KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU IDA NURMAYANTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU IDA NURMAYANTI"

Transkripsi

1 KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU IDA NURMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2010 Ida Nurmayanti NRP. A

3 ABSTRACT IDA NURMAYANTI. Community Participation Analysis in Forest and Land Rehabilitation in Upstream of Cisadane Watershed. Supervised by SURIA DARMA TARIGAN and KUKUH MURTILAKSONO. Forest and land degradation is the important factor for critical land, hidrological cycle disturbance, erotion and sedimentation, during the rainy season and droughts during the dry season in the upstream Cisadane watershed area. This study was aimed to identify the level of community participation, to analized factors affecting the level of community participation, and to develop alternatives of policy priority in order to improve community participation. The level of community participation was analized base on Arenstein s theory, correlation analysis by Spearman Rank, and alternatives of policy priority by Analytical Hierarchy Process. The results show that the level of community participation in planning and evaluation phases were catagorized as low (nonparticipation), while in implementation phase was catagorized as moderate (tokenism). The Spearman Rank correlation test found that the altermining factors in the planning stage were the level of education, farming area, income level, perception, program socialization (e.g.extension), the availability of facilities and the role of local institutions. In the implementation stage the influencing were age, level of education, income level, perception, program socialization (e.g.extension). While in the evaluation stage there was only one factor that could affect the participation level which was program socialization. In order improve the community participation, alternatives of policy priority should include at least community education, community income and availability of facilities. The low level of education and low income were the important for low participation in the decision making process. In addition, the community trust to the facilitators determines the level of community participation. Keywords : Community participation, forest and land rehabilitation, critical watershed

4 RINGKASAN IDA NURMAYANTI. Kajian Partisipasi Masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu. Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN dan KUKUH MURTILAKSONO. Kerusakan hutan dan lahan yang ada di daerah hulu DAS Cisadane telah menyebabkan lahan menjadi kritis, keseimbangan siklus hidrologi terganggu, erosi dan sedimentasi meningkat sehingga berimplikasi pada terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Mengatasi permasalahan tersebut maka pemerintah telah melaksanakan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Hasil program tersebut belum memberikan hasil yang diharapkan, hal ini disebabkan dalam pelaksanaan masih dilakukan secara terpusat (top down) dan tidak melibatkan masyarakat, terutama pada saat tahapan perencanaan. Sekarang pemerintah menggunakan pendekatan partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan lembaga sosial setempat. Tingkat partisipasi masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dari masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat, mengkaji hubungan antara faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi para penentu kebijakan (policy makers) dan dapat mengembangkan kegiatan program RHL secara partisipatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei yang bertujuan untuk dapat mengungkapkan fakta-fakta tentang partisipasi masyarakat termasuk menganalisa hubungan antara aspek-aspek yang ada di dalamnya serta dapat menyusun suatu alternatif kebijakan sebagai umpan balik untuk bisa memperbaiki dalam pelaksanaan program selanjutnya. Untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat digunakan teori Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) di mana terbagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu : golongan partisipasi rendah (non participation) di mana masyarakat tidak atau kurang terlibat dalam kegiatan walaupun terlibat tetapi tidak dapat memberikan masukan atau usulan-usulan, golongan sedang (tokenism) di mana masyarakat sudah mulai terlibat tetapi suara masyrakat tidak pernah diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya yang relatif rendah, dan golongan tinggi (citizen power) di mana masyarakat sudah terlibat secara aktif dan memiliki kewenangan penuh di bidang kebijakan dan aspek pengelolaan pada seluruh tahapan kegitan. Tingkat partisipasi masyarakat di DAS Cisadane Hulu pada tahapan perencanaan dan tahapan evaluasi dalam kegiatan RHL tergolong rendah (non participation). Sedangkan untuk tahapan pelaksanaan tingkat partisipasi masyarakat tergolong sedang (tokenism). Tahapan perencanaan meliputi kegiatan identifikasi masalah, penentuan lokasi, penentuan jenis tanaman, penentuan bangunan teknis sipil, pembentukan kelompok tani dan juga penenetuan biaya. Tahapan pelaksanaan meliputi kegiatan penyiapan lahan, pemeriksaan bibit tanaman, penanaman pohon, pembuatan bangunan sipil teknis seperti terasering, sumur serapan, penyiangan/pembersihan rumput, pendangiran, penyulaman, pemeliharaan, penyiapan sarana, pertemuan kelompok tani, pengamanan tebing dan penyediaan dana. Sedangkan kegiatan tahapan evaluasi adalah penilaian dan pemantauan keberhasilan kegiatan serta membantu memberikan informasi kepada tim evaluasi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat adalah

5 faktor internal yang terdiri dari unsur umur, tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, pekerjaan sampingan dan persepsi masyarakat, serta faktor eksternal yang terdiri dari intensitas sosialisasi program (penyuluhan), peran pendamping, ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial. Hubungan faktor internal dan faktor eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat diuji dengan metode korelasi Spearman Rank, di mana data diambil dari 90 responden di lima kecamatan. Sedangkan untuk menyusun alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dengan cara analisis terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, yaitu menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP), data diambil dari 12 orang responden yang terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang mengerti permasalahan dan punya kepentingan terhadap program RHL di DAS Cisadane Hulu. Hasil wawancara tersebut, menghitung bobot nilai alternatif kebijakan dengan aspek-aspek partisipasi masyarakat diproses komputer dengan software Expert choice Hasil uji korelasi Spearman Rank faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, persepsi, intensitas sosialisasi program (penyuluhan), ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial. Tahapan pelaksanaan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, persepsi, intensitas sosialisasi program (penyuluhan), ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial. Sedangkan pada tahapan evaluasi hanya ada satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi yaitu intensitas sosialisasi program (penyuluhan). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat tersebut pada tahapan perencanaan adalah tingkat pendidikan (0,493**), pada tahapan pelaksanaan adalah tingkat pendidikan (0,397**) dan pada tahapan evaluasi intensitas sosialisasi program (penyuluhan) (-0,254*). Untuk hasil penilaian terhadap alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat menggunakan model AHP menunjukkan bahwa aktor pemerintah (0,75) lebih penting dibanding dengan aktor masyarakat (0,25). Faktor pendukung yang menentukan tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor tingkat pendidikan (0,27), tingkat pendapatan (0,14), peran pendamping (0,12) dan ketersediaan sarana (0,20). Sedangkan untk alternatif kebijakan yang lebih mendukung partisipasi masyarakat adalah meningkatkan kemampuan anggota masyarakat (0,84) dan meningkatkan dukungan dari pemerintah (0,16). Berdasarkan unsur kebijakan tersebut maka yang menjadi alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam program RHL di DAS Cisadane Hulu adalah meningkatkan kemampuan anggota masyarakat melalui sarana tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, peran pendamping dan ketersediaan sarana. Tingkat partisipasi masyarakat bisa dijadikan sebagai salah satu tolak ukur dari keberhasilan program RHL di DAS Cisadane Hulu secara partisipatif. Rendahnya tingkat pendidikan menunjukkan bahwa masyarakat kurang terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada saat tahapan perencanaan, ini merupakan salah satu penyebab masyarakat tidak memiliki keberanian untuk ikut dalam pengambilan keputusan. Rendahnya tingkat pendapatan dan luas lahan menyebabkan keterbatasan masyarakat untuk berpartisipasi, karena lahan yang sempit hanya dimanfaatkan untuk tanaman jangka pendek yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu faktor intensitas sosialisasi program (penyuluhan) dalam memberikan pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat belum optimal.

6 @ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU IDA NURMAYANTI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungan (DAS) SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Judul Tesis Nama NRP Program Studi : Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu : Ida Nurmayanti : A : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Disetujui Komisi Pembimbing Dr.Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. Ketua Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof.Dr.Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : 30 Juli 2010 Tanggal Lulus : 18 Agustus 2010

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Ir. Yayat Hidayat, M.Si.

10 Tesis ini dipersembahkan untuk mereka yang saya sayangi dan cintai, Bapak H. Hasan Muharam, Mamah Hj.Maryati (Almh), Suami Burhanuddin,anakku Ficky Burhan, Rully Burhan dan Ocha Burhan terima kasih atas semua do a, dorongan dan dukungannya, semoga Alloh SWT melindungi kita semua. Amin Yaa Robbal Alamin..

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya tesis ini berhasil Penulis selesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari 2010 sampai Juni 2010 ini adalah Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. sebagai anggota komisi pembimbing dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan serta pengarahan ke arah yang lebih baik mulai dari penyusunan usulan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini, Bapak Dr.Ir.Yayat Hidayat, M.Si. sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis dan kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. sebagai ketua Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang selalu memberikan motivasi untuk dapat menyelesaikan studi di Pascasarjana IPB. Disamping itu, penulis juga memberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang telah memberikan banyak kesempatan dan bantuan, sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, suami dan putera puteri tercinta yang selalu memberikan dorongan, kesabaran, keikhlasan, do a restu dan kasih sayangnya. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat, khususnya bagi mereka yang membutuhkan. Bogor, Juli 2010 Ida Nurmayanti

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 Maret 1968 dari ayah Drs. H. Hasan Muharam dan ibu Hj. Maryati (Almh). Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Ir. Burhanuddin dan dikarunia tiga orang anak, Ficky Burhan, Rully Burhan dan Ocha Burhan. Pada tahun 1986 penulis lulus dari SMA Negeri I Bogor, dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Universitas Nasional Jakarta, Fakultas Biologi dan lulus tahun Pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pusat Diklat Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Sejak Februari 2001 sampai saat ini penulis bekerja di Balai Diklat Kehutanan Bogor, Pusat Diklat Kehutanan, Kementerian Kehutanan sebagai Widyaiswara Madya.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN Latar Belakang... Perumusan masalah... Kerangka Pemikiran... Tujuan Penelitian... Manfaat Penelitian..... TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai ( DAS)... Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Partisipasi Masyarakat..... Pegertian Partisipasi... Derajat Partisipasi... Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat... METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian... Metode Penelitian Jenis dan Teknik Pengumpulan Data... Pengamatan Variabel... Pengumpulan Data... Tahapan Penelitian... Analisis Data... GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Biofisik... Letak dan Luas Wilayah... Iklim dan Hidrologi... Penutupan Lahan... Aspek sosial ekonomi masyarakat... Jumlah Penduduk, Golongan Usia dan Tingkat Pendidikan... Kelembagaan sosial... HASIL DAN PEMBAHASAN Kegitaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)... Karakteristik internal dan eksternal masyarakat... Karakteristik internal... Umur... xii xiii xiv

14 Tingkat pendidikan... Luas lahan... Tingkat pendapatan... Pekerjaan sampingan... Persepsi... Karakteristik eksternal... Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan)... Peran pendamping... Ketersediaan sarana... Peran kelembagaan sosial... Tingkat Partisipasi Masyarakat... Tahapan Perencanaan... Tahapan Pelaksanaan... Tahapan Evaluasi... Hubungan antara faktor internal dan eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat Hubungan antara umur dengan tingkat partisipasi masyarakat... Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi masyarakat... Hubungan antara luas lahan dengan tingkat partisipasi masyarakat... Hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat partisipasi masyarakat... Hubungan antara pekerjaan sampingan dengan tingkat partisipasi masyarakat... Hubungan antara persepsi dengan tingkat partisipasi masyarakat... Hubungan antara intensitas sosialisasi program (penyuluhan) dengan tingkat partisipasi masyarakat... Hubungan antara peran pendamping dengan tingkat partisipasi masyarakat... Hubungan antara ketersediaan sarana dengan tingkat partisipasi masyarakat... Hubungan antara peran kelembagaan sosial dengan tingkat partisipasi masyarakat... Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat... Kondisi aktual tingkat partisipasi masyarakat di DAS Cisadane Hulu... KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009)... 18

16 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia periode Lokasi penelitian di DAS Cisadane Hulu Skala Pembanding berpasangan untuk menilai kriteria dan alternatif Matriks pembanding berpasangan (pairwise comparison) untuk menentukan prioritas Luas Wilayah,dan Jumlah Penduduk per Kecamatan tahun Data Hidrologi DAS Cisadane Hulu tahun Jumlah dan Nama Desa per kecamatan di lokasi penelitian Jumlah penduduk menurut jenis kelamin per Kecamatan di lokasi penelitian Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat di lokasi penelitian Kategori Hasil Penilaian Masyarakat dalam kegiatan RHL pada Tahapan Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi di lokasi penelitian Hasil Uji Korelasi Spearman Rank dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta administrasi DAS Cisadane Hulu Daftar variabel, indikator, parameter pengukuran dan kategori Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y1) Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y2) Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y3) Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Perencanaan Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Pelaksanaan Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Evaluasi Hirarki peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nilai banding berpasangan (pairwise compasrison) Foto kegiatan di lokasi penelitian

18 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai manfaat tersebut, manfaat ekonomilah yang lebih menjadi perhatian dari sebagian besar masyarakat. Hutan sebagai sumber keanekaragaman hayati dan sebagai penyedia kebutuhan hidup dari masyarakat di sekitar hutan. Pendapat yang menganggap fungsi hutan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi mengakibatkan semakin meningkatnya degradasi hutan dari tahun ke tahun. Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Undang- Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Menurut Sinukaban (2008) pengertian DAS adalah daerah yang dibatasi oleh topografi secara alami sehingga semua air hujan yang jatuh diatas DAS tersebut akan mengalir melalui titik pembuangan (outlet) yang sama. Berdasarkan pengertian tersebut maka DAS merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia dan aktivitasnya yang berada pada, di bawah, dan di atas tanah. Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antara sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS. Kompleksitas permasalahan pengelolaan DAS menimbulkan adanya paradigma baru berupa pemberdayaan masyarakat ditingkat operasional dan pelaksanaan dengan menggunakan pendekatan bottom up. Ada beberapa hal penting dalam paradigma baru

19 2 tersebut, diantaranya : 1). pengelolaan dilaksanakan secara terpadu lintas sektoral; 2). peningkatan peran serta masyarakat (partisipatif); 3). peningkatan penyuluhan baik kualitas dan kuantitas; 4). penguatan institusi dan 5). pemberian insentif kepada petani di kawasan DAS (khususnya di bagian hulu) (Priyono dan Cahyono, 2003 dalam Ahsoni, 2008). Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di wilayah DAS bukan hal baru di Indonesia. Pada tahun 2003 pemerintah telah melaksanakan program RHL melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Secara konseptual program tersebut merupakan upaya strategis yang langsung menyentuh masyarakat. Pelaksanaan program tersebut di beberapa daerah banyak mengalami kegagalan, misalnya tahun 2003 di Kalimantan Selatan sudah hektar lahan kritis ditanami pohon proyek GN-RHL, namun kurang lebih hektar diantaranya (40%) mati (Partono, 2006). Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat, sedikitnya 19 juta pohon atau 59% dari 32 juta pohon yang ditanam melalui GN-RHL sepanjang tahun 2003 mati. Kendala yang menyebabkan kegagalan proyek GN-RHL di beberapa daerah di Indonesia antara lain disebabkan oleh perencanaan yang tidak matang, pelaksanaan program tidak memperhatikan waktu penanaman dan tingkat penerimaan masyarakat yang kurang (Departemen Kehutanan, 2007). Kajian terdahulu banyak menjelaskan hubungan antara tingkat partisipai masyarakat dengan keberhasilan pembangunan kehutanan (Pujo, 1998; Sunartana, 2003; Safei, 2003; Trison, 2005; dan Muis, 2007), tetapi belum ada kajian yang secara khusus menjelaskan faktor-faktor dominan apa saja, baik internal maupun eksternal yang dapat menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat rendah dalam pelaksanaan kegiatan GN-RHL. Partisipasi masyarakat merupakan modal dasar untuk membangun sebuah kekuatan di masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama (colection action). Tingkat partisipasi masyarakat pada setiap tahapan kegiatan RHL sangatlah diperlukan, selain itu peran pemerintah dalam menunjang keberhasilan pengelolaan lahan yang berkelanjutan sangatlah diharapkan. Program RHL di DAS Cisadane Hulu melakukan kegiatan konservasi vegetatif dan sipil teknis. Konservasi vegetatif yang dilakukan dengan cara penanaman tanaman keras bernilai ekonomi tinggi seperti rambutan, pete, sengon, mahoni, nangka di lahan masyarakat (783,4 Ha), sedangkan untuk konservasi teknik sipil berupa pembuatan teras

20 3 gulud (3.883,9 Ha), sumur resapan, dan dam penahan (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007). Program tersebut merupakan program terpadu antar departemen dengan menggunakan pendekatan partisipatif yang melibatkan mayarakat dan lembaga sosial pada setiap tahapan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi. Adanya pendekatan partisipatif diharapkan masyarakat dapat ikut berperan aktif, sehingga implementasi program RHL di DAS Cisadane Hulu ini dapat berhasil dengan baik. Hasil penelitian Ahsoni (2008) menyatakan bahwa masyarakat pada umumnya memiliki kondisi sosial ekonomi yang terbatas, hal ini tercermin dari : 1). buruknya infrastruktur rumah; 2). rendahnya tingkat pendidikan (80% tidak tamat Sekolah Dasar); 3). sempitnya kepemilikan lahan rata-rata hanya 0,2 Ha; 4). rata-rata pendapatan keluarga sebesar Rp /tahun dan 5). mata pencaharian sebagai buruh tani (51%) dan penggarap (31%). Adanya keterbatasan kondisi sosial ekonomi tersebut maka kemampuan masyarakat dalam keterlibatan program RHL terbatas, sehingga dapat mempengaruhi tingkat partisipasi. Keberhasilan tingkat partisipatif sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakatnya, biasanya partisipasi masyarakat yang tinggal di wilayah terkena kebijakan, program atau proyek dimungkinkan untuk: 1). merumuskan persoalan dengan lebih efektif; 2). mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah; 3). merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima dan 4). membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan dalam penerapan. Oleh karena itu dalam konteks partisipasi masyarakat, maka program RHL di DAS Cisadane Hulu perlu dikaji dan dikembangkan implementasinya. Perumusan Masalah Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi pada tahun 2003 luas lahan kritis di wilayah kerja BPDAS Citarum Ciliwung adalah ,4 ha yaitu di dalam kawasan hutan ,8 ha dan di luar kawasan hutan ,6 ha. Penanganan lahan kritis tersebut telah dilakukan memalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) yang dimulai sejak tahun Pada tahun 2007, luas lahan kritis yang sudah ditangani di luar kawasan hutan (terutama di lahan-lahan milik masyarakat adalah ha yang tersebar di beberapa Kabupaten/Kota di Wilayah BPDAS

21 4 Citarum-Ciliwung dengan berbagai pola penanganan baik vegetatif maupun sipil teknis dan masih terdapat sisa lahan kritis di luar kawasan hutan yang belum tertangani seluas ,6 ha (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007). DAS Cisadane sebagai salah satu wilayah hidrologis saat ini kondisi biofisik, sosial ekonomi dan budayanya sangat bervariasi, sehingga upaya pengembangan dan pemasyarakatan kegiatan RHL dan konservasi tanah merupakan suatu hal yang sangat penting serta mendesak untuk segera dilaksanakan. Luas dan kompleksnya permasalahan dalam suatu DAS, baik yang bersifat ekonomis maupun ekologis, maka perlu adanya upaya RHL dan konsevasi tanah yang terencana, terpadu dan lintas sektoral dengan penanganan yang bersifat multi disipliner. Pelaksanaan RHL selalu terdapat beberapa faktor pembatas dan permasalahan yang harus dicari penanganannya melalui kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan seta aspek ekologis wilayah setempat. Menurut Kartodiharjo (2006), selama ini program pembangunan kehutanan yang dianggap sebagai jawaban atas kerusakan hutan masih bertumpu pada tindakan-tindakan fisik dan bukan masyarakat. Dalam rancangan anggaran GN RHL tahun 2005 misalnya, biaya pembibitan, penanaman dan pemeliharaan mencapai 82,7%. Keyakinan itu sejak awal tahun 80an tidak terbukti kebenarannya, yaitu dengan tingginya kegagalan pelaksanaan reboisasi dan penghijauan, asumsi yang dipakai seolah-olah sudah terdapat kelembagaan yang mapan dan mendukung pelaksanaan gerakan tersebut. Kelembagaan bukan hanya keberadaan lembaga atau organisasi pengelola hutan yang mampu, melainkan juga termasuk kepastian kawasan hutan, sistem insentif, maupun regulasi yang tidak menyebabkan biaya transaksi tinggi. Pengetahuan akan tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan RHL sangat penting. Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL akan berbeda dari suatu lokasi ke lokasi lain, sehingga sulit untuk dapat memperkirakan sampai sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat pada suatu lokasi terkait dengan dilaksanakan kegiatan RHL. Selain itu, penelitian tentang hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi dari tingkat partispasi masyarakat pada kegiatan RHL ini belum banyak dilakukan. Dalam penelitian ini perlu kajian untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi suatu masyarakat baik internal maupun eksternal, sehingga tingkat partisipasi suatu masyarakat dapat diketahui dari faktor-faktor tersebut.

