingkungan, dan sosial. Agar pembangunan dapat berkelanjutan, maka secara ideal manfaatnya harus berkesinambungan dan dipertahankan secara kontinyu. Ini berarti bahwa pembangunan harus memenuhi berbagai tujuan secara seimbang, baik tujuan ekonomi, lingkungan, dan sosial (Harris 2000; Glavic dan Lukman 2007). Pilar ekonomi. Suatu kawasan pembangunan secara ekonomi berkelanjutan jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan, menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar sektor yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sektor sekunder (manufaktur), atau sektor tersier (Harris 2000). Dimensi ekonomi ini juga merepresentasikan permintaan (demand side) manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah dimaksud (Dahuri 2003). Pilar lingkungan. Suatu kawasan dapat dikatakan secara lingkungan berkelanjutan jika basis sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebihan, tidak terjadi pembuangan limbah yang melampaui batas asimilasi lingkungan yang menimbulkan pencemaran, serta pemanfaatan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, yang diiringi dengan upaya pengembangan bahan substitusinya secara memadai. Dalam konteks ini, termasuk pula pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas siklus hidrologi, siklus biogeokimia, dan kondisi iklim (Harris 2000; Doyen et al. 2007).

46 26 Pilar sosial. Suatu kawasan pembangunan yang secara sosial disebut berkelanjutan, apabila seluruh kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan) bagi semua penduduk terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, kesetaraan gender, dan terdapat akuntabilitas serta partisipasi politik (Harris 2000). Indikator Pembangunan Berkelanjutan Operasionalisasi atau implementasi konsep pembangunan berkelanjutan memerlukan indikator-indikator untuk menilai efektifitasnya, dalam arti untuk mengetahui apakah suatu kegiatan, program ataupun kebijakan dapat dikatakan berkelanjutan (sustainable) atau tidak berkelanjutan (Kuik dan Verbruggen 1991). Walaupun secara prinsip indikator keberlanjutan terdiri dari tiga dimensi utama, yaitu dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan, namun indikator-indikator tersebut tidaklah bersifat mutlak, karena bisa ditambah atau diganti dengan indikator lain sesuai dengan kebutuhan (Glavic dan Lukman 2007). Indikator pembangunan berkelanjutan dapat dikembangkan sesuai dengan keperluannya pada setiap tingkatan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang ada. Kerangka pembangunan berkelanjutan yang mencakup dimensi dan indikator keberlanjutan menjadi pijakan bagi sejumlah kajian tentang keberlanjutan usaha pada berbagai industri walaupun dimensi serta indikator yang digunakan telah disesuaikan dengan tujuan kajian secara khusus. McCool dan Stankey (2004) menjelaskan bahwa penentuan indikator harus selalu terkait dengan tujuan dari keberlanjutan itu sendiri (what is to be sustained). Beberapa kriteria yang digunakan dalam pemilihan indikator meliputi: (i) indikator merupakan bagian dari sistem atau seperangkat variabel kunci/khusus yang mampu menggambarkan kinerja sistem yang kompleks secara efektif; (ii) dapat digunakan untuk melakukan pengukuran sistem secara efektif; dan (iii) dapat menggambarkan keadaan masa mendatang (predictable) atau antisipasi, sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu pengambilan kebijakan. Hemphill et al. (2004) menjelaskan bahwa indikator yang baik memiliki karakteristik sebagai berikut: (i) sesuai dengan maksud pengukuran (relevant); (ii)

47 27 pengukuran dapat dilakukan oleh semua orang, bahkan yang bukan pakar pun dapat melakukannya (understandable); (iii) akurat dan terpercaya (accurate and reliable); serta (iv) informasinya mudah diperoleh (accesible data). Selain karakteristik di atas, Opschoor dan Reijnders (1991) menambahkan kriteria ideal bagi indikator pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) dapat dikuantitatifkan; (ii) sensitif terhadap perubahan lokasi atau grup masyarakat; (iii) memiliki acuan atau nilai ambang; serta (iv) metodologi yang digunakan untuk membangun indikator harus jelas terdefinisikan dengan akurat, secara ilmiah dan sosial diterima. Klaster Industri yang Berkelanjutan Dalam konteks industri, konsep keberlanjutan dapat diterapkan sebagai bagian dari strategi bisnis untuk mencapai keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang (industrial sustainability). INA (2005) menerangkan bahwa industrial sustainability merupakan suatu pendekatan bisnis yang bertujuan untuk menciptakan nilai bagi shareholder dalam jangka panjang dengan mengambil peluang dan mengelola risiko yang diderivasi dari aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Industrial sustainability merupakan suatu konsep yang menggambarkan proses perencanaan dan manajemen stratejik suatu industri untuk mencapai keseimbangan pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara umum, industrial sustainability mencakup strategi, model, aksi, dan praktik-praktik yang bertujuan tidak hanya pada kebutuhan ekonomi (misalnya untuk shareholders, ), tetapi juga bertujuan untuk melindungi, mendukung, dan meningkatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang diperlukan untuk generasi yang akan datang. Model ini memungkinkan suatu industri memperoleh keuntungan yang berkesinambungan, dan secara stratejik dan proaktif menanggulangi dan menghindari dampak negatif yang mungkin akan terjadi pada lingkungan dan masyarakat sekitar (Wilson 2003). Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam konteks industri diantaranya dapat dilihat dari studi-studi yang telah dilakukan oleh Doukas et al. (2007), Ardebili dan Boussabaine (2007), Ometto et al. (2007), Halog dan Chan (2006), Defra (2006), Adams dan Ghaly (2007), Stoneham et al. (2003) dan lain-lain.

48 28 Studi-studi yang dilakukan tersebut lebih banyak membahas tentang penggunaan indikator-indikator keberlanjutan dalam rangka mengembangkan industrinya secara berkelanjutan. Secara umum, indikator-indikator yang digunakan meliputi indikator ekologi, ekonomi, sosial, lingkungan, dan kelembagaan, yang disesuaikan dengan konteks tujuan penelitian. Keberlanjutan adalah sebuah konsep yang luas yang mencakup gagasan bahwa setiap jenis pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini tidak boleh menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sebagaimana tercantum dalam Laporan Brundtland tahun 1987 dari PBB. Dalam konteks ini, Martin dan Mayer (2008) mengeksplorasi hubungan antara berbagai dimensi keberlanjutan yang berkaitan dengan klaster industri dan daya saing daerah. Martin dan Mayer (2008) mencermati adanya trade-off antara tujuan ekonomi klaster (economic development) dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Martin dan Mayer menyatakan bahwa berbagai kajian, tulisan-tulisan ilmiah tentang kluster industri, dan praktek-praktek pembangunan ekonomi berbasis klaster selama ini telah mengabaikan faktor-faktor keberlanjutan. Allen dan Potiowski (2008) lebih tegas menyatakan bahwa praktek-praktek pengembangan klaster industri yang telah dilakukan selama ini cenderung bertujuan untuk merealisasikan potensi pengembangan ekonomi semata. Argumentasi yang melandasinya adalah bahwa daya saing klaster industri saat ini tidak hanya bertumpu pada faktor ekonomi, melainkan harus mempertimbangkan pula faktor-faktor keberlanjutan dalam pengembangannya. Menurut Campbell (1996), faktor ekonomi sesungguhnya hanya salah satu pilar dari tiga pilar yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Klaster industri yang berkelanjutan adalah klaster industri yang mengintegrasikan konsepsi pembangunan berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing klaster (Martin dan Mayer 2008). Klaster industri yang berkelanjutan dicirikan dengan adanya penggunaan pilar-pilar pokok dalam pembangunan yang berkelanjutan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan, sebagai titik tolak dalam perumusan strategi pengembangannya.

49 29 Gagasan tentang klaster industri yang berkelanjutan disampaikan dan dibahas pada konferensi klaster yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ekonomi Oregon dan Departemen Pengembangan dan Portland State University di Portland Oregon pada tahun Konferensi ini membahas tentang hubungan antara klaster industri dan keberlanjutan. Klaster industri yang berkelanjutan merupakan suatu langkah inovatif klaster dalam rangka meningkatkan daya saing klaster secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan persaingan terjadi secara dinamis, perusahaan-perusahaan didalam klaster akan tumbuh dan berkembang, maka klaster akan terus bergerak dan bergeser dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kapasitas untuk meningkat dan bertumbuh. Peningkatan kualitas produk dalam rangka memenuhi keinginan konsumen yang dinamis akan mendorong klaster untuk inovatif, sehingga mampu berkompetisi, termasuk pula dalam hal ini peningkatan produktivitas dan efisiensi. Agar dapat berkelanjutan, maka klaster harus dinamis. Pendekatan Sistem Konsepsi Kesisteman Definisi sistem menurut Manetsch dan Park (1977) adalah gugus dari elemenelemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan, atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Menurut Pritsker dan Reilly (1999), sistem adalah sekumpulan elemen-elemen dengan pembatas yang jelas, pada tingkat tertentu yang saling berinteraksi satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan dari suatu studi. Berdasarkan konsepsi sistem tersebut, maka karakteristik sistem adalah: (i) terdiri dari elemen-elemen yang membentuk satu kesatuan sistem; (ii) adanya tujuan dan kesaling-tergantungan; (iii) adanya interaksi antar elemen; (iv) mengandung elemen yang sering juga disebut sebagai transformasi; serta (v) adanya lingkungan yang mengakibatan dinamika sistem. Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Dengan demikian, manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengerahkan perhatian kepada berbagai ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan

50 30 suatu sistem (Marimin 2005). Pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, oleh karena itu diperlukan suatu kerangka fikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem (Eriyatno 1999). Pendekatan sistem merupakan metoda pengkajian masalah yang dimulai dari analisis atau identifikasi kebutuhan yang menghasilkan suatu sistem operasional yang efektif. Pendekatan sistem ini dicirikan dengan adanya metodologi perencanaan atau pengelolaan yang bersifat multidisiplin dan terorganisir, penggunaan model matematika, mampu berfikir secara kualitatif, penggunaan teknik simulasi dan optimasi, serta dapat diaplikasikan dengan komputer (Manetsch dan Park 1977). Pendekatan sistem diperlukan karena dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem. Masalah-masalah yang dihadapi saat ini tidak lagi sederhana dan dapat menggunakan peralatan yang menyangkut satu disiplin saja, tapi memerlukan peralatan yang lebih komprehensif, yang dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh. Pendekatan sistem memberikan gambaran yang lebih luas mengenai variabel-variabel yang harus ditangani dalam menangani suatu sistem (Marimin 2005). Menurut Eriyatno (1999), pendekatan sistem adalah metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif yang memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Permasalahan yang sebaiknya menggunakan pendekatan sistem dalam pengkajiannya yaitu masalah yang memenuhi karakteristik: (i) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (ii) dinamis, dimana faktor-faktornya yang menyusun sistem berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa mendatang; dan (iii) probabilistik, memerlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan atau rekomendasi (Eriyatno 1999). Filosofi dasar kesisteman yang menjadi landasan pokok dalam menyelesaikan masalah melalui pendekatan sistem, yaitu: (1) sibernetik, artinya berorientasi pada tujuan, (2) holistik, artinya memandang secara utuh terhadap keseluruhan sistem, (3) efektif, yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang lebih operasional

51 31 serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan (Eriyatno 1999). Menurut Eriyatno (1999), penyelesaian suatu persoalan melalui pendekatan sistem umumnya terdiri dari beberapa tahapan, yang meliputi: (i) analisis kebutuhan, (ii) formulasi masalah, (iii) identifikasi sistem, (iv) formulasi model, (v) verifikasi dan validasi model, serta (vi) implementasi model. Metodologi pemecahan masalah menggunakan pendekatan sistem secara grafis dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Metodologi pendekatan sistem (Eriyatno 1999). Pemodelan Sistem Model didefinisikan sebagai suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Sushill 1993). Model merupakan simplifikasi atau abstraksi dari suatu sistem nyata, yang dalam hal tertentu berperilaku sebagaimana sistem nyata tersebut (Checkland 1995). Model merupakan suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu (yang disepakati) dari suatu sistem nyata. Sistem nyata merupakan sistem yang sedang berlangsung dalam kehidupan, sistem yang dijadikan

52 32 titik perhatian atau dipermasalahkan (Simatupang 1994). Murthy et al. (1990) menyatakan bahwa model dianggap memadai apabila telah sesuai dengan tujuan dalam pikiran analis (pemodel). Berdasarkan konsepsi model, maka pemodelan sistem diartikan sebagai proses membangun atau membentuk suatu model dari suatu sistem nyata dalam bahasa formal tertentu. Dengan adanya model akan diketahui struktur suatu obyek, elemen-elemen penyusunnya dan interaksinya secara logis atau menurut hubungan sebab akibat. Pemodelan merupakan alat uji sistem yang bertujuan untuk memudahkan mempelajari perilaku suatu gejala secara seksama agar dapat dilakukan generalisasi terhadap masalah tersebut. Oleh karena itu menurut Eriyatno (1999) tahapan formulasi model merupakan tahapan pokok dalam pendekatan sistem. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab-akibat. Salah satu dasar utama mengembangkan model adalah menemukan peubah-peubah yang penting dan tepat. Hal ini sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah. Formulasi model bertujuan untuk mendapatkan model logis yang dapat merepresentasikan sistem nyata (Eriyatno 1999). Eriyatno (1999) menguraikan bahwa pada pendekatan sistem, tahap proses pemodelan cukup kompleks namun tidak banyak ragamnya baik ditinjau dari jenis sistem maupun tingkat kecanggihan model. Tahap-tahap dalam pemodelan sistem meliputi: 1 Tahap seleksi konsep. Pada tahap ini dilakukan seleksi alternatif-alternatif yang bermanfaat dan bernilai cukup baik untuk dilakukan pemodelan abstraknya. Hal ini akan mempengaruhi biaya dan kinerja sistem yang dihasilkan. 2 Tahap rekayasa model. Pada langkah ini ditetapkan jenis model abstrak yang akan diterapkan, sejalan dengan tujuan dan karakteristik sistem. Pada tahap ini dilakukan pembentukan model abstrak yang realistik. Terdapat dua cara pendekatan untuk membentuk model abstrak, yaitu: (i) pendekatan kotak gelap, yaitu dengan melakukan identifikasi model sistem informasi yang

53 33 menggambarkan perilaku terdahulu dari sistem yang sedang berjalan. Metode ini tidak banyak berguna pada sistem yang kenyataannya belum ada, dimana tujuan sistem masih berupa konsep; dan (ii) pendekatan struktur, yaitu dengan mempelajari secara struktur sistem dari teori-teori untuk menentukan komponen dasar dari sistem serta keterkaitannya. Pendekatan struktur ini banyak dipakai pada rancang bangun dan pengendalian sistem fisik dan non fisik. 3 Tahap implementasi komputer. Pada tahap ini, model abstrak diwujudkan pada berbagai bentuk persamaan, diagram alir dan diagram blok. Setelah program komputer dibuat untuk model abstrak dimana format input-output telah dirancang secara memadai, maka tahap selanjutnya adalah tahap verifikasi dan validasi. 4 Tahap verifikasi dan validasi. Pada proses verifikasi dilakukan evaluasi terhadap proses komputerisasi, kerja logika dan elemen-elemen substansi yang diakomodir oleh model. Proses validasi lebih ditujukan untuk memperbaiki tingkat keyakinan bahwa berdasarkan kondisi yang diasumsikan, model mampu mewakili sistem sebenarnya. Proses validasi dilakukan dengan mempelajari seluruh komponen sistem penunjang keputusan dan keluaran yang dihasilkan. Menurut Simatupang (1994), melakukan eksperimen langsung pada sistem nyata untuk memahami bagaimana perilakunya, dalam beberapa keadaan merupakan suatu hal yang mungkin saja untuk dilakukan. Namun pada kenyataannya, keadaan sistem nyata itu terlalu kompleks atau masih dalam bentuk hipotesis sehingga terlalu mahal, tidak praktis, bahkan tidak mungkin dapat dilakukan jika harus bereksperimen langsung. Hal ini merupakan alasan untuk dilakukannya perancangan suatu model. Model dapat dinyatakan baik apabila dapat menggambarkan dengan baik semua hal-hal yang penting dari keadaan dunia nyata dalam masalah tertentu (Manetsch dan Park 1977). Penggunaan model akan sangat bermanfaat bila menghadapi sistem yang kompleks. Menurut Walter (1974), keuntungan

54 34 penggunaan model dalam penelitian yang menggunakan pendekatan sistem meliputi: (i) memungkinan untuk melakukan penelitian yang lintas sektoral dengan ruang lingkup yang luas; (ii) dapat melakukan eksperimentasi terhadap sistem tanpa mengganggu atau memberi perlakuan tertentu terhadap sistem; (iii) mampu menentukan tujuan aktivitas pengelolaan dan perbaikan terhadap sistem yang diteliti; dan (iv) dapat dipakai untuk menduga atau meramal perilaku dan keadaan sistem pada masa yang akan datang. Sistem Penunjang Keputusan Sistem penunjang keputusan (SPK) pertama kali diperkenalkan oleh Morton pada awal tahun 1970-an. Sistem ini dicirikan dengan adanya aplikasi sistem interaktif berbasis komputer yang dapat membantu pengambilan keputusan dengan memanfaatkan data dan model untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak terstruktur (Spraque 1989). SPK merupakan suatu paket program yang mampu menggabungkan hardware dan software untuk membantu dalam membuat keputusan pada manajemen tingkat tinggi (Singh 1990). Sistem penunjang keputusan (SPK) adalah sistem informasi berbasis komputer bertujuan untuk mendukung manajerial dalam pengambil keputusan terhadap suatu masalah yang bersifat semi terstruktur atau tidak terstruktur (Turban dan Aronson 2001). Millet dan Charles (1992) mendefinisikan SPK sebagai suatu sistem yang menggunakan model hubungan antara keputusan dan jalan keluar untuk menunjang pemecahan masalah yang dititikberatkan pada masalah keputusan spesifik ataupun kumpulan masalah-masalah yang berhubungan. Eriyatno (1999) menjelaskan bahwa SPK merupakan pendekatan sistem dalam pengambilan keputusan melalui aplikasi komputer sebagai alat bantu. Tujuan SPK adalah memaparkan secara detail elemen-elemen sistem sehingga dapat membantu pengambil keputusan dalam proses pengambilan keputusannya. Marimin (2004) menjelaskan karakteristik SPK yang meliputi: (i) SPK menggabungkan data dan model menjadi satu bagian; (ii) SPK dirancang untuk membantu para pengambil keputusan pada proses pengambilan keputusan dari masalah yang bersifat semi struktural (atau tidak terstruktur); (iii) SPK lebih

55 35 cenderung dipandang sebagai penilaian manajer dan sama sekali bukan untuk menggantikannya; (iv) teknik SPK dikembangkan untuk meningkatkan efektifitas dari pengambilan keputusan; (v) adanya interaksi antara komputer dengan pengambil keputusan; (vi) adanya dukungan menyeluruh dari keputusan bertahap; (vii) adanya kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat. Konsepsi model SPK menggambarkan secara abstrak hubungan tiga komponen utama penunjang kuputusan, yaitu pengguna, model, dan data. Data yang tersedia dimasukkan ke dalam Sistem Manajemen Basis Data dan model-model yang digunakan dimasukkan ke dalam Sistem Manajemen Basis Model. Sistem Manajemen Basis Data dan Sistem Manajemen Basis Model dihubungkan dengan Sistem Pengolahan Terpusat. Pada Sistem Pengolahan Terpusat, kedua sistem manajemen, baik basis data maupun basis model, bersifat saling melengkapi. Untuk memudahkan pengguna berinteraksi dan berdialog dengan model, maka Sistem Pengolahan Terpusat dihubungkan dengan Sistem Manajemen Dialog (Minch dan Burns 1983). Gambar 7 Struktur dasar sistem penunjang keputusan (Minch dan Burns 1983).

56 36 Penelitian Terdahulu Penelitian tentang klaster industri banyak dilakukan oleh para peneliti. Penelitian-penelitian tersebut secara umum difokuskan pada 3 (tiga) kelompok, yaitu penelitian yang terkait dengan: (i) identifikasi potensi klaster; (ii) proses pengembangan klaster; dan (iii) pengukuran kinerja klaster. Fokus penelitian tentang rancang bangun model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan adalah mengintegrasikan ketiga kelompok tersebut menjadi suatu model yang utuh. Dalam perancangannya, penelitian ini didasarkan pada penelitian-penelitian yang sudah ada. Penelitian terkait dengan identifikasi potensi klaster diantaranya dilakukan oleh YCEDC (2001). YCEDC mengidentifikasi potensi klaster industri di York County Pennsylvania menggunakan data tahun Penelitian yang dilakukan mencakup potensi klaster pertanian dan produk pangan, industri manufaktur, transportasi dan logistik, bisnis dan finansial, konstruksi dan bangunan, pendidikan, kesehatan, kertas dan kayu, serta teknologi dan informasi. Metode yang digunakan untuk menganalisis potensi klaster-klaster tersebut adalah Location Quotient (LQ). Metode LQ mengukur rasio antara spesialisasi pada industri tertentu pada suatu daerah dibandingkan dengan daerah referensi yang lebih luas. Jika nilainya lebih dari satu, berarti ekonomi di daerah tersebut lebih terspesialisasi dari daerah referensi yang digunakan. Artinya, terdapat aglomerasi atau konsentrasi suatu industri di daerah tersebut. Sebaliknya, jika nilainya kurang dari satu, maka tidak terdapat aglomerasi (Bergman dan Feser 2000). Penelitian YCEDC menghasilkan pengklasifikasian potensi klaster yang kompetitif berdasarkan nilai LQ. Klaster-klaster yang dianggap kompetitif meliputi klaster industri manufaktur, pertanian dan produk pangan, logistik dan transportasi, bangunan dan konstruksi. Sementara, klaster lainnya adalah klaster yang tidak kompetitif. Hasil penelitian YCEDC (2004) menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri harus dimulai dari tahapan identifikasi potensi klaster agar klaster yang akan dikembangkan adalah klaster yang kompetitif. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pengembangan klaster industri rumput laut pada penelitian ini diawali dengan

57 37 mengidentifikasi potensi klaster. Jika metode penelitian yang digunakan YCEDC adalah metode LQ yang merupakan metode kuantitatif yang cenderung fokus pada sektor, maka potensi klaster industri rumput laut pada penelitian ini difokuskan pada metode kualitatif menggunakan pendapat pakar. Penelitian tentang proses pengembangan klaster diantaranya telah dilakukan oleh Mahfud (2004). Mahfud melakukan penelitian tentang perancangan model pengembangan agroindustri minyak atsiri menggunakan pendekatan klaster. Model yang dikembangkan meliputi model kelembagaan, teknologi industri, kelayakan usaha, dan keseimbangan. Model matematik yang digunakan untuk pengembangan model meliputi metode ISM, AHP, heuristic, dan analisis finansial. Model yang dihasilkan diberi nama Model Prima. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model telah terverifikasi dengan baik di Kabupaten Garut. Pada model kelembagaan, telah teridentifikasi elemen-elemen penting dalam pengembangan klaster minyak atsiri. Model teknologi industri menghasilkan komoditas dan daerah potensial untuk pengembangan agroindustri minyak atsiri. Model kelayakan usaha menghasilkan prediksi dalam perencanaan usaha minyak atsiri. Sementara, model keseimbangan pada penelitian ini menghasilkan 3 (tiga) sub model keseimbangan, yaitu sub model keseimbangan harga, keseimbangan bahan baku, serta keseimbangan lingkungan. Intisari hasil penelitian Mahfud (2004) adalah menguraikan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam proses pengembangan klaster. Terkait dengan hasil penelitian ini, ada 2 (dua) hal penting yang menjadi bahan masukan utama dalam penelitian tentang model pengembangan klaster industri rumput laut, yaitu tentang kelembagaan klaster dan keseimbangan hubungan antar pelaku didalam klaster. Dua hal ini merupakan elemen yang dianggap penting dalam pengembangan klaster industri rumput laut untuk tujuan keberlanjutan suatu klaster. Penelitian lainnya yang dianggap penting dalam memberikan masukan dalam pemodelan pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan pada penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Partiwi (2007). Partiwi merancang suatu model pengukuran kinerja komprehensif pada sistem klaster

58 38 agroindustri hasil laut. Penelitian lebih difokuskan untuk mengidentifikasi indikatorindikator kunci dalam mengukur kinerja klaster agroindustri hasil laut. Kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut ditentukan oleh (4) empat aspek, yaitu aspek sosial, aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek proses bisnis internal. Model matematik yang digunakan mencakup model penilaian kriteria dengan basis logika fuzzy, model penentuan prioritas dan indikator kinerja, model scoring board, dan model simulasi evaluasi kinerja prediktif. Verifikasi rancangan model sistem pengukuran kinerja komprehensif dilakukan pada klaster agroindustri hasil laut teri nasi dan rumput laut di Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini menghasilkan indikator-indikator kunci dalam mengukur kinerja klaster agroindustri hasil laut serta implementasinya pada klaster agroindustr teri nasi dan rumput laut. Hasil implementasi menunjukkan bahwa capaian kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut secara numerik cukup baik, yang merupakan agregat dari kinerja sosial, kinerja lingkungan, kinerja ekonomi, dan kinerja proses bisnis internal. Hasil penelitian Partiwi (2007) mengindikasikan pentingnya proses pengukuran kinerja klaster dalam rangka mendorong pengembangan klaster. Hasil penelitian ini menjadi bahan masukan didalam model. Penelitian tentang pengembangan klaster industri secara komprehensif dengan mengintegrasikan tahapan identifikasi potensi klaster, proses pengembangan klaster, dan pengukuran kinerja klaster, menggunakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan belum pernah dilakukan. Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan dimasukkan kedalam model penelitian karena selama ini model-model pengembangan klaster telah mengabaikan faktor-faktor keberlanjutan dalam modelnya (Martin dan Mayer 2008). Penelitian ini merupakan implementasi dari integrasi konsep pengembangan klaster dan konsep pembangunan yang berkelanjutan, sebagaimana disampaikan oleh Martin dan Mayer. Sementara, penelitian yang terkait dengan penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan lebih banyak membahas tentang indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur keberlanjutan suatu industri, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Doukas et al. (2007), Ardebili dan Baussbaine (2007), Ometto

59 39 (2007), Halog dan Chan (2006), Adams dan Ghaly (2007), Defra (2006), Stoneham (2006), dll. Indikator-indikator yang digunakan untuk penilaian keberlanjutan industri tersebut dapat memberikan pedoman dalam penyusunan elemen-elemen sistem pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Metode analisis yang dikembangkan dalam penelitian ini mencakup kombinasi antara soft system metodhology dan hard system metodhology.

60 METODOLOGI Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilakukan dalam rangka mendorong pengembangan industri rumput laut secara berkelanjutan melalui pendekatan klaster. Penelitian ini bermaksud merancang suatu model pengembangan klaster industri rumput laut menggunakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan. Pengembangan klaster industri rumput laut merupakan suatu sistem yang kompleks dengan berbagai permasalahan sebagaimana disampaikan oleh Martin dan Mayer (2008), ADB (2001), Rosenfeld (2002), Matopoulos et al. (2005), dan Taufik (2007). Pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan pada penelitian ini pada hakekatnya merupakan upaya penguatan daya saing industri rumput laut berdasarkan pada dimensi-dimensi keberlanjutan yang telah ditetapkan. Identifikasi keberlanjutan klaster industri rumput laut mengacu pada pilarpilar pokok model pembangunan berkelanjutan, yang meliputi pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan tidak meninggalkan ciri khas klaster sebagai titik tolak analisisnya. Model generik pembangunan berkelanjutan, terkait dengan penggunaan pilar-pilar keberlanjutannya, dapat dimodifikasi sesuai dengan lingkup dan tujuan pengembangan (Glavic dan Lukman 2007). Dalam konteks penelitian, pilar-pilar keberlanjutan didalam pengembangan klaster industri rumput laut menjadi basis dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Klaster industri merupakan bentuk aktivitas bisnis yang terintegrasi dari sekumpulan perusahaan dan lembaga-lembaga pendukung yang saling terkait (Porter 1990; Roeland dan den Hertog 1998). Hal mengindikasikan bahwa upaya pengembangan klaster industri rumput laut mempunyai kompleksitas dan kerumitan yang sangat tinggi dimana komponen-komponen yang terkandung didalamnya saling berkaitan sangat erat satu sama lain. Oleh karena itu, dalam penelitian rancang bangun model pengembangan klaster industri rumput laut ini digunakan pendekatan sistem agar tujuan dari pemodelan klaster industri rumput laut ini dapat tercapai secara efektif. 41

61 42 Rancang bangun model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan pada penelitian ini dilakukan berdasarkan suatu kerangka berpikir logis yang dilandasi argumentasi kuat secara ilmiah, yang mengintegrasikan konsepsi pengembangan klaster industri dan konsepsi pembangunan berkelanjutan, baik pada tataran input, proses, maupun output. Rancangan model klaster industri rumput laut dikonstruksi berdasarkan permasalahan aktual dalam industri rumput laut dan upaya penyelesaiannya menggunakan metodologi yang relevan sebagai solusi model. Kerangka pemikiran yang melandasi perancangan model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 Kerangka pemikiran penelitian. Tahapan Penelitian Tahapan penelitian mengacu pada metodologi pemecahan masalah menggunakan pendekatan sistem (Eriyatno 1999). Penelitian dirancang melalui beberapa tahapan yang sistematis, logis, dan terstruktur yang terdiri dari 4 (empat) tahapan utama, meliputi: (i) studi pendahuluan; (ii) analisis sistem; (iii) pemodelan sistem; serta (iv) verifikasi dan validasi. Hasil setiap tahapan sangat menentukan proses pada tahapan berikutnya. Secara sistematis, tahapan penelitian dalam

62 43 pengembangan model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 9. Mulai Studi Pendahuluan Studi Pustaka Studi Lapang Survei Pakar Analisis Sistem Analisis Kebutuhan Formulasi Permasalahan Identifikasi Sistem Pemodelan Sistem Pemodelan Diagnosis Kelayakan Pengembangan Klaster Pemodelan Proses Pengembangan Klaster Pemodelan Prediksi Kinerja Pengembangan Klaster Submodel Prasyarat Ekologi (Heuristik) Submodel Prasyarat Ekonomi (IPE, OWA) Submodel Prasyarat Sosial (IPE, OWA) Submodel Prasyarat Kelembagaan (IPE, OWA) Submodel Agregasi Prasyarat (Expert System) Submodel Proses Ekonomi (Heuristik) Submodel Proses Teknologi (Heuristik) Submodel Proses Sosial (ISM) Submodel Proses Lingkungan (AHP) Submodel Kinerja Ekonomi (Heuristik) Submodel Kinerja Sosial (Heuristik) Submodel Kinerja Lingkungan (Heuristik) Verifikasi dan Validasi Rancangan Sistem Penunjang Keputusan Studi Kasus tidak Verifikasi Sesuai? Logika, kesesuaian konseptual, dan kerja komputasi tidak ya Validasi Valid? ya Face validity, event validity, sensitivity analysis, animation, prediction validation Selesai Gambar 9 Tahapan penelitian.

63 44 Studi Pendahuluan Tahap studi pendahuluan merupakan tahapan awal dalam pelaksanaan penelitian, yang mencakup studi pustaka, observasi lapang, dan survei pakar. Studi pustaka mencakup kajian literatur dari berbagai sumber dan referensi sebagai pijakan awal dan kerangka teori yang melandasi penelitian ini. Studi pustaka difokuskan dengan mengkaji referensi-referensi terkait dengan pengembangan agroindustri rumput laut, klaster industri dan karakteristiknya, serta model-model keberlanjutan dalam pembangunan industri, melalui metode compare and contrast. Sumbersumber yang dijadikan referensi diantaranya adalah buku teks terkait dengan substansi penelitian, jurnal, majalah ilmiah, tulisan ilmiah (skripsi, tesis, disertasi), serta publikasi data yang bersumber dari BPS. Hasil kajian pustaka ini memberikan banyak informasi berupa pengkayaan materi, yaitu pemahaman tentang makna klaster industri dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Observasi lapang dilakukan dalam rangka mendapatkan elemen-elemen yang harus dimiliki oleh sistem yang akan dikembangkan. Observasi lapangan dilakukan pada daerah yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi sebuah klaster rumput laut. Hasil observasi ini sangat diperlukan untuk mendapatkan contoh baik klaster yang dapat dijadikan obyek untuk verifikasi dan validasi model sehingga penyempurnaan model dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Survei pakar dilakukan dalam rangka mendapatkan pakar yang akan dilibatkan didalam penelitian. Survei pakar mencakup pemilihan pakar yang didasarkan pada kualifikasi pakar sesuai dengan topik penelitian serta jumlah pakar yang dibutuhkan dalam penelitian. Pakar penelitian terdiri dari dosen, peneliti, pejabat pemerintah, dan praktisi agroindustri. Analisis Sistem Tahap ini bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap sistem klaster industri rumput laut yang akan dikembangkan dalam penelitian. Karakteristik klaster industri tersebut diperlukan untuk memahami lebih jauh tentang sifat-sifat spesifik klaster industri rumput laut yang berkelanjutan, sehingga rekomendasi korektif yang diberikan dalam perbaikan serta analisis lainnya selalu berpedoman pada

64 45 karakteristik yang dimiliki klaster industri rumput laut tersebut. Pengembangan sistem berorientasi pada tujuan yaitu merancang sistem klaster industri rumput laut menggunakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan. Analisis sistem mencakup analisis kebutuhan sistem, formulasi permasalahan, serta identifikasi sistem. Pada analisis kebutuhan dinyatakan kebutuhan-kebutuhan dari komponen-komponen yang terkait dalam sistem klaster. Analisis kebutuhan komponen sistem diperoleh dari hasil observasi lapang, pendapat pakar, kajian literatur, dan laporan hasil penelitian terkait. Formulasi permasalahan dilakukan dengan menganalisis kesenjangan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan komponen sistem dengan kemampuan pemenuhannya akibat adanya keterbatasan sumberdaya. Formulasi permasalahan menguraikan masalah-masalah yang muncul dalam sistem industri rumput laut sebagai titik tolak pengembangan sistem. Identifikasi sistem bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap sistem yang dikaji dalam bentuk diagram. Diagram yang digunakan adalah diagram lingkar sebab akibat yang kemudian dilanjutkan intepretasinya kedalam diagram inputoutput. Hasil identifikasi sistem menunjukkan input yang digunakan didalam sistem dan output sistem yang diharapkan. Hal ini sangat berguna untuk membangun model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Pembahasan lebih lanjut tentang analisis sistem klaster industri rumput laut yang berkelanjutan akan diuraikan secara mendalam pada bagian Analisis Sistem. Pemodelan Sistem Tahap pemodelan sistem bertujuan untuk mengembangkan model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan yang didasarkan pada analisis karakteristik sistem klaster industri rumput laut. Pengembangan model merupakan rangkaian dari beberapa aktivitas yang dilakukan dengan menggunakan metode dan alat tertentu serta menghasilkan keluaran yang menjadi dasar pembangunan model klaster yang akan direkomendasikan. Rekayasa model klaster industri rumput laut dirancang berdasarkan tujuan dan karakteristik sistem klaster menggunakan pendekatan struktur, yaitu dengan

65 46 mempelajari secara struktur tentang sistem dan teori-teori untuk menentukan komponen dasar sistem serta keterkaitannya. Atas dasar hal tersebut, ada 3 sub model utama yang dikembangkan didalam penelitian, yaitu: (i) diagnosis kelayakan persyaratan pengembangan; (ii) operasi pengembangan klaster; serta (iii) prediksi kinerja pengembangan klaster. Masing-masing submodel akan dijabarkan secara lebih rinci kedalam sub submodel yang menggambarkan komponen-komponen sistem klaster industri rumput laut yang berkelanjutan berdasarkan pada hasil analisis sistem. Elemen-elemen model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Stuktur model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan Model Submodel Sub submodel Klaster industri rumput laut yang berkelanjutan Diagnosis kelayakan persyaratan pengembangan Operasi pengembangan Prediksi kinerja pengembangan Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Agregasi prasyarat Aspek ekonomi Aspek teknologi Aspek sosial Aspek lingkungan Kinerja ekonomi Kinerja sosial Kinerja lingkungan Pengembangan model mencakup beberapa tahapan. Pertama, eksplorasi variabel-variabel yang dilibatkan. Variabel yang dilibatkan adalah variabel yang relevan dengan tujuan pemodelan yang diidentifikasikan setelah adanya pembatasan masalah. Eksplorasi variabel yang akurat dan keterkaitannya dengan variabelvariabel yang lain sangat diperlukan untuk menjamin kehandalan model yang akan dihasilkan. Kedua, formulasi model. Formulasi model dilakukan dengan merancang model matematik yang akan digunakan didalam model, baik model numerik (hard system metodhology) maupun non numerik (soft system metodhology). Model matematik yang digunakan didalam penelitian disesuaikan dengan ketepatan dan kemanfaatannya. Model-model matematik tersebut digunakan dalam rangka

66 47 pengolahan data penelitian. Model matematik yang dikembangkan dalam perancangan model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Formulasi model pengembangan klaster industri Model Submodel Model Matematik Diagnosis Ekologi Heuristic (Deptan 1990; Amarullah 2007) kelayakan Ekonomi Independent preference evaluation (IPE) pengembangan Ordered weighted averaging (OWA) (Yager 1993) klaster Sosial Independent preference evaluation (IPE) Ordered weighted averaging (OWA) (Yager 1993) Kelembagaan Independent preference evaluation (IPE) Ordered weighted averaging (OWA) (Yager 1993) Agregasi Expert system (Marimin 2005) Operasi pengembangan Ekonomi Heuristic NPV, IRR, B/C ratio, PBP, CV (Kadariyah 1999) klaster Teknologi Heuristic Sosial Intepretive structural modeling (ISM) (Saxena 1992) Lingkungan Analytical hierarchy process (AHP) (Saaty 1988) Prediksi kinerja Ekonomi Heuristic pengembangan Sosial Heuristic Lingkungan Heuristic Ketiga, implementasi komputer. Pada tahap ini dibuat paket program komputer dalam bentuk sistem penunjang keputusan (SPK). Paket program ini bertujuan untuk membantu pengguna, baik peneliti, pengambil kebijakan, investor, lembaga pembiayaan maupun lembaga ekonomi serta stakeholder lainnya dalam melakukan analisis klaster industri rumput laut. Model pengembangan klaster industri rumput laut dirancang untuk menghasilkan SPK dalam bentuk perangkat lunak menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 6.0. Perancangan SPK dibangun atas 4 (empat) komponen meliputi: (i) sistem manajemen basis model; (ii) sistem manajemen basis data; (iii) sistem manajemen basis pengetahuan; dan (iv) sistem manajemen dialog. Konfigurasi SPK dan penjalasan tentang komponen-komponen SPK diuraikan lebih lanjut pada bagian Pemodelan Sistem.

67 48 Verifikasi dan Validasi Tahap verifikasi dilakukan dengan mengevaluasi dan memeriksa proses komputerisasi, kerja logika dan elemen-elemen substansi yang diakomodir oleh model (Eriyatno 1999). Menurut Chattergy dan Pooch (1977), pemeriksaan ini bermaksud mencari kekeliruan dalam program, baik yang bersifat logika maupun kesalahan editorial. Verifikasi dimaksudkan untuk memeriksa apakah model konsepsional sudah dapat diterjemahkan oleh model matematiknya. Susila (1991) menjelaskan bahwa model yang telah diverifikasi berarti telah sesuai dengan kerangka logika dan mampu melakukan simulasi dengan menggunakan program komputer. Verifikasi model menurut Sargent (1999) dimaksudkan untuk menjamin bahwa program komputer dan implementasinya telah dilakukan dengan benar. Proses verifikasi model dilakukan melalui pengujian logika, kesesuaian konseptual dan kerja komputasi. Model diverifikasi dengan jalan menguji apakah program untuk model tersebut telah dapat berjalan dengan baik dan benar. Hal ini dilakukan dengan memberikan data input kepada model yang diverifikasi, kemudian hasil outputnya diperiksa apakah telah sesuai dengan hasil perhitungan manual atau tidak. Jika masih ada penyimpangan, maka program diperiksa dan diperbaiki. Jika tidak ada penyimpangan, maka hal ini merupakan petunjuk bahwa tidak ada masalah dalam menterjemahkan model konsepsional ke model matematik. Agar model dapat diimplementasikan, setelah dilakukan tahapan verifikasi, selanjutnya model perlu divalidasi. Tahap validasi model ditujukan untuk memperbaiki tingkat keyakinan bahwa berdasarkan kondisi yang diasumsikan, model yang dikembangkan dapat mewakili sistem yang sebenarnya (Susila 1991). Validasi model dalam penelitian ini menggunakan teknik-teknik validasi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Penelitian ini merupakan kombinasi dari pendekatan soft system metodhology dan hard system metodhology. Model yang dihasilkan dari penggabungan dua metode ini membutuhkan teknik validasi yang tepat. Efektivitas proses validasi sangat dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa model telah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata.

68 49 Validasi model pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu validasi penyusunan (validation by construct) dan validasi hasil (validation by results). Validasi penyusunan dimaksudkan untuk menilai keabsahan teori dan asumsi-asumsi yang digunakan didalam model. Sementara, validasi hasil dimaksudkan untuk menilai kesesuaian antara perilaku keluaran dari model dan keluaran dari sistem yang sebenarnya Validasi penyusunan pada penelitian ini menggunakan teknik face validity (Sargent 2010). Prosedur validasi yang diterapkan dalam penelitian ini adalah merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan untuk mendapatkan kecocokan bahwa model telah mengandung semua elemen, kejadian, dan relasi dari sebuah sistem klaster industri rumput laut. Pada teknik ini diperlukan bantuan pakar yang memahami tentang klaster industri rumput laut yang berkelanjutan guna menilai apakah logika model dan hasil yang dicapai telah dianggap mewakili sistem nyata yang ada. Pada tahap ini dimungkinkan terjadinya perbaikan-perbaikan secara simultan yang pada akhirnya akan diperoleh model sistem pengembangan klaster industri rumput laut berkelanjutan yang efektif. Teknik validasi ini digunakan untuk validasi model makro pengembangan klaster industri rumput laut. Validasi hasil dilakukan melihat kesesuaian output model dengan kondisi pada sistem nyata yang sebenarnya yang merupakan petunjuk bahwa model yang dikembangkan adalah model yang valid. Beberapa teknik validasi yang digunakan dalam penelitian meliputi teknik face validity, event validity, sensitivity analysis, animation dan predictive validation (Sargent 2010). Teknik-teknik tersebut digunakan untuk validasi beberapa submodel sesuai kebutuhan. Teknik face validity digunakan untuk validasi model-model dengan pendekatan soft system metodhology. Pada teknik ini, validasi tidak bisa sepenuhnya dilakukan secara matematis, namun cukup mendapat pengakuan secara intelektual (professional judgement) (Checkland 1995). Teknik ini digunakan untuk validasi submodel prasyarat pengembangan klaster pada perspektif sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Teknik validasi ini juga digunakan untuk submodel pengembangan kelembagaan klaster serta penanganan limbah cair agroindustri rumput laut.

69 50 Teknik event validity digunakan untuk validasi submodel prasyarat ekologi dalam pengembangan klaster. Prosedur yang dilakukan adalah membandingkan keluaran model dengan kondisi sistem yang sebenarnya menggunakan data yang ada sebagai pendukung sistem. Teknik sensitivity analysis digunakan untuk validasi submodel penetapan harga rumput laut. Teknik ini dilakukan dengan memasukkan nilai parameter harga rumput laut yang sensitif terhadap perubahan kelayakan usaha agroindustri rumput laut sehingga dapat diketahui nilai kisaran harga rumput laut pada kondisi kelayakan usaha. Keluaran harga rumput laut dari model dibandingkan dengan harga rumput laut yang sebenarnya pada waktu tertentu. Teknik animation digunakan untuk validasi submodel keseimbangan bahan baku rumput laut secara grafis (Sargent 2010). Metode ini dilakukan dengan melihat perilaku secara grafis antara kebutuhan baku rumput laut untuk agroindustri dan kapasitas pasok rumput laut dari hasil budidaya. Teknik predictive validation digunakan untuk validasi submodel kinerja pengembangan klaster, yaitu kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan. Model digunakan untuk memprediksi perilaku sistem, dan kemudian perbandingan dibuat antara perilaku sistem dan prediksi model. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Sumenep Provinsi Jawa Timur yang terletak di ujung timur Pulau Madura. Kabupaten Sumenep dipilih sebagai tempat penelitian karena aktivitas-aktivitas yang terkait dengan usaha rumput laut di wilayah ini tergolong tinggi. Kabupaten ini dianggap memiliki pra kondisi yang sesuai bagi pengembangan klaster industri rumput laut, sehingga merupakan tempat yang tepat dalam rangka studi kasus untuk implementasi model klaster industri rumput laut. Untuk mengembangkan suatu klaster di suatu daerah diperlukan beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar klaster yang terbentuk dapat efektif sebagaimana diharapkan. Beberapa prasyarat yang sudah dimiliki Kabupaten Sumenep untuk pengembangan klaster industri rumput laut adalah sebagai berikut:

70 51 Potensi lahan seluas ha, namun baru termanfaatkan ha. Jumlah produksi rumput laut pada tahun 2009 sebesar ,80 ton basah. Jumlah pembudidaya pada tahun 2009 tercatat sebanyak orang dengan jumlah kepemilikan rakit budidaya sebanyak rakit. Jumlah kelompok pembudidaya yang telah berjalan baik saat ini mencapai 214 kelompok. Ketersediaan infrastruktur yang memadai, yaitu listrik dan air cukup tersedia, akses jalan cukup baik namun perlu peningkatan kelas jalan, serta adanya pelabuhan (Pelabuhan Kalianget dan Tanjung Perak Surabaya). Adanya industri pengolah basic product menjadi intermediate product, diantaranya adalah PT Madura Prima Interna dan PT. Sansiwita, serta pabrik pengolahan ATC yang dibangun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan DKP Kabupaten Sumenep. Adanya kegiatan ekonomi yang menangani segmen usaha rumput laut dari hulu ke hilir, meskipun belum ada keterkaitan yang erat dalam sebuah rantai nilai. Saat ini tercatat ada 9 unit usaha yang bergerak di bidang usaha rumput laut, baik unit usaha perdagangan maupun unit industri pengolahan. Adanya lembaga pembiayaan, seperti perbankan (BRI, Bank Jatim, BPR Syariah Bakti Sumekar), lembaga pembiayaan (PNM, Pegadaian), koperasi dan LKM (PEMP, KSP, USP, BMT). Dukungan Perguruan Tinggi atau Lembaga Pendidikan, yaitu Universitas Wiraraja Sumenep, Universitas Negeri Trunojoyo Bangkalan, STM Perikanan Jurusan Budidaya Rumput Laut Sumenep, dan Pesantren Al-Amin Prenduan Sumenep. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan, observasi di lapangan, serta wawancara mendalam dengan pakar (stakeholders). Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dalam rangka memperoleh landasan teoritis dan data penunjang yang berkaitan dengan materi penelitian (desk research). Pakar yang dilibatkan dalam

71 52 penelitian memiliki keahlian di bidang teknik dan manajemen agroindustri rumput laut. Data untuk mendiagnosis prasyarat ekologi adalah data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep, serta Stasiun Meteorologi Maritim BMKG Perak Surabaya. Data yang diambil adalah data potensi perairan yang diambil secara purposif pada 11 kecamatan pesisir yang ada di Kabupaten Sumenep yang merupakan hasil pengukuran pada 3 desa pada masingmasing kecamatan terkait. Sementara, data untuk mendiagnosis prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan diperoleh melalui penggalian informasi dari pakar (responden ahli) secara langsung baik secara terstruktur dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner maupun secara tidak terstruktur dengan melakukan wawancara secara mendalam (depth interview) yang bertujuan untuk mengeksplorasi informasi sebanyak-banyaknya. Data operasi ekonomi klaster diperoleh dari hasil observasi dan diskusi dengan kelompok pembudidaya rumput laut di Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep, khususnya terkait dengan data harga untuk analisis kelayakan usaha budidaya rumput laut. Data operasi ekonomi juga diperoleh dari hasil observasi, diskusi dengan praktisi agroindustri rumput laut, serta didasarkan pula pada pustaka dan data sekunder yang relevan, terkait dengan analisis kelayakan usaha agroindustri. Metode ini juga digunakan untuk mengumpulkan data operasi teknologi terkait dengan keseimbangan bahan baku. Untuk memperoleh data operasi sosial dan lingkungan, dilakukan melalui wawancara mendalam dengan pakar terkait secara terstruktur menggunakan kuesioner. Data prediksi kinerja ekonomi dan sosial didasarkan pada hasil analisis kelayakan finansial klaster serta data sekunder yang diperoleh dari BPS, Dinas Tenaga Kerja serta Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep. Sementara, untuk data-data prediksi kinerja lingkungan diperoleh dari diskusi dengan pakar agroindustri serta telaah pustaka disertai dengan data-data sekunder yang terkait. Untuk melengkapi kebutuhan data-data penelitian, dilakukan pengumpulan data penunjang lainnya berupa statistik-statistik dalam angka, laporan hasil penelitian terkait, jurnal, buletin, internet, dan sebagainya.

