KAJIAN DAMPAK RADIOLOGI DAN PEMANFAATAN RUANG SEKITAR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR DALAM PENYIAPAN TANGGAP DARURAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN DAMPAK RADIOLOGI DAN PEMANFAATAN RUANG SEKITAR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR DALAM PENYIAPAN TANGGAP DARURAT"

Transkripsi

1 KAJIAN DAMPAK RADIOLOGI DAN PEMANFAATAN RUANG SEKITAR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR DALAM PENYIAPAN TANGGAP DARURAT Studi Kasus: Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara Oleh JUPITER SITORUS PANE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya berjudul KAJIAN DAMPAK RADIOLOGI DAN PEMANFAATAN RUANG SEKITAR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR DALAM PENYIAPAN TANGGAP DARURAT. Studi Kasus: Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan benar dan diperiksa kebenarannya. Bogor, 12 Juli 2006 Yang menyatakan Jupiter Sitorus Pane

3 ABSTRACT JUPITER SITORUS PANE. Investigating Radiological Impact Release and Land Use Surrounding Nuclear Power Plant Installation for Emergency Preparedness. A Case Study is at Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, County of Jepara. Under supervision of MUHAMMAD SRI SAENI, BUNASOR SANIM, ERNAN RUSTIADI, AND HUDI HASTOWO. There are four aims of this study: first, to analyse spatially the distribution of the radionuclide release during an accident of Nuclear Power Plant (NPP) at Ujung Lemahabang; second to analyse consequences of radiological release to people surround NPP within its life time, and third, to analyse population growth and its influence to the radiological consequences, and to analyse the arrangement of site zone for preparing emergency planning in order to minimize the radiological impact. The hypothesis in this study is that through the controlling off-site zone of Nuclear Power Plant and preparing emergency planning since the beginning, people surround NPP could be prevented from more harmful radiological impact, and let the environment of the NPP in safe condition within the whole life of the installation. The study was carried out through direct observation to the field, Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, County of Jepara, gathering data from some sources and analysing them based on radionuclide release during severe accident of loss of coolant (LOCA). The radionuclides inventory released were calculated based on its phase of release within containment. By assuming allowable leakage of containment as 0.1% per day, the source strength from containment was calculated and inputed to Gaussian Model of Dispersion to estimate spatial distribution of radionuclides concentration and individual dose. Based on the dose level, zones of emergency preparedness were determined using Geographical Information System (GIS) as Precautionary Protective Action Zone (PAZ), 0-2 km, Urgent Protective Action Planned Zone (UPZ), 2-10 km, and Long Term Protective Action Zone (LPZ) >10 km.) as well as calculating damage cost. The important result of this study are: (1) It had been identified that the dominant distribution of dose is mostly to South, location of critical group of population was found at radii of 500 m to West, and exclusion zone is less than 1000 m, (2) no short term consequences occur during normal and accident condition, however the consequences appear for long term. But it still below threshold (3) the growth of population surround the NPP are centred spatially to the dense population cities that are more than 10 km from NPP. It fulfilled criteria of NPPs Siting in which they must be far away from dense population to avoid radiological consequences and cost, and (4) the site space surround NPP are low population zone since it dominated by rubber forest and no man-made activities that could threaten the operation of NPP. These condition should be preserved by introducing the ULA location in spatial planning policy of Jepara County. In addition the result was used to prepare emergency planning. Key words: nuclear power plant, release, dispersion, effective dose, consequences, protective zone

4 ABSTRAK JUPITER SITORUS PANE. Kajian Dampak Radiologi dan Pemanfaatan Ruang Sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Dalam Penyiapan Tanggap Darurat. Studi kasus: Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara. Dibimbing oleh MUHAMMAD SRI SAENI, BUNASOR SANIM, ERNAN RUSTIADI, HUDI HASTOWO. Ada empat hal yang menjadi tujuan penelitian, pertama, menganalisis secara spasial kemungkinan penyebaran bahan radionuklida bila terjadi kecelakaan suatu Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Ujung Lemahabang; kedua, menganalisis dampak radiologi secara individu dan kolektif dan dampak ekonomi yang ditimbulkannya, ketiga, menganalisis pertumbuhan penduduk dan pengaruhnya terhadap dampak radiologi dan ke empat menganalisis pemanfaatan ruang sekitar PLTN dalam kaitannya dengan penyiapan tanggap darurat. Hipotesis dari penelitian ini adalah: melalui pengendalian pemanfaatan ruang sekitar PLTN dan perencanaan sistem tanggap darurat penduduk dapat terhindar dari dampak radiologi lebih besar bila terjadi kecelakaan. Studi dilakukan dengan observasi ke lapangan, mengumpulkan data dari berbagai sumber dan menganalisisnya berdasarkan distribusi pelepasan radionuklida pada kondisi kecelakaan parah. Pelepasan radionuklida dihitung mengikuti fasa lolosnya radionuklida melalui berbagai lapis (barrier) sampai ke pengungkung. Sumber radionuklida yang keluar dari pengungkung didispersi ke atmosfir dengan menggunakan model distribusi Gauss untuk mengestimasi sebaran konsentrasi dan dosis individu. Berdasarkan perkiraan dosis ini dan dengan bantuan sistem informasi geografis (SIG) disusun zone kedaruratan yang meliputi zone PAZ, 0-2 km, UPZ, 2-10 km, LPZ, > 10 km. Selanjutnya diperkirakan besar dampak radiologi dan biaya kerusakan yang ditimbulkannya. Hasil penting dari penelitian ini adalah: (1) teridentifikasinya sebaran dosis dominan pelepasan bahan radionuklida yaitu ke arah Selatan, lokasi critical group pada radius 500 m ke arah Barat, dan zone ekslusi pada jarak < 1 km dari Ujung Lemahabang, (2) terbukti bahwa tidak terdapat dampak radiologi segera oleh pelepasan bahan radionuklida pada kondisi normal maupun kecelakaan, namun untuk jangka panjang dampak tersebut menunjukkan konsekuensi namun masih dibawah batas yang diijinkan, (3) terindikasi bahwa pola pertumbuhan penduduk di sekitar PLTN berpusat pada kota berpenduduk rapat dengan jarak di atas 10 km dari PLTN, hal ini sesuai dengan persyaratan penentuan lokasi PLTN dimana PLTN harus dibangun jauh dari pusat kerapatan penduduk untuk menghindari dampak radiologi yang lebih besar dan biaya kerusakannya, 4) kondisi pemanfaatan ruang saat ini masih berpenduduk rendah karena wilayah didominasi oleh perkebunan karet dan tidak ada aktivitas yang dapat mengancam beroperasinya PLTN. Kondisi ini harus dipertahankan dengan memasukkan rencana lokasi PLTN ini ke dalam kebijakan tata ruang Kabupaten Jepara, demikian pula hasil ini dijadikan landasan untuk mempersiapkan rencana tanggap darurat. Kata kunci: Pembangkit listrik tenaga nuklir, pelepasan, dispersi, dosis efektif, dampak, zone kedaruratan..

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari institut pertanian bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, foto copy, mikrofilm dan sebagainya.

6 KAJIAN DAMPAK RADIOLOGI DAN PEMANFAATAN RUANG SEKITAR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR DALAM PENYIAPAN TANGGAP DARURAT Studi Kasus: Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara JUPITER SITORUS PANE Disertasi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

7 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 PENGESAHAN Judul Nama Mahasiswa : Kajian Dampak Radiologi dan Pemanfaatan Ruang Sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Dalam Penyiapan Tanggap Darurat (Studi Kasus: Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara) : Jupiter Sitorus Pane No. Pokok : P Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) 1. Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. M. Sri Saeni M.S. Ketua Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim M.S. Anggota Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Anggota Dr. Hudi Hastowo Anggota Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

8 Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro MS. Tanggal Ujian: 12 Juli 2006 Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tangggal 11 Mei 1960 di kota Padang, Sumatra Barat sebagai anak ke-2 dari 9 bersaudara dari ayah Stephanus Sitorus Pane, SE, MM. dan Ibu Kristiana Br. Siregar, SE. Pada bulan Oktober tahun 1984 penulis memperolah gelar sarjana bidang Fisika dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi ITB, Bandung. Pada tahun 1991 penulis diterima pada program Pascasarjana University of Tennessee, Amerika Serikat dan memperoleh gelar Master of Science bidang Teknik Nuklir pada bulan Mei, tahun Selanjutnya memperoleh kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 dengan bea siswa dari Badan Tenaga Nuklir Nasional. Penulis bekerja di Badan Tenaga Nuklir Nasional sejak Tahun 1985 hingga sekarang. Penulis menikah dengan Dra. Norma Purba pada tanggal 15 November 1986 dan telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu Josua Sloane Solagracia (18 tahun), Javier Augustson (17 tahun), dan Nopiane Rospita Ingan Ergani (8 Tahun).

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulis menyadari bahwa selesainya disertasi ini juga berkat segala upaya serta bantuan dari berbagai pihak. Semoga Tuhan yang Maha Esa membalas segala jasa yang telah mereka berikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang tulus kepada Prof. Dr. Ir. Muchammad Sri Saeni, M.Si atas kesediaan beliau menjadi Ketua Komisi Pembimbing. Jasa dan budi baik beliau begitu besar dalam membantu kelancaran studi penulis hingga penyelesaian pendidikan S-3 ini. Penghargaan dan ucapan terimakasih yang sama juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc, Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr., dan Dr. Hudi Hastowo atas kesediaannya menjadi Anggota Komisi Pembimbing. Bimbingan, saran, dorongan dan dukungan beliau-beliau sangat membantu daya sintesis dan sistematis berpikir penulis. Pengalaman selama proses bimbingan telah menjadi pengajaran yang tidak akan pernah dapat penulis lupakan Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Kepala Badan Tenaga Nuklir, Kepala Pusdiklat BATAN, dan Kepala Pusat Reaktor Serbaguna (dulu Pusat Pengembangan Teknologi Reaktor Riset) yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana IPB. Terimakasih disampaikan pula kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang telah diberikan sehingga proses penyelesaian studi penulis berjalan dengan baik dan lancar. Kepada Bapak Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo sebagai Ketua Program Studi PSL, penulis menyampaikan terimakasih atas kepemimpinan yang beliau lakukan yang terus menerus memberi perhatian kepada mahasiswa satu persatu dan mengingat dengan sangat jelas setiap detil perkembangan yang penulis lakukan. Kepada Ibu Dr. Ir. Eti Riani,

10 MS sebagai Sekretaris Eksekutif Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan SPs-IPB atas bantuan dan dorongan yang tidak kenal waktu dalam menyelesaikan masalah administrasi di Program Studi PSL. Ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Dr. Ir. Asep Saefuddin dan Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS yang dengan tulus membuka jalan kepada penulis memasuki program S-3 IPB sekaligus membina penulis selama tahap awal di IPB. Kepada Dr. Ir. Sunsun Saefulhakim selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman dan Dr. Arnold Yohanes Soetrisnanto selaku penguji luar komisi, penulis menyampaikan terimakasih atas semua saran dan masukan untuk memperbaiki naskah disertasi ini. Kepada Kepala PPEN-BATAN, Dr. Arnold Y. Soetrisnanto, Kepala PRSG-BATAN Ir. Iman Kuntoro, Kepala PTRKN-BATAN Dr. Anhar Riza Antariksawan, penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan beliau selama penulis mencari data ke PPEN dan penggunaan fasilitas di kantor PPEN, PRSG maupun PTRKN. Secara khusus penulis menyampaikan terimakasih kepada Dr. Hudi Hastowo sebagai atasan pertama penulis sejak masuk di BATAN dan yang merekomendasikan penulis, saat itu menjabat sebagai Kepala PRSG, untuk melanjutkan studi ke program S-3 dan yang di dalam kesibukan beliau yang luar biasa sebagai pejabat negara beliau masih bersedia menjadi komisi pembimbing dalam penyelesaian Program S-3 penulis. Keteladanan hidup dan cara kerja beliau yang tidak kenal lelah telah menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi penulis. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. Usman Sumo Friend Tambunan dan Dr. Paston Sidauruk yang telah bersedia memberi rekomendasi yang baik kepada penulis untuk menjadi seorang calon mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ir. Yarianto Sugeng Budi Susilo, MSc. yang dengan tulus membantu penulis dalam berbagai hal tanpa pamrih. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ir. Alim Tarigan, Dr. Setyanto, Drs. Kadarusmanto MSc., Dr. Pande Made Udayani, dan rekan-rekan penulis yang memberi dorongan secara moril

11 Drs. Edison Sihombing, M.Si, Drs. Imron, Sapto Prayogo M.Kom., Ir. Dicky Azriani, A.Md. Akhirnya penulis ucapkan terimakasih kepada seluruh keluarga, Bapa St. Sitorus Pane, S.E,. M.M, dan Ibu Kristiana Br. Siregar, S.E, dan Ibu Mertua Ny. S. Purba Br. Bangun, keluarga besar Sitorus Abang dan Adik dan Lae dan Keluarga besar Kalimbubu kami Purba mergana dan pariban-pariban kami yang secara moril dan materil tak henti-hentinya mendukung kami. Special thank I also address to Dr. Ronald Hasting Augustson and wife, Olga. I am so proud of you. Your carrying and attention will never be forgotten in our whole life. Penghargaan yang tak hingga kepada istri penulis tercinta Dra. Norma Purba yang dengan setia mendampingi penulis melalui masa masa sulit, menggantikan beberapa tugas-tugas penulis dalam tugas sosial dan bahkan mencari jalan untuk menopang secara ekonomi agar penulis dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Terimakasih atas ketabahan, kesabaran, kesetiaan, dan pengorbanan serta pengertian yang telah diberikan. Demikian juga kepada anakanak tersayang Josua, Augustson, dan Nopiane yang telah dengan sabar menerima keadaan dan penuh pengertian memberi kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan S3. Semoga Tuhan senantiasa memberi rahmat dan karunianya kepada kita semua. Bogor, 12 Juli 2006 Jupiter Sitorus Pane

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvii DAFTAR ISTILAH... xviii 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Ruang Lingkup Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Kerangka Pemikiran ,7 Hipotesis... 9 II.. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Pelepasan bahan Radionuklida Karakteristik Populasi Penerima Dampak Radiasi Terhadap Manusia dan Ekologi Nilai Ekonomi Dampak Radiologi Kajian Pemanfaatan Ruang dan lingkungan Penelitian Terdahulu III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Metode Pengumpulan Data Metode Analisis... 50

13 IV. ANALISIS KONDISI UMUM WILAYAH SEKITAR LOKASI PLTN UJUNG LEMAHABANG 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Kondisi Penduduk Kondisi Sosial Ekonomi Kondisi Wilayah Radius 10 km V. POLA SPASIAL PELEPASAN RADIONUKLIDA, DAMPAK DAN SKENARIO PENYIAPAN TANGGAP DARURAT 5.1 Pelepasan dan Penyebaran Bahan Radionuklida Analisis Pertumbuhan Penduduk Sebagai Penerima Dampak Analisis Perubahan Dampak oleh Pertumbahan Penduduk Analisis Ekonomi Dampak Kerusakan Analisis Pemanfaatan Ruang Rencana Tanggap Darurat KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

14 DAFTAR TABEL Halaman 1. Pengelompokan radionuklida dalam 7 kelompok Lapis Pertahanan Defense In Depth Fraksi pelepasan bahan radionuklida jenis PWR Ukuran zona berdasarkan kategori fasilitas Nama-nama variabel pertumbuhan penduduk Tindakan protektif berdasarkan dosis Tingkat dosis generik untuk relokasi sementara dan pemindahan tetap Nilai batas paparan radiasi radionuklida pada makanan konsumsi umum dan anak Wilayah administrasi radius 50 km sekitar PLTN Profil atmosfir dan karakteristik dispersi di sekitar Lokasi ULA Persentasi penggunaan tanah sekitar PLTN Persentasi perubahan penggunaan tanah wilayah sekitar PLTN Luas tanam dan produksi pertanian wilayah 50 km Penduduk wilayah kecamatan sekitar lokasi PLTN Ratio penduduk terhadap luas pemukiman PDRB berdasarkan harga konstan Kabupaten Jepara Data teknis reaktor untuk PLTN Inventory radionuklida reaktor jenis PWR 1000 MWe Data pelepasan pada kondidi normal Fraksi pelepasan setiap tahapan pelepasan Lama pelepasan untuk berbagai tahapan pelepasan saat terjadi kecela- kaan rusaknya teras reaktor Hasil perhitungan fraksi pelepasan radionuklida Kategori kecepatan angin Sektor arah angin Kelas stabilitas atmosfir Konsentrasi 131 I dan 137 Cs di udara tanah pada radius 50 km... 96

15 27. Lokasi rata-rata maksimum sebaran 131 I di sekitar Ujung Lemahabang Kontribusi berbagai jalur radiasi (pathway) terhadap dosis yang diterima organ tubuh pada jarak 0.5 km Kontribusi berbagai jalur radiasi (pathway) terhadap dosis yang diterima organ tubuh pada jarak 7.5 km Kontribusi (%) jalur penyinaran dan nuklida dosis rata pada organ dalam waktu 50 tahun pada jarak 0.5 km Kontribusi (%) jalur penyinaran dan nuklida dosis rata pada organ dalam waktu 50 tahun pada jarak 7.5 km Presentasi bahan radionuklida memberi dosis kepada organ tubuh melalui seluruh jalur Presentase bahan radionuklida memberi dosis kepada organ tubuh melalui jalur makanan Faktor dengan nilai eigen > Matrix faktor loading Hasil regresi ganda 14 variabel yang diduga mempengaruhi kepadatan penduduk Rata-rata hasil perhitungan Beta, t dan p Parameter koefisien eksponensial Hasil estimasi jumlah penduduk dengan model regresi ganda Eksponensial, geometri dan logisti Estimasi jumlah penduduk tahun 2016 dalam radius 50 km dalam grid spasial Estimasi jumlah penduduk tahun 2036 dalam radius 50 km dalam grid spasial Estimasi jumlah penduduk tahun 2056 dalam radius 50 km dalam grid spasial Rata-rata penduduk pada empat kabupaten sekitar okasi PLTN Korelasi spasial kepadatan penduduk Kabupaten Pati, Kudus, Jepara, dan Demak Probabilitas kejadian gangguan kesehatan dan kematian Nilai ekonomi dan dampak radiologi Estimasi nilai ekonomi dampak radiologi terhadap kesehatan GDP per kapita beberapa negara tahun Estimasi nilai GDP per kapita tahun 2004, 2016, 2036, 2056 dengan

16 persentase pertumbuhan 5 % Estimasi nilai ekonomi dampak radiologi terhadap kesehatan Perhitungan jumlah kasus yang terjadi secara stokastik saat reaktor beropersi normal Estimasi nilai ekonomi dampak radiologi terhadap kesehatan Estimasi nilai ekonomi dampak radiologi terhadap kesehatan pada kondisi darurat Faktor pelindung deposisi permukaan gedung Upaya penanggulangan berdasarkan proyeksi dan pengukuran Prioritas monitoring lingkungan

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran Komponen utama rektor jenis PWR Proses terjadinya reaksi fisi Sistem pengungkung reaktor Persentase pelepasan bahan iod dari bahan bakar metalik Persentase pelepasan bahan 137 Cs dari bahan metalik Hubungan faktor demografi dan non-demografi dalam studi kependudukan Jalur penerimaan paparan radiasi pada manusia Proses masuknya bahan radionuklida ke dalam tubuh manusia Metabolisme perpindahan radionuklida dalam tubuh Sumber radiasi di Alam Peta Jepara dengan lokasi calon PLTN di Ujung Lemahabang Grid spasial penyebaran penduduk dan bahan radionuklida Peta wilayah sekitar calon tapak PLTN Peta topografi wilayah sekitar PLTN Aliran sungai lokasi sekitar PLTN Ujung Lemahabang Distribusi penyebaran arah angin sekitar lokasi tapak PLTN Distribusi kecepatan angin sekitar calon tapak PLTN Histogram frekuensi curah hujan sekitar ULA Persentase kategori atmosfir di sekitar ULA Tata guna lahan sekitar PLTN Ujung Lemahabang Kepadatan penduduk sekitar PLTN Ujung Lemahabang Tahun Jalan utama lokasi sekitar PLTN Infra struktur dan an fasilitas wilayah umum wilayah radius 10 km Skema diagram pengungkung berkondensasi es untuk reaktor jenis PWR Ilustrasi pelepasan bahan radionuklida dari pengungkung reaktor Kuat sumber terlepas dari pengungkung... 93

18 28. Gambar arah angin sekitar PLTN Ujung Lemahabang Grafik konsentrasi 131 I dan 137 Cs di udara dan tanah pada radius 50 km Grafik laju dosis maksimum rata-rata sepanjang 50 km Distribusi dosis individu untuk kelas stabilitas A-F terhadap jarak dari sumber pada tinggi efektif 40 m Distribusi dosis individu untuk kelas stabilitas A-F terhadap jarak dari sumber pada tinggi efektif 100m Sebaran dosis individu paling pesimis arah radial pada jarak 50 km dari sumber Sebaran dosis individu sektor 1-16, kelas stabilitas D, dengan H eff = 40 m Sebaran dosis individu sektor 1-16, kelas stabilitas D, dengan H eff = 100 m Sebaran dosis individu arah radial, pada kelas stabilitas atmosfir D dengan H eff = 100m Dosis yang diterima seseorang individu dan organ vs jarak Presentasi unsur dalam dosis ekivalen untuk organ paru-paru dan keseluruhan tubuh Gambar hasil perhitungan dosis rata-rata dari jalur awan radiasi, inhalasi, dan deposisi di tanah dan makanan Sebaran dosis individu selama 1 tahun yang terlepas dalam kondisi normal Scree plot factor Hasil estimasi pertumbuhan penduduk dengan model geometri, regresi ganda, eksponensial dan logistik Gambar spasial variabel-variabel yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk tahun Gambar spasial variabel-variabel yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk tahun Peta prediksi pertumbuhan penduduk di sekitar PLTN Lokasi pemusatan penduduk pada kabupaten Jepara, Kudus, Pati dan Demak Kepadatan penduduk tertinggi di empat kecamatan wilayah radius 50 km dari PLTN Kerapatan penduduk terendah untuk masing-masing kabupaten di wilayah radius 50 km dari PLTN Grafik peningkatan angka ganguan kesehatan tahun ke 1 (2016) sampai tahun ke 3 (2036)

19 50. Kemungkinan kenaikan angka kematian oleh peningkatan jumlah penduduk tahun ke 1 (2016) sampai tahun ke 3 (2056) Peta sebaran radiasi dan pertumbuhan penduduk sekitar PLTN Jepara tahun 2016, 2036, Tata guna lahan wilayah desa dan kecamatan dalam radius 10 km Penurunan jumlah kematian setelah countermeasure Penurunan jumlah gangguan kesehatan setelah countermeasure Rencana tata ruang wilayah sekitar PLTN Peta jalur evakuasi dalam kondisi kecelakaan PLTN ULA JEPARA 148

20 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Jenis kecelakaan dalam analisis kecelakaan reaktor daya Kandungan hasil fisi Pola pelepasan bahan radionuklida dari cerobong Sequence data meteorologi stasiun UjungLemahabang tahun Lampiran data untuk PC COSYMA Kontribusi jalur penyinaran terhadap dosis individu jarak 0,5 dan 7,5 km dari sumber Data korelasi variabel yang diduga berpengaruh terhadap kepadatan penduduk

21 DAFTAR ISTILAH ALARA, singkatan dari as low as reasonably achievable, yaitu dosis serendah mungkin yang dapat dicapai. Bahan nuklir adalah bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai atau bahan yang dapat diubah menjadi bahan yang dapat menghasilkan reaksi pembelahan berantai. Bahan galian nuklir adalah bahan dasar untuk pembuatan bahan bakar nuklir. Bahan bakar nuklir adalah bahan yang dapat menghasilkan proses transformasi inti berantai. Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri. Daerah eksklusif ialah daerah langsung di sekitar reaktor dimana penguasa instalasi berwenang menentukan semua kegiatan, termasuk menutup masuknya dan pindahan orang atau barang dari daerah tersebut. Daerah ini boleh dilintasi oleh jalan raya atau jalan air dengan ketentuan bahwa : letaknya tidak terlalu dekat dengan instalasi sehingga mengganggu operasi reaktor, dapat diatur pengawasan lalu lintas dalam terjadi keadaan darurat. Persyaratan ini perlu agar supaya dalam hal terjadi keadaan darurat dapat lebih mudah memberikan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan penduduk. Bertempat tinggal di daerah itu adalah terlarang, kecuali dalam hal-hal/keadaan tertentu dengan jaminan bahwa tidak mengakibatkan bahaya bagi penduduk yang bertempat tinggal di situ. wilayah dengan radius sedemikian rupa sehingga setiap individu yang berada pada setiap lokasi di dalam Exclusion Area tidak akan menerima dosis radiasi melebihi 25 rem Total Effective Dose Equivalent (TEDE) atau 0.25 Sv dalam rentang waktu 2 jam setelah pelepasan produk fisi ke pengungkung. Daerah penduduk rendah (Low Population Area) ialah daerah di sekitar Daerah Eksklusif dimana diperbolehkan untuk bertempat tinggal. Jumlah penduduk, kepadatan dan sarananya adalah sedemikian dalam hal teriadi kecelakaan tindakan penyelamatan dapat segera dilakukan. Wilayah setelah exclusion area dimana seseorang tidak akan menerima dosis radiasi melebihi 25 rem Total Effective Dose Equivalent (TEDE) atau 0.25 Sv dalam rentang waktu 30 jam setelah pelepasan produk fisi ke pengungkung.

22 Decomisioning adalah suatu kegiatan untuk menghentikan beroperasinya reaktor nuklir secara tetap, antara lain, dilakukan pemindahan bahan bakar nuklir dari teras reaktor, pembongkaran komponen reaktor, dekontaminasi, dan pengamanan akhir. Dosis (dose) adalah jumlah radiasi yang terdapat medan radiasi atau energi radiasi yang diserap atau diterima oleh materi. (rad) Dosis ambang (threshold dose) (1) Dosis radiasi minimum yang dapat menimbulkan efek biologis yang terdeteksi, (2) Dosis serap minimum yang menimbulkan pengaruh tertentu. Dosis efektif adalah jumlah dosis ekivalen yang diterima jaringan (H T ) dengan faktor bobot jaringan(w T ). Satuan khusus J.kg -1 atau Sv. Dosis ekivalen(h) besarnya tingkat kerusakan pada jaringan tubuh akibat terserapnya sejumlah energi radiasi dengan memperhatikan faktor yang mempengaruhinya H = Q.N.D, Satuan = Sv atau rem. Dosis ekivalen efektif jumlah dosis ekivalen sesuai dengan bobotnya pada semua jaringan Dosis ekivalen efektif terikat adalah jumlah integral selama 50 tahun dosis ekivalen sejak radionuklida masuk ke dalam tubuh atau Dosis ekivalen efektif terikat kolektif (S E,C ) dosis terikat kolektif pada populasioleh hasil integrasi laju dosis efektif ekivalen terhadap waktu. S E,C =? o S E (t)dt. Dosis ekivalen efektif kolektif, S E dosis paparan radiasi pada populasi yang dinyatakan oleh integrasi dosis efektif ekivalen dengan jumlah individu populasi yang terkena radiasi. Satuan man.sv. S E = H P H ) dh 0 E ( E E Dosis ekivalen tahunan maksimum yang diijinkan adalah dosis untuk seluruh tubuh merupakan jumlah dosis internal dan eksternal, besarnya 5 rem (50 msv). Instalasi nuklir adalah fasilitas yang digunakan untuk pengoperasian reaktor, pemurnian, konversi, pengayaan bahan nuklir, fabrikasi bahan bakar nuklir dan/atau pengolahan ulang bahan bakar nuklir bekas; dan/atau fasilitas yang digunakan untuk menyimpan bahan bakar nuklir dan bahan bakar nuklir bekas. Instalasi Reaktor: dalam hal Pusat Listrik Tenaga Nuklir meliputi sistim pembangkitan uap dengan tenaga nuklir sistim turbin dan generator, sistim pendingin sistim tambahan (auxiliary), serta sistim keselamatan. Dalam hal reaktor uji meliputi sistim pembangkitan panas, fasilitas penelitian, sistim pendingin, sistem tambahan (auxiliary) dan sistim keselamatan.

23 Jarak Pusat Penduduk ialah jarak dari reaktor sampai daerah berpenduduk padat dengan lebih dari orang. Ketenaganukliran adalah hal yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir serta pengawasan kegiatan yang berkaitan dengan tenaga nuklir. Kecelakaan alah suatu kejadian diluar dugaan yang memungkinkan timbulnya bahaya radiasi dan kontaminasi, baik bagi pekeria radiasi maupun bukan pekerja radiasi. Kecelakaan nuklir adalah setiap kejadian atau rangkaian kejadian yang menimbulkan kerugian nuklir. Kesiapsiagaan darurat (emergency preparedness) adalah upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna untuk melindungi kesehatan masyarakat dan keselamatan saat kejadian darurat radiologi. Kerugian nuklir adalah setiap kerugian yang dapat berupa kematian, cacat, cedera atau sakit, kerusakan harta benda, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya sebagai akibat kekritisan bahan bakar nuklir dalam instalasi nuklir atau selama pengangkutan, termasuk kerugian sebagai akibat tindakan preventif dan kerugian sebagai akibat atau tindakan untuk pemulihan lingkungan hidup. Korban bencana adalah manusia yang mengalami kerugian akibat bencana, baik secara fisik, mental maupun sosial. Limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan bahan serta peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir yang tidak dapat digunakan lagi. Mitigasi kedaruratan (emergency mitigation) adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik struktural melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, maupun non fisik-struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan. Operator ialah seorang ahli yang telah mendapat izin dari Pemerintah untuk menjalankan Reaktor Atom dan alat-alat tenaga atom lainnya. Pemanfaatan adalah kegiatan yang berkaitan dengan tenaga nuklir yang meliputi penelitian, pengembangan, penambangan, pembuatan, produksi, pengangkutan, penyimpanan, pengalihan, ekspor, impor, penggunaan, decomisioning, dan pengelolaan limbah radioaktif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pekeria Radiasi adalah setiap orang yang karena jabatannya atau tugasnya selalu berhubungan dengan medan radiasi dan oleh instansi yang berwenang

24 senantiasa memperoleh pengamatan tentang dosis-dosis radiasi yang diterimanya. Pemulihan (Emergency Recovery) adalah proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali sarana dan prasarana pada keadaan normal. Pengungsi adalah orang-orang atau kelompok-kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dahulu biasa tinggal, terutama sebagai akibat dari, atau dalam rangka menghindarkan diri dari, dampak-dampak konflik bersenjata, situasi-situasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak kekerasan secara umum, pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia, bencana-bencana alam, atau bencana-bencana akibat kegiatan manusia. Penanganan Bencana (disaster management) adalah seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanganan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana, mencakup pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan. Penyinaran atau exposure, pemancaran bahan radioaktif mengenai organ tubuh. Pengelolaan limbah radioaktif adalah pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan/atau pembuangan limbah radioaktif. Pengusaha instalasi nuklir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang bertanggung jawab dalam pengoperasian instalasi nuklir. Pengungkung atau containment, penahan (barrier) yang dibuat untuk mengungkung bahan radionuklida agar tidak terlepas ke lingkungan pada kondisi kecelakaan. Peringatan Dini (early warning) adalah upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa kemungkinan bencana akan segera terjadi, yang menjangkau masyarakat (accesible), segera (immediate), tegas tidak membingungkan (coherent), dan resmi (official). Radioisotop adalah isotop yang mempunyai kemampuan untuk memancarkan radiasi pengion. Radiasi pengion adalah gelombang elektromagnetik dan partikel bermuatan yang karena energi yang dimilikinya mampu mengionisasi media yang dilaluinya. Reaktor nuklir adalah alat atau instalasi yang dijalankan dengan bahan bakar nuklir yang dapat menghasilkan reaksi inti berantai yang terkendali dan digunakan untuk pembangkitan daya, atau penelitian, dan/atau produksi radioisotop. Risiko (risk) adalah kemungkinan timbulnya kerugian pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang timbul karena suatu bahaya menjadi bencana. Risiko dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa

25 aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai. satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Tanggap Darurat (emergency response) adalah upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian kondisi darurat atau bencana dengan mengaktifkan timtim penanggulangan kedaruratan untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian. Tenaga nuklir adalah tenaga dalam bentuk apa pun yang dibebaskan dalam proses transformasi inti, termasuk tenaga yang berasal dari sumber radiasi pengion. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Zat radioaktif adalah setiap zat yang memancarkan radiasi pengion dengan aktivitas jenis lebih besar dari pada 70 kbq/kg (2 nci/g). Zone PAZ (zone precautionary protective action zone) adalah zone di sekitar PLTN dimana tindakan tanggap darurat diimplementasikan segera tanda darurat diumumkan. Zone UPZ (urgent protective action zone) adalah zone yang mana tindakan darurat dilaksanakan setelah dilakukan monitoring terhadap lingkungan Zone LPZ (long term protective action zone) adalah zone yang mana tindakan tanggap darurat direncanakan untuk menurunkan resiko dampak jangka panjang yang masuk melalui makanan.

26 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi, sosial maupun peningkatan kualitas hidup. Oleh karena itu kecukupan persediaan energi secara berkelanjutan untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang haruslah dijamin dan dipertahankan. Untuk keamanan ketersediaan energi, kestabilan harga dan pasokan, maka setiap negara harus memperhatikan diversifikasi penggunaan sumber energi dalam perencanaan strategis energi jangka panjangnya, khususnya untuk mengantisipasi pertumbuhan pemintaan energi (Trinnaman dan Clarke 2004). Oleh karena itu energi alternatif merupakan sasaran energi masa depan yang sangat dibutuhkan dunia (Simmons 2001). Disamping itu untuk menjaga keberlanjutan pembangunan pencarian alternatif energi tidak cukup dilakukan oleh pertimbangan kebutuhan ekonomi saja, tetapi juga harus diintegrasikan dengan pertimbangan lingkungan (Sharp 2001). Dalam pernyataan akhir (final statement) pada International Ministerial Conference: Nuclear Power for 21 st Century disebutkan bahwa tenaga nuklir tidak menimbulkan polusi udara atau emisi gas CO 2 dan secara ekonomi tenaga listrik nuklir menawarkan harga listrik yang kompetitif dibanding sumber energi lainnya dan memberikan kontribusi terhadap keamanan pasokan maupun kestabilan harga energi (OECD 2005). Dalam upaya mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia yang didukung oleh ketersediaan energi yang cukup dan harga yang stabil, telah dilakukan studi secara komprehensif untuk perencanan energi nasional terhadap berbagai macam sumber daya khususnya pembangkit energi listrik di Indonesia. Tim terdiri dari para ahli yang mewakili Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi (DJLPE), Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (DJMIGAS), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL), Badan Pusat Statistik Nasional (BPS), PT PLN (Persero) dan

27 2 Organisasi Non-Pemerintah di bidang energi, serta dibantu oleh pihak Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Hasil studi menunjukkan bahwa pemakaian total kebutuhan energi final di Indonesia (termasuk energi non-komersial) mengalami kenaikan sekitar 2 kali lipat dari 4028,4 PJ pada periode 2000 menjadi 8145,6 PJ pada tahun 2025 dengan asumsi bahwa tidak ada perubahan urutan sektor ekonomi berdasarkan pemakaian energi final selama masa Ditinjau dari penyebaran pemakaian energi, pulau Jawa-Bali merupakan pemakai terbesar dari energi yaitu sebesar 63% total penyediaan energi di Indonesia meningkat 4 kali lipat dari 130 TWh pada tahun 2000 menjadi 540 TWh pada tahun 2025, sedang Jawa Bali meningkat 3,5 kali lipat (BATAN-IAEA 2002). Untuk memenuhi kebutuhan energi penduduk di masa mendatang, berbagai sumber energi seperti gas, biomassa, geothermal dan air harus ditingkatkan bersamaan dengan pemanfaatan energi fosil. Namun peningkatan ini belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat. Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu diintroduksi penggunaan energi nuklir dalam bentuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dimulai sejak tahun 2016 (Soetrisnanto 2002). PLTN dengan satuan unit skala besar ~ 1000 MW e diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jaringan Jawa-Bali. Dengan tingkat teknologi keselamatan PLTN yang ada saat ini, penempatan PLTN di dekat pusat beban jaringan listrik akan sangat menguntungkan dan mengurangi ongkos transmisi. Dalam rangka pembangunan PLTN di Indonesia telah dilakukan studi kelayakan penentuan lokasi PLTN di Indonesia sejak tahun 1991 sampai dengan Hasil studi menunjukkan bahwa Ujung Lemahabang, Ujung Grenggrengan, Ujung Watu di Kabupaten Jepara merupakan lokasi yang tepat untuk pembangunan PLTN mengingat lokasi tersebut telah terbebas dari faktor penghalang alamiah (natural exclussion factor) yaitu bahaya letusan gunung api, bahaya patahan permukaan, dan bahaya instabilitas pondasi. Di antara ketiga lokasi tersebut maka Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, dijadikan prioritas pertama sebagai dijadikan tempat pembangunan PLTN pertama di Indonesia (Newject Inc. 1996).

28 3 Kehadiran PLTN di Ujung Lemahabang dapat menimbulkan kekuatiran masyarakat terhadap dampak radiologi yang mungkin muncul pada kondisi operasi normal maupun kondisi kecelakaan. Pada operasi normal, dampak radiologi pelepasan bahan radionuklida sehari-hari dapat dianggap tidak ada, karena PLTN telah dirancang sedemikian rupa, sehingga pelepasan radionuklidanya memenuhi prinsip serendah mungkin yang dapat dicapai (As Low As Reasonably Achievable). Untuk mencapai prinsip ini, maka berbagai persyaratan baik teknis maupun non-teknis harus diimplementasikan dalam rancangan, pembangunan atau konstruksi, komisioning, serta operasi suatu PLTN. Analisis terhadap keselamatan reaktor PLTN dilakukan dengan memperhatikan berbagai kemungkinan terjadinya kecelakaan dalam reaktor PLTN untuk diujikan terhadap kemampuan sistem reaktor mengatasi setiap kejadian tersebut. Hanya kejadian yang sangat parah saja (severe accident) yang memungkinkan pelepasan bahan radionuklida ke lingkungan. Pengendalian terhadap pencapaian persyaratan dan analisis keselamatan reaktor dilakukan dengan menerapkan Program Jaminan Kualitas dalam setiap tahap kegiatan pembangunan dimulai dari perancangan, konstruksi, operasi dan perawatan dan komisioning (IAEA 1988). Dalam kondisi kecelakaan parah yang tidak dapat dihindarkan, maka tindakan untuk mengurangi dampaklah yang menjadi aktivitas utama proteksi radiasi, yaitu upaya melindungi pekerja dan penduduk dan lingkungan dari bahaya radiasi (IAEA 1997a). Upaya proteksi radiasi dapat dilakukan dengan menangani sumber radiasinya (proteksi radiasi terkait sumber), lingkungan maupun terhadap orang (proteksi radiasi terkait orang). Tindakan proteksi terkait sumber meliputi perancangan sistem keselamatan, misalnya penggunaan sistem penahan berlapis (multiple barrier) pada pembangunan PLTN. Dengan demikian kemungkinan menyebarnya radionuklida ke lingkungan menjadi sangat minimal. Tindakan proteksi terhadap lingkungan maupun orang dapat dilakukan dengan menghindari sumber radiasi, mengubah lintasan radiasi yang menuju penduduk atau mengendalikan arah dan jarak pertumbuhan penduduk sehingga jauh dari lintasan radiasi yang dapat menimbulkan risiko, atau mengurangi jumlah populasi yang dapat menerima radiasi (Wiryosimin 1995; IAEA 1998). Mengingat tindakan pengendalian populasi ini sangat berkaitan erat dengan pola

29 4 dan struktur pemanfaatan ruang suatu wilayah, maka zone pemanfaatan ruang wilayah sekitar PLTN harus direncanakan sejak dini untuk menghindarkan penduduk dari dampak negatif jangka panjang atau selama usia PLTN. Dalam disertasi ini dilakukan kajian dampak radiologi yang mungkin timbul bila terjadi kecelakaan nuklir selama usia PLTN, serta langkah tanggap darurat (emergency preparedness). Kajian ini menjadi masukan dalam menyusun pemanfaatan ruang wilayah sekitar PLTN Ujung Lemahabang, penyiapan program tanggap darurat dan sekaligus menentukan biaya kerusakan yang diakibatkannya. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan yang dihadapi dalam menganalisis dampak radiologi terhadap lingkungan dalam waktu yang panjang adalah terdapatnya perubahanperubahan yang cukup berarti dalam jumlah penduduk dan pola pemanfaatan ruang dimulai sejak tahap perencanaan, konstruksi, komisioning dan dekomisioning. Sehingga yang menjadi pertanyaan adalah apakah perubahan ini akan menyebabkan peningkatan resiko yang cukup berarti, apa usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak oleh adanya pertumbuhan penduduk dan perubahan pola pemanfaatan ruang tersebut, dan dalam kondisi terjadi kecelakaan bagaimana seharusnya pengusaha nuklir maupun penduduk berrespon? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukanlah tahapan penelitian sebagai berikut ini: (1) melakukan estimasi penyebaran bahan radionuklida secara spasial yang mungkin akan diterima oleh penduduk sekitar PLTN. (2) memperkirakan dampak radiologi yang ditimbulkan oleh penyebaran tersebut sekaligus mengestimasi biaya kerusakan yang mungkin timbul oleh penerimaan bahan radionuklida oleh penduduk sekitar (3) melakukan estimasi pertumbuhan penduduk dan pemanfaatan lahan selama usia PLTN yang berpengaruh terhadap kemungkinan dampak radiologi secara kolektif.

30 5 (4) melakukan analisis pemanfaatan ruang wilayah sekitar PLTN setelah kehadiran PLTN dan mengkaji langkah-langkah tanggap darurat yang harus dilakukan untuk mitigasi kerusakan. 1.3 Ruang lingkup Dalam penelitian ini dampak radiologi yang diteliti adalah dampak pelepasan bahan radionuklida dari reaktor PLTN jenis reaktor air ringan bertekanan (Pressurized Water Reactor, PWR ) dengan daya nominal 1000 MWe, yang terdispersi di udara mengingat dampak inilah yang sangat dominan dalam suatu kecelakaan nuklir. Demikian pula radius penelitian dibatasi pada radius 50 km di sekitar PLTN mengingat konsentrasi radionuklida sudah sangat rendah pada jarak tersebut. Wilayah pada radius tersebut meliputi Kabupaten Jepara, Pati, Kudus, dan sebagian kecil Demak dengan jumlah penduduk selalu berkembang secara spasial dan temporal selama usia PLTN. Diperkirakan usia PLTN adalah 40 tahun dan diasumsikan akan mulai beroperasi pada tahun Analisis perkiraan biaya kerusakan dibatasi pada biaya kerugian akibat langsung dampak radiologi seperti kematian (kanker fatal), gangguan kesehatan serius (kanker nonfatal), kehilangan pekerjaan dan penggunaan tindakan tanggap darurat yang dapat dibuktikan terkait atau disebabkan oleh pelepasan zat radiasi dari kecelakaan PLTN tersebut. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji dampak pencemaran radiologi terhadap penduduk di wilayah sekitar PLTN di Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara untuk meminimumkan dampak radiologi dan biaya kerusakan bila terjadi kecelakaan nuklir melalui pengaturan pemanfaatan ruang dan tindakan tanggap darurat. Secara khusus penelitian ini bertujuan, (1) Menganalisis secara spasial kemungkinan penyebaran bahan radionuklida di sekitar PLTN bila terjadi kecelakaan yang tidak dapat dihindari. (2) Menganalisis dampak radiologi secara individu dan kolektif dan biaya kerusakan yang mungkin diterima oleh penduduk sekitar PLTN.

31 6 (3) Menganalisis pertumbuhan penduduk dan perubahan penggunaan lahan sekitar PLTN selama usia hidupnya serta pengaruhnya terhadap kemungkinan dampak radiologi secara kolektif dan biaya kerusakan (4) Menganalisis kondisi pemanfaatan ruang wilayah sekitar PLTN serta langkah tanggap darurat untuk meminimumkan dampak. 1.5 Kegunaan Penelitian Hasil analisis ini dapat dipakai sebagai bahan kajian tata ruang wilayah sekitar PLTN untuk menyusun rencana detil tata ruang sekitar lokasi PLTN, rencana umum tata ruang wilayah Kabupaten Jepara dan wilayah lain di sekitarnya. Demikian pula informasi ini dapat digunakan untuk merencanakan tanggap darurat bila terjadi kecelakaan yang tidak dapat dihindari dengan dampak dan biaya seminimal mungkin. 1.6 Kerangka Pemikiran Secara diagram kerangka pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti Gambar 1. Dengan mengasumsikan telah terjadi kecelakaan kehilangan air pendingin (loss of coolant accident) yang menyebabkan melelehnya teras reaktor pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di daerah tapak Ujung Lemahabang, maka ada kemungkinan terjadi pelepasan bahan radionuklida yang bersifat radioaktif di udara atau atmosfir antara lain xenon (Xe), kripton (Kr), iod (I), cesium (Cs), dan lain-lain. Tidak seluruh bahan radionuklida lepas ke udara karena sebagian besar akan terkungkung di dalam pengungkung (containment). Berdasarkan persyaratan keselamatan rancangan pengungkung, maka sistem pengungkung (containment) PLTN harus dirancang sedemikian rupa sehingga kebocoran yang diijinkan adalah sebesar < 0,1 % per hari dari volume pengungkung (IAEA 1997b, Yvon 1996). Penyebaran bahan radionuklida di atmosfir sangat tergantung dari kondisi lingkungan di sekitar tapak khususnya kondisi meteorologi berupa arah dan kecepatan angin, curah hujan, ketinggian lapisan campur (mixing layer) dan kekasaran permukaan. Untuk mempermudah estimasi penyebaran secara spasial,

32 7 Mitigasi Dampak: Kendalikan penduduk melalui kebijakan pemanfaatan ruang (tata ruang). Tanggap darurat Lepasan ke Atmosfir lease PLTN Dispersi Deposisi sitio Dampak secara kolektif Udara Co Tanah Tanaman Hewan t 1, t 2, t 3 IInhalasi Iradiasi eksternal γ Makanan n Hirup Manusia Makan Dampak secara individu Gambar 1 Kerangka pemikiran

33 8 maka wilayah sekitar tapak PLTN dibagi dalam grid-grid berdasarkan arah angin dan jarak dari sumber. Dalam penelitian ini arah angin dibagi dalam 16 sektor dan 7 pembagian jarak yaitu 1 km, 2 km, 5 km, 10 km, 20 km, 35 km, dan 50 km. Selanjutnya estimasi penyebaran bahan radionuklida dilakukan dengan menggunakan model dispersi Gauss di udara yang dikoreksi terhadap faktor deposisi, peluruhan, dan kondisi cuaca lokal. Untuk maksud ini, sebagai tujuan pertama penelitian, dilakukan analisis tentang sebaran radionuklida di sekitar PLTN dimulai dengan perhitungan kuat sumber radionuklida yang mungkin terlepas ke lingkungan dan perkiraan penyebarannya berdasarkan sektor dan jarak dengan memperhatikan berbagai kondisi lingkungan yang mempengaruhinya di wilayah sekitar Ujung Lemahabang, Bahan radionuklida yang terdispersi di atmosfir dapat sampai dan memberikan dampak kepada manusia melalui empat jalur (pathway), yaitu sebagai awan radiasi (iradiasi eksternal), terhisap ke dalam tubuh (inhalasi), menempel di kulit, termakan melalui makanan, karena sebagian bahan radionuklida terdeposisi ke permukaan tanah, terserap ke dalam tanah dan masuk ke dalam tanaman dan dimakan oleh manusia, pada berbagai lokasi radius 50 km dari Ujung Lemahabang. Oleh karena itu sebagai tujuan kedua dari penelitian ini adalah menganalisis dampak radiologi terhadap manusia baik secara individu maupun kelompok atau kolektif sekaligus memperkirakan kerugian secara ekonomi yang ditimbulkannya. Selama usia PLTN dipastikan akan terjadi pertumbuhan kepadatan penduduk dan perubahan pemanfaatan lahan secara spasial dari waktu ke waktu (ditandai sebagai t 1, t 2, t 3 ). Dinamika pertumbuhan ini akan mempengaruhi besarnya dampak yang mungkin terjadi pada penduduk dan lingkungan. Oleh karena itu analisis terhadap dinamika pertumbuhan penduduk akan dilakukan sebagai tujuan ketiga dari penelitian ini. Model pertumbuhan kepadatan penduduk akan didekati dengan model pendekatan regresi berganda (multiple regression), eksponensial dan logaritmik dan bunga majemuk dengan unit terkecil desa. Berbagai variabel demografi dan non-demografi dalam ruang spasial akan diuji untuk melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan penduduk seperti faktor

34 9 laju pertumbuhan penduduk, jarak dari pusat bisnis, sosial ekonomi, geografi, dan lain-lain. Sifat independensi masing-masing variabel terlebih dahulu diuji dengan menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis). Selanjutnya kekuatan pengaruh variabel-variabel yang dipilih terhadap pertumbuhan kepadatan penduduk akan diuji dengan menghitung koefisien determinan, sedang koefisien beta dan alfa ditentukan dengan melakukan analisis regresi ganda. Validitas masing-masing parameter diuji dengan uji-t dan level-p. Variabel yang tidak memiliki validitas yang kuat dihilangkan. Selanjutnya variable-variabel dengan parameter koefisien yang memiliki validitas yang kuat dijadikan variabel untuk memprediksi pertumbuhan kepadatan penduduk di desadesa dan diterjemahkan ke dalam grid-grid yang ada. Dengan demikian akan diperoleh peta dampak radiologi yang mungkin terjadi pada radius 50 km yang terdiri dari zone esklusi (exclusion zone) dan zone berpenduduk jarang (low population zone). Walaupun kemungkinan terjadinya kecelakaan nuklir dapat dikatakan sangat kecil, namun pengusaha PLTN harus menyiapkan rencana penanganan kedaruratan (emergency planning) dengan menetapkan zone-zone kedaruratan yang terdiri dari Precautionary Action Planning Zone, Urgent Protective Action Zone, dan Long Term Protective Action Zone. Zone ini digunakan kemudian dijadikan dasar untuk pengendalian pemanfaatan ruang dan penyusunan langkah tanggap darurat. Untuk maksud ini maka dilakukan analisis pemanfaatan ruang sekaligus penyiapan tanggap darurat, sebagai tujuan keempat penelitian ini, sekaligus perkiraan biayanya. 1.7 Hipotesis Dengan mengendalikan pemanfaatan ruang sekitar PLTN secara dini dan perencanaan sistem tanggap darurat, penduduk dapat terhindar dari dampak radiologi yang serius bila terjadi kecelakaan nuklir. Dengan demikian, dampak radiologi maupun biaya kerusakan maupun pemulihan dari kecelakaan nuklir dapat diminimumkan.

35 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Pelepasan Bahan Radionuklida Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pada prinsipnya sama dengan pembangkit listrik lainnya seperti pembangkit listrik tenaga air, tenaga uap, dan batubara yaitu membangkitkan listrik dengan memutar turbin. Perbedaannya terletak pada sumber energi yang digunakan untuk menggerakkan turbin. Pada PLTN energi berasal dari hasil reaksi fisi nuklir dalam reaktor. Salah satu jenis reaktor yang akan digunakan pada pembangkit listrik tenaga nuklir di Jepara adalah reaktor jenis reaktor air ringan bertekanan (pressurized water reaktor, PWR) yang secara diagram komponen utamanya ditunjukkan Gambar 2 Bejana Pengungkung Kendali Tekanan Batang Kendali Uap Pembangkit uap Turbin Generator Teras Bejana Tekan Pompa primer Kondenser Kanal buang pendingin sekunder Pompa pengumpan air Sumber: Gambar2 Komponen utama reaktor jenis PWR Komponen utama reaktor terdiri dari teras reaktor (fuel core), bejana tekan, batang kendali, kendali tekanan, dan pembangkit uap (OECD-IAEA 2002; IAEA 1997c. Teras reaktor yaitu susunan bahan bakar uranium sekaligus tempat terjadinya reaksi fisi yang menghasilkan energi dan bahan radionuklida yang sangat bersifat radioaktif. Komponen bejana tekan (pressure vessel), yaitu bejana

36 11 tempat teras dan pendingin teras berada. Bejana ini diberi tekanan sedemikian rupa, sehingga pendingin tidak mengalami pendidihan sebelum sampai ke komponen pembangkit uap (steam generator). Pada pembangkit uap, pendingin primer dengan suhu dan tekanan tinggi berubah menjadi uap untuk disalurkan ke turbin. Batang kendali berfungsi untuk mengendalikan daya reaktor dalam kondisi transient maupun tunak atau steady state. Komponen lain berupa kendali tekanan atau pressurizer digunakan untuk mengendalikan tekanan yang ada pada bejana tekan melalui dinamika fluktuasi ketinggian pendingin pada tabung pengontrol tekanan (pressurizer). Seluruh komponen reaktor dikungkung dalam suatu pengungkung atau containment untuk menghindarkan pelepasan bahan radionuklida ke lingkungan, bila terjadi kecelakaan. Komponen lain di luar reaktor adalah turbin dan generator yang digunakan untuk membangkitkan listrik, dan komponen kondensor beserta pompa feed waternya untuk sirkulasi air pendingin ke pembangkit uap Proses Pembangkitan Listrik Akibat terjadinya reaksi inti, panas dibangkitkan pada teras reaktor. Untuk mempertahankan suhu teras, maka air pendingin dialirkan dengan tekanan operasi bar (15 sampai 16 Mpa). Oleh karena itu suhu pendingin dapat mencapai suhu sangat tinggi tanpa mengakibatkan perubahan fasa air, dari fasa cair ke fasa uap. Untuk mengendalikan tekanan pada sistem primer terdapat pressurizer yang prinsip kerjanya seperti manometer. Pendingin dengan suhu tinggi kemudian dialirkan ke sistem pembangkit uap (steam generator) yang tekanannya dirancang lebih rendah yaitu 60 bar atau 6 Mpa. Sebagai akibatnya air pendingin yang mengalir dari sistem primer menjadi mendidih dan menghasilkan uap. Uap panas inilah yang selanjutnya diumpankan ke dalam turbin untuk menggerakkan generator. Selanjutnya, oleh transformer, tegangan yang dihasilkan generator dikonversi ke besar tegangan yang siap didistribusikan ke jaringan listrik. Uap yang keluar dari turbin kemudian dikondensasi dalam kondensor dan diumpankan kembali ke dalam pembangkit

37 12 uap. Demikian sirkuit pendingin primer reaktor bekerja untuk menghasilkan energi dan produk fisi lainnya Pembangkitan Panas dan Radionuklida Hasil Fisi Proses pembangkitan panas dan timbulnya radionuklida berawal dari terjadinya tumbukan neutron terhadap inti atom 235 U yang tidak stabil. Hasil tumbukan ini menyebabkan terbelahnya inti 235 U menjadi dua bagian besar (kelompok 90 Sr dan 143 Xe beserta kombinasi lainnya) sambil melepaskan energi dan dua atau tiga netron seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3 Proses terjadinya reaksi fisi (OECD 2003) Jumlah massa hasil belah dan neutron yang terlepas setelah fisi ternyata lebih kecil dari jumlah massa uranium dan neutron sebelum bertumbukan. Selisih massa inilah yang kemudian menjadi energi menurut rumus Einstein, E=mc 2. Energi (E) yang dihasil untuk setiap pembelahan adalah sebesar 2 MeV dan akan terakumulasi selama reaktor beroperasi sehingga menimbulkan panas. Dua atau tiga neutron yang dihasilkan juga mengalami tumbukan dengan uranium lain sehingga terjadi reaksi ini berikutnya, demikian seterusnya sehingga terjadi reaksi

38 13 berantai. Dalam bentuk rumus reaksi berantai digambarkan seperti pada persamaan reaksi berikut ini. 1 n U X 1 + X X n + 1 n + E Keterangan: 1 n : neutron termal 235 U : unsur uranium X 1 : unsur radioaktif 1 hasil belah 235 U X 2 : unsur radioaktif 2 hasil belah 235 U X n : unsur radioaktif n hasil belahan 235 U E : energi (MeV). Bahan radionuklida yang terbentuk sebagai hasil fisi akan tetap tersimpan dalam kristal uranium atau bahan bakar dan jumlahnya akan semakin membesar. Jumlah radionuklida hasil fisi (X i ) yang terjadi dihitung dengan menggunakan persamaan diferensial derajat satu non-homogenous (ORNL 1996), dx dt i N N = lijλ j X j + φ f j= 1 k= 1 ik σ k X k ( λ + φσ i i + r ) X i i + F i i = 1..., N (2.1) Keterangan, X i : kerapatan atom nuklida i X j : kerapatan atom nuklida lain j X j : kerapatan atom nuklida lain k N : jumlah nuklida l ij : fraksi peluruhan nuklida lain j untuk membentuk nuklida i. λ i : tetapan peluruhan φ : fluks rata-rata pada energi dan posisi tertentu f ik : fraksi serapan neutron oleh nuklida lain untuk membentuk nuklida i. σ k : tampang lintang rata-rata penyerapan neutron nuklida k r i : continuous removal rate nuklida i dari sistem F i : continuous feed rate nuklida i. Bila terdapat sebanyak N nuklida yang menjadi obyek perhitungan maka akan terdapat sebanyak N persamaan dalam bentuk yang sama. Perhitungan besar kandungan (inventory) dilakukan dengan menggunakan berbagai program komputer yang sudah banyak tersedia seperti Origen versi 2.1. Untuk memudahkankan memahami dampak yang ditimbulkan oleh bahan radionuklida, berbagai jenis radionuklida yang dihasilkan dalam reaksi fisi dikelompokkan dalam beberapa kelompok tergantung pada sifatnya. Dalam pembahasan ini pengelompokan dibuat dalam tujuh kelompok seperti terlihat pada Tabel 1. Radionuklida tersebut ada yang dihasilkan langsung dari hasil fisi dan ada juga yang merupakan hasil turunannya.

39 14 Tabel 1 Pengelompokan radionuklida dalam 7 kelompok Group Elemen Keterangan Sifat 1 Kr, Xe Gas mulia Tidak dapat difilter 2 I, Br Halogen Mengendap di gondok 3 Rb, Cs Logam alkali Umur paroh panjang 4 Te, Se Telerium Group 5 Ba, Sr Barium, Strontium Mengumpul di tulang 6 Co, Mo, Tc, Ru, Rh Logam mulia 7 Y, Zr, Nd, Eu, Nb, Pm, Pr, Sm, Y, Cm, Am, Ce, Pu, Np Lantanida dan Cerium group (Soffer et al. 1995) Pelepasan sumber radionuklida ke lingkungan Bahan radionuklida hasil fisi harus tetap dipertahankan berada di dalam kristal uranium atau bahan bakar dengan membuat rancangan elemen bakar, teras reaktor, dan pemasangan sistem keselamatan sedemikian rupa sehingga sangat kecil kemungkinan radionuklida terlepas ke lingkungan. Hanya dalam kondisi kecelakaan yang sangat parah saja reaktor PLTN dapat menjadi ancaman yang membahayakan keselamatan manusia dan lingkungan. Dimana sejumlah tertentu bahan radionuklida hasil fisi beserta turunannya akan terlepas ke ruang kerja maupun lingkungan. Ada beberapa skenario kecelakaan yang dapat menimbulkan kerusakan integritas bahan bakar nuklir. Secara garis besar skenario ini dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu kecelakaan yang dijadikan basis rancangan (Design Basis Accident) dan kecelakaan yang parah (Severe Accident) (IAEA 2000). Jenis-jenis kecelakaan yang dijadikan Design Basic Accident disebut sebagai jenis kecelakaan awal yang dipostulasikan (Postulated Initiating Event). Secara rinci jenis-jenis kecelakaan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan jenisjenis kecelakaan ini dilakukan analisis keselamatan reaktor dengan tujuan agar sistem reaktor yang akan dibangun telah diuji dapat mengatasi jenis-jenis kecelakaan tersebut bila terjadi. Apabila kecelakaan yang dijadikan basis tersebut diikuti oleh kegagalan fungsi keselamatan lain yang menyebabkan tidak teratasinya kecelakaan yang lebih besar disebut kecelakaan parah (severe accident). Kecelakaan jenis ini

40 15 memungkinkan lepasnya bahan radionuklida ke lingkungan. Jenis kecelakaan tersebut antara lain: a) hilangnya pasokan listrik untuk periode tertentu, b) hilangannya secara total air pengisi untuk suatu periode waktu, c) hilangnya air pendingin bersamaan dengan kegagalan pada sistem pendingin teras darurat (emergency core cooling system, ECCS) dan kehilangan pendingin yang diikuti kegagalan sistem resirkulasi air. Tindakan mencegah terjadinya kecelakaan yang menyebabkan pelepasan bahan radionuklida maupun langkah mengurangi dampak pelepasan tersebut disebut tindakan keselamatan nuklir. Sedangkan tindakan yang diambil untuk mencegah penduduk atau lingkungan terhadap bahaya pelepasan bahan radionuklida disebut tindakan proteksi radiasi. Implementasi keselamatan nuklir diterapkan dengan prinsip pertahanan berlapis atau dikenal dengan Defence in Depth (IAEA 1997d) yang meliputi 5 aspek lapis pertahanan seperti yang diuraikan dalam Tabel 2. Lapis Pertahanan Lapis 1 Lapis 2 Lapis 3 Lapis 4 Lapis 5 Sasaran Tabel 2 Lapis pertahanan defense in depth Mencegah operasi yang tidak normal atau kegagalan fungsi keselamatan Mengontrol operasi yang tidak normal dan deteksi kegagalan Pengendalian kecelakaan yang masih dalam basis skenario kecelakaan Pengendalian kondisi instalasi yang rusak parah termasuk pencegahan perluasan kecelakaan dan pengurangan akibat kecelakaan parah Pembatasan akibat radiologi dari pelepasan bahan radionuklida (Sumber : IAEA 1997d) Metode Membuat rancangan yang konservatif dan kualitas konstruksi dan operasi yang tinggi Pengendalian, pembatasan dan proteksi sistem dan peralatan surveilance lainnya. Tindakan keselamatan secara keteknikan dan prosedur kecelakaan. Menggunakan peralatan pencegahan dan manajemen kecelakaan Tindakan darurat luar kawasan Sebagai lapis pertama dalam prinsip defence in depth ini adalah membuat rancangan dan kualitas konstruksi yang tinggi. Dalam hal ini rancangan sistem pengungkung reaktor merupakan salah satu penerapan prinsip defence in depth

41 16 untuk mencegah terlepasnya bahan radionuklida ke lingkungan. Gambar 4 menunjukkan contoh rancangan sistem pengungkung reaktor. Gambar 2.3 Sistem pengungkung reaktor (KNSP) 2 Kelongsong Elemen Bakar 5. Struktur beton baja 4. Pengungkung (Containment) 3. Sistem Pendingin Kolam 1 Kisi Kristal Elemen Bakar Gambar 4 Sistem pengungkung reaktor Pelepasan Bahan Radionuklida Pada Kondisi Normal Pada kondisi normal hanya gas mulia (kelompok 1) dan bahan yang bersifat mudah menguap yang mungkin keluar dari teras maupun sistem pendingin primer reaktor. Reaktor dirancang sedemikian rupa, sehingga bahan radionuklida lain tersebut tidak keluar dari pengungkung reaktor ke lingkungan. Apabila karena sifatnya yang mudah menguap dan tidak dapat dihindari pelepasannya, maka melalui rancangan reaktor pelepasan ini dibuat sedemikian rupa sehingga pelepasannya ke lingkungan menjadi serendah mungkin ( As Low As Reasonably Achievable, ALARA). Jumlah yang keluar tersebut bukan saja berasal dari hasil fisi dan aktivasi bahan bakar, tetapi juga dari hasil fisi dan aktivasi bahan pengotor pada sistem primer Pelepasan bahan radionuklida pada kondisi kecelakaan Pelepasan pada kondisi kecelakaan sangat tergantung jenis kecelakaannya seperti yang telah diuraikan terdahulu. Kecelakaan ini ada yang dapat memicu

42 17 pelepasan bahan radionuklida, ada pula yang tidak. Dalam kaitannya dengan analisis pelepasan bahan radionuklida ini, maka jenis kecelakaan yang dijadikan dasar perhitungan adalah jenis kecelakaan parah yang menyebabkan terjadinya kerusakan teras (core damage). Kerusakan teras terjadi bila panas yang diambil pendingin lebih kecil dari panas yang dihasilkan teras. Suhu dapat naik sampai pada titik tertentu yang menyebabkan integritas bahan bakar tidak dapat dipertahankan lagi. Kondisi ini dapat dicapai pada kecelakaan kehilangan pendinggin (Loss of Coolant Accident) yang walaupun reaksi nuklir cenderung sudah terhenti, tetapi sisa panas tidak dapat dihilangkan oleh sisa pendingin yang ada. Sedang pada kasus reaktivitas transient, kondisi kerusakan teras dapat dicapai bila laju kenaikan panas teras sangat cepat tetapi kemampuan pendingin tidak cukup untuk menarik panas tersebut. Bila kerusakan teras terjadi, maka produk fisi yang ada dalam teras elemen bakar lepas ke sistem pendingin melalui pelelehan ataupun rusaknya integritas bahan bakar. Proses pelelehan ataupun kerusakan teras dapat terjadi karena akumulasi panas teras telah sampai melebihi titik lelehnya. Akumulasi ini terus berjalan bila penyerapan panas oleh pendingin reaktor tidak mampu mengatasi kenaikan panas yang ditimbulkan oleh teras reaktor. Selama proses kenaikan suhu di teras, pelepasan bahan radionuklida sudah mulai terjadi sejalan dengan pertumbuhan kerusakan integritas bahan bakar secara gradual. Gambar 5 dan 6 menunjukkan persentase pelepasan bahan radionuklida iod dan cesium pada bahan bakar metalik sebagai fungsi kenaikan suhu bahan bakar teras. Pada kondisi telah terjadi pelelehan, maka bahan teras akan jatuh ke dasar bejana tekan disertai pelepasan gas-gas mulia dan unsur-unsur yang mudah menguap seperti iod dan cesium ke pengungkung (containment). Pelepasan ini disebut sebagai pelepasan dalam bejana tekan (in-vessel). Bahan teras yang meleleh berada di dasar bejana dan dapat berinteraksi dengan bahan struktur beton di dasar bejana. Kejadian ini menyebabkan bahan radionuklida yang bersifat kurang volatil terlepas ke pengungkung. Pelepasan ini

43 18 Percentage Persentase pelepasan Release iod of Iodine Temperature Suhu (K) (K) Gambar 5 Persentase pelepasan bahan iod dari bahan bakar metalik (Soffer et al. 1995) 100 Persentase Percentage pelepasan Release of cesium Caesium Temperature (K) Suhu (K) Gambar 6 Persentase pelepasan cesium dari bahan bakar metalik (Soffer et al. 1995) disebut juga sebagai pelepasan dari luar bejana tekan (ex-vessel). Pada saat yang sama bahan radionuklida yang tadinya sudah berada pada bejana tekan dalam selang waktu yang sudah cukup panjang akan keluar ke pengungkung. Pelepasan ini dikenal sebagai pelepasan dari bejana tekan yang tertunda (late vessel). Jika pada kejadian kecelakaan suhu pendingin primer juga tinggi, maka pada saat kerusakan yang terjadi pada bagian bawah bejana, sejumlah bahan bakar teras akan terinjeksi ke pengungkung dengan kecepatan tinggi. Dalam kondisi ini

44 19 bahan radionuklida yang bersifat aerosol dapat terlepas ke pengungkung. Demikian pula terjadinya ledakan uap sebagai hasil interaksi antara sisa-sisa bahan teras dan air dapat menyebabkan peningkatan produksi fisi ke pengungkung. Dengan demikian terlepasnya produk fisi ke pengungkung pada kecelakaan teras reaktor jenis PWR ditentukan oleh adanya celah (gap), pelepasan dalam bejana, pelepasan luar bejana, pelepasan tertunda yang fraksi pelepasannya seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Fraksi pelepasan bahan radionuklida jenis PWR Elements Pelepasan pada gap (gap release) Pepasan awal dalam bejana tekan (early in vessel) Pelepasan luar bejana tekan (ex-vessel) Pelepasan tertunda dalam bejana tekan (late invessel) Kr, Xe I, Br Rb, Cs Te, Se Ba, Sr Co, Mo, Tc, Ru, Rh Y, Zr, Nd, Eu, Nb, Pm, Pr, Sm, Y, Cm, Am, Ce, Pu, Np Sumber : Soffer (1995) Seperti yang telah diuraikan terdahulu dalam kondisi normal seluruh bahan hasil belah terkungkung dalam kisi kristal elemen bakar. Bahan hasil fisi ini hanya akan keluar dari kristal bila terjadi penaikan panas yang tinggi, sehingga kisi kristal menjadi pecah. Kemungkinan terjadi pecahnya kisi kristal diasumsikan dengan probabilitas (p 1 ). Akan tetapi radionuklida yang lepas dari kristal masih terkungkung di dalam kelongsong elemen bakar. Apabila kelongsong juga mengalami pecah, dengan kemungkinan (p 2 ), maka bahan radionuklida masih terkungkung di dalam sistem pendingin primer. Apabila sistem primer mengalami kebocoran, dengan kemungkinan terjadinya (p 3 ) maka bahan radionuklida masih terkungkung di tabung pengungkung (containment). Selanjutnya apabila tabung pengungkung mengalami kebocoran, dengan kemungkinan (p 4 ) maka bahan radionuklida masih terkungkung di dalam struktur beton dan baja gedung reaktor. Baru bahan radionuklida akan keluar ke

45 20 lingkungan bila terjadi kebocoran pada struktur beton dan baja dengan kemungkinan bocornya sebesar (p 5 ). Dengan demikian kemungkinan terjadinya pelepasan bahan radionuklida ke lingkungan menjadi sangat kecil yaitu, P = (p 1 )*(p 2 )*(p 3 )*(p 4 )*(p 5 ) Besarnya kemungkinan pelepasan bahan radionuklida P sangat tergantung pada teknologi yang sudah dicapai saat itu. Berbagai usaha secara teknologi dilakukan untuk memperkecil resiko terlepasnya bahan radionuklida ke lingkungan oleh kecelakaan nuklir (Hastowo 2005). Sejak pada generasi pertama teknologi PLTN sistem keselamatan PLTN dibuat dengan didasarkan pada penerapan prinsip redundansi dan pada beberapa hal juga menggunakan prinsip diversitas (diversity). Setiap komponen sistem keselamatan dilengkapi dengan komponen redundan. Bila terjadi kegagalan fungsi, maka komponen redundan secara otomatis mengambil alih fungsi komponen yang gagal dan sebagai akibatnya sistem keselamatan dianggap tidak mengalami kehilangan fungsi. Kombinasi penerapan redundansi dan diversitas bersama dengan penerapan rangkaian logika (logic gating) digunakan untuk dapat menjamin keboleh jadian kecelakaan terparah 10-4 per tahun-reaktor. Peningkatan sistem keselamatan dilakukan dengan memanfaatkan perilaku keselamatan inherent dalam desain reaktor. Dengan desain generasi kedua ini, maka keandalan reaktor dapat ditingkatkan sehingga frekuensi kerusakan teras menjadi per tahun-reaktor. Walapun demikian sistem keselamatan ini juga memiliki kelemahan seperti yang ditunjukkan pada kecelakaan Three Miles Island. Koreksi terhadap sistem keselamatan ini juga dilakukan dengan menambahkan sistem keselamatan pasif, yaitu sistem keselamatan yang otomatis bekerja bila terjadi kecelakaan tanpa interfensi manusia. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan oleh kelalaian manusia (human error) yang terjadi dalam suasana kepanikan. Teknologi reaktor dengan sistem pasif ini merupakan teknologi generasi ke tiga. Jenis reaktor yang termasuk generasi tiga ini adalah Advance Boiling Water Reaktor (ABWR), SBWR, dan AP600, AP1000 masingmasing dengan frekuensi kerusakan teras (Core Damage Frequency) 1,84 x 10-6 per reaktor-tahun, 2,8 x 10-7 per reaktor-tahun, dan 3,3 x 10-7 per reaktor-tahun.

46 21 Pemutahkiran teknologi keselamatan tidak berhenti, penelitian lebih lanjut terus dilakukan dengan mengembangkan teras kompak dengan kerapatan yang lebih kecil, memakai sistem pasif dan memperkecil daerah proteksi menjadi kurang dari 800 m. Generasi reaktor ini dikelompokkan sebagai generasi ke 4, dengan frekuensi kerusakan teras <10-6 per reaktor-tahun. Dengan perkembangan teknologi reaktor ini, maka sesungguhnya kekuatiran akan terjadinya kecelakaan reaktor sudah semakin sangat kecil. Secara prinsip pada kondisi normal tidak ada pelepasan radionuklida ke udara kecuali bahan-bahan tertentu yang bersifat volatile, yang berasal dari produk fisi pada sistem primer, aktivasi terhadap bahan yang korosif, bahan kimia tambahan maupun bahan pendinginnya Penyebaran Radionuklida di Atmosfir Model Dispersi Atmosfir Bahan radionuklida yang terbentuk pada teras maupun pendingin reaktor berpotensi lepas ke lingkungan baik dalam kondisi normal maupun kondisi kecelakaan. Oleh karena itu sebelum suatu reaktor dibangun, perlu dilakukan analisis terhadap pelepasan bahan radionuklidanya ke lingkungan, sehingga secara dini dapat diantisipasi langkah-langkah pencegahan dampak terlepasnya bahan radionuklida secara maksimum. Untuk memperkirakan besar bahan radionuklida yang tersebar di atmosfir dan sampai ke bumi terlebih dahulu dimodelkan pola penyebaran bahan radionuklida di atmosfir dengan menggunakan model dispersi atmosfir seperti yang ditunjukkan pada persamaan (2.2). Model ini sangat luas dipakai dalam menghitung besar konsentrasi gas atau radionuklida yang sampai ke permukaan bumi (IAEA 1980a, 2001; NRPB-FZK 1995). ( ) 2 2 Q o y z h ( ) e X x, y, z = exp + 2πσ 2 2 yσ zu 2σ y 2σ z Keterangan: X (x, y, z) : konsentrasi aktivitas dalam udara pada titik (x, y, z) (Bq /m 3 ) x : jarak ke arah angin bertiup (m) y : jarak ke arah sumbu y yang tegak lurus arah angin (m) z : tinggi dari atas tanah dimana konsentrasi diukur (m) σ y : standar deviasi distribusi horizon Gauss (m) σ z : standar deviasi distribusi vertikal Gauss (m) Q o : laju pelepasan (Bq/detik) (2.2)

47 22 u : kecepatan angin rata-rata (m/detik) h e : tinggi efektif pelepasan (m) Hal yang paling kristis dalam menentukan distribusi spasial dan temporal radionuklida adalah kondisi atmosfir dimana PLTN tersebut didirikan (Cao et al. 2000). Oleh karena itu pengambilan data setiap jam dalam satu tahun merupakan persyaratan dalam menghitung konsentrasi radionuklida dengan menggunakan PC COSYMA (Tan 1997). Dalam prakteknya kondisi atmosfir ini diwakili oleh besaran parameter dispersi (σ) bersama dengan stabilitas atmosfir dan turbulensi (IAEA 1980a). Ada beberapa metode yang digunakan untuk menentukan stabilitas atmosfir antara lain Metode Pasquil - Gifford, metode laju penurunan suhu, metode fluktuasi angin, metode Split Gamma, dan metode gabungan laju penurunan suhu dan kecepatan angin. Dalam penelitian ini, metode Pasquil- Gifford akan digunakan untuk menentukan stabilitas angin (NRPB-FZK 1995, Susilo et al. 2004). Banyaknya faktor penghambat aliran angin, seperti angin yang tidak stabil, kekasaran permukaan dan pemanasan udara yang tidak merata, dapat membuat gerakan angin menjadi tersendat-sendat atau turbulensi. Hubungan parameter dispersi dengan turbulensi digambarkan dalam rumus (2.3) 2 i Keterangan: σ i : parameter dispersi arah i C i : koefisien difusi virtual Sutton arah i u : kecepatan angin (m/detik) σ 1 = C 2 2 i ( u) 2 n (2.3) Untuk pelepasan yang memakan waktu cukup lama, penyebaran horizontal bahan radionuklida dipengaruhi oleh fluktuasi arah angin. Untuk pelepasan yang kontinu dengan kondisi meteorologi dianggap tetap dan arah angin yang merata (uniform) persamaan (2.2) dapat ditulis kembali menjadi, X Keterangan : u s h e X ( x, z) Qo = 2π x 2π σ u ( z h exp 2σ z 2 e ) 2 : konsentrasi aktivitas rata-rata di udara pada titik (x, z)(bq/m 3 ) : kecepatan angin pada ketinggian pelepasan (m/detik) : tinggi efektif (m) z s

48 23 Aktivitas yang terdispersi ada yang sampai ke tanah dan karena massanya yang ringan dapat dipantulkan kembali ke atmosfir. Dengan demikian persamaan (2.4) dapat disempurnakan menjadi, X ( x, z ) = 2π x Q o 2π σ U z s 2 ( 2 h ) ( 2 h ) e + exp + exp 2 2σ z 2σ 2 e 2 z (2.5) Pembatasan pantulan terjadi pada lapisan campur (mixing layer) di atmosfir dan ini terjadi pada berbagai ketinggian sebagai akibat perubahan gradien suhu. Bahan yang terdispersi terperangkap antara batas atas dan bumi. Apabila tidak ada lapisan campuran, bungkah akan terus naik ke arah vertikal. Dengan memasukkan pantulan maka konsentrasi yang terdapat di udara merupakan penjumlahan dari berbagai kontributor radionuklida terhadap persamaan Gauss. Disamping itu, dispersi primer karena adanya sumber pada tinggi efektif harus dimasukkan, bersama dengan pantulan dari sumber pada ketinggian, h e, berkaitan dengan besaran pada persamaan (2.5) Untuk suatu lapisan campur, konsentrasi rata-rata diberikan sebagai: X ( x, z ) = 2π x Q o 2π σ u z s s= 0 exp ( 2sA ± h z) e ± 2 2σ z 2 (2.6) Jika s : 0 hanya z positif yang diperlukan. Dalam prakteknya ketelitian yang cukup diperoleh jika urutan dibatasi pada s : 1. Secara umum, urutan ini akan konvergen segera dan dapat dijumlahkan sampai pada tingkat akurasi tertentu. Pada jarak ke arah angin yang besar, setelah pantulan (refleksi) yang berulang atau ketika harga koefisien dispersi vertikal menjadi lebih besar dari ketebalan lapisan campur, profil konsentrasi vertikal aktivitas menjadi merata antara tanah dan batas atas lapisan campur. Persamaan (2.6) disederhanakan menjadi, X Qo, = x 2π u ( x z) s A (2.7) Keterangan: A : luas wilayah

49 Faktor Koreksi. Konsentrasi aktivitas di udara dapat berkurang oleh berbagai sebab antara lain oleh adanya peluruhan, deposisi basah, deposisi kering. Berikut ini diuraikan masing-masing penyebab pengurangan konsentrasi di udara. Peluruhan. Konsentrasi radionuklida yang ada di atmosfir dapat berkurang oleh adanya peluruhan. Faktor peluruhan dirumuskan sebagai, Keterangan: R p : faktor peluruhan λ p : konstanta peluruhan radionuklida (s -1 ) x : Jarak ke x arah angin R exp λ x p = p us (2.8) Produk turunan alamiah bertambah ke dalam bungkah dengan peluruhan radionuklida dan konsentrasi produk turunan dapat diperoleh dengan mensubstitusi Q o R d untuk Q o dalam persamaan (2.9) R d = λ λd λ p d exp λ d x u s exp λ p x us (2.9) Keterangan: R d : faktor peluruhan turunan λ d : konstanta peluruhan turunan (s -1 ) Deposisi Basah. Ada 2 proses hujan pengurangan konsentrasi di udara yaitu : 1. hujan jatuh melalui bungkah (wash out) 2. awan hujan (rain out) yang nyata dapat membuat Wash-out dipengaruhi oleh distribusi ukuran hujan yang jatuh sekaligus sifat-sifat difusi bahan. Rain-out dipengaruhi oleh proses kondensasi di dalam awan dan laju kecepatan saat bahan radionuklida yang terdifusi ditarik ke awan hujan. Karena sulitnya membedakan kontribusi wash-out dan rain-out, maka nilai koefisien wash-out digunakan bersamaan untuk menggambarkan kedua proses tersebut. Deposisi Kering. Deposisi kering merupakan proses yang lebih kompleks, bahan radionuklida ditarik dari bungkah oleh benturan dengan permukaan atau

50 25 rintangan yang dikenakan terhadapnya. Besaran untuk menggambarkan deposisi kering ini adalah laju deposisi kering, Keterangan: D d = V g C D d : konsentrasi deposisi (Bq/m 2 ) V g : kecepatan deposisi (m/detik) C : konsentrasi bahan radionuklida di udara pada ketinggian 0 m (Bq/m 3 ) (2.10) Efek Loncatan Bungkah Terhadap Dispersi Atmosfir. Bahan radionuklida dapat terlempar ke atas melebihi titik pelepasan cerobong jika bungkah memiliki momentum vertikal atau daya apungnya lebih besar dari udara di sekitarnya. Beberapa model penaikan lapisan ini telah dikembangkan secara detil oleh Brigg. Dengan adanya ketinggian lemparan pelepasan, maka dalam perumusan Gauss nilai h yang dipakai adalah Keterangan: h : ketinggian bungkah (m) h e : tinggi efektif cerobong (m) h : tinggi lemparan bungkah. (m) h : h e + h (2.11) Efek ketinggian gedung terhadap dispersi atmosfir. Ketinggian gedung juga berpengaruh pada konsentrasi radionuklida di udara karena ketinggian gedung dapat menyebabkan turbulensi udara. Beberapa model untuk menggambarkan pengaruh gedung ini telah dikembangkan oleh Hosker dan Fackwell. Efek meteorologi wilayah pesisir. Kondisi lokasi pantai dalam beberapa hal cukup berbeda dari lokasi pada daratan pulau. Perbedaan tersebut diantaranya adanya tiupan angin laut dan angin darat (Sumiratno et al. 2000), kehadiran lapis batas internal jika aliran udara melewati garis pantai dan iklim yang moderat. Oleh karena itu meteorologi daerah pesisir adalah kompleks dan model yang harus dikembangkan adalah model yang lebih mutakhir Dispersi untuk sumber kontinu Model dispersi atmosfir yang diuraikan sebelumnya adalah berdasarkan asumsi bahwa stabilitas atmosfir adalah konstan selama pelepasan. Dalam (2.12)

51 26 kenyataannya tidaklah demikian, kondisi meteorologi berubah-ubah, oleh karena itu konsentrasi aktivitas di udara atau laju deposisi dirumuskan dalam persamaan X r, z) = f x ( r, z) i ( i, j ij j Keterangan: f ij : frekuensi dengan angin bertiup ke sektor tertentu di arah i dalam stabilitas atmosfir j x ij : konsentrasi di arah (i) dan stabilitas atmosfir j (Bq/m 3 ) r : jarak dari sumber (m) z : tinggi di atas permukaan (m)? : penjumlah konsentrasi aktivitas untuk berbagai kategori stabilitas Pelepasan Radionuklida Pada Kondisi Kecelakaan Bila terjadi kecelakaan, maka faktor yang berubah dari pelepasan kondisi normal adalah besar aktivitas radionuklida yang dilepaskan, lama pelepasan dan karakteristik radionuklida, dan faktor deposisi dan dispersi di lingkungan sekitar instalasi. Aktivitas konsentrasi yang terdispersi sampai ke permukaan searah dengan arah angin dapat dihitung dengan persamaan: 2 Q h X ( x, y, z) = exp 2 π σ y σ z 2σ 2 Keterangan: X (x, y, z) : konsentrasi aktivitas dalam udara pada titik (x, y, z) (Bq /m 3 ) x : jarak ke arah angin bertiup (m) y : jarak ke arah sumbu y yang tegak lurus arah angin (m) z : tinggi dari atas tanah dimana konsentrasi diukur (m) σ : standar deviasi distribusi horizon Gauss (m) y σ z : standar deviasi distribusi vertikal Gauss (m) Q : laju pelepasan (Bq/detik) u : kecepatan angin rata-rata (m/detik) h : tinggi pelepasan (m) (2.13) 2.2 Karakteristik Populasi Penerima Dinamika Pertumbuhan Penduduk Penerima Dampak Jumlah penduduk sebagai end-point dari dampak radiologi ini akan selalu berkembang sesuai dengan waktu dan perkembangan variable-variabel lain yang mempengaruhinya. Oleh karena itu analisis terhadap pertumbuhan penduduk sangat diperlukan untuk memprediksi dampak radiologi di masa yang akan

52 27 datang. Studi distribusi kependudukan ini berguna untuk mengevaluasi potensi dampak radiologi pada saat pelepasan normal maupun kondisi darurat sekaligus mengevaluasi kesiapan rencana kedaruratan atau emergency response plan (IAEA 1980b) Secara umum faktor demografi yang terkait dengan pertumbuhan penduduk meliputi laju kelahiran, kematian, dan migrasi yang dirumuskan sebagai, Penduduk : Lahir Mati ± Migrasi, akan tetapi masih terdapat faktor-faktor pendorong yang bukan faktor demografi yang menyebabkan pertumbuhan penduduk. Sebagai contoh, faktor fertilitas di suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh pasangan usia subur, tetapi juga oleh faktor sosial budaya yang ada di daerah tersebut (Mantra 2003). Yauke (1990) pada Mantra (2003) menggambarkan hubungan faktor demografi dan nondemografi seperti pada Gambar 7. Variabel Demografi Jumlah, Pesebaran dan komposisi penduduk Kelahiran Kematian Migrasi Variabel Non Demografi Sosiologi Anthropologi Ekonomi Geografi Biologi Gambar 7 Hubungan faktor demografi dan non-demografi dalam studi kependudukan Dalam studi demografi, analisis yang dilakukan menggunakan variabel dependen dan variabel independen yang sama-sama merupakan faktor demografi, sedangkan studi kependudukan bila variabel dependent dan independent merupakan kombinasi faktor demografi dan non-demografi. Tandom dan Khater

53 28 (2003) telah menggunakan pendekatan parsel untuk memprediksi pertumbuhan penduduk Las Vegas. Dengan metode ini dapat digambarkan pertumbuhan secara spatial dengan memperhatikan sifat-sifat lokal dari lokasi tersebut. Dengan menggunakan metode regressi ganda dapat pula dilakukan perkiraan (forcasting) terhadap pertumbuhan kerapatan penduduk dengan menggunakan sifat-sifat lokal yang terdistribusi secara spasial sebagai variabel ganda. Secara rinci variabel yang mungkin mempengaruhi pertumbuhan penduduk diuraikan sebagai berikut: 1. Lokasi dari pusat bisnis Salah satu parameter spasial yang mempengaruhi kepadatan penduduk telah dadalah jarak (Rustiadi 2003) jarak dari pusat bisnis (Center for Bussiness District). Semakin dekat suatu wilayah dengan pusat bisnis semakin besar besar tingkat pertumbuhannya. 2. Penduduk dan tinggi permukaan laut Umumnya penduduk lebih banyak bertempat tinggal di tempat berupa dataran yaitu dekat dengan permukaan laut. 3. Penduduk dan Kelerengan Secara umum kota-kota besar dengan fasilitas dan pelayanan yang lengkap merupakan daya tarik aliran penduduk dari desa ke kota, sehingga ditambah dengan perkembangan penduduk kota itu sendiri mencapai persentasi kenaikan yang relatif tinggi. Dalam hal ini kelerengan dibagi dalam 4 kategori yaitu kategori 0-2%, 2-15%, 15-40% dan diatas 40% 4. Letak desa terhadap hutan Umumnya penduduk bertempat tinggal jauh dari hutan. Dalam analisis ini penduduk dikategorikan bertempat tinggal (1) di dalam hutan, (2) pinggir hutan dan (3) jauh dari hutan. 5. Karakter penduduk Jumlah wanita di suatu desa akan menentukan jumlah pertambahan penduduk desa tersebut, sehingga dapat dijadikan variabel untuk menentukan petumbuhan penduduk. Demikian pula karena wilayah yang ditinjau berupa desa yang basisnya adalah pertanian, maka jumlah penduduk tani juga merupakan variabel dalam menentukan pertumbuhan penduduk.

54 29 6. Sumber penghasilan penduduk Secara umum pendududk desa adalah petani, namun cukup banyak juga di antaranya yang bekerja di bidang lain. Sumber mata pencaharian ini juga dapat dijadikan variabel dalam pertumbuhan penduduk. Dalam analisis ini sumber mata pencarian meliputi pertanian, pertambangan, industri, perdagangan, lain-lain. 7. Industri Berbagai industri dapat menarik jumlah penduduk untuk mencari pekerjaan oleh karena itu data industri dapat digunakan sebagai variabel dalam memprediksi pertumbuhan penduduk. 8. Ekonomi (Jayadinata 1999) Pertumbuhan ekonomi adalah proses peningkatan produksi dari kehidupan ekonomi dan menyebabkan meningkatnya pendapatan nasional. Peningkatan produksi memerlukan investasi. Investasi menyebabkan penciptaan barangbarang produksi (bangunan, alat-alat, mesin, barang jadi, dan setengah jadi, barang mentah guna prodes produksi selanjutnya). Cobb-Douglas (Supranto 2004) berhasil menyusun suatu formula berdasarkan pengalaman (empiris) yang menerangkan hubungan antara produksi, pekerja (labour) dan kapital. P : produksi L : labor C : capital P : f(l,c) 9. Pertumbuhan Penduduk dan Pendidikan Menurut Soerjani et al. (1987) di negara-negara yang anggaran pendidikannya paling rendah biasanya menunjukkan angka kelahiran yang tinggi. Tidak hanya persediaan dana yang kurang, tetapi komposisi usia secara piramida pada penduduk yang berkembang dengan cepat menyebabkan rasio guru terhadap murid menurun. Perkembangan ekonomi dan perluasan pendidikan dasar telah memperluas jurang pemisah antara pria dan wanita, karena hampir di mana-mana prioritas diberikan pada pria.

55 Penduduk dan pemukiman (Soerjani et al. 1987) Semakin bertambah penduduk maka luas pemukimanpun semakin bertambah. Proyek seperti perumahan dibangun, pasar diperbaiki, pedagang kaki lima di lokalisasi, jalan-jalan diperbesar dan diperbaiki. Dalam mempelajari pertumbuhan penduduk, timbul beberapa macam pertanyaan; berapa banyak pertambahan penduduk, faktor apa saja yang mempengaruhi pertambahan penduduk, dan berapa banyak penduduk yang dapat didukung oleh daerah tertentu. Pemda Jepara (1994), menggunakan rumus untuk menghitung daya tampung wilayah sebagai berikut, P h Lw = 0.01Dt Dt P + h P + h Keterangan: Lw : luas wilayah yang dibudidayakan, dikembangkan (ha) : Luas wilayah kawasan lindung (hutan) P: h : Perbandingan jumlah penduduk perkotaan dan desa Dt : daya tampung 0.01 : kebutuhan lahan (ha/jiwa) untuk penduduk perkotaan 0.3 : kebutuhan lahan (ha/jiwa) untuk penduduk pedesaan 11. Sarana dan fasilitas Yang termasuk sarana dan fasilitas adalah rumah sakit, puskemas, klinik bidan, mesjid, listrik, jalan, tempat rekreasi. 12. Ketersediaan lahan Pertumbuhan penduduk tidak terlepas dari ketersediaan lahan. Pertumbuhan penduduk akan menyebabkan konversi lahan dari lahan sawah, kebun dan ladang ke pemukiman. Oleh karena itu ketersediaan lahan juga merupakan variabel dalam analisis pertumbuhan penduduk Dampak Radiasi Terhadap Manusia dan Lingkungan Dampak Terhadap Kesehatan Dampak radiologi terhadap manusia dan lingkungan (sebagai end-point) terjadi oleh adanya proses interaksi antara radiasi pengion yang berasal dari luar (external) maupun dalam tubuh (internal) dengan bahan sel biologi. Interaksi tersebut akan menyebabkan perubahan pada DNA sel biologi seperti kematian sel

56 31 atau mutasi sel. Akan tetapi secara ilmiah setiap sel memiliki kemampuan untuk memperbaiki perubahan yang terjadi pada DNA. Hal ini berarti sebagian besar perubahan yang terjadi pada molekul tidak menimbulkan kerusakan, kecuali untuk sel yang gagal melakukan perbaikan (Wiryosimin 1995). Bila dampak radiasi terjadi secara langsung terhadap sel penerima disebut dampak somatik, akan tetapi bila dampak atau efek baru muncul pada keturunannya disebut juga akibat herediter atau genetik. Ditinjau dari sifatnya dampak biologi dibagi dalam dampak deterministik (non-stokastik) dan akibat stokastik. Akibat deterministik ditandai dengan adanya dosis minimum tertentu yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tingkat kerusakan bertambah oleh bertambahnya dosis, dan adanya keterkaitan yang jelas antara penyebab dan akibat. Pada penyinaran yang kecil dari satu Sievert (Sv) umumnya jaringan sel belum menunjukkan gejala klinis yang nyata kecuali pada organ berikut (ICRP 1990): a) Gonad yang akan steril sementara bila terkena 0.15 Sv dan steril menetap bila terkena 3 Sv. b) Tulang belakang yang akan mengalami gangguan pembentukan darah pada dosis 0.5 Sv. c) Lensa mata yang akan menyebabkan kebutaan setelah beberapa tahun terkena penyinaran, Sedangkan akibat stokastik adalah akibat yang terjadi berdasarkan kemungkinan (probabilitas) yang dapat dialami oleh penerima, atau dalam hal genetik, yang dialami oleh salah satu keturunan. Probabilitas kejadian berbanding linier dengan dosis namun tingkat keparahannya tidak tergantung dari dosis, contoh efek karsinogenik dan hereditary (Wiryosimin 1995; IAEA 1988). Efek stokastik umumnya dinyatakan dalam jumlah kasus kejadian kanker (morbidity) atau kanker fatal (mortality) per unit dosis Penerimaan radiasi oleh manusia atau organ Secara umum jalur masuknya radionuklida ke tubuh manusia maupun lingkungan dijelaskan pada Gambar 8.

57 32 Sumber Proses Kontaminasi Media kontaminasi Modus Penyinaran Karakteristik Penerimaat Lepasan Atmosfir lease PLTN Dispersi Udara IInhalasi Deposisi Tanah Tanaman Hewan Iradiasi eksternal β, γ Makanan Hirup Manusia Makan Gambar 8 Jalur penerimaan paparan radiasi pada manusia Bahan radionuklida terlepas dari cerobong PLTN ke atmosfir dan tersebar di udara. Sebagian tetap mengapung di udara membentuk awan radioaktif sebagian lagi terdeposisi ke tanah. Paparan radionuklida yang berada di udara memberikan dampak radiologi kepada manusia melalui radiasi eksternal (external irradiation) dalam bentuk awan radiasi (cloud) dan radiasi internal (internal irradiation) termasuk penghirupan udara (inhalation) dan makanan (ingestion). Penghirupan udara masuk ke dalam tubuh manusia sebanding dengan kemampuan hisap manusia itu sendiri. Paparan radionuklida yang terdeposisi dapat tetap berada di permukaan tanah maupun sebagian terserap ke dalam tanah. Paparan yang tetap di permukaan tanah dapat kembali ke udara oleh karena ada hembusan angin atau terdorong oleh benda keras. Paparan ini akan memperbesar paparan radionuklida yang ada di udara. Sedangkan yang masuk ke dalam tanah akan termakan oleh ternak atau terhisap oleh tanaman. Paparan ini akan masuk ke dalam tubuh manusia melalui jalur makan (ingestion) manusia sebagai penerima radionuklida. Untuk masing-masing jalur penyinaran dapat dibuat model untuk mengkuantifikasi besar penyinaran yang sampai ke end-point Awan Radiasi Radionuklida yang terdispersi di atmosfir dapat menjadi sumber radiasi berupa awan radiasi terhadap manusia. Karena radiasi awan ini berada di luar tubuh manusia, maka sering disebut sebagai sumber radiasi eksernal. Radiasi

58 33 eksternal ini terdiri dari dua jenis radiasi yaitu radiasi gamma dan radiasi beta (elektron). Awan radiasi bungkah gamma yang berbentuk awan semi-tak-hingga menimbulkan dosis serap di udara per tahun sebesar D γ = k X i n j= 1 I j E j Keterangan: Dγ : laju dosis serap di udara (Gy/tahun) X : konsentrasi radionuklida di atmosfir (Bq/m 3 ) E j : energi awal photon (MeV) I j : fraksi gamma per desintegrasi pada energi E j. n : jumlah foton per desintegrasi k i : 2.0 x 10-6 (Gy/tahun per MeV/ m 3 detik) Untuk bungkah model awan hingga, maka fluks efektif, F, pada jarak r, dari titik sumber diperoleh dengan menggunakan faktor pertumbuhan (build-up) : qb( Eγ, µ r) e F = 2 4πr µ r (2.15) Keterangan: F : fluks efektif (γ/ m 2 detik) q : kuat sumber (γ/detik) r : jarak dari sumber (m) µ : koefisien atenuasi linier (m -1 ) B : faktor build-up deposisi energi Eγ : energi foton awal (MeV) Fluk efektif gamma (F c ) dari awan hingga diperoleh dengan mengintegrasikan ekspresi ini pada semua ruang F c = v f X B( E, µ r) e γ 4πr µ r dv (2.16) f : intensitas energi gamma spesifik Untuk mengetahui efek dosis serap di udara terhadap dosis di organ tubuh, maka dapat digunakan daftar konversi laju dosis pada publikasi ICRP 60 (ICRP 1990). Awan radiasi eksternal bungkah beta atau elektron. Awan radiasi ini sangat peka terhadap kulit. Sel yang paling sensitif yang terdekat dari pemukaan kulit adalah lokasi lapis basal epidermi pada kedalaman 70 µm dari permukaan.

59 34 Laju dosis pada kulit dievaluasi dari laju dosis serap di udara, memungkinkan penyerapan eksponensial fluks elektron pada lapis 70 µm dan dirumuskan sebagai : Keterangan: D β : laju dosis serap (Gy/ tahun) X(x, 0) : konsentrasi pada permukaan tanah (β/m 3 ) E j : energi rata-rata partikel j (MeV) I j : fraksi elektron dari energi Ej yang dipancar per integrasi m : jumlah partikel β dan konversi elektron per desintegrasi k 2 : 4 x 10-6 (Gy/tahun per MeV m -3 s -1 ) D β = k m 2 X ( x,0) j= 1 I j E j (2.17) Energi rata-rata partikel β E j (aproksimasi) sama dengan 1/3 energi maksimum E j E = β max j 3 (2.18) Konversi dosis serap elektron di udara ke organ tubuh Untuk mengetahui efek dosis serap elektron di udara terhadap dosis serap elektron kulit dapat dievaluasi dari laju dosis di udara dengan mengijinkan penyerapan eksponensial fluk elektron dalam 70 µm lapisan H β = 0. 5e ω (2.19) µ d D β r Keterangan : H β : laju dosis ekivalen di kulit (Sv/tahun) D β : laju dosis serap beta (Gy/tahun) ω r : faktor kualitas untuk radiasi β dan diambil sebagai emity µ : koefisien absorpsi di jaringan d : ketebalan lapis epitermal (µm) Radiasi Internal Radionuklida yang masuk ke dalam tubuh manusia akan memancarkan radiasi dari dalam disebut sebagai radiasi internal. Radiasi ini dapat masuk melalui hisapan udara maupun melalui makanan. Radionuklida yang masuk ke tubuh manusia melalui hisapan udara maupun makanan secara skematik dapat digambarkan seperti pada Gambar 9. Selanjutnya model metabolisme perpindahan bahan radionuklida di dalam tubuh manusia dapat dapat dilihat pada Gambar 10.

60 35 Radionuklida di udara Permukaan Permukaan rerumputan Tanah zone akar Permukaan tanaman Bagian dalam Hewan Masuk dalam tubuh manusia Gambar 9 Proses masuknya bahan radionuklida ke dalam tubuh manusia Masukan Masukan Feses Paru-paru Pencernaan Darah Urin Organ lain Otot Lever Susu Gambar 10. Metabolisme perpindahan radionuklida dalam tubuh

61 36 Dosis ekivalen efektif yang terhirup oleh manusia dapat dihitung dengan persamaan H hir, k : X a,k. V inh. Φ inh, k (2.20) Keterangan, X a,k : Konsentrasi radionuklida k di udara (Bq/m 3 ) V inh : volum udara yang dihirup pertahun (m 3 /tahun) Φ inh, k : Dosis ekivalen efektif per satuan hirup untuk radionuklida k Dosis ekivalen efektif yang masuk ke dalam tubuh manusia dalam satu tahun melalui makanan untuk radionuklida k dari makanan jenis m dapat dihitung dengan rumus, H m, k : X m,k. W m. Φ inh, k (2.21) Keterangan : C m,k : konsentrasi radionuklida k dalam makanan m (Bq/m 3 ) W m : masukan makanan m tahunan Φ inh, k : Dosis ekivalen efektif per satuan hirup untuk radionuklida k Penanggulangan Dampak Apabila terjadi kecelakaan nuklir maka penanganan yang serius harus dilakukan untuk menurunkan resiko atau sering disebut sebagai manajemen resiko. Manajemen resiko pada intinya melakukan seleksi terhadap peralatan yang dapat mereduksi resiko secara maksimum dengan biaya murah. Langkah untuk mereduksi resiko dapat dilakukan dalam beberapa kategori (IAEA 1998): 1. Langkah pencegahan. Langkah ini meliputi penggunaan teknologi atau proses untuk mencegah sumber pencemar, perencanan pemanfaatan tanah (land use planning) untuk menghindarkan populasi dari tinggkat radiasi yang tinggi, dan pengalihan jalur dengan mencegah bahan berbahaya melintasi penduduk yang padat. 2. Langkah reduksi resiko. Langkah ini meliputi penambahan instrumentasi pada instalasi sehingga dapat menurunkan kemungkinan akibat kecelakaan bersamaan dengan meningkatkan manajemen keselamatan instalasi, dan perencanaan penggunaan tanah yang sesuai.

62 37 3. Emergency Preparedness. Penanganan kondisi emergensi yang terlatih baik akan menurunkan secara berarti akibat yang fatal dari suatu kecelakaan (IAEA 1997c). Apabila telah terjadi kecelakaan, maka beberapa langkah dapat dilakukan untuk mencegah semakin besarnya akibat kecelakaan tersebut. Tindakan tersebut meliputi tindakan relokasi, evakuasi, perlindungan, dekontaminasi, larangan memakan makanan yang terkontaminasi, memakan tablet iod. Sebagai alat ukur untuk menentukan masing-masing tindakan ditentukan oleh besar dosis efektif yang sampai di permukaan bumi (NRPB 1995). Pada kejadian kecelakaan nuklir di Chernobyl langkah-langkah yang diambil dalam rangka mengurangi dampak resiko adalah dengan mengevakuasi penduduk pada radius 30 km, menutup reaktor yang mengalami kecelakaan dengan teknik pengungkungan (sarkofagus), meminum tablet iod, menghancurkan hewan dan tanaman yang dekat dengan reaktor, melakukan pengawasan yang ketat terhadap tanaman dan hewan yang berada pada daerah terkontaminasi (IAEA 1996a) Nilai Ekonomi Dampak Radiologi Kecelakaan nuklir bukanlah bentuk kecelakaan yang sering terjadi, sehingga tidak dimiliki data statistik yang cukup memadai untuk dijadikan acuan dalam penentuan dampak ekonominya. Untuk kasus ini, maka perkiraan yang umum dilakukan adalah dengan memberikan harga bayangan (shadow price) pada dampak tersebut. Dalam hal lingkungan yang tercemar, biaya yang dibutuhkan untuk membersihkan lingkungan dari pencemaran dapat dikatakan sebagai harga bayangan dampak kerusakan lingkungan (Kristanto 2002). Pada kecelakaan nuklir biaya pemulihan kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu kecelakaan nuklir dapat dikatakan harga bayangan dampak kecelakaan nuklir. Secara ekonomi biaya yang harus dikeluarkan apabila terjadi kecelakaan yang tidak dapat dihindari adalah biaya penanggulangan yang meliputi relokasi, evakuasi, perlindungan, dekontaminasi, larangan memakan makanan yang terkontaminasi, memakan tablet iod dan biaya perawatan kesehatan (IKET 2000; BATAN-IAEA 2002). Disamping itu, karena dampak terjadinya gangguan

63 38 kesehatan maupun relokasi dapat menyebabkan seseorang kehilangan penghasilannya sekaligus kontribusi yang bersangkutan terhadap perekonomian, kehilangan pendapatan juga menjadi bagian dari biaya. Biaya relokasi meliputi biaya transportasi, akomodasi, kehilangan pendapatan, dan kehilangan lahan. Biaya dekontaminasi meliputi pembiayaan untuk tenaga kerja, akomodasi per orang pertahun, dan biaya kehilangan pendapatan karena relokasi per orang. Biaya penanganan barang pertanian dan peternakan meliputi biaya kehilangan produksi makanan, makanan yang harus dibuang, biaya penggunaan sumber daya. Untuk menentukan biaya dari tiaptiap penanganan tersebut diperlukan data unit harga, oleh karena itu secara lokal akan ditentukan nilai unit harga dari masing-masing penanganan. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menilai kerusakan oleh pengaruh radiasi yaitu (Sanim 1995): 1. Metode berbasis pasar (actual market based methods) 2. Metode berbasis mewakili pasar (surrogate market based method) 3. Metode berbasis pasar kontigensi (contingent market based method) Metode berbasis pasar aktual adalah metode perkiraan dengan menggunakan harga yang mendekati nilai barang dan jasa lingkungan misalnya dengan membandingkannya dengan harga produk yang dijual di pasar lokal. Prinsip dari metode ini adalah dasar penentuan nilai ekonomi kawasan dari hasil produksi dan kesehatan masyarakat. Yang termasuk dalam metode ini adalah (a) metode dalam perubahan produktivitas (change in productivity), (b) metode kehilangan penghasilan (loos of earning method), (c) metode pengeluaran preventif (averted defensive expenditure method), dan (d) metode pengganti biaya (replacement cost method). Metode berbasis mewakili pasar (surrogate market based method) adalah metode yang memperkirakan nilai lingkungan dengan memperkirakan nilai produk pengganti yang dapat mensubstitusi produk yang sesungguhnya. Yang termasuk dalam metode ini adalah (a) biaya perjalanan (travel cost method), (b) metode hedonik atau nilai properti (hedonic pricing or property value), (c) metode substitusi produk (substitution/proxy method), (d) metode diferensiasi gaji (wage differencial method)

64 39 Metode berbasis pasar kontigensi (contingent valuation method) adalah metoda yang memperkirakan nilai lingkungan dengan menggunakan pandangan orang lain (stated preferences) tentang kesediaannya membayar (willingness to pay). Yang termasuk dalam metoda ini adalah (a) metoda penilaian kontigensi (contingent valuation method), dan (b) metoda pasar buatan (artificial market method). Pada kejadian kecelakaan nuklir di Chernobyl tahun 1986, biaya akibat kecelakaan dihitung dengan memperkirakan besar kehilangan dan besar pembiayaan yang dikeluarkan. Pengeluaran tersebut antara lain oleh kehilangan aset; penurunan produksi di bidang pertanian dan sektor terkait; tindakan yang diambil untuk menghilangkan akibat kecelakaan; pembangunan rumah; fasilitas kesejahteraan dan jalan, tindakan memproteksi hutan dan konservasi air; kompensasi untuk perusahaan pertanian, dekontaminasi tanah; kerjasama dan masyarakat yang kehilangan panen, hewan, biaya pindah, dan biaya hidup seharihari penduduk yang terkena musibah (Voznyak 1996). Untuk studi kasus ini, maka skenario dampak ekonomi yang akan dipertimbangkan adalah biaya pemeliharaan kesehatan, penyembuhan, kehilangan pendapatan, kerusakan tanah, air, kehilangan tanaman dan hewan. Valuasi dampak kesehatan (Sanim 2002) dapat dilakukan dengan memperkirakan faktor biaya yang terlibat dalam penanganan kematian (mortality) maupun gangguan kesehatan akut (morbidity) seperti biaya pendaftaran atau rawat inap, penggunaan ruang ruang emergency, lama hari tidak melakukan aktivitas, dan biaya pengobatan masing-masing dampak penyakit. Pada kenyataannya nilai ini sangat sulit diperoleh karena menyangkut masalah yang sensitif. Oleh karena itu penggunaan nilai pembandingan dapat dilakukan dengan memperhatikan tingkat daya beli masyarakat (Purchasing Power Parity). Purchasing Power Parity (Perbedaan Daya Beli) Secara konsepsual perbedaan daya beli berbagai negara merupakan teori untuk penentuan nilai tukar uang dan merupakan cara untuk membandingkan harga rata-rata barang atau jasa di antara negara-negara. Yang melatar belakangi

65 40 teori ini adalah keinginan para pengekspor atau pengimpor untuk membeli barang berdasarkan perbedaan harga di antara negara-negara dengan perhitungan Harga Barang Y = Harga Barang X PPP GNP PPP GNP Y X E Keterangan: Harga barang y Harga barang x PPP GNP y PPP GNP x : harga barang di negara y : harga barang di negara x yang digunakan sebagai pembanding : harga produk nasional kotor : harga produk nasional kotor negara acuan Dengan metode ini dapat dibandingkan harga barang atau jasa suatu negara dengan negara lain termasuk untuk nilai-nilai ekonomi resiko kesehatan Kajian Pemanfaatan Ruang dan Lingkungan Sebagaimana terjadi dengan proyek pembangunan lainnya di Indonesia, kehadiran PLTN akan diikuti dengan perkembangan jumlah penduduk di sekitar PLTN. Untuk itu wilayah di sekitar PLTN perlu ditata sedemikian rupa sehingga dapat mengantisipasi bilamana terjadi kondisi kecelakaan agar dampaknya terhadap penduduk seminimal mungkin dan seekonomis mungkin dalam penanganannya. Sebagai langkah pertama adalah ditetapkannya wilayah yang memiliki kemungkinan mendapat dosis radiasi yang tinggi dan rendah. Wilayah ini disebut sebagai wilayah eksklusi (Exclussion Area) dan zone penduduk jarang (Low Population Zone). Zone ekslusi adalah wilayah dengan radius sedemikian rupa, sehingga setiap individu yang berada pada setiap lokasi di dalam Exclussion Area tidak akan menerima dosis radiasi melebihi 25 rem Total Effective Dose Equivalent (TEDE) atau 0,25 Sv. dalam rentang waktu 2 jam setelah pelepasan produk fisi ke pengungkung (USNRC 1997). Setelah zone eksklusi disebut sebagai zone penduduk dengan kepadatan rendah (Low Population Zone). Wilayah ini dibatasi dengan ketentuan bahwa tiap individu yang berada di lokasi luar radius sebagai akibat kecelakaan yang

66 41 dipostulasikan tidak akan menerima dosis efektif ekivalen total melebihi 25 rem atau 0, 25 Sv., 30 hari setelah pelepasan produksi fisi ke pengungkung. Kedua, dengan diketahuinya zone-zone yang mungkin memiliki potensi terkena dosis radiasi dan distribusi penduduk perlu direncanakan tindakan kedaruratan bila terjadi kecelakaan dengan tujuan (IAEA 1997c): 1. Memperkecil resiko atau mencegah akibat kecelakaan pada sumber 2. Mencegah dampak deterministik kesehatan yang lebih parah, misalkan kematian. 3. Memperkecil kemungkinan dampak stokastik terhadap kesehatan, seperti penyakit kanker. Salah satu langkah tindakan kedaruratan adalah mendefenisikan Zone Rencana Kedaruratan (Zone Emergency Planning) yang terdiri dari Precautionary Zone (PAZ), Urgent Protective Action Planning Zone (UPZ) dan Longer term protective action planning zone (LPZ). PAZ adalah zone yang ditetapkan sekitar fasilitas dimana tindakan perlindungan yang penting (urgent protective action) telah direncanakan sebelumnya dan segera diimplementasikan setelah dinyatakan terjadinya keadaan darurat. Zone rencana tindakan perlindungan penting (UPZ) adalah zone disekitar PLTN yang tindakan perlindungan penting akan dilakukan berdasarkan hasil monitoring lingkungan. Selanjutnya zone rencana tindakan perlindungan jangka panjang merupakan zone yang meliputi UPZ dan zone lebih jauh yang digunakan untuk mencegah dan memperkecil dampak dosis jangka panjang dari deposisi dan makanan. Mengacu pada studi-studi sebelumnya (USNRC 1990; USNRC 1988) batas zone ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Ukuran zone berdasarkan kategori fasilitas Kategori Fasilitas Precautionary Action Zone Size (PAZ) Urgent Protective Action Zone (UPZ) Longer Protective Action Planning Zone Kategori km km km Kategori II Dalam km 5-10 km kawasan Dalam km km kawasan Kategori III Dalam kawasan Tidak perlu Tidak perlu

67 42 Dalam hal ini PLTN termasuk pada kategori fasilitas 1 yaitu reaktor dengan daya lebih dari 100 MW(th) (IAEA 1997c). Zone PAZ adalah wilayah dimana penduduk maupun pekerja dimungkinan mendapat informasi dengan segera misalnya melalui sirine dan menginstruksikan mereka untuk mengambil tindakan perlindungan yang penting misalnya berlindung (sheltering), evakuasi (evacuation), dan memakan tablet Iodium untuk memblok penyerapan iod radioaktif dalam tubuh (kelenjar gondok). Ukuran PAZ didasarkan pada: (a) Pelaksanaan tindakan protektif penting sebelum atau segera sesudah pelepasan bahan radionuklida di dalam zone ini akan mengurangi resiko secara signifikan dengan dosis di atas nilai ambang kematian segera (early death threshold) pada kasus kecelakaan terparah. (b) Pelaksanaan tindakan protektif sebelum atau segera setelah pelepasan di dalam zone ini yang akan mencegah dosis di atas nilai ambang kematian segera pada kebanyakan kecelakaan parah pada fasilitas. (c ) Untuk pelepasan atmosfir pada kondisi meteorologi di bawah rata-rata, zone ini meliputi jarak dimana 90% resiko luar kawasan yang menyebabkan efek kesehatan akut terjadi. Zone UPZ merupakan wilayah dimana tindakan monitoring lingkungan segera dilakukan dan menerapkan tidakan protektif berdasarkan hasil monitoring tersebut. Rencana dan kemampuan harus dipersiapkan untuk menerapkan perlindungan, evakuasi dan distribusi tablet iod. Harus dapat ditunjukkan bahwa evakuasi mungkin dibutuhkan sampai ke batas zone ini. Ukuran UPZ terutama mempertimbangkan hal berikut: (a) tindakan penting harus diambil 4-5 jam di dalam zone untuk menurunkan secara signifikan resiko dosis di atas nilai ambang kematian segera pada kasus kecelakaan terparah. (b) Jarak yang dibutuhkan kira-kira dapat menurunkan 10 kali konsentrasi dibanding dengan batas PAZ. (c) Rencana detil dalam zone yang dapat memberikan perluasan usaha-usaha penanggulangan pada kejadian kecelakaan parah. Zone LPZ adalah zone untuk mengimplementasikan tindakan protektif untuk menurunkan resiko dampak deterministik dan stokastik jangka panjang dari

68 43 bahan yang terdeposisi dan masuk dalam tumbuhan makanan. Secara umum tindakan relokasi dan pembatasan makanan, dan penanganan pertanian didasarkan hasil monitoring dan pengambilan sampel makanan. Ukuran LPZ mempertimbangkan: (a) Dosis rata-rata kontaminasi tanah yang menjamin relokasi tidak akan terjadi melebihi jarak ini untuk kebanyakan kecelakaan. (b) Jarak yang menyebabkan penurunan konsentrasi 10 kali lipat dibandingkan batas UPZ. Wilayah ini meliputi jarak dimana 99% resiko dosis luar kawasan di atas tingkat intervensi generik. (c) Rencana detil dalam zone yang dapat memberi perluasan langkah-langkah penanggulangan pada kecelakaan parah. Dengan mengetahui zone-zone tersebut dapat ditentukan langkah-langkah kedaruratan yang akan dilakukan, demikian pula pada daerah tertentu misalnya daerah ekslusi tidak dibenarkan adanya fasilitas-fasilitas yang dapat menimbulkan ancaman terhadap PLTN seperti fasilitas industri yang berpotensi menimbulkan ledakan, fasilitas militer, dan transportasi yang membawa bahan berbahaya. Sejalan dengan perkembangan waktu maka penggunaan lahan di sekitar PLTN dapat berubah yang didorong oleh pertumbuhan populasi, urbanisasi, industrialisasi, perubahan tatanan sosial ekonomi, harga tanah, dan lain-lain (Verbug et al. 2000). Sebagai akibatnya, dapat terjadi pemusatan penduduk dan aktivitas di wilayah yang memiliki tingkat potensi resiko radiologi yang relatif tinggi. Sesuai dengan Kotter (2003), IAEA (1998) salah satu langkah untuk mencegah terjadinya pemusatan penduduk dan aktivitas di lokasi sekitar PLTN adalah melalui perencanaan penggunaan lahan sejak awal. Melalui berbagai kebijakan tata ruang dapat diatur penggunaan ruang sekitar PLTN, sehingga terhindar dari potensi risiko radiologi yang tinggi. Secara prinsip langkah tersebut berkaitan dengan adanya zone penyangga (physical buffer zone) atau pemisahan antara industri yang berbahaya atau berpolusi dengan lahan yang sensitif atau lingkungan alam lainnya. Akan tetapi langkah penentuan jarak zone penyangga tidak hanya tergantung pada aspek teknis saja tetapi lebih luas menyangkut aspek sosial ekonomi. Oleh karena itu

69 44 lokasi PLTN, penggunaan tanah di sekitarnya dan isu-isu lain yang bertalian harus dipertimbangkan dalam konteks yang lebih luas yang meliputi lingkungan, keselamatan, ekonomi, sosial dan isu-isu perencanaan secara keseluruhan. Dan yang paling penting adalah langkah penanganan harus sesuai dengan rencana strategi wilayah di sekitar PLTN. Dua bentuk kebijakan pemerintah Belanda untuk mencegah dampak kecelakaan, pertama, memperkecil kemungkinan kejadian kecelakaan dan dampaknya dengan menangani sumbernya. Kedua, mengurangi jumlah populasi yang akan terkena dampak kecelakaan dapat dilakukan dengan kebijakan zone (zone policy). Kebijakan zone ini mendefenisikan Distance Density Figure (DDF) sebagai jumlah maksimum kepadatan penduduk manusia yang mengindikasikan bahwa Resiko populasi belum dilampaui (Lahej et al. 2000). Dalam kajian ini dievaluasi potensi pelepasan bahan radionuklida beserta dampaknya terhadap penduduk yang bertumbuh sejak mulai dioperasikan sampai usia PLTN. Sebagai konsekuensinya maka pemanfaatan ruang disekitar PLTN haruslah dikontrol dengan menetapkan zone eksklusi (exclusion area) dan zone penduduk jarang (low population zone), dan zone untuk melakukan evakuasi (USNRC 1997). Selanjutnya untuk mengatasi atau mengurangi dampak bila kondisi kecelakaan tidak dapat dihindari maka setiap PLTN harus membuat rencana tanggap darurat. Untuk mewujudkan pemanfaatan ruang dan langkah tanggap darurat maka hasil penelitian ini sangat berguna untuk dijadikan masukan dalam merencanakan tata ruang wilayah di Kabupaten Jepara Penelitian Terdahulu Kecelakaan nuklir merupakan kecelakaan yang sangat jarang terjadi, oleh karena itu kemungkinan kejadian kegagalannya tidak dilakukan dengan uji statistik yang memerlukan banyak data melainkan menggunakan pendekatan pohon kejadian dan pohon kegagalan yang dikenal dengan Probability Safety Assessment. Sebagai contoh, reaktor Temelin, 1300 MW, Czech, frekuensi kejadian kecelakaan terparah adalah sebesar 10-7 per tahun. Besaran ini tidak jauh berbeda dengan probabilitas yang digunakan Markandya (1999a) untuk menghitung probabilitas kejadian kecelakaan reaktor PLTN 1000 MW yaitu 1,9 x

70 Sesuai dengan perkembangan teknologi reaktor PLTN besaran ini sudah menunjukkan kinerja yang mendekati PLTN generasi IV. Pada umumnya reaktor, selama kondisi normal tidak diijinkan terjadi pelepasan bahan radionuklida kecuali gas mulia dan gas yang mudah menguap yang tidak mungkin dapat difilter. Susilo et al. (2004) telah melakukan perhitungan besarnya dosis yang akan diterima individu bila PLTN beroperasi normal dengan daya 2 x 1000 MWe maka besar dosis total yang diterima individu masih di bawah batas yang diijinkan yaitu 10 4 µsv atau 10 msv pada jarak 500 m dan 2 msv pada jarak 1 km. Besaran ini semakin mengecil dengan bertambahnya jarak. Pengetahuan tentang rona awal kondisi radioekologi di lokasi PLTN sangat diperlukan untuk menjadi acuan atau pembanding bila PLTN beroperasi. Secara alamiah bumi dan aktivitas manusia berpotensi memancarkan radiasi, karena bumi sendiri mengandung banyak bahan radionuklida dan aktivitas manusia banyak menggunakan bahan radionuklida. Dalam studi rona awal diuraikan sumber-sumber radiasi yang muncul dari alam seperti pada Gambar 11 (PPLH-LPUD 2001). Sinar kosmis; 10% Jatuhan global 0.4% Luruhan radon; 4% Lingukngan kerja 0.2% Lain-laian 0.4% Lepasan nuklir <0.1% Kedokteran nuklir; 12% Radon ; 47% Makanan dan minuman; 12% Sinar Gamma dari tanah dan bangunan; 14% Sumber: PPLH&LPUD 2004 Gambar 6.1. Sumber Radiasi di Alam (Saxe, 1991) Gambar 11. Sumber Radiasi di Alam

71 46 Studi tentang rona awal telah pula dilakukan melalui kerja sama BATAN dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) dan Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. Penelitian terhadap kondisi air tawar menunjukkan bahwa Radioaktivitas air tawar di Kabupaten Jepara akan mengalami peningkatan cukup berarti oleh adanya perkembangan di berbagai sektor dan akan beroperasinya PLTU Tanjungjati B. Perubahan radioaktivitas air tawar ini menyebabkan base line/data rona awal radioaktivitas air tawar di daerah Ujung Lemahabang diperkirakan akan mengalami perubahan yang dipresentasikan oleh peningkatan kadar radioaktivitas air tawar, terutama kadar 3 H, gross α, dan β. Pada saat ini aktivitas tritium dalam air sungai masih dalam batas yang diperbolehkan. Menurut SK DIRJEN BATAN No.93/DJ/VII/95 batas kadar tritium adalah 0,1 Bq/l. Penelitian terhadap biota menunjukkan bahwa 210 Pb yang terdapat pada cuplikan biota (ikan kerapu dan algae merah, hijau dan coklat) konsentrasi aktivitas 210 Pb dalam biota pada musim penghujan tidak jauh beda dengan musim kemarau. Aktivitas terbesar berturut-turut terukur pada algae coklat, algae hijau, algae merah dan ikan kerapu. Konsentrasi radionuklida alam dalam udara berkisar antara 0,28 1,10 Bq/m 3 untuk 228 Th, 8, Bq/m 3 untuk 226 Ra dan tidak terdeteksi 8,96 Bq/m 3 untuk 40 K. Pada semua titik sampling tidak terdeteksi unsur 228 Ra. Unsur radionuklida buatan 90 Sr dan 137 Cs juga tidak terlihat di semua lokasi sampling. Hal ini mungkin saja terjadi karena memang konsentrasi di lokasi sampling sangat rendah atau pengambilan contoh udara memerlukan waktu yang lebih lama.

72 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Sesuai dengan hasil penelitian pemilihan calon tapak Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, maka lokasi Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah merupakan salah satu calon tapak yang terpilih sebagai tempat dibangunnya PLTN pertama di Indonesia. Oleh karena itu lokasi Ujung Lemahabang dijadikan lokasi penelitian dalam kajian ini. Lokasi ini berada pada koordinat latitude 6 o lintang selatan, longitude 110 o bujur Timur, dengan kawasan meliputi radius sampai 50 km. Secara administratif wilayah radius 50 km dari Ujung Lemahabang meliputi Kabupaten Jepara, Kudus, Pati dan Demak. Daerah sekitar lokasi calon Tapak PLTN terdiri dari laut (Laut Jawa) ke sebelah Utara dan darat ke sebelah Selatan. Gambar 12 menunjukkan peta lokasi calon tapak PLTN Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria. Penelitian dilakukan bulan April 2003 sampai dengan Desember UTARA Gambar 12 Peta Jepara dengan lokasi calon PLTN di Ujung Lemahabang.

73 Bahan dan Alat Penelitian Dalam penelitian ini digunakan peralatan berupa: 1. Perangkat lunak olah data digunakan ORIGEN 2.1, SIMPACT, dan PC COSYMA untuk alat bantu perhitungan sumber radiasi (source term) dan dispersinya di udara 2. Questioner. 3. Peta rupa bumi kabupaten Jepara, Pati, Kudus, Demak Metode Pengumpulan Data Observasi Kegiatan yang termasuk dalam observasi adalah proses pengumpulan, seleksi, konfirmasi, dan klasifikasi data yang relevan dan selanjutnya dilakukan identifikasi kondisi nyata dokumen-dokumen yang dikumpulkan. Klasifikasi dilakukan menurut bidang keilmuan dan komponen lingkungan yang dipelajari. Data diseleksi berdasarkan kelayakan sumber pengolah (laboratorium, metoda kerja, institusi pelaksana penelitian) dan masa kadaluarsanya. Jenis dan sumber data Jenis data yang dikumpulkan berupa data kualitatif dan kuantitatif yang sedapat mungkin diurutkan sesuai dengan urutan waktu. Sumber materi kajian adalah berbagai data sekunder yang diperoleh dari kajian terdahulu yang terkait dengan teknologi reaktor (PLTN), radiologi secara umum maupun kajian multisektor pembangunan PLTN Muria. Secara spesifik sumber informasi tersebut diuraikan seperti berikut ini. Studi terdahulu tentang rencana PLTN Muria. Berupa hasil studi tapak dan lingkungan PLTN (yang dilakukan oleh BATAN dan konsultan), sumber lain yang diperlukan yang terkait dengan tapak PLTN Muria, dan juga hasil kajian oleh pelaksana kajian ini. Sumber-sumber yang diakses antara lain adalah: P2EN, P3TM, P3KRBiN, P3TIR (BATAN), BPS, Pemda Tingkat II Kabupaten Pati, Jepara, Kudus, Demak, UNDIP. Data rona awal lingkungan

74 49 merupakan data hasil studi tapak dan lingkungan PLTN yang dapat dijadikan basis dalam menganalisis dampak radiologi di kemudian hari. Data perhitungan radiologi. Besarnya pelepasan paparan yang keluar dari cerobong reaktor air ringan dengan daya 1000 MW e. Sumber yang diacu adalah hasil perhitungan dengan menggunakan perangkat lunak ORIGEN2, data acuan yang dikeluarkan Badan Tenaga Nuklir Internasional (IAEA), data kecelakaan Chernobyl. Data menyangkut parameter-parameter dalam perhitungan radiologi dikutip dari berbagai sumber hasil pengamatan dan penelitian lain. Data kecepatan dan arah angin. Data kecepatan dan arah angin diolah dari sumber primer yang diambil dari data stasiun yang ada di wilayah lokasi PLTN dan wilayah yang berdekatan dalam satu tahun pengamatan. Data penduduk. Data ini dapat diperoleh dari hasil sensus yang dihimpun oleh lembaga nasional seperti Biro Pusat Statistik (BPS). Bapeda tingkat I, dan tingkat II, Monografi Desa dan Kecamatan. Data ini harus dikombinasikan dengan data geografi seperti ketinggian (latitude) dan kawasan (longitude) dimana unit administrasi diberlakukan. Data penggunaan tanah (land-use). Dalam hal ini data yang akan diambil adalah alokasi penggunaan tanah untuk pemukiman, industri, pertanian, hutan, dan lain-lain. Data ini diperoleh dari data hasil sensus pemetaan oleh lembaga Bakosurtanal dan Badan Pertanahan Nasional. Data sosial, budaya, dan ekonomi. Data sosial-ekonomi yang diperlukan meliputi jenis pekerjaan, pendapatan, sikap hidup di dalam dan di luar rumah, pendapat masyarakat, dan lain-lain Pengambilan data dilakukan dengan survai, wawancara, dan pengisian kuestioner. Teknik pengambilan contoh diambil secara acak untuk lokasi sampling radius 10 km dari PLTN 3.3. Metode Analisis Penyiapan Data Spasial Data kependudukan, tata guna lahan dan produksi lahan

75 50 Data spasial kependudukan, tata guna lahan, dan produksi lahan menggunakan unsur spasial tipe poligon karena dalam analisis ini banyak digunakan aspek pertumbuhan, perubahan atau dinamika spasial yang relatif tinggi (Prahasta 2002). Setiap poligon mewakili batas administrasi desa yang mengandung nilai atribut tiap variabel yang menjadi obyek penelitian. Selanjutnya beberapa desa bergabung dalam satu wilayah administrasi kecamatan dan beberapa kecamatan bergabung dalam satu wilayah administrasi kabupaten. Luas poligon secara otomatis menyatakan luas desa. Oleh karena itu setiap variabel dalam satu poligon memiliki kepadatan yang sama dengan nilai atribut dibagi luas poligon desa Data Grid Penyebaran Radionuklida Penyebaran radionuklida dibagi dalam grid-grid yang terdiri dari 16 sektor arah angin, dimulai dari arah utara mengikuti putaran jarum jam, dan jarak dari lokasi PLTN dengan variasi selang jarak sebagai 0-1, 1-2, 5-10, 10-20, 20 35, dan km (IAEA 1997b; Susilo et al. 2004). Selanjutnya untuk analisis risiko radiologi dan biaya kerusakan, data kependudukan, penggunaan lahan, dikonversi ke dalam grid-grid tersebut. Gambar 13 menunjukkan grid spasial penduduk dan penyebaran radionuklida di wilayah penelitian Analisis Radiologi Analisis pelepasan bahan radionuklida. Besarnya bahan radionuklida yang terlepas ke udara dan sampai ke endpoint sangat tergantung pada kandungan atau inventory hasil fisi reaktor yang digunakan. Semakin besar daya reaktor semakin besar inventory yang tersimpan di dalam metal bahan bakar. Data inventory untuk jenis reaktor air ringan bertekanan (pressurized water reactor) dengan daya 1000 MWe. ditunjukkan pada Lampiran 2. Bila terjadi kecelakaan parah, maka sebagian inventory akan terkumpul pada pengungkung (containment) yang dirancang untuk menahan semua radionuklida agar tidak keluar ke lingkungan.

76 2km 1km 51 UUB 50 km U 35 km UUT UB 20 km UT BUB 10 km TUT 5 km B T BSB TST SB ST SSB S SST Gambar 13 Grid spatial untuk penyebaran penduduk dan bahan radionuklida Keterangan : U : Utara UUT : Utara Timur Laut UT : Timur laut TUT : Timur Timur laut T : Timu r TST : Timur Tenggara ST : Tenggara SST : Selatan Tenggara S SSB SB BSB B BUB UB UUB = Selatan = Selatan Barat Daya = Barat Daya = Barat Barat Daya = Barat = Barat Barat Laut = Barat Laut = Utara Barat laut Dalam kondisi terparah dipersyaratkan bahwa hanya 0.1% volume yang dapat lepas ke lingkungan (IAEA 1997b). Untuk menghitung jumlah hasil fisi yang terlepas ke udara, maka dilakukan perhitungan sebagai berikut (Willer 2005). Diasumsikan laju kebocoran adalah X % per hari, atau ekivalen dengan laju kebocoran L ( t ) = B ( t ) X 2400 (3.1)

77 52 Keterangan, L(t) : laju kebocoran (atom/jam) B(t) : konsentrasi radionuklida (atom/volume) X : persentase kebocoran per hari Laju perubahan jumlah hasil fisi di dalam pengungkung db ( t) X = λb( t) B ( t). dt 2400 (3.2) db( t) dt X = ( λ 2400 ) B( t) (3.3) Keterangan, B(t) : konsentrasi radionuklida (atom/volume) X : persentase kebocoran per hari? : peluruhan Bila diintegrasikan dari t:0 ke t:t, B ( t) = ( λ + B db B 0 0 t t X ) dt 2400 untuk t 0 : 0 maka X B( t) = B0 exp λ + t 2400 laju kebocoran pada waktu t menjadi X X L ( t ) = B 0 exp λ + t (3.4) (3.5) (3.6) Oleh karena itu jumlah radionuklida yang terlepas selama waktu t adalah menghasilkan L ( t ) dl = 0 t = 0 0 t X 2400 B 0 exp ( λ + X 2400 ) t dt (3.7) i.e. L( t) 0 B0 X 1 dl = X ( λ exp ) X ( λ + ) t 2400 = B0 X 1 X L ( t).. 1 exp ( λ + ) 2400 X t ( λ ) 2400 t 0 (3.8) (3.9)

78 53 Oleh karena itu fraksi hasil belah yang keluar selama waktu t adalah L( t ) = X 1 X.. 1 exp ( λ + ) (3.10) B X t ( λ ) 2400 Besaran ini akan menjadi masukan untuk program perhitungan dispersi radionuklida PC-COSYMA Analisis dispersi bahan radionuklida di atmosfir. Dengan menggunakan model persamaan dispersi, kemudian dihitung konsentrasi paparan radiasi yang tersebar ke udara dan di atas permukaan tanah. Persamaan yang digunakan untuk perhitungan adalah persamaan (2.13). Parameter-parameter dispersi ditentukan berdasarkan arah angin, kecepatan angin, curah hujan, dan ketinggian lapis campuran (mixing layer). Secara umum persamaan untuk menghitung parameter dispersi (standard deviation) arah horizontal dan vertikal (s) adalah, σ b =a x Keterangan: a : pertumbuhan plume horizontal b : pertumbuhan plume vertikal x : jarak dari titik sumber ke penerima searah dengan arah angin. (3.11) Nilai a, b diambil dari kurva hubungan s terhadap jarak untuk masingmasing kategori kestabilan Pasquil yang di modifikasi oleh Briggs (1974) yang dikutip dari Hanna et al (1982) seperti pada Lampiran 3. Data yang menyangkut meteorologi ini disusun dalam satu file yang MET_EXE yang terdapat dalam program komputer PC-COSYMA. Koreksi terhadap peluruhan, deposisi basah dan kering dilakukan dengan memasukkan faktor koreksi seperti yang dirumuskan dalam persamaan (2.8)-(2.11). Untuk mendapatkan distribusi penyebaran bahan radionuklida pada berbagai sektor dilakukan perhitungan dengan menggunakan model perhitungan yang sangat sederhana dengan spreadsheet Excel. Hasil perhitungan digunakan untuk menentukan zone radiasi di sekitar PLTN. Analisis dosis penerimaan. Konsentrasi bahan radionuklida yang terdispersi di atmosfir dan terdeposisi di permukaan tanah akan sampai kepada

79 54 manusia melalui radiasi eksternal awan radiasi, radiasi eksternal permukaan tanah, inhalasi, makanan, dan yang terdeposisi pada kulit atau pakaian. Dalam implementasi praktisnya perhitungan dosis persamaan (2.14) (2.16) diaplikasikan dalam formula seperti berikut ini. Untuk dosis radiasi eksternal awan (cloudshine) ( r, t, t ) = A( r, t t ) S( r) d ( r)( t t )c D 0 1 0, Keterangan: D(r,t 0,t 1 ) : dosis dari radionuklida pada jarak r (Sv) A(r,t 0,t 1 ) : konsentrasi rata-rata dalam selang waktu [t 0,t 1 ] (Bq/m 3 ) S(r) : Faktor lokasi : fraksi waktu di luar x faktor shielding + fraksi waktu dalam ruang x faktor shielding D(r) : faktor konversi dosis Sv/Bqs-m 3 C : 3600 * 24 [t o, t 1 ] : selang waktu penyinaran (hari) (3.12) Dosis radiasi eksternal yang berasal dari tanah (groundshine) dinyatakan dalam persamaan, t1 [ ] 1 ) t ( λ ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( r ) + λ ( r, s) ) t ( λ = + ( ( )) ( r) + λ2 ( r, s, t, t G r S r d r c r, s e 1 α r s e ) D r 0 1 α, dt (3.13) Keterangan D(r,t 0,t 1 ) t0 : Dosis dari radionuklida pada jarak r dalam selang waktu t 0 to t 1 (Sv) G(r) : Konsentrasi total di tanah Bq m -2 S(r)* : Factor lokasi λ(r) : Laju peluruhan radionuklida (hari -1 ) α(r,s) : Factor komponen bergerak λ 1 (r,s) : Laju migrasi komponen bergerak (hari -1 ) λ 2 (r,s) : Laju migrasi komponen diam (hari -1 ) [t 0,t 1 ] : Interval waktu (hari -1 ) C : 3600 * 24konversi hari ke detik (detik) Dosis radiasi dari inhalasi pada persamaan (2.20) dihitung dengan persamaan Keterangan: D(r,t 0,t 1 ) : dosis dari radionuklida pada jarak r (Sv) A(r,t 0,t 1 ) : konsentrasi rata-rata dalam selang waktu [t 0,t 1 ] (Bq/m 3 ) F(r) : Faktor filter : fraksi waktu di luar x faktor shielding + fraksi waktu dalam ruang x faktor shielding I(r) : laju inhalasi (m 3 /jam) D(r) : faktor konversi dosis (Sv/Bq) [t 0,t 1 ] : selang waktu penyinaran (jam) Dosis yang diterima penduduk oleh karena memakan makanan yang terkena radiasi dapat dihitung dengan model D ( r t, t ) A( r, t, t ) F( r) I ( r, a) d( r, a)( t ), t0 = (3.14)

80 55 t1 ( r p, t, t ) = ( P ( r, p, t) P ( r, p, t) ) d( r, a) Q ( p) F( p) P( p)dt Dp, 0 1 r + t0 d (3.15) Keterangan: D p (r,p,t 0,t 1 ) : Dosis efektif terikaat radionuklida r karena mengkonsumsi ma kanan p dari t 0 sampai t 1 (Sv) P r (r,p,t) : Konsentrasi radionuklide r karena serapan akar pada tumbuhan p Bq kg -1 P d (r,p,t) : Konsentrasi radionuklida r pada tumbuhan p karena deposisi, intersepsi, dan translokasi ( Bq kg -1 ) D(r,a) : Faktor konversi(sv Bq -1 ) Q p (p) : Pemasukan makanan p F(p) : Fraksi konsumsi makanan P(p) : Aktivitas setelah proses makanan p Konsekuensi terhadap kesehatan. Konsentrasi bahan radionuklida masuk ke dalam tubuh manusia melalui paru-paru saat inhalasi dan pencernaan saat memakan makanan dan minum. Sebagian dari radionuklida tersebut tetap tinggal di paru-paru (lung) dan pencernaan (stomach) sebagian lagi akan menyebar mengikuti aliran darah dan tinggal di dalam beberapa organ tubuh yang sensitif terhadap unsur tersebut seperti gondok (thyroid), payudara (breast), sumsum tulang belakang, tulang, kulit, dan keseluruhan tubuh (effective), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8. Besar dosis pada masing-masing organ berbeda-beda tergantung bobot radiasi dan bobot jaringan (Wiryosimin 1995). Konsekuensi radiologi akan muncul bila dosis yang diterima organ melebihi batas ambang yang dapat menimbulkan kanker fatal, kanker non-fatal ataupun penyakit keturunan. Dampak yang timbul bila dosis melebihi batas ambang merupakan dampak deterministik dan umumnya terjadi pada waktu segera (early health effect). Untuk dampak yang stokastik perhitungan dampak dilakukan dengan perkalian probabilitas dampak terhadap populasi yang terkena. Dampak stokastik umumnya terjadi pada jangka waktu yang panjang (late health effect) Batas-batas ambang dosis untuk berbagai organ dan keseluruhan tubuh dan konversi faktor dosis kolektif dapat dilihat pada Lampiran 4.

81 Analisis penanggulangan dampak Analisis penanggulangan dampak melalui perencanaan pemanfaatan ruang. Salah satu langkah pencegahan dampak radiologi adalah melalui pengendalian pemanfaatan ruang lahan sekitar PLTN sehingga besar dan arah pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan untuk tidak mendekat dan mengarah wilayah yang berpotensi memiliki sebaran radiasi yang tinggi. Oleh karena itu penelitian ini menganalisis bentuk pola pemanfaatan ruang dan perubahannya yang mendorong terjadinya pertumbuhan penduduk secara spasial dan temporal. Selanjutnya persyaratan zone radiasi dan kedaruratan menjadi pembatas terhadap perubahan pemafaatan ruang wilayah sekitar PLTN Analisis spasial pola pemanfaatan ruang. Untuk mempelajari pola pemanfaatan ruang sekitar lokasi PLTN saat ini, maka terlebih dahulu dilakukan analisis pola pemusatan, penyebaran, agregasi spasial yang direpresentasikan dengan indeks korelasi Moran maupun koefisien korelasi kepadatan penduduk desa pada radius 50 km dari lokasi PLTN. Pemusatan dan penyebaran. Pemusatan kepadatan penduduk atau penyebaran ditandai dengan nilai rata-rata kepadatan (median center), rata-rata spasial (spatial mean) dan deviasi standar spasial, (Rustiadi 2003), seperti pada rumus berikut Rata-rata atribut Rata-rata spasial Deviasi standar spasial, n zi (3.16) i= Z = 1 n n i X i = Yi = n n (3.17) z z i z i X i i i z Y i i i xy 2 x SD = S + S 2 y (3.18)

82 57 Keterangan: SD x = ( z z) i n 2 SD y = n i ( z j n z) X i, Y i z i SD x SD y SD x,y : posisi geografis pusat poligon (desa) : nilai atribut (populasi atau lahan) : Standar deviasi arah (x) : Standar deviasi arah (y) : Standar deviasi (x,y) Agregasi spasial. Untuk membuktikan bahwa penduduk di sekitar lahan PLTN memusat atau menyebar dilakukan perhitungan tingkat korelasi kepadatan penduduk dengan mengunakan indeks korelasi Moran dan Koefisien Korelasi. Indeks korelasi Moran dinyatakan dalam rumus (Rustiadi 2003): I = n d ij dij ( Z Z )( Z ( Z i i Z ) 2 j Z ) (3.19) Sedangkan koefisien korelasi dinyatakan dengan rumus: c = 2 n 1 d ij d ij ( Z ( Z Z ) i i Z ) 2 j 2 (3.20) Keterangan: I, C d ij Z i Z j : autokorelasi spatial : bobot relasi antara i dan j : kepadatan penduduk i : kepadatan penduduk desa berdekatan j Penduduk yang berkelompok ditandai dengan koefisien korelasi Moran mendekati 1 (satu) sedangkan yang menyebar ditandai dengan tingkat korelasi mendekati 0 (nol). Analisis pertumbuhan penduduk. Dengan mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan penduduk di suatu lokasi spasial, maka kepadatan penduduk dapat dirumuskan sebagai, Y : f(x 1,X 2,..., X n ) (3.21)

83 58 Keterangan, Y : kepadatan penduduk suatu desa X 1...X n : variabel yang mempengaruhi kepadatan penduduk, Tabel 5. Pengaruh dari tiap variabel terhadap kepadatan pendududuk dimodelkan dengan menggunakan analisis regresi linier ganda dengan fungsi Y : a 0 + b 1 X 1 +b 2 X b n X n (3.22) Atau dengan analisis non-linear eksponensial dengan fungsi Y : c o + exp(b o +b 1 X 1 +b 2 X 2 + b n X n ) (3.23) Keterangan, Y a o b i X i : kepadatan penduduk desa i : intersep : parameter koefisien variabel X i : variabel Untuk dapat menggunakan model ini maka masing-masing variabel haruslah saling bebas, oleh karena itu sebelum mendapatkan model yang diinginkan seluruh variabel harus dibuktikan saling bebas dengan menggunakan metode Principal Component Analysis untuk mendapatkan Faktor Loading. Selanjutnya dengan mencari variabel surrogate yang berkorelasi kuat dengan faktor loading diperoleh variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kepadatan penduduk. Model pertumbuhan kepadatan penduduk temporal. Berbagai model pertumbuhan kepadatan penduduk telah digunakan untuk memprediksi pertumbuhan penduduk, di antaranya model pencatatan vital statistik, model geometrik, model eksponensial, dan model logaritmik. Dengan model pencatatan statistik sangat dibutuhkan data yang lengkap tentang kelahiran, kematian, dan migrasi. Hal ini cukup menyulitkan. Jika yang dimiliki hanya angka jumlah penduduk pada waktu-waktu tertentu seperti sensus, maka pertumbuhan penduduk dapat diprediksi dengan model geometrik seperti rumus (Kristanto 2002), Po ( 1+ r) Pt = Keterangan, L P t : penduduk dalam selang waktu t yang diramalkan P o : penduduk pada waktu prediksi dimulai r : persentase pertumbuhan t : lama waktu prediksi L : luas desa t (3.24)

84 59 Dengan model ini pertumbuhan kepadatan penduduk dinyatakan sebagai persentase pertumbuhan penduduk dianggap tetap (r) selama periode waktu prediksi. Model Logistik (Supranto 2004) Pada kenyataannya pertumbuhan penduduk mengalami kejenuhan dalam jangka panjang. Model pertumbuhan yang menunjukkan terjadinya kejenuhan setelah waktu tertentu adalah model logistik seperti pada rumus berikut ; Y k = a+ bx (3.25) Keterangan, k,a,b adalah konstanta dan biasanya b<0 k merupakan asimtot yaitu pembatas bila x menuju tak hingga. x : ~; 10 a+bx 0; Untuk mencari nilai k,a, b diperlukan tiga titik pengamatan variabel waktu T 1, T 2, T 3. Model pertumbuhan penduduk spasial-temporal. Untuk memprediksi pertumbuhan penduduk secara spasial dan temporal waktu maka diperlukan data variabel minimal dalam dua waktu yang berbeda yang direpresentasikan dalam variabel dummy (t o ) dan (t 1 )., sehingga persamaan menjadi Y : c o + exp(b o +b 1 X 1 +b 2 X 2 + b n X n + Dummy(t)) (3.26) Dalam analisis ini data penduduk dan variabel spasial yang digunakan adalah sensus tahun 1998 dan 2002 yang diterbitkan oleh BPS. Pengujian Model. Besarnya rata-rata kesalahan menunjukkan variansi kesalahan populasi dihitung dengan persamaan: JKK (3.27) RKK = n ( k + 1) Keterangan, RKK : Rata-rata kesalahan JKK : Jumlah rata-rata kesalahan k : derajat kebebasan n : jumlah pengamatan Standar kesalahan dinyatakan dalam S = RKK (3.28)

85 60 Tabel 5 Nama-nama variabel model pertumbuhan penduduk No. Nama Variabel Simbol Keterangan (1) (2) (3) (4) Spatial 1. Jarak dari Desa ke Jepara X 1 2. Jarak dari Desa ke Pati X 2 3. Jarak dari desa ke Kudus X 3 4. Jarak dari Desa ke Demak X 4 5 Tinggi dari Permukaan laut X 5 6 Kemiringan X 6 0-2% : 0; 2-15% :1; 15-40% : 2; >40% :3 Letak Desa terhadap hutan X 7 7 DalamHTN X 7A 0 :dalam; 1 tidak 8 PinggirHTN X 7B 0 : pinggir; 1 tidak 9 JauhdrHTN X 7C 0 : Jauh ; 1 tidak Non-Spasial Karakter Penduduk 10 Jumlah Wanita X 8 11 Jumlah keluarga tani X 9 Ekonomi Sumber Penghasilan X Petani X 10A 13 Pertambngan X 10B 14 Industri X 10C 15 Perdagangan X 10D 16 Jasa X 10E Industri 17 Industri Kulit X 11A 18 Olah makanan X 11B 19 Batu/Genteng X 11C 20 Batik/Tenun X 11D 21 Kayu X 11E 22 Logam X 11G 23 Lain X 11H 24 Dagang /Jml Pasar X PDRB X 13 Pendidikan 26 Jumlah Sekolah X 14 Kesehatan 27 Kepadatan Jml RS X 15A 28 Kepadatan Jml Puskesmas X 15B 29 Kepadatan Klinik Bersalin X 15C Sosial Budaya 30 Kepadatan Jml Mesjid X 16 Perhubungan atau Transportasi 31 Kepadatan Jalan Kota X 17A 32 Kepadatan jalan Lain X 17B 33 Kepadatan jalan Utama X 17C Fasilitas 34 Ketersediaan listrik X 18 Ketersediaan lahan dilanjutkan Luas lahan/luas Desa

86 61 Tabel 5 Lanjutan (1) (2) (3) (4) 35 Persentase Buildup X 19A 36 Persentase Sawah X 19B 37 Persentase Kebun lading X 19C 38 Lahan Lain X 19D 39 Hutan X 19E 40 Ketersediaan tempat rekreasi X Tahun X 21 0 :1998 ; 1 : Variabel Dependent Kepadatan penduduk masingmasing desa Y Untuk menguji berapa besar variabel independen dapat dijelaskan oleh kombinasi variabel independen yang dinyatakan dalam koefisien determinan R 2, 2 R = Jumlah Kuadrat Rata Jumlah Kuadrat Total Pengujian tingkat pengaruh masing-masing parameter regresi dilakukan dengan menggunakan hipotesis H 0 : β 1 : β 1 : β 1 :... :β 1 : 0 H 1 : Tidak semua β 1 : 0 Yang dapat diuji dengan statistik t Keterangan, t b i s(b i ) : statistik t : parameter yang diestimasi : standar deviasi estimasi. t [( n ( k + 1)] bi 0 = s( b ) Untuk nilai t pada nilai signifikansi (α) yang besar, berarti nilai tes statistik berada pada daerah penolakan, atau nilai p yang kecil maka hipotehsis nol (H 0 ) ditolak. Sebaliknya untuk nilai t yang kecil, berati nilai tes berada di daerah penerimaan, atau nilai p yang kecil, maka hipotesis nol (H 0 ) diterima Analisis penanggulangan dampak melalui tindakan tanggap darurat (emergency praparedness). Tindakan ini menyangkut aktivitas dan tindakan yang segera (countermeasure) dilakukan untuk memperkecil dampak. Untuk maksud tersebut i (3.29) (3.30)

87 62 dilakukan analisis tingkat pengurangan dosis dengan perlindungan (sheltering), evakuasi (evacuation), pemakaian tablet iod. Tindakan perlindungan ditujukan untuk mengurangi dampak penyinaran radiasi gamma dan inhalasi didalam ruang bershielding dengan faktor shielding FS cl, gr,inh selama waktu perlindungan. D sh : D cl x FS cl (3.31) D (GR,IH) sh : D (GR,IH) sh * FS (GR,IH) (3.32) Keterangan: D sh D cl D (GR,IH)sh D (GR,IH) sh FS (GR,IH) : Dosis setelah masuk perlindungan : dosis sebelum perlindungan : dosis berasal dari ground dan inhalasi yang sudah mendapat perlindungan. : dosis berasal dari ground dan inhalasi yang belum mendapat perlindungan. : faktor shielding dari tanah dan inhalasi. Tindakan darurat evakuasi dilakukan untuk menghindarkan penduduk dari penyinaran sumber terbuka. Pada proses evakuasi, selama dalam perjalanan untuk evakuasi, dosis yang diterima penduduk sebanding dengan konsentrasi bahan radionuklida sepanjang arah radial. Dosis tersebut akan hilang bila penduduk sampai ke lokasi evakuasi yang sudah ditentukan. Tindakan memakan tablet iod dilakukan untuk memblok iod yang masuk selama proses inhalasi sehingga terjadi reduksi iod. Faktor reduksi iod tergantung pada perbedaan waktu memakan iod dan inhalasi iod. Tablet iod akan menahan akumulasi iod mencapai tiroid. Reduksi konsentrasi iod dimodelkan dengan fungsi eksponensial dengan waktu konstan : 4 jam, atau? : Keterangan: a : fraksi penurunan iod? : peluruhan t iod, t ih : waktu menelan iod dan waktu inhalasi a λ (( t iod tih ) + 15min) = 1 e Penentuan tindakan tanggap darurat yang harus dipakai tergantung besar kecilnya dosis yang sampai kepada manusia. Besaran yang direkomendasikan dalam TECDOC 955 (IAEAb) dapat dilihat pada Tabel 6, 7, dan 8. Tabel 6 Tindakan protektif berdasarkan dosis (3.33) Tindakan Protektif Perlindungan (Sheltering) Evakuasi Pemakaian tablet iod Tingkat Interfensi Generik 10 msv 50 msv 100 mgy

88 63 Tabel 7 Tingkat dosis generik untuk relokasi sementara dan pemidahan menetap Tindakan Protektif Relokasi sementara Pemindahan tetap Pemindahan tetap Tingkat Interfensi Generik 30 msv dalam 30 hari pertama 10 msv 1 Sv seumur hidup Tabel 8 Nilai batas paparan radiasi bahan radionuklida pada makanan untuk konsumsi umum dan anak Radionuklida 134 Cs, 105 Ru, 89 Sr 137 Cs, 103 Ru Nilai yang dire ko mendasikan (kbq/kg) Makanan untuk Susu, makanan anak dan konsumsi umum air minum Cs, 137 Cs, 105 Ru, 89 Sr, 131 I 103 Ru 1 90 Sr Sr, 131 I 241 Am, 238 Pu, 240 Pu, 242 Pu 239 Pu, Analisis Biaya Kerusakan. Berdasarkan potensi resiko yang diterima penduduk sebagai end point kemudian diestimasi biaya kerusakan akibat kecelakaan radiologi ini. Komponen perhitungan biaya kerusakan meliputi biaya penanganan penyebaran radiasi maupun biaya kesehatan seperti biaya untuk melakukan evakuasi, relokasi, dekontaminasi, dan pelarangan pengkonsumsian makanan. Secara ringkas tiaptiap biaya dihitung dengan rumusan berikut (IKET 2000). Biaya evakuasi/relokasi Termasuk dalam biaya evakuasi /relokasi total (BET/BRT) adalah biaya transport (BT), biaya akomodasi (BA), biaya oleh kehilangan pendapatan (BP), biaya kehilangan barang modal (BM) BET : BT + BA + BP + BM (3.34) Biaya dekontaminasi Termasuk dalam biaya dekontaminasi (BDT) adalah biaya pekerja (BP), biaya barang konsumsi (BK), biaya peralatan atau equipment (BE). BDT : BP + BK + BE (3.35)

89 64 Biaya penanganan bahan pertanian dan peternakan Termasuk dalam biaya penanganan pertanian dan peternakan (BPT) meliputi biaya kehilangan produksi (Bprod), biaya makanan yang dibuang (BBM), biaya sumber daya yang dipakai (BS) BPT : Bprod + BBM + BS (3.42) Biaya perawatan Termasuk dalam biaya perawatan kesehatan (BKT) adalah biaya perawatan untuk penanganan efek (BPE) dan biaya hilangnya kontribusi yang bersangkutan terhadap ekonomi negara (BEk). Dalam pembiayaan ini juga dimasukkan nilai discount factor (DF). BKT : BPE + Bek + DF (3.36) Hal yang paling penting dalam penentuan harga ini adalah penentuan harga masing-masing komponen. Dalam penelitian ini harga biaya kesehatan dihitung dengan mengacu pada harga yang ada di Eropah yang telah dikoreksi dengan menggunakan beda daya beli antar negara (power purchase parity) seperti yang diuraikan pada bab terdahulu. Untuk memprediksi nilai biaya kesehatan saat diteliti dengan nilai yang akan datang yaitu tahun 2016, 2036, dan 2056 digunakan rumus Future Value of Cost (Sanim 2000) Keterangan: i : tahun i r : tingkat suku bunga C : jumlah uang (cost) pada tahun-i FVC = n i= 1 i C ( 1 + r ) (3.37) Pengaturan pemanfaatan lahan Dengan diketahuinya sebaran dosis radiasi dan ramalan penyebaran penduduk lahan sekitar PLTN, maka untuk mempertahankan keselamatan penduduk atau mencegah meningkatnya resiko radiologi selama usia PLTN harus dilakukan pengaturan pemanfaatan lahan dalam kebijakan perencanaan tata ruang wilayah. Sebagai dasar pengaturan, pertama, adalah mencegah akumulasi penduduk pada wilayah dengan potensi radiasi yang tinggi yang ditandai dengan

90 65 penentuan zone radiasi Untuk maksud ini pertama sekali ditentukan wilayah kelompok kritis (critical group) yaitu wilayah yang akan menerima paparan radiasi atau bahan radionuklida yang tertinggi pada masing-masing radius. Kemudian dilanjutkan dengan penetapan zone eksklusi, zone populasi kerapatan rendah (LPZ), zone kedaruratan yang terdiri dari precautionary action plan zone (PAZ), urgent protective action zone (UPZ), dan long term protective action zone (LPZ). Batas PAZ dan UPZ ditetapkan berdasarkan ketentuan bahwa pada radius zone tersebut seseorang diijinkan mendapat dosis maksimum sebesar 0.25 Sv atau 250 msv dua jam setelah terjadi pelepasan radiasi ke atmosfir untuk PAZ dan 30 jam setelah terjadi pelepasan radiasi untuk UPZ (USNRC 10 CFR). Kedua, hasil evaluasi pemanfaatan lahan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang kabupaten Jepara dan kemungkinan-kemungkinan pengembangan aktivitas di wilayah sekitar PLTN. Dalam hal ini perlu diperhatikan jarak SDV tiap aktivitas. Ketiga, potensi ancaman disekitar lahan PLTN. Dengan analisis ini dapat disarankan pemanfaatan ruang yang dapat memperkecil resiko dampak radiologi.

91 IV. ANALISIS KONDISI UMUM WILAYAH SEKITAR LOKASI PLTN UJUNG LEMAH ABANG Besar kecilnya dampak radiologi terhadap lingkungan sangat tergantung dari kondisi umum lokasi sekitar PLTN Ujung Lemahabang. Oleh karena itu dalam bab ini akan diuraikan kondisi umum wilayah sekitar PLTN yang meliputi kondisi fisik wilayah, kondisi sosial atau kelembagaan, kondisi perekonomian, aspek sarana dan prasarana Kondisi Fisik Wilayah Geografis dan Administrasi Seperti yang telah diuraikan terdahulu, secara geografis lokasi calon PLTN adalah di Ujung Lemahabang, Desa Balong, Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah terletak dengan koordinat lintang (Latitude) 6 o lintang selatan dan bujur (Longitude) 110 o bujur Timur. Wilayah ini dikitari oleh laut (Laut Jawa) ke sebelah Utara dan darat ke sebelah selatan. Wilayah darat dalam radius 50 km yang meliputi lokasi PLTN terdiri dari Kabupaten Jepara, Pati, Kudus dan sebagian kecil Kabupaten Demak seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12. Secara administratif batas wilayah yang termasuk obyek kajian ini diuraikan pada Tabel 9, dengan jumlah kecamatan sebanyak 49 dan jumlah desa sebanyak 819. Kabupaten Jepara, Pati, Kudus merupakan bagian dari kawasan yang disebut Wanarakuti (Juwana, Jepara, Kudus, dan Pati). Wilayah ini merupakan kawasan strategis yang memiliki potensi alam dalam sektor pariwisata, perairan laut, dan wisata budaya, produksi perikanan, hutan dan tambang, Sektor industri berkembang terutama dalam sektor kerajinan dan hasil ukiran.

92 Gambar 14 Peta wilayah sekitar calon tapak PLTN 67

93 68 Tabel 9 Wilayah administratif radius 50 km sekitar PLTN Kabupaten Kecamatan Jumlah Desa (1) (2) (3) JEPARA Kedung 18 Pecangaan 25 (12)* Kalinyamatan (12)* Welahan 15 Mayong 19 Nalumsari 15 Batealit 11 Tahunan 15 Jepara 16 Mlonggo 17 Bangsri 22 (12)* Kembang (11)* Keling 19 Karimunjawa 3 KUDUS Kaliwungu 15 Kota Kudus 28 Jati 14 Undaan 14 Majebo 11 Jekulo 12 Bae 10 Gebong 11 Dawe 19 PATI Sukolilo 16 Kayen 17 Tambakromo 18 Winong 30 Puncakwangi 20 Jaken 21 Batangan 18 Juwana 30 Jakenan 23 Pati 30 Gabus 23 Margorejo 18 Gembong 13 Tiogowungu 15 Wedarijaksa 18 Trangkil 17 Margoyoso 26 Gunungwungkal 16

94 69 Tabel 9 Lanjutan (1) (2) (3) Gunungwungkal 16 Ciuwak 13 Tayu 23 Dukuhseti 12 DEMAK Bonang 21 Demak 19 Karanganyar 17 Mijen 15 Wedung 20 Total 819 Keterangan : *) setelah pemekaran **) Sumber: BPS 2002; BPS Kab. Jepara Topografi Secara umum wilayah sekitar lokasi PLTN merupakan daerah dataran, namun pada wilayah mendekati Semenanjung Muria sebagian merupakan wilayah berbukit dengan ketinggian yang bervariasi. Gambar 15 menunjukkan bentuk topografi permukaan tanah wilayah sekitar calon tapak PLTN Kondisi Hidrologi Berbagai sungai mengalir di wilayah kabupaten yang berdekatan dengan lokasi PLTN. Air sungai dipakai sebagai alat transportasi maupun pengambilan air minum. Aliran sungai yang mengalir pada wilayah 50 km dari PLTN dapat ditunjukkan pada Gambar Iklim dan Curah hujan Pengukuran terhadap arah dan kecepatan angin telah dilakukan secara lengkap satu tahun pada tahun 1996 dalam rangka mengawali studi kelayakan pembangunan PLTN. Pengambilan data arah dan kecepatan angin dilakukan pada ketinggian 10 m dan 40 m di atas tanah. Suhu maksimum bulanan berkisar 33 o C dan minimum 22.5 o C. Kelembaban relatif maksimum bulanan berkisar dari 73% sampai 89% dan rata rata antara 50% dan 59%. Gambar 17 menunjukkan secara histogram penyebaran arah angin di sekitar calon lokasi tapak PLTN. Secara statistik persentase kemungkinan angin berhembus dari arah daratan ke lautan adalah lebih besar dari dibandingkan

95 70 Gambar 15 Peta topografi wilayah sekitar PLTN Gambar 16 Aliran sungai lokasi sekitar PLTN Ujung Lemahabang

96 71 dengan ke darat. Hal ini sesuai dengan lokasi Ujung Lemahabang (ULA) yang berada di pinggir pantai.. Histogram Pengamatan Arah Angin ULA (10v*8760c) Percen Pengamtan 10% 9% 8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0% 9.2% 9.4% 8.8% 8.8% 8.2% 8.0% 7.1% 6.3% 6.1% 5.6% 5.5% 4.7% 4.6% 3.2% 1.7% 1.5% 1.1% 0.0% <= (11.25,33.75] (33.75,56.26] (56.26,78.75] (78.75,101.25] (101.25,123.75] (123.75,146.25] (146.25,168.75] (168.75,191.25] (191.25,213.75] (213.75,236.25] (236.25,258.75] (258.75,281.25] (281.25,303.75] (303.75,326.25] (326.25,348.75] (348.75,360] > 360 Sudut dari Nol Gambar 17. Distribusi penyebaran arah angin sekitas lokasi tapak PLTN Kecepatan angin rata-rata yang paling dominan adalah 3-4 m/detik yaitu sebesar 14.5% dari kecepatan angin yang ada dan tertinggi adalah 14 m/detik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 18. Histogram Kecepatan Angin (Windrose.STA 10v*8760c) 15% 14.5% 12.5% 11.6% 12.9% 11.8% 11.1% 10% Persen Pengamatan 7.5% 5% 2.5% 2.8% 6.8% 8.2% 7.4% 6.1% 4.1% 1.7% 0.6% 0.2% 0.1% 0.0% 0% <= 100 (100,200] (200,300] (300,400] (400,500] (500,600] (600,700] (700,800] (800,900] (900,1000] (1000,1100] (1100,1200] (1200,1300] (1300,1400] (1400,1500] > 1500 Kecepatan Angin/100 Gambar 18 Distribusi kecepatan angin sekitar calon tapak PLTN

97 72 Umumnya hujan sangat sedikit di wilayah ini % curah hujan dibawah 1 mm/detik dan hanya hanya sedikit yang berada di atas 1 mm/detik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 19 Histogram Curah Hujan (Windrose.STA 10v*8760c) 100% 96.1% 90% 80% Percent of Pengamatan 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% <= % 0.6% 0.4% 0.3% 0.3% 0.2% 0.1% 1.0% (200,300] (400,500] (600,700] (100,200] (300,400] (500,600] (700,800] Curah hujan/100 Gambar 19 Histogram frekuensi curah hujan di sekitar ULA > 800 Umumnya kategori atmosfir di sekitar ULA adalah kategori A dan D masingmasing masing 33.7% dan 41.25% seperti yang ditunjukkan Gambar 20. Histogram Kategori Atmosfir (Windrose.STA 10v*8760c) 40% 40.3% 35% 33.7% Percent of Pengamatan 30% 25% 20% 15% 10% 8.7% 8.3% 7.3% 5% 1.7% 0% Kategori Atmosfir Gambar 20 Persentase kategori atmosfir di sekitar ULA

98 73 Profil penyebaran udara yang ditandai dengan frekuensi terjadinya angin pada arah, kelas stabilitas dan kecepatan angin ditunjukkan pada Tabel 10. Dari tabel tersebut terlihat bahwa frekuensi angin menuju utara (laut) pada kelas stabilitas D dengan curah hujan 13 mm/detik adalah 101 kali, sedangkan pada kelas stabilitas E terjadi 107 kali dengan curah hujan 15 mm/detik Penggunaan Lahan Total luas lahan desa di Kabupaten Jepara, Pati, Kudus dan Demak berkisar ha dengan penggunaan tanah untuk persawahan berkisar 45% dan bukan persawahan 55%. Tanah untuk persawahan terbagi atas tanah sawah basah dan tanah sawah kering dan tanah sawah yang tidak diusahakan. Tanah bukan persawahan terdiri dari ladang-huma-tegalan, perkebunan, hutan rakyat, perumahan dan pemukiman, lahan untuk bangunan lain, lainnya, tanah yang tidak diusahakan. Tabel 11 dan 12 menunjukkan persentasi penggunaan tanah di wilayah radius 50 km sekitar PLTN untuk tahun 1998 dan 2002 dan perubahannya. Dari Tabel 11 terlihat bahwa rasio luas lahan sawah mengecil dari % menjadi 45.41%, sedangkan lahan bukan sawah membesar dari 53.63% menjadi 54.61%. Gambar 21 menunjukkan penggunaan tanah (Land Use) di wilayah sekitar calon tapak PLTN. Wilayah pemukiman dan kantor umumnya berlokasi di perkotaan dan dekat perkotaan atau wilayah yang dilalui jalan utama dan memiliki penerangan dari PLN. Tanah sawah terdiri dari tanah sawah basah dan tanah sawah kering Produksi Pertanian Produksi pertanian wilayah radius 50 km dari lokasi PLTN dikategorikan dalam produksi tumbuhan padi-padian (Grain Vegetable), produksi tumbuhan akar (Root Vegetable), produksi tumbuhan sayuran (Green Vegetable), produksi buah-buahan. Tabel 13. menunjukkan luas tanam dan produksi pertanian wilayah radius 50 km dari Lokasi PLTN.

99 74 Tabel 10 Profil atmosfir dan karakteristik dispersi di sekitar lokasi Ujung Lemahabang Arah Angin/Kelas Stabilitas Kategori kecepatan angina A (0-1) B (1-2) C (2-3) D (3-5) E (5-7) F (>7) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) U (Utara) A 6(0) 12(1) 38(6) 101(13) 107(15) 67(11) 0(0) B 1(0) 3(0) 5(1) 11(2) 12(1) 13(3) 0(0) C 2(0) 3(0) 4(0) 13(5) 13(0) 4(1) 0(0) D 2(0) 18(1) 23(0) 69(7) 81(10) 53(10) 9(0) E 1(0) 1(1) 2(0) 7(0) 10(0) 4(0) 1(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 1(0) 0(0) 1(0) 0(0) UUT A 3(0) 15(1) 26(1) 74(11) 78(10) 35(6) 0(0) B 2(0) 2(0) 7(2) 7(1) 15(4) 7(1) 0(0) C 0(0) 2(0) 7(2) 7(1) 10(1) 5(0) 0(0) D 1(0) 10(1) 21(0) 61(6) 74(9) 734(6) 0(0) E 0(0) 7(1) 6(1) 14(0) 5(0) 8(1) 0(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) UT A 1(0) 6(2) 16(2) 47(6) 45(4) 43(8) 0(0) B 0(0) 1(0) 6(2) 9(1) 7(0) 13(2) 0(0) C 3(0) 3(1) 5(0) 6(0) 13(1) 24(8) 0(0) D 00) 110) 190) 72(3) 82(9) 136(12) 0(0) E 0(0) 2(0) 2(0) 11(0) 11(0) 26(1) 0(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 1(1) 1(0) 0(0) 0(0) TUT A 2(0) 6(0) 8(3) 37(4) 67(7) 70(8) 0(0) B 0(0) 0(0) 1(0) 4(2) 4(1) 14(5) 0(0) C 1(0) 2(0) 3(0) 9(2) 10(2) 18(4) 0(0) D 4(0) 10(0) 11(2) 40(2) 38(2) 120(21) 0(0) E 0(0) 1(0) 2(0) 6(0) 9(1) 20(0) 0(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 2(0) 0(0) T A 1(0) 4(0) 7(0) 24(0) 22(2) 36(2) 0(0) B 0(0) 0(0) 1(0) 6(0) 5(0) 8(4) 0(0) C 0(0) 1(0) 2(0) 10(0) 3(2) 4(4) 0(0) D 1(0) 2(0) 5(2) 33(3) 25(2) 44(6) 0(0) E 1(0) 0(0) 1(0) 3(0) 5(0) 2(0) 0(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 2(0) 0(0) TST A B C D E F Calm A 2(0) 8(0) 3(0) 8(2) 8(2) 8(1) 0(0) B 0(0) 3(1) 2(0) 3(0) 0(0) 0(0) 0(0) C 1(0) 0(0) 2(0) 3(0) 2(0) 1(0) 0(0) D 0(0) 1(0) 5(1) 12(0) 13(0) 8(0) 0(0) E 0(0) 1(0) 1(0) 2(0) 5(0) 2(0) 0(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 1(0) 0(0) 1(0) 0(0) ST A 0(0) 1(0) 1(0) 3(1) 3(0) 3(2) 0(0) B 0(0) 1(0) 1(0) 2(0) 2(0) 0(0) 0(0) C 0(0) 1(0) 1(0) 3(0) 1(0) 0(0) 0(0) D 1(0) 2(0) 3(0) 21(1) 14(0) 4(0) 0(0) E 0(0) 0(0) 1(0) 4(0) 7(0) 3(0) 0(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) SST A 0(0) 1(0) 2(0) 4(0) 4(0) 1(0) 0(0) B 0(0) 0(0) 0(2) 1(0) 3(0) 0(0) 0(0) C 0(0) 0(0) 1(1) 3(0) 1(0) 1(0) 0(0) D 1(0) 4(0) 7(0) 22(0) 19(0) 10(0) 0(0) E 0(0) 0(0) 4(0) 11(0) 3(0) 2(0) 0(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 1(1) 1(0) 0(0) 0(0) S A 6(1) 12(1) 9(0) 11(1) 10(2) 17(0) 2(0) B 0(0) 8(2) 3(1) 1(1) 1(0) 10(0) 0(0) Tenang (0)

100 75 Tabel 10 Lanjutan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) C 3(0) 7(2) 4(0) 6(1) 3(1) 11(1) 0(0) D 3(0) 22(0) 21(0) 38(4) 37(3) 113(5) 0(0) E 1(0) 1(0) 6(0) 9(0) 15(0) 25(0) 0(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 1(0) 0(0) SSB A 3(0) 4(1) 8(1) 16(3) 18(4) 50(4) 0(0) B 1(0) 1(0) 2(1) 1(1) 3(1) 17(0) 0(0) C 0(0) 0(0) 0(0) 5(1) 2(0) 26(1) 0(0) D 1(0) 5(0) 6(0) 24(1) 18(2) 183(2) 0(0) E 1(0) 0(0) 0(0) 6(0) 3(0) 26(1) 0(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 2(0) 0(0) SB A B C D E F Calm A 0(0) 1(0) 9(0) 22(5) 22(1) 24(0) 0(0) B 0(0) 1(0) 2(0) 2(0) 7(0) 15(0) 0(0) C 0(0) 0(0) 0(0) 2(0) 5(0) 26(0) 0(0) D 1(0) 1(0) 5(0) 17(1) 33(2) 75(2) 9(0) E 0(0) 0(0) 1(0) 1(0) 1(0) 11(0) 0(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 1(0) 0(0) 1(0) 0(0) BSB A 0(0) 2(1) 7(1) 33(2) 59(10) 42(1) 0(0) B 0(0) 0(0) 4(0) 6(0) 16(4) 44(2) 0(0) C 0(0) 0(0) 1(0) 10(1) 14(1) 31(1) 0(0) D 0(0) 4(1) 6(0) 25(0) 44(0) 82(3) 0(0) E 1(0) 0(0) 0(0) 2(1) 6(0) 8(0) 0(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 1(0) 3(0) 0(0) B A 2(0) 2(1) 7(1) 33(2) 59(0) 47(1) 0(0) B 0(0) 0(0) 4(0) 6(0) 16(0) 44(2) 0(0) C 0(0) 0(0) 1(0) 10(1) 14(0) 31(1) 0(0) D 0(0) 4(1) 6(0) 25(0) 44(9) 82(3) 0(0) E 1(0) 0(0) 0(0) 2(1) 6(0) 8(1) 0(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 1(0) 3(0) 0(0) BUB A 9(0) 26(1) 62(3) 63(0) 19(2) 14(0) 1(0) B 2(1) 4(0) 3(0) 18(2) 5(0) 1(1) 0(0) C 0(0) 3(0) 6(0) 10(2) 2(0) 4(1) 1(0) D 1(0) 13(0) 14(0) 21(2) 12(0) 25(9) 0(0) E 0(0) 0(0) 1(0) 4(0) 1(0) 0(0) 0(0) F 0(0) 0(0) 1(0) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) UB A 18(1) 54(2) 49(1) 55(5) 18(4) 12(3) 3(0) B 7(1) 11(0) 7(1) 16(0) 5(2) 5(2) 0(0) C 6(0) 9(1) 6(1) 4(0) 3(1) 3(1) 0(0) D 6(0) 13(0) 16(3) 26(1) 15(2) 20(5) 0(0) E 2(0) 3(0) 2(0) 4(1) 1(0) 2(0) 0(0) F 0(0) 0(0) 1(1) 0(0) 0(0) 2(0) 0(0) UUB A 6(1) 27(2) 68(3) 98(9) 72(9) 40(4) 0(0) B 2(0) 3(0) 11(4) 24(2) 17(0) 9(2) 0(0) C 2(0) 3(0) 12(0) 14(2) 17(0) 5(0) 0(0) D 11(2) 11(0) 37(6) 65(7) 57(4) 35(6) 0(0) E 1(0) 2(0) 2(0) 6(0) 13(0) 5(0) 0(0) F 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) 1(0) 1(0) 0(0) Sumber: hasil olahan data angin tahun 1996 pada stasiun Ujung Lemahabang

101 76 Tabel 11 Persentasi penggunaan lahan wilayah sekitar PLTN No. Penggunaan tanah Luas (ha) Persentase (%) Lahan Persawahan Sawah basah Sawah kering sawah sementara tidak diusahakan Lahan Bukan sawah Ladang huma tegal Perkebunan Hutan Rakyat Perumahan /Pemukiman Bang Industri Bangunan lain Lainnya Lahan tidak diusahakan Total Luas Desa Sumber: Podes 2000, 2003 BPS Tabel 12 Persentasi perubahan penggunaan lahan wilayah sekitar PLTN No. Perubahan Luas Penggunaan Persentasi Perubahan Tanah 1. Lahan Persawahan Pertanian 3218 Bukan Sawah Sawah Perumahan 646 Sawah Industri 151 Sawah Perus+Kantor 54 Sawah Lainnya Lahan Lahumkeb - Sawah 781 Lahan Lahumkeb Rmh 871 Lahan Lahumkeb Ind 132 Lahan Lahumkeb Pers+Kantor 37 Lahan Lahumkeb Lainnya Lahan TamKolTeb Sawah 19 Lahan TamKolTeb Rumah 10 Lahan TamKolTeb Ind 11 Lahan TamKolTeb Perus+Kantor 0 Lahan TamKolTeb Lainnya Lahan Hutan Sawah 0 Lahan Hutan Rmh 0 Lahan Hutan Industri 0 Lahan Hutan Persh+Kantor 0 Lahan Hutan PertBknSawah 58 Lahan Hutan Lainnya Sumber: Podes 2000, 2003 BPS

102 Gambar 21 Tata guna lahan sekitar PLTN Ujung Lemahabang 77

103 78 Tabel 13 Luas tanam dan produksi pertanian wilayah Radius 50 km sekitar PLTN No Nama Luas Tanam (ha) Produksi (Ton) 1 Padi Jagung Kedelai Ketela Pohon Ketela Rambat Kacang Tanah Tanaman Lain Sayuran Buahan Tanaman obat Kondisi Penduduk Total penduduk di keempat Kabupaten Jepara, Pati, Kudus Demak pada tahun 1998 adalah sebesar dan bertambah hingga mencapai jumlah jiwa pada tahun 2002 dengan laju pertumbuhan 1.3% per tahun. Jumlah penduduk per kecamatan dapat dilihat pada Tabel 14. terdistribusi secara spasial seperti pada Gambar 22. Jumlah tersebut Tabel 14 Penduduk wilayah kecamatan sekitar Lokasi PLTN Kabupaten Kecamatan Jumlah Desa Tahun JEPARA Kedung Pecangaan 25 (12)* Kalinyamatan (12)* Welahan Mayong Nalumsari Batealit Tahunan Jepara Mlonggo Bangsri 22 (12)* Kembang (11)* Keling 19 Karimunjawa Dilanjutkan

104 79 Tabel 14 (lanjutan) Kabupaten Kecamatan Jumlah Desa Tahun KUDUS Kaliwungu Kota Kudus Jati Undaan Majebo Jekulo Bae Gebong Dawe PATI Sukolilo Kayen Tambakromo Winong Puncakwangi Jaken Batangan Juwana Jakenan Pati Gabus Margorejo Gembong Tiogowungu Wedarijaksa Trangkil Margoyoso Gunungwungkal Ciuwak Tayu Dukuhseti DEMAK Bonang Demak Karanganyar Mijen Wedung Total 819 *) setelah pemekaran **) Sumber: BPS 2002; BPS Kab. Jepara 2002.

105 80 Jiwa/km 2 Jiwa/km 2 Jiwa/km 2 Gambar 22 Kepadatan penduduk sekitar PLTN Ujung Lemahabang

106 81 Dari Gambar 22 terlihat bahwa kepadatan penduduk tinggi pada daerah pusat-pusat bisnis atau perkotaan seperti pusat kota Kabupaten Jepara, Pati, Kudus. Demikian pula keberadaan jalan utama maupun jalan lokal akan menentukan berkumpulnya tempat-tempat pemukiman dan penduduk. Rasio penduduk terhadap luas pemukiman dapat dipakai untuk memprediksi kebutuhan pemukiman di masa mendatang. Tabel 15 menunjukkan ratio minimum dan maksimum luas pemukiman terhadap penduduk. Tabel 15 Rasio penduduk terhadap pemukiman Kabupaten Rasio Mimimum Rasio maksimum (lokasi) Pati 0,002 0,239 (Poh Gading) Jepara 0,000 (Guyangan) 0,184(Yugo) Kudus 0,003 (Panjunan) 0,033 (Tergo) Demak 0, 001(Babalan) 0,298(Baleromo) 4.3. Kondisi Sosial Ekonomi Struktur Perekonomian Pertumbuhan penduduk akan menentukan pertumbuhan di berbagai sektor ekonomi seperti pertanian, peternakan, dan sektor-sektor lain yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Untuk wilayah Kabupaten Jepara.PDRB berdasarkan harga harga konstan ditunjukkan pada Tabel Transportasi Transportasi sangat menentukan arah pergerakan pertumbuhan penduduk karena umumnya penduduk cenderung tinggal di daerah yang berdekatan dengan jalan. Jalan-jalan di sekitar radius 50 km dari lokasi PLTN ditunjukkan pada Gambar Kondisi Wilayah Radius 10 km Wilayah radius 10 km dari Pusat pembangkit Listrik Tenaga Nuklir merupakan wilayah yang sangat sensitif terhadap dampak radiasi bahan radionuklida yang terlepas ke udara. Wilayah tersebut meliputi Desa Bumiharjo,

107 82 Tabel 16 PDRB berdasarkan harga konstan kabupaten jepara tahun (dlm jt rp.) No Lapangan Usaha Pertumbuhan Rata-rata/th 1 SEKTOR PERTANIAN , , , , , A. Tn bahan makanan , , , , , B. Tn Perkebunan , , , , , C. Peternakan , , , , , D. Kehutanan , , , , , E. Perikanan 7.83, , , , , PERTAMBANGAN DAN 5.331, , , , , PENGGALIAN 3 INDUSTRI PENGOLAHAN , , , , , A. Besar/Sedang , , , , , B. Kecil/Rumah tangga , , , , , LISTRIK & AIR MINUM 5.399, , , , , BANGUNAN , , , , , PERDAGANGAN , , , , , PENGANGKUTAN DAN , , , , , KOMUNIKASI 8 KEUANGAN , , , , , PERSEWAAN DAN JASA PERUSAHAAN 9 JASA-JASA , , , , , PDRB , , , , , Sumber : PDRB Kabupaten Jepara Desa Bandungharjo, Desa banyumanis di Kecamatan Keling, Desa Balong, Desa Tubanan, Desa Kaliaman, Desa Dermolo, Desa Kancilan, Desa Jinggotan di Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara. Untuk mengumpulkan informasi yang lebih detil tentang wilayah tersebut telah dilakukan penelitian lapangan dengan memeriksa secara fisik kondisi jalan. sungai dan fasilitas-fasilitas yang sekaligus melakukan survai dengan metode acak terhadap 250 responden. Gambar 24 menunjukkan infrastruktur dan fasilitas umum wilayah radius 5 km yang telah di survai.

108 Gambar 23 Jalan kolektor/propinsi, jalan lokal dan jalan lain di lokasi sekitar PLTN 83

109 84 Gambar 24 Infrastruktur dan fasilitas umum wilayah radius 10 km. Latar belakang Responden Responden yang disurvai memiliki latar belakang usia bervariasi di atas 20 tahun. 46% diantaranya berusia tahun. 45% responden berpendidikan SD, 16% SMP, 22% SMA, 10 % Perguruan Tinggi, 20% bekerja sebagai wiraswastawan, 16 % bekerja sebagai karyawan swasta, 19% sebagai PNS, 12% sebagai petani. Umumnya kaum prialah yang menjadi sumber mata pencari nafkah keluarga walaupun dalam beberapa keluarga istri juga turut berperan. Penduduk dengan pendapatan dibawah Rp ,- sebanyak 63% dan sisanya di atas Rp ,- Rata-rata pengeluaran penduduk dibawah Rp ,- sebanyak 79 % dan sisanya di atas Rp ,- Dari data ini terlihat bahwa penduduk telah berusaha hidup menyesuaikan diri dengan pendapatannya.

110 85 Secara garis besar tanah pertanian yang dimiliki penduduk digunakan untuk penanaman padi dan palawija dengan luas tanah berkisar 0,2 0,5 ha dan 0,5 1,0 ha. Dengan harga tanah berkisar Rp ,- s/d ,- per m 2. Produksi padi tiap keluarga kebanyakan berkisar 2-5 ton dengan penghasilan Rp ,- sampai Rp ,- tiap tahun. Tanaman sampingan yang ditanam kebanyakan berupa jenis sayuran singkong, kacang panjang, kacang tanah, sawi dan coklat. Produksi hewan masih dirasakan sangat kecil karena sangat sedikit responden yang memberi jawaban tentang itu. Peternakan yang dimiliki penduduk umumnya jenis unggas atau ayam, sapi, dan kambing, Sebagian besar dikelola di dalam kandang. Makanan utama penduduk adalah beras dengan sumber protein hewani berasal dari ikan, telur, sapi, kambing, dan sayuran berasal bayem, kangkung, nangka, kacang panjang. Biji-bijian yang paling banyak dimakan adalah kacang tanah. kedele dan kacang hijau. sedang buahbuahan berupa pisang, mangga, jeruk dan jambu. Penyakit yang diderita penduduk umumnya penyakit yang ringan seperti influensa, Batuk, sakit kulit, Penyakit yang berat seperti sumsum tulang belakang, kanker, diptheri, katarak sangat jarang dialami penduduk.

111 V. POLA SPASIAL PELEPASAN RADIONUKLIDA, DAMPAK, DAN SKENARIO PENYIAPAN TANGGAP DARURAT Berbagai hasil analisis yang diuraikan dalam bab ini meliputi pelepasan dan penyebaran bahan radionuklida ke lingkungan, karakteristik penerima sekitar PLTN, dampak radiologi terhadap penerima, pengendalian dampak radiologi melalui pengaturan pemanfaatan ruang dan langkah tanggap darurat. 5.1 Pelepasan dan Penyebaran Bahan Radionuklida Karakteristik Reaktor dan Pelepasan Bahan Radionuklida Jenis reaktor yang digunakan dalam analisis ini adalah jenis reaktor air ringan bertekanan tinggi (Pressurized Water Reactor, PWR) dengan daya 1000 MWe., memiliki komponen utama berupa teras reaktor, bejana tekan, elemen bakar, sistem pendingin primer, sistem pendingin sekunder, pengendali tekanan (presurizer) pengungkung (containment), dan cerobong. Sesuai dengan data teknis PLTN yang dijelaskan pada Tabel 17 maka ditentukan volume masing-masing komponen termasuk pengungkung yang akan mengungkung bahan radionuklida yang terlepas dari teras reaktor Kandungan Radionuklida di Dalam Teras (inventory) Sebagai komponen utama yang menyebabkan munculnya bahan radionukklida adalah teras reaktor yaitu susunan elemen bakar uranium yang digunakan sebagai tempat terjadinya reaksi fisi. Oleh reaksi fisi ini akan dihasilkan energi untuk menghasilkan uap panas yang akan menggerakkan turbin PLTN. Bersamaan dengan dihasilkannya energi juga dihasilkan bahan radionuklida yang sangat radioaktif sifatnya. Dalam kondisi normal bahan radionuklida ini tersimpan secara baik pada kisi kristal bahan bakar uranium sehingga tidak ada yang keluar ke lingkungan. Untuk memanfaatkan energi dan mempertahankan kondisi normal ini, maka reaktor dilengkapi dengan sistem keselamatan berupa pendingin reaktor dan alat proteksi reaktor.

112 87 Tabel 17 Data teknis reaktor untuk PLTN Komponen Daya Daya listrik Daya termal Teras Reaktor Tinggi Diameter Jumlah elemen bakar Rata-rata daya Rata-rata kerapatan teras Elemen Bakar Bahan uranium Fraksi bakar dikeluarkan Sistem Pendingin Utama Tipe Tekanan operasi Temperatur masukan Suhu keluaran steam Bejana Tekan Reaktor Tinggi dalam Diameter dalam Ketebalan minimum dinding Bahan Pengungkung (CONTAINMENT) Tipe Tekanan Tinggi Diameter Data MW MW 3,71 m 5,16 m W/cm 50,6 W/liter UO 2, UO 2 -Gd MWd/t Sistem pompa resirkulasi internal 73,1 kg/cm 2 215,5 o C 287,4 o C 21 m 7,1 m 174 mm Low alloy steel/stainless Reinforced concrete containment vess. 3,1 kg/cm 2 49 m 20 m Besar hasil fisi yang terkandung dalam teras elemen bakar disebut inventory. Inventory ini dapat dihitung dengan menggunakan program komputer yang sudah banyak tersedia di publik di antaranya adalah ORIGEN. Tabel 18 menunjukkan hasil perhitungan inventory dengan Output Origen, data acuan COSYMA, dan data dari dokumen teknis IAEA No. 955 (IAEA 1997b). Dalam analisis ini digunakan inventori dari dokumen teknis IAEA.

113 Kuat Sumber yang Terlepas dari Pengungkung. Kuat sumber adalah besarnya pelepasan aktivitas radionuklida yang keluar dari pengungkung (containment) ke lingkungan. Untuk memberi gambaran tentang pengungkung, maka berikut ini diuraikan secara Table 18. Inventori radionuklida reaktor jenis PWR 1000 MWe. Radio Waktu Origen Cosyma Tecdoc Nuklida Paruh (Bq) (Bq) Iaea Xe 5,3 hari 5,60E+16 7,60E+18 6,29E I 8,0 hari 2,70E+16 3,85E+18 6,29E Cs 2,0 tahun 2,49E+14 5,11E+17 2,78E Cs 30,0 tahun 1,22E+14 2,61E+17 1,74E Te 78,0 jam 4,50E+16 5,36E+18 4,44E Sr 52,0 hari 1,38E+16 3,37E+18 3,38E Sr 28,0 tahun - 1,75E+17 1,37E Ba 12,8 hari 1,45E+16 6,88E+18 3,38E Zr 65,0 hari 4,20E+16 6,59E+18 5,55E Mo 67,0 jam 1,03E+16 7,07E+18 5,92E Ru 39,6 hari 2,84E+16 5,07E+18 4,07E Ru 1,0 tahun - 1,47E+18 9,25E Ce 33,0 hari 3,26E+16 6,66E+18 5,55E Ce 285,0 hari 1,44E+16 4,03E+18 3,15E Np 2,4 hari 6,14E+17 7,92E+19 5,92E Pu 86,0 tahun 1,65E+10 3,17E+15 2,11E Pu 24400,0 thn. 2,56E+08 1,11E+15 7,77E Pu 6580,0thn. 1,80E+11 1,06E+15 7,77E Pu 13,2 thn. 3,47E+10 2,23E+17 1,26E Cm 163,0hari 7,62E+10 5,25E+16 1,85E+16 Sumber : NRPB (1995) IAEA (1997b) ORIGEN output skematik cara kerja pengungkung reaktor jenis PWR sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 25. Pengungkung ini memiliki sistem kondensasi es, sistem percik dan sistem filter untuk menahan bahan radionuklida tetap tinggal di dalam containment. Dengan demikian bahan radionuklida yang keluar ke lingkungan sudah mengalami reduksi yang cukup besar. Persyaratan desain untuk mendapat ijin dikonstruksinya PLTN adalah batas kebocoran yang ditolerir sebesar 0.1% volume per hari (USNRC 1997; IAEA 1997b)

114 Katup Kipas Filter debu Filter Hepa Pompa Kipas Penetrasi Pengungkung Pemindahan panas Generator uap Sistem percik Tinggi cairan Gambar 25 Skema diagram sistem pengungkung berkondensasi es untuk reaktor PWR, 1. pengungkung, 2. volum atas pengungkung, 3. kondenser es, volum bawah pengungkung, 5. sistem percik bawah pengungkung, 6, sistem pembuangan udara yang tersaring, 7 liner Pada kondisi normal hanya gas mulia dan bahan yang bersifat mudah menguap (volatile) yang mungkin keluar dari teras maupun sistem pendingin primer reaktor. Seperti yang telah dipersyaratkan dalam aturan internasional (IAEA 2003), reaktor harus dirancang sedemikian rupa sehingga bahan radionuklida tersebut tidak keluar dari pengungkung reaktor ke lingkungan. Apabila karena sifatnya menguap tidak dapat dihindari pelepasannya maka melalui rancangan reaktor pelepasan ini dibuat sedemikian rupa sehingga pelepasannya ke lingkungan menjadi serendah mungkin (As Low as Reasonably Achieveable, ALARA).

115 90 Dijelaskan pula bahwa jumlah yang keluar tersebut bukan saja berasal dari hasil fisi dan aktivasi dalam elemen bakar tetapi juga dari hasil fisi dan aktivasi bahan yang merupakan pengotor pada sistem primer. Data kuat sumber pelepasan pada kondisi normal untuk reaktor jenis PWR dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Data pelepasan pada kondisi normal Kuat sumber Radionuklida (Bq/detik) 3 H 1,40E C 8,56E Co 5,71E Co 1,33E Kr 8,24E I 4,40E I 1,36E Xe 9,83E Cs 5,71E Cs 1,05E-01 Sumber: IAEA (1997b), (Markandya 1999) Dalam kondisi kecelakaan kerusakan teras kondisinya jauh berbeda. Bahan radionuklida hasil fisi secara bertahap keluar dari kisi kristal, masuk ke dalam celah (gap), terlepas ke dalam bejana tekan, berinteraksi dengan bagian bawah bejana tekan kemudian lepas ke pengungkung. Gambar 26 mengilustrasikan proses pelepasan bahan radionuklida oleh karena terjadinya kecelakaan bocornya pipa primer atau loss of coolant accident (LOCA) yang diikuti dengan tidak berfungsinya sistem keselamatan darurat.

116 91 Sistem percik Kondensasi dan evaporasi tetes dan film Konsentrasi pd dinding dan permukaan Kanal pecah Masukan pendingin Kondensasi dan evaporasi permukaan Sumber : tourist.com/systemcs.htm/ Gambar 26 Ilustrasi pelepasan bahan radionuklida dari pengungkung Reaktor Besarnya konsentrasi bahan radionuklida dalam pengungkung sama dengan besar inventori yang keluar dibagi volum kosong dalam bejana tekan setelah dikurangi volume bejana tekan, pressurizer, pembangkit uap, dan pompa yang besarnya mencapai m 3. Pada saat terjadinya kecelakaan bocornya pipa primer maka sebagian hasil fisi yang terdapat pada pipa terlepas ke pengungkung dan air akan terkumpul di penampungan bagian bawah bejana dan bahan radionuklida berupa gas dan aerosol akan naik ke ruang bejana. Selanjutnya gas-gas yang terkungkung pada celah antara bahan uranium dengan kelongsong akan terlepas ke ruang pengungkung. Demikian selanjutnya terjadi penurunan integritas kelongsong dan bahan radionuklida terlepas ke pengungkung. Dengan meningkatnya suhu dan mulai terjadi pelehan elemen bakar, maka elemen bakar akan jatuh ke dasar bejana dan berinteraksi dengan struktur beton bejana. Selanjutnya terjadi pula pelepasan bahan radionuklida yang tadinya kurang volatil ke pengungkung. Dalam kurun waktu yang cukup panjang bahan radionuklida yang tadi terkungkung dalam kristal ataupun bejana tekan juga terlepas ke pengungkung yang menambah jumlah radionuklida di pengungkung. Tabel 20 menunjukkan fraksi bahan radionuklida sepanjang tahap perjalanannya sampai ke pengungkung

117 92 (containment) pada saat terjadi kecelakaan. Masing-masing tahapan memerlukan waktu seperti yang diuraikan pada Tabel 21. Elements Tabel 20 Fraksi pelepasan setiap tahapan pelepasan Pelepasan celah Pelepasan awal dalam bejana Luar Bejana Pelepasan tertunda dala m bejana Kr, Xe 0,05 0, I, Br 0,05 0,35 0,25 0,1 Rb, Cs 0,05 0,25 0,35 0,1 Te, Se 0 0,05 0,25 0,005 Ba, Sr 0 0,02 0,1 0 Co, Mo, Tc, 0 0,0025 0, Ru, Rh Y, Zr, Nd, Eu, Nb, Pm, Pr, Sm, Y, Cm, Am, Ce, Pu, Np 0 0,0005 0,005 0 Sumb er : Soffer et al. (1995) Tabel 21 Lama pelepasan untuk berbagai tahapan pelepasan saat terjadi kecelakaan rusaknya teras reaktor Aktivitas pendingin Pelepasan celah Pelepasan awal dalam bejana Luar Bejana Pelepasan tertunda dalam bejana Sumber : IAEA (1997b); Willers (2005) Selanjutnya di dalam pengungkung bahan radionuklida mengalami mekanisme reduksi melalui berbagai proses seperti pemfilteran, percik, kondensasi es, dan lepas ke udara bila terjadi kebocoran (IAEA 1997b). Sesungguhnya masih ada lokasi-lokasi lain yang menjadi sumber pelepasan bahan radionuklida bila terjadi kondisi kecelakaan yang dapat meloloskan bahan radionuklida dari pengungkung yang sering disebut sebagai pelepasan bukan lewat pengungkung (containment bypass) yaitu pelepasan yang keluar melalui steam generator ataupun elemen bakar, namun tidak menjadi lingkup pembahasan disertasi ini. Dengan menggunakan perhitungan sederhana melalui rumus (3.9) dan data inventory yang tersedia (Lampiran 2) dapat dihitung fraksi pelepasan total radionuklida yang keluar dari pengungkung. Data teknis reaktor dapat dilihat pada Tabel 17. Selanjutnya, Tabel 22 menunjukkan hasil perhitungan fraksi

118 93 pelepasan radionuklida dari pengungkung dengan asumsi mekanisme reduksi berfungsi dan kebocoran sesuai dengan persyaratan desain yaitu 0.1% volume per hari. Dengan fraksi ini, kuat sumber yang keluar dari pengungkung dapat digambarkan seperti pada Gambar 27. Tabel 22 Hasil perhitungan pelepasan radionuklida Group Fraksi Jam 1 Jam 2-3 Jam 4-10 Nobel 1,00E+00 1,00E+00 1,00E+00 Iod 5,52E-09 1,65E-08 5,39E-08 Halogen 4,79E-11 1,44E-10 4,79E-10 Te 1,35E-08 3,99E-08 1,27E-07 Sr 8,88E-10 2,66E-09 8,85E-09 Mo 1,57E-08 4,63E-08 1,47E-07 Zr 7,20E-10 2,16E-09 7,17E-09 Kuat sumber terlepas dari pengungkung 6.00E E+08 Laju lepasan (Bq/jam) 4.00E E E+08 Xe I-131 Cs-137 Sr Zr Series6 1.00E E Waktu (jam) Gambar 27 Kuat sumber terlepas dari pengungkung Penyebaran Bahan Radionuklida ke Lingkungan Dalam kasus ini pelepasan terhitung saat bahan radionuklida terlepas dari pengungkung (containment) setelah melalui tahapan pelepasan di dalam pengungkung. Diasumsikan seluruh pelepasan terjadi paling lama dalam 7 hari dan semua pelepasan dapat ditangani. Sejak dinyatakan terjadi kecelakaan

119 94 penduduk tidak dibenarkan memakan makanan yang berasal dari wilayah 10 km dari PLTN sebagai langkah pencegahan dini. Penyebaran bahan radionuklida dari reaktor sangat ditentukan oleh kecepatan, arah angin, curah hujan, lapisan campur, dan kelas stabilitasnya. Berikut ini diuraikan kategori kecepatan angin, kelas arah angin, dan kelas stabilitas yang akan digunakan dalam bahasan ini. Kategori Kecepatan Angin Kategori kecepatan diuraikan seperti pada Tabel 23. Tabel 23 Kategori kecepatan angin Kecepatan angin u Kategori (m/detik) 0 Calm 0<u<1 A 1<u<2 B 2<u<3 C 3<u<5 D 5<u<7 E u>7 F Kelas Arah Angin Arah angin dibagi dalam 16 sektor dimulai dari arah utara dengan sudut o o sampai dengan utara barat laut dengan sudut 326,25 348,75. Secara detil ke 16 sektor arah angin ditunjukkan dalam Tabel 24. Kelas Stabilitas Atmosfir Kelas stabilitas atmosfir menunjukkan tingkat kestabilan pergerakan angin selama di atmosfir, sehingga mempengaruhi distribusi angin di atmosfir seperti yang terlihat pada Tabel 25. Bentuk sebaran angin untuk masing-masing kelas stabilitas atmosfir dapat dilihat pada Lampiran 3,

120 95 Tabel 24 Sektor arah angin Simbol Keterangan Sudut ( o ) U Utara 348,75 11,25 UUT Utara Timur Laut 11,25 33,75 UT Timur Laut 33,75 56,25 TUT Timu r Timur Laut 56,25 78,75 T Timur 78,75 101,25 TST Timur Tenggara 101,25 123,75 ST Tenggara 123,75 146,25 SST Selatan Tenggara 146,25 168,75 S Selatan 168,75 191,25 SSB Selatan Barat Daya 191,25 213,75 SB Barat Daya 213,75 236,25 BSB Barat Barat Daya 236,25 258,75 B Barat 258,75 281,25 BUB Barat Barat Laut 281,25 303,75 UB Barat laut 303,75 326,25 UUB Utara Barat Laut 326,25 348,75 Tabel 25 Kelas stabilitas atmosfir T/ Z(K/100m) Kelas Keterangan Stabilitas < -1.9 A Sangat tidak stabil -1.9 s/d 1.7 B Agak tidak stabil -1.7 s/d 1.5 C Sedikit tidak stabil -1.5 s/d 0.5 D Netral -0.5 s/d 1.5 E Sedikit stabil >1.5 F Stabil mod erat Dalam analisis ini sangat diperlukan data angin yang dicatat per satu jam. Secara lengkap data ini tersedia untuk tahun 1996 yaitu sebanyak 8760 titik pengamatan. Dalam perhitungan, data pengamatan dibagi kedalam 144 sequence. Tiap sequence berselang 60 titik seperti yang terlihat pada Lampiran 4. Secara grafik data angin di sekitar Ujung Lemahabang ditunjukkan pada Gambar 28 (Susilo et al. 2004). Berdasarkan data angin dan kuat sumber radionuklida yang terlepas ke udara dapat dihitung sebaran bahan radionuklida di udara dengan menggunakan program komputer PC-COSYMA maupun perhitungan manual sebagai pembanding. Dalam perhitungan ini sumber yang terlepas ke udara terdiri dari 49 unsur dengan fraksi pelepasan seperti pada Tabel 20. Hasil perhitungan menunjukkan kontribusi unsur-unsur terhadap jalur masuk ke tubuh manusia seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 4.

121 96 Gambar 28 Gambar arah angin sekitar PLTN Ujung Lemahabang Dari tabel terlihat bahwa unsur yang paling banyak berpengaruh terhadap kesehatan manusia adalah unsur gas mulia. Beberapa unsur lain seperti 131 I dan 137 Cs ditunjukkan pada Tabel 26 dan Gambar 29. Table 26 Konsentrasi 131 I dan 137 Cs di Udara, dan Tanah pada radius 50 km No. Jarak (km) Konsentrasi 131 I di udara (Bq/m 3 ) Konsentrasi 131 I di tanah (Bq/m 2 ) Konsentrasi 137 Cs di udara (Bq/m 3 ) Konsentrasi 137 Cs di tanah (Bq/m 2 ) ,1866E+05 0,944E+03 0,150E+02 0,877E ,2463E+04 0,743E+02 0,592E+01 0,911E ,5313E+03 0,448E+01 0,484E+00 0,251E ,1648E+03 0,252E+01 0,114E+00 0,621E ,6981E+02 0,776E+00 0,933E-01 0,517E ,2785E+02 0,437E+00 0,81E-01 0,611E ,1646E+02 0,884E+00 0,207E-01 0,091E-03

122 E E E E+02 Konsentrasi 1.00E E E E E E-04 Jarak (km) Kons.I-131 diudara (Bq/m3) Kons I-131 di tanah(bq/m2) Kons.Cs-137di udara(bq/m3) Kons. CS-137 di tanah (Bq/m2) Gambar 29 Grafik Konsentrasi 131 I dan 137 Cs di udara dan tanah pada radius 50 km. Dengan konsentrasi yang sudah tersebar di udara dan tanah dapat dihitung besar dosis yang akan diterima penduduk secara individu. Secara rata-rata dosis yang diterima penduduk sangat beragam tergantung arah, dan kecepatan angin. Laju pernafasan rata-rata dewasa adalah 2,6700E-04 m 3 /detik atau m 3 /tahun (ICRP 1990). Tabel 27 menunjukkan sebaran laju dosis efektif rata-rata maksimum untuk individu sepanjang radius 50 km dari PLTN. Secara grafik laju ini digambarkan sebagai Gambar 30. Tabel 27 Lokasi rata-rata maksimum sebaran di sekitar Ujung Lemahabang No Jarak Jam Seque Sudut Arah angin Dosis nce Rata-rata Dari Timur ke Barat (Sektor 13) 5,94E Dari Utara ke Selatan (Sektor 9) 1,26E Dari Utara ke Selatan (Sektor 9) 2,52E Dari Barat Barat Laut ke Timur 8,35E-05 Tenggara Dari Timur Laut ke Barat Barat 3,32E-05 Daya Dari Utara ke Selatan (Sektor 9) 1,95E Dari Barat Daya ke Timur Laut 6,19E-06

123 98 Dosis 1.00E E E-02 Dosis (Sv) 1.00E-03 Dosis 1.00E E E-06 Jarak (km) Gambar 30 Grafik laju dosis maksimum rata-rata sepanjang 50 km. Perhitungan secara manual terdadap sebaran dosis dilakukan dengan menggunakan bahan radionuklida 131 I untuk berbagai kondisi stabilitas atmosfir. Hasil perhitungan, seperti pada Gambar 31 dan 32, menunjukkan bahwa dosis tertinggi ada pada kondisi stabilitas atmosfir C dengan nilai sebesar msv pada jarak 200 m dari sumber dengan ketinggian efektif 40 m dan 600 m dari sumber dengan ketinggian efektif 100 m. Akan tetapi menurun dengan tajam pada jarak yang lebih jauh. Ketinggian puncak kedua berada pada kondisi Sektor 9, Stab_D, heff=40, 300, Dosis (msv) Jarak (m) Sektor 9, Stab_A, heff=40 Sektor 9, Stab_B, heff=40 Sektor 9, Stab_C, heff=40 Sektor 9, Stab_D, heff=40 Sektor 9, Stab_E, heff=45 Sektor 9, Stab_F, heff=46 Gambar 31 Distribusi dosis individu untuk kelas stabilitas A-F terhadap jarak dari sumber pada tinggi efektif 40 m

124 Sektor 9, Stab_D, heff=100, 900, Dosis (msv) Jarak (m) Sektor 9, Stab_A, heff=100 Sektor 9, Stab_B, heff=100 Sektor 9, Stab_C, heff=100 Sektor 9, Stab_D, heff=100 Sektor 9, Stab_E, heff=100 Sektor 9, Stab_F, heff=100 Gambar 32 Distribusi dosis individu untuk kelas stabilitas A-F terhadap jarak dari sumber pada tinggi efektif 100 m stabilitas atmosfir D (netral) dengan nilai sebesar msv pada jarak 300 m dari sumber pada ketinggian efektif 40 m dan 900 m dari sumber dengan tinggi efektif 100 m. Penurunan pada jarak yang lebih jauh lebih besar dari pada kondisi stabilitas C. Oleh karena itu untuk tujuan analisis keselamatan radiasi maka kelas stabilitas D digunakan sebagai kondisi stabilitas yang paling pesimistis. Dengan asumsi pelepasan yang paling pesimis dari setiap kelas stabilitas ada pada stabilitas D dan arah angin dominan adalah arah pada sektor 9 maka sebaran yang paling pesimistik dari lepasan bahan radionuklida ditunjukkan pada Gambar 33. Untuk memberi gambaran tentang tinggi rendahnya dosis yang diterima individu sepanjang arah radial pada Gambar 34 dan 35 ditunjukkan sebaran dosis terhadap jarak pada berbagai sektor, sedangkan sebaran secara radial ditunjukkan pada Gambar 36. Dari Gambar terlihat bahwa sektor 9 memiliki tingkat radiasi yang paling tinggi dibanding 15 sektor yang lain. Semakin jauh jarak dari sumber semakin kecil dosis individu yang diterima penduduk.

125 100 Gambar 33 Sebaran dosis individu paling pesimis arah radial pada jarak 50 km dari sumber 0.06 Dosis (msv) Sektor 9, 300, Sektor 1 Sektor 2 Sektor 3 Sektor 4 Sektor 5 Sektor 6 Sektor 7 Sektor 8 Sektor 9 Sektor 10 Sektor 11 Sektor 12 Sektor 13 Sektor 14 Sektor 15 Sektor Gambar 34. Jarak (m) Sebaran dosis individu sektor 1 16, kelas stabilitas D, dengan h eff.= 40 m

126 Sektor 9, 900, Dosis (msv) Jarak (m) Sektor 1 Sektor 2 Sektor 3 Sektor 4 Sektor 5 Sektor 6 Sektor 7 Sektor 8 Sektor 9 Sektor 10 Sektor 11 Sektor 12 Sektor 13 Sektor 14 Sektor 15 Sektor 16 Gambar 35 Sebaran dosis individu sektor 1 16, kelas stabilitas D, dengan h eff.= 100 m Gambar 36 Sebaran dosis individu arah radial, pada kelas stabilitas atmosfir D, dengan H eff = 100 m. Dampak penerimaan dosis secara individu ini ditunjukkan dalam berbagai gangguan kesehatan seperti sumsum tulang belakang, permukaan tulang,

127 102 dada, paru-paru, perut, usus, hati, pankreas, tiroid, sel keturunan, dan lain-lain. Peneriman dosis yang cukup besar dapat menyebabkan kanker fatal, kanker, dan gangguan kesehatan pada keturunan. Berdasarkan konsentrasi pada Tabel 26 dan proses masuknya bahan radionuklida ke dalam tubuh manusia, dosis yang diterima masing-masing organ sensitif pada individu-individu ditunjukkan pada pada Gambar 37. Dari gambar terlihat bahwa organ tiroid merupakan penyerap dosis terbesar yaitu 6.62 msv, sedangkan perata-rataan untuk seluruh tubuh 5.69 msv. Dari dosis yang diterima selama 7 hari pada radius 0.5 km dan 7.5 km oleh berbagai organ tubuh, hampir seluruhnya merupakan dosis yang berasal dari awan radiasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 28 dan Tabel 29. Bahan radionuklida yang memberi kontribusi terhadap dosis penerimaan oleh organ paru-paru maupun seluruh tubuh, pada jarak 0,5 km dan 7,5 km ditunjukkan pada Gambar 38(a,b,c,d) Dosis radiasi vs jarak 7.00E E E-03 Dosis (Sv) 4.00E E E E E Jarak (km) EFFECTIVE THYROID EYE LENS OVARIES SKIN LUNG B. MARROW GI-TRACT Gambar 37. Dosis yang diterima seorang individu dan organ vs jarak

128 103 Tabel 28. Kontribusi berbagai jalur radiasi (pathway) terhadap dosis yang diterima organ tubuh pada jarak 0.5 km Pathway Organ Awan radiasi (%) Penyina ran tanah Inhalasi (%) Inhalasi resus (%) Kulit (%) Total rata-rata dosis (Sv) Paru-paru 99, ,74 E-03 Tiroid 99, ,62E-03 Mata ,50E-03 Uterus ,59E-03 Kulit ,96E-06 Efektif ,69E-03 Sumsum tl ,15E-03 belakang Hati ,75E-03 Tabel 29 Kontribusi berbagai jalur radiasi (pathway) terhadap dosis yang diterima organ tubuh pada jarak 7.5 km. Awan radiasi Penyina ran Inhalasi Inhalasi resus Kulit Total rata-rata dosis Pathway tanah (%) (%) (%) (Sv) Organ (%) (%) Paru-paru ,28E-05 Tiroid ,57E-05 Mata ,50E-05 Uterus ,55E-05 Kulit ,51E-08 Efektif ,23E-05 Sumsum tulang ,38E-05 belakang Hati ,83E-05

129 104 (a) (b) Persentase unsur dalam dosis ekivalen pada paru-paru oleh awan radiasi pada jarak 500 m dari sumber, Persentase unsur dalam dosis efektif ekivalen seluruh tubuh oleh awan radiasi pada jarak 500 m dari sumber, XE-135, XE-135, KR-87, KR-87, XE-133, XE-133, KR-87 XE-133 XE-135 KR-87 XE-133 XE-135 (c) Persentase unsur dalam dosis ekivalen pada paru-paru oleh awan radiasi pada jarak 7.5 km dari, sumber (d) Presentase unsur dalam dosis efektif ekivalen seluruh tubuh oleh awan radiasi pada jarak 7.5 km dari, sumber XE-135, XE-135, KR-87, KR-87, XE-133, XE-133, KR-87 XE-133 XE-135 KR-87 XE-133 XE-135 Gambar 38 Persentase unsur dalam dosis ekivalen untuk organ paru-paru dan keseluruhan tubuh

130 105 Dari gambar terlihat bahwa unsur yang menyebabkan penerimaan dosis dari awan radiasi selama 7 hari penyinaran adalah unsur gas mulia, dan yang terbesar berasal dari 97 Kr sebesar > 50%. Dengan nilai dosis efektif total 5.69E-3 Sv maka tidak akan terjadi dampak segera (deterministik) yang nyata. Sebagai pembanding, dampak steril sementara pada gonad bila gonad terkena dosis radiasi 0.15 Sv (ICRP 1990). Akan tetapi dalam jangka panjang (dosis terikat 50 tahun) dapat terjadi dampak stokastik yang ditandai dengan nilai probabilitas terjadinya mortality dan morbidity oleh satu unit dosis effectif (Sv). Karena sifatnya yang stokastik maka jumlah penduduk yang akan terkena dampak dihitung dengan perkalian penduduk yang terkena dengan probabilitas terjadinya dampak kanker fatal, kanker non-fatal dan penyakit pada keturunan oleh satu satuan Sievert dosis penyerapan yang datang dari berbagai jalur (pathway) Tabel 30 dan Tabel 31 menunjukkan kontribusi jalur penyinaran dalam perhitungan dosis ekivalen terikat 50 tahun yang diterima manusia pada jarak 0,5 km dan 7.5 km. Tabel 30 Kontribusi (%) jalur penyinaran dan nuklida dosis rata pada organ dalam waktu 50 tahun pada jarak 0,5 km. Awan (%) Tanah (%) Inhalasi (%) Makanan (%) Resuspensi Tanah (%) Dosis rata-rata total (Sv) Tulang 99, ,15E-03 Muka tulang 99,98 0 0,01 0,01 0 7,59E-03 Dada ,41E-03 Paru-paru 99,95 0 0, ,74E-03 Perut ,19E-03 Usus 99, ,02 0 4,75E-03 Hati 99, ,22E-03 Pankreas ,66E-03 Tiroid 99,8 0 0,01 0,19 0 6,64E-03 Gonad ,97E-03 Lain-lain ,86E-03 Dosis efektif 99,98 0 0,01 0,01 0 5,69E-03

131 106 Tabel 31 Kontribusi (%) jalur penyinaran dan nuklida dosis rata pada organ dalam waktu 50 tahun pada jarak 7.5 km. Awan Tanah Inhalasi Makanan Resuspensi Tanah Dosis rata-rata total (Sv) Tulang 99, ,01 0 7,38E-05 Muka 99,98 0 0,01 0,01 0 1,14E-04 tulang Dada ,33E-05 Paru-paru 99,96 0 0, ,29E-05 Perut 99, ,47E-05 Usus 99, ,05 0 6,83E-05 Hati 99, ,51E-05 Pankreas 99, ,66E-05 Tiroid 99,84 0 0,01 0,15 0 9,58E-05 Gonad 99, ,14E-05 Lain-lain 99, ,47E-05 Dosis efektif 99, ,01 0 8,24E-05 Dari Tabel 30 dan 31 terlihat bahwa, pada jangka panjang, jalur penyinaran berasal dari tiga jalur yaitu awan radiasi, inhalasi dan makanan. Hal ini berbeda dengan saat kondisi jangka pendek yang mana jalur penyinaran hanya berasal dari awan radiasi. Namun, hal yang sama dari keduanya adalah jalur yang paling dominan menyebabkan dampak radiasi adalah sama sama berasal dari jalur awan radiasi. Dengan memperhatikan keluaran PC COSYMA tentang kontribusi masing-masing bahan radionuklida memberikan dosis radiasi terlihat bahwa 131 I memberikan kontribusi 0.01% dari seluruh jalur sedangkan 137 Cs memberikan kontribusi rata-rata 0.24% pada jalur makanan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 32 dan 33. Selanjutnya bahan radionuklida 131 I digunakan untuk analisis sebaran dosis pada 16 sektor arah angin Zone eksklusi dan penduduk jarang Sesuai dengan definisi, zone eksklusi adalah zone dimana besar dosis radiasi yang sampai kepada individu sebesar 0,25 Sv atau 250 msv dua jam setelah terjadi pelepasan radiasi ke atmosfir. Harga ini dihitung dari nilai maksimum radionuklida yang terdispersi di atmosfir. Mengingat dosis efectif yang dikeluarkan dalam kecelakaan radiologi ini sangat jauh di bawah batasan

132 107 Tabel 32 Persentase bahan radionuklida memberi dosis kepada organ tubuh melalui seluruh jalur. Nuklida Paru-Paru Seluruh Tubuh 87 KR 58,94 58, RU 0,03 0, I 0 0, XE 12,99 13, XE 28,02 28, CM 0 0 tersebut maka penetapan zone eksklusi radiasi didasarkan pada puncak maksimum paparan yang keluar dari cerobong reaktor. Dari uraian pada Gambar 31 dan 32 diperoleh informasi bahwa maksimum dosis radiasi yang diterima penduduk secara individu pada kondisi stabilitas A-F berada pada radius 300 m untuk h eff. = 40 m. dan 900 m untuk h eff. =100 m. Tabel 33 Persentase bahan radionuklida memberi dosis kepada organ tubuh melalui jalur makanan. Nuklida Paru-Paru EN 58 CO 0,48 0,12 60 CO 34,51 3,26 89 SR 0,58 0,37 90 SR 1,35 2,77 91 Y 0 0,31 95 ZR 0,22 0,17 95 NB 0,08 0,08 99 MO 2,58 0, RU 3,38 1, RU 34,31 8,2 131 I 7,72 80, I 0,14 0, CS 9,74 0, CS 4,54 0, BA 0,23 0, CE 0,04 0, PU 0,05 0, PU 0,01 0, PU 0,01 0, PU 0,05 0, CM 0 0,03

133 108 Oleh karena itu zone ekslusi dapat didefinisikan pada 1000 m atau 1 km dari sumber. Dari data peta yang tersedia, seluruh lokasi zone eksklusi ini berada di Desa Balong, Kecamatan Bangsri. Selanjutnya lokasi di luar itu merupakan zone penduduk jarang (Low Population Zone) Pada zone eksklusi tidak dibenarkan terdapat industri yang dapat menyulut terjadinya ledakan yang akan mengenai PLTN, transportasi untuk membawa bahan berbahaya dan meledak dan instalasi militer seperti tempat penyimpanan senjata dan pelatihan militer yang dapat membuat PLTN terkena sasaran tembak. Batasan jarak yang masih dapat merasakan pengaruh atau ancaman suatu aktivitas terhadap PLTN sering disebut sebagai Screening Distance Value (SDV) atau screening probability level (SPL). Contoh, SDV untuk pelepasan gas dan uap beracun sekitar 8-10 km, instalasi militer untuk latihan penembakan 30 km, lapangan terbang 16 km Distribusi bahan radionuklida pada kondisi normal Sebagai pembanding berikut ini dihitung besar dosis yang ditimbulkan oleh penyebaran bahan radionuklida oleh pelepasan normal. Berdasarkan kuat sumber yang terdapat pada Tabel 19 yang terlepas dari pengungkung, kondisi meteorologi, dan dengan menggunakan persamaan Gauss (2.1) dapat dihitung besarnya dosis yang diterima oleh penduduk secara individu yang berdiri pada jarak tertentu dari sumber dalam satu tahun. Dalam perhitungan ini diambil kondisi yang pesimistik yaitu dengan asumsi kecepatan angin rata-rata 1 m/detik dan kelas stabilitas atmosfir D. Dengan mengasumsikan kondisi di atas pada tiap sektor dapat dihitung rata-rata penerimaan individu terhadap dosis radiasi dengan menggunakan program komputer SIMPACT seperti yang ditunjukkan pada Gambar 39. Pada jarak 1 km belum ada jalur makanan, maka dosis individu yang dihitung hanya berasal dari dosis awan radiasi, inhalasi dan resuspensi sehingga dosis menurun secara tajam setelah mencapai puncak. Sedangkan dosis setelah jarak > 1 km sudah terdapat

134 109 jalur makanan maka grafik dosis menjadi naik setelah ada jalur makan. Grafik dosis individu terhadap Jarak dalam kondisi normal Dosis (mikro Sv) Jarak (m) Total A Total, stab B Total, stab C Total, stab D Total, stab E Total, stab F Gambar 39 Gambar hasil perhitungan dosis rata-rata dari jalur awan radiasi, inhalasi dan deposisi di tanah dan makanan. Secara radial penggambaran dosis individu yang diterima penduduk dapat dilihat pada Gambar 40. Besar dosis individu hasil perhitungan menunjukkan nilai yang masih jauh di bawah batas yang diijinkan diterima manusia per tahun oleh penyinaran yang kontinu yaitu 5 rem atau 50 msv untuk pekerja radiasi dan 1 msv untuk publik (IAEA 1997b).

135 110 Gambar 40 Sebaran dosis individu selama satu tahun yang terlepas pada kondisi normal. 5.2 Analisis Pertumbuhan Penduduk Sebagai Penerima Dampak Penduduk di sekitar PLTN merupakan penerima dampak terlepasnya bahan radionuklida akibat terjadinya kecelakaan nuklir. Oleh karena itu pertumbuhan penduduk merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam memperkirakan dampak radiologi dan merencanakan pengendaliannya agar dampak yang ditimbulkannya tidak semakin besar. Dengan menggunakan berbagai pendekatan spasial dan temporal pertumbuhan penduduk di sekitar PLTN dapat diprediksi. Sebagai persyaratan dapat dilakukannya analisis regresi ganda adalah variabel independen yang harus bebas linear dan tidak ada korelasi yang signifikan antar variabel independen (bebas dari multikolinearitas). Hasil perhitungan korelasi terhadap ke 41 variabel independen yang diperkirakan berpengaruh terhadap kepadatan penduduk ternyata banyak yang memiliki korelasi. Data korelasi antar variabel independen dapat dilihat pada Lampiran 7.

136 111 Untuk memilih variabel yang independen maka digunakan metode Analisis Komponen Utama atau Principal Component Analysis (PCA). Dengan metode ini, ke-41 variabel (Tabel 5) yang diduga berpengaruh terhadap kepadatan penduduk direduksi ke dalam faktor yang mewakilinya secara signifikan yaitu faktor dengan nilai eigen (eigen value) > 1 seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 34 atau faktor dengan Scree Plot yang turun menajam seperti yang ditunjukkan pada Gambar 41. Tabel 34 Faktor dengan nilai eigen > 1 No Eigenvalue % Total Cumulative Cumulative 1 7, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,95604 Grafik Nilaieigen Nilai Nomor nilai eigen Gambar 41 Scree Plot Faktor Dari 41 variabel yang ada akhirnya diperoleh 14 faktor yang representatif. Untuk menjamin ke orthogonalan masing-masing faktor, maka dilakukan rotasi dengan prosedure Varimax.

137 112 Variabel Surrogate Karena keperluan analisis faktor saat ini adalah untuk mencari model regresi ganda untuk variabel kepadatan penduduk (Y), maka variabel yang digunakan adalah variabel asli bukan faktor. Untuk maksud tersebut dilakukan pemilihan terhadap variabel asli yang dapat mewakili faktor yang orthogonal tersebut dengan cara mencari korelasi variabel asli terhadap faktor. Variabel asli dengan korelasi paling tinggi terhadap Faktor Loading dapat dipilih untuk mewakili faktor tersebut (korelasi > 0.3 dianggap kuat). Tabel 35 menunjukkan Matriks Faktor Loading yang sudah terrotasi. Estimasi Pertumbuhan Kerapatan Penduduk Regresi Ganda Dengan variabel terpilih, dapat dilakukan analisis regresi ganda terhadap hubungan kepadatan penduduk tiap desa terhadap ke 14 variabel yang sudah dianggap bebas satu dengan lainnya. Hasil regresi ganda menunjukkan bahwa dari 14 variabel yang saling bebas hanya ada 9 variabel yang menunjukkan pengaruh nyata untuk kepercayaan a = 0,05 dengan koefisien determinan R 2 = 0, Tabel 36 menunjukkan daftar parameter b dan hasil uji-t dan uji-p. Dengan membuang variabel yang tidak signifikan mempengaruhi kepadatan penduduk diperoleh variabel yang sangat menentukan kepadatan penduduk yaitu: X 18 : Kepadatan listrik (jml kel pemakai listrik/luas desa) X 17B : Ketersediaan jalan lain di dalam desa (m/luas desa) X 11E : Terdapatnya Industri kayu/mebel (0=tidak: 1=ada ) X 21 : Perubahan tahun dalam rentang (0=1998; 1=2002) X 5 : Tinggi dari permukaan laut (m) X 4 : Jarak dari Demak (km) X 10A : Sumber penghasilan Tani (0=tidak; 1=ada) X 10B : Sumber penghasilan Tambang (0=tidak; 1=ada) : Tersedianya Industri pertambangan (0=tidak;1=ada) X 11C Dengan nilai masing-masing parameter seperti pada Tabel 37.

138 113 Tabel 35 Matriks Faktor Loading Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Faktor 5 Faktor 6 Faktor 7 Faktor 8 Faktor 9 Faktor 10 Faktor 11 Faktor 12 Faktor 13 Faktor 14 X X X X X X X 7A X 7B X 7C X X X 10A X 10B X 10C X 10D X 10E X 11A X 11B X 11C X 11D X 11E X 11F X 11G X X X dilanjutkan

139 114 Tabel 35. Lanjutan Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4 Faktor 5 Faktor 6 Faktor 7 Faktor 8 Faktor 9 Faktor 10 Faktor 11 Faktor 12 Faktor 13 Faktor 14 X 15A 0, , , , , , , , , , , , , , X 15B 0, , , , , , , , , , , , , , X 15C 0, , , , , , , , , , , , , ,00694 X 16 0, , , , , , , , , , , , , ,07859 X 17A 0, , , , , , , , , , , , , ,13447 X 17B 0, , , , , , , , , , , , , , X 17C 0, , , , , , , , , , , , , , X 18 0, , , , , , , , , , , , , , X 19A 0, , , , , , , , , , , , , , X 19B -0, , , , , , , , , , , , ,1225-0, X 19C -0, , , , , , , , , , , , , , X 19D 0, , , , , , , , , , , , , , X 19E -0, , , , , , , , , , , , , , X 20-0, , , , , , , , , , , , , , X 21-0, , , , , , , , , , , , ,0267 0, Y 0, , , , , , , , , , , , , , Expl.Var Prp.Totl 0, , , , , , , , , , , , , , Wakil X 18 X 19C X 17B X 11E X 21 X 5 X 4 X 10E X 7C X 10A X 10B X 20 X 19E X11C Arti Listrik Kebon JalanLain Ind_kayu Tahun TDPL JrkDmk SP_Jasa LuarHtn SP_Tani Tambang Rekreasi LhnHtn IndBatu

140 115 Tabel 36. Hasil Regresi Ganda 14 Variabel yang diduga mempengaruhi kepadatan pendududuk Beta Deviasi Std. Deviasi Std B Kesalahan. Kesalahan T(1921) p-level Intercept 2, , ,9717 0, X 18 0, , , , ,0422 0, X 19C -0, , , , ,3049 0, X 17B 0, , , , ,3588 0, X 11E 0, , , , ,6489 0, X 21 0, , , , ,2870 0, X 5 0, , , , ,9822 0, X4-0, , , , ,7474 0, X 10E -0, , , , ,6275 0, X 7C -0, , , , ,3156 0, X 10A -0, , , , ,3456 0, X 10B 0, , , , ,4395 0, X 20-0, , , , ,6159 0, X 19E 0, , , , ,1957 0, X 11C -0, , , , ,4788 0, Beta Tabel 37 Hasil perhitungan Beta, t dan p Deviasi Std. Kesalahan B Deviasi Srd Kesalahan. t(1962) p-level Intercept 1, , ,7044 0, X 18 0, , , , ,8654 0, X 17B 0, , , , ,3140 0, X 11E 0, , , ,9103 0, X 21 0, , , , ,3585 0, X 4-0, , , , ,7819 0, X 10A -0, , , , ,1515 0, X 10B 0, , , , ,5114 0, X 11C -0, , , , ,3959 0, Jadi persamaan kepadatan penduduk dirumuskan seperti pada persamaan (5.1) Y = X ,01542 X 17B X 11E X ,02480 X 4 0,83765 X 10A X 10B X 11C. (5.1) Keterangan: X 18 : Kepadatan listrik (jml kel pemakai listrik/luas desa) X 17B : Ketersediaan jalan lain di dalam desa (m/luas desa) X 11E : Terdapatnya Industri kayu/mebel (0=tidak: 1=ada ) X 21 : Perubahan tahun dalam rentang (0=1998; 1=2002) X 5 : Tinggi dari permukaan laut (m) X 4 : Jarak dari Demak (km) X 10A : Sumber penghasilan Tani (0=tidak; 1=ada) X 10B : Sumber penghasilan Tambang (0=tidak; 1=ada) : Tersedianya Industri pertambangan (0=tidak;1=ada) X 11C

141 116 Regresi Non-linear Eksponensial Pendekatan non-linear juga dilakukan untuk estimasi pertumbuhan penduduk dengan rumus (3.19). Dengan menggunakan variabel bebas linear yang terpilih sebelumnya dilakukan estimasi kepadatan penduduk. Dengan model ini diperoleh hasil perhitungan parameter beta dan seperti pada Tabel 38. Dengan demikian persamaan untuk pendekatan kepadatan penduduk Y adalah Y = EXP( ,0048 X 18 +0, X 17B +0, X 11E + 0, X 21 0,00003 X 4-0,00153 X 10A +0, X 10B (5.2) Keterangan, X 18 : Kepadatan listrik (jml kel pemakai listrik/luas desa) X 17B : Ketersediaan jalan lain di dalam desa (m/luas desa) X 11E : Terdapatnya Industri kayu/mebel (0=tidak: 1=ada ) X 21 : Perubahan tahun dalam rentang (0=1998; 1=2002) X 4 : Jarak dari Demak (km) X 10A : Sumber penghasilan Tani (0=tidak; 1=ada) : Sumber penghasilan Tambang (0=tidak; 1=ada) X 10B Tabel 38 Parameter Koefisien Eksponensial Listrik Jalan Industri Jarak Tahun Kayu Demak Tani Tambang Const.C Const.B0 X 18 X 17B X 11E X 21 X 4 X 10A X 10B Estimate -932,729 6,841 0,0048 0, , , , , , Std.Err ,005 0,0000 0, , , , , , t(1962) -213, , ,1418 3, , , , , , p-level 0,000 0,000 0,0000 0, , , , , , Model Geometri (Bunga majemuk) Dengan model ini diasumsikan terjadi pertumbuhan penduduk rata-rata 2% dan dengan demikian akan terjadi peningkatan kepadatan penduduk secara eksponensial di setiap desa mengikuti rumus (3.21).

142 117 Model Logistik Dengan asumsi bahwa untuk jangka panjang terdapat pembatas peningkatan penduduk maka tidak mungkin terjadi peningkatan kepadatan penduduk secara terus menerus, pasti suatu saat akan mengalami masa pembatasan. Model yang menunjukkan sifat pertumbuhan ini dikenal dengan model logistik seperti yang diuraikan dalam rumus (3.22). Tiga titik pertumbuhan yang digunakan sebagai titik acuan didekati dengan model regresi, sehingga diperoleh titik acuan untuk tahun 1998, 2002 dan Dengan tiga titik acuan ini diperoleh nilai a,b,k berturut-turut untuk setiap desa Dari ke-empat model pertumbuhan peduduk dapat diplotkan pertumbuhan penduduk pada radius 50 km dari ULA seperti pada Tabel 39 dan Gambar 42. Tabel 39 Hasil estimasi jumlah penduduk dengan model regresi ganda, eksponensial, geometri dan logistik Tahun Logistik Eksponensial Regresi Majemuk Dengan memperhatikan luas wilayah dan kawasan lindung, daya tampung ke empat kabupaten di sekitar lahan PLTN masih dapat menampung penduduk yang diperkirakan sampai 10,3 juta pada Tahun Dari pertimbangan ini, maka untuk perkiraan yang pesimis pertumbuhan penduduk model regresi ganda maupun eksponensial dapat digunakan, sedang model logistik dan geometrik atau bunga majemuk dapat digunakan sebagai pembanding. Selanjutnya dalam analisis ini digunakan model pertumbuhan eksponensial. Gambar 43, Gambar 44 dan Gambar 45 menunjukkan variabel yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk tahun 1998 sampai tahun 2002 dan prediksi pertumbuhan kepadaran penduduk tahun 2016, 2036, dan 2056.

143 118 Grafik Pertumbuhan Penduduk dengan Logistik, Eksponensial, Regresi Ganda, dan Bunga Majemuk 1.40E E E+07 Jiwa 8.00E E+06 Logistik Eksponensial Regresi Majemuk 4.00E E E+00 Gambar Tahun Hasil estimasi pertumbuhan penduduk dengan model geometri, regresi ganda, eksponensial dan logistik Untuk tujuan analisis dampak radiologi, maka data penduduk dikonversi ke dalam grid yang sudah didefinisikan pada Bab metodologi untuk estimasi penduduk 2016, 2036 dan 2056 dapat dilihat pada Tabel

144 Gambar 43 Pola spasial variabel-variabel yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk tahun

145 Gambar 44 Pola spasial variabel-variabel yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk tahun

146 Gambar 45 Peta prediksi pertumbuhan penduduk di sekitar PLTN 121

147 122 Tabel 40 Estimasi jumlah penduduk tahun 2016 dalam radius 50 km dalam grid spasial U UUT UT TUT T TST ST SST S SSB SB BSB B BNB UB UUB Tabel 41 Estimasi jumlah penduduk tahun 2036 dalam radius 50 km dalam grid spasial U UUT UT TUT T TST ST SST S SSB SB BSB B BNB UB UUB Tabel 42 Estimasi jumlah penduduk tahun 2056 dalam radius 50 dalam grid spasial U UUT UT TUT T TST ST SST S SSB SB BSB B BNB UB UUB

148 123 Kepadatan dan penyebaran penduduk sekitar PLTN Walaupun penduduk bertempat tinggal menyebar pada ruang spasial namun dapat diketahui lokasi pemusatan penduduk sekitar PLTN. Dengan menggunakan rumus (3.10) (3.12) dapat diketahui rata-rata penduduk dan lokasi rata-rata spasialnya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 43. Tabel 43 Rata-rata penduduk dan titik pemusatan pada empat kabupaten sekitar Lokasi PLTN Tahun Rata- Rata spasial X Y Pati Kudus Jepara Demak Lokasi ini secara spatial ditunjukkan dalam Gambar 46.

149 124 Gambar 46 Lokasi pemusatan penduduk pada Kabupaten Jepara, Pati, Kudus dan Demak. Dari Gambar 46 terlihat bahwa penduduk di tiap kabupaten memusat pada lokasi desa Bringin, Kecamatan Jepara untuk Kabupaten Jepara, Kotamadya Kudus untuk Kabupaten Kudus, dan Demak untuk Kabupaten Demak. Pola pergeserannya tidak jauh dari wilayah-wilayah yang sudah ditentukan tersebut. Untuk masingmasing kabupaten tersebut pertumbuhan penduduk dapat digambarkan seperti pada Gambar 47. Kepadatan ditunjukkan pada Gambar 48. penduduk yang minimum di masing-masing kabupaten

150 Kepadatan (jiwa/ha) Pati Kota Kudus Jepara Demak Tahun Gambar 47 Kepadatan penduduk tertinggi di empat Kecamatan Wilayah Radius 50 km dari PLTN Kepadatan (jiwa/ha) Cluwak Dawe Bangsri Wedung Tahun Gambar 48 Kerapatan penduduk terrendah untuk masing-masing Kabupaten di wilayah radius 50 km dari PLTN

151 126 Kecamatan Bangsri (bagian dari Kembangan) termasuk berpenduduk dengan kepadatan sangat rendah yaitu 12 jiwa per ha pada Tahun 2016 dan 27 jiwa per ha pada Tahun Oleh karena itu pegaturan kependudukan masih sangat dimungkinkan dan daya dukung wilayah masih cukup tinggi bila diperlukan.. Korelasi pasial Dengan menggunakan persamaan (3.15) dan (3.16) dapat dihitung korelasi spasial penduduk disekitar PLTN Ujung Lemahabang seperti yang ditunjukkan pada Tabel 44. Hasil perhitungan perhitungan menunjukkan bahwa sebaran penduduk terjadi secara berkelompok, dan dari data spatial yang tersedia pengelompokan terdapat pada pusat-pusat penduduk seperti yang telah ditunjukkan pada Gambar 46. Tabel 44 Korelasi spatial kepadatan penduduk kabupaten Pati, Kudus, Jepara dan Demak Nama Nilai VarNorm ZNorm VarRand Zrand Geary'sC 0, , , Moran'sI 0, , , Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk masih sangat dipengaruhi oleh keberadaan jalan-jalan dalam kota, ketersediaan penerangan, dan sarana prasarana seperti yang ditunjukkan pada persamaan model pertumbuhan penduduk yang telah dianalisis Analisis Perubahan Dampak Oleh Pertumbuhan Penduduk Dosis efektif individu adalah dosis yang diterima oleh seseorang yang berada pada satu lokasi tertentu yang dengan konsentrasi bahan radionuklida te rtentu. Sedang dosis kolektif adalah dosis yang diterima individu secara kolektif pada suatu wilayah tertentu. Dengan demikian pertambahan penduduk di sekitar lokasi PLTN

152 127 berdampak pada peningkatan dosis kolektif yang sekaligus berdampak pada kemungkinan jumlah penduduk yang terkena. Dengan menggunakan data dosis hasil perhitungan PC-COSYMA dan data penduduk pada Tabel dapat dihitung perubahan dampak radiologi yang timbul sejak dari tahun 2016 sampai dengan 2056 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 49 dan 50, masing-masing untuk angka gangguan kesehatan (morbidity) dan kematian (mortality) Grafik Data kemungkinan peningkatan angka gangguan kesehatan oleh pertumbuhan penduduk pada kecelakaan bocor 0.1% dengan mekanisme reduksi berfungsi 1.20E E E+01 Jumlah 6.00E E E E Tahun ke Maximum Mean Prob < 1.0E+00 99th perc. 95th perc. 90th perc. 50th perc. Gambar 49 Grafik peningkatan angka gangguan kesehatan tahun ke 1 (2016) sampai tahun ke 3 (2056).

153 128 Grafik data kemungkinan peningkatan angka kematian oleh pertumbuhan penduduk pada kondisi kecelakaan bocor 0.1%, dengan sistem reduksi berfungsi 7.00E E E E E E E E Maximum Mean Prob < 1.0E+00 99th perc. 95th perc. 90th perc. 50th perc. Gambar 50 Kemungkinan kenaikan angka kematian oleh peningkatan jumlah penduduk tahun ke 1 (2016) sampai tahun ke 3 (2056) Dari grafik terlihat bahwa walaupun kuat sumber yang keluar oleh pelepasan radionuklida tetap namun perubahan penduduk dapat menyebabkan perubahan jumlah kasus kerusakan organ dan ke matian. Untuk kerusakan organ peningkatan kejadian rata-rata dari 7 kasus menjadi 12 kasus dan maksimum dari 51 kasus menjadi 107 kasus, sedang pada kematian dari rata-rata dari 3 kasus menjadi 7 kasus dan maksimum dari 27 kasus menjadi 54 kasus. Walaupun demikian ditinjau dari probabilitas kejadiannya kemungkinan hal ini terjadi sangat kecil seperti yang terlihat pada Tabel 45.

154 129 Tabel 45 Probabilitas kejadian gangguan kesehatan dan kematian Tahun 2016 Tahun 2036 Tahun 2056 Keboleh jadian kecelakaan PLTN 1,9 E-6 1,9 E-6 1,9 E-6 Jumlah penduduk Jumlah gangguan kes. rata-rata Probabilitas 7 3,41E ,44E ,2E-12 Jumlah kematian rata-rata Probabilitas 1,46E-12 1,72E-12 3,41E-12 Jumlah gangguan kes. maksimum Probabilitas 51 2,49E ,72E ,85E-11 Jumlah kematian maksimum Probabilitas 1,32E-11 1,45E-11 1,52E Analisis Ekonomi Dampak Kerusakan Pada kondisi normal maka besar kerusakan yang diperkirakan hanya menyangkut dampak kerusakan pada gangguan kesehatan yaitu fatal kanker dan kanker tidak fatal. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menghitung dampak kanker yaitu (1) berdasarkan nilai statistik hidup (Value of a Statistical Life, VSOL) atau (2) berdasarkan nilai hilangnya harapan hidup (Value of Life Tahun Loss, VLYL). Secara ekonomi nilai-nilai tersebut di atas dapat dicari dengan melakukan valuasi dengan metode Willingness to Pay (WTP) terhadap suatu kecelakaan nuklir. Namun nilai ini akan sulit dicari terutama untuk negara-negara yang belum memiliki reaktor. Oleh karena itu dapat dilakukan pendekatan dengan membandingkan dengan nilai yang ada di suatu negara lain, dalam hal ini Eropa. Tabel 46 menunjukkan nilai ekonomi per unit dampak radiologi dengan 0% discount rate (Markandya 1999a, 1999b; Spadaro 2000). Estimasi nilai ekonomi dampak radiologi untuk tahun 2004, 2016, 2036, dan 2056 dilakukan dengan rumus Future Value of Cost (Sanim 2000) dan asumsi discount rate 3% diperoleh hasil seperti pada Tabel 47.

155 130 Tabel 46. Nilai ekonomi dampak radiologi Pendekatan Kanker Fatal Kanker Non-Fatal Penyakit keturunan US $ 1995 per US $ 1995 per US $ 1995 per Kasus Kasus Kasus VOSL* VLYL** *) value of statistical life **) value of life year loss Tabel 47 Estimasi nilai ekonomi dampak radiologi terhadap kesehatan Tahun Jenis dampak radiologi US$ US$ US$ US$ Kanker Fatal VSOL VLYL Kanker Non-Fatal VSOL VLYL Penyakit pada keturunan VSOL VLYL Untuk pemakaian di negara-negara lain di luar Eropah, maka penyesuaian dilakukan dengan menggunakan rumus: Keterangan: Biaya Kerusakan Y : biaya kerusakan pada negara-y Biaya Kerusakan X : biaya kerusakan pada negara X pembanding PPP GNPY : purchasing power parity Gross National Product E akan Biayakerus Y : Elastisitas kerusakan = Biayakerusakan X PPP GNP PPP GNP Y X E Data sebagian nama negara-negara dan GDP (PPP) yang dimilikinya pada tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 48 (Wikipedia 2004).

156 131 Tabel 48 GDP per kapita beberapa negara tahun 2004 Rank Country GDP per Capita Rank Country GDP per Capita 1 Luxembourg European Union * 2 Norway Argentina United States Poland Ireland Mauritius San Marino * 55 Latvia Iceland Seychelles Denmark Croatia Canada Antigua and Barbuda Switzerland Chile Austria South Africa Hong Kong SAR (PRC) Libya Japan Malaysia Australia Russia Belgium Botswana Singapore Netherlands Syria Finland Indonesia Germany Secara khusus untuk Negara Jerman, Euro, Amerika dan Indonesia estimasi GDP dan GDP per capita tahun 2004, 2016, 2036, 2056 ditunjukkan pada Tabel 49. Tabel 49 Estimasi nilai GDP dan GDP per kapita tahun 2004, 2016, 2036, 2056 dengan persentase pertumbuhan 5% Tahun $million $million $million $million $million GDP German Euro US 10,400, Indonesia GDP per capita German Euro US Indonesia

157 132 Dengan demikian nilai dampak radiologi VSOL dan VLYL untuk Indonesia ditunjukkan pada Tabel 50, Tabel 50 Estimasi nilai ekonomi dampak radiology terhadap kesehatan Tahun US$. US$ US$ US$ US$ Kanker Fatal VSOL VLYL Kanker Non-Fatal VSOL VLYL Penyakit pada keturunan VSO L VLYL Dengan demikian biaya kerusakan untuk pelepasan normal dapat dihitung seperti pada Tabel 51. Dengan memperhatikan jumlah kasus yang mungkin terjadi seperti pada Tabel 45 dapat diestimasi nilai kerusakan kesehatan yang ditimbulkan oleh dampak radiologi dalam kondisi normal seperti pada Tabel 52. Dengan demikian prediksi biaya dampak kesehatan bila terlihat dampak pada kondisi normal pada (asumsi US$ 1 : Rp ): 1. Tahun 2016 : Rp ,000,00 atau Rp. 3,938 milyar 2. Tahun 2036 : Rp ,00 atau Rp 7,113 milyar 3. Tahun 2056 : Rp ,000,00 atau Rp 16,3 milyar Pada kondisi kecelakaan perhitungan biaya kerusakan sedikit berbeda karena disamping terjadi dampak terhadap kesehatan juga terjadi tindakan kedaruratan. Sesuai dengan zone radiasinya, maka penduduk pada wilayah radius 1 km yaitu zone eksklusi, harus segera dievakuasi dan relokasi, dan untuk jangka panjang dinyatakan adanya larangan memakan makanan yang diproduksi di wilayah terkena radiasi tersebut selama satu tahun tergantung perkembangan hasil pengukuran.

158 133 Tabel 51 Perhitungan jumlah kasus yang terjadi secara stokastik saat reaktor beroperasi normal Jalur masuk Kejadian Unit Inhalasi 4,70E-01 (man Sv per tahun) Awan 1,06E-01 (mansv per tahun) Resuspensi 2,10E-02 (man Sv per tahun) Makanan : Makanan: Kasus khusus: Sapi 1,17E-04 (man Sv per tahun) Kambing 3,47E-05 (man Sv per tahun) Cereals 9,72E-04 (man Sv per tahun) Sayuran hijau 1,19E-04 (man Sv per tahun) Umbi 9,68E-04 (man Sv per tahun) Susu 6,46E-08 (man Sv per tahun) Sub-total 2,21E-03 (man Sv per tahun) H - 3 3,99E-05 (man Sv per tahun) C ,45E+00 (man Sv per tahun) Total 6,05E+00 (man Sv per tahun) Kejadian pada radius 50 km Kanker fatal 3,02E-01 (kasus per tahun) Kanker tidak fatal 7,26E-01 (kasus per tahun) Dampak keturunan 6,05E-02 (kasus per tahun) Jenis dampak radiology Tabel 52 Estimasi nilai ekonomi dampak radiologi terhadap kesehatan Prob Kejadian US$. US$/kasus Biaya US$/kasus Biaya US$/kasus Biaya Kanker Fatal VSOL VLYL Kanker Non-Fatal VSOL VLYL Penyakit pada keturunan VSOL VLYL Tot al VSOL Total VLYL

159 134 Ditinjau dari segi dosis yang diterima penduduk maka penduduk pada sektor 9 sampai dengan radius sampai 10 km, karena merupakan wilayah dengan penyinaran yang dominan, harus di evakusi dan relokasi dan untuk jangka panjang dinyatakan adanya larangan makan makanan di wilayah tersebut selama satu tahun tergantung perkembangan hasil pengukuran. Berdasarkan estimasi kerusakan yang terjadi pada kasus ini maka kehilangan tanah dan rumah tidak dihitung karena penduduk dapat kembali lagi kerumah masing-masing. Dengan demikian biaya kerusakan dapat diuraikan seperti pada Tabel 53. Tabel 53 Estimasi nilai ekonomi dampak radiologi terhadap kesehatan pada kondisi darurat Komponen Biaya Jumlah (unit) Biaya per kasus (milyar rupiah) Biaya total (milyar rupiah) Kematian oleh Kanker Fatal 27 kasus ,404 Gangguan kesehatan Kanker Nonfatal 51 kasus ,854 Evakuasi jiwa 0,531 0,531 Relokasi 0 Larangan makanan ,7 Susu 0 Daging sapi Daging kambing Biji-bijian Sayuran kg kg kg kg Umbi kg Total 331,489 Dengan demikian biaya kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak kondisi kecelakaan nuklir sebesar Rp 331,489 milyar.

160 Analisis Pemanfaatan Ruang Analisis ini terutama ditujukkan untuk menganalisis aktivitas dan pola aktivitas penduduk yang berpotensi terkena dampak radiologi pada saat terjadi kecelakaan nuklir, khususnya menyangkut tempat-tempat dimana penduduk lama berada dan banyak berkumpul, seperti perumahan, tempat-tempat komersil sekolah dan rekreasi. (EPA 2000). Oleh karena itu pada bagian pertama akan dianalisis penetapan zone kedaruratan berdasarkan pola penyebaran bahan radionuklida bila terjadi kecelakaan, dan kedua adalah menganalisis aktivitas penduduk dalam zone tersebut dan prediksinya di masa mendatang sehingga dapat dipertimbangkan dalam penyusunan tata ruang lahan sekitar PLTN. Zone Kedaruratan Penyebaran bahan radionuklida dalam kondisi normal secara umum dapat dikatakan sangat kecil. Dampak yang mungkin terjadi terhadap populasi adalah dampak stokastik jangka panjang dengan probabilitas yang sangat kecil. Dari hasil perhitungan terdahulu diperoleh total dosis efektif maksimum dari inhalasi, awan, dan deposisi adalah sebesar 2,5 x 10-5 Sv atau 0,25 µsv. Besaran ini masih sangat jauh di bawah batas yang diijinkan yaitu 5 rem atau 50,000 µsv untuk pekerja radiasi dan 1 msv, atau 1000 µsv untuk publik dalam satu tahun (NCRP 116). Penerapan prinsip ALARA memberi arti bahwa walaupun paparan yang keluar sudah diestimasi dibawah batas yang diijinkan, namun dalam praktiknya harus diartikan sebagai dosis serendah mungkin yang dapat dicapai oleh penguasa nuklir. Olivera (2003) melaporkan hasil pengamatan dosis untuk Reaktor Daya di Atucha I dan Embalse, Argentina periode berkisar 0,002 0,012 msv atau 2 x 10-6 µsv 12 x 10-6 µsv. Ishida (2003) menyebutkan kontrol terhadap dosis yang diijinkan sampai kepada publik dapat dilakukan melalui penetapan peraturan (regulatory) oleh pemerintah. Misalnya, pemerintah menetapkan bahwa untuk rancangan reaktor, basis dosis efektif yang digunakan adalah 18 µsv per tahun bukan 1 msv seperti yang ditetapkan secara Internasional. Sebagai konsekuensinya maka

161 136 teknologi keselamatan reaktor harus lebih ditingkatkan, misalnya, untuk mitigasi pelepasan bahan radionuklida ke lingkungan dilakukan usaha mereduksi pelepasan radiasi melalui penaikan cerobong, penggunaan filter, ice condenser, penangkapan unsur krypton (Ishida 2003). Langkah mitigasi dampak radio logi terhadap penduduk dapat dilakukan dengan menetapkan zone pemanfaatan ruang sekitar PLTN sedemikian rupa sehingga wilayah tersebut memiliki penduduk jarang, Berbeda dengan kondisi normal pada kondisi kecelakaan pelepasan radionuklida tidak terjadi sepanjang tahun, tetapi terbatas pada beberapa waktu saja tergantung pada kecepatan tindakan kedaruratan yang dilakukan untuk menanggulangi pelepasan kuat sumber maupun penanganan penduduk disekitar PLTN. Untuk merumuskan penanganan kedaruratan, perkiraan dosis yang mungkin terjadi dijadikan dasar penanganan. Untuk itu dosis maksimum yang mungkin terjadi dijadikan dasar untuk penetapan zone eksklusi dengan pengertian, bila zone ini telah ditetapkan maka zone lain dapat dipastikan akan memiliki dampak yang lebih kecil dan dengan penanganan yang lebih mudah. Dari hasil perhitungan dosis secara total maupun dengan unsur I-131 dapat disimpulkan bahwa zone radiasi yang maksimum berada di radius lebih kecil dari 1 km. Per definisi zone eksklusi dedefinsikan sebagai wilayah yang mendapat dosis 0,25 Sv dalam jangka waktu 2 jam setelah pelepasan bahan radionuklida, namun besaran ini tidak akan pernah tercapai dengan rancangan PLTN yang menggunakan teknologi keselamatan generasi IV. Dalam zone ini penguasa nuklir berwenang menentukan aktivitas yang dapat dilakukan termasuk memindahkan personil dan kepemilikannya. Dengan penetapan zone radiasi 1 km sebagai zone eksklusi, wilayah yang tercakup di dalamnya adalah sebagian Desa Balong dengan luas 314 ha, wilayah di atas radius 1 km termasuk zone kepadatan penduduk jarang (Low Population Zone ). Artinya penduduk disekitar zone ini harus dipertahankan memiliki kepadatan rendah sehingga mengurangi orang yang terkena dampak dikemudian hari dan mempermudah melakukan evakuasi maupun relokasi. Berbagai zone ekslusi ini sama dengan beberapa zone yang ada di PLTN Amerika Serikat (Newject 1996).

162 137 Dari Tabel 27 ditunjukkan bahwa dosis individu yang tertinggi yang mungkin diterima penduduk berada pada radius 0,5 km sektor 13 dari arah timur ke barat yaitu sebesar 5,69 msv. Penduduk yang menerima dosis tertinggi ini disebut sebagai critical group oleh karena itu wilayah ini dijadikan acuan untuk batas penerimaan penduduk Untuk kesiapsiagaan, wilayah sekitar PLTN perlu mengantisipasi kemungkinan kondisi darurat, untuk itu perlu rencana kesiapsiagaan kedaruratan (emergency preparedness) untuk menyusun rencana kedaruratan (emergency planning) dalam menangani kemungkina n dampak kecelakaan lepasnya bahan radionuklida. Kesiagaan ini ditandai dengan persiapan langkah penanganan (countermeasure) seperti perlindungan (sheltering), evakuasi, relokasi dan lain-lain. Oleh karena itu sangat perlu kualitas dan ketersediaan alat transportasi untuk melakukan langkah-langkah evakuasi, demikian pula ketersediaan listrik dan sistem koneksi dan pusat-pusat layanan publik. Sebagai konsekuensi penetapan zone kedaruratan Precautionary Protective Action Zone(PAZ) maka langkah kedaruratan yang harus segera dilakukan bila ada peringatan kedaruratan, antara lain memerintahkan penduduk mencari perlindungan untuk sementara agar kemudian dapat dievakuasi. Oleh karena itu zone ini terkait dengan zone eksklusi maka ditetapkan radius untuk Zone PAZ yang meliputi 0-2 km dari sumber pelepasan. Zone Urgent Protective Action Planning Zone(UPZ) yaitu zone dimana tindakan kedaruratan dilakukan berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, ditetapkan pada radius 2-10 km. Pada radius ini konsentrasi bahan radionuklida menurun 1/10 kali. Selanjutnya zone longer term protective action planning zone (LPZ) ditetapkan > 10 km. Dengan memperhatikan prediksi perkembangan sejak dioperasikan tahun 2016 sampai 2056 dan sebaran dosis radiasi seperti pada Gambar 51 terlihat bahwa pusatpusat penduduk berada pada radius di atas 10 km atau zone LPZ. Artinya wilayah di bawah 10 km dapat menjadi wilayah dengan penduduk jarang.

163 Gambar 51 Peta sebaran radiasi dan pertumbuhan penduduk sekitar PLTN Jepara Tahun 2016, 1036, dan

164 139 Oleh karena itu pembahasan selanjutnya lebih detil pada aktivitas penduduk dalam pemanfaatan ruang pada zone 0-2, 2-5, dan 5-10 km sebagai zone yang memiliki potensi dampak radiologi. Analisis Penggunaan Tanah Wilayah Radius 10 km Dari lokasinya, Ujung Lemahabang merupakan wilayah yang terletak jauh dari pusat penduduk seperti terlihat pada Gambar 51, dan berada pinggir laut. Kecamatan yang masuk dalam radius 10 km meliputi wilayah sebagai berikut, Radius Kecamatan Desa (Km) 1 Bangsri/Kembang Balong 2 Bangsri/Kembang Balong 5 Bangsri/Kembang Balong, Tubanan, Kancilan, Dermolo Bangsri Kaliaman Keling Bumiharjo Bangsri/Kembang Balong, Tubanan, Kancilan, Dermolo 10 Bangsri/Kembang Kaliaman, Bondo, Jerukwangi, Bangsri, Wedelan, Banjaran, Jinggotan, Pendem, Cipogo Gambar 52 menunjukkan menunjukkan wilayah pada radius 10 km dari lokasi PLTN Ujung Lemahabang, Kabupaten Jepara, dan pemanfaatan ruang dalam radius tersebut. Radius 0-1 km Pada wilayah 0-1 km praktis tidak terdapat daerah pemukiman yang mengelompok. umumnya wilayah tersebut kebun karet, kelapa, coklat, tanah ladang, dan sawah. Akses dari lokasi ini masih menggunakan jalan setapak menuju jalan lain. Desa Balong memiliki akses ke desa terdekat Tubanan, Kancilan dan Dermolo, Bumiharjo melalui jalan lokal. Di desa Kancilan terdapat jalan kolektor yang dapat menghubungkan desa Balong ke kecamatan dan ke jalan utama. Ketinggian wilayah di bawah 20 m dari pemukaan laut. Wilayah ini akan sepenuhnya menjadi kawasan PLTN, sehingga penggunaan lahannya tidak akan berubah selama usia PLTN dan berada dibawah pengendalian penuh penguasa PLTN.

165 Gambar 52 Tata guna lahan wilayah desa dan kecamatan dalam Radius 10 km 140

166 141 Radius 1-2 km Sama seperti radius 0-1 km pada wilayah ini belum terdapat pemusatan penduduk. Umumnya wilayah terdiri dari kebun karet, kelapa coklat, dan tanah ladang. Wilayah relatif datar rata-rata di bawah 20 m dari permukaan laut. Ke arah Barat dari ULA yaitu desa Bumiharjo mengalir kali Beji. Sebagian wilayah dalam radius ini juga akan merupakan kawasan PLTN. Penggunaan ruang di wilayah ini praktis menjadi kawasan PLTN. Transportasi yang melalui wilayah ini masih merupakan jalan lain dan jalan setapak. Perubahan dalam transportasi dapat terjadi selama masa konstruksi dan operasi, namun jalan yang akan dibangun masih merupakan jalan untuk masuk kawasan. Artinya jalan tersebut tidak merupakan jalan yang menghubungkan satu pusat ekonomi dengan pusat ekonomi lainnya. Wilayah ini dirancang sebagai zona kedaruratan PAZ oleh karena itu akses evakuasi dan relokasi harus dapat segera dilakukan. Radius 2-5 km. Dalam radius ini sudah terdapat lahan pemukiman di samping lahan lain seperti kebun karet, ladang dan meliputi desa Balong, Bumiharjo dan Kaliaman. Ketinggian wilayah umumnya lebih tinggi dari wilayah sebelumnya yaitu berkisar km di atas permukaan laut. Pada wilayah ini sebagai sumber mengalirnya air maka pada wilayah ini pada bagian Barat mengalir kali Balong dan pada bagian barat kali Beji. Sepanjang usia PLTN, perubahan yang mungkin terjadi dalam wilayah ini adalah bertambahnya luas tanah pemukiman dan berkurangnya luas kebun dan sawah. Dalam rangka pembangunan dan penyiapan kedaruratan maka akses jalan dan panjang jalan juga akan mengalami perubahan. Radius 5-10 km Kepadatan penduduk semakin bertambah dalam wilayah ini dengan rata-rata 5 orang per ha. Ketinggian wilayah rata-rata m dpl. Lahan berupa pemukiman, kebun, dan tanah ladang. Perubahan yang mungkin terjadi meliputi perubahan lahan pemukiman, sawah ladang dan hutan.

167 142 Analisis perubahan lahan Faktor penyebab terjadinya perubahan lahan adalah pertambahan penduduk di wilayah sekitar PLTN baik oleh pertumbuhan alami maupun masuknya tenaga pekerja baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pembangunan dan operasi PLTN. Dalam analisis proyek oleh KAERI untuk pembangunan satu PLTN diperkirakan akan dibutuhkan sebanyak 700 pekerja dari tingkat teknisi sampai manajemen. Hal ini berarti akan berkumpul sebanyak 2800 orang. Diasumsikan tersebar merata di Kecamatan Bangsri, Kembangan dan Keling di Kabupaten Jepara. Dampak beredarnya uang dan pertambahan penduduk akan memunculkan pula pekerja-pekerja yang tidak secara langsung terlibat dalam pembangunan maupun operasi PLTN seperti penyedia barang untuk pembangunan, pelayanan jasa, dan lain-lain. Markandya (2000) mengasumsikan jumlah pekerja tak langsung sebesar 25% dari populasi yang sebenarnya. Seiring dengan pertumbuhan penduduk tersebut, maka pertumbuhan lain tidak dapat dielakkan, yaitu pertumbuhan kebutuhan akan rumah tinggal, petumbuhan kebutuhan lahan perumahan, sehingga terjadi konversi lahan dari lahan sawah atau ladang atau hutan menjadi permukiman. Dalam kasus ini kebutuhan lahan pemukiman akan berubah sebagai berikut ini: Dengan mengacu pada rasio penduduk dan lahan pemukiman pada Tabel 15 maka dengan kenaikkan penduduk pada radius 10 km dari tahun 2016 ( , 6) ke 2056 ( ) diperlukan tambahan luas pemukiman minimum sebesar 470 ha atau maksimum ha, atau rata-rata ha dari ha total luas wilayah, atau 90% dari total wilayah. Artinya seluruh penggunaan lahan lainnya akan menyusut. Rencana Penanggulangan Kedaruratan Untuk mengurangi dampak radiasi yang mungkin terjadi perlu dilakukan tindakan penanggulangan (countermeasure) dengan melakukan beberapa langkah

168 143 yaitu melakukan perlindungan pada gedung-gedung tertutup, evakuasi, relokasi, dan memakan iod untuk memblok iod masuk ke kelenjar gondok.. Tindakan perlindungan (sheltering) Tindakan perlindungan (sheltering) dilakukan bila pada lokasi tertentu telah diterima dosis sebesar 10 msv dalam 7 hari waktu integrasi. Selama waktu perlindungan faktor penurunan dosis oleh berbagai jenis gedung seperti diuraikan pada Tabel 54. Tabel 54 Faktor pelindungan deposisi permukaan gedung Struktur atau lokasi Rumah kayu satu atau dua tingkat tanpa ruang bawah tanah 0,4 Rumah beton satu atau dua tingkat tanpa ruang bawah tanah 0,2 Rumah dengan basement, satu atau dua dinding yang terekspose Satu tingkat, basement < 1 m, dinding terekspose Dua tingkat, basement < 1 m, dinding terekspose Tiga atau 4 struktur tingkat ( m 2 per lantai Lantai 1 dan 2 Basement Struktur banyak lantai Lantai atas Lantai basemaent (Sumber: EGG 75) Faktor pelindungan 0,1 0,05 0,05 0,01 0,01 0,005 Data kondisi perumahan di sekitar radius 50 km dari sumber terdiri dari semi permanen dan permanen, maka faktor pelindungan yang digunakan adalah antara 0,4 dan 0,2. Dalam kaitannya dengan penataan zone pemanfaatan ruang perlu pengaturan gedung-gedung yang berada disekitar PLTN dibuat dalam kualitas beton untuk memberi kesempatan penahanan bahan radionuklida yang cukup besar. Tindakan Evakuasi (evacuation) Tindakan evakuasi dilakukan dalam dua bentuk. Evakuasi segera harus dilakukan pada wilayah PAZ bila terjadi kecelakaan nuklir, sedang bentuk kedua adalah pelaksanaan evakuasi dilakukan setelah melakukan pengukuran terhadap paparan radiasi dimana jumlah dosis yang sampai ke pada individu sebesar 100

169 144 msv selama penyinaran 7 hari dan dosis efektif. Evakuasi dilakukan sampai ke lokasi long term protective action zone yaitu diatas 10 km. Dalam perencanaan tata ruang maka diperlukan pengaturan jalan dan tempat lokasi. Tindakan Pemindahan Tetap Tindakan ini dilakukan setelah memang benar-benar terjadi kecelakaan yang sangat parah. Langkah ini khusus ditujukan untuk pencegahan dampak radiasi dalam waktu yang panjang, walaupun intervensi baru dilakukan sama dengan evakuasi yaitu 100 msv dan ditambah dengan 100 msv dosis pertahun yang berasal dari resuspensi. Relokasi sementara dilakukan pada tingkat intervensi 30 msv oleh penyinaran eksternal. Pemberian Iod Langkah untuk menanggulangi masuknya bahan radiasi iod ke kelenjer gondok maka pil penangkap iod diberikan kepada korban untuk diminum. Dengan langkah-langkah di atas maka akan dapat terjadi pengurangan dalam dampak dosis terhadap penduduk seperti yang ditunjukkan pada Gambar 53 dan E E E E+01 Jumlah Kasus 1.20E E E E E E E Tahun Maximum Mean Prob < 1.0E+00 99th perc. 95th perc. 90th perc. Gambar 53 Penurunan jumlah kematian setelah countermeasure

170 E E E+01 Jumlah Kasus 1.50E E E E Tahun Maximum Mean Prob < 1.0E+00 99th perc. 95th perc. 90th perc. Gambar 54 Penurunan jumlah gangguan kesehatan setelah countermeasure Dari hasil analisis terlihat bahwa tindakan kedaruratan dapat memperkecil probabilitas penduduk yang terkena dampak sehingga dosis individu yang terjadi atau kelompok menurun dibandingkan dengan sebelum mendapat counter measure pada tahun 2016 sampai 2056 dengan angka kematian rata-rata menjadi 0,5, 0,6 dan 0,8 kasus dan maksimum 10, 13, 17 kasus. Sedangkan yang mengalami gangguan kesehatan kanker non-fatal rata-rata 1, 1.5, 2 kasus, maksimum 15, 21, 27 kasus. Dengan menggunakan metode seperti yang digunakan terdahulu maka biaya kerusakan menjadi Rp. 125,593 milyar,-. Untuk melaksanakan tindak kedaruratan tersebut maka setiap instalasi PLTN harus menetapkan zona kedaruratan dan menyiapkan prosedur tindak kedaruratannya seperti yang telah diuraikan pada Bab 2. Dari uraian-uraian terdahulu dapat dirumuskan kebutuhan pemanfaatan ruang suatu PLTN seperti pada Gambar 55. Zona 0-2 km sepenuhnya merupakan zone yang dikuasai oleh pengusaha PLTN. Dalam zone ini terdapat instalasi PLTN itu sendiri dengan tanda-tanda batas yang jelas sebagai zone terkendali. Dari analisis pemanfaatan ruang terdahulu diketahui bahwa wilayah ini masih berupa kebun karet sehingga pembebasannya tidak bermasalah.

171 146 Zone 2-10 km merupakan zone penyangga yang walaupun tidak dikuasai oleh PLTN tetapi tetap dalam pengawasan. Penduduk harus mendapat pelatihan tentang berbagai langkah dalam menangani kondisi darurat. Pada zone ini tidak dibenarkan berada aktivitas manusia yang dapat mengancam keselamatan PLTN seperti instalasi yang berpotensi melepaskan gas dan uap beracun, cairan berbahaya atau kegiatan lain dengan SDV kecil dari 10 km. Zone di atas 10 km merupakan zone dengan tingkat dampak radiologi segera atau langsung yang sudah sangat kecil namun bisa meningkat untuk dampak radiologi melalui makanan. Pada zone ini juga dilarang adanya aktivitas manusia yang dapat mengancam keselamatan reaktor sesuai dengan nilai SDVnya. Misalnya tidak dibenarkan adanya landasan pesawat terbang pada radius 16 km dari PLTN. Ditinjau dari segi kependudukan, hasil analisis menunjukkan bahwa probabilitas angka kematian atau gangguan kesehatan kanker non-fatal masih cukup rendah 1.06E-7 kasus-tahun. Untuk kelancaran pelaksanaan perlindungan dan evakuasi maka dengan metode networking diberikan petunjuk jalan atau rute mencapai lokasi evakuasi seperti pada Gambar 56. Kriteria menentukan lokasi evakuasi didefinisikan sebagai berjarak > 10 km dan tempat umum yang dibangun dengan beton seperti sekolah, gedung pertemuan dan mesjid. Rencana Tanggap Darurat Kesiapsiagaan darurat (emergency preparadness) Akibat adanya potensi dampak radiologi kepada masyarakat sekitar PLTN maka langkah kesiapsiagaan darurat dilakukan dengan menyiapkan rencana penaggulangan kedaruratan untuk merepon setiap kejadian yang mungkin muncul. Sebagai implementasinya dapat dilakukan dengan menyiapkan pamphlet, leaflet dan bahan lain yang bertujuan untuk mendidik dan menyiapkan penduduk merespon suatu kondisi darurat. Pada reaktor PLTN Sequayah dan Watt Bar, Tennessee USA, kesiapsiagaan darurat ini dilakukan bersama-sama antara Tennessee Emergency Management Agency dan Tennesse Valley

172 Gambar 55 Rencana Tata Ruang Wilayah Sekitar PLTN 147

173 Gambar 56 Peta jalur evakuasi dalam kondisi kecelakaan PLTN ULA JEPARA 148

174 149 Authoriry sebagai pengusaha nuklir. Dengan kesiapsiagaan ini diharapkan penduduk disekitar PLTN siap mengambil langkah-langkah dalam menanggulangi dampak kecelakaan nuklir.dalam peraturan pemerintah No. 63, Tahun 2000 tentang keselamatan dan kesehatan terhadap pemanfaatan radiasi pengion dan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2002 telah ditetapkan bahwa setiap pengusaha instalasi harus menyiapkan Rencana Penanggulangan Keadaan Darurat sekurang-kurangnya harus memuat: a. Jenis/klasifikasi kecelakaan yang mungkin terjadi pada instalasi; b. Upaya penanggulangan terhadap jenis/klasifikasi kecelakaan tersebut; c. Organisasi penanggulangan keadaan darurat; d. Prosedur penanggulangan keadaan darurat; e. Peralatan penanggulangan yang harus disediakan dan perawatannya; f. Personil penanggulangan keadaan darurat; g. Latihan penanggulangan keadaan darurat; h. Sistem komunikasi dengan pihak lain yang terkait dalam penanggulangan keadaan darurat. Penanggulangan Darurat (Emergency Response) Berdasarkan rencana kedaruratan di atas masyarakat akan merespon setiap kejadian bencana untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian. Karena konsentrasi pelepasan radionuklida adalah berbeda untuk jarak yang berbeda maka berbeda pula cara meresponnya. Perbedaan merespon tersebut ditentukan oleh zone-zone kedaruratan yaitu zone Precautionary Action Zone (PAZ), Urgent Protective Action Zone (UPZ), dan Long term Protective Action Zone (LPZ) seperti yang telah ditetapkan terdahulu.. Besar kecilnya dampak radiologi tergantung dari besarnya pelepasan yang keluar dari pengungkung dan kondisi cuaca. Oleh karena itu dalam rangka kesiap siagaan kedaruratan harus sudah disususn tim pengelola kecelakaan instalasi yang bertugas untuk mengevalusi kecelakaan, meliputi evaluasi kondisi nuklir, evaluasi upaya perlindungan penduduk, dan proteksi radiasi (IAEA 1997b).

175 150 Evaluasi kondisi nuklir bertujuan mengklasifikasikan jenis kecelakaan nuklir yang terjadi untuk menentukan tingkat kerusakan teras atau penyimpan bahan bakar, baik berdasarkan lama waktu teras tidak tertutup air atau tingkat radiasi pada pengungkung. Berbagai jenis kecelakaan dikelompokkan dalam bagian (1) tidak berfungsinya sistim keselamatan penting, (2) hilangnya penghalang produksi fisi, (3) tingginya radiasi, (4) sistem pengamanan, kebakaran kejadian alam dan lain-lain, dan (5) kejadian pada kolam elemen bakar. Dengan hasil evaluasi ini maka dideklarasikanlah tingkat kecelakaan dalam kategori (1) kecelakaan tingkat umum (luas), (2) kecelakaan tingkat kawasan, atau (3) kondisi bersiap-siap. Setiap perubahan kondisi instalasi dan radiologi harus dievaluasi segera untuk menentukan apakah kondisi sudah berubah Upaya penanggulangan (protective action) bagi penduduk diawali dengan mencari tempat perlindungan (sheltering). Hal ini sangat diperlukan untuk menghindarkan penduduk dari dampak segera atau dosis tinggi. Setelah itu segera dilakukan evaluasi terhadap lingkungan, proyeksi jarak dan arah proteksi penduduk, dan pengambilan dan analisis contoh (IAEA 1997b). Terhadap contoh ini dilakukan pembandingan antara dosis yang diperkirakan (proyeksi) atau dosis yang diukur terhadap dosis tingkat interfensi operational (Operational Intervention Level, OIL). Tabel 55 menunjukkan salah satu upaya penanggulangan publik berdasarkan proyeksi dan pengukuran bungkah radionuklida (IAEA 1997b). Proteksi Radiasi diperlukan untuk mengamankan pekerja radiasi selama yang bersangkutan bertugas mengamankan penduduk. Pekerja proteksi radiasi harus diamankan sedemikian rupa sehingga mereka tidak mendapatkan dosis melebihi batas yang diijinkan buat pekerja radiasi. Evaluasi lingkungan dilakukan untuk memonitor dosis yang sudah sampai ke lingkungan sehingga dapat diketahui laju dosis ambang disekitar instalasi, konsentrasi radionuklida di udara, peta penyebaran unsur 131 I dan 137 Cs, campuran isotop yang terdeposisi dan konsentrasi radionuklida pada contoh makanan. Monitoring dilakukan berdasarkan prioritas. Sebagai contoh dapat dilihat pada Tabel 56. Hasil evaluasi ini akan dijadikan dasar merekomendasikan

176 151 Tabel 55 Upaya penanggulangan berdasarkan proyeksi dan pengukuran Basis Oil Kriteria Dasar Upaya Penanggulangan Proyeksi Proyeksi menunjukkan bahwa tindakan perlindungan penting diambil Perlindungan dalam gedung dan persiapan evakuasi pada jarak yang disesuaikan dengan proyeksi Laju dosis ambang pada bungkah 1 1 msv/jam Evakuasi atau siapkan shelter untuk sektor ini, kedua sektor yang terdekat dan sektor yang terdekat dengan instalasi. Sumber : IAEA (1997b) msv/jam Minum zat penaham thyroid jika ada, tutup jendela dan pintu dan monitor radio dan TV untuk instruksi selanjutnta Tabel 56. Prioritas Monitoring Lingkungan Prioritas Waktu Dimana Team Tujuan Hasil 1 Setelah deklarasi Wilayah dekat dengan instalasi Survey Gamma dan Beta Untuk mendeteksi pelepasan dari instalasi dan lokasi arah bungkah radionuklida Catatan yang memberi gambaran 2 Selama dan setelah pelapasan 3 Selama pelapasan Sumber : IAEA (1997b) Wilayah yang tidak dievakuasi, mulai dari wilayah padat penduduk (kota) dimana hasil proyeksi menjamin evakuasi tetapi dengan jaminan bahwa semua arah angin dimonitor. Bungkah Survey Gamma dan Beta Tim pencuplikan udara Untuk identifikasi dimana dosis ambang mengharuskan upaya penanggulangan. Mengambil dan analisis contoh udara dan laju dosis untuk menghitung ulang OIL Catatan dosis untuk pelaksanaan upaya penanggulangan. Catatan dosis untuk analisis contoh. upaya penanggulangan terhadap publik dan pekerja proteksi radiasi. Berdasarkan data hasil survey selanjutnya dilakukanlah proyeksi ke arah dan jarak mana upaya penanggulangan dilakukan. Dengan menggunakan peta pada Gambar 55 dan Gambar 56 dapat segera ditentukan lokasi-lokasi survey dan jalur yang akan ditempuh. Apabila diputuskan untuk melakukan evakuasi segera dapat dilakukan evakuasi dengan menempuh jalur dan menuju lokasi-lokasi yang telah ditetapkan.

177 152 Kelembagaan Kondisi darurat yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir tidak saja melibatkan kawasan instalasi tetapi juga melibatkan kawasan di luar instalasi atau sering disebut lepas kawasan (off site) bahkan area yang lebih luas yaitu regional dan internasional. Oleh karena itu dalam upaya penanggulangan kedaruratan selalu melibatkan pihak fasilitas atau user, luar kawasan meliputi kota, kabupaten, propinsi, nasional, regional dan Internasional, tergantung pada hasil evaluasi kondisi kecelakaannya. Secara formal pengaturan penanganan bencana telah ditetapkan pada Peraturan Pemerintah No. 84 tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana yang selanjutnya disebut BAKORNAS PB adalah lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan ini bertugas untuk membantu Presiden dalam mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penanganan bencana dan kedaruratan secara terpadu dan melaksanakan penanganan bencana dan kedaruratan mulai dari sebelum, pada saat dan setelah terjadi bencana yang meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, penanganan darurat, dan pemulihan. Untuk melaksanakan penanganan bencana dan kedaruratan di daerah dapat dibentuk satuan Koordinasi Pelaksana Penanganan Bencana yang selanjutnya disebut dengan SATKORLAK PB di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota yang diketuai oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. Pembentukan SATKORLAK PB di tingkat Provinsi dan SATLAK PB di tingkat Kabupaten/Kota mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh BAKORNAS PB. Dalam hubungannya dengan bantuan luar negri BAKORNAS PB berperan untuk menangani bantuan tersebut. Khusus untuk kecelakaan nuklir maka penanganan kedaruratan di daerah, nasional, maupun internasional akan dikordinasi bersama dengan Badan Pengawas Tenaga Nuklir BAPETEN seperti yang tertuang dalam PP No. 63 dan 64 Tahun Keterlibatan internasional sangat diperlukan untuk memberi dukungan secara internasional seperti Badan Internasional Energi Nuklir (International Atomic Energy Agency, IAEA). Hal ini sesuai dengan implementasi Convention

178 153 on Early Notification of Nuclear Accident dan Convention on Assistance in the Case of Nucleare Radiological Emergency. Untuk bantuan kesehatan maka organisasi internasional seperti UNDHA atau WHO akan memberikan bantuan teknis, kemanusiaan, dan kesehatan bila terjadi kecelakaan. Prosedur penanggulangan keadaan darurat; Sesuai dengan Peraturan pemerintah No. 64 tahun 2000 maka pengusaha nuklir berkewajiban melaporkan kepada Badan Pengawas dan instansi terkait lainnya setiap terjadinya kecelakaan. Untuk keefektifan langkah penanggulangan maka harus disusun rencana kedaruratan yang terintegrasi dan saling kerja sama antara 3 tingkatan yaitu tingkat fasilitas (kawasan nuklir), lepas kawasan, dan organisasi internasional. Tingkat fasilitas bertanggung jawab untuk (1) mengambil tindakan segera untuk mengurangi kecelakaan, (2) melindungi personil yang berkerja, (3) memberi tahu petugas luar kawasan dan memberitahu langkah-langkah proteksi maupun pemberian bantuan secara teknis. Petugas lepas kawasan yang bertanggung jawab terhadap perlindungan publik antara lain: (a) Petugas lokal, pemerintah dan instansi pendukung lainnya yang bertanggung jawab untuk memberikan dukungan terhadap pengguna dan perlindungan segera terhadap publik seperti polisi, petugas kebakaran, pertahanan sipil, atau petugas medis dibawah kordinasi Walikota atau Bupati dan Gubernur. (b) Petugas regional dan nasional yaitu pihak pemerintah yang bertanggung jawab merencanakan dan melaksanakan pelindungan pada tingkat nasional, khususnya yang berkaitan dengan jenis perlindungan dalam jangka panjang (long term protective action) dan dukungan terhadap petugas lokal. Pada tingkat kawasan organisasi penanggulangan meliputi (1) kordinator yang bertanggung jawab dalam melaksanakan dan mengkordinasi penanggulangan dampak radiologi, (2) tim pertimbangan penanggulangan dalam kawasan yang bertanggung jawab untuk membantu kordinator dalam menentukan dan menetapkan kebijakan, dan (3) tim pelaksana penanggulangan yang terdiri

179 154 dari unit penanggulangan kecelakaan, unit pemantau lingkungan, unit proteksi radiasi, unit keselamatan umum, unit keselamatan kerja, unit kesehatan, unit pengamanan, unit pemadam kebakaran, unit keteknikan dan unit logistik dan layanan umum. Untuk tingkat lepas kawasan dalam Kota atau Kabupaten maka organisasinya terdiri dari (3) kordinator, (2) tim pertimbangan penanggulangan lepas kawasan, dan (3) tim pelaksanan penanggulangan. Kordinator bertanggung jawab dalam menentukan kebijakan penanggulangan dan mengkordinir tindakan penangulangan. Sebagai kordinator adalah kepala pemerintahan daerah atau setingkat Kepala Daerah Tingkat II, dalam hal ini Bupati Kabupaten Jepara atau pejabat yang ditunjuk. Tim pertimbangan penanggulangan lepas kawasan bertanggung jawab memberi pertimbangan kepada kordinator dalam menentukan kebijakan penanggulangan dan terdiri dari pengelola kawasan nuklir, Komandan Militer setempat, Komandan Kepolisian setempat Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Dinas PU, Kepala Lalu Lintas Angkutan Jalan, Kepala Dinas Pertanian. Untuk bencana yang lebih luas kordinasi dikembangkan untuk tingkat propinsi dan nasional, bahka internasional. Konsep perlindungan yang terintegrasi menuntut adanya petunjuk dalam menentukan kategori kedaruratan dan ketersediaan infrastsuktur dan elemen fungsional. Infrastruktur diperlukan untuk menjamin terlaksananya fungsi perlindungan bila diperlukan. Oleh karena itu perlu kejelasan kewenangan, instruksi dan pengendalian, tanggung jawab organisasi, kordinasi pelaksanaan, prosedur dan rencana, dukungan logistik, persediaan kondisi darurat, komunikasi dan fasilitas lain, termasuk pendidikan, pendalaman pengetahuan dan latihan kedaruratan. Elemen fungsional yang dimaksud dalam kedaruratan ini termasuk evaluasi terhadap kecelakaan awal dan mengklasifikasikan kecelakaan tersebut, pemberitahuan dan pelaksanaan, langkah mengurangi kecelakaan, tindakan perlindungan penting, pembelajaran publik, perlindungan terhadap pekerja kedaruratan, bantuan polisi pemadam kebakanan dan kesehatan, hubungan dengan media, tindakan perlindungan janga panjang dan inervensi yang berkaitan dengan makanan dan pengurangan dampak psikologi.

180 155 Upaya perlindungan meliputi tindakan pencegahan yang terdiri dari penutupan daerah rekreasi, peliburan sekolah, peliburan kantor, pengurangan dampak kecelakaan termasuk pengawasan jalan masuk, penggunaan pelarangan memasuki rumah sakit dan pengawasan jalan masuk, blokade tiroid, sheltering, evakuasi, dan proteksi rantai makanan. Peralatan penaggulangan kedaruratan Hal yang sangat menentukan dalam penanggulangan ini adalah ketersediaan peralatan yang cukup untuk menanggulangi keadaan darurat. Walaupun dalam analisis ini telah diketahui arah angin yang dominan dan kelompok kritis (critical group) dalam pelepasan bahan radionuklida, namun secara real arah dan kecepatan angin akan selalu berubah-ubah. Oleh karena itu untuk pelaksanaan evaluasi terhadap lingkungan, proyeksi jarak dan arah perlindungan penduduk, dan pengambilan dan analisis contoh sangat diperlukan adanya alat ukur kecepatan dan arah angin di instalasi PLTN, dan alat pendudukung monitoring lainnya. Lembar kerja (Worksheet) yang disertai peta wilayah dalam radius 50 km untuk melakukan evaluasi kondisi instalasi, evaluasi lingkungan dan pekerja harus tersedia secara lengkap sehingga dapat memudahkan evaluasi. Sesuai dengan fungsinya tim pelaksana penanggulangan merupakan tim yang langsung bekerja melaksanakan pengukuran-pengukuran dan upaya upaya penanggulangan. Tim yang bertugas untuk melakukan pengukuran terdiri dari tim survey lingkungan, tim pengambilan contoh udara, tim spektroskopi gamma, tim dekontaminasi dan monitoring personil, tim survey kondisi dalam instalasi, tim pengambilan contoh makanan pada lingkungan, tim analisis isotopik, tim penanggulangan awal bencana, tim pengendali penanggulangan lokal, dan tim pengendali penanggulangan nasional atau regional. Tim survey lingkungan bertugas mengukur laju dosis gamma atau beta dari penyinaran awan, deposisi pada tanah atau sumber oleh karena itu tim ini dilengkapi dengan peralatan instrumentasi survey radiasi yang terdiri dari instrument survey gamma rentang tinggi, instrument survey gamma rentang rendah, monitor kontaminasi, pemeriksaan sumber. Sedang untuk perlindungan

181 156 personal diperlukan peralatan dosimeter pembacaan mandiri (self reading dosimeter), dosimeter permanent, peralatan perlindungan total, sepatu boat, glove, obat penahan tiroid, dan perangkat pertolongan pertama dan peralatan komunikasi radio. Disamping itu juga dilengkapi dengan alat pendudukung seperti tanda nama, senter, kompas, papan tulis, log book, dan lain-lain, dokumen pendudukung berupa manual dan prosedur, dan alat transportasi. Sama halnya dengan tim survey lingkungan, tim lain seperti tim pengambilan contoh udara, tim spektrokopi gamma, tim dekontaminasi dan monitoring personal, tim Survey dalam instalasi, juga dilengkapi peralatan survey radiasi, perlindungan pribadi, komunikasi, bahan pendukung, dokumentasi pendukung, dan transportasi. Personil dan Latihan Penanggulangan Kedaruratan Tim kedarutaran harus terdiri dari personil yang mempunyai pengetahuan mutakhir tentang operasi reaktor dan harus dipimpin oleh manajer reaktor atau wakilnya. Semua personil yang terlibat dalam penanggulangan kedaruratan harus diinstruksikan, dilatih dan dilatih ulang secara berkala sesuai tugasnya dalam penanggulangan kedaruratan. Khususnya dalam mengevaluasi kondisi nuklir, evaluasi upaya perlindungan penduduk dan proteksi radiasi terhadap pekerja radiasi, pengenalan kawasan dan luar kawasan sesuai dengan hasil analisis dalam disertasi ini.. Persyaratan ini berlaku baik terhadap personil di dalam kawasan maupun di lepas kawasan. Latihan harus dilaksanakan, sedapat mungkin, pada selang waktu yang memadai dan harus melibatkan semua yang bertugas dalam penanggulangan kedaruratan. Hasil dari latihan ini harus dinilai dan dimasukkan ke dalam revisi rencana kedaruratan, jika perlu. Rencana tersebut harus dinilai setiap saat dan diperbaiki jika perlu. Instrumen, alat, perlengkapan, dokumentasi dan sistem komunikasi yang digunakan dalam keadaan darurat harus selalu tersedia dan dijaga dalam kondisi yang baik dengan cara sedemikian sehingga mereka tidak terpengaruh atau menjadi tidak tersedia oleh kecelakaan postulasi tersebut.

182 157 VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Secara umum penelitian ini telah menunjukkan hasil kajian baru bahwa kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir selama 40 tahun di Ujung Lemahabang, Kabupaten Jepara tidak memberikan dampak radiologi yang dapat membahayakan penduduk walaupun selama kurun waktu tersebut terjadi perubahan pertumbuhan penduduk dan pemanfaatan ruang. Walaupun demikian upaya penganggulangan kecelakaan harus tetap disiapkan dengan menyusun Rencana Tanggap Darurat agar masyarakat di sekitar PLTN, dengan pola pemanfaatan ruang yang ada, benar-benar dapat terlindungi dari ancaman dampak radiologi kecelakaan nuklir. Beberapa kesimpulan yang mendukung hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebaran dosis radiasi secara spasial menunjukkan bahwa sebaran yang dominan ada pada arah Selatan, sedangkan critical group berada pada arah angin dari sudut 85 0 (Timur) ke 265 o (Barat) pada jarak lebih kecil dari 1 km. Berdasarkan variasi kondisi stabilitas atmosfir dan tinggi efektif cerobong, puncak sebaran bahan radionuklida berada pada radius < 1 km dari sumber oleh karena itu radius < 1 km dinyatakan sebagai eksklusi zone. Zone ini sepenuhnya dikuasai oleh pengusaha PLTN. 2. Dampak radiologi secara individu yang bersifat segera atau deterministik tidak dapat diamati karena dosis individu maksimum yang diterima sangat kecil sekali (5.69 msv) dibanding dengan batas ambang untuk terjadinya kerusakan deterministik. Dampak jangka panjang, yaitu dalam kurun waktu 50 tahun, terhadap penduduk terjadi secara stokastik sehingga prediksi tingkat kematian kanker fatal dan kanker non-fatal menggambarkan kemungkinan jumlah kematian dalam kurun 50 tahun sebesar rata-rata 3 kasus dan maksimum 27 kasus dalam tahun 2016 dengan probabilitas sebesar 1.058E- 7. Angka ini meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk sekitar PLTN.

183 Pertumbuhan penduduk dengan pendekatan eksponensial menunjukkan pola yang mengelompok di pusat-pusat kota Jepara, Pati, Kudus dan Demak dengan jarak > 10 km dari PLTN. Hal ini menguntungkan dari sisi proteksi radiasi karena pusat-pusat penduduk terletak menjauh dari sumber radionuklida. Sebagai konsekuensi dari pertumbuhan penduduk maka probabilitas jumlah kematian kanker fatal dan non fatal meningkat menjadi rata-rata 7 kasus kematian dan maksimum 107 kasus kematian pada tahun Biaya kerugian yang mungkin timbul diperkirakan Rp ,231 milyar bila kejadian kecelakaan terjadi pada Tahun Kondisi pemanfaatan ruang saat ini pada radius 0-10 km umumnya didominasi kebun karet dan tidak terdapat aktivitas penduduk yang dapat mengancam beroperasinya sebuah PLTN. Untuk mencegah perkembangan wilayah tersebut menjadi wilayah industri lain maka sejak dini dapat diusulkan pemanfaatan ruang di lokasi sekitar Ujung Lemahabang diperuntukkan untuk industri nuklir dan tertutup bagi industri lain yang dapat menarik penduduk mendekati instalasi nuklir. Implementasi dari kesimpulan ini adalah dilakukannya usaha untuk menjadikan lokasi Ujung Lemahabang bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jepara dengan kebutuhan akan zone PAZ, UPZ, dan LPZ. Di dalam rencana tata ruang yang sudah diusulkan kemudian disusun langkah-langkah tanggap darurat berupa upaya perlindungan, evakuasi, relokasi, minum tablet untuk memblok iod sehingga dampak radiologi dapat dikurangi secara signifikan. Saran Hal yang kritis dalam kajian ini dari sisi pelepasan adalah penentuan arah dan kecepatan angin, dan dari sisi penerima adalah besar dan arah pertumbuhan penduduk serta perubahan pola pemanfaatan ruang yang diakibatkannya selama usia PLTN. Oleh karena itu sangat disarankan agar instalasi PLTN memasang stasiun pengukur meteorologi arah dan kecepatan angin yang akurat dan memiliki pencatatan yang cermat dalam periode satu jam. Langkah tanggap darurat sangat ditentukan oleh arah dan kecepatan angin sehingga dapat ditentukan lokasi pengukuran dan langkah penanggulangan.

184 159 Pengendalian jumlah penduduk di sekitar PLTN sangat diperlukan dengan tidak menjadikan wilayah sekitar PLTN menjadi wilayah industri, pariwisata, dan pusat perdagangan, yang praktis akan mengubah pola pemanfaatan ruang. Melalui kebijakan tata ruang yang diterima oleh berbagai pihak terkait akan dapat melindungi lokasi sekitar PLTN dari pemanfaatan yang dapat mengancam keselamatan penduduk di sekitarnya. Perubahan pertumbuhan penduduk dan pola pemanfaatan ruang harus dievaluasi dalam periode lima tahunan agar kondisi yang sebenarnya dapat diketahui. Prediksi dalam rentang waktu yang sangat panjang sangat memungkinkan terjadi kesalahan. Dengan tersedianya ruang yang cukup untuk pengendalian kondisi darurat di dalam zone PAZ, UPZ, dan LPZ perlu disusunlah prosedur ataupun program tanggap darurat. Semua pihak yang menjadi stakeholder harus dapat memahami dan menerimanya. Kordinasi pihak fasilitas atau pengusaha PLTN dengan pihak di luar kawasan sangat menentukan keberhasilan langkah kedaruratan yang efektif. Oleh karena itu selama masa usia operasi PLTN perlu dilakukan secara berkala pelatihan kedaruratan dengan berbagai pihak.

185 160 DAFTAR PUSTAKA Anselin, L Spatial effects in econometrics practice in environmental and resource economics. Urbana, Department of Agricultural and Consumer Economics. Paper to be presented at the Allied Social Science Associations 2001 Annual Convention. New Orleans, LA, Jan 5-7, Antoine, H., M. Jansen Nuclear Power and land Use Planning in Netherland: Energy policy and Land-Use Planning. An International Perspective. Cope DR., Hills P, James P. (editor). Pergamon Press. Arlinghaus, S.L Practical Handbook of Spatial Statistics. United States: CRC Press. Inc. Editor BAPETEN Kadar tertinggi unsur radionuklida yang diijinkan ada di lingkungan. Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Jakarta. BATAN-IAEA Comprehensive assessment of different energy sources for electricity generation in Indonesia. Project Report INS/0/016. Badan Tenaga Nuklir-International Atomics Energy Agency. Jakarta. Bockstael, N.E., and J. Goghegan Some issue related to ecological and economics modelling of ecosystem Landscape. Briggs, GA Diffusion estimation for small emission Annual Report. USAEC Report ATDL-106, Environmental Research Laboratories, Air Resources Atmospheric Turbulence and Diffusion Labiratory, Oak Ridge, Tenn., National Oceanics and Atmospheric Administration. Cao, J.Z., M.R. Yeung, S.K. Wong, J. Ehrhardt, K.N. Yu, Adaptation of cosyma and assessment of accident consequences for daya bay nuclear power plant in China. Journal of Environmental Radioactivity 48 (2000) Elsevier. Chadwick, G A system view of planning: Toward a Theory of Urban and Regional Planning Proses, Pergamon Press. New York. Chan, Y Location Theory and Decision Analysis. United States: South- Western College Publishing, Crawford, J Modelling Terrestial Exposure Pathways. IAEA RCA project on Seessment of Radiological Risk RAS/9/031. Course Module , Australia. EPA Risk Asseeement Guidance for Superfund. Volume 1 Human Health Evaluation. Emergency and Remedial Response Office. NUREG 1465 EPA/540/I-89/002. Environmental Protection Analysis. USA. EPA Guidelines for Preparing Economics Analyses, US Environmental Protection Analysis. USA ESRI GIS for emergency management. Environmental SRI. US. Gebhart, F Spatial cluster test based on triplet of districts. Computer&Geoscience 27(2001) Pergamon.

186 161 Goetz, S.J. Land Use Issues and research Opportunities in the US. [20 May 2004]. Gore, C Region in Question Space, Development Theory and Regional Policy. Metheun, London & New York. Hadi, S.P Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gajah Mada University Press, Jogyakarta. Hall, P Urban and Regional Planning 3 rd ed, Routledge, New York. Hanke, J.E., D.W. Wichern, A.G. Reitsch Peramalan Bisnis. Edisi 7 Bahasa Indonesia. Jakarta: Prenhallindo. Hanna, SR. G.A. Briggs, RP. Hosker Handbook on Atmospheric Diffusion. DOE/TIC US Dept Of Energy. USA. Hastowo, H PLTN Abad 21. BATAN. Jakarta. IAEA. 1980a. Atmospheric Dispersion In Nuclear Power Plant. Safety Series No. 50-SG-3. IAEA. Vienna. IAEA.1980b. Site Selection And Evaluation For NPP With Respect To Population Distribution, Safety Series 50-SG-S4. IAEA. Vienna. IAEA Design Aspect Of Radiation Protection For Nuclear Power Plants. A Safety Guide. Safety Series No. 50-SG-D9. IAEA. Vienna. IAEA Dose Assessment In Nuclear Power Plant Siting, IAEA-TECDOC IAEA. Vienna. IAEA Environmental Contamination Following A Major Nuclear Accident, Proceeding Of Symposium, Vienna. IAEA International Safety Standards For Protection Against Ionizing Radiation And For Safety Of Radiation Source. IAEA. Vienna. IAEA One Decade After Chernobyl, Summing Up The Consequences Of The Accident, IAEA. Vienna. IAEA. 1997a. General Safety Aspect Of NPP, IAEA-TECDOC Vienna. IAEA. 1997b. Generic Procedures For Determining Protective Actions During Reactor Accidents. TECDOC-955. IAEA. Vienna. IAEA.1997c. Method For The Development Of Emergency Response Preparedness For Nuclear Or Radiological Accidents, IAEA- TECDOC- 953, Vienna. IAEA. 1997d. INSAG 10. IAEA. Vienna. IAEA. 1997e. Sustainable Development And Nuclear Power. IAEA. Vienna. IAEA Guidelines For Integrated Risk Assessment And Management In Large Industrial Areas, TECDOC-994. IAEA. Vienna. IAEA Accident Analysis For Nuclear Power Plants With Pressurizered Water Reactors, Safety Series Report No. 30, IAEA. Vienna. IAEA Generic Model For Use In Assesing The Impact Of Discharge Of

187 162 Radioactive Substance To The Environment, Safety Report Series No. 19. Vienna. IAEA Dispersion Of Radioactive Material In Air And Water And Consideration Of Population Distribution In Site Evaluation For Nuclear Power Plants. Safety Guide. NS-G-3.2. IAEA. Vienna. IAEA Radiation Protection Aspect Of Design For Nuclear Power Plants, Draft Safety Guide DS 313. ICRP Recommendation Of The International Commission On Radiological Protection. International Commission On Radiological Protection. Publication No. 60. IKET Model description of the late economics modeling. Draft. Rodos(WG3)-TN(99)-61. Report.. Forschungszentrum Karrlsruhe/IKET. Germany IRPA Radiation Protection; A systematic approach to safety. International Radiation Protection Agency. International Congress. United Kingdom. Ishida J Regulatory control of discharge to the environtment. Proceeding of an International Conference: Protection of the Environment from Effect of Ionizing Radiation. Stockholm 6-10 Oktober Jayadinata, J.T Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan Dan Wilayah. Edisi ketiga. Penerbit ITB. Bandung. Karam, R.A and Morgan, K.Z Environmental Impact of Nuclear Power Plant, Pergamon Press Inc. New York. Kebir, L Object and production system: opening the resource black box, Paper to be presented at DRUID Academy, PhD Winter Conference Aalborg, Denmark. January Kitamura, T., M. Kagatsume, S. Hoshino, H. Morita A theoretical consideration on the land-use change model for Japan. Case study area. Interim Report IR /Sept. IIASA. Kitamura T, S. Hoshino, M, Kagatsume, K. Mizuno An application of the land use change model for Japan Case Study Area. Interim Report IR / November. KMN-KLH Undang-Undang RI No. 24 Tahun Tentang Penataan Ruang, Kantor Menteri Negara- Lingkungan Hidup Jakarta. Kraak, M.J., F. Ormeling Cartography: visualization of spatial data. Addison Wesley Longman Limited, England Kristanto, P Ekologi Industri. Penerbit Andi. Jogyakarta. Lahej, G.M.H., J.G. Post, B.J.M. Ale. 2000, Standard methods for land-use planning to determine the effect on societal risk. Journal of Hazardous Material 71: Lains, A Ekonometrika: Teori dan Aplikasi. Jilid 1. Jakarta: Pustaka

188 163 LP3ES Indonesia. Lier, H..N The role of land use planning in sustainable rural system. Landscape and Urban Planning 41: Litaor, M.I Spatial analysis of plutonium and americium-241 in spil around Rocky Flats. Journal Environmental Quality. p Mantra, I.B Demografi Umum. Edisi kedua. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Markandya, A., R. Boyd. 1999a. Valuing the human health effect of routine atmosphere release from nuclear facilities. Report to IAEA. Vienna. Markandya, A, T. Taylor. 1999b. The external cost of nuclear accident. Report IAEA Contract C Vienna. Nasrullah, M., K. Kresna, A.Y. Soetrisnanto Pemecahan alternatif biaya eksternal pada proyek pembangkit listrik. Journal Pengembangan Energi Nuklir, Volume 1, No. 2. P2EN. Jakarta NEWJEC, INC Feasibility study of the first nuclear power plants at Muria Peninsula Region, Osaka, Japan. NRPB-FZK PC-COSYMA. User Guide. National Radiological Protection Board Forschungszentrum Karlsruhe GmBH. European Commission. OECD Nuclear Energy Today. Organisation For Economic Co-Operation And Development. Paris. OECD-IAEA Innovative Nuclear Reactor Development. Organisation For Economic Co-Operation And Development. Paris. OECD International Ministerial Conference Nuclear Power for 21 st Century. Final Statement. Organisation For Economic Co-Operation And Development. Paris. Odum, Dasar-Dasar Ekologi. terjemahan, Gajah Mada University, Jogyakarta. Olievera, A.A Regulatory control of discharge to the environtment. A Regulator s View. Proceeding of an International Conference: Protection of the Environment from Effect of Ionizing Radiation. Stockholm 6-10 Oktober Oppenheim, N. 1980, Applied model in urban and regional analysis. Prentice Hall, Engle Wood Cliff. New Jersey. ORNL RSICC Computer Code Collection Origen 2.1. Oak Ridge National Laboratory. Radiation Safety Information Computational Center. Tennessee. Parjoko, Fatchudin, Risfan, H. Sarana. 2001, Pemanfaata Pelabuhan Perikanan Tangkap LINAU Bengkulu Selatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Paul, N., Balchin, Jefrey L. Kieve, H.B. Gregory Urban Land Economics and Public Policy. Macmillian.

189 164 Pemda Jepara, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten daerah Tingkat II Jepara Tahun Pemda Pati Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten daerah Tingkat II Pati Tahun Pemerintah Daerah Pati. Pati, Pemda Demak Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten daerah Tingkat II Demak Tahun Pemerintah Daerah Demak. Demak. Pemda Kudus Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten daerah Tingkat II Kudus. Tahun Pemerintah Daerah Kudus. Jepara. Prahasta, E Sistem Informasi Geografis: Tools and Plug in. Bandung: Penerbit Informatika. Prahasta, E Sistem Informasi Geografis: Tutorial ArcView. Penerbit Informatika. Bandung. Prahasta, E Sistem Informasi Geografis: Script Avenue. Bandung: Penerbit Informatika. Rajan, K.S., R. Shibasaki A GIS Based Integrated Land Use/Cover Change Model to Study Agriculture and Urban Land Use Change. 22 nd Asian Conference on Remote Sensing, 5-9 November Singapore. Recatala, L., J.R. Ive, I.A. Baird, N. Hamilton, Sancez. 2000, Land use planning in Valencian Mediteranean Region: Using LUPIS to Generate issue relevant Plans. Journal of Environmental Management. 59: Rustiadi, E Pattern of Land-Use Change in a Jakarta Suburb: Bekasi District. Japan. Land Use For Global Environmental Conservation (LU/GEC). Final Report of the LU/GEC First Phase ( )-CGER- REPORT (ISSN , CGER Edited by Kuninori OTSUBO Rustiadi, E Analisis Spatial. IPB Bogor. Sanim, B Metoda Valuasi Ekonomi Sumber Daya dan Jasa-Jasa Lingkungan Wilayah Pesisir, Materi Pelatihan yang disampaikan pada Kursus Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara terpadu, PPLH-IPB. Bogor. Sanim, B. 2000, Analisis biaya dan manfaat bagi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Materi Pelatihan staf pengajar pendidikan tinggi Negri dan Swasta Se Jawa Bali, 4-16 September 2000, Bogor. Sarkar, H Study of Landcover and Population Density Influence on Urban Heat Island in Tropical Cities by Using Remote Sensing and GIS: A Methodological Consideration. 3nd FIG Regional Conference. Jakarta October 3-7. Sartono, E Strategi Pengembangan Pembangkitan Listrik Jawa-Bali Dalam Situasi Krisi Ekonomi di Indonesia, Journal Pengembangan Energi Nuklir. Volume 1. No. 2. Pusat Pengembangan Energi Nuklir. Jakarta. Salim, E Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kata Pembukaan. Gramedia. Jakarta.

190 165 Sharp, B.M.H Sustainable Development: Environtment and Economic Framework Integration. Treasury Working Paper 01/27. Auckland. Simmons Creating an all energi future. Aberdeen Renewable Technology Conference. Simmons and Company International. Simmonds, J.R., G. Lawson, A. Mayall Radiation Protection: Methodology for Assessing the radiological consequences of routine release of radionuclides to the environment, European Commission. Sjarief, S.H., Pusat Listrik Tenaga Nuklir dan Dampak Lingkungannya, Journal Pengembangan Energi Nuklir, Volume 1, No. 2, P2EN, Jakarta. Soetrisnanto, A.Y Perencanaan Energi Nasional Opsi Nuklir, dipresentasikan pada seminar ke-8 Teknologi Keselamatan PLTN serta Fasilitas Nuklir. Pusat Pengembangan Energi Nuklir. Jakarta. Soerjani, M., R. Ahmad, R. Munir Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan Dalam Pembangunan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Soffer, L. et al Accident source term for light water nuclear power plant, Final Report. NUREG US-NUREC. Washington. Spadaro, V. 2000, Assessing the damage of Nuclear Accidents; A brief introduction. IAEA. Vienna. Sugandhy, A Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sumiratno, S.E., A. Sasmito, Suwandi., A. Sjarmufni, J. Siwamora, dan U. Haryoko Analisis Meteorologi Untuk Fasilitas Nuklir, Departemen Perhubungan Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. Suparman Integrasi Aspek Lingkungan Dalam Perencanaan Pengembangan Sistem Tenaga Listrik, Journal Pengembangan Energi Nuklir, Volume 1, No. 2, P2EN, Jakarta. Supranto, J Analisis Multivariat: Arti dan Interprestasi. Rineka Cipta. Jakarta. Susilo, Y.S.B, J.S. Pane, Alwi, Fepriadi, Suprijadi, Sarmawin Kajian Perencanaan Tata Ruang Kawasan PLTN. Laporan Teknis. Pusat Pengembangan Energi Nuklir. Jakarta.. Syaukat, A., Pandangan Resiko Teknologi dan Keselamatan PLTN, Journal Informasi Nuklir Indonesia, Vol 1 Nomor 2 Februari Tamer, A Radiological Dispersion Aspect of Plant Siting : Population Density, Water-Land Use, Data Collection, presented at Regional Workshop on Site Selection and Seismotectonic (Madura Site), Jakarta. Tan, H A study of effectivenest of early countermeasure in nuclear accident. M.Sc. Thesis. Tsinghua University. P.R, China. Tandon, S., M. Khater Modeling population growth using parcel based Land Use in LVV.

191 166 [20 May 2004] Trinnaman, J., A. Clarke Survey of Energy Resource. Elsevier Science.Ltd. London. USNRC Reactor site criteria. Title 10, Code of Federal Regulation. Part 100. United Stated Nuclear Regulatory Commission. USA. [12 April 2003] Verbug, P.H., P. Schot, M. Dijst, A. Veldkamp Land Use Change Modelling: Current Practice and Research Priorities. GeoJournal: Inpress. 61(4): Voznyak, Report For the Russion Federation, Proceeding of an International Conference, Vienna. Wiryosimin, S Mengenal Asas Proteksi Radiasi. Penerbit ITB. Bandung Willers, A Source Term. Module 2.1 IAEA RCA project on assessment of radiological risks RAS/9/031. Australia. Wikipedia List of country by GDP (PPP) --> [02 Maret 2006] Yakin, A., Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, AKAPRES, Jakarta. Yauke, D Demography: The Study of Human Population. Waveland Press. Inc. Illinois. Yvon, M Containment Design. Presented at German Indonesia Seminar on Safety Approach of NPP. April 1-3, Nuclear Power International. Jakarta.

192 167 Jenis Kecelakaan Dalam Analisis Kecelakaan Reaktor Daya (INITIATING EVENT OF NPP ACCIDENT ANALYSIS) LAMPIRAN 1 (a) Kecelakaan reaktivitas (Reactivity induced accidents, RIAs): Pelontaran batang kendali (Control rod (CR) ejection (A)); Tertariknya batang kendali (CR withdrawal (T); Tidak berfungsinya batang kendali (CR malfunction (T)); Ketidaktepatan hubungan dengan kalang sistem pendingin (Incorrect connection of an isolated reactor coolant system (RCS) loop), Pengenceran Boron (Boron dilution due to a chemical and volume control system (CVCS) malfunction (T)); Ketidak tepatan pemuatan elemen bakar (Inadvertent loading of a fuel assembly into an improper position (A)). (b) Penurunan aliran pendingin reaktor (Decrease of reactor coolant flow): Jatuhnya pompa pendingin (Single or multiple reactor coolant pump (RCP) trips (T)); Ketidak tepatan penutupan katup isolasi (Inadvertent closure of a main isolation valve (MIV) in an RCS loop, if applicable (T)); Penutupan salah satu pompa pendingin (Seizure of one RCP (A)); Patahnya shaft salah satu pompa pendingin (Shaft break for one RCP (A)); Tertutupnya aliran pendingin di elemen bakar (Coolant flow blockage in the fuel assembly). (c) Peningkatan inventori pendingin reactor (increase of reactor coolant inventory): Ketidak tepatan aktuasi sistem pendingin darurat teras (Inadvertent actuation of the emergency core cooling system (ECCS) (T)); Tidak berfungsinya sistem pendingin darurat teras (Malfunction of CVCS leading to reactor coolant inventory increase (T)). (d) Peningkatan pengambilan panas oleh sisi sekunder (Increase of heat removal by the secondary side): Patahnya saluran uap (Steam line breaks (A)); Ketidak tepatan pembukaan katup uap (Inadvertent opening of steam relief valves (T)); Tidak berfungsinya pengendali tekanan sekunder (Secondary pressure control malfunction with increase of steam flow rate (T)) Tidak berfungsinya sistem pengumpan air (Feedwater system malfunction leading to increase of heat removal (T)). (e) Penurunan pengembilan panas oleh sisi sekunder (Decrease of heat removal by the secondary side):

193 168 Patahnya saluran pengumpan air (Feedwater line break (A)); LAMPIRAN 1 (lanjutan) Padamnya pompa pengumpan air (Feedwater pump trips (T)); Pengurangan aliran uap dari steam generator (Reduction of the steam flow from the steam generator (SG) (T). (f) Penurunan inventori pendingin reactor (Decrease of reactor coolant inventory): Ketidak tepatan pembukaan katup solasi sistem primer (Inadvertent opening of the primary system isolating valves (A)); Berbagai kehilangan pendingin (Spectrum of postulated pipe breaks loss of coolant accidents (LOCAs) (A)); Kebocoran dari sisi primer ke sekunder Steam Generator (Leaks from the primary to the secondary side of the SG (A)); (g) Keelakaan tanpa pemadaman reaktor (Anticipated transients without SCRAM (ATWS). Catatan : T : transient; A : Accident; AAO : anticipated Accident Occurance (Sumber : IAEA SS 2003)

194 169 Kandungan Hasil Fisi Catatan: Daftar inventori hasil fisi (dan aktivitas) diperkirakan ada setelah 30 menit dari reactor padam (shutdown). Teras dalam keadaan seimbang dan telah beroperasi selama 1 siklus (18 bulan). Hasil Fisi Inventori [kbq/mw e )] Inventori [kbq(1000mw e )] 85 Kr 2,07E+10 2,07E+13 85m Kr 8, ,88E Kr 1,74E E Kr 2,52E E Rb 9,62E+08 9,62E Sr 3.48E E Sr 1,37E+11 1,37E Sr 4,07E+12 4,07E Y 1,44E+11 1,44E Y 4,44E+12 4,44E Zr 5,55E+12 5,55E Zr 5,55E+12 5,55E Nb 5,55E+12 5,55E Mo 5,92E+12 5,92E+15 99m Tc 5,18E+12 5,18E Ru 4,07E+12 4,07E Ru 2,66E+12 2,66E Ru 9,25E+11 9,25E Rh 1,81E+12 1,81E Te Te 2,18E+11 4,07E+10 2,18E+14 4,07E Te 1,15E+12 1,15E m Te 1,96E+11 1,96E m Te 4,81E+11 4,81E Te 4,44E+12 4,44E Sb 2,26E+11 2,26E Sb 1,22E+12 1,22E+15 Hasil Fisi Inventori [kbq/mw e )] Inventori [kbq(1000mw e )] 131 I 3,15E+12 3,15E I 4,44E+12 4,44E I 6,29E+12 6,29E I 7,03E+12 7,03E I 5,55E+12 5,55E m Xe 3,70E+10 3,70E Xe 6,29E+12 6,29E m Xe 2,22E+11 2,22E Xe 1,26E+12 1,26E Xe 6,29E+12 6,29E Cs 2,78E+11 2,78E Cs 1,11E+11 1,11E Cs 1,74E+11 1,74E Ba 5,92E+12 5,92E La 5,92E+12 5,92E Ce 5,55E+12 5,55E Ce 4,81E+12 4,81E Ce 3,15E+12 3,15E Pr 4,81E+12 4,81E Nd 2,22E+12 2,22E Np 5,92E+13 5,92E Pu 2,11E+09 2,11E Pu 7,77E+08 7,77E Pu 7,77E+08 7,77E Pu 1,26E+11 1,26E Am 6,29E+07 6,29E Cm 1,85E+13 1,85E Cm 8,51E+11 8,51E+14 Lampiran 2

195 170 Pola pelepasan bahan radionuklida dari cerobong dan pola dispersinya berdasarkan kategori angin Pasquil LAMPIRAN 3

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi, sosial maupun peningkatan kualitas hidup. Oleh karena itu kecukupan persediaan energi secara berkelanjutan

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK RADIOLOGI DAN PEMANFAATAN RUANG SEKITAR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR DALAM PENYIAPAN TANGGAP DARURAT

KAJIAN DAMPAK RADIOLOGI DAN PEMANFAATAN RUANG SEKITAR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR DALAM PENYIAPAN TANGGAP DARURAT KAJIAN DAMPAK RADIOLOGI DAN PEMANFAATAN RUANG SEKITAR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR DALAM PENYIAPAN TANGGAP DARURAT Studi Kasus: Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara Oleh JUPITER SITORUS

Lebih terperinci

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 107) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 23, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3676) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA. BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 01-P/Ka-BAPETEN/VI-99 TENTANG PEDOMAN PENENTUAN TAPAK REAKTOR NUKLIR

KEPUTUSAN KEPALA. BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 01-P/Ka-BAPETEN/VI-99 TENTANG PEDOMAN PENENTUAN TAPAK REAKTOR NUKLIR KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 01-P/Ka-BAPETEN/VI-99 TENTANG PEDOMAN PENENTUAN TAPAK REAKTOR NUKLIR KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a. bahwa pembangunan dan pengoperasian

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 106, 2006 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4668) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Badan Tenaga Nuklir Nasional 2012

Badan Tenaga Nuklir Nasional 2012 BATAN B.38 ANALISIS KONSEKUENSI KECELAKAAN PARAH PRESSURIZED WATER REACTOR DENGAN BACKWARDS METHOD Dr. Ir. Pande Made Udiyani Dr. Jupiter Sitorus Pane, M.Sc Drs. Sri Kuntjoro Ir. Sugiyanto Ir. Suharno,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG SEKITAR CALON TAPAK PLTN UJUNG LEMAHABANG BERDASARKAN PRAKIRAAN DAMPAK RADIOLOGI

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG SEKITAR CALON TAPAK PLTN UJUNG LEMAHABANG BERDASARKAN PRAKIRAAN DAMPAK RADIOLOGI ANALISIS PEMANFAATAN RUANG SEKITAR CALON TAPAK PLTN UJUNG LEMAHABANG BERDASARKAN PRAKIRAAN DAMPAK RADIOLOGI Jupiter Sitorus Pane 1, Muhammad Sri Saeni 2, Bunasor Sanim 2, Ernan Rustiadi 2 Hudi Hastowo

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG KESIAPSIAGAAN DAN PENANGGULANGAN KEDARURATAN NUKLIR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG KESIAPSIAGAAN DAN PENANGGULANGAN KEDARURATAN NUKLIR PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG KESIAPSIAGAAN DAN PENANGGULANGAN KEDARURATAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang

Lebih terperinci

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 27/2002, PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF *39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undangundang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4202) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.107, 2012 NUKLIR. Instalasi. Keselamatan. Keamanan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5313) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

MANAJEMEN BENCANA PENGERTIAN - PENGERTIAN. Definisi Bencana (disaster) DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MANAJEMEN BENCANA PENGERTIAN - PENGERTIAN. Definisi Bencana (disaster) DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PENGERTIAN - PENGERTIAN ( DIREKTUR MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BENCANA ) DIREKTORAT JENDERAL PEMERINTAHAN UMUM Definisi Bencana (disaster) Suatu peristiwa

Lebih terperinci

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014 BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014 BUKU III Biro Peraturan Perundang-undangan, Humas dan Tata Usaha Pimpinan BKPM 2015 DAFTAR ISI 1. PERATURAN

Lebih terperinci

ABSTRACT RACHMAT SAHPUTRA

ABSTRACT RACHMAT SAHPUTRA ABSTRACT RACHMAT SAHPUTRA. Model of Spacial Distribution of Radionuclide on an Accident at PLTN (Accident Simulation of PLTN Muria). Under direction of TUN TEDJA IRAWADI, ALINDA FITRIANY M ZAIN and PURWANTININGSIH

Lebih terperinci

2011, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir ini, yang dimaksud dengan: 1. Reaktor nondaya adalah r

2011, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir ini, yang dimaksud dengan: 1. Reaktor nondaya adalah r BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.534, 2011 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Keselamatan Operasi Reaktor Nondaya. Prosedur. Pelaporan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

ANALISIS KONSEKUENSI RADIOLOGIS PADA KONDISI ABNORMAL PLTN 1000 MWe MENGGUNAKAN PROGRAM RADCON

ANALISIS KONSEKUENSI RADIOLOGIS PADA KONDISI ABNORMAL PLTN 1000 MWe MENGGUNAKAN PROGRAM RADCON 78 ISSN 0216-3128 Pande Made U., dkk. ANALISIS KONSEKUENSI RADIOLOGIS PADA KONDISI ABNORMAL PLTN 1000 MWe MENGGUNAKAN PROGRAM RADCON Pande Made Udiyani dan Sri Kuntjoro PTRKN-BATAN ABSTRAK ANALISIS KONSEKUENSI

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Radiasi nuklir merupakan suatu bentuk pancaran energi. Radiasi nuklir dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan kemampuannya mengionisasi partikel pada lintasan yang dilewatinya,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

KAJI NUMERIK DAMPAK RADIOLOGIS LINGKUNGAN JANGKA PENDEK AKIBAT KECELAKAAN REAKTOR NUKLIR DENGAN PROGRAM PC COSYMA

KAJI NUMERIK DAMPAK RADIOLOGIS LINGKUNGAN JANGKA PENDEK AKIBAT KECELAKAAN REAKTOR NUKLIR DENGAN PROGRAM PC COSYMA KAJI NUMERIK DAMPAK RADIOLOGIS LINGKUNGAN JANGKA PENDEK AKIBAT KECELAKAAN REAKTOR NUKLIR DENGAN PROGRAM PC COSYMA Diah Hidayanti, Budi Rohman P2STPIBN-Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Jl. Gajah Mada 8 Jakarta

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI ADMINISTRASI. Instansi Nuklir. Bahan Nuklir. Perizinan. Pemanfaatan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 8) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR I. UMUM Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia meliputi berbagai

Lebih terperinci

2015, No Tenaga Nuklir tentang Penatalaksanaan Tanggap Darurat Badan Pengawas Tenaga Nuklir; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 te

2015, No Tenaga Nuklir tentang Penatalaksanaan Tanggap Darurat Badan Pengawas Tenaga Nuklir; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 te BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.234, 2015 BAPETEN. Tanggap Darurat. Penatalaksanaan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENATALAKSANAAN TANGGAP DARURAT BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA KP PERKA- 24 OKT 2014 RANCANGAN PERATURAN KEPALA BAPETEN TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA DIREKTORAT PENGATURAN PENGAWASAN INSTALASI DAN BAHAN NUKLIR BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2000 (63/2000) TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2000 (63/2000) TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2000 (63/2000) TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.389, 2015 BAPETEN. Reaktor Nondaya. Keselamatan. Penilaian. Verifikasi. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN

Lebih terperinci

RINGKASAN. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; Program St~di Pengeloiaan Sumberdaya

RINGKASAN. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; Program St~di Pengeloiaan Sumberdaya RINGKASAN Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; Program St~di Pengeloiaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Penulis : Pande Made Udiyani; Judul : Identifikasi Radionuklida Air di Luar Kawasan PUSPIPTEK

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA BENCANA :

MITIGASI BENCANA BENCANA : MITIGASI BENCANA BENCANA : suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.672, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Radiasi Proteksi. Keselamatan. Pemanfaatan. Nuklir. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam pemanfaatan sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR PARAMETER

Lebih terperinci

KONSEP DESAIN NEUTRONIK REAKTOR AIR TEKAN BERBAHAN BAKAR PLUTONIUM-URANIUM OKSIDA (MOX) DENGAN INTERVAL PENGISIAN BAHAN BAKAR PANJANG ASIH KANIASIH

KONSEP DESAIN NEUTRONIK REAKTOR AIR TEKAN BERBAHAN BAKAR PLUTONIUM-URANIUM OKSIDA (MOX) DENGAN INTERVAL PENGISIAN BAHAN BAKAR PANJANG ASIH KANIASIH KONSEP DESAIN NEUTRONIK REAKTOR AIR TEKAN BERBAHAN BAKAR PLUTONIUM-URANIUM OKSIDA (MOX) DENGAN INTERVAL PENGISIAN BAHAN BAKAR PANJANG ASIH KANIASIH DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketenaganukliran menyangkut kehidupan dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF 3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF 301. Pengelolaan limbah radioaktif yang bertanggungjawab memerlukan implementasi dan pengukuran yang menghasilkan perlindungan kesehatan manusia dan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAPETEN. Petugas Tertentu. Bekerja. Instalasi. Sumber Radiasi Pengion. Bekerja. Surat Izin. Pencabutan.

BAPETEN. Petugas Tertentu. Bekerja. Instalasi. Sumber Radiasi Pengion. Bekerja. Surat Izin. Pencabutan. No.1937, 2014 BAPETEN. Petugas Tertentu. Bekerja. Instalasi. Sumber Radiasi Pengion. Bekerja. Surat Izin. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG SURAT IZIN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16 Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

2011, No Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif (Lembaran Negara Republi

2011, No Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif (Lembaran Negara Republi No.538, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Instalasi Nuklir Nonreaktor. Dekomisioning. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011

Lebih terperinci

ANALISIS TERHADAP MODEL LEPASAN RADIOAKTIF DAN TINDAKAN PROTEKTIF UNTUK KECELAKAAN POTENSIAL PLTN

ANALISIS TERHADAP MODEL LEPASAN RADIOAKTIF DAN TINDAKAN PROTEKTIF UNTUK KECELAKAAN POTENSIAL PLTN Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 15 Nomor 1, Juli 2012 (Volume 15, Number 1, July, 2012) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive

Lebih terperinci

SYNOPSIS REAKTOR NUKLIR DAN APLIKASINYA

SYNOPSIS REAKTOR NUKLIR DAN APLIKASINYA SYNOPSIS REAKTOR NUKLIR DAN APLIKASINYA PENDAHULUAN Disamping sebagai senjata nuklir, manusia juga memanfaatkan energi nuklir untuk kesejahteraan umat manusia. Salah satu pemanfaatan energi nuklir secara

Lebih terperinci

FORMAT DAN ISI LAPORAN PENILAIAN KESELAMATAN BERKALA KONDISI TERKINI STRUKTUR, SISTEM, DAN KOMPONEN

FORMAT DAN ISI LAPORAN PENILAIAN KESELAMATAN BERKALA KONDISI TERKINI STRUKTUR, SISTEM, DAN KOMPONEN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG VERIFIKASI DAN PENILAIAN KESELAMATAN REAKTOR NONDAYA FORMAT DAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA - 2 - KEJADIAN AWAL TERPOSTULASI (PIE) 1.1. Lampiran ini menjelaskan definisi

Lebih terperinci

EVALUASI KESIAPSIAGAAN NUKLIR DI INSTALASI RADIOMETALURGI BERDASARKAN PERKA BAPETEN NOMOR 1 TAHUN 2010

EVALUASI KESIAPSIAGAAN NUKLIR DI INSTALASI RADIOMETALURGI BERDASARKAN PERKA BAPETEN NOMOR 1 TAHUN 2010 No. 07 / Tahun IV April 2011 ISSN 1979-2409 EVALUASI KESIAPSIAGAAN NUKLIR DI INSTALASI RADIOMETALURGI BERDASARKAN PERKA BAPETEN NOMOR 1 TAHUN 2010 Budi Prayitno, Suliyanto Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir

Lebih terperinci

PENENTUAN ZONA KEDARURATAN NUKLIR LUAR TAPAK (OFF-SITE) DI INDONESIA

PENENTUAN ZONA KEDARURATAN NUKLIR LUAR TAPAK (OFF-SITE) DI INDONESIA PENENTUAN ZONA KEDARURATAN NUKLIR LUAR TAPAK (OFF-SITE) DI INDONESIA Pande Made Udiyani, Sri Kuntjoro Pusat Teknologi dan Keselamatan Reaktor Nuklir - BATAN Gd.80 Puspiptek Serpong email: pmade-u@batan.go.id

Lebih terperinci

ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI

ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI Oleh NAUSA NUGRAHA SP. 04 02 02 0471 DEPARTEMEN TEKNIK MESIN PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

Lebih terperinci

PERIZINAN REAKTOR DAYA NON KOMERSIAL

PERIZINAN REAKTOR DAYA NON KOMERSIAL PERIZINAN REAKTOR DAYA NON KOMERSIAL Direktorat Perizinan Instalasi dan Bahan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir Jakarta, 11 November 2015 LINGKUP : PENDAHULUAN PENGAWASAN TENAGA NUKLIR PERIZINAN REAKTOR

Lebih terperinci

PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL

PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI REAKTOR NONDAYA PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL

Lebih terperinci

RISIKO LONGSORLAHAN PADA PENGGUNAAN LAHAN KEBUN DI SUB-DAERAH ALIRAN SUNGAI LOGAWA KABUPATEN BANYUMAS

RISIKO LONGSORLAHAN PADA PENGGUNAAN LAHAN KEBUN DI SUB-DAERAH ALIRAN SUNGAI LOGAWA KABUPATEN BANYUMAS RISIKO LONGSORLAHAN PADA PENGGUNAAN LAHAN KEBUN DI SUB-DAERAH ALIRAN SUNGAI LOGAWA KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S-1) Disusun Oleh:

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR KESELAMATAN NUKLIR (I)

PRINSIP DASAR KESELAMATAN NUKLIR (I) PRINSIP DASAR KESELAMATAN NUKLIR (I) Khoirul Huda Badan Pengawas Tenaga Nuklir Jl. Gajah Mada 8, Jakarta 1 KESELAMATAN NUKLIR M I S I Misi keselamatan nuklir adalah untuk melindungi personil, anggota masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang PENGANTAR MITIGASI BENCANA Definisi Bencana (1) Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 2007 LINGKUNGAN HIDUP. Tenaga Nuklir. Keselamatan. Keamanan. Pemanfaatan. Radioaktif. Radiasi Pengion.

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Limbah Radioaktif

Lebih terperinci

Analisis Keselamatan Probabilistik (Probabilistic Safety Analysis)

Analisis Keselamatan Probabilistik (Probabilistic Safety Analysis) Analisis Keselamatan Probabilistik (Probabilistic Safety Analysis) D T Sony Tjahyani Bidang Analisis Risiko dan Mitigasi Kecelakaan Pusat Pengembangan Teknologi Keselamatan Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

Oleh: IVAN ARIANTO E

Oleh: IVAN ARIANTO E ANALISIS SPASIAL TINGKAT KERAWANAN JALUR PIPA PANASBUMI DI AREA KAMOJANG, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT TAHUN 2016 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1 Fakultas

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN TENTANG DEKOMISIONING INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN TENTANG DEKOMISIONING INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2011... TENTANG DEKOMISIONING INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KEDARURATAN NUKLIR DI INDONESIA DAN PENANGGULANGANNYA

KEDARURATAN NUKLIR DI INDONESIA DAN PENANGGULANGANNYA ISSN 1979-2409 Kedaruratan Nuklir di Indonesia dan Penanggulangannya (Budi Prayitno) KEDARURATAN NUKLIR DI INDONESIA DAN PENANGGULANGANNYA Budi Prayitno Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir-BATAN ABSTRAK

Lebih terperinci

KERENTANAN (VULNERABILITY)

KERENTANAN (VULNERABILITY) DISASTER TERMS BENCANA (DISASTER) BAHAYA (HAZARD) KERENTANAN (VULNERABILITY) KAPASITAS (CAPACITY) RISIKO (RISK) PENGKAJIAN RISIKO (RISK ASSESSMENT) PENGURANGAN RISIKO BENCANA (DISASTER RISK REDUCTION)

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG ASPEK PROTEKSI RADIASI DALAM DESAIN REAKTOR DAYA

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG ASPEK PROTEKSI RADIASI DALAM DESAIN REAKTOR DAYA RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG ASPEK PROTEKSI RADIASI DALAM DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

Lebih terperinci

RISET KECELAKAAN KEHILANGAN AIR PENDINGIN: KARAKTERISTIK TERMOHIDRAULIK

RISET KECELAKAAN KEHILANGAN AIR PENDINGIN: KARAKTERISTIK TERMOHIDRAULIK RISET KECELAKAAN KEHILANGAN AIR PENDINGIN: KARAKTERISTIK TERMOHIDRAULIK RINGKASAN Apabila ada sistem perpipaan reaktor pecah, sehingga pendingin reaktor mengalir keluar, maka kondisi ini disebut kecelakaan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG DESAIN SISTEM CATU DAYA DARURAT UNTUK REAKTOR DAYA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG DESAIN SISTEM CATU DAYA DARURAT UNTUK REAKTOR DAYA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG DESAIN SISTEM CATU DAYA DARURAT UNTUK REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PERHITUNGAN PARAMETER DEPOSISI LEPASAN PRODUK FISI DI PERMUKAAN TANAH TAPAK PLTN

PERHITUNGAN PARAMETER DEPOSISI LEPASAN PRODUK FISI DI PERMUKAAN TANAH TAPAK PLTN PERHITUNGAN PARAMETER DEPOSISI LEPASAN PRODUK FISI DI PERMUKAAN TANAH TAPAK PLTN Pande Made Udiyani Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir-BATAN Puspiptek Gd-80, Email: pmade-u@batan.go.id Masuk:

Lebih terperinci

LINGKUP KESELAMATAN NUKLIR DI SUATU NEGARA YANG MEMILIKI FASILITAS NUKLIR

LINGKUP KESELAMATAN NUKLIR DI SUATU NEGARA YANG MEMILIKI FASILITAS NUKLIR LINGKUP KESELAMATAN NUKLIR DI SUATU NEGARA YANG MEMILIKI FASILITAS NUKLIR RINGKASAN Inspeksi keselamatan pada fasilitas nuklir termasuk regulasi yang dilakukan oleh Komisi Keselamatan Tenaga Nuklir adalah

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBERADAAN SITU (STUDI KASUS KOTA DEPOK) ROSNILA

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBERADAAN SITU (STUDI KASUS KOTA DEPOK) ROSNILA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBERADAAN SITU (STUDI KASUS KOTA DEPOK) Oleh : ROSNILA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 4 ABSTRAK Rosnila. Perubahan Penggunaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Limbah Radioaktif yang

Lebih terperinci