Gambar III.1. Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar III.1. Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)"

Transkripsi

1 Bab III Tinjauan Daerah Penelitian III.1. Fisiografi dan Geomorfologi Daerah Secara regional, fisografi Jawa Barat terbagi atas 4 bagian besar, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949), sebagaimana terlihat pada Gambar III.1. Desa Cinyasag, Kabupaten Ciamis terletak pada Zona Bogor bagian timur, yang terbentang memanjang barat - timur melalui kota Bogor sampai Bumiayu di Jawa Tengah. Pada lembar Geologi Indonesia, daerah penelitian termasuk dalam Lembar Tasikmalaya oleh T. Budhitrisna, yang dicirikan oleh beberapa corak morfologi. Daerah Penelitian Gambar III.1. Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) III.1.1 Zona Dataran Pantai Jakarta Daerah ini memanjang ke timur dari ujung barat Pulau Jawa, mengikuti pantai utara Jawa Barat ke kota Cirebon, dengan lebar sekitar 40 km. Morfologi daerah 27

2 ini umumnya datar, kebanyakan ditutupi oleh endapan sungai, dan sebagian lagi oleh lahar gunungapi muda. III.1.2 Zona Bogor Zona Bogor terletak di sebelah selatan Dataran Pantai Jakarta. Daerah ini memanjang dari barat ke timur melalui kota Bogor, Purwakarta menerus ke Bumiayu di Jawa Tengah, dengan lebar maksimum sekitar 40 km. Zona Bogor umumnya mempunyai morfologi berbukit-bukit yang umumnya memanjang barat - timur di sekitar kota Bogor, sedangkan pada daerah sebelah timur Purwakarta perbukitan ini membelok ke selatan, membentuk perlengkungan di sekitar kota Kadipaten. Van Bemmelen (1949) menamakan perbukitan ini sebagai antiklinorium. Beberapa intrusi telah membentuk morfologi yang lain pula yang umumnya mempunyai relief lebih terjal. Sedangkan aliran sungai umumnya ke arah utara bersifat subsekuen terhadap jurus perlipatan. Namun ada beberapa tempat sungainya membentuk pola dendritik, disebabkan sifat batuan yang dilaluinya tidak berlapis dan monoton. III.1.3 Zona Bandung Batas antara Zona Bogor dengan Zona Bandung yang berada di selatannya, tidak terlalu jelas di lapangan, karena tertutup oleh endapan gunungapi muda. Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa zona ini merupakan depresi diantara gunung-gunung (intermontagne depression). Zona ini melengkung dari Pelabuhan Ratu mengikuti Lembah Cimandiri menerus ke timur melalui kota Bandung, dan berakhir di Segara Anakan di muara S. Citanduy, dengan lebar antara km. III.1.4 Zona Pegunungan Selatan Batas zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dengan Zona Bandung di beberapa tempat sangat mudah dilihat, seperti misalnya di Lembah Cimandiri. Di sini batas tersebut merupakan perbedaan morfologi yang menyolok dari perbukitan bergelombang pada Lembah Cimandiri, langsung berbatasan dengan dataran 28

3 tinggi dari Pegunungan Selatan, dengan beda tinggi sekitar 200 m (Pannekoek, 1946). Morfologi Pegunungan Selatan Jawa Barat telah dipelajari secara mendalam oleh Pannekoek (1946), dan menekankan pentingnya dua generasi morfologi, yakni : morfologi Pra-Miosen Akhir dan morfologi Resen. Kedua satuan morfologi ini dibatasi oleh ketidak selarasan. III.1.5 Morfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian dikontrol oleh struktur (sesar, lipatan) dan vulkanik. Geomorfologi yang dikendalikan oleh struktur seperti sesar dan lipatan, disebut Satuan Denudasi Struktur. Satuan ini terhampar sangat luas dengan variasi topografi dan kemiringan lereng serta litologi yang beragam. Sementara itu satuan morfologi yang dikendalikan oleh penyebaran hasil letusan gunungapi dikenal dengan Satuan Denudasi Vulkanik. Litologi satuan ini relatif homogen, berupa endapan hasil letusan gunungapi (Van Zuidam, 1985) Gambar III Kenampakan morfologi daerah penelitian dari citra satelit (Google Earth) Berdasarkan kenampakan bentang alamnya, Van Zuidan (1985) membagi morfologi daerah penelitian dan sekitarnya menjadi beberapa sub satuan denudasi, yakni S1, S2, S3, V10, dan V11. Sub satuan S1 terbentang di sebelah baratdaya lokasi penelitian dengan kemiringan lereng relatif landai ( ). Morfologi sub 29

4 satuan ini tersusun oleh batuan dengan tingkat kekerasan lunak sedang, seperti batulempung, batupasir berselangseling batulempung. Sub satuan S2 memiliki bentuk morfologi dan sifat batuan yang hampir sama dengan S1. S2 terbentang di sebelah timurlaut lokasi penelitian yang dibatasi oleh tebing-tebing yang terjal dengan pola aliran sungai yang dikontrol oleh litologi. Sementara itu S3 memanjang dari baratlaut sampai tenggara melewati daerah penelitian. Bentuk morfologi merupakan perbukitan yang luas dengan kemiringan lereng antara Batuan penyusunnya merupakan batuan keras seperti batupasir, breksi volkanik, perselingan batulempung dan batupasir. Sub satuan V10 terbentang di sebelah utara lokasi penelitian dengan bentuk morfologi berupa dataran luas yang memiliki kemiringan sekitar Morfologi ini tersusun oleh batuan dengan tingkat kekerasan lunak, seperti endapan tufa yang menyusun perbukitan bergelombang rendah. Sedangkan V11 terhampar dari barat ke baratdaya melewati kampung Kondang (salah satu lokasi pengambilan data). Morfologinya berupa perbukitan terjal dengan kemiringan lereng dengan batuan penyusun yang memiliki tingkat kekerasan sedang keras, seperti lahar dan breksi. Pola aliran sungai adalah dendritik karena kemenerusan aliran sungai tidak dipengaruhi oleh struktur geologi. Erosi yang paling intensif terjadi pada Sungai Cigede. Daerah Cinyasag yang termasuk dalam sub satuan S3 dan V11 berada pada kaki lereng Gunung Cijulang (±1393m) sebelah tenggara, yang membentuk perbukitan melandai (Gambar III.3) ke arah sungai S. Cigede yang bermuara ke S. Cijulang dengan pola aliran sungai sub dendritik dan bersifat mengalir tidak mengenal musim seperti terlihat pada Gambar III.4. Ketinggian daerah penelitian berkisar antara 600 sampai 755 meter di atas permukaan laut, sedangkan puncak-puncak bukitnya antara lain: Pasir Heulang (±731m), Pasir Simpur (±550 m) dan Gunung Datar (±735 m). 30

5 Gambar III.3. Gambaran morfologi daerah penelitian (Pusat vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Bandung, 2005) PETA LOKASI DAERAH PENELITIAN GERAKAN TANAH DI DESA CINYASAG, KEC. PANAWANGAN, KAB. CIAMIS - JAWA BARAT Cirikip Lokasi Penelitian Gambar III.4. Pola aliran sungai daerah enelitian (Pusat vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Bandung, 2005) 31

6 III.2. Stratigrafi dan Struktur Geologi Berdasarkan peta geologi lembar Tasikmalaya stratigrafi dibedakan jenisnya, antara lain: Endapan Permukaan terdiri atas Endapan Undak dan Aluvium; Batuan Sedimen tersusun oleh beberapa Formasi, yaitu Formasi Jampang, Formasi Pemali, Batugamping Kalipucang, Formasi Halang, Anggota Gununghurip, Formasi Bentang, Anggota Sukaraja, Formasi Tapak, dan Formasi Kaliwangu; Batuan Gunungapi juga tersiri atas beberapa Formasi, yaitu Formasi Cijulang, Hasil Gunungapi Tua, Hasil Gunungapi Muda, dan Breksi Gunungapi Galunggung; dan Batuan Terobosan terdiri atas Dasit, Diorit, dan Andesit. Sedangkan di sekitar daerah penelitian terdapat tiga Formasi utama yang umum dijumpai, yaitu Formasi Halang, Formasi Cijulang dan Hasil Gunungapi Tua (Gunung Sawal). Formasi Halang merupakan batuan sedimen yang terdiri atas: perselingan batupasir, batulempung dan batulanau dengan sisipan breksi dan batupasir gampingan yang memiliki ketebalan melebihi 400 m. Batuan umumnya berwarna kelabu sampai kehijauan, berlapis baik, keras dan padat. Pada Formasi Halang, tersingkap Anggota Gunung Hurip yang tersusun oleh breksi gunungapi, batupasir, serpih, dan konglomerat dengan tebal sekitar m. Batuan umumnya berwarna kelabu berlapis baik. Sedangkan Formasi Cijulang terdiri atas breksi gunungapi bersisipan lava, tufa, dan batupasir tufaan dengan ketebalan paling besar 1000 m. Breksi berwarna kelabu, keras dan pejal berkomponen andesit. Satuan ini tertutup oleh Hasil Gunungapi Gunung Sawal tak selaras di bagian timurlaut. Breksi gunungapi tersebut menumpang di atas batulempung dan batulanau secara tidak selaras. Hal ini dapat dilihat dalam kolom stratigrafi yang ditampilkan pada lampiran B1. Struktur geologi yang ada di daerah ini berupa patahan naik (sesar naik) menyudut lancip dengan arah baratlaut selatan menenggara, terletak di bagian utara kampung Kondang yang melalui daerah Sadapaingan Citanduy seperti terlihat pada Gambar III.5. Pengaruh dan akibat sesar tersebut terlihat jelas di lapangan bahwa adanya batulempung dan batulanau pada jurus dan kemiringan lapisan 32

7 yang besar atau tidak beraturan di beberapa lokasi dan terdapat gawir gerakan tanah lama sehingga mempengaruhi kekerasan batuan dan kestabilan lereng. Gambar III.5. Peta Geologi Daerah Penelitian (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Bandung, 2005) III.3. Tata Guna Lahan Pada umumnya, tata guna lahan daerah penelitian adalah perkebunan campuran (berupa pohon albasia, kopi, bambu dan beberapa jenis tanaman produktif lainnya); di lereng bagian bawah merupakan permukiman (Kondang, Cirikip dan Cinyasag); jalur jalan raya, dan persawahan yang subur, seperti terlihat pada Gambar III.6a,b. Kondisi air permukaan di daerah penelitian cukup melimpah, yaitu dengan adanya anak-anak sungai yang berasal dari Gunung Cijulang dan saluran irigasi yang melalui daerah penelitian mengarah ke Sungai Cigede. Selain itu, masyarakat setempat mengembangkan peternakan ikan air tawar yang membutuhkan sirkulasi air permukaan yang cukup (Gambar III.6c). Berdasarkan hasil pengamatan curah hujan daerah penelitian antara tathunn 2000 sampai 2006 di stasiun penakar hujan di Kecamatan Panawangan yang berjarak lebih kurang 1 km, menunjukkan bahwa curah hujan terendah terjadi pada bulan April sampai September, yaitu sekitar 142,00 201,00 mm/bln. Sedangkan 33

8 intensitas curah hujan bulanan tertinggi antara bulan Oktober sampai Maret adalah 279,00 mm/bln sampai 578,50 mm/bln. Gambar III.6. (a) (b) (c) Keadaan daerah penelitian; (a) Morfologi perbukitan dengan berbagai macam tumbuhan, (b) tanaguna lahan sebagai persawahan, (c) kolam atau tambak air tawar sebagai salah satu kegunaan lahan III.4. Gerakan Tanah Gerakan tanah atau dikenal dengan tanah longsor didefinisikan sebagai hasil proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan terjadinya perpindahan material pembentuk lereng yang berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau campuran material tersebut bergerak ke daerah yang lebih rendah atau keluar lereng oleh gaya gravitasi. Tanah longsor dapat terjadi pada lereng-lereng yang hambat geser tanah/batuannya lebih kecil daripada berat massa tanah atau batuan itu sendiri. Misalnya pada daerah tebing, sungai, danau, reservoar, dan dasar laut yang berbentuk lereng pegunungan. Proses terjadinya tanah longsor, yakni: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot (berat) tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperang sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng. Menurut Sadisun (2004), tanah longsor adalah pergerakan massa tanah atau batuan secara gravitasional yang dapat terjadi secara perlahan maupun secara tibatiba, dengan dimensi yang sangat bervariasi berkisar dari beberapa meter hingga ribuan kilometer. Tanah longsor dapat terjadi secara alami ataupun dipicu oleh 34

9 adanya ulah manusia. Terjadiannya tanah longsor sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan manusia seperti penggundulan hutan di sekitar lereng, penataan air yang tidak memadai dan pembukaan lahan dari lahan kering ke lahan basah terutama pada daerah lereng yang terjal. Meskipun penyebab utama terjadinya tanah longsor ini adalah gaya gravitasi (gaya tarik bumi) yang mempengaruhi suatu lereng yang terjal, namun ada beberapa faktor lain yang turut memegang peranan penting akan terjadinya tanah longsor, antara lain: pengaruh air, faktor kemiringan lereng, struktur geologi dan kegempaan. Selain daripada itu, ada beberapa hal yang dapat memicu terjadinya tanah longsor, yaitu: 1. Tanah yang kurang padat dan batuan yang kurang kuat 2. Tataguna lahan yang berupa persawahan dan ladang berpindah. 3. Susutnya muka air danau dan bendungan 4. Adanya pembebanan dan timbunan material pada tebing 5. Bekas gerakan tanah lama dan tempat pembuangan sampah 6. Penggundulan hutan dan erosi, dll. Terjadinya tanah longsor tidak lepas dari faktor kegagalan lereng secara mendadak dan faktor aliran material/massa. Dengan demikian tanah longsor dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama, yaitu: falls (jatuhan pecahan tanah dan batuan), slides (longsoran tanah dan batuan), dan flows (longsoran yang mengalir seperti cairan kental (Allan & Ludman, 1982). III.4.1 Falls Falls adalah gerak pecahan batuan (besar/kecil) yang terlepas dari batuan dasar dan jatuh bebas. Biasanya terjadi pada tebing-tebing terjal, dimana material tidak stabil, sehingga dapat langsung jatuh atau membentur-bentur dinding tebing sebelum sampai di bawah tebing. Contoh falls sering dijumpai pada tebing-tebing di pinggir laut (Gambar III.7)dan pinggir jalan yang baru dikupas, terutama yang batuannya masih segar atau agak lapuk dan banyak rekahan. 35

10 Gambar III.7. Jatuhan atau runtuhan batu (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007) III.4.2 Slides Slides adalah material yang bergerak masih agak koheren dan bergerak di atas suatu permukaan bidang. Bidang luncurannya dapat berupa bidang rekahan, kekar atau bidang perlapisan yang sejajar dengan lereng. Slides dibedakan menjadi a) Rockslide (longsoran massa batuan dengan bentuk plat) dan b) Slump (longsoran massa dengan permukaan melengkung) yang biasa disebut dengan longsor rotasi sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar III.8. A B Gambar III.8. Slides: a) Gerakan Blok Batu, dan b) Longsoran Rotasi (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007) III.4.3 Flows Flow (aliran) terjadi apabila material bergerak menuruni lereng sebagai cairan kental dengan cepat dan umumnya dijumpai berupa campuran sedimen, air dan udara dengan memperhatikan kecepatan dan konsentrasi sedimen yang mengalir. Yang sering terjadi adalah 1) aliran lumpur (mud flow) atau biasa disebut longsor translasi, 2) aliran debris (debris flow) dengan banyak air dan utamanya partikel 36

11 halus, dan 3) rayapan (creep). Tipe gerak tanah ini umumnya terjadi di daerah yang curah hujannya tinggi. Kecepatan alirannya tidak hanya bergantung pada kecuraman lereng akan tetapi juga pada kandungan air Gambar III.9. Flows: 1) Longsoran translasi, 2) Aliran bahan rombakan, dan 3) Rayapan tanah (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007) Sedangkan menurut Varnes (1978), pengelompokan tanah longsor terdiri atas 6 jenis utama, yaitu: Falls, Slides terbagi lagi menjadi rotasi (rotational) dan translasi (translational), Topples (robohan), Flows terdiri atas aliran bahan rombakan (debris flow), longsoran bahan salju (debris avalanche), aliran material bumi (earthflow), aliran lumpur (mudflow), dan rayapan (creep), lateral spreads (sebaran lateral), dan Complex (gabungan). Pengelompokan tanah longsor ini dapat dilihat pada tabel III.1 dan Gambar III.10 37

12 Tabel III.1 Jenis-jenis tanah longsor menurut versi Varnes (1978) TYPE OF MATERIAL TYPE OF MOVEMENT ENGINEERING SOILS BEDROCK Predominantly Coarse Predominantly Fine FALLS Rock fall Debris fall Earth fall TOPPLES Rock topple Debris topple Earth topple SLIDES ROTATION TRANSLATIONAL Rock slide Debris slide Earth slide LATERAL SPREADS Rock spread Debris spread Earth spread FLOWS Rock Flow Debris Flow Earth Flow (deep creep) (soil creep) COMPLEX Combination of two or more principal types of movement Gambar III.10. Beberapa ilustrasi jenis utama tanah longsor (Highland & Johnson, 2004) 38

13 Dengan dukungan data-data geologi, geomorfologi, hidrologi, dan flora di suatu daerah, tanah longsor dapat diperkirakan akan terjadi dengan mengenal gejalagejala umum seperti berikut: Munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing. Biasanya terjadi setelah hujan. Munculnya mata air baru secara tiba-tiba. Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan. III.4.4 Tahapan Mitigasi Bencana Tanah Longsor Pemetaan Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam geologi di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar untuk melakukan pembangunan wilayah agar terhindar dari bencana. Penyelidikan Mempelajari penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana dan rencana pengembangan wilayah. Pemeriksaan Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana, sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penaggulangannya. Pemantauan Pemantauan dilakukan di daerah rawan bencana, pada daerah strategis secara ekonomi dan jasa, agar diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh pengguna dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut. Sosialisasi Memberikan pemahaman kepada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota atau masyarakat umum, tentang bencana alam tanah longsor dan akibat yang ditimbulkannnya. Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara antara lain: mengirimkan poster, booklet, dan leaflet atau dapat juga secara langsung kepada masyarakat dan aparat pemerintah. 39

14 Pemeriksaan bencana longsor Bertujuan mempelajari penyebab, proses terjadinya, kondisi bencana dan tata cara penanggulangan bencana di suatu daerah yang dilanda bencana tanah longsor. Potensi tanah longsor yang dapat terjadi sewaktu-waktu di daerah penelitian juga dapat diteliti dengan memanfatkan teknologi geofisika. Oleh karena itu pada bab IV akan dipaparkan hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian metoda geofisika tahanan jenis, sehingga kondisi geologi bawah permukaan bumi dapat diprediksi. Selain itu, keterkaitannya dengan hasil-hasil yang diperoleh dari metoda lainnya akan dibahas di akhir tesis ini. III.5. Hasil Pantauan GPS Pada daerah penelitian nampak di lapangan adanya gerakan tanah. Walaupun tidak dapat dirasakan secara langsung, tapi efeknya dapat dirasakan oleh masyarakat dengan adanya kerusakan pada infrastruktur. Kerusakan yang terjadi dapat dilihat pada gambar III.11 berikut. Pepohonan miring Nendatan (Crack) Jalan berundulasi Tiang rumah patah dan miring Pondasi rumah patah & miring Bangunan retak Gambar III.11. Gambaran kerusakan infrastruktur di sekitar lokasi penelitian 40

15 Hasil pemantauan gerakan tanah di daerah penelitian dengan menggunakan GPS dilakukan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pada bulan Oktober 2005 kemudian dilanjutkan oleh ITB pada bulan Mei 2006 dan bulan Januari Pengamatan dilakukan pada beberapa stasiun atau titik pantau, namun hanya stasiun M1, M3, dan M4 yang ditampilkan pada tesis ini. Titik-titik tersebut yang berdekatan dengan lokasi pengambilan data Geolistrik, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar III Gambar III.12. Lokasi stasiun pengamatan GPS (Peta kontur dibuat Pusan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2005) Pada pengambilan data GPS, diperlukan suatu titik kontrol yang mempunyai kedudukan diperkirakan tidak dapat bergerak sebagai acuan pengamatan. Titik kontrol yang digunakan dalam pemantauan di desa Cinyasag ini, diberi nama GD dengan koordinat geodetik 7 o LS, 108 o BT atau dalam koordinat UTM ( m, m). Data hasil pengukuran GPS yang telah dikoreksi dalam beberapa tahap dan pergeseran posisi titik pantau dari periode ke periode pengukuran, dapat dilihat pada tabel di lampiran A2. 41

16 Pergeseran posisi yang terjadi pada setiap stasiun karena di daerah penelitian terjadi gerakan tanah yang sifatnya merambat dan perlahan. Besarnya pergeseran tergantung dari kecepatan gerakan tanah disekitar stasiun/titik pantau. Besarnya kecepatan gerakan tanah banyak dipengaruhi oleh kemiringan lereng dan labilnya material akibat pelapukan tanah dan batuan oleh air di daerah tebing yang curam. Walaupun kemiringan lereng tidak terlalu terjal, akan tetapi proses pelapukan sangat kuat akibat dari banyaknya air permukaan yang tertampung pada kolam ikan, sawah, saluran irigasi dan sungai yang mengalir di sekitar daerah penelitian. Besar dan arah vektor pergeseran posisi stasiun/titik pantau yang tercantum dalam lampiran A2, dapat dicari dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut: Besar vektor pergesearan A A x + A y 2 2 = (5.1) Arah vektornya terhadap arah utara (sumbu y) Ax α = A tan (5.2) Ay Besar resultan pergeseran dari periode 1 ke periode 3 2 x y y R = A + B, R = ( A + B ) + ( A + B ) 2 (5.3) x Selain dari tabel dalam lampiran A2, vektor pergeseran titik pantau secara skematik dapat dilihat pada Gambar III.13. Dimana titik M1 dari periode Oktober 2005 hingga Mei 2006 bergeser sejauh 1,4 cm dengan jurus N E, pada periode Mei 2006 sampai Januari 2007 bergerak sejauh 0.1 cm dengan jurus N E, sehingga resultan pergeseran dari periode Oktober 2005 sampai Januari 2007 sebesar 1,4 cm dengan orientasi N E atau dengan kata lain M1 bergerak relatif ke arah timurlaut. Kemudian dari pada itu, titik M3 bergerak relatif ke arah timur (N E) sejauh 5,2 cm dan M4 bergerak sejauh 12,0 cm ke arah timurlaut (N E). 42

17 Gambar III.13. Skema pergerakan titik pantau dengan menggunakan GPS (Sitorus, 2007) Arah gerakan M3 searah dengan arah kemiringan lereng, yakni relatif ke arah timur. Hal ini didukung oleh adanya kesinambungan nendatan dari lokasi pertama hingga titik M3 terlihat di lapangan. Titik M3 bergerak sejauh 5,2 cm selama 15 bulan atau mempunyai kecepatan bergerak sebesar 4,14 cm/thn. 43

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Tipe-Tipe Tanah Longsor 1. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2. Longsoran Rotasi Longsoran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT RACHMAN SOBARNA Penyelidik Bumi Madya pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari

Lebih terperinci

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR

Lebih terperinci

Bab V Korelasi Hasil-Hasil Penelitian Geolistrik Tahanan Jenis dengan Data Pendukung

Bab V Korelasi Hasil-Hasil Penelitian Geolistrik Tahanan Jenis dengan Data Pendukung Bab V Korelasi Hasil-Hasil Penelitian Geolistrik Tahanan Jenis dengan Data Pendukung V.1. Hasil Metoda Geolistrik Tahanan Jenis Hasil penelitian geolistrik yang dilakukan oleh Badan Vulkanologi dan Mitigasi

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelongsoran Tanah Kelongsoran tanah merupakan salah satu yang paling sering terjadi pada bidang geoteknik akibat meningkatnya tegangan geser suatu massa tanah atau menurunnya

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DI CANTILLEVER DAN JALUR JALAN CADAS PANGERAN, SUMEDANG Sumaryono, Sri Hidayati, dan Cecep Sulaeman. Sari

GERAKAN TANAH DI CANTILLEVER DAN JALUR JALAN CADAS PANGERAN, SUMEDANG Sumaryono, Sri Hidayati, dan Cecep Sulaeman. Sari GERAKAN TANAH DI CANTILLEVER DAN JALUR JALAN CADAS PANGERAN, SUMEDANG Sumaryono, Sri Hidayati, dan Cecep Sulaeman Sari Jalur Cadas Pangeran merupakan daerah rawan dan berisiko terhadap gerakan tanah. Dalam

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Pengertian Gerakan tanah adalah suatu proses perpindahan massa tanah/batuan dengan arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula dikarenakan pengaruh gravitasi, arus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia banyak sekali daerah yang,mengalami longsoran tanah yang tersebar di daerah-daerah pegunngan di Indonesia. Gerakan tanah atau biasa di sebut tanah longsor

Lebih terperinci

DEFINISI. Thornbury, 1954 : Proses akibat gaya gravitasi secara langsung.

DEFINISI. Thornbury, 1954 : Proses akibat gaya gravitasi secara langsung. DEFINISI Thornbury, 1954 : Proses akibat gaya gravitasi secara langsung. Rangers, 1975 : Proses yang terjadi dibawah pengaruh gravitasi tanpa adanya media transportasi / merupakan bagian dari turunnya

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. SKRIPSI... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. HALAMAN PERSEMBAHAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. SKRIPSI... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. HALAMAN PERSEMBAHAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI SKRIPSI... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv SARI... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR FOTO... xii DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Daerah Penelitian Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat: 6.26-6.81

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

Bab IV Akuisisi, Pengolahan dan Interpretasi Data

Bab IV Akuisisi, Pengolahan dan Interpretasi Data Bab IV Akuisisi, Pengolahan dan Interpretasi Data IV.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di daerah Kampung Kondang dan Cirikip, Desa Cinyasag, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR...ix DAFTAR TABEL...xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL 20 APRIL 2008 DI KECAMATAN REMBON, KABUPATEN TANA TORAJA, PROVINSI SULAWESI SELATAN

KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL 20 APRIL 2008 DI KECAMATAN REMBON, KABUPATEN TANA TORAJA, PROVINSI SULAWESI SELATAN Kejadian gerakan tanah dan banjir bandang pada tanggal 20 April 2008 di Kecamatan Rembon, Kabupaten Tanatoraja, Provinsi Sulawesi Selatan (Suranta) KEJADIAN GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG PADA TANGGAL

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Daerah Jawa Barat memiliki beberapa zona fisiografi akibat pengaruh dari aktifitas geologi. Tiap-tiap zona tersebut dapat dibedakan berdasarkan morfologi

Lebih terperinci

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT Suranta Sari Bencana gerakan tanah terjadi beberapa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) :

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) : Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : 2460-8696 Buku 1 ISSN (E) : 2540-7589 INDIKASI POTENSI BAHAYA LONGSOR BERDASARKAN KLASIFIKASI LERENG DAN LITOLOGI PENYUSUN LERENG, DESA PANINGKABAN,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau tandus (Vera Sadarviana, 2008). Longsorlahan (landslides) merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau tandus (Vera Sadarviana, 2008). Longsorlahan (landslides) merupakan 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bencana kebumian yang selalu terjadi di Indonesia, khususnya pada musim hujan. Longsorlahan sering terjadi pada daerah perbukitan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya gravitasi. Tanah longsor sangat rawan terjadi di kawasan

Lebih terperinci

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006 LANDSLIDE OCCURRENCE, 4 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA 6 Maret 4, Tinggi Moncong, Gowa, Sulawesi Selatan juta m debris, orang meninggal, rumah rusak, Ha lahan pertanian rusak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rendah (Dibyosaputro Dalam Bayu Septianto S U. 2008). Longsorlahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rendah (Dibyosaputro Dalam Bayu Septianto S U. 2008). Longsorlahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Longsorlahan Gerakan tanah atau yang lebih umum dikenal dengan istilah Longsorlahan (landslide) adalah proses perpindahan matrial pembentuk lereng berupa suatu massa tanah dan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424, 021-5228371

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek Oleh : Baba Barus Ketua PS Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan Sekolah Pasca Sarjana, IPB Diskusi Pakar "Bencana Berulang di Jabodetabek:

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA SURANTA Penyelidik Bumi Madya, pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Wilayah

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

BAB IV STUDI LONGSORAN

BAB IV STUDI LONGSORAN BAB IV STUDI LONGSORAN A. Teori Dasar Fell drr. (2008) mendefinisikan longsoran sebagai pergerakan massa batuan, debris, atau tanah ke bawah lereng. Pergerakan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN DAFTAR ISI Halaman Judul... i Halaman Pengesahan... ii Halaman Persembahan... iii Ucapan Terima Kasih... iv Kata Pengantar... v Sari/Abstrak... vi Daftar Isi... vii Daftar Gambar... x Daftar Tabel... xiv

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian baratlaut. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 FISIOGRAFI DAN MORFOLOGI Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi lima zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat merugikan manusia. Kebencanaan geologi mengakibatkan kerusakan infrastruktur maupun korban manusia,

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan bentang alam yang ada di permukaan bumi dipengaruhi oleh proses geomorfik. Proses geomorfik merupakan semua perubahan baik fisik maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Geologi Regional 2. 1. 1 Fisiografi Regional Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

Pemeriksaan lokasi bencana gerakan tanah Bagian 1: Tata cara pemeriksaan

Pemeriksaan lokasi bencana gerakan tanah Bagian 1: Tata cara pemeriksaan Standar Nasional Indonesia Pemeriksaan lokasi bencana gerakan tanah Bagian 1: Tata cara pemeriksaan ICS 13.200 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii Pendahuluan... iv 1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lereng dan Kategorinya Lereng adalah suatu permukaan tanah yang miring dan membentuk sudut tertentu terhadap suatu bidang horisontal dan tidak terlindungi (Das 1985). Lereng

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat proses geologi yang siklus kejadiannya mulai dari sekala beberapa tahun hingga beberapa

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang relatif bergerak ke arah Barat Laut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Secara geografis, kabupaten Ngada terletak di antara 120 48 36 BT - 121 11 7 BT dan 8 20 32 LS - 8 57 25 LS. Dengan batas wilayah Utara adalah Laut Flores,

Lebih terperinci

Pengenalan Gerakan Tanah

Pengenalan Gerakan Tanah Pengenalan Gerakan Tanah PENDAHULUAN Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi dan Morfologi Van Bemmelen (1949), membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat zona, yaitu Pegunungan selatan Jawa Barat (Southern Mountain), Zona Bandung (Central

Lebih terperinci

L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO

L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO Peristilahan & Pengertian Longsor = digunakan untuk ketiga istilah berikut : Landslide = tanah longsor Mass movement = gerakan massa Mass wasting = susut massa Pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

Evaluasi Ringkas Geologi Waduk Penjalin

Evaluasi Ringkas Geologi Waduk Penjalin Evaluasi Ringkas Geologi Waduk Penjalin LITOLOGI Susunan litologi disekitar Waduk Penjalin didominasi batuan hasil gunung api maupun sedimen klastik dengan perincian sebagai berikut : Gambar 1 : Peta geologi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Arsyad (dalam Ahmad Denil Efendi 1989 : 27) Mengemukakan bahwa tanah

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Arsyad (dalam Ahmad Denil Efendi 1989 : 27) Mengemukakan bahwa tanah BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Definisi Longsor Menurut Arsyad (dalam Ahmad Denil Efendi 1989 : 27) Mengemukakan bahwa tanah longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa tanah secara bersama-sama dan terjadi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi, khususnya bencana gerakan tanah. Tingginya frekuensi bencana gerakan tanah di Indonesia berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di Kecamatan Salaman mencapai 68.656 jiwa dengan kepadatan penduduk 997 jiwa/km 2. Jumlah

Lebih terperinci

ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH KABUPATEN GARUT BAGIAN SELATAN, PROVINSI JAWA BARAT. Eka Kadarsetia

ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH KABUPATEN GARUT BAGIAN SELATAN, PROVINSI JAWA BARAT. Eka Kadarsetia ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH KABUPATEN GARUT BAGIAN SELATAN, PROVINSI JAWA BARAT Eka Kadarsetia Sari Bencana alam gerakan tanah telah sering terjadi di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Untuk meminimalisir

Lebih terperinci