72 ANALISIS SISTEM Deskripsi Sistem Klaster Industri Rumput Laut Sistem klaster industri rumput laut merupakan suatu sistem yang kompleks. Kompleksitas sistem klaster industri rumput laut terlihat dari elemen-elemen yang terlibat didalamnya saling berkaitan sangat erat satu sama lain. Pemahaman terhadap karakteristik sistem klaster industri rumput laut sangat diperlukan dalam rangka membangun suatu model generik dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Kerangka dasar pengembangan klaster industri rumput laut mengacu pada model berlian yang dikembangkan oleh Porter (1990). Pengembangan model berlian klaster industri rumput laut dilakukan melalui studi pustaka dan brainstorming dengan stakeholders. Berdasarkan model tersebut dapat dipetakan kondisi 4 (empat) faktor kunci yang dapat mendeskripsikan struktur analisis dinamik klaster industri rumput laut di Indonesia yang meliputi kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan pendukung, serta strategi perusahaan, struktur, dan persaingan usaha. Model berlian klaster industri rumput laut dapat dilihat pada Gambar 10. Kondisi Faktor Kondisi faktor (factor condition) merupakan faktor input dalam pengembangan klaster industri rumput laut, yaitu faktor-faktor yang sudah dimiliki dan menjadi kekuatan dalam pengembangan klaster. Menurut Porter (1990), faktorfaktor ini merupakan faktor-faktor produksi, yaitu input yang dibutuhkan untuk bersaing bagi klaster. Lebih lanjut Porter menjelaskan bahwa faktor-faktor terpenting bagi keunggulan daya saing hampir semua industri (terutama sejalan dengan perkembangan sistem ekonomi) sebenarnya bukanlah yang bersifat alamiah (basic factors) melainkan yang diciptakan/dikembangkan secara tepat (advanced factors). Asumsi yang mendasarinya adalah semakin tinggi kualitas faktor input ini, maka semakin besar peluang industri untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas. Faktor-faktor penting ini diantaranya adalah ketersediaan SDM, potensi sumberdaya perairan, dan keberadaan industri rumput laut. 53

73 54 Gambar 10 Model Berlian klaster industri rumput laut (diadopsi dari Porter 1990). Sumberdaya Manusia Sektor kelautan dan perikanan di Indonesia menyerap jumlah tenaga kerja yang cukup besar. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor kelautan dan perikanan pada tahun 2009 mencapai orang. Jumlah nelayan menurut sub sektor perikanan tangkap pada tahun 2009 tercatat sebesar orang, sementara jumlah pembudidaya mencapai orang. Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan pada tahun 2009 tercatat mencapai orang. Ratarata kenaikan jumlah tenaga kerja pada tahun sebesar 3,23%. Pada tahun 2005 jumlah rumah tangga perikanan (RTP) perikanan tangkap tercatat sebanyak RTP, sementara pada perikanan budidaya tercatat sebanyak RTP (BPS 2007). Jumlah RTP yang terlibat dalam pembudidayaan rumput laut terbanyak, terdapat di Provinsi Bali yakni RTP, diikuti NTB RTP, NTT RTP, Sulawesi Selatan RTP dan Sulawesi Tengah RTP (DKP 2005).

74 Jumlah tenaga kerja (orang) Nelayan perikanan tangkap Nelayan perikanan budidaya Tenaga kerja pengolahan dan pemasaran Gambar 11 Jumlah tenaga kerja sektor kelautan dan perikanan (KKP 2009). Data perkembangan tenaga kerja pada sektor kelautan dan perikanan diatas menunjukkan bahwa potensi ketersediaan sumberdaya manusia untuk pengembangan klaster industri rumput laut cukup besar. Peningkatan jumlah tenaga kerja pada sektor ini sangat dimungkinkan, khususnya pada usaha budidaya rumput laut mengingat teknologi budidaya rumput laut relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, sehingga usaha tersebut dapat dilakukan secara massal. Sumberdaya Perairan Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,8 juta km 2 dengan garis pantai sepanjang km (KKP 2009). Indonesia memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar, terutama sumberdaya perikanan laut baik dari segi kuantitas maupun diversitas. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki lahan yang sangat luas dan iklim tropik yang sesuai untuk pengembangan usaha budidaya rumput laut (DKP 2005). Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia mencapai ha. Namun demikian, pemanfaatan potensi lahan tersebut relatif masih kecil, yaitu hanya sekitar 20% dari potensi yang ada, atau baru sebesar ha (Kustantiny et al. 2009). Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.

75 56 Tabel 5 Potensi lahan pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia No. Provinsi Kabupaten/Kota 1 NAD Aceh Besar, Aceh Barat, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, Simeulu, Singkil, Sabang Potensi (ha) Sumatera Utara Sumatera Utara DKI Jakarta Kepulauan Seribu Jawa Barat; Banten Perairan Sumur, P. Panjang Jawa Tengah Jepara, Kebumen, Rembang Jawa Timur Situbondo, Sumenep, Pacitan Bali Buleleng, Karangasem, Klungkung, Badung, Jembrana 8 NTB Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Tengah, Sumbawa, Dompu, Bima 9 NTT Kupang Sulawesi Utara; Manado, Minahasa, Bitung, Sangihe Talaud, Gorontalo Bolaang Mongondow, Gorontalo 11 Sulawesi Tengah Donggala, Banggai, Banggai Kepulauan Sulawesi Selatan Sinjai, Selayar, Bulukumba, Jeneponto, Takalar, Maros, Pangkep, Bantaeng, Mamuju 13 Sulawesi Tenggara Kendari, Kolaka, Buton, Muna Maluku Maluku Utara, Maluku Tengah, Maluku Tenggara, Halmahera, Ternate 15 Papua Biak Numfor, Yapen Waropen, Manokwari, Sorong Jumlah Sumber: DKP 2005 Industri Rumput Laut Industri rumput laut merupakan industri yang mengolah rumput laut (Eucheuma sp) menjadi karaginan. Industri rumput laut yang beroperasi di Indonesia saat ini jumlahnya sekitar 20 buah, yang mencakup industri pengolahan ATC, SRC, dan RC, yang berlokasi wilayah di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Sebagian besar industri karaginan berlokasi di Jawa Timur. Nama-nama perusahaan pengolahan rumput laut di Indonesia disajikan pada Lampiran Total kapasitas produksi produsen karaginan di Indonesia pada tahun 2007 tercatat sebesar ton, atau sebesar 20% total kapasitas produksi karaginan dunia (Dakay 2008). Saat ini tercatat ada sekitar 22 produsen besar karaginan yang tersebar di dunia. Nama perusahaan dan lokasi negara dapat dilihat pada Lampiran Total kapasitas produksi produsen karaginan dunia pada tahun 2007 tercatat mencapai

76 ton, dimana sebagian besar produsen karaginan tersebut berada di Filipina yang menguasai sekitar 41% produksi karaginan dunia (Dakay 2008). Industri pengolahan rumput laut di Indonesia saat ini semakin berkembang seiring dengan keberhasilan budidaya rumput laut di beberapa daerah di Indonesia. Sejak dicanangkannya revitalisasi pembangunan kelautan di Indonesia, industri pengolahan rumput laut berkembang dengan sangat pesat. Pada tahun 2014, Indonesia mentargetkan produksi rumput laut bisa mencapai 10 juta ton. Dalam rangka meningkatkan nilai tambah rumput laut didalam negeri, maka hal ini harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi industri pengolahan sehingga dapat menyerap seluruh produksi rumput laut yang dihasilkan. Kondisi Permintaan Rumput laut dan produk olahannya yang berupa karaginan merupakan komoditas penting dalam dunia perdagangan. Dengan berbagai manfaat dan kegunaan dari produk karaginan untuk berbagai keperluan industri, farmasi dan makanan, permintaan produk ini sangat tinggi, baik untuk pasar didalam negeri maupun pasar di luar negeri. Selama periode , produksi karaginan Indonesia relatif konstan, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 2,92% per tahun. Jika pada tahun 1996 jumlah produksi karaginan mencapai ton, maka pada tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi ton. Hal ini terjadi karena jumlah unit pengolahan dan utilitas kapasitas produksi terpasang tidak mengalami perubahan secara signifikan pada kurun waktu tersebut (DKP 2005). Sebagian besar hasil produksi tersebut diekspor ke luar negeri, dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan didalam negeri, atau rata-rata hanya sebesar 17% dari total produksi. Meskipun secara relatif tingkat permintaan karaginan untuk pasar domestik masih kecil, namun permintaan karaginan di dalam negeri cenderung meningkat dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 7,79% per tahun. Jika pada tahun 1996 jumlah permintaan karaginan mencapai 473 ton, maka pada tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 696 ton. Permintaan penggunaan karaginan di dalam negeri didominasi oleh industri pasta gigi yang menyerap 58,2%, kemudian diikuti industri

77 58 jelly, industri pengolahan daging, industri es krim, pengolahan ikan dan lainnya (DKP 2006a). Tingkat kejenuhan pasar rumput laut diperkirakan masih belum dicapai untuk jangka waktu yang relatif lama, seiring dengan semakin meningkatnya pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku berbagai industri farmasi, makanan, dan lain-lain Permintaan Karaginan (Ton) Ekspor Domestik Gambar 12 Permintaan karaginan Indonesia (DKP 2005). Permintaan karaginan untuk pasar ekspor juga cenderung meningkat. Karaginan yang diproduksi di Indonesia sebagian besar diekspor ke luar negeri, yaitu sebesar 83% dari total produksi industri dalam negeri (DKP 2005). Selama periode , permintaan ekspor karaginan Indonesia cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata mencapai 2,49% per tahun. Jika pada tahun 1996 jumlah ekspor karaginan mencapai ton, maka pada tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi ton (DKP 2005). Kapasitas produksi produsen karaginan di Indonesia pada tahun 2007 mencapai ton (Dakay 2008). Dengan asumsi utilisasi kapasitas sebesar 70%, maka produksi karaginan di Indonesia mencapai ton pada tahun Untuk memenuhi kebutuhan kapasitas produksi tersebut, bahan baku yang diperlukan adalah ton rumput laut kering. Kebutuhan bahan baku ini dapat dipenuhi didalam negeri dimana pada tahun yang sama jumlah produksi rumput laut kering Indonesia mencapai ton.

78 Produksi Rumput Laut (Ton) E. Cottonii E. Spinosum Gambar 13 Produksi rumput laut Indonesia (BPS 2007). Pada tahun 2014, produksi karaginan di Indonesia ditargetkan sebesar ton dengan upaya peningkatan pertumbuhan industri karaginan didalam negeri. Untuk mencukupi kebutuhan bahan baku produksi karaginan, pertumbuhan produksi budidaya rumput laut didalam negeri juga dipacu hingga ditargetkan mencapai 10 juta ton pada tahun Pada tahun 2010, jumlah produksi rumput laut basah mencapai ton. Jumlah produksi rumput laut Indonesia dapat dilihat pada Gambar 14. Produksi rumput laut tahun 2011 hingga 2014 merupakan angka proyeksi Produksi Rumput Laut Indonesia (Ton) Gambar 14 Proyeksi produksi rumput laut Indonesia (KKP 2009) Kapasitas produksi produsen karaginan di dunia pada tahun 2007 mencapai ton (IMR International 2008). Filipina merupakan negara terbesar penghasil karaginan (41%), kemudian diikuti oleh Indonesia (20%) dan China (11%). Dengan asumsi utilisasi kapasitas produksi sebesar 70%, maka total produksi karaginan dunia

79 60 pada tahun 2007 adalah sebesar ton. Berdasarkan kapasitas tersebut, maka kebutuhan rumput laut sebagai bahan baku karaginan adalah ton rumput laut kering. Jumlah produksi rumput laut dunia pada tahun yang sama tercatat sebesar ton, sehingga pada tahun 2007 terdapat kekurangan bahan baku sebesar ton rumput laut kering (Dakay 2008). Hingga tahun 2010, diprediksi pasar dunia untuk karaginan semi refine (SRC) meningkat 10% dan karaginan refine (RC) sebesar 5% (DKP 2006a). Kebutuhan dunia untuk karaginan hingga tahun 2010 diprediksi mencapai ton, yang terdiri dari SRC sebesar ton dan RC sebesar ton, dengan jumlah kebutuhan bahan baku sebesar ton rumput laut kering. Pasar karaginan terbesar adalah di Eropa (35%), Amerika Utara (25%), dan Amerika Selatan (15%) (Anggadiredja et al. 2006) Kebutuhan Karaginan (Ton) RC SRC Gambar 15 Estimasi kebutuhan pasar karaginan (Anggadiredja et al. 2006). Meningkatnya kebutuhan karaginan dunia mempunyai implikasi pada meningkatnya permintaan rumput laut kering sebagai bahan baku. Permintaan rumput laut dunia dapat dilihat dari volume impor yang dilakukan oleh negara-negara importir. Jepang merupakan negara importir terbesar rumput laut dunia, kemudian diikuti oleh China, dan Amerika. Berdasarkan data yang diperoleh FAO (2008), selama kurun waktu 2001 hingga 2006, ketiga negara tersebut mengimpor 55,37% dari seluruh volume impor rumput laut dunia. Permintaan rumput laut dunia dapat dilihat pada Tabel 6.

80 61 Tabel 6 Permintaan rumput laut dunia Importir Volume (Ton) Proporsi Total Rata-rata (%) Japan ,07 China ,83 USA ,47 France ,84 Korea ,19 Taiwan ,55 Denmark ,23 China ,06 United Kingdom ,37 Spain ,10 Negara lain ,31 Volume impor dunia ,00 Sumber: FAO (2008) Jumlah permintaan rumput laut Indonesia sebagian besar berasal dari negara pengimpor seperti China, Hongkong, Filipina, Spanyol, Denmark, USA, Korea, dan Prancis. Permintaan rumput laut Indonesia disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan data BPS (2007), pangsa pasar rumput laut Indonesia terus meningkat seiring dengan tingginya permintaan dunia akan produk olahan berbasis karaginan dan agar dengan rata-rata per tahun sebesar 17,76% dengan kecenderungan yang semakin meningkat secara signifikan setiap tahunnya. Jika pada tahun 2002 pangsa pasar rumput laut Indonesia adalah 9,96%, maka pada tahun 2006 pangsa pasarnya meningkat menjadi 29,22%. Data ini menunjukkan bahwa masih terbuka peluang untuk meningkatkan volume ekspor rumput laut Indonesia, khususnya kepada negara-negara importir rumput laut dunia. Hingga tahun 2007, produksi rumput laut penghasil karaginan dunia masih didominasi oleh Filipina. Namun demikian, dominasi Filipina sebagai penghasil rumput laut (E. cottonii dan E. spinosum) cenderung tergeser oleh Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 16. Rata-rata produksi rumput laut Filipina (tahun ) cenderung menurun dengan rata-rata penurunan hingga 0,61%. Sementara, produksi rumput laut Indonesia pada periode yang sama mengalami peningkatan sebesar 257,98% dengan rata-rata kenaikan per tahun mencapai 29,72%. Untuk mencukupi kebutuhan bahan baku untuk produksi karaginan didalam negeri, pada tahun 2007 Filipina harus mengimpor sebanyak ton (Dakay 2008).

81 62 Tabel 7 Permintaan rumput laut Indonesia Negara Tujuan Volume (Ton) Proporsi Total Rata-rata (%) Japan ,60 Hongkong ,27 South Korea ,57 Taiwan ,86 Rep. of China ,41 Thailand ,43 Singapore ,12 Philippines ,94 Malaysia ,87 Egypt ,01 Australia ,65 USA ,95 Canada ,19 United Kingdom ,96 Netherland ,04 France ,77 RF Germany ,69 Belgia & Luxemburg ,52 Denmark ,00 Italy ,08 Spain ,98 Polandia ,09 Russia ,07 Negara lainnya ,40 Jumlah ,00 Sumber: BPS (2007) Philippines Indonesia Produksi (Ton) Gambar 16 Produksi rumput laut Indonesia dan Filipina (Dakay 2008) Industri Terkait dan Pendukung Industri-industri terkait dan pendukung mempunyai kontribusi signifikan dalam penciptaan daya saing dan produktivitas klaster. Adanya industri terkait dan pendukung akan meningkatkan efisiensi dan sinergi didalam klaster. Sinergi dan efisiensi dapat tercipta terutama dalam transaction cost, sharing teknologi, informasi

82 63 maupun skill tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh industri lainnya (Porter 1990). Industri pendukung dan industri terkait dan hubungannya didalam klaster dalam suatu jaringan merupakan salah satu elemen yang paling penting dalam strategi pengembangan klaster industri rumput laut. Kehadiran industri pemasok lokal yang kompetitif sangat penting artinya terutama karena akses yang efisien, cepat, dan cost-effective. Dalam konteks pengembangan klaster industri rumput laut, pemasok bahan baku rumput laut mempunyai peran penting untuk menentukan keberlanjutan industri rumput laut, terkait dengan jaminan pasokan bahan baku yang tepat jumlah, waktu, dan harga. Pemasok utama bahan baku rumput laut adalah pembudidaya rumput laut. Hasil budidaya selanjutnya dijual kepada pedagang pengumpul baik pedagang pada tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten/kota, atau dijual kepada koperasi. Industri pendukung klaster industri rumput laut diantaranya adalah usaha pembibitan rumput laut dan usaha penyedia sarana produksi. Investasi usaha penyedia bibit rumput laut saat ini belum berkembang secara komersial. Pada umumnya pembudidaya membeli bibit rumput laut cukup sekali saja dan hasil selanjutnya digunakan untuk bibit dan produksi kering (BI 2008). Secara umum pembudidaya rumput laut menggunakan bibit rumput laut dari hasil panen sendiri. Pembelian bibit rumput laut dari pembudidaya lain terjadi karena pembudidaya tersebut mengalami gagal panen atau kualitas rumput laut yang dihasilkan kurang baik (Zulham et al. 2007). Dengan terbentuknya kelompok-kelompok pembudidaya, diharapkan kedepan kelompok dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dengan mengembangkan sistem kebun bibit dimana bibit diperoleh dari lembaga yang tersertifikasi agar menghasilkan rumput laut yang berkualitas. Usaha penyedia sarana produksi didalam klaster difokuskan pada sarana produksi untuk budidaya rumput laut. Sarana produksi utama yang diperlukan oleh usaha budidaya rumput laut terdiri dari bambu dan tali (dikenal sebagai tali ris ). Bambu digunakan untuk membentuk rakit sebagai tempat mengikat tali yang telah terdapat bibit rumput laut. Bambu untuk rakit tempat budidaya rumput laut ini tahan antara 3 sampai 5 kali panen. Sementara tali yang digunakan untuk mengikat bibit rumput laut yang dibudidayakan tahan sekitar 6 kali panen. Usaha yang secara

83 64 khusus menyediakan sarana produksi untuk budidaya rumput laut sangat jarang ditemui pada sentra produksi rumput laut. Hal ini disebabkan karena bambu dapat diperoleh dari desa-desa sekitar, sementara tali ris dapat diperoleh pada toko material di ibu kota kecamatan atau kabupaten/kota (Zulham et al. 2007). Kehadiran industri terkait lokal yang kompetitif juga merupakan bagian penting dalam pengembangan daya saing klaster. Industri ini dapat berkoordinasi atau berbagi aktivitas dalam rantai nilai manakala berkompetisi, atau yang melibatkan produk yang saling komplementer. Industri terkait yang perlu dikembangkan didalam klaster industri rumput laut adalah industri transportasi (Zulham et al. 2007; DKP 2008). Industri ini diperlukan untuk jasa distribusi pengangkutan barang, baik jasa transportasi domestik maupun ekspor. Hubungan industri pemasok dan industri terkait lokal pada umumnya masih belum tertata dengan baik, artinya hubungan kerjasama antar industri tersebut dibangun atas dasar mekanisme pasar. Strategi Perusahaan, Struktur, dan Persaingan Usaha Indonesia diakui merupakan negara penghasil rumput laut terbesar di dunia. Saat ini diperkirakan produksi rumput laut Indonesia sudah melampaui produksi rumput laut Filipina. Namun demikian, peran dan kontribusi Indonesia dalam industri pengolahan rumput laut masih perlu ditingkatkan dan masih memiliki peluang cukup besar. Penguatan struktur industri rumput laut nasional perlu segera dilakukan, karena meskipun Indonesia menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia untuk jenis E. cottonii dan E. spinosum, tetapi harga bahan baku masih dikendalikan oleh pembeli dari luar negeri. Strategi pengembangan industri rumput laut masih kurang terencana dengan baik. Strategi belum dirancang menjadi suatu struktur usaha yang dikelola dan berorientasi pada pengembangan industri dari hulu sampai hilir dan turunannya, sehingga sangat rentan terhadap perubahan. Lemahnya penguatan struktur industri rumput laut nasional, menyebabkan Indonesia masih dapat dikendalikan oleh pembeli dari luar. Oleh karena itu, langkah yang perlu segera dilakukan adalah memprogramkan penguatan struktur industri rumput laut nasional dari hulu ke hilir,

84 65 kemudian membuat cetak biru (blue print) pengembangan industri rumput laut nasional yang berkelanjutan (BPPT 2010). Dalam cetak biru perlu diatur penguatan struktur usaha atau industri rumput laut yang sudah ada dari hulu ke hilir, termasuk industri nasional pengolahan makanan dan farmasi berbasis rumput laut. Program penguatan struktur industri dilakukan melalui sinergi dan koordinasi dari berbagai pihak, baik antar kementerian terkait dari pihak pemerintah, maupun para pelaku usaha di pihak lain seperti pembudidaya, pedagang, eksportir, dan industri pengolah, termasuk di dalamnya lembaga keuangan bank dan non bank. Keterlibatan para pemangku kepentingan ini akan menjadi kunci keberhasilan pencapaian cetak biru dalam pengembangan industri rumput laut nasional secara berkelanjutan. Berdasarkan gambaran model berlian Porter, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa kekuatan dalam sistem klaster industri rumput laut di Indonesia, namun juga masih banyak kelemahan yang masih perlu ditingkatkan sebagai upaya penguatan industri rumput laut yang berbasis pada sistem klaster industri. Kekuatan pasar luar negeri dan potensi pasar domestik yang ditunjang dengan kondisi sumberdaya yang memadai merupakan faktor kunci untuk keberlanjutan daya saing klaster industri rumput laut. Hal ini harus diimbangi dengan dukungan seluruh stakeholder klaster sehingga potensi yang ada dapat dimanfaatkan dengan adanya dukungan infrastruktur baik ekonomi maupun teknologi yang memadai dari pemerintah maupun institusi dan industri pendukung lainnya. Analisis Kebutuhan Klaster industri merupakan bentuk aktivitas bisnis yang terintegrasi dari elemen-elemen sistem pembentuk klaster yang saling terkait. Analisis kebutuhan sistem klaster industri rumput laut menguraikan kebutuhan elemen-elemen sistem pembentuk klaster. Sistem pengembangan klaster harus diupayakan dapat memenuhi kebutuhan stakeholders, yaitu pelaku atau lembaga yang ikut berperan dalam pengembangan klaster, sehingga tercipta sistem yang dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh elemen yang terlibat didalamnya. Identifikasi

85 66 kebutuhan sistem diawali dengan melakukan karakteristik sistem secara lengkap diantaranya entiti dan atribut dari masing-masing elemen pembentuk sistem. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis kebutuhan sistem klaster adalah metode bottom up, dimana pendekatan pengembangan dimulai dengan menganalisis kebutuhan pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam sistem klaster industri rumput laut. Analisis kebutuhan sistem pengembangan klaster industri rumput laut didasarkan pada hasil identifikasi dan telaahan terhadap kondisi empiris, observasi lapangan, diskusi dengan pakar serta rujukan pustaka yang relevan, yang hasilnya disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Analisis kebutuhan komponen sistem No. Elemen Sistem Kebutuhan 1 Pembudidaya Kepastian pasar produksi rumput laut Produksi meningkat Kualitas meningkat Harga rumput laut stabil sesuai kualitas Bertambahnya pendapatan 2 Kelompok pembudidaya Harga rumput laut stabil sesuai kualitas Kualitas rumput laut meningkat Peningkatan pendapatan kelompok 3 Agroindustri Jaminan pasokan bahan baku sesuai kebutuhan Bahan baku sesuai spesifikasi kualitas yang diinginkan Harga bahan baku rasional dan proporsional Pasar produk terjamin Peningkatan pendapatan perusahaan Tidak ada keluhan masyarakat terkait limbah agroindustri 4 Pembeli Produk sesuai dengan standar kualitas yang dikehendaki Kontinuitas pasokan produk olahan rumput laut 5 Koperasi Transparansi informasi harga dan kualitas rumput laut Peningkatan pendapatan koperasi 6 Penyedia sarana produksi Peningkatan produksi Pasar produk terjamin 7 Penyedia jasa distribusi Peningkatan frekuensi pemakaian jasa distribusi dan transportasi dan transportasi 8 Lembaga pembiayaan Pertambahan jumlah nasabah potensial Jaminan kelancaran pembayaran kredit (risiko rendah) 9 Penyedia layanan Peningkatan kapasitas layanan pengembangan bisnis pengembangan bisnis 10 Masyarakat lokal Peningkatan penyerapan lapangan kerja Keamanan dan kenyamanan lingkungan 11 Pemerintah Lapangan kerja bertambah Percepatan pembangunan daerah Peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) Sumber: Zulham et al. (2007); DKP (2007); Data Primer (2008)

86 67 Formulasi Permasalahan Permasalahan merupakan kesenjangan antara tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan analisis kebutuhan dengan kemampuan pemenuhannya akibat adanya keterbatasan sumberdaya. Untuk melakukan pemecahan masalah, maka berbagai kesenjangan yang ada perlu diformulasikan sehingga mencapai taraf definitif (Eriyatno 1999). Permasalahan utama pada pengembangan klaster industri rumput laut saat ini adalah belum dipenuhinya kebutuhan pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan klaster industri rumput laut secara berkelanjutan. Permasalahanpermasalahan tersebut diantaranya terkait dengan harga rumput laut, pasokan bahan baku industri, kualitas produk, limbah agroindustri, dan kelembagaan. Harga rumput laut Harga rumput laut sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu. Selain disebabkan oleh perbedaan harga yang sangat signifikan pada saat panen rumput laut di sentra produksi, fluktuasi harga juga dipicu oleh tidak adanya tata niaga yang terkoordinir mengacu kepada norma industri karena banyaknya spekulan bahan baku. Harga sering tidak rasional sebagai bahan baku industri (DKP 2005; Ma ruf 2007). Banyaknya spekulan bahan baku ini mendorong tidak adanya insentif harga pada tingkat pembudidaya sehingga penanganan pasca panen rumput laut sangat buruk (Zulham et al. 2007). Ada hubungan yang kurang fair antara pembudidaya rumput laut dengan pedagang pengumpul yang terlihat dari tidak transparannya dalam menentukan harga jual dan beli rumput laut kering sehingga mengakibatkan munculnya penurunan animo masyarakat pesisir untuk membudidayakan rumput laut (DKP 2005). Harga rumput laut lebih ditentukan oleh pedagang. Melalui klaster, intervensi harga dari pihak-pihak eksternal dapat dieliminasi. Rumput laut dengan kualitas baik akan dinilai tinggi karena jika diolah akan menghasilkan produk yang berkualitas tinggi pula. Harga di tingkat klaster dibuka secara transparan dan fair, serta bisa diakses oleh setiap anggota klaster. Strategi klaster industri diharapkan dapat mendorong peningkatan pendapatan yang merata dan proporsional kepada semua pelaku yang terlibat didalam pengembangan klaster rumput laut.

87 68 Pasokan bahan baku Permasalahan utama tidak berkembangnya industri pengolahan rumput laut di Indonesia dibandingkan negara lain seperti Filipina adalah tidak terdapatnya jaminan pasokan bahan baku yang tepat jumlah, mutu, waktu dan harga. Saat ini rumput laut lebih banyak dijadikan sebagai komoditas dagang. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan dalam memperebutkan bahan baku rumput laut pada tingkat pembudidaya, baik antar usaha perdagangan atau industri pengolahan. Kondisi ini menyebabkan harga rumput laut menjadi tidak rasional sebagai bahan baku industri, kuota bahan baku bagi industri menjadi tidak terjamin, sehingga tidak jarang industri pengolahan rumput laut mengalami kekurangan bahan baku (Zulham et al. 2007; Ma ruf 2007; Rahman 1999). Kontinuitas pasokan bahan baku industri pengolahan dapat dijamin melalui klaster. Standar kualitas produk Kualitas rumput laut yang dihasilkan pembudidaya di Indonesia pada umumnya masih rendah (Sulaeman 2006). Rendahnya kualitas rumput laut pada umumnya disebabkan oleh tiga permasalahan utama, yaitu: (i) kualitas bibit yang kurang baik, (ii) waktu panen yang tidak tepat, dan (iii) proses penjemuran yang tidak memadai. Selain permasalahan tersebut, rendahnya kualitas rumput laut juga disebabkan oleh kebiasaan-kebiasaan pembudidaya yang tidak baik pada teknis budidaya, cara panen, dan cara penyimpanan rumput laut kering. Kondisi demikian disebabkan oleh lemahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan pembudidaya terhadap manfaat dan proses pengolahan rumput laut hasil produksinya sehingga diperlukan pembinaan-pembinaan secara terus menerus untuk meningkatkan kualitas rumput laut kering yang dihasilkan (DKP 2005; BI 2008). Permasalahan-permasalahan tersebut dapat berimplikasi pada tidak terpenuhinya standar kualitas produk yang dikehendaki oleh pembeli produk akhir yang sesuai dengan standar kualitas internasional. Kondisi ini dapat menyebabkan nilai tambah yang akan diperoleh pada setiap rantai nilai produksi rumput laut juga akan rendah, seperti industri pengolahan, pedagang pengumpul pada setiap tingkatan, serta pembudidaya. Kondisi demikian akan mengakibatkan menurunnya daya saing

88 69 industri pengolahan rumput laut nasional (DKP 2005; Sulaeman 2006). Untuk menjamin standar kualitas produk sesuai dengan yang dikehendaki, kontrol kualitas harus dilakukan dari hulu hingga hilir, yaitu mulai dari pembibitan, pemeliharaan, pengananan panen dan pasca panen harus dilakukan secara baik dan benar, melalui pendekatan klaster. Limbah industri pengolahan Berkembangnya industri pengolahan rumput laut menimbulkan permasalahan baru, yaitu dihasilkannya limbah sisa olahan yang sangat besar termasuk limbah cair. Limbah cair ini berpotensi untuk mencemari lingkungan (Sedayu et al. 2007). Adanya limbah ini akan menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari sisi lingkungan maupun sosial. Pembuangan limbah ke lingkungan tanpa penanganan terlebih dahulu akan menimbulkan permasalahan pencemaran lingkungan. Industri pengolahan rumput laut yang mengabaikan penanganan limbah ini berpotensi mendapatkan permasalahan, misalnya adanya tekanan-tekanan dari masyarakat sekitar tentang limbah dari industri pengolahan rumput laut yang sangat mengganggu, sebagaimana disampaikan oleh Zulham et al. (2007). Permasalahan limbah ini perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak dalam rangka pengembangan klaster industri rumput laut secara berkelanjutan. Kelembagaan Hubungan kelembagaan antar pelaku klaster pada umumnya telah terbentuk. Hal ini dapat dilihat dari hubungan antar pembudidaya dengan industri penyedia sarana produksi, industri jasa distribusi dan transportasi, hingga hubungan antara pembudidaya dengan pedagang pengumpul, baik pengumpul lokal di tingkat desa atau kecamatan, serta antara pengumpul lokal dengan pengumpul besar di tingkat kabupaten atau provinsi (BI 2008). Kondisi ini akan menguntungkan terkait dengan pengembangan klaster pada level hulu. Artinya, embrio untuk pengembangan klaster sudah ada. Namun demikian, hubungan ini seringkali tidak berlanjut kepada industri pengolahan. Hal ini menyebabkan nilai tambah rumput laut hanya sampai kepada

89 70 produk rumput laut kering. Peran pemerintah sangat diperlukan dalam menciptakan kolaborasi antar pelaku klaster sehingga tujuan klaster secara berkelanjutan dapat tercapai. Rekayasa kelembagaan akan mendorong masing-masing pelaku didalam klaster melakukan peran dan fungsinya secara konsisten melalui aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Komitmen untuk mengembangkan klaster harus menjadi visi bersama agar klaster dapat berkembang secara berkelanjutan. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem dimaksudkan untuk menentukan batasan sistem dan ruang lingkup penelahaan sistem pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan yang dikaji pada penelitian. Identifikasi sistem dilakukan dengan mencari hubungan antara kebutuhan elemen sistem dengan permasalahan yang harus dipecahkan dalam memenuhi kebutuhan tersebut, yang berpedoman pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Informasi ini diperlukan untuk perancangan model dari sistem yang akan dikembangkan. Pengembangan sistem klaster industri rumput laut berorientasi pada tujuan keberlanjutan klaster, yaitu keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Perancangan model dari sistem klaster industri rumput laut yang menunjukkan hubungan antara kebutuhan sistem dan permasalahan yang dipecahkan dalam konteks keberlanjutan digambarkan dalam suatu bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop) sistem pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan, sebagaimana tersaji pada Gambar 17. Sistem pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan memberikan perhatian utama pada dimensi-dimensi yang menjadi titik tolak keberlanjutan, yang meliputi dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Keberlanjutan ekonomi klaster didorong oleh semakin meningkatnya keuntungan klaster karena dapat menghasilkan produk yang berkualitas dengan harga yang kompetitif. Keberlanjutan sosial tercapai dengan meningkatnya tingkat penyerapan tenaga kerja yang terlibat didalam klaster. Sementara, keberlanjutan lingkungan akan dapat dicapai dengan dapat diatasinya potensi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah agroindustri rumput laut. Agar mekanisme klaster dapat berjalan

90 71 sebagaimana mestinya, peran pemerintah sangat diperlukan untuk memfasilitasi terjadinya kolaborasi antar pelaku klaster. Pembangunan Daerah + + Kebijakan Pemerintah + Kualitas SDM + + Mutu Produk + Harga Jual + Kolaborasi Pelaku Klaster + Ketersediaan Bahan Baku + + Daya Saing + + Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan Permintaan Pasar Teknologi Proses - Keberlanjutan Lingkungan + Keberlanjutan Ekonomi + Keuntungan Klaster + + Pencemaran Lingkungan Nilai Tambah Keberlanjutan Sosial + Penyerapan Tenaga Kerja + Minat Investasi + Jumlah Pelaku Klaster + Keterangan : elemen + - : relasi peningkatan : relasi pengurangan Gambar 17 Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan klaster rumput laut Berdasarkan deskripsi diagram lingkar sebab akibat, maka dapat digambarkan diagram input output. Diagram input output menggambarkan hubungan antara masukan dengan keluaran sistem klaster rumput laut melalui proses transformasi yang digambarkan sebagai kotak hitam (black box). Diagram input-output sistem pengembangan klaster industri rumput laut disajikan pada Gambar 18. Rancangan sistem menggunakan dua jenis input, yaitu input dari luar sistem dan input dari dalam sistem. Input dari luar sistem merupakan input lingkungan (system environtment), yaitu peubah eksogenous yang dapat mempengaruhi sistem (Eriyatno 1999). Pengertian lingkungan dalam konteks sistem mempunyai makna

91 72 yang berbeda dengan lingkungan dalam konteks lingkungan hidup (natural environtment). Input lingkungan sistem yang kondusif mempunyai peran penting dalam mendorong keberhasilan sistem pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Lingkungan dalam konteks lingkungan hidup ditunjukkan pada output yang tidak dikehendaki didalam sistem yang dalam hal ini dimaknai sebagai pencemaran. Input dari dalam sistem (input endogen) terdiri dari input terkendali dan input tidak terkendali. Input terkendali merupakan peubah yang sangat perlu bagi sistem yang berpengaruh dalam menentukan perilaku sistem klaster yang dikehendaki dan dapat ditetapkan didalam perancangan sistem. Sementara, input tidak terkendali merupakan input yang disiapkan didalam sistem yang besarannya tidak bisa diprediksi karena bersifat dinamis. Gambar 18 Diagram input-output sistem pengembangan klaster rumput laut

92 73 Output sistem ada dua, yaitu output yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Output yang dikehendaki diperoleh dari indikator pemenuhan kebutuhan yang ditentukan pada saat identifikasi kebutuhan elemen sistem klaster. Output yang tidak dikehendaki merupakan hasil samping dari sistem yang merupakan dampak yang ditimbulkan dari sistem tersebut. Jika hal ini terjadi maka dapat ditinjau kembali input terkendali melalui kontrol manajemen. Identifikasi sistem pada dasarnya bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap sistem klaster industri rumput laut yang dikaji. Berdasarkan hasil identifikasi sistem, dapat diketahui bahwa sistem klaster industri rumput laut merupakan sistem yang sangat kompleks. Agar lebih efektif dan efisien dalam melakukan kajian, maka perlu dilakukan pemodelan sistem.

93 PEMODELAN SISTEM Sistem nyata pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan adalah sangat kompleks. Agar lebih efektif dan efisien dalam melakukan kajian, maka dilakukan pemodelan sistem. Model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan dirancang berdasarkan tujuan dan karakteristik sistem klaster industri rumput laut yang telah diuraikan pada bagian analisis sistem. Tujuan pengembangan model adalah untuk menghasilkan model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan, baik berkelanjutan pada aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Model klaster industri rumput laut dirancang menjadi tiga sub model utama, yaitu diagnosis kelayakan pengembangan, operasi pengembangan, serta prediksi kinerja pengembangan. Rancangan model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan secara makro dapat dilihat pada Gambar 19. Pada gambar dapat dilihat variabel-variabel yang terlibat didalam sistem klaster dan keterkaitannya dengan variabel-variabel yang lain. Model klaster dimulai dengan mendiagnosis prasyarat kelayakan pengembangan klaster sebagai basis kapabilitas sumberdaya klaster. Hasil diagnosis merupakan input pada operasi pengembangan klaster. Operasi pengembangan klaster mencakup penetapan harga produk, penentuan kapasitas, penanganan limbah, dan pengembangan kelembagaan klaster. Penetapan harga produk merupakan upaya dalam rangka menstabilkan harga rumput laut di tingkat klaster. Harga rumput laut di tingkat klaster dipengaruhi oleh kualitas. Kualitas rumput laut yang baik akan mendorong peningkatan harga yang kompetitif. Penetapan harga rumput laut mempunyai pengaruh besar dalam menentukan pendapatan para pelaku usaha yang terlibat didalam klaster. Peningkatan pendapatan pelaku klaster akan mendorong tercapainya keberlanjutan klaster secara ekonomi. Penentuan kapasitas bertujuan untuk mendapatkan kesesuaian antara kapasitas produksi agroindustri dengan kapasitas produksi budidaya. Jumlah kapasitas produksi agroindustri akan menentukan jumlah pasokan bahan baku yang dipenuhi dari produksi budidaya. Jumlah produksi budidaya akan mendorong jumlah 75

94 76 tenaga kerja yang terlibat didalam usaha budidaya. Penyerapan jumlah tenaga kerja didalam klaster akan mendorong tercapainya keberlanjutan klaster secara sosial. Penanganan limbah bertujuan untuk mengurangi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah cair agroindustri. Jumlah limbah ditentukan oleh kapasitas produksi agroindustri yang telah ditetapkan. Semakin tinggi efisiensi pengolahan limbah agroindustri akan mendorong terwujudnya keberlanjutan klaster pada aspek lingkungan. Diagnosis Prasyarat Pengembangan Klaster Prasyarat Ekologi Prasyarat Ekonomi Prasyarat Sosial Prasyarat Kelembagaan Tidak Layak? Ya Kelayakan Pengembangan Klaster Pengembangan Kelembagaan Strukturisasi Sistem Kelembagaan Operasi Pengembangan Klaster Struktur Kelembagaan Klaster Penentuan Harga Produk Penentuan Kapasitas Penanganan Limbah Penentuan Harga Produk di Tingkat Klaster Kapasitas Produksi Budidaya Kapasitas Produksi Agroindustri Pemilihan Prioritas Penanganan Limbah Agroindustri Harga Produk ATC Kualitas Rumput Laut Pasokan Bahan Baku Limbah Agroindustri Alternatif Penanganan Limbah Perhitungan Harga di Tingkat Pelaku Usaha Harga di tingkat pelaku usaha Perhitungan Pendapatan Pelaku Usaha Perhitungan Kebutuhan Jumlah Rakit Budidaya Jumlah Rakit Budidaya Perhitungan Penyerapan Tenaga Kerja Jumlah Angkatan Kerja Perhitungan Efisiensi Pengolahan Limbah Pendapatan Pelaku Usaha Penyerapan Tenaga Kerja Efisiensi Pengolahan Limbah Tidak Layak? Tidak Layak? Efisien? Tidak Ya Ya Ya Keberlanjutan Ekonomi Keberlanjutan Sosial Keberlanjutan Lingkungan Gambar 19 Rancangan model makro pengembangan klaster industri rumput laut.

95 77 Model Diagnosis Kelayakan Pengembangan Klaster Model diagnosis kelayakan pengembangan bertujuan untuk menilai kelayakan daerah untuk mengembangkan klaster industri rumput laut. Model ini dirancang untuk mengidentifikasi kapabilitas sumberdaya suatu daerah sebagai basis dalam mengembangkan klaster industri rumput laut. Persyaratan kelayakan pengembangan klaster terdiri dari prasyarat ekologi, prasyarat ekonomi, prasyarat sosial, dan prasyarat kelembagaan. Submodel Prasyarat Ekologi Model ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesesuaian lokasi yang akan digunakan untuk budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii). Penentuan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan berhasil tidaknya suatu usaha budidaya rumput laut. Pemilihan lokasi budidaya sangat ditentukan oleh kondisi ekologis untuk memenuhi persyaratan tumbuh rumput laut. Parameter ekologis yang perlu dipertimbangkan untuk pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma cottonii. meliputi kondisi lingkungan fisika, kimiawi dan biologi (Deptan 1990). Metode yang digunakan untuk menganalisis kelayakan pada dimensi ekologi mengacu pada Deptan (1990) dan Amarullah (2007) dengan pendekatan heuristik. Parameter penilaian yang digunakan mencakup parameter kimia dan fisika perairan, yang selanjutnya dijabarkan kedalam 10 indikator penilaian. Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut dapat dilihat pada Tabel 9. Matriks kesesuaian lahan merupakan pedoman untuk menetapkan kesesuaian lahan budidaya rumput laut pada dimensi ekologi. Masing-masing parameter penilaian didalam matriks kesesuaian lahan mempunyai bobot tertentu sesuai dengan tingkat kepentingannya. Semakin tinggi bobot parameter menunjukkan bahwa parameter tersebut merupakan parameter penting dan sangat menentukan tingkat kesesuaian lahan untuk perumbuhan rumput laut.

96 78 No. Tabel 9 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut Parameter Skor Suhu ( C) <20 atau > Kedalaman air pada surut terendah (cm) Kecepatan arus (cm/det) Bobot < >60 2 <10 atau >40 4 Intensitas cahaya (%) <50 (rendah) 5 ph <6,5 atau >9,5 6 Dasar perairan Lumpur atau (Sedang) 6,5-<7 atau >8,5-9,5 Pasir campur lumpur >70 (tinggi) 3 7-8,5 2 Karang, karang mati, pasir 7 Salinitas ( ) <28 atau > Oksigen terlarut (mg/l) <3 atau >8 3-5 >5 - <8 2 9 Nitrat (mg/1) <0,01 atau >1,0 0,8-1,0 0,01-0, Amonium (mg/1) <0,003 atau 0,1 0,04-0,1 0,003-0,03 3 Sumber: Deptan (1990); Amarullah (2007); Ariyati et al. (2007) 3 Penilaian masing-masing parameter menggunakan skor dengan 3 (tiga) skala, yaitu 1, 3, dan 5 yang didasarkan pada kondisi lahan perairan budidaya yang dianalisis. Kesesuaian lahan budidaya diperoleh dengan menghitung jumlah nilai indeks parameter yang merupakan perkalian antara skor dengan bobot masingmasing paramater yang disesuaikan dengan kelas lahan yang telah ditetapkan. Kelas lahan ditentukan berdasarkan nilai indeks parameter tertinggi dan terendah yang dapat dicapai dibagi dengan jumlah kelas. Kelas kesesuaian lahan budidaya rumput laut disajikan pada Tabel 10. Diagram alir model analisis prasyarat kelayakan dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 20. Tabel 10 Kelas kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut No. Rentang nilai Kelas lahan 1. 91,68 125,0 Sesuai 2. 58,34 91,67 Cukup Sesuai 3. 25,00 58,33 Tidak Sesuai

97 79 Mulai - Parameter ke-i (X i ) - Bobot parameter ke-j (a j ) Penilaian kesesuaian lahan budidaya parameter ke-i Skor parameter ke-i Penentuan nilai indeks parameter ke-i bobot ke-j Y ij = X i a j Nilai indeks parameter ke-i bobot ke-j Penetapan nilai indeks ke dalam kelas lahan Kesesuaian lahan budidaya Selesai Gambar 20 Diagram alir model prasyarat ekologi. Model matematik yang digunakan untuk menetapkan kelas kesesuaian lahan budidaya rumput laut adalah sebagai berikut: Y... (1) ij = X ia j Keterangan: Y ij = jumlah nilai indeks parameter ke-i dan bobot parameter ke-j X i = skor parameter ke-i a j = bobot parameter ke-j Submodel Prasyarat Ekonomi Submodel prasyarat ekonomi bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan persyaratan pengembangan klaster industri rumput laut ditinjau dari perspektif ekonomi. Indikator-indikator yang digunakan didalam model prasyarat ekonomi diperoleh dari proses eksplorasi melalui studi pustaka, studi lapang, dan diskusi dengan pakar. Eksplorasi indikator yang akurat sangat diperlukan untuk menjamin kehandalan model yang akan dihasilkan.

