5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 34 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Evaluasi Daya Dukung dan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Pola ruang wilayah pesisir Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai. Kabupaten Batang sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan Laut Jawa, sehingga secara administratif memiliki 6 kecamatan pesisir. Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Kabupaten Batang telah melakukan penataan ruang untuk seluruh wilayah kabupaten, yang telah disahkan melalui Peraturan Daerah nomor 7 tahun Mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tersebut, maka Peraturan Daerah ini hanya mengatur wilayah pesisir untuk daratannya saja, sedangkan untuk wilayah perairannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, Kabupaten Batang belum mempunyai peraturan daerah untuk mengatur penataan ruang wilayah perairan. Berdasarkan dokumen RTRW Kabupaten Batang tahun , rencana pola ruang di wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Batang terbagi menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Pemanfaatan ruang di kecamatan pesisir Kabupaten Batang dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang, diketahui bahwa alokasi pemanfaatan untuk kawasan lindung seluas ha atau sekitar 6.41% dari luasan total, sedangkan kawasan budidaya peruntukannya sekitar ha atau 93.59%. Luasan alokasi pola ruang berdasarkan lokasi di kecamatan pesisir Kabupaten Batang disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Pola ruang wilayah pesisir dalam RTRW Kabupaten Batang berdasarkan lokasi/kecamatan No Kecamatan Budidaya Lindung ha % ha % Jumlah 1. Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing Jumlah Peruntukan kawasan lindung di wilayah pesisir Kabupaten Batang antara lain: hutan cagar alam, kawasan hutan bakau, sempadan sungai, sempadan pantai dan rawan tanah longsor, sedangkan kawasan budidaya terdiri dari: hutan produksi, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, sawah tadah hujan, pertambangan, perikanan, wisata pantai, peruntukan industri kawasan, permukiman desa dan permukiman kota (Tabel 11).

2 Tabel 11 Alokasi peruntukan ruang wilayah pesisir berdasarkan pola ruang RTRW Kabupaten Batang No Pola ruang RTRW Budidaya Lindung Jumlah ha % ha % ha 1. Hutan cagar alam Hutan bakau Rawan tanah longsor Sempadan pantai Sempadan sungai Hutan produksi Perkebunan Pertanian lahan kering Pertanian lahan basah Sawah tadah hujan Pertambangan Perikanan Wisata pantai Industri Permukiman desa Permukiman kota Jumlah Berdasarkan luasan tersebut dapat diketahui bahwa wilayah pesisir di Kabupaten Batang lebih difokuskan untuk kawasan budidaya, dimana peruntukan dominan adalah perkebunan, yaitu seluas ha. Dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang disebutkan bahwa pengembangan kawasan peruntukan perkebunan di Kabupaten Batang didasarkan pada kondisi eksisting kawasan dan kontribusi tiap komoditas terhadap produksi nasional. Secara keruangan, peruntukan kawasan perkebunan ini sebagian besar terdapat di Kecamatan Subah dan Gringsing (Gambar 5). Alokasi peruntukan ruang dominan di wilayah pesisir Kabupaten Batang selanjutnya adalah peruntukan kawasan permukiman kota seluas ha. Alokasi kawasan permukiman kota terbesar adalah di Kecamatan Batang dan sebagian berada di Kecamatan Kandeman. Kecamatan Batang merupakan ibukota Kabupaten Batang, dalam rencana tata ruang hampir seluruh wilayahnya dialokasikan sebagai kawasan permukiman kota untuk 20 tahun mendatang. Kebijakan ini dibuat dengan pertimbangan proyeksi pertumbuhan penduduk sampai dengan tahun 2029 dan jumlah kebutuhan permukiman di kecamatan ini paling tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Namun disayangkan untuk alokasi peruntukan kawasan permukiman kota ini, harus dilakukan alih fungsi lahan karena pemanfaatan/penggunaan lahan eksisting di wilayah ini sebagian besar merupakan lahan pertanian (sawah irigasi) dan perkebunan. Peruntukan hutan produksi dan pertanian lahan basah di kawasan pesisir Kabupaten Batang mempunyai persentase yang hampir sama dan cukup luas. Alokasi peruntukan kawasan pertanian lahan basah seluas ha. Kawasan ini diperuntukkan bagi penanaman padi secara terus menerus. Dalam RTRW Kabupaten Batang, alokasi kawasan pertanian lahan basah berada menyebar di hampir seluruh wilayah kabupaten pada masing-masing kecamatan (kecuali Kecamatan Batang). 35

3 36 Peruntukan kawasan hutan produksi dialokasikan seluas ha. Berdasarkan dokumen RTRW Kabupaten Batang, kawasan hutan produksi adalah kawasan hutan yang dibudidayakan dengan tujuan diambil hasil hutannya baik hasil hutan kayu maupun non kayu. Kawasan ini merupakan kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya pembangunan, mendukung pengembangan industri dan ekspor. Kawasan hutan produksi meskipun merupakan kawasan budidaya tetapi juga memiliki fungsi perlindungan sebagai daerah resapan air. Kawasan ini tidak boleh dialihfungsikan untuk kegiatan lain, dan harus dikendalikan secara ketat. Hutan produksi di Jawa Tengah yang dikelola Perum PERHUTANI meliputi hutan jati dan hutan rimba. Hutan jati dibudidayakan untuk diambil hasil hutan kayunya, sedangkan hutan rimba dibudidayakan untuk diambil hasil hutan non kayu meliputi: damar, rotan dan hasil hutan lainnya. Secara keruangan peruntukan huutan produksi dialokasikan di Kecamatan Subah dan Gringsing, dan sebagian kecil di Kecamatan Tulis. Peruntukan kawasan budidaya lainnya di wilayah pesisir Kabupaten Batang luasnya relatif tidak begitu luas. Apabila dibandingkan dengan peruntukan kawasan budidaya, peruntukan kawasan lindung di wilayah pesisir masih sangat terbatas luasannya. Jumlah luasan terbanyak untuk kawasan lindung adalah sempadan sungai sebesar ha. Selain penataan ruang sebagai kawasan lindung dan budidaya, pemerintah Kabupaten Batang juga menetapkan kawasan strategis yang sebagian besar dialokasikan di wilayah pesisir. Penetapan kawasan strategis di wilayah pesisir meliputi kawasan strategis dari sisi pertumbuhan ekonomi, kawasan strategis pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi dan kawasan strategis daya dukung lingkungan hidup. Kawasan strategis dari sisi pertumbuhan ekonomi meliputi: 1) kawasan pelabuhan niaga yang dialokasikan di Kecamatan Batang, kawasan pengembangan wisata (wisata pantai Sigandu-Ujungnegoro di Kecamatan Batang dan Kandeman), kawasan peruntukan industri yang dialokasikan di Kecamatan Gringsing, Banyuputih, Subah, Tulis dan Kandeman; 2) kawasan strategis pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi adalah kawasan Peruntukan Pembangkit Listrik Tenaga Uap, direncanakan di Kecamatan Kandeman; dan 3) kawasan strategis daya dukung lingkungan hidup yaitu kawasan konservasi perairan berada di perairan Kecamatan Batang dan Kandeman. Kabupaten Batang juga telah mengalokasikan salah satu kawasan pesisir dan lautnya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yakni Kawasan Konservasi Perairan Ujungnegoro-Roban, yang telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati nomor: 523/283/2005 tentang Penetapan kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang. Selanjutnya kawasan konservasi perairan ini telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor: KEP.29/MEN/2012 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang di Provinsi Jawa Tengah yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya pesisir yang masih tersisa, terutama untuk perlindungan ekosistem terumbu karang di wilayah perairan Ujungnegoro-Roban. Kawasan

4 konservasi perairan ini terbagi menjadi beberapa zona, yaitu: zona inti, zona pemanfaatan terbatas dan zona pemanfaatan lainnya. Zonasi dalam kawasan ini mempunyai potensi yang saling berkaitan. Zona inti merupakan kawasan perlindungan terhadap habitat penting di Kabupaten Batang. Zona inti terdapat pada ekosistem karang Maeso. Ekosistem karang Maeso memiliki potensi sebagai habitat biota sedentary dan potensi larva sebagai daerah nursery ground, serta berperan sebagai perisai pantai yang dapat meredam ancaman gelombang dan arus. Zona pemanfaatan terbatas adalah kawasan yang dijadikan tempat penelitian, pendidikan, wisata maupun perlindungan habitat. Selain itu untuk mendukung zona inti di Karang Maeso perlu disangga oleh zona pemanfaatan terbatas yakni sub-zona penyangga. Zona pemanfaatan lainnya meliputi wilayah perairan dan daratan di Ujungnegoro dan sekitarnya. Pada zona lainnya ini terdapat stok ikan yang cukup untuk kegiatan perikanan tangkap tradisional serta terdapat lahan yang cukup sesuai untuk kegiatan pertanian dan budidaya perikanan (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang 2012). Untuk wilayah perairan Kabupaten Batang, selain dialokasikan sebagai kawasan konservasi perairan, pemanfataan lainnya adalah sebagai kawasan wisata pantai dan daerah tangkapan ikan bagi nelayan setempat, namun nelayan ini adalah nelayan yang menggunakan peralatan-peralatan sederhana/nelayan tradisional. Rencana pola ruang wilayah pesisir Kabupaten Batang, dapat dilihat pada Gambar Gambar 5 Pola ruang wilayah pesisir Kabupaten Batang

5 Penggunaan/pemanfaatan lahan wilayah pesisir Penggunaan/pemanfaatan lahan adalah bentuk fisik atau cerminan aktivitas manusia yang terkait dengan fungsi suatu lahan, yang ditentukan oleh kondisi fisik dan non fisik dan menggambarkan sistem pengelolaannya (Rustiadi et al. 2010). Pemanfaatan lahan dominan di wilayah pesisir Kabupaten Batang adalah perkebunan (43.42%), disusul dengan sawah irigasi (25.46%) dan permukiman (11.99%), sedangkan untuk pemanfaatan lahan lainnya relatif kecil. Secara keruangan, lahan perkebunan sebagian besar berada di sebelah timur yaitu di Kecamatan Subah, Banyuputih dan Gringsing, dimana kurang lebih 50% dari luas wilayahnya merupakan lahan perkebunan. Komoditi tanaman perkebunan di Kabupaten Batang mencakup tanaman karet, kapuk/randu, kakao dan lain sebagainya. Kawasan perkebunan ini sebagian besar dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara IX Siluwok. Pemanfaatan lahan untuk sawah irigasi tersebar merata di 6 kecamatan. Kecamatan Batang, Kandeman dan Gringsing merupakan kecamatan dengan pemanfaatan lahan untuk sawah irigasi terluas dibandingkan dengan kecamatan lainnya dan sebagian besar merupakan sawah irigasi teknis. Secara keruangan, lahan permukiman sebagian besar berada di wilayah barat dengan pemanfaatan lahan terbesar berada di Kecamatan Batang dan Kandeman, yaitu kurang lebih seperempat dari luas wilayahnya. Kecamatan Batang merupakan ibukota Kabupaten Batang, sedangkan Kecamatan Kandeman lokasinya berdekatan dengan Kecamatan Batang, sehingga pemanfaatan lahan untuk permukiman sebagian besar terpusat di kedua wilayah ini. Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir beserta luasannya disajikan pada Tabel 12 dan secara keruangan ditampilkan pada Gambar 6. Tabel 12 Pemanfaatan lahan di wilayah pesisir No Pemanfaatan Luas ha % 1. Air tawar 333,04 0,99 2. Belukar/semak 929,08 2,76 3. Rumput 225,84 0,67 4. Penggaraman 12,04 0,04 5. Empang 833,16 2,47 6. Sawah irigasi 8.578,19 25,46 7. Sawah tadah hujan 2.106,42 6,25 8. Perkebunan ,86 43,42 9. Tegalan 1.975,47 5, Permukiman 4.040,94 11, Gedung 30,65 0,09 Jumlah ,69 100,00

6 39 Gambar 6 Pemanfaatan/penggunaan lahan di wilayah pesisir Kemampuan Lahan Kelas kemampuan lahan adalah adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat pembatas atau penghambat yang sama jika digunakan untuk pertanian pada umumnya (Sys et al dalam Arsyad 2011). Kelas kemampuan lahan memiliki tingkat kesamaan faktor-faktor pembatas dengan 8 kelas kemampuan lahan yang dikelompokkan ke dalam kelas I sampai dengan kelas VIII. Berdasarkan hasil analisis kemampuan lahan untuk kecamatan pesisir, maka wilayah pesisir Kabupaten Batang terbagi atas 4 kelas kemampuan lahan, yaitu kemampuan lahan kelas II, III, IV dan VI. Luasan kelas kemampuan lahan II, III, IV dan VI berturut-turut adalah ha (17.77%), ha (59.82%), ha (19.75%) dan ha (2.66%). Luasan masing-masing kemampuan lahan disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Kemampuan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Batang Kelas kemampuan lahan No Kecamatan II III IV VI Jumlah ha % ha % ha % ha % 1. Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing

7 40 Kemampuan lahan kelas II dengan kemiringan lereng >3%-8% memiliki tingkat erosi yang ringan dan kedalaman tanah yang sedang, masih memiliki pilihan penggunaan yang relatif banyak tetapi untuk penggunaan lahan yang sangat intensif sangat tidak disarankan pada kelas kemampuan lahan ini. Kemampuan lahan kelas III memiliki pilihan penggunaan lahan yang lebih sedikit dari kelas kemampuan lahan II karena memiliki faktor pembatas yang lebih berat seperti kemiringan >8%-15%, tingkat erosi sedang dan kedalaman tanahnya dangkal. Kemampuan lahan kelas IV memiliki faktor pembatas yang lebih berat lagi, seperti memiliki kemiringan lereng >15%-30% dan kepekaan erosi yang sangat tinggi. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), untuk kemampuan lahan kelas VI sudah tidak cocok digunakan untuk penggunaan lahan pertanian karena memiliki faktor pembatas yang berat, yaitu kemiringan >30%-45% dan telah tererosi berat. Secara keruangan, penyebaran klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Gambar 7. Kelas kemampuan lahan II terdapat di Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis dan sebagian di Kecamatan Gringsing. Kelas kemampuan lahan III menyebar di semua kecamatan, sedangkan untuk kelas kemampuan lahan IV terdapat di Kecamatan Kandeman, Tulis, Subah, Banyuputih dan Gringsing. Untuk kelas kemampuan lahan VI hanya terdapat di 2 kecamatan saja yaitu Kecamatan Tulis dan Subah. Gambar 7 Kelas kemampuan lahan wilayah pesisir Kabupaten Batang Evaluasi daya dukung wilayah pesisir berbasis kemampuan lahan terhadap RTRW Kabupaten Batang Evaluasi daya dukung dalam kaitan RTRW dilihat berdasarkan rencana pola ruang dikaitkan dengan kemampuan lahan. Evaluasi ruang dikaitkan dengan

8 kemampuan lahan ditujukan untuk melihat sejauh mana perencanaan alokasi sudah mempertimbangkan kemampuan lahan. Berdasarkan kemampuan lahan, alokasi pola ruang wilayah pesisir dalam RTRW sebagian besar sudah menunjukkan kesesuaian yaitu seluas ha atau sebesar 98.72%, sedangkan alokasi peruntukan yang tidak sesuai seluas ha atau sebesar 1.28%. Peruntukan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya berada di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Tulis (3.90%) dan Subah (2.86%) (Tabel 14). Tabel 14 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap kemampuan lahan berdasarkan lokasi No Kecamatan Sesuai Tidak sesuai ha % ha % Jumlah 1. Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing Jumlah Dari 16 tipe peruntukan, terdapat 4 peruntukan yang tidak sesuai dengan daya dukungnya, yaitu perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah dan permukiman desa (Tabel 15). Tabel 15 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap kemampuan lahan No Pola ruang Sesuai Tidak sesuai ha % ha % Jumlah 1. Hutan cagar alam Hutan bakau Rawan tanah longsor Sempadan pantai Sempadan sungai Hutan produksi Perkebunan Pertanian lahan kering Pertanian lahan basah Sawah tadah hujan Pertambangan Perikanan Wisata pantai Industri Permukiman desa Permukiman kota Jumlah Kendala yang menjadi penyebab ketidaksesuaian untuk peruntukan tersebut adalah lahan yang berlereng curam yaitu berada pada lereng dengan kecuraman 41

9 %. Lereng yang curam memunculkan potensi membuat tanah menjadi tidak stabil jika tetap dijalankan peruntukan yang ada. Namun jika kendala tersebut dianggap dapat dikendalikan maka zonasi menjadi sesuai. Kendala yang ada dapat ditanggulangi dengan ilmu dan teknologi. Secara keruangan daerah yang tidak sesuai kemampuannya perlu dilakukan perubahan kawasan atau perubahan pengelolaan tanah. Secara keruangan hasil evaluasi kesesuaian pola ruang dalam RTRW dengan kemampuan lahan ditampilkan pada Gambar 8. Gambar 8 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap kemampuan lahan Kondisi Perairan Kondisi perairan Kabupaten Batang ditampilkan dalam Gambar 8. Untuk mengetahui kondisi perairan didapatkan dari data-data parameter fisika dan kimia perairan yang disesuaikan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, khususnya baku mutu air laut untuk biota laut. Beberapa parameter fisika dan kimia yang digunakan antara lain: suhu, salinitas, ph, DO, ortofosfat, amonia, nitrat dan sulfida (Tabel 16). Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam menganalisis suatu kualitas air, karena suhu dapat mempengaruhi seluruh kehidupan biota perairan. Kondisi suhu perairan lebih banyak dipengaruhi oleh temperatur udara yang terabsorbsi ke dalam air. Pengambilan data parameter fisika dan kimia perairan ini dilakukan pada Bulan Juni 2012, dimana pada bulan ini di Indonesia terjadi musim Timur yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau dan umumnya suhu perairan relatif tinggi. Suhu di perairan Kabupaten Batang berada pada kisaran nilai C. Mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan

10 Hidup nomor 51 tahun 2004, maka kisaran suhu perairan di Kabupaten Batang masih dikategorikan sesuai bagi kelangsungan biota perairan di dalamnya. Kisaran nilai untuk parameter kimia salinitas, ph dan oksigen terlarut (DO) di perairan Kabupaten Batang berturut-turut adalah: / 00 ; dan mg/l. Nilai baku mutu untuk salinitas yaitu berada pada kondisi alami sampai dengan / 00, baku mutu ph yaitu dan baku mutu untuk oksigen terlarut yaitu >5.000 mg/l (KLH 2004). Berdasarkan nilai baku mutu, kisaran nilai untuk salinitas, ph dan DO di perairan Kabupaten Batang masih layak bagi pertumbuhan biota perairan. No Bujur Lintang Tabel 16 Data parameter perairan di Kabupaten Batang Suhu ( 0 C) Salinitas ( 0 / 00 ) ph DO (mg/l) Orto Fosfat (mg/l) Amonia (mg/l) Nitrat (mg/l) 43 Sulfida (mg/l) < < < < < < < < < < < < < < < < < < < < < < < < < <0.001 Sumber: Loka PSPL Serang, KKP (2012) Kadar Amonia di perairan Kabupaten Batang menunjukkan nilai yang bervariasi, yaitu berkisar antara mg/l. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004, kadar amonia di sebagian besar perairan Kabupaten Batang masih berada di bawah baku mutu, namun ada lokasi yang menunjukkan kadar amonia sudah melebihi baku mutu, meskipun nilainya tidak terlalu jauh melebihi baku mutu yaitu di sekitar perairan Kecamatan Tulis dan Subah (Gambar 9a). Unsur nitrogen (N) dan fosfor (P) merupakan unsur hara (nutrisi) yang diperlukan oleh fitoplankton maupun tumbuhan laut lainnya untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Unsur-unsur tersebut ada dalam bentuk nitrat dan fosfat. Nilai nitrat di perairan Kabupaten Batang berkisar antara mg/l (Gambar 9b). Apabila mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 yang menyebutkan nilai baku mutu untuk nitrat adalah sebesar mg/l, maka kadar nitrat di perairan Kabupaten Batang sudah melebihi baku mutu. Untuk kadar ortofosfat di perairan Kabupaten Batang, nilainya berkisar antara < mg/l (Gambar 9c). Secara umum kadar ortofosfat di perairan Kabupaten Batang nilainya masih berada di bawah baku mutu, yaitu mg/l

11 44 (KLH 2004). Namun ada beberapa lokasi yang nilai ortofosfatnya melebihi baku mutu, yaitu berada di perairan Kecamatan Batang, Tulis dan Gringsing. Nilai ortofosfat yang tinggi ini disebabkan oleh tingginya kadar ortofosfat yang terkandung dalam air sungai yang bermuara ke laut, yang berasal dari limbah, baik dari rumah tangga maupun industri. Nilai (mg/l) 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 Grafik Sebaran Nilai Amonia di Perairan Kabupaten Batang : Baku Mutu : Baku Mutu Titik Pengamatan Nilai (mg/l) 0,18 0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 Grafik Sebaran Nilai Nitrat di Perairan Kabupaten Batang Titik Pengamatan : Baku Mutu : Baku Mutu (a) (b) Grafik Sebaran Nilai Ortofosfat di Perairan Kabupaten Batang Nilai (mg/l) 0,03 0,025 0,02 0,015 0,01 0, Titik Pengamatan : Baku Mutu (c) Gambar 9 Sebaran nilai Amonia, Nitrat dan Ortofosfat di perairan Kabupaten Batang Evaluasi penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan Dalam kaitan dengan penggunaan lahan, semakin tinggi kelas kemampuan lahannya maka semakin sedikit pilihan penggunaan lahannya, dengan pertimbangan kualitas lahan yang semakin buruk dan memiliki faktor pembatas yang besar. Semakin rendah kelas kemampuan lahannya maka kualitas lahannya semakin baik dan memiliki faktor pembatas yang kecil, sehingga sesuai untuk banyak penggunaan lahan. Menurut Rustiadi et al. 2010a, penggunaan lahan yang dievaluasi dengan kemampuan lahan menunjukkan bahwa lahan yang mempunyai kemampuan lahan tinggi akan mempunyai pilihan penggunaan lahan yang lebih banyak, sedangkan kemampuan lahan rendah mempunyai pilihan penggunaan lahan terbatas.

12 Hasil overlay peta penggunaan lahan dengan kemampuan lahan didapatkan luas kesesuaian penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan sebesar ha (97.43%) dan sebesar ha (2.57%) menunjukkan ketidaksesuaian (Tabel 17). Ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan kemampuan lahannya yaitu penggunaan lahan untuk perkebunan, tegalan, permukiman, sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Ketidaksesuaian penggunaan lahan ini disebabkan karena terletak pada lereng yang curam. Tabel 17 Evaluasi penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan No Penggunaan lahan Sesuai Tidak sesuai ha % ha % Jumlah 1. Air tawar Belukar/semak Rumput Penggaraman Empang Sawah irigasi Sawah tadah hujan Perkebunan Tegalan Permukiman Gedung Jumlah Secara keruangan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan tersebut menyebar di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Tulis (0.74%) dan Subah (1.92%), sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 10. Daerah yang berwarna merah adalah daerah yang penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuannya. 45 Gambar 10 Evaluasi penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan

13 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap penggunaan lahan Hasil overlay antara peta penggunaan lahan dengan peta pola ruang RTRW menunjukkan inkonsistensi penggunaan lahan wilayah pesisir terjadi sebesar 25.65% dari luasan total. Hal ini berarti bahwa lebih dari 70% penggunaan lahan di wilayah pesisir masih sesuai dengan peruntukan dalam RTRW atau dapat dikatakan penggunaan lahan pada umumnya masih konsisten dengan peruntukan RTRW. Tabel 18 menyajikan evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap penggunaan lahan. Tabel 18 Evaluasi pola ruang RTRW Kabupaten Batang terhadap penggunaan lahan No Pola ruang RTRW Konsisten Inkonsisten ha % ha % Jumlah 1. Hutan cagar alam Hutan bakau Rawan tanah longsor Sempadan pantai ,49 5. Sempadan sungai ,30 6. Hutan produksi ,77 7. Perkebunan ,64 8. Pertanian lahan kering Pertanian lahan basah Sawah tadah hujan Pertambangan Perikanan Wisata pantai Industri Permukiman desa Permukiman kota Jumlah Inkonsistensi pola ruang RTRW terhadap penggunaan lahan terbesar secara umum adalah peruntukan hutan produksi yaitu sebesar 11.46% dari luasan total. Peruntukan hutan produksi saat ini sebagian besar masih digunakan sebagai perkebunan, permukiman, sawah irigasi, tegalan, sawah tadah hujan, semak/belukar dan rumput. Untuk kawasan lindung, peruntukan lahan untuk sempadan sungai dan hutan cagar alam juga menunjukkan nilai inkonsisten yang tinggi, dimana kawasan tersebut masih digunakan untuk perkebunan, sawah, tegalan dan permukiman (Lampiran 1). Pola ruang di wilayah pesisir seperti peruntukan hutan bakau, sempadan pantai, wisata pantai dan perikanan juga menunjukkan inkonsistensi yang cukup tinggi terhadap penggunaan lahan. Peruntukan lahan untuk kawasan hutan bakau saat ini masih digunakan untuk perkebunan dan sawah irigasi, sedangkan untuk sempadan pantai lebih dari 90% dari luasannya digunakan untuk penggunaan lain, seperti sawah irigasi, empang, permukiman, perkebunan dan tegalan (Lampiran 1). Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena peruntukan kedua kawasan tersebut berfungsi sebagai kawasan lindung di wilayah pesisir. Peruntukan kawasan budidaya di wilayah pesisir yang menunjukkan inkonsistensi terbesar adalah peruntukan wisata dan perikanan, dimana sebagian masih digunakan untuk perkebunan, sawah dan permukiman (Lampiran 1).

14 Secara keruangan inkonsistensi pola ruang RTRW terhadap penggunaan lahan disajikan pada Gambar 11. Nilai inkonsistensi tertinggi terdapat di Kecamatan Subah sebesar 41.18%, disusul dengan Kecamatan Gringsing sebesar 25.57% dan Kecamatan Tulis sebesar 23.15% dari luasan. Nilai inkonsistensi terendah terdapat di Kecamatan Batang yaitu sebesar 9.04%. 47 Gambar 11 Inkonsistensi pola ruang RTRW terhadap pemanfaatan lahan Permasalahan lingkungan di wilayah pesisir Dari berbagai data yang diperoleh dan hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan hampir seluruh wilayah pesisir di Kabupaten mengalami permasalahan lingkungan yang sama seperti kerusakan mangrove, abrasi maupun rob. Wilayah pesisir Kabupaten Batang secara umum memiliki potensi alam yang sama dan juga menyimpan potensi bencana yang hampir serupa, namun dengan tingkat kerusakan yang bervariasi. Bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Kabupaten Batang adalah erosi (abrasi) pantai, banjir dan rob. Secara umum, tingkat kerusakan ekosistem mangrove (bakau) di seluruh wilayah pesisir Kabupaten Batang dikategorikan sudah rusak dengan jumlah tutupan yang tidak begitu luas, keberagaman jenisnya pun sudah tidak banyak lagi (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Batang 2012). Hasil interpretasi citra satelit menunjukkan penurunan luasan mangrove yang terjadi antara tahun , yaitu dari ha pada tahun 2003 menjadi ha pada tahun 2006 (Dokumen RSWP Kabupaten Batang 2011). Akibat kerusakan hutan mangrove tersebut, pantai di Kabupaten Batang terabrasi sehingga bibir atau garis pantainya bergeser mencapai meter dari sebelumnya.

15 48 Penyebab kerusakan ekosistem mangrove tersebut sebagian besar oleh kegiatan budidaya perikanan yang kurang peduli terhadap pelestarian ekosistem mangrove. Penyebab lainnya adalah kurang terkoordinasinya pembangunan di wilayah pesisir, banyaknya pembangunan kontruksi yang menjorok ke laut tanpa mengindahkan keadaan hidrodinamika perairan laut. Dalam RTRW Kabupaten Batang , kawasan lindung untuk hutan bakau ditetapkan di kawasan pantai Kecamatan Subah. Abrasi atau disebut juga erosi pantai adalah proses pengikisan pantai oleh kekuatan gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi dapat disebabkan oleh faktor alam dan bukan alam (kegiatan manusia). Faktor alam yang berperan bagi terjadinya abrasi adalah peningkatan daya gempur gelombang dan arus yang disebabkan naiknya paras (muka) laut (sea level rise). Kenaikan muka air laut ini merupakan dampak yang timbul akibat fenomena pemanasan global (Global Warming). Abrasi juga dapat terjadi akibat kegiatan manusia yang sifatnya merusak seperti pengambilan batu dan pasir di pesisir secara berlebihan serta penebangan pohon hutan pantai atau hutan mangrove. Berdasarkan data yang ada maupun pengamatan visual tentang keadaan pantai Kabupaten Batang, sebagian telah mengalami kerusakan yang cukup parah. Dari panjang pantai 38,75 km, kerusakan pantai mencapai 19,35%. Kerusakan pantai terpanjang terdapat di Desa Klidang Lor, Kecamatan Batang sepanjang 1,5 km, termasuk di dalamnya Pantai Sigandu. Sekitar 1 km Pantai Sigandu terkena abrasi yang merusak tanaman peneduh dan tanaman pantai lainnya (Dinas Kelautan dan Perikanan 2011). Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Batang (2011) dalam Loka PSPL Serang (2012) menunjukkan bahwa pantai di Kabupaten Batang sepanjang km atau ha telah mengalami abrasi. Dalam dokumen RTRW Kabupaten Batang disebutkan kawasan rawan abrasi di Kabupaten Batang ditetapkan berdasarkan potensi kejadian abrasi yang sering terjadi pada wilayah tertentu di beberapa pantai, yaitu daerah pantai yang masuk dalam wilayah Desa Denasri Kulon, Karangasem Utara dan Desa Klidang Lor Kecamatan Batang; Desa Depok Kecamatan Kandeman; Desa Kedungsegog Kecamatan Tulis dan Desa Kedawung Kecamatan Banyuputih. Bencana lainnya yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Batang adalah adanya rob (air pasang) yang semakin meningkat intensitas dan frekuensinya, sehingga dampaknya sampai ke arah daratan dan menggenangi permukiman penduduk, fasilitas pendidikan dan infrastruktur umum yang mengakibatkan terjadinya lingkungan kumuh. Masalah banjir dan rob (gelombang pasang) secara garis besar disebabkan oleh keadaan alam dan ulah campur tangan manusia sehingga dalam pemecahannya tidak hanya dihadapkan pada masalah-masalah teknis saja tetapi juga oleh masalah-masalah yang berhubungan dengan kepadatan penduduk yang melampaui batas. Curah hujan yang cukup tinggi dan fenomena kenaikan muka air laut (Sea Level Rise) akibat pemanasan global (Global Warming) serta penurunan tanah (Land Subsidence) merupakan faktor penyebab yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dan rob. Faktor lainnya yang ikut berpengaruh terjadinya banjir dan rob adalah tersumbatnya saluran drainase dan sungai oleh sampah. Kawasan rawan banjir dan rob di Kabupaten Batang ditetapkan berdasarkan potensi kejadiaan banjir dan rob yang sering terjadi pada wilayah tertentu, yaitu di

16 beberapa tempat yang masuk dalam wilayah Kecamatan Batang, Subah, Gringsing dan Kecamatan Banyuputih (Dokumen RTRW Kabupaten Batang ) Pemahaman Masyarakat terhadap Pengelolaan dan Penataan Ruang Wilayah Pesisir di Kabupaten Batang Selama ini muncul anggapan bahwa pengetahuan dan pengertian masyarakat tentang sumberdaya pesisir dan laut masih minim. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ditelaah pandangan dan penilaian masyarakat mengenai wilayah pesisir berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka. Persepsi responden terhadap pengelolaan wilayah pesisir dalam penelitian ini didefinisikan berdasarkan pemahaman responden terhadap wilayah pesisir dan pengelolaannya. Adapun hasil jawaban responden disajikan pada Tabel 19 dan Tabel 20. Tabel 19 Pemahaman/pengetahuan masyarakat terkait kebijakan pemerintah No Kec kebijakan sosialisasi rtrw Kab Batang rencana pruntukan lahan Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk 1. Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing Rata-rata Berkaitan dengan kebijakan mengenai pengelolaan wilayah pesisir yang sudah dibuat oleh pemerintah, lebih dari 50% responden mengatakan tidak mengetahui. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah dapat disebabkan kurangnya sosialisasi dan keterbukaan dari pemerintah. Suatu kebijakan biasanya berisi aturan-aturan maupun laranganlarangan yang harus dipatuhi dan sudah semestinya harus disebarluaskan agar dapat diketahui oleh masyarakat sehingga dapat meminimalkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran. Berdasarkan tata kelola yang baik (good governance), salah satu asas/prinsip penting yang harus dijalankan oleh pemerintah yaitu transparansi. Transparansi berarti keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu: (a) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (b) hak masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya (Bappenas dan Depdagri 2002). Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal balik antara

17 50 pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Kurangnya keterbukaan pemerintah dan minimnya informasi yang diberikan kepada masyarakat, menyebabkan kebijakan-kebijakan yang dibuat banyak tidak diketahui masyarakat secara umum. Terkait kegiatan sosialisasi, dari semua responden sebanyak 76.94% menjawab bahwa mereka tidak pernah mengikuti sosialisasi/konsultasi publik mengenai rencana tata ruang wilayah Kabupaten Batang, hanya sebesar 23.06% responden yang pernah mengikuti kegiatan ini. Kegiatan sosialisasi/konsultasi publik mengenai rencana tata ruang memang telah dilakukan oleh pemerintah, namun biasanya hanya mengundang perangkat desa, tokoh masyarakat setempat maupun perwakilan dari kelompok masyarakat saja, sedangkan bagi masyarakat umum biasanya sangat jarang yang menghadirinya dan tampaknya masih sangat jarang masyarakat yang mau hadir karena inisiatif dan kesadaran pribadi, sehingga sebagian besar responden juga tidak mengetahui tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Batang maupun rencana pemanfaatan ruang di wilayah mereka. Tabel 20 Pemahaman/pengetahuan masyarakat terkait penggunaan lahan No Kecamatan penggunaan lahan penggunaan lahan vs rtrw daya dukung vs rtrw Ya Tdk Ya Tdk Ya Tdk 1. Batang Kandeman Tulis Subah Banyuputih Gringsing Rata-rata Penggunaan/pemanfaatan lahan di wilayah pesisir sangat ditentukan oleh masyarakat yang menempati wilayah tersebut. Berdasarkan rata-rata jawaban dari responden di 6 kecamatan, hampir 50% responden menyatakan bahwa mereka mengetahui penggunaan lahan di wilayah mereka, artinya masyarakat cukup mengerti dan mengenal kondisi wilayah mereka. Secara umum penggunaan/pemanfaatan lahan di wilayah pesisir Kabupaten Batang cenderung tidak berbeda, yaitu untuk pertanian, perkebunan dan permukiman. Selanjutnya mengenai penggunaan lahan, sebanyak 55.22% responden menjawab bahwa penggunaan lahan saat ini sudah sesuai dengan rencana tata ruang. Namun terkait daya dukung lingkungan, sebanyak 62.00% responden menganggap bahwa perencanaan tata ruang di Kabupaten Batang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Berkaitan dengan kegiatan pembangunan, meskipun menurut masyarakat kegiatan pembangunan masih belum sesuai dengan tata ruang, namun masyarakat mengakui bahwa kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah akan berdampak positif secara ekonomi terutama terhadap kegiatan/mata pencaharian mereka sehari-hari, seperti pembangunan infrastruktur jalan, pembangunan pelabuhan dan pembangunan rel ganda. Sementara untuk pembangunan pembangkit listrik yang direncanakan akan dibangun di sekitar perairan

18 Ujungnegoro dan sekitarnya, sebagian masyarakat mengatakan mereka tidak setuju. Kelompok masyarakat yang menolak rencana pembangunan ini sebagian besar adalah kelompok nelayan, terutama nelayan-nelayan kecil. Mereka berpendapat jika pembangunan ini dilaksanakan akan mengurangi hasil tangkapan/pendapatan mereka bahkan kemungkinan akan kehilangan mata pencaharian mereka sebagai nelayan, dikarenakan perairan tersebut merupakan tempat mereka mencari ikan. Sebagian kelompok lain berpendapat tidak setuju dengan rencana pembangunan pembangkit listrik karena di dekat perairan tersebut merupakan kawasan konservasi perairan yang merupakan daerah perlindungan bagi biota-biota laut di dalamnya seperti terumbu karang maupun jenis-jenis ikan tertentu, sehingga dengan adanya rencana pembangunan di kawasan tersebut dapat berpengaruh terhadap habitat biota-biota tersebut Tingkat dan Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir di Kabupaten Batang Tingkat Partisipasi Masyarakat terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir Analisis tingkat partisipasi masyarakat dilakukan untuk mengetahui derajat keterlibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pesisir, termasuk kegiatan terkait penataan ruang wilayah pesisir. Derajat keterlibatan masyarakat tersebut diukur dari variabel-variabel tingkat kehadiran dalam pertemuan terkait perencanaan kegiatan dan keterlibatan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan pesisir Analisis tingkat kehadiran dalam pertemuan berkaitan dengan perencanaan kegiatan Analisis tingkat kehadiran dalam pertemuan berkaitan dengan perencanaan program/kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah. Untuk menganalisis tingkat kehadiran dalam pertemuan digunakan skala penilaian berisi 8 pernyataan yang mengacu pada teori Arnstein (1969) yaitu delapan tangga partisipasi masyarakat. Kedelapan pernyataan tersebut adalah: a. Hadir karena dipaksa; b. Hadir sekedar memenuhi undangan; c. Hadir untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikan pendapat; d. Hadir untuk memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat tapi pendapatnya tidak diperhitungkan; e. Hadir dan memberikan pendapat namun hanya sedikit pendapat yang diperhitungkan; f. Hadir dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara; g. Hadir dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan; dan h. Hadir dan mampu membuat keputusan. Untuk analisis tingkat partisipasi kehadiran dalam pertemuan secara keseluruhan dari 6 kecamatan disajikan dalam Tabel 21. Tabel 21 Tingkat partisipasi dalam kehadiran pertemuan No Kecamatan Kategori 1. Batang Informasi 2. Kandeman Informasi 3. Tulis Informasi 4. Subah Informasi 5. Banyuputih Konsultasi 6. Gringsing Informasi

19 52 Tingkat partisipasi dalam kehadiran pertemuan terkait perencanaan kegiatan menunjukkan sebagian besar tingkat partisipasi berada pada tahap informasi, kecuali untuk Kecamatan Banyuputih tingkat partisipasi berada pada tahap konsultasi. Tahap informasi berarti informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi tidak diberikan kesempatan melakukan tanggapan balik (feed back), sedangkan tahap konsultasi berarti sudah ada penjaringan aspirasi masyarakat tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi atau dapat dikatakan bahwa keputusan tetap berada di tangan pemerintah. Dalam kegiatan penyusunan suatu kebijakan merupakan kewajiban dan tanggungjawab bagi pemerintah untuk melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat dalam proses penyusunannya. Keterlibatan masyarakat untuk berperan dalam penyusunan suatu kebijakan merupakan hak masyarakat sebagai warga negara yang secara hukum sudah diatur dalam undang-undang. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam penyusunan suatu kebijakan karena akan menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Proses penyusunan rencana kebijakan yang melibatkan masyarakat juga menjamin bahwa masyarakat akan mendapatkan manfaat dari perencanaan tersebut. Dengan demikian masyarakat akan merasa memiliki dan berkewajiban untuk mendukung rencana tersebut. Dari hasil analisis, tingkat partisipasi masyarakat terkait perencanaan kegiatan, baik tingkat informasi maupun konsultasi, masih termasuk dalam tingkat partisipasi yang rendah meskipun menurut pemerintah sudah melibatkan masyarakat. Dalam perencanaan program-program yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir Pemerintah sudah memberikan informasi kepada masyarakat, seperti: musrenbang, konsultasi publik maupun sosialisasi. Namun kegiatan-kegiatan tersebut terkesan hanya sebagai formalitas. Masyarakat diberikan kesempatan untuk menyampaikan usulan, namun usulan-usulan tersebut tidak semua terakomodasi dan terealisasi dan pada akhirnya keputusan tetap berada di tangan pemerintah (eksekutif dan legislatif). Gumilar (2012) berpendapat bahwa saat ini masih banyak dijumpai fakta di lapangan yang beranggapan bahwa peran serta masyarakat semata-mata sebagai penyampaian informasi (information public), penyuluhan, bahkan sekedar public relation agar suatu kegiatan dapat berjalan tanpa hambatan. Informasi yang disampaikan oleh pemerintah hanya sampai pada kelompok masyarakat tertentu/terbatas saja dan cenderung kurang transparan. Padahal proses penyusunan rencana kebijakan yang tidak transparan dan partisipasif berpotensi untuk terjadinya konflik pada saat implementasinya Analisis tingkat partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan berkaitan dengan program pengelolaan wilayah pesisir Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan berkaitan dengan program pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan membuat skala penilaian berdasarkan 8 tangga Arnstein. Skala penilaian yang digunakan yaitu: a. Terlibat karena terpaksa; b. Terlibat sekedarnya saja; c. Terlibat tanpa mendapat kesempatan menyampaikan ide-ide; d. Terlibat dan berkesempatan menyampaikan ide tapi tidak diperhitungkan; e. Terlibat tapi

20 hanya sedikit ide yang diperhitungkan; f. Terlibat dan mendapat pembagian tanggungjawab yang sama; g. Terlibat dan memiliki kewenangan melaksanakan ide; dan h. Terlibat dan mampu membuat keputusan. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan terkait program pengelolaan pesisir disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program/kegiatan No Kecamatan Kategori 1. Batang Informasi 2. Kandeman Konsultasi 3. Tulis Informasi 4. Subah Informasi 5. Banyuputih Konsultasi 6. Gringsing Informasi Selain dalam tahap perencanaan, partisipasi masyarakat dalam tahap pelaksanaan program/kegiatan juga sangat penting. Dengan keterlibatan masyarakat dalam tahapan ini, masyarakat dapat ikut menilai apakah program/kegiatan yang dijalankan sudah sesuai dengan perencanaannya dan apabila ada ketidaksesuaian masyarakat dapat ikut mengevaluasi dan memberi masukan. Tingkat partisipasi dalam pelaksanaan program/kegiatan menunjukkan Kecamatan Batang, Tulis, Subah dan Gringsing berada pada tahap informasi, sedangkan Kecamatan Kandeman dan Banyuputih, mempunyai tingkat pastisipasi yang setingkat lebih tinggi yaitu berada pada tahap konsultasi. Namun demikian kedua tingkat partisipasi ini masih termasuk rendah. Meskipun menurut pemerintah sudah melibatkan masyarakat setempat dalam pelaksanaan program/kegiatan, namun keterlibatan masyarakat masih sangat minim. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program/ kegiatan dapat disebabkan karena masyarakat tidak dilibatkan dari awal proses perencanaan, sehingga masyarakat hanya menerima program/kegiatan yang sudah ada atau dapat dikatakan program/kegiatan sudah ditetapkan oleh pemerintah. Hal inilah yang kadang menyebabkan suatu program/kegiatan gagal atau tidak dapat diimplementasikan karena tidak sesuai dengan kondisi wilayah. Bahkan seringkali program/kegiatan dari pemerintah tidak sesuai dengan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat setempat, sehingga yang terjadi masyarakat menjalankan atau ikut terlibat program/kegiatan tersebut dengan setengah hati atau terlibat sekedarnya saja. Dari kedua analisis tingkat partisipasi di atas dapat dirangkum bahwa kedua tingkat partisipasi masyarakat di Kabupaten Batang baik informasi maupun konsultasi, termasuk partisipasi kategori rendah, yaitu berada pada tingkat tokenism. Tingkat tokenism yaitu tingkat partisipasi yang tidak serius, dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan (pemerintah). Arnstein (1969) menjelaskan bahwa jika partisipasi hanya dibatasi pada tingkatan ini, maka kecil kemungkinannya ada upaya perubahan dalam masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. 53

21 54 Secara ideal, keterlibatan masyarakat baru dikatakan berpartisipasi secara penuh apabila partisipasi berada pada tingkat kedelapan yaitu pengendalian oleh masyarakat (citizen control). Masyarakat pada tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat memiliki mayoritas suara dalam suatu proses pengambilan keputusan, bahkan mungkin memiliki kekuasaan penuh untuk mengelola suatu program/kebijakan. Partisipasi masyarakat di Kabupaten Batang masih jauh dari kondisi tersebut. Peran serta masyarakat masih dipandang semata-mata sebagai penyampaian informasi saja. Masyarakat sudah dilibatkan dalam berbagai kegiatan, namun mereka tinggal melaksanakan saja atau dapat dikatakan bahwa kebijakan masih bersifat top down. Hal ini sesuai dengan pendapat masyarakat dalam analisis sebelumnya bahwa mereka tidak mengetahui mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Bentuk Partisipasi Masyarakat terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir Bentuk partisipasi masyarakat didapatkan berdasarkan jawaban terbanyak yang dipilih oleh responden. Persentase jawaban responden di masing-masing terkait bentuk-bentuk partisipasi terhadap pengelolaan wilayah pesisir disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Bentuk partisipasi masyarakat Bentuk Partisipasi No Kecamatan mengikuti pembinaan pemanfaatan pengawasan pelestarian 1. Batang x 2. Kandeman 3. Tulis x 4. Subah x x 5. Banyuputih 6. Gringsing x x Bentuk partisipasi yang dilakukan responden di Kecamatan Batang terhadap pengelolaan wilayah pesisir yaitu kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pengawasan. Kegiatan pemanfaatan antara lain memanfaatkan hasil-hasil laut dan memanfaatkan sumber daya pesisir lainnya. Kegiatan pelestarian juga dipilih oleh responden, meskipun tidak semua desa pesisir masyarakatnya aktif terlibat. Di Kecamatan Batang telah terbentuk kelompok masyarakat pengawas perikanan dan kelautan, sehingga bentuk partisipasi kegiatan pengawasan juga dipilih oleh responden. Untuk kegiatan mengikuti pembinaan sedikit dipilih oleh responden, artinya responden banyak yang tidak mengikuti kegiatan pembinaan yang biasanya diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintah. Bentuk partisipasi yang mayoritas dipilih responden di Kecamatan Tulis menghasilkan jawaban yang sama dengan bentuk partisipasi di Kecataman Batang, yaitu terkait kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pengawasan. Bentuk partisipasi yang diikuti oleh responden di Kecamatan Kandeman dan Banyuputih juga menunjukkan jawaban yang sama. Berdasarkan jawaban responden terbanyak, semua bentuk-bentuk partisipasi mulai dari kegiatan mengikuti pembinaan, pemanfaatan, pelestarian dan pengawasan diikuti oleh responden di Kecamatan Kandeman dan Banyuputih.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penggunaan/Penutupan Lahan Aktual Jabodetabek Tahun 2010 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa terdapat 11 tipe penggunaan/penutupan lahan wilayah Jabodetabek

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH Lampiran I Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 2 TAHUN 2011 Tanggal : 4 Pebruari 2011 Tentang : Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin Tahun 2012 2032merupakan suatu rencana yang disusun sebagai arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Banyuasin untuk periode jangka panjang 20

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang : a. bahwa pantai merupakan garis pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tegal terletak di pantai utara Jawa Tengah dengan wilayah pantai dan laut yang berbatasan dengan Kabupaten Tegal oleh Sungai Ketiwon di sebelah timur dan dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan garis pantai yang panjang menyebabkan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864 DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN 2016 KELOMPOK DATA JENIS DATA : DATA UMUM : Geografi DATA SATUAN TAHUN 2015 SEMESTER I TAHUN 2016 I. Luas Wilayah

Lebih terperinci

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari BAB I BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari 95.181 km. Sehingga merupakan negara dengan pantai terpanjang nomor empat di dunia setelah

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

3.1 Metode Identifikasi

3.1 Metode Identifikasi B A B III IDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR DAS PENYEBAB KERUSAKAN KONDISI WILAYAH PESISIR BERKAITAN DENGAN PENGEMBANGAN ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL MASYARAKAT PESISIR 3.1 Metode Identifikasi Identifikasi adalah meneliti,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor yang memiliki derajat pengaruh terbesar adalah faktor kerentanan fisik dan faktor

Lebih terperinci

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak ± 50 km, secara geografis terletak pada 107 o 44 BT sampai 107 o 51 BT

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 232 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Setelah data dan hasil analisis penelitian diperoleh kemudian di dukung oleh litelature penelitian yang relevan, maka tiba saatnya menberikan penafsiran dan pemaknaan

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan 3 Nilai Tanah : a. Ricardian Rent (mencakup sifat kualitas dr tanah) b. Locational Rent (mencakup lokasi relatif dr tanah) c. Environmental Rent (mencakup sifat

Lebih terperinci

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R Oleh : INDIRA PUSPITA L2D 303 291 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pada wilayah ini terdapat begitu banyak sumberdaya alam yang sudah seharusnya dilindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan Indonesia termasuk dalam kategori terbesar di dunia karena memiliki wilayah yang sebagian besar berupa perairan. Indonesia memiliki potensi lahan

Lebih terperinci

lainnya Lahan yang sebagian besar ditutupi oleh tumbuhan atau bentuk alami lainnya

lainnya Lahan yang sebagian besar ditutupi oleh tumbuhan atau bentuk alami lainnya KEAN PERWUJUDAN POLA RUANG (DENGAN KRITERIANYA) DIBANDINGKAN DENGAN HASIL ANALISIS TUTUPAN LAHAN (CITRA SATELIT) Klasifikasi Tutupan Lahan disesuaikan dengan SNI 7645:2010 Klasifikasi penutup lahan. 1.

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok merupakan salah satu daerah penyangga DKI Jakarta dan menerima cukup banyak pengaruh dari aktivitas ibukota. Aktivitas pembangunan ibukota tidak lain memberikan

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil evaluasi komoditas pertanian pangan di kawasan budiddaya di Kecamatan Pasirjambu, analisis evaluasi RTRW Kabupaten Bandung terhadap sebaran jenis pertanian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 163 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat enam terrain

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi kebijakan pelaksanaan pengendalian lingkungan sehat diarahkan untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral dalam pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549.

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kelurahan Fatubesi merupakan salah satu dari 10 kelurahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Berdasarkan hasil proses klasifikasi dari Landsat-5 TM areal studi tahun 2007, maka diperoleh 10 kelas penutupan lahan yang terdiri dari:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi memadai untuk dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0 1.266 m di atas permukaan laut serta terletak pada

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4 SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4 1. Penanaman pohon bakau di pinggir pantai berguna untuk mencegah.. Abrasi Erosi Banjir Tanah longsor Jawaban a Sudah

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN SIFAT LAHAN SAWAH DENGAN PRODUKTIVITAS PADI DI KAWASAN PESISIR KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU

2015 HUBUNGAN SIFAT LAHAN SAWAH DENGAN PRODUKTIVITAS PADI DI KAWASAN PESISIR KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan, sehingga memiliki kawasan pesisir yang luas dari tiap wilayah pulaunya. Kawasan pesisir ini digunakan oleh penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Saefullah NIP

KATA PENGANTAR. Jakarta, Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Saefullah NIP KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya penyusunan KLHS Raperda RTR Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dengan baik. Kegiatan ini adalah kelanjutan

Lebih terperinci

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR Oleh : Elfin Rusliansyah L2D000416 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI

III. KEADAAN UMUM LOKASI III. KEADAAN UMUM LOKASI Penelitian dilakukan di wilayah Jawa Timur dan berdasarkan jenis datanya terbagi menjadi 2 yaitu: data habitat dan morfometri. Data karakteristik habitat diambil di Kabupaten Nganjuk,

Lebih terperinci

Keterkaitan Rencana Strategis Pesisir dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur

Keterkaitan Rencana Strategis Pesisir dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur P E M E R I N T A H KABUPATEN KUTAI TIMUR Keterkaitan Rencana Strategis Pesisir dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur Oleh: Ir. Suprihanto, CES (Kepala BAPPEDA Kab. Kutai Timur)

Lebih terperinci

Kementerian Kelautan dan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta, 6 November 2012 Wilayah Pesisir Provinsi Wilayah Pesisir Kab/Kota Memiliki 17,480 pulau dan 95.181 km panjang garis pantai Produktivitas hayati tinggi dengan keanekaragaman hayati laut tropis

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG Oleh : Muhammad 3615100007 Friska Hadi N. 3615100010 Muhammad Luthfi H. 3615100024 Dini Rizki Rokhmawati 3615100026 Klara Hay 3615100704 Jurusan Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci