EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR MARYANTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR MARYANTI"

Transkripsi

1 EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR MARYANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

2 Judul Skripsi : Ekologi Perilaku Merak Hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran, Jawa Timur Nama : Maryanti NIM : E Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Menyetujui, Pembimbing Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F Ketua Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. NIP Tanggal Lulus : 31 Januari 2007

3 EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR MARYANTI E Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

4 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat 4JJ1 SWT yang telah melimpahkan rahmat-nya berupa kesempatan, kesehatan, rejeki, dan kasih sayang yang tidak pernah berhenti. Atas karunia-nya pula, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menuliskan hasilnya yang berjudul Ekologi Perilaku Merak Hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dengan perasaan yang tenang, nyaman, dan damai. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan. Di dalam skripsi ini memuat aktivitas, pola, mekanisme, dan strategi merak hijau yang berhubungan dengan lingkungan. Adanya skripsi ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam upaya pelestarian satwaliar pada umumnya dan merak hijau pada khususnya. Proses penelitian dan penyusunan skripsi membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Dalam masa itu, penulis banyak dibantu oleh pihak-pihak yang senantiasa mendukung baik dengan materiil maupun moril. Dalam penyampaian skripsi ini pula, penulis tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritikan dan saran yang membangun sebagai pertimbangan untuk penelitian-penelitian berikutnya.. Bogor, Januari 2007 Penulis

5 UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada 4JJ1 SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia dan kepada berbagai pihak yang telah membantu selama proses pengambilan data dan penyusunan skripsi, diantaranya : 1. Bapak, Ibu, kakak beserta keluarga atas kasih sayang, dukungan, dan doadoanya hingga penulis mampu mencapai tahap ini 2. Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F. selaku Pembimbing Utama yang telah bersedia membimbing, mengarahkan, memberikan dorongan semangat serta bantuan dana 3. Dr. Ir. Ulfah Juniarti, M.Agr. sebagai Penguji dari Departemen Silvikultur dan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc. sebagai Penguji dari Departemen Hasil Hutan yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji penulis 4. Balai Taman Nasional Alas Purwo dan pegawai (Mas Gendut, Mas Joko, Mas Ajir, Mas Nano, Mbak Dian, Mas Handoko, Pak Hudiyono, Pak Misijo, Pak Harto, Mas Cipto, Mbah Sampun) atas bantuannya selama di Alas Purwo 5. Balai Taman Nasional Baluran dan pegawai (Pak Syam, Mas Nanang, Mas Taufik, Mas Toha, Pak Siswanto, Pak Dikar, Mas Sis, Pak Arja, Mas Yusuf, Pak Agus, Mbak Nia, Pak Tono) atas bantuannya selama di Baluran 6. Bapak Mochdor dan keluarga di Banyuwangi atas segala bentuk bantuan, rasa kekeluargaan dan kebersamaan 7. Bapak Ponidi dan keluarga di Alas Purwo atas makanan dan rasa kekeluargaan 8. Teman seperjuangan (Adhe dan Mbak Kuncup) atas persahabatannya selama di lapangan 9. Mas Efri atas computer sewaannya dan Erry Wedhoozz atas komputer Aurora nya 10. Keluarga Besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata beserta pegawai yang telah membantu penulis dalam mencapai kelulusan

6 11. Sahabat : Gugum, Ghufron, Susie, Sari, Teti, Andrian, Ibeth dan Keluarga Besar Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata angkatan 39 atas persahabatan dan kenangan manis yang terlalu indah untuk dilupakan 12. Pondok Surya Poenya (Fau, Iin, Ella, Tri, Esti, Novia, Tia, Ika, Gendhis, Risul) atas semangat, dukungan dan persahabatan 13. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dan memberikan persahabatannya kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung Tak ada kata yang dapat mewakili apa yang ada di hati. Hanya sedikit goresan tinta yang dapat tercetak. Dan hanya itu yang dapat penulis berikan. Bogor, Januari 2007 Penulis

7 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Januari 1984 di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Penulis merupakan anak kedua dari 2 bersaudara dari pasangan Bapak Marto Mariyo dan Ibu Sutinem. Pada tahun 1990, penulis masuk ke SD Negeri Nglegok I dan lulus pada tahun Kemudian, penulis melanjutkan ke SLTP Negeri I Karangpandan dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama, penulis masuk ke SMU Negeri I Karanganyar dan lulus pada tahun Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjalani masa perkuliahan, penulis aktif di beberapa kelembagaan yaitu BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Kehutanan sebagai staf Kemahasiswaan dan Kesejahteraan Mahasiswa pada tahun Penulis juga tercatat sebagai anggota IFSA (International Forestry Student Association) pada 2 periode yaitu periode dan dilanjutkan periode Selain itu, penulis juga aktif di HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan) pada periode sebagai anggota. Pada tahun 2004 hingga sekarang, penulis aktif di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) UKF (Uni Konservasi Fauna) dan pernah menjabat sebagai Ketua Departemen Infokom pada periode Penulis juga pernah menjadi Asisten Praktikum pada MK Dendrologi pada semester 5 dan Asisten Praktikum MK Ekologi Satwaliar pada semester 7 dan 9 dan MK Pengelolaan Satwaliar pada semester 9. Pada bulan Juni 2004 penulis mengikuti kegiatan Ekspedisi Global ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan selama 20 hari. Penulis juga mengikuti kegiatan magang di Taman Nasional Way Kambas pada bulan Juli 2004 yang dilaksanakan selama 2 minggu. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan lapang ke Pulau Rambut, Cagar Alam Yanlapa, TWA Telaga Warna, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Bodogol dan Cibodas) serta survey Ekspedisi Global di Taman Nasional Alas Purwo.

8 Observasi Kolaboratif pernah diikuti oleh penulis pada bulan April 2005 di Cagar Alam Leuweung Sancang. Praktek lapangan yang juga diikuti oleh penulis diantaranya adalah Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H). Praktek Pengenalan Hutan dilaksanakan di BKPH Baturaden KPH Banyumas Timur dan BKPH Cilacap KPH Banyumas Barat pada bulan Juli 2005 selama 10 hari yang dilanjutkan dengan Praktek Pengelolaan Hutan di KPH Banyumas Barat hingga bulan Agustus Praktek Kerja Lapangan (PKL) dilakukan di Taman Nasional Baluran pada bulan Februari- Maret Untuk menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul Ekologi Perilaku Merak Hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran, Jawa Timur pada bulan Juli- September 2006 di bawah bimbingan Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F.

9 MARYANTI. Ekologi Perilaku Merak Hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Dibimbing oleh Ir. Jarwadi Budi Hernowo, MSc.F. RINGKASAN Merak hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) berstatus vulnerable (IUCN, 2004) dan terancam secara global oleh ICBP (1988) serta jenis dilindungi di Indonesia. Namun, keberadaan merak hijau tersebut mendapatkan tekanan di berbagai lokasi penyebarannya. Kamampuan untuk bertahan hidup merak hijau merupakan aspek kajian yang cukup menarik karena keberadaan dan kemungkinan punahnya belum diketahui. Perilaku merak hijau merupakan unsur penting untuk menjawab hal tersebut. Data perilaku merak hijau diambil di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran dengan metode purposive sampling yang contohnya diambil dengan metode ad-libitum sampling. Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Merak hijau mengawali aktivitas hariannya dengan mengeluarkan suara yang teridentifikasi adalah 6 tipe suara. Tipe suara yang merupakan alat komunikasi utama dan paling sering terdengar adalah tipe suara I yaitu auwo...auwo.... Tipe suara yang digunakan sebagai penanda terjadinya komunikasi utama sering dilakukan dengan saling bersahutan satu sama lain. Perilaku menelisik bulu dilakukan untuk merapikan bulu dan membuang kotoran, kutu dan benda asing yang menempel di bulunya dan biasanya hanya mengambil porsi waktu yang sedikit yaitu 1-10 menit di TNAP dan 1-8 menit di TNB. Strategi menelisik bulu merak hijau dilakukan di areal terbuka dengan durasi cepat dan di tempat yang rapat dengan bertengger di pohon. Aktivitas ini dilakukan pada berbagai perilaku utama seperti bertengger, makan, berteduh dan istirahat, berjemur, dan sehabis display. Perilaku makan merak hijau dilakukan sambil berjalan. Mekanisme ini merupakan strategi merak hijau untuk mendapatkan porsi pakan yang lebih banyak.. Perilaku makan ini dilakukan selama 4-5 jam di pagi hari dan 3-4 jam di sore hari di TNAP dan selama 2-6 jam di pagi hari dan 2-3 jam di sore hari di TNB. Strategi lain yang dilakukan dalam rangka untuk menjaga keamanan adalah sewaktu makan merak hijau terkadang menegakkan kepalanya untuk mengawasi keadaan. Perilaku berjemur dilakukan oleh merak hijau untuk menghangatkan diri. Aktivitas berjemur di TNAP ini berlangsung antara menit. Di TNB aktivitas berjemur berlangsung selama 1-60 menit. Strategi yang digunakan adalah dengan memilih tempat yang langsung terkena matahari dan lebih tinggi dari sekitarnya. Perilaku display dilakukan oleh merak hijau jantan untuk menarik perhatian merak hijau betina yang dilakukan selama 0-18 menit di TNAP dan 0-28 menit di TNB. Perilaku display dapat dilakukan secara bergantian antara jantan satu dengan lainnya. Strategi yang digunakan untuk menarik perhatian merak hijau betina adalah ketika merak hijau betina mendekat, merak hijau jantan akan menggoyangkan jambulnya. Strategi lain adalah dengan memilih lokasi yang terbuka dan bila panas di bawah bayangan pohon. Perilaku minum merak hijau di TNAP dilakukan sebelum atau sesudah makan baik pagi maupun sore hari dan di TNB setelah bangun tidur, sebelum atau sesudah makan, di antara waktu berteduh dan istirahat, dan sebelum tidur. Di TNAP frekuensi pengambilan air ini berkisar antara 7-42 tegukan selama 2-8 menit. Sedangkan di TNB berkisar antara tegukan selama 1-18 menit. Strategi yang digunakan merak hijau untuk minum adalah dengan berhenti sesaat ketika menegakkan kepalanya untuk menelan air sambil mengawasi keadaan. Perilaku mandi debu dilakukan untuk merawat tubuh merak hijau dari benda asing dan ektoparasit. Di TNAP, mandi debu dilakukan setelah aktivitas makan berakhir, sebelum dan saat aktivitas berteduh dan istirahat dimulai hingga aktivitas makan sore dimulai. Mandi debu ini dilakukan antara pukul WIB WIB selama 8-28 menit. Di TNB, mandi debu dilakukan setelah merak minum dan sebelum minum yaitu antara pukul WIB WIB selama 1-30 menit.. Merak hijau lebih memilih tempat yang terbuka untuk mandi debu dan juga melakukan mandi debu setelah aktivitas makan pagi dan ketika aktivitas berteduh dan istirahat berlangsung. Perilaku berteduh dan istirahat merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh merak hijau dalam upaya untuk menghindari panas matahari. Aktivitas berteduh dan istirahat biasanya dilakukan setelah aktivitas makan berakhir hingga menjelang makan lagi. Perilaku ini

10 dilakukan selama 3-7 jam di TNB dan 3-8 jam di TNAP. Strategi yang dipakai adalah dengan melakukan pemilihan tempat teduh yaitu di pohon yang tajuknya cukup lebat, dekat tempat terbuka, atau di bawah semak-semak yang tertutup dalam rangka untuk keamanan. Perilaku berlindung dilakukan oleh merak hijau ketika ada gangguan baik yang berasal dari predator maupun manusia. Strategi berlindung untuk menghindari gangguan adalah dengan cara menjauh, terbang ke arah pohon yang tajuknya lebat atau masuk ke dalam semak-semak. Di TNAP merak hijau mulai tidur pada pukul WIB dan bangun pukul WIB. Di TNB, merak mulai naik ke pohon tidur pukul WIB dan mulai turun dari pohon tidur pukul WIB. Pemilihan pohon tidur yang dekat dengan tempat makan dan terdapat pohon yang lebih rendah untuk naik secara bertahap merupakan strategi yang digunakan oleh merak hijau untuk tidur. Selain itu, merak hijau tidur secara berkelompok supaya dapat saling menjaga satu sama lain. Perilaku sosial merak hijau terlihat ketika merak hijau sedang makan, mandi debu, berteduh dan istirahat, tidur, dan minum. Hubungan antar dua merak hijau jantan tidak akur yang terlihat dengan terjadinya pengusiran dan pertarungan di antara mereka. Merak hijau memiliki interaksi netral dengan herbivora dan ayam hutan serta negatif dengan monyet ekor panjang, elang, ajag dan predator lainnya. Perilaku bersuara, makan, display, minum, dan berlindung merak hijau dikelompokkan menjadi 2 yaitu kelompok pagi yaitu antara pukul WIB dan kelompok sore yaitu antara pukul WIB. Sedangkan, perilaku berjemur hanya dilakukan pada pagi hari. Perilaku menelisik bulu terjadi di berbagai perilaku utama yaitu sebelum turun dari tenggeran, makan, display, berteduh dan istirahat. Merak hijau akan berteduh dan istirahat antara pukul WIB. Perilaku mandi debu biasanya dilakukan pada siang hari ketika merak hijau berteduh. Akan tetapi, di TNB merak hijau mandi debu dijumpai antara pukul WIB. Perilaku tidur dimulai pada pukul WIB dan diakhiri pada pukul WIB esok harinya. Sebaran waktu perilaku menelisik bulu, display, berjemur, mandi debu, dan berteduh dan istirahat memiliki nilai durasi rata-rata dan ragam yang tinggi pada tipe habitat padang penggembalaan di TNAP serta savana di TNB. Nilai ragam perilaku tersebut secara berurutan yaitu , , , , dan di TNAP dan , , , , dan di TNB dalan satuan detik. Sedangkan, perilaku makan di TNAP lebih beragam di padang penggembalaan dan di TNB lebih beragam di hutan pantai. Begitu pula dengan perilaku minum yang menunjukkan nilai ragam yang tinggi di padang penggembalaan TNAP dan hutan pantai TNB. Nilai ragam perilaku berlindung tinggi di areal tumpangsari TNAP dan di TNB tidak ada nilainya. Berdasarkan hasil uji chi-square frekuensi perilaku merak hijau terhadap berbagai tipe habitat menunjukkan bahwa di TNAP perbedaan tipe habitat tidak memberikan pengaruh yang nyata pada tipe suara, makan, berjemur, display, mandi debu, berteduh dan istirahat, berlindung, dan hubungan antar merak hijau jantan. Tipe habitat mempengaruhi frekuensi perilaku menelisik bulu dan minum. Di TNB, perbedaan tipe habitat juga tidak memberikan pengaruh yang nyata pada frekuensi perilaku bersuara, menelisik bulu, makan, berjemur, display, mandi debu, berteduh dan istirahat dan hubungan antar merak hijau jantan. Namun, tipe habitat mempengaruhi pada frekuensi perilaku berlindung. Proporsi atau presentase penggunaan waktu harian oleh merak hijau lebih banyak digunakan untuk berteduh dan istirahat yaitu % di TNAP dan % di TNB serta makan % di TNAP dan % di TNB. Sedangkan, aktivitas yang lain hanya mendapat proporsi yang sedikit yaitu lebih kecil dari 5 % saja.

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... iii v vii I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 2 C. Manfaat Penelitian... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. Perilaku... 3 B. Bioekologi Merak Hijau Taksonomi Penyebaran Morfologi Habitat dan Pakan Perilaku Merak Hijau... 8 III. KONDISI UMUM LAPANGAN A. Taman Nasional Baluran B. Taman Nasional Alas Purwo IV. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian B. Alat dan Bahan C. Jenis Data yang dikumpulkan D. Metode Kerja E. Bentuk Perilaku dan Parameternya F. Analisis Data V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Perilaku Individu Merak Hijau a. Perilaku Bersuara b. Perilaku Menelisik Bulu c. Perilaku Makan d. Perilaku Berjemur e. Perilaku Display f. Perilaku Minum i

12 g. Perilaku Mandi Debu h. Perilaku Berteduh dan Istirahat i. Perilaku Berlindung j. Perilaku Tidur k. Perilaku Membuang Kotoran l. Perilaku Sosial Perilaku Harian Merak Hijau B. Pembahasan Perilaku Individu Merak Hijau a. Perilaku Bersuara b. Perilaku Menelisik Bulu c. Perilaku Makan d. Perilaku Berjemur e. Perilaku Display f. Perilaku Minum g. Perilaku Mandi Debu h. Perilaku Berteduh dan Istirahat i. Perilaku Berlindung j. Perilaku Tidur k. Perilaku Sosial Perilaku Harian Merak Hijau VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

13 DAFTAR TABEL 1. Tallysheet pengamatan perilaku merak hijau Rekapitulasi perilaku (bersuara, menelisik bulu, makan, berjemur, display, minum, mandi debu, berteduh dan istirahat, berlindung, tidur, dan sosial ) merak hijau di TNB dan TNAP Banyaknya tipe suara I yang terdengar di TNAP dan TNB Banyaknya tipe suara II yang terdengar di TNAP dan TNB Banyaknya tipe suara III yang terdengar di TNAP dan TNB Banyaknya tipe suara IV yang terdengar di TNAP dan TNB Banyaknya tipe suara V yang terdengar di TNAP dan TNB Hasil uji chi-square berbagai tipe suara dalam berbagai habitat Rekapitulasi perilaku menelisik bulu dalam berbagai perilaku utama Hasil uji chi-square perilaku menelisik bulu dalam berbagai perilaku utama Perbandingan frekuensi menelisik bulu antara merak hijau jantan dengan merak hijau betina dan merak hijau remaja Perbandingan perilaku menelisik bulu merak hijau di berbagai tipe habitat Hasil uji chi-square perilaku menelisik bulu dalam berbagai tipe habitat Perbandingan perilaku makan merak hijau di berbagai tipe habitat Hasil uji chi-square perilaku makan dalam berbagai tipe habitat Jenis-jenis pakan yang dimakan merak hijau di padang penggembalaan Sadengan dan areal tumpangsari TNAP Jenis-jenis pakan yang diduga dimakan merak hijau di TNB Perbandingan perilaku berjemur merak hijau di berbagai tipe habitat Hasil uji chi-square perilaku berjemur dalam berbagai tipe habitat Rekapitulasi perilaku display di pagi dan sore hari di TNAP dan TNB Perbandingan perilaku display merak hijau di berbagai tipe habitat Hasil uji chi-square perilaku display merak hijau di berbagai tipe 58 iii

14 habitat Frekuensi pengambilan air di TNAP dan TNB Perbandingan perilaku minum merak hijau di berbagai tipe habitat Hasil uji chi-square perilaku minum di berbagai tipe habitat Perbandingan perilaku mandi debu merak hijau di berbagai tipe habitat Hasil uji chi-square perilaku mandi debu di berbagai tipe habitat Rekapitulasi frekuensi perilaku berteduh dan istirahat di TNAP dan TNB Jenis-jenis pohon yang digunakan untuk berteduh dan istirahat di TNB dan tingkat kesukaannya Jenis-jenis pohon yang digunakan untuk berteduh dan istirahat di TNAP dan tingkat kesukaannya Perbandingan perilaku berteduh dan istirahat merak hijau berbagai tipe habitat Hasil uji chi-square perilaku berteduh dan istirahat di berbagai tipe habitat Perbandingan perilaku berlindung merak hijau di berbagai tipe habitat Hasil uji chi-square perilaku berlindung di berbagai tipe habitat Jenis pohon yang digunakan untuk tidur oleh merak hijau di TNAP dan tingkat kesukaannya Jenis pohon yang digunakan untuk tidur oleh merak hijau di TNB dan tingkat kesukaannya Perbandingan perilaku tidur merak hijau di TNAP dan TNB Hasil uji chi-square perilaku tidur di berbagai tipe habitat Hasil uji chi-square hubungan antar merak hijau jantan di berbagai tipe habitat Bentuk-bentuk hubungan merak hijau dengan satwaliar lain di TNAP Bentuk-bentuk hubungan merak hijau dengan satwaliar lain di TNB Alokasi rata-rata penggunaan waktu merak hijau di TNAP dan TNB.. 87 iv

15 DAFTAR GAMBAR 1. Peta Lokasi Taman Nasional Baluran Peta Lokasi Taman Nasional Alas Purwo Frekuensi dan penggunaan waktu bersuara merak hijau (a) TNAP, (b) TNB Sebaran tipe suara merak hijau di berbagai tipe habitat Perilaku menelisik bulu di Bekol TNB Histogram penggunaan waktu untuk menelisik bulu merak hijau di TNAP dan TNB Perilaku makan merak hijau (a) padang penggembalaan Sadengan, (b) hutan tanaman Merak hijau berjemur di areal tumpangsari TNAP Perilaku display (a) padang penggembalaan, (b) savana Bekol TNB, (c) areal tumpangsari Merak hijau jantan remaja display di Bekol Merak hijau jantan dewasa dan remaja display bersama di Bekol Histogram penggunaan waktu display oleh merak hijau di TNAP dan TNB Perilaku minum merak hijau (a) TNAP, (b) TNB, (c) minum dengan posisi mendekam Histogram penggunaan waktu minum merak hijau di TNAP dan TNB Histogram penggunaan waktu mandi debu merak hijau di TNAP dan TNB Bekas tempat mandi debu merak hijau di Rowobendo TNAP Merak hijau sedang berteduh di pohon di hutan tanaman TNAP Merak hijau berteduh di bawah pohon widoro bukol di Bekol Histogram penggunaan waktu berteduh dan istirahat oleh merak hijau di TNAP dan TNB Grafik sebaran terjadinya gangguan terhadap merak hijau di TNAP dan TNB Perilaku tidur (a) pohon gebang, (b) pohon mimba v

16 22. Kelompok merak hijau (a) makan, (b) berjalan, (c) minum Proses pengusiran merak hijau jantan oleh pejantan dominan di Bekol Interaksi merak hijau dengan rusa di Bekol Pola perilaku harian merak hijau (a) TNAP, (b) TNB Presentase penggunaan waktu harian oleh merak hijau (a) TNAP, (b) TNB vi

17 DAFTAR LAMPIRAN 1. Perilaku bersuara merak hijau Perilaku menelisik bulu merak hijau Perilaku makan merak hijau Perilaku berjemur merak hijau Perilaku display merak hijau Perilaku minum merak hijau Perilaku mandi debu merak hijau Perilaku berteduh dan istirahat merak hijau Perilaku berlindung merak hijau Perilaku tidur merak tidur Perilaku sosial merak hijau Uji hipotesis perilaku merak hijau di TNAP Uji hipotesis perilaku merak hijau di TNB Uji perilaku bersuara Uji perilaku menelisik bulu dalam berbagai perilaku utama Uji perilaku sosial antar merak hijau jantan vii

18 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merak hijau (Pavo muticus) merupakan burung yang tergolong langka dan terancam punah. Merak hijau termasuk satwa yang berstatus vulnerable (IUCN, 2004) dan dilindungi di Indonesia. Keberadaan merak hijau di Jawa sebagai jenis satwaliar yang terancam secara global, sangat menarik untuk dikaji, terutama strategi adaptasi perilaku yang berkaitan dengan gangguan pada lokasi penyebarannya serta perilaku merak hijau dalam menghadapi berbagai tekanan baik terhadap tipe habitat maupun populasinya. Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Alas Purwo merupakan taman nasional di ujung timur Jawa yang memiliki penyebaran merak hijau. Populasi Merak hijau di Seksi Konservasi Wilayah I Bekol Taman Nasional Baluran kurang lebih 120 ekor (Hernowo, 1995) dengan habitat utama savana, hutan musim, hutan pantai dan evergreen. Populasi merak hijau di Seksi Konservasi Wilayah I Rowobendo Taman Nasional Alas Purwo kurang lebih 50 ekor (Wasono, 2005) dengan habitat utama padang rumput dan hutan alam dataran rendah serta hutan tanaman jati dengan tumpangsari. Penelitian mengenai aktivitas, mekanisme dan strategi perilaku merak hijau jawa yang berkaitan dengan habitat yang beraneka ragam pada kedua taman nasional yaitu Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Alas Purwo sangat diperlukan. Informasi maupun data perilaku merak hijau jawa (aktivitas, mekanisme, strategi) dalam mengadaptasi lingkungan atau habitat yang berbeda pada kedua taman nasional tersebut juga masih sangat sedikit. Oleh karena itu, penelitian tentang ekologi perilaku merak hijau di tipe habitat yang berbeda dilakukan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pertimbangan yang mendasar bagi pengelolaan merak hijau sehingga keberadaan merak hijau tetap lestari.

19 B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mendeskripsikan dan mengidentifikasi aktivitas dan mekanisme perilaku (bersuara, menelisik bulu, makan, berjemur, display, minum, mandi debu, berteduh dan istirahat, berlindung, tidur, membuang kotoran, dan sosial) merak hijau di Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Alas Purwo baik secara kualitatif maupun kuantitatif berhubungan dengan perbedaan tipe habitat. 2. Mengidentifikasi strategi berperilaku merak hijau tersebut yang berhubungan dengan tipe habitat di kedua lokasi penelitian C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai : 1. Salah satu upaya untuk mengkonservasikan merak hijau dengan memperhitungkan strategi perilaku di dua tipe lingkungan. 2. Mendukung pengembangan pengelolaan Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Alas Purwo. 2

20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Menurut Hafes (1969) dalam staf Jurusan Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan IPB (1991) tingkah laku satwa didefinisikan sebagai segala tindak tanduk satwa yang terlihat akibat interaksi dengan lingkungan baik lingkungan luar maupun pengaruh dari dalam tubuh satwa itu sendiri. Menurut pendekatan ethologi, perilaku didefinisikan sebagai pergerakan yang dibuat oleh satwa termasuk perubahan dari motion menjadi nonmotion dalam merespon rangsangan eksternal dan internal (Craig, 1981). Ethologi sendiri diartikan oleh Immelmann (1980) sebagai ilmu yang bertujuan untuk menginvestigasi perilaku pergerakan dengan menggunakan suatu metode tertentu. Ethologi terdiri atas dua bagian yaitu observasi dan interpretasi perilaku satwa. Interpretasi satwa mencakup fungsi, sebab akibat dan aspek philogenetik yang sesuai dengan perilaku adaptasi dan mekanisme utama serta memungkinkan adanya perkembangan perilaku selama evolusi. McFarland (1993) juga menegaskan bahwa perilaku dihasilkan dari interaksi-interaksi kompleks antara rangsangan eksternal dan internal. Perilaku juga ditunjukkan oleh bagaimana cara informasi diproses oleh satwa. Sistem pengolahan informasi internal berlangsung selama perkembangan tubuh dari pembuahan telur hingga embrio atau satwa dewasa. Sedangkan, Carthy (1979) mempersepsikan bahwa perilaku merupakan suatu reaksi satwa pada lingkungan sekitar yang terpengaruh oleh variabel faktor internal. Reaksi tersebut biasanya berupa pergerakan. Pada tahun 1969, Scott dalam Sativaningsih (2005) mendefinisikan pola perilaku satwa sebagai bagian dari tingkah laku yang mempunyai fungsi khusus. Satu pola perilaku terdiri dari rangkaian gerakan berperilaku, sedangkan satu gerakan berperilaku dapat ditemukan dalam beberapa pola perilaku yang berbeda, sebab satu gerakan perilaku tidak mempunyai fungsi khusus. Satu sistem perilaku didefinisikan sebagai kumpulan pola perilaku yang mempunyai fungsi umum yang sama. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa terdapat sembilan sistem perilaku satwa, yaitu perilaku makan dan minum (ingestive behaviour), perilaku

21 mencari tempat bernaung dan berlindung (shelter seeking), perilaku bertentangan atau yang berhubungan dengan konflik antar satwa (agonistic behaviour), perilaku seksual (sexual behaviour), perilaku merawat tubuh (epimeletic behaviour), perilaku mendekati yang merawat (et epimeletic behaviour), perilaku meniru sesama (allelomimetic behaviour), perilaku membuang feses (eliminative behaviour), dan perilaku memeriksa lingkungannya (investigation behaviour). Setiap tingkah laku yang diperlihatkan seekor hewan mempunyai tiga tahapan yaitu tahap apetitif, konsumatoris, dan refraktoris. Tahap apetitif merupakan tahap awal dimulainya suatu tingkah laku, dimana satwa bersiap-siap melakukan tahap utama dari tingkah laku tersebut atau yang dinamakan tahap konsumatoris. Tingkah atau gerakan yang ditunjukkan pada tahap konsumatoris bersifat konstan atau stereotip yang menunjukkan kekhasan masing-masing satwa. Gerakan yang ditunjukkan setelah tahap konsumatoris berakhir termasuk dalam tahap refraktoris (Hafes, 1969 dalam staf Jurusan Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 1991; Immelman, 1980) Ekologi perilaku merupakan ilmu yang mempelajari tentang atribut-atribut perilaku yang bernilai adaptif dalam memecahkan permasalahan lingkungan untuk keberlanjutan reproduksi suatu individu (Alcock, 1989). Hal ini dipertegas lagi oleh Krebs & Davies (1987) yang menyatakan bahwa ekologi perilaku tidak hanya berkonsentrasi pada perjuangan satwa untuk bertahan hidup dengan mengeksploitasi sumberdaya dan menghindari predator, tetapi juga bagaimana perilaku tersebut berperan pada keberlanjutan reproduksi. Selain itu, ekologi perilaku juga berkonsentrasi terhadap evolusi perilaku adaptasi dalam hubungannya dengan sistem ekologi. Menurut Alcock (1989); Manning & Dawkins (1992) perilaku satwa secara tradisional dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu perilaku berdasar naluri (instinc behaviour) dan perilaku berdasar pembelajaran (learning behaviour). Kedua klasifikasi ini diasosiasikan dengan kepercayaan yang salah bahwa perilaku ditentukan oleh faktor genetik atau lingkungan dibandingkan faktor lain. Perbedaan instinc behaviour dengan learning behaviour bukan terletak pada tingkat dimana perilaku itu muncul ketika satwa menerima rangsangan dan bereaksi terhadap rangsangan tersebut. Learning behaviour muncul dari adanya 4

22 modifikasi pengalaman khusus dalam hidup satwa yang meliputi berbagai kategori klasik dan pengkondisian, pembelajaran spasial, imprinting dan belajar dari pengetahuan. Tingkah laku bersifat genetis, tetapi dapat berubah oleh lingkungan dan proses belajar hewan (Hafes, 1969 dalam staf Jurusan Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 1991). Beberapa bentuk perilaku tidak muncul hingga beberapa tahap perkembangan, tetapi berkembang tanpa adanya latihan yang jelas. Lingkungan berpengaruh pada perkembangan perilaku yaitu pada saat setelah lahir atau saat melahirkan, tetapi mungkin juga terjadi pada berbagai tahap perkembangan (McFarland, 1993). Terkadang satwa juga muncul tanpa melakukan sesuatu bahkan ketika lingkungannya berubah. Hal ini disebabkan karena terjadinya kegagalan dalam menerima perubahan tersebut dan dimungkinkan satwa akan merespon perubahan yang masih diingatnya (Carthy, 1979). Krebs & Davies (1987) juga menyebutkan bahwa setiap individu dalam satu spesies memiliki cara yang berbeda untuk mendapatkan sumberdaya, pasangan dan tempat bersarang yang sering dikenal dengan strategi. Strategi lebih jelasnya didefinisikan sebagai pola atau struktur perilaku yang digunakan oleh suatu individu dalam persaingan untuk mendapatkan sumberdaya. Strategi tersebut bisa dilakukan dalam lingkungan yang berbeda. Strategi terbaik yang dilakukan satwa tergantung pada habitatnya. B. Bioekologi Merak hijau 1. Taksonomi Merak hijau merupakan jenis burung yang berasal dari satu ordo yaitu ordo Galliformes. Ordo ini memiliki kaki yang kuat dan besar serta sayap yang relatif lebih kecil sehingga burung dari ordo ini akan lebih suka berjalan daripada terbang. Selain itu, jenis burung ini juga berasal dari famili Phasianidae. Famili ini identik dengan keindahan yang dimiliki oleh jenis ini terutama keindahan bulunya. Grzimeck (1972) menyatakan bahwa klasifikasi Merak hijau (Pavo muticus Linnaeus, 1766) adalah sebagai berikut: 5

23 Kingdom : Animalia Phyllum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Klas : Aves Sub Klas : Neornithes Ordo : Galliformes Sob Ordo : Galli Famili : Phasianidae Sub famili : Pavoninae Genus : Pavo Spesies : Pavo muticus Linnaeus, Penyebaran Merak hijau banyak dijumpai di Pulau Jawa, yaitu Ujung Kulon, Sindang Barang (Cianjur), Cikelet (Sukabumi), Jepara, Pati, Mantingan, Randu Blatug (Blora), Meru Betiri, Baluran, Alas Purwo, Gunung Raung, Krepekan, Lijen, Lebak Harjo dan Pasir Putih (Situbondo) (Balen, 1999 dalam Wasono, 2005). Selain itu, merak juga tersebar di Semenanjung Malaysia meskipun saat ini sudah dinyatakan punah. 3. Morfologi Menurut Mulyana (1988), Winarto (1993), Hernowo (1995), Supratman (1998), dan Hernawan (2003) morfologi Merak hijau adalah sebagai berikut : a. Merak jantan dewasa mempunyai jambul tegak di atas kepalanya dan dagu berwarna hijau kebiruan. Bulu hiasnya panjang berwarna campuran antara hijau emas dan perunggu sehingga kelihatan berkilau. Merak hijau jantan berukuran sangat besar dapat mencapai 210 cm. b. Merak hijau betina dewasa mempunyai komposisi warna tubuh sama dengan jantan, tetapi lebih lembut dan tidak cerah/ agak kusam serta tidak mempunyai bulu hias. Merak hijau betina berukuran 120 cm. c. Merak hijau muda memiliki bulu kurang cerah dan bulu-blu penutup ekornya belum tumbuh menyerupai betina muda, tetapi selalu dapat dibedakan oleh 6

24 kakinya yang lebih panjang. Jambul mulai tumbuh setelah anak merak berumur 2 minggi. Pada umur 2 bulan anak merak sudah memiliki bentuk tubuh dan bulu yang sempurna menyerupai Merak hijau betina dewasa tetapi ukurannya lebih kecil. d. Anak merak hijau memiliki dahi, mahkota dan tengkuk leher yang hampir seragam, berwarna coklat keemasan, halus dan bergaris-garis kuning tua. Garis coklat kehitaman melintasi tengkuk leher dari atas mata dan diterskan dengan garis coklat pucat pada bagian belakang dari mata. Lora dan bagian sisi dari mukanya berwarna kuning pucat dan tidak berbintk-bintik, sekitar leher berwarna kuning kecoklatan pucat. Punggung dan tungging berwarna coklat tua. Bulu-bulu bagian bawah berwarna kuning pucat dan bagian dada lebih gelap, dasar dari bulu-bulu tadi berwarna kelabu. Bulu-bulu penutup sayap berwarna putih sawo matang dengan bintik-bintik kecil kehitaman. 5. Habitat dan Pakan Habitat merak hijau adalah di hutan terbuka, pinggir sungai, hutan sekunder dan tepi pantai (King, et al, 1980 dalam Winarto, 1993). Menurut Glenister (1971) dalam Winarto (1993), merak tinggal di hutan-hutan terbuka yang terdapat semak belukar, rumput-rumput yang tinggi dan pohon-pohon sebagai tempat tinggalnya. Merak menyukai daerah dekat air dan biasanya dapat ditemukan di sepanjang tepi sungai besar, tetapi kadang-kadang juga ditemukan di tepi pantai. Sedangkan, menurut Hernowo (1995) merak hijau di Taman Nasional Baluran dapat ditemukan di semua vegetasi. Di Taman Nasional Baluran, merak hijau banyak dijumpai di daerahdaerah yang banyak terdapat vegetasi tingkat rumput, herba, semak, dan pohon yang dapat digunakan sebagai sumber makanan, cover, serta cukup tersedia air tawar untuk minum (Mulyana, 1988). Merak hijau banyak ditemukan di daerah savanna, hutan musim dan hutan pantai (Hernowo, 1995). Di Taman Nasional Alas Purwo, merak hijau dijumpai pada 3 tipe vegetasi yaitu hutan alam dataran rendah, hutan tanaman, dan daerah ekoton yang merupakan perbatasan antara padang penggembalaan dengan hutan alam dataran rendah. Banyaknya merak hijau yang ditemui ditempat ini karena tersedianya 7

25 tempat makan, minum, tidur, berteduh, berlindung dan beristirahat (Supratman, 1998). Merak hijau biasanya menyukai biji-bijian, daun-daunan, bunga-bungaan, buah-buahan, hewan-hewan kecil seperti cacing, serangga, amfibi, dan moluska (Mulyana, 1988; Winarto, 1993; Hernowo, 1995; Supratman, 1998; dan Hernawan, 2003). Berdasarkan penelitian terbaru Rini (2005), jenis pakan merak hijau di Taman Nasional Alas Purwo terdiri atas biji rumput, bunga rumput, daun rumput, jangkrik, belalang daun, ulat daun, semut dan rayap. 6. Perilaku Merak Hijau a) Perilaku Makan dan Minum Merak hijau mencari makan pada pagi dan sore hari yang sering disebut sebagai aktivitas makan primer. Sedangkan aktivitas makan sekunder terjadi pada waktu istirahat karena aktivitas makan ini bukan merupakan aktivitas utama (Mulyana, 1988; Winarto, 1993; Hernowo, 1995; Supratman, 1998; dan Hernawan, 2003). Aktivitas primer yaitu aktivitas utama yang dilakukan oleh satwa dalam selang waktu tertentu. Sedangkan aktivitas sekunder adalah aktivitas yang dilakukan pada saat aktivitas primer berlangsung. Aktivitas sekunder mengambil sedikit porsi waktu yang digunakan dalam aktivitas primer. Merak hijau makan dengan cara berjalan sambil mematuk-matuk bagian daun atau bunga rumput dan daun anakan, atau mematuk-matuk buah sambil hinggap pada cabang pohon bagian atas yang masih mampu menahan berat badannya, serta menelan serangga yang berhasil ditangkap setelah dikejar-kejar (Supratman, 1998). Winarto (1993) menyatakan bahwa merak hijau makan dengan mematuk makanan dengan menggunakan paruhnya dan memilih makanan di permukaan tanah dengan mengaiskan kedua tungkai kakinya. Perilaku makan antara merak jantan dan merak betina hanya berbeda pada jumlah pakan yang dimakan. Merak hijau jantan dewasa lebih banyak makan jika dibandingkan dengan merak hijau lainnya (Rini, 2005). Mulyana (1988) menjelaskan bahwa di Seksi Konservasi Wilayah II Bekol Taman Nasional Baluran, merak hijau mulai mencari makan pukul sampai dengan pukul WIB. Setelah waktu tersebut, merak hijau mencari makan di 8

26 bawah lindungan pohon. Pada sore hari, merak hijau mencari makan pada pukul WIB di savana hingga menjelang tidur pukul WIB. Hasil penelitian ini, dipertegas oleh Winarto (1993) yang menjelaskan bahwa aktivitas makan merak hijau di Seksi Konservasi Wilayah II Bekol berlangsung antara pukul dan antara WIB. Sedangkan, Hernowo (1995) menyatakan bahwa aktivitas merak hijau di Taman Nasional Baluran antara pukul WIB dan antara pukul WIB. Hernowo (1995) juga menyatakan bahwa merak hijau makan di daerah ekoton antara hutan musim dan savana. Di Taman Nasional Alas Purwo, aktivitas makan merak hijau di pagi hari dimulai pukul WIB dan berakhir pada pukul WIB dan sore hari dimulai pada pukul WIB dan berakhir pada pukul WIB. Terkadang, juga ditemukan merak hijau sedang melakukan aktivitas makan di siang hari yaitu pukul WIB apabila matahari tidak terlalu panas dan tidak turun hujan (Rini, 2005). Aktivitas makan merak hijau dilakukan sambil melakukan pergerakan. Aktivitas minum dilakukan setelah aktivitas makan selesai dengan cara berjalan ke tempat-tempat sumber air. Merak hijau minum dengan menjulurkan lehernya ke air secara berulang (Supratman, 1998). Sedangkan, menurut Mulyana (1988) merak minum dengan cara memasukkan paruhnya ke dalam air dan mengangkat kepalanya sebanyak 40 kali dalam 10 menit. Hernowo (1995) juga menyatakan bahwa merak hijau minum dengan cara memasukkan paruhnya ke dalam air untuk mengambil air yang dilanjutkan dengan mengangkat kepalanya ke atas hingga lehernya membentuk huruf S. Aktivitas ini dilakukan hingga merak hijau mendapat cukup air di dalam tubuhnya. Menurut Sativaningsih (2005) perilaku merak hijau yang tampak sebelum minum adalah mengawasi keadaan di sekitarnya dengan cara menegokkan leher dan kepala sebagai tanda waspada. Merak hijau minum pada posisi berdiri dan menjulurkan lehernya untuk mendapatkan air dengan memasukkan paruhnya ke dalam air. Setelah mengambil air, merak hijau menengadahkan kepalanya dan menelan air. Dia juga berpendapat merak hijau cenderung menggunakan sumber air yang berupa cekungan bekas injakan satwa lain untuk minum. 9

27 b) Perilaku Istirahat dan Tidur Merak hijau menyukai pohon-pohon yang tidak terlalu lebat yang mempunyai ketinggian 5-10 m di atas tanah untuk tempat tidur dan istirahatnya. Untuk mencapai tempat tersebut merak hijau terbang tegak lurus dari tanah dan kadang-kadang juga terbang dari satu pohon ke pohon lain (Hoogerwerf, 1970). Menurut Supratman (1998), perilaku tidur merak hijau di Taman Nasional Alas Purwo dilakukan setelah aktivitas makan sore selesai. Biasanya, merak hijau tidak langsung terbang ke pohon tidur, tetapi hinggap dulu ke pohon lain yang lebih rendah, terus meloncat lagi hingga sampai di pohon tidurnya. Sebelum tidur, merak hijau melakukan berbagai aktivitas seperti menelisik bulu dan bersuara. Hal senada juga disampaikan oleh Sativaningsih pada tahun Pada tahun 1995, Hernowo juga mengadakan penelitian merak hijau di Taman Nasional Baluran. Dia menyatakan bahwa merak hijau menuju pohon tidur dengan cara terbang langsung ke pohon tidur atau melompat dulu ke pohon yang lebih kecil di sekitarnya. sebelum tidur, merak hijau berdiri selama 5-12 menit di cabang pohon tidur yang dilanjutkan dengan meletakkan perutnya dengan muka tegak ke arah areal yang terbuka dan mengeluarkan suara terakhir tanda merak hijau akan tidur. Merak hijau tidur dalam kelompok yang terdiri 2-5 individu. Merak hijau juga menggunakan pohon yang berbeda sebagai pohon tidurnya untuk menghindari adanya gangguan atau bahaya yang dapat mengancam dirinya (Sativaningsih, 2005). c) Perilaku Mandi Debu Aktivitas mandi debu dilakukan untuk merawat tubuh merak hijau yaitu dalam merapikan bulu-bulu, mengeluarkan ektoparasit dan benda asing yang menempel pada tubuhnya. Mandi debu dilakukan dengan cakarnya untuk menggaruk-garuk tanah gembur kering sambil mendekam di atas tanah, kaki dijulurkan ke belakang sambil mengepakkan sayap hingga debu masuk ke dalam bulu. Biasanya, aktivitas ini dilakukan pada siang hari yaitu pukul WIB (Supratman, 1998). Pendapat yang sama juga dilontarkan oleh Hernowo pada tahun Hernowo (1995) juga berpendapat bahwa selama aktivitas mandi debu dilakukan, merak hijau juga memulai aktivitas preening. 10

28 Sementara itu, pada tahun 2005, Sativaningsih berpendapat bahwa perilaku mandi debu merak hijau di Taman Nasional Alas Purwo berlangsung selama 3-46 menit di pagi hari yaitu antara pukul WIB dan sore hari berlangsung selama 5-43 menit yaitu pukul WIB. Aktivitas mandi debu dilakukan di tempat yang rata, bersih, tidak ditumbuhi rumput, dan kering. d) Perilaku Bersuara Berdasarkan penelitian Hernowo pada tahun 1995, merak hijau berkomunikasi dengan suara auwo. Suara ini dapat dilakukan oleh merak hijau jantan atau betina, bahkan anakan. Suara paling besar yang ditemukan adalah pada pagi hari antara pukul WIB dan pada sore hari antara pukul WIB, meskipun frekuensinya lebih kecil dibandingkan dengan di pagi hari. Menurut peneliti tersebut, terdapat 5 (lima) tipe suara merak hijau, yaitu: 1. Tipe 1 : tak-tak-tak-tak.... Suara ini memberi tanda kepada individu merak hijau lainnya apabila ada ancaman atau bahaya yang biasanya dihasilkan oleh merak hijau betina. 2. Tipe 2 : tak-tak-tak-kroooooow, tak-tak-tak-kroooooow-ko-ko-ko-,... atau kroooooow ko-ko-ko.... Suara ini menandakan bahwa merak hijau melihat kelompok mereka atau suara induk untuk memanggil anaknya. 3. Tipe 3 : kroooooow-ko-ko-ko-ko... atau ko-ko-ko-ko-.... Suara ini dikeluarkan bila merak hijau akan terbang. 4. Tipe 4 : auwo-auwo-auwo-auwo.. Suara ini menandakan adanya komunikasi antara merak hijau dengan merak hijau lainnya. 5. Tipe 5 : ngeeeeeeeeyaow, ngeeeeeeeeyaow, atau eewaaaoow, eewaaaoow.... Suara ini hanya dikeluarkan oleh merak hijau jantan pada musim kawin. Namun, pada tahun 1998, Supratman hanya menyebutkan bahwa merak hijau memiliki 3 (tiga) tipe suara sebagai berikut : 1. Tipe 1 : kok-kok-kok...kok-kok-kok.... Suara ini dikeluarkan saat terbang ketika menghindari bahaya sekaligus memberi tanda pada yang lainnya bahwa ada bahaya. 11

29 2. Tipe 2 : auwo-auwo...auwo-auwo...auwo-auwo. Suara ini merupakan alat komunikasi sehari-hari dan merupakan tanda bahwa merak hijau akan tidur. 3. Tipe 3 : tak-tak...krr, tak-tak...krr.... Suara ini dikeluarkan oleh induk untuk memanggil anaknya. e) Perilaku Display dan Kawin Merak adalah termasuk satwa poligami dan tidak ada hubungan yang permanen antara merak hijau dewasa dan betina (Hoogerwerf, 1970). Berdasarkan penelitian Hernowo (1995), musim kawin merak hijau di TN Baluran berlangsung dari bulan Oktober-Januari. Sedangkan musim kawin merak hijau di Jawa Timur dan Jawa Barat berlangsung antara bulan Agustus Oktober (MacKinnon, 1990 dalam Hernawan, 2003). Perilaku display tidak hanya dilakukan untuk menarik perhatian betina tetapi juga merupakan tanda pada jantan lainnya pada saat dia sedang menunjukkan tariannya. Aktivitas ini berlangsung selama 2-5 menit, tapi display yang bertujuan untuk menarik perhatian betina bisa berlangsung lebih dari 7 (tujuh) menit bahkan sampai 30 menit (Hernowo, 1995). Di Taman Nasional Baluran, Hernowo (1995) menyebutkan bahwa perilaku kawin diawali dengan adanya Tarian Merak dan merak jantan memanggil merak betina dengan suara ngeeeeeeeyaow, ngeeeeeeeyaow...weewaaoow, wee-waaoow.... merak hijau jantan menaikkan seluruh bulu hias yang ditopang oleh bulu ekornya yang kaku dan membentuk kipas. Sayapnya diturunkan dan melangkah mendekati merak betina. Selanjutnya merak jantan membalik secara tiba-tiba dengan memiringkan tubuhnya ke arah merak betina. Gerakan ini dilakukan secara berulang-ulang. Betina mengelilingi merak jantan berulang-ulang, dan merak jantan sesekali mendekati betina sambil menggetarkan bulu hiasnya. Apabila merak betina menerima bujukan tersebut, merak betina mendekam dan merak jantan segera menaiki punggung merak betina dan perkawinan pun berlangsung. Tempat yang digunakan merak hijau jantan dewasa untuk menarik pasangan tidak sama setiap harinya. Masing-masing individu jantan dewasa mengatur jarak (distance mechanisme) sehingga cukup memberi ruang gerak atau 12

30 ruang atraksi untuk menarik betina. Tempat yang digunakan untuk menarik pasangannya tersebut adalah tempat terbuka, bersih dan teduh (Sativaningsih, 2005). f) Perilaku Bersarang Menurut Winarto (1993) di TN Baluran merak betina yang telah dikawini segera memisahkan diri dari kelompoknya untuk mencari sarang dan bertelur. Tiap sarang ditemukan tiga sampai enam butir telur. Telur diletakkan pada tanah yang gundul, bentuk ellips dengan lebar 35 cm dan panjang 40 cm. Sarang merak berada di areal yang terbuka yang sangat sedikit ditumbuhi vegetasi pada tingkat pohon dan sapihan. Dengan kondisi areal yang terbuka cahaya matahari dapat secara langsung menyinari lokasi sarang. Berdasarkan penelitian Hernowo (1995), merak hijau betina akan meletakkan telurnya di atas tanah. Sarang diletakkan antara semak dan rerumputan di areal terbuka dengan sedikit pohon. Jarak antar sarang berkisar antara meter. Seperti dikatakan Winarto (1993), Hernowo (1995) juga mengatakan bahwa sarang merak hijau berbentuk oval. Namun, berdasarkan pengukuran Hernowo, sarang merak hijau berukuran meter dengan ukuran telur 70 mm x 51 mm. Warna telurnya putih, tetapi dalam beberapa hari akan berubah menjadi coklat bertotol. g) Perilaku Sosial Dalam hidupnya, merak hijau membentuk kelompok kecil yang terdiri betina, remaja dan anakan. Kelompok tersebut berkisar antara 2-12 individu (Hernowo, 1995). Bentuk hubungan di dalam kelompok maupun kelompok lain dapat dibagi sebagai berikut: Kelompok induk dan anak-anaknya. Hubungan mereka sangat dekat dan bersama-sama saat makan, minum, berteduh, tidur dan dimana saja. Kelompok betina dewasa. Kelompok ini bisa tinggal bersama kelompok betina dewasa lainnya, atau kelompok betina remaja, atau dengan 13

31 kelompok remaja atau anakan dan betina atau dengan kelompok jantan dewasa dan kelompok lainnya. Kelompok betina remaja. Kelompok ini dengan mudah menjalin hubungan dengan kelompok jantan dewasa, betina dengan anaknya, atau kelompok lainnya yang sama. Kelompok remaja campuran jantan dan betina. Kelompok ini dapat bersama-sama dengan kelompok lain tetapi lebih suka dengan kelompok jantan remaja. Pemimpin di dalam kelompok tersebut adalah merak betina. Merak betina memimpin dalam pergerakan dalam mencari makanan, air minum, tempat tidur, dan melindungi kelompok dari gangguan. Merak betina yang dijadikan pemimpin adalah merak betina yang memiliki ukuran lebih besar dari merak betina yang lain (Hernowo, 1995). 14

32 III. KONDISI UMUM LAPANGAN A. Taman Nasional Baluran Letak, Luas dan Status Taman Nasional Baluran secara administratif terletak di Kecamatan Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur. Secara geografis, taman nasional terletak antara 7 o o LS dan 114 o o BT. Kawasan ini dibatasi oleh Selat Sunda di sebelah utara dan Selat Bali di sebelah timur. Dari bagian selatan sampai ke barat berturut-turut dibatasi oleh Dusun Pandean Desa Wonorejo, Sungai Bajulmati, Sungai Klokoran, Desa Karangtekok, dan desa Sumberanyar. Luas Taman Nasional Baluran berdasarkan Menteri Pertanian tanggal 6 Maret 1980 seluas ha yang kemudian oleh Keputusan Direktur Janderal PHPA Nomor 51/Kpts/Dj-VI/87 tanggal 12 Desember 1987, luas Taman Nasional Baluran menjadi ha, dan termasuk di dalamnya wilayah perairan seluas ha. Luas tersebut terdiri dari ; a. Zona inti seluas ha b. Zona rimba seluas ha c. Zona pemanfaatan seluas 687 ha d. zona penyangga seluas ha dalam kawasan seluas itu terdapat pula bekas Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT Gunung Gumitir yang mengusahakan lahan seluas 363 ha di daerah Labuhan Merak dan Gunung Masigit, transmigrasi lokal Angkatan Darat di Dusun Pandean seluas 57 ha dan tanah sengketa Blok Gentong seluas 22 ha. Aksesibilitas Aksesibilitas ke dan dari Taman Nasional Baluran dikatakan sangat lancar, ini disebabkan adanya jalan raya antara Pulau Bali dan Banyuwangi dengan Surabaya yang melintasi kawasan. Dengan demikian taman nasional dapat dijangkau dengan kendaraan darat dari berbagai kota-kota penting di sekitarnya.

33 Topografi Taman Nasional Baluran mempunyai bentuk topografi yang bervariasi, dari datar sampai bergunung-gunung dan mempunyai ketinggian berkisar antara meter dari permukaan laut. Bentuk topografi datar sampai berombak relatif mendominasi kawasan ini. Dataran rendah di kawasan ini terletak di sepanjang pantai yang merupakan batas kawasan sebelah timur dan utara. Sedangkan, di sebelah selatan dan barat mempunyai bentuk lapangan relatif bergelombang. Di taman nasional ini terdapat enam buah gunung, yaitu Gunung Klosot (940 mdpl), Gunung Baluran (1.247 mdpl). Glenseran (124 mdpl), Montor (64 mdpl), Kakapa (114 mdpl), dan Priuk (211 mdpl). Geologi Kawasan Taman Nasional Baluran didominasi oleh batuan vulkanik tua dan batuan alluvium. Batuan vulkanik tua hampir mendominasi seluruh kawasan, sedangkan batuan alluvium terletak di sepanjang pantai meliputi daerah Pandean, Tanjung Sendano, Tanjung Sumber Batok dan Tanjung Lumut. Tanah Jenis tanah yang ada di kawasan Taman Nasional Baluran antara lain andosol dan latosol yang menyebar di daerah perbukitan, mediteran merah kuning dan grumusol di daerah yang lebih rendah serta alluvium di daerah yang paling rendah. Tanah-tanah ini merupakan tanah yang kaya akan mineral, tetapi miskin akan bahan organik. Iklim Taman Nasional Baluran beriklim monsoon, menurut Scmidt dan Ferguson iklim ini digolongkan kepada iklim tipe F dengan temperatur antara 27.2 o C 30.9 o C, kelembaban udara 77 %, kecepatan angin 7 knots arah angin sangat dipengaruhi oleh arus angin tenggara yang kuat. Pengaruhnya terlihat pada distribusi musim panas dan hujan yaitu bulan April Oktober musim kemarau dan bulan November April musim hujan. 16

34 Hidrologi Di kawasan taman nasional ini terdapat dua buah sungai yang sangat besar, yaitu sungai Bajulmati dan sungai Klokoran. Curah Kacip mata airnya berasal dari kawah kering dan mengalir hanya beberapa meter kemudian meresap ke dalam tanah dan muncul lagi sebagai mata air di pantai Labuhan Merak dan sekitarnya. Ekosistem Berdasarkan habitatnya, Taman Nasional Baluran memiliki dua jenis ekosistem, yaitu ekosistem darat dan ekosistem laut. Bagian ekosistem darat merupakan bagian terbesar, sedangkan bagian laut terletak di bagian utara dan bagian timur taman nasional. Tipe-tipe ekosistem yang terdapat di kawasan ini adalah ; Hutan pantai Mangrove dan rawa asin Hutan payau Savana (savana datar dan savana bergelombang) Hutan musim (dataran rendah dan dataran tinggi) Hutan datar kawah Curah (stoney streambeds) Savana merupakan tipe vegetasi yang dijumpai hampir di seluruh bagian kawasan dan merupakan habitat utama satwa banteng dan berbagai jenis satwa lainnya. Flora Jenis-jenis flora yang ada di Taman Nasional Baluran tidak jauh berbeda dengan jenis-jenis yang ada di Jawa dan Sumatera dan masih mempunyai hubungan erat dengan flora di Semenanjung Malaya. Di kawasan ini terdapat 422 jenis flora dari 87 famili yang tersebar di kawasan. Hutan mangrove ddidominasi oleh tancang (Rhizophora spp.), api-api (Avicennia spp.), dan bogem (Sonneratia spp.). Di hutan pantai terdapat dadap, gatel, bama, kelor dan popongan. Jenis-jenis pohon yang ditemukan adalah lontar 17

35 (Borassus flabellifer), nyamplung (Calophyllum inophyllum), gebang (Corypha utan), waru minyak (Hibiscus tiliaceus), manting (Syzygium polyanthum), ketapang (Terminalia catappa), dan waru laut (Thespesia populnea). Savana didominasi oleh rumput lamuran (Dichantium caricosum), dengan merakan (Heteropogon contortus) dan padi-padian (Sorghum nitidus). Jenis-jenis pohonnya adalah pilang (Acacia leucophloea), klampis (A tomentosa), akasia (A nilotica), mimba (Azadirachta indica), kesambi (Schleichera oleosa) dan widoro bukol (Zizyphus rotundifolia). Hutan musim didominasi oleh pilang, mimba, kamloko (Emblica officinalis), walikukun (Schoutenia ovata), asam (Tamarindus indica) dan widoro bukol. Fauna Taman Nasional Baluran memiliki tipe fauna yang beraneka ragam dan secara garis besar terdapat empat ordo, yaitu mamalia, aves, pisces dan reptilia. Mamalia yang penting antara lain banteng (Bos javanicus), Kerbau liar (Bubalus bubalis), rusa (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus scrofa) dan Sus verracossus), macan tutul (Panthera pardus), ajag (Cuon alpinus), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), budeng (Presbytis cristata). Aves yang ada di kawasan ini adalah tulung tumpuk (Megalaima javensis), ayam hutan (Gallus spp.) dan merak hijau (Pavo muticus). Golongan pisces yang ada antara lain bandeng (Chanos chanos), Dascylus melanupus, Bomocanthodes imperator, Centopyre bibicca, Chromis caerulos dan beberapa jenis hiu. Sedangkan, reptilian besar tidak banyak dijumpai. Jenis penting di sekitar pantai adalah biawak (Varanus salvator). B. Taman Nasional Alas Purwo Letak, Luas dan Status Sebelum menjadi taman nasional, Alas Purwo ditetapkan oleh Gubernur jenderal Hindia Belanda sebagai suaka margasatwa dengan ketetapan GB. Stbl. No. 456 tanggal 1 September 1939 dengan luas ha. Pada tanggal 26 18

36 Februari 1992, status Suaka Margasatwa berubah menjadi Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 283/Kpts-II/92. Taman Nasional Alas Purwo yang memiliki luas ha, secara geografis terletak terletak di ujung Timur Pulau Jawa wilayah pantai Selatan antara LS, BT. Berdasarkan Administrasi Pemerintahan, TNAP terletak di Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi. Di sebelah barat berbatasan dengan kawasan hutan produksi. Di sebelah timur dan utara berbatasan dengan selat Bali dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Aksesibilitas Taman Nasional Alas Purwo dapat dicapai melalui dua kota besar, yaitu Surabaya (360 km, waktu tempuh 8 jam) dan Denpasar Bali (210 km, waktu tempuh 4-5 jam) Topografi Bentuk kawasan TNAP terdiri dari daerah pantai, daerah daratan hingga perbukitan dan pegunungan dengan ketinggian tempat meter dpl. Daerah pantai melingkar mulai dari Segara Anak (Grajagan) hingga daerah Muncar dengan garis pantai sekitar 105 km. Secara umum kawasan TNAP mempunyai topografi datar, bergelombang ringan sampai barat dengan puncak tertinggi Gunung Lingga Manis. Geologi Formasi geologi berumur Meosen atas, terdiri dari batuan berkapur dan batuan berasam. Pada batuan berkapur terjadi proses karsifikasi tidak sempurna, karena faktor iklim yang kurang mendukung, serta batuan kapur yang diperkirakan terintrusi oleh batuan lain. Di kawasan ini terdapat banyak gua, dan menurut hasil inventarisasi obyek wisata alam terdapat 44 buah gua. Diantara guagua tersebut adalah Gua Istana, Gua Padepokan dan Gua Basori. 19

37 Tanah Di kawasan ini terdapat 4 kelompok tanah, yaitu tanah komplek mediteran merah-litosol seluas ha, tanah regosol kelabu seluas ha, tanah grumusol seluas 379 ha, dan tanah aluvial hidromorf seluas ha. Hidrologi Pola jaringan sungai radial karena leher semenanjungnya menyempit. Arah aliran sungai langsung ke laut. Sungai-sungai yang ada berupa sungai-sungai kecil, namun berjumlah sangat banyak. Sungai Ombo dan Sungai Pancur serta beberapa sungai lainnya berhubungan dengan sungai bawah tanah yang mengalir di bawah kompleks perbukitan. Beberapa alirannya dimanfaatkan untuk pengelolaannya Taman Nasional Alas Purwo. Sungai-sungai yang relatif besar terdapat di Bedul-Rowobendo, dimana aliran airnya mengumpul ke bagian hilir Segara Anak. Sungai-sungai tersebut diantaranya adalah Sungai Kemiri, S. Pail, dan S. Palu Agung. Iklim Temperatur udara C. Curah hujan mm/tahun sehingga memiliki tipe curah hujan B. Dalam keadaan biasa, musim di Taman Nasional Alas Purwo pada bulan April sampai Oktober adalah musim kemarau dan bulan Oktober sampai April adalah musim hujan. Kelembaban udara berkisar antara 75%-81%. Arah angin terbanyak bertiup dari arah selatan dengan kecepatan antara knot. Ekosistem TN Alas Purwo merupakan taman nasional yang memiliki formasi vegetasi yang lengkap. Formasi vegetasi ini mulai dari pantai sampai dengan hutan hujan tropika dataran rendah. Tipe-tipe ekosistem yang ada adalah: Hutan pantai Hutan hujan tropika dataran Hutan mangrove rendah Hutan alam dataran rendah Hutan bambu Savana 20

38 Flora Jenis-jenis dominan yang terdapat di hutan pantai adalah ketapang (Terminalia catappa), sawokecik (Manilkara kauki), waru laut (Hibiscus sp.), keben (Baringtonia asiatica) dan nyamplung (Calophyllum inophyllum). Formasi mangrove didominasi oleh Rhizophora apiculata, R. mucronata, Bruguiera sexangula, B. gymnorhyza, Avicennia marina, Avicennia sp., Xylocarpus granatum, Heritiera littoralis, Sonneratia alba, dan Sonneratia caseolaris. Hutan alam dataran rendah didominasi oleh rau (Dracontomelon mangiferum), santen/jaran (Lannea gradis), kedondong alas (Spondias pinnata), pulai (Alstonia scholaris), legaran (Alstonia villosa), kemiri (Aleurites molucana), dan asam (Tamarindus indica). Sedangkan, hutan bambu didominasi oleh bambu ampel (Bambusa vulgaris), bambu wuluh (Schizostrachyum blumei), bambu apus (Gigantochloa apus), bambu gesing (Bambusa spinosa), bambu jajang (Gigantochloa nigrociliata), bambu jalar (Gigantochloa scadens), bambu jawa (Gigantochloa verticiliata), bambu kuning (Phyllostachys aurea), bambu petung (Dendrocalamus asper), bambu rampel (Schizostachyum branchyladum), bambu jabal, bambu wulung, dan bambu manggong (Gigantochloa manggong). Fauna Jenis fauna yang ada di TN Alas Purwo terdiri atas burung, reptil dan mamalia. Jenis burung ayang ada antara lain milwis (Dendrocygna javanica), bangau sandang lawe (Ciconia episcopus), bangau tongtong (Leptoptilos javanica), kuntul besar (Egretta alba), kuntul kecil (Egretta garzeta), merak (Pavo muticus), ayam hutan hijau (Gallus varius) dan ayam hutan merah (Gallus gallus). Jenis reptil yang ada di kawasan ini terdir atas biawak (Varanus salvator), ular laut (Laticauda colubrina), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriaceae), penyu hijau (Chelonia midas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan kadal (Mabuia multifasciata). Jenis mamalia yang ada adalah kera ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis cristata), macan tutul (Panthera pardus), anjing hutan (Cuon alpinus), kucing hutan (Felis bengalensis), banteng (Bos javanicus), kijang 21

39 (Muntiacus muntjak), rusa (Cervus timorensis), babi hutan (Sus scrofa), kancil (Tragulus javanicus), berang-berang (Lutra lutra), landak (Hystrix brachyura), garangan (Herpestes javanicus), dan bajing terbang (Petaurista cristata). 22

40 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi, yaitu Taman Nasional Baluran (TNB) dan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), Provinsi Jawa Timur. Pengambilan data di TNAP dilaksanakan pada bulan Juli sampai pertengahan Agustus 2006 yang difokuskan di padang penggembalaan Sadengan, hutan tanaman dan hutan arah Rowobendo-Ngagelan. Sedangkan, data di TNB diambil pada pertengahan Agustus hingga akhir September 2006 yang difokuskan di savana Bekol, hutan pantai, hutan musim dan evergreen. Total waktu yang digunakan untuk pengambilan data adalah 3 bulan. Lokasi penelitian di TNB seperti terlihat pada peta dibawah ini : Sumber : Dono & Mardana, 2003 Gambar 1. Peta Lokasi Taman Nasional Baluran

41 Lokasi penelitian di TNAP seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini : Sumber : Balai Taman Nasional Alas Purwo Gambar 2. Peta Lokasi Taman Nasional Alas Purwo B. Alat dan Bahan Alat-alat yang akan digunakan adalah binokuler, alat pengukur waktu (stop watch), alat hitung, kamera, alat perekam suara, handycam, tallysheet, alat tulis, dan alat pengolah data (komputer). Bahan yang digunakan adalah berupa bahan habis pakai, seperti baterai, film, dan kaset kosong. C. Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan adalah: 1. Data sekunder yang didapatkan dengan studi literatur mengenai: bio-ekologi Merak hijau dan keadaan umum lokasi penelitian. 2. Data primer yang didapatkan langsung dari lapangan, meliputi : a. Aktivitas dan mekanisme perilaku individu yang meliputi perilaku makan, minum, istirahat, tidur, berteduh, display, mandi debu, dan menelisik. 24

42 b. Aktivitas dan mekanisme perilaku sosial yang meliputi hubungan antar merak hijau dalam satu kelompok, hubungan antar kelompok merak hijau, hubungan antar merak hijau jantan dewasa, hubungan merak hijau dengan satwaliar lain, dan perilaku kawin merak hijau. c. Strategi perilaku yang berhubungan dengan habitatnya yang meliputi waktu dan durasi terjadinya aktivitas, frekuensi perilaku dan kondisi lokasi yang dipilih merak hijau untuk melakukan aktivitas. D. Metode Kerja 1. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan untuk mempersiapkan penelitian melalui pengumpulan keterangan-keterangan mengenai perilaku merak hijau, parameterparameter perilaku merak hijau, bioekologi merak hijau, keadaan daerah penelitian, dan metode-metode penelitian perilaku merak hijau. 2. Studi Pendahuluan Studi pendahuluan dilakukan untuk menjajagi dan mengenali keadaan lapangan, perilaku merak hijau dan untuk menentukan lokasi-lokasi strategis ditemukannya merak hijau sedang melakukan suatu aktivitas. Studi pendahuluan ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan dan wawancara dengan petugas. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan pada bulan Maret 2006 dapat diketahui penyebaran lokal merak hijau di Taman Nasional Baluran adalah pada areal savana dan hutan musim seksi Konservasi Wilayah II Bekol Taman Nasional Baluran. Sedangkan, tempat-tempat ditemukannya merak hijau di Taman Nasional Alas Purwo adalah di areal tumpang sari di dekat hutan tanaman dan padang penggembalaan Sadengan Seksi Konservasi Wilayah Rowobendo. Selanjutnya, lokasi tersebut dijadikan unit contoh pengamatan ekologi perilaku merak hijau. 25

43 3. Pengamatan Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan untuk pengambilan data utama tentang ekologi perilaku merak hijau. Data utama tentang ekologi perilaku merak hijau diperoleh dengan pengamatan langsung pada unit contoh yang berbentuk titik pengamatan. Titik pengamatan di lapangan ditentukan dengan metode Purposive sampling (pengambilan contoh yang diarahkan) berdasarkan studi pendahuluan dengan memilih tempat-tempat strategis ditemukannya merak hijau sedang melakukan aktivitas (makan, minum, berteduh, istirahat, tidur, display, mandi debu, menyelisik dan sosial). Lokasi yang menjadi titik pengamatan yaitu padang savana dan hutan musim Seksi Konservasi Wilayah II Bekol Taman Nasional Baluran serta hutan tanaman dan padang penggembalaan Sadengan di wilayah Seksi Konservasi Rowobendo. Informasi tentang aktivitas harian, mekanisme dan strategi perilaku merak hijau serta hubungannya dengan lingkungan dilakukan dengan cara mencatat segala aktivitas merak hijau yang dijumpai pada pengamatan di jalur transek. Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah ad-libitum sampling yaitu mencatat setiap perilaku yang teramati, waktu dan durasi yang digunakan serta kondisi habitat merak hijau melakukan perilaku tersebut. Pengamatan dilakukan secara berulang pada unit-unit waktu pengukuran dalam selang waktu selama 3 (tiga) jam, yaitu pagi hari ( WIB) di hari pertama, siang hari ( WIB) di hari kedua, dan sore hari ( WIB) di hari ketiga dan seterusnya. Aktivitas yang berhasil diamati dicatat dalam tallysheet. Tabel 1. Tallysheet pengamatan perilaku merak hijau No. Waktu Aktivitas Lokasi Keterangan E. Bentuk Perilaku dan Parameternya 1. Perilaku makan Semua aktivitas yang dilakukan merak hijau yang berkaitan dengan kegiatan mencari, mengambil, dan memasukkan bahan makanan ke dalam perut. 26

44 Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, waktu mulai dan berakhirnya aktivitas (durasi), frekuensi makan, dan kondisi lokasi yang digunakan untuk aktivitas makan. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H o = tidak ada perbedaan frekuensi/durasi perilaku makan di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda H 1 = terdapat perbedaan frekuensi/durasi perilaku makan di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda 2. Perilaku minum Semua aktivitas yang berkaitan dengan mengambil dan menelan air oleh merak hijau. Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, waktu dan durasi aktivitas makan, frekuensi, dan kondisi lokasi. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H o = tidak ada perbedaan frekuensi/durasi perilaku minum di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda H 1 = terdapat perbedaan frekuensi/durasi perilaku minum di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda 3. Perilaku berteduh dan istirahat Perilaku berteduh dan istirahat merupakan perilaku untuk berlindung di siang hari. Pada saat istirahat, merak hijau terkadang melakukan berbagai aktivitas tanpa melakukan perjalanan. Parameter yang dicatat berupa jenis aktivitas, pola perilaku, frekuensi, waktu dan durasi aktivitas, kondisi lokasi tempat istirahat. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H o = tidak ada perbedaan frekuensi/durasi perilaku berteduh dan istirahat di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda H 1 = terdapat perbedaan frekuensi/durasi perilaku berteduh dan istirahat di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda 4. Perilaku tidur Semua aktivitas merak hijau menuju pohon tidur, aktivitas yang dilakukan sebelum tidur dan setelah bangun tidur selama di pohon tidur hingga merak hijau 27

45 turun dari pohon tidur. Perilaku tidur diamati pada pagi dan sore hari. Pengamatan pagi hari untuk mengetahu aktivitas yang dilakukan merak hijau setelah bangun tidur hingga turun dari pohon tidur. Pengamatan sore hari dilakukan untuk mengetahui aktivitas merak hijau naik ke pohon tidur dan aktivitasnya sebelum tidur. Parameter yang dicatat adalah waktu mulai menuju ke pohon tidur dan turun dari pohon tidur, aktivitas yang dilakukan merak hijau sebelum dan sesudah tidur serta selama tidur, durasi, frekuensi, kondisi pohon tidur, dan jenis pohon tidur. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H o = tidak ada perbedaan frekuensi/durasi perilaku tidur di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda H 1 = terdapat perbedaan frekuensi/durasi perilaku tidur di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda 5. Perilaku berjemur Semua aktivitas yang bertujuan untuk menghangatkan tubuh merak hijau. Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, waktu dan durasi, frekuensi, dan kondisi tempat berteduh. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H o = tidak ada perbedaan frekuensi/durasi perilaku berjemur di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda H 1 = terdapat perbedaan frekuensi/durasi perilaku berjemur di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda 6. Perilaku display Semua aktivitas yang berkaitan dengan upaya merak hijau jantan dalam menarik pasangannya. Parameter yang dicatat berupa pola perilaku, waktu dan durasi aktivitas, frekuensi, dan kondisi lokasi display. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H o = tidak ada perbedaan frekuensi/durasi perilaku display di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda H 1 = terdapat perbedaan frekuensi/durasi perilaku display di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda 28

46 7. Perilaku mandi debu Semua aktivitas yang berkaitan dengan mandi debu. Parameter yang diamati berupa aktivitas perilaku, waktu, durasi, frekuensi, dan kondisi lokasi yang digunakan untuk melakukan aktivitas. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H o = tidak ada perbedaan frekuensi/durasi perilaku mandi debu di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda H 1 = terdapat perbedaan frekuensi/durasi perilaku mandi debu di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda 8. Perilaku menelisik bulu Semua aktivitas yang berkaitan dengan menelisik bulu. Parameter yang diamati berupa aktivitas perilaku, waktu, durasi, frekuensi, lokasi yang digunakan untuk beraktivitas. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H o = tidak ada perbedaan frekuensi/durasi perilaku menyelisik di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda H 1 = terdapat perbedaan frekuensi/durasi perilaku menelisik di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda Perilaku ini juga diuji dalam berbagai perilaku utamanya dengan hipotesa sebagai berikut : H o = tidak ada perbedaan perilaku menelisik bulu dalam berbagai perilaku utama di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda H 1 = terdapat perbedaan perilaku menelisik bulu dalam berbagai perilaku utama di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda 9. Perilaku berlindung Semua aktivitas yang bertujuan untuk menghindari adanya gangguan atau ancaman. Parameter yang diamati berupa aktivitas perilaku, waktu, durasi, frekuensi, lokasi yang digunakan untuk beraktivitas. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H o = tidak ada perbedaan frekuensi/durasi perilaku berlindung di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda 29

47 H 1 = terdapat perbedaan frekuensi/durasi perilaku berlindung di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda 10. Perilaku sosial Pengamatan perilaku sosial dilakukan pada kelompok merak hijau untuk mengetahui hubungan antar merak hijau dalam satu kelompok, antar kelompok, hubungan antara merak hijau jantan dewasa, dan hubungan merak hijau dengan satwaliar lain. Parameter yang dicatat berupa aktivitas, waktu berinteraksi, frekuensi, lokasi, bentuk hubungan perilaku, mekanisme dan strategi perilaku yang berhubungan dengan lingkungan. Perilaku sosial yang diuji adalah hubungan antar merak hijau jantan dengan hipotesa : H o = tidak ada perbedaan hubungan antar merak hijau jantan di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda H 1 = terdapat perbedaan hubungan antar merak hijau jantan di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda 11. Perilaku membuang kotoran Perilaku membuang kotoran merupakan perilaku tambahan yang teramati selama periode penelitian. Perilaku tersebut tidak dilakukan uji hipotesis namun disajikan secara deskriptif 12. Perilaku bersuara Perilaku bersuara diamati untuk mengetahui variasi dari suara merak hijau. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: H o = tidak ada perbedaan tipe suara di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda H 1 = terdapat perbedaan tipe suara di dua tipe habitat/lingkungan yang berbeda F. Analisis data Data utama hasil pengamatan yang berupa perilaku makan, minum, istirahat, tidur, berteduh, display, mandi debu, menelisik dan perilaku sosial dianalisis secara kualitatif melalui teknik penyajian deskriptif, grafik, presentase, dan analisis kuantitatif. 30

48 Teknik penyajian deskriptif dan grafik digunakan untuk menjelaskan pola perilaku merak hijau di Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Alas Purwo serta menginterpretasikan strategi perilaku yang digunakannya. Untuk mengetahui perilaku merak hijau di Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Alas Purwo, maka digunakan tabel berikut: Tabel 2. Rekapitulasi perilaku (bersuara, menelisik bulu, makan, display, minum, mandi debu, berteduh, berlindung, tidur, sosial) merak hijau di TNB dan TNAP Lokasi Durasi ratarata (dtk) waktu (dtik) (dtk) (dtk) Ragam Durasi min Durasi max Frekuensi χ 2 hitung TNAP TNB Presentase perilaku menunjukkan persen kejadian perilaku dari nilai kejadian seluruh perilaku yang dapat ditentukan berdasarkan rumus : a % perilaku = x 100 % b a = frekuensi kejadian perilaku selama 1 jam b = frekuensi kejadian seluruh perilaku yang teramati dalam 1 jam Data durasi perilaku merak hijau yang didapat di lapangan dianalisis dengan rumus sebagai berikut : x χ = n x ( Σx / n) s = X = χ ± t s 2 n 1 χ = rata-rata durasi (detik) n = jumlah contoh s 2 = ragam contoh (detik) X = kisaran durasi (detik) Analisis kuantitatif yang digunakan untuk menguji hipotesis dari bentukbentuk perilaku di atas adalah uji chi-kuadrat (χ 2 ), dengan rumus ; k 2 2 ( Oi Ei) χ = i= 1 Ei O i = frekuensi pengamatan perilaku ke-i E i = frekuensi harapan ke-i dan, 31

49 Ei = total baris x total kolom total pengama tan Kriteria uji : Jika χ 2 hit > χ 2 tab, maka terima H 1 Jika χ 2 hit < χ 2 tab, maka terima H o Uji ini dilakukan pada taraf nyata 95 % dengan derajat bebas (v) = (b-1) x (k-1), dimana b adalah baris dan k adalah kolom serta menggunakan hipotesa : H 1 : Perilaku (makan, minum, display, berteduh dan istirahat, berlindung, menelisik bulu, mandi debu, berjemur, dan lain-lain ) merak hijau dipengaruhi oleh tipe habitat 32

50 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Perilaku Individu Merak Hijau a. Perilaku Bersuara Perilaku bersuara merupakan perilaku ketika terekspresikan bunyi yang berasal dari tenggorokan baik dengan volume kecil maupun besar dan memiliki tujuan tertentu. Merak hijau bersuara dengan cara leher ditegakkan, kepala mendongak, ekor agak diturunkan dan saat suara keluar kepala ditarik ke atas dan ekor ke bawah. Perilaku bersuara ini dapat dilakukan oleh semua individu merak hijau pada umumnya baik merak hijau jantan, merak hijau betina, merak hijau dewasa, remaja maupun anakan. Terdapat enam tipe suara merak hijau yang ditemukan di lokasi penelitian, yaitu: a. Tipe I : auwo...auwo...auwo.... Suara ini bervariasi dari satu kali hingga tiga kali auwo... dan biasanya merupakan alat komunikasi utama antar merak hijau. Selama penelitian yaitu kurang lebih 90 hari, suara ini terlihat hanya dikeluarkan oleh merak hijau jantan yang dilakukan dalam posisi berdiri dan diam. Tipe suara ini lebih sering terdengar pada pagi dan sore hari terutama saat merak hijau bangun dari tidur dan menjelang tidur. auwo satu kali dan dua kali diduga merupakan peringatan bagi merak hijau lain bila merak hijau jantan melihat bahaya atau melihat kelompok lain. auwo satu kali terdengar 5 kali di TNAP dan 10 kali di TNB. Sedangkan, auwo dua kali terdengar 8 kali di TNAP dan 33 kali di TNB. Sedangkan auwo tiga kali menunjukkan keberadaan merak hijau jantan dan petunjuk dimulai dan diakhirinya aktivitas harian yang terdengar 13 kali di TNAP dan 27 kali di TNB. Frekuensi suara yang terdengar baik di TNAP dan TNB dicatat dalam tabel 3. Tabel 3. Banyaknya tipe suara I yang terdengar di TNAP dan TNB Lokasi Suara auwo 1 x Suara auwo 2 x Suara auwo 3 x TNAP - Sadengan - Tumpangsari - Hutan Ngagelan

51 Lanjutan (Tabel 3) TNB - Savana - Hutan pantai - Hutan musim - Evergreen b. Tipe II : kokokoko... Tipe suara II dikeluarkan saat merak hijau terbang baik terbang karena ada bahaya atau terbang saat naik dan turun dari pohon. Di TNAP, suara ini terdengar 9 kali dan 8 kali di TNB. Tipe suara ini biasanya terdengar di pagi hari dan sore hari pada jam WIB WIB dan WIB WIB. Suara ini juga memiliki variasi yaitu kroow..kokokoko... yang dikeluarkan saat terbang karena ada bahaya dan ditujukan untuk memberitahu merak hijau akan adanya bahaya tersebut serta mengajak merak hijau lain bersembunyi dan auwo...kokokoko... yang dikeluarkan saat terbang dan melihat kelompok lain. Variasi pertama terdengar 2 kali di TNAP dan 4 kali di TNB. Sedangkan, variasi kedua terdengar 4 kali di TNAP dan 8 kali di TNB. Merak hijau mengeluarkan suara ini dengan posisi sedang terbang atau bergerak dan terkadang berdiri di tanah terutama untuk variasi kedua. Frekuensi suara yang terdengar baik di TNAP dan TNB disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Banyaknya tipe suara II yang terdengar di TNAP dan TNB Lokasi Suara kokoko... Suara Suara kroow...kokoko... auwo...kokoko... TNAP - Sadengan - Tumpangsari - Hutan Ngagelan TNB - Savana - Hutan pantai - Hutan musim - Evergreen c. Tipe III : tk...tk...tk...tk... Tipe suara III dikeluarkan oleh merak hijau betina saat mencurigai sesuatu. Saat bersuara merak hijau berada dalam kondisi siaga dan waspada serta mengawasi keadaan sekitarnya bisa sambil diam ataupun berjalan. Suara ini akan berhenti ketika merak hijau sudah merasa keadaan aman. Dalam periode penelitian, tipe suara ini hanya terdengar sekali di TNAP dan 9 kali di TNB. Hal 34

52 ini berarti bahwa merak hijau di TNAP tidak terlalu banyak mendapat gangguan daripada merak hijau yang ada di TNB. Banyaknya frekuensi tipe suara III yang terdengar dicatat pada tabel 5. Tabel 5. Banyaknya tipe suara III yang terdengar di TNAP dan TNB Lokasi Suara tk...tk...tk... TNAP - Sadengan - - Tumpangsari 1 - Hutan Ngagelan - TNB - Savana - Hutan pantai - Hutan musim - Evergreen d. Tipe IV : tk...tk...tk...kroow... Jenis ini dikeluarkan ketika merak hijau melihat suatu bahaya dan terpisah dengan kelompoknya sehingga tipe suara ini merupakan tanda untuk mencari kelompoknya. Suara ini juga akan berhenti ketika keadaan sudah aman. Di TNAP, tipe suara ini terdengar sebanyak 3 kali dan di TNB terdengar sebanyak 9 kali. Tipe suara ini juga bisa dikeluarkan sambil berdiri diam ataupun berjalan oleh merak hijau betina. Banyaknya tipe suara IV yang terdengar tercatat pada tabel 6. Tabel 6. Banyaknya tipe suara IV yang terdengar di TNAP dan TNB Lokasi Suara tk...tk...tk...kroow... TNAP - Sadengan - - Tumpangsari 3 - Hutan Ngagelan - TNB - Savana - Hutan pantai - Hutan musim - Evergreen e. Tipe V : kook...kook...kook... atau ngook...ngook...ngook... atau ngeook...ngeook...ngeook... Suara ini dikeluarkan oleh pemimpin kelompok yang pada umumnya adalah merak hijau betina saat berjalan menuju tempat makan, minum, berteduh, dan tidur supaya anggota kelompoknya tidak kehilangan jejak dan terus mengikuti pemimpinnya. Tipe suara ini terdengar hanya 2 kali di TNAP dan 16 kali di TNB. Namun di TNAP, suara ini dijumpai saat merak sedang berjemur yaitu sebanyak satu kali perjumpaan sehingga suara ini diduga juga sebagai tanda merak sedang

53 menikmati aktivitas yang dilakukannya. Untuk lebih jelasnya, frekuensi suara yang terdengar tersebut dilukiskan pada tabel 7. Tabel 7. Banyaknya tipe suara IV yang terdengar di TNAP dan TNB Lokasi Suara kook...kook... TNAP - Sadengan - - Tumpangsari 2 - Hutan Ngagelan - TNB - Savana - Hutan pantai - Hutan musim - Evergreen f. Tipe VI : eewaaooow...eewaaooow... Suara ini hanya dikeluarkan oleh merak hijau jantan. Berdasarkan keterangan petugas pernah terdengar sekali suara ngeeyaaoow...ngeeyaaoow... yang mirip dengan suara kucing atau kreeooow...kreeooow... di Sumber Batu TNB antara pukul WIB WIB. Keterangan lain menerangkan bahwa suara ini juga sudah mulai terdengar di dekat pantai Bama TNB (Yuniar, press.com, 2006). Sedangkan, di TNAP tipe suara ini belum terdengar karena waktu penelitian di lokasi ini merupakan awal dimulainya aktivitas dispaly. Suara ini hanya dikeluarkan oleh merak hijau jantan pada bulan-bulan tertentu saja, yaitu pada musim kawin. Merak hijau mengawali aktivitas hariannya dengan mengeluarkan suara tipe I. Jenis suara ini terdengar saling bersahutan dari berbagai arah pada saat hari mulai terang. Keadaan ini merupakan salah satu strategi merak hijau dalam melakukan komunikasi dengan sesama jenisnya. Suara-suara ini akan mulai berganti dengan tipe suara II ketika merak hijau terbang baik untuk turun dari pohon tidur. Ketika waktu makan berlangsung, tipe suara I, II, III, IV, dan V juga akan terdengar. Hal ini diduga karena pada waktu merak hijau makan, satwa lain yang diurnal (aktif di siang hari) termasuk manusia juga mulai melakukan aktivitasnya sehingga gangguan yang dialami merak hijau cenderung lebih banyak. Suara yang dihasilkan oleh merak hijau akan berkurang ketika waktu berteduh tiba atau ketika matahari mulai panas dan akan terdengar lagi ketika merak hijau mulai melakukan aktivitas makan sore hingga menjelang tidur. Namun, di TNB pernah sekali terdengar suara auwo...kokoko... di

54 malam hari, tepatnya menjelang fajar. Suara ini terdengar karena diduga merak hijau melihat ada ancaman atau ada predator yang menyerangnya sehingga merak hijau bereaksi dengan bersuara untuk memberi peringatan kepada merak hijau lain dan terbang untuk menghindari ancaman tersebut. Secara umum, dapat dikatakan bahwa suara merak hijau dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok suara pagi hari dan suara sore hari. Di TNAP, merak hijau lebih banyak bersuara pada pukul WIB WIB yang merupakan kelompok suara pagi hari dan pukul WIB WIB untuk kelompok suara sore harinya. Sedangkan, di TNB kelompok suara pagi hari terjadi pada pukul WIB WIB dan pukul WIB WIB untuk kelompok suara sore hari dilukiskan pada gambar 3. Frekuensi Perilaku bersuara merak hijau di TNAP (a) Waktu (WIB) Tipe suara Tipe 1 auwo...auwo... Tipe suara Tipe 2 ko ko ko... Tipe suara Tipe 3 tk tk tk... Tipe suara Tipe 4 tk tk kroow... Tipe suara Tipe 5 kookk...kookk... Tipe suara Tipe 6 ngeeyaoow... Frekuensi Perilaku bersuara merak hijau di TNB Tipe suara Tipe 1 auwo...auwo... Tipe suara Tipe 2 ko ko ko... Tipe suara Tipe 3 tk tk tk... Tipe suara Tipe 4 tk tk kroow Waktu (WIB) Tipe suara Tipe 5 kookk...kookk... Tipe suara Tipe 6 ngeey aoow... (b) Gambar 3. Frekuensi dan penggunaan waktu bersuara merak hijau, (a) TNAP, (b) TNB 37

55 Dari gambar 3 diperoleh penjelasan bahwa tipe suara I lebih banyak terdengar dari pada tipe suara lain. Hal ini menunjukkan bahwa merak hijau menggunakan tipe suara ini untuk berkomunikasi dengan merak hijau lain baik betina mau pun jantan. Tipe suara ini juga selalu terdengar pada saat merak hijau bangun tidur dan menjelang tidur. Berdasarkan gambar 3 juga didapatkan gambaran bahwa merak hijau lebih banyak melakukan aktivitas bersuara di pagi dan sore hari Tipe suara I lebih sering terdengar antara pukul WIB WIB dan sebelum tidur yaitu antara pukul WIB WIB. Tipe suara II terdengar antara pukul WIB WIB dan WIB WIB di TNAP serta antara pukul WIB WIB dan WIB WIB. Untuk tipe suara III, di TNAP hanya terdengar antara WIB WIB sedangkan di TNB penggunaan waktunya lebih tersebar yaitu WIB WIB dan WIB WIB. Tipe suara IV lebih sering terdengar di pagi hari yaitu antara pukul WIB WIB di TNAP dan antara WIB WIB di TNB. Tipe suara V terdengar pada waktu menjelang siang di TNAP yaitu antara pukul WIB WIB. Sedangkan di TNB terdengar di pagi dan sore hari yaitu antara WIB WIB dan antara WIB WIB. Hubungan tipe suara merak hijau dengan tipe habitat dapat dijelaskan dengan menggunakan gambar 4 sebagai berikut : Frekuensi Pd Penggembalaan Hutan Tanaman Jati TNAP Sebaran suara di berbagai tipe habitat Hutan Ngagelan Savana Tipe habitat Hutan Pantai TNB Hutan Musim Evergreen Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV Tipe V Tipe VI Gambar 4. Sebaran tipe suara di berbagai tipe habitat 38

56 Berdasarkan gambar 4 diatas dapat diketahui bahwa di TNAP tipe suara merak hijau lebih bervariasi di hutan tanaman jati daripada di padang penggembalaan Sadengan namun demikian frekuensi perjumpaannya lebih banyak di padang penggembalaan Sadengan. Berbeda halnya dengan merak hijau TNB. Merak hijau di tempat ini lebih sering bersuara di savana dan hutan pantai daripada di hutan musim dan evergreen. Hasil uji chi-square terhadap tipe suara merak hijau menunjukkan bahwa di TNAP yang diwakili dengan tipe habitat padang penggembalaan, areal tumpangsari hutan tanaman jati dan hutan Ngagelan memiliki nilai χ 2 hitung = 6.29 lebih kecil daripada χ 2 tab = Begitu pula, di TNB yang diwakili dengan tipe habitat savana, hutan pantai, hutan musim dan evergreen memiliki nilai χ 2 hitung = lebih kecil daripada χ 2 tab = disajikan pada tabel 8 berikut : Tabel 8. Hasil uji chi-square berbagai tipe suara dalam berbagai tipe habitat Lokasi N db χ 2 tab χ 2 hitung Hasil TNAP Tidak nyata TNB Tidak nyata Tabel 8 menunjukkan bahwa tipe habitat tidak mempengaruhi pada perbedaan tipe suara merak hijau. Masing-masing tipe suara merak hijau tersebut memiliki peluang yang sama disuarakan di habitat yang berbeda. Di TNAP, tipe suara yang terdengar di padang penggembalaan Sadengan, areal tumpangsari, dan hutan Ngagelan memiliki frekuensi yang sama. Begitu pula, tipe suara merak hijau di TNB juga memiliki peluang yang sama untuk terdengar di tipe habitat savana, hutan pantai, hutan musim, dan evergreen. b. Perilaku Menelisik Bulu Perilaku menelisik bulu merupakan aktivitas sekunder yang biasanya dilakukan saat sebelum turun dari tenggeran, makan, berjemur, berteduh, sebelum tidur serta sehabis display (menari). Aktivitas sekunder adalah aktivitas yang dilakukan ketika aktivitas utama berlangsung dan biasanya mengambil porsi waktu yang sedikit. Aktivitas ini bertujuan untuk merapikan bulu dan menghilangkan atau membuang kotoran, kuman dan kutu yang menempel atau masuk ke bulu. 39

57 Merak hijau menelisik bulu dengan cara kepala dibengkokkan ke arah badan yang akan ditelisik, paruh dimasukkan ke sela-sela bulu dan digesekgesekkan. Bulu-bulu direnggangkan supaya paruh lebih mudah untuk dimasukkan diantara bulu. Apabila merak hijau menelisik jambul, paruh diangkat dan jambul dipatuk lalu ditelisik secara perlahan dari pangkal ke ujung jambul, kepala juga mendongak ke atas. Sebelum mulai menelisik, merak hijau biasanya mengambil cairan yang berupa minyak dari tunggirnya. Minyak ini digunakan untuk melicinkan bulu-bulunya serta mempermudah merak hijau untuk merapikan bulubulunya kembali. Aktivitas menelisik bulu merupakan aktivitas pertama yang dilakukan oleh merak hijau di pagi hari sebelum turun dari pohon tidur. Aktivitas ini dilakukan dalam posisi masih bertengger sambil sesekali mengawasi keadaan sekitar untuk memastikan tempat landasan aman yang dijumpai sebanyak 3 kali di TNAP sedangkan di TNB tidak dijumpai dan berlangsung selama detik. Hasil rekapitulasi perilaku menelisik di TNAP dan TNB dilukiskan pada tabel 9. Tabel 9. Rekapitulasi perilaku menelisik bulu dalam berbagai perilaku utama Sebelum Lokasi turun dari Makan Berjemur Sehabis diplay Berteduh Total tenggeran n t n t n t n t n t N T TNAP TNB Aktivitas ini dilakukan dengan posisi berdiri di permukaan tanah pada waktu makan yang dilakukan dalam waktu yang bervariasi antara detik di TNB dan detik di TNAP. Menelisik bulu pada saat makan ini, dijumpai sebanyak 12 kali di TNAP dan 8 kali di TNB di areal terbuka. Aktivitas menelisik bulu yang dilakukan sebentar pada waktu makan ini merupakan strategi bagi merak hijau untuk mendapatkan proporsi makan yang lebih banyak dan juga untuk alasan keamanan. Sehabis display, bulu-bulu hias merak hijau biasanya tidak teratur dan berantakan. Untuk itu, merak hijau juga menelisik bulu untuk merapikan kembali bulu hiasnya. Aktivitas menelisik bulu ini berlangsung dalam kurun waktu 1-7 menit yang terlihat 4 kali di TNB dan 2 kali selama 4-10 menit di TNAP. Menelisik bulu juga dilakukan ketika merak hijau sedang berjemur. Aktivitas ini dilakukan supaya kuman atau kutu yang ada di antara bulu-bulu 40

58 merak hijau mati. Jangka waktu yang digunakan berkisar antara 0-3 menit dan hanya terlihat di TNAP sebanyak 3 kali perjumpaan. Gambar 5. Perilaku menelisik bulu di Bekol TNB Saat berteduh, merak hijau menelisik dengan posisi bertengger di pohon dan juga dalam posisi kaki ditekuk dengan badan diletakkan di atas kaki (rebah) di bawah pohon atau semak-semak. Hal ini juga merupakan strategi menelisik di areal rapat yang berdurasi lama. Aktivitas menelisik bulu yang dilakukan saat berteduh berlangsung selama 0-2 menit di TNAP dan 2-6 menit di TNB. Aktivitas menelisik bulu pada waktu berteduh ini dijumpai sebanyak 6 kali baik di TNAP maupun di TNB. Secara umum didapatkan gambaran bahwa aktivitas menelisik bulu di TNAP dapat dilakukan hanya dalam beberapa detik tapi juga ada yang dilakukan hingga 10 menit dengan kisaran waktu detik. Di TNB, aktivitas menelisik bulu juga ada yang dilakukan dalam beberapa detik saja. Namun, ada juga yang menelisik selama 1-8 menit. Apabila dilakukan uji chi-square aktivitas menelisik bulu dalam berbagai perilaku utama (lampiran 15) ternyata didapat hasil yang berbeda antara aktivitas menelisik bulu di TNAP dan TNB seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 10. Hasil uji chi-square aktivitas menelisik bulu dalam berbagai perilaku utama Lokasi N db χ 2 tab χ 2 hitung Hasil TNAP Nyata TNB Tidak nyata Di TNAP, nilai χ 2 hitung = lebih besar daripada χ 2 tab = Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas menelisik bulu dipengaruhi oleh perilaku utama yang berbeda. Dengan kata lain, frekuensi menelisik bulu dalam perilaku makan berbeda dengan frekuensi menelisik bulu dalam perilaku sebelum turun dari 41

59 tenggeran, minum, makan, berteduh ataupun sehabis display. Namun, berbeda halnya dengan di TNB yang memiliki nilai χ 2 hitung = 3.35 yang lebih kecil dari χ 2 tab = Nilai ini menjelaskan bahwa aktivitas menelisik bulu tidak dipengaruhi oleh perilaku utama (bertengger, minum, berteduh, makan, sehabis display). Berdasarkan tabel 11, dapat diketahui bahwa merak hijau jantan lebih sering melakukan aktivitas menelisik bulu daripada merak hijau betina seperti tertera dalam tabel berikut : Tabel 11. Perbandingan frekuensi menelisik bulu antara merak hijau jantan dengan merak hijau betina dan merak hijau remaja Lokasi Jantan Betina Remaja TNAP TNB Di TNAP menelisik bulu yang dilakukan oleh merak hijau jantan adalah 19 kali perjumpaan, 2 kali perjumpaan dengan merak hijau betina dan 7 kali perjumpaan merak hijau remaja. Sedangkan, di TNB sebanyak 18 kali perjumpaan merak hijau jantan dan 8 kali perjumpaan untuk merak hijau betina. Penggunaan waktu untuk menelisik bulu di TNAP dan TNB dapat dijelaskan dengan menggunakan histogram berikut: 12 Penggunaan waktu menelisik bulu oleh merak hijau Frekuensi TNAP TNB waktu (WIB) Gambar 6.Histogram penggunaan waktu untuk menelisik bulu merak hijau di TNAP dan TNB Aktivitas menelisik bulu diawali pada pukul WIB yang akan meningkat frekuensinya pada pukul WIB dan berkurang lagi frekuensinya pada pukul WIB. Aktivitas menelisik bulu hampir tidak dijumpai antara pukul WIB WIB di TNAP dan tidak dijumpai pada pukul WIB WIB dan dijumpai lagi pada pukul WIB WIB. Pukul 42

60 12.00 WIB, aktivitas menelisik bulu di TNB tidak dijumpai kembali dan akan naik lagi frekuensinya pada pukul WIB WIB. Merak hijau lebih sering melakukan aktivitas menelisik bulu pada pagi dan sore hari ketika aktivitas makan berlangsung (gambar 6). Dengan demikian, aktivitas menelisik bulu dapat dikelompokkkan menjadi 2 yaitu aktivitas menelisik pagi yang berlangsung antara pukul WIB WIB dan aktivitas menelisik bulu sore yang berlangsung antara WIB WIB. Waktu yang paling tinggi digunakan merak hijau untuk menelisik bulu adalah antara pukul WIB WIB baik di TNAP mau pun di TNB. Perbandingan perilaku menelisik bulu di berbagai tipe habitat seperti terlihat dalam tabel 12 berikut: Tabel 12. Perbandingan perilaku menelisik bulu merak hijau di berbagai tipe habitat Lokasi Durasi rata-rata (dtk) Ragam waktu (dtk) Durasi min (dtk) Durasi max (dtk) TNAP - Pd Penggembalaan Tumpangsari Hutan Ngagelan TNB - Savana Hutan Pantai Hutan Musim Evergreen Durasi aktivitas menelisik bulu di padang penggembalaan TNAP lebih besar daripada areal tumpangsari hutan tanaman yang secara berurutan adalah detik dan detik. Sedangkan, aktivitas menelisik bulu di TNB berdurasi 208 detik. Tabel 12 diatas juga menunjukkan bahwa aktivitas menelisik bulu di TNB dilakukan di tipe habitat savana. Hal ini terlihat pada nilai ragam di savana yang besar yaitu detik dengan kisaran detik. Sedangkan, tipe habitat yang lain tidak ada nilainya. Di TNAP, waktu yang digunakan oleh merak hijau untuk menelisik bulu lebih beragam di tipe habitat padang penggembalaan daripada areal tumpangsari hutan tanaman dan hutan Ngagelan yang ditunjukkan dengan nilai ragam yang besar yaitu di padang penggembalaan dan di areal tumpangsari. Hal ini juga diperjelas dengan selang waktu di padang 43

61 penggembalaan yang lebih lebar daripada di areal tumpangsari hutan tanaman. Sedangkan, di hutan Ngagelan tidak ada nilainya. Hasil uji chi-square terhadap perilaku menelisik bulu dalam berbagai tipe habitat dapat dilihat pada tabel 13 sebagai berikut : Tabel 13. Hasil uji chi-square perilaku menelisik bulu dalam berbagai tipe habitat Lokasi N db χ 2 tab χ 2 hitung Hasil TNAP Nyata TNB Tidak nyata Uji chi-square di TNAP dilakukan pada derajat bebas 4 dengan nilai χ 2 tab = 9.49 yang lebih kecil dari χ 2 hitung = Sedangkan, uji chi-square di TNB dilakukan pada derajat bebas 6 dengan nilai χ 2 tab = yang lebih besar χ 2 hitung = 0.46 (tabel 13). Hasil uji chi-square ini menunjukkan bahwa perilaku menelisik bulu di TNAP akan berbeda frekuensinya pada setiap tipe habitat yang berlainan dalam hal ini pada habitat padang penggembalaan, hutan tanaman dan hutan Ngagelan. Dengan kata lain, tipe habitat mempengaruhi aktivitas menelisik bulu. Sedangkan, perilaku menelisik bulu di TNB tidak dipengaruhi oleh tipe habitat baik di savana, hutan musim, hutan pantai maupun evergreen. c. Perilaku Makan Perilaku makan adalah rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh suatu individu dalam rangka mendapatkan energi dengan memasukkan makanan ke dalam paruh dan ditelan. Tempat makan merak hijau di TNAP terdapat di dua lokasi, yaitu padang penggembalaan Sadengan dan areal tumpangsari di hutan tanaman jati. Kedua lokasi ini merupakan tempat makan yang efektif bagi merak hijau karena merupakan areal yang terbuka dan memiliki persediaan makanan yang cukup melimpah. Sedangkan, tempat makan merak hijau di TNB merata di savana, beberapa titik di hutan pantai, hutan musim dan evergreen. Aktivitas makan dilakukan oleh merak hijau dengan mematuk-matuk pakan menggunakan paruhnya lalu menelannya. Untuk jenis pakan (rumput) yang cukup tinggi dengan bunga yang kecil dan memanjang, merak hijau mematuk bunga atau biji rumput dari pangkal tangkai bunga atau biji rumput yang dilanjutkan dengan menarik paruh ke ujung tangkai bunga atau biji rumput dalam keadaan paruh dibuka lalu menelannya. Untuk lokasi pakan yang tidak berumput, 44

62 merak hijau mengkais-kaiskan kakinya ke tanah untuk mencari makanan (rayap, semut) dan mematuk makanan yang ditemukannya. Hal ini dilakukan juga untuk mematuk batu kecil yang berguna untuk membantunya dalam proses penggilingan makanan di tembolok Merak hijau di TNAP makan sambil berjalan menuju tempat minum, berteduh, tidur, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Merak hijau makan secara berkelompok antara 2-6 individu tiap kelompoknya. Kelompok-kelompok kecil akan bergabung menjadi satu di tempat makan menjadi kelompok besar. Begitu pula, merak hijau di TNB juga makan sambil berjalan ke arah tempat minum, berteduh dan tidur. Mekanisme makan pagi merak hijau dapat dipaparkan sebagai berikut : merak turun dari pohon tidur dan mendarat di tempat makan. Sambil berjalan, merak hijau melakukan aktivitas makan menuju ke tempat-tempat minum/teduh/istirahat. Sedangkan, mekanisme makan sore merak hijau diawali ketika merak hijau turun menuju tempat terbuka dan berumput dari tempat berteduh dan istirahatnya sambil berjalan dengan mematuk-matuk makanan menuju ke tempat minum dan tidur. (a) (b) Gambar 7. Perilaku makan merak hijau, (a) padang penggembalaan Sadengan, (b) hutan tanaman Waktu makan merak hijau di padang penggembalaan Sadengan TNAP berlangsung pada pagi dan sore hari antara jam WIB WIB dan WIB WIB. Jadi, merak hijau makan selama 4-5 jam di pagi hari dan 3-4 jam di sore hari. Bila dibandingkan dengan areal tumpang sari di hutan tanaman jati, merak hijau makan antara jam WIB dan WIB sehingga di tempat ini merak hijau makan selama 2-6 jam di pagi hari dan 2-3 jam di sore hari. Di TNB, merak hijau makan antara pukul WIB

63 WIB dan antara WIB WIB selama 2-4 jam baik di pagi mau pun sore hari. Strategi merak hijau untuk mendapatkan sumber makanan yang melimpah (banyak dan bervariasi) adalah merak hijau lebih sering makan sambil berjalan menuju ke tempat sumber air. Di sekitar tempat minum biasanya terdapat lebih banyak rumput pakan yang cukup subur sehingga merak hijau lebih memilih makan di dekat tempat minum. Ketika matahari mulai tinggi dan suhu pun meningkat, merak hijau lebih memilih makan di tempat-tempat teduh seperti di bawah pohon atau di dekat semak-semak. Selain sebagai strategi untuk menghindari teriknya matahari yang semakin panas, hal ini juga digunakan untuk menyiapkan aktivitas selanjutnya yaitu berteduh atau istirahat. Terkadang, merak hijau di TNB melakukan aktivitas makan pada saat berteduh atau istirahat. Aktivitas ini dilakukan di bawah pohon yang digunakan untuk berteduh ataupun beristirahat tersebut meskipun frekuensinya lebih sedikit bila dibanding dengan aktivitas makan utamanya yaitu di pagi dan sore hari. Aktivitas makan sekunder ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan makan merak hijau yang belum mencukupi pada waktu makan pagi sebelum aktivitas makan sore. Merak hijau jantan, dalam aktivitas makannya sesekali menegakkan kepalanya sambil menengok ke kanan atau kiri untuk mengawasi keadaan. Hal yang sama juga dilakukan oleh merak hijau betina sebagai strategi untuk menjaga keamanan. Merak hijau jantan terlihat lebih jarang mematuk makanan daripada merak hijau betina. Hal ini disebabkan karena merak hijau jantan, terutama dewasa, lebih memfokuskan diri untuk menarik perhatian betina serta menunjukkan kejantanannya ke jantan lain. Perbedaan perilaku makan di berbagai tipe habitat tersebut dicatat pada tabel berikut: Tabel 14. Perbandingan perilaku makan merak hijau di berbagai tipe habitat Lokasi Durasi rata-rata Ragam waktu Durasi min Durasi max (dtk) (dtk) (dtk) (dtk) TNAP - Pd Penggembalaan Tumpangsari Hutan Ngagelan

64 Lanjutan (Tabel 14) TNB - Savana Hutan Pantai Hutan Musim Evergreen Durasi yang diperlukan oleh merak hijau untuk makan di TNAP adalah detik di padang penggembalaan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan di areal tumpangsari hutan tanaman yaitu detik. Di TNB, durasi yang diperlukan merak hijau untuk makan di savana lebih lama daripada di hutan pantai dan hutan musim yang secara berurutan nilainya adalah detik, 7200 detik dan 1380 detik. Tabel 14 diatas juga menunjukkan bahwa di TNAP sebaran waktu makan di areal tumpangsari hutan tanaman lebih beragam daripada di padang penggembalaan yaitu detik dan detik. Selang waktu yang dipakai pun lebih lebar yang secara berturut-turut adalah detik dan detik. Di TNB, sebaran waktu yang paling bervariasi adalah di hutan pantai yang ditunjukkan dengan nilai ragam yang besar serta selang waktu yang lebih lebar daripada tipe habitat savana dan hutan musim. Tipe hutan Ngagelan TNAP dan evergreen TNB tidak ada nilainya. Hasil uji chi-quare perilaku makan di habitat yang berbeda dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 15. Hasil uji chi-square perilaku makan dalam berbagai tipe habitat Lokasi N db χ 2 tab χ 2 hitung Hasil TNAP Tidak nyata TNB Tidak nyata Uji chi-square perilaku makan merak hijau (tabel 4) menunjukkan bahwa frekuensi perilaku makan tidak dipengaruhi oleh tipe habitat baik untuk habitat padang penggembalaan, hutan tanaman dan hutan Ngagelan di TNAP. Nilai χ 2 hitung perilaku makan di TNAP adalah 1.46 yang lebih kecil dari χ 2 tab = Sedangkan, uji chi-square di TNB menunjukkan nilai χ 2 tab = yang lebih besar dari χ 2 hitung = Hal ini juga menunjukkan bahwa frekuensi perilaku makan di TNB tidak dipengaruhi oleh tipe habitat dalam hal ini adalah savana, hutan pantai, hutan musim dan evergreen. Pakan merak hijau tersebar di semua tipe habitat sehingga 47

65 kemana pun merak hijau berjalan, merak hijau dapat menemukan makanan yang berupa rumput atau pun serangga. Jenis vegetasi yang dimakan oleh merak hijau berupa biji atau bunga rumput, daun rumput atau herba serta serangga seperti semut dan rayap. Jenisjenis rumput yang dimakan oleh merak hijau baik di padang penggembalan Sadengan TNAP maupun di areal tumpangsari hutan tanaman jati TNAP hampir sama seperti terlihat pada tabel 16 berikut: Tabel 16. Jenis-jenis vegetasi yang dimakan merak hijau di padang penggembalaan Sadengan dan areal tumpangsari TNAP No. Nama lokal Nama ilmiah Sadengan Tumpangsari Tingkat kesukaan (%) 1. Putihan Paspalum compresus x Kaki kambimg Pseuderantemum x 0.51 diversifolium 3. Lamuran Heteropogon contortus x x Krawitan Cynodon dactylon x x Teki rawa Cyperus rotundus x x Kolonjono Brachiaria mutica x Kremah Althenanthera x 0.33 phyloxeroides 8. Jawen Panicum crosgally x Rayapan Oplimenus broimanii x x Pegagan Centella asiatica x Tuton Echinocloa colona x Paitan Paspalum conjugatum x x Grinting Cynodon arcuatus x x 14. Sidaguri Sida acuta x x Meniran Phyllanthus niruri x x Lulangan Eleusine indica x x 17. Bangbangan Ischaemum timorense x Kacangan Crotalaria sp. x Bayam Amaranthus spinosus x Wedusan Ageratum conyzoides x Bobohan Cleome rutidosperma x Kacang tanah Arachis hypogea x 23. Kacang panjang Vigna sinensis x 24. Cabai rawit Capsium frutescens x 25. Jagung Zea mays x 26. Uwi-uwian Mikania micrantha x 0.75 Keterangan : x = terdapat di wilayah tersebut Sumber : Sudjirman (Press.com, 2006) Rini,2005 Jenis pakan yang ada di padang penggembalaan Sadengan TNAP terbatas pada jenis-jenis rumput saja. Sedangkan jenis pakan di areal tumpangsari di hutan tanaman jati TNAP lebih bervariasi, selain rumput juga terdapat jenis-jenis yang ditanam oleh pesanggem seperti kacang tanah (Arachis hypogea), kacang panjang 48

66 (Vigna sinensis), cabai (Capsium frutescens), jagung (Zea mays), dan bayam (Amaranthus spinosus). Jenis pakan merak hijau selain berupa rumput dan serangga juga daun muda dari suatu jenis pohon seperti widoro bukol (Zyziphus rotundifolius) dan mengkuduan (Morinda tinctoria). Jenis-jenis pakan yang berupa tumbuhan di TNB dicatat pada tabel 17 berikut: Tabel 17. Jenis-jenis pakan yang diduga dimakan merak hijau di TNB No. Nama lokal Nama ilmiah Bagian yang dimakan Tingkat vegetasi 1. pathikan kebo Euphorbia hirta Daun Herba 2. meniran Phyllanthus sp. Biji dan daun Herba 3. sangkep Acalypha indica Daun Pohon 4. lulangan Eleusine indica Daun Rumput 5. jarong/purutan Stachytarpeta jamaicensis Daun dan biji Herba 6. gebang Corypha utan Biji muda Perdu 7. sokdoy Azima sarmentosa Daun Semak 8. othok-othok Flemingia lineata Daun dan biji Semak 9. serut Streblus asper Daun Pohon 10. tarum Indigofera sumatrana Daun dan biji Herba 11. kacang beneh Crotalaria sp. Daun dan biji Herba 12. sidaguri Sida acuta Daun Herba 13. aseman Cassia mimosoides Bl Daun dan biji Semak 14. berduri banyak Barleria prionitis L. Daun Herba 15. widuri Callotropis gigantea Daun dan biji Herba 16. melati hutan Jasminum funale Daun Semak 17. rayutan labu hutan Cucurbita sp. Daun Liana 18. rayutan kangkung Wisadula acidula Daun Liana 19. santiet Passiflora foetida Daun Liana 20. mengkuduan Morinda tinctoria Daun Pohon 21. bukol Zyzyphus rotundifolia Daun Pohon 22. jerukan Glycosmis cochinchinensis Daun Semak 23. kacangan Crotalaria sp. Daun dan biji Herba 24. Achirantes sp. Daun dan biji Herba Sumber : Septania (Press.comm, 2006) Jenis tumbuhan yang paling sering dimakan oleh merak hijau adalah jarong. Jenis herba ini tersebar merata di savana. Jenis-jenis rumput jarang dimakan oleh merak hijau karena rumput-rumput di TNB sudah kering sehingga merak hijau cenderung makan jenis-jenis herba atau daun muda pohon. Serangga yang biasanya dimakan oleh merak hijau adalah jangkrik, belalang daun, ulat daun, semut dan rayap. d. Perilaku Berjemur Perilaku berjemur adalah rangkaian aktivitas yang dilakukan untuk menghangatkan tubuh merak yang dilakukan di bawah pancaran matahari. 49

67 Aktivitas ini dimulai saat merak berjalan ke tempat yang lebih tinggi seperti gundukan tanah, tunggak pohon, pagar, atau pun tenggeran dipohon dan terkena cahaya matahari langsung. Merak hijau berjemur dengan bulu-bulu biasanya direnggangkan atau dilonggarkan, sayap agak diturunkan. Aktivitas lain yang dilakukan saat berjemur adalah menelisik bulu. Aktivitas berjemur diakhiri dengan menggoyangkan badannya supaya bulu-bulu yang dijemur dan ditelisik rapi kembali. Strategi berjemur merak hijau adalah memilih tempat yang langung terkena matahari dan lebih tinggi dari sekitarnya. Gambar 8. Merak hijau berjemur di areal tumpangsari TNAP Aktivitas berjemur biasanya dilakukan pada pagi hari yaitu ketika aktivitas makan berlangsung pada pukul WIB WIB. Namun, pernah juga ditemukan merak hijau berjemur pada pukul WIB. Merak hijau ini berjemur dengan bertengger dipagar di areal tumpangsari. Seperti sudah dijelaskan diatas, bahwa areal tumpangsari cukup tertutup dan teduh sehingga cahaya matahari sedikit terhalang dan saat itu cuaca sedikit mendung. Aktivitas berjemur di TNAP ini berlangsung antara menit. Di TNB aktivitas berjemur berlangsung selama 1-60 menit pada kisaran waktu pukul WIB WIB. Biasanya, merak hijau di TNB berjemur setelah melakukan aktivitas minum di bak minum Bekol. Merak hijau berdiri di tepi bak dan berdiri di tanah di samping bak yang terkena sinar matahari. Nilai ragam perilaku berjemur di berbagai tipe habitat dapat dilihat pada tabel 18 berikut: 50

68 Tabel 18. Perbandingan perilaku berjemur merak hijau di berbagai tipe habitat Lokasi Durasi rata-rata (dtk) Ragam waktu (dtk) Durasi min (dtk) Durasi max (dtk) TNAP - Pd Penggembalaan Tumpangsari Hutan Ngagelan TNB - Savana Hutan Pantai Hutan Musim Evergreen Durasi rata-rata perilaku berjemur di padang penggembalaan lebih kecil daripada di areal tumpangsari hutan tanaman yaitu 2230 detik dan 2280 detik. Sedangkan, durasi perilaku berjemur di savana adalah detik Di TNAP, sebaran waktu berjemur di padang penggembalaan lebih beragam daripada di areal tumpangsari hutan tanaman. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai ragam di padang penggembalaan yaitu detik yang lebih besar daripada nilai ragam di areal tumpangsari yaitu detik. Kisaran waktunya pun juga lebih lebar yaitu detik di padang penggembalaan dan detik di areal tumpangsari hutan tanaman. Di TNB, nilai ragam hanya terlihat di tipe habitat savana yaitu sebesar detik dengan selang waktu detik. Sedangkan, tipe habitat lain seperti hutan pantai, hutan musim dan evergreen tidak ada nilainya. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh nilai ragam di hutan Ngagelan. Hasil uji chi-square perilaku berjemur merak hijau di berbagai tipe habitat dituliskan pada tabel 19 di bawah ini : Tabel 19. Hasil uji chi-square perilaku berjemur di berbagai tipe habitat Lokasi N db χ 2 tab χ 2 hitung Hasil TNAP Tidak nyata TNB Tidak nyata Uji chi-square perilaku berjemur di TNAP dengan nilai χ 2 hitung = 4.44 yang lebih kecil daripada χ 2 tab = 9.49 menunjukkan bahwa merak hijau memiliki peluang yang sama untuk berjemur di padang penggembalaan mau pun di areal tumpangsari hutan tanaman jati. Atau dengan kata lain, tipe habitat tidak akan menjadi pengaruh bagi perilaku berjemur merak hijau. Hal ini juga didukung oleh 51

69 kondisi lokasi yang cukup terbuka sehingga pencahayaan matahari dapat mencapai permukaan tanah. Begitu pula, hasil uji chi-square perilaku berjemur di TNB juga menunjukkan bahwa tipe habitat tidak mempengaruhi perilaku berjemur merak hijau yang diperjelas dengan nilai χ 2 hitung = 0 lebih kecil dari nilai χ 2 tab = Meskipun, di habitat yang cukup rapat seperti hutan pantai, hutan musim, dan evergreen tidak pernah dijumpai merak hijau berjemur selama kurun waktu penelitian. e. Perilaku Display Perilaku display atau menari dilakukan oleh merak hijau jantan dewasa. Biasanya, aktivitas ini dilakukan apabila merak hijau betina mendekat untuk menarik perhatiannya, tapi kadang juga dilakukan di depan merak hijau jantan yang lain untuk menunjukkan kejantanannya pada merak hijau jantan lain. Merak hijau jantan melakukan aktivitas display pada waktu merak hijau betina sedang makan, minum atau mandi debu. Ketika ada merak hijau betina mendekat, merak hijau jantan akan menundukkan kepalanya sambil menggoyangkan jambul sambil berpura-pura mematuk makanan. Hal ini diduga untuk menarik perhatian merak hijau betina. Apabila merak hijau betina cukup tertarik, maka secara perlahan merak hijau jantan akan mengangkat ekor (menopang bulu hias bagian belakang) dan bulu hiasnya hingga membentuk parabola. Sayap ditarik dan direnggangkan ke bawah untuk menopang bulu hias bagian samping. Kepala ditegakkan ke atas terlihat seperti menempel dengan bulu hias. Bulu tunggir dikembangkan hingga terlihat seperti bunga yang mekar. Saat menari, merak hijau jantan menggetarkan bulu hias. Hal ini dilakukan dengan menarik bulu ekor ke belakang dan dipantulkan kedepan sehingga menghasilkan getaran pada bulu hiasnya. Merak jantan bergerak mendekati merak hijau betina dengan melangkah ke kiri atau kanan dan juga berputar di sekeliling merak hijau betina. Apabila merak hijau jantan sudah memutuskan untuk menarik perhatian satu ekor merak hijau betina, merak hijau jantan akan mendekati merak hijau betina tersebut. Bulu hias lebih dilengkungkan dan digetarkan dengan keras 52

70 hingga berbunyi krrrsssk...krrrsssk... hingga merak hijau betina tertarik atau pergi menjauhinya atau melanjutkan aktivitas semula. Setelah merak hijau jantan merasa merak hijau betina tidak tertarik dan menjauh, merak hijau jantan mulai menurunkan bulu hiasnya secara perlahan pula. Ada dua cara merak hijau jantan menurunkan bulu hiasnya, yaitu menurunkan bulu hiasnya mengarah ke samping kiri atau kanan (bulu hias bagian samping kiri atau kanan dahulu baru dilanjutkan dengan bulu hias yang berada disampingnya) dan menurunkan bulu hias langsung ke belakang sejajar dengan bulu ekor. Bulu sayap dinaikkan kembali hingga berada di atas bulu hias. Setelah, aktivitas display berakhir, merak hijau jantan menelisik bulu untuk mengatur dan merapikan kembali bulu hiasnya. Ketika merak hijau jantan mulai display, merak hijau betina melihat ke arah merak hijau jantan yang display. Namun, merak hijau betina tidak tertarik sehingga merak hijau betina melanjutkan aktivitas semula. Selain itu, dalam kelompok merak hijau betina terdapat juga merak hijau betina remaja sehingga merak hijau betina remaja belum memiliki ketertarikan untuk kawin. (a) (c) (b) Gambar 9. Perilaku display, (a) padang penggembalaan, (b) savana Bekol TNB, (c) areal tumpangsari Selama periode penelitian, baik di TNAP dan TNB beberapa kali dijumpai merak hijau sedang display bersama dengan merak hijau jantan lain yaitu 1 kali di 53

71 TNAP dan 3 kali di TNB. Dalam kasus ini, biasanya dua merak hijau jantan tersebut melakukan display dalam waktu yang sama secara bergantian atau secara bersama-sama dengan durasi yang berbeda. Antara dua merak hijau jantan tersebut juga memiliki jarak satu sama lain yaitu antara meter. Jarak tersebut membuat dua merak hijau jantan dapat melakukan display di waktu dan tempat yang sama. Jarak ini juga diperlukan untuk memberi ruang gerak bagi merak hijau jantan melakukan display di antara merak hijau betina. Menurut Sativaningsih (2005) peristiwa ini disebut distance mechanism. Pernah pula terlihat di TNAP yaitu 2 kali dan 1 kali di TNB, merak hijau jantan remaja melakukan display di antara kelompok merak hijau betina dan diantara kelompok merak hijau remaja. Merak hijau jantan remaja ini diduga ingin mempraktekkan atraksinya di depan merak hijau betina apakah tertarik atau tidak. Namun, hal ini diduga juga untuk menentukan jantan dominan dalam kelompok merak hijau remaja tersebut karena pernah pula dijumpai antar merak hijau remaja saling display satu sama lain pada jarak yang berdekatan. Selain itu, adanya merak hijau jantan remaja yang display ini diduga merak hijau jantan remaja tersebut sedang belajar untuk display. Gambar 10. Merak hijau jantan remaja display di Bekol Di padang pengembalaan Sadengan TNAP bahkan pernah dijumpai 1 kali merak hijau jantan dewasa berlari mendekati kelompok merak hijau betina dan remaja serta melakukan display ketika ada dua merak hijau jantan remaja sedang display. Ketika melihat ada merak hijau jantan dewasa display di depan mereka, merak hijau jantan remaja tersebut menghentikan display-nya. Beberapa saat kemudian, satu merak hijau jantan remaja ber-display lagi. Kedua merak hijau 54

72 jantan tersebut saling berhadapan dan berputar untuk menunjukkan bulu hiasnya masing-masing. Merak hijau jantan remaja bahkan memutari merak hijau jantan dewasa hingga display-nya dilihat oleh merak hijau jantan dewasa. Setelah merak hijau jantan remaja berada di depan merak hijau jantan dewasa, aktivitas display-nya berhenti. Merak hijau jantan dewasa pun menghentikan display-nya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa merak hijau jantan dewasa ingin menunjukkan cara display yang benar terhadap merak hijau jantan remaja untuk merebut perhatian merak hijau betina. Gambar 11. Merak hijau jantan dewasa dan remaja display bersama di Bekol Peristiwa serupa juga pernah terjadi di tempat minum Bekol TNB. Merak hijau jantan dewasa dan merak hijau jantan remaja melakukan display secara bersamaan dan berhadapan di depan merak hijau betina. Aktivitas ini terhenti ketika merak hijau betina menjauh. Namun, pada waktu sore, hanya satu merak hijau jantan di padang penggembalaan Sadengan TNAP yang melakukan display saat menjelang tidur. Pada waktu tersebut, merak hijau betina membentuk satu kelompok besar untuk berjalan sambil makan menuju pohon tidurnya. Di dalam kelompok tersebut, hanya ada satu merak hijau jantan dominan sedangkan merak hijau jantan lainnya berada jauh dari kelompok betina tersebut. Di tempat berkumpulnya merak hijau tersebut, tidak hanya terdapat satu merak hijau jantan. Di padang penggembalaan Sadengan terdapat 5 ekor merak hijau jantan dengan jarak ± 50 meter. Sedangkan di tempat minum Bekol minimal ada 2 ekor merak hijau jantan dengan jarak ± 15 m, bahkan pernah mencapai 5 ekor. Merak hijau jantan yang melakukan display biasanya adalah merak hijau jantan dominan. 55

73 Rekapitulasi waktu display disajikan pada tabel 20 di bawah ini : Tabel 20. Rekapitulasi perilaku display pada pagi dan sore hari di TNAP dan TNB Lokasi TNAP TNB Waktu (WIB) Durasi (detik) Waktu (WIB) Durasi (detik) Pagi Sore Dari tabel 20, merak hijau jantan melakukan aktivitas display pada waktu aktivitas makan berlangsung yaitu antara pukul WIB WIB dan antara pukul WIB WIB di TNAP selama 0-20 menit dan antara pukul WIB WIB dan antara pukul WIB WIB di TNB selama 0-30 menit. Dari fakta ini dapat dijelaskan bahwa penggunaan waktu merak hijau untuk aktivitas display di TNAP hampir sama dengan di TNB. Penggunaan waktu oleh merak hijau untuk display tersebut dapat digambarkan dalam histogram sebagai berikut : Penggunaan waktu display oleh merak hijau Frekuensi TNAP TNB Waktu (WIB) Gambar 12. Histogram penggunaan waktu display oleh merak hijau di TNAP dan TNB Berdasarkan histogram tersebut dapat diketahui bahwa merak hijau jantan baik di TNAP maupun di TNB lebih sering display pada pukul WIB WIB. Pada jam tersebut merak hijau berkumpul di tempat makan, yaitu di padang penggembalaan Sadengan dan areal tumpangsari hutan tanaman jati TNAP dan di tempat minum Bekol TNB sehingga merak hijau jantan akan lebih efektif untuk display. Histogram diatas juga menunjukkan bahwa aktivitas display dapat dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu display pagi dan display sore. Display pagi terjadi antara pukul WIB WIB sedangkan display sore terjadi antara pukul 56

74 14.00 WIB WIB. Display pagi juga terjadi lebih sering daripada display sore. Perilaku display di TNAP dimulai pada pukul WIB dan akan meningkat frekuensinya pada pukul WIB dan turun lagi pada pukul WIB. Pada pukul WIB WIB perilaku display tidak terjadi. Namun, perilaku ini akan dimulai pada pukul WIB, meningkat frekuensinya pada pukul WIB dan meningkat lagi pada pukul WIB dan akhirnya menurun pada pukul WIB. Sedangkan, di TNB, perilaku display sudah dimulai pada pukul WIB dan akan meningkat frekuensinya pada pukul WIB. Perilaku display akan mencapai frekuensi tertingginya pada pukul WIB Wib dan akan menurun pada pukul WIB. Perilaku display di TNB tidak terjadi pada pukul WIB WIB. Kurang lebih pukul WIB, perilaku ini akan dimulai lagi, meningkat pada pukul WIB dan akan menurun lagi pada pukul WIB. Tabel 21 menunjukkan hubungan perilaku display dengan tipe habitat baik di TNAP maupun di TNB. Durasi yang diperlukan oleh merak hijau untuk display di padang penggembalaan TNAP lebih lama daripada di areal tumpangsari hutan tanaman TNAP yaitu sebesar detik dan detik. Di TNB, perilaku display membutuhkan durasi detik di savana, 82 detik di hutan pantai dan detik di hutan musim. Tabel 21. Perbandingan perilaku display merak hijau di TNAP dan TNB Lokasi Durasi rata-rata (dtk) Ragam waktu (dtk) Durasi min (dtk) Durasi max (dtk) TNAP - Pd Penggembalaan Tumpangsari Hutan Ngagelan TNB - Savana Hutan Pantai Hutan Musim Evergreen Dari tabel 21 dapat diperolah fakta bahwa perilaku display di padang penggembalaan TNAP lebih beragam atau bervariasi sebaran waktunya daripada 2 di areal tumpangsari hutan tanaman TNAP. Hal ini dapat dilihat pada nilai S x padang penggembalaan lebih besar daripada di areal tumpangsari hutan tanaman yaitu detik dibanding dengan detik. Selang waktu perilaku display 57

75 pun lebih lebar. Di TNB, sebaran waktu di savana lebih bervariasi daripada di hutan pantai dan hutan musim. Hal ini ditunjukkan dengan nilai ragam secara berurutan adalah detik, 0 detik, dan detik. Keragaman tersebut juga ditunjukkan dengan selang yang lebar di padang penggembalaan TNAP dan savana TNB daripada tipe habitat lainnya. Hasil uji chi-square perilaku display dalam tipe habitat yang berbeda dapat dijelaskan menggunakan tabel di bawah ini : Tabel 22. Hasil uji chi-square perilaku display merak hijau di berbagai tipe habitat Lokasi N db χ 2 tab χ 2 hitung Hasil TNAP Tidak nyata TNB Tidak nyata Uji chi-square untuk aktivitas display (tabel 21) didapatkan nilai χ 2 hitung = 3.18 yang lebih kecil dari χ 2 tab = 9.49 menunjukkan bahwa di TNAP merak hijau jantan dapat melakukan aktivitas display tanpa terpengaruh dengan tipe habitat baik padang penggembalaan Sadengan, areal tumpangsari hutan tanaman jati dan di hutan Rowobendo Ngagelan. Namun, dalam hal ini merak hijau jantan lebih sering dijumpai sedang display di padang penggembalaan Sadengan dan areal tumpangsari hutan tanaman jati. Sedangkan, di hutan Ngagelan tidak dijumpai meskipun lokasinya cukup memadai. Hal ini disebabkan oleh frekuensi merak hijau pergi ke hutan alam cukup sedikit. Merak hijau lebih terfokus di padang penggembalaan dan areal tumpangsari. Hasil uji chi-square di TNB yang χ 2 hitung = yang lebih kecil dari χ 2 tab = menunjukkan bahwa merak hijau display di setiap tipe habitat tanpa terpengaruh oleh kondisi habitat meskipun selama pengamatan merak hijau lebih sering dijumpai sedang display di tempat minum Bekol yang merupakan savana terbuka. Merak hijau jantan juga dijumpai sedang display di jalan Batangan-Bekol dengan tipe habitat hutan musim. f. Perilaku Minum Perilaku minum dapat didefinisikan sebagai rangkaian aktivitas dalam rangka untuk memasukkan air ke dalam tenggorokan. Perilaku minum merak hijau diawali ketika merak hijau berdiri di tepi tempat minum, mengambil air di tempat minum dan meninggalkan tempat minum. 58

76 Merak hijau minum dengan cara menurunkan kepala dan lehernya ke air dan memasukkan air kedalam paruhnya. Setelah itu, kepala diangkat dengan menegakkan leher hingga membentuk huruf S lalu air ditelan. Setelah air ditelan, merak hijau berhenti sejenak untuk mengawasi keadaan lalu mulai mengambil air lagi. Hal ini dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu tertentu hingga merak hijau tidak merasa haus lagi. Biasanya, merak hijau minum di sela-sela waktu makan. Ketika makan, merak hijau berjalan ke arah tempat minum dan minum. Setelah aktivitas minum selesai, merak hijau pun kembali melanjutkan aktivitas makannya. Saat minum, merak hijau dalam posisi berdiri. Hal ini merupakan salah satu strategi minum merak hijau yang dilakukan supaya merak hijau bisa mengawasi keadaan sekeliling dari adanya ancaman bahaya atau predator. Tetapi, di tempat yang posisi airnya cukup dalam merak hijau minum dengan posisi mendekam. Peristiwa ini terjadi di bak minum Bekol TNB ketika persediaan air berkurang yang mengakibatkan jarak antara air dan tepi bak minum cukup dalam. Saat mendekam tersebut, merak hijau menundukkan kepalanya dan mengangkat tunggirnya hingga paruhnya menyentuh air. (a) (b) (c) Gambar 13. Perilaku minum merak hijau, (a) TNAP, (b) TNB, (c) minum dengan posisi mendekam Strategi minum yang lain adalah merak hijau tidak selalu dalam posisi menunduk tetapi juga menengadah. Selain untuk membantu menelan air, hal ini 59

77 juga dilakukan untuk mengawasi keadaan sekitarnya yang berhubungan dengan keamanannya pada waktu minum. Di TNAP frekuensi pengambilan air ini berkisar antara 7-42 tegukan selama 2-8 menit. Sedangkan di TNB berkisar antara tegukan selama 1-18 menit yang dapat dilihat pada tabel 23. Tabel 23. Frekuensi pengambilan air oleh merak hijau di TNAP dan TNB Parameter TNAP TNB Frekueni tegukan Durasi (menit) Tabel 23 menunjukkan bahwa frekuensi tegukan di TNAP lebih sedikit dari pada di TNB. Merak hijau di TNAP minum sebanyak 7-42 tegukan selama 2-8 menit sedangkan merak hijau di TNB minum sebanyak tegukan selama 1-18 menit. Merak hijau melakukan aktivitas minumnya di pagi dan sore hari yaitu antara WIB WIB dan WIB WIB di TNAP. Sedangkan, di TNB antara WIB WIB dan WIB WIB. Penggunaan waktu minum tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini : Frekuens Penggunaan waktu minum merak hijau Waktu (WIB) TNAP TNB Gambar 14. Histogram penggunaan waktu minum merak hijau di TNAP dan TNB Aktivitas minum merak di TNB terjadi sepanjang hari secara bergiliran. Ada yang minum di pagi hari, siang hari, sore hari bahkan ada pula yang minum di pagi dan sore hari. Hal ini seperti terlihat pada histogram di atas yang menjelaskan bahwa aktivitas minum di TNB dimulai pada pukul WIB yang secara bergiliran akan naik frekuensinya pada pukul WIB WIB dan akan menurun pada pukul WIB WIB. Setelah pukul

78 WIB, perilaku minum tidak terlihat dan akan terlihat lagi mulai pukul WIB WIB dengan frekuensi tertinggi pada pukul WIB WIB dan WIB WIB. Sedangkan, di TNAP merak minum hanya pada waktu makan pagi dan makan sore. Perilaku minum di lokasi ini dimulai pada pukul WIB dengan freluensi yang tinggi dan akan turun pada pukul WIB. Setelah pukul WIB, aktivitas ini tidak terlihat lagi. Aktivitas minum di TNAP akan dimulai lagi pada pukul WIB dengan frekuensi yang tinggi dan turun pada pukul WIB seta naik lagi pada pukul WIB. Perilaku ini akan diakhiri pada pukul WIB. Peristiwa ini merupakan strategi merak hijau yang berhubungan dengan suhu dan intensitas angin di TNB yang lebih tinggi sehingga merak cenderung lebih mudah kehilangan air melalui penguapan akibat angin yang kencang dari pada di TNAP sehingga memungkinkan merak hijau untuk minum lebih sering dan lebih banyak. Secara garis besar, durasi minum merak hijau di berbagai tipe habitat baik di TNAP dan TNB dicatatkan pada tabel 24 sebagai berikut: Tabel 24. Perbandingan perilaku minum merak hijau di berbagai tipe habitat Lokasi Durasi rata-rata (dtk) Ragam waktu (dtk) Durasi min (dtk) Durasi max (dtk) TNAP - Pd Penggembalaan Tumpangsari Hutan Ngagelan TNB - Savana Hutan Pantai Hutan Musim Evergreen Durasi yang diperlukan oleh merak hijau untuk minum di padang penggembalaan TNAP adalah detik. Sedangkan, di TNB, durasi minum di savana lebih cepat daripada di hutan pantai yaitu detik dan detik. Perilaku minum di TNAP khususnya padang penggembalaan memiliki ragam detik. Di tipe habitat tumpangsari hutan tanaman dan hutan Ngagelan tidak menunjukkan nilai yang berarti bahwa di kedua tipe habitat tersebut perjumpaan terhadap periaku minum sulit. Nilai ini menunjukkan bahwa penggunaan waktu minum merak hijau di padang penggembalaan lebih bervariasi atau beragam daripada di tumpangsari hutan tanaman dan hutan Ngagelan. Selang waktu yang digunakannya pun lebih lebar. 61

79 Di TNB, sebaran waktu perilaku minum di hutan pantai lebih beragam daripada di savana yang ditunjukkan dengan nilai ragam yang lebih besar yaitu detik dan detik. Selang waktu di hutan pantai juga lebih lebar yaitu detik daripada di savana yaitu detik. Nilai ragam di hutan musim dan evergreen tidak ada. Merak hijau di TNB akan melakukan aktivitas minum dalam berbagai variasi waktu dari yang cepat (1 menit) hingga yang lambat (18 menit). Setelah dilakukan uji hipotesa menggunakan uji chi-square, ternyata menunjukkan bahwa di TNAP frekuensi minum di setiap tipe habitat akan berbeda yang berati bahwa perilaku minum dipengaruhi oleh tipe habitat. Sedangkan, di TNB menunjukkan hasil yang sebaliknya dimana perilaku minum di setiap tipe habitat akan sama yang juga berati sebaliknya yaitu perialku minum tidak dipengaruhi oleh tipe habitat. Berdasarkan tabel 25 juga dapat dilihat bahwa nilai χ 2 hitung di TNAP adalah yang lebih besar dari χ 2 tab-nya. Sedangkan, nilai χ 2 hitung di TNAP hanya sebesar 1.51 yang jauh lebih kecil daripada nilai χ 2 tab-nya seperti ditunjukkan oleh tabel 25 sebagai berikut : Tabel 25. Hasil uji chi-square perilaku minum di berbagai tipe habitat Lokasi N db χ 2 tab χ 2 hitung Hasil TNAP Nyata TNB Tidak nyata Di padang penggembalaan Sadengan TNAP, merak hijau minum di cekungan bekas injakan satwa yang tergenang air di dekat bak minum atau springkle ataupun dibak minum buatan. Tempat yang paling banyak digunakan adalah cekungan di dekat springkle. Sedangkan, di areal tumpangsari merak hijau minum di cekungan-cekungan ditepi sumur yang digunakan untuk mengambil air saat melakukan penyiraman tanaman, serta di selokan-selokan kecil yang berisi air. Di TNB merak hijau minum di bak-bak air minum buatan di Bekol yang terdiri atas 3 tempat yaitu di belakang kantor Bekol, kubangan besar di belakang bukit Bekol dan bak minum kapal selam di tengah savana. Bak-bak minum ini dibuat dengan mempertimbangkan tingkat transpirasi air. Hal ini terbukti dengan penempatan bak minum yang selalu berada di bawah naungan pohon sehingga kondisi bak minum cukup teduh. Merak juga minum di hutan pantai yang 62

80 memiliki lebih banyak sumber air yaitu di Kalitopo, Kubangan Bama, Kelor, Manting dan Sumberbatu. Kondisi tempat minum di hutan pantai ini berupa cekungan mangrove yang tergenang oleh air. g. Perilaku Mandi Debu Perilaku mandi debu merupakan rangkaian aktivitas yang dilakukan untuk merawat tubuh merak hijau yaitu dalam merapikan bulu-bulu, mengeluarkan ektoparasit dan benda asing yang menempel pada tubuhnya. Perilaku mandi debu diawali saat merak hijau berjalan menuju tempat mandi debu, melakukan aktivitas disana dan diakhiri ketika merak hijau pergi meninggalkan tempat mandi debu tersebut. Permulaan aktivitas mandi debu, merak hijau mengkaiskan kakinya di tanah untuk membuat lubang mandi debu dan menggemburkan tanah. Terkadang merak hijau mematuk makanan yang ditemukannya. Setelah tanah cukup gembur, merak hijau menekuk kakinya dan menurunkan badannya dengan posisi mendekam. Dalam posisi tersebut, merak hijau juga mengkaiskan kakinya dengan memakai sebelah kaki sedang kaki yang sebelah lagi bertumpu di tanah. Merak hijau juga akan mematuk makanan yang berupa rayap atau semut bila ditemukan. Sayap merak hijau dikibas-kibaskan dan ekor agak diangkat. Hal ini dimaksudkan supaya debu-debu beterbangan dan masuk ke sela-sela bulu dan kulitnya sehingga dapat membawa ektoparasit dan kotoran yang menempel di tubuhnya. Setelah aktivitas mandi debu selesai, merak berdiri dan menggoyangkan badannya untuk membuang debu, ektoparasit, kotoran di tubuhnya tersebut. Penggunaan waktu untuk mandi debu ini disajikan pada gambar berikut: Penggunaan waktu perilaku mandi debu Frekuensi Waktu (WIB) TNAP TNB Gambar 15. Histogram penggunaan waktu mandi debu merak hijau di TNAP dan TNB 63

81 Berdasarkan histogram tersebut dapat diketahui bahwa merak hijau TNAP melakukan aktivitas mandi debu saat menjelang siang hari yang dimulai pada pukul WIB, meninggi pada pukul Wib dan turun lagi pada pukul WIB serta sejajar pada pukul WIB. Pukul WIB tidak dijumpai namun pukul WIB dijumpai kembali dan tidak dijumpai lagi pada pukul WIB serta akan terlihat lagi pada pukul WIB WIB. Sedangkan merak hijau TNB berperilaku mandi debu pada waktu makan pagi berlangsung yang dimulai pada pukul WIB, meninggi pukul WIB dan mulai tidak dijumpai pukul WIB hingga sore. Di TNAP, mandi debu dilakukan setelah aktivitas makan berakhir, sebelum dan saat aktivitas berteduh dan istirahat dimulai hingga aktivitas makan sore dimulai. Mandi debu ini dilakukan antara pukul WIB WIB selama 8-28 menit. Di TNB, mandi debu dilakukan setelah merak minum dan sebelum minum yaitu antara pukul WIB WIB selama 1-30 menit. Pemilihan waktu mandi debu yang seperti disebutkan diatas tersebut merupakan suatu strategi merak hijau dalam mandi debu yaitu untuk mendapatkan debu yang kering dan tidak lembab akibat embun di pagi hari dan juga dilakukan di tempat terbuka untuk keamanan. Rekapitulasi perilaku mandi debu merak hijau dapat dilihat pada tabel 26. Tabel 26. Perbandingan perilaku mandi debu merak hijau di berbagai tipe habitat Lokasi Durasi rata-rata (dtk) Ragam waktu (dtk) Durasi min (dtk) Durasi max (dtk) TNAP - Pd Penggembalaan Tumpangsari Hutan Ngagelan TNB - Savana Hutan Pantai Hutan Musim Evergreen Dari tabel 26 dapat diketahui bahwa durasi mandi debu di padang penggembalaan lebih lama daripada di areal tumpangsari yaitu sebesar 1155 detik dan 25 detik. Sedangkan, durasi mandi debu di savana TNB berkisar detik. Nilai ragam perilaku mandi debu di padang penggembalaan TNAP detik. Nilai ini lebih besar dari nilai ragam perilaku mandi debu di tipe habitat lain yaitu 0 detik. Hal ini menandakan bahwa penggunaan waktu perilaku 64

82 mandi debu di padang penggembalaan lebih beragam atau bervariasi daripada di tumpangsari hutan tanaman. Selang waktu minimal dan maksimal perilaku mandi debu di padang penggembalaan pun lebih lebar daripada di tumpangsari hutan tanaman yaitu secara berturut-turut detik dan 25 detik Sebaran waktu di savana TNB juga bervariai dengan nilai ragam dan kisaran waktunya adalah detik. Sedangkan, di hutan pantai, hutan musim dan evergreen tidak ada nilainya yang berarti bahwa di tipe habitat tersebut tidak dijumpai merak hijau sedang mendi debu. Begitu pula, di hutan Ngagelan TNAP meskipun bekas tempat mandi debunya ditemukan. Demikian pula, nilai χ 2 hitung di TNAP adalah 0.75 sedangkan di TNB adalah 0 yang keduanya lebih kecil dari nilai χ 2 tab seperti terlihat pada tabel 27 berikut : Tabel 27. Hasil uji chi-square perilaku mandi debu di berbagai tipe habitat Lokasi N db χ 2 tab χ 2 hitung Hasil TNAP Tidak nyata TNB Tidak nyata Uji chi-square perilaku mandi debu di TNAP ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang berarti dari tipe habitat di padang pengembalaan Sadengan, areal tumpangsari hutan tanaman jati dan hutan Rowobendo-Ngagelan terhadap frekuensi mandi debu. Di TNB, hasil uji chi-square menunjukkan hasil yang sama dengan yang ada di TNAP yaitu frekuensi perilaku mandi debu tidak dipengaruhi oleh tipe habitat seperti habitat savana, hutan pantai, hutan musim dan evergreen. Gambar 16. Bekas tempat mandi debu merak hijau di Rowobendo TNAP Tempat yang digunakan untuk mandi debu, di TNAP berada di Sadengan, Rowobendo, areal tumpangsari dan jalan Rowobendo-Ngagelan. Di Sadengan, tempat mandi debu adalah tanah gembur berbongkah bekas cabutan pohon atau 65

83 herba dan bekas pembakaran rumput. Di Rowobendo, tempat mandi debu berada di bawah tegakan jati dengan tajuk yang cukup rapat terlindung dari matahari dengan struktur tanah gembur, halus, berdebu dan berpasir. Tempat mandi debu di Ngagelan berada di tengah jalan yang berupa lubang dengan struktur tanah yang halus, berdebu dan berpasir. Sedangkan, tempat mandi debu di areal tumpangsari berupa lubang bekas panenan tanaman tumpangsari yang relatif berbongkah. Ukuran tempat mandi debu hanya cukup digunakan oleh satu individu saja yaitu berkisar 55 cm x 55 cm hingga 51 cm x 96 cm. Di TNB, tempat mandi debu bervariasi. Ada yang hanya cukup digunakan oleh satu individu saja yaitu berukuran 55 cm x 45 cm dan ada pula yang bisa digunakan oleh 2-5 yaitu berukuran 4 m x 3 m. Struktur tanahnya sangat berdebu. Kedua tempat ini dapat ditemukan di savana Bekol dekat dengan bak minum Bekol dan di tepi jalan antara Bekol-Batangan di HM h. Perilaku Berteduh dan Istirahat Perilaku berteduh dan istirahat merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh merak hijau dalam upaya untuk menghindari panas matahari dan menghilangkan rasa lelah setelah melakukan aktivitas. Aktivitas berteduh dan istirahat biasanya dilakukan setelah aktivitas makan berakhir hingga menjelang makan lagi. Aktivitas ini diawali saat merak hijau mulai naik ke pohon teduh atau istirahat. Cara naik ke pohon teduh biasanya dilakukan secara bertahap dari satu cabang ke cabang lain yang lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari gangguan. Setelah menemukan tempat yang diinginkan, kaki ditekuk dan badan diletakkan di atas kaki yang ditekuk dengan leher menempel pada punggung. Ada juga merak hijau yang berteduh di bawah semak-semak dengan posisi mendekam di atas tanah. Merak hijau merasa aman berteduh dan istirahat di dalam semaksemak. Aktivitas istirahat dilakukan dengan berhenti sejenak dari aktivitasnya untuk menghilangkan lelah. Aktivitas ini dilakukan dengan bertengger di pohon, berdiri di permukaan tanah, atau mendekam di bawah semak-semak. Rekapitulasi frekuensi perilaku berteduh dan istirahat di TNAP dan TNB disajikan pada tabel 28 sebagai berikut: 66

84 Tabel 28. Rekapitulasi frekuensi perilaku berteduh dan istirahat di TNAP dan TNB Parameter Bertengger di pohon - frekuensi - jumlah individu Dibawah pohon atau di semak - frekuensi - jumlah individu Pd penggembalaan TNAP Tumpangsari Ngagelan Savana Hutan pantai TNB Hutan musim Evergreen Selama berteduh dan istirahat, merak hijau juga melakukan aktivitas menelisik bulu dan mengawasi keadaan sekitar. Terkadang, merak hijau juga berganti posisi dengan sudut 180 o atau dengan kata lain berputar arah. Aktivitas ini merupakan suatu strategi yang dilakukan oleh merak hijau untuk menghindari adanya ancaman yang berasal dari belakang. Untuk merak hijau yang berteduh dan istirahat di bawah semak-semak, sesekali berdiri untuk mengawasi keadaan dari ancaman dan gangguan. Perilaku berteduh dan istirahat dengan bertengger di pohon bila gangguan banyak dan masuk semak-semak bila gangguan sedikit ini merupakan strategi merak hijau dalam berteduh dan istirahat Gambar 17. Merak hijau sedang berteduh di pohon mahoni di hutan tanaman TNAP Ketika menjelang sore dan suhu mulai rendah, aktivitas berteduh dan istirahat ini pun berakhir. Merak hijau akan berdiri dari posisi mendekamnya dan mengawasi keadaan. Setelah itu, merak hijau yang berteduh dan istirahat di pohon akan turun dari pohon dengan cara meluncur ke tempat makan. Sedangkan, merak hijau yang berteduh dan istirahat di bawah semak-semak akan berjalan ke tempat makan atau minum. Di TNB, aktivitas berteduh dan istirahat dilakukan antara pukul WIB WIB selama 3-7 jam. Merak hijau di wilayah ini berteduh di 67

85 permukaan tanah di dalam semak-semak atau di bawah bayangan pohon widoro bukol (Zisyphus rotundifolius), asam (Tamarindus indica) di savana, Ficus sp. Di hutan musim, dan lain-lain. Selain itu, diduga merak hijau juga menggunakan vegetasi pantai yaitu di bawah semai gebang (Corypha utan) serta di bawah puhon bogem (Sonneratia sp.) dan evergreen yaitu dibawah pohon serut (Streblus asper) sebagai tempat berteduhnya. Merak hijau di TNB lebih menyukai berteduh dan istirahat di bawah pohon widoro bukol seperti disajikan pada tabel 29 berikut : Tabel 29. Jenis-jenis pohon yang digunakan untuk berteduh dan istirahat di TNB dan tingkat kesukaannya Nama lokal Nama ilmiah Frekuensi Tingkat kesukaan (%) - widoro bukol Zisyphus rotundifolius serut Streblus asper asam Tamarindus indicus x Ficus sp gebang Corypha utan apak Ficus infectora bogem Sonneratia sp manting Zizygium polianthum mimba Azadirachta indica Merak hijau di TNAP melakukan aktivitas ini di tempat-tempat yang teduh seperti di bawah bayangan pohon atau bertengger di atas pohon antara pukul WIB WIB selama 3-8 jam. Jenis-jenis pohon yang sering digunakan untuk berteduh disajikan pada tabel 30 sebagai berikut : Tabel 30. Jenis-jenis pohon yang digunakan untuk aktivitas berteduh dan istirahat di TNAP dan tingkat kesukaannya Nama lokal Nama ilmiah Frekuensi Tingkat kesukaan (%) Pd penggembalaan - sonokeling Dalbergia latifolia apak Ficus infectora laban Vitex sp rengas Gluta renghas tekik Albizia lebbekioides Areal tumpangsari - jati Tectona grandis mahoni Swietenia macrophylla johar Cassia siamea Dari tabel 30 tersebut dapat digambarkan bahwa jenis pohon yang paling sering digunakan untuk berteduh dan istirahat di padang penggembalaan Sadengan adalah sonokeling (Dalbergia latifolia) dan apak (Ficus infectora.). Sedangkan, jenis pohon yang sering digunakan sebagai tempat berteduh dan 68

86 istirahat di areal tumpangsari hutan tanaman adalah jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla) dan johar (Cassia siamea). Aktivitas berteduh dan istirahat juga dilakukan di bawah semak-semak kirinyuh (Eupatorium odoratum) baik di padang penggembalaan Sadengan dan di bawah tegakan jati. Gambar 18. Merak hijau berteduh di bawah pohon widoro bukol di Bekol Pohon yang dipilih sebagai tempat berteduh dan istirahat ini memiliki percabangan yang cukup rapat, namun tetap memiliki keleluasaan untuk memandang ke sekitar. Merak hijau memilih cabang pohon bagian tengah dan dalam sehingga melindungi dirinya dari sinar matahari serta membantunya bersembunyi dari predator. Untuk yang di bawah semak, biasanya memilih semak yang berada di bawah naungan pohon karena tempat tersebut lebih tertutup dan lebih teduh. Pemilihan jenis pohon dan semak yang digunakan untuk berteduh dan istirahat ini juga merupakan strategi yang dipakai oleh merak hijau untuk melindungi diri dari gangguan. Penggunaan waktu oleh merak hijau untuk berteduh dan istirahat seperti terlihat pada gambar di bawah ini : Penggunaan Waktu Berteduh dan Istirahat Merak Hijau Frekuensi Waktu TNAP TNB Gambar 19. Histogram penggunaan waktu berteduh dan istirahat merak hijau di TNAP dan TNB 69

87 Berdasarkan histogram di atas dapat diketahui bahwa perilaku berteduh dan istirahat merak hijau di TNAP dimulai pada pukul WIB, meningkat pada pukul WIB dan akan bernilai tetap antara pukul WIB WIB. Pukul WIB, frekuensinya akan mulai berkurang dan bernilai nol mulai pukul WIB. Sedangkan, di TNB, perilaku berteduh dan istirahat dimulai pada pukul WIB, meningkat frekuensinya hingga pukul WIB, dan cenderung tetap antara pukul 09.0 WIB WIB, meskipun tidak teratur. Pukul WIB akan turun lagi hingga mencapai angka nol. Penggunaan waktu berteduh dan istirahat berbeda bagi tiap individu merak hijau. Ketika ada merak hijau yang mulai berteduh, pada saat yang sama ada merak hijau lain yang masih makan, mandi debu, dan minum. Di TNB, bahkan pernah dijumpai merak hijau yang sedang berteduh dan istirahat melakukan aktivitas makan di tempat teduhnya yaitu sebanyak satu kali. Aktivitas berteduh dan istirahat ini seperti terlihat pada tabel 31 di bawah ini. Tabel 31. Perbandingan perilaku berteduh dan istirahat merak hijau di berbagai tipe habitat Lokasi Durasi rata-rata (dtk) Ragam waktu (dtk) Durasi min (dtk) Durasi max (dtk) TNAP - Pd Penggembalaan Tumpangsari Hutan Ngagelan TNB - Savana Hutan Pantai Hutan Musim Evergreen Tabel 31 diatas menjelaskan bahwa durasi rata-rata yang dibutuhkan oleh merak hijau untuk berteduh dan istirahat adalah detik di padang penggembalaan yang lebih besar daripada di areal tumpangari yaitu detik. Nilai ragam perilaku berteduh dan istirahat di padang penggembalaan TNAP adalah detik dan di tumpangsari hutan tanaman adalah detik. Nilai ini mengandung arti bahwa perilaku berteduh dan istirahat merak hijau di padang penggembalaan lebih beragam daripada di areal tumpangsari hutan tanaman. Hal ini berhubungan dengan adanya kegiatan pemeliharaan habitat di padang penggembalaan sehingga merak hijau cukup terganggu perilakunya. Selang antara durasi minimal dan maksimal yang digunakan untuk berteduh dan 70

88 istirahat di padang penggembalaan juga jauh lebih lebar daripada di areal tumpangari hutan tanaman. Di TNB, nilai ragam di savana adalah detik dengan kisaran waktu detik yang bermakna bahwa sebaran waktu di savana cukup tinggi. Sedangkan, di tipe habitat hutan pantai, hutan musim dan evergreen tidak ada nilainya yang juga berarti bahwa keragaman di habitat tersebut tidak ada. Setelah dilakukan uji chi-square terhadap frekuensi perjumpaan perilaku berteduh dan istirahat di berbagai tipe habitat, ternyata hasilnya menunjukkan bahwa tipe habitat tidak mempengaruhi aktivitas berteduh dan istirahat merak hijau baik di TNAP maupun di TNB seperti tercantum dalam tabel 32 berikut : Tabel 32. Hasil uji chi-square perilaku berteduh dan istirahat di berbagai tipe habitat Lokasi N db χ 2 tab χ 2 hitung Hasil TNAP Tidak nyata TNB Tidak nyata Hal ini diperjelas dengan nilai χ 2 hitung di TNAP sebesar 1.16 dan di TNB sebesar Nilai ini lebih kecil dari nilai χ 2 tab. Hasil ini sama baik di TNAP maupun di TNB yaitu tipe habitat tidak berpengaruh terhadap frekuensi perilaku berteduh dan istirahat. Frekuensi perilaku berteduh dan istirahat di padang penggembalaan Sadengan, areal tumpangsari, dan hutan Ngagelan TNAP memiliki peluang yang sama. Di TNB, frekuensi perilaku berteduh dan istirahat di savana akan sama dengan di hutan pantai, hutan musim, dan evergreen. Namun, dalam kurun waktu penelitian, perilaku berteduh dan istirahat ini tidak dijumpai di semua habitat yang diteliti. i. Perilaku Berlindung Perilaku berlindung adalah perilaku individu ketika ada ancaman atau gangguan. Jenis gangguannya bisa berupa predator atau manusia. Apabila merasa terancam merak hijau akan menjauhi ancaman dengan cara berjalan menjauh, terbang ke pohon dengan suara kokokokoko.. atau masuk ke dalam semaksemak. Apabila mencurigai sesuatu, merak akan mengeluarkan suara tk tk tk dan apabila merak hijau mencurigai, menghindari dan mencari sesuatu, merak hijau akan mengeluarkan suara juga yaitu tk tk tk kroow

89 Ketika berlindung, merak hijau berada dalam kondisi waspada. Merak hijau akan berdiri di cabang pohon atau di semak-semak sambil menengokkan kepalanya ke kanan dan kiri. Hal ini dilakukan untuk mengawasi sumber ancaman atau gangguan tersebut. Apabila, ancaman atau gangguan tersebut membahayakan, merak hijau akan terus bersembunyi bahkan akan pindah ke tempat yang lebih aman. Namun, apabila gangguan tersebut tidak terlalu berbahaya, merak hijau hanya pergi menjauh dan mengawasi sumber gangguan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa merak hijau dapat menentukan gangguan tersebut berbahaya atau tidak terhadap dirinya. Tempat yang digunakan untuk berlindung biasanya berupa pohon yang tajuknya rapat dan tertutup serta semak-semak yang mampu menyembunyikan tubuhnya sehingga predator atau hal-hal yang mengganggu dirinya tidak dapat menemukannya. Pemilihan jenis pohon bertajuk rapat sebagai tempat berlindung atau pun semak-semak merupakan strategi bagi merak hijau untuk menghindari adanya gangguan yang dilakukan dengan lari menjauh dan terbang ke pohon. Grafik dibawah ini menunjukkan sebaran terjadinya gangguan merak hijau baik di TNAP maupun di TNB. Frekuensi Sebaran gangguan terhadap waktu merak hijau Waktu (WIB) Gambar 20. Grafik sebaran terjadinya gangguan terhadap merak hijau di TNAP dan TNB Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa frekuensi terjadinya gangguan terhadap merak hijau di TNB dimulai pada pukul WIB dan meningkat secara drastis pada pukul WIB. Gangguan tersebut akan mulai berkurang pada pukul WIB secara teratur hingga menunjukkan angka 0 pada pukul WIB WIB. Gangguan akan terjadi lagi pada pukul TNB TNAP 72

90 WIB, meningkat pada pukul WIB dan turun lagi pada pukul WIB hingga merak hijau tidur. Sedangkan, di TNAP, merak hijau mendapat gangguan mulai pukul WIB ketika merak hijau mulai makan, naik pada pukul WIB dan turun lagi secara tidak teratur mulai pukul WIB hingga merak hijau berteduh dan istirahat pukul WIB WIB. Pada sore hari, merak hijau di TNAP akan terlihat berlindung pada pukul WIB, naik secara perlahan pukul WIB WIB dan menunjukkan angka nol pada waktu merak hijau mulai tidur yaitu pukul WIB. Gangguan atau ancaman terhadap merak hijau bisa terjadi kapan saja dalam kurun waktu 24 jam. Namun, selama penelitian gangguan terhadap merak hijau di TNAP lebih sering terjadi pada waktu makan yaitu antara WIB WIB dan WIB WIB. Begitu pula, merak hijau di TNB lebih banyak mendapat gangguan pada waktu minum yang terjadi pada jam makan yaitu antara WIB WIB dan WIB WIB. Di TNAP, jenis gangguan yang seringkali muncul adalah elang bondol (Haliarctus indus), elang laut (Haliaetus leucogaster), elang ular bido (Spilornis cheela) sebanyak 4 kali dan manusia baik itu pengunjung, pekerja, pesanggem dan juga pengamat sebanyak 12 kali. Jenis-jenis elang ini terkadang menyerang merak hijau ketika merak hijau sedang makan. Namun, tidak jarang pula, ketika ada elang yang sedang soaring (berputar-putar sambil terbang untuk mencari mangsa) merak hijau langsung menunjukkan sikap waspada dengan memperhatikan elang tersebut yaitu sebanyak 2 kali perjumpaan. Gangguan yang berasal dari manusia relatif tidak terlalu berbahaya. Ketika ada manusia yang datang, merak hijau hanya akan pergi menjauh. Namun, ketika kedatangan manusia tersebut tidak diduga, merak hijau akan langsung terbang bersembunyi di atas pohon. Berbeda ketika manusia dengan sengaja melakukan pengusiran, merak hijau juga akan terbang sambil mengeluarkan tipe suara III dan IV. Peristiwa ini terjadi di areal tumpangsari hutan tanaman jati TNAP sebanyak 2 kali perjumpaan. Merak hijau akan berlindung selama menit sebelum dia benar-benar merasa aman. Di TNB, jenis gangguan lebih banyak berasal dari satwa lain karena antar satwa tersebut saling bersaing untuk mendapatkan air, misalnya lutung monyet 73

91 ekor panjang (Macaca fascicularis), ajag (Cuon alpinus), kucing hutan (Felis bengalensis), biawak (Varanus salvator), elang ular bido (Spilornis cheela), dan elang brontok (Spizaetus chirratus). Merak hijau akan bersikap waspada terhadap monyet ekor panjang, kucing hutan, biawak dan elang. Sedangkan, sikap yang lebih ekstrim seperti terbang bersembunyi dilakukan terhadap ajag. Namun, satwa yang paling sering mengganggu aktivitas minum merak adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang remaja yang tercatat sebanyak 9 kali perjumpaan. Monyet remaja ini dengan sengaja mengganggu merak hijau hingga merak hijau meloncat kaget dan bahkan monyet remaja ini terkadang mengejar-kejar merak hijau. Jenis gangguan lain berasal dari aktivitas manusia pencari kroto, biji akasia, pupus gebang dan pengunjung bahkan pengamat. Merak hijau akan pergi menjauh dan terbang karena terkejut ketika manusia datang mendekat. Merak di TNB berlindung dengan terbang ke pohon yang tajuknya lebat seperti asam (Tamarindus indicus) dan juga bersembunyi di dalam semak-semak selama 9-30 menit. Jenis-jenis pohon yang digunakan sebagai tempat berlindung merak hijau di TNB adalah asam (Tamarindus indicus), Ficus sp., apak (Ficus infectora), pilang (Acacia leucophloea), manting (Zizygium polianthum), tegakan gebang (Corypha utan) dan semak jarong, Mimosa invisa, tembelekan (Lantana camara) dan semak-semak lain. Sedangkan, jenis pohon yang digunakan untuk berlindung di TNAP adalah mahoni (Switenia macrophylla), jati (Tectona grandis), johar (Cassia siamea), apak (Ficus infectora), rengas (Gluta renghas), Polygrathia macropylla, dan jambu-jambuan (Zisygium aquomosum). Rekapitulasi perilaku berlindung merak hijau dapat dilihat pada tabel 33 di bawah ini : Tabel 33. Perbandingan perilaku berlindung merak hijau di berbagai tipe habitat Lokasi Durasi rata-rata Ragam waktu Durasi min Durasi max (dtk) (dtk) (dtk) (dtk) TNAP - Pd Penggembalaan Tumpangsari Hutan Ngagelan TNB - Savana Hutan Pantai Hutan Musim Evergreen

92 Tabel 33 tersebut menjelakan bahwa di TNAP durasi perilaku berlindung hanya dapat diamati di padang penggembalaan dan areal tumpangsari. Di padang penggembalaan durasi rata-rata yang dibutuhkan merak hijau untuk berlindung adalah 2400 detik dan nilai ragamnya tidak ada dengan kisaran waktu juga nol. Di TNB, durasi rata-rata yang dibutuhkan merak hijau untuk berlindung adalah 1080 detik di savana dan 1620 detik di hutan pantai dengan kisaran nol. Hasil uji chi-square aktivitas berlindung dipaparkan pada tabel 34 sebagai berikut : Tabel 34. Hasil uji chi-square perilaku berlindung di berbagai tipe habitat Lokasi N db χ 2 tab χ 2 hitung Hasil TNAP Tidak nyata TNB Nyata Berdasarkan tabel diatas, juga dapat diketahui bahwa hasil uji chi-square di TNAP adalah sebesar 0.35 lebih kecil dari nilai χ 2 tab = 9.49 yang menunjukkan merak hijau memiliki peluang yang sama untuk mendapat gangguan baik di padang penggembalaan Sadengan, areal tumpangsari hutan tanaman jati dan hutan alam Rowobendo-Ngagelan. Atau dengan kata lain, perilaku terhadap gangguan tidak dipengaruhi oleh tipe habitat. Hasil yang sebaliknya ditunjukkan pada uji chi-square di TNB yaitu sebesar yang jauh lebih besar daripada χ 2 tab = Di tempat ini perilaku berlindung dari gangguan dipengaruhi oleh perbedaan tipe habitat. j. Perilaku Tidur Perilaku tidur merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan ketika merak hijau berjalan ke arah pohon tidur, naik ke pohon tidur, mengeluarkan suara penutup (tipe suara I) hingga merak bangun dari tidur, mengeluarkan suara pembuka (tipe suara I) dan turun dari pohon tidur. Sebelum berjalan ke arah pohon tidur, merak hijau terbagi ke dalam kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok merak hijau ini bertemu dan berkumpul menjadi satu kelompok besar dan berjalan secara berurutan ke arah pohon tidur. Merak hijau juga naik ke pohon tidur secara berurutan satu demi satu. Merak hijau yang tidur secara soliter naik ke pohon tidur dengan terbang langsung ke pohon tidur. 75

93 Merak hijau naik ke pohon tidur dengan dua cara, yaitu secara bertahap dari satu cabang ke cabang lain yang lebih tinggi dan terbang langsung ke cabang tidurnya. Kedua cara ini dilakukan oleh merak hijau jantan, betina dan remaja. Setelah sampai di cabang tidur, merak tidak langsung tidur, tapi beraktivitas yaitu mengawasi keadaan dan menelisik bulu. Merak hijau tidur dengan posisi kaki ditekuk dan badan diletakkan di atas kaki dan leher menempel di punggungnya. Selain itu, merak juga akan mengeluarkan suara atau last call (Hernowo, 1995) auwo.auwo..auwo. sebagai tanda berakhirnya aktivitas hari itu. Ketika bangun, merak hijau juga mengeluarkan suara yang disebut sebagai morning call auwo...auwo...auwo... yang menandakan aktivitas hari itu dimulai. Di pohon tidurnya, merak juga melakukan aktivitas menelisik bulu serta mengawasi sekitar atau tempat landasan. Bila tempat untuk mendarat aman, maka merak hijau akan meluncur ke landasan yang juga berfungsi sebagai tempat makan. Merak hijau terbang meluncur dengan cara menjejalkan kakinya dengan tekanan di cabang tidur dan sayap dikembangkan. Saat terbang, merak hijau akan terlihat seperti sebuah garis karena bagian ekor, badan dan kepala sejajar. Merak hijau akan mendarat dengan cara menurunkan kakinya secara perlahan dan meletakkan kedua kakinya di landasan dan sayap kembali ditutup. Perilaku turun dari pohon tidur ini pun dilakukan secara berurutan dengan teratur. Di TNB, dijumpai satu kali di saat tidurnya, merak mengeluarkan suara auwo...kokokoko.... Hal ini diduga merak hijau melihat atau diserang oleh predator. Strategi perilaku tidur adalah dengan memilih pohon tidur yang dekat tempat makan dan terdapat pohon yang lebih rendah untuk naik secara bertahap. (a) (b) Gambar 21. Perilaku tidur, (a) pohon gebang, (b) pohon mimba 76

94 Jenis pohon yang digunakan merak hijau di TNAP dan TNB untuk tidur disajikan pada tabel 35 sebagai berikut : Tabel 35. Jenis pohon yang digunakan untuk tidur oleh merak hijau di TNAP dan tingkat kesukaannya Nama lokal Nama ilmiah Individu Frekuensi Tingkat kesukaan (%) Pd. penggembalaan - Randu alas Bombax valtoni Bendo Artocarpus elastica jabon Antocephalus indicus x Polygrathia sp Apak Ficus sp Laban Vitex sp Kayu hitam Diospyros sp Tumpangsari - Mahoni Swietenia macrophylla Jati Tectona grandis Dari tabel 35 dapat diketahui bahwa jenis pohon yang paling banyak digunakan oleh merak hijau untuk tidur di padang penggembalaan Sadengan adalah randu alas (Bombax valtoni) dan bendo (Artocarpus elastica). Sedangkan, jenis pohon yang paling banyak digunakan oleh merak hijau untuk tidur di areal tumpangsari adalah mahoni (Swietenia macrophylla) dan jati (Tectona grandis). Jenis pohon yang digunakan oleh merak hijau untuk tidur di TNB dipaparkan pada tabel 36 sebagai berikut : Tabel 36. Jenis pohon yang digunakan untuk tidur oleh merak hijau TNB dan tingkat kesukaannya Nama lokal Nama ilmiah Individu Frekuensi Tingkat kesukaan (%) Pilang Acacia leucophloea Mimba Azadirachta indica Asam Tamarindus indicus Gebang Corypha utan Widoro bukol Zisyphus rotundifolius Kesambi Schleichera oleosa Tekik Albizia lebbekioides Berdasarkan tabel 36 tersebut, merak hijau di TNB lebih suka tidur di pohon pilang (Acacia leucophloea) dan mimba (Azadirachta indica). Pohon asam dan gebang cukup disukai karena beberapa kali merak hijau dijumpai tidur di pohon tersebut. Rekapitulasi perilaku tidur dapat dijelaskan pada tabel 37 sebagai berikut : 77

95 Tabel 37. Perbandingan perilaku tidur merak hijau di TNAP dan TNB Lokasi Waktu naik min (WIB) Waktu naik max (WIB) Waktu turun min (WIB) Waktu turun max (WIB) TNAP TNB Dari tabel 37 diatas dapat diketahui bahwa di TNAP merak mulai tidur pada pukul WIB dan bangun pukul WIB. Sehingga merak tidur selama kurang lebih 12 jam. Di TNB, merak mulai naik ke pohon tidur pukul WIB dan mulai turun dari pohon tidur pukul WIB. Merak di TNB juga tidur selama kurang lebih 12 jam. Berdasarkan data ini diketahui bahwa waktu dimulai dan diakhirinya perilaku tidur di TNAP sama dengan TNB. Namun, di TNB juga pernah dijumpai merak hijau mulai naik ke pohon tidur lebih awal sebanyak 3 kali perjumpaan yaitu sebelum pukul WIB. Peristiwa ini terjadi ketika cuaca terlihat mendung sehingga suasana savana cukup gelap. Uji chi-square perilaku tidur merak hijau di TNAP dan TNB ditunjukkan oleh tabel 38 sebagai berikut : Tabel 38. Hasil uji chi-square perilaku tidur di berbagai tipe habitat Lokasi N db χ 2 tab χ 2 hitung Hasil TNAP Tidak nyata TNB Tidak nyata Uji chi-square perilaku tidur menunjukkan bahwa merak hijau di TNAP memiliki peluang yang sama untuk melakukan aktivitas tidur di padang penggembalaan Sadengan, areal tumpangsari hutan tanaman jati dan hutan alam Rowobendo-Ngagelan. Hal ini dijelaskan dengan nilai χ 2 hitung = 6.81 lebih kecil dari χ 2 tab = 9.49 yang menandakan bahwa tipe habitat tidak mempengaruhi perilaku tidur merak hidup. Begitu pula, perilaku tidur merak hijau di TNB juga menunjukkan hasil yang sama di tiap habitat yaitu savana, hutan musim, hutan pantai dan evergreen yang ditunjukkan dengan nilai χ 2 hitung 1.94 jauh lebih kecil dari nilai χ 2 tab = sehingga aktivitas tidur merak hijau tidak dipengaruhi oleh perbedaan tipe habitat. k. Perilaku Membuang Kotoran Perilaku membuang kotoran merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan untuk membuang sisa-sisa metabolisme tubuh seperti feses dan ureter. Merak hijau membuang kotoran dengan cara menegangkan badannya sambil 78

96 menarik tunggir ke arah belakang. Saat membuang kotoran, merak dalam posisi berdiri. Merak membuang kotoran sambil jalan saat makan berlangsung dan ketika bertengger di pohon tidur. Kotoran yang dikeluarkan berkisar antara 2-15 onggokan kotoran. Kotoran merak berbentuk seperti eskrim berwarna hijau tua saat masih basah dan hitam saat kering. Biasanya, dalam kotoran juga ditemukan bekas air kencing merak yang mengandung kapur. Kotoran merak sangat halus yang menandakan bahwa merak pintar dalam memilih makanan sehingga makanan yang dimakannya dapat dicerna semua. Selain itu, kotoran yang halus ini juga menunjukkan merak hijau memiliki alat pencernaan yang bagus sehingga mampu menggiling makanan sampai halus. Kencing merak hijau berupa cairan yang bercampur dengan kapur kental yang mirip dengan cairan mani. Saat kering, kencing ini hanya berbentuk noktah putih membulat yang menempel di tanah, daun atau jalan. Di TNAP, bekas kotoran atau kencing merak banyak ditemukan di bawah pohon tidur yaitu mahoni di areal tumpangsari dan pohon randu alas dan bendo di padang penggembalaan Sadengan dan diduga juga ada di tempat makan. Sedangkan di TNB, kotoran merak selain di bawah pohon tidurnya juga banyak ditemukan di sepanjang jalan Batangan-Bekol dan dekat bak minum Bekol yang juga berfungsi sebagai tempat makan merak. l. Perilaku Sosial a. Hubungan di Dalam Satu Kelompok Merak hijau Merak hidup secara berkelompok antara 2-6 individu tiap kelompoknya. Namun, ada juga merak yang soliter yaitu merak hijau jantan dewasa. Satu kelompok merak hijau biasanya terdiri atas merak hijau betina dewasa dengan remaja, betina dewasa semua, dan remaja semua. Hubungan di dalam satu kelompok ini sangat erat. Mereka melakukan aktivitas makan, minum, berteduh, tidur secara bersama-sama. Biasanya, dalam satu kelompok terdapat satu pemimpin. Pemimpin kelompok adalah merak hijau betina dewasa yang memiliki ukuran tubuh paling besar atau bila kelompok remaja adalah merak remaja yang ukuran tubuhnya 79

97 paling besar. Pemimpin kelompok berjalan paling depan dan biasanya saat berjalan mengeluarkan suara kook...kook...kook... atau ngook...ngook...ngook... atau ngeook...ngeook...ngeook... supaya anggota kelompoknya tidak hilang. (a) (b) (c) Gambar 22. Kelompok merak hijau, (a) makan, (b) berjalan, (c) minum Ketika makan, antar anggota kelompok berada pada jarak yang berdekatan. Namun, tetap menyisakan ruang untuk anggota kelompoknya sehingga masing-masing diantara mereka bisa mendapatkan makanan dengan proporsi yang sama. Sativaningsih (2005) juga menyatakan hal yang sama. Dalam aktivitas minum, antar anggota kelompok minum bersama pada tempat yang sama atau berdekatan. Ketika yang satu selesai, merak hijau yang lain juga mengakhirinya. Pada saat mandi debu, merak hijau dalam satu kelompok ini akan mandi debu di tempat yang sama. Apabila tempat mandi debunya luas, mereka akan mandi debu secara bersama-sama. Namun, bila tempat mandi debunya kecil, mereka akan bergantian satu sama lain. 80

98 Begitu pula pada saat tidur, antar anggota kelompok akan tidur pada cabang yang berdekatan. Hal ini akan memudahkan pemimpin kelompok untuk memberitahu anggota kelompoknya bila ada ancaman atau gangguan. Semua aktivitas yang dilakukan oleh satu kelompok merak hijau, ditentukan dan dikendalikan oleh pemimpin kelompok. Pemimpin kelompok memulai makan, minum, berteduh, mandi debu, dan mengawali anggota kelompoknya untuk naik ke pohon tidur. Pemimpin kelompok pula yang pertama kali bangun dan turun dari pohon tidur dan mengakhiri aktivitas kelompok. Ketika ada bahaya, pemimpin kelompok pula yang berinisiatif untuk menghindar atau bersembunyi dari bahaya tersebut. Apabila ada anggota kelompok yang terpisah, diduga pemimpin kelompok ini pula yang mengeluarkan suara tk tk tk kroow... dalam rangka memberitahu anggota kelompoknya jika ada bahaya serta mencari anggota kelompoknya yang hilang tersebut. b. Hubungan antar Kelompok Merak Hijau Hubungan antar kelompok merak juga terjalin erat terutama terlihat saat makan dan tidur. Di TNAP, merak makan di tempat yang sama. Mereka datang ke tempat makan secara berkelompok dan bergabung menjadi kelompok besar di tempat makan. Saat menjelang malam, kelompok-kelompok merak hijau akan bergabung menjadi satu dan berjajar satu per satu untuk menuju pohon tidur yang sama. Dia padang penggembalaan Sadengan TNAP, terdapat 20 ekor merak hijau dalam satu pohon tidur yang terdiri atas 4-6 kelompok merak hijau. Antar kelompok tersebut tidur pada cabang yang berbeda dan berdekatan. Di TNB juga pernah dijumpai antar kelompok merak hijau tidur di tempat yang sama. Dalam satu pohon tidurnya terdapat 14 ekor merak hijau yang terdiri atas 3-4 kelompok. Perilaku seperti ini menunjukkan adanya kebersamaan antar kelompok merak hijau. Selain itu, merak hijau juga akan saling menjaga bila ada gangguan. Saat pagi tiba, merak hijau tersebut akan turun dan mendarat di tempat makan. Merak hijau tersebut akan terpisah menjadi beberapa kelompok dalam aktivitas makannya. Di areal tumpangsari hutan tanaman jati TNAP kelompokkelompok merak hijau tidak terlihat dengan jelas karena merak hijau tersebut 81

99 makan pada tempat yang berdekatan. Padang penggembalaan Sadengan cukup luas dan terbuka sehingga masih ada banyak ruang meskipun kelompok besar merak hijau terpisah menjadi beberapa kelompok kecil. Hubungan antar kelompok merak hijau di TNB terlihat jelas ketika merak hijau tersebut bertemu di tempat minum. Kelompok merak hijau yang berjalan ke tempat minum akan minum bersama-sama dengan kelompok lain yang sudah tiba terlebih dahulu. Namun, apabila jumlah merak hijau terlalu banyak, hubungan ini menjadi suatu hubungan persaingan dalam mendapatkan air. Merak hijau akan saling menyerang dan anggota lain dari kelompok yang diserang tersebut juga akan ikut membantu merak hijau yang diserang tadi. Apabila ada gangguan, kelompok yang melihat gangguan tersebut akan bersuara terlebih dahulu. Selain untuk memberitahu anggota kelompoknya, tanda ini juga dipakai oleh kelompok lain sebagai peringatan. c. Hubungan antar Merak Hijau Jantan Merak hijau jantan hidup secara soliter. Hubungan merak hijau jantan dengan merak jantan lainnya tidak begitu akur. Apabila dua merak jantan bertemu dalam jarak yang dekat, hanya ada dua kemungkinan yaitu bertarung (fight) dan pengusiran. Namun, ketika jarak antara dua merak hijau jantan cukup jauh yaitu minimal 50 meter, dua merak hijau jantan tersebut hanya akan saling mengawasi satu sama lain. Terkadang, dua merak hijau jantan tersebut juga akan melakukan display secara bersama-sama untuk menunjukkan siapa diantara mereka yang paling menarik bagi merak hijau betina. Di TNAP, juga pernah dijumpai merak hijau jantan dewasa display bersama dengan merak hijau jantan remaja. Ketika ada merak hijau jantan remaja display, merak hijau jantan dewasa ikut display di dekatnya. Merak hijau jantan remaja ini ingin memamerkan daya tariknya kepada merak hijau betina dan merak hijau jantan dewasa. Namun, merak hijau jantan dewasa merasa kalau merak hijau jantan remaja tersebut ingin merebut para betinanya sehingga merak hijau jantan dewasa juga menunjukkan daya tariknya di depan merak hijau jantan remaja tersebut hingga berhenti display. Hal serupa juga pernah dijumpai di TNB. 82

100 Pertarungan antar jantan dapat dijelaskan sebagai berikut : dua merak jantan bertemu dalam jarak dekat (0-15 m), mereka saling waspada dan saling mengawasi satu sama lain. Terkadang berjalan beriringan dengan sikap siaga sambil mengangkat bulu ekornya. Ketika lebih dekat lagi, mereka saling mematuk dan meloncat ke udara sambil saling menabrakkan kaki. Tercatat, pertarungan ini terjadi selama 5 menit di padang penggembalaan Sadengan TNAP. Di areal tumpangsari TNAP juga pernah dijumpai satu kali dua merak hijau jantan remaja bertarung. Mereka saling menabrakkan kakinya di udara dengan sayap dikembangkan untuk menjaga keseimbangan badan supaya tidak jatuh. Merak hijau jantan remaja tersebut seperti memiliki sasaran untuk dilukai yaitu bagian kepala merak hijau jantan remaja lain. Peristiwa ini dilakukan dalam rangka untuk berlatih bertarung karena sehabis bertarung dua merak hijau jantan tersebut akur lagi. Jantan dominan Jantan terusir Gambar 23. Proses pengusiran merak hijau jantan oleh pejantan dominan di Bekol Pengusiran terjadi ketika merak hijau jantan dominan melihat ada merak hijau jantan lain yang memasuki wilayah dominansinya. Merak hijau jantan dominan ini akan mengejar merak hijau jantan lain hingga menjauhi areal tersebut. Peristiwa ini terjadi 1 kali di TNAP dan 12 kali di TNB. Namun, di TNB juga pernah dijumpai dua merak hijau jantan minum bersama-sama di satu tempat minum. Mereka hanya saling mengawasi satu sama lain tapi tidak terjadi pengusiran ataupun pertarungan. Bentuk-bentuk hubungan antar merak hijau jantan dewasa (pertarungan, pengusiran, waspada, tidak ada respon) dapat diuji dengan uji chi-square yang 83

101 menghasilkan nilai χ 2 hitung = 6.71 di TNAP dan di TNB. Nilai χ 2 hitung di TNAP tersebut lebih kecil dari nilai χ 2 tab = seperti terlihat pada tabel 39 berikut : Tabel 39. Hasil uji chi-square hubungan antar merak hijau jantan di berbagai tipe habitat Lokasi N db χ 2 tab χ 2 hitung Hasil TNAP Tidak nyata TNB Nyata Sedangkan, nilai χ 2 hitung di TNB lebih besar dari nilai χ 2 tab = Sehingga, berdasarkan nilai tersebut dapat diketahui bahwa merak hijau jantan di TNAP di berbagai tipe habitat memiliki frekuensi yang sama bila bertemu dengan merak hijau jantan lain, baik itu fight, pengusiran, hanya waspada bahkan tidak ada respon. Namun, tidak demikian di TNB, frekuensi perjumpaan merak hijau jantan dengan merak hijau jantan lainnya dipengaruhi oleh tipe habitat. Perjumpaan yang paling banyak di TNB adalah pengusiran merak hijau jantan oleh merak hijau jantan dominan yaitu sebanyak 12 kali perjumpaan. Sedangkan di TNAP, perjumpaan dua merak hijau jantan bertarung lebih banyak daripada pengusiran. d. Hubungan Merak Hijau dengan Satwaliar Lain Hubungan merak dengan satwaliar lain terdiri atas berbagai bentuk. Bentuk-bentuk hubungan tersebut bisa bersifat positif, netral, maupun negatif. Hubungan positif terjadi ketika salah satu atau kedua satwa yang berinteraksi mendapat keuntungan. Hubungan netral terjadi ketika keberadaan merak hijau atau satwaliar lain tidak mempengaruhi satu sama lain. Sedangkan, hubungan negatif akan terjadi ketika salah satu atau kedua satwaliar yang berhubungan mendapat kerugian. Bentuk-bentuk hubungan merak hijau dengan satwaliar lain di TNAP dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 40. Bentuk-bentuk hubungan merak hijau dengan satwaliar lain di TNAP No. Satwaliar lain Nama latin Bentuk hubungan 1. Rusa Cervus timorensis 0 2. Banteng Bos javanicus 0 3. Babi hutan Sus scrofa 0 4. Kijang Muntiacus muntjak 0 5. Elang ular bido Spilornis cheela - 6. Elang bondol Haliarctus indus - 7. Elang laut Haliaeetus leucogaster - 84

102 Lanjutan (tabel 40) 8. Srigunting hitam Dicrurus macrocercus tricolor - 9. Jalak putih Sturnus melanopterus Kerak kerbau Acridotheres javanicus Bangau tongtong Leptoptilos javanicus Monyet ekor panjang Macaca fascicularis - Keterangan : 0 = netral - = negatif + = positif Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa merak hijau berhubungan baik dengan rusa, banteng, babi hutan, kijang, jalak putih, kerak kerbau dan bangau tongtong. Merak hijau melakukan aktivitas makan, minum, dan berjemur di tempat yang sama dengan satwaliar-satwaliar tersebut. Mereka hidup berdampingan satu sama lain. Gambar 24. Interaksi merak hijau dengan rusa di Bekol Bentuk-bentuk hubungan merak hijau dengan satwaliar lain di TNB dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 41. Bentuk-bentuk hubungan merak hijau dengan satwaliar lain di TNB No. Satwaliar lain Nama latin Bentuk hubungan 1. Rusa Cervus timorensis 0 2. Banteng Bos javanicus 0 3. Kerbau liar Bubalus bubalis 0 4. Monyet ekor panjang Macaca fascicularis - 5. Lutung budeng Trachypithecus auratus - 6. Ajag Cuon alpinus - 7. Kucing hutan Felis bengalensis - 8. Garangan Herpestes javanicus 0 9. Biawak Varanus salvator Elang ular bido Spilornis cheela Elang brontok Spizaetus chirratus Ayam hutan hijau Gallus gallus Ayam hutan merah Gallus varius Tekukur Streptopelia chinensis - Keterangan : 0 = netral - = negatif 85

EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR MARYANTI

EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR MARYANTI EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN TAMAN NASIONAL BALURAN, JAWA TIMUR MARYANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Merak Hijau (Pavo muticus) Merak hijau (Pavo muticus) termasuk dalam filum chordata dengan subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Hari ke Total

LAMPIRAN. Hari ke Total LAMPIRAN Tabel 1.Populasi merak hijau jawa di TNAP tahun 2006 Sadengan 34 26 24 20 18 20 25 26 26 32 251 Rowobendo 36 39 47 45 52 50 51 37 35 49 62 Guntingan 10 8 6 3 3 4 6 5 7 10 441 Sumber Gedang 4 2

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

EKOLOGI MERAK HIJAU PURWO DEPARTEMEN KONSERVASI

EKOLOGI MERAK HIJAU PURWO DEPARTEMEN KONSERVASI EKOLOGI PERILAKU BERBIAK MERAK HIJAU (Pavo muticus Linnaeus, 1766) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO DAN BALURAN PROPINSI JAWA TIMUR GILANGG FAJAR RAMADHAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Kemampuan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung selama bulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus) Lutung (Trachypithecus auratus cristatus) Oleh: Muhammad Faisyal MY, SP PEH Pelaksana Lanjutan Resort Kembang Kuning, SPTN Wilayah II, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Trachypithecus auratus cristatus)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Penyebaran merak hijau di Pulau Jawa (Sumber : Keterangan : : penyebaran saat ini : penyebaran historis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Penyebaran merak hijau di Pulau Jawa (Sumber :  Keterangan : : penyebaran saat ini : penyebaran historis II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyebaran di Pulau Jawa Penyebaran merak hijau di Indonesia hanya ada di Pulau Jawa, yaitu di beberapa taman nasional di daerah hutan dataran rendah, terutama di daerah Jawa bagian

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Mega Bird and Orchid farm, Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni hingga Juli 2011. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI

PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI PENILAIAN POTENSI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA ALAM SERTA ALTERNATIF PERENCANAANNYA DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI SIAM ROMANI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kuntul 2.1.1 Klasifikasi Burung Kuntul Burung kuntul termasuk ordo Ciconiiformes dan famili Ardeidae (Mackinnon, 1993). klasifikasi Kuntul besar (Egretta alba) adalah

Lebih terperinci

menjadi lebih besar. Artinya, jenis-jenis tumbuhan bawah dan anakan memiliki potensi cukup tinggi sebagai pakan merak.

menjadi lebih besar. Artinya, jenis-jenis tumbuhan bawah dan anakan memiliki potensi cukup tinggi sebagai pakan merak. VI. PEMBAHASAN A. Potensi Pakan Merak Hijau di Taman Nasional Baluran Total jenis tumbuhan yang terinventarisasi pada petak contoh 122 jenis, namun hanya 30 jenis yang menjadi pakan merak. Dari 30 jenis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

HASIL. Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan. Nesting room di dalam rumah walet

HASIL. Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan. Nesting room di dalam rumah walet HASIL Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan Pengamatan perilaku walet rumahan diamati dengan tiga unit kamera IR- CCTV. Satu unit kamera IR-CCTV tambahan digunakan untuk mengamati

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI.

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI. PEMETAAN PENYEBARAN POLUTAN SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON BAKHTIAR SANTRI AJI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB VI. EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU JAWA

BAB VI. EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU JAWA BAB VI. EKOLOGI PERILAKU MERAK HIJAU JAWA 6.1 PENDAHULUAN 6.1.1 Latar Belakang Merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) dahulu tersebar mulai dari Malaysia dan P Jawa, dan tidak terdapat di Sumatra maupun

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes TINJAUAN PUSTAKA Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU REPRODUKSI MERAK HIJAU (Pavo muticus) PADA UMUR YANG BERBEDA DI UD. TAWANG ARUM KECAMATAN GEMARANG, KABUPATEN MADIUN SKRIPSI.

TINGKAH LAKU REPRODUKSI MERAK HIJAU (Pavo muticus) PADA UMUR YANG BERBEDA DI UD. TAWANG ARUM KECAMATAN GEMARANG, KABUPATEN MADIUN SKRIPSI. TINGKAH LAKU REPRODUKSI MERAK HIJAU (Pavo muticus) PADA UMUR YANG BERBEDA DI UD. TAWANG ARUM KECAMATAN GEMARANG, KABUPATEN MADIUN SKRIPSI Oleh : NILA DUHITA NARESWARI PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI

KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY

POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API SELVI CHELYA SUSANTY DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 POTENSI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2012, di Kampus. Universitas Lampung (Unila) Bandar Lampung (Gambar 3).

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2012, di Kampus. Universitas Lampung (Unila) Bandar Lampung (Gambar 3). III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2012, di Kampus Universitas Lampung (Unila) Bandar Lampung (Gambar 3). B. Alat dan Objek Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Penangkaran UD Anugrah Kediri, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada bulan Juni-Juli 2012.

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

[Tingkah laku Ternak Unggas]

[Tingkah laku Ternak Unggas] SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN [AGRIBISNIS TERNAK UNGGAS] [Tingkah laku Ternak Unggas] [Endang Sujana, S.Pt., MP.] KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan

Lebih terperinci

STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN. Oleh : RINI NOVI MARLIANI E

STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN. Oleh : RINI NOVI MARLIANI E STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL BALURAN Oleh : RINI NOVI MARLIANI E34101037 DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu Troides helena (Linn.) Database CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) 2008 menyebutkan bahwa jenis ini termasuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI BURUNG CEMDRAWASIH KUNlNG KECIL ( Paradisaea minor ) SKRIPSI Oleh RlSFlANSYAH B 21.0973 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITWT PERTANIAN BOGOR 1990 RINGKASAN RISFIANSYAH.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kuntul 2.1.1 Klasifikasi Burung Kuntul Burung kuntul termasuk ordo Ciconiiformes dan famili Ardeidae (Mackinnon, 1993). Menurut Linnaeus (1766) dalam Sulistiani (1991)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pembuatan pellet dilakukan di

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A34201023 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YULIANANTO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

IV. BAHAN DAN METODE

IV. BAHAN DAN METODE IV. BAHAN DAN METODE 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di TN Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Penelitian dan pengolahan data dilaksanakan selama 6 bulan yaitu pada bulan

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Taksonomi dan Deskripsi Burung Walet Terdapat beberapa jenis Burung Walet yang ditemukan di Indonesia diantaranya Burung Walet Sarang Putih, Burung Walet Sarang Hitam, Burung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,

Lebih terperinci

SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK

SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK Oleh : Nama : Arif Pratiwi, ST NIP : 710034820 TAMAN

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pameungpeuk merupakan salah satu daerah yang berada di bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, secara

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A

PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A34203015 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERENCANAAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus. dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus. dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian Anorganik Dan Organik Padi merupakan salah satu sumber makanan pokok bagi sebagian besar bangsa Indonesia (Idham & Budi, 1994). Menurut Pracaya (2002) upaya untuk mampu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati )

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati ) TINJAUAN PUSTAKA Merpati Menurut Yonathan (2003), penyebaran merpati hampir merata di seluruh bagian bumi kecuali di daerah kutub. Merpati lokal di Indonesia merupakan burung merpati yang asal penyebarannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO

PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO PENGARUH KADAR AIR AWAL, WADAH DAN PERIODE SIMPAN TERHADAP VIABILITAS BENIH SUREN (Toona sureni Merr) ANDY RISASMOKO DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO. Oleh DIDIK YULIANTO A

PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO. Oleh DIDIK YULIANTO A PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO Oleh DIDIK YULIANTO A34202008 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTIT UT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia besar yang hidup di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1823), satwa berkuku genap ini mempunyai peranan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi lutung Jawa Klasifikasi lutung Jawa menurut Groves (2001) dalam Febriyanti (2008) adalah sebagai berikut : Kingdom Class Ordo Sub ordo Famili Sub famili Genus : Animalia

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH

PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

TINGKAT KESAMAAN KOMUNITAS HERBA DI SAVANA ALAS MALANG DAN SAVANA WATUNUMPUK TAMAN NASIONAL BALURAN SITUBONDO JAWA TIMUR

TINGKAT KESAMAAN KOMUNITAS HERBA DI SAVANA ALAS MALANG DAN SAVANA WATUNUMPUK TAMAN NASIONAL BALURAN SITUBONDO JAWA TIMUR TINGKAT KESAMAAN KOMUNITAS HERBA DI SAVANA ALAS MALANG DAN SAVANA WATUNUMPUK TAMAN NASIONAL BALURAN SITUBONDO JAWA TIMUR SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk

Lebih terperinci