22 5 Kemampuan memprediksi tingkat partisipasi tersebut juga akan membantu dalam penyusunan kebijakan yang tepat dan bisa digunakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut. Kerangka Pemikiran Proses perencanaan yang begitu panjang dan banyak melibatkan instistusi terkait serta luasnya sasaran lahan kritis yang perlu direhabilitasi baik di dalam maupun di luar kawasan hutan dalam kurun waktu selama 5 tahun, pola penyelenggaraan GN-RHL beragam, hampir dapat dipastikan dalam pelaksanaan penyelenggaraan GN-RHL akan banyak mengalami permasalahan baik teknis maupun administratif, ditambah lagi sistem pelaksanaan kegiatannya melalui proses tahapan-tahapan yang terputus (discontinue). Akibat dari proses yang bertahap dan terputus tersebut mengakibatkan pertanggungjawaban publik (public accountabillity) juga terputus dan tidak jelas arahnya karena banyaknya pihak-pihak yang terkait, sehingga akhirnya disadari atau tidak disadari akan berdampak kepada keluaran (out-put) atau hasil akhir dari pekerjaan GN-RHL yang cenderung mengarah kepada ketidakberhasilan (kegagalan) di lapangan dengan biaya ekonomi yang tinggi (inefisiensi). Sasaran RHL adalah lahan maka keluaran (out put) dari GN-RHL tidak lain adalah terwujudya penutupan lahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan hutan oleh jenis kayu-kayuan tanaman hutan dan atau jenis MPTS, sehingga lahan kritis tersebut dapat berfungsi kembali sebagai penyangga kehidupan dalam hal pencegahan banjir, erosi, longsor dan sebagainya sesuai dengan tujuan dari GN-RHL. Lahan yang digunakan dalam program RHL di DAS Cisadane Hulu adalah lahan masyarakat. Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL ini dilakukan penelitian dengan melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi, baik faktor internal maupun faktor ekternal. Faktor internal merupakan ciri-ciri atau karakter individu dari anggota masyarakat itu sendiri, yaitu dapat berupa sumbangan tenaga, pemikiran, penyediaan lahan, perilaku dan kesepakatan anggota masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Sedangkan faktor eksternal adalah kondisi yang ada di luar karakteristik individu anggota masyarakat, dapat berupa dukungan pemerintah yang berupa sosialisasi program dan penyuluhan, penyediaan sarana dan prasaran rehabilitasi (dana, bibit dan pupuk), fasilitas pembentukan lembaga serta pendampingan. Hal ini dapat menjadi bentuk kegiatan yang bersifat partisipatif. Melalui hubungan empiris

23 6 diantara faktor-faktor internal dan faktor eksternal terhadap tingkat partisipasi masyarakat, maka dapat ditetapkan alternatif kebijakan yang tepat untuk peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL. Kajian faktor internal dan eksternal mengambil sampel dari suatu populasi melalui teknik wawancara terbuka, kuesioner, dan diskusi ahli. Wawancara ataupun kuesioner dilakukan ke berbagai tingkatan responden, yaitu dari tingkatan petani atau masyarakat setempat sampai kepada responden ahli yang mengetahui dan terjun langsung dalam kegiatan RHL di lokasi tersebut. Analisis data dari hasil wawancara menggunakan analisis statistik non parametrik uji korelasi Spearman Rank, untuk mendapatkan ketepatan dalam mengolah data dibantu dengan komputer program Statistical Program for Social Sience (SPSS) versi 15. Sedangkan untuk menentukan alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP), di mana menggunakan bentuk hirarki sesuai tujuan, aktor, faktor pendukung dan alternatif kebijakan, dalam mengolah data dibantu komputer dengan progran Expert Choice Uraian tersebut menjadi landasan kerangka pemikiran untuk dapat mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat, mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu. Secara skematis pada Gambar 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat, mengkaji hubungan antara faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menyusun alternatif kebijakan dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di DAS Cisadane Hulu. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat mengetahui tingkat partisipasi masyarakat di setiap tahapan kegiatan dan faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat, sehingga dapat mengupayakan dalam mengembangkan tingkat partisipasi masyarakat. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengimplementasikan program-program pembangunan yang bersifat partisipatif.

24 7 Kerusakan Hutan dan lahan yang menyebabkan DAS kritis Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahapan Perencanaan (Y1) Tahapan Pelaksanaan (Y2) Tahapan Evaluasi (Y3) Faktor Internal - Umur (X1.1) - Tingkat Pendidikan (X1.2) - Luas lahan (X1.3) - Tingkat pendapatan (X1.4) - Pekerjaan sampingan (X1.5) - Persepsi (X1.6) Tingkat Partisipasi Masyarakat Faktor Eksternal - Intensitas sosialisassi program (Penyuluhan) (X2.1) - Peran Pendamping (X2.2) - Ketersediaan sarana (X2.3) - Peran kelembagaan sosia (X2.4) Metode AHP Alternatif prioritas kebijakan Metode AHP Peningkatan Partisipasi masyarakat Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

25 8 TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian disalukan ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (catchment area) merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (air, tanah dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. DAS terbagi ke dalam tiga bagian yaitu: bagian hulu, tengah dan bagian hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur air, ekosistem bagian tengah merupakan pembagi dan pengatur air, sedangkan ekosistem bagian hilir merupakan daerah pemakai air. Hubungan antara ekosistem tersebut menjadikan DAS sebagai satu kesatuan fungsi hidrologis. Wilayah DAS bisa meliputi berbagai wilayah administratif, misalnya antar desa, kecamatan, kabupaten, propinsi bahkan dapat meliputi antar negara yang mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi (Asdak, 2004). Manan (1979) mengatakan bahwa DAS merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terdiri dari kondisi fisik, biologi dan manusia yang satu sama lain saling berhubungan erat membentuk keseimbangan. Untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan dapat menopang kehidupan manusia secara terus menerus, maka diperlukan pengelolaan DAS yang baik, pengelolaan sumberdaya alam yang baik juga (renewable) seperti tanah, air dan vegetasi dengan tujuan untuk memperbaiki, memelihara dan melindungi keadaan DAS, agar dapat menghasilkan hasil air (water yield) untuk kepentingan pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, perikanan dan masyrakat berupa air minum, industri, irigasi, tenaga listrik, rekreasi dan sebagainya (Puspaningsih, 1997). Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, tujuannya membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2006). Tujuan utama pengelolaan DAS adalah meresapkan air hujan sebanyak-banyaknya, memperkecil aliran permukaan dan mengendalikan erosi tanah

26 9 sehingga tercapai suatu kondisi biofisik DAS yang memungkinkan diperolehnya keseimbangan dan tata air yang baik. Hasil air yang optimum dipandang dari aspek kuantitas, kualitas dan regimen. Dasar pengetahuan hidrologi sangat penting untuk menjelaskan sistem pengelolaan DAS di samping hasil-hasil dari penelitian terapan yang dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan DAS, diantaranya dengan mempelajari proses-proses hidrologi seperti evapotranspirasi, intersepsi, penggunaan air untuk vegetasi, infiltrasi, perkolasi, air bumi, erosi, sedimentasi dan aliran sungai (Manan, 1997). Prinsip dasar pengelolaan DAS adalah sebagai berikut : 1). pada dasarnya berupa pemanfaatan, pemberdayaan, pengembangan, perlindungan dan pengendalian sumberdaya dalam DAS; 2). berdasarkan pada asas kelestarian, kemanfaatan, keadilan dan kemandirian (kelayakan usaha) serta akuntabilitas dan berkeadilan; dan 3). direncanakan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pada dasarnya masalah erosi berkaitan dengan tingginya erosivitas hujan, sifat tanah yang mudah tererosi, bentukan lahan dengan lereng yang curam dan panjang, serta penggunaan lahan yang terlalu intensif dan tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Terjadinya erosi dapat disebabkan oleh kondisi alamiah dan karena aktivitas manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena proses pembentukan tanah secara alami untuk mempertahankan keseimbangan tanah, sedangkan erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh terkelupasnya tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak memperdulikan kaidah-kaidah konservasi tanah (Asdak, 2004). Meningkatnya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan serta pencemaran kualitas air beberapa tahun terakhir mengindikasikan telah terjadinya gangguan pada keseimbangan siklus hidrologi pada DAS yang berdampak pada kondisi kritis sumberdaya air. Hal ini disebabkan antara lain karena penciutan area dan kerusakan hutan serta kerusakan lahan DAS yang telah menimbulkan erosi dan sedimentasi, baik di saluran-saluran air, sungai, waduk, danau maupun di sepanjang pantai. Banjir yang menggenangi lahan-lahan kota dan pedesaan atau pertanian pada musim hujan sering terjadi akibat tidak tertampungnya aliran permukaan. Sebagai akibat tidak adanya atau berkurangnya air yang meresap dan masuk ke dalam tanah, maka tidak ada air yang tersimpan di dalam tanah sebagai air bawah tanah (ground water) yang akan masuk ke dalam sungai, ke dalam sumur dan ke dalam badan air lainnya pada musim kemarau,

27 10 yang mengakibatkan keringnya sungai, sumur dan lahan-lahan pertanian (Arsyad, 2006). Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Luas kawasan hutan pada tahun 2007 adalah sekitar 133,95 juta ha dan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 220 juta. Degradasi hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat penambahan jumlah penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang, pangan, papan dan energi (Departemen Kehutanan, 2007). Berkurangnya areal hutan untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk bangunan akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan aliran air permukaan sehingga frekuensi bencana banjir dan tanah longsor semakin tinggi. Degradasi hutan dan lahan terutama di hulu DAS harus bisa direhabilitasi dengan adanya pengelolaan DAS yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak yang ada pada DAS dengan memperhitungkan biofosik dan semua aspek sosial ekonomi. Degradasi hutan dan lahan selama kurun waktu sangat memprihatinkan yaitu rata-rata 1,089 juta hektar per tahun. Degradasi di lahan pertanian terus terjadi akibat erosi tanah yang tinggi sehingga memicu semakin luasnya lahan kritis dan meningkatnya sedimentasi pada waduk-waduk yang akan berdampak pada berkurangnya daya tampung dan pasokan air untuk irigasi serta Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Apabila tidak dilakukan upaya-upaya untuk mencegah degradasi hutan dan lahan serta upaya untuk memulihkannya, maka DAS akan semakin menurun kualitasnya. Karena itu pengelolaan DAS di masa yang akan datang harus mampu mengkonservasi, merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas hutan dan lahan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk terhadap barang dan jasa lingkungan yang semakin meningkat. Tingkat kekritisan suatu DAS adalah menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Sampai dengan tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50% luas daratan dan ada kecenderungan luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun sekitar 1,089 juta ha per tahun (Departemen Kehutanan, 2008).

28 11 Luasan lahan kritis dan sangat kritis masih tetap meluas yaitu sekitar 30.2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), erosi dari daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi menurun (Departemen Kehutanan, 2007). Tingkat kekritisan lahan sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan lahan. Faktor lain yang menyebabkan pengelolaan DAS belum berhasil dengan baik adalah kurangnya keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal pembiayaannya. Hal ini karena banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS seperti Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, perusahaan swasta dan masyarakat (Departemen Kehutanan, 2008). Berdasarkan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, RHL dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. RHL merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan yang ditempatkan pada kerangka DAS, dengan cara penerapan teknik konservasi secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan-lahan kritis dan lahan tidak produktif yag berada di wilayah hulu DAS. Namun demikian cara penerapan program rehabilitasi harus disesuaikan dengan lingkungan dimana program rehabilitasi tersebut dilaksanakan, selain itu RHL juga sangat berperan dalam : 1). memulihkan fungsi hidrologi hutan dan lahan dalam DAS; 2). memulihkan fungsi perlindungan tanah dan stabilitas iklim mikro; 3). meningkatkan produksi oksigen dan penyerap gas-gas pencemar udara; 4). memulihkan dan melestarikan sumberdaya plasma nutfah; 5). membuka peluang kesempatan berusaha dan kesejahteraan masyarakat; 6). membuka

29 12 peluang untuk pengembangan ekowisata dan 7). memulihkan citra negara, bangsa, pemerintah dan masyarakat di mata dunia (WALHI, 2004). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.20/Kpts-II/2001, RHL memiliki beberapa prinsip, di antaranya adalah : 1). meminimumkan kegagalan kebijakan (policy failure), sebagai akibat kegagalan birokrasi (goverment failure) dan kegagalan pasar (market failure); 2). RHL harus menjadi kebutuhan masyarakat; 3). RHL menggunakan DAS sebagai unit analisis dalam perencanaan dan pengendalian; 4). adanya kejelasan wewenang dan tata hubungan kerja dalam RHL; 5). memanfaatkan potensi masyarakat lokal; 6). tujuan RHL disesuaikan dengan fungsi utama kawasan yang menjadi sasaran rehabilitasi; 8). perlunya pemahaman yang baik terhadap status penguasaan /kepemilikan lahan sasaran RHL agar potensi konflik dapat diantisipasi; 9). kontribusi biaya (cost sharing) antara pemerintah dan masyarakat dan 10). adanya penguatan kelembagaan (Timpakul, 2004 dalam Muis, 2007). Kegiatan RHL yang telah dilaksanakan di Indonesia pada Tabel 1. Kurun waktu lima tahun terakhir ( ), pemerintah telah merehabilitasi hutan dan lahan dalam bentuk reboisasi seluas ± ha dan penghijauan, termasuk hutan rakyat seluas ± ha. Pada tahun 2003 pemerintah melalui GN-RHL telah mentargetkan rehabilitasi kawasan hutan dan ekosistemnya seluas ± 3 juta ha, dengan sasaran DAS prioritas, hutan rusak dan lahan kritis, serta rawan bencana. Gerakan tersebut diproklamirkan oleh pemerintah di tahun 2002 dengan tema Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan sebagai komitmen bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan rakyat (WALHI, 2004). Lingkup dari kegiatan GN-RHL yang dilakukan adalah: 1). kegiatan pencegahan perusakan lingkungan, meliputi kegiatan sosialisasi kebijakan perbaikan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan penegakan hukum; dan 2). kegiatan penanaman hutan dan rehabilitasi, meliputi penyediaan bibit tanaman (pengadaan bibit, renovasi, dan pengembangan semua produk bibit), penanaman (reboisasi, hutan rakyat, penanaman turus jalan, pemeliharaan tanaman) dan pembuatan bangunan konservasi tanah (dam pengendali dan penahan (gully plug), pembuatan teras (terasering), sumur serapan (grass barrier) dll, penyusunan rencana dan rancangan kegiatan, pengembangan kelembagaan (pendampingan, pelatihan dan penyuluhan) dan pembinaan (Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2003). GN-RHL merupakan upaya rehabilitasi

30 hutan dan lahan serta perbaikan lingkungan yang sifatnya terpadu, menyeluruh, bersama-sama dan terkoordinasi dengan melibatkan stakeholders melalui suatu perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi yang efektif dan efisien. Tabel 1 Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia periode No. Tahun Kegiatan Setelah banjir di Solo tahun 1966 telah dilaksanakan upaya Rehabilitasi Lahan Kritis berbantuan natura (pangan dan bibit tanaman) dari WFP (World Food Program) (hasil kurang memadai) Proyek Upper Solo Watershed Management and Upland Development di Solo bantuan FAO/UNDP, dilakukan uji coba model pengelolaan DAS dan teknik konservasi tanah dan air (hasilnya norma, kriteria dan standar) Proyek Citanduy I dan II bantuan USAID di Panawangan-Ciamis (hasilnya norma, kriteria dan standar konservasi tanah dan air/mode farm) INPRES Reboisasi dan Penghijauan secara lintas sektor, perencanaan berbasis DAS dan pembinaan teknis oleh proyek-proyek di daerah, reboisasi dilaksanakan Pemda Propinsi dan penghijauan oleh Pemda Kabupaten (tingkat keberhasilan fisik: rendah-sedang) / /1998 Kredit Usahatani Konservasi DAS (KUK DAS) (keberhailan 57% realisasi pengembalian kredit) RHL DAK DR (40%) di daerah penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota tanpa pembinaan teknis Departemen Kehutanan (keberhasilan: rendah/bermasalah) RHL DR (60%) di daerah non penghasil hutan alam, dilaksanakan Pem Kab/Kota dengan perencanaan/pembinaan teknis oleh Balai Pengelolaan DAS (keberhasilan: rendah-cukup) GN-RHL di DAS prioritas, perencanaan dan pembinaan teknis oleh Ditjen RLPS dan UPTnya, penyedia bibit oleh BPDAS, penanaman/konservasi tanah oleh PemKab/Kota dan BKSD/BTN, penilaian bibit/kinerja oleh Perguruan Tinggi, pengendalian oleh Pem Prop/Pusat Sumber : Departemen Kehutanan (2006) Menurut Asdak (2004) metode rehabilitasi untuk lahan hutan biasanya menggunakan prinsi-prinsip : 1). menghilangkan atau membuat faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan sumberdaya hutan atau lahan hutan; 2). memperluas atau mempertahankan vegetasi, terutama pada lahan-lahan yang tidak atau kurang ditumbuhi

31 14 vegetasi; 3). memisahkan aliran air (hujan) dari jalan hutan dengan cara membuat sistem drainase pada jalan tersebut dan 4). menutup jalan-jalan hutan yang tidak direncanakan dengan baik atau tidak dilengkapi dengan saluran-saluran pembuangan air. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka untuk RHL di wilayah DAS yang lebih sesuai adalah dengan menghilangkan atau membatasi faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan dan lahan disertai dengan memperluas atau mempertahankan vegetasi yang ada. Menurut Trison (2005) ada tiga pendekatan untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery), yaitu: 1). restorasi (restoration) didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan tersebut sebelumnya; 2). melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis exotic, dalam hal ini tidak ada upaya untuk menata ulang ekosistem asli. Tujuannya untuk mengembalikan hutan pada kondisi stabil dan produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk jenis asli dan 3). kegiatan reklamasi adalah penggunaan jenis-jenis exotic untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan, tidak ada sama sekali upaya perbaikan biodiversitas asli di areal yang terdegradasi. Permasalahan RHL dalam konteks DAS adalah degradasi lahan dan erosi. Pemilihan teknik rehabilitasi tergantung pada sifat DAS antara lain sifat dan bentuk tanah serta masyarakat yang ada di dalamnya. Tanah yang berlereng curam mungkin tidak sesuai jika digunakan untuk tanaman semusim, karena disamping sistim pengolahan semusim dapat menyebabkan tanah menjadi mudah tererosi, juga menyulitkan dalam pengelolaannya. Sehingga jenis tanaman yang lebih cocok adalah jenis tanaman keras (tahunan). Partisipasi Masyarakat Pengertian Partisipasi Partisipasi adalah proses kesinambungan yaitu stakeholders berpengaruh dan berperan dalam inisiatif pembangunan, keputusan dan sumber daya yang mempengaruhi mereka (Winarto, 2003). Cohen dan Uphoff (1980) mengartikan partisipasi adalah mencakup keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan program, pembagian keuntungan dalam program pembangunan dan keterlibatan mereka

32 15 dalam usaha-usaha mengevaluasi program. Menurut Sastroepoetra (1988), partisipasi dapat didefinisikan keterlibatan mental emosional yang mendorong untuk memberikan sumbangan kepada tujuan dan cita-cita kelompok dan turut bertanggungjawab terhadapnya. Partisipasi juga dapat diartikan berbagi (sharing) dalam proses interaksi secara sadar karena rasa kesetiakawanan dan kecintaan serta tangungjawab seseorang terhadap kelompok masyarakat tempat masyarakat tersebut menjadi anggota. Partisipasi merupakan satu terminologi yang semakin banyak diperbincangkan sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan, dari sentralistik menjadi desentalistik yang mengutamakan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam seluruh proses pembangunan. Konsep ini menempatkan masyarakat pada titik yang sangat sentral dalam spektrum pembangunan. Slamet (2003) mengatakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan adalah ikut ambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu proses pembangunan. Khairuddin (1992) dalam Fauzi (2009) mengemukakan partisipasi adalah keterlibatan mental, pikiran dan perasaan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan bersama dan ikut bertanggungjawab tehadap usaha yang dilakukan, yaitu : 1). partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi; 2). partisipasi menghendaki adanya kontribusi terhadap kepentingan atau tujuan kelompok.; dan 3). partisipasi merupakan tanggungjawab terhadap kelompok. Mubyarto (1984) lebih menegaskan partisipasi atau peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan secara lebih luas yaitu kesediaan masyarakat untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa harus mengorbankan kepentingan dirinya. Muhadjir (1980) dalam Fauzi (2009) merinci kembali tingkatan partisipasi tersebut ke dalam empat jenis keterlibatan masyarakat dalam : 1). proses pembuatan keputusan; 2). pelaksanaan program dan pengambilan keputusan; 3). menikmati hasil dari kegiatan dan 4). evaluasi suatu hasil dari program yang sudah terlaksana. Menurut Daniel (2006) tingkat partisipasi masyarakat tidak sama tergantung sejauh mana keterlibatan mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi, misalnya:

33 16 1). masyarakat bertanggungjawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dari program pemerintah; 2). anggota masyarakat ikut menghadiri pertemuan-pertemuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengkajian ulang proyek dalam pengambilan keputusan semata; 3). anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang cara melaksanakan sebuah proyek dan ikut menyediakan bantuan serta bahanbahan yang dibutuhkan dalam proyek dan 4). anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam semua tahapan proses pengambilan keputusan, yang meliputi perencanaan sebuah program, pelaksanaan, pengawasan dan monitoring. Perubahan paradigma sistem pengelolaan kebijakan dari top down ke buttom up sudah banyak diterapkan, masyarakat sudah mulai dipandang sebagai bagian integral dari pengelolaan suatu kebijakan. Masalah RHL merupakan salah satu kebijakan konservasi sumberdaya alam yang tidak dapat lepas dari peran dan keberadaan masyarakat setempat. Pada saat ini program-program pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam banyak menggunakan pendekatan-pendekatan partisipatif. Hal ini dapat dilihat dari produk-produk hukum yang telah mencantumkan hak, kewajiban dan peran serta masyarakat, misalnya UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Bab III, pasal 7), dan masih banyak lagi produk-produk hukum yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat. Proses ini sangat berarti bagi pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam di masa-masa mendatang, karena memungkinkan dikembangkan pendekatan partisipatif yang dapat merealisir hak-hak masyarakat yang selama ini lebih banyak dikuasai oleh pemerintah dengan sistem kebijakan top down nya (Pudjianto, 2009). Mitchell dan Setiawan (2000) dalam Pudjianto (2009) mengatakan bahwa melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah akan terkena kebijakan, program, atau proyek, dimungkinkan untuk: 1). merumuskan persoalan dengan lebih efektif ; 2). mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah; 3). merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima dan 4). membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan. Pendekatan partisipatif memerlukan waktu lebih lama pada tahap-tahap awal perencanaan dan analisis, di dalam proses selanjutnya, pendekatan ini akan mengurangi atau menghindari adanya pertentangan. Pendekatan partisipatif ini akan memberikan

34 17 keuntungan di mana orang-orang akan lebih energik, lebih sepakat dan lebih bertanggungjawab apabila mereka mengontrol lingkungan sendiri dibanding hal itu dilakukan oleh suatu kewenangan dari luar. Kesepakatan dan tanggungjawab dalam berpartisipasi adalah : 1). masyarakat lebih punya kesepakatan terhadap anggotanya daripada sistem pelayanan terhadap kliennya; 2). masyarakat lebih mengerti masalahmasalahnya daripada para profesional pelayanan; 3). masyarakat lebih fleksibel dan kreatif daripada birokrasi besar; 4). masyarakat lebih mudah melakukan daripada profesional pelayanan; 5). masyarakat lebih efektif menguatkan standar sikap atau perilaku daripada birokrasi atau para profesional pelayanan; 6). lembaga-lembaga dan para profesional menawarkan pelayanan, msyarakat menawarkan kepedulian dan 7). sistem pelayanan berfokus pada apa yang kurang, masyarakat berfokus pada kapasitas. Masyarakat petani pedesaan di sekitar DAS pada umumnya mempunyai karakteristik sosial ekonomi yang hampir sama, yaitu adanya keterbatasan-keterbatasan seperti penghasilan, kepemilikan tanah, pendidikan dan keterampilan, namun pemahaman terhadap konsep partisipasi masing-masing masyarakat mungkin berbeda. Di dalam konsep partisipasi dibutuhkan pemahaman bahwa sesungguhnya partisipasi adalah merupakan pelimpahan hak-hak kekuasaan kepada masyarakat dalan pengambilan suatu keputusan. Pemahaman inilah yang harus disikapi oleh masyarakat secara positif. Derajat Partisipasi Partisipasi masyarakat meliputi tiga tahapan, yaitu keterlibatan dalam: 1). proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan; 2). memikul beban dan tanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan; dan 3). memetik hasil dalam pembangunan secara berkeadilan. Terkait dengan partisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, partisipasi efektif dapat dipandang sebagai sebuah kondisi di mana kearifan lokal, keterampilan dan sumberdaya lainnya digerakkan dan dilaksanakan secara totalitas, artinya masyarakat lokal diberdayakan untuk menggerakkan kemampuan mereka menjadi aktor-aktor sosial dalam mengelola sumberdaya, membuat keputusan dan mengontrol kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka (Muis, 2007). Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah : A categorical terms for citizen power. It is redistribution of power

35 18 that enables the have not citizens, presently excluded from the political and economi processes, to deliberately include in the future. Definisi tersebut menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan suatu kategori istilah kekuasaan masyarakat. Partisipasi sesungguhnya adalah pendistribusian kembali kekuasaan dari kekangan proses politik dan ekonomi untuk kemudian bebas menentukan masa depannya. Sehingga dapat diidentifikasi tingkatan partisipasi masyarakat menjadi delapan tingkatan (Gambar 2). 8 Citizen Control 7 Delegated Power Citizen Power 6 Partenership 5 Placation Consultation 4 Tokenism 3 Information 2 1 Therapy Manipulation Nonparticipation Gambar 2 Tingkatan Partisipasi Masyarakat menurut Arenstein (1969) dalam Pudjianto (2009) Pengertian dari masing-masing tingkatan partisipasi masyarakat adalah : 1. Tingkat manipulasi (manipulation), merupakan tingkatan yang paling rendah karena masyarakat hanya dipakai namanya sebagai anggota dalam berbagai badan penasehat (advising board).

36 19 2. Tingkat terapi (therapy), tidak melibatkan peran masyarakat dalam perencanaan. Perencana atau perancang memperlakukan anggota masyarakat seperti dalam proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam group therapy. 3. Tingkat pemberian infomasi (informing), pihak pelaksana pembangunan memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-haknya, tanggungjawabnya dan berbagai pilihan yang dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam pelaksanaan peran masyarakat. 4. Tingkat konsultasi (consultation), pihak penyelenggara pembangunan menggali opini dan aspirasi setelah memberikan informasi kepada masyarakat. 5. Tingkat perujukan (placation), masyarakat mulai mempunyai pengaruh meskipun masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Pelaksanaannya beberapa anggota masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan-badan kerja sama pengembangan kelompok masyarakat yang anggotaanggota lainnya wakil-wakil dan berbagai instansi pemerintah, sehingga usul-usul atau keinginan dari masyarakat terutama lapis bawah dapat diungkapkan. 6. Tingkat kemitraan (partnership), adanya kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan, disepakati bersama untuk saling membagi tanggungjawab dalam perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijaksanaan dan pemecahan berbagai masalah yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan tentang peraturan dasar tersebut, maka tidak dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang dilakukan secara sepihak oleh pihak manapun. 7. Tingkat pendelegasian kekuaaan (delegeted power), masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Untuk memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan yang dalam hal ini adalah pemerintah harus mengadakan tawar menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-tekanan dari atas. 8. Tingkat masyarakat mengontrol (citizen control), masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka, mempunyai kewenangan penuh di bidang kebijaksanaan, aspek-aspek pengelolaan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak melakukan perubahan, dapat langsung berhubunngan dengan sumber-sumber dana

37 20 untuk mendapatkan bantuan atau pinjaman dana tanpa melewati pihak ketiga. Pada tingkat ini peran masyarakat dipandang tinggi karena mereka benar-benar memiliki posisi untuk melakukan bargaining dengan pihak kedua tanpa harus melaluinya apalagi meminta bantuan dari pihak ketiga. Delapan tingkat partispasi masyarakat ini masih dikelompokkan lagi menjadi tiga tingkat menurut pembagian kekuasaan, yaitu : 1. Nonparticipation (tidak ada partisipasi / tingkatan partisipasi masyarakat rendah). Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah manipulation dan therapy. 2. Tokenism (tingkatan partisipasi masyarakat sedang). Yang termasuk kelompok ini adalah informing, consultation, dan placation. 3. Citizen Power (tingkatan partisipasi masyarakat tinggi). Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah : partnership, delegated power dan citizen control. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran lebih utuh tentang kondisi partisipasi masyarakat adalah memaparkan mekanisme, derajat dan efektifitas partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau saluran yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan aktifitas partisipasinya. Derajat partisipasi merupakan upaya membandingkan mekanisme partisipasi yang berjalan dengan tangga partisipasi, kemudian digunakan untuk menjelaskan apakah mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu memuaskan stakeholders terhadap partisipasi masyarakat (Pudjianto, 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat Ada dua sumber munculnya partispasi, yaitu partisipasi yang muncul dari dalam diri manusia itu sendiri dan partisipasi dorongan dari luar. Kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai kekuatan sendiri-sendiri yang saling mengisi. Partisipasi dari luar dapat berupa paksaan atau rangsangan berbuat dalam pembangunan, sedangkan partisipasi yang muncul dalam diri manusia itu tanpa paksaan dan rangsangan dari luar. Masyarakat dengan kesadarannya akan melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanaan di lapangan biasanya akan dijumpai bebagai hambatan, di antaranya : 1). belum dipahami makna sebenarnya dari konsep partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencana dan pelaksana pembangunan; 2). di lapangan dijumpai lemahnya kemauan rakyat berpartisipasi dalam pembangunan berakar pada banyaknya

38 21 peraturan atau perundang-undangan, yang meredam keinginan rakyat untuk berpartisipasi (Soetrisno, 1995). Untuk membangun partisipasi masyarakat perlu diperhatikan faktor-faktor yang dapat menghambat dan mendorong keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Faktor-faktor penghambat tersebut dapat berasal dari dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat, dalam konteks konservasi, biasanya hambatan-hambatan tersebut dapat dibedakan menjadi hambatan fisik, hambatan ekonomi, hambatan kelembagaan dan hambatan teknologi. Hambatan fisik seperti dalam hal pemanfaatan lahan di daerah lereng bukit maka harus dibuatkan teras terlebih dahulu, untuk itu diperlukan orang yang mempunyai kondisi fisik yang kuat. Hambatan ekonomi pada umumnya disebabkan karena kurangnya pendidikan, pengetahuan dan pendapatan, sehingga tidak memiliki akses permodalan. Hambatan kelembagaan karena mereka kurang memperhatikan manfaatnya, sedangkan hambatan teknologi adalah penyesuaian diri masyarakat dengan teknologi yang digunakan. Tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencakup ciri-ciri atau karakter individu, persepsi, jumlah tenaga kerja, status petani dan kekosmopolitan. Sementara yang termasuk ke dalam faktor eksternal adalah ketersediaan saprodi, intensitas penyuluh, dukungan pemerintah, dukungan lingkungan fisik, dukungan kelembagaan sosial, daya tarik kerjasama, kepadatan pendudukan dan jarak lahan garapan (Trison, 2005). Menurut Sunartana (2003) yang termasuk ke dalam faktor internal meliputi: umur, tingkat pendidikan, status sosoal, kekosmopolitan, pengalaman berorganisasi, pendapatan rumah tangga, motivasi, luas lahan garapan, dan persepsi. Untuk faktor eksternalnya meliputi: peran pendamping, peran pemerintah, kejelasan hak dan kewajiban, dan aspek sosial budaya masyarakat.

39 22 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Juni 2010 di DAS Cisadane Hulu, di lima Kecamatan yaitu Kecamatan Tamansari, Kecamatan Leuwiliang, Kecamatan Tenjolaya, Kecamatan Leuwisadeng, dan Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Lokasi dipilih atas dasar pertimbangan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan areal percontohan bagi kegiatan RHL yang telah dilaksanakan. Pertimbangan lainnya adalah lokasi ini merupakan prioritas utama dalam penanganan banjir (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007). Lokasi penelitian (Tabel 2) dan peta lokasi (Lampiran 1). Tabel 2 Lokasi Penelitian di DAS Cisadane Hulu No. Nama Desa Nama Kecamatan 1. Desa Sukaluyu Kecamatan Tamansari 2. Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang 3. Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya 4. Desa Leuwisadeng Kecamatan Leuwisadeng 5. Desa Sibanteng Kecamatan Leuwisadeng 6. Desa Sadeng Kecamatan Leuwisadeng 7. Desa Gunung Picung Kecamatan Pamijahan 8. Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan 9. Desa Ciasiman Kecamatan Pamijahan Metode Penelitian Metode penelitian menggunakan metode survei, yaitu mengambil sampel dari suatu populasi melalui teknik wawancara terbuka, kuesioner, dan diskusi pakar. Analisis data dari penelitian ini menggunakan uji korelasi Spearman Rank dan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Sumber data terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data secara langsung dari responden dengan teknik wawancara atau mengisi kuesioner serta pengamatan langsung di lapangan. Pengumpulan data sekunder dari data yang terkait dengan kajian penelitian yang telah dilaksanakan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada, dan dari berbagai instansi yang terkait seperti: BPDAS Citarum Ciliwung Bogor, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bogor,

40 23 Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Data yang digunakan adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang menyatakan dalam bentuk kalimat, atau menunjukkan perbedaan dari tinggi, rendah, sedang. Data berjenjang ini ditransformasikan ke dalam data kuantitatif dengan memberikan simbol angka secara berjenjang. Data kuantitatif adalah data yang menyatakan dalam bentuk angka, baik yang berasal dari transformasi data kualitatif maupun data dari asalnya yang bersifat kuantitatif. Teknik pengumpulan data : 1). teknik observasi langsung yaitu melalui pengamatan dan pencatatan langsung yang terjadi di tempat penelitian; 2). teknik komunikasi langsung adalah melakukan kontak langsung secara lisan dengan responden (melakukan wawancara); 3). teknik komunikasi tak langsung adalah menyampaikan pertanyan tertulis berupa kuesioner kepada responden untuk dijawab secara tertulis dan 4). teknik dokumenter adalah menghimpun data-data dari buku-buku/literatur, media, arsip-arsip, peraturan dan Undang-Undang yang berkaitan dengan permasalahan. Pengamatan Variabel Pengamatan variabel-variabel penelitian adalah : 1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam keterlibatan program RHL mulai dari tahapan Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi. Partisipasi Masyarakat (Y) a. Tahapan Perencanaan (Y1) Indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah identifikasi masalah, penentuan lokasi, penentuan jenis tanaman, cara pelaksanaan, cara bangunan sipil dan penentuan biaya, yang dikatagorikan : o Rendah ( nilai, < 10) o Sedang ( nilai, 10 15) o Tinggi ( nilai, > 15) b. Tahapan Pelaksanaan (Y2) Indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan pelaksanaan meliputi kegiatan keterlibatan responden dalam penyiapan lahan, pemeriksaan bibit tanaman, penanaman, penyiangan, pemeliharaan tanaman, pembuatan bangunan

41 24 sipil teknis, penyiapan sarana rehabilitasi dan penyediaan dana yang dikatagorikan ke dalam : o Rendah ( nilai, < 10) o Sedang ( nilai, 10 15) o Tinggi ( nilai, > 15) c. Tahapan Evaluasi (Y3) Indikator tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan evaluasi yaitu kegiatan pemantauan dan penilaian keberhasilan kegiatan, membantu memberikan informasi kepada tim evaluasi dan tim pendamping yang dikatagorikan : o Rendah ( nilai, < 10) o Sedang ( nilai, 10 15) o Tinggi ( nilai, > 15) 2. Faktor internal yang terdiri dari : umur, tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, pekerjaan sampingan, dan persepsi. Faktor Internal (X1) a. Umur ( X1.1), umur responden dibagi ke dalam tiga kelompok yang dikatagorikan : o Rendah ( umur < 15 tahun) o Sedang ( umur tahun) o Tinggi ( umur > 65 tahun) b. Tingkat Pendidikan ( X1.2), adalah pendidikan formal terakhir. Dikelompokkan tidak sekolah dan tidak tamat SD, Tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, tamat Akademi dan tamat Perguruan Tinggi yang dikatagorikan ke dalam : o Rendah ( nilai, 1) o Sedang ( nilai, 2) o Tinggi ( nilai, 3) c. Luas Lahan ( X1.3), adalah mengukur luas lahan yang dimiliki atau digarap oleh responden, yang dinyatakan dalam ha dan dikatagorikan ke dalam : o Rendah ( luas < 0,3 ha) o Sedang ( luas 0,3 1,0 ha) o Tinggi ( luas > 1,0 ha)

42 25 d. Tingkat Pendapatan ( X1.4), adalah jumlah seluruh penghasilan rata-rata per bulan responden yang dinyatakan dalam rupiah dan dikatagorikan ke dalam : o Rendah ( pendapatan < Rp ,-) o Sedang ( pendapatan Rp ,- - Rp ,-) o Tinggi ( pendapatan > Rp ,-) e. Pekerjaan sampingan ( X1.5), adalah pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan yang dilakukan responden di luar pekerjaan utamanya dalam satu tahun terakhir yang dikatagorikan ke dalam: o Rendah ( nilai, 1) o Sedang ( nilai, 2) o Tinggi ( nilai, 3) f. Persepsi ( X1.6), adalah pandangan dan penilaian responden terhadap program kegiatan RHL dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang dikatagorikan ke dalam : o Rendah ( nilai, < 3) o Sedang ( nilai, 3-4) o Tinggi ( nilai, > 4) 3. Faktor eksternal yang terdiri dari : intensitas sosialisasi program (penyuluhan), peran pendamping, ketersediaan sarana dan prasarana rehabilitasi, dan peran kelembagaan sosial. Faktor Eksternal (X2) a. Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) ( X2.1), adalah jumlah kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh pelaksana kegiatan RHL untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan responden baik dalam perencanaaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan yang dikatagorikan ke dalam : o Rendah ( nilai, < 3) o Sedang ( nilai, 3-5) o Tinggi ( nilai, > 5) b. Peran pendamping ( X2.2), adalah peranan petugas pendamping menyangkut frekuensi kunjungan, tingkat keterlibatan dalam kegiatan dan pembinaan yang dikatagorikan ke dalam : o Rendah ( nilai, < 3)

43 26 o Sedang ( nilai, 3-5) o Tinggi ( nilai, > 5) c. Ketersediaan sarana ( X2.3), adalah sarana seperti peralatan kerja, bibit tanaman, pupuk dan dana yang dikatagorikan ke dalam : o Rendah ( nilai, < 3) o Sedang ( nilai, 3-5) o Tinggi ( nilai, > 5) d. Peran kelembagaan sosial ( X2.4), adalah peran lembaga sosial dalam mendorong partisipasi masyarakat, ini akan dapat tercermin dalam dukungannya kepada masyarakat yang dikatagorikan ke dalam : o Rendah ( nilai, < 3) o Sedang ( nilai, 3-5) o Tinggi ( nilai, > 5) Pengumpulan Data Penetapan responden dilakukan dengan teknik purpose sampling, di mana responden ditentukan oleh peneliti dengan ketentuan mewakili lokasi kegiatan RHL. Responden diambil sebanyak 90 orang dari lima kecamatan dan mereka adalah orangorang yang terkait dalam program RHL di DAS Cisadane Hulu, yang berinteraksi langsung dengan kegiatan tersebut. Untuk menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat, mengambil sampel yang dianggap ahli atau dapat memberikan masukan kepada pengambil kebijakan. Jumlah sampel sebanyak 12 responden, terdiri dari 5 orang petani, 2 orang dari BPDAS Citarum Ciliwung, 1 orang Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bogor, 1 orang Penyuluh Lapangan Gerhan, 1 orang Polhut dan 2 orang Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Tahapan Penelitian Penelitian dibagi ke dalam tahapan kegiatan, yaitu mempersiapkan penelitian dan studi pustaka, mengumpulkan data lapangan, mengolah data dan analisis data dan membahas hasil penelitian. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). mengidentifikasi masalah tentang tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu; 2). melakukan studi pustaka yang berkaitan langsung dengan permasalahan; 3). mengumpulkan data sekunder dan data primer ; 4). mengolah dan

44 menganalisis data primer dengan uji Korelasi Spearman Rank dan metode AHP dan 5). membahas hasil penelitian (berupa kondisi aktual dari partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu). Analisis Data Mengumpulkan data terlebih dahulu sebelum dianalisis, kemudian menghitung total skor dari tiap-tiap variabel dari data yang bersifat kuantitatif dan mengelompokkan data sesuai dengan variabel masing-masing. Untuk data kualitatif melalui tiga tahap yaitu: tahap interpretasi dan penjelasan hasil catatan lapangan serta kategori data; tahap mendeskripsikan kategori-kategori data; dan tahap terakhir adalah mengelompokkan data. Analisis data penelitian menjawab dari tujuan penelitian. Sehingga metode analisis untuk menjawab dari tujuan penelitian adalah : 1. Mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL. Analisis ini menghitung jumlah dan prosentase dari data-data yang terkumpul, melalui cara tabulasi frekuensi yang nantinya menyajikannya dalam bentuk distribusi frekuensi. 2. Mengkaji hubungan di antara faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL, menjelaskan secara deskriptifkualitatif menggunakan analisis statistik non parametrik yaitu uji korelasi Spearman Rank, dengan rumus: ρ = 1 - n 6Σbi² i=1 n(n²-1) dimana : ρ = koefisien korelasi Spearman Rank bi = selisih peringkat X dan Y n = banyaknya sampel Untuk memudahkan dan mendapatkan ketepatan dalam pengolahan data dengan menggunakan komputer program Statistical Program for Social Sience (SPSS) versi 15; 3. Menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dengan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Metode ini menggunakan bentuk hirarki sesuai dengan tujuan, aktor, faktor pendukung dan alternatif kebijakan. Hirarki disusun untuk memahami masalah yang akan diuraikan ke dalam elemen-elemen yang bersangkutan, kemudian menyusunnya secara hirarki dan 27

45 28 dibantu dengan komputer program Expert Choice Langkah-langkah dalam penyusunan metode AHP adalah sebagai berikut (Saaty dan Vargas, 1994) : a. Menyusun Hirarki, persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsurunsur yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi status hirarki. Langkah awal dalam menyusun hirarki adalah menentukan tujuan utama, yaitu strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu yang ditempatkan pada tingkat puncak (fokus). Kemudian di tingkat ke dua adalah faktor pendukung dari tujuan utama yaitu pemerintah dan masyarakat. Pada tingkat ke tiga menyusun kriteria-kriteria esensial yang berkaitan dengan tingkat partisipasi masyarakat. Pada tingkat ke empat menyusun alternatif prioritas kebijakan yang akan dipilih untuk menentukan strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu. b. Menilai kriteria dan alternatif, melalui pembandingan berpasangan. Untuk membuat pembandingan berpasangan membuat sebuah matriks, membandingkan pasangan-pasangan elemen dengan kriteria di tingkat lebih tinggi dengan memasukkan nilai-nilai kebalikannya serta memasukkan bilangan 1 sepanjang diagonal utama matrik (Tabel 3). Tabel 3 Skala pembanding berpasangan untuk menilai kriteria dan alternatif Nilai Keterangan 1 Ke dua elemen sama pentingnya 3 Elemen yang satu lebih penting dibanding yang lainnya 5 Elemen yang satu sangat penting dibanding elemen yang lainnya 7 Satu elemen sangat jelas lebih penting dari elemen yang lainnya 9 Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen yang lainnya 2,4,6,8 Apabila terjadi ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan Sumber: Saaty dan Vargas (1994) c. Menentukan prioritas, untuk setiap kriteria dan alternatif perlu melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Mengolah nilai-nilai perbandingan relatif untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif (Tabel 4).

46 Tabel 4 Matriks pembandingan berpasang (pairwise comparison) untuk menentukan prioritas C A1 A2 A3. Aj A1 A2 A3.. Aj Sumber: Saaty dan Vargas (1994) 1 1 d. Memeriksa konsistensi, melakukan dengan cara mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas kriteria bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Melakukan pengukuran dalam dua tahap, dimana tahap pertama adalah mengukur konsistensi setiap matrik perbandingan dan tahap keduanya mengukur konsistensi keseluruhan hirarki. Rasio konsistensi hirarki harus dibawah 10%

47 30 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Biofisik Letak da Luas Wilayah Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan Jakarta, luas wilayah adalah 2.301,95 km². Dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah dan perkembangan ekonomi wilayah, pola interaksi internal dan eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal maupun regional serta kebijakan pengembangan dan penyebaran penduduk secara seimbang sesuai dengan daya dukung lingkungan. Wilayah Kabupaten Bogor dibagi menjadi tiga wilayah pembangunan, yaitu: wilayah pembangunan barat, tengah dan timur. Pembangunan wilayah barat meliputi tiga belas kecamatan, yaitu Kecamatan Jasinga, Parung Panjang, Tenjolaya, Cigudeg, Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Tenjolaya, Cibungbulang, Ciampea, Pamijahan dan Kecamatan Rumpin, dengan luas wilayah sekitar Ha. Pembangunan wilayah tengah meliputi 20 (dua puluh) kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur, Bojonggede, Tajurhalang, Cibinong, Sukaraja, Dramaga, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua, Citeureup, Babakan Madang, Ciomas dan kecamatan Tamansari, dengan luas wilayah sekitar Ha. Pembangunan wilayah timur meliputi 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Putri, Cileungsi, Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, Tanjungsari dan Kecamatan Cariu (BPS Kabupaten Bogor, 2009). DAS Cisadane Hulu secara geografis terletak diantara 106º 28 53,61-106º 56 42,32 BT dan 06º 31 21,54-06º 47 16,87 LS dengan luas wilayah ,85 ha. Sungai-sungai utama pada DAS Cisadane Hulu adalah Cisadane, Ciapus, Cihideung, Ciampea, Ciaruteun, Cianten dan Cikaniki. DAS Cisadane mengalir dari Gunung Salak di bagian selatan Kabupaten Bogor. Wilayah DAS ini termasuk dalam kawasan hutan, di mana paling selatan terdapat Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (BPDAS Citarum Ciliwung, 2007).

48 31 Tabel 5 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk per Kecamatan tahun 2008 No. Kecamatan Luas Wilayah (Ha) Jumlah Penduduk (orang) 1. Leuwiliang 6.177, Leuwisadeng 3.283, Pamijahan 8.088, Tenjolaya 2.368, Tamansari 2.161, Total , Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2009) Iklim dan Hidrologi Iklim di Kabupaten Bogor menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, termasuk Iklim Tropis tipe A (Sangat Basah) di bagian selatan dan tipe B ( Basah) di bagian utara. Suhu berkisar rata-rata antara 20ºC sampai 30ºC (BPS Kabupaten Bogor, 2009). DAS Cisadane tergolong dalam lima zona agroklimat yaitu : A (basah), B (agak basah), C (sedang), D (agak kering) dan E (kering). Kondisi daerah hilir cenderung kering (D dan E) dan meningkat semakin basah (A) ke daerah hulu atau dataran tinggi. Secara umum kondisi di DAS Cisadane relatif basah dan ini menguntungkan bagi sektor pertanian, tetapi sebaliknya dapat juga merugikan apabila suatu wilayah telah terjadi kesalahan dalam penggunaan lahannya karena kondisi iklim yang basah memberikan kontribusi terhadap bahaya banjir dan longsor (Tabel 6). No. Tabel 6 Data Hidrologi DAS Cisadane Hulu tahun 2007 Parameter SPAS Cipopokol Cipeucang Lengkong 1. Curah hujan tahunan (mm) Jumlah hari hujan (hari) Debit rata-rata harian maksimum ( m³/detik) 0,09 4,59 0,66 4. Debit rata-rata harian minimun ( m³/detik) 0,02 0,12 0,06 5. Total Direct Run off (mm) 131,54 148,45 674,30 6. Sedimen Tahunan (mm) 1,18 1,10 3,64 7. Erosi Atual (ton/tahun/ha) 17,73 16,45 54,57 8. Koefosien Reqim Sungai 3,86 37,85 11,60 9. Koefosien Variansi 0, Koefosien Limpasan 0,12 0,04 0, SDR 0,33 0,18 0,35 Sumber : BPDAS Citarum Ciliwung (2007)

49 32 Penutupan Lahan Penutupan lahan di bagian hulu didominasi oleh lahan pertanian semusim dan daerah ladang, sawah dan tegalan. DAS Cisadane bagian hulu yang meliputi Kabupaten Bogor dan sebagian Kota Bogor didominasi oleh penggunaan lahan sebagai berikut: hutan, ladang, perkebunan, pemukiman dan lahan kosong. Sedangkan di bagian tengah dan hilir, penggunaan lahan didominasi oleh pemukiman, ladang dan lahan kosong. Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian pada umumnya masih terbatas. Hal ini tercermin dari tingkat pendidikannya yang rata-rata masih rendah yaitu hanya lulusan SD dan sebagian besar hidupnya lebih menggantungkan pada bidang pertanian. Banyaknya Desa per kecamatan lokasi penelitian (Tabel 7). Tabel 7 Jumlah dan Nama Desa per kecamatan di lokasi penelitian No. Kecamatan Jumlah Desa Nama Desa 1. Leuwiliang 11 Purasari, Puraseda, Karyasari, Pabangbon, Karacak, Barengkok, Cibeber1, Cibeber2, Leuwimekar, Leuwiliang, Karehkel 2. Leuwisadeng 8 Wangunjaya, Sadengkolot, Leuwisadeng, Sibanteng, Babakan madang, Sadeng, Kalong1, Kalong2 3. Pamijahan 15 Cibunian, Purwabakti, Ciasmara, Ciasihan, Gng.Sari, Gng.Bunder1, Gng.Bunder2, Cibening, Gng.Picung, Cibitung Kulon, Cibitung Wetan, Pamijahan, Pasarem, Gng.Menyan, Cinayang 4. Tenjolaya 6 Tapos1, Tapos2, Gng. Malang, Situ daun, Cibitung Tengah, Cinangneng 5. Tamansari 8 Sukajadi, Sukaluyu, Sukajaya, Sukaresmi, Pasir eurih, Tamansari, Sukamantri, Sirnagalih Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2009) Jumlah Penduduk, Golongan Usia dan Tingkat Pendidikan Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dari lima kecamatan adalah orang, terdiri dari laki-laki orang dan perempuan orang (Tabel 8). Keadaan penduduk menurut klasifikasi umur dimaksudkan untuk mengetahui jumlah tenaga kerja yang produktif. Tenaga kerja yang produktif adalah usia tenaga kerja yang berumur antara tahun, sedangkan anak-anak di bawah umur 15 tahun (belum produktif) dan golongan umur tua lebih dari 55 tahun (tidak produktif lagi)

50 merupakan tanggungan penduduk yang produktif. Di lokasi penelitian jumlah penduduk menurut golongan usia kurang dari 15 tahun (anak-anak belum produktif) 18,8%, usia tahun (produktif) 71,2% dan usia diatas 55 tahun (tidak produktif lagi) 10% (BPS Kabupaten Bogor, 2009). Tabel 8 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin per Kecamatan di lokasi penelitian No. Kecamatan Laki-laki (orang) Perempuan (orang) Jumlah (orang) 1. Leuwiliang Leuwisadeng Pamijahan Tenjolaya Tamansari Total Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2009) Tingkat pendidikan masyarakat berhubungan erat dengan masuknya inovasi baru. Dengan meningkatnya pendidikan berarti partisipasi masyarakat akan semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari kemudahan dalam penyerapan inovasi tenologi baru. Tingkat pendidikan masyarakat di lokasi penelitian masih tergolong rendah, di mana sebagian besar penduduknya hanya mampu menamatkan pendidikan SD (81,2%), walaupun ada juga yang menamatkan sekolahnya pada tingkat SLTP (13,6%), SLTA (5,1%), dan Akademi atau Perguruan Tinggi (0,1%) (BPS Kabupaten Bogor, 2009). Kelembagaan Sosial Lembaga sosial yang ada antara lain kelompok tani, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tetapi lembaga-lembaga tersebut kurang aktif, namun ada beberapa lembaga yang masih dirasakan bermanfaat bagi masyarakat setempat. Lembaga yang masih aktif misalnya LSM yang kegiatannya menampung program-program GN-RHL dan program konservasi. Fungsinya mengkoordinir pembelian pupuk dan benih secara bersama, membantu pembangunan desa, memberikan penyuluhan dan menyediakan pupuk organik. Sementara lembagalembaga sosial yang lain pada umumnya hanya aktif pada saat ada kegiatan yang bersifat keproyekan. Kondisi ini menyebabkan fungsi dari wahana pemberdayaan masyarakat menjadi tidak optimal. 33

51 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Degradasi hutan dan lahan semakin meluas sebagai akibat penambahan jumlah penduduk yang memerlukan lahan untuk sandang, pangan, papan dan energi. Pengurangan areal hutan untuk pertanian dan konversi lahan pertanian untuk bangunan akan menurunkan resapan air hujan dan meningkatkan aliran air permukaan sehingga frekuensi bencana banjir dan tanah longsor semakin tinggi. Degradasi hutan dan lahan terutama di hulu DAS harus bisa direhabilitasi dengan adanya pengelolaan DAS yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak yang ada pada DAS dengan memperhitungkan biofosik dan semua aspek sosial ekonomi. Penyebab utama tejadinya bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan adalah kerusakan lingkungan, terutama di wilayah hulu DAS sebagai daerah tangkapan air. Untuk menanggulangi hal tersebut, perlu dilakukan upaya pemulihan dan peningkatan kemampuan fungsi dan produktivitas hutan dan lahan melalui kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Kegiatan RHL harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, misalnya kepemilikan tanah, pengetahuan, pendapatan dan jumlah tenaga kerja. Menurut Agus dan Widianto (2004) tindakan konservasi yang mudah diterima petani adalah tindakan yang memberi keuntungan jangka pendek dalam bentuk peningkatan hasil panen dan peningkatan pendapatan, terutama untuk petani yang status penguasaan lahanya tidak tetap. Kegiatan konservasi yang akan diterapkan seharusnya dipilih oleh petani dengan fasilitas penyuluh. Petani paling berhak mengambil keputusan untuk kegiatan yang akan dilakukan pada lahan mereka. Keberhasilan tindakan konservasi akan semakin mudah dicapai apabila masyarakat yang diharapkan berpartisipasi mengerti permasalahan yang akan dipecahkan dan manfaat dari tindakan tersebut. Salah satu keberhasilan dalam tingkat partisipasi masyarakat melalui kontribusi biaya (cost sharing) antara pemerintah dan masyarakat, hal ini merupakan salah satu prinsip dari kegiatan RHL. Pendekatan partisipatif mutlak diperlukan dalam mencapai keberhasilan pembangunan. Lahirnya metode partisipasi masyarakat dalam pembangunan disebabkan adanya kritik bahwa masyarakat diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek. Metode Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan perkembangan dari metode-metode terdahulu, di antaranya Rapid Rural Appraisal (RRA). Definisi yang tepat tentang PRA

52 masih sering diperdebatkan, namun perbedaan antara PRA dengan RRA adalah RRA merupakan bentuk pengumpulan informasi/data oleh orang luar yang kemudian dibawa keluar dan dianalisisnya sendiri. Sedangkan untuk PRA adalah kegiatan yang bersifat partisipatif. Walaupun teknik yang digunakan bisa sama, tetapi orang luar hanya berperan sebagai pemandu, perantara atau fasilitator. Masyarakat didorong untuk melakukan kegiatan menggali informasi tentang permasalahn mereka, kemudian menganalisis dan menentukan cara terbaik dalam mengatasi masalah. Karakteristik Internal dan Eksternal Masyarakat Karakteristik internal dan eksternal responden merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu, baik faktor yang berada di dalam masyarakat (faktor internal) maupun faktor yang ada di luar masyarakat (faktor eksternal) (Tabel 9). Tabel 9 Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat di lokasi penelitian Tingkat Partisipasi Masyarakat No Faktor Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%) Faktor Internal 1. Umur (X1.1) 0 85,6 14,4 2. Tingkat Pendidikan (X1.2) 20 51,1 28,9 3. Luas Lahan (X1.3) 16,7 51,1 25,6 4. Tingkat Pendapatan (X1.4) 35,6 41,1 23,3 5. Pekerjaan sampingan(x1.5) 96,7 3, Persepsi (X1.6) 12,2 41,1 46,7 Faktor Eksternal 1. Intensitas sosialisasi program 4,4 34,4 61,2 (Penyuluhan) (X2.1) 2. Peran pendamping (X2.2) 38,9 52,2 8,9 3. Ketersediaan sarana (X2.3) 10 51,1 38,9 4. Peran kelembagaan sosial (X2.4) 21,1 66,7 12,2 35 Karakteristik Internal Umur. Umur merupakan salah satu variabel yang sering digunakan untuk menganalisis berapa besarnya tenaga kerja (manpower), angkatan kerja (labor force) serta proporsi dari penduduk berusia dewasa yang terlibat dalam kegiatan ekonomis secara aktif di

53 36 suatu tempat. Penduduk muda berumur di bawah 15 tahun dianggap sebagai penduduk yang belum produktif karena secara ekonomis masih tergantung kepada orang tua atau orang lain yang menanggungnya. Sedangkan penduduk yang berusia di atas 65 tahun dianggap tidak produktif lagi sesudah melewati masa pensiun. Penduduk berusia antara tahun adalah penduduk usia kerja (lebih dari 10 tahun) yang dianggap produktif (BPS Kabupaten Bogor, 2009). Umur responden berkisar antara umur 20 tahun sampai dengan 73 tahun, di mana sebagian besar tergolong sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada responden yang memiliki umur di bawah 15 tahun, sebagian besar responden berumur produktif antara tahun 85,6%, dengan hasil ini responden sebagian besar tergolong produktif, maka masyarakat di DAS Cisadane Hulu memiliki potensi besar untuk ikut terlibat dalam kegiatan RHL. Tingkat Pendidikan. Kajian-kajian tentang sosial kemasyarakatan di mana tingkat pendidikan merupakan salah satu dari tiga komponen sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, pendapatan) dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang pada setiap tahapan kegiatan. Mereka yang berpendidikan tinggi biasanya lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan. Sebaliknya, bagi mereka yang berpendidikan rendah lebih banyak terlibat pada tahap pelaksanaan. Tingkat pendidikan responden pada umumnya tergolong sedang (51,1%), sehingga rendahnya tingkat pendidikan tersebut dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, khususnya kegiatan yang memerlukan pemikiran-pemikiran. Berdasarkan data hasil maka tingkat keterlibatan masyarakat dalam perencanaan program belum mendapatkan hasil yang memuaskan, karena masyarakat masih ada rasa keraguan dalam mengemukakan pendapatnya padahal ini sangat penting dalam menentukan akan ke mana arah dan tujuan program ini dilaksanakan. Masyarakat lebih banyak ikut terlibat di dalam pelaksanaan program RHL. Luas Lahan. Luas lahan garapan yang dimiliki responden dapat mempengaruhi tingkat partisipasi dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu. Responden yang memiliki lahan sempit tidak memiliki alternatif mengalokasikan lahannya untuk ditanami pohonpohonan. Biasanya yang memiliki lahan yang sempit akan lebih cenderung memanfaatkan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan daripada pohon-pohonan karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan hasil

54 37 penelitian luas lahan responden tergolong sedang (51,1%), di mana sebagian besar luas lahan responden digunakan untuk budidaya pangan sebagai sumber kehidupan bagi anggota keluarganya. Masyarakat yang memiliki lahan sempit dan sedang pada umumnya hanya memanfaatkan lahannya untuk tanaman jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga akan mengalami kesulitan jika lahannya ditanami dengan tanaman keras. Hal ini yang seharusnya dapat di atasi dengan memberikan pengetahuan, keterampilan dan penyuluhan, sehinga mereka dapat mengetahui, mengerti dan bersedia lahannya untuk ditanami tanaman keras walaupun hasil dan manfaat yang bisa dirasakan dalam jangka waktu yang panjang. Tingkat Pendapatan. Pendapatan responden adalah pendapatan rata-rata per bulan, baik pendapatan yang berasal dari mata penharian pokok maupun sampingan. Hasil penelitian diperoleh tingkat pendapatan responden berkisar antara Rp Rp Rendahnya tingkat pendapatan sebagai implikasi dari rendahnya tingkat pendidikan dan sempitnya kepemilikan lahan masyarakat. Di lokasi penelitian tingkat pendidikan sebagian besar hanya tamatan SMP sehingga mengakibatkan masyarakat mengalami kesulitan untuk dapat mengakses permodalan. Kondisi tersebut juga akan berpengaruh pada sempitnya lahan, sehingga masyarakat tidak dapat mengembangkan pertaniannya dan akan berakibat pendapatan mereka menjadi terbatas. Pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan merupakan pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan yang dimiliki oleh responden di luar pekerjaan utamanya. Pekerjaan itu dilakukan untuk menambah pendapatan, guna pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil data lapangan diperoleh bahwa pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh responden tergolong rendah, hanya berkisar 0 2. Pekerjaan sampingan yang umumnya digeluti oleh responden adalah berdagang, beternak, ojek dan buruh bangunan. Sebagian besar pekerjaan sampingan responden tergolong rendah (96,7%), artinya mereka hanya tergantung kepada pekerjaan utamanya saja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Persepsi. Persepsi merupakan pengetahuan, pandangan dan penilaian responden terhadap tujuan dan manfaat dari pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Untuk mengetahui tingkat persepsi masyarakat diajukan pertanyaan-pertanyaan kepada

55 38 responden mengenai pandangan atau penilaian terhadap tujuan dan manfaat dari kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Pengukuran tingkat persepsi ini didasarkan pada pernyataan responden tidak setuju, kurang setuju dan setuju terhadap program tersebut. Persepsi responden sebagian besar tergolong tinggi yaitu 46,7%, artinya persepsi masyarakat terhadap tujuan dan manfaat RHL cukup tinggi. Tingginya persepsi masyarakat tersebut disebabkan karena pemahaman masyarakat sudah tinggi terhadap tujuan dan manfaat RHL dan mereka bisa merasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Karakteristik Eksternal Intensitas sosialisasi program (penyuluhan). Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) diukur dari jumlah atau frekuensi kegiatan-kegiatan sosialisasi (penyuluhan) RHL yang diberikan kepada responden, baik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Kegiatan tersebut diaktualisasikan pada kegiatan-kegiatan seperti : pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh pihak pelaksana, kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Data hasil yang diperoleh umumnya tergolong tinggi yaitu 61,2%, ini menggambarkan bahwa intensitas sosialisasi program (penyuluhan) yang dilakukan sudah optimal, walaupun masih banyak kekurangan-kekurangan yang dirasakan masyarakat seperti masalah kurangnya Sumber daya manusia yang ada (hanya ada tiga orang penyuluh) sehingga intensitas kunjungan dan penyuluhan ke lokasi masih kurang. Peran pendamping. Pendampingan adalah kegiatan yang dilakukan oleh petugaspetugas pendamping dari lembaga sosial masyarakat yang dianggap mampu memberikan penjelasan dan bimbingan teknis pada kegiatan RHL di lapangan. Penilaian peran petugas ini didasarkan pada intensitas kunjungan di lapangan dan keterlibatan langsung mereka dalam menjalankan tugasnya, melalui informasi yang digali secara langsung dari peserta kegiatan. Sebagian besar responden menyatakan peran pendamping tergolong sedang (52,2%). Hal ini dapat diartikan bahwa peran petugas pendamping dalam menjalankan tugasnya belum optimal sehingga perlu ditingkatkan. Ketersediaan sarana. Ketersediaan sarana kegiatan RHL merupakan komponen yang sangat penting karena sarana dimaksud sangat diperlukan untuk dapat menunjang dalam

56 39 pelaksanaan kegiatan rehabilitasi tersebut. Sarana rehabilitasi tersebut antara lain berupa peralatan kerja, bahan (material), bibit tanaman, pupuk dan dana. Data hasil menunjukkan bahwa ketersediaan sarana tergolong sedang (51,1%), karena sarana rehabilitasi yang disediakan oleh pemerintah tidak langsung diberikan kepada masyarakat tetapi melalui kantor dinas terkait. Untuk bibit tanaman dan pupuk disediakan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Bogor. Sedangkan sarana rehabilitasi sipil teknis disediakan oleh BPDAS Citarum Ciliwung. Data tersebut menunjukkan bahwa sarana ini belum tersedia sesuai kebutuhan masyarakat. Salah satu penyebab kurang tersedianya sarana rehabilitasi hutan dan lahan ini karena faktor anggaran pemerintah yang bertahap. Peran kelembagaan sosial. Kelembagaan sosial memiliki peran yang sangat penting dalam mendorong partisipasi masyarakat. Biasanya peran kelembagaan sosial ini berupa dukungan yang diaktualisasikan melalui kegiatan pertemuan-pertemuan pembahasan masalah-masalah perencanaan, pelaksanaan di lapangan dan evaluasi kegiatan RHL. Peran kelembagaan sosial tergolong sedang yaitu 66,7%, di mana responden menyatakan bahwa lembaga sosial sangat mendukung kegiatan, salah satu peran kelembagaan sosial yang bisa terwujud adalah terbentuknya kelompok tani yang merupakan suatu wadah tempat berkumpulnya petani dalam mendiskusikan masalahmasalah yang terjadi di lokasinya. Dukungan ini mulai dirasakan oleh masyarakat pada saat perencanaan dan pelaksanaan karena pada saat evaluasi lembaga sosial ini kurang terlibat. Tingkat Partisipasi Masyarakat Program RHL melibatkan partisipasi masyarakat baik disekitar obyek kegiatan maupun masyarakat luas mulai proses perencanaan, persiapan bibit, persiapan lapangan sampai kegiatan penanaman dan pemeliharaan. Masyarakat secara langsung maupun tidak langsung ikut terlibat dalam setiap tahapan kegiatan. Dengan pelibatan aktif masyarakat secara tidak langsung akan menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan masyarakat, sehingga membentuk budaya memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan dan lingkungan, sehingga akhirnya masyarakat mau dan mampu secara swadaya melakukan penanaman, pemeliharaan dan pengamanan tanaman/hutan yang berada pada lingkungannya.

57 40 Partisipasi masyarakat yang dimaksud adalah keterlibatan masyarakat dalam kegiatan RHL dalam setiap tahapan kegiatan, mulai dari tahapan perencanaan, tahapan pelaksanaan di lapangan dan tahapan evaluasi. Data hasil diperoleh dari wawancara responden dan kuesioner dengan parameter pengukuran tidak terlibat masuk kategori rendah, kurang sampai cukup terlibat masuk kategori sedang, dan selalu sampai banyak terlibat masuk katagori tinggi. Tabel 10 menunjukkan hasil dari tingkat partisipasi masyarakat, baik pada tahapan perencanaan, tahapan pelaksanaan di lapangan dan tahapan evaluasi. Tabel 10 Kategori Hasil Penilaian Masyarakat dalam kegiatan RHL pada Tahapan Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi di lokasi penelitian Partisipasi Masyarakat Kategori Nilai Tahapan Perencanaan Tahapan Pelaksanaan Tahapan Evaluasi Jumlah % Jumlah % Jumlah % (orang) (orang) (orang) Rendah < , ,7 Sedang , , ,1 Tinggi > , , ,2 Total Tahapan Perencanaan Pengukuran tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah sebagai berikut: 1) identifikasi masalah, 2) penentuan lokasi, 3) penentuan luas lahan, 4) penentuan jenis bibit tanaman, 5) penentuan bangunan sipil teknis, 6) pembentukan kelompok tani, dan 7) penentuan biaya. Penilaian terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL untuk tahapan perencanaan secara umum masih tergolong rendah (46,7%), artinya peserta hanya mengikuti sosialisasi dari pihak pelaksana tetapi mereka tidak pernah hadir dalam rapat atau pertemuan. Tingkatan ini masuk ke dalam kelompok nonparticipation. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan ini disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan, yaitu sebagian besar (51,1%) hanya tamat SMP, sehingga ini berimplikasi terhadap ketidak tertarikan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan. Hasil penelitian ini sejalan denga hasil penelitian yang telah

58 41 dilakukan oleh Muis (2007) dan Pujianto (2009) yang menyatakan bahwa partisipasi dalam tahapan perencanaan pada umumnya masih rendah. Tingkat partisipasi rendah di mana masyarakat hanya digunakan sebagai alat publikasi saja, walaupun masyarakat yang terlibat dalam kegiatan, tetapi pada kenyataannya masyarakat tidak pernah aktif memberikan masukan atau usulan-usulan dalam proses tahapan perencanaan. Pada tahap perencanaan ini lebih banyak dilakukan oleh pihak pemerintah sehingga sampai saat ini masih bersifat top down. Perubahan paradigma arah penentuan kebijakan dari bersifat top down menjadi bottom up, di mana DAS sebagai satu kesatuan atau unit perencanaan mempunyai makna bahwa perencanaan pengelolaan DAS harus dapat menampung seluruh kepentingan sektoral dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, di mana perlu dikembangkan pola tata ruang yang menyerasikan tata guna lahan dan sumber daya alam dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pola perkembangan kependudukan yang serasi. Tahapan Pelaksanaan Pengukuran untuk tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan pelaksanaan adalah sebagai berikut : 1) penyiapan lahan, 2) pemeriksaan bibit tanaman, 3) penanaman, 4) pembuatan bangunan sipil teknis, 5) penyiangan/pembersihan rumput, 6) pendangiran, 7) penyulaman, 8) pemeliharaan, 9) penyiapan sarana, 10) pertemuan kelompok tani dan 11) penyediaan dana. Tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan pelaksanaan secara umum termasuk pada kategori sedang (51,1%). Tingkatan partisipasi ini masuk ke dalam kelompok tingkatan partisipasi tokenism. Artinya bahwa masyarakat sudah mulai diajak dalam konsultasi pelaksanaan kegiatan, dimasukkan ke dalam anggota badan-badan kerja dan juga berbagi tanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan walaupun masih seringkali suara mereka masih tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya relatif rendah. Pada kegiatan pemeriksaan bibit tanaman, penyulaman, penanaman dan pemeliharaan tanaman tingkat partisipasi masyarakat masih tergolong rendah, ini disebabkan karena alasan teknis, di mana wewenang untuk kegiatan pemeriksaan bibit dikelola sepenuhnya oleh institusi independen bentukan proyek. Bahkan dalam pemeriksaan yang dilakukan, keterlibatan masyarakat hanya sebatas mendampingi tim

59 pemeriksa, tanpa memiliki wewenang untuk melakukan penilaian terhadap kelayakan bibit yang disediakan. Demikian pula pada kegiatan penyulaman dan pemeliharaan tanaman, di mana bibit yang disalurkan tidak mencukupi untuk kegiatan penyulaman. Persediaan bibit untuk kegiatan penanaman pun tidak mencukupi. Jumlah bibit yang terbatas ini menyebabkan target luasan tanaman tidak terpenuhi. Tahapan Evaluasi Pada tahapan evaluasi pengukuran tingkat partispasi masyarakat dilakukan dua kegiatan, yaitu : penilaian dan pemantauan keberhasilan kegiatan serta membantu memberikan informasi kepada tim evaluasi. Penilaian tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan evaluasi termasuk pada kategori rendah (36,7%). Tingkatan partisipasi ini masuk ke dalam kelompok non participation. Partisipasi masyarakat tergolong rendah, artinya bahwa masyarakat hanya mengikuti sosialisasi dari pihak pelaksana dan tidak pernah hadir dalam kegiatan rapat atau pertemuan, dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kepentingan terhadap kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi hanya dilakukan oleh pihak pemerintah sebagai laporan pertanggungjawaban pelaksanaan program. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Muis (2007) dan Pudjianto (2009) yang menyatakan bahwa dinamika partisipasi masyarakat di DAS dalam kegiatan evaluasi pada umumnya rendah, karena sebagian besar respondennya tidak pernah terlibat pada kegiatan evaluasi bahkan tidak mengetahui bahwa telah dilakukan kegiatan evaluasi. Hubungan antara Faktor Internal dan Eksternal dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Hubungan antara faktor internal dan faktor eksternal responden terhadap tingkat partisipasi masyarakat memberikan gambaran tentang bagaimana peranan dari masingmasing faktor, terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Hubungan ini pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dilakukan uji korelasi Spearman Rank. Uji korelasi bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel yang tidak menunjukkan hubungan fungsional, ini tidak membedakan jenis variabel. Keeratan hubungan ini dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi. Koefisien korelasi memiliki nilai antara -1 hingga +1. Sifat nilai koefisien korelasi adalah plus (+) atau minus (-). Hal ini menunjukkan arah korelasi. Sifat korelasi akan menentukan arah dari korelasi. Keeratan korelasi dapat dikelompokkan sebagai 42

60 berikut : 0,00 sampai 0,20 berarti korelasi memiliki keeratan sangat lemah; 0,21 sampai 0,40 berarti korelasi memiliki keeratan lemah; 0,41 sampai 0,70 berarti korelasi memiliki keeratan kuat; 0,71 sampai 0,90 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat; 0,91 sampai 0,99 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat sekali, dan 1 berarti sangat sempurna. Hasil uji korelasi pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pada Tabel 11. Tabel 11 Hasil Uji Korelasi Spearman Rank dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu No Faktor Tahapan Perencanaan (Y1) Partisipasi Masyarakat Tahapan Pelaksanaan (Y2) 43 Tahapan Evaluasi (Y3) Faktor Internal 1. Umur (X1.1) 0,151 0,322** 0, Tingkat Pendidikan (X1.2) 0,493** 0,397** - 0, Luas Lahan (X1.3) 0,371** 0,098-0, Tingkat Pendapatan (X1.4) 0,402** 0,279** - 0, Pekerjaan sampingan(x1.5) 0,084 0,186-0, Persepsi (X1.6) 0,279* 0,256* 0,040 Faktor Eksternal 1. Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan) (X2.1) 0,231* 0,268* - 0,254* 2. Peran pendamping (X2.2) - 0,094-0,039 0, Ketersediaan sarana (X2.3) 0,346** 0,316** 0, Peran kelembagaan sosial (X2.4) 0,298** 0,379** 0,058 Keterangan: ** Berpengaruh nyata pada α = 0,01 ; * Berpengaruh nyata pada α = 0,05 Hubungan antara Umur dengan Tingkat Partispasi Masyarakat Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman Rank menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi (keeratan hubungan) antara variabel umur dengan tingkat partisipasi pada tahapan perencanaan tidak memiliki hubungan nyata (0,151), sedangkan pada tahapan pelaksanaan memiliki hubungan nyata (0,322**), dan pada tahapan evaluasi memiliki hubungan lemah (0,015). Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa variabel umur pada tahapan pelaksanaan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Sedangkan pada tahapan perencanaan dan evaluasi umur tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi, karena memiliki korelasi yang tidak nyata dan sangat lemah. Artinya bahwa umur dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL, karena umur di lokasi penelitian termasuk golongan produktif sehingga akan memudahkan dalam ikut keterlibatan di program ini, berbeda apabila umur

61 44 responden didominasi oleh mereka yang berumur di bawah 15 tahun karena tergolong belum produktif sehingga mereka masih tergantung pada orang tua atau orang lain yang menanggungnya. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat Nilai hasil koefisiem korelasi antara tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan adalah sebesar 0,493** dan tahapan pelaksanaan sebesar 0,397** sehingga mempunyai hubungan nyata yang cukup kuat, sedangkan pada tahapan evaluasi sebesar -0,129 memiliki hubungan yang sangat lemah. Artinya bahwa pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan tingkat pendidikan responden sangat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, maka akan cenderung semakin tinggi pula untuk tingkat partisipasinya. Sedangkan pada tahapan evaluasi tingkat pendidikan tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Hubungan antara Luas Lahan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat Luas lahan nilai koefisien korelasinya pada tahapan perencanaan 0,371**, pada tahapan pelaksanaan 0,098, dan pada tahapan evaluasi -0,121. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada tahapan perencanaan luas lahan responden mempunyai hubungan nyata yang kuat dengan tingkat partisipasi, sedangkan pada tahapan pelaksanaan dan tahapan evaluasi tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat, bahkan pada tahapan evaluasi memiliki hubungan yang negatif dan sangat lemah. Hal ini berarti pada tahapan perencanaan luas lahan sangat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Semakin luas lahan yang dimiliki masyarakat, maka semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Sedangkan pada tahap pelaksanaan dan tahapan evaluasi tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Hubungan antara Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat Nilai koefisien korelasi antara tingkat pendapatan dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan sebesar 0,402**, tahapan pelaksanaan sebesar 0,279**, dan pada tahapan evaluasi sebesar -0,172. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan tingkat pendapatan responden memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat, sedangkan pada tahapan evaluasi memiliki hubungan yang negatif dan sangat lemah.

62 45 Hal ini berarti bahwa pada tahapan perencanaan dan pelaksanaan tingkat pendapatan dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tingi pendapatan masyarakat maka akan semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Masyarakat yang telah memiliki pendapatan yang tinggi tidak terlalu menggantungkan kelangsungan hidupnya pada hasil hutan, sehingga mereka akan menjaga kelestarian hutan (tidak merusak hutan) dibandingkan dengan masyarakat yang berpendapatan rendah. Hubungan antara Pekerjaan Sampingan dengan Tingkat Partispasi Masyarakat Antara pekerjaan sampingan dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan memiliki nilai koefidien korelasi sebesar 0,084, tahapan pelaksanaan sebesar 0,186, dan pada tahapan evaluasi sebesar -0,072. Nilai ini menunjukkan bahwa variabel pekerjaan sampingan memiliki korelasi yang lemah terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan sampingan yang dimiliki oleh responden tidak memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat. Seperti diketahui bahwa, sebagian besar responden memiliki pekerjaan sampingan yang sifatnya tidak tetap (musiman), sehingga mereka tetap memiliki waktu luang untuk dapat terlibat dalam kegiatan RHL. Hubungan antara Persepsi dengan Tingkat Partispasi Masyarakat Hubungan antara persepsi dengan tingkat partisipasi masyarakat memiliki nilai koefisien korelasi pada tahapan perencanaan sebesar 0,279*, tahapan pelaksanaan sebesar 0,256*, dan pada tahapan evaluasi sebesar 0,040. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan persepsi responden memiliki hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat, sedangkan pada tahapan evaluasi memiliki hubungan yang lemah. Persepsi yang baik terhadap tahapan perencanaan dan pelaksanaan didukung oleh kegiatan sosialisasi yang telah dilaksanakan oleh pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bogor. Selain itu, masyarakat telah didampingi pula oleh lembaga sosial yang ditunjuk oleh pihak pelaksana yang bertugas membantu dalam penyiapan masyarakat. Lewat lembaga sosial tersebut masyarakat dikenalkan dan diberikan pemahaman tentang tujuan, sasaran dan manfaat dari rehabilitasi hutan dan lahan.

63 Hubungan antara Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan) dengan Tingkat Partispasi Masyarakat Nilai koefisien korelasi pada tahapan perencanaan sebesar 0,231*, tahapan pelaksanaan sebesar 0,268*, dan pada tahapan evaluasi sebesar -0,254*, artinya tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi antara intensitas sosialisasi program (penyuluhan) mempunyai hubungan nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat walaupun tidak terlalu kuat. Hal ini berarti semakin sering dilakukan sosialisasi program (penyuluhan) kepada masyarakat maka tingkat partisipasi masyarakat akan cenderung semakin tinggi. Hubungan antara Peran Pendamping dengan Tingkat Partispasi Masyarakat Antara peran pendamping dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -0,094, pada tahapan pelaksanaan sebesar -0,039, dan pada tahapan evaluasi sebesar 0,017. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa pada semua tahapan peran pendamping mempunyai hubungan yang sangat lemah. Hal ini artinya peran pendamping tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat. Hubungan antara Ketersediaan Sarana dengan Tingkat Partispasi Masyarakat Nilai koefisien korelasi antara ketersediaan saranai dengan tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan 0,346**, pada tahapan pelaksanaan 0,316**, dan pada tahapan evaluasi 0,760. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan sarana rehabilitasi memiliki hubungan nyata meskipun tidak terlalu kuat, sedangkan pada tahapan evaluasi ketersediaan sarana rehabilitasi memiliki hubungan lemah. Artinya semakin tersedia sarana rehabilitasi pada saat perencanaan dan pelaksanaan, partisipasi masyarakat akan cenderung semakin meningkat karena salah satu faktor yang dapat mengajak masyarakat untuk ikut terlibat dalam kegiatan RHL ini adalah sarana yang dapat mendukung kegiatan tersebut. Sedangkan pada tahapan evaluasi sarana rehabilitasi tidak mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Hubungan antara Peran Kelembagaan Sosial dengan Tingkat Partispasi Masyarakat Nilai koefisien korelasi dari peran kelembagaan sosial pada tahapan perencanaan 0,298**, pada tahapan pelaksanaan 0,379**, dan pada tahapan evaluasi 0,058. Nilai ini 46

64 menunjukkan pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan peran kelembagaan sosial memiliki hubungan nyata, sedangkan pada tahapan evaluasi peran kelembagaan sosial tidak memiliki hubungan. Hal ini berarti semakin besar peran kelembagaan sosial pada tahapan perencanaan dan tahapan pelaksanaan semakin tinggi pula tingkat partisipasi masyarakatnya. Hal ini berarti masyarakat mulai merasakan fungsi dan manfaat dari kelompok tani yang telah mereka bentuk, di mana kelompok tani merupakan salah satu dari bentuk peran kelembagaan sosial. Alternatif Prioritas Kebijakan Peningkatan Partisipasi Masyarakat Hasil identifikasi dan analisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat masih tergolong rendah. Masih rendahnya partisipasi masyarakat tersebut disebabkan oleh belum optimalnya faktor-faktor pendukung, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Untuk keberhasilan program RHL, maka partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan dan salah satu upayanya dengan menyusun alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dengan analisis metode AHP. Aplikasi metode AHP dalam menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat adalah menyusun hirarki, melakukan banding berpasangan (pairwise comparison) dan menetapkan prioritas. Tujuan utama penyusunan hirarki adalah untuk menentukan alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat, dalam hirarki tersebut ada dua faktor yang diangap adanya keterkaitan penting, yaitu pemerintah dan masyarakat. Pemerintah disini berperan sebagai pencetus program dan juga sebagai fasilitator dalam kegiatan RHL, sedangkan masyarakat berperan sebagai pelaksana kegiatan. Untuk faktor pendukung yang dipertimbangkan adalah umur, tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, pekerjaan sampingan, persepsi masyarakat, intensitas sosialisasi program (penyuluhan), peran pendamping, ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial. Setelah semua kriteria faktor pendukung ditentukan maka disusunlah alternatif prioritas kebijakan yaitu meningkatkan dukungan dari pemerintah dan meningkatkan kemampuan anggota masyarakat. Hasil focus group discussion (FGD) dan wawancara dengan 12 responden yang dianggap ahli maka dilakukan penilaian dan pembobotan terhadap elemen-elemen 47

65 partisipasi masyarakat yang telah disusun secara hirarki ke dalam matrik pembandingan berpasangan (pairwise comparison). Kemudian data diproses dengan komputer menggunakan software Expert choice 2000, dimana menghasilkan bobot nilai alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat (Tabel 12). Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa bobot nilai pemerintah (0,75) lebih tinggi dibandingkan bobot nilai masyarakat (0,25), sehingga pemerintah merupakan unsur prioritas dalam penyusunan kebijakan. Faktor-faktor pendukung yang memiliki keterkaitan tinggi dengan tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor tingkat pendidikan (0,27), tingkat pendapatan (0,14), peran pendamping (0,12) dan ketersediaan sarana (0,20). Bobot nilai alternatif kebijakan meningkatkan kemampuan anggota masyarakat (0,84) lebih tinggi dibanding dengan bobot nilai kebijakan meningkatkan dukungan dari pemerintah (0,16). Alternatif kebijakan meningkatkan kemampuan anggota masyarakat menjadi unsur prioritas utama dalam penyusunan kebijakan. Dengan demikian alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat adalah meningkatkan kemampuan anggota masyarakat melalui sarana tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, masyarakat. 48 peran pendamping dan ketersediaan sarana untuk Tabel 12 Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat Aktor : Masyarakat Pemerintah Peningkatan partisipasi masyarakat Bobot 0,25 0,75 Faktor pendukung : Umur Tingkat pendidikan Luas lahan Tingkat pendapatan Pekerjaan sampingan Persepsi Intensitas sosialisasi program (Penyuluhan) Peran pendamping Ketersediaan sarana Peran kelembagaan sosial Alternatif : Meningkatkan dukungan dari pemerintah Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat 0,02 0,27 0,02 0,14 0,05 0,07 0,06 0,12 0,20 0,05 0,16 0,84

66 49 Hasil analisis dalam prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat di DAS Cisadane Hulu diperoleh bahwa kemampuan anggota masyarakat masih tergolong rendah, karena masyarakat masih berfikiran program yang dilakukan di lokasinya akankah memberikan manfaat dan keuntungan bagi kebutuhan hidupnya, artinya apabila ada perubahan dalam kehidupannya misalnya tingkat pendapatan, mereka akan ikut berpartisipasi melakukan program tersebut. Partisipasi masyarakat di sini adalah keterlibatan mereka dalam suatu program, yaitu keterlibatan mental, pikiran dan perasaan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atau bantuan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan bersama dan ikut bertanggungjawab tehadap usaha yang dilakukannya. Sehingga partisipasi tersebut merupakan keterlibatan mental dan emosi, menghendaki adanya kontribusi terhadap kepentingan atau tujuan kelompok dan merupakan tanggungjawab terhadap kelompok. Peran pemerintah juga sangat penting karena harus dapat meyakinkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi, diantaranya harus bisa menggali apa kebutuhan atau keinginan masyarakat dalam program kegiatan RHL ini. Misalnya dalam pengadaan bibit tanaman, pemerintah mau mendengar kehendak dari masyarakat sehingga apa yang diberikan dapat bermanfaat bagi mereka, dan diharapkan mereka mau untuk dapat memelihara dan menjaganya. Peran pihak lain pun sangat besar, artinya pemerintah harus melakukan suatu kerjasama dengan pihak lain untuk dapat membantu dalam mensukseskan programnya, diantaranya peran pendamping dan peran lembaga swadaya masyarakat. Lembaga-lembaga ini dapat membantu memberikan penyuluhan kepada masyarakat sehingga kegiatan RHL akan berhasil sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Apabila semua telah berjalan dengan baik, maka kebijakan top down tidak lagi terjadi dan diharapkan mendapat hasil yang optimal. Kebijakan yang bersifat top down merupakan kriteria lemahnya perencanaan. Masyarakat mulai dipandang sebagai integral dari pengelolaan suatu kebijakan. Masyarakat yang tinggal di wilayah yang terkena kebijakan, program, atau proyek, bisa untuk merumuskan persoalan dengan lebih efektif, mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan. Meskipun pendekatan partisipatif mungkin memerlukan waktu lebih lama pada tahap-tahap awal

67 perencanaan dan analisis, di dalam proses selanjutnya, pendekatan ini akan mengurangi atau menghindari adanya pertentangan. Sehingga semua program kegiatan akan berjalan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Pelaksanaan program RHL di Indonesia dalam penetapan kebijakan kehutanan yang menjadi perhatian adalah masalah kelembagaan, termasuk di dalamnya mencakup analisis aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan, pengertian dan pengetahuan yang digunakan, informasi yang tersedia, maupun proses pembuatan kebijakan itu sendiri. Dengan demikian masalah kebijakan mempunyai lingkup lebih luas dan tidak sekedar pengetahuan teknis mengenai obyek yang diatur. Kebijakan juga tidak dapat diartikan sebatas peraturan perundang-undangan, melainkan solusi atas masalah yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai masalah menjadi sangat penting dalam pembuatan kebijakan. Kondisi seperti ini biasanya disebabkan oleh: 1). Pendekatan dalam penyusunan kebijakan kehutanan hampir selalu berangkat dari sisi fisik kayu, hutan, dan material lainnya, sebaliknya kurang memperhatikan subyek yang diatur, seperti swasta, individu, kelompok masyarakat, beserta kepentingan dan kemampuannya. 2). Peraturan perundangan menjadi instrumen yang dominan bahkan tunggal. Padahal banyak hal dapat diselesaikan secara sosial, ekonomi, maupun politik. Dalam kaitan ini juga terdapat pandangan yang kuat, bahwa peraturan secara otomatis dapat tertuju pada penyelesaian masalah, sementara kondisi di lapangan mempunyai banyak faktor yang dipertimbangkan oleh para pelaksana dalam mengambil keputusan yang dijalankannya. 3). Kedua hal tersebut terjadi akibat adanya policy narrative dan discource yang telah menjadi conventional wisdom dan tidak sejalan dengan masalah yang dihadapi dalam pembangunan kehutanan, khususnya dalam pelaksanaan RHL. Kondisi Aktual Tingkat Partisipasi Masyarakat di DAS Cidane Hulu Terjadinya lahan-lahan kritis di beberapa daerah adalah akibat dari ketidaksinkronan antara tujuan masyarakat atau petani dengan kebijakan yang dibuat pemerintah. Masyarakat mengacu pada tujuan untuk memperoleh manfaat dan keuntungan sesegera mungkin, sedangkan kebijakan pemerintah mengacu pada tujuan jangka panjang dan berkelanjutan untuk generasi masa kini dan yang akan datang. Kesenjangan antara tujuan masyarakat dan pemerintah ini akan menjadi konflik 50

68 51 kepentingan, dan hal ini harus dihindari. Pembuat kebijakan memandang pembangunan yang berorientasi pada produktivitas jangka panjang, sementara harapan masyarakat adalah pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dalam jangka pendek. Sehingga proses perumusan kebijakan RHL melalui pendekatan top down, sedangkan harapan masyarakat di DAS Cisadane Hulu adalah pendekatan bottom up yang melibatkan lapisan masyarakat mulai dari bawah. Pengelolaan DAS Cisadane Hulu ditandai dengan stakeholders yang multisektor, multifungsi, multidisiplin, beranekaragam kepentingan terhadap sumberdaya alam. Karena itu muncul banyak aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, dan kadang-kadang kebijakan yang dibuat tumpang tindih sehingga menimbulkan masalah baru dalam pelaksanaannya. Kebijakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dirumuskan melalui formulasi program yang kebanyakan merupakan arahan dari pusat, atas dasar kepentingan lembaga tertentu tanpa mengembangkan integritas fungsional antar sektor, sehingga melahirkan egoisme sektoral pada masing-masing lembaga. Menurut Muhadjir (1980) dalam Fauzi (2009) tingkatan partisipasi terbagi menjadi empat jenis yaitu : 1). keterlibatan orang dalam proses pembuatan keputusan; 2). keterlibatan orang dalam pelaksanaan program dan pengambilan keputusan; 3). keterlibatan orang di dalam menikmati hasil dari kegiatan; dan 4). keterlibatan di dalam evaluasi suatu hasil dari program yang sudah terlaksana. Kenyataan di lapangan tingkatan partisipasi yang ada adalah keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program saja, sementara keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, keterlibatan dalam evaluasi serta menikmati hasil dari kegiatan belum dilaksanakan sepenuhnya di lapangan. Seharusnya yang dinamakan partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan program adalah ikut memberi masukan, menerima imbalan atas masukan tersebut dan ikut menikmati hasilnya. Walaupun kenyataan di lapangan masih terjadi keraguan untuk mengemukakan pendapat (memberi masukan) padahal mereka mengerti dan mengetahui kondisi di lapangan, maka mereka harus mendapatkan suatu pengetahuan dan keterampilan untuk memiliki suatu keberanian dalam mengemukakan pendapatnya. Sehingga hasil yang diharapkan akan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dan mendapatkan manfaat, bagi masyarakat, aparat ataupun lingkungan.

69 52 Tingkat partisipasi masyarakat bisa dijadikan sebagai salah satu tolak ukur dari keberhasilan program RHL di DAS Cisadane Hulu. Rendahnya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa masyarakat kurang terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Pada tahapan perencanaan masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pemilihan dan pengadaan jenis bibit tanaman, begitu pula saat proses penanaman dan pemeliharaan pasca tanam mereka kurang diberikan penyuluhan mengenai tata cara menanam yang baik dan benar sehingga banyak tanaman yang mati. Hasil laporan BPDAS Citarum Ciliwung (2008) dan wawancara dengan masyarakat mengatakan bahwa dari jumlah bibit yang ditanam sebanyak batang, kurang lebih batang atau 30% mati. Kematian dari tanaman tersebut disebabkan antara lain karena terlambatnya pengiriman bibit, penanaman bibit yang tidak tepat dan cara pemeliharaan pasca tanam yang salah. Hasil penelitian tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu dapat dikaji sebagai berikut : 1). Masyarakat di sekitar DAS Cisadane Hulu belum berperan secara aktif dalam kegiatan RHL. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat merupakan salah satu sebab mereka tidak memiliki keberanian untuk memberikan saran atau usul kepada pemerintah dalam proses kegiatan tersebut, misalnya pengadaan bibit yang diharapkan oleh masyarakat setempat sesuai kecocokan lokasi setempat. 2). Masyarakat yang memiliki lahan sempit tidak ingin untuk ditanami tanaman keras karena hasilnya terlalu lama untuk dapat dirasakan sedangkan pendapatan masyarakat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 3). Peran dari petugas pendamping kurang optimal sehingga tidak dapat meyakinkan masyarakat dalam memberikan pengertian tentang pentingnya konservasi, sehingga masyarakat tidak termotivasi untuk dapat berpartisipasi dan 4). Masyarakat belum dipandang secara penuh sebagai bagian dari integral pengelolaan kebijakan, di mana mereka hanya diperankan dalam kedudukannya sebagai obyek dalam kerangka pengambilan keputusan. Hasil penelitian ini masih memerlukan suatu penelitian lebih lanjut lagi, di mana meningkatkan pendapatan adalah sala satu faktor utama dari beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam suatu program apabila dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Salah satu cara yang telah dilakukan dan mendapatkan respon yang baik dari masyarakat

70 53 adalah dengan cara kontribusi biaya (cost sharing) yaitu pembayaran jasa lingkungan atau PES (Payment for Environmental Services) antara hulu dan hilir. Pembayaran jasa lingkungan atau PES adalah pemberian imbal jasa berupa pembayaran finansial dan non finansial kepada pengelola lahan atas jasa lingkungan yang dihasilkan. Sistem pembayaran jasa lingkungan adalah mekanisme pembayaran finansial dan non finansial dituangkan dalam kontrak hukum yang berlaku meliputi aspek-aspek legal, teknis maupun operasional. Komponen sistem pembayarn jasa lingkungan adalah: 1) jasa lingkungan yang dapat diukur; 2) penyedia; 3) pemanfaat dan 4) tata cara pembayaran. Tujuan dari pembayaran finansial dan non finansial jasa lingkungan adalah sebagai alternatif sistem produksi dan pengelolaan lahan yang lebih ramah lingkungan, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan, sebagai upaya perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi dan sosial yang lestari. Saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dari timber oriented (orientasi kayu) menjadi pemanfaatan hutan yang berbasis sumber daya hutan membuka peluang bagi pemanfaatan jasa lingkungan hutan yang selama ini masih terabaikan. Nugroho (2007), menyebutkan dari suatu hasil penelitian, nilai ekonomi hasil hutan kayu hanya 5 % dari nilai ekonomi total kawasan hutan dan 95 % adalah nilai ekonomi dari hasil hutan non kayu termasuk nilai ekonomi jasa lingkungan hutan. Jadi jasa lingkungan harus segera ditangani secara komprehensip, terencana dan terpadu untuk kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Kondisi hulu umumnya kritis akibat perubahan pola penggunaan lahan, penggundulan hutan dan pembukaan lahan untuk pertanian dan pemukiman. Akibatnya, fungsi hutan yang sejak awal berfungsi sebagai penyimpan air telah berubah, hutan tidak dapat lagi sebagai media penyimpan air pada musim hujan, karena air hujan umumnya berubah menjadi aliran permukaan dan kurang terserap dalam tanah. Akibatnya jumlah dan kontiniutas air yang diperlukan setiap saat berubah-ubah. Fenomena yang dapat dilihat saat ini adalah saat musim hujan volume air yang mengalir lewat sungai-sungai sangat besar, sedangkan pada saat musim kering, sungai-sungai yang mengalir makin kecil dan pada saat tertentu akan mati atau kekeringan. Masyarakat di hulu selalu dibatasi oleh berbagai hal yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitas lingkungan, terutama yang berkaitan dengan pelestarian tata air

71 54 untuk tetap terjaga kuantitas, kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air baku untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat di hilir. Pengetahuan masyarakat hulu yang terbatas tentang pemanfaatan lahan dan penguasaan lahan serta pola budidaya pertanian yang dikembangkan secara tradisional telah mengakibatkan sebagian besar masyarakat di hulu terjebak dalam perangkap kemiskinan (poverty trap). Pada akhirnya mendorong masyarakat untuk melakukan aktivitas yang berdampak pada turunnya kuantitas dan kualitas lingkungan pada DAS. Bagian hilir adalah bagian yang paling banyak memanfaatkan jasa dari hulu, jasa yang paling besar dimanfaatkan adalah jasa air yang digunakan dalam kehidupan seharihari dan yang mengalir melalui sungai-sungai. Sungai dimanfaatkan sebagai sumber air minum, kehidupan sehari-hari, pertanian, pengairan, trasportasi dan penggerak beberapa industri-industri baik skala kecil maupun skala besar. Untuk beberapa industri seperti PLTA dan PDAM serta pabrik air kemasan, keberlangsungan pergerakan industri ini sangat tergantung pada jumlah air yang tersedia, karena sangat membutuhkan air sebagai bahan utama dalam proses produksinya. Apabila jumlah air yang mengalir makin kecil, maka industri-industri ini tidak akan dapat berproduksi. Secara alamiah air pada semua badan air yang ada di DAS akan mengalir dari arah hulu menuju ke hilir, sehingga setiap aktivitas yang berinteraksi dengan air dan tanah di daerah hulu akan memberikan dampak pada daerah hilir. Sebagai contoh, penebangan hutan secara liar yang tidak terkendali di hulu suatu DAS akan memberikan dampak pada daerah hilir, antara lain meningkatnya permasalahan banjir dan tanah longsor pada musim hujan. Cara pengolahan tanah yang tidak menerapkan aspek konservasi di daerah hulu juga akan memberikan dampak pada daerah hilir. Pihak yang berkepentingan (stakeholders) adalah individu, kelompok atau lembaga yang memiliki kepentingan terhadap DAS. Masing-masing mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda, bahkan kadang-kadang bertentangan satu dengan yang lainnya. Sehingga tidak mengherankan ada kecenderungan DAS dikelola secara terfragmentasi untuk mencapai tujuannya masing-masing. Agar DAS dapat memberikan manfaat kepada banyak pihak diperlukan penguatan pengelolaan DAS secara terpadu. Hubungan hulu hilir pada suatu DAS tidak dapat dipisahkan. Hulu dan hilir adalah dua tempat yang saling berhubungan antara pemberi manfaat dan penikmat pengguna manfaat. Selama ini, hubungan antara hulu dan hilir berjalan sendiri-sendiri

72 55 sehingga ada suatu batas yang membuat pengelolaan DAS tidak berkembang, yaitu masyarakat di hulu beraktivitas untuk memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada disekitarnya yang menyebabkan fungsi tata air terganggu. Sebaliknya, masyarakat di hilir akan beraktivitas dengan kegiatannya tanpa menyadari bahwa kegiatan yang dilakukannya itu berasal dari hulu seperti ketersediaan air. Jika kondisi ini terjadi, maka sudah seharusnya masyarakat di hilir menyadari bahwa masyarakat di hulu memiliki peranan penting dalam pengelolaan wilayah di kawasan hulu DAS untuk menjamin keberlangsungan ketersediaan air. Untuk itu perlu konsep pembayaran jasa lingkungan dari hilir ke hulu. Konsep ini didasari dari adanya kompensasi yang diserahkan pihak hilir ke hulu sebagai penyedia jasa lingkungan, dan pihak di hulu memanfaatkan jasa ini untuk menjaga kelestarian hutan dan lahan di hulu sehingga DAS dapat berfungsi sebagai sumber air yang sangat dibutuhkan di hilir. Menurut Nugroho (2007), kebijakan dan dasar hukum pembiayaan jasa lingkungan hutan umumnya mengarah kepada suatu mekanisme transaksi pembayaran untuk upaya konservasi alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang melakukan upaya konservasi, sedangkan kunci pembiayaan jasa lingkungan hutan adalah adanya proses partisipasi antar pelaku, transparansi pembayaran, kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang melakukan transaksi dan dilakukan oleh lembaga pengelola jasa lingkungan yang menghubungkan antara kedua belah pihak. Mekanisme pembangunan dengan pola pembayaran jasa lingkungan sangat baik untuk dikembangkan, tetapi yang menjadi kunci utama adalah adanya kesadaran para pihak yang paling banyak menggunakan jasa lingkungan untuk berperan dalam pembayaran jasa yang disediakan oleh masyarakat (seller). Contoh kasus hulu hilir dengan metode pembayaran jasa lingkungan sudah dilaksanakan di Indonesia, contoh kasus DAS Cidanau di Cilegon dan DAS Way Besay di Lampung.

73 Contoh Kasus 1. Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau di Cilegon Sektor industri merupakan salah satu sektor yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap DAS. Salah satunya adalah PT Krakatau Tirta Industri (PT KTI) yang sangat tergantung pada ekosistem DAS Cidanau karena berkaitan dengan sumberdaya air untuk menghidupi kegiatan industri. PT KTI adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang industri air bersih khususnya air industri dan air minum. Pergerakan PT KTI ini sangat tergantung dengan jumlah dan kualitas air yang diperoleh dari hulu pada DAS Cidanau. Sebagian besar daerah tangkapan DAS Cidanau merupakan milik warga yang sangat sulit untuk mengawasinya. Pola pemanfaatan lahan inilah yang menyebabkan menurunnya fungsi resapan air dan mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan. Kondisi ini masih jauh di atas proyeksi kebutuhan air kawasan industri Cilegon sampai dengan tahun Perubahan debit air DAS Cidanau tetap harus diwaspadai apalagi jumlah lahan kritis dibeberapa lokasi di DAS Cidanau setiap tahun cenderung meningkat (Fauzi, 2005). Proses pembangunan dan pengembangan model hubungan hulu hilir di DAS Cidanau melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan, dimulai sejak sosialisasi tentang pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services) oleh berbagai lembaga-lembaga seperti Lembaga Swadaya Masyarakat. Dibangun dan dikembangkannya hubungan hulu hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, diharapkan memberikan harapan dan aksesibilitas kepada masyarakat di hulu untuk meningkatkan kemampuan ekonomi mereka. Hal tersebut menjadi mungkin untuk dicapai, apabila seluruh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS Cidanau menyadari arti penting DAS Cidanau dalam mendukung proses pembangunan di hilir dengan pusat kegiatan pembangunan di wilayah Kota Cilegon. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan oleh pembeli (buyer) dari penjual jasa (seller) tidak mengakibatkan peningkatan harga dari produk yang dihasilkan, karena kegiatan ini bersifat kerelaan (voluntary). 56 Contoh Kasus 2 Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Way Besay di Lampung Sumber Jaya di DAS Way Besay merupakan daerah hulu DAS Tulang Bawang di Kabupaten Lampung Barat Propinsi Lampung, wilayah ini sekitar 40% merupakan hutan lindung, 14 % taman Nasional dan 56% adalah penggunaan lain dan merupakan daerah yang konflik baik konflik lahan maupun konflik sosial. Hasil penelitian ICRAF menemukan adanya suatu peningkatan jasa lingkungan yang dihasilkan dari hutan lindung yang terdegradasi dan mengalami deforestasi pada praktik-praktik pengelolaan budi daya kopi multistrata. Konflik di antara petani kopi dengan pemerintah mulai mereda ketika beberapa LSM (Watala dan ICRAF) dan mahasiswa menjadi fasilitator terhadap permasalahan tersebut. Tahun 2002 terjadi kesepakatan, masyarakat diperbolehkan mengusahakan kebun kopinya di lahan negara dengan suatu persyaratan di bawah program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Program ini memberikan hak kepada petani untuk mengusahakan kebun kopinya di dalam hutan, memanfaatkan dan mengelola lahan tanpa hak memilikinya dengan beberapa persyaratan dengan tujuan untuk mempertemukan dua kepentingan yaitu kepentingan pemerintah sebagai penerima jasa lingkungan (fungsi perlindungan hutan) dan kepentingan petani (menyangkut keberlangsungan kehidupan petani) sebagai penyedia jasa. Pemberian hak kelola atas lahan diberikan kepada petani dalam wadah kelompok. Prinsip pembayaran adalah kelompok petani yang sudah mengelola lahan di dalam kawasan hutan (dalam kondisi yang open acces) bisa menyediakan jasa-jasa lingkungan sesuai dengan kesepakatan, maka petani tersebut akan mendapatkan hak kelola atas lahan dalam kurun waktu tertentu sesuai kesepakatan. Pemberian hak kelola atas lahan mendapatkan respon yang baik dari masyarakat. Tahun 2006 tercatat 18 kelompok petani mendapat hak kelola seluas 11,633 Ha, yaitu sekitar 70% hak kelola berada di hutan lindung (Huang dan Upadhyaya, 2007). Tahun 2007, 5 kelompok mendapat hak kelola selama 35 tahun (2 dari sumber Jaya) dan 26 kelompok mendapat hak kelola sementara selama 5 tahun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang tergabung dalam kelompok HKm telah berhasil meningkatkan nilai jasa lingkungan dengan mengkonservasi hutan di bawah program HKm.

74 57 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Tingkat partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan dan tahapan evaluasi dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu tergolong rendah dan masuk ke dalam tingkatan non participation. Sedangkan untuk tahapan pelaksanaan tingkat partisipasi masyarakatnya tergolong sedang (tokenism). 2. Faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL di DAS Cisadane Hulu adalah umur, tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, persepsi, intensitas sosialisasi program (penyuluhan), ketersediaan sarana dan peran kelembagaan sosial. 3. Peran Pemerintah sangat penting dalam penyusunan suatu kebijakan, di mana faktor yang mendukung adalah tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, peran pendamping dan ketersediaan sarana. Alternatif prioritas kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat adalah dengan meningkatkan kemampuan anggota masyarakat melalui sarana tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, peran pendamping dan ketersediaan sarana. Saran 1. Untuk pengembangan program RHL di masa yang akan datang, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme pembayaran jasa lingkungan atau PES (Payment for Environmental Services) oleh berbagai lembaga seperti LSM, sehingga permasalahan partisipasi masyarakat yang dapat menghambat keberhasilan program RHL dapat diantisipasi. 2. Mengingat adanya keterbatasan kemampuan pemerintah, maka sebaiknya ada upaya pemerintah untuk mengajak sektor swasta (dunia usaha) yang bergerak di bidang kehutanan untuk ikut terlibat secara aktif dalam kegiatan RHL serta memberikan dukungan sarana sebagai rasa tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responbility) terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.

75 58 DAFTAR PUSTAKA Adi I.R Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi. Edisi Revisi. Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Adisasmita R Membangun Desa Partisipatif. Cetakan Pertama. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta. Agus F. dan Widianto Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. Diterbitkan oleh World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia. Bogor. Ahsoni MA Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan di Sub DAS Cisadane Hulu. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Ansar M Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air ( Studi Kasus DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah) [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua. Bogor : IPB Press. Arenstein S.R A ladder of Citizen Participation. JAIP, 35 [4] : Asdak C Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Cetakan Ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. [BPDAS Citarum Ciliwung] Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Cisadane. Bogor: BPDAS Citarum Ciliwung. [BPDAS Citarum Ciliwung] Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung Laporan Akhir. Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah JABODETABEKJUR. Bogor: BPDAS Citarum Ciliwung. [BPS] Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor Dalam Angka Bogor Regency in figures Bogor. Cohen JM. Uphoff Rural Development Participation. New York. Itacha. Daniel M. Darmawati dan Nieldalina PRA (Participatory Rural Appraisal) Pendekatan Efektif Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif dalam Upaya Percepatan Pembangunan Pertanian. Cetakan Pertama. Penerbit PT Bumi Aksara. Jakarta. [Dephut]. Departemen Kehutanan Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (Dirjen RRL), Jakarta: Dirjen RRL Dephut. [Dephut]. Departemen Kehutanan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun Jakarta: Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. [Dephut]. Departemen Kehutanan Rencana dan Realisasi Kegiatan GN-RHL Tahun Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta.

76 [Dephut]. Departemen Kehutanan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.22/Menhut-V/2007 tentang Pedoman Teknis Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Jakarta. [Dephut]. Departemen Kehutanan Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia. Amanah Instruksi Presiden No.5 Tahn 2008 Tentang Fokus Program Ekonomi Tahun Jakarta. Fauzi A Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Kasus di Kecamatan Kabupaten Purbalingga Propinsi Jawa Tengah). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Fauzi. Aunul Strategi Pengembangan Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia. Laporan Lokakarya Nasional Pembayaran dan lmbal Jasa Lingkungan, Februari Penerbit : World Agropforestry Centre (ICRAF). Jakarta. Gautama I Dinamika Partisipasi Masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Studi Kasus DAS Bila Walanae Hulu Danau Tempe. Jurnal Sains & Teknologi 6 (3): Gerung TSL Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kecamatan Likupang. Kabupaten Minahasa. Propinsi Sulawesi Utara. [Tesis] Program Pascasarjana IPB. Bogor. Huang dan Upadhyaya, Watershed-based Payment for Environmental Services in Asia. Working Paper No Indahwati DR. Evi L. Haryanti N. dan Yuliantono D Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT). Balai Penelitian Kehutanan Solo. Departemen Kehutanan.Jurnal Pengelolaan DAS, IX [1]: Jalal Payments for Environmental Services: Apa dan bagaimana? Peran Pemerintah dan Perusahaan. Disampaikan dalam Diskusi mengenai PES di Berastagi SUMUT Tanggal 5 Juni Kartodihardjo H Bahan Kuliah Kelembagaan Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) (Konsep dan Analisis Kebijakan). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 18 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. html (22 Desember 2009). Manan S Evaluasi Hasil Kegiatan Program PHTA Pelita II dan Proyeksi Pelita III; Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Mardikanto T Komunikasi Pembangunan Sebelas Maret University Press. Surakarta. Marimin Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Muis Pembangunan Partisipasi Masyarakat dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan lahan (GNRHL). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Mubyarto Strategi Pembangunan Oedesaan: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. 59

77 Nawawi H Metode Penelitian Bidang Sosial. Cetakan kesebelas. Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Nawir AA. Muniarti. Rumboko Rehabilitasi Hutan Indonesia: Akan Kemanakah Arahnya Setelah Lebih dari Tiga Dasawarsa?. [22 Juli 2008] Nugroho H Kebijakan Departemen Kehutanan Dalam Pelaksanaan Pembiayaan Jasa Lingkungan Hutan Di Indonesia. Makalah. Disampaikan dalam Lokakarya dan pelatihan Pengelolaan Jasa Lingkungan. Balikpapan. Patrono S Hektar Lahan Gagal Ditanami Proyek GN-RHL. (Dalam Laporan Wartawan Kompas Syaifullah). KOMPAS. [cyber media]. htm [22 Nofember 2006]. Pudjianto K Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan, Lahan dan Konservai Sumberdaya Air di Sub DAS Keduang, Daerah Hulu DAS Bengawan Solo. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Priyono CNS. dan Cahyono Status dan Strategi Pengembangan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Masa Depan di Indonesia. Alami 8: 1-5. Jakarta. Pujo Partisipasi Masyarakat pada Program Kehutanan Sosial di Perum Perhutani Unit III jawa Barat. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB : LSI IPB. Bogor Puspaningsih N Studi Perencanaan Pengelolaan Penggunaan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu Kabupaten Bogor. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Saaty T.L and Vargas L.G The Analytic Hierarchy Process Series VII. RWS Publication Ellsworth Avenue Pittsburgh. PA USA Safei Kajian Partisipasi Masyrakat terhadap Pelestarian Hutan Mangrove: Studi Kasus Desa Marobo Kecamatan Bone dan Desa Abulu-bulu Kecamatan Parigi Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Singarimbun M. dan Effendi S Metode Penelitian Survai. Cetakan Kedua. PT. Pustaka LP3ES. Jakarta. Sinukaban N Bahan Kuliah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Program Studi Pengelolaan DAS. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Slamet M Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Slamet M Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press. Bogor. Soemarwoto O Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Cetakan kesepuluh. Djambatan. Jakarta. Suharjito D. Sundawati L. Suyanto dan Utami S.R Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry. Bahan Ajar Agroforestry. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF): 5. Bogor. Suhendang E Kemelut Dalam Pengurusan Hutan: Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 60

78 Sunartana Partisipasi Angota Dalam Kelompok Pengelolaan dan Pelestarian Hutan (KPPH). (Kasus di kawasan Hutan Lindung Register 19 Gunung Betung Lampung). [Tesis]. Program Pascasarjanan IPB. Bogor. Suyanto Imbalan Jasa Lingkungan untuk Pengentasan Kemiskinan. World Agroforestry Center.Bogor. Soetrisno Menuju Masyarakat Partisipatif. PT Kanisius. Yogyakarta. Tjokroamidjojo Pengantar Pembangunan dalam Pembangunan Pedesaan. Pustaka Press. Jakarta. Trison S Pengembangan Partisipai Masyarakat dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan. [Tesis]. Program Pascasarjanan IPB. Bogor. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidip. Jakarta Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta. [WALHI]. Wahana Lingkungan Hidup Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) Butuh Perencanaan yang Matang dan Partisipatif serta Pengawasan Aktif Masyarakat: html [12 Desember 2009]. Winarto, H Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestry (Kasus kegiatan Agroforestry di Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta). [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. 61

79 LAMPIRAN 62

80 Lampiran 1 Peta administrasi DAS Cisadane Hulu

81 Lampiran 2 Daftar variabel, indikator, parameter pengukuran dan kategori No. Variabel Sub Variabel Indikator Parameter 1. Partisipasi Masyarakat (Y) Perencanaan kegiatan RHL (Y1) Identifikasi masalah Penentuan lokasi tanam Penentuan luas lahan Penentuan jenis bibit tanaman Penentuan bangunan sipil teknis Pembentukan kelompok tani Penentuan dana pengukuran Tidak terlibat Kurang terlibat Cukup terlibat Selalu terlibat Banyak terlibat Kategori Rendah Sedang Tinggi Pelakanaan kegiatan RHL (Y2) Identifikasi masalah Pemeriksaan bibit tanaman Pembuatan bangunan sipil teknis Penanaman, Penyiangan, Pendangiran, Penyulaman, Pemeliharaan Penyiapan sarana Pertemuan kelompok tani Penyediaan dana Tidak terlibat Kurang terlibat Cukup terlibat Selalu terlibat Banyak terlibat Rendah Sedang Tinggi Evaluasi kegiatan RHL (Y3) Penilaian dan pemantauan tanaman Pemantauan perkembangan tanaman Pemberian informasi kepada petugas Tidak terlibat Kurang terlibat Cukup terlibat Selalu terlibat Banyak terlibat Rendah Sedang Tinggi 2. Faktor Internal (X1) Umur (X1.1) Umur responden < 15 tahun tahun > 65 tahun Rendah Sedang Tinggi Tingkat pendidikan (X1.2) Tidak sekolah atau tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA, Akademi atau Perguruan Tinggi Nilai 1 Nilai 2 Nilai 3 Rendah Sedang Tinggi Luas (X1.3) lahan Kepemilikan responden lahan < 0,3 ha 0,3-1 ha > 1 ha Rendah Sedang Tinggi Tingkat pendapatan (X1.4) Penghasilan responden per bulan < Rp Rp Rp > Rp Rendah Sedang Tinggi

82 65 Lampiran 2 Lanjutan No. Variabel Sub Variabel Indikator Parameter pengukuran Kategori Pekerjaan sampingan (X1.5) Pekerjaan tambahan responden Tdk ada (Nilai 0) Ada 1 (Nilai 1) Ada 2 (Nilai 2) Rendah Sedang Tinggi Persepsi (X1.6) Mengetahui tujuan program RHL Mengetahui manfat program RHL Mengetahui pelaksanaan program RHL Nilai < 3 Nilai 3-4 Nilai > 4 Rendah Sedang Tinggi 3. Faktor Eksternal (X2) Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) (X2.1) Frekuensi sosialisasi tahap perencanaan Frekuensi sosialisasi tahap pelaksanaan Frekuensi sosialisasi tahap evaluasi Nilai < 3 Nilai 3-5 Nilai > 5 Rendah Sedang Tinggi Peran pendamping (X2.2) Frekuensi kunjungan petugas pendamping Keterlibatan petugas pendamping Aktivitas petugas pendamping Nilai < 3 Nilai 3-5 Nilai > 5 Rendah Sedang Tinggi Ketersediaan sarana (X2.3) Bibit tanaman dan pupuk Alat kerja dan tenaga kerja Bahan/material Dana Nilai < 3 Nilai 3-5 Nilai > 5 Rendah Sedang Tinggi Peran kelembagaan sosial (X2.4) Koordinasi dan pemberian informasi Pemeliharaan pasca tanam Pendistribusian bibit tanaman Nilai < 3 Nilai 3-5 Nilai > 5 Rendah Sedang Tinggi

83 66 Lampiran 3 Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y1) No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y SD 2, SMA 2, SMA 3, SMA 3, SMA 3, SD 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMA 1, SMP 0, SD 0, SMA 0, SMA 0, SMA 0, SD 0, SMA 1, SMA 1, SMP 2, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SD 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SD 0, SMP 0, SMA 0, SD 0, SD 0, SMP 0,

84 67 Lampiran 3 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y SMP 0, SD 0, SMP 2, SMA 2, SMP 2, SMP 2, SMA 3, SMA 3, SMA 0, SD 3, SMP 3, SMP 2, SMP 3, SMA 3, SMA 2, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SMA 1, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SD 0, SD 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SD 0, SD 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0,

85 68 Lampiran 3 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y SD 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SD 0, SMP 0, SMP 0, SD 1, SD 0, Keterangan : X1.1 = Umur X2.1 = Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) X1.2 = Tingkat Pendidikan X2.2 = Peran pendamping X1.3 = Luas lahan X2.3 = Ketersediaan sarana X1.4 = Tingkat Pendapatan X2.4 = Peran kelembagaan sosial X1.5 = Pekerjaan sampingan Y1 = Partisipasi masyarakat pada tahapan Perencanaan X1.6 = Persepsi

86 69 Lampiran 4 Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y2) No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y SD 2, SMA 2, SMA 3, SMA 3, SMA 3, SD 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMA 1, SMP 0, SD 0, SMA 0, SMA 0, SMA 0, SD 0, SMA 1, SMA 1, SMP 2, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SD 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SD 0, SMP 0, SMA 0, SD 0, SD 0, SMP 0,

87 70 Lampiran 4 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y SMP 0, SD 0, SMP 2, SMA 2, SMP 2, SMP 2, SMA 3, SMA 3, SMA 0, SD 3, SMP 3, SMP 2, SMP 3, SMA 3, SMA 2, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SMA 1, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SD 0, SD 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SD 0, SD 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0,

88 71 Lampiran 4 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y SD 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SD 0, SMP 0, SMP 0, SD 1, SD 0, Keterangan : X1.1 = Umur X2.1 = Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) X1.2 = Tingkat Pendidikan X2.2 = Peran pendamping X1.3 = Luas lahan X2.3 = Ketersediaan sarana X1.4 = Tingkat Pendapatan X2.4 = Peran kelembagaan sosial X1.5 = Pekerjaan sampingan Y2 = Partisipasi masyarakat pada tahapan Pelaksanaan X1.6 = Persepsi

89 72 Lampiran 5 Daftar responden, nilai variabel bebas (X1.1 s.d. X2.4) dan variabel terikat (Y3) No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y SD 2, SMA 2, SMA 3, SMA 3, SMA 3, SD 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMA 1, SMP 0, SD 0, SMA 0, SMA 0, SMA 0, SD 0, SMA 1, SMA 1, SMP 2, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SD 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SD 0, SMP 0, SMA 0, SD 0, SD 0, SMP 0,

90 73 Lampiran 5 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y SMP 0, SD 0, SMP 2, SMA 2, SMP 2, SMP 2, SMA 3, SMA 3, SMA 0, SD 3, SMP 3, SMP 2, SMP 3, SMA 3, SMA 2, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SMA 1, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SD 0, SD 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SMP 0, SD 0, SD 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0,

91 74 Lampiran 5 Lanjutan No X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y SD 0, SMP 0, SMP 0, SMP 0, SMA 0, SMP 0, SD 0, SMP 0, SMP 0, SD 1, SD 0, Keterangan : X1.1 = Umur X2.1 = Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) X1.2 = Tingkat Pendidikan X2.2 = Peran pendamping X1.3 = Luas lahan X2.3 = Ketersediaan sarana X1.4 = Tingkat Pendapatan X2.4 = Peran kelembagaan sosial X1.5 = Pekerjaan sampingan Y3 = Partisipasi masyarakat pada tahapan Evaluasi X1.6 = Persepsi

92 Lampiran 6 Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Perencanaan X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y1 Spearman's rho X1.1 Correlation Coefficient (**) -.293(**) (*) (**).151 Sig. (2-tailed) N X1.2 Correlation Coefficient.288(**) (*).742(**) (**).275(**) (*).493(**) Sig. (2-tailed) N X1.3 Correlation Coefficient -.293(**).246(*) (**) (**) Sig. (2-tailed) N X1.4 Correlation Coefficient (**).296(**) (**).240(*) (**) Sig. (2-tailed) N X1.5 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N X1.6 Correlation Coefficient.216(*).445(**) (**) (**) Sig. (2-tailed) N

93 76 Lampiran 6 Lanjutan X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y1 X2.1 Correlation Coefficient (**) (*) (*).231(*) Sig. (2-tailed) N X2.2 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N X2.3 Correlation Coefficient (**) Sig. (2-tailed) N X2.4 Correlation Coefficient.314(**).247(*) (*) (**) Sig. (2-tailed) Y1 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). N Correlation Coefficient (**).371(**).402(**) (**).231(*) (**).298(**) Sig. (2-tailed) N

94 77 Lampiran 7 Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Pelaksanaan X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y2 Spearman's rho X1.1 Correlation Coefficient (**) -.293(**) (*) (**).322(**) Sig. (2-tailed) N X1.2 Correlation Coefficient.288(**) (*).742(**) (**).275(**) (*).397(**) Sig. (2-tailed) N X1.3 Correlation Coefficient -.293(**).246(*) (**) Sig. (2-tailed) N X1.4 Correlation Coefficient (**).296(**) (**).240(*) (**) Sig. (2-tailed) N X1.5 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N X1.6 Correlation Coefficient.216(*).445(**) (**) (*) Sig. (2-tailed) N

95 78 Lampiran 7 Lanjutan X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y2 X2.1 Correlation Coefficient (**) (*) (*).268(*) Sig. (2-tailed) N X2.2 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N X2.3 Correlation Coefficient (**) Sig. (2-tailed) N X2.4 Correlation Coefficient.314(**).247(*) (*) (**) Sig. (2-tailed) Y2 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). N Correlation Coefficient.322(**).397(**) (**) (*).268(*) (**).379(**) Sig. (2-tailed) N

96 79 Lampiran 8 Koefisien korelasi partisipasi masyarakat tahapan Evaluasi X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y3 Spearman's rho X1.1 Correlation Coefficient (**) -.293(**) (*) (**).015 Sig. (2-tailed) N X1.2 Correlation Coefficient.288(**) (*).742(**) (**).275(**) (*) Sig. (2-tailed) N X1.3 Correlation Coefficient -.293(**).246(*) (**) Sig. (2-tailed) N X1.4 Correlation Coefficient (**).296(**) (**).240(*) Sig. (2-tailed) N X1.5 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N X1.6 Correlation Coefficient.216(*).445(**) (**) Sig. (2-tailed) N

97 80 Lampiran 8 Lanjutan X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 Y3 X2.1 Correlation Coefficient (**) (*) (*) -.254(*) Sig. (2-tailed) N X2.2 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N X2.3 Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N X2.4 Correlation Coefficient.314(**).247(*) (*) Sig. (2-tailed) Y3 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). N Correlation Coefficient (*) Sig. (2-tailed) N

98 81 Lampiran 9 Hirarki peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL Peningkatan Partisipasi Masayarakat Masyarakat Pemerintah Umur Tingkat Pendidikan Luas Lahan Tingkat Pendapatan Pekerjaan Sampingan Persepsi Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) Peran pendamping Ketersediaan sarana Peran kelembagaan sosial Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat Meningkatkan dukungan dari pemerintah

99 82 Lampiran 10 Nilai banding berpasangan (pairwise compasrison) Level : Aktor Aktor Pemerintah Masyarakat Pemerintah 1 5 Masyarakat 1/5 1 Level Keterkaitan dengan : Kriteria : Masyarakat Kriteria /7 1/3 1/6 1/6 1/ /5 1 1/3 1/5 1/ / /5 5 1/ / /3 1 Keterangan: 1. Umur 2. Tingkat pendidikan 3. Luas lahan 4. Tingkat pendapatan 5. Pekerjaan sampingan 6. Persepsi Level Keterkaitan dengan : Kriteria : Pemerintah Kriteria / /4 1 1/ /5 1/3 1/6 1 Keterangan: 1. Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) 2. Peran pendamping 3. Ketersediaan sarana 4. Peran kelembagaan sosial

100 83 Lampiran 10 Lanjutan Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Umur Alternatif / Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Tingkat pendidikan Alternatif / Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Luas lahan Alternatif / Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Tingkat pendapatan Alternatif / Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Pekerjaan sampingan Alternatif / Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

101 84 Lampiran 10 Lanjutan Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Persepsi Alternatif / Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Intensitas sosialisasi program (penyuluhan) Alternatif / Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Peran pendamping Alternatif / Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Ketersediaan sarana Alternatif / Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat Level : Alternatif Keterkaitan dengan : Peran kelembagaan sosial Alternatif / Meningkatkan dukungan dari pemerintah 2. Meningkatkan kemampuan anggota masyarakat

102 85 Lampiran 11 Foto kegiatan di lokasi penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan hutan dan lahan di Indonesia telah banyak menyebabkan kerusakan lingkungan. Salah satunya adalah kritisnya sejumlah daerah aliran sungai (DAS) yang semakin

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Juni 2010 di DAS

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Juni 2010 di DAS 22 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 200 - Juni 200 di DAS Cisadane Hulu, di lima Kecamatan yaitu Kecamatan Tamansari, Kecamatan Leuwiliang, Kecamatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB. SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG

WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG WALIKOTA BITUNG PROVINSI SULAWESI UTARA PERATURAN DAERAH KOTA BITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU KOTA BITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BITUNG, Menimbang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia akibat degradasi (berkurangnya

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia akibat degradasi (berkurangnya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam (SDA) hayati yang didominasi pepohonan yang mempunyai tiga fungsi, yaitu: a. fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2014 KEMENHUT. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Evaluasi. Monitoring. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa daerah aliran sungai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan ruang ekosistem yang menyediakan berbagai sumberdaya alam baik berupa barang, maupun jasa untuk memenuhi segala kebutuhan

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memprihatinkan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memprihatinkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia semakin memprihatinkan yang terutama dipengaruhi oleh perubahan penutupan lahan/vegetasi dan penggunaan lahan tanpa memperhatikan

Lebih terperinci

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1. No.247, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Penggunaan DAK. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi bidang

Lebih terperinci

PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH)

PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH) PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH) MUH. ANSAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Rehabilitasi Hutan dan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA Rehabilitasi Hutan dan Lahan 11 TINJAUAN PUSTAKA Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan dan lahan, yang ditempatkan pada kerangka daerah aliran sungai (DAS).

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

OTONOMI DAERAH. Terjadi proses desentralisasi

OTONOMI DAERAH. Terjadi proses desentralisasi OTONOMI DAERAH Otda di Indonesia dimulai tahun 1999 yaitu dengan disyahkannya UU No.22 thn 1999 ttg Pemerintah Daerah yang kemudian disempurnakan dengan UU No.32 thn 2004. Terjadi proses desentralisasi

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) berupa : lahan kritis, lahan gundul, erosi pada lereng-lereng

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat TINJAUAN PUSTAKA Partisipasi Masyarakat Partisipasi adalah turut berperan sertanya seseorang atau masyarakat mulai dari perencanaan sampai dengan laporan di dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH, Menimbang : a. bahwa air mempunyai fungsi sosial dalam

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan tropis Indonesia merupakan kekayaan alam yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan terjamin kelestariannya dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung,

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, menyimpan,

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.60/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN

ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN ARAH PENELITIAN MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TAHUN 2012-2021 1 Oleh : Irfan B. Pramono 2 dan Paimin 3 Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa irigasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim menyebabkan musim hujan yang makin pendek dengan intensitas hujan tinggi, sementara musim kemarau makin memanjang. Kondisi ini diperparah oleh perubahan penggunaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 1 Makalah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KTMK 613) Program Pasca Sarjana / S2 - Program Studi Manjemen Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Dosen Pengampu

Lebih terperinci

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU SALINAN BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 39/Menhut-II/2010 TENTANG POLA UMUM, KRITERIA, DAN STANDAR REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 39/Menhut-II/2010 TENTANG POLA UMUM, KRITERIA, DAN STANDAR REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 39/Menhut-II/2010 TENTANG POLA UMUM, KRITERIA, DAN STANDAR REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 48 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012-2032 DISEBARLUASKAN OLEH : SEKRETARIAT DEWAN SUMBER

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

Menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS): Saatnya Bertindak Sekarang

Menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS): Saatnya Bertindak Sekarang Konferensi Pers dan Rumusan Hasil Workshop 21 Juli 2009 Menyelamatkan Daerah Aliran Sungai (DAS): Saatnya Bertindak Sekarang Jakarta. Pada tanggal 21 Juli 2009, Departemen Kehutanan didukung oleh USAID

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Masalah utama dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan lahan pertanian adalah penurunan kualitas lahan dan air. Lahan dan air merupakan sumber daya pertanian yang memiliki peran

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 24 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL), yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003, dalam penerapannya dijumpai berbagai kendala dan hambatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi,

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi

BAB 5 PENUTUP 5.1 Temuan Studi BAB 5 PENUTUP Bab penutup ini akan memaparkan temuan-temuan studi yang selanjutnya akan ditarik kesimpulan dan dijadikan masukan dalam pemberian rekomendasi penataan ruang kawasan lindung dan resapan air

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa Daerah Aliran Sungai merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci