I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 12

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 12"

Transkripsi

1 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 12 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan sengketa batas wilayah darat: pengertian, penyebab dan cara-cara penyelesian sengketa batas, hubungan sengketa batas dengan geospasial B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Sengketa batas wilayah darat 1) Pengertian sengketa batas wilayah 2) Jenis-jenis sengketa batas wilayah 3) Sifat dasar batas wilayah dan konflik 4) Penyebab sengketa batas wilayah 5) Hubungan sengketa batas wilayah dengan geospasial C. MEDIA AJAR : Handout D. METODE EVALUASI DAN PENILAIAN a. Kuis E. METODE AJAR: STAR : TCL (Teacher Centered Learning) + SCL (Student Centered Learning) F. AKTIVITAS MAHASISWA a. Memperhatikan, mencatat, membaca modul b.berdiskusi c. Mengerjakan soal kuis G. AKTIVITAS DOSEN DAN NAMA DOSEN a. Menjelaskan materi pokok bahasan b. Membuat soal kuis c. Memandu diskusi d. Nama Dosen : Sumaryo II. BAHAN AJAR SENGKETA BATAS WILAYAH 1). Pengertian Konflik dan Sengketa Konflik adalah salah satu bentuk perilaku persaingan antar individu atau antar kelompok orang. Potensi terjadinya konflik akan ada bila dua atau lebih aktor bersaing secara berlebihan atau tidak adanya kesesuaian tujuan dalam kondisi sumberdaya yang terbatas (Moore, 1986; Sugiono, 2008). Sengketa dapat didefinisikan sebagai suatu ketidaksepahaman (disagreement) yang spesifik. Hal tersebut biasanya disebabkan karena adanya suatu regulasi atau kebijakan 1

2 dimana klaim atau tuntutan suatu kelompok ditolak oleh kelompok lain sehingga akan menimbulkan sengketa. Dalam hal konflik batas wilayah, ketidaksepahaman yang terjadi disebabkan karena adanya suatu kebijakan politik misalnya dalam bentuk perjanjian antar negara atau kebijakan otonomi daerah dalam bentuk regulasi Undang-undang pembentulan daerah, sehingga istilah konflik oleh para ahli konflik lebih tepat disebut sengketa batas wilayah (disputes) (Forbes, 2001). 2). Jenis-jenis sengketa batas wilayah: Dalam hal sengketa batas wilayah, secara umum dapat dikelompokan dalam tiga jenis, yaitu: sengketa teritorial, sengketa posisional dan sengketa fungsional (Prescott, 1987). Sengketa teritorial terjadi bila ada suatu wilayah belum dialokasi sehingga pada proses alokasi terjadi sengketa pada level politisi. Sengketa posisional terjadi setelah alokasi batas wilayah baik sebelum delimitasi atau sering muncul setelah delimitasi pada saat kegiatan demarkasi. Sengketa fungsional terjadi pada tahap manajemen perbatasan yang sifatnya untuk pengelolaan wilayah perbatasan yaitu pengelolaan sumberdaya yang bernilai ekonomi yang ada di daerah perbatasan (minyak bumi, gas, mineral, air, hutan, perkebunan, sarang burung dan batubara) dan pengelolaan sumberdaya non ekonomi seperti penduduk. 3). Sifat dasar Batas Wilayah dan Konflik Kedekatan suatu negara dengan negara lain yang berbatasan satu sama lain ditentukan oleh bagaimana masyarakat yang menempati wilayah negara tersebut khususnya yang ada di daerah perbatasan memandang batas wilayahnya, apakah sebagai share (tempat untuk berbagi) atau tidak (Starr,2005). Cara pandang terhadap batas wilayah merupakan variabel kunci dalam studi tentang fenomena konflik atau sengketa batas wilayah antar negara (Hensel, 2000). Dari teori tentang behavior space (perilaku ruang), yaitu loss of strength gradient (LSG) dan critical boundary yang dikemukakan oleh Boulding (1962), menyatakan bahwa pada umumnya interaksi antar manusia dalam ruang terjadi bila ada kedekatan satu sama lain dan ini menjadi alasan yang menarik dalam studi tentang batas wilayah bagaimana efeknya terhadap hubungan antara masyarakat yang terletak di perbatasan. Sifat dasar batas wilayah yang disebut kedekatan (proximity) digunakan untuk studi tentang batas wilayah khususnya konflik, karena secara operasional kedekatan ruang dalam konsep spasial dinyatakan dengan jarak. Seberapa jauh atau seberapa dekat dan bagaimana kedekatan aktor atau unit wilayah satu sama lain merupakan faktor penting di dalam analisis konflik. Ukuran jarak atau kedekatan dalam batas wilayah biasanya dianggap sebagai sesuatu yang diskrit atau katagorikal dan secara khas memiliki tipe berpasangan (binary) antara kesempatan (opportunity) dan kerelaan (willingness) (Gledisch dan Ward, 2001), sehingga sifat dasar batas wilayah adalah kesempatan dan kerelaan. Jarak secara on-off 2

3 digunakan sebagai variabel dummy karena ukuran jarak mengindikasikan tentang kehadiran atau tidak hadirnya suatu batas wilayah di dalam membuat sejumlah asumsi. Dalam studi hubungan internasional, dimensi spasial jarak menjadi perhatian karena dua alasan, pertama opportunity dan kedua willingness. Negara atau unit sosial yang lain yang jaraknya dekat satu sama lain berarti berada dalam kedekatan untuk berinteraksi dan akan memiliki kemungkinan dan kesempatan yang lebih baik dalam berinteraksi satu sama lain. Satu aspek kunci dari batas wilayah adalah dalam hal kesempatan dan kemungkinan terjadinya interaksi antar negara yang berbatasan (Starr, 2005 ). Kesempatan dan kerelaan akan mempengaruhi relevansi, yaitu apakah suatu negara dianggap relevan atau tidak oleh negara lain, sehingga Lemke (1995), Leeds dan Davis (1999) dan Lemke dan Reed (2001) mengembangkan studi hubungan internasional yang didasarkan atas relevansi secara politik suatu negara dengan tetangganya. Bila berbicara tentang negara, berarti berbicara tentang unit teritorial. Negara berdekatan dengan negara lain bila secara keruangan atau secara geografis unit teritorialnya berdekatan satu sama lain. Seberapa dekat atau seberapa jauh satu unit teritorial dengan unit teritorial yang lain tergantung pada faktor apakah unit teritorial saling bersentuhan/berhubungan satu sama lain atau mereka merasa terpisah satu sama lain dengan adanya batas wilayah, sehingga batas wilayah dapat memberikan gambaran tingkat kedekatan suatu negara dengan negara lain yang berbatasan. Dengan demikian menjadi jelas bahwa batas teritorial memberikan makna dalam studi hubungan internasional dalam dua hal, pertama, bahwa untuk mendefinisikan hubungan unit teritorial politik yaitu hubungan keruangan antar unit ditandai dengan jarak fisik geografis antara unit teritorial. Namun sekarang dengan perkembangan dan kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi, jarak fisik geografis berubah menjadi jarak waktu (time-distance) antar unit teritorial, atau berubah karena adanya aliansi antar unit teritorial (Starr dan Thomas, 2005). Kedua, sebagai tempat tinggal suatu bangsa, unit teritorial menjadi sangat penting sebagai identitas dan simbol kebangsaan dan menjadi tempat yang menyediakan sumberdaya alam (tanah, minyak, gas, mineral, tambang dan akses terhadap sumberdaya air) yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakatnya. Dari uraian di atas, dapat difahami bahwa teritorial beserta batasnya memiliki banyak dimensi, sehingga dalam hal interaksi manusia antar unit teritorial kedua alasan tersebut bisa menjadi sumber konflik. a.hubungan antara Batas Wilayah dengan Konflik Seperti telah diuraikan di atas, selain peluang untuk berinteraksi, batas wilayah unit teritorial juga memiliki pengaruh pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan kebijakan penting, seperti misalnya bila jaraknya dekat maka kemampuan untuk memindahkan kekuatan militer menjadi lebih besar dalam hal terjadi konflik. Starr dan Most (1976) memiliki perhatian dalam hal tipe dan peran batas wilayah dalam hal terjadinya konflik. Tipe batas wilayah yang berbeda akan memiliki peran yang berbeda dalam hal peluang dan kerelaan dalam ber-interaksi termasuk kemungkinan terjadinya konflik. Starr 3

4 Kemudahan interaksi dan kepentingan dan Most membedakan dua tipe batas, yaitu homeland borders (batas tanahair asli) dan batas teritorial yang dibuat oleh para kolonial. Pada homeland borders, kedekatan masyarakat pada unit teritorial yang berbatasan lebih dekat dibandingkan dengan batas teritorial yang dibuat oleh para kolonial, sehingga kemungkinan terjadi konflik pada homeland borders lebih kecil dibanding batas teritorial kolonial. Ada dua hipotesis yang saling bertentangan (kontradiksi) yang telah dikemukan dalam studi geografi politik terkait hubungan antara batas wilayah dan konflik, yaitu: 1. Hipotesis yang dikemukakan oleh Vasquez (Starr dan Thomas, 2005) yang menyatakan: a) Semakin mudah suatu batas dilintasi, semakin besar kemungkinan terjadi sengketa batas, karena batas yang mudah dilintasi memiliki peluang dan kerelaan yang lebih besar dalam ber-iteraksi termasuk kemungkinan terjadinya konflik b) Semakin penting suatu batas, semakin besar kemungkinan terjadi sengketa batas 2. Hipotesis yang dikemukakan oleh Deutsch (Starr dan Thomas, 2005) yang menyatakan bahwa: a) Semakin mudah suatu batas dilintasi, semakin kecil kemungkinan terjadi sengketa batas b) Semakin penting suatu batas, semakin kecil kemungkinan terjadi sengketa batas Dua hipotesis tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Starr, 2005) Diagram kontradiksi hipotesis Vasquez dan Deutsch tinggi Hipotesis Vasquez Hipotesis Deutsch rendah Asosiasi biaya dengan sengketa tinggi Gambar 1: Grafik hubungan antara sifat dasar batas dan konflik menurut hipotesis Vasquez dan Deutsch ( Starr dan Thomas, 2005) Dari gambar di atas, hipotesis Vasquez menyatakan bahwa bila kemudahan berinteraksi meningkat (opportunity), biaya pengelolaan perbatasan dari negara akan menurun, ini berarti 4

5 biaya penanggulangan konflik kekerasan juga menurun. Sama seperti logika tersebut, makin tinggi nilai pentingnya area perbatasan akan membuat eskalasi konflik dari kekerasan ke peperangan menurun, dengan kata lain bila nilai penting perbatasan turun akan menaikan biaya pengelolaan konflik (willingness). Sementara hipotesis Deutsch memiliki perspektif sebaliknya. Mengacu pada hipotesis Vasquez nampaknya sifat dasar batas dan kawasan perbatasan memiliki peranan kecil dalam terjadinya konflik, dan sebaliknya dari perspektif Deutsch, peranan sifat dasar batas wilayah (opportunity dan willingness) memiliki peranan besar dalam terjadinya konflik. Yang menarik dan penting adalah perpotongan dua kurve tersebut yang menggambarkan biaya terendah untuk pengelolaan sengketa batas antar negara. Dalam pengertian ini dapat disimpulkan bahwa hipotesis Vasquez dan Deutsch sebenarnya tidak saling tergantung dan masing-masing belum lengkap, oleh sebab itu bila keduanya dikombinasikan akan sangat potensial untuk membuat model yang lebih baik untuk menentukan hubungan antara batas wilayah dan konflik (Starr dan Thomas, 2005). Starr dan Thomas mengusulkan kombinasi kedua kurve tersebut menjadi kurve yang berbentuk cekung, artinya rendahnya tingkat kesempatan dan pentingnya batas wilayah akan berhubungan secara proporsional dengan rendahnya insiden konflik dan tingginya tingkat kesempatan dan pentingnya batas, ketika kesempatan dan pentingnya batas berada di pertengahan maka secara proporsional insiden konflik adalah yang tertinggi. b.konflik Batas Internasional dan Subnasional Batas memiliki banyak arti tergantung pada konteks, fungsi dan persepsi masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar perbatasan. Secara formal batas digambarkan dalam dokumen atau di dalam peta, dan di lapangan ditandai dengan tanda-tanda buatan (pilar, bouy, tempat checkpoint pelintas batas dan keimigrasian), atau ditandai menggunakan fenomena alam seperti sungai dan punggung bukit. Sengketa batas internasional pada dasarnya merupakan manifestasi kegagalan perjanjian atau terjadi tumpang tindih klaim secara kartografis atau adanya ketegangan militer didaerah perbatasan. Konflik batas dan perubahan keruangan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan proses menyeluruh dari masyarakat di wilayah teritorial tertentu (Wood,W.,2005). Sebagian besar literatur hasil penelitian fokus pada batas internasional, krisis- krisis yang terjadi yang mengakibatkan kekerasan etnis dan gerakan separatis yang ingin memisahkan diri. Penelitian-penelitian batas internasional menjadi alasan dan pendorong untuk melakukan beberapa penelitian batas subnasional seperti batas provinsi di Amerika Serikat dan kasus memisahkan diri di Kosovo dan Kashmir. Pada kasus batas subnasional di banyak negara miskin atau negara-negara yang sedang berkembang, pada umumnya ditemukan bahwa batas belum didefinisikan dengan baik dan pada umumnya dijumpai terbatasnya peta skala besar yang memadai sehingga menyulitkan dalam analisis terkait batas dan konflik yang terjadi. Di negara-negara berkembang, pemerintah dapat melakukan perubahan entitas subnasional degan menambah daerah baru termasuk merubah nama daerah, namun biasanya tidak terdokumentasikan dengan baik. Penelitian pada kasus konflik batas akibat pembagian wilayah politik subnasional dan wilayah-wilayah yang lebih kecil di dalam subnasional, walaupun sangat sulit namun tetap perlu dilakukan (Wood, W.,2005). 5

6 Teritorial yang telah didefinisikan termasuk batasnya memiliki nilai yang berlipat dan menjadi suatu parameter penting bagi penduduknya (Newman, 1999). Teritorial dapat secara eksplisit menjadi penyebab kekerasan di dalam dan antar negara berdasarkan pada persoalan intrinsik, hubungan dan simbol nilai secara keseluruhan dari masing-masing pihak yang melakukan klaim dan berusaha untuk mempertahankannya (Goertz dan Diehl, 1992). Persoalan intrinsik meliputi sumberdaya alam (minyak, lahan subur, atau air), dan airtanah dalam, punggung bukit atau lokasi strategis untuk rute perdagangan di dalam suatu teritorial. Persoalan hubungan (relational) dalam sengketa teritorial ditentukan oleh strategi untuk mencapai tujuan masing-masing negara, atau mungkin komposisi etnis yang ada di masingmasing negara. Persoalan simbol nilai mungkin mencerminkan peristiwa sejarah, simbolsimbol budaya atau aspek-aspek lain yang mengikat aspirasi nasional. Banyak literatur konflik internasional, menunjukan faktor teritorial hanya sebagai fasilitas, tidak sebagai faktor penyebab. Tetapi studi tentang konflik teritorial menyarankan bahwa masalah teritorial termasuk batasnya tidak sekedar sebagai fasilitas namun lebih dari itu. Resolusi konflik pada sengketa batas teritorial internasional bisa meliputi rentang yang relativ sangat sederhana sampai yang sangat sulit tergantung pada pendefinisian yang terkait (Diehl, 1999). 4) Penyebab sengketa batas wilayah Dalam manajemen dan penyelesaian konflik Moore, mengemukanan sangat penting untuk terlebih dahulu dilakukan analisis untuk mencari sebab-sebab terjadinya konflik (Furlong, 2005). Dalam model Lingkaran Konflik seperti disajikan pada Gambar 4, Moore mengidentifikasi lima penyebab utama terjadinya konflik, yaitu :1) persoalan hubungan antara orang atau kelompok, 2) persoalan dengan data, 3) tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian dalam hal keinginan, 4) kekuatan terstruktur dari luar yang menekan para aktor dalam sengketa, 5) tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian nilai (value). Model Lingkaran Konflik yang digambarkan oleh Moore (1986) sering digunakan untuk alat analisis konflik terutama dalam hal menentukan penyebab sengketa dan perilaku konflik (Forbes, 2001). 6

7 Konflik yang tidak perlu terjadi (Unnecessary Conflict) Konflik yang sebenarnya ( Genuine Conflict) Gambar 2: Lingkaran konflik Moore, 1986 (Sumber Forbes, 2001) Penjelasan tiap faktor penyebab sengketa dijelaskan oleh Moore (1986) dan Kristiyono, (2008) sebagai berikut : 1. Konflik struktural, Yang dimaksud konflik struktural di sini adalah sebab-sebab konflik yang berkaitan dengan kekuasaan sehingga ada ketidakseimbangan kekuatan misalnya dalam hal ketimpangan kontrol sumberdaya, wewenang formal yang membuat bagaimana suatu situasi dapat dibuat (set up) untuk tujuan tertentu melalui kebijakan umum (baik dalam bentuk peraturan perundangan maupun kebijakan formal lainnya). Aturan main dan norma relevan dengan konflik karena atuaran dan norma menetapkan hasil yang berhak diterima oleh pihakpihak tertentu sehingga juga menentukan aspirasi apa yang menjadi haknya. Ketika aspirasi dianggap tidak kompatibel dengan tujuan pihak lain maka hasilnya dapat menimbulkan konflik. Faktor geografis dan sejarah merupakan dua aspek penyebab konflik struktural diantara aspek lainnya yang sering menjadi alasan klaim suatu wilayah (Prescott, 2010). 7

8 Geografi (geography) merupakan klaim klasik berdasarkan batas alam, sedangkan sejarah (history) merupakan klaim berdasarkan penentuan sejarah (pemilikan pertama) atau durasi (lamanya kepemilikan) 2. Faktor kepentingan Masalah kepentingan menimbulkan konflik karena adanya persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan ini terjadi ketika salah satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhan/keinginannya, pihak lain harus berkorban. Konflik kepentingan mungkin bisa bersifat substantif, prosedur atau psikologis. 3.Konflik nilai Konflik nilai biasanya disebabkan oleh sistem kepercayaan (nilai) bersesuaian misalnya dalam hal definisi nilai dan mungkin nilai-nilai keseharian. yang tidak 4.Konflik hubungan Konflik hubungan antar manusia terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tidak ada komunikasi, atau perilaku negatif yang berulang. 5. Konflik data Konflik data terjadi ketika kekurangan atau tidak data dan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan, data dan informasi yang tersedia salah, tidak sepakat mengenai data dan informasi yang relevan, beda cara pandang dalam menterjemahkan data dan informasi, atau beda interpretasi dan analisis terhadap data dan informasi. Menurut Moore, konflik data, konflik nilai dan konflik hubungan sebenarnya konflik yang tidak perlu terjadi, artinya kalau data dan informasi tersedia sesuai kebutuhan, nilai-nilai yang ada difahami secara baik dan emosi serta perilaku negatif dapat dijaga, maka tidak akan terjadi konflik. Konflik yang sebenarnya adalah konflik struktural dan konflik kepentingan yang hampir selalu terjadi karena antara faktor kepentingan dan faktor struktural adalah dua faktor yang saling berhubungan dan selalu ada dalam kehidupan manusia. 8

9 5. Hubungan antara sengketa batas wilayah dengan boundary making dan geospasial Secara umum sengketa batas wilayah pada dasarnya dapat dikelompokan dalam tiga jenis, yaitu: teritorial, posisional dan fungsional (Prescott, 1987). Sengketa teritorial terjadi bila ada suatu wilayah belum dialokasi sehingga pada proses alokasi terjadi sengketa pada level politisi. Dalam konteks batas daerah di Indonesia sengketa ini tentunya tidak bermakna sebagai sengketa batas kedaulatan karena daerah otonom pada hakekatnya tidak memiliki kedaulatan, namun lebih bermakna sebagai sengketa batas wilayah otonom. Sengketa posisional terjadi setelah alokasi batas wilayah baik sebelum delimitasi atau sering muncul setelah delimitasi yaitu pada tahap demarkasi (lihat Gambar 3). Sengketa ini terjadi karena mempermasalahkan atau adanya ketidaksepahaman dalam masalah ketelitian dan ketepatan posisi garis batas. Oleh sebab itu pada tahapan delimitasi peran ketelitian geometris peta sudah sangat diperlukan. Untuk itu peta yang digunakan dalam tahapan delimitasi sudah harus memuat informasi tentang: skala peta, datum geodetik dan sistem koordinat yang benar. Sengketa fungsional terjadi pada tahap manajemen perbatasan yang sifatnya untuk pengelolaan wilayah perbatasan yaitu pengelolaan sumberdaya yang bernilai ekonomi yang ada di daerah perbatasan seperti minyak, gas, mineral, air, hutan, perkebunan, sarang burung dan batubara dan pengelolaan sumberdaya non ekonomi seperti penduduk. Dalam penyelesaian sengketa fungsional ini tersedianya peta yang baik sangat penting. Peta yang baik berarti peta yang benar kandungan informasinya dan memiliki ketelitian geometris dalam hal skala maupun koordinat. Menurut Blake, G. (1995) peta memiliki arti penting dalam sengketa batas dalam empat hal: pertama berkontribusi atau menjadi penyebab sengketa, kedua sebagai alat yang digunakan untuk mengusulkan posisi batas masing-masing pihak yang bersengketa, ketiga sebagai alat dalam penyelesaian sengketa dan ke-empat peta digunakan untuk mengilustrasikan pendapat dalam negosiasi atau mediasi sengketa batas. Di dalam penentuan batas daerah otonom peta merupakan dokumen yang memiliki aspek yuridis (hukum) dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen undang-undang pembentukan daerah otonom. Oleh sebab itu dalam hal ketidak sepahaman dalam hal batas daerah otonom di peta lampiran undang-undang pembentukan daerah, maka sengketa batas akan terjadi. 9

10 ? INFRASTRUKTUR Permendagri 1/2006 Gambar 3: Hubungan antara Geospasial, Boundary Making dan Sengketa batas daerah III. EVALUASI: 1) Apa perbedaan Konflik dan Sengketa, jelaskan 2) Gambarkan lingkaran konflik menurut C.W. Moore dan jelaskan 3) Terangkan jenis-jenis sengketa batas wilayah 4) Jelaskan faktor penyebab sengketa 5) Jelaskan faktor data sebagai penyebab sengketa, berikan contoh 6) Apa yang dimaksud dengan konflik struktural, konflik kepentingan dan konflik nilai, berikan contoh. 7) Jelaskan cara-cara penyelesaian sengketa batas wilayah 8) Apakah arti pentingnya peta (informasi geospasial) dalam sengketa batas wilayah, jelaskan. 9) Gambarkan diagram hubungan antara sengeketa batas, boundary making dan geospasial. 10) Berikan contoh-contoh kasus sengketa batas wilayah di Indonesia. Menurut anda apa faktor penyebabnya, jelaskan Jawaban soal evaluasi akan didskusikan di kelas DAFTAR REFERENSI: 1. Furlong, G.T., 2005, The Conflict Resolution Toolbox: Model & Maps for Analyzing, Diagnosing and Resolving Conflict, John and Willy, Ontario, Canada. 2. Jones,B.,S., 2000, Boundary Making, A Handbooks for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, William S. Hein & Co.Inc., Buffalo, New York. 10

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 4. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Relevansi Teori Boundary Making untuk abad 21

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 4. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Relevansi Teori Boundary Making untuk abad 21 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 4 A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Relevansi Teori Boundary Making untuk abad 21 B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Relevansi Teori Boundary Making

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 9 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Aspek Geospasial dalam Metode Delimitasi Batas Maritim B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Aspek Geospasial dalam

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Konsep Negara kepulauan Evolusi

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 3

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 3 I. RENCN KEGITN PEMELJRN MINGGUN (RKPM) MINGGU 3. TUJUN JR: Dapat Menjelaskan Teori oundary Making untuk tahap Demarkasi dan dminstrasi/manajemen batas wilayah..pokok HSN/SU POKOK HSN: Teori oundary Making

Lebih terperinci

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH 2.1 Dasar Hukum Penetapan Batas Laut Daerah Agar pelaksanaan penetapan batas laut berhasil dilakukan dengan baik, maka kegiatan tersebut harus mengacu kepada peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kabupaten Lamadau di Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10 A.TUJUAN AJAR Dapat menjelaskan Sengketa Batas Maritim dan penyelesaiannya B. POKOK BAHASAN: Penyebab sengketa batas maritim Penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2. A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 2 A. TUJUAN AJAR: Dapat Menjelaskan Teori Boundary Making tahap Alokasi dan Delimitasi B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Alokasi dan Delimitasi:

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 7 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan delimitasi batas maritim B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Tujuan delimitasi Prinsip delimitasi Konvensi PBB

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 1

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 1 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 1 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan konsep dan pengertian batas wilayah B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Pengertian Batas wilayah dan tipologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kesatuan yaitu negara yang tiap daerahnya masuk dalam sistem tata negara yang terintegrasi. Dalam segala hal pimpinan tingkat daerah bertanggung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Pemerintah pusat memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk dapat mengelola daerahnya masing masing setelah dikeluarkannya UU No. 22 Tahun

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan Peta laut, Basepoint (Titik Pangkal), dan Baseline (Garis Pangkal) untuk delimiasi batas maritim. B.POKOK BAHASAN/SUB

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.244, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Otonomi. Pemilihan. Kepala Daerah. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undangundang Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang Wilayah dan Undang-undang No.

Lebih terperinci

KONFLIK CHILE-ARGENTINA PADA KASUS BEAGLE CHANNEL

KONFLIK CHILE-ARGENTINA PADA KASUS BEAGLE CHANNEL RESUME SKRIPSI LATAR BELAKANG KONFLIK CHILE-ARGENTINA PADA KASUS BEAGLE CHANNEL Disusun oleh: DAHLIA NUR FARIDA NIM. 151040188 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

Buku 2 : RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 6

Buku 2 : RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 6 UNIVERSITAS GADJAH MADA SEKOLAH VOKASI PROGRAM DIPLOMA TEKNIK SIPIL Alamat : Jl. Yacaranda 1, Sekip Unit IV, Yogyakarta 55281, Telp. (0274) 7112126, 545193, 6491300 Faks. (0274) 545193, E mail : dts_ugm@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta memiliki nilai sosio-kultural dan pertahanan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan aset (faktor)

Lebih terperinci

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Di awal tahun 2005, bangsa ini gempar oleh satu kata Ambalat. Media massa memberitakan kekisruhan yang terjadi di Laut Sulawesi perihal sengketa

Lebih terperinci

91 menganut prinsip penyeleasaian sengketa dilakukan dengan jalan damai maka ASEAN berusaha untuk tidak menggunakan langkah yang represif atau dengan

91 menganut prinsip penyeleasaian sengketa dilakukan dengan jalan damai maka ASEAN berusaha untuk tidak menggunakan langkah yang represif atau dengan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Melalui penelitian mengenai peran ASEAN dalam menangani konflik di Laut China Selatan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Sengketa di Laut China Selatan merupakan sengketa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan berbagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan berbagai potensi yang kini gangguannya semakin meluas. Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguannya. Dampak

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH Dalam kegiatan penetapan dan penegasan batas (delimitasi) terdapat tiga mendasar, yaitu: pendefinisian, delineasi, dan demarkasi batas. Hubungan ketiganya

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN. Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN. Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa misi terpenting dalam pembangunan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II. BAB III ANALISIS Sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada Tugas Akhir ini, maka dilakukan analisis pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Analisis komunitas belajar. 2. Analisis penerapan prinsip psikologis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

Buku 2 : RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 4

Buku 2 : RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan ke 4 UNIVERSITAS GADJAH MADA SEKOLAH VOKASI PROGRAM DIPLOMA TEKNIK SIPIL Alamat : Jl. Yacaranda 1, Sekip Unit IV, Yogyakarta 55281, Telp. (0274) 7112126, 545193, 6491300 Faks. (0274) 545193, E mail : dts_ugm@yahoo.com

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR I. Pendahuluan Banyaknya kebijakan yang tidak sinkron, tumpang tindih serta overlapping masih jadi permasalahan negara ini yang entah sampai kapan bisa diatasi. Dan ketika

Lebih terperinci

KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN [DEWI TRIWAHYUNI]

KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN [DEWI TRIWAHYUNI] KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN [DEWI TRIWAHYUNI] INTERNATIONAL RELATIONS DEPARTMENT UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA 2015 1 HISTORICAL BACKGROUND 2 Secara geografis kawasan Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion Bioregion merupakan area geografis yang mempunyai karakteristik tanah, daerah aliran sungai (DAS), iklim, tanaman lokal serta hewan, yang unik dan memiliki nilai intrinsik

Lebih terperinci

Komunikasi dan Politik 1 Oleh : Adiyana Slamet, S.Ip., M.Si

Komunikasi dan Politik 1 Oleh : Adiyana Slamet, S.Ip., M.Si Komunikasi dan Politik 1 Oleh : Adiyana Slamet, S.Ip., M.Si Seseorang yang menggeluti komunikasi politik, akan berhadapan dengan masalah yang rumit, karena komunikasi dan politik merupakan dua paradigma

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 110 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab terakhir ini bertujuan untuk menyimpulkan pembahasan dan analisa pada bab II, III, dan IV guna menjawab pertanyaan penelitian yaitu keuntungan apa yang ingin diraih

Lebih terperinci

KELOMPOK SOSIAL, KELOMPOK KERJA, DAN TIM

KELOMPOK SOSIAL, KELOMPOK KERJA, DAN TIM Mata kuliah: Komunikasi Kelompok Hari/ Tanggal: Jumat/ 25 Februari 2011 KPM (212) Nama/ NRP : Lutfi Afifah/ A34070039 Praktikum ke-: 1 Asisten: Auliyaul Hafizhoh (I34070021) KELOMPOK SOSIAL, KELOMPOK KERJA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun tidak, komunikasi telah menjadi bagian dan kebutuhan hidup manusia.

BAB I PENDAHULUAN. ataupun tidak, komunikasi telah menjadi bagian dan kebutuhan hidup manusia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sebagai makhluk sosial, baik sebagai individu ataupun kelompok akan selalu berkomunikasi. Sehingga disadari ataupun tidak,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. infrastruktur, ekonomi, kapasitas sumber daya, dan lain-lain.

BAB I PENDAHULUAN. infrastruktur, ekonomi, kapasitas sumber daya, dan lain-lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, setiap daerah dituntut untuk lebih meningkatkan potensi-potensi yang dimilikinya dalam rangka peningkatan perekonomian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS Perencanaan pembangunan antara lain dimaksudkan agar Pemerintah Daerah senantiasa mampu menyelaraskan diri dengan lingkungan. Oleh karena itu, perhatian kepada mandat

Lebih terperinci

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional adalah hukum atau peraturan yang berlaku diluar dari wilayah suatu negara. Secara umum, hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 18 menetapkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab terdahulu, kiranya dapat. disimpulkan dalam beberapa poin sebagai berikut:

BAB V PENUTUP. Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab terdahulu, kiranya dapat. disimpulkan dalam beberapa poin sebagai berikut: 108 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab terdahulu, kiranya dapat disimpulkan dalam beberapa poin sebagai berikut: 1. Perlindungan Hukum dari Pemerintah Daerah terhadap Hak-Hak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut

Lebih terperinci

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI xvii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... vii SAMBUTAN... x UCAPAN TERIMA KASIH... xiii DAFTAR ISI... xvii DAFTAR GAMBAR... xxii BAB 1 DELIMITASI BATAS MARITIM: SEBUAH PENGANTAR... 1 BAB 2 MENGENAL DELIMITASI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Konflik yang terjadi di kawasan hutan sering kali terjadi akibat adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. Konflik yang terjadi di kawasan hutan sering kali terjadi akibat adanya 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik yang terjadi di kawasan hutan sering kali terjadi akibat adanya sumberdaya alam bernilai ekonomi tinggi yang menjadi daya tarik tersendiri untuk berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

PERANG & DAMAI Pengantar: Causes of War. Artanti Wardhani

PERANG & DAMAI Pengantar: Causes of War. Artanti Wardhani PERANG & DAMAI Pengantar: Causes of War Artanti Wardhani Definisi PERANG vs.konflik adanya pengerahan kekuatan dari militer (1000 personel) dan memakai kekuatan bersenjata contention / disputation antara

Lebih terperinci

DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK

DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK Memahami Konflik (2) Dr. Teguh Kismantoroadji Dr. Eko Murdiyanto 1 Kompetensi Khusus: Mahasiswa mampu memahami konflik sebagai suatu keniscayaan 2 TAHAPAN TERJADINYA

Lebih terperinci

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bahan bakar fosil dewasa ini masih menjadi primadona sebagai energi terbesar di dunia, namun minyak dan gas bumi (migas) masih menjadi incaran utama bagi para investor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang luas, terdiri atas sepertiga wilayah daratan dan dua pertiga wilayah lautan. Untuk membangun Negeri Indonesia yang besar dan

Lebih terperinci

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PEMERINTAHAN. Wilayah. Nasional. Rencana. Tata Ruang. Peta. Ketelitian. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 8) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena laut merupakan perekat persatuan dari ribuan kepulauan nusantara yang

Lebih terperinci

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*) URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI Oleh: Nanin Trianawati Sugito*) Abstrak Daerah (propinsi, kabupaten, dan kota) mempunyai wewenang yang relatif

Lebih terperinci

isu kebijakan dan dinamikanya. Kemudian pada bagian kedua kita akan Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah

isu kebijakan dan dinamikanya. Kemudian pada bagian kedua kita akan Isu kebijakan publik sangat penting dibahas untuk membedakan istilah 4 Isu Kebijakan Publik A. Pendahuluan Pada bagian ini, anda akan mempelajari konsep isu kebijakan publik dan dinamikanya dalam pembuatan kebijakan. Untuk itu, kita akan membagi uraian ini menjadi tiga

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENETAPAN WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN DAN SISTEM INFORMASI WILAYAH PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KONFLIK TAPAL BATAS LOMBOK UTARA DAN LOMBOK BARAT

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KONFLIK TAPAL BATAS LOMBOK UTARA DAN LOMBOK BARAT JURNAL FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KONFLIK TAPAL BATAS LOMBOK UTARA DAN LOMBOK BARAT 2011-2012 A. Latar Belakang Masalah Konflik perbatasan wilayah merupakan hal yang sering terjadi di beberapa kabupaten maupun

Lebih terperinci

PERAN PEMBANGUNAN MANUSIA/SOSIAL DAN INTERAKSI SPASIAL DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN : KASUS KABUPATEN BOGOR ARMAN

PERAN PEMBANGUNAN MANUSIA/SOSIAL DAN INTERAKSI SPASIAL DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN : KASUS KABUPATEN BOGOR ARMAN PERAN PEMBANGUNAN MANUSIA/SOSIAL DAN INTERAKSI SPASIAL DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN : KASUS KABUPATEN BOGOR ARMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 RIWAYAT HIDUP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita. Konflik tersebut terjadi karena interaksi antar kedua negara atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. kita. Konflik tersebut terjadi karena interaksi antar kedua negara atau lebih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konflik internasional antar dua negara cukup terdengar akrab di telinga kita. Konflik tersebut terjadi karena interaksi antar kedua negara atau lebih terganggu akibat

Lebih terperinci

POTRET KETIMPANGAN v. Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain

POTRET KETIMPANGAN v. Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain POTRET KETIMPANGAN Konsentrasi Penguasaan Lahan ada di sektor pertambangan, perkebunan dan badan usaha lain Lebih dari 186.658 hektar area yang ditetapkan kawasan hutan merupakan perkampungan penduduk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan secara kualitatif sesuai dengan kerangka analisis yang diajukan penulis yang kemudian dipakai untuk mendesain penelitian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.10/Menhut-II/2010 TENTANG MEKANISME DAN TATA CARA AUDIT KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.10/Menhut-II/2010 TENTANG MEKANISME DAN TATA CARA AUDIT KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.10/Menhut-II/2010 TENTANG MEKANISME DAN TATA CARA AUDIT KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang No. 5, Agustus 2002 Warta Kebijakan C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Tugas : Perilaku Organisasi Nama : Erwin Febrian Nim : Pertanyaan:

Tugas : Perilaku Organisasi Nama : Erwin Febrian Nim : Pertanyaan: Tugas : Perilaku Organisasi Nama : Erwin Febrian Nim : 14121005 Pertanyaan: 1. Jelaskan pengertian konflik dan cara pandang konflik? 2. Jelaskan jenis, sebab dan proses terjadinya konflik? 3. Jelaskan

Lebih terperinci

Nama : Burhanudin Indra NIM : Kelas : SI/22

Nama : Burhanudin Indra NIM : Kelas : SI/22 Nama : Burhanudin Indra NIM : 14122030 Kelas : SI/22 1. Jelaskan pengertian konflik dan cara pandang konflik 2. Jelaskna jenis, sebab dan proses terjadinya konflik 3. Jelaskan hubungan konflik dan kinerja

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL I. UMUM Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya. Konflik etnis merupakan salah satu permasalahan yang masih terjadi

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya. Konflik etnis merupakan salah satu permasalahan yang masih terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pecahnya Uni Soviet telah meninggalkan berbagai permasalahan dibekas wilayahnya. Konflik etnis merupakan salah satu permasalahan yang masih terjadi pasca jatuhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam bidang industri, sarana transportasi, perluasan daerah pemukiman dan lain sebagainya.

Lebih terperinci

Kewarganegaraan. Pengembangan dan Pemeliharaan sikap dan nilai-nilai kewarganegaraan. Uly Amrina ST, MM. Kode : Semester 1 2 SKS.

Kewarganegaraan. Pengembangan dan Pemeliharaan sikap dan nilai-nilai kewarganegaraan. Uly Amrina ST, MM. Kode : Semester 1 2 SKS. Modul ke: Kewarganegaraan Pengembangan dan Pemeliharaan sikap dan nilai-nilai kewarganegaraan Fakultas Teknik Uly Amrina ST, MM Program Studi Teknik Industri Kode : 90003 Semester 1 2 SKS Negara Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Sistem Sistem dapat didefinisikan sebagai sekumpulan objek, ide, berikut saling keterkaitannya (inter-relasi) di dalam (usaha) mencapai suatu tujuan (atau sasaran bersama

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.403, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHAN. Pengamanan. Wilayah Perbatasan. Kebijakan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG KEBIJAKAN PENGAMANAN WILAYAH

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

Deskripsi Singkat Topik :

Deskripsi Singkat Topik : 1 WILAYAH DAN RUANG LINGKUPNYA Deskripsi Singkat Topik : Pokok Bahasan Waktu Tujuan : WILAYAH DAN RUANG LINGKUPNYA : 1 (satu) kali tatap muka pelatihan selama 100 menit. : Untuk menanamkan pemahaman praja

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

STRATEGI MEMAJUKAN PERAN & KEBERLANJUTAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA 1

STRATEGI MEMAJUKAN PERAN & KEBERLANJUTAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA 1 STRATEGI MEMAJUKAN PERAN & KEBERLANJUTAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA 1 Handoko Soetomo 2 Peran organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks dan tantangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut adalah kumpulan air asin dan menyatu dengan samudera. Dari waktu ke waktu, terjadi perkembangan yang signifikan terhadap fungsi atau peranan laut. Adapun fungsi

Lebih terperinci

Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS)

Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS) UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS TEKNIK/JURUSAN TEKNIK ELEKTRO DAN TEKNOLOGI INFORMASI Jln. Grafika No. 2 Yogyakarta, Kampus UGM Yogyakarta 55281 Telp. (0274) 552305, 902202 Fax. (0274) 552305 Rencana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan

Lebih terperinci

Pemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun

Pemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun Pemekaran Wilayah Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

KEPASTIAN RUANG YANG PARTISIPATIF SEBAGAI KUNCI KEBERLANJUTAN SUMBER DAYA DAN DUKUNGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

KEPASTIAN RUANG YANG PARTISIPATIF SEBAGAI KUNCI KEBERLANJUTAN SUMBER DAYA DAN DUKUNGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KEPASTIAN RUANG YANG PARTISIPATIF SEBAGAI KUNCI KEBERLANJUTAN SUMBER DAYA DAN DUKUNGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT LATAR BELAKANG DAN TUJUAN PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN PARTISIPATIF Kendala pengembangan kawasan

Lebih terperinci