BAB 2 Tinjauan Pustaka

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 Tinjauan Pustaka"

Transkripsi

1 BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Kelekatan (attachment) Definisi Kelekatan (attachment) Bowlby mengatakan bahwa kelekatan (attachment) adalah ikatan antara bayi dan ibu, sedangkan menurut Papalia dan Olds (1998) kelekatan (attachment) adalah keaktifan, rasa kasih sayang, timbal balik selama terdapat hubungan antara dua orang yang berinteraksi terus menerus dan yang semakin menguatkan ikatan. Menurut Egeland (2009) kelekatan (attachment) dibentuk dari ide dasar mengenai hubungan awal yang terus bekembang antara infant dan caregiver yang menyediakan fondasi bagi kelanjutan perkembangan selanjutnya. Ainsworth (dalam Papalia & Olds, 1998) mengatakan bahwa esensi dasar dari manusia adalah seorang infant memiliki kelekatan dengan figure ibu. Jadi kelekatan (attachment) dapat dikatakan sebagai bentuk ikatan antara individu dengan orang terdekatnya. Ikatan tersebut terbentuk karena suatu proses yang hasilnya akan membentuk attachment style yang berbeda-beda Adult Attachment Adult attachment menurut Sperling dan Berman (dalam Pratishita, 2008) adalah kecenderungan stabil yang dimiliki individu untuk melaksanakan suatu usaha penting dalam mencari dan mempertahankan kedekatan atau kontak dengan seseorang yang memberikan rasa aman secara fisik maupun psikologis. Penelitian dan teori kelekatan (attachment) terus maju dan berkembang setelah adanya trilogi kelekatan (attachment) dari Bowlby, kemajuan metodelogi dan sudah adanya teori yang saling melengkapi kelekatan (attachment) (Bretherton, 1992). Ada hal yang menarik dari terus berkembangnya teori kelekatan (attachment) dalam penelitian yang dilakukan. Menurut Bretherton (1992) terdapat sumber tambahan inspirasi working model berasal dari hubungan infant dan caregiver yang berusaha diterjemahkan oleh Ainsworth dengan subjek adult attachment. Menurut Papalia & Olds (1998), kelekatan (attachment) memiliki efek 9

2 jangka panjang, hubungan antara kelekatan (attachment) dan karakteristiknya akan terus berkembang dan akan berhubungan juga dengan emosi, kognitif dan perkembangan fisik seseorang. Dalam perkembangan dewasa, kelekatan (attachment) akan berperan ketika seseorang menjalin hubungan dekat dengan orang lain. Menurut Hazan dan Shaver (1994), pada anak figure caregiver biasanya adalah orang tua tetapi pada kelekatan (attachment) dewasa figure yang muncul secara umum adalah peer yang biasanya partner secara seksual. Dengan kata lain pada adult attachment, seseorang memiliki ikatan dengan seseorang yang sedang dalam hubungan pacaran. Hazan dan Shaver (dalam Steuber 2005) berpendapat bahwa ikatan awal pada masa infancy yang terbentuk dengan baik pada salah satu bentuk kelekatan (attachment) maka akan berpengaruh pada adult attachment khususnya ketika menjalin hubungan romantis. Dalam perspektif kelekatan (attachment), formasi dari pacaran hubungan antara dua orang yang secara fisik mengalami kedekatan, dengan kata lain kelekatan (attachment) dalam hubungan pacaran sangat mendorong kedekatakan (Hazan dan Shaver, 1994). Walaupun hubungan pacaran adalah bagian dari fenomena kelekatan (attachment), hal ini terlibat dalam sistem berperilaku seseorang, pemberian perhatian dan seks hal ini berhubungan tetapi secara teori dapat dipisahkan (Fraley dan Shaver, 2000). Jadi menurut Hazan dan Shaver (dalam Fraley dan Shaver, 2000) sistem berperilaku, pemberian perhatian dan seks merupakan bagian dari pengalaman dalam kelekatan (attachment) dalam hubungan berpacaran Tipe Kelekatan (attachment style) Hazan dan Shaver (dalam Fraley dan Shaver, 2000) mengategorikan romantic attachment, mengadopsi 3 kategori kelekatan (attachment) dari Ainsworth dalam mengorganisir bagaimana cara orang dewasa berpikir, merasakan dan berperilaku dalam hubungan romantis, romantic attachment diklasifikasikan menjadi secure, anxious-ambivalent dan avoidant. Hazan dan shaver setuju dengan pola kelekatan (attachment) yang diungkapkan oleh Ainsworth (secure, anxious-ambivalent dan anxious avoidant) secara konsep sama dengan love style pada orang dewasa yang dikatakan oleh Lee, dkk ( Fraley & Shaver, 2000). 10

3 A. Secure attachment Secure attachment adalah bentuk kelekatan (attachment) yang paling ideal dibandingkan dengan bentuk yang lain, karena dengan secure attachment seseorang akan mudah dekat dengan orang lain tanpa merasa khawatir atau takut. Secure attachment adalah tujuan dari attachment system yang dibuat oleh Bowlby (Mikulincer & Shaver, 2007). Dalam menjalani kehidupan sosial secure attachment juga sangat penting, karena seperti yang dikatakan Hazan & Shaver (1994), kebutuhan akan rasa aman adalah hal yang paling penting dan kepuasan hubungan sosial. Perilaku infant yang memiliki secure attachment cenderung memiliki hubungan yang dekat dengan orang lain, nyaman dan memiliki kemampuan untuk menjadikan caregiver sebagai dasar dari rasa aman yang dimiliki (Hazan dan Shaver, 1994). Pada masa dewasa secure attachment ditunjukan kepada pasangan dengan perilaku yang kurang lebih sama. Seperti yang dikatakan Fraley dan Shaver (2000) orang dewasa akan cenderung merasa aman dan memiliki secure attachment ketika pasangan dekat dengan dirinya, mudah untuk dihubungi dan adanya respon dari pasangan. Seseorang yang memiliki secure attachment dalam hubungan akan merasa cenderung baik dalam menjalani hubungan, baik secara komunikasi ataupun hal lain. Seperti yang dikatakan (Santrock, 2012), orang yang memiliki secure attachment cenderung melihat hubungan sebagai hal yang positif, seseorang akan cenderung lebih mudah dekat dengan orang lain, dan sedikit stress dalam menjalani hubungan romantis. Menurut Mikulincer & Shaver (2007), secure attachment memiliki beberapa ciri khusus yang disimpulkan dari rasa aman itu sendiri; merasa aman, dapat mencurahkan perhatian kepada masalah yang dihadapi daripada sekedar melindungi diri, bisa menghargai perasaan dalam mencintai dan menilai, dapat mengambil resiko, dan percaya diri. B. Avoidant attachment Avoidant adalah salah satu bentuk insecure attachment. Menurut Hazan dan Shaver terdapat dua dimensi insecure dalam kelekatan (attachment) dan salah satunya adalah avoidant attachment (Mikulincer & Shaver, 2007). Avoidant attachment adalah bentuk kelekatan (attachment) yang cenderung menghindari sesuatu. Caregiver pada avoidant attachment pada masa infant secara konsisten menyangkal bahwa infant 11

4 membutuhkan kenyamanan, khususnya kontak secara fisik (Hazan & Shaver, 1994). Caregiver bersifat kaku terhadap infant dan menolak segala usaha infant dalam mencari kedekatan (Mikulincer & Shaver, 2007) Ciri avoidant attachment dalam menjalin hubungan juga sangat berbeda dengan secure attachment yang cenderung mudah untuk dekat orang lain. Seseorang dengan avoidant attachment ragu-ragu dalam mejalin hubungan romantis dan beberapa malah cenderung untuk menghindari dekat dengan pasangannya (Santrock, 2012). Hal ini sama dengan yang dikatakan Mikulincer dan Shaver (2007) yang mengatakan bahwa seseorang dengan avoidant attachment merasa tidak nyaman dengan kedekatan dan ketergantungan dengan pasangan. Seseorang dengan avoidant attachment dalam berinteraksi dengan pasangan juga cenderung merasa yang dikatakan selalu benar (Mikulincer dan Shaver, 2007). C. Anxiety-ambivalent attachment Anxiety-ambivalent attachment adalah bentuk insecurity attachment yang kedua setelah avoidant attachment (Mikulincer & Shaver, 2007). Ainsworth (dalam Mikulincer dan Shaver, 2007) dalam melakukan observasi, menemukan bahwa interaksi antara anxious infant dan ibunya bersifat kurang harmonis dan caregiver dianggap tidak konsisten dalam merespon kebutuhan. Hal ini membuat infant merasa membutuhkan tetapi tidak juga direspon sehingga infant merasa takut kehilangan kelekatan (attachment) dengan caregiver. Dalam menajlin hubungan, seseorang dengan anxiety-ambivalent attachment memiliki rasa cemas atau takut mengenai pasangannya. Seseorang dengan anxietyambivalent attachment sangat menuntut kedekatan, memiliki sedikit rasa percaya terhadap pasangan, dan secara emosional memiliki kecemburuan dan posesif terhadap pasangan Konsep Two Major Dimensions dari Attachment Style Konsep dari dua dimensi besar pada adult attachment memang merupakan isu yang digaris bawahi dalam pengukuran attachment itu sendiri (Mikulincer dan Shaver, 2007). Bartholomew (dalam Mikulincer dan Shaver, 2007) mengungkapkan bahwa seseorang dengan 12

5 skor tertentu pada dimensi avoidant dan tertentu pada dimensi anxiety dapat menggambarkan attachment style tertentu-dan ini bisa digambarkan melalui dua dimensi tersebut. Mikulincer dan Shaver (2007) sendiri menyimpulkan mengenai dua dimensi besar ini, bahwa secara umum attachment dapat diukur menggunakan dua skala yang berbeda dengan menggunakan dimensi empiris yaitu, avoidant dan anxiety. Hal ini karena kedua dimensi tersebut sudah menggambarkan cara pandang individu mengenai dirinya sendiri ataupun bagaimana dia memandang orang lain (Pratishita, 2008). Jadi dapat dikatakan bahwa avoidant an anxiety adalah dimensi yang dirasa sudah dapat menggambarkan attachment secara keseluruhan Konflik Definisi Konflik Canary, dkk (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) melihat konflik sebagai gambaran spesifik mengenai peristiwa tertentu, dan konflik sebagai hal yang tesebar sebagai pola yang terus menerus dilakukan dari perilaku tertentu. Sedangkan Kelley dan Thibaut (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) melihat konflik sebagai sesuatu yang bisa terjadi dari berbagai interaksi yang merupakan balasan yang tidak sama dari pasangan dalam interaksi. Christensen dan Shenk (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) mengatakan bahwa penyebab utama konflik dapat terjadi adalah buruknya komunikasi. Jadi konflik dapat dikatakan sebagai bagian dari interaksi yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, sehingga terjadi konflik dalam interaksi tersebut Konflik pada Pasangan Konflik bukan hanya dapat dilihat dari sisi negatifnya saja, tetapi juga dari sisi positif. Konflik mungkin diasosiasikan dengan perasaan negatif dan keadaan yang lebih buruk, walaupun begitu konflik bisa saja menjadi kesempatan untuk menambahkan keintiman dan meningkatkan komunikasi pada pasangan (Pietromonaco, Greenwood & Barret, 2004). Dalam hubungan pacaran Howe (2002) mengatakan terdapat konflik yang sehat dan konflik tidak sehat. Dalam konflik sehat seseorang akan cenderung menyelesaikan konflik, daripada memperpanjang konflik atau menhindari konflik yang sudah ada. Sedangkan dalam 13

6 konflik tidak sehat seseorang fokus pada mengubah persepsi pasangan agar daripada menemukan dan mengerti apa yang pasangan inginkan. Konflik harus ditangani dengan baik agar hubungan terus dapat berjalan dengan baik. Pendekatan konflik sebagai masalah harus diselesaikan bukan dihindari atau dijauhi (Howe, 2002). Konflik adalah bagian penting dari seluruh hubungan manusia, dan penelitian mengenai konflik harus dimengerti dalam hubungan dan bagaimana hubungan dapat meningkat dan diteruskan (Zacchilli, Hendric & Hendrick, 2009) Faktor yang Berhubungan dengan Konflik pada Pasangan Konflik bukan hanya muncul tiba-tiba dalam hubungan. Konflik pasti memiliki penyebab yang akhirnya dua orang dapat menganggap hal tersebut sebagai konflik. Menurut Zacchilli, Hendrick & Hendrick (2009) terdapat beberapa variabel yang berhubungan dengan konflik. A. Komunikasi Konflik sering terjadi dalam hubungan karena salah satu tidak dapat mengatakan secara tepat mengenai apa yang diinginkan kepada pasangan (Howe, 2002). Ketidakmampuan mengatakan sesuatu dengan tepat dapat dikatakan sebagai komunikasi yang kurang tepat. Komunikasi sangat penting agar pasangan saling mengetahui satu sama lain apa yang diinginkan. Menurut Hazan dan Shaver (1994) pasangan yang tidak secara jelas mengkomunikasikan pikiran dan perasaan akan mengalami penderitaan dalam hubungan. Komunikasi memiliki hubungan dengan aspek yang ada dalam hubungan yang intim, ketika individu terbuka dengan pasangan hubungan akan lebih memuaskan, dan lebih berkomitmen (Zacchilli, Hendrick & Hendrick 2009). B. Cinta Cinta adalah hal yang penting dalam hubungan, karena individu yang menjalani hubungan romantis biasanya menemukan cinta dalam hubungan. Cinta adalah sesuatu yang berbeda dari sangat menyukai dan bukan hanya masalah dorongan seksual saja (Aronson, Wilson dan Akert, 2007). Jika dilihat cinta 14

7 memang kelihatannya bukan sumber dari konflik dapat muncul atau berhubungan dengan konflik, tetapi Richadson, dkk (dalam Zacchilli, Hendrick & hendrick, 2009) menemukan bahwa beberapa jenis cinta secara positif berhubungan dengan strategi penanganan konflik yang membangun. C. Seksualitas Seksualitas adalah hal yang penting dalam hubungan romantis menurut Sprecher (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009). Hubungan antara seksualitas dan konflik bisa saja karena skesualitas juga berhubungan dengan berbagai komponen lain seperti komunikasi. Seperti yang dikatakan Zacchilli, Hendrick & Hendrick (2009) menentukan kapan, bagaimana dan seberapa sering hubungan seksual dibutuhkan membutuhkan komunikasi dan bisa saja konflik terjadi karena hal ini. D. Kepuasan hubungan Kepuasan dalam hubungan sangat penting karena menurut Steuber (2004), kepuasan dalam hubungan pacaran berkontribusi dalam mood dan emotional wellbeing seseorang. Menurut Cramer (dalam Zacchilli, Hendrick & Hendrick, 2009) strategi penanganan konflik adalah salah satu prediktor terkuat dari kepuasan hubungan. E. Sikap menghargai Sikap saling menghargai perlu ditunjukan dalam hubungan pacaran karena menurut Zacchilli, Hendrick & Hendrick (2009) menghargai adalah aspek penting dalam hubungan dekat bahkan hal ini mendapat perhatian dari para peneliti. Bagaimana akhirnya sikap saling menghargai dapat menjadi penyebab konflik, karena menghargai dapat menunjukan aspek dasar bagaimana pasangan terhubung satu sama lain, hal tersebut seharusnya dapat berhubungan dengan konflik (Zacchilli, Hendrick,& Hendrick, 2009). F. Perbedaan jenis kelamin 15

8 Bagaimana seorang pria dan wanita menghadapi konflik berbeda. Seperti yang dikatakan Canary, dkk (dalam Zacchilli, Hendrick, & Hendrick 2009) beberapa penelitian mendemonstrasikan bahwa wanita menggunakan emosi dan taktik distributive (kritik dan kemarahan), sedangkan pria lebih suka menghindar Strategi Penanganan Konflik Definisi Strategi Penanganan Konflik Menurut Mansilla dan Kintanar (2010), penanganan konflik adalah menyelesaikan ketidakcocokan atau argumen yang berbeda satu sama lain. Guererro, dkk (dalam Brandenberger, 2007) mengatakan bahwa kesempatan terakhir dalam penangan konflik adalah dengan cara melatih diri untuk menjadi pendengar yang aktif, dan merespon dengan pesan yang positif. Strategi penanganan konflik setiap individu berbeda karena menurut Gottman (dalam Zacchilli, Hendrick & Hendrick, 2009), secara konsep setiap pasangan memiliki pendekatan yang sangat berbeda dalam menangani konflik. Jadi strategi penanganan konflik adalah cara yang dipilih atau diambil oleh individu untuk menanggapi konflik yang terjadi Strategi Penangan Konflik pada Pasangan Menurut Brandenberger (2007) penangangan konflik adalah hal paling kecil yang dapat seseorang lakukan adalah meminimalisir terjadinya konflik. Zacchilli, Hendrick & Hendrick (2009) menyimpulkan bahwa konflik adalah hal yang penting dalam hubungan pacaran, dan ilmu mengenai penanganan konflik membantu untuk memahami bagaimana agar dapat mengembangkan kemampuan dalam penanganan konflik. Penanganan konflik akan membantu memudahkan menguraikan konflik yang terjadi (Brandenberger, 2007). Zacchilli, Hendrick & Hendrick (2009) mengatakan bahwa strategi penanganan konflik yang bersifat membangun secara positif berhubungan dengan kepuasan pada hubungan pacaran dan perasaan saling menghargai satu sama lain. 16

9 Bentuk Strategi Penanganan Konflik Dalam penelitian Zacchilli, Hendrick & Hendrick (2009), mengenai pengukuran strategi penanganan konflik, berfokus pada beberapa strategi penanganan konflik; compromise, collaboration, avoidance, domination, submission dan separation. Pada kesimpulannya Zacchilli, Hendrick, & Hendrick (2009) membagi strategi penanganan konflik menjadi enam dimensi: A. Compromise Menurut Lulofs dan Cahn (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) compromise adalah mencari jalan tengah dari konflik. Menurut Peterson (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) compromise adalah mencari solusi yang dapat diterima oleh kedua pasangan. Dengan mencari penyelesaian konflik dengan kesepakatan berdua maka pasangan akan sama-sama dapat menemukan pemecahan masalah yang diinginkan. Menurut Zacchilli, Hendrick dan Hendrick (2009), strategi compromise adalah gabungan dari strategi negotiation dan collaboration, dengan tujuan kedua pasangan puas dengan hasil keputusan bersama. B. Domination Domination adalah cara penyelesaian konflik dimana salah satu pasangan cenderung mendominasi untuk menyelesaikan masalah. Strategi penanganan konflik menurut Peterson (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) adalah usaha untuk memengaruhi atau memaksa yang lain untuk memilih apa yang dominator katakan. Sedangkan menurut Lulofs dan Cahn (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) domination sama dengan istilah completion dalam strategi penanganan konfliknya. C. Submission Submission memiliki karakteristik salah satu pasangan membiakan pasangan yang lain untuk menyelesaikan masalah seperti yang diinginkan agar pasanga merasa puas atau hanya sekesar agar masalah cepat terselesaikan (Zacchilli, Hendrick & Hendrick, 2009). Jadi dalam strategi penyelesaian konflik ini pasangan cenderung pasrah dalam menyelesaikan konflik. D. Separation 17

10 Dalam startegi penyelesaian konflik Peterson (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009), separation adalah masa mendinginkan dengan membicarakan masalah setelah merasa tenang. Hal ini sama dengan yang dikatakan oleh Zacchilli, Hendrick dan Hendrick (2009) sendiri bahwa separation adalah masa pendinginan dan mendiskusikan masalah nanti. Jadi pasangan menunggu hingga kondisi cukup tenang baru mulai membicarakan masalah setelahnya. E. Avoidance Menurut Horney (dalam Zacchilli, Hendrick dan Hendrick, 2009) contoh perilaku dari strategi penyelesaian konflik avoidance adalah merubah topik atau menyangkal konflik yang ada. Menurut Zacchilli, Hendrick dan Hendrick (2009), Avoidance adalah strategi penyelesaian konflik dengan menghindari melibatkan diri dalam situasi konflik sebelum hal itu terjadi. F. Interactional reactivity Stategi penanganan konflik dengan cara agresi yang berbentuk verbal terhadap pasangan, emosi yang berubah-ubah dan kurang rasa percaya kepada pasangan (Zacchilli, Hendrick & Hendrick, 2009). Jika hal ini terjadi kepada pasangan dalam menyelesaikan konflik, maka tipe penyelesaiannya adalah interactional reactivity Emerging Adulthood Definisi Emerging Adulthood Emerging adulthood adalah konsep baru dalam perkembangan untuk periode remaja akhir, sekitar usia 20 tahun-an, berfokus pada usia tahun (Arnett, 2000). Pada usia ini seseorang berada dalam masa antara remaja akhir dan dewasa muda. Dalam hal pacaran, usia emerging adulthood dianggap masih mengeksplorasi untuk mendapatkan pasangan yang tepat. Seperti yang dikatakan Arnett (2004), di Eropa sejak abad 19, usia remaja akhir atau dua-puluh tahunan adalah masa puncak dari romantisme pada usia ini mereka banyak menghabiskan waktu untuk traveling dan eksplorasi diri sebelum akhirnya mereka tetap dalam komitmen dewasa (Arnett, 2004). Ekspektasi emerging adulthood untuk cinta dan pekerjaan sangat tinggi (Arnett, 2007). Pada usia 18 tahun keatas hingga 20 tahunan seseorang dianggap belum dapat 18

11 menempatkan ekspektasi, periode eksplorasi dan tidak stabil, mencoba berbagai hal dalam pekerjaan dan cinta sebelum membuat keputusan untuk berkomitmen (Arnett, 2004) Ciri-ciri Emerging Adulthood Menurut Arnett (2004), terdapat lima hal yang membedakan emerging adulthood dengan remaja dan dewasa muda, yaitu: A. Identity exploration Pada usia emerging adulthood, individu banyak melakukan ekplorasi mengenai diri sendiri. bahkan menurut Arnett, (2004) identity exploration adalah ciri utama dari emerging adulthood dimana ini adalah waktu ketika seseorang mengeksplor berbagai kemungkinan untuk hidup mereka pada beberapa area, khususnya cinta dan pekerjaan. Menurut Arnett, Ramos dan Jensen (2001) eksperimen dan eksplorasi kunci dari masa emerging adulthood, dalam cinta dan pekerjaan juga mengenai menghargai perkembangan dan ideology atau sudut pandang dunia. Ekplorasi diri akan lebih mudah dilakukan pada usia emerging adulthood. Hal ini karena menurut Arnett (2004), emerging adulthood lebih mandiri daripada remaja. Walaupun ketika remaja sebenarnya sudah dapat melakukan eksplorasi khususnya pekerjaan dan cinta, tetapi pada usia remaja cinta biasanya bersifat sementara dan masih berganti-ganti, sedangkan pada emerging adulthood ekplorasi dalam cinta cenderung lebih dalam keintimannya. (Arnett, 2004) B. Instability Emerging adulthood dapat dikatakan sebagai usia yang tidak stabil. Arnett (2004) mengilustrasikan ketidakstabilan emerging adulthood dengan seringnya emerging adulthood pindah dari satu tempat tinggal ke tempat tinggal lainnya. Berpindahpindahemerging adulthood adalah bagian dari eksplorasi diri emerging adulthood, jadi ketidakstabilan emerging adulthood karena ciri ekplorasi emerging adulthood (Arnett, 2004). C. Self-focused Tidak ada waktu dalam kehidupan yang lebih berfokus pada diri sendiri daripada emerging adulthood (Arnett, 2004). Pada masa ini emerging adulthood memiliki 19

12 keputusannya sendiri. pada usia anak-anak dan remaja memang berfokus pada diri sendiri, tetapi pada usia tersebut terdapat orang tua yang memiliki peraturan yang harus diikuti (Arnett, 2004). Sedangkan pada usia emerging adulthood menurut Arnett (2004), akan sangat banyak keputusan yang harus diambil sendiri oleh emerging adulthood. D. Feeling in between Pada masa emerging adulthood seseorang akan merasa berada diantara masa remaja dan dewasa muda. Pada masa emerging adulthood seseorang berada pada masa dimana mereka tidak lagi tinggal bersama orang tua dan pergi kesekolah tetapi tidak juga seperti pada dewasa muda yang sudah memiliki keluarga (Arnett, 2004). E. Possibilities Banyak kemungkinan yang bisa terjadi pada masa emerging adulthood. Ketika banyak masa depan yang berbeda yang mungkin terbuka ( Arnett, 2004). Pada usia ini seseorang memiliki harapan dan ekspektasi yang besar, seperti yang dikatakan Arnett, (2004) emerging adulthood melihat masa depan akan mendapatkan gaji yang baik, kepuasan dalam pekerjaan, mencintai, pernikahan seumur hidup, dan anak-anak yang bahagia. Pada usia emerging adulthood seseorang dapat menentukan bagaimana akan merubah diri untuk menjadi sesuai dengan ekspektasi mereka. Hal ini karena mereka dapat membuat keputusan sendiri tentang mereka ingin menjadi seperti apa dan bagaimana mereka berharap tentang kehidupan (Arnett, 2004) Kerangka Berpikir Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Pacaran konflik 20

13 Strategi penanganan konflik berbeda Sejarah keluarga Pengalaman eksternal Norma sosial Pilihan dan status Jenis kelamin Attachment Fenomena dalam penelitian ini adalah pacaran. Pacaran adalah sebuah kombinasi yang kompleks antara passion, komitmen, persahabatan dan cinta yang dijalani dua individu memaksa adanya dorongan untuk dekat satu sama lain (Howe, 2002) Dalam hubungan pacaran, pacaran tidak lepas dari konflik. Jika masalah ingin diselesaikan oleh pasangan, maka pasangan akan memiliki cara sendiri dalam menyelesaikan masalah. Seperti yang dikatakan Hazan dan Shaver (1994), jika pasangan kekurangan rasa percaya satu sama lain dan akhirnya mereka tidak mengkomunikasikan secara efektif mengenai pikiran dan perasaan mereka maka mereka tidak akan menemukan strategi yang tepat dalam menyelesaikan konflik. Bagaimana seseorang menyelesaikan masalah ternyata dipengaruhi oleh bebarapa hal dan salah satunya adalah sejarah keluarga, karena keluarga adalah media seorang individu pertama kali bersosialisasi dan individu. Seperti yang dikatakan oleh Sari, Hubeis, Mangkuprawira dan Saleh (2010) keluarga adalah lingkungan pertama dan utama yang dapat mengarahkan anak untuk menghadapi kehidupan. Bagaimana seseorang dibesarkan dalam lingkungan keluarga ternyata berpengaruh pada kehidupan seseorang saat dewasa (Indriwati dan Fauziah, 2012). Dalam hubungan keluarga seorang anak akan mulai dididik oleh ibu atau pengasuh dan memiliki kelekatan (attachment) dengan caregiver. Macam-macam sikap orangtua dalam pengasuhan anak, dilihat dari cara orangtua merespon dan memenuhi kebutuhan anak, akan membentuk suatu 21

14 ikatan emosional antara anak dengan orangtua sebagai figur pengasuh (Indriwati dan Fauziah, 2012). Kelekatan (attachment) juga terus berkembang dari masa infant hingga dewasa seperti yang dikatakan oleh Hazan dan Shaver (1994) bahwa kelekatan (attachment) akan berpindah dari orang tua ke pasangan. Masa emerging adulthood (18-25 tahun) adalah masa yang dianggap sebagai masa eksplorasi cinta dan pekerjaan, dan seseorang cenderung akan menetap dengan pasangannya (Arnett, 2004). Maka penelitian ini akan melihat strategi penanganan konflik dan kelekatan (attachment) pada pasangan yang berada dalam kategori emerging adulthood Hipotesis H01: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik compromise pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha1: Terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik compromise pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H02: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik Interactional Reactivity pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha2: Terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik Interactional Reactivity pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H03: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik Separation pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha3: Terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik Separation pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H04: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik domination pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha4: Terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik domination pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H05: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik submission pada emerging adulthood di DKI Jakarta. 22

15 Ha5: Terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik submission pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H06: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik avoidance pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha6: Terdapat hubungan yang signifikan antara avoidant attachment dengan strategi penanganan konflik avoidance pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H07: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik compromise pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha7: Terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik compromise pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H08: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik Interactional Reactivity pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha8: Terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik Interactional Reactivity pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H09: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik Separation pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha9: Terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik Separation pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H010: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik domination pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha10: Terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik domination pada emerging adulthood di DKI Jakarta. H011: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik submission pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha11: Terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik submission pada emerging adulthood di DKI Jakarta. 23

16 H012: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik avoidance pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Ha12: Terdapat hubungan yang signifikan antara anxiety attachment dengan strategi penanganan konflik avoidance pada emerging adulthood di DKI Jakarta. 24

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pacaran adalah istilah yang sudah tidak asing lagi didengar oleh masyarakat. Hampir seluruh masyarakat dapat melihat atau menjadi subjek dalam fenomena pacaran ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dan membentuk hubungan sosial dengan orang lain, karena pada dasarnya manusia tidak

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti saat masih menjadi teman dekat atau pacar sangat penting dilakukan agar pernikahan bertahan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT DENGAN STRATEGI PENANGANAN KONFLIK PADA EMERGING ADULTHOOD DI WILAYAH DKI JAKARTA

HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT DENGAN STRATEGI PENANGANAN KONFLIK PADA EMERGING ADULTHOOD DI WILAYAH DKI JAKARTA HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT DENGAN STRATEGI PENANGANAN KONFLIK PADA EMERGING ADULTHOOD DI WILAYAH DKI JAKARTA Nur Fifitri Psikologi, Universitas Bina Nusantara, nurfifitri@yahoo.com (Yessy Noerhardiyanty,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap 7 BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap perkembangan khususnya pada tahapan dewasa muda, hubungan romantis, attachment dan tipe attachment. 2.1 Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu memiliki beberapa tahap dalam kehidupannya, salah satunya adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi individu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Adanya interaksi sosial antara manusia yang satu dengan yang lainnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan dengan orang lain yang meliputi interaksi di lingkungan sekitarnya. Sepanjang hidup, manusia akan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Attachment 2.1.1 Definisi attachment Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah suatu hubungan atau interaksi antara 2 individu yang merasa terikat kuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang dalam menjalankan kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan relasi antar pribadi pada masa dewasa. Hubungan attachment berkembang melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Kesepian 2.1.1 Definisi Kesepian Kesepian didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang diinginkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Cinta. kehilangan cinta. Cinta dapat meliputi setiap orang dan dari berbagai tingkatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Cinta. kehilangan cinta. Cinta dapat meliputi setiap orang dan dari berbagai tingkatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cinta 1. Pengertian Cinta Stenberg (1988) mengatakan cinta adalah bentuk emosi manusia yang paling dalam dan paling diharapkan. Manusia mungkin akan berbohong, menipu, mencuri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Di usia remaja antara 10-13 tahun hingga 18-22 tahun (Santrock, 1998), secara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas tentang landasan teori berupa definisi, dimensi, dan faktor yang berpengaruh dalam variabel yang akan diteliti, yaitu bahasa cinta, gambaran tentang subjek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial, dimana mereka tidak dapat hidup seorang diri. Manusia selalu membutuhkan orang lain, baik untuk saling membantu, bekerja sama, bahkan

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH BAB I LATAR BELAKANG MASALAH 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap manusia memiliki tugas perkembangannya masing-masing sesuai dengan tahap perkembangannya. Mahasiswa memiliki berbagai tugas

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI HUBUNGAN ANTAR PRIBADI Modul ke: Fakultas Psikologi Macam-macam hubungan antar pribadi, hubungan dengan orang belum dikenal, kerabat, hubungan romantis, pernikahan, masalah-masalah dalam hubungan pribadi

Lebih terperinci

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 2. Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Resolusi Konflik Setiap orang memiliki pemikiran atau pengertian serta tujuan yang berbeda-beda dan itu salah satu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam suatu hubungan kedekatan

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar mahasiswa strata satu adalah individu yang memasuki masa dewasa awal. Santrock (2002) mengatakan bahwa masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Ketergantungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Ketergantungan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial oleh karena itu manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Ketergantungan dengan manusia lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan orang lain. Setiap manusia, selalu berinteraksi dengan orang-orang yang ada dalam

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

1.PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah 1 1.PENDAHULUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran attachment styles yang dialami oleh gay yang berada pada rentang usia dewasa muda. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dijelaskan mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting menuju kedewasaan. Masa kuliah akan menyediakan pengalaman akademis dan

BAB I PENDAHULUAN. penting menuju kedewasaan. Masa kuliah akan menyediakan pengalaman akademis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Individu pada masa dewasa awal menjadikan masa kuliah sebagai salah satu jalur penting menuju kedewasaan. Masa kuliah akan menyediakan pengalaman akademis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Attachment 2.1.1 Definisi Attachment Bowlby adalah tokoh pertama yang melakukan penelitian dan mengemukakan teori mengenai attachment dan tetap menjadi dasar teori bagi penelitian-penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini salah satu fenomena yang semakin sering muncul di Jakarta adalah perceraian. Fakta yang ada tidak semua pernikahan berjalan dengan lancar, tidak sedikit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi BAB I PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa peralihan atau masa transisi dari masa anakanak ke masa dewasa yang disertai dengan perubahan (Gunarsa, 2003). Remaja akan mengalami berbagai perubahan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan akan membawa Indonesia menjadi lebih maju. Namun sayangnya, akhir-akhir ini justru banyak pemberitaan mengenai

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

DATA SUBJEK SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III

DATA SUBJEK SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III DATA SUBJEK SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III Inisial A D V Usia 22 tahun 27 tahun 33 tahun Tempat/Tanggal Jakarta, 24 Mei 1986 Jakarta, 19 Maret 1981 Jakarta Lahir Agama Islam Kristen Protestan Katolik Suku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood) yang terjadi dari usia 18

BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood) yang terjadi dari usia 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Arnett (dalam Santrock, 2011) masa transisi dari remaja ke dewasa disebut sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood) yang terjadi dari usia 18 sampai

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN (ATTACHMENT) DAN INTIMACY PADA MAHASISWA YANG BERPACARAN. : Elfa Gustiara NPM : : dr. Matrissya Hermita, M.

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN (ATTACHMENT) DAN INTIMACY PADA MAHASISWA YANG BERPACARAN. : Elfa Gustiara NPM : : dr. Matrissya Hermita, M. HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN (ATTACHMENT) DAN INTIMACY PADA MAHASISWA YANG BERPACARAN Nama : Elfa Gustiara NPM : 12509831 Pembimbing : dr. Matrissya Hermita, M.si LATAR BELAKANG MASALAH Saat berada dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kompetensi Interpersonal Sebagaimana diungkapkan Buhrmester, dkk (1988) memaknai kompetensi interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan target atau yang disebut sebagai standar keahlian. keahlian atau pun standar keunggulan (standard of excellent).

BAB I PENDAHULUAN. dengan target atau yang disebut sebagai standar keahlian. keahlian atau pun standar keunggulan (standard of excellent). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Motivasi berprestasi sangat penting bagi kehidupan. Motivasi berprestasi yang baik akan membawa dampak positif bagi setiap individu. Hal ini terbukti dengan penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang HUBUNGAN KELEKATAN DAN KECERDASAN EMOSI PADA ANAK USIA DINI Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang ABSTRAK. Kelekatan (Attachment) merupakan hubungan emosional antara seorang anak dengan pengasuhnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ayah-Anak

TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ayah-Anak TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ayah-Anak Dalam kehidupan berkeluarga, ayah biasanya diidentikkan sebagai orang tua yang banyak meninggalkan rumah, menghukum, mempunyai pengetahuan yang lebih luas, berkedudukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi, tahapan, dan faktor-faktor yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi, tahapan, dan faktor-faktor yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Regulasi Diri Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi, tahapan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi diri. 2.1.1. Definisi Regulasi Diri Regulasi diri adalah proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia, terutama dalam gaya hidup masyarakat. Indonesia pun tidak luput dari perubahanperubahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan kecemburuan, pola

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan kecemburuan, pola BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan kecemburuan, pola attachment, dewasa awal dan pacaran. 2.1 Attachment 2.1.1 Definisi Attachment Bowlby adalah tokoh pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin meningkat prevalensinya dari tahun ke tahun. Hasil survei yang dilakukan oleh Biro

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. maka penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. maka penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui ada tidaknya hubungan antara attachment (X) dengan cinta pada individu dewasa yang telah menikah (Y), maka penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecemburuan merupakan hal yang wajar terjadi dalam sebuah hubungan antarindividu. Afeksi yang terlibat dalam hubungan tersebut membuat individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Sepanjang rentang kehidupan individu, banyak hal yang dipelajari dan mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman bersama keluarga dan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 101 BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk memperoleh gambaran mengenai kebutuhan intimacy melalui wawancara mendalam. Berdasarkan hasil analisis,

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pernikahan merupakan awal terbentuknya kehidupan keluarga. Setiap pasangan yang mengikrarkan diri dalam sebuah ikatan pernikahan tentu memiliki harapan agar pernikahan

Lebih terperinci

2016 HUBUNGAN ATTACHMENT ANAK TERHADAP ORANGTUA DAN PEER PRESSURE DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA DI SMAN 1 SUKATANI PURWAKARTA

2016 HUBUNGAN ATTACHMENT ANAK TERHADAP ORANGTUA DAN PEER PRESSURE DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA DI SMAN 1 SUKATANI PURWAKARTA BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan dari skripsi ini akan membahas beberapa hal terkait penelitian, termasuk latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat/signifikansi penelitian.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Emotional Eating 2.1.1 Definisi Emotional Eating Menurut Arnow (1995) emotional eating adalah keinginan untuk makan ketika timbul perasaan emosional seperti frustrasi, cemas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Attachment pada manusia pertama kali terbentuk dari hubungan antara orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang berinteraksi dengan bayinya.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman banyak perubahan yang terjadi, salah satunya adalah perubahan dalam pandangan orang dewasa mengenai pernikahan. Hal ini didukung

Lebih terperinci

INTUISI Jurnal Ilmiah Psikologi

INTUISI Jurnal Ilmiah Psikologi INTUISI 7 (1) (2015) INTUISI Jurnal Ilmiah Psikologi http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/intuisi HUBUNGAN ANTARA ADULT ATTACHMENT STYLE DENGAN KOMITMEN PERNIKAHAN PADA DEWASA AWAL Binti Khumairoh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Attachment Attachment atau kelekatan merupakan teori yang diungkapkan pertama kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969. Ketika seseorang

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain dalam menjalin sebuah kehidupan. Salah satu dasar dalam bersosialisasi adalah cinta. Cinta adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orang tua berperan sebagai figur pemberi kasih sayang dan melakukan asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan berperan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ainsworth (dalam Helmi, 2004) mengartikan kelekatan sebagai ikatan afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini berlangsung lama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Beberapa pasangan suami istri menginginkan keturunan sebagai bagian dari keluarga mereka. Pasangan suami istri pasti berharap untuk mendapatkan anak yang sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk pertama kalinya belajar berinteraksi atau melakukan kontak sosial

BAB I PENDAHULUAN. untuk pertama kalinya belajar berinteraksi atau melakukan kontak sosial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak. Anak untuk pertama kalinya belajar berinteraksi atau melakukan kontak sosial dengan orang lain dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini terbagi atas empat sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai komunikasi sebagai media pertukaran informasi antara dua orang atau lebih. Sub bab kedua membahas mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan sepasang pria dan wanita, karena pada saat ini merupakan babak baru dalam kehidupan mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan teknologi semakin canggih membuat komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin canggih dan berbagai sosial

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga terdiri dari beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang menyenangkan dan nyaman

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mengingat pentingnya pendidikan pemerintah membuat undang-undang

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mengingat pentingnya pendidikan pemerintah membuat undang-undang BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu fasilitas pendidikan yang disediakan oleh negara sebagai wujud dari bukti HAM bagi tiap warganya khususnya anak-anak sebagai generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku asertif sangat penting bagi setiap orang guna memenuhi segala kebutuhan dan keinginan, terutama pada mahasiswa, dimana harus menyelesaikan tugas perkembangan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Esteem 2.1.1 Pengertian Self-Esteem Menurut Rosenberg (dalam Mruk, 2006), Self-Esteem merupakan bentuk evaluasi dari sikap yang di dasarkan pada perasaan menghargai diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama (SMP) atau sederajat. Jenjang pendidikan ini dimulai dari kelas X sampai kelas XII

BAB I PENDAHULUAN. Pertama (SMP) atau sederajat. Jenjang pendidikan ini dimulai dari kelas X sampai kelas XII BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia yang dilaksanakan setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai intimacy pada pasangan yang menikah melalui proses ta aruf dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua pasangan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelekatan. melekat pada diri individu meskipun figur lekatnya itu tidak tampak secara fisik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelekatan. melekat pada diri individu meskipun figur lekatnya itu tidak tampak secara fisik. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kelekatan 1. Defenisi Kelekatan (attachment) Menurut Bashori (2006) kelekatan adalah ikatan kasih sayang antara anak dengan pengasuhnya. Ikatan ini bersifat afeksional, maka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pernikahan merupakan komitmen yang disetujui oleh dua pihak secara resmi yang dimana kedua pihak tersebut bersedia untuk berbagi keitiman emosional & fisik, bersedia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa muda merupakan masa dimana individu mulai mengemban tugas untuk menikah dan membina keluarga. Sesuai dengan pendapat Havighurst (dalam Santrock,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan manusia karena banyak perubahan-perubahan yang dialami di dalam dirinya. Seperti yang diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang akan dilaksanakan peneliti adalah deskriptif dengan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang akan dilaksanakan peneliti adalah deskriptif dengan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Jenis penelitian yang akan dilaksanakan peneliti adalah deskriptif dengan desain non eksperimental. Penelitian deskriptif digunakan ketika peneliti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas di masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas di masyarakat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan bersosialisasi dengan lingkungannya, keluarga, sekolah, tempat les, komunitas, dan lainlain. Manusia pada hakikatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zaman era modern seperti sekarang ini teknologi sudah sangat. berkembang dengan pesat. Diantara sekian banyak teknologi yang

BAB I PENDAHULUAN. Zaman era modern seperti sekarang ini teknologi sudah sangat. berkembang dengan pesat. Diantara sekian banyak teknologi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zaman era modern seperti sekarang ini teknologi sudah sangat berkembang dengan pesat. Diantara sekian banyak teknologi yang berkembang, internet merupakan salah satu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN TEORI. Universitas Indonesia

2. TINJAUAN TEORI. Universitas Indonesia 9 2. TINJAUAN TEORI 2.1 Dewasa Muda 2.1.1 Perkembangan Dewasa Muda Perkembangan dewasa dibagi menjadi tiga yaitu, dewasa muda (young adulthood) dengan usia berkisar antara 20 sampai 40 tahun. Dewasa menengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT PADA PENGASUH DENGAN SELF-DISCLOSURE REMAJA DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK WISMA PUTRA BANDUNG

2015 HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT PADA PENGASUH DENGAN SELF-DISCLOSURE REMAJA DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK WISMA PUTRA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada umumnya, individu dibesarkan dalam sebuah keluarga yang memiliki orang tua lengkap yang terdiri dari seorang ibu dan seorang ayah. Namun, tidak semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa terjadinya banyak perubahan. Remaja haus akan kebebasan dalam memutuskan dan menentukan pilihan hidupnya secara mandiri. Erikson (dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan 1 BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan setiap individu. Hal tersebut menjadi suatu kabar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. 1. Variabel Tergantung : Kecenderungan Perilaku Bullying

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. 1. Variabel Tergantung : Kecenderungan Perilaku Bullying BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian Varibabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya : 1. Variabel Tergantung : Kecenderungan Perilaku Bullying 2. Variabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu gereja yang sudah berdiri sejak tahun 1950 di Indonesia adalah Gereja Kristen Indonesia atau yang biasa disebut GKI. GKI adalah sekelompok gereja

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI MODUL PERKULIAHAN HUBUNGAN ANTAR PRIBADI Macam-macam hubungan antar pribadi, hubungan dengan orang belum dikenal, kerabat, hubungan romantis, pernikahan, masalah-masalah dalam hubungan pribadi Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan peristiwa penting dalam siklus kehidupan manusia. Setiap orang berkeinginan untuk membangun sebuah rumah tangga yang bahagia bersama orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam. mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam. mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan bersama anak-anaknya dari pada ayah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa yang penuh dengan kekalutan emosi, instropeksi yang berlebihan, kisah yang besar, dan sensitivitas yang tinggi. Masa remaja adalah masa pemberontakan

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

Lebih terperinci