98 80 Wawancara secara mendalam dengan pakar sangat diperlukan untuk mengklarifikasi dan memverifikasi, serta sekaligus memberikan masukan tambahan indikator prasyarat ekonomi yang kemungkinan masih belum teridentifikasi. Hasil eksplorasi indikator prasyarat ekonomi disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Indikator prasyarat ekonomi No. Indikator Deskripsi 1 Permintaan pasar Potensi dan peluang pasar produk inti (ATC) yang akan dihasilkan didalam klaster (kepastian calon pembeli/buyer) 2 Kemampuan teknologi Ketersediaan dan kemampuan teknologi untuk menghasilkan produk sesuai spesifikasi kualitas yang diinginkan 3 Infrastruktur ekonomi Ketersediaan infrastruktur ekonomi untuk menunjang kelancaran proses operasi klaster 4 Kemampuan SDM Ketersediaan dan kualitas SDM untuk melaksanakan program pengembangan klaster industri 5 Kegiatan ekonomi lokal Kegiatan perekonomian masyarakat lokal yang kondusif bagi pengembangan klaster industri rumput laut 6 Iklim investasi Kondisi kebijakan yang kondusif yang mampu mendorong munculnya investasi dalam pengembangan klaster industri 7 Permodalan Tingkat kemampuan permodalan dan pembiayaan yang dibutuhkan untuk mendorong pengembangan klaster 8 Pertumbuhan industri/ usaha Tingkat pertumbuhan industri/usaha di daerah yang mampu mendorong tumbuh-kembang klaster industri rumput laut Submodel Prasyarat Sosial Submodel diagnosis prasyarat sosial pada dasarnya bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan persyaratan pengembangan klaster industri rumput laut ditinjau dari perspektif sosial. Hasil eksplorasi indikator-indikator yang digunakan pada submodel prasyarat sosial dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Indikator prasyarat sosial No. Indikator Deskripsi 1 Dukungan stakeholders Dukungan dan komitmen pelaku klaster, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk melaksanakan program klaster 2 Kondisi sosial budaya Kondisi sosial budaya masyarakat setempat terkait dengan pengembangan program klaster industri 3 Motivasi stakeholders Motivasi, keinginan dan ketertarikan para pemangku kepentingan untuk mengembangkan program klaster 4 Ketersediaan tata Ketersediaan tata ruang yang ada di daerah secara legal ruang 5 Keterlibatan masyarakat setempat terkait dengan program pengembangan klaster Peran serta masyarakat untuk ikut terlibat secara aktif dalam pelaksanaan program pengembangan klaster

99 81 Submodel Prasyarat Kelembagaan Submodel diagnosis prasyarat kelembagaan bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan persyaratan pengembangan klaster industri rumput laut ditinjau dari perspektif kelembagaan. Hasil eksplorasi indikator-indikator yang digunakan pada model prasyarat kelembagaan dalam pengembangan klaster industri rumput laut dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Indikator prasyarat kelembagaan No. Indikator Deskripsi 1 Kelengkapan struktur kelembagaan 2 Mekanisme kelembagaan 3 Mekanisme monitoring dan evaluasi Kelengkapan elemen-elemen kelembagaan yang terlibat dalam aktivitas pengembangan klaster di daerah, seperti industri inti/penghela, industri penunjang, industri terkait, pemasok, dan pembeli Mekanisme kelembagaan yang mengatur hubunganhubungan antar pelaku klaster (rules of the game) sebagaimana disebutkan dalam poin (1) di atas Mekanisme monitoring dan evaluasi terkait dengan kesesuaian, efektifitas dan efisiensi antara perencanaan dengan pelaksanaan program, serta dalam rangka mengukur kinerja klaster Penilaian prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan didasarkan melalui pendapat pakar menggunakan kaidah independent preference evaluation (IPE). Skala linguistik yang digunakan untuk penilaian terdiri dari lima skala, meliputi Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang (S), Tinggi (T) dan Sangat Tinggi (ST). Proses agregasi penilaian dilakukan dengan menggunakan operator ordered weighted averaging (OWA) (Yager 1993). Diagram alir model prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 21.

100 82 Mulai - Kriteria ke-k yang digunakan - Nilai bobot kriteria ke-i - Jumlah pakar ke-j - Jumlah skala penilaian ke-q A Proses agregasi nilai kriteria: V i = f (V i ) = max [Q j Λ b j ] Agregasi Nilai Kepentingan (Bobot) Kriteria Agregasi Nilai Indeks Kriteria Proses agregasi pakar: q 1 Q k = Int 1 + k * r Bobot nilai agregasi pakar (Qk) Proses agregasi bobot kriteria V i = f (V i ) = max [Q j Λ b j ] Agregasi Tingkat Kepentingan Kriteria - Tingkat kepentingan kriteria ke-i - Nilai indeks kriteria ke-i - Jumlah pakar ke-j - Jumlah skala penilaian ke-q Agregasi Tingkat Kepentingan dan Nilai Indeks Kriteria Penentuan negasi tingkat kepentingan kriteria Neg (W ak ) = W q-k+1 Negasi tingkat kepentingan kriteria - Kriteria ke-k yang digunakan - Nilai indeks kriteria ke-i - Jumlah pakar ke-j - Jumlah skala penilaian ke-q Proses agregasi pada kriteria V ij = min [ Neg (W ak ) v V ij (a k ) ] Agregasi Nilai Indeks Kriteria Kelayakan Prasyarat Pengembangan Proses agregasi pakar q 1 Q k = Int 1 + k * r Selesai Bobot nilai agregasi pakar (Qk) A Gambar 21 Diagram alir model prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Model matematik yang digunakan untuk diagnosis prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan adalah sebagai berikut: a. Bobot dan nilai kriteria Agregasi pakar q 1 Q k = Int 1 + k *... (2) r

101 83 Keterangan: q = jumlah skala penilaian r = jumlah pakar k = indeks Agregasi bobot kriteria V i = f (V i ) = max [Q j Λ b j ]... (3) Keterangan: Q j = bobot nilai agregasi pada pakar b j = urutan terbesar dari penilaian pakar ke-j x j = hasil agregasi kriteria pada pakar ke-j b. Agregasi bobot dan nilai kriteria Negasi tingkat kepentingan kriteria Neg (W ak ) = W q-k+1... (4) Keterangan: q = jumlah skala penilaian k = indeks Agregasi bobot dan nilai kriteria V ij = min [ Neg (W ak ) v V ij (a k ) ]... (5) Keterangan: V ij = agregasi kriteria pada alternatif ke-i oleh pakar ke-j Neg (W ak ) = negasi tingkat kepentingan kriteria a ke-k V ij (a k ) = nilai alternatif ke-i pd kriteria a ke-k oleh pakar ke-j Submodel Agregasi Prasyarat Kelayakan Pengembangan Model ini bertujuan untuk mengagregasi persyaratan-persyaratan kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan menjadi suatu nilai indikator komposit diagnosis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut secara keseluruhan. Proses agregasi prasyarat ini menggunakan teknik sistem pakar. Diagram alir model agregasi prasyarat kelayakan pengembangan disajikan pada Gambar 22.

102 84 Mulai - Input prasyarat ke-i - Nilai label input prasyarat ke-j - Output diagnosis prasyarat ke-k Pengembangan konfigurasi sistem pakar Konfigurasi sistem pakar Pengembangan basis aturan (rule base) If X ij Then Y k Aturan-aturan (rulebase) diagnosis kelayakan pengembangan Verifikasi sistem Nilai komposit linguistik prasyarat kelayakan pengembangan klaster Selesai Gambar 22 Diagram alir model agregasi prasyarat kelayakan pengembangan. Pada sistem pakar ini, representasi pengetahuan dalam bentuk basis pengetahuan dan mekanisme inferensi, pembuatan program dalam bentuk kaidahkaidah yang mengolah data menjadi kesimpulan menggunakan aturan If-Then atau metode rulebase. Perancangan basis sistem menggunakan 4 input dan 1 output. Input, output, dan nilai label yang digunakan sebagai basis pengetahuan dalam pengembangan sistem pakar ini disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Nilai label output dan input sistem pakar No. Variabel Nilai Label 1 Output: Agregasi kelayakan prasyarat pengembangan 2 Input: a. Prasyarat Ekologi b. Prasyarat Ekonomi c. Prasyarat Sosial d. Prasyarat Kelembagaan Layak/Cukup Layak/Tidak Layak Sesuai/Cukup Sesuai/Tidak Sesuai Layak/Cukup Layak/Tidak Layak Layak/Cukup Layak/Tidak Layak Layak/Cukup Layak/Tidak Layak

103 85 Model Operasi Pengembangan Klaster Model operasi pengembangan klaster bertujuan untuk menganalisis proses operasi pengembangan klaster jika prasyarat pengembangan klaster telah dipenuhi. Analisis operasi sistem pengembangan klaster meliputi aspek ekonomi, aspek teknologi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Submodel Operasi Ekonomi Submodel operasi ekonomi digunakan untuk menentukan harga beli rumput laut di tingkat klaster secara fair dan transparan. Salah satu parameter yang dapat digunakan sebagai basis perhitungan dalam penetapan harga rumput laut adalah kekuatan gel (gel strength/gs). Pertimbangan digunakannya parameter ini adalah GS sebagai parameter utama yang menentukan kualitas ATC sebagai produk akhir klaster. ATC dengan kualitas GS yang tinggi pada umumnya mempunyai harga yang tinggi. Hal ini akan mendorong rumput laut dengan GS tinggi akan mempunyai harga yang tinggi pula. Pada submodel ini akan ditentukan harga beli rumput laut pada rantai pemasaran rumput laut didalam klaster, mencakup harga beli rumput laut di tingkat agroindustri, koperasi, kelompok pembudidaya, dan pembudidaya. Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Harga rumput laut di tingkat agroindustri PJA x MA = PJA (BBB + BPA) (HATC x VATC) x MA = (HATC x VATC) [(VRL x HBRA) + BPA] HBRA = [(HATC x VATC) x (1 MA)] BPA VRL... (6) Keterangan: PJA = total nilai penjualan ATC agroindustri (Rp) HATC = harga jual ATC (Rp/kg) VATC = volume penjualan ATC (kg/tahun) MA = margin keuntungan agroindustri yang ingin dicapai (%) BBB = biaya bahan baku (Rp) BPA = total biaya produksi agroindustri (Rp) VRL = jumlah rumput laut yang dibutuhkan (kg) HBRA = harga beli rumput laut di tingkat agroindustri (Rp/kg)

104 86 Mulai -Harga jual ATC (HATC) - Volume penjualan (VATC) - Margin keuntungan (MA) - Biaya produksi (BPA) - Volume rumput laut (VRL) Penentuan harga beli rumput laut HBRA = [(HATC*VATC) * (1 MA)] BPA VRL Verifikasi Ok? tidak ya Harga beli rumput laut di tingkat agroindustri Selesai Gambar 23 Diagram alir model penentuan harga di tingkat agroindustri. b. Harga rumput laut di tingkat koperasi HBRKop = [(HJRKop x VRKop) x (1 MKop)] BPKop VBBKop... (7) Keterangan: HJRKop = harga jual rumput laut koperasi (Rp/kg) VRKop = volume penjualan rumput laut koperasi (kg/tahun) MKop = margin keuntungan koperasi yang ingin dicapai (%) BPKop = total biaya produksi koperasi (Rp) VBBKop = jumlah bahan baku (kg) HBRKop = harga beli rumput laut di tingkat koperasi (Rp/kg) c. Harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya HBRKP = [(HJRKP x VRKP) x (1 MKP)] BPKP VBBKP... (8) Keterangan: HJRKP VRKP MKP BPKP VBBKP = harga jual rumput laut kelompok pembudidaya (Rp) = volume penjualan rumput laut kelompok pembudidaya (kg/tahun) = margin keuntungan kelompok pembudidaya yang ingin dicapai (%) = total biaya produksi kelompok pembudidaya (Rp) = jumlah bahan baku (kg)

105 87 HBRKP = harga beli rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya (Rp/kg) Mulai - Harga jual RL (HJRKop) - Volume penjualan (VRKop) - Margin keuntungan (MKop) - Biaya produksi (BPKop) - Volume bahan baku (VBBKop) Penentuan harga beli rumput laut HBRKop = [(HJRKop*VRKop) * (1 MKop)] BPKop VBBKop Verifikasi Ok? tidak ya Harga beli rumput laut di tingkat koperasi Selesai Gambar 24 Diagram alir model penentuan harga di tingkat koperasi. Mulai - Harga jual RL (HJRKP) - Volume penjualan (VRKP) - Margin keuntungan (MKP) - Biaya produksi (BPKP) - Volume bahan baku (VBBKP) Penentuan harga beli rumput laut HBRKP = [(HJRKP*VRKP) * (1 MKP)] BPKP VBBKP Verifikasi Ok? tidak ya Harga beli rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya Selesai Gambar 25 Diagram alir model penentuan harga di tingkat kelompok pembudidaya.

106 88 d. Harga minimal rumput laut di tingkat pembudidaya Harga rumput laut di tingkat pembudidaya minimal harus dapat menutup seluruh biaya produksi budidaya rumput laut. Penentuan harga minimum di tingkat pembudidaya didasarkan pada harga pokok produksi usaha budidaya rumput laut. Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut: HPP = BPP... (9) VPB Keterangan: HPP = harga minimal rumput laut di tingkat pembudidaya (Rp/kg) BPP = total biaya produksi usaha budidaya (Rp) VPB = volume rumput laut yang dihasilkan pembudidaya (kg) Mulai - Biaya produksi (BPP) -Volume RL (VPB) Penentuan harga minimum di tingkat pembudidaya HPP = BPP VPB Verifikasi Ok? tidak ya Harga beli rumput laut minimal di tingkat pembudidaya Selesai Gambar 26 Diagram alir model penentuan harga minimal di tingkat pembudidaya. Submodel Operasi Teknologi Submodel ini difokuskan pada model keseimbangan bahan baku, yaitu model yang bertujuan untuk mencari titik keseimbangan antara jumlah pasokan bahan baku yang tersedia dengan kapasitas produksi agroindustri ATC. Model ini dirancang untuk mengatasi kurang seimbangnya antara jumlah kapasitas produksi ATC dengan jumlah pasokan bahan baku rumput laut. Dengan mengetahui titik keseimbangan bahan baku, maka dapat dicari secara interaktif berapa jumlah kapasitas produksi

107 89 ATC yang optimal, luas lahan budidaya rumput laut yang diperlukan, serta berapa luas kebun bibit yang perlu disediakan untuk memenuhi kebutuhan luas lahan budidaya. Diagram alir model keseimbangan bahan baku disajikan pada Gambar 29. Model matematik yang digunakan untuk menghitung keseimbangan bahan baku adalah sebagai berikut: a. Luas areal tanam LAT = LKB x FK... (10) Keterangan: LAT = luas areal tanam budidaya rumput laut (ha) LKB = luas areal kebun pembibitan rumput laut (ha) FK = konversi luas kebun bibit ke luas areal tanam budidaya b. Produksi rumput laut PRL = LAT x PB x SB... (11) Keterangan: PRL = jumlah produksi rumput laut (kg/tahun) LAT = luas areal tanam budidaya (ha) PB = produktivitas budidaya (kg/ha/siklus) SB = jumlah siklus budidaya (siklus/tahun) c. Kebutuhan bahan baku KBB = KP... (12) R Keterangan: KBB = jumlah rumput laut yang dibutuhkan (kg/tahun) KP = kapasitas produksi ATC (kg/tahun) R = rendemen ATC (%) d. Keseimbangan bahan baku KBB = PRL... (13) Keterangan: KBB = Jumlah rumput laut yang dibutuhkan (kg/tahun) PRL = Jumlah produksi rumput laut (kg/tahun)

108 90 Mulai - Kapasitas produksi (KP) -Rendemen ATC (R) - Luas kebun bibit (LKB) - Faktor konversi (FK) - Produktivitas (PB) Perhitungan luas areal tanam (LAT) LAT = FK*LKB Perhitungan kebutuhan bahan baku KBB = (KP) / (R) Luas areal tanam (LAT) Perhitungan produksi rumput laut PRL = LAT*PB*SB Jumlah kebutuhan bahan baku (KBB) Jumlah produksi rumput laut (PRL) Perhitungan keseimbangan bahan baku KBB = PRL tidak Verifikasi Ok? ya Keseimbangan bahan baku tidak Selesai Gambar 27 Diagram alir model keseimbangan bahan baku. Submodel Operasi Sosial Submodel ini dirancang untuk menstrukturisasi elemen sistem yang berpengaruh dalam pengembangan kelembagaan klaster. Upaya ini dapat dilakukan melalui alat bantu pemodelan deskriptif menggunakan teknik Interpretive Structural Modeling (ISM). ISM merupakan teknik pemodelan struktural yang menggunakan grafis dan kalimat untuk menggambarkan struktur masalah yang kompleks, sistem, atau bidang studi (Warfield 1973; Lendaris 1980) Submodel ini mencakup identifikasi elemen-elemen penting pembangun sistem pengembangan klaster dan strukturisasi sistem yang digunakan untuk menentukan hirarki dan klasifikasi sistem penyusun kelembagaan sistem klaster industri rumput laut. Keluaran analisis ini adalah elemen-elemen kunci yang berpengaruh dalam pengembangan kelembagaan klaster. Diagram alir model

109 91 strukturisasi sistem pengembangan kelembagaan klaster industri rumput laut secara skematis dapat dilihat pada Gambar 28. Mulai Jumlah dan nama elemen Jumlah dan nama sub elemen Jumlah dan nama pakar Structural Self Interaction Matrix (SSIM) untuk setiap elemen pada setiap pakar Penilaian hubungan kontekstual antar sub elemen untuk setiap elemen pada setiap pakar Pembentukan Reachability Matrix (RM) untuk setiap elemen pada setiap pakar Modifikasi SSIM Transitif Ok? tidak ya Pembentukan RM Gabungan Penentuan sub elemen kunci Penentuan struktur sub elemen Penentuan kategori sub elemen RM Gabungan Sub elemen kunci, struktur dan kategori sub elemen dari elemen sistem pengembangan Selesai Gambar 28 Diagram alir model strukturisasi sistem pengembangan. Elemen-elemen yang distrukturisasi mencakup elemen kendala pengembangan, tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan, aktivitas pengembangan, serta lembaga yang terlibat (Saxena 1992). Elemen-elemen tersebut masing-masing dijabarkan lagi kedalam sub elemen pengembangan yang diperoleh dari proses eksplorasi melalui studi pustaka, studi lapang, dan diskusi dengan pakar. Setelah sub elemen pada masing-masing elemen teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah menetapkan hubungan kontekstual antar sub elemen pada setiap elemen pengembangan. Keterkaitan antar elemen pada perbandingan berpasangan ditunjukkan oleh pendapat pakar. Apabila pakar lebih dari satu, maka dilakukan perataan secara geometris atau diambil suara terbanyak. Penyusunan nilai hubungan kontekstual pada matriks perbandingan berpasangan menggunakan simbol V, A, X, dan O, dimana:

110 92 V adalah jika e ij = 1 dan e ij = 0 A adalah jika e ij = 0 dan e ij = 1 X adalah jika e ij = 1 dan e ij = 1 O adalah jika e ij = 0 dan e ij = 0 Simbol 1 menunjukkan hubungan kontekstual, sedangkan simbol 0 menunjukkan tidak adanya hubungan kontekstual antara elemen i dan j, begitu juga sebaliknya. Hasil penilaian ini disusun dalam Structural Self Interaction Matrix (SSIM). Setelah SSIM terbentuk dibuat tabel Reachability Matrix (RM) dengan menggantikan V, A, X, dan O dengan bilangan 1 dan 0. Lebih lanjut RM dikoreksi hingga membentuk matriks tertutup yang memenuhi aturan transivitas yaitu aturan kelengkapan sebab akibat. Misalnya A mempengaruhi B, B mempengaruhi C, maka A (seharusnya) mempengaruhi C. Pengolahan lebih lanjut RM ini adalah penetapan pilihan jenjang (level partition). Berdasarkan pilihan jenjang, maka skema elemen menurut jenjang vertikal maupun horizontal dapat digambarkan. Untuk beragam sub elemen dalam satu elemen berdasarkan RM, disusunlah Driver Power - Dependence. Klasifikasi sub elemen dipaparkan dalam 4 sektor sebagai berikut: (1) Weak driver - weak dependent variables (AUTONOMOUS). Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan kecil, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sub elemen yang masuk pada sektor 1 jika nilai DP 0.5 X dan nilai D 0.5 X (X adalah jumlah sub elemen). (2) Weak driver - strongly dependent variables (DEPENDENT). Peubah di sektor ini umumnya adalah peubah tidak bebas. Sub elemen yang masuk pada sektor 2 jika nilai DP 0.5 X dan nilai D > 0.5 X (X adalah jumlah sub elemen). (3) Strong driver - strongly dependent variables (LINKAGE). Peubah di sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antar peubah adalah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak. Sub elemen yang masuk pada sektor 1 jika nilai DP > 0.5 X dan nilai D > 0.5 X (X adalah jumlah sub elemen).

111 93 (4) Strong driver - weak dependent variables (INDEPENDENT). Peubah di sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Sub elemen yang masuk pada sektor 1 jika nilai DP > 0.5 X dan nilai D 0.5 X (X adalah jumlah sub elemen). Submodel Operasi Lingkungan Submodel operasi lingkungan bermaksud untuk mengembangkan suatu alternatif upaya dalam rangka mengurangi potensi pencemaran lingkungan pada pengembangan klaster industri rumput laut, khususnya pada agroindustri pengolahan ATC. Model ini dirancang untuk memberikan alternatif penanganan limbah cair industri pengolahan ATC yang berpotensi menimbulkan masalah bagi lingkungan jika tidak ditangani sebaik-baiknya. Bixler dan Johndro (2000) menjelaskan bahwa limbah cair ATC memiliki ciri alkalinitas tinggi, berwarna kecoklatan, memiliki padatan terlarut yang tinggi dan bersifat koloid yang disebabkan oleh banyaknya senyawa organik serta ion-ion dari senyawa KOH. Dalam rangka mendukung pengembangan industri yang berwawasan lingkungan, maka perlu dilakukan penanganan limbah industri ATC secara benar dan bertanggung jawab. Metode yang digunakan untuk memilih upaya-upaya mana yang menjadi prioritas dalam menangani permasalahan limbah pengolahan ATC adalah metode analytical hierarchy process (AHP). Diagram alir model pemilihan penanganan permasalahan limbah industri pengolahan ATC secara skematis dapat dilihat pada Gambar 29. Berdasarkan kajian literatur dan diskusi dengan pakar, alternatif upaya penanganan limbah yang dapat dilakukan meliputi: 1 Peningkatan nilai tambah limbah menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomis. Limbah cair ATC yang banyak mengandung KOH, jika diproses lebih lanjut dengan teknologi tertentu melalui proses netralisasi menggunakan HCl, akan memberikan nilai tambah dengan dihasilkannya garam KCl yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. 2 Pemanfaatan kembali air limbah. Proses pengolahan ATC membutuhkan banyak air pada proses pencucian setelah perebusan, sehingga limbah cair

112 94 yang dihasilkan sangat besar. Pendaur-ulangan limbah cair akan mengefisienkan penggunaan air sekaligus mengurangi masalah pencemaran lingkungan. 3 Optimasi peningkatan kinerja IPAL. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) perlu dikelola dengan baik agar dapat beroperasi secara optimum. Untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan beberapa perangkat manajemen dan pembiayaan seperti kelembagaan pengelola IPAL, sumberdaya manusia yang memadai, dan dukungan pembiayaan untuk perawatan IPAL. Perawatan IPAL terdiri dari kegiatan pengecekan fungsi alat dan bangunan serta perbaikan alat dan bangunan. Mulai Kriteria pemilihan ke-i Alternatif penanganan limbah ke-j Susunan hirarki Perhitungan eigen vektor pada setiap hirarki Matriks pairwise comparison Penilaian berpasangan untuk setiap elemen Penentuan prioritas lokal Perhitungan indeks konsistensi (CI) Perhitungan rasio konsistensi (CR) Perhitungan CI dan CR pendapat gabungan Penyusunan matriks pendapat gabungan Ya CR < 0.1 Ok? Tidak CR < 0.1 Ok? Tidak Ya Selesai Prioritas sistem Pengolahan vertikal Gambar 29 Diagram alir model penanganan limbah industri ATC. Untuk memilih upaya-upaya mana yang menjadi prioritas dalam menangani permasalahan limbah pengolahan ATC, berdasarkan kajian literatur dan diskusi dengan pakar, beberapa kriteria yang menjadi bahan pertimbangan adalah sebagai berikut: 1 Kelayakan teknologi, yaitu teknologi yang dapat dikembangkan terkait dengan desain, proses, keandalan, kemudahan penggunaan, serta harus dapat

113 95 dioperasikan dan dipelihara oleh pihak industri. Kriteria ini dianggap layak jika faktor-faktor teknologi tersebut dipenuhi. 2 Kelayakan ekonomi, yaitu harus layak secara ekonomi dalam pembangunan (konstruksi), operasional, dan pemeliharaannya. Kriteria ini dianggap layak jika investasi untuk permodalan dan biaya operasi mencapai taraf yang paling efisien. 3 Kelayakan lingkungan, yaitu harus dapat menurunkan pencemaran dalam air limbah ke tingkat yang sesuai atau lebih rendah dari baku mutu yang ditetapkan. Kriteria ini dianggap layak jika potensi pencemaran lingkungan mempunyai resiko yang paling minimal. Setelah alternatif dan kriteria dalam menetapkan penanganan limbah industri ATC teridentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) antar kriteria serta alternatif terhadap setiap kriteria. Skala perbandingan yang digunakan adalah 1-9. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Tabel 15. Nilainilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan prioritas relatif dari seluruh alternatif. Tabel 15 Skala dasar perbandingan pada proses hirarki analitik Intensitas Tingkat Definisi Kepentingan 1 Sama penting 3 Sedikit lebih penting 5 Lebih penting 7 Sangat lebih penting 9 Mutlak lebih penting 2, 4, 6, 8 Nilai tingkat kepentingan yang mencerminkan nilai kompromi Nilai kebalikan Nilai tingkat kepentingan jika dilihat dari arah yang berlawanan. (reciprocal) Misalnya jika A sedikit lebih penting dari B (intensitas 3), maka berarti B sedikit kurang penting dibanding A (intensitas 1/3). Sumber: Saaty (1988) Dari setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari vektor prioritasnya (eigenvector) untuk mendapatkan local priority. Karena matriks-matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis di antara local priority.

114 96 Proses penilaian perbandingan dilakukan oleh pakar. Jika pakar lebih dari satu, maka dapat dilakukan perataan geometris. Untuk mengetahui konsistensi jawaban pakar yang akan berpengaruh kepada kesahihan hasil, maka perlu dilakukan perhitungan nilai rasio konsistensi (Consistency Ratio/CR). Untuk mengetahui apakah jawaban pakar konsisten, maka perlu diketahui rasio yang dianggap baik, yaitu apabila CR 0.1. Model matematik yang dikembangkan dalam metode AHP adalah sebagai berikut: a. Perhitungan vektor eigen pada setiap hirarki n n Π aij j= 1 = n n evp1... (14) Π j= 1 i= 1 Keterangan: evp i = elemen vektor prioritas ke-i a ij = penilaian berpasangan elemen ke-i terhadap elemen ke-j b. Perhitungan nilai eigen maksimum (λ max ) VA = a ij x VP dengan VA = (V ai ) VB = VA/VP dengan VB = (V bi ) 1 λ =... (15) max n a ij n i= 1 Keterangan: VA = VB = Vektor antara Vb i untuk i = 1, 2,..., n c. Perhitungan nilai CI dan CR CI λmax n = n 1... (16) CI CR =... (17) RI

115 97 Keterangan: CI = Consistency Index CR = Consistency Ratio RI = Random Index d. Pengolahan vertikal NP pq = s t= 1 NPH pq ( t, q 1) x NPT ( q 1)... (18) t Keterangan: NP pq = nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama NPH pq = nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-q NPT t = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke q-1 Model Prediksi Penilaian Kinerja Model ini bertujuan untuk menganalisis sampai sejauh mana tingkat pencapaian kinerja klaster telah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Model prediksi penilaian kinerja ini mencakup kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan. Submodel Prediksi Kinerja Ekonomi Submodel prediksi kinerja ekonomi dirancang untuk memprediksi manfaat ekonomi yang diperoleh dari pengembangan klaster industri rumput laut. Submodel ini mencakup tingkat keuntungan yang diterima oleh pelaku usaha yang terlibat didalam klaster industri rumput laut, serta kontribusi agroindustri rumput laut terhadap pendapatan daerah. Keuntungan Pembudidaya Model keuntungan pembudidaya bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diterima oleh pembudidaya rumput laut selama satu tahun pada tingkat kelayakan usaha. Model ini juga dapat mengetahui perbandingan sampai seberapa jauh tingkat keuntungan pembudidaya dibandingkan dengan upah minimum regional/kabupaten (UMK) yang berlaku di daerah yang bersangkutan. Jika tingkat pendapatan yang diperoleh pembudidaya lebih besar dari jumlah UMK yang berlaku maka usaha budidaya rumput laut dianggap lebih menguntungkan.

116 98 Model peningkatan keuntungan pembudidaya menggambarkan tingkat keuntungan pembudidaya dengan mengikuti program klaster dengan skenario harga rumput laut yang meningkat dengan samakin baiknya kualitas rumput pembudidaya. Model matematik yang digunakan untuk menghitung keuntungan pembudidaya adalah sebagai berikut: a. Keuntungan pembudidaya KP = (HJRL x VRL) BP... (19) Keterangan: KP = keuntungan pembudidaya (Rp/bulan) HJRL = harga jual rumput laut (Rp/kg) VRL = volume penjualan rumput laut yang dihasilkan pembudidaya (kg/bulan) BP = biaya produksi usaha budidaya (Rp/bulan) b. Tingkat keuntungan pembudidaya TK = KP UMK... (20) Keterangan: TK = tingkat keuntungan pembudidaya KP = keuntungan yang diterima pembudidaya (Rp/bulan) UMK = upah minimum kabupaten (Rp/bulan) c. Peningkatan keuntungan pembudidaya PKP = Keterangan: KP i KP i-1 KP i-1 x100%... (21) PKP = peningkatan keuntungan pembudidaya (%) KP i = keuntungan yang diterima pembudidaya pada harga rumput laut ke-i (Rp/bulan) KP i-1 = keuntungan yang diterima pembudidaya pada harga rumput laut ke-i-1 (Rp/bulan)

117 99 Gambar 30 Diagram alir model penentuan tingkat keuntungan pembudidaya. Mulai - Keuntungan ke-i (KP i ) - Keuntungan ke-i-1 (KP i-1 ) Peningkatan keuntungan pembudidaya (PKP) PKP = (KP i KP i-1 ) * 100% KP i-1 Verifikasi Ok? ya Peningkatan Keuntungan tidak Selesai Gambar 31 Diagram alir model peningkatan keuntungan pembudidaya.

118 100 Keuntungan Agroindustri Model keuntungan agroindustri bertujuan untuk menentukan tingkat keuntungan agroindustri ATC selama satu tahun pada tingkat kelayakan usaha. Model ini digunakan mengetahui tingkat perbedaan keuntungan agroindustri pada skenario harga ATC. Diagram alir model penentuan tingkat keuntungan agroindustri dapat dilihat pada Gambar 32. Mulai - Input finansial - Input teknis Perhitungan kelayakan finansial usaha agroindustri -Harga jual ATC (HJATC) -Volume ATC (VATC) - Biaya produksi (BPA) Layak tidak Ok? ya tidak Perhitungan keuntungan agroindustri PA = (HJATC * VATC) BPA Verifikasi Ok? ya Keuntungan Agroindustri tidak Gambar 32 Diagram alir model keuntungan agroindustri. Mulai - Keuntungan ke-i (KA i ) - Keuntungan ke-i-1 (KA i-1 ) Peningkatan keuntungan agroindustri (PKA) PKA = (KA i KA i-1 ) * 100% KA i-1 Verifikasi Ok? ya Peningkatan Keuntungan tidak Selesai Gambar 33 Diagram alir model peningkatan keuntungan agroindustri.

119 101 Model matematik yang digunakan untuk menghitung keuntungan agroindustri adalah sebagai berikut: a. Keuntungan agroindustri KA = (HJATC x VATC) BPA... (22) Keterangan: KA = keuntungan agroindustri (Rp/tahun) HJATC = harga jual ATC (Rp/kg) VATC = volume penjualan ATC (kg/tahun) BPA = biaya produksi agroindustri (Rp/tahun) b. Peningkatan keuntungan agroindustri PKA = KA i KA i-1 KA i-1 x100%... (23) Keterangan: PKA = peningkatan keuntungan agroindustri (%) KP i = keuntungan yang diterima agroindustri pada harga ATC ke-i (Rp/tahun) KP i-1 = keuntungan yang diterima agroindustri pada harga ATC ke-i-1 (Rp/tahun) Model matematik yang digunakan untuk menghitung dan menganalisis kelayakan usaha budidaya rumput laut dan agroindustri ATC adalah sebagai berikut: a. Net Present Value (NPV) NPV = n B C t t t t= 0 ( 1+ i) Keterangan:... (24) B t C t = benefit social bruto proyek tahun ke-t = besarnya biaya social bruto proyek pada tahun ke-t n = umur ekonomis proyek i = tingkat suku bunga yang berlaku (%) b. Internal Rate of Return (IRR) NPV IRR = i... (25) ( i ) i1 ( NPV1 NPV2 )

120 102 Keterangan: NPV 1 = NPV pada suku bunga i 1 NPV 2 = NPV pada suku bunga i 2 i 1 = nilai i dengan NPV bernilai positif = nilai i dengan NPV bernilai negatif i 2 c. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) n B C t t t t= 0 ( 1+ i) Net B/C =... n (26) C B Keterangan: B t C t t t t t= 0 ( 1+ i) = benefit social bruto proyek tahun ke-t = besarnya biaya social bruto proyek pada tahun ke-t n = umur ekonomis proyek i = tingkat suku bunga yang berlaku (%) d. Pay Back Period (PBP) PBP = IA... (27) AKB Keterangan: PBP = periode pengembalian investasi (Tahun) IA = investasi awal proyek (Rp) AKB = aliran kas bersih (Rp/Tahun) Kontribusi Agroindustri Terhadap Pendapatan Daerah Model kontribusi agroindustri terhadap pendapatan daerah dirancang untuk menunjukkan potensi ekonomi pengembangan agroindustri rumput laut terhadap pendapatan atau pembangunan daerah dalam bentuk penerimaan pada pendapatan asli daerah (PAD). Beban pajak daerah ditentukan berdasarkan peraturan daerah yang berlaku di daerah pengembangan klaster terkait dengan pajak perusahaan industri daerah. Nilai kontribusi agroindustri menunjukkan sampai seberapa besar keberadaan agroindustri rumput laut ini dapat memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi pembangunan daerah. Asumsi yang melandasinya adalah bahwa semakin tinggi

121 103 keuntungan agroindustri, maka kontribusi yang akan diterima oleh daerah dalam bentuk PAD akan semakin tinggi pula. Diagram alir model kontribusi agroindustri terhadap pendapatan daerah disajikan pada Gambar 34. Model matematik yang digunakan untuk menghitung kontribusi keuntungan agroindustri terhadap pendapatan daerah adalah sebagai berikut: KPA = MPD x LBA PAD x100%... (28) Keterangan: KPA = kontribusi keuntungan agroindustri terhadap pembangunan daerah (%) MPD = margin pajak daerah yang dikenakan atas laba agroindustri (Rp/tahun) LBA = laba bersih agroindustri (Rp/tahun) PAD = pendapatan asli daerah (Rp/tahun) Mulai - Laba agroindustri (LBA) - Margin pajak daerah (MPD) - Pendapatan asli daerah (PAD) Perhitungan kontribusi keuntungan agroindustri KPA = MPD * LBA * 100% PAD Verifikasi Ok? tidak ya Kontribusi keuntungan agroindustri terhadap pendapatan daerah Selesai Gambar 34 Diagram alir model kontribusi agroindustri terhadap pembangunan daerah.

122 104 Submodel Prediksi Kinerja Sosial Submodel ini dirancang untuk memprediksi manfaat sosial yang diperoleh dari pengembangan klaster industri rumput laut. Model prediksi kinerja sosial difokuskan pada tingkat penyerapan tenaga kerja didalam klaster. Tenaga kerja yang dimaksud adalah tenaga kerja yang terlibat pada usaha budidaya rumput laut, mengingat bahwa usaha budidaya rumput laut adalah usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja, seperti tenaga untuk pengikatan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan penjemuran rumput laut. Penyerapan tenaga kerja diukur berdasarkan jumlah kebutuhan tenaga kerja yang terlibat dalam pembudidayaan rumput laut yang dapat memproduksi rumput laut untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produksi ATC didalam klaster. Acuan dasar dalam menentukan jumlah penyerapan tenaga kerja ini adalah kapasitas produksi ATC yang ditetapkan didalam klaster dan jumlah kebutuhan rakit untuk budidaya rumput laut. Mulai - Kapasitas produksi ATC (KP) - Rendemen ATC (R) - Produksi RL per rakit (KPR) Perhitungan kebutuhan bahan baku (KBB): KBB = KP R Kebutuhan bahan baku (KBB) Perhitungan jumlah rakit budidaya (JRB): JRB = KBB KPR Verifikasi Ok? tidak ya Jumlah rakit budidaya Selesai Gambar 35 Diagram alir model perhitungan jumlah rakit budidaya.

123 105 Mulai - Jumlah rakit budidaya (JRB) - Jumlah TK pengikatan bibit (TKB) - Jumlah TK pemeliharaan (TKP) - Jumlah TK pemanenan dan penjemuran (TKJ) - Jumlah angkatan kerja (AK) Perhitungan penyerapan tenaga kerja (PT): PT = JRB * (TKB+TKP+TKJ) *100% AK Verifikasi Ok? tidak ya Tingkat penyerapan tenaga kerja Selesai Gambar 36 Diagram alir model tingkat penyerapan tenaga kerja. Model matematik yang digunakan untuk menghitung tingkat penyerapan tenaga kerja adalah sebagai berikut: a. Jumlah kebutuhan rakit budidaya JRB = KP / R KPR... (29) Keterangan: JRB = jumlah rakit budidaya rumput laut yang dibutuhkan untuk memenuhi kapasitas produksi ATC (rakit) KP = kapasitas produksi ATC (kg/tahun) R = rendemen ATC KPR = kapasitas produksi rumput laut (kg/tahun/rakit) b. Tingkat penyerapan tenaga kerja PT = JRB x (TKB+TKP+TKJ) AK x 100%... (30) Keterangan: JRB = jumlah rakit budidaya rumput laut yang dibutuhkan untuk memenuhi kapasitas produksi ATC (rakit) TKB = tenaga kerja pengikatan bibit (orang/rakit) TKP = tenaga kerja pemeliharaan (orang/rakit) TKJ = tenaga kerja pemanenan dan penjemuran (orang/rakit) AK = jumlah angkatan kerja (orang)

124 106 Submodel Prediksi Kinerja Lingkungan Industri pengolahan ATC menghasilkan limbah cair yang sangat besar. Model prediksi kinerja lingkungan dirancang untuk memprediksi manfaat ekonomi jika potensi pencemaran limbah yang dihasilkan oleh kegiatan agroindustri dapat tertangani dengan baik. Limbah yang dihasilkan agroindustri ATC adalah limbah cair dari proses pencucian rumput laut. Model prediksi kinerja lingkungan difokuskan efisiensi penggunaan air melalui proses daur ulang. Efisiensi penggunaan air dihitung berdasarkan jumlah air pencucian rumput yang berhasil didaur ulang. Pada proses pembuatan ATC, perbandingan antara bahan baku (rumput laut kering) dengan air pada tahap pencucian sangat besar. Air yang berhasil didaur ulang dari limbah cucian ini dapat digunakan kembali untuk proses pencucian rumput laut selanjutnya. Model prediksi kinerja lingkungan dapat dilihat pada Gambar 37. a. Kebutuhan air proses KAP t = (PP + PN 1 + PN 2 ) x JH t... (31) Keterangan: KAP t = kebutuhan air proses selama t hari (liter) PP = jumlah air untuk pencucian pendahuluan (liter/hari) PN 1 = jumlah air untuk pencucian pada penetralan ke-1 (liter/hari) PN 2 = jumlah air untuk pencucian pada penetralan ke-2 (liter/hari) JH t = jumlah t hari proses pengolahan (hari) b. Air daur ulang ADU t = (PP + PN 2 ) x FK x JH t... (32) Keterangan: ADU t = jumlah air limbah yang berhasil didaur ulang selama t hari (liter) PP = jumlah air untuk pencucian pendahuluan (liter/hari) FK = faktor konversi efisiensi proses daur ulang PN 2 = jumlah air untuk pencucian pada penetralan ke-2 (liter/hari) JH t = jumlah t hari proses pengolahan (hari) c. Penambahan air proses PAP t = KAP t ADU t KAP 1... (33)

125 107 Keterangan: PAP = penambahan air bersih untuk proses selama t hari (liter) KAP t = kebutuhan air proses selama t hari (liter) ADU t = jumlah air limbah yang berhasil didaur ulang selama t hari (liter) KAP 1 = kebutuhan air proses hari ke-1 (liter) d. Efisiensi penggunaan air EPA t = ADU t KAP t x 100%... (34) Keterangan: EPA t = Efisiensi penggunaan air selama t hari (%) ADU t = jumlah air limbah yang berhasil didaur ulang selama t hari (liter) KAP t = kebutuhan air proses selama t hari (liter) Mulai - Air pencucian pendahuluan (PP) - Air penetralan ke-1 (PN 1 ) - Air penetralan ke-2 (PN 2 ) - Jumlah hari proses (JH t ) - Air pencucian pendahuluan (PP) - Air penetralan ke-2 (PN 2 ) - Faktor konversi (FK) - Jumlah hari proses (JH t ) Perhitungan kebutuhan air proses (KAP t ): KAP t = (PP+PN 1 +PN 2 )*JH t Perhitungan jumlah air daur ulang (ADU t ): ADU t = (PP+PN 2 )*FK*JH t tidak Verifikasi Ok? Verifikasi Ok? tidak ya ya Kebutuhan air proses t hari (KAP t ) Air daur ulang (ADU t ) Efisiensi penggunaan air (EPA t ): EPA t = ADU t * 100% KAP t Verifikasi Ok? tidak ya Efisiensi penggunaan air Selesai Gambar 37 Model prediksi kinerja lingkungan.

126 108 Perancangan Sistem Penunjang Keputusan Model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan yang telah dibangun selanjutnya dapat diimplementasikan di daerah-daerah yang berpotensi untuk dikembangkan klaster industri rumput laut, misalnya di Kabupaten Sumenep Madura. Untuk alasan efektivitas dan efisiensi, maka dirancang sebuah sistem penunjang keputusan (SPK) pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan secara terkomputerisasi. Komputerisasi akan membantu sistem bisa diakses lebih cepat dan mudah dengan hasil yang lebih akurat dan terbarukan. Tahapan-tahapan dalam perancangan SPK berpedoman pada konsepsi siklus hidup pengembangan sistem, yang mencakup tahap perencanaan, analisis sistem, disain sistem, implementasi sistem, dan perawatan sistem. Disain SPK direkayasa dalam suatu paket komputer yang diberi nama Model KlasteRula. Model KlasteRula bertujuan untuk membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan pada pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Perancangan SPK dibangun dari 4 (empat) komponen utama, yaitu data base management system (DBMS), model base management system (MBMS), knowledge base management system (KBMS) serta dialog management system (DMS). Konfigurasi SPK disajikan pada Gambar 38. Untuk operasionalisasi, maka SPK dilengkapi dengan manajemen dialog sehingga memudahkan pengguna dalam mengakses sistem. Model dialog ini disini berupaya untuk menghubungkan model pengolahan yang digunakan dengan data yang diperlukan yang terdapat dalam database dan informasi yang berasal dari knowledge base model untuk dihasilkan sejumlah informasi untuk mendukung pengambilan keputusan dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Model KlasteRula direkomendasikan untuk diinstal pada sistem operasi berbasis windows tepatnya Microsoft Windows 9x/2000/ME/XP atau versi yang lebih tinggi dengan minimal RAM 128 dan disk free space sebesar 5 (lima) MB. Khusus untuk sistem operasi yang multi-user (Microsoft Windows XP, Microsoft

127 109 Windows 2000, atau sekelasnya) hendaknya aplikasi Model KlasteRula diinstal pada mode administrator. Gambar 38 Konfigurasi SPK pengembangan klaster industri rumput laut. Sistem manajemen basis data Sistem manajemen basis data pada Model KlasterRula terdiri dari data diagnosis kelayakan pengembangan, data operasi pengembangan, serta data prediksi kinerja pengembangan. Data yang dimasukkan kedalam sistem manajemen basis data merupakan basis data yang digunakan dalam model. Sistem manajemen basis data dapat digunakan untuk mengelola penambahan, penghapusan, penyimpanan, pemanggilan, dan pembacaan data. Model KlasteRula dibangun dengan bahasa pemrograman Visual Basic secara stand alone. Aplikasi database menggunakan binary file system yang sudah disediakan didalam program aplikasi. Oleh karena itu, proses instalasi dan up-dating data tidak dapat dilakukan secara on line. Sistem manajemen basis pengetahuan Sistem manajemen basis pengetahuan dirancang untuk menyimpan representasi pengetahuan pakar yang dihasilkan dari suatu proses akuisisi

128 110 pengetahuan pakar dengan bantuan mekanisme inferensi menggunakan kaidah if...then. Mekanisme inferensi adalah komponen sistem pakar yang memanipulasi dan mengarahkan pengetahuan dari basis pengetahuan sehingga tercapai kesimpulan. Perancangan sistem manajemen basis pengetahuan dapat diterjemahkan menjadi kesimpulan. Sistem manajemen basis pengetahuan dalam model ini digunakan untuk membantu mengagregasi prasyarat kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut. Sistem manajemen basis model Untuk mengolah basis data dan basis pengetahuan agar dapat menghasilkan informasi atau alternatif keputusan, dibutuhkan berbagai proses atau model pengolahan yang tercakup dalam sistem manajemen basis model. Sistem manajemen basis model pengembangan klaster industri rumput laut terdiri dari 3 (tiga) sub model utama, yaitu model diagnosis kelayakan pengembangan, model operasi pengembangan, serta model prediksi kinerja pengembangan. Masing-masing sub model utama tersebut terdiri dari sub-submodel. Secara umum struktur model KlasteRula dapat dilihat pada Gambar 39. Prasyarat Ekologi Prasyarat Ekonomi Diagnosis Kelayakan Pengembangan Prasyarat Sosial Prasyarat Kelembagaan Operasi Pengembangan Model KlasteRula Prediksi Kinerja Pengembangan Operasi Ekonomi Operasi Teknologi Operasi Sosial Operasi Lingkungan Kinerja Ekonomi Kinerja Sosial Kinerja Lingkungan Gambar 39 Struktur Model KlasteRula. Aplikasi Model KlasteRula dapat digunakan oleh multi-user, baik peneliti, pengambil kebijakan, investor, lembaga pembiayaan maupun lembaga ekonomi dalam melakukan analisis klaster untuk pengembangan agroindustri berbasis rumput laut. Untuk menggunakan Model KlasteRula, pengguna harus terlebih dahulu

129 111 melakukan login menggunakan password yang sudah diinformasikan kedalam sistem. Hal ini dilakukan sebagai bentuk sekuritas sistem dan untuk mengantisipasi adanya pihak-pihak lain yang tidak berkepentingan masuk dalam sistem. Setelah proses login berhasil, maka SPK KlasteRula siap dijalankan dengan menampilkan submodel-submodel yang ada didalam SPK. Tampilan menu utama SPK pengembangan klaster industri rumput laut disajikan pada Gambar 40. Gambar 40 Tampilan menu utama Model KlasteRula. Secara struktural konfigurasi aplikasi model KlasteRula terdiri dari beberapa modul yang masing-masing dikonstruksi untuk memproses input berupa data untuk menghasilkan output yang berbentuk informasi, alternatif keputusan, strategi kebijakan, atau saran/upaya pengembangan. Modul-modul tersebut secara umum dikelompokkan kedalam 3 (tiga) kelompok antara lain: Prasyarat Kelayakan, Operasi Pengembangan, dan Prediksi Kinerja. Kelompok-kelompok modul tersebut dapat diakses dengan cara meng-klik kelompok bersesuaian pada panel yang tersedia. Operasionalisasi penggunaan aplikasi Model KlasteRula secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 14. SPK KlasteRula dibangun untuk tujuan membantu pengambil keputusan dalam setiap elemen yang ada didalam klaster industri rumput laut dengan otoritas yang berbeda-beda. Pemeliharaan model SPK ini berada pada otoritas pihak atau

130 112 lembaga yang menjadi pengembang atau pengelola klaster yang telah ditetapkan. Pemeliharaan ini perlu dilakukan untuk memperbaiki, menjaga kemutakhiran data dan model, serta meningkatkan kinerja model SPK.

131 HASIL DAN PEMBAHASAN Verifikasi dan Validasi Model Verifikasi Model Verifikasi Model KlasteRula dilakukan untuk memastikan bahwa model klaster industri rumput laut terbebas dari kekeliruan proses logis sehingga dapat berfungsi sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Setiap submodel yang terdapat pada Model KlasteRula diverifikasi dengan cara menguji apakah program pada setiap submodel tersebut telah dapat berjalan dengan baik dan benar. Verifikasi model diawali cara penelisikan berulang (debugging) pada setiap setiap modul Model KlasteRula untuk menganalisis alur kerja program. Langkah ini dilakukan guna mengurangi kesalahan yang bersifat logika (logical errors). Hasil proses debug menunjukkan tidak terdapat kesalahan logika didalam program, sehingga dapat berperilaku seperti yang diharapkan. Untuk tujuan verifikasi, Model KlasteRula diujicobakan pada sistem klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep Madura sebagai studi kasus. Setiap modul dalam Model KlasteRula diverifikasi menggunakan data riil yang dikumpulkan dari lapangan sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan, baik data sekunder maupun data primer yang berasal dari pengetahuan pakar. Hasil verifikasi terhadap seluruh submodel didalam program KlateRula menunjukkan bahwa model telah dapat diimplementasikan dengan baik dan menghasilkan keluaran sesuai dengan output yang diharapkan. Hal ini didukung dengan tidak adanya penyimpangan antara output model dengan hasil-hasil perhitungan manual, sebagaimana diperlihatkan didalam lampiran-lampiran. Hasil-hasil implementasi tersebut mengindikasikan bahwa model telah terverifikasi dengan baik yang memberikan petunjuk bahwa tidak ada masalah dalam menterjemahkan model konsepsional ke model matematik. Hal ini menunjukkan bahwa model telah sesuai dengan kerangka logika dan mampu melakukan simulasi dengan menggunakan program komputer. Selengkapnya hasil verifikasi model diuraikan lebih lanjut pada bagian Implementasi Model. 113

132 114 Validasi Model Pada proses verifikasi model KlasteRula telah dilakukan evaluasi terhadap proses komputasi, kerja logika, dan elemen-elemen substansi yang diakomodir model. Kondisi seperti ini mendorong proses validasi lebih ditujukan untuk memperbaiki tingkat keyakinan bahwa berdasarkan kondisi yang diasumsikan model mampu mewakili sistem yang sebenarnya. Proses validasi dilakukan dengan mempelajari seluruh komponen model dan keluaran yang dihasilkan. Validasi model makro pengembangan klaster industri rumput laut secara struktural dilakukan menggunakan face validity melalui diskusi dengan pakar. Hasil validasi menunjukkan bahwa model KlasteRula telah mengandung semua elemen, kejadian, dan hubungan input output dari sebuah sistem klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Model KlasteRula dianggap cukup akurat dan mempunyai nilai kegunaan yang besar peranannya dalam mendukung para pengambil keputusan melalui berbagai fasilitas analisis yang mudah digunakan. Kegunaan model ditunjukkan dari kelengkapan model untuk bisa diterapkan dan mampu menganalisis berbagai aspek, baik pada level input, proses, maupun output. Validasi model KlasteRula untuk setiap submodelnya secara umum telah dianggap mencukupi. Hal ini dapat dilihat dari kesesuaian antara output model dengan kondisi sistem yang sebenarnya yang merupakan petunjuk bahwa model yang dikembangkan adalah model yang valid. Logika model yang dikembangkan pada setiap submodel adalah benar dan hubungan antar input-output didalam model dianggap telah berkesesuaian (reasonable). Keluaran model dianggap sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Perilaku sistem dapat diprediksi melalui perbandingan dengan keluaran model. Selain diukur berdasarkan hasil validasinya, efektivitas model ditunjukkan dengan tercapainya tujuan sistem. Implementasi Model KlasteRula menghasilkan keluaran sebagaimana diharapkan dalam tujuan pemodelan yang telah ditetapkan. Selengkapnya hasil validasi model diuraikan lebih lanjut pada bagian hasil implementasi model.

133 115 Implementasi Model Pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan direkayasa melalui Model KlasteRula yang ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan baik di lingkungan pemerintahan (pusat/daerah) maupun para praktisi usaha (stakeholders) yang bergerak dalam pengembangan klaster industri rumput laut. Penggunaan Model KlasteRula dirancang secara fleksibel. Model KlasteRula tidak hanya dapat digunakan pada suatu daerah tertentu, tetapi dapat juga digunakan di daerah lain sesuai dengan karakteristik daerah, potensi wilayah, dan permasalahan yang ingin diselesaikan. Implementasi Model KlasteRula dilakukan di Kabupaten Sumenep Provinsi Jawa Timur. Hasil implementasi model disajikan secara berurutan, yang meliputi: (i) diagnosis persyaratan kelayakan pengembangan klaster; (ii) operasi pengembangan klaster; dan (iii) prediksi kinerja pengembangan klaster. Model Diagnosis Kelayakan Pengembangan Tahap awal yang merupakan aspek kunci dalam pengembangan klaster industri adalah melakukan diagnosis terhadap kelayakan pengembangan klaster. Menurut Bappenas (2006a), tahap diagnosis dilakukan dengan mengidentifikasi dan memetakan potensi klaster, termasuk menganalisis kekuatan dan kelemahan klaster. Penilaian klaster pada tahap diagnosis ini menurut EDA (1997) sangat diperlukan untuk mendukung kinerja klaster. Model diagnosis kelayakan pengembangan bertujuan untuk mengidentifikasi potensi pengembangan klaster. Hasil diagnosis bermanfaat untuk menilai kelayakan daerah untuk mengembangkan klaster industri rumput laut berdasarkan dimensidimensi dalam pembangunan yang berkelanjutan. Model ini tersusun atas submodel prasyarat ekologi, sub model prasyarat ekonomi, submodel prasyarat sosial, dan submodel prasyarat kelembagaan. Keempat submodel diagnosis ini selanjutnya diagregasi kedalam suatu model agregasi diagnosis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut.

134 116 Submodel Prasyarat Ekologi Submodel prasyarat ekologi bertujuan untuk mengidentifikasi kesesuaian lokasi yang akan digunakan untuk budidaya rumput laut. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan dari usaha budidaya rumput laut, maka perlu dicari lokasi yang sesuai dengan kondisi ekologi rumput laut (Deptan 1997; Deptan 1999). Kondisi ekologi perairan ini diperlukan untuk memenuhi persyaratan tumbuh rumput laut (Eucheuma cottonii). Metode yang digunakan untuk menganalisis kelayakan pada submodel prasyarat ekologi adalah metode heuristic yang dikembangkan oleh Deptan (1990) dan Amarullah (2007). Parameter penilaian yang digunakan didalam model mencakup 10 indikator kesesuaian lokasi yang untuk budidaya rumput laut, yang secara rinci tercakup dalam matriks kesesuaian lahan budidaya rumput laut. Data-data yang diperlukan untuk menilai kesesuaian lahan didasarkan pada item-item penilaian pada matriks kesesuaian lahan. Kebutuhan data untuk implementasi model diambil berdasarkan data potensi perairan pada 11 kecamatan pesisir di Kabupaten Sumenep yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sumenep dan Stasiun Meteorologi Maritim Perak Surabaya. Hasil rata-rata penilaian kondisi ekologis perairan pada kecamatan-kecamatan yang dianalis disajikan pada Tabel 16. Hasil selengkapnya kondisi ekologi perairan untuk budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii) di Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 16 Hasil penilaian kesesuaian lahan budidaya rumput laut No. Parameter Satuan Rata-rata penilaian 1 Dasar perairan Kedalaman pada surut terendah meter 0,95 3 Kecepatan arus cm/detik 17,90 4 Suhu permukaan ⁰C 31,77 5 Salinitas 30,55 6 ph -- 7,71 7 Kecerahan % 61,06 8 DO mg/l 6,50 9 Nitrat mg/l 0,14 10 Amonium mg/l 0,35 Sumber: DKP Kabupaten Sumenep dan BMKG Surabaya (data diolah)

135 117 Ikhtisar hasil keseluruhan analisis kesesuaian lahan budidaya rumput laut yang dilakukan pada 11 kecamatan pesisir di Kabupaten Sumenep disajikan pada Tabel 17. Pada tabel terlihat bahwa rata-rata nilai indeks parameter adalah 100,45, atau >91,68, sehingga masuk dalam kategori kelas Sesuai. Hasil implementasi model menunjukkan bahwa secara ekologis wilayah perairan Kabupaten Sumenep sesuai dengan persyaratan tumbuh Eucheuma cottonii sehingga sangat potensial untuk dilakukan usaha pembudidayaannya. Tabel 17 Analisis kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut No. Kecamatan Nilai indeks Kesimpulan 1 Ambunten 103 Sesuai 2 Batuputih 111 Sesuai 3 Batang-batang 111 Sesuai 4 Bluto 95 Sesuai 5 Dasuk 111 Sesuai 6 Dungkek 101 Sesuai 7 Gapura 95 Sesuai 8 Kalianget 93 Sesuai 9 Pragaan 79 Cukup Sesuai 10 Pasongsongan 111 Sesuai 11 Saronggi 95 Sesuai Agregat 100,45 Sesuai Kesesuaian secara ekologis wilayah perairan Kabupaten Sumenep untuk persyaratan tumbuh rumput laut Eucheuma sp. akan mendorong tingkat peningkatan jumlah dan produktivitas rumput laut yang dihasilkan. Produksi rumput laut Kabupaten Sumenep tahun 2009 mencapai ,80 ton, atau meningkat sebanyak 14,19% dari produksi tahun Peningkatan jumlah produksi ini diimbangi dengan peningkatan jumlah pembudidaya dan jumlah rakit yang diusahakan untuk budidaya rumput laut. Gambaran kondisi seperti ini menunjukkan bahwa validasi terhadap submodel diagnosis prasyarat ekologi secara event validity menghasilkan keluaran model yang cukup akurat

136 , , , Jumlah Pembudidaya (orang) Jumlah Rakit (unit) Jumlah Produksi (ton) Gambar 41 Potensi pengembangan rumput laut di Kabupaten Sumenep. Submodel Prasyarat Ekonomi Submodel prasyarat ekonomi bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut ditinjau dari perspektif ekonomi. Implementasi Model KlasteRula dilakukan dengan memberikan input data penilaian pakar kedalam modul submodel prasyarat ekonomi. Data penilaian pakar yang diinput berupa data bobot dan data skor berdasarkan kriteria prasyarat ekonomi yang telah ditetapkan. Hasil diagnosis kelayakan persyaratan ekonomi pengembangan klaster secara perhitungan manual dapat dilihat pada Lampiran 2.1. Hasil pemeriksaan terhadap output model dengan perhitungan manual tidak menunjukkan adanya penyimpangan, sehingga hal ini merupakan petunjuk bahwa model telah terverifikasi dengan baik. Ikhtisar keluaran model penilaian pakar pada diagnosis kelayakan prasyarat ekonomi pengembangan klaster disajikan pada Tabel 18. Hasil implementasi model menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep ditinjau dari perspektif ekonomi Cukup Layak untuk dilakukan yang didukung oleh potensi pasar produk yang cukup tinggi. Pada Tabel 18 terlihat bahwa permintaan pasar dan ketersediaan infrastruktur ekonomi merupakan indikator-indikator yang mempunyai bobot Tinggi, sementara untuk indikator lainnya mempunyai bobot Sedang. Hal ini menunjukkan bahwa indikator permintaan pasar dan infrastruktur merupakan indikator yang harus menjadi perhatian utama dalam pengembangan klaster industri rumput laut.

137 119 Tabel 18 Penilaian prasyarat ekonomi No. Indikator Bobot Skor Nilai Indeks 1 Permintaan pasar T T T 2 Kemampuan teknologi S S S 3 Infrastruktur ekonomi T S S 4 Kemampuan SDM S S S 5 Kegiatan ekonomi lokal S S S 6 Iklim investasi S S S 7 Permodalan S S S 8 Pertumbuhan industri/usaha S S S Kesimpulan Cukup Layak Dari sisi infrastruktur, prasyarat yang sudah dimiliki Kabupaten Sumenep untuk pengembangan klaster industri rumput laut meliputi: Ketersediaan listrik dengan kapasitas daya mencapai VA. Dari jumlah kapasitas tersebut, hanya sekitar VA yang saat ini terpakai (BPS 2009). Kapasitas daya listrik ini cukup memadai mengingat kebutuhan listrik khusus untuk industri ATC hanya sebesar VA. Ketersediaan air PDAM dengan potensi produksi sebesar m 3, dengan tingkat konsumsi hanya mencapai m 3 (BPS 2009). Kebutuhan air untuk produksi hanya sebesar 263 m 3 /hari. Potensi ini masih belum memperhitungkan potensi air tanah yang cukup tersedia. Akses jalan cukup baik. Dari sekitar km panjang jalan, sekitar 84,81% dalam kondisi baik. Panjang jalan yang diaspal mencapai 92,79% (BPS 2009). Kondisi jalan yang cukup baik ini akan memudahkan pelaku usaha dalam melakukan kegiatan transportasi dan distribusi barang. Ketersediaan pelabuhan. Selain transportasi darat, keberadaan transportasi laut sangat diperlukan mengingat wilayah Kabupaten Sumenep adalah kepulauan. Pelabuhan yang berada di Kecamatan Kalianget melayani rute Kalianget-Kangean dan Kalianget-Jangkar. Wilayah ini juga berdekatan dengan Pelabuhan Tanjung Perak yang berada di Kota Surabaya. Sumberdaya manusia secara kuantitas cukup tersedia di Kabupaten Sumenep. Jumlah angkatan kerja tahun 2009 mencapai orang. Namun, sekitar 22,0%

138 120 adalah angkatan kerja yang berpendidikan tidak tamat SD (BPS 2009). SDM yang terlibat dalam pengusahaan rumput laut di Kabupaten Sumenep cukup banyak. Pada tahun 2009, jumlah pembudidaya mencapai orang dengan jumlah rakit budidaya sebanyak rakit. Tabel 19 Potensi sumberdaya manusia di Kabupaten Sumenep No. Kecamatan Jumlah pembudidaya (orang) Giligenting Bluto Saronggi Talango Gapura Dungkek Ra as Sapeken Kangayan Arjasa Masalembu Batu Putih Jumlah Sumber: DKP Kabupaten Sumenep (2010) Submodel Prasyarat Sosial Submodel prasyarat sosial bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut ditinjau dari perspektif sosial. Implementasi Model KlasteRula dilakukan dengan memberikan input data penilaian pakar kedalam modul submodel prasyarat sosial, baik berupa data bobot dan data skor, yang didasarkan pada kriteria prasyarat sosial yang telah ditetapkan. Hasil diagnosis kelayakan persyaratan sosial secara perhitungan manual dapat dilihat pada Lampiran 2.2. Hasil pemeriksaan terhadap output model dengan perhitungan yang dilakukan secara manual tidak menunjukkan adanya penyimpangan, sehingga hal ini merupakan petunjuk bahwa model telah terverifikasi dengan baik. Ikhtisar hasil implementasi submodel diagnosis kelayakan prasyarat sosial disajikan pada Tabel 20. Hasil diagnosis menunjukkan bahwa secara sosial

139 121 pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep Cukup Layak untuk dilakukan. Hal ini didukung oleh kondisi sosial budaya yang kondusif untuk pengembangan klaster. Tabel 20 Penilaian prasyarat sosial No. Kriteria Bobot Skor Nilai Indeks 1 Dukungan stakeholders ST S S 2 Kondisi sosial budaya T T T 3 Motivasi stakeholders S S S 4 Ketersediaan tata ruang T S S 5 Keterlibatan masyarakat setempat T S S Agregasi Cukup Layak Pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa indikator dukungan para pemangku kepentingan (stakeholders) mempunyai bobot yang Sangat Tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri rumput laut harus mendapatkan dukungan penuh dari stakeholders terkait agar nantinya klaster dapat beroperasi secara optimal. Submodel Prasyarat Kelembagaan Submodel model prasyarat kelembagaan bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan persyaratan pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan di Kabupaten Sumenep ditinjau dari perspektif kelembagaan. Ikhtisar hasil penilaian prasyarat kelembagaan disajikan pada Tabel 21. Hasil perhitungan manual diagnosis kelayakan persyaratan kelembagaan pengembangan klaster di Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada Lampiran 2.3. Tabel 21 Penilaian prasyarat kelembagaan No. Kriteria Bobot Skor Nilai Indeks 1 Kelengkapan struktur kelembagaan ST S S 2 Mekanisme hubungan kelembagaan T S S 3 Mekanisme monitoring dan evaluasi S S S Agregasi Cukup Layak

140 122 Pada Tabel 21 terlihat bahwa indikator kelengkapan struktur kelembagaan mempunyai bobot Sangat Tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan pengembangan klaster industri sangat dipengaruhi oleh kelengkapan struktur kelembagaan yang terlibat dalam aktivitas pengembangan klaster di daerah. Semakin lengkap stakeholders yang terlibat dalam kelembagaan klaster industri, maka semakin besar kemungkinan keberhasilan pengembangan klaster. Agregasi prasyarat kelembagaan pengembangan klaster berdasarkan hasil penilaian pakar adalah Sedang. Artinya, pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep ditinjau dari perspektif kelembagaan Cukup Layak untuk dilakukan, meskipun kelengkapan struktur kelembagaan klaster masih belum sepenuhnya terbentuk. Potensi kelengkapan struktur kelembagaan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep, meliputi: Pembudidaya. Pembudidaya merupakan produsen primer yang membudidayakan rumput laut. Pembudidaya umumnya tergabung dalam suatu kelompok usaha pembudidaya yang saat ini jumlahnya mencapai 214 kelompok. Koperasi. Koperasi merupakan wadah bagi para pembudidaya untuk berusaha di sektor rumput laut. Koperasi membina kelompok-kelompok pembudidaya. Koperasi sekaligus bertindak sebagai pengepul di tingkat desa dan kecamatan. Pengepul/pedagang besar. Pengepul/pedagang besar melakukan pembelian rumput laut dari pengepul di tingkat kecamatan. Ada 9 unit usaha yang melakukan pembelian rumput laut di Kabupaten Sumenep yang tergolong pengepul besar, yaitu: UD. Karang Baru, UD. Ladaina, UD. Beni Tanasa, UD. Harapan Jaya, CV. Delta Surya Prima, PT. Madura Prima Interna, PT. Indo Carragenan, dan PT. Sansiwita. Pengepul besar selanjutnya menjual rumput laut kering ke eksportir yang berkedudukan di Surabaya dan Malang. Insitusi pembiayaan. Lembaga pembiayaan, baik bank dan non bank, yaitu: BRI, BCA, BNI, Bank Jatim, BPR Syariah Bakti Sumekar, Pegadaian,

141 123 Koperasi dan LKM (KSP, USP, BMT). Menurut laporan BI (2008), jumlah total kredit yang telah dikucurkan oleh pihak BRI, BCA, dan Bank Jatim pada tahun 2008 untuk usaha rumput laut sebesar Rp ,- Institusi pendidikan. Institusi pendidikan yang mendukung pengembangan klaster industri rumput laut di Kabupaten Sumenep, meliputi: Universitas Wiraraja Sumenep, Universitas Negeri Trunojoyo Bangkalan, STM Perikanan Jurusan Budidaya Rumput Laut Sumenep, Pesantren Al-Amin Prenduan Sumenep, serta Balai Besar Air Payau (BBAP) Situbondo. Submodel Agregasi Prasyarat Kelayakan Pengembangan Submodel ini bertujuan untuk mengagregasi prasyarat-prasyarat kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan (ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan). Proses agregasi menggunakan teknik sistem pakar (expert system). Jumlah aturan yang digunakan dalam sistem pakar sebanyak 81 aturan. Aturan-aturan (rulebase) yang digunakan dalam sistem pakar dapat dilihat pada Lampiran 3. Konsultasi pada sistem pakar menggunakan input dari keluaran submodel ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Konsultasi pada sistem pakar dilakukan dengan memberikan data masukan pada modul formulir konsultasi pada sistem pakar. Berdasarkan hasil konsultasi ditemukan ada satu buah aturan yang tepat dengan kondisi aktual yang ditanyakan, yaitu Aturan 14. Tabel 22 Hasil agregasi diagnosis kelayakan pengembangan klaster No. Prasyarat Hasil Diagnosis Agregasi 1 Ekologi Sesuai 2 Ekonomi Cukup Layak 3 Sosial Cukup Layak Cukup Layak 4 Kelembagaan Cukup Layak Hasil konsultasi pada sistem pakar menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri rumput laut Cukup Layak dikembangkan di Kabupaten Sumenep. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa Kabupaten Sumenep mempunyai potensi yang cukup baik untuk pengembangan klaster industri rumput laut.

142 124 Saran yang diberikan dalam konsultasi dengan sistem pakar adalah mempertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster, yaitu dengan meningkatkan beberapa prasyarat yang dianggap belum menunjukkan kondisi ideal yang diharapkan seperti pada prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan sebagai faktor kunci keberhasilan dalam penilaiannya. Faktor-faktor tersebut menurut Porter (1990) merupakan penentu daya saing klaster industri rumput laut sebagaimana tercakup dalam model berlian Porter. Model Operasi Pengembangan Klaster Model operasi pengembangan klaster bertujuan untuk menganalisis operasi pengembangan klaster jika prasyarat pengembangan klaster telah dipenuhi. Model ini dikembangkan untuk menganalisis langkah-langkah operasional pengembangan yang perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan tercapainya klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Model operasi sistem pengembangan klaster meliputi submodel operasi ekonomi, operasi sosial, dan operasi lingkungan. Submodel Operasi Ekonomi Submodel operasi ekonomi digunakan untuk menentukan harga rumput laut pada rantai usaha rumput laut didalam klaster, baik di tingkat agroindustri ATC, koperasi, kelompok pembudidaya, dan pembudidaya. Harga rumput laut untuk produk ATC di pasaran sangat dipengaruhi oleh kekuatan gel (gel strength/gs). Kekuatan gel merupakan parameter utama yang menentukan kualitas ATC. ATC dengan kualitas GS yang tinggi diasumsikan akan mempunyai harga yang tinggi. Meningkatnya harga ATC dengan GS tinggi akan mendorong meningkatnya harga rumput laut didalam klaster. Implementasi model dilakukan dengan memberikan input data parameter GS, harga ATC, harga rumput laut pada berbagai tingkatan kedalam modul submodel operasi ekonomi. Hasil penentuan harga rumput laut secara perhitungan manual dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil pemeriksaan terhadap output model dengan perhitungan manual tidak menunjukkan adanya penyimpangan, sehingga hal ini merupakan petunjuk bahwa model telah terverifikasi dengan baik.

143 125 Harga rumput laut di tingkat agroindustri Harga rumput laut di tingkat agroindustri ditentukan oleh harga ATC di pasar internasional. Peningkatan harga ATC akan diikuti oleh peningkatan harga rumput laut sesuai dengan kualitas GS. Keluaran model penentuan harga beli rumput laut di tingkat agroindustri pada berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel 23. Asumsi-asumsi yang digunakan untuk menentukan harga rumput laut di tingkat agroindustri adalah sebagai berikut: Volume produksi ATC sebesar 472,5 ton/tahun Volume pembelian rumput laut ton/tahun Margin keuntungan 25% Nilai tukar mata uang dolar terhadap rupiah adalah Rp per 1 US$. Biaya produksi sebesar Rp /tahun (rincian perhitungan biaya produksi dapat dilihat pada Lampiran 4.1). Tabel 23 Skenario harga rumput laut di tingkat agroindustri Gel strength (gr/cm 2 ) Harga jual ATC (US$/kg) Harga beli rumput laut (Rp/kg) 500 3, , , , , , , , , , , , , , , , , Tabel 23 menunjukkan simulasi harga beli rumput laut di tingkat agroindustri yang didasarkan pada harga ATC di pasar internasional. Berdasarkan tabel dapat

144 126 diketahui secara interaktif pada tingkat berapa harga rumput laut harus dibeli oleh agroindustri dari pemasok bahan baku dengan margin keuntungan yang dikehendaki. Harga rumput laut merupakan salah satu parameter yang dianggap sensitif dalam pengembangan usaha agroindustri ATC. Perubahan nilai parameter tersebut sangat menentukan kelayakan usaha agroindustri ATC. Tabel 24 menunjukkan harga maksimum rumput laut yang dapat dibeli oleh agroindustri yang masih dalam kondisi kelayakan usaha. Pembelian rumput laut melebihi harga maksimum akan menyebabkan agroindustri akan mengalami kerugian. Tabel 24 Skenario harga maksimum rumput laut di tingkat agroindustri Gel strength Harga beli rumput laut Harga maksimum (gr/cm2) (Rp/kg) (Rp/kg) Keterangan Tidak layak Tidak layak Harga naik 0.7% Harga naik 2% Harga naik 4% Harga naik 5% Harga naik 5% Harga naik 6% Harga naik 7% Harga naik 7% Harga naik 8% Harga naik 8% Harga naik 8% Harga naik 9% Harga naik 9% Harga naik 10% 1, Harga naik 10% Harga rumput laut kering riil di tingkat agroindustri pada bulan Maret 2011 dengan kualitas GS 775 gr/cm2 adalah sebesar Rp /kg. Harga tersebut masih di sekitar rentang interval harga yang dianggap layak didalam model, yaitu tidak melebihi harga beli maksimum rumput laut di tingkat agroindustri. Harga maksimum rumput laut kering di tingkat agroindustri adalah Rp /kg, atau 6% dari harga normal.

145 127 Harga rumput laut di tingkat koperasi Harga rumput laut di tingkat koperasi mencakup harga jual rumput laut kepada agroindustri dan harga beli rumput laut yang dipasok dari kelompok pembudidaya. Harga rumput laut di tingkat koperasi dipengaruhi oleh harga rumput laut di tingkat agroindustri. Keluaran model penentuan harga rumput laut di tingkat koperasi pada berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel 25. Asumsi-asumsi yang digunakan untuk menentukan harga di tingkat koperasi adalah sebagai berikut: Volume penjualan rumput laut sebesar ton/tahun Volume pembelian rumput laut ton/tahun Biaya produksi mencakup biaya transportasi dari koperasi ke pabrik pengolahan yang nilainya sebesar Rp. 30/kg rumput laut kering Tabel 25 Skenario harga rumput laut di tingkat koperasi Gel Strength (gr/cm 2 ) Harga jual (Rp/kg) Harga beli (Rp/kg) Margin (%) , , , , , , , , , , , , , , , , ,50 Tabel 25 menunjukkan simulasi harga beli maksimum rumput laut di tingkat koperasi yang dipasok oleh kelompok pembudidaya pada berbagai harga jual rumput laut kepada pihak agroindustri. Margin keuntungan koperasi diperoleh dari selisih

146 128 harga beli dan harga jual rumput laut di tingkat koperasi yang rata-rata nilainya sebesar 5,6% per kg. Harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya Kelompok pembudidaya berperan sebagai pengumpul rumput laut kering yang dihasilkan oleh pembudidaya. Harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya mencakup harga jual rumput laut kepada koperasi dan harga beli rumput laut yang dikumpulkan dari pembudidaya. Harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya dipengaruhi oleh harga rumput laut di tingkat koperasi. Biaya produksi yang dikeluarkan kelompok pembudidaya adalah biaya pengeringan dan pengemasan sebesar Rp. 50/kg, serta biaya transportasi dari tempat kelompok pembudidaya ke koperasi yang nilainya sebesar Rp. 20/kg rumput laut kering. Keluaran model penentuan harga di tingkat kelompok pembudidaya pada berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Skenario harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya Gel Strength (gr/cm 2 ) Harga jual (Rp/kg) Harga beli (Rp/kg) Margin (%) , , , , , , , , , , , , , , , , ,76 Tabel 26 menunjukkan simulasi harga beli rumput maksimal rumput laut yang dihasilkan pembudidaya pada berbagai variasi harga jual rumput laut yang akan dijual kepada koperasi. Margin keuntungan kelompok pembudidaya diperoleh dari

147 129 selisih harga beli dan harga jual rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya yang rata-rata nilainya sebesar 12,03% per kg. Harga rumput laut di tingkat pembudidaya Harga rumput laut di tingkat pembudidaya mengikuti harga rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya. Tingkat keuntungan pembudidaya ditentukan oleh harga jual rumput di tingkat kelompok dibandingkan dengan harga pokok produksi (HPP) usaha budidaya rumput laut. HPP dihitung berdasarkan jumlah biaya operasional budidaya rumput laut dibagi dengan jumlah produksi rumput laut yang dihasilkan. Keluaran model penentuan harga di tingkat koperasi pada berbagai skenario disajikan pada Tabel 27. Harga jual adalah harga rumput laut yang dijual kepada kelompok pembudidaya yang bertindak sebagai pengepul. Harga pokok produksi (HPP) adalah rata-rata HPP budidaya rumput laut dengan menggunakan skenario jumlah rakit sebanyak 1, 3, 5, 10, 15, dan 20 unit (Lampiran 5). Margin keuntungan pembudidaya adalah selisih harga jual dengan HPP. Semakin tinggi margin menunjukkan bahwa tingkat keuntungan yang diperoleh pembudidaya akan semakin tinggi pula. Tabel 27 Skenario harga rumput laut di tingkat pembudidaya Gel strength (gr/cm 2 ) Harga jual (Rp/kg) Harga pokok produksi (Rp/kg) Margin (%) , , , , , , , , , , , , , , , , ,26

148 130 Pada Tabel 27 dapat dilihat bahwa jika rumput laut mempunyai kualitas GS yang tidak baik, misalnya pada kisaran 500 gr/cm 2, maka pembudidaya akan mengalami kerugian karena harga jual rumput laut tidak bisa menutup biaya untuk produksinya. Sebaliknya, jika pembudidaya mampu menghasilkan rumput laut dengan kualitas GS sebesar gr/cm 2, maka margin keuntungan yang diperoleh pembudidaya mencapai 117,26%. Berdasarkan nilai-nilai pembelian bahan baku dan penjualan produk dalam rantai produksi rumput laut, maka selanjutnya dapat ditentukan besarnya nilai tambah yang diperoleh oleh masing-masing pelaku usaha didalam klaster industri rumput laut. Menurut Brown (1994), nilai tambah adalah perbedaan atau selisih antara biaya bahan dan nilai produk akhir dari suatu proses produksi. Perhitungan nilai tambah pada simpul-simpul pemasaran rumput laut didalam klaster mengikuti definisi yang disampaikan Brown. Rantai nilai usaha didalam klaster mulai budidaya hingga pemasaran dapat dilihat pada Gambar 42. Gambar 42 Rantai usaha klaster industri rumput laut. Pada Gambar 42 dapat dilihat bahwa nilai tambah terbesar dihasilkan oleh pembudidaya yang mencapai 61,12%, kemudian diikuti oleh pihak agroindustri sebesar 30,86%. Peningkatan nilai tambah yang cukup besar disebabkan oleh adanya proses pengolahan yang cukup panjang yang dilakukan baik oleh pembudidaya maupun agroindustri, sementara kelompok pembudidaya dan koperasi relatif tidak melakukan proses pengolahan produk. Semua elemen yang terlibat dalam rantai produksi didalam klaster harus mempunyai visi bersama untuk meningkatkan daya

149 131 saing produk sesuai peran dan fungsinya untuk mendapatkan keuntungan secara bersama. Submodel Operasi Teknologi Submodel operasi teknologi pada dasarnya dibangun dalam rangka mengatasi permasalahan ketidakseimbangan jumlah bahan baku yang tersedia dengan kapasitas produksi agroindustri rumput laut. Sulaeman (2006) menyatakan bahwa ketersediaan jumlah rumput laut kering sebagai bahan baku produksi sering tidak sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dapat terjadi karena kapasitas terpasang industri pengolahan rumput laut yang ada umumnya lebih besar dari kapasitas suplai bahan baku. DKP (2005) menyebutkan bahwa jaminan pasokan baku merupakan salah satu faktor yang mendorong berkembangnya industri rumput laut. Submodel keseimbangan bahan baku bertujuan untuk mencari titik keseimbangan antara jumlah pasokan bahan baku rumput laut kering yang tersedia dengan kapasitas produksi agroindustri ATC. Model ini dirancang untuk mengatasi kurang seimbangnya antara jumlah kapasitas produksi ATC dengan jumlah pasokan bahan baku rumput laut. Model keseimbangan bahan baku menggunakan teknik heuristic. Dengan mengetahui titik keseimbangan bahan baku, maka dapat dicari secara interaktif berapa jumlah kapasitas produksi ATC yang optimal, luas lahan budidaya rumput laut yang diperlukan, serta berapa luas kebun bibit yang perlu disediakan untuk menunjang usaha budidaya rumput laut. Model ini dapat mengatasi permasalahan kurang seimbangnya antara jumlah pasokan bahan baku dengan kapasitas produksi. Model keseimbangan bahan baku dirancang dapat memprediksi kebutuhan bahan baku dan luas areal budidaya rumput laut secara interaktif dengan memasukkan data tingkat kapasitas produksi ATC yang ditetapkan. Kemampuan model dalam memprediksi keseimbangan antara tingkat produksi, kebutuhan bahan baku dan luas lahan, dapat dimanfaatkan untuk menjaga kontinuitas pasokan bahan baku yang terkendali. Hasil simulasi model keseimbangan bahan baku pada berbagai

150 132 skenario dapat dilihat pada Tabel 28. Simulasi menggunakan variasi kapasitas produksi ATC berkisar antara 1,35 2,03 ton/hari. Asumsi yang digunakan untuk menganalisis keseimbangan bahan baku adalah sebagai berikut: Rendemen ATC dari rumput laut kering adalah 30% Produktivitas budidaya rumput laut sebesar 1,5 ton/ha/siklus Jumlah siklus budidaya dalam satu tahun sebanyak 5 siklus Rasio luas kebun bibit dengan luas areal tanam budidaya adalah 1:3,5 dimana luas areal tanam budidaya adalah 3,5 kali luas kebun bibit yang digunakan. Tabel 28 merupakan hasil simulasi keluaran model yang memperlihatkan hubungan antara kebutuhan bahan baku, kebutuhan lahan budidaya, dan kebutuhan lahan pembibitan, pada berbagai skenario kapasitas produksi ATC yang telah ditetapkan. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa jika kapasitas produksi agroindustri ATC sebesar 1,575 ton/hari, atau 472,5 ton/tahun, maka jumlah kebutuhan rumput laut kering yang diperlukan adalah ton/tahun. Untuk mendapatkan jumlah bahan baku sesuai dengan kapasitas produksi ATC, maka kebutuhan lahan untuk budidaya yang perlu disediakan adalah 210 ha dengan luasan kebun bibit mencapai 60 ha. Kapasitas produksi ATC (ton/hari) Tabel 28 Hasil simulasi keseimbangan bahan baku Kapasitas produksi ATC (ton/tahun) Kebutuhan bahan baku (ton/tahun) Kebutuhan lahan budidaya (Ha) Kebutuhan lahan pembibitan (Ha) 1, , ,0 180,0 51,4 1, , ,0 190,0 54,3 1, , ,0 200,0 57,1 1, , ,0 210,0 60,0 1, , ,0 220,0 62,9 1, , ,0 230,0 65,7 1, , ,0 240,0 68,6 1, , ,0 250,0 71,4 1, , ,0 260,0 74,3 2, , ,0 270,0 77,1 Sumber: Data diolah (2010)

151 133 Salah satu manfaat utama yang diperoleh dari klaster industri adalah meningkatkan efisiensi dan produktivitas (Porter 1998a; Desrochers dan Sautet 2004; Waits 2000). Parameter efisiensi dan produktivitas pada penelitian ini salah satunya didekati menggunakan model keseimbangan bahan baku. Model ini menggambarkan hubungan antara tingkat produksi ATC dengan pemenuhan rumput laut sebagai bahan baku. Hasil validasi model menunjukkan bahwa keluaran model menghasilkan hubungan yang linier antara tingkat produksi ATC dengan kebutuhan bahan baku. Hubungan ini bermanfaat untuk menetapkan estimasi tingkat kapasitas produksi ATC yang tepat sesuai dengan kapasitas bahan baku yang tersedia. Hal ini akan mendorong peningkatan tingkat utilisasi kapasitas produksi ATC pada kondisi optimal sehingga akan menghasilkan efisiensi penggunaan bahan baku dan meningkatkan produktivitas perusahaan. Hasil ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan jaminan ketersediaan pasokan bahan baku bagi industri sebagaimana dilaporkan oleh DKP (2005). 700 Produksi ATC (Ton/Tahun) Kebutuhan Bahan Baku (Ton/Tahun) Gambar 43 Hubungan antara produksi ATC dan kebutuhan bahan baku. Submodel Operasi Sosial Model operasi sosial dirancang untuk menstrukturisasi elemen-elemen yang berperan dalam sistem pengembangan klaster industri rumput laut. Model ini mencakup identifikasi elemen-elemen penting pembangun sistem pengembangan klaster dan strukturisasi sistem yang digunakan untuk menentukan klasifikasi

152 134 elemen-elemen sistem berdasarkan tingkat driver power dependence serta struktur hirarki elemen-elemen pengembangan sistem klaster industri rumput laut. Elemenelemen sistem yang dianalisis mencakup elemen kendala pengembangan, elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan, elemen aktivitas pengembangan, serta elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan. Struktur elemen kendala pengembangan Kendala pengembangan merupakan kendala atau permasalahan yang harus diselesaikan dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil survei lapang dan diskusi dengan pakar telah teridentifikasi 15 sub elemen kendala pengembangan klaster industri rumput laut, meliputi: (E1) Rendahnya keterkaitan dan kerjasama usaha (E2) Keterbatasan SDM yang berkualitas (E3) Keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran (E4) Keterbatasan infrastruktur usaha (E5) Keterbatasan teknologi (E6) Keterbatasan sarana produksi (E7) Rendahnya akses kepada sumber pembiayaan (E8) Kurangnya dukungan pemerintah dan stakeholders (E9) Lemahnya kelembagaan di tingkat pembudidaya (E10) Rendahnya mutu lingkungan perairan budidaya (E11) Belum ada penetapan tata ruang kawasan budidaya (E12) Terbatasnya tenaga pendamping (E13) Perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan (E14) Asimetris informasi terkait dengan harga dan mutu (E15) Eksklusivisme antar pelaku klaster Hasil penilaian hubungan kontekstual antar elemen kendala pengembangan klaster, pembentukan Structural Self Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix (RM) dapat dilihat pada Lampiran 7.2. Strukturisasi terhadap elemenelemen kendala pengembangan klaster tersebut menghasilkan klasifikasi elemen serta struktur hirarki.

153 135 Klasifikasi elemen kendala pengembangan klaster didasarkan pada nilai-nilai driver power (DP) dan dependence (D) pada matriks reachability (RM final), yang mencakup 4 (empat) sektor, yaitu sektor independent, linkage, dependent dan autonomous. Klasifikasi elemen kendala pengembangan klaster dapat dilihat pada Gambar E2, E3 14 D R I V E R Independent E9, E12 Linkage E1, E4, E5, E6, E10 P O W E R Autonomous E7, E8, E11, E13, E14, E15 Dependent DEPENDENCE Gambar 44 Klasifikasi elemen kendala pengembangan klaster. Gambar 44 menunjukkan bahwa keterbatasan SDM yang berkualitas (E2) serta keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran produk (E3) termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Elemen-elemen lain yang termasuk dalam sektor independent adalah lemahnya kelembagaan di tingkat pembudidaya (E9) dan terbatasnya tenaga pendamping (E12). Hasil tersebut menunjukkan bahwa elemenelemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap elemen-elemen pengembangan klaster lainnya. Elemen rendahnya keterkaitan dan kerjasama usaha (E1), keterbatasan infrastruktur usaha (E4), keterbatasan teknologi (E5), keterbatasan sarana produksi (E6), dan rendahnya mutu lingkungan perairan budidaya (E10) termasuk dalam sektor linkage. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai

154 136 kekuatan penggerak yang cukup besar, namun saling terkait sehingga dalam mengkaji perlu hati-hati. Perubahan terhadap satu elemen ini akan berdampak terhadap elemen lainnya. Elemen rendahnya akses kepada sumber pembiayaan (E7), kurangnya dukungan pemerintah dan stakeholders (E8), belum ada penetapan tata ruang kawasan budidaya (E11), perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan (E13), asimetris informasi terkait dengan harga dan mutu (E14), dan eksklusivisme antar pelaku klaster (E15) termasuk dalam peubah tidak bebas (sektor dependent). Elemen-elemen ini merupakan elemen output karena sangat tergantung pada elemen-elemen lainnya. Hasil ini memberi makna bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang relatif kecil dan sangat tergantung dengan peubah-peubah lainnya. Hasil klasifikasi elemen-elemen kendala pengembangan klaster yang didasarkan pada matriks reachability menunjukkan bahwa keterbatasan SDM yang berkualitas (E2) serta keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran produk (E3) merupakan elemen kunci karena mempunyai daya dorong dengan nilai tertinggi serta tidak tergantung pada elemen-elemen kendala lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut merupakan kendala utama yang harus diprioritaskan penanganannya terlebih dahulu untuk mendorong berkembangnya klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil klasifikasi elemen-elemen kendala pengembangan, struktur hirarki elemen kendala pengembangan klaster terdiri dari 4 (empat) level. Strukturisasi terhadap hirarki elemen kendala pengembangan klaster industri rumput laut disajikan pada Gambar 45. Berdasarkan struktur hirarki elemen kendala pengembangan, terlihat bahwa elemen keterbatasan SDM yang berkualitas (E2) serta keterbatasan akses informasi dan jaringan pemasaran produk (E3) menempati hirarki tertinggi pada level 4. Elemen-elemen pada level tertinggi ini tidak bergantung pada elemen-elemen pada level lainnya. Tertanganinya elemen-elemen kendala pada level 4 akan mendorong

155 137 terselesaikannya elemen-elemen kendala pada level 3, yaitu lemahnya kelembagaan di tingkat pembudidaya (E9) dan terbatasnya tenaga pendamping (E12). Gambar 45 Struktur hirarki elemen kendala pengembangan klaster. Keberadaan elemen-elemen kendala pada hirarki level 3 ditentukan oleh elemen-elemen kendala pada level 4. Tertanganinya elemen-elemen kendala pada level 3 akan mendorong terselesaikannya elemen-elemen kendala pada level 2, yaitu elemen rendahnya keterkaitan dan kerjasama usaha (E1), keterbatasan infrastruktur usaha (E4), keterbatasan teknologi (E5), keterbatasan sarana produksi (E6), dan rendahnya mutu lingkungan perairan budidaya (E10). Elemen-elemen kendala pada level 2 keberadaannya tergantung pada elemen-elemen kendala pada level 3. Tertanganinya elemen-elemen kendala pada level 2 akan mendorong terselesaikannya elemen-elemen kendala pada level 1, yaitu elemen rendahnya akses kepada sumber pembiayaan (E7), kurangnya dukungan pemerintah dan stakeholders (E8), belum ada penetapan tata ruang kawasan budidaya (E11), perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan (E13), asimetris informasi terkait dengan harga dan mutu (E14), dan eksklusivisme antar pelaku klaster (E15). Elemen-elemen kendala pada level terendah ini keberadaannya sangat bergantung pada elemen-elemen kendala pada level lainnya. Struktur elemen tolok ukur tujuan pengembangan Tolok ukur tujuan pengembangan merupakan tolok ukur atau ukuran untuk menilai pencapaian tujuan pengembangan klaster industri rumput laut yang

156 138 berkelanjutan. Berdasarkan hasil survei lapang dan diskusi dengan pakar telah teridentifikasi 15 sub elemen tolok ukur tujuan pengembangan klaster industri rumput laut, meliputi: (E1) Peningkatan luas areal panen budidaya rumput laut (E2) Peningkatan tingkat produktivitas usaha budidaya (E3) Kecukupan bahan baku bagi industri pengolahan (E4) Mutu produk sesuai spesifikasi (E5) Peningkatan volume produksi untuk memenuhi permintaan (E6) Peningkatan akses dan jaringan pemasaran (E7) Peningkatan nilai produksi produk olahan (E8) Peningkatan diversifikasi produk olahan (E9) Tingkat keuntungan pembudidaya diatas UMR (E10) Tingkat keuntungan tenaga kerja industri inti diatas UMR (E11) Peningkatan jumlah tenaga kerja yang terserap (E12) Peningkatan kontribusi rumput laut terhadap ekonomi wilayah (E13) Peningkatan jaringan dan pengembangan modal sosial (E14) Peningkatan kapasitas inovasi (E15) Penurunan potensi pencemaran lingkungan (E16) Proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster (E17) Peningkatan kolaborasi/kerjasama antar pelaku dalam klaster Hasil penilaian hubungan kontekstual antar elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster, pembentukan Structural Self Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix (RM) dapat dilihat pada Lampiran 7.3. Strukturisasi terhadap elemen-elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster tersebut menghasilkan klasifikasi elemen serta struktur hirarki, sebagaimana disajikan pada Gambar 46 dan Gambar 47. Pada Gambar 46 dapat dilihat bahwa penurunan potensi pencemaran lingkungan (E15) dan proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster (E16) termasuk dalam peubah bebas. Elemen-elemen lainnya dalam sektor independent adalah tingkat keuntungan pembudidaya diatas UMR (E9), tingkat keuntungan tenaga kerja industri inti diatas UMR (E10), peningkatan jumlah tenaga

157 139 kerja yang terserap (E11), dan peningkatan kontribusi rumput laut terhadap ekonomi wilayah (E12). Hasil tersebut menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap elemen-elemen pengembangan klaster lainnya. 17 E15, E E9, E10, E11, E12 D R I V E R Independent Linkage E1, E2, E3, E4, E5, E6 E7, E8, E13, E14, E17 8 P O W E R Autonomous Dependent DEPENDENCE Gambar 46 Klasifikasi elemen pencapaian tujuan pengembangan klaster. Elemen tolok ukur tujuan peningkatan luas areal panen budidaya rumput laut (E1), peningkatan tingkat produktivitas usaha budidaya (E2), kecukupan bahan baku bagi industri pengolahan (E3), mutu produk sesuai spesifikasi (E4), peningkatan volume produksi untuk memenuhi permintaan (E5), peningkatan akses dan jaringan pemasaran (E6), peningkatan nilai produksi produk olahan (E7), peningkatan diversifikasi produk olahan (E8), peningkatan jaringan dan pengembangan modal sosial (E13), peningkatan kapasitas inovasi (E14), peningkatan kolaborasi/kerjasama antar pelaku dalam klaster (E17) termasuk dalam sektor linkage. Hal ini menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang

158 140 cukup besar, namun saling terkait sehingga dalam mengkaji perlu hati-hati. Perubahan terhadap satu elemen ini akan berdampak terhadap elemen lainnya. Pada Gambar 46 terlihat bahwa tidak ada satu pun elemen-elemen tolok ukur tujuan pengembangan yang termasuk dalam sektor dalam sektor dependent. Hasil ini memberi makna bahwa seluruh elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan mempunyai penggerak yang cukup tinggi, meskipun beberapa diantaranya mempunyai ketergantungan dengan elemen-elemen lainnya. Hasil klasifikasi elemen-elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster yang didasarkan pada matriks reachability menunjukkan bahwa penurunan potensi pencemaran lingkungan (E15) dan proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster (E16) merupakan elemen kunci karena mempunyai daya dorong dengan nilai tertinggi serta tidak tergantung pada elemen-elemen tujuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut merupakan tujuan utama yang harus dicapai terlebih dulu untuk mendorong berkembangnya klaster industri rumput laut. Berdasarkan hasil klasifikasi elemen-elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan, struktur hirarki elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan klaster terdiri dari 3 (tiga) level. Strukturisasi terhadap hirarki elemen tujuan pengembangan klaster industri rumput laut disajikan pada Gambar 47. Gambar 47 Struktur hirarki elemen pencapaian tujuan pengembangan. Berdasarkan struktur hirarki tersebut, terlihat bahwa penurunan potensi pencemaran lingkungan (E15) dan proporsi keuntungan yang seimbang antar pelaku dalam klaster (E16) menempati hirarki tertinggi pada level 3. Elemen-elemen pada

159 141 level ini tidak bergantung pada elemen-elemen pada level lainnya. Tercapainya tujuan-tujuan pada level ini akan mendorong terwujudnya tujuan-tujuan pada level 2, yaitu tingkat keuntungan pembudidaya diatas UMR (E9), tingkat keuntungan tenaga kerja industri inti diatas UMR (E10), peningkatan jumlah tenaga kerja yang terserap (E11), dan peningkatan kontribusi rumput laut terhadap ekonomi wilayah (E12). Dengan tercapainya tujuan-tujuan pada level 2, akan mempengaruhi pula terhadap pencapaian tujuan pada level 1, yaitu tujuan peningkatan luas areal panen budidaya rumput laut (E1), peningkatan tingkat produktivitas usaha budidaya (E2), kecukupan bahan baku bagi industri pengolahan (E3), mutu produk sesuai spesifikasi (E4), peningkatan volume produksi untuk memenuhi permintaan (E5), peningkatan akses dan jaringan pemasaran (E6), peningkatan nilai produksi produk olahan (E7), peningkatan diversifikasi produk olahan (E8), peningkatan jaringan dan pengembangan modal sosial (E13), peningkatan kapasitas inovasi (E14), serta peningkatan kolaborasi/kerjasama antar pelaku dalam klaster (E17). Struktur elemen aktivitas pengembangan Aktivitas pengembangan merupakan aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil survei lapang dan diskusi dengan pakar telah teridentifikasi 15 sub elemen aktivitas pengembangan klaster rumput laut, meliputi: (E1) (E2) (E3) (E4) (E5) (E6) (E7) (E8) (E9) Memberikan bimbingan dan pendampingan Melakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Meningkatkan kerjasama dan kemitraan usaha antar pelaku klaster Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait secara lintas sektor Meningkatkan skala ekonomi usaha yang efisien Memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran Mengembangkan sistem manajemen mutu serta sistem sertifikasi keamanan produk Mendorong industri rumput laut menerapkan manajemen lingkungan Mendorong upaya pelestarian fungsi lingkungan melalui pembangunan instalasi pengolahan limbah

160 142 (E10) Mengembangkan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan (E11) Mengembangkan infrastruktur ekonomi (E12) Meningkatkan akses kepada sumber pembiayaan dan permodalan Hasil penilaian hubungan kontekstual antar elemen aktivitas pengembangan klaster, pembentukan Structural Self Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix (RM) dapat dilihat pada Lampiran 7.4. Strukturisasi terhadap elemenelemen aktivitas pengembangan klaster tersebut menghasilkan klasifikasi elemen serta struktur hirarki, sebagaimana disajikan pada Gambar 48 dan Gambar 49. D R I V E R P O W E R E1, E6 E11 Independent Autonomous E2, E5, E10, E12 Linkage E3, E4, E7, E8, E9 Dependent DEPENDENCE Gambar 48 Klasifikasi elemen aktivitas pengembangan klaster. Pada Gambar 48 dapat dilihat bahwa memberikan bimbingan dan pendampingan (E1) dan memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran (E6) termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Elemen-elemen lain yang termasuk dalam sektor independent adalah mengembangkan infrastruktur ekonomi (E11). Hasil tersebut menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap elemen-elemen pengembangan klaster lainnya. Elemen aktivitas melakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (E2), meningkatkan skala ekonomi usaha yang efisien (E5), mengembangkan teknologi

161 143 yang efisien dan ramah lingkungan (E10), dan meningkatkan akses kepada sumber pembiayaan dan permodalan (E12) termasuk dalam sektor linkage. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang cukup besar, namun saling terkait sehingga dalam mengkaji perlu hati-hati. Perubahan terhadap satu elemen ini akan berdampak terhadap elemen lainnya. Sementara, elemen aktivitas meningkatkan kerjasama dan kemitraan usaha antar pelaku klaster (E3), meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait secara lintas sektor (E4), mengembangkan sistem manajemen mutu serta sistem sertifikasi keamanan produk (E7), mendorong industri rumput laut menerapkan manajemen lingkungan (E8), dan mendorong upaya pelestarian fungsi lingkungan melalui pembangunan instalasi pengolahan limbah (E9) termasuk dalam peubah tidak bebas (sektor dependent). Elemen-elemen ini merupakan elemen output karena sangat tergantung pada elemen-elemen lainnya. Hasil ini memberi makna bahwa elemenelemen tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang relatif kecil dan sangat tergantung dengan peubah-peubah lainnya. Hasil klasifikasi elemen-elemen aktivitas pengembangan klaster yang didasarkan pada matriks reachability menunjukkan bahwa memberikan bimbingan dan pendampingan (E1) dan memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran (E6) merupakan elemen kunci karena mempunyai daya dorong dengan nilai tertinggi serta tidak tergantung pada elemen-elemen tujuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa elemen-elemen tersebut merupakan aktivitas utama yang dibutuhkan untuk perencanaan tindakan dalam pengembangan klaster. Berdasarkan hasil klasifikasi elemen-elemen aktivitas pengembangan, struktur hirarki elemen aktivitas pengembangan klaster terdiri dari 4 (empat) level. Strukturisasi terhadap hirarki elemen aktivitas pengembangan klaster industri rumput laut disajikan pada Gambar 49. Pada struktur hirarki tersebut dapat dilihat bahwa memberikan bimbingan dan pendampingan (E1) serta memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran (E6) menempati hirarki tertinggi, yaitu level 4. Setelah aktivitas-aktivitas pada level 4 dilaksanakan, untuk mendorong keberhasilan program maka selanjutnya perlu

162 144 dilakukan pengembangan infrastruktur ekonomi (E11) yang merupakan elemen pada hirarki level 3. Dilakukannya aktivitas-aktivitas pada hirarki level ke 4 dan level 3, perlu diikuti dengan aktivitas-aktivitas pada hirarki level 2, yaitu melakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (E2), meningkatkan skala ekonomi usaha yang efisien (E5), mengembangkan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan (E10), dan meningkatkan akses kepada sumber pembiayaan dan permodalan (E12). Aktivitas terakhir yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kerjasama dan kemitraan usaha antar pelaku klaster (E3), meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait secara lintas sektor (E4), mengembangkan sistem manajemen mutu serta sistem sertifikasi keamanan produk (E7), mendorong industri rumput laut menerapkan manajemen lingkungan (E8), serta mendorong upaya pelestarian fungsi lingkungan melalui pembangunan instalasi pengolahan limbah (E9). Gambar 49 Struktur hirarki elemen aktivitas pengembangan klaster. Struktur elemen pelaku pengembangan Pelaku pengembangan adalah pelaku atau lembaga yang terlibat dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Ada 15 sub elemen aktivitas pengembangan klaster industri rumput laut yang teridentifikasi, meliputi: (E1) (E2) (E3) (E4) Industri inti (agroindustri/penghela) Pembeli produk inti (buyer) Kelompok usaha pembudidaya Pedagang perantara (middleman)

163 145 (E5) (E6) (E7) (E8) (E9) Industri penyedia sarana dan prasarana produksi Industri jasa distribusi dan transportasi Lembaga pembiayaan Lembaga pengembangan bisnis (BDS) Perguruan Tinggi (E10) Koperasi (E11) Masyarakat lokal (E12) Lembaga pengelola dampak lingkungan (Bapedal) (E13) Pemerintah Daerah (E14) Pemerintah Pusat (KKP) (E15) Lembaga Standarisasi Mutu Hasil penilaian hubungan kontekstual antar elemen pelaku pengembangan klaster, pembentukan Structural Self Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix (RM) dapat dilihat pada Lampiran 7.1. Strukturisasi terhadap elemenelemen pelaku pengembangan klaster tersebut menghasilkan klasifikasi elemen serta struktur hirarki, sebagaimana disajikan pada Gambar 50 dan Gambar E1, E2, E3, E11 14 D R I V E R P O W E R Independent Autonomous Linkage E4, E5, E6, E10, E13 E7, E8, E9, E12, E14, E15 Dependent DEPENDENCE Gambar 50 Klasifikasi elemen pelaku pengembangan klaster.

164 146 Pada Gambar 50 dapat dilihat bahwa industri inti (E1), pembeli (E2), kelompok usaha pembudidaya (E3), dan masyarakat lokal (E11) termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Hasil tersebut menunjukkan bahwa variabelvariabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pengembangan klaster industri rumput laut. Elemen pelaku pedagang perantara (E4), industri penyedia sarana dan prasarana produksi (E5), industri jasa distribusi dan transportasi (E6), koperasi (E10), dan pemerintah daerah (E13) termasuk dalam sektor linkage. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang cukup besar, namun saling terkait sehingga dalam mengkaji perlu hati-hati. Perubahan terhadap satu elemen ini akan berdampak terhadap elemen lainnya. Sementara, lembaga pembiayaan (E7), lembaga pengembangan bisnis (E8), perguruan tinggi (E9), lembaga pengelola dampak lingkungan (E12), pemerintah pusat (E14), serta lembaga standarisasi mutu (E15) termasuk dalam peubah tidak bebas (sektor dependent). Hasil ini memberi makna bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang relatif kecil dan sangat tergantung dengan peubah-peubah lainnya. Hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen pelaku pengembangan klaster industri rumput laut disajikan pada Gambar 51. Berdasarkan struktur hirarki elemen pelaku tersebut, terlihat bahwa industri inti (E1), pembeli (E2), kelompok usaha pembudidaya (E3), dan masyarakat lokal (E11) menempati hirarki tertinggi, yaitu level 3. Elemen-elemen pelaku ini merupakan pelaku-pelaku inti karena mempunyai pengaruh yang sangat besar dan menentukan terhadap keberhasilan dalam program pengembangan klaster industri rumput laut. Gambar 51 Struktur hirarki elemen pelaku pengembangan klaster.

165 147 Elemen pelaku pedagang perantara (E4), industri penyedia sarana dan prasarana produksi (E5), industri jasa distribusi dan transportasi (E6), koperasi (E10), dan pemerintah daerah (E13) menempati hirarki pada level 2. Keberadaan elemenelemen pada level ini sangat ditentukan oleh elemen-elemen yang ada pada level 1. Elemen-elemen pada level ini merupakan pelaku pendukung dan terkait bagi pelakupelaku ini didalam klaster. Elemen pelaku lembaga pembiayaan (E7), lembaga pengembangan bisnis (E8), perguruan tinggi (E9), lembaga pengelola dampak lingkungan (E12), pemerintah pusat (E14), serta lembaga standarisasi mutu (E15) menempati hirarki pada level 1, yaitu hirarki terendah dalam elemen pelaku pengembangan. Keberadaan elemen-elemen pada hirarki terendah ini dipengaruhi oleh elemenelemen pelaku lainnya didalam klaster. Elemen-elemen pelaku ini merupakan elemen pelaku yang berperan sebagai insitusi-intitusi pendukung dalam pengembangan klaster. Elemen-elemen ini berperan dalam memberikan bantuan dan bimbingan dalam pengembangan klaster agar bisa berkembang secara optimal. Submodel Operasi Lingkungan Submodel operasi lingkungan bermaksud untuk mengembangkan suatu alternatif upaya dalam rangka mengurangi potensi pencemaran lingkungan pada pengembangan klaster industri rumput laut, khususnya pada agroindustri ATC. Model ini dirancang untuk mengatasi permasalahan limbah yang sangat besar yang dihasilkan oleh agroindustri ATC. Metode yang digunakan untuk mencari alternatif penanganan limbah ATC adalah metode analytical hierarchy process (AHP) yang dikembangkan oleh Saaty (1988). Implementasi model dilakukan dengan memberikan input data penilaian pakar kedalam modul submodel operasi lingkungan, baik berupa data kriteria dan data alternatif. Hasil verifikasi model untuk pemilihan prioritas penanganan limbah cair industri ATC disajikan pada Tabel 29. Struktur hirarki penanganan limbah cair agroindustri dapat dilihat pada Gambar 52.

166 148 Tabel 29 Prioritas penanganan limbah cair ATC Alternatif Kriteria Teknologi Ekonomi Lingkungan Sintesis Prioritas 0,240 0,328 0,433 Peningkatan nilai tambah limbah 0,345 0,552 0,385 0,430 II Pemanfaatan kembali air limbah 0,564 0,310 0,520 0,462 I Optimasi peningkatan kinerja IPAL 0,091 0,138 0,095 0,108 III Gambar 52 Struktur hirarki penanganan limbah. Upaya memanfaatkan kembali air limbah yang digunakan untuk proses pencucian merupakan prioritas utama dalam penanganan limbah agroindustri ATC didalam klaster. Alternatif ini dipilih dengan pertimbangan kemudahan teknologi yang digunakan serta mempunyai resiko pencemaran lingkungan yang minimal. Alternatif kedua yang dapat dipertimbangkan untuk dipilih adalah upaya peningkatan nilai tambah limbah dalam menangani permasalahan limbah dalam industri ATC. Faktor utama yang menyebabkan alternatif peningkatan nilai tambah limbah terpilih adalah penggunaan biaya dan investasi yang lebih efisien jika dibandingkan dengan alternatif-alternatif lainnya. Alternatif ketiga, yaitu optimasi peningkatan kinerja IPAL, ternyata belum menjadi prioritas untuk dipilih terkait dengan biaya investasi, operasional maupun perawatannya yang lebih mahal. Pemilihan proses dan sistem yang tidak tepat atau disain IPAL yang salah akan menimbulkan berbagai persoalan, misalnya sistem tidak bisa bekerja secara optimal, hasil olahan tidak sesuai dengan yang diharapkan, serta sulit dalam pengendalian dan operasionalnya.

167 149 Model Prediksi Kinerja Pengembangan Klaster Submodel Prediksi Kinerja Ekonomi Submodel prediksi kinerja ekonomi bertujuan untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan klaster industri rumput laut ditinjau dari perspektif ekonomi. Pada submodel ini akan diperlihatkan prediksi keuntungan pelaku usaha didalam klaster dengan asumsi meningkatnya kualitas produk sebagai implikasi dari upaya kerjasama antar pelaku usaha yang mempunyai visi bersama dalam pengembangan klaster industri rumput laut. Keuntungan pembudidaya Keuntungan pembudidaya adalah keuntungan yang diterima pembudidaya dari usaha budidaya rumput laut. Data masukan yang digunakan untuk menganalisis keuntungan pembudidaya didalam model adalah harga jual rumput laut di tingkat pembudidaya, volume produksi rumput laut yang dihasilkan serta biaya produksi. Keuntungan pembudidaya dipengaruhi pula oleh jumlah rakit yang diusahakan sebagai fungsi produksi dengan asumsi bahwa semakin banyak jumlah rakit yang diusahakan maka jumlah keuntungan yang diperoleh akan semakin bertambah, demikian pula sebaliknya. Disamping jumlah rakit sebagai fungsi produksi rumput laut, aspek musim dan spasial juga berperan dalam menentukan jumlah produksi rumput laut. Pada studi kasus di Kabupaten Sumenep, budidaya rumput laut diasumsikan dapat dilakukan sebanyak 5 kali dalam setahun dengan pertimbangan bahwa di wilayah ini pada bulan-bulan tertentu rumput laut mengalami penurunan produksi. Hasil simulasi model keuntungan pembudidaya menggunakan skenario variasi harga jual rumput laut di tingkat pembudidaya dan jumlah rakit budidaya dapat dilihat pada Tabel 30. Asumsi-asumsi yang digunakan untuk mendapatkan nilai keuntungan pembudidaya serta hasil-hasil perhitungan secara manual dapat dilihat pada Lampiran 9. Tabel 30 menunjukkan bahwa semakin tinggi harga jual rumput laut di tingkat pembudidaya, maka keuntungan yang diterima pembudidaya akan semakin

168 150 besar, demikian pula sebaliknya. Jumlah rakit juga menentukan tingkat penerimaan pembudidaya. Semakin banyak jumlah rakit yang diusahakan, maka keuntungan yang diterima oleh pembudidaya akan semakin meningkat pula karena semakin efisien. Gel strength (gr/cm2) Harga jual (Rp/kg) Tabel 30 Skenario keuntungan pembudidaya Keuntungan (Rp/Bulan/Jumlah Rakit) Pada tabel dapat dilihat bahwa parameter gel strength (GS) sebagai parameter kualitas rumput laut berpengaruh terhadap keuntungan pembudidaya. Semakin tinggi GS rumput laut pembudidaya, maka keuntungan pembudidaya juga semakin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa keuntungan pembudidaya ditentukan pula oleh kualitas rumput laut yang dihasilkan. Model keuntungan pembudidaya memasukkan unsur upah minimum kabupatan (UMK) sebagai pembanding sampai sejauh mana usaha budidaya rumput laut dianggap menguntungkan. Dengan asumsi harga rumput laut di tingkat pembudidaya sebesar Rp /kg dan UMK Sumenep tahun 2011 per bulan sebesar Rp , maka tingkat keuntungan pembudidaya pada berbagai jumlah rakit disajikan pada Tabel 31.

169 151 Tabel 31 Tingkat keuntungan pembudidaya Jumlah Rakit Keuntungan UMK 2011 (Unit) (Rp/Bulan) (Rp/Bulan) Rasio , , , , , ,43 Tabel 31 menunjukkan tingkat keuntungan pembudidaya yang diukur berdasarkan nilai rasio antara keuntungan pembudidaya dengan UMK yang berlaku. Berdasarkan nilai rasio tersebut, maka usaha budidaya rumput laut dianggap menguntungkan dengan pengusahaan rakit minimal 5 unit. Usaha rumput laut yang dilakukan oleh pembudidaya merupakan usaha yang menguntungkan sehingga layak dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial usaha budidaya rumput laut sebagaimana disajikan pada Tabel 32. Asumsi-asumsi yang digunakan dan perhitungan hasil analisis kelayakan finansial usaha budidaya rumput laut selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Data yang digunakan untuk implementasi model didasarkan pada hasil observasi dan diskusi dengan kelompok pembudidaya rumput laut di Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep. Tabel 32 Analisis kelayakan finansial usaha budidaya rumput laut No. Parameter Satuan Hasil 1 Net Present Value Rp Internal Rate of Return % 354,77 3 Payback Periode Tahun 0,33 4 Benefit-Cost Ratio 1,43 5 Resiko Rendah Keputusan Layak Dalam konteks analisis kelayakan usaha budidaya rumput laut, parameterparameter yang dianggap berpengaruh terhadap keputusan investasi dalam usaha budidaya rumput laut didalam model meliputi produktivitas budidaya, harga jual rumput laut, dan harga bibit rumput laut. Parameter-parameter tersebut diuji

170 152 sensitivitasnya untuk menentukan sampai batas berapa perubahan terhadap parameter tersebut masih dapat diterima dalam investasi usaha budidaya rumput laut. Hasil uji sensitivitas menunjukkan bahwa paramater produktivitas budidaya dan harga jual rumput laut lebih sensitif dibandingkan dengan parameter harga bibit rumput laut. Meskipun produktivitas budidaya turun hingga 20% dan harga jual rumput laut turun 20%, sementara harga bibit tetap, maka usaha budidaya masih dianggap layak dijalankan. Hasil simulasi uji sensitivitas selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.6. sampai Lampiran Keuntungan yang diterima pembudidaya berpeluang untuk ditingkatkan didalam klaster diantaranya melalui upaya perbaikan kualitas rumput laut yang dihasilkan pembudidaya. BI (2008) melaporkan bahwa paramater GS pada rumput laut Sumenep masih dibawah standar kualitas yang dikehendaki pabrikan. Pengolahan rumput laut dengan bahan baku seperti ini akan menghasilkan ATC dengan kualitas rendah sehingga harganya tidak kompetitif. Kondisi ini disebabkan teknis budidaya rumput laut masih belum dilakukan secara benar, serta kebiasaan dalam penanganan pasca panen yang kurang tepat. Harga rumput laut yang berkualitas baik dan berkualitas rendah harganya tidak terlalu jauh berbeda. Proses penggaraman masih banyak dijumpai. Hal ini juga merupakan perilaku dari para pengumpul karena menghendaki produk rumput laut yang kering bergaram (berkualitas rendah), sehingga menyebabkan pembudidaya kurang perduli terhadap kualitas terhadap rumput laut kering yang dihasilkan (Zulham et al. 2007; BI 2008). Kebiasaan pembudidaya tentang teknik budidaya dan cara penanganan pasca panen yang kurang benar masih dapat diperbaiki didalam klaster melalui pembinaan dan pendampingan secara intensif. Kualitas rumput laut yang semakin baik akan mendorong peningkatan pada harga jual rumput laut di tingkat pabrikan pengolah rumput laut. Kualitas rumput laut selain ditentukan oleh kualitas perairan, juga dipengaruhi oleh mutu bibit, perawatan, penanganan panen, umur rumput laut saat dipanen, penanganan pasca panen (penjemuran dan penyimpanan di gudang).

171 153 Rumput laut Sumenep pada dasarnya merupakan rumput laut yang mempunyai kualitas baik. DKP Kabupaten Sumenep dan DKP Provinsi Jawa Timur melaporkan nilai GS rumput laut Sumenep berada pada kisaran 890 gram/cm 2 jika penanganan budidaya, panen dan pasca panen dilakukan secara benar. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian BI (2008) yang melakukan perubahan-perubahan pada teknik budidaya rumput laut yang selama ini dilakukan oleh pembudidaya. Hasil penelitian BI menunjukkan bahwa dengan perubahan teknik-teknik budidaya tersebut akan menghasilkan rumput laut dengan kualitas gel strength yang cukup tinggi, yaitu mencapai 908 gram/cm 2. Perubahan-perubahan teknik budidaya rumput laut dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Perubahan teknik budidaya rumput laut No. Aspek Kebiasaan Sebelum pendampingan Setelah pendampingan 1 Jenis bibit Sisa hasil panen Bibit unggul 2 Penggunaan usia bibit 45 hari 30 hari 3 Jarak tanam bibit untuk Tidak dilakukan cm kebun bibit 4 Berat bibit gram gram 5 Jarak tanam untuk cm cm produksi 6 Perawatan Dibiarkan saja Dibersihkan secara berkala 7 Waktu panen 30 hari 45 hari 8 Cara panen Ditarik tali risnya (melukai rumput laut) Panen total (dilepas tali pengikatnya, tidak melukai rumput laut) 9 Perlakuan pasca panen Dicampur garam Murni tidak ada pencampuran 10 Penjemuran Dijemur tanpa alas di atas Menggunakan para-para, 11 Cara penyimpanan rumput laut kering Sumber: BI (2008) tanah/pasir Ditumpuk di gudang tanpa alas dan ventilasi yang memadai waring dan terpal Ditumpuk di gudang dengan alas terpal atau geribik bambu dengan ventilasi yang cukup Berdasarkan pada kondisi lapang (evidence based), dalam rangka memenuhi capaian kualitas rumput, maka visi klaster didorong pada upaya peningkatan kualitas melalui pengembangan sistem inovasi. Didalam klaster, perlu dikembangkan sistem inovasi yang mampu mendorong upaya perbaikan kualitas rumput laut, pengadaan bibit yang baik, teknik budidaya, perlakuan panen dan pasca panen, dll., sebagaimana dilaporkan BI (2008).

172 154 Untuk mendukung sistem inovasi tersebut, maka diperlukan kerjasama yang baik antar pelaku-pelaku usaha yang terlibat dalam pengembangan industri rumput laut dari hulu hingga hilir sebagai suatu tindakan bersama (collective action). Dalam konteks klaster, kerjasama yang baik antara pembudidaya, kelompok pembudidaya, koperasi, dan agroindustri sangat diperlukan untuk mendorong terwujudnya sistem inovasi dalam rangka meningkatkan kualitas produk. Meningkatnya kualitas produk akan mendorong meningkatnya keuntungan yang diterima pembudidaya karena harga produk semakin kompetitif. Peningkatan keuntungan yang diperoleh pembudidaya dengan meningkatnya kualitas produk mencapai 56,39% dengan asumsi bahwa kualitas GS rumput laut dapat ditingkatkan dari GS 775 gram/cm 2 menjadi 900 gram/cm 2 melalui pengembangan klaster industri. Keluaran model peningkatan keuntungan pembudidaya dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34 Skenario peningkatan keuntungan pembudidaya Jumlah Rakit (Unit) Sebelum Klaster (Rp/Bulan) Setelah Klaster (Rp/Bulan) Peningkatan (%) , , , , , ,39 Keuntungan agroindustri Keuntungan agroindustri adalah keuntungan yang diterima agroindustri yang mengolah rumput laut menjadi ATC. Data masukan yang digunakan untuk menganalisis keuntungan agroindustri didalam model adalah harga jual ATC di pasar internasional dan volume produksi ATC yang dihasilkan serta biaya-biaya produksi untuk menghasilkan produk tersebut. Hasil simulasi model keuntungan agroindustri menggunakan skenario variasi harga jual ATC dan harga beli rumput laut dapat dilihat pada Tabel 35. Asumsi-asumsi dan perhitungan keuntungan agroindustri dapat dilihat pada Lampiran 10.

173 155 Pada Tabel 35 terlihat bahwa keuntungan agroindustri semakin meningkat seiring dengan meningkatnya harga ATC sesuai dengan parameter gel strength. Dengan semakin membaiknya kualitas rumput laut yang dihasilkan pembudidaya didalam klaster, maka pihak agroindustri dapat menawarkan produk ATC pada harga jual lebih tinggi. Tabel 35 Skenario keuntungan agroindustri Gel Strength (gr/cm 2 ) Harga ATC (U$/kg) Harga ATC (Rp/kg) Harga RL (Rp/kg) Keuntungan (Rp/Tahun) 500 3, , , , , , , , , , , , , , , , ,000 7, Peningkatan keuntungan yang diperoleh agroindustri dengan meningkatnya kualitas produk mencapai 33,25% dengan asumsi bahwa kualitas GS meningkat dari 775 gram/cm 2 menjadi 900 gram/cm 2 yang dapat dicapai melalui pengembangan klaster industri. Keluaran model peningkatan keuntungan agroindustri dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36 Skenario peningkatan keuntungan agroindustri Uraian Satuan Sebelum Klaster Setelah Klaster Gel Strength gr/cm Harga ATC US$/kg 5,6 6,6 Harga RL Rp/kg Keuntungan Rp/tahun Peningkatan keuntungan % 33,25

174 156 Agroindustri rumput laut merupakan usaha yang menguntungkan sehingga layak dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat hasil analisis kelayakan finansial usaha agroindustri yang disajikan pada Tabel 37. Asumsi-asumsi yang digunakan dan perhitungan hasil analisis kelayakan finansial usaha agroindustri ATC selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Tabel 37 Ikhtisar hasil analisis kelayakan finansial agroindustri ATC No. Parameter Satuan Hasil 1 Net Present Value Rp Internal Rate of Return % 32,41 3 Payback Periode Tahun 5,04 4 Benefit-Cost Ratio 1,05 5 Resiko Sedang Keputusan Layak Untuk mengetahui hingga sejauh mana usaha agroindustri ini dianggap menguntungkan, dapat dilakukan uji sensitivitas. Parameter yang dianggap sensitif adalah harga beli rumput laut dan harga jual ATC. Hasil uji sensitivitas menunjukkan bahwa kedua parameter tersebut sangat sensitif terhadap perubahan nilai dan investasi pada usaha ini mempunyai resiko tinggi. Perubahan nilai parameter harga rumput laut hingga 6% masih dianggap layak, namun lebih dari itu sudah tidak layak lagi. Kondisi yang sama terjadi pada parameter harga ATC dimana harga naik lebih dari 4%, maka usaha agroindustri ini tidak layak dijalankan. Namun jika harga rumput laut turun 10% yang diikuti dengan penurunan harga ATC sebesar 10%, maka usaha ini masih dianggap layak. Sebaliknya, jika harga rumput laut naik 5% sementara harga ATC turun 2% dapat menyebabkan usaha agroindustri tidak layak untuk dijalankan. Hasil uji sensitivitas selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran sampai Lampiran Keuntungan koperasi Sebagai bagian dari rantai produksi rumput laut, koperasi juga mendapat manfaat dengan adanya klaster. Peningkatan kualitas produk yang terjadi dengan adanya pengembangan klaster akan mendorong peningkatan keuntungan yang

175 157 diterima koperasi sebesar 18,32%, dengan asumsi kualitas GS rumput laut meningkat dari 775 gram/cm 2 menjadi 900 gram/cm 2. Hal ini disebabkan terjadinya peningkatan nilai tambah harga rumput laut yaitu dari sebesar Rp. 553/kg menjadi sebesar Rp. 654/kg, atau sebesar Rp. 101/kg. Dengan peningkatan nilai tambah tersebut, koperasi akan mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp per tahun dengan asumsi volume penjualan rumput laut mencapai ton/tahun. Keluaran model keuntungan koperasi disajikan pada Tabel 38. Tabel 38 Skenario keuntungan koperasi Uraian Harga Jual Harga Beli Nilai Tambah Keuntungan (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/tahun) Keuntungan sebelum klaster Keuntungan setelah klaster Selisih keuntungan Keuntungan kelompok pembudidaya Pengembangan klaster industri akan mendorong peningkatan keuntungan bagi kelompok pembudidaya hingga mencapai 18,15%. Hal ini disebabkan terjadinya peningkatan nilai tambah harga rumput laut dari sebesar Rp /kg menjadi sebesar Rp /kg, atau sebesar Rp. 193/kg. Dengan peningkatan nilai tambah tersebut, kelompok pembudidaya akan mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp per tahun. Keluaran model keuntungan kelompok pembudidaya disajikan pada Tabel 39. Tabel 39 Skenario keuntungan kelompok pembudidaya Uraian Harga Jual Harga Beli Nilai Tambah Keuntungan (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/tahun) Keuntungan sebelum klaster Keuntungan setelah klaster Selisih keuntungan Berdasarkan nilai keuntungan yang diperoleh masing-masing pelaku usaha yang terlibat didalam klaster, total keuntungan dalam pengembangan klaster mencapai Rp per tahun. Nilai keuntungan klaster tersebut ditentukan

176 158 oleh jumlah kapasitas produksi ATC sebesar 472,5 ton/tahun dengan pasokan bahan baku rumput laut sebesar ton/tahun. Nilai manfaat terbesar klaster diperoleh pembudidaya yang menikmati keuntungan hingga 66,14% dari total keuntungan klaster. Nilai tersebut merupakan nilai total keuntungan dari seluruh pembudidaya yang melakukan usaha budidaya berdasarkan dengan target kapasitas yang ditentukan. perhitungan proporsi keuntungan klaster dapat dilihat pada Lampiran 11. Pelaku Klaster Tabel 40 Proporsi keuntungan klaster Keuntungan Sebelum Klaster (Rp/tahun) Keuntungan Setelah Klaster (Rp/tahun) Selisih Keuntungan (Rp/tahun) Selengkapnya hasil Proporsi (%) Agroindustri ,67 Koperasi ,55 Kelompok Pembudidaya ,64 Pembudidaya ,14 Jumlah Kontribusi agroindustri terhadap pendapatan daerah Model ini dirancang untuk menunjukkan potensi ekonomi agroindustri ATC yang tergabung didalam klaster terhadap pendapatan atau pembangunan daerah dalam bentuk pendapatan asli daerah (PAD). Kontribusi agroindustri terhadap PAD didasarkan pada asumsi jumlah pajak agroindustri yang dapat dipungut oleh daerah sebagai pajak daerah dibandingkan dengan nilai PAD. Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Perusahaan agroindustri merupakan perusahaan yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri rumput laut yang berkedudukan di daerah, dan oleh karenanya dapat dikenakan pajak atas keuntungan yang diperoleh setiap tahun. Pajak perusahaan industri daerah pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah dan harus berpedoman pada UU yang berlaku.

177 159 Pajak agroindustri pada model dirancang dengan asumsi tarif pajak daerah sebesar 15% dari keuntungan agroindustri. Skenario kontribusi agroindustri didalam klaster terhadap pendapatan daerah dapat dilihat pada Tabel 41. Tabel 41 Kontribusi agroindustri terhadap pendapatan daerah Uraian Satuan Sebelum Klaster Setelah Klaster Keuntungan agroindustri Rp/tahun PAD Rp./tahun Pajak Daerah Rp/tahun Kontribusi % 0,85 1,14 Keluaran model menunjukkan bahwa kontribusi secara finansial agroindustri ATC terhadap jumlah PAD adalah sebesar 1,14% dengan skenario tarif pajak 15%. Nilai ini lebih tinggi jika agroindustri tidak menjadi bagian dari klaster. Dengan adanya pengembangan klaster industri, agroindustri mampu menghasilkan produk yang lebih berkualitas yang diasumsikan meningkat dari GS dari 775 gr/cm2 menjadi 900 gr/cm2. Meskipun kontribusi agroindustri terhadap PAD masih relatif kecil, namun keberadaan agroindustri ini dapat menjadi salah satu potensi penerimaan PAD yang bisa diandalkan dalam rangka mengembangkan perekenomian daerah. Keberadaan agroindustri secara ekonomi akan menguntungkan bagi daerah karena dapat memberikan efek pengganda dalam penyerapan tenaga kerja. Submodel Prediksi Kinerja Sosial Model ini dirancang untuk memprediksi jumlah tenaga kerja yang terserap didalam klaster. Penyerapan tenaga kerja diukur berdasarkan jumlah kebutuhan tenaga kerja yang terlibat dalam pembudidayaan rumput laut yang dapat memproduksi rumput laut untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produksi ATC didalam klaster. Acuan dasar dalam menentukan jumlah penyerapan tenaga kerja ini adalah kapasitas produksi ATC yang ditetapkan didalam klaster dan jumlah kebutuhan rakit untuk budidaya rumput laut. Asumsi-asumsi yang digunakan untuk menghitung jumlah tenaga kerja yang terserap didalam klaster adalah sebagai berikut:

178 160 Kapasitas produksi ATC sebesar kg/hari, atau 472,5 ton/tahun (1 tahun setara dengan 300 hari). Kebutuhan bahan baku rumput laut sebesar kg/hari, atau ton/tahun (rendemen ATC 30%). Produksi rumput laut kering untuk 1 unit rakit dengan ukuran 10x10 m 2 adalah 160 kg/siklus, atau 800 kg/tahun (1 tahun setara dengan 5 siklus). Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pengikatan bibit sebanyak 4 orang per rakit, penanaman dan pemeliharaan sebanyak 1 orang per rakit, serta pemanenan dan penjemuran 2 orang per rakit. Keluaran model penyerapan tenaga kerja ditunjukkan pada Tabel 42. Pada tabel terlihat bahwa untuk memenuhi kapasitas produksi rumput laut didalam klaster sebesar ton/tahun, maka jumlah rakit yang dibutuhkan adalah unit. Berdasarkan jumlah rakit ini, jumlah tenaga kerja total yang terserap dalam pengusahaan rumput laut adalah orang per tahun. Jika diperhitungkan dengan jumlah angkatan kerja yang ada, maka penyerapan tenaga kerja didalam klaster mencapai 14,56%. Tabel 42 Penyerapan tenaga kerja klaster Uraian Satuan Nilai Jumlah rakit yang dibutuhkan Unit Tenaga kerja untuk pengikatan bibit Orang Tenaga kerja untuk pemeliharaan Orang Tenaga kerja untuk pemanenan dan penjemuran Orang Jumlah tenaga kerja total Orang Jumlah angkatan kerja Orang Tingkat penyerapan % 14,56 Submodel Prediksi Kinerja Lingkungan Limbah utama dalam pengembangan agroindustri ATC adalah limbah air cucian yang bersifat alkali, yang akan menimbulkan masalah bagi lingkungan jika tidak ditangani sebaik-baiknya. Pembuangan limbah ke lingkungan tanpa melalui proses penanganan yang baik akan mengancam kelestarian ekosistem yang berada disekitarnya. Hingga saat ini, di Indonesia belum ada sistem pengolahan khusus

179 161 untuk menangani limbah cair ATC. Selama ini, industri lebih terkonsentrasi pada penanganan limbah menggunakan IPAL. Berdasarkan pilihan penanganan limbah agroindustri ATC didalam klaster, prioritas utama yang akan dilakukan adalah daur ulang limbah cair menjadi air bersih yang dapat digunakan kembali untuk proses pengolahan ATC selanjutnya. Upaya daur ulang limbah cair akan mengefisienkan penggunaan air untuk pengolahan, sekaligus mengurangi masalah pencemaran lingkungan. Kinerja daur ulang limbah cair ATC pada penelitian ini mengacu pada rancangan alat hasil rekayasa Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan menggunakan teknik koagulasi dan filtrasi (Sedayu et al. 2007). Alur proses pengolahan ATC dan daur ulang limbah cair dapat dilihat pada Gambar 53. Eucheuma cottonii Perendaman dengan alkali Pencucian pendahuluan (rumput laut : air = 1 : 10) Limbah cair Proses pengolahan limbah Ekstraksi dengan KOH (rumput laut : larutan KOH = 1 : 6) Pencucian ke-1 (rumput laut : air = 1 : 10) Pencucian ke-2 (rumput laut : air = 1 : 50) Pengeringan ATC Keterangan: : Pengumpulan : Daur ulang Gambar 53 Pengolahan ATC dan daur ulang limbah (Sedayu et al. 2007). Untuk menghitung efisiensi penggunaan air melalui proses daur ulang limbah cair ATC, asumsi-asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut:

180 162 Kapasitas produksi ATC sebesar kg/hari, dengan kebutuhan bahan baku kg/hari (rendemen ATC 30%). Siklus pemakaian air daur ulang yaitu hari ke-1 seluruhnya menggunakan air bersih, selanjutnya hari ke-2 hingga ke-6 menggunakan air daur ulang dengan penambahan air bersih yang baru, demikian seterusnya. Air daur ulang dapat digunakan sebanyak 5 kali proses untuk pengolahan ATC berikutnya. Efisiensi jumlah air bersih yang dihasilkan dari proses daur ulang adalah 85% dari jumlah limbah yang diolah. Ikhtisar hasil penggunaan air olahan dari proses daur ulang dapat dilihat pada Tabel 43. Pada tabel dapat dilihat bahwa jumlah air olahan yang dapat digunakan kembali hingga hari ke-6 mencapai 1.338,75 m 3. Jika tidak menggunakan air daur ulang, maka kebutuhan air untuk proses pengolahan ATC mencapai 2.205,00 m 3 selama 6 hari. Hasil ini menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan air melalui proses daur ulang mencapai 60,71%. Dalam setahun, air yang dapat dihemat mencapai m 3. Perhitungan efisiensi penggunaan air selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Tabel 43 Penggunaan air dalam proses produksi ATC No. Uraian Satuan Jumlah 1. Air bersih yang digunakan hari ke-1 m 3 367,50 2. Air daur ulang yang digunakan hari ke-2 s/d ke-6 m ,75 3. Penambahan air bersih hari ke-2 s/d ke-6 m 3 498,75 4. Total penggunaan air hari ke-1 s/d ke-6 m ,00 5. Efisiensi penggunaan air % 60,71 Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan limbah ATC tidak hanya bertumpu pada pemanfaatan IPAL, namun juga pada upaya untuk melakukan efisiensi dalam pemakaian air dan peningkatan nilai tambah. Upaya mendaur ulang limbah cair akan jauh lebih bermanfaat jika industri mengalami keterbatasan dalam penyediaan air, termasuk semakin meningkatnya harga air.

181 163 Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut Skenario Perubahan Rantai Usaha Pengembangan klaster industri rumput laut menitikberatkan pada integrasi yang penuh dari seluruh kegiatan sepanjang rantai nilai usaha rumput laut dari hulu hingga hilir. Sasaran utama pengembangan klaster industri rumput laut adalah: (i) peningkatan keuntungan secara merata pelaku usaha rumput laut mulai dari kegiatan paling hulu (pembudidaya) sampai kegiatan paling hilir (pemasaran); dan (ii) meningkatkan daya saing yang berkelanjutan. Proses integrasi didalam klaster sangat ditentukan pula oleh kuatnya jaringan kerjasama baik dengan industri terkait maupun industri pendukung serta infrastruktur ekonomi yang dinamis. Keterkaitan antar pelaku yang bergerak pada bidang usaha rumput laut saat ini dapat dilihat pada Gambar 54. Gambar 54 Rantai usaha rumput laut saat ini Ditinjau dari aspek posisi tawar menawar, dari lapangan dapat diketahui bahwa posisi pembudidaya sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari harga rumput laut yang ditentukan oleh pengepul. Informasi harga rumput laut bersifat asimetris. Informasi harga di pasaran rumput laut diperoleh dari pengepul kecil dan pengepul besar, namun pembudidaya tidak mengetahui harga ekspor sehingga pembudidaya sepenuhnya mengikuti harga yang ditentukan oleh pengepul. Harga rumput laut seringkali berubah sangat tinggi dan sulit untuk diprediksi. Melalui klaster,

182 164 diharapkan pembudidaya memiliki kemampuan untuk mengakses harga produknya melalui koperasi sebagai wadah pembudidaya untuk berusaha sesuai dengan standar kualitasnya. Di sisi yang lain, pihak agroindustri sebagai pabrik pengolah rumput laut juga harus bersaing dengan eksportir untuk mendapatkan bahan baku. Dalam konteks ini, kualitas umumnya tidak menjadi bahan pertimbangan utama dalam mendapatkan bahan baku namun lebih mementingkan pada aspek kuantitas. Kondisi ini dapat menyebabkan tidak adanya insentif, khususnya bagi pembudidaya, untuk menghasilkan rumput laut yang berkualitas dan tidak peduli terhadap kualitas rumput laut yang dihasilkannya. Harga rumput laut yang berkualitas baik maupun yang kualitasnya rendah harganya tidak terlalu jauh berbeda. Fluktuasi harga rumput laut dari waktu ke waktu tergolong tinggi. Rekayasa rantai usaha yang dikembangkan didalam klaster industri rumput laut dapat dilihat pada Gambar 55. Ditinjau dari aspek peran, masing-masing pelaku usaha didalam klaster memiliki peran yang sama pentingnya. Pada klaster industri rumput laut ini, agroindustri ATC bertindak sebagai industri inti (core industry). Agroindustri berfungsi sebagai penghela bagi kelompok industri yang ada didalam klaster. Hal ini disebabkan bahwa agroindustri ATC umumnya telah memiliki kekuatan dalam akses pasar. Agroindustri harus memiliki komitmen untuk pengembangan rumput laut didalam klaster. Pembudidaya Kelompok Pembudidaya Koperasi Agroindustri Buyer Gambar 55 Rantai usaha rumput laut didalam klaster

183 165 Saat ini di tingkat pembudidaya telah mulai terbentuk kelompok-kelompok pembudidaya di beberapa tempat. Terkait dengan hal ini, peran koperasi mulai dirasakan untuk menyatukan dan membina kelompok-kelompok pembudidaya baik dari pembinaan budidaya, penanganan panen dan pasca panen, serta pemasaran. Di sisi lain, koperasi juga memberikan bantuan modal pada anggotanya melalui Unit Simpan Pinjam (USP) dan juga menggalang dana/permodalan kepada pihak perbankan. Hubungan kerjasama antara koperasi dengan kelompok-kelompok pembudidaya sudah terjalin dengan baik pada beberapa tempat. Perubahan terhadap rantai usaha dengan adanya klaster ini membawa konsekuensi sebagai berikut: Perubahan mata rantai pemasaran Peningkatan mutu rumput laut melalui perbaikan teknik budidaya, penanganan panen dan pasca panen Informasi harga terbuka (akses dibuka di tingkat klaster) Efisiensi transportasi (kadar kotoran ditekan) Tidak diperlukan upaya equalizing Keuntungan dapat dinimati secara merata sesuai proporsi pada semua tingkatan pelaku usaha rumput laut Dalam jangka panjang kepercayaan pembeli meningkat dan harga ekspor meningkat. Pengembangan Kelembagaan Visi pengembangan klaster industri rumput laut difokuskan pada upaya peningkatan kualitas produk dari hulu hingga hilir menggunakan parameter kekuatan gel sebagai parameter utama yang menentukan kualitas produk. Hal ini dicapai melalui pengembangan kelembagaan klaster, yaitu dengan melakukan kerjasama yang baik dan intensif antar pelaku usaha yang terlibat didalam klaster. Peningkatan kualitas, nilai tambah dan keunggulan daya saing klaster industri rumput laut secara keseluruhan ditentukan oleh peran/kontribusi seluruh pelaku, baik sinergi tindakan bersama (collective action) maupun dinamika persaingan yang berkembang. Setiap

184 166 pelaku usaha secara inheren merupakan bagian dari klaster industri, karena keunggulan kompetitif tidak hanya ditentukan oleh satu pelaku usaha. Pengembangan kelembagaan klaster diarahkan pada pembentukan sistem kelembagaan yang dapat mendorong industri/institusi yang terlibat didalam klaster melakukan kerjasama untuk saling mendukung, saling memperkuat, dan saling menguntungkan dalam rangka peningkatan daya saing bersama. Pengembangan kelembagaan klaster ditujukan untuk melakukan perubahan terencana sehingga klaster industri rumput laut bisa berkembang secara efektif dan bermanfaat sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan kelembagaan yang diinginkan perlu dikelola agar perubahan yang terjadi dapat terencana sesuai dengan yang dikehendaki. Pengembangan kelembagaan klaster industri rumput laut dituangkan kedalam struktur organisasi dan aturan main yang mencakup fungsi dan wewenang, serta deskripsi kerja masingmasing komponen. Struktur organisasi yang dikembangkan diharapkan mampu mengakomodasi dan mengartikulasikan seluruh kepentingan masing-masing pihak yang berkepentingan dalam pengembangan klaster. Pengembangan kelembagaan klaster industri rumput laut dibangun berdasarkan analisis struktural sistem pengembangan klaster (ISM). Hasil analisis struktural menunjukkan bahwa pihak-pihak yang berperan penting dalam pengembangan klaster industri rumput laut meliputi agroindustri rumput laut, kelompok usaha pembudidaya, pembeli, pedagang pengumpul (pengepul), koperasi, industri sarana produksi, industri jasa distribusi dan transportasi, serta pemerintah daerah. Keterkaitan berbagai elemen yang terlibat dalam pengembangan klaster industri disajikan dalam Gambar 56. Beberapa hal penting lainnya yang dihasilkan dari analisis struktural pengembangan klaster industri rumput laut adalah terkait dengan kebutuhan/kendala, aktivitas, dan tujuan pengembangan klaster. Hasil analisis struktural menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri rumput laut membutuhkan informasi dan jaringan pemasaran produk karena saat ini dirasakan masih menjadi kendala bagi berkembangnya klaster. Faktor pemasaran ini menjadi penting karena berperan

185 167 dalam menarik minat untuk berusaha bagi para pelaku usaha yang tergabung di dalam klaster. Oleh karena itu, aktivitas utama yang harus dilakukan dalam mengembangkan klaster adalah memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran. Pasar Pemasaran Produk LN DN Pembeli/Pengusaha Eksportir Domestik Informasi Pasar Lembaga Pembiayaan Usaha Lembaga Pengembangan Bisnis dan Teknologi Agroindustri Rumput Laut Penjamin kualitas Penjamin pasar rumput laut Bimbingan dan pendampingan usaha Kelompok Pembudidaya Quality control Koperasi Pembudidaya Aliran rumput laut Pedagang Pengumpul Produksi rumput laut Industri Penyedia Sarana Produksi Industri Jasa Distribusi dan Transportasi Fasilitasi Pemerintah Daerah Gambar 56 Model pengembangan klaster industri rumput laut. Pengembangan klaster industri juga perlu didukung oleh sumberdaya manusia yang handal. Kebutuhan terhadap SDM yang terampil dan kompeten mutlak diperlukan untuk mendorong berkembangnya klaster industri. Namun saat ini terlihat bahwa SDM yang ada masih dianggap belum sesuai dengan yang diharapkan. Keterbatasan SDM yang berkualitas merupakan kendala yang harus diatasi agar klaster dapat berkembang sebagaimana diharapkan. Berdasarkan kondisi tersebut, memberikan bimbingan dan pendampingan bagi SDM klaster merupakan

186 168 salah satu langkah yang perlu dilakukan untuk mendorong peningkatan kualitas produk yang dihasilkan didalam klaster agar semakin kompetitif. Jika faktor SDM dan pemasaran telah menjadi prioritas utama yang perlu mendapat perhatian serius dalam pengembangan klaster, maka diharapkan klaster dapat berkembang sebagaimana mestinya. Faktor utama yang menjadi indikasi bahwa klaster telah berkembang adalah tercapainya tujuan bersama yaitu masingmasing pelaku di dalam klaster mendapatkan manfaat berupa keuntungan yang proporsional sesuai dengan peran dan fungsinya didalam klaster. Keuntungan yang dinikmati pelaku ini tentunya tidak mengorbankan faktor lingkungan sebagai faktor eksternalitas dalam pengembangan klaster. Oleh karena itu, penurunan potensi pencemaran lingkungan merupakan salah satu tolok ukur utama dalam menilai keberhasilan dalam pengembangan klaster. Hasil-hasil analisis struktural dielaborasi lebih lanjut kedalam fungsi dan peran dari masing-masing pihak yang terlibat didalam klaster untuk mendorong terwujudnya klaster industri rumput laut yang berkelanjutan, meliputi: Agroindustri rumput laut Agroindustri rumput laut merupakan perusahaan penghela yang akan menyerap seluruh rumput laut yang dihasilkan oleh pembudidaya melalui koperasi. Agroindustri merupakan pasar rumput laut bagi pembudidaya. Agroindustri berfungsi sebagai pabrikan pengolah rumput laut kering menjadi ATC. Produk ATC tersebut dijual kepada pembeli yang menjadi penjamin pasar. Perusahaan penghela didorong agar memiliki akses dan jaringan pemasaran sehingga dapat memasarkan produknya secara langsung baik ke pasar domestik maupun internasional. Bentuk badan hukum agroindustri dapat berupa PT, CV, atau BUMD yang sahamnya dapat dimiliki oleh kelompok pembudidaya atau pedagang pengumpul yang dilakukan melalui lembaga koperasi. Perusahaan penghela juga akan bertindak sebagai penjamin atas pinjaman yang diterima oleh lembaga koperasi, kelompok pembudidaya, dan pedagang pengumpul yang terlibat didalam klaster.

187 169 Koperasi Koperasi dapat berfungsi sebagai lembaga yang dapat membantu menyediakan layanan yang dibutuhkan bagi pengembangan usaha rumput laut. Peran utama koperasi didalam klaster adalah sebagai lembaga yang mengelola penyediaan bahan baku rumput laut bagi perusahaan penghela. Koperasi merupakan lembaga penjamin kualitas rumput laut yang dihasilkan pembudidaya. Peran koperasi dalam struktur kelambagaan klaster industri rumput laut adalah sebagai berikut: Menyediakan bibit unggul yang berkualitas dan tersertifikasi dari strain rumput laut yang sesuai dengan kondisi perairan setempat; Menampung seluruh hasil budidaya rumput laut dari pembudidaya melalui kelompok-kelompok usaha pembudidaya dan menjualkannya kepada pihak agroindustri sebagai penjamin pasar rumput laut pembudidaya; Melakukan pendampingan kepada kelompok-kelompok pembudidaya dalam rangka menjaga dan menjamin kuantitas, kualitas, dan kontinuitas produksi rumput laut sesuai dengan yang diharapkan. Koperasi perlu membuat kontrak dengan pihak agroindustri terkait dengan harga rumput laut yang didasarkan pada kualitasnya serta kuantitas yang dibutuhkan. Harga dan kualitas rumput laut harus dapat dibuka di tingkat klaster sehingga setiap anggota klaster dapat mengaksesnya. Berdasarkan tetapan harga di tingkat agroindustri ini, kelompok usaha pembudidaya dan pembudidaya mendapatkan harga sesuai dengan proporsinya. Di tingkat klaster, harga yang berlaku bersifat simetris dan fair, sehingga dapat menghindari distorsi dari lingkungan eksternal. Kelompok pembudidaya Kelompok pembudidaya berperan penting dalam rantai produksi rumput laut didalam klaster, yaitu kumpulan di tingkat pembudidaya sebagai wadah untuk peningkatan kinerja pembudidaya. Ketua kelompok pembudidaya berperan sebagai pengepul yang membeli hasil rumput laut dari pembudidaya. Pembinaan dan pendampingan oleh ketua kelompok (pengepul) sangat diperlukan agar rumput laut

188 170 yang dihasilkan sesuai dengan standar kualitas yang diinginkan. Dalam konteks ini, kelompok pembudidaya berfungsi sebagai pengawas kualitas (quality control) dalam memonitor penanganan panen dan pasca panen rumput laut agar rumput laut yang dihasilkan pembudidaya tetap terjamin. Proses kerja yang dilakukan kelompok adalah mengawasi proses produksi budidaya, membeli rumput laut dari pembudidaya, sortasi, pengeringan ulang dan pengepakan. Pasokan bahan baku yang dimiliki kelompok selanjutnya ditampung oleh koperasi untuk dijual ke perusahaan penghela. Kelompok pembudidaya melalui ketuanya (pengepul) disarankan memiliki saham di perusahaan penghela dalam rangka meningkatkan komitmen dan kontinuitas produksi bahan baku. Pembudidaya Pembudidaya rumput laut berperan sebagai pemasok primer bahan baku utama didalam klaster. Proses kerja yang dilakukan kelompok meliputi penanaman, pemanenan, dan pengeringan. Seluruh produksi rumput laut dari pembudidaya akan ditampung oleh kelompok pembudidaya dan/atau pedagang pengumpul untuk dilakukan proses lanjutan sebelum dijual ke koperasi. Dalam upaya meningkatkan komitmen dan kelangsungan produksi, diharapkan pembudidaya secara bertahap dapat memiliki saham di perusahaan penghela melalui lembaga koperasi. Kepemilikan saham ini bertujuan agar pembudidaya ikut merasa memiliki perusahaan. Saham perusahaan dijual kepada lembaga koperasi diharapkan tanpa pembayaran tunai dan pelunasannya diangsur dari dividennya. Pembeli Pembeli berperan untuk menampung seluruh produksi ATC yang dihasilkan oleh perusahaan penghela. Pembeli produk ATC dapat berasal dari pembeli domestik (perusahaan dalam negeri) yang sudah memiliki pasar (captive market) atau pembeli yang berasal dari negara lain. Jaringan distribusi dan pemasaran kepada pembeli domestik maupun luar negeri perlu senantiasa dibina dan dipelihara agar kontinuitas

189 171 pemasaran produk dapat terjamin. Peran penjamin pasar ini diperlukan untuk memperkuat level hilir pada pengembangan klaster industri rumput laut. Masyarakat lokal Masyarakat lokal adalah masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pengembangan klaster. Masyarakat lokal mempunyai peran penting didalam klaster, diantaranya adalah berperan sebagai penyedia tenaga kerja untuk menunjang tumbuhnya klaster. Dengan pertimbangan faktor kedekatan secara georgrafis dengan lokasi sumberdaya alam, maka masyarakat lokal merupakan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengembangan sumberdaya alam dalam bahan mentah yang akan ditingkatkan nilai tambahnya didalam klaster. Masyarakat perlu dilibatkan dalam fungsi pengawasan dan evaluasi perusahaan didalam klaster agar keberadaannya tidak merugikan masyarakat. Sebaliknya, keberadaannya harus memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk kepentingan tersebut, masyarakat lokal dapat dilibatkan didalam klaster khususnya didalam perusahaan, yaitu menjadi salah satu komisaris dalam membuat kebijakan perusahaan agroindustri. Penyedia sarana produksi Penyedia sarana produksi adalah unit usaha pendukung yang menyediakan segala keperluan (produk komplementer) yang dibutuhkan untuk kelancaran proses produksi industri yang terlibat didalam klaster, seperti bambu, tali ris, tali jangkar, tali rafia, jangkar, dll. Keberadaan unit usaha ini turut menentukan keberlanjutan usaha agroindustri dan merupakan bagian penting dalam pengembangan daya saing klaster. Penyedia jasa distribusi dan transportasi Penyedia jasa distribusi dan transportasi adalah industri terkait didalam klaster yang berperan dalam menyediakan jasa pengangkutan dan pengiriman barang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Keberadaan penyedia jasa ini diperlukan dalam rangka menjamin sistem distribusi barang yang lancar, tepat waktu (time delivery), dan aman.

190 172 Pemerintah Daerah Pengembangan klaster industri rumput laut dirancang untuk memenuhi kebutuhan pasar yang dilakukan oleh pelaku bisnis yang terlibat didalam klaster. Prakarsa klaster sebaiknya dilakukan oleh pelaku bisnis sebagai pihak yang berkepentingan (champion). Tambunan (2008) menyatakan bahwa sistem klaster yang berbasis pada kepentingan pengusaha dengan kekuatan mekanisme pasar lebih bertahan lama dibandingkan dengan sistem klaster yang dibangun oleh pemerintah. Menurut laporan ADB (2001), sistem klaster yang dibangun oleh pemerintah dapat menyebabkan ketidakmandirian organisasi yang terbentuk didalam klaster. Dalam konteks klaster, peran pemerintah (daerah) lebih difokuskan pada fungsi fasilitasi. Pemerintah berfungsi sebagai fasilitator dalam pengembangan jaringan didalam klaster. Pemerintah perlu memfasilitasi terbentuknya suatu forum dialog yang konstruktif antara pelaku usaha didalam klaster, peneliti, para pimpinan dunia usaha, pembuat kebijakan dan pakar dalam rangka pengembangan dan penguatan jaringan kelembagaan klaster, proses proses inovasi dan klasterisasi, untuk menciptakan keunggulan daya saing yang dinamis dan berkelanjutan. Lembaga pembiayaan usaha Terkait dengan aspek pembiayaan dan permodalan, kebutuhan pembiayaan bagi pelaku bisnis didalam klaster dapat difasilitasi oleh suatu lembaga pembiayaan, baik bank maupun non bank melalui kredit komersial untuk permodalan dan pembiayaan usahanya. Pihak agroindustri dapat memanfaatkan lembaga perbankan yang melayani kredit komersial untuk mengembangkan usahanya. Selain dapat menggunakan lembaga perbankan, pihak koperasi dan kelompok pembudidaya juga dapat memanfaatkan kredit usaha rakyat (KUR) untuk usaha produktif. KUR dilaksanakan oleh BRI, BNI, BTN, Bank Mandiri, Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri. Untuk menjamin efektivitas program KUR, perlu diidentifikasi dan dilakukan need assessment terhadap kelompok-kelompok sasaran, sehingga program yang diberikan sesuai dengan kebutuhan. Sementara, pihak pembudidaya dapat memanfaatkan KUR-Mikro. KUR- Mikro merupakan skema pembiayaan/kredit dari bank yang didukung dengan

191 173 penjaminan dari lembaga penjamin (PT. Askrindo/SPU) yang difasilitasi oleh pemerintah untuk mendukung pengembangan usaha mikro dan kecil yang layak usahanya namun tidak memiliki jaminan yang cukup sesuai persyaratan bank. Agar KUR-Mikro tersebut dapat menjangkau pembudidaya di pedesaan dan daerah pembudidaya, maka bank-bank penyalur kredit perlu bekerjasama dengan LKM seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Koperasi Kredit, Baitul Mal Wattamwil (BMT), Badan Kredit Desa (BKD), dll. Penentuan LKM yang memenuhi syarat menjadi penyalur KUR-Mikro adalah LKM yang mempunyai track record dan rating yang baik. Lembaga pengembangan bisnis dan teknologi Lembaga ini berperan sebagai penyedia layanan bisnis yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan keterampilan dan kompetensi SDM didalam klaster, termasuk didalamnya penyediaan, pemeliharaan, pengembangan teknologi dan implementasinya yang digunakan didalam klaster. Lembaga ini terdiri dari pihak universitas/perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pengembangan bisnis (BDS), dan lain-lain. Keterbatasan Model Sistem nyata dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan merupakan sistem yang sangat kompleks dan rumit. Untuk menghasilkan model dengan perilaku yang menyerupai sistem nyata pengembangan klaster industri rumput laut secara tepat, maka sangat diperlukan kajian yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap komponen-komponen penyusun model. Atas dasar alasan tersebut, model yang dikembangkan dalam penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan dalam rangka menghasilkan model yang akurat. Beberapa keterbatasan tersebut diantaranya meliputi: 1 Dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku agroindustri, rumput laut harus dapat diproduksi secara massal, kontinyu, dan seragam. Untuk kepentingan tersebut, maka diperlukan standarisasi dalam proses produksi rumput laut, misalnya bibit rumput laut, rakit untuk budidaya, masa budidaya, prosedur panen, kualitas air, dan lain-lain. Model yang dirancang dalam

192 174 penelitian ini tidak mengakomodasi standarisasi aspek-aspek tersebut secara spesifik. Dalam model, aspek-aspek tersebut diasumsikan telah distandarisasi sehingga dapat menghasilkan rumput laut secara tepat kuantitas, tepat kualitas dan tepat waktu pada saat dibutuhkan. Model tidak dirancang secara spesifik untuk perencanaan produksi bahan baku, khususnya pada aspek budidaya. Model keseimbangan bahan baku yang dikembangkan dalam penelitian hanya mengakomodasi produksi rumput laut sesuai dengan kebutuhan kapasitas produksi pada agroindustri yang telah ditetapkan dengan asumsi produktivitas hasil produksi sesuai dengan kondisi perairan. Sementara, model prasyarat ekologi hanya mengakomodasi penilaian kelayakan kondisi perairan untuk budidaya rumput laut. Kondisi ekologi perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut diasumsikan akan menghasilkan rumput laut sebagaimana diharapkan. Kondisi perairan dianggap sebagai faktor lingkungan yang merupakan input sistem yang tidak bisa dikendalikan. 2 Model tidak mempertimbangkan faktor risiko dalam penyediaan bahan baku agroindustri didalam klaster. Model tidak mengakomodasi aspek manajemen risiko dalam pengadaan bahan baku agroindustri untuk mengurangi potensi risiko yang ditimbulkan dari ketidakpastian dalam penyediaan bahan baku. Potensi risiko bahan baku diantaranya adalah sifat produk rumput laut yang mudah rusak (perishable), mempunyai volume besar (bulky), dan dalam proses budidayanya sangat dipengaruhi oleh kondisi musim/cuaca, serangan hama penyakit seperti ice-ice, teknik budidaya, penanganan panen dan pasca panen. Hal-hal tersebut akan berpengaruh dalam risiko waktu ketersediaan bahan baku, risiko jumlah bahan baku, risiko kualitas bahan baku, risiko harga bahan baku, serta risiko biaya pengadaan bahan baku. Pengkajian terhadap aspek manajemen risiko akan mempunyai peran penting dalam keberlanjutan klaster industri rumput laut. 3 Model yang dikembangkan dalam penelitian ini tidak mengakomodasi aspek perencanaan produksi budidaya rumput laut, khususnya terkait dengan perencanaan pola tanam rumput laut sehingga rumput laut dapat dipanen

193 175 setiap hari. Model tidak mengakomodasi secara spesifik penjadwalan tanam rumput laut yang dapat menghasilkan keluaran panen rumput laut setiap hari. Model produksi rumput laut dalam penelitian ini dihitung secara agregat, yaitu hanya dengan mempertimbangkan siklus budidaya dalam satu tahun. Siklus budidaya rumput laut dalam satu tahun diasumsikan dilakukan sebanyak 5 kali. Hasil panen rumput laut diasumsikan seluruhnya dapat memenuhi kebutuhan kapasitas produksi agroindustri. 4 Model yang dirancang dalam penelitian tidak memperhitungkan waktu tunda (delay time) antara waktu panen rumput laut, dengan perencanaan pola tanam tertentu, hingga rumput laut tersebut didistribusikan kepada agroindustri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produksi agroindustri. Model tidak mengakomodasi perencanaan rantai pasok kebutuhan bahan baku untuk agroindustri terkait dengan waktu tunda yang didalam klaster juga melibatkan beberapa rantai usaha dalam penyediaan bahan baku rumput laut. Dalam model, bahan baku diasumsikan selalu tersedia secara tepat waktu dan tepat jumlah untuk proses produksi agroindustri, sesuai dengan kapasitas yang ditetapkan. 5 Model hanya mengukur perilaku keluaran indikator prediksi kinerja klaster, baik ekonomi, sosial, maupun lingkungan, berdasarkan nilai-nilai input yang diberikan. Keluaran model prediksi kinerja klaster tidak mengkatagorisasi tingkat hasil prediksi kinerja keberlanjutan klaster industri rumput laut, apakah sangat berkelanjutan (strong sustainability), cukup berkelanjutan (middle sustainability), atau kurang berkelanjutan (weak sustainability). Keberlanjutan klaster diukur berdasarkan peningkatan keuntungan pelaku usaha didalam klaster, peningkatan jumlah tenaga kerja yang terserap, dan berkurangnya pencemaran yang disebabkan oleh limbah agroindustri.

194 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1 Rancang bangun model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan menghasilkan SPK KlasteRula yang dapat digunakan untuk mendukung keputusan dalam perencanaan pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan secara efektif. 2 Hasil implementasi model menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri rumput laut mampu mendorong tercapainya keberlanjutan klaster, baik keberlanjutan pada aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Indikasi ini terlihat dari hasil prediksi pengukuran kinerja pengembangan klaster. 3 Pada aspek ekonomi, pengembangan klaster industri rumput laut mampu mendorong peningkatan keuntungan pelaku usaha yang terlibat didalam klaster. Dengan meningkatnya kerjasama antar pelaku usaha yang semakin intensif didalam klaster akan mendorong meningkatnya kualitas produk yang dihasilkan yang berdampak pada meningkatnya harga pada seluruh rantai usaha yang terlibat didalam klaster. Nilai tambah yang diperoleh dalam pengembangan klaster industri rumput laut sebagian besar dinikmati oleh pembudidaya secara agregat sesuai dengan kapasitas produksi klaster, kemudian disusul agroindustri, kelompok pembudidaya dan koperasi. 4 Pada aspek sosial, pengembangan klaster industri rumput laut mampu mendorong penyerapan jumlah tenaga kerja, khususnya tenaga kerja pada usaha budidaya rumput laut. Jumlah tenaga kerja yang terserap didalam klaster berbanding lurus dengan jumlah kapasitas produksi yang ditetapkan didalam klaster. Jumlah tenaga kerja yang terserap akan semakin bertambah dengan meningkatnya kapasitas produksi klaster. 5 Pada aspek lingkungan, pengembangan klaster industri rumput laut mampu menekan potensi pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah cair yang dihasilkan oleh agroindustri rumput laut (ATC) melalui proses daur ulang (recycle). Proses daur ulang limbah cair juga mampu meningkatkan efisiensi 177

195 178 penggunaan air dalam proses pengolahan ATC dengan pemakaian kembali air yang telah didaur ulang untuk proses produksi. Saran 1 Keberlanjutan klaster industri rumput laut sangat ditentukan oleh ketersediaan rumput laut sebagai bahan baku utama didalam klaster. Rumput laut harus dapat diproduksi secara massal, kontinyu, dan seragam untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi agroindustri rumput laut didalam klaster. Untuk meningkatkan akurasi model terkait dengan perencanaan penyediaan bahan baku, maka perlu dirancang suatu model yang mampu mengakomodasi standarisasi proses produksi rumput laut, dengan mempertimbangkan faktor spasial, temporal, dan risiko, sehingga dapat menghasilkan rumput laut secara tepat kuantitas, tepat kualitas, dan tepat waktu pada saat dibutuhkan 2 Untuk menganalisis lebih jauh tentang efisiensi dan produktivitas klaster industri, maka perlu dirancang suatu model yang lebih komprehensif terkait dengan manajemen rantai pasok mulai dari proses hulu hingga hilir yang melibatkan para pelaku usaha didalam klaster. Model manajemen rantai pasok akan memberikan informasi yang akurat tentang aliran material produksi pada setiap tingkatan dalam rantai produksi didalam klaster, termasuk perhitungan waktu tunda yang mungkin terjadi pada setiap rangkaian proses produksi. 3 Keluaran model prediksi kinerja klaster industri rumput laut perlu diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan, misalnya sangat berkelanjutan (strong sustainability), cukup berkelanjutan (middle sustainability), atau kurang berkelanjutan (weak sustainability). Pengklasifikasian ini perlu dilakukan untuk mengetahui intervensi kebijakan yang dapat diberikan secara tepat dan efektif untuk mendorong peningkatan kinerja klaster industri rumput laut sesuai dengan tujuan yang diharapkan. 4 Hasil analisis struktural menunjukkan bahwa pemerintah daerah mempunyai peran yang sangat penting dalam mendorong pengembangan klaster industri rumput laut secara berkelanjutan. Pemerintah daerah perlu memfasilitasi suatu forum dialog interaktif yang konstruktif antara pelaku usaha didalam klaster,

196 179 peneliti, para pimpinan dunia usaha, pembuat kebijakan dan pakar dalam rangka monitoring, evaluasi dan kesinambungan perencanaan dan pengembangan klaster dari hulu hingga hilir secara terintegrasi, penguatan jaringan kelembagaan klaster, peningkatan komitmen antar pelaku didalam klaster, serta pengembangan proses inovasi secara terus menerus agar visi bersama dalam pengembangan klaster industri rumput laut secara berkelanjutan dapat terwujud. Pemerintah daerah perlu melakukan bimbingan dan pendampingan bagi pelaku usaha yang terlibat didalam klaster dalam rangka meningkatkan kualitas dan kompetensi SDM klaster serta memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran produk. 5 Untuk pengembangan klaster lebih lanjut, dalam perancangan model klaster industri rumput laut diperlukan adanya dukungan peta jalan (roadmap) produk berbasis rumput laut dan rantai nilai pada produk akhir (end products). Hal ini diperlukan agar komponen klaster, kebutuhan dan sasaran yang diharapkan didalam pengembangan klaster dapat dipetakan secara lebih spesifik sehingga model yang dihasilkan menjadi lebih akurat. 6 Penyempurnaan dan penyesuaian model pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan perlu dilakukan dalam rangka pengembangan sistem yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kekinian. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan adanya dukungan sebuah sistem informasi manajemen yang terintegrasi baik secara manual maupun terkomputerisasi sehingga kekinian data dan informasi dapat diandalkan. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan model klaster bagi pengguna, maka model perlu dirancang secara on line sehingga proses instalasi dan up-dating data dapat dilakukan dengan mudah dan cepat.

197 DAFTAR PUSTAKA Adams M, Ghaly AE Maximizing Sustainability of the Costa Rican Coffee Industry. Journal of Cleaner Production 15 (2007) [ADB] Asian Development Bank SME Development TA: Policy Discussion Papers 2001/2002 Best Practice in Developing Industry Clusters and Business Networks, Policy Discussion Paper No. 8. Allen JH, Potiowsky T Portland's Green Building Cluster : Economic Trends and Impacts. Economic Development Quarterly : 303. DOI: / Amarullah Pengelolaan Sumberdaya Perairan Teluk Tamiang Kabupaten Kotabaru untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anggadiredja JT, Zatnika A, Purwanto H, Istini S Rumput Laut: Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial. Penebar Swadaya. Jakarta. Ardebili AV, Boussabaine AH Application of Fuzzy Techniques to Develop an Assessment Framework for Building Design Eco-drivers. Building and Environment 42 (2007) Ariyati RW, Sya rani L, Arini E Analisis Kesesuaian Perairan Pulau Karimunjawa Dan Pulau Kemujan Sebagai Lahan Budidaya Rumput Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Jurnal Pasir Laut, Vol.3, No.1, Juli 2007 : Aslan ML Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Austin JE Agroindustrial Project Analysis. Critical Design Factors. EDI Series in Economic Development. The John Hopkins University Press. Baltimore and London. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006a. Panduan Pembangunan Klaster Industri: Untuk Pengembangan Ekonomi Daerah Berdaya Saing Tinggi. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Bappenas. Jakarta b. Contoh-Contoh Pembangunan Klaster. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Bappenas. Jakarta. Basmal J Prospek Industri Rumput Laut (Eucheuma sp) Penghasil Semi Refine Carrageenan dan Refine Carrageenan. Instalasi Balai Penelitian Perikanan Laut, Puslitbang Perikanan Badan Litbang Pertanian, Jakarta. [BBPPHP] Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan. Jakarta 181

198 182 Bergman EM, Feser EJ National Industry Cluster Templates: A Framework for Applied Regional Cluster Analysis. Regional Studies February : Industrial and Regional Clusters: Concepts and Comparative Applications. Regional Research Institute. West Virginia University. ( [BI] Bank Indonesia Pengembangan Komoditi Rumput Laut di Kabupaten Sumenep. Bank Indonesia. Surabaya. Bixler HJ, Johndro KD Philippine natural grade or semi-refined carrageenan. In: Phillips GO and Williams PA (eds). Handbook of hydrocolloids. CRC Press Cambridge England. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep Dalam Angka Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. Sumenep Analisis Data Keluatan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Brown JG Agroindustrial Investment and Operations. EDI Development Studies. The World Bank, Washington DC. Bulu M, Ozben O, Eraslan IH Clusters in Turkish Textile Industriy: A Case Study in Bayrampasa District. International Istanbul Textile Congress April Istanbul. Campbell S Green Cities, Growing Cities, Just Cities? Urban Planning and the Contradictions of Sustainable Developement. Journal of the American Planning Association, 3, Chattergy R, Pooch UW Integrated Design and Verification of Simulation Program. Computer, 10 (4), Checkland P Model Validation in Soft System Practice. System Research Vol. 12 No. 1, pp Ciegis R, Ciegis R, Jasinskas E Concept of Strong Comparability and Commensurability Versus Concept of Strong and Weak Sustainability. Engineering Economics No. 5 (45). Dahuri R Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dakay BU Developing Partnership Between The Philippines and Indonesia in The Seaweed Industry. Seaweed Industry Association of The Philippines. Desrochers P, Sautet F Clusters-Based Economic Strategy, Facilitation Policy and the Market Process. Review of Austrian Economics, Jun: 17: 2-3. [DEPTAN] Departemen Pertanian Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian bekerjasama dengan International Development Research Centre. Jakarta.

199 Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut Eucheuma spp. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. Jakarta. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006a. Program Revitalisasi Perikanan Bidang Pengolahan dan Pemasaran. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta b. Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan Pabrik Rumput Laut Di Sumenep dan Gorontalo dalam rangka Pengembangan Kemitraan Melalui Klaster Industri Pengolahan Rumput Laut Secara Terpadu. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan. Jakarta Pedoman Umum Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Rumput Laut. Direktorat Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan. Jakarta Pedoman Umum Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut. Direktorat Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Revitalisasi Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Doeringer PB, Terkla DG Why do Industries Cluster? Business Network: Prospects for Regional Development. Walter de Gruyter. Berlin. Doty MS Kappaphycus alvarezii. University of Hawai. ( Doukas HC, reas BM, Psarras JE Multi-criteria Decision Aid of the Formulation of Sustainable Technological Energy Priorities Using Linguistic Variables. European Journal of Operational Research 182 (2007) Doyen L, De Lara M, Ferraris J, Pelletier D Sustainability of Exploited Marine Ecosystem through Protected Areas: A Viability Model and a Coral Reef Case Study. Ecological Modelling (2007), doi: / j.ecolmode [EDA] Economic Development Administration Cluster Based Economic Development: A Key to Regional Competitiveness. Information Design Associaties and ICF Kaiser International. Oct Eriyatno Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor. Ernst CJ Management Expert System. Addison-Wesley Publishing Company, Inc. Workingham, England. [FAO] Food and Agricultural Organization of The United Nations ( Feser EJ Old and New Theories of Industry Clusters, in Steiner, M. (1998) (Ed.) Clusters and Regional Specialisation: On Geography, Technology and Networks, London: Pion, pp

200 184 Glavic P, Lukman R Review of Sustainability Terms and Their Definitions. Journal of Cleaner Production 15 (2007) Gowdy JM, Howarth RB Sustainability and Benefit-Cost Analysis: Theoritical Assessment and Policy Option. Ecological Economics 63 (2007). Halog A, Chan A Toward Sustainable Production in the Canadian Oil Sands Industry. Proceedings 13 th CIRP International Conference on Life Cycle Engineering. Harris JM Basic Principles of Sustainable Development. Global Development and Environment Institute. Working Paper Tufts University. USA. Hemphill L, Berry J, McGreal S An Indicator-based Approach to Measuring Sustainable Urban Regeneration Performance: Part1,Conceptual Foundations and Methodological Framework. Urban Studies (41). No.4: Howarth RB Towards an Operational Sustainability Criterion. Ecological Economics 63 (2007) [INA] Indonesian Netherlands Association Sustainability in the Textile Industry. Indonesian Netherlands Association. Jakarta. Isaacs M Small-Scale Fisheries Reform: Expectation, Hopes, and Dreams of A Better Life for All. Marine Policy 30 (2006) Istini SA, Zatnika A, Suhaimi, Anggadiredja J Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut. Jurnal Penelitian BPPT. No XIV. Jakarta. Istini SA, Zatnika A Optimasi Proses Semi Refine Carrageenan dari Rumput Laut Eucheuma Cottonii. Prosiding Temu Karya Ilmiah Teknologi Pasca Panen Rumput Laut. Sub Balai Penelitian Perikanan Laut, Puslitbang Perikanan Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Kadariyah, Karlina L, Gray C Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan Kelautan dan Perikanan Dalam Angka Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Klir GJ, Yuan B Fuzzy Sets and Fuzzy Logic: Theory and Applications. Prentice-Hall Inc. USA. Kuik O, Verbruggen H Indicators of Sustainable Development: An Overview. Editor: Kuik O, Verbruggen H. In Search of Indicators of Sustainable Development. Kluwer Academic Publishers, Netherlands. Kustantiny A, Sarwanto C, Bernhard, Hadiastuty H, Wahyuni S Profil Peluang Usaha dan Investasi Rumput Laut. Editor: Nikijuluw V. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Kusumastanto T, Adrianto L, Purwanto AB, Purnomowati R, Karim M, Arsyad M, Gunawan A Konsep Pengembangan Investasi Perikanan Berbasis Klaster Industri Bahari. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB. Bogor.

201 185 Lendaris GG Structural Modeling A Tutorial Guide. IEEE Transactions on Systems, Man, and Cybernetics, Vol. SMC-10, No. 12, December Mahfud H Pemodelan Sistem Pengembangan Agroindustri Minyak Atsiri dengan Pendekatan Klaster. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Manetsch TJ, Park GL System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social Syatems Part I (3th edition). Michigan: Departement of Electrical Engineering and System Science Michigan State University. Marimin Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. IPB Press. Bogor Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Gramedia Widiasarana. Jakarta. Martin S, Mayer H Sustainability, Clusters, and Competitiveness : Introduction to Focus Section. Economic Development Quarterly : 272. DOI: / Martin R, Sunley P Deconstructing clusters: Chaotic concept or policy panacea? Journal of Economic Geography, 3, Ma ruf WF Klaster Rumput Laut Sebagai Solusi untuk Pengembangan Industri Rumput Laut. Direktorat Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan. Jakarta Prospek Pengembangan Industri Pengolahan Rumput Laut. Forum Rumput Laut. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Marshal A Principles of Economics. Macmillan. London. Martin R, Sunley P Deconstructing Clusters: Chaotic Concept or Policy Panacea? Journal of Economic Geography, 3, Matopoulos A, Vlachopoulou M, Manthou V Exploring Clusters and their Value as Types of Business Networks in the Agricultural Sector. Operational Research. An International Journal. Vol.5, No. 1 (2005), pp McCool SF, Stankey GH Indicators of Sustainability: Challenges and Opportunities at the Interface of Science and Policy. Environmental Management (33). No.3: McHugh DJ A Guide to the Seaweed Industry. Food and Agriculture Organization of the United Nations. FAO Fisheries Technical Paper The Seaweed Industry in the Pasific Island. Australia Centre for International Agricultural Research. Canberra. Minch RP, Burns JR Conceptual Design of Decision Support System Utilizing Management Science Models. IEEE Transaction of System. Man and Cybernetic. Vol. SMC-13, No. 4, pp

202 186 Mihram GA Some Practical of the Verification and Validation of Simulation Models. Operation Research Quarterly, 23 (1), Motoyama Y What was New About the Cluster Theory? : What Could It Answer and What Could It Not Answer? Economic Development Quarterly : 353. DOI: / Murthy DNP, Page NW, Rodin EY Mathematical Modeling: A Tool for Problem Solving in Engineering, Physical, Biological, and Social Sciences. Pergamon Press. Oxford. Ometto AR, Ramor PAR, Lombardi G The Benefit of a Brazilian Agroindustrial Symbiosis System and the Strategies to Make it Happen. Journal of Cleaner Production 15 (2007) Opshoor H, Reijnders L Toward Sustainable Development Indicators. Editor: Kuik O, Verbruggen H. In Search of Indicators of Sustainable Development. Kluwer Academic Publishers, Netherlands. [PP] Peraturan Presiden. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. [PP] Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Poncomulyo T, Herti M, Kristiani L Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. Agromedia Pustaka. Depok. Porter ME. 1998a. Clusters and the New Economics of Competition. Harvard Business Review. November-December b. The Adam Smith Address: Location, Clusters, and the New Microeconomics of Competition. Business Economics; Jan 1998; 33,1; ABI/INFORM Global pg a. New Global Strategies for Competitive Advantage. Planning Review; May/Jun 1990; 18,3; ABI/INFORM Global pg b. The Competitive Advantage of Nations. Harvard Business Review. March. pp Pritsker AB, O'Reilly JJ Simulation with Visual SLAM and Awesim. John Wiley and Sons. System Publishing Corporation. New York. Rosenfeld SA Bringing Business Clusters into the Mainstream of Economic Development. European Planning Studies 5(1), Creating Smart Systems: A Guide to Cluster Strategies in Less Favoured Regions. European Union-Regional Innovation Strategies, April Rahman Y Kebijaksanaan Pengembangan Industri Rumput Laut dan Prospek Pemasaran Rumput Laut di Indonesia. Ditjen Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan. Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Jakarta. Roelandt TJA, den Hertog P Cluster Analysis & Cluster-Based Policy in OECD-Countries: Various Approaches, Early Results & Policy Implications.

203 187 Report by the Focus Group on: Industrial clusters Draft synthesis report on phase 11. OECD-Focus Group on industrial clusters. Presented at the 2nd OECD-workshop on cluster analysis and cluster-based policy. Vienna, May 4 th & 5 th. The Hague/Utrecht, May Saaty TL Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. RWS Publications. Pittsburg. Salasa FFA Teknologi Pengolahan Ikan dan Rumput Laut. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Sargent RG Validation and Verification of Simulation Models. Proceedings of the 2010 Winter Simulation Conference. Syracuse, NY USA. Saxena JJP Hierarchy and Classification of Program Plan Element Using Interpretive Structural Modeling. System Practice. Vol. 5(6): Sedayu BB, Basmal J, Fithriani D Uji Coba Proses Daur Ulang Limbah Cair ATC (Alkali Treated Cottonii) dengan Teknik Koagulasi dan Filtrasi. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 2 No. 2, Desember 2007: Sedayu BB, Basmal J, Utomo BSB Optimalisasi Penggunaan Air pada Proses Pembuatan Semi Refined Carrageenan (SRC). Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 3 No. 2, Desember 2008: Simatupang TM Pemodelan Sistem. Penerbit Nindita. Klaten. Schmitz H, Nadvi K Clustering and Industrialization: Introduction. World Development 27(9), Soegiarto A, Sulistijo, Atmadja WS, Mubarak H Rumput Laut (Algae): Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayanya. SDE 45. Lembaga Oseanologi Nasional, LIPI, Jakarta. Sparaque R Building Effective Decision Support System. Prentice Hall. New York. Sulaeman S Pengembangan Agribisnis Komoditi Rumput Laut Melalui Model Klaster Bisnis. Infokop No. 28 Tahun XXII, Suryadi K, Ramdhani MA Sistem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Sushill System Dynamic: A Practical Approach for Managerial Problems. Wiley Eastern Limited. New Delhi. Susila WR Verifikasi dan Validasi Model. Forum Statistik. Maret-Juni Tambunan M Pengembangan Lingkungan Usaha yang Kondusif dan Berdaya Saing. Prosiding Lokakarya Transformasi Peran Koperasi dan UMKM dalam Lima Tahun Mendatang. Bappenas. Jakarta.

204 188 Taufik TA. 2005a. Penguatan Daya Saing dengan Platform Klaster Industri: Prasyarat Memasuki Ekonomi Baru. Makalah. Strategi dan Implementasi Pengembangan Daya Saing Ekonomi Daerah dengan Pendekatan Lintas Sektoral. Core Competence dan PUPUK, Yogyakarta 9 Februari b. Koordinasi Kebijakan Inovasi Nasional dan Daerah. Makalah. Seri Forum Diskusi "Gerbang Indah Nusantara" (Gerakan Membangun Sistem Inovasi dan Daya Saing Daerah di Seluruh Wilayah Nusantara). Jakarta, Desember Turban E, Aronson JE Decision Support System and Intelligent Systems. 6 th Ed. Prentice Hall. New Jersey. [UU] Undang-Undang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Waits MJ The Added Value of the Industry Cluster Approach to Economic Analysis, Strategy Development, and Service Delivery. Economic Development Quarterly, Vol. 14 No. 1, February [WCED] World Commision on Environment and Development Our Common Future. Oxford University Press. New York. Wilson M Corporate Sustainability: What is It and Where does It Come from? Ivey Business Journal. Ivey Management Services, March/April World Bank LED Quick Reference Urban Development Unit. The World Bank. Washington DC. December Yager RR Non Numeric Multi-Criteria Multi Person Decision Making. Group Decision and Negotiation 2, [YCEDC] York County Economic Development Corporation Industry Cluster Analysis Baseline Report ( Data). York County Pennsylvania. Zulham A, Purnomo AH, Apriliani T, Hikmayani Assessment Klaster Perikanan: Studi Pengembangan Klaster Rumput Laut Kabupaten Sumenep. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Vol 2 No. 2, Desember 2007,

205 189 Lampiran 1. Kondisi ekologi perairan untuk budidaya rumput laut (Eucheuma cottonii) di Kabupaten Sumenep Kecamatan Ambunten Parameter Satuan Nilai Skor Bobot Indeks Dasar perairan berpasir Kedalaman m 1, Kecepatan arus cm/s 17, Suhu permukaan ⁰C 29, Salinitas 29, ph 8, Kecerahan % 90, DO mg/l 6, Nitrat mg/l 0, Amonium mg/l 0, Jumlah Kecamatan Batu Putih Parameter Satuan Nilai Skor Bobot Indeks Dasar perairan pasir berbatu Kedalaman m 1, Kecepatan arus cm/s 17, Suhu permukaan ⁰C 31, Salinitas 30, ph 8, Kecerahan % 100, DO mg/l 6, Nitrat mg/l 0, Amonium mg/l 0, Jumlah

206 190 Kecamatan Batang-Batang Parameter Satuan Nilai Skor Bobot Indeks Dasar perairan berpasir Kedalaman m 1, Kecepatan arus cm/s 17, Suhu permukaan ⁰C 32, Salinitas 29, ph 8, Kecerahan % 100, DO mg/l 6, Nitrat mg/l 0, Amonium mg/l 0, Jumlah Kecamatan Bluto Parameter Satuan Nilai Skor Bobot Indeks Dasar perairan berbatu Kedalaman m 0, Kecepatan arus cm/s 17, Suhu permukaan ⁰C 33, Salinitas 30, ph 7, Kecerahan % 16, DO mg/l 7, Nitrat mg/l 0, Amonium mg/l 0, Jumlah

207 191 Kecamatan Dasuk Parameter Satuan Nilai Skor Bobot Indeks Dasar perairan pasir berbatu Kedalaman m 1, Kecepatan arus cm/s 17, Suhu permukaan ⁰C 30, Salinitas 28, ph 8, Kecerahan % 90, DO mg/l 6, Nitrat mg/l 0, Amonium mg/l 0, Jumlah Kecamatan Dungkek Parameter Satuan Nilai Skor Bobot Indeks Dasar perairan berpasir Kedalaman m 0, Kecepatan arus cm/s 17, Suhu permukaan ⁰C 33, Salinitas 33, ph 7, Kecerahan % 58, DO mg/l 6, Nitrat mg/l 0, Amonium mg/l 0, Jumlah

208 192 Kecamatan Gapura Parameter Satuan Nilai Skor Bobot Indeks Dasar perairan pasir berbatu Kedalaman m 0, Kecepatan arus cm/s 17, Suhu permukaan ⁰C 32, Salinitas 31, ph 7, Kecerahan % 45, DO mg/l 7, Nitrat mg/l 0, Amonium mg/l 0, Jumlah Kecamatan Kalianget Parameter Satuan Nilai Skor Bobot Indeks Dasar perairan lumpur berbatu Kedalaman m 0, Kecepatan arus cm/s 17, Suhu permukaan ⁰C 29, Salinitas 29, ph 7, Kecerahan % 30, DO mg/l 3, Nitrat mg/l 0, Amonium mg/l 0, Jumlah

209 193 Kecamatan Pragaan Parameter Satuan Nilai Skor Bobot Indeks Dasar perairan berlumpur Kedalaman m 0, Kecepatan arus cm/s 17, Suhu permukaan ⁰C 35, Salinitas 34, ph 7, Kecerahan % 18, DO mg/l 7, Nitrat mg/l 0, Amonium mg/l 0, Jumlah Kecamatan Pasongsongan Parameter Satuan Rataan Skor Bobot Nilai Dasar perairan pasir berbatu Kedalaman m 1, Kecepatan arus cm/s 17, Suhu permukaan ⁰C 30, Salinitas 30, ph 8, Kecerahan % 100, DO mg/l 7, Nitrat mg/l 0, Amonium mg/l 0, Jumlah

210 194 Kecamatan Saronggi Parameter Satuan Rataan Skor Bobot Nilai Dasar perairan berbatu Kedalaman m 0, Kecepatan arus cm/s 17, Suhu permukaan ⁰C 30, Salinitas 30, ph 7, Kecerahan % 23, DO mg/l 6, Nitrat mg/l 0, Amonium mg/l 0, Jumlah

211 195 Lampiran 2. Penilaian indikator prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut Lampiran 2.1. Penilaian Prasyarat Ekonomi Penilaian Bobot Prasyarat Ekonomi No. Indikator P 1 P 2 P 3 b 1 b 2 b 3 V i 1 Permintaan pasar T ST ST ST ST T T 2 Kemampuan teknologi T ST S ST T S S 3 Infrastruktur ekonomi ST T ST ST ST T T 4 Kemampuan SDM T S T T T S S 5 Kegiatan ekonomi lokal T ST R ST T R S 6 Iklim investasi T ST S ST T S S 7 Permodalan S T S T S S S 8 Pertumbuhan industri/usaha S S S S S S S Keterangan: P 1 = Kepala Balai Besar Air Payau Kabupaten Situbondo P 2 = Peneliti pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo P 3 = Peneliti pada Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya b j = Urutan penilaian pakar Agregasi pakar: q 1 Qk = Int 1 + k * r Jumlah pakar (r) = 3 (orang) Jumlah skala penilaian (q) = 5 (ST, T, S, R, SR) Indeks (k) = 1, 2, 3,.. Q 1 = R; Q 2 = S; Q 3 = ST Agregasi bobot: V i = f (V i ) = max [Q j Λ b j ] V 1 = max [ RΛST, SΛST, STΛT ] = T V 2 = max [ RΛST, SΛT, STΛS ] = S V 3 = max [ RΛST, SΛST, STΛT ] = T V 4 = max [ RΛT, SΛT, STΛS ] = S V 5 = max [ RΛST, SΛT, STΛR ] = S V 6 = max [ RΛST, SΛT, STΛS ] = S V 7 = max [ RΛS, SΛS, STΛS ] = S V 8 = max [ RΛS, SΛS, STΛS ] = S

212 196 Penilaian Prasyarat Ekonomi No. Indikator P 1 P 2 P 3 b 1 b 2 b 3 V i 1 Permintaan pasar T T T T T T T 2 Kemampuan teknologi S S R S S R S 3 Infrastruktur ekonomi T S S T S S S 4 Kemampuan SDM S R S S S R S 5 Kegiatan ekonomi lokal T T S T T S S 6 Iklim investasi T S R T S R S 7 Permodalan T ST R T S R S 8 Pertumbuhan industri/usaha S T T T T S S Keterangan: P 1 = Ketua Koperasi Aneka Usaha Kabupaten Sumenep (calon pengelola klaster) P 2 = Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep P 3 = Peneliti pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo b j = Urutan penilaian pakar Agregasi pakar: q 1 Qk = Int 1 + k * r Jumlah pakar (r) = 3 (orang) Jumlah skala penilaian (q) = 5 (ST, T, S, R, SR) Indeks (k) = 1, 2, 3,.. Q 1 = R; Q 2 = S; Q 3 = ST Agregasi nilai: V i = f (V i ) = max [Q j Λ b j ] V 1 = max [ RΛST, SΛST, STΛT ] = T V 2 = max [ RΛST, SΛT, STΛS ] = S V 3 = max [ RΛST, SΛST, STΛT ] = T V 4 = max [ RΛT, SΛT, STΛS ] = S V 5 = max [ RΛST, SΛT, STΛR ] = S V 6 = max [ RΛST, SΛT, STΛS ] = S V 7 = max [ RΛS, SΛS, STΛS ] = S V 8 = max [ RΛS, SΛS, STΛS ] = S

213 197 Agregasi Bobot dan Nilai Prasyarat Ekonomi No. Indikator Bobot Negasi Nilai (W ak ) (W ak ) (V ij ) Neg (W ak ) V V ij 1 Permintaan pasar T R T T 2 Kemampuan teknologi S S S S 3 Infrastruktur ekonomi T R S S 4 Kemampuan SDM S S S S 5 Kegiatan ekonomi lokal S S S S 6 Iklim investasi S S S S 7 Permodalan S S S S 8 Pertumbuhan industri/usaha S S S S Agregasi bobot dan nilai: Neg (W ak ) = W q-k+1 Neg (W 1 ) = Neg (T) = R Neg (W 2 ) = Neg (S) = S Neg (W 3 ) = Neg (T) = R Neg (W 4 ) = Neg (S) = S Neg (W 5 ) = Neg (S) = S Neg (W 6 ) = Neg (S) = S Neg (W 7 ) = Neg (S) = S Neg (W 8 ) = Neg (S) = S Agregasi: V ij = min [ Neg (W ak ) V V ij (a k ) ] V ij = min [ RVT, SVS, RVS, SVS, SVS, SVS, SVS, SVS ] = min [ T, S, S, S, S, S, S, S ] = S

214 198 Lampiran 2.2. Penilaian Prasyarat Sosial Penilaian Bobot Prasyarat Sosial No. Indikator P 1 P 2 P 3 b 1 b 2 b 3 V i 1 Dukungan stakeholders ST ST ST ST ST ST ST 2 Kondisi sosial budaya T ST T ST T T T 3 Motivasi stakeholders S S ST ST S S S 4 Ketersediaan tata ruang T T T T T S T 5 Keterlibatan masyarakat setempat T ST T ST T R T Keterangan: P 1 = Kepala Balai Besar Air Payau Kabupaten Situbondo P 2 = Peneliti pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo P 3 = Peneliti pada Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya b j = Urutan penilaian pakar Agregasi pakar: q 1 Qk = Int 1 + k * r Jumlah pakar (r) = 3 (orang) Jumlah skala penilaian (q) = 5 (ST, T, S, R, SR) Indeks (k) = 1, 2, 3,.. Q 1 = R; Q 2 = S; Q 3 = ST Agregasi bobot: V i = f (V i ) = max [Q j Λ b j ] V 1 = max [ RΛST, SΛST, STΛST ] = ST V 2 = max [ RΛST, SΛT, STΛT ] = T V 3 = max [ RΛST, SΛS, STΛS ] = S V 4 = max [ RΛT, SΛT, STΛT ] = T V 5 = max [ RΛST, SΛT, STΛT ] = T Penilaian Prasyarat Sosial No. Indikator P 1 P 2 P 3 b 1 b 2 b 3 V i 1 Dukungan stakeholders ST ST S ST T S S 2 Kondisi sosial budaya ST T T ST T T T 3 Motivasi stakeholders ST T S ST T S S 4 Ketersediaan tata ruang ST T S ST T S S 5 Keterlibatan masyarakat setempat ST T S ST T S S Keterangan: P 1 = Ketua Koperasi Aneka Usaha Kabupaten Sumenep (calon pengelola klaster) P 2 = Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep P 3 = Peneliti pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo b j = Urutan penilaian pakar

215 199 Agregasi pakar: q 1 Qk = Int 1 + k * r Jumlah pakar (r) = 3 (orang) Jumlah skala penilaian (q) = 5 (ST, T, S, R, SR) Indeks (k) = 1, 2, 3,.. Q 1 = R; Q 2 = S; Q 3 = ST Agregasi nilai: V i = f (V i ) = max [Q j Λ b j ] V 1 = max [ RΛST, SΛST, STΛS ] = S V 2 = max [ RΛST, SΛT, STΛT ] = T V 3 = max [ RΛST, SΛT, STΛS ] = S V 4 = max [ RΛST, SΛT, STΛS ] = S V 5 = max [ RΛST, SΛT, STΛS ] = S Agregasi Bobot dan Nilai Prasyarat Sosial No. Indikator Bobot Negasi Nilai (W ak ) (W ak ) (V ij ) Neg (W ak ) V V ij 1 Dukungan stakeholders ST SR S S 2 Kondisi sosial budaya T R T T 3 Motivasi stakeholders S S S S 4 Ketersediaan tata ruang T R S S 5 Keterlibatan masyarakat setempat T R S S Agregasi bobot dan nilai: Neg (W ak ) = W q-k+1 Neg (W 1 ) = Neg (ST) = SR Neg (W 2 ) = Neg (T) = R Neg (W 3 ) = Neg (S) = S Neg (W 4 ) = Neg (T) = R Neg (W 5 ) = Neg (T) = R Agregasi: V ij = min [ Neg (W ak ) V V ij (a k ) ] V ij = min [ SRVS, RVT, SVS, RVS, RVS ] = min [ S, T, S, S, S ] = S

216 200 Lampiran 2.3. Penilaian Prasyarat Kelembagaan Penilaian Bobot Prasyarat Kelembagaan No. Indikator P 1 P 2 P 3 b 1 b 2 b 3 V i 1 Kelengkapan struktur kelembagaan ST T ST ST ST T ST 2 Mekanisme kelembagaan T T ST ST T T T 3 Mekanisme monitoring evaluasi S S S S S S S Keterangan: P 1 = Kepala Balai Besar Air Payau Kabupaten Situbondo P 2 = Peneliti pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo P 3 = Peneliti pada Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya b j = Urutan penilaian pakar Agregasi pakar: q 1 Qk = Int 1 + k * r Jumlah pakar (r) = 3 (orang) Jumlah skala penilaian (q) = 5 (ST, T, S, R, SR) Indeks (k) = 1, 2, 3,.. Q 1 = R; Q 2 = S; Q 3 = ST Agregasi bobot: V i = f (V i ) = max [Q j Λ b j ] V 1 = max [ RΛST, SΛST, STΛT ] = ST V 2 = max [ RΛST, SΛT, STΛT ] = T V 3 = max [ RΛS, SΛS, STΛS ] = S Penilaian Prasyarat Kelembagaan No. Indikator P 1 P 2 P 3 b 1 b 2 b 3 V i 1 Kelengkapan struktur kelembagaan S T R T S R S 2 Mekanisme kelembagaan T S R T S R S 3 Mekanisme monitoring evaluasi S S R S S R S Keterangan: P 1 = Ketua Koperasi Aneka Usaha Kabupaten Sumenep (calon pengelola klaster) P 2 = Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumenep P 3 = Peneliti pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo b j = Urutan penilaian pakar

217 201 Agregasi pakar: q 1 Qk = Int 1 + k * r Jumlah pakar (r) = 3 (orang) Jumlah skala penilaian (q) = 5 (ST, T, S, R, SR) Indeks (k) = 1, 2, 3,.. Q 1 = R; Q 2 = S; Q 3 = ST Agregasi nilai: V i = f (V i ) = max [Q j Λ b j ] V 1 = max [ RΛT, SΛS, STΛR ] = S V 2 = max [ RΛT, SΛS, STΛR ] = S V 3 = max [ RΛS, SΛS, STΛR ] = S Agregasi Bobot dan Nilai Prasyarat Kelembagaan No. Indikator Bobot Negasi Nilai (W ak ) (W ak ) (V ij ) Neg (W ak ) V V ij 1 Kelengkapan struktur kelembagaan ST SR S S 2 Mekanisme kelembagaan T R T T 3 Mekanisme monitoring evaluasi S S S S Agregasi bobot dan nilai: Neg (W ak ) = W q-k+1 Neg (W 1 ) = Neg (ST) = SR Neg (W 2 ) = Neg (T) = R Neg (W 3 ) = Neg (S) = S Agregasi: V ij = min [ Neg (W ak ) V V ij (a k ) ] V i = min [ SRVS, RVT, SVS ] = S = min [ S, T, S ] = S

218 203 Lampiran 3. Aturan-aturan yang digunakan dalam pengembangan sistem pakar diagnosis kelayakan pengembangan klaster industri rumput laut No. Logika Parameter Nilai Label Aturan 1 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Membuat perencanaan tindakan pengembangan yang operasional Sesuai Layak Layak Layak Layak Aturan 2 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Sesuai Layak Layak Cukup Layak Cukup Layak Aturan 3 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Layak Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 4 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Sesuai Layak Cukup Layak Layak Cukup Layak Aturan 5 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Sesuai Layak Cukup Layak Cukup Layak Cukup Layak Aturan 6 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Layak Cukup Layak Tidak Layak Tidak Layak

219 204 No. Logika Parameter Nilai Label Aturan 7 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Layak Tidak Layak Layak Tidak Layak Aturan 8 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Layak Tidak Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 9 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Layak Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 10 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Sesuai Cukup Layak Layak Layak Cukup Layak Aturan 11 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Sesuai Cukup Layak Layak Cukup Layak Cukup Layak Aturan 12 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Cukup Layak Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 13 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Sesuai Cukup Layak Cukup Layak Layak Cukup Layak

220 205 No. Logika Parameter Nilai Label Aturan 14 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Sesuai Cukup Layak Cukup Layak Cukup Layak Cukup Layak Aturan 15 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Cukup Layak Cukup Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 16 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Cukup Layak Tidak Layak Layak Tidak Layak Aturan 17 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Cukup Layak Tidak Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 18 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Cukup Layak Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 19 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Tidak Layak Layak Layak Tidak Layak Aturan 20 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Cukup Layak Layak Cukup Layak Tidak Layak

221 206 No. Logika Parameter Nilai Label Aturan 21 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Tidak Layak Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 22 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Tidak Layak Cukup Layak Layak Tidak Layak Aturan 23 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Tidak Layak Cukup Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 24 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Tidak Layak Cukup Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 25 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Tidak Layak Tidak Layak Layak Tidak Layak Aturan 26 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Tidak Layak Tidak Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 27 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Sesuai Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak

222 207 No. Logika Parameter Nilai Label Aturan 28 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Membuat perencanaan tindakan pengembangan yang operasional Cukup Sesuai Layak Layak Layak Layak Aturan 29 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Cukup Sesuai Layak Layak Cukup Layak Cukup Layak Aturan 30 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Layak Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 31 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Cukup Sesuai Layak Cukup Layak Layak Cukup Layak Aturan 32 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Cukup Sesuai Layak Cukup Layak Cukup Layak Cukup Layak Aturan 33 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Layak Cukup Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 34 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Layak Tidak Layak Layak Tidak Layak

223 208 No. Logika Parameter Nilai Label Aturan 35 IF Prasyarat ekologi Cukup Sesuai THEN Saran Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Layak Tidak Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 36 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Layak Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 37 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Cukup Sesuai Cukup Layak Layak Layak Cukup Layak Aturan 38 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Cukup Sesuai Cukup Layak Layak Cukup Layak Cukup Layak Aturan 39 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Cukup Layak Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 40 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Cukup Sesuai Cukup Layak Cukup Layak Layak Cukup Layak Aturan 41 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan kondisi-kondisi ideal bagi pengembangan klaster Cukup Sesuai Cukup Layak Cukup Layak Cukup Layak Cukup Layak

224 209 No. Logika Parameter Nilai Label Aturan 42 IF Prasyarat ekologi Cukup Sesuai THEN Saran Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Layak Cukup Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 43 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Cukup Layak Tidak Layak Layak Tidak Layak Aturan 44 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Cukup Layak Tidak Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 45 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Cukup Layak Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 46 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Tidak Layak Layak Layak Tidak Layak Aturan 47 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Cukup Layak Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 48 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Tidak Layak Layak Tidak Layak Tidak Layak

225 210 No. Logika Parameter Nilai Label Aturan 49 IF Prasyarat ekologi Cukup Sesuai THEN Saran Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Tidak Layak Cukup Layak Layak Tidak Layak Aturan 50 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Tidak Layak Cukup Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 51 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Tidak Layak Cukup Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 52 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Tidak Layak Tidak Layak Layak Tidak Layak Aturan 53 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Tidak Layak Tidak Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 54 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Kaji ulang perencanaan pengembangan klaster Cukup Sesuai Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 55 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Sesuai Layak Layak Layak Tidak Layak

226 211 No. Logika Parameter Nilai Label Aturan 56 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Sesuai Layak Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 57 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Sesuai Layak Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 58 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Sesuai Layak Cukup Layak Layak Tidak Layak Aturan 59 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Sesuai Layak Cukup Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 60 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Sesuai Layak Cukup Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 61 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Sesuai Layak Tidak Layak Layak Tidak Layak

227 212 No. Logika Parameter Nilai Label Aturan 62 IF Prasyarat ekologi Tidak Sesuai THEN Saran Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Layak Tidak Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 63 Aturan 64 Aturan 65 Aturan 66 Aturan 67 Aturan 68 IF THEN Saran IF THEN Saran IF THEN Saran IF THEN Saran IF THEN Saran IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Sesuai Layak Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak Tidak Sesuai Cukup Layak Layak Layak Tidak Layak Tidak Sesuai Cukup Layak Layak Cukup Layak Tidak Layak Tidak Sesuai Cukup Layak Layak Tidak Layak Tidak Layak Tidak Sesuai Cukup Layak Cukup Layak Layak Tidak Layak Tidak Sesuai Cukup Layak Cukup Layak Cukup Layak Tidak Layak

228 213 No. Logika Parameter Nilai Label Aturan 69 IF Prasyarat ekologi Tidak Sesuai THEN Saran Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Cukup Layak Cukup Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 70 Aturan 71 Aturan 72 Aturan 73 Aturan 74 Aturan 75 IF THEN Saran IF THEN Saran IF THEN Saran IF THEN Saran IF THEN Saran IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Sesuai Cukup Layak Tidak Layak Layak Tidak Layak Tidak Sesuai Cukup Layak Tidak Layak Cukup Layak Tidak Layak Tidak Sesuai Cukup Layak Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak Tidak Sesuai Tidak Layak Layak Layak Tidak Layak Tidak Sesuai Cukup Layak Layak Cukup Layak Tidak Layak Tidak Sesuai Tidak Layak Layak Tidak Layak Tidak Layak

229 214 No. Logika Parameter Nilai Label Aturan 76 IF Prasyarat ekologi Tidak Sesuai THEN Saran Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Layak Cukup Layak Layak Tidak Layak Aturan 77 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Sesuai Tidak Layak Cukup Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 78 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Sesuai Tidak Layak Cukup Layak Tidak Layak Tidak Layak Aturan 79 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Sesuai Tidak Layak Tidak Layak Layak Tidak Layak Aturan 80 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Pertimbangkan alternatif pengembangan klaster industri non rumput laut Tidak Sesuai Tidak Layak Tidak Layak Cukup Layak Tidak Layak Aturan 81 IF THEN Saran Prasyarat ekologi Prasyarat ekonomi Prasyarat sosial Prasyarat kelembagaan Persyaratan kelayakan pengembangan klaster Daerah ini sudah tidak memenuhi persyaratan untuk pengembangan klaster Tidak Sesuai Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak

230 215 Lampiran 4. Penentuan Harga Rumput Laut Lampiran 4.1. Penentuan Harga di Tingkat Agroindustri HBRA = [(HATC x VATC) x (1 MA)] BPA VRL HATC VATC MA BPA VRL = harga jual ATC = Rp /kg = volume penjualan ATC = kg/tahun = margin keuntungan agroindustri yang ingin dicapai = 25% = biaya produksi agroindustri = biaya perolehan KOH + biaya perolehan air = Rp Rp = Rp /tahun = jumlah rumput laut yang dibutuhkan = kg/tahun HBRA t = [( x ) x (1 0,25)] HBRA t = harga beli rumput laut di tingkat agroindustri waktu ke-t = Rp /kg Catatan: Margin keuntungan agroindustri diperoleh berdasarkan justifikasi pendapat manajer pabrik agroindustri rumput laut Biaya perolehan KOH (1 tahun = 300 hari) a. Kebutuhan KOH = 472 kg/hari b. Harga KOH = Rp /kg c. Biaya KOH = 472 x = Rp /hari = Rp /tahun Biaya perolehan air (1 tahun = 300 hari) a. Kebutuhan air = 223 m3/hari b. Harga air = Rp /m3 c. Biaya air = 223 x = Rp /hari = Rp /tahun

231 216 Lampiran 4.2. Penentuan Harga di Tingkat Koperasi HBRKop = [(HJRKop x VRKop) x (1 MKop)] BPKop VBBKop HJRKop VRKop MKop BPKop VBBKop HBRKop = harga jual rumput laut koperasi = Rp /kg = volume penjualan rumput laut koperasi = kg/tahun = margin keuntungan koperasi yang ingin dicapai = 5% = total biaya produksi koperasi = Rp = jumlah bahan baku = kg/tahun = harga beli rumput laut di tingkat koperasi = Rp /kg

232 217 Lampiran 4.3. Penentuan Harga di Tingkat Kelompok Pembudidaya HBRKP = [(HJRKP x VRKP) x (1 MKP)] BPKP VBBKP HJRKP VRKP MKP BPKP VBBKP HBRKP = harga jual rumput laut kelompok pembudidaya = Rp /kg = volume penjualan rumput laut kelompok pembudidaya = kg/tahun = margin keuntungan kelompok pembudidaya yang ingin dicapai = 10% = total biaya produksi kelompok pembudidaya = biaya pengemasan + biaya transportasi = Rp Rp = Rp = jumlah bahan baku = kg/tahun = harga beli rumput laut di tingkat kelompok pembudidaya = Rp /kg

233 218 Lampiran 4.4. Skenario harga di tingkat klaster Ikhtisar skenario harga berdasarkan parameter GS Gel Strength (gr/cm2) Harga ATC Agroindustri (US$/kg) Harga Koperasi (Rp/kg) Harga Kelompok Pembudidaya (Rp/kg) Harga Pembudidaya (Rp/kg) 500 3, , , , , , , , , , , , , , , , , Skenario peningkatan harga Gel Strength (gr/cm2) Harga ATC Agroindustri (US$/kg) Harga Koperasi (Rp/kg) Harga Kelompok Pembudidaya (Rp/kg) Harga Pembudidaya (Rp/kg) Sebelum klaster 5, Setelah klaster 6, % kenaikan 17,86 19,37 19,43 19,58 Rata-rata 19,06 Catatan: - Keuntungan sebelum klaster menggunakan basis GS 775 gr/cm 2 - Keuntungan setelah klaster menggunakan basis GS = 900 gr/cm 2

234 219 Lampiran 5. Harga Pokok Produksi Usaha Budidaya Lampiran 5.1. Biaya Produksi Usaha Budidaya Harga Jual Biaya Produksi (Rp/tahun/unit rakit) (Rp/kg)

235 220 Lampiran 5.2. Harga Pokok Produksi Usaha Budidaya Harga Jual Harga Pokok Produksi (Rp/unit rakit) Rata-rata (Rp/kg) (Rp/kg)

236 221 Lampiran 6. Keseimbangan Bahan Baku 1. Luas areal tanam LAT LKB FK LAT = LKB x FK = luas areal kebun pembibitan rumput laut = 60 ha = konversi luas kebun bibit ke luas areal tanam budidaya = 3,5 = luas areal tanam budidaya rumput laut = 60 ha x 3,5 = 210 ha 2. Produksi rumput laut PRL LAT PB SB PRL = LAT x PB x SB = luas areal tanam budidaya = 210 ha = produktivitas budidaya = kg/ha/siklus = jumlah siklus budidaya = 5 siklus/tahun = jumlah produksi rumput laut = kg/tahun 3. Kebutuhan bahan baku ATC KBB KP R KBB = KP / R = kapasitas produksi ATC = kg/tahun = rendemen ATC = 30% = jumlah rumput laut yang dibutuhkan (kg/tahun) = ( kg/tahun) / 30% = kg/tahun

237 223 Lampiran 7. Strukturisasi Elemen Sistem Pengembangan Klaster Lampiran 7.1. Lembaga Yang Terlibat Dalam Pengembangan SSIM awal elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan klaster No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 E1 X X V X V X V V X V X X V X E2 V V O X X V O X A O V O X E3 V V X X V O X X V X O X E4 A X X X O X X V V O X E5 O V X V A O V O O X E6 X O O X O O A V O E7 X O X A X V V V E8 V A A O X X O E9 A O V X A X E10 V V A A A E11 V V A X E12 A X A E13 X V E14 O E15 RM awal elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan klaster No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 E E E E E E E E E E E E E E E

238 224 RM final elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan klaster No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 Drv E E E E E E E E E E E E E E E Dep Hasil intepretasi elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan klaster No. Sub Elemen Level Ranking Koordinat Sektor Keterangan 1 E1 3 1 (4,15) IV Independent 2 E2 3 1 (4,15) IV Independent 3 E3 3 1 (4,15) IV Independent 4 E4 2 2 (9,11) III Linkage 5 E5 2 2 (9,11) III Linkage 6 E6 2 2 (9,11) III Linkage 7 E7 1 3 (15,6) II Dependent 8 E8 1 3 (15,6) II Dependent 9 E9 1 3 (15,6) II Dependent 10 E (9,11) III Linkage 11 E (4,15) IV Independent 12 E (15,6) II Dependent 13 E (9,11) III Linkage 14 E (15,6) II Dependent 15 E (15,6) II Dependent

239 225 Lampiran 7.2. Kendala Pengembangan Klaster SSIM awal elemen kendala dalam pengembangan klaster No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 E1 A A V X V V V A A V A V V V E2 X V V V V V V V V V V V V E3 V V V V V V V V V V V V E4 V X V V A X V A V V V E5 O V V O O V O V V V E6 V V A A V A V V V E7 A A A X A A X V E8 A A V A A V V E9 V V X V V V E10 V A V V V E11 A X A V E12 V V V E13 V V E14 X E15 RM awal elemen kendala dalam pengembangan klaster No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 E E E E E E E E E E E E E E E

240 226 RM final elemen kendala dalam pengembangan klaster No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 Drv E E E E E E E E E E E E E E E Dep Hasil intepretasi elemen kendala dalam pengembangan klaster No. Sub Elemen Level Ranking Koordinat Sektor Keterangan 1 E1 2 3 (9,11) III Linkage 2 E2 4 1 (2,15) IV Independent 3 E3 4 1 (2,15) IV Independent 4 E4 2 3 (9,11) III Linkage 5 E5 2 3 (9,11) III Linkage 6 E6 2 3 (9,11) III Linkage 7 E7 1 4 (15,6) II Dependent 8 E8 1 4 (15,6) II Dependent 9 E9 3 2 (4,13) IV Independent 10 E (9,11) III Linkage 11 E (15,6) II Dependent 12 E (4,13) IV Independent 13 E (15,6) II Dependent 14 E (15,6) II Dependent 15 E (15,6) II Dependent

241 227 Lampiran 7.3. Tolok Ukur Pencapaian Tujuan Pengembangan Klaster SSIM awal elemen tujuan pengembangan klaster No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 E16 E17 E1 A V V V X V V A A A A V V A A V E2 V V X A V V A A A A V V A A V E3 X V A V V A A A A X X A A X E4 V A V V A A A A V V A A V E5 A A X A A A A V V A A V E6 V V A A A A V V A A V E7 A A A A A V A A A V E8 A A A A V A A A V E9 X A V V V A A V E10 X V V V A A V E11 X V V A A V E12 V V A A V E13 V A A V E14 A A V E15 X V E16 V E17 RM awal elemen tujuan pengembangan klaster No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 E16 E17 E E E E E E E E E E E E E E E E E

242 228 RM final elemen tujuan pengembangan klaster No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 E16 E17 Drv E E E E E E E E E E E E E E E E E Dep Hasil intepretasi elemen tujuan dalam pengembangan klaster No. Sub Elemen Level Ranking Koordinat Sektor Keterangan 1 E1 1 3 (17,11) III Linkage 2 E2 1 3 (17,11) III Linkage 3 E3 1 3 (17,11) III Linkage 4 E4 1 3 (17,11) III Linkage 5 E5 1 3 (17,11) III Linkage 6 E6 1 3 (17,11) III Linkage 7 E7 1 3 (17,11) III Linkage 8 E8 1 3 (17,11) III Linkage 9 E9 2 2 (6,15) IV Independent 10 E (6,15) IV Independent 11 E (6,15) IV Independent 12 E (6,15) IV Independent 13 E (17,11) III Linkage 14 E (17,11) III Linkage 15 E (2,17) IV Independent 16 E (2,17) IV Independent 17 E (17,11) III Linkage

243 229 Lampiran 7.4. Aktivitas Pengembangan Klaster SSIM awal elemen aktivitas pengembangan klaster No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E1 V V V V X V V V V V V E2 V V X A V V V X A X E3 V A A V X V A A A E4 A A X X X A A A E5 A V V V X A A E6 V V V V V V E7 X V A A A E8 X A A A E9 A A A E10 A A E11 V E12 RM awal elemen aktivitas pengembangan klaster No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E E E E E E E E E E E E RM final elemen aktivitas pengembangan klaster No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 Drv E E E E E E E E E E E E Dep

244 230 Hasil intepretasi elemen aktivitas pengembangan klaster No. Sub Elemen Level Ranking Koordinat Sektor Keterangan 1 E1 4 1 (2,12) IV Independent 2 E2 2 3 (7,9) III Linkage 3 E3 1 4 (12,5) II Dependent 4 E4 1 4 (12,5) II Dependent 5 E5 2 3 (7,9) III Linkage 6 E6 4 1 (2,12) IV Independent 7 E7 1 4 (12,5) II Dependent 8 E8 1 4 (12,5) II Dependent 9 E9 1 4 (12,5) II Dependent 10 E (7,9) III Linkage 11 E (3,10) IV Independent 12 E (7,9) III Linkage

245 231 Lampiran 8. Prioritas Penanganan Limbah Agroindustri Lampiran 8.1. Penilaian Bobot Kriteria Pemilihan Pakar 1 Staf Pengajar pada Universitas Jember Atribut TEK EKO LING RG VP VA EV λmax 3,039 TEK 1,00 0,20 0,33 0,405 0,105 0,318 3,039 RI 0,580 EKO 5,00 1,00 3,00 2,466 0,637 1,935 3,039 CI 0,019 LING 3,00 0,33 1,00 1,000 0,258 0,785 3,039 CR 0,033 3,872 1,000 Pakar 2 Peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi KP Atribut TEK EKO LING RG VP VA EV Λmax 3,054 TEK 1,00 0,50 0,33 0,550 0,157 0,480 3,054 RI 0,580 EKO 2,00 1,00 0,33 0,874 0,249 0,761 3,054 CI 0,027 LING 3,00 3,00 1,00 2,080 0,594 1,813 3,054 CR 0,046 3,504 1,000 Pakar 3 Manajer Pabrik pada Agroindustri ATC Atribut TEK EKO LING RG VP VA EV λmax 3,054 TEK 1,00 3,00 2,00 1,817 0,528 1,612 3,054 RI 0,580 EKO 0,33 1,00 0,33 0,481 0,140 0,426 3,054 CI 0,027 LING 0,50 3,00 1,00 1,145 0,333 1,015 3,054 CR 0,046 3,443 1,000 Pendapat Gabungan Atribut TEK EKO LING RG VP VA EV λmax 3,008 TEK 1,00 0,67 0,61 0,740 0,240 0,721 3,008 RI 0,580 EKO 1,49 1,00 0,69 1,012 0,328 0,986 3,008 CI 0,004 LING 1,65 1,44 1,00 1,335 0,433 1,301 3,008 CR 0,007 3,087 1,000 Keterangan: TEK : Teknologi EKO : Ekonomi LING : Lingkungan

246 232 Lampiran 8.2. Penilaian Alternatif Berdasarkan Kriteria Teknologi Pakar 1 Staf Pengajar pada Universitas Jember Teknologi NT DU IPAL RG VP VA EV Λmax 3,100 NT 1,00 3,00 7,00 2,759 0,641 1,986 3,100 RI 0,580 DU 0,33 1,00 6,00 1,260 0,293 0,907 3,100 CI 0,050 IPAL 0,14 0,17 1,00 0,288 0,067 0,207 3,100 CR 0,086 4,307 1,000 Pakar 2 Peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi KP Teknologi NT DU IPAL RG VP VA EV Λmax 3,039 NT 1,00 0,33 3,00 1,000 0,258 0,785 3,039 RI 0,580 DU 3,00 1,00 5,00 2,466 0,637 1,935 3,039 CI 0,019 IPAL 0,33 0,20 1,00 0,405 0,105 0,318 3,039 CR 0,033 3,872 1,000 Pakar 3 Manajer Pabrik pada Agroindustri ATC Teknologi NT DU IPAL RG VP VA EV Λmax 3,065 NT 1,00 0,20 3,00 0,843 0,188 0,577 3,065 RI 0,580 DU 5,00 1,00 7,00 3,271 0,731 2,239 3,065 CI 0,032 IPAL 0,33 0,14 1,00 0,362 0,081 0,248 3,065 CR 0,056 4,477 1,000 Pendapat Gabungan Teknologi NT DU IPAL RG VP VA EV λmax 3,002 NT 1,00 0,58 3,98 1,325 0,345 1,036 3,002 RI 0,580 DU 1,71 1,00 5,94 2,166 0,564 1,694 3,002 CI 0,001 IPAL 0,25 0,17 1,00 0,348 0,091 0,272 3,002 CR 0,002 3,840 1,000 Keterangan: NT : Nilai Tambah DU : Daur Ulang IPAL : Instalasi Pengolahan Air Limbah

247 233 Lampiran 8.3. Penilaian Alternatif Berdasarkan Kriteria Ekonomi Pakar 1 Staf Pengajar pada Universitas Jember Teknologi NT DU IPAL RG VP VA EV Λmax 3,029 NT 1,00 1,00 5,00 1,710 0,481 1,456 3,029 RI 0,580 DU 1,00 1,00 3,00 1,442 0,405 1,228 3,029 CI 0,015 IPAL 0,20 0,33 1,00 0,405 0,114 0,345 3,029 CR 0,025 3,558 1,000 Pakar 2 Peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi KP Teknologi NT DU IPAL RG VP VA EV Λmax 3,009 NT 1,00 2,00 3,00 1,817 0,540 1,624 3,009 RI 0,580 DU 0,50 1,00 2,00 1,000 0,297 0,894 3,009 CI 0,005 IPAL 0,33 0,50 1,00 0,550 0,163 0,492 3,009 CR 0,008 3,367 1,000 Pakar 3 Manajer Pabrik pada Agroindustri ATC Teknologi NT DU IPAL RG VP VA EV Λmax 3,018 NT 1,00 3,00 4,00 2,289 0,625 1,886 3,018 RI 0,580 DU 0,33 1,00 2,00 0,874 0,238 0,720 3,018 CI 0,009 IPAL 0,25 0,50 1,00 0,500 0,136 0,412 3,018 CR 0,016 3,663 1,000 Pendapat Gabungan Teknologi NT DU IPAL RG VP VA EV Λmax 3,000 NT 1,00 1,82 3,91 1,923 0,552 1,656 3,000 RI 0,580 DU 0,55 1,00 2,29 1,080 0,310 0,930 3,000 CI 0,000 IPAL 0,26 0,44 1,00 0,481 0,138 0,415 3,000 CR 0,000 3,485 1,000 Keterangan: NT : Nilai Tambah DU : Daur Ulang IPAL : Instalasi Pengolahan Air Limbah

248 234 Lampiran 8.4. Penilaian Alternatif Berdasarkan Kriteria Lingkungan Pakar 1 Staf Pengajar pada Universitas Jember Teknologi NT DU IPAL RG VP VA EV Λmax 3,029 NT 1,00 5,00 9,00 3,557 0,751 2,276 3,029 RI 0,580 DU 0,20 1,00 3,00 0,843 0,178 0,540 3,029 CI 0,015 IPAL 0,11 0,33 1,00 0,333 0,070 0,213 3,029 CR 0,025 4,734 1,000 Pakar 2 Peneliti pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi KP Teknologi NT DU IPAL RG VP VA EV Λmax 3,039 NT 1,00 0,33 3,00 1,000 0,258 0,785 3,039 RI 0,580 DU 3,00 1,00 5,00 2,466 0,637 1,935 3,039 CI 0,019 IPAL 0,33 0,20 1,00 0,405 0,105 0,318 3,039 CR 0,033 3,872 1,000 Pakar 3 Manajer Pabrik pada Agroindustri ATC Teknologi NT DU IPAL RG VP VA EV Λmax 3,029 NT 1,00 0,20 3,00 0,843 0,178 0,540 3,029 RI 0,580 DU 5,00 1,00 9,00 3,557 0,751 2,276 3,029 CI 0,015 IPAL 0,33 0,11 1,00 0,333 0,070 0,213 3,029 CR 0,025 4,734 1,000 Pendapat Gabungan Teknologi NT DU IPAL RG VP VA EV Λmax 3,004 NT 1,00 0,69 4,33 1,442 0,385 1,156 3,004 RI 0,580 DU 1,44 1,00 5,13 1,949 0,520 1,562 3,004 CI 0,002 IPAL 0,23 0,19 1,00 0,356 0,095 0,285 3,004 CR 0,004 3,747 1,000 Keterangan: NT : Nilai Tambah DU : Daur Ulang IPAL : Instalasi Pengolahan Air Limbah

249 235 Lampiran 8.5. Sintesis Alternatif Pemilihan Penanganan Limbah TEK EKO LING 0,240 0,328 0,433 Bobot Prioritas NT 0,345 0,552 0,385 0,430 II DU 0,564 0,310 0,520 0,462 I IPAL 0,091 0,138 0,095 0,108 III 1,000

250 237 Lampiran 9. Analisis usaha budidaya rumput laut Eucheuma Cottonii menggunakan metode rakit di Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep Asumsi teknis: Jumlah rakit : 20 rakit Ukuran rakit : 10 x 10 meter Jarak tali ris : 15 centimeter Jarak rumpun RL : 20 centimeter Bahan rakit : bambu Berat bibit/rumpun : gram Jenis rumput laut : Eucheuma cottonii Lampiran 9.1. Asumsi Dan Koefisien Usaha Budidaya Rumput Laut No. Uraian Satuan Nilai 1 Produktivitas Siklus Produksi siklus/tahun 5 Jumlah Rakit Rakit 20 Produktivitas (kering) kg/rakit/siklus 160 Harga Jual RL Kering Rp/kg Harga Bibit Rp./kg Pendanaan Modal Sendiri % 60 Jangka Pengembalian Modal Th 10 Bunga Pinjaman %/th 22 3 Lain-Lain 4 Pajak Penghasilan % 15 Lampiran 9.2. Biaya Investasi Budidaya Rumput Laut (1 rakit) No. Uraian Satuan Volume Harga Sub Total (Rp.) (Rp.) 1 Bambu buah Tali ris (67bh x 11m = 737m = 4 coil tali PE 6mm) kg 15, Tali jangkar PE 10 mm kg Tali ikat rakit PE 4 mm kg Total Jumlah Rakit buah 20 Total Biaya Investasi Rp

251 238 Lampiran 9.3. Biaya Produksi Budidaya Rumput Laut (Rp/rakit/siklus) No. Uraian Satuan Volume Harga Sub Total (Rp.) (Rp.) 1 Biaya Tetap Tenaga Kerja Rp/siklus Biaya Tidak Tetap Bibit Rumput Laut Kg Tali Rafia Kg Tenaga tidak tetap (ikat bibit, pasang rakit PP) Rp/org Total Jumlah Siklus per tahun 5 Jumlah Rakit 20 Biaya Produksi Rp/tahun 74,000,000 Biaya Penyusutan Rp/tahun 7,024,000 Total Biaya Operasional (Rp/tahun) 81,024,000

252 239 Lampiran 9.4. Perkiraan Arus Kas Budidaya Rumput Laut No. Uraian Satuan Penjualan Produksi Kg Harga Rp/kg Pembiayaan 14,048, a. Investasi 14,048, b. Biaya Operasional Biaya Tetap Biaya Tidak Tetap Biaya Penyusutan c. Angsuran Bunga Laba Sebelum Pajak -14,048, Pajak Penghasilan Laba Bersih -14,048, Keuntungan rata-rata Rp/thn 41,774,505 Rp/bln 3,481,209 Lampiran 9.5. Analisis Kelayakan Finansial No. Uraian Satuan Nilai 1 Net Present Value Rp. 175,737,054 2 Internal Rate of Return % Payback Periode Tahun Benefit-Cost Ratio Resiko Rendah Keputusan Layak

253 240 Lampiran 9.6. Asumsi dan Koefisien Budidaya Rumput Laut dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Produktivitas Budidaya No. Uraian Satuan Model Dasar Turun 15% Turun 30% Turun 37% 1 Produktivitas Siklus Produksi siklus/tahun Jumlah Rakit Buah Produktivitas (kering) kg/rakit/siklus Harga Jual RL Kering Rp/kg Harga Bibit Rp./kg Pendanaan Modal Sendiri % Jangka Pengembalian Modal Th Bunga Pinjaman %/th Lain-Lain Pajak Penghasilan % Lampiran 9.7. Analisis Finansial Usaha Budidaya Rumput Laut dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Produktivitas Budidaya No. Uraian Satuan Model Dasar Turun 15% Turun 30% Turun 37% 1 Net Present Value Rp ,818,671-1,708,062 2 Internal Rate of Return % 354,77 222, Payback Periode Tahun 0,33 0, Benefit-Cost Ratio 1,44 1, Resiko Rendah Rendah Rendah Rendah Keputusan Layak Layak Layak Tidak Layak

254 241 Lampiran 9.8. Asumsi dan Koefisien Budidaya Rumput Laut dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Harga Jual Rumput Laut No. Uraian Satuan Model Dasar Turun 15% Turun 30% Turun 37% 1 Produktivitas Siklus Produksi siklus/tahun Jumlah Rakit Buah Produktivitas (kering) kg/rakit/siklus Harga Jual RL Kering Rp/kg Harga Bibit Rp./kg Pendanaan Modal Sendiri % Jangka Pengembalian Modal Th Bunga Pinjaman %/th Lain-Lain Pajak Penghasilan % Lampiran 9.9. Analisis Finansial Usaha Budidaya Rumput Laut dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Harga Jual Rumput Laut No. Uraian Satuan Model Dasar Turun 15% Turun 30% Turun 37% 1 Net Present Value Rp ,818,671-1,708,062 2 Internal Rate of Return % 354,77 222, Payback Periode Tahun 0,33 0, Benefit-Cost Ratio , Resiko Rendah Rendah Tinggi Rendah Keputusan Layak Layak Layak Tidak Layak

255 242 Lampiran Asumsi dan Koefisien Budidaya Rumput Laut dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Harga Bibit Rumput Laut No. Uraian Satuan Model Dasar Naik 25% Naik 50% Naik 89% 1 Produktivitas Siklus Produksi siklus/tahun Jumlah Rakit buah Produktivitas (kering) kg/rakit/siklus Harga Jual RL Kering Rp/kg Harga Bibit Rp./kg Pendanaan Modal Sendiri % Jangka Pengembalian Modal th Bunga Pinjaman %/th Lain-Lain Pajak Penghasilan % Lampiran Analisis Finansial Usaha Budidaya Rumput Laut dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Harga Bibit Rumput Laut No. Uraian Satuan Model Dasar Naik 25% Naik 50% Naik 89% 1 Net Present Value Rp. 175,737, ,044,779 78,351, Internal Rate of Return % Payback Periode Tahun Benefit-Cost Ratio Resiko Rendah Rendah Rendah Sedang Keputusan Layak Layak Layak Tidak Layak

256 243 Lampiran Asumsi dan Koefisien Budidaya Rumput Laut dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Produktivitas (S1), Harga Jual (S2), dan Harga Bibit Rumput Laut (S3) No. Uraian Satuan Model Dasar S1 Turun 25% S2 Turun 20% S3 Tetap S1 Turun 20% S2 Turun 20% S3 Naik 5% S1 Turun 20% S2 Naik 10% S3 Naik 50% 1 Produktivitas Siklus Produksi siklus/tahun Jumlah Rakit buah Produktivitas (kering) Kg/rakit/siklus Harga Jual RL Kering Rp/kg Harga Bibit Rp./kg Pendanaan Modal Sendiri % Jangka Pengembalian Modal Th Bunga Pinjaman %/th Lain-Lain Pajak Penghasilan % Lampiran Analisis Finansial Usaha Budidaya Rumput Laut dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Produktivitas (S1), Harga Jual (S2), dan Harga Bibit Rumput Laut (S3) No. Uraian Satuan Model Dasar S1 Turun 25% S2 Turun 20% S3 Tetap S1 Turun 20% S2 Turun 20% S3 Naik 5% S1 Turun 20% S2 Turun 10% S3 Naik 50% 1 Net Present Value Rp. 175,737,908 3,384,052-7,276,706 20,484,109 2 Internal Rate of Return % Payback Periode Tahun Benefit-Cost Ratio Resiko Rendah Rendah Rendah Tinggi Keputusan Layak Layak Tidak Layak Layak

257 244

258 245 Lampiran 10. Analisis kelayakan finansial usaha agroindustri pengolahan rumput laut (alkali treated cottonii/atc) Lampiran Asumsi dan Koefisien Usaha Agroindustri ATC No. Uraian Satuan Nilai 1 Produktivitas Kapasitas produksi ATC Kg/bulan Jumlah hari kerja dalam sebulan hari kerja 25 Produksi per hari Kg/hari Konversi rumput laut kering ke ATC % 30 Jumlah rumput laut kering yang dibutuhkan Kg/hari Jumlah RL kering per bulan Kg/bulan Satu tahun setara dengan hari kerja 300 Produksi per tahun Kg/tahun Harga RL kering Rp/kg Harga ATC Rp/kg Harga KOH Rp/kg Jumlah KOH per hari Kg/hari Pendanaan Modal Sendiri % 70 Jangka Pengembalian Modal Th 10 Bunga Pinjaman %/th 16 3 Lain-Lain Pajak Penghasilan % 15 Lampiran Biaya Bahan Penunjang Agroindustri ATC No. Uraian Satuan Volume Harga (Rp.) Sub Total (Rp.) 1 Air m3/hari Bahan bakar peralatan ltr/hari Oli pemanas ltr/hari ATK Ls Telpon Line Listrik KWH Kitchen supply Ls Bahan bakan kendaraan dinas Ltr Bahan bakar mobil angkut Ltr Lembur Jam Bahan kimia (KOH) Kg Total Lampiran Biaya Pemasaran dan Promosi Agroindustri No. Uraian Satuan Volume Harga (Rp.) Sub Total (Rp.) 1 Bahan pengemas bh Benang jahit roll Paket promosi ls Administrasi ls Distribusi ls Total

259 246 Lampiran Biaya Pembelian Mesin No. Uraian Satuan Volume Harga (Rp.) Sub Total (Rp.) Umur Penyusutan (%) Biaya Penyusutan (Rp.) Perawatan (%) Biaya Perawatan (Rp.) 1 Genset unit Double jacket tank unit Horizontal dryer unit Mesin potong rumput laut unit Hammer mill unit Bak perendaman unit Crane otomatis unit Timbangan unit Mesin jahit unit Tanki bahan bakar unit Bak penampungan air bersih unit Bak pembuangan limbah unit Oil circulation pump unit Trolly unit Ozvent unit Exhaust van gudang unit Exhaust van horizontal dryer unit Peralatan laboratorium unit Slang unit Skop unit Cangkul garpu unit Keranjang plastik kecil unit Keranjang plastik besar unit Pemasangan daya KVA unit Total

260 247 Lampiran Biaya Pembelian Infrastruktur Kantor No. Uraian Satuan Volume Harga (Rp.) Sub Total (Rp.) Umur Penyusutan (%) Biaya Penyusutan (Rp) Perawatan (%) Biaya Perawatan (Rp) 1 Biaya pemasangan telepon unit Meja dan kursi eksekutif unit Meja dan kursi karyawan unit Komputer dan Printer unit OHP unit Mesin fax unit Mesin hitung unit Lemari rak buku unit Filling cabinet unit Brankas unit TV 21" unit Intercom unit AC 0,5 PK unit Kendaraan badan pengawas unit Kendaraaan direksi unit Mobil operasional unit Truck colt diesel unit Pick up unit Sepeda motor unit Total

261 248 Lampiran Biaya Investasi Agroindustri No. Uraian Satuan Volume Harga Sub Total Umur Penyusutan (%) Biaya Penyusutan (Rp) Perawatan (%) Biaya Perawatan (Rp) 1 Pembelian lahan/tanah m Pembangunan pabrik m Pembangunan lantai jemur m Pagar pabrik (76x30x3m) m Ruangan laboratorium m Ruangan sparepart m Gudang rumput laut kering m Gudang penyimpanan SRC m Ruangan genset m Toilet m Pembangunan kantor m Pengeboran sumur dalam Paket Pengurusan legalitas Paket Pembelian mesin-mesin Paket Pembelian ATK Paket Total

262 249 Lampiran Perkiraan arus kas agroindustri rumput laut No. Uraian Satuan Penjualan Produksi Kg Harga Rp/kg Pembiayaan a. Investasi b. Biaya Tetap Gaji Biaya Penyusutan Biaya Perawatan Biaya Lain-Lain c. Biaya Tidak Tetap Bahan Baku Utilitas Lain-Lain d. Angsuran Bunga Laba Sebelum Pajak Pajak Penghasilan Laba Bersih

263 250 Lampiran Perkiraan arus kas agroindustri rumput laut (lanjutan) No. Uraian Satuan Penjualan Produksi kg Harga Rp/kg Pembiayaan a. Investasi b. Biaya Tetap Gaji Biaya Penyusutan Biaya Perawatan Biaya Lain-Lain c. Biaya Tidak Tetap Bahan Baku Utilitas Lain-Lain d. Angsuran Bunga Laba Sebelum Pajak Pajak Penghasilan Laba Bersih Keuntungan rata-rata Rp/thn Rp/bln Lampiran Analisis Finansial Usaha Agroindustri No. Uraian Satuan Hasil 1 Net Present Value Rp Internal Rate of Return % 32,41 3 Payback Periode Tahun 5,04 4 Benefit-Cost Ratio 1,05 5 Resiko Sedang Keputusan Layak

264 251 Lampiran Asumsi dan Koefisien Agroindustri dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Harga Bahan Baku Rumput Laut No. Uraian Satuan Model Dasar Naik 3% Naik 5% Naik 7% 1 Produktivitas Kapasitas produksi ATC Kg/bulan Jumlah hari kerja dalam sebulan hari kerja Produksi per hari Kg/hari Konversi rumput laut kering ke ATC % Jumlah rumput laut kering yang dibutuhkan Kg/hari Jumlah RL kering per bulan Kg/bulan Satu tahun setara dengan hari kerja Produksi per tahun Kg/tahun Harga RL kering Rp/kg Harga ATC Rp/kg Harga KOH Rp/kg Jumlah KOH per hari Kg/hari Pendanaan Modal Sendiri % Jangka Pengembalian Modal Th Bunga Pinjaman %/th Lain-Lain Pajak Penghasilan % Lampiran Analisis Finansial Usaha Agorindustri dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Harga Bahan Baku Rumput Laut No. Uraian Satuan Model Dasar Naik 3% Naik 5% Naik 7% 1 Net Present Value Rp. 4,717,116,929 2,555,825,572 1,079,789, ,366,170 2 Internal Rate of Return % Payback Periode Tahun Benefit-Cost Ratio Resiko Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Keputusan Layak Layak Layak Tidak Layak

265 252 Lampiran Asumsi dan Koefisien Agroindustri dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Harga Jual ATC No. Uraian Satuan Model Dasar Turun 3% Turun 4% Turun 5% 1 Produktivitas Kapasitas produksi ATC Kg/bulan Jumlah hari kerja dalam sebulan hari kerja Produksi per hari Kg/hari Konversi rumput laut kering ke ATC % Jumlah rumput laut kering yang dibutuhkan Kg/hari Jumlah RL kering per bulan Kg/bulan Satu tahun setara dengan hari kerja Produksi per tahun Kg/tahun Harga RL kering Rp/kg Harga ATC Rp/kg Harga KOH Rp/kg Jumlah KOH per hari Kg/hari Pendanaan Modal Sendiri % Jangka Pengembalian Modal Th Bunga Pinjaman %/th Lain-Lain Pajak Penghasilan % Lampiran Analisis Finansial Usaha Agorindustri dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Harga Jual ATC No. Uraian Satuan Model Dasar Turun 3% Turun 4% Turun 5% 1 Net Present Value Rp. 4,717,116,929 1,846,913, ,992, ,928,700 2 Internal Rate of Return % Payback Periode Tahun Benefit-Cost Ratio Resiko Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Keputusan Layak Layak Layak Tidak Layak

266 253 Lampiran Asumsi dan Koefisien Usaha Agroindustri dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Harga Bahan Baku (S1) dan Harga Jual ATC (S2) No. Uraian Satuan Model Dasar S1 Turun 10% S2 Turun 10% S1 Turun 5% S2 Turun 10% S1 Naik 3% S2 Turun 3% 1 Produktivitas Kapasitas produksi ATC Kg/bulan Jumlah hari kerja dalam sebulan hari kerja Produksi per hari Kg/hari Konversi rumput laut kering ke ATC % Jumlah rumput laut kering yang dibutuhkan Kg/hari Jumlah RL kering per bulan Kg/bulan Satu tahun setara dengan hari kerja Produksi per tahun Kg/tahun Harga RL kering Rp/kg Harga ATC Rp/kg Harga KOH Rp/kg Jumlah KOH per hari Kg/hari Pendanaan Modal Sendiri % Jangka Pengembalian Modal Th Bunga Pinjaman %/th Lain-Lain Pajak Penghasilan % Lampiran Analisis Finansial Agroindustri dengan Analisis Sensitivitas terhadap Perubahan Harga Bahan Baku (S1) dan Harga Jual ATC (S2) No. Uraian Satuan Model Dasar S1 Turun 10% S1 naik 5% S1 Naik 10% S2 Turun 10% S2 Turun 2% S2 Naik 5% 1 Net Present Value Rp. 4,717,116, Internal Rate of Return % ,70 13,00 23,55 3 Payback Periode Tahun ,58 12,16 6,92 4 Benefit-Cost Ratio ,02 0,99 1,02 5 Resiko Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Keputusan Layak Layak Tidak Layak Tidak Layak

267 255 Lampiran 11. Proporsi keuntungan pelaku usaha di dalam klaster Lampiran Keuntungan rata-rata pembudidaya per tahun Skenario Harga Rumput Laut Jumlah rakit yang diusahakan (rakit/pembudidaya) (Rp/kg)

268 256 Lampiran Rincian keuntungan rata-rata pembudidaya per tahun No. Uraian Formula Satuan Nilai a. Jumlah rakit Rakit b. Produksi per rakit kg/rakit c. Siklus produksi per tahun siklus/tahun d. Total produksi budidaya (a*b*c) kg/tahun 800 2,400 4,000 8,000 12,000 16,000 e. Target produksi kg/tahun f. Rasio target dengan jumlah produksi (e/d) g. Keuntungan pada harga RL Rp ,-/kg Rp/tahun h. Keuntungan pada harga RL Rp ,-/kg Rp/tahun i. Keuntungan sebelum klaster (f*g) Rp/tahun j. Keuntungan setelah klaster (f*h) Rp/tahun k. Selisih keuntungan (j-i) Rp/tahun Catatan: - Target produksi budidaya adalah jumlah produksi rumput laut yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produksi agroindustri menggunakan kapasitas produksi sebesar kg/tahun dengan rendemen 30%. - Jumlah keuntungan pembudidaya didasarkan pada perhitungan pada arus kas rata-rata usaha budidaya rumput laut dengan asumsi-asumsi sebagaimana disajikan pada Lampiran 9. - Keuntungan sebelum klaster menggunakan basis harga rumput laut di tingkat pembudidaya sebesar Rp ,-/kg (GS = 775 gr/cm2) - Keuntungan setelah klaster menggunakan basis harga rumput laut di tingkat pembudidaya sebesar Rp ,-/kg (GS = 900 gr/cm2)

269 257 Lampiran Keuntungan agroindustri per tahun Gel Strength (gr/cm2) Harga ATC (U$/kg) Kurs (Rp/U$) Harga ATC (Rp/kg) Harga RL (Rp/kg) Keuntungan Agroindustri (Rp/Tahun) ,000 30, ,000 34, ,000 37, ,000 41, ,000 45, ,000 46, ,000 48, ,000 50, ,000 52, ,000 54, ,000 55, ,000 57, ,000 59, ,000 61, ,000 63, ,000 64, ,000 66, Keuntungan sebelum klaster Rp/tahun Keuntungan setelah klaster Rp/tahun Selisih keuntungan Rp/tahun Catatan: - Kapasitas produksi agroindustri sebesar kg/tahun. - Jumlah keuntungan agroindustri didasarkan pada perhitungan pada arus kas rata-rata usaha agroindustri dengan asumsi-asumsi sebagaimana disajikan pada Lampiran Keuntungan sebelum klaster menggunakan basis harga rumput laut di tingkat agroindustri sebesar Rp ,-/kg (GS = 775 gr/cm2) - Keuntungan setelah klaster menggunakan basis harga rumput laut di tingkat agroindustri sebesar Rp ,-/kg (GS = 900 gr/cm2)

270 258 Lampiran Keuntungan koperasi per tahun Uraian Harga Jual RL Harga Beli RL Nilai Tambah Keuntungan (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/tahun) Keuntungan sebelum klaster Keuntungan setelah klaster Tambahan keuntungan Catatan: - Volume penjualan/pembelian rumput laut sebesar kg/tahun - Keuntungan sebelum klaster menggunakan basis GS rumput laut sebesar 775 gr/cm2 - Keuntungan sebelum klaster menggunakan basis GS rumput laut sebesar 900 gr/cm2 Lampiran Keuntungan kelompok pembudidaya per tahun Uraian Harga Jual RL Harga Beli RL Nilai Tambah Pendapatan (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/tahun) Keuntungan sebelum klaster Keuntungan setelah klaster Selisih keuntungan Catatan: - Volume penjualan/pembelian rumput laut sebesar 1,575,000 kg/tahun - Keuntungan sebelum klaster menggunakan basis GS rumput laut sebesar 775 gr/cm2 - Keuntungan sebelum klaster menggunakan basis GS rumput laut sebesar 900 gr/cm2

271 259 Lampiran Proporsi keuntungan pelaku klaster Pelaku Klaster Keuntungan Sebelum Klaster Keuntungan Setelah Klaster Selisih Keuntungan Proporsi (Rp/tahun) (Rp/tahun) (Rp/tahun) (%) Agroindustri ,67 Koperasi ,55 Kelompok Pembudidaya ,64 Pembudidaya ,14 Jumlah

272 260

273 261 Lampiran 12. Efisiensi Penggunaan Air melalui Proses Air Daur Ulang Uraian Satuan Kebutuhan air Limbah cair yang terbentuk Air daur ulang yang dihasilkan Hari ke-1 Pencucian awal Liter Pencucian ke-1 Liter Pencucian ke-2 Liter Jumlah-1 Liter Penggunaan air daur ulang Liter 0 Penambahan air bersih Liter 0 Hari ke-2 Pencucian awal Liter Pencucian ke-1 Liter Pencucian ke-2 Liter Jumlah-2 Liter Penggunaan air limbah Liter Penambahan air bersih Liter Hari ke-3 Pencucian awal Liter Pencucian ke-1 Liter Pencucian ke-2 Liter Jumlah-3 Liter Penggunaan air limbah Liter Penambahan air bersih Liter Hari ke-4 Pencucian awal Liter Pencucian ke-1 Liter Pencucian ke-2 Liter Jumlah-4 Liter Penggunaan air limbah Liter Penambahan air bersih Liter

274 262 Uraian Satuan Kebutuhan air Limbah cair yang terbentuk Air daur ulang yang dihasilkan Hari ke-5 Pencucian awal Liter Pencucian ke-1 Liter Pencucian ke-2 Liter Jumlah-5 Liter Penggunaan air daur ulang Liter 0 Penambahan air bersih Liter 0 Hari ke-6 Pencucian awal Liter Pencucian ke-1 Liter Pencucian ke-2 Liter Jumlah-6 Liter Penggunaan air limbah Liter Penambahan air bersih Liter

275 263 Lampiran 13. Industri Rumput Laut Lampiran Nama dan Lokasi Industri Rumput Laut di Indonesia No. Nama Perusahaan Alamat Jawa Barat Banten 1. PT. Galic Artabahari Ds. Sukadanau Kec. Cikarang Barat Kab. Bekasi Jawa Barat 2. PT. Gumindo Perkasa Industri Kantor: Graha Indramas 1st Floor Jl. K.S. Tubun Raya No. 77 Jakarta Pabrik: Serang Banten Jawa Timur 1. PT. Surya Indoalgas Jl. Ngagel Jaya Selatan No. 39C Surabaya, Jl. Kedungdoro No. 60 / 9-10th Floor Surabaya Jawa Timur Indonesia 2. PT. Amarta Carrageenan Indonesia Kantor: Jl. Margomulyo Indah Blok B No. 6 Kompleks Industri Surabaya -Jawa Timur Pabrik: Ds. Jeruk Purut - Desa Bulu Sari (Candi Belahan - Desang Karang Jambe) Gempol - Pasuruan - Jawa Timur 3. PT. Centram Kantor: Jl. Dinoyo Surabaya Pabrik: Desa Carat Kec. Gempol Kab. Pasuruan Jawa Timur 4. PT. Seamatec Jl. Jagaraga No Surabaya (Office), Ds. Bulusari Kec. Gempol Kab. Pasuruan Jl. Wicaksono No. 23 Jawa Timur 5. PT. Algalindo Perdana Kantor: Jl. Jagaraga No. 37 Surabaya (Office) Ds. Bulusari Kec. Gempol Kab. Pasuruan Jl. Wicaksono No. 23 Jawa Timur 6. PT. Seatech Carrageenan Jl. Jagaraga No Surabaya (Office), Ds. Bulusari Kec. Gempol Kab. Pasuruan Jl. Wicaksono No. 23 Jawa Timur 7. PT. Indonusa Algaemas Prima Kantor: Multiguna Square No.1 L-M Jl. Rajawali Selatan Raya Blok C5/2 Kota Baru - Bandar Kemayoran Jakarta Taman Pecatu E13 Surabaya Pabrik: Jl. Bale Kambing No. 99 Singosari Malang Jawa Timur Banjar Kangin Ds.Jumpai Kec. Klungkung - Klungkung Bali 8. PT. Tirta Sumba Subur Jl. Jagaraga No Surabaya (Office), Ds. Bulusari Kec. Gempol Kab. Pasuruan Jl. Wicaksono No. 23 Jawa Timur

276 264 No. Nama Perusahaan Alamat 9. PT. Sansiwita Jl. Raya Pekandangan Barat Sumenep-Madura Jawa Timur 10. PT. Madura Prima Interna Jl. Jemursari Selatan I No. 11 A Surabaya 11. PT. Amarta Sari Lestari Jl Margomulyo Indah Bl B/6, Surabaya 12. PT. Wahana Phonix Mandiri Jl. Pemuda Surabaya Jawa Tengah 1. PT. Michellindo Pekalongan 2. PT. Tirta Cahaya Purnama Jl. Setiabudi 59 Semarang Jawa Tengah 3. CV. Karagenan Indonesia Jl. Setiabudi 59 Semarang Jawa Tengah Sulawesi Selatan 1. PT. Bantimurung Indah Jl. Dr. Sam Ratulangi Km. 31 Maros Sulawesi Selatan, Jl. Urip Sumohardjo No. 268 Makassar Sulawesi Selatan 2. PT. Cahaya Cemerlang Jl. S. Cerekang No. 16 Makassar - Sulawesi Selatan 3. PT. Giwang Citra Laut Kantor: Jl. Lamadukelleng No. 9A Makassar Sulawesi Selatan Factory: Desa Pa'rappunganta Polut Kab.Takalar Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Barat 1. PT. Phoenix Mas Jl. AA Gde Ngurah Abiantubuh Cakranegara Mataram NTB Sumber:

277 265 Lampiran Produsen dan Distributor Utama Karaginan di Dunia No. Nama Perusahaan Negara 1. CP Kelco ApS Denmark 2. Shemberg Marketing Corporation Philippines 3. Shemberg Biotech Corporation Philippines 4. Ingredients Solutions Inc. United States of America 5. Marcel Carrageenan Corporation Philippines 6. FMC Biopolymer United States of America 7. Degussa Texturant Systems Germany 8. Danisco Cultor Denmark 9. Rhodia Food France 10. Gelymar S.A. Chile 11. CEAMSA Spain 12. Hispanagar, S.A. Spain 13. Ina Food Industry Co., Ltd. Japan 14. Myeong Shin Chemical Ind. Co., Ltd. South Korea 15. Soriano S.A. Argentina 16. Chuo Food Materials Co.Ltd Japan 17. Marine Science Co Ltd Japan 18. Hercules Denmark 19. SKW France 20. Mitsubishi Rayon Japan 21. Cheong Do South Korea 22. Gumindo Indonesia Sumber: ; IMR International

278 266

279 267 Lampiran 14. Petunjuk Penggunaan Aplikasi Model KlasteRula Petunjuk Instalasi Aplikasi Model KlasteRula melibatkan beberapa file beserta konfigurasi yang harus diatur sedemikian rupa sehingga aplikasi ini dapat berjalan dengan baik. Pada komputer yang berbeda, file-file tersebut kemungkinan tidak tersedia dan konfigurasi yang ada tidak memenuhi persyaratan yang diperlukan KlasteRula. Untuk menjamin berjalannya aplikasi model KlasteRula dengan baik diperlukan proses instalasi yang bertujuan meng-kopi file-file yang diperlukan serta mengatur konfigurasinya. Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam proses instalasi KlasteRula Untuk melakukan prosedur instalasi disediakan sebuah instalation disk yang berisi 3 (tiga) buah file, diantaranya: KlasteRula.cab, setup.exe, dan setup.lst. Berikut adalah beberapa tahapan prosedur instalasi KlasteRula: Kebutuhan Sistem Operasi KlasteRula direkomendasikan untuk diinstal pada sistem operasi berbasis windows tepatnya Microsoft Windows 9x/2000/ME/XP atau versi yang lebih tinggi dengan minimal RAM 128 dan disk free space sebesar 5 (lima) MB. Khusus untuk sistem operasi yang multiuser (Microsoft Windows XP, Microsoft Windows 2000, atau sekelasnya) hendaknya aplikasi model KlasteRula diinstal pada mode administrator. Hapus Versi Sebelumnya Instalasi tidak dapat menghapus secara otomatis aplikasi KlasteRula yang telah terinstal pada waktu sebelumnya. Lakukan penghapusan jika sebelumnya anda telah meng-instal Aplikasi KlasteRula sesuai prosedur Menghapus Aplikasi KlasteRula dari Windows. Jalankan File Instalasi Jalankan file instalasi KlasteRula dengan meng-klik ganda setup.exe pada direktori / drive dimana file ini ditempatkan. Ikuti semua petunjuk yang ditayangkan pada proses selanjutnya, biasanya pengguna hanya melakukan persetujuan dengan menekan tombol [Enter] pada setiap dialog yang ditampilkan. Update File System (Jika Diperlukan) Untuk kasus tertentu terkadang sistem operasi harus melakukan prosedur updating file system terlebih dahulu sebelum proses instalasi dilanjutkan. Tetapi jangan khawatir, konfigurasi ini dilakukan secara otomatis, dan instalasi akan meminta windows untuk di-restart sebelum progres dilanjutkan. Setujui permintaan ini dengan menekan tombol [Enter], windows secara otomatis akan melakukan booting ulang, jika tidak - lakukan booting ulang secara manual. Ulangi lagi prosedur instalasi dari awal. Instalasi Selesai Jika proses instalasi berjalan dengan lancar, windows akan membuat grup aplikasi (program group) baru dengan nama KlasteRula. Untuk mengaktifkannya, klik shortcut pada Start Programs KlasteRula KlasteRula.

280 268 Aplikasi Model KlasteRula Aplikasi model KlasteRula merupakan implementasi Model Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan yang dirancang dalam suatu paket komputer yang dengan nama KlasteRula. Paket program ini disusun dalam bentuk Sistem Penunjang Keputusan dengan tujuan untuk membantu pengguna, baik peneliti, pengambil kebijakan, investor, lembaga pembiayaan maupun lembaga ekonomi petani dalam melakukan analisa klaster untuk pengembangan agroindustri berbasis rumput laut. Uraian ini dirancang untuk membantu operasionalisasi penggunaan aplikasi model KlasteRula. Menjalankan Aplikasi Model KlasteRula Aplikasi model KlasteRula dapat dijalankan apabila proses instalasi berjalan dengan baik. Apabila terjadi kesalahan dalam prosedur instalasi ataupun pada saat eksekusi program, laporkan kembali kesalahan tersebut kepada system designer. Untuk menjalankan aplikasi KlasteRula, klik tombol [Start] pada taskbar windows kemudian pada menu Programs ditampilkan beberapa aplikasi (program group) yang terinstal dalam windows dan salah satunya adalah KlasteRula. Arahkan pointer pada grup KlasteRula kemudian klik shortcut KlasteRula untuk mengaktifkannya. Gambar 1. Dialog Akses Aplikasi KlasteRula. Halaman pertama yang ditampilkan aplikasi KlasteRula adalah dialog akses aplikasi yang berguna sebagai gerbang otorisasi penggunaan aplikasi. Pada dialog ini ditanyakan mengenai password akses aplikasi. Silahkan masukkan password yang sesuai untuk melanjutkan, kemudiank klik tombol [Lanjut] atau tekan [Enter] untuk menyetujuinya dan klik [Batal] atau tekan [Esc] untuk membatalkannya. Password sangat sensitif pada jenis karakter, silahkan perhatikan kembali tombol [Caps Lock] akses aplikasi tidak sukses.

281 269 Struktur Aplikasi KlasteRula Secara struktural konfigurasi aplikasi model KlasteRula terdiri dari beberapa modul yang masingmasing dikonstruksi untuk memproses input berupa data untuk menghasilkan output yang berbentuk informasi, alternatif keputusan, strategi kebijakan, atau saran/upaya pengembangan. Modul-modul tersebut secara umum dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelompok antara lain: Prasyarat Kelayakan, Operasi Pengembangan, dan Prediksi Kinerja. Kelompok-kelompok modul tersebut dapat diakses dengan cara meng-klik kelompok bersesuaian pada panel yang ditempatkan pada bagian kanan-atas aplikasi. Modul-modul dalam kelompok masing-masing dikumpulkan pada panel yang ditempatkan pada bagian kiri aplikasi. Prasyarat Kelayakan: Ekologi, Ekonomi, Sosial, Kelembagaan, Agregasi Prasyarat Operasi Pengembangan: Ekonomi, Teknologi, Sosial, Lingkungan Prediksi Kinerja: Prediksi Kinerja Ekonomi, Sosial, Lingkungan Gambar 2. Struktur Sistem Aplikasi Model KlasteRula. Modul Prasyarat Kelayakan Modul Prasyarat Kelayakan paket aplikasi KlasteRula dirancang untuk membantu pengguna melakukan evaluasi kelayakan lokasi, kelayakan pengembangan berdasarkan perspektif ekonomi, sosial dan kelembagaan, serta melakukan agregasi prasyarat secara keseluruhan pada pengembangan agroindustri rumput laut dengan pendekatan klaster. Klik perintah Prasyarat Kelayakan untuk mengaktifkan kelompok modul Prasyarat Kelayakan, kemudian pada panel kiri aplikasi disediakan beberapa perintah untuk menampilkan modul-modul pada kelompok Prasyarat Kelayakan yaitu Prasyarat Ekologi, Prasyarat Ekonomi, Prasyarat Sosial, Prasyarat Kelembagaan dan Agregasi Prasyarat. Arahkan pointer pada modul yang sesuai, kemudian klik modul tersebut untuk menampilkan detail modul. Prasyarat Ekologi. Modul Prasyarat Ekologi digunakan untuk melakukan evaluasi kesesuaian lokasi pengembangan budidaya rumput laut. Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah Prasyarat Ekologi yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi. Modul prasyarat ekologi terdiri dari parameter kesesuaian perairan budidaya rumput laut, wilayah potensi pengembangan budidaya rumput laut, kondisi ekologi wilayah, dan resume. Parameter kesesuaian perairan budidaya rumput laut merupakan parameter-parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian perairan untuk pengembangan budidaya rumput laut disertai dengan data bobot pada masing-masing parameter. Wilayah potensi pengembangan budidaya rumput laut adalah lokasi (kecamatan) yang dianalisis dalam pengembangan budidaya rumput

282 270 laut. Kondisi ekologi wilayah adalah kondisi ekologi perairan untuk budidaya rumput laut pada setiap lokasi yang akan dianalisis. Resume adalah hasil penilaian kondisi ekologi perairan yang menunjukkan kesesuaian (kelayakan) suatu wilayah untuk pengembangan budidaya rumput laut. Gambar 3. Halaman Depan Modul Prasyarat Ekologi pada Aplikasi Model KlasteRula. Prasyarat Ekonomi, Sosial, Kelembagaan. Modul Prasyarat Ekonomi, Sosial, Kelembagaan digunakan untuk melakukan identifikasi kelayakan pengembangan klaster agroindustri rumput laut yang berkelanjutan berdasarkan perspektif ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah yang berkesesuaian yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi, yaitu Prasyarat Ekonomi, Prasyarat Sosial, dan Prasyarat Kelembagaan. Modul prasyarat ekonomi terdiri dari skala penilaian, pakar, kriteria, bobot, skor, dan resume. Skala penilaian adalah linguistic label yang digunakan dalam penilaian kriteria dalam penilaian prasyarat. Pakar adalah deskripsi tentang pakar yang memberikan penilaian terhadap prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Kriteria menunjukkan kriteriakriteria yang digunakan untuk penilaian prasyarat. Bobot mendeskripsikan bobot masing-masing kriteria yang digunakan untuk penilaian prasyarat. Skor adalah penilaian pakar terhadap kriteriakriteria ekonomi. Resume menunjukkan hasil penilaian prasyarat ekonomi, sosial, dan kelembagaan dalam pengembangan klaster. Agregasi Prasyarat. Modul Agregasi Prasyarat digunakan untuk melakukan identifikasi kelayakan pengembangan klaster agroindustri rumput laut yang berkelanjutan berdasarkan perspektif ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan apabila dipandang sebagai satu kesatuan. Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah Agregasi Prasyarat yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi. Modul agregasi prasyarat ini menggunakan kaidah-kaidah dalam sistem pakar. Modul agregasi prasyarat pengembangan klaster terdiri input, output, rule base, formulir konsultasi, dan resume. Input merupakan deskripsi prasyarat input yang digunakan dalam pengembangan sistem pakar. Output adalah unit agregasi prasyarat kelayakan pengembangan. Rule base berisi skenario aturan-aturan yang dikembangkan dalam sistem pakar. Formulir konsultasi merupakan isian tentang kondisi prasyarat pengembangan yang akan dinilai. Resume menunjukkan hasil konsultasi sistem pakar dalam agregasi prasyarat kelayakan pengembangan klaster.

283 271 Gambar 4. Halaman Depan Modul Prasyarat Ekonomi pada Aplikasi Model KlasteRula. Gambar 5. Halaman Depan Modul Agregasi Prasyarat pada Aplikasi Model KlasteRula. Operasi Pengembangan Modul Operasi Pengembangan pada aplikasi model KlasteRula dirancang untuk membantu pengguna melakukan beberapa kegiatan antara lain: analisa kelayakan finansial serta teknologi pada aspek budidaya dan agroindustri rumput laut berikut hubungan proporsional antara keduanya, susunan kelembagaan dalam pengembangan agroindustri rumput laut, serta menetapkan strategi penanganan limbah. Untuk menampilkan detail kelompok modul Operasi Pengembangan, arahkan pointer pada perintah Operasi Pengembangan yang ditempatkan pada panel kanan-atas aplikasi, kemudian klik perintah tersebut. Berikutnya pada panel kiri aplikasi disediakan beberapa perintah untuk menampilkan modul-modul pada kelompok Operasi

284 272 Pengembangan yaitu Operasi Ekonomi dan Operasi Teknologi, Operasi Sosial, dan Operasi Lingkungan. Arahkan pointer pada modul yang sesuai, kemudian klik modul tersebut untuk menampilkan detail modul. Operasi Ekonomi. Modul operasi ekonomi kelompok Operasi Pengembangan digunakan untuk menganalisis kelayakan finansial usaha budidaya rumput laut dan agroindustri rumput laut (ATC). Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah Aspek Ekonomi yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi. Pada bagian budidaya, modul ini terdiri dari asumsi dan koefisien usaha budidaya rumput laut, biaya investasi, biaya produksi, jadwal angsuran pinjaman, dan perkiraan arus kas usaha budidaya rumput laut. Sementara, pada bagian agroindustri, modul terdiri dari asumsi dan koefisien usaha agroindustri, biaya bahan penunjang, pemasaran, dan promosi, biaya pembelian mesin, biaya pembelian infrastruktur kantor, biaya gaji karyawan, biaya investasi, biaya produksi, jadwal angsuran pinjaman, dan perkiraan arus kas usaha agroindustri rumput laut. Gambar 6. Halaman Depan Modul Operasi Ekonomi pada Aplikasi Model KlasteRula. Pada modul operasi ekonomi ini juga ditampilkan modul untuk penentuan harga rumput laut pada rantai usaha rumput laut di dalam klaster, baik pada tingkat agroindustri, koperasi, kelompok pembudidaya, dan pembudidaya. Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan mengklik tombol perintah Kesetaraan Harga yang diletakan pada panel bagian kanan bawah aplikasi.

285 273 Gambar 7. Tampilan Muka Modul Skenario Kesepakatan Harga. Operasi Teknologi. Modul Operasi Teknologi dalam kelompok Operasi Pengembangan digunakan untuk mencari hubungan yang proporsional antara kapasitas produksi ATC dengan jumlah potensi pasokan bahan baku yang tersedia sesuai dengan daya dukung perairan. Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah Aspek Teknologi yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi. Untuk melakukan perubahan pada parameterparameter aspek teknologi, isilah parameter-parameter tersebut pada sel yang bersesuaian kemudian tekan [Enter] untuk menyetujui perubahan atau [Esc] untuk membatalkannya. Semua perubahan yang dilakukan akan mempengaruhi nilai-nilai output dalam modul operasi teknologi. Gambar 8. Halaman Depan Modul Operasi Teknologi pada Aplikasi Model KlasteRula. Operasi Sosial. Modul Operasi Sosial dalam kelompok Operasi Pengembangan digunakan untuk melakukan strukturisasi elemen sistem dalam pengembangan kelembagaan klaster industri rumput laut. Modul ini menggunakan kaidah-kaidah dalam ISM (ISM VAXO). Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah Aspek Sosial yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi. Setelah modul ini diaktifkan, pada bagian sebelah kiri aplikasi Modul ISM VAXO, terdiri dari elemen kebutuhan, kendala, tujuan, aktivitas, dan lembaga, yang merupakan elemen-elemen yang akan distrukturisasi.

286 274 Gambar 9. Halaman Depan Modul ISM VAXO pada Aplikasi Model KlasteRula. Modul operasi sosial terdiri dari sub elemen pengembangan, pendapat dan hasil, serta pakar. Sub elemen pengembangan menggambarkan elemen-elemen yang terdapat dalam sistem pengembangan klaster industri rumput laut yang mencakup elemen kebutuhan, kendala, tujuan, aktivitas, dan lembaga. Pendapat dan hasil merupakan penilaian hubungan kontekstual antar sub elemen pada masing-masing elemen pengembangan. Pakar adalah deskripsi pakar yang memberikan penilaian hubungan kontekstual antar sub elemen pengembangan. Operasi Lingkungan. Modul Operasi Lingkungan dalam kelompok Operasi Pengembangan digunakan untuk mengembangkan alternatif pemilihan teknik minimisasi limbah agroindustri agar tidak mencemari lingkungan. Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah Aspek Lingkungan yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi. Gambar 5. Halaman Depan Modul Lingkungan pada Aplikasi Model KlasteRula

287 275 Prediksi Kinerja Modul Prediksi Kinerja pada aplikasi model KlasteRula dirancang untuk membantu pengguna melakukan evaluasi dan melakukan menganalisis sejauh mana tingkat pencapaian kinerja klaster sesuai dengan tujuan yang diharapkan.. Untuk menampilkan detail modul Prediksi Kinerja, arahkan pointer pada perintah Prediksi Kinerja yang ditempatkan pada panel kanan-atas aplikasi, kemudian klik perintah tersebut. Gambar 6. Modul Prediksi Kinerja pada Aplikasi Model KlasteRula Terdapat 3 (tiga) bagian dalam modul Prediksi Kinerja antara lain: Kinerja Ekonomi, Kinerja Sosial, dan Kinerja Lingkungan. Arahkan pointer pada tab-tab yang sesuai untuk menampilkan halaman prediksi kinerja yang diinginkan. Isilah parameter-parameter pada halaman yang ditampilkan kemudian tekan tombol [Hitung] untuk memperoleh nilai output kinerja modul prediksi kinerja tersebut. Beberapa parameter mungkin tidak dapat diubah, parameter tersebut merupakan parameter keluaran baik yang diperoleh dari hasil perhitungan modul kinerja maupun hasil perhitungan modul lainnya. Mengakhiri Aplikasi Untuk mengakhiri aplikasi KlasteRula, gunakan tombol Close yang diletakkan pada bagian kanan atas aplikasi.

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas laut mencapai 5,8 juta km 2 dan panjang garis pantai mencapai 95.181 km, serta jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau (KKP 2009).

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya hasil alam terlebih hasil perairan. Salah satunya rumput laut yang merupakan komoditas potensial dengan nilai ekonomis tinggi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai 81.000 km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya hayati yang sangat besar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang paling potensial dikembangkan di Indonesia dan juga merupakan salah satu produk unggulan pemerintah dalam mencapai visi pembangunan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, termasuk salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia yaitu 95.181 km dan memiliki keanekaragaman hayati laut berupa

Lebih terperinci

METODOLOGI Kerangka Pemikiran

METODOLOGI Kerangka Pemikiran METODOLOGI Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilakukan dalam rangka mendorong pengembangan industri rumput laut secara berkelanjutan melalui pendekatan klaster. Penelitian ini bermaksud merancang suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah rumput laut. Menurut Istini (1985) dan Anggraini (2004),

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah rumput laut. Menurut Istini (1985) dan Anggraini (2004), BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia adalah negara kepulauan dengan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumber daya hayati sangat besar dan beragam, salah satunya adalah rumput

Lebih terperinci

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA 59 V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA 5.1. Perkembangan Rumput Laut Dunia Rumput laut merupakan salah satu komoditas budidaya laut yang dapat diandalkan, mudah dibudidayakan dan mempunyai prospek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi

I. PENDAHULUAN. Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi perdagangan internasional memberi peluang dan tantangan bagi perekonomian nasional, termasuk di dalamnya agribisnis. Kesepakatan-kesepakatan pada organisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun sebenarnya dalam dunia ilmu pengetahuan diartikan sebagai alga (ganggang) yang berasal dari bahasa

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 66 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian perancangan model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri dilakukan berdasarkan sebuah kerangka berpikir logis. Gambaran kerangka

Lebih terperinci

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar Komoditas unggulan Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik diperkirakan terdapat 555 species rumput laut total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar luas area budidaya rumput laut 1.110.900

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi

RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi RANCANG BANGUN MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI WIJEN (Sesamum indicum L.) Luluk Sulistiyo Budi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 HALAMAN PERNYATAAN Dengan ini penulis menyatakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Verifikasi dan Validasi Model Verifikasi Model Verifikasi Model KlasteRula dilakukan untuk memastikan bahwa model klaster industri rumput laut terbebas dari kekeliruan proses logis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas daerah perairan seluas 5.800.000 km2, dimana angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah perairan tersebut wajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selain peran geopolitik, laut juga memiliki peran geoekonomi (Mulyadi, 2007). Rumput laut merupakan salah satu jenis komoditas unggulan budi daya perairan dengan nilai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Rumput Laut

TINJAUAN PUSTAKA. Rumput Laut TINJAUAN PUSTAKA Rumput Laut Profil Komoditas Rumput laut adalah bentuk poliseluler dari ganggang (macro-algae) yang hidup di laut. Rumput laut atau alga laut adalah tanaman tingkat rendah dari Divisio

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Luas Lautan Indonesia Total Indonesia s Waters a. Luas Laut Teritorial b. Luas Zona Ekonomi Eksklusif c.

I PENDAHULUAN. Luas Lautan Indonesia Total Indonesia s Waters a. Luas Laut Teritorial b. Luas Zona Ekonomi Eksklusif c. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 104.000 km serta memiliki 17.504 pulau. Wilayah laut Indonesia membentang luas

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL PERENCANAAN PRODUKSI AGREGAT DAN JADWAL INDUK PRODUKSI JUS BERBAHAN BAKU BUAH SEGAR IFFAN MAFLAHAH

PENGEMBANGAN MODEL PERENCANAAN PRODUKSI AGREGAT DAN JADWAL INDUK PRODUKSI JUS BERBAHAN BAKU BUAH SEGAR IFFAN MAFLAHAH PENGEMBANGAN MODEL PERENCANAAN PRODUKSI AGREGAT DAN JADWAL INDUK PRODUKSI JUS BERBAHAN BAKU BUAH SEGAR IFFAN MAFLAHAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia 41 V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT 5.1. Perkembangan Produksi dan Ekspor Rumput Laut Dunia 5.1.1. Produksi Rumput Laut Dunia Indonesia dengan potensi rumput laut yang sangat besar berpeluang menjadi salah

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI RANTAI PASOK TEPUNG TERIGU UNTUK INDUSTRI KECIL MENENGAH DI KABUPATEN JEMBER

FORMULASI STRATEGI RANTAI PASOK TEPUNG TERIGU UNTUK INDUSTRI KECIL MENENGAH DI KABUPATEN JEMBER FORMULASI STRATEGI RANTAI PASOK TEPUNG TERIGU UNTUK INDUSTRI KECIL MENENGAH DI KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh Yurika Widya Devi NIM 081710101050 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nenas diyakini berasal di Selatan Brazil dan Paraguay kemudian

BAB I PENDAHULUAN. Nenas diyakini berasal di Selatan Brazil dan Paraguay kemudian BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Nenas diyakini berasal di Selatan Brazil dan Paraguay kemudian menyebar ke seluruh benua dengan perantara penduduk asli. James Drummond Dole adalah orang pertama yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran 62 BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Agroindustri sutera alam merupakan industri pengolahan yang mentransformasikan bahan baku kokon (hasil pemeliharaan ulat sutera) menjadi benang, kain sutera,

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI SEMI-REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DENGAN VARIASI TEKNIK PENGERINGAN DAN KADAR AIR BAHAN BAKU

OPTIMALISASI PRODUKSI SEMI-REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DENGAN VARIASI TEKNIK PENGERINGAN DAN KADAR AIR BAHAN BAKU OPTIMALISASI PRODUKSI SEMI-REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DENGAN VARIASI TEKNIK PENGERINGAN DAN KADAR AIR BAHAN BAKU Made Vivi Oviantari dan I Putu Parwata Jurusan Analisis Kimia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.504 pulau dengan 13.466 pulau bernama, dari total pulau bernama, 1.667 pulau diantaranya berpenduduk dan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DAN KINERJA KEPALA SEKOLAH

ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DAN KINERJA KEPALA SEKOLAH ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI DAN KINERJA KEPALA SEKOLAH Studi Kasus: Sekolah Dasar Negeri Di Kabupaten Sukohardjo Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah rumput laut atau yang dikenal dengan sebutan ganggang laut atau alga laut. Beberapa diantaranya

Lebih terperinci

REKOMENDASI KEBIJAKAN PANEL KELAUTAN DAN PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS)

REKOMENDASI KEBIJAKAN PANEL KELAUTAN DAN PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS) REKOMENDASI KEBIJAKAN PANEL KELAUTAN DAN PERIKANAN NASIONAL (PANELKANAS) BALAI BESAR BADAN LITBANG KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2014 PENETAPAN HARGA DASAR RUMPUT LAUT NASIONAL

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ALKALI TREATED COTTONII (ATC) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI KONSENTRASI KOH, LAMA PEMASAKAN DAN SUHU PEMANASAN OLEH :

KARAKTERISTIK ALKALI TREATED COTTONII (ATC) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI KONSENTRASI KOH, LAMA PEMASAKAN DAN SUHU PEMANASAN OLEH : KARAKTERISTIK ALKALI TREATED COTTONII (ATC) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI KONSENTRASI KOH, LAMA PEMASAKAN DAN SUHU PEMANASAN OLEH : AMRY MUHRAWAN KADIR G 621 08 011 Skripsi Sebagai salah

Lebih terperinci

ISSN OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS

ISSN OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS ISSN 1907-1507 OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2015 Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian i 2015 OUTLOOK KAPAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah seyogyanya bertumpuh pada sumberdaya lokal yang dimiliki dan aktivitas ekonomi yang mampu melibatkan dan menghidupi sebagian besar penduduk. Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput laut merupakan komoditas

Lebih terperinci

AGROINTEK Volume 7, No.2 Agustus

AGROINTEK Volume 7, No.2 Agustus AGROINTEK Volume 7, No.2 Agustus 2013 103 PENENTUAN LOKASI INDUSTRI PALA PAPUA BERDASARKAN PROSES HIERARKI ANALITIK (ANALYTIC HIERARCHY PROCESS ) DAN APLIKASI SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN (SPK) DI KABUPATEN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN

PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI PROYEK AGROINDUSTRI JAMBU METE NAPISMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAITESISDANSUMBER INFORMASI Dengan inimenyatkan

Lebih terperinci

KAJIAN EKSTRAKSI ALGINAT DARI RUMPUT LAUT Sargassum sp. SERTA APLIKASINYA SEBAGAI PENSTABIL ES KRIM. Oleh : JUNITA SISWATI

KAJIAN EKSTRAKSI ALGINAT DARI RUMPUT LAUT Sargassum sp. SERTA APLIKASINYA SEBAGAI PENSTABIL ES KRIM. Oleh : JUNITA SISWATI KAJIAN EKSTRAKSI ALGINAT DARI RUMPUT LAUT Sargassum sp. SERTA APLIKASINYA SEBAGAI PENSTABIL ES KRIM Oleh : JUNITA SISWATI PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK JUNITA SISWATI. Kajian

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Eucheuma spinosum, ekstraksi, iota karaginan

ABSTRAK. Kata kunci : Eucheuma spinosum, ekstraksi, iota karaginan ABSTRAK Eucheuma spinosum adalah suatu jenis rumput laut penghasil karaginan. Karaginan banyak digunakan sebagai stabilitator, emulsifier dalam bidang industri pangan, kosmetik dan obat-obatan. Kualitas

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI, 2005. Strategi Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Daerah Kota Bogor. Di bawah bimbingan SETIADI DJOHAR dan IDQAN FAHMI. Sektor pertanian bukan merupakan sektor

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PEMANASAN OHMIC SELAMA PROSES ALKALISASI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DAN RENDEMEN SEMI REFINE CARRAGEENAN (SRC) YANG DIHASILKAN

KARAKTERISTIK PEMANASAN OHMIC SELAMA PROSES ALKALISASI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DAN RENDEMEN SEMI REFINE CARRAGEENAN (SRC) YANG DIHASILKAN KARAKTERISTIK PEMANASAN OHMIC SELAMA PROSES ALKALISASI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII DAN RENDEMEN SEMI REFINE CARRAGEENAN (SRC) YANG DIHASILKAN Oleh : NONENG FAHRI. G 621 08 281 PROGRAM STUDI KETEKNIKAN

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KAKAO Penyebaran Kakao Nasional Jawa, 104.241 ha Maluku, Papua, 118.449 ha Luas Areal (HA) NTT,NTB,Bali, 79.302 ha Kalimantan, 44.951 ha Maluku,

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

A. KERANGKA PEMIKIRAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Agroindustri sutera alam terutama untuk produk turunannnya berupa kokon, benang sutera, dan kain merupakan suatu usaha yang menjanjikan. Walaupun iklim dan kondisi

Lebih terperinci

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO

MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO MODEL SIKAP PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN GAS ALAM DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KOTA GAS: STUDI KASUS KOTA TARAKAN TUBAGUS HARYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 iii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan. air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan. air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan lele (Clarias sp) adalah salah satu satu komoditas perikanan yang memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan komoditas unggulan. Dikatakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 67 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH... xii ABSTRAK...

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK Alkali Treated Cottonii (ATC) DAN KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA UMUR PANEN YANG BERBEDA. Oleh: Nandi Sukri C

KARAKTERISTIK Alkali Treated Cottonii (ATC) DAN KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA UMUR PANEN YANG BERBEDA. Oleh: Nandi Sukri C O w KARAKTERISTIK Alkali Treated Cottonii (ATC) DAN KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA UMUR PANEN YANG BERBEDA Oleh: Nandi Sukri C34102001 PROGRAM STUD1 TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim ABSTRAK Pembangunan Wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi,

Lebih terperinci

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 83 BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 5.1. Konfigurasi Model Analisis sistem pada Bab IV memperlihatkan bahwa pengembangan agroindustri sutera melibatkan berbagai komponen dengan kebutuhan yang beragam,

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur) FATCHURRAHMAN ASSIDIQQI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL (Studi Kasus Di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur) KATARINA RAMBU BABANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENINGKATAN NILAI TAMBAH MELALUI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENINGKATAN NILAI TAMBAH MELALUI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENINGKATAN NILAI TAMBAH MELALUI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI Oleh : Supriyati Adi Setiyanto Erma Suryani Herlina Tarigan PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA (Studi Kasus pada Perguruan Tinggi Swasta di Kopertis Wilayah II) MUHAMMAD YUSUF SULFARANO BARUSMAN SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN SANTAN DAN GULA TERHADAP SIFAT-SIFAT FISIKO KIMIA DAN SENSORIS DODOL RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN SANTAN DAN GULA TERHADAP SIFAT-SIFAT FISIKO KIMIA DAN SENSORIS DODOL RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN SANTAN DAN GULA TERHADAP SIFAT-SIFAT FISIKO KIMIA DAN SENSORIS DODOL RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat-syarat untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN NONO SAMPONO SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

PEMBUATAN NORI SECARA TRADISIONAL DARI RUMPUT LAUT JENIS Glacilaria sp. Oleh : M.Teddy.S C Skripsi

PEMBUATAN NORI SECARA TRADISIONAL DARI RUMPUT LAUT JENIS Glacilaria sp. Oleh : M.Teddy.S C Skripsi PEMBUATAN NORI SECARA TRADISIONAL DARI RUMPUT LAUT JENIS Glacilaria sp Oleh : M.Teddy.S C34101062 Skripsi PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

TRANSFORMASI BUDAYA ORGANISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA BANK YANG DIAMBIL ALIH KEPEMILIKANNYA OLEH ASING IRVANDI GUSTARI

TRANSFORMASI BUDAYA ORGANISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA BANK YANG DIAMBIL ALIH KEPEMILIKANNYA OLEH ASING IRVANDI GUSTARI i TRANSFORMASI BUDAYA ORGANISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA BANK YANG DIAMBIL ALIH KEPEMILIKANNYA OLEH ASING IRVANDI GUSTARI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk dikembangkan menjadi andalan ekspor. Menurut ICCO (2012) pada tahun 2011, Indonesia merupakan produsen biji

Lebih terperinci

OPTIMASI KUANTITAS PRODUKSI ANEKA PRODUK OLAHAN BAWANG MERAH MENGGUNAKAN METODE GOAL PROGRAMMING

OPTIMASI KUANTITAS PRODUKSI ANEKA PRODUK OLAHAN BAWANG MERAH MENGGUNAKAN METODE GOAL PROGRAMMING OPTIMASI KUANTITAS PRODUKSI ANEKA PRODUK OLAHAN BAWANG MERAH MENGGUNAKAN METODE GOAL PROGRAMMING (Studi Kasus di UD. Dua Putri Sholehah - Kabupaten Probolinggo) SKRIPSI Oleh: Eka Novitasari NIM 091710101032

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. komoditas yang diunggulkan di sektor kelautan dan perikanan.. Tujuan

I. PENDAHULUAN. komoditas yang diunggulkan di sektor kelautan dan perikanan.. Tujuan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi pasar dan liberalisasi investasi, peran sektor pertanian menjadi semakin penting dan strategis sebagai andalan bagi pertumbuhan ekonomi. Salah satu pusat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berbasis pada sektor pertanian, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi

Lebih terperinci

EKSTRAKSI POLISAKARIDA LARUT AIR KULIT KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) BERDASARKAN JUMLAH PELARUT DAN LAMA EKSTRAKSI

EKSTRAKSI POLISAKARIDA LARUT AIR KULIT KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) BERDASARKAN JUMLAH PELARUT DAN LAMA EKSTRAKSI EKSTRAKSI POLISAKARIDA LARUT AIR KULIT KOPI ROBUSTA (Coffea canephora) BERDASARKAN JUMLAH PELARUT DAN LAMA EKSTRAKSI SKRIPSI Oleh: Rindang Sari Rahmawati NIM. 081710101017 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

Lebih terperinci

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT DISUSUN OLEH : NAMA : ANANG SETYA WIBOWO NIM : 11.01.2938 KELAS : D3 TI-02 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012/2013 TEKNOLOGI BUDIDAYA

Lebih terperinci

PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PRODUKSI CARRAGEENAN POWDER PADA PT PHONIX MAS PERSADA, KOTA MATARAM, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ABDUL FALAH

PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PRODUKSI CARRAGEENAN POWDER PADA PT PHONIX MAS PERSADA, KOTA MATARAM, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ABDUL FALAH PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PRODUKSI CARRAGEENAN POWDER PADA PT PHONIX MAS PERSADA, KOTA MATARAM, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT ABDUL FALAH PROGRAM STUDI MANAJEMEM BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dengan luas perairan 5,8 juta kilometer persegi dan garis pantai 50 ribu mil kedua

BAB 1 PENDAHULUAN. Dengan luas perairan 5,8 juta kilometer persegi dan garis pantai 50 ribu mil kedua 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dengan luas perairan 5,8 juta kilometer persegi dan garis pantai 50 ribu mil kedua terpanjang di dunia, Indonesia merupakan lahan subur bagi rumput laut. Di perairan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SISTEM PERIKANAN TERI (STOLEPHORUS SPP) DI DESA SUNGSANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN

IDENTIFIKASI SISTEM PERIKANAN TERI (STOLEPHORUS SPP) DI DESA SUNGSANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN PG-122 IDENTIFIKASI SISTEM PERIKANAN TERI (STOLEPHORUS SPP) DI DESA SUNGSANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN Fauziyah 1,, Khairul Saleh 2, Hadi 3, Freddy Supriyadi 4 1 PS Ilmu Kelautan Universitas Sriwijaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia, baik karena banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian, maupun karena kontribusinya yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA RANTAI PASOKAN DAGING AYAM SEGAR PADA RUMAH POTONG AYAM (RPA)

ANALISIS KINERJA RANTAI PASOKAN DAGING AYAM SEGAR PADA RUMAH POTONG AYAM (RPA) ANALISIS KINERJA RANTAI PASOKAN DAGING AYAM SEGAR PADA RUMAH POTONG AYAM (RPA) (Studi Kasus di PT Primatama Karyapersada) Oleh : Muhammad Vamy Hanibal p056081161. 41 PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang sangat luas dan juga sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Komoditas pertanian merupakan bagian dari sektor pertanian

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM)

ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM) ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM) EPI RATRI ZUWITA PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

Form A Kuesioner Profil Usaha Tani Program Penelitian Pemberdayaan Agroindustri Nilam di Pedesaan dalam Sistem Klaster

Form A Kuesioner Profil Usaha Tani Program Penelitian Pemberdayaan Agroindustri Nilam di Pedesaan dalam Sistem Klaster 200 Lampiran 1 Profil Usahatani, Industri Kecil Penyulingan dan Pedagang/Pengumpul Form A Kuesioner Profil Usaha Tani Program Penelitian Pemberdayaan Agroindustri Nilam di Pedesaan dalam Sistem Klaster

Lebih terperinci

Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN:

Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN: TATANIAGA RUMPUT LAUT DI KELURAHAN TAKKALALA, KECAMATAN WARA SELATAN KOTA PALOPO PROVINSI SULAWESI SELATAN MUHAMMAD ARHAN RAJAB Email : arhanuncp@gmail.com Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beralihnya ke bidang usaha perikanan karena semakin tingginya permintaan akan produk

BAB I PENDAHULUAN. beralihnya ke bidang usaha perikanan karena semakin tingginya permintaan akan produk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha bidang perikanan merupakan salah satu usaha yang produktif tapi masih jarang diminati oleh pengusaha baik lokal maupun investor asing. Akan tetapi pada beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 67 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Kakao merupakan komoditas ekspor unggulan non-migas yang bernilai ekonomi tinggi dan tercatat sebagai penyumbang devisa bagi perekonomian nasional. Ekspor produk

Lebih terperinci

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA 1 PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci