GAMBARAN DARAH MERAH DOMBA YANG DISUPEROVULASI SEBELUM KAWIN DAN DISUNTIK hcg HARI KE-6 SETELAH KAWIN PADA AWAL KEBUNTINGAN YUDI GUNAWAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "GAMBARAN DARAH MERAH DOMBA YANG DISUPEROVULASI SEBELUM KAWIN DAN DISUNTIK hcg HARI KE-6 SETELAH KAWIN PADA AWAL KEBUNTINGAN YUDI GUNAWAN"

Transkripsi

1 GAMBARAN DARAH MERAH DOMBA YANG DISUPEROVULASI SEBELUM KAWIN DAN DISUNTIK hcg HARI KE-6 SETELAH KAWIN PADA AWAL KEBUNTINGAN YUDI GUNAWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Gambaran Darah Merah Domba yang Disuperovulasi Sebelum Kawin dan Disuntik hcg Hari ke-6 Setelah Kawin pada Awal Kebuntingan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing skripsi dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, 27 September 2012 Yudi Gunawan B

3 ABSTRACT YUDI GUNAWAN. Red Blood Cells Profiles of Superovulated Ewes prior to Mating and hcg Injected Ewes on the 6 th Day after Mating during Early Pregnancy. Under direction of ANDRIYANTO and WASMEN MANALU. PMSG and hcg are hormones that are often used for superovulation. Superovulated ewes have different conditions from ewes without superovulation. This research was designed to study red blood cells count, hematocrit values, and hemoglobin levels of the superovulated sheep. Twenty one ewes weighing between 15 up to 25 kg were divided into 4 groups. The first group was control without superovulation and without hcg injection. The second group was superovulated before mating. The third group was given hcg on the 6 th day after mating, and the fourth group was superovulated before mating and injected with hcg on the 6 th day after mating. Blood samples were drawn from the jugular vein every 3 days during the early pregnancy. The result showed that superovulation prior to mating and hcg injection after mating did not affect red blood cells count, hematocit, and hemoglobin concentrations. Keywords: superovulation, PMSG, hcg, red blood cells counts, hematocrit, hemoglobin, ewes.

4 ABSTRAK YUDI GUNAWAN. Gambaran Darah Merah Domba yang Disuperovulasi Sebelum Kawin dan Disuntik hcg Hari ke-6 Setelah Kawin pada Awal Kebuntingan. Dibimbing oleh ANDRIYANTO dan WASMEN MANALU. Superovulasi sering dilakukan menggunakan sediaan PMSG dan hcg. Domba yang disuperovulasi memiliki kondisi yang berbeda dengan domba tanpa superovulasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh superovulasi sebelum kawin dan penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin terhadap jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin domba pada awal kebuntingan. Sebanyak 21 ekor domba dengan bobot kg dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan. Kelompok pertama, tidak disuperovulasi dan tidak disuntik hcg. Kelompok kedua, disuperovulasi sebelum kawin. Kelompok ketiga hanya disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin. Kelompok keempat, disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin. Pengambilan sampel darah dilakukan di vena jugularis setiap 3 hari pada awal kebuntingan. Hasil penelitian ini menunjukkan superovulasi sebelum kawin dan penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin tidak mempengaruhi jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin. Kata kunci: superovulasi, PMSG, hcg, jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, kadar hemoglobin, domba.

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

6 GAMBARAN DARAH MERAH DOMBA YANG DISUPEROVULASI SEBELUM KAWIN DAN DISUNTIK hcg HARI KE-6 SETELAH KAWIN PADA AWAL KEBUNTINGAN YUDI GUNAWAN Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

7 Judul Skripsi Nama Mahasiswa NRP Program Studi : Gambaran Darah Merah Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Disuntik hcg Hari ke-6 setelah Kawin pada Awal Kebuntingan. : Yudi Gunawan : B : Kedokteran Hewan Disetujui, Pembimbing I Pembimbing II drh. Andriyanto, M.Si NIP Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu NIP Diketahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor drh. H. Agus Setiyono M.S., Ph.D, APVet NIP Tanggal lulus:

8 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karunianya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Gambaran Darah Merah Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Disuntik hcg Hari ke-6 setelah Kawin pada Awal Kebuntingan dilaksanakan di Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Mei sampai Juli Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: 1. Kedua orang tua dan keluarga tercinta atas restu, doa, dan motivasinya 2. drh. Andriyanto, M. Si selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan saran. 3. Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan arahan, kritik, dan saran 4. Dr. drh. Fadjar Satrija MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan 5. Rekan satu bimbingan: Leo S. Soinbala, M. Miftarurohman, Aulia J. Maharani, Mitha Tumiati, Andi N. Marijuana, Rika S., Vivien K. Wardhani, serta sahabat-sahabat di Fakultas Kedokteran Hewan khususnya Angkatan 45 (2008) atas motivasi dan sumbangsih tenaga maupun pikiran yang diberikan selama penelitian ini. 6. Rekan seperjuangan: KMS. Ferri Rahman, A. Fadhli, Arif K. W., Eduwin E. F., dan Rofindra R., serta saudara-saudara OMDA IKAMUSI lainnya atas motivasi dan doanya 7. Semua pihak yang telah membantu penelitian dan pembuatan skripsi ini Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, 27 September 2012 Yudi Gunawan

9 RIWAYAT PENULIS Yudi Gunawan. Lahir di Lahat, 7 Januari 1990 dari bapak Kurnawi dan mamak Siti Aisyah, sebagai putra keenam dari tujuh bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2008 dari SMA Santo Yosef, Lahat dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Kedokteran Hewan, Faklutas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan termasuk menjadi pengurus OMDA IKAMUSI Sumatera Selatan, menjadi anggota UKM Taekwondo IPB dan organisasi Himpro Ruminansia FKH IPB, serta beberapa kegiatan bermanfaat lainnya. Pada tahun 2010 mengikuti kegiatan PKM Penelitian yang lolos seleksi dan mendapat pendanaan DIKTI dengan judul Efektivitas Ekstrak Biji Pepaya sebagai Anthelmintik. Pada tahun 2011 mengikuti lomba puisi Sepena Pujangga tingkat nasional dan memperoleh juara II. Penulis mendapatkan beasiswa selama pendidikan SMA yaitu beasiswa khusus Siswa Berprestasi SMA Santo Yosef, beasiswa BUMN PT. Kereta Api, dan beasiswa Siswa Berprestasi Kabupaten Lahat. Penulis juga pernah mendapatkan beasiswa selama 3 tahun berturut-turut di bangku perkuliahan sejak tahun 2010 hingga 2012 yaitu beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) IPB, beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) IPB, dan beasiswa Gerakan Kakak Asuh (GKA) FKH IPB. Penulis telah melakukan penelitian sebagai bahan dalam penyusunan skripsi yang berjudul Gambaran Darah Merah Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Disuntik hcg Hari ke-6 setelah Kawin pada Awal Kebuntingan. Penyusunan Skripsi dilakukan dibawah bimbingan drh. Andriyanto, MSi sebagai dosen pembimbing pertama dan Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu sebagai dosen pembimbing kedua.

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL.. Halaman DAFTAR GAMBAR. viii DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Manfaat Penelitian. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA III. METODE 2.1. Superovulasi Hematologi Darah Sel Darah Merah Hemoglobin Hematokrit Domba Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba Kandang, Pakan, dan Minum Tahap Pelaksanaan Rancangan Percobaan Superovulasi dan Penyuntikan hcg Pengambilan Sampel Penghitungan Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar Hemoglobin Variabel yang Diamati Analisis Data. 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Hematokrit Hemoglobin.. 23 V. PENUTUP 5.1. Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vii ix

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Parameter hematologi domba normal Tabel 2 Jumlah sel darah merah (10 6 / mm 3 ) domba yang disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin, pada awal kebuntingan Tabel 3 Nilai hematokrit (%) domba yang disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin, pada awal kebuntingan Tabel 4 Kadar hemoglobin (g%) domba yang disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin, pada awal kebuntingan... 24

12 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Struktur membran eritrosit... 7 Gambar 2 Domba ekor tipis.. 11 Gambar 3 Domba ekor gemuk.. 11 Gambar 4 Domba Priangan Gambar 5 Grafik jumlah sel darah merah induk domba kontrol ( ), disuperovulasi sebelum kawin ( ), disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), pada awal kebuntingan Gambar 6 Grafik nilai hematokrit induk domba kontrol ( ), disuperovulasi sebelum kawin ( ), disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), pada awal kebuntingan Gambar 7 Grafik kadar hemoglobin induk domba kontrol ( ), disuperovulasi sebelum kawin ( ), disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), pada awal kebuntingan

13 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara tropis dengan nilai sumber daya alam tinggi. Kekayaan sumber daya alam Indonesia berbanding lurus dengan peningkatan kuantitas sumber daya manusia yang dimiliki. Kondisi ini merupakan kondisi alamiah yang menunjukkan ketergantungan manusia pada ketersediaan alam untuk mempertahankan hidupnya. Salah satu kebutuhan manusia yang sangat bergantung pada alam dalam pemenuhannya adalah kebutuhan pangan. Kualitas sumber daya manusia secara tidak langsung dipengaruhi oleh pangan, dalam hal ini kualitas pangan yang dikonsumsi. Manusia untuk mampu menjadi makhluk yang produktif dalam bidang sosial, pendidikan, maupun ekonomi sehingga menghasilkan kehidupan yang berkualitas membutuhkan kondisi tubuh yang sehat. Kesehatan tubuh sangat ditentukan oleh pangan yang dikonsumsi. Protein hewani adalah jenis pangan yang dipercaya meningkatkan kinerja fisiologis tubuh hingga mencapai optimal. Sumber protein hewani yang cukup banyak dihasilkan di Indonesia terutama berasal dari ternak ruminansia. Budidaya domba dan kambing sebagai ternak ruminan banyak dilakukan oleh masyarakat baik sebagai mata pencaharian utama maupun sebagai penghasilan tambahan. Permintaan daging ternak ruminansia dalam negeri selalu meningkat setiap tahunnya, namun peningkatan permintaan ini belum seimbang dengan peningkatan populasi ternak yang cenderung lebih lambat. Produksi daging kambing dan domba baru memenuhi 40% kebutuhan dalam negeri, dilain pihak Pemerintah Saudi Arabia membutuhkan pasokan kambing dan domba 1 juta ekor per tahun (Direktorat Jenderal Budidaya Peternakan 2002). Peluang ini mendorong terciptanya berbagai teknologi reproduksi yang mampu memanipulasi sistem reproduksi ternak sehingga mampu menaikkan potensi ternak untuk menghasilkan anakan lebih dari satu. Potensi tersebut mengalami kendala karena ternyata tingkat kematian anak cenderung lebih tinggi pada jumlah kelahiran lebih dari satu ekor (Sutama et al. 1995). Teknologi

14 reproduksi yang sedang berkembang dalam beberapa dekade terakhir, salah satunya adalah superovulasi. Superovulasi mampu meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan dan meningkatkan jumlah folikel yang berkembang hingga mengalami ovulasi yang dirangsang melalui penyuntikan pregnant mare serum gonadotropin/human chorionic gonadotrophin (Dziuk 1992; Kleeman et al. 1994; Manalu et al. 2000a). Superovulasi meningkatkan jumlah folikel dan korpus luteum telah terbukti dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus, jumlah embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, dan produksi susu pada domba (Manalu et al. 1998; Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et al. 2000b) Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh superovulasi sebelum kawin dan penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin terhadap gambaran jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin domba pada awal kebuntingan yang dibandingkan dengan domba yang tidak disuperovulasi sebagai kontrol Manfaat Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pengetahuan ilmiah bagi masyarakat umum khususnya peternak untuk menggunakan superovulasi sebagai suatu cara perbaikan kualitas ternak termasuk peningkatan kuantitasnya. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar bagi penelitian berikutnya yang sejenis.

15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Superovulasi Superovulasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan dan peningkatan jumlah folikel yang berkembang hingga mengalami ovulasi dirangsang melalui penyuntikan pregnant mare serum gonadotropin/human chorionic gonadotrophin (PMSG/hCG). Jumlah korpus luteum dan folikel sangat erat kaitannya dengan tingkat sekresi hormon kebuntingan dan hormon mammogenik seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan (Dziuk 1992; Kleeman et al. 1994; Manalu et al. 2000a). Peningkatan jumlah folikel, korpus luteum, dan plasenta menyebabkan kenaikan sekresi dari kelenjar penghasil hormon kebuntingan dan mammogenik. Hormon kebuntingan dan mammogenik berperan penting dalam pemeliharaan kebuntingan hingga memasuki periode pasca partus. Penggunaan PMSG/hCG untuk meningkatkan jumlah folikel dan korpus luteum telah terbukti dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus, embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, dan produksi susu pada domba (Manalu et al. 1998; Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et al. 2000b), sapi (Sudjatmogo et al. 2001), dan kambing (Adriani et al. 2004a). Superovulasi yang dilakukan sebelum perkawinan dapat memperbaiki konsentrasi hormon metabolisme yang tergambar melalui peningkatan sekresi endogen T 3 dan T 4. Selain meningkatkan sekresi endogen, superovulasi ternyata mampu meningkatkan metabolit penting, yaitu trigliserida, protein dan glukosa darah (Mege et al. 2009). Superovulasi meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan sehingga menyebabkan peningkatan pertumbuhan fetus pada masa prepartum dan postpartum. Dengan mengabaikan jumlah anak kambing per kelahiran, superovulasi induk sebelum perkawinan terbukti meningkatkan bobot lahir anak kambing sebesar 21% dan bobot sapih anak kambing sebesar 37% (Adriani et al. 2004a).

16 Perlakuan superovulasi dengan level dosis 600 hingga 1200 IU per ekor pada babi meningkatkan sekresi progesteron dan estradiol serta pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta pada masa gestasi 15, 35, dan 70 hari. Kondisi ini membuktikan bahwa superovulasi dengan dosis 600 sampai 1200 IU dapat meningkatkan reproduksi babi. Superovulasi pada induk akan meningkatkan hormon kebuntingan progesteron sekaligus juga meningkatkan kapasitas plasenta yang dimanifestasikan melalui peningkatan bobot basah dan kering, massa sel aktif, aktivitas sintetik sel (DNA dan RNA), dan sintesis nutrien plasenta hingga usia 70 hari kebuntingan. Peningkatan kapasitas plasenta juga dipengaruhi oleh pemeliharaan korpus luteum dan produksi progesteron oleh plasenta (Mege et al. 2005). Peningkatan volume ambing sebagai efek superovulasi sangat nyata meningkatkan produksi susu yang dihasilkan dan bekerja sinergis dengan kombinasi suplementasi seng dalam pakan, terutama pada konsentrasi seng 60 mg/kg bahan kering. Peningkatan volume ambing selama kebuntingan sejalan dengan peningkatan korpus luteum, estrogen, dan progesteron yang dihasilkan serta berhubungan erat dengan naiknya produksi susu. Peningkatan produksi susu akibat superovulasi tidak mempengaruhi kualitas susu dan konsumsi nutrien pakan (Adriani et al. 2004b). Sediaan yang juga sering dimanfaatkan untuk perlakuan superovulasi adalah controlled internal drug release (CIDR) dan folicle stimulating hormone (FSH). Bentuk CIDR seperti huruf T dengan bahan silikon yang mengandung hormon progesteron. Perlakuan superovulasi dengan kombinasi CIDR dan FSH disertai penyuntikan hcg mampu secara nyata meningkatkan respon superovulasi dan jumlah korpus luteum yang terbentuk pada induk sapi donor Brangus sehingga meningkatkan jumlah embrio terkoleksi dan jumlah embrio layak transfer. Jumlah korpus luteum yang dihasilkan pada perlakuan superovulasi dengan CIDR, FSH, dan hcg meningkat signifikan dibandingkan dengan kelompok hewan coba yang hanya disuperovulasi dengan CIDR dan FSH (Kaiin dan Tappa 2006). Menurut Situmorang (2008), tujuh dari sebelas kerbau memberikan respon positif terhadap perlakuan superovulasi dengan menggunakan hormon

17 gonadotropin. Terdapat bukti nyata bahwa konsentrasi progesteron pada masa inisiasi superovulasi memegang peranan yang penting dan konsentrasi progesteron yang tinggi menjadi indikasi signifikan dari keberhasilan program untuk mendapatkan embrio berkualitas baik dengan jumlah yang lebih tinggi. Adriani et al. (2007), dalam jurnalnya menyatakan bahwa perlakuan superovulasi dengan dosis 40 mg FSH secara intramuskular pada sapi Simbrah memberikan hasil terbaik dengan jumlah korpus luteum terbanyak Hematologi Darah Darah merupakan komponen metabolisme makhluk hidup yang berperan sebagai media transportasi oksigen dan sari makanan ke dalam jaringan dan mengangkut sisa metabolisme jaringan dan karbon dioksida untuk selanjutnya diekskresikan. Selain itu, sistem sirkulasi darah dapat juga berperan sebagai sarana penyaluran sekresi kelenjar endokrin menuju organ target. Menurut Dellman dan Brown (1989), volume total darah mamalia berkisar antara 7-8 % dari bobot badan dengan komposisi plasma sebesar 75-85% dan sisanya merupakan benda-benda darah sebanyak % yang terdiri atas eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih), dan platelet (keping darah). Sedangkan plasma darah itu sendiri tersusun atas 91-92% cairan dan 8-9% padatan (Swenson 1984). Darah juga berfungsi sebagai buffer atau regulator yang mengatur kestabilan ph pada jaringan untuk metabolisme optimum, salah satunya dengan ion bikarbonat. Senyawa karbonik anhidrase dalam darah berperan mengkatalis reaksi antara CO 2 dan H 2 O membentuk ion bikarbonat (H 2 CO 3 ) dan selanjutnya CO 2 dikeluarkan dari tubuh melalui sistem respirasi. Pengaturan suhu dilakukan oleh darah melalui mekanisme yang berkaitan dengan kemampuan pembuluh darah untuk berdilatasi dan berkonstriksi sehingga dapat mengatur pelepasan panas. Dalam sistem imunologis, darah dapat menjadi target agen infeksius sehingga di dalam darah terkandung pula faktor-faktor penting pertahanan tubuh seperti limfosit, monosit, eosinofil, neutrofil, dan basofil (Frandson 1996 dan Banks 1993).

18 Perubahan gambaran darah seperti jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin dapat mencerminkan adanya perubahan status fisiologis. Indeks hematologi domba normal tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Parameter Hematologi Domba Normal Parameter Nilai kisaran Satuan RBC (eritrosit) /µl WBC (leukosit) /µl Hb 8-16 g% PCV % MCV fl MCH 8-13 pg MCHC g/dl (Sumber: Frandson 1996, Banks 1993, dan Kelly 1984) 2.3. Sel Darah Merah (Eritrosit) Istilah eritrosit berasal dari bahasa yunani yaitu eritro yang berarti darah dan sit yang berarti sel. Proses pembentukan sel-sel eritrosit berbeda tergantung pada tahap perkembangan hewan. Pada masa fetus, sel eritrosit diproduksi oleh hati dan limpa, sedangkan pada saat hewan dewasa produksi eritrosit diambil alih fungsinya oleh sumsum tulang merah (Frandson 1996). Domba memiliki eritrosit berukuran sekitar 4,8 µm dengan bentuk cakram bikonkaf dan pinggiran sirkuler (Swenson 1984). Eritrosit domba dapat bertahan aktif dalam sistem sirkulasi selama 146 ± 12,9 hari dilihat melalui uji serologis dan selama 137 hari melalui pengujian radioaktif (Sherif dan Habel 1976). Secara umum, eritrosit mamalia termasuk domba, memiliki karakteristik yang tidak berinti dan bersifat nonmotil (Swenson 1984). Produksi eritrosit pada mamalia dipengaruhi oleh stimulasi EPO atau erythropoietin yang dihasilkan oleh ginjal sebagai respon terhadap hipoksia yang terjadi di jaringan (Guyton and Hall 1997). Penghancuran dan pembuangan sel-sel darah merah dilakukan oleh makrofag atau sistem rerikuloendotelial, yang terdiri atas sel-sel khusus dalam hati, limfa, sumsum tulang, dan limfonodus. Sel akan mengalami proses disintegrasi, melepaskan Hb ke dalam sirkulasi, dan menjadi

19 debris (puing-puing) sel rusak untuk selanjutnya dibuang dari sirkulasi (Frandson 1996). Pembentukan eritrosit terjadi di sumsum tulang. Eritrosit memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan sel-sel lain dalam jaringan. Kandungan utama dalam eritrosit, yaitu hemoglobin, lipid, protein, dan enzim. Hemoglobin merupakan zat padat yang memberi warna merah pada eritrosit dan berfungsi mengikat oksigen dalam fungsi respirasi. Lipid yang terdapat dalam eritrosit, diantaranya kolesterol, lesitin, dan sefalin. Protein dalam eritrosit, yaitu stromatin, lipoprotein, dan elimin. Karbonat anhidrase, peptidase, kolinesterase, dan enzimenzim dalam sistem glikolisis, merupakan enzim yang terdapat dalam eritrosit. Bahan organik utama dalam eritrosit adalah ATP dan ADP yang berperan dalam produksi energi. Bahan organik lain yang terkandung dalam eritrosit, di antaranya urea, asam amino, kreatinin, dan glukosa (Schalm 1975). Struktur membran eritrosit tampak seperti gambar 1 dibawah ini, Gambar 1. Struktur Membran Eritrosit Simplified diagram of the RBC membrane structure. (A) Rh complex; (B) protein 4.1 complex; (C) and (D) band 3 macrocomplex ((C) band 3 tetrameric form and (D) band 3 dimeric form (Oliveira dan Saldanha 2009). Komposisi elektrolit dan konsentrasi glukosa dalam plasma sama dengan komposisi dan konsentrasi di dalam eritrosit dan memiliki tekanan osmolaritas yang isotonis dengan osmosis larutan 0,9% NaCl dalam air. Jumlah eritrosit antara satu spesies dengan spesies lain berbeda-beda. Umumnya, jumlah normal eritrosit dalam tubuh berkisar antara 4 juta hingga 5 juta sel dalam tiap 1 mm 3.

20 Jumlah eritrosit dalam tubuh memiliki nilai yang cenderung tetap. Hal ini menunjukkan adanya kesesuaian kecepatan pembentukan eritrosit baru dengan kecepatan rusaknya eritrosit lama. Proses pembentukan darah yang terdiri atas eritrosit, leukosit, dan platelet disebut hemopoiesis. Sel darah hewan dewasa berasal dari satu sumber, yaitu selsel batang primordial di dalam sumsum tulang. Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit yang dipengaruhi oleh respon tubuh terhadap kadar oksigen dalam jaringan. Bila jaringan dan sel mengalami kondisi hipoksia atau kurangnya kadar oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme optimum, maka renal akan melepaskan hormon eritropoietin ke plasma darah untuk merangsang eritropoiesis. Eritropoietin akan berada dalam plasma satu jam setelah mulai terjadinya hipoksia. Hipoksia dapat terjadi karena rendahnya kadar oksigen dalam darah yang dapat disebabkan oleh hipoventilasi, maupun karena afinitas hemoglobin yang rendah terhadap oksigen sehingga suplai oksigen ke jaringan menurun. Sumsum tulang tidak menunjukkan respon langsung terhadap hipoksia dan umumnya produksi eritrosit baru akan terjadi tiga hari kemudian hingga kondisi hipoksia dapat dihilangkan. Setelah kondisi hipoksia berakhir, eritrosit yang berlebih dalam sirkulasi akan dieliminasi melaui mekanisme atrisi (pelemahan) dan degenerasi normal setelah kurang lebih bersirkulasi selama 120 hari tanpa pergantian (Frandson 1996). Kondisi kelainan klinis berupa menurunnya jumlah eritrosit dibawah batas normal disebut anemia. Anemia dapat terjadi karena infeksi maupun kelainan kongenital. Menurunnya jumlah eritrosit berakibat pada menurunnya suplai oksigen ke jaringan dan terhambatnya penyaluran bahan organik ke sel yang secara tidak langsung menggangu metabolisme tubuh. Jumlah eritrosit yang meningkat hingga diatas ambang normal juga merupakan suatu kondisi kelainan yang disebut polisitemia (Guyton dan Hall 1997). Menurut Palazzuoli et al. (2011), anemia adalah tanda klinis penyakit yang sering dikaitkan dengan kegagalan fungsi jantung dan insufisiensi renal. Hubungan antara ketiga kondisi kelainan ini disebut sebagai penyakit cardiorenal-anemia syndrome (CRS). Anemia dapat muncul sebagai hasil dari interaksi kompleks antara kemampuan jantung, homeostasis sumsum tulang, disfungsi

21 renal, dan efek samping dari berbagai jenis obat-obatan. Aktivitas neurohormonal dan antiinflamasi seringkali menjadi kunci awal munculnya penyakit yang bersifat progresif hingga akhirnya berujung pada anemia. Menurut Silverberg (2011), penyebab utama anemia pada kondisi gagal jantung kongesti, adalah penyakit ginjal kronis yang mengakibatkan terjadinya depresi produksi eritropoietin di ginjal diikuti produksi sitokin yang berlebihan dan berakhir dengan terjadinya depresi produksi eritropoietin di ginjal maupun di sumsum tulang. Kelebihan produksi sitokin pada gagal jantung kongesti juga menyebabkan defisiensi besi karena sitokin akan meningkatkan produksi hepcidin dari hati yang menyebabkan penurunan absorpsi besi di gastrointestinal dan mengurangi pelepasan besi dari depositnya di makofag dan hepatosit. Polisitemia didefinisikan sebagai kenaikan hematokrit dan hemoglobin berturut-turut. Penyebab utamanya dapat karena penyakit neoplastik seperti polisitemia vera dengan proliferasi sel klon. Beberapa kondisi polisitemia dapat terjadi sebagai hasil dari hipoksia kronis. Polisitemia fisiologis dapat ditemukan di penduduk dataran tinggi dan atlit yang berlatih di daerah tinggi (Kohler dan Dellweg 2010) Hemoglobin Hemoglobin adalah bahan organik padat yang terdapat dalam eritrosit, berfungsi mengikat oksigen, dan memberi warna merah pada eritrosit. Kandungan hemoglobin dalam darah kurang lebih 15 gram per 100 ml darah. Molekul hemoglobin terdiri atas protein globin dan gugus heme yang mengandung Fe. Hemoglobin yang berikatan dengan oksigen akan membentuk ikatan oksihemoglobin. Proses pengikatan oksigen oleh hemoglobin dapat dihambat oleh gas karbonmonoksida (CO). Hal ini dikarenakan ikatan antara hemoglobin dengan CO lebih kuat dibandingkan dengan oksigen dan kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya keracunan CO pada jaringan. Pengikatan oksigen oleh hemoglobin dilakukan melalui Fe yang terdapat pada gugus heme. Zat besi dalam bentuk Fe 2+ yang terdapat pada pusat heme akan mengikat atom oksigen membentuk oksihemoglobin. Selanjutnya oksihemoglobin akan melepaskan oksigen ke jaringan.

22 Kerusakan eritrosit menyebabkan keluarnya hemoglobin dari sel, sehingga Fe yang terikat pada gugus heme akan ikut terlepas ke jaringan. Fe yang terlepas akan ditangkap oleh transferin dan kemudian disimpan untuk dapat digunakan lagi. Transferin adalah protein dalam plasma yang mampu mengikat Fe secara reversible. Kadar Fe dalam tubuh dipengaruhi oleh tingkat hemoglobin dan bobot tubuh. Selain dalam hemoglobin, Fe juga terdapat dalam feritin dan hemosiderin. Kandungan Fe yang lebih sedikit terdapat dalam mioglobin, plasma, dan cairan ekstraseluler. Hemoglobin yang rusak menyebabkan terbentuknya bilirubin. Bilirubin adalah zat warna kuning yang mampu berikatan kompleks dengan albumin sebelum ditranspor ke hati (Guyton dan Hall 1997) Hematokrit (PCV) Suatu ukuran yang menunjukkan volume total eritrosit dalam setiap 100 ml darah disebut hematokrit atau Packed Corpuscular Volume (PCV). Nilai hematokrit dinyatakan dalam persentase. Dalam pengukuran nilai hematokrit, darah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu eritrosit pada bagian dasar, leukosit dan trombosit yang berupa lapisan berwarna putih sampai abu-abu (buffy coat), dan plasma darah pada bagian paling atas (Schalm 1975). Pada kondisi perdarahan, jumlah eritrosit yang hilang seringkali berbanding lurus dengan plasma darah sehingga nilai hematokrit tetap. Nilai hematokrit yang rendah dapat menyebabkan anemia (Duncan dan Prase 1986) Domba Domba tergolong sebagai hewan ruminansia kecil yang didosmetikasi atau diternakkan sebagai sumber protein hewani dan merupakan kerabat kambing, sapi, dan kerbau (Mulyono 2005). Domba termasuk dalam Famili Bovidae dan Genus Ovis. Domba yang diternakkan saat ini, diperkirakan merupakan hasil domestikasi tiga jenis domba liar, yaitu Mouflon (Ovis musimon) dari Eropa Selatan dan Asia Kecil, Argali (Ovis amon) dari Asia Tenggara, dan Urial (Ovis vignei) dari Asia. Domba yang dikenal di Indonesia ada tiga bangsa, yaitu domba lokal atau domba ekor tipis, domba ekor gemuk, dan domba Priangan. Domba ekor tipis

23 memiliki ukuran tubuh dan ekor yang relatif kecil, bulu cenderung berwarna putih, domba jantan bertanduk kecil dan melingkar, sedangkan domba betina tidak bertanduk, bobot domba jantan berkisar kg dan bobot betina berkisar kg (Sarwono 2004). Bangsa domba ekor tipis berasal dari India dan Bangladesh dengan penamaan yang berbeda di berbagai wilayah di Indonesia, seperti domba negeri, domba kampung, domba lokal, dan domba kacang. Gambaran domba ekor tipis tampak seperti gambar dibawah ini, Gambar 2. Domba ekor tipis (Sumber: Anomim ) Domba ekor gemuk memiliki ukuran badan yang besar, bobot domba jantan mencapai 50 kg dan bertanduk, sedangkan domba betina mencapai 40 kg dan tidak bertanduk. Bangsa domba ekor gemuk cenderung berekor panjang dengan bagian pangkalnya besar dan menimbun banyak lemak. Domba ini banyak tersebar di Madura, Sulawesi, Lombok, dan Jawa Timur. Gambaran domba ekor gemuk tampak seperti gambar dibawah ini, Gambar 3. Domba ekor gemuk (Sumber: Anomim ) Domba Priangan atau domba Garut berasal dari Priangan, Kota Garut, Jawa Barat. Bobot domba jantan dapat mencapai 80 kg dan betina dapat mencapai 40 kg. Bangsa domba Priangan umumnya berbadan besar dan lebar, memiliki leher dan tanduk yang kuat sehingga sering dimanfaatkan sebagai domba aduan. Gambaran domba Priangan tampak seperti gambar dibawah ini,

24 Gambar 4. Domba Priangan (Sumber: Anomim ) Tanduk domba Priangan jantan melingkar ke belakang membentuk spiral, pangkal tanduk kanan dan kiri hampir menyatu. Domba Priangan betina umumnya tidak bertanduk dengan postur tubuh yang lebih panjang dan bulu halus (Mulyono 2005).

25 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilakukan dari bulan Mei hingga bulan Juli Penelitian dilakukan di dua tempat, yaitu kandang milik MT. Farm di Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor dan laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu spuit, seperangkat alat USG, tabung reaksi, gelas objek, hemositometer, selotip, lap, marker, kertas label, tabung kapiler, alat penghitung, kamar hitung darah Neubauer, Adam Mikrohematokrit reader, penyumbat tabung kapiler, alat sentrifugasi, tambang, dan mikroskop cahaya. Bahan yang digunakan dalam penelitian, diantaranya 21 ekor domba betina tidak bunting, hormon Prostaglandin PGF 2 alpha (dinoprost dan tromethamin), hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan human Chorionic Gonadotropin (hcg), pengencer Turk, NaCl fisiologis 0,9%, antikoagulan Ethilen Diamine Tetraasetate (EDTA), selang penanda terdiri atas empat warna Tahap Persiapan Hewan Percobaan Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini ialah 21 ekor domba betina lokal yang telah dewasa kelamin. Domba-domba tersebut memiliki kisaran bobot badan antara 15 hingga 25 kg Aklimatisasi Domba Sebelum mendapat perlakuan, domba penelitian dipelihara selama dua minggu untuk diaklimatisasikan. Tujuan aklimatisasi ialah untuk memberikan kesempatan agar domba-domba tersebut menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

26 Selama aklimatisasi domba diberikan antibiotik, anthelmintik, dan vitamin B kompleks agar kondisi domba tetap sehat dan kembali prima Kandang, Pakan, dan Minum Kandang yang digunakan dalam penelitian ialah kandang kelompok dengan konstruksi kandang panggaung dengan ketinggian 50 cm dari permukaan tanah. Pakan domba perlakuan yang diberikan terdiri atas hijauan dan ampas tahu. Hijauan diberikan pada pagi dan sore hari, sedangkan pada siang hari diberikan ampas tahu. Pemberian air minum dilakukan secara tidak terbatas atau ad libitum Tahap Pelaksanaan Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan, yaitu Kelompok perlakuan pertama yaitu kontrol yang tidak disuperovulasi dan tidak disuntik hcg. Kelompok perlakuan kedua yang hanya disuperovulasi sebelum kawin dengan kode SO 1. Kelompok perlakuan yang ketiga, hanya disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin dengan kode SO 2. Kelompok perlakuan keempat yang disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin dengan kode SO Superovulasi dan Penyuntikan hcg Perlakuan diawali dengan sinkronisasi estrus terlebih dahulu terhadap semua domba pada setiap kelompok perlakuan. Sinkronisasi estrus dilakukan dengan menyuntikkan hormon PGF 2α secara intramuskular sebanyak dua kali dengan rentang waktu 11 hari antara penyuntikan pertama dan kedua. Dosis PGF 2α yang diberikan berkisar 5 hingga 15 mg/kg per ekor. Perlakuan superovulasi berupa penyuntikan PMSG dan hcg intramuskular dilakukan pada hari yang sama dengan penyuntikan PGF 2α kedua, sesaat setelah penyuntikan PGF 2α.

27 Kira-kira 24 hingga 36 jam pasca penyuntikan PGF 2α kedua, domba berada dalam kondisi estrus, kemudian semua kelompok domba perlakuan dikawinkan dengan domba pejantan yang telah dipilih. Perkawinan dilakukan dengan mencampurkan domba pejantan dan domba betina perlakuan selama 3 hari dengan membagi 21 ekor domba perlakuan menjadi 4 kelompok dengan masingmasing kelompok terdiri atas 5 hingga 6 ekor domba betina perlakuan ditambah 1 ekor domba jantan. Penyuntikan hcg intramuskular dilakukan 6 hari setelah perkawinan. Pemeriksaan kebuntingan menggunakan USG dilakukan 30 hari setelah perkawinan Pengambilan Sampel Pengambilan sampel darah dilakukan setiap 3 hari pada awal kebuntingan. Pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis menggunakan spuit sebanyak kurang lebih 5 ml kemudian langsung dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diisi antikoagulan EDTA sebelumnya. Tabung tersebut kemudian langsung ditutup menggunakan sumbat dan diberi label sesuai kode perlakuan. Sampel darah dalam tabung reaksi selanjutnya dimasukkan ke dalam kotak pendingin dan dibawa ke laboratorium fisiologi untuk dilakukan pemeriksaan darah Penghitungan Jumlah Sel Darah Merah, Hematokrit, dan Hemoglobin Penghitungan jumlah sel darah merah (eritrosit) dilakukan secara manual dengan metode hemositometer. Penghitungan jumlah sel darah merah diawali dengan menghisap darah menggunakan pipet eritrosit hingga skala 0,5. Kemudian pipet dibersihkan dari noda darah yang menempel menggunakan tisu. Setelah itu, ujung pipet dimasukkan ke dalam cairan pengencer NaCl fisiologis 0,9% dan menghisap larutan tersebut sampai batas tera 101. Aspirator dilepas, pipet diangkat, ujungnya ditutup dengan jempol, dan pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Pipet diposisikan mendatar dan dihomogenkan dengan memutar pipet seperti putaran angka 8. Setelah homogen, tetesan pertama dan kedua dibuang, selanjutnya hasil pengenceran dituangkan ke dalam kamar hitung dengan menyentuhkan ujung pipet pada tepi kaca penutup. Kemudian, kamar hitung didiamkan beberapa menit agar sel-sel darah merah mengendap pada dasar kamar

28 hitung. Langkah berikutnya, kamar hitung dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 40 kali. Jumlah sel yang dihitung adalah lima kotak, yaitu pada keempat sudut dan 1 kotak di bagian tengah. Jumlah sel darah merah yang diperoleh dikalikan dengan per mm 3. Penghitungan nilai hematokrit dilakukan menggunakan Adam Mikrohematocrit Reader. Tabung mikro yang digunakan adalah tabung mikro dengan panjang 7 cm dan diameter 0,1 mm. Sampel darah diambil dengan menempelkan bagian ujung dari tabung mikro tersebut ke dalam darah. Posisi ujung tabung mikro membentuk sudut kurang lebih 120º dan bagian ujung tabung yang lain dikosongkan kira-kira 1 cm. Bagian ujung tabung disumbat dan tabung mikro tersebut selanjutnya disentrifugasi selama 4-5 menit dengan kecepatan rpm. Hasil sentrifugasi dibaca menggunakan Adam Mikrohematocrit Reader untuk mendapatkan nilai hematokrit. Penghitungan kadar hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metode Sahli. Metode ini dilakukan dengan menambahkan HCl ke dalam tabung kemudian ditambahkan dengan sampel darah dan ditambahkan secara perlahan sejumlah akuades hingga warna yang terbentuk sama dengan kontrol. Kadar hemoglobin diperoleh dengan membaca skala yang tertera pada tabung Sahli Variabel yang Diamati Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis One Way Anova dengan uji lanjutan Duncan untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap variabel.

29 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan dan penurunan jumlah sel darah merah pada setiap kelompok perlakuan sangat fluktuatif jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya sehingga sulit untuk menentukan ada tidaknya kenaikan secara pasti setiap harinya. Pengamatan dilakukan dengan membandingkan jumlah sel darah merah pada setiap kelompok perlakuan terhadap kelompok kontrol untuk melihat ada tidaknya kenaikan jumlah sel darah merah secara umum pada awal kebuntingan yang diindikasikan sebagai pengaruh perlakuan berdasarkan nilai sampel yang diambil dan dianalisis setiap 3 hari pada awal kebuntingan seperti yang tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah sel darah merah (10 6 /mm 3 ) domba yang disuperovulasi sebelum Ket: Hari kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin, pada awal kebuntingan. Kontrol n=9 SO 1 n=6 Perlakuan SO 2 n=3 SO 12 n=3 1 10,87±3,06 a 11,95±9,97 a 10,54±1,74 a 14,94±4,30 a 3 10,79±3,41 a 15,03±3,56 a 14,04±4,29 a 17,28±9,13 a 6 11,14±2,71 a 10,18±2,85 a 10,41±1,55 a 10,04±2,35 a 9 8,10±3,66 a 10,37±4,96 a 6,46±5,22 a 11,05±3,40 a 12 10,48±1,94 a 11,99±2,26 a 13,40±3,61 a 12,26±5,41 a 15 9,75±3,30 a 12,28±1,02 a 12,37±2,03 a 10,14±1,30 a 30 10,83±2,19 a 10,90±2,33 a 8,91±1,39 a 13,13±4,13 a Kontrol: tidak diberi PMSG dan hcg; SO 1 : disuperovulasi sebelum kawin; SO 2 : disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin; SO 12 : disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin. Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05). Hasil yang didapatkan pada tabel 2, menunjukkan bahwa kelompok perlakuan yang disuperovulasi sebelum kawin (SO 1 ) dan kelompok perlakuan

30 yang disuperovulasi sebelum kawin disertai penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 12 ) memiliki jumlah sel darah merah yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol yaitu pada hari ke-1, hari ke-3, dan hari ke-9 hingga hari ke-30, sedangkan kelompok perlakuan yang disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 2 ) menunjukkan hasil jumlah sel darah merah yang cenderung lebih rendah dari kelompok kontrol, yaitu pada hari ke-1, hari ke-6, hari ke-9, dan hari ke-30. Kelompok perlakuan yang disuperovulasi sebelum kawin disertai penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 12 ) memiliki jumlah sel darah merah tertinggi yaitu pada hari ke-3 dengan jumlah sel darah lebih tinggi 60,15% dibandingkan kelompok kontrol, lalu diikuti oleh kelompok perlakuan yang hanya disuperovulasi sebelum kawin (SO 1 ) dengan jumlah sel darah merah lebih tinggi 39,30% dibandingkan kelompok kontrol pada hari yang sama. Jumlah sel darah merah terendah terdapat pada hari ke-9 pada kelompok perlakuan yang hanya disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 2 ) dengan jumlah sel darah merah lebih rendah 20,25% dibandingkan kontrol. Pola kenaikan jumlah sel darah merah tersaji pada gambar grafik dibawah ini, Jumlah sel darah merah (10 6 /mm 3 ) 19,00 17,00 15,00 13,00 11,00 9,00 7,00 5, Waktu (hari) Gambar 5 Grafik jumlah sel darah merah domba kontrol ( ), disuperovulasi sebelum kawin ( ), disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), dan disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), pada awal kebuntingan. Superovulasi dengan kombinasi penggunaan PMSG/hCG untuk meningkatkan jumlah folikel dan korpus luteum telah terbukti dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus, jumlah embrio dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih, pertumbuhan dan perkembangan

31 kelenjar susu, dan produksi susu pada domba (Manalu et al. 1998; Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et al. 2000b). Hormon tiroid yang merupakan hormon penting yang berperan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus juga meningkat lebih pesat pada perlakuan superovulasi. Peningkatan konsentrasi hormon tiroid menggambarkan adanya aktivitas metabolisme yang lebih tinggi sejalan dengan lebih pesatnya pertumbuhan fetus dan terus meningkat dengan bertambahnya umur kebuntingan. Konsentrasi hormon metabolisme menunjukkan pola peningkatan yang sama dengan jumlah dan pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus yang mengindikasikan hubungan yang kuat antara peningkatan konsentrasi hormon metabolisme dan peningkatan jumlah dan bobot embrio (Mege et al. 2009). Peningkatan jumlah sel darah merah terjadi sebagai kompensasi perubahan dan adaptasi induk terhadap kondisi kebuntingan. Sistem vaskularisasi dan sel darah merah berfungsi mengatur regulasi oksigen, karbondioksida, nutrisi, dan peredaran metabolit penting seperti hormon ke seluruh jaringan tubuh (Dellman dan Brown 1989) termasuk ke organ reproduksi. Induk domba yang disuperovulasi memiliki jumlah embrio dan fetus yang lebih banyak dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta yang lebih pesat (Manalu et al. 1998; Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et al. 2000b) sehingga memicu peningkatan metabolisme yang lebih tinggi daripada indukan dengan jumlah embrio dan fetus yang lebih sedikit. Peningkatan metabolisme juga didukung oleh peningkatan konsentrasi hormon metabolisme tiroid. Kondisi ini diduga memicu peningkatan jumlah sel darah merah yang lebih tinggi untuk mensuplai kebutuhan perkembangan kebuntingan. Hal ini sejalan dengan penelitian Girsen (2007) yang menunjukkan hasil bahwa kelompok perlakuan dengan jumlah fetus yang lebih banyak memiliki konsentrasi eritropoietin yang lebih tinggi dibandingkan kontrol dan kelompok dengan jumlah fetus yang lebih sedikit. Jumlah sel darah merah kelompok perlakuan yang hanya disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 2 ) lebih sering menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan kontrol sehingga dapat dikatakan perlakuan SO 2 tidak mempengaruhi kenaikan jumlah sel darah merah.

32 Berdasarkan perbandingan hasil dari kelompok perlakuan SO 1, SO 2, dan SO 12 terhadap kontrol menunjukkan bahwa perlakuan superovulasi sebelum kawin dan penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin tidak mempengaruhi secara langsung kenaikan jumlah sel darah merah pada awal kebuntingan. Namun, jumlah sel darah merah pada kelompok perlakuan yang didahului superovulasi memiliki nilai persentase yang cenderung lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arif (2011) yang menyatakan bahwa kelompok perlakuan superovulasi memiliki jumlah sel darah merah tidak berbeda nyata secara statistik pada bulan pertama kebuntingan. Superovulasi mempengaruhi kenaikan jumlah sel darah merah secara nyata pada bulan kedua dan bulan ketiga kebuntingan. Hormon hcg bekerja seperti luteinizing hormone (LH) yang merangsang perkembangan korpus luteum dan sekresi progesterone untuk memelihara kebuntingan (Andriyanto dan Manalu 2011). Penyuntikan hcg pada hari ke-6 setelah kawin lebih ditujukan untuk meningkatkan kualitas kebuntingan dengan tujuan akhir meningkatkan kualitas bakalan Hematokrit Kebuntingan secara umum menyebabkan perubahan dinamis parameter hematologi seperti jumlah sel darah merah, hematokrit, dan hemoglobin pada domba. Peningkatan hematokrit pada hari ke-3, hari ke-7, hari ke-14, hari ke-17, dan hari ke-34 kebuntingan memiliki rentang perubahan antara 32,44±2,18% hingga 39,33±2,73% dengan perubahan signifikan pada hari ke-14, hari ke-17, dan hari ke-34 kebuntingan (Krajnicakova 1995). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini meskipun rata-rata nilai hematokrit masih lebih rendah dibandingkan nilai hematokrit yang dilaporkan Krajnicakova (1995). Pola kenaikan nilai hematokrit mengikuti pola kenaikan jumlah sel darah merah. Penghitungan nilai hematokrit setiap tiga hari sekali pada awal kebuntingan dari setiap kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 3.

33 Tabel 3 Nilai hematokrit (%) domba yang disuperovulasi sebelum kawin dan Ket: Hari disuntik hcg pada hari ke-6 setelah kawin, pada awal kebuntingan. Kontrol n=9 SO1 n=6 Perlakuan SO2 n=3 SO12 n=3 1 21,17±4,02 a 20,17±7,02 a 20,83±3,62 a 25,83±7,51 a 3 20,87±6,15 a 26,32±3,55 a 23,75±3,38 a 25,67±5,92 a 6 19,56±4,21 a 18,83±1,87 a 20,67±2,08 a 23,67±6,43 a 9 21,08±8,07 a 21,62±1,72 a 16,30±14,13 a 19,67±1,42 a 12 23,11±3,33 a 24,17±2,64 a 22,00±1,80 a 23,83±3,69 a 15 22,69±2,48 a 25,83±4,01 a 24,33±3,62 a 26,50±4,82 a 30 24,83±1,44 a 26,83±4,36 a 19,33±2,31 b 25,50±3,50 a Kontrol: tidak diberi PMSG dan hcg; SO 1 : disuperovulasi sebelum kawin; SO 2 : hcg hari ke-6 setelah kawin; SO 12 : disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin. Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05). Nilai hematokrit memiliki hubungan yang erat dengan jumlah sel darah merah karena nilai hematokrit merupakan suatu ukuran yang menunjukkan volume total sel darah merah dalam setiap 100 ml darah. Kelompok perlakuan yang disuperovulasi sebelum kawin dan disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 12 ) memiliki nilai hematokrit yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol pada hari ke-1, hari ke-3, hari ke-6, hari ke-12, hari ke-15, dan hari ke-30. Kelompok perlakuan yang hanya disuperovulasi sebelum kawin (SO 1 ) juga memiliki nilai rata-rata hematokrit cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol pada hari ke-3, hari ke-9, hari ke-12, hari ke-15, dan hari ke-30. Nilai hematokrit tertinggi terdapat pada kelompok SO 1 pada hari ke-30 dengan nilai hematokrit 8,05% lebih tinggi daripada kontrol. Kelompok perlakuan yang hanya disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 2 ) memiliki rata-rata nilai hematokrit cenderung lebih rendah dibandingkan kontrol. Nilai hematokrit terendah dari semua kelompok perlakuan terdapat pada hari ke-9 dari kelompok perlakuan SO 2 dengan nilai 22,68% lebih rendah dari kontrol. Nilai hematokrit yang didapatkan antarkelompok perlakuan menunjukkan hasil yang beragam meskipun secara statistik tidak berbeda nyata kecuali pada hari ke-30. Pola kenaikan dan penurunan nilai hematokrit terlihat pada gambar grafik dibawah ini,

34 29,00 27,00 Nilai hematokrit (%) 25,00 23,00 21,00 19,00 17,00 15, Waktu (hari) Gambar 6 Grafik nilai hematokrit induk domba kontrol ( ), disuperovulasi sebelum kawin ( ), diberi hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), dan disuperovulasi sebelum kawin serta disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), pada awal kebuntingan. Semua kelompok perlakuan memiliki nilai hematokrit yang tidak berbeda nyata secara statistik dari hari ke-1 hingga hari ke-30 kecuali untuk kelompok SO 2 sehingga dapat ditarik keterangan bahwa secara umum superovulasi sebelum kawin dan penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin tidak mempengaruhi kenaikan nilai hematokrit pada awal kebuntingan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Arif (2011), yang menyatakan superovulasi menaikkan nilai hematokrit secara nyata mulai bulan kedua hingga keempat kebuntingan dan penurunan pada akhir masa kebuntingan, sedangkan pada awal kebuntingan tidak mempengaruhi. Nilai hematokrit semua kelompok perlakuan secara umum lebih rendah dari nilai hematokrit domba tidak bunting menurut Banks (1993) dan Frandson (1996) yang berkisar antara 24-50%. Menurut Podymow et al. (2010), secara fisiologis nilai hematokrit domba bunting akan selalu lebih rendah dibandingkan kondisi tidak bunting dikarenakan adanya retensi cairan yang menyebabkan kenaikan volume plasma darah dan total air tubuh. Pada hari ke-30 nilai hematokrit kelompok SO 2 berbeda nyata dari kelompok perlakuan lainnya dengan nilai lebih rendah. Kelompok SO 2 memiliki nilai hematokrit yang dibawah normal tetapi jumlah sel darah merah tetap normal sehingga diduga hewan coba

35 pada kelompok SO 2 mengalami retensi cairan yang berlebihan yang dapat disebabkan berbagai faktor Hemoglobin Kadar hemoglobin yang didapatkan beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik kecuali pada hari ke-30. Pola kenaikan kadar hemoglobin terlihat dalam gambar grafik dibawah ini, 14,00 13,00 Kadar hemoglobin (g%) 12,00 11,00 10,00 9,00 8,00 7, Waktu (hari) Gambar 7 Grafik kadar hemoglobin induk domba kontrol ( ), disuperovulasi sebelum kawin ( ), diberi hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), dan disuperovulasi sebelum kawin serta disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin ( ), pada awal kebuntingan Kelompok perlakuan yang hanya disuperovulasi sebelum kawin (SO 1 ) dan kelompok perlakuan yang disuperovulasi sebelum kawin disertai penyuntikan hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 12 ) selalu memiliki kadar hemoglobin rata-rata yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol mulai dari hari ke-1 hingga ke-30 pada awal kebuntingan. Kadar hemoglobin tertinggi terdapat pada hari ke-3 dari kelompok perlakuan SO 12 dengan nilai 23,05% lebih tinggi dari kontrol. Kadar hemoglobin terendah terdapat pada hari ke-1 dari kelompok kontrol. Kelompok perlakuan yang hanya disuntik hcg hari ke-6 setelah kawin (SO 2 ) memiliki kadar hemoglobin yang tidak terlalu berbeda dari kontrol pada hari ke-3, hari ke-6, dan hari ke-15 dan lebih rendah pada hari ke-9, hari ke-12, dan hari ke-30.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Superovulasi Superovulasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan dan peningkatan jumlah folikel yang berkembang hingga mengalami

Lebih terperinci

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba 17 III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Sel Darah Merah Pemeriksaan darah dilakukan selama tiga puluh hari dari awal kebuntingan, yaitu hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 30. Pemilihan waktu pemeriksaan dilakukan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah) Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Hasil penghitungan jumlah sel darah merah setiap bulan selama lima bulan dari setiap kelompok perlakuan memberikan gambaran nilai yang berbeda seperti terlihat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2012. Pemeliharaan burung merpati dilakukan di Sinar Sari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Pengamatan profil darah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Eritrosit, Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit Jumlah eritrosit dalam darah dipengaruhi jumlah darah pada saat fetus, perbedaan umur, perbedaan jenis kelamin, pengaruh parturisi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran darah berupa jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit sapi perah FH umur satu sampai dua belas bulan ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Gambaran Eritrosit

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Indocement Citeureup, Bogor selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai pertengahan bulan Oktober

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir

Lebih terperinci

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian. Manfaat Penelitian 2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ialah untuk memperolehgambaran darah merah anak domba yang dilahirkan oleh induk domba yang disuperovulasi sebelum perkawinan, yaitu jumlahrbc, nilai PCV, dan

Lebih terperinci

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM BIOLOGI PERHITUNGAN JUMLAH ERITROSIT DARAH

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM BIOLOGI PERHITUNGAN JUMLAH ERITROSIT DARAH LAPORAN RESMI PRAKTIKUM BIOLOGI PERHITUNGAN JUMLAH ERITROSIT DARAH Dosen Pengampu: Dr. drh. Heru Nurcahyo, M.Kes Disusun Oleh : Nama: Sofyan Dwi Nugroho NIM : 16708251021 Prodi : Pendidikana IPA PRODI

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul Pengaruh tingkat energi protein dalam ransum terhadap total protein darah ayam Sentul dapat dilihat pada Tabel 6.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Mei 2011, bertempat di kandang pemuliaan ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

Laporan Praktikum V Darah dan Peredaran

Laporan Praktikum V Darah dan Peredaran Laporan Praktikum V Darah dan Peredaran Nama : Cokhy Indira Fasha NIM : 10699044 Kelompok : 4 Tanggal Praktikum : 11 September 2001 Tanggal Laporan : 19 September 2001 Asisten : Astania Departemen Biologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tubuh, membawa nutrisi, membersihkan metabolisme dan membawa zat antibodi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tubuh, membawa nutrisi, membersihkan metabolisme dan membawa zat antibodi 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Darah Darah dalam tubuh berfungsi untuk mensuplai oksigen ke seluruh jaringan tubuh, membawa nutrisi, membersihkan metabolisme dan membawa zat antibodi (sistem

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR GAMBARAN JUMLAH SEL DARAH MERAH, NILAI HEMATOKRIT, DAN KADAR HEMOGLOBIN INDUK DOMBA YANG DISUPEROVULASI SEBELUM KAWIN DAN DICEKOK EKSTRAK TEMULAWAK PLUS SELAMA KEBUNTINGAN RIDI ARIF SKRIPSI FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH MERAH, HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN INDUK DOMBA PADA AWAL KEBUNTINGAN YANG DISUPEROVULASI VIVIEN KUSUMA WHARDANI

GAMBARAN SEL DARAH MERAH, HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN INDUK DOMBA PADA AWAL KEBUNTINGAN YANG DISUPEROVULASI VIVIEN KUSUMA WHARDANI GAMBARAN SEL DARAH MERAH, HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN INDUK DOMBA PADA AWAL KEBUNTINGAN YANG DISUPEROVULASI VIVIEN KUSUMA WHARDANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ABSTRAK VIVIEN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 11 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan superovulasi, baik yang tidak diberi dan diberi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan dari bulan April sampai dengan Desember 2011. Lokasi pemeliharaan pada penelitian ini bertempat di Laboratorium Lapang

Lebih terperinci

BAB III MATERI METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam

BAB III MATERI METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam 17 BAB III MATERI METODE Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kunyit dan Jahe Dalam Ransum terhadap Kadar Hemoglobin, Jumlah Eritrosit dan Leukosit Puyuh Jantan dilaksanakan pada bulan Juni- Juli

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Domba atau Ovis aries (Anonim 1999)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Domba atau Ovis aries (Anonim 1999) 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Domba memiliki nama ilmiah Ovis aries. Secara klasifikasi ilmiah, domba masuk dalam kerajaan animalia, filum chordata, kelas mamalia, dan ordo artiodactyla. Selanjutnya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Peking Itik Peking merupakan itik tipe pedaging yang termasuk dalam kategori unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem pemeliharaan itik Peking

Lebih terperinci

Ilmu Pengetahuan Alam

Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Alam Sistem Peredaran Darah SEKOLAH DASAR TETUM BUNAYA Kelas Yupiter Nama Pengajar: Kak Winni Ilmu Pengetahuan Alam Sistem Peredaran Darah A. Bagian-Bagian Darah Terdiri atas apakah darah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh Variasi Dosis Tepung Ikan Gabus Terhadap Pertumbuhan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh Variasi Dosis Tepung Ikan Gabus Terhadap Pertumbuhan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitan pengaruh variasi dosis tepung ikan gabus terhadap pertumbuhan dan hemoglobin ikan lele, dengan beberapa indikator yaitu pertambahan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat 8 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Non Ruminansia (BPBTNR) Provinsi Jawa Tengah di Kota Surakarta.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

HASIL DAN PEMBAHASAN. diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat pada Tabel 5. 50 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kadar Hemoglobin Itik Cihateup Data hasil pengamatan kadar hemoglobin itik cihateup fase grower yang diberi Fructooligosaccharide (FOS) pada level berbeda dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap ketebalan lapisan endometrium dan kadar hemoglobin tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Tingkat Energi Protein Ransum Berbeda Terhadap Total Protein Darah Ayam KUB Rataan total protein darah ayam kampung unggul Balitbangnak (KUB) pada penelitian ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul performans darah kambing peranakan ettawa dara

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul performans darah kambing peranakan ettawa dara 11 BAB III METODE PENELITIAN Penelitian yang berjudul performans darah kambing peranakan ettawa dara yang diberi ransum dengan tambahan urea yang berbeda ini telah dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober sampai

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di Desa Kedu Temanggung dan pada bulan April 2016 di kandang unggas Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan sampel darah yaitu obyek glass, cover glass, Haemicitometer, jarum suntik, pipet kapiler, mikroskop monokuler. Vitamin E

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan telur terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA

GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA 1 GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 2 GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obat adalah zat yang digunakan untuk terapi, mengurangi rasa nyeri, serta

BAB I PENDAHULUAN. Obat adalah zat yang digunakan untuk terapi, mengurangi rasa nyeri, serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat adalah zat yang digunakan untuk terapi, mengurangi rasa nyeri, serta mengobati dan mencegah penyakit pada manusia maupun hewan (Koga, 2010). Pada saat ini banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Darah Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ayam petelur adalah ayam yang mempunyai sifat unggul dalam produksi telur atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Darah merupakan media transportasi yang membawa nutrisi dari saluran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Darah merupakan media transportasi yang membawa nutrisi dari saluran II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Darah Darah merupakan media transportasi yang membawa nutrisi dari saluran pencernaan ke jaringan tubuh, membawa kembali produk sisa metabolisme sel ke organ eksternal,

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak II. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini terbagi dalam dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap utama. Penelitian pendahuluan meliputi hasil uji kapasitas serap zeolit, kapasitas serap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Zat Makanan Berdasarkan analisis statistik, konsumsi bahan kering nyata dipengaruhi oleh jenis ransum, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis domba dan interaksi antara kedua

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang Fapet Farm dan analisis proksimat bahan pakan dan pemeriksaan darah dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di dalam Kandang Rataan temperatur dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Kandang Selama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Superovulasi Superovulasi merupakan suatu teknologi reproduksi yang mampu meningkatkan jumlah korpus luteum yang dihasilkan (Manalu et al. 1996). Jumlah korpus luteum ini memiliki

Lebih terperinci

ANFIS SISTEM HEMATOLOGI ERA DORIHI KALE

ANFIS SISTEM HEMATOLOGI ERA DORIHI KALE ANFIS SISTEM HEMATOLOGI ERA DORIHI KALE ANFIS HEMATOLOGI Darah Tempat produksi darah (sumsum tulang dan nodus limpa) DARAH Merupakan medium transport tubuh 7-10% BB normal Pada orang dewasa + 5 liter Keadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hematologi Hasil pemeriksaan hematologi disajikan dalam bentuk rataan±simpangan baku (Tabel 1). Hasil pemeriksaan hematologi individual (Tabel 5) dapat dilihat pada lampiran dan dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia saat ini sudah cukup luas. Pengobatan tradisional terus dikembangkan dan dipelihara sebagai warisan budaya bangsa yang

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan Juli 2016,

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan Juli 2016, 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan Juli 2016, pemeliharaan ayam broiler dilaksanakan selama 28 hari di Laboratorium Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gathot Gathot merupakan hasil fermentasi secara alami pada ketela pohon. Ketela pohon tersebut memerlukan suasana lembab untuk ditumbuhi jamur secara alami. Secara umum,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang 26 IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi fisiologis ternak dapat diketahui melalui pengamatan nilai hematologi ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang mengandung butir-butir

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang dan Peralatan Ransum

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang dan Peralatan Ransum MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B dan analisis plasma di Laboratorium Nutrisi Ternak Kerja dan Olahraga Unit

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepadatan Ayam Petelur Fase Grower Ayam petelur adalah ayam yang efisien sebagai penghasil telur (Wiharto, 2002). Keberhasilan pengelolaan usaha ayam ras petelur sangat ditentukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah 23 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh rata-rata jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, persentase hematokrit, MCV, MCH dan MCHC ayam broiler dengan perlakuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kreatinin Kreatinin adalah produk akhir metabolisme kreatin.keratin sebagai besar dijumpai di otot rangka, tempat zat terlibat dalam penyimpanan energy sebagai keratin fosfat.dalam

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

Kompetensi SISTEM SIRKULASI. Memahami mekanisme kerja sistem sirkulasi dan fungsinya

Kompetensi SISTEM SIRKULASI. Memahami mekanisme kerja sistem sirkulasi dan fungsinya SISTEM SIRKULASI Kompetensi Memahami mekanisme kerja sistem sirkulasi dan fungsinya Suatu sistem yang memungkinkan pengangkutan berbagai bahan dari satu tempat ke tempat lain di dalam tubuh organisme Sistem

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan 19 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010 di Kandang Unit Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. peternakan. Penggunaan limbah sisa pengolahan ini dilakukan untuk menghindari

I PENDAHULUAN. peternakan. Penggunaan limbah sisa pengolahan ini dilakukan untuk menghindari I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah pangan yang berasal dari sisa-sisa pengolahan makanan merupakan salah satu sumber bahan pakan alternatif yang sering digunakan dalam dunia peternakan. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah

BAB III MATERI DAN METODE. Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah 1 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Hubungan Bobot Badan dengan Konsentrasi, Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah dilaksanakan pada bulan Juli -

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. puyuh (Cortunix cortunix japonica). Produk yang berasal dari puyuh bermanfaat

PENDAHULUAN. puyuh (Cortunix cortunix japonica). Produk yang berasal dari puyuh bermanfaat 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditi unggas yang telah lama berkembang di Indonesia salah satunya ialah puyuh (Cortunix cortunix japonica). Produk yang berasal dari puyuh bermanfaat sebagai sumber

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Estrogen adalah salah satu hormon yang berperan dalam reproduksi hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting adalah estradiol

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 11 Adaptasi (kelompok AP,AIS,AIP) H H + 2 H - 14 Pengambilan darah simpan (kelompok AP) pre post Perdarahan 30% via splenektomi + autotransfusi (kelompok AP,AIS,AIP) H + 7 Panen (kelompok AP,AIS,AIP) Gambar

Lebih terperinci

Apa itu Darah? Plasma Vs. serum

Apa itu Darah? Plasma Vs. serum Anda pasti sudah sering mendengar istilah plasma dan serum, ketika sedang melakukan tes darah. Kedua cairan mungkin tampak membingungkan, karena mereka sangat mirip dan memiliki penampilan yang sama, yaitu,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di kandang ayam petelur Varia Agung

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di kandang ayam petelur Varia Agung III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di kandang ayam petelur Varia Agung Jaya Farm, Desa Varia Agung, Kecamatan Seputih Mataram, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN CAIRAN AMNION DALAM AIR MINUM TERHADAP PROFIL HEMATOLOGIS AYAM BROILER UMUR 28 HARI SKRIPSI. Oleh: SETYO INGGARIS AMIEN RAIS

PENGARUH PENAMBAHAN CAIRAN AMNION DALAM AIR MINUM TERHADAP PROFIL HEMATOLOGIS AYAM BROILER UMUR 28 HARI SKRIPSI. Oleh: SETYO INGGARIS AMIEN RAIS PENGARUH PENAMBAHAN CAIRAN AMNION DALAM AIR MINUM TERHADAP PROFIL HEMATOLOGIS AYAM BROILER UMUR 28 HARI SKRIPSI Oleh: SETYO INGGARIS AMIEN RAIS PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB VII DARAH A. SEDIAAN NATIF DARAH.

BAB VII DARAH A. SEDIAAN NATIF DARAH. BAB VII DARAH A. SEDIAAN NATIF DARAH. Tujuan Praktikum Mengamati darah tanpa diproses lebih lanjut. 1. Memperhatikan bentuk-bentuk sel-sel darah ada tidaknya sel eritrosit yang mengalami krenasi (pengerutan),

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

SISTEM PEREDARAN DARAH

SISTEM PEREDARAN DARAH SISTEM PEREDARAN DARAH Tujuan Pembelajaran Menjelaskan komponen-komponen darah manusia Menjelaskan fungsi darah pada manusia Menjelaskan prinsip dasar-dasar penggolongan darah Menjelaskan golongan darah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di Laboratorium Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. B. Alat

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kapang Rhizopus oryzae

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kapang Rhizopus oryzae 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Kapang Rhizopus oryzae dan Chrysonilia crassa dalam Ransum terhadap Profil Darah Merah Ayam Broiler yang Dipelihara Pada Kondisi

Lebih terperinci

KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN

KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN 1 KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN M.K. Pengantar Ilmu Nutrisi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB Zat makanan adalah unsur atau senyawa kimia dalam pangan / pakan yang dapat

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN PUSAT STUDI OBAT BAHAN ALAM DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 A B Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16-17 Gambar 8 Teknik penyuntian PGF 2α. (A) Penyuntikan pertama, (B) Penyuntikan kedua, (C) Pengamatan estrus yang dilakukan tiga kali sehari yaitu pada

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang dikembangkan dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai hasil utama serta pupuk organik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 17 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor dan dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang 16 PENDAHULUAN Latar belakang Ikan nila merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Beberapa kelebihan yang dimiliki ikan ini adalah mudah dipelihara,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Diponegoro, Semarang. Kegiatan penelitian berlangsung dari bulan Mei hingga

BAB III MATERI DAN METODE. Diponegoro, Semarang. Kegiatan penelitian berlangsung dari bulan Mei hingga 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang komposisi kimiawi tubuh sapi Madura jantan yang diberi level pemberian pakan berbeda dilaksanakan di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah, Fakultas

Lebih terperinci

PEMIJAHAN LELE SEMI INTENSIF

PEMIJAHAN LELE SEMI INTENSIF PEMIJAHAN LELE SEMI INTENSIF PEMIJAHAN LELE SEMI INTENSIF Pemijahan ikan lele semi intensif yaitu pemijahan ikan yang terjadi dengan memberikan rangsangan hormon untuk mempercepat kematangan gonad, tetapi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

GAMBARAN HEMATOLOGI DOMBA SELAMA TRANSPORTASI : PERAN MULTIVITAMIN DAN MENIRAN

GAMBARAN HEMATOLOGI DOMBA SELAMA TRANSPORTASI : PERAN MULTIVITAMIN DAN MENIRAN Jurnal llmu Pertanian Indonesia, Desember 2010, hlm. 172-177 ISSN 0853-421 7 GAMBARAN HEMATOLOGI DOMBA SELAMA TRANSPORTASI : PERAN MULTIVITAMIN DAN MENIRAN (HEMATOLOGICAL CONDITION OF SHEEP DURING TRANSPORTATION

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 8 No. 1, Maret 2014 ISSN : 1978-225X PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI The Effect of Pituitary

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2011, di

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2011, di III. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2011, di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. B.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis/ Rancangan Penelitian dan Metode Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian Eksperimen Kuasi dengan rancangan penelitian After Only With Control Design 35 yang digambarkan

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Percobaan Penelitian tentang peran pemberian metionin dan linoleat pada tepung kaki ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2015.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2015. 19 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2015. Penginduksian zat karsinogen dan pemberian taurin kepada hewan uji dilaksanakan di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oksigen. Darah terdiri dari bagian cair dan padat, bagian cair yaitu berupa plasma

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oksigen. Darah terdiri dari bagian cair dan padat, bagian cair yaitu berupa plasma BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Darah 1. Pengertian darah Dalam system sirkulasi darah merupakan bagian penting yaitu dalam transport oksigen. Darah terdiri dari bagian cair dan padat, bagian cair yaitu berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci