BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Belajar merupakan proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Belajar merupakan proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami"

Transkripsi

1 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Belajar dan Pembelajaran Belajar merupakan proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami konsep-konsep yang dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar, baik individual maupun kelompok, baik mandiri maupun dibimbing. Belajar merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh setiap orang, mulai dari buaian sampai ke liang lahat tidak terkecuali baik pria maupun wanita. Sedangkan pembelajaran merupakan kegiatan belajar mengajar ditinjau dari sudut kegiatan siswa berupa pengalaman belajar siswa (PBS) yaitu kegiatan siswa yang direncanakan guru untuk dialami siswa selama kegiatan belajar-mengajar (Arifin,2000). Sedangkan menurut Gagne (dalam Dahar, 1996), belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Guru merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan memahami berbagai model, metode, dan pendekatan pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan dan pengajaran yang matang. Belajar dan pembelajaran diarahkan untuk membangun kemampuan berpikir dan menguasai materi pelajaran, dimana pengetahuan bersumber dari luar diri, tetapi dikonstruksi dalam diri individu siswa. Pengetahuan

2 11 tidak diperoleh dengan cara diberikan / ditransfer dari guru, tetapi dibentuk dan dikonstruksi oleh siswa sendiri sehingga siswa tersebut mampu mengembangkan intelektualnya (Unsrimiati,2007). Pendekatan pembelajaran dalam pendidikan diciptakan orang berorientasi pada aspek hasil belajar yang diharapkan dapat dimiliki seseorang setelah melaksanakan pembelajaran (Arifin, 2000). Saat ini, telah banyak dikembangkan pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang tidak hanya menekankan pada pengembangan aspek kognitif seperti halnya pendekatan-pendekatan konvensional, tetapi juga mempertimbangkan penekanan pada pengembangan aspek sikap dan aspek keterampilan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang inovatif yaitu pendekatan pembelajaran kontekstual. 2.2 Pembelajaran Kontekstual Pengertian Pembelajaran Kontekstual Depdiknas (2006) menyatakan pengertian pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual sebagai berikut : 1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan / keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan / konteks ke permasalahan / konteks lainnya.

3 12 2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pembelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut. 1. Proses belajar Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang.

4 13 2. Transfer Belajar Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit). Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu. 3. Siswa sebagai Pembelajar Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru. Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting. Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui. Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri. 4. Pentingnya lingkungan Belajar Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Guru akting di depan kelas, siswa menonton, kemudian siswa bekerja dan berkarya, dan guru mengarahkan.

5 14 Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya. Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar. Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.(depdiknas,2006) Ciri Pembelajaran Kontekstual Depdiknas (2006) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri pembelajaran kontekstual, diantaranya : 1. Belajar berbasis masalah (problem based learning), yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah faktual sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis dan terampil dalam pemecahan masalah, sehingga mereka memperoleh pengetahuan dan konsep-konsep yang esensial dari materi pembelajaran. 2. Pengajaran otentik (authentic instruction), yaitu pendekatan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk mempelajari konteks bermakna terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi.

6 15 3. Belajar berbasis inkuiri (inquiry based-learning), yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran menggunakan strategi pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna. 4. Belajar berbasis proyek / tugas terstruktur (project based-learning), yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran yang komprehensif. Lingkungan belajar siswa dirancang agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah otentik, termasuk pendalaman materi dan pelaksanaan tugas bermakna yang lain. 5. Belajar berbasis kerja (work based-learning), yaitu belajar dengan pendekatan yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pembelajaran, serta menerapkan kembali materi pembelajaran tersebut di dalam tempat kerja tersebut. 6. Belajar jasa-layanan (service learning), yaitu belajar yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan struktur berbasis sekolah, atau menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan dan pembelajaran akademis. Penerapan pendekatan ini akan menuntun terjadinya penerapan praktis dari pengetahuan baru dan keterampilan siswa untuk memenuhi kebutuhan di dalam masyarakat melalui tugas terstruktur dan kegiatan lain.

7 16 7. Belajar kooperatif (cooperative learning), yaitu belajar dengan pendekatan pengajaran melalui kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar Tahap Pembelajaran Kontekstual Terdapat beberapa tahap dalam pembelajaran kontekstual, yaitu tahap kontak, tahap kuriositi, tahap elaborasi, tahap dekontekstualisasi, dan evaluasi (Nentwig, 2002). a. Tahap Kontak (Contact phase), merupakan tahap dimana dikemukakan suatu wacana, isu atau masalah yang ada di masyarakat atau berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar siswa dan mengaitkannya dengan materi, pokok bahasan, topik atau konsep yang akan dipelajari sehingga siswa menyadari pentingnya memahami materi tersebut. Topik yang dibahas dapat bersumber dari berita, artikel, atau pengalaman siswa sendiri. b. Tahap Kuriositi (Curiosity phase), merupakan tahap dimana siswa diberikan pertanyaan yang dapat membangkitkan kuriositi atau keingintahuan siswa tentang masalah atau fenomena yang terjadi pada masyarakat, sesuai dengan pokok bahasan, topik, atau konsep yang akan dibahas. c. Tahap Elaborasi (Elaboration phase). Pada tahap ini dilakukan eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep sampai pertanyaan pada tahap kuriositi dapat terjawab. Eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya ceramah bermakna,

8 17 diskusi dan kegiatan praktikum, atau gabungan dari ketiganya. Melalui kegiatan inilah berbagai kemampuan siswa akan tergali lebih dalam, baik aspek pengetahuan, keterampilan proses, maupun nilai dan sikap. d. Tahap Dekontekstualisasi (Nexus phase). Pada tahap ini konsep yang telah dipahami siswa melalui satu konteks, selanjutnya digunakan untuk menganalisis konteks lainnya, artinya masalah yang sama diberikan dalam konteks yang berbeda, dimana diperlukan pengetahuan atau konsep yang sama sebagai solusinya. Tahap ini dilakukan agar pengetahuan yang diperoleh lebih aplikatif dan bermakna di luar konteks pembelajaran. e. Evaluasi (Evaluation). Pada tahap ini dilakukan evaluasi pembelajaran secara keseluruhan yang berguna untuk menilai mengukur berbagai aspek, mulai dari hasil belajar siswa sampai pada keberhasilan pembelajaran itu sendiri Komponen Pendekatan Kontekstual Depdiknas (2006) mengemukakan bahwa dalam penerapan pendekatan kontekstual terdapat tujuh komponen utama yang harus dilakukan secara sungguhsungguh. Komponen yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Konstruktivisme Dalam pembelajaran kontekstual siswa membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal. Pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan.

9 18 2. Inquiry Dalam pembelajaran kontekstual terjadi proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman. Siswa juga belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis. 3. Questioning (Bertanya) Merupakan kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. 4. Learning Comunity (Masyarakat belajar) Dalam pembelajaran kontekstual, sekelompok orang terikat dalam kegiatan belajar untuk bertukar pengalaman, berbagi ide, dan melatih bekerjasama dengan orang lain. Karena bekerjasama dengan orang lain dalam kelompok akan lebih baik daripada belajar sendiri. 5. Modeling (Pemodelan) Merupakan proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar. Contoh dalam pembelajaran misalnya siswa mengerjakan apa yang diperintahkan oleh guru, atau siswa melakukan apa yang dicontohkan oleh guru. 6. Reflection (Refleksi) Merupakan cara berpikir tentang apa yang telah dipelajari. Dapat dilihat dari bagaimana siswa mencatat apa yang telah dipelajari, bagaimana siswa membuat jurnal, karya seni, atau bisa dilihat juga melalui diskusi kelompok.

10 19 7. Authentic Assesment (Penilaian yang sebenarnya) Penilaian dilakukan untuk mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa seerti penilaian produk (kinerja), dan penilaian tugas-tugas yang relevan dan kontekstual. 2.3 Metode Praktikum dalam Pembelajaran Kimia IPA, khususnya kimia tumbuh dan berkembang berdasarkan eksperimeneksperimen, sehingga IPA dapat pula dianggap sebagai ilmu eksperimental. Dari eksperimen-eksperimen tersebut lahirlah deskripsi yang berupa konsep-konsep. Mempelajari IPA kurang dapat berhasil bila tidak ditunjang dengan kegiatan laboratorium (praktikum). Pendidikan sains menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung. Karena itu, siswa perlu dibantu untuk mengembangkan sejumlah keterampilan supaya mereka mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar. Pembelajaran ilmu kimia sebagai bagian dari sains, tentulah sangat diperlukan adanya praktikum sebagai bagian dari pembelajaran kimia. Kegiatan praktikum merupakan kegiatan penunjang proses belajar untuk menemukan prinsip tertentu atau menjelaskan tentang prinsip-prinsip yang dikembangkan. Selain itu kegiatan praktikum juga dapat dipakai untuk mengembangkan keterampilan proses, mengembangkan minat belajar serta memberikan bukti-bukti bagi kebenaran teori. Dalam bahasa ilmu kependidikan dapat

11 20 dikatakan bahwa kegiatan praktikum menjadi wahana pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sekaligus. Menurut Arifin (2000), keuntungan penggunaan metode praktikum dalam pembelajaran diantaranya : 1. Untuk guru : a. Memberikan gambaran yang konkrit tentang suatu peristiwa. b. Membantu pencapaian tujuan pembelajaran secara lebih efektif dan efisien. 2. Untuk siswa : a. Membantu dalam mengamati proses. b. Membantu mengembangkan keterampilan inkuiri. c. Membantu dalam mengembangkan sikap ilmiah. Selain itu, menurut Rustaman (dalam Noviantika, 2005) ada empat alasan mengapa praktikum menjadi penting, diantaranya : 1. Praktikum membangkitkan motivasi dalam mempelajari IPA. Motivasi merupakan suatu hal yang penting dalam belajar, yang dapat mendorong siswa untuk belajar lebih mendalam. Dengan demikian praktikum dapat mendorong rasa ingin tahu siswa. 2. Praktikum mengembangkan keterampilan dasar melakukan eksperimen. 3. Praktikum menjadi wahana belajar pendekatan ilmiah. 4. Praktikun menunjang materi pelajaran. Praktikum memberi kesempatan pada siswa untuk membuktikan teori, menemukan teori sehingga pemahaman siswa terhadap materi pelajaran akan lebih mendalam.

12 21 Namun, pada kenyataannya terdapat kendala-kendala yang dihadapi berkaitan dengan peranan praktikum. Ali (dalam Noviantika, 2005) mengemukakan beberapa kelemahan dalam kegiatan praktikum, antara lain : a) Kurang membedakan berbagai prioritas tujuan, sehingga konsep praktikum, proses, dan keterampilan dicampurkan; b) Pilihan materi untuk praktikum sering agak sembarang; c) ketidakcocokan antara tujuan praktikum dengan cara menganalisa. Berdasarkan penelitian tentang hambatan-hambatan dalam praktikum diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Herawati (dalam Noviantika, 2005). Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa yang menjadi hambatan praktikum bersumber pada kurang jelas dan lengkapnya petunjuk praktikum, siswa kurang menguasai konsep dan teori yang berkaitan dengan praktikum, serta kurangnya referensi yang mendukung dalam memberikan penjelasan berkaitan dengan praktikum. Faktor lain yang mungkin dapat menghambat kegiatan praktikum dapat juga berasal dari kurang memadainya sarana dan prasarana penunjang praktikum (alat dan bahan) serta kesesuaian materi praktikum dengan konsep materi yang diajarkan. Di samping penelitian mengenai hambatan dalam praktikum tersebut, Wern Burgh (dalam Noviantika, 2005) mengemukakan bahwa siswa yang mempunyai nilai rata-rata rendah memberikan respon yang positif terhadap kegiatan praktikum dibanding siswa yang memiliki nilai rata-rata tinggi (pintar). Berdasarkan penelitiannya, hal tersebut dikarenakan siswa yang memiliki prestasi bagus tidak memerlukan praktikum untuk membantu pemahaman konsep. Bagi mereka yang

13 22 memiliki prestasi bagus, pemahaman terhadap suatu konsep dapat diperoleh pada saat proses belajar mengajar di kelas serta dari buku-buku referensi. Sedangkan bagi yang memiliki prestasi cenderung rendah, kegiatan praktikum sangat dibutuhkan untuk menambah pemahaman terhadap suatu konsep. Dalam penelitian Yunita dan Poedjiadi, A (dalam Noviantika, 2005) diungkapkan : Wawancara sekilas yang ditayangkan TVRI tanggal 30 Maret 2001, seorang siswa secara spontan mengatakan bahwa dalam belajar kimia diperlukan adanya praktikum karena dapat memudahkan pemahaman konsep. Dalam wawancara yang sama, Drs. Hiskia Ahmad, seorang pengamat pendidikan berpendapat bahwa kimia adalah eksperimen. Salah besar jika guru mengatakan tidak perlu melakukan eksperimen karena soal-soal UMPTN tidak relevan. Justru dengan praktikum kita ajarkan kemandirian, nalar yang tinggi serta siswa akan terlatih dengan interpretasi data. Selain itu, dengan melakukan praktikum berarti mengikuti prosedur yang akhirnya muncullah sikap disiplin. Berdasarkan hal tersebut, sangatlah jelas bahwa metode praktikum sebagai metode berbasis eksperimen dalam pembelajaran kimia merupakan satu dari banyak metode yang dapat meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kritis siswa. Walaupun pada pelaksanaanya masih terdapat kekurangan. Praktikum yang dilakukan diharapkan bukan hanya merupakan kegiatan eksperimental laboratorium saja, melainkan merupakan suatu metode pembelajaran yang tujuan utamanya memantapkan atau melakukan penemuan konsep. Selain untuk membantu pemahaman konsep, penggunaan metode praktikum yang efektif dapat menumbuhkan sikap dan nilai positif dalam diri siswa.

14 Pemahaman Konsep Gagne (dalam Dahar, 1996) mengemukakan bahwa dalam mengajar, guru harus mengetahui tujuan-tujuan yang harus dicapai dalam mengajarkan suatu pokok bahasan, yang berorientasi pada hasil belajar. Untuk itu guru harus merumuskan tujuan instruksional khusus yang didasarkan pada Taksonomi Bloom tentang tujuantujuan perilaku yang meliputi tiga domain, yaitu : 1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. 2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. 3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin. Ranah kognitif merupakan sekelompok perubahan tingkah laku yang dipengaruhi oleh kemampuan berpikir intelektual. Dalam taksonomi yang disusun oleh Bloom dan Krathwol (1964) ranah kognitif dikelompokkan lagi menjadi beberapa jenjang atau kemampuan sebagai berikut: 1. Hafalan (C1), didefinisikan sebagai kemampuan menyatakan kembali fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang telah dipelajarinya.

15 24 2. Pemahaman (C2), didefinisikan sebagai kemampuan menangkap arti dari informasi yang diterima. 3. Penerapan/aplikasi (C3), didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan prinsip, aturan, metode yang telah dikuasainya pada situasi baru atau pada situasi real. 4. Analisis (C4), didefinisikan sebagai kemampuan menguraikan suatu informasi yang dihadapi menjadi komponen-komponennya sehingga struktur informasi serta hubungan antarkomponen informasi tersebut menjadi jelas. 5. Sintesis (C5), didefinisikan sebagai kemampuan mengintegrasikan bagianbagian yang terpisah-pisah menjadi keseluruhan yang terpadu. 6. Evaluasi (C6), didefinisikan sebagai kemampuan mempertimbangkan nilai suatu pernyataan, uraian, pekerjaan, berdasarkan kriteria tertentu yang ditetapkan. Sedangkan menurut Anderson dan Krathwohl (1991), tahap-tahap proses kognitif terdiri atas mengingat, mengerti (paham), meerima, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan pengetahuan baru. Pemahaman, baik menurut Taksonomi Bloom, maupun menurut Anderson ditempatkan pada jenjang kognitif kedua setelah kemampuan mengingat (hafalan). Pemahaman menurut Bloom meliputi tiga aspek, yaitu aspek translasi, aspek interpretasi, dan aspek ekstrapolasi.

16 25 a. Aspek Translasi Aspek translasi merupakan aspek pemahaman terendah. Translasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya menterjemahkan. Pengertian menerjemahkan disini bukan saja pengalihan arti dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain. Dapat juga dari konsepsi abstrak menjadi suatu model, yaitu model simbolik untuk mempermudah orang mempelajarinya (Supriatin, 2006). Aspek pemahaman translasi meliputi : Kemampuan menterjemahkan sesuatu dari bentuk abstrak ke bentuk yang lebih konkrit. Kemampuan untuk menterjemahkan suatu simbol ke dalam bentuk lain seperti menterjemahkan tabel, grafik, dan sebagainya. Kemampuan menterjemahkan bahasa ke dalam bahasa lain. b. Aspek Interpretasi Aspek pemahaman kedua adalah interpretasi atau pemahaman penafsiran, yakni menghubungkan beberapa bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dan bukan pokok (Sudjana, 2005). Kemampuan ini lebih luas daripada translasi. Aspek interpretasi meliputi : Kemampuan membedakan antara kesimpulan-kesimpulan yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan atau bertentangan dari kelompok data. Kemampuan untuk memahami rangkaian suatu pekerjaan secara keseluruhan.

17 26 Kemampuan untuk memahami dan menafsirkan dengan kedalaman dan kejelasan berbagai macam bacaan. c. Aspek Ekstrapolasi Aspek ekstrapolasi merupakan pemahaman tingkat tertinggi. Dengan ekstrapolasi diharapkan seseorang dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat memperluas persepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus ataupun masalahnya (Sudjana, 2005). Aspek ekstrapolasi meliputi : Kemampuan untuk menyimpulkan dan menyatukan lebih eksplisit. Kemampuan untuk memprediksikan konsekuensi dari tindakan yang digambarkan dari sebuah komunikasi. Kemampuan bisa sensitif terhadap faktor yang mungkin membuat prediksi menjadi tidak akurat. Menurut Rosser (dalam Dahar, 1996), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut yang sama. Secara singkat dapat kita katakan, bahwa suatu konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili satu kelas simulus-stimulus. Pemahaman konsep memberi pengertian bahwa konsep-konsep yang diajarkan kepada siswa bukan merupakan bahan hapalan saja, akan tetapi harus betulbetul dipahami sehingga siswa dapat memecahkan masalah-msalah yang dihadapi berdasarkan pada konsep-konsep yang telah dipelajari oleh siswa tersebut.

18 Keterampilan Berpikir Kritis Berpikir pada umumnya didefinisikan sebagai proses mental yang dapat menghasilkan pengetahuan. Dalam proses tersebut terjadi penggabungan antara persepsi dan unsur-unsur yang ada dalam pikiran, kegiatan manipulasi mental karena adanya rangsangan dari luar membentuk suatu pemikiran, penalaran dan keputusan, serta kegiatan memperluas aturan yang diketahui untuk memecahkan masalah. Berpikir sebagai proses mengatasi masalah, persepsi memberikan andil dalam menciptakan hasil yang diharapkan. Kegiatan berpikir yang dilakukan dalam proses, digunakan keterampilan berpikir dasar dan keterampilan berpikir kompleks. Menurut Costa (Dalam Arifin, 2000), yang termasuk keterampilan berpikir dasar meliputi kualifikasi, klasifikasi, hubungan variabel, transformasi dan hubungan sebab akibat. Sedangkan keterampilan berpikir kompleks meliputi problem solving, pengambilan keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif. Dalam pendidikan berpikir kritis didefinisikan sebagai pembentukan kemampuan dalam aspek logika seperti kemampuan memberikan argumentasi, logisme dan penalaran yang proporsional. Karakteristik berpikir kritis ditandai dengan adanya berpikir evaluatif, reflektif, logis, dan sistematis. Berpikir kritis menggunakan dasar proses berpikir untuk menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi, untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, memahami asumsi dan bias yang mendasari tiap-

19 28 tiap posisi, memberikan model presentasi yang dapat dipercaya, ringkas, dan meyakinkan. Berpikir kritis sebagai salah satu proses berpikir tingkat tinggi dapat digunakan dalam pembentukan sistem konseptual IPA bagi peserta didik. Berpikir kritis menekankan aspek pemahaman, analisis, dan evaluasi. Dalam proses pembelajaran pengembangan berpikir kritis lebih melibatkan peserta didik sebagai pemikir daripada seorang yang belajar. Menurut Ennis (dalam Mudianingsih, 2007) ada 12 indikator keterampilan berpikir kritis yang dapat dikelompokkan ke dalam 5 kelompok keterampilan berpikir, yaitu : Memberikan penjelasan sederhana, meliputi : (1) Memfokuskan pertanyaan (2) Menganalisis pertanyaan (3) Bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau tantangan Membangun keterampilan dasar, meliputi : (4) Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak (5) Mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi Menyimpulkan, meliputi : (6) Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi (7) Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi

20 29 (8) Membuat dan menentukan nilai pertimbangan Memberikan penjelasan lanjut, meliputi : (9) Mendefinisikan istilah dan definisi pertimbangan dalam tiga dimensi (10) Mengidentifikasi asumsi Mengatur strategi dan taktik, meliputi : (11) Menentukan tindakan (12) Berinteraksi dengan orang lain 2.6 Tinjauan Materi Larutan Penyangga Definisi Larutan Penyangga Larutan penyangga adalah larutan yang dapat menahan nilai ph tertentu dengan adanya penambahan sedikit asam, sedikit basa serta pengenceran. (Purba, 2006) Komponen Larutan Penyangga Purba (2006) mengemukakan bahwa berdasarkan komponen penyusunnya, larutan penyangga dapat dibedakan atas larutan penyangga asam dan larutan penyangga basa. Larutan penyangga asam dapat mempertahankan ph pada daerah asam (ph < 7), sedangkan larutan penyangga basa dapat mempertahankan ph pada daerah basa (ph > 7). a. Larutan penyangga asam Larutan penyangga asam mengandung suatu asam lemah (HA) dan basa konjugasinya (ion A - ). Larutan seperti itu dapat dibuat dengan berbagai cara,

21 30 misalnya: 1) Mencampurkan asam lemah (HA) dengan garamnya (LA, garam LA menghasilkan ion A - yang merupakan basa konjugasi dari asam HA). 2) Mencampurkan suatu asam lemah dengan suatu basa kuat di mana asam lemah dicampurkan dalam jumlah berlebih. Campuran akan menghasilkan garam yang mengandung basa konjugasi dari asam lemah yang bersangkutan. b. Larutan penyangga basa Larutan penyangga basa mengandung suatu basa lemah dan asam konjugasinya. Larutan penyangga basa dapat dibuat dengan cara yang serupa dengan pembuatan larutan penyangga asam. 1) Mencampurkan suatu basa lemah dengan garamnya. 2) Mencampurkan suatu basa lemah dengan suatu asam kuat di mana basa lemahnya dicampurkan berlebih Cara kerja Larutan Penyangga Telah disebutkan bahwa larutan penyangga mengandung komponen asam dan komponen basa, sehingga dapat mengikat baik ion H + maupun ion OH -. Oleh karena itu, penambahan sedikit asam kuat atau sedikit basa kuat tidak mengubah ph-nya secara signifikan. Cara kerja larutan penyangga dapat dipahami dari dua contoh berikut. a. Larutan Penyangga Asam contoh :

22 31 Larutan penyangga yang mengandung CH 3 COOH dan CH3COO - Dalam larutan tersebut terdapat kesetimbangan : CH 3 COOH(aq) CH 3 COO - (aq) + H + (aq) Pada penambahan asam: Penambahan asam (H + ) akan menggeser kesetimbangan ke kiri. Ion H + yang ditambahkan akan bereaksi dengan ion CH3COO - membentuk molekul CH 3 COOH. CH 3 COO - (aq) + H + (aq) CH 3 COOH(aq) Pada penambahan basa : Jika yang ditambahkan adalah suatu basa, maka ion OH - dari basa itu akan bereaksi dengan ion H + membentuk air. Hal ini akan menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kanan sehingga konsentrasi ion H + dapat dipertahankan. Jadi, penambahan basa menyebabkan berkurangnya komponen asam (dalam hal ini CH 3 COOH), bukannya ion H +. Basa yang ditambahkan itu praktis bereaksi dengan asam CH 3 COOH membentuk ion CH 3 COO - dan air. CH 3 COOH(aq) + OH - (aq) CH 3 COO - (aq) + H 2 O(l) Pada pengenceran: Jika ditambahkan air dalam jumlah tertentu, jumlah ion H + atau OH - tidak berubah sehingga tidak mengubah perbandingan [H + ] dan [OH - ] dalam larutan. Jadi tidak terjadi perubahan ph yang besar.

23 32 b. Larutan Penyanggaa Basa contoh : + Larutan penyangga yang mengandung NH 3 dan NH 4 Dalam larutan tersebut terdapat kesetimbangan : NH 3 (aq) + H 2 O (l) NH + 4 (aq) + OH - (aq) Pada penambahan asam : Jika ke dalam larutan ditambahkan suatu asam, maka ion H + dari asam itu akan mengikat ion OH -. Hal itu menyebabkan kesetimbangan bergeserr ke kanan, sehingga konsentrasi ion OH - dapat dipertahankan. Jadi, penambahan asam menyebabkan berkurangnya komponen basa (dalam hal ini NH 3 ), bukannya ion OH -. Asam yang ditambahkan itu bereaksi dengan basa NH 3 membentuk ion NH + 4. NH 3 (aq) + H + (aq) NH + 4 (aq) Pada penambahan basa : Jika yang ditambahkan adalah suatu basa, maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri, sehingga konsentrasi ion OH - dapat dipertahankan. Basa yang ditambahkan itu

24 33 bereaksi dengan komponen asam (dalam hal ini ion NH 4 + ), membentuk komponen basa (yaitu NH 3 ) dan air. NH 4 + (aq) + OH - (aq) NH 3 (aq) + H 2 O (l) Pada pengenceran: Jika ditambahkan air dalam jumlah tertentu, jumlah ion H + atau OH - tidak berubah sehingga tidak mengubah perbandingan [H + ] dan [OH - ] dalam larutan. Jadi tidak terjadi perubahan ph yang besar. (Purba, 2006) Fungsi Larutan Penyangga Larutan penyangga digunakan secara luas dalam kimia analitis, biokimia, bakteriologi, farmakologi, industri kulit dan zat warna. Dalam tiap bidang tersebut, terutama dalam biokimia dan bakteriologi, diperlukan trayek / rentang ph tertentu yang sempit untuk mencapai hasil optimum. Kerja suatu enzim, tumbuhnya kultur bakteri, dan proses biokimia lainnya sangat sensitif terhadap perubahan ph. a. Fungsi larutan penyangga dalam tubuh manusia Di dalam setiap cairan tubuh terdapat pasangan asam-basa konjugasi yang berfungsi sebagai larutan penyangga. Cairan tubuh, baik sebagai cairan intra

25 34 sel (dalam sel) dan cairan ekstra sel (luar sel) memerlukan sistem penyangga untuk mempertahankan harga ph cairan tersebut. Sistem penyangga ekstra sel yang penting adalah penyangga karbonat (H 2 CO 3 HCO - 3 ) yang berperan - dalam menjaga ph darah dan sistem penyangga fosfat (H 2 PO 4 - HPO 2-4 ) yang berperan dalam menjaga ph cairan intra sel. 1) sistem larutan penyangga dalam cairan intra sel Cairan intra sel merupakan media penting untuk berlangsungnya reaksi metabolisme tubuh yang dapat menghasilkan zat-zat yang bersifat asam atau basa. Adanya zat hasil metabolisme yang berupa asam dapat menurunkan harga ph cairan intra sel, dan sebaliknya bila dihasilkan zat yang bersifat basa dapat menaikkan ph cairan intra sel. Di dalam proses metabolisme tersebut dilibatkan banyak enzim yang bekerja. Enzim akan bekerja dengan baik pada lingkungan ph tertentu. Oleh karena itu, ph cairan intra sel selalu dijaga agar ph nya tetap. Apabila ada satu enzim saja yang bekerja tidak sempurna, maka akan menimbulkan penyakit metabolik. Sistem penyangga fosfat (H 2 PO HPO 4 2- ) merupakan sistem penyangga yang bekerja untuk menjaga ph cairan intra sel. Bila dari proses metabolisme dihasilkan banyak zat yang bersifat asam, maka asam tersebut akan bereaksi dengan ion HPO HPO 4 2- (aq) + H + (aq) H 2 PO 4 - (aq) Bila pada proses metabolisme sel menghasilkan senyawa yang bersifat basa,

26 35 maka ion OH - akan bereaksi dengan ion H 2 PO 4 -. H 2 PO 4 - (aq) + OH - (aq) HPO 4 2- (aq) + H 2 O (l) Dengan demikian perbandingan H 2 PO 4 - dan HPO 4 2- akan selalu tetap dan ini akan menyebabkan ph larutan tetap. 2) sistem larutan penyangga dalam darah Darah mempunyai ph yang relatif tetap sekitar 7,4. Hal ini dikarenakan adanya sistem penyangga (H 2 CO 3 HCO - 3 ). Sistem ini bereaksi dengan asam dan basa sebagai berikut: H 2 CO 3 (aq) + OH - (aq) HCO 3 - (aq) + H + (aq) HCO 3 - (aq) + H 2 O (l) H 2 CO 3 (aq) Perbandingan konsentrasi ion HCO 3 - terhadap H 2 CO 3 yang diperlukan untuk menjadikan ph = 7,4 adalah 20:1. Jumlah ion HCO 3 - relatif lebih banyak karena hasil-hasil metabolisme yang diterima darah lebih banyak yang bersifat asam. Proses metabolisme dalam jaringan terus menerus membebaskan asam-asam seperti asam laktat, asam fosfat, dan asam sulfat. Ketika asam-asam itu memasuki pembuluh darah, maka ion HCO 3 - akan berubah menjadi ion H 2 CO 3, kemudian H 2 CO 3 akan terurai membentuk CO 2. Pernapasan akan meningkat untuk mengeluarkan kelebihan CO 2 melalui paruparu. Apabila darah menerima zat yang bersifat basa, maka H 2 CO 3 akan berubah menjadi ion HCO Untuk mempertahankan perbandingan HCO 3 / H 2 CO 3 tetap 20:1, maka sebagian CO 2 yang terdapat dalam paru-paru akan

27 36 larut ke dalam darah membentuk H 2 CO 3. Apabila mekanisme pengaturan ph dalam tubuh gagal, seperti dapat terjadi selama sakit, sehingga ph darah turun ke bawah 7,0 atau naik ke atas 7,8 dapat terjadi kerusakan permanen pada organ tubuh atau bahkan kematian. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan keadaan asidosis (penurunan ph) adalah penyakit jantung, penyakit ginjal, diabetes melitus, diare yang terus menerus, atau makanan berkadar protein tinggi selama jangka waktu lama. Keadaan asidosis sementara dapat terjadi karena olah raga intensif yang dilakukan terlalu lama. Alkalosis (peningkatan ph darah) dapat terjadi sebagai akibat muntah yang hebat, hiperventilasi (bernafas terlalu berlebihan, kadang-kadang karena cemas, histeris, atau berada di ketinggian). Suatu penelitian yang dilakukan terhadap para pendaki gunung yang mencapai puncak gunung Everest (8.848 m) tanpa oksigen tambahan, menunjukkan ph darah mereka berada diantara 7,7 7,8. Hiperventilasi diperlukan untuk mengatasi tekanan oksigen yang amat rendah (kira-kira 43 mmhg) di tempat setinggi itu. Hiperventilasi akan menurunkan kadar karbondioksida dalam darah sehingga ph darah naik (alkalosis respiratori). Pada orang yang muntah hebat, kadar ion klorida dalam darah akan turun, sehingga ginjal akan menahan keluarnya ion bikarbonat untuk kompensasi, sebagai akibatnya, ph darah naik (alkalosis metabolic / hipokloremik). a. Fungsi larutan penyangga dalam bidang kesehatan Dalam bidang farmasi (obat-obatan), banyak zat aktif yang harus berada

28 37 dalam keadaan ph stabil. Perubahan ph akan menyebabkan khasiat zat aktif tersebut berkurang atau hilang sama sekali. Untuk obat suntik atau obat tetes mata, ph obat-obatan tersebut harus disesuaikan dengan ph cairan tubuh. Obat tetes mata harus memiliki ph yang sesuai dengan ph air mata agar tidak menimbulkan iritasi yang mengakibatkan rasa perih pada mata. Begitu juga obat suntik harus disesuaikan dengan ph darah, agar tidak menimbulkan alkalosis atau asidosis pada darah. b. Fungsi larutan penyangga dalam bidang industri Dalam bidang industri, larutan penyangga digunakan dalam proses fermentasi, karena dalam proses fermentasi terjadi reaksi yang melibatkan enzim. Di dalam minuman kemasan, terdapat sistem penyangga asam sitrat-natrium sitrat. Komponen asam sitrat natrium sitrat ini berfungsi sebagai pengatur keasaman sehingga minuman bisa tetap aman dikonsumsi meski telah disimpan dalam jangka waktu tertentu. (Purba, 2006)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Belajar adalah proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami konsepkonsep

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Belajar adalah proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami konsepkonsep BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Belajar dan Pembelajaran Belajar adalah proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami konsepkonsep yang dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar, baik individual maupun

Lebih terperinci

LARUTAN PENYANGGA (BUFFER)

LARUTAN PENYANGGA (BUFFER) LARUTAN PENYANGGA (BUFFER) Larutan penyangga Larutan penyangga atau larutan buffer adalah larutan yang ph-nya praktis tidak berubah walaupun kepadanya ditambahkan sedikit asam, sedikit basa, atau bila

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. berdasarkan temuan yang diperoleh selama penelitian. Analisis terhadap hasil tes

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. berdasarkan temuan yang diperoleh selama penelitian. Analisis terhadap hasil tes 52 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang hasil pengolahan data penelitian dan pembahasannya berdasarkan temuan yang diperoleh selama penelitian. Analisis terhadap hasil tes siswa

Lebih terperinci

LARUTAN ASAM-BASA DAN LARUTAN PENYANGGA

LARUTAN ASAM-BASA DAN LARUTAN PENYANGGA LARUTAN ASAM-BASA DAN LARUTAN PENYANGGA A. Pengertian Larutan Penyangga Larutan penyangga biasa disebut juga dengan larutan Buffer atau larutan Dapar. Dimana larutan penyangga merupakan larutan yang mampu

Lebih terperinci

Artikel Kimia tentang Peranan Larutan Penyangga

Artikel Kimia tentang Peranan Larutan Penyangga Artikel Kimia tentang Peranan Larutan Penyangga A. PENGERTIAN Larutan penyangga atau dikenal juga dengan nama larutan buffer adalah larutan yang dapat mempertahankan nilai ph apabila larutan tersebut ditambahkan

Lebih terperinci

LARUTAN PENYANGGA (BUFFER) Disusun Oleh: Diah Tria Agustina ( ) JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

LARUTAN PENYANGGA (BUFFER) Disusun Oleh: Diah Tria Agustina ( ) JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM HANDOUT klik di sini LARUTAN PENYANGGA (BUFFER) Disusun Oleh: Diah Tria Agustina (4301414032) JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016 PENGERTIAN LARUTAN

Lebih terperinci

LARUTAN PENYANGGA (BUFFER)

LARUTAN PENYANGGA (BUFFER) LARUTAN PENYANGGA (BUFFER) Larutan penyangga Larutan penyangga atau larutan buffer adalah larutan yang ph-nya praktis tidak berubah walaupun kepadanya ditambahkan sedikit asam, sedikit basa, atau bila

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berpikir merupakan tujuan akhir dari proses belajar mengajar. Dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berpikir merupakan tujuan akhir dari proses belajar mengajar. Dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Berpikir Berpikir merupakan tujuan akhir dari proses belajar mengajar. Dengan berpikir seseorang dapat mengolah berbagai informasi yang diterimanya dan mengembangkannya

Lebih terperinci

Larutan penyangga adalah larutan yang dapat mempertahankan harga ph terhadap pengaruh penambahan sedikit asam atau basa, atau terhadap pengenceran.

Larutan penyangga adalah larutan yang dapat mempertahankan harga ph terhadap pengaruh penambahan sedikit asam atau basa, atau terhadap pengenceran. Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Memahami sifatsifat larutan asambasa, metode pengukuran, dan terapannya. Mendeskripsikan sifat larutan penyangga dan peranan larutan penyangga dalam tubuh makhluk hidup.

Lebih terperinci

Larutan penyangga dapat terbentuk dari campuran asam lemah dan basa

Larutan penyangga dapat terbentuk dari campuran asam lemah dan basa Larutan penyangga dapat terbentuk dari campuran asam lemah dan basa konjugasinya atau campuran basa lemah dan asam konjugasinya. Larutan penyangga disebut juga larutan penahan atau larutan dapar atau buffer.

Lebih terperinci

LARUTAN PENYANGGA Bahan Ajar Kelas XI IPA Semester Gasal 2012/2013

LARUTAN PENYANGGA Bahan Ajar Kelas XI IPA Semester Gasal 2012/2013 LARUTAN PENYANGGA [Yea r] LARUTAN PENYANGGA Bahan Ajar Kelas XI IPA Semester Gasal 2012/2013 MARI BELAJAR Indikator Produk Menjelaskan komponen pembentuk larutan penyangga dengan berpikir kritis. Menjelaskan

Lebih terperinci

PETA KONSEP. Larutan Penyangga. Larutan Penyangga Basa. Larutan Penyangga Asam. Asam konjugasi. Basa lemah. Asam lemah. Basa konjugasi.

PETA KONSEP. Larutan Penyangga. Larutan Penyangga Basa. Larutan Penyangga Asam. Asam konjugasi. Basa lemah. Asam lemah. Basa konjugasi. PETA KONSEP Larutan Penyangga mempertahankan berupa ph Larutan Penyangga Asam mengandung Larutan Penyangga Basa mengandung Asam lemah Basa konjugasi Asam konjugasi Basa lemah contoh contoh contoh contoh

Lebih terperinci

LARUTAN PENYANGGA (BUFFER)

LARUTAN PENYANGGA (BUFFER) LARUTAN PENYANGGA (BUFFER) Larutan penyangga Larutan penyangga atau larutan buffer adalah larutan yang ph-nya praktis tidak berubah walaupun kepadanya ditambahkan sedikit asam, sedikit basa, atau bila

Lebih terperinci

Model Pembelajaran Konstekstual dalam Bidang Studi Ekonomi Pendahuluan

Model Pembelajaran Konstekstual dalam Bidang Studi Ekonomi Pendahuluan Model Pembelajaran Konstekstual dalam Bidang Studi Ekonomi Pendahuluan Ruang lingkup Ekonomi tersebut merupakan cakupan yang amat luas, sehingga dalam proses pembelajarannya harus dilakukan bertahap dan

Lebih terperinci

Lampiran 2.2 (Analisis Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)

Lampiran 2.2 (Analisis Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) Lampiran 2.2 (Analisis Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) I. Analisis Indikator 4. Memahami sifat-sifat larutan asambasa, metode pengukuran, dan terapannya SMAN 1 Dasar SMAN 4 Bandung SMAN 1 Cimahi SMAN

Lebih terperinci

PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.)

PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.) PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.) 1. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DALAM PENDIDIKAN IPS DI SMP 1.1. Latar Belakang Pembelajaran Kontekstual Ada kecenderungan dewasa ini utnuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. melalui konteks yang terbatas dan tidak sekoyong-koyong. Pengetahuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. melalui konteks yang terbatas dan tidak sekoyong-koyong. Pengetahuan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan konstektual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DIREKTORAT PEMBINAAN SMP DIREKTORAT JENDERAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL 2006 BAB 1 PENDEKATAN KONTEKSTUAL A. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fungsi dari mata pelajaran kimia di SMA adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fungsi dari mata pelajaran kimia di SMA adalah untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fungsi dari mata pelajaran kimia di SMA adalah untuk mengembangkan keterampilan proses sains serta menumbuhkan kreativitas siswa. Keterampilan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa. Pemerintah terus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Belajar merupakan suatu kegiatan yang memberikan kesempatan kepada siswa

I. PENDAHULUAN. Belajar merupakan suatu kegiatan yang memberikan kesempatan kepada siswa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan suatu proses adanya perubahan yang bersifat permanen pada diri seorang siswa yang meliputi aspek kompetensi, keterampilan dan perilaku yang diakibatkan

Lebih terperinci

2015 PEMAHAMAN KONSEP SISWA PADA PEMBELAJARAN HIDROLISIS GARAM BERBASIS INKUIRI TERBIMBING

2015 PEMAHAMAN KONSEP SISWA PADA PEMBELAJARAN HIDROLISIS GARAM BERBASIS INKUIRI TERBIMBING BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sains merupakan pelajaran penting, karena memberikan lebih banyak pengalaman untuk menjelaskan fenomena yang dekat dengan kehidupan sekaligus mencari solusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersedia tidak memadai, kurang dana, keterbatasan keterampilan guru dalam

BAB I PENDAHULUAN. tersedia tidak memadai, kurang dana, keterbatasan keterampilan guru dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan sains dan teknologi yang demikian pesat pada era informasi kini, menjadikan pendidikan IPA sangat penting bagi semua individu. Kemampuan siswa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui

Lebih terperinci

BAB 6. Jika ke dalam air murni ditambahkan asam atau basa meskipun dalam jumlah. Larutan Penyangga. Kata Kunci. Pengantar

BAB 6. Jika ke dalam air murni ditambahkan asam atau basa meskipun dalam jumlah. Larutan Penyangga. Kata Kunci. Pengantar Kimia XI SMA 179 BAB 6 Larutan Penyangga Tujuan Pembelajaran: Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu: 1. Menjelaskan pengertian larutan penyangga dan komponen penyusunnya. 2. Merumuskan persamaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan menjadi sarana yang paling penting dan efektif untuk membekali siswa dalam menghadapi masa depan. Oleh karena itu, proses pembelajaran yang bermakna sangat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nur dalam Trianto (2009), menyatakan bahwa menurut teori kontruktivis, satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nur dalam Trianto (2009), menyatakan bahwa menurut teori kontruktivis, satu 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Belajar Konstruktivis Nur dalam Trianto (2009), menyatakan bahwa menurut teori kontruktivis, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak

Lebih terperinci

LARUTAN PENYANGGA DAN HIDROLISIS

LARUTAN PENYANGGA DAN HIDROLISIS 6 LARUTAN PENYANGGA DAN HIDROLISIS A. LARUTAN PENYANGGA B. HIDROLISIS Pada bab sebelumnya, kita sudah mempelajari tentang reaksi asam-basa dan titrasi. Jika asam direaksikan dengan basa akan menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri. 1

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata pelajaran fisika adalah salah satu mata pelajaran dalam rumpun sains yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif dan deduktif dalam menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pengembangan potensi diri diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pengembangan potensi diri diharapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Hasil Belajar Seseorang akan mengalami perubahan pada tingkah laku setelah melalui suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Inkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi. Gulo menyatakan strategi inkuiri berarti

Lebih terperinci

Aplikasi Larutan Buffer dalam Kehidupan Sehari-hari

Aplikasi Larutan Buffer dalam Kehidupan Sehari-hari Aplikasi Larutan Buffer dalam Kehidupan Sehari-hari Buat apa sih belajar tapi gak dipake? Pertanyaan ini tuh selalu muncul di otak gue tiap ngadepin pelajaran yang bikin gue mabok 3 x 24 jam. Dan mungkin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mempelajari sains, termasuk Ilmu Kimia kurang berhasil jika tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mempelajari sains, termasuk Ilmu Kimia kurang berhasil jika tidak 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Praktikum Mempelajari sains, termasuk Ilmu Kimia kurang berhasil jika tidak ditunjang dengan praktikum yang dilaksanakan dilaboratorium. Laboratorium disini dapat berarti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. membujuk, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis

II. TINJAUAN PUSTAKA. membujuk, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Kemampuan Berpikir Kritis Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah,

Lebih terperinci

Siti Solihah, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

Siti Solihah, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan adalah suatu upaya untuk meningkatkan kualitas manusia agar mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang

I. PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Pembelajaran merupakan proses komunikasi du arah, mengajar dilakukan oleh

BAB II KAJIAN TEORI. Pembelajaran merupakan proses komunikasi du arah, mengajar dilakukan oleh 7 BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran IPA di SD 1. Pembelajaran Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seperti yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengacu pada Standar Isi dan tujuan mata pelajaran kimia SMA, pembelajaran kimia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini memaparkan tinjauan tentang literasi sains dan teknologi (STL),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini memaparkan tinjauan tentang literasi sains dan teknologi (STL), 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini memaparkan tinjauan tentang literasi sains dan teknologi (STL), pembelajaran berbasis literasi sains dan teknologi (STL), penilaian literasi sains dan teknologi (STL),

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Learning Cycle (LC) adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Learning Cycle (LC) adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Learning Cycle Learning Cycle (LC) adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan proses pembelajaran yang berpusat pada pembelajar atau anak didik

Lebih terperinci

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengkategorian Penggunaan Level Mikroskopik dalam Buku Teks. Kimia SMA pada Materi Larutan Penyangga

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengkategorian Penggunaan Level Mikroskopik dalam Buku Teks. Kimia SMA pada Materi Larutan Penyangga BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Temuan 4.1.1 Pengkategorian Penggunaan Level Mikroskopik dalam Buku Teks Kimia SMA pada Materi Larutan Penyangga Penggunaan level mikroskopik dalam buku teks

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL. contextual teaching and learning

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL. contextual teaching and learning PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL contextual teaching and learning Strategi Pembelajaan Kontekstual Strategi pembelajaran CTL (contextual teaching and learning) merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving adalah model pembelajaran yang menyajikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving adalah model pembelajaran yang menyajikan 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Problem Solving Model pembelajaran problem solving adalah model pembelajaran yang menyajikan materi dengan menghadapkan siswa kepada persoalan yang harus dipecahkan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Berbasis Masalah Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun 1970-an. Model Problem Based Learning berfokus pada penyajian suatu permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Peradapan manusia yang terus berkembang menyebabkan perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) juga terus mengalami kemajuan yang pesat. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan keterampilan proses serta menumbuhkan berpikir kritis

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan keterampilan proses serta menumbuhkan berpikir kritis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata pelajaran kimia di SMA diantaranya berfungsi untuk mengembangkan keterampilan proses serta menumbuhkan berpikir kritis siswa. Selain itu disebutkan pula tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berpikir merupakan tujuan akhir dari proses belajar mengajar. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Berpikir merupakan tujuan akhir dari proses belajar mengajar. Menurut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berpikir merupakan tujuan akhir dari proses belajar mengajar. Menurut Arifin et al. (2000: 146) bertanya merupakan salah satu indikasi seseorang berpikir.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia zaman modern dihadapkan pada perkembangan pengetahuan yang begitu pesat akibat kemampuan berpikir dan penelitian para ahli. Pengetahuan tidak dapat dimiliki

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan model pembelajaran yang menghadapkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan model pembelajaran yang menghadapkan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Problem Solving Model pembelajaran problem solving merupakan model pembelajaran yang menghadapkan siswa kepada permasalahan yang harus dipecahkan. Pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan bagian terpenting dari kehidupan suatu bangsa karena merupakan salah satu bentuk upaya untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih lemahnya proses pembelajaran, siswa kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan

BAB II KAJIAN TEORITIS. sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan 9 BAB II KAJIAN TEORITIS A. Konsep Teoritis 1. Belajar dan hasil belajar Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,

Lebih terperinci

Dasar-dasar Pembelajaran Fisika

Dasar-dasar Pembelajaran Fisika Dasar-dasar Pembelajaran Fisika Dr. Johar Maknun, M.Si. 08121452201; johar_upi@yahoo.co.id LATAR BELAKANG MAKRO International Education Achievement (IEA) Kemampuan membaca siswa SD menempati urutan 30

Lebih terperinci

DASAR FILOSOFI. Manusia harus mengkontruksikan pengetahuan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

DASAR FILOSOFI. Manusia harus mengkontruksikan pengetahuan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. DASAR FILOSOFI Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit), dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sunyono (2013) model pembelajaran dikatakan efektif bila siswa dilibatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sunyono (2013) model pembelajaran dikatakan efektif bila siswa dilibatkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Menurut Sunyono (2013) model pembelajaran dikatakan efektif bila siswa dilibatkan secara aktif dalam mengorganisasi dan menemukan hubungan dan informasiinformasi

Lebih terperinci

II. KERANGKA TEORETIS. 1. Pembelajaran berbasis masalah (Problem- Based Learning)

II. KERANGKA TEORETIS. 1. Pembelajaran berbasis masalah (Problem- Based Learning) 7 II. KERANGKA TEORETIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pembelajaran berbasis masalah (Problem- Based Learning) Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori Dalam Bab II ini akan diuraikan kajian teori yang merupakan variabel dalam penelitian yang dilakukan yaitu hasil belajar, pendekatan CTL, dan alat peraga. 2.1.1 Hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi, perdagangan bebas, dan otonomi daerah telah mendesak

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi, perdagangan bebas, dan otonomi daerah telah mendesak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi, perdagangan bebas, dan otonomi daerah telah mendesak dunia pendidikan terutama pendidikan tinggi untuk mulai secara sungguhsungguh dan berkelanjutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diri setiap individu siswa. Mudah masuknya segala informasi, membuat siswa

I. PENDAHULUAN. diri setiap individu siswa. Mudah masuknya segala informasi, membuat siswa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, semua infomasi dengan sangat mudah masuk ke dalam diri setiap individu siswa. Mudah masuknya segala informasi, membuat siswa harus berpikir secara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL) 10 BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Suprijono Contextual Teaching and Learning (CTL)

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUAL 1

PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUAL 1 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUAL 1 LATAR BELAKANG MAKRO : Kondisi pendidikan secara makro di indonesia dalam lingkup internasional maupun nasional Kondisi pembelajaran di

Lebih terperinci

Oleh : Sri Milangsih NIM. S BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Persepsi ini menyebabkan guru terkungkung dalam proses

Oleh : Sri Milangsih NIM. S BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Persepsi ini menyebabkan guru terkungkung dalam proses Meningkatkan sikap belajar siswa dengan model problem based learning yang dikombinasikan dengan model cooperative learning pada mata pelajaran geografi kelas XI IPS 2 SMA Negeri 1 Surakarta tahun ajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan standar kompetensi lulusan kelompok mata pelajaran sains, tujuan pendidikan pada satuan pendidikan SMA adalah untuk mengembangkan logika, kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Visi pendidikan sains di Indonesia mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pemahaman tentang sains dan teknologi melalui pengembangan keterampilan berpikir, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses pembelajaran matematika membutuhkan sejumlah kemampuan. Seperti dinyatakan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) bahwa untuk menguasai

Lebih terperinci

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini akan diuraikan temuan penelitian dan pembahasan yang

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini akan diuraikan temuan penelitian dan pembahasan yang BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan diuraikan temuan penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan keterlaksanaan pembelajaran IPA Terpadu berbasis STL yang dikembangkan pada tema

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan sebuah kampanye global bertajuk "Education for All" atau "Pendidikan untuk Semua". Kampanye "Education

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kimia merupakan ilmu yang mencari jawaban atas dasar pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur, sifat, perubahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak boleh ditinggalkan yaitu pengetahuan (cognitive, intelectual), keterampilan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak boleh ditinggalkan yaitu pengetahuan (cognitive, intelectual), keterampilan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ilmu kimia secara umum memiliki karakteristik bersifat abstrak sehingga diperlukan kemampuan guru untuk menjadikannya lebih konkrit. Salah satunya dengan cara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA Model Pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, kebanyakan siswa tidak diajarkan bagaimana untuk belajar

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, kebanyakan siswa tidak diajarkan bagaimana untuk belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, kebanyakan siswa tidak diajarkan bagaimana untuk belajar melainkan diajarkan apa yang harus dipelajari. Hal ini menyebabkan kemampuan berpikir

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Learning Cycle adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Learning Cycle adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Learning Cycle Learning Cycle adalah suatu kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan proses pembelajaran yang berpusat pada pembelajar atau anak didik (Hirawan,

Lebih terperinci

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu yang berperan penting dalam kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), sehingga perkembangan matematika menjadi sesuatu yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia adalah cabang dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang secara khusus

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia adalah cabang dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang secara khusus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia adalah cabang dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang secara khusus mempelajari tentang struktur, susunan, sifat dan perubahan materi, serta energi yang menyertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang IPA merupakan pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal) dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen (Carin dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman (Rusman, 2011). Berdasarkan

I. PENDAHULUAN. tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman (Rusman, 2011). Berdasarkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Problem Based Instruction (PBI) Pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari seseorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu pondasi yang menentukan kemajuan suatu bangsa. Jalur pendidikan dapat diproleh melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal.

Lebih terperinci

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP Mardiana Abstraksi Pembelajaran kooperatif Co-op Co-op. Model pembelajaran ini pada dasarnya menekankan pentingnya siswa

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. pembelajaran yang semakin luas membawa banyak perubahan dalam dunia

BAB III PEMBAHASAN. pembelajaran yang semakin luas membawa banyak perubahan dalam dunia BAB III PEMBAHASAN Pemahaman orang terhadap hakekat sains, hakekat belajar dan pembelajaran yang semakin luas membawa banyak perubahan dalam dunia pembelajaran sains. Pemahaman terhadap sains telah berkembang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran adalah proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengkontruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Fisika merupakan salah satu bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Fisika berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga fisika

Lebih terperinci

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME A. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Mata pelajaran Matematika

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sampai saat ini pendidikan masih belum lepas dari berbagai permasalahan. Salah satu masalah yang dihadapi di dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. berupa masalah ataupun soal-soal untuk diselesaikan. sintesis dan evaluasi (Gokhale,1995:23). Menurut Halpen (dalam Achmad,

BAB II KAJIAN TEORI. berupa masalah ataupun soal-soal untuk diselesaikan. sintesis dan evaluasi (Gokhale,1995:23). Menurut Halpen (dalam Achmad, 6 BAB II KAJIAN TEORI A. Berpikir Kritis Berpikir merupakan kegiatan penggabungan antara persepsi dan unsurunsur yang ada dalam pikiran untuk menghasilkan pengetahuan. Berpikir dapat terjadi pada seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran matematika tidak hanya mengharuskan siswa sekedar mengerti materi yang dipelajari saat itu, tapi juga belajar dengan pemahaman dan aktif membangun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT 8 BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT A. Metode Kerja Kelompok Salah satu upaya yang ditempuh guru untuk menciptakan kondisi belajar mengajar yang kondusif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. baik. Efektivitas berasal dari kata efektif. Dalam Kamus Besar Bahasa

II. TINJAUAN PUSTAKA. baik. Efektivitas berasal dari kata efektif. Dalam Kamus Besar Bahasa 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Pembelajaran dianggap dapat berhasil apabila proses dan hasil belajarnya baik. Efektivitas berasal dari kata efektif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisika merupakan salah satu bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang mempelajari gejala-gejala alam secara sistematis untuk menguasai pengetahuan berupa fakta, konsep,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya

Lebih terperinci

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INSTRUCTION (PBI) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INSTRUCTION (PBI) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran merupakan suatu proses atau kegiatan mendidik yang didalamnya terjadi interaksi antara guru dan siswa atau antar peserta didik yang memiliki suatu tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah kelompok Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ilmu Pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah kelompok Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ilmu Pengetahuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum SMK terdiri atas berbagai kelompok mata pelajaran salah satunya adalah kelompok Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berperan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indra Lesmana, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indra Lesmana, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan di Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai masalah. Salah satu masalah yang sangat penting adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu permasalahan besar yang dialami siswa dalam proses pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif dalam proses belajar

Lebih terperinci