BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PT. Bukit Asam (Persero) adalah salah satu BUMN di Indonesia yang bergerak dalam bidang penyedia energi yang berada di desa Tanjung Enim, kecamatan Lawang kidul, Kabupaten Muara Enim. Wilayah penambangan PT. Bukit Asam (Persero) terbagi atas 3 blok, yaitu Blok Bangko yang terletak di sebelah timur Tanjung Enim, Blok Tambang Air Laya di sebelah utara Tanjung Enim, dan Muara Tiga Besar di sebelah timur Kota Lahat. Produk utama dari hasil penambangan PT. Bukit Asam (Persero) adalah batubara. Batubara merupakan batuan organik yang mudah terbakar yang terbentuk dari hasil sisa tanaman dengan variasi pengawetan terdapat pada kedalaman yang bervariasi dari dangkal sampai dalam dimana terjadi kompaksi yang terkubur di dalam perut bumi. Untuk melakukan monitoring terhadap hasil hitungan volume tumpukan batubara dilakukan pengukuran oleh satuan kerja pemetaan secara berkala setiap akhir bulannya. Satuan kerja pemetaan merupakan divisi yang salah satu tugasnya melakukan pengawasan terhadap kontraktor. Pengawasan tersebut dilaksanakan dengan cara melakukan pengukuran bersama yang bertujuan untuk membandingkan data hasil hitungan volume tumpukan batubara. Berdasarkan kontrak kerja PT. Bukit Asam (Persero) dengan kontraktor, data hasil hitungan volume tumpukan batubara antara PT. Bukit Asam (Persero) dengan kontraktor haruslah memenuhi nilai toleransi hitungan volume. Untuk mengetahui volume tumpukan batubara di PT. Bukit Asam (Persero) metode pengukuran yang digunakan adalah metode GNSS. Namun demikian, metode tersebut memiliki beberapa kelemahan yakni biaya yang dibutuhkan relatif mahal dan akuisisi data relatif lama. Hal ini tentu dapat mempengaruhi efesiensi perusahaan dalam menjalankan proses pertambangan batubara. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan 1

2 2 tersebut, terdapat metode alternatif yang dapat diambil perusahaan dalam menentukan volume tumpukan batubara yakni menggunakan metode fotogrametri jarak dekat. Fotogrametri jarak dekat merupakan teknik fotogrametri dengan lokasi kamera berada di permukaan bumi dengan jarak kamera ke obyek kurang dari 100 meter. Fotogrametri jarak dekat pada umumnya digunakan sebagai pemodelan dari obyek tertentu. Karakteristik lain yang membedakan dengan metode fotogrametri jarak dekat adalah pengambilan gambar dilakukan pada sekeliling obyek (Atkinson, 1996). Dengan metode ini dapat dihasilkan output berupa model 3D dari obyek yang difoto sehingga dari output tersebut diperoleh hitungan volume suatu obyek. Metode ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif yang bisa mendukung penyediaan data volume suatu galian maupun timbunan pada pekerjaan rekayasa sehingga proses pengumpulan data di lapangan akan lebih efisien karena akuisisi data di lapangan dilakukan relatif cepat. Berdasarkan pemaparan di atas, proyek HITUNGAN VOLUME STOCKPILE BATUBARA DENGAN METODE FOTOGRAMETRI JARAK DEKAT penting untuk dilakukan. Proyek tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah hasil penghitungan volume tumpukan batubara telah memenuhi nilai toleransi menurut kontrak kerja PT. Bukit Asam (Persero). Apabila hasil penghitungan volume memenuhi nilai toleransi, maka metode fotogrametri jarak dekat dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pendukung penyediaan data volume tumpukan batubara. Data yang digunakan merupakan data kerja praktek di PT. Bukit Asam (Persero). I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan pada proyek ini adalah melakukan penentuan volume pada suatu tumpukan batubara tertentu menggunakan metode fotogrametri jarak dekat yang dilakukan di PT. Bukit Asam (Persero) Site Tambang Air Laya pada bulan Januari Batasan dari kegiatan ini meliputi: 1. Menghitung selisih dari volume tumpukan batubara antara metode GNSS dengan metode fotogrametri jarak dekat.

3 3 2. Pengambilan foto obyek menggunakan kamera DSLR Nikon D90 dengan panjang lensa 18 mm. 3. Data sekunder berupa data koordinat GCP (x,y,z) dan data koordinat titik perapatan (x,y,z) tumpukan batubara diukur menggunakan metode GNSS stop and go. 4. Data pengukuran metode GNSS stop and go merupakan data yang dianggap benar. 5. Model 3D dibentuk secara otomatis dengan menggunakan perangkat lunak Agisoft Photoscan 1.4. dan Surpac Penghitungan volume tumpukan batubara menggunakan perangkat lunak Surpac dengan metode cut and fill. I.3. Tujuan Proyek ini bertujuan untuk menentukan volume tumpukan batubara menggunakan metode fotogrametri jarak dekat berdasarkan nilai toleransi hitungan yang diatur dalam kontrak kerja PT. Bukit Asam (Persero). I.4. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari kegiatan proyek ini adalah: 1. Mampu mengaplikasikan metode fotogrametri jarak dekat untuk pemodelan 3D tumpukan batubara. 2. Dapat mengetahui hitungan volume tumpukan batubara yang diukur menggunakan metode fotogrametri jarak dekat. 3. Dapat menganalisis hasil hitungan volume tumpukan batubara yang diukur menggunakan metode fotogrametri jarak dekat apakah memenuhi nilai toleransi hitungan volume atau tidak.

4 4 I.5. Landasan Teori I.5.1. Fotogrametri jarak dekat Fotogrametri jarak dekat adalah teknik fotogrametri non topografi dengan lokasi kamera berada di atas atau di permukaan bumi dan jarak obyek dengan kamera kurang dari 100 meter. Karakteristik lain yang dimiliki fotogrametri jarak dekat adalah bahwa foto yang digunakan pada fotogrametri jarak dekat diperoleh dari hasil pemotretan dengan posisi kamera mengelilingi obyek. (Atkinson, 1996 dalam Aristia, 2014). Pada dasarnya konsep yang digunakan dalam fotogrametri jarak dekat adalah konsep fotogrametri analitis yang diaplikasikan pada pemotretan terestris. Prinsip yang digunakan dalam fotogrametri jarak dekat adalah prinsip kolinearitas (kesegarisan) yang dapat didefinisikan bahwa titik utama kamera, koordinat titik pada foto, dan posisi 3 dimensi titik tersebut pada ruang berada pada satu garis lurus. Kondisi kolinearitas ini tentu saja digunakan sebagai solusi umum saat orientasi relatif baik secara aerial maupun terestris. Gambar I.1. Kondisi kolinearitas (Atkinson, 1996 dalam Aristia, 2014) Pada foto terestris, sumbu x pada sistem koordinat foto sejajar dengan sumbu X pada koordinat tanah, sumbu z pada sistem koordinat foto sejajar dengan sumbu Y pada sistem koordinat tanah, dan sumbu y pada sistem koordinat foto sejajar dengan sumbu Z pada sisitem koordinat tanah. Hal tersebut yang menyebabkan perbedaan antara foto udara dan foto terstris.

5 5 Fotografi terestrial bisa dilakukan secara statis (foto obyek stasioner) atau dinamis (foto benda bergerak). Untuk fotografi statis, foto diambil dengan waktu yang lambat, halus, waktu eksposur yang lama. Stereopairs dapat diperoleh dengan menggunakan kamera tunggal dan membuat eksposur di ke dua ujung garis dasar. Dalam mengambil foto terestrial dinamis, foto diambil dengan waktu yang cepat dan kecepatan rana yang cepat. Stereopairs dapat diperoleh dengan menggunakan dua kamera yang terletak di ujung garis dasar dan harus membuat eksposur yang simultan.(wolf, 1983 dalam Aristia, 2014) Pada saat akuisisi data, foto yang diambil harus dengan tumpang tindih. Posisi kamera berpindah sepanjang obyek dalam pengambilan foto, dan membuat foto-foto yang diambil merupakan sepasang foto stereo, sehingga posisi kamera tidak pada posisi yang sama dan mengambil foto dengan berputar di satu lokasi. Tumpang tindih antara posisi kamera yang untuk model 360 derajat (Gambar I.2), sebaliknya pengambil foto dengan posisi sejajar terhadap obyek (Gambar I.3). Foto-foto harus diambil dari posisi yang dekat satu sama lain, dan pada sudut rendah, (Alan Walford, 2013 dalam Janitra, 2014). Gambar.I.2. Pemotretan obyek 360 derajat, (Alan Walford, 2013 dalam Janitra, 2014)

6 6 Gambar.I.3. Pemotretan sejajar terhadap obyek (Alan Walford, 2013 dalam Janitra, 2014) Selain itu dikenal juga istilah base to height / (b/h) ratio. Base to height / (b/h) ratio adalah istilah yang digunakan dalam fotogrametri. Hal ini didefinisikan sebagai rasio pemisaha atau perbandingan antara jarak sepasang kamera dan jarak dari kamera ke permukaan, (Gambar I.8). Rasio terbaik yang sesuai software PhotoModeler Scanner sekitar 0,3, tetapi ada beberapa toleransi, dimana rasio lebih kecil (paling kecil 0.2 ) atau lebih besar juga dapat bekerja (paling besar 1.0). Base adalah jarak antara kamera dengan kamera lainya, sedangkan height adalah jarak dari kamera ke permukaan. (Alan Walford, 2013). Selanjutnya data foto akan diolah dengan perangkat lunak tertentu untuk memodelkan obyek ke dalam bentuk tiga dimensi. Dari pemodelan tersebut dapat dilakukan analisis untuk penentuan volume dari objek. Syarat yang harus dipenuhi dalam pengambilan foto sebagai berikut (Sarinurrohman, 2005 dalam Anandito, 2011): 1. Tinggi kamera saat akuisisi data adalah setengah tinggi obyek, hal ini bertujuan agar hasil foto dapat mencakup keseluruhan dari obyek. 2. Sudut pemotretan antara kamera dengan obyek disarankan mendekati Kamera yang digunakan sudah terkalibrasi, sehingga dapat meminimalisir kesalahan pada hasil foto. 4. Pertampalan tiap foto minimal 50%. 5. Diperlukan tie point pada beberapa bagian obyek sebagai syarat untuk orientasi foto pada saat pengolahan menjadi model 3D.

7 7 Klasifikasi kamera dalam fotogrametri secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu kamera metrik dan kamera non metrik. Pada pekerjaan ini menggunakan kamera non metrik dalam malakukan pengambilan data. Kamera non metrik merupakan kamera yang berkualitas biasa digunakan orang secara umum maupun profesional. Kamera non metrik tidak memiliki fokus yang tetap sehingga interior orientation kameranya tidak diketahui. Selain itu kamera non metrik tidak memiliki fiducial mark sehingga dalam penggunaanya perlu dilakukan kalibrasi kamera (Moffit dan Mikhail, 1980 dalam Adinaningrum, 2015). Kamera non metrik pada dasarnya tidak didesain untuk untuk tujuan fotogrametri. Namun dengan melihat parameter dalam kaidah fotogrametri, kamera non metrik dapat digunakan untuk tujuan fotogrametri. Kamera non metrik memiliki keunggulan dalam hal fokus lensa yang fleksibel sehingga dapat menyelesaian rangkaian pemotretan dengan cepat. Selain itu harga kamera non metrik lebih terjangkau dari pada kamera metrik (Karara, 1989 dalam Adinaningrum, 2015). I.5.2. Ground Sampling Distance (GSD) Ground sampling distance atau resolusi spasial adalah ukuran terkecil dari obyek yang terekam oleh kamera. Panjang dan lebar sensor kamera berpengaruh pada luas cakupan area yang terpotret dan menentukan dalam perhitungan panjang basis udara untuk memperoleh pertampalan yang diinginkan. Ground sampling distance (GSD) juga dapat diartikan sebagai jarak di atas tanah yang diwakili tiap 1 piksel pada foto udara. (Soetaat, 2011 dalam Melasari,2014) Berikut ini rumus untuk memperoleh nilai GSD foto udara: GSD = resolusi piksel x ASf (I.1) GSD = ( l / jumlah piksel ) x ( H rata-rata / f ) (I.2) Keterangan: ASf = angka skala foto l = ukuran lebar sensor (mm) H rata-rata = tinggi terbang rata rata (m) F = fokus kamera (mm)

8 8 I Resolusi piksel. Piksel (dari bahasa picture element) merupakan unsur gambar atau representasi sebuah titik terkecil dalam sebuah gambar grafis yang dihitung per inchi. Jumlah piksel dalam sensor menentukan tingkat kehalusan foto atau resolusi yang dihasilkan. Resolusi piksel merupakan ukuran dari 1 buah piksel. Semakin kecil ukuran sebuah piksel semakin halus gambar yang dihasilkan. Rumus resolusi piksel adalah sebagai berikut. Resolusi piksel = panjang sensor / jumlah piksel (I.3) I Skala foto. Skala foto merupakan perbandingan antara jarak antar obyek di foto dengan jarak obyek yang sama di lapangan. Skala foto dapat juga berupa perbandingan antara panjang fokus kamera pemotretan dengan tinggi terbang wahana. Gambar I.4 berikut menunjukkan bentuk geometri foto udara. Gambar I.4. Geometri foto udara tegak antara objek dengan foto (Wolf 1983 dalam Adinaningrum, 2015)

9 9 Skala rata-rata = f / Hrata-rata dalam hal ini, f : panjang fokus kamera ( I.4) H rata-rata : tinggi terbang rata-rata I Ukuran sensor kamera. Kamera analog menggunakan plat film sebagai sensor, sedang pada kamera digital sensor yang digunakan berupa plat CCD (Charge Coupled Device) ataupun CMOS (Complementary Metal Oxide Semiconductor). Ukuran sensor pada kamera digital non-metrik yang ada saat ini sangat beragam. I.5.3. Kalibrasi kamera Kalibrasi kamera adalah suatu proses yang sangat penting dalam pengukuran Fotogrametri. Kalibrasi kamera merupakan proses penentuan parameter orientasi dalam dari sebuah kamera. Sebuah kamera dikatakan telah terkalibrasi apabila parameter panjang fokus (c), principle point (Xp, Yp), dan distorsi lensa (K1, K2, K3, P1, P2) telah diketahui. Pada perangkat lunak Agisoft Photoscan 1.4 setelah dilakukan proses identifikasi tie point, maka didapati persamaan kalibrasi kameranya sebagai berikut (Atkinson, 1996 dalam Aristia 2014). = (I.5) Matriks R merupakan matriks rotasi : R ω = ; R φ = ; R κ = (I.6) R = R ω R φ R κ R = (I.7)

10 10 x a - x o = (I.8) y a - y o = (I.9) Keterangan : x a, y a = koordinat titik A di foto. xo, y o = koordinat titik pusat foto. XA, Y A, Z A = koordinat titik A di permukaan bumi. XO, Y O, Z O = koordinat pusat kamera. c = panjang fokus kamera. r ij R R R ω φ κ = elemen matriks rotasi. = matriks rotasi terhadap sumbu X. = matriks rotasi terhadap sumbu Y. = matriks rotasi terhadap sumbu Z. Setelah proses kalibrasi kamera diperoleh parameter-parameter kalibrasi sebagai berikut: (1) panjang fokus, (2) Principle point, dan (3) Distorsi lensa. Penjelasan terhadap parameter-parameter tersebut adalah sebagai berikut : I Panjang Fokus. Panjang fokus adalah jarak dalam satuan milimeter (mm) antara bagian tengah elemen optik lensa dengan bidang proyeksi kamera (CCD/CMOS) dalam kamera digital atau film dalam kamera analog. Nilai panjang fokus ini harus diketahui karena berhubungan dengan pengukuran obyek. Pada beberapa perangkat lunak pengolahan data, terdapat dua buah nilai panjang fokus hasil kalibrasi kamera yaitu panjang fokus dalam satuan panjang (mm) dan panjang fokus dalam piksel.

11 11 I Titik Pusat Foto / Principle Point. Principle Point merupakan titik utama hasil proyeksi tegak lurus titik pusat perspektif (titik pusat proyeksi) pada bidang foto. Titik ini merupakan titik utama pada sistem koordinat foto. Gambar I.5. Geometri sebagian orientasi dalam (Abdelhafiz, 2009 dalam Aristia, 2014) I Distorsi Lensa. Ketidaksesuaian bentuk obyek yang ada di dunia nyata dengan bentuk obyek pada foto yang menyebabkan tidak tepatnya proyeksi dari pusat perspektif lensa terhadap bidang foto sehingga letak proyeksinya tidak tepat pada pusat sistem koordinat foto disebut distorsi lensa. Hal ini disebabkan karena lensa yang digunakan memiliki kualitas yang kurang baik sehingga terjadi perubahan arah sinar yang keluar dari lensa dan yang masuk menjadi tidak sejajar. Distorsi pada lensa meyebabkan kesalahan geometrik atau bentuk obyek pada foto, namun tidak mengurangi ketajamannya dari hasil pemotretan kamera. Kesalahan tersebut mengakibatkan adanya penyimpangan geometri pada foto dengan geometri obyek sebenarnya. Distorsi lensa dibedakan menjadi dua yaitu distorsi radial dan tangensial (Wolf, 1993 dalam Aristia, 2014). Distorsi radial adalah pergeseran linier titik foto dalam arah radial terhadap titik utama dari posisi idealnya. Distorsi lensa biasa diekspresikan sebagai fungsi polynomial

12 12 dari jarak radial terhadap titik utama foto. Distorsi radial ke arah luar dianggap positif dan ke arah dalam dianggap negatif. Distorsi radial ke arah dalam disebut sebagai pinchusion distortion, dan distorsi radial ke arah luar disebut barrel distortion. Perbedaan keduanya dapat dilihat pada Gambar I.6. (a) (b) Gambar I.6 (a) Pinchusion distortion dan (b) barrel distortion Distorsi radial dideskripsikan sebagai fungsi polinom dari jarak radial terhadap titik utama foto. δx = ( (I.10) δy = ( (I.11) dengan nilai r : r 2 = (I.12) Dimana : δx, δy = Besar distorsi radial. K 1, K 2, K 3 = Parameter distorsi radial. r = Jarak radial. Distorsi tangensial adalah pergeseran linier titik di foto pada arah normal (tegak lurus) garis radial melalui titik foto tersebut. Distorsi tangensial disebabkan kesalahan sentering elemen-elemen lensa dalam satu gabungan lensa dimana titik pusat elemenelemen lensa dalam gabungan lensa tersebut tidak terletak pada satu garis lurus.

13 13 pergeseran ini biasa dideskripsikan dengan dua persamaan kuadratik untuk pergeseran pada arah x (δx) dan arah y (δy) δx = [P 1 [ r ( x p ) 2 ] + 2P 2 ( x p ) ( y p )] (1+P 3 r 2 ) (I.13) δy = [2P1( x p ) ( y p ) + 2P 2 ( r ( y p ) 2 )] (1+P 3 r 2 ) (I.14) Dimana : δx = Besarnya pergeseran pada arah x δy = Besarnya pergeseran pada arah y P 1, P 2, P 3 = Parameter distorsi tangensial r = jarak radial I.5.4 Distribusi Titik kontrol dan Titik Ikat. Ground Control Point (GCP) atau titik kontrol adalah titik lokasi yang diketahui atau diidentifikasi dalam ruang nyata (di tanah), dan Ground Control Point (GCP) digunakan untuk verifikasi posisi fitur peta. Ground Control Point (GCP) berfungsi sebagai titik sekutu antara sistem koordinat peta dan sistem koordinat foto. Independent Check Point (ICP) atau titik cek adalah sebagai kontrol kualitas dari obyek dengan cara membandingkan koordinat model dengan koorsinat sebenarnya. Ground Control Point (GCP) dan Independent Check Point (ICP) pada umumnya dibuat menyebar dipinggiran foto dan diadakan sengan dua cara, yaitu (Harintaka, 2008 dalam Janitra, 2014) : 1. Pre-marking adalah mengadakan titik target sebelum pemotretan dilaksanakan. 2. Post-marking adalah mengidentifikasi obyek yang terdapat pada foto, kemudian ditentukan koordinat petanya. Tie point atau titik ikat adalah titik sekutu yang merupakan titik sekutu antar foto yang saling bertampalan. Tie point selalu dibuat dengan cara post-marking, yaitu menidentifikasi obyek yang sama pada daerah foto yang bertampalan. Akurasi dan presisi adalah faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Ground Control Point (GCP) yang berkualitas. Perbendaan antara akurasi dan presisi pada Gambar I.7.

14 14 Gambar I.7. Akurasi dan presisi (Sedorovich, 2010 dalam Janitra, 2014) Pada Gambar I.7 adalah menjelaskan perbedaan antara akurasi dan presisi. Gambar I.7.a adalah ketepatan akurasi dan presisi yang baik, dimana posisi titik-titik yang berkelompok pada target. Gambar I.7.b adalah presisi yang baik dan kurang akurasi, dimana pengelompokan masih tepat tetapi tidak akurat karena posisi titik-titik tidak berpusat pada target. Gambar I.7.c menunjukkan ketidaktepatan pada akurasi dan presisi, dimana titik-titik tidak berkelompok dan tidak berpusat pada target. Keakuratan proses akurasi dievaluasi dengan menghitung Root Mean Square (RMS) Error disetiap titik. Root Mean Square (RMS) Error adalah perbedaan antara hasil koordinat Ground Control Point (GCP) yang diinginkan dan hasil koordinat sebenarnya (koordinat tanah), dititik yang sama. I.5.5. Pembentukan model 3D. Tujuan akhir dari pengolahan foto dalam fotogrametri jarak dekat adalah untuk membangun model 3D bertekstur. Prosedur pengolahan foto dan pembentukan model 3D terdiri dari empat tahap utama. Keempat tahap utama tersebut meliputi tahap alignment, pembuatan dense cloud, pembuatan mesh dan pembuatan texture. Aristia (2014) menjelaskan bahwa tujuan akhir dari pengolahan data fotogrametri jarak dekat adalah membentuk model 3D bertekstur yang terdiri dari empat tahap utama Tahap alignment. Tahap ini diawali dengan proses image matching dengan cara mengetahui posisi kamera pada setiap foto. Selanjutnya memasukkan nilai koordinat (X,Y,Z) tie point pada foto sesuai urutan nomor titik secara merata. Ketika semua foto sudah tereferensikan, maka akan diperoleh output berupa nilai RMS dan nilai

15 15 parameter kalibrasi kamera yang secara otomatis diolah oleh perangkat lunak Agisoft Photoscan 1.4. Nilai parameter kalibrasi kamera perlu dimasukkan untuk menghilangkan efek distorsi pada foto agar sparse point cloud dan formasi posisi kamera dari data foto dapat terbentuk. Sparse point cloud adalah hasil penyelarasan dari beberapa data foto sehingga dapat digunakan pada perangkat lunak yang lain Tahap membentuk dense point cloud. Dense point cloud merupakan metode semi-otomatis untuk memodelkan obyek yang memiliki tekstur. Dense point cloud mampu menghasilkan point cloud yang sangat kecil dan rapat. Pembentukan model 3D menghasilkan bentuk yang sesuai dengan keadaan sebenarnya. Pemrosesan data foto pada metode dense point cloud ini dilakukan secara stereo matching. Hasil point cloud yang terbentuk tergantung pada proses image matching pertampalan fotofoto Tahap membentuk mesh. Poligon permukaan obyek terbentuk berdasarkan titik-titik dense point cloud sehingga membentuk segitiga dan segiempat yang bergabung satu sama lain lalu membentuk suatu permukaan obyek yang solid. Poligon yang terbentuk pada perangkat lunak Agisoft photoscan 1.4 disebut sebagai face / surface sedangkan titik-titik perpotongan antar poligon yang membentuk jarring segitiga disebut vertex Tahap membentuk texture. Tekstur pada obyek dapat terbentuk dengan cara memanggil tekstur dari foto aslinya atau memberikan tekstur yang tersedia dalam perangkat lunak Agisoft photoscan 1.4 melalui proses rendering foto, yaitu memberikan tekstur foto pada mesh hasil pemodelan geometri yang telah dibentuk pada proses sebelumnya. Pada tahap ini dibentuklah jaring-jaring segitiga (TIN) yang lebih rapat, sehingga terain dan surface terlihat lebih halus Transformasi koordinat konform 3D Transformasi koordinat 3D adalah suatu proses untuk merubah suatu sistem dari sistem koordinat 3D yang satu ke sistem koordinat 3D lainnya dengan salib sumbu antar ke dua sistem sama-sama tegak lurus. Perubahan sistem ini umumnya digunakan untuk

16 16 merubah referensi koordinat point sumbu x y z yang direferensikan ke sistem sumbu X Y Z yang lain. Transformasi koordinat konform 3D merupakan salah satu yang digunakan untuk proses registrasi antar model atau yang disebut juga transformasi Helmert. Faktor penentu transformasi 3D adalah parameter-parameter tranformasi, di mana parameter tersebut adalah independent. Parameter-parameter pada transformasi koordinat conform 3D adalah rotasi, translasi dan skala. Parameter transformasi 3D ada 7 parameter, sehingga untuk proses registrasi antar sistem ke sistem yang lain parameter yang harus dicari yaitu skala ( λ ), rotasi (ω,ψ,k ) dan translasi ( Tx, Ty, Rz ). Transformasi koordinat konform tiga dimensi meliputi perubahan dari suatu sistem tiga dimensional ke sistem lainnya. Transformasi konform 3D merupakan sebuah transformasi yang mempertahankan faktor skala sama pada semua arah, trasformasi ini banyak digunakan untuk kepentingan transformasi model. Transformasi konform akan mempertahankan bentuk model yang ditransformasi sehingga tidak terjadi perubahan sudut obyek. Gambar I.8. Transformasi koordinat konform 3D (Atkinson 1996 dalam Adinanigrum, 2015) Model yang berada dalam sebuah chunk (subproject dalam perangkat lunak Agisoft Photoscan 1.4) pada registrasi model 3D memiliki sistem koordinat lokal masing-masing, sehingga setiap tie point pada pada model memiliki sistem koordinat yang sesuai dengan chunk. Proses registrasi antar chunk yang saling berdekatan harus

17 17 memiliki acuan target yang sama dalam arti adalah posisi target sebagai tie point yang sama. Kesamaan posisi acuan target untuk proses registrasi bisa ditentukan dengan transformasi koordinat 3D yang akan memeperoleh nilai parameter-parameter antar ke dua sistem acuan tersebut. Salah satu dari chunk tersebut harus dijadikan sebagai koordinat acuan (referensi) sebagai acuan bagi chunk lainnya. Transformasi konform model 3D antara suatu model dengan sistem koordinat X B, Y B, Z B dan model lain dengan sistem koordinat X A, Y A, Z A dapat dilihat pada persamaan dibawah ini : (I.15) Dimana : X B, Y B, Z B X A,Y A, Z A s R T x, T y, T z = koordinat model B. = koordinat model A. = faktor skala. = parameter rotasi (ω,φ,k). = parameter translasi Metode GNSS stop and go Metode GNSS merupakan metode pengukuran yang penentuan posisi titik koordinatnya dilakukan dengan menggunakan alat yang tidak berpangkal di tanah tetapi dilakukan dengan menggunakan wahana seperti pesawat terbang, pesawat ulang alik atau satelit. Pada proyek ini metode GNSS yang digunakan adalah metode stop and go. Metode stop and go adalah metode survei GPS dimana pada proses pengamatannya, setelah melakukan inisialisasi di titik awal untuk penentuan ambiguitas fase, receiver GPS bergerak dari titik ke titik dan melakukan pengamatan dalam waktu yang relatif singkat (sekitar 1 menit) pada setiap titiknya.

18 18 Gambar I.9. Metode penentuan posisi stop and go ( Metode penentuan posisi ini kadang disebut juga sebagai metode semikinematik. Metode ini mirip dengan metode kinematik. Hanya pada metode ini titik-titik yang akan ditentukan posisinya tidak bergerak, sedangkan receiver GPS bergerak dari titik ke titik dimana pada setiap titiknya receiver tersebut berdiam beberapa saat, sebelum bergerak lagi ke titik berikutnya. Karakteristik dari metode penentuan posisi stop and go, diantaranya: 1. Selama pergerakan antara titik ke titik, receiver harus selalu mengamati sinyal GPS (tidak boleh terputus). 2. Seandainya pada epok tertentu selama pergerakan terjadi cycle slip maka receiver harus melakukan inisialisasi kembali dan kemudian bergerak lagi. 3. Berbasiskan differential positioning dengan menggunakan data fase. 4. Penentuan posisi bisa dilakukan secara real-time ataupun post-processing. 5. Metode ini cocok untuk penentuan posisi titik-titik yang jaraknya dekat satu sama lainnya serta berada pada daerah yang terbuka.

19 19 I.5.8. Digital Elevation Model (DEM) Digital Elevation Model (DEM) adalah representasi statistik permukaan tanah yang kontinyu dari titik-titik yang diketahui koordinat X, Y, dan Z nya pada suatu sistem koordinat tertentu. Suatu DEM merupakan sistem yang terdiri dari dua bagian, yaitu sekumpulan titik-titik yang mewakili bentuk permukaan terrain yang disimpan pada memori komputer, dan Algoritma untuk melakukan interpolasi titik-titik baru dari data titik yang diberikan atau menghitung data lain. DEM sendiri dapat diartikan sebagai representasi ketinggian dari suatu continuous terrain atau permukaan (tanpa ada feature alam dan hand made) dalam bentuk digital atau numeris, dalam sistem koordinat X, Y, Z. Pengertian DEM mencakup tidak hanya tinggi (height) dan elevasi (elevation), tetapi juga unsur-unsur morfologi yang lain seperti garis sungai dan lain-lain (Dipokusumo dkk, 1983 dalam Permana, 2014). Gambar I.10. DEM (Digital Elevation Model)

20 20 Pada pekerjaan penghitungan volume ini menggunakan jenis Digital Elevation Model nya yaitu Triangle-based Modeling atau biasa disebut TIN. TIN adalah salah satu metode untuk merepresentasikan suatu surface (permukaan) bumi dalam bentuk jaring jaring segitiga tak beraturan yang tersebar secara tidak teratur dan saling berhubungan. Masing-masing segitiganya terdiri dari dari tiga vertex yang mempunyai koordinat lokasi (X, Y) dan nilai elevasi (Z). Dalam pembentukan TIN dibutuhkan setidaknya enam titik yang dapat digunakan untuk pembentukan jaring segitiga. Tiga titik berada pada node sebagai ujung sisi sisi segitiga dan tiga titik lainya merupakan titik luar yang membentuk jaring segitiga lain. TIN akan menghasilkan informasi yang padat pada daerah yang kompleks dan informasi yang jarang pada daerah yang homogen (Li Zhilin dan Gold, 2005 dalam Permana, 2014). Konsep pembentukan TIN didasarkan pada delaunay triangulation. Delaunay triangulation merupakan suatu metode untuk membangun geometri segitiga dimana metode ini memaksimalkan sudut minimum dari semua sudut segitiga tersebut. Gambar I.11. Pembentukan TIN dengan Delaunay Triangulation (Geodis-ale, 2012 dalam Permana, 2014) I.5.9. Hitungan volume tumpukan batubara metode cut and fill Metode hitungan volume tumpukan batubara pada dasarnya menggunakan prinsip perhitungan volume dari bagian permukaan batubara yang dibatasi oleh penampang-penampang melintangnya. Perhitungan volume batubara dapat dilakukan

21 21 dengan beberapa metode, yaitu metode garis kontur, metode irisan melintang (Cross section) dan metode cut and fill. Pada pekerjaan ini metode yang digunakan adalah metode cut and fill. Gambar I.12. Visualisasi penghitungan volume dengan metode cut and fill ( Prinsip dari metode cut and fill adalah menghitung luasan dua penampang serta jarak antara penampang atas dan penampang bawah tersebut. Dengan mengetahui data penampang atas dan penampang bawah, maka dapat dihitung luas masing-masing penampang. Volume dihitung dari DEM yang dibentuk dari jaring-jaring segitiga (TIN). Jaring segitiga inilah yang akan membentuk suatu geometri prisma dari dua surface. Surface dibedakan menjadi dua yaitu first surface dan second surface. First surface merupakan surface yang akan dihitung volumenya sedangkan second surface merupakan surface yang dijadikan sebagai alas. Gambar I.12 menunjukan bahwa volume total dari suatu area dihitung dari penjumlahan volume semua prisma. Volume prisma dihitung dengan mengalikan permukaan proyeksi (Ai) dengan jarak antara pusat massa dari dua segitiga yaitu desain surface dan base surface (di). Rumus penghitungan volume dapat dilihat pada rumus I.16 ( Vi= Ai.di (I.16)

22 22 Keterangan : Vi :Volume prisma Ai : Luas bidang permukaan proyeksi di : Jarak antara pusat massa dua segitiga surface desain dan base desain. Rumus penentuan volume di atas secara terperinci dapat dijelaskan oleh rumus triangular prism dan rectangular prism yang dikemukakan oleh Pfilipsen (Pfilipsen, 2006 dalam dalam Permana, 2014). n ( gi hi) i= 1 hm = (I.17) 4 n V = F ( hm ho) (I.18) Keterangan : V : Volume total F : Luas permukaan keseluruhan hm : Tinggi rata rata vertex ho : Tinggi pada bidang referensi horizontal Persamaan rectangular prism merupakan turunan daripada persamaan triangular prism. Persamaan triangular prism dapat dilihat pada persamaan berikut. h mi = ( h i1 + h i2 + h i3 )/3 (I.19) Vi = Fi x hmi (1.20) V = (I.21) Keterangan : i : segitiga ke-i

23 23 n hi1, hi2 hmi V Vi Fi : jumlah seluruh segitiga : tinggi tiap titik pada satu segitiga : tinggi rata-rata dari satu segitiga : volume objek : volume dari satu segitiga : area dari satu segitiga

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 pasal 1 tentang Cagar Budaya menjelaskan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang American Society of Photogrammetry (Falkner dan Morgan, 2002) mendefinisikan fotogrametri sebagai seni, ilmu dan teknologi mengenai informasi terpercaya tentang objek fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, menyebutkan Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemodelan tiga dimensi suatu obyek di atas permukaan bumi pada saat ini dapat dilakukan dengan cara teristris maupun non-teristris, menggunakan sensor aktif berupa

Lebih terperinci

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4. DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... v PERNYATAAN... vi PERSEMBAHAN... vii KATA PENGANTAR... viii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv DAFTAR ISTILAH... xvi INTISARI...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tugu Yogyakarta adalah sebuah monumen yang menjadi simbol Kota Yogyakarta. Monumen ini berada tepat di tengah perempatan Jalan Pengeran Mangkubumi, Jalan Jendral Sudirman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tersedianya data spasial, tidak lepas dari keberadaan ilmu Geodesi dan Geomatika. Ilmu Geodesi dan Geomatika memiliki kompetensi dalam penyediaan data spasial dua

Lebih terperinci

I. BAB I PENDAHULUAN

I. BAB I PENDAHULUAN I. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi, penggunaan action camera untuk pengumpulan data geospasial menjadi sesuatu yang penting dan menjadi populer. Berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI LITERATUR

BAB 2 STUDI LITERATUR BAB 2 STUDI LITERATUR Dalam bab ini akan dibahas studi referensi dan dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini. Terutama dibahas tentang pemodelan 3D menggunakan metode fotogrametri rentang dekat

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Jenis Peta menurut Skala. Secara umum, dasar pembuatan peta dapat dinyatakan seperti Gambar 2.1

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Jenis Peta menurut Skala. Secara umum, dasar pembuatan peta dapat dinyatakan seperti Gambar 2.1 BB II DSR TEORI 2.1. Pemetaan Peta adalah penyajian grafis dari seluruh atau sebagian permukaan bumi pada suatu bidang datar dengan skala dan sistem proyeksi peta tertentu. Peta menyajikan unsurunsur di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang tediri dari tiga lempeng bumi yang bergerak secara aktif, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Di zaman modern ini, ilmu dan teknologi Geodesi dan Geomatika terus berkembang guna menyediakan dan mendukung tersedianya data spasial. Bukan hanya data spasial topografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan komoditas bahan tambang melimpah. Batubara merupakan salah satu komoditas bahan tambang tersebut. Dalam kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Waduk merupakan suatu kolam besar tempat menyimpan/menampung air ketika debit tinggi untuk digunakan pada debit rendah serta sebagai persediaan berbagai kebutuhan.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r)

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r) BAB IV ANALISIS 4.1. Analisis Kalibrasi Kamera Analisis kalibrasi kamera didasarkan dari hasil percobaan di laboratorium dan hasil percobaan di lapangan. 4.1.1. Laboratorium Dalam penelitian ini telah

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FOTOGRAMETRI I (Individu)

LAPORAN PRAKTIKUM FOTOGRAMETRI I (Individu) LAPORAN PRAKTIKUM FOTOGRAMETRI I (Individu) KALIBRASI KAMERA DENGAN SOFTWARE PHOTOMODELER SCANNER TANGGAL PRAKTIKUM : 2 Desember 2014 Disusun Oleh NAMA NIM KELAS : Nur Izzahudin : 13/347558/TK/40748 :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Efisiensi biaya pada pemetaan menggunakan metode foto udara sangat dipengaruhi oleh jenis kamera yang digunakan. Untuk luas area yang relatif lebih kecil (±100ha) pemotretan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada era pembangunan dewasa ini, kebutuhan akan informasi mengenai posisi suatu obyek di muka bumi semakin diperlukan. Posisi suatu obyek terkait langsung dengan kualitas

Lebih terperinci

HASIL DAN ANALISIS. Tabel 4-1 Hasil kalibrasi kamera Canon PowerShot S90

HASIL DAN ANALISIS. Tabel 4-1 Hasil kalibrasi kamera Canon PowerShot S90 BAB 4 HASIL DAN ANALISIS Dalam bab ini akan dibahas mengenai hasil dari setiap proses yang telah dilakukan dan dibahas pada bab sebelumnya baik dari kalibrasi kamera sampai pada pengolahan data yang telah

Lebih terperinci

BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI

BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI Pada bab ini akan dijelaskan tentang perbandingan tingkat kualitas data, terutama perbandingan dari segi geometri, selain itu juga akan dibahas mengenai

Lebih terperinci

APLIKASI CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY UNTUK PERHITUNGAN VOLUME OBJEK

APLIKASI CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY UNTUK PERHITUNGAN VOLUME OBJEK APLIKASI CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY UNTUK PERHITUNGAN VOLUME OBJEK Oleh : Sarkawi Jaya Harahap 3511 1000 04 Dosen Pembimbing : Hepi Hapsari Handayani, S.T, Ms.C Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik

Lebih terperinci

METODE KALIBRASI IN-FLIGHT KAMERA DIGITAL NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN CLOSE- RANGE PHOTOGRAMMETRY

METODE KALIBRASI IN-FLIGHT KAMERA DIGITAL NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN CLOSE- RANGE PHOTOGRAMMETRY METODE KALIBRASI IN-FLIGHT KAMERA DIGITAL NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN CLOSE- RANGE PHOTOGRAMMETRY Husnul Hidayat*, Agung Budi Cahyono, Mohammad Avicenna Departemen Teknik Geomatika FTSLK-ITS, Kampus ITS

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI REFERENSI. Gambar 2-1 Kamera non-metrik (Butler, Westlake, & Britton, 2011)

BAB 2 STUDI REFERENSI. Gambar 2-1 Kamera non-metrik (Butler, Westlake, & Britton, 2011) BAB 2 STUDI REFERENSI Penelitian ini menggunakan metode videogrametri. Konsep yang digunakan dalam metode videogrametri pada dasarnya sama dengan konsep dalam metode fotogrametri. Konsep utamanya adalah

Lebih terperinci

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data... DAFTAR ISI 1. BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.3 Pertanyaan Penelitian... 4 1.4 Tujuan Penelitian... 4 1.5 Manfaat Penelitian... 4 2. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI METODE CRP UNTUK PEMETAAN

BAB III IMPLEMENTASI METODE CRP UNTUK PEMETAAN BAB III IMPLEMENTASI METODE CRP UNTUK PEMETAAN 3.1. Perencanaan Pekerjaan Perencanaan pekerjaan pemetaan diperlukan agar pekerjaan pemetaan yang akan dilakukan akan berhasil. Tahap pertama dalam perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah merupakan bagian dari permukaan bumi berupa ruang yang sangat luas tetapi terbatas. Keterbatasan ini disebabkan oleh pertambahan penduduk yang berdampak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi pengolahan data fotogrametri semakin pesat. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil pengolahan data fotogrametri khususnya data foto udara

Lebih terperinci

Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi Dan Pemetaan Teristris

Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi Dan Pemetaan Teristris JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (20XX) ISSN: XXXX-XXXX (XXXX-XXXX Print) 1 Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi

Lebih terperinci

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI Konsep Dasar Pengolahan Citra Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI Definisi Citra digital: kumpulan piksel-piksel yang disusun dalam larik (array) dua-dimensi yang berisi nilai-nilai real

Lebih terperinci

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan : Tujuan : KOREKSI GEOMETRIK 1. rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar kordinat citra sesuai dengan kordinat geografi 2. registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Di dalam dunia pertambangan tidak terlepas dari hal mengenai kelerengan. Hal ini dapat dilihat dari struktur dan bentuk dari final wall yang terbentuk akibat proses penambangan

Lebih terperinci

TAHAPAN STUDI. Gambar 3-1 Kamera Nikon D5000

TAHAPAN STUDI. Gambar 3-1 Kamera Nikon D5000 BAB 3 TAHAPAN STUDI Dalam bab ini akan dibahas rangkaian prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini yang dimulai dari peralatan yang digunakan, proses kalibrasi kamera, uji coba, dan pengambilan data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

PEMBUATAN MODEL ORTOFOTO HASIL PERKAMAN DENGAN WAHANA UAV MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FOTOGRAMETRI

PEMBUATAN MODEL ORTOFOTO HASIL PERKAMAN DENGAN WAHANA UAV MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FOTOGRAMETRI PEMBUATAN MODEL ORTOFOTO HASIL PERKAMAN DENGAN WAHANA UAV MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FOTOGRAMETRI Virgus Ari Sondang 1) 1) Program Studi Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang Jl.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Candi Borobudur merupakan candi terbesar di Indonesia. Candi yang berada di wilayah administratif Kabupaten Magelang dan terletak di atas bukit. Candi Borobudur dikeliling

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

Analisa Kalibrasi Kamera Sony Exmor Pada Nilai Orientasi Parameter Interior untuk Keperluan Pemetaan (FUFK)

Analisa Kalibrasi Kamera Sony Exmor Pada Nilai Orientasi Parameter Interior untuk Keperluan Pemetaan (FUFK) A160 Analisa Kalibrasi Kamera Sony Exmor Pada Nilai Orientasi Parameter Interior untuk Keperluan Pemetaan (FUFK) Mohammad Avicenna, Agung Budi Cahyono, dan Husnul Hidayat Departemen Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB 2 STUDI REFERENSI BAB 2 STUDI REFERENSI Pada bab ini akan dijelaskan berbagai macam teori yang digunakan dalam percobaan yang dilakukan. Teori-teori yang didapatkan merupakan hasil studi dari beragai macam referensi. Akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kemajuan teknologi saat ini berpengaruh besar pada bidang survei dan pemetaan. Metode pengumpulan data spasial saat ini tidak hanya dilakukan secara langsung di lapangan

Lebih terperinci

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 51 BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 5.1 Data Airborne LIDAR Data yang dihasilkan dari suatu survey airborne LIDAR dapat dibagi menjadi tiga karena terdapat tiga instrumen yang bekerja secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Teknologi foto udara saat ini sudah berkembang sangat pesat, yaitu dari analog menjadi digital. Hal itu merupakan upaya untuk mendapatkan gambaran permukaan bumi secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Listrik merupakan sumber energi yang paling vital di dunia ini. Perusahaan Listrik Negara (PLN) terus berupaya memberikan pelayanan terbaik dalam memasok energi listrik

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi BB 2 DSR TEORI 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi Pemetaan objek tiga dimensi diperlukan untuk perencanaan, konstruksi, rekonstruksi, ataupun manajemen asset. Suatu objek tiga dimensi merupakan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri BAB II DASAR TEORI 2. Fotogrametri Salah satu teknik pengumpulan data objek 3D dapat dilakukan dengan menggunakan teknik fotogrametri. Teknik ini menggunakan foto udara sebagai sumber data utamanya. Foto

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalan merupakan salah satu sarana transportasi darat yang penting untuk menghubungkan berbagai tempat seperti pusat industri, lahan pertanian, pemukiman, serta sebagai

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM DIGITAL FOTOGRAMETRI DASAR ACARA II DIGITAL

LAPORAN PRAKTIKUM DIGITAL FOTOGRAMETRI DASAR ACARA II DIGITAL LAPORAN PRAKTIKUM DIGITAL FOTOGRAMETRI DASAR ACARA II DIGITAL Nama : Rukiyya Sri Rayati Harahap NIM : 12/334353/GE/07463 Asisten : 1. Erin Cakratiwi 2. Lintang Dwi Candra Tanggal : 26 November 2013 Total:

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENGUKURAN DAN HITUNGAN VOLUME METODE FOTOGRAMETRI RENTANG DEKAT DAN METODE TACHYMETRI

PELAKSANAAN PENGUKURAN DAN HITUNGAN VOLUME METODE FOTOGRAMETRI RENTANG DEKAT DAN METODE TACHYMETRI BAB 3 PELAKSANAAN PENGUKURAN DAN HITUNGAN VOLUME METODE FOTOGRAMETRI RENTANG DEKAT DAN METODE TACHYMETRI Bab ini menjelaskan tahapan-tahapan dari mulai perencanaan, pengambilan data, pengolahan data, pembuatan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Perbandingan Posisi Titik Perbandingan Posisi Titik dari Elektronik Total Station

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Perbandingan Posisi Titik Perbandingan Posisi Titik dari Elektronik Total Station BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Perbandingan Posisi Titik Kualitas koordinat dari suatu titik dalam suatu sistem koordinat dapat dilihat setelah melakukan trasformasi koordinat ke suatu sistem koordinat yang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kamera

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kamera BAB II DASAR TEORI.1 Kamera Dalam ilmu fotogrametri, dilihat dari teknik pengambilan datanya, foto dibedakan menjadi dua kategori yaitu foto udara dan foto terestrial. Pada foto terestrial proses perekaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Galian dan Timbunan Galian dan timbunan atau yang lebih dikenal oleh orang-orang lapangan dengan Cut and Fill adalah bagian yang sangat penting baik pada pekerjaan pembuatan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Fotogrametri dapat didefisinikan sebagai ilmu untuk memperoleh

2. TINJAUAN PUSTAKA. Fotogrametri dapat didefisinikan sebagai ilmu untuk memperoleh 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fotogrametri Fotogrametri dapat didefisinikan sebagai ilmu untuk memperoleh pengukuran-pengukuran yang terpercaya dari benda-benda di atas citra fotografik (Avery, 1990). Fotogrametri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Objek tiga dimensi (3D) merupakan suatu objek yang direpresentasikan dengan ukuran panjang, lebar, dan tinggi. Data objek tiga dimensi secara spasial umumnya diperoleh

Lebih terperinci

Defry Mulia

Defry Mulia STUDI CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY DALAM PENENTUAN VOLUME SUATU OBJEK Defry Mulia 35 09100011 PROGRAM STUDI TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

Pemetaan Foto Udara Menggunakan Wahana Fix Wing UAV (Studi Kasus: Kampus ITS, Sukolilo)

Pemetaan Foto Udara Menggunakan Wahana Fix Wing UAV (Studi Kasus: Kampus ITS, Sukolilo) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) F-403 Pemetaan Foto Udara Menggunakan Wahana Fix Wing UAV (Studi Kasus: Kampus ITS, Sukolilo) Ahmad Solihuddin Al Ayyubi, Agung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sekarang ini videografi semakin banyak digunakan, diantaranya sebagai media monitoring keadaan sekitar, pembuatan film dan peningkatan keamanan. Pada dasarnya teknik

Lebih terperinci

BAB 3 PEMBAHASAN START DATA KALIBRASI PENGUKURAN OFFSET GPS- KAMERA DATA OFFSET GPS- KAMERA PEMOTRETAN DATA FOTO TANPA GPS FINISH

BAB 3 PEMBAHASAN START DATA KALIBRASI PENGUKURAN OFFSET GPS- KAMERA DATA OFFSET GPS- KAMERA PEMOTRETAN DATA FOTO TANPA GPS FINISH BAB 3 PEMBAHASAN Pada bab ini dibahas prosedur yang dilakukan pada percobaan ini. Fokus utama pembahasan pada bab ini adalah teknik kalibrasi kamera, penentuan offset GPS-kamera, akuisisi data di lapangan,

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

STEREOSKOPIS PARALAKS

STEREOSKOPIS PARALAKS RENCANA TERBANG STEREOSKOPIS PARALAKS Paralaks adalah suatu istilah yang diberikan kepada adanya suatu pergerakan benda terhadap benda lainnya. Sebuah titik di A pada tanah, terpotret oleh sebuah pesawat

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Iva Nurwauziyah, Bangun Muljo Sukojo, Husnul Hidayat Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

Transformasi Datum dan Koordinat

Transformasi Datum dan Koordinat Transformasi Datum dan Koordinat Sistem Transformasi Koordinat RG091521 Lecture 6 Semester 1, 2013 Jurusan Pendahuluan Hubungan antara satu sistem koordinat dengan sistem lainnya diformulasikan dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Fotogrametri adalah suatu seni, pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya tentang suatu obyek fisik dan keadaan sekitarnya melalui proses

Lebih terperinci

Metode Titik Kontrol Horisontal 3.1. Metode Survei Klasik Gambar. Jaring Triangulasi

Metode Titik Kontrol Horisontal 3.1. Metode Survei Klasik Gambar. Jaring Triangulasi 3. Metode Titik Kontrol Horisontal Dalam pekerjaan survei hidrografi di lapangan, survei topografi juga perlu dilakukan untuk menentukan kerangka kawasan pantai secara geografis. Dimana survey topografi

Lebih terperinci

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis Pendahuluan Data yang mengendalikan SIG adalah data spasial. Setiap fungsionalitasyang g membuat SIG dibedakan dari lingkungan analisis lainnya adalah karena berakar pada keaslian

Lebih terperinci

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) A411 Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) Wahyu Teo Parmadi dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016 Model Data pada SIG Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 1 Materi Sumber data spasial Klasifikasi

Lebih terperinci

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan Model Data Spasial by: Ahmad Syauqi Ahsan Peta Tematik Data dalam SIG disimpan dalam bentuk peta Tematik Peta Tematik: peta yang menampilkan informasi sesuai dengan tema. Satu peta berisi informasi dengan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah memerlukan acuan arah dan informasi geospasial. Diperlukan peta dasar pendaftaran dan peta kerja yang dapat dijadikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki daerah pegunungan yang cukup luas. Tingginya tingkat curah hujan pada sebagian besar area pegunungan di Indonesia dapat menyebabkan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia hidup di bumi yang merupakan dunia 3D. Para peneliti dan insinyur kebumian telah lama mencoba membuat tampilan grafis tentang aspek spasial 3D dari dunia nyata

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Maksud 1.2 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Maksud 1.2 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Maksud 1.1.1 Mengetahui perhitungan paralaks dengan menggunakan pengukkuran lembar per lembar dan orientasi stereoskopik 1.1.2 Menghitung base photo, tinggi terbang, serta skala foto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING )

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING ) FAKULTAS TEKNIK INFORMATIKA PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING ) Pertemuan 1 Konsep Dasar Pengolahan Citra Pengertian Citra Citra atau Image merupakan istilah lain dari gambar, yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) adalah pembangkit listrik dengan menggunakan uap sebagai penggerak utama dan menggunakan bahan bakar residu (Sunarni dkk, 2012).

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016 ANALISIS KETELITIAN PLANIMETRIK ORTHOFOTO PADA TOPOGRAFI PERBUKITAN DAN DATAR BERDASARKAN KUANTITAS TITIK KONTROL TANAH Hanif Arafah Mustofa, Yudo Prasetyo, Hani ah *) Program Studi Teknik Geodesi Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara) Geoid Vol. No., Agustus 7 (8-89) ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) Agung Budi Cahyono, Novita Duantari Departemen Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Georeferencing dan Resizing Enggar Budhi Suryo Hutomo 10301628/TK/37078 JURUSAN S1 TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2015 BAB

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS. 4.1 Percobaan Metode Videogrametri di Laboratorium

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS. 4.1 Percobaan Metode Videogrametri di Laboratorium BAB 4 HASIL DAN ANALISIS 4.1 Percobaan Metode Videogrametri di Laboratorium Dalam percobaan metode videogrametri di laboratorium ini dilakukan empat macam percobaan yang berbeda, yaitu penentuan posisi

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Koreksi Geometrik Langkah awal yang harus dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan koreksi geometrik pada citra Radarsat. Hal ini perlu dilakukan karena citra tersebut

Lebih terperinci

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR III.1 Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) atau sering juga disebut DEM, merupakan

Lebih terperinci

Gambar 2.1 Sumbu-sumbu pada mesin NC [9]

Gambar 2.1 Sumbu-sumbu pada mesin NC [9] 2 PMSI MULTI IS D SISTM CM 2.1 Pemesinan C Multi xis Proses pemesinan dengan teknologi NC (numerical control) telah dikenal luas pemakaiannya pada saat ini. lectronics Industries ssociation (I) mendefinisikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

Key word : digital surface model, digital terrain model, slope based filtering.

Key word : digital surface model, digital terrain model, slope based filtering. ABSTRACT Aerial photogrametry is one of methods to produce digital elevation model data. Nowaday, almost aerial photogrametry use image matching technique to make digital elevation model data. The main

Lebih terperinci

BAB 3. Akuisisi dan Pengolahan Data

BAB 3. Akuisisi dan Pengolahan Data BAB 3 Akuisisi dan Pengolahan Data 3.1 Peralatan yang digunakan Pada pengukuran TLS, selain laser scanner itu sendiri, receiver GPS tipe geodetik juga digunakan untuk penentuan posisi titik referensi yang

Lebih terperinci

1.1 Latar belakang Di awal abad 21, perkembangan teknologi komputer grafis meningkat secara drastis sehingga mempermudah para akademisi dan industri

1.1 Latar belakang Di awal abad 21, perkembangan teknologi komputer grafis meningkat secara drastis sehingga mempermudah para akademisi dan industri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di awal abad 21, perkembangan teknologi komputer grafis meningkat secara drastis sehingga mempermudah para akademisi dan industri untuk mengembangkan pengetahuan mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial mengamanahkan Peta Rupa Bumi Indonesia sebagai Peta Dasar diselenggarakan mulai pada skala 1 : 1.000.000

Lebih terperinci

IV.1. Analisis Karakteristik Peta Blok

IV.1. Analisis Karakteristik Peta Blok ANALISIS PENELITIAN Materi penelitian akan dianalisis secara keseluruhan dalam bab ini. Pertama kali analisis mengenai karakteristik peta blok yang digunakan dalam penelitian, kemudian analisis mengenai

Lebih terperinci

BAB IV. Ringkasan Modul:

BAB IV. Ringkasan Modul: BAB IV REKTIFIKASI Ringkasan Modul: Pengertian Rektifikasi Menampilkan Data Raster Proses Rektifikasi Menyiapkan Semua Layer Data Spasial Menyiapkan Layer Image Menambahkan Titik Kontrol Rektifikasi Menggunakan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN FOTOGRAMETRI RENTANG DEKAT DALAM BIDANG ARSITEKTUR LANSEKAP (STUDI KASUS : CAMPUS CENTER INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG)

PEMANFAATAN FOTOGRAMETRI RENTANG DEKAT DALAM BIDANG ARSITEKTUR LANSEKAP (STUDI KASUS : CAMPUS CENTER INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG) PEMANFAATAN FOTOGRAMETRI RENTANG DEKAT DALAM BIDANG ARSITEKTUR LANSEKAP (STUDI KASUS : CAMPUS CENTER INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG) TUGAS AKHIR Karya Tulis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi saat ini sudah semakin maju, hal ini juga berkaitan erat dengan perkembangan peta yang saat ini berbentuk digital. Peta permukaan bumi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan Citra SPOT 4 dan IKONOS yang digunakan merupakan dua citra yang memiliki resolusi spasial yang berbeda dimana SPOT 4 memiliki resolusi

Lebih terperinci

SURVEYING (CIV -104)

SURVEYING (CIV -104) SURVEYING (CIV -104) PERTEMUAN 15 : PERENCANAAN FOTO UDARA UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224 Format foto udara BEDA FOTO UDARA DAN PETA STEREOSKOPIS

Lebih terperinci