EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM"

Transkripsi

1 150 EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM (Studi Kasus Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program dan Komunitas Zero, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat) Siti Halimatusadiah I DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 150 i EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM (Studi Kasus Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program dan Komunitas Zero, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat) Siti Halimatusadiah I SKRIPSI Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

3 ii ii ABSTRACT SITI HALIMATUSADIAH. Effectiveness of Participatory Institutions in Upstream Area of Citarum River Basin (Case Study: Cikapundung Rehabilitation Program Community and Zero Community, Coblong Subdistrict, Bandung, West Java Province). (Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and RINA MARDIANA). Upstream watershed is one of the sub-watersheds that serve to maintain the availability of water for the central and downstream region. So that, when damage occurs in that area, it will effect to the middle and lower area of the watershed. The purposes of this study were (1) to determine the stakeholders who involved in the rescue of Citarum watershed upstream, (2) to know the effectiveness of participatory institutions to change attitudes and behavior of society around the Citarum watershed upstream. This study was conducted using a quantitative approach supported by qualitative approach. Meanwhile, the results of this study showed (1) institutional participatory have successfully changed attitudes and behavior of society to not to dispose the household garbage and sewage into the river again (2) participatory institutional not yet managed to change the manner of private parties to not to dispose garbage and industrial waste into the river, and (3) participatory institutions in central are more effective to change society attitudes and behavior to be more concerned for the environment than the existing participatory institutions in the upstream. In generally, the participatory institutions have successfully established collaborative between public, private and government at the sub-watershed upstream. Keywords: stakeholders, participatory institutional, rescue of upstream watershed, community participation.

4 iii iii RINGKASAN SITI HALIMATUSADIAH. Efektivitas Kelembagaan Pastisipatoris di Hulu Daerah Aliran Sungai Citarum (Studi Kasus: Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program dan Komunitas Zero, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat). (di bawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN dan RINA MARDIANA). Kerusakan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu fenomena yang dapat menyebabkan terganggunya kesatuan ekosistem DAS dimana peranan daerah hulu adalah sebagai daerah penyangga dan tata fungsi air. Bila terjadi kerusakan di daerah tersebut, maka akan mempengaruhi sub DAS yang lainnya, yaitu DAS bagian tengah dan hilir. Fenomena tersebut dapat menyebabkan bencana alam seperti banjir, longsor, erosi, dan sedimentasi di daerah hilir. Kerusakan hulu DAS yang terjadi saat ini tidak terlepas dari tekanan ekonomi dan tekanan penduduk yang menyebabkan padatnya pemukiman dan perilaku yang merusak lingkungan, dimana kesadaran masyarakat yang masih rendah mengenai DAS. Di satu sisi, ketidakjelasan peraturan dan ketidaktegasan aturan menjadi penyebab utama kerusakan di bagian hulu DAS. Di sisi lain, kerusakan DAS tidak hanya tanggung jawab pemerintah daerah semata. Ketidakmampuan pemerintah dalam hal biaya, sumberdaya manusia, maupun hal teknis lainnya harus diimbangi dengan kesadaran masyarakat khususnya masyarakat di sepanjang hulu DAS untuk berperilaku menjaga lingkungannya. Ketidakberfungsian kelembagaan yang ada di masyarakat selama ini menjadi salah satu penyebab kegagalan program-program rehabilitasi yang dicanangkan oleh pemerintah setempat. Pada kenyataannya, kelembagaan yang ada di masyarakatlah yang memiliki peran besar untuk mensosialisasikan sekaligus menjadi perpanjangan tangan untuk mensukseskan program-program rehabilitasi yang dicanangkan oleh pemerintah setempat. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, tujuan dari penelitian ini terangkum dalam dua pertanyaan. Pertama, untuk mengetahui pemangku kepentingan yang terlibat dalam upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Kedua, untuk mengetahui efektivitas kelembagaan partisipatoris dalam mengubah sikap dan perilaku masyarakat di sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Penelitian ini dilakukan di Hulu DAS Citarum yaitu di Sub DAS Cikapundung. Responden dipilih dengan menggunakan teknik random sampling dengan memilih 60 responden dari dua lokasi yang berbeda yaitu 30 responden warga RT 02/RW 01 Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Bandung, dimana kawasan tersebut merupakan kawasan hulu Sungai Cikapundung dan 30 responden dari RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong, Bandung, yaitu sudah termasuk kawasan tengah Sungai Cikapundung. Penelitian ini dilakukan dari bulan April hingga Juli Data primer diperoleh melalui penyebaran kuisioner kepada responden dan wawancara mendalam dilakukan kepada informan. Data sekunder diperoleh dari instansi/lembaga terkait lainnya. Kemudian data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan tabel frekuensi untuk data satu variabel dan tabel silang untuk data dua variabel.

5 iv iv Hasil penelitian menunjukan bahwa kelembagaan partisipatoris di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) terbentuk karena adanya kerjasama serta sinergisitas masyarakat Cikapundung untuk bersama-sama menanggulangi masalah yang terjadi di Sungai Cikapundung dengan membentuk komunitaskomunitas pegiat sungai. Kerusakan Sungai Cikapundung sendiri disebabkan karena perilaku masyarakat dan swasta yang tidak sadar serta tidak peduli dengan lingkungan, dimana masyarakat dan swasta memandang DAS sebagai komoditas yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah rumah tangga dan pembuangan limbah industri. Peran kelembagaan partisipatoris tersebut adalah mensosialisasikan sekaligus mengontrol terjaganya kebersihan dan kelestarian Sungai Cikapundung. Adanya berbagai kegiatan kelembagaan partisipatoris baik kegiatan di hulu maupun di tengah Sungai Cikapundung berdampak pada perubahan sikap dan perilaku masyarakat di bantaran Sungai Cikapundung untuk tidak lagi membuang sampah atau limbah rumah tangganya ke sungai. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa partisipasi warga di tengah Sungai Cikapundung (Kelurahan Lebak Siliwangi) lebih baik dibandingkan dengan di hulu Sungai Cikapundung (Kelurahan Dago) dalam kegiatan-kegiatan lingkungan yang berhubungan dengan Sungai Cikapundung. Sementara itu, kelembagaan partisipatoris hingga saat ini belum dapat mengubah perilaku swasta yang memanfaatkan Sungai Cikapundung sebagai suatu komoditas khususnya di wilayah Kabupaten Bandung Barat, hal ini terjadi karena pihak swasta di hulu Sungai Cikapundung tidak dapat lepas dari kegiatan ekonomi yang merusak sungai sebagai penunjang kehidupan warga di hulu Sungai Cikapundung khususnya daerah Kabupaten Bandung Barat. Saat ini, pengelolaan Hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) masih terkotak-kotak dan ditentukan oleh batas-batas administratif semata, sehingga yang terjadi adalah semangat untuk merevitaslisasi Sungai Cikapundung hanya terlihat setelah memasuki Kota Bandung sedangkan di wilayah Kabupaten sendiri kegiatan pengrusakan sungai masih terus berlangsung.

6 v v DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa hasil penelitian yang disusun oleh : Nama Mahasiswa : Siti Halimatusadiah NRP Program Studi Judul : I : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat : Efektivitas Kelembagaan Partisipatoris di Hulu Daerah Aliran Sungai Citarum (Studi Kasus Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program dan Komunitas Zero, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat) Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing I Menyetujui, Dosen Pembimbing II Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr Rina Mardiana, SP, M.Si NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP Tanggal Pengesahan:

7 150 vi PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM : Studi Kasus Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program dan Komunitas Zero Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat INI ADALAH BENAR- BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SEBENAR-BENARNYA SERTA DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN. Bogor, November 2011 SITI HALIMATUSADIAH I

8 vii vii RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Siti Halimatusadiah atau biasa dipanggil Ima, lahir di Bandung, 16 Agustus Penulis merupakan anak ke lima dari enam bersaudara, pasangan Drs. Anwar Fuady, Med dan Siti Rohmah, S. Ag. Pendidikan formal yang ditempuh oleh penulis yakni dimulai di SDN Cijerah VI pada tahun , SLTP Negeri 9 Bandung pada tahun , dan SMA YWKA Bandung pada tahun Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) sebagai angkatan ketiga. Selain mengambil Mayor Sains KPM, selama menempuh pendidikan di IPB penulis pun mengambil Manajemen Fungsional di Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB sebagai Minor, dan Pengelolaan Hutan Rakyat di Fakultas Kehutanan (Fahutan) IPB sebagai Supporting Course. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam mengikuti beberapa organisasi dan kegiatan kemahasiswaan. Pada tahun penulis diterima sebagai anggota Badan Pengawas Harian (BPH) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (BEM FEMA IPB) Kabinet HEROIC (Sekretaris II). Pada tahun tersebut juga penulis mengikuti organisasi Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA) IPB, (Divisi Syiar). Selanjutnya, pada tahun penulis menjabat sebagai anggota BPH BEM FEMA IPB Kabinet Pejuang Ekologi (Sekretaris Umum). Kepanitiaan yang pernah diikuti oleh penulis yakni, pada tahun 2009 penulis menjabat sebagai Sekretaris Umum Conference of Human Ecology Student of Indonesia (COHESI), tahun 2010 penulis menjabat sebagai Divisi Acara dalam kegiatan Indonesian Ecology Expo Kegiatan lainnya yang diikuti oleh penulis dari tahun adalah penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-Dasar Komunikasi dan Komunikasi Massa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada Februari tahun 2010 penulis magang di Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) Bandung serta pada tahun 2011 penulis juga pernah menjadi Tour guide di Agri Fun IPB.

9 viii viii KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah mencurahkan segala rahmat dan kasih sayang-nya berupa kelancaran dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas Kelembagaan Partisipatoris dalam di Hulu Daerah Aliran Sungai Citarum: Studi Kasus Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program dan Komunitas Zero, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan kelulusan di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM 499), Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Daerah Aliran Sungai (DAS) akan menjadi perhatian berbagai pihak manakala telah mengalami kerusakan yang mengakibatkan kerugian secara materil maupun fisik. Hulu DAS memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di tengah maupun hilir DAS. Upaya penyelamatan DAS Citarum saat ini sangat tergantung kepada kelembagaan yang terdapat di masyarakat khususnya kelembagaan yang ada di hulu. Oleh karena itu, menjadi suatu kajian yang menarik untuk menelusuri kegiatan-kegiatan penyelematan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) yang dilakukan oleh berbagai pihak terkait. Penelitian ini dilakukan tidak semata-mata hanya untuk memperoleh gelar sarjana, melainkan juga untuk memperoleh pengetahuan terkait dengan kegiatan penyelamatan hulu DAS khususnya yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya. Bogor, November 2011 Penulis

10 ix UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, pihak-pihak yang telah membantu penulis tersebut antara lain: 1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr selaku Dosen Pembimbing pertama yang senantiasa sabar dalam memberikan arahan, nasehat, bimbingan, dan masukan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. 2. Rina Mardiana, SP, M.Si selaku Dosen Pembimbing kedua yang telah memberikan arahan, nasehat, bimbingan, dukungan, dan sarannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. 3. Ibunda (Siti Rohmah, S. Ag) dan Ayahanda (Drs. Anwar Fuady, Med) tersayang yang selama ini selalu memberikan bimbingan, dukungan, doa serta curahan perhatiannya kepada sang penulis sehingga penulis termotivasi untuk menyelesaikan penelitian ini. 4. Seluruh Dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis. 5. Kakak-kakak tercinta Ahdian Fahmi, Hafny Noviani, Tria Mutiawaty, Nurul Ulfah, dan adik tersayang Muhammad Aulia Rahman, atas curahan perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis selama ini. 6. Sahabat-sahabat satu bimbingan dan satu perjuangan Anggi Akhirta Muray, Ali Sulton, Diah Irma Ayuningtyas, Astri Lestari, Rani Yuliandani, Rizki Afianty, dan Utami Anastasia, atas bantuan dan kerjasamanya dalam menyelesaikan penelitian ini. 7. Staf tata usaha Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat khususnya Mba Maria, Mba Nissa dan Mba Dini serta seluruh Staf

11 x Sekretariat KPM lainnya yang selalu memudahkan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. 8. Ibu dan Bapak kos yang selama ini telah memfasilitasi, dan mendukung penulis sehingga penulis mendapatkan tempat tinggal yang begitu nyaman. 9. Sahabat-sahabat yang selama ini selalu memberikan inspirasi, menjadi panutan dan senantiasa memberikan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, Mbak Dwi, Mbak Dian, Ayu Arthur, Cefti, Linda, Izzah, Dathi, Ami, Asih, Andra, Vita Desi, Diah Irma, Anggi, Vivi, Mari, Didi, Wina, Ira, Yuvita, Karina, Ayu Candra. 10. Sahabat-sahabat SKPM 44 yang telah memberikan semangat, dukungan, doa dan kenangan yang berharga bagi sang penulis dalam menempuh perjalanan menimba ilmu di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan masyarakat. 11. Sahabat-sahabat di Pondok Ginastri atas perhatian, dukungan, serta kebersamaan yang berharga selama ini. 12. Seluruh anggota komunitas DPKLTS, CRP, Zero, serta warga RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi dan warga RT 02/ RW 01 Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Bandung atas kesediaannya membantu penulis dalam menyelesaikan penelitiannya. 13. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang senantiasa memberikan dukungan, bantuan, semangat, doa serta telah mewarnai kehidupan sang penulis selama menimba ilmu di IPB. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan memberikan sumbangan yang nyata untuk perbaikan sistem pengelolaan DAS di Indonesia Bogor, Desember 2011 Penulis

12 150 xi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... xi DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR MATRIKS... xvi DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN... xx BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Daerah Aliran Sungai Definisi Aliran Sungai Kesatuan dan Fungsi Daerah AliranSungai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kerusakan Ekosistem Daerah Aliran Sungai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu Konsep Pengelolaan Kolaboratif Daerah Aliran Sungai Efektivitas Kelembagaan Partisipatoris Daerah Aliran Sungai Pembangunan Daerah Aliran Sungai Berkelanjutan Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional BAB III METODE PENELLITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik dan Pengumpulan Data Teknik Penentuan Responden... 31

13 xii 3.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Sungai Cikapundung Sejarah Sungai Cikapundung Sejarah Pembentukan Kelembagaan Partisipatoris Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung Gambaran Umum Kelurahan Dago (Hulu Sungai Cikapundung) Kondisi Gografis dan Infrastruktur Kelurahan Dago Kependudukan Kelurahan Dago Kegiatan Lingkungan di Kelurahan Dago Gambaran Umum Kelurahan Lebak Siliwangi (Tengah Sungai Cikapundung) Kondisi Geografis dan Infrastruktur Kelurahan Lebak Siliwangi Kependudukan Kelurahan Lebak Siliwangi Kegiatan Lingkungan di Kelurahan Lebak Siliwangi Karakteristik Responden Kerusakan Hulu Daerah Aliran Sungai Citarum (Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung) Kepadatan Penduduk dan Limbah Domestik Aktivitas Swasta Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Peternakan Sapi Ikhtisar BAB V KETERLIBATAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM KEGIATAN PENYELAMATAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM (SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG) Upaya Penyelamatan Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung Aktivitas Kelembagaan Partisipatoris Aksi Kali Bersih... 74

14 xiii Pelatihan Susur Sungai Aksi Tanam Pohon Pelestarian Satwa dan Tanaman Pengelolaan Sampah/Limbah Mengelola Sampah Organik dan Non Organik Mengelola Septic Tank Komunal Menggunakan Teknologi Tepat Guna Penyuluhan dan Penyadaran Warga Diskusi Sabtu-Minggu Kegiatan Insidental Aktivitas Pemerintah Aktivitas Swasta Aktivitas Akademisi Ikhtisar BAB VI EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DALAM PENYELAMATAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM (SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG) Pengetahuan Sikap dan Perilaku Warga Pengetahuan Warga Mengenai Sampah Pengetahuan Warga Mengenai Penghijauan Pengetahuan Warga Mengenai Gotong Royong Tingkat Keterlibatan Warga dalam Membuang dan Mengelola Sampah/Limbah Rumah Tangga Tingkat Keterlibatan Warga dalam Penghijauan Tingkat Keterlibatan Warga dalam Kegiatan Gotong Royong Ikhtisar BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

15 xiv DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 DAS Kritis di Indonesia Tabel 4.1 Penggunaan Areal Tanah Kelurahan Dago Tabel 4.2 Jumlah RT, RW dan Jumlah Penduduk Kelurahan Dago, Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kelurahan Dago Berdasarkan Struktur Umur, Tabel 4.4 Tingkat Pendidikan Kelurahan Dago, Tabel 4.5 Penggunaan Areal Tanah di Kelurahan Lebak Siliwangi, Tabel 4.6 Jumlah RT/RW di Kelurahan Lebak Siliwangi, Tabel 4.7 Jumlah Penduduk Kelurahan Lebak Siliwangi Berdasarkan Struktur Umur, Tabel 4.8 Jumlah Penduduk Kelurahan Lebak Siliwangi Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tabel 4.9 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Tabel 4.10 Responden Berdasarkan Umur, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Tabel 4.11 Kualitas Air Sungai Cikapundung Tabel 4.12 Kualitas Air Sungai Cikapundung Kolot Tabel 4.13 Data Pengujian E.Coli Pada Sungai Cikapundung Tabel 6.1 Pengetahuan Warga Mengenai Jenis Sampah Rumah Tangga Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Tabel 6.2 Pengetahuan Warga Mengenai Akibat Membuang Sampah Secara Sembarangan Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat,

16 xv Tabel 6.3 Tabel 6.4 Tabel 6.5 Tabel 6.6 Tabel 6.7 Tabel 6.8 Tabel 6.9 Pengetahuan Warga Mengenai Pemberian Sanksi atas Tindakan Membuang Sampah/Limbah ke Sungai Cikapundung, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Pemilahan Sampah Rumah Tangga oleh Warga Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Pemilahan Sampah Rumah Tangga oleh Warga Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Daur Ulang Sampah Rumah Tangga oleh Warga Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Daur Ulang Sampah Rumah Tangga oleh Warga Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Jenis Sanitasi yang Digunakan oleh Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Kesediaan Warga Membuat Septic Tank Setelah Adanya Sosialisasi, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat,

17 xvi DAFTAR MATRIKS Halaman Matriks 4.1 Kualitas Air Sungai Cikapundung... 67

18 xvii DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Gambar 3.1 Teknik Sampling dan Pengambilan Responden Gambar 4.1 Struktur Organisasi Komunitas CRP Gambar 4.2 Mata Pencaharian Penduduk Dago, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 4.3 Mata Pencaharian Penduduk Lebak Siliwangi, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 4.4 Tingkat Pendidikan Responden Kelurahan Dago dan Kelurahan Lebak Siliwangi, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 4.5 Responden Penelitian Berdasarkan Kategori Pekerjaan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 5.2 Filosofis Setetes Air untuk Gerakan di Sungai Cikapundung Gambar 6.1 Kondisi Sungai Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.2 Kebutuhan Warga Akan Penghijauan/Penanaman Pohon, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.3 Kondisi Lahan Kritis Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.4 Kondisi Daerah Resapan Air Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.5 Perlunya Kegiatan Gotong Diadakan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat,

19 xviii Gambar 6.6 Gambar 6.7 Gambar 6.8 Tujuan Diadakannya Kegiatan Gotong Royong, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Adanya Sosialiasi Kegiatan Gotong di Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Tempat Membuang Sampah/Limbah Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.9 Keterlibatan Warga dalam Kegiatan Sosialisasi dan Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga oleh Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.10 Tanggapan dan Partisipasi Warga Terhadap Kegiatan Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.11 Gambar 6.12 Keterlibatan Warga dalam Penghijauan oleh Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Pengaruh Kegiatan Kelembagaan Partisipatoris Terhadap Kegiatan Penghijauan di Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Jawa Barat, Gambar 6.13 Partisipasi Warga dalam Kegiatan Penghijauan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.14 Kegiatan Pemeliharaan Pepohonan/Tanaman Hijau di Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.15 Kegiatan Penanaman Pohon/Tanaman Hijau di Pekarangan Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat,

20 xix Gambar 6.16 Kehadiran Warga dalam Kegiatan Penghijauan/Penanaman Pohon di Daerahnya, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.17 Pengaruh Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS 126 Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.18 Kegiatan Gotong Royong di Daerah Warga Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.19 Partisipasi Warga dalam Kegiatan Gotong Royong, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.20 Alasan Warga Mengikuti Kegiatan Gotong Royong, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.21 Tanggapan Warga Terhadap Kegiatan Gotong Royong di Daerahnya, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.22 Partisipasi Warga dalam Kegiatan Bersih-Bersih Sungai, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.23 Frekuensi Diadakannya Kegiatan Bersih-Bersih Sungai di Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.24 Partisipasi Warga dalam Rapat-Rapat Perbaikan dan Pemeliharaan Lingkungan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, Gambar 6.25 Bentuk Sumbangan Warga dalam Kegiatan Perbaikan dan Pemeliharaan Lingkungan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat,

21 xx DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Daftar Kepala Keluarga RT 02/RW 01, Kelurahan Dago Lampiran 2 Daftar Kepala Keluarga RT 03/RW 08, Kelurahan Lebak Siliwangi Lampiran 3 Daftar Responden Lampiran 4 Pedoman Pengumpulan Data Berdasarkan Topik, Sub Topik, Metode, dan Sumber Informasi Lampiran 5 Kuesioner Penelitian Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Panduan Pertanyaan... Peta Sungai Cikapundung... Peta Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Bandung... Peta Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong, Bandung... Wilayah Kerja Komunitas CRP dan Komunitas Zero, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat... Dokumentasi

22 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Barber (1997) menyatakan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anakanak sungainya serta berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografis dengan batas di laut sampai daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. DAS merupakan kesatuan ekosistem yang utuh dari hulu hingga hilir yang terdiri dari unsur utama tanah, vegetasi, air maupun udara, serta memiliki fungsi penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan. DAS dapat dibagi ke dalam tiga komponen yaitu: bagian hulu, tengah dan hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur aliran. Ekosistem bagian tengah sebagai daerah distributor dan pengatur air, sedangkan ekosistem bagian hilir merupakan pengguna air. Hubungan antara ekosistem-ekosistem tersebut menjadikan DAS sebagai satu kesatuan hidrologis yang tidak dapat dipisahkan. Kesatuan pengelolaan DAS menjadi hal penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan manusia (Barber 1997). Kerusakan DAS yang terjadi saat ini dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk, konflik kepentingan, kurangnya keterpaduan antar sektor, dan antara wilayah hulu-tengah-hilir. Degradasi DAS diperparah dengan pesatnya perkembangan ekonomi dimana banyaknya industri-industri menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya alam hingga berujung pada tingginya tekanan terhadap DAS dan berakhir pada kerusakan ekosistem DAS (Dephut 2006). Saat ini, di Indonesia terdapat 458 DAS yang dikelola oleh masing-masing pemerintah daerah beserta jajaran terkait. Dalam 20 tahun terakhir, jumlah DAS kritis di

23 2 Indonesia meningkat dari 22 menjadi 62 ekosistem DAS yang merupakan prioritas pertama; 232 DAS prioritas kedua; dan 178 DAS prioritas ketiga, terhadap penanganan akibat kerusakannya. Tingkat kerusakan DAS ini diindikasikan dengan fluktuasi debit sungai yang tajam antara musim penghujan dan kemarau, pendangkalan sungai, danau, dan waduk, serta terjadinya tanah longsor, banjir dan kekeringan. Deforestasi yang menyebabkan degradasi lahan di bagian hulu dan tengah DAS memicu terjadinya erosi yang berdampak pada sedimentasi di bagian hilir DAS. Prinsip interkonektivitas untuk daerah DAS sangatlah besar. Bila terjadi kerusakan di salah satu bagian DAS, maka akan mempengaruhi bagian DAS yang lain (Dephut 2008). Perubahan situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi di Indonesia bersamaan dengan krisis multidimensi dalam beberapa tahun terakhir ini, telah mendorong terjadinya perubahan pada arah pengelolaan DAS. Semenjak diberlakukannya otonomi daerah, pengelolaan DAS menjadi terkotak-kotak, tidak terintegrasi dan sektoral. Hingga saat ini, belum ada satu lembaga/instansi pengelolaan DAS yang dapat mengintegrasikan seluruh pemangku kepentingan dari berbagai sektor yang ada. Tidak adanya pedoman yang sama yang digunakan oleh masing-masing sektor membuat pengelolaan terhadap DAS semakin terpecah-pecah dimana lembaga-lembaga pengelolaan DAS hanya bekerja pada wilayahnya masing-masing serta hanya berdasarkan batas wilayah administratif semata (Dephut 2008). Pemerintah di berbagai daerah selama ini memandang DAS sebagai suatu komoditas yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan berlomba-lomba membuat kebijakan yang membuka peluang kepada pihak swasta untuk dapat mengelola sumberdaya alam dibandingkan dengan masyarakat setempat. Otonomi daerah yang seharusnya berfungsi mensejahterakan masyarakat lokal serta mendekatkan pemerintah dengan masyarakat justru sebaliknya. Program penghijauan, konservasi dan pemberdayaan yang selama ini dilakukan membuktikan bahwa sekian upaya dengan biaya yang besar tidak mampu mencegah bencana di DAS berupa banjir dan longsor serta belum dapat menyentuh dan menjawab kebutuhan masyarakat sekitar DAS, karena pada

24 3 perjalanannya, masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi program pengelolaan DAS tersebut. Mekanisme bottom up yang selama ini menjadi inti dari otonomi daerah sepertinya masih sulit diterapkan oleh aparat pemerintah dimana pemerintah sulit untuk melepaskan dominasi kewenangan dan kekuasaanya untuk diberikan kepada masyarakat lokal sebagai pihak yang menentukan setiap kegiatan di daerahnya masing-masing. Koordinasi antar lembaga terkait dalam pengelolaan DAS menjadi elemen penting untuk terlaksananya pengelolaan DAS secara optimal. Pengelolaan DAS terpadu pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan yang bersifat partisipatif dari berbagai pemangku kepentingan yang berkepentingan dalam memanfaatkan sumberdaya alam pada tingkat DAS. Pengelolaan partisipatif ini mempersyaratkan adanya rasa saling mempercayai, keterbukaan, rasa tanggung jawab, dan mempunyai rasa ketergantungan (interdependency). Peran pemangku kepentingan menjadi hal yang sangat strategis karena pengelolaan DAS sangat tergantung pada individu/kelompok/organisasi/kelembagaan yang mengelolanya. Pemangku kepentingan harus menyadari betapa pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam sebuah kelembagaan pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan hingga pemungutan manfaat. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, penulis bermaksud mengkaji kelembagaan partisipatoris yang berada di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Penulis juga melakukan telaah lebih dalam terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan serta penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). 1.2 Perumusan Masalah Menurut Dephut (2006) pengelolaan DAS sebagai bagian dari pembangunan wilayah dalam implementasinya melibatkan banyak pemangku kepentingan yang lintas wilayah, serta multi disiplin ilmu. Berbagai permasalahan terkait pengelolaan DAS, merupakan hal yang kompleks dan saling terkait, serta tidak mungkin diselesaikan hanya didasarkan pada satu kepentingan atau sudut pandang DAS saja. Kegiatan pengelolaan DAS tersebut mencakup aspek-aspek

25 4 perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan di lapangan, pengendalian dan aspek pendukung yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, baik unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat. Masyarakat merupakan unsur pelaku utama dalam pengelolaan DAS, sedangkan pemerintah sebagai unsur pemegang otoritas kebijakan, fasilitator dan pengawas yang direpresentasikan oleh instansi-instansi sektoral pusat dan daerah yang terkait dengan pengelolaan DAS. Kerusakan DAS yang selama ini terjadi adalah akibat dari para pemangku kepentingan yang berkuasa dalam mengelola DAS, hal ini harus segera ditangani dengan cepat dan sigap. Perubahan lingkungan ekosistem DAS yang semakin hari kian parah akan membawa dampak yang sangat berbahaya khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar DAS, dikarenakan berpotensi mengalami bencana seperti banjir, longsor dan kekeringan. Salah satu langkah awal untuk mengatasi kerusakan DAS yang semakin parah adalah dengan membentuk gerakan masyarakat untuk bersama-sama melestarikan dan menjaga ekosistem DAS. Untuk membentuk gerakan masyarakat tersebut dibutuhkan suatu wadah yang dapat menampung aspirasi dan koordinasi dalam mengelola DAS. Prinsipnya kelembagaan DAS dibentuk atas kesadaran dan kebutuhan masyarakat sekitar DAS untuk melaksanakan pengelolaan DAS yang lebih baik sebagai akibat dari permasalahan-permasalahan yang timbul seperti konflik kepentingan antar sektor dan antar pemerintah daerah yang menyebabkan degradasi DAS. Pembentukan kelembagaan DAS harus didasarkan pada komitmen bersama dalam pencapaian tujuan pengelolaan DAS. Dengan keanggotaan kelembagaan demikian, maka akan terbangun komunikasi dan jejaring kerja (networking) diantara pemangku kepentingan yang terkait dengan pengelolaan DAS. Masingmasing pihak dapat memperoleh manfaat, peran, tanggungjawab dan membangun komitmen untuk mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan ekosistem DAS (Dephut 2003 b ). Berdasarkan uraian yang dipaparkan sebelumnya, untuk terus memberi manfaat bagi seluruh pihak khususnya masyarakat sub DAS tengah dan hilir maka dibutuhkan upaya penyelamatan pada hulu DAS. Upaya penyelamatan hulu DAS tersebut sangat bergantung pada sejauh mana kelembagaan yang terdapat di

26 5 daerah hulu tersebut berperan dalam menjaga pelestarian lingkungan, fungsi dan kualitas air bagi sub DAS tengah dan hilir. Terkait hal tersebut, penulis merumuskan masalah penelitian, sebagai berikut: 1. Sedalam dan seluas apakah pemangku kepentingan terlibat dalam upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung)? 2. Bagaimana efektivitas kelembagaan partisipatoris dalam mengubah sikap dan perilaku masyarakat di sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung)? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, disusunlah beberapa tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Mengetahui pemangku kepentingan yang terlibat dalam upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). 2. Mengetahui efektivitas kelembagaan partisipatoris dalam mengubah sikap dan perilaku masyarakat di sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). 1.4 Kegunaan Penelitian Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai pengenalan lebih lanjut mengenai konsep kelembagaan di hulu DAS yang menjadi topik kajian sekaligus untuk mencari penguatan teori yang telah diperoleh di perkuliahan. Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu: Bidang Akademis Kegunaan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji permasalahan kelembagaan DAS serta untuk meningkatkan kemampuan peneliti dalam menerapkan berbagai konsep, teori dan pendekatan masalah DAS dengan menggunakan teori partisipatif. Penelitian ini merupakan salah satu perwujudan dari Tridharma Perguruan Tinggi yang diharapkan dapat meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan, khususnya bidang ekosistem DAS.

27 Masyarakat Umum Penelitian ini diharapkan dapat berdampak positif bagi masyarakat setempat, menambah pengetahuan tentang kajian kelembagaan di DAS khususnya untuk upaya penyelamatan di hulu DAS Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau dijadikan bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan (pemerintah) yang berkaitan dengan pengelolaan DAS.

28 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Daerah Aliran Sungai Definisi Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologi yang tersusun atas komponen-komponen biofosik dan sosial (human systems) yang dipandang sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain (Dharmawan et al. 2005). Menurut Manan (1976) sebagaimana dikutip Dharmawan et al. (2005), DAS didefinisikasn sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh topografi pemisah aliran (topographic divide), yaitu punggung bukit atau gunung yang menangkap curah hujan, menyimpan dan kemudian mengalirkannya melalui saluran-saluran pengaliran ke suatu titik (outlet) yang umumnya berada di muara sungai biasa atau danau. Menurut Kartodihardjo et al. (2004), definisi DAS dari sudut pandang institusi bukan menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di dalam DAS, batas yurisdiksi pihak-pihak yang berada dalam DAS maupun bentuk-bentuk aturan perwakilan yang diperlukan dalam pengambilan keputusan seputar caracara yang digunakan (teknologi), melainkan bagaimana para pihak mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk mewujudkan aturan main diantara mereka, termasuk kesepakatan dalam penggunaan teknologi itu sendiri, sehingga masing-masing pihak mempunyai kepastian hubungan yang sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pendefinisian DAS dalam konsep daur hidrologi sangat diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui beberapa cara. Chay Asdak (2002) sebagaimana dikutip Dephut (2003 c ), menjelaskan konsep daur hidrologi DAS bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran. Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari: manusia, hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masing-masing komponen

29 8 tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri sendiri, namun berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal Kesatuan dan Fungsi Daerah Aliran Sungai Fungsi hidrologis DAS sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima, geologi yang mendasari dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas DAS menurut Farida et al. (2005) untuk: (1) mengalirkan air; (2) menyangga kejadian puncak hujan; (3) melepas air secara bertahap; (4) memelihara kualitas air; dan (5) mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor). Aktivitas yang mempengaruhi komponen DAS di bagian hulu akan mempengaruhi kondisi DAS bagian tengah dan hilir. Batas DAS secara administratif hanya dapat tercakup dalam satu kabupaten hingga melintas batas provinsi dan negara. Suatu DAS yang sangat luas dapat terdiri dari beberapa sub DAS yang kemudian dapat dikelompokkan lagi menjadi DAS bagian hulu, DAS bagian tengah dan DAS bagian hilir (Dephut 2003 c ). Fungsi dari setiap sub DAS tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, DAS bagian hulu dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah dengan lanskap pegunungan dengan variasi topografi, mempunyai curah hujan yang tinggi dan sebagai daerah konservasi untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen sistem aliran airnya. Kedua, DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial

30 9 dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Ketiga, DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. Bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan yang relatif landai dengan curah hujan yang lebih rendah. Semakin ke hilir, mutu air, kontinuitas, kualitas dan debit akan semakin berkurang kualitasnya dibandingkan dengan DAS bagian hulu. Hal ini terjadi karena badan air di hulu tercemari oleh kegiatan-kegiatan manusia baik domestik maupun industri, sehingga badan air di bagian hilir mengalami kondisi dan kualitas yang kurang baik. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pengelolaan DAS adalah upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan manusia. Prinsip dasar dalam pengelolaan DAS yaitu satu DAS, satu perencanaan, satu pengelolaan. Dengan prinsip ini pengelolaan DAS dilakukan dengan pendekatan ekosistem dengan asas keterpaduan, kemanfaatan, kelestarian, dan keadilan (Sumampouw et al. t.t). Pengelolaan DAS menurut Dephut (2008) adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan

31 10 kelestarian ekosistem DAS. Mengacu pada penelitian Citanduy, pengelolaan DAS dalam konteks yang lebih luas dipandang sebagai suatu sistem sumberdaya, satuan pengembangan sosial ekonomi dan satuan pengaturan tata ruang wilayah yang dijalankan berdasarkan prinsip konservasi sumberdaya (resources sustainability) yang mengandung makna keterpaduan antara prinsip produktivitas dan konservasi sumberdaya (sustainability = productivity + conservation of resources) dalam mencapai tujuan-tujuan pengelolaan DAS (Dharmawan et al 2005). Tujuan-tujuan pengelolaan DAS tersebut menurut Dephut (2008) meliputi: 1. Lahan yang produktif dan berkelanjutan sesuai dengan daya dukungnya; 2. DAS yang mempunyai tutupan vegetasi tetap yang memadai dan aliran (debit) air sungai stabil dan jernih tanpa ada pencemaran air; 3. Kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif para pihak termasuk masyarakat di dalam pengelolaan DAS semakin lebih baik; 4. Kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Ruang lingkup kegiatan pengelolaan DAS sebagaimana dinyatakan oleh (Dephut 2008) meliputi : 1. Penatagunaan lahan (landuse planning) untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan; 2. Penerapan konservasi sumberdaya air untuk menekan daya rusak air dan untuk memproduksi air (water yield) melalui optimalisasi penggunaan lahan; 3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam dan luar kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi); 4. Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya buatan terutama yang terkait dengan konservasi tanah dan air; 5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS selama ini memperlihatkan bahwa lembaga-lembaga pengelolaan DAS hanya bekerja pada batas wilayah administratif masing-masing. Pedoman yang digunakan lembaga-lembaga terkait untuk mengelola DAS pun berbeda-beda. Umumnya pengelolaan DAS yang dilakukan oleh lembagalembaga yang ada hanya berupa rehabilitasi dan konservasi. Program-program tersebut hanya akan muncul jika telah terjadi deforestasi dan degradasi pada DAS.

32 Kerusakan Ekosistem Daerah Aliran Sungai Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50 persen dari luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun sekitar 1,089 juta ha per tahun, sedangkan lahan-lahan kritis dan sangat kritis masih tetap luas yaitu sekitar 30,2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), serta erosi dari daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun (Dephut 2008). Menurut Kartodihardjo et al. (2004), rusaknya SDA disebabkan antara lain oleh: (1) berbagai kegiatan pembangunan yang lebih menitik-beratkan pada produksi komoditas (tangible product); (2) lemahnya institusi (dalam arti aturan main maupun organisasi) yang tujuannya mencegah rusaknya sumberdaya yang berupa stock (dan menghasilkan intangible product) seperti bentang alam, watershed, danau, kawasan lindung dan pantai-laut-pulau kecil; (3) lemahnya institusi yang tugasnya melakukan penyelesaian konflik dan penataan penguasaan, pemilikan serta pemanfaatan sumber-sumber agraria. Perkembangan pembangunan yang masih tertuju pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesempatan kerja akan senantiasa mengeksploitasi sumberdaya alam sebagai faktor produksi yang diperlukan. Orientasi ekonomi pada komoditas (barang) sumberdaya alam ini dalam kondisi lemahnya institusi publik yang mengaturnya akan mengabaikan fungsi sumberdaya alam sebagai daya dukung kehidupan (jasa). Dalam 20 tahun terakhir, jumlah DAS kritis di Indonesia meningkat dari 22 menjadi 60 (Sumampouw et al. t.t). Buku Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) tahun 2007 mencatat ada 60 DAS kritis yang menduduki prioritas utama. Sebuah DAS disebut kritis dan masuk kategori prioritas utama bila seluruh parameter penilaian memperlihatkan hasil di bawah standar. Salah

33 12 satu parameternya adalah tutupan lahan di sekitar DAS. Singkatnya, setiap tahun jumlah DAS kritis terus bertambah. Tabel 2.1 DAS Kritis di Indonesia Daerah Aliran Sungai Kritis di Indonesia Kategori Jumlah Prioritas 1 60 Prioritas Prioritas Sumber: (Sumampouw et al t.t) Kondisi kritis DAS ini ditandai dengan menurunnya kemampuan DAS untuk menyimpan air. Dampaknya adalah meningkatnya frekuensi banjir, erosi, sedimentasi dan longsor pada musim hujan serta kekeringan pada musim kemarau. Peningkatan jumlah DAS kritis ini menimbulkan kerugian materi dan jiwa. Saat ini, kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antar sektor yaitu antara wilayah hulu-tengah-hilir, terutama pada era otonomi daerah, dimana sumberdaya alam ditempatkan sebagai sumber PAD (Dephut 2006). Tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan, sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS. Bentuk kerusakan ekologi ini didominasi oleh kerusakan hutan yang berdampak pada kerusakan DAS (Dephut 2008) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu Konsep Pengelolaan Kolaboratif Daerah Aliran Sungai Menurut Gray (1989) sebagaimana dikutip Means et al. (2005), kolaborasi adalah suatu proses dimana dua pemangku kepentingan atau lebih yang berbeda

34 13 kepentingan dalam suatu persoalan yang sama menjajagi dan bekerjasama melalui perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama. Suporahardjo (2005) menyebutkan pendekatan kolaborasi sering disebut sebagai jembatan (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya. Sebagai jembatan penyeberangan yang berfungsi mengintegrasikan batas-batas yang dibatasi oleh geografi, kepentingan dan persepsi, Straus (2002) sebagaimana dikutip Suporahardjo (2005), menyatakan pendekatan kolaborasi juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadversarial approach) untuk penyelesaian masalah dan konflik. Dalam prakteknya kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dalam konflik multi pihak. Chrislip dan Larson (1994) sebagaimana dikutip Suporahardjo (2005), menyatakan bahwa strategi kolaborasi berhasil dilaksanakan karena sembilan faktor berikut: 1. Waktunya tepat dan kebutuhan yang jelas; 2. Didukung oleh kelompok pemangku kepentingan yang kuat; 3. Keterlibatan yang luas (mengupayakan keterlibatan banyak peserta dari berbagai sektor); 4. Kredibilitas dan keterbukaan proses; 5. Komitmen dan keterlibatan level atas, pemimpin yang bervisi; 6. Mendukung atau menyetujui penetapan kewenangan atau kekuasaan (power); 7. Mengatasi ketidakpercayaan dan skeptisme; 8. Kepemimpinan yang kuat terhadap proses; 9. Keberhasilan sementara; 10. Bergerak ke kepedulian yang lebih luas. Salah satu pendekatan kolaboratif yang dapat dilakukan dalam pengelolaan DAS adalah pengelolaan DAS secara terpadu. Pengelolaan DAS secara terpadu adalah rangkaian upaya yang memperlakukan DAS sebagai suatu kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir dengan pendekatan lintas sektor dan lintas wilayah administrasi pemerintahan secara partisipatif, koordinatif, integratif, sinkron dan sinergis guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS (Dephut 2009).

35 14 Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan. Pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia (Dephut 2003 c ). Beberapa hal yang mengharuskan pengelolaan DAS diselenggarakan secara terpadu (Dephut 2006) adalah: 1. Terdapat keterkaitan antar berbagai kegiatan (multi sektor) dalam pengelolaan sumberdaya dan pembinaan aktivitasnya; 2. Melibatkan berbagai disiplin ilmu yang mendasari dan mencakup berbagai bidang kegiatan; 3. Batas DAS tidak selalu bertepatan dengan batas wilayah administrasi pemerintahan;dan 4. Interaksi daerah hulu sampai hilir yang berdampak negatif maupun positif sehingga memerlukan koordinasi antar pihak. Prinsip-prinsip yang harus menjadi dasar acuan dalam pengelolaan DAS terpadu adalah sebagai berikut: 1. Pengelolaan DAS dilakukan dengan memperlakukan DAS sebagai satu kesatuan ekosistem dari hulu sampai hilir, satu perencanaan dan satu sistem pengelolaan; 2. Pengelolaan DAS terpadu melibatkan multipihak, koordinatif, menyeluruh dan berkelanjutan; 3. Pengelolaan DAS bersifat adaptif terhadap perubahan kondisi yang dinamis dan sesuai dengan karakteristik DAS; 4. Pengelolaan DAS dilaksanakan dengan pembagian tugas dan fungsi, beban biaya dan manfaat antar multipihak secara adil; 5. Pengelolaan DAS berdasarkan akuntabilitas para pemangku kepentingan. Secara garis besar ruang lingkup kegiatan pengelolaan DAS terpadu meliputi:

36 15 1. Penatagunaan lahan (landuse planning) untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa serta kelestarian lingkungan; 2. Penerapan konservasi sumberdaya air untuk menekan daya rusak air dan untuk memproduksi air (water yield) melalui optimalisasi penggunaan lahan; 3. Pengelolaan lahan dan vegetasi di dalam dan luar kawasan hutan (pemanfaatan, rehabilitasi, restorasi, reklamasi dan konservasi); 4. Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya buatan terutama yang terkait dengan konservasi tanah dan air; dan 5. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan pengelolaan DAS. Pelaksanaan pengelolaan kolaboratif DAS, harus mengacu pada semboyan Satu Kelola DAS, Satu Rasa, Satu Aksi dengan Sejuta Manfaat. Satu Kelola DAS, Satu Rasa dan Satu Aksi dapat diartikan sebagai berikut (Sumampouw et al. t.t): 1. Satu Kelola DAS: suatu area pengelolaan daerah aliran sungai skala kecil yang ditentukan berdasarkan karakter bentang alam. 2. Satu Rasa: bahwa pemilihan pengelolaan suatu area satu kelola DAS skala kecil didasarkan pada munculnya isu bersama, kepentingan bersama, kedekatan budaya, dan tema bersama (contoh tema konservasi, hijau bersih sehat, perlindungan sumber air dan lain-lain). 3. Satu Aksi: suatu rencana aksi pengelolaan bersama dan terpadu yang merupakan hasil dari proses partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan terhadap pentingnya satu kelola DAS yang diwujudkan dalam bentuk aksi nyata. 4. Sejuta Manfaat: bahwa pengelolaan DAS membawa berbagai hasil serta dampak positif bagi kehidupan manusia secara utuh, terutama yang menyangkut hubungan manusia dengan alamnya Efektivitas Kelembagaan Partisipatoris Daerah Aliran Sungai Pengertian kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat

37 16 berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama (Djogo et al. 2010). Menurut Ostrom (1986) sebagaimana dikutip Djogo et al. (2010), menerangkan bahwa kelembagaan adalah aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Menurut Soekanto (1999) sebagaimana dikutip Manik et al. (2010), fungsi kelembagaan antara lain: (1) sebagai pedoman bagi masyarakat untuk bertingkah laku; (2) menjaga keutuhan masyarakat; dan (3) sebagai sistem pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Ekawati (2008) sebagaimana dikutip Manik et al. (2010), menyebutkan salah satu kegiatan untuk mendorong keterpaduan dalam pengelolaan DAS adalah pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS. Partisipasi masyarakat secara umum merupakan suatu proses yang melibatkan masyarakat. Canter (1989) sebagaimana dikutip Arimbi (1993), mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok atau sebagai proses dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab, secara sederhana hal ini didefinisikannya sebagai feed forward information (komunikasi dari Pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feed back information (komunikasi dari masyarakat ke Pemerintah atas kebijakan). Menurut Arimbi (1993), partisipasi masyarakat merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu (a means to an end), tujuan yang dimaksudkan adalah terkait dengan keputusan atau tindakan yang lebih baik yang menentukan kesejahteraan manusia. Keterlibatan secara aktif dari masyarakat atau sering disebut partisipasi sangat menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS termasuk rehabilitasi hutan dan lahan. Nasdian (2004) memaknai partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif yang diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme)

38 17 dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Sementara itu, Cohen dan Uphoff (1977) sebagaimana dikutip Intania (2003) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu: 1. Tahap pengambilan keputusan (perencanaan) yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat; 2. Tahap pelaksanaan dengan wujud nyata partisipasi berupa: 1. Partisipasi dalam bentuk sumbangan pikiran; 2. Partisipasi dalam bentuk sumbangan materi; dan 3. Partisipasi dalam bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek; 3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek yang dirasakan berarti proyek tersebut berhasil menangani sasaran; dan 4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan bagi pelaksanaan proyek selanjutnya. Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan berarti adanya tindakan nyata yang dilakukan masyarakat dalam berbagai upaya pengendalian dampak lingkungan. Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi: setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian dipertegas dalam penjelasan bahwa hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik tahap perencanaan maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dilakukan melalui beberapa cara, yakni: (1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat

39 18 dan kemitraan; (2) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; (3) menumbuhkan rasa tanggap masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; (4) memberikan saran dan pendapat, dan; (5) menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan. Partisipasi masyarakat merupakan faktor terpenting dalam pembangunan, sehingga hampir semua negara mengakui adanya kebutuhan akan partisipasi dalam semua proses pembangunan. Hal ini terlihat dengan munculnya konsep pembangunan dari bawah yang melibatkan peran serta masyarakat (bottom up) untuk mengimbangi modus konsep pembangunan dari atas (top down) (Zulkarnain dan Dodo1989). Kesadaran dalam berpartisipasi ini sangat penting artinya, terutama bila dikaitkan dengan perawatan atau pengelolaan hasil pembangunan. Betapa pentingnya partisipasi dari seluruh masyarakat, hal ini dikarenakan: (1) partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; (2) masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; (3) merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Sentosa (1990) sebagaimana dikutip Atmanto (1995), mengemukakan beberapa unsur penting dari partisipasi sebagai berikut: 1. Komunitas yang menumbuhkan pengertian yang efektif; 2. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian; 3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan; 4. Spontanitas, yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh; 5. Menumbuhkan kesadaran; dari dalam lubuk hati sendiri tanpa dipaksa orang lain; dan 6. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama.

40 19 Anggota kelembagaan partisipatoris DAS sendiri dapat terdiri dari perwakilan tiga kelompok utama dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu kelompok pemerintah atau pemerintah daerah, kelompok dunia usaha dan kelompok masyarakat. Kelompok pemerintah terkait dengan perencanaan pembangunan, pengelolaan hutan dan lahan pertanian, pertambangan, perikanan, sumberdaya air dan lingkungan hidup. Dunia usaha (swasta) bisa berupa badan usaha milik pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta yang berkepentingan dengan pengelolaan DAS. Perwakilan masyarakat bisa berupa pakar dari Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian, LSM yang berkepentingan terhadap pengelolaan DAS serta individu-individu/tokoh yang memberikan perhatian terhadap pengelolaan (pemanfaatan/pelestarian) ekosistem DAS. Melalui kelembagaan DAS maka akan terbangun komunikasi dan jejaring kerja (networking) diantara para pihak yang terkait dengan pengelolaan DAS. Masing-masing pihak bisa memperoleh manfaat, peran, tanggung jawab dan membangun komitmen untuk mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan DAS (Dephut 2003 a ). Kriteria untuk efektivitas kelembagaan sendiri adalah seberapa baik suatu organisasi berjalan dibandingkan dengan seperangkat standarnya sendiri. Kelembagaan DAS dapat dikatakan efektif bila output yang direncanakan, efek yang diharapkan, dan dampak yang dimaksudkan dapat tercapai. Mengacu pada penelitian DAS Citanduy ukuran tingkat keberlanjutan kelembagaan dapat dinilai berdasarkan variabel-variabel: (1) peran serta anggota; (2) pelayanan terhadap anggota; (3) manfaat lembaga bagi anggota; (4) good governance; dan (5) kompleksitas. Tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal juga dianalisis melalui faktor-faktor sebagai faktor penentu yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal. Adapun determinan faktor sebagai variabel-variabel independen dalam studi DAS Citanduy, meliputi: (1) kepemimpinan; (2) pendidikan anggota; (3) aturan tertulis; (4) aturan tidak tertulis; (5) ukuran kelembagaan; (6) intervensi pemerintah yang berdampak positif; (7) intervensi pemerintah yang berdampak negatif; (8) ketersediaan prasarana dan sarana umum; (9) jejaring kerjasama antar kelembagaan; (10) usia

41 20 kelembagaan; (11) proses pendirian kelembagaan; dan (12) kecukupan anggaran (Dharmawan et al. 2005). Menurut Fukuyama sebagaimana dikutip Nasdian (2004), keberlanjutan kelembagaan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal tersebut terdiri dari (1) kepemimpinan; (2) pendidikan; dan (3) anggaran, sedangkan faktor eksternal terdiri dari (1) kebijakan; (2) pemerintah lokal; dan (3) insentif. Aksi kelembagaan di DAS Citanduy ini memfokuskan pada konstruksi Wadah Pengelolaan Bersama yang terbagi menjadi tiga aras yaitu: (1) internasional dan nasional; (2) supra lokal (antar provinsi/kabupaten/kota); dan (3) komunitas lokal. Selain itu, kelembagaan pengelolaan DAS harus berlandaskan kepada membangun kemitraan antar tiga ruang kekuasaan : civil society, state dan private sector. Prinsip yang digunakan oleh kelembagaan pengelolaan DAS antara lain: 1. Kelembagaan tersebut merupakan manifestasi dari sharing seluruh pemangku kepentingan, dimana peranan masing-masing pemangku kepentingan dalam kelembagaan tersebut (pola hubungan) dapat ditelaah secara kritis dari analisis pihak-pihak terkait. Telaah dianggap penting untuk menetapkan kedudukan organisasi atau badan yang melaksanakan fungsi hubungan kelembagaan tersebut. 2. Fokus pekerjaan kelembagaan tersebut adalah kepada aktivitas yang partisipatif dan diperkirakan secara operasional dapat didukung dan difasilitasi oleh beragam kebijakan central and local government. 3. Kelembagaan tersebut baik secara konseptual maupun operasional mampu mengimplementasikan kaidah-kaidah desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ditetapkan pada satuan daerah tingkat dua atau kabupaten/kota (UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah). Prinsip ini penting untuk mendukung aksi-aksi kolektif partisipatif dan sampai sejauh mana kabupaten/kota dan/local government mampu membiayai beragam implementasi dari aktivitas partisipatif tersebut. Pada penelitian DAS di Lampung, NTT dan DAS di Bhima India, terbukti bahwa kelembagaan DAS yang diinisiasi oleh LSM dan NGO setempat jauh lebih baik dan memiliki tingkat keberlanjutan yang tinggi dibandingkan kelembagaan

42 21 yang diinisiasi dan dibangun oleh pemerintah setempat (Hadi et al. 2006). Hal ini dikarenakan posisi LSM dan NGO tersebut adalah untuk meningkatkan kapasitas dan posisi tawar-menawar masyarakat lokal agar setara dengan para pemangku kepentingan yang ada. Berdasarkan studi kasus geo-ekologis dan sosial ekonomi DAS Citanduy, maka dapat diidentifikasi bahwa wilayah hilir adalah wilayah yang memiliki tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal tertinggi, sedangkan kelembagaan konservasi merupakan kelembagaan dengan tingkat keberlanjutan tertinggi di wilayah hulu dan tengah DAS Citanduy (Dharmawan et al. 2005) Pembangunan Daerah Aliran Sungai Berkelanjutan Definisi tentang pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh komisi dunia tentang lingkungan hidup dan pembangunan World Commission on Environment and Development (WCED) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri (Arifin 2001). Menurut Sugandhy (2007), pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Paradigma pembangunan yang terjadi selama ini oleh beberapa pihak bahwa lingkungan adalah untuk pembangunan ekonomi (eco-developmentalism), lingkungan untuk manusia (eco-humanis), dan lingkungan untuk lingkungan (ecoenvironmentalism). Namun apa yang terjadi selama tiga dekade adalah pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan ekonomi. Paradigma pembangunan yang berkelanjutan merupakan perpaduan dari tiga pandangan di atas, dimana pembangunan hendaknya ditujukkan untuk kesejahteraan masyarakat (termasuk di dalamnya pembangunan di dalam bidang ekonomi) dan kelestarian lingkungan hidup (Purba 2002). Dilihat dari sudut pandang DAS, hal yang menjadi dasar pemikiran pengelolaan DAS adalah Sustainable Resources Use Management atau

43 22 Pengelolaan yang Berkelanjutan, artinya, setiap upaya perlindungan, rehabilitasi, dan adaptasi yang dilakukan, hendaknya dapat dilembagakan dalam bentuk organisasi masyarakat (community organization). Bentuk ini sudah mulai muncul dalam wujud forum-forum DAS dan terbentuknya kelompok masyarakat yang bertindak langsung melakukan perlindungan dan rehabilitasi lahan DAS (Sumampouw et al. t.t). Prinsip penting dari pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan adalah: 1. Pentingnya Modal Sosial (social capital), dalam bentuk pendanaan mandiri ataupun pendanaan bersama antara publik dengan pemerintah; 2. Modal Organisasi Masyarakat (modality in community organization) dalam bentuk pengorganisasian masyarakat yang mandiri; 3. Adanya alih pengetahuan (transfer of knowledge) dari pelaku-pelaku yang memiliki cerita sukses dan kreatif dalam penanganan satuan kelola daerah aliran sungai; 4. Pentingnya kehendak politik (political will) dari pemerintah daerah serta lintas sektoral yang tidak lagi didasarkan atas pertimbangan batas wilayah melainkan lebih bertumpu pada pertimbangan batas ekosistem. Menurut Kartodihardjo et al. (2004), pengelolaan DAS dikatakan telah efektif jika tujuan manajemen dapat dicapai bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat penghuninya. Keberhasilan pengelolaan DAS akan lebih mudah jika: 1. Sumberdaya di dalam DAS menghasilkan manfaat yang besar; 2. Peluang pendapatan masyarakat lokal sejalan dengan aktivitas rehabilitasi DAS; 3. Hak atas lahan (tenureship) jelas, terjamin dan terdistribusi secara adil; 4. Ada insentif bagi mereka yang bersedia mengorbankan manfaat jangka pendeknya (manfaat individu) untuk memperoleh manfaat jangka panjang (manfaat sosial); dan 5. Ada kerjasama antar pemangku kepentingan pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS harus dilihat sebagai suatu kesatuan alamiah yang terdiri dari wilayah hulu, tengah dan hilir, dalam konteks pengelolaan One River, One Plan, One Management. Sejarah perkembangan konsep Pengelolaan

44 23 Pembangunan keberlanjutan dalam konteks DAS adalah bagaimana antara sub hulu, tengah, hilir DAS terdapat kesamaan visi dan misi, dimana tidak hanya hulu saja yang berperan dalam menjaga kelestarian DAS namun sub tengah maupun hilir pun berkontribusi dalam menjaga kelestarian DAS melalui kolaborasi yang dilakukan aktor-aktor terkait yaitu pemerintah, swasta, masyarakat, LSM, maupun akademisi turut dilibatkan. Prinsip keberlanjutan (sustainability) menjadi acuan dalam mengelola DAS, yakni fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial budaya dari berbagai sumberdaya dalam DAS dapat terjamin secara berimbang. 2.2 Kerangka Pemikiran Gambar 2.1 menjelaskan bahwa kerusakan yang terjadi di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) selama ini lebih disebabkan oleh pemangku kepentingan yang mengelola DAS. Pemangku kepentingan tersebut terdiri dari tiga aktor utama yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah. Kerusakan yang terjadi di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) akan mempengaruhi sub DAS lainnya yaitu bagian tengah dan hilir Sungai Cikapundung. Untuk itu diperlukan suatu upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dalam rangka menjaga keberlangsungan ekosistem DAS yang baik. Salah satu upaya tersebut adalah dengan membentuk kelembagaan partisipatoris yang anggotanya terdiri dari masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai yang juga merupakan anggota dari 42 komunitas pegiat Sungai Cikapundung. Dengan terbentuknya kelembagaan partisipatoris maka upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) menjadi lebih cepat karena seluruh pihak baik pemerintah, swasta dan akademisi turut mendukung serta bahu-membahu untuk mempercepat pemulihan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dengan mengajak seluruh pihak khususnya masyarakat bantaran Sungai Cikapundung untuk senantiasa berpartisipasi dalam upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) karena selama ini masyarakat tersebutlah yang berhubungan langsung dengan sungai. Kegiatan-kegiatan penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris secara intensif dan terus menerus inilah yang akhirnya dapat menyadarkan masyarakat di sekitar

45 24 bantaran Sungai Cikapundung (baik itu di hulu maupun di tengah Sungai Cikapundung) untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan ekosistem di DAS guna mencegah bencana yang terjadi seperti banjir dan longsor di hilir. Keterlibatan Pemangku Kepentingan Masyarakat Swasta Pemerintah Kerusakan Hulu DAS Tengah DAS Hilir DAS Penyelamatan Hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) oleh Kelembagaan Partisipatoris Aksi Kali Bersih Aksi Tanam Pohon Pengolahan Sampah/Limbah Penyuluhan dan Penyadaran Warga Warga di Hulu Sungai Cikapundung Warga di Tengah Sungai Cikapundung Perubahan Sikap dan Perilaku, Warga di Hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) terhadap Lingkungan Hidup Tingkat Pengetahuan Tingkat Membuang Sampah/Limbah ke Sungai Tingkat Keterlibatan Warga dalam Penghijauan Tingkat Gotong Royong Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Keterangan: : Mempengaruhi : Tidak diteliti lebih lanjut : Terdapat hubungan : Kualitatif : Kuantitatif

46 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: 1. Semakin tinggi upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) oleh kelembagaan partisipatoris maka akan semakin tinggi tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat untuk menjaga dan melestarikan Sungai Cikapundung. 2. Semakin tinggi tingkat keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan Sungai Cikapundung maka tingkat kerusakan di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) akan semakin rendah. 2.4 Definisi Konseptual 1. Keterlibatan pemangku kepentingan adalah keikutsertaan pemangku kepentingan yang terdiri dari masyarakat, pemerintah dan juga swasta dalam mengelola sumberdaya alam sehingga berkontribusi dalam menghasilkan kerusakan di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung), berikut penjelasan dari masing-masing pemangku kepentingan tersebut. i. Masyarakat adalah sekelompok orang yang saling berinteraksi antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut atau suatu komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain) yang terkait dalam pengelolaan ekosistem hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). ii. Swasta adalah organisasi atau lembaga non pemerintah yang memiliki kepentingan dalam ekosistem hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) guna mencapai keuntungan bagi organisasinya. iii. Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan dan wewenang lebih dalam mengelola hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) di wilayahnya dan memiliki peran yang sangat penting untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu yang terkait kelestarian ekosistem DAS di daerahnya. 2. Kerusakan hulu DAS adalah ketidakberfungsian bagian hulu DAS sebagai penyedia oksigen dan perlindungan serta fungsi tata air bagi DAS bagian

47 26 tengah dan hilir. Hal ini ditandai dengan banyaknya lahan kritis di daerah hulu dan banyaknya industri-industri sehingga dapat mengakibatkan bencana banjir dan longsor di hilir. 3. Bagian tengah DAS adalah bagian DAS yang didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. 4. Bagian hilir DAS adalah bagian DAS yang didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah. 5. Penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) adalah upayaupaya yang dilakukan guna mengembalikan fungsi DAS bagian hulu sebagai daerah penyangga air dan daerah hijau. 6. Kelembagaan partisipatoris DAS adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan, pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam (DAS) secara partisipatif terkait perencanaan, hingga pelaksanaannya serta dengan sarana dan prasarana dari kelompok itu sendiri. 7. Aksi kali bersih adalah kegiatan untuk mengambil sampah dan limbah di sepanjang aliran sungai guna membersihkan sungai agar tidak tercemar dan tidak menimbulkan bencana banjir di hilir. 8. Aksi tanam pohon adalah kegiatan untuk menanam berbagai jenis pohon di daerah kritis di sepanjang DAS guna sebagai penyangga dan penyuplai air serta sebagai pencegah banjir di DAS bagian tengah dan hilir. 9. Pengolahan sampah/limbah adalah kegiatan mendaur ulang sampah baik itu organik dan non organik agar dapat diamanfaatkan kembali menjadi barang yang dapat bernilai atau bermanfaat kembali.

48 Penyuluhan dan penyadaran warga adalah proses penyebarluasan informasi, ilmu pengetahuan kepada masyarakat sebagai upaya mencegah masyarakat khususnya masyarakat di DAS agar tidak menggunakan sungai sebagai tempat pembuangan limbah/sampah. Penyuluhan dan penyadaran warga ini dilakukan dengan aksi langsung bersama masyarakat di sekitar DAS. 11. Warga di hulu Sungai Cikapundung adalah warga yang tinggal di daerah hulu Sungai Cikapundung. 12. Warga di tengah Sungai Cikapundung adalah warga yang tinggal di daerah tengah Sungai Cikapundung. 13. Kesadaran masyarakat di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) adalah sejauh mana masyarakat yang berada di sepanjang Sungai Cikapundung mengerti akan pentingnya fungsi kawasan hulu sebagai daerah tangkapan air dan penyangga sehingga tidak lagi melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mencemari ataupun merusak sungai namun sebaliknya melakukan kegiatankegiatan yang dapat melestarikan DAS. 2.5 Definisi Operasional Tingkat kesadaran masyarakat dinilai dari beberapa aspek, antara lain: 1. Tingkat pengetahuan adalah kognisi/pengetahuan yang dimiliki oleh warga mengenai sampah, sungai, penghijauan dan gotong royong. Tinggi rendahnya tingkat pengetahuan responden dapat diukur dari baik/tidaknya pengetahuan responden terkait sampah, sungai, penghijauan, dan gotong royong. a. Rendah: jika responden tidak dapat membedakan jenis sampah, serta jika responden menjawab kurang/tidak penting kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sungai, penghijauan, dan gotong royong, skor 0 b. Tinggi: jika responden dapat membedakan jenis sampah, serta jika responden menjawab penting kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sungai, penghijauan, dan gotong royong, skor1 2. Tingkat membuang sampah/limbah ke sungai adalah sejauh mana warga tidak membuang atau menyalurkan sampah/limbah rumah tangganya ke aliran sungai. Perubahan perilaku responden dalam membuang atau menyalurkan sampah/limbah rumah tangganya dapat diukur dari kemana responden

49 28 tersebut biasa membuang sampah/limbah rumah tangganya setelah adanya kelembagaan partisipatoris di daerahnya. a. Sangat buruk: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah tangganya ke sungai di daerahnya, skor 0 b. Buruk: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah tangganya dengan cara dibakar, skor 1 c. Baik: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah tangganya dengan cara dikubur, skor 2 d. Sangat baik: jika sehari-harinya responden membuang sampah/limbah rumah tangganya menggunakan TPS, skor 3 3. Tingkat keterlibatan warga dalam penghijauan adalah keikutsertaan masyarakat yang berada di sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) untuk melakukan aksi tanam pohon di daerah atau kawasankawasan kritis. Tingkat partisipasi responden dalam kegiatan penghijauan dapat diukur dari hadir/tidak hadirnya responden dalam setiap kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya a. Tidak pernah: jika responden tidak pernah sama sekali terlibat dalam setiap kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya, skor 0 b. Jarang: dalam satu tahun responden hanya terlibat satu hingga dua kali kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya, skor 1 c. Kadang-kadang: dalam satu tahun responden terlibat lebih dari dua kali dalam setiap kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya, skor 2 d. Selalu: responden selalu terlibat dalam setiap kegiatan penghijauan yang diadakan di daerahnya, skor 3 4. Tingkat keterlibatan warga dalam gotong royong adalah tingkat kerjasama antar masyarakat sekitar hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dalam kegiatan-kegiatan yang dapat menjaga kelestarian sumberdaya alam khususnya DAS. Tingkat partisipasi responden dalam kegiatan gotong royong dapat diukur dari hadir/tidak hadirnya responden dalam setiap kegiatan gotong royong yang diadakan di daerahnya. a. Tidak pernah: responden tidak pernah sama sekali terlibat dalam setiap kegiatan gotong royong yang diadakan di daerahnya, skor 0

50 29 b. Jarang: dalam enam bulan responden hanya terlibat satu hingga dua kali dalam setiap kegiatan gotong royong yang diadakan di daerahnya, skor 1 c. Kadang-kadang: dalam enam bulan responden terlibat lebih dari dua kali dalam setiap kegiatan gotong-royong yang diadakan di daerahnya, skor 2 d. Selalu: responden selalu terlibat dalam setiap kegiatan gotong royong yang diadakan di lingkungan tempat tinggalnya, skor 3

51 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan tempat dilatarbelakangi oleh tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa metode pengumpulan data untuk memperoleh pemahaman mengenai efektivitas kelembagaan partisipatoris di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Penelitian ini dilakukan di Sungai Cikapundung dengan studi kasus kelembagaan partisipatoris yaitu komunitas Cikapundung Rehabilitation Program (CRP) di daerah Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Bandung, Jawa Barat dan komunitas Zero yang berada di Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong, Bandung, Jawa Barat. Pemilihan tempat dilakukan secara sengaja (purposive) dimana lokasi penelitian merupakan daerah hulu dan tengah Sungai Cikapundung. Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Juli, sedangkan pengelolaan data dan hasil penulisan laporan dilakukan pada bulan Agustus hingga Oktober Teknik Pengumpulan Data Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. Dalam pendekatan kuantitatif, penelitian ini menggunakan metode survey. Penelitian survey adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun 1989). Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui sejauh mana masyarakat terkena dampak dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris di hulu dan tengah Sungai Cikapundung. Pendekatan kualitatif penelitian mengambil fakta berdasarkan pemahaman subyek penelitian, dan mengetengahkan hasil pengamatan itu secara sangat rinci (Agusta 1998). Pendekatan kualitatif lebih menekankan pada kedalaman dan kecukupan informasi serta berusaha membangun teori minimal tentang unit analisis yang diteliti. Dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui keterlibatan pemangku kepentingan dalam melakukan kegiatan-

52 31 kegiatan yang menyebabkan kerusakan di hulu DAS dan juga melihat bagaimana pemangku kepentingan tersebut melakukan upaya penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Strategi penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Melalui metode studi kasus peneliti bermaksud untuk mencari, menerangkan dan menganalisis peristiwa sosial yang terjadi secara holistik dan mendalam tentang permasalahan penelitian. Peneliti menggunakan metode studi kasus karena penelitian berada pada studi aras mikro, yaitu Sub DAS Cikapundung. Peneliti menggunakan triangulasi metodologi untuk menggali data kelembagaan partisipatoris dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan penyelamatan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dan juga keterlibatan pemangku kepentingan di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Triangulasi yang digunakan adalah kombinasi dari teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara mendalam, pengamatan berperan serta, dan kajian literatur. Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang disebarkan dan diisi oleh responden melalui wawancara mendalam dan pencarian informasi kepada informan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumentasi dan studi literatur yang sumbernya berasal dari berbagai dokumen-dokumen pemerintah atau dinas-dinas terkait, buku, artikel, skripsi, tesis, internet dan karya ilmiah lainya. 3.3 Teknik Penentuan Responden Terdapat dua subjek penelitian yaitu responden dan informan. Data dari penelitian kuantitatif diperoleh melalui kuisioner dengan menggunakan teknik wawancara kepada responden. Kemudian hasil dari kuesioner tersebut dicatat seperti apa adanya dan diolah dengan melakukan analisis serta interpretasi, baru selanjutnya dilakukan pembuatan kesimpulan tentang hasil kuesioner. Data dari penelitian kualitatif diperoleh melalui observasi ke lapangan dan wawancara mendalam kepada informan. Untuk data kualitatif, penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dengan pemangku kepentingan yang terlibat untuk mengetahui kegiatan-kegiatan

53 32 kelembagaan partisipatoris dan peran dari masing-masing pemangku kepentingan serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelembagaan partisipatoris dalam menjalankan upaya penyelamatan di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Sedangkan untuk mengetahui perubahan perilaku dan tingkat kesadaran masyarakat setelah adanya kelembagaan partisipatoris digunakan data primer yang dikumpulkan melalui kuisioner yaitu sebanyak 60 responden dari dua Rukun Tetangga (RT) yang ditentukan secara purposif. Pemilihan RT ditentukan melalui teknik random sampling, dimana masing-masing RT akan diambil 30 secara acak. Kerangka sampling dalam penelitian ini mengambil populasi masyarakat yang berada dekat dengan Sungai Cikapundung dan dekat dengan kelembagaan partisipatoris, terpilihlah Kecamatan Coblong yang terdiri dari enam kelurahan. Dari enam kelurahan terpilih dua kelurahan yang terbagi menjadi dua kelompok dengan karakteristik yang berbeda. Kelompok pertama adalah warga di Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong yang merupakan daerah hulu Sungai Cikapundung dengan studi kasus komunitas CRP, sementara kelompok kedua adalah warga Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong yang sudah memasuki daerah tengah Sungai Cikapundung dengan studi kasus komunitas Zero. Dari kedua kelompok tersebut dipilih dua Rukun Warga (RW) secara purposif berdasarkan hasil pengamatan dan informasi yang terpercaya, kemudian dari kedua RW dipilih masing-masing satu RT secara purposif yang akan dijadikan sampel. RT yang terpilih yaitu RT 02/RW 01 Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong dan RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong dimana kedua RT tersebut berdekatan langsung dengan Sungai Cikapundung. Dari masing-masing RT tersebut baru diambil secara acak rumah tangga yang akan dijadikan responden penelitian dimana jumlah total rumah tangga di RT 02/RW 01 sebanyak 63 dan di RT 03 RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi sebanyak 52 rumah tangga. Dari sini, dipilih secara acak 30 responden dari masing-masing RT untuk dijadikan sampel penelitian, sehingga jumlah total responden di dua lokasi berjumlah 60 rumah tangga. Adapun, teknik pengambilan responden dengan metode sampling diilustrasikan seperti pada Gambar 3.1.

54 33 Kecamatan Coblong Bandung Utara Total Kelurahan di Kecamatan Coblong sebanyak 6 Populasi: seluruh warga yang berada dekat dengan daerah hulu Sungai Cikapundung serta komunitas pegiat Sungai Cikapundung Penentuan kelurahan: purposif Populasi: seluruh warga yang berada dekat dengan daerah tengah Sungai Cikapundung serta komunitas pegiat Sungai Cikapundung Penentuan kelurahan: purposif Dipilih satu kelurahan di hulu Sungai Cikapundung yaitu Kelurahan Dago Dipilih satu kelurahan di tengah Sungai Cikapundung yaitu Kelurahan Lebak Siliwangi Total RW di Kelurahan Dago: 13 Penentuan RW dan RT: purposif Total RW di Kelurahan Lebak Siliwangi: 8 Penentuan RW dan RT: purposif Dipilih satu RW dan RT di Kelurahan Dago yaitu RW 01/ RT 02 Dipilih satu RW dan RT di Kelurahan Lebak Siliwangi yaitu RW 08/ RT 03 Jumlah KK di RW 01/ RT 02 Kelurahan Dago sebanyak 63 KK Jumlah KK di RW 08/ RT 03 Kelurahan Lebak Siliwangi sebanyak 52 KK Dari 63 KK di RW 01/ RT 02 Kelurahan Dago, secara acak dipilih 30 responden dengan 3 responden cadangan (10 persen dari 100 persen) Dari 52 KK di RW 08/ RT 03 Kelurahan Lebak Siliwangi, secara acak dipilih 30 responden dengan 3 responden cadangan (10 persen dari 100 persen) Total 60 responden Gambar 3.1 Teknik Sampling dan Pengambilan Responden

55 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Teknik pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan perlakuan yang berbeda sesuai dengan jenis data yang diperoleh dengan pendekatan penelitian berbeda, yakni data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif dan dari data kuantitatif. Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif akan diolah melalui tiga tahap analisis data kualitatif, yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Sugiyono (2008) mendefinisikan tahaptahap analisis data sebagai berikut: 1. Reduksi data: merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan mencari tema serta pola data yang diperoleh; 2. Penyajian data: menyajikan data dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan lain-lain untuk mempermudah peneliti dalam mengorganisir data, menyusun pola dan memahami data yang diperoleh; 3. Penarikan kesimpulan yang menghasilkan temuan baru atas obyek penelitian. Data yang diperoleh dari responden dan informan selanjutnya dicatat dalam catatan harian. Data-data yang telah didapat kemudian direduksi (pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan). Reduksi data bertujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dari pemaknaan dari efektivitas kelembagaan partisipatoris di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) dapat dilakukan. Data kuantitatif hasil penyebaran kuesioner di lapangan diolah dengan terlebih dahulu dilakukan pemilahan data. Pengolahan data dilakukan dengan tabel frekuensi untuk menghitung persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabulasi silang untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu untuk melihat perubahan perilaku responden keterkaitan kegiatan kelembagaan partisipatoris di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) terhadap perubahan sikap dan perilaku masyarakat di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Selanjutnya gabungan data kualitatif dan kuantitatif tersebut diolah dan dianalisis dengan disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks, atau bagan. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah.

56 35 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Sungai Cikapundung Sejarah Sungai Cikapundung Sungai Cikapundung merupakan salah satu DAS yang memiliki nilai penting bagi Kota Bandung dan sekitarnya. Asal nama Cikapundung terdiri dari dua kata yaitu cai dan kapundung. Cai dalam bahasa Sunda berarti air, sedangkan kapundung berarti tanaman Kapundung/Bencoy/Menteng yaitu Baccaurea dulcismuell yang banyak tumbuh di bantaran Sungai Cikapundung. Sungai Cikapundung berhulu di utara Kota Bandung tepatnya di daerah Lembang yang airnya berasal dari Curug Ciomas yang membelah Kota Bandung dari kawasan utara menuju selatan Kota Bandung dan bermuara di Sungai Citarum di daerah Selatan Bandung. Sungai Cikapundung yang berhulu di Gunung Bukit Tunggul, Gunung Palasari dan Gunung Putri, berada pada ketinggian m dpl merupakan Sub DAS Citarum yang luasnya ,5 ha dengan wilayah administrasi Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kabupaten Bandung sepanjang ± 28 km. Pada tahun 2010 Sungai Cikapundung memiliki curah hujan berkisar antara mm/tahun, adapun hari hujan antara hari, sedangkan curah hujan maksimum 89 mm. Tataguna lahan di Sungai Cikapundung meliputi: perkebunan sebesar 53,8 persen, pemukiman sebesar 25,3 persen, hutan sebesar 3,71 persen, sawah sebesar 6,62 persen, semak belukar sebesar 5,3 persen dan terakhir lahan kosong sebesar 5,64 persen. Populasi di wilayah sungai sekitar jiwa. Sungai Cikapundung memiliki luas daerah tangkapan di bagian hulu sebesar 111,3 km², di bagian tengah seluas 90,4 km² dan di bagian hilir seluas 76,5 Km². Pada bagian hulu terdapat percabangan sungai yang membentuk dua sub sistem DAS, yang terletak di Maribaya. Percabangan kearah Barat merupakan sub sistem Cigulung meliputi Cikidang, Cibogo, Ciputri dan Cikawari, sedangkan kearah Timur meliputi sungai Cibodas dan Sungai Cigalukguk 1. 1 Data didapat dari PSDA Jawa Barat dan BPLH Kota Bandung

57 36 Sungai Cikapundung termasuk kedalam 48 sungai yang mengitari kota Bandung dan menjadi 13 anak sungai utama yang menjadi pemasok air bagi Sungai Citarum. Panjang alur Sungai Cikapundung yang melintasi Kota Bandung adalah sebesar ± 15,5 km (68,2 persen dari total panjang sungai) dan diantaranya merupakan daerah pemukiman padat penduduk yang dipenuhi dengan bangunan. Lebar sungai di hulu sepanjang 22 meter dan di hilir 26 meter, dimana debit air minimum sebesar enam meter kubik per detik. Sungai Cikapundung membelah Kota Bandung dengan melintasi sembilan kecamatan, 13 kelurahan dan 124 RW. Sungai Cikapundung terbagi dalam dua segmen antara lain kawasan hijau sepanjang lima kilometer meliputi wilayah Dago Bengkok - Curug Dago - hingga Gandok, dan sepanjang 10,5 km daerah Gandok hingga Mengger bantarannya sudah merupakan daerah perumahan padat penduduk, perdagangan dan sebagainya. Sungai Cikapundung mengalir melewati kawasan perkebunan kina dan hutan lindung yang didominasi oleh tumbuhan pinus. Sungai Cikapundung mengalir menuju Kampung Cikapundung Desa Suntenjaya. Aliran sungai dilanjutkan sampai bertemu dengan anak Sungai Cisarua di Desa Cibodas dan anak Sungai Cigulung di kawasan wisata Maribaya di Desa Langensari Kecamatan Lembang. Selanjutnya, aliran sungai menuju ke kawasan hutan lindung Taman Insinyur Haji Djuanda atau yang biasa dikenal sebagai kawasan Dago Pakar. Kawasan ini terletak di antara Kelurahan Cidadap dan Cibeunying Kaler, kemudian arah aliran Sungai Cikapundung menuju ke arah hilir yang telah terdapat banyak pemukiman penduduk, yaitu Babakan Siliwangi, Melong, By Pass Soekarno Hatta, sampai menuju ke adarah Desa Bojong Soang dan akhirnya bertemu dengan aliran Sungai Citarum. Seperti fungsi sungai lainnya, Cikapundung pun berfungsi sebagai: (1) drainase utama pusat kota; (2) penggelontor kotoran dan pembuangan limbah domestik maupun industri sampah kota; (3) objek wisata Bandung (Maribaya, Curug Dago, kebun binatang dll); (4) penyedia air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandung yang membangun instalasi penyadapan di Dago Pakar, Dago, dan di Badak Singa; (5) pemanfaatan energi yang dikelola oleh PT Indonesia Power-Unit Saguling yang mendirikan instalansi di PLTA Bengkok dan PLTA Dago Pojok, serta (6) sebagai

58 37 sarana irigasi pertanian, namun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota, instalasi tersebut tidak berfungsi secara efektif. Ditinjau dari segi mata pencaharian, sebagian besar penduduk di Sub DAS Cikapundung bergantung pada sektor pertanian sebesar 35 persen dimana sektor pertanian ini menyumbang sebesar 71,82 persen dari nilai PDB Kecamatan Lembang dan merupakan yang terbesar dari sektor-sektor yang lain. Dari segi pendidikan warga Sub DAS Cikapundung tergolong masih rendah karena sebagian besar penduduk hanya tamat SD bahkan terdapat juga penduduk yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD, adapun kegiatan sosial seperti gotong royong, ronda dan kegiatan keagamaan masih berjalan dengan baik. Ketergantungan penduduk yang tinggi terhadap sektor pertanian terancam dengan adanya tekanan alih fungsi lahan akibat pesatnya perkembangan di Kota Bandung. Merehabilitasi Sungai Cikapundung merupakan suatu langkah awal untuk merehabilitasi 13 sungai lainnya agar jernih kembali, dimana Sungai Cikapundung digunakan untuk menampung air pada musim kemarau, mengurangi sedimentasi lumpur keruh di Sungai Citarum, juga sebagai sumber listrik Ibukota Jawa Barat dan jaringan Jawa hingga Bali. 4.2 Sejarah Pembentukan Kelembagaan Partisipatoris Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program (CRP) terbentuk pada akhir tahun 2009 tepatnya pada 22 Desember 2009 di Curug Dago Bandung oleh LSM Penjelajah Rimba dan Pendaki Gunung (CAMEL) dan Dinas Kehutanan Tahura Ir.H Juanda, serta oleh salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Bandung Institut Teknologi Nasional (ITENAS). Awalnya komunitas CRP merupakan salah satu program kerja dari Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung alam bernama CAMEL yang telah berdiri selama lebih dari 30 tahun lamanya sejak 5 Mei 1982 yang sekretariatnya berada di daerah Dago Bandung. Program tersebut berupa kegiatan konservasi alam dengan nama Cikapundung Rehabilitation Program. Program rehabilitasi Sungai Cikapundung tersebut dilakukan oleh anggota CAMEL atas dasar keprihatinan terhadap Sungai Cikapundung yang kondisinya semakin hari semakin memprihatinkan. Pada

59 38 akhirnya program CRP tersebut terpisah dari LSM CAMEL dan menjadi sebuah komunitas tersendiri. Komunitas CRP senantiasa mengajak masyarakat di sepanjang Sungai Cikapundung untuk selalu berpartisipasi aktif menjaga dan melestarikan Sungai Cikapundung. Alasan utama mengapa program kerja LSM CAMEL tersebut djadikan sebuah komunitas adalah karena nama program itu sendiri, dimana ada keyakinan tersendiri dari anggota komunitas CRP bahwa dengan mengusung nama Cikapundung sebagai suatu kelembagaan dinilai dapat menarik dan menggerakkan massa yang banyak untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan Sungai Cikapundung, serta agar komunitas CRP dapat dengan mudah dan cepat dikenal oleh masyarakat luas khususnya masyarakat di bantaran Sungai Cikapundung, karena pada umumnya LSM-LSM lingkungan yang ada saat ini terlalu mengusung nama lembaga/organisasinya masing-masing, namun sangat kurang pada aksi di lapangan. Komunitas CRP sendiri tidak menyangka bahwa kegiatannya menimbulkan gerakan masyarakat yang besar di sepanjang Sungai Cikapundung, hal ini seperti yang dikemukakan oleh salah satu anggota komunitas CRP (Dre, 40 thn). Pada awalnya kita semua hanya sekelompok orang pecinta alam dan pegiat lingkungan yang sering bermain di Sungai Cikapundung dengan mengambil sampah menggunakan jaring, namun semakin lama semakin banyak orangorang yang mendukung bahkan mengikuti kegiatan kami ini (Dre, 40 thn). Bermodalkan kekuatan idealisme dan sebagai dharma bakti dalam mengekpresikan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 23 tahun 1977 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, peraturan pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, dan peraturan pemerintah No. 9 thn 2005 tentang Perlindungan Hutan, maka komunitas CRP mensosialisasikan gerakan nyata di lapangan berupa gerakan bersih-bersih Sungai Cikapundung yang sekaligus menjadi awal terjalinnya hubungan masyarakat dan aparatur pemerintah mulai dari tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan, bahkan ketingkat Walikota dan Gubernur.

60 39 Komunitas CRP merupakan pencetus gerakan rehabilitasi Sungai Cikapundung, hingga saat ini sudah terdapat ± 42 komunitas yang melakukan kegiatan serupa komunitas CRP yang ditempatkan di beberapa posko/titik yang berbeda di sepanjang Sungai Cikapundung dengan berbagai nama komunitas yang berbeda-beda. Terbentuknya 42 komunitas pegiat sungai ini, dimulai saat komunitas CRP melakukan kegiatan pengambilan sampah dari Sungai Cikapundung hampir setiap harinya. Komunitas CRP sangat rajin melakukan pendekatan ke berbagai aparat pemerintah dan para pemangku kepentingan terkait seperti lurah, RW, RT, karang taruna di berbagai RW di sepanjang Sungai Cikapundung untuk mensosialisasikan gerakan aksi bersih kalinya. Anggota pegiat Sungai Cikapundung sendiri kurang lebih telah berjumlah 400 orang yang terdiri dari berbagai kalangan, tua, muda, kaya, miskin, dan dari berbagai jenis pekerjaan. Terbentuknya 42 komunitas pegiat Sungai Cikapundung inilah yang menjadi awal mula terbentuknya kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung, dimana dalam setiap kegiatan terkait lingkungan, khususnya Sungai Cikapundung senantiasa melibatkan partisipasi dari 42 komunitas pegiat sungai lainnya dengan komunitas CRP sebagai induk utama kelembagaan partisipatoris tersebut. Berikut merupakan struktur organisasi komunitas CRP pada tahun Dewan Penasehat Ketua Sekretaris Umum Ketua Wakil Ketua Hubungan Masyarakat Koordinator Lapangan Ketua Wakil Ketua Gambar 4.1 Struktur Organisasi Komunitas CRP

61 40 Kegiatan utama kelembagaan partisipatoris meliputi pemasangan jaring sampah, daur ulang sampah organik dan an-organik, penghijauan dan pelestarian satwa, serta penyuluhan kepada masyarakat akan pentingnya pengolahan limbah rumah tangga sebelum dibuang ke sungai. Pada saat anggota kelembagaan partisipatoris berkumpul bersama, mereka melepaskan semua jabatan dan pangkat yang melekat dan saling membaur satu sama lain guna membahas Sungai Cikapundung untuk ke depannya. Umumnya para pegiat Sungai Cikapundung adalah orang-orang yang memiliki masa lalu atau kenangan masa kecil di Sungai Cikapundung. Selain itu, masyarakat yang sudah lama tinggal di hulu dan tengah Sungai Cikapundung umumnya memiliki solidaritas yang masih kuat, berbeda dengan masyarakat di hilir sungai Cikapundung yang kebanyakan masyarakat pendatang sehingga rasa memilikinya kurang terhadap Sungai Cikapundung. Hal ini berdampak pada apatisme masyarakat yang tidak menjaga dan melestarikan Sungai Cikapundung. Hingga kini solidaritas inilah yang tengah diusung kembali oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung. Menurut ketua komunitas CRP 2011 (Rhm, 32 tahun) dengan menggunakan olahraga air seperti arung jeram dan river boarding 2 diyakini dapat meningkatkan kepedulian dan kecintaan masyarakat terhadap Sungai Cikapundung. Untuk meningkatkan kepedulian terhadap Sungai Cikapundung maka komunitas CRP membangun dan menjalin jejaring pertemanan guna mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang terkait serta pihak yang peduli terhadap Sungai Cikapundung, misalnya Pemerintah Kota Bandung, LSM lokal maupun non-lokal, masyarakat, akademisi, swasta dan pegiat lingkungan lainnya yang berasal dari berbagai daerah untuk bersama-sama mencari solusi agar Sungai Cikapundung kembali bersih. Kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris bertujuan untuk memberikan contoh dengan turun langsung ke lapangan untuk menanamkan rasa malu dan tanggung jawab kepada masyarakat atas perilaku semena-mena terhadap lingkungan khususnya Sungai Cikapundung, serta untuk memicu pihak-pihak terkait khususnya dinas-dinas pemerintah untuk lebih peka terhadap kerusakan 2 Riverboarding adalah sejenis olahraga bebas yang berkategorikan minat khusus yang dilakukan melalui pemanfaatan media arus deras aliran sungai. Riverboarding sendiri merupakan jenis olahraga air yang pada prinsipnya dilakukan secara mandiri/perorangan.

62 41 yang tengah dialami Sungai Cikapundung, hal ini serupa dengan yang dinyatakan Soekanto (1999) sebagaimana dikutip Manik et al (2010), dimana fungsi kelembagaan antara lain: (1) sebagai pedoman bagi masyarakat untuk bertingkah laku; (2) menjaga keutuhan masyarakat; dan (3) sebagai sistem pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Nasdian (2004), memaknai partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif, dalam menjalankan kegiatan dan program-programnya. Dalam melaksanakan kegiatan lingkungannya, kelembagaan partisipatoris senantiasa mensosialisasikan kepada masyarakat setempat terlebih dahulu. Untuk menjalankan setiap kegiatan terkait penyelamatan Sungai Cikapundung, kelembagaan partisipatoris mengumpulkan dana swadaya dari para anggotanya, walaupun seringkali dana yang ada tidak mencukupi. Komunitas CRP menyadari bahwa koordinasi dan kolaborasi dibutuhkan oleh berbagai pihak guna bersama-sama melakukan rehabilitasi Sungai Cikapundung baik itu pihak pemerintah, swasta, masyarakat serta pihak akademisi. Selama ini, dukungan terhadap kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris bersifat insidental, namun kelembagaan partisipatoris sendiri memerlukan keseriusan dari berbagai pihak untuk turut serta membantu serta mendukung upaya rehabilitasi Cikapundung, seperti yang dikemukakan salah satu anggota komunitas CRP (Erf, 40 thn). Karena terbatasnya sumberdaya manusia, fisik, dan juga dana, kami hanya sebatas melakukan kegiatan rutin saja, namun selama ini kegiatan-kegiatan tersebut kurang ditunjang dengan sarana dan prasarana yang baik, contohnya untuk mengukur kualitas air Sungai Cikapundung secara berkala, dan pemantauan kondisi di sepanjang Sungai Cikapundung, seharusnya ada upayaupaya kerjasama yang baik terutama dengan pihak akademisi maupun pemerintah yang pada umumnya lebih ahli di bidangnya dan agar kita juga bisa bertambah ilmunya dengan berkolaborasi dengan mereka, lagipula disini banyak universitas dan instansi pemerintah yang terkait (Erf, 40 thn) Walaupun bukan menjadi prioritas utama, namun kendala dana selalu ada, dana tersebut dibutuhkan bila kelembagaan partisipatoris akan mengadakan suatu acara tertentu. Kurangnya sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan-

63 42 kegiatan lingkungan, khususnya kegiatan pengumpulan sampah dan kegiatan penghijauan seperti ban, boat, jaring, cangkul, menjadi salah satu kendala yang tidak mengganggu kegiatan rutin dalam menyelamatkan Sungai Cikapundung. Umumnya selama ini seluruh kegiatan, sarana serta prasarana yang ada merupakan hasil swadaya dari kelembagaan partisipatoris itu sendiri. Kami mengumpulkan uang dari anggota dan jumlahnya tidak seberapa, ada juga dari partisipan yang menyumbang beras, serta peralatan seadanya untuk disumbangkan dalam kegiatan lingkungan kami ( Ard, 47 thn, Anggota komunitas CRP) Kendala lainnya adalah banyaknya dinas atau instansi yang mempersoalkan lahan untuk penghijauan, dimana kegiatan penghijauan masih menjadi permasalahan yang harus dihadapi oleh kelembagaan partisipatoris. Kita terkadang suka ada slek dengan dinas-dinas pemerintah atau LSM lain terkait lahan penghijauan, dimana dinas-dinas atau LSM-LSM tersebut sering mengaku atau mengklaim bahwa lahan tersebut adalah lahan milik mereka dan tidak boleh ditanam sembarang pohon, padahal justru selama ini kamilah yang telah merawat pohon-pohon yang dahulu ditanam oleh dinas-dinas tersebut yang sekarang telah ditelantarkan (Ard, 47 thn, Anggota komunitas CRP). Menurut anggota komunitas CRP, pohon yang ditanam secara swadaya oleh anggota komunitas CRP tidak terlalu banyak karena terbatasnya dana, sehingga komunitas CRP hanya menunggu datangnya sumbangan bibit pohon dari instansi-instansi seperti akademisi, swasta dan pemerintah yang ingin melakukan penghijauan dengan komunitas CRP sebagai fasilitatornya. 4.3 Gambaran Umum Kelurahan Dago (Hulu Sungai Cikapundung) Kondisi Geografis dan Infrastuktur Kelurahan Dago Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong merupakan salah satu bagian hulu Sungai Cikapundung yang berdekatan langsung dengan kelembagaan partisipatoris DAS (komunitas CRP). Kelurahan Dago memiliki luas lahan sebesar 258 ha. Secara geografis Kelurahan Dago memiliki bentuk wilayah datar/berombak yaitu sebesar 80 persen dari total keseluruhan luas wilayah. Ditinjau dari sudut ketinggian tanah. Kelurahan Dago berada pada ketinggian 100

64 43 m di atas permukaan air laut. Suhu rata-rata di Kelurahan Dago berkisar 36 C, sedangkan dilihat dari segi hujan sebesar 21 mm/thn dan jumlah hari dengan curah hujan yang terbanyak sebesar 45 hari. Berikut pembagian penggunaan areal tanah di Kelurahan Dago: Tabel 4.1. Penggunaan Areal Tanah Kelurahan Dago No Penggunaan Luas (ha) 1 Tanah Sawah 18,00 2 Tanah Kering (Daratan) 228,94 4 Fasilitas Umum 11,06 Jumlah 258 Sumber: Data Kelurahan Dago, 2010 Hingga saat ini penggunaan tanah di Kelurahan Dago masih didominasi oleh tanah kering atau wilayah daratan yaitu seluas 228,94 ha, sedangkan fasilitas umum seluas 11,06 ha dan tanah sawah seluas 18 ha. Secara administratif Kelurahan Dago dibatasi oleh: 1. Bagian Selatan : Kel Lebak Siliwangi 2. Bagian Utara : Kabupaten Bandung 3. Bagian Timur : Kel Cigadung, Kel Sekeloa, dan Kel Lebak Gede 4. Bagian Barat : Sungai Cikapundung, Kel Cimbuleuit, Kec Cidadap Terdapat enam prasarana umum di Kelurahan Dago, antara lain: prasarana pendidikan, kesehatan, agama, perumahan, hiburan dan olahraga. Untuk sarana pendidikan di Kelurahan Dago berjumlah 41 buah bangunan yang terdiri dari sembilan buah TK, 14 buah SD, empat buah SLTP, tiga buah SMA, tiga buah perguruan tinggi dan delapan buah tempat kursus. Sementara itu, untuk bangunan kesehatan di Kelurahan Dago berjumlah 42 bangunan yang terdiri dari: tiga buah rumah sakit bersalin, satu buah dokter umum, tujuh buah dokter gigi, satu buah dokter spesialis, satu buah dokter hewan, satu buah puskesmas, tiga buah klinik/balai pengobatan, tiga buah apotik dan 22 buah posyandu. Untuk prasarana agama berjumlah 62 buah yang terdiri dari 29 buah mesjid dan 33 surau/musola. Prasarana perumahan di Kelurahan Dago berjumlah sebanyak buah dimana buah tergolong ke dalam perumahan permanen, 725 buah semi permanen, dan 46 buah tidak permanen. Selanjutnya, sarana hiburan yang ada di Kelurahan Dago berjumlah 13 buah yang terdiri dari tiga buah taman, satu buah tempat

65 44 pertunjukkan tradisional, satu buah toko cinderamata, empat buah hotel, tiga buah penginapan/losmen, dan satu buah sanggar seni. Terakhir, untuk prasarana olahraga berjumlah 74 buah yang terdiri dari satu buah lapangan sepak bola, 14 buah lapangan bulutangkis, 42 lapangan tenis meja, sembilan buah lapangan voli, tiga buah lapangan basket, empat buah lapangan tenis lapangan dan satu buah lapangan futsal. Jumlah kelembagaan ekonomi di Kelurahan Dago ada sebanyak 434 buah yang antara lain terdiri dari: empat buah koperasi, satu buah pasar selapan/umum, sembilan buah usaha perdagangan, 34 buah toko/swalayan, 16 buah warung makan, tiga buah restauran, 120 buah kios/warung kelontong, 220 buah pedagang kaki lima, dua buah bank, lima buah industri makanan, tiga buah industri kerajinan, satu buah perusahaan angkutan, empat buah percetakan/sablon, delapan buah bengkel motor/sepeda dan empat buah bengkel mobil Kependudukan Kelurahan Dago Kelurahan Dago memiliki jumlah penduduk sebesar jiwa pada tahun 2010 yang terdiri dari jiwa laki-laki dan jiwa perempuan dimana Jumlah kepala keluarga di Kelurahan Dago saat ini mencapai sekitar KK. Berdasarkan kepercayaannya, sebagian besar penduduk Kelurahan Dago beragama Islam yaitu sebanyak jiwa, agama Kristen sebanyak jiwa, Kristen Katolik sebanyak 616 jiwa, agama Hindu sebanyak 239 jiwa, selanjutnya agama Budha sebanyak 85 jiwa, dan agama lainnya sebesar 45 jiwa. Dilihat dari segi kepadatan penduduk, Kelurahan Dago memiliki sebesar 99 jiwa per hektarnya dan dilihat dari pertumbuhan penduduk, intensitas populasinya akan terus bertambah dari waktu ke waktu. Hal ini sebagaimana yang dituturkan oleh aparat pemerintah Kelurahan Dago Bandung (Uth, 52 thn) yang menyatakan penduduk dan bangunan di daerahnya semakin hari bertambah banyak. Saat ini kota Bandung sedang banyak dilirik oleh orang banyak, khususnya kawasan Dago yang umumnya tempat strategis untuk para pengusaha mencari uang. Setiap tahun daerah Dago makin padat oleh pengusaha ilegal yang tidak mendapatkan izin dari pemerintah (Uth, 52 thn).

66 45 Dalam menjalankan roda pemerintahan, Kelurahan Dago dibagi kedalam 105 RT dan 13 RW dengan rincian jumlah penduduk, sebagai berikut. Tabel 4.2 Jumlah RT, RW dan Jumlah Penduduk Kelurahan Dago, 2010 No RW RT Jumlah Penduduk Laki-Laki Perempuan Jumlah Persentase % 1 0' ,03 2 0' ,6 3 0' ,2 4 0' ,2 5 0' ,45 6 0' ,9 7 0' ,8 8 0' ,83 9 0' , , , ,1 Jumlah Sumber: Data Kelurahan Dago, 2010 Pada Tabel 4.2 terlihat bahwa persentase jumlah penduduk terbanyak terdapat pada RW 03 dan RW 04 yaitu sebanyak jiwa dan jiwa, dimana di masing-masing RW jumlah penduduk masih didominasi oleh perempuan. Selanjutnya, berikut disajikan data kependudukan Kelurahan Dago sampai dengan Juni 2010 berdasarkan struktur umurnya.

67 46 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kelurahan Dago Berdasarkan Struktur Umur, 2010 No Umur Jumlah Penduduk (Tahun) Laki-Laki Perempuan Jumlah Persentase % , , , , , , , , , , , Keatas ,4 Jumlah Sumber: Data Kelurahan Dago, 2010 Tabel 4.3 menunjukkan bahwa penduduk di Kelurahan Dago sebagian besar berada pada usia produktif yang berkisar antara 15 tahun hingga 65 tahun yaitu sebanyak jiwa. Untuk penduduk yang usianya belum produktif yaitu usia kurang dari 15 tahun sebanyak jiwa dari total jumlah penduduk. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan Dago memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dimana jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan dengan jumlah usia non produktif. Selanjutnya, disajikan tingkat pendidikan di Kelurahan Dago pada tahun 2010, dengan rincian sebagai berikut:

68 47 Tabel 4.4 Tingkat Pendidikan Kelurahan Dago, 2010 Jumlah Penduduk No Pendidikan Laki-Laki Perempuan Jumlah Persentase % 1 Tidak/Belum Sekolah ,6 2 Tidak Tamat SD ,01 3 Belum Tamat SD ,5 4 Tamat SD ,23 5 SLTP ,8 6 SLTA ,72 7 Akademi Sarjana ,3 Jumlah Sumber: Data Kelurahan Dago, 2010 Tabel 4.4 menunjukkan bahwa persentasi penduduk yang tidak atau belum sekolah, tidak tamat SD, dan belum tamat SD cukup tinggi yaitu sebesar 15,6 persen, 7,01 persen dan 14,5 persen atau sebesar jiwa, jiwa dan jiwa. Sementara jumlah penduduk yang sudah tamat SD di Kelurahan Dago memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 19,23 persen atau sebanyak jiwa, disusul dengan jumlah penduduk yang telah menyelesaikan SLTP sebesar 13,8 persen atau sebesar jiwa dan penduduk yang telah menyelesaikan SLTA sebesar 13,72 persen atau jiwa. Untuk lulusan akademi dan sarjana memiliki persentase terendah yaitu sebesar delapan persen dan 8,3 persen atau sebesar jiwa dan jiwa. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pada umumnya tingkat pendidikan di Kelurahan Dago masih rendah yaitu berkisar antara lulusan SD dan SLTP. Berikut disajikan jumlah penduduk di Kelurahan Dago berdasarkan mata pencaharian pokoknya sebagaimana pada Gambar 4.2.

69 48 Pegawai Negeri ABRI Pegawai Swasta Tani Dagang Pelajar Mahasiswa Pensiunan Lain-Lain Gambar 4.2 Mata Pencaharian Penduduk Dago, Bandung, Jawa Barat, 2010 Sub DAS Cikapundung, Berdasarkan Gambar 4.2 mata pencaharian penduduk Kelurahan Dago didominasi oleh pegawai swasta sebesar 10,55 persen atau sebanyak jiwa, mata pencaharian tertinggi kedua yaitu dagang sebesar 8,37 persen atau sebanyak jiwa. Sementara 7,23 persen atau sebanyak jiwa penduduk Kelurahan Dago bermata pencaharian sebagai pegawai negeri, empat persen atau sebanyak persen sebagai pensiunan, selanjutnya 1,25 persen atau sebanyak 372 jiwa sebagai tani dan terakhir sebesar 1,23 persen atau sebanyak 365 jiwa bermata pencaharian sebagai ABRI. Untuk kategori lain-lain sebesar 34,3 persen, dan untuk kategori pelajar sebesar 20,47 persen serta mahasiswa sebesar 12,60 persen tidak dimasukan ke dalam kategori mata pencaharian. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya penduduk Kelurahan Dago rata-rata bermata pencaharian sebagai pegawai swasta, pedagang, dan pegawai negeri Kegiatan Lingkungan di Kelurahan Dago Kelurahan Dago merupakan salah satu daerah hulu Kota Bandung yang dijadikan pusat para peneliti lingkungan dan juga dijadikan sebagai tempat para pecinta lingkungan dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan alam/lingkungan. Hal ini dikarenakan Kelurahan Dago merupakan

70 49 wilayah yang masih asri dengan adanya ruang terbuka hijau, di Kelurahan Dago pun terdapat beberapa tempat sejarah seperti prasati peninggalan kerajaan Thailand di Curug Dago, Gua peninggalan Jepang dan Belanda, serta Taman Hutan Rakyat Insinyur Juanda, yang hingga kini masih dijadikan sebagai sarana objek wisata di kawasan Bandung Utara. Kelurahan Dago merupakan salah satu wilayah yang paling sering dituju oleh berbagai instansi atau masyarakat untuk melakukan penanaman pepohonan. Hal ini dikarenakan masih luasnya lahan terbuka hijau yang ada di Kelurahan Dago. Dahulu penghijauan atau reboisasi hanya dilakukan oleh instansi-instansi tertentu seperti dinas-dinas pemerintah, namun tak jarang setelah melakukan penghijauan kegiatan monitoring jarang dilakukan, sehingga pepohonan yang telah ditanam banyak yang tidak tumbuh, bahkan mati. Seiring berjalannya waktu, Kelurahan Dago yang dijadikan sebagai kawasan objek wisata Bandung Utara, kian hari banyak dikunjungi oleh para pendatang yang berasal dari luar Kota Bandung. Banyaknya pendatang menyebabkan daerah hulu di Kelurahan Dago dipenuhi oleh pemukiman atau vilavila yang menempati kawasan ruang terbuka hijau. Hal ini menyebabkan berkurangnya ruang terbuka hijau disamping penanaman pohon yang tidak dapat menyeimbangi laju kerusakan di hulu Kota Bandung. Namun setelah adanya komunitas-komunitas pegiat lingkungan seperti CAMEL dan CRP serta dengan adanya kelembagaan partisipatoris yang terdiri dari 42 komunitas pegiat Sungai Cikapundung maka kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan tertutama penghijauan semakin gencar dilakukan di Kelurahan Dago. Saat ini, semakin hari di Kelurahan Dago kini semakin banyak pihak swasta yang melakukan Coorporate Social Responsibilities (CSR) yang berhubungan dengan lingkungan, bekerjasama dengan aparat setempat dan komunitas pegiat Sungai Cikapundung. 4.4 Gambaran Umum Kelurahan Lebak Siliwangi (Tengah Sungai Cikapundung) Kondisi Geografis dan Infrastruktur Kelurahan Lebak Siliwangi Kelurahan Lebak Siliwangi merupakan salah satu kelurahan yang terdapat di Kecamatan Coblong yang memiliki banyak jumlah penduduk yang tinggal di

71 50 bantaran Sungai Cikapundung. Secara geografis Kelurahan Lebak Siliwangi sudah termasuk ke bagian tengah Sungai Cikapundung, selain itu Kelurahan Lebak Siliwangi memiliki bentuk wilayah datar/berombak besar. Ditinjau dari sudut ketinggian tanah, Kelurahan Lebak Siliwangi berada pada ketinggian 750 m di atas permukaan air laut. Suhu rata-rata di Kelurahan Lebak Siliwangi berkisar 26 C, sedangkan dilihat dari segi hujan berkisar 2433,63 mm/th dengan jumlah hari dan curah hujan terbanyak sebesar 45 hari. Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong merupakan salah satu wilayah pemerintahan Kota Bandung dengan luas wilayah 100 ha. Berikut pembagian penggunaan areal tanah di Kelurahan Lebak Siliwangi antara lain : Tabel 4.5 Penggunaan Areal Tanah di Kelurahan Lebak Siliwangi, 2010 No Penggunaan Luas (ha) 1 Tanah Kering (Daratan) 75 ha 2 Fasilitas Umum 25 ha Jumlah 100 ha Sumber: Data Kelurahan Lebak Siliwangi, 2010 Pada Tabel 4.5 terlihat bahwa penggunaan areal tanah di Kelurahan Lebak Siliwangi masih didominasi oleh tanah kering yaitu seluas 75 ha, kemudian fasilitas umum seluas 25 ha. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pada umumnya Kelurahan Lebak Siliwangi sudah tidak memiliki lahan basah seperti pada Kelurahan Dago. Secara administratif Kelurahan Lebak Siliwangi dibatasi oleh: 1. Bagian Selatan : Kel, Tamansari Kec, Bandung Wetan 2. Bagian Utara : Kel. Dago Kec. Coblong 3. Bagian Timur : Kel. Lebak Gede Kec. Coblong 4. Bagian Barat : Kel. Cipaganti Kec. Coblong Dalam menjalankan roda pemerintahan, Kelurahan Lebak Siliwangi dibagi dalam delapan RW, dan 25 RT, dengan jumlah RT terbanyak berada pada RW 04 yaitu sebanyak enam RT. Sementara untuk RW. 01 dan RW.02, sekarang sudah tidak berpenduduk.

72 51 Tabel 4.6 Jumlah RT/RW di Kelurahan Lebak Siliwangi, 2010 No Jumlah RW Jumlah RT 1 RW RW RW RW RW RW RW RW Jumlah 25 Sumber: Data Kelurahan Lebak Siliwangi, 2010 Terdapat beberapa prasarana umum di Kelurahan Lebak Siliwangi pada tahun 2010, antara lain: prasarana pendidikan, kesehatan, ibadah, perumahan, hiburan, dan olahraga. Untuk prasarana pendidikan terdapat dua buah TK, satu buah SD, satu buah SMA, dua buah Perguruan Tinggi, dua buah lembaga pendidikan, dan satu buah kursus. Terdapat satu buah prasarana kesehatan dengan satu dokter umum, satu buah dokter gigi, satu buah puskesmas, dua buah balai pengobatan, dua buah apotik, dan empat buah posyandu. Prasarana ibadah di Kelurahan Lebak Siliwangi yaitu delapan buah mesjid, dan dua buah gereja, prasarana perumahan sebanyak 490 buah permanen, 156 buah semi permanen, dan 72 buah tidak permanen. Untuk prasarana hiburan di Kelurahan Lebak Siliwangi antara lain: tujuh buah taman, empat buah hotel, satu penginapan/losmen, tiga buah sanggar seni, satu buah kebun binatang. Prasarana olahraga yaitu satu buah lapangan sepak bola, enam buah lapangan bulutangkis, lima buah lapangan tenis meja, lima buah lapangan voli, dua buah lapangan basket, dua buah tenis lapangan, satu buah lapangan futsal, dan satu buah kolam renang. Kelembagaan yang ada di Kelurahan Lebak Siliwangi antara lain: satu buah koperasi, 30 buah usaha perdagangan, 22 buah toko/swalayan, 111 buah warung makan, 14 buah restauran, 52 buah kios/warung kelontong, 215 pedagang kaki lima, tujuh buah bank, lima buah industri kerajinan, dua buah industri pakaian, dan tiga buah percetakan/sablon. Kelembagaan yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat di Kelurahan Lebak Siliwangi yaitu, Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) MITRA CAI,

73 52 Majelis Ulama Indonesia (MUI), Karang Taruna, dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Artha Mitra, serta pada akhir tahun 2011 terbentuklah beberapa komunitas pegiat Sungai Cikapundung di Kelurahan Lebak Siliwangi. Kelembagaan-kelembagaan tersebut merupakan perpanjangan tangan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan di Kelurahan Lebak Siliwangi dengan membuat masyarakat menjadi semakin berdaya serta mandiri, di Kelurahan Lebak Siliwangi pun terdapat forum RW yang bertujuan untuk lebih memajukan Kelurahan Lebak Siliwangi menjadi kelurahan yang madani. Biasanya forum RW Kelurahan Lebak Siliwangi ini membahas berbagai permasalahan yang tengah terjadi baik itu permasalahan sosial, ekonomi hingga permasalahan lingkungan serta yang lebih penting forum ini diadakan untuk mempererat solidaritas diantara warga di Kelurahan Lebak Siliwangi, forum RW ini biasanya diadakan satu hingga dua bulan sekali atau jika ada hari-hari besar Kependudukan Kelurahan Lebak Siliwangi Sampai dengan Februari 2010 penduduk Kelurahan Lebak Siliwangi memiliki jumlah penduduk sebesar jiwa yang terdiri dari jiwa lakilaki dan jiwa perempuan. Jumlah kepala keluarga di Kelurahan Lebak Siliwangi saat ini mencapai sekitar KK. Jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk di Kelurahan Dago. Berdasarkan kepercayaannya, penduduk Kelurahan Lebak Siliwangi yang beragama Islam sebanyak jiwa, Kristen Protestan sebanyak 297 jiwa, Kristen Katholik sebanyak 199 jiwa, yang beragama Hindu sebanyak 73 jiwa sedangkan yang beragama Budha sebanyak 105. Berdasarkan data kependudukan dari kelurahan, pada tahun 2010 Kelurahan Lebak Siliwangi memiliki kepadatan penduduk sebesar 44 jiwa per hektar dan dilihat dari pertumbuhan penduduk, dimana intensitasnya akan terus bertambah dari waktu ke waktu. Berikut jumlah penduduk berdasarkan struktur umur di Kelurahan Lebak Siliwangi:

74 53 Tabel 4.7 Jumlah Penduduk Kelurahan Lebak Siliwangi Berdasarkan Struktur Umur, 2010 No Umur Jumlah Penduduk (Tahun) Laki-Laki Perempuan Jumlah Persentase % , , , , , , , , , , , , , keatas ,11 Jumlah Sumber: Data Kelurahan Lebak Siliwangi, 2010 Data pada Tabel 4.7 menunjukkan jumlah penduduk laki-laki dengan perempuan tidak jauh berbeda yaitu hanya selisih 126 jiwa. Dalam tabel juga menunjukkan bahwa penduduk di Kelurahan Lebak Siliwangi sebagian besar berada pada usia produktif yang berkisar antara 15 tahun hingga 65 tahun yaitu sebanyak jiwa. Untuk penduduk yang usianya belum produktif yaitu usia kurang dari 15 tahun sebanyak jiwa dari total jumlah penduduk. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan Lebak Siliwangi memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dikarenakan jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk yang belum atau tidak produktif. Selain itu, sumber daya manusia di Kelurahan Lebak Siliwangi berdasarkan tingkat pendidikannya, berikut diperlihatkan dalam Tabel 4.8.

75 54 Tabel 4.8. Jumlah Penduduk Kelurahan Lebak Siliwangi Berdasarkan Tingkat Pendidikan, 2010 Jumlah Penduduk No Pendidikan Persentase % Laki-Laki Perempuan Jumlah 1 Belum Sekolah ,85 2 Tidak tamat SD ,88 3 Belum tamat SD ,06 4 Tamat SD ,7 5 Tamat SLTP ,92 6 Tamat SLTA ,38 7 Sarjana Muda (D3) ,31 8 Sarjana (S1) Jumlah Sumber: Data Kelurahan Lebak Siliwangi, 2011 Tabel 4.8 memperlihatkan jumlah penduduk di Kelurahan Lebak Siliwangi yang sudah memasuki usia sekolah sebanyak jiwa dari total jiwa. Untuk jumlah penduduk Kelurahan Lebak Siliwangi yang belum sekolah sebanyak 524 jiwa atau sebesar 11,85 persen, penduduk yang tidak tamat SD sebanyak 348 atau sebesar 7,88 persen, serta belum tamat SD sebanyak 258 jiwa atau sebesar 12,06 persen. Penduduk di Kelurahan Lebak Siliwangi yang telah tamat SD sebanyak 561 jiwa atau sebesar 12,7 persen, tamat SLTP sebanyak 748 jiwa atau sebesar 16, 92 persen, tamat SLTA sebanyak 724 jiwa atau sebanyak 16,38 persen, D3 sebanyak 500 jiwa atau 11,31 persen dan S1 sebanyak 482 atau 11 persen. Walaupun jumlah penduduk di Kelurahan Dago yang masih belum atau tidak tamat sekolah relatif lebih rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk di Kelurahan Dago yaitu sebesar jiwa, namun hal ini masih menunjukkan bahwa pada umumnya tingkat pendidikan di Kelurahan Lebak Siliwangi masih rendah. Adapun, jumlah penduduk Kelurahan Lebak Siliwangi berdasarkan mata pencaharian pokoknya adalah sebagai berikut:

76 55 Persentase Gambar 4.3 Mata Pencaharian Penduduk Lebak Siliwangi, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2010 Berdasarkan Gambar 4.3 mata pencaharian penduduk Kelurahan Dago didominasi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar 22 persen atau sebanyak 727 jiwa, kemudian pegawai swasta sebesar 19,74 persen atau sebanyak 650 jiwa, pedagang sebesar 14,15 persen atau sebanyak 466 jiwa. Selanjutnya, buruh swasta sebesar 9,08 atau sebanyak 299 jiwa, TNI/ABRI sebesar 1,12 persen atau sebanyak 37 jiwa, sedangkan untuk mata pencaharian pengrajian, penjahit, tukang kayu, dokter, sopir, dan pengusaha seluruhnya hanya di bawah satu persen. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata penduduk Kelurahan Lebak Siliwangi tergolong masyarakat ekonomi menengah. Adapun banyaknya jumlah pelajar dikarenakan daerah Kelurahan Lebak Siliwangi merupakan wilayah yang sangat dekat dengan salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Kota Bandung Kegiatan Lingkungan di Kelurahan Lebak Siliwangi Kegiatan yang berhubungan langsung dengan lingkungan sebenarnya sudah ada sejak dahulu di Kelurahan Lebak Siliwangi, seperti kegiatan gotong-royong dan penanaman pohon yang menjadi salah satu ciri sekaligus kebanggaan dari Kelurahan Lebak Siliwangi dan juga menunjukkan bahwa masih adanya rasa kekeluargaan dan cinta terhadap lingkungan sekitar. Dahulu kegiatan lingkungan

77 56 belum dijadikan prioritas utama karena belum terdapat lembaga atau organisasi masyarakat khusus yang menangani permasalahan lingkungan. Lembaga yang ada umumnya hanya berhubungan dengan masalah sosial dan ekonomi, belum ada lembaga yang dapat mempersatukan warga dengan masalah lingkungan. Namun pada akhir tahun 2010 terbentuklah beberapa komunitas lingkungan yang dipelopori oleh komunitas CRP, melalui komunitas CRP maka terbentuklah komunitas-komunitas lingkungan pegiat Sungai Cikapundung lainnya di daerah Lebak Siliwangi. Komunitas-komunitas inilah yang akhirnya dapat mempersatukan warga di Kelurahan Lebak Siliwangi dimana warga menjadi lebih peduli terhadap masalah lingkungan di sekitarnya khususnya peduli terhadap kelestarian Sungai Cikapundung yang telah mengalami kerusakan, dengan adanya komunitas-komunitas pegiat sungai tingkat solidaritas diantara warga pun semakin erat. Hingga kini di Kelurahan Lebak Siliwangi sendiri telah terdapat lima komunitas pegiat Sungai Cikapundung antara lain: komunitas Katak, komunitas Kumang, komunitas Lebah, komunitas Entog, dan komunitas Zero. Salah satu komunitas pegiat Sungai Cikapundung yang diteliti di Kelurahan Lebak Siliwangi adalah komunitas Zero. Komunitas Zero terbentuk pada pertengahan tahun 2010, oleh (Edw, 57 thn) yang juga menjabat sebagai ketua RW 08, Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong, Bandung Utara. Komunitas Zero terbentuk atas keprihatinan terhadap kondisi bagian tengah Sungai Cikapundung yang sudah tercemar akibat perilaku warga RW 08 yang tinggal di bantaran Sungai Cikapundung dimana kebanyakan warganya membuang sampah ke sungai serta banyaknya sampah yang datang dari daerah hulu dan hanyut hingga ke wilayah tengah Sungai Cikapundung. Semakin lama, komunitas Zero semakin berkembang dan mendapat perhatian dari warga RW 08, hal ini disebabkan Bpk Edw sebagai ketua RW sekaligus ketua komunitas Zero sehingga mempermudah komunikasi kepada para pemangku kepentingan yang ada di daerahnya seperti RT, lurah, karang taruna, serta khususnya kepada warga RW 08 itu sendiri. Jumlah anggota komunitas Zero sendiri hingga saat ini ± mencapai 100 orang yang terdiri dari berbagai kalangan, dengan jumlah anggota inti yaitu sebanyak 30 orang. Berikut penuturan Bpk Edw sebagai ketua RW 08 sekaligus ketua komunitas Zero.

78 57 Awalnya saya dan teman-teman disini sering ikut bermain di Sungai Cikapundung bersama komunitas CRP, kemudian salah seorang anggota komunitas CRP menyarankan kepada saya untuk membuat semacam komunitas pegiat Sungai Cikapundung. Akhirnya pada pertengahan tahun 2010 saya bersama teman-teman disini membuat komunitas Zero dan membuat semacam posko untuk memantau warga yang membuang sampah ke sungai. Alhamdulillah, hingga kini setiap sabtu dan minggu serta setiap harinya selalu ada yang menggiatkan sungai disini. Selain itu posko disini dijadikan tempat persinggahan/pemberhentian bagi warga yang sedang melakukan kukuyaan dari hulu sana (Edw, 57 thn). Seperti yang telah dituturkan oleh Bpk Edw bahwa dengan terbentuknya komunitas Zero di RW 08 dan dengan adanya posko ternyata dapat membawa manfaat yang lebih baik lagi bagi Sungai Cikapundung dimana anggota komunitas Zero dapat memantau warganya yang tinggal di bantaran sungai agar tidak membuang sampah ke sungai lagi, serta dengan adanya posko, mempermudah dan mempercepat realisasi dijadikannya Sungai Cikapundung sebagai obyek wisata, selanjutnya yang terpenting dengan adanya posko, dapat memperkuat solidaritas diantara warga RW 08 itu sendiri, dimana warga dapat berkumpul bersama. 4.5 Karakteristik Responden Umumnya karakteristik responden penelitian di dua kelurahan berbeda. Untuk Kelurahan Dago warga berada pada daerah hulu Sungai Cikapundung serta berlokasi dekat dengan lokasi komunitas CRP. Warga di Kelurahan Dago tidak tinggal di wilayah padat penduduk serta pada umumnya masih memiliki lahan terbuka hijau di daerahnya. Berbeda halnya dengan warga di Kelurahan Lebak Siliwangi yang sudah memasuki wilayah tengah Sungai Cikapundung serta berlokasi dekat dengan salah satu komunitas pegiat Sungai Cikapundung yaitu komunitas Zero, dimana wilayahnya sudah sangat padat dengan pemukiman penduduk. Selanjutnya disajikan gambaran karakteristik responden penelitian dari dua kelurahan berdasarkan jenis kelamin pada Tabel 4.9 berikut ini:

79 58 Tabel 4.9 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Laki-Laki Perempuan Total Kelurahan Persentase Persentase Persentase Jumlah Jumlah Jumlah (%) (%) (%) Dago 22 73, , Lebak Siliwangi Dari Tabel 4.9 terlihat bahwa responden di kedua lokasi penelitian tidak jauh berbeda. Jumlah responden laki-laki di Kelurahan Dago sebesar 73,33 persen atau sebanyak 22 orang, sementara responden perempuan sebesar 26,67 persen atau sebanyak delapan orang saja. Untuk responden di Kelurahan Lebak Siliwangi jumlah responden laki-laki sebesar 70 persen atau sebanyak 21 orang, sedangkan responden perempuan sebesar 30 persen atau sembilan orang perempuan. Selanjutnya, responden di dua kelurahan diklasifikasikan berdasarkan umur adalah sebagai berikut: Tabel 4.10 Responden Berdasarkan Umur, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Umur Kelurahan Dago Kelurahan Lebak Siliwangi Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) tahun tahun , tahun 7 23, >50 tahun 17 56, ,33 Jumlah Tabel 4.10 menunjukkan perbedaan umur antara Kelurahan Dago dengan Kelurahan Lebak Siliwangi. Umumnya responden Kelurahan Dago didominasi umur 50 tahun ke atas, sementara di Kelurahan Lebak Siliwangi rata-rata umur responden adalah 41 tahun hingga 50 tahun. Selain itu, untuk melihat tingkat pendidikan di kedua kelurahan berikut disajikan dalam Gambar 4.4.

80 59 Persentase Responden (%) 80.00% 70.00% 66.67% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 33.33% 26.67% 20% 10% 10% 13.33% 6.67% 13.33% 0.00% Kelurahan Dago Kelurahan Lebak Siliwangi Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SLTP Tamat SMA Tamat Diploma Gambar 4.4 Tingkat Pendidikan Responden Kelurahan Dago dan Kelurahan Lebak Siliwangi, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Berdasarkan Gambar 4.4 terlihat bahwa tingkat pendidikan responden di Kelurahan Dago lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pendidikan responden di Kelurahan Lebak Siliwangi, hal ini terlihat dari banyaknya jumlah responden di Kelurahan Dago yang tidak sekolah yaitu sebesar 33,33 persen dari total 30 responden atau sebanyak sepuluh orang. Responden yang tamat SD sebesar 26,67 persen atau sebanyak delapan orang, tamat SLTP sebesar 20 persen atau sebanyak enam orang, terakhir responden yang mengenyam bangku SLTA dan Diploma sebesar sepuluh persen atau sebanyak tiga orang. Rata-rata tingkat pendidikan di Kelurahan Lebak Siliwangi dari 30 responden yaitu: tamat SMA sebesar 66,67 persen atau sebanyak 20 orang, tamat SLTP sebesar 6,67 persen atau sebanyak dua orang, kemudian responden yang tamat SD dan Diploma sama-sama sebesar 13,33 persen atau sebanyak empat orang. Rendahnya tingkat pendidikan responden di dua lokasi penelitian terutama di Kelurahan Dago mempengaruhi mata pencaharian responden. Responden di dua kelurahan yaitu Kelurahan Dago dan Lebak Siliwangi rata-rata merupakan

81 60 masyarakat asli yang sudah lama tinggal sejak dahulu. Berikut disajikan kategori pekerjaan di dua lokasi penelitian yang dipaparkan pada Gambar 4.5. Persentase 30% 25% 20% 15% 10% 5% Karyawan Swasta Karyawan BUMN PNS Buruh Wiraswasta 0% Kelurahan Dago Kelurahan Lebak Siliwangi Kelurahan Tani Pensiun Gambar 4.5 Responden Penelitian Berdasarkan Kategori Pekerjaan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa karakteristik responden di dua lokasi penelitian sebagian besar tidak bekerja atau mengurus rumah tangga dimana di Kelurahan Dago sebesar 26,67 persen atau sebanyak delapan orang, sedangkan di Kelurahan Lebak Siliwangi sebesar 30 persen atau sebanyak sembilan orang. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden yang tidak bekerja pada umumnya merupakan ibu rumah tangga. Responden yang bekerja sebagai karyawan swasta sebesar 23 persen atau sebanyak tujuh orang untuk Kelurahan Dago, dan 26,67 persen atau sebanyak delapan orang untuk Kelurahan Lebak Siliwangi. Responden yang bermata pencaharian wiraswasta sebesar 13,33 persen atau sebanyak empat orang untuk Kelurahan Dago dan sepuluh persen atau sebanyak tiga orang untuk Kelurahan Lebak Siliwangi, wiraswasta disini umumnya sebagai pedagang. Responden yang bermata pencaharian PNS hanya sebesar 6,67 persen atau sebanyak dua orang untuk Kelurahan Dago, dan sebesar 3,33 persen atau hanya sebanyak satu orang saja untuk Kelurahan Lebak Siliwangi.

82 61 Terdapat perbedaan pekerjaan antara Kelurahan Dago dengan Kelurahan Lebak Siliwangi, jika di Kelurahan Dago masih terdapat responden yang bermata pencaharian sebagai bertani, berbeda halnya dengan Kelurahan Lebak Siliwangi yang respondennya bekerja sebagai buruh, kedua pekerjaan tersebut di dua kelurahan yang berbeda sama-sama memiliki jumlah yang sama yaitu sebesar 23,33 persen atau sebanyak tujuh orang, perbedaan pekerjaan ini dikarenakan karakteristik lahan yang juga berbeda antara dua kelurahan dimana Kelurahan Dago masih memiliki lahan yang luas yang masih dapat ditanami, berbeda dengan Kelurahan Lebak Siliwangi yang lahannya sempit dan merupakan daerah pemukiman padat penduduk. Terakhir untuk responden di Kelurahan Dago yang sudah pensiun dan responden di Kelurahan Lebak Siliwangi yang bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki besar yang sama yaitu 6,67 persen atau hanya sebanyak dua orang. Hasil penelitian Sub DAS Cikapundung sama halnya dengan penelitian Dharmawan et al (2005) di DAS Citanduy, bahwa jenis pekerjaan utama yang paling banyak ditekuni oleh penduduk di bagian hulu, tengah, maupun hilir adalah menjadi petani, serta jenis pekerjaan sampingan yang pada umumnya non pertanian adalah berdagang, ojeg, buruh dan lain sebagainya. 4.6 Kerusakan Hulu Daerah Aliran Sungai Citarum (Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung) Kepadatan Penduduk dan Limbah Domestik Banyaknya masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Cikapundung menyebabkan padatnya pemukiman di wilayah tersebut. Pemukiman padat dapat dilihat terutama setelah memasuki kawasan tengah Sungai Cikapundung khususnya Kelurahan Taman Sari dan Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung. Secara umum kondisi bantaran Sungai Cikapundung sudah sangat parah, hampir sepanjang 10,57 km bantaran Sungai Cikapundung dimanfaatkan menjadi bangunan rumah yang membelakangi sungai. Jumlah penduduk yang berdomisili di Sungai Cikapundung menurut Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung saat ini telah mencapai ± jiwa dengan jumlah penduduk tertinggi di Kelurahan Tamansari sebanyak jiwa, dan bangunan pemukiman yang berada dekat dengan bantaran Sungai Cikapundung ± berjumlah

83 rumah yang 90 persen limbah permukimannya langsung dibuang ke Sungai Cikapundung sehingga sungai ini menerima limbah lebih dari 2,5 juta liter/hari. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang masih rendah mengenai ekosistem DAS pun terlihat dari perilaku masyarakat bantaran Sungai Cikapundung yang masih membuang sampah rumah tangga langsung ke sungai. Secara kasat mata, sepanjang jalur yang dilewati sungai ini, banyak masyarakat yang memanfaatkan Sungai Cikapundung sebagai tempat pembuangan tinja dimana warga memasang pipa-pipa pembuangan limbah rumah tangga yang dialirkan langsung ke sungai. Selain itu, lebih dari 40 persen bantaran Sungai Cikapundung dijadikan lahan pertanian dan pemukiman sehingga menyebabkan kurangnya daerah resapan dan pengikisan tanah yang akhirnya membuat air berwarna coklat bercampur lumpur. Menurut BPLH Kota Bandung seluas ha atau sebesar 75 persen dari ha luas hulu Sub DAS Cikapundung (sekitar Kawasan Bandung Utara) (KBU) merupakan kawasan hutan lindung atau daerah yang harus berfungsi sebagai daerah lindung. Namun, terjadinya kerusakan sebesar ha atau sekitar 80 persen dari ha luas hutan lindung di hulu Sub DAS Cikapundung tidak hanya meluapkan aliran air Sungai Cikapundung, tetapi juga menambah jumlah volume di puluhan anak sungai yang melintasi kota Bandung khususnya pada musim penghujan. Dari kondisi riil yang ada, sebesar ha kawasan lindung, hanya tinggal ha yang masih dalam keadaan baik. Tidak hanya itu, tingginya sedimentasi di daerah hilir akibat banyaknya penebangan pohon dan alih fungsi lahan mengakibatkan kualitas air sungai menjadi semakin buruk. Gangguan keamanan hutan berupa pencurian pohon sebanyak 50 kali dalam satu tahunnya, sedangkan jumlah luas reboisasi rutin dan pembangunan di Bandung Utara pada tahun 2009 hanya sebesar 330 per ha Aktivitas Swasta Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kerusakan terhadap Sungai Cikapundung tidak terlepas dari campur tangan pihak swasta yaitu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh anggota komunitas CRP yang telah menelusuri asal

84 63 limbah dan sampah yang ternyata berasal dari kedua perusahaan pemerintah tersebut. Selama ini PDAM menggunakan Sungai Cikapundung untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga setempat, namun PDAM juga yang mengotori sungai Cikapundung itu sendiri. PDAM menggunakan jaring untuk mendapatkan air bersih, tetapi setelah itu, sampah yang telah dijaring dan diangkut oleh PDAM kembali dihanyutkan ke Sungai Cikapundung, tidak diangkut atau dibuang ke tempat pembuangan sampah pada umumnya (Irw, 48 thn). Tindakan yang dilakukan oleh komunitas CRP yang mayoritas anggotanya warga Cikapundung adalah dengan menegur PDAM untuk mengangkat sampah dan tidak membuangnya kembali ke Sungai Cikapundung. Namun sebagaimana yang dikemukakan Bpk Irw bahwa teguran tersebut hanya berfungsi sementara waktu, selanjutnya PDAM kembali membuang sampah ke Sungai Cikapundung. Teguran yang diberikan kepada PDAM hanya berfungsi sehari, dua hari saja, selanjutnya PDAM membuang serta menghanyutkan sampah kembali ke Sungai Cikapundung secara sembunyi-sembunyi pada malam hari agar tidak ketahuan oleh warga setempat. Hal ini sudah menjadi tradisi PDAM sejak berpuluh-puluh tahun lamanya (Irw, 48 thn) PDAM sendiri mengaku bahwa pihaknya sudah sebaik mungkin mengatasi permasalahan sampah yang dibuang oleh warga di bantaran Sungai Cikapundung. Pihak PDAM sendiri mengaku kesal dengan warga yang masih membuang sampah rumah tangganya ke Sungai Cikapundung karena pada kenyataannya Sungai Cikapundung turut menyumbangkan air bagi PDAM yang nanti diolah menjadi air minum masyarakat. Namun, pihak PDAM mengaku bahwa saat ini Sungai Cikapundung sudah semakin bersih akibat adanya komunitas-komunitas pegiat sungai, untuk saat ini PDAM memanfaatkan air hanya di bagian hulu Sungai Cikapundung sebagai sumber air baku, sementara itu, untuk hilir Sungai Cikapundung kualitas air masih tergolong kurang baik untuk dijadikan sumber air baku yaitu termasuk kelas empat 3. 3 Kelas empat termasuk ke dalam klasifikasi tercemar ringan

85 Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Berbeda kasus dengan PDAM, dimana limbah yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA Bengkok) (Indonesia Power) bukanlah sampah atau limbah rumah tangga, tetapi berupa sedimentasi yang dialirkan ke Sungai Cikapundung. Sedimentasi yang dihasilkan oleh PLTA Bengkok tersebut membuat Sungai Cikapundung semakin keruh dan dangkal dengan banyaknya jumlah pasir serta lumpur. PLTA Bengkok seringkali menghasilkan pasir-pasir kecil yang dihasilkan dari kegiatan pengerukkan Sungai Cikapundung, sehingga menyebabkan air Sungai Cikapundung keruh, kami pun sudah sering menegur pihak PLTA dalam hal pengerukkan sungai. Dalam satu minggu, PLTA Bengkok dapat melakukan pengerukkan hingga lebih dari tiga kali (Dte, 54 thn, Aparat Pemerintah Dago). Berbagai teguran pun sudah dilakukan oleh berbagai pihak baik itu masyarakat maupun aparat pemerintah setempat, namun belum ada solusi yang tepat karena terkait masalah dana dan teknologi dari PLTA itu sendiri. Banyaknya instansi dan lembaga pemerintah yang berhubungan dengan pengelolaan air di kota Bandung tidak selalu menjanjikan Sungai Cikapundung ke arah yang lebih baik, hal ini dapat terlihat dari tidak adanya pedoman atau garis instruksi yang jelas, serta tumpang tindihnya tugas pokok dan saling lempar tanggung jawab instansi pemerintah satu ke instansi pemerintah lainnya sehingga tidak adanya garis kordinasi yang jelas atau tidak adanya kegiatan, aksi atau program yang sama antara instansi satu dengan instansi yang lainnya. Untuk itulah, dapat dikatakan bahwa aksi penyelamatan Sungai Cikapundung adalah murni hasil swadaya masyarakat Cikapundung yang direpresentasikan dengan adanya 42 komunitas pegiat Sungai Cikapundung. Ketidaktegasan pemerintah dalam memberikan sanksi serta menertibkan berbagai aturan terkait penggunaan Sungai Cikapundung menjadi salah satu faktor penyebab kerusakan Sungai Cikapundung Peternakan Sapi Selama ini kelembagaan partisipatoris mungkin berhasil dalam mengubah perilaku warga bantaran Sungai Cikapundung untuk menyadarkan dan mengubah perilaku mereka agar tidak lagi membuang limbah rumah tangga ke Sungai

86 65 Cikapundung. Namun, kelembagaan partisipatoris tidak berdaya untuk menyadarkan atau merubah perilaku para pelaku industri atau pengusaha yang hingga saat ini masih membuang limbah ke Sungai Cikapundung, terutama pelaku usaha yang banyak terdapat di hulu Sungai Cikapundung yang sudah mulai memasuki wilayah Kabupaten Bandung Barat. Kerusakan Sungai Cikapundung tidak terlepas dari peran swasta yang memanfaatkan sungai sebagai penunjang bagi keberlanjutan ekonomi mereka. Banyaknya industri-industri di hulu Sungai Cikapundung menyebabkan Sungai Cikapundung menjadi keruh, hal ini dikarenakan industri-industri tersebut memanfaatkan sungai sebagai tempat pembuangan limbah mereka dengan cara menghanyutkannya langsung ke sungai atau mengalirkannya melalui pipa-pipa. Daerah hulu Sungai Cikapundung merupakan lokasi peternakan sapi perah. Setiap harinya sapi-sapi yang berada di Lembang dan sekitarnya menghasilkan limbah berupa kotoran sapi mencapai 330 ton per harinya. Seperti salah satu industri peternakan sapi terbesar yang berada di hulu Sungai Cikapundung tepatnya di kawasan Maribaya, Cibodas, Kabupaten Bandung Barat. Peternakan sapi tersebut membuang kotoran sapi lebih dari 750 ekor ke dua aliran sungai yang berbeda yaitu Sungai Cikapundung dan Sungai Cikawari. Sebagaimana penuturan (Sty, 57 thn) salah satu karyawan peternakan sapi yang mengelola kotoran sapi untuk dijadikan pupuk. Betul saya yang mengolah kotoran sapi di peternakan ini untuk dijadikan pupuk, sisa kotoran sapi yang tidak termanfaatkan biasanya saya alirkan ke dua sungai yaitu Sungai Cikapundung dan Sungai Cikawari (Sty, 57 thn). Menurut Bpk Sty, rencananya akan dibangun beberapa hektar lagi untuk menambah jumlah ternak sapi yang ada. Bpk Sty selaku pengelola kotoran sapi di peternakan sapi di Maribaya Bandung mengaku seringkali didemo warga sekitar karena mengalirkan kotoran sapi ke sungai, bila musim penghujan tiba, kotoran sapi tersebut menimbulkan bau yang tidak sedap bagi warga yang dekat dengan kedua aliran sungai tersebut. Namun Bpk Sty tidak bisa berbuat apa-apa karena belum memiliki solusi untuk mengatasi permasalahan kotoran sapi tersebut. Gaji yang didapat oleh Bpk Sty dari peternakan sapi perminggunya pun hanya Rp.

87 ,00-, menurutnya gaji tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga dan cucunya sehingga pada hari minggu pun masih harus bekerja. Bpk Sty pun mengemukakan bahwa sebanyak 80 persen warga setempat memang bekerja dan bergantung pada peternakan sapi ini. Saya hanya bisa diam ketika didemo oleh warga setempat, setiap hari saya tidak enak hati karena terus memikirkan masalah ini. Saya hanya bisa berdoa semoga tidak terlalu sering hujan, agar bau dari kotoran sapinya tidak kemana-mana. Masalahnya, bila saya berhenti kerja, saya tidak memiliki pekerjaan lainnya, selain mengolah kotoran sapi disini. Sebelumnya, masalah kotoran sapi ini sudah saya sampaikan ke atasan saya, namun belum ada tindak lanjut lagi dari mereka hingga saat ini (Sty, 57 thn). Hal ini diperkuat dengan penuturan salah satu karyawan peternakan sapi lainnya (Yub, 29 thn), menurutnya karena industri yang baru berdiri pada akhir tahun 2010 ini belum memiliki manajemen sumber daya manusia yang baik, maka belum sampai pada tahap pengolahan yang baik untuk limbah ternak sapi. Jadi, karena peternakan sapi ini baru berdiri tahun 2010, kami memperbaiki manajemen sumber daya manusianya (SDM) terlebih dahulu, karena disini masih kurang termanaj dan sistemnya masih harus diperbaiki. Baru setelah SDM nya sudah baik dan benar, kita mungkin bisa fokus untuk menangani kotoran sapinya. Dahulu sudah pernah dicoba, dimana kotoran sapi dijadikan bio gas, namun ternyata tidak berhasil dan hingga saat ini belum pernah dicoba lagi, hanya diolah menjadi pupuk saja (Yub, 29 thn). Setiap harinya satu ekor sapi menghasikan kotoran sapi sebanyak 30 kg. Hanya sekitar lima persen yang dimanfaatkan menjadi pupuk selebihnya dibuang ke kali-kali kecil yang bermuara di Sungai Cikapundung. Menurut keterangan yang didapat dari salah seorang anggota komunitas CRP, kotoran sapi yang tidak dimanfaatkan tersebut bukan dikarenakan tidak adanya instansi atau lembaga yang mau memanfaatkannya untuk dijadikan bio gas atau pupuk, namun lebih dikarenakan jumlah kotoran sapi tersebut yang kini telah melebihi batas normal kotoran sapi pada umumnya. Jika dianalisis, terlihat bahwa di hulu Sungai Cikapundung tepatnya di Kabupaten Bandung Barat, belum terdapat komunitas atau kelembagaan khusus yang mengakomodir permasalahan lingkungan khususnya sungai seperti yang ada di Kelurahan Dago dan Kelurahan Lebak Siliwangi. Selain itu, hingga saat ini Pemerintah Kota Bandung belum melakukan

88 67 negosiasi dan kolaborasi kepada Pemerintah Kabupaten Bandung terkait industri peternakan sapi yang mencemarkan Sungai Cikapundung. Pemerintah Kota mengaku Pemerintah Kabupaten belum mengeluarkan kebijakan yang tegas terkait para peternak sapi yang membuang limbah kotoran sapi ke sungai. Hal ini serupa dengan apa yang dinyatakan Kartodihardjo et al (2004) bahwa rusaknya SDA disebabkan antara lain oleh: (1) berbagai kegiatan pembangunan yang lebih menitik-beratkan pada produksi komoditas (tangible product); (2) lemahnya institusi (dalam arti aturan main maupun organisasi) yang tujuannya mencegah rusaknya sumberdaya yang berupa stock (dan menghasilkan intangible product) seperti bentang alam, watershed, danau, kawasan lindung dan pantai-laut-pulau kecil; dan (3) lemahnya institusi yang tugasnya melakukan penyelesaian konflik dan penataan penguasaan, pemilikan serta pemanfaatan sumber-sumber agrarian. Tidak jauh berbeda dengan industri-industri sapi dan tahu di hulu Sungai Cikapundung yang juga mengalirkan limbah tahu melalui pipa-pipa ke Sungai Cikapundung dan Cikawari. Sepanjang Sungai Cikapundung terutama di daerah tengah Sungai Cikapundung, merupakan daerah wisata yang banyak terdapat restoran-restoran atau pedagang-pedagang kaki lima yang juga membuang langsung hasil limbah mereka ke Sungai Cikapundung. Di sekitar daerah Sungai Cikapundung pun terdapat beberapa rumah sakit yang sudah terbukti membuang limbah medisnya ke Sungai Cikapundung. Untuk melihat kualitas Sungai Cikapundung dari tahun ke tahun, setiap triwulannya komunitas CRP senantiasa mengadakan cek terhadap kualitas air di Sungai Cikapundung. Berikut matriks kualitas air Sungai Cikapundung dari tahun 2008 hingga tahun Matriks 4.1 Kualitas Air Sungai Cikapundung Kondisi Sungai Bulan Triwulan Pertama Tahun 2008 (Sebelum adanya kegiatan CRP) Triwulan Kedua Tahun 2009 (Setelah CRP Melakukan Kegiatan Kali Bersih) Triwulan Ketiga Tahun 2010 (Setelah Adanya Peternakan Sapi) Kualitas Sungai Buruk Baik Sangat Buruk Cikapundung Sumber: Sekretaris CRP, 2011 Pada triwulan pertama (tahun 2008) sebelum diadakannya kegiatan penyelematan Sungai Cikapundung khususnya aksi kali bersih yang diadakan

89 68 oleh komunitas CRP, kualitas air Sungai Cikapundung dinyatakan dalam keadaan buruk, hal ini dikarenakan banyaknya limbah/sampah rumah tangga dan industri yang dibuang langsung ke Sungai Cikapundung. Pada triwulan kedua (tahun 2009) setelah komunitas CRP melakukan kegiatan pembersihan sungai, maka kualitas Sungai Cikapundung membaik hal ini dikarenakan berkurangnya jumlah/volume sampah di Sungai Cikapundung. Namun pada triwulan ketiga (tahun 2010) setelah dibukanya peternakan sapi di hulu Sungai Cikapundung, kualitas air dinyatakan lebih buruk dibandingkan dengan kualitas air pada triwulan pertama, walaupun secara kasat mata, Sungai Cikapundung menjadi bersih dari sampah akibat dari adanya komunitas-komunitas pegiat Sungai Cikapundung. Kerusakan Sungai Cikapundung ini pun diperkuat oleh data mengenai kualitas Sungai Cikapundung yang didapat dari (BPLH) Kota Bandung. Menurut Setiadi et al (2010), kualitas air dapat dilihat antara lain dari: 1. Kadar Biochemical Oxygen Demand (BOD) yang banyak digunakan dalam menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang hampir sama dengan kondisi yang ada di alam. Penguraian bahan organik secara biologis di alam melibatkan bermacam-macam organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Pemeriksaan BOD dianggap sebagai medium untuk menguraikan bahan organik menjadi CO2 dan H2O. Nilai BOD merupakan suatu pendekatan umum yang menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan zat organik terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi di dalam. Umumnya kadar BOD yang diharapkan untuk air kelas III adalah 6 mg/lt, jika kadar BOD diatas 6 mg/lt maka kadar BOD sudah melebihi baku mutunya. 2. Kadar Dissolved Oxygen (DO) adalah jumlah oksigen (O 2 ) yang tersedia dalam suatu badan air (kadar oxygen terlarut) yang dapat dijadikan sebagai parameter dalam penentuan kualitas air. DO merupakan parameter penting dalam kehidupan biota air untuk proses metabolisme atau pertukaran zat yang

90 69 kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan, penguraian serta pengoksidasian bahan organik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan mikroorganisme. Selain itu kemampuan air untuk membersihkan pencemaran juga ditentukan oleh banyaknya oksigen dalam air. Kadar DO alami sebesar 5-7 ppm, DO untuk wisata bahari sebesar 5 ppm, DO minimum sebesar 2 ppm (normal, tidak tercemar oleh toksik). Idealnya DO tidak kurang dari 1,7 ppm (8 jam) minimum pada kejenuhan 70 persen. Semakin tinggi kandungan DO di dalam perairan, maka kualitas air tersebut semakin bersih. 3. Kadar Chemical Oxygen Demand (COD) adalah bahan-bahan kimia dan organik yang terlalut dalam air dimana kebutuhan oksigen oleh bakteri dan mikroba untuk menetralisir bahan kimia sangat kecil sehingga tidak terdeteksi. Berikut data mengenai kualitas air Sungai Cikapundung pada periode tahun 2008, 2009 dan Tabel 4.11 Kualitas Air Sungai Cikapundung Lokasi Sungai BOD COD DO BOD COD DO BOD COD DO Cikapundung mg/lt mg/lt mg/lt mg/lt mg/lt mg/lt mg/lt mg/lt mg/lt Dago Pakar (Hulu) 20,00 31,84 2,1 8,09 12,09 3,04 125,00 159,3 0,49 Baku Mutu 6,00 10,00 >3 6,00 10,00 >3 6,00 10,00 >3 Sumber: BPLH Kota Bandung, 2010 Dari Tabel 4.11 terlihat bahwa pada tahun 2008 dimana belum diadakannnya aksi bersih kali oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung, kadar BOD yang terdapat dalam air sebesar 20 mg/lt untuk daerah hulu Sungai Cikapundung, kadar COD terlarut sebesar 31,84 mg/lt, dan kadar DO dalam air sebesar 2,1 mg/lt. Setelah adanya kelembagaan partisipatoris DAS kadar BOD dan COD dalam air menurun menjadi 8,09 mg/lt dan 12,09 mg/lt

91 70 walaupun kadar tersebut belum memenuhi baku mutunya yaitu masih di atas 6 mg/lt, sedangkan kadar DO dalam air pun semakin banyak yaitu sebesar 3,04 mg/lt. Namun diindikasikan setelah adanya peternakan sapi di daerah Maribaya Cibodas, kadar BOD dan COD melambung sangat tinggi yaitu sebesar 125 mg/lt dan 159,3 mg/lt dimana kadar DO yang terkandung menjadi sangat sedikit 0,49 mg/lt (kurang dari 1,7 ppm (8 jam) minimum pada kejenuhan 70) yang artinya air sudah sangat tercemar. Selanjutnya berikut disajikan kualitas air Sungai Cikapundung Kolot yang sudah mulai memasuki kawasan hilir Sungai Cikapundung. Tabel 4.12 Kualitas Air Sungai Cikapundung Kolot Lokasi Sungai BOD COD DO BOD COD DO BOD COD DO Cikapundung mg/lt mg/lt mg/lt mg/lt mg/lt mg/lt mg/lt mg/lt mg/lt Kolot Taman Cibeunying 40 58, 31 1, ,21 2, ,9 0,58 (Hulu) Setelah Curug Ece (Hilir) , 52 0, ,04 2, ,38 0,47 Baku Mutu 6,00 10,00 >3 6,00 10,00 >3 6,00 10,00 >3 Sumber: BPLH Kota Bandung, 2010 Sama halnya dengan Tabel 4.12 dimana kadar BOD, COD, DO sebelum adanya kegiatan aksi kali bersih oleh kelembagaan partisipatoris (tahun 2008) sebesar 40 mg/l, 58, 31 mg/lt, dan 1,5 mg/lt untuk kawasan hulu sungai dan sebesar 120 mg/lt, 162,52 mg/lt dan 0,5 mg/lt untuk kawasan hilir Sungai Cikapundung. Setelah adanya aksi kali bersih (tcahun 2009) oleh kelembagaan partisipatoris, kadar BOD dan COD menurun menjadi sebesar 30 mg/lt dan 44,21 mg/lt untuk kawasan hulu dan 48 mg/lt serta 69,04 untuk kawasan hilir, sedangkan kadar OD dalam air membaik menjadi sebesar 2,5 mg/ltr untuk kawasan hulu dan 2,2 mg/lt untuk kawasan hilir. Namun setelah adanya peternakan sapi pada tahun 2010 kadar BOD dan COD meningkat drastis yaitu sebesar 130 mg/lt dan 174,9 mg/lt untuk kawasan hulu dan 150 mg/lt dan 199,38 mg/lt untuk kawasan hilir, dimana kadar DO terlarut dalam air sangat sedikit yaitu hanya sebesar 0,58 mg/lt untuk kawasan hulu dan 0,47 untuk kawasan hilir. Selain dilihat dari tinggi atau rendahnya kadar BOD, COD dan DO,

92 71 kualitas Sungai Cikapundung pun dapat dilihat dari tinggi rendahnya kadar bakteri E.Coli yang terkandung dalam air. Berikut disajikan data E.Coli yang terkandung dalam Sungai Cikapundung setiap tahunnya. Tabel 4.13 Data Pengujian E.Coli Pada Sungai Cikapundung Sungai Cikapundung Jml/100 ml Jml/100 ml Jml/100 ml Dago Pakar (Hulu) Baku Mutu Baku Mutu: Kep. Gubernur Jawa Barat No 39 tahun 2000 tentang Baku Mutu Kualitas Sungai Citarum beserta anak-anak sungai di Jawa Barat Sumber: BPLH Kota Bandung, 2010 Tabel 4.13 menunjukkan bahwa pada tahun 2008 sebelum adanya kegiatan aksi kali bersih yang dilakukan kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung, kadar E.Coli yang terkandung di Sungai Cikapundung adalah sebesar Jml/100 ml hampir sekitar 75 kali di atas baku mutunya, padahal toleransi baku mutu bakteri E-Coli adalah sebesar 2000 mikroorganisme per 100 mililiter air. Setelah adanya aksi bersih yang dilakukan oleh para komunitas pegiat Sungai Cikapundung, kadar E.Coli dalam Sungai Cikapundung mengalami penurunan yang cukup signifikan dimana kadar E.Coli hanya sebesar Jml/100 ml, namun pada tahun 2010 kadar E.Coli kembali meningkat menjadi Jml/100 ml atau sekitar 23 kali lipat di atas baku mutunya. Menurut Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung status mutu air sungai menunjukkan bahwa Sungai Cikapundung sudah tergolong ke dalam kategori tercemar berat untuk kategori Kelas I (air baku air minum), Kelas II (sarana dan prasarana rekreasi air), dan Kelas III (pembudidayaan ikan air tawar serta peternakan) dalam PP No. 8/2001. Sungai Cikapundung hanya dinyatakan tercemar ringan pada kategori Kelas IV untuk mengairi tanaman. Tingginya kadar polutan terbesar Sungai Cikapundung adalah bakteri E-coli yang berasal dari tinja dimana masyarakat di sekitar bantaran sungai selama bertahuntahun menggunakan sungai pemasok air baku terbesar bagi Sungai Citarum itu sebagai septic tank, selain itu kerusakan Sungai Cikapundung diperparah dengan tingginya kandungan limbah yang berasal dari pertanian yang tidak ramah lingkungan, peternakan, rumah tangga, pasar dan limbah industri. Sungai yang dahulunya menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat lokal kini ekosistemnya

93 72 semakin mengkhawatirkan akibat dampak dari adanya pembangunan, hal ini sebagaimana yang dikemukakan warga Cikapundung (Jun, 52 thn). Dahulu Sungai Cikapundung airnya bening, masih banyak ikannya, tidak banyak sampah dan limbah dari pabrik-pabrik seperti sekarang ini (Jun, 52 thn). Sebagaimana diketahui bahwa kawasan Dago kini tidak lagi berada diluar kota Bandung seperti peruntukannya semula pada dahulu kala, kini bukit-bukit di kawasan Dago beralih fungsi menjadi pusat pendidikan, bisnis, pemukiman dan lain sebagainya yang mengganggu daerah Bandung Utara sebagai kawasan konservasi dan hutan lindung. Kota Bandung memiliki 130 perguruan tinggi dimana beberapa diantaranya melintasi Sungai Cikapundung. Tingginya jumlah perguruan tinggi ini akan mengundang pendatang untuk tinggal di Kota Bandung. Banyaknya perguruan tinggi dan jumlah pendatang akan tidak sebanding dengan wilayah Kota Bandung itu sendiri, dimana hal ini akan memicu padatnya pemukiman yang berakhir pada kerusakan lingkungan. Sungai Cikapundung mengalir melewati beberapa universitas antara lain: Universitas Parahyangan, Institut Teknologi Bandung, Universitas Islam Bandung, Universitas Pasundan, Universitas Langlangbuana dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyaknya pemukiman, universitas dan pendatang akan selalu membawa dampak yang lebih buruk bagi kelestarian dan keseimbangan ekosistem Sungai Cikapundung itu sendiri. Keberadaan Sungai Cikapundung tidak bisa terlepas dari KBU (Kawasan Bandung Utara) di hulunya. Sebagai kawasan resapan, KBU memiliki andil terhadap kualitas dan kuantitas debit air-nya. Dengan Kondisi KBU saat ini maka, sudah tidak bisa lagi menjamin pasokan air yang memadai dan berkualitas terutama di musim kemarau dimana air yang mengalir dari hulu sama sekali tak menunjang penataan bagi hilir Sungai Cikapundung.

94 Ikhtisar Sungai Cikapundung memiliki peran penting bagi Kota Bandung baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan, dimana Sungai Cikapundung menjadi salah satu pemasok air bagi Sungai Citarum, penunjang ekonomi warga Cikapundung, dan sebagai daerah obyek wisata di Bandung Utara. Kerusakan utama Sub DAS Cikapundung disebabkan oleh banyaknya penduduk yang masih membuang limbah domestik ke sungai, terutama penduduk yang berada di wilayah bantaran Sungai Cikapundung, serta banyaknya industri peternakan sapi di hulu Sub DAS Cikapundung yang membuang limbah kotoran sapinya ke Sungai Cikapundung. Untuk mengatasi kerusakan yang tengah terjadi di Sub DAS Cikapundung, warga Cikapundung di Bandung Utara membentuk sebuah komunitas bernama CRP yang bertujuan melakukan kegiatan-kegiatan penyelamatan Sungai Cikapundung. Komunitas CRP juga menjadi pelopor terbentuknya 42 komunitas pegiat sungai lainnya mulai dari hulu hingga hilir Sungai Cikapundung serta menjadi pelopor terbentuknya gerakan penyelamatan Sungai Cikapundung mulai dari warga, pemerintah, swasta maupun akademisi. Aktivitas penyelamatan dan rehabilitasi sungai oleh komunitas-komunitas pegiat Sungai Cikapundung tersebut membuahkan hasil dimana kualitas air Sungai Cikapundung dari tahun ke tahun semakin membaik. Pada tahun 2008, sebelum adanya komunitas-komunitas pegiat Sungai Cikapundung seperti komunitas CRP dan Zero kualitas air di Sungai Cikapundung sangatlah buruk dimana terdapat Jml/100 ml. Pada tahun 2009 setelah terbentuknya komunitas CRP, Zero dan berbagai komunitas pegiat sungai lainnya, kadar E. Coli pada Sungai Cikapundung menurun menjadi Jml/100 ml, namun pada tahun 2010 setelah dibukanya industri peternakan sapi di hulu Sungai Cikapundung, kadar E. Coli pada sungai kembali naik menjadi Jml/100 ml walau secara kasat mata, sampah domestik yang dibuang oleh penduduk di daerah bantaran sungai sudah mulai berkurang. Hingga saat ini gerakan penyelamatan Sungai Cikapundung baru terlihat di Kota Bandung, dimana upaya penyelamatan Sungai Cikapundung di Kabupaten Bandung masih dibatasi oleh batas-batas administratif, dan yurisdiksi.

95 74 BAB V KETERLIBATAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM KEGIATAN PENYELAMATAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM (SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG) 5.1 Upaya Penyelamatan Sub Daerah Aliran Sungai Cikapundung Aktifitas Kelembagaan Partisipatoris Aksi Kali Bersih Kegiatan-kegiatan rutin yang selama ini telah dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris baik komunitas CRP maupun komunitas Zero untuk menyelamatkan Sungai Cikapundung adalah dengan mengumpulkan sampah/limbah di sepanjang Sungai Cikapundung, hal ini dilakukan hampir setiap hari oleh anggota komunitas CRP dan Zero. Umumnya komunitas CRP dan Zero melakukan kegiatan aksi kali bersih bersama-sama pada hari sabtu dan minggu, menurut mereka kegiatan inilah yang menginisiasi dan menginspirasi warga di bantaran untuk bersama-sama menjaga Sungai Cikapundung. Biasanya selama dua hari komunitas CRP berhasil mengumpulkan sampah basah sekitar 250 kg, berbeda halnya dengan komunitas Zero yang baru terbentuk pada pertengahan tahun 2010 dimana pada awal setelah terbentuknya komunitas Zero, komunitas ini dapat mengumpulkan sampah basah lebih dari 180 kg per harinya, hal ini dikarenakan wilayah kerja komunitas Zero yang sudah mulai memasuki wilayah tengah dan hilir, dimana komunitas Zero harus mengumpulkan sampah basah yang hanyut dari hulu Sungai Cikapundung. Aksi kali bersih ini dilakukan dengan menggunakan ban karet atau biasa disebut dengan kukuyaan 4 serta dengan menggunakan boat karet. Selain itu, aksi kali bersih ini dibagi menjadi beberapa kegiatan, antara lain: (1) membuat jadwal piket untuk menjaga kebersihan Sungai Cikapundung. Piket yang dilakukan berupa memungut sampah di sekitar jalur arung jeram dan lokasi sekitar Sungai Cikapundung; (2) mengangkat sampah sungai per tiga hari; dan (3) membuat jaring penangkap sampah. Khusus bagi setiap pengurus komunitas CRP dan Zero kegiatan ini wajib dilakukan oleh anggotanya. 4 Kukuyaan sendiri merupakan permainan tradisional Jawa Barat yang diambil dari nama kuya (kura-kura-red). Orang yang memainkan kukuyaan harus terlentang di atas ban agar bisa melaju di sungai, tangan harus digunakan untuk mengayuh seperti dayung.

96 75 Kegiatan lainnya yang telah dilakukan komunitas CRP terkait rehabilitasi Sungai Cikapundung adalah kegiatan survey pendahuluan selama tiga bulan pada tahun 2010 untuk memahami kondisi lapangan secara mendalam dimana komunitas CRP menganalisis karakter, kebiasaan dan psikologi masyarakat sekitar bantaran Sungai Cikapundung, khususnya kawasan Inti Pilot Project yaitu pembagian panjang Sungai Cikapundung dengan penentuan titik nol km yang berpusat di Curug Dago yang biasa disebut sebagai Fase Pertama yang berjarak 1000 meter (600 meter ke hulu dan 400 meter ke hilir) serta termasuk ke dalam kawasan sekitar bantaran Sungai Cikapundung. Alasan komunitas CRP memilih Curug dago sebagai wilayah Inti Pilot Project mereka adalah karena beberapa faktor, antara lain: (1) faktor historis (terdapat prasasti peninggalan raja Thailand, di sepanjang aliran sungai Cikapundung terdapat beberapa kabuyutan dan artefak kehidupan masa lampau, seperti. Kabuyutan Geger Sunten, Batu Loceng, Batu Meja, Dago Bengkok, Curug Dago dan prasasti Cimaung- Tamansari); (2) faktor geografis (karena masih merupakan hulu DAS Citarum); (3) kondisi masyarakat sekitar bantaran Sungai Cikapundung; adanya dukungan birokrasi, khususnya dari para elit politik (Taman Hutan Rakyat (TAHURA) dan aparat pemerintah setempat); dan (3) membatasi masalah (fokus terhadap hulu DAS Citarum yaitu Sungai Cikapundung) 5. Wilayah kerja kelembagaan partisipatoris sendiri hingga saat ini telah mencakup sepanjang 4,3 km dari Curug Dago hingga bantaran Sungai Cikapundung dan kini sedang memperluas wilayah kerjanya menjadi 8 km dari total keseluruhan panjang Sungai Cikapundung sepanjang ±15,5 km dimana komunitas CRP menjadi pusat dari segala kegiatan yang berhubungan dengan Sungai Cikapundung. Namun wilayah kerja sepanjang 8 km tersebut hanya mencakup wilayah hulu dan tengah Kota Bandung saja, belum mencakup wilayah hulu Kabupaten Bandung yang mayoritas mata pencaharian masyarakatnya menjadi peternak sapi dan belum menyadari akibat yang ditimbulkan dari pembuangan limbah kotoran sapi tersebut ke Sungai Cikapundung. Walaupun kelembagaan partisipatoris sudah beberapa kali melakukan kegiatan sosialisasi dan penyadaran terhadap warga di hulu Sungai Cikapundung (Kabupaten 5 Data didapat dari sekretariat komunitas CRP 2011

97 76 Bandung), namun belum ada perubahan yang berarti, hal ini dikarenakan menyangkut kebutuhan ekonomi warga di Kabupaten Bandung. Kelembagaan partisipatoris telah melakukan kegiatan bersama dengan berbagai pihak yang terkait dengan Sungai Cikapundung, pihak-pihak tersebut antara lain; Masyarakat Cikapundung, Walikota, Taman Hutan Rakyat (TAHURA), Camat, Lurah, LSM Gemapeta, LSM Camel, LSM Lentera Zaman, LSM Lentera Ide Nusantara, LSM Lentera Nusantara, Abalaba Solutions, beberapa perguruan tinggi, Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Kehutanan (Dephut), Sekolah Alam Bandung, RT, RW dan berbagai pihak swasta sepert Pikiran Rakyat, Bank Ekonomi, Greenation Indonesia, dan pihak swasta lainnya yang peduli terhadap Sungai Cikapundung 6. Untuk melakukan gerakan penyelamatan sungai bersama dengan masyarakat, komunitas CRP dan komunitas Zero terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan para pemangku kepentingan (camat, lurah, RW, RT, karang taruna, dan lain sebagainya) di sepanjang bantaran Sungai Cikapundung untuk dapat bekerjasama melestarikan Sungai Cikapundung dan menggiatkannya melalui kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan Sungai Cikapundung. Pada akhirnya sambutan baik diberikan kepada komunitas CRP dan komunitas Zero dimana di setiap RW di sepanjang bantaran sungai mulai membentuk komunitaskomunitas pegiat Sungai Cikapundung, bahkan dalam satu RW terdapat lebih dari satu komunitas pegiat sungai. Berikut penuturan salah satu anggota komunitas CRP mengenai filosofis terbentuknya gerakan bersama untuk pembembebasan Sungai Cikapundung dari sampah rumah tangga dan limbah industri. Kami memiliki landasan yang kuat untuk membebaskan Sungai Cikapundung dari sampah rumah tangga dan limbah industri, filosofi tersebut diumpamakan setetes air yang jatuh ke dalam genangan air dan akhirnya menghasilkan rembetan/getaran yang semakin lama semakin membesar dan tersebar terhadap genangan air yang terkena tetesan tersebut, Kami pun optimis dengan teori tersebut dan akhirnya kini terbukti dimana semakin lama semakin banyak yang menggiatkan Sungai Cikapundung. Dahulu yang melestarikan dan menggiatkan Sungai Cikapundung hanya masyarakat di hulu saja, kini sudah mulai ke tengah Sungai Cikapundung, suatu hari kami percaya Sungai Cikapundung akan terbebas dari sampah dan limbah hingga ke hilir (Irw, 48 thn). 6 Data didapat dari sekretariat Komunitas CRP

98 77 Gambar 5.2 Filosofis Setetes Air untuk Gerakan di Sungai Cikapundung Semakin banyak komunitas di sepanjang Sungai Cikapundung maka akan semakin terwujud untuk menjadikan Sungai Cikapundung sebagai salah satu objek wisata air di Kota Bandung. Untuk menjadikan Sungai Cikapundung sebagai salah objek wisata air di Kota Bandung diperlukan dukungan dan kerjasama dari Kabupaten Bandung (hulu Sungai Cikapundung). Kini ± hanya tinggal sepanjang 7,5 km upaya penyelamatan Sungai Cikapundung yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris yaitu mulai dari tengah hingga ke hilir Sungai Cikapundung, namun sayangnya upaya penyelamatan Sungai Cikapundung oleh kelembagaan partisipatoris ini baru terlaksana di Kota Bandung saja, belum sampai ke Kabupaten Bandung Pelatihan Susur Sungai Kegiatan pemungutan sampah menggunakan boat atau ban di Sungai Cikapundung adalah kegiatan rutin yang selalu dilaksanakan oleh kelembagaan partisipatoris termasuk oleh setiap anggota komunitas CRP dan komunitas Zero. Dalam kegiatan tersebut diperlukan keamanan dan keselamatan yang memadai, terutama keamanan bagi anak-anak remaja baik itu yang melakukan pengambilan sampah atau hanya sekedar bermain-main di sepanjang bantaran Sungai Cikapundung. Untuk saat ini, pelatihan susur sungai hanya diadakan oleh komunitas CRP yang meliputi cara menggunakan ban atau boat pada berbagai keadaan sungai, sehingga para remaja dapat terbiasa kukuyaan atau river boarding

99 78 dengan berbagai situasi di sungai, terutama di arus yang deras. Pelatihan ini berguna untuk mengetahui dimana saja medan-medan sungai yang dapat dilalui dengan aman dan medan sungai yang berbahaya untuk dilalui. Untuk komunitas Zero memang tidak mengadakan pelatihan khusus seperti yang dilakukan oleh komunitas CRP, namun anggota komunitas Zero selalu mendampingi remaja yang baru pertama kali melakukan kukuyaan di Sungai Cikapundung Aksi Tanam Pohon Kegiatan rutin lainnya yang dilaksanakan oleh komunitas CRP dan Zero adalah melakukan penghijauan di lahan kritis tepatnya di hulu Sungai Cikapundung di KBU. Aksi penghijauan tersebut berupa penanaman dan perawatan pohon (menjaga vegetasi yang sudah ada). Menurut salah satu anggota komunitas CRP, pada tahun 2010 kurang lebih sebanyak 12 kali penanaman pohon telah dilakukan oleh komunitas CRP di lahan-lahan kritis dekat aliran Sungai Cikapundung bekerjasama dengan berbagai pihak yaitu pemerintah, swasta, masyarakat dan juga pihak akademisi. Jumlah pohon yang telah ditanam oleh komunitas CRP pada periode tahun adalah sebanyak 1300 pohon di area seluas lebih dari tiga ha yaitu di bantaran Curug Dago. Pada tahun 2011 komunitas CRP pun masih terus melakukan penghijauan di berbagai lahan kritis di daerah hulu Sungai Cikapundung. Berbeda dengan komunitas Zero yang lokasinya sudah berada di wilayah tengah Sungai Cikapundung dimana kegiatan penghijauan pun sudah tidak dapat dilakukan di bantaran sungai yang sudah dipadati oleh pemukiman warga Lebak Siliwangi. Namun, komunitas Zero menyiasatinya dengan menanam pepohonan kecil untuk selanjutnya ditempatkan pada pot-pot kecil dan diletakkan di depan/pekarangan rumah warga guna membuat lingkungan di bantaran sungai tidak terlalu gersang. Komunitas Zero memiliki wilayah tersendiri jika ingin melakukan kegiatan penghijauan, tidak semua lahan di Kelurahan Lebak Siliwangi dapat ditanami pohon, namun di Kelurahan Lebak Siliwangi masih tedapat hutan kota yang masih dijaga oleh warga dan aparat pemerintah setempat. Dengan adanya hutan di tengah kota dapat mempermudah komunitas Zero untuk

100 79 melakukan kegiatan penghijauan bersama warga, siswa-siswi, mahasiswa bahkan instansi-instansi/organisasi yang ada di Kota Bandung Pelestarian Satwa dan Tanaman Kerusakan atau alih fungsi hutan serta pencemaran air Sungai Cikapundung menyebabkan punahnya beberapa satwa dan tanaman yang berada di sekitar hulu Sungai Cikapundung. Untuk itu, kelembagaan partisipatoris melakukan pengawasan dan pelestarian satwa yang masih terdapat di beberapa hulu Sungai Cikapundung. Kelembagaan partisipatoris yang tergabung dalam 42 komunitas pegiat sungai lainnya salah satunya komunitas CRP dan komunitas Zero turut melakukan kegiatan pelestarian ikan dengan menebar benih ikan di sepanjang Sungai Cikapundung. Selain itu, komunitas CRP dan komunitas Zero melakukan pelepasan burung agar dapat melestarikan pepohonan yang ada di bantaran Sungai Cikapundung sehingga suasana Sungai Cikapundung pada dahulu kala dapat dirasakan kembali pada saat ini. Komunitas CRP pun melestarikan satwa dan berbagai jenis tanaman langka yang hampir punah seperti tanaman kapundung, pandan bali, aron dan tanaman ampelas di sekitar hulu Sungai Cikapundung. Sekarang Sungai Cikapundung sudah jauh lebih baik, komunitas-komunitas pegiat Sungai Cikapundung sering melakukan pelepasan benih ikan. Jika dahulu mengadakan kumpul setelah kukuyaan di sungai memerlukan biaya untuk membeli lauk pauk. Kini komunitas dapat memancing ikan langsung dari Sungai Cikapundung, awalnya kami ragu apakah benih ikan akan tetap hidup di air yang tidak jernih seperti Sungai Cikapundung, namun siapa sangka jumlah ikan di Sungai Cikapundung kini sudah ribuan (Fdl, 43 thn). Jumlah benih ikan yang ditebar di Sungai Cikapundung oleh komunitas CRP dan Zero serta oleh komunitas pegiat Sungai Cikapundung lainnya ± sudah sebanyak 3000 benih ikan. Kini, selain digunakan sebagai tempat objek wisata arung jeram, Sungai Cikapundung pun digunakan sebagai tempat memancing ikan oleh warga di sekitar bantaran sungainya.

101 Pengelolaan Sampah/Limbah Mengelola Sampah Organik dan Non Organik Komunitas CRP mengelola sampah organik dengan membuat pupuk organik sendiri. Namun hingga saat ini, komunitas CRP masih berusaha mencari jalan keluar untuk mengelola sampah non organik khususnya sampah basah yang didapatkan dari hasil mengambil dari sungai (bersih-bersih Sungai Cikapundung), karena saat ini belum ada teknologi yang dapat mengelola sampah-sampah basah non organik hasil dari limbah Sungai Cikapundung. Kita sering mengambil sampah basah seperti plastik, kaleng dan lain sebagainya dari Sungai Cikapundung, kita ingin sekali mengolahnya menjadi suatu kerajinan tangan, karena kebanyakan kerajinan tangan yang ada saat ini terbuat dari sampah rumah tangga yang kualitasnya masih baik, tidak seperti sampah basah yang diambil dari sungai yang kualitasnya sudah buruk (Irw, 48 thn). Komunitas CRP berharap dengan adanya dukungan dari berbagai pihak swasta, akademisi maupun pemerintah maka dapat membantu untuk memecahkan penanganan daur ulang sampah basah plastik. Untuk pengelolaan sampah organik, komunitas Zero mengaku bahwa hingga saat ini mereka belum dapat membuat pupuk organik atau kompos sendiri secara besar-besaran seperti apa yang telah dilakukan oleh komunitas CRP. Namun, komunitas Zero memanfaatkan sampah-sampah basah hasil bersih-bersih kali seperti pepohonan, sampah plastik dan sampah lainnya yang hanyut untuk dijadikan kerajinan yang akhirnya dapat bernilai guna dan bernilai jual tinggi Membuat Septic Tank Komunal Salah satu kerusakan Sungai Cikapundung disebabkan karena perilaku warga yang masih membuang hasil Mandi Cuci Kakus (MCK) ke Sungai Cikapundung. Kelembagaan partisipatoris serta pihak-pihak terkait lainnya seperti pemerintah kota, PDAM dan swasta bersama-sama untuk membantu warga agar tidak lagi membuang limbah domestik yaitu kotoran manusia ke Sungai Cikapundung dengan cara membuat septic tank komunal. Septic tank komunal ini dibuat bersama-sama warga dengan cara membuat pipa-pipa pada setiap keluarga dan mengalirkan kotoran manusia ke tempat yang telah dibuat di satu lahan

102 81 kosong. Rencananya setiap RT yang dijadikan target, dapat mendapatkan satu septic tank komunal untuk dapat digunakan secara bersama-sama oleh warga setempat. Sayangnya, pembuatan septic tank komunal ini terkendala masalah tempat (lahan kosong), dana, biaya dan kesadaran warga itu sendiri untuk mengelolanya. Salah satu anggota komunitas Zero menuturkan bahwa untuk realisasi septic tank komunal di daerah bantaran Sungai Cikapundung seperti pada Kelurahan Lebak Siliwangi yang telah lama melakukan kegiatan membuang hasil MCK ke Sungai Cikapundung, pembuatan septic tank komunal ini kurang dapat direalisasikan dikarenakan sangat tergantung pada lahan yang ada, karena pada umumnya lahan untuk membuat septic tank komunal di bantaran Sungai Cikapundung sudah sangat terbatas dimana jarak antar rumah sudah sangat padat. Realisasi septic tank komunal ini hanya dapat dilakukan di beberapa RT saja di Kelurahan Lebak Siliwangi (di daerah bantaran sungai). Untuk wilayah di hulu, anggota komunitas CRP menuturkan bahwa septic tank komunal masih sangat mungkin untuk direalisasikan melihat kondisi lahan yang ada, dimana masih terdapat lahan kosong untuk membuat lubang septic tank itu sendiri, namun pembuatan septic tank komunal ini pun seringkali menjadi pro-kontra diantara masyarakat yang setuju dan yang tidak setuju dengan adanya septic tank komunal di masing-masing RT, untuk saat ini komunitas CRP dan aparat pemerintah setempat masih melakukan upaya pendekatan dan sosialisasi terhadap warga setempat Menggunakan Teknologi Tepat Guna Berbagai ketersediaan teknologi baik itu teknologi yang dibuat secara swadaya oleh anggota komunitas CRP dan Zero maupun teknologi yang diberikan oleh pemerintah, swasta maupun lembaga atau organisasi lainnya seperti teknologi pencacah sampah, perahu karet, bak sampah dan alat-alat lainnya untuk mendukung kegiatan penyelamatan lingkungan khususnya terkait kelestarian Sungai Cikapundung, sangat membantu komunitas dan warga dalam melestarikan kebersihan lingkungan sekitar.

103 82 Komunitas Zero dan CRP seringkali membuat berbagai kreatifitas lainnya dengan bahan-bahan dasar limbah yang didapat dari hasil kegiatan kali bersih di Sungai Cikapundung, komunitas Zero dan CRP bahkan sudah dapat memproduksi perahu karet, pelampung dan ban sendiri dan kini dapat dijual dan disewakan kepada masyarakat luas, serta sebagai bukti keseriusan warga Cikapundung untuk persiapan membuat Sungai Cikapundung menjadi obyek wisata air di Kota Bandung Penyuluhan dan Penyadaran Warga Merehabilitasi Sungai Cikapundung tidak serta merta terus menerus dilakukan oleh komunitas CRP dan komunitas Zero, namun memerlukan dukungan serta pasrtisipasi dari masyarakat setempat, hal ini dikarenakan pada umumnya masyarakatlah yang memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga dan melestarikan ekosistem Sungai Cikapundung. Oleh karena itu, komunitas CRP dan komunitas Zero mencoba melakukan aksi penyadaran khususnya penyadaran bagi masyarakat yang berada di sekitar bantaran Sungai Cikapundung, tidak hanya dengan penyuluhan namun juga disertai aksi langsung di lapangan bersama dengan warga. Aksi penyadaran warga tersebut, berupa penyadaran dalam hal tidak membuang sampah rumah tangga dan limbah ke sungai, pembuatan kompos serta penyadaran dalam hal penghijauan. Menurut ketua komunitas CRP (Rhm, 32 thn) penyadaran tersebut akan efektif bila disertai dengan aksi-aksi atau kegiatan langsung di tempat bersama warga. Bila hanya penyuluhan-penyuluhan tetapi tidak disertai aksi langsung bersama warga maka cara ini dinilai kurang efektif dan kebanyakan warga masih suka membuang sampah di sungai. Aksi langsung bersama warga beserta pemberian materi lingkungan yang disampaikan dalam satu waktu, sangat efektif dilakukan agar warga merasa malu untuk membuang sampah ke Sungai Cikapundung. Bila hanya sekedar penyuluhan-penyuluhan seperti itu, biasanya kurang berpengaruh terhadap kesadaran warga, kita biasanya turun langsung ke warga dengan memberi contoh melalui kegiatan yang langsung diadakan di daerah warga. Jadi warga terlibat langsung dalam kegiatannya serta semakin lama warga pun akan terbiasa dan akhirnya tersadar (Rhm, 32 thn).

104 83 Kegiatan aksi bersama warga ini diyakini dapat menggugah warga untuk bersama-sama menjaga kelestarian Sungai Cikapundung sehingga banyak warga yang tidak lagi membuang sampah ke sungai dengan membangun gerakan warga secara gotong-royong dan swadaya. Kelembagaan partisipatoris pun kini telah berhasil mengubah perilaku warga yang dahulunya sering merambah hutan serta merusak pepohonan (illegal logging) menjadi perilaku yang ramah lingkungan Diskusi Sabtu-Minggu Diskusi yang diadakan oleh komunitas CRP setiap hari sabtu dan minggu yang diadakan di Curug Dago Bandung adalah kegiatan berupa kumpul bersama anggota komunitas CRP dan komunitas-komunitas pegiat Sungai Cikapundung lainnya tak terkecuali komunitas Zero. Kumpul bersama ini bertujuan untuk meningkatkan rasa solidaritas antar anggota kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung itu sendiri. Agenda yang dibahas pada saat kumpul bersama ini biasanya membahas program-program dan mengevaluasi setiap kegiatan yang telah dilaksanakan oleh kelembagaan partisipatoris selama ini, serta membahas tantangan, hambatan dan keberlanjutan program-program untuk kelestarian Sungai Cikapundung kedepannya, adapun dalam diskusi sabtu minggu ini membahas permasalahan yang terjadi di Sungai Cikapundung dan juga membahas kebijakan serta program-program pemerintah terkait Sungai Cikapundung, namun tak jarang diskusi sabtu-minggu ini hanya berupa kumpul dan silaturahmi bersama anggota kelembagaan partisipatoris saja. Kita sering mengadakan kegiatan kumpul di sekret setiap sabtu dan minggu untuk membahas kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan serta untuk mengevaluasi dan merencanakan kegiatan-kegiatan selanjutnya. Dalam kegiatan kumpul tersebut biasanya disertai dengan makan-makan, hal ini dilakukan semata-mata untuk memperkuat ikatan solidaritas diantara anggota komunitas pegiat sungai lainnya (Fdl, 43 thn). Biasanya diskusi sabtu, minggu ini dilakukan setelah menggiatkan sungai, tidak hanya pada hari sabtu atau minggu saja, pada hari-hari lainnya pun terdapat banyak anggota komunitas pegiat Sungai Cikapundung yang berkumpul di sekret komunitas CRP. Tak jarang sekretariat komunitas CRP di Curug Dago pada hari-

105 84 hari biasa seringkali dipenuhi oleh anggotanya yang sekedar saling menyapa ataupun mengobrol satu sama lainnya Kegiatan Insidental Kegiatan insidental yang pernah dilakukan oleh kelembagaan patisipatoris yang dipelopori oleh komunitas CRP bekerjasama dengan lembaga lainnya adalah kegiatan Cikapundung Festival. Dalam kegiatan ini komunitas CRP dan pihak terkait lainnya mengadakan berbagai pagelaran permainan tradisional, olah raga, hiburan serta berbagai permainan air, seperti arung jeram, kukuyaan, river boarding, gogolondongan dan seseroan 7. Kegiatan yang terselenggara atas kerjasama Wiasgar, komunitas CRP, Dispora Kota Bandung, Polrestabes Kota Bandung dan Karang Taruna Kota Bandung ini bertujuan untuk mendorong kesadaran masyarakat untuk menjaga dan merawat Cikapundung serta mendorong produktivitas kreasi-kreasi dari berbagai potensi yang tumbuh dan berkembang di sepanjang aliran Sungai Cikapundung. Dalam kegiatan festival ini panitia mengikutsertakan perwakilan dari 30 kecamatan di Kota Bandung, sehingga kegiatan ini diharapkan dapat diadopsi oleh kecamatan-kecamatan lainnya di Kota Bandung yang berada di bantaran sungai, hal ini dilakukan agar masyarakat tidak jijik lagi dengan sungai tetapi malah menggiatkannya. Dalam acara ini komunitas CRP sekaligus memperkenalkan kepada publik bahwa telah terbentuk sekelompok orang yang terdiri dari masyarakat asli Cikapundung yang memiliki visi misi untuk menyelamatkan Sungai Cikapundung dari kerusakan pembangunan. Program insidental lainnya yang pernah dilakukan oleh komunitas CRP adalah aksi susur Sungai Cikapundung dimana komunitas CRP mendata, sekaligus mengamati secara mendalam kondisi Sungai Cikapundung secara kasat mata. Komunitas CRP sendiri menemukan sepanjang 12 kilometer bantaran Sungai Cikapundung sudah sangat memprihatikan. Pihak-pihak yang mengikuti kegiatan ini terdiri dari berbagai kelompok pengiat alam bebas, masyarakat kampung Curug Dago, kampung Cikapundung, TAHURA Juanda serta dibantu oleh operasional dari Taruna Siaga Bencana (TAGANA). 7 Salah satu permainan tradisional Jawa Barat

106 85 Pada Juni 2011 komunitas CRP bersama 42 komunitas Cikapundung lainnya termasuk komunitas Zero mengadakan aksi kukuyaan di bantaran Sungai Cikapundung yang tercatat di Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) dengan peserta kukuyaaan terbanyak yaitu 821 orang. Koordinator komunitas CRP yang sekaligus koordinator acara kukuyaan (Rhm, 32 tahun) mengungkapkan, upaya pemecahan rekor Muri ini merupakan inisiatif warga yang tergabung dalam 42 komunitas peduli Cikapundung yang terdiri mulai dari warga di hulu, tengah hingga hilir bantaran Sungai Cikapundung, hal ini merupakan yang pertama dan belum pernah terjadi di Indonesia sebelumnya. Rekor Muri sendiri bukanlah tujuan dari diadakannya kegiatan kukuyaan ini, namun yang jauh lebih penting adalah penumbuhan kesadaran baru dalam diri masyarakat dalam menyikapi sungai. Kegiatan semacam ini dilakukan untuk menyadarkan warga dan menjadikan Sungai Cikapundung sebagai ruang publik dengan menjadikannya sebagai salah satu tujuan wisata di Bandung sehingga dalam pelaksanaannya upaya revitalisasi Cikapundung akan menjadi lebih mudah. Pemangku kepentingan yang turut hadir dalam acara tersebut terdiri dari berbagai instansi seperti BPLHD Propinsi Jawa Barat dan BPLH Kota Bandung, Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC) dan berbagai instansi lainnya, baik dari pemerintah, akademisi, maupun swasta yang turut mendukung dan mensukseskan penyelenggaraan MURI di Sungai Cikapundung Aktivitas Pemerintah Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam menyelamatkan Sungai Cikapundung dari kerusakan. Sebelumnya sejak tahun 2004 dimana belum terbentuk komunitas CRP dan 42 komunitas pegiat Sungai Cikapundung lainnya, Pemerintah Kota Bandung khususnya telah memiliki program untuk merehabilitasi dan mencegah Sungai Cikapundung dari kerusakan, yaitu melalui program Cikapundung Bersih. Dalam program tersebut pemerintah melibatkan lima kelurahan di tiga kecamatan, yaitu Kelurahan Lebak Siliwangi, Kelurahan Cipaganti, (Kecamatan Coblong), Kelurahan Tamansari, (Kecamatan Bandung Wetan), serta Kelurahan Babakan Ciamis dan Kelurahan Braga, (Kecamatan Sumur Bandung). Bentuk operasionalisasi gerakan Cikapundung Bersih ini terdiri

107 86 dari tujuh tahapan yaitu, (1) bakti sosial; (2) pengerukan sedimen; (3) normalisasi sungai; (4) inventarisasi bangunan di bantaran sungai serta perubahan tata letak bangunan yang semula membelakangi menjadi menghadap sungai; (5) penataan sempadan sungai; (6) pembangunan bangunan air; dan (7) penghijauan. Namun hingga tahun 2009 program Cikapundung Bersih tersebut belum dapat memenuhi targetnya, dimana warga di hulu, tengah dan hilir Sungai Cikapundung masih melakukan pencemaran sungai berupa membuang limbah domestik ke sungai. Hal tersebut dikarenakan kurangnya sosialisasi program dan dukungan warga di bantaran Sungai Cikapundung, serta keterbatasan pemerintah dalam bidang sumberdaya manusia, dana dan kendala teknis lainnya. Program Cikapundung Bersih kembali terdengar di awal tahun 2010 setelah terbentuknya komunitas CRP dan komunitas pegiat Sungai Cikapundung lainnya. Kesamaan visi untuk mengembalikan Sungai Cikapundung ke kondisi seperti dahulu kala menjadikan komunitas CRP dan aparat pemerintah saling bekerjasama dan mendukung satu sama lainnya. Di satu sisi, untuk mensukseskan program Cikapundung Bersih, pemerintah memerlukan bantuan kelembagaan partisipatoris untuk dapat mensosialisasikan program Cikapundung Bersih sehingga program tersebut mendapat dukungan dari warga khususnya warga di bantaran Sungai Cikapundung. Di sisi lain, kelembagaan partisipatoris pun sama halnya dengan pemerintah, dimana kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk mendapat otoritas dan legalitas menjalankan kegiatan yang berhubungan dengan kelestarian Sungai Cikapundung, serta agar kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris lebih dikenal oleh warga di bantaran sungai. Hingga pada akhirnya kerjasama antara pemerintah dan warga mulai terjalin dan dibangun kembali, dimana warga bantaran Sungai Cikapundung direpresentasikan oleh komunitas-komunitas pegiat Sungai Cikapundung. Disinilah awal mula terbentuknya kelembagaan partisipatoris di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) yaitu terbentuknya partisipasi dari masyarakat khususnya masyarakat di bantaran Sungai Cikapundung untuk satu tujuan yaitu mengembalikan kelestarian Sungai Cikapundung seperti dahulu kala. Dari ketujuh gerakan Cikapundung Bersih

108 87 kurang lebih sudah empat yang terealisasi antara lain kegiatan bakti sosial, pengerukan sedimen, normalisasi sungai dan penghijauan. Pemerintah Kota Bandung saat ini fokus untuk membersihkan Sungai Cikapundung dan berupaya untuk mengubah pola perilaku masyarakat yang tinggal di bantaran sungai untuk tidak membuang sampah lagi ke sungai dengan memasukkan Sungai Cikapundung dalam prioritas program kegiatan dalam rencana pembangunan, baik jangka menengah ( ) dan jangka panjang ( ). Hingga kini program Cikapundung Bersih telah dijadikan proyek percontohan oleh peneliti dari berbagai kota dan negara karena program Cikapundung Bersih ini lebih banyak dilakukan oleh masyarakat daripada dana APBD Kota Bandung. Dalam upaya merealisasikan dan mensosialisasikan Cikapundung Bersih maka pada tahun 2010 komunitas- komunitas pegiat sungai, Walikota bersama Bupati Bandung telah melakukan upaya-upaya penyelamatan Sungai Cikapundung dengan menanam lebih dari 2400 batang pohon yang terdiri dari berbagai jenis pohon seperti di daerah Curug Dago Bandung. Sementara itu, untuk kegiatan penghijauan pemerintah mengeluarkan dana khusus dimana sekitar Rp 3,5 miliar sampai dengan 4 miliar dana APBD dialokasikan oleh pemerintah Kabupaten Bandung untuk penghijauan dan rehabilitasi lahan kritis. Walikota Bandung pun sering mengadakan studi banding terkait persoalan PKL, penyelenggaraan ketertiban, kebersihan dan keindahan (K3), revitalisasi sungai, penanganan sampah, pasar tradisional, penataan taman kota dan reklame, dan perijinan serta transportasi salah satunya dengan melakukan studi banding ke Solo yang telah berhasil merevitalisasi empat sungai salah satu diantaranya Sungai Bengawan Solo. Salah satu kunci kesuksesan dan keberhasilan program Cikapundung Bersih adalah dengan adanya komunitas-komunitas pegiat sungai yang merupakan masyarakat asli Cikapundung, dimana komunitas-komunitas ini menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah yang dapat menembus dinding yang selama ini membatasi antara pemerintah dengan masyarakat setempat. Bersama-sama dengan komunitas pegiat Sungai Cikapundung lainnya, pemerintah merencanakan untuk merevitalisasi sepadan sungai minimal sepuluh meter bebas dari bangunan dan kios Pedagang Kaki Lima (PKL), pembuatan jalan inspeksi, kirmir, dan septic

109 88 tank komunal untuk mengurangi pembuatan limbah rumah tangga ke sungai. Pemerintah kota juga merencanakan untuk mengadakan jalan pantau, juga sering melakukan kegiatan penghijauan sebagai pelindung atau taman kota. Namun tidak semua rencana tersebut dapat terealisasikan, karena terbatasnya kemampuan, sarana dan prasarana yang dimiliki pemerintah saat ini. Salah satu anggota komunitas CRP menuturkan sampai dengan tahun ini Pemerintah Kota (Pemkot) masih belum memberikan pendanaan kepada masyarakat yang membersihkan Sungai Cikapundung sebagai imbalan, namun hanya sebatas menyiapkan peralatan seperti untuk pengerukan yang disimpan di dinas-dinas terkait. Walaupun begitu, karena adanya dukungan dari berbagai pihak terutama kalangan elit politik pemerintah (Walikota Bandung, Wakil Walikota Bandung, camat,lurah, RW dan RT) maka semangat untuk terus bekerja dan berkarya semakin tinggi dirasakan oleh anggota komunitas CRP dan komunitas pegiat Sungai Cikapundung lainnya. Walaupun pemerintah tidak banyak memberikan bantuan dana, tetapi perhatian dan motivasi mereka menjadi suatu kekuatan dan semangat baru bagi kami komunitas CRP dan komunitas-komunitas pegiat sungai Cikapundung lainnya, serta khususnya bagi masyarakat Cikapundung untuk terus bersama-sama melakukan upaya penyelamatkan dan rehabilitasi terhadap Sungai Cikapundung. Biasanya lurah, camat atau walikota datang berkunjung ke acara-acara kami dengan menggunakan kaos oblong hanya untuk melihat keadaan sungai atau sekedar ikut berkumpul bersama warga di sekret. Setiap bulannya Kami juga menerima beras dari kelurahan di sini. Bentuk perhatian yang seperti itulah yang lebih kami hargai dibandingkan hanya sekedar memberi uang semata (Anw, 37 tahun). Dengan terlaksananya Cikapundung Bersih maka pemerintah berharap adanya perubahan perilaku warga dalam memanfaatkan sungai sehingga sungai dapat membawa manfaat dimana Sungai Cikapundung dapat dijadikan objek wisata yang dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat. Walaupun hingga saat ini kondisi sungai maupun perilaku masyarakat masih sangat mengkhawatirkan namun secara keseluruhan dan perlahan tetapi pasti Pemerintah Kota Bandung menilai sudah banyak perubahan yang berarti dimana warga sudah mau kerja bakti sendiri dan mau menjadikan sungai sebagai ruang publik. Pemerintah berharap perilaku tersebut menjadi sebuah kesadaran dan menjadi sebuah kebiasaan. Hingga saat ini program Cikapundung Bersih menjadi salah

110 89 satu program yang sedang disosialisasikan secara gencar oleh komunitas CRP dan Zero serta oleh komunitas-komunitas pegiat lingkungan lainnya dimana program tersebut sudah mulai mendapatkan sambutan dan respon yang baik dari masyarakat bantaran Sungai Cikapundung khususnya. Bentuk keseriusan lain dari pemerintah untuk merivitalisasi Sungai Cikapundung adalah dengan pembacaan Dekalarasi Gerakan Cikapundung Bersih di gedung Sabuga Bandung yang dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan terkait diantaranya; Wakil Walikota Bandung, anggota DPR RI, unsur forum komunikasi pimpinan daerah, Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) Provinsi Jawa Barat wilayah Sungai Citarum, unsur masyarakat, unsur perguruan tingi, seniman, budayawan, tokoh agama dan unsur masyarakat. Deklarasi tersebut merupakan salah satu bentuk kerjasama dan kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan untuk bersama-sama mengatasi permasalahan di Sungai Cikapundung. Deklarasi tersebut tertuang dalam puisi wasiat Cikapundung yang juga ditandatangani berbagai pemangku kepentingan mulai dari LSM, masyarakat Cikapundung, pemerintah, dan juga akademisi. Deklarasi tersebut bertujuan membuat program bersama guna menghindari terjadinya tumpang tindih kegiatan dalam penanganan Sungai Cikapundung serta untuk lebih memotivasi semua unsur masyarakat di sekitar Sungai Cikapundung untuk bersama-sama melakukan gerakan Cikapundung Bersih secara berkelanjutan. Wasiat Cikapundung tersebut berbunyi: Hayu babarengan ngawujudkeun: Walungan herang caina Leuweung hejo tangkalna Seuweu siwi ulun kumaula geusan miarana. yang artinya: Mari bersama-sama mewujudkan: Air sungai yang jernih airnya Hutan yang hijau tangkainya Keindahannya harus kita pelihara bersama. Tidak hanya kepada masyarakat di sekitar bantaran Sungai Cikapundung yang turut mensukseskan program Cikapundung Bersih, Menjelang Rekor Muri pemerintah gencar mengajak mahasiswa untuk turut peduli terhadap kondisi

111 90 Sungai Cikapundung dengan mengadakan lomba karya tulis dan pembuatan poster lingkungan hidup bertemakan sungai bagi mahasiswa di Indonesia. Bersamaan dengan pecahnya Rekor Muri, Pemerintah Kota Bandung mulai mengaktifkan Peraturan Daerah (PERDA) Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2004 tentang Ketertiban, Kemanan, dan Kebersihan (K3) dimana jika ada warga yang masih membuang sampah ke Sungai Cikapundung maka akan dikenai denda hingga Rp lima juta dan untuk perusahaan akan didenda Rp 50 juta atau kurungan tiga bulan penjara. PERDA Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2004 tersebut bukanlah gertakan sambal semata dimana pemerintah telah membentuk satuan tugas yang terdiri dari warga dan Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) yang bertugas untuk terus memantau Sungai Cikapundung. Namun hingga saat ini, SATPOL PP belum dapat menemukan warga yang membuang sampah langsung ke Sungai Cikapundung, hal ini disebabkan industri atau warga yang membuang sampah ke sungai sering tidak ketahuan dengan melakukannya secara sembunyi-sembunyi pada malam hari atau dengan menggunakan kendaraan pribadi seperti motor dan mobil. Menurut aparat setempat, PERDA Nomor 11 tahun 2004 tentang K3 belum sepenuhnya dapat diterapkan di kota Bandung sementara kesadaran warga masih kurang dimana denda uang belum bisa diterapkan baik kepada warga maupun industri-industri terkait. Pemerintah Kota Bandung sedikit demi sedikit sudah berhasil mengubah perilaku warga di bantaran Sungai Cikapundung untuk tidak membuang limbah dan sampah ke sungai, namun tidak begitu dengan perilaku masyarakat dan industri di hulu Sungai Cikapundung yang sudah memasuki daerah Kabupaten Bandung. Kesadaran untuk merevitalisasi Sungai Cikapundung hanya dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung semata. PERDA Nomor 11 tahun 2004 tentang K3 serta penurunan SATPOL PP pun tidak dapat diterapkan di wilayah Kabupaten Bandung. Berbedanya wilayah dan kebijakan di Kota dan Kabupaten Bandung akan tidak menyelesaikan permasalahan di hulu Sungai Cikapundung dimana hampir 50 persen warga Kabupaten Bandung Barat khususnya, hidup dari beternak sapi. Bersama-sama kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung maka masyarakat sekaligus Walikota Bandung terus mewujudkan Sungai

112 91 Cikapundung bersih sebagai ruang publik yang menyatu dengan fungsi lingkungan fisik, seni budaya, sosial dan ekonomi bagi warga Kota Bandung, serta membangun kesadaran dan partisipasi pemangku kepentingan untuk tidak membuang sampah dan limbah ke sungai Aktivitas Swasta Banyaknya pihak swasta di Kota Bandung tidak selamanya membawa dampak buruk bagi Sungai Cikapundung, hal ini terlihat dari banyaknya pihak swasta yang seringkali melakukan Corporate Social Responsibilities (CSR) dengan melakukan penghijauan serta memberikan berbagai jenis bantuan terkait kelestarian lingkungan khususnya Sungai Cikapundung. Salah satu pihak swasta yang telah bekerjasama dengan komunitas CRP dan komunitas pegiat Sungai Cikapundung lainnya adalah dari Greeneration Indonesia yang telah mengajak Bank Ekonomi, presidir beserta jajarannya untuk melaksanakan kegiatan penghijauan bersama masyarakat di Kelurahan Dago dengan melibatkan RW, RT hingga karang taruna untuk bersama-sama menanam pohon di daerah lahan kritis di Curug Dago. Dalam acara tersebut pihak swasta menyumbang 100 bibit pohon serta menyumbang 20 buah bak sampah (yang tepat guna) serta satu mesin pencacah organik yang selanjutnya oleh komunitas CRP diberikan ke warga RW 02 Kelurahan Dago, kegiatan penghijauan ini pun bahkan dihadiri oleh salah satu anggota DPR Fraksi-D (perizinan). Adapun, PT Bio Farma yang telah menyumbangkan 1000 bibit pohon Ki Hujan (Terembesi) untuk ditanami di kawasan KBU, serta menyumbangkan pos pengendali sampah bagi warga sekitar yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk melakukan pengawasan dan pemantau bagi warga yang akan membuang sampah ke Sungai Cikapundung 8. Beberapa pihak swasta yang turut terlibat dan mendukung 42 komunitas pegiat Sungai Cikapundung dalam penyelenggaraan Rekor Muri pada tahun 2011 antara lain; Pikiran Rakyat, Bank Sinar Mas, Bank Jabar, dan Bank BNPN. Dalam Rekor Muri tersebut pihak swasta menyumbangkan perahu karet, bak sampah, tanaman keras-produktif serta benih ikan seribu pohon itu diperoleh dari bantuan Yapalhi bekerjasama dengan GPPB, PT Perkebunan Nusantara VIII, Serikat 8 Data diambil dari Sekretariat Komunitas CRP

113 92 Pekerja Perkebunan (SP, Bun) Cabang PTPN VIII dan Persatuan Karyawan Perkebunan Perkebunan (P3R) Cabang PTP VIII Aktivitas Akademisi Kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung seringkali melaksanakan observasi-observasi untuk mengetahui kondisi atau untuk melakukan upaya penyelamatan terhadap Sungai Cikapundung. Disinilah pihak akademisi turut dilibatkan untuk membantu menganalisis lebih dalam mengenai permasalahan serta solusi terkait Sungai Cikapundung, pihak akademisi seringkali membantu komunitas pegiat Sungai Cikapundung menangani permasalahan lingkungan baik dalam rangka bakti sosial maupun praktek kerja lapang. Dengan bersama-sama bertukar pikiran dan pengalaman maka komunitas-komunitas pegiat Sungai Cikapundung dan para akademisi mendapat ilmu pengetahuan baru yang dapat saling melengkapi dan saling memberikan manfaat satu sama lain. Universitas yang selama ini menjadi mitra kerja CRP antara lain: Institut Teknologi Bandung (ITB); ITENAS; Universitas Padjajaran (UNPAD); Universitas Parahiyangan (UNPAR); Universitas Pasundan (UNPAS); Universitas Islam Indonesia (UNISBA); Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) dan masih banyak universitas lainnya yang turut bekerjasama dengan CRP terkait Sungai Cikapundung. Beberapa universitas diantaranya pernah melakukan penanaman pohon Albasia di Curug Dago, menyumbang bibit cabe merah untuk warga punduk Curug Dago, bakti sosial, serta melakukan penyuluhan dan pelatihan pembuatan pupuk organik. Bersama mahasiswa dari jurusan arsitektur dan teknik lingkungan, komunitas CRP pernah melakukan kukuyaan dengan menggunakan boat dan ban, guna menetapkan titik-titik mana saja yang akan ditanami pohon dan menganalisis kerusakan yang terjadi di sepanjang Sungai Cikapundung. Kini, semakin banyak mahasiswa dari berbagai jurusan dan universitas yang selalu ikut dalam kegiatan pelestarian Sungai Cikapundung, bahkan dalam kegiatan penyuluhan para mahasiswa tidak canggung untuk memberi materi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pengelolaan sampah rumah tangga. 9 Data didapat dari Sekretariat Komunitas CRP dan Humas Komunitas Zero

114 Ikhtisar Berawal dari kegiatan pengumpulan sampah di Sungai Cikapundung oleh kelembagaan partisipatoris, pada akhirnya memicu para pemangku kepentingan lainnya seperti pemerintah, swasta, akademisi untuk terlibat dalam upaya penyelematan hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Keterlibatan pemangku kepentingan tersebut kemudian berdampak pada semakin maraknya kegiatan-kegiatan lingkungan, khususnya yang berhubungan dengan pelestarian Sungai Cikapundung. Dari segi kelembagaan partisipatoris, komunitas CRP telah berhasil menjaring pertemanan dari berbagai kalangan dan lapisan untuk membuat sebuah gerakan nyata mulai dari hulu hingga hilir Sungai Cikapundung, jejaring pertemanan ini dibuktikan dengan telah terbentuknya 42 komunitas pegiat Sungai Cikapundung yang umumnya terdiri dari masyarakat di bantaran sungainya. Program Cikapundung Bersih yang sebelumnya telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2004 pun, gerakan nyatanya baru terlihat dan terealisasi pada awal tahun 2010 ketika telah muncul berbagai komunitas pegiat Sungai Cikapundung. Selain itu, kelembagaan partisipatoris telah berhasil mengajak pihak swasta untuk melakukan berbagai CSR lingkungannya dan pihak akademisi untuk turut bergabung dalam penyelamatan terhadap titik rawan di Sungai Cikapundung. Partisipasi dan kerjasama yang baik antara kelembagaan partisipatoris, pemerintah Kota Bandung, swasta, dan pihak akademisi dalam menyelamatkan Sungai Cikapundung terbukti dapat mengurangi kerusakan yang terjadi selama ini di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung). Faktanya, kerusakan di Sungai Cikapundung sudah dapat dikurangi namun belum dapat dihentikan sepenuhnya karena kegiatan pengrusakan sungai terbesar berada di daerah Kabupaten Bandung, sedangkan upaya penyelamatan Sungai Cikapundung baru dilakukan di Kota Bandung. Berbedanya kebijakan, batas wilayah, dan karakteristik masyarakat di kota dan kabupaten Bandung menjadi suatu tantangan tersendiri bagi seluruh pihak untuk melakukan penghentian pengrusakan Sungai Cikapundung.

115 94 BAB VI EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DALAM PENYELAMATAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM (SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG) 6.1 Pengetahuan Sikap dan Perilaku Warga Pengetahuan Warga Mengenai Sampah Pengetahuan warga mengenai sampah diperlukan untuk melihat sejauh mana warga mengetahui berbagai jenis sampah rumah tangga sebelum hadirnya kelembagaan partisipatoris. Berikut tingkat pengetahuan warga di dua lokasi penelitian yaitu di Kelurahan Dago dan Kelurahan Lebak Siliwangi: Tabel 6.1 Pengetahuan Warga Mengenai Jenis Sampah Rumah Tangga Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Mengetahui Tidak Mengetahui Total Kelurahan Jenis Sampah Jumlah (Orang) Persentase (%) Jenis Sampah Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%) Dago Lebak Siliwangi 29 96,67 1 3, Pada Tabel 6.1 terlihat bahwa pengetahuan warga di dua lokasi penelitian rata-rata sudah mengetahui dan mengklasifikasikan jenis sampah, dimana sampah terbagi menjadi dua kategori yaitu sampah organik atau sampah yang mudah terurai oleh tanah dan sampah non-organik atau sampah yang sulit terurai oleh tanah. Untuk responden yang belum dapat membedakan klasifikasi sampah organik dan non-organik di Kelurahan Dago sebesar sepuluh persen sedangkan untuk Kelurahan Lebak Siliwangi jauh lebih rendah yaitu hanya sebesar 3,33 persen saja. Selanjutnya, berikut disajikan pengetahuan responden di dua lokasi penelitian mengenai akibat membuang sampah secara sembarangan:

116 95 Tabel 6.2 Pengetahuan Warga Mengenai Akibat Membuang Sampah Secara Sembarangan Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kelurahan Akibat Membuang Sampah Sembarangan Menimbulkan Bau, Lingkungan Penyakit dan Menjadi Kotor Bencana Alam Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) Total Jumlah (Orang) Dago 7 23, , Lebak Siliwangi ,67 63, Persentase (%) Rata-rata responden di kedua lokasi penelitian sebelum hadirnya kelembagaan partisipatoris di daerahnya, sudah sangat mengetahui akibat dari membuang sampah secara sembarangan. Hal ini terlihat dari banyaknya responden yang menjawab membuang sampah secara sembarangan dapat menimbulkan bau, penyakit dan bencana alam dimana sebesar 76,67 persen untuk responden di Kelurahan Dago dan 63,33 persen untuk responden di Kelurahan Lebak Siliwangi, sisanya sebesar 23,33 persen warga Kelurahan Dago dan 36,67 persen warga Kelurahan Lebak Siliwangi menyatakan membuang sampah secara sembarangan menyebabkan lingkungan menjadi kotor. Sebesar seratus persen responden penelitian di dua kelurahan, baik itu Kelurahan Dago maupun Kelurahan Lebak Siliwangi menjawab bahwa tindakan membuang sampah ke sungai merupakan tindakan yang salah, namun walaupun responden sadar bahwa tindakan membuang sampah ke sungai merupakan tindakan yang salah, tidak semua warga di dua kelurahan setuju untuk memberi sanksi kepada individu yang membuang sampah ke Sungai Cikapundung, hal ini sebagaimana terlihat pada Tabel 6.3.

117 96 Tabel 6.3 Pengetahuan Warga Mengenai Pemberian Sanksi atas Tindakan Membuang Sampah/Limbah ke Sungai Cikapundung, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kelurahan Pemberian Sanksi Total Ya Tidak Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) (Orang) (%) Dago 17 56, , Lebak Siliwangi 8 26, , Pada Tabel 6.3 terlihat sebesar 56,67 persen warga di Kelurahan Dago menjawab setuju untuk memberikan sanksi terhadap individu yang masih membuang limbah rumah tangganya ke Sungai Cikapundung, berbeda dengan warga di Kelurahan Lebak Siliwangi yang pada umumnya menjawab tidak setuju sebesar 73,3 persen atas pemberian sanksi kepada individu yang masih membuang sampah ke Sungai Cikapundung. Dapat disimpulkan bahwa responden sebenarnya paham dan sadar mengenai akibat dari membuang sampah rumah tangga ke sungai, tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak responden yang belum melaksanakan peraturan di daerahnya, hal ini terlihat dari masih banyaknya responden yang menolak untuk diberi sanksi dikarenakan anggapan bahwa tindakan membuang sampah ke sungai bukanlah sesuatu hal yang berbahaya dan tindakan kriminal. Menurut beberapa responden Kelurahan Lebak Siliwangi yang tidak setuju pada pemberian sanksi terhadap warga yang masih membuang limbah rumah tangga, individu yang masih membuang sampah rumah tangga perlu diberikan teguran atau peringatan terlebih dahulu sebelum diberikan sanksi, jika teguran dan peringatan tidak didengar maka barulah dikenai sanksi yang berlaku di daerahnya. Setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda, saya kurang setuju bila warga yang masih membuang sampah ke sungai langsung dikenai sanksi, dimana mungkin masih banyak warga yang belum terdedah informasi atau pengetahuannya masih rendah, jadi menurut saya untuk mengubah perilaku warga harus menggunakan cara yang lebih halus terlebih dahulu, seperti ditegur atau diperingati, bila tidak digubris juga, barulah warga dapat dikenai sanksi baik sanksi moral maupun sanksi materi (Ryt, 39 thn). Sebanyak seratus persen responden di dua lokasi penelitian pun mengatakan bahwa masih perlu diadakan sosialisasi pembuangan atau

118 97 pengelolaan dan pemilahan sampah rumah tangga di daerahnya, karena masih banyak warga yang belum terdedah mengenai pengelolaan limbah rumah tangga, khususnya diperlukan pelatihan daur ulang sampah rumah tangga agar dapat menarik warga khususnya kaum ibu rumah tangga. Selanjutnya, kondisi sungai Cikapundung menurut responden di dua kelurahan sebelum dan setelah adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung adalah sebagai berikut: 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 23.33% 60% 76.67% 40% Sangat Buruk Buruk Baik Sangat Baik Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris 36.67% 73.33% 63.33% 26.67% Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.1 Kondisi Sungai Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.1 sebesar 23,33 persen responden di Kelurahan Dago menjawab kondisi Sungai Cikapundung sebelum adanya kelembagaan partisipatoris sangatlah buruk, sisanya sebesar 76,67 persen responden menjawab kondisi sungai dalam keadaan buruk. Berbeda dengan Kelurahan Lebak Siliwangi yang berlokasi sudah masuk wilayah tengah hingga hilir Sungai Cikapundung, dimana responden yang menjawab kondisi Sungai Cikapundung sangat buruk jauh lebih besar dibandingkan dengan responden di Kelurahan Dago yaitu sebesar 60 persen, sisanya responden yang menjawab kondisi sungai dalam keadaan buruk yaitu sebesar 40 persen. Sebagaimana yang diungkapkan salah satu responden

119 98 Kelurahan Lebak Siliwangi mengenai kondisi Sungai Cikapundung sebelum adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung seperti saat ini. Dahulu sebelum banyak komunitas pegiat Sungai Cikapundung, kondisi sungai sangat kotor, jarang sekali orang yang mau masuk ke sungai untuk berenang seperti saat ini, terutama pada musim hujan, sampah dari hulu hanyut hingga ke hilir, warga yang berada di tepian sungai pun masih sering membuang sampah lewat jendela belakang rumahnya (Dih, 53 thn). Setelah adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung kondisi sungai sudah sedikit mengalami perubahan walaupun perlahan tetapi pasti, dimana kondisi Sungai Cikapundung sudah jauh lebih baik. Sebagaimana terlihat pada jawaban responden di dua lokasi penelitian dimana setelah adanya kelembagaan partisipatoris di daerahnya, sebanyak 63,33 persen responden Kelurahan Dago menjawab kondisi sungai sangat baik dan sisanya sebesar 36,67 persen responden menjawab baik. Responden di Kelurahan Lebak Siliwangi yang menjawab kondisi sungai sangat baik hanya sebesar 26,67 persen serta responden yang menjawab baik sebesar 73,33 persen. Hal ini sesuai penuturan warga Kelurahan Lebak Siliwangi yang mengamati kondisi Sungai Cikapundung dari hari ke hari semakin baik. Sungai Cikapundung sekarang sudah jauh lebih baik setelah adanya komunitas pegiat sungai, walaupun saya belum mengetahui bagaimana kualitas sungai untuk saat ini, namun bila dilihat secara kasat mata sudah tidak ada lagi sampah-sampah di sungai seperti dahulu kala, yang ada saat ini adalah semakin banyak orang-orang yang menggiatkan Sungai Cikapundung (Try,45 Thn). Umumnya kualitas air di hulu Sungai Cikapundung (Kelurahan Dago) masih lebih baik dibandingkan dengan kualitas air yang berada di tengah Sungai Cikapundung (Kelurahan Lebak Siliwangi). Hal ini terjadi karena wilayah hulu Sungai Cikapundung pada umumnya masih merupakan kawasan hijau dan bukan merupakan kawasan padat penduduk seperti di daerah tengah hingga hilir Sungai Cikapundung yang warna airnya sudah sangat coklat keruh.

120 Pengetahuan Warga Mengenai Penghijauan Rata-rata responden di dua lokasi penelitian mengatakan bahwa adanya kegiatan penghijauan yang dilakukan adalah agar di daerahnya terdapat resapan air, ruang terbuka hijau, mencegah banjir dan juga longsor, serta agar lingkungan terlihat indah dan segar. Sementara itu, di dua lokasi penelitian yaitu Kelurahan Dago dan Kelurahan Lebak Siliwangi sama-sama tidak memiliki program penghijauan. Penghijauan dilakukan atas dasar inisiatif warga pada saat-saat tertentu saja. Walaupun program penghijauan tidak ada di dua kelurahan tersebut, namun warga mengaku masih sangat memerlukan penghijauan atau penanaman pohon di daerahnya masing-masing, sebagaimana dinyatakan pada Gambar 6.2 di bawah ini: 70% 60% 50% 63.33% 70% 40% 30% 20% 16.67% 30% 20% 10% 0% 0% Kurang Penting Cukup Penting Sangat Penting Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.2 Kebutuhan Warga Akan Penghijauan/Penanaman Pohon, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Sebesar 70 persen responden di Kelurahan Dago mengatakan bahwa kegiatan penghijauan masih sangat penting untuk diadakan di daerahnya, sisanya responden menjawab kegiatan penghijauan cukup penting diadakan di daerahnya yaitu sebesar 30 persen. Responden di Kelurahan Lebak Siliwangi menjawab kebutuhan penghijauan lebih rendah dibandingkan dengan Kelurahan Dago dimana hanya sebesar 20 persen responden Kelurahan Lebak Siliwangi yang

121 100 menjawab kegiatan penghijauan sangat penting diadakan, sisanya 63,33 persen menjawab cukup penting dan 16,67 persen menjawab kegiatan penghijauan kurang penting di daerahnya. Melihat fakta sebagian besar responden di dua lokasi penelitian menjawab bahwa kegiatan penghijauan masih perlu diadakan di daerahnya, maka dapat disimpulkan bahwa semakin hari keadaan ruang terbuka hijau semakin dibutuhkan oleh warga di dua kelurahan, hal ini dikarenakan semakin hari ruang terbuka hijau harus selalu berhadapan dengan pembangunan infrastruktur yang terus menerus dilakukan guna kepentingan ekonomi. Selain untuk mengetahui pendapat responden mengenai kegiatan penghijauan, maka secara kasat mata responden diminta menilai kondisi lahan kritis di daerahnya sebelum dan setelah adanya kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung, sebagaimana pada Gambar 6.3 di bawah ini: 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 13% 100% 87% 0% Sedikit Banyak Sedikit Berkurang Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris 36% 100% 63% 0% Banyak Berkurang Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.3 Kondisi Lahan Kritis Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kondisi lahan kritis sebelum adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung dinyatakan banyak oleh 87 persen responden di Kelurahan Dago, dan sebesar 13 persen menyatakan lahan kritis tidaklah banyak di daerahnya. Jauh berbeda dengan kondisi lahan kritis di Kelurahan Lebak Siliwangi dimana 100 persen respondennya menjawab hanya ada sedikit lahan kritis di daerahnya.

122 101 Perbedaan yang besar antara kedua kelurahan ini terjadi karena perbedaan karakteristik lahan antara wilayah hulu yang masih banyak terdapat lahan kosong dan wilayah tengah yang sedikit akan lahan kosong dan juga merupakan daerah padat pemukiman. Setelah adanya kelembagaan partisipatoris dengan berbagai kegiatan penghijauannya, lahan kritis di dua lokasi penelitian pun sedikit demi sedikit mulai berkurang dimana kondisi lahan kritis untuk Kelurahan Dago setelah adanya kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung mengalami penurunan dimana sebesar 64 persen responden menjawab lahan kritis telah banyak berkurang, serta sisanya sebesar 36 persen responden menjawab lahan kritis sudah sedikit berkurang. Pada umumnya sebagian besar komunitas-komunitas pegiat Sungai Cikapundung setiap akan melakukan kegiatan penghijauan bersama dengan warga dan instansi-instansi sepeti swasta dan lembaga pemerintah lainnya, selalu menunjuk kawasan Curug Dago sebagai tempat untuk menanam bibit-bibit pohon yang daerahnya memang cocok untuk melakukan penanaman dan masih terdapat banyak lahan kritis. Untuk Kelurahan Lebak Siliwangi tidak ada perubahan yang signifikan, namun sebesar 76,67 persen responden menjawab lahan kritis sudah sedikit berkurang, sementara sebesar 23,33 responden lainnya menjawab lahan kritis tidak berkurang sama sekali. Responden Kelurahan Lebak Siliwangi yang menjawab lahan kritis sudah sedikit berkurang adalah responden yang pernah mengikuti penghijauan atau hanya sekedar memantau lingkungan ruang terbuka hijau di daerah sekitarnya. Umumnya kegiatan penghijauan yang dilakukan oleh Komunitas Zero dilakukan di lahan kosong dekat pemukiman warga dan di hutan kota Kelurahan Lebak Siliwangi. Selain dilihat dari adanya kegiatan penghijauan dan kondisi lahan kritis, berikut disajikan data mengenai kondisi daerah resapan air sebelum dan setelah adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris di dua lokasi penelitian.

123 % 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 100% 100% 100% 100% Buruk Baik Buruk Baik Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.4 Kondisi Daerah Resapan Air Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Dari Gambar 6.4 di atas terlihat bahwa kondisi daerah resapan air di dua kelurahan sebelum adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris jauh berbeda, dimana umumnya sebesar 100 persen responden di Kelurahan Dago menjawab daerah resapan air masih tergolong baik. Hal ini jauh berbeda dengan Kelurahan Lebak Siliwangi dimana sebesar 100 persen responden menyatakan kondisi resapan air di daerahnya tergolong buruk. Setelah adanya kegiatan penghijauan kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung di dua kelurahan yang berbeda, maka kondisi daerah resapan air untuk Kelurahan Dago masih tergolong baik yaitu sebesar 100 persen responden menjawab baik terhadap resapan air di daerahnya, namun walaupun masih tergolong baik responden mengaku daerah resapannya jauh lebih baik setelah adanya kegiatan-kegiatan penghijauan yang khususnya dilakukan oleh komunitas CRP. Berbeda dengan kondisi daerah resapan air di Kelurahan Lebak Siliwangi yang tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dimana sebesar 100 persen responden masih menyatakan resapan air di daerahnya khususnya di pemukimannya tetap tergolong buruk, hal ini dikarenakan jalan di sekitar pemukiman warga Kelurahan Lebak Siliwangi sudah menggunakan aspal berbeda dengan Kelurahan Dago dimana daratan di

124 103 sekitar warganya masih didominasi oleh tanah. Perubahan daerah resapan memang tidak dialami pemukiman warga di RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, namun perubahan daerah resapan air dapat dirasakan saat memasuki kawasan hutan kota Kelurahan Lebak Siliwangi yang memang tempatnya digunakan untuk menanam pohon dan tumbuhan hijau oleh Komunitas Zero Pengetahuan Warga Mengenai Gotong Royong Kegiatan gotong royong yang diadakan di dua kelurahan memiliki perbedaan karakteristik, dimana untuk Kelurahan Dago gotong royong tidak dijadikan agenda rutin untuk dilakukan sedangkan untuk Kelurahan Lebak Siliwangi kegiatan gotong royong memang sudah ada sejak dahulu dan merupakan salah satu tradisi di Kelurahan Lebak Siliwangi. Hingga kini, kegiatan tersebut semakin digencarkan/disosialisasikan kelembagaan partisipatoris khususnya kepada warga di bantaran Sungai Cikapundung. Berikut pendapat responden di dua kelurahan terhadap kegiatan gotong royong di daerahnya masing-masing % 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 86.67% Perlu 63.33% 13.33% Sangat Perlu 36.67% Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.5 Perlunya Kegiatan Gotong Diadakan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

125 104 Responden di Kelurahan Dago menjawab sebesar 86,67 persen kegiatan gotong royong perlu diadakan di daerahnya, sementara 13,33 persen responden lainnya menjawab sangat perlu adanya kegiatan gotong royong di daerahnya. Untuk responden di Kelurahan Lebak Siliwangi sebanyak 63,33 persen menjawab bahwa kegiatan gotong royong juga masih perlu diadakan di daerahnya, sisanya sebesar 36,67 persen responden menjawab sangat perlu diadakan kegiatan gotong royong di daerahnya. Melihat data diatas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan akan gotong royong ini memang sangat diperlukan oleh warga di dua kelurahan yang berbeda. Untuk mengetahui lebih lanjut tujuan responden di dua kelurahan untuk mengadakan kegiatan gotong royong dipelihatkan dalam Gambar 6.6 di bawah ini % 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 86.67% 56.67% Agar Lingkungan Bersih dan Sehat 13.33% 43.33% Agar Lingkungan Bersih, Sehat, Tidak Menimbulkan Penyakit dan Menjaga Solidaritas Diantara Warga Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.6 Tujuan Diadakannya Kegiatan Gotong Royong, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Responden di dua Kelurahan yaitu Kelurahan Dago dan Kelurahan Lebak Siliwangi rata-rata menjawab bahwa tujuan diadakannya kegiatan gotong royong adalah agar lingkungan menjadi bersih dan sehat yaitu sebesar 86,67 persen untuk Kelurahan Dago dan 56,67 persen untuk jawaban responden di Kelurahan Lebak Siliwangi. Responden yang menjawab agar lingkungan bersih dan sehat, tidak

126 105 menimbulkan penyakit serta menjaga solidaritas diantara warga yaitu hanya sebesar 13,33 persen untuk responden di Kelurahan Dago dan 43,33 persen untuk responden di Kelurahan Lebak Siliwangi. Fakta ini sejalan dengan pernyataan responden pada Gambar 6.8 dimana responden di dua kelurahan memang sangat memerlukan kegiatan gotong royong untuk menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan di sekitarnya. Untuk kegiatan gotong royong sendiri, sebelumnya responden di dua kelurahan mengaku bahwa kegiatan gotong royong di daerahnya dipengaruhi oleh ada atau tidaknya sosialisasi terlebih dahulu kepada warga, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.7 di bawah ini % 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 86.67% Ada 93.33% 13.33% Tidak Ada 6.67% Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.7 Adanya Sosialiasi Kegiatan Gotong di Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.7 sebesar 13,33 persen responden Kelurahan Dago mengaku bahwa kegiatan gotong royong tidak disosialiasikan terlebih dahulu kepada warga dan sisanya sebesar 86,67 persen responden menjawab kegiatan gotong royong telah disosialiasikan kepada warga. Sebesar 93,33 persen responden Kelurahan Lebak Siliwangi mengungkapkan bahwa kegiatan gotong royong selalu disosialisasikan terlebih dahulu kepada warga di daerahnya, dan hanya sebesar 6,67 persen warga yang merasa tidak pernah ada sosialisasi kegiatan royong di daerahnya. Menurut penuturan dari ketua RT di dua lokasi

127 106 penelitian bahwa pada umumnya gotong royong selalu disosialisasikan terlebih dahulu kepada warganya, mengenai tahu atau tidak tahu warga akan kegiatan gotong royong yang diadakan, itu dikembalikan lagi kepada warganya yang mungkin tidak mendapatkan informasi akan diadakannya kegiatan gotong royong di daerahnya atau biasanya lebih dikarenakan sibuk dengan pekerjaannya sehingga sulit mengikuti kegiatan gotong royong di daerahnya. 6.2 Tingkat Keterlibatan Warga dalam Membuang dan Mengelola Sampah/Limbah Rumah Tangga Kesadaran warga untuk mengelola sampah rumah tangganya menjadi hal yang sangat berpengaruh terhadap kelestarian Sungai Cikapundung. Berikut perilaku warga dalam membuang limbah rumah tangganya sebelum adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung. Sebagaimana yang dinyatakan oleh salah satu warga RT 02/RW 01Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong (Cep, 57 thn) yang menyatakan bahwa dahulu warga memang tidak peduli dengan keberadaan Sungai Cikapundung, serta tak jarang warga setempat menjadikannya tempat pembuangan sampah rumah tangga. Dahulu sama seperti warga lainnya, saya dan istri saya juga biasa membuang sampah ke sungai belakang rumah (Cep, 57 thn). Sama halnya dengan warga di Kelurahan Lebak Siliwangi yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga mereka. Menurut (Ibu Rcr, 45 tahun) kegiatan membuang sampah rumah tangga di Sungai Cikapundung sudah lama dilakukan warga RT 03/ RW 08. Sebelum sekitar akhir tahun 2010, masih sedikit warga yang menggunakan jasa pengangkut sampah, hampir 90 persen warga yang berada di bantaran sungai membuang sampah langsung ke Sungai Cikapundung (Rcr, 45 thn). Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 6.11 dimana sebelum adanya kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris masih banyak warga di dua lokasi penelitian yang tidak menggunakan jasa pengangkut sampah. Berikut tempat pembuangan sampah yang digunakan oleh warga di dua lokasi penelitian sebelum

128 107 dan setelah adanya kelembagaan partisipatoris, sebagaimana pada Gambar 6.8 di bawah ini % 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 23.33% 60% Dibuang ke Sungai 53.33% 6.67% 6.67% 0% 16.67% Dibakar Dikubur TPS TPS Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris 33.33% 100% 100% Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.8 Tempat Membuang Sampah/Limbah Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.8 rata-rata responden Kelurahan Dago yang membuang sampah/limbah rumah tangga sebelum adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris dengan cara dibakar yaitu sebesar 53,33 persen, dibuang ke sungai sebesar 23,33 persen, kemudian yang menggunakan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) sebesar 16,67 persen dan sisanya dikubur sebesar 6,67 persen. Berbeda dengan Kelurahan Dago yang tidak semua warganya membuang sampah ke sungai, di Kelurahan Lebak Siliwangi rata-rata responden yang membuang sampah ke sungai sebesar 60 persen, sebesar 33 persen lainnya responden Kelurahan Lebak Siliwangi telah lebih dahulu menggunakan jasa TPS atau pengangkut sampah, selanjutnya sebesar 6,67 persen warga Lebak Siliwangi mengelola sampahnya dengan cara dibakar. Setelah adanya kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung dengan kegiatan aksi bersih kalinya, terdapat perubahan yang signifikan pada perilaku warga di dua lokasi penelitian,

129 108 dimana sebesar 100 persen responden di dua kelurahan kini telah menggunakan jasa TPS atau pengangkut sampah dan sudah tidak ada lagi warga yang membuang sampahnya ke Sungai Cikapundung. Efektivitas kelembagaan partisipatoris terlihat dari pernyataan warga Kelurahan Dago yang pada umumnya kini sudah menggunakan jasa pengangkut sampah. Sekitar tiga tahun yang lalu warga yang menggunakan jasa TPS masih sangat sedikit, kebanyakan warga membakar sampahnya atau membuangnya langsung ke sungai, namun setelah adanya komunitas CRP, satu persatu warga kini menggunakan jasa pengangkut sampah, karena sudah mulai adanya larangan membuang sampah ke sungai baik oleh komunitas maupun aparat pemerintah (Dew, 47 thn) Menurut warga RT 02/RW 01 Kelurahan Dago, komunitas CRP telah berhasil mengubah perilaku warga untuk tidak membuang sampah ke Sungai Cikapundung lagi, walaupun terkadang memang masih ada masyarakat yang diam-diam membuang sampah ke Sungai Cikapundung. Setelah adanya komunitas CRP di sini, setiap sisi sungai dipagari dan dipasang papan larangan untuk tidak membuang sampah ke sungai,namun walau sudah menggunakan pagar dan papan larangan masih saja ada sampah-sampah yang berserakan yang dibuang warga ke sungai (Bhr, 56 thn) Sama halnya dengan warga di RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi yang kini warganya sudah tidak lagi membuang sampah rumah tangga ke Sungai Cikapundung. Saya menjamin sebesar 95 persen warga saya sudah tidak membuang sampah lagi ke Sungai Cikapundung, saya tidak berani mengatakan 100 persen karena lima persennya itu pasti masih ada saja yang diam-diam suka membuang sampah ke sungai tanpa ketahuan. Ibarat kita setiap hari makan menggunakan tangan kanan, bila tiba-tiba diperintahkan makan dengan menggunakan tangan kiri pasti akan kaget yang intinya kebiasaan itu tidak dapat dirubah secara cepat dan langsung tetapi harus bertahap dan perlahan (Hrd, 35 thn, Ketua RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong). Data ini diperkuat dengan salah seorang warga RT 03/ RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi yang melihat adanya perubahan pada kondisi Sungai Cikapundung setelah adanya kelembagaan partisipatoris.

130 109 Dahulu Sungai Cikapundung kotor dan banyak sampah, walaupun kita pernah beberápa kali membersihkan sungai, tetapi bila tiba-tiba datang sampah dari hulu, maka sungai pun kembali kotor, kita juga jadi merasa percuma membersihkan sungai, dimana dari hulunya saja sudah kotor. Namun sekarang sampah yang datang dari hulu sungai lumayan berkurang. Setelah adanya kegiatan bersih-bersih sungai oleh komunitas Zero, warga disini pun sudah jarang membuang sampah lagi ke sungai, justru sering mengikuti kegiatan bersih-bersih kali san kini menggiatkan sungai (Ism, 56 thn). Keberhasilan merubah perilaku warga di bantaran Sungai Cikapundung tidak terlepas dari peran pemangku kepentingan yang ada. Kelompok-kelompok yang terdapat di RT 03/ RW 08 sangat bermanfaat untuk mempercepat perubahan perilaku warga khususnya membuang sampah ke sungai, kelompok-kelompok tersebut antara lain; ketua RW; ibu-ibu PKK; ketua RT; karang taruna; dan lain sebagainya. Hal ini terlihat dari gencarnya sosialisasi yang dilakukan ketua RW 08 yang juga menjabat sebagai ketua dari komunitas Zero dimana ketua RW 08 menjadi motor penggerak bagi kelompok-kelompok warga di RW 08 untuk bersama-sama menggalakan Cikapundung bersih dengan selalu mengadakan aksi susur sungai setiap hari sabtu dan minggu untuk mengumpulkan sampah yang juga bersamaan dengan jadwal rutin gotong royong di RW 08. Sekitar bulan Januari 2011 warga disini sudah tidak ada lagi yang membuang sampah ke Sungai Cikapundung, komunitas kita memiliki orang yang menjaga dan memantau warganya yang masih membuang sampah ke sungai. Jika ingin menegur warga yang masih membuang sampah ke sungai maka harus disertai bukti seperti foto, namun jika tidak ada bukti maka warga tersebut tidak dapat ditegur, bila sudah ditegur namun masih membuang sampah ke sungai, barulah warga dikenai sanksi berupa denda uang, namun hingga kini warga kami belum ada yang sampai dikenai sanksi denda uang, hanya sanksi moral semata (Ant 54 thn, Ketua RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong). Adanya dukungan dari warga setempat serta pemerintah daerah menjadi kekuatan untuk mengubah perilaku warga membuang sampah ke sungai hingga pada generasi berikutnya. Dalam merehabilitasi dan merevitaliasi Sungai Cikapundung, kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung senantiasa melakukan penyadaran kepada warganya dengan cara memberikan sosialisasi, penyuluhan atau pelatihan terkait pengelolaan sampah rumah tangga. Warga di dua Kelurahan mengaku, baik komunitas CRP maupun komunitas Zero sama-

131 110 sama pernah mengadakan pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga di daerahnya. Untuk mengubah perilaku warga bukan hanya sekedar tidak lagi membuang sampah atau limbah rumah tangga ke Sungai Cikapundung namun juga mengubah perilaku warga agar mau memanfaatkan limbah rumah tangganya dengan cara mendaur ulangnya, maka kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung seringkali menyelenggarakan kegiatan sosialisasi, penyuluhan sekaligus pelatihan kepada warga, bekerjasama dengan berbagai instansi baik itu instansi pendidikan yang umumnya tingkat universitas juga instansi pemerintah lainnya. Berikut jumlah responden di dua kelurahan yang pernah mengikuti sosialiasi dan pelatihan pegelolaan sampah rumah tangga yang diselenggarakan oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung bekerjasama dengan berbagai instansi terkait % 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 16.67% Ikut 36.67% 83.33% Tidak Ikut 63.33% Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.9 Keterlibatan Warga dalam Kegiatan Sosialisasi dan Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga oleh Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.9 terlihat bahwa 16,67 persen responden Kelurahan Dago dan 36,67 persen responden Kelurahan Lebak Siliwangi mengikuti kegiatan sosialisasi dan pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga yang diadakan oleh komunitas CRP dan komunitas Zero. Seluruh responden yang mengikuti

132 111 sosialisasi dan pelatihan menyatakan bahwa pengetahuan mereka mengenai pengelolaan sampah rumah tangga bertambah, dimana rata-rata pengetahuan warga yang bertambah mengenai pembuatan pupuk organik hasil limbah rumah tangga (pupuk) serta cara mendaur ulang sampah rumah tangga menjadi benda yang bernilai guna tinggi. Terlihat dari persentase yang ada dapat disimpulkan bahwa partisipasi warga dalam kegiatan sosialisasi dan pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga yang diadakan kelembagaan partisipatoris masih tergolong rendah. Dari jumlah responden yang mengikuti kegiatan sosialisasi dan pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga, hasilnya tidak seluruh responden menerapkan apa yang telah disosialisasikan oleh komunitas CRP dan komunitas Zero, hal ini terbukti dari jumlah responden yang mengikuti kegiatan sosialiasi pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga dimana tidak semua responden langsung menerapkan pengetahuan yang telah didapatnya dalam kehidupan sehari-hari. Sebelumnya terlebih dahulu diperlihatkan perilaku responden di dua kelurahan dalam mengelola sampah rumah tangga sebelum adanya kegiatan sosialiasi dan pelatihan yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung. Tabel 6.4 Pemilahan Sampah Rumah Tangga oleh Warga Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kelurahan Sebelum ada Sosialisasi/Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Ya, Melakukan Tidak Melakukan Pemilahan Sampah Pemilahan Sampah Rumah Tangga Rumah Tangga Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) Total Jumlah (Orang) Dago 2 6, , Lebak Siliwangi Persentase (%) Pada Tabel 6.4 terlihat responden penelitian di Kelurahan Dago yang melakukan pemilahan sampah sebelum adanya kelembagaan partisipatoris hanya berjumlah dua orang atau sebesar 6,67 persen, sedangkan untuk Kelurahan Lebak Siliwangi, responden yang melakukan pemilahan sampah rumah tangga yaitu sebanyak tiga orang atau sebesar sepuluh persen. Hal ini menunjukkan bahwa

133 112 masih rendahnya perilaku warga yang melakukan kegiatan pemilahan sampah rumah tangga yaitu dengan tidak memisahkan jenis sampah organik dengan sampah anorganik. Umumnya responden mengaku malas untuk melakukan pemilahan sampah karena tidak memiliki waktu luang yang cukup, selain itu warga seringkali menggunakan bahan baku plastik untuk menampung seluruh sampah rumah tangganya baik organik maupun non organik. Berbeda halnya dengan responden yang melakukan pemilahan sampah rumah tangga yang mengaku sudah dari dulu memilah sampah organik dan non organik karena dapat digunakan atau dijual kembali. Selanjutnya Tabel 6.5 memperlihatkan perilaku responden di dua kelurahan yang melakukan pemilahan sampah rumah tangga setelah adanya sosialiasi dan pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung. Tabel 6.5 Pemilahan Sampah Rumah Tangga oleh Warga Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kelurahan Setelah ada Sosialisasi/Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Ya, Melakukan Tidak Melakukan Pemilahan Sampah Pemilahan Sampah Rumah Tangga Rumah Tangga Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) Pada Tabel 6.5 setelah adanya sosialisasi dan pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga warga. Responden yang melakukan pemilahan sampah rumah tangga untuk Kelurahan Dago hanya bertambah satu orang saja atau sebesar 3,3 persen, sedangkan untuk Kelurahan Lebak Siliwangi responden yang melakukan pemilahan sampah rumah tangga lebih banyak dibandingkan dengan responden di Kelurahan Dago yaitu bertambah tiga orang atau sebesar sepuluh persen. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh (Opk, 55 tahun) warga Kelurahan Lebak Siliwangi yang telah mengikuti kegiatan pelatihan pengelolaan sampah namun belum sepenuhnya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Total Jumlah (Orang) Dago Lebak Siliwangi Persentase (%)

134 113 Iya, saya mengikuti pelatihan yang diadakan komunitas Zero, memang bagus pelatihannya, tetapi terkadang saya sendiri masih tetap menyatukan sampah basah dengan sampah kering, saya terkadang malas untuk memisahkannya (Opk, 55 thn). Bpk Opk mengaku bahwa di daerahnya memang sudah terdapat TPS yang mengklasifikasian sampah menurut jenisnya. Namun pada saat membuang sampah warga tetap membungkus dengan plastik dan membuangnya pada jenis TPS yang salah. Begitupun dengan jasa pengangkut sampah di Kelurahan Lebak Siliwangi dan Kelurahan Dago dimana petugas kebersihan belum dapat mengangkut sampah berdasarkan klasifikasi sampahnya yaitu organik dan non organik. Menurut beberapa responden pemilahan sampah berdasarkan jenis sampahnya tidak terlalu penting dan bukan suatu masalah yang besar bila tidak dilakukan. Perubahan sikap dan perilaku warga di dua lokasi dalam mendaur ulang sampah rumah tangganya, sebelum dan setelah adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung diperlihatkan pada Tabel 6.6. Tabel 6.6 Daur Ulang Sampah Rumah Tangga oleh Warga Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kelurahan Sebelum ada Sosialisasi/Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Ya, Melakukan Daur Tidak Melakukan Ulang Sampah Daur Ulang Sampah Rumah Tangga Rumah Tangga Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) Total Jumlah (Orang) Dago 1 3, , Lebak Siliwangi Persentase (%) Pada Tabel 6.6 perilaku mendaur ulang sampah rumah tangga sangatlah sedikit yaitu hanya sebanyak satu orang untuk Kelurahan Dago dan untuk Kelurahan Lebak Siliwangi tidak ada satupun warga yang melakukan daur ulang sampah rumah tangga. Beberapa responden mengaku, mereka tidak memiliki ilmu dan waktu yang cukup khususnya untuk melakukan kegiatan daur ulang sampah rumah tangga. Berdasarkan wawancara dengan beberapa pemangku kepentingan di Kelurahan Dago, kegiatan daur ulang sampah memang hampir tidak pernah ada, dimana lembaga-lembaga atau organisasi seperti PKK dan Karang Taruna

135 114 tidak pernah mengagendakan atau tidak pernah memiliki program pelatihan daur ulang sampah, khusunya daur ulang sampah rumah tangga. Wajar jika warga disini tidak ada yang melakukan kegiatan daur ulang sampah, organisasi PKK atau karang tarunanya saja tidak ada yang berinisiatif untuk melakukan kegiatan-kegiatan semacam daur ulang sampah rumah tangga. Jika dilihat dan dianalisis, untuk menyadarkan dan menggerakkan warga terlebih dahulu kita melihat apakah lembaga-lembaga sosial di daerah sini sudah berjalan sebagaimana mestinya? Jika tidak, sudah dapat dipastikan warganya pun tentu akan begitu (Rtr, 50 Thn). Selanjutnya disajikan Tabel 6.7 yaitu perilaku daur ulang sampah rumah tangga oleh warga di dua lokasi yang berbeda setelah adanya kegiatan sosialiasi dan pelatihan sampah rumah tangga oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung. Tabel 6.7 Kelurahan Daur Ulang Sampah Rumah Tangga oleh Warga Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Setelah ada Sosialisasi/Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Ya, Melakukan Daur Tidak Melakukan Ulang Sampah Daur Ulang Sampah Rumah Tangga Rumah Tangga Total Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Dago Lebak Siliwangi Persentase (%) Dari Tabel 6.7 responden Kelurahan Dago yang melakukan daur ulang sampah bertambah dua orang atau menjadi sebesar 6,67 persen, sedangkan untuk Kelurahan Lebak Siliwangi responden yang melakukan daur ulang sampah rumah tangga menjadi tiga orang atau sebesar sepuluh persen. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengubah perilaku warga tidaklah mudah dan diperlukan proses penyadaran dan pelatihan yang terus menerus. Berikut salah satu pernyataan responden Kelurahan Lebak Siliwangi yang telah melakukan daur ulang sampah rumah tangga. Sebenarnya karena pernah mengikuti pelatihan daur ulang sampah yang diadakan oleh komunitas dan mahasiswa saya mulai tertarik, selain itu

136 115 dikarenakan sering melihat tetangga yang suka mendaur ulang sampah hasil dari bersih-bersih sungai, saya mencoba untuk membuat karya yang serupa, lumayan hasilnya bagus dan banyak yang membelinya, salah satunya mahasiswa-mahasiswa yang membeli untuk dijadikan percontohan (Dde, 34 thn). Menurut komunitas CRP yang berada di Kelurahan Dago, anggota mereka memang belum ada yang memiliki kemampuan untuk mendaur ulang sampah rumah tangga menjadi nilai bernilai jual tinggi. Untuk di Kelurahan Dago, daur ulang sampah lebih didominasi daur ulang sampah organik untuk dijadikan kompos, sedangkan di Kelurahan Lebak Siliwangi bentuk daur ulang sampah warga yaitu dengan membuat berbagai jenis benda kreatif baik dari hasil limbah rumah tangga maupun limbah yang didapat dari hasil kali bersih di Sungai Cikapundung. Responden yang melakukan daur ulang sampah yang juga merupakan anggota komunitas Zero, mengaku banyak bekerjasama dengan para mahasiswa perguruan tinggi di Kota Bandung untuk melakukan kegiatan daur ulang sampah rumah tangga agar lebih banyak jenis produk-produk daur ulang sampah lainnya. Salah satu kegiatan lainnya yang menjadi prioritas bagi kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung adalah membuat septic tank komunal di beberapa RT dan RW agar pencemaran Sungai Cikapundung dapat diminimalisir dengan mengurangi pipa-pipa santasi yang umumnya dialirkan warga langsung ke Sungai Cikapundung. Jenis sanitasi yang digunakan warga di kedua lokasi penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 6.8 Jenis Sanitasi yang Digunakan oleh Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Sanitasi Menggunakan Tidak Menggunakan Total Kelurahan Septic Tank Septic Tank Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah (Orang) Persentase (%) Dago , Lebak Siliwangi Umumnya responden di dua kelurahan baik itu Kelurahan Dago maupun Kelurahan Lebak Siliwangi memiliki karakteristik yang sama, dimana sebesar

137 116 83,33 persen responden di Kelurahan Dago dan sebesar 100 persen responden di Kelurahan Lebak Siliwangi sama-sama tidak memiliki septic tank untuk membuang hasil sanitasinya. Responden di kedua lokasi penelitian mengaku bahwa mereka menggunakan Sungai Cikapundung untuk membuang hasil sanitasi lewat pipa-pipa yang langsung dialirkan ke sungai. Responden mengaku mengalirkan hasil sanitasi ke Sungai Cikapundung merupakan suatu hal yang sudah dianggap sangat wajar, karena sudah sejak dahulu dilakukan oleh hampir seluruh warga di daerahnya. Warga tidak terlalu memikirkan dan mempermasalahkan dampak apa yang ditimbulkan terhadap pembuangan hasil sanitasi tersebut. Sosialiasasi pembuatan septic tank komunal oleh kelembagaan partisipatoris senantiasa terus dilakukan yaitu dengan melakukan pendekatan kepada para pemangku kepentingan terlebih dahulu seperti RT dan RW. Berikut kesediaan warga untuk mensukseskan pelaksanaan pembuatan septic tank komunal. Tabel 6.9 Kesediaan Warga Membuat Septic Tank Setelah Adanya Sosialisasi, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kelurahan Menggunakan Septic Tank Total Bersedia Tidak Bersedia Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Orang) (%) (Orang) (%) (Orang) (%) Dago Lebak Siliwangi Pada Tabel 6.9 terlihat bahwa dari 30 orang responden di Kelurahan Dago hanya sebanyak 12 orang atau sebesar 40 persen responden yang bersedia untuk membuat dan menggunakan septic tank komunal, sementara 18 orang lainnya atau sebesar 60 persen responden menyatakan tidak bersedia atas pembuatan septic tank komunal di daerahnya. Untuk kelurahan Lebak Siliwangi hanya sebanyak sembilan orang responden yang bersedia atau sebesar 30 persen yang bersedia atas pembuatan septic tank komunal sementara 21 orang lainnya atau sebesar 70 persen menyatakan tidak bersedia jika tetap dipaksakan untuk membuat septic tank komunal di daerahnya. Dengan adanya program pembuatan septic tank komunal membuat pro-kontra di antara warga di RT 02/RW 01 Kelurahan Dago. Sebagaimana penuturan ketua RT 02/RW 01 yang mengaku warganya tidak setuju

138 117 dengan adanya pembuatan septic tank komunal. Hal ini dikarenakan septic tank tersebut dibangun di daerah yang terletak dekat dengan rumah beberapa warga. Warga ada yang pro dan kontra untuk masalah pembuatan septic tank komunal disini, warga yang kontra umumnya warga yang tidak setuju dengan adanya lubang septic tank di sekitar rumahnya, walaupun sebenarnya Bapak Lurah, RW dan komunitas CRP sudah sangat sering melakukan sosialisasi kepada warga bahwa lubang septic tank tersebut tidak akan berdampak terhadap lingkungan sekitar, namun begitu pun saya sendiri juga tidak terlalu setuju dengan adanya lubang septic tank di depan rumah saya (Rka, 30 thn, Ketua RT 02/RW 01, Kelurahan Dago). Untuk pembuatan septic tank komunal, tidak semua RW di Kelurahan Dago dijadikan daerah sasaran, dari 13 RW yang ada di Kelurahan Dago hanya ada beberapa RW saja yang akan dibuat septic tank komunal yaitu di RW 01, 03, 04, 12, dan RW 13. Untuk program septic tank komunal belum ada yang terealisasikan, sementara ini kita masih mencari lokasi yang tepat dan masih melobi untuk melakukan pembebasan lahan, karena lahan yang akan digunakan adalah milik orang. Insya Allah setelah bulan puasa ini program septic tank komunal akan mulai dilaksanakan. Kemarin baru hanya sosialisasi ke warga-warga saja agar mendukung pembuatan septic tank komunal ini (Mfd, 55 thn, Lurah Dago). Menurut staf ahli kelurahan yang juga merupakan ketua perkumpulan RW Lebak Siliwangi, permasalahan yang dihadapi dalam merealisasikan septic tank komunal di Kelurahan Lebak Siliwangi adalah ketersediaan lahan. Kelurahan Lebak Siliwangi merupakan pemukiman yang padat, untuk membuat satu septic tank komunal di satu RT saja sudah sangat sulit karena dibutuhkan lahan kosong. Sementara ketersediaan lahan kosong yang tidak ada pemiliknya sudah tidak ada di RT 03/ RW 08. Pembebasan lahan inilah yang menjadi kendala utama untuk pembuatan septic tank komunal, sedangkan untuk sarana dan prasarana pembuatan septic tank komunal sendiri sudah dibantu oleh PDAM dan Bank Dunia. Saat ini, perealisasian septic tank komunal baru dapat dilaksanakan di dua RW saja, dari delapan RW yang ada di Kelurahan Lebak Siliwangi, RW-RW tersebut antara lain RW 05 dan RW 07 saja, itupun tidak pada semua RT di RW tersebut, namun hanya di beberapa RT tertentu saja.

139 118 Untuk pembuatan lubang septic tank komunal kita harus memilih lokasi yang tepat sasaran, dimana lokasi tersebut harus berada pada lokasi yang dapat mengalir atau lubang harus berada pada daerah hilir, sedangkan di RT 03/RW 08 sendiri daerah hilirnya sudah tidak ada lagi lahan kosong (Ukh, 41 thn, Aparat Lebak Siliwangi). Untuk melakukan revitalisasi di Sungai Cikapundung, kelembagaan partisipatoris harus menyadarkan warganya di bantaran Sungai Cikapundung. Penyadaran tersebut terjadi bila upaya kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris dapat diterima oleh warga di bantaran sungai dengan baik. Berikut partisipasi dan tanggapan warga setempat di dua kelurahan yang berbeda terhadap kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung, sebagaimana dipaparkan pada gambar % 50% 40% 30% 60% 33.33% 40% 46.67% 20% 10% 13.33% 6.67% 0% Biasa Saja Baik Baik Sekali Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.10 Tanggapan dan Partisipasi Warga Terhadap Kegiatan Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.10 tanggapan dan partisipasi warga Kelurahan Dago terhadap setiap kegiatan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung yaitu sebesar 60 persen responden menjawab biasa saja, 33,33 persen menjawab kegiatan kelembagaan partisipatoris baik dan sebesar 6,67 persen responden menjawab baik sekali. Untuk responden di Kelurahan Lebak

140 119 Siliwangi sebesar 46,67 persen menyatakan adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris sungai di daerahnya dinilai warga baik sekali, kemudian sebesar 40 persen lainnya menyatakan baik dan 13,33 persen lainnya responden menyatakan biasa saja. Dari hasil persentase di atas terlihat bahwa Kelurahan Dago tidak terlalu terpengaruh dengan adanya kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung, berbeda halnya dengan warga di Kelurahan Lebak Siliwangi yang memandang adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris di daerahnya membawa manfaat yang sangat besar bagi lingkungan, khususnya sungai di daerahnya. Adanya perbedaan tanggapan antara responden di Kelurahan Dago dengan responden di Kelurahan Lebak Siliwangi lebih disebabkan karena kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan di Kelurahan Dago sudah sejak dahulu ada di daerah tersebut, sedangkan kegiatan lingkungan di Kelurahan Lebak Siliwangi baru kembali dimunculkan, langsung oleh ketua RW Kelurahan Lebak Siliwangi pada akhir tahun 2010, khususnya kegiatan lingkungan yang berhubungan dengan sungai. 6.3 Tingkat Keterlibatan Warga dalam Penghijauan Kegiatan lainnya yang telah dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung adalah penghijauan atau penanaman pohon. Untuk kegiatan penghijauan di Kelurahan Lebak Siliwangi, hal ini tidak terlalu sering dilakukan dikarenakan lahan kosong atau lahan kritis di RT 03/ RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong Bandung Barat, sudah sangat sedikit, serta rumah antar warga sangat berdekatan sehingga untuk menanam pohon atau sekedar menanam tanaman sudah sangat sulit, menurut responden di Kelurahan Lebak Siliwangi penghijauan atau penanaman pohon hanya beberapa kali saja dilakukan dalam satu tahun di daerahnya. Disini sekarang sudah sulit untuk menanam pohon, lahannya sudah tidak ada, sebagai gantinya warga di sini menanam tanaman atau pohon-pohon kecil di pot-pot, kemudian diletakkan di halaman depan rumah agar lingkungan tidak terlalu gersang (Ujg, 38 thn). Berbeda halnya dengan Kelurahan Dago dimana kegiatan penghijauan atau penanaman pohon memang sudah ada sejak dahulu kala, namun setelah

141 120 adanya komunitas CRP, kegiatan penghijauan semakin gencar dilaksanakan. Berikut pasrtisipasi masyarakat dalam kegiatan penghijauan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung di dua lokasi penelitian % 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 16.67% Mengikuti 30% 83.33% Tidak Mengikuti 70% Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.11 Keterlibatan Warga dalam Penghijauan oleh Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.11 responden yang mengikuti kegiatan penghijauan di Kelurahan Dago hanya sebesar 16,67 persen, sementara responden yang tidak mengikuti kegiatan penghijauan sangatlah tinggi yaitu sebesar 83,33 persen. Untuk responden di Kelurahan Lebak Siliwangi sebesar 30 persen mengatakan pernah mengikuti kegiatan penghijauan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris, sementara 70 persen lainnya mengatakan tidak pernah mengikuti kegiatan penghijauan tersebut. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa partisipasi warga dalam setiap kegiatan penghijauan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris masih sangat rendah. Namun hal ini dapat dijelaskan dengan alasan sebagai berikut. Sebenarnya setiap akan diadakan kegiatan penghijauan, kami selalu mensosialisasikannya kepada warga setempat, hal ini biasa kami lakukan dalam upaya penyadaran warga, namun yang terjadi adalah warga yang datang hanya segelintir. Walaupun begitu kegiatan penghijauan masih tetap dilaksanakan oleh warga asli Cikapundung yang merupakan anggota

142 121 komunitas, jadi, warga yang tidak tergabung dalam keanggotaan komunitas berdalih sudah banyak orang yang membantu kegiatan penghijauan tersebut sehingga tidak perlu datang (Arf, 46 thn, Anggota Komunitas CRP). Rata-rata responden yang mengikuti kegiatan penghijauan dikarenakan kesadaran akan ruang terbuka hijau saat ini yang sudah sangat memprihatinkan. Responden di kedua lokasi penelitian mengaku bahwa dalam setiap kegiatan penghijauan baik yang diadakan oleh komunitas CRP dan komunitas Zero senantiasa selalu mengajak warga untuk turut berperan serta dan melakukan aksi penghijauan langsung di tempat. Untuk Kelurahan Dago, rata-rata penghijauan yang dilakukan lima hingga sepuluh kali dalam satu tahun. Sementara untuk di Kelurahan Lebak Siliwangi frekuensi kegiatan penghijauan lebih rendah dibandingkan dengan di Kelurahan Dago dimana responden menjawab penghijauan yang dilakukan di daerahnya hanya sebanyak tiga hingga tujuh kali dalam satu tahun. Selanjutnya pada Gambar 6.12 memperlihatkan apakah kegiatan penghijauan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris dapat memicu kegiatan yang serupa di dua lokasi penelitian % 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 16.67% Memicu Kegiatan Penghijauan Kelurahan Dago (CRP) 76.67% 83.33% 23.33% Tidak Memicu Kegiatan Penghijauan Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.12 Pengaruh Kegiatan Kelembagaan Partisipatoris Terhadap Kegiatan Penghijauan di Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Jawa Barat, 2011

143 122 Pada Gambar 6.12 diperlihatkan bahwa kegiatan penghijauan yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris kurang memicu kegiatan serupa di Kelurahan Dago dimana responden yang menyatakan kegiatan penghijauan yang diadakan oleh komunitas CRP memicu kegiatan serupa di daerahnya hanya sebesar 16,67 persen. Berbeda halnya dengan Kelurahan Lebak Siliwangi dimana responden menjawab 76,67 persen kegiatan-kegiatan komunitas Zero memicu dan menginisiasi warga untuk melakukan kegiatan serupa di daerahnya. Berikut pernyataan responden dari kedua kelurahan yang berbeda. Memang lokasi kita dekat dengan sekret komunitas CRP dan juga setelah adanya komunitas CRP disini, kegiatan penghijauan semakin banyak, tapi tidak terlalu berpengaruh terhadap warga di sini, sama keadaanya seperti dahulu, biasa-biasa aj (Rka, 30 thn, Ketua RT 02/RW 01, Kelurahan Dago). Menurut salah seorang anggota komunitas CRP yang juga merupakan warga RT 02/RW 01, walaupun dengan adanya keberadaan komunitas CRP di lingkungannya berpengaruh terhadap kelestarian Sungai Cikapundung dan ruang terbuka hijau, namun partisipasi warga RT 02/RW 01 di hampir setiap kegiatan lingkungan yang diadakan oleh komunitas CRP sangat rendah. Selain solidaritas yang tidak begitu kuat, warga RT 02/RW 01 memang memiliki permasalahan dengan komunitas CRP terkait persoalan septic tank komunal. Kegiatan-kegitan komunitas CRP lebih banyak diminati dan digemari oleh anak remaja dibandingkan oleh orang dewasa di RT 02/ RW 01. Umumnya remaja-remaja tersebut merupakan remaja yang telah putus sekolah serta tidak memiliki pekerjaan apapun. Remaja-remaja tersebut sangat membantu anggota komunitas CRP dalam mengambil sampah-sampah dari sungai dan sebagai tenaga tambahan dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh komunitas. Berbeda dengan pernyataan salah seorang warga RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi dimana sudah mulai terlihat perubahan sikap dan perilaku warganya dalam kegiatan penghijauan. Sekarang setelah adanya komunitas Zero banyak perubahan yang terjadi, dahulu di RT 03 jarang sekali warga yang manaman tanaman di depan rumahnya, karena disini sudah tidak ada tanah atau halaman yang dapat ditanam, tetapi sekarang hal tersebut sudah disiasati dengan menggunakan pot-pot. coba saja lihat di sepanjang jalan RT 03 semua warga menanam pot

144 123 di depan rumahnya agar tidak lagi gersang (Hrd, 35 thn, Ketua RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong). Penanaman tumbuhan hijau dengan menggunakan pot tersebut merupakan instruksi langsung yang diberikan ketua RW 08 yang juga merupakan ketua komunitas Zero kepada seluruh warganya khususnya warga RT 03/RW 08. Selanjutnya berikut disajikan data mengenai partisipasi warga dalam setiap kegiatan penghijauan atau penanaman pohon di daerahnya yang dikategorikan menjadi empat kategori yaitu selalu melakukan kegiatan penghijauan di daerahnya, kadang-kadang saja mengikuti penghijauan, jarang mengikuti kegiatan penghijauan, dan terakhir tidak pernah mengikuti kegiatan penghijauan di daerahnya. 60% 50% 50% 56.67% 40% 30% 20% 13.33% 20% 30% 23.33% 10% 6.67% 0% Selalu Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.13 Partisipasi Warga dalam Kegiatan Penghijauan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Gambar 6.13 memperlihatkan bahwa partisipasi warga di kedua kelurahan dalam setiap kegiatan penghijauan dapat dikatakan tergolong rendah dimana sebanyak 56,67 persen warga Kelurahan Dago menjawab tidak pernah ikut kegiatan penghijauan atau penanaman pohon di daerahnya, sementara 30 persen lainnya menjawab jarang dan 13,33 persen lainnya menjawab kadang-kadang saja mengikuti kegiatan penghijauan. Untuk Kelurahan Lebak Siliwangi responden

145 124 yang menjawab tidak pernah mengikuti kegiatan penghijauan di daerahnya yaitu sebanyak 23,33 persen, menjawab jarang sebesar 50 persen, kadang-kadang sebesar 20 persen dan yang menjawab selalu sebesar 6,67 persen. Dapat disimpulkan bahwa partisipasi warga yang berlokasi sudah ke tengah Sungai Cikapundung lebih baik dalam kegiatan penghijauan dibandingkan dengan warga di Kelurahan Dago yang berada di daerah hulu dan masih memiliki banyak lahan kosong. Hal ini dikaitkan kembali dengan rasa solidaritas dan gotong royong diantara warga di setiap kelurahan. Umumnya warga di Kelurahan Lebak Siliwangi yang sudah memasuki kawasan tengah Sungai Cikapundung memiliki rasa solidaritas dan gotong royong yang lebih kuat dibandingkan dengan warga di Kelurahan Dago yang merupakan kawasan hulu Sungai Cikapundung, diakarenakan para elit politik seperti RT, RW, komunitas, karang taruna dan lain sebagainya saling bekerjasama dalam setiap permasalahan lingkungan yang muncul di daerahnya. Kegiatan pemeliharaan pepohonan atau tanaman hijau di kedua kelurahan dikategorikan menjadi dua kategori yaitu sangat baik dan kurang baik. Berikut disajikan kondisi kegiatan pemeliharaan pepohonan atau tanaman hijau di daerah warga di dua lokasi penelitian pada Gambar % 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Baik 30% 10% Kurang Baik 70% Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.14 Kegiatan Pemeliharaan Pepohonan/Tanaman Hijau di Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

146 125 Pada Gambar 6.14 kegiatan pemeliharaan pepohonan atau tanaman hijau di Kelurahan Dago lebih baik dibandingkan dengan kegiatan pemeliharaan pepohonan atau tanaman hijau di Kelurahan Lebak Siliwangi, dimana 90 persen responden menjawab baik dalam kegiatan pemeliharaan pepohonan atau tanaman hijau di daerahnya. Sementara di Kelurahan Lebak Siliwangi sebesar 70 persen responden menyatakan pemeliharaan pepohonan atau tanaman hijau di daerahnya kurang baik. Berbeda dengan warga RT 02/ RW 01 Kelurahan Dago yang tempat tinggal sebagian warganya berjarak dekat dengan area penanaman pohon dan tumbuhan hijau. Warga RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi tidak memiliki lahan tempat untuk menanam pohon, jika komunitas atau warga melakukan kegiatan penanaman bibit pohon maka itu kembali dilakukan di taman hutan kota Lebak Siliwangi, sehingga tempat pemeliharaan pepohonan atau tumbuhan hijau memiliki jarak yang cukup jauh dari pemukiman warga RT 03/ RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi. Selanjutnya, berikut kegiatan penanaman pohon atau tanaman hijau di pekarangan responden di dua lokasi penelitian setelah adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris % 70.00% 60.00% 73.33% 63.33% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 26.67% 36.67% 0.00% Menanam Kelurahan Dago (CRP) Tidak Menanam Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.15 Kegiatan Penanaman Pohon/Tanaman Hijau di Pekarangan Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

147 126 Pada Gambar 6.15 sebanyak 26,67 persen responden di Kelurahan Dago menjawab menanam pepohonan atau tanaman hijau di daerah pekarangan rumahnya, sisanya sebanyak 73,33 persen responden tidak memelihara atau menanam tanaman hijau di pekarangan rumahnya. Untuk kegiatan menanam pohon atau tanaman hijau di pekarangan rumah sebanyak 36,67 persen responden Kelurahan Lebak Siliwangi melakukan penanaman di pekarangan rumahnya dan sebanyak 63,33 persen responden tidak melakukan penanaman tanaman hijau atau pepohonan di pekarangan rumahnya. Rata-rata warga RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi yang menanam tumbuhan hijau di pekarangan rumahnya adalah warga yang rumahnya menghadap langsung ke jalan raya dan tidak berada di dalam gang-gang kecil, dimana responden yang tinggal di dalam gang kecil mengaku tidak memiliki lahan yang cukup bahkan hanya untuk menyimpan pot. Warga RT 02/RW 01 Kelurahan Dago secara kasat mata melihat memang jarang sekali ada yang menanam tumbuh-tumbuhan atau tanaman hias di pekarangannya. Selanjutnya, berikut diperlihatkan tanggapan mengenai kehadiran responden di dua lokasi penelitian dalam kegiatan penghijauan atau penananaman pohon % 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 13.33% 6.67% Penting Sekali Kelurahan Dago (CRP) 93.33% 86.67% Tidak Begitu Penting Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.16 Kehadiran Warga dalam Kegiatan Penghijauan/Penanaman Pohon di Daerahnya, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

148 127 Pada Gambar 6.16 responden Kelurahan Dago yang menyatakan bahwa kehadirannya dalam kegiatan penghijauan atau penanaman pohon penting sekali sebesar 6,67 persen, sedangkan untuk responden di Kelurahan Lebak Siliwangi sebesar 13,33 persen. Persentase di atas menunjukkan bahwa responden di dua kelurahan belum mengangggap kehadirannya penting dalam setiap kegiatan penghijauan di daerahnya. Responden mengaku, ada atau tidak ada dirinya dalam setiap kegiatan penghiijauan tidak akan mempengaruhi kegiatan penghijaun itu sendiri, para responden menganggap cukup anggota kelembagaan partisipatorislah yang wajib hadir dalam kegiatan penghijauan tersebut. Setiap kegiatan penghijauan, perencanaan penghijauan umumnya dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung terlebih dahulu yang masih merupakan warga asli Cikapundung. Responden yang mengikuti kegiatan sosialisasi penghijauan mengaku bahwa pengetahuannya bertambah antara lain mengenai jenis-jenis pohon yang biasa ditanam yang juga dapat dimanfaatkan secara langsung oleh warga, cara penanaman pohon yang baik dan benar, serta cara perawatan pohon yang telah ditanam agar tumbuh dan tidak cepat mati. 6.4 Tingkat Keterlibatan Warga dalam Kegiatan Gotong Royong Kegiatan gotong royong merupakan salah satu kegiatan yang begitu penting karena selain menjaga kebersihan lingkungan secara bersama-sama, kegiatan gotong royong pun dapat mempererat ikatan kekeluargaan diantara warganya. Hal inilah yang sedang dibangun kembali oleh kelembagaan partisipatoris sungai dimana mereka senantiasa mengajak warganya untuk selalu peduli dengan kebersihan lingkungan khususnya kelestarian Sungai Cikapundung. Kegiatan-kegiatan seperti bersih-bersih sungai pun kini selalu disisipkan oleh kelembagaan partisipatoris dalam setiap agenda gotong royong atau kebersihan lingkungan. Berikut pengaruh adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris terhadap kegiatan gotong royong di daerah warga.

149 % 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 6.67% Memicu Kegiatan Gotong Royong Kelurahan Dago (CRP) 100% 93.33% 0.00% Tidak Memicu Kegiatan Gotong Royong Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.17 Pengaruh Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Gambar 6.17 memperlihatkan dengan adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung dapat memicu kegiatan gotong royong khususnya di Kelurahan Lebak Siliwangi dimana sebesar 100 persen responden menjawab kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris telah memicu kegiatan gotong royong di daerahnya. Berbeda halnya dengan Kelurahan Dago yang berlokasi di hulu Sungai Cikapundung, dimana 93,33 persen responden menjawab adanya kelembagaan partisipatoris tidak mempengaruhi atau sama sekali tidak memicu adanya kegiatan gotong royong di daerahnya, hal ini dikarenakan ketua RT maupun RW serta komunitas CRP di Kelurahan Dago tidak mengagendakan kegiatan gotong royong secara rutin bersama warga setempat, dimana kegiatankegiatan lingkungan terutama terkait kelestarian Sungai Cikapundung hanya dilimpahkan kepada anggota komunitas CRP saja. Berbeda halnya dengan asas gotong royong di Kelurahan Lebak Siliwangi yang sebelumnya telah lama ada, setelah adanya komunitas Zero, kegiatan semacam gotong semakin gencar dilaksanakan atas inisiatif warga sendiri. Sebelumnya, di Kelurahan Lebak Siliwangi tidak ada semacam komunitas-komunitas pegiat lingkungan, namun setelah masuknya komunitas CRP ke daerah Lebak Siliwangi, kini sudah ada beberapa komunitas pegiat sungai di Kelurahan Lebak Siliwangi. Dari delapan

150 129 RW di Kelurahan Lebak Sliwangi kini telah ada lima komunitas pegiat Sungai Cikapundung dengan berbagai nama yang berbeda yang ditempatkan di beberapa RW. Berikut frekuensi kegiatan gotong royong di dua lokasi penelitian sebelum dan setelah adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung sebagaimana Gambar 6.18 di bawah ini: 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 20% 37% 83.33% Berkala Insidentil Rutin Berkala Insidentil Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris 63% 0% 100% 26.67% 73.33% 0% 0% Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.18 Kegiatan Gotong Royong di Daerah Warga Sebelum dan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Kegiatan gotong royong sebelum adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung di Kelurahan Dago umumnya dilakukan secara insidentil dimana responden menjawab sebesar 83,33 persen, sisanya sebesar 20 persen responden menjawab bahwa gotong royong di daerahnya dilakukan secara berkala. Untuk Kelurahan Lebak Siliwangi responden yang menjawab gotong royong di daerahnya dilakukan secara insidentil sebesar 63,33 persen dan yang menjawab berkala ada sebanyak 37 persen. Setelah adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris di Sungai Cikapundung terjadi perubahan frekuensi kegiatan gotong royong dimana dimana 100 persen responden di RT 03/ RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi menjawab bahwa kegiatan gotong royong di daerahnya dilakukan secara rutin yaitu seminggu sekali tepatnya dilaksanakan pada hari sabtu pagi.

151 130 Berbeda dengan Kelurahan Dago yang hampir tidak ada perubahan dari sebelum adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris, dimana sebanyak 73,33 persen responden menyatakan kegiatan gotong royong di daerahnya bersifat insidentil dan sebesar 26,67 persen menjawab gotong royong dilakukan secara berkala hanya menjelang hari-hari besar saja. Berikut pernyataan salah seorang anggota komunitas Zero di Kelurahan Lebak Siliwangi yang juga warga asli RT 03/RW 08. Dahulu kegiatan gotong royong di sini diadakan hanya jika menjelang hari-hari besar saja, seperti puasa, 17 agustus, atau hanya jika ada masalah lingkungan seperti saluran-saluran yang tersumbat oleh sampah-sampah yang datang dari hulu sungai dan sebagainya. Namun saat ini, kegiatan gotong royong setelah adanya komunitas Zero menjadi bervariasi dimana kegiatan bersih-bersih kali menjadi agenda utama, jadwal gotong royong disni pun rutin menjadi seminggu sekali yaitu pada hari sabtu atau minggu (Aan, 33 thn, Humas Zero). Partisipasi responden dalam setiap kegiatan gotong royong dikategorikan menjadi empat kategori yaitu selalu, kadang-kadang, jarang dan tidak pernah, berikut persentase warga yang mengikuti kegiatan gotong royong di daerahnya dipaparkan dalam Gambar % 56.67% 50% 40% 30% 20% 30% 23.33% 23.33% 40% 20% 10% 0% 6.67% Selalu Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah 0% Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.19 Partisipasi Warga dalam Kegiatan Gotong Royong, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

152 131 Pada Gambar 6.19 partisipasi responden dalam kegiatan gotong royong di dua lokasi penelitian tidaklah jauh berbeda dimana sebesar 30 persen responden di Kelurahan Dago menjawab selalu mengikuti kegiatan gotong royong di daerahnya, sementara 23,33 persen lainnya menjawab kadang-kadang saja mengikuti kegiatan gotong royong, 40 persen lainnya menjawab jarang mengikuti kegiatan gotong royong dan 6,67 persen responden menyatakan tidak pernah mengikuti kegiatan gotong royong di daerahnya. Untuk tingkat partisipasi di Kelurahan Lebak Siliwangi, responden yang menjawab selalu dalam setiap kegiatan gotong royong sebesar 23,33 persen, kadang-kadang sebesar 56,67 persen dan menjawab jarang sebesar 20 persen. Ketidakhadiran responden di dua lokasi penelitian memiliki berbagai macam alasan, namun pada umumnya dua alasan responden tidak mengikuti kegiatan gotong royong adalah karena disibukkan dengan pekerjaannya serta berbagai acara keluarga sehingga berbentrokan dengan waktu dilaksanakannya gotong royong dan juga karena masalah informasi dimana banyak warga yang tidak tahu bahwa akan diadakan kegiatan gotong royong di daerahnya. Berikut alasan responden yang mengikuti kegiatan gotong royong di daerahnya, adalah sebagai berikut: 80% 70% 73.33% 70% 60% 50% 40% 30% 30% 20% 20% 10% 0% 6.67% 0% Menjaga Kebersihan Lingkungan serta Menghindari Penyakit Agar Lingkungan Terlihat Bersih dan Indah Ikut-Ikutan Tetangga Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.20 Alasan Warga Mengikuti Kegiatan Gotong Royong, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

153 132 Pada Gambar 6.20 sebesar 70 persen responden di Kelurahan Dago menjawab bahwa mereka mengikuti kegiatan gotong royong adalah untuk menjaga kebersihan lingkungannya serta agar terhindar dari berbagai penyakit yang dapat ditimbulkan dari sampah yang tidak dibersihkan, sisanya sebesar 30 persen responden menjawab alasan mereka mengikuti kegiatan gotong royong adalah agar lingkungan terlihat bersih dan indah saja. Responden Kelurahan Lebak Siliwangi yang mengikuti kegiatan gotong royong dengan alasan untuk menjaga kebersihan lingkungan serta terhindar dari penyakit sebesar 73,33 persen, yang menjawab agar lingkungan terlihat bersih, nyaman dan indah ada sebesar 20 persen, dan yang hanya ikut-ikutan tetangga sebesar 6,67 persen. Salah satu pernyataan responden warga Kelurahan Lebak Siliwangi yang mengikuti kegiatan gotong royong dengan alasan mengikuti tetangganya adalah sebagai berikut. Saya mengikuti kegiatan gotong-royong jika teman-teman saya yang lainnya juga ikut, bila hanya saya sendiri saja yang ikut, saya tidak mau (Jun, 52 thn). Pada umumnya warga di dua kelurahan sudah sangat mengetahui manfaat dan pentingnya kegiatan gotong royong diadakan di daerahnya. Namun dalam kenyataannya masih saja terdapat warga yang tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan gotong-royong tersebut. Selanjutnya, dipaparkan bagaimana pandangan serta tanggapan responden terhadap kegiatan gotong royong di daerahnya.

154 133 70% 60% 70% 63.33% 50% 40% 30% 20% 30% 36.67% 10% 0% 0.00% Sangat Baik Baik Kurang Baik Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.21 Tanggapan Warga Terhadap Kegiatan Gotong Royong di Daerahnya, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Responden di Kelurahan Dago yang menyatakan kegiatan gotong royong di daerahnya baik ada sebesar 36,67 persen, dan yang menyatakan kurang baik sebesar 63,33 persen. Sementara di Kelurahan Lebak Siliwangi responden yang menyatakan kegiatan gotong royong di daerahnya sangat baik ada sebesar 30 persen, serta yang menyatakan baik sebesar 70 persen. Dari persentase di atas terlihat bahwa pandangan responden terhadap kegiatan gotong royong di daerahnya jauh lebih baik di Kelurahan Lebak Siliwangi dibandingkan dengan kegiatan gotong royong di Kelurahan Dago. Hal ini terjadi karena kegiatan gotong royong di Kelurahan Dago diadakan hanya pada saat-saat tertentu saja atau bersifat insidentil. Komunitas CRP dan komunitas Zero yang berada di dua lokasi penelitian selalu melakukan aksi bersih-bersih Sungai Cikapundung, hal ini diterapkan komunitas sebagai salah satu bentuk kegiatan gotong royong bersamasama dengan warga. Berikut partisipasi warga dalam kegiatan bersih-bersih sungai yang biasanya dilakukan secara rutin setiap hari oleh komunitas.

155 134 80% 73.33% 70% 60% 50% 43.33% 40% 30% 20% 10% 13.33% 7% 23.33% 20% 20% 0% Selalu Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.22 Partisipasi Warga dalam Kegiatan Bersih-Bersih Sungai, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Gambar 6.22 memperlihatkan bahwa sebesar tujuh persen responden di Kelurahan Dago menjawab kadang-kadang saja mengikuti kegiatan bersih-bersih, responden yang menjawab jarang sebesar 20 persen dan yang tidak pernah sama sekali mengikuti kegiatan bersih-bersih sungai yaitu 73,33 persen. Responden di Kelurahan Lebak Siliwangi yang selalu mengikuti kegiatan bersih-bersih sungai, sebesar 13,33 persen, 23,33 persen menjawab kadang-kadang saja mengikuti kegiatan bersih-bersih sungai, 20 persen lainnya menjawab jarang dan sebesar 43,33 persen mengaku tidak pernah mengikuti kegiatan bersih-bersih sungai di daerahnya. Persentase yang rendah di dua kelurahan ini terjadi karena kegiatan bersih-bersih sungai merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan hanya bagi anggota komunitas CRP dan komunitas Zero saja. Bagi warga biasa kegiatan bersih-bersih sungai bukan merupakan hal yang wajib diikuti dalam setiap kegiatan gotong royong serta pada umumnya kegiatan bersih-bersih atau susur sungai kebanyakan dilakukan oleh bapak-bapak dan para pemuda. Hal ini sebagaimana pernyataan humas komunitas Zero. Jadi sebenarnya, kegiatan susur sungai ini hanya diwajibkan kepada para anggota komunitas saja, biasanya anggota komunitas yang sudah beberapa kali

156 135 absen dari kegiatan susur sungai akan mendapat teguran atau sanksi, namun dalam kegiatan gotong royong kami selalu mengajak bapak-bapak dan para pemuda untuk turut serta dalam kegiatan ini. Memang warga disini masih merasa jijik untuk turun langsung ke sungai karena warna air sungainya yang coklat keruh, namun jika terus menerus dibiasakan maka lama-kelamaan warga akan ketagihan untuk ikut susur sungai lagi (Adr, 33 thn) Baik komunitas CRP dan komunitas Zero senantiasa mengajak warga khususnya para ibu-ibu agar turut serta berpartisipasi dalam kegiatan susur sungai. Biasanya para ibu-ibu rumah tangga yang tidak turun ke sungai menyiapkan makanan dan minuman untuk disuguhkan kepada para pemuda dan kepada bapak-bapak yang baru pulang dari kegiatan susur sungai. Selain perubahan perilaku pada warga yang tidak lagi membuang sampah ke Sungai Cikapundung, adanya kelembagaan partisipatoris membuat para warga RT 03/RW 08 menjadi lebih memperhatikan keberadaan dan keberfungsian Sungai Cikapundung, hal ini dikarenakan setiap selesai melakukan monitoring, bersihbersih ataupun hanya sekedar bermain di Sungai Cikapundung, banyak warga yang antusias melihat, atau sekedar menunggu kepulangan suami atau anak-anak mereka yang turut ikut turun ke Sungai Cikapundung. Sebagaimana penuturan Ketua RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong. Setiap Bapak RW bersama komunitas Zero pulang sore setelah melakukan monitoring Sungai Cikapundung dengan menggunakan boat atau ban, di sepanjang jembatan kuning ini, pasti warga RW 08 sudah banyak yang menunggu mulai dari ibu-ibu, nenek-nenek, bapak-bapak, anak muda hingga anak kecil semuanya bersorak. Hal ini termasuk salah satu bentuk penyadaran terhadap warga secara tidak langsung dan bentuk perhatian warga terhadap Sungai Cikapundung (Hrd, 35 tahun, Ketua RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong). Menurut penuturan Bpk Hrd adanya kelembagaan partisipatoris telah membawa kebiasaan baru yang positif bagi warga RW 08 khususnya warga RT 03 Kelurahan Lebak Siliwangi. Dahulu anak-anak sering meminta uang kepada orang tuanya untuk bermain game online di warung internet, namun kini mereka sudah jarang meminta uang lagi karena kini mereka sibuk bermain di Sungai Cikapundung. Hal ini sangat positif karena bila mereka sudah tumbuh besar nanti, merekalah yang menjadi penerus untuk mengurus dan memelihara Sungai

157 136 Cikapundung secara turun temurun agar tetap digiatkan (Hrd, 35 tahun, Ketua RT 03/RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong). Untuk mengetahui seberapa sering kegiatan bersih-bersih di Sungai Cikapundung, berikut disajikan frekuensi diadakannya bersih-bersih sungai menurut responden di dua lokasi penelitian % 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% 93.33% Selalu 66.67% 6.67% Kadang-Kadang 30% Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.23 Frekuensi Diadakannya Kegiatan Bersih-Bersih Sungai di Daerah Warga, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Pada Gambar 6.23 sebesar 93,33 persen responden Kelurahan Dago menyatakan selalu terdapat kegiatan bersih-bersih sungai di daerahnya, dan 6,67 persen lainnya mengatakan kadang-kadang saja kegiatan bersih-bersih sungai diadakan. Sementara di Kelurahan Lebak Siliwangi sebesar 66,67 persen responden mengatakan selalu ada kegiatan bersih-bersih sungai setiap hari dan setiap minggu di daerahnya, 30 persen responden lainnya mengatakan hanya kadang-kadang saja, dan sebesar tiga persen responden di Kelurahan Lebak Siliwangi menjawab jarang ada kegiatan bersih-bersih sungai di daerahnya. Walaupun responden di Kelurahan Dago pada umumnya menjawab selalu ada kegiatan bersih-bersih di sungai namun warganya sendiri jarang mengikuti kegiatan bersih-bersih sungai tersebut. Kegiatan bersih-bersih sungai di Kelurahan

158 137 Lebak Siliwangi yang selama ini dilakukan oleh komunitas Zero berubah menjadi kegiatan monitoring sungai. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh salah satu anggota komunitas Zero (Wwn, 40 thn). Pada masa awal terbentuknya komunitas Zero, kita memang benar-benar membersihkan Sungai Cikapundung, namun setelah warga disini sudah tidak membuang sampah lagi ke sungai dan di hulu pun sudah lumayan bersih. Kegiatan bersih-bersih sungai pun berubah menjadi kegiatan monitoring sungai untuk melihat dan memantau siapa saja warga atau industri yang masih membuang sampah atau limbahnya ke Sungai Cikapundung (Wwn, 40 thn). Setiap kegiatan gotong royong baik itu di Kelurahan Dago maupun Kelurahan Lebak Siliwangi, membutuhkan peralatan untuk digunakan warga dalam kegiatan gotong-royong ataupun bersih-bersih sungai, peralatan tersebut merupakan hasil swadaya warga. Penelitian ini juga mengukur tingkat partisipasi responden dalam kegiatan rapat-rapat, perbaikan dan pemeliharaan lingkungan di dua kelurahan setelah adanya kelembagaan partisipatoris, sebagaimana disajikan pada Gambar % 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 43% 43% 33.33% 27% 23.33% 16.67% 7% 6.67% Selalu Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.24 Partisipasi Warga dalam Rapat-Rapat Perbaikan dan Pemeliharaan Lingkungan Setelah Adanya Kelembagaan Partisipatoris Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011

159 138 Pada Gambar 6.24 terlihat responden di Kelurahan Dago yang selalu mengikuti kegiatan rapat-rapat perbaikan dan pemeliharaan lingkungan sebesar tujuh persen, yang menjawab kadang-kadang sebesar 16,67 persen, menjawab jarang sebesar 43 persen dan yang tidak pernah ikut kegiatan rapat-rapat perbaikan dan pemeliharaan lingkungan sebesar 33,33 persen. Responden Kelurahan Lebak Siliwangi yang mengikuti kegiatan rapat-rapat perbaikan dan pemeliharaan lingkungan jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan Kelurahan Dago yaitu sebesar 23,33 persen sementara yang menjawab kadang-kadang hanya sebesar 6,67 persen dan yang menjawab jarang sebesar 27 persen, terakhir responden yang tidak pernah mengikuti kegiatan rapat-rapat perbaikan dan pemeliharaan sungai ada sebesar 43 persen lebih tinggi daripada jumlah responden di Kelurahan Dago. Kegiatan rapat ini dilakukan bila terjadi permasalahan lingkungan di kedua daerah, terjadinya perbedaan partisipasi diantara kedua kelurahan disebabkan oleh para pemangku kepentingan serta lembaga yang berlaku di masyarakat. Bila dilihat ketua RT 03 dan RW 08 serta lembaga masyarakat yang berada di Kelurahan Lebak Siliwangi cenderung lebih solid dibandingkan dengan yang ada di RT 02/ RW 01 Kelurahan Dago. Dalam kegiatan gotong royong biasanya diperlukan sumberdaya yang dapat menunjang keberlangsungan perbaikan dan pemeliharaan lingkungan, sumberdaya tersebut bisa berbentuk tenaga, materi, serta pikiran. Selanjutnya disajikan bentuk sumbangan yang diberikan responden penelitian dalam kegiatan perbaikan dan pemeliharaan lingkungan di daerahnya.

160 139 40% 35% 30% 25% 33% 36.67% 40% 23.33% 27% 40% 20% 15% 10% 5% 0% Pemikiran, Tenaga, Materi Tenaga, Materi Uang Kelurahan Dago (CRP) Kelurahan Lebak Siliwangi (Zero) Gambar 6.25 Bentuk Sumbangan Warga dalam Kegiatan Perbaikan dan Pemeliharaan Lingkungan, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat, 2011 Umumnya sumbangan yang diberikan responden di Kelurahan Dago berupa pemikiran, uang/materi dan tenaga yaitu sebesar 33,33 persen, sumbangan uang dan tenaga sebesar 40 persen, serta responden yang hanya menyumbang uang/materi dan tenaga sebesar 27 persen. Untuk Kelurahan Lebak Siliwangi responden yang menyumbangkan pemikiran dan uang/materi serta tenaga sebanyak 36,67 persen jauh lebih besar dibandingkan dengan sumbangan responden Kelurahan Dago, sedangkan untuk responden yang menyumbangkan uang/materi dan tenaga ada sebesar 23,33 persen, terakhir responden yang hanya menyumbangkan uang/materi dalam kegiatan perbaikan dan pemeliharaan jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah responden di Kelurahan Dago yaitu sebesar 40 persen. Warga RT 03/ RW 08 mengaku setelah adanya kegiatan bersih-bersih setiap hari sabtu dan minggu maka semangat untuk bergotong royong lebih terasa, tidak seperti dahulu dimana kegiatan gotong-royong waktunya tidak menentu dan bersifat berkala ataupun insidental. Setelah adanya komunitas Zero banyak diadakan kegiatan-kegiatan yang memperkuat solidaritas antar warga, salah satunya pertandingan olahraga antar RT.

161 140 Dahulu jarang diadakan kegiatan-kegiatan informal di RT atau RW, namun setelah adanya komunitas Zero di sini, banyak kegiatan-kegiatan yang memperkuat solidaritas warga seperti pertandingan olahraga antar RT, gotong-royong sabtu-minggu, hal ini membuat daerah kamu lebih ramai dan semarak (Eti, 27 tahun). Dengan adanya komunitas-komunitas pegiat sungai di setiap RW nya khususnya RW di bantaran Sungai Cikapundung, maka hal ini dapat mengembangkan dan memperkuat komunitas atau lembaga-lembaga masyarakat yang telah ada sebelumnya. 6.5 Ikhtisar Adanya perbedaan partisipasi warga dalam kegiatan lingkungan di dua kelurahan yaitu Kelurahan Dago dan Kelurahan Lebak Siliwangi disebabkan karena perbedaan visi misi diantara komunitas pegiat Sungai Cikapundung di daerahnya masing-masing. Kegiatan-kegiatan komunitas CRP di Kelurahan Dago lebih memfokuskan pada kegiatan penyadaran warga di sepanjang bantaran Sungai Cikapundung dimana fokus utamanya mengatur, mengkoordinir dan menjalin kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan (42 komunitas pegiat Sungai Cikapundung, swasta, akademisi, pemerintah dan lain sebagainya) terkait kelestarian Sungai Cikapundung. Umumnya komunitas CRP memiliki berbagai agenda kegiatan lingkungan di luar Kelurahan Dago itu sendiri khususnya terkait Sungai Cikapundung yang cakupannya luas (tidak fokus hanya pada satu daerah/rw/rt saja). Berbeda halnya dengan komunitas Zero di Kelurahan Lebak Siliwangi yang memang dibentuk bersama-sama oleh warga RW 08 dan untuk warga RW 08 itu sendiri, dimana cakupan kerjanya lebih sempit dibandingkan dengan komunitas CRP serta solidaritas diantara warganya lebih erat karena memiliki rasa yang sama dalam menghadapi permasalahan lingkungan khususnya terkait kelestarian Sungai Cikapundung. Umumnya warga di Kelurahan Dago memiliki rasa solidaritas dan gotong-royong yang lebih rendah dibandingkan dengan warga di Kelurahan Lebak Siliwangi. Hal ini terjadi karena kebersamaan/solidaritas/gotong-royong hanya akan muncul ketika warga

162 141 memiliki satu permasalahan serupa sehingga memiliki visi yang sama untuk menyelesaikannya, begitupun dengan apa yang terjadi pada Kelurahan Lebak Siliwangi dimana permasalahan yang muncul adalah banyaknya sampah di bantaran Sungai Cikapundung. Sama halnya dengan studi kasus Sungai Cikapundung, penelitian Dharmawan et al (2005) mengidentifikasikan bahwa wilayah hilir adalah wilayah yang memiliki tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal yang tertinggi, sedangkan kelembagaan konservasi merupakan kelembagaan dengan tingkat keberlanjutan tertinggi di wilayah hulu dan tengah DAS Citanduy. Perubahan perilaku yang terjadi saat ini khususnya pada warga RT 03/ RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi merupakan hasil kerjasama yang baik dari seluruh pihak. Dengan adanya kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris dapat mendukung terealisasinya Cikapundung Bersih yang merupakan program yang dicanangkan pemerintah Kota Bandung, dimana komunitas bersama akademisi menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk turut mensukseskan program tersebut dengan menjadi motor penggerak bagi warga setempat. Dukungan, motivasi, serta sosialisasi program Cikapundung Bersih yang digencarkan secara bersama-sama oleh kelembagaan partisipatoris menjadi salah satu kunci keberhasilan untuk merevitalisasi Sungai Cikapundung.

163 Kesimpulan BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan terbentuknya kelembagaan partisipatoris di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) berawal dari terjalinnya kerjasama diantara masyarakat di bantaran Sungai Cikapundung yang memiliki visi misi menyelamatkan sungai dari kerusakan. Upaya penyelamatan Sungai Cikapundung di Kota Bandung pun didukung oleh kerjasama dari berbagai pemangku kepentingan yang ada mulai dari masyarakat, pemerintah Kota Bandung, swasta maupun akademisi. Kerjasama diantara pemangku kepentingan di Kota Bandung ini pun menampakkan hasil, dimana secara kasat mata dari tahun ke tahun kualitas air Sungai Cikapundung semakin baik (berkurangnya sampah). Efektivitas kelembagaan partisipatoris yang selama ini melakukan berbagai kegiatan penyelamatan Sub DAS Cikapundung terlihat dari telah berhasilnya kelembagaan partisipatoris dalam menyadarkan dan mengubah perilaku warga di beberapa bantaran sungai untuk tidak membuang sampah ke sungai lagi. Namun, untuk penyadaran dalam hal pengelolaan sampah dan penghijauan masih kurang berpengaruh terhadap perilaku warga, dimana partisipasi warga masih sangat rendah. Kelembagaan partisipatoris pun belum berhasil menyadarkan warga di dua kelurahan untuk membuat septic tank komunal karena terbentur banyaknya kendala seperti pembebasan lahan kosong serta masih banyaknya pro dan kontra diantara warga yang tidak setuju dengan adanya program septic tank komunal sekalipun sudah ada campur tangan Walikota, Lurah, RW, dan RT. Kelembagaan partisipatoris memiliki pengaruh yang berbeda terhadap warga di dua kelurahan dimana warga Kelurahan Dago yang pada umumnya berada di wilayah hulu Sungai Cikapundung pada kenyataannya memiliki partisipasi yang jauh lebih rendah di bidang lingkungan dibandingkan warga di tengah Sungai Cikapundung yaitu Siliwangi. Kelurahan Lebak Adanya batas wilayah kerja Kota dengan Kabupaten Bandung membuat upaya penyelamatan di hulu Sungai Cikapundung tidak menyeluruh, dimana semangat untuk merevitalisasi sungai hanya ada di Kota Bandung saja, hal ini dikarenakan di wilayah Kabupaten Bandung belum terdapat komunitas-komunitas

164 143 pegiat sungai seperti yang telah ada di Kota Bandung. Kelembagaan partisipatoris tidak berdaya menyadarkan serta mengubah perilaku para pengusaha yang memanfaatkan sungai untuk tidak lagi membuang hasil limbah mereka ke Sungai Cikapundung khususnya pengusaha di daerah Kabupaten Bandung Barat. 7.2 Saran Beberapa saran yang dapat diajukan dari hasil penelitian ini, anatara lain: 1. Diperlukan koordinasi dan kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan baik itu, pemerintah, masyarakat, swasta, serta pihak akademisi mulai dari hulu, tengah maupun hilir untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan Sungai Cikapundung. 2. Diperlukan ketegasan dari pemerintah daerah khususnya Kabupaten Bandung dengan mengeluarkan kebijakan dan sanksi untuk mengatasi para pihak yang memanfaatkan hulu Das Citarum, (Sub DAS Cikapundung) secara tidak bertanggung jawab khususnya pihak swasta dan pengusaha. 3. Diperlukan komunitas lingkungan di Kabupaten Bandung Barat yang khusus menangani permasalahan lingkungan (industri peternakan sapi). 4. Diperlukan kesadaran dari berbagai pihak bahwa Sungai Cikapundung dapat dijadikan tempat wisata yang dapat membangun kembali citra Sungai Cikapundung agar menjadi sungai kebanggaan di Kota Bandung. 5. Pemerintah setempat harus mengaplikasikan pembanguanan kota yang berwawasan kelestarian lingkungan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat 3 UU No. 32 Tahun 2009: tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 6. Sungai Cikapundung harus dipandang sebagai satu kesatuan ekosistem mulai dari hulu, tengah dan hilir serta pengelolaan yang mengacu pada pembangunan yang berkelanjutan dimana sungai tidak hanya dilihat dari sisi ekonomis saja namun juga dari sisi sosial dan ekologi sehingga dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.

165 Melihat lingkungan yang cukup asri dan potensi wisata maka untuk mengembangkan Sungai Cikapundung menjadi objek wisata diperlukan kerjasama dari dinas-dinas terkait terutrama dinas budaya pariwisata, pihak swasta maupun masyarakat yang nantinya menjadi pengelola utama Sungai Cikapundung. 8. Upaya penyelamatan DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung) tidak serta merta harus langsung pada arena kolaboratif sub DAS hulu-tengah-hilir, namun upaya kolaboratif sebaiknya terlebih dahulu dilakukan di masingmasing sub DAS (kolaborasi dalam sub DAS), hal ini dilakukan agar kolaboratif dilakukan secara holistik di setiap lini sub DAS tanpa terkecuali. Jikalau kolaborasi di masing-masing sub DAS sudah kuat, kini tinggal bagaimana menyatukan kepentingan antar sub DAS yang ada yaitu antara sub DAS hulu, tengah hingga hilir (kolaborasi antar sub DAS).

166 145 DAFTAR PUSTAKA Agusta, I Cara Mudah Menggunakan Metode Kualitatif pada Sosiologi Pedesaan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial IPB. Bogor. Arifin, B Pengelolaan Sumberdaya Alam Indonesia (Perspektif Ekonomi, Etika, dan Praksis Kebijakan). Jakarta: Erlangga. Arimbi Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan. Jakarta: Walhi. Atmanto Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Kota: Studi Kasus di Kelurahan Krobokan Kecamatan Semarang Barat, Kotamadya Semarang. Bogor: Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Barber, C.V, et al Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. [Dephut] dan IPB a. Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Ciliwung. Bogor: Kerjasama antara Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung Departemen Kehutanan dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. [Dephut] b. Pedoman Pembentukan Forum DAS. Jakarta: Direktorat Pengelolaa DAS dan Rehabilitasi Lahan. [Dephut] c. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. Jakarta: Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air. [Dephut] Peraturan Menteri Kehutanan No. P.26/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu. Jakarta: Departemen Kehutanan. [Dephut] Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Indonesia. Jakarta: Departmen Kehutanan Republik Indonesia. [Dephut] Peraturan Menteri Kehutanan No. P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Jakarta : Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Dharmawan, A. H. et al Pembaharuan Tata Pemerintahan Lingkungan (Menciptakan Ruang Kemitraan Negara-Masyarakat Sipil-Swasta). Bogor: Kerjasama Pusat Studi Pembanguanan (PSP) Institut Pertanian Bogor dengan Partnership For Governance Reform in Indonesia UNDP.

167 146 Djogo, T et al Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestry. Bogor: World Agroforesry Centre (ICRAF). Farida et al Penilaian Cepat Hidrologis: Pendekatan Terpadu dalam Menilai Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS). Bogor: Rewarding Upland Poor for Environmental Services (RUPES) Program World Agroforestry Centre (ICRAF). Hadi, H et al Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Sebuah Pendekatan Negosisasi. Yogyakarta: INSISTpress. Intania, O. I Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Bogor: Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian IPB. Kartodihardjo, H et al Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Bogor; Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Karyana, A Analisis Posisi dan Peran Lembaga Serta Pengembangan Kelembagaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Manik, K. E. S et al Kelembagaan Dalam Pengelolaan Daerah Sungai (DAS). Pekanbaru: Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unila dan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Unila (Konferensi dan Seminar BKPSL Indonesia). Means, K et al Kolaborasi dan Konflik. Sinergi: Jurnal Manajemen Kolaborasi Vol. I, No. 1, Hal Nasdian, F. T Perspektif Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS Citanduy (Study Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan Alam). Bogor: Project Working Paper. Institut Pertanian Bogor. Nugroho dan Dahuri Pembangunan Wilayah (Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan). Jakarta: LP3ES. Pasya, G et al Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Terpadu: Dari Konsep Hingga Praktek. Bogor: World Agroforestry Centre, Hal Purba, J Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Puslitbang Pengembangan dan Pembaharuan Data Kualitas Lingkungan Keairan. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Alam.

168 147 Raharja, S. J Pendekatan Kolaboratif Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bandung: Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran. Setiadi, D et al Penuntun Praktikum Ilmu Lingkungan. Bogor: Laboratorium Ekologi Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Suganda, E et al Pengelolaan Lingkungan dan Kondisi Masyarakat Pada Wilayah Hilir Sungai. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No 2, Hal Sugandhy, A Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Sugiyono Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Sumampouw, M et al. Tanpa Tahun. Satu Kelola Satu Rasa Satu Aksi Sejuta Manfaat (Sebuah Panduan Pengelolaan DAS Skala Kecil). Kerjasama BAPPENAS, USAID, ESP, Departemen Kehutanan. Suporahardjo Manajemen Kolaborasi. Bogor: LATIN Zulkarnain dan Dodo Pembangunan Berorientasi Kerakyatan, Sebuah Model Radiasi LSM. Yogyakarta: Makalah dalam Pembangunan Masyarakat Pedesaan UGM.

169 LAMPIRAN 148

170 149 Lampiran 1 Daftar Kepala Keluarga RT 02 /RW 01, Kelurahan Dago No. Nama No. Nama No. Nama 1 JMD 22 ARZ 43 JUH 2 AKR 23 AMN 44 TET 3 RZL 24 CEP 45 BOW 4 LKI 25 BDI 46 GEM 5 DIH 26 AKB 47 LIN 6 YNI 27 SAT 48 AEP 7 ASP 28 ARY 49 IRN 8 RTA 29 AUL 50 LUK 9 WWN 30 KKG 51 CIC 10 DIN 31 TTG 52 MIR 11 SIT 32 JMR 53 AYU 12 FHR 33 LOK 54 FAR 13 FAD 34 UNI 55 KIK 14 JKI 35 TUT 56 OPK 15 WEN 36 IRW 57 AIM 16 DIL 37 JJG 58 EKA 17 ISN 38 EDI 59 KEN 18 DEW 39 TMI 60 PEV 19 HUD 40 GER 61 ULF 20 ARS 41 VIN 62 SDR 21 ZUL 42 BHR 63 JAY Keterangan: = Responden

171 150 Lampiran 2 Daftar Kepala Keluarga RT 03 /RW 08, Kelurahan Lebak SIliwangi No. Nama No. Nama No. Nama 1 MFD 18 DED 35 ASP 2 TRY 19 END 36 SMD 3 NDM 20 ASP 37 DUG 4 EDG 21 YUD 38 MST 5 SGT 22 ADH 39 DDE 6 AWR 23 DAN 40 UNH 7 MIM 24 RBY 41 JUN 8 SHR 25 RUL 42 TET 9 AYD 26 MIN 43 SAF 10 YUY 27 DEN 44 SUG 11 WOW 28 IDA 45 SRI 12 ENT 29 ISM 46 DJA 13 RSD 30 MTH 47 NMH 14 UJG 31 RNA 48 UHI 15 MIL 32 JNA 49 BRN 16 SYR 33 PTJ 50 INL 17 SIT 34 AHD 51 HRD 52 WHY Keterangan: = Responden

172 151 Lampiran 3 Daftar Responden Kelurahan Dago (RT. 02/RW.01) Daftar Responden Kelurahan Lebak Siliwangi (RT. 03/RW.08) No. Nama Responden (Rumah Tangga) No. Nama Responden (Rumah Tangga) 1 LKI 16 EDI 1 TRY 16 RUL 2 YNI 17 TMI 2 EDG 17 DEN 3 DIN 18 GER 3 SGT 18 ISM 4 SIT 19 BHR 4 AWR 19 JNA 5 JKI 20 BOW 5 SHR 20 PTJ 6 DIL 21 GEM 6 AYD 21 AHD 7 DEW 22 AEP 7 WOW 22 ASP 8 HUD 23 LUK 8 RSD 23 DUG 9 ZUL 24 CIC 9 UJG 24 MST 10 ARZ 25 MIR 10 SIT 25 DDE 11 CEP 26 AYU 11 DED 26 JUN 12 ARY 27 KIK 12 END 27 SAF 13 AUL 28 OPK 13 YUD 28 SUG 14 LOK 29 EKA 14 ADH 29 SRI 15 JJG 30 ULF 15 DAN 30 NMH

173 152 Lampiran 4 Pedoman Pengumpulan Data Berdasarkan Topik, Sub Topik, Metode. dan Sumber Informasi Topik Subtopik Metode Sumber Informasi Gambaran umum Sungai Cikapundung (Sungai Cikapundung, kerusakan Sungai Cikapundung) Studi dokumen, observasi, dan wawancara Data monografi, informan (pemerintah, masyarakat, dan kelembagaan partisipatoris) Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran umum kelembagaan partisipatoris DAS (sejarah pembentukan kelembagaan partisipatoris DAS) Studi dokumen, observasi, dan wawancara Informan (kelembagaan partisipatoris) Gambaran umum Kelurahan Dago dan Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong (kondisi demografis, geografis, infrastuktur, perilaku warga, karakteristik responden) Studi dokumen, observasi, wawancara, dan kuisioner Data monografi, responden dan informan Keterlibatan Pemangku Kepentingan Dalam Kegiatan Penyelamatan Sungai Cikapundung Pemangku Kepentingan (kelembagaan partisipatoris, pemerintah, masyarakat, swasta, akademisi) Studi dokumen, observasi, wawancara, dan kuisioner Informan, Responden Efektivitas Kelembagaan Partisipatoris dalam Mengubah Sikap dan Perilaku Masyarakat Perubahan sikap dan perilaku warga Kelurahan Dago dan Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong Observasi wawancara, dan kuisioner Informan, dan responden

174 Lampiran 5 EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM (SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG) (Studi Kasus Komunitas Cikapundung Rehabilitation Program (CRP) dan Komunitas Zero, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat) KUESIONER ANALISIS TINGKAT INDIVIDU Saya, Siti Halimatusadiah mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Sehubungan dengan penelitian yang akan saya lakukan, saya meminta kesediaan Saudara untuk mengisi kuesioner dibawah ini dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya. Kerahasiaan jawaban Saudara akan dijamin dan tidak berkaitan dengan kepentingan lain kecuali untuk penelitian ini. TERIMA KASIH. No. Responden :... Hari/Tanggal pengisian :... Lokasi Wawancara :... Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor 2011

175 154 cliv A. DATA DIRI RESPONDEN Tandai jawaban pilihan Saudara dengan memberi tanda silang (X) 1. Nama Responden : 2. Jenis Kelamin : Laki-Laki Perempuan 3. Umur :.. tahun 4. Status : Menikah Belum Menikah 5. Jika menikah, banyak anggota keluarga : 6. Suku : 7. Agama : 8. Alamat : RT/RW : /. Kampung : 9. Pendidikan Terakhir : SD SMP SMA/Sederajat D1 D2 D3 S1 S2 ke atas 10. Apa bidang pekerjaan anda? Jawab (sertakan nama organisasi/lembaga tempat anda bekerja): Apakah anda mengetahui kelembagaan partisipatoris DAS Cikapundung? a. Ya b. Tidak 12. Sudah berapa lama anda mengetahui kelembagaan partisipatoris DAS tersebut? 13. Apakah Saudara atau anggota keluarga Anda ada yang tergabung dalam kelembagaan partisipatoris tersebut? a. Ya, ada b. Tidak ada Jika Ya, posisi Anda/keluarga Anda sebagai? a. Anggota b. Pengurus (sebutkan dalam bidang/divisi apa): B. ASPEK PENGETAHUAN B.1. PENGETAHUAN MENGENAI SAMPAH No. Pertanyaan Ya Tidak 1. Apa Anda mengetahui tentang sampah organik? 2. Jika tahu, sampah yang mana saja yang menjadi contoh sampah organik? a. Kulit buah, sisa sayuran, daun kering, ranting b. Kaleng susu, kaleng botol minuman, plastik c. Tidak tahu 3. Apa Anda mengetahui tentang sampah anorganik? 4. Jika tahu, sampah apa saja yang menjadi contoh sampah anorganik? a. Kaleng susu, kaleng botol minuman b. Kulit buah, sisa sayuran, daun kering, ranting, plastik c. Tidak tahu 5. Bagaimana sebaiknya tempat pembuangan untuk sampah organik dan sampah anorganik? a. Dipisahkan b. Disatukan c. Tidak tahu

176 clv Menurut Anda apa akibatnya jika pembuangan sampah dilakukan secara sembarangan? a. Dapat menimbulkan bau dan penyakit serta bencana alam b. Lingkungan menjadi kotor c. Tidak tahu 7. Menurut Anda, apakah tindakan membuang sampah ke sungai termasuk tindakan yang salah? Jika Tidak, alasannya: Menurut, Anda apakah tindakan membuang hasil sanitasi ke sungai merupakan tindakan yang salah? Jika Tidak, alasannya: 9. Menurut Anda, apakah masyarakat yang membuang sampah/limbah hasil sanitasi ke sungai perlu diberikan sanksi? Jika Tidak, alasannya: Menurut Anda, apakah sosialisasi pembuangan/pengelolaan sampah dan pemilahan sampah rumah tangga perlu diadakan di daerah Anda? Jika Ya, alasannya:. Jika Tidak, alasannya: Sebelum : sebelum adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris Setelah : setelah adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris No. Pertanyaan Sebelum Setelah 11.. (Kegiatan pengambilan/pengumpulan sampah di sungai) kondisi Sungai di daerah Anda? a. Sangat buruk b. Buruk c. Baik d. Sangat Baik Alasannya: B.2. PENGETAHUAN MENGENAI PENGHIJAUAN No. Pertanyaan Ya Tidak 1. Apakah Anda mengetahui fungsi dan manfaat dilakukannya penghijauan dan penanaman pohon? a. Penghijauan dilakukan untuk resapan air, ruang terbuka hijau, mencegah banjir dan juga longsor b. Agar lingkungan sekitar terlihat indah dan segar c. Tidak tahu 2. Apa akibatnya jika di sekitar daerah Anda tidak ditanami pepohonan? a. Gersang, panas, banyak debu, daerah resapan air berkurang, dan menyebabkan bencana banjir b. Gersang, banyak debu dan panas c. Tidak kenapa-kenapa 3. Apakah di daerah Anda terdapat program penghijauan? Jika Ya, berapa bulan sekali penghijauan tersebut dilakukan, sejak kapan program tersebut mulai dicanangkan/dibuat? Jelaskan: Menurut Anda, hingga saat ini apakah masih perlu penghijauan di daerah Anda?

177 clvi 156 Alasannya: Menurut Anda, apakah penghijauan yang dilakukan penting untuk dilakukan di daerah Anda? a. Kurang Penting b. Cukup Penting c. Sangat Penting Alasannya:... Sebelum : sebelum adanya kegiatan kelembagaan partisipatoris Setelah : setelah adanya kegiatan yang kelembagaan partisipatoris No. Pertanyaan Sebelum Setelah 6. Bagaimana kondisi lahan kritis di daerah Anda? a. Sangat banyak b. Banyak Alasannya: Bagaimana kondisi lahan kritis di daerah Anda? a. Sangat berkurang b. Banyak berkurang Alasannya: Bagaimana kondisi penghijauan di daerah Anda? a. Sangat banyak b. Banyak c. Tidak banyak d. Sedikit Alasannya: Bagaimana kondisi resapan air di daerah Anda? a. Baik b. Buruk Alasannya:... B. 3. PENGETAHUAN GOTONG ROYONG No. Pertanyaan Ya Tidak 1. Apakah di daerah Anda memerlukan kegiatan semacam gotong royong? a. Sangat perlu b. Perlu Jika Tidak Perlu, alasannya: Menurut Anda, untuk apa diadakan kegiatan gotong royong? a. Agar lingkungan bersih dan sehat, tidak menimbulkan penyakit dan menjaga solidaritas diantara warga b. Agar lingkungan bersih dan sehat c. Karena kewajiban yang harus dilaksanakan di daerah Saya 3. Apakah di daerah Anda terdapat kegiatan gotong royong? (seperti: drainase, jalan lingkungan, tempat/bak sampah, sungai dsb) Tidak, alasannya: Jika ada, Apakah kegiatan gotong-royong disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat di daerah Anda? Jika Tidak, alasannya? Pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam kegiatan gotong royong di daerah Anda:..

178 clvii 157 C. TINGKAT MEMBUANG DAN MENGELOLA SAMPAH/LIMBAH Sebelum : sebelum adanya kegiatan oleh kelembagaan partisipatoris Setelah : setelah adanya kegiatan oleh kelembagaan partisipatoris No. Pertanyaan Sebelum Setelah (Pengambilan/pengumpulan sampah di sungai oleh 1.a kelembagaan partisipatoris) kemana Anda biasa membuang sampah rumah tangga? a. Tempat Pembuangan Sampah (TPS) b. Dikumpulkan lalu dikubur c. Dikumpulkan lalu dibakar d. Dibuang ke sungai Jika jawabannya c dan d, alasannya:... 1.b (Pengambilan/pengumpulan sampah di sungai oleh kelembagaan partisipatoris) kemana masyarakat daerah Anda membuang sampah rumah tangga? a. Tempat Pembuangan Sampah (TPS) b. Dikumpulkan lalu dikubur c. Dikumpulkan lalu dibakar d. Dibuang ke sungai Jika jawabannya c dan d, alasannya: Apakah kelembagaan partisipatoris pernah melakukan sosialisasi/pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga di daerah Anda? a. Ya b. Tidak Jika Ya, dalam bentuk apa sosialisasi/ pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga tersebut?:. 3. Apakah Anda mengikuti kegiatan sosialisasi/pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga tersebut? a. Ya, Ikut b. Tidak Ikut Jika Tidak (tidak usah dilanjutkan ke pertanyaan berikutnya), alasannya?:... 4.a Jika Ya, apakah setelah mengikuti sosialisasi/pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga, pengetahuan Anda mengenai pengelolaan sampah bertambah? a. Ya b. Tidak Jika Ya, sebutkan pengetahuan apa saja yang telah didapat:... Jika Tidak, alasannya: b Menurut Anda, apakah setelah mengikuti sosialisasi/pelatihan pengelolaan sampah rumah tangga, pengetahuan masyarakat di daerah Anda mengenai pengelolaan sampah bertambah? a. Ya b. Tidak Jika Ya, sebutkan pengetahuan apa saja yang menurut Anda bertambah:.... Jika Tidak, alasannya: (Setelah adanya sosialisasi/pelatihan pengelolaan sampah oleh kelembagaan partisipatoris, apakah Anda melakukan pemilahan sampah rumah tangga? a. Ya b. Tidak Jika Tidak, alasannya:......

179 clviii (Sosialisasi/pelatihan pengelolaan sampah oleh kelembagaan partisipatoris) apakah Anda melakukan daur ulang sampah rumah tangga? a. Ya b. Tidak Jika Tidak, alasannya: a Apakah untuk sanitasi di rumah Anda menggunakan septic tank? a. Ya b. Tidak Jika Ya, sudah berapa lama Anda menggunakan septic tank?: Jika Tidak, kemana Anda biasa membuang/mengalirkan hasil sanitasi tersebut? alasannya: b Apakah masyarakat di daerah Anda menggunakan septic tank untuk sanitasi? a. Ya b. Tidak Jika Tidak, kemana biasanya sanitasi tersebut dialirkan/dibuang? : 8. Setelah adanya sosialisasi pengelolaan sampah/limbah oleh kelembagaan partisipatoris, apakah Anda tetap mengalirkan/membuang sanitasi tersebut ke sungai di daerah Anda? a. Ya b. Tidak Jika Ya, alasannya: Jika Ya, apakah Anda berencana untuk membuat septic tank untuk sanitasi rumah tangga Anda? a. Ya b. Tidak Jika Tidak, alasannya: Jika ada pelatihan pengelolaan sampah, apakah Anda bersedia untuk mengikutinya? a. Bersedia b. Tidak Bersedia Jika Tidak Bersedia, alasannya: Bagaimana tanggapan dan partisipasi masyarakat di daerah Anda mengenai kegiatan-kegiatan pengambilan sampah di sungai yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris? a. Baik sekali b. Baik c. Biasa saja d. Buruk e. Buruk Sekali Alasannya:... D. TINGKAT KETERLIBATAN WARGA DALAM PENGHIJAUAN/PENANAMAN POHON No. Pertanyaan Ya Tidak 1. Apakah di daerah Anda, kelembagaan partisipatoris pernah melakukan kegiatan penghijauan? Jika Ya, berapa kali kelembagaan partisipatoris melakukan penghijauan/reboisasi di daerah Anda, kapan terakhir kelembagaan partisipatoris mengadakan kegiatan penghijauan? Jelaskan: 2. Apakah Anda mengikuti kegiatan penghijauan/reboisasi yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris tersebut? Jika Tidak, alasannya:.. 3. Jika ikut, atas dasar apa Anda mengikuti kegiatan penghijauan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris? a. Saya prihatin dengan semakin banyaknya ruang hijau yang semakin berkurang, serta untuk mencegah bencana banjir dan

180 159 clix longsor b. Agar Lingkungan segar karena banyaknya oksigen c. Saya terpaksa ikut d. Saya ikut-ikutan masyarakat di daerah Saya karena ada insentifnya 4. Apakah masyarakat di daerah Anda, turut terlibat dalam kegiatan penghijauan yang diadakan oleh kelembagaan partisipatoris? Jika Tidak, alasannya: 5. Apakah dengan adanya kegiatan penghijauan yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris, memicu kegiatan-kegiatan serupa di daerah Anda? Jika Ya, alasannya? Kapan terakhir penghijauan dilakukan di daerah Anda?:... Jika Tidak, alasannya: 6. Apakah Anda mengikuti kegiatan-kegiatan penghijauan di daerah Anda tersebut? a. Selalu b. Kadang-kadang c. Jarang d. Tidak pernah Alasannya: Jika jawaban d (tidak usah dilanjutkan ke pertanyaan selanjutnya) 7. Berapa kali dalam satu tahun kegiatan penghijauan dilaksanakan di daerah Anda? a. 10 kali b. 5 kali c. >3 kali d. < 3 kali Jelaskan: 8. Bagaimana kegiatan pemeliharaan pepohonan atau tanaman hijau di daerah Anda? a. Sangat baik b. Baik c. Kurang baik Siapa yang biasa merawat pepohonan/tanaman hijau di daerah Anda? Jelaskan: 9. Apakah sekarang Anda menanam pepohonan atau tumbuhtumbuhan di pekarangan rumah? Jika Tidak, alasannya: 10. Menurut Anda, apakah kehadiran Anda cukup penting dalam setiap pelaksanaan penghijauan yang diadakan di daerah Anda? a. Ya, penting sekali b. Biasa saja c. Tidak begitu penting Bentuk partisipasi apa yang Anda berikan dalam penghijauan di daerah Anda (Biaya, Ide, Tenaga, Makanan)? Jelaskan: 11.a Apakah setelah mengikuti kegiatan penghijauan/reboisasi, pengetahuan Anda bertambah mengenai penghijauan? Jika Ya, pengetahuan mengenai apa saja yang bertambah: Jika Tidak, alasannya:.. 11.b Apakah setelah mengikuti kegiatan penghijauan/reboisasi, pengetahuan masyarakat bertambah mengenai penghijauan? Jika Ya, pengetahuan mengenai apa saja yang bertambah: Jika Tidak, alasannya:...

181 160 clx E. TINGKAT KETERLIBATAN WARGA DALAM GOTONG ROYONG 1. Apakah kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris di daerah Anda memicu kegiatan gotong royong di daerah Anda? a. Ya, memicu b. Tidak memicu Jika Tidak, alasannya: 2. Sebelum adanya kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris di daerah Anda berapa kali gotong-royong tersebut diadakan di daerah Anda? a. Rutin (setiap minggu/ bulan) b. Berkala (setiap tiga bulan/ enam bulan/ satu tahun) c. Insidentil (sewaktu-waktu jika diperlukan) Alasannya:. 3. Setelah adanya kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris di daerah Anda berapa kali gotong-royong diadakan di daerah Anda? a. Rutin (setiap minggu/ bulan) b. Berkala (setiap tiga bulan/ enam bulan/ satu tahun) c. Insidentil (sewaktu-waktu jika diperlukan) 4. Apakah Anda berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan gotong royong di daerah Anda? a. Selalu b. Kadang-kadang c. Jarang d. Tidak pernah Alasannya: 5. Atas dasar apa Anda mengikuti kegiatan gotong-royong di daerah Anda? a. Untuk menjaga kebersihan lingkungan di daerah Saya, serta untuk menghindari berbagai penyakit yang ditimbulkan. b. Agar lingkungan di daerah saya terlihat berish, indah dan nyaman c. Karena ikut-ikutan tetangga d. Terpaksa mengikutinya Jika d, alasannya?: 6. Bagaimana pertisipasi masyarakat di daerah Anda dalam kegiatan gotong royong? a. Sangat baik b. Baik c. Kurang baik d. Buruk Jika jawaban c dan d, alasannya:. 7. Apakah dalam kegiatan gotong-royong tersebut terdapat kegiatan bersih-bersih sungai? a. Ya b. Tidak Jika Tidak, alasannya: Apakah Anda mengikuti kegiatan bersih-bersih sungai tersebut? a. Selalu b. Kadang-kadang c. Jarang d. Tidak pernah Jika Tidak, alasannya: 9. Seberapa sering kegiatan bersih-bersih sungai tersebut diadakan? a. Selalu b. Kadang-kadang c. Jarang d. Tidak pernah Alasannya: 10. Darimana peralatan untuk kegiatan gotong-royong? a. Swadaya masayarakat b. Disediakan RT/RW c. Diberikan secara cuma-cuma dari pihak lain 11. Seberapa besar tingkat kehadiran anda dalam rapat-rapat mengenai perbaikan dan pemeliharaan lingkungan di daerah Anda? a. Selalu b. Kadang-kadang c. Jarang d. Tidak pernah Alasannya:

182 161 clxi 12. Bentuk sumbangan apa yang telah Anda berikan dalam kegiatan perbaikan dan pemeliharaan lingkungan (gotong-royong) di daerah Anda? a. Sumbangan pemikiran, uang/materi, dan tenaga b. Sumbangan uang/materi dan tenaga c. Sumbangan tenaga d. Uang saja Alasannya: Terima Kasih Atas Partisipasi Saudara

183 162 clxii Lampiran 6 PANDUAN PERTANYAAN A. DATA DIRI INFORMAN 1. Nama lengkap : 2. Jenis Kelamin : 3. Alamat : 4. Pekerjaan : 5. Asal Daerah : 6. Lama Tinggal : 7. Nama Organisasi Tempat Bekerja : 8. Lokasi Bekerja : 9. Hari/Tanggal : 10. Waktu : 11. Lama tergabung dalam CRP : B. PERTANYAAN PENELITIAN (KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS) 1. Bagaimana awal terbentuknya kelembagaan partisipatoris di hulu DAS Citarum (Sub DAS Cikapundung)? 2. Sudah berapa lama kelembagaan partisipatoris berdiri? 3. Apa saja kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris dalam melakukan upaya penyelamatan Sungai Cikapundung? (Rincikan)! 4. Apakah kelembagaan partisipatoris mensosialisasikan program/kegiatan-kegiatan kepada masyarakat di sekitar Sungai Cikapundung? Bagaimana cara mensosialisasikannya? 5. Siapa saja yang menjadi anggota kelembagaan partisipatoris? Bagaimana cara perekrutannya? 6. Berapa jumlah anggota kelembagaan partisipatoris saat ini? 7. Apa yang mendorong kelembagaan partisipatoris untuk melakukan kegiatankegiatan penyelamatan Sungai Cikapundung? 8. Bagaimana sistem koordinasi diantara anggota kelembagaan partisipatoris mulai dari hulu hingga hilir Sungai Cikapundung?Apa kendalanya? 9. Bagaimana kelembagaan partisipatoris mengembangkan kelembagaannya hingga saat ini? 10. Apakah kelembagaan partisipatoris telah melibatkan pemangku kepentingan mulai dari hulu, tengah hingga hilir Sungai Cikapundung sebagai anggotanya? 11. Siapa saja pemangku kepentingan yang dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris? 12. Sejauh mana pemangku kepentingan tersebut ikut dilibatkan dalam kegiatankegiatan kelembagaan partisipatoris? 13. Bagaimana hubungan diantara pemangku kepentingan dengan anggota kelembagaan partisipatoris? 14. Siapa pihak yang paling berkepentingan dalam merusak sumberdaya alam (Sungai Cikapundung)? 15. Pihak-pihak mana saja yang memiliki kewenangan dalam mengatasi permasalahan di Sungai Cikapundung? 16. Pihak-pihak mana saja yang harus bertanggung jawab atas kerusakan Sungai Cikapundung?

184 clxiii Apakah posisi kelembagaan partisipatoris sudah setara dengan pemangku kepentingan lainnya dalam mengelola Sungai Citarum? 18. Bagaimana sistem koordinasi kelembagaan partisipatoris yang terjalin selama ini dengan pemangku kepentingan di Sungai Cikapundung? Apa kendalanya? 19. Bagaimana cara kelembagaan partisipatoris mengembangkan jejaring dengan pemangku kepentingan? 20. Bagaimana cara kelembagaan partisipatoris menghubungi pemangku kepentingan tersebut? 21. Kendala apa yang dihadapi kelembagaan partisipatoris untuk menjalankan kegiatan-kegiatannya/program-programnya? 22. Dari semua kendala yang ada, kendala apa yang paling berat untuk diselesaikan oleh kelembagaan partisipatoris? Bagaimana cara mengatasinya? 23. Apakah pemangku kepentingan yang terlibat dalam mengelola DAS sudah melaksanakan kewajibannya untuk melestarikan Sungai Cikapundung? 24. Apakah kelembagaan partisipatoris pernah mendapatkan insentif/bantuan dari pemangku kepentingan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan penyelamatan Sungai Cikapundung? Diberikan dari siapa saja bantuan tersebut (pihak-pihak mana saja)? 25. Siapa saja pihak-pihak yang dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, hingga evaluasi kegiatan kelembagaan partisipatoris? 26. Apakah kelembagaan partisipatoris pernah menyelesaikan konflik di Sungai Cikapundung? Berapa banyak jumlah konflik yang diselesaikan dan dalam jangka waktu berapa lama konflik tersebut dapat diselesaikan? 27. Apakah terdapat aturan-aturan yang disepakati bersama oleh anggota kelembagaan partisipatoris? Apa saja aturannya? Jika aturan tersebut dilanggar apakah anggota kelembagaan partisipatoris mendapat sanksi? 28. Darimana saja anggaran dana kelembagaan partisipatoris didapatkan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan penyelamatan Sungai Cikapundung? 29. Bagaimana cara atau upaya apa yang dilakukan kelembagaan partisipatoris untuk mendapatkan anggaran dana tersebut? 30. Apakah kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini mendukung terlaksananya upaya penyelamatan Sungai Cikapundung oleh kelembagaan partisipatoris? 31. Hal apa yang perlu diperbaiki dalam kelembagaan partisipatoris? 32. Apakah upaya-upaya yang dilakukan untuk memperkuat/mengembangkan kelembagaan partisipatoris? 33. Bagaimana kondisi Sungai Cikapundung sebelum adanya kelembagaan partisipatoris? 34. Bagaimana kondisi Sungai Cikapundung setelah adanya kelembagaan partisipatoris? 35. Apakah di Sungai Cikapundung terjadi penurunan resapan air dan peningkatan lahan kritis? 36. Menurut anda, apakah kelembagaan partisipatoris telah banyak memberikan manfaat bagi Sungai Cikapundung? Jika kelembagaan partisipatoris memberi manfaat, manfaat apa saja yang telah dirasakan, dan siapa saja pihak-pihak yang merasakan manfaat tersebut? 37. Bagaimana tanggapan masyarakat di Sungai Cikapundung terhadap kegiatankegiatan kelembagaan partisipatoris selama ini? 38. Apakah Saudara mempunyai saran-saran untuk perbaikan Sungai Cikapundung ke depan? 39. Apa harapan anda terhadap kelembagaan partisipatoris dan Sungai Cikapundung ke depannya?

185 clxiv 164 C. DATA DIRI INFORMAN (SWASTA) 1. Nama lengkap : 2. Jenis Kelamin : 3. Alamat : 4. Asal Daerah : 5. Lama Tinggal : 6. Pekerjaan : 7. Nama Perusahaan Tempat Bekerja : 8. Jabatan dalam Perusahaan : 9. Lama Bekerja dalam Perusahaan : 10. Lokasi Bekerja : 11. Hari/Tanggal : 12. Waktu : D. PERTANYAAN PENELITIAN (SWASTA) 1. Apa jenis usaha Saudara? 2. Sudah berapa lama usaha/perusahaan Saudara berdiri? 3. Berapa banyak pekerja/karyawan/masyarakat yang bekerja di perusahaan Saudara? 4. Apakah anda membuka cabang di tempat lainnya? Dimana lokasinya? 5. Apakah perusahaan Saudara menghasilkan limbah/sampah? 6. Jenis limbah/sampah apa yang anda hasilkan dari usaha Saudara (organik/anorganik)? 7. Dalam sehari/seminggu berapa banyak limbah yang perusahaan Saudara keluarkan? 8. Kemana perusahaan Saudara mengalirkan atau membuang limbah/sampah tersebut? 9. Mengapa Saudara, mengalirkan atau membuang limbah/sampah perusahaan anda ke Sungai? 10. Menurut Saudara, apakah limbah tersebut berbahaya bagi masyarakat? Apakah ada efeknya bagi masyarakat? 11. Apakah perusahaan Saudara pernah didatangi massa karena limbah yang perusahaan Saudara keluarkan? 12. Tindakan apa yang Saudara lakukan untuk menangani limbah perusahaan Saudara, agar tidak mencemari lingkungan? Solusinya? 13. Menurut Saudara, bagaimana kondisi Sungai Cikapundung saat ini? Apakah terjadi pencemaran? 14. Apakah Saudara tahu mengenai kebijakan pemerintah Cikapundung Bersih? Tanggapan Saudara? 15. Apakah Saudara tahu yang menyebabkan kerusakan Sungai Cikapundung saat ini? Jelaskan! 16. Apakah rencana Saudara selanjutnya untuk perbaikan pengelolaan Sungai Cikapundung? 17. Apakah Saudara mengenal/mengetahui kelembagaan partisipatoris? 18. Apakah Saudara mengetahui kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris? Sebutkan kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris yang Saudara ketahui! 19. Apakah kegiatan-kegiatan yang dilakukan kelembagaan partisipatoris bermanfaat bagi Sungai Cikapundung? Apa saja manfaatnya?

186 clxv Kegiatan apa yang paling Saudara sukai dari kelembagaan partisipatoris? Apakah Saudara pernah mengikuti salah satu kegiatan kelembagaan partisipatoris? 21. Bagaimana tanggapan Saudara terhadap kegiatan-kegiatan penyelamatan Sungai Cikapundung yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris? 22. Apakah Saudara mempunyai saran-saran untuk perbaikan Sungai Cikapundung ke depan? 23. Apa harapan Saudara kedepannya terhadap kelembagaan partisipatoris dan Sungai Cikapundung? E. DATA DIRI INFORMAN (PEMERINTAH) 1. Nama lengkap : 2. Jenis Kelamin : 3. Alamat : 4. Asal Daerah : 5. Lama Tinggal : 6. Pekerjaan : 7. Nama Organisasi Tempat Bekerja : 8. Jabatan dalam Organisasi : 9. Lama Bekerja dalam Organisasi : 10. Lokasi Bekerja : 11. Hari/Tanggal : 12. Waktu : F. PERTANYAAN PENELITIAN (PEMERINTAH) 1. Apakah Saudara mengenal kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung? 2. Apakah Saudara mengetahui kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris tersebut? Sebutkan kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris yang Saudara ketahui? 3. Apakah kegiatan-kegiatan yang dilakukan kelembagaan partisipatoris bermanfaat bagi Sungai Cikapundung? Apa saja manfaatnya? 4. Menurut Saudara, bagaimana kondisi Sungai Cikapundung sebelum adanya CRP atau Komunitas Zero? 5. Menurut Saudara, bagaimana kondisi Sungai Cikapundung setelah adanya kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung? 6. Menurut Saudara, bagaimana tingkat banjir dan longsor 3 tahun terakhir ini? 7. Apakah di Sungai Cikapundung terjadi penurunan resapan air dan peningkatan lahan kritis? 8. Kegiatan apa yang paling Saudara sukai dari kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung? Apakah Saudara pernah mengikuti salah satu kegiatan kelembagaan partisipatoris tersebut? 9. Apakah lembaga pemerintahan dimana Saudara bekerja, pernah memberi bantuan baik berupa dana atau benda untuk menunjang kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris Sungai Cikapundung? 10. Bagaimana lembaga Saudara selama ini melakukan upaya pelestarian/penyelamatan Sungai Cikapundung? Apa saja kegiatan-kegiatannya (seperti program-program penanggulangan sampah dan Sungai Cikapundung)? 11. Bagaimana koordinasi/hubungan/komunikasi dengan pemangku kepentingan di Sungai Cikapundung selama ini? Apa kendalanya? 12. Pihak mana saja yang berkontribusi dalam membuat kerusakan di Sungai Cikapundung?

187 166 clxvi 13. Bagaimana cara mengatasi pihak-pihak yang membuat kerusakan di Sungai Cikapundung tersebut? 14. Apakah terdapat sanksi terhadap pihak-pihak tersebut dan pihak-pihak mana saja yang harus bertanggung jawab terhadap kerusakan di Sungai Cikapundung? 15. Kebijakan apa yang dikeluarkan oleh lembaga Saudara untuk mengatasi permasalahan di Sungai Cikapundung? 16. Kendala apa yang dihadapi oleh lembaga Saudara dalam mengatasi permasalahan di Sungai Cikapundung (biaya, tenaga, fasilitas, lain-lain? Bagaimana cara mengatasinya? 17. Apakah rencana Saudara selanjutnya untuk perbaikan pengelolaan Sungai Cikapundung? 18. Apakah Saudara mempunyai saran-saran untuk perbaikan Sungai Cikapundung ke depan? 19. Apa harapan dan tindak lanjut Saudara terhadap Sungai Cikapundung ke depannya? G. DATA DIRI INFORMAN (MASYARAKAT) 1. Nama lengkap : 2. Jenis Kelamin : 3. Alamat : 4. Asal Daerah : 5. Lama Tinggal : 6. Pekerjaan : 7. Nama Organisasi Tempat Bekerja : 8. Jabatan dalam Organisasi : 9. Lokasi Bekerja : 10. Lama Bekerja dalam Organisasi : 11. Hari/Tanggal : 12. Waktu : H. PERTANYAAN PENELITIAN (MASYARAKAT) 1. Dalam sehari berapa banyak sampah rumah tangga yang Saudara dan anggota keluarga lainnya produksi? 2. Kemana Saudara dan anggota keluarga lainnya biasa membuang sampah/limbah rumah tangga? 3. Kemana biasanya masyarakat disini membuang sampah rumah tangga? 4. Jenis limbah/sampah apa yang biasa anda hasilkan dari usaha Saudara (organik/anorganik)? 5. Apakah di rumah Saudara terdapat tempat sampah? 6. Mengapa Saudara membuang sampah/limbah rumah tangga ke Sungai Cikapundung? 7. Apakah Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di tempat Saudara mudah diakses? 8. Apakah TPS tersebut membagi dua jenis sampah menjadi sampah organik dan anorganik? 9. Apakah di daerah Saudara sudah terdapat teknologi pengolahan sampah rumah tangga? Berbentuk apa? Darimana teknologi tersebut didapat? 10. Pihak-pihak mana saja yang mengikuti kegiatan penghijauan di daerah Saudara tersebut?

188 clxvii Bagaimana hubungan antar masyarakat di daerah Saudara tinggal? 12. Menurut Saudara, bagaimana kondisi Sungai Cikapundung saat ini? 13. Apakah Saudara mengenal kelembagaan partisipatoris? 14. Apakah Saudara mengetahui kegiatan-kegiatan kelembagaan partisipatoris? Sebutkan kegiatan-kegiatan yang Saudara ketahui? 15. Bagaimana pendapat dan tanggapan Saudara mengenai kegiatan-kegiatan penyelamatan Sungai Cikapundung yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris? 16. Apakah kelembagaan partisipatoris pernah mengadakan kegiatan-kegiatan di lingkungan Saudara? Jenis kegiatan apa yang pernah diadakan kelembagaan partisipatoris di lingkungan Saudara? 17. Kegiatan apa yang paling Saudara sukai dari kelembagaan partisipatoris? Apakah Saudara pernah mengikuti salah satu kegiatan kelembagaan partisipatoris tersebut? 18. Apakah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelembagaan partisipatoris berpengaruh terhadap kesadaran Saudara dan masyarakat di lingkungan Saudara dalam melestarikan hulu DAS Cikapundung? Sebutkan contohnya! 19. Apa yang dilakukan pemerintah daerah Anda agar masyarakat di daerah tidak membuang sampah ke Sungai?

189 168 clxviii Lampiran 7 Peta Sungai Cikapundung

190 clxix 169 Lampiran 8 Peta Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong Bandung

191 170 clxx Lampiran 9 Peta Kelurahan Lebak Siliwangi, Kecamatan Coblong Bandung

192 clxxi 171 Lampiran 10 Wilayah Kerja Komunitas CRP dan Komunitas Zero, Sub DAS Cikapundung, Bandung, Jawa Barat CRP ZERO

193 clxxii 172 Lampiran 11 LSM Pecinta Alam (Camel) Penggerak Sekaligus Pelopor Komunitas-Komunitas Peduli Sungai Cikapundung Anggota Komunitas CRP Berkumpul di Sekretnya di Curug Dago Wasiat Menjaga Cikapundung yang Ditandatangani oleh Pemangku Kepentingan Persiapan Penghijauan di dekat RT 02/ RW 01 Kelurahan Dago

194 clxxiii 173 Pihak Swasta yang Menyumbangkan 100 Bibit Pohon, Tempat Sampah, dan Satu Alat Pencacah Sampah. Cikapundung Bersih Program yang Dicanangkan oleh Pemerintah Setempat Prasasati Raja Thailand yang Menjadi Salah Satu Daya Tarik wisatawan Lahan Kritis yang Menjadi Titik untuk Penanaman Pohon Penghijauan yang Dilakukan oleh Komunitas CRP Bersama Masyarakat di Kelurahan Dago

195 clxxiv 174 Anggota DPR RI Mengikuti Kegiatan Penghijauan Komunitas CRP Sungai Cikapundung Menjadi Tempat Wisata Bagi Masyarakat Setempat Kondisi Sungai Cikapundung Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris Sampah yang Dibuang Masyarakat ke Sungai Cikapundung Kompos yang Dibuat oleh Komunitas CRP Kegiatan Pengambilan Sampah di Sungai Cikapundung oleh Komunitas CRP

196 175 clxxv Penyuluhan Warga Bantaran Serta Diskusi Bersama Camat Sumur Bandung Mengenai Permasalahan Sungai Cikapundung Peternakan Sapi di Hulu Sungai Cikapundung Tempat Penyimpanan Kotoran Sapi Kotoran Sapi yang Diolah Menjadi Pupuk Kotoran Sapi yang Dialirkan ke Sungai Cikapundung dan Cikawari Salah Satu Pabrik Tahu yang Mengalirkan Limbah ke Sungai Cikapundung

197 clxxvi 1763 Warga RT 03/RW 08 Bantaran Lebak Siliwangi Bandung yang Sudah Tidak Lagi Membuang Sampah ke Sungai Cikapundung Ketua RW 08 Bersama Cikapundung Melakukan Susur Sungai untuk Memantau Kondisi Sungai Warga RW 08 Kelurahan Lebak Siliwangi yang Menonton Aksi Susur Sungai Cikapundung, Salah Satu Bentuk Penyadaran Warga Bantaran Sungai Cikapundung Secara Tidak Langsung. Mahasiswa ITB yang Mengikuti Kegiatan Kerja Bakti dan Susur Sungai Cikapundung Bersama Komunitas Zero

198 clxxvii 177 Logo Komunitas CRP Sosialisasi Rekor Muri Melalui Pemasangan Spanduk \ Antusiasme warga Kota Bandung mengikuti acara Rekor Muri (Kukuyaan di Sungai Cikapundung) Ketua Komunitas CRP bersama Walikota Bandung Menghadiri Rekor Muri (Kukuyaan Terbanyak) CRP bersama 42 Komunitas Sungai Cikapundung lainnya mendapat penghargaan Rekor Muri

8 tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri sendiri, namun berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekolo

8 tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri sendiri, namun berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekolo 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Daerah Aliran Sungai 2.1.1.1 Definisi Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologi yang tersusun atas komponen-komponen

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

95 Tabel 6.2 Pengetahuan Warga Mengenai Akibat Membuang Sampah Secara Sembarangan Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Band

95 Tabel 6.2 Pengetahuan Warga Mengenai Akibat Membuang Sampah Secara Sembarangan Sebelum Adanya Kelembagaan Partisipatoris, Sub DAS Cikapundung, Band 94 BAB VI EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DALAM PENYELAMATAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM (SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CIKAPUNDUNG) 6.1 Pengetahuan Sikap dan Perilaku Warga 6.1.1 Pengetahuan Warga

Lebih terperinci

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BITUNG, Menimbang

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM ISSN : 1978-4333, Vol. 06, No. 01 EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PARTISIPATORIS DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM Efectivity of Participatory Institution in Citarum River Upstream Watershed Siti Halimatusadiah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

OTONOMI DAERAH. Terjadi proses desentralisasi

OTONOMI DAERAH. Terjadi proses desentralisasi OTONOMI DAERAH Otda di Indonesia dimulai tahun 1999 yaitu dengan disyahkannya UU No.22 thn 1999 ttg Pemerintah Daerah yang kemudian disempurnakan dengan UU No.32 thn 2004. Terjadi proses desentralisasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 143, 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB. SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa daerah aliran sungai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.60/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

31 kegiatan yang menyebabkan kerusakan di hulu DAS dan juga melihat bagaimana pemangku kepentingan tersebut melakukan upaya penyelamatan hulu DAS Cita

31 kegiatan yang menyebabkan kerusakan di hulu DAS dan juga melihat bagaimana pemangku kepentingan tersebut melakukan upaya penyelamatan hulu DAS Cita 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan tempat dilatarbelakangi oleh tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa metode pengumpulan data untuk memperoleh pemahaman

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT

EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus: Pengelolaan Sampah Terpadu Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) Perumahan Pondok Pekayon Indah, Kelurahan Pekayon Jaya, Bekasi Selatan)

Lebih terperinci

2014, No Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran

2014, No Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran No. 364, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Pemberdayaan Masyarakat. Pengelolaan. DAS. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia terdiri dari pulau, daratan seluas 1,9 juta km 2, panjang garis pantai

PENDAHULUAN. Indonesia terdiri dari pulau, daratan seluas 1,9 juta km 2, panjang garis pantai PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Indonesia terdiri dari 17.508 pulau, daratan seluas 1,9 juta km 2, panjang garis pantai 80.791

Lebih terperinci

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat ekologi dari pola ruang, proses dan perubahan dalam suatu

Lebih terperinci

DRAFT EMPAT GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 42 TAHUN 2015 TENTANG

DRAFT EMPAT GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 42 TAHUN 2015 TENTANG DRAFT EMPAT GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 42 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia akibat degradasi (berkurangnya

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia akibat degradasi (berkurangnya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam (SDA) hayati yang didominasi pepohonan yang mempunyai tiga fungsi, yaitu: a. fungsi

Lebih terperinci

Menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS): Saatnya Bertindak Sekarang

Menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS): Saatnya Bertindak Sekarang Konferensi Pers dan Rumusan Hasil Workshop 21 Juli 2009 Menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS): Saatnya Bertindak Sekarang Jakarta. Pada tanggal 21 Juli 2009, Departemen Kehutanan didukung oleh USAID

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI BERBASIS BIOREGION. Oleh : ARIN NINGSIH SETIAWAN A

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI BERBASIS BIOREGION. Oleh : ARIN NINGSIH SETIAWAN A PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI BERBASIS BIOREGION Oleh : ARIN NINGSIH SETIAWAN A34203031 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 48 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012-2032 DISEBARLUASKAN OLEH : SEKRETARIAT DEWAN SUMBER

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam semesta ini. Bagi umat manusia, keberadaan air sudah menjadi sesuatu yang urgen sejak zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa Daerah Aliran Sungai merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR : 03 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1345, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Sungai. Pengelolaan. Daerah. Koordinasi. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.61/Menhut-II/2013 TENTANG FORUM KOORDINASI

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM PERATURAN PRESIDEN NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Sungai Citarum

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. yang semakin kritis. Perilaku manusia dan pembangunan yang tidak

BAB I. Pendahuluan. yang semakin kritis. Perilaku manusia dan pembangunan yang tidak BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Usaha konservasi menjadi kian penting ditengah kondisi lingkungan yang semakin kritis. Perilaku manusia dan pembangunan yang tidak mengedepankan aspek lingkungan menjadi

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 1 Makalah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KTMK 613) Program Pasca Sarjana / S2 - Program Studi Manjemen Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Dosen Pengampu

Lebih terperinci

PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA

PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA i PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA (Kasus: Desa Parakan, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Oleh : ANNISA AVIANTI

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR : 8 TAHUN 2006 TENTANG DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN DANAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa daerah aliran sungai

Lebih terperinci

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh : Purba Robert Sianipar Assisten Deputi Urusan Sumber daya Air Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik yang saling terkait satu sama lain. di bumi ada dua yaitu ekosistem daratan dan ekosistem perairan. Kedua

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan di Jawa Timur, sampai dengan saat ini masih belum dapat mencapai ketentuan minimal luas kawasan sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 41

Lebih terperinci

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1. No.247, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Penggunaan DAK. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi bidang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 3.1 Gambaran Umum Kelurahan Tamansari 3.1.1 Batas Administrasi Kelurahan Tamansari termasuk dalam Kecamatan Bandung Wetan, yang merupakan salah satu bagian wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. mempergunakan pendekatan one river basin, one plan, and one integrated

IV. GAMBARAN UMUM. mempergunakan pendekatan one river basin, one plan, and one integrated IV. GAMBARAN UMUM A. Umum Dalam Pemenuhan kebutuhan sumber daya air yang terus meningkat diberbagai sektor di Provinsi Lampung diperlukan suatu pengelolaan sumber daya air terpadu yang berbasis wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan kemudian mengalirkan

Lebih terperinci

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini Abstract Key words PENDAHULUAN Air merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hubungan antara manusia dengan lingkungan adalah sirkuler. Perubahan pada lingkungan pada gilirannya akan mempengaruhi manusia. Interaksi antara manusia dengan lingkungannya

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek

Lebih terperinci

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

Modul 1: Pengantar Pengelolaan Sumber Daya Air

Modul 1: Pengantar Pengelolaan Sumber Daya Air vii B Tinjauan Mata Kuliah uku ajar pengelolaan sumber daya air ini ditujukan untuk menjadi bahan ajar kuliah di tingkat sarjana (S1). Dalam buku ini akan dijelaskan beberapa pokok materi yang berhubungan

Lebih terperinci

Oleh Listumbinang Halengkara, S.Si.,M.Sc. Prodi Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan IPS FKIP Unila

Oleh Listumbinang Halengkara, S.Si.,M.Sc. Prodi Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan IPS FKIP Unila Oleh Listumbinang Halengkara, S.Si.,M.Sc. Si Sc 2 0 1 3 Prodi Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan IPS FKIP Unila SEJARAH HIDROLOGI Manusia menanyakan keberadaan air di mata air, danau, sungai,dll??

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

PENUTUP. Degradasi Lahan dan Air

PENUTUP. Degradasi Lahan dan Air BAB VI PENUTUP Air dan lahan merupakan dua elemen ekosistem yang tidak terpisahkan satu-sama lain. Setiap perubahan yang terjadi pada lahan akan berdampak pada air, baik terhadap kuantitas, kualitas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci