BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI GADAI TANAH PERTANIAN MENURUT HUKUM ADAT. A. Gambaran Umum Gadai Tanah Pertanian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI GADAI TANAH PERTANIAN MENURUT HUKUM ADAT. A. Gambaran Umum Gadai Tanah Pertanian"

Transkripsi

1 30 BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI GADAI TANAH PERTANIAN MENURUT HUKUM ADAT A. Gambaran Umum Gadai Tanah Pertanian 1. Pengertian Jual Gadai Tanah Hak gadai tanah dalam sistem perundangan-undangan Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria khususnya dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h. Di mana hak gadai tanah ini termasuk salah satu ke dalam hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Namun dalam undang-undang yang lebih dikenal dengan UUPA, hak gadai ini tidak diberi pengertian secara jelas. Guna memperoleh penjelasan yang lebih, di bawah akan dikemukakan beberapa pendapat mengenai pengertian hak gadai tanah ini. Menurut Boedi Harsono, Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uanggadai daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang-gadai atau yang lazim disebut penebusan, tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan Boedi Harsono, op.cit, hlm. 391.

2 31 Menurut Urip Santoso, Hak Gadai (Gadai Tanah) adalah penyerahan sebidang tanah milik seseorang kepada orang lain, untuk sementara waktu yang sekaligus diikuti dengan pembayaran sejumlah uang oleh pihak lain secara tunai sebagai uang gadai dengan ketentuan bahwa pemilik tanah baru memperoleh tanahnya kembali apabila melakukan penebusan dengan sejumlah uang yang sama. 44 Dalam bukunya K. Wantjik Saleh, Jual Gadai ialah penyerahan sebidang tanah oleh pemilik kepada pihak lain dengan membayar uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa tanah itu akan dikembalikan kepada pemiliknya apabila pemilik mengembalikan uang yang diterimanya kepada orang yang memegang tanah tersebut. 45 Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tanah yang digadaikan ini dapat dimanfaatkan hasilnya oleh si pemegang gadai. Serta dapat lebih ditekankan lagi mengenai pengembalian tanah gadai ini, yang mana tanah gadai dapat dikembalikan lagi penguasaannya kepada pemiliknya dengan cara si pemilik tanah menebus tanahnya dengan kembali dengan sejumlah uang yang sama seperti pada saat ia menjualnya. Hak gadai yang dimaksud ini juga berlainan dengan hak gadai sebagai jaminan yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan pasal 1160 KUH Perdata. Hak gadai sebagai hak jaminan itu mengenai benda-benda bergerak dan sungguhpun benda yang bersangkutan berada dalam 44 Urip Santoso, op.cit, hlm K Wantjik Saleh, loc.cit.

3 32 kekuasaan pemegang gadai, ia tidak berwewenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat daripadanya Jenis-jenis Gadai Tanah Di lihat dari jangka waktunya Hak Gadai dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 47 a. Hak Gadai (Gadai Tanah) yang lamanya tidak ditentukan Dalam hal Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak ditentukan lamanya, maka pemilik tanah pertanian tidak boleh melakukan penebusan sewaktu-waktu, misalnya sekarang digadai, 1 atau 2 bulan kemudian ditebus. Penebusan baru dapat dilakukan apabila pemegang gadai minimal telah melakukan satu kali masa panen. Hal ini disebabkan karena Hak Gadai (Gadai Tanah) merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam-meminjamkam uang. b. Gadai Tanah yang lamanya ditentukan Dalam Hak Gadai (Gadai Tanah) ini, pemilik tanah baru dapat menebus tanahnya kalau jangka waktu yang diperjanjikan dalam Hak Gadai (Gadai Tanah) berakhir. Kalau jangka waktu tersebut sudah berakhir dan pemilik tanah tidak dapat menebus tanahya, maka tidak dapat dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi sehingga pemegang gadai bisa menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut. Apabila dalam batas waktu 46 Eddy Ruchiyat, op.cit., hlm Urip Santoso, op.cit, hlm 132.

4 33 yang telah ditentukan pemilik tanah tidak dapat menebusnya, maka pemegang gadai tidak dapat memaksa pemilik tanah untuk menebus tanahnya, dan kalau pemegang gadai tetap memaksa menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut, maka pemilik tanah dapat menggugat pemegang gadai kecuali pemilik tanah dapat mengizinkan menjual tanah yang digadaikan. Pada prinsipnya dalam gadai tanah waktu penebusan terserah kepada penggadai tanpa ada batas waktu atau daluarsa bahkan hak untuk menebus berpindah kepada ahli waris si pemberi gadai kecuali diperjanjikan lain Sifat Hubungan Gadai Tanah Sebagai sifat-sifat dan ciri-ciri hak gadai dapat disebutkan sebagai berikut: 49 a. Hak gadai jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu waktu akan hapus. Hak gadai berakhir kalau dilakukan penebusan oleh yang menggadaikan. Penebusan kembali tanah yang digadaikan itu tergantung pada kemauan dan kemampuan pemiliknya, artinya ia tidak dapat dipaksa untuk menebusnya. Hak untuk menebus itu tidak hilang karena lampaunya waktu 48 Aliasman, Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Masyarakat Hukum Adat Minangkabaudi Nagari Campago Kabupaten Padang Pariaman Setelah Berlakunya Pasal 7 Uu No. 56/Prp/1960, Melalui:< , Pkl. 11:52. Dalam Tesisnya, Aliasman, Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Masyarakat Hukum Adat Minangkabaudi Nagari Campago Kabupaten Padang Pariaman Setelah Berlakunya Pasal 7 Uu No. 56/Prp/1960, Universitas Diponegoro, 2005, hlm Eddy Ruchiyat, loc,cit.

5 34 ataupun meninggalnya si pemilik tanah. Jika pemilik tanah meninggal dunia hak untuk menebus beralih kepada ahliwarisnya. b. Hak gadai tidak berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai. Jika pemegang gadai meninggal dunia maka hak tersebut beralih kepada ahliwarisnya. c. Hak gadai dapat dibebani dengan hak-hak tanah lainnya. Pemegang gadai berwewenang untuk menyewakan atau membagi-hasilkan tanahnya kepada pihak lain. Pihak lain itu bisa orang ketiga, tetapi bisa juga pihak pemilik tanah sendiri. Pemegang gadai bahkan berwewenang juga untuk menggadaikan tanahnya itu kepada pihak ketiga, tanpa perlu meminta izin atau memberitahukannya kepada pemilik ( menganak-gadaikan atau onderverpanden ). Perbuatan ini tidak mengakibatkan putusnya hubungan gadai dengan pihak pemilik. Dengan demikian maka tanah yang bersangkutan terikat pada dua hubungan gadai. d. Hak gadai dengan persetujuan pemilik tanahnya dapat dialihkan kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan dengan hubungan gadai yang baru antara pemilik dan pihak ketiga itu ( memindahkan gadai atau doorverpanden ).

6 35 e. Hak gadai tidak menjadi hapus jika hak atas tanahnya dialihkan kepada pihak lain. f. Selama hak gadainya berlangsung maka atas persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah ( mendalami gadai ). g. Sebagai lembaga maka hak gadai pada waktunya akan hapus. Selain dari sifat-sifat di atas, hak gadai juga memiliki sifat pemerasan dalam pelaksanaannya. Dikarenakan selama si pemilik tanah belum dapat menebus kembali tanahnya, maka selama itu pula pemegang gadai masih menguasai tanah tersebut. Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu melakukan penebusan. 50 Artinya si pemegang gadai dapat mengambil manfaat dan mendapatkan hasil dari tanah tersebut yang bisa jadi lebih besar dari jumlah uang yang diberikan kepada pemilik tanah pada saat transaksi jual gadai tanah. Menurut Effendi Perangin, Gadai Tanah mengandung unsur eksploitasi, karena hasil yang diterima pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan pada umumnya jauh lebih besar daripada apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah Boedi Harsono, loc.cit. 51 Urip Santoso, op.cit, hlm 134.

7 36 Sifat pemerasan pada Hak Gadai (Gadai Tanah), adalah sebagai berikut: 52 a. Lamanya gadai tidak terbatas. Berapa tahun saja tanah itu dikuasai oleh pemegang gadai, tanah itu tidak akan dikembalikan kepada pemilik tanah apabila tidak ditebus. b. Tanah baru dapat kembali kepada pemilik tanah apabila sudah ditebus oleh pemiliknya. Dengan menguasai tanah selama 6 sampai 7 tahun saja, hasil yang dapat diperoleh pemegang gadai sudah melebihi jumlah uang gadai dan bunga gadai. Menurut A.P. Parlindungan, setelah menguasai sawah selama 7 tahun itu si penerima gadai (pemegang gadai) sudah cukup mengecap hasil sawah itu hingga telah memperoleh kembali uang gadai yang telah dikeluarkan. 53 Dari penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa dalam pelaksanaan hak gadai ini di sisi lain mempunyai unsur tolong-menolong, namun di sisi lain mengandung sifat pemerasan yang bisa merugikan si pemilik tanah. 4. Hapusnya Hak Gadai Tanah Dari apa yang telah diuraikan di atas kiranya hapusnya hak gadai itu antara lain disebabkan sebagi berikut 54 : a. telah dilakukan penebusan oleh si pemberi gadai; 52 Ibid. 53 A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1991, hlm Eddy Ruchiyat, op.cit., hlm 75.

8 37 b. sudah berlangsung 7 (tujuh) tahun bagi gadai tanah pertanian, tambak dan tanaman keras, c. putusan pengadilan dalam rangka menyelesaikan gadai dengan milik-beding ; d. dicabut untuk kepentingan umum; e. tanahnya musnah karena bencana alam, seperti banjir atau longsor, maka dalam hal ini uang gadainya tidak dapat dituntut kembali oleh pemegang gadai. Penebusan dilakukan dengan mengembalikan uang gadai yang dulu diterima oleh si pemberi gadai. Jika mengenai gadai tanah pertanian maka uang tebusannya tidaklah sebesar uang gadai, akan tetapi sebesar menurut rumus yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun Sedangkan dalam hal hak gadai terhapus jika tanahnya musnah dikarenakan faktor bencana alam, seperti banjir atau tanah longsor. Maka dalam hal ini uang gadainya tidak dapat dituntut kembali oleh si pemegang gadai Hak dan Kewajiban Penerima Gadai Tanah Perbuatan untuk memperoleh kembali tanah, dengan mengembalikan jumlah yang diutang (dipinjam) disebut menebus. Pada gadai biasa, maka tanah dapat ditebus oleh penggadai setiap saat. Pembatasannya adalah satu tahun panen, atau apabila diatas tanah masih 55 Ibid. 56 Ibid, hlm. 76.

9 38 terdapat tumbuh-tumbuhan yang belum dipetik hasil-hasilnya. Dalam hal ini, maka penerima gadai tidak berhak untuk menuntut, agar penggadai menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu. Untuk melindungi kepentingan penerima gadai, maka dia dapat melakukan paling sedikit dua tindakan, yakni: 57 a. Menganakgadaikan ( onderverpanden ), dimana penerima gadai menggadaikan tanah tersebut kepada pihak ketiga. Dalam hal ini terjadi dua hubungan gadai, yakni pertama antara penggadai pertama dengan penerima gadai pertama, dan kedua antara penggadai kedua (yang merupakan penerima gadai pertama) dengan pihak ketiga (sebagai penerima gadai yang kedua). b. Memindahgadaikan ( doorverpanden ), yakni suatu tindakan dimana penerima gadai menggadaikan tanah kepada pihak ketiga, dan pihak ketiga tersebut menggantikan kedudukan sebagai penerima gadai untuk selanjutnya berhubungan langsung dengan penggadai. Dengan demikian, maka setelah terjadi pemindahan gadai, maka hanya terdapat hubungan antara penggadai dengan penerima gadai yang baru. Setelah selesainya jual gadai maka pihak penerima gadai mempunyai hak untuk mengolah serta menarik keuntungan dari yang menjadi objek gadai. Dengan penerimaan tanah ini si penerima gadai 57 Soerjono Soekamto, Hukum Adat Indonesia, Cetakan Kedua PT. Raja Grafindo Persasta, Jakarta, 1983, hlm. 192

10 39 berhak untuk menikmati manfaat yang melekat pada hak milik, seperti memetik hasil tanah itu sepenuhnya, mengerjakan atau mendiaminya, menyuruh mengerjakannya atau mendiaminya, dengan pembatasan 58 : a. Tidak boleh menjual lepas tanah itu kepada orang lain, b. Tidak boleh menyewakannya untuk lebih dari satu musim lamanya (2 tahunan) c. Mengoperkan gadai (doorverpanden) atau pun menggadaikan kembali/menggadaikan dibawah harga (underverpanden) tanah tersebut kepada orang lain, jika ia sangat memerlukan uang, sebab ia tidak dapat memaksa si penjual gadai semula untuk menebus tanahnya. d. Mengadakan perjanjian bagi hasil/belah pinang/paruh hasil tanam/maro dan sejenis itu. Pemegang gadai dapat bertindak bebas atas tanah seperti pemilik tanah, (menggarap sendiri, menyewakan atau membagi hasilkan, dengan ketentuan: 59 a. Sedia memberi kesempatan untuk menebus kepada yang memberi gadai. b. Bila pemegang gadai melimpahkan gadai (anak-gadai); Jawa Barat: pindah akad, pindah gadai, limpah gadai, ganti gadai; Banten Utara: ganti-sanda), maka hal ini dilakukan atas dasar a. 58 Tesis, Aliasman, op.cit, hlm Eddy Ruchiyat, op.cit, hlm. 56.

11 40 c. Sebelum melimpahkan gadai, terlebih dulu pemegang gadai harus meminta kepada yang memberi gadai, supaya pemilik tanah (pemberi gadai) menebusnya, dan bila pemilik tanah tidak dapat atau tidak mau, barulah gadai itu dilimpahkan (voorkeursrecht dari yang memberi gadai). Pelimpahan gadai ini dapat dilakukan dengan cara 60 : a. Atas tanggungan pemegang gadai sendiri, di mana jumlah uang gadainya dapat sama atau lebih kecil tetapi pada umumnya tidak pernah lebih besar dari uang gadaian yang pertama. Untuk pelimpahan semacam ini tidak diperlukan izin dari pemilik tanah. b. Pemegang gadai dapat mengoper gadai dengan seizin pemilik tanah (doorverpanding), sehingga pemegang gadai terlepas dari hubungan gadai itu. Menurut hukum adat, maka gadai-menggadai tanah hanya dilakukan diantara orang-orang Indonesia asli. Akan tetapi berhubung dengan adanya asas yang ditetapkan dalam Pasal 9 ayat (2), yang meniadakan perbedaan warga negara asli dan keturunan asing dalam memperoleh suatu hak atas tanah, maka kiranya hak gadai sesudah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria dapat juga dipunyai oleh para warga negara Indonesia keturunan asing Ibid. 61 Tesis, Aliasman, op.cit, hlm. 22.

12 41 B. Dasar Hukum Perjanjian Gadai Tanah Pertanian Hak gadai baik atas tanah pertanian maupun tanah bangunan semula diatur oleh hukum (agraria) adat. Kemudian dalam Undang- Undang Pokok Agraria hak gadai disebut-sebut dalam Pasal 53 dihubungkan dengan Pasal 52 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria, yang menentukan bahwa sebagai hak yang sifatnya sementara hak itu harus diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Bahkan itupun harus diusahakan di dalam waktu yang singkat karena hak gadai mengandung unsur-unsur yang bersifat pemerasan. 62 Sebagai pelaksana daripada Pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria maka dikeluarkanlah aturan Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang mengatur soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan (sanksi pidananya ditetapkan dalam Pasal 10). 63 Yang mana pasal ini pun bertujuan untuk menghapus transaksi gadai tanah yang berdasarkan hukum adat Indonesia, namun lembaga peradilan di dalam penerapannya masih tidak konsisten sehingga menimbulkan adanya dualisme, yaitu gadai tanah berdasarkan hukum agraria nasional dan hukum adat Eddy Ruchiyat, op.cit, hlm Ibid. 64 Rahma, Jaminan Kepastian Dan Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Gadai Tanah Menurut Hukum Adat, Melalui:< data diambil tanggal: 29 September 2010, pkl WIB.

13 42 Karena batasan antara keduanya tidak jelas maka menimbulkan ketidakpastian perlindungan hukum dan hubungan hukum yang tarik menarik diantara keduanya. Oleh karena itu kiranya perlu dikaji tentang pengaruh peraturan gadai tanah terhadap pelaksanaan gadai tanah dalam hukum adat. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan perubahan peraturan gadai-menggadai tanah menurut Hukum Adat. Kemudian dengan Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. Sk 10/Ka/1963 ketentuan Pasal 7 tersebut ditegaskan berlaku juga terhadap gadai tanaman keras, seperti pohon kelapa, pohon buah-buahan dan lain sebagainya, baik yang digadaikan berikut atau tidak berikut tanahnya. Dengan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 Tahun 1963 ditetapkan Pedoman penyelesaian masalah gadai. 65 Lembaga gadai tanah ternyata masih dipakai oleh sebagian masyarakat dan sebagai dasar hukum sekaligus menjadi bukti bahwa hukum adat masih diakui keberadaannya dalam tata hukum Indonesia yang dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan yakni sebagai berikut 66 : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Pasal II Aturan Peralihan, yang menyebutkan : Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang- Undang Dasar ini. 65 Boedi Harsono, loc.cit. 66 Rahma, loc.cit.

14 43 Maksud dari isi pasal tersebut adalah, tetap diberlakukannya segala peraturan yang dibuat pada masa penjajahan kolonial Belanda, yaitu IS (Indische Staatsregeling) terutama Pasal 131 ayat 2 jo Pasal 163, dimana didalamnya terkandung suatu ketentuan bagi penduduk Indonesia golongan Bumi Putera dan Timur Asing berlaku hukum adat mereka masing-masing, kecuali sejak tahun 1855, hukum perdata Eropa diberlakukan terhadap golongan Timur Asing selain hukum keluarga dan hukum waris. Salah satu maksud diadakannya Aturan Peralihan ini ialah untuk menjadi sumber dasar berlakunya peraturan perundang-undangan yang ada pada saat undang-undang dasar tersebut diberlakukan. Dengan demikian kevakuman/kekosongan hukum yang bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan kekacauan di dalam masyarakat dapat dihindari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria dalam Pasal 5 (lima) yang menyatakan sebagai berikut: Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturanperaturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Jadi maksud dari isi Pasal tersebut diatas adalah bahwa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria 67 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung, Alumni, 2000, hlm. 7.

15 44 (UUPA) ini, hukum adat turut dijadikan sebagai dasar pembentukan peraturan tentang Hukum Agraria Nasional. 3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 28 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut : Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Maksud dari ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 ialah bahwa dalam masyarakat yang masih mengenal hukum yang tidak tertulis atau masih berada dalam suatu masa pergolakan, maka peran hakim dalam hal ini, berfungsi sebagai perumus dan penggali nilainilai hukum yang hidup dan berkembang di dalam lingkungan masyarakat, sehingga hakim harus mampu terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, mengetahui, dan dapat memahami dan merasakan akan arti penting hukum dan rasa keadilan yang hidup dan tumbuh di dalam masyarakat. Perubahan dasar hukum perjanjian jual gadai tanah dari ketentuan jual gadai adat menjadi ketentuan jual gadai yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian merupakan bagian dari upaya perubahan format hukum untuk menuju masyarakat yang rasional. Perubahan tersebut dilakukan atas dasar Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria yang menjelaskan bahwa hak gadai merupakan hak yang sifatnya sementara dan harus diusahakan hapus dalam waktu yang singkat. Selain itu juga jual gadai menurut

16 45 ketentuan adat dalam prakteknya mengandung unsur eksploitasi, karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya umumnya lebih besar dari pada apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah. Dan hal tersebut tentunya bertentangan dengan moral bangsa yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Sehingga persepsi masyarakat mengenai pelaksanaan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 yang mengatur tentang gadai tanah dianggap masih bertentangan dengan hukum adat di masyarakat dan bertentangan dengan rasa keadilan yang telah tumbuh di dalam kehidupan masyarakat. Selama hampir setengah abad Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 memberikan dasar bagi pelaksanaan jual gadai tanah, pada pelaksanaannya masih belum bisa menampakan keefektifan keberlakuannya. Beragamnya alasan yang kompleks pada masyarakat Indonesia baik menyangkut ekonomi, adat istiadat, pengetahuan masyarakat, dan lain sebagainya merupakan faktor yang menjadi alasan masih digunakannya jual gadai tanah menurut cara adat. Masyarakat adat yang merupakan salah satu objek dimana pada masyarakat tersebut masih dilakukannya jual gadai dengan cara adat dalam menjual gadaikan tanah. 68 Ketentuan mengenai pengembalian dan penebusan tanah-pertanian yang digadaikan itu bukan hanya berlaku terhadap gadai-menggadai yang 68 Rahma, loc.cit.

17 46 sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960, tetapi berlaku juga terhdap gadai-menggadai yang diadakan sesudahnya. Ketentuan-ketentuan itu pun tidak hanya berlaku terhadap tanah-tanah yang harus dikembalikan karena melebihi maksimum, tetapi terhadap gadai-menggadai tanah-pertanian pada umumnya, juga yang tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan ketentuan mengenai maksimum. Dengan demikian gadai-menggadai tanah pertanian selanjutnya akan mirip dengan jual-tahunan, dondon susut atau pun ngajual tutung. 69 Dengan demikian maka dapatlah dikemukakan bahwa pengaturan hak gadai atas tanah pertanian itu terdapat dalam hukum agraria adat. Hak gadai atas tanah pertanian diatur juga oleh hukum adat, kecuali soal pengembalian dan penebusan tanahnya yang telah diatur oleh Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tersebut di atas, sedangkan pendaftaran hak gadai diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun C. Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah Pertanian Karena adanya ketidakkonsistenan lembaga lembaga peradilan dalam menangani masalah hak gadai atas tanah pertanian, yang menimbulkan dualisme, yaitu gadai tanah berdasarkan hukum agraria nasional dan hukum adat. Yang berakibat tidak adanya ketidakpastian perlindungan hukum dan hubungan hukum yang tarik menarik diantara 69 Boedi Harsono, op.cit, hlm Eddy Ruchiyat, op.cit, hlm. 66.

18 47 kedua peraturan tersebut. Oleh karena itu kiranya perlu dikaji tentang pengaruh peraturan gadai tanah terhadap penyelesaian sengketa gadai tanah pertanian menurut hukum adat dan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat menghilangkan persepsi masyarakat mengenai pelaksanaan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 yang mengatur tentang gadai tanah yang dianggap masyarakat masih bertentangan dengan hukum adat di masyarakat dan bertentangan dengan rasa keadilan yang telah tumbuh di dalam kehidupan masyarakat. 1. Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah Menurut Hukum Adat Dari beberapa pengertian gadai tanah yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mengenai pengembalian tanah yang digadaikan dalam pelaksanaannya mengharuskan si pemilik tanah melakukan penebusan kembali atas tanahnya yang digadaikan tersebut. Jumlah nominalnya pun haruslah sama seperti pada saat si pemilik tanah menggadaikan tanahnya kepada pemegang gadai. Seperti yang diungkapkan oleh Boedi Harsono dalam bukunya bahwa, selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang-gadai atau yang lazim disebut penebusan, tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan Boedi Harsono, op.cit, hlm 391.

19 48 Namun dalam pengembalian gadai tanah yang berlaku di dalam Hukum Adat tidak di atur mengenai jangka waktu gadai tanah tersebut. Sehingga banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun, bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu melakukan penebusan. Akibat dari penguasaan gadai tanah yang berlangsung bertahuntahun bahkan sampai puluhan, ditambah pada saat pengembalian tanah harus melakukan penebusan dengan jumlah nominal yang sama pada saat pemilik tanah menerima uang dari pemegang gadai. Sehingga bila dilihat dari kenyataan di atas, maka gadai-menggadai menurut ketentuan Hukum Adat umumnya mengandung unsur exploitasi, karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya umumnya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan apa yang merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah. 72 Namun di beberapa daerah, misalnya di Bali, keadaannya justru sebaliknya. Pemilik tanah lebih kuat kedudukan sosial dan ekonominya dari pada para pemegang gadai. 73 Berikut beberapa penyelesaian sengketa gadai tanah pertanian sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, adalah sebagai berikut: Ibid. 73 Ibid, hlm Eddy Ruchiyat, op.cit, hlm. 81. a. Menurut Hukum Adat di Indonesia hak menebus dalam gadai tanah tidak akan lenyap dengan pengaruh lampau waktu atau daluarsa (verjaring). Dalam putusan Mahkamah Agung yang

