EKOLOGI MERAK HIJAU PURWO DEPARTEMEN KONSERVASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EKOLOGI MERAK HIJAU PURWO DEPARTEMEN KONSERVASI"

Transkripsi

1 EKOLOGI PERILAKU BERBIAK MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN BALURAN PROPINSI JAWA TIMUR GILANGG FAJAR RAMADHAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUTT PERTANIAN BOGOR 2009

2 EKOLOGI PERILAKU BERBIAK MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN BALURAN PROPINSI JAWA TIMUR GILANGG FAJAR RAMADHAN Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan padaa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUTT PERTANIAN BOGOR 2009

3 RINGKASAN GILANG FAJAR RAMADHAN. Ekologi Perilaku Berbiak Merak Hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) di Taman Nasional Alas Purwo dan Baluran Propinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh JARWADI BUDI HERNOWO dan ANI MARDIASTUTI. Merak hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) merupakan salah satu jenis burung yang dilindungi di Indonesia. Fragmentasi habitat dan perburuan merak hijau menyebabkan pengurangan luasan dan kualitas habitat sehingga menjadikan populasinya terpecah dalam kelompok kecil dan memiliki penyebaran terbatas. Dengan tingginya ancaman terhadap merak hijau di Jawa, dikhawatirkan dalam kurun waktu yang tidak lama akan mengalami kepunahan. Namun kenyataannya, merak hijau masih mampu bertahan pada beberapa lokasi penyebarannya. Hal ini mengindikasikan ada strategi berkait dengan ekologi perilaku merak hijau berhubungan dengan kondisi habitatnya dan berbagai tekanan. Masa berbiak hingga pengasuhan anak merupakan waktu paling rentan terhadap perkembangan populasi merak hijau. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) Mempelajari dan mendeskripsikan ekologi perilaku yang berkaitan dengan perkembangbiakan merak hijau dan (2) Mengidentifikasi strategi dan mekanisme berperilaku berbiak merak hijau yang berhubungan dengan habitatnya di TN Alas Purwo dan TN Baluran. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2007 di TN Alas Purwo (Agustus-Oktober) dan TN Baluran (November- Desember). Pengambilan data perilaku dengan menggunakan metode ad libitum sampling dengan sistem pencatatan menggunakan metode continuous recording mulai dari pukul hingga WIB. Jenis data yang dikumpulkan meliputi perilaku berbiak serta perilaku harian merak hijau saat musim berbiak. Data dianalisis dengan menggunakan persentase perilaku, rataan durasi, ragam contoh, uji-f dan chi-square ( ). Di TN Alas Purwo merak hijau berbiak berkisar pada bulan September sampai dengan bulan November, sedangkan di TN Baluran merak hijau berbiak berkisar pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember. Musim berbiak merak hijau dicirikan oleh aktivitas display merak hijau jantan. Merak hijau jantan mengeluarkan suara khas saat musim berbiak. Proses kopulasi merak hijau sangat singkat rerata berkisar 9-19 detik. Pasca perkawinan merak hijau betina akan mengerami telur, sedangkan merak hijau jantan akan merontokkan bulu hiasnya. Merak hijau melakukan aktivitas makan pada areal terbuka. Sumber air minum merak hijau saat musim kemarau berupa bak air minum buatan baik di TN Alas Purwo maupun TN Baluran. Aktivitas menelisik dilakukan pada areal yang terbuka karena merak hijau dapat mengawasi secara menyeluruh dari gangguan baik pesaing atau predator. Aktivitas berjemur dilakukan pada pagi hari ( WIB) hal ini berkaitan dengan sinar matahari yang hangat. Aktivitas mandi

4 debu lebih sering dilakukan oleh merak hijau betina (F hitung > F tabel ). Merak hijau lebih sering mengalami gangguan pada habitat berhutan. Aktivitas bertarung hanya dilakukan oleh merak hijau jantan. Pohon tidur merak hijau biasanya dijadikan pula sebagai tempat beristirahat pada saat siang hari. Aktivitas istirahat dan makan merupakan aktivitas terlama yang dilakukan merak hijau baik di TN Alas Purwo maupun TN Baluran. Tempat terbuka sangat penting sebagai tempat untuk mandi debu, berjemur, bertarung, akan tetapi habitat hutan pun sangat penting sebagai tempat berlindung, istirahat dan tidur bagi merak hijau. Tipe habitat di TN Alas Purwo berpengaruh sangat nyata terhadap frekuensi dan durasi perilaku menelisik, makan, berjemur, berlindung dan istirahat. Tipe habitat di TN Baluran berpengaruh sangat nyata terhadap frekuensi (perilaku suara, menelisik, berjemur, berlindung, istirahat dan tidur) dan durasi (perilaku menelisik, berjemur dan berlindung). KATA KUNCI: merak hijau, ekologi perilaku, tipe habitat.

5 SUMMARY GILANG FAJAR RAMADHAN. The Ecology of Green Peafowl (Pavo muticus Linnaeus, 1766) Breeding Behaviour in Alas Purwo and Baluran National Park Province East Java. Under supervisor of JARWADI BUDI HERNOWO dan ANI MARDIASTUTI. Green peafowl is one of the protected birds in Indonesia. Habitat fragmentation and hunting have caused the decrease in habitat area and quality, which lead to population disperse with limited distribution. Because of its high threat, there is a possibility that the green peafowl will be extinct in a short time. In really, green peafowl still survive in several distribution locations. This indicates that there is a strategy related to behavior ecology of green peafowl with this habitat condition and sort of pressure. The most vulnerable period for green peafowl population development is from breeding to nursing period. The objectives of this research were: (1) to study and describe behavior ecology tht was related with green peafowl breeding and (2) to identify the strategy and mechanism of green peafowl breeding behavior related to its habitat in both national parks. This research was conducted from August to December 2007 in Alas Purwo National Park (August-October) and Baluran National Park (November- December). Behavior data were taken using ad libitum sampling method with continuous recording system from 5.00 am to 6.00 pm. Type of data taken included breeding behavior and daily behavior during breeding season. Data were analyzed using behavior rate, mean duration, mean, sample variance, F-test and chi-square ( ). In Alas Purwo NP, green peafowl breeds from September to November while in Baluran NP breeding occurs from October to December. Breeding season for green peafowl is characterized by a display activity brought by the male where it also produces a distinctive sound. Copulation process in green peafowl lasts for a short time, approximately 9-19 seconds. After mating, the female broods its eggs while the male sheds its fine feathers. Green peafowl carries out its eating behavior in open area. In dry season, water source for green peafowl is obtained from an artificial water tub provided in Alas Purwo and Baluran National Park. Preening activity is carried out in open area so it can monitor any disturbance either from competitors or from predators. Sunning activity is carried out in the morning ( am), related to warm sun rays. Dusting is more often carried out by female green peafowl (F measured > F table ). Green peafowl encounters more interference in forest habitat. Fighting activity is carried out only by male. Sleeping tree is usually utilized also as a resting cite at day. Resting and eating the most time sending activities by green peafowl both in Alas Purwo and Baluran National Park.

6 Open areas are important as places for dusting, sunning, and fighting while forest habitat is important for shelter, resting and sleeping. Habitat type in Alas Purwo NP is significantly influence the frequency and duration of preening, eating, sunning, take shelter and resting. Habitat type in Baluran NP is significantly influence the frequency of vocalization, preening, sunning, take shelter, resting and sleeping, also to the duration of preening behavior, sunning and take shelter. KEY WORDS: green peafowl, ecology of behavior, type habitat.

7 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Ekologi Perilaku Berbiak Merak Hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) di Taman Nasional Alas Purwo dan Baluran Propinsi Jawa Timur adalah benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah digunakan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2009 Gilang Fajar Ramadhan E

8 Judul Skripsi Nama NIM : Ekologi Perilaku Berbiak Merak Hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) di Taman Nasional Alas Purwo dan Baluran Propinsi Jawa Timur : Gilang Fajar Ramadhan : E Menyetujui: Komisi Pembimbing Ketua, Anggota, Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F NIP Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc NIP Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP Tanggal Lulus: 16 Januari 2009

9 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Ekologi Perilaku Berbiak Merak Hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) di Taman Nasional Alas Purwo dan Baluran Propinsi Jawa Timur dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran ketahanan merak hijau terhadap tekanan pada populasi maupun habitatnya dalam bentuk pola perilaku. Sehingga penelitian ekologi perilaku merak hijau ini berguna dalam upaya pelestarian merak hijau terutama untuk pengelolaannya di Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) dan Taman Nasional Baluran (TNB). Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan serta mendukung upaya koservasi dalam pelestarian merak hijau. Segala kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan guna penyempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Bogor, Januari 2009 Penulis

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Juni 1985 di Cimahi, Jaw Barat sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan H. Achmad Sutisna dan Hj. Yeni Yuniawati, S.Si. Penulis mengawali pendidikan formal pada tahun 1990 di TK Kemuning Bogor dan pada tahun 1991 memulai pendidikan dasar di SD Negeri Polisi 4 Bogor dan lulus pada tahun Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 4 Bogor dari tahun Selanjutnya pada tahun 2000 menempuh pendidikan di SMU Negeri 2 Bogor dan lulus pada tahun Pada tahun 2003, penulis diterima sebagai salah satu mahasisiwa di Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE), Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), penulis aktif di Himpunan Profesi (Himpro) Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan sebagai ketua Kelompok Pemerhati Burung (KPB) pada periode tahun 2006/2007. Selain itu, penulis pernah menjadi panitia dalam kegiatan, Orientasi Mahasiswa Baru DKSHE Fakultas Kehutanan IPB sebagai ketua ketua panitia tahun 2005, Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Betung Kerihun Propinsi Kalimantan Barat tahun 2005 dan di Taman Nasional Way Kambas Propinsi Lampung tahun 2006 serta mengikuti kegiatan promosi DKSHE Fakultas Kehutanan IPB tahun Pada tahun 2006 penulis melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Cagar Alam Leuweung Sancang, Taman Wisata Alam Kawah Kamojang dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Garut. Selanjutnya pada tahun 2007, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Ujung Kulon. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang berjudul Ekolog Perilaku Berbiak Merak Hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) di Taman Nasional Alas Purwo dan Baluran, Propinsi Jawa Timur yang dibimbing oleh Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc.F dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.

11 UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillaahi rabbil aalamiin telah terselesaikan dengan baik penulisan skripsi ini. Dalam penyelesaian skripsi ini penulis mendapat bantuan baik berupa dorongan moril, spiritual dan materil dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Bapak dan ibu tersayang, adik-adikku tercinta serta seluruh keluarga besarku tercinta atas doa, dukungan semangat dan kasih sayangnya. 2. Bapak Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F. dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc. sebagai dosen pembimbing yang selalu memberikan kasih sayang, perhatian, kesabaran, waktu, masukan baik moril maupun materil, bimbingan dan doa restu. 3. Prof. Dr. Ir. Iding M. Padlinurjaji sebagai dosen penguji perwakilan Departemen Hasil Hutan dan Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS sebagai dosen penguji perwakilan Departemen Silvikultur atas masukan, bimbingan dan do a restu. 4. Bapak Ir. Hartono, MSc. selaku Kepala Balai TN Alas Purwo dan Bapak Ir. Kuspriyadi, MSc. selaku Kepala Balai TN Baluran yang telah memberikan izin, fasilitas, informasi, bimbingan dan kerjasama yang baik selama kegiatan penelitian. 5. Bapak Waluyo selaku Kepala Seksi Pembantu Taman Nasional (STPN) I Tegaldlimo TN Alas Purwo dan Bapak Ir. Pratono selaku Kepala STPN II Bekol TN Baluran beserta staf TN Alas Purwo dan TN Baluran yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan informasi dan kerjasama yang baik selama kegiatan penelitian. 6. Mas Gendut, Pak Ponidi dan keluarga, Mas Susyanto, Mbah Sampun, Pak Dodi, Pak Siswanto, Pak Trihari, Pak Hendro, Pak Lamijan, Pak Mahrudin, Pak Suharja, Mas Widyantoro, Mas Taufik dan Pak Toyib atas bantuannya selama pengambilan data penelitian. 7. Pak Tekun beserta keluarga, Mas Joko dan Mba Fiqoh beserta keluarga atas bantuan dan doanya.

12 8. Wetlands International-IP dan Burung Indonesia atas peminjaman alat penelitian. 9. Ayu Puspitasari, S.Hut beserta keluarga atas doa, bantuan dan kebersamaan yang diberikan kepada penulis. 10. Ruri Risnawati atas bantuannya selama penelitian. 11. Keluarga besar KSH 40, Sembilan semester penuh cerita. 12. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) terutama KPB Perenjak, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor atas dukungan, semangat, kerjasama, pengalaman dan kebersamaan dalam suka dan duka selama ini. 13. Semua pihak yang tidak dapat ditulis satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Perilaku Bioekologi Merak Hijau... 4 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Pemilihan Titik Pengamatan Bahan dan Alat Jenis Data yang Dikumpulkan Metode Pengumpulan Data Bentuk Perilaku dan Parameternya Analisis Data BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Taman Nasional Alas Purwo Taman Nasional Baluran BAB V. HASIL dan PEMBAHASAN PENELITIAN Perilaku Berbiak Pelaku Harian pada Musim Berbiak Peresentase Seluruh Perilaku Harian pada Musim Berbiak Implementasi terhadap Pengelolaan BAB VI. KESIMPULAN dan SARAN Kesimpulan

14 ii 6.2 Saran DAFTAR PUSTAKA

15 iii DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Rekapitulasi durasi perilaku display merak hijau di TNAP dan TNB Frekuensi suara tipe I di TNAP dan TNB per individu per hari Frekuensi suara tipe II di TNAP dan TNB per individu per hari Frekuensi suara tipe III di TNAP dan TNB per individu per hari Frekuensi suara tipe IV di TNAP dan TNB per individu per hari Frekuensi suara tipe V di TNAP dan TNB per individu per hari Frekuensi suara tipe VI di TNAP dan TNB per hari per individu Frekuensi suara tipe VII di TNAP dan TNB per individu per hari Waktu terjadinya kopulasi pada merak hijau di TNAP dan TNB Rekapitulasi durasi perilaku kawin merak hijau di TNAP dan TNB Sumber pakan merak hijau di TNAP dan TNB Rekapitulasi durasi perilaku makan merak hijau jantan di TNAP dan TNB Rekapitulasi durasi perilaku makan merak hijau betina di TNAP dan TNB Rekapitulasi durasi perilaku minum merak hijau di TNAP dan TNB Rekapitulasi durasi perilaku menelisik merak hijau di TNAP dan TNB Rekapitulasi durasi perilaku berjemur merak hijau di TNAP dan TNB Rekapitulasi durasi perilaku mandi debu merak hijau di TNAP dan TNB Rekapitulasi durasi perilaku berlindung merak hijau di TNAP dan TNB... 96

16 iv 19. Rekapitulasi durasi perilaku bertarung merak hijau di TNAP dan TNB Rekapitulasi durasi perilaku istirahat merak hijau jantan di TNAP dan TNB Rekapitulasi durasi perilaku istirahat merak hijau betina di TNAP dan TNB Rekapitulasi durasi perilaku tidur merak hijau di TNAP dan TNB

17 v DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Bagian-bagian tubuh Merak hijau jantan dewasa Penyebaran Merak hijau di Pulau Jawa Indonesia Perilaku berbiak Merak hijau Peta Taman Nasional Alas Purwo Peta Taman Nasional Baluran Lokasi berbiak merak hijau di TNAP dan TNB; (a) padang rumput Sadengan, (b) hutan alam Rowobendo, (c) hutan tanaman jati Gunting dan (d) savana Bekol Grafik curah hujan tahun 2007 di wilayah Tegaldlimo (TNAP) dan Bajul Mati (TNB) (Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2007) Grafik hari hujan tahun 2007 di wilayah Tegaldlimo (TNAP) dan Bajul Mati (TNB) (Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2007) Grafik rentang waktu beberapa perilaku saat musim berbiak merak hijau di TNAP dan TNB Perilaku display merak hijau; (a) merak hijau jantan display di depan merak hijau betina, (b) merak hijau jantan display di depan merak hijau jantan lainnya Perilaku display merak hijau; (a) posisi awal, (b) posisi sempurna Aktivitas merak hijau betina ketika merak hijau jantan display: (a) makan, (b) berputar mengelilingi merak hijau jantan Proses akhir perilaku display, dilihat searah jarum jam berurutan dari (a)-(b)-(d)-(c) Grafik frekuensi perilaku display per hari merak hijau jantan di TNAP dan TNB Grafik frekuensi harian perilaku display merak hijau jantan di beberapa tipe habitat TNAP dan TNB Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku suara merak hijau di TNB; (a) merak hijau betina, (b) merak hijau jantan Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku suara merak hijau di TNB; (a) merak hijau betina, (b) merak hijau jantan Grafik frekuensi harian perilaku suara merak hijau di beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB... 52

18 vi 19. Tata urutan perilaku kawin merak hijau di padang rumput Sadengan TNAP tanpa perilaku display; (a) bersuara, (b) berlari, (c) mendekat, (d) naik, (e)-(f)-(g) mengatur posisi, (h) kopulasi, (i)-(j)-(k) turun dan (l) meninggalkan merak hijau betina Tata urutan perilaku kawin merak hijau di padang rumput Sadengan TNAP diawali dengan perilaku display: (a) display, (b) betina tertarik, (c) betina mendekam, (d) jantan naik, (e)-(f)-(g) mengatur posisi, (h) kopulasi, (i)-(j) jantan turun, (k)-(l) display kembali Merak hijau jantan yang merontokkan bulu hiasnya di hutan tanaman jati Gunting, TNAP Sarang dan telur merak hijau di TNB, (a) HM 45, (b) HM 113 dan (c) di antara semak belukar Anakan merak hijau berumaur empat hari Cara makan merak hijau, (a) berjalan, (b) melompat, (c) mendekam dan (d) naik ke atas pohon Perilaku minum merak hijau di TNAP: (a) cekungan, (b) bak minum buatan, (c) genangan di bawah sprinkle dan (d) sprinkle Perilaku minum merak hijau di TNB: (a) di bak air minum posisi berdiri, (b) di bak air minum posisi mendekam dan (c) di genangan air Grafik frekuensi harian perilaku minum merak hijau di beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku minum merak hijau jantan dan betina di TNAP Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku minum merak hijau jantan dan betina di TNB Perilaku menelisik merak hijau disela-sela beberapa aktivitas harian; (a) bangun tidur, (b) berjemur, (c) display dan (d) makan Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku menelisik merak hijau di TNAP dan TNB Grafik frekuensi harian perilaku menelisik merak hijau di beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku menelisik merak hijau jantan dan betina di TNAP Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku menelisik merak hijau jantan dan betina di TNB... 82

19 vii 35. Perilaku berjemur merak hijau di; (a) tanah datar, (b) pagar dan (c) gundukan tanah Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku berjemur merak hijau di TNAP dan TNB Grafik frekuensi harian perilaku berjemur merak hijau pada beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku berjemur merak hijau jantan dan betina di TNAP Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku berjemur merak hijau jantan dan betina di TNB Perilaku mandi debu merak hijau jantan di TNAP; (a) berkelompok dan (b) soliter Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku mandi debu merak hijau di TNAP dan TNB Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku mandi debu merak hijau pada beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB Perilaku berlindung merak hijau; (a) curiga, (b) terbang menghindar dan (c) menghindar dari serangan elang-laut perut-putih Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku berlindung merak hijau di TNAP dan TNB Grafik frekuensi harian perilaku berlindung merak hijau pada beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB Perilaku bertarung antar merak hijau jantan; (a) di padang rumput Sadengan dan (b) savana Bekol Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku bertarung merak hijau di TNAP dan TNB Grafik frekuensi harian perilaku bertarung merak hijau jantan pada beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB Berbagai posisi perilaku istirahat merak hijau; (a) berdiri di bawah pohon widoro bukol dan (b) mendekam di cabang pohon apak Perilaku tidur merak hijau di atas pohon; (a) jati, (b) randu hutan, (c) gebang dan (d) mimba Grafik persentase perilaku harian merak hijau jantan pada musim berbiak di TNAP; (a) grafik perilaku berbiak, (b) grafik perilaku utama (c) grafik perilaku lainnya

20 viii 52. Grafik persentase perilaku harian merak hijau betina pada musim berbiak di TNAP; (a) grafik perilaku berbiak, (b) grafik perilaku utama (c) grafik perilaku lainnya Grafik persentase perilaku harian merak hijau jantan pada musim berbiak di TNB; (a) grafik perilaku berbiak, (b) grafik perilaku utama (c) grafik perilaku lainnya Grafik persentase perilaku harian merak hijau betina pada musim berbiak di TNB; (a) grafik perilaku berbiak, (b) grafik perilaku utama (c) grafik perilaku lainnya Telur sitaan petugas TNB

21 ix DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Frekuensi perilaku merak hijau di TNAP Nilai χ 2 hitung frekuensi perilaku di TNAP (db = 2; 99%) Frekuensi perilaku merak hijau di TNB Nilai χ 2 hitung frekuensi perilaku di TNB (db = 2; 99%) Durasi perilaku merak hijau di TNAP (dalam satuan menit) Nilai χ 2 hitung durasi perilaku di TNAP (db = 2; 99%) Durasi perilaku merak hijau di TNB (dalam satuan menit) Nilai χ 2 hitung durasi perilaku di TNB (db = 2; 99%) Uji-F pada durasi perilaku merak hijau di TNAP (F tabel = 1.88) Uji-F pada durasi perilaku merak hijau di TNB (F tabel = 2.27)

22 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merak hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) merupakan salah satu jenis burung yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) nomor 301/Kpts-II/1991 dan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 (Noerdjito & Maryanto 2007). Tingginya ancaman terhadap merak hijau menyebabkan BirdLife International (2004) memasukkannya dalam status vulnerable atau populasinya sedang mengalami penurunan cepat dan dalam status perdagangan, CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukan dalam kategori Appendiks II (Soehartono & Mardiastuti 2003). Fragmentasi habitat dan perburuan merak hijau menyebabkan pengurangan luasan dan kualitas habitat, sehingga menjadikan populasinya terpecah dalam kelompok kecil dan memiliki penyebaran terbatas (BirdLife International 2004). Merak hijau menempati habitat areal terbuka yang berbatasan dengan hutan, tepian sungai, hutan sekunder dan tepian hutan (edge di hutan) (King et al. 1989). Di Jawa, penyebarannya dengan populasi cukup besar (>100 individu) terkonsentrasi di ujung barat dan timur pulau, walaupun berdasarkan sejarahnya penyebaran merak hijau terdapat di seluruh Pulau Jawa (van Balen 1999). Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) dan Taman Nasional Baluran (TNB) merupakan dua dari lima taman nasional di Jawa yang memiliki penyebaran merak hijau (van Balen 1999). Secara fisik, TNAP dan TNB memiliki tipe ekosistem dan iklim yang berbeda. Lokasi TNAP berada di Selatan Timur Pulau Jawa, sedangkan TNB berada di Utara Timur Pulau Jawa. Namun, kedua lokasi tersebut memiliki areal terbuka seperti padang rumput di TNAP dan savana di TNB. Populasi merak hijau di TNAP berkisar antara individu (Indrawan 1995), Wasono (2005) menjumpai 50 individu merak hijau di SKW I Rowobendo, sedangkan Yuniar (2007) menyebutkan populasi merak hijau sebanyak 81 individu. Populasi merak hijau di TNB berkisar antara individu (Indrawan 1995) dan khusus di Seksi Wilayah Konservasi (SKW) II Bekol

23 2 terdapat 120 individu (Hernowo 1995), sedangkan Yuniar (2007) menjumpai 70 individu. Dengan tingginya ancaman terhadap merak hijau di Jawa, dikhawatirkan dalam kurun waktu yang tidak lama akan mengalami kepunahan. Namun kenyataannya, merak hijau masih mampu bertahan pada beberapa lokasi penyebarannya. Hal ini mengindikasikan ada strategi berkait dengan ekologi perilaku merak hijau berhubungan dengan kondisi habitatnya dan berbagai tekanan. Ekologi perilaku merak hijau tersebut belum banyak diketahui, sehingga sangat menarik sebagai bahan kajian untuk mendapatkan gambaran ketahanan merak hijau terhadap tekanan pada populasi maupun habitatnya. Ekologi perilaku berbiak merak hijau dimulai dari masa pra perkawinan, percumbuan dan pasca perkawinan, masa pembuatan sarang, pengeraman telurnya, serta pengasuhan anak. Masa berbiak hingga pengasuhan anak merupakan waktu paling rentan terhadap perkembangan populasi merak hijau. Maka penelitian ekologi perilaku merak hijau ini penting dilakukan guna mendapatkan data dan informasi bagi upaya pelestarian merak hijau terutama untuk pengelolaannya di TNAP dan TNB. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mempelajari dan mendeskripsikan ekologi perilaku yang berkaitan dengan perkembangbiakan merak hijau di TNAP dan TNB. 2. Mengidentifikasi strategi dan mekanisme berperilaku berbiak merak hijau yang berhubungan dengan habitatnya di TNAP dan TNB. 1.3 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi khususnya bagi pihak taman nasional untuk kepentingan konservasi merak hijau dengan memperhitungkan strategi perilaku serta mendukung pengembangan pengelolaan TNAP dan TNB.

24 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Perilaku Perilaku satwa merupakan ilmu dasar yang perlu dipahami dengan baik agar dapat menguasai ilmu atau pengetahuan lanjutannya di dalam usaha untuk mendapatkan keahlian di bidang pembinaan populasi satwa (Setiawati 1986). Batasan mengenai perilaku satwa sendiri sangat luas. Teage (1971) memberikan batasan bahwa perilaku satwa adalah ekspresi satwa yang ditimbulkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Batasan ini tidak merupakan harga mati, karena masing-masing ilmuwan mempunyai cara tersendiri untuk mengungkapnya. Perbedaan tersebut merupakan pertanda awal perkembangan ilmu perilaku satwa. Perilaku satwa adalah tindak-tanduk satwa yang terlihat dan yang saling berkaitan baik secara individual maupun bersama-sama (kolektif) akibat interaksi secara dinamika dengan lingkungannya, baik lingkungan luar (makhluk hidup atau benda-benda) maupun pengaruh dalam tubuh satwa itu sendiri (Tanudimadja & Kusumanihardja 1985). Menurut Odum (1971) perilaku merupakan tindakan yang tegas dari suatu organisme untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan guna menjamin hidupnya. Hal serupa dinyatakan Alikodra (1983) mengatakan bahwa perilaku satwa adalah strategi satwa dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam lingkungannya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Secara ethologi, perilaku satwa sebagai tindak-tanduk satwa berdasarkan motivasi, yang berarti satwa mempunyai emosi (Tanudimadja & Kusumanihardja 1985). Ekologi didefinisikan sebagai kajian hubungan organisme-organisme atau kelompok-kelompok organisme terhadap lingkungannya, atau ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme-organisme hidup dan lingkungannya (Odum 1959). Pianka (1983) mendefinisikan ekologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antar organisme maupun antara organisme dan seluruh faktor baik fisik maupun biologi yang mempengaruhinya ataupun yang dipengaruhinya. Hal serupa dinyatakan Allaby (1994) bahwa ekologi adalah studi ilmiah yang mempelajari hubungan timbal balik antar organisme maupun antara

25 4 organisme dan antar mereka dengan semua aspek, baik yang hidup dan tidak hidup, dari lingkungannya. Ekologi memiliki hubungan erat dengan empat disiplin ilmu biologi, yaitu genetika, evolusi, physiologi dan perilaku (Krebs 1985). Ekologi mempunyai kaitan dengan mengindentifikasi pola antara kumpulan jenis dengan lingkungan dan memahami penyebab terjadinya pola tersebut (Wien 1989). Krebs & Davies (1993) menyatakan ekologi perilaku tidaklah hanya efek dengan perjuangan satwa untuk bertahan hidup (survive) dengan pemanfaatan sumberdaya dan menghindar dari pemangsa, tetapi juga bagaimana perilaku berperan untuk kesuksesan berkembangbiak. Allaby (1994) mendefinisikan ekologi perilaku adalah ilmu yang mempelajari perilaku dari suatu organisme pada suatu habitat alaminya dan merupakan aplikasi dari teori tingkah laku ke aktivitas tertentu. 2.2 Bioekologi Merak Hijau Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari merak hijau berdasarkan Grzimeks (1972) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animal Phyllum : Chordata Sub phyllum : Verteberata Klas : Aves Sub klas : Neornithes Ordo : Galliformes Sub ordo : Galli Famili : Phasianidae Sub famili : Pavoninae Genus : Pavo Spesies : Pavo muticus Linnaeus, Dalam bahasa Inggris biasa dikenal dengan nama Green Peafowl atau sama dengan Dragonbird. Merak hijau terbagi ke dalam tiga subspesies, yaitu Merak hijau jawa (Pavo muticus muticus Linnaeus, 1766), Merak hijau burma (Pavo

26 5 muticus spicifer Shaw, 1804) dan Merak hijau indocina (Pavo muticus imperator Delacour, 1949) Morfologi Menurut MacKinnon et al. (1998), merak hijau berukuran sangat besar (jantan 210 cm, betina 120 cm), dengan penutup ekor yang sangat panjang (jantan saja) dan jambul tegak di atas kepala. Pada jantan, warna mantel, leher dan dada hijau mengkilap, bulu hias seperti kipas terdiri dari bulu mengkilap dengan bintik berbentuk mata. Merak hujau betina memiliki warna bulu kurang bagus, keputihan-putihan pada bagian bawahnya serta tidak memiliki bulu hias. Delacour (1977) dalam Mulyana (1988) menyebutkan merak hijau mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Merak hijau jantan Merak hijau jantan mempunyai jambul dan dagu yang berwarna hijau kebiruan. Jambulnya lebih hijau dibandingkan dagunya. Pada bagian muka di sekitar mata berwarna biru hitam, biru kobalt dan kemudian kuning. Leher, dada dan punggung sebelah depan berwarna campuran antara biru dan hijau emas, sedangkan bagian punggung sebelah belakang terdapat bulu-bulu yang tersusun seperti sisik dengan warna hijau perunggu yang bagian tepinya berwarna hitam dan mempunyai jalur-jalur berwarna coklat berbentuk seperti huruf v. Sayap berwarna hijau kebiruan, sayap sekunder berwarna hijau biru pekat dan sayap primernya berwarna merah tua. Perutnya berwarna hijau pekat, sedangkan kakinya berwarna hitam kecoklatan dan bertaji. Bulu hiasnya tersusun dari 100 sampai 150 lembar bulu yang besar, panjang dan kuat dengan warna campuran antara hijau emas dan hijau perunggu, sehingga nampak berkilau. Pada bagian ujungnya terdapat cincin ocellus (cincin oval pada bulu hias) berwarna ungu, yang dikeliling oleh warna coklat yang kemudian dikelilingi oleh dua cincin yang berwarna hijau muda dan terakhir dikelilingi oleh warna hijau (Gambar 1). Bulu yang terpanjang terletak di tengah-tengah dan tidak mempunyai ocellus. Ekor merak hijau berwarna coklat kehitaman dan bintik-bintik pucat, tidak panjang dan letaknya tertutupi oleh bulu hias dan berfungsi menopang bulu hias. Bagian bawah ekor berbulu

27 6 halus dan tebal, bagian tengahnya berwarna putih dan di sekitarnya berwarna coklat. Ekor tersusun oleh 20 helai bulu. Sumber gambar: BirdLife International (2007) Gambar 1. Bagian-bagian tubuh merak hijau jantan dewasa Keterangan (Delacour 1977 dalam Mulyana 1988): 1 = Jambul 2 = Dahi 3 = Rahang atas 4 = Rahang bawah 5 = Bidang kecil dari lora 6 = Kulit muka 7 = Leher bagian atas 8 = Leher bagian bawah 9 = Punggung bagian atas 10 = Punggung bagian bawah 11 = Bahu/tengkuk/belikat 12 = Bulu penutup sayap 13 = Bulu tersier 14 = Bulu sekunder 15 = Bulu primer 16 = Dada 17 = Paha 18 = Tulang kering 19 = Jari kaki 20 = Taji 21 = Perut 22 = Bulu penutup ekor atas 23 = Rectices tersembunyi 24 = Ocellus 25 = Bulu hias terpanjang 26 = Bulu hias samping tanpa ocelli 27 = Bulu hias samping dengan ocelli 2. Merak hijau betina Komposisi warna pada tubuh merak hijau betina sama dengan merak hijau jantan, tetapi lebih lembut dan tidak cerah, tidak mempunyai bulu hias

28 7 seperti pada merak hijau jantan. Merak hijau betina juga mempunyai taji pada kakinya. 3. Merak hijau anakan Anak merak hijau mempunyai warna sama dengan merak hijau betina, tetapi lebih buram. Dagu dan sisi-sisi kepalanya ditutupi oleh bulu-bulu yang berwarna putih, perkembangan jambul mulai terlihat pada umur dua minggu. Pada umur dua bulan anak-anak merak hijau mempunyai bulu-bulu yang lengkap, bentuknya seperti merak hijau betina dewasa tetapi dengan ukuran tubuh yang lebih kecil Habitat dan Penyebaran Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra 2002). Menurut Irwanto (2006), habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu di mana suatu jenis atau komunitas hidup. Di Jawa, merak hijau hidup di habitat relatif kering, hutan semi gugur dan areal terbuka (BirdLife International 2001). Menurut King et al. (1989), merak hijau hidup hingga ketinggian kaki di Asia Tenggara, kecuali Thailand tengah dan Hongkong. MacKinnon et al. (1998) menyatakan merak hijau merupakan pengunjung hutan terbuka dengan padang rumput dan perkebunan teh atau kopi. Jarak sebaran merak hijau sejauh km 2, mencakup masa berbiak maupun tempat hidup (BirdLife International 2007). Merak hijau tersebar mulai dari Assam, Cina bagian barat daya hingga Asia tenggara dan Jawa (King et al. 1989). Merak hijau banyak dijumpai di Pulau Jawa, yaitu Ujung Kulon, Sindang Barang (Cianjur), Cikelet (Sukabumi), Jepara, Pati, Mantingan, Randu Blatung (Blora), Meru Betiri, Baluran, Alas Purwo, Gunung Raung, Krepekan, Lijen, Lebak Harjo dan Pasir Putih (Situbondo) (van Balen 1999) (Gambar 2).

29 8 Sumber : BirdLife International (2001) Sejarah (pra-1950); pernah ada ( ); ada (1980 sekarang); tidak ada data Gambar 2. Penyebaran merak hijau di Pulau Jawa Indonesia Keterangan: (230) Pulau Panaitan; (231) Taman Nasional Ujung Kulon; (232) Merak; (233) Cikepuh; (234) Cilowa; (235) Pelabuhan Ratu; (236) Sampora; (237) Ciseureuh; (238) Tapos; (239) Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango; (240) Ciogong; (241) Karawang; (242) Tanjung Sedari; (243) Purwakarta; (244) Cikelet; (245) Cagar Alam Leuweung Sancang; (246) Buahdua; (247) Cikawung; (248) Indramayu; (249) Cirebon; (250) Nusa Kambangan; (251) Pemalang; (252) Dataran Tinggi Dieng; (253) Kendal; (254) Alas Roban; (255) Gedangan; (256) Penawangan; (257) Banjaran; (258) Solo; (259) Gundih; (260) Purwodadi; (261) Clering; (262) Pati; (263) Wirosari; (264) Kradenan; (265) Ngaringan; (266) Randublatung; (267) Mantingan; (268) Cepu; (269) Alas Sengok; (270) Walikukun; (271) Paringan; (272) Padangan; (273) Pulung; (274) Jatirogo; (275) Besuki; (276) Nganjuk; (277) Tuban; (278) Jombang; (279) Wonosalem; (280) Kebonagung; (281) Lebakharjo; (282) Ranu Darungan; (283) Dataran Tinggi Hyang; (284) Gunung Ringgit; (285) Taman Nasional Meru Betiri; (286) Gunung Raung; (287) Krepekan; (288) Lijen; (289) Taman Nasional Baluran; (290) Taman Nasional Alas Purwo. Di TNAP jenis ini hanya dapat dijumpai di hutan alam dataran rendah, hutan tanaman dan daerah ekoton padang penggembalaan dan hutan alam dataran rendah (Supratman 1998). Di TNB merak hijau ditemukan di semua tipe vegetasi, namun banyak ditemukan di daerah savana, hutan musim dan hutan pantai (Hernowo 1995). Merak hijau hidup di TNB dan TNAP karena ketersediannya tempat makan, minum dan cover (berlindung, berteduh dan beristirahat) bagi merak hijau (Supratman 1998) Perilaku Berbiak Merak hijau termasuk dalam suku Phasianidae. Sebagian besar suku ini termasuk poligami, yaitu satu jantan dengan banyak betina saat berbiak dengan tidak memiliki hubungan yang permanen antara jantan dewasa dan betina dewasa.

30 9 Musim berbiak merak hijau di Jawa Timur dan Jawaa Barat dari bulan Agustus sampai dengan Oktober (MacKinnon 1990). Berdasarkan penelitian Hernowo (1995), musim berbiak merak hijau di TNB berlangsung dari bulan Oktober sampai dengan Januari. Menurut Hernowo (1995), tanda dimulainyaa musim berbiak adalah terdapatnya tarian (display) dari merak hijau, karena merak hijau jantan terkenal sebagai burung penari. Selain itu, tanda lainnya adalah terdengarnya suara panggilan merak hijau jantan terhadap merak hijau betina, yang suaranya menyerupai suara kucing ngeeeeeew, ngeeeeeeyaow,... atau wee-waaoow,...weehijau waaoow, atau eewaaaaoow, eewaaaaoow. Perilaku display dimulai ketika merak hijau jantan melihat merak betina. Dengan reaksi seluruh bulu hias dinaikkan dan memekarkannya dengan ditopang oleh bulu ekor. Sayapnya diturunkan dan melangkah mendekati merak hijau betina. Selanjutnya merak hijau jantan membalik tubuhnya secara tiba-tiba tetapi tetap mencuri pandang ke arah merak hijau betina dan berhenti sejenak lalu melakukan tarian lagi. Kemudian merak hijau betina mengelilingi merak hijau jantan beberapa saat dan merak hijau jantann menggetarkan-getarkan bulu hiasnya dengan bunyi gemerisik. Apabila merak hijau betina menerima percumbuan (courtship) tersebut, merak hijau betina akan mendekam dan merak hijau jantan segera menaiki punggung merak hijau betina dan kopulasi pun berlangsung (Gambar 3) (Hernowo 1995). Sumber: Ardastrazoo (2007) Gambar 3. Perilaku berbiak merak hijau Tempat yang digunakan merak hijau jantan dewasa untuk menarik pasangan tidak samaa setiap harinya. Masing-masing individu jantan dewasaa mengatur jarak (distance mechanisme), sehingga cukup memberikan ruang gerak atau ruang atraksi untuk menarik betina. Tempat yang digunakan untuk menarik pasangannya tersebut adalah tempat terbuka, bersih dan teduh (Sativaningsih

31 ). Perilaku display tidak hanya dilakukan untuk menarik perhatian merak hijau betina tetapi juga merupakan tanda kepada jantan lain ketika merak hijau jantan sedang menunjukkan tariannya (Hernowo 1995) Perilaku Bersarang Merak hijau menjadi dewasa saat berumur 3 tahun dan mampu untuk bertelur (Ardastrazoo 2007). Menurut Winarto (1993) di Resort Bekol TNB merak hijau betina yang telah dikawini segera memisahkan diri dari kelompoknya untuk membuat sarang dan bertelur. Merak hijau bersarang antara semak dan rerumputan di areal terbuka sedikit pohon (Hernowo 1995). Di Ujung Kulon sarang merak hijau biasanya ditemukan di antara alang-alang (Imperata cylindrica) yang mempunyai ketinggian cm atau di antara rumput-rumput jarong (Stachyrpheta jamaicensis) (Hoogerwerf 1970 dalam Mulyana 1988). Winarto (1993) menyatakan sarang merak hijau berada pada areal terbuka yang sangat sedikit ditumbuhi vegetasi pada tingkat pohon dan sapihan. Sarang merak hijau berukuran 30x45 cm (Hernowo 1995) dan 35x40 cm (Winarto 1993). Jarak antar sarang berkisar antara meter (Hernowo 1995). Merak hijau betina akan meletakkan telurnya di atas tanah yang gundul (Hernowo 1995; Winarto 1993). Waktu pengeraman telur hari (Delacour 1978 dalam Mulyana 1988). Di Jawa merak hijau mempunyai telur dengan ukuran rata-rata 73,38x54,11 mm (Hoogerwerf 1949), 70x51 mm (Hernowo 1995). Hoogerwerf (1949) menyatakan juga ukuran telur bervariasi dengan variasi panjang telur 69,80-79,10 mm dan variasi lebar 52,60-56,40 mm. Telur merak hijau berwarna putih, tetapi dalam beberapa hari akan berubah menjadi coklat bertotol (Hernowo 1995) Perilaku Bersuara Perilaku bersuara bisa dilakukan oleh semua individu merak hijau jantan dan betina (baik dewasa maupun remaja) bahkan anakan (Winarto 1993; Hernowo 1995; Maryanti 2007). Hernowo (1995) menyatakan auwo merupakan suara umum untuk komunikasi antar merak hijau. Waktu bersuara merak hijau untuk pagi hari pada pukul WIB (Winarto 1993) dan WIB

32 11 (Hernowo 1995), sedangkan untuk sore hari pada pukul WIB (Winarto 1993; Hernowo 1995). Merak hijau memiliki berbagai jenis suara (Winarto 1993; Hernowo 1995; Maryanti 2007). Jenis suara yang dilakukan oleh anakan adalah wi...wi...wi... (Winarto 1993; Hernowo 1995). Merak hijau betina mengeluarkan jenis suara seperti tak...tak...kro...ko...ko... (Winarto 1993), tek...tek...tek... (Sativaningsih 2005), serta tak...tak...tak... (Winarto 1993; Hernowo 1995; Maryanti 2007) yang menandakan adanya bahaya atau ancaman, sedangkan suara yang berfungsi untuk memanggil anaknya adalah tak...tak...tak...kroooooow... (Hernowo 1995; Maryanti 2007). Suara merak hijau jantan adalah auwo...auwo... atau auwo...ko...ko...ko... atau kay...yaw... atau kro...ko...ko... (Winarto 1993). Jenis suara umum merak hijau adalah auwo...auwo...auwo...auwo... dan suara saat terbang adalah kroooooow...ko...ko...ko... atau ko...ko...ko...ko... (Hernowo 1995; Sativaningsih 2005; Maryanti 2007). Winarto (1993) menyebutkan perilaku bersuara lebih sering dilakukan merak hijau pada musim kawin. Jenis suara khas saat musim kawin yang dikeluarkan oleh merak hijau adalah ngeeyaaoow...ngeeyaaoow... atau eewaaaoow...eewaaaoow... (Winarto 1993; Hernowo 1995; Maryanti 2007) Perilaku Makan Merak hijau memulai perilaku makan setelah turun dari tempat bertenggernya (Winarto 1993; Hernowo 1995; Sativaningsih 2005; Maryanti 2007). Merak hijau mencari makan pada pagi dan sore hari (Winarto 1993; Hernowo 1995; Maryanti 2007), sedangkan Sativaningsih (2007) membagi perilaku makan merak hijau dalam di TNAP menjadi tiga waktu, yaitu makan pagi (pukul WIB), makan siang (pukul WIB) dan makan sore (pukul WIB). Perilaku makan merak hijau di hutan tanaman TNAP antara pukul WIB dan mulai beraktivitas lagi pukul WIB sementara di padang penggembalaan Sadengan TNAP mulai pukul WIB sampai dengan pukul WIB dan dimulai kembali pukul WIB (Sativaningsih 2005). Maryanti (2007) mencatat waktu makan merak hijau pada areal tumpang sari di hutan tamanan jati TNAP pada pukul WIB dan

33 12 WIB, sedangkan di padang penggembalaan Sadengan TNAP antara pukul WIB dan WIB. Di TNB merak hijau makan antara pukul WIB dan WIB (Maryanti 2007), sedangkan Hernowo (1995) menjumpai perilaku makan antara pukul WIB dan WIB. Winarto (1993) membagi aktivitas makan merak hijau di TNB dalam dua periode, yaitu pada pagi hari setelah turun dari tempat tidur sekitar pukul WIB sampai pukul WIB dan pada sore hari sekitar pukul WIB. Merak hijau makan dengan mematuk makanan menggunakan paruhnya (Winarto 1993; Hernowo 1995; Maryanti 2007). Menurut Sativaningsih (2005) cara yang dilakukan oleh merak hijau dalam memperoleh pakan bermacammacam tergantung dari bagian yang akan dimakannya Perilaku Minum Perilaku minum merupakan perilaku yang dilaksanakan disela-sela perilaku makannya (Sativaningsih 2005; Maryanti 2007). Di TNB merak hijau melakukan aktivitas minum pada pukul WIB dan WIB (Hernowo 1995), sedangkan Maryanti (2007) mencatat merak hijau beraktivitas minum pada pukul WIB dan WIB. Di TNAP merak hijau melakukan aktivitas minum antara pukul WIB dan WIB (Maryanti 2007), khusus di padang penggembalaan Sadengan TNAP Sativaningsih (2005) menjumpai aktivitas minum pada pukul WIB dan WIB. Hernowo (1995) merekam aktivitas minum merak hijau dalam mengambil air sebanyak kali dengan waktu 5-12 menit untuk jantan dan kali dengan waktu 7-16 menit, namun secara rerata merak hijau mengambil air sebanyak kali dalam rentan waktu 7-12 menit. Sativaningsih (2005) mencatat aktivitas minum di padang penggembalaan Sadengan TNAP selama 1-4 menit untuk pagi hari dan 1-13 menit untuk sore hari Perilaku Istirahat Menurut Sativaningsih (2005) perilaku istirahat merak hijau merupakan perilaku yang dilakukan di antara aktivitas pagi dan sore hari, sedangkan Maryanti (2005) menyatakan perilaku beristirahat merupakan serangkaian aktivitas yang

34 13 dilakukan Merak hijau dalam upaya menghindari panas matahari dan menghilangkan rasa lelah setelah melakukan aktivitas. Perilaku istirahat merak hijau terbagi ke dalam 2 periode, yaitu periode setelah makan pagi hari sampai menjelang sore hari yang disebut dengan istirahat yang merupakan istirahat sementara dan periode setelah aktivitas hariannya dimulai kembali yang disebut tidur yang merupakan istirahat total (Winarto 1993). Hernowo (1995) menyatakan bahwa merak hijau menuju pohon tidur dengan cara terbang langsung ke pohon tidur atau melompat terlebih dahulu ke pohon yang lebih rendah kemudian melompat pada pohon tidurnya. Menurut Supratman (1998), perlaku tidur di TNAP dilakukan tidak langsung terbang ke pohon tidur, tetapi hinggap terlebih dahulu ke pohon lain yang lebih rendah, selanjutnya melompat lagi hingga sampai di pohon tidurnya. Perilaku istirahat dilakukan pada pukul WIB di padang penggembalaan Sadengan TNAP (Sativaningsih 2005), sedangkan Maryanti (2007) mencatat perilaku istirahat di TNAP antara pukul WIB dan di TNB antara pukul WIB. Hernowo (1995) menyatakan merak hijau datang ke pohon tidurnya pada pukul WIB.

35 14 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat, yaitu Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran, Propinsi Jawa Timur. Pengamatan di TNAP bertempat pada padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo. Di TNB pengamatan bertempat pada savana Bekol, hutan evergreen dan hutan pantai Manting. Penelitian ini dilakukan selama empat bulan, yaitu dua bulan di TNAP mulai bulan Agustus sampai September 2007 serta dua bulan di TNB pada bulan Oktober sampai November Pemilihan Titik Pengamatan Pemilihan titik pengamatan untuk setiap tempat pengamatan ditentukan dengan metode purposif sampling, yaitu pengambilan contoh yang diarahkan, berdasarkan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di tempat yang sama, wawancara dengan petugas TNAP dan TNB, serta berdasarkan studi pendahuluan yang dilaksanakan seminggu sebelum penelitian dilakukan. Titik-titik pengamatan ditentukan agar mempermudah pengamat (peneliti) melakukan pengambilan data perilaku dan objek pengamatan (merak hijau) tidak merasa terganggu dengan kehadiran pengamat. Titik pengamatan dapat berupa semak belukar, pepohonan dan menara pengamatan yang telah ada di lokasi (tidak setiap lokasi ada) yang berada sedekat mungkin dengan objek penelitian 3.3 Bahan dan Alat Bahan dalam penelitian ini merupakan bahan habis, yaitu baterai, film negatif dan kaset perekam. Objek yang digunakan saat penelitian ini adalah merak hijau dan habitatnya. Peralatan yang digunakan terdiri dari: 1. Binokuler dan monokuler untuk melihat objek yang lebih jelas 2. Perekam untuk untuk merekam suara objek 3. Chronometer untuk mengukur waktu aktivitas objek

36 15 4. Kamera dan handycam untuk mengambil gambar objek, jejak objek dan habitat 5. Kompas untuk menunjukkan arah mata angin 6. Meteran dan pita ukur untuk mengukur diameter pohon dan ukuran panjang 7. Termometer untuk mengukur suhu 8. Buku Panduan Lapang seri Pengenalan Jenis Burung Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali (MacKinnon et al. 1998) untuk mengindentifikasi jenis burung lain selain objek. 9. Peta lokasi penelitian untuk menentukan lokasi pengamatan objek 3.4 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi: 1. Data sekunder yang meliputi bioekologi merak hijau dan keadaan umum lokasi penelitian. 2. Data primer yang meliputi perilaku berbiak merak hijau meliputi masa pra perkawinan, percumbuan, pasca perkawinan dan masa pembuatan sarang serta perilaku harian seperti perilaku makan, minum dan istirahat serta data mengenai habitatnya. 3.5 Metode Pengumpulan Data Data sekunder didapatkan melalui penelusuran literatur. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pengamatan langsung pada unit contoh yang berbentuk titik pengamatan. Titik pengamatan di lapangan berupa tempat-tempat strategis ditemukannya merak hijau sedang melakukan aktivitas (perilaku). Lokasi yang menjadi titik pengamatan berupa areal terbuka dengan terdapat pepohonan di sekitarnya. Untuk TNAP berupa padang penggembalaan Sadengan, hutan tanaman jati dan tumpangsari serta di TNB pada savana Bekol, hutan semusim dan hutan pantai. Pengamatan dilakukan secara berulang-ulang pada unit waktu pengukuran dengan menggunakan continuous recording, yaitu mencatat kenyataan dari perilaku, dimulai saat merak hijau melakukan aktivitas awalnya pada pukul WIB hingga berakhirnya aktivitas pada pukul WIB. Pengambilan data

37 16 perilaku dengan menggunakan metode ad libitum sampling, yaitu pengambilan contoh perilaku dengan cara mencatat semua perilaku yang terlihat pada saat pangamatan dan lama perilaku tersebut dilakukan. Saat di lapangan pengamat tidak langsung melakukan pengambilan data. Namun, dilakukan studi adaptasi yang berguna untuk pengamatan agar merak hijau tidak merasa terganggu dengan kehadiran pengamat. Pengambilan data yang direncanakan akan didapat maksimal. Studi adaptasi ini dilakukan selama tujuh hari setiap pengamatan awal di TNAP dan TNB. Posisi pengamat saat melakukan pengamatan berada pada tempat-tempat yang secara alami telah berada di alam, seperti menara pengamatan, pohon dan semak belukar. Tujuannya adalah agar keberadaan pengamat tidak diketahui oleh merak hijau dan merak hijau tidak merasa terganggu oleh kehadiran pengamat, sehingga dapat memudahkan pengamatan terhadap perilaku merak hijau. Tempat-tempat tersebut untuk setiap lokasi pengamatan berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi saat pengamatan. Saat pengamatan pun pengamat menggunakan kostum yang berbaur dengan alam sekitar untuk tujuan menyamarkan diri agar tidak terlihat oleh merak hijau, yaitu pakaian berwarna dominan gelap. Dalam setiap pengamatan, pengamat dibantu dengan handycam agar setiap aktivitas dapat jelas terlihat dan dapat dilihat ulang ketika menganalisis data. 3.6 Bentuk Perilaku dan Parameternya Perilaku berbiak Perilaku berbiak yang diamati adalah semua aktivitas yang berkaitan dengan berbiak mulai dari pra perkawinan (bercumbu), perkawinan, pasca perkawinan serta pembuatan sarang hingga pengasuhan anak. Aktivitas pra perkawinan (percumbuan) meliputi aktivitas merak hijau betina mendekati merak hijau jantan, aktivitas merak hijau jantan melakukan tarian (display), aktivitas merak hijau betina mengelilingi merak hijau jantan hingga aktivitas merak hijau betina tertarik dengan merak hijau jantan. Aktivitas perkawinan meliputi aktivitas merak hijau betina mendekam, aktivitas merak hijau jantan menaiki punggung merak hijau betina hingga aktivitas kopulasi dan aktivitas merak hijau jantan menuruni

38 17 punggung merak hijau betina. Aktivitas pasca perkawinan meliputi aktivitas merak hijau jantan merontokkan (moulting) bulu hiasnya dan merak hijau betina mencari sarang untuk meletakkan telur-telurnya. Pengamatan perilaku berbiak tidak pada tempat-tempat khusus oleh pengamat karena merak hijau tidak memiliki tempat khusus yang permanen. Namun tempat berlangsungnya perilaku berbiak adalah berupa areal terbuka atau areal yang lebih tinggi dari sekitarnya. Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, waktu mulai dan berakhirnya aktivitas (durasi), frekuensi setiap aktivitas, jumlah individu yang melakukan aktivitas dan kondisi lokasi yang digunakan untuk aktivitas berbiak Perilaku makan Perilaku makan merupakan semua aktivitas yang dilakukan merak hijau yang berkaitan dengan kegiatan mencari, mengambil dan memasukkan bahan makanan ke dalam perut. Pengamatan ini dilakukan mulai merak hijau turun dari pohon tidurnya, sehingga pengamat sudah berada di tempat pengamatan aktivitas makan sekitar pukul WIB. Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, waktu mulai dan berakhirnya aktivitas (durasi), frekuensi setiap aktivitas, jumlah individu yang melakukan aktivitas, jenis yang dimakan dan kondisi lokasi yang digunakan untuk aktivitas makan Perilaku minum Semua aktivitas yang berkaitan dengan mengambil dan menelan air oleh merak hijau. Aktivitas minum merupakan aktivitas yang dilakukan disela-sela aktivitas makan, sehingga pengamatan dan pengambilan data ini dapat bersamaan dengan aktivitas makan. Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, waktu mulai dan berakhirnya aktivitas (durasi), frekuensi setiap aktivitas, jumlah individu yang melakukan aktivitas, sumber air untuk minum dan kondisi lokasi yang digunakan untuk aktivitas minum Perilaku istirahat Perilaku ini terbagi dalam dua aktivitas, yaitu istirahat dan tidur. Perilaku istirahat merupakan perilaku untuk berlindung di siang hari. Pada saat istirahat merak hijau terkadang melakukan berbagai aktivitas tanpa melakukan perjalanan.

39 18 Perilaku tidur yang akan diamati yaitu ketika merak hijau menuju pohon tidur (pohon bertengger), aktivitas yang dilakukan sebelum tidur dan setelah bangun tidur selama di pohon tenggeran. Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, waktu mulai dan berakhirnya aktivitas (durasi), frekuensi setiap aktivitas, jumlah individu yang melakukan aktivitas, pohon yang digunakan dan kondisi lokasi yang digunakan untuk aktivitas istirahat atau tidur. Pencatatan pohon yang digunakan meliputi nama jenis, jumlah, tinggi dan diameter pohon. 3.7 Analisis Data Data utama hasil pengamatan yang berupa perilaku dianalisis melalui teknik penyajian deskriptif, grafik dan persentase. Perhitungan persentase perilaku ditentukan berdasarkan rumus: % 100 % Keterangan: a = frekuensi kejadian perilaku selama 1 jam b = frekuensi kejadian seluruh perilaku yang teramati dalam 1 jam Data durasi perilaku merak hijau yang didapatkan di lapangan dianalisis untuk mendapatkan rataan durasi, ragam contoh dan kisaran durasi dengan menggunakan rumus: ; 1 ; Χ ; Keterangan: χ = Rataan durasi (detik) = Ragam contoh ((detik/hari) 2 ) n = Jumlah ulangan X = Kisaran durasi (detik) t = nilai tabel uji t Untuk mengetahui hubungan antara parameter yang diukur dengan habitat secara kuantitatif dengan menggunakan uji chi kuadrat (χ 2 ) sehingga dapat diketahui dimana suatu hipotesa dapat diterima atau ditolak. Untuk membuat keputusan tersebut perlu perbandingan antara nilai chi kuadrat (χ 2 ) hitung dengan chi kuadrat (χ 2 ) tabel dengan derajat kebebasan dan taraf kesalahan tertentu. Rumus yang digunakan untuk mendapatkan chi kuadrat (χ 2 ) hitung adalah:

40 19 ; Keterangan: O i = frekuensi hasil pengamatan E i = frekuensi yang diharapkan Dalam pengujian hubungan antar parameter yang diukur dan diamati, digunakan hipotesa sebagai berikut: H 0 : tidak ada hubungan antara habitat dengan perilaku merak hijau H 1 : ada hubungan antara habitat dengan perilaku merak hijau Pengambilan keputusan atas uji hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: Jika χ 2 hit > χ 2 tab maka terima H 1 Jika χ 2 hit < χ 2 tab maka terima H 0 Pengujian dilakukan pada selang kepercayaan 99%, dengan derajat bebas (df) = (b-1)x(k-1), dimana b menyatakan baris dan k menyatakan kolom. Melakukan pengujian perbedaan durasi berperilaku antara merak hijau jantan dengan merak hijau betina. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji- F pada derajat bebas (v 1 = n 1 dan v 2 = n 2 ) berdasarkan rumus: Dalam pengujian ragam durasi yang diukur dan diamati, digunakan hipotesa sebagai berikut: H 0 : Durasi perilaku merak hijau jantan dan betina sama dengan kesamaan ragam H 1 : Durasi perilaku merak hijau jantan dan betina berbeda Pengambilan keputusan atas uji hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: Terima H 0 jika F hitung < F tabel Terima H 1 jika F hitung > F tabel

41 20 BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Taman Nasional Alas Purwo Sejarah dan Dasar Hukum Pada masa Hindia Belanda, keseluruhan areal Semenanjung Blambangan ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebagai suaka margasatwa, dengan ketetapan GB. Stbl. No. 456 tanggal 1 September 1939 dengan luas ha yang bernama Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan (SMBS). Kawasan SMBS merupakan salah satu daerah di Jawa Timur yang memiliki satwaliar terbanyak. Pada tahun 1984, SMBS (sekarang TNAP) berada pada wilayah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Baluran dan setelah penunjukan kawasan sebagai kawasan taman nasional pada tahun 1992, TNAP secara administrasi belum terpisah dengan TNB. Pada tahun 1992, melalui SK Menhut Nomor 283/Kpts- II/1992 tanggal 26 Februari 1992 menetapkan Alas Purwo menjadi taman nasional dengan luas ha. Taman Nasional Alas Purwo memiliki administrasi sendiri pada tahun 1997 berdasarkan SK Menhut No. 185/Kpts-II/1997 tentang organisasi dan tata kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional. Berdasarkan SK tersebut Balai Taman Nasional Alas Purwo memiliki tiga Seksi Konservasi Wilayah (SKW) yaitu Rowobendo, Muncar dan Kawah Ijen Keadaan Fisik Kawasan Letak dan Luas Berdasarkan administratif TNAP terletak di Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi. Secara geografis terletak di ujung timur Pulau Jawa wilayah pantai selatan antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Kawasan ini sebelah barat berbatasan dengan kawasan hutan produksi Perhutani, sebelah timur dan utara berbatasan dengan Selat Bali dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia (Gambar 4).

42 21 Sumber: BTNAP (2007) Gambar 4. Peta Taman Nasional Alas Purwo TNAP memiliki luas ha. terdiri dari beberapa zonasi, yaitu: a. Zona Inti (core zone) seluas ha. b. Zona Rimba (wilderness zone) seluas ha. c. Zona Pemanfaatan (intensive use zone) seluas 660 ha. d. Zona Rehabilitasi (buffer zone) seluas 620 ha. e. Zona Pemanfaatan Tradisional (traditional zone) seluas 783 ha Topografi Secara umum kawasan TNAP mempunyai topografi datar, bergelombang ringan sampai berat. Kawasan ini memiliki puncak tertinggi Gunung Lingga Manis dengan ketinggian 322 meter di atas permukaan laut. Daerah pantai melingkar mulai dari Segara Anak (Grajagan) hingga daerah Muncar dengan garis pantai sekitar 105 km (BTNAP 2007) Geologi dan Tanah Formasi geologi terdiri dari batuan berkapur dan batuan berasam yang berumur meosen atas. Pada batuan berkapur terjadi proses karsifikasi tidak sempurna, karena faktor iklim yang kurang mendukung, serta batuan kapur yang

43 22 diperkirakan terintrusi oleh batuan lain. Keadaan tanah hampir keseluruhan merupakan jenis tanah liat berpasir dan sebagian kecil berupa tanah lempung. Di kawasan ini terdapat empat kelompok tanah, yaitu tanah komplek mediteran merah-litosol seluas ha, tanah regosol kelabu seluas ha, tanah grumosol seluas 379 ha dan tanah alluvial hidromorf seluas ha (BTNAP 2007) Hidrologi Sungai di kawasan TNAP umumnya dangkal dan pendek. Pola jaringan sungai radial karena leher semenanjungnya menyempit. Sungai yang mengalir sepanjang tahun hanya tercatat di bagian barat taman nasional yaitu Sungai Segoro Anak dan Sunglon Ombo. Sungai yang ada berupa sungai-sungai kecil. Mata air banyak terdapat di daerah Gunung Kucur, Gunung Kunci, Goa Basori dan Sendang Srengenge (BTNAP 2007) Iklim Rata-rata curah hujan mm/tahun dengan temperatur C, dan kelembaban udara 40-85%. Wilayah TNAP sebelah barat menerima curah hujan lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah sebelah timur. Dalam keadaaan biasa, musim kemarau di TNAP terjadi pada bulan April sampai Oktober dan musim hujan pada bulan Oktober sampai April (BTNAP 2007) Potensi Biotik Secara umum tipe hutan di kawasan TNAP merupakan hutan hujan dataran rendah yang dipengaruhi oleh angin musim. Hutan bambu seluas ± 40% dari luas total hutan merupakan formasi yang dominan. Sampai saat ini telah tercatat sedikitnya 584 jenis tumbuhan yang terdiri dari rumput, herba, semak, liana dan pohon. Berdasarkan tipe ekosistemnya, hutan di TNAP dapat dikelompokkan menjadi hutan bambu, hutan pantai, hutan bakau/mangrove, hutan tanaman, hutan alam dan padang penggembalaan (feeding ground) (BTNAP 2007). Jenis-jenis dominan yang terdapat di hutan pantai adalah ketapang (Terminalia catappa), sawo kecik (Manilkara kauki), waru laut (Hibiscus sp.), keben (Baringtonia asiatica) dan nyamplung (Calophyllum inophyllum). Formasi mangrove didominasi oleh Rhizopora apiculata, R. mucronata, Bruguiera

44 23 sexangula, B. gymnorhyza, Avicenia marina, Xylocarpus granatum, Heriteira littoralis, Sonneratia alba dan S. Caseolaris (BTNAP 2007). Hutan alam dataran rendah didominasi oleh rau (Dracontomelon mangiferum), santen/jaran (Lannea gradis), kedongdong alas (Spondias pinnata), pulai (Alstonia scholaris), legaran (Alstonia villosa), kemiri (Aleurites molucana) dan asam (Tamarindus inidca). Hutan bambu didominasi oleh bambu ampel (Bambusa vulgaris), bambu wuluh (Schizostrachyum blummei), bambu apus (Gigantochloa apus), bambu gesing (Bambusa spinosa), bambu jajang (Gigantochloa nigrociliata), bambu jalar (Gigantochloa scandens), bambu jawa (Gigantochloa vertiliata), bambu kuning (Phyllostachys aurea), bambu petung (Dendrocalamus asper), bambu rampel (Schizostachyum branchyladum), bambu jabal, bambu wulung dan bambu manggong (Gigantochloa manggong) (BTNAP 2007). Keanekaragaman jenis fauna di kawasan TNAP secara garis besar dapat dibedakan menjadi empat kelas yaitu mamalia, aves, pisces dan reptilia. Mamalia yang tercatat sebanyak 31 jenis, diantaranya Banteng (Bos javanicus), Rusa timor (Cervus timorensis), Ajag (Cuon alpinus), Babi hutan (Sus scrofa), Kijang muncak (Muntiacus muntjak), Macan tutul (Panthera pardus), Lutung budeng (Presbytis auratus), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan Biawak air asia (Varanus salvator) (BTNAP 2007). 4.2 Taman Nasional Baluran Sejarah dan Dasar Hukum Baluran pada awalnya dikenal sebagai lokasi perburuan. Pada tahun 1928, Kebun Raya Bogor merintis penunjukan Baluran menjadi suaka margasatwa (SM) atas usulan Ah Loedeboer yang merupakan penguasa wilayah tersebut pada masa itu. Tahun 1937 kawasan Baluran ditetapkan sebagai SM dengan SK Pemerintah Hindia Belanda Nomor 9 tahun 1937 (Lembaran Negara No. 544 tahun 1937). Tujuan dijadikannya kawasan Baluran sebagai SM pada waktu itu adalah untuk melindungi berbagai jenis satwa langka dari kepunahan. Pada tahun 1980 bertepatan dengan hari Pengumuman Strategi Pelestarian Dunia, SM Baluran dideklarasikan oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia sebagai taman nasional.

45 24 Saat ini, Baluran berstatus balai taman nasional yang merupakan UPT dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan yang ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 279/Kpts-VI/1997 tanggal 25 Mei 1997 dan berdasarkan SK Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 51/Kpts/DJ-VI/1987 tanggal 12 Desember Keadaan Fisik Kawasan Letak dan Luas Secara administratif TNB terletak di Kecamatan Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur. Kawasan ini berbatasan dengan Selat Madura di sebelah utara, Selat Bali di sebelah timur, Sungai Bajulmati di sebelah selatan dan Sungai Klokoran di sebelah barat. Secara geografis terletak di antara ' ' Bujur Timur dan 7 45'-7 57' Lintang Selatan dengan luas ha wilayah daratan dan ha wilayah perairan (Gambar 5). Sumber: BTNB (2007) Gambar 5. Peta Taman Nasional Baluran

46 Topografi Kawasan TNB mempunyai topografi yang sangat bervariasi, dari yang landai di daerah pantai sampai berbukit-bukit di kaki gunung, bahkan berupa jurang terjal di puncak Gunung Baluran. Gunung Baluran terdapat di bagian tengah kawasan dalam kondisi sudah tidak aktif lagi. Tinggi dinding kawahnya bervariasi antara m dan membatasi kaldera yang cukup luas. Kawasan TNB mempunyai ketinggian berkisar antara meter di atas permukaan laut. Bentuk topografi datar sampai berombak relatif mendominasi kawasan ini. Dataran rendah di kawasan ini terletak di sepanjang pantai yang merupakan batas kawasan sebelah timur dan utara. Di sebelah selatan dan barat mempunyai bentuk lapangan relatif bergelombang (BTNB 2007) Geologi dan Tanah Tanahnya berasal dari batuan vulkanis yang terdiri atas tanah aluvial dengan kadar tanah liat yang tinggi dan berwarna hitam. Jenis tanah ini bersifat sangat lengket pada musim hujan dan sangat kering hingga pecah dengan kedalaman +10 cm pada musim kemarau (BTNB 2007) Hidrologi Kawasan ini tidak dijumpai sungai yang mengalir sepanjang tahun. Tata airnya sangat miskin, sehingga hanya berair pada musim penghujan dan menjadi kering di musim kemarau. Namun, di kawasan tersebut terdapat dua buah sungai yang sangat besar, yaitu Sungai Bajulmati dan Sungai Klokoran (BTNB 2007) Iklim Kawasan TNB bertipe monsoon yang dipengaruhi oleh angin timur yang kering. Curah hujan berkisar antara mm/tahun, dengan bulan kering per tahun rata-rata 9 bulan. Di antara bulan Agustus sampai dengan Desember bertiup angin cukup kencang dari arah selatan (BTNB 2007) Potensi Biotik Taman Nasional Baluran merupakan satu-satunya kawasan di Pulau Jawa yang memiliki padang savana alamiah. Luas pada savana ha atau sekitar

47 26 40% dari luas kawasan. Kawasan Baluran mempunyai ekosistem yang lengkap yaitu hutan mangrove, hutan pantai, hutan payau atau rawa, hutan savana dan hutan musim (dataran tinggi dan dataran rendah) (BTNB 2007). Tipe hutan mangrove terdapat di daerah pantai utara dan timur kawasan taman nasional seperti di Bilik, Lempuyang, Mesigit, Tanjung Sedano dan Kelor. Pada daerah bakau yang masih baik (Kelor dan Bilik), flora yang umum dijumpai adalah api-api (Avicenia spp.), bogem (Sonneratia spp.) dan bakau (Rhizophora spp.). Pada beberapa tempat dijumpai tegakan murni tinggi (Ceriops tagal) dan bakau (Rhizophora apiculata) (BTNB 2007). Beberapa daerah lain seperti di utara Pandean, Mesigit, sebelah barat Bilik terdapat hutan bakau yang telah rusak. Daerah ini menjadi lumpur yang dalam pada musim hujan, tetapi akan berubah menjadi keras dan kering dengan lapisan garam di permukaan pada musim kering. Sedikit sekali pohon yang tumbuh di sini dan tidak dijumpai tumbuhan bawah. Beberapa jenis yang tumbuh antara lain adalah api-api dan truntun (Lumnitzera racemosa). Menurut hasil inventarisasi penilaian potensi hutan bakau di TNB tahun 1994/1995 di daerah sekitar Bama terdapat salah satu pohon bakau yang diduga terbesar di dunia dengan keliling pohon 450 cm (BTNB 2007). Hutan Payau di TNB merupakan daerah ekoton yang berbatasan dengan savana. Penyebaran hutan ini sebagian besar terdapat di Kalikepuh bagian tenggara dan pada luasan yang lebih kecil terdapat di Popongan, Kelor, bagian timur Bama serta barat laut Gatel. Jenis-jenis pohon yang selalu hijau sepanjang tahun pada hutan ini dijumpai jenis-jenis pohon antara lain malengan (Excoecaria agallocha), manting (Syzigium polyanthumm) dan popohan rengas (Buchacania arborescens) (BTNB 2007). Tipe habitat savana merupakan klimaks kebakaran yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Tipe habitat ini dapat dibedakan ke dalam dua sub tipe, yaitu flat savana (padang rumput alami datar) dan Undulting savana (padang rumput alami bergelombang) (BTNB 2007). Flat savana tumbuh pada tanah alluvial berbatu-batu. Sub tipe savana ini terdapat di bagian tenggara kawasan, yaitu daerah sekitar Plalangan dan Bekol dengan luasan sekitar sampai dengan ha. Sebagian besar dari

48 27 populasi banteng, rusa maupun kerbau liar mempergunakan areal ini untuk merumput. Jenis-jenis rumput yang dominan di daerah ini adalah lamuran putih (Dichantium caricosum), rumput merakan (Heteropogon concortus) dan padipadian (Shorgum nitidus). Beberapa pohon yang menghuni savana antara lain pilang (Acacia leucophloea) dan kesambi (Schleichera oleosa). Khusus padang rumput alami di daerah Bekol seluas 420 ha, saat ini telah ditumbuhi tanaman Acacia nilotica (BTNB 2007). Undulting savana tumbuh pada tanah hitam berbatu-batu. Sub tipe savana ini membujur dari sebelah utara hingga timur laut dengan luas lebih kurang ha. Daerah ini kurang disukai oleh banteng, rusa maupun kerbau liar. Jenis rumput yang dominan adalah merakan putih (Dichantium caricosum). Apabila dibandingkan dengan flat savana, jenis gajah-gajahan (Scherachne punctata) lebih sedikit dan padi-padian lebih banyak. Pohon kesambi, pilang dan bidara tumbuh secara terpencar pada savana ini (BTNB 2007). Hutan monsoon yang terdapat di TNB dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu hutan monsoon dataran rendah dan hutan monsoon dataran tinggi. Daerah transisi kedua hutan ini terletak pada ketinggian meter dari permukaan air laut. Di kawasan TNB juga terdapat tanaman yang dapat dipakai sebagai bahan obat tradisional. Pada kekhasan tumbuhan, TNB memiliki pohon widoro bekol (Zizyphus rotundifolia), tumbuhan lainnya dalam asam (Tamarindus indica), gadung (Dioscorea hispida), pilang (Acacia leucophloea), kemiri (Sterculia foetida), gebang (Corypha utan), talok (Grewia sp), walikukun (Schoutenia ovata), mimbo (Azadirachta indica), kesambi (Schleichera oleosa), lontar (Borassus sp) dan lain-lain (BTNB 2007). Selain flora, TNB memiliki fauna yang beraneka ragam dan secara garis besar terdapat empat kelas yaitu mamalia, aves, pisces dan reptilia. Mamalia besar yang penting terutama dari golongan hewan berkuku antara lain Banteng (Bos javanicus), Kerbau liar (Bubalus bubalis), Rusa timor (Cervus timorensis), Kijang muncak (Muntiacus muntjak), Babi hutan (Sus scrofa dan Sus verrucossus), Macan tutul (Panthera pardus) dan Ajag (Cuon alpinus). Jenis primata yang terdapat di TNB yaitu Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan Lutung budeng (Presbytis aurata) (BTNB 2007).

49 28 Kelas burung yang terdapat di TNB sebanyak 155 jenis, diantaranya terdapat jenis endemik Jawa yaitu Takur tulungtumpuk (Megalaima javensis), endemik Jawa dan Bali yaitu Jalak putih (Sturnus melanopterus) serta Cekakak jawa (Halcyon cyanoventris). Di daerah ini juga terdapat Ayam hutan (Gallus sp.) dan merak hijau. Dari kelas pisces belum banyak diketahui informasinya, walaupun demikian terdapat jenis yang memiliki nilai ekonomis yaitu Bandeng (Chanos chanos). Reptilia besar tidak banyak dijumpai pada daerah ini. Jenis penting yang terdapat di sekitar pantai adalah Biawak air asia (Varanus salvator) (BTNB 2007).

50 29 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 5.1 Perilaku Berbiak Habitat Berbiak Sadengan, Rowobendo dan Gunting merupakan lokasi yang teramati merak hijau TNAP berbiak (Gambar 6a, 6b dan 6c). Ketiga lokasi tersebut memiliki tipe habitat yang berbeda, Sadengan merupakan tipe habitat padang rumput dengan tepian hutan, Rowobendo merupakan tipe habitat hutan alam, sedangkan Gunting merupakan tipe habitat hutan tanaman jati yang terdapat areal tumpangsari yang berada pada wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan. Akan tetapi ketiga lokasi tersebut memiliki areal terbuka yang akan didatangi merak hijau sebagai tempat berlangsungnya aktivitas berbiak. Luas areal terbuka di ketiga lokasi tersebut beragam ukuran dari mulai 2 ha hingga 20 ha. (a) (b) (c) Gambar 6. Lokasi berbiak merak hijau di TNAP dan TNB; (a) padang rumput Sadengan, (b) hutan alam Rowobendo, (c) hutan tanaman jati Gunting dan (d) savana Bekol. Lokasi lainnya yang dijadikan sebagai tempat penelitian perilaku berbiak merak hijau berada di TNB. Bekol, Manting dan hutan Evergreen merupakan tiga (d)

51 30 lokasi di TNB yang digunakan merak hijau sebagai tempat melakukan aktivitas berbiak. Bekol merupakan tipe habitat savana yang di dalamnya terdapat bak air minum sebagai sumber air buatan saat musim kemarau datang (Gambar 6d). Daerah Manting merupakan tipe habitat hutan pantai di resort Bama. Sementara itu, hutan Evergreen merupakan tipe habitat hutan yang selalu hijau sepanjang tahunnya. Walaupun ketiga lokasi tersebut berbeda tipe habitat, akan tetapi ketiganya memiliki areal terbuka tempat berlangsungnya aktivitas berbiak merak hijau Musim Berbiak Merak hijau berbiak satu kali dalam satu tahun. Merak hijau berbiak pada musim kemarau, yaitu pada bulan yang bercurah hujan dan jumlah hari hujan terendah dalam satu tahun. Berdasarkan pengamatan pada tahun 2007 di TNAP merak hijau berbiak berkisar pada bulan September sampai dengan bulan November, sedangkan di TNB merak hijau berbiak berkisar pada bulan Oktober sampai dengan bulan Desember (Gambar 7 dan 8). Hal ini berhubungan dengan strategi merak hijau dalam menghadapi ketersediaan pakan, yaitu diharapkan telur-telur merak hijau akan menetas saat sebelum musim penghujan tiba, sehingga tumbuhan telah kembali hijau dan pakan akan tercukupi untuk anakan merak hijau yang baru menetas. Proses berbiak merak hijau terdiri atas tiga tahap, yaitu pra kawin, kawin dan pasca kawin. Proses pra kawin ditandai dengan merak hijau jantan melakukan tarian (display) dan suara khas musim berbiak yang dikeluarkannya. Proses kopulasi ditandai oleh naiknya merak hijau jantan ke atas punggung merak hijau betina hingga terjadinya kopulasi. Merak hijau jantan akan merontokkan bulu hiasnya dan merak hijau betina akan mengerami telurnya pada masa pasca kawin.

52 Jumlah Curah Hujan Bulan (mm) Musim Berbiak Merak hijau di TNAP Musim Berbiak Merak hijau di TNB Bulan Pengamatan TNAP TNB Gambar 7. Grafik curah hujan tahun 2007 di wilayah Tegaldlimo (TNAP) dan Bajul Mati (TNB) (Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2007) Jumlah Hari Hujan Musim Berbiak Merak hijau di TNAP Musim Berbiak Merak hijau di TNB Bulan Pengamatan TNAP TNB Gambar 8. Grafik hari hujan tahun 2007 di wilayah Tegaldlimo (TNAP) dan Bajul Mati (TNB) (Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2007) Aktivitas berbiak merak hijau berlangsung lebih awal di TNAP dibandingkan dengan merak hijau di TNB (Gambar 9). Aktivitas berbiak diawali dengan merak hijau melakukan display. Di TNAP aktivitas display berlangsung

53 32 sejak awal bulan Juni hingga awal Desember, sementara di TNB berlangsung pada pertengahan bulan Juni hingga akhir bulan Desember. Aktivitas perkawinan ditandai dengan suara khas dan kopulasi antara merak hijau jantan dan betina yang berlangsung pada bulan September hingga Desember di TNAP dan bulan Oktober hingga Desember di TNB. Aktivitas bersarang atau bertelur berlangsung tidak jauh dari proses kopulasi, di TNAP dan TNB merak hijau bersarang berlangsung hingga bulan Januari (Gambar 9). Gambar 9. Grafik rentang waktu beberapa perilaku saat musim berbiak merak hijau di TNAP dan TNB Perilaku berbiak merak hijau bersifat musiman atau hanya terjadi satu kali dalam satu tahun, yaitu pada musim kemarau menjelang musim penghujan. Mackinnon (1990) menyatakan bahwa musim berbiak merak hijau di Jawa Timur dan Jawa Barat dari bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober. Dua peneliti lainnya menyebutkan musim berbiak merak hijau di TNB diawali pada bulan Oktober dan diakhiri pada bulan Desember (Pattaratuma 1977) dan bulan Januari (Hernowo 1995). Perilaku berbiak berlangsung menjelang musim penghujan berkaitan dengan ketersediaan pakan. Karena saat awal musim penghujan tumbuhan akan menghijau kembali. Perrins dan Birkhead (1983) dalam Dwisatya (2006) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mendorong burung untuk melakukan perkembangbiakan adalah ketersediaan pakan.

54 33 Dwisatya (2006) menyebutkan bahwa pemicu musim kawin merak hijau dicirikan oleh perubahan struktur dan fisiologi gonad. Hal ini mempertegas pernyataan Immelmann (1983) bahwa musim kawin satwa dipengaruhi oleh siklus hormonal tubuhnya dan siklus hormonal dipengaruhi lingkungan. Carthy (1979) dalam Dwisatya (2006) menyatakan bahwa cahaya, suhu dan kelembaban merupakan faktor eksternal untuk menentukan kapan saat yang tepat untuk melangsungkan kawin. Perilaku berbiak merak hijau terjadi pada kisaran bulan September hingga November di TNAP dan bulan Oktober hingga Desember di TNB yang merupakan bulan dengan curah dan jumlah hari hujan yang sangat rendah dibandingkan bulan-bulan lainnya, sehingga merak hijau membutuhkan intensitas cahaya yang banyak untuk membantu dalam proses display dan pengeraman telur-telurnya. Proses berbiak merak hijau terdiri dalam tiga tahap, yaitu pra kawin, kawin dan pasca kawin. Dwisatya (2006) membagi perilaku berbiak merak hijau dalam beberapa tahapan, yaitu tahap pre-display, tahap display, tahap kopulasi (kawin), tahap post-kopulasi dan pengeraman Perilaku Display Perilaku display merupakan ciri awal akan dimulainya perkawinan. Perilaku display dilakukan oleh merak hijau jantan saat bulu hiasnya mulai tumbuh. Perilaku ini bertujuan untuk menarik perhatian merak hijau betina dan menunjukkan kematangan secara seksual terhadap merak hijau betina maupun merak hijau jantan lainnya (Gambar 10). Perilaku display dimulai berkisar 1-3 bulan sebelum terjadinya proses perkawinan. Di TNAP awal perkawinan berlangsung pada bulan September dan di TNB berlangsung sekitar bulan Oktober. Di TNAP perilaku display dimulai pada bulan Juni, sedangkan di TNB sekitar bulan Juli.

55 34 (a) Gambar 10. Perilaku display merak hijau; (a) merak hijau jantan display di depan merak hijau betina, (b) merak hijau jantan display di depan merak hijau jantan lainnya Proses display diawali dengan tubuh merak hijau jantan membungkuk ditopang oleh kedua kakinya yang membengkok, diikuti dengan leher yang dilengkungkan membentuk huruf S serta mengembangkan bulu-bulunya. Kedua sayap dikembangkan dan diturunkan hingga tungkai kaki. Bulu hias didirikan dengan cara menegakkan bulu ekornya yang berfungsi juga sebagai penopang beban bulu hias. Bulu hias dimekarkannya dengan cara menggoyangkan tubuhnya hingga berbentuk kipas raksasa atau setengah lingkaran sempurna, bulu hias yang mekar ditopang oleh bulu ekor dan kedua sayapnya (Gambar 11). (b) (a) (b) Gambar 11. Perilaku display merak hijau; (a) posisi awal, (b) posisi sempurna. Saat display untuk menarik perhatian merak hijau betina, merak hijau jantan juga melakukan putaran patah-patah diiringi dengan hentakan kaki ke permukaan saat merak hijau betina mendekatinya. Gerakan ini dilakukan ketika merak hijau betina ingin melihat merak hijau jantan tampak depan. Namun, merak hijau jantan selalu berputar membelakanginya, sehingga merak hijau betina

56 35 hanya dapat melihat bagian belakang merak hijau jantan. Akan tetapi merak hijau jantan akan berputar secara mendadak, sehingga menghasilkan posisi berhadapan dan akan menggetarkan bulu hiasnya hingga mengeluarkan bunyi gemerisik. Suara gemerisik tersebut dihasilkan oleh resonansi antara bulu hias satu dengan bulu hias lainnya yang melengkung-lengkung seperti gelombang akibat digetarkan. Selain menggetarkannya, merak hijau akan merundukkan bulu hiasnya seakanakan menyentuh permukaan yang dipijaknya. Hal tersebut akan dilakukan berulang hingga merak hijau betina menerima tariannya atau menjauhinya. Aktivitas merak hijau betina pada saat merak hijau jantan melakukan display bervariasi. Merak hijau betina yang tertarik pada tarian merak hijau jantan akan mendekatinya dengan berputar mengelilingi merak hijau jantan yang sedang display. Adapun merak hijau betina yang tidak tertarik akan melanjutkan aktivitasnya seperti makan, mandi debu, menelisik dan minum (Gambar 12). (a) (b) Gambar 12. Aktivitas merak hijau betina ketika merak hijau jantan display: (a) makan, (b) berputar mengelilingi merak hijau jantan. Perilaku display diakhiri dengan cara menurunkan bulu hias langsung ke belakang ataupun ke sisi kanan atau kiri tubuh dengan bantuan bulu ekor seperti menutup kipas. Posisi kepala merundukkan dan memanjangkan ke depan seolaholah seperti gerakan mematuk makanan di permukaan tanah. Setelah bulu hias diturunkan, kepala akan ditegakkan dan kedua sayap akan ditarik ke posisi semula. Aktivitas ini akan diakhiri dengan perilaku menelisik bulu untuk merapikan bulubulunya (Gambar 13).

57 36 (a) (b) (c) Gambar 13. Proses akhir perilaku display, dilihat searah jarum jam berurutan dari (a)-(b)-(d)-(c). Merak hijau jantan melakukan aktivitas display setelah turun dari dan sebelum naik ke tempat tidurnya. Waktu berlangsungnya aktivitas display terbagi dalam dua kategori yaitu pagi dan sore hari. Di TNAP, aktivitas display berlangsung pada pukul WIB dan berkisar antara pukul WIB. Aktivitas display di TNB berkisar antara pukul WIB dan berlangsung pada pukul WIB. Merak hijau jantan melakukan aktivitas display paling banyak frekuensinya pada pukul WIB di TNAP dan pukul WIB di TNB (Gambar 14). Pada pagi hari aktivitas display di TNAP akan bertambah frekuensinya seiring bertambahnya waktu hingga pukul WIB. Hal ini, berbanding terbalik dengan TNB yang semakin menurun frekuensi aktivitas display hingga pukul WIB. Akan tetapi, waktu aktivitas display sore hari baik di TNAP maupun di TNB memiliki frekuensi sejajar, yaitu mengalami peningkatan pada pukul WIB dan menurun kembali pada pukul WIB. Secara umum, merak hijau jantan di TNB melakukan display rerata 10 kali per jantan per hari, sedangkan merak hijau jantan di TNAP hanya rerata 5 kali per hari melakukan display. (d)

58 Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) TNAP TNB Gambar 14. Grafik frekuensi perilaku display per hari merak hijau jantan di TNAP dan TNB Durasi aktivitas display merak hijau jantan berbeda-beda berdasarkan tipe habitat di TNAP maupun TNB. Durasi rerata terlama di TNAP terdapat di hutan tanaman jati Gunting Perhutani Banyuwangi Selatan, diikuti padang rumput Sadengan dan hutan Rowobendo dengan nilai durasi secara berurutan sebesar 3482 detik/hari, 2851 detik/hari dan 2264 detik/hari. Di TNB, hutan pantai Manting memiliki durasi aktivitas display terlama, diikuti savana Bekol dan hutan evergreen dengan nilai durasi secara berurut sebesar 2992 detik/hari, 2785 detik/hari dan 1606 detik/hari (Tabel 1). Tabel 1. Rekapitulasi durasi perilaku display merak hijau di TNAP dan TNB Lokasi Durasi Rerata (detik/hari) Ragam Waktu (detik/hari) 2 Durasi Min. (detik/hari) Durasi Maks. (detik/hari) TNAP Padang rumput Sadengan Hutan tanaman jati Gunting *) Hutan Rowobendo TNB Savana Bekol Hutan pantai Manting Hutan evergreen Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan Merak hijau jantan biasa melakukan aktivitas display pada areal yang lebih terbuka dibandingkan dengan areal sekitarnya. Areal terbuka yang dibutuhkan

59 38 oleh merak hijau jantan minimal berukuran dua kali panjang bulu hiasnya atau sekitar 3x3 meter. Areal terbuka tersebut terkadang memiliki penutupan lahan berupa rerumputan, tumbuhan bawah ataupun tanah. Ketinggian rumput dan tumbuhan bawah tempat merak hijau jantan melakukan aktivitas display tidak akan melebihi tinggi kaki merak hijau jantan tersebut. Frekuensi aktivitas display merak hijau jantan berbeda pada tiap tipe habitat (Gambar 15). Merak hijau hutan tanaman jati Gunting melakukan aktivitas display lebih sering dibandingkan dua loksi lainnya di TNAP. Frekuensi aktivitas display merak hijau di hutan tanaman jati Gunting sebesar 10 kali per individu per hari, sedangkan di padang rumput Sadengan dan hutan Rowobendo secara berurut sebanyak delapan dan tujuh kali per individu per hari. Di TNB, aktivitas display merak hijau di atas enam kali per individu per hari. Frekuensi terbesar terjadi di hutan pantai Manting, yaitu merak hijau melakukan aktivitas display sebanyak 16 kali per individu per hari Rerata frekuensi per hari Padang Rumput Hutan Tanaman Jati Hutan Rowobendo Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen TNAP TNB Tipe Habitat Gambar 15. Grafik frekuensi harian perilaku display merak hijau di beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB Merak hijau melakukan aktivitas display lebih sering terlihat di padang rumput Sadengan dan hutan tanaman jati Gunting daripada hutan Rowobendo, sedangkan di TNB aktivitas display merak hijau paling sedikit ditemukan di hutan evergreen daripada savana Bekol dan hutan pantai Manting. Namun, hal ini tidak

60 39 berarti perilaku display dipengaruhi tipe habitat, karena berdasarkan uji chi-square terhadap frekuensi dan durasi bahwa perilaku display merak hijau tidak terpengaruh oleh tipe habitat baik di TNAP maupun TNB (χ = 0.000, P = 9.210). Nilai tersebut menunjukkan bahwa merak hijau memiliki peluang melakukan aktivitas display yang sama pada setiap tipe habitat baik di TNAP maupun TNB. Merak hijau jantan melakukan aktivitas display pada termpat terbuka sebagai bentuk strateginya. Tipe habitat di TNAP dan TNB tidak mempengaruhi perilaku display, akan tetapi habitat padang rumput di TNAP dan savana di TNB lebih berpeluang menyediakan tempat terbuka, sehingga merak hijau jantan akan melakukan aktivitas display di padang rumput maupun savana. Mengingat terbuka memiliki peluang dikunjungi oleh merak hijau betina. Perilaku display termasuk dalam perilaku percumbuan (courtship). Perilaku display merupakan perilaku pra kawin merak hijau yang dilakukan merak hijau jantan bertujuan untuk menarik perhatian merak hijau betina agar bersedia melakukan perkawinan. McFarland (1987) dalam Dwisatya (2006) menyatakan bahwa percumbuan adalah sebagai permulaan untuk menarik pasangan. Merak hijau melakukan perilaku display merupakan bentuk strategi dalam keberlangsungan hidupnya untuk dapat bereproduksi dengan memanfaatkan bulu indah yang dimilikinya. McFarland (1987) dalam Dwisatya (2006) menyatakan bahwa burung memiliki indera penglihatan dan pendengaran lebih berkembang daripada indera penciuman, sehingga secara umum burung menarik pasangan dengan tarian dan kicauan atau panggilan. Perilaku display dilakukan sebagai strategi seleksi merak hijau guna mendapatkan pejantan dan betina siap kawin yang berkualitas, sehingga menghasilkan keturunan yang bermutu dengan tingkat keselamatan yang tinggi maka akan terjamin keberlangsungan hidup keturunannya. Hal ini didukung oleh pernyataan Dwisatya (2006) bahwa display sangat penting dalam pengenalan intraspesies untuk menghindari perkawinan silang dan merupakan cara jantan dalam menyebabkan kesiapan betina untuk melakukan kopulasi yang bertepatan dengan terjadinya kopulasi yang memungkinkan berlangsungnya pembuahan. Selain itu, percumbuan meminimalkan resiko perkawinan silang dan menjamin

61 40 perkawinan hanya terjadi dengan individu spesies yang sama (McFarland 1987 dalam Dwisatya 2006). Merak hijau jantan akan melakukan perilaku display saat ada atau tidak ada merak hijau betina di dekatnya, bahkan sering kali dilakukan di depan merak hijau jantan lainnya. Pattaratuma (1977) menyebutkan bahwa saat awal musim percumbuan merak hijau jantan akan berusaha mencari merak hijau betina, lalu akan display setelah menemukannya. Hal ini dipertegas oleh Hernowo (1995) bahwa merak hijau jantan berperilaku display ketika melihat merak hijau betina. Maryanti (2007) berpendapat bahwa aktivitas display dilakukan apabila merak hijau betina mendekat untuk menarik perhatiannya, namun terkadang juga dilakukan di depan merak hijau jantan yang lain untuk menunjukkan kejantanannya pada merak hijau jantan lain. Saat melakukan display, merak hijau jantan akan mengkombinasikan beberapa gerakan seperti berbalik, berputar dan menggerisikkan bulu hiasnya. Hal ini merupakan strategi untuk menambah rangsangan seksual bagi merak hijau betina yang berada didekatnya. Merak hijau jantan akan membelakangi merak hijau betina yang diliriknya, kemudian akan membalikkan tubuhnya ketika merak hijau betina mendekatinya, sehingga memberi kesan keterkejutan dengan memperlihatkan bulu hias bagian depan yang indah penuh warna. Grzimek s (1972) menyatakan bahwa merak jantan tidak pernah merayu merak betina secara langsung, tetapi segera membalikkan tubuhnya ketika merak betina mendekatinya. Gerakan lain yang dilakukan merak hijau jantan saat display adalah berputar dan menggerisikkan bulu hiasnya. Hal ini bertujuan agar bulu hiasnya mendapatkan pencahayaan dari berbagai sudut, sehingga menambah keindahan bulunya dari efek pencahayaan dan penggetaran bulu hias menambah indah akibat ocelus yang terlihat banyak dan berkilauan. Anonim dalam Dwisatya (2006) menyatakan bahwa struktur dua dimensi berlapis-lapis pada bulu hias merak memiliki perbedaan luas antara lapisan satu dengan yang lainnya memantulkan cahaya-cahaya yang berlainan, sehingga warna yang dihasilkan menjadi bermacam-macam. Karena ini merupakan strategi merak hijau dalam hal pewarisan kondisi tersebut kepada keturunannya, sehingga keturunannya akan berhasil dalam bereproduksi.

62 41 Selama penelitian diketahui merak hijau jantan melakukan display pada pukul dan WIB di TNAP, sedangkan di TNB berlangsung pada pukul dan WIB. Hasil penelitan lainnya menyebutkan bahwa di TNAP merak hijau jantan melakukan aktivitas display pada pukul dan WIB (Maryanti 2007) serta pada pukul dan WIB (Sativaningsih 2005). Waktu-waktu yang digunakan merak hijau untuk melakukan aktivitas display merupakan waktu di mana intensitas cahaya matahari banyak tetapi tidak panas. Hal ini bertujuan supaya mendapatkan hasil maksimal dengan memamerkan bulu hiasnya yang indah akibat terkena cahaya yang maksimal tanpa menghilangkan energi yang berlebih akibat kepanasan. Merak hijau lebih sering melakukan aktivitas display pada pagi hari daripada sore hari. Hal ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan energi yang digunakan untuk melakukan aktivitas display. Pada waktu pagi, merak hijau memiliki energi yang lebih besar serta kondisi intensitas cahaya maksimal dengan angin yang tidak besar. Namun, di sore hari merak hijau jantan akan merasa lelah setelah melakukan aktivitas di pagi dan siang hari, sehingga energinya berkurang serta angin besar yang mengganggu kesempurnaan display. Durasi rerata perilaku display pada beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB beragam. Sama halnya dengan hasil penelitian Maryanti (2007) menyebutkan bahwa durasi aktivitas display merak hijau di TNAP dan TNB beragam. Namun, hal ini tidak berarti tipe habitat mempengaruhi perilaku display. Karena berdasarkan uji chi-square menunjukkan nilai χ 2 hitung lebih kecil dari χ 2 tab baik di TNAP maupun TNB yang berarti tipe habitat tidak mempengaruhi perilaku display. Terdapat faktor lain yang mempengaruhi durasi aktivitas display, seperti kondisi cuaca, keberadaan merak hijau betina dan keberadaan jantan pesaing. Hernowo (1995) menyatakan bahwa perilaku display tidak hanya dilakukan untuk menarik perhatian betina tetapi juga merupakan tanda pada jantan lainnya pada saat sedang menunjukkan tariannya. Aktivitas ini berlangsung selama 2-5 menit, tetapi aktivitas display yang bertujuan untuk menarik perhatian betina bisa berlangsung lebih dari 7 menit bahkan sampai 30 menit.

63 42 Merak hijau jantan biasa melakukan aktivitas display pada areal yang lebih terbuka dan datar dibandingkan dengan areal sekitarnya terkadang dengan topografi yang lebih tinggi. Pemilihan tempat tersebut merupakan strategi merak hijau jantan agar mudah terlihat oleh merak hijau betina dan dapat mengawasi merak hijau jantan pesaingnya serta tempat terbuka lebih berpeluang untuk didatangi oleh merak hijau betina. Maryanti (2007) menyebutkan biasanya merak hijau jantan melakukan display di tempat terbuka dan terkena sinar matahari, hal ini merupakan strategi merak hijau jantan untuk menghasilkan gradasi warna di bulu hiasnya karena sinar matahari memiliki spektrum warna yang berbeda dan bila mengenai suatu benda akan berubah warna. Winarto (1993) menyatakan bahwa aktivitas tarian hanya dilakukan pada tempat-tempat yang terbuka di antara waktu makan dan istirahat. Areal terbuka yang dibutuhkan oleh merak hijau jantan minimal berukuran dua kali panjang bulu hiasnya atau sekitar 3x3 meter. Areal terbuka tersebut terkadang memiliki penutupan lahan berupa rerumputan, tumbuhan bawah ataupun tanah. Ketinggian rumput dan tumbuhan bawah tempat merak hijau jantan melakukan aktivitas display tidak akan melebihi tinggi kaki merak hijau jantan tersebut. Sesuai dengan yang diungkapkan Winarto (1993), areal terbuka tempat display berdiameter tiga meter dengan tidak ditumbuhi vegetasi pada tingkat pohon, sapihan ataupun semak bahkan sering dilakukan di jalan-jalan beraspal. Hal ini diikuti oleh Hernowo (1995) yang menyatakan merak memilih tempat yang datar sebagai tempat menari, biasanya tempat ini pada daerah yang sedikit berumput, semak dan beberapa pohon. Sativaningsih (2005) menjelaskan bahwa merak hijau jantan di padang penggembalaan Sadengan memilih tempat yang terbuka, bersih, tanahnya rata atau datar Perilaku Suara Aktivitas bersuara dilakukan oleh merak hijau jantan dan betina baik dewasa, remaja maupun anakan. Perilaku bersuara merak hijau merupakan strategi dalam berkomunikasi, yaitu sebagai tanda keberadaaan dirinya maupun satwaliar lainnya dan penandaan kematangan siap kawin. Suara sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya perkawinan, karena suara sebagai salah satu alat pemikat merak hijau jantan terhadap merak hijau betina.

64 43 Saat musim berbiak datang, merak hijau mengeluarkan suara khas yang hanya dikeluarkan oleh jantan. Terdapat dua tipe suara yang menjadi ciri khas musim berbiak, yaitu suara seperti kucing ngeeyaaoow ; mahaaoow atau eewaaoow serta suara seperti rem kendaraan bermotor sheeiikks. Tipe suara lain yang tercatat selama penelitian di TNAP dan TNB adalah auwo, kokokok, tk tk tk, krooow, ngook dan wii wii wii. Total tipe suara merak hijau yang ditemukan sebanyak delapan tipe suara. Kedelapan tipe suara merak hijau yang tercatat pada saat penelitian memiliki arti tersendiri untuk setiap tipe suaranya, yaitu: 1) Tipe I : auwo Suara tipe I merupakan tipe suara umum yang dikeluarkan merak hijau, baik merak hijau jantan maupun betina. Tipe suara ini bervariasi dari satu kali hingga empat kali bersuara. Pengeluaran suara tipe I merupakan bentuk ekspresi dari strategi merak hijau dalam memberi tanda akan keberadaannya dan untuk mencari keberadaan individu lainnya. Seringkali merak hijau bersuara auwo ketika terdengar suara lain yang mengejutkan atau ribut tetapi tidak membahayakan, seperti suara gemuruh mesin pesawat terbang, suara mesin dan klakson kendaraan bermotor serta suara satwaliar yang berkelahi. Merak hijau betina lebih sering mengeluarkan suara variasi dua kali ( auwo auwo ), yaitu terdengar 7.25 kali per individu per hari di hutan tanaman jati Gunting dan kali per individu per hari di savana Bekol TNB, sedangkan merak hijau jantan lebih sering mengeluarkan suara variasi tiga kali ( auwo auwo auwo ), seperti yang terdengar di padang rumput Sadengan TNAP sebesar 3.50 kali per individu per hari dan sebanyak 3.82 kali per individu per hari di savana Bekol TNB (Tabel 2). Tabel 2. Frekuensi suara tipe I di TNAP dan TNB per individu per hari auwo 1x auwo 2x auwo 3x auwo 4x Lokasi TNAP Sadengan Gunting *) Rowobendo TNB Bekol Manting Evergreen Keterangan : = jantan; = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan

65 44 2) Tipe II : kokokok Secara umum, suara tipe II dikeluarkan oleh merak hijau saat terbang, baik itu karena mendapat gangguan atau saat akan turun dari pohon maupun naik ke pohon. Namun, suara ini dikeluarkan juga ketika pagi hari yaitu saat bangun dari tidur serta dikeluarkan juga saat lari akibat dikejar individu lain atau satwa lain dan dikeluarkan akibat merak hijau tersebut melihat individu lain dalam keadaan bahaya. Suara tipe II ini lebih sering dikeluarkan oleh merak hijau betina di TNAP, seperti merak hijau betina di padang rumput Sadengan TNAP yang memiliki frekuensi 0.19 dan 1.50 kali per individu per hari. Namun, di TNB suara tipe ini berimbang baik merak hijau jantan maupun betina, seperti di hutan pantai Manting merak hijau jantan mengeluarkan suara auwo kokokok sebanyak 2.40 kali per individu per hari, sedangkan merak hijau betina hanya 1.80 kali per individu per hari. Hal ini berbalik jika dilihat di hutan evergreen, dimana merak hijau jantan tidak bersuara namun merak hijau betina mengeluarkan suara auwo kokokok sebanyak 2.60 kali per individu per hari. Suara tipe II memiliki variasi suara, yaitu gabungan antara suara tipe I dan II yang berbunyi auwo kokokok. Variasi auwo kokokok ini memiliki makna yang sama dengan suara kokokok, namun terkadang suara ini digunakan untuk mengetahui individu lainnya. Variasi auwo kokokok lebih sering terdengar dibandingkan suara kokokok (Tabel 3). Tabel 3. Frekuensi suara tipe II di TNAP dan TNB per individu per hari kokokok auwo kokokok Lokasi TNAP Sadengan Gunting *) Rowobendo TNB Bekol Manting Evergreen Keterangan : = jantan; = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan 3) Tipe III : tk tk tk Suara tipe ini menunjukan bahwa merak hijau sedang mencurigai sesuatu, tetapi kecurigaannya itu belum sampai pada taraf terganggu atau berbahaya bagi dirinya. Aktivitas ini sering bersamaan dengan aktivitas makan sambil

66 45 berjalan. Tipe suara ini memiliki tiga variasi diantaranya tk tk tk, tk tk tk kokokok dan tk tk tk krooow. Tipe suara ini dikeluarkan oleh merak hijau betina. Di TNAP, tipe suara III paling sering terdengar di hutan tanaman jati Gunting, yaitu suara tk tk tk, tk tk tk kokokok dan tk tk tk krooow secara berurut sebanyak 0.31, 0.06 dan 0.56 kali per individu per hari. Suara tipe III di TNB lebih sering terdengar di savana Bekol, yaitu sebanyak 0.91 dan 0.09 kali per individu per hari untuk variasi tk tk tk dan tk tk tk krooow (Tabel 4). Tabel 4. Frekuensi suara tipe III di TNAP dan TNB per individu per hari tk tk tk tk tk tk kokokok tk tk tk krooow Lokasi TNAP Sadengan Gunting *) Rowobendo TNB Bekol Manting Evergreen Keterangan : = jantan; = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan 4) Tipe IV : krooow Suara tipe IV memiliki makna yang hampir sama dengan suara tipe III, yaitu merupakan sinyal mencurigai sesuatu. Namun, tipe ini mengindikasikan curiga terhadap suatu yang dapat membahayakannya. Variasi yang sering terdengar dari tipe ini adalah suara krooow dibandingkan suara krooow kokokok. Hal ini terlihat di TNAP dan TNB, merak hijau betina di kedua lokasi tersebut mengeluarkan variasi tipe suara tersebut, yaitu di padang rumput Sadengan dan hutan tanaman jati Gunting sebanyak 0.19 kali per individu per hari, hutan Rowobendo sebanyak 0.22 kali per individu per hari, savana Bekol sebanyak 0.09 kali per individu per hari serta hutan pantai Manting dan hutan evergreen sebanyak 0.20 kali per individu per hari (Tabel 5). Merak hijau jantan hanya terdengar di hutan Rowobendo dan savana Bekol mengeluarkan suara krooow kokokok sebanyak 0.11 dan 0.18 kali per individu per hari.

67 46 Tabel 5. Frekuensi suara tipe IV di TNAP dan TNB per individu per hari Lokasi krooow krooow kokokok TNAP Sadengan Gunting *) Rowobendo TNB Bekol Manting Evergreen Keterangan : = jantan; = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan 5) Tipe V : ngook Suara tipe V memiliki makna beragam. Di TNAP, suara ini terdengar di padang rumput Sadengan yang dikeluarkan oleh merak hijau betina yang sedang jalan saat tertinggal oleh kelompoknya, yaitu sebayak 0.06 kali per individu per hari. Untuk suara yang terdengar di hutan tanaman jati Gunting, merak hijau jantan terlihat bersuara saat akan melakukan display sebanyak 0.19 kali per individu per hari, sedangkan merak hijau betina yang mengeluarkan suara ngook terlihat sedang mengamati merak hijau betina lainnya kawin sebanyak 0.19 kali per individu per hari. Di TNB, suara ini dikeluarkan oleh merak hijau jantan saat akan melakukan display, yaitu sebanyak 0.36 kali per individu per hari di savana Bekol dan di hutan pantai Manting sebanyak 0.50 kali per individu per hari. Sementara itu, merak hijau betina bersuara saat akan menuju bak minum di savana Bekol sebanyak 0.09 kali per individu per hari dan sebanyak 0.10 kali per individu per hari sedang berteduh di bawah pohon di hutan pantai Manting (Tabel 6). Tabel 6. Frekuensi suara tipe V di TNAP dan TNB per individu per hari ngook Lokasi TNAP Sadengan Gunting *) Rowobendo TNB Bekol Manting Evergreen Keterangan : = jantan; = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan

68 47 6) Tipe VI : eewaaoow Tipe suara ini hanya dikeluarkan oleh merak hijau jantan pada saat musim berbiak. Di TNAP, suara ini terdengar pada awal bulan September, sedangkan di TNB terdengar pada bulan Oktober. Suara tipe VI bermakna bahwa merak hijau jantan tersebut siap untuk kawin. Suara panggilan ini dilakukan baik sedang display atau disela-sela aktivitas lain. Terdapat tiga variasi dari tipe suara ini, yaitu eewaaoow, maahaaoow dan ngeeyaaoow. Tipe suara ini paling sering terdengar di hutan tanaman jati Gunting TNAP sebanyak 1.56 sampai 5.50 kali per individu per hari, sedangkan di TNB suara ini lebih sering terdengar di hutan pantai Manting, yaitu sebanyak kali per individu per hari (Tabel 7). Tabel 7. Frekuensi suara tipe VI di TNAP dan TNB per individu per hari Lokasi eewaaoow maahaaoow ngeeyaaoow TNAP Sadengan Gunting *) Rowobendo TNB Bekol Manting Evergreen Keterangan : *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan 7) Tipe VII : sheeiikks Tipe suara ini merupakan suara khas yang dikeluarkan pada musim berbiak selain suara tipe VI. Suara tipe ini lebih dapat dijadikan sebagai patokan kematangan seksual merak hijau jantan, karena selama penelitian suara ini hanya terdengar dari merak hijau jantan yang kawin. Suara tipe VII dikeluarkan pada saat merak hijau jantan akan naik ke atas punggung merak hijau betina dan saat merak hijau melakukan aktivitas display. Di TNAP, suara sheeiikks terdengar di padang rumput Sadengan sebanyak 0.38 kali per individu per hari dan hutan tanaman jati Gunting sebanyak 0.13 kali per individu per hari. Di kedua lokasi tersebut hanya terdengar saat kawin, yaitu saat merak hijau jantan akan naik ke atas ke punggung merak hijau betina. Namun, suara sheeiikks di TNB terdengar saat display dan kawin, yaitu di savana Bekol sebanyak 0.45 kali per individu per hari dan di hutan pantai Manting sebanyak 1.70 kali per individu per hari (Tabel 8).

69 48 Tabel 8. Frekuensi suara tipe VII di TNAP dan TNB per individu per hari Lokasi sheeiikks TNAP Sadengan 0.38 Gunting *) 0.13 Rowobendo 0.00 TNB Bekol 0.45 Manting 1.70 Evergreen 0.00 Keterangan : *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan 8) Tipe VIII : wi wi wi Suara tipe VIII merupakan suara yang dikeluarkan oleh anakan merak hijau. Suara wi wi wi adalah suara pertama yang dikeluarkan oleh merak hijau saat keluar dari cangkang telurnya. Suara tipe ini hanya terdengar di TNB, yaitu hasil sitaan petugas dari pencari telur merak hijau. Secara umum, perilaku suara merak hijau merupakan perilaku pembuka dan penutup aktivitas hariannya. Merak hijau bersuara di TNAP dimulai pada pukul sampai dengan WIB, sedangkan di TNB merak hijau bersuara dimulai dari pukul sampai dengan WIB (Gambar 16 dan 17). Di TNAP, merak hijau lebih sering bersuara pada pagi hari dari pukul WIB dan sore hari pada pukul WIB, sedangkan merak hijau di TNB bersuara pada pagi hari dari pukul WIB dan sore hari pada pukul WIB. Suara auwo lebih banyak terdengar pada pukul WIB dan WIB (ke atas) di TNAP dan TNB. Merak hijau jantan di TNAP memiliki frekuensi seimbang antara suara auwo dan eewaaoow (Gambar 16b). Berbeda dengan merak hijau jantan di TNB yang memiliki frekuensi suara eewaaoow lebih banyak dibandingkan suara auwo (Gambar 17b). Selain itu, suara eewaaoow di TNAP lebih banyak terdengar pada pukul WIB sedangkan di TNB suara eewaaoow lebih banyak terdengar pada pukul WIB. Suara tk tk tk merupakan tipe suara yang dikeluarkan oleh merak hijau betina, karena merak hijau betina hidup berkelompok, sehingga saling mengingatkan akan bahaya yang datang. Suara ini paling banyak terdengar pada pukul WIB baik di TNAP maupun TNB (Gambar 16a dan 17a). Hal ini

70 49 berkaitan dengan aktivitas manusia dan satwa lain mulai beraktivitas pada tempat yang sama. Tipe suara kokokok di TNAP terdengar mulai pukul WIB pada pagi hari dan WIB pada sore hari untuk merak hijau betina, sedangkan merak hijau jantan bersuara pada pagi hari pukul WIB dan sore hari pukul WIB (Gambar 16). Di TNB tipe suara kokokok terdengar pada pagi hari pukul WIB dan pukul WIB pada sore hari baik merak hijau jantan maupun merak hijau betina (Gambar 17). Tipe suara sheeiikkss terdengar di TNAP dan TNB (Gambar 16b dan 17b). Di TNAP, suara tersebut hanya terdengar di pagi hari berkisar pada pukul 04.00, dan WIB. Sementara itu, suara sheeiikks terdengar pada pagi dan sore hari di TNB. Pagi hari hari suara tersebut terdengar pada pukul WIB, sedangkan sore hari suara sheeiikks terdengar pada pukul WIB saja. Aktivitas suara merak hijau pada pukul WIB baik di TNAP maupun TNB merupakan frekuensi terendah (Gambar 16 dan 17). Hal ini berkaitan dengan aktivitas istirahat yang dilakukannya pada selang waktu tersebut, sehingga merak hijau mengurangi bersuara agar keberadaannya tidak diketahui oleh predator. Tipe suara yang terdengar pada selang waktu tersebut antara lain, tipe suara auwo, kokokok dan eewaaoow. Dari ketiga tipe suara tersebut merak hijau betina yang sering mengeluarkan suara auwo pada selang waktu siang hari dari pukul WIB. Tipe suara krooow hanya dikeluarkan oleh merak hijau betina baik di TNAP maupun TNB (Gambar 16 dan 17). Suara krooow frekuensi tertinggi di TNAP terjadi hanya pada pagi hari pada pukul dan pukul WIB. Di TNB, tipe suara krooow terdengar di pagi hari pada pukul WIB dan sore hari pada pukul dan pukul WIB.

71 Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) auwo kokokok tk tk tk krooow ngook (a) 1.6 Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) auwo kokokok tk tk tk krooow ngook eewaaoow sheeiikks (b) Gambar 16. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku suara merak hijau di TNAP; (a) merak hijau betina, (b) merak hijau jantan

72 Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) auwo kokokok tk tk tk krooow ngook (a) 4.5 Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) auwo kokokok tk tk tk krooow ngook eewaaoow sheeiikks (b) Gambar 17. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku suara merak hijau di TNB; (a) merak hijau betina, (b) merak hijau jantan Tipe suara yang terdengar memiliki jumlah yang berbeda di tiap habitat. Tipe suara terlengkap terdengar di savana (Gambar 18). Hutan Rowobendo merupakan tipe habitat yang memiliki jumlah dan frekuensi tipe suara terendah per harinya dibandingkan tipe habitat lainnya. Tipe suara auwo frekuensi

73 52 paling banyak terdengar di savana. Frekuensi tipe suara tk tk tk terbanyak di hutan tanaman jati dan savana sebanyak 1.00 kali per hari. Sementara itu, tipe suara eewaaoow dan tipe suara sheeiikks frekuensi terbanyak terdengar di hutan pantai Rerata frekuensi per hari Padang Rumput Hutan Tanaman Jati Hutan Rowobendo Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen TNAP Tipe Habitat auwo kokokok tk tk tk krooow ngook eewaaoow sheeiikks Gambar 18. Grafik frekuensi harian perilaku suara merak hijau di beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB Hasil uji chi-square terhadap tipe suara merak hijau menunjukkan bahwa di TNAP yang diwakili dengan tipe habitat padang rumput, hutan tanaman jati dan hutan Rowobendo memiliki nilai ( χ = 3.796, P = 9.210). Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi tipe suara akan sama pada tipe habitat yang berbeda. Di TNAP, frekuensi tipe suara yang terdengar di padang rumput Sadengan, areal tumpangsari, dan hutan Ngagelan memiliki peluang yang sama. Berbeda halnya di TNB yang diwakili dengan tipe habitat savana, hutan pantai dan evergreen memiliki pengaruh terhadap aktivitas bersuara merak hijau (χ = , P < 0.01). Frekuensi suara merak hijau akan berlainan pada setiap tipe habitat yang berbeda di TNB, dalam hal ini pada habitat savana Bekol, hutan pantai Manting dan hutan evergreen. Suara merupakan strategi merak hijau untuk saling berkomunikasi antar individu untuk menandai dan mengetahui keberadaan. Frekuensi suara merak hijau di TNAP berpeluang sama karena merak hijau di TNAP akan berkumpul di TNB

74 53 areal terbuka pada habitat padang rumput, hutan tanaman jati dan hutan alam untuk beraktivitas sepanjang hari selama musim berbiak. Berbeda halnya dengan merak hijau di TNB yang hidup menyebar luas pada habitat yang relatif terbuka. Sebanyak 40% kawasan TNB adalah savana (BTNB 2007). Dapat dikatakan perilaku suara merupakan strategi merak hijau di TNB untuk menemukan individu lainnya, terutama merak hijau jantan dalam mencari merak hijau betina di saat musim berbiak. Suara sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya perkawinan, karena suara sebagai salah satu alat pemikat dan pengenal karakteristik diri bagi merak hijau jantan terhadap merak hijau betina. Seperti yang diungkapkan Pough et al. (1979) dalam Dwisatya (2006) bahwa aktivitas suara berfungsi sebagai alat pemikat merak betina, melalui suara merak jantan berupaya menunjukkan keberadaannya, selain itu kicauan atau nyanyian dapat menunjukkan spesies, jenis kelamin dan teritori serta mungkin memberitahu kecakapannya yang dapat digunakan dalam memperoleh pasangan. Hernowo (1995) menyebutkan bahwa merak hijau jantan mengeluarkan suara khas saat musim kawin. Pattaratuma (1977) menyatakan saat musim kawin merak jantan mengeluarkan suara kay-yaw, kay-yaw, kay-yaw serta saat bulan kawin mengeluarkan suara kay-yaw, ngaa aw. Selama penelitian terdapat dua tipe suara yang menjadi ciri khas musim berbiak, yaitu suara seperti kucing ngeeyaaoow ; mahaaoow atau eewaaoow serta suara seperti rem kendaraan bermotor sheeiikks. Immelman (1983) menyatakan bahwa satwa mengeluarkan suara-suara yang khas atau dikenal dengan auditory atraction. Tipe suara VI telah banyak diterangkan oleh beberapa penelitian sebelumnya sebagai penanda musim kawin. Jenis suara khas saat musim kawin yang dikeluarkan oleh merak hijau adalah ngeeyaaoow...ngeeyaaoow... atau eewaaaoow...eewaaaoow... (Winarto 1993; Hernowo 1995; Maryanti 2007). Namun, tipe suara VII atau sheeiikks belum pernah tercatat sebagai jenis suara merak hijau. Tipe suara ini sering dianggap sebagai suara yang dikeluarkan akibat merak hijau jantan menggerisikkan bulu hiasnya, padahal suara ini terdengar saat merak hijau jantan akan naik ke atas punggung betina (akan terjadi kopulasi). Hal ini membuat tipe suara tersebut dapat dijadikan sebagai ciri khas merak hijau

75 54 jantan siap kawin. Karena berdasarkan penelitian Dwisatya (2006) yang dilakukan di taman burung Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menyebutkan merak jantan mengeluarkan vokalisasi ngiiikk sebagai tipe suara kopulasi saat merak betina berdiri di depanya dan duduk di tanah sebagai tanda bahwa merak jantan siap untuk kopulasi. Tercatat delapan tipe suara saat pengamatan di TNAP dan TNB. Suarasuara yang terdengar tersebut merupakan alat komunikasi antar merak hijau baik dewasa atau anakan. Perilaku bersuara bisa dilakukan oleh semua individu merak hijau jantan dan betina (baik dewasa maupun remaja) bahkan anakan (Winarto 1993; Hernowo 1995; Maryanti 2007). Tipe suara I merupakan tipe suara yang lebih sering terdengar di beberapa tipe habitat baik di TNAP maupun TNB. Karena tipe suara I merupakan tipe suara umum yang dikeluarkan oleh seluruh struktur umur merak hijau. Hernowo (1995), Sativaningsih (2005) dan Maryanti (2007) menyebutkan jenis suara umum merak hijau adalah auwo. Tipe suara auwo merupakan suara umum untuk komunikasi antar merak hijau (Hernowo 1995). Secara umum, merak hijau jantan lebih sering mengeluarkan suara daripada merak hijau betina. Grizemks (1972) bahwa kedua jenis kelamin samasama menghasilkan suara namun merak jantan melakukannya lebih sering dibandingkan dengan merak betina. Secara keseluruhan merak hijau mengeluarkan suara sejak bangun dari tidurnya hingga kembali tidur baik di TNAP maupun TNB. Selama pengamatan merak hijau di TNAP bersuara dari pukul hingga WIB, sedangkan di TNB merak hijau bersuara sejak pukul hingga WIB. Karena perilaku bersuara merupakan salah satu perilaku sosial dalam rangka untuk menjalin komunikasi antar individu dan antar kelompok (Winarto 1993). Walaupun merak hijau melakukan aktivitas bersuara seharian, baik di TNAP maupun TNB frekuensi bersuara merak hijau berbeda-beda di setiap waktunya. Suara merak hijau lebih terdengar saat pagi dan sore hari dibandingkan siang hari. Waktu bersuara merak hijau di TNAP untuk pagi hari pukul WIB dan sore hari pukul WIB (Maryanti 2007). Namun di TNB waktu bersuara merak hijau untuk pagi hari pada pukul WIB (Winarto 1993), WIB (Hernowo 1995) dan WIB

76 55 (Maryanti 2007), sedangkan untuk sore hari pada pukul WIB (Winarto 1993; Hernowo 1995) dan WIB (Maryanti 2007). Pada siang hari merak hijau lebih banyak berteduh untuk istirahat, sehingga jarang mengeluarkan suara untuk menghindari predator dan pengganggu lainnya. Frekuensi perilaku bersuara yang dikeluarkan merak hijau berbeda-beda pada setiap tipe habitat terutama antara lokasi TNAP dan TNB. Merak hijau TNB lebih sering terdengar bersuara daripada merak hijau TNAP. Hal ini tidak terpengaruhi oleh habitat TNB yang memiliki tajuk renggang sedangkan TNAP bertajuk rapat. Namun, dipengaruhi oleh keberadaan individu merak itu sendiri. Merak hijau TNAP saat musim kawin terkonsentrasi pada areal terbuka seperti padang rumput dan areal tumpangsari sebagai tempat konsentrasi makan, sedangkan merak hijau TNB memiliki pola tersebar dan hanya berkumpul saat akan minum. Hal tersebut menyebabkan merak hijau TNB lebih sering mengeluarkan suara sebagai strategi untuk mengetahui keberadaan individu lain serta memberitahu keberadaannya. Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan frekuensi suara adalah keberadaan satwaliar lainnya. Karena beberapa tipe suara dikeluarkan ketika terjadi gangguan atau kecurigaan terhadap sesuatu. Merak hijau bersuara untuk berkomunikasi dengan sesama jenisnya baik untuk menandakan keberadaan, mencurigai sesuatu atau suara yang menandakan keterkejutan (Maryanti 2007). Frekuensi perilaku bersuara merak hijau di TNAP tidak dipengaruhi oleh tipe habitat tetapi frekuensi suara di TNB dipengaruhi oleh tipe habitat. Hal ini dikarenakan habitat di TNB yang menyediakan tempat terbuka yang luas membuat merak hijau hidup secara menyebar tidak seperti di TNAP yang hidup secara mengelompok Perilaku Kawin Perilaku kawin merupakan ekspresi dari satu atau dua individu yang saling tertarik untuk melakukan aktivitas seksual. Perilaku kawin merak hijau terjadi saat merak hijau betina menerima percumbuan dari merak hijau jantan. Secara umum, tahapan perilaku kawin diawali dengan tanda kesediaan dan kesiapan dari merak hijau betina untuk melakukan kopulasi yang diawali dengan posisi mendekam di depan merak hijau jantan dengan posisi membelakanginya. Setelah

77 56 merak hijau betina mendekam, merak hijau jantan akan maju mendekat untuk naik di atas punggung merak hijau betina dengan diawali dengan suara sheeiikks. Saat di atas punggung, merak hijau jantan akan bergerak ke kiri dan ke kanan agar mendapatkan posisi yang sempurna untuk melakukan kopulasi. Setelah terjadi kopulasi merak hijau jantan akan turun dari punggung merak hijau betina dengan cara jalan mundur dan bergerak menjauh dari merak hijau betina. Merak hijau memiliki beberapa pola dalam berperilaku kawin. Perilaku kawin merak hijau ada yang didahului dengan aktivitas display maupun tanpa display. Perilaku kawin tanpa display terjadi setelah merak hijau jantan turun dari pohon tidurnya, lalu diawali dengan bersahutan suara dengan merak hijau betina (Gambar 19a). Bersahutan suara hanya berlangsung dalam hitungan menit, lalu merak hijau betina meluncur turun ke arah tempat merak hijau jantan berada (Gambar 19b). Merak hijau jantan berlari mendekat ke tempat mendarat merak hijau betina dengan posisi leher tegak lurus dan kepala digoyangkan ke depan ke belakang serta sesekali melakukan lompatan rendah hingga merak hijau betina mendarat di dekat merak hijau jantan (Gambar 19c). Saat mendarat merak hijau betina akan merundukkan badan sambil menekuk kaki (posisi mendekam) ketika merak hijau jantan mendekatinya, setelah itu merak hijau jantan akan naik ke atas punggung merak hijau betina (Gambar 19d dan 19e). Dalam posisi di atas punggung merak hijau betina, merak hijau jantan akan mendekam dan merapat sambil menghentak-hentakkan kaki dan merentangkan sayap ke bawah serta bulu hiasnya untuk memantapkan posisi agar seimbang (Gambar 19f dan 19g). Setelah posisi ideal, merak hijau betina akan mengangkat bulu ekornya dan merak hijau jantan akan menurunkan bulu ekor dan bulu hiasnya untuk menempelkan anus ke dubur merak hijau betina (kopulasi) dengan memiringkan badan ke kiri atau ke kanan (Gambar 19h). Merak hijau jantan akan kembali pada posisi awal saat pertama naik ke punggung merak hijau betina setelah kopulasi dan perlahan turun dari punggung merak hijau betina lalu lari menjauh dari merak hijau betina (Gambar 19i, 19j, 19k dan 19l). Setelah merak hijau jantan turun dari punggungnya, merak hijau betina akan melanjutkan aktivitas lain baik menelisik maupun makan. Pada pola perilaku kawin tersebut terdapat variasi akhir dari merak hijau jantan, yaitu merak

78 57 hijau jantan akan melanjutkan dengan aktivitas display untuk menarik perhatian merak hijau betina lainnya atau melanjutkan dengan aktivitas makan atau menelisik. (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) (k) (l) Gambar 19. Tata urutan perilaku kawin merak hijau jantan di padang rumput Sadengan TNAP tanpa perilaku display: (a) bersuara, (b) berlari, (c) mendekat, (d) naik, (e)-(f)-(g) mengatur posisi, (h) kopulasi (i)-(j)-(k) turun dan (l) meninggalkan merak hijau betina. Pola perilaku kawin lainnya adalah perilaku kawin yang didahului dengan aktivitas display yang dilakukan merak hijau jantann untuk menarik perhatian merak hijau betina. Pola ini diawali dengan aktivitas display merak hijau jantan ketika melihat kelompok merak hijau betina, lalu merak hijau betina akan mendekati merak hijau jantan tersebut. Merak hijau jantan akan menari berputar- mengelilingi merak hijau tersebut hingga salah satu merak hijau betina tertarik putar memperlihatkan keelokan tariannya dan merak hijau betina akan berputar

79 58 dan menerima ajakan kawin dari merak hijau jantan, yang ditandai dengan mendekamnya merak hijau betina dihadapan merak hijau jantan (Gambar 20a, 20b dan 20c). (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) (k) Gambar 20. Tata urutan perilaku kawin merak hijau jantan di padang rumput Sadengan TNAP diawali dengan perilaku display: (a) display, (b) betina tertarik, (c) betina mendekam, (d) jantan naik, (e)-(f)-(g) mengatur posisi, (h) kopulasi, (i)-(j) jantan turun, (k)-(l) display kembali. Ketika merak hijau betina mendekam, merak hijau jantan melangkah ke depan naik ke atas punggung merak hijau betina dan menyeimbangkan tubuh pada posisi ideal dengan bantuan dari bulu hias dan sayap yang diturunkan ke bawah (Gambar 20d dan 20e). Setelah posisi seimbang dan ideal, merak hijau jantan akan menurunkan bulu ekor dan bulu hiasnya agar dapat menempelkan anusnya ke dubur merak hijau betina (kopulasi) dengan cara memiringkan tubuh ke kiri (l)

80 59 dan ke kanan untuk menyempurnakan kopulasi (Gambar 20f dan 20g). Kopulasi terjadi dengan ditandai bulu hias direbahkan hingga menyentuh tanah (Gambar 20h). Proses kopulasi merak hijau sangat cepat, lalu merak hijau jantan akan menyeimbangkan tubuhnya kembali dan turun dari punggung merak hijau betina dengan posisi bulu hias tetap terbuka lebar serta merak hijau betina berdiri dan pergi meninggalkan kerumunan (Gambar 20i, 20j dan 20k). Merak hijau jantan melakukan display terhadap merak hijau betina lainnya setelah proses kopulasi terjadi (Gambar 20l). Pola perilaku kawin ini memiliki variasi di akhir aktivitas seperti pola sebelumnya, yaitu setelah kopulasi merak hijau jantan akan melakukan display atau melakukan aktivitas lainnya seperti makan maupun menelisik. Hanya ditemukan enam merak hijau jantan yang kawin dari populasi rerata merak hijau di TNAP dan TNB secara berurut adalah sebesar 76.5 dan 61.8 individu (Risnawati 2007). Merak hijau yang melakukan perkawinan ialah tiga merak hijau jantan di TNAP dan tiga merak hijau jantan lainnya di TNB. Setiap merak hijau jantan yang kawin memiliki strategi yang berbeda dalam menarik perhatian merak hijau betina. Di padang rumput Sadengan terdapat lima individu merak hijau jantan dewasa (Risnawati 2007). Namun hanya dua individu yang melakukan aktivitas perkawinan, satu individu melakukan kopulasi sebanyak enam kali dan yang lainnya satu kali kopulasi selama pengamatan. Merak hijau jantan yang melakukan enam kali kopulasi merupakan merak hijau jantan dominan yang menguasai sebagian besar luasan areal padang rumput Sadengan terutama pada tempat makan dan minum merak hijau betina, sehingga merak hijau jantan tersebut memiliki peluang lebih besar untuk melakukan kopulasi karena setiap merak hijau jantan lain datang ke arealnya akan diusir pergi. Populasi merak hijau jantan dewasa di hutan tanaman jati Gunting sebanyak tiga individu (Risnawati press.com. 2007). Selama pengamatan hanya terlihat satu individu yang melakukan perkawinan. Hal ini dikarenakan merak hijau jantan di hutan tanaman jati Gunting tersebut melakukan pengaturan jarak (distance mechanisme) antar sesama. Jarak antar merak hijau jantan lebih dari

81 m menjadikan peneliti sulit mengamati merak hijau jantan lainnya, dimana kondisi lokasi berupa tumpangsari dengan tegakan jati dan tumbuhan bawah yang cukup lebat, sehingga membatasi jarak pandang. Namun terdengar juga suara sheeiikks di lokasi merak hijau jantan lainnya, hal ini diduga bahwa merak hijau jantan lain pun melakukan perkawinan. Merak hijau jantan di TNB memiliki strategi yang tidak jauh berbeda dengan merak hijau jantan di TNAP. Di savana Bekol terdapat dua individu merak hijau jantan yang melakukan kopulasi. Merak hijau jantan yang satu menguasai bak minum buatan dan merak hijau jantan lainnya menguasai jalur perlintasan merak hijau betina menuju bak minum buatan. Sementara itu, merak hijau jantan di hutan pantai Manting melakukan strategi menjaga jarak (distance mechanisme) antar sesama. Dari enam merak hijau jantan yang ditemukan berbiak terlihat bahwa perkembangbiakan merak hijau yang dimulai dari percumbuan sampai terjadinya kopulasi dilakukan pada waktu pagi hari berkisar antara pukul WIB. Di TNAP ditemukan tiga merak hijau jantan berbiak, yaitu dua merak hijau jantan di padang rumput Sadengan dan satu merak hijau jantan di hutan tanaman jati Gunting. Kisaran waktu kopulasi di TNAP antara pukul WIB (Tabel 9). Di hutan tanaman jati Gunting waktu terjadinya kopulasi relatif lebih siang di bandingkan waktu kopulasi di padang rumput Sadengan, yaitu pukul dan WIB. Tabel 9. Waktu terjadinya kopulasi merak hijau di TNAP dan TNB Waktu Kopulasi (WIB) Lokasi TNAP TNB Keterangan: Pasangan TNAP 1-6 (jantan I) dan pasangan TNAP 7 (jantan II) di padang rumput Sadengan; Pasangan TNAP 8-9 (jantan III) di hutan tanaman jati Gunting; Pasangan TNB 1-4 (jantan I) di hutan pantai Manting; Pasangan TNB 5 (jantan II) dan pasangan TNB 6-7 (jantan III) di savana Bekol Aktivitas kopulasi di TNB terlihat di hutan pantai Manting dan savana Bekol. Di TNB merak hijau yang kawin memiliki sebaran waktu kopulasi yang tidak berbeda jauh di tiap lokasinya, yaitu WIB (Tabel 9). Ditemukan tiga merak hijau jantan yang kopulasi, yaitu dua merak hijau jantan di savana Bekol dan satu merak hijau jantan di hutan pantai Manting. Di hutan

82 61 pantai Manting lebih banyak terlihat merak hijau yang kopulasi dibandingkan di savana Bekol, yaitu terjadi pada pukul WIB, WIB, WIB dan WIB. Perilaku kawin merak hijau berdurasi sangat singkat. Durasi setiap lokasi berbeda-beda baik di TNAP maupun TNB (Tabel 10). Di TNAP, merak hijau memiliki durasi perilaku kawin relatif seragam, yaitu sebesar 13 detik/hari di padang rumput Sadengan dan 11 detik/hari di hutan tanaman jati Gunting. Dengan variasi durasi padang rumput Sadengan yang lebih beragam daripada hutan tanaman jati Gunting. Hutan pantai Manting memiliki durasi terlama, yaitu sebesar 18 detik/hari, jika dibandingkan dengan savana Bekol di TNAP yang hanya sebesar 10 detik/hari. Hal ini berbanding lurus dengan ragam waktu perilaku kawin yang dimiliki kedua lokasi tersebut. Hal ini menandakan bahwa penggunaan waktu perilaku kawin di hutan pantai Manting lebih beragam atau bervariasi daripada savana Bekol. Nilai durasi rerata aktivitas kawin yang dimiliki merak hijau di hutan pantai Manting bernilai dua kali lipat dari durasi rerata merak hijau, hal ini dikarenakan selama pengamatan merak hijau di hutan pantai Manting melakukan perkawinan rerata dua kali per hari. Tabel 10. Rekapitulasi durasi perilaku kawin merak hijau di TNAP dan TNB Lokasi Durasi Rerata (detik/hari) Ragam Waktu (detik/hari) 2 Durasi Min. (detik/hari) Durasi Maks (detik/hari) TNAP Padang rumput Sadengan Hutan tanaman jati Gunting *) Hutan Rowobendo TNB Savana Bekol Hutan pantai Manting Hutan evergreen Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan Frekuensi aktivitas kawin merak hijau di TNAP tidak terpengaruh dengan tipe habitat baik padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo ( χ = 0.117, P = 9.210). Begitu pula dengan lamanya merak hijau di TNAP melakukan aktivitas kawin tidak terpengaruh oleh tipe habitat ( χ = 0.010, P = 9.210). Akan tetapi selama pengamatan merak hijau lebih sering dijumpai sedang kawin di padang rumput Sadengan dan hutan tanaman jati Gunting.

83 62 Sedangkan, di hutan Rowobendo tidak dijumpai meskipun lokasinya cukup memadai. Hal ini disebabkan oleh frekuensi merak hijau pergi ke hutan Rowobendo cukup sedikit. Merak hijau lebih terfokus di padang rumput dan hutan tanaman jati yang memiliki tempat terbuka yang lebih berpeluang dikunjungi oleh merak hijau betina. Merak hijau melakukan aktivitas kawin di TNB selama pengamatan hanya dijumpai di savana Bekol dan hutan pantai Manting. Namun frekuensi dan lamanya aktivitas kawin merak hijau tidak berpengaruh nyata oleh tipe habitat di TNB ( χ = 0.343, P = 9.210) dan ( χ = 0.034, P = 9.210). Di hutan evergreen tidak ditemukan merak hijau yang melakukan kawin karena banyaknya aktivitas manusia yang melewati akses jalan utama yang membelah hutan evergreen baik petugas, pekerja dan pengunjung, sehingga merak hijau di hutan evergreen sulit dijumpai akibat peka terhadap aktivitas manusia. Proses kawin (kopulasi) terjadi ketika merak hijau betina menerima rayuan dari merak hijau jantan. Grizemks (1972) menyatakan bahwa kopulasi tidak akan terjadi tanpa ada persetujuan dari merak betina. Tahap awal kopulasi terjadi ketika merak hijau betina mendekam di depan merak hijau jantan, lalu merak hijau jantan naik ke atas punggung merak hijau betina. Kemudian merak hijau jantan akan mematuk kepala merak hijau betina dengan tujuan memberikan ketenangan serta dengan mengatur posisi anus merak jantan terhadap dubur merak betina maka terjadilah kopulasi. Hidayat (1996) dalam Ayat (2002) menyatakan perilaku kawin ditandai dengan terjadinya kopulasi yaitu mulai naiknya jantan ke atas betina dengan posisi jantan mematuk kepala betina. Perilaku kawin merak hijau dilakukan pada pagi hari, yaitu pukul WIB di TNAP dan pukul WIB di TNB. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang mendukung seperti cahaya yang cerah dan hangat, angin tidak kencang serta kondisi tubuh yang masih bugar setelah istirahat semalaman. Dwisatya (2006) menyatakan bahwa kopulasi lebih banyak terjadi pada pagi hari karena pada pukul matahari lebih cepat redup dan tenaga telah banyak digunakan untuk beraktivitas sepanjang pagi hingga siang. Tempat terjadinya proses perkawinan merupakan tempat biasa merak hijau jantan tersebut melakukan aktivitas display dan tempat yang telah dikuasainya

84 63 sejak awal musim berbiak hingga berakhirnya musim berbiak. Tempatnya berupa areal terbuka dan bersih dari tumbuhan bawah. Selama pengamatan ditemukan sebanyak tiga merak hijau jantan di TNAP dan tiga merak hijau jantan di TNB yang melakukan aktivitas perkawinan. Strategi yang digunakan merak hijau jantan di kedua lokasi tersebut memiliki kesamaan yaitu menguasai sumberdaya (pakan atau minum), sehingga memiliki peluang yang lebih besar untuk kawin. Wilayah yang dikuasainya hanya sesaat atau half-time territory yaitu penguasaan wilayah teritori hanya pada saat musim berbiak saja. McFarland (1987) dalam Dwisatya (2006) menyatakan bahwa betina akan memilih jantan yang teritorinya kaya pakan dan tempat bersarang yang memadai. Proses kopulasi merak hijau sangat cepat baik di TNAP maupun TNB, yaitu berdurasi rerata detik. McFarland (1993) menyatakan bahwa kopulasi pada jenis burung berlangsung singkat. Hasil penelitian Dwisatya (2006) di TMII mendapatkan proses kopulasi secara keseluruhannya berlangsung singkat, hanya dalam hitungan detik yaitu antara 9-24 detik. Durasi maupun frekuensi aktivitas kawin sama pada beberapa tipe habitat baik di TNAP maupun TNB. Hal ini dipertegas dengan hasil uji chi-square yang menunjukkan nilai χ 2 hitung lebih kecil dari χ 2 tab berarti perilaku kawin tidak dipengaruhi oleh tipe habitat. Faktor yang mempengaruhi proses perkawinan, diantaranya: 1) Keadaan cuaca, 2) Kecepatan angin, 3) Aktivitas satwa lain, 4) Faktor internal merak hijau (kesiapan kawin), 5) Jumlah merak hijau betina, 6) Jumlah merak hijau jantan pengganggu, 7) Predator, 8) Ketidaksempurnaan fisik, dan 9) Gangguan aktivitas manusia Perilaku Pasca Kawin Merak hijau jantan pada pasca perkawinan akan merontokkan bulu hiasnya setelah hujan turun (Gambar 21). Perontokan bulu hiasnya tidak serentak seluruhnya, namun secara bertahap yaitu dari bulu hias yang terpanjang. Waktu

85 64 yang dibutuhkan untuk merontokkan seluruh bulu hiasnya selama satu bulan. Perontokkan bulu hias ini merupakan strategi merak hijau jantan untuk mengurangi beban bawaan akibat bulu yang basah serta akan memudahkan bergerak apabila ada predator. Gambar 21. Merak hijau jantan yang merontokkan bulu hiasnya di hutan tanaman jati Gunting, TNAP Pasca perkawinan merak hijau betina akan membuat sarang dan bertelur. Masa bersarang atau bertelur ditandai dengan merak hijau betina yang mulai memisahkan diri dari kelompoknya setelah dibuahi merak hijau jantan. Saat penelitian, sarang dan telur merak hijau hanya ditemukan di TNB. Sebanyak tiga buah sarang yang ditemukan, dua sarang ditemukan di bawah pohon talok (Grewia elioarpa) HM 45 dan pohon akasia duri (Acacia leucophloea) diantara lamuran (Polytrias amaura) HM 113 jalan Batangan-Bekol serta satu sarang ditemukan di areal semak belukar di antara tumbuhan bawah putri malu (Mimosa pudica) dan tembelekan (Eupatorium odoratum) (Gambar 22). (a) (b) (c) Foto by: Widyantoro Gambar 22. Sarang dan telur merak hijau di TNB, (a) HM 45, (b) HM 113 dan (c) di antara semak belukar Sarang merak hijau berupa tanah cekung berbentuk elips dengan ukuran berkisar antara x cm pada areal terbuka berserasah yang sedikit ditumbuhi vegetasi pada tingkat pohon dan sapihan serta terkena sedikit sinar matahari agar selalu hangat. Berdasarkan tiga sarang yang ditemukan, jumlah

86 65 telur per sarang berkisar antara 3-5 buah. Ukuran rerata telur merak hijau 73.86x54.71 mm (n = 7). Akhir musim berbiak merak hijau ditandai dengan datangnya musim penghujan. Merak hijau jantan yang telah melakukan perkawinan akan merontokkan bulu hiasnya akibat sering menyentuh permukaan tanah yang basah, sehingga membuat bulu menjadi basah, kusam dan rentan akan kutu dan kuman. Selain itu, akibat basah berat bulu akan bertambah, sehingga memperlambat gerakan merak itu sendiri dan banyak menghabiskan energi. Sementara itu, merak hijau betina pasca kawin memisahkan diri dari kelompoknya untuk membuat sarang dan bertelur. Sarang merak hijau berupa tanah cekung berbentuk elips dengan ukuran berkisar antara x cm (n = 3) pada areal terbuka berserasah yang sedikit ditumbuhi vegetasi pada tinggat pohon dan sapihan serta terkena sedikit sinar matahari agar selalu hangat. Winarto (1993) dan Hernowo (1995) menyatakan bahwa sarang merak hijau berbentuk oval. Serta Hernowo (1995) menambahkan bahwa merak hijau bersarang diantara semak dan rerumputan di areal terbuka sedikit pohon. Blake (1993) dalam Dwisatya (2006) menyebutkan bahwa merak hijau betina normal menghasilkan enam butir telur dan akan dieraminya selama 26 sampai dengan 30 hari, namun biasanya selama 28 hari. Setelah telur menetas, induk merak hijau betina anak memelihara anakan merak (Gambar 23). Anakan merak hijau saat berumur satu bulan sudah dapat tidur di atas pohon bersama induknya (Adjir press.com. 2007). Gambar 23. Anakan merak hijau berumur empat hari.

87 Perilaku Harian pada Musim Berbiak Perilaku Makan Perilaku makan merak hijau merupakan kegiatan mendapatkan pakan dan menelannya dalam rangka memenuhi kalori (energi) yang cukup untuk kebutuhan aktivitasnya seharian. Merak hijau memiliki cara makan beragam untuk mendapatkan pakan. Secara umum, merak hijau mendapatkan pakannya dengan cara mematuk dengan paruhnya secara berulang sambil berjalan baik secara berkelompok maupun soliter (Gambar 24a). Variasi lain cara merak hijau makan antara lain melompat-lompat, mendekam dan naik ke atas pohon pakannya bahkan sesekali terlihat mengais-ngais tanah (Gambar 24b, 24c dan 24d). (a) (b) (c) Gambar 24. Cara makan merak hijau, (a) berjalan, (b) melompat, (c) mendekam dan (d) naik ke atas pohon. Variasi cara makan dipengaruhi oleh sumber pakan merak hijau. Sumber pakan merak hijau berasal dari serangga, rerumputan dan tumbuhan bawah serta daun maupun buah tumbuhan tingkat tinggi. Di TNAP sumber pakan merak hijau diantaranya tekirawa (Cyperus rotundus), paitan (Paspalum conjugatum), kirinyuh (Eupatorium odoratum), cabai rawit (Caspium frutescens), grinting (Cynodon dactylon) dan lamuran (Polytrias amaura). Sementara itu, sumber (d)

88 67 pakan merak hijau di TNB diantaranya cemplak (Abutilon crispum), kapasan (Thespesia sp.), tarum (Indigofera glandulosa), serut (Streblus asper), sokdoy (Azima sarmentosa) dan jerukan (Glucosmis cochinchinensis) (Tabel 11). Tabel 11. Sumber pakan merak hijau di TNAP dan TNB Bagian No Nama yang Tingkat Lokasi dimakan Vegetasi Jenis Lokal Dn Bb 1 Cyperus rotundus Tekirawa - 1,3 Rumput 2 Paspalum conjugatum Paitan - 1,2 Rumput 3 Polytrias amaura Lamuran - 1,2,4,5,6 Rumput 4 Cynodon dactylon Grinting - 1,2,3 Rumput 5 Phyllanthus niruri Meniran 1,2,3 Rumput 6 Stachytarpeta jamaicensis Jarong 4,5,6 Herba 7 Sida acuta Sidaguri - 1,2,5,6 Herba 8 Eupatorium odoratum Kirinyuh - 1,2,3,4,5,6 Semak 9 Ageratum conyzoides Wedusan - 2 Herba 10 Clitoria ternatea Rayutan - 2 Herba 11 Capsium frutescens Cabai rawit 2 Herba 12 Mimordica charantia Pare hutan 2 Herba 13 Abutilon crispum Cemplak - 4 Herba 14 Thespesia sp. Kapasan - 4,5 Semak 15 Mimosa pudica Putri malu - 1,2,4 Herba 16 Indigofera gandulosa Tarum 4 Herba 17 Cassia mimosoides Aseman 4,6 Semak 18 Azima sarmentosa Sokdoy - 4,5 Semak 19 Tephrosia pumila Kacangan 4 Herba 20 Glucosmis cochinchinensis Jerukan - 4,6 Semak 21 Streblus asper Serut - 1,4,6 Pohon 22 Pterospermum javanicum Bayur - 1 Pohon 23 Corypha utan Gebang - 4,5,6 Perdu 24 Azadirachta indica Mimba - 4,5,6 Pohon 25 Zizyphus rotundifolia Widoro bukol - 4 Pohon Keterangan: Dn = Daun; Bb = Biji dan buah; 1 = Padang rumput Sadengan, 2 = Hutan tanaman jati Gunting, 3 = Hutan Rowobendo, 4 = Savana Bekol, 5 = Hutan pantai Manting, 6 = Hutan Evergreen Perilaku makan merak hijau dimulai pagi hari sejak turun dari pohon tidurnya hingga petang hari saat kembali naik ke pohon tidurnya. Waktu makan merak hijau di TNAP berlangsung pada pagi hari antara pukul WIB dan sore hari antara pukul WIB, sedangkan di TNB merak hijau melakukan aktivitas makan berlangsung pada pagi hari antara pukul WIB dan sore hari pada pukul WIB. Jadi, merak hijau di TNB melakukan aktivitas makan pada pagi hari lebih awal dibandingkan merak hijau di TNAP. Namun untuk penggunaan waktu aktivitas makan pada sore hari, merak hijau di TNAP lebih dulu melakukan aktivitas makannya daripada merak hijau di TNB.

89 68 Secara umum penggunaan waktu aktivitas makan merak hijau dapat dibagi dalam dua waktu, yaitu pagi dan sore hari. Di TNAP, merak hijau di padang rumput Sadengan lebih awal dalam penggunaan waktu aktivitas makan dibandingkan hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo. Waktu aktivitas makan merak hijau di padang rumput Sadengan berlangsung antara WIB dan WIB, di hutan tanaman jati Gunting berkisar antara pukul WIB dan WIB serta di hutan Rowobendo berlangsung antara WIB dan WIB. Sementara di TNB, penggunaan waktu makan merak hijau di savana Bekol lebih awal ( dan WIB) dibandingkan penggunaan waktu di hutan pantai Manting ( dan WIB) dan hutan evergreen ( dan WIB). Merak hijau jantan melakukan perilaku makan selama detik/hari di TNAP. Durasi rerata yang dibutuhkan merak hijau jantan melakukan aktivitas makan di hutan Rowobendo sebesar detik/hari. Waktu tersebut merupakan waktu terlama jika dibandingkan dua lokasi lainnya di TNAP, yaitu sebesar detik/hari di hutan tanaman jati Rowobendo dan di padang rumput Sadengan sebesar detik/hari. Hutan Rowobendo pun memiliki durasi aktivitas makan yang bervariasi dibandingkan dua lokasi lainnya di TNAP (Tabel 12). Tabel 12. Rekapitulasi durasi perilaku makan merak hijau jantan di TNAP dan TNB Durasi Ragam Durasi Durasi Lokasi Rerata Waktu Min. Maks (detik/hari) (detik/hari) 2 (detik/hari) (detik/hari) TNAP Padang rumput Sadengan Hutan tanaman jati Gunting *) Hutan Rowobendo TNB Savan Bekol Hutan pantai Manting Hutan evergreen Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan Di TNB, merak hijau jantan membutuhkan waktu untuk melakukan aktivitas makan detik/hari. Durasi rerata aktivitas makan merak hijau jantan di savana Bekol lebih lama daripada di hutan pantai Manting dan hutan evergreen yang secara berurutan nilainya adalah detik/hari, 15973

90 69 detik/hari dan detik/hari. Sebaran waktu yang paling bervariasi adalah savana Bekol yang ditunjukkan dengan nilai ragam yang besar serta selang waktu yang lebih besar daripada tipe habitat hutan pantai dan evergreen (Tabel 12). Sementara itu, durasi rerata yang diperlukan oleh merak hijau betina di TNAP adalah detik/hari yang lebih lama sedikit bila dibandingkan dengan hutan tanaman jati Gunting sebesar detik/hari dan hutan Rowobendo sebesar detik/hari. Di TNB, durasi rerata yang dibutuhkan merak hijau betina untuk makan di savana Bekol lebih lama dari pada merak hijau betina di hutan pantai Manting (sebesar detik/hari) dan merak hijau betina di hutan evergreen (sebesar detik/hari) (Tabel 13). Tabel 13. Rekapitulasi durasi perilaku makan merak hijau betina di TNAP dan TNB Lokasi Durasi Rerata (detik/hari) Ragam Waktu (detik/hari) 2 Durasi Min. (detik/hari) Durasi Maks (detik/hari) TNAP Padang rumput Sadengan Hutan tanaman jati Gunting *) Hutan Rowobendo TNB Savan Bekol Hutan pantai Manting Hutan evergreen Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan Tipe habitat yang terdapat di TNAP berpengaruh sangat nyata terhadap frekuensi ( χ = , P < 0.01) dan durasi ( χ = , P < 0.01) aktivitas makan merak hijau. Perilaku makan pada padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo akan memiliki peluang yang berbeda dalam segi frekuensi dan durasi. Merak hijau akan lebih sering mendatangi habitat yang terdapat tempat terbuka untuk melakukan aktivitas makan daripada tempat yang bertajuk rapat. Tempat terbuka lebih berpeluang menyediakan pakan untuk merak hijau. Frekuensi dan lamanya perilaku makan di TNB tidak dipengaruhi oleh tipe habitat ( χ = 3.625, P = dan χ = 3.659, P = 9.210). Hal ini menyebabkan perilaku makan di TNB akan memiliki peluang yang sama baik pada habitat savana Bekol, hutan pantai Manting maupun hutan evergreen. Hal ini berkaitan dengan kondisi habitat di TNB yang secara keseluruhan relatif terbuka.

91 70 Keterbukaan habitat tersebut mengakibatkan sebaran pakan merak hijau cukup merata, yaitu tidak terkonsentrasi pada satu tipe habitat. Maryanti (2007) menyebutkan bahwa perilaku makan merupakan rangkaian aktivitas dengan memasukkan makanan ke dalam paruh dan ditelan yang dilakukan oleh suatu individu dalam rangka mendapatkan energi. Merak hijau saat musim berbiak hampir sebagian waktunya dihabiskan untuk makan. Hal ini bertujuan untuk menjaga kebugaran tubuh dan bulu merak hijau jantan untuk memikat merak hijau betina dan melakukan aktivitas kawin. Protein hewani sangat diperlukan untuk kesehatan dan reproduksi, maka merak termasuk predator obligat (Delacour 1977 dalam Dwisatya 2006). Merak hijau dalam memperoleh pakan dengan berbagai macam cara tergantung dari bagian yang akan dimakannya (Sativaningsih 2005). Merak hijau memperoleh makan dengan bantuan paruh untuk mematuk, sayap untuk melompat serta kaki untuk mengais. Merak hijau lebih banyak memakan hijauan yang mengandung sedikit sumber energi, maka untuk mendapatkan sumber energi yang cukup, merak hijau harus makan sebanyak-banyaknya. Strategi merak hijau untuk mencukupi sumber energi bagi tubuhnya yang besar dengan cara berjalan sambil mematuk pakannya. Cara ini memiliki peluang mendapatkan pakan yang banyak daripada harus berdiam di satu tempat. Merak hijau melakukan perilaku makan sepanjang hari. Merak hijau makan sejak pagi hari pukul WIB sampai dengan sore hari pada pukul WIB di TNAP dan pada pukul WIB hingga pukul WIB di TNB. Sejak pukul WIB di TNAP dan WIB di TNB, aktivitas makan merak hijau akan berkurang. Pada waktu tersebut merak hijau lebih banyak berteduh di bawah pohon ataupun masuk ke semak belukar untuk menghindari terik sinar matahari, predator (seperti elang dan anjing hutan) dan aktivitas manusia yang menggangu. Hal itupun menjadi penyebab merak hijau mengawali aktivitasnya pagi sekali. Pattaratuma (1977) menyatakan bahwa merak hijau akan pergi ke hutan untuk beristirahat pada pukul WIB. Di TNAP, merak hijau di padang rumput Sadengan lebih awal dalam penggunaan waktu aktivitas makan dibandingkan hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo. Faktor penyebabnya adalah sinar matahari lebih cepat

92 71 menerangi padang rumput Sadengan yang merupakan areal terbuka dengan sedikit vegetasi daripada hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo yang memilik tajuk yang rapat. Namun, tajuk rapat atau tidak bukan menjadi patokan sebagai tempat merak hijau mencari makan tetapi terdapatnya areal terbuka dengan pakan yang memadai. Hasil uji chi-square yang menunjukkan nilai χ 2 hitung lebih besar dari χ 2 tab berarti perilaku maka dipengaruhi oleh habitat padang rumput, hutan tanaman jati ataupun hutan alam. Karena tidak semua habitat dapat menyediakan pakan merak hijau, hanya habitat yang terdapat areal terbuka. Penggunaan waktu makan merak hijau di savana Bekol lebih awal dibandingkan penggunaan waktu di hutan pantai Manting dan hutan Evergreen di TNB. Perbedaan ini diakibatkan penyinaran matahari yang berbeda akibat pertajukan yang berbeda pula. Akan tetapi tipe habitat di TNB tidak mempengaruhi frekuensi dan durasi perilaku makan merak hijau. Hal ini serupa dengan pendapat Maryanti (2007) bahwa perilaku makan tidak dipengaruhi oleh tipe habitat dalam hal ini adalah savana, hutan pantai, hutan musim dan evergreen. Karena pakan merak hijau di TNB relatif menyebar merata, maka merak hijau akan mencari areal terbuka dengan pakan yang cukup dan tidak terpengaruh kerapatan tajuk Perilaku Minum Perilaku minum merak hijau dapat diartikan sebagai rangkaian akivitas mengambil air melalui paruhnya kemudian air ditelan melalui tenggorokannya yang bertujuan untuk menghilangkan rasa haus karena kekurangan cairan dalam tubuh akibat suhu yang panas maupun aktivitas harian. Sumber air merak hijau di TNAP didapatkan dari bak minum buatan, sprinkle (baik genangan dibawahnya maupun langsung dari kran), parit, cekungan dan sumur buatan pesanggem di hutan tanaman jati Gunting. Di TNB, merak mendapatkan air berasal dari bak air buatan, genangan air dan mata air.

93 72 (a) (b) (c) Gambar 25. Perilaku minum merak hijau di TNAP: (a) cekungan, (b) bak minum buatan, (c) genangan di bawah sprinkle dan (d) sprinkle Merak hijau memiliki beberapa pola perilaku minum dalam mengambil air. Di TNAP, merak hijau minum dengan cara mematuk air yang keluar dari sprinkle dengan posisi tubuh berdiri dan minum dari cekungan, genangan maupun bak air minum dengan cara menyelupkan paruhnya ke air baik dalam posisi mendekam ataupun berdiri (Gambar 25). Sementara di TNB, merak hijau minum dengan cara mendekam maupun berdiri baik di bak air minum buatan atau genangan air lalu memasukkan paruhnya ke dalam permukaan air untuk mendapatkan air (Gambar 26). Secara umum, merak hijau minum dengan cara menurunkan kepala dengan cara menjulurkan lehernya ke sumber air minum dan memasukkan air dalam paruhnya. Setelah itu, kepala diangkat dengan menegakkan leher dan posisi paruh mengarah ke atas, gerakkan ini berlanjut hingga leher membentuk huruf S lalu air ditelan. Gerak tersebut akan berulang terus-menerus hingga merak hijau merasa tercukupi kebutuhan akan air, namun aktivitas tersebut akan diselingi dengan aktivitas waspada, yaitu merak hijau diam (tidak mengambil air) hanya melihat sekeliling keadaan. (d)

94 73 (a) (b) (c) Gambar 26. Perilaku minum merak hijau di TNB: (a) di bak air minum posisi berdiri, (b) di bak air minum posisi mendekam dan (c) genangann air Secara umum, merak hijau melakukan aktivitas minum terbagi dalam dua waktu (Gambar 27). Merak hijau melakukan aktivitas minum antara pukul WIB dan antara pukul WIB di TNAP. Lain halnya, di TNB merak hijau melakukan aktivitas minum berlangsung g antara pukul WIB dan berlanjut pada kisaran waktu antara pukul WIB Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) TNAP TNB Gambar 27. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku minum merak hijau di TNAP dan TNB Frekuensi aktivitas minum di TNB lebih sering dibandingkan frekuensi aktivitas minum di TNAP (Gambar 27). Di TNAP merak hijau melakukan akivitas minum dengan frekuensi berkisar antara kali per individu per hari, sedangkan di TNB frekuensi minumm merak hijau menunjukkan kisaran antara kali per individu per hari. Frekuensi aktivitas minum merak

95 74 hijau baik di TNAP maupun di TNB meningkat pada pukul WIB untuk pagi hari dan sore hari berkisar pada pukul WIB Di TNAP merak hijau yang melakukan aktivitas minum hanya ditemukan di dua lokasi, yakni padang rumput Sadengan dan hutan tanaman jati Gunting, sedangkan di TNB aktivitas minum merak hijau hanya terlihat di savana Bekol (Tabel 14). Merak hijau betina memerlukan 518 detik/hari dan merak hijau jantan memerlukan 377 detik/hari, untuk melakukan aktivitas minum di padang rumput Sadengan. Sementara itu, di hutan tanaman jati Gunting hanya ditemukan merak hijau jantan yang melakukan aktivitas minum dengan durasi 8 detik/hari. Durasi yang diperlukan oleh merak hijau jantan di savana Bekol TNB adalah 1006 detik/hari dan merak hijau betina selama 1958 detik/hari. Tabel 14. Rekapitulasi durasi perilaku minum merak hijau di TNAP dan TNB Durasi Ragam Durasi Durasi Lokasi Rerata Waktu Min. Maks (detik/hari) (detik/hari) 2 (detik/hari) (detik/hari) TNAP Padang rumput Sadengan Hutan tanaman jati Gunting *) Hutan Rowobendo TNB Savan Bekol Hutan pantai Manting Hutan evergreen Keterangan: = jantan; = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan Merak hijau betina memulai akivitas minum pukul WIB serta berakhir pukul WIB pada pagi hari dan akan dilanjutkan pada sore hari yaitu berkisar antara pukul WIB. Namun, beberapa kali terlihat merak hijau betina melakukan aktivitas minum pada pukul WIB, yaitu saat akan beristirahat dari aktivitasnya. Merak hijau jantan melakukan aktivitas minum berkisar antara pukul WIB dan berlanjut antara pukul WIB. Frekuensi aktivitas minum merak hijau betina tertinggi terjadi pada selang waktu antara pukul WIB dengan frekuensi sebesar 0.15 kali per hari. Frekuensi aktivitas minum merak hijau jantan mengalami fluktuasi pada setiap jamnya, tercatat pukul WIB merupakan waktu dengan frekuensi tertinggi dengan nilai sebesar 0.13 kali per hari (Gambar 28).

96 Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) Betina Jantan Gambar 28. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku minum merak hijau jantan dan betina di TNAP Di TNB baik merak hijau jantan maupun betina memiliki penggunaan waktu yang sering bersamaan (Gambar 29). Aktivitas minum merak hijau jantan berlangsung antara pukul WIB tetapi untuk merak hijau betina berlangsung pada pukul WIB. Pada sore harinya, aktivitas minum merak hijau di TNB berlangsung antara pukul WIB. Frekuensi tertinggi aktivitas minum antara merak hijau jantan dan betina di TNB tidak terlalu berbeda jauh. Namun, penggunaan waktu aktivitas minum oleh merak hijau dengan frekuensi tertinggi berbeda. Frekuensi tertinggi merak hijau betina berlangsung pada pukul WIB sebanyak 0.27 kali per hari, sedangkan merak hijau jantan berlangsung pada pukul WIB sebanyak 0.24 kali per hari. Secara umum, merak hijau di TNB melakukan aktivitas minum pada waktu yang bersamaan antara merak hijau jantan dan merak hijau betina bahkan beberapa waktu memiliki frekuensi aktivitas yang sama, yaitu saat awal beraktivitas pada pukul WIB dan pukul WIB sebagai penutup aktivitas harian.

97 Frekuensi per hari Waktu (WIB) Betina Jantan Gambar 29. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku minum merak hijau jantan dan betina di TNB Perilaku minum merak hijau tidak terpengaruhi oleh tipe habitat baik di TNAP maupun TNB. Tipe habitat di TNAP seperti padang rumput, hutan Rowobendo maupun di hutan tanaman jati tidak akan berpengaruh bagi frekuensi ( χ = 2.784, P = 9.210) dan durasi ( χ = 2.718, P = 9.210) perilaku minum merak hijau. Begitu pula dengan tipe habitat savana, hutan pantai dan hutan evergreen di TNB tidak mempengaruhi frekuensi dan durasi perilaku minum merak hijau ( χ = 0.000, P = 9.210). Karena baik di TNAP maupun TNB saat penelitian merupakan musim kemarau, sehingga seluruhnya mengalami kekeringan. Merak hijau melakukan aktivitas minum bertujuan untuk menghilangkan rasa haus karena kekurangan cairan dalam tubuh akibat suhu yang panas maupun aktivitas harian. Selama pengamatan di TNAP hanya ditemukan merak hijau minum di padang rumput Sadengan dan sekali ditemukan merak minum di hutan tanaman jati Gunting. Sementara itu, merak hijau di TNB hanya ditemukan di savana Bekol yang beraktivitas minum. Hal ini menandakan bahwa merak hijau merupakan satwaliar yang adaptif terhadap air, yaitu ketika terdapat sumber air merak akan minum namun jika tidak terdapat sumber air merak hijau akan menyiasatinya dengan strategi lokasi aktivitas.

98 77 Pada lokasi yang tidak ditemukan sumber air, merak hijau akan lebih beraktivitas di sekitar pohon bertajuk atau tempat yang teduh. Merak hijau di hutan Rowobendo beraktivitas di sekitar tegakan ketangi, mahoni, jati dan pakupakuan. Merak hijau di hutan tanaman jati Gunting beraktivitas di bawah tegakan jati dan di sela-sela tumbuhan tumpangsari (seperti tembakau, tomat dan cabai). Merak hijau di hutan pantai Manting beraktivitas di sekitar pohon mimba, akasia, manting dan semak atau tumbuhan bawah, sedangkan di hutan evergreen merak hijau beraktivitas di bawah tajuk rapat. Hal ini merupakan bentuk strategi merak hijau untuk mengurangi kehilangan cairan secara cepat akibat suhu yang panas dari terkena sinar matahari langsung. Strategi merak hijau terhadap air menunjukkan bahwa tipe habitat tidak berpengaruh akan frekuensi perilaku minum. Hal ini dipertegas dengan hasil uji chi-square yang menunjukkan nilai χ 2 hitung lebih kecil dari χ 2 tab. Merak hijau dapat bertahan hidup tanpa harus minum dari sumber air besar, tetapi minum dari embun-embun pada pagi hari. Maryanti (2007) menyebutkan bahwa areal tumpang sari memiliki rumput yang tinggi dan lebat, sehingga dimungkinkan banyak embun yang masih menempel di rumput dan asupan air didapatkan dari embun tersebut. Penggunaan waktu beraktivitas minum merak hijau di TNAP lebih lebar dibandingkan dengan TNB baik saat pagi hari atau sore hari. Perbedaan ini disebabkan oleh suhu di TNB lebih cepat meningkat dan lama menurunnya dari pada suhu di TNAP. Hal ini disiasati dengan durasi dan frekuensi saat melakukan aktivitas minum. Durasi dan frekuensi aktivitas minum di TNB lebih lama dan sering dari pada aktivitas minum merak hijau di TNAP Perilaku Menelisik Merak hijau menelisik bertujuan untuk merapihkan bulu-bulu yang tidak rapih dan membersihkannya dari kotoran maupun kutu yang menempel. Perilaku menelisik dilakukan merak hijau sangat singkat, sehingga perilaku ini sering terlihat disela-sela perilaku lainnya (Gambar 30). Hampir semua perilaku harian merak diselingi oleh aktivitas menelisik, seperti perilaku makan, berjemur, display, istirahat maupun mandi debu. Bahkan beberapa kali terlihat merak hijau melakukan aktivitas menelisik sebelum turun dari pohon tidurnya ataupun di atas

99 78 pohon saat akan tidur. Aktivitas menelisik dapat dikatakan sebagai aktivitas pembuka dan penutup dari aktivitas harian merak hijau. (a) (b) (c) Gambar 30. Perilaku menelisik merak hijau disela-sela beberapa aktivitas harian; (a) bangun tidur, (b) berjemur, (c) display dan (d) makan Merak hijau melakukan aktivitas menelisik dengan menggunakan paruhnya. Untuk daerah yang jauh dari jangkauan paruhnya, merak hijau terbantu dengan lehernya yang panjang dan elastis yang dapat berputar ke segala arah dan menjangkau segala bagian tubuhnya. Cara menelisik merak hijau akan memekarkan bulu-bulu yang akan ditelisiknya, lalu paruhnya akan merapihkan atau membersihkan bagian-bagian bulu tersebut secara hati-hati. Posisi merak hijau saat menelisik biasanya berdiri. Aktivitas menelisik merak hijau dimulai pada pukul WIB diiringi dengan penurunan frekuensi pada pukul WIB berlanjut hingga frekuensinya naik kembali pada pukul WIB dan berakhir di pukul WIB (Gambar 31). Di TNAP penggunaan waktu aktivitas menelisik tertinggi terjadi pada pukul WIB untuk pagi hari dan WIB untuk sore hari, dengan frekuensi masing-masing secara berurut sebesar 0.69 dan 0.61 kali per individu per hari. Sementara di TNB merak hijau menggunakan waktu aktivitas menelisik tertinggi (d)

100 79 pada pukul WIB dengan frekuensi 1.72 kali per individu per hari dan pukul WIB dengan frekuensi 0.97 kali per individu per hari. Secara keseluruhan, merak hijau di TNB lebih banyak melakukan aktivitas menelisik dibandingkan merak hijau di TNAP Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) TNAP TNB Gambar 31. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku menelisik merak hijau di TNAP dan TNB Frekuensi aktivitas menelisik merak hijau berbeda pada tiap tipe habitat (Gambar 32). Merak hijau padang rumput Sadengan melakukan aktivitas menelisik lebih sering dibandingkan dua lokasi lainnya di TNAP. Frekuensi aktivitas menelisik merak hijau di padang rumput Sadengan sebesar 9.09 kali per individu per hari, sedangkan di hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo secara berurutan sebanyak 4.47 dan 3.38 kali per individu per hari. Di TNB, aktivitas menelisik merak hijau di atas enam kali per individu per hari. Frekuensi terbesar terjadi di savana Bekol, yaitu merak hijau melakukan aktivitas menelisik sebanyak 9.05 kali per individu per hari. Pada dua lokasi di TNAP dan TNB memiliki kesamaan banyaknya jumlah melakukan aktivitas menelisik hariannya. Padang rumput Sadengan dan savana Bekol memiliki frekuensi menelisik yang sama, yaitu sebesar sembilan kali per individu per hari.

101 Rerata frekuensi per hari Padang Rumput Hutan Tanaman Jati Hutan Rowobendo Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen Gambar 32. Grafik frekuensi harian perilaku menelisik merak hijau di beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB Lamanya durasi melakukan aktivitas menelisik di suatu tempat yang dilakukan merak hijau jantan tidak akan berbanding lurus dengan lamanya durasi merak hijau betina (Tabel 15). Di TNAP merak hijau jantan yang melakukan aktivitas menelisik terlama adalah di padang rumput sadengan sebesar 2977 detik/hari, namun merak hijau betina lebih lama melakukan aktivitas menelisik di hutan tanaman jati Gunting sebesar 810 detik/hari. Fakta ini berulang di TNB di mana merak hijau jantan savana Bekol memiliki durasi terlama dibandingkan dua lokasi lainnya, yaitu sebesar 2584 detik/hari. Sementara durasi terlama merak hijau betina melakukan aktivitas menelisik terdapat di hutan evergreen sebesar 899 detik/hari. Tabel 15. Rekapitulasi durasi perilaku menelisik merak hijau di TNAP dan TNB Lokasi TNAP Durasi Rerata (detik/hari) Tipe Habitat Ragam Waktu (detik/hari) 2 Durasi Min. (detik/hari) Durasi Maks (detik/hari) TNAP Padang rumput Sadengan Hutan tanaman jati Gunting *) Hutan Rowobendo TNB Savan Bekol Hutan panitia Manting Hutan evergreen Keterangan: = jantan; = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan TNB

102 Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) Betina Jantan Gambar 33. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku menelisik merak hijau jantan dan betina di TNAP Merak hijau jantan maupun betina di TNAP melakukan aktivitas menelisik dimulai pada pukul WIB dan diakhiri pada pukul WIB (Gambar 33). Dalam selang waktu tersebut merak hijau jantan maupun betina melakukan aktivitas menelisik tiap jamnya, namun dengan frekuensi yang berbeda-beda dan waktu terjadinya aktivitas menelisik lebih sering di pagi dan sore hari. Merak hijau jantan dan betina di TNAP memiliki frekuensi aktivitas menelisik tertinggi di waktu yang sama. Pada pagi hari terjadi saat pukul WIB dengan frekuensi sebesar 1.01 kali per individu per hari merak hijau jantan dan 0.37 kali per individu per hari merak hijau betina, sedangkan sore hari terjadi pada saat pukul WIB dengan frekuensi merak hijau jantan dan betina secara berurut sebesar 0.91 dan 0.30 kali per individu per hari. Di TNB pembagian penggunaan waktu aktivitas menelisik merak hijau terlihat jelas, yaitu merak hijau hanya melakukan aktivitas menelisik di pagi dan sore hari (Gambar 33). Merak hijau jantan melakukan aktivitas menelisik di pagi hari pada pukul WIB dengan frekunsi tertinggi terjadi pada pukul WIB sebanyak 2.86 kali per individu per hari, sedangkan sore hari terjadi berkisar antara pukul WIB dengan frekunsi tertinggi terjadi pada pukul WIB sebanyak 1.41 kali per individu per hari. Merak hijau betina

103 82 melakukan aktivitas menelisik antara pukul WIB dan WIB. Dalam selang waktu tersebut merak hijau betina rerata melakukan aktivitas menelisik sebanyak kali Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) Betina Jantan Gambar 34. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku menelisik merak hijau jantan dan betina di TNB Tipe habitat berpengaruhi sangat nyata terhadap frekuensi aktivitas menelisik merak hijau di TNAP ( χ = , P < 0.01), sehingga frekuensi aktivitas menelisik pada habitat padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo akan memiliki peluang yang berbeda. Sama halnya dengan durasi perilaku menelisik merak hijau di TNAP pun dipengaruhi sangat nyata oleh tipe habitatnya ( χ = , P < 0.01). Berdasarkan uji chi-square pada perilaku menelisik pada beberapa tipe habitat di TNB terhadap frekuensi dan durasi perilaku menelisik merak hijau menunjukkan hasil yang sama, yaitu tipe habitat berpengaruh sangat nyata terhadap perilaku menelisik. Frekuensi aktivitas menelisik merak hijau akan berbeda pada habitat savana Bekol, hutan pantai Manting maupun hutan evergreen ( χ = , P < 0.01). Sama halnya dengan frekuensi, durasi aktivitas menelisik pun terpengaruh sangat nyata, yaitu durasi perilaku menelisik akan berbeda pada setiap tipe habitat yang berlainan pada habitat di savana, hutan pantai maupun evergreen ( χ = , P < 0.01).

104 83 Bulu merupakan alat penting bagi merak hijau baik untuk aerodinamis saat terbang dan sebagai alat pemikat bagi pasangannya. Struktur bulu yang halus membuat mudah berubah bentuk dari mengembang dapat menjadi menempel rapat dan rentan terhadap kuman atau kutu. Perubahan ini dapat diakibatkan oleh posisi tidur semalam dan aktivitas harian merak hijau. Karena alasan tersebut merak hijau melakukan aktivitas menelisik atau merawat bulu. Aktivitas menelisik bertujuan merapikan bulu dan menghilangkan atau membuang kotoran, kuman dan kutu yang menempel atau masuk ke bulu (Maryanti 2007). Merak hijau menelisik sepanjang hari disela-sela aktivitas hariannya, seperti makan, minum, berjemur, display dan istirahat. Perilaku menelisik bulu merupakan aktivitas sekunder yang biasanya dilakukan saat sebelum turun dari tenggeran, makan, berjemur, berteduh, sebelum tidur serta sehabis display (Maryanti 2007). Aktivitas menelisik lebih sering dilakukan pada saat pagi hari karena bulu yang lembab terlihat kusam setelah mendekam (tidur) semalaman. Hasil uji chi-square perilaku menelisik baik di TNAP maupun TNB menunjukkan adanya pengaruh frekuensi dan durasi perilaku terhadap tipe habitat. Frekuensi dan durasi aktivitas menelisik merak hijau di padang rumput maupun savana lebih banyak daripada di hutan bervegetasi seperti hutan tanaman jati dan hutan alam di TNAP serta hutan pantai dan hutan evergreen di TNB. Hal ini disebabkan kondisi umum padang rumput maupun savana yang terbuka, sehingga merak hijau dapat dengan tenang menelisik karena dapat mengawasi secara menyeluruh dari gangguan baik pesaing atau predator. Berdeda dengan kondisi di hutan bervegetasi yang memiliki tegakan yang rapat dengan tumbuhan bawah yang lebat, sehingga mempersulit pengawasan terhadap sekitar saat menelisik. Strategi merak hijau pada kondisi tersebut adalah melakukan aktivitas menelisik secara singkat dan jarang. Maryanti (2007) menyatakan perilaku menelisik bulu lebih sering dijumpai di padang penggembalaan (rumput) Perilaku Berjemur Perilaku berjemur merupakan salah satu aktivitas yang rutin setiap hari dilakukan oleh merak hijau. Perilaku berjemur berfungsi untuk menghangatkan tubuh serta mematikan kuman dalam tubuh dan bulu di bawah sinar matahari akibat kondisi lembab saat malam hari. Merak hijau melakukan aktivitas

105 84 berjemur di areal yang terkena sinar matahari langsungg pada tempat datar maupun yang lebih tinggi, seperti gundukan tanah, pagar atau pohon. Merak hijau berjemur dengan caraa mengembangkan bulu-bulunya, sehingga terlihat renggang antar bulunya serta bulu sayap yang diturunkan dan posisi tubuh berdiri tegap (Gambar 35). Biasanya aktivitas berjemur sering diiringi dengan aktivitas menelisik yang bertujuan mempercepat sinar matahari mengenai tubuhnya dan merapihkan bulu-buluu yang kuncup akibat tubuh dan bulu yang lembab. (a) (b) (c) Gambar 35. Perilaku berjemur merak hijau; (a) tanah datar, (b) pagar dan (c) gundukan tanah Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) TNAP TNB Gambar 36. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku berjemur merak hijau di TNAP dan TNB Aktivitas berjemur merak hijau di TNAP maupun TNB biasanya dilakukan pada pagi hari saat cuaca cerah (Gambar 36). Baik di TNAP maupun TNB, merak hijau melakukan aktivitas berjemur berlangsung pada pukul WIB. Setelah lewat dari pukul WIB, aktivitas berjemur merak hijau akan

106 85 berkurang bahkan tidak ada merak hijau yang melakukan aktivitas tersebut. Sama halnya dengan penggunaan waktu aktivitas berjemur di TNAP dan TNB, merak hijau sering berjemur pada pukul WIB. Pada pukul WIB merak hijau di TNAP memiliki frekuensi sebesar 0.44 kali per individu per hari, sedangkan di TNB merak hijau memiliki frekuensi sebesar 0.31 kali per individu per hari. Aktivitas berjemur dapat digolongkan dalam aktivitas pagi hari, namun saat pengamatan terlihat merak hijau di TNAP melakukan aktivitas berjemur satu kali saat sore hari pada pukul WIB di hutan Rowobendo. Berdasarkan pembagian tipe habitatnya, merak hijau di TNAP dan TNB melakukan aktivitas berjemur minimal satu kali setiap harinya (Gambar 37). Merak hijau di hutan Rowobendo TNAP lebih sering berjemur dibandingkan padang rumput Sadengan dan hutan tanaman jati Gunting. Di hutan Rowobendo merak hijau melakukan aktivitas berjemur minimal dua kali per individu per hari, sedangkan merak hijau di padang rumput Sadengan dan hutan tanaman jati Gunting berjemur hanya satu kali per individu per hari. Di TNB, aktivitas merak hijau berjemur hanya ditemukan di savana Bekol dan hutan pantai Manting dengan frekuensi masing-masing sebanyak satu kali per individu per hari. Sementara di hutan evergreen tidak ditemukan aktivitas berjemur merak hijau Rerata frekuensi per hari Padang Rumput Hutan Tanaman Jati Hutan Rowobendo Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen TNAP TNB Tipe Habitat Gambar 37. Grafik frekuensi harian perilaku berjemur merak hijau pada beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB

107 86 Durasi rerata merak hijau jantan di hutan Rowobendo lebih besar dibandingkan dengan padang rumput Sadengan dan hutan tanaman jati Gunting, namun merak hijau jantan di padang rumput Sadengan lebih lama berjemur dibandingkan hutan tanaman jati Gunting. Nilai durasi rerata dari tempat yang terlama secara berurut sebesar 1192, 1103 dan 851 detik/hari. Namun merak hijau betina memiliki urutan berbeda dalam lokasi terlama melakukan aktivitas berjemur, yaitu hutan Rowobendo sebesar 810 detik/hari, hutan tanaman jati Gunting sebesar 492 detik/hari dan padang rumput Sadengan sebesar 276 detik/hari. Durasi rerata perilaku berjemur merak hijau jantan di hutan pantai Manting lebih kecil daripada di savana Bekol, yaitu 365 dan 589 detik/hari. Sedangkan durasi rerata perilaku berjemur merak hijau betina di hutan pantai lebih besar daripada di savana Bekol, yaitu sebesar 408 dan 1745 detik/hari (Tabel 16). Tabel 16. Rekapitulasi durasi perilaku berjemur merak hijau di TNAP dan TNB Durasi Ragam Durasi Durasi Lokasi Rerata Waktu Min. Maks (detik/hari) (detik/hari) 2 (detik/hari) (detik/hari) TNAP Padang rumput Sadengan Hutan tanaman jati Gunting * Hutan Rowobendo TNB Savana Bekol Hutan pantai Manting Huatan evergreen Keterangan: = jantan; = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan Merak hijau jantan melakukan aktivitas berjemur berkisar antara pukul WIB di TNAP dan TNB, sedangkan merak hijau betina menggunakan pukul untuk melakukan aktivitas berjemur (Gambar 38 dan 39). Di TNAP dan TNB, frekuensi tertinggi merak hijau jantan dan betina melakukan aktivitas berjemur saat pukul WIB dengan frekuensi masingmasing secara berurut sebesar 0.53 dan 0.36 kali per individu per hari di TNAP dan 0.45 dan 0.16 kali per individu per hari. Di TNAP ditemukan merak hijau melakukan aktivitas berjemur pada sore hari yaitu pada pukul WIB. Aktivitas ini dilakukan oleh merak hijau betina dengan frekuensi sebesar 0.02 kali per individu per hari.

108 Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) Betina Jantan Gambar 38. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku berjemur merak hijau jantan dan betina di TNAP Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) Betina Jantan Gambar 39. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku berjemur merak hijau jantan dan betina di TNB Tipe habitat yang terdapat di TNAP berpengaruh sangat nyata terhadap frekuensi( χ = , P < 0.01) dan durasi ( χ = , P < 0.01) aktivitas berjemur merak hijau. Perilaku berjemur pada padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo akan memiliki peluang yang berbeda

109 88 dalam segi frekuensi dan durasi. Merak hijau di hutan Rowobendo akan lebih sering berjemur karena habitatnya yang lembab. Tempat yang lembab lebih berpeluang menyebabkan bulu terserang kuman dan akan menyebabkan bulu yang lepek dan kusam. Frekuensi aktivitas berjemur merak hijau terpengaruh sangat nyata oleh tipe habitat di TNB ( χ = , P < 0.01), sehingga frekuensi aktivitas menelisik pada habitat savana Bekol, hutan pantai Manting dan hutan evergreen akan memiliki peluang yang berbeda. Sama halnya dengan durasi perilaku berjemur merak hijau di TNB pun dipengaruhi sangat nyata oleh tipe habitatnya ( χ = , P < 0.01). Perilaku berjemur adalah rangkaian aktivitas yang dilakukan bawah pancaran matahari untuk menghangatkan tubuh merak (Maryanti 2007). Selain untuk menghangatkan tubuh berjemur juga bertujuan untuk mengeringkan bulubulu yang lembab, sehingga lebih terlihat mengkilap. Sinar matahari pun dapat berfungsi sebagai pembunuh kuman yang menempel dalam bulu dan tubuh merak hijau. Selama pengamatan, merak hijau berjemur pada tempat-tempat yang lebih tinggi yang terkena sinar matahari langsung. Maryanti (2007) menyebutkan bahwa merak hijau berjemur pada gundukan tanah, tunggak pohon, pagar ataupun bertengger di pohon yang terkena cahaya matahari langsung. Posisi tersebut bentuk strategi merak hijau untuk mempermudah dalam mengawasi kondisi sekitar. Aktivitas berjemur dilakukan pada pagi hari terutama berkisar pada pukul WIB. Hal ini berkaitan dengan sinar matahari yang hangat, serta kondisi tubuh yang kaku akibat mendekam semalaman, sehingga butuh kehangatan untuk dapat melakukan aktivitas hariannya. Maryanti (2007) mencatat aktivitas berjemur merak hijau di TNAP berlangsung pada pukul WIB dan di TNB pada pukul WIB. Durasi aktivitas berjemur merak hijau di TNAP dan TNB beragam pada berbagai tipe habitat. Serta memiliki frekuensi yang tidak berbeda pada beberapa tipe habitat. Hal ini diperjelas dengan hasil uji chi-square yang menunjukkan nilai χ 2 hitung lebih besar dari χ 2 tab yang berarti tipe habitat sangat berpengaruh terhadap perilaku berjemur. Karena tipe habitat memiliki kerapatan tegakan yang berbeda

110 89 yang akan memberikan peluang merak hijau mendapatkan sinar matahari yang berbeda dan kelembaban yang berbeda pula Perilaku Mandi Debu Perilaku mandi debu merak hijau adalah kegiatan menghilangkan kotoran yang menempel di tubuh dan bulunya dengan bantuan butiran-butiran tanah halus yang kering. Media tempat mandi debu merak hijau berupa gemburan permukaan tanah kering yang bebas dari tumbuhan dan hanya terdapat tanah halus, berdebu, berpasir dan liat. Tempat merak hijau melakukan aktivitas mandi debu akan permanen sepanjang musim kemarau berlangsung. Aktivitas mandi bedu diawali merak hijau dengan cara mengais tanah yang gembur dengan bantuan kaki dan paruhnya. Tempat tersebut biasanya merupakan bekas individu merak hijau saat itu atau hari sebelumnya melakukan mandi debu. Setelah kondisi tempat mandi debu merasa cocok, merak hijau akan mendekam. Dalam posisi mendekam, merak hijau akan memiringkan tubuhnya ke kiri atau ke kanan dan dengan bantuan kaki terluar akan mengais-ngais tanah seperti sedang menggali lubang dan kaki satunya sebagai tumpuan untuk keseimbangan tubuh. Lalu kembali ke posisi semula dan mengibas-ngibaskan kedua sayapnya, sehingga debu-debu berterbangan dan jatuh di atas tubuhnya yang bulu-bulunya telah dikembangkan. Kegiatan tersebut akan berulang hingga aktivitas mandi debu selesai. Sesekali kegiatan tersebut akan diselingi dengan menelisik bulu, mematuk-matuk tanah di depannya dan berdiri untuk merubah posisi dan tempat mandi debu. Aktivitas mandi debu dilakukan secara soliter maupun berkelompok (Gambar 40). (a) Gambar 40. Perilaku mandi debu merak hijau jantan di TNAP; (a) berkelompok dan (b) soliter (b)

111 90 Penggunaan waktu aktivitas mandi debu merak hijau di TNAP lebih banyak dibandingkan dengan merak hijau di TNB (Gambar 41). Di TNB merak hijau melakukan aktivitas mandi debu hanya pada pukul WIB dan WIB. Berbeda di TNAP aktivitas mandi debu dimulai pada pukul WIB meningkat pada pukul WIB dan terus menurun hingga pukul WIB, lalu merak hijau mulai lagi pada pukul WIB dengan frekuensi mengalami fluktuasi setiap jamnya. Aktivitas mandi debu di TNAP frekuensi terbesar terjadi pada pukul WIB, sedangkan di TNB terjadi pada pukul WIB Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) TNAP TNB Gambar 41. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku mandi debu merak hijau di TNAP dan TNB Aktivitas merak hijau mandi debu di TNAP hanya ditemukan di padang rumput Sadengan dan hutan tanaman jati Gunting, sedangakan di TNB merak hijau beraktivitas mandi debu hanya di savana Bekol (Gambar 42). Merak hijau di padang rumput Sadengan memiliki frekuensi terbesar diantara tipe habitat lainnya. Frekuensi mandi debu di padang rumput Sadengan sebesar 1.69 kali per individu per hari, hal ini memiliki arti bahwa aktivitas mandi debu merak hijau di padang rumput Sadengan merupakan aktivitas harian rutin yang dilakukan. Merak hijau di savana Bekol hanya memiliki frekuensi sebesar 0.73 kali per individu per hari, yang berarti aktivitas mandi debu bukan merupakan aktivitas

112 91 harian rutin karena di hari-hari tertentu tidak akan ditemukan merak hijau sedang melakukan aktivitas mandi debu selama sehari penuh Rerata frekuensi per hari Padang Rumput Hutan Tanaman Jati Hutan Rowobendo Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen Tipe Habitat Gambar 42. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku mandi debu merak hijau pada beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB Tabel 17. Rekapitulasi durasi perilaku mandi debu merak hijau di TNAP dan TNB TNAP Durasi Ragam Durasi Durasi Lokasi Rerata Waktu Min. Maks (detik/hari) (detik/hari) 2 (detik/hari) (detik/hari) TNAP Padang rumput Sadengan Hutan tanaman jati Gunting *) Hutan Rowobendo TNB Savana Bekol Hutan pantai Manting Hutan evergreen Keterangan: = jantan; = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan Secara umum, aktivitas mandi debu dilakukan oleh merak hijau betina baik di TNAP maupun TNB (Tabel 17). Hanya di padang rumput Sadengan yang terlihat merak hijau jantan melakukan aktivitas mandi debu dengan durasi rerata 7 detik/hari. Durasi rerata aktivitas mandi debu merak hijau betina di padang rumput Sadengan lebih lama daripada merak hijau betina di hutan tanaman jati Gunting, yaitu sebesar 1203 dan 31 detik/hari. Di TNB aktivitas merak hijau mandi debu hanya ditemukan di savana Bekol. Di lokasi tersebut hanya merak TNB

113 92 hijau betina yang teramati sedang melakukan aktivitas mandi debu dengan durasi rerata sebesar 626 detik/hari. Beberapa tipe habitat yang terdapat di TNAP seperti padang rumput, hutan Rowobendo dan hutan tanaman jati Gunting tidak mempengaruhi frekuensi dan durasi perilaku mandi debu merak hijau ( χ = 0.044, P = 9.210). Sama halnya dengan merak hijau di TNB, frekuensi serta durasi aktivitas mandi debu tidak terpengaruhi oleh tipe habitat savana, hutan pantai dan hutan evergreen ( χ = 0.000, P = 9.210). Hal ini dikarenakan baik di TNAP maupun di TNB saat penelitian mengalami musim kemarau, sehingga pada dua lokasi tersebut memiliki peluang yang sama untuk dijadikan tempat mandi debu bagi merak hijau. Saat melakukan aktivitas harian tubuh merak hijau rentan terhadap parasit yang menempel. Untuk menghilangkannya merak hijau melakukan menelisik serta mandi debu. Perilaku mandi debu merupakan rangkaian aktivitas merapikan bulu-bulu, mengeluarkan ektoparasit dan benda asing yang menempel pada tubuhnya dalam rangka merawat tubuhnya (Maryanti 2007). Hernowo (1995) berpendapat bahwa selama melakukan aktivitas mandi debu, merak hijau juga melakukan aktivitas preening. Merak hijau selama melakukan mandi debu dengan menggunakan cakar dan sayapnya. Cakar digunakan untuk mengais lapisan atas permukaan tanah, sehingga mendapatkan tanah yang bersih dan lembut. Setelah mendapatkan tanah yang lembut, merak hijau akan mengepakkan sayapnya agar tanah beterbangan ke udara dan jatuh di atas tubuhnya. Akibatnya kotoran yang menempel akan ikut jatuh bersama tanah lembut tersebut saat mengibaskan tubuhnya. Maryanti (2007) menyebutkan bahwa mandi debu dilakukan dengan cakarnya untuk menggarukgaruk tanah gembur kering sambil mendekam di atas tanah, kaki dijulurkan ke belakang sambil mengepakkan sayap hingga debu masuk ke dalam bulu. Sativaningsih (2005) menyebutkan merak hijau di TNAP melakukan aktivitas mandi debu pada pukul dan WIB. Selama penelitian merak hijau ditemukan melakukan aktivitas mandi debu pada pukul dan WIB di TNAP. Penggunaan waktu tersebut bertujuan agar saat mandi debu merak hijau tidak terkena sengat matahari yang panas. Sementara Maryanti (2007) berpendapat bahwa aktivitas mandi debu

114 93 merak hijau dilakukan pada pukul WIB. Namun, dijelaskan lebih lanjut bahwa hasil pengamatannya saat beraktivitas mandi debu siang hari merak hijau melakukannya di bawah pohon. Merak hijau di TNB melakukan aktivitas mandi debu pagi hari. Hal ini sependapat dengan Maryanti (2007) yang menyatakan bahwa merak hijau melakukan aktivitas mandi debu pada pukul WIB. Sementara Hernowo (1995) menyebutkan aktivitas mandi debu berlangsung pada pukul WIB. Perbedaan waktu ini diperkirakan pada saat penelitian Hernowo belum terdapat aktivitas pembinaan vegetasi akasia berupa pembakaran dan kendaraan gerandong yang hilir mudik, sehingga merak hijau masih dapat leluasa melakukan aktivitas mandi debu di pinggiran jalan Batangan-Bekol dan di bawah vegetasi akasia duri. Berdasarkan pengamatan dan penelitian Maryanti (2007) didapatkan bahwa merak hijau di TNAP hanya melakukan perilaku mandi debu di padang rumput Sadengan dan hutan tanaman jati Gunting dengan durasi dan frekuensi terbanyak atau terlama di padang rumput. Hal ini belum membuktikan bahwa tipe habitat mempengaruhi frekuensi dan durasi perilaku. Karena hasil uji chi-square menunjukkan nilai χ 2 hitung lebih kecil dari χ 2 tab, yaitu tipe habitat tidak mempengaruhi perilaku. Namun lebih pada human error, yaitu jarak pandang pengamat yang sulit melihat aktivitas mandi debu yang posisinya mendekam yang terhalang oleh tegakan dan semak belukar. Maryanti (2007) menyatakan padang rumput Sadengan yang sangat terbuka memungkinkan perilaku mandi debu termonitor dengan cukup baik. Merak hijau di TNB melakukan aktivitas mandi debu hanya ditemukan di savana Bekol. Namun, hasil uji chi-square menunjukkan nilai χ 2 hitung lebih kecil dari χ 2 tab yang berarti perilaku mandi debu memiliki peluang yang sama pada habitat savana, hutan pantai dan hutan evergreen. Selama pengamatan tidak ditemukan yang aktivitas mandi debu bukan pengaruh dari habitat. Maryanti (2007) menyatakan bahwa hutan pantai dan evergreen memiliki kondisi yang memenuhi syarat sebagai tempat mandi debu. Selain itu selama pengamatan ditemukan bekas mandi debu di pinggir jalan yang membelah hutan evergreen serta beberapa cekungan tempat mandi debu di hutan pantai. Faktor yang teramati

115 94 penyebab tidak ditemukannya aktivitas mandi debu di dua lokasi tersebut adalah aktivitas gerandong atau angkutan kayu akasia duri yang sering lewat sepanjang jalur Batangan-Bekol serta aktvitas pencurian daun gebang di sekitar hutan pantai yang selalu mengganggu merak hijau untuk diambil bulu-bulunya Perilaku Berlindung Perilaku berlindung merupakan tanggapan alami dari merak hijau terhadap gangguan yang datang. Tanggapan merak hijau terhadap gangguan yang datang beragam dari mulai menunjukkan sikap curiga dengan mengeluarkan suara tk tk tk ataupun krooow sambil berjalan menjauh dari sumber gangguan hingga terbang menjauh dengan mengeluarkan suara kokokokok ataupun tidak. Sumber gangguan dapat berupa individu merak hijau lainnya, satwa lainnya baik predator maupun non-predator serta manusia yang beraktivitas di dekat merak hijau. (a) (b) (c) Gambar 43. Perilaku berlindung merak hijau; (a) curiga, (b) terbang menghindar dan (c) menghindar dari serangan elang-laut perut-putih Ketika mencurigai sesuatu yang dapat membahayakan dirinya, merak hijau akan bersikap terlihat tegang dengan menegakkan lehernya dan posisi berdiri sempurna serta kepala yang diarahkan ke segala arah mencari tempat perlindungan (Gambar 43). Aktivitas tersebut diikuti dengan suara curiga yang dikeluarkannya. Ketika gangguan atau ancaman tersebut dapat menjadi bahaya, merak hijau akan terbang ke tempat yang membuatnya aman. Tempat yang biasa digunakan untuk berlindung adalah tajuk pohon dan semak belukar. Selama di tempat perlindungan merak hijau akan terus bersuara tk tk tk atau krooow hingga merak hijau merasa aman. Sumber gangguan merak hijau di TNAP diantaranya manusia (pengunjung, petugas, pesanggem, pemburu dan peneliti), elang-laut perut-putih (Haliaeetus leucogaster), elang-ular bido (Spilornis cheela), elang brontok (Spizaetus

116 95 cirrhatus), anjing kampung dan merak hijau. Sementara, gangguan merak hijau di TNB bersumber dari manusia (pengunjung, petugas, gelandong, pencuri dan peneliti), ajag (Cuon alpinus), elang brontok, elang-ular bido, monyet-ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung budeng (Presbytis aurata), garangan jawa (Herpestes javanica), kucing hutan (Felix bengalensis), biawak air-asia (Varanus salvator) dan merak hijau. Berdasarkan sumber gannguannya tingkat ancaman hingga mengakibatkan kematian di TNAP tidak ditemukan, sedangkan di TNB ditemukan 3 individu tewas akibat predator. Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) TNAP TNB Gambar 44. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku berlindung merak hijau di TNAP dan TNB Perilaku berlindung merak hijau baik di TNAP maupun di TNB sudah terjadi saat memulai aktivitas hariannya hingga naik ke pohon tidurnya (Gambar 44). Merak hijau di TNAP mengalami gangguan hingga harus berlindung berkisar pada pukul WIB dan WIB dengan frekuensi tertinggi terjadi gangguan pada pukul WIB. Di TNB merak hijau memiliki selang waktu mengalami gangguan yang lebih sempit, yaitu terjadi pada waktu antara pukul WIB dan WIB. Frekuensi gangguan yang dialami merak hijau di TNB lebih sering terjadi pada pukul WIB. Namun secara umum, sebaran penggunaan waktu merak hijau di TNB terganggu

117 96 sering terjadi di sore hari, yaitu saat pukul WIB, sedangkan di TNAP pada pagi hari berkisar antara pukul WIB. Tabel 18. Rekapitulasi durasi perilaku berlindung merak hijau di TNAP dan TNB Lokasi Durasi Rerata (detik/hari) Ragam Waktu (detik/hari) 2 Durasi Min. (detik/hari) Durasi Maks (detik/hari) TNAP Padang rumput Sadengan Hutan tanaman jati Gunting * Hutan Rowobendo TNB Savana Bekol Hutan pantai Manting Hutan evergreen Keterangan: = jantan; = betina; *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan Perilaku berlindung ditemukan di seluruh lokasi pengamatan di TNAP dan TNB dengan durasi yang beragam (Tabel 18). Merak hijau jantan di hutan tanaman jati Gunting melakukan aktivitas berlindung terlama dengan durasi 1382 detik/hari, sedangkan merak hijau betina di padang rumput Sadengan merupakan merak hijau betina berdurasi tersingkat untuk berlindung dari gangguan dengan durasi sebesar 833 detik/hari dibandingkan dua lokasi lainnya di TNAP. Merak hijau jantan dan betina di TNB yang memiliki durasi maksimum terlama adalah merak hijau di hutan evergreen, dengan nilai masing-masing secara berurut sebesar 3627 detik/hari dan 3688 detik/hari. Di TNAP, aktivitas berlindung lebih lama dilakukan oleh merak hijau betina daripada merak hijau jantan (F = 2.80; v 1 = 40, v 2 = 40), sedangkan merak hijau di TNB memiliki durasi aktivitas berlindung yang sama antara betina dan jantan karena masih dalam satu kelompok dengan kesamaan ragam (F = 1.12; v 1 = 25, v 2 = 25). Di TNAP merak hijau lebih sering berlindung daripada merak hijau di TNB, karena frekuensi merak hijau di TNAP mengalami gangguan lebih sering dibandingkan merak hijau di TNB (Gambar 45). Merak hijau di TNAP dan TNB minimal melakukan aktivitas berlindung dalam satu hari sebanyak satu kali. Merak hijau di hutan tanaman jati Gunting lebih sering berlindung dari pada padang rumput Sadengan dan hutan Rowobendo. Di hutan tanaman jati Gunting merak hijau berlindung akibat gangguan sebanyak 2-3 kali per individu per hari. Sementara itu, merak hijau di hutan evergreen lebih sering berlindung daripada savana Bekol dan hutan pantai Manting.

118 Rerata frekuensi per hari Padang Rumput Hutan Tanaman Jati Hutan Rowobendo Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen TNAP Tipe Habitat Gambar 45. Grafik frekuensi harian perilaku berlindung merak hijau pada beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB Uji chi-square terhadap frekuensi perilaku berlindung menunjukkan bahwa merak hijau di TNAP memiliki peluang yang berbeda untuk melakukan perilaku berlindung di padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo ( χ = , P < 0.01), yang menandakan bahwa tipe habitat berpengaruh sangat nyata terhadap frekuensi perilaku berlindung merak hijau. Sama halnya dengan lamanya merak hijau berlindung dari gangguan sangat terpengaruh nyata oleh tipe habitat ( χ = , P < 0.01). Hal yang sama terhadap hasil uji chi-square perilaku berlindung merak hijau di TNB. Tipe habitat memberi pengaruh yang sangat nyata terhadap frekuensi dan durasi berlindung merak hijau. Tipe habitat seperti savana Bekol, hutan pantai Manting dan hutan evergreen berpengaruh sangat nyata terhadap frekuensi dan lamanya merak hijau berlindung di TNB ( χ = 9.303, P < 0.01). Perilaku berlindung adalah perilaku individu ketika merasa terancam dari gangguan dengan respon yang beragam dapat berupa berjalan menjauh, terbang ke pohon atau masuk ke dalam semak-semak (Maryanti 2007). Menurut Sativaningsih (2005), merak hijau merespon adanya gangguan tergantung pada jarak gangguan dan kondisi merak hijau saat gangguan tersebut muncul. Selama TNB

119 98 pengamatan merak hijau lebih banyak melakukan berlindung daripada menghadapi gangguan tersebut. Saat terganggu dan atau merasa terganggu, merak hijau akan berlindung disertai suara-suara yang dikeluarkannya. Ketika terbang menghindar gangguan merak mengeluarkan suara kokoko (Hernowo 1995; Sativaningsih 2005; Dwisatya 2006 dan Maryanti 2007) sedangkan ketika mencurigai sesuatu, merak akan mengeluarkan suara tk tk tk (Winarto 1993; Hernowo 1995; Sativaningsih 2005 dan Maryanti 2007). Setelah ancaman atau gangguan sudah mereda merak hijau akan keluar dari tempat berlindung dan melanjutkan aktivitasnya semula dengan sikap masih siaga dan waspada. Gangguan atau ancaman terhadap merak hijau bisa terjadi setiap saat selama 24 jam (Maryanti 2007). Akan tetapi pada pukul WIB di TNAP memiliki frekuensi terbanyak merak hijau mengalami gangguan. Terutama dikarenakan oleh pesanggem di hutan tanaman jati Gunting sebagai tempat tersering merak hijau mengalami gangguan dari pada di padang rumput Sadengan dan hutan Rowobendo. Berbeda halnya dengan padang rumput yang selalu dijaga relawan dan selalu diperiksa keadaanya oleh polhut, sehingga relatif lebih aman dibandingkan tempat lain. Di TNB, merak hijau sering terganggu pada pukul dan WIB. Maryanti (2007) menyebutkan intensitas terbesar merak hijau mengalami gangguan antara pukul dan WIB. Hal ini berhubungan dengan aktivitas manusia yang mulai aktif pada waktu tersebut, terutama angkutan pembinaan akasia duri. Merak hijau memiliki peluang yang berbeda mendapat gangguan baik di padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting dan hutan alam Rowobendo berdasarkan hasil uji chi-square di TNAP. Merak hijau di hutan tanaman jati lebih sering mengalami gangguan dengan durasi berlindungnnya paling lama dari dua lokasi lainnya. Gangguan ini disebabkan oleh pesanggem yang menjaga tumbuhan tumpangsarinya, sehingga intensitas mengalami gangguan yang sering. Dalam mengusir merak sering menggunakan batu yang menyebabkan trauma, maka saat terjadi pengusiran kembali merak akan berlindung sangat lama hingga

120 99 situasi aman. Merak hijau pada habitat yang terdapat interaksi manusia akan berpeluang besar mengalami gangguan. Merak hijau di TNB memiliki hasil uji chi-square yang sama dengan TNAP. Akan tetapi durasi dan frekuensi perilaku berlindung tidak berbanding lurus. Hutan evergreen merupakan tempat terbanyak terjadinya frekuensi ganguan, namun memiliki durasi berlindung yang lebih kecil dari savana Bekol. Karena sumber gangguan di hutan evergreen hanya bersifat insidensial yaitu berupa kendaraan yang lewat. Sementara itu, sumber gangguan pada merak hijau di savana Bekol banyak berasal dari predatornya seperti anjing liar dan elang brontok, sehingga merak hijau akan berlindung lebih lama Perilaku Bertarung Perilaku bertarung biasa dilakukan oleh merak hijau jantan (Gambar 46). Merak hijau akan bertarung ketika individu merak hijau jantan lainnya berada dalam satu ruang dan waktu yang sama dengan jarak antar individu sangat dekat. Jarak antar merak hijau jantan yang akan menimbulkan pertarungan bervariasi berkisar antara m. Pertarungan ini berhubungan dengan penguasaan wilayah agar terlihat sebagai jantan dominan oleh merak hijau betina di saat musim berbiak. (a) Gambar 46. Perilaku bertarung antar merak hijau jantan; (a) di padang rumput Sadengan dan (b) savana Bekol Perilaku bertarung terjadi merak hijau jantan dewasa bertemu. Kedua merak akan memasang posisi berdiri tegak dengan leher dan jambul ditegakkan dan bulu hias diangkat sejajar tubuh. Merak hijau akan bergantian menggertak, yaitu bergerak maju dan berputar dengan mengangkat bulu hiasnya melewati atas kepala merak hijau lawan. Setelah beberapa kali menggertak, salah satu merak (b)

121 100 hijau akan menyerang menggunakan tajinya dengan cara melompat. Merak hijau lawan akan melompat pula sebagai gerakan pertahanan dengan posisi kaki mengarah ke atas (Gambar 46a). Gerakan menyerang akan dilakukan bergantian hingga salah satu merak hijau pergi atau menyerah. Seringkali perilaku bertarung diiringi dengan aktivitas kejar-kejaran, baik sambil lari maupun terbang dari satu tempat ke tempat lainnya. Bahkan terkadang terjadi pertarungan yang tidak sehat yaitu salah satu merak hijau mendapat bantuan tenaga dalam mengusir merak hijau lawan. Perilaku bertarung merak hijau di TNB lebih awal berlangsungnya dari pada merak hijau di TNAP (Gambar 47). Merak hijau TNB melakukan aktivitas bertarung pada pukul WIB dan WIB. Sementara merak hijau TNAP aktivitas bertarung berlangsung pada pukul WIB dan pada pukul WIB. Sekitar pukul WIB baik di TNAP maupun TNB tidak ditemukan aktivitas berkelahi. Di TNAP perilaku bertarung merak hijau sering terjadi pada pukul WIB, sedangkan di TNB merak hijau bertarung lebih sering terjadi pada pukul WIB. Rerata frekuensi per hari Waktu (WIB) TNAP TNB Gambar 47. Grafik penggunaan waktu dan frekuensi harian perilaku bertarung merak hijau di TNAP dan TNB

122 Rerata frekuensi per hari Padang Rumput Hutan Tanaman Jati Hutan Rowobendo Savana Hutan Pantai Hutan Evergreen TNAP Tipe Habitat Gambar 48. Grafik frekuensi harian perilaku bertarung merak hijau jantan pada beberapa tipe habitat di TNAP dan TNB Sama halnya dengan durasi aktivitas bertarung, merak hijau TNAP lebih sering bertarung di padang rumput Sadengan daripada hutan Rowobendo dan hutan tanaman jati Gunting (Gambar 48). Di padang rumput Sadengan merak hijau melakukan aktivitas bertarung minimal dua kali per individu per hari, sedangkan di hutan Rowobendo merak hijau hanya melakukan pertarungan satu kali per hari per individu. Sementara hutan tanaman jati Gunting hanya memiliki frekuensi sebesar 0.31 kali per individu per hari. Di TNB, nilai durasi aktivitas bertarung berbanding lurus dengan nilai frekuensinya. Merak hijau savana Bekol lebih sering melakukan aktivitas bertarung daripada merak hijau di hutan pantai Manting dan hutan Evergreen, yaitu minimal tiga kali per individu per hari. Aktivitas bertarung merak hijau hanya ditemukan di padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting, hutan Rowobendo, savana Bekol dan hutan pantai Manting (Tabel 19). Durasi yang diperlukan oleh merak hijau jantan bertarung di padang rumput Sadengan lebih lama daripada di hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo. Merak hijau di padang rumput Sadengan memiliki durasi rerata sebesar 1009 detik/hari, sedangkan dua lokasi lainnya di TNAP memiliki durasi masing-masing sebesar 158 detik/hari di Gunting dan 740 detik/hari di Rowobendo. Sementara itu, di TNB hanya ditemukan di savana TNB

123 102 Bekol dan hutan pantai Manting aktivitas bertarung antar merak hijau jantan. Savana Bekol memiliki durasi rerata terbesar dibandingkan dengan dua lokasi lainya di TNB, yaitu sebesar 1533 detik/hari. Tabel 19. Rekapitulasi durasi perilaku bertarung merak hijau di TNAP dan TNB Lokasi Durasi Rerata (detik/hari) Ragam Waktu (detik/hari) 2 Durasi Min. (detik/hari) Durasi Maks (detik/hari) TNAP Padang rumput Sadengan Hutan tanaman jati Gunting *) Hutan Rowobendo TNB Savana Bekol Hutan pantai Manting Hutan evergreen Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan Perilaku bertarung antara merak hijau jantan tidak terpengaruh oleh tipe habitat di TNAP baik frekuensi maupun durasinya ( χ = 0.000, P = 9.210). Perilaku bertarung merak hijau di TNAP memiliki frekuensi dan durasi yang sama antara di padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo. Begitu pula dengan tipe habitat di TNB yang tidak berpengaruh dengan perilaku bertarung merak hijau ( χ = 0.000, P = 9.210). Berdasarkan nilai itu pula dapat diketahui bahwa merak hijau jantan di TNB akan memiliki perilaku bertarung yang sama baik di savana Bekol, hutan pantai Manting dan hutan evergreen karena tidak ada hubungan antara frekuensi serta lamanya bertarung dengan tipe habitat yang berbeda. Bertarung dilakukan merak hijau untuk mempertahankan suatu wilayah dan memperlihatkan bentuk kejantanannya pada merak hijau betina serta mengkukuhkannya sebagai merak hijau jantan dominan. McFarland (1987) dalam Dwisatya (2006) menyatakan bahwa betina akan memilih jantan yang teritorinya kaya pakan. Apabila dua merak jantan bertemu dalam jarak yang dekat, hanya ada dua kemungkinan yaitu bertarung (fight) dan pengusiran (Maryanti 2007). Terjadinya pertarungan antar merak hijau jantan beragam. Di TNAP, merak hijau jantan akan bertarung walaupun kedua individu merak tersebut berjarak m. Hal terbalik terjadi di TNB, yaitu dua individu merak hijau jantan dengan jarak 1-2 m tidak terjadi perkelahian. Peristiwa ini menjelaskan

124 103 bahwa pertarungan terjadi ketika merak hijau jantan dominan merasa terganggu atau tersaingi dalam mencari perhatian merak hijau betina. Baik TNAP maupun TNB, merak hijau melakukan aktivitas bertarung lebih sering pada pagi hari. Karena kondisi tubuh dan energi merak hijau saat pagi hari masih bugar dan penuh. Dengan kondisi tersebut merak hijau memiliki peluang menang saat bertarung lebih besar. Hal ini pun bentuk strategi merak hijau jantan dalam menarik perhatian merak hijau betina. Merak hijau di padang rumput Sadengan lebih sering melakukan aktivitas bertarung daripada merak hijau jantan di hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo di TNAP. Adapun ini berkaitan dengan habitat yang lebih terbuka pada padang rumput dari pada hutan, sehingga merak hijau dapat dengan mudah melihat pejantan lain. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil uji chi-square menunjukkan nilai χ 2 hitung lebih kecil dari χ 2 tab, yaitu tipe habitat tidak mempengaruhi perilaku atau tiap tipe habitat memiliki peluang yang sama sebagai tempat bertarung. Selama pengamatan, jumlah individu jantan dalam satu lokasi dan jarak antar pejantan tersebut merupakan faktor utama terjadinya perilaku bertarung. Di hutan tanaman Gunting merak hijau jarang melakukan pertarungan karena hanya terdapat tiga merak hijau jantan dengan jarak antar pejantan m. Di TNB, hasil uji chi-square menunjukkan hasil yang sama dengan yang ada di TNAP yaitu perilaku bertarung di habitat savana, hutan pantai dan evergreen seharusnya sama. Akan tetapi perilaku bertarung lebih sering terjadi di savana Bekol dibandingkan hutan pantai Manting dan hutan evergreen. Hal ini bukan semata-mata akibat perbedaan habitat, namun di Bekol terdapat sumber air minum saat musim kemarau. Maka peluang terjadinya petarungan di Bekol lebih besar Perilaku Istirahat Perilaku istirahat merupakan perilaku merak hijau menghentikan segala bentuk aktivitasnya di tempat teduh yang terhindar dari terik matahari di antara dua periode aktivitas harian pagi hari dan sore hari untuk menghilangkan lelah akibat aktivitas sebelumnya. Merak hijau melakukan aktivitas istirahat ketika sinar matahari mulai terasa panas. Di TNAP merak hijau beristirahat berkisar

125 104 antara pukul WIB. Sementara merak hijau TNB melakukan aktivitas istirahat pada pukul WIB. Secara umum, merak hijau di TNB memiliki waktu lebih lama dibandingkan dengan merak hijau TNAP. (a) Gambar 49. Berbagai posisi perilaku istirahat merak hijau; (a) berdiri di bawah pohon widoro bukol dan (b) mendekam di cabang pohon apak Merak hijau beristirahat dalam posisi mendekam ataupun berdiri (gambar 49). Di TNAP merak hijau beristirahat di atas pohon dan diantara semak-belukar. Pohon yang sering digunakan sebagai tempat beristirahat antara lain apak (Ficus invectora), bendo (Articarpus elastic), randu hutan (Bombax valetoni), ketangi (Lagestromia speciosa), laban (Vitex coffasus), gempol (Nucleae siamea), mahoni (Swietenia macrophylla), walikukun (Schoutenia ovata) dan jati (Tectona grandis). Sementara merak hijau di TNB beristirahat di bawah pohon diantara semak-semak. Pohon yang sering digunakan sebagai tempat beristirahat diantaranya mimba (Azadicahta indica), pilang (Acacia leucophloea), akasia duriduri (Acacia nilotica), widoro bukol (Zizyphus rotundifolia) dan ki serut. Aktivitas istirahat merak hijau dapat dilakukan secara berkelompok maupun soliter. Durasi rerata yang dibutuhkan melakukan aktivitas istirahat oleh merak hijau jantan di padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo secara berurut adalah 21310, dan detik/hari dan merak hijau betina adalah sebesar 17008, dan detik/hari. Hal ini berarti merak hijau jantan di padang rumput Sadengan lebih lama beristirahat daripada dua lokasi lainnya di TNAP, sedangkan merak hijau betina hutan Rowobendo lebih lama beristirahat dibadingkan dua lokasi lainnya di TNAP. Di TNB, durasi yang diperlukan merak hijau jantan dan betina untuk beristirahat di hutan (b)

126 105 evergreen lebih lama daripada di hutan pantai Manting dan savana Bekol yang secara berurutan nilainya adalah 23412, dan detik/hari untuk merak hijau jantan dan 23952, dan detik/hari (Tabel 20 dan 21). Tabel 20. Rekapitulasi durasi perilaku istirahat merak hijau jantan di TNAP dan TNB Lokasi Durasi Rerata (detik/hari) Ragam Waktu (detik/hari) 2 Durasi Min. (detik/hari) Durasi Maks (detik/hari) TNAP Padang rumput Sadengan Hutan tanaman jati Gunting *) Hutan Rowobendo TNB Savana Bekol Hutan pantai Manting Hutan evergreen Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan Tabel 21. Rekapitulasi durasi perilaku istirahat merak hijau betina di TNAP dan TNB Lokasi Durasi Rerata (detik/hari) Ragam Waktu (detik/hari) 2 Durasi Min. (detik/hari) Durasi Maks (detik/hari) TNAP Padan rumput Sadengan Hutan tanaman jati Gunting *) Hutan Rowobendo TNB Savana Bekol Hutan pantai Manting Hutan evergreen Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan Frekuensi aktivitas istirahat merak hijau di TNAP terpengaruh sangat nyata oleh tipe habitat baik padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo ( χ = , P < 0.01). Begitu pula dengan lamanya merak hijau melakukan aktivitas istirahat terpengaruh sangat nyata oleh tipe habitat di TNAP ( χ = , P < 0.01). Selama pengamatan merak hijau lebih sering dijumpai sedang beristirahat di padang rumput Sadengan dalam waktu yang lama. Sedangkan, di hutan Rowobendo dan hutan tanaman jati Gunting merak hijau dijumpai sedang beristirahat akan tetapi dengan durasi yang singkat. Hal ini disebabkan kondisi habitat hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo memiliki tegakan yang lebih rapat dibandingkan Sadengan yang berupa padang rumput. Habitat tersebut akan memberikan kesejukan dari terik sinar matahari.

127 106 Hal yang berbeda terhadap hasil uji chi-square perilaku istirahat merak hijau di TNB. Tipe habitat memberi pengaruh yang berbeda terhadap frekuensi dan durasi aktivitas istirahat merak hijau. Tipe habitat seperti savana Bekol, hutan pantai Manting dan hutan evergreen berpengaruh sangat nyata terhadap frekuensi aktivitas istirahat merak hijau di TNB ( χ = , P < 0.01). Akan tetapi tipe habitat di TNB tidak berpengaruh terhadap lamanya merak hijau beristirahat ( χ = 0.872, P = 9.210). Hal ini berarti merak hijau melakukan aktivitas beristirahat memiliki durasi yang sama pada habitat savana Bekol, hutan pantai Manting dan hutan evergreen. Saat hari menjelang siang, merak hijau akan melakukan aktivitas istirahat untuk menghindari terik matahari. Aktivitas istirahat (berteduh) biasanya dilakukan diantara aktivitas makan padi dan siang dalam upaya untuk menghindari panas matahari (Maryanti 2007). Pattaratuma (1977) menyatakan bahwa suhu mempengaruhi merak hijau agar berpindah ke hutan untuk melakukan istirahat. Merak hijau melakukan aktivitas istirahat di tempat-tempat yang teduh seperti di bawah pohon dan di sela-sela semak serta terkadang bertengger di tajuk yang rimbun. Saat beristirahat biasanya merak hijau akan berpindah dari satu tempat teduh ke tempat teduh lainnya, hal ini dikarenakan saat musim kemarau suhu sangat panas. Hernowo (1995) menyebutkan bahwa merak hijau di TNB berteduh dengan cara berdiri dan biasanya akan berpindah tempat dari tempat teduh satu ke tempat teduh yang lain. Hal yang sama terjadi di hutan tanaman yang diduga bertujuan untuk mengantisipasi adanya gangguan atau kejaran predator (Sativaningsih 2005). Menurut Tanudimadja dan Kusumamiharja (1985), hewan-hewan akan mencari tempat yang aman dan nyaman bagi dirinya. Aktivitas istirahat berlangsung pada kisaran waktu WIB di TNAP dan WIB di TNB. Maryanti (2007) mencatat merak hijau di TNAP beristirahat selama 3-8 jam yaitu antara pukul dan di TNB berkisar antara pukul WIB atau selama 3-7 jam. Sementara Sativaningsih (2005) menyatakan bahwa merak hijau di padang rumput Sadengan TNAP beristirahat pada pukul WIB. Merak hijau beristirahat pada waktu tersebut karena aktivitas predator sangat tinggi dan suhu yang panas.

128 107 Durasi dan frekuensi aktivitas istirahat merak hijau di TNAP dan TNB beragam pada berbagai tipe habitat. Hal ini diperjelas dengan hasil uji chi-square yang menunjukkan nilai χ 2 hitung lebih besar dari χ 2 tab yang berarti terdapat pengaruh tipe habitat terhadap perilaku istirahat. Pada habitat berhutan di TNAP, merak hijau lebih cepat durasi istirahatnya. Hal ini disebabkan kondisi tajuk yang rapat membuat merak hijau teduh tidak kepanasan walaupun sedang melakukan aktivitas lainnya. Di TNB, merak hijau memiliki durasi yang relatif sama pada habitat savana Bekol, hutan pantai Manting dan hutan evergreen. Akan tetapi Di hutan evergreen TNB merak hijau lebih lambat melakukan aktivitas istirahat di bandingkan savana dan hutan pantai. Karena kondisi habitat di hutan evergreen memiliki tajuk yang rapat dengan vegetasi yang hijau sepanjang tahun, sehingga akan mengurahi terik dari sinar matahari Perilaku Tidur Perilaku tidur merak hijau adalah serangkaian kegiatan merak hijau dari mulai memilih pohon tempat tenggerannya (tidur) dilanjutkan dengan memposisikan tubuhnya sedemikian rupa yang diakhiri dengan mengeluarkan suara-suara terakhir tanda berakhirnya aktivitas harian sampai dengan terdengar suaranya di pagi hari tanda dimulainya aktivitas. Merak hijau mengeluarkan suara tipe I saat akan tidur dan setelah bangun. Sebelum bertengger di pohon tidur, merak hijau naik ke pohon tidur dengan cara terbang bertahap maupun langsung. Merak hijau tidur di atas pohon bertujuan agar terhindar dari predator. Pohon yang menjadi pilihan tempat tidur merak hijau biasanya tidak jauh dari tempat terbuka (tempat makan), memiliki ketinggian relatif lebih tinggi dari pohon sekitarnya dan memiliki tajuk tidak lebat dengan percabangan yang mendatar atau relatif tegak lurus dengan batang utama. Di TNAP merak hijau menggunakan jenis pohon untuk tidur diantaranya apak, gempol, randu hutan, bendo, mahoni dan jati, sedangkan pilang, mimbo dan gebang (Corypha utan) menjadi pilah utama merak hijau di TNB sebagai pohon tidurnya (Gambar 50). Berdasarkan pengamatan pohon tidur yang dipilih merak hijau memiliki areal terbuka tempat landasan mendarat saat turun dari pohon tidurnya. Merak hijau

129 108 jantan biasa tidur sendiri dalam satu pohon, sedangkann merak hijau betina dalam satu pohon dapat ditemukan lebih dari satu individu. (a) (b) (c) (d) Gambar 50. Perilaku tidur merak hijau di atas pohon; (a) jati, (b) randu hutan, (c) gebang dan (d) mimba Uji chi-square perilaku tidur menunjukkan bahwa merak hijau di TNAP memiliki peluang yang sama untuk melakukan aktivitas tidur di padang rumput Sadengan, hutan tanaman jati Gunting dan hutan Rowobendo ( = 0.247, P = 9.210), yang menandakan bahwa tipe habitat tidak mempengaruhi perilaku tidur merak hijau. Lain halnya, perilaku tidur merak hijau di TNB yang menunjukkan hasil bahwa tiap habitat yaitu savana, hutan pantai dan evergreen berpengaruh sangat nyata terhadap perilaku tidur merak hijau ( = , P < 0.01). Akan tetapi durasi aktivitas tidur merak hijau tidak terpengaruhi oleh tipe habitat baik di TNAP ( = 0.247, P = 9.210) maupun di TNB ( = 0.049, P = 9.210). Secara umumm merak hijau di TNAP tidur pada pukul WIB dan bangun pada pukul WIB, sedangkan di TNB aktivitas tidur merak hijau berkisar antara pukul WIB. Merak hijau di hutan Rowobendo memiliki durasi lebih lama tidurnya dibandingkan hutan tanaman jati Gunting dan padang rumput Sadengan, yaitu dengan durasi masing-msing secara berurutan

130 , dan detik/hari. Sementara durasi rerata merak hijau di savana Bekol melakukan aktivitas tidur lebih cepat dibandingkan dua lokasi lainnya di TNB, yaitu sebesar detik/hari (Table 22). Tabel 22. Rekapitulasi durasi perilaku tidur merak hijau di TNAP dan TNB Lokasi Durasi Rerata (detik/hari) Ragam Waktu (detik/hari) 2 Durasi Min. (detik/hari) Durasi Maks (detik/hari) TNAP Padang rumput Sadengan Hutan tanaman jati Gunting *) Hutan Rowobendo TNB Savana Bekol Hutan pantai Manting Hutan evergreen Keterangan: *) = Wilayah Perhutani Banyuwangi Selatan Aktivitas tidur merupakan aktivitas istirahat total pada hari senja hingga pagi hari setelah melakukan aktivitas seharian. Perilaku tidur merupakan serangkaian aktivitas guna mengistirahatkan seluruh bagian tubuhnya agar kembali bugar untuk melakukan aktivitas harian esok harinya. Hernowo (1995) menyatakan bahwa merak hijau menuju pohon tidur dengan cara terbang langsung ke pohon tidur atau melompat terlebih dahulu ke pohon yang lebih rendah kemudian melompat pada pohon tidurnya. Menurut Supratman (1998), perilaku tidur di TNAP dilakukan tidak langsung terbang ke pohon tidur, tetapi hinggap terlebih dahulu ke pohon lain yang lebih rendah, selanjutnya melompat lagi hingga sampai di pohon tidurnya. Hal ini bertujuan untuk menghemat energi serta merak hijau memilih tempat tidurnya yang nyaman dan aman. Secara umum merak hijau di TNAP tidur pada pukul WIB dan bangun pada pukul WIB, sedangkan di TNB aktivitas tidur merak hijau berkisar antara pukul WIB. Maryanti (2007) mencatat aktivitas tidur merak hijau dimulai pada pukul WIB di TNAP dan WIB di TNB. Menurut Sativaningsih (2005), merak hijau mulai bertengger di pohon tidurnya pukul WIB namun suara merak hijau masih terdengar hingga pukul WIB. Kesamaan waktu tersebut karena aktivitas tidur merupakan aktivitas alami yang relatif dilakukan oleh setiap individu merak hijau di setiap lokasi. Hasil uji chi-square di TNAP menunjukkan nilai χ 2 hitung lebih kecil dari χ 2 tab yang berarti tidak ada pengaruh tipe habitat terhadap frekuensi dan durasi

131 110 perilaku tidur. Namun, di TNB frekuensi tidur pada suatu tempat sangat dipengaruhi oleh tipe habitat. Tipe habitat yang ada di TNAP akan memiliki peluang yang sama sebagai tempat tidur merak hijau. Berbeda dengan tipe habitat yang terdapat di TNB, habitat savana, hutan pantai dan hutan evergreen akan mendapatkan peluang yang berbeda sebagai tempat tidur merak hijau. Walaupun merak hijau lebih memilih pohon tidurnya bukan memilih habitat tidur. Akan tetapi tidak semua habitat terdapat pohon yang sesuai untuk tempat tidur merak hijau. Di TNB merak hijau memilih tempat tidur berupa pohon dengan tinggi lebih dari 10 m, memiliki tajuk yang tidak rapat, percabangan bersudut tumpul atau mendekati lurus terhadap batang utama dan merupakan pohon paling tinggi diantara pohon sekitar serta terdapat areal terbuka di sekitar pohon tidurnya (Hernowo 1995). Menurut Supratman (1998) dan Wasono (2005), merak hijau di TNAP memilih pohon tidur dengan tinggi lebih dari 7 m, percabangan relatif tegak lurus dengan batang utama, memiliki tajuk tidak rapat bahkan tidur pada pohon sedang meranggas atau mati dan di sekitarnya terdapat areal terbuka serta merupakan pohon tertinggi dari pohon sekitar. 5.3 Persentase Seluruh Perilaku Harian pada Musim Berbiak Selama sehari merak hijau menghabiskan waktu untuk melakukan seluruh aktivitas sebanyak detik. Merak hijau betina melakukan aktivitas suara, kawin, makan, minum, menelisik, berjemur, mandi debu, istirahat, berlindung, naik pohon, tidur dan lain-lain, sedangkan merak hijau jantan ditambah dengan aktivitas display dan bertarung. Secara umum, aktivitas merak hijau di TNAP dan TNB memiliki aktivitas yang sama. Di TNAP merak hijau jantan dan betina menghabiskan sebagian waktunya untuk tidur, beristirahat dan makan (Gambar 51b dan 52b). Merak hijau jantan menghabiskan waktu untuk tidur sebanyak 48.13%, beristirahat sebanyak 21.99% dan makan sebanyak 17.96%, sedangkan merak hijau betina menghabiskan waktu untuk tidur sebanyak 47.97%, makan sebanyak 26.19% dan beristirahat sebanyak 19.87%. Sementara itu, perilaku harian merak hijau seperti berbiak dan lainnya

132 111 hanya bernilai dibawah 9% untuk merak hijau jantan dan 6% untuk merak hijau betina. (a) (b) (c) Gambar 51. Grafik persentase perilaku harian merak hijau jantan pada musim berbiak di TNAP; (a) grafik perilaku berbiak, (b) grafik perilaku utama (c) grafik perilaku lainnya. (a) (b) (c) Gambar 52. Grafik persentase perilaku harian merak hijau betina pada musim berbiak di TNAP; (a) grafik perilaku berbiak, (b) grafik perilaku utama (c) grafik perilaku lainnya. Perilaku berbiak merak hijau terdiri dari perilaku display, kopulasi (kawin) dan bersuara, sedangkan perilaku berbiak pada merak hijau betina terdiri dari perilaku bersuara dan kopulasi (Gambar 51a dan 52a). Perilaku berbiak merak hijau betina hanya meliputi bersuara dan kopulasi karena perilaku menarik pasangan dengan cara menari (display) hannya dilakukan oleh merak hijau jantan.

133 112 Perilaku display di perilaku berbiak merak hijau jantan memiliki perentase terbesar dibandingkan perilaku suara dan kopulasi, yaitu sebesar 98.24%. Hal ini disebabkan karena waktu pengambilan data merupakan saat musim kawin, sehingga merak hijau jantan sering melakukan aktivitas display. Untuk perilaku lainnya hanya berkisar 8.54% pada merak hijau jantan dan 5.89% pada merak hijau betina (Gambar 51c dan 52c). Perilaku lainnya pada merak hijau jantan terdiri dari perilaku berkelahi, mandi debu, berjemur, berlindung, minum dan menelisik, dengan peresentasi terbesar dimiliki oleh perilaku menelisik sebesar 24.18%. Perilaku berlindung pada merak hijau betina memiliki persentase terbesar diantara perilaku lainnya seperti perilaku mandi debu, berjemur, berlindung, minum dan menelisik, yaitu sebesar 21.81%. Aktivitas di atas pohon merupakan perilaku yang tidak teridentifikasi akibat keterbatasan pandangan peneliti. Sama hal dengan merak hijau di TNAP, merak hijau di TNB menghabiskan waktunya untuk melakukan aktivitas tidur, beristirahat dan makan (Gambar 53b dan 54b). Jika diurutkan aktivitas merak hijau jantan dan merak hijau betina dari proporsi yang paling besar ke paling kecil diawali dari perilaku tidur, istirahat, makan, lainnya dan berbiak. Merak hijau jantan menghabiskan waktu untuk tidur sebesar 45.20%, istirahat sebesar 24.98%, makan sebesar 19.49%, berbiak sebesar 2.92% dan perilaku lainnya sebesar 7.42%. Sementara merak hijau betina menghabiskan waktunya untuk melakukan tiga aktivitas besar diantaranya tidur sebesar 45.42%, istirahat sebesar 25.02% dan makan sebesar 23.65%, sedangkan perilaku berbiak dan lainnya dibawah angka 6%. Perilaku display pada perilaku berbiak merak hijau jantan TNB memiliki persentase terbesar yaitu sebesar 97.56%, sedangkan perilaku berbiak merak hijau betina hanya terdapat perilaku bersuara dan kopulasi (Gambar 53a dan 54a). Komposisi tersebut sama dengan merak hijau di TNAP karena merak hijau TNB pun saat penelitian bertepatan dengan musim berbiak. Sama halnya dengan perilaku lainnya di TNAP, perilaku menelisik (33.90%) merak hijau jantan TNB memiliki persentase terbesar dibandingkan perilaku yang lain. Dan merak hijau betina sering melakukan aktivitas berlindung (16.81%) dibandingkan dengan aktivitas mandi debu, minum, menelisik dan berjemur (Gambar 53c dan 54c).

134 113 (a) (b) (c) Gambar 53. Grafik persentase perilaku harian merak hijau jantan pada musim berbiak di TNB; (a) grafik perilaku berbiak, (b) grafik perilaku utama (c) grafik perilaku lainnya. (a) (b) (c) Gambar 54. Grafik persentase perilaku harian merak hijau betina pada musim berbiak di TNAP; (a) grafik perilaku berbiak, (b) grafik perilaku utama (c) grafik perilaku lainnya. Secara garis besar dalam sehari selama musim berbiak, merak hijau di TNAP dan TNB melakukan aktivitas suara, kawin, makan, minum, menelisik, berjemur, mandi debu, istirahat, berlindung, naik pohon, tidur dan lain-lain, serta ditambah dengan aktivitas display dan bertarung bagi merak hijau jantan. Sementara Maryanti (2007) menjabarkan aktivitas harian merak hijau berupa aktivitas bersuara, makan, minum, menelisik bulu, mandi debu, display, berjemur, berteduh, berlindung dan tidur. Sativaningsih (2005) menyatakan bahwa aktivitas

135 114 harian merak hijau dimulai pada saat bergerak dari posisi tidur di pohon tenggerannya sampai dengan kembali ke pohon tenggerannya untuk tidur kembali. Perilaku tidur merupakan perilaku dominan yang dilakukan merak hijau betina maupun jantan pada malam hari, yaitu berkisar antara pukul WIB baik di TNAP maupun TNB. Pada siang hari merak hijau memiliki persentase perilaku yang beragam. Namun, merak hijau jantan maupun betina TNAP dan TNB memiliki dua perilaku dengan persentase terbesar, yaitu istirahat (berteduh) dan makan. Kedua perilaku tersebut dapat dikatakan sebagai perilaku utama merak hijau pada siang hari. Maryanti (2007) menyatakan bahwa merak hijau menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berteduh % di TNAP dan % di TNB serta makan % di TNAP dan % di TNB. Sama halnya dengan Sativaningsih (2005) menyebutkan bahwa merak hijau di TNAP menggunakan waktunya untuk istirahat sebesar 48.6 % dan makan 40.1 %. Besarnya persentase aktivitas istirahat dalam aktivitas harian merak berkaitan dengan terik sinar matahari yang sangat panas dan lama saat musim kemarau, sehingga merak hijau akan menghentikan aktivitasnya ketika sinar matahari mulai panas dan akan kembali beraktivitas saat tidak terlalu panas. Perilaku utama lainnya adalah aktivitas makan. Aktivitas ini dilakukan dari mulai turun dari pohon tidur hingga naik kembali ke pohon tidurnya. Hal ini berkaitan dengan strategi merak hijau dalam mencukupi energi yang dibutuhkan untuk aktivitas hariannya dengan postur tubuh yang cukup besar dibandingkan dengan suku Phasianidae lainnya. 5.4 Implementasi terhadap Pengelolaan Perkembangbiakan bagi Merak hijau merupakan hal yang paling penting dalam keberlanjutan hidup di habitatnya. Maka dari itu dengan mengupayakan kegiatan konservasi pada masa berkembangbiak dapat menjaga kelestariannya di alam. Upaya-upaya yang dapat dilakukan diantaranya: 1. Perlindungan terhadap tempat-tempat yang berpotensi sebagai tempat bersarang (peletakan telur) dan jalur-jalur atau tempat kawin. Berdasarkan penelitian 15 tahun terakhir, merak hijau cenderung memiliki sarang dan tempat display ataupun kawin yang relatif sama. Berdasarkan hal

136 115 tersebut pengelola dapat mengantisipasi gangguan terhadap proses berbiak. Karena proses berbiak yang berbeda dengan ayam hutan yang mengejar betina yang diinginkannya dan mengawininya dengan sedikit paksaan, sementara merak hijau harus melakukan display dan pemilihan yang selektif dalam memilih pasangannya dengan waktu yang cukup lama. Apabila terjadi gangguan dalam proses tersebut memungkinkan merak hijau tidak akan melakukan perkawinan yang akan berakibat fatal pada keberadaan jenis tersebut di habitatnya (kepunahan). Merak hijau melakukan aktivitas display dan kawin pada areal terbuka, sehingga dengan menjaga ketinggian tumbuhan bawah dan rerumputan akan menjadikan areal tersebut tetap terbuka dan nyaman digunakan merak hijau untuk display dan kawin. Areal terbuka digunakan merak hijau untuk display di antara bulan Juni hingga Desembar di TNAP dan Juli hingga Januari di TNB. 2. Larangan atau pembatasan jumlah pengunjung ketika musim berbiak pada jalur-jalur berbiak. Merak hijau di TNAP dan TNB sering menggunakan tempat-tempat rawan gangguan sebagai tempat menarik pasangannya untuk kawin, yaitu jalan utama kawasan. Pengelola dapat melakukan pengurangan maupun pembatasan jumlah pengunjung yang datang bahkan dapat melakukan pembagian waktu penggunaan kendaraan yang akan memasuki kawasan. Pembagian waktu tersebut berdasarkan waktu aktif merak hijau berakivitas di jalanan, yaitu kendaraan dilarang masuk pada diantara pukul dan WIB. Untuk jumlah pengunjung yang ideal saat musim berbiak dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Dalam hal ini pengelola melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi. 3. Pengambilan telur merak hijau untuk ditetaskan dan dikembalikan ke alam setelah cukup dewasa. Saat pengamatan di TNB ditemukan aktivitas pencurian telur merak hijau yang tertangkap tangan oleh petugas (Gambar 55). Berdasarkan kejadian tersebut pengelola dapat mengambil tindakan penyelamatan telur untuk ditetaskan dan dikembalikan ke alam ketika sudah cukup umur. Akan tetapi kegiatan tersebut hanya dapat dilakukan pada kondisi telur sitaan dan lokasi

137 116 yang rawan pencurian telur, sedangkan pada lokasi yang cukup aman pengelola hanya perlu melakukan penjagaan sarang dan telur merak hijau dengan cara patrol rutin yang lebih intensif pada musim berbiak merak hijau yaitu pada bulan September hingga Desember baik di TNAP maupun TNB. Karena penjagaan sarang dan telur di habitat alaminya lebih efektif dan tidak beresiko terhadap perilaku merak hijau dalam jangka panjang. Berbeda halnya dengan penetasan telur secara buatan akan membutuhkan biaya yang besar yang resiko terhadap perilaku dan daya adaptasi merak hijau terhadap habitatnya. Foto by: Dokumentasi TNB Foto by: Dokumentasi TNB Gambar 55. Telur sitaan petugas TNB 4. Membuat lokasi pengkonsentrasian merak hijau. Merak hijau saat musim berbiak menyukai tempat terbuka dengan terdapat pepohonan (tegakan) di tepiannya sebagai tempat berkumpul (beraktivitas). Akan tetapi pembuatan tempat terbuka (pengkonsentrasian) untuk merak hijau tidak boleh sembarangan karena pengelolaan tersebut butuh penelitian lebih lanjut mengenai luasan optimal dan jumlah shelter serta cover untuk keberlangsungan hidup merak hijau. Untuk itu pengelola harus melakukan kerjasama aktif dengan pihak perguruan tinggi yang terutama bergerak dalam bidang konservasi.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR MARYANTI

EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR MARYANTI EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR MARYANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR MARYANTI

EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR MARYANTI EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR MARYANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Merak Hijau (Pavo muticus) Merak hijau (Pavo muticus) termasuk dalam filum chordata dengan subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah

Lebih terperinci

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Hari ke Total

LAMPIRAN. Hari ke Total LAMPIRAN Tabel 1.Populasi merak hijau jawa di TNAP tahun 2006 Sadengan 34 26 24 20 18 20 25 26 26 32 251 Rowobendo 36 39 47 45 52 50 51 37 35 49 62 Guntingan 10 8 6 3 3 4 6 5 7 10 441 Sumber Gedang 4 2

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Penyebaran merak hijau di Pulau Jawa (Sumber : Keterangan : : penyebaran saat ini : penyebaran historis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Penyebaran merak hijau di Pulau Jawa (Sumber :  Keterangan : : penyebaran saat ini : penyebaran historis II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyebaran di Pulau Jawa Penyebaran merak hijau di Indonesia hanya ada di Pulau Jawa, yaitu di beberapa taman nasional di daerah hutan dataran rendah, terutama di daerah Jawa bagian

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

HABITAT AND LOCAL DISTRIBUTION OF JAVAN GREEN PEAFOWL 'I\ (Pnvo nzuticus muticus Linneaus 1758) IN BALURAN NATIONAL PARK, EAST JAVA

HABITAT AND LOCAL DISTRIBUTION OF JAVAN GREEN PEAFOWL 'I\ (Pnvo nzuticus muticus Linneaus 1758) IN BALURAN NATIONAL PARK, EAST JAVA Media Ko~~scrvasi Vol. VI, No. 1, Agustus 1999 : 15-22 HABITAT AND LOCAL DISTRIBUTION OF JAVAN GREEN PEAFOWL 'I\ (Pnvo nzuticus muticus Linneaus 1758) IN BALURAN NATIONAL PARK, EAST JAVA (Kajian terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : kuntul kecil, pulau serangan, aktivitas harian, habitat, Bali

ABSTRAK. Kata kunci : kuntul kecil, pulau serangan, aktivitas harian, habitat, Bali ABSTRAK Penelitian tentang aktivitas burung kuntul kecil (Egretta garzetta) dilakukan di Pulau Serangan antara bulan Mei dan Juni 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas harian burung

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

BAB VI. EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU JAWA

BAB VI. EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU JAWA BAB VI. EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU JAWA 6.1 PENDAHULUAN 6.1.1 Latar Belakang Merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) dahulu tersebar mulai dari Malaysia dan P Jawa, dan tidak terdapat di Sumatra maupun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember 2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini untuk

Lebih terperinci

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN. Oleh : RINI NOVI MARLIANI E

STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN. Oleh : RINI NOVI MARLIANI E STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN Oleh : RINI NOVI MARLIANI E34101037 DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

065 PERILAKU SEKSUAL MONYET EKOR PANJANG (Mncncn fascic~lnris) Di BUM1 PERUMAHAN PRAMUKA CIBUBUR, JAKARTA LILA MULYATI

065 PERILAKU SEKSUAL MONYET EKOR PANJANG (Mncncn fascic~lnris) Di BUM1 PERUMAHAN PRAMUKA CIBUBUR, JAKARTA LILA MULYATI 2cB8 065 PERILAKU SEKSUAL MONYET EKOR PANJANG (Mncncn fascic~lnris) Di BUM1 PERUMAHAN PRAMUKA CIBUBUR, JAKARTA LILA MULYATI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU REPRODUKSI MERAK HIJAU (Pavo muticus) PADA UMUR YANG BERBEDA DI UD. TAWANG ARUM KECAMATAN GEMARANG, KABUPATEN MADIUN SKRIPSI.

TINGKAH LAKU REPRODUKSI MERAK HIJAU (Pavo muticus) PADA UMUR YANG BERBEDA DI UD. TAWANG ARUM KECAMATAN GEMARANG, KABUPATEN MADIUN SKRIPSI. TINGKAH LAKU REPRODUKSI MERAK HIJAU (Pavo muticus) PADA UMUR YANG BERBEDA DI UD. TAWANG ARUM KECAMATAN GEMARANG, KABUPATEN MADIUN SKRIPSI Oleh : NILA DUHITA NARESWARI PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung selama bulan

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

HASIL. Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan. Nesting room di dalam rumah walet

HASIL. Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan. Nesting room di dalam rumah walet HASIL Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan Pengamatan perilaku walet rumahan diamati dengan tiga unit kamera IR- CCTV. Satu unit kamera IR-CCTV tambahan digunakan untuk mengamati

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

Tingkah Laku Reproduksi Merak Hijau (Pavo Muticus) pada Umur yang Berbeda di UD. Tawang Arum Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun

Tingkah Laku Reproduksi Merak Hijau (Pavo Muticus) pada Umur yang Berbeda di UD. Tawang Arum Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun Tingkah Laku Reproduksi Merak Hijau (Pavo Muticus) pada Umur yang Berbeda di UD. Tawang Arum Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun Reproductive Behavior of Green Peafowl (Pavo muticus) in Different Age

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Mega Bird and Orchid farm, Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni hingga Juli 2011. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI.

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI. PEMETAAN PENYEBARAN POLUTAN SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON BAKHTIAR SANTRI AJI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

PERILAKU HARIAN ANAK GAJAH SUMATERA (Elephas maximus sumateranus) DI PUSAT KONSERVASI GAJAH TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS LAMPUNG

PERILAKU HARIAN ANAK GAJAH SUMATERA (Elephas maximus sumateranus) DI PUSAT KONSERVASI GAJAH TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS LAMPUNG PERILAKU HARIAN ANAK GAJAH SUMATERA (Elephas maximus sumateranus) DI PUSAT KONSERVASI GAJAH TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS LAMPUNG Skripsi Sebagai tugas akhir untuk memenuhi syarat mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat. B. Alat

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik (perairan)

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia besar yang hidup di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1823), satwa berkuku genap ini mempunyai peranan

Lebih terperinci

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI ( Tectona grandis Linn. f) PADA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA AHSAN MAULANA DEPARTEMEN HASIL HUTAN

Lebih terperinci

PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI

PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA MENUJU PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL MANDIRI: PENGELOLAAN BERBASIS RESORT, DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, KABUPATEN BANYUWANGI, JAWA TIMUR Bidang Kegiatan : PKM Artikel Ilmiah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI

PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI PERENCANAAN PROGRAM INTERPRETASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT ADAM FEBRYANSYAH GUCI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Penangkaran UD Anugrah Kediri, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Juni-Juli 2012.

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI (Shorea spp.) PADA AREAL PMUMHM DI IUPHHK PT. ITCI Kartika Utama KALIMANTAN TIMUR YULI AKHIARNI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember

BAB III METODE PENELITIAN. Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep Madura Jawa Timur, dilaksanakan pada bulan November sampai dengan bulan Desember 2016. Gambar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu Troides helena (Linn.) Database CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) 2008 menyebutkan bahwa jenis ini termasuk

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Study of Wallow Characteristics of Javan Rhinoceros - Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822 in

Lebih terperinci

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI BURUNG CEMDRAWASIH KUNlNG KECIL ( Paradisaea minor ) SKRIPSI Oleh RlSFlANSYAH B 21.0973 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITWT PERTANIAN BOGOR 1990 RINGKASAN RISFIANSYAH.

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUASAN PENGUNJUNG DAN PENGEMBANGAN FASILITAS WISATA DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN KABUPATEN LANGKAT PROVINSI SUMATERA UTARA

KAJIAN KEPUASAN PENGUNJUNG DAN PENGEMBANGAN FASILITAS WISATA DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN KABUPATEN LANGKAT PROVINSI SUMATERA UTARA KAJIAN KEPUASAN PENGUNJUNG DAN PENGEMBANGAN FASILITAS WISATA DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN KABUPATEN LANGKAT PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : Irni Indah Sari Nst 051201010 Manajemen Hutan DEPARTEMEN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran besar dan memiliki warna sayap yang menarik sehingga sering diambil dari alam untuk dijadikan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 22 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 hari (waktu efektif) pada Bulan April 2012 di Pulau Anak Krakatau Kawasan Cagar Alam Kepulauan Karakatau (Gambar

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Taksonomi dan Deskripsi Burung Walet Terdapat beberapa jenis Burung Walet yang ditemukan di Indonesia diantaranya Burung Walet Sarang Putih, Burung Walet Sarang Hitam, Burung

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2014 di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING S. SOPIYANA, A.R. SETIOKO, dan M.E. YUSNANDAR Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN SKRIPSI Oleh : PARRON ABET HUTAGALUNG 101201081 / Konservasi Sumber Daya Hutan PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

HUBUNGAN AKTIVITAS KOMUNIKASI ORGANISASI DENGAN PENGHAYATAN BUDAYA PERUSAHAAN (Kasus di PT. Madu Pramuka, Cibubur - Jakarta Timur)

HUBUNGAN AKTIVITAS KOMUNIKASI ORGANISASI DENGAN PENGHAYATAN BUDAYA PERUSAHAAN (Kasus di PT. Madu Pramuka, Cibubur - Jakarta Timur) HUBUNGAN AKTIVITAS KOMUNIKASI ORGANISASI DENGAN PENGHAYATAN BUDAYA PERUSAHAAN (Kasus di PT. Madu Pramuka, Cibubur - Jakarta Timur) SKRIPSI DEWI SHINTA KOMALA SARI PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI Oleh : PUTRI SINAMBELA 071201035/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Pengamatan Burung di Resort Perengan Seksi Konservasi Wilayah I Pandean dalam Upaya Reinventarisasi Potensi Jenis Oleh : Nama : Arif Pratiwi, ST NIP : 710034820

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17 persen dari jumlah seluruh spesies burung dunia, 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik (Sujatnika, Joseph, Soehartono,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung 21 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung Balak Resort Muara Sekampung Kabupaten Lampung Timur. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel : 19-20 November KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA Yusrina Avianti Setiawan 1), Muhammad Kanedi 1), Sumianto 2), Agus Subagyo 3), Nur Alim

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN TAMAN NASIONAL BALURAN 2006 I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Savana merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci