MODEL BIOEKONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN DI KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI SELATAN F I R M A N

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL BIOEKONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN DI KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI SELATAN F I R M A N"

Transkripsi

1 MODEL BIOEKONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN DI KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI SELATAN F I R M A N SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 RINGKASAN FIRMAN C Model Bioekonomi Pengelolaan Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan MOCH. PRIHATNA SOBARI. Kepunahan sumberdaya perikanan merupakan masalah serius yang mengancam masyarakat dunia akhir-akhir ini, sehingga diperlukan model pengelolaan yang optimal, efisien, namun berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pemanfaatan optimal dari sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Parameter ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga, biaya input dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, dalam penelitian ini juga menggunakan parameter biologi seperti r (pertumbuhan biologi), q (koefisien daya tangkap), K (carrying capacity) yang diestimasi dengan menggunakan CYP (1992). Alat tangkap yang dioperasiokan untuk menangkap sumberdaya rajungan adalah jaring insang tetap, jaring klitik, dan dogol. Hasil perhitungan pada tingkat bunga 39 persen menunjukkan bahwa biomass optimal (x*) ,64 ton per tahun, penangkapan optimal (h) ,09 ton per tahun dan upaya optimal (E*) ,84 per trip per tahun, sedangkan rente ekonomi atas sumberdaya rajungan diperoleh sebesar Rp ,71 per tahun. Kata Kunci: Bioekonomi, Nilai optimal, Rajungan, Pangkejene dan Kepulauan.

3 ABSTRACT FIRMAN. C Bio-economic Model of Rajungan Resources Management in Pangkajene and Kepulauan District of South Sulawesi Province. Supervisor by ACHMAD FAHRUDIN and MOCH. PRIHATNA SOBARI Scarcity of fisheries resources is a one of the serious problem for international community, so, optimality, efficiency, and sustainability of the fisheries recources management is very important. The aim of this research is to analysis optimal uses of Portunus spp in Pangkajene and Kepulauan Distrik of South Sulawesi Province. Economic parameters that used in this research are price, real input cost (corected by consumer price index of South Sulawesi Province). The biology parameters that used in this research are; r (intrinsict growth), q (catch ability coefficient), K (carrying capacity) estimated by CYP (1992). Equipment of fisheries resources are set gill net, shrimp gill net, and danish saine. Result of this research with discount rate 39 percent showed that optimal biomass (X*) 578, ton, optimal harvest (h) 344, ton and optimal effort (E*) ,84 per trip with economic resources rent Rp6, Key words: bioekonomic model, optimal biomass, rent value, resource allocation, optimal effort.

4 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

5 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul : MODEL BIOEKONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN DI KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI SELATAN merupakan gagasan dan hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Januari 2008 Nama : Firman NRP : C

6 MODEL BIOEKONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN DI KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN PROVINSI SULAWESI SELATAN Oleh F I R M A N C Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK) SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

7 Judul Tesis : Model Bioekonomi Pengelolaan Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan N a m a : F i r m a n N R P : C Program Studi : Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK). Disetujui : Komisi Pembimbing Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. K e t u a Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S. Anggota Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, Diketahui, Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir.H. Tridoyo Kusumastanto,M.S. Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Ujian : 4 Februari 2008 Tanggal Lulus :

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 10 Januari 1966 sebagai anak kelima dari H M Said Alie dan Hj Sitti Asyik. Penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 3 Makassar pada tahun 1985 dan melanjutkan sekolah Strata 1 di Jurusan Akuntansi STIE/YPUP Makassar, dan selesai pada tahun Pada tahun 2005 penulis melanjutkan kuliah pada program Magister IPB pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK). Pada tahun 1988 penulis bekerja sambil kuliah sebagai Kontraktor Bangunan di Soppeng sampai dengan tahun Selanjutnya penulis pindah ke Jakarta pada tahun 1999 dan bekerja pada PT Garudapersada Samuderatama sampai dengan sekarang.

9 UCAPAN TERIMA KASIH Dengan selesainya Penulisan Tesis ini, penulis menyampaikan puji syukur ke Hadirat Allah SWT, karena semua ini dapat dilakukan atas perkenan-nya. Selain itu, penelitian dan penulisan Tesis ini tidak terlepas juga dari bantuan dan dorongan baik dari keluarga, dosen pembimbing mau pun teman-teman ikut membantu selama proses penelitian dan penulisan Tesis ini. Pertama-tama ingin penulis sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tiada taranya kepada Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS dan Ir. Moch. Prihatna Soebari, MS., selaku Komisi Pembimbing dalam membimbing serta memberikan arahan dalam penyelesaian laporan tesis ini. Tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS., selaku ketua program studi serta seluruh Staf Pengajar Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (PS-ESK) yang telah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi penulis untuk menimba ilmu serta memberi pencerahan pengetahuan selama masa perkuliahan. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan di PS-ESK, Bahar, Solihin, Irmadi, Muzakir, Aspar, Dewi, Eka, Fera, Ovie, serta seluruh rekanrekan dari Forum ESK. Ucapan terma kasih, penulis haturkan kepada, Ayahanda, Ibunda, Kakak, Adik serta seluruh keluarga atas dukungan moril, materil dan spirituil kepada penulis selama ini, apa yang telah diberikan pada penulis selama ini mungkin tidak akan mampu terbalas. Akhir kata, penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan dapat diaplikasikan bagi kemaslahatan hidup dimasa yang akan datang.amin.

10 PRAKATA Bissmillahirrahmanirrahim. Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, petunjuk dan hidayah-nya, sehingga senantiasa dapat melaksanakan segala aktivitas keseharian dalam ridho-nya, begitu pula dengan penyusunan Tesis Model Bioekonomi Pengelolaan Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan bisa terselesaikan. Pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, menjadi sebuah keharusan untuk menuju kesejahteraan masyarakat. Pendekatan aspek biologi dan aspek ekonomi menjadi penting mengingat tujuan utama pemanfaatan sumberdaya. Dalam Tesis ini menggambarkan pendekatan analisis pengelolaan sumberdaya rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Akhirnya penulis berharap bahwa dengan penulisan Tesis ini dapat dijadikan sebagai bahan arahan kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan yang berkelanjutan. Bogor, Januari 2008 Penulis

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Rajungan (Portunus spp) Optimasi Sumberdaya Perikanan Model Dinamik Ekonomi Sumberdaya Perikanan Degradasi dan Depresiasi Sumberdaya Perikanan III. KERANGKA PEMIKIRAN IV. METODE PENELITIAN Metode Penelitian Sumber Data Metode Pengumpulan Sampel Metode Analisa Data Standarisasi Alat Tangkap Standarisasi Biaya Estimasi Harga dan Biaya Estimasi Discount Rate Model Bioekonomi Sumberdaya Perikanan Analisis Optimasi Dinamik Analisis Laju Degradasi V. GAMBARAN UMUM Kondisi Geografis Potensi Perikanan Produksi Perikanan dan Alat Tangkap di Kabupaten Pangkajene dankepulauan Jaring Insang Tetap Jaring Klitik Dogol VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Perikanan Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Analisa Produksi Lestari... 37

12 Halaman Standarisasi Alat Estimasi Parameter Biologi Estimasi Parameter Ekonomi Estimasi Discount Rate Estimasi Produksi Lestari Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Akses Terbuka Rezim Pengelolaan Sole Owner Rezim Pengelolaan MSY Analisa Laju Degradasi/Depresiasi Perikanan Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Analisa Optimasi Dinamik Sumberdaya Perikanan Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Kebijakan dalam Pengelolaan Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan VII. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 63

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Formula Perhitungan Pengelolaan Rajungan dari Berbagari Rezim Produksi dan Persentase dari Tujuh Jenis Perikanan Demarsal di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Produksi dan Jumlah Alat Tangkap yang menangkap Rajungan Jumlah Produksi Ikan Berdasarkan Alat Tangkap Produksi Rajungan dan Alat Tangkap Estimasi Parameter Biologi dengan Fungsi Logistik Biaya Perunit Effort dan Rata-rata Biaya dari Masing-masing Alat Tangkap Perbandingan antara Produksi Aktual dan Produksi Lestari dari Masing-masing Alat Tangkap Perbandingan Antara Produksi Aktual dan Produksi Lestari Jumlah Effort Produksi Aktual dan Produksi Lestari Hasil Estimasi Paramter Biologi dan Ekonomi Hasil Analisis Bioekonomi dan Berbagai Rezim Pengelolaan Hasil Analisis Koefisien Laju Degradasi Sumberdaya Perikanan Tangkap Hasil Analisis Koefisien Laju Depresiasi Sumberdaya Perikanan Tangkap Hasil Pemecahan Analitik Melalui Program MAPLE Alokasi Optimal Perikanan Tangkap... 57

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Hubungan antara Biomass dengan Waktu dalam Pertumbuhan Populasi Ikan Hubungan Antara Biomass dengan Pertumbuhan Populasi Ikan Kurva Produksi Lestari Model Gordon-Schaefer Kurva Gordon-Schaefer dalam Biomass Kerangka Pendekatan Studi Kerangka Operasional Penelitian Perkembangan Produksi Rajungan dengan Alat Tangkap Jaring Insang Tetap, Jaring Klitik dan Dogol Grafik Perkembangan Produksi Aktual dan Lestari Grafik Hubungan Antara Catch dan Effort Kurva Hubungan Antara Catch dan Effort Kondisi Berbagai Rezim Pengelolaan Sumberdaya Rajungan Perbandingan Rezim Pengelolaan Sumberdaya Rajungan Grafik Trajektori Koefisien Laju Degradasi Sumberdaya Rajungan Grafik Trajektori Koefisien Laju Depresiasi Sumber Daya Rajungan Perbandingan Rente Optimal dengan Discount Rate... 56

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Peta Daerah Penangkapan Rajungan Data Produksi dan Effort, Produksi Aktual dan Lestari Sumberdaya Rajungan Standarisasi Alat Tangkap Perhitungan Struktur Biaya Penangkapan Rajungan dengan Menggunakan Indeks Harga Konsumen Perhitungan Discount Rate Model Kula Solusi Bioekonomi Pengelolaan Sumberdaya Rajungan Hasil Perhitungan Laju Degradasi dan Depresiasi Sumberdaya Rajungan Hasil Pemecahan Analitik dengan Program MAPLE Jaring Insang Tetap yang digunakan oleh Nelayan, Proses Penebaran Jaring dan Penarikan Jaring Jaring Klitik dan Perahu yang digunakan oleh Nelayan Proses Setting Dogol, Proses Houling Dogol, Otter Board, Kapal Dogol yang digunakan Selama Penelitian, Posisi Dogol Saat diturunkan Rajungan In Shore dan Off Shore Hasil Tangkapan Nelayan.. 81

16 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Luas laut Indonesia sekitar 5,8 juta km 2 (0,3 juta km perairan torritorial 2,8 juta km perairan nusantara, luas ZEE 2,7 juta km 2 ), km panjang garis pantai, sebanyak pulau memberikan harapan tersendiri menjadi primer mover pembangunan nasional. Pembangunan perikanan sebagai bagian dari pembangunan kelautan lebih diarahkan pada upaya untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup nelayan, memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, menyediakan bahan baku industri, meningkatkan ekspor serta memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Pengalaman telah membuktikan bahwa selama krisis ekonomi ternyata sektor yang berbasis sumberdaya alam telah menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi krisis. Sektor perikanan yang merupakan salah satu sektor pembangunan yang berbasis kepada sumberdaya alam semestinya dapat dioptimalkan menjadi salah satu pilar keunggulan kompetitif bangsa dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor perikanan dapat berperan dalam pemulihan dan pertumbuhan perekonomian bangsa ini karena potensi sumberdaya ikannya yang besar mau pun keragamannya. Selain itu, sumberdaya ikan merupakan sumberdaya alam yang selalu dapat diperbaharui (renewable resources), sehingga dapat bertahan dalam jangka panjang apabila diikuti dengan pengelolaan yang baik. Indonesia dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan pantai sepanjang km (Dahuri R ; SP Ginting ; MJ Sitepu 1996) terkandung beraneka ragam jenis ikan terutama yang mempunyai nilai ekonomis tinggi seperti udang, tuna, cakalang, kakap tongkol, tenggiri, cumi-cumi dan berbagai jenis ikan karang (kerapu, baronang), ikan hias, kerang, rumput laut dan rajungan. Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang cukup penting artinya untuk menambah pendapatan dan pemenuhan kebutuhan protein hewani. Rajungan memiliki nilai ekonomis penting dan telah diekspor ke berbagai negara dalam bentuk segar mau pun olahan. Tembusnya rajungan di pasar ekspor menyebabkan harga rajungan semakin tinggi di pasar

17 2 domestik mau pun ekspor. Negara tujuan ekspor komoditas rajungan adalah Negara Singapura, Hongkong, Jepang, Malaysia, Taiwan dan Amerika Serikat. Tantangan untuk memelihara sumberdaya secara berkelanjutan merupakan permasalahan yang cukup kompleks dalam pembangunan perikanan. Sumberdaya perikanan dikategorikan sebagai sumberdaya yang dapat pulih, namun pertanyaan yang sering muncul adalah seberapa besar ikan yang dapat dimanfaatkan tanpa harus menimbulkan dampak negatif untuk masa mendatang. Keberlanjutan merupakan kata kunci dalam pembangunan perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat perikanan itu sendiri (Fauzi A 2004). Bertitik tolak dari pendekatan ekonomi pengelolaan perikanan yang dikembangkan oleh Gordon HS 1954 bahwa sifat akses terbuka sumberdaya perikanan menyebabkan siapa saja dapat berpartisipasi untuk mengeksploitasi sumberdaya tersebut tanpa harus memilikinya. Kondisi perikanan yang tak terkontrol ini akan menyebabkan kelebihan tangkap secara ekonomi (economic overfishing) apabila tidak dilakukan pengelolaan yang baik. Selain itu, nelayan berlomba-lomba untuk meningkatkan upaya penangkapan (effort), sehingga memaksa untuk melakukan penangkapan ke daerah yang lebih jauh. Upaya penangkapan yang dilakukan untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan akan memerlukan biaya yang sebanding dengan jarak daerah penangkapan (fishing ground) dari pantai. Dengan kata lain, unit biaya penangkapan (cost effort) yang dibutuhkan untuk melakukan penangkapan ikan pada daerah perairan lepas pantai akan jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan daerah perairan pantai. Pengetahuan akan ukuran ikan yang layak tangkap, musim pemijahan dan karakteristik biologis lainnya haruslah dipahami. Selain itu, mengingat sumberdaya ikan tersebut bersifat dinamis, selalu berubah menurut ruang dan waktu, maka pemahaman tentang perubahan-perubahan tersebut serta faktorfaktor yang menyebabkan atau mempengaruhi perubahan tersebut haruslah pula dipahami sebagai landasan dalam pengelolaan perikanan tangkap. Penelitian ini difokuskan pada kasus penangkapan rajungan karena kebutuhan akan rajungan dan produk olahannya di Indonesia sangat tinggi, sehingga menyebabkan tingginya harga produk yang merangsang nelayan untuk

18 3 mengeksploitasi sumberdaya tersebut. Peningkatan eksploitasi sumberdaya rajungan belum tentu dapat meningkatkan pendapatan. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pengelolaan yang tepat akan menyebabkan terjadinya pengurasan (depletion) terhadap sumberdaya tersebut yang tidak menutup kemungkinan akan terjadinya kepunahan. Berdasarkan hal ini maka menarik untuk melakukan penelitian dengan judul Model Bioekonomi Pengelolaan Sumberdaya Rajungan. 1.2 Rumusan Masalah Produksi rajungan dalam kurun tiga belas tahun terakhir mulai tahun 1993 sampai dengan 2006 di Sulawesi Selatan sangat berfluktuasi. Peningkatan produksi secara signifikan terjadi pada lima tahun terakhir ( ). Peningkatan ini berkolerasi langsung dengan tembusnya produk rajungan olahan di pasar ekspor pada tahun tersebut, meski pun setiap tahun mengalami kenaikan produksi, akan tetapi laju kenaikan tersebut cenderung turun dari tahun ke tahun. Tahun kenaikan produksi 717,9 ton, tahun 2001 kenaikan produksi sebesar 571,5 ton, tahun 2002 kenaikan produksi sebesar 324,9 ton dan tahun 2003 terjadi penurunan produksi secara drastis sebesar 448,4 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 2003). Data produksi di atas memperlihatkan penurunan produksi yang sangat tajam, kondisi ini diduga telah terjadi gejala degradasi populasi rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Degradasi populasi ini diduga akibat upaya nelayan menangkap rajungan sebanyak-banyaknya, karena harga rajungan yang semakin meningkat. Penangkapan yang tidak memperhatikan pertumbuhan dari rajungan serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan menyebabkan rajungan yang kecil-kecil ikut terjaring demi pencapaian target produksi, akibatnya tidak terjadi regenerasi. Selama ini, alat tangkap yang umum digunakan nelayan untuk menangkap rajungan adalah jaring insang tetap, jaring klitik dan dogol, alat tangkap yang dominan menghasilkan rajungan tersebut adalah jaring insang tetap. Ketiga jenis alat ini memperlihatkan penambahan unit dari tahun ke tahun, yang menyebabkan meningkatnya jumlah upaya (effort). Hal

19 4 ini terjadi pada sebagian besar perairan Selat Makassar, khususnya pada wilayah administrasi Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan pengelolaan sumberdaya rajungan secara optimal dan berkelanjutan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. 1) Bagaimana pemanfaatan sumberdaya rajungan dengan menggunakan alat tangkap jaring insang tetap, dilihat secara biologi dan ekonomi yang terjadi di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. 2) Tidak adanya pengelolaan yang optimal untuk perikanan rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. 3) Apakah telah terjadi degradasi dan depresiasi dari sumberdaya rajungan. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian yaitu : 1) Mengidentifikasi keragaan dan potensi aktual serta lestari dari sumberdaya rajungan dengan menggunakan alat tangkap jaring insang tetap. 2) Menghitung tingkat pemanfaatan optimal sumberdaya rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. 3) Menganalisis laju degradasi dan depresiasi sumberdaya rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah tentang pemanfaatan secara optimal pengelolaan sumberdaya rajungan, di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.

20 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus) Jenis kepiting dan rajungan diperkirakan sebanyak 234 jenis yang ada di Indo Pasifik Barat, di Indonesia ada sekitar 124 jenis. Moosa MK, Baharudin dan H Razak (1980), lebih lanjut dijelaskan empat jenis di antaranya dapat dimakan (edible crab), yaitu rajungan (Portunus pelagicus), rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan karang (Charybdis feriatus) dan rajungan angin (Podopthalmus vigil). Jenis rajungan yang menjadi target penangkapan adalah rajungan (Portunus pelagicus) karena mendominasi jumlah dari rajungan yang tertangkap (Adam 2005). Rajungan adalah termasuk hewan perenang aktif, tetapi saat tidak aktif, hewan tersebut mengubur diri dalam sedimen menyisakan mata, antena di permukaan dasar laut dan ruang insang terbuka (Fish SA 2001). Menurut Muslim (2000) pada umumnya udang dan kepiting keluar pada waktu malam untuk mencari makan. Binatang ini keluar dari tempat-tempat persembunyiannya dan bergerak menuju tempat yang banyak makanan. Perbedaan fase bulan memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkah laku rajungan, yaitu ruaya dan makan. Pada fase bulan gelap, rajungan tidak melakukan aktivitas ruaya, dan berkurangnya aktifitas pemangsaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan antara fase bulan gelap dan bulan terang. Rajungan cenderung lebih banyak tertangkap saat fase bulan terang dibandingkan dengan pada fase bulan gelap. Oleh sebab itu waktu yang paling baik untuk menangkap binatang tersebut ialah malam hari saat fase bulan terang. Saat betina siap untuk menyimpan telurnya, rajungan betina diam di dalam pasir dengan perut atau abdomen terentang. Telur menonjol dan menempel di rambut-rambut pada perut betina, saat itu jantan mengeluarkan sperma dari kapsul sperma dan pembuahan terjadi di luar. Telur diinkubasi di lapisan abdominal oleh betina. Warna telur orange cerah saat pertama kali memijah dan kemudian berubah bertahap menjadi abu-abu tua/gelap setelah berkembang dan telur kuning habis. Sedikit sisa dari massa telur yang berwarna abu-abu masih ada untuk

21 6 periode singkat atau pendek setelah telur berkembang dikeluarkan ke dalam air (Potter et al diacu dalam Kangas MI 2000). Tingkah laku betina keluar dari pasir dan melihat disekitarnya pada saat sore hari sebelum memijah, adalah awal dari proses dimana kunci waktu penetasan telur untuk periode saat tingkah laku aktifitas makan dari zona, memungkinkan untuk makan dengan sukses. Telur dan larva rajungan adalah planktonik. Telur menetas setelah 15 hari pada suhu 24 derajat celcius. Fase larva meliput 5 tahap. Selama fase larva, rajungan dapat terbawa hanyut sejauh 80 km menuju laut sebelum kembali untuk tinggal di perairan pantai dangkal (Williams 1982 diacu dalam Kangas MI 2000). Rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Ukuran saat kematangan terjadi dapat berubah terhadap derajat garis lintang atau lokasi dan antar individu di lokasi mana pun. Perkiraan umur rata-rata rajungan dari lebar karapas tertentu dapat bervariasi. Pada umur 12 bulan, lebar karapas rata-rata rajungan adalah 90 mm. Rajungan jantan dan betina umumnya mencapai kematangan seksual pada ukuran lebar karapas 7 hingga 9 cm. Rajungan pada ukuran tersebut berumur sekitar satu tahun. (Kumar M et al. 2000; Fish SA; 2000 Mf Crab 2002). 2.2 Optimasi Sumberdaya Perikanan Salah satu sumberdaya alam yang menjadi andalan bagi sektor ekonomi di Indonesia adalah sumberdaya perikanan. Sebagai sumberdaya yang dapat pulih atau renewable resource memerlukan managemen pengelolaan yang tepat, sehingga memberikan rente yang optimal bagi masyarakat dengan tetap sumberdaya itu lestari untuk generasi mendatang. Secara implisit pernyataan tersebut mengandung dua makna, yaitu makna ekonomi dan makna biologi. Dengan demikian, pemanfaatan optimal sumberdaya ikan harus mengakomodasi kedua aspek tersebut. Oleh karena itu, pendekatan bioekonomi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Fauzi A 2004). Pada mulanya, pengelolaan sumberdaya ini banyak didasarkan pada faktor biologi semata, dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield (tangkapan maksimum yang lestari). Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap

22 7 spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Pendekatan biologi dengan menggunakan model surplus produksi ini sendiri merupakan salah satu pendekatan dari tiga pendekatan umum yang biasa digunakan khususnya untuk perikanan yang multi spesies. Dua pendekatan lainnya, yaitu Total Biomass Schaefer Model (TBSM) yang dikembangkan oleh Brown et,al. pada tahun 1976, Pope pada tahun 1979, Pauly pada tahun 1979, dan Panayatou pada tahun 1985 serta pendekatan independent single species yang dikembangkan oleh Anderson dan Ursin pada tahun 1976 dan May et.al pada tahun 1979 memerlukan data dan perhitungan yang ekstensif, sehingga sulit diterapkan pada wilayah yang memiliki multi spesies (Fauzi A 2004). Para pakar biologi perikanan seperti yang dilaporkan Munro GR (1981) mencoba menurunkan sustainable yield curve yang didasarkan pada keseimbangan populasi ikan atau biomas ikan. Populasi ikan diasumsikan akan tumbuh karena terdapat kelahiran dalam populasi itu (recruitment), adanya pertumbuhan ikan dalam populasi tersebut (growth), kemudian populasi ikan tersebut dibatasi oleh kematian alami yang disebabkan oleh predator dan keterbatasan lingkungan perairan. Keterbatasan lingkungan itu terjadi karena : 1) Persediaan makanan dalam perairan. Persediaan makanan bukan hanya diperlukan oleh ikan dalam perairan, tetapi juga oleh organisme lain yang terdapat dalam perairan tersebut 2) Ketersediaan oksigen. Oksigen diperlukan bukan hanya oleh ikan yang dalam perairan tetapi berbagai organisme dalam kolom air juga memerlukan oksigen. Kolom air memerlukan oksigen untuk menetralisir pencemaran yang ada dalam perairan, dalam ilmu ekologi disebut sebagai daya asimilasi. 3) Keterbatasan ruang karena ada kendala fisik dan kimiawi yang implisit terdapat dalam kolom air, sehingga ikut membatasi ruang hidup populasi ikan (Zulham A 2005). Apabila ketiga keterbatasan itu dianggap konstan, dan x didefinisikan sebagai biomas ikan, t adalah waktu dan F(x) adalah fungsi yang menggambarkan

23 8 pertumbuhan alami populasi ikan, sehingga dinamika pertumbuhan populasi tersebut dapat dituliskan sebagai : dx = F(x)... (2.1) dt Disamping itu, karena perairan tersebut mempunyai daya dukung lingkungan yang disebut Shcaefer M (1957) sebagai carrying capacity (K) yang menunjukkan kemampuan lingkungan untuk menopang kehidupan populasi ikan. Interaksi berbagai pertumbuhan dalam populasi itu oleh Schaefer M (1957) disebut sebagai intrinsic growth rate (r). Jumlah populasi akan mencapai K, jika selama priode t pertumbuhan populasi x adalah nol. Dengan demikian pertumbuhan populasi ikan menurut Schaefer M (1957) dapat dituliskan sebagai : dx x = rx 1... (2.2) dt K Jumlah biomas ikan yang mencapai carrying capacity dapat dilihat pada tampilan Gambar 1. Gambar 1 tersebut menunjukkan, pada rentang waktu tertentu tingkat pertumbuhan populasi relatif rendah, namun karena persediaan makanan yang melimpah maka pertumbuhan populasi ikan F(x) akan meningkat. Kemudian karena kendala yang terdapat pada lingkungan, maka F(x) akan mencapai maksimum dan kemudian menurun. Pertumbuhan F(x) itu akan mencapai nol pada saat biomassa x sama dengan K, karena lingkungan tidak mampu lagi mendukung pertambahan populasi ikan. Secara grafik hubungan biomassa dengan daya dukung lingkungan digambarkan seperti tampak pada Gambar 1. Biomas (x) K Carrying capacity 0 Waktu Gambar 1. Hubungan antara Biomas dengan waktu dalam pertumbuhan Populasi ikan (Fauzi A 2004).

24 9 Hubungan antara biomassa dengan laju biomassa atau F(x), dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa biomassa ikan akan cepat bertambah sampai x* seiring dengan kemampuan lingkungan mensuplai oksigen, makanan dan ruang untuk kehidupan ikan, namun setelah batas itu pertambahan biomassa ikan akan berjalan lambat karena faktor lingkungan. Secara grafik hubungan biomassa dengan tingkat pertumbuhan populasi ikan digambarkan pada Gambar 2. F(x) F(x ) Gambar 2 Hubungan antara Biomas dengan Pertumbuhan Populasi Ikan (Fauzi A 2004) x* K Biomas Jika fungsi pertambahan stok ikan tersebut dimasukkan kemampuan nelayan menangkap ikan h(e), maka persamaan dinamika populasi ikan di perairan dapat dituliskan sebagai : dx x = rx 1 h( E)... (2.3) dt K Dimana fungsi produksi yang sering digunakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah : h = qxe... (2.4) Dengan kofisien teknologi (q) diasumsikan 1. Dalam kondisi keseimbangan, besarnya perubahan stok ikan sama dengan nol, sehingga diperoleh antara laju pertumbuhan antara biomas dengan hasil tangkapan. Hubungan tersebut dapat dinyatakan secara matematis :

25 10 x rx 1 = qxe... (2.5) K Sehingga kalau kita pecahkan persamaan diatas untuk x, akan diperoleh : qe x = K 1... (2.6) r Kemudian dengan mensubtitusikan persamaan (2.6) kedalam persamaan (2.4) maka diperoleh hasil tangkapan atau produksi lestari yang dituliskan dalam bentuk : qe h = qke 1... (2.7) r Persamaan (2.7) merupakan persamaan kuadratik dalam E, karena parameter yang lain, yaitu q, K dan r adalah kostanta. Kurva produksi lestari ini dikenal dengan istilah Yield Effort Curve, seperti tampak pada Gambar 3. h(x) h msy E msy E max Input Gambar 3. Kurva produksi lestari (Fauzi A 2004) Pada Gambar 3, menunjukkan bahwa jika tidak ada aktifitas perikanan (upaya) sama dengan nol, maka produksi juga akan menjadi nol. Ketika upaya terus dinaikkan, pada titik (E msy ), akan diperoleh produksi yang maksimum. Produksi pada titik ini disebut sebagai titik Maximum Sustainable Yield (MSY). Sifat dari kurva Produksi Lestari yang berbentuk kuadratik, peningkatan upaya

26 11 yang terus-menerus setelah melewati titik MSY, tidak akan dibarengi dengan peningkatan produksi lestari. Produksi akan turun kembali, bahkan mencapai titik nol, yang terjadi pada titik upaya maksimum ( E ). Hubungan di atas belum memiliki arti apa pun dari pandangan ekonomi, karena tidak diperolah informasi mengenai besarnya tambahan biaya yang diperlukan setiap penambahan satu unit effort, atau besarnya tambahan pendapatan setiap penambahan satu unit hasil tangkapan. Dari konsep sederhana biologi tersebut, Gordon menambahkan faktor ekonomi dengan memasukkan faktor harga dan biaya. Untuk mengembangkan model Gordon-Schaefer ini beberapa asumsi akan digunakan untuk memudahkan pemahaman. Asumsi-asumsi tersebut antara lain: a) Harga per satuan output (Rp per kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna. b) Biaya persatuan upaya (c) dianggap konstan c) Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species) d) Struktur pasar bersifat kompetitif e) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pascapanen dan lain sebagainya). Dengan menggunakan kurva sustainable yield effort yang telah diturunkan sebelumnya, maka dengan mengalikan harga dan produksi lestari diperoleh karva penerimaan (TR=ph). Demikian juga, dengan mengalikan biaya per satuan input dengan upaya (effort) diperoleh kurva total biaya (TC=cE) yang linier terhadap upaya. Jika digabungkan fungsi penerimaan dan biaya tersebut dalam suatu gambar, akan diperoleh kurva seperti pada Gambar 4. Dalam Gambar 4, menunjukkan inti dari model Gordon-Schaefer mengenai pengelolaan perikanan dalam usia rezim pengelolaan yang berbeda. Pada kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka (open access), keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat upaya E OA, dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan hanya menerima biaya oportunitis dan rente ekonomi sumberdaya atau manfaat ekonomi tidak diperoleh. Rente ekonomi sumberdaya (economic rent) dalam hal ini diartikan sebagai selisih antara total penerimaan dari ekstraksi sumberdaya dengan seluruh max

27 12 biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksinya. Tingkat upaya pada posisi adalah tingkat upaya dalam kondisi keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai bioeconomic equilibrium of open access fishery atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka. Pada kondisi akses terbuka (tidak ada pengaturan) setiap input E > E OA akan menimbulkan biaya yang lebih besar dari penerimaan, sehingga menyebabkan input berkurang sampai dengan kembali ke titik E=E OA artinya akan banyak pelaku perikanan (nelayan) keluar dari industri perikanan. Sebaliknya, jika terjadi kondisi di mana E < E OA, penerimaan akan lebih besar dari biaya. Dalam kondisi akses terbuka, hal ini akan menyebabkan bertambahnya pelaku perikanan (nelayan) masuk (entry) ke industri perikanan. Entry ini akan terus sampai dengan manfaat ekonomi terkuras habis (driven to zero) sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry mau pun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Kondisi ini identik dengan ketiadaannya hak pemilikan (property rights) pada sumberdaya atau lebih tepatnya adalah ketiadaan hak kepemilikan yang bisa dikuatkan secara hukum (enforceable) (Fauzi A 2004). Rp. TC 1 A TC Π maz B TR E MEY E MSY E OA Effort Gambar 4. Model Gordon-Schaefer (Fauzi A 2004) Gordon kemudian melihat bahwa, jika input dikendalikan pada tingkat E=E *, manfaat ekonomi akan diperoleh secara maksimum (sebesar jarak AB, dimana terjadi garis paralel antara kurva TC dan garis yang menyentuk kurva TR).

28 13 Tingkat upaya ini sering disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial (socially optimum). Jika dibandingkan dengan tingkat upaya pada keseimbangan open access dengan tingkat upaya optimal secara sosial (E 0 ), maka akan terlihat bahwa kondisi open access menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya alam yang tidak tepat karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja, modal) tersebut bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif (Fauzi A 2004). Selain itu, dari Gambar 4, dapat dilihat juga bahwa tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara sosial (E 0 ) jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY (E MSY ). Cara lain untuk melihat model keseimbangan Gordon-Schaefer adalah dari sisi hubungan penerimaan dan biaya dengan biomassa (x). Hal ini dapat dilakukan karena GS dibangun dengan asumsi keseimbangan jangka panjang. Dalam kondisi keseimbangan jangka panjang tesebut, maka persamaan (5) dapat ditulis sebagai berikut: x h = rx 1... (2.8) K Sehingga penerimaan total dapat ditulis sebagai fungsi dari biomassa, atau dituliskan sebagai berikut: x TR( x) = pf( x) = prx 1... (2.9) K Demikian juga halnya dengan fungsi biaya dapat ditulis sebagai fungsi biomassa, yaitu: TC = ce = c h qx cf( x) = qx (2.10) c x TC ( x) = r (2.11) q K Persamaan (2.9) merupakan fungsi kuadratik terhadap x, sehingga kurva penerimaan akan berbentuk cembung (concave), sementara kurva biaya

29 14 merupakan fungsi yang bersifat linier terhadap x dengan slope yang negatif. Kedua fungsi tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Rp TC P(X)=pf(X) x ώ x msy x 0 K Biomass Gambar 5. Kurva Gordon-Schaefer dalam Biomas (Fauzi A 2004) Dari tampilan kedua gambar tersebut terlihat konsistensi dari teori Gordon bahwa keseimbangan open access dicirikan oleh terlalu banyak input dengan sedikit biomas (dikenal istilah too many boat chasing to few fish ). Hal ini terjadi karena sifat akses yang terbuka, menjadikan stok sumberdaya (x) akan diekstraksi sampai titik yang terendah. Sebaliknya, pada tingkat MEY, input yang dibutuhkan tidak terlalu banyak, namun keseimbangan biomas diperoleh pada tingkat yang lebih tinggi (Gambar 5) (Fauzi A 2004) Model Dinamik Ekonomi Sumberdaya Perikanan Pengembangan model statik menjadi dinamis telah dimulai sejak tahun 1970-an. Pendekatan dinamis dalam pengelolaan sumberdaya ikan menurut Fauzi A (2004), mulai berkembang dan banyak digunakan sebagai analisis setelah publikasi artikel Clark C dan Munro G (1975). Clark C dan Munro G (1975) diacu dalam Fauzi A (2004) menggunakan pendekatan kapital untuk memahami aspek intertemporal dari pengelolaan sumberdaya ikan, karena sumberdaya ikan dianggap sebagai stok ikan yang dapat tumbuh melalui proses reproduksi alamiah. Dalam model dinamik yang menyangkut aspek pengelolaan yang bersifat intertemporal, aspek tersebut ditentukan dengan penggunaan discount rate. Peran

30 15 discount rate sangat penting dalam teori kapital karena akan berpengaruh dalam pembentukan akumulasi kapital, baik man-made capital mau pun natural capital. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal dalam konteks dinamik dapat diartikan sebagai perhitungan tingkat upaya dan panen optimal yang yang menghasilkan discounted present value (DPV) surplus sosial, yang dalam hal ini surplus sosial ditentukan oleh rente ekonomi dari sumberdaya (resource rent) (Fauzi A 2004). Pada pendekatan kapital menurut Anna S (2003) biaya korbanan (opportunity cost) untuk mengeksploitasi sumberdaya dapat diperhitungkan melalui rente ekonomi optimal (optimal economic rent) yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya perikanan secara optimal. Nilai uang (investasi) menurut Clark C (1985) diacu dalam Adrianto L (1992) pada masa datang dapat diukur dengan nilai sekarang (present value) dengan persamaan: Pt P0 = 1+ ( i) t dimana P0 adalah nilai uang pada masa sekarang, Pt adalah nilai uang pada masa datang, i adalah tingkat bunga aktual dan t adalah waktu (tahun). Faktor ( 1 + i) t adalah discount factor yang dapat dituliskan dalam bentuk eksponensial : t δt ( 1 + i) = e atau δ = ln( 1+ i) dimana δ adalah tingkat diskon sumberdaya over time ( annual continues discount rate), sedangkan i adalah tingkat bunga aktual yang diperoleh dari hasil pengurangan tingkat bunga nominal dikurangi laju inflasi per tahun. Oleh karena itu nilai uang secara matematis dapat dituliskan kembali sebagai : P 0 = e δ t Pt Dalam penelitian ini, pengelolaan sumberdaya yang optimal didekati dengan menggunakan pendekatan teori kapital, seperti yang dikembangkan oleh Clark C dan Munro G (1975), dimana manfaat dari ekploitasi sumberdaya perikanan sepanjang waktu ditulis sebagai : t= 0 δt maxv π ( h( t), x( t)) e dt; dengan kendala :

31 16 x t = x = F( x) h( x, E)...(2-12) 0 h h max Penyelesaian dengan model diskrit dapat dilakukan dengan teknik Langrangian dan pemecahan model kontinyu dapat dilakukan dengan menggunakan solusi Hamiltonian (Clark C (1976;1985) diacu dalam Adrianto L (1992). Bentuk persamaan Hamiltonian adalah sebagai berikut : H = π ( h( t), x( t)) + µ t ( F( t) h( x, E))...(2-13) Persamaan (2-13) kemudian diberlakukan Pontryagins Maximum Principles sebagai berikut : H h π ( h( t), x( t)) = µ t = 0...(2-13a) h µ t H = µ = µ t t x t π = t (.) π (.) (.) µ µ t F'( xt ) = ( F' ( xt )) π x h x t...(2-13b) x t t = x = F( x ) h...(2-13c) t t Dalam kondisi stabil (steady state) µ = x = 0, maka persamaan (2-13) dapat menjadi: π (.) π (.) π (.) π (.) π (.) ( δ F' ( xt )) = 0 δ F' ( xt ) =...(2-14) h x h h x t t t Dari persamaan (2-14) tersebut, kemudian diperoleh melalui Modifield Golden Rule sebagai berikut: π ( x, h) F + x = δ x π ( x, h) h...(2-15) dimana F (x) adalah pertumbuhan alami dari stok ikan, marjinal akibat perubahan biomass, t t t π ( x, h) adalah rente x π ( x, h) h adalah rente marjinal akibat perubahan produksi. Parameter ekonomi dan biologi ditentukan oleh besaran c (biaya per unit effort), p (harga ikan), δ (discount rate) dan q yang merupakan t

32 17 F( x) koefisien penangkapan. = F'( x) adalah produktivitas marjinal dari x biomass yang merupakan turunan pertama dari F(x) terhadap x. Tingkat biomass (x) yang optimal dapat dihasilkan melalui persamaan di atas. Hasil solusi Clark C (1985) menunjukan bahwa tingkat biomass optimal (x*) dengan menggunakan fungsi pertumbuhan Logistik secara matematis dapat dinotasikan sebagai berikut: x * = 2 1 δ δ 8K xδ x + K 1 + x + K (2-16a) 4 r r r Tingkat x* ini dapat digunakan untuk menghitung tingkat pemanfaatan optimal (h*) dan tingkat upaya optimal (E*), yaitu sebagai berikut : x * h* = rx * 1...(2-16b) K h * E * =...(2-16c) qx * Setelah tingkat biomass, produksi dan upaya optimal diperoleh, maka nilai manfaat atau rente sumberdaya perikanan yang optimal ( π *) dapat diperoleh melalui persamaan berikut : π * = p( h*) h * ce *...(2-17) 2.4. Degradasi dan Depresiasi Sumberdaya Perikanan Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia saat dihadapkan pada isu penting yang salah satunya adalah terjadinya degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan di beberapa wilayah penangkapan ikan. Degradasi diartikan sebagai penurunan kualitas/kuantitas sumberdaya alam dapat diperbaharukan (renewable resource). Dalam hal ini kemampuan alami sumberdaya dapat diperbaharukan untuk bergenerasi sesuai dengan kapasitas produksinya berkurang. Kondisi ini dapat disebabkan karena adanya pengaruh aktifitas manusia dan faktor alam

33 18 sendiri. Degradasi sumberdaya alam pesisir dan laut, kebanyakan terjadi karena perbuatan manusia (anthropogenic), baik akibat aktifitas produksi penangkapan ikan, maupun karena aktifitas nonproduksi, seperti pencemaran akibat limbah domestik maupun industri (Fauzi A dan S Anna, 2004). Deplesi diartikan sebagai tingkat/laju pengurangan stok dari sumberdaya alam tidak dapat diperbarukan (non-renewable resource). Sedangkan depresiasi diartikan sebagai pengukuran degradasi yang ditentukan dengan nilai ekonomi atau dirupiahkan. Moneterisasi dalam pengukuran depresiasi harus mengacu pada pengukuran nilai riil, bukan pada nilai nominal. Oleh karena itu untuk menghitungnya harus mengacu pada beberapa indikator perubahan harga, seperti inflasi, indeks harga konsumen (IHK), dan sebagainya, yang berlaku untuk setiap komoditi sumberdaya alam pesisir dan laut (Fauzi A dan S Anna 2005). Deplesi, degradasi dan depresiasi sumberdaya pesisir dan laut disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor alam dan manusia, faktor endogenous maupun eksogenous, dan kegiatan yang bersifat produktif dan nonproduktif. Deplesi dan degradasi diperparah pula oleh adanya berbagai gejala kerusakan lingkungan. Pada sumberdaya perikanan, degradasi dan depresiasi terjadi sebagai akibat dari tekanan lingkungan dan tangkap lebih (overfishing). Perubahan present value of rent dari sumberdaya secara intertemporal dapat menggambarkan tingkat kerusakan lingkungan dan depresiasi sumberdaya alam. Sumberdaya alam dikatakan terdepresiasi jika present value of rent pada saat ini lebih kecil dari present value of rent pada saat yang lalu (Fauzi A dan S Anna 2005). Mengetahui tingkat/laju degradasi sangat penting untuk menentukan langkah-langkah pengelolaan sumberdaya perikanan lebih jauh. Terutama dalam mengambil suatu kebijakan pengelolaan, apakah perlu dilakukan pengurangan atau penambahan effort, aktifitas ekstraksi dan bahkan menghentikan ekstraksi terhadap sumberdaya tersebut. Informasi mengenai laju degradasi sumberdaya alam dapat dijadikan titik referensi (reference point) maupun early warning signal untuk mengetahui apakah ekstraksi sumberdaya alam sudah melampaui kemampuan daya dukungnya (Fauzi A dan S Anna 2005).

34 III. KERANGKA PEMIKIRAN Pembangunan sektor perikanan dan kelautan selama ini, masih berkutat pada permasalahan-permasalahan klasik nasional dan lokal, seperti: rendahnya pemodalan, lemahnya dukungan sarana dan prasana, rendahnya skill sumberdaya manusia serta metode penangkapan yang umumnya bersifat tradisional. Pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan menjadi kunci pembangunan perikanan nasional. Pada umumnya kendala utama yang dihadapi dalam regulasi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah sifat alamiah ikan yang beruaya, serta sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Kedua hal tersebut menjadi kunci pertumbuhan ikan tersebut. Pengelolaan sumberdaya khususnya sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resouce) seperti halnya perikanan, membutuhkan pengkajian aspek-aspek biologi, ekonomi. Selama ini, terutama dekade terakhir, pendekatan-pendekatan sumberdaya alam terbarukan, telah dilakukan dengan perpaduan antara aspek-aspek ekonomi dan lingkungan. Banyak model coba dikembangkan, untuk menduga suatu model pengelolaan yang lebih komprehensip, khususnya pengelolaan sumberdaya yang memang sangat terbatas. Khusus untuk pengelolaan sumberdaya rajungan, pendekatan aspek biologi, ekonomi menjadi sangat penting mengingat sifat sumberdaya rajungan sangat bergantung pada faktor-faktor tersebut. Untuk pengelolaan sumberdaya rajungan, perlu memperhatikan aspek biologi seperti pertumbuhan intrinsik, natalitas dan mortalitas. Faktor ekonomi seperti, biaya produksi, volume tangkapan. Khusus dalam penelitian, pengelolaan sumberdaya akan dititikberatkan pada model pengelolaan sumberdaya rajungan. Model pendekatan yang dilakukan yaitu aspek bio-ekonomi yang menyangkut pertumbuhan, kofisien daya tangkap, daerah tangkapan dengan struktur biaya produksi dan economic yield, serta pengelolaan sumberdaya yang optimal. Kerangka pendekatan tersebut dapat secara rinci dilihat pada Gambar 6.

35 20 Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Aspek biologi: Estimasi parameter biologi (r,q,k) Fungsi produksi lestari MSY Analisis bionomi: Aspek biologi dan Aspek ekonomi Aspek ekonomi: Estimasi harga dan biaya (c,p) Estimasi discount rate (δ) Analisis depresiasi Analisis optimalisasi statis (Kondisi MEY) Analisis optimasi dinamis Optimalisasi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Sulawesi Selatan Gambar 6 Kerangka Pendekatan Studi Pengelolaan Sumberdaya Rajungan Pendekatan studi yang telah ditentukan, selanjutnya dijabarkan dalam alur penelitian. Alur penelitian ini, menjadi acuan terstruktur dalam pelaksanaan penelitian, sehingga efisiensi dan efektifitas penelitian dapat dicapai. Untuk lebih jelas mengenai alur penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7.

36 21 Mulai Studi lapang Studi literatur Data primer (c,p,δ) Data sekunder (r,q,k, IHK, PDRB) Pengolahan data Analisis data Deskripsi hasil Penarikan kesimpulan Selesai Gambar 7. Kerangka Operasional Penelitian

37 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini, dihimpun data dan informasi, baik yang bersifat primer mau pun sekunder, sebagai hasil dari observasi lapangan, wawancara mau pun kajian laporan dan literatur. 4.2 Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan meliputi: 1) Data biaya operasional penangkapan rajungan yang terdiri atas, biaya bahan bakar minyak, oli, air bersih, konsumsi (makanan dan rokok) dan biaya variabel selama melaut per trip. 2) Data biaya retribusi seperti: keamanan laut, retribusi tambat. 3) Data biaya pemeliharaan alat tangkap dan armada penangkapan rajungan. 4) Data harga rajungan 5) Data daerah penangkapan (fishing ground) dan fishing base nelayan rajungan. Pengambilan data primer difokuskan pada kegiatan penangkapan rajungan. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuesioner. Pengumpulan data sekunder lebih banyak bersifat data urut waktu (time series data) selama 13 tahun, meliputi data produksi dan input yang digunakan (effort), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), indeks harga konsumen (Consumer Price Index). Data sekunder ini bersumber dari dinas/instansi/lembaga seperti Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi dan Kabupaten, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kabupaten. 4.3 Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel adalah secara sengaja (purposive sampling). Pemilihan sampel/responden nelayan didasarkan pada alat tangkap yang digunakan untuk menangkap rajungan terdiri atas nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring insang tetap, jaring klitik dan dogol. Jumlah sampel/responden

38 23 masing-masing jenis alat sebanyak 5 sehingga jumlah seluruhnya 15 orang, sementara lokasi sampling dibagi menjadi 2 lokasi utama yaitu Pulau Sagara dan Pulau Saugi, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. 4.4 Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif menjelaskan kondisi aktual pengelolaan sumberdaya rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan sesuai dengan ruang lingkup penelitian. Analisis kuantitatif menjelaskan melalui penggunaan metode analisis, yaitu untuk menilai status dan kondisi potensi lestari dan optimal sumberdaya rajungan, digunakan analisis bioekonomi Standarisasi Alat Tangkap Mengingat beragamnya alat tangkap yang digunakan untuk menangkap sumberdaya rajungan (jaring insang tetap, jaring klitik dan dogol di wilayah penelitian, dan alat yang dominan untuk menangkap rajungan adalah jaring insang tetap. Untuk mengukur dengan satuan yang setara dengan jaring insang tetap, maka dilakukan standarisasi effort antar alat tangkap dengan teknik standarisasi mengikuti yang dikembangkan oleh King (1995) diacu dalam Anna S (2003), yaitu : E it = ϕ D... (4.1) it it Dengan U it ϕ it =... (4.2) U std dimana : E = effort dari alat tangkap yang distandarisasi it D = jumlah hari laut (fishing days) dari alat tangkap i pada waktu t it ϕ it = nilai kekuatan menangkap (fishing power) dari alat tangkap i pada periode t U = catht per unit effort (CPUE) dari alat tangkap i pada periode t it U std = catht per unit effort (CPUE) dari alat tangkap yang dijadikan basis standarisasi.

39 Standarisasi Biaya Standarisasi biaya per unit effort (unit standardized effort) mengikuti pola standarisasi yang digunakan Anna S (2003) yang secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: C et 1 n n = i = 1 1 n t= 1 TC hit CPI t π = ( )... (4.3) E t 1 t ht + h j 100 Dimana: C et = biaya per unit standarisasi effort pada periode t TC t = biaya total untuk alat tangkap i untuk i = 1,2 E t = Total standarisasi effort untuk alat tangkap i H a = produksi alat tangkap i pada waktu t ( h i + h j ) = total produksi rajungan untuk seluruh alat tangkap N = jumlah alat tangkap CPI t = indeks harga konsumen pada periode t Estimasi Harga dan Biaya Parameter ekonomi yang mempengaruhi model bioekonomi dalam perikanan tangkap adalah biaya penangkapan dalam (c) dan harga hasil tangkapan (p). Biaya penangkapan dalam kajian bioekonomi model Gordon-Schaefer didasarkanpada asumsi bahwa hanya faktor penangkapanyang diperhitungkan. Biaya rata-rata diperoleh dari: ci c =...(4.4) n Keterangan : c = biaya penangkapan nominal rata-rata (Rp) per hari paer tahun ci = biaya penangkapan nominal responden ke-i c = jumlah responden Harga ikan yang digunakan merupakan harga rajungan rata-rata pada tahun 2007, yang diperoleh melalui wawancara dengan nelayan. Harga rajungan rata-rata diperoleh dari: p pi n pi p =...(4.5) n = harga rajungan nominal rata-rata (Rp) per kg = harga rajungan nominal responden ke-i = jumlah responden

40 25 Biaya penangkapan dan harga rajungan yang digunakan dalam perhitungan adalah biaya penangkapan dan harga rajungan riil, yang diperoleh melalui estimasi biaya penangkapan dan harga rajungan nominal dengan Indek Harga Konsumen yang berlaku untuk Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yaitu Indek Harga Konsumen Provinsi Sulawesi Selatan. Dari hasil estimasi tersebut akan diperoleh biaya penangkapan dan harga rajungan riil rata-rata selama tahun Estimasi Discount Rate Nilai discount rate (δ ) yang digunakan adalah market discount rate sebesar 12%, sebagai pembanding dengan discount rate dengan pendekatan Ramsey didekati dengan teknik yang digunakan Anna S (2003) yang diadopsi dari teknik yang dikembangkan oleh Kula (1984). Pada dasarnya menggunakan formula yang sama dengan formula Ramsey, bahwa real discount rate (r) didefinisikan sebagai : r = ρ γg (4.6) dimana ρ menggambarkan pure time preference, γ adalah elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam dan g adalah pertumbuhan ekonomi (Newel and Pizer 2001). Kula (1984) diacu dalam Anna S (2003) mengestimasi laju pertumbuhan dengan meregresikan : ln C t = α 0 α1 ln t..(4.7) dimana t adalah periode waktu dan C t adalah konsumsi per kapita pada periode t. Hasil regresi ini akan menghasilkan formula elastisitas, dimana : ln C α t 1 = (4.8) ln t Persamaan tersebut di atas secara metematis dapat disederhanakan menjadi g = C C t t / (4.9) t

41 Model Bio-Ekonomi Sumberdaya Perikanan Dalam penelitian ini, untuk menganalisis stok rajungan digunakan model surplus produksi. Model ini mengasumsikan stok ikan sebagai penjumlahan biomass dengan persamaan : x = F t dimana: F(x t ) h t ( x t ) ht... (4.10) : laju pertumbuhan alami, : laju penangkapan Bentuk model fungsional untuk menggambarkan stok biomass, digunakan bentuk Logistik, yaitu: x t t x = rx K t t 1 ht... (4.11) Dimana r adalah laju pertumbuhan intrinsik, K adalah daya dukung lingkungan. Jika sumberdaya perikanan mulai dieksploitasi oleh nelayan, maka laju eksploitasi sumberdaya perikanan dalam satuan waktu tertentu diasumsikan merupakan fungsi dari input (effort) yang digunakan dalam menangkap ikan dan stok sumberdaya yang tersedia. Dalam bentuk fungsional hubungan itu dapat dituliskan sebagai berikut : h(t) = H(E(t),X(t)... (4.12) Selanjutnya diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomass dan effort sebagaimana ditulis berikut : h = qe x... (4.13) t t t Dimana q adalah koefisien kemampuan penangkapan dan E t adalah upaya penangkapan. Dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan (equilibrium) maka kurva tangkapan-upaya lestari (yield-effort curve) dari kedua fungsi di atas dapat ditulis sebagai berikut : h q K r 2 2 t = qke t E...(4.14) Estimasi parameter r, K, dan q untuk persamaan yield-effort dari model logistik di atas melibatkan teknik non-linear. Dalam penelitian ini teknik untuk mengestimasi parameter biologi dari model surplus produksi adalah melalui

42 27 pendugaan kofisien yang dikembangkan oleh Clarke RP, SS Yoshimoto, dan SG Pooley (1992) atau sering dikenal sebagai metode CYP persamaan matematis ditulis sebagai berikut : ( ) ( 2 + r) ( qk ) ( 2 r) ( 2 + r) 2r q U...(4.15) ( U ) ln t+ 1 = ln + ln t + t+ ( ) ( E ) t E r Dengan meregresikan hasil tangkap per unit input (effort), yang disimbolkan dengan U pada periode t+1, dan dengan U pada periode t, serta penjumlahan input pada periode t dan t+1, akan diperoleh koefisien r,q dam K secara terpisah. Selanjutnya setelah disederhanakan persamaan (3.20) dapat diestimasikan dengan OLS melalui : ln( U n+ 1 ) = β 1 + β 2 ln( U n ) + β3 ( En + En+ 1)... (4.16) Dengan demikian nilai parameter r,q dan K pada persamaan (4.15) dapat diperoleh melalui persamaan berikut : r = 2(1 β ) /(1 + β ) q = β (2 + r) K = e 3 2 C1 (2+ r) /(2r) / q 2...(4.17) Dengan diperolehnya nilai r, q, dan K, maka dapat dikatakan solusi pengelolaan sumberdaya ikan rajungan melalui pendekatan bio-ekonomik. Pendekatan tersebut dapat dihitung dengan pendekatan model CYP seperti tabel 1: Tabel 1 Formula Perhitungan Pengelolaan Ikan Rajungan dari berbagai Rejim Variabel Biomassa (x) Catch (h) Effort (E) Rente Ekonomi (π) Sumber: Fauzi A r. K Kondisi MEY MSY OPEN ACCES K c K p. q. K 2 c 1 p. q. K c p. q. K r.k 4 c p. q r. c 1 p. q c p. q. K r c r r c 1 1 2q p. q. K 2q q p. q. K q. E r. K r p. q. K. E 1 c. E p c r 4 2q p c F( x) p. x

43 Analisis Optimasi Dinamik Dalam model dinamik sumberdaya ikan diasumsikan dikelola secara privat yang bertujuan memaksumumkan manfaat ekonomi dari sumberdaya tersebut. Secara matematis, pengelolaan sumberdaya ikan dalam kontek dinamik dapat ditulis dalam bentuk : max dengan kendala : x π t π = = t= 0 t ( 1+ δ ) t ρ π t ( x,h ) t t...(4.21) t + 1 xt = F( xt ) ht...(4.22) Atau dalam bentuk fungsi yang kontinyu ditulis sebagai : max dengan kendala : δ π ( t) = π ( x( t), h( t) e t dt...(4.23) t= 0 x = x = F( x( t) h( t) t x ( t) 0, 0 h( t) hmax...(4.24) Pemecahan kedua versi dinamik di atas akan menghasilkan Golden Rule untuk pengelolaan sumberdaya ikan dalam bentuk : atau: F π / x + = δ...(4.25) x π / h dan F ( x) = h... (4.26) ch 2 2x qx δ = r (4.27) K c p qx dan x F( x) = h = rx 1... (4,28) K

44 Analisis Laju Degradasi Analisis laju degradasi sumberdaya perikanan sangat penting untuk melihat sejauh mana pemanfaatan sumberdaya berpengaruh terhadap kondisi sumberdaya tersebut. Estimasi laju degradasi sumberdaya perikanan, secara matematis ditentukan dengan memanfaatkan hasil riset Anna S (2003). Berdasarkan hasil riset tersebut diperoleh suatu model penentuan koefisien atau laju degradasi (ǿd) untuk sumberdaya rajungan. Persamaan berikut digunakan untuk mengestimasi laju degradasi rajungan sebagai berikut: φd 1 =... (4.29) h δ h0 1+ e dimana: hδ : produksi lestari h0 : produksi aktual ΦD : koefisien atau laju degradasi Model ini menunjukkan adanya perubahan mendasar dari keadaan sumberdaya perikanan di suatu kawasan. Dalam hal ini, produksi lestari dijadikan tolok ukur penentuan laju dan prosentase degradasi sumberdaya perikanan. Oleh karena itu, perhitungan model tersebut melibatkan perhitungan produksi lestari model Schaefer (1954). Model estimasi parameter biologi untuk penghitungan produksi lestari dengan menggunakan model pertumbuhan logistik, dilakukan dengan menggunakan model estimasi CYP yang dikembangkan Clarke, Yoshimoto, dan Pooley (1992). Ada pun untuk menghitung laju depresiasi submerdaya, pada dasarnya sama dengan formula perhitungan laju degradasi, hanya dalam hal ini parameter parameter ekonomi menjadi variabel yang menentukan perhitungan laju depresiasi ini, yaitu dirumuskan sebagai berikut: 1 φ =... (4.30) R 1+ e πδ π 0 dimana: Πδ = rente lestari Π 0 = rente aktual ǿ R = koefisien laju depresiasi

45 V. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Kondisi Geografis Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan merupakan salah satu bagian dari wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak antara 110 BT dan 4 40 LS dengan 8 00 LS atau terletak di pesisir Pantai Barat Provinsi Sulawesi Selatan yang terdiri atas daratan rendah dan pegunungan. Dataran rendah seluas ha, membentang dari garis pantai barat ke timur terdiri atas persawahan, rawarawa, dan tambak. Daerah pegunungan dengan ketinggian meter di atas permukaan laut terletak di sebelah Timur, batu cadas dan sebagian mengandung batu bara serta berbagai jenis batu marmer. Batas administrasi sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Barru, sebelah Selatan dengan Kabupaten Maros, sebelah Timur dengan Kabupaten Bone, dan sebelah Barat dengan Pulau Kalimantan, Pulau Jawa dan Madura, Pulau Nusa Tenggara dan Pulau Bali (BPS 2003). Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan terdiri atas 12 kecamatan daratan dan 3 kecamatan kepulauan, dengan luas wilayah 1.112,29 km 2 dan berjarak 51 km dari Kota Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Kecamatan kepulauan terdiri atas Kecamatan Liukang Tuppabiring dengan jumlah desa/kelurahan sebanyak 15 yang tediri atas 42 pulau; Kecamatan Liukang Tangaya 9 desa/kelurahan yang terdiri atas 56 pulau; Kecamatan Liukang Kalmas 7 desa/kelurahan yang terdiri atas 19 pulau. 5.2 Potensi Perikanan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan memiliki potensi perikanan yang besar mengingat perairannya yang luas dan banyaknya pulau-pulau kecil. Pada tahun 2003 tenaga kerja di sektor perikanan sebanyak (9,7 %) yang terdiri atas perikanan tangkap sebanyak orang dan perikanan darat sebesar orang. Potensi perikanan darat terdiri atas tambak udang/bandeng seluas ,89 ha dengan produksi sebanyak ton. Potensi perikanan laut yang telah termanfaatkan sebesar 9.755,1 ton dengan berbagai jenis ikan ekonomis

46 31 penting seperti ikan kembung 1.820,4 ton, ikan layang ton, ikan kerapu 29,4 ton, jenis udang 766,1 ton, serta rajungan 669,4 ton pada tahun 2004 (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2004). 5.3 Produksi Perikanan dan Alat Tangkap di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Produksi Rajungan pada tahun 2004 di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan menempati urutan pertama dari tujuh komoditas perikanan demersal yang menjadi hasil tangkapan unggulan di daerah ini. Kemudian disusul dengan produksi udang putih sebesar 369,5 ton per tahun, atau sebesar 24 persen dari total produksi perikanan demarsal di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel 2. Produksi dan Persentase Dari Tujuh Jenis Perikanan Demersal di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Pada Tahun 2004 Produksi No Jenis Sumberdaya Perikanan Presentase (%) (ton) 1 Kakap Merah 81,4 5,34 2 Kerapu 29,4 1,93 3 Rajungan 669,4 43,88 4 Udang Windu 103,5 6,79 5 Udang Putih 369,7 24,24 6 Udang Rebon 240,3 15,75 7 Udang kipas 31,7 2,08 Total 1.525,4 100,00 Sumber: Data diolah dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep periode tahun Alat tangkap dominan yang dioperasikan untuk mengeksploitasi rajungan pada tahun adalah jaring insang tetap (bottom gillnet), jaring klitik, dan trawl (nama lokal pattare dan berdasarkan statistik disebut dogol ) (Tabel 3). Alat tangkap jaring insang tetap lebih dominan dioperasikan pada perairan pantai yang jaraknya dari pantai kurang dari 6 mil laut dengan kedalaman berkisar antara 1 15 meter, sedangkan dogol dan jaring klitik dioperasikan di perairan lepas pantai yang jaraknya di atas 6 mil laut dari pantai dengan kedalaman meter. Hal ini, sudah menjadi kesepakatan antara nelayan jaring insang tetap

47 32 dengan nelayan jaring klitik dan dogol, karena pengoperasian kedua alat tangkap ini dilakukan dengan cara menyeret, jaring sehingga diharapkan tidak mengganggu jaring insang yang telah dipasang. Bagan tancap dan serok merupakan alat tangkap yang dioperasikan di perairan pantai pada jarak 0 mil sampai 3 mil laut. Tujuan utama dari kedua alat tersebut adalah untuk menangkap ikan, karena dioperasikan di perairan yang kedalamannya relatif dangkal, maka alat ini juga dapat menangkap rajungan yang berada di sekitar pantai dengan jumlah produksi yang sangat rendah. Tabel 3. Produksi dan jumlah alat tangkap yang menangkap rajungan tahun 1995, 2000 dan 2004 di Kabupaten Pangkajene dan Kepualuan Tahun No Alat tangkap Jumlah (unit) Produksi (ton) Jumlah (unit) Produksi (ton) Jumlah (unit) Produksi (ton) 1 Jaring Insang Tetap , ,5 2 Jaring Klitik , , ,7 3 Dogol 8 0, ,9 79 2,6 Sumber: Data diolah dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan periode tahun Jaring Insang Tetap Secara umum, konstruksi jaring insang tetap (bottom gillnet) terdiri atas badan jaring (webbing), tali ris atas dan bawah, pelampung (float), pemberat (sinker), tali pemberat (singker line), tali selambar, pelampung tanda dan pemberat tambahan. Jaring insang tetap yang digunakan di lokasi penelitian dibuat sendiri oleh nelayan dan target utama hasil tangkapan adalah rajungan. Badan jaring terbuat dari benang tali PE nomor 4 yang di buka atau diurai kemudian di rajut menjadi jaring. Ukuran mata jaring (mesh size) 3 4,5 inci, panjang jaring/tali ris antara meter setiap utas (pieces), dan lebar jaring 90 cm. Pelampung terbuat dari bahan karet sendal yang dipotong-potong dengan ukuran tertentu. Pemberat terbuat dari timah hitam yang berdiameter 0,73 cm dengan berat 1 gram setiap pemberat. Jumlah pemberat untuk setiap jaring sekitar buah. Pelampung tanda terbuat dari gabus atau botol aqua besar. Kapal motor yang digunakan umumnya berukuran panjang 11 meter, lebar 1,4 meter dan tinggi 0,9 meter. Bahan kapal umumnya dari kayu ulin. Mesin

48 33 penggerak yang digunakan umumnya adalah merek Jiangdong dengan kekuatan PK. Pengoperasian jaring insang tetap dilakukan selama jam. Ada nelayan yang memasang alatnya (setting) pada pukul sore dan baru ditarik (hauling) pada keesokan harinya pukul 6.00 pagi (14 jam), kemudian alat diambil untuk dibawa pulang. Ada juga yang melakukan setting kembali setelah mengambil hasil tangkapan dan hauling keesokan harinya (24 jam). Cara yang kedua ini lebih dominan dilakukan oleh nelayan, karena banyaknya alat tangkap sehingga persaingan untuk mendapatkan tempat pemasangan alat (daerah penangkapan) sangat ketat Jaring Klitik Jaring klitik merupakan alat tangkap gill net yang dikembangkan untuk menangkap udang. Konstruksi jaring klitik terdiri atas tiga lapis jaring, yaitu jaring bagian dalam (inner net) yang berfungsi sebagai penjerat hasil tangkapan yang membentuk kantong dan dua lapis diluar (outer net) yang mengapit jaring bagian dalam yang berfungsi sebagai penguat inner net dan sebagai kerangka untuk terbentuknya kantong pada inner net. Ukuran mata jaring (mesh size) jaring bagian dalam lebih kecil jika dibandingkan dengan mesh size jaring bagian luar. Umumnya ukuran mata jaring outer net 3-4 kali lebih besar dari ukuran mata jaring bagian inner net dan tinggi jaring dalam keadaan terentang dari inner net berkisar antara 1-2 kali lebih besar dari bagian outer net. Bagian-bagian dari jaring klitik yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan terdiri atas: a) badan jaring yang dibentuk oleh tiga lapis jaring yang terbuat dari bahan monofilament; b) tali ris atas yang berfungsi sebagai tempat mengikat badan jaring dan tempat melekatnya tali pelampung dan tali ris bawah berfungsi untuk mengikatkan pemberat dan juga menghubungkan tali pemberat dengan badan jaring bagian bawah; c) pelampung dibuat dari bahan karet berbentuk lingkaran dengan dimater 4 cm yang berfungsi untuk mengangkat tali ris atas agar posisi jaring berdiri tegak (vertikal) terhadap permukaan air laut; d) pemberat yang digunakan terbuat dari bahan hasil dari laut (cangkang kopepoda) yang berfungsi untuk mengimbangi dari buoyancy force yang dihasilkan oleh pelampung, sehingga jaring dapat terentang sempurna dan

49 34 kedudukannya stabil di dalam air; e) tali selambar mempunyai fungsi untuk menghubungkan jaring dengan perahu dan jaring dengan pelampung pada waktu operasi penangkapan dilakukan. Kapal motor yang digunakan berukuran panjang 11 meter, lebar 2 meter dan tinggi 0,90 meter. Bahan kapal terbuat dari kayu ulin dan mesin penggerak yang digunakan merek Jiangdong dengan kekuatan PK. Pengoperasian jaring klitik oleh nelayan dilakukan pada siang hari Dogol Dogol adalah suatu jaring kantong yang ditarik di belakang kapal dan kapal berjalan menyusuri permukaan dasar perairan untuk menangkap ikan, udang dan ikan demersal. Dogol merupakan alat tangkap yang bersifat aktif karena dalam pengoperasiannya mengejar sasaran. Jenis dogol yang banyak dioperasikan di perairan Indonesia adalah bottom dogol untuk menangkap ikan-ikan demersal dan udang. Dogol terbuat dari jaring berbentuk kantong yang besar dan lebar, memiliki mulut jaring yang terbuka dengan kedua sayap jaring terbaring di bagian depan pada masing-masing sisinya dan meruncing pada bagian akhir jaring yang merupakan katong (code end). Di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan alat tangkap ini disebut pattare dan berdasarkan statistik disebut dogol. Selain digunakan untuk menangkap jenisjenis udang, nelayan setempat juga menggunakan untuk menangkap rajungan dan dioperasikan pada malam hari. Jaring dogol yang digunakan saat penelitian terbagi tiga bagian, yaitu; a) bagian sayap, panjang 1,60 meter dengan ukuran mata jaring 1,25 inci; b) badan jaring, panjang 4,30 meter dengan ukuran mata jaring 1 inci; c) kantong, panjang 6,10 meter dengan ukuran mata jaring 0,75 inci. Pada mulut jaring terdapat tali ris atas dan tali ris bawah yang menggunakan bahan PE multifilament nomor 10. Panjang tali ris atas 9,25 meter dan terdapat 5 buah pelampung dengan diameter 9,7 cm. Panjang tali ris bawah 10,50 meter dan terdapat rantai sepanjang 15 meter. Otter board terbuat dari bahan kayu ulin berbentuk segi empat dengan ukuran, panjang 1 meter dan lebar 0,5 meter.

50 35 Kapal motor yang digunakan berukuran panjang 14 meter, lebar 2,1 meter dan tinggi 1 meter. Bahan kapal terbuat dari kayu ulin dan mesin penggerak yang digunakan merek Jiangdong dengan kekuatan 24 PK.

51 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Keragaan Perikanan Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Alat tangkap yang dominan digunakan nelayan untuk mengeksploitasi rajungan adalah jaring insang tetap, jaring klitik dan dogol. Alat tangkap jaring insang tetap lebih dominan digunakan pada perairan pantai yang jaraknya dari pantai kurang dari 6 mil laut, sedangkan jaring klitik dan dogol digunakan di perairan lepas pantai yang jaraknya di atas 6 mil laut dari pantai. Hal ini, sudah menjadi kesepakatan antara nelayan jaring insang tetap dengan jaring klitik dan dogol karena penggunaan kedua alat tangkap ini dilakukan dengan cara menyeret jaring sehingga diharapkan tidak mengganggu jaring insang yang telah dipasang. Produksi rajungan dengan menggunakan ketiga jenis alat tangkap tersebut disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah Produksi Rajungan Berdasarkan Alat Tangkap Tahun Tahun Jaring Insang Tetap (ton) Jaring Klitik (ton) Dogol (ton) Total Produksi (ton) ,20 117,90 0,50 319, ,60 115,90 0,50 311, ,00 220,90 1,50 772, ,80 372,00 5,20 947, ,10 225,00 1,50 504, ,00 197,20 17,90 669, ,00 220,20 16,40 811, ,70 122,70 31,60 764, ,40 9,20 5,10 206, ,50 34,70 2,60 644, ,78 241,75 0,12 531, ,81 241,74 0,13 531,68 Sumber: Data diolah dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Dari Tabel 4, menunjukkan bahwa produksi rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan ada trend peningkatan produksi. Penggunaan alat tangkap dogol pada pada tahun dilarang beroperasi, karena mengganggu penggunaan alat tangkap jaring insang. Pada tahun 2000 alat ini banyak beroperasi lagi, sehingga terjadi peningkatan produksi yang sangat nyata.

52 37 Kemudian oleh masyarakat setempat dibuat kesepakatan untuk pengoperasian alat ini di perairan di atas 5 mil laut. Kondisi ini menyebabkan terjadi lagi penurunan produksi dari tahun 2003 sampai dengan Gamabar 8 memperlihatkan kondisi perkembangan produksi rajungan dengan penggunaan tiga macam alat tangkap yaitu jaring insang tetap, jaring klitik dan dogol. Produksi (Kg) Tahun Jaring Insang Te tap Jaring Klitik Dogol Gambar 8 Perkembangan Produksi Rajungan dengan Alat Tangkap Jaring Insang Tetap, Jaring Klitik dan Dogol Tahun Beragamnya ukuran mau pun jenis alat tangkap yang digunakan dalam memproduksi rajungan menjadi masalah tersendiri dalam mengestimasi perameter- parameter biologi dari sumberdaya rajungan. Umumnya sumberdaya ini ditangkap dengan jaring insang tetap, jaring klitik dan dogol. Semua jenis alat tangkap ini memliki kemampuan tangkapan yang berbeda. Dengan demikian, perlu dilakukan pendekatan yang tepat terhadap upaya tangkapan (effort). Berdasarkan hasil analisis standarisasi effort penangkapan rajungan, diperoleh bahwa alat tangkap standar yang digunakan adalah jaring insang tetap. 6.2 Analisis Produksi Lestari Standarisasi Alat Parameter biologi dapat diestimasi dengan menggunakan beberapa model estimasi yang dikembangkan oleh Walter-Hilborn (1976), Schnute (1977), dan Clark, Yoshimoto dan Pooley (1992). Ketiga model estimator parameter tersebut

53 38 banyak digunakan pada perikanan yang sumber data dan informasinya sangat lengkap dan akurat, terutama yang berhubungan dengan jenis ikan dan tingkat upaya yang dilakukan berdasarkan masing-masing alat tangkap. Penggunaan model-model estimator biologi untuk menduga stok ikan di Indonesia sangat memerlukan pendekatan yang lebih adaptif, karena karakteristik perikanan Indonesia lebih bersifat multi-species dan multi-gears. Menurut Smith (1996) dalam Wahyudin (2005), agregasi effort merupakan satu-satunya cara pengukuran effort yang dapat diandalkan pada perikanan multi-species. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap rajungan di Perairan Pangkajene dan Kepulauan adalah jaring insang tetap, jaring klitik, dan dogol. Untuk mengantisipasi upaya tangkapan (effort) yang lebih akurat, maka alat tangkap yang digunakan perlu dilakukan standarisasi alat tangkap. Tabel 5 menunjukkan produksi rajungan dan standarisasi alat tangkap yang digunakan. Tabel 5 Produksi Rajungan dan Alat Tangkap di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Produksi Total Rajungan (kg) Effort Standar (trip) Tahun Jaring Jaring Jaring Total Jaring Total Insang Dogol Insang Dogol Klitik Prod Klitik Effort Tetap Tetap Rata-rata produksi Rata-rata effort Sumber: Diolah dari Lampiran Estimasi Parameter Biologi Salah satu teknik yang dikembangkan untuk mengestimasi parameter biologi adalah dengan menggunakan model estimator CYP yang dikembangkan oleh Clarke, Yashimoto dan Pooley (1992). Ada pun parameter yang diestimasi meliputi; tingkat pertumbuhan intrinsik (r), daya dukung lingkungan perairan (K)

54 39 dan koefisien daya tangkap (q), perhitungan yang lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil estimasi dari tiga parameter tersebut berguna untuk menentukan tingkat produksi lestari, seperti maximum sustainable yield (MSY), maximum economic yield (MEY) dan kondisi open acces. Estimasi parameter biologi tersebut dilakukan terhadap sumberdaya rajungan hasil tangkapan dari jaring insang tetap, jaring klitik dan dogol. Ketiga alat ini mempunyai terget spesies yang sama, maka estimasi dilakukan terhadap sumberdaya rajungan dan selanjutnya digunakan untuk menganalisis masingmasing alat yang telah dilakukan standarisasi terlebih dahulu dari masing-masing alat tersebut. Tabel 6 menunjukkan hasil estimasi parameter biologi sumberdaya rajungan dengan menggunakan alat tangkap jaring insang tetap, jaring klitik dan dogol berdasarkan estimator CYP dan fungsi pertumbuhan Logistik. Tabel 6 Hasil Estimasi Parameter Biologi dengan Fungsi Logistik. Parameter Biololgi Tingkat Pertumbuhan Alami ( r ) (kg per tahun) Koefisien Kemampuan Tangkap ( q ) (kg per trip) Daya Dukung Perairan ( K ) (kg per tahun) Sumber : Hasil Perhitungan, di Olah Tahun 2007 Nilai , Estimasi Parameter Ekonomi Data untuk estimasi parameter ekonomi terdiri atas struktur biaya dan harga. Struktur biaya dan harga nominal merupakan data yang diperoleh melalui wawancara di lapangan. Biaya merupakan faktor penting dalam usaha perikanan tangkap, karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi dari usaha tersebut. Struktur biaya dari masing-masing alat tangkap diperoleh melalui wawancara langsung dengan nelayan dan disesuaikan dengan Indek Harga Konsumen (IHK) dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan, untuk menghasilkan nilai biaya series tahun Hasil perhitungan biaya riil per unit effort dan harga rill rajungan tahun , untuk masing-masing alat tangkap, seperti Tabel 7 dan 8, perhitungan yang lebih lengkap dapat dilihatpada lampiran 7.

55 40 Data biaya dalam penelitian ini adalah biaya per unit effort, oleh karena itu biaya tersebut diprediksi dari data primer yang diperoleh di lapangan. Biaya per trip sangat ditentukan oleh lamanya trip melaut, dan masing-masing alat seperti jaring insang tetap, jaring klitik dan dogol per trip selama satu hari (Tabel 7). Tabel 7 Biaya per Unit Effort dan Rata-rata Biaya dari Masing-masing Alat Tangkap Tahun Biaya Riil Tahun (Rp per trip) Biaya J Tetap (Rp per trip) Biaya J Klitik (Rp per trip) Biaya Dogol (Rp per trip) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,68 Rata-rata ,71 Sumber: Hasil Analisis, di Olah Tahun 2007 Selain faktor biaya juga sangat diperlukan faktor harga atau nilai dari sumberdaya yang dimanfaatkan, dalam menganalisis bioekonomi sumberdaya tersebut. Variabel harga berpengaruh terhadap jumlah penerimaan yang diperoleh dalam usaha penangkapan rajungan. Data harga nominal merupakan nilai rataan dari harga rajungan yang berlaku di wilayah penelitian. Harga dari rajungan tersebut disajikan dalam bentuk harga per kilogram, yang diperoleh dari data primer di lapangan. Setelah melalui penyesuaian dengan Indek Harga Konsumen (IHK) dari BPS Provinsi Sulawesi Selatan, maka diperoleh nilai harga riil rajungan time series tahun Dari Tabel 8 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi kenaikan harga riil yang dipengaruhi oleh tingkat inflasi.

56 41 Tabel 8 Harga dan Rata-rata Harga Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. IHK Harga Riil (Rp per Tahun kg) , , , , , , , , , , , ,31 Rata-rata ,23 Sumber: Data Primer di Olah Estimasi Discount Rate Discount rate merupakan rate untuk mengukur manfaat masa kini dibanding manfaat yang akan datang dari eksploitasi sumberdaya alam. Discount rate dalam penilaian ekonomi-ekologi sumberdaya alam akan sangat berbeda dengan discount rate yang biasa digunakan dalam analisis finansial. Pada analisis ini dipakai dua nilai discount rate yaitu nilai discount rate berbasis pasar (market discount rate) dan nilai discount rate berbasis pendekatan Ramsey. Tingkat pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya menggambarkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam itu sendiri, sehingga disebut juga dengan discount ratenya sebagai social discount rate. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tingkat social discount rate tinggi karena menganggap nilai masa depan dari sumberdaya alam dan lingkungan lebih rendah dari saat ini. Hasil perhitungan real discount rate dengan teknik Kula ini akan diperoleh laju pertumbuhan dari PDRB Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, yaitu dengan nilai g= 0,482, (Lampiran 6). Standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam ditentukan berdasar pendekatan Brent (1990) diacu dalam Anna S (2003) sebesar 1, ρ diasumsikan sama dengan nilai nominal saat ini (current nominal discount rate) sebesar 12 persen. Nilai g yang diperoleh lebih tinggi dari

57 42 nilai ρ, maka nilai r langsung diambil dari nilai g tersebut yaitu 0,48. Nilai r tersebut kemudian dijustifikasi untuk menghasilkan real discount rate dalam bentuk annual continues discount rate melalui δ = ln( 1+ r), yaitu sebesar 0,39 atau 39% (Lampiran 6). Angka tingkat diskon ini selanjutnya digunakan sebagai discount rate pada perhitungan optimal sustainable yield Estimasi Produksi Lestari Produksi lestari merupakan hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat effort maupun hasil tangkapan yang diperoleh tidak akan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Produksi lestari dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu produksi lestari maksimum (MSY) dan produksi lestari secara ekonomi yang maksimum (MEY). Pada analisis estimasi MSY, variabel yang digunakan berupa parameter biologi saja, sedangkan pada analisis MEY, variabel yang digunakan tidak saja variabel biologi tapi juga harus menggunakan beberapa parameter ekonomi. Parameter biologi yang digunakan dalam menghitung MSY diantaranya parameter r, q, K, sedangkan parameter yang digunakan untuk menghitung MEY diantaranya ditambahkan parameter ekonomi seperti c(cost per unit effort), harga riil (real price), dan annual continues discount rate (δ ). Produksi lestari maksimum (MSY) dalam hal ini dihitung dengan menggunakan fungsi pertumbuhan Logistik. Sebelum mengestimasi MSY terlebih dulu dilakukan diestimasi parameter biologi. Selanjutnya digunakan untuk mengestimasi tingkat upaya (effort, E) pada kondisi MSY dengan menggunakan model estimasi Clark (1985), dimana tingkat upaya optimal pada kondisi MSY berbanding lurus dengan setengah dari intrinsic growth rate (r) dan berbanding terbalik koefisien daya tangkap dari alat yang digunakan. Tingkat upaya (E) ini kemudian digunakan untuk mengestimasi tingkat biomass (x) optimal pada level MSY. Tabel 9 menunjukkan produksi lestari (h MSY ) upaya pemanfaatan sumberdaya rajungan pada wilayah perairan Pangkajene dan Kepulauan ndiasumsikan mengikuti fungsi logistik. Gambar 9 memperlihatkan perbandigan

58 43 antara produksi aktual dibandingkan dengan produksi lestari dari masing-masing alat tangkap yang digunakan terdiri atas jaring insang tetap, jaring klitik dan dogol. Tabel 9 Perbandingan antara Produksi Aktual dan Produksi Lestari di Perairan Pangkajene dan Kepulauan Periode Tahun Tahun Produksi Produksi Aktual (kg) Lestari (kg) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,12 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa pada tahun tingkat produksi aktual lebih besar dibandingkan dengan produksi lestari dan terus menurun sampai dengan tahun 1999 naik kembali, akan tetapi masih di bawah produksi lestari. Penurunan produksi lestari ini diikuti dengan meningkatnya produksi aktual. Produksi aktual selanjutnya terindikasi akan semakin menurun setiap tahunnya. Cacth (Kg) Tahun Prod. Aktual Prod. Lestari Gambar 9. Perkembangan Produksi Aktual dan Lestari di Perairan Pangkajene dan Kepulauan Periode Tahun

59 44 Hubungan antara effort dengan produksi aktual menunjukkan bahwa semakin tinggi effort maka produksi aktual juga semakin meningkat sampai pada tingkat optimal dan selanjutnya produksi akan turun kembali. Berbeda dengan kondisi produksi lestari bahwa peningkatan effort akan menyebabkan produksi lestari semakin turun dan bahkan sampai pada tingkat negatif. Tabel 10 Jumlah Effort, Produksi Akatual dan Produksi Lestari Tahun Tahun Produksi Aktual (kg) Produksi Lestari (kg) Total Effort (trip) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Rata-rata , Sumber : Statistik Perikanan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, diolah Berdasarkan Tabel 10, terlihat bahwa selama periode Tahun 1995 sampai dengan 2006, rata-rata effort dari masing-masing alat tangkap adalah 323,350 trip per tahun. Untuk rata-rata produksi aktual 584,510 kg per tahun, sedangkan ratarata produksi lestari kg per tahun. Berdasarkan data pada Tabel 10 tersebut ternyata bahwa peningkatan effort hanya akan meningkatkan produksi untuk jangka pendek, dan apabila effort terus ditingkatkan melebihi tingkat optimal maka akan menyebabkan tingkat produksi akan turun kembali. Oleh karena itu untuk memperoleh tingkat produksi yang optimal, maka pengendalian produksi dapat dilakukan dengan penentapan tingkat effort pada kondisi yang optimal pula. Selain itu dapat pula dilakukan pengaturan jumlah unit alat penangkapan rajungan pada kondisi optimal. Langkah ini dapat dilakukan dengan mengalihkan usaha penangkapan ke jenis komoditas lain atau dengan pengaturan penggiliran pengoperasian alat tangkap.

60 45 Catch (kg) 1,500,000 1,000, , (500,000) 100, , , , , , , ,000 (1,000,000) (1,500,000) (2,000,000) y = -1E-05x x + 1E-08 (2,500,000) R 2 = 1 (3,000,000) (3,500,000) Effort (trip) Produksi Aktual Produksi Lestari Poly. (Produksi Lestari) Gambar 10 Hubungan antara Catch dan Effort Sumberdaya Rajungan Hasil estimasi parameter biologi dengan menggunakan model estimasi CYP untuk fungsi pertumbuhan logistik serta hasil estimasi paramater ekonomi berdasarkan data olahan dari data cross section secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 11. Fungsi pertumbuhan logistik digunakan sebagai fokus bahasan sumberdaya rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Berdasarkan perhitungan dengan program Maple 9.5 diperoleh persamaan pertumbuhan logistik dari sumberdaya rajungan adalah y = 4, E(1-0, E). Dari perhtungan tersebut diperoleh tingkat keseimbangan lestarai, dimana hasil panen (h) diperoleh sebesar 414,695 kg dengan tingkat upaya (E) sebesar trip per tahun. Kondisi ini disebut sebagai tangkapan maksimal yang lestari atau maximum sustainable yield (MSY). Apabila tingkat upaya atau effort terus ditingkatkan melebihi kondisi MSY ini, maka akan berimplikasi terhadap menurunnya tingkat produksi atau panen sampai pada tingkat terjadi habisnya sumberdaya atau overfishing.

61 46 Produksi Effort Gambar 11 Hubungan antara Catch dan Effort Sumberdaya Rajungan 6.3 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Analisis bioekonomi dilakukan untuk menentukan tingkat penguasaan maksimum bagi pelaku pemanfaatan sumberdaya perikanan. Perkembangan usaha perikanan tidak hanya ditentukan dari kemampuan untuk mengeksploitasi sumberdaya akan tetapi faktor ekonomi sangat berperan antara lain biaya dan harga ikan. Pendekatan analisis secara biologi dan ekonomi merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam upaya optimasi penguasaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan. Pada Tabel 11 memperlihatkan hasil estimasi parameter biologi dan parameter ekonomi. Tabel 11 Hasil Estimasi Parameter Biologi dan Ekonomi Sumberdaya Rajungan. Parameter Nilai Tingkat Pertumbuhan Alami ( r ) (kg per tahun) 2,03 Koefisien Kemampuan Tangkap ( q ) (kg per/trip) 0,00001 Daya Dukung Perairan ( K ) (kg per tahun) ,93 Harga (p) (Rp per kg) ,23 Biaya (c) (Rp per trip) ,71 Sumber: Hasil Analisis Berdasarkan data pada Tabel 11, maka estimasi beberapa kondisi sustainable yield, yaitu kondisi maximum sustainable yield (MSY), kondisi akses

62 47 terbuka (open access), dan kondisi kepemilikan tunggal (sole owner) dapat ditentukan. Hasil perhitungan dari masing-masing kondisi tersebut secara ringkas seperti Tabel 12. Tabel 12 Hasil Analisis Bioekonomi dalam Berbagai Rezim Pengelolaan Sumberdaya Rajungan Variabel Kendali MEY OA MSY Optimal Dinamik Biomass (x)(kg per tahun) , , , ,64 Yield (h) (kg) , , , ,09 Effort (E) (trip) Rente (juta Rp) 2.442, , ,71 Sumber : Hasil Analisis Hasil pemecahan dengan menggunakan program MAPLE 9.5 diperoleh kurva dari berbagai rezim pengelolaan sumberdaya rajungan seperti terlihat pada Gambar 12. Pada gambar tersebut terlihat tingkat upaya (Effort), penerimaan (Revenue) dan biaya (Cost) dari berbagai rezim pengelolaan sumberdaya rajungan. Tingkat effort pada kondisi open access jauh lebih banyak dibandingkan dengan kondisi MSY dan MEY yaitu sebanyak trip, sedangkan untuk MSY sebanyak trip dan MEY sebanyak trip. Pada tingkat effort yang tinggi akan menyebabkan biaya besar yang pada akhirnya akan berimplikasi terhadap rendahnya rente yang diterima nelayan. Rp MR=MC TR=TC TC Π max Revenue TR effort E SO E MSY E OA Gambar 12 Kondisi Berbagai Rezim Pengelolaan Sumberdaya Rajungan.

63 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Akses Terbuka (open access) Konsep yang berlaku umum terhadap kepemilikan sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan oleh nelayan yang dianggap sebagai milik bersama yang dikenal dengan istilah common property resource. Konsep ini identik dengan pengelolaan sumberdaya yang bersifat terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya. Menurut Clark (1990), open access adalah kondisi ketika pelaku perikanan atau seseorang yang mengeksploitasi sumberdaya secara tidak terkontrol atau setiap orang memanen sumberdaya tersebut. Berdasarkan data pada Tabel 10, bahwa upaya tangkapan pada rezim pengelolaan open access di perairan Pangkajene dan Kepulauan, untuk keseluruhan alat adalah sebanyak trip per tahun. Apabila dibanding dengan upaya tangkapan pada kondisi pengelolaan MSY dan MEY, keseluruhan effort MSY sebanyak trip per tahun dan keseluruhan MEY sebanyak trip per tahun, ternyata pada pengelolaan pada rejim open access jumlah upaya tangkapan sedikit lebih banyak dibanding dengan MSY dan MEY. Menurut Gordon (1954) bahwa tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada pengelolaan sumberdaya perikanan yang tidak terkontrol (open access). Hasil tangkapan yang diperoleh dari rezim pengelolaan open access di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan secara keseluruhan sebanyak ,49 kg per tahun. Produksi pada rezim MSY sebanyak ,02 kg per tahun, dan produksi pada rezim MEY sebanyak ,76 kg per tahun. Pada rezim open access rente yang diperoleh sama dengan nol (TR=TC). Kondisi ini akan menyebabkan nelayan cenderung untuk mengembangkan jumlah alat serta meningkatkan upaya tangkapan agar mendapatkan hasil yang lebih banyak. Tentu saja secara ekonomi hal ini tidak efisien karena keuntungan yang diperoleh untuk jangka panjang akan berkurang atau sama sekali tidak memperoleh keuntungan atau nol. Keadaan yang akan terjadi pada rezim pengelolaan open access, bahwa ada dua pendapat sebagai berikut; 1) Jika upaya penangkapan yang digunakan menghasilkan suatu keadaan total cost (TC) lebih tinggi dari total revenue (TR)

64 49 maka nelayan kehilangan penerimaannya dan akan memilih keluar (exit) dari usaha penangkapan, 2) Jika upaya penangkapan menghasilkan total revenue (TR) lebih tinggi dari total cost (TC), maka nelayan lebih tertarik dan masuk (entry) untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan, sehingga pada tingkat keseimbangan tercapai, maka proses exit and entry tidak terjadi lagi. Menurut Fauzi A (2004) bahwa keseimbangan open access terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras sehingga tidak ada lagi insentif untuk masuk dan keluar serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada, Rezim Pengelolaan Sole Owner Hasil perhitungan yang diperoleh menunjukkan bahwa effort pada rezim pengelolaan sole owner (MEY) lebih rendah dari rezim open access dan kondisi lestari (MSY), sebesar trip per tahun. Rente yang diperoleh dari rezim sole owner merupakan rente yang tertinggi dibandingkan dengan pengelolaan open access dan MSY, yaitu sebesar Rp 2.446,26 juta per tahun. Disebut juga sebagai rente sole owner berada pada kondisi maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat produksi ini tingkat upaya penangkapan sudah dilakukan dengan efisien sehingga diperoleh hasil tangkapan yang lebih baik dan akan diikuti oleh perolehan rente yang maksimum. Nilai manfaat (rente) dari masing-masing rezim pengelolaan sumberdaya rajungan adalah untuk kondisi MSY sebesar Rp 436,238 juta dan kondisi optimal diperoleh rente sebesar Rp 2.411,095 juta. Bila dibandingkan dengan rente overtime sebesar Rp 6.182,295 juta, maka rente yang diterima jauh lebih besar pada tingkat discount rate 39%. Berdasarkan uraian di atas apabila dibandingkan dengan kondisi aktual, maka secara ekonomi belum terjadi overfishing. Pemanfaatan sumberdaya yang dibatasi pada kondisi maximum economic yield (MEY) atau terkendali (sole owner) akan memberikan keuntungan atau rente yang maksimum, karena total penerimaan yang diperoleh lebih besar dari total pengeluaran. Implikasi dari pemanfaatan sumberdaya yang terkendali itu, terlihat dari effort yang dibutuhkan ( E MEY ) dalam penangkapan lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY maupun kondisi open access.

65 50 Artinya rezim pengelolaan sole owner terlihat lebih bersahabat dengan sumberdaya dan lingkungan dibandingkan dengan kondisi E MSY Rezim Pengelolaan MSY Pengelolaan sumberdaya rajungan pada kondisi rezim pengelolaan MSY dengan jumlah effort sebanyak trip per tahun, dengan jumlah tangkapan sebesar ,02 kg per tahun dengan rente sumberdaya yang diperoleh sebanyak Rp 429,46 juta. Dibandingkan dengan kondisi rezim pengelolaan sole owner, maka nilai rente yang diperoleh hampir enam kali lebih besar dari pada rezim pengelolaan sole owner, yaitu dengan rente sebesar Rp 2.442,71 juta. Gambar 13 menunjukkan berbagai rezim pengelolaan sumberdaya rajungan dan pengelolaan pada kondisi opotimal dinamik pada tingkat discount rate 39% Yield/Effort MEY OA MSY Optim al Dinam ik Yield (h) Effort (E) Phi Nilai Rente (Rp) Gambar 13 Perbandingan Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Rajungan Dari Gambar 13 menunjukkan bahwa dengan menggunakan discount rate sebesar 39 persen (berdasarkan formula Kula), stok, harfest, effort dan keuntungan yang diperoleh relatif tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Dari Gambar 13 menunjukkan bahwa harvest pada rezim MSY lebih tinggi dari rezim yang lain yaitu sebesar 414, per tahun, kemudian diikuti oleh harvest pada rezim optimal dinamik yaitu sebesar 344, per tahun. Akan tetapi, ketika discount rate yang digunakan adalah discount rate yang berlaku dipasar

66 51 yaitu discount rate sebesar 12 persen, keuntungan dari masing-masing rezim akan berbeda. Perubahan yang paling derastis akan terjadi pada phi (keuntungan) dalam jangka panjang. 6.4 Analisis Laju Degradasi/Depresiasi Sumberdaya Perikanan Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Analisis degradasi sumberdaya perikanan rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dilakukan untuk mengetahui berapa besar laju degradasi yang terjadi akibat aktivitas penangkapan rajungan. Hasil penghitungan memperlihatkan koefisien laju degradasi rata-rata untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan rajungan sebesar 0,46 pada tahun Nilai tersebut menunjukkan bahwa secara umum tingkat laju degradasi masih pada taraf belum terlalu tinggi. Koefisien laju degradasi ( φ D ) dari suatu sumberdaya dengan nilai berada antara 0 0,500 (0 φ 0, 500), dikatakan bahwa sumberdaya tersebut D belum terdegradasi. Tabel 13 memperlihatkan hasil analisis koefisien laju degradasi sumberdaya perikanan rajungan di Perairan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan untuk periode tahun 1995 sampai dengan Tabel 13 Hasil Analisis Koefisien Laju Degradasi Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Tahun Produksi Aktual Produksi Laju Degradasi (kg) Lestari (kg) Standard , ,15 0,23 0, , ,35 0,39 0, , ,47 0,37 0, , ,29 0,40 0, , ,24 0,31 0, , ,42 0,36 0, , ,10 0,39 0, , ,81 0,37 0, , ,41 0,14 0, , ,99 0,99 0, , ,28 0,99 0, , ,12 1,00 0,50 Jumlah 5,93 6,00 Rata-rata 0,46 0,46 Sumber : Hasil Analisis. Data diolah Tahun 2007 Keterangan : φ D adalah koefisien laju degradasi. Sumberdaya dikatakan terdegradasi bila nilai koefisien laju degradasi ( φ ) berada diantara nilai 0-0,5 (0 φ 0,5). D D

67 52 Gambar 14 menunjukkan trajektori koefisien laju degradasi sumberdaya rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan pada tahun 1995 sampai 2003, tingkat laju degradasi masih dibawah nilai 0,50. Artinya pada saat ini belum terjadi degradasi, akan tetapi dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 nilai koeffisien laju degradasi sudah diatas ambang standar, sehingga pada kondisi ini sumberdaya rajungan telah memperlihatkan tingkat degradasi yang nyata Nilai Koeffisien Degradasi Tahun Koef. Degradasi Degra. Stdr Gambar 14 Grafik Trajektori Koefisien Laju Degradasi Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Hasil perhitungan analisis depresiasi sumberdaya perikanan rajungan di perairan Pangkajene dan Kepulauan menunjukkan bahwa untuk penangkapan pada pada tahun 1995 sampai 2003, nilai koefisien laju depresiasi masih di bawah 0,5. Mulai tahun 2004 sampai dengan 2006 nilai koefisien laju depresaisi sudah mencapai nilai 1, artinya kondisi pada tahun-tahun tersebut telah terjadi depresiasi sumberdaya rajungan. Pada Tabel 14 dapat dilihat perkembangan laju depresiasi sumberdaya rajungan untuk semua alat tangkap.

68 53 Tabel 14 Hasil Analsis Koefisien Laju Depresiasi Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Tahun Rente Aktual Rente Lestari (Rp) (Rp) Laju Depresiasi , , , , , , , , , , , ,00 Sumber : Hasil Analisis Keterangan : φ D adalah koefisien laju degradasi. Sumberdaya dikatakan terdegradasi bila nilai koefisien laju degradasi ( φ ) berada diantara nilai 0-0,5 (0 φ 0,5). D D Nilai Koeffisien Depresiasi Tahun Degra. Stdr Koef. Depresiasi Gambar 15 Grafik Trajektori Koefisien Laju Depresiasi Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Secara grafik trajektori nilai koefisien depresiasi sumberdaya rajungan pada tahun , trend laju depresiasi sumberdaya perikanan rajungan cendrung stabil dan belum terdepresiasi, namun mulai tahun 2004 terjadi

69 54 peningkatan yang sangat drastis yaitu sebesar 1,0 dan seterusnya dalam kondisi stabil hingga tahun 2006 Hal ini sesuai dengan kondisi lapangan bahwa pada tahun 2004 untuk alat tangkap jaring insang tetap mengalami penambahan jumlah unit alat yang menyebabkan adanya peningkatan jumlah effort dari jaring insang tetap. 6.5 Analisis Optimasi Dinamik Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Perhitungan hasil estimasi parameter biologi dengan model CYP dipakai untuk mengkaji status sumberdaya perikanan untuk alat tangkap jaring insang tetap, klitik dan dogol. Hasil estimasi paramater biologi dan ekonomi tersebut digunakan untuk menganalisis dinamika sumberdaya rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Nilai optimal dari sumberdaya rajungan itu dapat diperoleh dengan menggunakan alat pemecahan analitik program MAPLE 9.5. Pemecahan analitik dari sumberdaya tersebut dilakukan berdasarkan dua nilai discount rate, yaitu menggunakan market discount rate sebesar 12 persen, dan real discount rate berdasarkan perhitungan dengan menggunakan pendekatan Kula (1984), sebesar 39 persen. Hasil pemecahan analitik dengan menggunakan program MAPLE 9.5 dari sumberdaya rajungan dengan dua nilai discount rate (δ ), seperti Tabel 15. Tabel 15 Hasil Pemecahan Analitik Melalui Program MAPLE 9.5 untuk Nilai Optimal Sumberdaya Rajungan di Perairan Pangkajene dan Kepulauan. 39% 12% Sumberdaya Rajungan x Optimal (kg per thn) Sumber : Hasil Analisis h Optimal (kg) E Optimal (trip) x Optimal (kg per thn) h Optimal (kg) E Optimal (trip) , , , , Phi =Rp 6.118,71 (juta Rp) Phi =Rp15.598,51 (juta Rp) Jumlah input produksi yang digunakan relatif lebih sedikit untuk menghasilkan optimal yield pada discount rate lebih rendah, dibandingkan dengan input produksi pada discount rate yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah discount rate akan mengurangi jumlah input produksi dan ini

70 55 secara alami akan dapat meningkatkan tingkat optimal yield dari sumberdaya perikanan. Secara umum discount rate yang lebih rendah dapat menghasilkan optimal yield dan optimal biomass yang lebih tinggi, bila dibandingkan menggunakan discount rate yang lebih tinggi. Artinya discount rate yang lebih tinggi akan memacu perburuan sumberdaya lebih ekstraktif dan dampaknya tentu akan mempertinggi tekanan terhadap sumberdaya tersebut. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya degradasi, yang akhirnya menimbulkan kepunahan sumberdaya itu. Sesuai pernyataan Clark C (1990) dan Anna S (2003) bahwa nilai discount rate yang lebih tinggi akan meningkatkan laju optimal dan eksploitasi sumberdaya terbarukan dan memungkinkan akan terjadinya kepunahan. Hasil penelitian yang ditunjukkan untuk masing-masing penggunaan alat tangkap jaring insang tetap, jaring klitik, dan dogol di perairan Pangkajene dan Kepulauan menunjukkan bahwa laju optimal eksploitasi seperti yang dimaksud oleh Clark C (1971), diperlihatkan oleh perbedaan jumlah input optimal pada discount rate 12% relatif lebih sedikit dari jumlah input optimal pada discount rate 39%. Nilai manfaat dari ekstraksi sumberdaya perikanan ditunjukkan dari * * * besarnya nilai rente yang dihitung dengan persamaan π = ph ce. Tabel 15 memperlihatkan nilai rente masing-masing dari pemanfaatan sumberdaya rajungan, dengan tingkat diskon berbeda. Tingkat discount rate yang tinggi akan menyebabkan terjadinya peningkatan upaya untuk mengekstraksi sumberdaya alam secara berlebihan. Upaya atau input yang berlebihan dalam mengekstraksi sumberdaya tersebut akan menyebabkan biaya untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya, juga manjadi lebih tinggi. Pada Gambar 16 adalah kondisi optimal dari pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap. Terlihat secara nyata bagaimana pengaruh tingkat discount rate dalam pemanfaatan dan ekstraksi sumberdaya rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan:

71 56 18,000 16,000 14,000 Rente (Rp Juta) 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2, Discount Rate (%) Rajungan Expon. (Rajungan) Gambar 16 Perbandingan Rente Optimal dengan Discount Rate 39% dan 12%. Gambar 16 menunjukkan bahwa pada tingkat suku bunga yang lebih tinggi menyebabkan tingkat ekstraksi semakin tinggi, sehingga dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap nilai rente yang diterima semakin kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat eksktraksi, akan mempercepat laju degradasi sumberdaya rajungan. Sebaliknya, jika tingkat bunga semakin kecil, maka tingkat ekstraksi semakin kecil, sehingga dalam jangka panjang akan berdampak pada rente yang lebih tinggi. Tingkat bunga yang tinggi, hanya akan menguntungkan dalam jangka pendek. 6.6 Kebijakan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan (sustainable) diperlukan suatu kebijakan dalam pengelolaannya. Oleh karena itu dalam pemanfaatan sumberdaya dilakukan secara optimal pada masa sekarang supaya generasi mendatang memperoleh nilai manfaat yang paling tidak sama dengan kondisi sekarang dari sumberdaya tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat alokasi optimal sumberdaya perikanan tangkap di Perairan Pangkajene dan Kepulauan terlihat pada Tabel 16.

72 57 Tabel 16 Alokasi Optimal Sumberdaya Perikanan Tangkap di Perairan Pangkajene dan Kepulauan Alokasi Optimal Satuan Aktual Rajungan Optimal* Yield kg per tahun ,09 Effort trip per tahun Alat Tangkap Unit Tangkapan kg per trip 1,3 3,47 Rente Total Juta Rp per tahun 3.800, ,71 Sumber : Hasil Analisis Tabel 16 menunjukkan bahwa berdasarkan tingkat diskount rate sebesar 39% produksi optimal untuk sumberdaya rajungan sebanyak ,09 kg per tahun, dengan tingkat upaya 99,304 trip. Apabila jumlah effort optimal dikonversi kembali ke dalam jumlah aktual, maka jumlah unit alat tangkap keseluruhan yang optimal adalah 204 unit alat tangkap setara jaring insang tetap. Sementara pada kondisi aktual jumlah seluruh alat tangkap sudah mencapai 909 unit. Artinya bahwa untuk pemanfaatan sumberdaya tersebut secara optimal yang akan memberikan nilai manfaat optimal jangka panjang maka jumlah alat yang ada perlu pengurangan jumlah alat atau jumlah effort per tahun. Uraian hasil penelitian ini merupakan hasil analisis dinamis optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan rajungan di Perairan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Nilai-nilai yang didapat dari hasil analisis ini merupakan nilai optimal yang dapat diperoleh oleh nelayan atau pelaku ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya tersebut. Apabila hal ini diimplementasikan maka nelayan akan memperoleh hasil yang optimal, yang pada akhirnya akan punya peluang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan Tabel 16, maka skenario kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya rajungan di Perairan Pangkajene dan Kepulauan, yang menjadi kajian adalah sebagai berikut: (1) Membuat kebijakan untuk tingkat upaya (Effort) pemanfaatan sumberdaya rajungan pada level optimal sebanyak trip atau dengan jumlah alat tangkap 204 unit setara jaring insang.

73 58 (2) Bentuk kebijakan yang diambil diantaranya adalah; (a) pengurangan jumlah upaya (effort) penangkapan rajungan atau (b) melakukan pola penggiliran alat tangkap yang beroperasi di Perairan Pangkajene dan Kepulauan. Langkah ini dilakukan untuk memperoleh pemanfaatan yang optimal yang memberikan nilai rente optimal bagi nelayan serta terjaminnya kelestarian sumberdaya rajungan untuk generasi yang akan datang.

74 VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa. (1) Tingkat pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan rajungan dengan effort sebesar trip per tahun, biomasss optimal ,64 kilogram dan yeld optimal ,09 kilogram, dari pemanfaatan optimal tersebut diketahui rente optimal sebesar Rp6.118,71. (2) Berdasarkan perbandingan kondisi aktual dan lestari maka pemanfaatan sumberdaya rajungan di Perairan Pangkajene dan Kepulauan telah terjadi overfishing. Hal ini terlihat dari jumlah unit alat tangkap dan jumlah effort aktual saat ini. (3) Tingkat laju degradasi dan depresiasi sumberdaya rajungan dari tahun 1995 sampai dengan 2006 secara rata-rata masih dibawah nilai koefisien belum terdegradasi, akan tetapi mulai tahun 2004 sampai dengan 2006 maka secara nyata telah terjadi laju degradasi dan depresiasi secara signifikan dengan nilai koefisien mencapai angka 1, Saran Agar tercapainya tingkat pemanfaatan sumberdaya rajungan yang optimal dan berkelanjutan serta mampu memberi nilai manfaat terhadap kesejahteraan nelayan, maka beberapa rekomendasi berikut dapat dijadikan bahan bagi Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pangkejene dan Kepulauan: (1) Agar membuat kebijakan tingkat upaya (Effort) penangkapan ikan pada level optimal yaitu trip per tahun. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya rajungan di perairan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, maka alternatif kebijakan yang bisa diterapkan adalah mengurangi jumlah alat tangkap pada kondisi optimal dari 909 unit alat tangkap menjadi 204 unit.

75 60 (2) Tidak mengurangi jumlah alat tangkap tetapi mengurangi effort dari trip pertahun menjadi trip per tahun, sehingga perlu melakukan pola penggiliran alat tangkap.

76 DAFTAR PUSTAKA Adrianto L Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Bogor : PKSPL, Institut Pertanian Bogor. Anna S Model Emmbedded Dinamik Ekonomi Interaksi-Perikanan : kasus di Teluk Jakarta, DKI Jakarta [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Adam Uji Kepekaan Model Numerik Perairan Pantai (in-shore) dan Lepas Pantai (off-shore) Pada Perikanan Rajungan (Portinus pelagicus) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Clarke RP, SS Yoshimoto dan SG Pooley A Bioeconomic Analysis of The North-Western Hawaiian Island Lobster Fishery. Marine Resource Economics 7(2): Dahuri R ; SP Ginting ; MJ Sitepu Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Statistik Perikanan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Fauzi A Analisis Sistem Dinamik. Bogor : Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A, S Anna Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Fish SA Blue Swimmer Crab. Gordon HS The Economic Theory of a Common Property Resources: The Fishery. Journal of Political Economy. 62, Kumar M, Ferguson, Y Xiao, and S Vanema Studies on Reproduktive Biologi and Distrution of The Blue Swimmer Crab (Portunnus Pelagicus) in South Australian Waters. SARDI Research Report Series No. 47 Suoth Australia. Australia. King M Fisheries Biology, Assessment and Management. Great Britain: Fishing News Book.

77 62 Kangas MI Synopsis of The Biology and Exploitation of The Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus Linnaeus, in Western Australia Fisheries Research Report No Laevastu T, and F Favorite Fishing and Stock Fluctuations. Fishing News Books, England. Munro GR The Economics of Overcapitalization and Fishery Resource Management : A Review. Concerted Action Workshop. Portsmouth. Mf crab Blue Crabs. Moosa MK, Burhanuddin dan H Razak Beberapa Catatan Mengenai Rajungan dari Teluk Jakarta dan Pulau-pulau Seribu dalam Sumberdaya Hayati Bahari. Rangkuman Hasil Penelitian II. Lembaga Oseanologi Nasional. Jakarta. 19 hal. Schaefer M Some Considerations of Population Dynamics and Economics Relation to the Management of Marine Fsheries. Canada: Journal of the Fisheries Research Board, 14: Zulham A Implikasi Kebijakan Subsidi Perikanan Pada Pengembangan Perikanan Tangkap : Kasus Pantai Utara (Pantura), Jawa Tengah [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

78 Lampiran 3 Jumlah Effort, Produksi Aktual dan Lestari Sumberdaya Rajungan Tahun Tahun Jaring Insang Tetap Produksi Total Rajungan Jaring Klitik Dogol Total Prod Jaring Insang Tetap Jaring Klitik Effort Dogol Standart Rata-rata Rata-rata

79 Lampiran 4 Standarisasi Alat Tangkap Tahun Jaring Insang Tetap Produksi Total Rajungan CPUE PFI Effort Jaring Jaring Jaring Total Jaring Jaring Jaring Dogol Insang Dogol Dogol Insang Klitik Prod Klitik Klitik Klitik Tetap Tetap Dogol Standart , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

80 Lanjutan lampiran 4 Tahun Jaring Insang Tetap Produksi Total Rajungan Jaring Klitik Dogol Total Prod Jaring Insang Tetap Effort Jaring Klitik Dogol Standart

81 Lampiran 5 Perhitungan Struktur Biaya Penangkapan Rajungan dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) Tahun Rajungan (kg) Total Produksi (kg) Share IHK Standar Biaya Riil (Rp/Trip) , ,00 0, , , , ,00 0, , , , ,00 0, , , , ,00 0, , , , ,00 0, , , , ,00 0, , , , ,00 0, , , , ,00 0, , , , ,00 0, , , , ,78 0, , , , ,44 0, , , , ,84 0, , ,68 Biaya Rata-rata ,71 69

82 Lampiran 6 Perhitungan discount rate Model Kula Tahun PDRB Jumlah penduduk PDRB Sektor pertanian porsi konsumsi konsumsi/kapita/tahun tahun Ln C Ln T ,00 260, , ,44 260, , ,70 263, , ,19 266, , ,84 268, , ,00 260, , ,48 265, , ,36 267, , ,37 269, , ,94 270, , ,89 296, , ,00 293, ,

83 Lanjutan lampiran 6 SUMMARY OUTPUT SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 12 ANOVA df SS MS F Significance F Regression E-06 Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept E X Variable E

84 Lampiran 7 Solusi Bioekonomi Pengelolaan Sumberdaya Rajungan Di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations 11 ANOVA df SS MS F Significance F Regression Residual Total Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0% Intercept X Variable X Variable E E E E E E-07

85 Lanjutan Lampiran 7 Solusi Bioekonomi Parameter Dinamik r= φ1=cost/price*q*k δ=ln(1+r) φ2=δ/r Diketahui : a = b = MEY (sole owner) OA MSY Optimal Dinamik (39%) Optimal Dinamik (12%) c = E-06 x 603, , , , , r = 2(1-b)/(1+b) h* 320, , , , , q = -c*(2+r) E-06 E* 88, , ,035 99,304 77,223 K = (EXP((a*(2+r))/(2*r)))/q kg Phi 2, , , Effort Opt (Emsy) = r/2q Trip Biomass MSY (xopt) = K/ kg hmsy (h opt) = rk/ kg Rata2 Produksi Aktual = kg Rata2 Effort Aktual = Trip % Overfishing = % Price = Juta Rp/kg Cost = Juta Rp/trip

86 Lampiran 8 Hasil Perhitungan Laju Degradasi dan Depresiasi Sumberdaya Rajungan Produksi Aktual Produksi Lestari Rente Aktual Rente Lestari Koeffisien Degradasi Standard Koeffisien , , , ,00 0,23 0,50 0,22 Koeffisien Depresiasi , , , ,00 0,39 0,50 0, , , , ,00 0,37 0,50 0, , , , ,00 0,40 0,50 0, , , , ,00 0,31 0,50 0, , , , ,00 0,36 0,50 0, , , , ,00 0,39 0,50 0, , , , ,00 0,37 0,50 0, , , , ,00 0,14 0,50 0, , , , ,99 0,50 1, , , , ,99 0,50 1, , , , ,10 1,00 0,50 1,00 73

87 74 Lampiran 9 Hasil Pemecahan Analitik dengan Program Maple 9.5 untuk Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan. > restart; > r:= ;q:= ;k:= ;p:= ;c:= ;del ta:=0.39; r := q := K := p := c := d := 0.39 > f(x):=r*x*(1-x/k); f( x) := x ( x) > plot(f(x),x= ,growth= ); > h:=q*x*e; > g:=solve(f(x)=h,x); h := x E g := 0., E > y:=q*e*k*(1-q/r*e); y := E ( E) Perhitungan tingkat Maximum Sustainable Yield (MSY) mengikuti solusi Clark (1985) yaitu: > hmsy:=(r*k)/4;emsy:=r/(2*q);xmsy:=hmsy/q/emsy; hmsy := EMSY := xmsy := > plot({y,hmsy},e= ,yield= );

88 75 Perhitungan bioekonomi pada kondisi open access (OA) dan Sole Owner (SO); > TC:=c*E; > TR:=p*y; TC := E TR := E ( E) plot({tr},e= ,revenue= ); > plot({tr,tc},e= ,revenue= ); > RentMSY:=(p*hMSY-c*EMSY);xOA:=c/p/q; RentMSY :=

89 76 > EOA:=solve(TR-TC=0,E); > hoa:=q*xoa*eoa; > MR:=diff(TR,E); > MC:=diff(TC,E); > ESO:=solve(MR-MC=0,E); xoa := EOA := 0., hoa := 0., MR := E MC := ESO := > TRSO:=p*q*ESO*K*(1-q/r*ESO); TRSO := > TCSO:=c*ESO; > RentSO:=TRSO-TCSO; > hso:=q*eso*k*(1-q/r*eso); > xso:=hso/q/eso; TCSO := RentSO := hso := xso := > Alokasi Optimal Sumberdaya Rajungan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan, sbb; > f(x):=r*(1-(2*x/k))+(c*r*(1-x/k)/(p*q*x-c))=delta; x f( x) := x + ( ) = 0.39 x > solve(f(x),x); , > xopt:= ;hopt:=r*xopt*(1-xopt/k); xopt := > EOpt:=hOpt/q/xOpt; hopt := EOpt := > plot({y,hmsy,hoa,hso,hopt},e= ,yield= );

90 77 > RentOpt:=p*hOpt-c*EOpt; RentOpt := > RentOvertime:=RentOpt/delta; RentOvertime := > delta1:=0.39;delta2:=0.12; d1 := 0.39 d2 := 0.12 > f(x):=r*(1-(2*x/k))+(c*r*(1-x/k)/(p*q*x-c))=delta1; x f( x) := x + ( ) = x > solve(f(x),x); > xopt1:= ; > hopt1:=r*xopt1*(1-xopt1/k); > EOpt1:=hOpt1/q/xOpt1; , xopt1 := hopt1 := EOpt1 := > f(x):=r*(1-(2*x/k))+(c*r*(1-x/k)/(p*q*x-c))=delta2; x f( x) := x + ( ) = 0.12 x > solve(f(x),x); > xopt2:= ; > hopt2:=r*xopt*(1-xopt2/k); , xopt2 := hopt2 :=

91 78 > EOpt2:=hOpt2/q/xOpt2; EOpt2 := > RentOpt1:=p*hOpt1-c*EOpt1; RentOpt1 := > RentOverTime1:=RentOpt1/delta1; RentOverTime1 := > RentOpt2:=p*hOpt2-c*EOpt2; RentOpt2 := > RentOverTime2:=RentOpt2/delta2; RentOverTime2 :=

92 79 Lampiran 10 Jaring Insang Tetap yang di Gunakan oleh Nelayan (a dan b), Proses Penebaran Jaring (c), dan Penarikan Jaring (d) a b a b c d

93 Lampiran 11 Jaring Klitik dan Perahu yang di Gunakan oleh Nelayan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 80

94 81 Lampiran 12 Proses Setting Dogol (a), Proses Hauling Dogol (b), Otter Board (c), Kapal Dogol yang digunakan Selama Penelitian (d) dan Posisi Jaring Dogol Saat di Turunkan (e) a b c d e

95 Lampiran 13 Rajungan Hasil Tangkapan Nelayan 82

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Perikanan Kabupaten Agam Aktifitas kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Agam hanya terdapat di satu kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Mutiara. Wilayah ini terdiri atas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya udang laut yang sangat besar, yakni sekitar 78 800 ton per tahun yang terdiri dari 74 000 ton per tahun untuk

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee ABSTRACT ANDAN HAMDANI. Analysis of Management and Assessment User Fee on Utilization of Lemuru Resources In Bali Strait. Under direction of MOCH PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Lemuru resources in

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KAKAP DI KABUPATEN KUTAI TIMUR (Bio-economic Analysis of Blood Snaper Resources Utilization in Kutai Timur Regency) ERWAN SULISTIANTO Jurusan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di TPI Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan alasan dan kriteria

Lebih terperinci

Pengelolaan SD Pulih -SD Ikan- Luh Putu Suciati

Pengelolaan SD Pulih -SD Ikan- Luh Putu Suciati Pengelolaan SD Pulih -SD Ikan- Luh Putu Suciati Economics History of Fisheries Ikan telah dikonsumsi sejak zaman Homo Erectus sampai Homo sapiens (38 000 tahun yang lalu) Desa nelayan yang menjadi pusat

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor perikanan dan kelautan diharapkan menjadi prime mover bagi pemulihan ekonomi Indonesia, karena prospek pasar komoditas perikanan dan kelautan ini terus meningkat

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

(In-shore and Off-shore Bioeconomic Model for Swimming Crab Fisheries Management in Makassar Strait)

(In-shore and Off-shore Bioeconomic Model for Swimming Crab Fisheries Management in Makassar Strait) MODEL BIOEKONOMI PERAIRAN PANTAI (IN-SHORE) DAN LEPAS PANTAI (OFF-SHORE) UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR (In-shore and Off-shore Bioeconomic Model for

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi** RINGKASAN Penelitian ini mengkaji

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat 27 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat (Lampiran 1). Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2011. Penentuan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Februari 2012 dengan interval waktu pengambilan sampel 1 bulan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan

Lebih terperinci

MAXIMUM ECONOMIC YIELD SUMBERDAYA PERIKANAN KERAPU DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA. Yesi Dewita Sari¹, Tridoyo Kusumastanto², Luky Adrianto³

MAXIMUM ECONOMIC YIELD SUMBERDAYA PERIKANAN KERAPU DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA. Yesi Dewita Sari¹, Tridoyo Kusumastanto², Luky Adrianto³ J. Bijak dan Riset Sosek KP. Vol.3 No.1, 2008 69 MAXIMUM ECONOMIC YIELD SUMBERDAYA PERIKANAN KERAPU DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Yesi Dewita Sari¹, Tridoyo Kusumastanto², Luky Adrianto³ Penelitian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Jurnal Galung Tropika, 5 (3) Desember 2016, hlmn. 203-209 ISSN Online 2407-6279 ISSN Cetak 2302-4178 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Crab

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini ditujukan terhadap kegiatan penangkapan unit alat tangkap jaring udang di wilayah pesisir Cirebon. Penelitian ini mencakup aspek aspek yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi Pribadi 2012)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi Pribadi 2012) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Rajungan (Portunus pelagicus) Jenis kepiting dan rajungan diperkirakan sebanyak 234 jenis yang ada di Indo Pasifik Barat, di Indonesia ada sekitar 124 jenis (Moosa

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

Studi Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Karang Konsumsi di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur

Studi Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Karang Konsumsi di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur Studi Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Karang Konsumsi di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur JAM 13, 1 Diterima, Mei 2014 Direvisi, Juni 2014 Desember 2014 Februari 2015 Disetujui, Maret 2015 Barnabas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian 35 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Timur, khususnya di PPP Labuhan. Penelitian ini difokuskan pada PPP Labuhan karena pelabuhan perikanan tersebut

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

Moch. Prihatna Sobari 2, Diniah 2, dan Danang Indro Widiarso 2 PENDAHULUAN

Moch. Prihatna Sobari 2, Diniah 2, dan Danang Indro Widiarso 2 PENDAHULUAN ANALISIS MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD MENGGUNAKAN BIO-EKONOMIK MODEL STATIS GORDON-SCHAEFER DARI PENANGKAPAN SPINY LOBSTER DI WONOGIRI 1 (Analysis of Maximum Sustainable Yield and

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX-

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX- CpUE Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX- By. Ledhyane Ika Harlyan 0.400 0.350 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000 Schaefer y = -0.000011x

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sumberdaya Alam

II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sumberdaya Alam II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sumberdaya Alam Soemarno MS (1991), mendefinisikan sumberdaya sebagai segala sumber persediaan yang secara potensial dapat didayagunakan. Dari sudut pandang ekonomi, sumberdaya

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU Berkala Perikanan Terubuk, November 2016, hlm 111 122 ISSN 0126-4265 Vol. 44. No.3 ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDANG KAMPAI KOTA DUMAI KUSNANDAR C

VALUASI EKONOMI DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDANG KAMPAI KOTA DUMAI KUSNANDAR C VALUASI EKONOMI DAMPAK PENCEMARAN LINGKUNGAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN MEDANG KAMPAI KOTA DUMAI KUSNANDAR C251020241 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: ISSN :

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: ISSN : Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: 263-274 ISSN : 2088-3137 ANALISIS BIOEKONOMI MODEL GORDON-SCHAEFER STUDI KASUS PEMANFAATAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI PERAIRAN UMUM

Lebih terperinci

ALOKASI OPTIMUM SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU 1 PENDAHULUAN

ALOKASI OPTIMUM SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU 1 PENDAHULUAN 1 ALOKASI OPTIMUM SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU 1 Oleh: Yudi Wahyudin 2, Tridoyo Kusumastanto 3, dan Moch. Prihatna Sobari 4 PENDAHULUAN Aktivitas penangkapan ikan di Perairan Teluk

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid Program Studi Ilmu Kelautan STITEK Balik Diwa Makassar Email : hartati.tamti@gmail.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh di kawasan sentra nelayan dan pelabuhan perikanan yang tersebar di wilayah pesisir Indonesia. Indonesia memiliki potensi

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Aktivitas Penangkapan Ikan Lemuru 5.1.1 Alat tangkap Purse seine merupakan alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan di sekitar Selat Bali dalam menangkap ikan lemuru. Purse

Lebih terperinci

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN Vol. 4 No. 1 Hal. 1-54 Ambon, Mei 2015 ISSN. 2085-5109 POTENSI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TONGKOL (Auxis thazard) DI PERAIRAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA The Potential

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan yang akan menjawab berbagai pertanyaan dan tujuan penelitian ini dan juga rekomendasi berupa implikasi kebijakan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004) 24 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSPi) dan dilaksanakan selama periode bulan Maret 2011 hingga Oktober

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis pantai 91.000

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Andi Adam Malik, Henny Setiawati, Sahabuddin Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 18 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di muara arah laut dan muara arah sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana yang mengalir menuju Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Tempat pelaksanaan penelitian tesis. Data yang Dikumpulkan. Data persepsi nelayan. Produktivitas per trip

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Tempat pelaksanaan penelitian tesis. Data yang Dikumpulkan. Data persepsi nelayan. Produktivitas per trip III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Pesisir Karawang dan Pesisir Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Pesisir Karawang merupakan lokasi objek utama permasalahan

Lebih terperinci

REZIM PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TERI DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI

REZIM PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TERI DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI REZIM PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TERI DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI INDAH PRIMADIANTI SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan 3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan Optimalisasi upaya penangkapan udang sesuai potensi lestari di Delta Mahakam dan sekitarnya perlu dilakukan. Kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI DAN OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LAYANG DI PERAIRAN KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA

ANALISIS BIOEKONOMI DAN OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LAYANG DI PERAIRAN KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 6, No. 1, Mei 2015 Hal: 13-22 ANALISIS BIOEKONOMI DAN OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LAYANG DI PERAIRAN KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA Bioeconomic Analysis

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI SUMBERDAYA RAJUNGAN

ANALISIS BIOEKONOMI SUMBERDAYA RAJUNGAN ANALISIS BIOEKONOMI SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI KABUPATEN TUBAN A Bioeconomic Analysis of Blue Swimming Crabs Resource (Portunus pelagicus) in Tuban Regency Trijana Adi Tama, Dian Wijayanto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN OPTIMAL SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS DAN DEMERSAL DI PERAIRAN BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR ZUL ASMAN RANDIKA

ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN OPTIMAL SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS DAN DEMERSAL DI PERAIRAN BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR ZUL ASMAN RANDIKA ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN OPTIMAL SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS DAN DEMERSAL DI PERAIRAN BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR ZUL ASMAN RANDIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

MODEL NUMERIK DIFUSI POPULASI RAJUNGAN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR

MODEL NUMERIK DIFUSI POPULASI RAJUNGAN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR MODEL NUMERIK DIFUSI POPULASI RAJUNGAN DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR (Diffusion Numerical Model for Swimming Crab Fisheries in the Makassar Strait) Adam 1, Indra Jaya 2, dan M. Fedi Sondita 3 ABSTRAK Salah

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum PPP Labuan, Banten Wilayah Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6 0 21-7 0 10 Lintang Selatan dan 104 0 48-106 0 11 Bujur Barat dengan luas

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KOTA AMBON

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KOTA AMBON Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 2 No. 3, Desember 2015: 181-190 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299 KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KOTA AMBON 1* 2 2 Ahadar Tuhuteru,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KARANG HIDUP KONSUMSI (LIFE REEF FISH FOR FOOD / LRFF) DI PERAIRAN KEPULAUAN SPERMONDE, SULAWESI SELATAN*

OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KARANG HIDUP KONSUMSI (LIFE REEF FISH FOR FOOD / LRFF) DI PERAIRAN KEPULAUAN SPERMONDE, SULAWESI SELATAN* 1 OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KARANG HIDUP KONSUMSI (LIFE REEF FISH FOR FOOD / LRFF) DI PERAIRAN KEPULAUAN SPERMONDE, SULAWESI SELATAN* Oleh: Benny Osta Nababan dan Yesi Dewita Sari** ABSTRAK

Lebih terperinci

MODEL ANALISIS EKONOMI DAN OPTIMASI PENGUSAHAAN SUMBERDAYA PERIKANAN

MODEL ANALISIS EKONOMI DAN OPTIMASI PENGUSAHAAN SUMBERDAYA PERIKANAN Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6, No. 3 Juli 2005 MODEL ANALISIS EKONOMI DAN OPTIMASI PENGUSAHAAN SUMBERDAYA PERIKANAN Dosen Fakultas Pengetajuan Ilmu Sosial Universitas Medan Abstrak: Peranan perikanan

Lebih terperinci

ALOKASI OPTIMAL PEMANFAATAN DAN NILAI LAND RENT SUMBERDAYA TAMBAK DI KECAMATAN TANAH MERAH KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU DWI SUSHANTY

ALOKASI OPTIMAL PEMANFAATAN DAN NILAI LAND RENT SUMBERDAYA TAMBAK DI KECAMATAN TANAH MERAH KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU DWI SUSHANTY ALOKASI OPTIMAL PEMANFAATAN DAN NILAI LAND RENT SUMBERDAYA TAMBAK DI KECAMATAN TANAH MERAH KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU DWI SUSHANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........ iv DAFTAR GAMBAR........ vii DAFTAR LAMPIRAN........ viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....... 1.2. Perumusan Masalah.......... 1.3. Tujuan dan Kegunaan..... 1.4. Ruang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SD ALAM PULIH (kasus SD Ikan) Luh Putu Suciati

PENGELOLAAN SD ALAM PULIH (kasus SD Ikan) Luh Putu Suciati PENGELOLAAN SD ALAM PULIH (kasus SD Ikan) Luh Putu Suciati Beda antara SDA pulih & tak pulih kemampuan regenerasi atau reproduksi Pertanyaan ekonomi mendasar : seberapa ekstraksi yg harus diambil saat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

Esda UC = User Cost. MCo = Kurva harga agregat dari semua firm di suatu industri (marginal extraction cost)

Esda UC = User Cost. MCo = Kurva harga agregat dari semua firm di suatu industri (marginal extraction cost) Esda 2016 1. User cost antara lain dipengaruhi oleh ekspektasi bahwa permintaan terhadap sumberdaya mineral akan naik pada masa yang akan datang. Jelaskan bagaimana hal ini berdampak pada efficient rate

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

Perkspektif ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam. Pertemuan ke 4

Perkspektif ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam. Pertemuan ke 4 Perkspektif ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam Pertemuan ke 4 Pandangan ekonom Sumberdaya menurut Adam Smith dalam Wealth of Nation (1776): seluruh faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI MODEL COPES PERIKANAN DEMERSAL PESISIR REMBANG. Bioeconomic Analitic Copes Mode Demersal Fish in Rembang Water

ANALISIS BIOEKONOMI MODEL COPES PERIKANAN DEMERSAL PESISIR REMBANG. Bioeconomic Analitic Copes Mode Demersal Fish in Rembang Water ANALISIS BIOEKONOMI MODEL COPES PERIKANAN DEMERSAL PESISIR REMBANG Bioeconomic Analitic Copes Mode Demersal Fish in Rembang Water Timotius Tarigan, Bambang Argo Wibowo *), Herry Boesono Program Studi Pemanfaatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI RAJUNGAN (Portunus pelagicus) MENGGUNAKAN PENDEKATAN SWEPT AREA DAN GORDON-SCHAEFER DI PERAIRAN DEMAK

ANALISIS BIOEKONOMI RAJUNGAN (Portunus pelagicus) MENGGUNAKAN PENDEKATAN SWEPT AREA DAN GORDON-SCHAEFER DI PERAIRAN DEMAK C 07 ANALISIS BIOEKONOMI RAJUNGAN (Portunus pelagicus) MENGGUNAKAN PENDEKATAN SWEPT AREA DAN GORDON-SCHAEFER DI PERAIRAN DEMAK Ika Istikasari, Abdul Kohar Mudzakir*), dan Dian Wijayanto Program Studi Pemanfaatan

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci