BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 diantaranya adalah gangguan jiwa berat dan gangguan mental emosional serta cakupan pengobatannya. Menurut data tersebut, prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia adalah sebesar 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak terdapat di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Gangguan jiwa berat yang dimaksud dalam riskesdas adalah gangguan psikotik dan termasuk didalamnya adalah gangguan skizofrenia. Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat oleh karena menurunkan produktivitas pasien dan akhirnya menimbulkan beban biaya yang besar bagi pasien dan keluarganya. Dari sudut pandang pemerintah, gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang cukup besar (Riskesdas, 2013). Gangguan skizofrenia merupakan penyakit kronis, kambuhan, dan menyebabkan penurunan fungsi yang semakin lama akan semakin berat, terutama bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat. Dengan kata lain, gangguan skizofrenia mengakibatkan disabilitas yang sering kali ireversibel dan menimbulkan beban penderitaan yang berat baik bagi pasien maupun keluarganya. Perkembangan ilmu dan tehnologi yang semakin pesat membawa dampak positif bagi perkembangan strategi pengobatan gangguan ini. Klinisi perlu untuk tetap mengikuti perkembangan riset ilmiah terkini dalam rangka memberikan penatalaksanaan yang terbaik untuk pasien (Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia, 2011). Sejak pertama kali didefinisikan sampai dengan saat ini, skizofrenia telah mengalami berbagai perkembangan baik dalam hal pengenalan, diagnosis dan terapi. Namun demikian berbagai penjelasan yang telah ada belum memberikan jawaban yang memuaskan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi. 1

2 Diantaranya adalah pada perbaikan gejala negatif dan kognitif pada pasien skizofrenia. Gejala negatif adalah penting dalam gangguan skizofrenia. Keparahan gejala negatif lebih dapat dijadikan sebagai prediktor kecacatan, apabila dibandingkan dengan keparahan gejala positif atau disorganisasi. Keparahan gejala negatif akan sangat berpengaruh terhadap fungsi sosial dan menjadi penyebab penurunan keterampilan sosial pada pengukuran kinerja. Selain itu, gejala negatif memiliki sifat yang lebih menetap sepanjang waktu dibandingkan gejala positif dan disorganisasi (Lewis & Escalona, 2009). Pada saat ini, pengobatan pada skizofrenia sebagian besar masih terbatas pada penggunaan obat antipsikotik golongan anti dopaminergik. Obat antipsikotik tersebut lebih memberikan manfaat dalam memperbaiki gejala positif dibandingkan dengan perbaikan pada gejala negatif dan kognitif (Kane & Correll, 2010). Pada pasien skizofrenia, sekitar 30% diantaranya mengalami resisten terhadap antipsikotik generasi pertama dan bahkan terhadap clozapine yang merupakan antipsikotik pilihan pada pengobatan pasien yang resisten (Leucht, 2009). Obat antipsikotik generasi pertama dan kedua, dapat mengatasi gejala positif tetapi tidak dapat mengembalikan kesehatan dan elastisitas otak, serta fungsi mental. Pasien skizofrenia masih menghadapi kesulitan dan masalah dalam mencapai kemandiriannya. Hal ini menjadi tantangan bagi ilmu pengetahuan untuk dapat meringankan beban penyakit pada pasien skizofrenia (Tamminga, 2009). Oleh karena itu diperlukan suatu strategi pengobatan pasien skizofrenia yang lebih efektif, yaitu yang mampu mengobati gejala positif, gejala negatif, dan disfungsi kognitif melalui target selain jalur dopamin (Correll, 2011). Salah satu hipotesis tentang etiologi skizofrenia menyatakan bahwa skizofrenia terjadi sebagai akibat terjadinya paparan pra-perinatal yang menghasilkan Latent Immune Vulnerability. Infeksi maternal akan menyebabkan terjadinya gangguan pada pembentukan sistem kekebalan pada janin yang dikandung. Kondisi tersebut menciptakan kerentanan yang bersifat laten pada 2

3 sistem kekebalan janin. Dengan demikian pasien skizofrenia akan lebih rentan terhadap infeksi dan lebih mudah mengalami disregulasi sistem kekebalan (Kinney et al., 2009). Selain itu, kondisi inflamasi pada pasien skizofrenia akan berpengaruh pada keparahan gejala skizofrenia dan progresifitasnya. Aktifasi respon inflamasi akan memperburuk gangguan afektif, emosional, sosial, dan fungsi kognitif pasien skizofrenia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses inflamasi sangat relevan sebagai faktor presipitasi gejala pada skizofrenia, terutama gejala negatif dan kognitif (Kinney et al., 2009). Pada skizofrenia, hipotesis gangguan jalur dopaminergik merupakan suatu hipotesis yang saat ini telah dikenal secara luas. Menurut hipotesis ini, gejalagejala pada skizofrenia timbul sebagai akibat disregulasi jalur dopamin mesolimbik, mesokortikal, nigrostriatal, tuberoinfundibular, dan jalur dopamin talamik. Secara khusus, gejala positif skizofrenia disebabkan oleh karena hiperaktifitas neuron dopamin mesolimbik. Sedangkan gejala negatif, kognitif, dan afektif disebabkan oleh karena terjadinya hipoaktifitas neuron dopamin mesokortikal dan proyeksinya terhadap prefrontal kortek (Stahl, 2008). Selain hipotesis jalur dopaminergik, pada skizofrenia juga dikenal hipotesis jalur glutamatergik. Neurotransmiter glutamat telah diketahui berperan penting dalam patofisiologi skizofrenia. Beberapa jalur glutamatergik memiliki relevansi yang erat dengan psikofarmakologi dan patofisiologi skizofrenia. Glutamat adalah suatu neurotransmiter excitatory (stimulatif) dan dianggap sebagai switch master otak. Neurotransmiter glutamat dapat membangkitkan dan mengaktifkan hampir semua neuron sistem saraf pusat. Jalur glutamatergik berupa jalur descending neuron kortiko-piramidal ke pusat neurotransmiter, termasuk diantaranya adalah raphe untuk serotonin, ventral tegmental area (VTA) dan substansia nigra untuk dopamin dan locus coeruleus untuk norepinefrin. Jalurjalur ini berfungsi mengatur pelepasan neurotransmiter. Secara khusus, jalur glutamat bertindak sebagai rem pada jalur dopamin mesolimbik (Stahl, 2008). 3

4 Berdasar pada hipotesis patofisiologis dan berbagai observasi klinis, para ahli telah melakukan berbagai penelitian tentang strategi terapi tambahan yang ditambahkan pada terapi antipsikotik pada pasien skizofrenia. Namun demikian, sampai saat ini berbagai penelitian tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan, sehingga belum dapat ditetapkan sebagai terapi standar dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Penelitian yang telah dilakukan diantaranya adalah penelitian dengan strategi pemberian tambahan antidepresan, acetilkolinesterase inhibitor, asam lemak omega-3, modafinil, dan N-metil reseptor D-aspartat modulator, serta pemberian tambahan non steroid anti-inflamasi (NSAID) untuk memperbaiki gejala negatif dan kognitif (Sommer, 2012). Pada pasien skizofrenia terjadi peningkatan kadar pro-inflamasi dalam darah, termasuk prostaglandin E2 (PGE2), C-reaktif protein, dan sitokin proinflamasi (Meyer et al., 2011). Salah satu mekanisme neuroimunologi yang menjadi penghubung antara peningkatan aktivitas pro-inflamasi dengan induksi gangguan afektif, emosional dan sosial adalah melalui metabolisme triptofan (Müller & Schwarz, 2010). Triptofan adalah suatu asam amino esensial yang dibutuhkan pada biosintesis serotonin. Müller & Schwarz menyatakan bahwa peningkatan aktifitas pro-inflamasi pada sistem saraf pusat menyebabkan peningkatan degradasi triptofan menjadi kynurenine oleh indoleamin 2,3-dioksigenase (IDO), sehingga mengurangi bioavailabilitas triptofan untuk disintesa menjadi serotonin. Pada kondisi peningkatan aktifitas pro-inflamasi pada sistem saraf pusat akan menyebabkan terjadinya defisiensi serotonin central. Sedangkan insufisiensi serotonin berperan penting dalam patogenesis gejala negatif skizofrenia (Abi- Dargham, 1997). Penambahan obat non steroid anti-inflamasi (NSAID) akan memberikan manfaat pada terapi skizofrenia melalui mekanisme inhibisi siklooksigenase (COX). Siklooksigenase adalah suatu enzim yang dibutuhkan pada sintesis proinflamasi. Pemberian terapi tambahan anti-inflamasi tidak hanya menurunkan 4

5 kadar sitokin pro-inflamasi, tetapi juga akan berpengaruh pada neurotransmisi glutaminergik dan menghambat metabolisme triptofan (Müller & Schwarz, 2010). Berdasarkan bukti-bukti tersebut, maka obat anti-inflamasi memiliki peluang untuk digunakan sebagai terapi tambahan pada skizofrenia. Penambahan anti-inflamasi dilakukan untuk mendapatkan hasil terapi yang lebih baik dalam memperbaiki gejala negatif dan kognitif. Hal ini menjadi dasar bagi penulis memilih untuk melakukan penelitian ini. Dalam sebuah penelitian randomized controlled study yang dilakukan oleh Müller (2010) menemukan bahwa terapi adjuvant celecoxib (suatu NSAID selektif COX-1 dan COX-2 inhibitor), pada pasien skizofrenia first episode yang mendapat pengobatan dengan antipsikotik risperidon, dapat memperbaiki gejala negatif dan kognitif pasien skizofrenia dan tidak terjadi efek samping akibat penggunaan anti-inflamasi. Berbeda dengan penelitian diatas, pada penelitian ini, penulis menggunakan penambahan meloxicam sebagai terapi tambahan anti-inflamasi pada pasien skizofrenia kronis yang mendapat terapi antipsikotik kombinasi risperidonchlorpromazine. Pada pengamatan awal sebelum dilakukannya penelitian ini, didapatkan data bahwa pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di RSJD dr. ARIF ZAINUDIN Surakarta sebagian besar mendapatkan terapi antipsikotik kombinasi dan beberapa kali menjalani perawatan rawat inap. Adapun pemilihan meloxicam didasarkan pada pertimbangan bahwa meloxicam adalah termasuk dalam golongan obat anti-inflamasi NSAID selektif COX-1 dan COX-2, serta cukup aman terhadap efek samping pada saluran cerna. Selain itu meloxicam memiliki efek anti-inflamasi yang setara dengan anti-inflamasi yang lain. Yang menjadi dasar pertimbangan selanjutnya adalah bahwa meloxicam telah lama dikenal dan banyak digunakan oleh masyarakat di Indonesia. B. Rumusan Masalah Apakah pemberian terapi tambahan anti-inflamasi meloxicam 7.5 mg/ hari pada pasien skizofrenia kronis yang mendapat terapi antipsikotik kombinasi risperidon-chlorpromazine efektif dalam memperbaiki PANSS dan SCoRS? 5

6 C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan terapi tambahan anti-inflamasi meloxicam 7.5 mg/ hari dalam memperbaiki PANSS dan SCoRS pada pasien skizofrenia kronis yang mendapat terapi antipsikotik kombinasi risperidon-chlorpromazine. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Menambah pengetahuan tentang keefektifan pemberian terapi tambahan anti-inflamasi meloxicam 7.5 mg/ hari pada penatalaksanaan pasien skizofrenia dalam memperbaiki PANSS dan ScoRS. b. Menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya tentang pemberian terapi tambahan anti-inflamasi pada penatalaksanaan pasien skizofrenia. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan standar terapi penatalaksanaan pasien skizofrenia. b. Sebagai masukan/ wacana khususnya bagi dokter/ tenaga medis di bidang ilmu kedokteran jiwa dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia. 6

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Skizofrenia a. Definisi Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau pecah dan phren yang artinya jiwa. Menurut Eugen Bleuler, skizofrenia adalah suatu gambaran jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau ketidakharmonisan antara proses berpikir, perasaan dan perbuatan. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang multi dimensi, mencakup banyak hal yang mengakibatkan hendaya pada tingkah laku, persepsi, proses berpikir, emosi, neurokognisi serta hendaya psikososial pada seseorang yang mengalaminya. Skizofrenia biasanya didahului oleh suatu periode prodromal yang ditandai dengan terjadinya penurunan fungsi pribadi. Termasuk diantaranya adalah perubahan memori dan konsentrasi, penarikan sosial, gangguan komunikasi dan afek, ide-ide aneh dan pengalaman persepsi, kebersihan pribadi yang buruk, serta berkurangnya minat dan kemauan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Perubahan ini akan berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk mempertahankan pekerjaan, atau berhubungan dengan keluarga dan teman. Onset full-blown skizofrenia biasanya terjadi pada masa late adolescence atau early adulthood. Gangguan skizofrenia mencakup berbagai kelompok gejala yang berbeda, tetapi sering kali co-exist dan biasa disebut dengan gejala positif, negatif dan kognitif. Gejala positif digambarkan sebagai gejala yang tidak dialami oleh orang yang sehat dan muncul pada pasien skizofrenia. Gejala yang termasuk dalam gejala positif adalah halusinasi visual dan auditorik, delusi, dan gangguan proses berpikir. Sedangkan gejala negatif adalah gejala yang menunjukkan terjadinya kehilangan atau penurunan fungsi normal (Tandon et al., 2009). 7

8 Terdapat beberapa macam pembagian fase skizofrenia. Diantaranya berdasarkan pada lamanya pasien skizofrenia mengalami gangguan tersebut. Skizofrenia subkronis mengacu kepada waktu seseorang pertama mulai menunjukkan tanda-tanda skizofrenia. Fase ini biasanya berlangsung selama 6 bulan dan tidak lebih dari 2 tahun. Skizofrenia kronis mengacu pada suatu penyakit yang telah ada selama minimal 2 tahun. Skizofrenia akut mengacu pada kemunculan kembali atau intensifikasi gejala psikotik pada orang yang sebelumnya tidak memiliki gejala atau gejala yang tidak berubah untuk sejumlah besar waktu (APA, 2005). Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun, dan sering kali terganggu dengan terjadinya eksaserbasi akut yang memerlukan intervensi tambahan. Hanya sekitar 14% - 20% pasien skizofrenia yang dapat mencapai pulih sepenuhnya. Sebagian besar lainnya akan mengalami perbaikan, tetapi mempunyai kemungkinan dapat mengalami kekambuhan yang dipengaruhi oleh stres, kesulitan sosial dan isolasi. Dalam jangka panjang (sampai 15 tahun), lebih dari 50% pasien skizofrenia mengalami serangan episodik yang disebabkan oleh karena terus menerus menghadapi kesulitan dalam kehidupan (National institute for health and clinical excellence, 2010). b. Epidemiologi Gangguan skizofrenia ditemukan di seluruh dunia pada berbagai kebudayaan. Insiden skizofrenia menurut penelitian kolaborasi WHO kurang lebih 0,2 per 1000 penduduk pertahun dengan prevalensi kira-kira 5 per 1000 penduduk. Angka ini bervariasi pada populasi yang berbeda. Berdasarkan usia dan jenis kelamin, onset skizofrenia meningkat pada usia dewasa muda, dan pada wanita insiden meningkat kurang lebih 5 tahun kemudian. Resiko seumur hidup untuk laki-laki dan wanita adalah sama (Mc Grath et al, 2008). Menurut Penelitian Epidemiological Catchment Area (ECA) prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1,3%. Gangguan ini biasanya mulai menyerang usia sekitar 20 tahun dan berdampak tidak dapat pulih kembali seperti sebelumnya. Berbagai akibat yang ditimbulkan oleh gangguan skizofrenia 8

9 diantaranya adalah hambatan di sekolah, kehilangan kesempatan untuk mendapat pekerjaan, serta kemampuan berkeluarga ataupun mempunyai keturunan. Skizofrenia biasanya dimulai di usia dewasa awal, yaitu antara usia tahun. Pria cenderung menderita skizofrenia sedikit lebih awal daripada wanita. Usia puncak onset pada pria adalah pada usia tahun, sedangkan pada wanita adalah pada usia tahun. Insidensi skizofrenia pada pria sedikit lebih besar dibandingkan pada wanita. Insiden pada wanita lebih tinggi setelah usia 30 tahun. Rata-rata usia onset adalah 18 tahun pada pria, dan 25 tahun pada wanita. Onset skizofrenia cukup langka pada usia di bawah 10 tahun, atau pada usia lebih dari 40 tahun. Terdapat insidensi skizofrenia yang lebih besar di daerah urban dibandingkan rural. Derajat keparahan skizofrenia lebih besar di negara maju, dibandingkan negara sedang berkembang (Stan et al, 2009). c. Gejala klinis Skizofrenia Gejala klinis skizofrenia sangat bervariasi antar individu dan bahkan pada individu yang sama pada fase penyakit yang berbeda. Menurut penelitian, psikopatologi pada skizofrenia dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan disorganisasi. Gejala positif meliputi halusinasi, waham, gaduh gelisah, dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif meliputi afek tumpul/ datar, menarik diri, motivasi turun, kontak sosial yang miskin (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis dan sulit berpikir abstrak. Gejala disorganisasi meliputi disorganisasi pembicaraan, disorganisasi tingkah laku, gangguan pemusatan perhatian, dan gangguan pengolahan informasi (Sinaga, 2007). Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV Text Revision (DSM IV-TR), disebutkan bahwa gejala negatif skizofrenia bermanifestasi sebagai pendataran afek, alogia, dan anhedonia. Sedangkan gejala kognitif skizofrenia biasanya melibatkan gangguan pada fungsi eksekutif, gangguan memori kerja, dan ketidakmampuan untuk mempertahankan perhatian. Secara keseluruhan skizofrenia ditandai dengan disfungsi perilaku dan kognitif yang luas dan mengganggu proses persepsi dan penilaian. 9

10 Terdapat klasifikasi pada gejala negatif yaitu gejala negatif primer dan gejala negatif sekunder. Disebut sebagai gejala negatif primer apabila gejala tersebut telah menjadi gambaran utama gangguan skizofrenia. Sedangkan gejala negatif sekunder bersifat sementara dan sering kali disebabkan oleh episode akut psikotik dan pemberian antipsikotik (Möller, 2007). Gejala negatif dan kognitif skizofrenia pada saat ini lebih mendapat perhatian, karena obat antipsikotik yang tersedia saat ini memiliki efikasi klinis yang terbatas dalam memperbaiki disfungsi gejala ini (Bowie & Harvey, 2006). Seperti halnya gejala negatif primer, gejala kognitif pada skizofrenia seringkali menjadi gambaran utama pada gangguan ini dan menjadi kontributor penting terjadinya gangguan fungsi. Gejala negatif primer dan gejala kognitif sering kali mendahului onset full-blown episode psikotik dan terus bertahan mengikuti efek terapi farmakologi pada fase psikotik akut (Möller, 2007). d. Diagnosis Gangguan skizofrenia ditandai secara fundamental dan karakteristik umum dengan distorsi pemikiran dan persepsi, serta afek tumpul. Kesadaran dan kapasitas intelektual biasanya masih bertahan, meskipun defisit kognitif tertentu dapat berkembang dengan berjalannya waktu. Gangguan ini melibatkan fungsi yang paling mendasar yang memberikan orang normal perasaan individualitas, keunikan, dan pengarahan diri sendiri (Miyamoto et al., 2005). Adapun pedoman diagnostic yang digunakan adalah sesuai dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ-III). e. Penatalaksanaan 1) Terapi obat Obat-obat utama yang digunakan dalam penatalaksanaan skizofrenia disebut antipsikotik. Pada dasarnya semua obat antipsikosik mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekuivalen. Perbedaan utama terdapat pada efek sekunder (efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan 10

11 jenis anti psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat (Luana, 2007). Obat antipsikotik dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu anti psikotik generasi pertama (APG I) dan anti psikotik generasi ke dua (APG ll). APG I bekerja dengan cara memblokade reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoin fundibular. Obat golongan ini mempunyai kemampuan menurunkan gejala positif yang lebih cepat. Namun demikian, pemakaian APG I dalam jangka waktu lama dapat memberikan efek samping berupa: gangguan ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan menyebabkan disfungsi seksual, peningkatan berat badan dan memperberat gejala negatif maupun kognitif. APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau anti psikotik atipikal. APG II bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon, (Luana, 2007). APG II mempunyai efek samping terhadap sistem extrapiramidal yang lebih rendah dan relative lebih efektif mengatasi gejala negatif dibandingkan dengan APG I (Stahl, 2008). Menurut Polypharmacy Guidance (2015), pemberian obat adalah salah satu cara yang paling umum dalam intervensi medis pada berbagai gangguan akut dan kronis. Terapi obat dapat menjadi sangat efektif dalam mencegah penyakit atau menghambat progresifitas penyakit apabila digunakan sesuai dengan pedoman rekomendasi pengobatan yang berdasar evidence base. Namun, sering kali terdapat ketidaksesuaian antara pedoman terapi yang ada dengan berbagai kondisi klinis yang dialami oleh individu. Pada pasien yang mengalami beberapa gangguan, kelemahan, atau pada pasien dengan kondisi tertentu (misalnya demensia), dan pada pasien stadium akhir suatu penyakit, penggunaan rekomendasi terapi mungkin menjadi tidak rasional, karena akan meningkatkan resiko kejadian efek samping dan tidak sesuai dengan kebutuhan pasien. 11

12 Istilah polifarmasi mempunyai arti penggunaan beberapa obat dalam hal ini pemberian lima macam obat atau lebih pada pasien. Yang perlu dicatat adalah polifarmasi tidak selalu merupakan hal yang buruk. Polifarmasi dapat menjadi rasional dan diperlukan. Oleh karena itu penting untuk membedakan polifarmasi yang sesuai dan polifarmasi yang tidak sesuai. Polifarmasi menjadi tidak sesuai ketika memberikan obat, sedangkan obat tersebut tidak diperlu diberikan atau telah mencukupi karena: - tidak ada indikasi - obat tersebut tidak mencapai target terapi - obat yang diberikan menyebabkan reaksi yang merugikan atau menempatkan pasien pada risiko yang lebih tinggi - pasien tidak bersedia atau tidak mampu mendapatkan obat yang dimaksud Sedangkan polifarmasi dikatakan sesuai apabila : - semua obat yang diresepkan untuk mencapai tujuan terapi dan telah disepakati dengan pasien - tujuan terapi yang diharapkan adalah beralasan dan akan dapat dicapai - pemberian obat telah dioptimalkan untuk meminimalkan risiko reaksi efek samping - pasien termotivasi dan mampu mendapatkan semua obat yang dimaksud. Menggabungkan beberapa obat antipsikotik dapat mengacaukan evaluasi kemanjuran obat yang digunakan. Namun demikian pada kenyataannya pemakaian kombinasi antipsikotik telah banyak dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang menguntungkan (Katzung et al. 2007). Pada unit rawat inap RSJD dr. ARIF ZAINUDIN Surakarta, pemberian antipsikotik kombinasi sering dilakukan, terutama kombinasi antara antipsikotik tipikal dan risperidon. Terdapat berbagai pertimbangan dilakukannya penggunaan antipsikotik kombinasi tipikal-risperidon di RSJD dr. ARIF ZAINUDIN Surakarta. - Untuk mencegah/ mengurangi efek samping Extra Pyramidal Syndrome - Untuk mengatasi simptom negatif dan memperbaiki kognitif - Pertimbangan faktor ekonomi, karena sebagian besar pasien menggunakan fasilitas BPJS 12

13 2) Terapi psikososial dan rehabilitasi Meskipun hampir selalu diperlukan pemberian obat antipsikotik dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia, namun biasanya hal tersebut belum cukup. Pasien skizofrenia juga membutuhkan bantuan dan dukungan untuk mengatasi isolasi sosial, ketakutan dan stigma. Para ahli berpendapat bahwa pengobatan psikososial dan layanan rehabilitasi akan memberikan manfaat pada tahap pemulihan (Frances et al., 1996). 3) Terapi elektrokonvulsi Terapi elektrokonvulsi (ECT) telah digunakan untuk mengobati pasien skizofrenia sejak tahun 1938 oleh Cerletti dan Bini. Perkembangan pada terapi farmakologis yang efektif pada pengobatan skizofrenia dan gangguan mood, menyebabkan penurunan tajam dalam penggunaan ECT (Chanpattana, 2007). 2. Proses Inflamasi Pada Skizofrenia Paparan lingkungan maternal yang merugikan selama periode kehamilan akan mengganggu pembentukan sistem kekebalan yang normal pada janin. Hal ini akan menciptakan kerentanan laten dalam sistem kekebalan tubuh yang membuat seseorang lebih rentan terhadap penyakit dan lebih mudah mengalami infeksi dikemudian hari. Selain itu akan terjadi disregulasi sistem kekebalan, yang berpengaruh pada sistem saraf pusat. Kerentanan laten pada sistem kekebalan tubuh tidak selalu menjadi manifes sampai masa pubertas. Pada masa pubertas terjadi perubahan besar dalam sistem kekebalan dan berkurangnya volume kelenjar timus, yang akan menimbulkan suatu kerentanan. Ketika kerentanan ini muncul, individu akan menjadi lebih rentan terhadap infeksi dan gangguan fungsi kekebalan yang berkontribusi pada onset skizofrenia. Hal ini dapat membantu menjelaskan mengapa onset skizofrenia biasanya terjadi setelah masa pubertas. Pada saat itu, kelenjar timus mulai mengalami penurunan volume sampai sebesar 20% (Steinmann & Muller, 1995). 13

14 Demikian juga halnya pada infeksi pra-perinatal, dimana efek dari kejadian tersebut mungkin tidak muncul sampai masa pubertas. Infeksi sistem saraf pusat yang diperoleh selama dalam kandungan atau masa kanak-kanak dapat tetap dormant untuk waktu yang lama dan kemudian dapat menjadi aktif kembali ketika system kekebalan tubuh melemah. Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa hal ini juga terjadi pada pasien skizofrenia. Beberapa agen infeksi yang berkaitan dengan skizofrenia dormant untuk waktu yang lama di jaringan otak. Agen infeksi yang dimiliki oleh pasien skizofrenia cenderung menjadi dormant dalam waktu yang sangat lama, dan dapat bangkit kembali bila terjadi imun compromise (Torrey & Yolken, 2003). Disfungsi sistem kekebalan, paparan infeksi dan aktifasi sistem kekebalan pada awal kehidupan dapat menginduksi terjadinya sensitisasi atau preconditioning effects. Paparan imunologis pada awal kehidupan (prenatal atau neonatal) dapat menyebabkan reaksi eksaserbasi yang menurunkan kondisi imunologis atau non-imunologis di kemudian hari. Infeksi atau aktifasi kekebalan pada awal kehidupan tidak hanya mengganggu pembentukan sistem kekebalan, tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya skizofrenia dan gangguan psikotik terkait di kemudian hari (Brown, 2006). Pasien Skizofrenia memiliki tingkat paparan dan kerentanan yang lebih tinggi terhadap infeksi dan gangguan sistem kekebalan. Paparan ini terjadi sebelum onset skizofrenia, dan dimulai sejak pasien belum lahir (Torrey & Yolken, 2003). Pasien skizofrenia cenderung lebih rentan terhadap infeksi, dan ketika mengalami infeksi akan mengalami gejala yang lebih berat. Beberapa penelitian menemukan kematian karena penyakit menular secara signifikan lebih tinggi pada pasien skizofrenia dibandingkan populasi umum. Sebuah metaanalisis menemukan bahwa risiko kematian karena penyakit menular adalah 9,4 kali lebih tinggi pada pasien skizofrenia dibandingkan populasi umum. Pasien skizofrenia tidak hanya lebih rentan terhadap infeksi neurotropik, tetapi juga cenderung menderita infeksi tersebut lebih parah, termasuk kemungkinan reaksi auto-immune (Harris & Barraclough, 1998). 14

15 Salah satu hipotesis tentang skizofrenia menyatakan bahwa terjadinya infeksi dan peradangan yang mengganggu proses neuro-developmental janin, dapat menyebabkan perubahan perkembangan otak dan perilaku yang permanen, sehingga meningkatkan risiko gangguan psikotik di masa dewasa (Gilmore & Jarskog, 1997). Dari hasil penelitian microarray menunjukkan bahwa sebagian besar pasien skizofrenia mengalami perubahan sistem kekebalan atau perubahan gen kekebalan pada prefrontal kortek yang mencerminkan konsekuensi jangka panjang dari paparan infeksi dan gangguan sistem kekebalan pada awal kehidupan (Arion et al., 2007). Patofisiologi skizofrenia melibatkan ketidakseimbangan neurokimia dalam berbagai sistem neurotransmiter. Perubahan pada sistem dopamin sentral (DA) pada awalnya didasari oleh bukti bahwa efek terapi antipsikotik adalah dengan memblokir reseptor DA, terutama reseptor D2. Sedangkan stimulasi DA dapat menginduksi perilaku psikotik pada manusia non-psikotik dan menyebabkan eksaserbasi gejala positif pada pasien skizofrenia (Carlsson et al., 2001). Perubahan pada fungsi kekebalan juga mempunyai peran penting dalam patofisiologi skizofrenia (DeLisi & Wyatt, 1982). Perubahan sistem kekebalan pada skizofrenia berhubungan dengan proses aktifasi peradangan (Fan et al., 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suatu abnormalitas sistem kekebalan berperan dalam disregulasi sitokin pro-inflamasi pada skizofrenia (Brown, 2006). Munculnya gejala positif dipengaruhi oleh peningkatan aktivitas dopamin. Jaras dopaminergik yang diperkirakan berperan dalam munculnya gejala positif ialah jaras mesokortikal dan mesolimbik. Neuron dopaminergik pada jaras ini diproyeksikan dari badan selnya di midbrain ke neuron dopaminoseptif pada sistem limbik dan korteks serebri. Pelepasan berlebihan dopamin berpengaruh pada keparahan gejala positif skizofrenia. Selain dopamin, serotonin (5-HT; 5-hydroxytryptamine) diperkirakan juga berperan dalam munculnya gejala positif pada skizofrenia. Peningkatan aktivitas 15

16 dopaminergik dan serotonergik diperkiran berperan dalam munculnya gejala positif (Roth & Meltzer, 2000). a. Efek Imunomodulator obat antipsikotik dan strategi terapi anti-inflamasi pada pasien skizofrenia Beberapa obat antipsikotik diketahui memiliki efek modulasi pada fungsi kekebalan tubuh, khususnya pada sitokin perifer. Berbagai bukti menunjukkan bahwa pengobatan dengan antipsikotik jangka panjang berpotensi meningkatkan aktivitas anti-inflamasi dan berkurangnya marker pro-inflamasi (Kim et al., 2009). Antipsikotik atipikal seperti clozapin memiliki efek meningkatkan sinyal sitokin anti-inflamasi yang lebih besar dibandingkan dengan antipsikotik generasi pertama. Kemampuan relatif antipsikotik untuk menormalkan perubahan sistem kekebalan pro-inflamasi mejadi faktor penting yang menentukan kemanjuran antipsikotik pada pengobatan skizofrenia (Müller & Schwarz, 2008, 2010). Sampai saat ini, pengobatan yang efektif untuk skizofrenia masih terbatas pada obat anti dopaminergik. Masih kurangnya pilihan pengobatan dengan mekanisme kerja yang berbeda, sebagian besar disebabkan oleh karena patofisiologi skizofrenia yang sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, gambaran klinis yang beragam, serta tidak adanya biomarker untuk diagnosis dan observasi terhadap respon pengobatan. Selain itu, antipsikotik mempunyai potensi yang lebih besar pada perbaikan gejala positif, dan kurang berpotensi pada perbaikan gejala negatif dan kognitif (Leutch et al., 2009). Sekitar 30% pasien skizofrenia resiten terhadap APG I dan bahkan terhadap clozapine, yang merupakan antipsikotik pilihan dalam pengobatan pasien skizofrenia resisten obat (Asenjo et al., 2010). Dengan demikian sangat dibutuhkan suatu cara yang lebih efektif untuk mengobati gejala positif, gejala negatif, serta disfungsi kognitif dengan target selain jalur sistem dopamine (Correll, 2011). 16

17 b. Strategi pengobatan dengan anti-inflamasi Mengingat keterlibatan proses inflamasi yang sangat besar pada skizofrenia, penggunaan senyawa anti-inflamasi dalam farmakoterapi skizofrenia semakin mendapat perhatian. Para ahli telah melakukan berbagai penelitian, diantaranya adalah penelitian tentang penambahan/ adjuvant anti-inflamasi pada pasien skizofrenia yang mendapat terapi antipsikotik standar. Diantaranya adalah penelitian dengan menggunakan penambahan antiinflamasi non-steroid (NSAID), termasuk COX-1/2 inhibitor, asam asetilsalisilat dan selektif COX-2 inhibitor celecoxib pada terapi standar skizofrenia. Penelitian tersebut memberikan hasil yang menjanjikan dan menunjukkan efek pengobatan yang lebih menguntungkan pada saat terapi standar antipsikotik diberikan bersamaan dengan senyawa anti-inflamasi, bila dibandingkan dengan hasil pengobatan menggunakan antipsikotik saja (Laan et al., 2010). c. Anti-inflamasi dan perbaikan gejala positif, negative, dan kognitif Beberapa penelitian menunjukan bahwa selain berpotensi mengurangi gejala positif, penambahan anti-inflamasi pada terapi skizofrenia juga efektif dalam memperbaiki gejala negatif dan kognitif (Laan et al., 2010). Terapi tambahan anti-inflamasi COX-2 inhibitor pada pasien skizofrenia menjadi bukti efisiensi terapi tambahan anti-inflamasi pada pengobatan gejala skizofrenia, termasuk gejala negatif dan kognitif. Uji klinis pada pasien eksaserbasi akut skizofrenia dengan pemberian terapi tambahan COX-2 inhibitor celecoxib bersamaan dengan terapi antipsikotik atipikal risperidon terbukti lebih unggul dibandingkan dengan pengobatan menggunakan antipsikotik risperidon saja dalam memperbaiki skor PANSS total (Müller et al., 2002). Penambahan anti-inflamasi COX-2 inhibitor dilaporkan memberikan efek menguntungkan pada perbaikan gejala kognitif (Müller et al., 2005). Temuan ini menunjukkan bahwa terapi tambahan anti-inflamasi, memiliki efek yang menguntungkan pada perbaikan gejala negatif dan gejala kognitif pasien skizofrenia. 17

18 3. Meloxicam Meloxicam adalah suatu obat golongan NSAID yang bersifat COX-1/2 inhibitor. Meloxicam memiliki sifat menghambat COX-2 yang lebih kuat dibandingkan penghambatan pada COX-1. Penyerapan meloxicam relatif lambat, dan mempunyai waktu paruh sampai 20 jam, dan dikonversi menjadi metabolit yang tidak aktif. Kemanjuran meloxicam sebanding dengan NSAID yang lain. Efek samping penggunaan meloxicam 7.5 mg/ hari memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan dosis yang lebih besar. Penggunaan meloxicam mg/ hari memiliki efek samping ulserogenik yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan NSAID yang lain (Katzung, 2009). Meloxicam mempunyai berat molekul 351.4, bersifat tidak mudah larut dalam air, dengan kelarutan yang lebih baik pada suasana asam dan basa. Meloxicam memiliki koefisien partisi (log P) app = 0,1 pada n-oktanol/ penyangga ph 7,4. Meloxicam memiliki nilai pka 1.1 dan 4.2. Bioavailabilitas absolut kapsul meloxicam adalah 89%. Pada pemakaian secara intravena, dosis proporsional farmakokinetik pada kisaran 5 60 mg. Sedangkan pada penggunaan oral dosis proporsional farmakokinetik kapsul meloxicam pada kisaran 7,5 15 mg. Kadar maksimal dicapai 4 5 jam setelah mengkonsumsi meloxicam. Konsentrasi steady state dicapai pada hari kelima. Konsumsi kapsul meloxicam bersamaan dengan makanan tinggi lemak (75 g lemak) mengakibatkan peningkatan kadar obat puncak rata-rata (Cmax) sekitar 22% dan tidak berpengaruh pada tingkat absorpsi. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi maksimum (Tmax) adalah antara 5 6 jam. Pada pemakaian meloxicam bersamaan dengan pemberian antasida, nilai absorbsi maupun Cmax yang sama seperti pada pemberian bersamaan dengan makanan tinggi lemak, namun nilai rata-rata Tmax meningkat menjadi sekitar 7 jam. Berdasarkan hasil tersebut, tablet meloxicam dapat diberikan tanpa memperhatikan waktu pemberian atau pemberian bersamaan dengan antasida (Wilmana & Gan, 2012). 18

19 4. Instrumen The Positive And Negative Symptom Scale (PANSS) Skala penilaian terhadap gejala positif dan negatif pada skizofrenia bermula dari dijumpainya heterogenitas hasil penelitian yang tidak konsisten, yang diduga disebabkan oleh karena metode pengukuran yang kurang dapat dipercaya (Kusumawardhani, 1994). Berbagai instrumen dan kuesioner dikembangkan untuk memeriksa kedua macam tipe skizofrenia berdasarkan gejala yang mendominasinya, antara lain The Positive And Negative Symptom Scale (PANSS). PANSS pertama kali disusun oleh Stanley Kay, Lewis Opler, dan Abraham Fizsbein pada tahun 1987 yang di susun berdasarkan instrumen Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) dan Psychopathology Rating Scale yang sudah ada sebelumnya. Untuk dapat dipakai pada pasien skizofrenia di Indonesia, telah dilakukan uji reliabilitas, validasi, dan sensitivitas oleh A. Kusumawardani dan tim dari FKUI pada tahun PANSS terdiri dari 33 butir pertanyaan yang masing-masing dinilai dalam 7 skala poin. Tujuh butir dikelompokkan dalam skala positif, tujuh butir dalam skala negatif, enam belas butir dalam skala psikopatologi umum, dan tiga butir skala untuk menilai resiko agresi. a. Skor PANSS Masing-masing item dinilai sebagai berikut : 1 = tidak ada 2 = minimal 3 = ringan 4 = sedang 5 = agak berat 6 = berat 7 = sangat berat 19

20 b. Persentase perubahan total Skor PANSS Untuk mengetahui adanya manfaat terapi yang diberikan, dilakukan pengukuran sebelum dan sesudah terapi dilakukan. Presentase perubahan total skor PANSS dianggap mempunyai makna klinis apabila memenuhi kriteria berikut : - Minimal improved : penurunan skor ± 19% - 28% - Much improved : penurunan skor ± 40% - 53% - Very much improved : penurunan skor ± 71% - 83% Selain itu, penilaian perbaikan klinis dapat diketahui dari perubahan skor PANSS total (Nurmiati, 2008). 5. Instrumen Schizophrenia Cognition Rating Scale (SCoRS) Pasien skizofrenia mengalami gangguan perhatian, memori, dan fungsi eksekutif, yang berhubungan dengan konsekuensi psikososial. Gangguan fungsi kognitif berpengaruh terhadap fungsi kerja dan fungsi sehari-hari seperti intelegensi, perencanaan, proses belajar, dan pemecahan masalah. Semakin besar disfungsi kognitif, semakin kecil kemungkinan seorang pasien skizofrenia mendapatkan pekerjaan atau memainkan peran sosialnya. Schizophrenia Cognition Rating Scale (SCoRS) adalah suatu intrumen untuk mengukur fungsi kognitif pada pasien skizofrenia. Instrumen ini memiliki susunan yang singkat, jumlah pertanyaan yang tidak terlalu banyak, ada dua sumber informasi yang bisa digali yaitu dari pasien dan informan, menilai fungsi kognitif secara lengkap, ada penilaian fungsi global dan sudah pernah dilakukan uji validitas internal maupun external oleh Keefe, et al.. Untuk penggunaan SCoRS di Indonesia, telah dilakukan validasi SCoRS oleh Herdaetha et al., pada tahun 2008, dengan hasil validitas Schizophrenia Cognition Rating Scale versi Indonesia (SCoRSvI) memiliki reliabilitas interrater (Kappa) sebesar 0,92, yang menunjukkan bahwa reliabilitas interrater SCoRSvI sangat baik. Nilai reliabilitas (Cronbach s Alpha) sebesar 0,976, yang menunjukkan bahwa instrumen SCoRSvI tersebut sangat reliabel. Selain itu, memiliki nilai yang tinggi pada sensitivitas sebesar 92,8 % dan spesifisitas sebesar 20

21 93,7 %. Hal ini menunjukkan bahwa instumen SCoRSvI dapat mengukur fungsi kognitif pasien skizofrenia yang sebenarnya. B. KERANGKA PIKIR sitokin pro-inflamasi indoleamin 2,3-dioksigenase (IDO) degradasi triptofan kynurenine bioavailabilitas sintesa triptofan menjadi serotonin defisiensi serotonin gejala negative - Infeksi maternal - Faktor genetik - Stress - dll (Müller & Schwarz, 2010) SKIZOFRENIA Anti-inflamasi - Sistem imun tidak berkembang dengan baik - Rentan terhadap infeksi dan penyakit autoimun - Penanda infeksi Perbaikan gejala positif, negatif dan kognitif - Gejala positif - Gejala negatif - Gejala kognitif C. Hipotesis Pemberian terapi tambahan anti-inflamasi meloxicam pada pasien skizofrenia kronis efektif dalam memperbaiki skor PANSS dan SCoRS. 21

22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental dengan rancangan randomized controlled trial group, double-blind, pre-post test design. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di unit rawat inap RSJD dr. ARIF ZAINUDIN Surakarta pada bulan November 2015 Januari C. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah pasien skizofrenia kronis yang menjalani rawat inap di RSJD dr. ARIF ZAINUDIN Surakarta pada bulan November 2015 Januari 2016 dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. D. Tehnik Pengambilan Sampel Tehnik pengambilan sampel dalam peneltian ini adalah menggunakan tehnik purposive sampling, yang berarti bahwa subjek dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan dibagi secara acak ke dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (Sudigdo, 2014). Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kriteria inklusi - Pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap di unit rawat inap RSJD dr. ARIF ZAINUDIN Surakarta pada bulan November 2015 Januari Pasien telah mengalami gangguan skizofrenia selama lebih dari 2 tahun. - Pasien mendapat pengobatan dengan antipsikotik kombinasi risperidon chlorpromazine. - Berusia tahun. - Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani surat persetujuan. 22

23 2. Kriteria eksklusi : - Pasien skizofrenia yang mengalami agitasi. - Terdapat riwayat gangguan lambung yang berat. - Terdapat riwayat penyakit jantung dan penyakit berat lainnya. E. Besar Sampel Penentuan besar sampel pada penelitian ini berdasar pada penentuan ukuran sampel untuk analisis bivariat. Analisis bivariat adalah analisis yang melibatkan sebuah variabel bebas dan variabel terikat. Penelitian dengan analisis data bivariat mempunyai rule of thumb besar sampel minimal sebanyak 30 subjek penelitian (Murti, 2010). Berdasar pada hal tersebut maka pada penelitian menggunakan besar sampel 30 subjek penelitian dalam kelompok perlakuan dan 30 subjek penelitian pada kelompok kontrol. F. Identifikasi Variabel 1. Variabel bebas : anti-inflamasi meloxicam 2. Variabel terikat : skor PANNS dan SCoRS G. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Skizofrenia kronik : pasien dengan diagnosa skizofrenia dan telah mengalami gangguan tersebut selama lebih dari 2 tahun. 2. Antipsikotik kombinasi : dalam penelitian ini ditentukan penggunaan antipsikotik kombinasi risperidon chlorpromazine. 3. Anti-inflamasi : digunakan meloxicam 7.5 mg dengan pemberian sekali sehari pada pagi hari selama empat minggu. 4. Skor PANSS : pada penelitian ini dilakukan penilaian pada skor PANSS pre dan post-tes. 5. Skor SCoRS : pada penelitian ini dilakukan penilaian pada skor SCoRS pre dan post-tes. 23

24 H. Instrumen Penelitian 1. Informed consent 2. Data identitas subjek penelitian 3. Lembar penilaian PANSS 4. Lembar penilaian SCoRS I. Prosedur Penelitian 1. Pasien skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimotivasi untuk mengikuti penelitian dan menandatangani persetujuan penelitian. 2. Pada rekam medik pasien yang menjadi subjek penelitian diberikan kode berupa stiker dengan tulisan P (penelitian) oleh dokter penanggung jawab ruangan. 3. Dilakukan penilaian skor PANSS dan SCoRS pre-tes pada seluruh subjek penelitian. 4. Dilakukan pemberian terapi tambahan meloxicam 7.5 mg/ hari selama 4 minggu pada pasien yang masuk dalam kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol dilakukan pemberian tambahan placebo. Penentuan kelompok perlakuan dan keompok kontrol dilakukan oleh dokter penanggung jawab ruangan. 5. Dilakukan observasi terhadap efek samping obat. Observasi berupa pengamatan terhadap terjadinya keluhan gastro intestinal terhadap subjek penelitian. 6. Dilakukan penilaian skor PANSS dan SCoRS post-tes 4 minggu kemudian, setelah pemberian meloxicam yang terakhir. Pengukuran dilakukan secara blind oleh peneliti dan residen psikiatri lain yang telah menjalani interatter dengan psikiater. 7. Dilakukan analisa hasil secara statistik. 24

25 J. Alur Penelitian Pasien skizofrenia kronis yang menjalani rawat inap di RSJD dr. ARIF ZAINUDIN Surakarta Memenuhi kriteria inklusi - kode P (penelitian) pada rekam medis Kelompok perlakuan Kelompok kontrol Penilaian skor PANSS SCoRS pre-test Penilaian skor PANSS SCoRS pre-test Terapi standar + pemberian tambahan anti-inflamasi meloxicam 7.5 mg/ hari Terapi standar + placebo Penilaian skor PANSS dan SCoRS post-tes Analisis data K. Teknik Analisis Data Data yang terkumpul diolah dan dianalisa dengan uji t dengan menggunakan program SPSS. 25

26 BAB IV HASIL PENELITIAN Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui keefektifan pemberian terapi tambahan meloxicam dalam memperbaiki skor PANSS dan SCoRS pada pasien skizofrenia kronis yang mendapat terapi kombinasi riperidon-chlorpromazine di unit rawat inap RSJD dr. ARIF ZAINUDIN Surakarta, pada bulan November 2015 hingga bulan Januari Besar sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 60 subjek, yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dari seluruh jumlah tersebut, secara acak dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan sebanyak 30 subjek penelitian dan kelompok kontrol sebanyak 30 subjek penelitian. Subjek pada kelompok perlakuan mendapat penambahan terapi meloxicam 7.5 mg/ hari selama 4 minggu, selain terapi antipsikotik kombinasi risperidonchlorpromazin. Sedangkan subjek pada kelompok kontrol mendapat terapi antipsikotik kombinasi riperidon-chlorpromazine dan placebo. Data subjek penelitian diperoleh dari rekam medis dan dari hasil penilaian skor PANSS dan SCoRS pre dan post-tes. Setelah semua data penelitian terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan program SPSS. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh data tentang karakteristik demografi subjek penelitian dan penilaian skor PANSS dan SCoRS pre dan post test. Data yang diproleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. A. Tabel 4.1. Karateristik Demografi Subjek Penelitian Kelompok Variabel Eksperimen n=30 Kontrol n=30 p Jenis Kelamin** Laki-laki 15 (50,0%) 15 (50,0%) 1,00 Perempuan 15 (50,0%) 15 (50,0%) Umur (th)* 35 (25-55) 32 (25-53) 0,11 Pendidikan** 0,62 26

27 Status** Tidak Sekolah 2 (6.7%) 3 (10.0%) SD 10 (33.3%) 11 (36.7%) SMP 7 (23.3%) 4 (13.3%) SMA/SMK 9 (30.0%) 7 (23.3%) 5 (16.7%) PT 2 (6.7%) Duda/janda 1 (3.3%) 0 (0,0%) Kawin 3 (10.0%) 2 (6.7%) Tidak Kawin 26 (86.7%) 28 (93.3%) 0,52 Keterangan : * Data Numerik Tidak Berdistribusi Normal; median (min-max); Uji Mann Whitney ** Data Kategorik; Jumlah (Prosentase); Uji Chi Square Berdasarkan tabel 4.1., karakteristik demografik kedua kelompok dilakukan uji komparatif. Dengan uji tersebut didapatkan hasil tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada jenis kelamin (p=1,00), pendidikan (p=0,62), dan status perkawinan (p=0,52). Sedangkan menurut umur, terdapat distribusi data yang tidak normal. Oleh karena itu kemudian dilakukan uji normalitas data dengan uji Mann Whitney. Uji ini dilakukan agar supaya data yang didapat memenuhi syarat untuk dilakukan uji statistik selanjutnya. B. Hasil Penilaian Skor PANSS Tabel 4.2. Skor PANSS Pre-tes Variabel Kelompok Perlakuan n=30 Kontrol n=30 PANSS Gejala Positif* PANSS Gejala Negatif** 32 (22-45) 35 (20-45) PANSS Psikopatologi Umum** 59 (35-96) 59 (48-72) PANSS Total* Ket : * Data Numerik Berdistribusi Normal; Mean + SD; Uji Independent Sample T Test ** Data Numerik Tidak Berdistribusi Normal; Median (min-max), Uji Mann Whitney Tabel 4.2. menyajikan data skor skala PANSS pre-tes kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. 27

28 Tabel 4.3. Uji Beda Skor Skala PANSS Pre-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Kelompok Variabel Perlakuan n=30 Kontrol n=30 p PANSS Gejala Positif* ,49 PANSS Gejala Negatif** 32 (22-45) 35 (20-45) 0,76 PANSS Psikopatologi Umum** 59 (35-96) 59 (48-72) 0,73 PANSS Total* ,61 Ket : * Data Numerik Berdistribusi Normal; Mean + SD; Uji Independent Sample T Test ** Data Numerik Tidak Berdistribusi Normal; Median (min-max), Uji Mann Whitney Tabel 4.3. menyajikan data uji beda skor PANSS pre-tes tiap-tiap skala pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Dari hasil perhitungan statistik yang dilakukan didapatkan hasil uji beda kedua kelompok pada skor PANSS positif (p=0,49), skor PANSS negatif (p=0,76), skor PANSS psikopatologi umum (p=0,73), dan pada skor PANSS total (p=0,61). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS pre-test kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pada kedua kelompok memiliki data PANSS awal yang setara. Terdapat keseimbangan awal skor PANSS pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Grafik Uji Beda Skor PANSS Positif Pre-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Dari grafik dapat dilihat skor PANSS Gejala Positif kelompok perlakuan (32.60± 4.74) dan kelompok kontrol (33.33±3.47), nilai p=0,49. Dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Positif pretes pada kedua kelompok. 28

29 Grafik Uji Beda Skor PANSS Negatif Pre-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Dari grafik dapat dilihat skor PANSS Gejala Negatif kelompok perlakuan 32(22-45) dan kelompok kontrol 35(20-45), nilai p=0,76. Dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Negatif pretes pada kedua kelompok. Grafik Uji Beda Skor PANSS Psikopatologi Umum Pre-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Dari grafik dapat dilihat skor PANSS Psikopatologi Umum kelompok perlakuan 59 (35-96) dan kelompok kontrol 59 (48-72), nilai p=0,73. Dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Psikopatologi Umum pre-tes pada kedua kelompok. Grafik Uji Beda Skor PANSS Total Pre-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol 29

30 Dari grafik dapat dilihat skor PANSS Total kelompok perlakuan ( ) dan kelompok kontrol ( ), nilai p=0,61. Dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Total pretes pada kedua kelompok. Tabel 4.4. Uji Beda Skor PANSS Pos-test Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Kelompok Variabel Perlakuan n=30 Kontrol n=30 p PANSS Gejala Positif** 11 (6-14) 14 (7-20) 0,00 PANSS Gejala Negatif** 9 (4-22) 17 (7-26) 0,00 PANSS Psikopatologi Umum* 12, ,00 PANSS Total* ,00 Ket : * Data Numerik Berdistribusi Normal; Mean + SD; Uji Independent Sample T Testx ** Data Numerik Tidak Berdistribusi Normal; Median (min-max), Uji Mann Whitney Data tabel 4.4. menyajikan hasil uji beda skor PANSS post-tes kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Dari data tersebut terlihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,00) pada skor PANSS post-tes kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan terdapat penurunan skor PANSS yang lebih besar. Grafik Uji Beda Skor PANSS Positif Post-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Dari grafik dapat dilihat skor PANSS Positif post-tes kelompok perlakuan 11(6-14) dan kelompok kontrol 14(7-20), nilai p=0,00. Dapat dikatakan 30

31 terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Positif post-tes pada kedua kelompok. Grafik Uji Beda Skor PANSS Negatif Post-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Dari grafik dapat dilihat skor PANSS Negatif post-tes kelompok perlakuan 9(4-22) dan kelompok kontrol 17(7-26), nilai p=0,00. Dapat dikatakan terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Negatif post-tes pada kedua kelompok. Grafik Uji Beda Skor PANSS Psikopatologi Umum Post-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Dari grafik dapat dilihat skor PANSS Psikopatologi Umum post-tes kelompok perlakuan (12,00±2.08) dan kelompok kontrol (17.53±7.38), nilai p=0,00. Dapat dikatakan terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Psikopatologi Umum post-tes pada kedua kelompok. 31

32 Grafik Uji Beda Skor PANSS Total Post-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Dari grafik dapat dilihat skor PANSS Total post-tes kelompok perlakuan (32.60±8.15) dan kelompok kontrol (49.77±9.66), nilai p=0,00. Dapat dikatakan terdapat perbedaan yang bermakna pada skor PANSS Total post-tes pada kedua kelompok. C. Hasil Penilaian Skor SCoRS Tabel 4.5 Uji Beda Skor SCoRS Pre-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok kontrol Kelompok Variabel Perlakuan n=30 Kontrol n=30 p SCoRS 61 (29-80) 48 (26-79) 0,28 Ket : Data Numerik Tidak Berdistribusi Normal; Median (min-max), Uji Mann Whitney Tabel 4. menyajikan data hasil perhitungan skor SCoRS pre-tes kelompok perlakuan 61(29-80) dan kelompok kontrol 48(26-79), nilai p=0,28. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada skor pre-tes SCoRS (p=0,283) antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kedua kelompok memiliki data awal yang setara. 32

33 Grafik Uji Beda Skor SCoRS Pre-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok kontrol Dari grafik dapat dilihat skor SCoRS pre-tes kelompok perlakuan 61(29-80) dan kelompok kontrol 48(26-79), nilai p=0,28. Dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor SCoRS pre-tes pada kedua kelompok. Tabel 4.6. Uji Beda skor SCoRS Post-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Kelompok Variabel Perlakuan n=30 Kontrol n=30 p Skor SCoRS 28 (20-45) 35 (20-68) 0,04 Ket : Data Numerik Tidak Berdistribusi Normal; Median (min-max), Uji Mann Whitney Tabel 4.6. menyajikan data uji beda skor SCoRS post-test antara kelompok perlakuan 28(20-45) dan kelompok kontrol 35(20-68), nilai p=0,04. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,04) pada skor SCoRS post-tes antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. 33

34 Grafik Uji Beda skor SCoRS Post-tes Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Dari grafik dapat dilihat skor SCoRS post-test antara kelompok perlakuan 28(20-45) dan kelompok kontrol 35(20-68), nilai p=0,04. Dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada skor SCoRS post-tes pada kedua kelompok. BAB V PEMBAHASAN 34

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SKIZOFRENIA Skizofrenia adalah suatu gangguan psikotik dengan penyebab yang belum diketahui yang dikarakteristikkan dengan gangguan dalam pikiran, mood dan perilaku. 10 Skizofrenia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah Diskriptif Analitik pendekatan cross sectional (Sastroasmoro, 2010). B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gejala negatif skizofrenia merupakan dimensi psikopatologi penting yang mencerminkan tidak adanya atau berkurangnya perilaku dan fungsi normal, termasuk kekurangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, masalah kesehatan jiwa banyak terjadi dengan berbagai variasi dan gejala yang berbeda-beda. Seseorang dikatakan dalam kondisi jiwa yang sehat,

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan penyakitnya berlangsung kronis 1, umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham),

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham), BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Skizofrenia adalah suatu kumpulan gangguan kepribadian yang terbelah dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang menyebabkan penderitaan dan

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang menyebabkan penderitaan dan BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang menyebabkan penderitaan dan ketidakmampuan bagi pasien dan secara signifikan menimbulkan beban yang berat bagi dirinya sendiri,

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah suatu penyakit psikiatrik yang bersifat kronis dan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah suatu penyakit psikiatrik yang bersifat kronis dan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia adalah suatu penyakit psikiatrik yang bersifat kronis dan menimbulkan ketidakmampuan, dengan prevalensi seluruh dunia kira-kira 1% dan perkiraan insiden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prevalensi penderita skizofrenia sekitar 1% dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat, dengan jumlah keseluruhan lebih dari 2 juta orang (Nevid et al.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang memiliki karakteristik khusus ditandai oleh adanya distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas serta

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat mengganggu. Psikopatologinya melibatkan kognisi, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern, industri dan termasuk Indonesia. Meskipun gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang masih merupakan masalah dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit maupun di masyarakat. Anggaran besar harus dialokasikan

Lebih terperinci

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG - 121001419 LATAR BELAKANG Skizoafektif Rancu, adanya gabungan gejala antara Skizofrenia dan gangguan afektif National Comorbidity Study 66 orang Skizofrenia didapati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering kali luput dari perhatian. Orang sengaja menghindari dan tidak mencari bantuan bagi keluarganya yang

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agitasi Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas. Agitasi sangatlah sering dijumpai di dalam pelayanan gawat darurat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan,

BAB I PENDAHULUAN. bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang semua usia. Sifat serangan penyakit biasanya akut tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan

BAB I PENDAHULUAN. Skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ, 2001) adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta adanya gangguan fungsi psikososial (Sukandar dkk., 2013). Skizofrenia

BAB I PENDAHULUAN. serta adanya gangguan fungsi psikososial (Sukandar dkk., 2013). Skizofrenia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Januari Dengan menggunakan desain cross sectional didapatkan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Januari Dengan menggunakan desain cross sectional didapatkan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah pasien skizofrenia fase akut di RSJ Grhasia. Data diambil dari catatan rekam medis pasien pada bulan November

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejala negatif merupakan suatu gambaran defisit dari pikiran, perasaan atau perilaku normal yang berkurang akibat adanya gangguan otak dan gangguan mental (Kring et

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan jiwa yang paling menimbulkan kerusakan dalam psikiatri. Skizofrenia

BAB I PENDAHULUAN. gangguan jiwa yang paling menimbulkan kerusakan dalam psikiatri. Skizofrenia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang sering dijumpai dan termasuk gangguan jiwa yang paling menimbulkan kerusakan dalam psikiatri. Skizofrenia juga merupakan salah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. minum obat dan gejala klinis skizofrenia. Penelitian cross sectional mencakup

BAB III METODE PENELITIAN. minum obat dan gejala klinis skizofrenia. Penelitian cross sectional mencakup BAB III METODE PENELITIAN A. Desain penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional, untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan minum obat dan gejala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas cenderung meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai,

Lebih terperinci

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia? Skizofrenia Skizofrenia merupakan salah satu penyakit otak dan tergolong ke dalam jenis gangguan mental yang serius. Sekitar 1% dari populasi dunia menderita penyakit ini. Pasien biasanya menunjukkan gejala

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gangguan Depresif Mayor Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing masing individu. Diagnostic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesehatan merupakan harta yang paling penting dalam kehidupan manusia. Kesehatan merupakan hak bagi setiap warga negara seperti yang telah diatur oleh undang-undang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang bersifat kronik

BAB I PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang bersifat kronik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang bersifat kronik progresif, karena merupakan suatu defek otak yang dapat diturunkan secara genetik (Osborn,2009).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpikir abstrak) serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat

BAB I PENDAHULUAN. berpikir abstrak) serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Definisi skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas (halusinasi atau waham),

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual

BAB 1. PENDAHULUAN. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) agitasi didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas.

BAB 1. PENDAHULUAN. Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas. BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas. Agitasi sering dijumpai di pelayanan gawat darurat psikiatri sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Skizofrenia 2.1.1 Defenisi Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Benedict A.Morel ( ), seorang dokter psikiatri dari Prancis

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Benedict A.Morel ( ), seorang dokter psikiatri dari Prancis BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Benedict A.Morel (1809-1873), seorang dokter psikiatri dari Prancis menggunakan istilah demence precoce untuk pasien yang memburuk dimana penyakitnya (gangguannya)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu. Penyakit ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas cenderung meningkat. Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Manusia adalah mahluk sosial yang terus menerus membutuhkan orang lain disekitarnya. Salah satu kebutuhannya adalah kebutuhan sosial untuk melakukan interaksi sesama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku berkaitan dengan gangguan fungsi akibat gangguan biologik, sosial,

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku berkaitan dengan gangguan fungsi akibat gangguan biologik, sosial, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gangguan jiwa adalah penyakit dengan manifestasi psikologik atau perilaku berkaitan dengan gangguan fungsi akibat gangguan biologik, sosial, psikologik, genetika,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang aneh dan tidak beraturan, angan-angan, halusinasi, emosi yang tidak tepat,

I. PENDAHULUAN. yang aneh dan tidak beraturan, angan-angan, halusinasi, emosi yang tidak tepat, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Skizofrenia merupakan sindrom kronik yang beranekaragam dari pemikiran yang aneh dan tidak beraturan, angan-angan, halusinasi, emosi yang tidak tepat, paham yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian eksperimental quasi yang telah dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya pengaruh obat anti ansietas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kesehatan jiwa dan psikososial menurut The World Health Report tahun 2001 dialami kira-kira 25% dari seluruh penduduk pada suatu masa dari hidupnya.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab ini akan menguraikan diskusi dan kesimpulan penelitian yang merupakan jawaban dari masalah penelitian berdasarkan analisis data yang telah dilakukan. Peneliti

Lebih terperinci

1. Dokter Umum 2. Perawat KETERKAITAN : PERALATAN PERLENGKAPAN : 1. SOP anamnesa pasien. Petugas Medis/ paramedis di BP

1. Dokter Umum 2. Perawat KETERKAITAN : PERALATAN PERLENGKAPAN : 1. SOP anamnesa pasien. Petugas Medis/ paramedis di BP NOMOR SOP : TANGGAL : PEMBUATAN TANGGAL REVISI : REVISI YANG KE : TANGGAL EFEKTIF : Dinas Kesehatan Puskesmas Tanah Tinggi Kota Binjai PUSKESMAS TANAH TINGGI DISAHKAN OLEH : KEPALA PUSKESMAS TANAH TINGGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya gangguan pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh. Penyakit ini

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Penelitian Penelitian ini dilakukan di 10 puskesmas yang terdapat di DI Yogyakarta yaitu Puskesmas Gondomanan, Puskesmas Bambang Lipuro, Puskesmas Wates,

Lebih terperinci

IPAP PTSD Tambahan. Pilihan penatalaksanaan: dengan obat, psikososial atau kedua-duanya.

IPAP PTSD Tambahan. Pilihan penatalaksanaan: dengan obat, psikososial atau kedua-duanya. IPAP PTSD Tambahan Prinsip Umum I. Evaluasi Awal dan berkala A. PTSD merupakan gejala umum dan sering kali tidak terdiagnosis. Bukti adanya prevalensi paparan trauma yang tinggi, (termasuk kekerasan dalam

Lebih terperinci

REFERAT Gangguan Afektif Bipolar

REFERAT Gangguan Afektif Bipolar REFERAT Gangguan Afektif Bipolar Retno Suci Fadhillah,S.Ked Pembimbing : dr.rusdi Efendi,Sp.KJ kepaniteraanklinik_fkkumj_psikiatribungar AMPAI Definisi gangguan pada fungsi otak yang Gangguan ini tersifat

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Stres adalah satu dari konsep-konsep sentral psikiatri, walaupun istilah ini

BAB 1. PENDAHULUAN. Stres adalah satu dari konsep-konsep sentral psikiatri, walaupun istilah ini BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Stres adalah satu dari konsep-konsep sentral psikiatri, walaupun istilah ini mempunyai sumber pada fisiologi dan keahlian. Karena pasien-pasien senang

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Kedaruratan Psikiatri Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang membutuhkan intervensi terapeutik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kontrol (hanya terapi empirik). Dua biomarker yaitu kadar TNF- serum diukur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kontrol (hanya terapi empirik). Dua biomarker yaitu kadar TNF- serum diukur digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Penelitian dilakukan pada pasien pneumonia yang dirawat inap di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Selama bulan September 2015 hingga Oktober 2015 diambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya manusia memerlukan hubungan interpersonal yang positif baik dengan individu lainnya

Lebih terperinci

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ BIPOLAR oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ Definisi Bipolar Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik dan ditandai

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL A. Pengertian Isolasi social adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pertanyaan peneliti (Sastroasmoro, 2002).Penelitian ini menggunakan desain

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pertanyaan peneliti (Sastroasmoro, 2002).Penelitian ini menggunakan desain BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain Penelitian merupakan rancangan penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat menuntun peneliti memperoleh jawaban dari pertanyaan peneliti

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL Penelitian ini dilakukan pada penderita asma rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus-September 2016. Jumlah keseluruhan subjek yang

Lebih terperinci

Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn atensi, orientasi, m

Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn atensi, orientasi, m DELIRIUM Oleh : dr. H. Syamsir Bs, Sp. KJ Departemen Psikiatri FK-USU 1 Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Depresi 1. Definisi Depresi Depresi merupakan perasaan hilangnya energi dan minat serta timbulnya keinginan untuk mengakhiri hidup. Depresi biasanya disertai perubahan tingkat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah experimental double blind randomized clinical trial post-test group design. 2. Rancangan Penelitian

Lebih terperinci

b. Tujuan farmakoekonomi...27 c. Aplikasi farmakoekonomi...28 d. Metode farmakoekonomi Pengobatan Rasional...32

b. Tujuan farmakoekonomi...27 c. Aplikasi farmakoekonomi...28 d. Metode farmakoekonomi Pengobatan Rasional...32 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL...,... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii INTISARI... xiv ABSTRACT... xv BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1 B. Perumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gangguan jiwa atau mental menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Stastistical

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gangguan jiwa atau mental menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Stastistical BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gangguan jiwa atau mental menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Stastistical Manual of Mental Disorder, 4th edition) adalah perilaku atau sindrom psikologis klinis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Wahid, dkk, 2006).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Wahid, dkk, 2006). 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan (Knowledge) 2.1.1 Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari mengingat suatu hal. Dengan kata lain, pengetahuan dapat diartikan sebagai mengingat suatu

Lebih terperinci

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS DEFINISI Gangguan Bipolar dikenal juga dengan gangguan manik depresi, yaitu gangguan pada fungsi otak yang menyebabkan perubahan yang tidak biasa pada suasana perasaan, dan proses berfikir. Disebut Bipolar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masing-masing dari kita mungkin pernah menyaksikan di jalan-jalan, orang yang berpakaian compang-camping bahkan terkadang telanjang sama sekali, berkulit dekil, rambut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Desain penelitian : prospektif dengan pembanding internal. U1n. U2n

BAB 3 METODE PENELITIAN. Desain penelitian : prospektif dengan pembanding internal. U1n. U2n BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Rancang Bangun Penelitian Jenis penelitian : observasional Desain penelitian : prospektif dengan pembanding internal Sembuh P N M1 U1n mg I mg II mg III mg IV mg V mg VI Tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara 45% hingga 88% (Wing et al, 2012), sementara prevalensi merokok

BAB I PENDAHULUAN. antara 45% hingga 88% (Wing et al, 2012), sementara prevalensi merokok 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketergantungan merokok pada pasien skizofrenia merupakan masalah yang sering terjadi. Pervalensi merokok pada pasien skizofrenia diperkirakan antara 45% hingga 88%

Lebih terperinci

Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia

Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia Posted by Lahargo Kembaren ABSTRAK Skizofrenia merupakan gangguan kronik yang sering menimbulkan relaps. Kejadian relaps yang terjadi pada pasien skizofrenia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. bersifat deskriptif analitik dengan melihat catatan medis pasien.

BAB III METODE PENELITIAN. bersifat deskriptif analitik dengan melihat catatan medis pasien. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini memakai jenis penelitian non eksperimental yang bersifat deskriptif analitik dengan melihat catatan medis pasien. B. Populasi dan Sampel Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang utuh untuk kualitas hidup setiap orang dengan menyimak dari segi

BAB I PENDAHULUAN. yang utuh untuk kualitas hidup setiap orang dengan menyimak dari segi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan kondisi sehat baik secara fisik, mental, sosial maupun spiritual yang mengharuskan setiap orang hidup secara produktif baik secara sosial maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan manifestasi klinis dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distrosi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku.

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang 1 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang Penderita gangguan jiwa dari tahun ke tahun semakin bertambah. Sedikitnya 20% penduduk dewasa Indonesia saat ini menderita gangguan jiwa,, dengan 4 jenis penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang meliputi bidang ekonomi, teknologi, sosial, dan budaya serta bidangbidang yang lain telah membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini berarti seseorang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Proses pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan di RSUD Kota

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Proses pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan di RSUD Kota BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Gambaran Umum Penelitian Proses pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan di RSUD Kota Yogyakarta pada tanggal 9 Agustus - 1 September 2016. Data dikumpulkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu penyakit dengan berbagai penyebab yang bervariasi. Kausa gangguan jiwa selama ini dikenali meliputi kausa

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Skizofrenia Skizofrenia didefinisikan sebagai abnormalitas pada satu atau lebih dari lima domain berikut: waham, halusinasi, pikiran yang kacau (berbicara), perilaku yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... ii PERNYATAAN LEMBAR PERSETUJUAN... iii HALAMAN PENGESAHAN... iv KATA PENGANTAR... v ABSTRAK... vii ABSTRACT... viii DAFTAR ISI... ix DAFTAR

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan gangguan mental psikotik yang etiologinya belum diketahui yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan gangguan mental psikotik yang etiologinya belum diketahui yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia merupakan gangguan mental psikotik yang etiologinya belum diketahui yang dikarakteristikkan dengan gangguan dalam proses pikir, mood, dan perilaku.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan kesehatan mental psikiatri sebagai efek negatif modernisasi atau akibat krisis multidimensional dapat timbul dalam bentuk tekanan dan kesulitan pada seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan

BAB I PENDAHULUAN yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program Indonesia Sehat merupakan pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui upaya kesehatan

Lebih terperinci

Definisi & Deskripsi Skizofrenia DSM-5. Gilbert Richard Sulivan Tapilatu FK UKI

Definisi & Deskripsi Skizofrenia DSM-5. Gilbert Richard Sulivan Tapilatu FK UKI Definisi & Deskripsi Skizofrenia DSM-5 Gilbert Richard Sulivan Tapilatu FK UKI Latar Belakang DSM-IV Tahan uji Valid Memudahkan informasi klinis Gejala klinis beragam, subtipe, & kategori sangat minim

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Menurut WHO pada tahun 2000 terjadi 52% kematian yang disebabkan oleh

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Menurut WHO pada tahun 2000 terjadi 52% kematian yang disebabkan oleh BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut WHO pada tahun 2000 terjadi 52% kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular. Terjadinya transisi epidemiologi ini disebabkan oleh terjadinya perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tidak menular merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas dinegara yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tidak menular merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas dinegara yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas dinegara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Menurut WHO pada tahun 2007 proporsi kematian

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL Dalam bab ini akan diuraikan tentang kerangka teori, kerangka konsep, hipotesis, dan definisi operasional yang menjadi

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan bipolar menurut Diagnostic and Statistical Manual of

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan bipolar menurut Diagnostic and Statistical Manual of BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gangguan Bipolar I Gangguan bipolar menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Text Revision edisi yang ke empat (DSM IV-TR) ialah gangguan gangguan mood

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1996, kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan

Lebih terperinci

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( )

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( ) GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ disusun oleh: Ade Kurniadi (080100150) DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gangguan Jiwa 2.1.1 Definisi Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (DSM-IV) memberikan definisi gangguan jiwa sebagai pola psikologis atau perilaku secara klinis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kasus gangguan jiwa berat mendapatkan perhatian besar di berbagai negara. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Kasus gangguan jiwa berat mendapatkan perhatian besar di berbagai negara. Beberapa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus gangguan jiwa berat mendapatkan perhatian besar di berbagai negara. Beberapa peneliti melaporkan kasus gangguan jiwa terbesar adalah skizofrenia. Menurut capai

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini diperoleh 70 subyek penelitian yang dirawat di bangsal

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini diperoleh 70 subyek penelitian yang dirawat di bangsal BAB HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.1 Hasil Penelitian.1.1. Karakteristik Umum Subyek Penelitian Pada penelitian ini diperoleh 0 subyek penelitian yang dirawat di bangsal B1 Saraf RS Dr. Kariadi Semarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental dengan rancangan pre-post test with control group design yang

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental dengan rancangan pre-post test with control group design yang BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian quasi eksperimental dengan rancangan pre-post test with control group design yang menggunakan 2 kelompok,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan laju modernisasi. Data World Health Organization (WHO) tahun 2000

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan laju modernisasi. Data World Health Organization (WHO) tahun 2000 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan kesehatan mental penduduk dunia semakin meningkat seiring dengan laju modernisasi. Data World Health Organization (WHO) tahun 2000 menunjukkan angka gangguan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. penutupan rumah sakit jiwa dan cepatnya pengeluaran pasien tanpa

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. penutupan rumah sakit jiwa dan cepatnya pengeluaran pasien tanpa BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengasuh Skizofrenia Selama 50 tahun terakhir, munculnya perawatan berbasis komunitas, penutupan rumah sakit jiwa dan cepatnya pengeluaran pasien tanpa dukungan yang memadai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan kategori penyakit tidak menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara global, regional, nasional maupun lokal.

Lebih terperinci