BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. 1. Sejarah Pengaturan Pertambangan di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. 1. Sejarah Pengaturan Pertambangan di Indonesia"

Transkripsi

1 BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia 1. Sejarah Pengaturan Pertambangan di Indonesia Sejarah telah mencatat bahwa penjajahan Belanda atas kepulauan nusantara, berawal pada tahun Dalam tahun itu, pasukan VereenigdeOostInischeCompagnie (VOC) di bawah pimpinan Jan PieterzoonCoen berhasil merebut jayakarta dan kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Batavia. 90 Selama lebih dari tiga abad penjajahan Belanda di Hindia Belanda, SoetaryoSigit seorang pakar pertambangan terkemuka Indonesia, menyimpulkan bahwa; Dalam hal penyelidikan geologi yang bersifat mendasar, cukup banyak yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh para pakar Belanda. Hal ini tidak mengherankan, karena Bangsa Belanda sejak dulu sudah terkenal memiliki ilmuan-ilmuan besar di berbagai bidang. Dalam bidang pertambangan sebaliknya, ternyata orang-orang Belanda tidak mampu mengembangkan Hindia Belanda menjadi suatu wilayah pertambangan terkemuka, meskipun potensi mineral wilayah ini, sesungguhnya cukup besar. Hal ini-pun tidak perlu mengherankan, karena negeri Belanda bukan negara pertambangan. Sebelum memasuki era industry pada 91 dasarnya rakyat Belanda hidup dari pertanian dan perdagangan. Pada tahun 1852 pemerintah mendirikan Dienst van het Mijnwezen (Jawatan Pertambangan). Tugas Jawatan ini adalah melakukan eksplorasi geologipertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan pemerintah Hindia-Belanda. 90 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan (Jogjakarta : UII Press, 2004), hlm Ibid.,hlm

2 35 Hasil penemuannya antara lain; endapan batubara Ombilin Sumatera Barat (1866), namun baru berhasil ditambang oleh Pemerintah pada tahun Baru pada tahun 1899, pemerintah Hindia Belanda berhasil mengundangkan IndischeMijnwet (Staatblad ). IndischeMijnwet hanya mengatur mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan pertambangan. 93 Oleh karena IndischeMijnwethanya mengatur pokok-pokok persoalan saja, sehingga pemerintah colonial mengeluarkan peraturan pelaksanaan berupa Mijnorodnnantieyang diberlakukan mulai 1 Mei Mijnordonnantie mengatur pula mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja (tercantum dalam Pasal 356 sampai dengan Pasal 612). Kemudian pada tahun 1930 Mijnordonnantie 1907 dicabut dan diperbaharui dengan MijnOrdonannatie 1930 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli Dalam MijnOrdonnantie 1930, tidka lagi mengatur mengenai Pengawasan Keselatmatan Kerja Pertambangan, tetapi diatur tersendiri dalam MijnPolitieReglement (Staatblad No.341) yang hingga kini masih berlaku. 94 Menyerahnya tentara kerajaan Hindia Belanda KNIL kepada balatentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 menandai berakhirnya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia. Selama pendudukan Jepang IndischeMinjwet 1899 praktis tidak jalan, sebab semua kebijakan mengenai pertambangan termasuk operasi minyak berada di tangan Komando Militer Jepang yang disesuaikan dengan situasi perang. 95 Pada tanggal 27 Desember 1949 berlangsung secara resmi penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda kepada Republik Indonesia Serikat dan 92 Ibid.,hlm Ibid., hlm Ibid. 95 Ibid.,hlm

3 36 pada tanggal 17 Agustus1950 RIS dilebur menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia. 96 Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, masalah pengawasan atas usaha pertambangan timah dan minyak bumi yang masih dikuasai modal Belanda dan modal asing lainnya merupakan isu politik yang sangat peka. Oleh karena itu, pada bulan Juli 1951 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), TeukuMr.Moh. Hassan mengambil langkah guna membenahi pengaturan dan pengawasan usaha pertambangan di Indonesia. 97 Usul mosi ini yang kemudian dikenal dengan sebutan Mosi TeukuMoh.Hassan dkk yang memuat beberapa hal yang diantaranya yang terpenting ialah yang mendesak pemerintah supaya: 98 a. Membentuk suatu Komisi Negara Urusan Pertambangan dalam jangka waktu satu bulan dengan tugas sebagai berikut: 1) Menyelidiki masalah pengolahan tambang minyak, timah, batubara, tambang emas/perak dan bahan mineral lainnya di Indonesia. 2) Mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan dewasa ini. 3) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah untuk menyelesaikan/mengatur pengolahan minyak di Sumatera khususnya dan sumber-sumber minyak di tempat lain. 4) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai status Pertambangan di Indonesia. 96 Ibid., hlm Ibid., hlm Ibid., hlm

4 37 5) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai penetapan pajak dan penetapan harga minyak. 6) Membuat usul-usul lain mengenai pertambangan sebagai sumber penghasilan Negara. b. Menunda segala pemberian izin, konsesi, eksplorasi maupun memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya, selama menunggu hasil pekerjaan Panitia Negara Urusan Pertambangan. Pada tahun 1960 pemerintah menerbitkan suatu peraturan mengenai pertambangan yang diundangkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian menjadi Undang-Undang No.37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pertambangan Undang-Undang ini mengakhiri berlakunya IndischeMijnwet 1899 yang tidak selaras dengan cita-cita kepentingan nasional dan merupakan Undang-undang pertambangan nasional yang pertama. 99 Pada tahun 1966 pemerintah menerbitkan Ketetapan MPRS No. XXII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Ketetapan MPRS tersebut, memuat beberapa hal yang terkait dengan sector pertambangan, antara lain sebagai berikut: 100 a. Kekayaan potensi yang terdapat dalam alam Indonesia perlu digali dan diolah agar dapat dijadikan kekuatan ekonomi rill (Bab II Pasal 8); b. Potensi modal, teknologi dan keahlian dari luar negeri dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan Indonesia (Bab II, Pasal 10); 99 Ibid., hlm Ibid.,hlm

5 38 c. Dengan mengingat terbatasnya modal dari luar negeri, perlu segera ditetapkan undang-undang mengenai modal asing dan modal domestic (Bab VIII, Pasal 62). Berdasarkan ketetapan MPRS di atas, disusunlah rancangan undangudang tentang Penanaman Modal Asing, kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Untuk menyesuaikan kebijaksanaan baru dalam perekonomian, khususnya mengenai usaha pertambangan tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengganti undang-undang pertambangan Menyadari sepenuhnya urgensi penanganan ini, Departemen Pertambangan segera membentuk Panitia Penyusun Rencana Undang-undang Pertambangan. Hasil kerja Panitia diajukan kepada DPR menjelang pertengahan tahun Menyusul terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, terbit pula Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan atau UUPP Dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan yang telah mengatur kegiatan pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia selama lebih kurang 42 tahun dianggap sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan. Pertimbangan tersebut dijadikan 101 Ibid., hlm.71.

6 39 dasar untuk pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 2. Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dibentuk untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi perkembangan nasional maupun internasional yang terkait dengan Pertambangan. Undang-undang ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut: 102 a. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh Negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha. b. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. c. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengolahan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eskternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah. 102 Indonesia (a), Loc.Cit., bagian penjelasan umum.

7 40 d. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. e. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan. f. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Salah satu perubahan yang sangat mendasar dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah perubahan sistem pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, maka sistem yang digunakan dalam pengusahaan pertambangan mineral dan batubara adalah menggunakan kontrak, baik kontrak karya maupun perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), sedangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menggunakan izin. Izin yang diberikan kepada pemohon, meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP), IPR dan IUPK. Izin usaha pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Walaupun dalam undang-undang ini telah ditetapkan sistem yang digunakan dalam pengusahaan pertambangan mineral, yaitu IUP, namun dalam Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tetap mengakui keberadaan kontrak karya yang telah ditandatangani sebelum berlakunya undang-undang ini sampai dengan jangka waktu berakhirnya kontrak karya. 103 Tetapi kontrak karya tersebut tetap 103 Salim HS, Op.Cit., hlm.3.

8 41 harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Minerba selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU Minerba diundangkan. 104 Selain itu UU Minerba juga mengatur tentang peningkatan nilai tambah hasil penambangan mineral dan batubara di dalam negeri. Pasal 102 UU Minerba menyatakan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutan. 105 Selanjutnya pada Pasal 103 ayat (1) UU Minerba diatur tentang kewajiban bagi Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Dengan melihat penjelasan Pasal 103 ayat (1) dapat diketahui tujuan dari melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yaitu untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara. Kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri tidak hanya berlaku bagi Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi tetapi juga berlaku bagi pemegang kontrak karya. 106 Namun terdapat perbedaan waktu dalam melaksanakan kewajiban tersebut. Bagi pemegang kontrak karya kewajiban tersebut harus dilaksanakan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak 104 Indonesia (a), Loc.Cit., Pasal 169 huruf b. 105 Indonesia (a), Loc.Cit., Penjelasan Pasal Indonesia (a), Loc.Cit., Pasal 170.

9 42 UU Minerbadiundangkan. 107 Namun bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi berlaku mengikat seketika sejak diundangkannya UU Minerba. 108 Konsekuensi logis dari Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan nilai tambah terhadap produksi tambangnya dan peningkatan nilai tambah tersebut wajib dilakukan di dalam negeri, maka konsekuensinya adalah ekspor terhadap mineral mentah harus dilarang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri menjadi tidak ada artinya. 109 Mengenai pelarangan ekspor mineral mentah tersebut ditegaskan lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 yang menyatakan sebagai berikut: peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih( raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat 110 dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang. Berdasarkan keterangan tersebut dapat dimengerti bahwa pelarangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara di dalam negeri. Dimana kewajiban peningkatan nilai tambah hasil penambangan tersebut dapat terlaksana jika ekspor terhadap mineral mentah dilarang. Pelarangan ekspor mineral mentah adalah 107 Ibid. 108 Sony Keraf, Loc.Cit,. hlm YusrilIhzaMahendra, Loc.Cit.,hlm Putusan Mahkamah Konstitusi, Loc.Cit., hlm.175.

10 43 larangan penjualan bijih (raw material atau ore) ke luar negeri tanpa proses pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri, dengan kata lain bijih (raw material atau ore) harus diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu sebelum dapat dijual ke luar negeri atau diekspor. Memperhatikan kembali ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba, maka dapat diketahui bahwa Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi tidak boleh mengekspor mineral mentah terhitung sejak berlakunya UU Minerba. Sedangkan bagi pemegang kontrak karya berdasarkan ketentuan Pasal 170 UU Minerba terhitung 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya UU Minerba tidak dapat lagi mengekspor mineral mentah.bentuk pelarangan ekspor yang diterapkan oleh peraturan ini adalah kewajiban peningkatan nilai tambah melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Apabila dikaitkan dengan bentuk larangan atau hambatan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal XI angka 1 GATT maka bentuk larangan ekspor ini tergolong kepada other measures (kebijakan/peraturan lainnya) Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Berdasarkan PP No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua PP No.23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara 111 Lihat Pasal XI angka 1 GATT, yang menyatakan : No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licencesor other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party.

11 44 Tanggal 1 Februari 2010 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan.Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan dengan tujuan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diamanatkan dalam UU Minerba yang diantaranya adalah mengenai peningkatan nilai tambah hasil penambangan di dalam negeri melalui pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam Pasal 103 ayat (3) UU Minerba. Sebelum diterbitkannya UU Minerba, terdapat berbagai jenis izin dalam melakukan usaha pertambangan, beberapa diantaranya adalah Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal 112 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 surat izin tersebut tetap dinyatakan berlaku namun harus disesuaikan menjadi IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun Surat izin tersebut juga dikenai kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak berlakunya UU Minerba. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan waktu dalam melaksanakan kegiatan pengolahan dan pemurnian antara IUP yang diterbitkan pada saat UU Minerba berlaku dengan IUP yang terbit dari hasil penyesuaian Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat. Dimana IUP yang terbit pada saat UU Minerba berlaku diwajibkan langsung melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam kegiatan pertambangannya namun bagi IUP yang terbit dari hasil penyesuaian diberikan jangka waktu selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya UU Minerba. Berkaitan dengan pelarangan ekspor mineral

12 45 mentah, bagi pemegang IUP yang terbit pada saat UU Minerba berlaku, tidak diperkenankan untuk melakukan ekspor mineral mentah tanpa pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu pada saat mereka melakukan kegiatan pertambangan namun hal tersebut tidak berlaku bagi pemegang IUP hasil penyesuaian, mereka dilarang melakukan ekspor mineral mentah setelah UU Minerba berlaku selama 5 (lima) tahun. Tanggal 21 Februari 2012 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun Perubahan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa dalam rangka menunjang pembangunan industri dalam negeri perlu penataan kembali pemberian izin usaha pertambangan untuk mineral bukan logam dan batuan, pengaturan lebih lanjut mengenai kewajiban divestasi saham modal asing serta memberikan kepastian hukum bagi pemegang kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara yang bermaksud melakukan perpanjangan dalam bentuk izin usaha pertambangan. 112 Pada tanggal 1 Januari 2014 pemerintah kembali merubah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 yang sebelumnya telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun Pasal 112C angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 menegaskan bahwa bagi pemegang kontrak karya yang telah melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Jika dicermati lebih lanjut maka Pasal ini secara implisit memberikan pengertian bahwa bagi 112 Indonesia (i), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Konsideran.

13 46 pemegang kontrak karya dilarang untuk melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) terhadap mineral logam yang belum dilakukan pemurnian (raw material).sedangkan Pasal 112C angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 menegaskan bahwa bagi pemegang IUP Operasi Produksi 113 yang telah melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Sama seperti Pasal 112C angka 3 di atas, Pasal 112C angka 4 secara implisit memberikan pengertian bahwa bagi pemegang IUP Operasi Produksi dilarang untuk melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) terhadap mineral logam yang belum dilakukan pengolahan (raw material). Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 secara implisit mengatur tentang pelarangan ekspor mineral mentah khususnya komoditas mineral logam yang belum diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri. Mengenai batasan minimum pengolahan dan pemurnian tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. 114 Selain itu Pasal 84 ayat 3 juga melarang penjualan mineral ke luar negeri sebelum terpenuhinya kebutuhan mineral dalam negeri.bentuk larangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini sama seperti yang diatur dalam UU Minerba yaitu tergolong dalam other measures sebagaimana dimaksud dalam Pasal XI angka 1 GATT. 4. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri 113 Pemegang IUP Operasi Produksi yang dimaksud adalah IUP yang berasal dari penyesuaian Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat menjadi IUP, lihat Pasal 112 angka 4 PP Nomor 1 Tahun Indonesia (c), Loc.Cit., Pasal 112C angka 5.

14 47 Guna melaksanakan ketentuan Pasal 96 dan Pasal 112C angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Penambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, Pemerintah Pada tanggal 1 Januari 2014 mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri. Komoditas tambang mineral yang wajib ditingkatkan nilai tambahnya adalah Mineral Logam, Mineral Bukan Logam, dan Batuan. 115 Terdapat perbedaan kegiatan peningkatan nilai tambah terhadap masing-masing komoditas tambang mineral. Peningkatan nilai tambah terhadap mineral logam dilakukan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian, sedangkan bagi komoditas tambang mineral bukan logam dan batuan dilakukan melalui pengolahan. 116 Pengolahan merupakan upaya untuk meningkatkan mutu mineral atau batuan yang menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari mineral atau batuan asal, antara lain berupa konsentrat mineral logam dan batuan yang dipoles. 117 Sedangkan pemurnian merupakan upaya untuk meningkatkan mutu mineral logam melalui proses ekstraksi serta proses peningkatan kemurnian lebih lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari mineral asal, antara lain berupa logam dan logam paduan. 118 Terhadap komoditas tambang mineral (termasuk produk samping / sisa hasil pemurnian dan/atau pengolahan / mineral ikutan) yang akan dijual keluar 115 Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 2 angka Ibid., Pasal 2 angka Ibid., Pasal 2 angka Ibid., Pasal 2 angka 4.

15 48 negeri oleh pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian serta IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, terlebih dahulu harus dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian sampai batas minimum pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen ESDM Nomor 1 Tahun Ketentuan tentang batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian komoditas tambang mineral diatas berkaitan dengan larangan ekspor mineral mentah, dimana terhadap komoditas tambang mineral (termasuk produk samping / sisa hasil pemurnian dan/atau pengolahan / mineral ikutan) hanya dapat dijual ke luar negeri (ekspor) jika komoditas tambang tersebut telah memenuhi batasan minimum pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen ESDM Nomor 1 Tahun Sebelumnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 secara implisit hanya mengatur tentang pelarangan ekspor mineral mentah khususnya komoditas mineral logam yang belum diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri. Sedangkan untuk komoditas tambang mineral bukan logam dan batuan diatur dalam Pasal 11 Permen ESDM Nomor 1 Tahun Pada Pasal 112C angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 pemegang kontrak karya hanya diperbolehkan untuk menjual ke luar negeri mineral logam hasil kegiatan pemurnian dalam jumlah tertentu setelah memenuhi batasan minimum pengolahan dan pemurnian, hak ini kemudian diperluas pada 119 Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 7

16 49 Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 dimana pemegang kontrak karya juga diperbolehkan untuk menjual keluar negeri dalam jumlah tertentu hasil pengolahan mineral logam. 120 Berlaku juga terhadap Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112C angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, dimana pemegang IUP Operasi Produksi tidak hanya diperbolehkan menjual ke luar negeri dalam jumlah tertentu hasil pengolahan tetapi juga hasil pemurnian setelah terpenuhinya batas minimum pengolahan dan pemurnian. Jumlah tertentu yang dimaksud sama dengan pembatasan volume. Pembatasan volume tersebut hanya berlaku bagi produk konsentrat dan pembatasan tersebut bertujuan untuk mengatur sumber daya alam. 121 Besaran jumlah tertentu tersebut ditentukan berdasarkan pertimbangan terhadap kinerja pengelolaan lingkungan, cadangan (ketersediaan mineral logam untuk pengolahan dan pemurnian di dalam negeri), kapasitas fasilitas pemurnian, dan kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian. 122 Berdasarkan ketentuan ini pemerintah membuka pintu ekspor bagi pemegang kontrak karya dan IUP Operasi Produksi untuk dapat melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) mineral logam yang telah melewati batas minimum pengolahan dan pemurnian walau jumlahnya dibatasi. Walau demikian penjualan ke luar negeri mineral logam tanpa pengolahan dan/atau pemurnian tetap dilarang. Tetapi terdapat komoditas tambang mineral logam yang dilarang untuk dijual ke luar negeri walaupun telah dilakukan kegiatan pengolahan. Komoditas 120 Ibid., Pasal 12 angka IndaMarlina, Ekspor Produk Pemurnian Bijih Mineral Tidak Dibatasi, ( 9 Maret 2015) 122 Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 12 angka 10.

17 50 tambang mineral logam itu terdiri dari nikel, bauksit, timah, emas, perak, dan kromium. 123 Untuk dapat melakukan ekspor terhadap komoditas tambang tersebut harus terlebih dahulu melakukan kegiatan pemurnian sampai dengan batas minimum pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen ESDM Nomor 1 Tahun Namun ekspor terhadap mineral logam hasil pengolahan hanya berlaku 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Permen ESDM Nomor 1 Tahun Terhitung 12 Januari 2017 baik pemegang Kontrak Karya maupun pemegang IUP Operasi Produksi hanya dapat melakukan penjualan ke luar negeri mineral logam hasil pemurnian yang telah mencapai batas minimum pemurnian. 124 Disamping itu baik pemegang Kontrak Karya maupun IUP Operasi Produksi hanya dapat melakukan penjualan ke luar negeri apabila telah mendapatkan rekomendasi Direktur Jenderal atas nama Menteri. Surat rekomendasi tersebut nantinya akan digunakan untuk mendapatkan Surat Persetujuan Ekspor dari Menteri Perdagangan. 125 Bentuk larangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal XI angka 1 GATT maka tergolong kepada kuota ekspor (export quota), izin ekspor (export licences), kebijakan/peraturan lainnya (other measure). 5. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04 / M-DAG / PER / 1 / 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian Tanggal 1 Januari 2014 guna mendukung kebijakan peningkatan nilai tambah produk pertambangan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan terkait dengan kebijakan tersebut, 123 Ibid., Pasal 12 angka Ibid., Pasal 12 angka Ibid.,Pasal 12 angka 6 dan 7.

18 51 salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04 / M-DAG / PER / 1 / Tahun 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian (Permendag Nomor 4 Tahun 2014).Peraturan ini dikeluarkan dengan tujuan untuk mendukung upaya tertib usaha di bidang pertambangan, hasil pengolahan dan pemurnian di dalam negeri serta menciptakan kepastian usaha dan kepastian hukum sehubungan dengan kebijakan hilirisasi yang dilaksanakan melalui peningkatan nilai tambah produk pertambangan dengan melaksanakan kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. 126 Berbeda dengan peraturan-peraturan terkait pelarangan ekspor mineral mentah yang telah dibahas di atas. Peraturan-peraturan tersebut melarang ekspor mineral mentah dengan memberikan pengertian secara implisit dari pasal-pasal bersangkutan.permendag Nomor 4 Tahun 2014 secara tegas menyatakan Produk Pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan dalam bentuk ore dan belum mencapai batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian dilarang untuk diekspor. 127 Produk pertambangan yang dilarang ekspornya tersebut terdiri dari 17 (tujuh belas) produk pertambangan dalam bentuk Ore (bijih)/ Raw Material, 10 (sepuluh) produk pertambangan dalam bentuk konsentrat yang belum memenuhi batasan minimum pengolahan, 165 (seratus enam puluh lima) produk pertambangan dalam bentuk mineral logam dan bukan logam serta 9 (sembilan) produk pertambangan dalam bentuk batuan yang belum memenuhi batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian Indonesia (d), Loc.Cit.,Konsideran 127 Ibid., Pasal 2 angka Ibid., Lampiran III.

19 52 Permendag Nomor 4 Tahun 2014 tidak hanya mengatur mengenai pelarangan ekspor mineral mentah tetapi juga pembatasan ekspor terhadap produk pertambangan yang berasal dari mineral logam yang sudah mencapai batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian, mineral bukan logam, dan batuan yang sudah mencapai batasan minimum pengolahan. Produk pertambangan yang dimaksud tercantum dalam lampiran I dan lampiran II peraturan ini. 129 Barang dibatasi ekspornya adalah barang yang dibatasi eksportir, jenis dan/atau jumlah yang diekspor. 130 Artinya pembatasan terhadap barang ekspor dapat dilakukan dengan tiga indikator yakni: 131 a. Eksportirnya dibatasi; Artinya hanya eksportir tertentu yang dapat melakukan ekspor terhadap produk pertambangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 angka 2 Permendag Nomor 4 Tahun 2014, dalam hal ini yang dapat melakukan hal tersebut adalah perusahaan yang telah mendapatkan pengakuan sebagai ET-Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian dari Menteri. 132 b. Jenis barangnya dibatasi; dan/atau Artinya bahwa untuk jenis-jenis barang tertentu maka ekspornya dibatasi. Barang-barang tersebut adalah produk pertambangan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 2 angka 2 Permendag Nomor 4 Tahun 2014 dimana barang tersebut hanya bisa diekspor apabila telah memenuhi batasan minimum pengolahan dan pemurnian. 129 Ibid.,Pasal 2 angka 1 dan Indonesia (j), Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 13 / M-DAG / PER / 3 / 2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor, Pasal 1 angka Junaiding, Objek Ekspor, (diakses 9 Maret 2015) 132 Indonesia (d), Pasal 4 angka 1.

20 53 c. Jumlah barangnya yang dibatasi. Artinya untuk jenis barang tertentu hanya boleh diekspor dalam jumlah tertentu saja. Jumlah tertentu ini sebagaimana yang dimaksud Pasal 12 Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 yaitu produk konsentrat. Bentuk pelarangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini jika dikaitkan dengan Pasal XI angka 1 GATT maka tergolong kepada izin ekspor (export licences). 6. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar. Guna menunjang kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan-peraturan yang telah dijelaskan diatas maka pemerintah melalui kementerian keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar (selanjutnya disebut dengan Permenkeu Nomor 153 Tahun 2014). Tarif bea keluar ekspor mineral hasil olahan dan/atau pemurnian ini diterapkan dalam rangka kebijakan pengendalian penjualan bijih (Raw Material atau Ore) Mineral ke luar negeri serta dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan ketersediaan sumber daya mineral di dalam negeri.peraturan ini mengatur

21 54 tentang besaran bea keluar yang harus dibayarkan oleh eksportir jika melakukan ekspor mineral hasil olahan dan/atau pemurnian. Jenis bea keluar yang diatur peraturan ini terbagi atas dua jenis yaitu: a. Bea keluar yang dikenakan kepada eksportir yang tidak membangun fasilitas smelter atau tidak melakukan kerjasama pembangunan fasilitas smelter. b. Bea keluar yang dikenakan kepada eksportir yang membangun fasilitas smelter atau melakukan kerjasama pembangunan fasilitas smelter. Untuk yang jenis pertama bea keluar diterapkan secara progresif dimulai dari 20% s/d 60%. Kenaikan bea keluar tersebut dilakukan secara bertahap per enam bulan sekali dimulai dari sejak diberlakukannya peraturan ini sampai dengan tanggal 12 Januari Untuk yang jenis kedua bea keluar diterapkan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter. Tingkat kemajuan pembangunan tersebut dibagi menjadi tiga 3 tahap yaitu : 134 a. Tahap I : untuk tingkat kemajuan pembangunan sampai dengan 7,5% termasuk di dalamnya penempatan jaminan kesungguhan 135 ; b. Tahap II : untuk tingkat kemajuan pembangunan lebih dari 7,5% sampai dengan 30%; c. Tahap III : untuk tingkat kemajuan pembangunan lebih dari 30% Untuk tahap I dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5 %, tahap II sebesar 5%, dan tahap III sebesar 0% atau dapat dikatakan tidak dikenai bea keluar. 133 Lihat Lampiran I Permenkeu Nomor 153 Tahun Indonesia (l), Pasal 4A angka Penempatan jaminan kesungguhan adalah uang jaminan yang disetorkan kepada pemerintah sebagai tanda keseriusan dalam pembangunan smelter yaitu sebesar 5% dari nilai investasi baru atau dari sisa hasil investasi yang belum terealisasi bagi pembangunan fasilitas pemurnian yang sudah berjalan., Lihat Pasal 8 angka 2 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral Ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.

22 55 Berbeda dengan tarif bea keluar jenis pertama yang besaran tarif bea keluarnya dikenakan secara progresif sejalan dengan berlalunya waktu, untuk tarif jenis kedua ini dikenakan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter dan tidak dipengaruhi berlalunya waktu. Sebagai contoh, apabila suatu eksportir tergolong pada Tahap I yang dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5% maka dari sejak berlakunya peraturan ini sampai dengan tanggal 12 Januari 2017 eksportir tersebut tetap dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5% apabila dia ingin mengurangi tarif bea keluarnya sampai dengan 5% maka dia harus meningkatkan tingkat kemajuan pembangunan smelternya di rentang 7,5% s/d 30%, dan apabila dia tidak ingin dikenai tarif bea keluar maka dia harus meningkatkan tingkat kemajuan pembangunan smelternya sampai dengan lebih dari 30%. 136 Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal XI angka 1 GATT maka bentuk pelarangan ekspor yang terdapat dalam peraturan ini tergolong dalam pajak ekspor (export taxes) yang berbentuk ad valorem tax. Ad valorem tax adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang yang diekspor. 137 Sebagai contoh jika seorang eksportir mengekspor konsentrat tembaga dengan kadar 15% Cu maka dia akan dikenakan tarif bea keluar sebesar 25%. B. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah di Indonesia. 1. Pengertian Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Baik dalam UU Minerba maupun peraturan-peraturan pelaksananya tidak terdapat definisi mengenai pelarangan ekspor mineral mentah. Pelarangan terdiri 136 Lihat Lampiran II Permenkeu Nomor 153 Tahun Jane Korinek, Jeonghoi Kim, Export Restrictions on Strategic Raw Materials and Their Impact On Trade And Global Supply, 2010, hlm.11.

23 56 dari kata dasar larang yang ditambahkan imbuhan pe-an. Imbuhan pe-an dapat diartikan sebagai perihal. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelarangan diartikan sebagai perihal melarang, perbuatan melarang, sedangkan ekspor adalah pengiriman barang dagangan ke luar negeri dan mentah didefinisikan sebagai belum diolah. Pasal 1 angka 2 UU Minerba mendefinisikan mineral sebagai senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Dengan demikian secara harfiah pelarangan ekspor mineral mentah dapat diartikan sebagai perintah atau aturan yang melarang suatu perbuatan yakni pengiriman mineral yang belum diolah ke luar negeri. Dalam konteks kebijakan peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang diatur dalam Pasal 102 dan 103 UU Minerba serta peraturan-peraturan pelaksananya. Dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan terhadap ekspor mineral yang belum diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu di dalam negeri sampai dengan batasan minimum pengolahan dan pemurnian. Guna memenuhi amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat

24 57 secara berkelanjutan. 138 Pemerintah mengeluarkan UU Minerba. Salah satu kebijakan yang terdapat dalam UU Minerba adalah peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 102 dan 103.Kebijakan peningkatan nilai tambah tersebut bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan lapangan pekerjaan, mendorong kebijakan hilirisasi pertambangan, menjamin ketersediaan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri serta menjaga kelestarian sumber daya alam. Untuk mendukung kebijakan peningkatan nilai tambah, pemerintah dalam regulasinya baik secara implisit maupun eksplisit seperti yang telah dijelaskan diatas melarang ekspor mineral mentah. Larangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kebijakan peningkatan nilai tambah terhadap produk pertambangan, sebab apabila ekspor terhadap mineral mentah tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri menjadi tidak artinya. 139 Jika pemerintah tidak melarang ekspor mineral mentah maka akan terjadi eksploitasi terhadap sumber daya alam, yang nantinya akan mengancam kelestarian lingkungan hidup dan ketersediaan mineral mentah untuk pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri.jika mineral mentah di dalam negeri tidak tersedia lagi, maka kebijakan peningkatan nilai tambah tidak dapat dilaksanakan. Untuk mencegah hal tersebut pemerintah dalam peraturan-peraturan pelaksananya baik secara implisit maupun eksplisit seperti yang telah dijelaskan diatas melarang ekspor mineral mentah. 138 Indonesia (a), Loc.Cit., Penjelasan Umum. 139 YusrilIhzaMahendra, Loc.Cit., hlm.7.

25 58 Mengenai pelarangan ekspor mineral mentah tersebut ditegaskan lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 menyatakan sebagai berikut: peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih( raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang Konsep Kedaulatan Negara Atas Bahan Tambang Dalam kepustakaan ilmu negara asal-usul kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty atau souvereniteit), sebab dikaitkan dengan soal siapa yang berdaulat atau memegang kekuasaan dalam suatu negara. 141 Karena kajian ini tidak akan mempersoalkan siapa yang memegang kekuasaan dalam negara, sehingga kurang tepat menggunakan teoriteori kedaulatan negara sebagai sumber kekuasaan negara atas sumber daya alam. Dasar teoritis sumber kekuasaan negara yang demikian, menurut van vollenhoven sebagaimana ditulis oleh Notonagoro ialah negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk membuat peraturan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi, Loc.Cit., hlm Abrar Saleng, Op.Cit.,hlm Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia (Bina Aksara, Jakarta, 1984), hlm.99.

26 59 Dalam kepustakaan lain, J.J Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat yang bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (Contract Social) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu. Dalam perjanjian masyarakat itu, pada hakikatnya yang dilepas oleh setiap individu dan diserahkan kepada kesatuannya hanya sebagian kekuasaan bukan kedaulatannya. Namun kekuasaan negara itu, bukanlah kekuasaan tanpa batas (postetaslegibus omnibus soluta), sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan (legesnaturaeetdevinae) serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan legesimperii. Pengertian legesimperii menurut Yudha B. Ardiwisastra ialah undang-undang dasar negara yang memuat ketentuan-ketentuan kepada siapa kekuasaan itu diserahkan dan batas-batas pelaksanaannya. 143 Sejalan dengan kedua teori atau konsep diatas, secara teoritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal sebagai hak bangsa. Negara di sini, dipandang sebagai territorialepubliekerechtsgeenschap van overhead en onderdanen, yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat hukum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus, dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumber daya dalam wilayahnya secara intern. 144 Sejalan dengan teori tersebut melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 143 Abrar Saleng, Op.Cit.,hlm Ibid.

27 60 UUD 1945 memberikan hak kepada negara untuk menguasai bumi dan dari dan kekayaan alam yang terkandung di dalam untuk kemakmuran rakyat. Hak tersebut selanjutnya disebut sebagai hak penguasaan negara.apabila konsep negara kesejahteraan 145 dan fungsi negara menurut W.Friedmann 146 dikaitkan dengan konsepsi Hak Penguasaan Negara untuk kondisi Indonesia dan keperluan kajian ini, dapat diterima dengan beberapa kajian kritis sebagai berikut; 147 Pertama, Hak Penguasaan Negara dinyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus. Karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang tetap dapat dikendalikan oleh negara. Kedua, Hak Penguasaan Negara dalam Pasal 33 UUD 1945, membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilitisdan public services atas dasar pertimbangan; filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepentingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoly yang merugikan perekonomian negara), ekonomi (efisiensi dan efektifitas) dan demi 145 Menurut BagirManan negara kesejahteraan adalah negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi pemikul utama tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lihat :Ibid., hlm Fungsi Negara menuturw.friendmann terdiri dari empat fungsi yaitu; (1) fungsi negara sebagai provider (penjamin) kesejahteraan rakyat; (2) fungsi negara sebagai regulator (pengatur); (3) fungsi negara sebagai entrepreneur (pengusaha) atau menjalankan sektor-sektor tertentu melalui state owned corporations (BUMN) dan; (4) fungsi negara sebagai umpire (pengawas, wasit) untuk merumuskan standar-standar yang adil mengenai kinerja sektor ekonomi termasuk perusahaan negara (state corporation). Lihat: Ibid.,hlm Ibid., hlm.18.

28 61 kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.sumber daya alam yang dimaksud dalam konteks ini adalah sumber daya alam dalam lingkup pertambangan terkhusus mineral dan batubara. 3. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Penguasaan Negara Kata-kata dikuasai oleh negara yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak ditafsirkan secara khusus dalam penjelasannya, sehingga memungkinkan untuk dilakukan penafsiran akan makna dan cakupan pengertiannya. Untuk memahami pengertian dikuasai oleh negara, maka terlebih dahulu dilakukan penafsiran etimologis. Dikuasai oleh negara (kalimat pasif) mempunyai padanan arti Negara menguasai atau Penguasaan Negara (kalimat aktif). Pengertian kata menguasai ialah berkuasa atas (sesuatu), memegang kekuasaan atas (sesuatu), sedangkan pengertian kata penguasaan berarti; proses, cara, perbuatan menguasai atau mengusahakan. Dengan demikian pengertian kata penguasaan lebih luas dari kata menguasai. 148 Dalam kerangka penguasaan negara atas pertambangan mengandung pengertian; negara memegang kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. Pengertian yang demikian, sejalan dengan maksud kata-kata dikuasai oleh negara yang tertuju kepada objekobjek penguasaan yang tersebut dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, sedangkan pengertian hak menurut Apeldoorn, yaitu suatu kekuasaan (macht) yang teratur oleh hukum yang berdasarkan kesusilaan (zadelijkheid, moral). Tetapi kekuasaan semata-mata bukanlah hak. Hanya kekuasaan yang dibenarkan 148 Ibid.,hlm.21.

29 62 oleh hukum (het recht in zijn-veroorlovendegedaante) saja yang dijadikan dasar bagi adanya hak untuk mengatur oleh negara. 149 Hak Penguasaan Negara ialah Negara melalui Pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur (regelen), mengurus, mengelola (besturen, beheren) dan mengawasi (toezchthouden) pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. 150 Secara konstitusional Hak Penguasaan Negara berdasar pada Pasal 33 UUD Menurut JimlyAssidhiqqie, dalam pemahaman konstitusi banyak kalangan selama ini terdapat kekeliruan terkait dengan konstitusi yang hanya diartikan sebagai Undang-Undang Dasar. Kesalahan ini salah satu akibat dari faham kodifikasi yang meyakini dan menghendaki bahwa seluruh peraturan hukum dibuat dalam bentuk tertulis (written document) yang bertujuan untuk menciptakan kesatuan hukum (unifikasi hukum), kesederhanaan hukum, dan kepastian hukum (rechzekerheid). 151 Konstitusi Indonesia, UUD 1945, tergolong ke dalam jenis konstitusi sosial. Oleh karena itu, dalam memahami maksud aturan-normatif yang terkandung di dalam pasal-pasalnya, diperlukan telaah yang lebih mendalam terhadap isi Pembukaan UUD Sebab di dalam Pembukaan itulah dimuat rumusan-rumusan filosofis mengenai dasar dan tujuan negara serta rumusan asasasas mengenai negara yang hendak dibangun oleh bangsa Indonesia. 152 Pasal 33 UUD 1945 mengatur tentang dasar-dasar sistem perekonomian atau tata susunan perekonomian dan kegiatan-kegiatan perekonomian yang 149 Ibid., hlm Ibid., hlm JimlyAsshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm Abrar Saleng, Loc.Cit., hlm.24.

30 63 dikehendaki dalam negara Republik Indonesia. Dasar-dasar perekonomian yang dikehendaki dalam negara Republik Indonesia. Dasar-dasar perekonomian dan kegiatan perekonomian sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial, maka pembuat/penyusun UUD 1945 menempatkan Pasal 33 sebagai salah satu Pasal di dalam Bab XIV di bawah judul Kesejahteraan Sosial. 153 Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 33 didasari oleh pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945, sehingga Pasal 33 merupakan normatifisasi nilai-nilai yang terkandung dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 antara lain berbunyi: 154 Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial Kalimat terakhir alinea ke IV yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, selanjutnya dikenal sebagai sila ke lima dari Pancasila yang merupakan landasan legitimasi keberadaan negara. 155 Kemudian untuk memahami makna dan substansi Hak Penguasaan Negara yang terkandung dalam Pasal 33, akan dimulai dari sejarah perumusan Pasal 33 itu sendiri. Pada akhir rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 telah membentuk tiga Panitia yaitu; Panitia Perancang UUD 1945 (diketuai Soekarno), Panitia Keuangan dan Perekonomian (diketuai Mohammad Hatta) dan Panitia Pembelaan 153 Ibid., hlm Ibid. 155 Ibid., hlm.26.

BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia 1. Sejarah pengaturan pertambangan di Indonesia Sejarah telah mencatat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan Indonesia dengan jumlah yang sangat besar seperti emas, perak, nikel,

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan Indonesia dengan jumlah yang sangat besar seperti emas, perak, nikel, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Indonesia memiliki sumber daya mineral yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia dengan jumlah yang sangat besar seperti emas, perak, nikel, timah hitam,

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Repub

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Repub BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2017 KEMEN-ESDM. Nilai Tambah Mineral. Peningkatan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2017 TENTANG PENINGKATAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA No. 4959 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.35, 2014 KEMENESDM. Peningkatan. Nilai Tambah. Mineral. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENINGKATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya sumber daya, baik itu sumber daya manusia atau pun sumber daya alam. Dari aspek sumber daya alam, kekayaan yang dimiliki

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.512, 2014 KEMEN ESDM. Rekomendasi. Penjualan Mineral. Luar Negeri. Hasil Pengolahan. Pemurnian. Tata Cara. Persyaratan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seharusnya dijaga, dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seharusnya dijaga, dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Semenjak berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disingkat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009) Pemerintah Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 108/PUU-XII/2014 Kontrak Karya. I. PEMOHON PT. Pukuafu Indah, diwakili oleh Dr. Nunik Elizabeth Merukh, MBA.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 108/PUU-XII/2014 Kontrak Karya. I. PEMOHON PT. Pukuafu Indah, diwakili oleh Dr. Nunik Elizabeth Merukh, MBA. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 108/PUU-XII/2014 Kontrak Karya I. PEMOHON PT. Pukuafu Indah, diwakili oleh Dr. Nunik Elizabeth Merukh, MBA. Kuasa Hukum Wisye Hendrarwati., SH., MH, dkk II. III. OBJEK

Lebih terperinci

KEBIJAKAN EKSPOR PRODUK PERTAMBANGAN HASIL PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN

KEBIJAKAN EKSPOR PRODUK PERTAMBANGAN HASIL PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN KEBIJAKAN EKSPOR PRODUK PERTAMBANGAN HASIL PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN Kementerian Perdagangan Januari 2017 1 Dasar Hukum Peningkatan Nilai Tambah UU 4/2009 Pasal 103: Kewajiban bagi Pemegang IUP dan IUPK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa

BAB I PENGANTAR. ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertambangan 1 merupakan industri yang dapat memberikan manfaat ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa mineral 2 dan batubara 3 mampu memberikan

Lebih terperinci

- 4 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

- 4 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA. - 2 - Perubahan Kelima atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis

Lebih terperinci

Bedah Permen ESDM No. 7 Tahun Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral

Bedah Permen ESDM No. 7 Tahun Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Bedah Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral LATAR BELAKANG 1. Selama ini beberapa komoditas mineral (a.l. Nikel, bauksit,

Lebih terperinci

Tentang Pemurnian dan Pengolahan Mineral di Dalam Negeri

Tentang Pemurnian dan Pengolahan Mineral di Dalam Negeri Tentang Pemurnian dan Pengolahan Mineral di Dalam Negeri LATAR BELAKANG 1. Selama ini beberapa komoditas mineral (a.l. Nikel, bauksit, bijih besi dan pasir besi serta mangan) sebagian besar dijual ke luar

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2-2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

DESAIN TATA KELOLA MIGAS MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1

DESAIN TATA KELOLA MIGAS MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 DESAIN TATA KELOLA MIGAS MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Tanto Lailam, S.H., LL.M. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jalan Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta,

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); 2. Undang-Undang

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang - 2 - Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun

Lebih terperinci

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA NO PENJELASAN 1. Judul: Judul: PERATURAN PEMERINTAH PENJELASAN REPUBLIK INDONESIA ATAS NOMOR 23

Lebih terperinci

2017, No tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 06 Tahun 2017 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pemberia

2017, No tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 06 Tahun 2017 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pemberia No.687, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. Penjualan Mineral ke Luar Negeri. Pensyaratan dan Pemberian Rekomendasi. Perubahan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL DI DALAM NEGERI

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL DI DALAM NEGERI 30 BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL DI DALAM NEGERI 1. Pembangunan Unit Pengolahan dan Pemurnian Guna Melaksanakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.517, 2012 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Ketentuan. Ekspor. Produk. Pertambangan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/M-DAG/PER/5/2012 TENTANG KETENTUAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, Menimbang : a. bahwa dengan semakin meningkatnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA DIVESTASI SAHAM DAN MEKANISME PENETAPAN HARGA SAHAM DIVESTASI PADA KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN

Lebih terperinci

Pemerintah Memastikan Larangan Ekspor Mineral Mentah

Pemerintah Memastikan Larangan Ekspor Mineral Mentah JAKARTA, KOMPAS. Pemerintah memastikan tetap konsisten melarang ekspor mineral mentah pada 12 Januari 2014. Pelarangan itu merupakan langkah untuk meningkatkan nilai tambah mineral. Wakil Menteri Energi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pertambangan rakyat di Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Mengingat : a. bahwa mineral dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber

Lebih terperinci

KEWENANGAN PEMERINTAH DAN POTENSI PENERIMAAN PAJAK PADA SEKTOR PERTAMBANGAN

KEWENANGAN PEMERINTAH DAN POTENSI PENERIMAAN PAJAK PADA SEKTOR PERTAMBANGAN Penulis: Danni Aprianza Helmi KEWENANGAN PEMERINTAH DAN POTENSI PENERIMAAN PAJAK PADA SEKTOR PERTAMBANGAN Sumber gambar: www.tempo.co I. PENDAHULUAN Konstitusi Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara, bijih besi, dan

BAB I PENDAHULUAN. meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara, bijih besi, dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat besar, salah satunya adalah bahan galian tambang. Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a.

Lebih terperinci

Indonesia for Global Justice (IGJ, Seri Diskusi Keadilan Ekonomi. Menguji Kedaulatan Negara Terhadap Kesucian Kontrak Karya Freeport, Kamis, 13 Juli

Indonesia for Global Justice (IGJ, Seri Diskusi Keadilan Ekonomi. Menguji Kedaulatan Negara Terhadap Kesucian Kontrak Karya Freeport, Kamis, 13 Juli Indonesia for Global Justice (IGJ, Seri Diskusi Keadilan Ekonomi. Menguji Kedaulatan Negara Terhadap Kesucian Kontrak Karya Freeport, Kamis, 13 Juli 2017 Pasal 33 UUD 1945 : Bumi dan air dan kekayaan alam

Lebih terperinci

2017, No sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peratur

2017, No sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peratur No.668, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2-2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

Oleh Rangga Prakoso. Batasan Ekspor Mineral Diperlonggar

Oleh Rangga Prakoso. Batasan Ekspor Mineral Diperlonggar Oleh Rangga Prakoso JAKARTA. Revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) akan memuat perlakuan khusus bagi perusahaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA UTARA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan sebagai instrument memakmurkan rakyat adalah mineral dan

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan sebagai instrument memakmurkan rakyat adalah mineral dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dianugerahi sumber daya alam yang berlimpah yang dapat digunakan untuk kemakmuran rakyat. Salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai instrument

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL Jakarta, 12 Februari 2013 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1960 TENTANG PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1960 TENTANG PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1960 TENTANG PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hukum pertambangan harus merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden/Panglima

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SAWAHLUNTO, Menimbang : a. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN- KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara `1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang kaya akan sumber daya alam (natural resources). Sumber daya alam itu ada yang dapat diperbaharui (renewable),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang dikaruniai kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang dikaruniai kekayaan alam yang A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia adalah bahan galian atau tambang. Pengertian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1960 TENTANG PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1960 TENTANG PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1960 TENTANG PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hukum pertambangan harus merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden/Panglima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan galian itu, meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi ( Migas ), batubara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

BAB II KETIDAKSESUAIAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN MINERAL DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2014

BAB II KETIDAKSESUAIAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN MINERAL DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2014 11 BAB II KETIDAKSESUAIAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN MINERAL DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2014 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 1. Ketentuan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

KEBIJAKAN MINERAL DAN BATUBARA

KEBIJAKAN MINERAL DAN BATUBARA KEBIJAKAN MINERAL DAN BATUBARA Jakarta, 25 Januari 2017 DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA KEMENTERIAN ENERI DAN SUMBER DAYA MINERAL DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN II. KEBIJAKAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA UU No. 4/2009 Pertambangan Mineral dan Batubara. Usaha pertambangan dikelompokkan atas: a. pertambangan mineral; dan b. pertambangan batubara. Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada pertambangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.903, 2013 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Ekspor. Timah. Pemanfaatan. Pemenuhan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32/M-DAG/PER/6/2013 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT MINERAL LOGAM, MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DI KABUPATEN BURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 08 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 08 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 08 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa bahan galian pertambangan

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PERMENDAG NO. 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian

POKOK-POKOK PERMENDAG NO. 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian POKOK-POKOK PERMENDAG NO. 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian Jakarta, 6 Februari 2014 Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri POINT-POINT

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN Disampaikan pada Diklat Evaluasi RKAB Perusahaan Pertambangan Batam, Juli 2011 Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional harus diarahkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional harus diarahkan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki posisi geografis sangat unik dan strategis. Hal ini dapat dilihat dari peta letak geografis Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENDIRIAN PERUSAHAAN DAERAH BUMI SAWAHLUNTO MANDIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENDIRIAN PERUSAHAAN DAERAH BUMI SAWAHLUNTO MANDIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENDIRIAN PERUSAHAAN DAERAH BUMI SAWAHLUNTO MANDIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SAWAHLUNTO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 6 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 6 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 6 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa untuk menjamin kepastian hukum

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Landasan konstitusional konsepsi keadilan sosial dalam. pengelolaan pertambangan adalah Pasal 33 UUD Secara

BAB IV PENUTUP. Landasan konstitusional konsepsi keadilan sosial dalam. pengelolaan pertambangan adalah Pasal 33 UUD Secara BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Konsepsi keadilan mengenai penguasaan dan penggunaan kekayaan alam yang terkandung dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keadilan sosial. Landasan konstitusional

Lebih terperinci

n.a n.a

n.a n.a 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan suatu bangsa memerlukan aspek pokok yang disebut dengan sumberdaya (resources) baik sumberdaya alam atau natural resources maupun sumberdaya manusia atau

Lebih terperinci

Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA : 04/M-DAG/PER/1/2007 TENTANG KETENTUAN EKSPOR TIMAH BATANGAN

Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA : 04/M-DAG/PER/1/2007 TENTANG KETENTUAN EKSPOR TIMAH BATANGAN Menteri Perdagangan Republik Indonesia PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 04/M-DAG/PER/1/2007 TENTANG KETENTUAN EKSPOR TIMAH BATANGAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas sebagai sumber pemasukan negara. Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa: "cabang-cabang produksi

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas sebagai sumber pemasukan negara. Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa: cabang-cabang produksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah selalu berupaya melakukan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. 1 Bidang yang menjadi salah satu fokus pemerintah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG

NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG /).' PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Meng ingat

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Orga

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Orga BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1002, 2014 KEMENDAG. Batubara. Ekspor. Produk. Ketentuan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39/M-DAG/PER/7/2014 TENTANG KETENTUAN EKSPOR BATUBARA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.183, 2012 PERTAHANAN. Industri. Kelembagaan. Penyelenggaraan. Pengelolaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi I. PEMOHON Jendaita Pinem bin Zumpa i Pinem II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun

Lebih terperinci

Dr. Firman Muntaqo, SH, MHum Dr. Happy Warsito, SH, MSc Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM Irsan Rusmawi, SH, MH

Dr. Firman Muntaqo, SH, MHum Dr. Happy Warsito, SH, MSc Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM Irsan Rusmawi, SH, MH Dr. Firman Muntaqo, SH, MHum Dr. Happy Warsito, SH, MSc Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM Irsan Rusmawi, SH, MH Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang), meliputi emas,

Lebih terperinci

Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi.

Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi. Pengertian Pertambangan Pertambangan adalah : 1. Kegiatan, teknologi, dan bisnis yang berkaitan dengan industri pertambangan mulai dari prospeksi, eksplorasi, evaluasi, penambangan, pengolahan, pemurnian,

Lebih terperinci

kemandirian dan kemajuan suatu bangsa. rata-rata negara dengan kekayaan sejahtera. Namun, hal ini harus diiringi dengan pengelolaan yang baik dan

kemandirian dan kemajuan suatu bangsa. rata-rata negara dengan kekayaan sejahtera. Namun, hal ini harus diiringi dengan pengelolaan yang baik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan mineral dan batubara dapat menjadi salah satu tolak ukur kemandirian dan kemajuan suatu bangsa. rata-rata negara dengan kekayaan mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang :

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa potensi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi I. PEMOHON Pungki Harmoko II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004 I. PEMOHON Suta Widhya KUASA HUKUM JJ. Amstrong Sembiring, SH. II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air: Prosedur

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa mineral

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMEN-ESDM. Evaluasi. Penerbitan. Izin Usaha Pertambangan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. KEMEN-ESDM. Evaluasi. Penerbitan. Izin Usaha Pertambangan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA No.2014, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. Evaluasi. Penerbitan. Izin Usaha Pertambangan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA 43 TAHUN 2015 TENTANG TATA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT No. Urut: 03, 2012 LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 45,2012 PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2015 TENTANG PENGUSAHAAN SUMBER DAYA AIR Ir. Saroni Soegiarto, ME Kasubdit Pemanfaatan SDA Makassar, 23 Maret 2016 Subdit Pemanfaatan SDA Direktorat

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Tommy Albert M. Tobing, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 21 Maret 2013

KUASA HUKUM Tommy Albert M. Tobing, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 21 Maret 2013 RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XI/2013 Badan Hukum Koperasi, Modal Penyertaan, Kewenangan Pengawas Koperasi dan Dewan Koperasi Indonesia I. PEMOHON 1. Yayasan Bina Desa Sadajiwa, dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG DISUSUN OLEH : BAGIAN HUKUM SETDA KOLAKA UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber Daya Alam (SDA) yang terkandung dalam wilayah hukum. pertambangan Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang

BAB I PENDAHULUAN. Sumber Daya Alam (SDA) yang terkandung dalam wilayah hukum. pertambangan Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber Daya Alam (SDA) yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi

Lebih terperinci