20 49 terjadi sebelum berlakunya UUPA, bahwa hak menebus dalam gadai tanah tidak akan lenyap oleh daluarsa. Ini sesuai dengan ketentuan Hukum Adat yang sebenarnya. b. Sesuai dengan rasa keadilan, apabila dalam hal menggadai tanah kedua belah pihak masing-masing memikul separuh dari resiko kemungkinan harga nilai uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan waktu menebus tanah itu. Dalam putusan Mahkamah Agung sebelum berlakunya UUPA yang ditetapkan, bahwa besarnya uang tebusan didasarkan pada harga emas pada waktu menggadaikan dan menebus tanah dan ditanggung secara fifty-fifty, sama besar oleh kedua belah pihak, hal ini dirasakan sebagai cukup adil dan sepatutnya. c. Sebelum berlakunya UUPA penggadaian tanah kepada orang bukan Bumiputera dilarang dianggap melanggar larangan pengasingan tanah S.1875 No d. Gadai tanah di Jawa Timur yang dilakukan di muka Lurah Kepala Desa dianggap memenuhi syarat untuk penggadaian tanah. Memang pada umumnya pelaksanaan jual gadai ini dilakukan di muka Kepala Desa, karena masyarakat Desa menganggap bahwa ikut sertanya Kepala Desa dalam perjanjian jual gadai akan menambah kepastian hukum bagi semua pihak,

21 50 baik bagi pemberi gadai maupun bagi pemegang gadai dan bagi masyarakat Desa itu sendiri. 2. Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah Menurut Perundangundangan yang Berlaku Oleh karena dalam pelaksanaan gadai tanah menurut Hukum Adat/kebiasaan mengandung unsur exploitasi serta mengandung sifat pemerasan, maka untuk menghilangkan unsur-unsur yang bersifat pemerasan itu Pasal 53 UUPA menghendaki supaya gadai-menggadai tanah diatur. Sepanjang yang mengenai tanah-pertanian hal itu diatur sekaligus dalam Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960, karena mungkin ada hubungannya langsung dengan pelaksanaan ketentuan mengenai luas maksimum. Jika seorang pemegang gadai menguasai tanah melebihi maksimum, mungkin tanah yang dipegangnya dalam hubungan gadai akan dikembalikan kepada pemiliknya. Dalam pengembalian tanahgadai tersebut akan timbul persoalan tentang pembayaran kembali uanggadainya. Hal itu diselesaikan oleh Pasal 7, atas dasar perhitungan, bahwa uang-gadai rata-rata sudah diterima kembali oleh pemegang-gadai dari hasil tanah yang bersangkutan dalam waktu 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun, dengan ditambah bunga yang layak 10% (sepuluh persen). Demikianlah ditetapkan dalam Pasal 7 tersebut, bahwa tanah-tanah yang sudah digadai selama 7 (tujuh) tahun (tengah antara 5 dan 10) harus dikembalikan kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar uang tebusan. Mengenai gadai yang berlangsung belum sampai 7 (tujuh)

22 51 tahun sewaktu-waktu tetapi setelah tanaman yang ada selesai dipanen, pemilik tanah berhak meminta kembali tanahnya, dengan kewajiabn membayar uang tebusan yang dihitung dengan rumus 75 : (7+1/2) waktu berlangsung hak gadai X uang gadai, 7 Tetapi kalau gadai yang bersangkutan sudah berlangsung 7 (tujuh) tahun pemegang gadai wajib mengembalikan tanahnya tanpa pembayaran uang-tebusan. Menurut Mahkamah Agung di dalam Putusan tanggal 6 Maret 1971 No. 180/K/sip/2970: ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang- Undang No. 56 Prp bersifat memaksa dan tidak dapat dilunakkan karena telah diperjanjikan oleh kedua belah pihak, karena hal itu sangat bertentangan dengan principe lembaga gadai (Jurisprudensi Indonesia edisi II tahun 1971 halaman 10). 76 Ketentuan mengenai pengembalian dan penebusan tanah-pertanian yang digadaikan itu bukan hanya berlaku terhadap gadai-menggadai yang sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960, tetapi berlaku juga terhadap gadai-menggadai yang diadakan sesudahnya. Ketentuan-ketentuan itu pun tidak hanya berlaku terhadap tanah-tanah yang harus dikembalikan karena melebihi maksimum, tetapi terhadap gadai-menggadai tanah-pertanian pada umumnya, juga yang tidak ada hubungannya dengan pelaksanaan ketentuan mengenai maksimum. 75 Boedi Harsono, op.cit, hlm Ibid.

23 52 Dengan demikian gadai-menggadai tanah pertanian selanjutnya akan mirip dengan jual-tahunan, dondon susut atau pun ngajual tutung. 77 Pemegang gadai yang tidak melaksanakan kewajiban mengembalikan tanah yang dikuasainya dengan hak gadai menurut ketentuan Pasal 7 tersebut dapat dipidana dengan hukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp ,-. 78 Dengan dibentuknya Pengadilan Landreform berdasarkan Undang- Undang No.21 Tahun 1964, yang berwenang mengadili perkara-perkara yang timbul dalam melaksanakan peraturan-peraturan landreform, pernah timbul perselisihan mengenai wewenang antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Landreform Daerah. Ketentuan-ketentuan Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 termasuk dalam golongan peraturan-peraturan landreform. 79 Semula Mahkamah Agung berpendapat bahwa semua perkara gadai-menggadai tanah-pertanian menjadi wewenang Pengadilan Landreform. Tetapi kemudian dalam Ketetapannya No. 6/KM/845/MA.III/67 tentang pedoman Penyelenggaraan Pengadilan Landreform (no. 5/PLP/1967) Mahkamah Agung menetapkan sebagai berikut 80 : 77 Ibid, hlm Pasal 10 Ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. 79 Pasal 2 Ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform 80 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 393.

24 53 a. Mengenai pengetrapan Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960: Bahwa karena Pasal 7 tersebut menurut penjelasannya tidak hanya berlaku terhadap pengembalian tanah gadai dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian saja, melainkan berlaku juga terhadap pengembalian tanah-tanah gadai pada umumnya, jadi termasuk pula pengembalian tanah-tanah gadai yang tidak bersangkut-paut dengan pelaksanaan peraturan Landreform termaksud dalam Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tersebut, maka Mahkamah Agung dengan ini menegaskan: bahwa Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960, walaupun tercantum dalam peraturan Landreform, berlaku pula bagi Peradilan Umum. b. Mengenai wewenang untuk mengadili perkara-perkara gadai tanah pertanian. 1) Berhubung dengan timbulnya berbagai-bagai penafsiran mengenai maksud daripada kata-kata perkara-perkara perdata yang timbul di dalam melaksanakan peraturanperaturan Landreform tercantum dalam pasal-pasal dari Undang-Undang No. 21 Tahun 1964 dan kurang tegasnya penjelasan mengenai Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp.

25 54 Tahun 1960 tersebut di atas, sehingga mudah menimbulkan kekaburan tentang batas-batas wewenang Pengadilan Negeri dan Pengadilan Landreform mengenai perkaraperkara gadai tanah pertanian, maka demi kelancaran peradilan, Mahkamah Agung menegaskan, bahwa ketentuan perkara-perkara perdata (i.c. gadai tanah-pertanian) yang timbul di dalam melaksanakan peraturan-peraturan Landreform supaya diartikan seperti berikut: bahwa hanya perkara-perkara mengenai pengembalian gadai tanahpertanian yang timbul dalam rangka pelaksanaan peraturanperaturan dari Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian saja yang menjadi wewenang Pengadilan Landreform, sedangkan perkaraperkara gadai tanah lainnya menjadi wewenang Pengadilan Negeri. 2) Untuk mengetahui apakah suatu perkara gadai tanah mempunyai sangkut-paut dengan pelaksanaan Landreform sehingga pekaranya menjadi wewenang Pengadilan Landreform, maka wajiblah disampaikan oleh yang berkepentingan suatu surat keterangan tentang hal itu dari Panitia Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan. Apabila keterangan tersebut tidak dapat diajukan secara tertulis, maka atas permintaan yang berkepentingan atau

26 55 karena jabatannya Hakim yang bersangkutan memanggil Ketua Panitia tersebut atau wakilnya untuk didengar sebagai saksi. 3) Apabila ternyata, bahwa perkara gadai tanah tersebut tidak mempunyai sangkut-paut dengan pelaksanaan Landreform (Penetapan Luas Tanah Pertanian), maka Pengadilan Negeri-lah yang berwenang memeriksanya/mengadilinya. Demikianlah penegasan Mahkamah Agung di dalam Ketetapannya tanggal 12 Juni Dalam pada itu perkara-perkara pidana yang timbul dalam melaksanakan Pasal 7 tersebut tetap menjadi wewenang Pengadilan Landreform. 81 Dengan berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1970 mulai tanggal 31 juli 1970 yang menghapuskan Pengadilan Landreform, perkaraperkara gadai tanah semuanya diperiksa dan diputus oleh pengadilanpengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. 82 Berikut beberapa ketentuan dalam penyelesaian perkara gadai tanah pertanian sesudah berlakunya UUPA, adalah sebagai berikut 83 : 81 Ibid, hlm Ibid, hlm Eddy Ruchiyat, op.cit, hlm. 85. a. Menurut Pasal 7 Undang-Undang 56 Prp. Tahun 1960, tanah yang digadaikan lebih dari tujuh tahun harus dikembalikan oleh pemegang gadai kepada si pemilik tanah tanpa membayar uang tebusan dan tanpa membayar kerugian apapun. Walaupun Hukum Adat tidak mengenal daluarsa untuk penebusan tanah

27 56 yang digadaikan, tetapi Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 menetapkan dalam Pasal 7 bahwa tanah yang digadai lebih dari tujuh tahun harus dikembalikan oleh pemegang gadai kepada pemilik tanah tanpa uang tebusan maupun ganti rugi apapun. Ini tiada lain kecuali suatu upaya dari pembuat undangundang untuk menghilangkan segi-segi buruk yang masih terdapat dalam lembaga jual gadai. b. Apabila dalam perjanjian gadai-tanah ditentukan waktu tertentu dalam mana tanah yang ditebus, ini tidak berarti bahwa setelah waktu itu lampau tanpa tebusan, tanahnya dengan sendirinya menjadi milik si pemegang gadai, melainkan harus ada suatu tindakan pemegang yang konkret. c. Penebusan tanah gadai setelah berlakunya UUPA harus tunduk pada Pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960, yaitu setelah jangka waktu 7 (tujuh) tahun tanahnya harus dikembalikan pada pemilik, tanpa memberi uang tebusan atau ganti rugi apapun. d. Perjanjian jual gadai antara pemilik tanah dengan pemegang gadai, di mana diperjanjikan bahwa pemegang gadai akan menguasai tanah selama 75 (tujuh puluh lima) tahun dan kepadanya diizinkan untuk mendirikan rumah di atas tanah itu, tidaklah termasuk dalam cakupan Pasal 7 Undang-Undang No.

28 57 56 Prp. Tahun 1960 melainkan termasuk pinjaman utang piutang biasa. Di sini terbukti bahwa Mahkamah Agung dalam putusan mengenai perkara penebusan gadai yang jangka waktunya lebih dari 7 (tujuh) tahun, yaitu 75 (tujuh puluh lima) tahun, telah berpendapat bahwa perjanjian itu bukan perjanjian jual gadai tanah, melainkan perjanjian utang-piutang biasa dengan jaminan tanah Ibid, hlm. 91

JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A.

JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A. JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A. Latar Belakang Sifat pluralisme atau adanya keanekaragaman corak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat bermanfaat bagi pemilik tanah maupun bagi masyarakat dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. dapat bermanfaat bagi pemilik tanah maupun bagi masyarakat dan negara. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 6 Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 menetapkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ini berarti, bahwa penggunaan tanah harus sesuai dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perlu ditetapkan luas maksimum

Lebih terperinci

PELAKSANAAN GADAI TANAH PERTANIAN DI DESA TANRARA KECAMATAN BONTONOMPO SELATAN KABUPATEN GOWA

PELAKSANAAN GADAI TANAH PERTANIAN DI DESA TANRARA KECAMATAN BONTONOMPO SELATAN KABUPATEN GOWA 92 PELAKSANAAN GADAI TANAH PERTANIAN DI DESA TANRARA KECAMATAN BONTONOMPO SELATAN KABUPATEN GOWA Oleh: SRIWAHYUNI Mahasiswa Jurusan PPKn FIS Universitas Negeri Makassar MUSTARING Dosen PPKn Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

PERPU 56/1960, PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERPU 56/1960, PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERPU 56/1960, PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:56 TAHUN 1960 (56/1960) Tanggal:29 DESEMBER 1960 (JAKARTA) Tentang:PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN [ Dengan UU No 1 Tahun

Lebih terperinci

TESIS PENGUASAAN GADAI TANAH DALAM LINGKUP PENETAPAN MAKSIMUM LUAS TANAH PERTANIAN

TESIS PENGUASAAN GADAI TANAH DALAM LINGKUP PENETAPAN MAKSIMUM LUAS TANAH PERTANIAN TESIS PENGUASAAN GADAI TANAH DALAM LINGKUP PENETAPAN MAKSIMUM LUAS TANAH PERTANIAN Oleh: BUDI SRINASTITI NIM. 031142170 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perlu ditetapkan luas maksimum dan minimum tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada satu pihak tertentu, akibatnya ada masyarakat atau pihak lain yang sama

BAB I PENDAHULUAN. pada satu pihak tertentu, akibatnya ada masyarakat atau pihak lain yang sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah pertanahan merupakan masalah yang kompleks. Tidak berjalannya program landreform yang mengatur tentang penetapan luas pemilikan tanah mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal

Lebih terperinci

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN LANDREFORM Perkataan Landreform berasal dari kata: land yang artinya tanah, dan reform yang artinya

Lebih terperinci

YANG TERMASUK HAK ATAS TANAH SEKUNDER ADALAH: - HAK GUNA BANGUNAN - HAK PAKAI - HAK SEWA - HAK USAHA BAGI HASIL - HAK GADAI - HAK MENUMPANG

YANG TERMASUK HAK ATAS TANAH SEKUNDER ADALAH: - HAK GUNA BANGUNAN - HAK PAKAI - HAK SEWA - HAK USAHA BAGI HASIL - HAK GADAI - HAK MENUMPANG YAITU HAK ATAS TANAH YANG TIDAK LANGSUNG BERSUMBER PADA HAK BANGSA INDONESIA DAN YANG DIBERIKAN OLEH PEMILIK TANAH DENGAN CARA PERJANJIAN PEMBERIAN HAK ANTARA PEMILIK TANAH DENGAN CALON PEMEGANG HAK YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perlu ditetapkan luas maksimum dan minimum tanah

Lebih terperinci

Sawah atau Tanah kering (hektar) (hektar) 1. Tidak padat Padat: a. kurang padat b. cukup padat 7,5 9 c.

Sawah atau Tanah kering (hektar) (hektar) 1. Tidak padat Padat: a. kurang padat b. cukup padat 7,5 9 c. UNDANG-UNDANG NO. 56 PRP TAHUN 1960*) TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perlu ditetapkan luas maksimum dan minimum tanah pertanian sebagai yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum tentang Tanah Terlantar Sebagaimana diketahui bahwa negara Republik Indonesia memiliki susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya bercorak agraris, bumi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga, dipelihara, dan

BAB I PENDAHULUAN. adalah rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga, dipelihara, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam konsep hukum tanah nasional, tanah di wilayah Republik Indonesia adalah rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga, dipelihara, dan dimanfaatkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum PROSUDUR PEMINDAHAN HAK HAK ATAS TANAH MENUJU KEPASTIAN HUKUM Oleh Dimyati Gedung Intan Dosen Fakultas Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Tanah semakin berkurang, kebutuhan tanah semakin meningkat,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 7 TAHUN 1970 (7/1970) Tanggal: 17 JULI 1970 (JAKARTA) Sumber: LN 1970/41; TLN NO. 2939 Tentang: PENGHAPUSAN PENGADILAN LANDREFORM Indeks:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alam. Tanah yang luas serta kekayaan alam yang melimpah merupakan bagian dari negara Indonesia. Baik tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan modal dasar dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan modal dasar dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan modal dasar dalam kehidupan baik oleh individu, kelompok maupun negara. Dalam usaha memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB II KEABSAHAN JUAL BELI TANAH HAK MILIK OLEH PERSEROAN TERBATAS. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

BAB II KEABSAHAN JUAL BELI TANAH HAK MILIK OLEH PERSEROAN TERBATAS. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok BAB II KEABSAHAN JUAL BELI TANAH HAK MILIK OLEH PERSEROAN TERBATAS 1. Syarat Sahnya Jual-Beli Tanah Hak Milik Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Argaria, LNRI Tahun 1960

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH 2. 1. Pendaftaran Tanah Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN A. Pengalihan Hak Atas Bangunan Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UTHI CHAFIDZAH NAFSIKA C

UTHI CHAFIDZAH NAFSIKA C 0 TINJAUAN HUKUM AGRARIA NASIONAL TERHADAP PELAKSANAAN SEWA-MENYEWA TANAH KAS DI DESA SRIBIT KECAMATAN DELANGGU KABUPATEN KLATEN Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah ditempatkan sebagai suatu bagian penting bagi kehidupan manusia. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus meningkat.

Lebih terperinci

BAB III KEABSAHAN JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN OLEH BUKAN PEMILIK TANAH. 1. Jual Beli Hak Atas Tanah

BAB III KEABSAHAN JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN OLEH BUKAN PEMILIK TANAH. 1. Jual Beli Hak Atas Tanah BAB III KEABSAHAN JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN OLEH BUKAN PEMILIK TANAH 1. Jual Beli Hak Atas Tanah Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum, tidak secara tegas dan terperinci diatur dalam UUPA. Bahkan,

Lebih terperinci

rakyat yang makin beragam dan meningkat. 2 Kebutuhan tanah yang semakin

rakyat yang makin beragam dan meningkat. 2 Kebutuhan tanah yang semakin 1 Perkembangan masyarakat di Indonesia terjadi begitu pesat pada era globalisasi saat ini. Hal ini tidak hanya terjadi di perkotaan saja, di desa-desa juga banyak dijumpai hal tersebut. Semakin berkembangnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

PEMANDANGAN UMUM. UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September Undang-undang ini

PEMANDANGAN UMUM. UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September Undang-undang ini PEMANDANGAN UMUM Perubahan yang revolusioner UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960. Undang-undang ini benar-benar memuat hal-hal yang merupakan perubahan yang revolusioner dan drastis terhadap

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL A. Ketentuan Konversi Hak-Hak Lama Menjadi Hak-Hak Baru Sesuai Undang-Undang Pokok Agraria 1. Sejarah Munculnya Hak Atas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

DALUWARSA PENGHAPUS HAK MILIK DALAM SENGKETA PERDATA

DALUWARSA PENGHAPUS HAK MILIK DALAM SENGKETA PERDATA DALUWARSA PENGHAPUS HAK MILIK DALAM SENGKETA PERDATA ( Studi Putusan Pengadilan Negeri Wates Nomor : 06/PDT.G/2007.PN.WT ) STUDI KASUS HUKUM Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 55 TAHUN 1981 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 49 TAHUN 1963 TENTANG HUBUNGAN SEWA-MENYEWA PERUMAHAN PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa masalah hubungan sewa-menyewa

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA) Sumber: LN 1960/2; TLN NO. 1924 Tentang: PERJANJIAN BAGI HASIL Indeks: HASIL.

Lebih terperinci

BAB III PERBANDINGAN GADAI GANTUNG SAWAH DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM ADAT

BAB III PERBANDINGAN GADAI GANTUNG SAWAH DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM ADAT BAB III PERBANDINGAN GADAI GANTUNG SAWAH DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM ADAT A. Gambaran Umum Desa Mekarjati, Kecamatan Hargeulis, Kabupaten Indramayu Mekarjati adalah desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam arti hukum, tanah memiliki peranan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam arti hukum, tanah memiliki peranan yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam arti hukum, tanah memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan, kelangsungan hubungan dan perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pertahanan keamanan. Tujuan dari pembangunan tersebut adalah untuk. dapat dilakukan yaitu pembangunan di bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. dan pertahanan keamanan. Tujuan dari pembangunan tersebut adalah untuk. dapat dilakukan yaitu pembangunan di bidang ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Republik Indonesia adalah negara berkembang yang senantiasa melakukan pembangunan secara terus menerus dan berkembang, yaitu pembangunan di segala bidang, baik bidang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat tinggal yang turun temurun untuk melanjutkan kelangsungan generasi. sangat erat antara manusia dengan tanah.

BAB I PENDAHULUAN. tempat tinggal yang turun temurun untuk melanjutkan kelangsungan generasi. sangat erat antara manusia dengan tanah. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan sebagian besar kehidupan masyarakatnya masih bercorak agraris karena sesuai dengan iklim Indonesia

Lebih terperinci

Pendayagunaan tanah secara berlebihan serta ditambah pengaruh-pengaruh alam akan menyebabkan instabilitas kemampuan tanah. 1 Jumlah tanah yang statis

Pendayagunaan tanah secara berlebihan serta ditambah pengaruh-pengaruh alam akan menyebabkan instabilitas kemampuan tanah. 1 Jumlah tanah yang statis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Kebutuhan pokok dalam istilah lainnya disebut kebutuhan primer. Kebutuhan primer terdiri dari sandang,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal I angka 2, Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Manusia dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah diperlukan manusia sebagai ruang gerak dan sumber kehidupan. Sebagai ruang gerak, tanah memberikan

Lebih terperinci

PERJANJIAN JUAL BELI. Selamat malam. Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya..

PERJANJIAN JUAL BELI. Selamat malam. Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya.. PERJANJIAN JUAL BELI Selamat malam Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya.. 1. PENGERTIAN PERJANJIAN JUAL BELI Dalam suatu masyarakat, dimana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2011

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2011 PEMERINTAH KABUPATEN ROKAN HILIR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH diperbanyak oleh : BAGIAN HUKUM DAN HAM SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional. Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA

Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional. Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA Pertemuan ke-3 Pembentukkan UUPA dan Pembangunan Hukum Tanah Nasional Dr. Suryanti T. Arief SH.,MKn.,MBA FUNGSI UUPA 1. Menghapuskan dualisme, menciptakan unifikasi serta kodifikasi pada hukum (tanah)

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5268 EKONOMI. Pajak. Hak dan Kewajiban. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162) I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA

Lebih terperinci

BAB III SURAT KUASA MUTLAK PADA PERJANJIAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN INSTRUKSI MENTERI DALAM

BAB III SURAT KUASA MUTLAK PADA PERJANJIAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN INSTRUKSI MENTERI DALAM BAB III SURAT KUASA MUTLAK PADA PERJANJIAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN INSTRUKSI MENTERI DALAM NEGERI NO. 14 TAHUN 1982 TENTANG LARANGAN PENGGUNAAN SURAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PRAKTEK OPER SEWA RUMAH KONTRAKAN

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PRAKTEK OPER SEWA RUMAH KONTRAKAN 73 BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PRAKTEK OPER SEWA RUMAH KONTRAKAN TANPA IZIN PEMILIK DI KECAMATAN GUNUNGANYAR SURABAYA A. Urgensi Pembaharuan Sistem Tentang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA MEDAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN

PEMERINTAH KOTA MEDAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN PEMERINTAH KOTA MEDAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN Menimbang : a. bahwa Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah 34 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 mengatur tentang Pendaftaran Tanah yang terdapat di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat

BAB I PENDAHULUAN. hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh Bangsa Indonesia pada hakekatnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, secara adil

Lebih terperinci

BAB I A. LATAR BELAKANG

BAB I A. LATAR BELAKANG BAB I A. LATAR BELAKANG Dalam kehidupan sehari-hari, manusia memerlukan sebidang tanah baik digunakan untuk membangun rumah maupun dalam melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijawab dengan tuntas oleh ajaran Islam melalui al-qur an sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dapat dijawab dengan tuntas oleh ajaran Islam melalui al-qur an sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam merupakan agama yang bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman. Keabadian dan keaktualan Islam telah terbukti sepanjang sejarah, di mana setiap kurun waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Bagi rakyat Indonesia, tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH A. Pengertian Tanah Menarik pengertian atas tanah maka kita akan berkisar dari ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, hanya saja secara rinci pada ketentuan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 28 BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Tanah Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan bumi.tanah yang dimaksud di sini bukan mengatur tanah dalam segala

Lebih terperinci

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN Menimbang Mengingat WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN : : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : perlu diadakan peraturan tentang pendaftaran tanah sebagai yang dimaksud dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah mempunyai peranan yang penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Mengingat pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka sudah sewajarnya peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 3 TAHUN 1998 (3/1998) TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 3 TAHUN 1998 (3/1998) TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 3 TAHUN 1998 (3/1998) TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah sebagai permukaan bumi merupakan faktor yang sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah sebagai permukaan bumi merupakan faktor yang sangat penting BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah sebagai permukaan bumi merupakan faktor yang sangat penting untuk menunjang kesejahteraan rakyat dan sumber utama bagi kelangsungan hidup dalam mencapai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN Menimbang : a. bahwa dengan telah ditetapkan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kebutuhan yang sangat besar

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2015 BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN

PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala aspeknya melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah

BAB I PENDAHULUAN. segala aspeknya melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi dan tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukan bumi sebagai dari bumi disebut tanah.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PONTIANAK

PEMERINTAH KABUPATEN PONTIANAK PEMERINTAH KABUPATEN PONTIANAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONTIANAK NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PONTIANAK, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 03 Tahun 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci