KATA PENGANTAR. iii. Daya Tampung Beban Pencemaran Air dan Zonasi Danau Rawa Pening

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KATA PENGANTAR. iii. Daya Tampung Beban Pencemaran Air dan Zonasi Danau Rawa Pening"

Transkripsi

1

2 iii Daya Tampung Beban Pencemaran Air dan Zonasi Danau Rawa Pening KATA PENGANTAR Kementerian Lingkungan Hidup, 2012 TIM PENYUSUN : Pengarah : Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Penanggung Jawab : Asisten Deputi Pengendalian Kerusakan Ekosistem Perairan Darat Penulis : Badruddin Machbub, Arif Suwanto, Titi Novitha Harahap, Harmin Manurung, Inge Retnowati Siti Rachmiati, Wahyu Cahyadi Rustadi. Diterbitkan oleh : Kementerian Lingkungan Hidup, Sesuai dengan Kesepakatan Bali tahun 2009 tentang Pengelolaan Danau Berkelanjutan yang telah ditandatangai oleh 9 (sembilan) Menteri pada tanggal 13 Agustus 2009, maka Danau Rawapening adalah satu dari 15 (lima belas) danau prioritas yang harus diselamatkan pada periode tahun Untuk itu, maka pada tahun 2012 ini, Kementerian Lingkungan Hidup telah menyusun Kajian Penentuan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Rawapening dan Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening. Kajian ini sangat penting untuk memberikan arah kebijakan dalam perlindungan dan pemanfaatan ekosistem Danau Rawapening secara berkelanjutan. Kajian Penentuan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Rawapening berguna antara lain sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan rencana tata ruang, pemberian izin kegiatan, dan izin pembuangan air limbah yang masuk ke peraiaran Danau Rawapening. Sedangkan penyusunan Zonasi Pemanfaatan Peraiaran Danau Rawapening berguna untuk memberikan arahan kepada pemerintah, pemerintah daerah, swasta/dunia usaha dalam memanfaatkan peraiaran danau melalaui bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya, daya dukung dan proses-proses ekologis agar nilai dan manfaat Danau Rawapening dapat berguna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Buku ini disusun melalui pengumpulan data sekunder, data primer, diskusi dengan pakar dan praktisi baik di tingkat pusat maupun daerah serta masyarakat. Mengingat keterbatasan data, waktu dan biaya, maka buku ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kami mengharapkan masukan, saran dan koreksi dari semua pihak untuk penyempurnaannya. Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak dalam upaya penyelamatan ekosistem Danau Rawapening. Jakarta, Agustus 2012 Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Ir. Arief Yuwono, MA

3 v DAFTAR ISI Hal. Kata Pengantar... iii Daftar Isi... v Daftar Tabel... vii Daftar Gambar... ix BAB I PENDAHULUAN LatarBelakang Tujuan dan Sasaran Pengertian dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait Pengertian Peraturan Perundang-undangan Metodologi Penentuan Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) Danau Faktor-faktor yang mempengaruh Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Perhitungan DayaTampung Beban Pencemaran Air Danau Penyusunan Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Kriteria Zonasi Perairan Danau Tahapan Penetapan Zonasi Perairan Danau BAB II GAMBARAN UMUM DANAU RAWAPENING Tipologi Danau Letak Geografis Karakteristik Danau Kondisi Fisik Danau... 27

4 vi vii Geologi, Topografi dan Penggunaan Lahan Klimatologi dan Sistem Hidrologi DAS Morfometri Perairan Danau Kependudukan, Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat BAB III KONDISI DANAU RAWAPENING Permasalahan Danau Permasalahan Lingkungan Danau Permasalahan Kelembagaan Pemanfaatan Danau Kualitas Air dan Status Trofik Kualitas Air Sungai dan Danau Status Trofik Danau Sedimentasi dan Pendangkalan Danau Pendangkalan Danau Erosi dan Angkutan Sedimen Gulma Air dan Endapan Biomassa BAB IV BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU RAWAPENING Sumber Pencemaran dari Daerah Tangkapan Air (DTA) Limbah Penduduk Limbah Ternak Limbah Pertanian dan Perkebunan Potensi Beban Pencemaran Daerah Tangkapan Air Limbah Budidaya Ikan BAB VI ZONASI PEMANFAATAN PERAIRAN DANAU RAWAPENING Zonasi Danau Rawapening Bersadarkan Studi yang Ada Usulan Zonasi Perairan Danau Rawapening Alternatif Satu Garis Pantai Danau dengan Tanggul Zonasi Enceng Gondok Zonasi Perikanan Zonasi Pariwisata Zonasi Dermaga Perahu Zonasi Lindung Usulan Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening Alternatif, dengan Pemanfaatan Pertanian Satu Kali Panen Kontur Volume 462,05 m Sampai 462, Pola Pemanfaatan Lahan Pertanian Tanaman Padi Satu Kali Panen Zonasi Enceng Gondok Zonasi Perikanan Zonasi Dermaga Perahu Zonasi Pariwisata Zonasi Lindung BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran Daftar Pustaka BAB V DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN DAN PROGRAM PENGENDALIAN BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU 85 RAWAPENING Karakteristik Morfometri dan Hidrologi Danau Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) Beban Pencemaran Daerah Tangkapan Air Program Pengendalian Pencemaran Air... 88

5 ix DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Kriteria Status Trofik Danau... 3 Tabel 1.2 Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun Tabel 1.3 Model Rumus Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) Danau serta Daya Dukung Budidaya Ikan Keramba Jaring Apung (KJA) Tabel 1.4 Kriteria Zonasi Danau Tabel 2.1 Luas Penggunaan Lahan di Sub DAS Rawapening Tabel 2.2 Sungai yang Mengalir ke Danau Rawapening Tabel 3.1 Kualitas Air Sungai yang Masuk ke Danau Rawapening Tabel 3.2 Profil Kualitas Air Danau Rawapening (Pemantauan 18 September 2011) Tabel 3.3 Kriteria Kualiats Air Sesuai Klasifikasi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun Tabel 3.4 Pemantauan Kualitas Air untuk Penilaian Status Mutu Air Tabel 3.5 Status Mutu Air Danau Rawapening Metoda Indeks Pencemaran Air Tabel 3.6 Kategori Status Trofik Danau Rawapening Tabel 3.7 Volume dan Luas Danau Rawapening Tabel 3.8 Luas Lahan Kritis Daerah Kecamatan pada DAS Rawapening di Kabupaten Semarang Tabel 3.9 Potensi Sedimentasi di Sub DAS Rawapening Dirinci per Sub DAS Tabel 3.10 Debit Aliran dan Suspensi Sungai-sungai yang Masuk ke Danau Rawapening Tabel 3.11 Luas Gulma Air di Danau Rawapening Tabel 4.1 Luas Wilayah Administrasi pada Sub DAS Rawapening Tabel 4.2 Luas Kecamatan di Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga dalam Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga dalam Daerah Tangkapan Air... 71

6 x xi Tabel 4.4 Potensi Beban Pencemaran Limbah Penduduk pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Tabel 4.5 Jenis dan Jumlah Ternak Kabupaten Semarang dalam Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Tabel 4.6 Potensi Beban Pencemaran Limbah Ternak pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Berdasarkan Daerah Asal Limbah Tabel 4.7 Potensi Beban Pencemaran Limbah Ternak pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Berdasarkan Jenis Ternak Tabel 4.8 Luas Lahan Sawah Kebupaten Semarang dalam Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Tabel 4.9 Potensi Beban Pencemaran Limbah Sawah pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Tabel 4.10 Luas Lahan Kebun Kabupaten Semarang dalam Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Tabel 4.11 Potensi Beban Pencemaran Limbah Lahan Kebun pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Tabel 4.12 Jumlah Potensi Beban Pencemaran pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Tabel 4.13 Beban Pencemaran Limbah Pakan Ikan Danau Rawapening Tabel 5.1 Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) Danau Rawapening Tabel 5.2 Jumlah Potensi Beban Pencemaran pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Tabel 5.3 Program Pengendalian Pencemaran Air Danau Rawapening Tabel 6.1 Luas Enceng Gondok Yang Disarankan Tabel 6.2 Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Desa-desa di Sekitar Danau Rawapening Tabel 6.3 Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Desa-desa di Sekitar Danau Rawapening Dengan Luas 10% dari Luas Enceng Gondok Eksisting Tabel 6.4 Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Kecamatan di Sekitar Danau Rawapening Dengan Pengurangan Luas 10 % dari Luas Enceng Gondok Eksisting Tabel 6.5 Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Desa-desa di Sekitar Danau Rawapening, Pengurangan Luas 20 % dari Luas Enceng Gondok 99 Eksisting... Tabel 6.6 Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Kecamatan di Sekitar Danau Rawapening, Pengurangan Luas 20 % dari Luas Enceng Gondok 100 Eksisting... Tabel 6.7 Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Desa-desa di Sekitar Danau Rawapening, Pengurangan Luas 30 % dari Luas Enceng Gondok 101 Eksisting... Tabel 6.8 Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Kecamatan di Sekitar Danau Rawapening, Pengurangan Luas 30 % dari Luas Enceng Gondok 101 Eksisting... Tabel 6.9 Jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Rawapening 103 Tahun Tabel 6.10 Jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) yang Disarankan di Danau Rawapening Tabel 6.11 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening Alternatif Satu Dengan Tanggul Tabel 6.12 Kriteria Zonasi Sempadan Danau Rawapening Tabel 6.13 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening Alternatif Dua Dengan Padi Satu Kali Panen

7 xiii DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Skema Penetapan Zonasi Danau Gambar 2.1 Lokasi Danau Rawapening Gambar 2.2 Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Rawapening Gambar 2.3 Peta Administrasi Wilayah Sub DAS Rawapening Gambar 2.4 Peta Sistem Hidrologi sub DAS Rawapening Gambar 2.5 Diagram Kontribusi Tiap Lapangan Usaha di Sekitar Danau Rawapening Gambar 2.6 Diagram Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Gambar 3.1 Peta Bahaya Erosi DTA Danau Rawapening Gambar 3.2 Peta Tutupan Lahan DTA Danau Rawapening Gambar 3.3 Permasalahan Danau Rawapening Gambar 3.4 Pemanfaatan Sumber Daya Air Danau Rawapening Gambar 3.5 Derajat Keasaman (ph) Air Danau Rawapening Gambar 3.6 Profil Oksigen Terlarut (DO) Danau Rawapening Gambar 3.7 Profil Daya Hantar Listrik Danau Rawapening Gambar 3.8 Peta Lokasi Sampel Air Danau Rawapening Gambar 3.9 Peta Kedalaman Danau Rawapening Gambar 3.10 Daerah Pertumbuhan Gulma Air di Danau Rawapening Gambar 3.11 Daerah Pertumbuhan Gulma Air yang Berpotensi Berubah Menjadi Daratan di Danau Rawapening Seluas 569 Ha Gambar 4.1 Luas Wilayah Kota/Kabupaten (%) Pada Sub DAS Rawapening Gambar 4.2 Luas Wilayah (%) pada Kecamatan Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga dalam Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Gambar 4.3 Potensi Beban Pencemaran Limbah Penduduk pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Gambar 4.4 Potensi Beban Pencemaran Limbah Ternak pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Gambar 4.5 Potensi Beban Pencemaran Limbah Ternak pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Berdasarkan Jenis Ternak... 76

8 xiv Gambar 4.6 Potensi Beban Pencemaran Limbah Ternak (%) pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Berdasarkan Jenis Ternak Gambar 4.7 Potensi Beban Pencemaran Limbah Sawah pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Gambar 4.8 Potensi Beban Pencemaran Limbah Lahan Kebun pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Gambar 4.9 Jumlah Potensi Beban Pencemaran pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Gambar 4.10 Beban Pencemaran Limbah Pakan Ikan Danau Rawapening Gambar 5.1 Jumlah Potensi Beban Pencemaran pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Gambar 6.1 Peta Zonasi Danau Rawapening Gambar 6.2 Zonasi Pemanfaatan Perairan Alternatif Satu Dengan Zona Tanggul.. 93 Gambar 6.3 Zonasi Enceng Gondok Luas 5% dari Luas Enceng Gondok Eksisting. 96 Gambar 6.4 Zonasi Enceng Gondok Luas 10% dari Luas Enceng Gondok Eksisting 98 Gambar 6.5 Zonasi Enceng Gondok Luas 20% dari Luas Enceng Gondok Eksisting Gambar 6.6 Zonasi Enceng Gondok Luas 30% dari Luas Enceng Gondok Eksisting 102 Gambar 6.7 Jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) (Unit) di Danau Rawapening Tahun Gambar 6.8 Peta Zonasi Budidaya Perikanan Keramba Jaring Apung (KJA) Gambar 6.9 Peta Zonasi Wisata Gambar 6.10 Peta Zonasi Wisata (Alokasi Dermaga) Gambar 6.11 Peta Zona Mata Air Gambar 6.12 Zonasi Pemanfaatan Perairan dengan Pertanian Pasang Surut Gambar 6.13 Zonasi Enceng Gondok Luas 10% dari Luas Enceng Gondok Eksisting Gambar 6.14 Zonasi Enceng Gondok Luas 20% dari Luas Enceng Gondok Eksisting Gambar 6.15 Zonasi Enceng Gondok Luas 30% dari Luas Enceng Gondok Eksisting Gambar 6.16 Zonasi Perikanan Gambar 6.17 Zonasi Pemanfaatan Dermaga Perahu/Kapal Gambar 6.18 Zonasi Pariwisata Gambar 6.19 Zonasi Mata Air BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah, diantaranya danau, dan waduk. Di Indonesia terdapat 840 danau besar, 735 danau kecil dan 200 waduk besar. Danau sendiri kaya akan keanekaragaman fungsi, hayati, sosial dan budaya sehingga kawasan tersebut memiliki peranan yang penting untuk menunjang kehidupan manusia. Beberapa manfaat kawasan perairan danau antara lain adalah sebagai penyedia air untuk irigasi pertanian, sumber air baku air minum, perikanan, PLTA, pariwisata, transportasi air, serta tempat hidup berbagai makhluk hidup (biota) yang unik yang khas (sumber keanekaragaman hayati). Namun hingga saat ini kondisi danau telah banyak mengalami penurunan kualitas ekosistem akibat pemanfaatan danau yang berlebihan sehingga menimbulkan degradasi kawasan danau. Danau Rawapening merupakan satu dari 15 (lima belas) danau yang masuk ke dalam prioritas pemulihan kerusakan danau di Indonesia berdasarkan Kesepakatan Bali Tahun 2009 tentang Pengelolaan Danau Berkelanjutan. Kondisi Danau Rawapening saat ini telah berada pada tingkat kerusakan dan pencemaran yang tinggi. Beberapa pencemaran dan kerusakan yang terjadi adalah tingkat sedimentasi yang tinggi, penurunan kualitas air, kerusakan daerah tangkapan air, maraknya keramba jaring apung (KJA) dan enceng gondok, banjir di kawasan hilir dan lain sebagainya. Dengan memperhatikan kondisi tersebut, diperlukan suatu strategi pengelolaan danau yang berkelanjutan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung kawasan danau. Pada tahun 2011, sebagai salah satu bentuk komitmen KLH yang tertuang dalam Kesepakatan Bali Tahun 2009 serta mengacu kepada Undang-undang Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2009 tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk serta implementasi buku Pedoman Zonasi Ekosistem Danau yang telah disusun pada tahun 2011, maka KLH Melaksanakan Kajian Penentuan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang berharga bagi para pemangku kepentingan baik di tingkat

9 2 Pendahuluan 3 pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam upaya penyelamatan Danau Rawapening. Selain itu kajian ini juga sebagai perwujudan komitmen KLH yang telah meluncurkan model Gerakan Penyelamatan Danau Rawapening pada Konferensi Nasional Danau II di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal Oktober 2011 yang lalu. 1.2 Tujuan dan Sasaran Tujuan penyusunan kajian ini adalah untuk merumuskan pengelolaan Danau Rawapening agar sesuai dengan daya tampungnya serta serasi dengan tata ruang yang berwawasan lingkungan. Sasaran pelaksanaan Kajian Penentuan Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) Danau Rawapening adalah sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak terkait dalam penetapan rencana tata ruang daerah tangkapan air dan pemberian izin kegiatan pemanfaatan danau agar kualitas air danau tetap terjaga. Sedangkan sasaran penyusunan Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening ini adalah sebagai bahan panduan bagi pemerintah dalam menata pemanfaatan perairan Danau Rawapening Pengertian dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait Berikut dijelaskan tentang beberapa pengertian serta peraturan perundangundangan yang terkait dalam penyusunan daya tampung beban pencemaran air dan penentuan zonasi pemanfaatan perairan Danau Rawapening Pengertian Daya Tampung Beban Pencemaran adalah kemampuan air pada suatu sumber air untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menajdi cemar. Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau adalah kemampuan perairan danau menampung beban pencemaran air sehingga memenuhi baku mutu air dan status trofik. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya, daya dukung dan prosesproses ekologis. Terdiri dari tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan dengan mempertimbangkan kajian-kajian aspek ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Baku Mutu Air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Kelas Air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu. Status Mutu Air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air atau kelas air yang ditetapkan. Status trofik adalah status kualitas air danau berdasarkan kadar unsur hara dan kandungan biomassa fitoplankton atau produktivitasnya. Penjelasan tentang status trofik danau dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini. Tabel 1.1 Kriteria Status Trofik Danau Kadar Kadar Kadar Rataratratrata an Rata- Rata- Rata- Kecerah Status Trofik Total-N Total-P Khlorofil rata (m) Penjelasan (µ/l) (µ/l) -a (µ/l) Oligotrof 650 < 10 < Status trofik air danau yang mengandung unsur hara dengan kadar rendah. Status ini menunjukkan kualitas air masih alamiah belum tercemar dari sumber unsur hara Nitrogen dan Fosfor Mesotrof 750 < 30 < Status trofik air danau yang mengandung unsur hara dengan kadar sedang. Status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan fosfor namun masih dalam batas toleransi dan

10 4 Pendahuluan 5 Kadar Kadar Kadar Rataratratrata an Rata- Rata- Rata- Kecerah Status Trofik Total-N Total-P Khlorofil rata (m) Penjelasan (µ/l) (µ/l) -a (µ/l) belum menunjukkan adanya indikasi pencemaran Eutrof 1900 < 100 < 15 2,5 Status trofik air danau yang mengandung unsur hara dengan kadar tinggi. Status ini menunjukkan air telah tercemar dengan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor Hipereutrof > 1900 > > 2,5 Status trofik air danau yang mengandung unsur hara dengan kadar sangat tinggi. Status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh adanya peningkatan Nitrogen dan Fosfor yang sangat tinggi. Sumber : Peraturan Menteri LH No. 28 Tahun 2009 tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk Peraturan Perundang-undangan Di bawah ini adalah beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penentuan daya tampung beban pencemaran air danau dan zonasi pemanfaatan perairan Danau Rawapening. Peraturan tersebut antara lain : a. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang; b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air; c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan; d. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; f. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; g. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; h. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Air; i. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan; j. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualiatas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; k. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Kawasan Lindung; l. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk Metodologi Adapun metodologi kajian penentuan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Rawapening dan penyusunan Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening dapat dijelaskan sebagai berikut Penentuan Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) Danau Rawapening Faktor-faktor yang mempengaruhi Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Rawapening Daya tampung beban pencemaran air danau tergantung kepada karakteristik dan kondisi lingkungan di sekitarnya, yaitu: 1. Morfologi dan hidrologi danau; 2. Kualitas air dan status trofik danau; 3. Persyaratan atau baku mutu air untuk pemanfaatan sumberdaya air danau; 4. Alokasi beban pencemaran air dari berbagai sumber dan jenis limbah yang masuk ke danau.

11 6 Pendahuluan 7 1. Morfologi dan Hidrologi Danau Morfologi danau terdiri dari parameter karakter fisik, yaitu: a. Luas perairan danau; b. Volume air danau; c. Kedalaman rata-rata danau tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Sedangkan hidrologi danau terdiri dari karakteristik aliran air, yaitu : a. Debit air keluar danau; b. Laju penggantian air danau. Rumus morfologi dan hidrologi danau adalah sebagai berikut: a. Morfologi danau, yaitu luas perairan (A) dan volumenya (V), yang diperoleh dari hasil pengukuran dan kedalaman rata-rata (Ž) yang diperoleh dari hasil perhitungan Rumus (1); b. Hidrologi danau, yaitu debit air keluar dari waduk (Q o ), yang diperoleh dari hasil pengukuran; c. Laju penggantian air danau (ρ), yang diperoleh dari hasil perhitungan Rumus (2). 2. Kualitas Air dan Status Trofik Danau Parameter kualitas air yang diperlukan untuk perhitungan daya tampung beban pencemaran air danau berdasarkan : a. Penentuan daya tampung beban pencemaran air agar kualitas air harus memenuhi baku mutu air, maka parameter kualitas air yang dipilih harus sesuai dengan peruntukan danau; b. Penentuan daya tampung beban pencemaran air agar kualitas air harus memenuhi status trofik yang ditetapkan, maka parameter kualitas air yang dipilih adalah unsur hara terutama kadar Phospor sebagai P total. 3. Persyaratan atau Baku Mutu Air untuk pemanfaatan sumberdaya air danau Air danau pada umumnya bersifat multiguna antara lain sebagai air baku air minum, perikanan, pertanian dan sebagai sumberdaya tenaga listrik. Sumberdaya air danau perlu dipelihara agar kualitasnya memenuhi baku mutu sesuai peruntukannya. Baku mutu air danau tersebut digunakan sebagai bahan acuan perhitungan daya tampung beban pencemaran air danau. Adapun baku mutu air yang dijelaskan dalam Kriteria Kelas Air seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemernitah Nomor 82 Tahun

12 8 Pendahuluan 9 Keterangan : mg= miligram ug = mikrogram ml = militer L = liter Bq= Bequerel MBAS = Methylene Blue Active Substance ABAM = Air Baku untuk Air Minum Logam berat merupakan logam terlarut Nilai di atas merupakan batas maksimum, kecuali untuk ph dan DO. Bagi ph merupakan nilai rentang yang tidak boleh kurang atau lebih dari nilai yang tercantum. Nilai DO merupakan batas minimum. Arti (-) di atas menyatakan bahwa untuk kelas termasuk, parameter tersebut tidak dipersyaratkan Tanda adalah lebih kecil atau sama dengan Tanda < adalah lebih kecil 4. Alokasi Beban Pencemaran Air dari berbagai sumber dan jenis air limbah yang masuk ke danau Danau juga berfungsi sebagai penampung air dari daerah tangkapan air (DTA) dan daerah aliran sungai (DAS). Oleh karena itu berbagai sumber pencemaran air dari DTA dan DAS serta bantaran danau terbawa masuk ke perairan danau. Sumber pencemaran tersebut tersebut berasal dari kegiatan antara lain limbah penduduk, pertanian, peternakan, serta industri dan pertambangan. Erosi DAS juga merupakan sumber pencemaran air dan pendangkalan danau. Beban pencemaran air dari berbagai sumber akan meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kegiatan lainnya. Oleh karena itu jumlah beban pencemaran yang masuk perairan danau termasuk limbah pakan ikan dari budidaya ikan (keramba jaring apung) perlu ditentukan alokasinya dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi serta konservasi sumberdaya air jangka panjang. Penentuan alokasi beban pencemaran air danau memerlukan kajian dengan memperhatikan pemanfaatan dan kelestarian air danau, sumber dan beban

13 10 Pendahuluan 11 pencemaran air serta tingkat pengendaliannya pada berbagai sumber pencemar pada kegiatan di daerah tangkapan air (DTA) dan daerah aliran sungai (DAS) Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Rawapening Perhitungan beban pencemaran air Danau Rawapening menggunakan rumus seperti yang tercantum pada Tabel 1.3. Rumus-rumus tersebut adalah untuk menghitung : 1. Morfologi dan Hidrologi Danau Rumus morfologi dan hidrologi danau adalah sebagai berikut : a. Morfologi danau atau waduk, yaitu luas perairan (A) dan volumenya (V), yang diperoleh dari hasil pengukuran dan kedalaman rata-rata (Ž) yang diperoleh dari hasil perhitungan Rumus (1); b. Hidrologi danau dan waduk, yaitu debit air keluar dari waduk (Q o ), yang diperoleh dari hasil pengukuran; c. Laju penggantian air danau atau waduk (ρ), yang diperoleh dari hasil perhitungan Rumus (2). 2. Alokasi beban pencemaran air yang masuk danau Alokasi beban pencemaran air, yang dinyatakan dengan kadar parameter Pa adalah sebagai berikut: a. Syarat kadar parameter Pa maksimal sesuai ketentuan dalam Baku Mutu Air atau Kelas Air yaitup STD ; b. Kadar parameter Pa hasil pemantauan danau atau waduk yaitu P i ; c. Jumlah alokasi beban kadar parameter Pa dari DAS atau DTA yaitu P DAS yang diperoleh dari hasil penentuan atau kajian dan perhitungan Rumus (3); d. Alokasi beban kadar parameter Pa yang berasal dari limbah yang langsung masuk danau/waduk atau berasal dari kegiatan yang berada pada perairan danau/waduk yaitu P d, yang diperoleh dari hasil perhitungan Rumus (3) atau Rumus (4). 3. Daya tampung beban pencemaran air (DTBPA) pada danau Perhitungan jumlah daya tampung beban pencemaran air pada danau adalah sebagai berikut : a. Daya tampung parameter P per satuan luas danau atau waduk yaitu L, merupakan fungsi dari kedalaman rata-rata danau Ž,laju penggantian air danau/waduk yaitu ρ dan kadar parameter yang terbawa lumpur dan mengendap ke dasar danau/waduk. L dihitung dengan Rumus (5) dan Rumus (6); b. Jumlah daya tampung parameter Pa pada perairan danau atau waduk yaitu La, yang merupakan fungsi L dan luas perairan danau atau A. La dihitung berdasarkan Rumus (8); c. Parameter utama pencemaran air sebagai indikator dan dasar perhitungan DTBPA danau dan waduk adalah P-total; d. Syarat kualitas air sebagai dasar perhitungan DTBPA adalah syarat kadar P-total pada status trofik danau atau waduk, yaitu oligotrofik 10 ug/l, mesotrofik 30 ug/l dan eutrofik 100 ug/l; e. Syarat kadar parameter lainnya mengacu pada Baku Mutu Air atau Kelas Air. 4. Daya Tampung Beban Pencemaran Air Limbah Budidaya Ikan Keramba Jaring Apung (KJA) Beban pencemaran air danau telah meningkat oleh perkembangan Keramba Jaring Apung (KJA), untuk itu diperlukan cara perhitungan daya tampung beban pencemaran air dan alokasi beban pencemaran akibat limbah pakan yang berasal dari sisa pakan yang terbuang dan dari tinja ikan. Penentuan atau perhitungan alokasi beban pencemaran limbah perikanan memperhatikan juga alokasi beban pencemaran yang berasal dari DTA (Daerah Tangkapan Air) dan DAS (Daerah Aliran Sungai). Perhitungan daya tampung perairan danau untuk limbah pakan ikan KJA mengikuti rumus umum daya tampung beban pencemaran air danau, namun air yang menjadi acuan utama adalah status trofik di samping status kualitas air pada umumnya. Parameter kualitas air yang dipilih sebagai faktor pembatas adalah fosfat dalam bentuk P total, mengingat dasar perhitungannya adalah status trofik danau (Tabel 1.3). Perhitungan daya tampung beban pencemaran air limbah budidaya perikanan pada danau/waduk adalah sebagai berikut : a. Parameter utama pencemaran air sebagai indikator dan dasar perhitungan DTBPA limbah budi daya ikan KJA adalah P-total b. Syarat kualitas air sebagai dasar perhitungan DTBPA untuk KJA adalah syarat kadar P-total pada status trofik danau.

14 12 Pendahuluan 13 c. Daya tampung parameter P total per satuan luas danau atau waduk yaitu L ikan, merupakan fungsi dari kedalaman rata-rata danau/waduk yaitu Ž, laju penggantian air danau yaitu ρ dan kadar parameter yang terbawa lumpur dan mengendap ke dasar danau. L ikan dihitung dengan Rumus (5), Rumus (6) dan Rumus (7). d. Jumlah daya tampung parameter P total pada perairan danau yaitu La ikan, yang merupakan fungsi L ikan dan luas perairan danau atau A. La ikan dihitung berdasarkan Rumus (8). Jumlah limbah Phosphor sebagai parameter P total dari sisa pakan dan limbah metabolisme ikan yaitu P LP, adalah jumlah kadar P total dalam pakan ikan selama ikan tersebut dibudidayakan sampai dipanen dikurangi jumlah P total dalam ikan yang dipanen. Perhitungannya tercantum pada Rumus (9). Sedangkan jumlah pakan ikan dinyatakan dengan niliai FCR (feed consumption ratio), yaitu jumlah berat pakan ikan selama periode budidaya atau pertumbuhan ikan dibagi dengan berat ikan saat dipanen. Nilai FCR sangat bervariasi 1,5-3,0 ton pakan/ton ikan, tergantung pada komposisi pakan, jenis ikan yang dibudidayakan dan teknik budidaya (KJA 1 tingkat atau 2 tingkat). Kadar P total dalam pakan ikan dan dalam produksi ikan diperoleh dari hasil analisis di laboratorium. Perhitungan jumlah produksi ikan budidaya KJA dan jumlah pakannya sesuai dengan daya tampung beban pencemaran air danau atau waduk adalah sebagai berikut: a. DTBPA limbah pakan ikan adalah La ikan yang juga merupakan fungsi morfometri danau dan waduk serta alokasi beban pencemaran P d Rumus (9) dan (10). b. P-total yang masuk danau dari limbah ikan atau P LP adalah fungsi jumlal konsumsi pakan atau FCR, kadar P-total dalam pakan atau P pakan, dan kadar P-total dalam ikan atau P ikan. Perhitungannya menggunakan Rumus (11). c. Jumlah Produksi Ikan KJA agar memenuhi daya tampung beban pencemaran air atau LI adalah fungsi La ikan dan P LP, sesuai dengan Rumus (12). d. Jumlah Pakan Ikan KJA atau LP agar memenuhi daya tampung beban pencemaran air adalah fungsi FCR dan LI, sesuai dengan perhitungan pada Rumus (13). Tabel 1.3. Model Rumus Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air (Dtbpa) Danau Serta Daya Dukung Budidaya Ikan Keramba Jaring Apung (Kja) Morfometri danau Ž = 100 x V / A (1) Ž : Kedalaman rata-rata danau a (m) V : Volume air danau (juta m 3 ) A : Luas perairan danau (Ha) ρ = Q o / V (2) ρ : Laju penggantian air danau (per tahun) Q : Jumlah debit air keluar danau (juta m 3 / tahun) Alokasi beban pencemaran parameter P P std = P i + P das + P d (3) P d = P std - P i - P das (4) P std : syarat kadar parameter P maksimal sesuai Baku Mutu Air atau Kelas Air dan status trofiknya (mg /m 3 ) P i : kadar parameter P hasil pemantauan danau (mg/m 3 ) P das : jumlah alokasi beban P dari daerah aliran sungai (DAS) atau daerah tangkapan air (DTA), (mg/m 3 ) P d : alokasi beban P limbah kegiatan pada peraian danau, terutama KJA (mg /m 3 ) Daya tampung beban pencemaran air (DTBPA) L = P std Ž ρ / (1- R) (5) R = x + [(1-x)R] (6) R = 1 / (1 + 0,747 ρ 0,507 ) (7) La = L x A (8) L : daya tampung parameter P per satuan luas danau (gr P/m2. tahun) La : jumlah daya tampung parameter P pada perairan danau (gr P/tahun) R : Parameter parameter P yang tinggal bersama sedimen atau mengendap R i : Proporsi parameter P-total yang larut ke sedimen setelah ada KJA x : proporsi total P-total yang secara permanen masuk ke dasar, 45-55%. DTBPA beban pencemaran sisa pakan dan limbah budidaya ikan KJA L ikan = P d Ž ρ / (1- R) (9) La ikan = L ikan x A (10) Jumlah KJA untuk budidaya ikan P LP = FCR x P pakan - P ikan (11) P LP : P-total yang masuk danau dari limbah ikan (Kg P/ton ikan) FCR : Feed Conversion Ratio (ton pakan / ton ikan) P pakan : Kadar P-total dalam pakan (Kg P/ton pakan) P ikan : Kadar P-total dalam ikan (Kg P/ton ikan) LI = La ikan / P LP (12) LP = LI x FCR (13) LI : Jumlah Produksi Ikan KJA (ton ikan/tahun) LP : Jumlah Pakan Ikan KJA (ton pakan/tahun)

15 14 Pendahuluan Penyusunan Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Penilaian identifikasi zonasi perairan danau didasarkan kepada kriteria pendekatan ekologi dan pendekatan pengelolaan Kriteria Zonasi Perairan Danau A. Pendekatan Ekologi Kriteria Morfometry dan Bathymetry Danau Pengukuran morfometri dan pembuatan peta bathymetry mutlak dilakukan karena merupakan informasi mendasar tentang pola keruangan atau karakteristik fisik dari suatu danau. Melalui peta bathymetri dan informasi morfometri dapat diketahui lokasi-lokasi mana saja di dalam danau yang akan/telah/tengah mengalami pendangkalan, lokasi inlet dan outlet air yang menuju ke dan keluar dari danau, tutupan permukaaan danau oleh pulau-pulau kecil maupun keberadaan tanaman air. Lebih lanjut dari informasi Morfometry dan Bathymetry ditentukan daerah rawan bencana yaitu daerah yang memiliki potensi/peluang menyebabkan terjadi perubahan drastis kondisi biofisik danau akibat aktivitas hidrologis (seperti banjir), geologis (peristiwa vulkanik, misalnya untuk Danau Toba, longsoran pada Danau Maninjau), biologi (serbuan oleh invasif spesies, misalnya enceng gondok, eutrofikasi/algal blooming yang menyebabkan kematian massal ikan-ikan), dan arus balik (misalnya terjadi di Danau Maninjau). Informasi fisika dan kimiawi perairan (kualitas air) Mencakup informasi terkini dan catatan periodik kualitas air baik secara vertikal maupun horizontal dan status kesuburan/pencemaran air danau. Sebaran kualitas air danau secara vertikal, akan memberikan informasi tentang adanya pelapisan masa air (water stratification) danau (baik ditinjau dari suhu air dan kelarutan gas-gas di dalam air) sehingga dapat diantisipasi dampak yang dapat ditimbulkan jika terjadi pengadukan (over turn) air danau (contoh: air dekat dasar danau yang miskin oksigen dan kaya gas beracun seperti H 2 S, jika terangkat ke lapisan atas danau, saat terjadinya pengadukan, dapat mematikan berbagai kehidupan di air termasuk ikan-ikan di dalam karamba jaring apung). Parameter kualitas air danau yang diukur dapat mengacu pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang mencakup berbagai persyaratan untuk pemanfaatan air yaitu peruntukan air baku air minum; prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman; dan atau peruntukkan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Dalam rangka menentukan status tropik danau, telah ditetapkan suatu kebijakan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2009 tentang Tentang Daya tampung beban pencemaran air danau dan/atau waduk (Tabel 1.1). Kriteria Biologi, Fisika dan Kimia Perairan Informasi aspek biologi atau keanekaragaman hayati Informasi biologi atau keanekaragaman hayati suatu perairan danau maupun biota yang memanfaatkan perairan danau penting diketahui guna : Menentukan zona tersebut perlu dilindungi tanpa adanya pemanfaatan ataupun pemanfaatan terbatas mengingat fungsinya sebagai habitat untuk mendukung kehidupan bagi suatu spesies tertentu yang dilindungi; Menyajikan informasi ada tidaknya endemik species dan status perlindungan jenis dari organisme yang ditemukan; Menginformasikan adanya organisme invasif (invasive species) terkait dengan pengelolaan, jenis-jenis biota aquatik yang merupakan invasif spesies serta peluang ancaman yang akan ditimbulkan; Menginformasikan adanya ikan katadromus dan anadromus dan jalur migrasinya. B. Pendekatan Pengelolaan Status (hukum) dan Kebijakan formal berkaitan dengan status keberadaan pengelola danau Danau yang berada di kawasan konservasi memiliki fungsi utama sebagai kawasan lindung. Beberapa danau yang berada dalam kawasan konservasi adalah tiga danau di Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan yaitu Danau Matano, Towuti dan Mahalona yang berada di dalam Taman Wisata Alam, Danau Lindu di Sulawesi Tengah dan Danau Sentarum di Kalimantan Barat berada dalam kawasan Taman Nasional. Status danau yang berada di luar kawasan konservasi mempunyai fungsi lindung dan budidaya. Fungsi lindung ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian ekosistem danau yang mencakup komponen biotik dan abiotik. Sedangkan fungsi budidaya ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan

16 16 Pendahuluan 17 potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Danau Rawapening termasuk danau yang berada di luar kawasan konservasi. Informasi Rencana Tata Ruang perlu diketahui agar zonasi danau yang akan dibuat selaras dengan arah kebijakan pemanfaatan ruang di daerah tersebut. Selain itu dilakukan juga identifikasi jenis-jenis pemanfaatan danau yang telah ada untuk menilai pemanfaatan prioritas suatu danau. Perlu diingat bahwa pada umumnya daerah sempadan danau di Indonesia telah terokupasi/ perebutan lahan (enroachment) sehingga sempadan danau berstatus hak milik. Informasi aktivitas sektor bisnis di danau dan sekitarnya (restauran, keramba jaring apung, tambang, peternakan, perkebunan) perlu dilakukan karena dari sisi ekonomi memberikan pendapatan namun dari sisi lingkungan berpotensi besar menimbulkan pencemaran. Kriteria Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Sekitar Danau Informasi sosial budaya masyarakat yang tinggal di sekitar danau serta yang telah menikmati manfaat atas keberadaan danau baik secara langsung maupun tidak langsung perlu diketahui guna mengetahui persepsi mereka terkait rencana zonasi danau, serta perkiraan dampak sosial budaya yang ditimbulkan dengan adanya zonasi. Beberapa kriteria yang perlu diidentifikasi meliputi : Dukungan masyarakat serta potensi konflik kepentingan; kriteria ini digunakan untuk menilai dukungan masyarakat terhadap kegiatan zonasi serta impelementasi zonasi dapat berjalan dengan baik; Kearifan lokal dan adat istiadat; kriteria ini digunakan untuk melihat ada pengetahuan lokal/pengetahuan tradisional ataupun adat dan kebiasaan masyarakat yang dapat membantu kelestarian sumberdaya alam. Metode yang dapat dilakukan untuk menggali informasi sosial budaya dengan orientasi langsung di lapangan dan wawancara dengan perwakilan masyarakat dari berbagai profesi dan tingkat kepentingan. Kriteria Ekonomi Kriteria ekonomi dimaksudkan untuk mengetahui nilai ekonomi suatu sumberdaya danau baik bagi masyarakat di sekitar danau maupun nilai ekonomi dalam skala besar bagi pendapatan daerah. Kriteria yang dapat diidentifikasi meliputi: Nilai penting perikanan; kriteria ini digunakan untuk melihat nilai penting sektor perikanan dalam suatu wilayah danau mencakup jumlah produksi baik perikanan tangkap maupun budidaya; Estetika, potensi rekreasi dan pariwisata; kriteria ini digunakan untuk melihat keindahan alamiah dari suatu perairan dan/atau biota yang memiliki daya tarik tertentu dan apakah memiliki potensi dalam rekreasi dan pariwisata; Kemudahan mencapai lokasi; kriteria ini memperhatikan ketersediaan akses dan kemudahan dalam mencapai lokasi kawasan dari berbagai daerah mencakup juga ketersediaan fasilitas trasnportasi air; Potensi danau sebagai PLTA dan sumber air baku (pemanfaatan abstraksi). Berdasarkan kriteria-kriteria identifikasi tersebut di atas, selanjutnya ditentukan jenis zona perairan danau baik untuk fungsi lindung maupun fungsi budidaya. Adapun pembagian zona untuk fungsi lindung mencakup : zona suaka perikanan, zona sempadan danau, zona religi dan sosial budaya, dan zona restorasi- rawan bencana. Sedangkan untuk fungsi budidaya mencakup : Zona Perikanan Tangkap, Zona Perikanan Budidaya, Zona Wisata Air, Zona Alur Transportasi dan Zona PLTA, zona sumber air baku dan mata Air. Kriteria-kriteria di bawah ini dapat berkembang sesuai kebutuhan di daerah dengan tujuan untuk melestarikan keberlanjutan fungsi danau. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.4 di bawah ini. Tabel 1.4 Kriteria Zonasi Danau Jenis zona Tujuan Pengelolaan Kriteria Fungsi Lindung zona suaka perikanan Suaka perikanan adalah kawasan perairan tertentu dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan a. Tempat hidup dan berkembangbiak satu atau lebih jenis ikan tertentu yang perlu dilindungi dan dilestarikan; b. Mempunyai satu atau beberapa tipe ekosistem sebagai habitat jenis ikan tertentu yang relatif masih alami; c. Mempunyai luas yang cukup

17 18 Pendahuluan 19 Jenis zona Tujuan Pengelolaan Kriteria Jenis zona Tujuan Pengelolaan Kriteria sebagai habitat ikan keanekaragam instalasi akuakultur apapun di sebagaimana disebutkan di an hayati (zona zona litoral; atas untuk menjamin proses litoral) c. Tidak boleh ada pengambilan ekologi secara alami serta material yang merusak fungsi dapat dikelola secara efektif; ekosistem, danau kecuali untuk d. Aktivitas yang diperbolehkan tujuan restorasi. untuk pendidikan; e. Sumberdaya ikan di zona suaka perikanan tidak boleh ditangkap. Zona restorasirawan Bencana Daerah rawan bencana yang dimaksudkan meliputi peluang terjadi perubahan drastis kondisi biofisik danau akibat a. Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara ekologi berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang zona Sempadan danau merupakan a. Pemanfaatan ruang untuk aktivitas Hidrologis, Geologis pemulihannya diperlukan sempadan satu kesatuan ekologis dengan ruang terbuka hijau; Biologi, Tekhnologi. campur tangan manusia; danau sistem badan air danau. b. Pelarangan pendirian Tujuan pengelolaan b. Adanya invasif spesies yang Keberadaan sempadan danau bangunan kecuali bangunan dimaksudkan untuk mengganggu jenis atau spesies ditujukan untuk pencegahan yang dimaksudkan untuk memulihkan komunitas hayati asli dalam kawasan; abrasi atau hal-hal lain yang pengelolaan badan air dan atau dan ekosistemnya yang c. Pemulihan ekosistem danau dapat menyebabkan pemanfaatan air; mengalami kerusakan serta dapat dilakukan melalui teknik pengurangan luasan badan air c. Pendirian bangunan hanya mengurangi dampak risiko penyifonan air di lapisan dasar, danau, nilai ekologis dan dibatasi untuk menunjang bencana. penanaman kembali estetika kawasan fungsi taman rekreasi; Zona-zona lain kecuali suaka sempadandanau, perbaikan Melindungi keanekaragaman d. Perlu dilakukan penetapan perikanan dapat berubah habiatat litoral, penebaran ikan hayati organisme akuatik lebar sempadan danau; status menjadi zona restorasi jenis asli dan pengendalian danau e. Vegetasi asli perlu jika terjadi kerusakan fungsi gulma air. dipertahankan dan jika perlu ekologis baik akibat direstorasi; pencemaran maupun sebab f. Tidak boleh ada pengambilan biologis. material yang merusak fungsi ekosistem, danau kecuali untuk tujuan restorasi. Zona religi, budaya dan sejarah; Bagian dari periaran danau didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan a. Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih dipelihara dan dipergunakan oleh Zona tepian Melindungi keanekaragaman a. Mencakup zona litoral habitat budaya dan atau sejarah yang masyarakat; sebagai habitat hayati organisme akuatik di danau; dimanfaatkan untuk kegiatan b. Adanya situs budaya dan perlindungan danau b. Tidak boleh ada bangunan atau keagamaan, perlindungan nilai- sejarah baik yang dilindungi

18 20 Pendahuluan 21 Jenis zona Tujuan Pengelolaan Kriteria Jenis zona Tujuan Pengelolaan Kriteria nilai budaya atau sejarah. undang-undang mapun tidak luasan budidaya; dilindungi undang-undang. c. Tidak menggangu alur Fungsi Budidaya Zona Perikanan Tujuan pengelolaan Tangkap dimaksudkan agar aktivitas penangkapan tidak menimbulkan kerusakan ekologis dan konflik sosial, Zona Perikanan Tujuan pengelolaan Budidaya dimaksudkan agar aktivitas budidaya tidak menimbulkan kerusakan ekologis a. Jaminan untuk peremajaan stok dengan mempertahankan lokasi suaka perikanan; b. Mempertahankan keanekaragaman fisik kawasan; c. Konektivitas hulu dan hilir sehingga di zona tangkap tidak mengganggu jalur ruaya/ migrasi; d. Alat tangkap yang sudah tidak berfungsi tidak boleh dibiarkan berada di dalam badan air; e. Alat tangkap dan cara penangkapan yang ramah lingkungan; f. Tidak memutus jalur migrasi ikan katadromus dan anadromus. a. Morfometri dan bathimetri serta Kualitas fisika kimia dan biologi perairan mendukung untuk aktivitas budidaya (tidak Zona Wisata Air Tujuan pengelolaan dimaksudkan agar aktivitas wisata tidak menimbulkan kerusakan ekologis, menimbulkan konflik sosial atau bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat setempat. Pengelolaan zonasi wisata ditujukan agar mendatangkan pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat setempat. dan membuat pengunjung lebih survive hidup di alam, cinta dan berkontribusi untuk alam transportasi, dan zona wisata air; d. Tidak dapat dikembangkan untuk danau-danau vulkanik yang tidak memiliki outlet; e. Zona perikanan tidak untuk danau yang tertutup (enclosed lake). a. Morfometri dan bathimetri serta Kualitas fisika kimimia dan biologi perairan mendukung untuk wisata; b. Kemanan bagi pengunjung dan kemudahan akses menuju lokasi; c. Tidak terganggu sumber pencemar. (berkelanjutan) dan konflik melampaui nilai baku mutu sosial, peruntukan perikanan); b. Pengukuran daya dukung dan daya tampung beban pencemaran danau untuk menentukan jumlah unit dan

19 22 Pendahuluan 23 Jenis zona Tujuan Pengelolaan Kriteria Jenis zona Tujuan Pengelolaan Kriteria Zona Alur Pengaturan alur transportasi a. Morfometri dan bathimetri Zona Penyediaan air baku a. Prioritas penggunaan air danau Transportasi agar tidak terjadi konflik mendukung untuk aktivitas Penyediaan Air diprioritaskan untuk keperluan adalah untuk keperluan rumah kepentingan dengan transportasi; Baku rumah tangga penduduk yang tangga penduduk yang tinggal pemanfaatan lain serta b. Alur maupun dermaga tidak (Direkomendas tinggal sekitar danau dan sekitar danau; meminimalsisasi dampak melintasi zona suaka ikan lokasi pengontrolan kualitas air bagi b. Pengambilan air baku PDAM pencemaran perairan perikanan, dan zona perikanan yang terdapat peruntukan air minum harus memperhatikan jumlah budidaya; mata air ketersediaan air dan kebutuhan c. Pengatuan batas tonnase dan menjadi zona penduduk setempat; kecepatan kapal. Penyediaan air c. Lokasi intake harus memenuhi baku) syarat kualitas air dan bebas Zona PLTA Fungsi pengaturan ditujukan aktivitas pembangkit tenaga listrik tidak mengganggu masukan/ debit air ke dalam danau dan jalur migrasi ikan a. Bangunan PLTA tidak boleh mengganggu keseimbangan hidrologi danau sehingga tidak mengurangi kemampuan air danau untuk menetralisir pencemaran air; b. Tidak memutus jalur migrasi ikan katadromus dan anadromus; c. Jumlah debit air yang dipakai memperhatikan jumlah ketersediaan air dan kebutuhan dari kegiatan yang berpotensi mencemari air danau, serta tersedia wilayah pengamanan; d. Penyediaan air baku untuk industri harus memperhatikan jumlah ketersediaan air baku minum untuk kebutuhan penduduk setempat dan PDAM; e. Tersedia wilayah pengamanan dari kegiatan lainnya agar tidak mengganggu sarana dan operasi penyediaan air baku. air lainnya seperti air baku dan Sumber : KLH (2011) air industri, agar permukaan air danau tidak surut; d. Tersedia wilayah pengamanan dari kegiatan lainnya agar tidak mengganggu sarana dan operasi PLTA, sesuai dengan karakteristik dan kondisi Tahapan Penetapan Zonasi Perairan Danau Zonasi perairan danau bagi pengelolaan suatu danau yang berkelanjutan merupakan arahan pemanfaatan sumber daya perairan danau oleh pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota yang diselaraskan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Tahapan penyusunan zonasi perairan danau dapat dibagi menjadi : danau.

20 24 Pendahuluan 25 Tahap 1. Perencanaan Tahapan Perencanaan merupakan tahapan awal dari kegiatan untuk menetapkan zonasi ekosistem danau. Pada tahap perencaaan ini dapat mencakup hal-hal sebagai berikut : Koordinasi mengenai rencana kegiatan dilakukan oleh instansi yang membidangi sumberdaya air, lingkungan hidup, pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan, tata ruang, energi dan sumberdaya air, riset dan teknologi, pariwisata, Bappenas. Sedangkan pada Pemerintah Daerah dilakukan oleh dinas yang menangani sumberdaya air, Bappeda, lingkungan hidup, pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan, tata ruang, energi dan sumberdaya air, riset dan teknologi, dan pariwisata; Pembentukan Forum atau Kelompok Kerja untuk mengembangkan Visi Bersama dalam rangka persiapan penetapan zonasi ekosistem danau; Penentuan metode yang akan digunakan. Metodologi pengumpulan data dapat dilakukan dengan mengkaji data primer dan data sekunder. Pengumpulan data awal (sekunder) meliputi: laporan-laporan penelitian dan observasi yang pernah dilakukan di daerah yang diusulkan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga lainnya; Hasil Interpretasi dari Citra Satelit; Rencana tata ruang dari instansi terkait, serta sejarah proses terhadap inisiatif zonasi. Pengkajian lapangan seperti pengukuran biofisik kimiawi perairan dan kajian sosial ekonomi dapat dilakukan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, konsultan dan LSM. Tahap 2. Pengumpulan informasi biofisik kimiawi, peluang risiko bencana serta bentuk pengelolaan dan kebijakan Pada tahapan ini, informasi terkini yang wajib dikumpulkan meliputi: (1) Kondisi bio-fisik-kimiawi (termasuk tersedianya peta bathymetry, dimensi ukuran-ukuran fisik danau, kualitas air horizontal dan vertikal, daya tampung beban pencemaran dan keanekaragaman hayati); Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Danau yang mencakup (2) Identifikasi Stakeholder dan Jenis-jenis Pemanfaatan Danau; (3) Status (hukum) dan Kebijakan formal yang berkaitan dengan status keberadaan danau. Tahap 3. Analisa informasi dan membuat Rancangan Zonasi Danau Setelah berbagai informasi/data yang disebutkan pada tahap 1 dan 2 di atas terkumpulkan, lalu dianalisa untuk selanjutnya dibuatkan Rancangan Zonasi Danau, yang memuat informasi tujuan utama dari upaya zonasi danau yang ingin dicapai. Konsep Zonasi sebaiknya disiapkan oleh sejumlah pakar yang memahami aspek-aspek tersebut di atas (seperti: Ahli Limnologi terkait kajian bio-fisik-kimiawi perairan danau, Ahli Kebijakan terkait analisa kebijakan-kebijakan pengelolaan danau, Ahli Sosial Ekonomi Budaya yang mengkaji nilai manfaat sumberdaya danau bagi kepentingan masyarakat). Data yang perlu dianalisa antara lain adalah berbagai data bio-fisik- Sosek-dan kebijakan. Peta zonasi perlu dibuat dengan peta minimal skala 1:25.000, dan untuk perizinan dibutuhkan peta skala 1: 5000, tergantung pada luasan danau. Tahap 4. Konsultasi Publik terhadap Rancangan Zonasi Danau Setelah konsep Rancangan Zonasi terbentuk, selanjutnya adalah mematangkan Rencana Pengelolaan Danau menjadi dokumen Zonasi Danau yang final, yaitu melalui konsultasi-konsultasi publik dengan melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders) lain, seperti pengambil kebijakan, sektor usaha, dan wakil masyarakat yang berada di sekitar danau. Tujuan dari konsultasi adalah untuk mendapatkan berbagai masukan bagi perbaikan Rancangan Zonasi Danau dan mengakomodasikan berbagai kepentingan multi pihak (sejauh tujuan utama Zonasi Danau adalah untuk mempertahankan keberlanjutkan manfaat dan nilai-nilai yang terkandung dalam danau) agar nantinya saat dokumen Zonasi Danau diterapkan di lapangan tidak menimbulkan konflik dengan/antara para pengguna danau. Tahap 5. Pengesahan / legalisasi Zonasi Danau dan Sosialisasi Dokumen Final dari Zonasi Danau, yang telah disusun di atas dan telah memperoleh masukan dari berbagai pihak (melalui Konsultasi Publik), selanjutnya akan dituangkan ke dalam peraturan/kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (berikut konsekuensi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang mungkin terjadi terhadap kebijakan ini). Tahapan ini lebih merupakan wewenang/tugas Pemerintah, Pemerintah Daerah dalam menetapkan status hukum dari Zonasi Danau serta mensosialisasikannya kepada berbagai pihak yang memiliki kepentingan langsung/ tidak langsung atas keberadaan danau di daerah tersebut.

21 26 Pendahuluan 27 Pengajuan zonasi dapat diinisiasi/diajukan oleh kelompok orang atau oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah. Perizinan pemanfaatan dan pengelolaan ruang badan Tata Ruang Wilayah Pengelola saat ini air danau dan sempadan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah kecuali untuk danau yang berada di kawasan konservasi dan atau yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat. Status Danau Status danau sebagai kawasan konservasi/ berada dalam kawasan konsevasi Tahap 6. Implementasi Zonasi Danau Tahapan ini merupakan ujung tombak dari berhasil tidaknya suatu Zonasi Danau KEGIATAN PADA DTA DANAU Status danau BUKAN sebagai kawasan Pengumpulan Informasi mencapai tujuannya, yaitu mempertahankan keberlanjutan nilai dan manfaat danau, sehingga dapat digunakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Peran Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan Zonasi Danau adalah sangat penting. BEBAN LINGKUNGAN DTA DANAU Ekologi Sosial budaya Analisis Spasial & Ekonomi Pelanggaran-pelanggaran terhadap kebijakan yang sudah ditetapkan dan telah Fungsi Fungsi Budidaya mendapat kesepakatan dari berbagai pihak merupakan pendukung kuat dalam EVALUASI DTA DANAU melaksanakan penegakan hukum di lapangan. Tahapan sosialisasi dan diseminasi dapat dilakukan melalui poster, radio, multimedia, atau workshop. Secara garis besar tahapan penetapan zonasi danau dapat digambarkan pada skema berikut. REKOMENDASI PEMANFAATAN Zona Suaka Zona Sempadan Danau Zona religi sosial Zona Rawan Bencana & restorasi Zona Perikanan Tangkap Zona Wisata Alur transport asi Zona Perikanan Budidaya Penyedia Air Baku & mata air PLTA Konsultasi Publik Legalisasi Zonasi Implementasi Gambar 1.1 Skema Penetapan Zonasi Danau Dalam penyusunan zonasi pemanfaatan perairan Danau Rawapening, maka beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan adalah tata ruang lahan sekitar danau, karakteristik kualitas air, hidrologi serta hidraulik danau, serta pemanfaatan perairan dan sumber daya air danau. Oleh karena itu, penyusunan zonasi perairan danau juga memerlukan informasi mengenai aspek pemanfaatan air dan aspek pembuangan beban pencemarannya, yang meliputi: a) permukiman dan sanitasi lingkungan, b) budidaya perikanan keramba jaring apung, c) pariwisata, d).transportasi air, e) perhotelan sekitar danau dan IPAL limbah, f) peternakan dan IPAL limbah, g)

22 28 Pendahuluan 29 pertanian dan limbah pupuk, h) fluktuasi permukaan air danau dan PLTA, i) pengendalian tumbuhan pengganggu, j) pengendalian lahan bantaran pasang surut, k) pengendalian sedimentasi, dan l) kawasan konservasi di perairan danau. Selain itu, dalam menyusun zonasi pemanfaatan perairan danau, maka data primer dan sekunder yang diperlukan antara lain adalah peta perairan dan lahan danau, peta daerah tangkapan air danau, interpretasi zona pemanfaatan ruang danau yang disusun berdasarkan citra satelit dan peta topografi. Pada penyusunan zonasi pemanfaatan perairan Danau Rawapening ini, maka kriteria atau variabel yang akan dikembangkan adalah : A. Pendekatan Ekologi Kriteria Morfometry dan Bathymetry Danau, yang terdiri dari: Morfologi danau (bentuk fisik danau), kualitas air pada kedalaman tertentu pada dasar danau dan permukaan danau, hidrologi berupa sungai yang mengalir sebagai air masuk ke danau atau inlet serta kondisi sungai dilihat dari faktor fisik sungai yang mengalirkan keluar danau yang berfungsi sebagai outlet. B. Pendekatan Pengelolaan 1. Penggunaan lahan, yang terdiri dari lahan pertanian, lahan perkebunan, kehutanan, perikanan, permukiman dan pariwisata yang mempengaruhi ekosistem danau. Penggunaan lahan yang dapat mempengaruhi kondisi lahan sekitar danau sebagai daerah tangkapan air, makin besar kondisi lahan terbangun yang ada maka fungsi tangkapan air makin kecil, namun makin besar luas lahan hutan lindung maka fungsi daerah tangkapan air makin besar. Besarnya jumlah luas permukiman mengindikasikan besarnya limpasan air permukaan yang mengakibatkan adanya erosi atau penggelontoran pada sungai dan waduk. 2. Sosial Ekonomi yang terdiri dari kegiatan manusia yang berkaitan dengan kebutuhan dan aktifitas ekonomi: kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata dan kebutuhan air minum. Ketergantungan mata pencaharian menunjukkan tingkat ketergantungan penduduk kepada penggunaan lahan yang ada. Persentasi mata pencaharian penduduk merupakan hal yang penting bagi pengkajian permasalahan sosial ekonomi yang ada hubungan dengan penggunaan lahan sekitar danau dan penggunaan atau pemanfaatan perairan danau. Hal ini menjadi penilaian dalam mengindikasikan kesetimbangan dan kualitas lingkungan. Setelah tahapan pengumpulan data dan informasi primer dan sekunder terkumpul, maka selanjutnya dilakukan pengolahan peta berdasarkan hasil survey lapangan dan data sekunder. Tujuan yang mau dicapai dari tahap ini adalah untuk mengetahui potensi dan masalah yang ada di Danau Rawapening. Tahapan pengolahan data dan informasi peta yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Penentuan titik pengamatan dilakukan dengan menggunakan alat Global Position System (GPS) sehingga bisa dilakukan langkah pengamatan di lapangan dan dapat melihat potensi dan masalah yang ada di suatu lokasi; 2. Besaran titik lokasi sangat bergantung kepada besar dan kecilnya suatu masalah; 3. Tahap transfer data lapangan ke dalam data digital. Pengolahan data dilakukan dengan cara mentransfer data hasil GPS ke dalam database seperti microsoft excel; 4. Dilakukan pengolahan peta dasar yang sumbernya dapat dipertanggung jawabkan yaitu Peta Rupa Bumi Indonesia (dari BAKOSURTANAL/Badan Informasi Geospasial). Tentunya keakuratan data sangat tergantung pada apa yang dimiliki dari instansi tersebut, namun untuk pengecekan maka dilakukan survey lapangan; 5. Unsur yang diolah dalam bentuk digital adalah peta tata guna lahan. Peta tataguna lahan akan menunjukkan pemanfaatan lahan yang ada disekitar Danau Rawapening, serta hubungan pemanfaatan lahan, aktifitas manusia terhadap danau tersebut, sehingga dapat diketahui potensi dan masalah yang ada; 6. Dengan pengolahan peta digital dapat diketahui luas penggunaan lahan yang ada pada Sub DAS Rawapening (Permukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, dan danau, alang alang, belukar); 7. Pengolahan segmentasi kecamatan pada Sub DAS Rawapening dapat memberikan informasi komposisi penggunaan lahan yang ada di suatu kecamatan, misalnya persentase luas permukiman, sawah, dll. terhadap kecamatan yang ada di danau tersebut. 8. Tahap penggabungan hasil survey dengan peta dasar yang telah diolah akan menghasilkan kondisi lapangan yang sudah dapat dituangkan menjadi sebuah peta yang objektif karena penggabungan antara data lapangan dan data dasar

23 30 dalam format digital. Dari pengolahan tersebut dapat diketahui besaran luas enceng gondok yang ada pada perairan danau, lokasi Keramba Jaring Apung (KJA) dan jumlahnya, lokasi dermaga maupun pemanfaatan lainnya. Lokasi enceng gondok yang diketahui berdasarkan survey lapangan dengan membuat titik-titik lokasi mengikuti lekukan eceng gondok sehingga terbentuklah sebuah area eceng gondok yang ada di Danau Rawapening, demikian juga pada pemanfaatan lainnya sesuai dengan kebutuhan studi; 9. Pengolahan peta dan lapangan juga dapat mengetahui sumber pencemar yang ada pada daerah tersebut. Biasanya sumber-sumber pencemaran air sangat beragam diantaranya yaitu rumah sakit, pasar, bengkel mobil, industri, permukiman dan lain-lain, sehingga dapat menghasilkan peta lokasi sumber pencemar. Kajian zonasi banyak melibatkan pihak yang berkompeten, termasuk instasi terkait, karena umumnya instansi terkait juga melakukan kajian atau studi untuk perencanaan program ke depan. Hasil pengolahan data dari berbagai aspek menjadi dasar untuk mengetahui potensi dan masalah yang ada di Danau Rawapening, selanjutnya melalui berbagai kriteria dan aturan maka dilakukan kajian penentuan zonasi. Kriteria diperoleh dari peraturan dan perundang-undangan, serta pengalaman di lapangan. Oleh karena penentuan zonasi harus dilakukan secara menyeluruh. BAB II GAMBARAN UMUM DANAU RAWAPENING 2.1 Tipologi Danau Danau Rawapening adalah danau yang terjadi secara alamiah, yang mengeluarkan airnya pada Kali Tuntang. Danau ini menjadi bendungan karena proses geologi yang membentuknnya. Kemudian bendungan ini disempurnakan dengan melakukan pembangunan dam pada tahun , dan memanfaatkan Kali Tuntang sebagai satu-satunya pintu keluar. Danau ini kemudiaan diperluas pada tahun 1936 mencapai Ha pada musim penghujan dan pada akhir musim kemarau luas danau Rawapening mencapai Ha. Oleh karena itu tipologi Rawapening adalah danau alam dan buatan. 2.2 Letak Geografis Danau Rawapening terletak pada kordinat LS LS dan BT BT, dan berada di ketinggian antara meter di atas permukaan laut (dpl) serta dikelilingi oleh tiga Gunung: Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Letak Danau ini strategis karena berada di tepian jalan raya Nasional Semarang - Solo dan Semarang Yogyakarta, serta berada di jalan antar Ambarawa Kota Salatiga. Secara administratif Danau Rawapening berada di Kabupaten Semarang, dan daerah tangkapannya sebagian besar berada di Kabupaten Semarang serta hanya sebagian kecil berada di Kota Salatiga (lihat Gambar 2.1). Areal Danau Rawapening secara administratif masuk 4 (empat) Kecamatan di Kabupaten Semarang yakni : Sebelah Utara : Kecamatan Bawen Sebelah Selatan : Kecamatan Banyubiru Sebelah Timur : Kecamatan Tuntang Sebelah Barat : Kecamatan Ambarawa

24 32 Gambaran Umum Danau Rawapening 33 sisipan aliran lava dan tufa halus sampai kasar dari Formasi Notopuro yang diendapkan pada kala Pleistocene hingga Pleiocene. Bantuan vulkanik hasil kegiatan dari Gunung Ungaran Purba dan Gunung Merbabu yang diendapkan pada kala Holocene hingga Pleiocene dijumpai di bagian selatan dan barat laut. Air Danau Rawapening bersumber dari mata air dan sungai-sungai yang alirannya masuk ke danau ini. Mata air yang dijumpai di sekitar danau ini antara lain adalah mata air Muncul, Rawapening, Tonjong, Petet dan Parat. Sungai-sungai yang alirannya masuk ke Rawapening adalah sungai Legi, Mulungan, Muncul, Kedung Ringin, Parat, Nagan, Cengkar, Torang dan Geleh. Outlet Danau Rawapening terletak pada bagian Kali Tuntang yang mengalami pembendungan secara alami, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Pada lokasi Outlet ini dibangun pintu air untuk mengendalikan debit air yang keluar danau, hal ini dilakukan karena air Danau Rawapening antara lain dimanfaatkan untuk sumber pembangkit listrik tenaga air di PLTA Jelok ( KWH) dan PLTA Trimo ( KWH), serta sumber air irigasi sawah seluas ± ha. Gambar 2.1 Lokasi Danau Rawapening 2.3 Karakteristik Danau Danau Rawapening secara astronomis terletak pada 110 o o Bujur Timur dan 7 o o Lintang Selatan. Luas genangan maksimum Danau Rawapening ha, volume air maksimum ± m 3 dan luas minimum antara ha dengan volume ± m 3. Fluktuasi kedalaman air maksimum dan minimum ± 2,40 m dengan tingkat evaporasi rata-rata harian sebesar 5,9 mm/hari. Secara fisiografi Danau Rawapening dan dataran alluvial di sekitarnya terbentuk karena adanya amblesan (subsident) Gunung Api Suropati Tua, yang menyebabkan kaki gunungapi di bagian utara bergeser lebih ke utara yang menimbulkan struktur sesar naik. Cekungan (basin) Rawapening terjadi karena adanya pembendungan oleh lahar gunung api Ungaran Tua yang bersifat basalitis menutup aliran Sungai Tuntang. Pembentukan ini diperkirakan terjadi pada kala Holoceen hingga Pleicene. Litologi yang dijumpai di sebelah utara Rawapening adalah breksi volkanik, aliran lahar dengan 2.4 Kondisi Fisik Danau Geologi, Topografi dan Penggunaan Lahan Secara alami, Danau Rawapening terbentuk melalui proses letusan vulkanik yang mengalirkan lava basalt dan menyumbat aliran Kali Pening di daerah Tuntang. Sebagai akibatnya lembah Kali Pening menjadi terendam air dan kemudian menjadi reservoir alami yang keberadaannya sangat penting bagi sistem ekologi Sebagai akibatnya lembah Pening yang berhutan tropik menjadi rawa, sehingga Danau Rawapening termasuk tipe mangkok. Topografi Danau Rawapening berbentuk tanah datar dan merupakan lembah yang dikelilingi oleh daerah yang tinggi (pegunungan dan perbukitan) serta terbendung di Kali Tuntang. Untuk daerah dataran tinggi (daerah hulu) mempunyai bentuk topografi bervariasi yaitu datar, agak bergelombang, bergelombang, berbukit, berbukit terjal, sampai pegunungan, karena berada di kaki gunung. Di Kecamatan Getasan, sebagai salah kecamatan dalam kawasan Sub DAS Rawapening, dimana desa-desanya termasuk dalam kawasan berbagai sub DAS Parat dan Sub DAS Sraten, mempunyai karakteristik topografi bervariasi yaitu datar, agak bergelombang, bergelombang, berbukit, berbukit terjal, sampai pegunungan. Daerah topografi datar dengan kelerengan antara 0% -2%, berada di sekitar muara Sub-sub DAS Parat

25 34 Gambaran Umum Danau Rawapening 35 (berlokasi di sekitar Danau Rawapening). Kelerengan antara 8% - 25% terdapat di kaki Gunung Merbabu, kelerengan terjal yaitu lebih dari 45% terdapat di sekitar Gunung Gajah Mungkur. Sub-sub DAS Sraten mempunyai bentuk topografi yang relatif datar, dengan kelerengan antara 0 % -15 %. Kondisi tanah datar dengan kelerengan antara 0 8 % berada di sekitar danau Rawapening. Kelerengan antara 8 % - 15 % terdapat di kaki Gunung Merbabu. Berdasarkan pengolahan data oleh Tim Kajian dan Peta Rupa Bumi Indonesia dari Bakosurtanal, luas lahan di Sub DAS Rawapening berjumlah 27345,98 Hektar (lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1), luas penggunaan lahan perkebunan 10295,33 Ha (37,6%), pemukiman 5280,66 Ha (19,3%), sawah teknis dan sawah tadah hujan berturut-turut seluas 3512,60 Ha (12,8%) dan 3228,44 Ha (11,8%) sedangkan luas penggunaan lahan danau 1520,00 HA ( 5,6%). Tabel 2.1. Luas Penggunaan Lahan di Sub DAS Rawapening No Nama Luas Ha % 1 Permukiman Kebun Sawah Tadah Hujan Sawah Teknis Tegalan Belukar Rumput/Alang-alang Danau Jumlah Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia BAKOSURTANAL Tahun 2000 dan revisi 2009 Berdasarkan Tabel 2.1. pemanfaatan lahan terbesar di sub DAS Rawapening adalah perkebunan sebesar 37 %, yang menyebar di seluruh wilayah. Permukiman dengan luas 19,3% menyebar di seluruh wilayah sub DAS, sedangkan sawah tadah hujan 11,8% maupun sawah teknis dengan luas 12,8% umumnya menyebar terkonsentrasi pada keliling danau karena aspek pengairan sangat menentukan efektifitas budidaya dan produksi. Gambar 2.2. Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Danau Rawapening

26 36 Gambaran Umum Danau Rawapening Klimatologi dan Sistem Hidrologi DAS Berdasarkan klasifikasi Oldeman, Danau Rawapening termasuk zone C, dan zone D, dan berdasarkan klasifikasi iklim Koppen beriklim Af sehingga klasifikasi iklimnya memiliki ciri sebagai iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi. Suhu rata-rata antara 25 O C - 29 O C serta kelembaban udara antara 70-90%. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik Kabupaten Semarang, jumlah curah hujan pada tahun 2005 ada 133 hari, dengan curah hujan rata-rata mm per tahun. Musim penghujan terjadi selama enam bulan (bulan basah) terjadi pada bulan November sampai dengan April, dan musim kemarau selama enam bulan (bulan kering) terjadi pada Mei sampai dengan Oktober dan puncak masa kekeringan terjadi antara bulan Agustus sampai dengan September. Mengacu kepada curah hujan, maka dapat diketahui bahwa pada musim penghujan terjadi debit banjir dan pada musim kemarau terjadi debit minimum atau terjadi defisit hingga mengalami kekeringan. Hal ini berakibat ketidak-sesuaian pada pemenuhan kebutuhan air dan ketersediaan air dimana pada musim tertentu ketersediaan air berlebihan dan pada musim yang lain justru ketersediaan air tidak dapat mencukupi kebutuhan air. Air Danau Rawapening bersumber dari mata air dan sungai-sungai yang alirannya masuk ke danau ini. Mata air yang dijumpai di sekitar danau ini antara lain adalah mata air Muncul, Rawapening, Tonjong, Petet dan Parat. Sungai-sungai yang alirannya masuk ke Danau Rawapening adalah sungai Legi, Mulungan, Muncul, Kedung Ringin, Parat, Nagan, Cengkar, Torang dan Geleh, sedangkan sungai yang keluar danau adalah Sungai Tuntang. Berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS), Danau Rawapening berada di DAS Jratun Seluna tepatnya di Sub-DAS Rawapening yang terdiri dari 9 (sembilan) anak sungai, yakni : (1) Sub-DAS Galeh, terdiri dari Sungai Galeh dan Sungai Klegung Sub DAS Galeh melewati daerah di Kecamatan Banyubiru (Desa Wirogomo, desa Kemambang, Desa Rowoboni, Desa Tegaron, desa Kebondowo, Desa Banyubiru dan desa Ngrapah) dan Kecamatan Jambu (Desa Bedono, Kelurahan, Brongkol, Rejosari dan Desa Banyukuning). Luas sub DAS Galeh mencapai ha; (2) Sub-DAS Torong, yaitu Sungai Torong Sub DAS Torong melewati daerah di Kecamatan Ambarawa dan Bandungan (desa Ngampin, Panjang dan Pojoksari). Berdasarkan letaknya sub DAS Torong berada di sebelah barat danau Rawapening, dengan luas wilayah ha. Sub DAS Torong juga melewati daerah Kecamatan Jambu (Desa Jambu, Gondoriyo, Kuwarasan, Kebondalem dan Genting). DAS Torong berada di sebelah barat danau Rawapening, dengan luas wilayah ha; (3) Sub-DAS Panjang, terdiri dari Sungai Panjang dan Sungai Kupang Sub DAS Panjang melewati daerah di Kecamatan Ambarawa dan Bandungan (Kelurahan Bejalen, Desa Lodoyong, Kranggan, Pasekan, Baran, Jetis, Duren, Bandungan, Kenteng dan Candi). Berdasarkan letaknya sub DAS Panjang berada di sebelah utara danau Rawapening, dengan luas wilayah 4.893,24 ha; (4) Sub-DAS Legi, yaitu Sungai Legi Sub DAS Legi melewati daerah di Kecamatan Banyubiru (Desa Sepakung dan sebagian desa Rowoboni) yang wilayahnya memanjang dari bagian hulu di lereng Gunung Telomoyo hingga bermuara ke danau Rawapening; (5) Sub-DAS Parat, yaitu Sungai Parat Sub DAS Parat melewati daerah di Kecamatan Banyubiru (Desa Gedong dan desa Kebumen), Kecamatan Tuntang (Desa Gedangan, Desa Kalibeji dan desa Rowosari). Sub DAS Parat berada di sebelah selatan danau Rawapening, dengan luas wilayah 4.638,35 ha yang meliputi 16 desa dari 3 Kecamatan (Banyubiru, Getasan dan Tuntang) Kabupaten Semarang. Sungai utamanya adalah sungai Parat dan sungai Muncul dengan mata air di punggung Gunung Merbabu dan Gunung Gajah Mungkur. Kecamatan Getasan menjadi wilayah sub-das Parat yang wilayahnya meliputi Desa Kopeng, Polobogo, Manggihan, Getasan, Wates, Tolokan, Ngrawan, dan Desa Nogosaren; (6) Sub-DAS Sraten, yaitu Kali Sraten Sub DAS Sraten hanya melewati daerah di Kecamatan Getasan, yaitu; Desa Batur, Tajuk, Jetak, Samirono, dan Desa Sumogawe;

27 38 Gambaran Umum Danau Rawapening 39 (7) Sub-DAS Rengas, terdiri dari Sungai Rengas dan Sungai Tukmodin Sub DAS Rengas hanya melewati daerah di Kecamatan Ambarawa dan Bandungan meliputi kelurahan Tambakboyo, Kelurahan Kupang dan Desa Mlilir. Berdasarkan letaknya sub DAS Rengas berada di sebelah utara Danau Rawapening, dengan luas wilayah ha; (8) Sub-DAS Kedung Ringin, yaitu Sungai Kedung Ringin Sub DAS Kedungringin melewati daerah Kecamatan Tuntang (Desa Kesongo, Lopait dan Desa Tuntang). Sub DAS Kedungringin berada di sebelah timur Danau Rawapening, dengan luas catchment area 774,86 ha. Di sub-sub DAS Kedungringin mengalir sungai Ngreco, Ndogbacin dan sungai Praguman, yang ketiganya bermuara di Danau Rawapening. Sub DAS Kedungringin merupakan sub DAS yang paling kecil, dengan mata air di sekitar Gunung Kendil; (9) Sub-DAS Ringis, yaitu Sungai Ringis Sub DAS Ringis melewati daerah Kecamatan Tuntang tepatnya di Desa Jombor, Kesongo dan Desa Candirejo serta Kecamatan Sidorejo (Kelurahan Sidorejo, Blotongan), dan Kecamatan Argomulyo (Kelurahan Pulutan dan Mangunsari) Kota Salatiga. Sub DAS Ringis berada di sebelah timur Danau Rawapening luas catchment area 1.584,84 ha yang terdiri dari 7 desa/kelurahan dan 3 Kecamatan (Tuntang Kabupaten Semarang, Sidomukti dan Sidorejo Kota Salatiga). Di subsub DAS Ringis mengalir Sungai Tengah dan Sungai Tapen, yang keduanya bermuara didanau Rawapening. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini. Adapun nama sub DAS dan luasnya dapat dilihat pada Tabel 2.2. Gambar 2.3 Peta Administrasi Wilayah Sub DAS Rawapening

28 40 Gambaran Umum Danau Rawapening 41 Tabel 2.2. Sungai yang Mengalir ke Danau Rawapening No. Sub DAS Luas (Ha) Sungai Kecamatan Kabupaten/ Kota 1. Galeh Galeh, Klegung Banyubiru, Jambu Kab.Semarang 2. Torong Torong Ambarawa, Bandungan Kab.Semarang 3. Panjang Panjang, Kupang Ambarawa, Bandungan Kab.Semarang 4. Legi --- Legi Banyubiru Kab.Semarang 5. Parat Parat, Muncul Banyubiru,Tuntang, Getasan Kab.Semarang 6. Sraten --- Getasan Kab.Semarang 7. Rengas Rengas, Tukmodin 8. Kedungringin 775 Kedungringin, Ngreco, Ndogbacin dan Praguman Ambarawa Tuntang, Kab.Semarang Kab.Semarang 9. Ringis Ringis Tuntang, Kab.Semarang Sidorejo, Argomulyo Kota Salatiga Gambar 2.4. Peta Sistem Hidrologi Sub-DAS Rawapening (P4N UGM, 2000) Morfometri Perairan Danau Danau Rawapening mempunyai dasar tanggul + 462,05 m 3 dengan volume tampung m 3, dengan kedalaman minimum antara cm dan maksimum 550 cm. Elevasi maksimum Danau Rawapening adalah + 462,30 m 3 dan elevasi minimumnya + 462,05 m 3 dengan volume tampung maksimum + 65 juta m 3 dan minimum + 25 juta m 3 dengan luas genangan maksimum Ha dan minimum Ha.

29 42 Gambaran Umum Danau Rawapening Kependudukan, Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Jumlah penduduk di Kabupaten Semarang sampai dengan tahun 1997 mencapai jiwa, dengan mata pencaharian sebagian besar adalah petani. Selama kurun waktu pertumbuhan penduduk di Kawasan Rawapening cukup rendah, yakni rata-rata 0,79% per tahun, namun pada tahun 1998 mulai mengalami peningkatan menjadi 939,33 jiwa per km 3. Hal ini berabrti bahwa tekanan penduduk pada lahan pertanian semakin meningkat (P4N UGM, 2000). Data pada tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kabupaten Semarang adalah jiwa. Sedangkan jumlah penduduk yang ada di sekiatar Danau Rawapening adalah jiwa (BPS Kabupaten Semarang, 2010). Terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk, jika dilihat data pertumbuhan penduduk pada tahun 2000 yaitu sebesar 0,93 % (Pemerintah Kabupaten Semarang, 2000). Tingkat pertumbuhan penduduk di Kabupaten Semarang per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun sebesar 1,02% (BPS Kabupaten Semarang, 2010). Data pada tahun 2010 jumlah penduduk di sekitar wilayah Danau Rawapening sebanyak petani, orang buruh tani, orang buruh industri, orang buruh bangunan, orang nelayan, orang pengusaha, orang peternak/ perikanan (BPS Kabupaten Semarang, 2010, Bappeda Kota Salatiga, 2009). Jenis usaha yang berkembang di Kawasan Rawapening adalah industri pengolahan, pertanian, perikanan, serta pariwisata. Jenis usaha sektor industri pengolahan di Kawasan Rawapening didominasi oleh industri kecil, sampai tahun 1999 jumlah industri kecil di Kawasan Rawapening mencapai unit usaha dengan jumlah tenaga kerja terserap orang dan nilai produksi yang dihasilkan Rp ,-. Industri eceng gondok tidak termasuk ke dalam industri unggulan, meskipun bahan baku industri eceng gondok cukup tersedia di perairan Danau Rawapening (P4N UGM, 2000). Perkembangan usaha perikanan terutama produksi ikan di Kawasan Rawapening dari tahun ke tahun mengalami peningkatan 50,14%. Lokasi kegiatan usaha sektor perikanan di Kawasan Rawapening terdapat di Kecamatan Tuntang, Banyubiru, Ambarawa, dan Bawen dengan produksi ikan air tawar. Usaha pariwisata yang berada di Kawasan Rawapening sangat berkaitan erat dengan potensi alam, historis, budaya yang dimiliki seperti Candi Gedong Songo, Palagan Ambarawa, Bukit Cinta, Pemandian Muncul, Museum Kerata Api, Bandungan Indah, Waduk Umbul Songo, Pemandian Kopeng, Agrowisata Tlogo, Asinan di Kecamatan Bawen, dan Benteng Pendem. Jumlah wisatawan yang berkunjung di obyek wisata Kawasan Rawapening masih didominasi oleh wisatawan nusantara sekitar 98.91%, sisanya adalah wisatawan mancanegara (Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2000). Selama tahun 2009 jumlah wisatawan domestik yang berkunjung di Kawasan Rawapening sejumlah , sedangkan wisatawan mancanegara mencapai 148 orang (BPS, 2010). Sampai dengan saat ini baru terdapat tiga orang pengrajin sekaligus pengusaha kerajinan eceng gondok yang memanfaatkan eceng gondok dari Danau Rawapening. Ketiga pengrajin tersebut memiliki spesialisasi produksi yang berbeda, yang pertama sepatu dan sandal, kedua kerajinan tas, nampan, tempat kue, tempat tissue serta keranjang, yang ketiga khusus meja dan kursi. Kerajinan eceng gondok ini merupakan kerajinan yang unik, karena selama ini eceng gondok dianggap sebagai sampah dan hama diperairan, namun ternyata dapat berubah menjadi komoditi usaha yang menjanjikan jika diolah menjadi berbagai jenis kerajinan yang menarik, berseni, dan berdaya jual tinggi. Enceng gondok dari Danau Rawapening sebagai bahan baku kerajinan juga dikirim ke Yogjakarta. Pemasok memperoleh enceng gondok dari hasil tanaman liar dan bukan dari pembudidayaan. Penduduk di sekitar Danau Rawapening hanya tinggal mengambil tanaman yang tumbuh liar dan memenuhi hamparan permukaan danau. Pengolah tidak perlu memikirkan ketersediaan bahan baku tanaman enceng gondok untuk pemanenan berikutnya, karena jumlah yang tersedia sangat banyak. Mereka tinggal menunggu atau berpindah ke area lain dimana tanaman sudah cukup besar untuk diambil tangkai daunnya. Perkembangbiakan dan pertumbuhan tanaman enceng gondok memang sangat cepat. Usaha industri pemanfaatan enceng gondok di Kawasan Rawapening masih terbatas. Bagian tanaman enceng gondok yang diambil untuk hiasan adalah bagian tangkai daunnya saja. Enceng gondok tidak memiliki batang, jadi hanya terdiri dari daun, tangkai daun, bonggol akar dan akar itu sendiri. Dengan demikian setelah diambil bagian tangkainya, akan menghasilkan limbah berupa bagian sisa tanaman yang tidak diolah lebih lanjut. Selain sebagai bahan dasar untuk kerajinan tangan, tanah gambut yang merupakan sisa-sisa tanaman dan gulma yang mati dan mengendap di dasar danau, diambil dan dimanfaatkan sebagai pupuk atau media untuk bertanam sayur dan jamur.

30 44 Gambaran Umum Danau Rawapening 45 Gambut Rawapening berasal dari pembusukan enceng gondok yang mati dan mengendap di danau. Gambut ini kemudian diangkat menggunakan perahu, selanjutnya dikeringkan dan dicampur kapur untuk dijadikan kompos. Tempat pendaratan gambut ini ada di Tuntang dan Bukit Cinta, dimana banyak juga nelayan yang hidupnya bergantung pada pekerjaan ini. Tanah Gambut secara umum memiliki kadar ph yang rendah, memiliki kapasitas tukar kation yang tinggi, kejenuhan basa rendah, memiliki kandungan unsur K, Ca, Mg, P yang rendah dan juga memiliki kandungan unsur mikro (seperti Cu, Zn, Mn serta B) yang rendah pula. Secara teknis tanah gambut tidak baik sebagai dasar konstruksi bangunan karena mempunyai kadar air sangat tinggi, kompresibilitas atau kemampatannya tinggi serta daya dukung sangat rendah (extremely low bearing capacity). Proses pembentukan gambut dipengaruhi oleh iklim, hujan, pasang-surut, jenis tumbuhan rawa, bentuk topografi, jenis dan jumlah biologi yang melakukan dekomposisi, serta lamanya proses dekomposisi tersebut berlangsung (Rahman, 2002). Berdasarkan data PDRB dapat diketahui bahwa ekonomi Danau Rawapening sangat tergantung pada; (1) sektor industri; (2) sektor pertanian; (3) jasa-jasa; dan (4) perdagangan dan restauran. Sebagian besar penduduk desa di sekitar Danau Rawapening bermata pencaharian sebagai petani (6.970 orang atau 21,36%) atau buruh tani (9.749 orang atau 29,88%), dan hanya 11,20% menjadi buruh industri. Hal sama juga terjadi pada sektor pertanian Petanian Pertamb. Galian Industri Listrik gas 3.8 Bangunan 24.6 Perdag, rest Angkutan, Kom Gambar 2.5. Diagram Kontribusi Tiap Lapangan Usaha di Sekitar Danau Rawapening Meskipun perairan Danau Rawapening dapat dimanfaatkan untuk usaha perikanan (budidaya dan penangkapan) tetapi hanya orang (6,90%) yang memanfaatkan. Kondisi ini terjadi karena kebanyakan usaha perikanan yang berkembang di Danau Rawapening pemiliknya bukan berasal dari masyarakat di sekitar Danau Rawapening tetapi kebanyakan dari Kota Semarang dan nelayan di Danau Rawapening hanya sebagai buruh. Selain mata pencaharian di atas, sebenarnya belum tercatat dalam monografi aktifitas ekonomi masyarakat seperti; pencari gambut, pencari/pengrajin enceng gondok, dan usaha wisata (warung dan alat transportasi). Hal ini dapat dimengerti karena ketiga jenis pekerjaan tersebut bukan merupakan mata pencaharian pokok, namun merupakan mata pencaharian tambahan. Secara rinci, jumlah penduduk menurut mata pencaharian di sekitar Danau Rawapening. PNS/ABRI 4% Angkutan Buruh 2% Bangun 7% Pedagang 7% Buruh Industri 11% Indus. RT 2% Pensiunan 3% Lainnya 5% Nelayan 7% Petani 21% Buruh Tani 31% Gambar 2.6 Diagram Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Masalah kemiskinan juga menjadi kendala untuk memulihkan kondisi Danau Rawapening sebagaimana yang diharapkan. Presentase penduduk miskin di wilayah sekitar Danau Rawapening masih tinggi terutama di beberapa desa, seperti Desa Rowoboni, Rowosari, Kesongo, dan Bajelan (Sumber : Sutarwi, 2008). Dalam konteks budaya Jawa, kawasan Danau Rawapening merupakan salah satu kawasan tua dimana budaya dan sejarahnya berproses. Bukan hanya legenda Baru Klinting yang melekat dengan Rawapening, realitas sejarah juga menunjukkan jejak awal kebudayaan Jawa di kawasan ini, yaitu; Candi Gedong Songo, kota tua

31 46 Gambaran Umum Danau Rawapening 47 Banyubiru, Salatiga serta Ambarawa yang penuh dengan peninggalan sejarah (Majalah Telaga edisi 11 Tahun 2002, Percek Press). Ditinjau dari etnis, masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Rawapening cenderung homogen yaitu hampir semuanya merupakan suku Jawa, sehingga budaya kehidupan sehari-hari adalah budaya Jawa. Salah satu ciri budaya tersebut adalah tradisi berupa kearifan lokal dengan melaksanakan selamatan, yaitu; tradisi nenek moyang yang diyakini dapat membawa berkah dan keselamatan bagi mereka. Latar belakang keagamaan, sebagian besar memeluk agama Islam (93,73%), diikuti Katolik (3,54%), Kristen Protestan (2,59%), Hindu (0,7%), dan Budha (0,7%). Tempat Ibadah yang ada di sekitar Danau Rawapening adalah 83 mesjid, 188 mushola, dan 1 pura. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di masyarakat sekitar Danau Rawapening meliputi; ronda, jimpitan beras, gotong royong, perayaan hari besar keagamaan, perayaan hari besar nasional, hajatan, olah raga, kesenian. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan sangat tinggi. Lembaga-lembaga sosial masyarakat yang ada antara lain; Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kelompok Tani, Kelompok Nelayan, Kelompok atas dasar kegiatan ekonomi (usaha warung, usaha transportasi, pengambil gambut, pengrajin Enceng Gondok, dll), kumpulan ibu-ibu PKK, dan Karang Taruna. Pada tahun 1996, kelompok tani nelayan dari semua desa di sekitar Danau Rawapening berjumlah 23 kelompok dan beranggotakan petani nelayan membentuk sebuah Paguyuban Petani Nelayan yang dinamakan Paguyuban Kelompok Tani Nelayan Sedyo Rukun. Kelompok ini kemudian yang menjadi cikal bakal terbentukanya Forum Rembug Rawapening tahun 2004 dan pada tahun 2008 berubah menjadi Forum Koordinasi Rawapening. Saat ini selain instansi pemerintah yang memiliki kepentingan untuk mengelola kawasan Danau Rawapening dan peduli terhadap persoalan Danau Rawapening, juga terdapat pula organisasi non pemerintah, antara lain : (1) Forum Komunikasi Masyarakat Rawapening; (2) Yayasan Baru Klinting; (3) Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyyibah; (4) Pusat Studi dan Pengembangan Kawasan Rawapening UKSW; (5) Forum 14 Kepala Desa sekitar Danau Rawapening; (6) Kelompok Tani Nelayan Sedyo Rukun; (7) Paguyuban Petani Nelayan Rawapening Bersatu; (8) Kelompok Tani Nelayan Andalan Kecamatan Banyubiru; (9) Paguyuban Petani dan Nelayan Baru Klinting Danau Rowosari; (10) Petani Enceng Gondok Sukadana Kebumen Banyubiru; (11) Paguyuban Petani Makmur Gedangan; (12) Kelompok Tani Ngudi Luhur Danau Bajelan; (13) Kelompok Tani AI-Barokah Sukadana Kebumen Banyubiru; (14) Kelompok Tani Insan Baru Tegaron Banyubiru; (15) Tani Muda Mandiri Kebumen Banyubiru; (16) 46 Kelompok Nelayan Rawapening; (17) Satgas Rawapening; dan (18) Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

32 48 BAB III KONDISI DANAU RAWAPENING 3.1 Permasalahan Danau Permasalahan Lingkungan Danau Permasalahan yang terjadi di Danau Rawapening antara lain adalah : a. Pemanafaatan lahan tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW); b. Okupasi dan kepemilikan lahan sempadan danau; c. Pencemaran air limbah, khususnya limbah penduduk dan pertanian; d. Erosi, sedimentasi dan pendangkalan danau. Peta Bahaya Erosi Danau Rawapening dapat dilihat pada Gambar 3.1 e. Penurunan ketersediaan sumber daya air, penurunan muka air dan konflik pemanfaatan air; f. Pemanfaatan lahan tidak sesuai peruntukannya; g. Semakin tidak terkendalinya pemanfaatkan ruang terbuka untuk kepentingan pengembangan wilayah/kota; h. Tingkat kelerengan lahan yang curam (lebih dari 25 %) menjadi penyebab tingginya run off dan sulit untuk dilakukan penghijauan; i. Kerusakan hutan di lokasi perkebunan Perhutani yang belum tertangani juga menjadi penyebab meluasnya lahan kritis; j. Masih belum seimbangnya antara upaya untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan dengan luas lahan kritis. Peta tutupan lahan daerah tangkapan air (DTA) Danau Rawapening dapat dilihat pada Gambar 3.2. k. Gulma air (enceng gondok) tumbuh dengan cepat; l. Kebiasaan pengambilan enceng gondok membuang sisa (tangkai < 60 cm, daun, bonggol) menjadi sampah mempercepat pertumbuhan eceng gondok dan perusakan danau; m. Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (menggunakan alat strom); n. Budi daya ikan Keramba Jaring Apung (KJA) berjumlah 1000 buah, seluas 3,9 Ha. sehingga limbahnya merupakan sumber beban pencemaran air; o. Tidak ada pengaturan penambangan gambut yang berpihak kepada kepentingan masyarakat;

33 50 Gambaran Umum Danau Rawapening 51 p. Belum ada arah untuk melakukan pengelolaan wisata dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; q. Sarana dan prasarana yang ada belum sepenuhnya mendukung usaha pariwisata; r. Manajemen usaha wisata kurang memperhatikan aspek pelestarian lingkungan; s. Kesadaran SDM terhadap pengelolaan danau masih kurang. Gambar 3.1 Peta Bahaya Erosi DTA Danau Rawapening sehingga mempercepat pendangkalan danau. Satu batang enceng gondok dalam waktu 52 hari mampu menghasilkan tanaman baru seluas 1 m 2 (Gutierrez et al., 2001). Meskipun sejak tahun 1931 telah dilakukan upaya pengendaliannya namun sampai dengan saat ini belum sepenuhnya menunjukkan hasil yang memadai. Gambar 3.2. Peta Tutupan Lahan DTA Danau Rawapening Sumber : Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Jateng, Salah satu permasalahan yang dominan di Danau Rawapening adalah permasalahan pertumbuhan gulma air (enceng gondok) yang tidak terkontrol akibat eutrofikasi. Kurang lebih 20 30% danau tertutup oleh Eicchornia crassipes, 10% oleh Hydrilla verticillata dan Salvinia cucculata (Goltenboth & Timotius, 1994). Penutupan permukaan danau oleh tumbuhan air tersebut semakin besar persentasenya, bahkan pada musim kemarau dapat mencapai 70%. Pertumbuhan yang tidak terkontrol ini menyebabkan penutupan permukaan perairan, terakumulasinya seresah/busukan enceng gondok di dasar perairan dan terperangkapnya sedimen di akar tanaman Sumber: KLH Tahun 2010

34 52 Gambaran Umum Danau Rawapening Permasalahan Kelembagaan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, beberapa persoalan yang berkaitan dengan pengembangan kawasan Rawapening bersifat multidimensional. Beberapa permasalahan di bidang manajemen kelembagaan antara lain: a. Adanya pergeseran sistem pemerintahan yang menuntut kesiapan para pihak untuk mengelola kawasan Rawapening dengan baik; b. Kebijakan otonomi daerah yang menekankan pada batas administrasi, sementara pengelolaan kawasan Danau Rawapening tidak sama dengan batas administrasi sehingga menghambat pengelolaan apalagi ada undang-undang otonomi daerah; c. Kelembagaan dan koordinasi dalam rangka menangani pengelolaan sumberdaya air belum berjalan secara optimal, peran kelembagaan yang ada (Rembug Rawapening) belum mantap, akibatnya setiap benefecieries bertindak bebas tanpa ada peraturan yang mengatur setiap aktifitas baik di daerah tangkapan air maupun inti danau Rawapening, yang cenderung menimbulkan konfllik; d. Kegiatan-kegiatan pembangunan yang selama ini dilakukan masih menggunakan pendekatan kebijakan topdown approach dan bersifat sektoral serta kedaerahan. Oleh karena itu, perlu ada koordinasi antara bottom up dan top-down approach; e. Masih adanya ego sektoral dan kepentingan sehingga menimbulkan potensi konflik yang tinggi; f. Belum terciptanya pengelolaan sumberdaya air dengan menggunakan pendekatan regional; g. Belum tersedianya data base pengelolaan lingkungan hidup yang mengintegrasikan antara teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dengan sistem informasi geografi yang lebih akurat; h. Belum tersosialisasinya misi pelayanan pemerintah kepada masyarakat, i. Kurang optimalnya komitmen masing-masing para pihak yang terus menerus mengupayakan pelestarian Danau Rawapening; j. Tidak tegaknya pengaturan air oleh pintu air (PLTA) Tuntang menimbulkan konflik antara petani lahan pasang surut rawa (Kabupaten Semarang) dengan petani hilir (terutama Kabupaten Grobogan); k. Tidak ada pengaturan penambangan gambut di Danau Rawapening yang memberikan keuntungan besar bagi pengusahanya; l. Belum dimilikinya grand design mengakibatkan arah action plan tidak jelas bagi dinas/instansi yang terkait, sehingga program-program yang dijalankan bersifat sektoral yang mengakibatkan tumpang tindih program dan pemborosan. Berdasarkan persoalan tersebut diatas maka permasalahan kelembagaan, dapat dibagi menjadi 2, yaitu kelembagaan baik formal maupun informal dan belum adanya grand design. Belum optimalnya kelembagaan yang ada baik formal maupun informal mengakibatkan belum optimalnya proses kebijakan pengelolaan air yang mantap, ditambah belum adanya peraturan bagi setiap aktivitas baik di daerah tangkapan air maupun pada inti danau sehingga memicu timbulnya konflik. Peran kelembagaan informal berupa kearifan lokal merupakan potensi kekuatan yang masih dapat lebih ditingkatkan. Nilai kearifan local Ngepen dan Wening telah ditinggalkan baik oleh masyarakat di sekitar Danau Rawapening maupun oleh negara. Belum dimilikinya grand design menyebabkan arah action plan tidak jelas bagi dinas/instansi yang terkait, sehingga program-program yang dijalankan bersifat sektoral yang mengakibatkan tumpang tindih program, kerancuan kewenangan dan tanggungjawab program dan pemborosan. Diperlukan kerjasama dan partisipasi aktif dari para pihak lainnya terutama masyarakat yang berada di kawasan Danau Rawapening. Hal ini perlu ada dukungan kerjasama yang baik antara berbagai para pihak yang ada serta didukung dengan dana yang memadai, di samping itu pedoman penanganan kawasan Danau Rawapening yang terpadu dan operasional sangat diperlukan. Gambaran permasalahan Danau Rawapening secara umum dapat dilihat pada Gambar 3.3 di bawah ini.

35 54 Gambaran Umum Danau Rawapening 55 Gambar 3.3. Permasalahan Danau Rawapening Gambar 3.4 Pemanfaatan Sumber Daya Air Danau Rawapening Sumber : BPLH Provinsi Jawa Tengah, 2009 Sumber BLH Kab Semarang, Pemanfaatan Danau Berdasarkan hasil studi (KLH, 2011), maka pemanfaatan air Danau Rawapening adalah sebagai berikut (Gambar 3.4): a) Irigasi/ Pengairan: luas sawah irigasi yang diairi Ha, intensitas tanam 250%, produksi beras 3-4 ton/ha; b) Pembangkit Listrik: kapasitas produksi terpasang KW; c) Usaha Perikanan: luas budidaya ikan 5000 Ha, produksi ikan 700 ton/tahun; d) Air Minum: kapasitas produksi air baku 750 lt/dt; e) Pariwisata: kunjungan wisata sebesar wisatawan; f) Usaha penambangan gambut: produksi per harinya 50 ton; g) Usaha pengamblan enceng gondok: produksi per harinya 10 ton. Hasil studi karakteristik Rawapening (BalitBang Prov Jateng, 2003) menggambarkan kebergantungan kegiatan ekonomi masyarakat yang signifikan pada keberadaan Danau Rawapening. Kebergantungan tersebut dalam wujud memanfaatkan Danau Rawapening dalam berbagai sektor, yaitu sektor pertanian, irigasi, pariwisata, PDAM, PLTA, perikanan, pengendali daya rusak air, serta habitat air dan fauna. Kegiatan sektor pertanian yang dilakukan oleh masyarakat sekitar berupa penggunaan lahan pasang surut seluas 822 ha yang berkaitan dengan pengaturan operasi air danau. Air Danau Rawapening yang dipergunakan untuk irigasi sawah seluas Ha di Kabupaten Semarang, Demak dan Grobogan. Daerah irigasi Glapan Barat seluas Ha. Pengoperasian PLTA Jelok yang dibangun pada tahun 1938 dan PLTA Timo yang dibangun pada tahun 1962 dengan kapasitas maksimum Kwh sangat bergantung pada ketersediaan air danau. Produksi listrik PLTA Jelog dari tahun 1984

36 56 Gambaran Umum Danau Rawapening 57 sampai 2010 tercatat KWh atau rata-rata per tahun KWh yang sangat vital untuk memenuhi kebutuhan listrik di Jawa Tengah. Pola operasi PLTA Jelog sesuai dengan pengaturan air dari PSDA, jika curah hujan banyak maka produksi banyak. Jadi, sangat bergantung pada kondisi Danau Rawapening (Sutarwi, 2008). Air Danau Rawapening juga dimanfaatkan sebagai PDAM di Kanal Tuntang untuk mensuplai air bagi rumah tangga, kantor, dan industri yang dapat ditingkatkan dari 250 liter/detik menjadi liter/detik. Selain PDAM, air dari kanal Tuntang juga dimanfaatkan sebagai sumber air kemasan yang diambil langsung dari mata air Muncul dan untuk industri Apac Inti Karangjati sebesar 100 liter per detik (Bappeda, 2005). Pemanfaatan Rawapening sebagai salah satu obyek wisata Jawa Tengah berkaitan dengan potensi yang dimilikinya, yaitu wisata alam dan wisata budaya. Wisata alam merupakan bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan keindahan alam yang sangat mempesona dalam menghayati kehidupan di alam. Sedangkan wisata budaya, yaitu pendukung kegiatan wisata alam dalam menampilkan berbagai jenis atraksi dan obyek yang menarik. Aspek lain yang mendukung tercapai pemanfaatan Rawapening sebagai salah satu obyek wisata adalah kawasan Rawapening sudah lama dikenal dengan berbagai atraksi wisata alam maupun buatan manusia, seperti wisata alam dengan iklim yang sejuk dan pemandangan yang indah, potensi pengembangan wisata sejarah dan budaya maupun wisata yang kesehatan (olah raga) sebenarnya cukup tersedia (Retnaningsih, 2001). Keberadaan Kawasan Rawapening di tengah triangle Yogya-Semarang-Solo membuat kawasan ini memiliki kekuatan strategis dan potensial untuk dikembangkan melalui kegiatan pariwisata. Pada Tahun 2001 Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Tengah mencanangkan Kawasan Rawapening sebagai kawasan wisata air. Pemilihan Kawasan Rawapening untuk dikembangkan sebagai kawasan dengan atraksi wisata air didukung dengan kondisi kawasan yang berupa danau dengan pemandangan alam dan kurang tersedianya obyek wisata dengan atraksi wisata air di Jawa Tengah. Kebergantungan petani dan nelayan pada keberadaan Rawapening sangat besar sekali. Jumlah nelayan dan petani ikan di sekitar Danau Rawapening, yakni jiwa. Nelayan Rawapening berasal dari sepuluh desa, yakni Desa Asinan, Bejalen, Banyubiru, Kebondowo, Rowoboni, Rowosari, Sraten, Kesongo, Lopait, dan Desa Tuntang. Kesepuluh desa itu tersebar di empat kecamatan yakni Kecamatan Banyubiru, Bawen, Ambarawa, dan Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Perikanan yang telah dikelola masyarakat dalam bentuk usaha budidaya penyediaan benih ikan, penangkapan ikan, dan usaha pengepul ikan. Sistem budi daya ikan di Danau Rawapening ada dua macam, yaitu keramba tancap (gorobog bambu) di Desa Rowoboni, dan Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru, dan keramba jaring apung (KJA) di Desa Ngasinan, Desa Sumurup Kecamatan Bawen, serta kelurahan Tambakboyo Kecamatan Ambarawa. Penangkapan ikan dilakukan dengan bantuan alat tangkap berupa seser, kere, jala arang, jala sogok, jala kalar, jala kerep, pancing kalar, susuk, branjang, dan anco. Hasil tangkapan ikan per hari tahun 1970 rata-rata mencapai kg. Hingga tahun 2009 hasil produksi ikan dari danau dan sungai sekitar Rawapening mencapai 1.150,1 ton. Jenis ikan lele dan nila hitam masih mendominasi produksi ikan pada tahun Usaha pengepul ikan terdiri atas pemasaran hasil tangkapan dan usaha pengolahan hasil tangkapan. Jenis-jenis ikan yang terdapat di Rawapening adalah ikan mas, gurami, tawes, kutuk, nila, mujaher, belut, lele, patin, bawal, dan cethol (BPS Kabupaten Semarang, 2010). Potensi lain dari Danau Rawapening adalah telur ikan nilem yang biasa ada hanya disekitar Rawapening pada akhir November awal Desember. Pada musim ikan Rawapening bertelur, ikan naik ke sungai kemudian masuk sawah untuk bertelur, biasanya bulan November minggu ke 3 4, sampai desember minggu 1. Telur ikan yang melimpah adalah telur ikan nilem atau telur wader ijo, karena ikan inilah banyak yang ditangkap nelayan Rawapening pada akhir November. Terdapat fluktuasi produksi perikanan Danau Rawapening. Pengaruh perikanan di Danau Rawapening terlihat sangat nyata terhadap kualitas air danau karena penempatan karamba baik tancap maupun jaring apung yang hanya terkumpul pada lokasi tertentu seperti Tuntang, Asinan, Kejalen dan Bukit Cinta. Arahan Pemerintah Kabupaten Semarang, kultur jaring apung ikan di Danau Rawapening terletak pada zona pemancingan 3 ha di sub zona Puteran (Banyubiru) dan 1,5 serta 3 ha di dekat sub zona Cobening (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Semarang, 2007). Sampai tahun 2009 jumlah keramba yang berada di Danau Rawapening sejumlah 752 unit, sedangkan usaha perikanan darat minapadi mencapai luas 2,5 ha ikut menyumbang produksi perikanan darat (BPS Kabupaten Semarang, 2010). 3.3 Kualitas Air dan Status Trofik Di bawah ini akan dijelaskan kualitas air sungai dan Danau Rawapening serta status trofik Danau Rawapening.

37 58 Gambaran Umum Danau Rawapening Kualitas Air Sungai dan Danau A. Kualitas Air Sungai Kualitas air sungai yang masuk Danau Rawapening berdasarkan pemantauan BPLHD Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 (Germadan Danau Rawapening, KLH 2011) adalah sebagai berikut : a) Kualitas air Sungai Galeh yang masuk danau adalah BOD 11,9 mg/l, COD 54,48 mg/l dantotal P 0,28 mg/l; b) Kualitas air Sungai Tuntang yang keluar dari danau adalah BOD 12,9 mg/l, COD 82,09 mg/l dantotal P 0,21 mg/l; c) Kualitas air Danau Rawapening adalah BOD 12,9 mg/l, COD 82,09 mg/l dantotal P 0,21 mg/l. Data kualitas air berfluktuasi, antara lain karena perubahan curah hujan dan debit sungai yang menyebabkan pengenceran kadar parameter kualitas air. Namun demikian data kualitas air hulu dan hilir sungai yang masuk danau memang menunjukkan gejala peningkatan kadar pencemar oleh limbah, sehingga menaikkan kadar BOD dan COD yang mengakibatkan penurunan kadar DO (Tabel 3.1). Tabel 3.1. Kualitas Air Sungai yang Masuk ke Danau Rawapening No. Sungai DO BOD COD Hulu Hilir Hulu Hilir Hulu Hilir 1. Rengas 7,53 2, ,08 33,31 2. Panjang 7,91 4, ,09 32,55 3. Torong 7,3 5, ,46 59,98 4. Galeh 7,6 6, ,06 30,37 5. Legi 7,49 6, ,6 44,8 6. Parat 6,99 6, ,89 69,86 7. Sraten 6,95 7, ,71 11,36 8. Ringis 5,03 7, ,85 25,36 9. Kedung Ringin 6,95 6, ,25 51,48 Sumber : BLH Provinsi Jawa Tengah, 2008 Data tersebut menunjukkan kondisi perairan danau tercemar sumber limbah organik yang berasal dari daratan dan perairan. Kondisi tersebut jauh lebih buruk dari kondisinya pada tahun 1992 (Puslitbang Sumber Daya Air, 1992), yaitu pada saat kualitas air danau masih baik : BOD 0,5 mg/l, COD 18 mg/l dan Total P 0,0 mg/l. B. Kualitas Air Danau Untuk mendapatkan data kualitas air danau Rawapening yang terbaru, maka dilakukan pengambilan contoh air. Pelaksanaan pengambilan dan pengukuran contoh air Rawapening dilakukan pada bulan September Lokasi pengukuran kualitas air danau sebanyak 9 titik. Pengambilan contoh 9 titik ini dimaksudkan untuk mengkaji perbedaan kualitas air pada berbagai lokasi danau tersebut. Beberapa parameter kualitas air yang cepat berubah, dilakukan pengukuran di lapangan yaitu suhu, kekerahan, derajat keasaman (ph), Oksigen terlarut (DO), Daya Hantar Listrik dan Biological Oksigen Demand (BOD). Sedangkan untuk paramereter lainnya dilakukan di laboratorium. Hasil pengukuran lapangan kualitas air tersebut tercantum pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Profil Kualitas Air Danau Rawapening (Pemantauan 18 September 2011) GPS No. (Koordinat) ' 17,6", ' 25,3" ' 50,6" ' 36,7" Trans- DHL NH 3 - NO2- NO 3 - DO BOD paransi ph umho N N N mg/l mg/l (m) /cm mg/l mg/l mg/l PO 4 -P mg/l 0,5 6, ,0 5 0,25 0,05 2,0 0,30 0,6 6, ,8 2,9 0,26 0,01 1,2 0, ' 27,8" 0,4 6, ,7 3,0 0,39 0,01 0,01 0, ' 51,1'' 0.2 6, ,7 2,8 0,17 0,14 0,01 0, ' 34,7" ' 24,5" ' 54,1" 0,2 6, ,3 3,4 0,13 0,17 1,5 0,12

38 60 Gambaran Umum Danau Rawapening 61 No. GPS (Koordinat) Transparansi (m) ph DHL umho /cm DO mg/l BOD mg/l NH 3 - N mg/l NO2- N mg/l NO 3 - N mg/l PO 4 -P mg/l ' 21,6" ' 12,7" ' 7,9" ' 44,0" 8. Sungai Tuntang ' 46,1" ' 4,1" 0,1 6, ,3 2,2 0,15 0,18 3,15 0,17 0,2 6, ,4 3,3 0,29 0,10 1,1 0, , ,3 3,7 0,31 0,11 2,7 0,29 9. Mata Air ' 6,0" ' 30,5" 0,5 6, ,3 2,9 0,35 0,02 2,9 0,22 1. Parameter Tranparansi Transparansi air danau relatif sangat rendah yaitu 0,2 0,6 m (Tabel 5.2), yang menunjukkan kekeruhan air yang tinggi akibat lumpur suspensi, plankton dan detritus sisa gulma air yang membusuk. 2. Parameter Derajat Keasaman (ph), Hasil pengujian derajat keasaman (ph) pada semua lokasi hampir sama.yaitu 6,7 6,9 (Tabel 5.2). Kondisi tersebut menunjukkan ph Rawapening memang cenderung turun meskipun tidak asam), bila dibandingkan dengan ph tahun 1992 yaitu 7,5 di permukaan air danau dan 6,9 di dasar danau (Puslitbang Sumber Daya Air, 1992). Gambar 3.5. Derajat Keasaman (ph) Air Danau Rawapening 3. Parameter BOD dan DO Kadar DO menunjukkan nilai relatif tinggi (6,8 7,7 mg/l), kecuali lokasi no.1 yang terendah (3,0 mg/l). Pengukuran pada siang hari pada fase respirasi plankton dan gulma air menyebabkan kadar DO aerob, meskipun kadar BOD sedikit melebihi ambang batas kualitas air Kelas 1, yaitu 2,8 5,0 mg/l DO Gambar 3.6. Profil Oksigen Terlarut DO Danau Rawapening 4. Parameter Daya Hantar Listrik Daya Hantar listrik pada seluruh lokasi berkisar antara 257 sampai dengan 291 Umho/Cm,.yang menunjukkan tingkat mineralisasi relatif sedang, tidak terdapat indikasi limbah industri dan pertambangan yang membuang zat terlarut.

39 62 Gambaran Umum Danau Rawapening DHL (Umho/Cm) d). Kelas empat: mengairi pertanaman dan peruntukkan lain dengan syarat kualitas yang sama. Parameter kualitas air dan kadarnya sesuai dengan klasifikasi air tercantum pada Tabel 3.3. Danau Rawapening belum diatur kelasnya dan baku mutunya, namun pada penilaian status mutu air danau menggunakan Kelas 1. Penilaian status mutu menggunakan data tiga lokasi kualitas air yang lebih lengkap jumlah parameternya yaitu tercantum pada Tabel 3.4. Status mutu air dihitung menggunakan Metoda Indeks Pencemaran Air yang hasilnya disajikan pada Tabel 3.5. Status mutu air danau adalah tercemar sedang oleh parameter BOD,NH 3 dan NO 2. Apabila menggunakan Kelas 2, maka nilainya juga cemar sedang oleh parameter NO 2. Gambar 3.7. Profil Daya Hantar Listrik Danau Rawapening 5. Parameter Golongan Nitrogen Kadar ammonia NH 3 -N dan nitrit NO 2 -N relatif tinggi yang menunjukkan terjadi proses peruraian zat organik dari limbah manusia, ternak, pertanian dan limbah pakan ikan, serta pembusukan sisa eceng gondok. Kadar NH 3 -N 0,13 0,39 mg/l dan kadar NO 2 -N 0,01 0,18 mg/l. 6. Parameter Phosphate Kadar PO4-P yang tinggi 0,11 0,30 mg/l menunjukan air mengalami proses eutrofikasi. Parameter P berasal dari limbah manusia, ternak, pertanian, pakan ikan dan pembusukan eceng gondok. Klasifikasi kualitas air pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 berdasarkan jenis pemanfaatan air, yaitu sebagai berikut : a). Kelas satu: air baku air minum, dan peruntukkan lain dengan syarat kualitas yang sama; b). Kelas dua: prasaran/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, pertanaman, dan peruntukkan lain dengan syarat kualitas yang sama; c). Kelas tiga: pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, pertanaman, dan peruntukkan lain dengan syarat kualitas yang sama; Tabel 3.3. Kriteria Kualitas Air Sesuai Klasifikasi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 No. Prameter Unit Kelas Mutu Air I II III IV Fisika 1 Temperatur C Deviasi Deviasi Deviasi 3 Deviasi Residu Terlarut Mg/L Residu Suspensi Mg/L Kimia Inorganik 4 ph BOD Mg/L COD Mg/L DO Mg/L Phosphate (PO4- P) Mg/L Nitrat (NO 3 N) Mg/L NH 3 -N Mg/L 0.5 (-) (-) (-) 11 Arsen Mg/L Kobalt Mg/L

40 64 Gambaran Umum Danau Rawapening 65 No. Prameter Unit Kelas Mutu Air I II III IV 13 Barium Mg/L 1 (-) (-) (-) 14 Boron Mg/L Selenium Mg/L Kadmium Mg/L Khrom (VI) Mg/L Tembaga Mg/L Besi Mg/L 0.3 (-) (-) (-) 20 Timbal Mg/L Mangan Mg/L 0.1 (-) (-) (-) 22 Air raksa Mg/L Seng Mg/L Khlorida Mg/L 600 (-) (-) (-) 25 Sianida Mg/L (-) 26 Fluorida Mg/L (-) 27 Nitrit (NO2- N) Mg/L (-) 28 Sulfat Mg/L 400 (-) (-) (-) 29 Khlorin bebas Mg/L (-) 30 Sulfida (H 2 S) Mg/L (-) Kimia Organik 31 Minyak dan lemak Ug/L (-) 32 MBAS Ug/L (-) 33 Fenol Ug/L (-) 34 BHC Ug/L (-) 35 Aldrin Ug/L 17 (-) (-) (-) 36 Chlordane Ug/L 3 (-) (-) (-) 37 DDT Ug/L Heptachlor Ug/L 18 (-) (-) (-) 39 Lindane Ug/L 56 (-) (-) (-) 40 Methoxychlor Ug/L 35 (-) (-) (-) 41 Endrin Ug/L (-) 42 Toxaphan Ug/L 5 (-) (-) (-) No. Prameter Unit Kelas Mutu Air I II III IV Mikrobiologi 43 Fecal coliform Jml/100 ml Total Coliform Jml/100 ml Radioaktivitas 45 Gross-A Bq/L Gross-B Bq/L Parameter Tambahan SAR -- % Na % Ni Mg/L Keterangan: Berbeda Kelas, namun kadar Parameter sama besar Tabel 3.4. Pemantauan Kualitas Air untuk Penilaian Status Mutu Air 1). Danau Rawapening 7 o 18' 6,0" LS, 110 o 25' 30,5" BT 2). Danau Rawapening 7 o 16' 51,1" LS, 110 o 25' 34,7" BT 3). Danau Rawapening 7 o 16' 21,6" LS, 110 o 25' 54,1" BT No. Parameter Satuan Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 A. FISIKA 1. Suhu o C Kecerahan meter Daya Hantar Listrik umh/cm Residu Tersuspensi mg/l B. Kimia 1. ph Oksigen terlarut (DO) mg/l BOD 5 mg/l

41 66 Gambaran Umum Danau Rawapening 67 No. Parameter Satuan Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 4. Arsen mg/l < 0,001 < 0,001 < 0, Kobalt mg/l < 0,01 < 0,01 < 0,01 6. Boron mg/l Selenium mg/l < 0,001 < 0,001 < 0, Kadmium mg/l < 0,001 < 0,001 < 0, Krom VI mg/l < 0,002 < 0,002 < 0, Tembaga mg/l < 0,004 < 0,004 < 0, Besi mg/l < 0,008 < 0,008 < 0, Timbal mg/l < 0,005 < 0,005 < 0, Mangan mg/l < 0,007 < 0,007 < 0, Air Raksa mg/l < 0,00009 < 0,00009 < 0, Seng mg/l < 0,004 < 0,004 < 0, Klorida mg/l Fluorida mg/l < 0,06 < 0,06 < 0, Sulfat mg/l Minyak dan Lemak mg/l < 0,1 < 0,1 < 0,1 20. Detergen mg/l < 0, < 0, Fenol mg/l < 0,003 < 0,003 < 0, Kesadahan mg/l Kalsium mg/l Magnesium mg/l Kalium mg/l Natrium mg/l N-Organik mg/l NH3N mg/l 0,17 0,13 0, NO2N mg/l 0,14 0,17 0, NO3N mg/l 0,70 2,2 2,9 31. PO4P mg/l 0,10 0,12 0, Chlorophyll@ ug/l 4,2 4,0 4,4 Tabel 3.5. Status Mutu Air Danau Rawapening Metoda Indeks Pencemaran Air No Lokasi/GPS Status MutuKelas Air Status Trofik 1. B Eutrofik MA ' 51,1'' (Tercemar sedang oleh (Kecerahan dan ' 34,7" BOD,NH3 dan NO2) PO 4 ) 2. B Eutrofik ' 21,6" (Tercemar sedang oleh (Kecerahan dan ' 12,7" BOD,NH3 dan NO2) PO 4 ) 3. B Eutrofik ' 6,0" (Tercemar sedang oleh (Kecerahan dan ' 30,5" BOD,NH3 dan NO2) PO 4 ) Gambar 3.8. Peta Lokasi Sampel Air Danau Rawapening

42 68 Gambaran Umum Danau Rawapening Status Trofik Danau Kondisi kualitas air danau diklasifikasikan berdasarkan status proses eutrofikasi yang disebabkan adanya peningkatan kadar unsur hara dalam air. Faktor pembatas sebagai penentu eutrofikasi adalah unsur Fosfor (P) dan Nitrogen (N). Pada umumnya rata-rata tumbuhan air mengandung Nitrogen dan Fosfor masing-masing 0,7 % dan 0,09% dari berat basah. Fosfor membatasi proses eutrofikasi jika kadar Nitrogen lebih dari delapan kali kadar Fosfor, sementara Nitrogen membatasi proses eutrofikasi jika kadarnya kurang dari delapan kali kadari Fosfor (UNEP-IETC/ILEC, 2001). Klorofil- adalah pigmen tumbuhan hijau yang diperlukan untuk fotosintesis. Parameter Klorofil- tersebut mengindikasikan kadar biomassa algae, dengan perkiraan rata-rata beratnya adalah 1% dari biomassa. Eutrofikasi yang disebabkan oleh proses peningkatan kadar unsur hara terutama parameter Nitrogen dan Fosfor pada air danau. Proses tersebut diklasifikasikan dalam empat kategori status trofik kualitas air danau dan waduk berdasarkan kadar unsur hara dan kandungan biomasa atau produktivitasnya (Tabel 3.6): 1) Oligotrofik adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar rendah; status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah belum tercemar dari sumber unsur hara Nitrogen dan Fosfor; 2) Mesotrofik adalah status trofik air danau dan waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sedang; status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor namun masih dalam batas toleransi karena belum menunjukkan adanya indikasi pencemaran air; 3) Eutrofik adalah status trofik air danau yang mengandung unsur hara dengan kadar tinggi. Status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor. 4) Hipereutrofik/Hipertrofik adalah status trofik air danau yang mengandung unsur hara dengan kadar sangat tinggi; status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor. Status trofik Danau Rawapening adalah eutrofik berdasar kadar Total P rata-rata 100 ug/l, dan hypereutrofik berdasarkan nilai kecerahan yang rendah yaitu 0,1 0,5 m (kategori kecerahan 2,5 m), seperti tercantum pada Tabel 3.6. Tabel 3.6. Kategori Status Trofik Danau Rawapening Status Trofik Kadar Kadar Kadar Ratarata Rata-rata Kecerahan Rata-rata Rata-rata Total N Khlorofil-a Total P (m) (µg/l) (µg/l) (µg/l) Oligotrofik ,0 >10 Mesotrofik ,0 >4 Eutrofik >2,5 Hypereutrofik > 1900 > ,5 Sumber: Peraturan Menteri Negara LH Nomor 28 Tahun Sedimentasi dan Pendangkalan Danau Pendangkalan Danau Danau Rawapening telah mendangkal dan menyempit sehingga luas perairan dan daya tampungnya berkurang. Berdasarkan data BPSDA WS Jragung Tuntang tahun 1976, luas perairan maksimal pada waktu musim hujan adalah 2846,70 Ha dengan volume m 3, dan luas minimal 1650 Ha dengan volume m 3. Namun pada saat ini luas perairan telah banyak menyusut (Tabel 3.7). Hasil perhitungan luas perairan danau berdasarkan peta rupa bumi tahun 2004 hanyalah 1520,15 Ha, sisanya menjadi daratan berupa lahan sawah yang berada pada bantaran pasang-surut perairan danau. Lahan sawah tersebut terdiri dari sawah dua kali panen seluas 812 Ha, dan sawah satu kali panen seluas 200 Ha (BPLHD Provinsi Jawa Tengah, 2009). Konversi lahan bantaran danau menjadi sawah dua kali panen tersebut menunjukkan besarnya luas perairan yang berkurang adalah 812 Ha atau 28,5 % dari luas maksimal. Selain penyusutan luas danau, juga terjadi pendangkalan dasar danau. Kedalaman danau pada saat ini pada umumnya kurang dari 2,0 m, kecuali pada beberapa cekungan kedalaman dapat mencapai 4,7 m, bahkan pada mata air danau kedalamannya 11,7 m (berdasarkan Peta Kedalaman Danau Rawapening, Soeprobowati, 2010, Gambar 3.9). Sumber penyempitan dan pendangkalan danau antara lain adalah sebagai berikut :

43 70 Gambaran Umum Danau Rawapening 71 a) Erosi lahan DAS Rawapening yang mengakibbatkan sungai membawa endapan lumpur ke danau; b) Pertumbuhan gulma air yang luas sehingga memicu pengendapan sedimen suspensi pada muara-muara sungai di danau; c) Pertumbuhan gulma air tersebut meyisakan biomasa mati yang sangat banyak dan mengendap di dasar danau. 4. Peta Kedalaman Rawapening 1489,37 Peta Kedalaman Rawapening, oleh Tri Ratnaningsih Suprobowati, Perhitungan luas danau oleh Tim Ecoterra Multiplan No. Tabel 3.7. Volume dan Luas Danau Rawapening Elevasi Volume Luas Sumber Data Candi Dukuh Keterangan (Ribu m 3 ) (Ha) (m) 5. Peta Google Juni 2010 Hitung luas oleh Tim Ecoterra Peta BAKO ,15 Hitung luas perairan oleh Tim Ecoterra 1. BPSDA WS Jragung Tuntang Hasil Survey Maksimum ,70 Tabel elevasi muka - Minimum 462, air dan luas danau Luas eceng gondok Hitung luas perairan oleh Tim Ecoterra berdasarkan peta Google Juni BBWS Pemali Juana Leaflet Konperensi Danau 2, Maksimum Minimum BPLHD Prov.JATENG Buku Profil Danau Rawapening 2009 patok merah-patok hitam 462,30-463,30 462,05-462, Sawah pasang surut 2 x panen 200 Sawah 1 x panen Banjir 7600 Luas genangan banjir

44 72 Gambaran Umum Danau Rawapening 73 Gambar 3.9. Peta Kedalaman Danau Rawapening (1) Adanya penambangan galian C yang tidak terkendali untuk mengambil galian andesit (berpengaruh negative terhadap lingkungan), dan bahan galian sirtu (berpengaruh terhadap bentuk morfologi dan kualitas fisik sungai) menjadi penyebab munculnya permasalahan tanah longsor; (2) Alih fungsi tanah untuk pemukiman dan pertanian yang tidak ramah lingkungan banyak terjadi di daerah lereng catchment area Rawapening seperti Kebumen, Tegaron dan Sepakung bagian atas; (3) Tingkat kelerengan lahan yang curam (lebih dari 25 %) menjadi penyebab tingginya run off dan sulit untuk dihijaukan; (4) Kondisi vegetasi penutup tanah lebih didominasi penggunaan lahan untuk tegalan/kebun sehingga berpotensi menjadi lahan kritis, lahan amat kritis, dan lahan potensial kritis. Dari tahun ke tahun luasan lahan kritis cenderung semakin meningkat; (5) Kerusakan hutan di lokasi perkebunan dan perhutani yang belum tertangani juga menjadi penyebab meluasnya lahan kritis. Kondisi tutupan lahan DAS Rawapening (Gambar 3.2), dan luas lahan kritis di kecamatan-kecamatan pada DAS tersebut (Tabel 3.8) menunjukkan indikasi wilayah yang perlu dikendalikan kerusakannya, karena berpotensi terjadinya erosi dan sedimentasi di danau. Berdasarkan Tabel 3.10 sedimentasi total yang terjadi di Sub- DAS Rawapening adalah sebesar 778,93 ton/tahun, terutama berasal dari sungai Galeh, Sungai Torong, Panjang, dan Kedungringin (BPLH Prov.Jawa Tenganh, 2009). Informasi lainnya menunjukkan angkutan sedimen yang jauh lebih besar (S. Sutanto B.R. dan Budi Sulaswono, Jurusan Geografi Fisik dan Lingkungan Fakultas Geografi UGM), yaitu sebesar 1,845,162 ton/tahun, yang dihitung berdasarkan pengukuran angkutan sedimen pada sungai-sungai yang masuk danau (Tabel 3.11). Sumber: Dr.Tri Retnaningsih Soeprobowati, UNDIP Semarang, Erosi dan Angkutan Sedimen Pusat Studi dan Pengembangan Kawasan Rawapening UKSW (2007) menunjukkan bahwa penyebab tingginya tingkat sedimentasi di Danau Rawapening dikarenakan antara lain oleh beberapa sumber kerusakan sebagai berikut :

45 74 Gambaran Umum Danau Rawapening 75 Tabel 3.8. Luas Lahan Kritis Daerah Kecamatan pada DAS Rawapening di Kabupaten Semarang Kecamatan Lahan Kritis (Ha) 1. Getasan Tuntang Banyubiru Jambu Ambarawa Bandungan Bawen 784 Jumlah 6384 Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Semarang, Tabel 3.9. Potensi Sedimentasi di Sub DAS Rawapening Dirinci per Sub-DAS Sub-sub-DAS Potensi Luas Laju Erosi SDR Sedimentasi (hektar) (ton/hektar/th) (ton/hektar) Sub-Sub-DAS Legi 931,50 0, ,23 215,58 Sub-Sub-DAS Parat 3.744,00 0, ,27 164,71 Sub-Sub-DAS Galeh 6.121,00 0, ,75 116,03 Sub-Sub-DAS Torong 2.687,00 0, ,72 54,16 Sub-Sub-DAS Panjang 4.893,00 0,397 73,37 29,13 Sub-Sub-DAS Sraten 2.822,26 0, ,49 133,92 Sub-Sub-DAS Kedungringin 918,00 0,532 78,47 41,75 Sub-Sub-DAS Rengas 1.751,00 0,497 29,15 14,49 Sub-Sub-DAS Ringis 1.211,00 0,513 17,84 9,15 Jumlah ,00 778,93 Tabel Debit Aliran dan Suspensi Sungai-Sungai yang Masuk ke Danau Rawapening No. Sungai/desa Debit aliran Kadar suspensi Debit Suspensi KG/HARI TON/THN (m3/dt) (gr/dt) (gr/dt) 1. Legi 0,11 0, ,8 4, , Mulungan 1 0,35 0, ,4 6, , Mulungan 2 0,18 0, ,8 6, , Parat 1,03 0, ,6 38, , Nagan 0,08 0, ,0 1, Cengkar 1,65 0, ,7 72, , Torong 0,754 0,081 61,07 5, , Panjang 1,192 0,053 63,18 5, , Galeh (Banjir) 15,2 0, ,8 4,654, ,675, Tuntang 71,134 0, ,38 330, , ,125, ,845, Sumber : S. Sutanto B.R. dan Budi Sulaswono, Jurusan Geografi Fisik dan Lingkungan Fakultas Geografi UGM Gulma Air dan Endapan Biomassa Pemetaan gulma air di Danau Rawapening pada bulan September 2011 (Gambar 3.10) menunjukkan tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi. Luas perairan danau yang 1520 Ha sebagian ditumbuhi gulma seluas 569 Ha (pemetaan dengan alat GPS, 2011), lebih luas dari perhitungan dengan peta Google Tahun 2010 yaitu 444 Ha (Tabel 3.12). Luas gulma tersebut sebesar 37,4 % dari luas perairan saat muka air rendah. Sumber : Perencanaan Tata Lingkungan DAS Rawapening Tahun 2000, dalam BPLH Prov.Jawa Tengah, 2009

46 76 Gambaran Umum Danau Rawapening 77 Tabel Luas Gulma Air di Danau Rawapening Perhitungan Luas Perhitungan luas oleh Tim Ecoterra berdasarkan peta Google Juni 2010 Perhitungan luas oleh Tim Ecoterra berdasarkan alat GPS September 2011 Luas Gulma Air (Ha) Daerah pertumbuhan gulma air tersebut membentang hampir setengah keliling garis pantai danau dan menutup alur arus air sungai-sungai yang bermuara di danau. a) Pada saat muka air tinggi di musim hujan lumpur yang terbawa air sungai akan terperangkap dan mengendap pada dearah tersebut sehingga mempersempit dan memperdangkal danau; b) Biomasa yang mati dan sisa potongan eceng gondok yang ditebang semuanya akan mengendap dan membusuk di dasar danau yang juga menyebabkan pendangkalan; c) Apabila muka air surut, maka akan terjadi suksesi berbagai jenis gulma termasuk hidrilla dan berbagai jenis rumput sehingga terjadi konversi dari perairan danau menjadi perairan rawa. Gabungan kondisi biomasa dan erosi serta sedimentasi tersebut berakibat kritis terhadap perairan danau yang cepat mendangkal dan menyempit. Potensi risikonya adalah hamparan gulma air seluas 569 Ha berpotensi berubah jadi daratan, yang menyusakan luas perairan hanya menjadi 951 ha saja (Gambar 3.11). Gambar Daerah Pertumbuhan Gulma Air di Danau Rawapening (Pemetaan Tim Ecoterra, September 2011)

47 78 BAB IV BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU RAWAPENING 4.1 Sumber Pencemaran dari Daerah Tangkapan Air (DTA) Wilayah administrasi yang berada pada Sub DAS Rawapening adalah Kota Salatiga, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang, jumlah luas administrasi dalam Sub DAS Rawapening adalah Hektar Yang terluas adalah Kabupaten Semarang yaitu Ha (89,5) % dari luas Sub DAS, kemudian Kota Salatiga Ha (9,3%) dan yang terendah Kabupaten Magelang 317 Ha (1,2%) (Tabel 4.1). Tabel 4.1.Luas Wilayah Administrasi pada Sub DAS Rawapening No. Kabupaten Luas Total Luas dalam DAS % Luas dalam DAS 1. Kota Salatiga Kabupaten Semarang Kabupaten Magelang Gambar Daerah Pertumbuhan Gulma Air yang Berpotensi Berubah Menjadi Daratan di Danau Rawapening Seluas 569 Ha Jumlah Kota Salatiga Kabupaten Semarang Kabupaten Magelang Gambar 4.1. Luas Wilayah Kota/ Kabupaten (%) Pada Sub DAS Rawapening Wilayah Kabupaten Semarang memiliki 8 (delapan) kecamatan yaitu Banyubiru, Jambu, Getasaan, Ambarawa, Tuntang, Bawen, Sumowona dan Bandungan sedangan Kota Salatiga hanya memiliki 3 (tiga) Kecamatan yaitu Sidomukti, Sidorejo dan Argomulyo.

48 80 Beban Pencemaran Air Danau Rawapening 81 Luas Kecamatan pada Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga dalam Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening yang berada pada Sub DAS Rawapening adalah Ha yang terluas Kecamatan Ambarawa 5228,46 Ha, dan yang terendah Kecamatan Tuntang 188,1 Ha sedangkan persentase luas dalam sub DAS yaitu Kecamatan Banyubiru 99% dan yang terendah Kecamatan Sumowono 3% (Tabel 4.2). Tabel 4.2. Luas Kecamatan di Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga dalam Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening No. Kecamatan Persen Luas Kabupaten/ Luas Luas dalam pada Kota (Ha) DAS (Ha) DAS (%) 1. Banyubiru Kab. Semarang Jambu Kab. Semarang Getasan Kab. Semarang Ambarawa Kab. Semarang Tuntang Kab. Semarang Bawen Kab. Semarang Sumowono Kab. Semarang Bandungan Kab. Semarang Sidomukti Kota Salatiga Sidorejo Kota Salatiga Argomulyo Kota Salatiga Jumlah Banyubiru Jambu Getasan Ambarawa Tuntang Bawen Sumowono Bandungan 3 19 Sidomukti Sidorejo Gambar 4.2. Luas Wilayah (%) pada Kecamatan Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga dalam Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Limbah Penduduk Beban pencemaran air limbah penduduk dihitung berdasarkan data jumlah penduduk tahun 2009 yang diperoleh dari Statistik Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga tahun Jenis parameter pencemaran air yang berasal dari air limbah penduduk (limbah tinja) antara lain adalah TSS, BOD, COD, Nitrogen, Fospor dan bakteri coli tinja. Berdasarkan data jumlah penduduk jiwa (Tabel 4.3), maka diperkirakan potensi beban BOD adalah sebesar kg/hari (Tabel 4.4). Sumber beban pencemaran tersebut tersebar pada 11 Kecamatan dengan jumlah yang bervariasi, namun yang merupakan sumber beban terbesar adalah kecamatan-kecamatan Getasan, Tuntang, Banyubiru, Jambu, Ambarawa, Bandungan, Sidomukti dan Siderejo (Gambar 4.3). Beban pencemaran tersebut tidak semuanya memasuki air sungai dan Danau Rawapening, karena sebagian daerah permukiman memiliki septic tank.

49 82 Beban Pencemaran Air Danau Rawapening 83 Tabel 4.3. Jumlah Penduduk Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga dalam Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening No. Kecamatan Jumlah Penduduk Penduduk dalam DTA 1. Getasan Tuntang Banyubiru Jambu Sumowono Ambarawa Bandungan Bawen Sidomukti Sidorejo Argomulyo Jumlah Tabel 4.4. Potensi Beban Pencemaran Limbah Penduduk pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening No. Kecamatan BOD (kg/hari) Total N (kg/hari) Total P (kg/hari) 1. Getasan Tuntang Banyubiru Jambu Sumowono Ambarawa Bandungan Bawen Sidomukti Sidorejo Argomulyo Jumlah BEBAN PENCEMARAN BEBAN PENCEMARAN 3000 BOD kg/hari Getasan Tuntang Getasan Tuntang Banyubiru Total N kg/hari Total P kg/hari Banyubiru Jambu Sumowono Jambu Sumowono Ambarawa Bandungan KECAMATAN Ambarawa Bandungan Bawen Sidomukti Bawen Sidomukti Sidorejo Argomulyo Sidorejo Argomulyo KECAMATAN Gambar 4.3. Potensi Beban Pencemaran Limbah Penduduk pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Limbah Ternak Hewan ternak yang terdaftar pada data statistik dan dihitung bebannya adalah : kerbau, sapi, kuda, domba, kambing, babi, kelinci, ayam dan bebek atau itik. Berdasarkan data jumlah ternak di tiap kecamatan dan perhitungan luas tiap kecamatan pada daerah tangkapan air (DTA) Danau Rawapening, maka dapat dihitung jenis dan jumlah ternak serta potensi beban pencemarannya. Jenis ternak yang

50 84 Beban Pencemaran Air Danau Rawapening 85 terbanyak jumlahnya di Kabupaten Semarang pada DTA Rawapening adalah ayam yang mencapai 3,784,682 ekor, kemudian kambing 62,715 ekor disusul dengan itik dan sapi dan babi (Tabel 4.5 dan Gambar 4.4). Jumlah ternak terbesar berada di Kecamatan Getasan. Sedangkan Jenis ternak yang terbanyak jumlahnya di Kota Salatiga pada DTA Danau Rawapening adalah sapi 1460 ekor disusul kuda 1150 ekor. Jumlah ternak terbesar berada di Kecamatan Argomulyo. BEBAN PENCEMAARAN BOD kg/hari Total N kg/hari Tabel 4.5. Jenis dan Jumlah Ternak Kabupaten Semarang dalam Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Kecamatan Sapi potong Sapi perah Kuda Kerbau Babi Kambing Kelinci Ayam Itik Getasan Tuntang Banyubiru Jambu Sumowono BEBAN PENCEMARAN 0 Getasan Tuntang Banyubiru Jambu Sumowono Ambarawa Bandungan KECAMATAN Bawen Sidomukti Sidorejo Argomulyo Total P kg/hari Getasan Tuntang Banyubiru Jambu Sumowono Ambarawa Bandungan KECAMATAAN Bawen Sidomukti Sidorejo Argomulyo Ambarawa Bandungan Bawen Sidomukti Sidorejo Argomulyo Jumlah Gambar 4.4. Potensi Beban Pencemaran Limbah Ternak pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Perhitungan beban pencemaran menggunakan koefisien timbulan tiap jenis ternak. Berdasarkan sumber timbulan limbah peternakan, kecamatan yang berpotensi menimbulkan beban pencemar BOD terbesar adalah Kecamatan Getasan, setelah itu Ambarawa (Tabel 4.6). Potensi beban pencemaran limbah ternak dari Kecamatan Getasan adalah 41,9 % dari total potensi beban pencemaran limbah ternak pada DTA Rawapening sebesar kg BOD /hari. Jumlah potensi beban pencemaran yang terbanyak berasal dari ayam, dan dari sapi dan kambing (Tabel 4.7 dan Gambar 4.5). Meskipun beban pencemaran per ekor ternak kerbau, sapi dan kuda relatif besar, namun karena jumlahnya relatif sedikit, maka potensi bebannya lebih sedikit dari ayam.

51 86 Beban Pencemaran Air Danau Rawapening 87 Tabel 4.6. Potensi Beban Pencemaran Limbah Ternak pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Berdasarkan Daerah Asal Limbah No. Kecamatan BOD (kg/hari) Total N (kg/hari) Total P (kg/hari) 1. Getasan Tuntang Banyubiru Jambu Sumowono Ambarawa Bandungan BEBAN PENCEMARAN BOD kghari Total N kg/hari Sapi potong Sapi perah Kuda Kerbau Babi Kambing Ayam Itik Kelinci 8. Bawen TERNAK 9. Sidomukti Sidorejo Argomulyo Jumlah Tabel 4.7. Potensi Beban Pencemaran Limbah Ternak pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Berdasarkan Jenis Ternak No. Jenis Ternak BOD (kg/hari) Total N (kg/hari) Total P (kg/hari) BEBAN PENCEMARAN 1,600 1,400 1,200 1, Total P kg/hari 1. Sapi potong Sapi perah Kuda Sapi potong Sapi perah Kuda Kerbau Babi Kambing TERNAK Ayam Itik Kelinci 4. Kerbau Babi Kambing Gambar 4.5. Potensi Beban Pencemaran Limbah Ternak pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Berdasarkan Jenis Ternak 7. Ayam Itik Kelinci Jumlah

52 88 Beban Pencemaran Air Danau Rawapening 89 Itik 2% Kelinci 0% BOD kghari Sapi Kuda Beban pencemaran limbah pertanian sawah per satuan luasnya pada umumnya lebih tinggi dari beban yang berasal dari palawija dan kebun, khususnya pemakaian pupuk dan Sapi 27% Kerbau Babi Kambing Ayam Itik Kelinci pestisida. Jumlah potensi beban pencemarannya adalah kg BOD/hari. Sumber potensi beban pencemaran yang tertinggi adalah Kecamatan Banyubiru, kemudian Ambarawa dan Bendungan (Tabel 4.9, Gambar 4.7). Potensi beban pencemaran dari lahan Ayam 43% perkebunan relatif lebih rendah dari lahan sawah, yaitu 2108 kg BOD/hari. Sumber yang Kambing 23% Kuda 2% Kerbau 0% Babi 3% relatif besar terdapat di Getasan, Banyubiru dan Jambu (Tabel 4.10 dan Tabel 4.11 serta Gambar 4.8). Sumber beban pencemaran air dari limbah pertanian dan perkebunan adalah non point source, yang memasuki perairan penampung limbah bila ada limpasan air dari persawahan dan perkebunan. Meskipun beban pencemaran air dari limbah pertanian Itik 1% Total P kg/hari Sapi Kuda Kerbau Babi tidak semuanya akan memasuki perairan, dan tergantung pada musim tanam dan musim hujan, nilai perkiraan tersebut dapat dijadikan acuan pengendalian beban pencemaran air sesuai dengan baku mutu air atau daya tampung beban pencemarannya. Kambing Ayam 26% Sapi 29% Ayam Itik Tabel 4.8. Luas Lahan Sawah Kabupaten Semarang dalam Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening No. Kecamatan Sawah Dua Musim (Ha) Sawah Satu Musim (Ha) Kuda 1% 1. Getasan Kambing 38% Kerbau 1% Babi 4% 2. Tuntang Banyubiru Jambu Gambar 4.6. Potensi Beban Pencemaran Limbah Ternak (%) pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening Berdasarkan Jenis Ternak Limbah Pertanian dan Perkebunan Sumber beban limbah daerah pertanian berasal dari pertanian sawah irigasi dan sawah ladang serta pertanian palawija dan kebun. Lahan persawahan dua musim tanam seluas ha dan Ha satu musim tanam hampir menyebar pada beberapa daerah kecamatan, namun yang memiliki luas lebih dari 100 Ha hanyalah di Tuntang, Banyubiru, Jambu, Ambarawa, Bandungan, Bawen dan Siderejo (Tabel 4.8). 5. Sumowono Ambarawa Bandungan Bawen Sidomukti Sidorejo Argomulyo Jumlah

53 90 Beban Pencemaran Air Danau Rawapening 91 Tabel Potensi Beban Pencemaran Limbah Sawah pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening No. Kecamatan BOD (kg/hari) Total N (kg/hari) Total P (kg/hari) 1. Getasan Tuntang Banyubiru BEBAN PENCEMARAN BOD kg/hari 4. Jambu Sumowono Ambarawa Bandungan Getasan Tuntang Banyubiru Jambu Sumowono Ambarawa Bandungan KECAMATAN Bawen Sidomukti Sidorejo Argomulyo 8. Bawen Sidomukti Sidorejo Argomulyo Jumlah BEBAN PENCEMARAN Total N kg/hari Total Pkg/hari Getasan Tuntang Banyubiru Jambu Sumowono Ambarawa Bandungan Bawen Sidomukti Sidorejo Argomulyo KECAM ATAN Gambar 4.7. Potensi Beban Pencemaran Limbah Sawah pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening

54 92 Beban Pencemaran Air Danau Rawapening 93 Tabel Luas Lahan Kebun Kabupaten Semarang dalam Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening No. Kecamatan Tegalan dan Kebun Perkebunan Jumlah Ha 1. Getasan 2, , Tuntang Banyubiru 1, , Jambu 2, , BEBAN PENCEMARAN BODkg/hari 5. Sumowono Ambarawa Bandungan Getasan Tuntang Banyubiru Jambu Sumowono KECAMATAN Ambarawa Bandungan Bawen 8. Bawen Jumlah 8, , , Tabel Potensi Beban Pencemaran Limbah Lahan Kebun pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening No. Kecamatan Kebun BOD Total N Total P (ha) (kg/hari) (kg/hari) (kg/hari) 1. Getasan 2, BEBAN PENCEMARAN Getasan Tuntang Banyubiru Jambu Sumowono Ambarawa Total N kg/hari Total P kg/hari Bandungan Bawen 2. Tuntang Banyubiru 1, Jambu 2, KECAMATAN Gambar 4.8 Potensi Beban Pencemaran Limbah Lahan Kebun pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening 5. Sumowono Ambarawa Bandungan Bawen Jumlah 9, , Potensi Beban Pencemaran Daerah Tangkapan Air Berbagai sumber potensi beban pencemaran Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening menunjukkan limbah ternak adalah beban perbesar, kemudian limbah penduduk. Jumlah potensi beban pencemaran adalah kg BOD/hari, sedangkan limbah ternak mencapai kg BOD/hari atau 73,2 %, Total N kg/hari dan Total P 5244 kg/hari (Tabel 4.12 dan Gambar 4.9). Hanya sebagian beban pencemaran tersebut yang akan masuk perairan danau, karena adanya proses penguraian pada lahan dan sepanjang saluran serta sungai yang masuk danau. Selain itu pada daerah

55 94 Beban Pencemaran Air Danau Rawapening 95 permukiman sumber limbah penduduk sebagian terolah dengan septic tank, sedangkan limbah ternak sebagian terolah dengan proses kompos. Namun demikian tidak diperoleh informasi jumlah sarana tersebut. Tabel Jumlah Potensi Beban Pencemaran pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening No. Sumber BOD (kg/hari) Total N (kg/hari) Total P (kg/hari) 1. Penduduk Ternak Sawah Kebun Jumlah plankton dan eceng gondok yang tumbuh subur di danau. Oleh karena itu tingkat konsumsi pakan buatan relatif rendah, sehingga FCR juga rendah yaitu hanya 1,2 1,3. Namun demikian waktu periode budidaya menjadi lama yaitu mencapai 5-6 bulan. Hal ini karena pakan ikan yang digunakan sangat bergantung dari alam yang komposisi gizi dan volumenya berbeda dengan pakan buatan. Jumlah potensi beban pencemaran limbah budidaya ikan (limbah ikan dan sisa pakan) adalah mencapai kg BOD/hari, Total N 4.07 kg/hari dan Total P kg/hari, potensi beban BOD dari limbah budidaya ikan yang terbesar dari Kecamatan Tuntang,disusul Banyubiru, Ambarawa dan Bawen (Tabel 4.13 dan Gambar 4.10). Tabel Beban Pencemaran Limbah Pakan Ikan Danau Rawapening Kecamatan BOD kg/hari Tot N kg/hari Tot P kg/hari Tuntang POTENSI BEBAN PENCEMARAN BODkg/hari Total N kg/hari Total P kg/hari Penduduk Ternak Sawah Kebun SUMBER PENCEMARAN Gambar 4.9 Jumlah Potensi Beban Pencemaran pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening 4.2 Limbah Budidaya Ikan Sumber beban pencemaran budidaya ikan adalah limbah ikan dan sisa pakannya, khususnya pakan buatan. Konsumsi pelet pakan ikan di Danau Rawapening adalah sekitar 40 ton/bulan atau 480 ton/tahun yang di suplai oleh agen pakan ikan. Pakan untuk budidaya ikan tersebut tidak sepenuhnya berasal dari pakan buatan, akan tetapi juga dari pakan alami. Ikan herbivore seperti ikan nila memperolah pakan juga dari Banyubiru Ambarawa Bawen TOTAL BEBAN PENCEMARANAN BOD kg/hari Tot N kg/hari Tot P kg/hari Tuntang Banyubiru Ambarawa Bawen KECAMATAN Gambar 4.10 Beban Pencemaran Limbah Pakan Ikan Danau Rawapening

56 96 BAB V DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN DAN PROGRAM PENGENDALIAN BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU RAWAPENING 5.1 Karakteristik Morfometri dan Hidrologi Danau Daya tampung beban pencemaran air danau dihitung berdasarkan : a. Morfologi dan hidrologi danau; b. Alokasi beban pencemaran air danau. Daya tampung tersebut dapat dinyatakan dalam satuan luas danau atau perairan danau per satuan waktu. Rumus morfologi dan hidrologi danau adalah sebagai berikut (Tabel 5.1): a. Luas perairan (A) menggunakan hasil pengukuran tahun 2011 (luas minimal) = 1500 Ha; b. Volume (V), yaitu volume minimal = 25 juta m 3 ; c. kedalaman rata-rata (Ž) yang diperoleh dari hasil perhitungan = 1,67 m; d. Hidrologi danau, yaitu debit air keluar (Q o ), yang diperoleh dari hasil perhitungan debit minimal tahun 2010 = 9,43 m 3 /sec.; e. Laju penggantian air danau (ρ), yang diperoleh dari hasil perhitungan = 11,73/tahun; f. Waktu tinggal air di danau = 0,085 tahun. 5.2 Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) A. DTBPA Total Hasil perhitungan DTBPA danau berdasarkan karakteristik morfometrinya dan status mesotrofik adalah sebagai berikut (Tabel 5.1): a. Standar Total P (Mesotrofic) = 30 (ug/l); b. Daya dukung danau per satuan luas L = 0,812 (g P/m2.thn); c. Daya dukung danau La= (kg P/thn).

57 98 Daya Tampung Beban Pencemaran dan Program Pengendalian Beban Pencemaran Air Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) Danau Rawapening relatif rendah, karena perairannya sangat dangkal. Pengerukan dasar danau dapat meningkatkan DTBPA. B. DTBPA Budidaya Ikan Hasil perhitungan DTBPA berdasarkan alokasi Total P untuk budidaya ikan adalah sebagai berikut (Tabel 5.1): a. Alokasi Total P = 10 (ug/l); b. Daya dukung danau La= (kg P/thn); c. DTBPA pakan ikan berdasarkan FCR 1,3 = 245 (ton pakan/tahun); d. Jumlah petak KJA berdasarkan produksi 1 ton ikan/petak/tahun = 189 petak; e. Luas zone KJA berdasarkan kerapatan 150 petak/ha = 1,26 Ha. Jumlah petak KJA yang ada sekarang adalah 750 petak, sehingga harus dikurangi sebanyak 74,8 % menjadi 189 petak. C. DTBPA DAS Hasil perhitungan DTBPA berdasarkan alokasi Total P DAS Rawapening adalah sebagai berikut (Tabel 5.1): a. Alokasi Total P = 20 (ug/l); b. Daya dukung danau La= (kg P/thn). Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) DAS tersebut merupakan bahan acuan perhitungan pengendalian pencemaran air, yaitu: a. Pengendalian beban pencemaran limbah penduduk dengan pembangunan septic tank individual dan septic tank komunal; b. Pengendalian limbah ternak dengan pembangunan instalasi kompos dan biogas, khususnya pada lokasi pusat-pusat peternakan; c. Koversi pemakaian pupuk kimia untuk pertanian dengan pupuk organik atau kompos yang berasal dari limbah ternak. Tabel 5.1. Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) Danau Rawapening No. Morfometri Danau Nilai 1. Luas A (Ha) Volume V (juta m 3 ) Kedalaman rata-rata Z (m) Debit keluar Qo (m3/sec) Jumlah debit keluar Qo (juta,m3 /tahun) Penggantian air (ρ) = Q o /V (tahun -1 ) Waktu tinggal air (tahun) DTBPA total 8. Total P (Mesotrofic) (ug/l) L (g P/m2.thn) La (kg P/thn) 12,180 DTBPA Alokasi Bududaya ikan 11. Alokasi Total P (ug/l) La (kg P/thn) 4, Pakan FCR 1,3 (ton pakan/tahun) KJA (petak), prod.1 ton/petak/th Luas KJA 150 petak/ha, (Ha) Persen Luas KJA, % 0.08 DTBPA Alokasi DAS 17. Alokasi Total P (ug/l) La (kg P/thn) Beban Pencemaran Daerah Tangkapan Air Berbagai sumber potensi beban pencemaran Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening menunjukkan limbah ternak adalah beban terbesar, kemudian limbah penduduk. Jumlah potensi beban pencemaran adalah kg BOD/hari, sedangkan limbah ternak mencapai kg BOD/hari atau 73,2 %, Total N kg/hari dan Total P kg/hari. Hanya sebagian beban pencemaran tersebut yang akan masuk perairan danau, karena adanya proses penguraian pada lahan dan

58 100 Daya Tampung Beban Pencemaran dan Program Pengendalian Beban Pencemaran Air sepanjang saluran serta sungai yang masuk danau. Selain itu pada daerah permukiman sumber limbah penduduk sebagian terolah dengan septic tank, sedangkan limbah ternak sebagian terolah dengan proses kompos. Namun demikian tidak diperoleh informasi jumlah sarana tersebut. Tabel 5.2. Jumlah Potensi Beban Pencemaran pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening No. Sumber BOD (kg/hari) Total N (kg/hari) Total P (kg/hari) 1. Penduduk Ternak Sawah Kebun Jumlah POTENSI BEBAN PENCEMARAN BODkg/hari Total N kg/hari Total P kg/hari Penduduk Ternak Sawah Kebun SUMBER PENCEMARAN Gambar 5.1. Jumlah Potensi Beban Pencemaran pada Daerah Tangkapan Air Danau Rawapening 5.4 Program Pengendalian Pencemaran Air Program kegiatan pengendalian pencemaran air Danau Rawapening perlu dilaksanakan untuk berbagai sektor dan para pihak. Tabel berikut menyajikan program pengendalian Pencemaran Air Danau Rawapening (Tabel 5.3). Selain pengolahan limbah, program tersebut juga mencakup penataan, penegakan hukum dan peran serta masyarakat. Selain itu diperlukan juga program peningkatan Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) sungai dan anak-anak sungai, beserta konservasi DAS dan konservasi sumber daya air. Tabel 5.3 Program Pengendalian Pencemaran Air Danau Rawapening Sektor Program Kegiatan 1. Limbah Domestik a. Sosialisasi dan bantuan teknis aplikasi/pembangunan septictank pada perumahan penduduk b. Pembuatan septic tank komunal atau MCK plus-plus pada daerah pemukiman padat dan pemukiman sepanjang sungai dan pembuatan jaringan air limbah domestik dari rumah-rumah penduduk. c. Pembuatan IPLT pada kota-kota kecamatan dan prasarana penyedotan dan angkutan tinja d. Daur ulang limbah penduduk untuk persawahan: Perlu dibuat pilot plant integrasi saluran limbah penduduk (black water dan grey water) dengan jaringan irigasi persawahan, serta pembangunan instalasi pengolahan air limbah sangat sederhana (IPAL-SS). 2. Sampah/ Limbah a. Pengelolaan timbunan sampah pada sempadan sungai Rumah Tangga Rawapening agar tidak terbuang masuk sungai. Pembangunan sarana kebersihan/ tempat sampah sementara dilengkapi dengan sarana pembuatan kompos oleh masyarakat b. Sosialisasi Program 3 R dan Pengomposan sampah kepada masyarakat c. Pengomposan sampah organik atau mengolahan sampah organik menjadi produk bioetanol (dari sampah pasar/sampah buah)

59 102 Sektor Program Kegiatan d. Jaring sampah dan pemilahan sampah sungai, (dapat digunakan untuk usaha masyarakat pemulung sampah) 3. Limbah a. Pembinaan dan percontohan pengelolaan limbah peternakan : Peternakan pengomposan, pembuatan Instalasi biogas 5. Limbah Industri a. Peningkatan fungsi IPAL industri yang tidak memenuhi BMAL b. Peningkatan fungsi IPAL industri (jika pengoperasiaannya masih dibawah kapasitas), serta peningkatan perawatan instalasi c. Penerapan daur ulang air limbah untuk jenis industri dengan debit air limbah lebih dari 50 l/detik, antara lain industri kertas dan tekstil d. Bantuan teknis pengelolaan air limbah industri kecil 6. Konservasi DAS a. Pembangunan bangunan pengendali erosi dan sedimentasi DAS b. Perbaikan drainase permukaan c. Rehabilitasi lahan dan hutan d. Perlindungan hutan konservasi e. Pembuatan hutan rakyat f. Pembuatan hutan kota dan ruang terbuka hijau di sepanjang DAS 7. Sumber Daya Air a. Peningkatan daya dukung lingkungan dan DTBPA 8. Tata Ruang a. Penataan kawasan b. Penertiban IMB 9. Penegakan a. PROPER dan SUPERKASIH Hukum b. Pemeriksaan kualitas air dan kuantitas air limbah 10. Peningkatan a. Pelatihan keterampilan pengelolaan lingkungan Peran b. Pilot proyek percontohan dan demplot pengelolaan sanitasi Masyarakat masyarakat BAB VI ZONASI PEMANFAATAN PERAIRAN DANAU RAWAPENING 6.1 Zonasi Danau Rawapening Berdasarkan Studi yang Ada Berdasarkan studi yang ada dari instansi perikanan, maka Zonasi Danau Rawapening menghasilkan perencanaan sebagai berikut: 1. Zona Bahaya, zona bahaya terletak pada dua lokasi yaitu di Desa Bejalen Kecamatan Ambarawa, dan Desa Rowoboni di Kecamatan Banyubiru; 2. Zona Budidaya, terletak pada Desa Rowo Boni Kecamatan Banyubiru, Desa Bejalen Kecamatan Ambarawa, Desa Semurup Kecamatan Bawen dan Desa Kesongo Kecamatan Tuntang; 3. Zona Suaka, yaitu terletak di Desa Banyubiru Kecamatan Banyubiru, Desa Rowoboni Kecamatan Banyubiru, Desa Kesongo Kecamatan Tuntang; 4. Zona Penangkapan, terletak pada dua lokasi yaitu di sekitar Desa Banyubiru, Desa Kebondowo, dan Desa Sraten, Desa Kesongo. Dengan demikian bahwa dalam studi yang dilakukan oleh instansi perikanan, terdapat empat pembagian zona untuk pemanfaatan Danau Rawapening (Gambar 6.1).

60 104 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening 105 melindungi sempadan danau, selain itu dapat menjaga keutuhan morfologi danau secara fisik, sehingga mampu mengurangi pengaruh perubahan morfologi akibat perubahan alam dan kegiatan manusia (Gambar 6.2). Tanggu Gambar 6.1 Peta Zonasi Danau Rawapening Gambar 6.2 Zonasi Pemanfaatan Perairan Alternatif Satu Dengan Zona Tanggul 6.2 Usulan Zonasi Perairan Danau Rawapening Alternatif Satu Garis Pantai Danau dengan Tanggul Konsep pemanfaatan perairan danau terutama pada garis pantai adalah dengan membangun bangunan atau tanggul yang mencakup keliling danau sehingga berfungsi sebagai bangunan pengaman danau, selain itu juga berfungsi untuk konservasi danau. Fungsi bangunan tanggul ini adalah agar perubahan garis pantai di dalam sempadan danau tidak terganggu oleh kegiatan penduduk. Kenyataan saat ini dinamika masyarakat di Sekitar Danau Rawapening memberikan pengaruh terhadap kondisi Danau Rawapening selain dipengaruhi juga oleh faktor alam. Apabila tidak dilakukan langkah penanggulangan, maka pemanfaatan perairan yang tidak sesuai dengan peraturan atau ketentuan akan terjadi, sehingga akibatnya keberadaan Danau Rawapening makin terancam keberadaannya. Bangunan tanggul dapat berfungsi Zonasi Enceng Gondok Gulma air (aquatic weeds) adalah tumbuhan air yang pada suatu keadaan tertentu dianggap menimbulkan kerugian bagi manusia, atau tumbuhan air yang tidak diinginkan tumbuh, salah satu gulma air adalah enceng gondok. Tumbuhan tersebut dianggap sebagai pengganggu karena menimbulkan dampak negatif berupa gangguan terhadap pemanfaatan perairan secara optimal, misalnya mempercepat pendangkalan, menyumbat saluran irigasi, memperbesar kehilangan air melalui proses evapoptranspirasi (proses hilangnya air melalui permukaan air dan tumbuhan), mempersulit transportasi perairan, menurunkan hasil perikanan, ataupun berupa gangguan langsung dan tidak langsung lainnya terhadap kesehatan menusia serta tempat berlindung dari kejaran predator dan tempat bertelur ikan, selain itu sebagai bahan makanan manusia.

61 106 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening 107 Secara karakteristik enceng gondok tidak bisa dihilangkan begitu saja namun dapat dikendalikan karena selain mempunyai sisi negatif juga terdapat sisi positifnya. Untuk pengendaliannya tentunya diarahkan pada zona yang tidak dilakukan budidaya perikanan pada perairan umum khususnya di perairan danau karena dapat merusak keramba jaring apung dan mengganggu mobilitas para pembudidayanya. Dalam menentukan zonasi enceng gondok, terdapat dua pandangan yang berbeda. Dua pandangan tersebut adalah sebagian masyarakat Danau Rawapening menyatakan bahwa enceng gondok dapat merugikan, diantaranya: Eceng gondok yang berkembang tidak terkendali dapat merusak keramba pembudidaya; Eceng gondok menghambat mobilitas para pembudidaya atau nelayan dari satu lokasi ke lokasi lain, terutama pada daerah tepi danau dan muara danau; Eceng Gondok yang telah mati atau busuk mengendap di dasar perairan danau sehingga dapat mengakibatkan pendangkalan pada Danau Rawapening. Sebagian pihak lainnya dan atau para ahli menyatakan bahwa terdapat manfaat enceng gondok, yakni sebagai tempat terpeliharanya ekosistem ikan atau kehidupan air. A. Alternatif Penetapan Zona Enceng Gondok Berikut adalah beberapa alternatif penetapan eceng gondok : 1. Strategi penetapan zona enceng gondok adalah dengan mengurangi eceng gondok dari luas 438, Ha menjadi 21,8 Ha atau pengurangan sebesar 5 % dari luas 438 Ha; 2. Strategi penetapan zona enceng gondok adalah dengan mengurangi eceng gondok dari luas 438, Ha menjadi 43,6 Ha atau pengurangan sebesar 10 % dari luas 438 Ha; 3. Strategi penetapan zona enceng gondok adalah dengan mengurangi eceng gondok dari luas 438, Ha menjadi 87,6 atau pengurangan sebesar 20 % dari luas 438 Ha; 4. Strategi penetapan zona enceng gondok adalah dengan mengurangi eceng gondok dari luas 438, Ha menjadi 131 Ha atau pengurangan sebesar 30 % dari luas 438 Ha. Usulan pengurangan luas tersebut cukup signifikan, untuk itu dibutuhkan peran serta masyarakat dan para pemangku kepentingan, serta dilakukan secara terus menerus (kontinyu). Pengurangan dilakukan dengan cara pengangkatan enceng gondok dari perairan agar sisa neceng gondok tidak menyisakan endapan yang dapat menimbulkan pendangkalan perairan. Untuk menentukan zonasi ini diperlukan pembatasan zona enceng gondok dengan kriteria sebagai berikut : Enceng gondok ditetapkan pada daerah teluk atau daratan yang berupa teluk di perairan danau namun tidak berada atau menutup saluran air; Berada di daerah zona reservat; Enceng gondok sebagai bahan baku untuk produksi kerajinan; Enceng gondok tidak berada di zona budidaya KJA ataupun lokasi wisata. Enceng gondok diarahkan pada Kecamatan Banyubiru seluas 8 Ha yang lokasinya berada di Desa Banyu Biru, Rowo Boni, dan Desa Kebon Dowo. Juga diarahkan di Kecamatan Tuntang seluas 13 Ha di Desa Candirejo (Tabel 6.1 dan Tabel 6.2). Tabel 6.1. Luas Enceng Gondok Yang Disarankan No. Kecamatan Luas yang % Yang Disarankan Disarankan 1. Banyu Biru 8 Ha 38 % 2. Tuntang 13 Ha 62 % 3. Ambarawa Bawen - - Tabel 6.2. Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Desa-desa di Sekitar Danau Rawapening No. Nama Desa Nama Kecamatan Luas (Ha) 1. Desa Rowoboni Kec. Banyu Biru Desa Rowoboni Kec. Banyu Biru Desa Banyubiru Kec. Banyu Biru Desa Kebondowo Kec. Banyu Biru Desa Candirejo Kec. Tuntang 13 JUMLAH 21.0

62 108 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening 109 B. Alternatif Menghilangkan Zona Enceng Gondok a. Pengurangan Luas Enceng Gondok sebesar 5 % dari Luas Enceng Gondok Eksisting Untuk alternatif melakukan pengurangan enceng gondok, area pengurangan enceng gondok ditempatkan pada daerah yang berkarakteristik enceng gondok yang sudah ada dan terjadi pemadatan enceng gondok pada daerah selatan Danau Rawapening. b. Pengurangan Luas Enceng Gondok sebesar 10 % dari Luas Enceng Gondok Eksisting Alternatif pengurangan luas enceng gondok yang semula dari 438 Ha dari luas pemanfaatan perairan menjadi sebesar 43,8 Ha atau pengurangan sebesar 10% dari luas eksisting enceng gondok tahun Luas enceng gondok diarahkan pada Kecamatan Banyubiru dengan luas 39,6 Ha yakni lokasi menyebar pada Desa Banyubiru, Desa Rowoboni, dan Desa Kebondowo. Selain itu juga diarahkan berada di Kecamatan Tuntang dengan luas 4,2 Ha yakni di Desa Rowosari, karena ditinjau dari segi eksisting di Desa Rowosari merupakan satu rangkaian area enceng gondok dengan Rowoboni. Sedangkan Kecamatan Bawen dan Ambarawa tidak diarahkan untuk enceng gondok karena daerah tersebut berdasarkan kondisi eksisting tidak terdapat enceng gondok (Tabel 6.3 dan Tabel 6.4). Tabel 6.3. Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Desa-desa di Sekitar Danau Rawapening, Dengan Luas 10 % dari Luas Enceng Gondok Eksisting No. Nama Desa Kecamatan Luas (Ha) 1. Desa Banyubiru Banyubiru Desa Kebondowo Banyubiru Desa Rowoboni Banyubiru 4.0 Zona Eceng Gondo k 4. Desa Rowoboni Banyubiru Desa Rowoboni Banyubiru Desa Rowoboni Banyubiru Desa Rowoboni Banyubiru 4.9 JUMLAH Desa Rowosari Tuntang 4.2 JUMLAH 4.2 TOTAL 43.8 Gambar 6.3 Zonasi Enceng Gondok Luas 5 % dari Luas Enceng Gondok Eksisting

63 110 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening 111 Tabel 6.4 Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Kecamatan di Sekitar Danau Rawapening Dengan Pengurangan Luas 10 % dari Luas Enceng Gondok Eksisting No. Kecamatan Luas (Ha) 1. Kecamatan Banyubiru Kecamatan Tuntang Kecamatan Ambarawa 0 4. Kecamatan Bawen 0 c. Pengurangan Luas Enceng Gondok sebesar 20 % dari Luas Enceng Gondok Eksisting Alternatif ketiga adalah pengurangan enceng gondok sebesar 20 % dari luas enceng gondok eksisting atau sama dengan luas 87 Ha. Dan diarahkan berada di Kecamatan Tuntang sebesar 47,52 Ha dan di Kecamatan Banyubiru sebesar 39,90 Ha. Pada Kecamatan Banyubiru terdapat tujuh lokasi yang diarahkan untuk enceng gondok dan yang terbanyak berada pada Desa Rowoboni yaitu sebanyak 5 lokasi, karena di desa tersebut berdasarkan keadaan eksisting terdapat daerah rangkaian enceng gondok yang cukup luas. Kecamatan Tuntang terdapat 4 (empat) lokasi yang diarahkan untuk keberadaan enceng gondok, yaitu di Desa Candirejo, Desa Rowosari, dan Desa Kesongo (Tabel 6.5 dan Tabel 6.6). Zona Eceng Gondo k Tabel 6.5. Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Desa-desa di Rawapening, Pengurangan Luas 20 % dari Luas Enceng Gondok Eksisting No. Nama Desa Kecamatan Luas HA 1. Desa Banyubiru Kec. Banyubiru Desa Rowoboni Kec. Banyubiru Desa Kebondowo Kec. Banyubiru Desa Rowoboni Kec. Banyubiru Desa Rowoboni Kec. Banyubiru Desa Rowoboni Kec. Banyubiru Desa Rowoboni Kec. Banyubiru JUMLAH Desa Candirejo Kec. Tuntang Desa Rowosari Kec. Tuntang Desa Kesongo Kec. Tuntang Desa Kesongo Kec. Tuntang JUMLAH TOTAL Gambar 6.4 Zonasi Enceng Gondok Luas 10 % Dari Luas Enceng Gondok Eksisting

64 112 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening 113 Tabel 6.6 Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Kecamatan di Danau Rawapening, Pengurangan Luas 20 % dari Luas Enceng Gondok Eksisting No. Kecamatan Luas HA 1. Kecamatan Banyubiru Kecamatan Tuntang Kecamatan Ambarawa 0 4. Kecamatan Bawen 0 d. Pengurangan Luas Enceng Gondok sebesar 30 % dari Luas Enceng Gondok Eksisting Alternatif ketiga adalah pengurangan enceng gondok sebesar 20 % dari luas enceng gondok eksisting atau sama dengan luas 131 Ha. Dan diarahkan pada kecamatan Tuntang sebesar 47,26 Ha dan Kecamatan Banyubiru sebesar 85,87 Ha. Pada Kecamatan Banyubiru terdapat tujuh lokasi yang diarahkan untuk enceng gondok dan yang terbanyak berada di Desa Rowoboni yaitu sebanyak 5 lokasi, karena di desa tersebut berdasarkan keadaan eksisting terdapat daerah rangkaian enceng gondok yang cukup luas. Di Kecamatan Tuntang terdapat 4 (empat) lokasi yang diarahkan untuk enceng gondok, yaitu di Desa Candirejo, Desa Rowosari, dan Desa Kesongo (Tabel 6.7 dan Tabel 6.8). Tabel 6.7. Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Desa-desa di Sekitar Danau Rawapening, Pengurangan Luas 30 % dari Luas Enceng Gondok Eksisting No. Desa Kecamatan Luas Ha 1. Desa Banyubiru Kec. Banyubiru Desa Rowoboni Kec. Banyubiru Desa Rowoboni Kec. Banyubiru Desa Kebondowo Kec. Banyubiru Desa Rowoboni Kec. Banyubiru Desa Rowoboni Kec. Banyubiru Desa Rowoboni Kec. Banyubiru 6.44 Jumlah Desa Rowosari Kec. Tuntang Desa Lopait Kec. Tuntang Desa Candirejo Kec. Tuntang Desa Kesongo Kec. Tuntang Desa Kesongo Kec. Tuntang Jumlah TOTAL Gambar 6.5 Zonasi Enceng Gondok Luas 20 % Dari Luas Enceng Gondok Eksisting

65 114 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening 115 Tabel 6.8 Luas Enceng Gondok Yang Disarankan pada Kecamatan di Sekitar Danau Rawapening, Pengurangan Luas 30 % dari Luas Enceng Gondok Eksisting No. Kecamatan Luas Ha 1. Kecamatan Banyubiru Kecamatan Tuntang Kecamatan Bawen 0 4. Kecamatan Ambarawa Zonasi Perikanan A. Budidaya Perikanan Keramba Jaring Apung Tancap Berdasarkan kajian potensi dan masalah, maka keramba jaring apung (KJA) tancap diarahkan pada wilayah Desa Kebondowo Kecamatan Banyu Biru, Desa Tambak Boyo Kecamatan Bawen, Desa Bejalen Kecamatan Ambarawa dan Desa Candirejo Kecamatan Tuntang. Kriteria dalam penataan zonasi keramba jaring apung (KJA), adalah sebagai berikut: 1. Kolom air tidak dangkal (tergantung teknologi), sehingga perubahan pasang surut muka air tidak mempengaruhi sarana KJA dan tidak menimbulkan penyebaran endapan sisa pakan ikan dan kotoran ikan ke permukaan air danau; 2. Terdapat arus air yang membawa kadar oksigen terlarut dan membuang sisa pakan dan limbah ikan; 3. Tidak berada di teluk dan di perairan dangkal yang umumnya digunakan untuk keperluan penduduk (mandi dan renang); 4. Jarak dari pantai danau mencukupi untuk keperluan pengguna jalur lalu lintas perairan; 5. Jarak minimum dari garis pantai surut adalah 50 m; 6. Antara kelompok budi daya KJA perlu ada jalur bebas untuk lalu lintas perairan, dengan jarak minimum 50 m; 7. Bangunan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) tidak terganggu oleh sarana KJA dan sampah atau bekas bahan KJA yang telah rusak karena akan mengganggu fungsi dan umur turbin; 8. Jarak minimum dari bangunan PLTA adalah 200 m; 9. Tidak diperkenankan adanya jaring apung pada radius m pada zona wisata. Saat ini jumlah KJA di perairan Danau Rawapening sebanyak 1759 unit (Tabel 6.8 dan Gambar 6.5), kondisi ini perlu lebih ditertibkan dan ditata agar mendapatkan keselarasan di perairan danau. Zonasi diarahkan pada 4 lokasi, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6.10 dan Gambar 6.8. Penataan ini lebih diarahkan pada konsentrasi yang seimbang sehingga tidak akan mengganggu atau menghambat pemanfaaatan perairan lainnya secara umum. Gambar 6.6 Zonasi Enceng Gondok Luas 30 % dari Luas Enceng Gondok Eksisting

66 116 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening 117 Tabel 6.9 Jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Rawapening Tahun 2011 No. Kecamatan Jml Aktif Saat ini % 1. Banyu Biru Tuntang Ambarawa Bawen Jumlah Sumber: Survey Lapangan, 2011 Tabel 6.10 Jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) Yang Disarankan di Danau Rawapening No. Lokasi Kecamatan KJA TANCAP JUMLAH 1. Daerah Bukit Cinta Banyu Biru Pejalen Ambarawa Tambak Boyo Ambarawa Ngasinan Bawen Semurup Bawen Sumber: Survey Lapangan, Gambar 6.7. Jumlah Keramba Jaring Apung (KJA) (Unit) di Danau Rawapening Tahun 2011 Gambar 6.8 Peta Zonasi Budidaya Perikanan Keramba Jaring Apung (KJA)

67 118 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening 119 B. Perikanan Tangkap Seluruh perairan Danau Rawapening diarahkan sebagai daerah yang dapat digunakan untuk perikanan tangkap. Kriteria yang diperlukan dalam melakukan perikanan tangkap adalah : 1. Penggunaan jaring dengan kerapatan yang ditentukan, sehingga tidak mengganggu perkembangan ikan-ikan kecil/benih dan telur ikan endemik; 2. Penggunaan jaring tidak berada di zona budidaya jaring apung dan zona eceng gondok, dan zona dermaga. 3. Jaring tancap untuk tangkap hendaknya tidak ditebar pada jalur lintas perahu; 4. Alat tangkap seperti bagan tidak diperkenankan mengandung aliran listrik atau lintasan kawat/kabel listrik yang dapat membahayakan masyarakat yang melintas di perairan danau; 5. Lokasi penangkapan hendaknya tidak berada di muara sungai; 6. Lokasi penangkapan tidak berada di daerah wisata seperti daerah wisata Bukit Cinta Zonasi Pariwisata Fasilitas wisata Air di sub kawasan Bukit Cinta selain untuk memenuhi kebutuhan rekreasi bagi masyarakat Kabupaten Semarang juga untuk merespon terhadap kuatnya mobilitas baik wisatawan maupun umum yang melakukan perjalanan antar kota khususnya kota Semarang, Surakarta dan Yogyakarta. Potensi atraksi wisata air merupakan suatu bentuk alternatif dari wisata yang mempunyai orientasi kuat terhadap air. Air menjadi simbol dan mempunyai peran utama dalam setiap atraksi yang ditampilkan arena wisata air, diperlukan perencanaan dan perancangan bangunan rekreasi air di Kawasan Bukit Cinta, untuk itu dibutuhkan sarana rekreasi air sebagai salah satu bentuk atraksi wisata yang ditawarkan dalam rangkaian paket wisata Danau Rawapening di kabupaten Semarang. Jenis Rekreasi yang bisa dikembangkan di Objek Wisata Bukit Cinta adalah, sebagai berikut: Menyediakan sarana untuk bersantai di kawasan wisata air menikmati pemandangan; Menyediakan perahu dan alat pancing; Perahu untuk wisata keliling perairan; Kolam renang untuk anak dan dewasa; Sepeda air Bukit Cinta. Wilayah dengan keadaan yang menarik dan indah baik alam maupun buatan dapat dimasukkan ke dalam zona rekreasi atau wisata. Wilayah tersebut hendaknya dekat dengan lokasi permukiman penduduk. Data masukan penetapan zona rekreasi atau wisata dapat berupa peta kelas kelerengan, peta tipe vegetasi, peta jaringan sungai. Sedang data sekunder adalah berupa data tentang kondisi danau dan keindahan alam disekitar danau. Zonasi rekreasi/wisata pada danau ditetapkan berdasarkan pertimbangan khusus yang bertujuan tidak merusak lingkungan dan menimbulkan kerusakan. Kriteria lokasi wisata: 1. Bangunan wisata seperti cottage, hotel, restaurant/cafe tidak berada didaerah perlindungan setempat (peraturan sempadan danau); 2. Bangunan sarana wisata tidak diperkenan berada di perairan danau; 3. Jenis wisata yang ada adalah jenis wisata panorama namun perairan danau tidak bisa dimanfaatkan untuk olah raga air karena kualitas air yang kurang baik dan terdapat gulma air/eceng gondok; 4. Tidak berada di muara sungai dan sekitarnya; 5. Tidak berada di zona Keramba Jaring Apung (KJA); 6. Tidak berada pada daerah konservasi ikan; 7. Bebas gulma atau enceng gondok; 8. Arus air disekitarnya tenang, dan tidak ada air limbah yang masuk. Alokasi wisata di arahkan pada daerah (Lihat Gambar 6.9): 1. Lokasi wisata dan rekreasi danau yang terletak di Kecamatan Banyu Biru, yaitu Bukit Cinta merupakan lokasi yang wisata yang dilengkapi dengan sarana wisata (hotel, restauran); 2. Lokasi wisata di Kecamatan Tuntang, lokasi tersebut terletak di jalur strategis jalan arteri (jalan kabupaten) yang menghubungkan antar kabupaten semarang dengan kabupaten lainnya.

68 120 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening Zonasi Dermaga Perahu Dermaga merupakan sarana transportasi air yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan aktivitas sosial dan ekonomi. Kriteria dermaga : 1. Penempatan dermaga hendaknya ditempatkan pada daerah yang dekat pusatpusat pertumbuhan atau pusat kegiatan sosial dan ekonomi, khususnya pada pusat kecamatan; 2. Dermaga sebagai sarana penunjang wisata air lokasi di daerah objek wisata; 3. Lokasi dermaga tidak bercampur dengan zona keramba jaring apung (KJA) agar sisa bahan bakar dari perahu atau kapal motor tidak mencemari daerah budidaya keramba jaring apung (KJA). Alokasi Dermaga diarahkan pada wilayah (Gambar 6.10): 1. Desa Kebondowo di Objek Wisata Bukit Cinta, dermaga ini melayani kebutuhan transportasi di wilayah Kecamatan Banyu Biru; 2. Desa Tuntang Kecamatan Tuntang, dermaga ini melayani kebutuhan transportasi di wilayah Kecamatan Tuntang. Gambar 6.9 Peta Zonasi Wisata

69 122 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening Zonasi Lindung Kriteria wilayah (zona) yang harus masuk kedalam zona lindung antara lain adalah zona di sekitar danau yaitu m dari pinggiran danau, zona resapan air, kelerengan lahan di sekitar lokasi danau > 45%, jenis tanahnya rapuh dan mudah longsor, pelindung mata air sekurang kurangnya berjari jari 200 m di sekeliling muka air danau tersebut. Data masukan yang diperlukan untuk penetapan zona lindung ini meliputi antara lain: peta topopgrafi dan bathimetri danau, peta kelas kelerengan lahan, peta jenis tanah, peta jaringan sungai, penyebaran penduduk (aspek pencemaran), curah hujan, dan terakhir vegetasi. Zona lindung ini perlu dipertahankan karena disamping untuk mempertahankan kondisi morfologi danau juga akan mengurangi sedimentasi akibat aktivitas masyarakat, kelerengan lahan yang curam di sekitar danau dan tanahnya sangat peka terhadap erosi. Disamping itu zona lindung juga mengurangi beban pencemaran danau akibat aktivitas masyarakat di sekitar danau seperti sampah, deterjen, bahan bakar kendaraan bermotor (BBM) yang tumpah dari perahu motor dan lain-lain. A. Sempadan Danau Kebijakan pemanfaatan ruang yang ditujukan bagi perlindungan kawasan sekitar danau, antara lain: Pencegahan dilakukannya kegiatan budidaya di sekitar danau yang dapat mengganggu fungsi danau; Pengendalian kegiatan yang telah ada di sekitar danau; dan Pengamanan di daerah hulu. Zona sempadan danau diarahkan pada seluruh perairan danau 50 meter dari garis pasang tertinggi muka air danau. Berbagai bangunan yang ada tidak boleh didirikan pada zona sempadan danau. Karena zona merupakan daerah perlindungan setempat yang berfungsi menjaga daerah konservasi danau Gambar 6.10 Peta Zona Wisata B. Mata Air Mata air merupakan zona perlindungan, yang mana sumber mata airnya terletak di perairan danau yaitu daerah di Desa Rowoboni Kecamatan Banyubiru. Lokasi tersebut dekat dengan kawasan wisata Bukit Cinta. Berbagai kegiatan tidak boleh

70 124 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening 125 menganggu atau merusak fungsi mata air, termasuk tidak boleh ada budidaya keramba di atas mata air tersebut. Gambar 6.11 Peta Zona Mata Air Untuk lebih jelasnya rangkuman lokasi zonasi pemanfaatan perairan Danau Rawapening Alternatif Satu dapat dilihat pada Tabel Tabel 6.11 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening Alternatif Satu Dengan Tanggul No. Zona Mata Air Zonasi Pemanfaatan Perairan 1. Perikanan Keramba Jaring Apung Lokasi Desa Bejalen Kecamatan Ambarawa Kelurahan Tambak Boyo Kecamatan Bawen Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru Desa Candirejo Kecamatan Tuntang No. Zonasi Pemanfaatan Lokasi Perairan 2. Perikanan Tangkap Berada tengah perairan 3. Pariwisata Kecamatan Banyu Biru Desa Kebondowo di Bukit Cinta, Kecamatan Tuntang, Desa Tuntang (Jenis wisata Panorama dan Wisata Air) 4. Dermaga Kecamatan Banyu Biru di Desa Kebondowo yakni Bukit Cinta dan Kecamatan Tuntang di Desa Tuntang 5. Sempadan Danau Seluruh Perairan Danau 6. Eceng Gondok Luas 21 Ha atau 5 % dari luas eceng gondok eksisting Lokasi berada di : - 8 Ha di Kecamatan Banyubiru yakni di Desa Banyubiru, Desa Kebondowo, Desa Rowoboni; - 13 Ha di Kecamatan Tuntang yakni di Desa Candirejo Luas 43,6 Ha atau 10% dari luas eceng gondok eksisting - 39,6 Ha Kecamatan Banyu Biru, berada di Desa Banyubiru, Desa Rowoboni, dan Desa Kebondowo - 4,2 Ha Kecamatan Tuntang, berada di Desa Rowosari, Luas 87,6 Ha atau 20% dari luas eceng gondok eksisting - 39,9 Ha Kecamatan Banyu Biru, berada di Desa Banyubiru, Desa Rowoboni, dan Desa Kebondowo - 47 Ha Kecamatan Tuntang, berada di Desa Candirejo, Desa Rowosari, dan Desa Kesongo Luas 131 Ha atau 30% dari luas eceng gondok eksisting, yaitu: - 45 Ha di kecamatan Banyubiru yang berada di Desa Banyubiru, Desa Roowoboni, Desa Kebon Dowo, - 85,9 Ha berada di Kecamatan Tuntang yang

71 126 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening 127 No. Zonasi Pemanfaatan Perairan Lokasi berada di Desa Rowosari, Desa Lopait, Desa Candirejo, Desa Kesongo, 7. Mata Air Daerah Bukit Cinta, Kecamatan Banyubiru 8. Tanggul Sekeliling Danau Rawapening, terbagi 3 bagian: Bagian timur: Zona Tanggul sepanjang 3859,34 m yang berada di Desa Tuntang Kecamatan Tuntang hingga Desa Candirejo Kecamatan Tuntang Bagian Selatan: Zona tanggul sepanjang 2097 m pada Desa Rowoboni Kecamatan Banyubiru, dan zona tanggul di Desa Rowosari Kecamatan Tuntang sepanjang 1291,97 m dari tepi perairan ke bantaran Kali Kraten Bagian Barat dan Utara: Zona tanggul sepanjang m dari Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru hingga Kelurahan Tambakboyo Gambar 6.12 Zonasi Pemanfaatan Perairan dengan Pertanian Pasang Surut 6.3 Usulan Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening Alternatif Kedua, dengan Pemanfaatan Pertanian Satu Kali Panen Kontur Volume 462,05 m Sampai 462,30 Pemanfaatan penanaman padi pada saat air surut musim kemarau dapat memberikan nilai manfaat untuk sektor budidaya, selain itu ditinjau dari aspek ekonomi juga dapat memberikan manfaat pada peningkatan aspek mata pencaharian masyarakat sekitar Danau Rawapening, serta dapat memberikan kontribusi pangan pada daerah sekitar Rawapening. Pemanfaatan perairan danau disini lebih ditekankan pada hak menanam padi pada saat musim kemarau pada sawah-sawah yang terletak di antara garis kontur volume 462,05 m 3 sampai dengan 462,30 m. Pemanfaatan tersebut dapat dilakukan pada produksi satu kali panen Pola Pemanfaatan Lahan Pertanian Tanaman Padi Satu Kali Panen Pertanian satu kali panen pada kontur tersebut berada pada sekeliling Danau Rawapening. Waktu tanam sangat ditentukan menurut ketentuan yang berlaku. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam budidaya tersebut adalah pemanfaatan pestisida maupun pupuk buatan atau urea yang akan mempengaruhi lingkungan terutama pada tanah dan perairan danau, yang secara langsung akan terkena dampaknya. Sehingga pola tanam yang tepat dengan memperhatikan kaidah kelestarian lingkungan danau sangat diperlukan. Kriteria yang diperlukan adalah : 1. Zona Pertanian tidak berada di daerah saluran inlet maupun outlet, karena akan mengganggu fungsi sistem pengairan. Sehingga apabila dalam keadaan air surut maka tidak diperkenankan budidaya padi yang mampu menutupi daerah sekitar inlet.

72 128 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening Zona Pertanian tidak berada pada daerah dermaga perahu, karena bagaimanapun ceceran oli dari perahu/kapal bermotor akan mempengaruhi pertanian. Selain itu zona pertanian juga tidak mengganggu lintasan perahu. 3. Diperlukan pengaturan jarak yang aman antara dermaga dengan pertanian agar tidak terjadi tumpang tindih fungsi Zonasi Enceng Gondok Secara umum luas zona enceng gondok pada alternatif pertama dengan alternatif kedua tidak mengalami perubahan, namun ditinjau dari aspek lokasi akan terjadi pergeseran yaitu antara lain mempengaruhi wilayah bentuk keberadaan enceng gondok. Pada alternatif pertama bentuk wilayah enceng gondok mengikuti lekukan dinding tanggul yang cendrung lurus, sedangkan pada alternatif kedua, wilayah bentuk enceng gondok mengikuti alur bantaran danau yang dibatasi dengan zona tanam padi satu kali panen. Seperti halnya pada usulan pertama, usulan zona enceng gondok terbagi menjadi 3 (tiga) alternatif, yaitu: Strategi penetapan zona enceng gondok adalah dengan mengurangi enceng gondok dari luas 438, Ha menjadi 43,6 Ha atau pengurangan sebesar 10 % dari luas 438 Ha (Gambar 6.11); Strategi penetapan zona enceng gondok adalah dengan mengurangi enceng gondok dari luas 438, Ha menjadi 87,6 atau pengurangan sebesar 20 % dari luas 438 Ha (Gambar 6.12); Strategi penetapan zona enceng gondok adalah dengan mengurangi eceng gondok dari luas 438, Ha menjadi 131 Ha atau pengurangan sebesar 30 % dari luas 438 Ha (Gambar 6.13). Gambar 6.13 Zonasi Enceng Gondok Luas 10 % Dari Luas Enceng Gondok Eksisting

73 130 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening 131 Gambar 6.14 Zonasi Enceng Gondok Luas 20 % Dari Luas Enceng Gondok Eksisting Gambar Zonasi Enceng Gondok Luas 30 % Dari Luas Enceng Gondok Eksisting

74 132 Zonasi Pemanfaatan Perairan Danau Rawapening Zonasi Perikanan A. Budidaya Perikanan Keramba Jaring Apung (KJA) Tancap Berdasarkan kajian potensi dan masalah maka keramba jaring apung (KJA) tancap diarahkan pada wilayah: Desa Kebondowo Kecamatan Banyu Biru, Desa Tambak Boyo Kecamatan Bawen, Desa Bejalen Kecamatan Ambarawa dan Desa Candirejo Kecamatan Tuntang (Gambar 6.16). Kriteria yang berlaku untuk zona ini sama dengan alternatif satu yang sudah dijelaskan pada sub bab ZONA ENCENG Gambar 6.17 Zonasi Pemanfaatan Dermaga Perahu/Kapal Gambar 6.16 Zonasi Perikanan Zonasi Dermaga Perahu Lokasi Dermaga dari segi lokasi tidak ada perubahan baik alternatif pertama dengan yang kedua yaitu berada pada objek wisata Bukit Cinta Desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru dan dermaga pada Desa Tuntang Kecamatan Tuntang. Namun, yang dibutuhkan adalah pemanfaatan lahan padi dapat disesuaikan jaraknya dengan lokasi dermaga (Gambar 6.17) Zonasi Pariwisata Pada Zonasi pariwisata, lokasi wisata alternatif kedua ini sama dengan alternatif pertama. Begitu juga dengan berbagai syarat atau kriterianya. Namun ada kriteria tambahan yang diperlukan untuk zona pariwisata ini, bahwa hendaknya disekitar zona pariwisata terutama di perairan danau tidak diperkenankan adanya pertanian padi satu kali panen, dengan demikian tidak akan terjadi tumpang tindih lahan pada pola alternatif kedua. Hal ini penting ditegaskan, karena pada kegiatan pariwisata kemungkinan fasilitas wisata dikembangkan kepada wisata air, yang dilengkapi dengan fasilitas sepeda air, dan yang lainnya, sehingga tidak akan mengganggu aktifitas pertanian di sekitarnya (Gambar 6.18).

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran merupakan dampak negatif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh makhluk hidup baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan sebagai penunjang kebutuhan dasar. Oleh karena itu, keberadaan

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PERUNTUKAN AIR DAN PENGELOLAAN KUALITAS AIR SUNGAI TUNTANG DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2013 0 BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu dari luar sistem perairannya sehingga dapat dinetralkan atau distabilkan kembali dalam jangka waktu

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan tawar, dan berfungsi sebagai penampung dan menyimpan air yang berasal dari air sungai, mata air maupun air hujan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki lebih dari 500 danau dengan luas keseluruhan lebih dari 5.000 km 2 atau sekitar 0,25% dari luas daratan Indonesia (Davies et al.,1995), namun status

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PERUNTUKAN AIR DAN PENGELOLAAN KUALITAS AIR SUNGAI PEMALI DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Mulur Sukoharjo merupakan objek wisata alam yang terletak di provinsi Jawa Tengah.Tepatnya berada di daerah Kabupaten Sukoharjo, Kecamatan Bendosari, Kelurahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yang terkandung di dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami di lahan yang relatif

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya air merupakan salah satu sumberdaya alam yang menjadi prioritas dari lima area kunci hasil Konferensi Sedunia Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 02 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG Menimbang NOMOR 02 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI KABUPATEN TABALONG

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok merupakan salah satu daerah penyangga DKI Jakarta dan menerima cukup banyak pengaruh dari aktivitas ibukota. Aktivitas pembangunan ibukota tidak lain memberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin Tahun 2012 2032merupakan suatu rencana yang disusun sebagai arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Banyuasin untuk periode jangka panjang 20

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan 25 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian adalah 5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status trofik merupakan indikator tingkat kesuburan suatu perairan yang dapat ditentukan oleh faktor-faktor yang meliputi nutrien perairan, produktivitas fitoplankton

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBAK, Menimbang : Mengingat : a. bahwa sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang memiliki luas 240 ha. Pemanfaatan lahan di sekitar Waduk Cengklik sebagian besar adalah

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa lingkungan laut beserta sumber

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, S A L I N A N PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu

Lebih terperinci

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN I. PENDAHULUAN Saat ini budidaya ikan di waduk dengan menggunakan KJA memiliki prospek yang bagus untuk peningkatan produksi

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA)

PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) PP 27/1991, RAWA... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal: 2 MEI 1991 (JAKARTA) Sumber: LN 1991/35; TLN NO. 3441 Tentang: RAWA Indeks:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk pelebaran alur atau badan atau palung sungai (PerMen LH No 28 Tahun 2009). Waduk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau merupakan perairan umum daratan yang memiliki fungsi penting bagi pembangunan dan kehidupan manusia. Secara umum, danau memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100 km x 30 km di Sumatera Utara, Indonesia. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

GERAKAN PENYELAMATAN DANAU (GERMADAN) DANAU RAWAPENING

GERAKAN PENYELAMATAN DANAU (GERMADAN) DANAU RAWAPENING GERAKAN PENYELAMATAN DANAU (GERMADAN) DANAU RAWAPENING KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP 2011 TIM PENYUSUNAN GERAKAN PENYELAMATAN DANAU (GERMADAN) DANAU RAWAPENING 1. Pengarah : - Ketua Komisi VII DRP RI (

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA

2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen pokok dan mendasar dalam memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup di bumi. Menurut Indarto (2012) : Air adalah substansi yang paling melimpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Perairan ini meliputi perairan laut, payau, maupun perairan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 48 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012-2032 DISEBARLUASKAN OLEH : SEKRETARIAT DEWAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 186 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa berkisar antara 28.5 30.0, dengan rata-rata keseluruhan 26,18 0 C. Nilai total padatan tersuspensi air di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI PROVINSI GORONTALO

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU SALINAN BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, Menimbang : a.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk merupakan badan air tergenang yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk memanjang mengikuti bentuk dasar sungai sebelum dijadikan waduk. Terdapat

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.209, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Ekosistem gambut. Perlindungan. Pengelolaan.(Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR R Rodlyan Ghufrona, Deviyanti, dan Syampadzi Nurroh Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Situ

Lebih terperinci

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan.... DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Gambar Daftar Grafik i ii vii viii Bab I Pendahuluan. 1.1. Dasar Hukum..... 1.2. Profil Wilayah Kabupaten Sijunjung... 1.2.1 Kondisi Fisik

Lebih terperinci