ANALISIS PENGELOLAAN DAN PENILAIAN USER FEE PADA PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LEMURU DI SELAT BALI ANDAN HAMDANI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PENGELOLAAN DAN PENILAIAN USER FEE PADA PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LEMURU DI SELAT BALI ANDAN HAMDANI"

Transkripsi

1 ANALISIS PENGELOLAAN DAN PENILAIAN USER FEE PADA PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LEMURU DI SELAT BALI ANDAN HAMDANI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pengelolaan dan Penilaian User Fee pada Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru di Selat Bali adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2012 Andan Hamdani NIM C

4

5 ABSTRACT ANDAN HAMDANI. Analysis of Management and Assessment User Fee on Utilization of Lemuru Resources In Bali Strait. Under direction of MOCH PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Lemuru resources in Bali Strait need special attention in resources management. The research calculation of optimum values consists of production level, number of effort, benefit value and rent of lemuru resources. Data were analyzed using the bio-economic analysis with the CYP, W-H, Schnute and Fox Algorithm models approaches. Purse seine is the main gear of lemuru utilization in Bali Strait. Purse seine used two boats in operational. At periods the average of actual lemuru production was 30, tons per year and actual effort was 17,605 trips per year. The most appropriate estimation model of lemuru resources management was Schnute model, with the maximum production was 40, tons per year, and maximum effort was 11,512 trips per year. Value of resource rent tax was Rp 94,791 Rp per trip per unit purse seine. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

6

7 RINGKASAN ANDAN HAMDANI. Analisis Pengelolaan dan Penilaian User Fee pada Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru di Selat Bali. Dibimbing oleh MOCH. PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Sumberdaya ikan lemuru telah menjadi tulang punggung kegiatan usaha perikanan di Selat Bali. Lebih dari 70 persen dari hasil tangkapan ikan di Perairan Selat Bali merupakan ikan lemuru. Produksi ikan lemuru pada tahun 2010 sebanyak ton, mengalami penurunan yang cukup signifikan sebesar 77,3 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan produksi ikan lemuru sebagai bakan baku utama telah berdampak pada kegiatan industri perikanan. Banyak perusahan pengalengan ikan dan tepung ikan mengalami penurunan produksi bahkan sampai terhentinya kegiatan produksi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali masih belum optimal. Oleh karena itu, perikanan lemuru di Selat Bali perlu mendapatkan perhatian yang khusus terutama dalam hal pengelolaan sumberdaya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat pengelolaan yang optimal sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali dan menentukan nilai rente ekonomi dalam pengusahaan ikan lemuru di Selat Bali Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan jenis metode survey. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap unit penangkapan ikan lemuru dan wawancara terhadap nelayan berdasarkan kuesioner. Data sekunder diambil merupakan data time series selama 16 tahun untuk periode Analisis data mencakup analisis bio-teknik dan bioekonomi menggunakan pendekatan model CYP, W-H, Schnute dan Algoritma Fox. Selanjutnya ditentukan besaran nila resource ren tax (RRT) atau user fee yang dapat digunakan untuk pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Alat tangkap purse seine merupakan alat tangkap utama yang digunakan nelayan di sekitar Selat Bali dalam menangkap ikan lemuru. Sistem operasi alat tangkap purse seine dilakukan dengan menggunakan dua buah kapal (two boat sistem). Produksi ikan lemuru umumnya mulai naik pada Bulan Oktober dan puncaknya terjadi pada bulan November dan Desember selanjutnya pada bulan Februari mengalami penurunan kembali. Hubungan antara CPUE dan effort pada pemanfaatan ikan lemuru menunjukkan peningkatan aktivitas effort semakin menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE). Secara linier hubungan CPUE dan effort digambarkan dalam persamaan y = -2E-05x + 2,0304. Hasil estimasi parameter biologi dari berbagai model estimasi dapat diketahui bahwa best fit model estimasi yang dapat digunakan untuk menggambarkan dan menduga kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali yaitu model estimasi Schnute. Berdasarkan model estimasi Schnute, maka diperoleh parameter biologi yang meliputi: 1) tingkat pertumbuhan intrinsik (r) sebesar 0,75 ton per tahun; 2) koefisien daya tangkap (q) sebesar 0, ton per trip; dan 3) dan daya dukung lingkungan (K) sebesar ,07 ton per tahun. Selama tahun 1995 sampai dengan tahun 2010, sebagian besar volume produksi aktual sumberdaya ikan lemuru berada di dalam kurva produksi lestari,

8 namun pada tahun 1998 dan 2004 serta mulai tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 volume produksi aktual berada di luar kurva produksi lestari. Tingkat produksi aktual sumberdaya ikan lemuru selama rentang waktu rata-rata sebesar ,63 ton per tahun, lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat produksi optimal pada kondisi MEY dan MSY. Tetapi, apabila dilihat produksi aktual tahun 2009 yang mencapai ,54 ton maka jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat produksi optimal tersebut. Nilai effort aktual rata-rata selama tahun memiliki nilai effort lebih besar dari effort optimal pada kondisi MEY dan MSY, tetapi masih lebih rendah dari effort pada kondisi open access. Apabila dilihat dari effort aktual pada tahun 2009 yang mencapai trip per tahun, lebih tinggi dibandingkan effort optimal pada berbagai kondisi. Aspek pemanfaatan sumberdaya ikan dengan pendekatan model dinamik bersifat intertemporal, maka untuk menganalisis aspek tersebut dijembatani dengan penggunaan discount rate. Nilai discount rate digunakan dalam menghitung tingkat pemanfaatan optimal dinamik sumberdaya ikan lemuru. nilai discount rate yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti pendekatan Kula, yaitu 3,22 persen dan discount rate dari World Bank yaitu 10 persen, 12 persen, 15 persen dan 18 persen. Pada kondisi pengelolaan optimal dinamik menunjukkan produksi optimal masih lebih besar dibandingkan dengan produksi aktual, sedangkan tingkat upaya penangkapan (effort) menunjukkan effort kondisi optimal dinamik lebih rendah dari effort aktual. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali telah menunjukkan gejala yang overfishing baik secara biologi maupun ekonomi. Sehingga perlu dilakukan langkah-langkah dalam mengatasinya seperti mengurangi upaya penangkapan (effort) agar kelestarian sumberdaya ikan lemuru dapat terjaga. Laju degradasi dan depresiasi pada tahun 2006 hingga tahun 2008 mempunyai track record yang hampir mendekati nilai toleransi, sedangkan nilai depresiasinya sudah melebihi dari nilai toleransi. Hal ini menindikasikan bahwa pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, sumberdaya ikan lemuru walaupun belum sampai terdegradasi tetapi telah mengalami depresiasi. Pada tahun 2009 nilai laju degradasi sebesar 0,54 dan depresiasi sebesar 0,64, yang berarti bahwa sumberdaya ikan lemuru pada tahun 2009 telah terdegradasi dan terdepresiasi. Biaya investasi yang dibutuhkan untuk satu unit penangkapan purse seine untuk mengekstraksi sumberdaya ikan lemuru sebesar Rp 1,311 milyar. Besaran nilai rente ekonomi sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali selama 10 tahun ke depan pada kondisi optimal statik sebesar Rp 184,7 milyar (discount rate 10 persen) dan Rp 52,8 milyar (discount rate 18 persen). Pada kondisi optimal dinamik dengan tingkat discount rate 18 persen diperoleh nilai NPV pada kondisi dinamik i=15 persen dan i=18 persen menunjukkan nilai yang negatif. Kondisi ini menggambarkan pada kondisi dinamik dengan tingkat discount rate 18 persen, biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha lebih besar dibandingkan pendapatan yang diperoleh. Pada kondisi tersebut pungutan terhadap pelaku usaha perlu dilakukan secara lebih hati-hati. Nilai rente menunjukan adanya selisih atau surplus atas pemanfaatan sumberdaya tersebut. Sebagian dari surplus ini kemudian diambil kembali dalam bentuk tax, maka tax tersebut menjadi resource rent tax. Berdasarkan hasil

9 survey, responden mengakui sebagian nelayan tidak membayar pungutan tetapi sebagian lagi membayar pungutan. Hal yang menarik adalah pada umumnya nelayan lemuru sudah membayar pungutan rata-rata sebesar 2 persen dari nilai total penerimaan (gross) atau rata-rata sebesar 12 persen dari keuntungan usaha (net profit). Nilai besaran pajak rente sumberdaya (RRT=Resource Rent Tax) pada tingkat discount rate 10 persen berkisar Rp per trip sampai dengan Rp per trip pada kondisi optimal dinamik dan sebesar Rp per trip pada kondisi optimal statik. Berdasarkan uraian di atas, maka pemerintah daerah dapat membuat suatu kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Perairan Selat Bali secara optimal. Aturan kegiatan pengelolaan ikan lemuru di Perairan Selat Bali yang sudah diatur dalam SKB Gubernur Tingkat I Jawa Timur dan Bali No.238 Tahun 1992//674 Tahun 1992 perlu diaktifkan kembali dan ditinjau mengingat bahwa pada peraturan tersebut jumlah purse seine yang diijinkan sebanyak 273 unit (Jawa Timur=190 unit dan Bali=83 unit). Pada kenyataannya jumlah alat tangkap purse seine yang beroperasi telah melebihi dari batas maksimum yang ditetapkan SKB tersebut yaitu sebanyak 357 unit. Semantar itu, hasil analisis bionomi diperoleh jumlah optimal alat tangkap purse seine sebanyak 234 unit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat produksi optimal sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali sebesar ,31 ton per tahun. Tingkat effort optimal sebanyak trip per tahun, tingkat CPUE sebesar 3,5 ton per trip dan jumlah alat tangkap purse seine sebanyak 234 unit. Besaran nilai user fee atau pajak rente sumberdaya yang dapat diambil dari pelaku usaha yaitu maksimal sebesar Rp per trip. Besaran nilai user fee secara keseluruhan yang dapat digunakan untuk pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali dapat mencapai sebesar Rp 2,2 milyar per tahun pada kondisi optimal statik. Kata kunci : bio-economic, ikan lemuru, selat bali, purse seine, resource rent tax, user fee

10

11 Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

12

13 ANALISIS PENGELOLAAN DAN PENILAIAN USER FEE PADA PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN LEMURU DI SELAT BALI ANDAN HAMDANI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

14 Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Diniah, M.Si

15 Judul Tesis Nama NIM : Analisis Pengelolaan dan Penilaian User Fee pada Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru di Selat Bali : Andan Hamdani : C Disetujui Komisi Pembimbing Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S. Ketua Ir. Wawan Oktariza, M.Si Anggota Diketahui Ketua Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Dekan Sekolah Pasca Sarjana Prof. Dr.Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr Tanggal Ujian : 2 Februari 2012 Tanggal Lulus :

16

17 PRAKATA Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang penulis lakukan yaitu Analisis Pengelolaan dan Penilaian User Fee pada Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Lemuru di Selat Bali. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. Moch Prihatna Sobari, MS dan Ir. Wawan Oktariza, M.Si sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penelitian ini dapat tersusun. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Diniah, M.Si sebagai dosen penguji luar komisi dan kepada Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc sebagai Ketua Program Studi. Ungkapat terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf instansi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi, Unit Pelaksana Teknis Badan Pengelolaan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Muncar, Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan serta kepada seluruh nelayan di Selat Bali sebagai responden yang telah memberikan informasi yang berkaitan dengan penelitian ini. Terima kasih juga kepada seluruh staf pengajar Sekolah Pascasarjana Departemen PSP, kepada keluarga besar mahasiswa Program Mayor Sistem dan Permodelan Perikanan Tangkap (SPT) dan Mayor Teknologi Perikanan Tangkap (TPT) dan kepada istri, anak serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Februari 2012 Andan Hamdani

18

19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cikarang pada tanggal 28 Agustus 1981 dari Bapak Rinan dan Ibu Kapsah. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Tahun 1998 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cikarang. Pada tahun yang sama penulis diterima masuk IPB pada Departemen Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2008 penulis berkesempatan melanjutkan studi strata 2 pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap.

20

21 DAFTAR ISTILAH Biomass Biaya penangkapan ikan (cost per unit effort) Biological overfishing Carrying capacity Catch per unit Effort (CPUE) Economic overfihing Daerah penangkapan ikan (fishing ground) Ikan : Ukuran persediaan atau stok ikan di suatu perairan : Biaya operasional yang dikeluarkan untuk melakukan penangkapan ikan pertahun perunit effort. : Penangkapan ikan yang melebihi kapasitas stok sumberdaya sehingga kemampuan sumberdaya untuk memproduksi pada tingkat maximum sustainable yield (MSY) menurun. : atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan : Nilai yang mencerminkan produktivitas alat tangkap yang digunakan untuk menangkap sumberdaya ikan. : Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang seharusnya dapat menghasilkan rente ekonomi yang positif namun pada kenyataannya menghasilkan rente ekonomi yang negatif karena jumlah upaya penangkapan (effort) yang berlebihan. : Suatu daerah perairan dimana ikan yang menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal dan alat tangkap dapat dioperasikan serta ekonomis. : Segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan Ikan pelagis : Ikan-ikan yang hidup pada lapisan permukaan perairan sampai tengah (mid layer). Intrinsic growth rate : Tingkat pertumbuhan alami

22 Maximum Sustainable Yield (MSY) : Tingkat pemanfaatan yang maksimum dengan tetap menjaga kelestarian dari sumberdaya ikan. Maximum Economic Yield (MEY) : Tingkat pemanfaatan maksimum yang memberikan rente ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Open access : Kondisi dimana setiap nelayan dapat ikut terlibat dalam memanfaatkan atau mengeksploitasi ikan tanpa adanya kontrol atau pembatasan. Penangkapan ikan : Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dengan alat atau dengan cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, menginginkan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya. Pukat cincin (purse seine) Resource rent tax Rente ekonomi Upaya Penangkapan (Effort) : Alat tangkap ikan yang terbuat dari jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang dengan banyak cincin di bagian bawahnya. Cara operasinya adalah dengan melingkarkan jaring dan mengurung gerombolan ikan, selanjutnya bagian bawah jaring ditutup dengan menarik tali yang dilewatkan pada cincin-cincin di bagian bawah jaring. : Pajak rente sumberdaya : Selisih antara penerimaan dengan biaya, termasuk didalamnya biaya private dan sosial. : Jumlah upaya penangkapan yang diukur dari jumlah hari melaut atau trip User fee : Nilai pungutan yang diambil sebagai kpmpensiasi atas pemanfaatan sumberdaya. Trip penangkapan ikan : Kegiatan operasi penangkapan ikan sejak unit penangkapan ikan meninggalkan pangkalan menuju daerah operasi, mencari daerah penangkapan ikan. melakukan penangkapan ikan, sampai kembali lagi ke tempat pangkalan asal atau ke tempat pendaratan lain.

23 xxiii DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman xxiii xxvii xxix xxxi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Ikan Lemuru Daerah Penyebaran Ikan Lemuru Alat Tangkap Purse Seine Estimasi Stok Ikan Optimasi Sumberdaya Perikanan Model surplus produksi Model optimasi statik Model optimasi dinamik Degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Kebijakan Perikanan dan Kelautan Dasar Hukum Pengelolaan Perikanan Lemuru di Perairan Selat Bali METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Sampel Analisis Data Catch per Unit Effort (CPUE) Stadarisasi alat tangkap Estimasi parameter ekonomi Standarisasi biaya input Standarisasi harga output Estimasi discount rate Analisis bio teknik Analisis bio ekonomi Analisis laju degradasi dan depresiasi... 50

24 xxiv Penentuan rente ekonomi Penentuan user fee dengan resource rent tax (RRT) GAMBARA UMUM WILAYAH STUDI Administrasi dan Luas Wilayah Kependudukan Jumlah penduduk Sex ratio Kepadatan penduduk Laju pertumbuhan penduduk Dependency ratio Pendidikan Perekonomian Aktivitas Perikanan Nelayan Armada penangkapan Alat tangkap Produksi ikan HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Penangkapan Ikan Lemuru Alat tangkap Armada kapal Pengoperasian alat tangkap Daerah penangkapan ikan Musim penangkapan ikan Produksi Ikan Lemuru menurut Jenis Alat Tangkap Standarisasi Alat Tangkap Hubungan Catch per Unit Effort (CPUE) dan Effort Estimasi Parameter Biologi Estimasi Parameter Ekonomi Standarisasi biaya input Standarisasi harga output Estimasi Discount Rate Estimasi Produk Lestari Analisis Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan Lemuru Analisis optimasi statik pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru Analisis optimasi dinamik pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Analisis Sistem Tarif Analisis rente sumberdaya Analisis resource rent tax (RRT) Implikasi Kebijakan

25 xxv 6 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

26

27 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Volume dan nilai produksi ikan lemuru indonesia, tahun Hasil pendugaan stok ikan lemuru di Selat Bali atas dasar model surplus produksi Hasil pendugaan stok ikan lemuru di Selat Bali atas dasar model analitik Perbedaan antara SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali No. 7 Tahun 1985//4 Tahun 1985 dan No. 238 Tahun 1992//674 Tahun Formula perhitungan parameter bio-teknik pada berbagai model estimasi Rumus perhitungan dalam pemanfaatan sumberdaya optimal statik Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan nilai sex ratio berdasarkan kecamatan di pesisir Selat Bali, tahun Tingkat kepadatan penduduk, jumlah rumah tangga dan ratarata penduduk per rumah tangga menurut kecamatan di wilayah pesisir Perairan Selat Bali, tahun Nilai dependency ratio menurut kecamatan di wilayah pesisir Selat Bali, tahun Persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan tertingi di 2 wilayah kabupaten sekitar Selat Bali Tahun Jumlah sarana pendidikan berdasarkan tingkat pendidikan dan kecamatan di wilayah pesisir Selat Bali tahun 2009 (satuan unit) PDRB di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2009 (juta rupiah) PDRB di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana tahun 2009 menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000 (juta rupiah) Laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana tahun 2009 atas harga konstan tahun 2000 (dalam %) Jumlah nelayan di Kabupaten Banyuwangi menurut kecamatan tahun 2009 (satuan orang) Jumlah nelayan di Kabupaten Jembrana menurut kecamatan tahun 2009 (satuan orang) Jumlah armada kapal penangkapan ikan di Kabupaten Banyuwangi tahun 2009 (satuan unit) Jumlah armada kapal penangkapan ikan di Kabupaten Jembrana tahun 2009 (satuan unit) xxvii

28 19 Jumlah alat tangkap ikan di Kabupaten Banyuwagi tahun Jumlah alat tangkap ikan di Kabupaten Jembrana tahun Produksi dan nilai produksi per bulan di PPP Muncar tahun Produksi dan nilai produksi ikan hasil tangkapan per bulan di PPN Pengambengan tahun Produksi ikan lemuru di Selat Bali menurut jenis alat tangkap, tahun (satuan ton) Jumlah trip operasi penangkapan ikan lemuru di Perairan Selat Bali menurut jenis alat tangkap, tahun (satuan trip) Perbandingan data aktual, parameter biologi, MSY dan uji statistik pada sumberdaya ikan lemuru Biaya per unit effort dan rata-rata biaya masing-masing alat tangkap tahun Rata-rata harga ikan lemuru tahun Hasil analisis optimasi statik pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru Hasil analisis optimasi dinamik pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Hasil analisis laju degradasi dan laju depresiasi pada sumberdaya ikan lemuru Besaran nilai rente sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali selama 10 tahun ke depan (satuan juta rupiah) Besaran nilai RRT Skenario 1 pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali (satuan juta rupiah) Besaran nilai RRT Skenario 2 pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali (satuan juta rupiah) Nilai Resource Rent Tax per tahun dan per trip untuk pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Skenario Nilai Resource Rent Tax per tahun dan per trip untuk pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Skenario xxviii

29 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Perkembangan produksi ikan lemuru di Selat Bali tahun Kerangka pemikiran penelitian Spesies ikan lemuru (Sardinell lemuru) Konstruksi pukat cincin (purse seine) satu kapal (one boat system) Konstruksi pukat cincin (purse seine) dua kapal (two boat system) Kurva pertumbuhan logistik Model pertumbuhan Schaefer (kurva produksi lestari) Model Gordon Schaefer Luas wilayah kecamatan di sekitar Selat Bali Populasi penduduk menurut kecamatan di sekitar Selat Bali tahun Persentase penduduk berdasarkan jenis kelamin Laju pertumbuhan penduduk di wilayah sekitar Selat Bali menurut kecamatan Tingkat pendidikan penduduk di wilayah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana menurut tingkat pendidikan yang di tamatkan, tahun Armada penangkapan ikan di Selat Bali Proporsi jumlah alat tangkap menurut jenisnya di Kabupaten Banyuwangi Tahun Proporsi jumlah alat tangkap menurut jenisnya di Kabupaten Jembarana Tahun Alat tangkap purse seine di Selat Bali Kapal purse seine di Selat Bali Metode operasi penangkapan alat tangkap purses seine dengan menggunakan dua kapal (two boat purse seine) Daerah penyebaran ikan lemuru di Selat Bali Indeks musim penangkapan ikan lemuru di Selat Bali Perbandingan produksi, effort dan CPUE pada sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali, tahun Hubungan antara CPUE dan effort pada sumberdaya ikan lemuru Perbandingan produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan lemuru di Belat Bali Kurva hubungan produksi lestari, produksi aktual dan effort sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Perbandingan pemanfaatan optimasi statik sumberdaya ikan lemuru Keseimbangan bioekonomi model gordon schaefer pada sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi optimal dinamik sumberdaya ikan lemuru Grafik laju degradasi dan laju depresiasi pada sumberdaya ikan lemuru xxix

30

31 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Peta lokasi penelitian Standarisasi alat tangkap pada sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Hasil analisis model estimasi sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Perhitungan discount rate Model Kula (1984) Nilai Net Present Value (NPV) pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali pada model optimasi statik dan dinamik Skenario 1 dengan berbagai tingkat discount rate 10% dan 18% Nilai Net Present Value (NPV) pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali pada model optimasi statik dan dinamik Skenario 2 dengan berbagai tingkat discount rate 10% dan 18% xxxi

32

33 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru Indonesia pada Tahun 2010 sebesar ton atau sebesar 2,6 persen dari total hasil tangkapan Ikan di Indonesia yang mencapai sebesar ton. Volume produksi ikan lemuru selama selang periode tahun 2009 sampai tahun 2010 terjadi penurunan sebesar 20,93 persen, namun secara rata-rata selama selang periode tahun 2000 sampai tahun 2010 tercatat mengalami peningkatan rata-rata sebesar 7,06 persen. Selama selang periode tahun 2000 sampai tahun 2010 nilai produksi ikan lemuru juga mengalami peningkatan ratarata sebesar 12,14 persen. Peningkatan nilai produksi ikan lemuru lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan volume produksi. Hal ini berarti bahwa harga jual ikan lemuru mengalami fluktuasi harga yang cenderung meningkat. Lebih lengkapnya mengenai volume dan nilai produksi ikan lemuru di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun Volume Produksi Nilai Produksi (ton) (Rp 000) Growth (%) Growth (%) Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010

34 2 Ikan lemuru (Sardinilla longiceps) hidup di Perairan Indo-Pacifik, dari Teluk Aden sampai dengan Perairan Filipina. Di wilayah Indonesia, ikan lemuru banyak terdapat di perairan Selat Bali. Hasil tangkapan ikan lemuru di Perairan Selat Bali memberikan kontibusi sebesar 40 persen dari total ikan lemuru yang ada di Indonesia. Sumberdaya ikan lemuru telah menjadi tulang punggung kegiatan usaha perikanan di wilayah sekitar Perairan Selat Bali. Perikanan lemuru di Selat Bali mempunyai peranan penting terhadap kegiatan perekonomian di Provinsi Jawa Timur dan Bali, sebagai basis penangkapan dan pendaratan ikan tersebut. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di kedua wilayah tersebut telah berkembang baik dilakukan secara tradisional maupun modern. Produk olahan dari ikan lemuru meliputi ikan asin, tepung ikan hingga ikan kaleng. Berdasarkan data yang diperoleh dari Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi diketahui bahwa produksi perikanan laut di Kecamatan Muncar pada tahun 2009 mencapai sekitar 95 persen dari semua produksi perikanan laut di Kabupaten Banyuwangi. Sementara itu, sebagian besar kegiatan penangkapan ikan lemuru di wilayah Provinsi Bali di daratkan di PPN Pengambengan, Kabupaten Jembrana. Sumberdaya perikanan lemuru merupakan sumberdaya perikanan yang paling dominan di Perairan Selat Bali sehingga paling banyak dieksploitasi oleh nelayan. Sejak diperkenalkannya penangkapan lemuru dengan purse seine (pukat cincin) oleh Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) pada Tahun 1972, maka pengusahaan perikanan lemuru di Perairan Selat Bali berkembang sangat pesat. Alat tangkap purse seine mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan alat tangkap yang diperkenalkan sebelumnya. Hasil tangkap ikan lemuru berfluktuasi dan sangat tergantung pada musim penangkapan, apabila hasil tangkap menurun maka akan sangat berpengaruh atau memberikan dampak kepada perekonomian masyarakat lokal. Dampak yang ditimbulkan oleh menurunnya hasil tangkap ikan lemuru diantaranya yaitu hilangnya pendapatan masyarakat yang meliputi nelayan, pengolah ikan dan pedagang ikan.

35 3 Pada tahun 2009 tercatat jumlah ikan yang didaratkan di PPP Muncar tercatat sebanyak ton dengan nilai sekitar Rp 82 milyar. Rata-rata produksi perikanan tangkap di PPP Muncar sekitar 137 ton per hari. Jumlah ikan hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Pengambengan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan PPP Muncar yaitu tercatat sebanyak ton pada tahun 2009 atau sekitar 132 ton per hari. Hal ini dikarenakan jumlah unit penangkapan ikan yang terdapat di PPN Pengambengan lebih sedikit dibandingkan dengan armada penangkapan ikan di PPP Muncar. Nilai produksi di PPN Pengambengan pada tahun yang sama mencapai Rp 70,34 milyar. Produksi ikan lemuru pada tahun 2010 sebanyak ton, mengalami penurunan yang cukup signifikan sebesar 77,3 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan produksi ikan lemuru pada tahun 2010 diduga karena aktivitas penangkapan ikan pada tahun sebelumnya telah melebihi dari jumlah potensi sumberdaya yang tersedia. Data selengkapnya mengenai perkembangan produksi ikan lemuru di Selat Bali dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 disajikan pada gambar berikut Produksi (ton) tahun Gambar 1. Perkembangan produksi ikan lemuru di Selat Bali tahun Adanya penurunan produksi tangkapan ikan lemuru sebagai bakan baku utama bagi industri pengolahan ikan telah berdampak terhadap menurunnya bahkan terhentinya kegiatan produksi perusahaan tersebut. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwagi tercatat bahwa jumlah

36 4 perusahaan pengolahan ikan yang terdapat di Kecamatan Muncar meliputi 8 unit pengalengan ikan, 39 unit usaha penepungan ikan secara mekanik, 13 unit penepungan ikan tradisional, 30 unit cold storage, 23 unit pemindangan ikan dan 11 unit pengolahan minyak ikan. Sementara itu, berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kehutanan Dan Kelautan Kabupaten Jembrana diketahui jumlah perusahaan pengolahan ikan di Kabupetan Jembrana tercatat sebanyak 12 unit perusahaan pengalengan dan penepungan ikan dan sebanyak 95 unit usaha pengolahan ikan tradisional lainnya. Kebutuhan ikan lemuru untuk industri pengolahan ikan di Muncar dan Pengambengan rata-rata sebesar 35 ton per hari untuk setiap unit perusahaan penepungan ikan dan sebesar 28 ton per hari untuk setiap unit perusahaan pengalengan ikan. Oleh karena itu perikanan lemuru di Perairan Selat Bali perlu mendapatkan perhatian yang khusus terutama dalam hal pengelolaan sumberdaya. Dengan semakin berkembangnya alat tangkap purse seine di Selat Bali dalam penangkapan sumberdaya ikan lemuru perlu dilakukan pengendalian dalam pemanfaatannya agar kelestarian sumberdaya ikan lemuru dapat dijaga. Menurut Fauzi dkk (2000) menjelaskan bahwa di dalam pengelolaan sumberdaya perikanan terdapat beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk mengurangi proses pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan antara lain ITQ (individual transferable quota), pembatasan effort dan pajak. ITQ dan pembatasan effort adalah instrumen kebijakan yang lebih banyak diterapkan di perikanan temperate (single species) karena memerlukan perhitungan TAC (Total Allowable Catch) yang lebih rumit yang bisa dilakukan di perikanan single species. Pajak merupakan instrumen yang lebih umum dan secara teoritis bisa diterapkan baik di perikanan temperate maupun tropis. Pajak pada prinsipnya merupakan pembebanan biaya eksploitasi bagi pelaku perikanan. Pembebanan biaya-biaya tersebut dapat dianggap sebagai salah satu instrumen kebijakan agar terjadi pengurangan upaya penangkapan (effort) pengusaha, tetapi pengusaha tetap mendapatkan keuntungan yang optimum. Salah satu bentuk biaya tersebut adalah melalui pungutan sumberdaya atau sering dikenal dengan user fee. Dalam pengertian ini yang dimaksudkan sebagai pungutan adalah penarikan sejumlah fee tertentu sebagai kompensasi atas

37 5 pemanfaatan sumberdaya tersebut. Implikasi pembebanan pungutan tersebut antara lain akan menaikkan total biaya yang dikeluarkan sehingga akan membuat pelaku perikanan untuk lebih berhati-hati dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan. 1.2 Perumusan Masalah Perikanan lemuru di Selat Bali, jika pengelolaannya dilakukan dengan baik, maka akan memberikan kontribusi yang sangat penting bagi masyarakat lokal. Pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru sebelumnya mempunyai pengaruh terhadap hasil tangkap di daerah tersebut. Lebih dari 70 persen dari hasil tangkapan ikan di Perairan Selat Bali merupakan ikan lemuru. Kegiatan perekonomian di kawasan sekitar Selat Bali yakni Muncar dan Jembrana sangat bergantung pada usaha penangkapan ikan sebagai usaha utama. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya diketahui bahwa sumberdaya perikanan lemuru di Perairan Selat Bali sudah menunjukkan terjadi eksploitasi yang berlebihan oleh pelaku usaha perikanan lemuru. Akan tetapi, mulai tahun 2006 produksi ikan lemuru di Selat Bali menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan produksi ikan lemuru juga terjadi pada tahun 2007 hingga mencapai 67,8 ribu ton. Walaupun pada tahun 2008 sempat terjadi penurunan produksi tangkapan ikan lemuru, namun pada tahun 2009 produksi ikan lemuru mengalami peningkatan kembali yang mencapai 65,2 ribu ton. Peningkatan produksi ikan lemuru yang berlangsung selama tahun 2006 terhenti pada tahun Produksi tangkapan ikan lemuru pada tahun 2010 mengalami penurunan yang cukup siginifikan. Penurunan produksi tangkapan ikan lemuru mulai terjadi pada pertengahan tahun 2010 dan berlangsung hingga saat ini. Sejak akhir tahun 2010 sampai dengan akhir tahun 2011 banyak nelayan di Selat Bali yang tidak memperoleh ikan hasil tangkapan, sehingga sebagian besar armada kapal penangkapan purse seine tidak beroperasi mengingat biaya operasionalnya yang cukup besar. Terjadinya penurunan produksi tangkapan ikan lemuru yang drastis saat ini di Selat Bali menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali belum dikelola dengan baik.

38 6 Perikanan lemuru di Selat Bali perlu mendapatkan perhatian yang khusus terutama dalam hal pengelolaan sumberdaya, sehingga masih perlu dilakukan kajian mengenai potensi sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali agar pengelolaannya dapat dilakukan secara optimal. Kegiatan pengelolaan terhadap sumberdaya ikan tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu sumber dana untuk pengelolaan sumberdaya tersebut dapat dilakukan melalui pungutan sumberdaya (resource rent tax) dari pelaku usaha yang melakukan eksploitasi sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Dana tersebut tentunya harus digunakan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali agar pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali dapat dilakukan secara berkesinambungan dan lestari. Hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan pungutan (fee) tersebut yaitu harus memperhitungkan nilai ekonomis masing-masing komoditas perikanan serta kemampuan ekonomi dari pelaku usaha perikanan sehingga memungkinkan diturunkannya pungutan perikanan. Kondisi ini akan terasa lebih adil bagi pelaku usaha perikanan. Kajian mengenai penilaian user fee untuk pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian mengenai pengelolaan dan penilaian nilai user fee pada pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru yang optimal di Selat Bali perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan beberapa perumusan masalah penting, yaitu : 1) Bagaimana keragaan alat tangkap purse seine sebagai alat tangkap utama yang ikan lemuru di Selat Bali dan berapa jumlah alat tangkap optimal yang dapat digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali agar diperoleh hasil yang optimal? 2) Bagaimana tingkat pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali yang optimal? 3) Berapa besaran nilai user fee (pungutan) yang sanggup diberikan oleh pelaku usaha dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali? 4) Kebijakan apa yang dapat digunakan agar sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali dapat dilakukan secara berkelanjutan dan lestari?

39 7 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Menggambarkan keragaan unit penangkapan purse seine sebagai alat tangkap utama dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali, menentukan jumlah alat tangkap yang optimal dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali agar dapat dilakukan secara berkelanjutan dan lestari. 2) Menentukan tingkat pengelolaan yang optimal untuk sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali (solusi bionomi optimal). 3) Menentukan besaran nilai user fee yang optimal yang bersedia dibayar oleh nelayan dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali yang lestari berkelanjutan. 4) Menetapkan alternatif kebijakan yang dapat dilakukan terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1) Sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian lanjutan terutama yang berhubungan dengan perikanan lemuru di Selat Bali 2) Dasar strategi bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumbedaya ikan lemuru di Selat Bali 3) Menjadi bahan pertimbangan bagi para pelaku usaha perikanan baik yang terkait langsung melakukan penangkapan ikan lemuru di Selat Bali maupun bagi pelaku usaha turunan lainnya seperti pengolahan dan pemasaran ikan lemuru. 1.5 Penelitian Terdahulu Penelitian yang berkaitan tentang sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali telah banyak dilakukan. Hasil-hasil penelitian tentang potensi sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali banyak yang menunjukkan bahwa perikanan lemuru di Selat Bali telah mengalami tangkap lebih (over fishing). Pada Tabel 2 disajikan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan pendugaan stok ikan lemuru di Selat Bali.

40 8 Tabel 2. Hasil pendugaan stok ikan lemuru di Selat Bali atas dasar model surplus produksi Tahun Model MSY (ton) Effort Tingkat optimum eksploitasi ) Schaefer Fox Overfishing Overfishing ) Schnute Gulland Schaefer Jacknife Overfishing Overfishing Overfishing Overfishing ) Schaefer Overfishing ) Schaefer Fox Overfishing Overfishing Overfishing Walter Hilborn Sumber : Badan Pertimbangan Pengembangan Penelitian Universitas Brawijaya (2004) Keterangan : 1) oleh Martosubroto, Naamin dan Nurhakim (1986) 2) oleh Salim (1986) 3) oleh Universitas Diponegoro (1992) 4) oleh Universitas Brawijaya (2004) Pada Tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa hasil pendugaan stok yang didasarkan model surplus produksi dengan menggunakan model estimasi Schaefer, Fox, Schnute, Gulland dan Jacknife menujukkan bahwa sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali telah mengalami tingkat eksploitasi yang over fishing. Hasil pendugaan stok ikan lemuru atas dasar model analitik seperti yang disajikan pada Tabel 3 juga telah menujukkan tingkat eksploitasi yang fully exploited dan overfihing. Tabel 3. Hasil pendugaan stok ikan lemuru di Selat Bali atas dasar model analitik Model Y/R max. (g) F optimum Tingkat Per tahun eksploitasi Beverton & Holt 1) Beverton & Holt 2) Jones 3) Thomson & Belt 4) 14,22-11,85 3,9 25, ton (total) 0,5 0,8 1,2 3 X= 0,8 Fully exploited Overfishing Overfishing Overfishing Sumber : Badan Pertimbangan Pengembangan Penelitian Universitas Brawijaya (2004) Keterangan : 1) oleh Ritterbush (1975) 2) oleh Gumilar (1985) 3) oleh Merta (1992) 4) oleh Merta dan Eidman (1995)

41 9 Hasil kajian yang dilakukan oleh Universitas Brawijaya tahun 2004 diketahui bahwa tingkat mortalitas dan eksploitasi ikan lemuru menunjukkan angka yang sangat tinggi yaitu mortalitas alami (M) sebesar 0,49; mortalitas penangkapan (F) sebesar 4,99; mortalitas total (Z) sebesar 5,48; tingkat eksploitasi sebesar 0,91. Tingkat eksploitasi sumberdaya ikan lemuru sepanjang tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 sangat tinggi dan dapat dikatakan overfishing, karena banyaknya alat tangkap purse seine yang beroperasi di Selat Bali. Penelitian yang dilakukan oleh Zulbainarni (2002) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali telah mengalami gejala economic overfishing. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Zulbainarni (2011) menunjukkan bahwa eksploitasi multispesies sumberdaya ikan pelagis di Selat Bali belum tejadi overfishing baik secara biologi maupun ekonomi, sehingga eksploitasi sumberdaya perikanan pelagis di Selat Bali dengan menggunakan alat tangkap purse seine dua kapal masih dapat ditingkatkan. Penelitian yang dilakukan oleh Wiyono (2011) menunjukkan bahwa tekanan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali relatif berat sehingga terjadi penurunan produksi yang berakibat over capacity. Nilai MSY sebesar ,92 ton per tahun, effort MSY sebesar trip per tahun dan jumlah armada purse seine optimum sebanyak 40 unit. Kegiatan penelitian terdahulu mengenai sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali banyak dilakukan sehubungan dengan pendugaan stok sumberdaya, tetapi penelitian mengenai penilaian user fee untuk pengelolaan sumberdaya ikan lemuru belum dilakukan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu kebaruan data analisis yang digunakan dan analisis pembahasan dilakukan sampai dengan penilaian mengenai besaran nilai user fee terkait dengan pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Perbedaan lainnya dengan penelitian terakhir terkait sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali yaitu penelitian yang dilakukan oleh Zulbainarni (2011) melakukan kajian tentang sumberdaya multispesies ikan pelagis di Selat Bali. Adapun Wiyono (2011) melakukan kajian tentang model dinamis perikanan lemuru di Selat Bali dengan analisis model bionomi dengan menggunakan data times series mulai tahun 2005 sampai dengan tahun Pada penelitian ini

42 10 dilakukan kajian tentang pengelolaan dan penilaian user fee sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali yang optimal melalui pendekatan model bionomi dengan data times series selama 16 tahun, mulai dari tahun 1995 sampai dengan tahun Kerangka Pemikiran Besarnya potensi sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali telah memberikan dampak terhadap peningkatan perekonomian di wilayah sekitarnya. Sumberdaya ikan lemuru merupakan target spesies tangkapan utama bagi nelayan di sekitar Selat Bali. Perikanan lemuru di Selat Bali menjadi sumber pendapatan utama bagi nelayan, sebagai bahan baku utama industri pengolahan ikan di sekitar Selat Bali dan juga dalam penyerapan tenaga kerja baik pada kegiatan on-farm maupun kegiatan off-farm. Kegiatan penangkapan sumberdaya ikan lemuru yang semakin meningkat di Perairan Selat Bali telah memberikan tekanan terhadap keberadaaan sumberdaya ikan lemuru. Banyaknya pelaku yang melakukan aktivitas penangkapan ikan lemuru menyebabkan para nelayan saling berlomba untuk mendapatkan manfaat ekonomi yang sesuai dengan harapannya. Kondisi ini akhirnya menimbulkan persaingan dengan tujuan jangka pendek yang mengarah pada eksploitasi sumberdaya ikan secara berlebihan. Pada tahun 2010 hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Bali mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penurunan tersbut diduga disebabkan karena kegiatan eksploitasi sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali terjadi secara berlebihan pada tahun sebelumnya. Adanya kelangkaan sumberdaya ikan lemuru telah berdampak langsung bagi pendapatan nelayan di sekitar Selat Bali maupun bagi kegiatan ekonomi turunan lainnya seperti pengolah ikan dan pedagang ikan. Untuk menghindari dan mencegah terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan yang tak terkendali, perlu kiranya dibuat sebuah kebijakan yang mengarah kepada pemanfaatan sumberdaya ikan secara bertanggung jawab, sehingga diperoleh manfaat ekonomi yang optimal dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Untuk itulah diperlukannya kajian bionomi sumberdaya ikan, yaitu suatu kajian yang memadukan dinamika biologi perikanan dan faktor ekonomi perikanan tangkap. Kajian bionomi akan memberikan informasi yang dibutuhkan

43 11 untuk mengontrol tingkat eksploitasi agar tidak berlebih sekaligus mendorong melakukan upaya pemanfaatan dengan keuntungan yang optimal yang bisa dilakukan secara terus menerus. Kajian bionomi pada penelitian ini diawali dengan observasi lapangan, melihat secara langsung kondisi perikanan lemuru di Perairan Selat Bali. Setelah itu, melakukan identifikasi terhadap data sekunder dan informasi lainnya yang mendukung dari Tahun Data sekunder ini meliputi, data rumah tangga nelayan, armada, alat tangkap, produksi dan upaya penangkapan. Proses selanjutnya adalah melakukan tabulasi data, dilanjutkan dengan melakukan analisis data dengan menggunakan model estimasi bionomi yaitu model Algoritma Fox, model Walters Hilborn (WH), model Schnute dan model Clark, Yoshimoto and Pooley (CYP). Dari model estimasi tersebut diperoleh parameter biologi berupa carrying capacity (K), coefficient of catchability (q), dan instrinsic growth rate (r) dari sumberdaya ikan lemuru. Kemudian mengolah data primer untuk mendapatkan parameter ekonomi yang meliputi data harga output (p), biaya input (c), discount rate ( ). Analisis bionomi dilakukan dengan cara melakukan perhitungan terhadap data parameter biologi dan ekonomi untuk mendapatkan tingkat degradasi dan depresiasi serta pengelolaan optimal sumberdaya ikan. Hasil analisis bionomi ini kemudian menjadi dasar dalam perhitungan dalam penilaian user fee yang optimal. User fee merupakan bentuk pungutan sebagai kompensasi dari pada pelaku usaha yang telah melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan. Nilai user fee dapat dijadikan sebagai salah satu sumber dana dalam pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Tahap selanjutnya melakukan pembahasan mengenai alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan lemuru yang optimal. Alternatif kebijakan yang disusun berdasarkan dari hasil analisis bionomi dan nilai user fee optimal dalam pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Kerangka pemikiran penelitian sebagaimana terlihat pada Gambar 2.

44 12 Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian

45 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Lemuru Menurut UU No.31 Tahun 2004, Definisi ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Ikan lemuru termasuk dalam kelompok ikan pelagis kecil. Menurut Bleeker (1953) ikan lemuru dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sumbphylum : Vertebrata Superclass : Gnathostomata Class : Actinopterygii Subclass : Neoptrygii Superorder : Clupemorpha Order : Clupeiformes Suborder : Clupeoidei Family : Clupeidae Subfamily : Clupeinae Genus : Sardinella Spesies : Sardinella albella (white sardinella) Spesies : Sardinella articauda Spesies : Sardinella aurita (round sardinella) Spesies : Sardinella branchysoma (deepbody sardinella) Spesies : Sardinella dayi Spesies : Sardinella fijiense (fiji sardinella) Spesies : Sardinella fimbriata (fringescale sardine) Spesies : Sardinella gibbosa (goldstripe sardinella) Spesies : Sardinella hualiensis (Taiwan sardinella) Spesies : Sardinella janeiro (Brazilian sardinella) Spesies : Sardinella jonesi Spesies : Sardinella jussieu Spesies : Sardinella lemuru (Bali sardinella)

46 14 Spesies : Sardinella logiceps (Indian oil sardine) Spesies : Sardinella maderensis (Madeiran sardinella) Spesies : Sardinella marquesensis (Marguesan sardinella) Spesies : Sardinella melanura (blacktip sardinella) Spesies : Sardinella neglecta (east african sardinella) Spesies : Sardinella richardsoni (Richardson s sardinella) Spesies : Sardinella rouxi (yellowtail sardinella) Spesies : Sardinella sindensis (sind sardinella) Spesies : Sardinella tawilis (freshwater sardinella) Spesies : Sardinella zunasi (Japanese sardinella) Ikan lemuru yang terkenal di Indonesia yang nama ilmiah Sardinella lemuru atau sering dikenal dengan nama internasional Bali Sardinella terkonsentrasi di Perairan Selat Bali dan sekitarnya. Untuk lebih jelas, gambar bentuk spesies ikan lemuru dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Spesies ikan lemuru (Sardinella lemuru) (Sumber : Randall, John E. 1997) Sardinella lemuru mudah dibedakan dari semua clupeid lainnya dengan 9 jari-jari sirip perut. Ikan lemuru memiliki karakter diagnostik : badan memanjang, bagian perut sebelum sirip membundar, panjang kepala persen daripada panjang baku, tinggi badan persen, jari-jari sirip punggung 14, jari-jari sirip dubur 13-15, jari-jari sirip dada 16, jari-jari sirip perut 9, tulang saring insang bagian bawah , ruas tulang belakang 47-48, warna badan keperakan dengan biru gelap pada bagian belakang, tidak terdapat bercak gelap pada dasar sirip punggung, pinggiran tepi sirip ekor berwarna gelap. Ikan lemuru memiliki

47 15 umur maksimal mencapai 4 tahun dan diperkirakan berada di Selat Bali berkisar 2,5 tahun sampai 3 tahun (Dwiponggo, 1972 dan Merta, 1992) Ikan lemuru dapat mencapai panjang 23 cm. Berdasarkan ukurannya, ikan lemuru oleh nelayan setempat diberi nama berbeda sesuai dengan ukuran panjangnya. Secara umum nama lokal ikan lemuru yang diberikan oleh nelayan di sekitar Perairan Selat Bali, yakni Sempenit Penpen (< 11 cm), Protolan (11-15 cm), Lemuru (15 18 cm) dan Lemuru Kucing-Kucingan (> 18 cm). 2.2 Daerah Penyebaran Ikan Lemuru Ikan lemuru tersebar di Laut India bagian Timur yaitu Phuket, Thailand, di pantai-pantai sebelah Selatan Jawa Timur dan Bali, Australia bagian Barat dan Lautan Pasifik sebelah Barat, Laut Jawa ke Utara hingga Filipina, Hongkong, Pulau Taiwan dan Jepang bagian Selatan (Whitehead, 1985). Selain di Perairan Selat Bali, ikan lemuru juga terdapat di perairan sebelah Selatan Ternate, Teluk Jakarta dan sewaktu-waktu tertangkap di perairan luar Jawa Tengah (Soerjodinoto,1960) Penyebaran ikan lemuru di Perairan Selat Bali mempunyai batas wilayah tertentu. Daerah penyebaran waktu musim lemuru adalah ke arah Barat sampai ke Teluk Grajagan, sedangkan di daerah Pulau Bali dan Candi Kesuma daerah penyebarannya ke Tenggara hingga sampai ke Semenanjung Bukit. Penyebaran maupun pergerakan ikan lemuru di perairan Selat Bali belum dapat diungkapkan secara pasti apakah bergerak ke Utara melalui mulut selat, ataukah kembali lagi ke arah Selatan pada waktu musim Lemuru telah berlalu. Menurut Dwiponggo (1982) bahwa pada waktu tidak berada di Perairan Selat Bali, ikan lemuru berada lebih ke arah selatan di tepian paparan benua pada kedalaman meter. Berdasarkan penelitian akustik yang dilakukan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) dengan menggunakan fish finder, ikan lemuru di Perairan Selat Bali terpusat di paparan Jawa dan Bali pada kedalaman kurang dari 200 meter, di luar paparan ikan lemuru tidak ditemukan. Pada siang hari ikan lemuru mempunyai kebiasaan bergerombol (scoolling) dalam jumlah yang cukup besar dan padat di dasar perairan, sedangkan pada malam hari akan naik ke permukaan dan lebih menyebar.

48 16 Pada siang hari, gerombolan ikan lemuru dapat ditemukan dekat dengan dasar perairan, sedangkan pada waktu malam hari ikan lemuru bergerak ke lapisan dekat permukaan membentuk gerombolan yang menyebar. Kadang dapat ditemukan gerombolan ikan lemuru di permukaan di siang hari ketika cuaca berawan dan gerimis. Juvenile lemuru berada di daerah perairan yang dangkal, sehingga sering menjadi target alat tangkap tradisional. Ikan lemuru yang berada di daerah Perairan Teluk Pangpang, dekat ujung Sembulungan dan semenanjung Senggrong di sisi Pulau Jawa dan di Teluk Jimbaran Bali, masih relatif kecil ukurannya yaitu kurang dari 11 cm (lemuru sempenit). Kebanyakan ada sejak memasuki bulan Mei sampai September dan kadang meluas sampai bulan Desember. Ikan lemuru yang besar ukurannya akan berada di perairan yang lebih dalam dan secara umum ukuran ikan lemuru semakin bertambah besar bila semakin ke arah selatan. Produksi ikan lemuru mulai meningkat pada bulan Agustus, namun hasil produksi masih lemuru sempenit. Pada bulan Desember sampai bulan Maret sudah mulai digantikan oleh ikan lemuru protolan, selanjutnya digantikan oleh peningkatan produksi ikan lemuru kucing. Dengan keadaan seperti tersebut bisa diperkirakan bahwa kegiatan penangkapan ikan lemuru pada bulan April sampai bulan Juli cukup membahayakan kelestarian sumberdaya ikan lemuru, karena lemuru sempenit dan protolan masih berukuran muda dan sebagian besar diduga belum matang gonad reproduksi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Hartoyo, et.al. (1998) dapat diketahui bahwa besaran densitas ikan lemuru dapat dibagi menjadi 5 strata yaitu 5-10 meter ditemukan densitas sekitar ekor/1000m 3, meter ditemukan densitas sekitar ekor/1000m 3, meter ditemukan densitas sekitar ekor/1000m 3, meter ditemukan densitas sekitar ekor/1000m 3, meter ditemukan densitas sekitar ekor/1000m Alat Tangkap Purse Seine Pada awal semester kedua tahun 1972, percobaan penangkapan ikan lemuru dengan purse seine (pukat cincin) di Muncar, Perairan Selat Bali sudah mulai diadakan. Sebelumnya, penangkapan masih dilakukan dengan alat yang

49 17 sederhana seperti payang, jaring (gillnet), bagan dan pancing. Dengan berkembangnya alat tangkap purse seine, maka jenis alat tangkap lainnya tidak berkembang. Hasil tangkapan ikan lemuru dengan menggunakan purse seine lebih besar jika dibandingkan dengan menggunakan alat tangkap lainnya. Sejak diperkenalkannya purse seine, dari tahun ke tahun pengoperasian alat tangkap ini di Perairan Selat Bali terus meningkat (Barus dan Nasution, 1982). Berdasarkan efektivitas alat, maka purse seine tergolong efektif dan sering digunakan dalam usaha penangkapan ikan lemuru. Purse seine dapat digolongkan dalam surrounding nets atau jaring lingkar (Von Brandt, 2005). Pukat cincin (purse seine) adalah alat tangkap ikan yang terbuat dari jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang dengan banyak cincin di bagian bawahnya dan digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan. Cara operasinya adalah dengan melingkarkan jaring ini mengurung gerombolan ikan. Setelah ikan terkurung bagian bawah jaring ditutup dengan menarik tali yang dilewatkan pada cincin-cincin di bagian bawah jaring. Deskripsi lainnya dari pukat cincin yakni salah satu alat penangkap ikan yang dioperasikan dengan jalan melingkari gerombolan ikan, memagari secara vertikal dari permukaan kearah dalam, serta mengurung gerakan ikan dengan jalan penarikan tali cincin. Hal ini dimaksudkan agar ikan-ikan dapat terkurung oleh jaring sehingga pergerakannya dapat terhalang dari dua arah samping (horisontal) maupun dari arah bawah (vertikal). Disebut pukat cincin karena dilengkapi dengan cincin untuk menarik tali cincin (purse line) atau tali kerut untuk menarik jaring saat operasi penangkapan. Pukat cincin (purse seine) terdiri dari beberapa bagian, yaitu sayap (wing), perut (body), bahu (shoulder), dan kantong (bunt) yang tidak menonjol. Pada bagian atas jaring terdapat tali ris atas, tali pelampung dan pelampung, sedangkan pada bagian bawahnya terdapat tali ris bawah, tali pemberat, cincin, bridle, becket, dan tali kolor. Pada penggolongan alat penangkap ikan berdasarkan menurut Internasional Standard Statistical Classification on Fishing Gear (ISSCFG), pukat cincin (purse seine) termasuk jenis jaring lingkar dengan kode Selanjutnya, menurut ISSCFG, jaring lingkar terdiri dari jaring lingkar bertali kerut (kode ISSCFG ), pukat cincin satu kapal (kode ISSCFG ), pukat cincin dua kapal

50 18 (kode ISSCFG ) dan jaring lingkar tanpa tali kerut seperti lampara dan payang (kode ISSCFG ). Pukat cincin dapat dibedakan berdasarkan jumlah kapal yang digunakan, dikenal one boat purse seine dan two boat purse seine. Ada pula yang menggolongkan berdasarkan jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan sehingga kita kenal tuna purse seine, sardin purse seine, dan sebagainya (Von Brandt, 2005). Gambar mengenai sketsa one boat purse seine dan two boat purse seine disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Pelampung Tali Pelampung Tali Ris Atas Tali ris Bawah Pemberat Tali Pemberat Cincin Tali Kolor Gambar 4. Konstruksi pukat cincin (purse seine) satu kapal (one boat system) (Sumber : Von Brandt, 2005) Tali Pelampung Pelampumg Tali Ris Atas Tali Ris Bawah Tali Pemberat Pemberat Tali Kolor Cincin Gambar 5. Konstruksi pukat cincin (purse seine) dua kapal (two boat system) (Von Brandt, 2005)

51 19 Prinsip kerja alat tangkap purse seine yaitu melingkari gerombolan ikan dengan jaring. Setelah itu, jaring bagian bawah dikerutkan sehingga ikan akan terkumpul dibagian kantong. Operasi penangkapan alat tangkap purse seine dengan dua kapal, yaitu: - Perahu penangkap/catcher Boat yang dilengkapi dengan dua mesin diesel (One Boat Engine) yang dipasang pada lambung bagian kanan perahu, yang mempunyai tugas untuk membawa jaring serta melingkarkan jaring untuk mengurung gerombolan ikan. - Perahu selerek / collesting boat yang dilengkapi dengan empat buah mesin diesel yang diletakkan pada lampung kiri dan kanan perahu. Perahu ini bertugas untuk menarik tali kolor atau purse line dan mengangkut hasil tangkapan 2.4 Estimasi Stok Ikan Menurut Aziz (1989), suatu unit stok adalah sebuah kelompok yang berdiri sendiri, tanpa campur dari luar dan mempunyai karakteristik biologi dan dampak penangkapan seragam. Stok juga bisa didefinisikan sebagai masalah operasional, yaitu suatu sub kelompok dalam suatu spesies dapat diperlakukan sebagai stok jika perbedaan-perbedaan dalam kelompok tersebut dan pencampuran dengan kelompok lain dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang tidak absah. Stok ikan pada suatu perairan dapat diduga dengan menggunakan dua metode, yaitu metode analitik dan metode holistik. Metode analitik digunakan untuk mengkaji stok ikan berdasarkan data hasil tangkapan dan upaya, dengan melihat frekuensi panjang atau umur ikan. Metode holistik digunakan untuk mengkaji stok ikan berdasarkan data hasil tangkapan dan upaya tanpa ada data komposisi ukuran (Sparre dan Venema 1999). Sparre dan Venema (1999) mengemukakan bahwa model-model yang digunakan untuk pendugaan stok ikan bagi keperluan pengelolaannya secara garis besar terbagi menjadi dua golongan, yaitu (l) model analitik, (2) model holistik. Model-model holistik sederhana lebih sedikit dibandingkan dengan model analitik. Model holistik berdasarkan informasi dari Aziz (1989) dan Komisi

52 20 Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan (1998), estimasi stok ikan di Indonesia dilakukan dengan 6 metode pendekatan, yaitu sensus/transek, swept area, akustik, surplus production, tagging dan ekstra/intra-polasi. Metoda sensus atau transek digunakan untuk mengkaji stok ikan yang sifatnya tidak bergerak dengan cepat, seperti ikan hias dan ikan karang. Metode swept area digunakan untuk menduga stok ikan dasar (demersal) dimana metoda ini dilakukan dengan prinsip menyapu area perikanan dengan menggunakan alat tangkap trawl. Metode akustik ini digunakan untuk menduga ikan pelagis maupun demersal dengan prinsip kerja menghitung potensi ikan dengan menggunakan alat yang dinamakan echosounder dan metode surplus production digunakan untuk menduga ikan dengan memanfaatkan data time series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan (Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan 1998). Pengkajian stok ikan dengan menggunakan trawl dan echosounder tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk mengcover seluruh perairan Indonesia sangatlah besar. Sementara itu, dana yang tersedia untuk melakukan survey jumlahnya relatif sedikit. Diantara, keenam metode pendekatan tersebut, pendekatan dengan metode surplus production adalah yang relatif paling murah, cepat dan sederhana dalam pengerjaan (Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan 1998). Berdasarkan Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan (1998) bahwa kunci keberhasilan penggunaan metode ini adalah keakuratan sumber data yang digunakannya. Penggunaannya metode surplus production memerlukan data time series hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan. Dalam analisis estimasi stok dari sumberdaya ikan unggulan ini, digunakan pendekatan metode surplus production, walaupun di akui bahwa metode ini masih banyak menggunakan asumsi untuk menghitungnya. Pendekatan biologi dengan menggunakan model surplus production ini sendiri merupakan salah satu pendekatan dari tiga pendekatan umum yang biasa digunakan khususnya untuk perikanan multispecies. Dua pendekatan lainnya, yaitu Total Biomass Schaefer Model (TBSM) yang dikembangkan oleh Brown et

53 21 al. pada tahun 1976, Pope tahun 1979, Pauly tahun 1979 dan Panayatou tahun 1985 dan pendekatan independent single species yang dikembangkan oleh Anderson dan Ursin pada tahun 1976 dan May et al. tahun 1979 memerlukan data dan perhitungan yang ekstensif, sehingga sulit diterapkan pada wilayah yang memiliki multispecies (Fauzi 2004). 2.5 Optimasi Sumberdaya Perikanan Model surplus produksi Pengelolaan sumberdaya ikan pada awalnya didasarkan pada konsep hasil maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield) atau disingkat MSY. Inti dari konsep ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Dengan kata lain konsep ini hanya mempertimbangkan faktor biolagi ikan semata (Fauzi, 2004). Menurut Aziz (1989) model surplus produksi adalah salah satu model yang digunakan dalam pengkajian stok ikan, yaitu dengan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Pertambahan biomassa suatu stok ikan dalam waktu tertentu di suatu wilayah perairan adalah suatu parameter populasi yang disebut produksi. Biomassa yang diproduksi ini diharapkan dapat mengganti biomassa yang hilang akibat kematian, penangkapan maupun faktor alami. Produksi yang berlebih dari kebutuhan penggantian dianggap sebagai surplus yang dapat dipanen. Apabila kuantitas biomassa yang diambil sama dengan surplus yang diproduksi maka perikanan tersebut berada dalam kondisi equilibrium atau seimbang. Fauzi, (2004) mengatakan bahwa fungsi pertambahan atau pertumbuhan atau perubahan stok biomassa ikan yang pada periode waktu tertentu ditentukan oleh populasi awal periode (terjadi secara alami), disebut sebagai density dependent growth. Hubungan ini secara matematik dinotasikan sebagai berikut : x t 1 x F( x)

54 22 dalam bentuk fungsi yang kontinyu menjadi : x F(x) t Fungsi density dependent growth yang umum digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistic (logistic growth model). Model pertumbuhan logistik secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : dimana : x F( x) rx1 t x K x F(x) = Perubahan stok ikan atau fungsi pertumbuhan stok ikan t x r K = Stok ikan = Laju pertumbuhan intrinsik ikan = Kapasitas daya dukung lingkungan Persamaan (2.3) dalam literatur perikanan dikenal dengan pertumbuhan logistik (logistic growth model) yang pertama kali dikemukakan oleh Verhulst tahun Persamaan tersebut dapat digambarkan pada Gambar 6 F(x) 0 K x 1 K 2 Gambar 6. Kurva pertumbuhan logistik (Fauzi. 2004) Dari persamaan matematis dan Gambar 5 tersebut di atas terlihat bahwa dalam kondisi keseimbangan yang terjadi secara alami, dimana laju pertumbuhan sama dengan nol ( x / t = 0), tingkat populasi akan sama dengan K (carrying

55 23 capacity). Carrying capacity sangat dipengaruhi oleh laju pertumbuhan instrinsik (r), dimana semakin tinggi nilai r, semakin cepat tercapainya carrying capacity. Tingkat maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity atau K/2. Tingkat ini disebut juga sebagai Maximum Sustainable Yield atau MSY. Untuk menangkap (memperoleh manfaat) sumberdaya ikan dibutuhkan berbagai sarana. Sarana merupakan faktor input yang biasa disebut upaya atau effort. Aktivitas penangkapan atau produksi dinyatakan dengan fungsi sebagai berikut : h q. x. E dimana : h = produksi q = koefisien daya tangkap x = stok ikan E = upaya (effort) dengan adanya aktivitas penangkapan atau produksi, maka fungsi perubahan stok ikan menjadi : x F x rx ( ) 1 t x F x rx ( ) 1 t x K x K h qxe dalam kondisi keseimbangan dimana berikut: qxe rx1 x K x / t = 0, maka menjadi persamaan dari persamaan di atas diperoleh nilai stok ikan (x) sebagai berikut : qe x K1 r dengan mensubstitusikan persamaan di atas, maka dapat diperoleh persamaan berbentuk kuadratik terhadap input yang disebut sebagai fungsi produksi lestari atau yang dikenal dengan yield effort curve sebagai berikut : qe h qke1 r

56 24 secara grafik dapat diilustrasikan pada Gambar 7 Yield h MSY MSY 0 E MSY E Max effort Gambar 7. Model pertumbuhan Schaefer (kurva produksi lestari) (Fauzi, 2004; Lawson 1984) Gambar 7 di atas menunjukkan hubungan kuadratik antara produksi (yield) dengan upaya (effort) yang kurvanya berbentuk simetris, yang merupakan penerapan dari konsep produksi kuadratik Verhulst pada tahun 1883 yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer pada tahun 1957 untuk diterapkan pada perikanan. Hubungan ini kemudian dikenal dengan model pertumbuhan Schaefer (Lawson, 1984) atau disebut juga dengan kurva produksi lestari (Fauzi, 2004). Dari Gambar 7 dapat dijelaskan bahwa dalam kondisi tidak ada aktivitas penangkapan ikan, maka produksi ikan sama dengan nol. Apabila upaya penangkapan ditingkatkan sampai mencapai titik E MSY, maka akan diperoleh produksi yang maksimum atau dikenal dengan MSY, tetapi karena sifat dari kurva produksi lestari berbentuk kuadratik, maka peningkatan upaya yang dilakukan secara terus menerus sampai melewai titik MSY, akan mengakibatkan turunnya produksi sampai mencapai titik nol pada titik upaya maksimum (E Max ). Dengan membagi kedua sisi dari persamaan dengan variable input (E), maka akan diperoleh persamaan linier berikut ini : qe h qke1 r

57 25 2 q KE h qke r 2 h E qke E q 2 KE r 2 / E h E 2 q K qk r U E E dimana : U = produksi per unit input (CPUE) = qk, = q2 K/r Menurut Schaefer yang diacu dalam Fauzi (2004), dengan meregresikan variable U dan E dari data time series produksi dan upaya (effort) akan diperoleh nilai koefisien dan, sehingga akan diketahui tingkat input (E) dan tingkat produksi (h) optimal dalam kondisi MSY. Dari uraian di atas tampak bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan dengan pendekatan MSY oleh Schaefer hanya dilihat dari aspek biologi saja. Pengelolaan perikanan belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan, apabila berorientasi pada manusia. Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan dengan konsep ekonomi yang berpendapat bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan pada dasarnya adalah untuk menghasilkan pendapatan dan bukan semata-mata untuk menghasilkan ikan. Kritik yang paling mendasar adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek social ekonomi pengelolaan sumberdaya alam (Fauzi, 2004) Model optimasi statik Dengan memperhatikan kelemahan-kelemahan yang terdapat pada pendekatan MSY, maka mulailah dikembangkan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Konsep ini mulai diperkenalkan pada tahun 1957 oleh seorang ahli ekonomi Kanada yang bernama Gordon yang memanfaatkan kurva produksi lestari yang dikembangkan oleh Schaefer, sehingga dalam perkembangannya pendekatan ini dikenal dengan teori Gordon-Schaefer yang

58 26 banyak dipergunakan oleh ahli perikanan haruslah memberikan manfaat ekonomi (dalam bentuk rente ekonomi). Rente tersebut merupakan selisih dari penerimaan yang diperoleh dari ekstraksi sumberdaya ikan (TR=ph) dengan biaya yang dikeluarkan (TC = ce) (Fauzi, 2004). Manfaat ekonomi tersebut dinotasikan dalam bentuk : ph ce dimana p adalah harga output dan c adalah biaya input dengan mensubstitusikan persamaan akan diperoleh penerimaan dari sisi input, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : p 2 E E ce Pemikiran dengan memasukkan unsur ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield atau disingkat menjadi MEY. Pendekatan ini menggunakan beberapa asumís (Lawson, 1984; Fauzi, 2004), yaitu : 1) Harga per satuan output adalah konstan 2) Biaya per satuan upaya dianggap konstan 3) Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal 4) Struktur pasar bersifat kompetitif 5) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pasca panen dan lain sebagainya).

59 27 Yield TC MSY MEY OA maks =0 TR E 3 0 E 1 E 2 effort Gambar 8. Model Gordon Schaefer (Fauzi, A. 2004) Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa kurva penerimaan total (Total Revenue atau TR) adalah sama dengan kurva produksi lestari, karena harga ikan diasumsikan konstan dan penerimaan total akan ditentukan langsung oleh hasil tangkapan ikan. Kurva biaya total (Total Cost atau TC) berbentuk garis lurus, yang mengindikasikan bahwa besarnya biaya meningkat secara proporsional dengan meningkatnya effort (Lawson, 1984). Pada setiap tingkat upaya yang lebih tinggi dari E 2, maka biaya total (TC) akan melebihi penerimaan total (TR), sehingga banyak pelaku perikanan yang keluar dari perikanan. Sebaliknya pada tingkat upaya yang lebih rendah dari E 2, maka penerimaan total (TR) melebihi biaya total (TC), sehingga dalam kondisi open access, hal ini akan menyebabkan bertambahnya pelaku yang masuk dalam industri perikanan. Kondisi ini akan terus terjadi hingga manfaat ekonomi terkuras sampai titik nol, atau dengan kata lain tidak ada lagi manfaat ekonomi yang bisa diperoleh. Gordon menyebut hal ini sebagai bioeconomic equilibrium of open access fishery atau keseimbangan bioekonomi dalam kondisi akses terbuka (Fauzi, 2005). Dari Gambar 8 di atas juga dapat dijelaskan bahwa keuntungan lestari yang maksimum akan diperoleh pada tingkat upaya E, tingkat upaya ini disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara ekonomi karena lebih efisien dalam penggunaan faktor produksi (tenaga kerja,

60 28 modal) dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara social karena tingkat upaya yang lebih sedikit, sehingga lebih bersahabat dengan lingkungan. Kondisi ini secara matematik dapat dinotasikan sebagai berikut (Fauzi, 2004) : max pe pe 2 ce p 2 pe c 0 E sehingga diperoleh tingkat input yang optimal sebesar : E p c 2 p * Dalam model bioekonomi Gordon Schaefer di atas, tampak bahwa beberapa parameter biologi penting seperti r, q, dan K tergantikan oleh koefisien dan. Hal ini menyebabkan informasi mengenai perubahan biologi yang terjadi tidak akan pernah terakomodasi dalam model. Oleh karena itu diperlukan cara untuk memodifikasi model Gordon Schaefer. Terdapat beberapa model estimasi bioekonomi yang dikembangkan antara lain model Algoritma Fox, model Walters dan Hilborn (W-H), model Schnute dan model Clark, Yoshimoto dan Pooley (CYP). Model estimasi bioekonmi yang dikembangkan oleh Fox (1975) dimana metode estimasi ekuilibrium dilakukan berdasarkan analisis model Schaefer dalam kondisi keseimbangan atau steadey state. Model surplus produksi Fox adalah non linear (logaritmich) dan lag sehingga dikenal dengan model Algoritma Fox. Model ini menggunakan asumsi bahwa perubahan upaya penangkapan (effort) secara berangsur-angsur akan membuat ukuran stok selalu mendekati atau mencapai titik keseimbangan karena adanya kondisi ekologi dan hubungan biologi yang stabil. Dengan asumsi tersebut maka pertumbuhan populasi (dx/dt) akan sama dengan nol. Estimasi parameter biologi dengan menggunakan model Algoritma Fox sebagai berikut: q dimana : n ln ti x y z 1 t

61 29 1 U t z x 1 1 U t z y 2 1 U t U t b a z Setelah diperoleh nilai koefisien kemampuan tangkap (q), maka dapat diperoleh nilai kapasitas daya dukung lingkungan (K) dan laju pertumbuhan intrinsik (r) melalui persamaan berikut: q K 2 Kq r Model Walters dan Hilborn (1976) dikenal sebagai difference model. Model Walters Hilborn menggunakan versi diskrit model biologi sedangkan Schaefer tidak. Estimasi parameter biologi dengan menggunakan metode estimasi dinamis atau dikenal dengan metode regresi relatif lebih mudah karena dapat mengestimasi parameter biologi langsung dari persamaannya. Model Walters Hilborn dapat dijelaskan pada persamaan berikut: t t t t qe U qk r r U U 1 1 dimana: r ; qk r ; q ; K Model estimasi Schnute (1977) dikembangkan dengan metode regresi relatif. Secara matematis persamaan model Schnute sebagai berikut: 2 2 ln t t t t t E E q U U qk r r U U dimana: r, qk r, q, dan k

62 30 Model estimasi bioekonomi yang dikembangkan oleh Clark, Yoshimoto, dan Pooley atau yang biasa dikenal dengan model CYP, persamaan CYP secara matematis sebagai berikut : ln dimana : U lnqk t1 2r 2 r 2 r 2 r ln U t q E t Et 1 2 r Model optimasi dinamik Clark (1985) diacu dalam Fauzi (2004) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan statik yang telah banyak digunakan untuk memahami sumberdaya ikan dalam kurun waktu yang cukup lama memiliki beberapa kelemahan mendasar yang dapat menyebabkan kesalahan dalam pemahaman realitas sumberdaya ikan yang dinamis. Faktor mendasar dari kelemahan pendekatan statik adalah karena sifat itu sendiri yang tidak memasukkan faktor waktu di dalamnya. Hal ini lebih disebabkan karena sumberdaya ikan memerlukan waktu untuk memulihkan diri dan tubuh dalam kondisi perairan tertentu maupun terhadap kondisi eksternal yang terjadi disekitarnya (Cunningham, 1981 diacu dalam Fauzi, 2004). Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang mampu secara tepat menangkap perubahan-perubahan eksogenous yang terjadi pada parameter-parameter biologi dan ekonomi dari sumberdaya ikan. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan dengan menggunakan model dinamis. Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan menggunakan pendekatan dinamis sudah dimulai sejak tahun 1970, namun pendekatan ini berkembang sepenuhnya dan banyak digunakan sebagai analisis estela publikasi artikel Clark dan Munro (1975). Dalam artikel tersebut terungkap bahwa Clark dan Munro

63 31 (1975) menggunakan pendekatan kapital untuk memahami aspek inter temporal dari pengelolaan sumberdaya ikan (Fauzi, 2004). Aspek pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan model dinamik bersifat intertemporal, maka aspek tersebut dijembatani dengan penggunaan discount rate, sehingga dalam konteks dinamik, pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal merupakan perhitungan tingkat upaya dan panen yang optimal yang mengasilkan discounted present value (DPV) surplus sosial yang paling maksimum. Surplus sosial ini diwakili oleh rente ekonomi dari sumberdaya (resource rent) (Fauzi, 2004). Pada pendekatan kapital menurut Anna S (2003) biaya korbanan (opportunity cost) untuk mengeksploitasi sumberdaya dapat diperhitungkan melalui rente ekonomi optimal (optimal economic rent) yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya perikanan secara optimal. Nilai uang (investasi) menurut Clark C (1985) diacu dalam Adrianto L (1992) pada masa datang dapat diukur dengan nilai sekarang (present value) dengan persamaan: P 0 P 1 t i t dimana P0 adalah nilai uang pada masa sekarang, Pt adalah nilai uang pada masa datang, i adalah tingkat bunga aktual dan t adalah waktu (tahun). Faktor 1 i t adalah discount factor yang dapat dituliskan dalam bentuk eksponensial : t t 1 i e atau ln1 i dimana adalah tingkat diskon sumberdaya over time (annual continues discount rate), sedangkan i adalah tingkat bunga aktual yang diperoleh dari hasil pengurangan tingkat bunga nominal dikurangi laju inflasi per tahun. Oleh karena itu nilai uang secara matematis dapat dituliskan kembali sebagai : P 0 e t Pt Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dengan menggunakan formula model dinamik dalam bentuk fungsi yang kontinyu ditulis sebagai berikut : max t t xt, ht e dt t0

64 32 dengan kendala : x x F t xt ht ; 0 h hmax dengan menggunakan teknik Hamiltonian, maka model kontinyu di atas menghasilkan Golden Rule untuk pengelolaan sumberdaya ikan yang secara matematis ditulis sebagai berikut (Fauzi, 2004) : dan F / x x / h F( x) h dimana, / x adalah rente marginal akibat perubahan biomassa, / h adalah rente marginal akibat perubahan tangkap (panen), F / x produktivitas dari / x biomasa. Dalam kondisi 0, maka persamaan menjadi F / x yang / h merupakan golden rule dari teori kapital, dimana kapital harus dimanfaatkan sampai manfaat marjinalnya sama dengan biaya opportunitas (interest rate). Dalam konteks ini, ketika ( / x )=0 yang identik dengan kondisi MEY, kondisi pengelolaan mengikuti kaidah teori kapital, dimana stok akan dipelihara pada tingkat laju pertumbuhannya sama dengan manfaat yang diperoleh dari investasi (dalam hal ini interest rate) Degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia saat dihadapkan pada isu penting yang salah satunya adalah terjadinya degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan di beberapa wilayah penangkapan ikan. Degradasi diartikan sebagai penurunan kualitas/kuantitas sumberdaya alam dapat diperbaharukan (renewable resource). Dalam hal ini kemampuan alami sumberdaya dapat diperbaharukan untuk bergenerasi sesuai dengan kapasitas produksinya berkurang. Kondisi ini dapat disebabkan karena adanya pengaruh aktifitas manusia dan faktor alam sendiri. Degradasi sumberdaya alam pesisir dan laut, kebanyakan terjadi karena perbuatan manusia, baik akibat aktifitas produksi penangkapan ikan, maupun

65 33 karena aktifitas nonproduksi, seperti pencemaran akibat limbah domestik maupun industri (Fauzi A dan Anna S 2004). Deplesi diartikan sebagai tingkat/laju pengurangan stok dari sumberdaya alam tidak dapat diperbarukan (non-renewable resource). Sedangkan depresiasi diartikan sebagai pengukuran degradasi yang ditentukan dengan nilai ekonomi atau dirupiahkan. Moneterisasi dalam pengukuran depresiasi harus mengacu pada pengukuran nilai riil, bukan pada nilai nominal. Oleh karena itu untuk menghitungnya harus mengacu pada beberapa indikator perubahan harga, seperti inflasi, indeks harga konsumen (IHK), dan sebagainya, yang berlaku untuk setiap komoditi sumberdaya alam pesisir dan laut (Fauzi A dan Anna S 2005). Deplesi, degradasi dan depresiasi sumberdaya pesisir dan laut disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor alam dan manusia, faktor endogenous maupun eksogenous, dan kegiatan yang bersifat produktif dan nonproduktif. Deplesi dan degradasi diperparah pula oleh adanya berbagai gejala kerusakan lingkungan. Pada sumberdaya perikanan, degradasi dan depresiasi terjadi sebagai akibat dari tekanan lingkungan dan tangkap lebih (overfishing). Perubahan present value of rent dari sumberdaya secara intertemporal dapat menggambarkan tingkat kerusakan lingkungan dan depresiasi sumberdaya alam. Sumberdaya alam dikatakan terdepresiasi jika present value of rent pada saat ini lebih kecil dari present value of rent pada saat yang lalu (Fauzi A dan Anna S 2005). Mengetahui tingkat/laju degradasi sangat penting untuk menentukan langkah-langkah pengelolaan sumberdaya perikanan lebih jauh. Terutama dalam mengambil suatu kebijakan pengelolaan, apakah perlu dilakukan pengurangan atau penambahan effort, aktifitas ekstraksi dan bahkan menghentikan ekstraksi terhadap sumberdaya tersebut. Informasi mengenai laju degradasi sumberdaya alam dapat dijadikan titik referensi (reference point) maupun early warning signal untuk mengetahui apakah ekstraksi sumberdaya alam sudah melampaui kemampuan daya dukungnya (Fauzi A dan Anna S 2005).

66 Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan suatu upaya untuk mengantisipasi terjadinya masalah-masalah yang ditimbulkan oleh penerapan kebijakan open access terhadap permasalahan ekologi dan sosial ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Upaya ini muncul sebagai respon terhadap masalahmasalah yang terjadi dari praktek open access, berupa kerusakan sumberdaya ikan hayati laut maupun konflik antar nelayan di wilayah perairan (Satria, 2001). Berdasarkan UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan pasar 1 ayat 7, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, implementasi serta penegakkan hukum dari peraturan perundangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktifitas sumberdaya ikan dan tujuan yang telah disepakati. Selanjutnya pada pasal 2 UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan disebutkan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Menurut Simanjuntak (2000) konsep dasar dari sustainability adalah penggunaan sumberdaya alam sedemikian rupa sehingga tidak terkuras atau rusak secara permanen. Untuk itu diperlukan pengetahuan mengenai batas kekuatan sumberdaya alam tersebut sampai seberapa jauh bisa digunakan tanpa terkuras atau rusak secara permanent. Menurut Charles (2001), keberlanjutan pembangunan perikanan mengandung 4 (empat) komponen dasar yang harus terpenuhi. Componen dasar tersebut adalah sebagai berikut : 1) Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability) Berhubungan dengan stok dari sumberdaya ikan, daya dukung lingkungan dan keseimbangan dari ekosistem. 2) Keberlanjutan sosial ekonomi (socioeconomi sustainability) Berhubungan dengan pemerataan kesejahteraan yang akan dan bisa diperoleh oleh generasi berikutnya dengan pemanfaatan sumberdaya ikan.

67 35 3) Keberlanjutan masyarakat (community sustanability) Berhubungan dengan peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat nelayan, sehingga dengan ini di harapkan pengelolaan ikan secara berkelanjutan akan terus berlangsung secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya. 4) Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustanability) Berhungan dengan dukunagn dari lembaga (pemerintah maupun swasta), administrasi yang baik dan keuangan sebagai prasyarat tercapainya 3 (tiga) komponen dasar sebelumnya. Dengan pendekatan ini, tampak bahwa pembangunan perikanan yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kelestarian sumberdaya ikan itu sendiri atau keuntungan ekonomi saja, melainkan juga keberlanjutan masyarakat dan lembaga perikanan. 2.7 Kebijakan Perikanan dan Kelautan Menurut Parson (2001), kebijakan adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik dan merupakan manivestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan. Menurut Simatupang (2001), kebijakan pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu kebijakan privat dan kebijakan publik. Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang atau lembaga lain. Kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan privat (individu maupun lembaga swasta). Hogwood dan Gun (1986) diacu dalam Suyasa (2007) menambahkan bahwa, ciri-ciri kebijakan publik yaitu : 1) Dibuat atau diproses oleh lembaga pemerintah atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan pemerintah. 2) Bersifat memaksa, berpengaruh terhadap tindakan privat (masyarakat atau publik). Dari uraian diatas, maka kebijakan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan kebijakan publik, yaitu suatu keputusan dan tindakan pemerintah

68 36 untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan, guna mewujudkan pembangunan nasional. Perumusan kebijakan perikanan dan kelautan menurut Kusumastanto (2002) meliputi tiga tingkatan, yaitu tingkatan politis (kebijakan) yang terdiri atas lembaga eksekutif dan lembaga legislatif; tingkatan organisasi (institusi, aturan main) yang terdiri atas lambaga departemen dan non departemen yang memiliki tugas dan fungsi yang memiliki keterkaitan koordinatif dan saling mendukung; dan tindakan implementasi (evalusi, umpan balik) yang terdiri atas unsur nelayan, petani, pengusaha dan sebagainya yang berperan dalam implementasi kebijakan pemerintah dalam bidang perikanan dan kelautan. Pada sidang negara-negara FAO di Roma, Italia Tahun 1995, telah ditetapkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sebagai petunjuk umum dalam melaksanakan perikanan yang bertanggung jawab. FAO (1995) menyatakan beberapa hal penting yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab tersebut, yaitu : 1) Negara dan pengguna sumberdaya perikanan harus menjaga ekosistem perairan dan hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap ikan dengan cara yang bertanggung jawab. 2) Negara harus mencegah terjadinya tangkap lebih (over fishing) dan menjaga agar penangkapan sesuai dengan daya lingkungan (carrying capacity). 3) Pengelolaan perikanan harus menjamin tersedianya perikanan untuk generasi sekarang dan yang akan datang. 4) Pelaksanaan pengelolaan perikanan harus dilakukan dengan pendekatan kehati-hatian. 5) Kebijakan pengelolaan perikanan harus didasarkan pada adanya bukti ilmiah terbaik yang tersedia. 6) Perlunya dilakukan perlindungan dan upaya rehabilitasi terhadap habitat perikanan yang kritis. 7) Negara harus menjamin pengelolaan perikanna yang trasnparan, mendorong adanya konsultasi dan pertisipasi dari para pengguna sumberdaya ikan. 8) Negara harus menjamin terlaksanya pengawasan dan kepatuhan dalam pelaksanaan pengelolaan.

69 Dasar Hukum Pengelolaan Perikanan Lemuru di Perairan Selat Bali Semakin meningkatnya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap purse Seine di Perairan Selat Bali dan dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan lemuru dengan memperhatikan kelestariannya serta menciptakan ketenangan bagi para nelayan, maka tanggal 20 Mei 1977 telah dikeluarkan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikaan di Perairan Selat Bali dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Gubernur Kepala Daerah (KDH) Tingkat I Jawa Timar dan Bali No. HK. 1/39/77/ek/le/52/77 tentang pengaturan bersama mengenai kegiatan penangkapan ikan di daerah Perairan Selat Bali. Di dalam SKB ini jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi di Perairan Selat Bali sebanyak 100 unit, dengan perincian Daerah Tingkat I Jawa Timur 50 unit dan Bali 50 unit. SKB ini kemudian direvisi pada tahun 1978, dimana jumlah alat tangkap purse seine yang boleh beroperasi di Perairan Selat Bali sebanyak 133 unit dengan perincian Daerah Tingkat I Jawa Timur sebanyak 73 unit dan Bali 60 unit. Ketentuan ini masih dilanggar oleh nalayan purse seine karena jumlah alat tangkap purse seine yang beroperasi di Mancar jauh melebihi ketentuan hingga 200 unit sehingga pada tahun 1985 dikeluarkan SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timar dan Bali Nomor : 7 Tahun 1985/4 tahun 1985 dengan petunjuk pelaksanaan SKB Kepala Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Bali Nomor : 02/SK/Utan/I/85//523.41/96Um/K. pada tanggal 14 November 1992, SKB ini disempurnakan menjadi SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali Nomor 238 tahun 1992//SKB 673 tahun 1992 dengan perunjuk pelaksanaannya berdasarkan Kepala Dinas Perikanan Provinsi Jawa Timur dan Bali Nomor: 10 tahun 1994/02 tahun 1994 (Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur, 2000). Adapun perbedaan antara SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali No. 7 Tahun 1985//4 Tahun 1985 dan No. 238 Tahun 1992//674 Tahun 1992 dapat dilihat pada Tabel 4.

70 38 Tabel 4. Perbedaan antara SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali No. 7 Tahun 1985//4 Tahun 1985 dan No. 238 Tahun 1992//674 Tahun 1992 SKB Gubernur KDH Tk. I Jawa SKB Gubernur KDH Tk. I Jawa Timar dan Bali Tahun Daerah operasi Penangkapan Ikan : Daerah I : perahu layar /tanpa motor 08 o 40 LS-114 o 33 BT 08 o 13 LS-114 o 27 BT 08 o 30 LS-114 o 33 BT Daerah II ; untuk kapal/perahu motor 2. Jumlah purse seine yang diijinkan 273 unit (jatim = 190 unit dan Bali =83 unit) 3. Ukuran unit purse seine : Panjang : maks 150 m Mata jarring : min 1 inchi 4. Tanda pengenal SKB Kepala Dinas Perikanan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Bali Nomor : 02/SK/Utan/I/ /96/Um/Kabupaten Cilacap 5. Pengawasan Pemda Tingkat II setempat berkoordinasi dengan unsure SATGAS KAMLA 6. Pemasaran ikan hasil tangkapan harus dijual ke TPI dimana ijin diperoleh Timur dan Bali Tahun Ditegaskan kembeli koordinatnya : Daerah I : Perahu layar/tanpa motor 08 o 40 LS-114 o 33 BT 08 o 30 LS-114 o 33 BT 08 o 30 LS-114 o 53 BT 08 o 13 LS-114 o 27 BT 08 o 13 LS-114 o 23 BT 2. Tetap Daerah II Tetap 3. Ukuran unit purse seine : Panjang : maks 300 m Dalam : 60 m Mata jarring : min 1 inchi 4. Tanda pengenal SKB Kepala Dinas Perikanan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Bali Nomor : 10 Tahun Tahun Pengawasan tetap, ditambah agar lebih ditingkatkan 6. Pemasaran tetap, ditambah antar KUD Mina kedua daerah dapat mengadakan kerjasama saling menguntungkan di bidang pemasaran Sumber : Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur, 2000 Dasar hukum lain yang dipergunakan untuk mengatur pengelolaan perikanan lemuru di Perairan Selat Bali adalah (Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Provinsi Bali) : 1) Keputusan bersama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timar dan Gubernur Kepala Tingkat I Bali No. 138 Tahun 1992//674 Tahun 1992 tentang pengaturan dan pengendalian penggunaan purse seine di Perairan Selat Bali.

71 39 2) Keputusan bersama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timar dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali No //02 Tahun 1994 tentang petunjuk pelaksanaan kerjasama antar daerah Provinsi Jawa Timar dan BAli di bidang Perikanan. 3) Keputusan bersama Gubernur Kepala Tingkat I Bali Nomor : 392 Tahun 1994 Tanggal 19 Agustus 1994Tentang penetapan jumlah ijin penangkapan ikan dengan jaring purse seine untuk Kabupaten Daerah Tingkat II Jembrana dan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung. 4) Surat Gubernur Kapala Daerah Tingkat I Bali Nomor 523.4/17092/Binoroda Tanggal 10 Desember 1992 Tentang Penertiban Ikan Lemuru di PPI Kedonganan. 5) Keputusan Gunernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 168 Tahun 1995 Tanggal 17 Oktober 1995 Tentang Penetapan Dasar Lemuru. 6) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 17 Tahun 1991 Tanggal 5 Desember 1991 Tentang Ijin Usaha Perikanan

72

73 3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di sekitar Perairan Selat Bali yang secara administrasi berada di dua wilayah Provinsi yaitu Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali. wilayah yang menjadi pusat pendaratan ikan hasil tangkapan dari Perairan Selat Bali di Provinsi Jawa Timur yaitu berada di Kabupaten Banyuwangi dan lebih spesifiknya berada di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Muncar. Pusat pendaratan ikan hasil tangkapan ikan dari Perairan Selat Bali di Provinsi Bali berada di wilayah Kabupaten Jembrana yaitu di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan. Waktu penelitian pada bulan Agustus tahun 2010 hingga bulan Juni Kegiatan survey lapangan dilakukan selama 3 kali yaitu bulan Agustus 2010, bulan Januari 2011 dan bulan Juni Kegiatan survey pada bulan Agustus dilakukan dengan pertimbangan bahwa musim ikan lemuru mulai ada pada bulan Agustus. Survey pada bulan Januari dilakukan dengan mempertimbangkan musim penangkapan ikan lemuru yang banyak terjadi mulai bulan November sampai dengan bulan Februari. Kegiatan survey pada bulan Juni dilakukan karena pada bulan Mei sampai dengan Juli biasanya merupakan musim paceklik atau sediki ikan. Gambar mengenai lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran Metode Penelitian Metode penelitan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data sekunder. Menurut Singarimbun (2000), analisis data sekunder adalah penelitian yang bertujuan untuk menganalisis lebih lanjut data yang sudah tersedia agar diperoleh sesuatu yang berguna. Dalam analisis ini, data dikumpulkan dan dikelompokan dari berbagai sumber, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi relevan yang terkandung dalam data dan menyajikan hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana yang akhirnya mengarah kepada adanya penjelasan dan penafsiran

74 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah deskripsi berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Taylor dan Bogdan 1984 diacu dalam Sitorus, 1998). Data kualitatif terbagi dalam tiga kategori yaitu hasil pengamatan, hasil pembicaraan dan bahan tertulis. Data kuantitatif adalah data yang nilainya berbentuk numerik atau angka, bersifat ringkas, sederhana, sistematis, terbakukan dan mudah disajikan (Sitorus, 1998). Berdasarkan sumbernya, data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dilakukan melalui observasi dan wawancara. Data sekunder diperoleh dengan cara penelusuran bahan tertulis (literature), hasil penelitian, jurnal, surat kabar, majalan, bulletin dan lain sebagainya yang berhubungan dan menunjang kelengkapan data pada penelitian ini. Data sekunder pada penelitian ini berupa data series. Data series yang digunakan adalah time series data pada tahun Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sample (sampling) pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling atau pemilihan responden dengan sengaja dan dengan pertimbangan bahwa responden mampu berkomunikasi dengan baik dalam pengisian kuesioner yang diajukan kepada responden. Dasar pertimbangan pemilihan responden adalah nelayan yang tahu dan mengerti dalam operasional alat tangkap, mendaratkan ikan hasil tangkapannya di Kabupaten Banyuwangi Muncar dan Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, mau bekerjasama dan punya wawasan luas serta dianggap sebagai panutan setempat. Secara rinci teknik dan alat pengumpulan data sebagai berikut ini : 1) Kuisioner: digunakan untuk mengumpulkan data lapangan dengan menggunakan daftar pertanyaan dan pernyataan kepada responden nelayan. 2) Wawancara : digunakan untuk menghimpun data dan informasi dari responden yang tidak tercantum dalam kuisioner, juga dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan dalam hal ini mencakup aktivitas penangkapan ikan lemuru

75 43 3) Studi Dokumentasi : digunakan untuk mengumpulkan data sekunder, data tersebut dicatat atau didokumentasikan ke dalam catatan penelitian. 4) Studi Kepustakaan : menghimpun data-data penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu, jurnal, laporan dan lain sebagainya 3.5 Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif menjelaskan kondisi aktual tentang kegitan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang menggunakan unit penangkapan ikan dengan bagan, payang dan tonda. Data yang diperoleh dianalisis untuk memperoleh gambaran fenomena-fenomena yang berpengaruh serta kaitan antara satu fenomena dengan fenomena lainnya. Analisis kuantitatif menjelaskan melalui penggunaan metode analisis bioekonomi Catch per unit effort (CPUE) Setelah data produksi dan upaya (input atau effort) disusun dalam bentuk urut waktu menurut jenis alat tangkap dan jumlah ikan lemuru hasil tangkapan, langkah selanjutnya adalah mencari nilai hasil tangkapan per unit upaya (CPUE). Menurut Gulland (1983), perhitungan CPUE bertujuan untuk mengetahui kelimpahan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan pada suatu daerah perairan tertentu. Nilai CPUE dapat dinotasikan sebagai berikut : catch t CPUEt ; t = 1,2,..,n effort t dimana : CPUE = hasil tangkapan per upaya penangkapan pada tahun ke-t catch t = hasil tangkapan pada tahun ke-t effort t = upaya penangkapan pada tahun ke-t Standarisasi alat tangkap Standarisai dilakukan karena alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap target sumberdaya perikanan beragam, sehingga sangat dimungkinkan satu spesies ikan tertangkap oleh dua alat tangkap yang berbeda. Standarisasi alat tangkap dilakukan dengan maksud untuk bisa menjumlahkan

76 44 input upaya secara agregat karena kedua alat tangkap tersebut memiliki kemampuan daya tangkap yang berbeda. Alat tangkap yang dijadikan standar adalah alat tangkap yang memiliki produktivitas tinggi (dominan) dalam menangkap sumberdaya perikanan yang menjadi objek penelitian atau memiliki nilai rata-rata CPUE terbesar pada suatu periode waktu dan memiliki nilai faktor daya tangkap (Fishing Power Index) sama dengan satu (Gulland, 1983). Secara matematis menurut Fauzi, (2004), input alat tangkap yang akan distandarisasi merupakan perkalian dari fishing power index dengan input (upaya/effort) dari alat yang distandarisasi. E std U t U ie 1 i std dimana : E std U t U std = effort standar = CPUE i = Catch per Unit Effort tangkap ke-i = CPUE std = CPUE yang dijadikan estándar Estimasi parameter ekonomi Parameter ekonomi dalam penelitian ini berupa harga output (p) per kg atau per ton dari produksi sumberdaya ikan dan biaya input (c) dari aktivitas upaya per trip atau per hari melaut. Semua data harga dan biaya dikonversi ke dalam nilai riil dengan cara menyesuaikannya dengan indeks harga konsumen (IHK), sehingga pengaruh inflasi dapat dieliminir (Fauzi A dan S Anna 2005) Standarisasi biaya input Dalam kajian bioekonomi biaya penangkapan didasarkan atas asumsi hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan, sehingga biaya penangkapan dapat didefinisikan sebagai variable per hari operasi dan dianggap konstan. Biaya riil pada tahun t diperoleh dari proses perkalian antara biaya riil pada t std (didapatkan dari hasil perkalian rata-rata biaya effort per tahun dengan share dari produksi sumberdaya) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada tahun t. Biaya per unit upaya standar per tahun alat tangkap adalah :

77 45 C pj trip x biaya trip Proporsi produksi alat tangkap adalah : C pj h h pj z 1 t Maka standarisasi biaya dinotasikan sebagai : C pj C xc / pj pj Sehingga diperoleh nilai biaya riil sebagai berikut : dimana : C pj C t C std h pj IHK t h z t IHK n t C std xihk t IHKn C / = biaya produksi = biaya pada tahun t = biaya standar = produksi total alat tangkap ke-j = indeks harga konsumen komoditas ikan pada tahun t = produksi total = 1,2,3,..., n = indeks harga konsumen komoditas ikan pada tahun standar Standarisasi harga output Data harga output penangkapan berdasarkan alat tangkap diperoleh dari wawancara terhadap responden nelayan yang kemudian dikonversi ke pengukkuran riil dengan cara menyesuaikannya dengan indeks harga konsumen (IHK) yang berlaku. Pendekatan untuk mendapatkan data series harga ikan pada penelitian ini dilakukan dengan cara mengalikan rasio harga ikan saat ini (P t ) dan Indeks Harga Konsumen (IHK t ) tahun ini dengan IHK t+1. secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : P n n i n P Pn Pt IHK i n x IHK t

78 46 dimana : i P t P n IHK n IHK t = jumlah produksi ikan = harga ikan pada tahun t = harga ikan berlaku = indeks harga konsumen komoditas ikan pada tahun standar = indeks harga konsumen komoditas ikan pada tahun t Estimasi discount rate Proses discounting merupakan cerminan dari bagaimana masyarakat berperilaku terhadap ekstraksi sumberdaya alam dan bagaimana masyarakat menilai sumberdaya alam itu sendiri (Hanley and Splash 1995 diacu dalam Fauzi 2004). Dalam ekonomi sumberdaya alam, kegagalan memahami konsep ini akan berdampak pada persepsi yang keliru terhadap sumberdaya alam (Fauzi 2004). Discount rate dalam penilaian ekonomi-ekologi sumberdaya alam akan sangat berbeda dengan discount rate yang biasa digunakan dalam analisis financial (Wahyudin, 2005). Discount rate adalah menyangkut nilai yang diukur, sehingga menyebabkan terjadinya variasi untuk nilai discount rate. Variasi discount rate terjadi oleh karena adanya faktor inflasi yang sangat berkorelasi erat dengan discount rate. Atas dasar faktor-faktor inilah, pengukuran discount rate nominal dikurangi laja unflasi (Fauzi, A., 2004). Berdasarkan uraian di atas, discount rate yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada beberapa pendekatan yang ada, yaitu pendekatan nilai discount rate berbasis pasar (market discount rate) dan pendekatan nilai real discount rate Kula (1984) berbasis Ramsey diacu dalam Anna S., 2003). Pendekatan nilai market discount rate yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan nilai tengah discount rate yang umum digunakan untuk sumberdaya alam, yaitu sebesar 10% sampai 18% sebagaimana yang digunakan oleh World Bank. Nilai discount rate (r) dengan teknik Kula (1984) diacu dalam anna S (2003 didefinisikan sebagai berikut : r.g dimana adalah pure rime preference, adalah elatisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam, g adalah pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan teknik Kula (1984), yaitu dengan cara meregresikan : ln Ct 0 1 ln t

79 47 dengan t sebagai periode waktu dan C t sebagai konsumsi per kapita pada periode t. hasil dari regresi ini akan menghasilkan formula elastisitas dimana : ln C t 1 ln t secara matematis persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi : g C t C t t Berdasarkan pendekatan yang dilakukan oleh Brent (1990) diacu dalam Anna S (2003), nilai standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya ( ) adalah 1, sedangkan nilai pure time preference ( ) yang dihitung berdasarkan kemungkinan bertahan hidup tidak tersedia di lapangan, sehingga nilai ( ) sebagaimana yang dilakukan oleh Anna S (2003) diasumsikan sama dengan nominal discount rate saat ini dari Ramsey sebesar 15%. Nilai discount rate (r) ini kemudian dijustifikasi untuk menghasilkan real discount rate dalam bentuk annual continues discount rate melalui : ln 1 r Analisis bio teknik Analisis bio-teknis menggunakan pendekatan surplus produksi dari Schaefer MB (1954) diacu dalam (Sobari, Diniah, Widiastuti 2008). Hasil tangkapan diperoleh menggunakan persamaan : 2 q K h qke r E 2 Nilai parameter bio-teknik r, q dan K diperoleh dari perhitungan menggunakan model-model estimasi pendukung seperti tercantum dalam Tabel 5.

80 48 Tabel 5. Formula perhitungan parameter bio-teknik pada berbagai model estimasi No Model Estimasi Formula 1 Algoritma Fox t n i t z y x q 1/ ln, 1 U t z x 1 1 U t z y, 2 1 U t U t b a z q K, dan 2 Kq r 2 Schnute 2 2 ln t t t t t E E q U U qk r r U U maka : r, qk r, q, dan K 3 Walter- Hilborn (WH) t t t t qe U qk r r U U 1 1 maka : r, qk r, q, dan K 4 Clark, Yoshimoto and Pooley (CYP) ln 2 2 ln 2 2 ln t t t t E E r q U r r qk r r U maka: Sumber : (Sobari, Diniah, Isnaini 2009) Analisis bio ekonomi Analisis bio-ekonomi dilakukan dengan cara menambahkan faktor ekonomi faktor harga dan biaya - ke dalam aspek bio-teknik melalui model matematis Gordon-Schaefer (Sobari, Diniah, Isnaini 2009) : π = TR TC π = p.h c.e E c E r k q E q k p

81 49 Keterangan : TR = penerimaan total (Rp) TC = biaya total (Rp) π = keuntungan (Rp) p = harga rata-rata ikan (Rp) h = hasil tangkapan (kg) c = biaya penangkapan persatuan upaya (Rp) E = upaya penangkapan (trip) Berdasarkan rumusan di atas, maka berbagai kondisi pola pemanfaatan sumberdaya statik ikan lemuru di Perairan Selat Bali dapat diestimasi menggunakan rumus-rumus seperti tercantum dalam Tabel 6. Tabel 6. Rumus perhitungan dalam pemanfaatan sumberdaya optimal statik Variabel Biomassa (x) Catch (h) Effort (E) Rente Ekonomi (π) r. K 1 4 Kondisi MEY MSY Open Access K c K 1 2 p. q. K 2 c 1 p. q. K c p. q. K r.k 4 c p. q r. c 1 p. q c p. q. K r c r r c 1 1 2q p. q. K 2q q p. q. K p. q. E p.q.k.e1 c. E r r. c K r p F( x c. p. x ) 4 2q Sumber : (Sobari, Diniah, Isnaini 2009) Pengelolaan sumberdaya ikan lemuru dalam konteks dinamik, secara matematis dapat dituliskan dalam bentuk max h t0 t (1 ) t t ( x, h ) t t t dengan kendala x t 1 xt F( xt ) h t

82 50 Berdasarkan kaidah Golden Rule, maka pemecahan pemanfaatan optimal sumberdaya ikan lemuru dengan model dinamik dilakukan dalam bentuk ch 2 2x qx r 1 K... c p qx dan F(x) = h = x rx1 K Dengam demikian nilai biomassa, hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi optimal model dinamik dapat dihitung menggunakan rumus : h * x c 2x pqx c r 1 K x * c Kpq 2 c 8c 1 1 r Kpq r Kpqr dan * E * h qx * Analisis laju degradasi dan depresiasi Secara metematis laju degradasi sumberdaya alam dapat dihitung dengan persamaan berikut: (Anna S, 2003) DG 1 1 e dimana : DG = laju degradasi h = produksi lestari pada periode t h h h = produksi aktual pada periode t Analisis depresiasi sumberdaya ditujukan untuk mengukur perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam, atau dengan kata lain depresiasi

83 51 merupakan pengukuran degradasi yang dirupiahkan. Menurut Anna S (2003) formula pengukuran depresiasi sumberdaya dapat dinotasikan sebagai berikut : DP 1 1 dimana : DP = laju depresiasi h = rente lestari pada periode t h = rente aktual pada periode t e Penentuan rente ekonomi Apabila p t, adalah harga pada periode t (kurva permintaan), yang diasumsikan merupakan fungsi dari produksi (h), dan variabel lain (A) maka p t, dapat ditulis sebagai berikut: Jika biaya (c t ) diasumsikan sebagai fungsi dari upaya penangkapan (E t ) dari parameter lainnya (α), maka biaya yang ditanggung oleh pelaku ke-j dapat ditulis sebagai berikut: Secara eksplisit biaya total dapat dipecahkan ke dalam komponenkomponen biaya variabel (VC) dan biaya tetap (FC), sehingga biaya total yang ditanggung oleh pelaku ke-j. Namun pada analisis Gordon-Schaefer, biaya total diasumsikan hanya terdiri atas biaya variabel saja. Produksi pada periode t (h t ) merupakan fungsi dari upaya penangkapan (E) dari variabel-variabel lain seperti ketersediaan biomass (x) dan tingkat daya tangkap (q). Secara umum h biasa ditulis sebagai berikut:

84 52 Dengan menggabungkan persamaan-persamaan di atas, maka keuntungan dari usaha perikanan atau net discounted benefit, dapat ditulis dalam bentuk net present value (NPV) Dimana: p it h it t i E ij δ j c ij - = harga untuk spesies ikan lemuru periode t yang merupakan fungsi penilaian untuk spesies ikan lemuru pada tahun t (tahun) = produksi spesies ikan lemuru pada periode t = tahun = spesies ikan lemuru = effort ke-j untuk spesies ikan lemuru = discount rate = indeks pelaku (armada/vessel) = biaya total yang ditanggung pelaku ke-j untuk spesies ikan lemuru Effort didefinisikan sebagai fungsi dari tenaga kerja (L), modal (K), variabel-variabel lain seperti jumlah hari penangkapan (D), umur kapal (Y). dalam penelitian ini effort hanya dibatasi pada jumlah hari menangkap (D), sehingga E dapat ditulis sebagai berikut: Dengan demikian, dalam analisis data diperlukan informasi fungsi produksi dan fungsi biaya untuk spesies ikan lemuru, sehingga memungkinkan analisis user fee yang dapat diterapkan untuk setiap spesies. Perlu dikemukakan pula bahwa penentuan rente ekonomi dari sumberdaya perikanan tidak terlepas dari ekonomi yang dihasilkan akan tergantung dari ketersediaan sumberdaya Penentuan user fee dengan resource rent tax (RRT) Dalam Fauzi et all. 2000, besarnya user fee dengan RRT berdasarkan pendekatan Garnaut-Clunies ditentukan dengan tahap-tahap berikut. Pertama, perhitungan net present value (NPV) yang diformulasikan sebagai berikut: dimana: R t c t r t = penerimaan total (total revenue) (rupiah) = biaya total (total cost) (rupiah) = tingkat sukubunga (social discount factor) = tahun

85 53 Tahap kedua menghitung nilai RRT. Hasil perhitungan NPV tersebut akan menentukan rente ekonomi yang kemudian menjadi basis (dasar) dari perhitungan RRT. Pada model Gernaut dan Clunies, perhitungan user fee dalam RRT didasarkan pada formulasi sebagai berikut: dimana: RRT = jumlah user fee optimum yang dapat diambil Prosen user fee = jumlah persentasi user fee dari total NPV Dari persamaan di atas ditunjukkan bahwa pengenaan user fee dilakukan pada usaha yang mempunyai NPV yang lebih besar dari nol (0), sehingga dapat dirasakan lebih adil.

86

87 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 4.1 Administrasi dan Luas Wilayah Berdasarkan garis batas koordinatnya, posisi Kabupaten Banyuwangi terletak diantara 7 43' ' Lintang Selatan dan ' ' Bujur Timur. Secara administratif sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah timur dengan Selat Bali, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso. Administrasi Kabupaten Banyuwangi terbagi atas 24 Kecamatan, Namun kecamatan yang berada di wilayah pesisir selat bali terdiri dari 7 kecamatan yaitu Kecamatan Kalipuro, Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Kabat, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Muncar, Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo. Letak geografis Kabupaten Jembrana berada pada koordinat 8 9'30" '2" Lintang Selatan dan '53" '38" Bujur Timur. Batas wilayah Kabupeten Jembrana sebelah utara Kabupaten Buleleng, sebelah timur dengan Kabupaten Tabanan, sebelah selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah barat dengan Selat Bali. Wilayah administrasi Kabupaten Jembrana terdiri dari 5 kecamatan yaitu Kecamatan Melaya, Kecamatan Negara, Kecamatan Jembrana, Kecamatan Mendoyo dan Kecamatan Pekutatan. Secara umum wilayah-wilayah kecamatan di Kabupaten Jembrana memiliki wilayah pantai dan berbatasan langsung dengan wilayah selat bali. Jika dilihat berdasarnya luas wilayah secara keseluruhan maka Kabupaten Banyuwangi merupakan wilayah sekitar selat bali yang paling luas yaitu mencapai 5.782,5 km2. Luas wilayah di Kabupaten Jembrana sebesar 841,8 km2. Demikian pula apabila ditinjau dari luas yang berada disekitar pesisir Selat Bali, wilayah Kabupaten Banyuwangi masih tetap menjadi wilayah yang terluas yaitu sekitar km2 yang terdiri dari 7 kecamatan. Luas wilayah pesisir di Kabupaten Jembrana meliputi seluruh wilayah kecamatannya yakni ada 5 kecamatan dengan luas sebesar 841,8 km2.

88 56 Dengan demikian secara keseluruhan wilayah di sepanjang pesisir Perairan Selat Bali yang mencakup 2 wilayah Kabupaten (Banyuwangi dan Jembrana) terdiri dari 12 wilayah Kecamatan. Luas wilayah masing-masing kecamatan tersebut lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 9. Kecamatan Kalipuro Banyuwangi Kabat Rogojampi Muncar Tegaldlimo Purwoharjo Melaya Negara Jembrana Mendoyo Pekutatan 310,03 30,13 107,48 102,33 146,07 200,3 197,19 126,5 93,97 294,49 129, , Luas wilayah (km2) Gambar 9. Luas wilayah kecamatan di sekitar Selat Bali (Sumber: BPS tahun 2010, diolah) 4.2 Kependudukan Jumlah penduduk Penduduk merupakan sumberdaya yang potensial dalam proses pembangunan suatu bangsa. Hal ini bila jumlah penduduk yang besar dapat dikembangkan sebagai tenaga kerja yang produktif sehingga berfungsi sebagai pengelola sumber daya alam. Namun penduduk yang besar juga dapat menimbulkan permasalahan sosial dalam proses pembangunan itu sendiri seperti pengangguran, kemiskinan dan sebagainya, bila potensi itu sendiri tidak mendapat perhatian dan penanganan yang serius Jumlah Penduduk di Kabupaten pada tahun 2010 secara keseluruhan berjumlah jiwa. Sementara itu, penduduk yang terdapat di tujuh wilayah kecamatan yang berada di pesisir selat bali berjumlah sebanyak jiwa atau sekitar 38% dari keseluruhan populasi di Kabupaten Banyuwangi. Populasi penduduk terbanyak dari 7 wilayah kecamatan pesisir di Kabupaten

89 57 Banyuwangi terdapat di Kecamatan Muncar dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa. Sedangkan jumlah penduduk yang paling sedikit terdapat di Kecamatan Tegaldlimo dengan jumlah jiwa. Kabupaten Jembrana memiliki jumlah penduduk sebanyak jiwa pada tahun Secara keseluruhan wilayah di Kabupaten Jembrana berada di wilayah pesisir perairan Selat Bali. Wilayah kecamatan di Kabupaten Jembrana yang memiliki jumlah penduduk paling banyak terdapat di kecamatan Negara yaitu sebanyak jiwa. Sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk yang paling sedikit terdapat di Kecamatan Mendoyo sebanyak jiwa. Secara keseluruhan total populai penduduk di 12 kecamatan sepanjang pesisir perairan selat bali tercatat sebanyak jiwa. Dari 12 kecamatan yang berada di sekitar perairan selat bali yang memiliki jumlah populasi penduduk paling banyak terdapat di Kecamatan Muncar sekitar 14% dari total penduduk di 12 Kecamatan pesisir Selat Bali. Sedangkan populasi penduduk paling sedikit berada di Kecamatan Pekutatan yaitu sekitar 2%. Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran populasi penduduk yang berada di wilayah kecamatan pesisir sekitar perairan Selat Bali dapat dilihat pada Gambar 10. Kecamatan Kalipuro Banyuwangi Kabat Rogojampi Muncar Tegaldlimo Purwoharjo Melaya Negara Jembrana Mendoyo Pekutatan ,000 40,000 60,000 80, , , ,000 Jumlah penduduk (jiwa) Gambar 10. Populasi penduduk menurut kecamatan di sekitar Selat Bali tahun 2010 (Sumber: BPS tahun 2010, diolah)

90 Sex ratio Sex ratio atau rasio jenis kelamin (RJK) adalah perbandingan jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan per 100 penduduk perempuan. Data mengenai rasio jenis kelamin berguna untuk pengembangan perencanaan pembangunan yang berwawasan gender, terutama yang berkaitan dengan perimbangan pembangunan laki-laki dan perempuan secara adil. Misalnya, karena adat dan kebiasaan jaman dulu yang lebih mengutamakan pendidikan laki-laki dibanding perempuan, maka pengembangan pendidikan berwawasan gender harus memperhitungkan kedua jenis kelamin dengan mengetahui berapa banyaknya laki-laki dan perempuan dalam umur yang sama. Berdasarkan data dari BPS dapat diketahui bahwa dari total populasi penduduk sebanyak jiwa di 15 kecamatan sepanjang pesisir perairan selat bali masih didominasi oleh jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak jiwa. Dengan demikian, nilai sex ratio secara keseluruhan di wilayah pesisir perairan selat bali rata-rata sebesar 102 persen, artinya artinya untuk setiap 100 orang perempuan terdapat laki-laki sebanyak 102 orang. Persentase jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di 12 kecamatan sepanjang pesisir perairan selat bali dapat dilihat pada Gambar 11. Perempuan (49%) Laki-laki (51%) Gambar 11. Persentase penduduk berdasarkan jenis kelamin (Sumber: BPS tahun 2010, diolah) Untuk lebih jelasnya mengenai komposisi penduduk di sekitar wilayah pesisir Perairan Selat Bali dapat ditinjau dari nilai sex ratio dari masing-masing wilayah. Berikut ini disajikan tabel mengenai komposisi jumlah penduduk dan nilai sex ratio di wilayah pesisir Selat Bali.

91 59 Tabel 7. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan nilai sex ratio berdasarkan kecamatan di pesisir Selat Bali, tahun 2010 No Kecamatan Penduduk 2010 Laki-Laki Perempuan Total sex ratio 1 Kalipuro Banyuwangi Kabat Rogojampi Muncar Tegaldlimo Purwoharjo Melaya Negara Jembrana Mendoyo Pekutatan Total Sumber : BPS tahun 2010 (diolah) Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa nilai sex ratio di wilayah pesisir perairan selat bali bervariasi dengan nilai tertinggi sebesar 114 dan terendah sebesar 96. Berdasarkan nilai sex ratio tersebut dapat diketahui wilayahwilayah dengan komposisi penduduk laki-laki lebih banyak terdapat di Kecamatan Kabat, Muncar, Tegaldlimo, Purwoharjo, Negara, Kuta Utara, Kuta dan Kuta Selatan. Wilayah yang jumlah komposisi penduduk laki-laki dan perempuan sama besarnya berada di Kecamatan Kalipuro dan Melaya. Sedangkan 5 wilayah kecamatan lainnya memiliki jumlah penduduk perempuan yang lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk laki-laki Kepadatan penduduk Secara keseluruhan tingkat kepadatan penduduk di wilayah Kecamatan pesisir Selat Bali rata-rata sebesar 277 jiwa per km2, artinya dalam wilayah seluas 1 km2 terdapat penduduk rata-rata sebanyak 277 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi terdapat di Kecamatan Banyuwangi dengan tingkat kepadatan sebanyak jiwa/km2. Wilayah kecamatan terpadat selanjutnya berada di Kecamatan Rogojampi sebesar 868 jiwa/km2 dan Kecamatan Muncar sebesar 837 jiwa/km2. Sementara itu, wilayah kecamatan dengan tingkat

92 60 kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Tegaldlimo dengan tingkat kepadatan sebesar 44 jiwa/km2. Secara keseluruhan jumlah rumah tangga yang terdapat di 12 kecamatan pesisir sekitar perairan selat bali tercatat sebanyak KK. Adapun rata-rata jumlah anggota keluarga di wilayah pesisir Selat Bali berkisar 3-4 orang per keluarga. Untuk lebih jelasnya tingkat kepadatan penduduk dan anggota rumah tangga per kecamatan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. No Tingkat kepadatan penduduk, jumlah rumah tangga dan rata-rata penduduk per rumah tangga menurut kecamatan di wilayah pesisir Selat Bali, tahun 2010 Kecamatan Luas (km 2 ) Jumlah Penduduk (jiwa) Kepadatan Penduduk (jiwa/km 2 ) Jumlah Rumah Tangga (KK) Rata-rata Pendduk per Rumah Tangga 1 Kalipuro 310, Banyuwangi 30, Kabat 107, Rogojampi 102, Muncar 146, Tegaldlimo 1341, Purwoharjo 200, Melaya 197, Negara 126, Jembrana 93, Mendoyo 294, Pekutatan 129, Total 3079, Sumber : BPS tahun 2010 (diolah) Laju pertumbuhan penduduk Tingkat laju pertumbuhan penduduk di wilayah kecamatan pesisir sekitar perairan selat bali rata-rata sebesar 0,67 persen per tahun. Secara umum laju pertumbuhan di wilayah Kabupaten Banyuwangi relatif lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Jembrana. Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran laju pertumbuhan di wilayah kecamatan pesisir Selat Bali dapat dilihat pada Gambar 12.

93 61 Kalipuro Banyuwangi 0,07 Kabat 0,55 Rogojampi 0,31 Kecamatan Muncar Tegaldlimo Purwoharjo Melaya Negara Jembrana Mendoyo 0,09 0,25 0,49 0,73 1,19 1,22 1, Growth (%) Gambar 12. Laju pertumbuhan penduduk di wilayah sekitar Selat Bali menurut kecamatan (sumber: BPS tahun 2010, diolah) Dependency ratio Dependency ratio merupakan salah satu indikator demografi yang penting. Semakin tingginya persentase dependency ratio menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Sedangkan persentase dependency ratio yang semakin rendah menunjukkan semakin rendahnya beban yang ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Penduduk muda berusia dibawah 15 tahun umumnya dianggap sebagai penduduk yang belum produktif karena secara ekonomis masih tergantung pada orang tua atau orang lain yang menanggungnya. Selain itu, penduduk berusia diatas 65 tahun juga dianggap tidak produktif lagi sesudah melewati masa pensiun. Penduduk usia tahun, adalah penduduk usia kerja yang dianggap sudah produktif. Atas dasar konsep ini dapat digambarkan berapa besar jumlah penduduk yang tergantung pada penduduk usia kerja. Meskipun tidak terlalu akurat, rasio ketergantungan semacam ini memberikan gambaran ekonomis penduduk dari sisi demografi. Rasio Ketergantungan (dependency Ratio) adalah perbandingan antara jumlah penduduk berumur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65

94 62 tahun keatas dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tahun. Rasio ketergantungan dapat dilihat menurut usia yakni Rasio Ketergantungan Muda dan Rasio Ketergantungan Tua. a) Rasio Ketergantungan Muda adalah perbandingan jumlah penduduk umur 0-14 tahun dengan jumlah penduduk umur tahun. b) Rasio Ketergantungan Tua adalah perbandingan jumlah penduduk umur 65 tahun ke atas dengan jumlah penduduk di usia tahun c) Rasio Ketergantungan Total adalah perbandingan jumlah penduduk usia muda (0-14 tahun) ditambah jumlah penduduk usia tua (>65 tahun) dibandingkan dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun). Hasil perhitungan nilai dependency ratio di wilayah pesisir Selat Bali menurut kecamatan secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai dependency ratio menurut kecamatan di wilayah pesisir Selat Bali, tahun 2010 No Dependency Ratio Rasio Ketergantungan Usia Muda (%) Rasio Ketergantuangan Usia Tua (%) Rasio Ketergantungan Total (%) 1 Kalipuro Banyuwangi Kabat Rogojampi Muncar Tegaldlimo Purwoharjo Melaya Negara Jembrana Mendoyo Pekutatan Total Sumber : BPS tahun 2010 (diolah) Berdasarkan pada tabel di atas dapat diketahui bahwa rasio ketergantungan usia muda memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan rasio ketergantungan usia tua. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum jumlah orang usia muda lebih banyak dibandingkan dengan jumlah orang usia tua. Secara keseluruhan nilai rasio ketergantungan total di 12 kecamatan wilayah pesisir selat bali adalah sebesar 50%, terdiri dari nilai rasio ketergantungan usia muda sebesar 37% dan rasio ketergantungan usia tua sebesar 13%.

95 Pendidikan Pendidikan sangat berperan dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, maka pembangunan di bidang pendidikan meliputi pendidikan formal maupun informal. Pembangunan di bidang pendidikan memerlukan peran serta yang aktif tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari masyarakat. Berdasarkan tingkat pendidikannya, sebagian besar penduduk di 3 wilayah Kabupaten sekitar perairan selat bali rata-rata sudah berpendidikan diatas SLTP/sederajat. Banyaknya jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan SD di 2 wilayah kabupaten sekitar perairan Selat Bali rata-rata sekitar 20,89%. Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran tingkat pendidikan penduduk di 2 wilayah Kabupaten sekitar perairan selat bali dapat dilihat pada Gambar Kab. Banyuwangi Kab. Jembrana Gambar 13. Tingkat pendidikan penduduk di wilayah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana menurut tingkat pendidikan yang di tamatkan, tahun 2009 (Sumber: BPS tahun 2010, diolah) Banyaknya jumlah penduduk di 2 Wilayah Kabupaten Sekitar Perairan Selat Bali dengan tingkat pendidikan hingga SLTA lebih yaitu sebanyak 71,92 persen. Data selengkapnya mengenai persentase jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di 3 Wilayah Kabupaten Sekitar Selat Bali disajikan pada Tabel 10.

96 64 Tabel 10. Persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan tertingi di 2 wilayah kabupaten sekitar Selat Bali Tahun 2009 No Uraian Kab. Banyuwangi Kab. Jembrana 1 Tamat SD Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Tamat Perguruan Tinggi 4 Diploma Sarjana Sumber : Data BPS tahun 2010 (diolah) Tersedianya sarana pendidikan yang baik merupakan hal yang penting dalam rangka meningkatkan tingkat pendidikan penduduk. Berdasarkan data statistik tercatat bahwa jumlah sarana pendidikan yang tersedia di Kabupaten Jembrana yaitu SD/sederajat sebanyak 193 unit, SLTP/sederajat sebanyak 32 unit dan SLTA/sederajat sebanyak 24 unit. Sementara itu jumlah sarana pendidikan di 7 kecamatan pesisir Selat Bali di Kabupaten Banyuwangi meliputi Taman Kanak-kanak sebanyak 243 unit, SD/sederajat sebanyak 370 unit, SLTP/sederajat sebanyak 119 unit dan SLTA/sederajat sebanyak 32 unit. Data selengkapnya mengenai jumlah sarana pendidikan di wilayah pesisir Selat Bali menurut kecamatan pada tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah sarana pendidikan berdasarkan tingkat pendidikan dan kecamatan di wilayah pesisir Selat Bali tahun 2009 (satuan unit) No Kabupaten Fasilitas pendidikan (unit) TK SD SLTP SLTA A. Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur 1. Kecamatan Kalipuro Kecamatan Banyuwangi Kecamatan Kabat Kecamatan Rogojampi Kecamatan Muncar Kecamatan Tegaldlimo Kecamatan Purwoharjo B Kabupaten Jembrana Provinsi Bali Total Sumber : Data BPS tahun 2010 (diolah)

97 Perekonomian Faktor utama yang mendorong penduduk untuk menetap di suatu wilayah adalah daya tarik aktivitas perekonomiannya. Dengan adanya aktivitas ekonomi maka penduduk dapat memperoleh pekerjaan sesuai dengan bidang keahliannya. Dengan demikian terdapat keterkaitan yang erat antara penduduk di suatu wilayah dengan akitivitas perekonomian di wilayah tersebut. Salah satu indikator kemajuan perekonomian suatu daerah/ wilayah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu masyarakat/negara dalam satu tahun, yang diukur berdasarkan harga pasar yang berlaku (current price) pada waktu itu. Jika berdasarkan harga pasar, disebut dengan PDRB atas dasar harga Pasar. Sedangkan jika berdasarkan harga pada tahun tertentu yang dipilih sebagai harga dasar disebut dengan PDRB atas dasar harga konstan. Gambaran menyeluruh tentang kondisi perekonomian di 2 Wilayah Kabupaten Sekitar Perairan Selat Bali dapat dilihat melalui neraca ekonomi yang tergambarkan dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Melalui penghitungan PDRB di 2 Wilayah Kabupaten Sekitar Perairan Selat Bali Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dapat menggambarkan nilai nominal seluruh barang dan jasa yang dihasilkan daerah ini. Di Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2009, nilai PDRB ADHB adalah sebesar Rp ,43 juta, sementara di Kabupaten Jembrana mencapai Rp ,58 juta. Berdasarkan jumlah yang dihasilkan oleh masing-masing sektor, maka sektor pertanian di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana memberikan kontribusi yang terbesar dibandingkan sektor lainnya yaitu masing-masing 47,63 persen dan 26,02 persen. Data selengkapnya mengenai PDRB berdasarkan harga berlaku di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana dapat dillihat pada Tabel 12.

98 66 Tabel 12. PDRB di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2009 (juta rupiah) No. Lapangan Usaha Kab. Banyuwangi Kab. Jembrana 1 Pertanian , ,38 2 Pertambangan & Penggalian , ,95 3 Industri Pengolahan , ,03 4 Listrik dan Air Bersih , ,89 5 Bangunan , ,25 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran , ,30 7 Pengangkutan dan Komunikasi , ,91 8 Keuangan, Persewaaan dan Jasa Perusahaan , ,10 9 Jasa-jasa , ,77 Total , ,58 Sumber : Data BPS tahun 2009 (diolah) Sedangkan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) dengan tahun dasar 2000 di 3 Wilayah Kabupaten Sekitar Perairan Selat Bali secara total mencapai Rp ,41 juta, meliputi Kabupaten Banyuwangi sebesar 60% dan Kabupaten Jembrana sebesar 10%. Sektor pertanian masih memberikan kontribusi yang terbesar terhadap perekonomian di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Data selengkapnya mengenai PDRB harga konstan di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. PDRB di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana tahun 2009 menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000 (juta rupiah) No. Lapangan Usaha Kab. Banyuwangi Kab. Jembrana 1 Pertanian , ,71 2 Pertambangan & Penggalian , ,54 3 Industri Pengolahan , ,60 4 Listrik dan Air Bersih , ,35 5 Bangunan , ,88 6 Perdagangan. Hotel dan Restoran , ,61 7 Pengangkutan dan Komunikasi , ,72 8 Keuangan. Persewaaan dan Jasa Perusahaan , ,16 9 Jasa-jasa , ,18 Total , ,75 Sumber : Data BPS tahun 2009 (diolah)

99 67 Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat kinerja (performance) perekonomian suatu daerah. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai kemampuan suatu daerah dalam jangka panjang untuk menghasilkan output (barang-barang dan jasa-jasa) kepada penduduknya. Salah satu faktor yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah investasi. Oleh karena itu jika ingin meningkat pertumbuhan ekonomi maka iklim investasi daerah perlu terus dibenahi. Hasil analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi riil (harga konstan) 2 Wilayah Kabupaten Sekitar Perairan Selat Bali yaitu di Kabupaten Jembrana sebesar 6,23 persen dan di Kabupaten Banyuwangi sebesar 7,25 persen. Dilihat dari pertumbuhan ekonomi sektoral, ternyata sektor bangunan memiliki laju pertumbuhan yang tertinggi di Kabupaten Banyuwangi yakni 10,23%. Sementara laju pertumbuhan tertinggi di Kabupaten Jembrana disumbang dari sektor pertambangan dan penggalian sebesar 6,35%. Data selengkapnya mengenai laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana tahun 2009 atas harga konstan tahun 2000 (dalam %) No. Lapangan Usaha Kab. Banyuwangi Kab. Jembrana 1 Pertanian 8,03 1,88 2 Pertambangan & Penggalian 8,54 6,35 3 Industri Pengolahan 9,52 5,49 4 Listrik dan Air Bersih 4,18 4,83 5 Bangunan 10,23 4,71 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 5,6 4,74 7 Pengangkutan dan Komunikasi 5,78 4,51 8 Keuangan, Persewaaan dan Jasa Perusahaan 6,24 3,72 9 Jasa-jasa 6,38 3,85 Total 7,25 6,23 Sumber : Data BPS tahun 2009 (diolah) 4.5 Aktivitas Perikanan Wilayah Perairan Selat Bali memiliki sumberdaya ikan lemuru yang potensial. Hasil tangkapan ikan lemuru di Perairan Selat Bali memberikan kontibusi sebesar 40% dari total ikan lemuru yang ada di Indonesia. Berdasarkan

100 68 potensi sumberdaya tersebut sehingga aktivitas perikanan yang dominan di wilayah perairan Selat Bali yaitu kegiatan penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine. Hal ini karena alat tangkap purse seine merupakan alat tangkap yang sangat efektif untuk menangkap gerombolan ikan lemuru. Sumberdaya perikanan pelagis terutama ikan lemuru telah menjadi tulang punggung kegiatan usaha perikanan di perairan tersebut. Perikanan lemuru di Perairan Selat Bali mempunyai peranan penting pada ekonomi lokal di Provinsi Bali dan Jawa Timur sebagai basis penangkapan dan pendaratan ikan. Kecamatan Muncar merupakan basis utama kegiatan penangkapan ikan di Selat Bali yang berada di Wilayah Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan data yang diperoleh dari Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi diketahui bahwa produksi perikanan laut di Kecamatan Muncar pada tahun 2009 mencapai sekitar 95% dari semua produksi perikanan laut di Kabupaten Banyuwangi. Sementara itu, sebagian besar kegiatan penangkapan ikan lemuru di wilayah Provinsi Bali berada di Kabupaten Jembrana atau tepatnya di PPN Pengambengan. Sedangkan di Kabupaten Badung sebagian besar wilayah pantainya merupakan wilayah wisata. Sehingga hanya ada sebagian kecil yang dijadikan sebagai wilayah pendaratan ikan Nelayan Jumlah nelayan yang terdapat di 7 wilayah kecamatan pesisir Selat Bali di Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2009 tercatat sebanyak orang, terdiri dari juragan dan merupakan pendega. Konsentrasi jumlah nelayan di Kabupaten Banyuwangi banyak terdapat di Kecamatan Muncar. Jumlah nelayan di Kecamatan Muncar pada tahun 2009 tercatat sebanyak orang atau sebesar 59,5% dari total nelayan di 7 wilayah kecamatan pesisir pada tahun yang sama. Data selengkapnya mengenai jumlah nelayan di Kabupaten Banyuwangi dapat dilihat pada Tabel 15.

101 69 Tabel 15. Jumlah nelayan di Kabupaten Banyuwangi menurut kecamatan tahun 2009 (satuan orang) No. Kecamatan Juragan Pendega Jumlah 1 Kalipuro Banyuwangi Kecamatan Kabat Rogojampi Muncar Tegaldlimo Purwoharjo Jumlah Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi, 2010 Adapun jumlah nelayan yang terdapat di Kabupaten Jembrana secara keseluruhan tercatat sebanyak orang pada tahun Nelayan di Kabupaten Jembarana terdiri dari 74% sebagai nelayan penuh dan sebesar 26% merupakan nelayan sambilan. Konsentrasi nelayan di Kabupaten Jembarana terdapat di Kecamatan Negara sebesar 68% dan di Kecamatan Jembrana sebanyak 22%. Data selengkapnya mengenai jumlah nelayan di Kabupaten Jembrana menurut Kecamatan pada tahun 2009 disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Jumlah nelayan di Kabupaten Jembrana menurut kecamatan tahun 2009 (satuan orang) No Kecamatan Nelayan Utama Sambilan Jumlah 1 Melaya Negara Jembrana Mendoyo Pekutatan Jumlah Sumber: Dinas Pertanian Kehutanan Dan Kelautan Kabupaten Jembrana, Armada penangkapan Jika dilihat dari jenis armadanya dapat diketahui sebagian besar armada penangkapan ikan yang beroperasi di wilayah perairan selat bali di dominasi oleh armada dengan mesin tempel. Di wilayah Kabupaten Banyuwangi tercatat jumlah armada dengan mesin tempel sebanyak unit atau sekitar 84% dari total armada penangkapan ikan. data selengkapnya mengenai jumlah armada

102 70 penangkapan ikan di Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2009 di sajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Jumlah armada kapal penangkapan ikan di Kabupaten Banyuwangi tahun 2009 (satuan unit) No. Kecamatan Perahu Tanpa Perahu Motor Motor Tempel Kapal Motor 1 Kalipuro Banyuwangi Kecamatan Kabat Rogojampi Muncar Tegaldlimo Purwoharjo Total Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi, 2010 Hal yang sama juga ditunjukkan dari jumlah armada penangkapan ikan yang terdapat di Kabupaten Jembrana yang masih didominasi oleh armada dengan mesin tempel. Pada tahun 2009, jumlah armada penangkapan ikan dengan mesin tempel tercatat sebanyak unit atau sekitar 83% dari total armada penangkapan ikan yang beroperasi di Kabupaten Jembrana. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Jumlah armada kapal penangkapan ikan di Kabupaten Jembrana tahun 2009 (satuan unit) No. Kecamatan Perahu Tanpa Perahu Motor Motor Tempel Kapal Motor 1 Melaya Negara Jembrana Mendoyo Pekutatan Total Sumber: Dinas Pertanian Kehutanan Dan Kelautan Kabupaten Jembrana, 2010 Untuk lebih jelasnya, gambaran mengenai jenis armada penangkapan ikan yang beroperasi di wilayah Selat Bali dapat dilihat pada Gambar 14.

103 71 Armada kapal untuk alat tangkap purse seine Armada kapal untuk alat tangkap purse seine Armada kapal untuk alat tangkap Payang Gambar 14. Armada penangkapan ikan di Selat Bali Alat tangkap Aktivitas utama kegiatan penangkapan ikan di Perairan Selat Bali yaitu penangkapan ikan lemuru dengan menggunakan alat tangkap purse seine atau pukat cincin. Kegiatan penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine dilakukan dengan menggunakan 2 kapal (two boat), 1 kapal disebut sebagai armada pemburu dan 1 kapal digunakan untuk jaring. Jumlah mesin tempel yang digunakan per unit kapal purse seine masing-masing sebanyak 4-5 unit. Jumlah penggunaan alat tangkap purse seine di perairan selat bali tercatat di Kabupaten Banyuwangi sebanyak 216 unit pada tahun Sementara itu, jumlah alat tangkap purse seine di kabupaten Jembarana tercatat sebanyak 108 unit.

104 72 Secara keseluruhan jenis alat tangkap yang berada di wilayah Kabupaten Banyuwangi tercatat sebanyak 3865 unit. Alat tangkap pancing merupakan alat tangkap yang paling banyak yaitu sekitar 49%, kemudian diikuti alat tangkap gillnet sekitar 21%. Data selengkapnya mengenai jumlah alat tangkap ikan di Kabupaten Banyuwangi dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Jumlah alat tangkap ikan di Kabupaten Banyuwagi tahun 2009 (satuan unit) Jenis Kecamatan No Alat Tangkap Kalipuro Banyuwangi Kabat Rogojampi Muncar Tegaldlimo Purwoharjo Jumlah 1 Payang Purse seine 3 Gill net Bagan Pancing Lainnya Jumlah Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi, 2010 Gambaran mengenai proporsi jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di wilayah Kabupaten Banyuwangi dapat dilihat pada Gambar 15. 3% 6% 18% Payang 21% Purse seine 49% 3% Gill net Bagan Pancing Lainnya Gambar 15. Proporsi jumlah alat tangkap menurut jenisnya di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2009 Jumlah alat tangkap ikan yang beroperasi di Perairan Selat Bali di Provinsi Bali yang meliputi Kabupaten Jembarana pada tahun 2009 tercatat sebanyak unit. Pada tabel dibawah ini terlihat bahwa jumlah alat tangkap ikan yang paling banyak beroperasi di Kabupaten Jembrana yaitu alat tangkap Gillnet,

105 73 Tabel 20. Jumlah alat tangkap ikan di Kabupaten Jembrana tahun 2009 (satuan unit) No Jenis Alat Tangkap Jumlah (unit) 1 Pukat Pantai Purse seine Gill net Jaring klitik Lainnya Jumlah Sumber: Dinas Pertanian Kehutanan Dan Kelautan Kabupaten Jembrana, 2010 Gambaran mengenai proporsi jumlah alat tangkap yang berada di Kabupaten Jembrana pada tahun 2009 disajikan pada Gambar 16. 3% 1% 14% 21% 61% Pukat Pantai Purse seine Gill net Jaring klitik Lainnya Gambar 16. Proporsi jumlah alat tangkap menurut jenisnya di Kabupaten Jembarana Tahun Produksi ikan Produksi perikanan laut di perairan Selat Bali dapat ditinjau dari data pendaratan ikan yang berada di PPP Muncar di Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur dan di PPN Pengambengan di Jembrana Provinsi Bali. kedua daerah tersebut merupakan tempat pendaratan ikan utama di masing-masing wilayah. pada tahun 2009 tercatat jumlah ikan yang didaratkan di PPP Muncar tercatat sebanyak ton dengan nilai sekitar Rp 82 milyar. Rata-rata produksi perikanan tangkap di PPP Muncar sekitar 137 ton per hari dengan harga jual rata-rata sekitar Rp per kg. data selengkapnya mengenai produksi perikanan tangkap di PPP Muncar dapat disajikan pada Tabel 21.

106 74 Tabel 21. Produksi dan nilai produksi per bulan di PPP Muncar tahun 2009 Bulan Volume Nilai Harga Rata-rata Produksi Rata-rata (ton) (Rp 1000) (Rp/kg) Per hari (ton) Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Total Sumber : PPP Muncar tahun 2010 (diolah) Jumlah ikan hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Pengambengan lebih rendah dibandingkan di PPP Muncar yaitu tercatat sebanyak ton pada tahun 2009 atau sekitar 132 ton per hari. Hal ini dikarenakan jumlah unit penangkapan ikan di PPN pengambengan lebih sedikit dibandingkan dengan armada penangkapan ikan di PPP Muncar. Nilai produksi di PPN Pengambengan mencapai Rp 70,34 milyar. Harga rata-rata ikan lemuru sebesar Rp per kg. Data selengkapnya volume dan nilai produksi ikan hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Pengambengan pada tahun 2009 disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Produksi dan nilai produksi ikan hasil tangkapan per bulan di PPN Pengambengan tahun 2009 Bulan Volume Nilai Harga Rata-rata Produksi Rata-rata (ton) (Rp 1000) (Rp/kg) Per hari (ton) Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Total Sumber : PPN Pengambengan tahun 2010 (diolah)

107 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Aktivitas Penangkapan Ikan Lemuru Alat tangkap Purse seine merupakan alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan di sekitar Selat Bali dalam menangkap ikan lemuru. Purse seine merupakan alat tangkap yang paling efektif digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang membentuk gerombolan. Alat tangkap purse seine terbuat dari gabungan beberapa helai jaring yang digabung menjadi satu. Tepi bagian atas diapungkan di permukaan air dengan bantuan sejumlah pelampung. Sedangkan di tepi bagian bawah diberi pemberat serta terdapat sebuah tali yang dipasang melalui lubanglubang berbentuk cincin yang telah terikat dengan tepat pada tepi jaring bagian bawah. Hal tersebut agar tali kolor yang melalui cincin tadi dapat ditarik dan cincin terkumpul sehingga jaring mengkerut membentuk kantong yang mengurung gerombolan ikan lemuru. Alat tangkap purse seine yang digunakan di sekitar Selat Bali dioperasikan dengan menggunakan 2 unit kapal (two boat system). Gambaran mengenai desain bentuk jaring alat tangkap purse seine dengan two boat system dapat dilihat pada Gambar 17. Tali Pelampung Pelampumg Tali Ris Atas Tali Ris Bawah Tali Pemberat Pembera t Tali Kolor Cincin (a) Konstruksi alat tangkap purse seine dengan two boat system (b) Purse seine yang digunakan nelayan di Selat Bali Gambar 17. Alat tangkap purse seine di Selat Bali

108 76 Bahan jaring yang digunakan untuk alat tangkap purse seine umumnya terbuat dari nylon. Spesifikasi alat tangkap purse seine di sekitar Selat Bali sebagai berikut : - Bahan badan jaring : Nylon - Ukuran benang : 210d/6, 210d/9, dan 210d/12 - Ukuran mata jaring (mesh size) : 0.75 inch, dan 1 inch (1 inch = 2.5 cm) - Panjang jaring : 400 meter - Pelampung terbuat dari plastik atau rubber bulat memanjang dengan garis tengah 7 cm dan panjang 14 cm, lazimnya disebut dengan pelampung W35 DL. - Pemberat terbuat dari timah dengan diameter 2 cm dan panjang 5,5 cm - Ring atau cincin oleh para nelayan muncar disebut kolong, digunakan sebagai tempat tali kolor dan terbuat dari bahan kuningan yang berukuran diameter 5.5 cm dan lebar 6.5 cm. - Alat bantu penangkapan lainnya yang digunakan meliputi palu, serok, bambu, keranjang dan lampu. Berdasarkan Keppres No. 85, 1982 dan SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali No. 238 Tahun 1992//674 Tahun 1992 ditetapkan untuk ukuran mata jaring yang digunakan minimal adalah 1 inchi = 2,5 cm. Pada kenyataanya, sebagian unit jaring purse seine di Selat Bali menggunakan ukuran mata jaring kurang dari 1 inchi yaitu 0,75 inchi. Panjang jaring yang ditetap dalam SKB sebesar 300 meter dengan kedalaman 60 meter. Panjang jaring yang digunakan oleh nelayan di Selat Bali telah melebihi ukuran yang ditetapkan dalam SKB yaitu mencapai 400 meter dengan kedalaman dapat mencapai 100 meter. Kondisi ini menunjukkan aturan yang telah ditetapkan dalam SKB tahun 1992 sudah banyak yang tidak dipatuhi oleh nelayan. Praktek pengoperasian alat tangkap purse seine semakin menuju ke arah yang tidak ramah lingkungan. Tingginya tingkat persaingan usaha dapat menjadi salah satu pemicu bagi nelayan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan ikan hasil tangkapan.

109 Armada kapal Kapal yang digunakan untuk satu unit alat tangkap purse seine yaitu sebanyak dua unit. Beberapa keunggulan operasi purse seine dengan two boat system yaitu waktu yang diperlukan untuk melingkari gerombolan ikan akan menjadi lebih cepat dari waktu yang diperlukan oleh one boat system. Gerombolan ikan akan lebih mudah dilingkari dan dapat dilakukan dengan cepat, sehingga diharapkan akan mengakibatkan catch yang besar. Kelamahannya yaitu biaya operasional dengan dua unit kapal lebih besar dibandingkan hanya menggunakan satu unit kapal. Ukuran setiap unit armada kapal penangkapan dengan alat tangkap purse seine di Selat Bali sebagai berikut : - Panjang kapal (LOA) : 20 m - Lebar kapal : m - Draft : m - Bahan kapal : Kayu Jati (Tectona grandis) - Anak Buah Kapal (ABK) : orang - Bahan bakar : Solar - Merek Mesin Disel : Yanmar - Kekuatan Mesin 30 PK dengan 4 Mesin Desain kapal purse seine di Selat Bali dibentuk untuk pengoperasian one day fishing sehingga kapal berbentuk terbuka tanpa ada atap penutup. Kondisi ini dilakukan untuk lebih memudahkan dalam pengoperasian alat tangkap. Ukuran lebar kapal cukup besar dan tidak terlalu tinggi berguna untuk mendapatkan stabilitas kapal yang baik, tinggi kapal yang rendah untuk mencegah agar titik berat kapal tidak naik. Dua unit kapal yang digunakan untuk operasi penangkapan purse seine di Selat Bali dibedakan menjadi perahu pemburu atau perahu selerek dan perahu jaring. Perahu selerek bertugas untuk menarik tali kolor atau purse line dan mengangkut hasil tangkapan sedangkan perahu jaring mempunyai tugas untuk membawa jaring serta melingkarkan jaring untuk mengurung gerombolan ikan. Alat tangkap jaring biasanya diletakkan diatas lambung kapal sebelah kiri.

110 78 Gambaran selengkapnya mengenai armada kapal purse seine di Selat Bali dapat dilihat pada Gambar 18. (a) Penataan jaring di atas kapal (b) kapal purse seine di Selat Bali Gambar 18. Kapal purse seine di Selat Bali Pengoperasian alat tangkap Purse seine atau pukat cincin adalah perangkat jaring penangkap ikan yang dirakit untuk dipergunakan dengan cara melingkari ikan sasaran sedemikian rupa sehingga ikan tidak dapat meloloskan diri secara horisontal dan atau vertikal. Metode pengoperasian alat tangkap purse seine dapat dilakukan dengan alat bantu lampu dan tidak menggunakan lampu. Sistem operasi alat tangkap purse seine dilakukan dengan menggunakan dua buah kapal (two boat sistem). Pengoperasian purse seine menggunakan lampu (ngoncor) dipengaruhi oleh umur bulan dan biasanya dilakukan pada saat musim barat, sedangkan pada musim timur pengoperasian purse seine tidak menggunakan lampu (gadangan). Pencarian gerombolan ikan pada saat Musim Timur dilihat dengan mata telanjang (tanpa bantuan alat lain). Metode pengoperasian alat apabila dilihat ada gerombolan ikan yang cukup besar, baru dilakukan operasi penangkapan dengan penurunan jaring. Pada musim Barat, operasi penangkapan dilakukan dengan memakai lampu, yaitu perahu behenti disuatu daerah penangkapan tertentu, lalu memasang lampu petromak sebanyak 4-6 buah atau lampu dengan genset dalam satu bangkrak. Lampu ini dimaksudkan untuk menarik pehatian ikan lemuru untuk berkumpul di

111 79 dekat lampu. Jika sudah telihat banyak ikan yang bergerornbol dekat lampu, operasi penangkapan dilakukan penurunan jaring. Pada Musim Barat ini tidak selalu memakai lampu, karena sering terjadi saat menuju daerah penangkapan ikan terlihat gerombolan ikan yang cukup besar, yang selanjutnya dilakukan penurunan jaring. Gambaran selengkapnya mengenai metode operasi penangkapan alat tangkap purse seine dengan menggunakan 2 buah kapal (two boat system) dapat dilihat pada Gambar 19. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Keterangan : Kapal A = kapal jaring Kabal B = kapal selerek/pemburu Gambar 19. Metode operasi penangkapan alat tangkap purses seine dengan menggunakan dua kapal (two boat purse seine)

112 80 Metode pengoperasian alat tangkap purse seine dengan 2 unit kapat (two boat system) dilakukan dengan cara apabila sudah diketahui gerombolan ikan lemuru maka kapal jaring mendekati kapal selerek (Gambar 19a), selanjutnya ujung jaring diikat ke kapal selerek lalu kapal jaring dan selerek melingkari gerombolan ikan (Gambar 19b). Laju arah kedua kapal dalam melingkari gerombolan ikan tersebut berlawan arah. Hal ini dimaksudkan agar proses melingkari gerombolan ikan dengan menggunakan 2 kapal dapat berlangsung cepat sehingga sedikit ikan yang dapat meloloskan diri. Setelah gerombolan ikan dilingkari dan kedua kapal bertemu maka tali jaring bagian bawah yang berada pada lobang cincin atau tali kolor diikatkan ke kapal selerek (Gambar 19c). Kapal selerek menarik tali kolor agar bagian bawah jaring dapat tertutup sehingga ikan tidak dapat meloloskan ke bagian bawah jaring (Gambar 19d). Setelah jaring bagian bawah tertutup, kapal selerek dan kapal jaring melakukan persiapan untuk proses mengangkat jaring atau hauling (Gambar 19e). Pengangkatan jaring dilakukan oleh ABK yang ada di kapal jaring maupun di kapal selerek (Gambar 19f). Waktu operasi mengikuti peredaran bulan. Operasi penangkapan hanya dilakukan pada saat bulan gelap saja dan dilakukan pada malam hari. Pada setiap kali operasi penangkapan, nelayan akan segera kembali kepangkalan begitu bulan mulai muncul. Pada waktu bulan purnama yaitu sekitar 2-3 hari sebelum dan sesudah purnama penuh, kegiatan operasi penangkapan terhenti. Waktu-waktu istirahat ini dipergunakan untuk memperbaiki jaring atau perahu. Jumlah hari operasi penangkapan (hari aktif) setiap bulan bekisar antara hari Daerah penangkapan ikan Secara tradisional masyarakat nelayan sudah mengenal daerah penangkapan (fishing ground) secara turun temurun. Fishing ground tersebut diberikan berdasarkan nama daratan terdekat, yaitu : Klosot (Wringinan-paparan Jawa), Senggrong (paparan Jawa), Tanjung Angguk (paparan Jawa), Karang Ente (paparan Jawa), Grajakan (paparan Jawa), Pulukan (paparan Bali), Seseh (paparan Bali), dan Uluwatu (paparan Bali). Selain itu, daerah penangkapan ikan lemuru dilakukan di Teluk Pangpang, Teluk Banyubiru dan Teluk Senggrong.

113 81 Ikan lemuru ukuran kecil (sempenit) banyak tertangkap di daerah Klosot (wringinan), Senggrong dan Teluk Pangpang. Ikan lemuru dengan ukuran besar tertangkap di daerah penangkapan Tanjung Angguk, Karang Ente, Seseh dan Uluwatu. Daerah penangkapan tersebut sekaligus merupakan migrasi berdasarkan ukuran ikan lemuru. Sebaran daerah penangkapan ikan lemuru dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 20. Daerah penyebaran ikan lemuru di Selat Bali Musim penangkapan ikan Musim ikan lemuru terjadi pada saat musim barat karena persentase ikan lemuru yang tertangkap lebih tinggi pada bulan musim barat, sehingga hasil tangkap pada bulan musim timur hasil tangkapnya relatif lebih sedikit dari pada bulan-bulan musim barat. Produksi ikan Lemuru umumnya mulai naik pada bulan Oktober dan puncaknya adalah bulan Desember dan Januari selanjutnya pada bulan Februari mengalami penurunan kembali. Untuk lebih jelasnya mengenai musim penangkapan ikan di Perairan Selat Bali, pada Gambar 21 disajikan

114 82 gambar indeks musim penangkapan ikan. indeks musim penangkapan tersebut dihitung berdasarkan hasil tangkapan ikan di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec 0 Gambar 21. Indeks musim penangkapan ikan lemuru di Selat Bali Pada gambar di atas terlihat bahwa musim penangkapan ikan di Perairan Selat Bali terlihat meningkat mulai bulan oktober hingga bulan Februari. Aktivitas penangkapan ikan di Perairan tersebut mengalami puncaknya pada akhir tahun yakni bulan November dan Desember. 5.2 Produksi Ikan Lemuru menurut Jenis Alat Tangkap Sumberdaya ikan lemuru merupakan spesies tangkapan utama bagi nelayan di sekitar Perairan Selat Bali karena jumlahnya yang melimpah. Aktivitas penangkapan ikan lemuru di Selat Bali didominasi oleh alat tangkap purse seine. Alat tangkap lainnya yang digunakan oleh nelayan di sekitar selat bali yaitu payang dan gillnet. Secara administrasi Perairan Selat Bali berada di 2 wilayah Provinsi yaitu Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali. Wilayah yang berbatasan langsung dengan Perairan Selat Bali di Provinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Banyuwangi. Sedangkan di Provinsi Bali terdiri dari 2 wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Badung. Namun demikian aktivitas kegiatan penangkapan ikan lemuru di Kabupaten Badung menempati proporsi yang kecil karena di Kabupaten Badung sebagian besar wilayah pantainya merupakan wilayah wisata. Sehingga hanya ada sebagian kecil yang dijadikan sebagai

115 83 wilayah pendaratan ikan. Sebagian besar pendaratan ikan lemuru di Provinsi Bali dilakukan di Kabupaten Jembrana, tepatnya di PPN Pengambengan. Dengan demikian, kegiatan pengelolaan ikan lemuru di Selat Bali terdapat 2 wilayah yaitu di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Produksi ikan lemuru di Kabupaten Banyuwangi lebih besar dibandingkan produksi ikan lemuru di wilayah Kabupaten Jembrana. Hal ini disebabkan karena jumlah alat tangkap utama ikan lemuru yaitu alat tangkap purse seine yang ada di Kabupaten Banyuwangi lebih banyak dibandingkan di Kabupaten Jembrana. Pada tahun 2009 tercatat jumlah alat tangkap purse seine di Kabupaten Banyuwangi tercatat sebanyak 216 unit sedangkan di Kabupaten Jembrana tercatat sebanyak 108 unit purse seine pada tahun yang sama. Volume produksi ikan lemuru selang periode tahun 1995 hingga tahun 2010 berfluktuatif. Selama selang periode tersebut produksi ikan lemuru mengalami produksi tertinggi pada tahun 2007 yang mencapai 67848,94 ton dan pada tahun 2009 mencapai ,54 ton. Data selengkapnya mengenai jumlah produksi ikan lemuru di Selat Bali menurut jenis alat tangkap dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Produksi ikan lemuru di Selat Bali menurut jenis alat tangkap, tahun (satuan ton) Tahun Purse seine Payang Gillnet Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi Dinas Pertanian Kehutanan Dan Kelautan Kabupaten Jembrana PPP Muncar PPN Pengambengan

116 84 Berdasarkan data yang dihimpun diperoleh jumlah trip operasi penangkapan ikan lemuru di Selat Beli menurut jenis alat tangkap seperti yang disajikan pada Tabel 24. Data tersebut merupakan data dari banyaknya jumlah kapal yang tercatat medaratkan ikan di masing-masing pelabuhan. Pada faktanya jumlah armada kapal penangkapan ikan di perairan Selat Bali masih banyak yang belum tercatat. Berdasarkan data primer diperoleh informasi bahwa jumlah hari operasi untuk setiap alat tangkap purse seine rata-rata sebanyak 18 hari per bulan. Dengan demikian apabila dibandingkan dengan jumlah hari operasi armada kapal maka data jumlah kapal yang mendaratkan ikan di pelabuhan baru sekitar 40 persen dari jumlah hari operasi armada kapal yang tersedia. Berdasarkan data pada Tabel 24 diketahui bahwa aktivitas penangkapan ikan lemuru dengan menggunakan alat tangkap purse seine paling tinggi terjadi pada tahun 2004 sebanyak trip dan tahun 2009 sebanyak trip. Tabel 24. Jumlah trip operasi penangkapan ikan lemuru di Selat Bali menurut jenis alat tangkap, tahun (satuan trip) Tahun Purse seine Seine Net Gillnet Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi Dinas Pertanian Kehutanan Dan Kelautan Kabupaten Jembrana PPP Muncar PPN Pengambengan

117 Standarisasi Alat Tangkap Data jumlah input agregat (total effort) dari sumberdaya perikanan diperlukan dalam melakukan analisis bionomi untuk optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan. Karakteristik perikanan di Indonesia umumnya bersifat spesies yang beragam dan alat tangkap yang beragam, sehingga unit alat tangkap, jenis dan jumlah spesies yang tertangkap mempunyai kemampuan yang berbeda. Standarisasi terhadap alat tangkap yang memiliki produktivitas tertinggi digunakan untuk mengetahui masing-masing sumberdaya ikan yang tertangkap oleh alat tangkap nelayan. Standarisasi alat tangkap dilakukan terhadap alat tangkap yang memiliki produktivitas tertinggi. Sumberdaya ikan lemuru di selat bali ditangkap oleh alat tangkap purse seine, payang dan gillnet. Alat tangkap payang dan gillnet distandarkan ke alat tangkap purse seine, karena alat tangkap purse seine memiliki produktivitas yang lebih tinggi dari kedua alat tangkap tersebut (Lampiran 2). Produksi (ton) / Effort (trip) Produksi (ton) Effort (trip) CPUE CPUE (ton/trip) Gambar 22. Perbandingan produksi, effort dan CPUE pada sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali, tahun Pada Gambar 22 menggambarkan perbandingan produksi, effort dan CPUE pada sumberdaya ikan lemuru di Perairan Selat Bali dari Tahun 1998 hingga tahun Jumlah effort mulai dari tahun 1995 hingga tahun 2010

118 86 cenderung terus mengalami peningkatan, puncaknya terjadi pada tahun 2004 dengan jumlah effort mencapai trip dan tahun 2009 dengan jumlah effort sebanyak trip. Produksi ikan lemuru dari tahun 1995 hingga tahun 2010 berfluktuatif, jumlah produksi tertinggi terjadi pada tahun 2007 yang mencapai ton dan tahun 2009 sebesar ton. Hal yang sama juga ditunjukkan dari nilai CPUE yang berfluktuatif. Nilai CPUE tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 4,5 ton per trip, sedangkan nilai CPUE pada tahun 2009 mencapai 2,4 ton per trip. 5.4 Hubungan Catch per Unit Effort (CPUE) dan Effort Hubungan antara CPUE dan effort pada sumberdaya ikan lemuru yang disajikan pada Gambar 23 menunjukkan peningkatan aktivitas penangkapan (effort) semakin menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE). Secara linier hubungan CPUE dan effort digambarkan dalam persamaan y = -2E-05x + 2,0304 yang artinya setiap terjadi peningkatan effort sebanyak 1 trip, maka CPUE akan turun sebesar 0,00002 ton per trip. Kondisi ini mengindikasikan sumberdaya ikan lemuru hampir mengalami overfishing secara biologi. Hubungan antara CPUE dan effort pada sumberdaya ikan lemuru dalam 16 tahun terakhir secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar y = -2E-05x + 2, CPUE Linear (CPUE) Gambar 23. Hubungan antara CPUE dan effort pada sumberdaya ikan lemuru

119 Estimasi Parameter Biologi Ada beberapa model estimasi yang digunakan dalam melakukan estimasi parameter biologi, yaitu model estimasi Algoritma Fox, model estimasi Clark, Yoshimoto dan Pooley (CYP), model estimasi Walters dan Hilborn (WH), dan model estimasi Schnute. Pemilihan model estimasi yang paling cocok dengan karakteristik sumberdaya ikan lemuru di Perairan Selat Bali dilakukan dengan cara membandingkan tingkat pertumbuhan intrinsik (r), koefisien daya tangkap (q) dan daya dukung lingkungan (K) dari masing-masing model estimasi. Selain itu dilakukan uji statistik dan membandingkan biomas (x), produksi (h), dan effort (E) pemanfaatan aktual dengan optimal (MSY) sumberdaya ikan dari masingmasing model estimasi. Parameter biologi yang akan diestimasi meliputi tingkat pertumbuhan intrinsik (r), koefisien daya tangkap (q) dan daya dukung lingkungan (K). Parameter biologi dan nilai uji statistik dari masing-masing model estimasi dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Perbandingan data aktual, parameter biologi, MSY dan uji statistik pada sumberdaya ikan lemuru Pemanfaatan Aktual Parameter Biologi Persentase Uji Statistik aktual MSY r q K terhadap Uji F Sig R 2 MSY Algoritma Fox 0, ,0415E ,9 0, , , Biomas (x) (ton) ,97 Produksi (h) (ton) , ,12 46,85 Effort (E) (trip) , ,47 27,41 CYP 1, ,87222E ,43 0, , ,00539 Biomas (x) (ton) ,72 Produksi (h) (ton) , ,76 71,14 Effort (E) (trip) , ,13 34,14 Walter - Hilborn 2, ,09083E ,49 3, , , Biomas (x) (ton) ,74 Produksi (h) (ton) , ,12 51,36 Effort (E) (trip) , ,87 50,78 Schnute 0, ,9483E ,07 0, , , Biomas (x) (ton) ,53 Produksi (h) (ton) , ,94 74,01 Effort (E) (trip) , ,46 137,53 Pada Tabel 25, dapat dilihat perbandingan tingkat pertumbuhan instrinsik (r), koefisien daya tangkap (q) dan daya dukung lingkungan (K) dari masingmasing model estimasi. Tingkat pertumbuhan intrinsik (r) yang paling tinggi dari keempat model estimasi tersebut adalah model estimasi CYP yaitu sebesar 1,93

120 88 ton per tahun. Sedangkan untuk koefisien daya tangkap (q) yang tertinggi adalah model estimasi WH yaitu 0,00003 ton per trip dan model yang memiliki nilai daya dukung lingkungan (K) tertinggi adalah model estimasi Algoritma Fox yaitu sebesar ,9 ton per tahun. Nilai Uji F dan R square digunakan untuk mengukur goodness of fit dari model regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi terhadap variable independen dalam model, dimana jika nilai signifikansi Uji F lebih kecil dan nilai R square semakin besar menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik. Pada Tabel di atas dapat dilihat model estimasi yang memiliki nilai signifikasi paling kecil dan nilai R square paling tinggi yaitu model estimasi Walter Hilborn. Berdasarkan perbandingan nilai pemanfaatan aktual dengan optimal (MSY) pada sumberdaya ikan lemuru, rata-rata tingkat produksi aktual dari model estimasi Walter Hilborn telah mencapai ,09 ton atau 67 persen dari tingkat produksi maksimal (nilai MSY = ,38 ton). nilai biomas dari model estimasi Walter Hilborn sebesar ,12 ton. Dari hasil estimasi model Walter Hilborn diperoleh nilai koefisien tingkat pertumbuhan intrinsik (r) sebesar 2,14; 2) koefisien daya tangkap (q) sebesar 0,00003 ton per trip; dan 3) dan daya dukung lingkungan (K) sumberdaya ikan lemuru sebesar ,49 ton per tahun. Apabila dilihat dari nilai koefisien tingkat pertumbuhan intrinsik (r) sebesar 2,14 dimana lebih besar dari 1, maka secara logika dan teoritis hal tersebut menunjukkan bahwa model estimasi Walter Hilborn tidak dapat digunakan untuk menduga dan menggambarkan kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Berdasarkan pada Tabel 25 terdapat dua model estimasi yang memiliki nilai koefisien tingkat pertumbuhan intrinsik (r) yang lebih kecil dari 1 yaitu model estimasi Algoritma Fox dan model estimasi Schnute. Apabila dilihat dari nilai R square diketahui bahwa model estimasi Schnute memiliki nilai R square yang lebih besar. Dengan demikian model estimasi Schnute lebih memungkinkan digunakan untuk menduga dan menggambarkan kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Berdasarkan model estimasi Schnute, maka diperoleh parameter biologi yang meliputi: 1) tingkat pertumbuhan intrinsik (r), dimana sumberdaya ikan lemuru akan tumbuh secara alami tanpa ada gangguan dari gejala alam meupun kegiatan manusia sebesar 0,75 ton per tahun; 2) koefisien daya tangkap (q), yang

121 89 mengindikasikan bahwa setiap peningkatan satuan upaya penangkapan akan berpengaruh berpengaruh sebesar 0, ton per trip; dan 3) dan daya dukung lingkungan (K), yang menunjukkan kemampuan ekosistem mendukung produksi sumberdaya ikan lemuru sebesar ,07 ton per tahun. Hasil perhitungan dari parameter biologi menurut model estimasi dapat dilihat pada Lampiran Estimasi Parameter Ekonomi Standarisasi biaya input Data untuk biaya input diperoleh dari responden yang menggunakan alat tangkap purse seine, payang dan gillnet yang terkait dengan sumberdaya ikan lemuru. Struktur biaya dan harga ini merupakan data cross section dan series yang diperoleh melalui wawancara di lapangan. Biaya merupakan faktor penting dalam usaha perikanan tangkap, karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi dari usaha tersebut. Struktur biaya dari masing-masing alat tangkap dari data time series diperoleh melalui penyesuaian dengan Indek Harga Konsumen (IHK) dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur, untuk menghasilkan nilai biaya series tahun Hasil perhitungan biaya per unit effort tahun , untuk masing-masing alat tangkap, seperti Tabel 26. Tabel 26. Biaya per unit effort dan rata-rata biaya masing-masing alat tangkap tahun Tahun IHK 2006 Biaya (Rp) , , , , , , , , , , , , , , , , Rataan 75,

122 90 Dari Tabel 26 secara berturut-turut diketahui besarana rata-rata biaya riil dari penangkapan sumberdaya ikan lemuru rata-rata sebesar Rp 1,55 juta per trip. Perhitungan tersebut dilakukan selama selang periode tahun 1995 sampai dengan tahun 2010 dan indeks harga konsumen dengan tahun dasar tahun Standarisasi harga output Dalam menganalisis bionomi sumberdaya tersebut selain faktor biaya juga sangat diperlukan faktor harga atau nilai dari sumberdaya yang dimanfaatkan. Variabel harga berpengaruh terhadap jumlah penerimaan yang diperoleh dalam usaha penangkapan ikan. Data harga nominal merupakan nilai rataan dari masingmasing target spesies dari alat tangkap. Harga jenis ikan tersebut disajikan dalam bentuk harga ikan per ton, yang diperoleh dari data primer di lapangan. Setelah melalui penyesuaian dengan Indek Harga Konsumen (IHK) dari BPS Provinsi Jawa Timur maka diperoleh nilai harga ikan time series tahun , seperti Tabel 27. Tabel 27. Rata-rata harga ikan lemuru tahun Tahun IHK Harga Ikan Lemuru Tahun Dasar 2006 Rp/kg Rataan Dari Tabel 27 diketahui bahwa harga rata-rata ikan lemuru pada tahun 2010 mencapai Rp 4007,43 per kg. Harga riil selang periode tahun 1995 hingga tahun 2010 rata-rata sebesar Rp 2430,48 per kg atau sebesar Rp 2,43 juta per ton.

123 Estimasi Discount Rate Hasil perhitungan real discount rate mengacu pada nilai laju pertumbuhan (ekonomi) PDRB di Kabupaten Banyuwangi rata-rata sebesar 0,11727 atau g = 11,73 persen dan nilai nominal discount rate saat ini sebesar 15 persen, sehingga dengan menggunakan pendekatan Kula (1984) diacu dalam Anna S (2003) diperoleh nilai riil discount rate sebesar 3,27 persen. Nilai riil discount rate ini kemudian dijustifikasi untuk mendapatkan nilai riil discount rate dalam bentuk annual continues discount rate dengan menggunakan persamaan ln( 1 r), sehingga diperoleh nilai annual continues discount rate sebesar 3,22 persen (Lampiran 4). 5.8 Estimasi Produk Lestari Estimasi produksi lestari dilakukan dengan cara mensubstitusikan hasil parameter biologi yang telah didapatkan ke dalam persamaan sehingga diperoleh fungsi produksi lestari atau yang dikenal dengan istilah sustainable yield-effort curve. Perbandingan produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan lemuru selama tahun dapat dilihat pada Gambar 24. Pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2010 volume produksi aktual ikan lemuru di Perairan Selat Bali bersifat fluktuatif. Puncak produksi ikan lemuru selama selang periode tahun 1995 hingga tahun 2010 terjadi pada tahun 2007 yang mencapai produksi aktual sebesar ,94 ton dan pada tahun 2009 dengan volume sebesar ,54 ton, selanjutnya pada tahun 2006 mencapai angka produksi sebesar ,38 ton. Peningkatan atau penurunan volume produksi aktual dan volume produksi lestari disebabkan oleh peningkatan atau penurunan upaya tangkap (effort), kemampuan armada atau alat tangkap yang digunakan oleh nelayan serta kemampuan sumberdaya ikan lemuru dalam melakukan perbaharuan atau mempengaruhi diri.

124 Produksi Aktual (ton) Produksi Lestari (ton) Produksi Aktual Tahun Produksi Lestari Gambar 24. Perbandingan produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan lemuru di Belat Bali Berdasarkan pada gambar tersebut terlihat bahwa adanya penambahan effort pada tahun 2004 menyebabkan produksi lestari ikan lemuru menurun tajam. Selanjutnya karena adanya penurunan produksi pada tahun 2004, maka pada tahun 2005 jumlah effort mulai berkurang sehingga produksi pada tahun 2006 mulai meningkat. Akan tetapi mulai tahun 2006 hingga tahun 2009 jumlah effort yang digunakan untuk menangkap sumberdaya ikan lemuru mengalami peningkatan sehingga produksi ikan lestarinya mengalami penurunan mulai tahun 2006 hingga tahun Penangkapan ikan lemuru mulai dari tahun 2004 dan berlanjut dari tahun 2006 hingga tahun 2009 telah melebihi dari batas produksi lestasi. Besarnya tingkat eksploitasi tangkapan terhadap sumberdaya ikan lemuru selama tahun 2006 hingga tahun 2009 diduga menjadi penyebab produksi ikan lemuru mulai tahun 2010 hingga saat ini mengalami penurunan. Selama tahun 1995 hingga tahun 2010, sebagian besar volume produksi aktual sumberdaya ikan lemuru berada di dalam kurva produksi lestari, namun pada tahun 1998 dan 2004 serta mulai tahun 2006 hingga tahun 2009 volume produksi aktual berada di luar kurva produksi lestari. Kondisi ini menunjukkan bahwa kemampuan sumberdaya ikan lemuru dalam melakukan perbaharuan atau mempengaruhi diri sudah berkurang, sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan

125 93 lemuru di Selat Bali mulai tahun 2006 hingga tahun 2009 terindikasi mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Gambaran selengkapnya mengenai hubungan produksi aktual dengan kurva produksi lestasi dapat dilihat pada Gambar 25. Produkasi (ton) ,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 Effort (trip) Produksi Aktual Produksi Lestari Gambar 25. Kurva hubungan produksi lestari, produksi aktual dan effort sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali 5.9 Analisis Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan Lemuru Analisis optimasi statik pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru Optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru dianalisis dalam beberapa kondisi pengelolaan, yaitu kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY), open access (OA) dan maximum sustainable yield (MSY). Ketiga kondisi pengelolaan tersebut juga dibandingkan dengan kondisi aktual dari pemanfaatan tiap-tiap sumberdaya perikanan di Perairan Selat Bali. Hasil analisis optimasi static dari pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Perairan Selat Bali disajikan pada Tabel 28.

126 94 Tabel 28. Hasil analisis optimasi statik pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru model pengelolaan Pemanfaatan Sole Owner / Open sumberdaya Aktual MSY MEY Access/OAY Biomass (x) (ton) , , ,53 Produksi (h) (ton) , , , ,94 Effort (E) (trip) alat tangkap (unit) π (juta Rp) , , ,05 Pada Tabel 28 menunjukkan bahwa sumberdaya ikan lemuru di Perairan Selat Bali memiliki : 1) tingkat biomass (x) pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) sebesar ,97 ton per tahun, open access (OA) sebesar ,86 ton per tahun dan maximum sustainable yield (MSY) sebesar ,53 ton per tahun; 2) tingkat produksi (h) pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) sebesar ,31 ton per tahun, open access (OA) sebesar ,93 ton per tahun dan maximum sustainable yield (MSY) sebesar ,94 ton per tahun; 3) tingkat upaya (effort) pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) sebesar trip per tahun, open access (OA) sebesar trip per tahun dan maximum sustainable yield (MSY) sebesar trip per tahun. Tingkat produksi (h) aktual sumberdaya ikan lemuru selama rentang waktu sebesar ,63 ton per tahun. Tingkat produksi (h) aktual ini masih memiliki nilai yang sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat produksi (h) optimal, yaitu ,31 ton per tahun (sole owner atau maximum economic yield) dan maximum sustainable yield (MSY) sebesar ,94 ton per tahun. Akan tetapi apabila dilihat dari tingkat produksi aktual (h) pada tahun 2009 yang mencapai ,54 ton maka jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat produksi (h) optimal tersebut. Pada effort aktual (E) sumberdaya ikan lemuru selama tahun memiliki nilai effort yang lebih kecil dari tingkat effort optimal. Nilai effort (E) pada kondisi aktual rata-rata sebanyak trip per tahun, masih lebih tinggi dibandingkan nilai effort (E) pada sole owner atau maximum economic yield (MEY) sebesar trip per tahun dan maximum sustainable yield (MSY)

127 95 sebesar trip per tahun. Namun demikian, nilai effort (E) memiliki nilai effort lebih rendah dari effort open access (OA) yaitu sebanyak trip per tahun. Apabila dilihat dari nilai effort (E) aktual pada tahun 2009 yang mencapai trip per tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan nilai effort (E) optimal. Hasil tangkapan dengan effort tersebut telah melebihi dari hasil tangkapan optimal. Hal ini menunjukkan telah terjadi peningkatan daya tangkap ikan dari alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan lemuru di perairan selat bali. Dari Tabel 28 di atas juga dapat diketahui tingkat keuntungan atau rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp ,92 juta per tahun pada kondisi sole owner atau maximum economic yield (MEY), dan sebesar Rp ,05 juta per tahun pada kondisi pengelolaan maximum sustainable yield (MSY). Berdasarkan kondisi aktual diperoleh tingkat keuntungan atau rente aktual sebesar Rp ,30 juta per tahun, maka dapat dilihat selisih jumlah keuntungan yang cukup besar. Selisih jumlah rente ini disebabkan oleh menurunnya jumlah produksi hasil tangkapan dan tingkat effort yang semakin tinggi, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk melakukan aktivitas penangkapan sumberdaya ikan lemuru tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa adanya indikasi ke arah overfishing secara ekonomi (economical overfishing). Oleh karena itu, upaya penangkapan (effort) harus segera diturunkan agar dapat diperoleh keuntungan yang maksimal. Produksi (ton) dan effort (trip) Aktual Sole Owner / MEY Open Access/OAY MSY Rente ekonomi (Rp juta) Produksi (h) (ton) Effort (E) (trip) π (juta Rp) Gambar 26. Perbandingan pemanfaatan optimasi statik sumberdaya ikan lemuru

128 TR dan TC (juta rupiah) 96 Pada Gambar 26 menunjukkan perbandingan pemanfaatan optimasi statik sumberdaya ikan lemuru. Pada Gambar 26 terlihat tingkat produksi dan keuntungan atau rente ekonomi pada kondisi aktual lebih rendah dibandingkan pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) dan kondisi pengelolaan maximum sustainable yield (MSY). Walaupun demikian, apabila dibandingkan pada kondisi pengelolaan open access, tingkat produksi aktual masih lebih tinggi dan tingkat effort aktual juga lebih rendah. Upaya pengelolaan (effort) pada kondisi aktual lebih tinggi dibandingkan pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) dan kondisi pengelolaan maximum sustainable yield (MSY). Sehingga kondisi ini telah menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya yang tidak tepat. Tingkat effort yang diperlukan untuk mencapai kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) tampak lebih kecil daripada yang diperlukan dalam mencapai kondisi pengelolaan maximum sustainable yield (MSY). Oleh karena itu, keseimbangan kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) terlihat lebih conservative minded (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibandingkan dengan tingkat upaya pada titik keseimbangan pada kondisi pengelolaan maximum sustainable yield (MSY). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar MEY MSY max. OA TC Effort (trip) Gambar 27. Keseimbangan bioekonomi model Gordon Schaefer pada sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali

129 Analisis optimasi dinamik pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru Analisis optimasi dinamik pemanfaatan sumberdaya perikanan dilakukan karena tangkapan (yield) dan upaya penangkapan (effort) pada kegiatan perikanan tidak bersifat statis. Kegiatan perikanan bergerak mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada sumberdaya dan faktor eksternal lainnya. Aspek pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan pendekatan model dinamik bersifat intertemporal, maka dalam menganalisis aspek tersebut dijembatani dengan penggunaan discount rate, dimana discount rate yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti pendekatan Kula, yaitu 3,22% dan discount rate dari World Bank yaitu 10%, 12%, 15% dan 18%. Nilai discount rate digunakan dalam menghitung tingkat pemanfaatan optimal dinamik sumberdaya ikan lemuru. Hasil estimasi pada masing-masing tingkat discount rate dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Hasil analisis optimasi dinamik pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Pemanfaatan Optimasi Dinamik sumberdaya i= 3,22% i = 10% i = 12% i = 15% i = 18% Biomass (x) (ton) , , , , ,19 Produksi (h) (ton) , , , , ,22 Effort (E) (trip) alat tangkap (unit) π (juta Rp) , , , , ,89 Pada Tabel 29 dapat dilihat perbandingan pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru pada kondisi aktual dan kondisi optimal dinamik dengan tingkat discount rate yang berbeda. Berdasarkan tingkat volume produksi, maka tingkat volume produksi yang dapat diperoleh jika pemanfaatan menggunakan optimal dinamik akan jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat volume produksi pada pemanfaatan aktual, sedangkan dari sisi tingkat upaya penangkapan (effort) menunjukkan tingkat upaya (effort) yang dilakukan pada kondisi optimal dinamik lebih sedikit dari tingkat upaya (effort) pada kondisi aktual. Hal yang sama terjadi pada nilai rente ekonomi, dimana tingkat keuntungan yang diperoleh pada kondisi aktual jauh lebih kecil daripada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru pada kondisi dinamik. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan

130 98 lemuru di Perairan Selat Bali telah menunjukkan gejala yang overfishing baik secara biologi maupun ekonomi. Sehingga perlu dilakukan langkah-langkah dalam mengatasinya seperti mengurangi upaya penangkapan (effort) agar kelestarian sumberdaya ikan lemuru dapat terjaga. Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi optimal dinamik pada sumberdaya ikan lemuru di Perairan Selat Bali dapat dilihat pada Gambar 28. Pada gambar tersebut menunjukkan tingkat discount rate yang tinggi akan mendorong semakin lajunya tingkat effort dan sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan memperlambat laju tingkat effort. Secara umum tingkat discount rate yang lebih rendah dapat menghasilkan optimal yield dan optimal biomass yang lebih tinggi dan apabila tingkat discount rate turun hingga ke level nol, maka analisis dinamik pada sumberdaya ikan lemuru ini identik dengan analisis statik pada pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY). Tingkat discount rate yang tinggi akan memacu eksploitasi sumberdaya ikan lemuru yang lebih ekstraktif dan dampaknya akan mempertinggi tekanan sumberdaya ikan lemuru. Jika discount rate semakin tinggi hingga tak terhingga, maka analisis dinamik sumberdaya ikan lemuru akan sama dengan analisis statik pada pengelolaan open access (OA), sehingga keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya degradasi yang menjurus kepada kepunahan sumberdaya ikan lemuru. Hal yang sama juga terlihat pada rente ekonomi yang diperoleh, dimana rente ekonomi yang diperoleh akan semakin besar apabila semakin rendahnya tingkat discount rate, sebaliknya jika tingkat discount rate semakin tinggi maka akan membuat rente ekonomi yang diperoleh semakin kecil. Artinya bahwa ekstraksi sumberdaya ikan lemuru secara berlebihan saat ini dengan nilai rente ekonomi yang diterima untuk waktu jangka panjang ternyata tidak memberikan nilai rente yang optimal. Peningkatan upaya yang berlebihan akan mengakibatkan peningkatan terhadap biaya yang dikeluarkan. Hal ini berimplikasi terhadap laju degradasi sumberdaya ikan lemuru yang semakin cepat.

131 99 3,000, Rente ekonomi (Rp juta) 2,500, ,000, ,500, ,000, , y = 7E+06x -0,813 R² = 0, Discount Rate (%) Gambar 28. Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi optimal dinamik sumberdaya ikan lemuru 5.10 Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Degradasi dan depresiasi sumberdaya dapat diartikan sebagai penurunan nilai dari sumberdaya baik secara kuantitas maupun kualitas dan manfaat secara ekonomi sebagai dampak dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Jika nilai koefisien degradasi dan depresiasi suatu sumberdaya berada pada kisaran nilai toleransi yaitu 0 hingga 0,5, maka sumberdaya tersebut belum mengalami degradasi dan depresiasi. Hasil analisis laju degradasi dan depresiasi pada sumberdaya ikan lemuru dapat dilihat pada Tabel 30. Koefisien laju degradasi dan laju depresiasi pada sumberdaya ikan lemuru tiap tahun secara berturut-turut rata-rata mencapai 0,26 dan 0,31. Nilai koefisien ini lebih kecil dari nilai toleransi koefisien laju degradasi dan laju depresiasi. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali secara rata-rata selang periode tahun 1995 hingga 2010 belum mengalami degradasi dan depresiasi. Namun demikian, pada tahun 2004 nilai koefisien laju degradasi mencapai 0,93, lebih besar dari nilai toleransi (>0,5). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2004 sumberdaya ikan lemuru di Perairan Selat Bali telah terdegradasi. Selain itu, nilai laju degradasi dan depresiasi ikan lemuru pada tahun 2009 sebesar 0,54 dan 0,64, lebih tinggi dari nilai toleransi (>0,5), yang berarti

132 100 bahwa sumberdaya ikan lemuru telah terdegradasi dan terdepresiasi pada tahun Tabel 30. Hasil analisis laju degradasi dan laju depresiasi pada sumberdaya ikan lemuru Tahun Produksi (ton) RenteEkonomi (Rp juta) Laju Laju Aktual Lestari Aktual Lestari Degradasi Depresiasi , , , ,51 0,06 0, , , , ,63 0,01 0, , , , ,07 0,14 0, , , , ,55 0,33 0, , , , ,68 0,00 1, , , , ,61 0,01 0, , , , ,82 0,02 0, , , , ,00 0,25 0, , , , ,00 0,23 0, , , , ,81 0,93 1, , , , ,56 0,11 0, , , , ,37 0,41 0, , , ,34-128,27 0,45 0, , , , ,17 0,42 0, , , , ,50 0,54 0, , , , ,03 0,31 0,00 Rataan , , , ,19 0,26 0,31 Pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru pada tahun 2009 mempunyai track record terdegradasi dan terdepresiasi. Kemudian pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2006 hingga tahun 2008 mempunyai track record nilai laju degradasi yang hampir mendekati nilai toleransi yaitu sebesar 0,5, sedangkan nilai depresiasinya sudah melebihi dari nilai toleransi (>0,5). Hal ini menindikasikan bahwa pada tahun 2006 hingga 2008, sumberdaya ikan lemuru walaupun belum sampai terdegradasi tetapi telah mengalami depresiasi. Oleh karena itu, tindakan preventif pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru harus segera dilakukan agar nilai koefisien degradasi dan depresiasi tidak semakin tinggi. Untuk lebih jelasnya mengenai laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan lemuru dapat dilihat pada Gambar 29.

133 Laju degradasi dan Laju depresiasi Laju degradasi Laju depresiasi Bench Marking Gambar 29. Grafik laju degradasi dan laju depresiasi pada sumberdaya ikan lemuru Pada Gambar 26 terlihat pola grafik laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan lemuru yang hampir sama, karena besaran nilai keduanya yang tidak jauh berbeda. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien laju degradasi akan diikuti oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien laju depresiasi. Artinya, kondisi biologi sumberdaya ikan lemuru akan sangat berpengaruh pada tingkat ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan 5.11 Analisis Sistem Tarif Analisis rente sumberdaya Analisis rente ekonmi sumberdaya ikan lemuru dihitung berdasarkan nilai produksi optimal pada kondisi statik dan kondisi optimal dinamik. Besaran nilai rente ekonomi dihitung berdasarkan nilai Net Present Value (NPV) selama 10 tahun ke depan pada tingkat discount rate 10% dan 18%. Penentuan tingkat discount rate dilakukan berdasarkan tingkat discount rate dari World Bank yaitu sebesar 10% sampai dengan 18%, sehingga tingkat discount rate dipilih pada batas tingkat discount rate yang paling kecil yaitu 10% dan tingkat discount rate paling besar yaitu 18%.

134 102 Ada 2 skenario yang digunakan dalam menghitung nilai rente ekonomi yaitu pada skenario 1 digunakan perhitungan tanpa memasukkan nilai investasi; dan pada skenario 2, besaran biaya investasi dimasukkan dalam perhitungan. Biaya investasi yang dibutuhkan untuk satu unit penangkapan purse seine untuk mengekstraksi sumberdaya ikan lemuru sebesar Rp 1,311 milyar. Hasil perhitungan besaran nilai rente sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Besaran nilai rente sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali selama 10 tahun ke depan (satuan juta rupiah) Skenario 1 Skenario 2 No. Kondisi Pengelolaan NPV ( = 10%) NPV ( = 18%) NPV ( = 10%) NPV ( = 18%) 1 Optimasi Statik (MEY) Optimasi Dinamik (i = 3,22%) Optimasi Dinamik (i = 10%) Optimasi Dinamik (i = 12%) Optimasi Dinamik (i = 15%) Optimasi Dinamik (i = 18%) Pada Tabel 31 terlihat bahwa besaran nilai rente ekonomi sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali pada kondisi optimal statik (MEY) memiliki nilai rente yang paling besar baik pada skenario 1 maupun skenario 2 dengan berbagai tingkat discount rate. Hal ini dikarenakan pada kondisi optimal statik tidak ada tekanan terhadap sumberdaya (i=0%). Besaran nilai rente ekonomi sumberdaya ikan lemuru pada kondisi optimal statik pada skenario 1 berkisar Rp 359,1 milyar sampai Rp 490,9 milyar. Sementara itu, pada skenario 2 nilai NPV lebih rendah yang disebabkan karena adanya biaya investasi. Besaran nilai rente ekonomi skenario 2 berkisar Rp 52,8 milyar sampai Rp 184,7 milyar. Besaran nilai rente ekonomi kondisi optimal dinamik pada skenario 1 dan tingkat discount rate 10% berkisar Rp 473 milyar sampai dengan Rp 490 milyar, pada tingkat discount rate 18% berkisar Rp 346 milyar sampai dengan Rp 358,5 milyar. Hal yang menarik yaitu besaran nilai rente ekonomi sumberdaya ikan lemuru pada kondisi optimal dinamik dengan skenario 2 dan tingkat discount rate 18% yang memiliki nilai NPV negatif pada kondisi pengelolaan optimal dinamik dengan i=15% dan i=18%. kondisi ini menunjukkan bahwa pada tingkat discount rate 18 %, besarnya biaya investasi yang dikeluarkan pada kondisi pengelolaan

135 103 dinamik i=15% dan i=18% tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh. Oleh kerana itu, pada kondisi tersebut maka kegiatan usaha penangkapan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali tidak layak dilakukan Analisis resource rent tax (RRT) Nilai rente menunjukan adanya selisih atau surplus atas pemanfaatan sumberdaya tersebut. Sebagian dari surplus ini kemudian diambil kembali dalam bentuk tax, maka tax tersebut menjadi resource rent tax (RRT) atau user fee. Karena pada faktanya setiap rente sumberdaya tersebut dihasilkan dari memanfaatkan sumberdaya yang ada. Nilai besaran pajak rente sumberdaya (RRT=Resource Rent Tax) dilakukan dengan menghitung suatu proporsi terhadap besaran rente yang didapatkan secara keseluruhan. Hal yang menarik adalah pada umumnya nelayan bersedia membayar pungutan apabila ada jaminan sumberdaya ikan lemuru di waktu yang akan datang selalu tersedia, sehingga penangkapan ikan dapat dilakukan sepanjang tahun. Umumnya nelayan lemuru sudah membayar pungutan rata-rata sebesar 2 persen dari nilai total penerimaan (gross) atau rata-rata sebesar 12 persen dari keuntungan usaha (net profit). Akan tetapi berdasarkan kuesioner, responden juga mengakui sebagian nelayan tidak membayar pungutan tetapi sebagian lagi membayar pungutan. Pengenaan pungutan tambahan dari yang sekarang sudah dilakukan dirasakan akan memberatkan dan bersifat disinsentif untuk usaha. Oleh karena itu perlu dilakukan secara lebih berhati-hati. Apabila nelayan sekarang ini bersedia membayar pungutan sekitar 12% dari keuntungan usaha (net profit), maka diperoleh total besaran RRT per tahun pada kondisi optimal statik skenario 1 dengan discount rate sebesar 10% sebesar Rp 5,89 milyar per tahun dan dengan discount rate sebesar 18% sebesar Rp 4,3 milyar per tahun. Nilai RRT per tahun pada model dinamik berkisar Rp 5,6 milyar per tahun sampai Rp 5,88 milyar per tahun pada tingkat discount rate sebesar 10%, sedangkap pada discount rate sebesar 18% nilai RRT diperoleh berkisar Rp 4,15 milyar per tahun sampai Rp 4,3 milyar per tahun. Besaran nilai RRT pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru pada skenario 1 disajikan pada Tabel 32.

136 104 Tabel 32. Besaran nilai RRT Skenario 1 pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali (satuan juta rupiah) Discount rate = 10% Discount rate = 18% No. Kondisi Pengelolaan RRT per RRT per NPV NPV tahun tahun 1 Optimasi Statik (MEY) ,309 2 Optimasi Dinamik (i = 3,22%) ,302 3 Optimasi Dinamik (i = 10%) ,255 4 Optimasi Dinamik (i = 12%) ,233 5 Optimasi Dinamik (i = 15%) ,195 6 Optimasi Dinamik (i = 18%) ,152 Besaran nilai RRT per tahun pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali pada skenario 2 disajikan pada Tabel 33. Hasilnya menunjukkan bahwa besaran nilai RRT pada kondisi statis dengan sebesar Rp 2,2 milyar per tahun dan dengan discount rate 18% sebesar Rp 0,6 milyar per tahun. Nilai RRT pada model dinamik discount rate 10% berkisar Rp 1,3 milyar per tahun sampai Rp 2 milyar per tahun. Sedangkan pada tingkat discount rate 18%, diperoleh nilai RRT pada kondisi dinamik i=15% dan i=18% sama dengan nol, karena nilai NPV negatif. Tabel 33. Besaran nilai RRT Skenario 2 pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali (satuan juta rupiah) Discount rate = 10% Discount rate = 18% No. Kondisi Pengelolaan RRT per RRT per NPV NPV tahun tahun 1 Optimasi Statik (MEY) , Optimasi Dinamik (i = 3,22%) , Optimasi Dinamik (i = 10%) , Optimasi Dinamik (i = 12%) , Optimasi Dinamik (i = 15%) , Optimasi Dinamik (i = 18%) , Nilai rente tersebut diperoleh dari sejumlah unit alat tangkap yang dioperasikan. Besaran nilai tax atau user fee dalam rangka pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali pada skenario 1 pada kondisi pengelolaan statik dengan tingkat discount rate 10% sebesar Rp per trip, sedangkan pada tingkat discount rate 18% sebesar Rp per trip. Pada kondisi pengelolaan dinamik dengan discount rate 10% berkisar Rp per trip sampai dengan Rp per trip, pada tingkat discount rate 18% berkisar Rp

137 per trip sampai Rp per trip. Besaran nilai user fee atau RRT per trip pada skenario 1 dengan berbagai kondisi pengelolaan disajikan pada Tabel 34. Tabel 34. Nilai Resource Rent Tax per tahun dan per trip untuk pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Skenario 1 Discount rate = 10% Discount rate = 18% Kondisi Pengelolaan Effort optimum (trip) RRT per tahun (Rp juta) RRT per trip (Rp per trip) RRT per tahun (Rp juta) RRT per trip (Rp per trip) Optimasi Statik (MEY) Optimasi Dinamik (i = 3,22%) Optimasi Dinamik (i = 10%) Optimasi Dinamik (i = 12%) Optimasi Dinamik (i = 15%) Optimasi Dinamik (i = 18%) Besaran nilai RRT per trip pada skenario 2 dengan kondisi pengelolaan statik dengan tingkat discount rate 10% sebesar Rp per trip, sedangkan pada tingkat discount rate 18% sebesar Rp per trip. Pada kondisi pengelolaan dinamik dan dengan discount rate 10% diperoleh nilai RRT per trip berkisar Rp per trip sampai dengan Rp per trip. Akan tetapi, apabila tingkat discount rate 18% pada kondisi dinamik i=15% dan i=18% besaran nilai RRT per trip sama dengan nol, karena kegiatan usaha penangkapan mengalami kerugian. Besaran nilai user fee atau RRT per trip pada skenario 2 dengan berbagai kondisi pengelolaan disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Nilai Resource Rent Tax per tahun dan per trip untuk pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Skenario 2 Discount rate = 10% Discount rate = 18% Kondisi Pengelolaan Effort optimum (trip) RRT per tahun (Rp juta) RRT per trip (Rp per trip) RRT per tahun (Rp juta) RRT per trip (Rp per trip) Optimasi Statik (MEY) Optimasi Dinamik (i = 3,22%) Optimasi Dinamik (i = 10%) Optimasi Dinamik (i = 12%) Optimasi Dinamik (i = 15%) Optimasi Dinamik (i = 18%)

138 106 Berdasar analisis diatas terlihat bahwa berbagai skenario besaran pungutan baik untuk model statik maupun model dinamik. Hal ini dapat memberikan berbagai pilihan besaran jumlah pungutan, akan tetapi tentunya mekanisme pengumpulan pungutan perlu dilakukan secara efisien. Apabila dilihat dari besaran nilai RRT maka model statik memiliki nilai RRT yang paling besar dibandingkan dengan model dinamik pada berbagai skenario dan tingkat discount rate. Model pungutan pada skenario 2 lebih dapat diterapkan karena kegiatan usaha penangkapan ikan lemuru dipandang sebagai suatu unit bisnis sehingga perlu dimasukkan besaran biaya investasi yang dikeluarkan oleh pelaku usaha. Besaran nilai user fee pada skenario ini pada kondisi pengelolaan statik dan tingkat discount rate 10% sebesar Rp per trip. Nilai tersebut merupakan nilai user fee paling tinggi. Apabila tingkat discount rate 18% maka perlu dilakukan secara lebih berhati-hati, karena pada kondisi optimal dinamik dengan i=15% dan i=18% kegiatan usaha penangkapan secara bisnis mengalami kerugian Implikasi Kebijakan Tujuan pengelolaan perikanan termasuk di dalamnya perikanan tangkap sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan mengandung beberapa makna, diantaranya adalah melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, serta meningkatkan peran perikanan tangkap terhadap pembangunan perikanan nasional Sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access dan common property, artinya pemanfaatan ikan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum, tanpa ada pengelolaan. Konsekuensi dari sifat sumberdaya seperti ini adalah munculnya gejala eksploitasi berlebih (over exploitation), investasi berlebih (over investment) dan tenaga kerja berlebih (over employment). Dalam kondisi seperti ini, jika tidak segera diambil kebijakan yang tepat, maka sulit rasanya untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan yang telah digariskan di atas. Begitu pula dengan yang terjadi pada sumberdaya ikan lemur di Perairan Selat Bali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan

139 107 lemuru selama kurun waktu dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2010 sudah nampak tingginya tingkat aktivitas penangkapan, sehingga walaupun secara ratarata masih berada dibawah tingkat MSY akan tetapi pada sejak tahun 2006 hingga tahun 2009 tingkat eksploitasi penangkapan sudah melebihi nilai MSY. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas panangkapan sumberdaya ikan lemuru memiliki kecenderungan overfishing. Hal ini juga yang diindikasi menjadi penyebab hasil tangkapan ikan lemuru mulai tahun 2010 mengalami penurunan yang cukup drastis. Perairan Selat Bali memiliki potensi sumberdaya ikan lemuru yang sangat besar sebagai salah satu sumber ekonomi bagi pendapatan daerah, namun besarnya potensi sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali belum diimbangi dengan optimalnya pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki. Dari hasil penelitian menunjukkan selain terjadinya ketidakefektifan biaya dalam kegiatan penangkapan ikan juga menunjukkan adanya indikasi terjadi gejala kelebihan tangkap secara ekologi dan secara ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengelolaan yang baik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru dengan melakukan penilaian menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran, merencanakan dan mengelola seluruh kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal dan berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa volume produksi sumberdaya ikan lemuru optimal pada kondisi MSY sebesar ,94 ton per tahun dengan tingkat effort sebesar trip per tahun, tingkat CPUE rata-rata sebesar 3,2 ton per trip dan rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp 78,9 milyar per tahun, sedangkan pada kondisi MEY produksi optimal ikan lemuru sebesar ,31 ton per tahun diperoleh pada tingkat effort optimal sebanyak trip per tahun, dengan tingkat CPUE sebesar 3,5 ton per trip dan rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp 79,9 milyar per tahun. Pada analisis laju degradasi dan laju depresiasi juga menunjukkan arah semakin kuatnya tekanan terhadap sumberdaya ikan lemuru yang diakibatkan besarnya tingkat effort yang dilakukan dalam kegiatan penangkapan dibandingkan dengan jumlah upaya (effort) optimal. Dari hasil analisis bionomi pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru menunjukkan jumlah effort aktual lebih

140 108 besar dibandingkan effort optimal (E aktual > E optimal ). Selama selang periode tahun 1995 hingga tahun 2010, rata-rata jumlah effort aktual sebesar trip per tahun, sedangkan jumlah effort optimal pada kondisi MSY sebesar trip per tahun dan pada kondisi MEY sebesar trip per tahun. Dengan demikian maka perlu adanya pengurangan jumlah upaya penangkapan (effort). Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa banyaknya jumlah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan lemuru di perairan Selat Bali yaitu purse seine sebanyak 324 unit, payang sebanyak 103 unit dan gillnet sebanyak 7278 unit. setelah dilakukan standarisasi alat tangkap ke alat tangkap purse seine diperoleh jumlah alat tangkap sebanyak 357 unit setara purse seine. berdasarkan hasil analisis optimal maka perlu adanya pengurangan unit alat tangkap sehingga pada kondisi MEY menjadi sebanyak 234 unit setara purse seine. Apabila dikonversi dengan index power maka diperoleh rincian sebanyak 212 unit purse seine, payang sebanyak 67 unit dan gillnet sebanyak 4767 unit. Dari data tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali selama ini belum berjalan dengan optimal, sehingga berdampak pada minimnya produksi dan manfaat ekonomi yang diperoleh nelayan. Oleh karena itu, harus segera melakukan pembenahan, membuat kebijakan antisipatif dan strategis sebagai solusi dari permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Sehubungan dengan hal itu, kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru dapat dilakukan melalui pengendalian output dan pengendalian input. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengendalian dari sisi output sebagai berikut: - Penetapan kuota atau pembatasan dari sisi output yang dapat dilakukan melalui batasan jumlah maksimum ikan lemuru yang dapat ditangkap. Hasil analisis bionomi menunjukkan batasan jumlah ikan maksimum sumberdaya ikan lemuru pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) yaitu sebesar ,31 ton per tahun. - Melakukan moratorium penangkapan ikan lemuru di Selat Bali selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada ikan lemuru untuk melakukan reproduksi kembali hingga mencapai pada kondisi yang optimum.

141 109 - Melakukan moratorium penangkatan ikan lemuru secara terbatas, yaitu hanya boleh melakukan aktivitas penangkapan ikan lemuru pada saat musim penangkapan, sedangkan pada saat musim sedikit ikan yang berlangsung mulai bulan April sampai bulan Juli penangkapan ikan lemuru ditutup. Karena pada bulan April sampai dengan bulan Juli ikan lemuru sempenit dan protolan masih berukuran muda dan sebagian besar diduga belum matang gonad reproduksi sehingga aktivitas penangkapan pada bulan tersebut cukup membahayakan kelestarian sumberdaya ikan lemuru. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dari sisi pengendalian input sebagai berikut : - Membuat regulasi tentang rasionalisasi jumlah alat tangkap. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dari jumlah alat tangkap yang berlebih. jumlah unit alat tangkap yang optimal pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) yaitu sebanyak 234 unit. Saat ini jumlah unit alat tangkap yang tersedia sebannyak 357 unit setara purse seine. Sehingga ada sekitar 123 unit alat tangkap setara purse seine yang perlu dirasionalisasi. Kebijakan ini memiliki cost dan resistensi yang cukup tinggi, karena dengan kebijakan mengurangi alat tangkap dan membatasi alat tangkap, apabila memang sudah berlebih, berarti menuntut harus ada yang dikorbankan, kondisi ini sama halnya dengan menghalangi seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. - Pengurangan jumlah alat tangkap yang melebihi jumlah optimum dapat dilakukan oleh pemerintah dengan membeli kelebihan jumlah alat tangkap dengan harga yang sesuai dan biaya lain sebagai kompensasi bagi nelayan maupun masyarakat yang terkena dampak dari kebijakan divestasi. Konsekuensinya adalah pemerintah harus menganggarkan sejumlah dana agar program pengurangan jumlah alat tangkap dapat terlaksana. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan mengalihkan unit armada alat tangkap ke jenis alat tangkap lainnya dengan target spesies ikan yang berbeda seperti alat tangkap pancing untuk menangkap ikan tuna. Hal ini dapat dilakukan mengingat di sebelah selatan perairan selat bali saat ini banyak yang dipasang rumpon dengan target spesies ikan tuna dan tongkol.

142 110 - Penetapan schedule of catch. Kebijakan penetapan jadwal penangkapan ikan dilatarbelakangi oleh banyaknya kendala dalam implementasi kebijakan untuk mengurangi dan mengontrol peningkatan jumlah alat tangkap. Dengan kebijakan ini diharapkan tidak ada yang dikorbankan terutama para nelayan, karena masih bisa melaut. Penjadwalan ini diatur sedemikian rupa, sehingga tingkat produksi effort dan manfaat rente yang diperoleh tetap dalam kondisi yang optimal. Apabila dilihat dari uraian di atas, maka kegiatan pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru dari sisi output lebih sulit diimplementasikan dan memerlukan biaya yang cukup besar. Pengawasan terhadap output hasil tangkapan ikan nelayan relatif lebih sulit, selain itu nilai kearifan lokal dalam prilaku penangkapan ikan di Selat Bali sudah hilang. Kegiatan moratorium penangkapan akan memberikan dampak perekonomian kepada masyarakat nelayan, mengingat aktivitas penangkapan ikan merupakan mata pencaharian utamanya. Oleh karena itu, pengendalian dari sisi input akan lebih relevan dilakukan dan lebih mudah yakni dengan melakukan pembatasan effort penangkapan. Aturan kegiatan pengelolaan ikan lemuru di Perairan Selat Bali yang sudah diatur dalam SKB Gubernur Tingkat I Jawa Timur dan Bali No.238 Tahun 1992//674 Tahun 1992 perlu diaktifkan kembali dan ditinjau mengingat bahwa pada peraturan tersebut jumlah purse seine yang diijinkan sebanyak 273 unit (Jawa Timur=190 unit dan Bali=83 unit). Pada kenyataannya jumlah alat tangkap purse seine yang beroperasi telah melebihi dari batas maksimum yang ditetapkan SKB tersebut yaitu sebanyak 357 unit. Semantara itu, hasil analisis bioekonmi diperoleh jumlah optimal alat tangkap purse seine sebanyak 234 unit Kebijakan lainnya yang dapat dilakukan yaitu pengembangan sumberdaya manusia (human development), mengingat manusia merupakan pelaku utama dalam aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan. Kebijakan sehebat apa pun atau sebagus apa pun seringkali terlihat mentah di lapangan, tidak memberikan dampak apa-apa sebagaimana tujuan dari ditetapkannya kebijakan tersebut, jika tidak didukung sendiri oleh para pelaku utama dari kebijakan tersebut, baik pembuat kebijakan atau pun yang harus melaksanakan kebijakan. Kebijakan ini ditujukan

143 111 bagi peningkatan kualitas dan profesionalitas para pemegang kebijakan dan pengelola perikanan, juga ditujukan kepada para nelayan dalam bentuk memberikan penyadaran, sosialisasi, pemahaman, rasa memiliki dan rasa tanggung jawab akan pentingnya pembangunan perikanan yang berkelanjutan bagi kehidupan di kemudian hari, pentingnya memanfaatkan sumberdaya ikan agar memberikan manfaat ekonomi yang optimal secara terus menerus. Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan di sekitar Selat Bali saat ini sudah tidak lagi bentuk kearifan lokal. Kebijakan pengembangan sumberdaya manusia dalam hal ini nelayan di sekitar Selat Bali sebagai pelaku utama penangkapan ikan perlu diarahkan kembali dalam menjaga kearifan lokal seperti pelarangan penggunaan alat tangkap yang berbahaya dan merusak lingkungan yang dapat menyebabkan hancurnya sumberdaya ikan di Selat Bali. Pengambilan pungutan sumberdaya dapat digunakan dengan maksud untuk mengurangi jumlah effort sehingga tekanan terhadap sumberdaya ikan lemuru dapat berkurang. Selain itu, hasil dari pungutan user fee tersebut hendaknya digunakan dalam rangka kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Berdasarkan analisis rente ekonomi maka diperoleh berbagai skenario besaran pungutan baik untuk model statik maupun model dinamik. Besaran nilai user fee yang dapat dipungut pada kondisi statik yaitu sebesar Rp per trip alat tangkap purse seine, sedangkan pada kondisi dinamik berkisar Rp per trip sampai dengan Rp per trip. Kebijakan penting lainnya yang harus diperhatikan yaitu melakukan monitoring, controlling dan law enforcement (penegakkan hukum), kebijakan ini bertujuan agar produksi aktual yang dihasilkan tidak melebihi kapasitas dari produksi optimal yang seharusnya dihasilkan, juga untuk meminimalkan praktek pencurian ikan, hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported catch), penangkapan yang merusak ekosistem (destructive fishing).

144

145 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1) Kontruksi alat tangkap purse seine menggunakan 2 buah kapal (two boat sistem), panjang kapal 20 meter, lebar kapal 6-6,5 meter dan kedalaman kapal 3-3,5 meter. Setiap 1 unit kapal menggunakan 4-5 mesin merek yanmar dengan 30 PK. Jaring yang digunakan terbuat dari bahan nylon dengan ukuran mata jaring (mesh size) sebesar inchi. 2) Jumlah unit alat tangkap yang optimal pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) yaitu sebanyak 234 unit setara alat tangkap purse seine. Saat ini jumlah unit alat tangkap yang tersedia sebanyak 357 unit setara purse seine. Sehingga ada sekitar 123 unit alat tangkap setara purse seine yang perlu dirasionalisasi. 3) Tingkat produksi optimal pengelolaan sumberdaya ikan lemuru pada kondisi MEY sebesar ,31 ton per tahun diperoleh pada tingkat effort optimal sebanyak trip per tahun, dengan tingkat CPUE sebesar 3,5 ton per trip dan jumlah alat tangkap sebanyak 234 unit alat tangkap setara purse seine. 4) Laju degradasi dan laju depresiasi menunjukkan arah semakin kuatnya tekanan terhadap sumberdaya ikan lemuru yang diakibatkan besarnya tingkat effort yang dilakukan dalam kegiatan penangkapan. Laju degradasi dan depresiasi pada tahun 2006 hingga tahun 2008, walaupun belum sampai terdegradasi tetapi telah mengalami depresiasi, sedangkan sumberdaya ikan lemuru pada tahun 2009 telah terdegradasi dan terdepresiasi. 5) Nilai rente ekonomi sumberdaya ikan lemuru selama 10 tahun ke depan dengan tingkat discount rate 10 % pada kondisi optimal statik sebesar Rp 184,68 milyar dan pada kondisi optimal dinamik berkisar Rp 108,3 milyar sampai Rp 172,17 milyar. Besaran nilai user fee atau pajak rente sumberdaya pada kondisi optimal statik sebesar Rp per trip dan pada kondisi optimal dinamik berkisar Rp per trip sampai dengan Rp per trip. Besaran nilai user fee secara keseluruhan yang dapat digunakan untuk pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali pada kondisi optimal statik

146 114 mencapai Rp 2,2 milyar per tahun dan pada kondisi optimal dinamik berkisar Rp 1,3 milyar per tahun sampai Rp 2 milyar per tahun. 6) Kebijakan pengurangan jumlah alat tangkap yang melebihi jumlah optimum dapat dilakukan oleh pemerintah dengan membeli kelebihan jumlah alat tangkap sebagai kompensasi bagi nelayan sebagai dampak dari kebijakan divestasi. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan mengalihkan unit armada alat tangkap ke jenis alat tangkap lainnya. 7) Pembatasan jumlah effort dapat juga dilakukan dengan cara melakukan pembatasan jumlah trip operasi penangkapan. 6.2 Saran 1) Perlunya diaktifkan kembali pengaturan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali yang sudah diatur dalam SKB Gubernur Tingkat I Jawa Timur dan Bali No.238 Tahun 1992//674 Tahun Selain itu SKB tersebut perlu ditinjau ulang atau direvisi mengingat bahwa pada peraturan tersebut jumlah purse seine yang diijinkan sebanyak 273 unit (Jawa Timur=190 unit dan Bali=83 unit). Pada kenyataannya jumlah alat tangkap purse seine yang beroperasi telah melebihi dari batas maksimum yang ditetapkan SKB tersebut yaitu sebanyak 324 unit. Sedangkan dari hasil análisis bioekonmi diperoleh jumlah optimal alat tangkap setara purse seine sebanyak 234 unit. 2) Melakukan sitem pengawasan (monitoring), evaluasi dan pendataan hasil perikanan yang sistematis harus dilakukan secara konsisten serta ditegakkannya hukum dan peraturan sehingga tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat terwujud. 3) Pelunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aspek biologi ikan lemuru di Selat Bali.

147 DAFTAR PUSTAKA Anna S Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi Perikanan Pencemaran. [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Program Pasca Sarjana. 371 hal. Ayodhya A Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. Aziz KA Dinamika Populasi Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 115 hal. Aziz KA, M Boer, J Widodo, N Namin, MH Amarullah, B Hasyim, A Djamali dan BE Priyono Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Pertimbangan Pengembangan Penelitian Universitas Brawijaya Studi Penentuan JTB. [Laporan Akhir]. Studi Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan untuk Pengelolaan Penangkapan Ikan di Wilayah Perikanan Lokal dan Evaluasinya terhadap Penetapan Angka JTB. Kerjasama Universitas Brawijaya dengan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. Barus HR dan C Nasution Purse Seine sebagai Alat Tangkap Ikan Lemuru (Sardinelia longiceps) di Selat Bali. Prosiding seminar Perikanan Lemuru, Banyuwangi, Januari Puslitbangkan. Departemen Pertanian. Jakarta. Bleeker research/ichthyology/catalog/ Burhanuddin and DP Praseno Lingkungan Perairan Selat Bali. Prosiding Seminar Perikanan Lemuru, Banyuwangi Januari Pros. No.2/SPL/82 : BPS Kabupaten Banyuwangi dalam Angka Tahun 2010 BPS Kabupaten Jembrana dalam Angka Tahun 2010 Charles AT Sustainable Fishery Systems. United Kingdom: Blackwell Science Ltd. 370 p Clark CW and JM Conrad Natural Resource Economic:Notes and Problem. United States of Ametica. Cambridge University Press. Clark CW Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley and Son, Inc, Vancouver. Conrad JM Natural Resources Economics: Note and Problem.Cambridge University Press. New York. Daniel RM, A Fauzi dan E Lubis Pengkajian Unit Penangkapan dalam Upaya Pemanfaatan Sumberdaya Udang Penaeid secara Berkelanjutan di Perairan Cirebon Utara Jawa Barat. Jurnal Teknologi Kelautan dan Perikanan Volume 10 No.1 Maret MSKPI dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

148 116 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi Laporan Tahunan Tahun Banyuwangi Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Provinsi Bali Pengelolaan Perikanan Lemuru di Bali. Papers presented at the workshop on the Fishery and management of bali sardinella (Sardinella lemuru) in Bali Strait. FAO Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur Perikanan Lemuru di Selat Bali. Papers presented at the workshop on the Fishery and management of bali sardinella (Sardinella lemuru) in Bali Strait. FAO Dinas Perikanan Propinsi Bali Buku Tahunan Statistik Perikanan Bali. Dinas Perikanan Propinsi Bali. Denpasar. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi Laporan Tahunan Tahun Banyuwangi. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur Laporan Tahunan Unit Pelaksana Teknis Badan Pengelolaan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Muncar Banyuwangi. Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana Laporan Tahunan Tahun Jembrana. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tentang Perikanan. Jakarta: DKP RI. Dwiponggo A dan W Suban Masalah Perikanan Lemuru dan Bagan di Selat Bali. Lembaga Penelitian Perikanan Laut, I/71-PL.019/71: Dwiponggo A Beberapa Aspek Biologi Ikan Lemuru, Sardinella spp. Prosiding Seminar Perikanan Lemuru, Banyuwangi Januari Pros. O., 2/SPL/82: Endroyono Upaya-upaya Pengontrolan dan Kuota Hasil Tangkapan dan Aspek Ekonomi Hasil Tangkapan. Bahan Pengajaran (tidak dipublikasikan) Bogor. Institut Pertanian Bogor. 37 hal. Dahuri R Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah : Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 233 hal. [FAO] Food and Agricultura Organization Tata laksana untuk Perikanan yang Bertanggung Jawab. Tim Deptan. Penerjemah; Jakarta; FAO, Deptan, JICA. Terjemahan dari Code of Conduct for Responsible Fisheries. Fauzi A Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 259 hal. Fauzi A Kebijakan Perikanan dan Kelautan : Isu, Síntesis dan Gagasan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 259 hal. Fauzi A dan S Anna Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 343 hal.

149 117 Fauzi A, S Murtadi, KA Aziz., E Eidman, I Muchsin, MP Sobari, M Boer, Diniah dan B Juanda Studi Sistem Tarif Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Laut. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fischer W and PJP Whiteahead (eds) FAO Species Identification Sheet for Fishery Purpose, Eastern Indian Ocean (Fishing Area 57) and Western Central Pacific (Fishing Area 71) Rome. FAO, Volume 1. (unpaged) Fox W Fitting the Generalized Stock Production Model by The Least Squares Equilibrium Approximation. Fishery Bulletin 73 (1): Gulland JA Fish Stock Assesment : Manual of Basic Method. New York : Wiley and Sons Inter-Sience. Volume 1, FAO/Wileys Series on Food and Agriculture. 233 p Hartoyo D, Herie P dan Ikhsan BW Sebaran Densitas Ikan Pelagik di Selat Bali pada Musim Timur September Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional. Hilborn R and C Walters Quantitative Fisheries Stock Assesment Chioce, Dynamic and Uncertainty. Chapman and Hall. New York. Jamaludin SH Perbedaan Hanging Rate Pada Jaring Kantong (Purse Seine) Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Lemuru (Sardinella sp) di Perairan Selat Bali. Fakultas Pertanian Universitas 17 Agustus Banyuwangi. Kementerian Kelautan dan Perikanan Statistik Kelautan dan Perikanan Indonesia Tahun Jakarta. Lawson RM Economics of Fisheries Development. London : Frances Pinter (Publisher).281 hal. Maryuto H Teknik Penangkapan Ikan Dengan Purse Seine. BKPI. Singaraja Mukhsin I Pengelolaan Sumberdaya Hayati Pesisir dan Laut. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 80 hal. Nikijuluw VPH Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta : PT Pustaka Cidesindo. Parson W Public Policy : An Introduction to The Theory and Practice of Policy Analysis. (Terjemahan). Edward Elgar Publishing, Ltd. Randall A Resource Economics : An Economic Approach to Natural Resource and Environmental Policy. Canada : John Wiley and Sons, Inc. Second Edition. 434 p Randall JE &ID=1510&what=species&TotRec=4 Saanin H Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I dan II. Binacipta. Bogor.

150 118 Satria A Dinamika Modernisasi Perikanan : Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Bandung: Humaniora Utama Press. Simanjuntak S Platform Riset Ekonomi Sumberdaya Perikanan. Forum Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jakarta : Badan Riset Kelautan dan Perikanan. DKP. Simatupang P Konsepsi Teoritis Analisi Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Laporan Forum Sosial Ekonomi Kelautan I. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan.Supranto J Linear Programming. Jakarta: LPFE UI. Sitorus MTF Penelitian Kualitatif : Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hal. Sobari MP, Diniah, Isnaini Analisis Teknis dan Finansial Unit Penangkapan Muroami di Perairan Kepulauan Seribu. Buletin PSP Volume XVIII No.2 Agustus Sobari MP dan A Febrianto Kajian Bio-Teknik Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tenggiri dan Distribusi Pemasarannya di Kabupaten Bangka. Jurnal Teknologi Kelautan dan Perikanan Volume 10 No.1 Maret MSKPI dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Sobari MP, Diniah, Widiastuti Kajian Model Bionomi terhadap Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layur di Perairan Palabuhanratu. [makalah seminar] Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Desember Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Sobari MP, Diniah, Isnaini Kajian Bio-Ekonomi dan Investasi Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning Di Perairan Kepulauan Seribu. Jurnal Mangrove dan Pesisir Volume IX. Universitas Bung Hatta. Sobari MP dan Muzakir Kajian Ekonomi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Teri di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Ilmiah Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Volume XVII No.3 Desember Soemarno MS Pengantar Ekonomi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Lingkungan Hidup. Malang: Pusat Penerbitan Institut Pertanian Malang. Soerjodinoto R Synopsis of Biological Data on Lemuru, Clupea (Harengula) Longiceps (C.V.) FAO Fish Biol. Synop., (15). Hal Sparre P dan Venema SC Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1 : Manul. Kerjasama Organisasi Pangan dan Pertanian PBB dengan Badan Penelitian Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta : FAO dan Deptan. Suyasa IN Keberlanjutan dan Produktivitas Perikanan Pelagis Kecil yang Berbasis di Pantai Utara Jawa. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 380 hal.

151 119 Widodo J Nilai Hasil Tangkapan Ikan Demersal, Hubungannya dengan Beberapa FAktor Abiotik di Laut Jawa. Buletin Penelitian Perikanan. Yakarta. Hal Whitehead PJP FAO Species Catalogue. Vol.7. Clupeid Fishes of The World : An Annotated and Illustrated Catalogue of The Herrings, Sardines, Pilchards, Sprats, Anchovies, anda Wolf Herrings. Part1. Chirocentridae, Clupeidae and Pristigasteridae. FAO Fish. Synop., 7(25) Pt Von Brandt Clasification of Fishing Gear in Modern of The World. Fishing News Ltd. London. Von Brandt Fish Catching Methods of The World Fourth Edition. Blackwell Publishing Ltd. Walters C and R Hilborn Adaptive Control of Fishing System. J Fish. Res. Board. Can. 33: Wiyono B Model Dinamis Perikanan Lemuru (Sardinella lemuru) di Selat Bali. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 154 hal. Zulbainarni N Analisis Ekonomi Pengelolaan Optimal Perikanan Lemuru di Perairan Selat Bali, Indonesia. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 122 hal. Zulbainarni N Model Bioekonomi Eksploitasi Multispesies Sumberdaya Perikanan Pelagis di Perairan Selat Bali. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 281 hal.

152

153 Lampiran

154

155 Lampiran 1. Peta lokasi penelitian 123

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee ABSTRACT ANDAN HAMDANI. Analysis of Management and Assessment User Fee on Utilization of Lemuru Resources In Bali Strait. Under direction of MOCH PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Lemuru resources in

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Aktivitas Penangkapan Ikan Lemuru 5.1.1 Alat tangkap Purse seine merupakan alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan di sekitar Selat Bali dalam menangkap ikan lemuru. Purse

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KAKAP DI KABUPATEN KUTAI TIMUR (Bio-economic Analysis of Blood Snaper Resources Utilization in Kutai Timur Regency) ERWAN SULISTIANTO Jurusan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 3 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dari tanggal 17 April sampai 7 Mei 013. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010) 37 3 METODOLOGI UMUM Penjelasan dalam metodologi umum, menggambarkan secara umum tentang waktu, tempat penelitian, metode yang digunakan. Secara spesifik sesuai dengan masing-masing kriteria yang akan

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi** RINGKASAN Penelitian ini mengkaji

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru. 3 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli 009 di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar - Perairan Selat Bali, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Perairan Selat Bali terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palabuhanratu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup tinggi di Jawa Barat (Oktariza et al. 1996). Lokasi Palabuhanratu

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004) 24 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSPi) dan dilaksanakan selama periode bulan Maret 2011 hingga Oktober

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Perikanan Kabupaten Agam Aktifitas kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Agam hanya terdapat di satu kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Mutiara. Wilayah ini terdiri atas

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun

4 HASIL. Gambar 4 Produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru tahun Cacth (ton) 46 4 HASIL 4.1 Hasil Tangkapan (Catch) Ikan Lemuru Jumlah dan nilai produksi tahunan hasil tangkapan ikan lemuru yang didaratkan di PPP Muncar dari tahun 24 28 dapat dilihat pada Gambar 4 dan

Lebih terperinci

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia.

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia. Latar Belakanq Indonesia adalah negara maritim, lebih dari 70% dari luas wilayahnya, seluas 3,l juta km2, terdiri dari laut. Setelah deklarasi Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) pada tanggal 21 Maret

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI BAJOMULYO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI BAJOMULYO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI BAJOMULYO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH NUR ISNAINI RAHMAWATI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Februari 2012 dengan interval waktu pengambilan sampel 1 bulan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

TINGKAT PEMANFAATAN DAN POLA MUSIM PENANGKAPAN IKAN LEMURU DI PERAIRAN SELAT BALI ABSTRAK

TINGKAT PEMANFAATAN DAN POLA MUSIM PENANGKAPAN IKAN LEMURU DI PERAIRAN SELAT BALI ABSTRAK BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume XIX No. 3 Edisi Desember 2011 Hal 293-307 TINGKAT PEMANFAATAN DAN POLA MUSIM PENANGKAPAN IKAN LEMURU DI PERAIRAN SELAT BALI Oleh: Domu Simbolon 1 *, Budy Wiryawan 1,

Lebih terperinci

5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan yang akan menjawab berbagai pertanyaan dan tujuan penelitian ini dan juga rekomendasi berupa implikasi kebijakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas 30 mm 60 mm PENDAHULUAN Ekonomis & Ekologis Penting R. kanagurta (kembung lelaki) ~ Genus Rastrelliger spp. produksi tertinggi di Provinsi Banten, 4.856,7 ton pada tahun 2013, menurun 2.5% dari tahun 2010-2013

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid Program Studi Ilmu Kelautan STITEK Balik Diwa Makassar Email : hartati.tamti@gmail.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian 35 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Timur, khususnya di PPP Labuhan. Penelitian ini difokuskan pada PPP Labuhan karena pelabuhan perikanan tersebut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung

Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(1): 1-8, Juni 2015 ISSN 2337-4306 Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung Catch per unit effort

Lebih terperinci

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX-

Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX- CpUE Ex-situ observation & analysis: catch effort data survey for stock assessment -SCHAEFER AND FOX- By. Ledhyane Ika Harlyan 0.400 0.350 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000 Schaefer y = -0.000011x

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA

POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA POTENSI, TINGKAT PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN IKAN TEMBANG (Sardinella sp.) DI PERAIRAN SELAT MALAKA, KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH RINA SARI LUBIS 090302054 PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di TPI Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan alasan dan kriteria

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

Moch. Prihatna Sobari 2, Diniah 2, dan Danang Indro Widiarso 2 PENDAHULUAN

Moch. Prihatna Sobari 2, Diniah 2, dan Danang Indro Widiarso 2 PENDAHULUAN ANALISIS MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD MENGGUNAKAN BIO-EKONOMIK MODEL STATIS GORDON-SCHAEFER DARI PENANGKAPAN SPINY LOBSTER DI WONOGIRI 1 (Analysis of Maximum Sustainable Yield and

Lebih terperinci

Kajian Excess Capacity Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali 1

Kajian Excess Capacity Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali 1 Kajian Excess Capacity Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali 1 Abstrak Rizki Aprilian Wijaya dan Sonny Koeshendrajana Peneliti Pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Email: rizkiaprilian@yahoo.co.id

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI DAN OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LAYANG DI PERAIRAN KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA

ANALISIS BIOEKONOMI DAN OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LAYANG DI PERAIRAN KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 6, No. 1, Mei 2015 Hal: 13-22 ANALISIS BIOEKONOMI DAN OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LAYANG DI PERAIRAN KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA Bioeconomic Analysis

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA

SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA SINERGISITAS PERIKANAN TANGKAP DENGAN PARIWISATA BAHARI DI PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT ADI GUMBARA PUTRA MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI

SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 20. 1 Edisi Maret 2012 Hal. 89-102 SELEKSI JENIS ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU DI SELAT BALI Oleh: Himelda 1*, Eko Sri Wiyono

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat 27 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat (Lampiran 1). Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2011. Penentuan

Lebih terperinci

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN

JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN JURNAL PEMANFAATAN SUBERDAYA PERIKANAN Vol. 4 No. 1 Hal. 1-54 Ambon, Mei 2015 ISSN. 2085-5109 POTENSI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TONGKOL (Auxis thazard) DI PERAIRAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA The Potential

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU Berkala Perikanan Terubuk, November 2016, hlm 111 122 ISSN 0126-4265 Vol. 44. No.3 ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI

Lebih terperinci

ANALISIS CPUE (CATCH PER UNIT EFFORT) DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT BALI

ANALISIS CPUE (CATCH PER UNIT EFFORT) DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT BALI ANALISIS CPUE (CATCH PER UNIT EFFORT) DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT BALI Analysis of CPUE (Catch Per Unit Effort) and Utilization Rates of Fishery

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya udang laut yang sangat besar, yakni sekitar 78 800 ton per tahun yang terdiri dari 74 000 ton per tahun untuk

Lebih terperinci

REZIM PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TERI DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI

REZIM PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TERI DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI REZIM PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN TERI DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI INDAH PRIMADIANTI SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN ANDI HERYANTI RUKKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 6 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT PEMANFAATAN DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN PRIGI JAWA TIMUR Hari Ilhamdi 1, Riena Telussa 2, Dwi Ernaningsih 3

ANALISIS TINGKAT PEMANFAATAN DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN PRIGI JAWA TIMUR Hari Ilhamdi 1, Riena Telussa 2, Dwi Ernaningsih 3 ANALISIS TINGKAT PEMANFAATAN DAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN PRIGI JAWA TIMUR Hari Ilhamdi 1, Riena Telussa 2, Dwi Ernaningsih 3 1,2,3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Abstrack Pelagic

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum PPP Labuan, Banten Wilayah Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6 0 21-7 0 10 Lintang Selatan dan 104 0 48-106 0 11 Bujur Barat dengan luas

Lebih terperinci

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN i MODEL PRODUKSI SURPLUS UNTUK PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN NURALIM PASISINGI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004)

3. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) Sumber : Dinas Hidro-Oseanografi (2004) 3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama delapan bulan dari bulan Maret 2011 hingga Oktober 2011 dengan mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Fluktuasi Hasil Tangkapan ( Catch ) Ikan Lemuru

5 PEMBAHASAN 5.1 Fluktuasi Hasil Tangkapan ( Catch ) Ikan Lemuru 58 5 PEMBAHASAN 5.1 Fluktuasi Hasil Tangkapan (Catch) Ikan Lemuru Berdasarkan Gambar 4, hasil tangkapan ikan lemuru pada tahun 2004-2008 mengalami peningkatan sejak tahun 2006 hingga mencapai puncak tertinggi

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) ABSTRACT

PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) ABSTRACT PENDUGAAN STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) PADA LAUT FLORES (KAB. BULUKUMBA, BANTAENG, JENEPONTO DAN TAKALAR) Irianis Lucky Latupeirissa 1) ABSTRACT Sardinella fimbriata stock assessment purposes

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang Klasifikasi dan deskripsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang Klasifikasi dan deskripsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang 2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi Klasifikasi ikan Tembang (Gambar 1) menurut www.fishbase.org (2012) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun 37 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Aspek Teknis Perikanan Purse seine Aspek teknis merupakan aspek yang menjelaskan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan usaha penangkapan ikan, yaitu upaya penangkapan, alat

Lebih terperinci

MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):43-50

MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):43-50 MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):43-50 PENGKAJIAN STOK SUMBERDAYA CAKALANG (Katsuwonus pelamis) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN MENGGUNAKAN FAO-ICLARM STOCK ASSESSMENT TOOLS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 37 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pemanfaatan Kapasitas Penangkapan (Fishing Capacity) Dalam menganalisis kapasitas penangkapan purse seine berdasarkan bulan, data adalah data pendaratan ikan dari kapal-kapal

Lebih terperinci

DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH

DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR Nurul Rosana, Viv Djanat Prasita Jurusan Perikanan Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2 Peta lokasi penelitian PETA LOKASI PENELITIAN 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian dibagi dalam 2 tahapan berdasarkan waktu kegiatan, yaitu : (1) Pelaksanaan penelitian lapangan selama 2 bulan (September- Oktober

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR RIA Seri: PERMENKP NO. 57 Tahun 2014 BALITBANG-KP, KKP

LAPORAN AKHIR RIA Seri: PERMENKP NO. 57 Tahun 2014 BALITBANG-KP, KKP REGULATORY IMPACT ASSESSMENT (RIA) PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA

Lebih terperinci

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Andi Adam Malik, Henny Setiawati, Sahabuddin Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP

OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP OPTIMISASI PERIKANAN PURSE SEINE DI PERAIRAN LAUT SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA HASAN HARAHAP SEKOLAH PASCA SARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 OPTIMISASI PERIKANAN

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 27 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan data dilaksanakan bulan Juli-September 2007 yaitu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT ALOKASI PENGGUNAAN INPUT DAN ANALISIS FINANSIAL PADA USAHA PEMBESARAN IKAN GUPPY DI DESA PARIGI MEKAR, KECAMATAN CISEENG KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT FANJIYAH WULAN ANGRAINI SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci