BAB I PENDAHULUAN. krisis pada tahun Krisis moneter yang terjadi di Indonesia yang kemudian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. krisis pada tahun Krisis moneter yang terjadi di Indonesia yang kemudian"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian Indonesia belum sepenuhnya berjalan normal sejak dilanda krisis pada tahun Krisis moneter yang terjadi di Indonesia yang kemudian diperburuk lagi dengan krisis politik yang mengakibatkan mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini mengakibatkan melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang dollar yang menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian dan perdagangan nasional. Gejolak moneter pada tahun 1997, mengakibatkan dampak yang sangat luas terhadap perkembangan bisnis di Indonesia, nilai tukar dollar terhadap rupiah sangat tinggi, sehingga mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia menjadi membengkak luar biasa. Banyak perusahaan di Indonesia tidak lagi mampu membayar utang yang umumnya dilakukan dalam bentuk dollar. 1 Kenyataan menunjukkan salah satu masalah yang menyebabkan krisis ekonomi yang dihadapi oleh Indonesia adalah masalah utang-piutang perusahaan-perusahaan swasta. Krisis moneter menyebabkan daya beli masyarakat semakin lemah, sehingga mengakibatkan pendapatan perusahaan menurun. Akibatnya perusahaan mengalami kesulitan keuangan karena pendapatan yang menurun sementara pengeluaran semakin tinggi. Krisis tersebut telah menimbulkan kesulitan keuangan perusahaan yang pada 1 Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, Penerbit Sofmedia, Jakarta, 2010, hlm. 2.

2 akhirnya mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada kreditor. Selain beban pembayaran utang-utang kepada kreditor yang semakin terasa berat, perusahaan-perusahaan ini secara umum mengalami kesulitan besar di dalam melakukan operasionalnya. Untuk menyehatkan kembali perusahaan, berbagai strategi dan kebijakan dilakukan dalam mempertahankan jalannya perusahaan seperti efesiensi di segala bidang, yaitu dengan perampingan manajemen perusahaan, penurunan produksi atau melakukan pengurangan jumlah tenaga kerja, dan dengan mencari sumber-sumber suntikan dana dalam bentuk pinjaman dari lembaga keuangan ataupun dari perorangan. Suatu hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan perusahaan adalah tersedianya permodalan. Perusahaan melakukan pinjaman untuk mengembangkan kembali usahanya, suntikan dana segar dalam bentuk pinjaman ini diharapkan dapat menjadi stimulus yang akan membuat perusahaan menjadi bangkit dan berjalan lebih baik lagi. Pinjaman-pinjaman yang diberikan oleh kreditor antara lain dapat berupa kredit dari bank, kredit dari perusahaan selain bank, atau pinjaman dari orang perorangan (pribadi) berdasarkan perjanjian kredit, atau perjanjian meminjam uang yang harus dibayar kembali pada waktu yang telah disepakati antara kreditor dan debitor. Sektor perkreditan merupakan salah satu sarana pemupukan modal bagi

3 masyarakat bisnis. Bagi para pengusaha, pengambilan kredit merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupan bisnis. 2 Pada waktu mengajukan pinjaman tersebut, debitor harus mempunyai itikad baik dan harus dapat meyakinkan kreditor bahwa debitor akan mampu mengembalikan pinjaman tersebut. Tanpa ada kepercayaan (trust) dari kreditor kepada debitor, maka kreditor tidak akan memberikan kredit atau pinjaman tersebut. 3 Tanpa adanya kepercayaan kreditor kepada debitor, tidak mungkin timbul hubungan hukum formal yang terwujud dalam suatu perjanjian yang dibuat antara kreditor dan debitor, karena pada dasarnya pemberian kredit oleh kreditor kepada debitor dilakukan karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan pinjaman itu pada waktunya. Hubungan hukum antara kreditor dan debitor terjadi ketika kedua belah pihak menandatangani perjanjian utang piutang. Dengan ditandatanganinya perjanjian utang piutang maka kedua belah pihak telah menyetujui isi serta maksud perjanjian dan dengan demikian berlaku asas kekuatan mengikat, yaitu terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral, sehingga asas-asas moral, kepatutan, dan kebiasaan mengikat para pihak. Dalam perjanjian konsensuil, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk 2 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Jaminan Dan Kepailitan, Makalah Pembanding Dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Jakarta, 2000, hlm Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Edisi 3, Jakarta, 2009, hlm. 3.

4 selanjutnya disebut KUH Perdata) menentukan bahwa segera setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, yang pada saat yang bersamaan juga menerbitkan perikatan diantara para pihak yang telah bersepakat dan berjanji tersebut. 4 Kreditor dalam memberikan kredit atau fasilitas pembiayaan kepada debitor akan memastikan bahwa kredit atau fasilitas pembiayaan itu dapat dilunasi pada waktunya, baik untuk pokok maupun bunganya. Kreditor harus memperoleh keyakinan bahwa kegiatan usaha atau bisnis debitor tersebut dapat menghasilkan pendapatan yang cukup untuk melunasi kredit atau fasilitas pembiayaan tersebut. Sebelum pendapatan itu dipakai untuk melunasi utang perusahaan, terlebih dahulu pendapatan itu harus dapat menutupi kebutuhan perusahaan dalam rangka pemupukan cadangan perusahaan dan menutupi biaya-biaya perusahaan. Apabila ternyata perusahaan mengalami kesulitan dalam usahanya sehingga perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membayar utang-utangnya, maka para kreditor harus memperoleh kepastian bahwa hasil penjualan agunan atau likuidasi atas harta kekayaan perusahaan melalui putusan pailit dari pengadilan dapat diandalkan sebagai sumber pelunasan alternatif. Untuk menjamin pengembalian kredit yang diberikan, diadakan perjanjian jaminan. Perjanjian pemberian jaminan merupakan perjanjian yang bersifat asesor, 4 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Seri Hukum Harta kekayaan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 22.

5 di mana adanya jaminan ini merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok, dalam hal ini perjanjian kredit. Retnowulan Sutantio memberikan pengertian jaminan sebagai berikut: Jaminan kredit adalah suatu jaminan baik berupa benda atau orang yang diberikan oleh debitor kepada kreditor, yang diperlukan untuk menjamin agar kreditor tidak dirugikan, apabila debitor ingkar janji atau tidak mampu mengembalikan pinjamannya tepat waktunya. 5 Kreditor lebih menyukai perjanjian jaminan yang bersifat kebendaan dibandingkan dengan perjanjian jaminan perorangan. Oleh karena perjanjian jaminan kebendaan dengan jelas ditentukan benda tertentu yang diikat dalam perjanjian dan benda tersebut disediakan untuk menjaga terjadinya kredit macet, sehingga hal ini dapat menimbulkan rasa aman kepada kreditor dan lebih memberikan kepastian dengan ditentukan bendanya yang diikat dalam perjanjian sebagai jaminan. Jaminan kebendaan merupakan jaminan yang objeknya terdiri dari benda yang mengandung asas-asas sebagai berikut: 1. Memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditor pemegang hak jaminan terhadap kreditor lainnya. 2. Bersifat asesor terhadap perjanjian pokok yang dijamin dengan jaminan tersebut. 3. Memberikan hak separatis bagi kreditor pemegang hak jaminan. Artinya benda yang dibebani hak jaminan bukan merupakan harta pailit dalam hal debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan. 4. Merupakan hak kebendaan. Artinya hak jaminan akan selalu melekat di atas benda tersebut (droit de suite) kepada siapapun juga benda tersebut beralih kepemilikannya. 5 Retnowulan Sutantio, Beberapa Masalah Yang Berhubungan Dengan Jaminan Kredit, Varia Peradilan, Tahun II Nomor 19, April 1987, hlm. 185.

6 5. Kreditor pemegang hak jaminan mempunyai wewenang penuh untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya. 6. Berlaku bagi pihak ketiga, dimana berlaku pula asas publisitas. Artinya hak jaminan tersebut harus didaftarkan. 6 Jaminan kebendaan dalam jaminan kredit merupakan upaya guna memperkecil resiko. Jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditor yaitu kepastian hukum akan pelunasan utang debitor atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau oleh penjamin debitor. 7 Salah satu perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditor pemegang hak jaminan untuk mengambil pelunasan atau piutangnya terhadap debitor yang cidera janji adalah kreditor pemegang hak kebendaan dapat menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tersebut serta mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Untuk definisi tentang jaminan dalam KUH Perdata ternyata tidak dirumuskan secara tegas, KUH Perdata hanya memberikan perumusan jaminan secara umum yang diatur dalam pasal 1131 KUH Perdata, yang mengatakan segala kebendaan seseorang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata dapat diketahui bahwa hak untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari hak gadai dan dari hak hipotik. Berkaitan dengan Pasal 1131 KUH Perdata, Djuhaendah Hasan menyatakan bahwa : 6 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Op. Cit, hlm Ibid. hlm. 23.

7 Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan jaminan secara umum atau jaminan yang timbul atau lahir dari undang-undang. Di sini undang-undang memberikan perlindungan bagi semua kreditor dalam kedudukan yang sama atau di sini berlaku asas paritas creditorum, dimana pembayaran atau pelunasan utang kepada para kreditor hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren bersaing dalam pemenuhan piutangnya kecuali apabila ada alasan yang memberikan kedudukan preferen (droit de preference) kepada para kreditor tersebut. 8 Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan hukum kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian utang piutang mereka. Globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara. Hubungan antara sektor ekonomi dengan sektor hukum tidak hanya berupa pengaturan hukum terhadap aktivitas perekonomian melainkan juga bagaimana pengaruh sektor ekonomi terhadap hukum. 9 Perjanjian jaminan kebendaan memberikan kedudukan yang istimewa kepada para kreditor yang memiliki hak preferen yaitu hak untuk didahulukan dari pada kreditor lainnya dalam pengambilan pelunasan piutang dari benda yang menjadi objek jaminan. Hak istimewa menurut Pasal 1134 KUH Perdata adalah hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi dari orang berpiutang lainnya. 8 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta, Toko Gunung Agung Tbk., 2002, hlm. 70.

8 Tingkat kedudukan kreditor berdasarkan pelunasan piutangnya dari debitor dapat dikatagorikan, sebagai berikut : 1. Kreditor Preferen (istimewa atau privilege) yang terdiri atas : a. Kreditor preferen karena undang-undang, Yaitu kreditor yang oleh undang-undang diberi tingkatan yang lebih tinggi dari pada kreditor lainnya semata-mata berdasarkan sifat piutang yang diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata dan Pasal 1149 KUH Perdata. b. Kreditor separatis (secured creditor), Yaitu kreditor yang tidak terkena akibat kepailitan, artinya para kreditor separatis tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debitornya dinyatakan pailit. 2. Kreditor Konkuren (unsecured creditor) Yang disebut juga kreditor bersaing, karena tidak memiliki jaminan secara khusus dan tidak memiliki hak istimewa, sehingga kedudukannya sama dengan kreditor tanpa jaminan lainnya berdasarkan asas paritas creditorium. Jaminan kebendaan yang dapat diikat Hak Tanggungan yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, agar kedudukan kreditor sebagai pemegang jaminan menjadi kuat secara yuridis, maka atas jaminan yang diperoleh kreditor harus dilakukan pengikatan dengan cara pembebanan Hak Tanggungan yang kemudian didaftarkan ke Kantor Badan Pertanahan Nasional setempat di mana objek agunan tersebut berada. Dengan pembebanan Hak Tanggungan tersebut, maka

9 Lembaga Hak Tanggungan telah memberikan kedudukan yang didahulukan kepada kreditor pemegang hak jaminan (droit de preference), yaitu kepada kreditornya sebagaimana tercantum dalam kalimat terakhir Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu :...memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam hukum jaminan Indonesia kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang berkedudukan sebagai kreditor separatis adalah atas Hak Tanggungan, hipotik, gadai dan fidusia. Dengan demikian, kreditor pemegang hak jaminan mempunyai hak separatis. Hak separatis juga terdapat pada gadai, hipotik dan jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun Hak separatis yang dimiliki pemegang hak jaminan tersebut (kreditor separatis) memiliki kedudukan untuk dapat mengeksekusi barang jaminan yang dimilikinya. Kreditor separatis tidak boleh dihalangi haknya untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya atas harta kekayaan debitor yang dibebani dengan hak jaminan tersebut. Kreditor separatis memiliki hak didahulukan untuk mengeksekusi barang jaminan yang diikat dengan Hak Tanggungan sebagai pelunasan utang apabila debitor cedera janji (wanprestasi) sebagaimana tercantum pada Pasal 6 Undang- Undang Hak Tangggungan : Apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan

10 sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Pasal tersebut memberikan hak bagi pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate eksekusi. Artinya pemegang Hak Tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, tetapi juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang debitor dalam hal debitor cedera janji. Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Hak Tanggungan juga disebutkan bahwa dalam peristiwa kepailitan dari pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang untuk melaksanakan segala hak yang dipunyainya berdasarkan UUHT. Kreditor dapat melaksanakan haknya berdasarkan UUHT seakan-akan tidak ada kepailitan atau seakan akan tagihan kreditor ada di luar kepailitan, di luar sitaan umum. Berarti bahwa sesuai hal tersebut maka putusan pernyataan pailit oleh hakim tidak mempunyai pengaruh terhadap pemegang Hak Tanggungan. Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) tersebut, maka setiap kreditor yang memegang Hak Tanggungan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT disebutkan pengertian Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan

11 tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Keistimewaan hukum kreditor pemegang Hak Tanggungan juga dijamin melalui ketentuan pasal 21 UUHT, apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, kreditor tetap berwenang melakukan segala hal yang diperolehnya menurut UUHT. Objek Hak Tanggungan tidak termasuk dalam budel kepailitan pemberi Hak Tanggungan, sebelum pemegang Hak Tanggungan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan. Budel adalah harta kekayaan yang belum dibagi. Peristiwa kepailitan dari pemberi Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang untuk melaksanakan segala hak dipunyainya berdasarkan UUHT. Kreditor dapat melaksanakan hak-haknya berdasarkan UUHT seakan-akan tidak ada kepailitan atau seakan-akan tagihan kreditor ada di luar kepailitan, diluar sitaan umum. Karenanya kreditor seperti itu disebut kreditor separatis. 10 Perkara permohonan kepailitan adalah perkara yang diajukan pada Pengadilan Niaga. Apabila permohonan diterima oleh Pengadilan maka akan ditetapkan siapa Hakim pengawas yang bertugas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit serta untuk mengeluarkan ketetapan yang diperlukan dalam proses pasca kepailitan. Juga ditetapkannya seorang kurator untuk melaksanakan pemberesan harta 10 J. Satrio. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 284.

12 pailit termasuk menuntut penyerahan objek Hak Tanggungan untuk dijual di muka umum/lelang dengan seijin Hakim Pengawas apabila kreditor separatis tidak dapat melaksanakan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan tersebut melalui penjualan lelang di muka umum atau lelang dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak dinyatakannya harta pailit telah insolven atau setelah masa penangguhan 90 (sembilan puluh) hari. Setelah upaya hukum tidak ada lagi di mana budel pailit harus dijual untuk membayar utang kepada kreditor, fase insolven adalah fase paling akhir dimana harta pailit harus dijual. 11 Saat ini dunia usaha di Indonesia sudah berskala Internasional, modal para pengusaha berasal dari berbagai sumber, sebahagian besar dari bank-bank swasta dalam dan luar negeri, sehingga peraturan kepailitan mutlak harus disesuaikan dengan keadaan tersebut. 12 Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan hukum kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian utang piutang mereka. Globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara. Hubungan antara sektor ekonomi dengan sektor hukum tidak hanya berupa pengaturan hukum terhadap aktivitas perekonomian melainkan juga bagaimana pengaruh sektor ekonomi terhadap hukum Hasil Wawancara dengan Sunarmi, Guru Besar Ilmu Hukum pada tanggal 8 Juli Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia, edisi 2, PT. Sofmadia, Jakarta, hlm Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta, Toko Gunung Agung Tbk., 2002, hlm. 70.

13 Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur, secara materil dan spiritual, serta merupakan upaya yang berkesinambungan. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan nasional yang berkesinambungan tersebut diperlukan pembangunan dalam bidang hukum. Sejalan dengan hal tersebut, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa Hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat yang didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dan kepastian hukum dalam usaha pembangunan atau pembaharuan merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu. 14 Latar belakang dilakukannya penyempurnaan Faillissement verordening, Pemerintah dalam hal ini memberikan 2 (dua) alasan utama : 15 Pertama, adanya kebutuhan yang besar dan sifatnya mendesak untuk secepatnya mewujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang cepat, adil dan terbuka, dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar pengaruhnya terhadap perekonomian Nasional. Kedua, dalam kerangka penyelesaian akibat-akibat gejolak moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997, khususnya terhadap masalah utang piutang di kalangan dunia usaha nasional, penyelesaian yang cepat mengenai masalah ini akan sangat membantu mengatasi situasi yang tidak menentu di bidang perekonomian. Pada saat terjadinya krisis moneter tahun 1998, Peraturan mengenai kepailitan yang ada adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Kepailitan, dirasakan sebagian besar materinya tidak sesuai dengan perkembangan 14 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm Penjelasan Umum Perpu Nomor 2 Tahun 1998.

14 dan kebutuhan hukum masyarakat karena sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di bidang perekonomian terutama dalam menyelesaikan masalah utang piutang, untuk itu perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap peraturan perundangan-undangan. Kemudian Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Kepailitan (UUK) disempurnakan menjadi Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU). Penyempurnaan hukum kepailitan hanyalah satu upaya pemerintah di samping pengembangan kebijakan lain yang harus diperhitungkan dalam mengkaji upaya pemulihan perekonomian nasional. 16 Sehubungan dengan kondisi debitor yang insolven, maka baik debitor maupun kreditor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit melalui Pengadilan Niaga sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku pada UUKPKPU. Secara umum dalam hukum kepailitan, debitor baru dapat dinyatakan pailit apabila debitor tersebut berada dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar). Persyaratan ini karena didasarkan karena adanya krisis finasial yang dialami debitor (liquidity crisis) untuk membayar seluruh utang-utangnya dan dengan adanya keadaan tersebut kepentingan kreditor secara keseluruhan harus dilindungi. Insolvensi diartikan sebagai keadaan berhenti membayar namun dalam hal ini tidak dijelaskan secara terperinci apabila keadaan tersebut karena keadaan ketidak 16 Sunarmi, Prinsip Keseimbangan, Op. Cit. hlm. 58

15 mampuan membayar atau disebabkan alasan tertentu. Menurut Friedman, insolvensi (insolvency) diartikan sebagai : 17 a. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis, atau b. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asset dalam waktu tertentu. Untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit tersebut, baik debitor maupun kreditor harus memenuhi terlebih dahulu persyaratan-persyaratan yang menjadi unsur-unsur pengajuan permohonan kepailitan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, yaitu: Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Unsur-unsur kepailitan tersebut merupakan persyaratan yang sangat pokok dan mendasar sebagai dasar hukum dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit, oleh karena itu dalam menyelesaikan perkara kepailitan, para praktisi hukum, khususnya hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara tidak boleh mengesampingkan unsur-unsur kepailitan tersebut. Apabila debitor terbukti telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU tersebut, maka hakim Pengadilan Niaga dapat memberikan 17 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 135.

16 putusan pernyataan pailit kepada debitor. Penyelesaian utang-piutang terhadap kreditor pemegang hak jaminan tersebut di dalam ketentuan UUKPKPU Pasal 55 ayat (1), menyebutkan bahwa setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, Hak Tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut dan hak pihak ketiga untuk menuntut haknya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator ditangguhkan karena UUKPKPU menganut ketentuan mengenai berlakunya keadaan diam, dengan kata lain memberlakukan atau standstill, sejak pernyataan pailit diputuskan di Pengadilan. UUKPKPU memungkinkan adanya masa penundaan hak eksekusi (standstill), termasuk hak pihak ketiga atas hartanya yang ada pada debitor untuk jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak penetapan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU, yakni : Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU dan pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Selama berlangsungnya keadaan diam (standstill), debitor tidak diperbolehkan untuk melakukan negosiasi dengan kreditor tertentu, tidak boleh melunasi sebagian atau seluruh utangnya terhadap kreditor tertentu saja. Selama masa

17 itu debitor tidak pula diperkenankan untuk memperoleh pinjaman baru. 18 Dengan adanya ketentuan, bahwa keadaan diam diberlakukan dengan jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, maka dalam masa ini debitor dapat saja melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan kreditor terhadap barang-barang jaminan pada saat keadaan diam diberlakukan, karena dalam masa ini terdapat jangka waktu yang dapat dipergunakan oleh debitor untuk melakukan tindakan curang kepada para kreditornya. Apabila perbuatan hukum yang merugikan kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitor kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Dalam Pasal 41 ayat 1 UUKPKPU menyatakan : Untuk kepentingan harta pailit kepada Pengadilan dapat diminta pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pailit diucapkan. Adanya penangguhan selama 90 (sembilan puluh) hari setelah debitor dinyatakan pailit dan apabila jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari tersebut telah lewat maka hak eksekusi kreditor pemegang hak jaminan dihidupkan kembali untuk jangka waktu 2 (dua) bulan sejak dimulainya keadaan insolven atau harta kekayaan 18 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan..., Op. Cit, hlm. 53.

18 debitor berada dalam keadaan tidak mampu membayar. Lewatnya jangka waktu dihidupkannya kembali hak kreditor untuk mengeksekusi agunan menyebabkan dapat menuntut diserahkannya barang yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual dimuka umum dengan mendapat ijin dari Hakim Pengawas, tanpa mengurangi hak pemegang hak tersebut untuk memperoleh hasil penjualan agunan tersebut. UUKPKPU ternyata tidak menjunjung tinggi hak separatis dari para kreditor pemegang hak jaminan, ketentuan yang diberikan oleh UUKPKPU tersebut bukan saja menegaskan dan memperjelaskan sikap UUKPKPU yang tidak mengakui hak separatis dan dari kreditor pemegang hak jaminan, karena memasukkan benda-benda yang dibebani hak jaminan sebagai harta pailit, dan juga tidak mengakui hak kreditor pemegang hak jaminan untuk dapat mengeksekusi sendiri hak jaminannya yaitu dengan cara menjual benda-benda yang telah dibebani hak jaminan itu setelah debitor cidera janji. Sesungguhnya lembaga hak jaminan haruslah dihormati oleh UUKPKPU karena pemegang hak jaminan mempunyai hak separatis yaitu hak yang diberikan oleh hukum kepada kreditor pamegang hak jaminan berhak untuk melakukan eksekusi berdasarkan kekuasaannya sendiri. Sehubungan dengan berlakunya hak separatis tersebut maka pemegang hak jaminan tidak boleh dihalangi haknya untuk melakukan eksekusi hak jaminannya atas harta kekayaan debitor yang dibebani dengan hak jaminan itu. Adanya hak jaminan dan pengakuan hak separatis dalam

19 proses kepailitan merupakan sendi-sendi yang penting sekali dari sistem perkreditan suatu negara. 19 Melihat hal-hal tersebut di atas maka akan timbul masalah yang akan dihadapi oleh kreditor separatis yang kedudukannya secara tegas telah dijamin oleh UUHT sebagai kreditor yang dapat melaksanakan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan berdasarkan kekuasaannya sendiri tanpa memerlukan ijin dari pengadilan. Akan tetapi dalam kepailitan hak tersebut telah ditangguhkan untuk jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari, dan apabila selama 90 (sembilan puluh) hari tersebut harta pailit dalam keadaan insolven artinya bahwa kreditor separatis tidak dapat menjual objek hak jaminan atas kekuasaan sendiri, karena masa penangguhan adalah masa untuk berhenti secara otomatis untuk kreditor tidak melakukan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan. Dalam hal ini kreditor separatis akan kehilangan haknya untuk mengeksekusi sendiri objek Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang si debitor pailit sampai masa standstill/penangguhan berakhir. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di dalam latar belakang penelitian di atas, terdapat beberapa pokok-pokok permasalahan yang dapat didefenisikan untuk diteliti dan dapat dirumuskan, sebagai berikut : 1. Bagaimana keadaan diam (standstill) diatur dalam hukum kepailitan Indonesia? 19 Ibid, hlm. 55.

20 2. Bagaimanakah pelaksanaan keadaan diam (standstill) dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit di Balai Harta Peninggalan Medan? 3. Apakah peraturan tentang keadaan diam (standstill) dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 telah memberikan perlindungan hukum bagi kreditor separatis? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui sejauh mana keadaan diam (standstill) diatur dalam hukum kepailitan di Indonesia. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan keadaan diam (standstill) dalam pengurusan dan pemberesan harta paillit di Balai Harta Peninggalan Medan. 3. Untuk mengetahui peraturan tentang keadaan diam (standstill) dalam Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 apakah telah memberikan perlindungan hukum kepada kreditor separatis. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka diharapkan penelitian ini akan memberikan kegunaan bagi berbagai pihak yang berkepentingan.

21 1. Secara teoritis, kegunaan penelitian ini dapat berupa : a. Membantu akan memberi masukan dan telaahan bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam aktivitas hukum kepailitan. b. Memberikan masukan kepada pihak yang terkait, pada saat keadaan diam dalam proses kepailitan, yang berkaitan dengan perlindungan kreditor. 2. Secara praktis, kegunaan penelitian ini berupa : a. Dipergunakan sebagai kerangka acuan oleh para praktisi hukum dalam menyelesaikan kasus hukum perlindungan kreditor. b. Dapat dipergunakan sebagai acuan bagi pengambil keputusan yang berhubungan dengan kepailitan di Pengadilan Niaga agar tidak menyimpang dari sistem hukum di Indonesia sehingga dapat diterapkan terhadap kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat serta demi terciptanya kepastian hukum. E. Keaslian Penelitian Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan informasi maupun data yang ada dan penelusuran pendahuluan yang dilakukan pada kepustakaan khususnya pada Program Studi Magister Kenotariatan terhadap judul ini belum ada dilakukan penelitian sebelumnya. Namun ada beberapa judul yang membahas mengenai hukum kepaillitan.

22 Adapun Judul-judul penelitian terdahulu yang membahas tentang hukum kepailitan antara lain : 1. Kedudukan Kreditor Separatis Dalam Perkara Kepailitan oleh Elyta Ras Ginting, NIM Kedudukan Kreditor Separatis Ditinjau Dari Undang-Undang Kepailitan Dikaitkan Dengan Undang-Undang Hak Tanggungan oleh Herlina Sihombing NIM Efektivitas Perlindungan Hukum Terhadap Para Kreditor Dalam Hukum Kepailitan oleh Zulfikar NIM Pembahasan ataupun penulisan tesis ini dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR SEPARATIS TERHADAP TINDAKAN- TINDAKAN DALAM PERIODE KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM KEPAILITAN, belum pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dan dengan demikian penelitian yang diajukan ini adalah asli dan aktual maka penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.

23 F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. 20 Kerangka Teori yang dimaksud adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan. 21 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. 22 Teori yang menjadi pedoman dalam penulisan tesis ini adalah teori keadilan, di mana teori keadilan tersebut untuk melindungi kreditor separatis dalam perkara kepailitan yang dikaitkan dengan UUKPKPU. Berkaitan dengan hal tersebut, maka UUKPKPU harus sejalan dengan tujuan pembangunan hukum, yaitu dapat melindungi kreditor. Hal tersebut sebagaimana teori etis yang dikemukakan oleh Aristoteles tentang tujuan hukum, yang dikutip dari Van Apeldoorn bahwa hukum semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia UI-Press, Jakarta, 1986, hlm M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm L.J, Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2001, hlm. 53.

24 Tujuannya adalah memberikan tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya. Keadilan tidak boleh dipandang sebagai penyamarataan. Keadilan bukan berarti bahwa tiaptiap orang memperoleh bagian yang sama. 24 Hukum yang tidak adil dan tidak dapat diterima akal, yang bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut sebagai hukum, tetapi hukum yang menyimpang. Keadilan yang demikian ini dinamakan keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan melainkan sesuai/sebanding. Keadilan tersebut harus memberikan kepastian hukum dan untuk mencapainya harus memiliki itikad baik karena salah satu tujuan hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia, karena meniadakan keadilan berarti menyamakan hukum dengan kekuasaan. Asas keadilan dan kepastian hukum harus mendapatkan perlindungan karena perjanjian tersebut sifatnya mengikat kepada para pihak yang mengadakan perikatan. Hal tersebut sebagaimana ajaran Hugo De Groot, yang dikutip dari Mariam Darus Badrulzaman, mengemukakan bahwa asas hukum alam menentukan janji itu mengikat (pacta sunt servanda). 25 Kaidah kesamaan perlindungan dalam kepailitan dibuat guna melaksanakan dua tugas yang sangat berlainan. Misinya yang paling sempit adalah mendesakkan 24 Ibid. 25 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 10.

25 suatu kebutuhan akan generalitas hukum atas nama persetujuan terbatas perlindungan individual. Kebutuhan paling sederhana yang diberlakukan dapat terpuasi dengan setiap generalitas terpercaya dalam kategori yang digunakan hukum. 26 Suatu hubungan hukum dalam lalu lintas hukum khususnya hukum perjanjian setidak-tidaknya melibatkan 2 (dua) pihak yang terikat oleh hubungan tersebut, yaitu kreditor dan debitor. Masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang lahir dari hubungan hukum itu berupa prestasi dan kontra prestasi yang dapat berbentuk memberi, berbuat, dan tidak berbuat sesuatu. 27 Sumber munculnya hak dan kewajiban antara kreditor dan debitornya tersebut adalah adanya perikatan sebagaimana pasal 1233 KUH Perdata, yang berbunyi : Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang. Dari pasal tersebut suatu perjanjian yang mengikat para pihak (kreditor dan debitor) yang mempunyai kebiasaan untuk mengadakan segala jenis perikatan asal tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu: 1. Tidak dilarang oleh undang-undang; 2. Tidak berlawanan dengan kesusilaan; 3. Tidak mengganggu ketertiban umum. 26 Unger, Roberto Mangabeira, Gerakan Studi Hukum Kritis, Jakarta: Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, 1999, hlm Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewjiban Pembayaran di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 23.

26 UUKPKPU memberikan defenisi kreditor, debitor, dan utang yang tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan yang selama ini menimbulkan berbagai interprestasi. Kreditor menurut UUKPKPU adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau karena undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan, sedangkan debitor menurut UUKPKPU adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undangundang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan. Tujuan kepailitan pada hakekatnya adalah untuk menyelesaikan utang piutang antara debitor kepada lebih dari satu kreditor. Seorang debitor hanya mempunyai satu kreditor dan debitor tidak membayar utangnya, maka seorang kreditor akan menggugat debitor secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang tanpa melalui kepailitan dengan alasan wanprestasi dan seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. Selanjutnya apabila dalam hal debitor memiliki lebih dari satu kreditor tidak cukup untuk membayar lunas semua utang-utangnya, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara baik halal maupun tidak untuk mendapatkan pelunasan utangnya terlebih dahulu. Bentuk perlindungan bagi kreditor sebagaimana tersebut di atas telah diatur dalam ketentuan UUKPKPU antara lain : 1. Memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka sehingga dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap debitor;

27 2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor di antara para kreditor sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor konkuren atau unsecured creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing kreditor tersebut); 3. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor; 4. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan; 5. Memberikan kesempatan kepada debitor dan para kreditornya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utangutang debitor. 28 Selain itu dalam UUKPKPU juga diatur mengenai bagaimana cara menentukan kebenaran mengenai adanya (eksistensi) suatu piutang (tagihan) seorang kreditor, mengenai sahnya piutang (tagihan) tersebut, mengenai jumlah yang pasti dari piutang (tagihan) tersebut atau bagaimana tata cara melakukan pencocokan/verifikasi. Kepailitan menurut Siti Soemarti Hartono adalah suatu lembaga yang merupakan realisasi dari 2 (dua) asas pokok yang tercantum dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. 29 Menurut Pasal 1131 KUH Perdata semua benda bergerak dan tidak bergerak dari seorang debitor, baik yang sekarang ada maupun 28 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan..., Op. Cit, hlm Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 3.

28 yang akan diperolehnya menjadi jaminan atas segala perikatannya, sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa benda-benda itu menjadi jaminan bagi semua kreditornya secara bersama-sama, hasil penjualan benda-benda itu dibagi secara seimbang menurut perbandingan tagihan-tagihan masing-masing kreditor, kecuali di antara para kreditor terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari kreditor lain. Berkaitan dengan ketentuan dan asas yang terkandung dalam Pasal 1131 KUH Perdata, Djuhaendah Hasan menyatakan bahwa: Pemegang jaminan fidusia, Hak Tanggungan, hipotek, kreditor preferen atau kreditor dengan hak istimewa adalah kreditor seperti yang diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata. 30 Adapun kreditor yang tidak mempunyai keistimewaan sehingga kedudukannya satu sama lain sama. 31 Berkaitan dengan Hukum Kepailitan, Sutan Remy Sjahdeini menyatakan: Apabila seorang debitor memiliki lebih dari seorang kreditor, lebih-lebih apabila jumlah kreditor itu banyak sekali, dan di antara kreditor- kreditor itu terdapat pula satu atau lebih kreditor yang merupakan kreditor preferen, maka perlu diatur oleh hukum cara membagi hasil penjualan asset debitor di antara para kreditor itu. Cara pembagian itu diatur dalam Hukum Kepailitan (Bankrupcy law atau insolvency law). Pengaturan tersebut diperlukan demi ketertiban dan kepastian Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebandaan..., Op.Cit, hlm Iman S. Sastrawidjaya, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2006), hlm Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan..., Op. Cit, hlm

29 Dalam ilmu hukum perdata, seorang pemegang hak jaminan (hak agunan) memiliki hak yang disebut sebagai hak separatis. Hak separatis adalah hak-hak yang diberikan oleh hukum kepada kreditor pemegang hak jaminan bahwa hak jaminan (agunan) yang dibebani dengan hak jaminan tidak termasuk harta pailit, dan kreditor berhak untuk melakukan eksekusi berdasarkan kekuasaannya sendiri yang diberikan oleh undang-undang sebagai perwujudan dari hak kreditor pemegang hak jaminan untuk didahulukan dari pada kreditor lainnya. Sehubungan dengan berlakunya hak separatis tersebut, maka pemegang hak jaminan tidak boleh dihalangi haknya untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya atas harta kekayaan debitor yang dibebani dengan hak jaminan itu. Dalam UUKPKPU ternyata tidak menjunjung tinggi hak separatis dari para kreditor pemegang hak jaminan sebagaimana dilihat dari diberlakukannya ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, UUKPKPU ini ternyata tidak konsisten. Di satu pihak ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU tersebut mengakui hak dari kreditor, tetapi di pihak lain ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU justru mengingkari hak separatis itu karena menentukan bahwa benda yang dibebani hak jaminan merupakan harta pailit. Jaminan kebendaan yang dapat diikat Hak Tanggungan tersebut diatur didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Tanah

30 Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Agar kedudukan kreditor sebagai pemegang jaminan menjadi kuat secara yuridis, maka untuk memberikan perlindungan kepada kreditor separatis dalam UUHT Pasal 21 ditentukan bahwa : Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwewenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut Undang- Undang ini. Di dalam keadaan diam (standstill) hal ini tidak dimungkinkan terhadap harta kekayaan debitor, baik sebagian maupun seluruhnya, dibebani sita. Juga tidak dimungkinkan para pemegang hak jaminan untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya. 33 Sikap UUKPKPU yang tidak menempatkan harta debitor yang telah dibebani dengan hak jaminan di luar harta pailit merupakan sikap yang meruntuhkan sendisendi sistem hukum hak jaminan. Hal ini telah membuat Lembaga Hak Jaminan menjadi tidak ada artinya serta membuat konsep dan tujuan Lembaga Hak Jaminan menjadi tidak jelas. Padahal menurut Peraturan Kepailitan yang lama (Faillissements verordening), kreditor separatis dapat melaksanakan haknya sekalipun tidak ada kepailitan, artinya masa penundaan selama 90 (sembilan puluh) hari tidak ada, artinya hak separatis dari kreditor preferen benar-benar dihormati. 34 Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU dapat diketahui bahwa syarat seorang debitor dinyatakan pailit adalah apabila debitor tersebut mempunyai dua atau 33 Ibid, hlm Ibid, hlm. 55.

31 lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Kemudian Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU berbunyi : Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Permohonan pernyataaan pailit harus dikabulkan bahkan secara harafiah permohonan pailit tidak dapat ditolak apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Fakta atau keadaan yang dimaksud adalah fakta bahwa debitor mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditor dan fakta bahwa debitor tidak membayar utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. 2. Konsepsi Dalam rangka menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Actio Pauliana adalah untuk kepentingan harta pailit, kepada pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitor yang dinyatakan pailit

32 yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pailit diucapkan. 35 Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang- undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. 36 Pengadilan. 37 Debitor Pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang. 38 Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. 39 Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan Pasal 1 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 36 Pasal 1 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 37 Pasal 1 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 38 Pasal 1 ayat (8) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 39 Pasal 1ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang. 40 Pasal 1 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

33 Kreditor Separatis adalah kreditor yang memegang hak untuk melakukan eksekusi terhadap jaminan. 41 Kreditor istimewa adalah kreditor pemegang suatu hak yang diberikan oleh undang-undang sehingga tingkatannya lebih tinggi dari kreditor lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. 42 Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah Pengawasan Hakim Pengawas. 43 Pailit adalah keadaan debitor yang tidak mampu lagi membayar utangutangnya kepada para kreditornya yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan yang berwenang untuk itu. 44 Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkup peradilan umum. 45 Standstill adalah keadaan diam dari debitor dengan tidak melakukan perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 42 Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 43 Pasal 1 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 44 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan, Loc.Cit, hlm Pasal 1 ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 46 Pasal 56 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

34 Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk dapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. 47 G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya. 48 Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan Pasal 1 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 48 Joko P, Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian, Op.Cit, hlm. 43.

35 Berdasarkan judul dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dan supaya dapat memberikan hasil yang bermanfaat maka penelitian ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif yaitu menggambarkan dan menganalisa masalah-masalah yang akan dikemukakan, yang dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif. 50 Pendekatan yuridis normatif ini digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori. 51 Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, yang meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, 52 sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat menganalisa permasalahan yang akan dibahas. 50 Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, lebih lanjut lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Gramedia Indonesia, 1990), hlm M. Solly Lubis, Pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 89, mengatakan asas-asas hukum adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang dimasyarakatkan menjadi landasan hubungan-hubungan sesama anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA A. Pengertian Keadaan Diam (Standstill) Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam Undang-Undang Kepaillitan Indonesia.

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, sumber manusia termasuk juga perkembangan di sektor ekonomi dan bisnis. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada masa sekarang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan ekonomi guna mencapai kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN Danik Gatot Kuswardani 1, Achmad Busro 2 Abstrak Pokok permasalahan yaitu: (1) Bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk pula kebutuhan keuangan, sehingga untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Hanya dalam kehidupan bersamalah manusia dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan memegang peranan sangat penting dalam bidang perekonomian seiring dengan fungsinya sebagai penyalur dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang perkembangan dan perekonomian, dalam perekonomian banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu motif utama badan usaha meminjam atau memakai modal adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi jumlah maupun

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT 34 BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI BENDA JAMINAN YANG TELAH DIBEBANI HAK TANGGUNGAN PADA DEBITUR PAILIT A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Jaminan Hak Tanggungan Menurut UUHT No. 4 Tahun

Lebih terperinci

Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia. Oleh : Lili Naili Hidayah 1. Abstrak

Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia. Oleh : Lili Naili Hidayah 1. Abstrak Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Undang-Undang Kepailitan tidak mengatur apakah harta kekayaan debitur masih melebihi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai kebutuhan demi menunjang kehidupannya. Berbagai cara dilakukan oleh manusia demi menjamin kebutuhan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, pembangunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional. Salah satu upaya untuk mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan hidup financial setiap orang dapat diperoleh dengan berbagai cara. Orang (orang perseorangan dan badan hukum) yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN A. Pengertian Hak Tanggungan Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka Undang-Undang tersebut telah mengamanahkan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan dalam kehidupan dewasa ini bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi. Bank tidak hanya menjadi sahabat masyarakat perkotaan, tetapi juga masyarakat perdesaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan yang sangat penting dan mendesak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern ini, persaingan ekonomi di dunia sangatlah ketat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembang pesatnya makro dan mikro seiring dengan pertumbuhan unit-unit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi Indonesia, sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyahkt yang adil dan makmur

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN 1.1 Hak Tanggungan 1.1.1 Pengertian Hak Tanggungan Undang-Undang Pokok Agraria menamakan lembaga hak jaminan atas tanah dengan sebutan Hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi

Lebih terperinci

PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN PADA PT. BANK. MANDIRI (PERSERO) Tbk. BANDAR LAMPUNG. Disusun Oleh : Fika Mafda Mutiara, SH.

PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN PADA PT. BANK. MANDIRI (PERSERO) Tbk. BANDAR LAMPUNG. Disusun Oleh : Fika Mafda Mutiara, SH. PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN PADA PT. BANK MANDIRI (PERSERO) Tbk. BANDAR LAMPUNG Disusun Oleh : Fika Mafda Mutiara, SH. 11010112420124 Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Program Magister

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau membayar utangnya kepada kreditor, maka telah disiapkan suatu pintu darurat untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 120 PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu menunjukkan arah untuk menyatukan ekonomi global, regional ataupun lokal, 1 serta dampak terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, dan merupakan sarana bagi pemerintah dalam menggalakkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur kepada Bank berupa tanah-tanah yang masih belum bersertifikat atau belum terdaftar di Kantor Pertanahan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 diarahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering dijumpai perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau disebut

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN A. Kepailitan 1. Pengertian dan Syarat Kepailitan Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala yang berhubungan dengan pailit. Istilah pailit dijumpai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari keperluan akan dana guna menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat yang kelebihan dana, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Munculnya berbagai lembaga pembiayaan dewasa ini turut memacu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Munculnya berbagai lembaga pembiayaan dewasa ini turut memacu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya berbagai lembaga pembiayaan dewasa ini turut memacu roda perekonomian masyarakat. Namun sayangnya pertumbuhan institusi perekonomian tersebut tidak

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan ekonomi dan perdagangan dewasa ini, sulit dibayangkan bahwa pelaku usaha, baik perorangan maupun badan hukum mempunyai modal usaha yang cukup untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN 1 TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK KREDITOR DALAM MELAKSANAKAN EKSEKUSI SELAKU PEMEGANG JAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS HAK-HAK NASABAH PEGADAIAN DALAM HAL TERJADI PELELANGAN TERHADAP BARANG JAMINAN (Studi Kasus Di Perum Pegadaian Cabang Klaten)

TINJAUAN YURIDIS HAK-HAK NASABAH PEGADAIAN DALAM HAL TERJADI PELELANGAN TERHADAP BARANG JAMINAN (Studi Kasus Di Perum Pegadaian Cabang Klaten) TINJAUAN YURIDIS HAK-HAK NASABAH PEGADAIAN DALAM HAL TERJADI PELELANGAN TERHADAP BARANG JAMINAN (Studi Kasus Di Perum Pegadaian Cabang Klaten) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. 13 A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah negara berkembang yang senantiasa melakukan pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di segala bidang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. substantif antara kepailitan atas subjek hukum orang (natuurlijke persoon) dengan

BAB I PENDAHULUAN. substantif antara kepailitan atas subjek hukum orang (natuurlijke persoon) dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem kepailitan yang berlaku di Indonesia, tidak membedakan secara substantif antara kepailitan atas subjek hukum orang (natuurlijke persoon) dengan kepailitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik materiil maupun spiritual. Salah satu cara untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik materiil maupun spiritual. Salah satu cara untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik

Lebih terperinci

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya Lahirnya Undang-Undang Kepailitan yang mengubah ketentuan peraturan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (dalam tulisan ini, undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 KAJIAN YURIDIS ASAS PEMISAHAN HORISONTAL DALAM HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH 1 Oleh: Gabriella Yulistina Aguw 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana berlakunya asas pemisahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dampak yang sangat besar terhadap sendi-sendi kehidupan ekonomi Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. dampak yang sangat besar terhadap sendi-sendi kehidupan ekonomi Indonesia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada bulan Juli 1997 telah terjadi krisis moneter di Indonesia yang membawa dampak yang sangat besar terhadap sendi-sendi kehidupan ekonomi Indonesia, terutama terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai sekarang pembuatan segala macam jenis perjanjian, baik perjanjian khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman pada KUH Perdata,

Lebih terperinci